You are on page 1of 20

Gagal Jantung Akut

Antonius Jonathan* NIM 102011182 Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA, Jakarta Pendahuluan Seorang pria 62 tahun datang dengan keluhan sesak nafas yang memberat sejak 2 hari terakhir. 1 minggu yang lalu pasien juga mengatakan mengalami nyeri dada namun membaik sendiri, setelah itu mulai timbul sesak, namun lama kelamaan timbul sesak yang bertambah terutama saat aktifitas. Pasien sering terbangu pada malam hari karena sesak dan tidur dengan menggunakan 2 bantal untuk mengurangi sesaknya. Sejak 2 hari terakhir sesak semakin bertambah dan timbul secara terus menerus. Pasien memiliki riwayat merokok namun sudah berhenti sejak 5 tahun terakhir dan riwayat diabetes. Sejak setahun terakhir sebetulnya pasien sudah merasa kondisi badannya menurun dan merasa mudah lelah. Sistem kardiovaskular merupakan suatu sistem yang berperan penting dalam kehidupan kita, sistem ini menjaga fungsi tubuh kita agar kita tetap hidup. Karena kerusakan pada sistem kardiovaskular dapat mengancam hidup kita. Banyak penyakit kardiovaskular atau jantung yang biasa menyerang orang tua ataupun dewasa bahkan anak-anak terutama penyakit gagal jantung. Penyakit gagal jantung seperti kita ketahui dapat menggangu kualitas hidup kita karena adanya kesulitan yang dialami oleh jantung untuk menjalankan fungsi dan perannya. Gagal jantung didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal.1 Dalam kasus ini kita mendapatkan pasien dengan keluhan yang menuju pada kriteria dari gagal jantung, namun selain hal tersebut pasien tersebut memiliki riwayat terhadap penyakit diabetes yang dimana dapat menjadi faktor pemberat pada gagal jantung. Oleh karena itu pada pembahasan berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai hubungan yang terjadi antara mekanisme diabetes yang dimana merupakan awal dari sakit yang dialami pasien tersebut dan akan lebih dibahas lebih dalam lagi mengenai keluhan utama yang dialami oleh pasien tersebut sehingga kita dapat menemukan terapi yang sesuai dan terbaik untuk pasien tersebut.
*Alamat Korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510 Telephone: (021) 5694-2061 (hunting), Email: antoniussjoo@yahoo.com

Pembahasan Anamnesis Anamnesis diperlukan untuk dapat membantu mendiagnosa, pada tahap ini merupakan tahapan awal dari berbagai macam tahapan. Salain anamnesis terdapat juga pemeriksaan fisik yang dimana menjadi point penting. Dalam anamnesis keluhan utama merupakan bagian penting dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.2 Anamnesis ini biasanya memberikan informasi terpenting untuk mencapai diagnosis banding, dan memberikan wawasan vital mengenai gambaran keluhan yang menurut pasien paling penting. Anamnesis ini sebaiknya mencakup sebagian besar waktu konsultasi. Anamnesis yang didapat harus dicatat dan disajikan dengan kata-kata pasien sendiri, dan tidak boleh disamarkan dengan istilah medis. Jika tidak bisa didapatkan anamnesis yang jelas dari pasien, maka anamnesis harus ditanyakan pada kerabat, teman, atau saksi lain.2,3 Setelah menanyakan hal-hal mengenai keluhan utama dari pasien tersebut, kita harus bisa menggali lebih dalam lagi mengenai gejala-gejala tersebut, apa yang menjadi pemicu dari gejala tersebut. Apakah dahulu pernah mengalami hal yang serupa, apakah sudah diberikan tindakan pengobatan.3 Hal ini sangat penting untuk memperkirakan hasil berdasarkan risiko-risiko yang mungkin dapat terjadi. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang kita baru dapat menegakkan diagnosis untuk pasien tersebut, walaupun kita tetap harus membuat diagnosis banding untuk membuat diagnosis tersebut menjadi lebih akurat dan tepat. Dalam kasus ini pasien mengeluh sesak nafas yang memberat sejak 2 hari terakhir, dan 1 minggu yang lalu pasien juga mengalami nyeri dada namun membaik sendiri, setelah itu mulai timbul sesak, namun lama kelamaan timbuh sesak yang bertambah terutama saat aktifitas. Selain itu kita mendapatkan pasien tersebut memiliki riwayat penyakit diabetes sehingga untuk dapat menunjang anamnesis perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksan penunjang. Pemeriksaan fisik dalam hal ini lebih mengarah kebagian thoraks, namun kita tidak boleh melupakan beberapa bagian-bagian yang menjadi tanda-tanda khas untuk jenis penyakit tertentu. Yang dimana akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya. Pemeriksaan Fisik Untuk dapat diperoleh informasi yang akurat, pemeriksaan dada harus dilaukan dengan cermat dan sistematis, yang melitupi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Untuk itu 2

