Professional Documents
Culture Documents
com
Salah satu permasalahan yang timbul dikalangan pengkaji hukum Islam dalam masa
modern ini adalah mengenai pencatatan nikah terutama mengenai dimana posisi pencatatan nikah
dalam sebuah akad perkawinan. Sebagian pemikir Islam mendukung kewajiban untuk mencatatkan
perkawinan, yaitu ulama kontemporer, dan sebagian lainnya terutama para ulama klasik sebaliknya
tidak menjadikan pencatatan nikah sebagai aturan yang harus dijalankan. Untuk mencoba
menyelesaikan masalah ini pemakalah akan memaparkan beberapa hal yang terkait dengan
pencatatan pernikahan.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar
seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah
melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap sah sebagai bukti
syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika
pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah
dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan,
ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat
pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Selain itu disebutkan dalam UU No.2 tahun 1946 bahwa tujuan dicatatkannya perkawinan
adalah agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Dalam penjelasan pasal 1 ayat (1) UU
tersebut dijelaskan bahwa: “ Maksud pasal ini ialah agar nikah. talak dan rujuk menurut agama
Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur segala hal-hal yang
bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan , kematian dan
sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan rapat dengan waris-mal-waris sehingga
perkaiwnan perlu dicatat menjaga jangan sampai ada kekacauan.[1] Selanjutnya tersebut pula dalam
Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa tujuan pencatatan yang dilakukan dihadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. dan
ditegaskan Perkawinan yang dilakukan diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum, dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawa
Pencatat Nikah.[2]
Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com
Yang dimaksud dengan Negara lain disini adalah Negara dengan penduduk mayoritas Islam
atau Negara dengan Hukum Islam. Pada subbab ini hanya akan dijelaskan sekilas mengenai
Pencatatan nikah di beberapa negara lain.[3]
1. Malaysia
2. Brunei Darussalam
3. Mesir
Aturan pertama tentang pencatatan tersebut dalam UU Mesir tentang Organisasi dan Prosedur
Beperkara di pengadilan Tahun 1897, disebutkan dalam UU ini , pemberitahuan satu
perkawinan atau perceraian harus dibuktikan dengan catatan (akta). kemudian menurut
peraturan tahun 1911, pmbuktian harus dengan catatan resmi pemerintah atau tulisan dan
tanda tangan dari seorang yang sudah meninggal dan dalam peraturan tahun 1931 lebih
doertegas lagi dengan kata-kata harus ada bukti resmi ( Akta) dari pemerintah.
4. Lebanon
Dalam UU lLebanon mengeani Hukum Keluarga tahun 1962 disebut , seharusnya pegawai
yang berwenang hadir dan mencatatkan perkawinan. Tetapi tidak ada penjelasan tentang
Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com
5. Iran
Iran menetapkan bahwa setiap perkawinan dan percerain harus dicatatkan. Perkawinan atau
perceraian yang tidak dicatatkan adalah satu pelanggaran.
Dalam Muslim Family Law Ordinance tahun 1961, Pakistan dan Bangladesh mengharusan
pendaftaran perkawinan. Ulama Tradisioanl Pakistan juga setuju dengan kaharusan
pencatatan perkawinan, dengan syarat tidak dijadikan syarat syah perkawinan. Bagi yang
melanggar peraturan dapat dihukum denda dan atau penjara.
7. Yordania
Dalam UU Yodania No. 61 Tahun 1976 mengharuskan adanya pencatatan perkawinan dan
yang melanggar dapat dihukum baik mempelai maupun pegawai dengan hukuman pidana.
Selain Negara-negara tersebut Negara lainya sperti Syria, Maroko, Tunisia, Libya , Yaman
diberlakukan peraturan pencatatan nikah.
