You are on page 1of 42

BAMBANG SETIARTO

GURU SDLBN-1 MELAYU


MUARA TEWEH
BARITO UTARA
KALTENG

ETIKA MAKAN DAN MINUM

Berupaya untuk mencari makanan yang halal. Allah Shallallaahu alaihi wa Sallam
berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-
baik yang Kami berikan kepadamu”. (Al-Baqarah: 172). Yang baik disini artinya
adalah yang halal.

Hendaklah makan dan minum yang kamu lakukan diniatkan agar bisa dapat
beribadah kepada Allah, agar kamu mendapat pahala dari makan dan minummu itu.

Hendaknya mencuci tangan sebelum makan jika tangan kamu kotor, dan begitu juga
setelah makan untuk menghilangkan bekas makanan yang ada di tanganmu.

Hendaklah kamu puas dan rela dengan makanan dan minuman yang ada, dan jangan
sekali-kali mencelanya. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya
menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam sama sekali tidak pernah
mencela makanan. Apabila suka sesuatu ia makan dan jika tidak, maka ia
tinggalkan”. (Muttafaq’alaih).

Hendaknya jangan makan sambil bersandar atau dalam keadaan menyungkur.


Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda; “Aku tidak makan sedangkan aku
menyandar”. (HR. al-Bukhari). Dan di dalam haditsnya, Ibnu Umar Radhiallaahu anhu
menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah melarang dua tempat
makan, yaitu duduk di meja tempat minum khamar dan makan sambil menyungkur”.
(HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).

Tidak makan dan minum dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak.
Di dalam hadits Hudzaifah dinyatakan di antaranya bahwa Nabi Shallallaahu alaihi
wa Sallam telah bersabda: “... dan janganlah kamu minum dengan menggunakan
bejana terbuat dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan dengan piring
yang terbuat darinya, karena keduanya untuk mereka (orang kafir) di dunia dan
untuk kita di akhirat kelak”. (Muttafaq’alaih).

Hendaknya memulai makanan dan minuman dengan membaca Bismillah dan diakhiri
dengan Alhamdulillah. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila
seorang diantara kamu makan, hendaklah menyebut nama Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan jika lupa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala pada awalnya maka
hendaknya mengatakan : Bismillahi awwalihi wa akhirihi”. (HR. Abu Daud dan
dishahihkan oleh Al-Albani). Adapun meng-akhirinya dengan Hamdalah, karena
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat
meridhai seorang hamba yang apabila telah makan suatu makanan ia memuji-Nya
dan apabila minum minuman ia pun memuji-Nya”. (HR. Muslim).

Hendaknya makan dengan tangan kanan dan dimulai dari yang ada di depanmu.
Rasulllah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda Kepada Umar bin Salamah: “Wahai
anak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah
apa yang di depanmu. (Muttafaq’alaih).
Disunnatkan makan dengan tiga jari dan menjilati jari-jari itu sesudahnya.
Diriwayatkan dari Ka`ab bin Malik dari ayahnya, ia menuturkan: “Adalah Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam makan dengan tiga jari dan ia menjilatinya sebelum
mengelapnya”. (HR. Muslim).

Disunnatkan mengambil makanan yang terjatuh dan membuang bagian yang kotor
darinya lalu memakannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila suapan makan seorang kamu jatuh hendaklah ia mengambilnya dan
membuang bagian yang kotor, lalu makanlah ia dan jangan membiarkannya untuk
syetan”. (HR. Muslim).

Tidak meniup makan yang masih panas atau bernafas di saat minum. Hadits Ibnu
Abbas menuturkan “Bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang
bernafas pada bejana minuman atau meniupnya”. (HR. At-Turmudzi dan dishahihkan
oleh Al-Albani).

Tidak berlebih-lebihan di dalam makan dan minum. Karena Rasulullah Shallallaahu


alaihi wa Sallam bersabda: “Tiada tempat yang yang lebih buruk yang dipenuhi oleh
seseorang daripada perutnya, cukuplah bagi seseorang beberapa suap saja untuk
menegakkan tulang punggungnya; jikapun terpaksa, maka sepertiga untuk
makanannya, sepertiga untuk minu-mannya dan sepertiga lagi untuk bernafas”. (HR.
Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Hendaknya pemilik makanan (tuan rumah) tidak melihat ke muka orang-orang yang
sedang makan, namun seharusnya ia menundukkan pandangan matanya, karena hal
tersebut dapat menyakiti perasaan mereka dan membuat mereka menjadi malu.

Hendaknya kamu tidak memulai makan atau minum sedangkan di dalam majlis ada
orang yang lebih berhak memulai, baik kerena ia lebih tua atau mempunyai
kedudukan, karena hal tersebut bertentangan dengan etika.

Jangan sekali-kali kamu melakukan perbuatan yang orang lain bisa merasa jijik,
seperti mengirapkan tangan di bejana, atau kamu mendekatkan kepalamu kepada
tempat makanan di saat makan, atau berbicara dengan nada-nada yang
mengandung makna kotor dan menjijik-kan.

Jangan minum langsung dari bibir bejana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas beliau
berkata, “Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang minum dari bibir bejana
wadah air.” (HR. Al Bukhari)

Disunnatkan minum sambil duduk, kecuali jika udzur, karena di dalam hadits Anas
disebutkan “Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang
minum sambil berdiri”. (HR. Muslim).

Etika Tidur dan Bangun

Berintrospeksi diri (muhasabah) sesaat sebelum tidur. Sangat dianjurkan sekali bagi
setiap muslim bermuhasabah (berintrospeksi diri) sesaat sebelum tidur,
mengevaluasi segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Lalu jika ia
dapatkan perbuatannya baik maka hendaknya memuji kepada Allah Subhanahu
wata'ala dan jika sebaliknya maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya,
kembali dan bertobat kepada-Nya.
Tidur dini, berdasarkan hadits yang bersumber dari `Aisyah Radhiallahu'anha
"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam tidur pada awal malam dan
bangun pada pengujung malam, lalu beliau melakukan shalat".(Muttafaq `alaih)

Disunnatkan berwudhu' sebelum tidur, dan berbaring miring sebelah kanan. Al-Bara'
bin `Azib Radhiallahu'anhu menuturkan : Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam
bersabda: "Apabila kamu akan tidur, maka berwudlu'lah sebagaimana wudlu' untuk
shalat, kemudian berbaringlah dengan miring ke sebelah kanan..." Dan tidak
mengapa berbalik kesebelah kiri nantinya.

Disunnatkan pula mengibaskan sperei tiga kali sebelum berbaring, berdasarkan


hadits Abu Hurairah Radhiallahu'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi
wasallam bersabda: "Apabila seorang dari kamu akan tidur pada tempat tidurnya,
maka hendaklah mengirapkan kainnya pada tempat tidurnya itu terlebih dahulu,
karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya..." Di dalam satu riwayat dikatakan:
"tiga kali". (Muttafaq `alaih).

Makruh tidur tengkurap. Abu Dzar Radhiallahu'anhu menuturkan :"Nabi


Shallallahu'alaihi wasallam pernah lewat melintasi aku, dikala itu aku sedang
berbaring tengkurap. Maka Nabi Shallallahu'alaihi wasallam membangunkanku
dengan kakinya sambil bersabda :"Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar),
sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya penghuni
neraka". (H.R. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Makruh tidur di atas dak terbuka, karena di dalam hadits yang bersumber dari `Ali
bin Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda:
"Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya,
maka hilanglah jaminan darinya". (HR. Al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, dan
dinilai shahih oleh Al-Albani).

Menutup pintu, jendela dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur. Dari Jabir ra
diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah
bersabda: "Padamkanlah lampu di malam hari apa bila kamu akan tidur, tutuplah
pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman".
(Muttafaq'alaih).

Membaca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-
Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadits-hadits shahih yang
menganjurkan hal tersebut.

Membaca do`a-do`a dan dzikir yang keterangannya shahih dari Rasulullah


Shallallahu'alaihi wasallam, seperti : Allaahumma qinii yauma tab'atsu 'ibaadaka

"Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali
segenap hamba-hamba-Mu". Dibaca tiga kali.(HR. Abu Dawud dan di hasankan oleh
Al Albani)
Dan membaca: Bismika Allahumma Amuutu Wa ahya
" Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup." (HR. Al Bukhari)

Apabila di saat tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka
disunnatkan (dianjurkan) berdo`a dengan do`a berikut ini :
" A'uudzu bikalimaatillaahit taammati min ghadhabihi Wa syarri 'ibaadihi, wa min
hamazaatisy syayaathiini wa an yahdhuruuna."
Aku berlindung dengan Kalimatullah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan
hamba-hamba-Nya, dari gangguan syetan dan kehadiran mereka kepadaku". (HR.
Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani)

Hendaknya apabila bangun tidur membaca :


"Alhamdu Lillahilladzii Ahyaanaa ba'da maa Amaatanaa wa ilaihinnusyuuru"
"Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami dimatikan-Nya,
dan kepada-Nya lah kami dikembalikan." (HR. Al-Bukhari)

ETIKA (ADAB) BUANG HAJAT

Segera membuang hajat.


Apabila seseorang merasa akan buang air maka hendaknya bersegera
melakukannya, karena hal tersebut berguna bagi agamanya dan bagi kesehatan
jasmani.

Menjauh dari pandangan manusia di saat buang air (hajat). berdasarkan hadits yang
bersumber dari al-Mughirah bin Syu`bah Radhiallaahu 'anhu disebutkan "
Bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila pergi untuk buang air (hajat)
maka beliau menjauh". (Diriwayatkan oleh empat Imam dan dinilai shahih oleh Al-
Albani).

Menghindari tiga tempat terlarang, yaitu aliran air, jalan-jalan manusia dan tempat
berteduh mereka. Sebab ada hadits dari Mu`adz bin Jabal Radhiallaahu 'anhu yang
menyatakan demikian.

Tidak mengangkat pakaian sehingga sudah dekat ke tanah, yang demikian itu
supaya aurat tidak kelihatan. Di dalam hadits yang bersumber dari Anas
Radhiallaahu 'anhu ia menuturkan: "Biasanya apabila Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam hendak membuang hajatnya tidak mengangkat (meninggikan) kainnya
sehingga sudah dekat ke tanah. (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dinilai shahih oleh
Albani).

Tidak membawa sesuatu yang mengandung penyebutan Allah kecuali karena


terpaksa. Karena tempat buang air (WC dan yang serupa) merupakan tempat
kotoran dan hal-hal yang najis, dan di situ setan berkumpul dan demi untuk
memelihara nama Allah dari penghinaan dan tindakan meremehkannya.

Dilarang menghadap atau membelakangi kiblat, berdasar-kan hadits yang bersumber


dari Abi Ayyub Al-Anshari Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyebutkan bahwasanya
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila kamu telah tiba di
tempat buang air, maka janganlah kamu menghadap kiblat dan jangan pula
membelakanginya, apakah itu untuk buang air kecil ataupun air besar. Akan tetapi
menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat". (Muttafaq'alaih).

Ketentuan di atas berlaku apabila di ruang terbuka saja. Adapun jika di dalam ruang
(WC) atau adanya pelindung / penghalang yang membatasi antara si pembuang
hajat dengan kiblat, maka boleh menghadap ke arah kiblat.

Dilarang kencing di air yang tergenang (tidak mengalir), karena hadits yang
bersumber dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang diantara kamu buang air kecil
di air yang menggenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di situ".
(Muttafaq'alaih).
Makruh mencuci kotoran dengan tangan kanan, karena hadits yang bersumber dari
Abi Qatadah Radhiallaahu 'anhu menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang diantara kamu memegang dzakar
(kemaluan)nya dengan tangan kanannya di saat ia kencing, dan jangan pula bersuci
dari buang air dengan tangan kanannya." (Muttafaq'alaih).

Dianjurkan kencing dalam keadaan duduk, tetapi boleh jika sambil berdiri. Pada
dasarnya buang air kecil itu di lakukan sambil duduk, berdasarkan hadits `Aisyah
Radhiallaahu 'anha yang berkata: Siapa yang telah memberitakan kepada kamu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri, maka jangan
kamu percaya, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah kencing
kecuali sambil duduk. (HR. An-Nasa`i dan dinilai shahih oleh Al-Albani). Sekalipun
demikian seseorang dibolehkan kencing sambil berdiri dengan syarat badan dan
pakaiannya aman dari percikan air kencingnya dan aman dari pandangan orang lain
kepadanya. Hal itu karena ada hadits yang bersumber dari Hudzaifah, ia berkata:
"Aku pernah bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam (di suatu perjalanan) dan
ketika sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau buang air kecil
sambil berdiri, maka akupun menjauh daripadanya. Maka beliau bersabda:
"Mendekatlah kemari". Maka aku mendekati beliau hingga aku berdiri di sisi kedua
mata kakinya. Lalu beliau berwudhu dan mengusap kedua khuf-nya." (Muttafaq
alaih).