dipergunakan batas-batas untuk menentukan lokasi keadaan fisiologis maupun patologis, berupa garis-garis referensi yang lazim dipergunakan baik pada pasien dewasa maupun pada anak, seperti garis midsternal, garis sternal, garis parasternal, garis midklavikula, garis aksilaris anterior, garis aksilaris media pada thoraks bagian depan dan pada thoraks bagian belakang terdapat garis aksilaris posterior, garis midspinalis, dan garis midskapularis. Pada awal pemeriksaan lakukan inspeksi terlebih dahulu dimulai dari bentuk apakah berbentuk normal, pektus karinatum, pektus ekskavatum, atau barrel chest.2 Pada kasus ini kita harus melakukan pemeriksaan secara menyeluruh pada bagian toraks baik pemeriksaan jantung yang merupakan pemeriksaan utama dan pemeriksaan paru untuk mengetahui apakah dapat terjadi kemungkinan lain penyebab gejala yang dialami oleh pasien tersebut. Pertama lihat kondisi dari dinding thoraks apakah simetris pada keadaan statis maupun dinamis, kemudian perhatikan juga kondisi pergerakan dada pada saat pernapasan. Vokal fermitus dengan cara mengajak anak berbicara misalnya disuruh mengatakan tujuh puluh tujuh. Normal akan teraba getaran yang sama pada kedua tangan yang diletakan pada kedua sisi dada, kemudian kedua dsisi punggung. Fermitus suara ini meninggi bila ada konsolidasi, misalnya pada pneumonia. Fermitus akan mengurang apabila terdapat obstruksi jalan napas, atelektasis, pleuritis, efusi pleura, pleuritis dengan schwarte, serta tumor antara paru dan dinding dada. Bila ada mukus yang banyak pada saluran napas bagian akan teraba fermitus yang kasar.2,4

Gambar 1. Proyeksi jantung pada dinding toraks depan.4 Saat sebelum melakukan pemeriksaan fisik jantung, terlebih dahulu pemeriksa sudah dapat memperkirakan/membayangkan proyeksi posisi jantung ke dinding toraks depan dan aliran 3