Beberapa akibat negatif disebabkan tidak dicatatkannya suatu akad pernikahan adalah:
1. Sebagaiman penjelasan sebelumnya, bahwa tujuan pencatatan nikah adalah untuk kepastian
hukum. Sehingga jika terjadi sengketa dalam perkawinan maka akan kesulitan dalam pemecahan
permasalahan di pengadilan.
2. Terkait nikah siri (nikah yang tidak tercatat Negara), akibat tidak memiliki Akta Nikah, dalam
banyak kasus yang banyak dirugikan adalah pihak Istri. Siti Lestari dari Lembaga Bantuan Hukum
Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan atau LBH APIK yang dalam kegiatannya memberikan
pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya perempuan, mengatakan bahwa pernikahan siri
ternyata banyak memberikan kerugian terhadap perempuan. Menurutnya, apa-apa yang berdampak
dari perkawinan siri secara hukum tidak diakui. Maka apabila pasangan siri tersebut menginginkan
perceraian, maka cerainya pun hanya dengan kesepakatan, tetapi pihak perempuan tidak dapat
menuntut, misalnya atas hak nafkahnya, hak perwalian anak, dan sebagainya apabila sang suami
tidak mau memberi.[4]
Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com
3. Kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak. Padahal dewasa ini akta kelahiran
menjadi alat yang sangat penting terutama sebagai syarat masuk sekolah. Sehingga masa depan
anak ikut terkena dampak buruknya.
“Hal negatif” yang mungkin saja bisa timbul akibat pencatatan nikah (Akta nikah).
1. Surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan
tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah
bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih
memegang surat nikah. [5]
1. Sebagaimana tersebut dalam tujuan Pencatatan nikah, dengan adanya akta nikah maka
seseorang memiliki bukti yang sah menurut Negara sehingga jika terjadi suatu masalah, Negara
dengan kekuasaannya dapat mengadili.
2. Dalam Syari’ah Islam ketetapan seorang anak Syah hanya dapat dilakukan dengan ikrar atau
pembuktian dengan adanya dua orang saksi. Namun ketika hal itu tidak dapat menjanjikan lagi
maka penacatatan nikah menjadi hal yang representative untuk mencapai tujuan maslahah.[6]
3. Begitu pentingnya alat bukti dalam satu perkawinan sehingga Rasulullah pernah menyatakan
bahwa nikah tanpa saksi identik dengan perbuatan zina. Bahkan Nabi SAW mensunahkan untuk
mengadaan walimah. [7]
Pembahasan mengenai pencatatan nikah dalam kitab-kitab fikih konvensional tidak ditemukan
hanya ada pembahasan tentang fungsi saksi dalam perkawinan. [8] Di dalam kitab-kitab Fikih
Klasik biasanya diterangkan bahwa secara filosofis keberadaan saksi bertujuan untuk memelihara
Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com
kehormatan wanita dengan adanya kehati-hatian dalam masalah farji serta menjaga pernikahan dari
tindakan yang tidak bertanggung jawab sebab adanya tindakan curang yang dilakukan oleh salah
satu pihak serta menjaga status nasab.[9]Kebanyakan Ulama menyatakan bahwa pernikahan tidak
syah tanpa adanya bayinah (bukti) yaitu dengan kehadiran dua orang saksi ketika akad.[10]
Yang Perlu menjadi perhatian adalah bahwa dulu persaksian adalah alat yang paling utama
untuk menentukan hak seseorang, Karena persaksian adalah alat bukti yang paling terpercaya pada
masa itu. Karena masih banyak orang yang adil dan kredibel yang bisa dipertanggung jawabkan.
[11]
a. Imam malik.
b. Imam Syafi’ie
Imam Syafi’ie mengharuskan saksi dalam pernikahan. saksi harus dua orang pria
yang adil.
Khorudin nasution menulis dalam bukunya bahwa pada prinsipnya semua ulama tersebut
mewajibkan adanya saksi dalam akad nikah.