Makruh berbicara di saat buang hajat kecuali darurat. berdasarkan hadits yang
bersumber dari Ibnu Umar Shallallaahu 'alaihi wa sallam diriwayatkan: "Bahwa
sesungguhnya ada seorang lelaki lewat, sedangkan Rasulullah Shallallahu'alaihi
wasallam. sedang buang air kecil. Lalu orang itu memberi salam (kepada Nabi),
namun beliau tidak menjawabnya. (HR. Muslim).

Makruh bersuci (istijmar) dengan mengunakan tulang dan kotoran hewan, dan
disunnatkan bersuci dengan jumlah ganjil. Di dalam hadits yang bersumber dari
Salman Al-Farisi Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ia berkata: "Kami
dilarang oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam beristinja (bersuci) dengan
menggunakan kurang dari tiga biji batu, atau beristinja dengan menggunakan
kotoran hewan atau tulang. (HR. Muslim).
Dan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: " Barangsiapa yang bersuci
menggunakan batu (istijmar), maka hendaklah diganjilkan."

Disunnatkan masuk ke WC dengan mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan kaki
kanan berbarengan dengan dzikirnya masing-masing. Dari Anas bin Malik
Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwa ia berkata: "Adalah Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam apabila masuk ke WC mengucapkan :
"Allaahumma inni a'udzubika minal khubusi wal khabaaits"
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari pada syetan jantan dan setan betina".
Dan apabila keluar, mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan : "Ghufraanaka"
(ampunan-Mu ya Allah).

Mencuci kedua tangan sesudah menunaikan hajat. Di dalam hadis yang bersumber
dari Abu Hurairah ra. diriwayatkan bahwasanya "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
menunaikan hajatnya (buang air) kemudian bersuci dari air yang berada pada
sebejana kecil, lalu menggosokkan tangannya ke tanah. (HR. Abu Daud dan Ibnu
Majah).

ETIKA BERPAKAIAN DAN BERHIAS

Disunnatkan memakai pakaian baru, bagus dan bersih.


Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda kepada salah seorang
shahabatnya di saat beliau melihatnya mengenakan pakaian jelek : "Apabila Allah
Tabaroka wata'ala mengaruniakan kepadamu harta, maka tampakkanlah bekas
ni`mat dan kemurahan-Nya itu pada dirimu. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-
Albani).

Pakaian harus menutup aurat, yaitu longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal
tidak memperlihatkan apa yang ada di baliknya.

Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya. Karena
hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas Radhiallaahu 'anhu ia menuturkan:
"Rasulullah melaknat (mengutuk) kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan
kaum wanita yang menyerupai kaum pria." (HR. Al-Bukhari).
Tasyabbuh atau penyerupaan itu bisa dalam bentuk pakaian ataupun lainnya.

Pakaian tidak merupakan pakaian show (untuk ketenaran), karena Rasulullah


Radhiallaahu 'anhu telah bersabda: "Barang siapa yang mengenakan pakaian
ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di
hari Kiamat." ( HR. Ahmad, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

Pakaian tidak boleh ada gambar makhluk yang bernyawa atau gambar salib, karena
hadits yang bersumber dari Aisyah Radhiallaahu 'anha menyatakan bahwasanya
beliau berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan
pakaian yang ada gambar salibnya melainkan Nabi menghapusnya". (HR. Al-Bukhari
dan Ahmad).

Laki-laki tidak boleh memakai emas dan kain sutera kecuali dalam keadaan terpaksa.
Karena hadits yang bersumber dari Ali Radhiallaahu 'anhu mengatakan:
"Sesungguhnya Nabi Allah Subhaanahu wa Ta'ala pernah membawa kain sutera di
tangan kanannya dan emas di tangan kirinya, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya
dua jenis benda ini haram bagi kaum lelaki dari umatku". (HR. Abu Daud dan dinilai
shahih oleh Al-Albani).

Pakaian laki-laki tidak boleh panjang melebihi kedua mata kaki. Karena Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : "Apa yang berada di bawah kedua
mata kaki dari kain itu di dalam neraka" (HR. Al-Bukhari). –penting- <tilmidzi>

Adapun perempuan, maka seharusnya pakaiannya menutup seluruh badannya,


termasuk kedua kakinya. Adalah haram hukumnya orang yang menyeret (meng-
gusur) pakaiannya karena sombong dan bangga diri. Sebab ada hadits yang
menyatakan : "Allah tidak akan memperhatikan di hari Kiamat kelak kepada orang
yang menyeret kainnya karena sombong". (Muttafaq'alaih).

Disunnatkan mendahulukan bagian yang kanan di dalam berpakaian atau lainnya.


Aisyah Radhiallaahu 'anha di dalam haditsnya berkata: "Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam suka bertayammun (memulai dengan yang kanan) di dalam segala
perihalnya, ketika memakai sandal, menyisir rambut dan bersuci'. (Muttafaq'-alaih).

Disunnatkan kepada orang yang mengenakan pakaian baru membaca :


"Segala puji bagi Allah yang telah menutupi aku dengan pakaian ini dan
mengaruniakannya kepada-ku tanpa daya dan kekuatan dariku". (HR. Abu Daud dan
dinilai hasan oleh Al-Albani).
Disunnatkan memakai pakaian berwarna putih, karena hadits mengatakan: "Pakailah
yang berwarna putih dari pakaianmu, karena yang putih itu adalah yang terbaik dari
pakaian kamu ..." (HR. Ahmad dan dinilah shahih oleh Albani).

Disunnatkan menggunakan farfum bagi laki-laki dan perempuan, kecuali bila


keduanya dalam keadaan berihram untuk haji ataupun umrah, atau jika perempuan
itu sedang berihdad (berkabung) atas kematian suaminya, atau jika ia berada di
suatu tempat yang ada laki-laki asing (bukan mahramnya), karena larangannya
shahih.

Haram bagi perempuan memasang tato, menipiskan bulu alis, memotong gigi supaya
cantik dan menyambung rambut (bersanggul). Karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa sallam di dalam haditsnya mengatakan: "Allah melaknat (mengutuk) wanita
pemasang tato dan yang minta ditatoi, wanita yang menipiskan bulu alisnya dan
yang meminta ditipiskan dan wanita yang meruncingkan giginya supaya kelihatan
cantik, (mereka) mengubah ciptaan Allah". Dan di dalam riwayat Imam Al-Bukhari
disebutkan: "Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya". (Muttafaq'alaih).

ETIKA DI JALANAN

Berjalan dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan
atau mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain
karena takabbur. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri". (Luqman: 18)

Memelihara pandangan mata, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah


Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
"Katakanlah kepada orang laki-laki beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya...." (An-Nur: 30-31).

Tidak mengganggu, yaitu tidak membuang kotoran, sisa makanan di jalan-jalan


manusia, dan tidak buang air besar atau kecil di situ atau di tempat yang dijadikan
tempat mereka bernaung.

Menyingkirkan gangguan dari jalan. Ini merupakan sedekah yang karenanya


seseorang bisa masuk surga. Dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan
bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketika ada
seseorang sedang berjalan di suatu jalan, ia menemukan dahan berduri di jalan
tersebut, lalu orang itu menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan
mengampuni dosanya..." Di dalam suatu riwayat disebutkan: maka Allah
memasukkannya ke surga". (Muttafaq'alaih).

Menjawab salam orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Ini hukumnya wajib,
karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:"Ada lima perkara wajib
bagi seorang muslim terhadap saudaranya- diantaranya: menjawab salam".
(Muttafaq alaih).

Beramar ma`ruf dan nahi munkar. Ini juga wajib dilakukan oleh setiap muslim,
masing-masing sesuai kemampuannya.
Menunjukkan orang yang tersesat (salah jalan), memberikan bantuan kepada orang
yang membutuhkan dan menegur orang yang berbuat keliru serta membela orang
yang teraniaya. Di dalam hadits disebutkan: "Setiap persendian manusia mempunyai
kewajiban sedekah...dan disebutkan diantaranya: berbuat adil di antara manusia
adalah sedekah, menolong dan membawanya di atas kendaraannya adalah sedekah
atau mengangkatkan barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah dan
menunjukkan jalan adalah sedekah...." (Muttafaq alaih).

Perempuan hendaknya berjalan di pinggir jalan. Pada suatu ketika Nabi pernah
melihat campur baurnya laki-laki dengan wanita di jalanan, maka ia bersabda kepada
wanita: "Meminggirlah kalian, kalain tidak layak memenuhi jalan, hendaklah kalian
menelusuri pinggir jalan. (HR. Abu Daud, dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Tidak ngebut bila mengendarai mobil khususnya di jalan-jalan yang ramai dengan
pejalan kaki, melapangkan jalan untuk orang lain dan memberikan kesempatan
kepada orang lain untuk lewat. Semua itu tergolong di dalam tolong-menolong di
dalam kebajikan.

ETIKA MEMBERI SALAM

Makruh memberi salam dengan ucapan: "Alaikumus salam" karena di dalam hadits
Jabir Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya ia menuturkan : Aku pernah
menjumpai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka aku berkata: "Alaikas
salam ya Rasulallah". Nabi menjawab: "Jangan kamu mengatakan: Alaikas salam". Di
dalam riwayat Abu Daud disebutkan: "karena sesungguhnya ucapan "alaikas salam"
itu adalah salam untuk orang-orang yang telah mati". (HR. Abu Daud dan At-
Turmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani).

Dianjurkan mengucapkan salam tiga kali jika khalayak banyak jumlahnya. Di dalam
hadits Anas disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia
mengucapkan suatu kalimat, ia mengulanginya tiga kali. Dan apabila ia datang
kepada suatu kaum, ia memberi salam kepada mereka tiga kali" (HR. Al-Bukhari).

Termasuk sunnah adalah orang mengendarai kendaraan memberikan salam kepada


orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang
yang duduk, orang yang sedikit kepada yang banyak, dan orang yang lebih muda
kepada yang lebih tua. Demikianlah disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah yang
muttafaq'alaih.

Disunnatkan keras ketika memberi salam dan demikian pula menjawabnya, kecuali
jika di sekitarnya ada orang-orang yang sedang tidur. Di dalam hadits Miqdad bin Al-
Aswad disebutkan di antaranya: "dan kami pun memerah susu (binatang ternak)
hingga setiap orang dapat bagian minum dari kami, dan kami sediakan bagian untuk
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam Miqdad berkata: Maka Nabi pun datang di malam
hari dan memberikan salam yang tidak membangunkan orang yang sedang tidur,
namun dapat didengar oleh orang yang bangun".(HR. Muslim).

Disunatkan memberikan salam di waktu masuk ke suatu majlis dan ketika akan
meninggalkannya. Karena hadits menyebutkan: "Apabila salah seorang kamu sampai
di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak keluar, hendaklah
memberikan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak daripada yang kedua.
(HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani).

Disunnatkan memberi salam di saat masuk ke suatu rumah sekalipun rumah itu
kosong, karena Allah telah berfirman yang artinya:
" Dan apabila kamu akan masuk ke suatu rumah, maka ucapkanlah salam atas diri
kalian" (An-Nur: 61)
Dan karena ucapan Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma : "Apabila seseorang akan
masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan :
Assalamu `alaina wa `ala `ibadillahis shalihin" (HR. Bukhari di dalam Al-Adab Al-
Mufrad, dan disahihkan oleh Al-Albani).

Dimakruhkan memberi salam kepada orang yang sedang di WC (buang hajat),


karena hadits Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma yang menyebutkan "Bahwasanya
ada seseorang yang lewat sedangkan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam
sedang buang air kecil, dan orang itu memberi salam. Maka Nabi tidak
menjawabnya". (HR. Muslim)

Disunnatkan memberi salam kepada anak-anak, karena hadits yang bersumber dari
Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: Bahwasanya ketika ia lewat di sekitar anak-
anak ia memberi salam, dan ia mengatakan: "Demikianlah yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam". (Muttafaq'alaih).

Tidak memulai memberikan salam kepada Ahlu Kitab, sebab Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam bersabda :" Janganlah kalian terlebih dahulu memberi salam kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani....." (HR. Muslim). Dan apabila mereka yang
memberi salam maka kita jawab dengan mengucapkan "wa `alaikum" saja, karena
sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Apabila Ahlu Kitab memberi salam
kepada kamu, maka jawablah: wa `alaikum".(Muttafaq'alaih).

Disunnatkan memberi saam kepada orang yang kamu kenal ataupun yang tidak
kamu kenal. Di dalam hadits Abdullah bin Umar Radhiallaahu 'anhu disebutkan
bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam : "Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi: Engkau memberikan
makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum
kamu kenal". (Muttafaq'alaih).