darah di dalam keempat rongga jantung. Pada pemeriksaan inspeksi jantung hampir serupa dengan pemeriksaan inspeksi pada paru-paru, selain itu dalam hal ini kita melihat pulsasi yang terdapat pada toraks yaitu iktus kordis pada ruang sela iga 5, biasanya tampak di sela iga sdikit sebelah garis midklavikula kiri, sesuai dengan letak apeks kordis. Daerah pulsasi mempunyai diameter kurang lebih 2 cm, dengan punctum maximum di tengah-tengah daerah tersebut. Pulsasi terjadi kurang lebih bersamaan dengan denyut sistolik pada arteri karotis yang dapat diraba di bagian bawah leher. Iktus kordis terjadi karena kontraksi ventrikel pada waktu sistolik yang disertai putaran ke arah depan dan sedikit medial. Jika iktus kordis tersebut letaknya menggeser ke kiri dan tampaknya lebih melebar, maka dapat diduga adanya pembesaran ventrikel kiri ke lateral. Pada inspeksi kita juga harus melihat pulsasi yang ada pada bagian leher, dada, dan bagian perut.2,4 Setelah melakukan inspeksi kita lakukan palpasi yang dimana kita memperjelas hasil dari inspeksi yang telah kita dapatkan dengan meletakan seluruh telapak tangan pada dinding toraks. Pada palpasi kita menilai kondisi dari iktus kordis, apakah kuat angkat atau tidak, kemudian luas serta frekuensi dan kualitas dari pulsasi yang teraba. Selain itu pada palpasi kita juga dapat merasakan apakah ada tanda-tanda lain yang muncul seperti aktivitas ventrikel serta getaran bising (thrill). Dengan berdiri di sebelah kanan pasien yang terlentang, jari-jari tangan kanan pemeriksa diletakkan di sela-sela iga ke 4,5, dan 6 pada linea aksilaris anterior kiri penderita. Palpasi diteruskan ke tepi kiri bawah sternum, sepanjang tepi kiri dan kanan sternum, semua sela iga kiri dan kanan, akhirnya seluruh dinding toraks dipalpasi dengan cermat. Getaran tersebut seringkali terdapat pada kelainan katup yang menyebabkan adanya aliran turbulen yang kasar dalam jantung atau dalam pembuluh-pembuluh darah besar dan biasanya sesuai dengan adanya bising jantung yang kuat pada tempat yang sama. Dalam hal ini harus ditentukan kapan getaran itu terjadi, pada saat sistolik atau diastolik.4,5 Setelah melakukan tindakan palpasi dilanjutkan dengan pemeriksaan perkusi pada dada, yang dimana normalnya bunyi yang dihasilkan pada perkusi adalah sonor, namun dapat terjadi bunyi pekak apabila terdapat konsolidasi jaringan. Pada perkusi kita melakukan pengukuran pada jantung yang meliputi batas kanan, batas kiri, dan pinggang jantung. Dari pengukuran tersebut kita menentukan titik-titik yang menjadi konfigurasi jantung yang dimana kita dapat mengetahui kondisi dari jantung tersebut, apakah ada pembesaran atau tidak. Setelah perkusi pemeriksaan terakhir adalah auskultasi dimana kita mendengarkan suara dari pernapasan dan bunyi jantung. Minta pasien untuk memutar sebagian tubuhnya ke sisi kiri hingga berada dalam posisi dekubitus lateral kiri yang akan membuat ventrikel kiri lebih dekat dengan dinding dada. 4

Letakkan ujung sungkup dari stetoskop dengan ringan pada daerah iktus cordis. Posisi ini menegaskan atau memperjelas bunyi S3 serta S4 sisi kiri dan bising mitral, khusus nya pada stenosis mitral.4,5 Bunyi S4 (bunyi atrial atau atrial gallop) terdengar tepat sebelum bunyi S1. Bunyi ini bernada rendah dan redup, dan terdengar paling jelas dengan ujung sungkup stetoskop. Bunyi S4 kadang-kadang terdengar pada orang yang kelihatannya normal, khususnya pada atlit yang terlatih dan kelompok usia yang lebih lanjut. Lebih sering kali bunyi ini terjadi karena peningkatan tahanan terhadap pengisian ventrikel sesudah terjadinya kontraksi atrium. Peningkatan tahanan (resistensi) ini berkaitan dengan berkurangnya kelenturan (bertambahnya kekakuan) pada miokard ventrikel. Penyebab bunyi jantung S4 sisi kiri meliputi penyakit jantung hipertensif, penyakit arteri koroner, stenosis aorta, dan kardiomiopati. Bunyi S4 sisi kiri terdengar paling jelas di daerah apeks pada sisi lateral kiri. Bunyi S4 sisi kanan lebih jarang ditemukan, terdengar di sepanjang tepi kiri bawah sternum atau bawah proc.xiphoideus. Bunyi ini sering terdengar lebih keras dibanding bunyi inspirasi. Penyebab S4 sisi kanan meliputi hipertensi pulmonal dan stenosis pulmonal.1,4 Manifestasi Klinik Manifestasi klinis pada gagal jantung akut sangat banyak, dan kadang ada tumpang tindih dengan manifestasi klinis yang lain, dan penanganannya pun bisa sangat berbeda. Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalam pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Gejala dan tanda yang timbul berbeda pada setiap bagian, sesuai dengan pembagian tersebut.1 Pada gagal jantung kiri terjadi dispnea deffort, fatik, ortopnea, dispnea nokturnal paroksimal, batuk, kardiomegali, takikardi, ventricular heaving, gallop S3, pernapasan cheyne stokes, pulsus alternans, ronki dan kongesti vena pulmonalis. Pada gagal jantung kanan timbul fatik, edema, hepatomegali, anoreksia dan kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hipertrofi jantung kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan, murmur, tanda tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat, bunyi P2 mengeras, asites, hidrotoraks, peningkatan tekanan vena, dan edema pitting. Sedang, pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kanan dan kiri.1,6