Sehingga dari penjelasan tersebut, bukanlah suatu kesimpulan yang radikal dan ekstrim jika
dikatakan Pencatatan Nikah berkedudukan penting sebagaimana halnya kedudukan dan fungsi
saksi dalam akad pernikahan,yaitu sebagai bukti telah dilangsungkannya akad pernikahan dengan
sah.
Adapun yang dimaksud dengan nikah sirri disini adalah perkawinan yang tidak dicatatkan ke
Badan Pencatat Pernikahan.
Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com
Dalam kaidah ulhsul al-Fiqhiyah, terdapat methode atau teknik yang dapat digunakan untuk
beristimbath al–Hukm. Dalam permasalahan Nikah Sirri, kita tidak dapat menemukan aturan di
dalam nash (al-Quran dan as-Sunnah as-Shohihahaw al-Maqbulah). Artinya dapat digunakan cara
lain, yang disebut dengan Ijtihad. Ijtihad dapat dilakukan dalam beberapa hal, antara lain:
dan adzaro'i. ) ( سدSaddu adzaro'i meupakan kata majemuk yang terdiri dari kata sadd-u
Sadd berarti menutup dan adzara'i merupakanbentuk jama' dari al-Dzari'ah berasal dari kata dzir'un
yang berarti memanjang dan bergerak ke depan. Secara literal al-Dzari'ah mempunyai beberapa
makna, diantaranya sebab perantara kepada sesuatu. Sehingga secara literal, makna sadd-u adzaria'i
adalah menutup jalan-jalan dan perantara-perantara sehingga tidak menyampaikan kepada tujuan
.yang dimaksud
Menurut al-Syathibi, dzari'ah ialah perantara yang mendekatkan perkara mashlahat kepada
perkara mafsadat. Sedangkan Ibnu Taimiyah mengartikan al-dzari'ah dengan perbuatan yang
dhohir-nya mubah, tetapi menjadi perantara kepada perbuatan yang diharamkan.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian al-dzara'i adalah memotong
perantara- perantara kerusakan dengan melarang perbuatan yang dibolehkan karena akan
menyampaikan kepada yang dilarang.
menghentakan kaki mereka, akan tetapi dapat menimbulkan kemafsadatan (misal: menimbulkan
syahwat bagi lelaki) sehingga perbuatan itu dilarang. Begitu juga dalam permasalahan nikah sirri
sebenarnya bukan merupakan perbuatan yang dilarang, karena nikah sirri hanya bisa kita dapatkan
di Indonesia dan tidak ada larangan langsung dari nash (la-Quran dan as-Sunnah). Akan tetapi
dengan melihat kepada mafsadat-nya yang ditimbulkan banyak sekali berdampak negatif terutama
bagi kaum wanita dan anaknya. Sehingga menurut hemat penulis[13] perbuatan nikah sirri itu
dilarang dengan melihat pada kemafsadatan yang ditimbulkan.
[1] .Nasution,
Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm. 336.
[2] Ibid, hlm. 338.
[3] Ibid, hlm. 338-352
[4] Mariana Amiruddin: Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan dan Redaktur Pelaksana
Jurnal Perempuan. Diambil dari Radio Jurnal Perempuan edisi 341 yang diliput oleh Kamilia
Manaf, jurnalis Radio Jurnal Perempuan
[5] HTI Press.
[6] Skripsi: Abdul Basyir, Tinjaun Hukum Islam Terhadap Status Nikah Siri di Indonesia, hlm 77.
[7] ibid.
[8] Nasution,
Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm.323.
[9] Skripsi: Abdul Basyir,
Tinjaun Hukum Islam Terhadap Status Nikah Siri di Indonesia, hlm 77,
Syari'ah UIN SUKA, Tidak Diterbitkan.
[10] Ibid,
[11] Ibid,
[12] Nasution,
Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm. 327-332
[13] Penjelasan
mengenai Istimbath Hukum ini adalah saduran dari ulisan Cak Kur yang ditulis di
blognya dengan judul : Nikah Siri dan Vagina yang Terkoyak (1)