Disunnatkan menjawab salam orang yang menyampaikan salam lewat orang lain dan
kepada yang dititipinya. Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Sesungguhnya ayahku menyampaikan
salam untukmu. Maka Nabi menjawab : "`alaika wa`ala abikas salam"

Dilarang memberi salam dengan isyarat kecuali ada uzur, seperti karena sedang
shalat atau bisu atau karena orang yang akan diberi salam itu jauh jaraknya. Di
dalam hadits Jabir bin Abdillah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian memberi salam
seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena sesungguhnya pemberian salam
mereka memakai isyarat dengan tangan". (HR. Al-Baihaqi dan dinilai hasan oleh Al-
Albani).

Disunnatkan kepada seseorang berjabat tangan dengan saudaranya. Hadits


Rasulullah mengatakan: "Tiada dua orang muslim yang saling berjumpa lalu berjabat
tangan, melainkan diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah" (HR. Abu
Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Dianjurkan tidak menarik (melepas) tangan kita terlebih dahulu di saat berjabat
tangan sebelum orang yang dijabat tangani itu melepasnya. Hadits yang bersumber
dari Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
apabila ia diterima oleh seseorang lalu berjabat tangan, maka Nabi tidak melepas
tangannya sebelum orang itu yang melepasnya...." (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan
oleh Al-Albani).

Haram hukumnya membungkukkan tubuh atau sujud ketika memberi penghormatan,


karena hadits yang bersumber dari Anas menyebutkan: Ada seorang lelaki berkata:
Wahai Rasulullah, kalau salah seorang di antara kami berjumpa dengan temannya,
apakah ia harus membungkukkan tubuhnya kepadanya? Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam menjawab: "Tidak". Orang itu bertanya: Apakah ia merangkul dan
menciumnya? Jawab nabi: Tidak. Orang itu bertanya: Apakah ia berjabat tangan
dengannya? Jawab Nabi: Ya, jika ia mau. (HR. At-Turmudzi dan dinilai shahih oleh Al-
Albani).

Haram berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam ketika akan dijabat tangani oleh kaum wanita di saat baiat, beliau
bersabda: "Sesung-guhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita".
(HR.Turmudzi dan Nasai, dan dishahihkan oleh Albani).

ETIKA MEMINTA IZIN

Hendaknya orang yang akan meminta izin memilih waktu yang tepat untuk minta
izin.

Hendaknya orang yang akan minta izin mengetuk pintu rumah orang yang akan
dikunjunginya secara pelan. Anas Radhiallaahu 'anhu meriwayatkan bahwasanya ia
telah berkata: Sesung-guhnya pintu-pintu kediaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam diketuk (oleh para tamunya) dengan ujung kuku". (HR. Al-Bukhari di dalam Al-
Adab Al-Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Hendaknya orang yang mengetuk pintu tidak menghadap ke pintu yang diketuk,
tetapi sebaiknya menolehkan pandangannya ke kanan atau ke kiri agar pandangan
tidak terjatuh kepada sesuatu di dalam rumah tersebut yang dimana penghuni
rumah tidak ingin ada orang lain yang melihatnya. Karena minta izin itu sebenarnya
dianjurkan untuk menjaga pandangan.

Sebelum minta izin hendaknya memberi salam terlebih dahulu. Rib`iy berkata: Telah
bercerita kepada saya seorang lelaki dari Bani `Amir, bahwasanya ia pernah minta
izin kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam di saat beliau ada di suatu rumah.
Orang itu berkata: Bolehkah saya masuk? Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
berkata kepada pembantunya: "Jumpailah orang itu dan ajari dia cara minta izin, dan
katakan kepadanya: Ucapkan Assalamu `alaikum, bolehkah saya masuk?". (HR.
Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).

Minta izin itu sampai tiga kali, jika sesudah tiga kali tidak ada jawaban maka
hendaknya pulang. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila
salah seorang di antara kamu minta izin sudah tiga kali, lalu tidak diberi izin, maka
hendaklah ia pulang". (Muttafaq'alaih).

Apabila orang yang minta izin itu ditanya tentang namanya, maka hendaklah ia
menyebutkan nama dan panggilannya, dan jangan mengatakan: "Saya". Jabir
Radhiallaahu 'anhu menuturkan: "Aku pernah datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa sallam untuk menanyakan hutang yang ada pada ayah saya. Maka aku ketuk
pintu (rumah Nabi). Lalu Nabi berkata: "Siapa itu?". Maka aku jawab: Saya. Maka
Nabi berkata: "Saya! Saya!" dengan nada tidak suka." (Muttafaq'alaih).
Hendaknya peminta izin pulang apabila permintaan izinnya ditolak, karena Allah
telah berfirman yang artinya:
"Dan jika dikatakan kepada kamu "pulang", maka pulanglah kamu, karena yang
demikian itu lebih suci bagi kamu". (An-Nur: 28).

Hendaknya peminta izin tidak memasuki rumah apabila tidak ada orangnya, karena
hal tersebut merupakan perbuatan melampaui hak orang lain.

ETIKA MASUK RUMAH ORANG


27. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.

30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."

31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan


pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-
orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Akhlak yang Mulia

Akhlak secara bahasa (lughah/etimologi) adalah tabiat, pembawaan atau karakter (Kitab
An Nihayah 2/70). Sedangkan secara istilah atau terminologinya akhlak memiliki
beberapa definisi sebagai berikut :

· Imam Ibnul Mubarak mendefinisikan, "Akhlak yang mulia adalah berwajah ceria,
memberikan kebaikan dan menahan diri dari gangguan" (Kitab Jami'ul Ulum wal Hikam
1/457)

· Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, "Akhlak mulia itu dengan bersabar atas
gangguan manusia, tidak marah dan tidak berlaku kasar kepada mereka" (Kitab Adab
Syar'iyah 2/191)

· Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Asas akhlak mulia terhadap sesama
manusia adalah engkau menyambung persahabatan terhadap orang yang memutusmu
dengan memberi salam, memuliakan, mendoakan kebaikannya, memuji dan
mengunjunginya" (Kitab Majmu' Fatawa 10/658)

· Syaikh Abdurrahman As Sa'di berkata, "Akhlak yang mulia asasnya adalah sabar
dan lembut, sehingga menghasilkan sifat pemaaf, berlapang dada, bermanfaat bagi
manusia, sabar atas gangguan serta membalas kejelekan dengan kebaikan" (Kitab Ar
Riyadhun Nadhirah hal. 68)

Rasulullah SAW merupakan manusia yang paling mulia akhlaknya sebagaimana Allah
SWT berfirman,

"Dan sesungguhnya kamu benar - benar berbudi pekerti yang agung" (QS Al Qalam 4)

Suatu ketika dikisahkan seorang sahabat mulia Hakim bin Aflah ra. bertanya kepada
Aisyah ra. tentang akhlak Rasulullah SAW, lalu Aisyah ra. menuturkan,

"Tidakkah engkau membaca Al Qur'an ? Ketahuilah akhlak beliau adalah Al Qur'an"


(HR. Muslim no. 746, Abu Dawud no. 1342 dan Ahmad 6/54)

Dan salah satu agenda dakwah Rasulullah SAW di muka bumi ini adalah untuk
menyempurnakan akhlak manusia sebagaimana sabdanya,

"Innamaa bu'itstu liutammimal shaalihal akhlaaq" yang artinya "Sesungguhnya aku


diutus untuk menyempurnakan akhlak yang shalih" (HR. Ahmad 2/381 dan Hakim 2/613,
hadits ini dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Kitab Ash Shahihah)

Sehingga dengan demikian akhlak yang mulia menempati kedudukan yang tinggi di
dalam Islam dan sangat berkorelasi dengan keimanan. Rasulullah SAW bersabda,

"Akmalul mu'mini imaanan ahsanuHum akhlaaqan" yang artinya "Orang mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya" (HR. Abu Dawud no.
4682, At Tirmidzi no. 1162 dan Ahmad 2/472, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani
dalam Kitab Ash Shahihah)

Berkaitan dengan masalah ini, Imam Ibnul Qayyim juga berkata, "Agama ini seluruhnya
akhlak, barangsiapa memperbaiki akhlaknya maka baik pula agamanya" (Kitab
Madarijus Salikin 2/320)

Pada akhirnya, akhlak mulia yang dimiliki seorang muslim akan membawanya menuju
surga yang penuh dengan kebaikan dan kenikmatan. Rasulullah SAW pernah ditanya
tentang amalan apa yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga maka
Rasullah SAW menjawab,

"TaqwallaHi wa husnul khuluq" yang artinya "Takwa kepada Allah dan akhlak yang
mulia" (HR. At Tirmidzi no. 2004, Ibnu Majah no. 4246, Ahmad 2/291, Ibnu Hibban no.
476, dan Al Hakim 4/324, dari Abu Hurairah ra., hadits ini dihasankan oleh Syaikh
Albani dalam Kitab Ash Shahihah)

a. Akhlak

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu
pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).

Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk
infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi
majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat,
watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din
(agama).

Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang
pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan
ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan
isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan
kata tersebut memang sudah demikian adanya.

Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada
berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang
selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya
secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.

Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai


hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari
berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih,
mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-
macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.

Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya
kita dapat melihat lima cirri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama,
perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang,
sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan
sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur
atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri
orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang
bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan
dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah
perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin
dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.[3]

b. Etika

Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang
berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan
ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahsaan ini
terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.

Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang
berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika
adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya
diperbuat.
Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu
studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus,
benar, salah, dan sebagainya.

Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan
dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika
berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi
sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran,
maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat
berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga
memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu
antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga,
dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap
sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan
dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih
berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia.
Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari
segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan
zaman.

Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk
dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat
mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika,
karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan
antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia.
Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal
manusia.

c. Moral

Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata
mos yang berarti adapt kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan
bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.

Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang
secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.

Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang
digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan)
baik atau buruk, benar atau salah.

Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat
mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama
membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau
buruk.

Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan.
Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik
atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak
ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan
berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan
berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul
dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.

Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku
manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.

Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan.
Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika
dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.

Kesadaran moral erta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing
disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb,
fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan
untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud
rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh
masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya
dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada
dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk
kebebasan.

Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih
mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh
masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan
memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada
yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-
nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk
kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan
suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.

d. Karakteristik dalam ajaran Islam

Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran
Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak
dalam hal menempati posisi sebagai sifat.

Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah,
disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat
dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun
dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan
pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan
moral.

Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-
nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan
temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu
dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika
atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak
yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika
terbatas pada sopan santun antara sesame manusia saja, serta hanya berkaitan dengan
tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu
tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.

Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri,
khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam)
mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame
makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).

3. Penutup

Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila
dan akhlak sama, yaitu menentukan hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang
dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama
menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan
tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah.

Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber
yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian
baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan
kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan
untuk menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadis.

Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan
pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila
lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum,
sedangkan moral dan susila bersifat local dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-
buruk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.

Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan
membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan
susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui
sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak
berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis.
Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak
berasal dari Tuhan.
DEFINISI AKHLAK

1.Menurut Imam Abu Hamid Al-Gazali


Kata al-khalq ‘Fisik’ dan al-khuluq ‘akhlak’ adalah dua kata yang sering dipakai
bersaman. Seperti redaksi bahasa arab ini, fulaan husnu al-khalq wa al-khuluq yang
artinya “si fulan baik lahirnya juga batinnya”. Sehingga yang dimaksud dengan kata “al-
khalaq” adalah bentuk lahirnya. Sedangkan al-khuluq adalah bentuk batinnya.
Hal ini karena manusia tersusun dari fisik yang dapat dilihat dengan mata kepala, dan
dari ruh yang dapat ditangkap dengan batin. Masing-masing dari keduanya memiliki
bentuk dan gambaran, ada yang buruk ada pula yang baik. Dan ruh yang ditangkap oleh
mata batin itu lebih tinggi nilainya dari fisik yang ditangkap dengan penglihatan mata.
Yang dimaksud dengan ruh dan jiwa di sini adalah sama.
Kata al-khuluq merupakan suatu sifat yang terpatri dalam jiwa, yang darinya terlahir
perubahan-perubahan dengan mudah tanbpa memikirkan dan merenung terlebih dahulu.
Jika sifat yang tertanam itu darinya terlahir perbuatan-perbuatan baik dan terpuji menurut
rasio dan syariat, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang baik. Sedangkan jika yang
terlahir adalah perbuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak
yang buruk.
Al-khuluq adalah suatu sifat jiwa dan gambaran batinnya. Dan sebagaimana halnya
keindahan bentuk lahir manusia secara mutlak tak dapat terwujud hanya dengan
keindahan dua mata, dengan tanpa hidung, mulut dan pipi. Sebaliknya, semua unsur tadi
harus indah sehingga terwujudlah keindahan lahir manusia itu. Demikian juga, dalam
batin manusia ada empat rukun yang harus terpenuhi seluruhnya sehingga terwujudlah
keindahan khuluq “akhlak”. Jika keempat rukun itu terpenuhi, indah dan saling
bersesuaian, maka terwujudlah keindahan akhlak itu. Keempat rukun itu antara lain:
1)Kekuatan ilmu
2)Kekuatan marah
3)Kekuatan syahwat
4)Kekuatan mewujudkan keadilan di antara tiga kekuatan tadi

1)Kekuatan Ilmu
Keindahan dan kebaikannya adalah dengan membentuknya hingga menjadi mudah
mengetahui perbedaan antara juur dan dusta dalam ucapan, antara kebenaran dan
kebatilan dalam beraqidah, dan antara keindahan dan keburukan dalam perbuatan.
Jika kekuatan ini telah baik, maka lahirlah buak hikmah, dan hikmah itu sendiri adalah
puncak akhlak yang baik. Seperti difirmankan Allah SWT.,
“…..Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak ….” (Al-Baqarah: 269).
2)Kekuatan marah
Keindahannya adalah jika mengeluarkan marah itu dan penahannya sesuai tuntutan
hikmah.
3)Kekuatan syahwat
Keindahan dan kebaikannya adalah jika ia berada di bawah perintah hikmah. Maksudnya
perintah akal dan syariat.
4)Kekuatan mewujudkan keadilan di antara tiga kekuatan tadi
Adalah kekuatan dalam mengendalikan syahwat dan kemarahan di bawah perintah akal
dan syariat.
Perumpamaan akal adalah seperti seorang pemberi nasihat dan pemberi petunjuk
Kekuatan keadilan adalah kemampuan, dan perumpamaannya adalah seperti pihak yang
menjadi pelaksana dan pelaku bagi perintah akal.
Dan kemarahan adalah tempat yang padanya dilaksanakan perintah tadi itu.
Perumpamaannya adalah seperti anjing pemburu, yang perlu dilatih, sehingga gerak-
geriknya sesuai dengan perintah, bukan sesuai dengan dorongan syahwat dirinya.
Sementara perumpamaan syahwat adalah seperti kuda yang ditunggangi untuk mencari
hewan buruan, yang terkadang jinak dan menuruti perintah, dan terkadang pula binal.
Siapa yang dapat mewujudkan kesimbangan unsur-unsur tadi, ia pun menjadi sosok yang
berakhlak baiks secara mutlak. Sementara orang yang hanya dapat mewujudkan
keseimbangan sebagian unsur itu saja, maka ia menjadi orang yang berakhlak baik jika
dilihat pada segi yang baik itu saja, seperti orang yang sebagian wajahnya indah,
sementara sebagian lainnya buruk.
Keindahan kekuatan kemarahan dan keseimbangannya digambarkan dengan keberanian
Keindahan kekuatan syahwat dan keseimbangannya digambarkan dengan sifat iffah
menjaga kesucian diri
Jika kekuatan marah seseorang cenderung ke arah bertambah maka ia dinamakan dengan
tahwwur ‘sembrono’. Sedangkan, jika cenderung melemah dan berkurang maka
dinamakan pengecut. Jika kekuatan syahwat cenderung bertambah maka ia dinamakan
serakah, sedangkan jika cenderung melemah dan berkurang dinamakan statis.
Yang terpuji adalah sikap seimbang yang merupakan keutamaan, sedangkan dua sikap
yang cenderung bertambah dan melemah adalah dua hal yang tercela. Sedangkan
keadilan, jika ia terluput maka ia tak mempunyai dua sisi ekstrem, berlebihan atau
kurang, tapi ia mempunyai satu lawan dan antonimnya, yaitu kezaliman.
Sementara hikmah, tindakan menguranginya ketika menggunakannya dalam perkara-
perkara yang tidak baik dinamakan kebusukan dan kerendahan. Sementara tindakan
berlebihan padanya dinamakan kedunguan. Maka sikap pertengahannyalah yang
dinamakan dengan hikmah. Dengan demikian, pokok-pokok utama akhlak ada empat,
yaitu: Hikmah, keberanian, iffah, menjaga kesucian diri, dan keadilan.
Hikmah adalah kondisi kekuatan kemarahan yang tunduk kepada akal, dalam maju dan
mundurnya.
Kesucian diri adalah melatih kekuatan syahwat dengan kendali akal dan syariat.
Keadilan adalah kondisi jiwa dan kekuatannya memimpin kemarahan dan syahwat, dan
membimbingnya untuk berjalan sesuai dengan tuntutan hikmah, juga memegang
kendalinya dalam melepas dan menahannya, sesuai dengan tuntutan kebaikan. Dari
keseimbangan pokok-pokok tersebut, terwujudlah seluruh akhlak yang mulia.

2.Menurut Muhammad bin Ali Asy-Syariif al-Jurjani


Al-Jurjani mendefinisikan akhlak dalam bukunya, at-Ta’rifat sebagai berikut:
“Khlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya
terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berfikir dan
merennung. Jika sifat tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan
syariat, dengan mudah, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak baik. Sedangkan
jika darinya terlahir pebuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan akhlak
yang buruk”
kemudian Al-Jurjani kembali berkata “Kami katakan akhlak itu sebagai suatu sifat yang
tertanam kuat dalam diri, karena orang yang mengeluarkan derma jarang-jarang dan
kadang-kadang saja, maka akhlaknya tidak dinamakan sebagai seorang dermawan,
selama sifat tersebut tak tertanam kuat dalam dirinya.
Demikian juga orang yang berusaha diam ketika marah, dengan sulit orang yang
akhlaknya dermawan, tapi ia tidak mengeluarkan derma. Dan hal itu terjadi kemungkinan
karena ia tidak punya uang atau karena ada halangan.
Sementara bisa saja ada orang yang akhlaknya bakhil, tapi ia mengeluarkan derma,
karena ada suatu motif tertentu yang mendorongnya atau karena ingin pamer
Dari pemaparan tadi tampak bahwa ketika mendefinisikan akhlak, al-Jurjani tidak
berbeda dengan definisi Al-Ghazali. Hal itu menunjukan bahwa kedua orang ini
mengambil ilmu dari sumber yang sama, dan keduanya juga tidak melupakan Hadits
yang menyifati akhlak yang baik atau indah bahwa akhlak adalah apa yang dinilai oleh
akal dan syariat.

3.Menurut Ahmad bin Musthafa (Thasy Kubra Zaadah)


Ia seorang ulama ensiklopedia – mendefinisikan akhlah sebgai berikut; “Akhlak adalah
ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan. Dan keutamaan itu adalah
terwujudnya keseimbangan antara tiga kekuatan, yaitu; kekuatan berfikir, kekuatan
marah, kekuatan syahwat.
Dan masing-masing kekuatan itu mempunyai posisi pertengahan di antara dua
keburukan, yakni sebagai berikut:
Hikmah, merupakan kesempurnaan kekuatan berfikir, dan posisi pertengahan antara dua
keburukan, yaitu: kebodohan dan berlaku salah. Yang pertama adalah kurangnya
Hikmah, dan yang kedua adalah berlebihan.
Keberanian. Adalah kesempurnaan kekuatan amarah dan posisi pertengahan antara dua
keburukan, yaitu kebodohan dan berlaku salah. Yang pertama adalah kurangnya
keberanian dan yang kedua adalah berlebihan keberanian.
Iffah adalah kesempurnaan kekuatan sahwat dan posisi pertengahan antara dua
keburukan, yaitu kestatisan dan berbuat hina. Yang pertama, adalah kurangnya sifat
tersebut, sedangkan yang kedua adalah berlebihnya sifat tersebut.
Ketiga sifat ini, yaitu Hikmah, keberanian dan iffah, masing-masing mempunyai cabang,
dan masing-masing cabang tersebut merupakan tersebut merupakan posisi pertengahan
anatara dua keburukan. Sedangkan sebaik perkara adalah pertengahnnya. Dan dalam ilmu
akhlak disebutkan penjelasan detail tentang hal-hal ini.
Kemudian cara pengobatannya adalah dengan menjaga diri untuk tidak keluar posisi dari
posisi pertengahan, dan terus berada di posisi pertengahan itu
Topik ilmu ini adalah insting – insting diri, yang membuatnya berada di posisi
petengahan antara sikap mengurangi dan berlebihan
Para ahli Hikmah berkata kepada Iskandar, “Tuan raja, hendaknya anda bersikap
pertengahan dalam segala perkara. Karena berlebihan adalah keburukan sedangkan
mengurangi adalah kelemahan”
Manfaat ilmu ini adalah agar manusia sedapat mungkin menjadi sosok yang sempurna
dalam perbuatan-perbuatannya, sehingga di dunia ia berbahagia dan di akherat menjadi
sosok yang terpuji

4.Menurut Muhammad bin Ali al-Faaruqi at-Tahanawi


Ia berkata, “Akhlak adalah keseluruhannya kebiasaan, sifat alami, agama, dan harga diri
Menurut definisi para ulama, akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri dengan
kuat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa diawalai berfikir
panjang, merenung dan memaksakan diri. Sedangkan sifat-sifat yang tak tertanam kuat
dalam diri, seperti kemarahan seorang yang asalnya pemaaf, maka ia bukan akhlak.
Demikian juga, sifat kuat yang justru melahirkan perbuatan-perbuatan kejiwaan dengan
sulit dan berfikir panjang, seperti orang bakhil. Ia berusaha menjadi dermawan ketika
ingin di pandang orang. Jika demikian maka tidaklah dapat dinamakan akhlak.
Segala tindakan mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu seperti Qudrat
‘kemampuan’ berbeda dengan dudrat, yaitu ia tidak wajib ada bersama makhluk ketika ia
mengerjakan sesuatu seperti wajibnya hal itu menurut para ulama Asy’ari dalam masalah
Qudrat
Kemudian at-Tahanawi berkata,
“Akhlah terbagi atas hal sebagai berikut
Keutamaan, yang merupakan dasar bagi apa yang sempurna
Kehinaan, yang merupakan dasar bagi apa yang kurang
Dan selain keduanya yang menjadi dasar bagi selain kedua hal itu”
Penjelasannya adalah bahwa jiwa yang mampu berbicara, ketika berkaitan enggan fisik
dan Pengendalian atas fisik, serta memerlukan tiga kekuatan
Pertama, kekuatan yang mampu memikirkan apa yang dibutuhkan dalam membuat
perencanaan dan aturan. Yang dinamakan dengan kekuatan akal, kekuatan berbicara,
insting, dan jiwa yang tenang dan dikatakan pula sebagai kekuatan yang menjadi dasar
untuk memahami hakikat-hakikat, keinginan untuk memperhatikan akibat-akibat setiap
perbuatan, dan membedakan antara yang mendatangkan manfaat dan mengasilkan
kerusakan.
Kedua, kekuatan yang mendorong seseorang untuk mendapatkan apa yang memberi
manfaat bagi fisiknya dan cocok dengannya, seprti makanan, minuman dan lainnya, dan
hal itu dinamakan dengan kekuatan syahwat, unsur hewani dan nafsu amarah
Ketiga, kekuatan yang dapat menghindari seseorang dari sesuatu yang dapat merusak dan
membuat pedih tubuhnya, dan hal itu dikatakan pula sebagai dasar untuk maju dalam
keadaan sulit, dan pendorong untuk berkuasa dan meningkatkan derajat diri. Kekuatan ini
dinamakan dengan kekuatan amarah dan ganas, serta nafsu lawwanah.
Kemudian ia berkata bahwa dari keseimbangan kondisi kekuatan instingtif lahirlah
Hikmah, Hikmah itu adalah suatu keadaan kekuatan akal praktis yang berada pada posisi
pertengahan antara berfikir terlalu mengkhayal kondisi berlebih dari kekuatan ini, yaitu
ketika seseorang menggunakan kekuatan pemikiran untuk memikirkan apa yang tak
seharusnya dipikirkan, seperti perkara-perkara yang mustasyaabihat ‘samat’ dan bentuk
yang tak seharusnya sperti menyalahi syariat. Dan antara kebodohan dan kedunguan yang
merupakan kondisi kekurangan Hikmah, yaitu ketika seseorang mematikan kekuatan
berfikirnya secara sengaja. Dan berhenti dari mendapatkan ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Keseimbangan kekuatan syahwat melahirkan sifat iffah menjaga kesucian diri iffah itu
sendiri adalah kekuatan syahwat yang moderat antara bertindak berlebihan dan
melanggar etika sifat kurangnya berarti jatuh dalam terus mengikuti dorongan merasakan
kelezatan apa yang ia senangi, dengan kesatisan sifat lebihnya iffah yang merupakan
kondisi vakum dari usaha mendapatkan kelezatan sesuai dengan kadara yang
diperbolehkan akal dan syariat. Dalam sifat iffah tersebut nafsu syahwat tunduk terhadap
kekuatan Pikiran
Kesimbangan kekuatan marah melahirkan keberanian. Keberanian itu adalah suatu
kondisi kekuatan marah, yang bersifat moderat antara tindakan sembrono yang
merupakan kondisi berani yang berlebihan yaitu maju untuk melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan dengan sifat pengecut, sikap khawatir atas apa yang tak seharusnya
dikhawatirkan, dan ia adalah kondisi kurang berani.
Dalam kekuatan keberanian ini, sifat buas menjadi tunduk kepada kekuatan berfikir,
sehingga maju dan mundurnya kekuatan ini sesuai dengan pertimbangan pemikiran,
tanpa mengalami kebingungan ketika menghadapi masalah-masalah besar, dan karena itu
perbuatannya menjadi indah dan kesabarannya menjadi terpuji.
Jika keutamaan yang tiga itu bercampur, maka terjadilah dari percampuran itu kondisi
yang sama, yaitu keadilan. Karena hal ini, maka keadilan digambarakan sebagai sikap
tengah atau moderat, dan itulah yang dimaksud dengan Sabda Rasulullah sawa ini
“Paling baik perkara adalah yang pertengahan”
Kemudian at-Tahanawi meneruskan perkataannya, dan ia pun berbicara tentang akhlah
yang agung, ia berkata bahwa akhlak agung bagi para shalihin adalah berpaling daru dua
semesta, dan menghadap hanya kepada Allah semata secara total.
Al-Wasithi berkata bahwa akhlak yang agung adalah tidak memusuhi dan tidak dimusuhi
Athaa berkata bahwa akhlak yang agung adalah melepaskan pilihan dan penolakannya
atas segala kesulitan dan cobaan yang diturunkan Allah SWT.
Akhlak yang agung bagi Nabi SAW adalah yang disinyalir dalam firman Allah SWT
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar-benar berbudi pekerti yang agung” (al-Qalam:4)
dans sesuai yang dikatakan oleh Aisyah r.a bahwa akhlak Rasulullah SAW adalah Al-
Qur’an, yang bertindak sesuai dengan Al-Qur’an dan telah tertanam kuat dalam diri,
sehingga beliau menjalaninya tanpa kesulitan.