New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikkasi fungsional dalam 4 kelas yaitu: 6 1. Kelas 1, bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan 2. Kelas 2, bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari -hari tanpa keluhan 3. Kelas 3, bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari 4. Kelas 4, bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apa pun dan harus tirah baring. Untuk dapat menetapkan diagnosis gagal jantung kita dapat menemukan beberapa hal yang termasuk dalam kriteria Farmingham yang dimana dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik. Kriteria Farmingham ini dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif, yang dimana dibagai dalam kriteria major dan kriteria minor.1 Kriteria major : Paroksimal nokturnal dispnea Distensi vena leher Ronki paru Kardiomegali Gallop S3 Peninggian tekanan vena jugularis Refluks hepatojugular Kriteria Minor : Edema ekstrimitas Batuk malam hari Dispnea deffort Hepatomegali Efusi pleura Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal Takikardia (>120/menit)

Berdasarkan kriteria tersebut baik major maupun minor terdapat satu lagi kriteria yang termasuk dalam kedua hal tersebut yaitu penurunan berat badan, penurunan kurang lebih 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan. Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan kriteria minor.1

Di samping itu ada beberapa klasifikasi gagal jantung akut yang biasa dipakai di ICCU, antara lain : 1. Klasifikasi Killip, berdasarkan tanda-tanda klinis sesudah infark jantung akut. 2. Klasifikasi Forester yang juga berdasarkan tanda-tanda klinis dan karakter hemodinamik pada infark akut. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, kateterisasi jantung, dan pemeriksaan fungsi paru yang dimana untuk membedakan dengan penyakit gagal jantung akut dengan beberapa macam penyakit pernapasan. Berikut penjelasannya: 1,5,6 1. Foto polos dada dapat menunjukkan adanya hipertensi vena paru, edema paru atau kardiomegali. Edema paru dan hipertensi vena pulmonal: tanda awal adanya hipertensi vena pulmonal ialah adanya peningkatan aliran darah ke daerah paru atas dan peningkatan kaliber vena (flow redistribution). Jika tekanan paru makin tinggi, maka edema paru mulai timbul, dan terdapat garis Kerley B. Akhirnya edema alveolar timbul dan tampak berupa perkabutan di daerah hilus. Efusi pleura seringkali terjadi terutama di sebelah kanan. Kardiomegali: dapat ditunjukkan dengan peningkatan diameter transversal lebih dari 15,5 cm pada pria dan lebih 14,5 cm pada wanita. Atau peningkatan CTR (cardio thoracic ratio) lebih dari 50%. 2. Kelainan elektrokardiografi (EKG) yang dapat ditemukan pada GJA antara lain: Gelombang Q (menunjukkan adanya infark miokard lama) dan kelainan gelombang ST-T menunjukkan adanya iskemia miokard. LBBB (left bundle branch block), kelainan ST -T dan pembesaran atrium kin menunjukkan adanya disfungsi bilik kiri. LVH (left ventricular hypertrophy) dan inversi gelombang T menunjukkan adanya stenosis aorta dan penyakit jantung hipertensi, serta aritmia jantung. 3. Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Dapat menunjukkan dimensi pembesaran ventrikel, perubahan dalam fungsi/struktur katup, atau area penurunan kontraktilitas ventrikular.

4. Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab 7

susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. 5. Kateterisasi jantung dapat dilakukan untuk melihat fungsi hemodinamik jantung yaitu tekanan pengisian, resistansi pembuluh darah, dan cardiac output. Selain itu Ttkanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan dengan sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, juga mengkaji potensi arteri koroner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran abnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas. Diagnosis Kerja Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala). Ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.1 Dulu gagal jantung dianggap merupakan akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan inotropik untuk meningkatkannya dan diuretik serta vasodilator untuk mengurangi beban (un-load). Sekarang gagal jantung dianggap sebagai remodelling progresif akibat beban/penyakit pada miokard sehingga pencegahan progresivitas dengan menghambat neurohormonal seperti ACE-Inhibitor, Angiotensin Reseptor Blocker atau beta blocker disamping diuretik dan digitalis yang merupakan pengobatan konvensional. Epidemiologi Diperkirakan terdapat sekitar 23 juta orang mengidap gagal jantung di seluruh dunia. 8

American Heart Association memperkirakan terdapat 4,7 juta orang menderita gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun 2000 dan dilaporkan terdapat 550.000 kasus baru setiap tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa diperkirakan mencapai 1 2%. Namun, studi tentang gagal jantung akut masih kurang karena belum adanya kesepakatan yang diterima secara universal mengenai definisi gagal jantung akut serta adanya perbedaan metodologi dalam menilai penyebaran penyakit ini. Meningkatnya harapan hidup disertai makin tingginya angka survival setelah serangan infark miokard akut akibat kemajuan pengobatan dan penatalaksanaannya, mengakibatkan semakin banyak pasien yang hidup dengan disfungsi ventrikel kiri yang selanjutnya masuk ke dalam gagal jantung kronis.1 Akibatnya, angka perawatan di rumah sakit karena gagal jantung dekompensasi juga ikut meningkat. Dari survei registrasi di rumah sakit didapatkan angka perawatan pasien yang berhubungan dengan gagal jantug sebesar 4,7% untuk perempuan dan 5,1 % untukk laki-laki. Secara umum, angka perawatan pasien gagal jantung di Amerika dan Eropa menunjukkan angka yang semakin meningkat. Insidensi dan prevalensi gagal jantung meningkat secara dramatis sesuai dengan peningkatan umur. Studi Framingham menunjukkan peningkatan prevalensi gagal jantung, mulai 0,8% untuk orang berusia 50-59 hingga 2,3% untuk orang dengan usia 60-69 tahun. Gagal jantung dilaporkan sebagai diagnosis utama pada pasien di rumah sakit untuk kelompok usia lebih dari 65 tahun pada tahun 1993. Beberapa studi di Inggris juga menunjukkan adanya peningkatan prevalensi gagal jantung pada orang dengan usia lebih tua.1 Etiologi Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60 70% pasien terutama pada pasien usia lanjut. Pada usia muda, gagal jantung akut lebih sering diakibatkan oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital, penyakit jantung katup dan miokarditis. Banyak pasien dengan gagal jantung tetap asimptomatik. Gejala klinis dapat muncul karena adanya faktor presipitasi yang menyebabkan peningkatan kerja jantung dan peningkatan kebutuhan oksigen, seperti infeksi, aritmia, kerja fisik, cairan, lingkungan, emosi yang berlebihan, infark miokard, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, hipertensi, miokarditis dan endokarditis infektif. Selain itu ada beberapa faktor predisposisi lainnya yang dapat menjadi awal dari gagal jantung akut. Faktor tersebut dibagi menjadi dua faktor, yaitu: 1,6 1. Faktor yang bersifat irreversible : Jenis kelamin : Laki-laki Usia tua 9

Riwayat keluarga Ras (African Americans, American Indians, and Mexican Americans lebih sering menderita penyakit jantung dibanding Caucasians)

2. Faktor yang bersifat reversible : Merokok Kolesterol Hipertensi (tekanan darah tinggi). Aktivitas fisik. Obesitas Diabetes yang tidak terkontrol. Tinggi protein C-reaktif. Stres dan kemarahan yang tidak terkendali