5.Kesimpulan
Para ulama Islam yang menulis tentang akhlak itu menjelaskan bahkan menkankan pa
yang diperhatikan oleh para penulis barat, yaitu bahwa akhlak yang baik adalah apa yang
dinilai baik oleh akal dan syariat. Sedangkan akal saja tak cukup untuk menilai baik dan
buruknya suatu perbuatan. Oleh karena itu, Allah mengutus para Rasul dan menurunkan
pertimbangan (Kitab Suci) bersama mereka yang memperlakukan manusia dengan penuh
keadilan
Demikianlah, ukuran akhlak yang baik jika sesuai dengan syariat Allah. Berhak
mendapatkan ridha-Nya dan dalam memegang akhlak yang baik ini sambil
memperhatikan pribadi, keluarga, dan masyarakat, sehingga di dalamnya terdapat
kebaikan dunia dan akherat
Sub judul ini berbicara tentang segi etimologi pendidikan akhlak, maka kami masih perlu
penjelasan dimensi-dimensi maknawi bagi pendidikan bagi pendidikan akhlak ini.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini teknologi sudah semakin maju. Dimana orang dalam memerlukan berita atau
informasi sudah sangat mudah memperolehnya. Dari sekian banyak kemajuan teknologi
salah satu diantaranya adalah pesawat televisi. Berbicara mengenai televisi, tentu ada tiga
pihak yang terlibat di dalamnya, yakni yang menyajikan, yang disajikan dan yang
menikmati.
Televisi yang selama ini berperan sebagai media massa elektronik, walaupun dalam
bentuk yang paling sederhana, ternyata mampu menggelitik, mempengaruhi dan
menggiring seluruh umat manusia untuk membeli dan memilikinya di berbagai belahan
bumi ini sehingga boleh jadi, sampai hari ini, sudah sekian milyar pesawat televisi
diproduksi banyak pabrik di seluruh dunia. Sementara merk, harga, mutu dan modelnya
pun sudah sangat beragam dan banyak pilihan.
Televisi dengan berbagai program acara siarannya selama ini dengan berbagai jenis
tayangan informasi dan hiburannya memang selalu menawarkan suatu kenikmatan
tersendiri bagi para pemirsanya. Manfaat dan kegunaan pesawat televisi memang bukan
tidak ada. Hanya, dibandingkan dengan kerugiannya, manfaat menonton acara televisi
sampai saat ini, jauh lebih kecil ketimbang kemudaratan atau kerugian yang akan
ditimbulkannya.
Untuk itulah pemerintah telah mengatur Undang-Undang Republik Indonesia nomor: 24
tahun 1997 tentang Penyiaran. Sebagai dasar pengaturan dan pembinaan penyelenggaraan
penyiaran dimana penyiaran merupakan bagian integral dari pembangunan nasional
sebagai pengamalan Pancasila dalam upaya mewujudkan cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini tercantum
dalam BAB Ii Undang-Undang Penyiaran Nomor 24 tahun 1997.

Pasal 2: Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar


1945
Pasal 3: Penyiaran berdasarkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, kemanfaatan, pemerataan, keseimbangan, keserasian dan keselarasan, kemandirian,
kejuangan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi
Pasal 4: Penyiaran bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental
masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
membangun masyarakat adil dan makmur.
Pasal 5: Penyiaran mempunyai fungsi sebagai media informasi dan penerangan,
pendidikan dan hiburan, yang memperkuat ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
serta pertahanan dan keamanan.

Pasal 6: penyiaran diarahkan untuk


a. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia
b. Menyalurkan pendapat umum yang konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam
pembangunan.
c. Meningkatkan ketahanan budaya bangsa
d. Meningkatkan kesadaran hukum dan disiplin nasional yang mantap dan dinamis
Berdasarkan pada uraian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa segala macam
penyiaran termasuk penyiaran atau tayangan di televisi harus berdasarkan kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Memang tayangan televisi ada manfaat dan mudarat atau kerugiannya. Lebih-lebih
apabila pengaruh tayangan yang merugikan atau negatif dicerna oleh anak-anak yang
pada gilirannya akan mewarnai pola pikir anak-anak. Apabila pola pikir anak-anak sudah
terkontaminasi oleh pikiran yang tidak sehat maka akan terbawa pada usia remaja. Dan
kita sadari bahwa remaja adalah bentuk miniatur dari pada kehidupan suatu bangsa. Akan
bagaimana Indonesia untuk masa mendatang tergantung dari pada warna anak-anak yang
akan menjadi remaja dan bagaimana pola pikir remajanya.

B. Rumusan Masalah
Masalah yang muncul dalam penyusunan karya ilmiah ini dapat penulis rumuskan
sebagai berikut:
1. Sejauhmana pengaruh tayangan televisi terhadap akhlak anak?
2. Mengapa tayangan televisi berpengaruh terhadap akhlak anak?

C. Tujuan Penyusunan
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan
ini adalah:
1. Untuk mengetahui sejauhmana pengaruh televisi terhadap akhlak anak
2. Untuk mengetahui mengapa tayangan televisi berpengaruh terhadap akhlak anak.

D. Teknik Penyusunan
Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini dengan
menggunakan studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan
referensi dan buku-buku sebagai landasan teoritis mengenai masalah yang akan
diselesaikan.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENGARUH TAYANGAN TELEVISI
TERHADAP AKHLAK ANAK

A. Gambaran Umum Tayangan Televisi


1. Pengertian Televisi
Televisi berasal dari kata tele dan visie, tele artinya jauh dan visie artinya penglihatan,
jadi televisi adalah penglihatan jarak jauh atau penyiaran gambar-gambar melalui
gelombang radio. (Kamus Internasional Populer: 196)
Televisi sama halnya dengan media massa lainnya yang mudah kita jumpai dan dimiliki
oleh manusia dimana-mana, seperti media massa surat kabar, radio, atau komputer.
Televisi sebagai sarana penghubung yang dapat memancarkan rekaman dari stasiun
pemancar televisi kepada para penonton atau pemirsanya di rumah, rekaman-rekaman
tersebut dapat berupa pendidikan, berita, hiburan, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan televisi adalah sistem elektronik yang mengirimkan gambar diam
dan gambar hidup bersama suara melalui kabel (Arsyad, 2002: 50). Sistem ini
menggunakan peralatan yang mengubah cahaya dan suara ke dalam gelombang elektrik
dan mengkonversikannya kembali ke dalam cahaya yang dapat dilihat dan suara yang
dapat didengar.
Dewasa ini televisi dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan dengan mudah dapat
dijangkau melalui siaran dari udara ke udara dan dapat dihubungkan melalui satelit. Apa
yang kita saksikan pada layar televisi, semuanya merupakan unsur gambar dan suara. Jadi
ada dua unsur yang melengkapinya yaitu unsur gambar dan unsur suara. Rekaman suara
dengan gambar yang dilakukan di stasiun televisi berubah menjadi getaran-getaran listrik,
getaran-getaran listrik ini diberikan pada pemancar, pemancar mengubah getaran getaran-
getaran listrik tersebut menjadi gelombang elektromagnetik, gelombang elektromagnetik
ini ditangkap oleh satelit. Melalui satelit inilah gelombang elektromagnetik dipancarkan
sehingga masyarakat dapat menyaksikan siaran televisi.