Selain itu ada pula faktor presipitasi lain yang dapat memicu terjadinya gagal jantung, yaitu : a. Kelebihan Na dalam makanan b. Kelebihan intake cairan c. Tidak patuh minum obat d. Iatrogenic volume overload e. Aritmia : flutter, aritmia ventrikel f. Obat-obatan: alkohol, antagonis kalsium, beta bloker g. Sepsis, hiper/hipotiroid, anemia, gagal ginjal, defisiensi vitamin B, emboli paru. Gagal jantung akut dapat merupakan serangan pertama dari gagal jantung atau mungkin perburukan dari gagal jantung kronik sbelumnya. Berbagai faktor kardiovaskular dapat merupakan etiologi dari gagal jantung akut ini dan juga bisa beberapa kondisi ikut berinteraksi. Ada banyak kondisi kardiovaskular yang merupakan kausa dari gagal jantung akut ini dan juga faktor-faktor yang dapat mencetuskan terjadinya gagal jantung akut. Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat mencetuskan gagal jantung akut.7 Contoh yang paling sering : a) Peninggian afterload pada penderita hipertensis sistemik atau pad apenderita hipertensi pulmonal. b) Peninggian preload karena volume overload atau retensi air. c) gagal sirkulasi seperti pada keadaan high output states pada saat infeksi ataupun anemia. Kondisi lain juga dapat mencetuskan gagal jantung akut adalah ketidakpatuhan meminum obat gagal jantung, atau tidak mengikuti nasehat-nasehat medik, pemakaian obat NSAID, COX inhibitor. Gagal jantung juga dapat disebabkan kegagalan multi organ. Kausa-kausa lain yaitu penyakit jantung iskemik (sindrom koroner akut, infark ventrikel kanan, dsb), valvular defect, miopatia, hipertensi/aritmia, 10

gagal sirkulasi (septikemia, anemia, pirai, emboli paru, dsb), dekompensasi pada gagal jantung kronik (infeksi, disfungsi renal, asma/PPOK, penyalahgunaan obat, penyalahgunaan alkohol, dan tidak patuh minum obat).6,7 Patofisiologi Gagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan penyakit jantung. Pada disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk memompa darah terganggu karena gangguan kontraktilitas otot jantung yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi miosit atau fibrosis, serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi atau tahanan aliran sehingga stroke volume menjadi berkurang.8 Sementara itu, disfungsi diastolik terjadi akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering disfungi diastolik adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi. Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien gagal jantung sebagai respon terhadap menurunnya curah jantung serta untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk memastikan perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut mencakup: 1,8,9 1. Mekanisme Frank Starling Menurut hukum Frank-Starling, penambahan panjang serat menyebabkan kontraksi menjadi lebih kuat sehingga curah jantung meningkat. 2. Perubahan neurohormonal Peningkatan aktivitas simpatis merupakan salah satu mekanisme paling awal untuk mempertahankan curah jantung. Katekolamin menyebabkan kontraksi otot jantung yang lebih kuat (efek inotropik positif) dan peningkatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga turut berperan dalam aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron (RAA) yang bersifat mempertahankan volume darah yang bersirkulasi dan mempertahankan tekanan darah. Selain itu dilepaskan juga counter-regulator peptides dari jantung seperti natriuretic peptides yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer, natriuresis dan diuresis serta turut mengaktivasi sistem saraf simpatis dan sistem RAA. 3. Remodeling dan hipertrofi ventrikel Dengan bertambahnya beban kerja jantung akibat respon terhadap peningkatan kebutuhan maka terjadi berbagai macam remodeling termasuk hipertrofi dan dilatasi. Bila hanya terjadi peningkatan muatan tekanan ruang jantung atau pressure overload (misalnya pada hipertensi, stenosis katup), hipertrofi ditandai dengan peningkatan 11