2. Tujuan dan Fungsi Televisi


a. Tujuan
Sesuai dengan undang-undang penyiaran nomor 24 tahun 1997, BAB II pasal 4, bahwa
penyiaran bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat
Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memperkokoh
persatuan dan kesatuan bangsa, dan membangun masyarakat adil dan makmur.
Jadi sangat jelas tujuan secara umum adanya televisi di Indonesia sudah diatur dalam
undang-undang penyiaran ini. Sedangkan tujuan secara khususnya dimiliki oleh stasiun
televisi yang bersangkutan, contohnya TVRI “Menjalin Persatuan dan Kesatuan”. Dari
uraian di atas penulis dapat mengklarifikasikan mengenai tujuan secara umum adanya
televisi atau penyiaran di Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Menumbuhkan dan mengembangkan mental masyarakat Indonesia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dan
3. Mengembangkan masyarakat adil dan makmur
b. Fungsi
Pada dasarnya televisi sebagai alat atau media massa elektronik yang dipergunakan oleh
pemilik atau pemanfaat untuk memperoleh sejumlah informasi, hiburan, pendidikan dan
sebagainya. Sesuai dengan undang-undang penyiaran nomor 24 tahun 1997, BAB II pasal
5 berbunyi “Penyiaran mempunyai fungsi sebagai media informasi dan penerangan,
pendidikan dan hiburan, yang memperkuat ideology, politik, ekonomi, sosial budaya
serta pertahanan dan keamanan.”
Banyak acara yang disajikan oleh stasiun televisi di antaranya, mengenai sajian
kebudayaan bangsa Indonesia, sehingga hal ini dapat menarik minat penontonnya untuk
lebih mencintai kebudayaan bangsa sendiri, sebagai salah satu warisan bangsa yang perlu
dilestarikan.
Dari uraian di atas mengenai fungsi televisi secara umum menurut undang-undang
penyiaran, dapat kita deskripsikan bahwa fungsi televisi sangat baik karena memiliki
fungsi sebagai berikut:
1. Media informasi dan penerangan
2. Media pendidikan dan hiburan
3. Media untuk memperkuat ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya
4. Media pertahanan dan keamanan
3. Manfaat dan Mudarat Televisi
a. Manfaat Televisi
Televisi memang tidak dapat difungsikan mempunyai manfaat dan unsur positif yang
berguna bagi pemirsanya, baik manfaat yang bersifat kognitif afektif maupun psikomotor.
Namun tergantung pada acara yang ditayangkan televisi
Manfaat yang bersifat kognitif adalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan atau
informasi dan keterampilan. Acara-acara yang bersifat kognitif di antaranya berita,
dialog, wawancara dan sebagainya. Manfaat yang kedua adalah manfaat afektif, yakni
yang berkaitan dengan sikap dan emosi. Acara-acara yang biasanya memunculkan
manfaat afektif ini adalah acara-acara yang mendorong pada pemirsa agar memiliki
kepekaan sosial, kepedulian sesama manusia dan sebagainya. Adapun manfaat yang
ketiga adalah manfaat yang bersifat psikomotor, yaitu berkaitan dengan tindakan dan
perilaku yang positif. Acara ini dapat kita lihat dari film, sinetron, drama dan acara-acara
yang lainnya dengan syarat semuanya itu tidak bertentangan dengan norma-norma yang
ada di Indonesia ataupun merusak akhlak pada anak.
Televisi menarik minat baik terhadap orang dewasa khususnya pada anak-anak yang
senang melihat televisi karena tayangan atau acara-acaranya yang menarik dan cara
penyajiannya yang menyenangkan.
b. Mudarat Televisi
Kemudaratan yang dimunculkan televisi memang tidak sedikit, baik yang disebabkan
karena terapan kesannya, maupun kehadirannya sebagai media fisik terutama bagi
pengguna televisi tanpa dibarengi dengan sikap selektif dalam memilih berbagai acara
yang disajikan. Dalam konteks semacam ini maka kita dapat melihat beberapa
kemudaratan itu sebagai berikut:
1. Menyia-nyiakan waktu dan umur
Mengingat waktu itu terbatas, juga umur kita, maka menonton televisi dapat
dikategorikan menyia-nyiakan waktu dan umur, bila acara yang ditontonnya terus
menerus bersifat hiburan di dalamnya (ditinjau secara hakiki) merusak aqidah kita ini
mesti disadari karena kita diciptakan bukan untuk hiburan tapi justru untuk beribadah.
2. Melalaikan tugas dan kewajiban
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, juga sudah menunjukan dengan jelas
dan tegas bahwa menonton televisi dengan acaranya yang memikat dan menarik sering
kali membawa kita pada kelalaian. Televisi bukan hanya membuat kita terbius oleh
acaranya, namun pula menyeret kita dalam kelalaian tugas dan kewajiban kita sehari-hari.
Misalnya banyak orang yang malas untuk sholat ke mesjid karena mereka terbius oleh
acara atau tayangan televisi.
3. Menumbuhkan sikap hidup konsumtif
Ajaran sikap dan pola konsumtif biasanya terkemas dalam bentuk iklan dimana banyak
iklan yang berpenampilan buruk yang sama sekali tidak mendidik masyarakat ke arah
yang lebih baik dan positif.
4. Mengganggu kesehatan
Terlalu sering dan terlalu lama memaku diri di hadapan televisi untuk menikmati
berbagai macam acara yang ditayangkan cepat atau lambat akan menimbulkan gangguan
kesehatan pada pemirsa. Misalnya kesehatan mata baik yang disebabkan karena radiasi
yang bersumber dari layar televisi maupun yang disebabkan karena kepenatan atau
kelelahan akibat nonton terus menerus.
5. Alat transportasi kejahatan dan kebejatan moral
Sudah merupakan fitrah, bahwa manusia memiliki sifat meniru, sehingga manusia yang
satu akan meniru cenderung untuk mengikuti manusia yang lain, baik dalam sifat, sikap
maupun tindakannya. Dalam hal adanya berbagai sajian program dan acara yang
disiarkan di televisi misalnya, film, sinetron, musik, drama dan lain sebagainya yang
paling dikhawatirkan adalah jika tontonan tersebut merupakan adegan dari kebejatan
moral contohnya, pembunuhan, pemerkosaan, pornografi yang tentu saja sedikit atau
banyak akan ditiru oleh para pemirsa sesuai fitrahnya
6. Memutuskan silaturahmi
Dengan kehadiran televisi di hampir setiap rumah tangga, banyak orang yang merasa
cukup memiliki teman atau sahabat yang setia, melalui kenikmatan yang didapat dari
berbagai acara televisi yang disajikan di tempat tinggalnya. Akibatnya mereka tidak lagi
merasa membutuhkan teman, kawan, sahabat untuk misalnya; saling berbagi suka dan
duka, saling bertukar pikiran dan berbagai keperluan lainnya sebagaimana layaknya
hidup dan kehidupan suatu masyarakat yang islami.
7. Mempengaruhi dan menurunkan prestasi belajar murid
Dalam hal penyebab kemunduran prestasi belajar murid generasi muda dewasa ini,
indikasinya adalah kehadiran televisi di tempat tinggal mereka. Lantaran berbagai macam
acara hiburan yang ditayangkan dalam televisi yang memikat dan menggiurkan para
pelajar. Ternyata mampu memporakporandakan jadwal waktu belajar mereka untuk
disiplin waktu belajar, karena mereka sudah terbius oleh pengaruh hingar bingar dan
kenikmatan yang ditawarkan oleh berbagai macam hiburan televisi.

B. Gambaran Umum Akhlak Anak


1. Pengertian Akhlak
Secara lughowi akhlak jama’nya khuluk, tingkah laku perangai, bentuk kepribadian. Dan
secara sempitnya pengertian akhlak dapat diartikan dengan
a. Kumpulan kaidah-kaidah untuk menempuh jalan yang baik
b. Jalan yang sesuai untuk menuju akhlak
c. Pandangan akal tentang kebaikan dan keburukan
Pendapat seorang filosof muslim yang bernama ibnu Maskawaih, mendefinisikan akhlak
secara luas sebagai berikut:
‫لُرْوَيٍة‬
َ ‫غْيِر ِفْكٍر َو‬
َ ‫ن‬
ْ ‫عَيٌة َلّهاَأْفَعاِلَها ِم‬
ِ ‫س َدا‬
ِ ‫حلٌ ِللّنْف‬
َ

Artinya: “Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-


perbuatan tanpa melakukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.”

Imam Al Ghazali mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut:


‫ل ُرْوَيٍة‬
َ ‫جٍة َو‬
َ ‫حا‬
َ ‫غْيِر‬
َ ‫ن‬
ْ ‫سُهْوَلٍة ِم‬
ُ ‫ل ِب‬
ُ ‫لْفَعا‬
َ ‫صُدُر ْا‬
ْ ‫عْنَهاَت‬
َ ‫س َأَمَنٌة‬
ِ ‫َهْيَئٌة ِللّنْف‬

Artinya: “Sifat yang tertanam dalam jiwa dan daripadanya timbul perbuatan yang mudah
tanpa memerlukan pertimbangan.”

Sementara ini Prof. Dr. Ahmad Amin membuat definisi, bahwa yang disebut “akhlak”
adalah “Adatul-Iradah’ atau kehendak yang dibiasakan. Definisi ini terdapat dalam suatu
tulisan yang berbunyi:
ِ ‫خُل‬
‫ق‬ ُ ‫سّماُة ِباْال‬
َ ‫ي ْالُم‬
َ ‫شيًأ َفَعاَدُتُها ِه‬
َ ‫ت‬
ْ ‫عَتاَد‬
ْ ‫لَراَدَةا‬
ِ ‫ن ْا‬
َ ‫لَراَدِة َيْعِنى َأ‬
ِ ‫عاَدُة ْا‬
َ ‫ق ِبَأّنُه‬
َ ‫خُل‬
ُ ‫ضُهْم اْل‬
َ ‫ف بْع‬
َ ‫عّر‬
َ

Artinya: “Sebagian orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak ialah
kehendak yang dibiasakan. Artinya kehendak itu bisa membiasakan sesuai, maka
kebiasaan itu dinamakan akhlak.” (Ahmad Amin, 1999:12)

Dari pengertian-pengertian di atas memberikan suatu gambaran bahwa tingkah laku


merupakan bentuk kepribadian dari seseorang tanpa dibuat-buat atau tanpa adanya
dorongan dari luar. Kalaupun adanya dorongan dari luar sehingga seseorang
menampakan kepribadiannya dengan bentuk tingkah laku yang baik pasti akan terlihat
tingkah laku sebenarnya.

2. Macam-Macam Akhlak
1. Akhlak terpuji
Yang termasuk akhlak terpuji di antaranya sebagai berikut:
a. Jujur
Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang baik harta, ilmu, rahasia dan sebagainya
yang wajib dipelihara atau disampaikan kepada yang berhak menerimanya
b. Pemaaf
Manusia tidak sunyi dari khilaf dan salah. Maka apabila orang berbuat sesuatu kepada
diri kita yang mungkin karena khilaf atau salah maka maafkanlah sebagai rahmat Allah
SWT dan janganlah mendendam
c. Bertolong-menolong
Bertolong-menolong adalah ciri kehalusan budi, kesucian jiwa, ketinggian akhlak dan
membuahkan cinta antara sesama manusia.
Memberikan pertolongan jangan karena mengharapkan imbalan tetapi berikan dengan
keikhlasan sebagai penunaian tugas kemanusiaan guna mencari keridhoan Tuhan
2. Akhlak tercela
Yang termasuk akhlak yang tercela di antaranya sebagai berikut:
a. Dengki
Ialah membenci nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepada orang lain dengan keinginan
agar nikmat orang lain itu terhapus
b. Dusta
Dusta ialah memberikan sesuatu yang berlainan dengan kejadian yang sebenarnya
Orang yang berdusta menunjukan kelemahan dirinya dan dusta adalah salah satu dari
pada tanda munafik
c. Aniaya
Aniaya ialah meletakan sesuatu tidak pada tempatnya dan mengurangi hak yang
seharusnya diberikan

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Akhlak


Pertama seseorang mempunyai tingkah laku atau akhlak, karena adanya pengaruh baik
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu ada dua faktor yang
mempengaruhi akhlak anak yaitu:
1. Faktor keturunan/keluarga
Faktor keturunan/keluarga merupakan pendidikan yang utama bagi pembentukan akhlak
anaknya. Yang dilakukan oleh orang tuanya biasanya si anak mengikutinya. Oleh karena
itu peran orang tua sangat mempengaruhi watak dan karakter anak-anaknya. Pepatah
mengatakan “Guru kencing berdiri murid kencing berlari.”
Nabi Muhammad SAW menjelaskan:
‫ساِنْيِه‬
َ‫ج‬ّ ‫صَراِنْيِه َاْوُيَم‬
ّ ‫طَرِة َفَأَبَواُه ُيَهّوَداِنْيِه َاْوُيَن‬
ْ ‫عَلى ْالِف‬
َ ‫ل َمْوُلْوٍد ُيْوَلُد‬
ّ ‫ُك‬

Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci atau fitrah tergantung kedua orang
tuanya mau dijadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

Didikan dan bimbingan dalam keluarga secara langsung banyak memberikan bekas bagi
penghuni rumah itu sendiri dalam tindak tanduknya. Dan secara tidak langsung gerak
langkah dari orang dewasa (baik ayah maupun ibu) terutama sekali oleh seorang anak
yang masih memerlukan bimbingan dan perkembangan kematangan hidupnya.

2. Faktor lingkungan/pergaulan
Faktor yang mempengaruhi akhlak seseorang di samping faktor keturunan dan juga
faktor lingkungan, dari faktor kedua ini faktor pergaulan/lingkunganlah yang sangat kuat
pengaruhnya atau sangat dominan pengaruhnya dalam pembentukan karakter atau akhlak.
Seperti orang tua dahulu bilang siapa yang bergaul dengan jualan minyak wangi maka
akan dapat wanginya dan siapa yang bergaul dengan tukang las maka akan terkena
percikan apinya.
Nabi Muhammad SAW menggambarkan bahwa teman itu bagaikan barang tambalan.
‫ظْرِبَماَتْرَقُعُه )الحديث‬
ُ ‫ك َفاْن‬
َ‫س‬
ِ ‫ي َقِمْي‬
ْ ‫ب َرْقَعٌة ِف‬
ُ ِ‫صاح‬
ّ ‫)َال‬

Artinya: “Teman itu bagaikan barang tambalan pada pakaianmu, maka lihatlah dengan
apa kamu menambalnya.”

Maksud hadits di atas, seseorang harus mampu dengan mempergunakan akalnya di dalam
mencari teman yang senantiasa memberikan suatu kebaikan pada kita dalam hidup dan
kehidupan.
Menurut seorang penyair Islam yang bernama Syaufi dalam bait syairnya;
ْ ‫ح‬
‫ق‬ َ‫س‬
ْ ‫جْلَد اْلُم‬
ِ ‫صَر‬
َ ‫صْفٍر َلّما‬
َ ‫ل ِب‬
ً ‫جْلَد اْلَعّفَر ُمَغَب‬
َ ‫ف َاَوَلْم َتَراْل‬
ٍ ‫شَر‬
َ ‫خْيُر ُم‬
َ ‫ل‬
ِ‫ج‬َ ‫لْن‬
َ ‫سَر‬
َ ‫شَرًفاَوُم‬
َ ‫سى ُم‬
َ ‫ف َا‬
َ ‫سَر‬
ْ‫ل‬َ ‫سَر ْا‬
َ ‫ن َا‬
ْ ‫َم‬

Artinya: “Siapa yang berteman dengan orang mulia dia akan ikut mulia, siapa yang
berteman dengan orang hina tidak akan ikut mulia. Tidakkah engkau lihat kata syufi
betapa kulit kambing yang hina dicium orang ketika kambing berteman dengan al-qur’an)
jadi kantong (Qur’an) tapi kulit kambing yang berteman dengan kayu (dijadikan bedug)
tiap waktu sholat orang memukulnya.”
BAB III
PEMBAHASAN TENTANG PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP
AKHLAK ANAK

A. Sejauhmana Pengaruh Tayangan Televisi Terhadap Akhlak Anak


Televisi dapat juga disebut sebagai sebuah keajaiban dalam dunia walaupun hanya
berbentuk sebuah kotak elektronik yang sederhana yang mampu secara efektif berperan
sebagai media massa dalam berbagai informasi dengan gambar hidup, berwarna-warni
dan bergerak. Sehingga dapat memikat, membius dan menggiring seluruh perhatian para
pemirsanya itulah sebabnya, sebagian besar pemirsa menganggap bahwa informasi apa
saja yang ditayangkan televisi adalah benar, apa saja yang disajikan oleh televisi adalah
baik. Sehingga mereka memutuskan bahwa televisi merupakan satu-satunya sumber dan
pusat informasi yang benar, baik dan akurat, bahkan televisi dianggap sebagai guru yang
wajib diturut dan diikuti, alat yang paling efisien dan efektif untuk mengenal mempelajari
dan mendapatkan berbagai hal dalam hidup dan kehidupan ini ketimbang berbagai buku
bacaan yang dianggap menyita waktu.
Dari sekian banyak program acara yang disajikan televisi, kebanyakan dapat
mempengaruhi sikap penontonnya setelah atau pada waktu melihat tayangan televisi.
Banyak fakta yang kita jumpai dari informasi yang disampaikan televisi, baik fakta
positif maupun fakta negatif. Sehingga hal ini baik secara langsung atau tidak langsung
akan mempengaruhi akhlak penontonnya ke arah positif atau ke arah negatif. Sehingga
ada dua pengaruh tayangan televisi terhadap akhlak anak yaitu:
1. Pengaruh yang bersifat positif
Televisi dapat memberikan pengaruh yang positif bagi para pemirsa yang menyaksikan
program acara atau tayangan televisi. Adapun pengaruhnya yang bersifat positif sebagai
berikut:
a. Adanya sinetron yang bernafaskan keagamaan seperti: rahasia ilahi, kuasa ilahi, dan
lain sebagainya.
b. Adanya acara atau tayangan yang bernuansakan pendidikan atau pengetahuan seperti
cerdas cermat, berita dan lain sebagainya.
2. Pengaruh yang bersifat negatif
Tayangan televisi tidak hanya memberikan pengaruh yang positif saja tetapi acara televisi
lebih banyak memberikan pengaruh yang negatif kepada sikap para pemirsanya setelah
atau pada waktu melihat tayangan televisi, sehingga akan mempengaruhi akhlak
penonton ke arah negatif. Adapun pengaruhnya tayangan televisi yang bersifat negatif
sebagai berikut:
a. Sering menonton televisi akan melalaikan tugas dan kewajiban bagi para pemirsa
b. Sering menonton televisi akan mempengaruhi dan menurunkan prestasi belajar murid
c. Anak-anak cenderung lebih menyukai tayangan yang bernuansakan kekerasan
d. Setelah menonton tayangan televisi mereka suka meniru apa yang telah mereka tonton

B. Mengapa Tayangan Televisi Berpengaruh Terhadap Akhlak Anak


Manusia memanfaatkan televisi sebagai alat bantu yang paling efisien dan efektif.
Dimana kesemuanya ini dapat terwujud melalui berbagai program dan tayangan televisi
yang dapat dipertangung jawabkan secara moral dan material.
Kebanyakan kegiatan menonton televisi cenderung terencana dan bersifat tak sadar, tiap
kali banyak orang mempunyai waktu luang, mereka tiba-tiba saja duduk dihadapan
televisinya tanpa diundang banyak niat dan rencana yang tiba-tiba saja dibatalkan,
lantaran tergoda, terpanggil, tergelitik untuk menikmati acara tertentu yang disiarkan oleh
televisi.
Televisi dengan mudah bisa melahap sebagian besar waktu anak waktu yang dilewatkan
di depan layar televisi berarti waktu yang tidak di manfaatkan oleh anak untuk belajar
membaca menggambar atau membantu pekerjaan rumah tangga. Apabila tayangan
televisi menyajikan acara hiburan atau acara bernuansa kekerasan maka itu anak – anak
cenderung menyukai dan menggemari tayangan tersebut karena apa yang di lihat, di
tonton di tayangan televisi biasanya anak – anak cenderung akan menirunya tanpa
disaring, di filter dan tanpa dibarengi dengan sikap selektif dalam memilih acara yang di
sajikan, sehingga takut akan merusak akhlak anak terhadap pengaruh yang ditayangkan
oleh televisi oleh karena itu peran pendamping dan bimbingan oleh orang tua kepada
anaknya yang sedang menonton atau menikmati tayangan yang di sajikan oleh pesawat
televisi di rumah karena setiap harinya banyak anak – anak menghabiskan waktu di
depan pesawat televisi sehingga banyak tayangan atau program acara yang dinikmatinya
tanpa banyak memikirkan apakah layak di tonton oleh anak – atau dapat merusak akhlak
anaknya.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian sebagaimana di uraikan di atas penulisan menyimpulkan hal–hal yang
berkaitan dengan penyelesaian permasalahan sebagai berikut
1. Dari sekian banyak tayangan yang disajikan televisi, kebanyakan dapat mempengaruhi
sikap penontonnya setelah atau pada saat melihat tayangan televisi. Sehingga hal ini baik
secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi akhlak penontonnya baik
pengaruh yang positif maupun pengaruh yang negatif.
2. Tayangan televisi yang menyajikan acara hiburan atau acara bernuansa kekerasan
maka biasanya anak-anak cenderung menyukai tayangan tersebut karena apa yang
ditonton di tayangan televisi biasanya anak cenderung akan menirunya sehingga takut
akan merusak akhlak anak.

B. Saran– saran
1. Pilihlah program acara televisi yang memang benar – benar bermanfaat bagi seluruh
keluarga
2. Gunakan televisi yang ada hanya sebagai media untuk mendapatkan informasi penting
seperti cerita
3. Tentukan dan bedakan waktu menonton televisi bagi anak – anak yang belum dan
sudah dewasa
4. Batasi waktu menonton televisi untuk anak – anak
5. Alihkan perhatian dan kegemaran anak – anak dalam keluarga dari kecanduan
menyaksikan seluruh acara televisi yang di sajikan di setiap harinya kepada bentuk –
bentuk kegiatan dan kesenangan baru yang positif seperti membaca dan mempelajari al-
qur’an dan hadits, membaca koran, membaca buku dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Mansur, awadl, Dr. (1993). Manfaat Dan Mudarat Televisi, Fikahati Anska, Jakarta
Chen, Milton. (2005). Mendampingi Anak Menonton Telivisi, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
__________ (1997). Undang–Undang Penyiaran No. 24 Tahun 1997, Sinar Gratika,
Jakarta
Amin, Ahmad, (1968). Ilmu Akhlak, Bulan Bintang, Jakarta.
Bakar Atjeh, Abu (1963). Mutiara Akhlak 1, Bulan Bintang, Jakarta.
Umary, Barmawie, Drs. (1966), Materia akhlak, Cv. Ramadani, Yogyakarta .

Relevansi Akhlak dalam Kehidupan Modern

Oleh: Ngabdullah Akrom

Abstraksi

Dizaman modern ini, berjalan beriringan dengan semaraknya


globalisasi dan kapitalisme global, ketimpangan sosial pun
semakin kentara. Kemodernan yang menuntut rasa
individualitas, yang akhirnya menyebabkan rasa acuh pada
problem-problem sosial . Hal ini, menyebabkan adanya
kecemburuan sosial yang berimplikasi pada tindakan kriminal.
Dan tidak hanya itu saja yang menjadikan orang untuk
melakukan tindak kriminal. Dilihat melalui kacamata akhlak
Islam, tindakkan kriminalitas ialah tindakan yang timbul karena
adanya penyakit jiwa pada diri manusia, penyakit yang seperti
apakah itu?

Memang terlihat aneh dan lucu, ketika dua hal yang memiliki
epistemologi yang berbeda—sisi yang berbeda adalah ketika kita
berbicara modern yang cenderung menggunakan rasional dan
fakta empiris dengan akhlak Islam di mana di dalamnya
berbicara tentang jiwa manusia (bersifat metafisik) yang
dipadukan dengan sumber-sumber otoritatif islam, yakni al-quran
dan sunah—mencoba disatukan. Dalam tulisan ini, saya
mencoba membangun argumentasi tentang relevansi akhlak
Islam dalam kehidupan modern.

Apa Itu Modern?

Sering sekali kita dengar Istilah modern? Namun, tidak banyak


yang mengerti apa itu maksud dari modern. Belakangan ini, term
modern terus berkembang seperti; wanita modern, busana
modern, kerudung modern, gaya modern, filsafat modern hingga
sampai pada postmodern. Kecenderungan manusia yang mulai
menggunakan rasional, sering dijadikan identifikasi bahwa itulah
awal mula adanya term yang disebut dengan "modern". Dalam
beberapa forum diskusi, sering digunakan pula definisi dari
modern adalah sebuah pola hidup yang cenderung dengan
materealisme dan rasionalisme yang cenderung menolak hal
yang metafisis. Dan ada pula yang mendefinikan bahwa
kehidupan modern adalah kehidupan sekarang ini atau hal yang
berkaitan dengan hal kontemporer yang berlawanan dengan
kuno. Saya lebih setuju dengan definisi yang pertama, karena
secara historis kita bisa lihat lahirnya sebuah term "modern" ini,
muncul sekitar enam belasan yang tandai munculnya adalah
pencerahan eropa yang dikenal dengan aufklarung, yang ditandai
dengan lahirnya aliran rasionalisme dan empirisme, yang
kemudian melahirkan filsafat Modern.

Idealisme filsafat modern seolah muncul untuk menggugat


doktrin gereja yang membelenggu eksistensi manusia. Pada
masa itulah mulai muncul penemuan-penemuan yang bisa
dikatakan baru, seperti Isaac Newton, Charles Darwin, dan Albert
Einstein yang meruntuhkan paradigma gereja konservatif.
Akibatnya, dogma-dagma agama (Kristen) mengalami krisis
kepercayaan dari masyarakat dan mereka mulai tidak percaya
dengan agama yang bersifat abstrak dan penuh dengan dogma-
dogma. Pascakrisis kepercayaan terhadap gereja, muncul
beberapa filosof dari mahzab rasionalisme dan empirisme yang
mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan, antara lain; Rene
Descartes, Immanuel Kant, David Hume, Thomas Hobbes, John
Locke, Hegel, dan sebagainya. Dari sinilah sejarah munculnya
term "modern".

Kenapa tidak setuju dengan definisi yang kedua? Karena


menurut saya pada definisi yang kedua terdapat ambiguitas
tentang pengertian "modern", karena kalau kita melihat berdasar
definisinya, berarti pada setiap masa pernah mengalami apa
yang disebut dengan "modern", lalu apa yang disebut dengan
kuno? dan berarti yang modern pun akan mengalami kuno.
Karena menurut saya, definisi yang pertama lebih tepat dengan
fenomena yang ada.

AKHLAK[1]

Begitu banyak term yang memiliki persamaan arti dengan term


akhlak. Secara terminologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab,
ia adalah bentuk jama’ dari Khulq yang berarti karakter dan sifat,
apakah itu akhlak yang baik seperti pemberani, jujur, berjiwa
sosial, dsb. Atau pun akhlak yang buruk seperti pembohong,
pengecut, pemalu, dsb.[2] Mengenai definisi ilmu akhlak sendiri,
dari sekian banyak definisi tentang ilmu akhlak saya lebih setuju
dengan definisi yang dipakai Julian Bagini dalam buku the key of
philosophy, karena definisi ini lebih mengena pada akar kata
akhlak tadi yang telah saya sebut di atas, bahwa ilmu akhlak
atau akhlak adalah sebuah disiplin ilmu yang mengkaji tentang
should do or should not do berkenaan dengan perilaku manusia.
Karena dalam definisi lain ada yang menyatakan bahwa akhlak
adalah pengetahuan tentang tradisi, adat istiadat dan sifat-sifat
manusiawi., definisi ini diargumentasikan dengan merujuk
bahasa inggris pada ethic dan moralilty yang digunakan untuk
mewakili kata akhlak, kata ethic berakarkata dari bahasa Yunani
ethos yang berarti karakter. Ada pun kata morality berakarkata
dari bahasa Latin, Mores, yang berarti adat dan tradisi[3]. Saya
melihat definisi kuranglah tepat, karena pengertian yang
demikian menjadi bagian yang masuk dalam kajian ilmu akhlak
bukan mewakili secara universal apa itu ilmu akhlak sendiri, dan
pengertian ini hanyalah mewakili bagian partikular dari ilmu
akhlak mengenai egoisme psikologis dan egoisme etis.
Sejauh penelitian para ahli bahasa Arab, kata khulq seakar
kata dengan kata khalq, walaupun dia memiliki sisi yang
berbeda, ketika menggunakan kata khulq, tendensinya adalah
karakter (yang bersifat batiniah)pada manusia, sedangkan kata
khalq, tendesinya lebih bersifat fisikal (yang bersifat lahiriah)
pada manusia.[4]

Sebagai sebuah istilah yang sering dipakai, akhlak digunakan


secara beragam oleh para ulama akhlak dan para pemikir,
sehingga memiliki arti yang berbeda-beda. Beberapa arti dari
istilah akhlak adalah sebagai berikut;

 Arti akhlak secara umum yang sering digunakan para ulama


akhlak muslim adalah sifat-sifat yang melekat pada jiwa
manusia[5]

 Sebagian ulama akhlak Islam mendefinisikan akhlak


dengan; sifat batin yang menyebabkan kemunculan tindakan-
tindakan yang baik atau buruk, apakah itu terpatri kuat atau
tidak pada jiwa manusia, ataukah perlu pertimbangan pikiran.

 Ada pula yang mendefinisikan bahwasannya kata akhlak


hanya mewakili tindakkan yang baik, sedang yang buruk adalah
ammoral.

Dari berbagai pendefinisiian akhlak menurut versi masing-


masing yang berkepentingan dalam pendefinisian itu[6], maka
dari itu, muncullah dua mahzab besar dalam filsafat moral yakni
relativisme dan absolutisme yang kemudian mengalami
penurunan ke dalam beberapa bagian egoisme, yang di
dalamnya juga mengalami sebuah penurunan menjadi egoisme
etis dan egoisme psikologi, utilitarianisme yang merupakan
turunan dari absolutisme. Naraqi, membagi ilmu akhlak menjadi
tiga tema besar.[7] Pertama, akhlak diskriptif (Ethics Descriptive)
ialah studi tentang akhlak yang berlaku pada setiap kelompok
atau masyarakat. Pada umumnya, akhlak deskriptif tidak
membahas nilai benar atau salahnya sebuah tindakkan
masyarakat, studi ini biasa dilakukan para ahli psikologi,
sosiologi, maupun antropologi.[8] Metode yang digunakan dalam
studi ini adalah metode empiris dan tekstual, tanpa penggunaan
rasio di dalamnya.

Satu lagi yang ingin saya tambahkan dalam berbagai macam


penyajian definisi maupun arti akhlak, bahwasannya dalam
mahzab filsafat moral, aliran voluntarisme rasional, menganggap
bahwa sebuah tindakan bisa dijustifikasi sebagai tindakan moral,
jika di dalamnya terdapat kesadaran manusia dan dalam posisi
bebas, bukannya terpaksa.[9] Pendapat ini seolah berbanding
terbalik dengan pengertian sebagian ulama akhlak yang
meyakini bahwa tindakan akhlak itu bersifat ekspresif tanpa ada
campur tangan rasio di dalamnya. Lalu, apa itu akhlak Islam?

Dalam kajian yang lebih khusus ini—mengenai akhlak Islam__,


saya terinspirasi setidaknya dengan pendefinisian umum
mengenai filosof Muslim yang pernah saya baca, ialah para filosof
Islam yang mengunakan sumber-sumber otoritatif Islam sebagai
alat inspiratif dalam berfilsafatnya.[10] Maka akhlak Islam ialah
sebuah disiplin ilmu yang berbicara tentang perilaku manusia,
yang merujuk pada sumber otoritatif Islam yakni al-Quran dan
sunah. Saya sendiri melihat akhlak Islam dalam konteks filsafat
moral, bahwasannya akhlak Islam berada di posisi moderat
antara dua mahzab besar dalam filsafat moral, yakni
absolutisme dan relativisme. Karena disamping masih terdapat
ego—mewakili mahzab filsafat moral, egoisme, yang merupakan
turunan dari relativisme__yang melekat didalamnya juga terdapat
nilai-nilai moral yang bersifat universal—yang mewakili mahzab
filsafat moral absolutisme.

Problem Sosial Merupakan Efek dari Penyakit Jiwa.

Di dalam dunia modern sering kali kita temukan beberapa


problem yang menurut saya ditimbulkan oleh kerusakan atau
penyakit jiwa, antara lain; kriminalitas, egoisme, ghadab,
kekerasan, dendam, sikap fanatik, riya', berggunjing, dsb.
Penyakit-penyakit tersebut di atas merupakan merupakan
penyakit yang biasa timbul dari pola hidup modern. Beranjak dari
problem ketimpangan sosial yang merupakan aksident dari sifat
egois, maka timbullah kriminalitas. Dari kriminalitas
menimbulkan penyakit jiwa yakni ghadab dan berkembang
menjadikan dendam, dan berlanjut pada .

Rasional yang selalu diagungkan dalam dunia modern ini,


ternyata tidak bisa selamanya dijadikan sebagai patokan sebuah
kebenaran. Karena, di dalam akal terdapat pelbagai bentuk
kesesatan yang bisa menyebabkan kerusakan pada jiwa
seseorang? Di manakah kerusakan itu? Akal yang selalu di
agungkan ini memiliki kelamahan, antara lain;
1. kebodohan sederhana, kebeodohan sederhana ini timbul
karena kesesatan berpikir manusia dalam menyusun proposisi-
proposisi.

2. kebodohan majemuk, kebodohan ini maksudnya sangat


jelas sekali karena kebodohan ini dikarenakan ketidak mauan
belajar seseorang.

3. kebingungan dan keraguan.

4. godaan setan.

5. kebohongan dan penipuan.[11]

Lalu, dimanakah posisi akhlak islam dalam menjawab problem


dalam masyarakat modern yang berakar pada ketimpangan
sosial? Di dalam pembahasan akhlak, seperti yang tadi telah saya
jelaskan di atas, mengkaji tentang karakter manusia. Karakter
manusia ini, berada pada jiwa manusia. Ketika jiwa manusia
sudah rusak[12], maka akan menimbulkan kesenjangan sosial,
yang lebih disebabkan oleh egoisme yang menimbulkan rasa
individualitas. Penyakit ini egoisme yang ditimbulkan oleh
syahwat manusia, akan memancing lahirnya peyakit lainnya yang
telah tadi saya sebut di atas. Dan dalam kajian akhlak Islam, ia
mampu menjawab problem sosial tersebut di atas dengan
memberi penangkar dari penyakit-penakit jiwa yang ada.
Sehingga terdapat relevansi akhlak Islam terhadap kehidupan
modern.

Sebagai seorang muslim, saya sependapat dengan tafsir


Fazlur Rahman, sebagai pemikir muslim yang intens dalam kajian
hermeneutik, dalam menjawab problem masyrakat dengan
tafsirnya. Rahman membuat metode tafsir yang dikenal dengan
gerakan-ganda hingga ia mengeluarkan statement;

“…semangat dasar dari al-Qur’an adalah semangat moral, dari


mana ia menekankan monotheisme serta keadilan sosial. Hukum
moral adalah abadi, ia adalah ‘perintah’ Allah. Manusia tak dapat
membuat atau memusnahkan hukum moral: ia harus
menyerahkan diri kepadanya. Penyerahan ini dinamakan Islam
dan implementasinya dalam kehidupan disebut ibadah atau
‘pengabdian kepada Allah’. Karena penekanan al-Qur’an
terhadap hukum morallah hingga Allah dalam al-Qur’an tampak
bagi banyak orang terutama sebagai Tuhan keadilan. Tetapi
hukum moral dan nilai-nilai spiritual, untuk bisa dilaksanakan
haruslah diketahui."[13]

KESIMPULAN

Melihat fenomena-fenomena sosial yang tidak harmonis ini,


pastilah ada sesuatu yang salah di dalamnya. Sebagai seorang
muslim, ketimpangan sosial di sini lebih saya khususkan pada
masyarakat muslim, yang jelas terdapat sistem sosial didalam al-
Qur'an misalnya zakat dan shadaqah yang mencoba
menyetarakan kehidupan sosial, karena dalam sebuah ayat al-
Qur'an yang berbicara tentang, "di dalam harta/kekayaan kalian
terdapat hak-hak anak yatim dan orang miskin." Ketimpangan-
ketimpangan sosial yang ada, menurut yang tadi samapaikan di
atas lebih disebabkan adanya kerusakan atau penyakit pada jiwa
seseorang yang berimplikasi pada kehidupan sosial dizaman
modern ini. Untuk mengatasinya, akhlak Islam mencoba
menjawabnya dengan memberikan obat dari penyakit-penyakit
jiwa yang ada pada zaman modern ini. Sehingga, jelas menurut
saya, bahwasannya akhlak Islam dizaman modern dalam melihat
ketimmpangan sosial yang ada, jadi dizaman modern ini masih
diperlukan adanya ilmu akhlak guna mengatasi problem sosial.

Wallahu a'lam bi shawab.

[1] Pada dasarnnya antara term etika, filsafat moral, dan akhlak tidaklah
berbeda, karena ini hanyalah perbedaan dalam sisi kebahasaan saja. Dan
dalam penulisan ini saya menggunakan kata akhlak. Penggunaan kata akhlak
ini lebih saya pilih daripada penggunaan kata etika yang berasal dari latin,
karena rujukan Islam bersumber dari bahasa arab sendiri.

[2] Hans wehr. The dictionary of Arabic modern.

[3] Ethic and morality, dalam Encyclopedia of Ethics, vol. 1, hal. 329

[4] Taqi mishbah Yazdi, Falsafah ye Akhlaq. Al-huda: Jakarta. 2006, cet. 1.
hlm, 1

[5] Ibid. hlm 1-2.

[6] Maksud saya, ketika seseorang mendefinisikan sesuatu itu demikian,


maka ia berkepentingan pada definisi itu, atau memiliki pemahaman atau
pandangan berikutnya dengan definisi yang dibuatnya.

[7] Muhammad Mahdi bin Abi Szar an-Naraqi, jami' as-saadat,terjemahan


dalam bahasa Indonesia; Penghimpun kebahagiaan. Hal 1-9

[8] Dalam sebuah kajian metode pendekatan agama melalui psikologi,


sosiologi, maupun antropologi, untuk mendapatkan hasil yang objektif
terhadap sebuah objek yang dikaji, kita harus membuang asumsi-asumsi
awal mengenai objek yang dikaji, sampai mencoba menghilangkan budaya
yang dimiliki oleh pengkaji agar tidak ada justifikasi nilai baik buruk,
sehingga tidak menimbulkan hasil yang subjektif. Dan tindakkan
lebihlanjutnya, mencoba mencari benang merah atau kesamaan jika ada
orang yang pernah melakukan kajian itu, sehingga tercipta hasil yang intra
subjektif. Lihat, Ngabdullah Akrom dalam makalah presentasi ICAS-Jakarta
dalam mata kuliah metodologi studi Islam I, Metode Pendekatan Agama
Melalui Kajian Antropologi. 12 desember 2007, makalah tidak dipublikasikan.

[9] Komarudin hidayat, Etika dalam Kitab Suci dan Relevansinya dalam
Kehidupan Modern Studi Kasus di Turki, dalam buku; Kontektualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah, ed. By; Budhy Munawar-Rachman. Yayasan
Paramadina: Jakarta. 2003.

[10] Lihat, Haidar bagir dalam Buku Saku Filsafat Islam. Mizan: Jakarta 2003.
atau pun dalam buku Mulyadhi Kartanagara, Gerbang Kearifan.

[11] Naraqi, Jami' as-Saadat. hlm. 48

[12] Kerusakan di sini bahwasannya jiwa manusia bisa dirusakkan oleh tiga penyakit,
setidaknya ada tiga macam jenis penyakti pada jiwa; penyakit dari akal, penyakit
yang ditimbulkan dari ghadab, dan penyakit jiwa yang ditimbulkan syahwat atau
yang lebih terkenal dalam bahasa Indonesia dengan nafsu.

[13] Rahman, Fazlur. Islam. Diterj. dari Islam (edisi Anchor Books, 1968; dan
edisi The Chicago University Press [bab Epilogue], 1979) oleh Ahsin
Muhammad. Bandung: Pustaka. 2003

Tags: etika islam, relevansi etika, dunia modern, filsafat moral, akhlak islam
Prev: AKU MERASA
Next: Membentuk Kesalihan Sosial Melalui Surat Al-Asr

You might also like