diameter setiap serat otot. Pembesaran ini memberikan pola hipertrofi konsentrik yang klasik, dimana ketebalan dinding ventrikel bertambah tanpa penambahan ukuran ruang jantung. Namun, bila pengisian volume jantung terganggu (misalnya pada regurgitasi katup atau ada pirau) maka panjang serat jantung juga bertambah yang disebut hipertrofi eksentrik, dengan penambahan ukuran ruang jantung dan ketebalan dinding. Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan jantung memompa darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya untuk sementara. Perubahan patologik lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis, dan remodelling matriks ekstraselular (terutama kolagen) juga dapat timbul dan menyebabkan gangguan fungsional dan struktural yang semakin mengganggu fungsi ventrikel kiri. Tatalaksana Secara umum pengobatan pada pasien dengan gagal jantung akut memiliki sasaran untuk memperbaiki simptom, dan menstabilkan kondisi hemodinamik. Pengobatan secara umum dimulai dari kondisi yang dialami oleh pasien tersebut apabila ada infeksi, pasien gagal jantung akut cenderung rentan terhadap kompikasi infeksi, terutama saluran napas, infeksi saluran kemih, septikemia dan infeksi nosokomial. Antibiotik yang adekuat harus diberikan segera bila ada indikasi. Dalam kasus ini diabetes merupakan penyakit yang dialami oleh pasien tersebut, faktor diabetes menjadi pemberat dalam perjalanan penyakit gagal jantung yang dialami pasien tersebut. Diabetes harus secepatnya dikontrol dengan insulin jangka pendek. Status katabolik, balans asupan kalori dan protein harus diperhatikan. Kadar albumin serum sama dengan balans nitrogen, dapat dipakai untuk memonitor status metabolik. Gagal ginjal memiliki hubungan yang kuat dengan gagal jantung dan dapat merupakan faktor yang berhubungan dengan timbulnya gagal jantung akut, oleh karena itu perlu pemantauan terhadap ginjal.6 Terapi medika mentosa yang diterpakan pada pasien gagal jantung memiliki empat pilar utama seperti diuretik, ACE-inhibitor, beta blocker, dan glikosida jantung. Obat tersebut dapat kita berikan pada pasien gagal jantung akut, namun dalam pemberian obat tersebut kita harus memperhatikan beberapa faktor lainnya dan berikut penjelasan mengenai obat-obat yang dapat diberikan: 1,6 1. Diuretik Merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang selalu disertai dengan kelebihan (overload) cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru atua edema 12

perifer. Penggunaan diuretic dengan cepat menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik. Diuretik mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel, alir balik vena, dan tekanan pengisian ventrikel (preload). Dengan demikian kongesti paru, edema perifer akan berkurang. Untuk tujuan tersebut, awalnya pasien diberikan diuretic kuat seperti furosemid dosis awal 40mg od atau bid dan ditingkatkan hingga diperoleh diuresis yang cukup. Diuretik tidak mengurangi mortalitas sehingga harus dikombinasikan dengan ACE-inhibitor. Namun diuretic tidak boleh diberikan kepada gagal jantung asimtomatik maupun yang tanpa overload cairan. Diuretik tiazid diberikan kombinasi dengan diuretic kuat . tiazid disertai dengan ekskresi kalium yang tinggi. Diuretik hemat kalium contohnya adalah triamteren, amilorid. Namun diuretik hemat kalium merupakan diuretik yang lemah. 2. ACE-Inhibitor ACE-inhibitor terbukti dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas pada semua pasien gagal jantung sistolik (semua derajat keparahan, termasuk yang asimtomatik). Obat ini menghambat enzim pengkonversi angiotensin I menjadi II. Merupakan pengobatan lini pertama untuk pasien dengan fungsi sistolik ventrikel kiri yang menurun. ACE-inhibitor harus diberikan bersama diuretic jika diberikan pada pasien dengan retensi cairan. Efek samping yang mungkin timbul adalah hipotensi, gangguan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan angioedema. Batuk dapat timbul karena obat ini juga mencegah pemecahan bradikinin. 3. Beta Bloker Bekerja terutama dengan menghambat efek merugikan dari aktivasi simpatis pada pasien gagal jantung, dan efek ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan efek inotropik negatifnya. Stimulasi adrenergic pada jantung memang pada awalnya meningkatkan kerja jantung, akan tetapi aktivasi simpatis yang berkepanjangan pada jantung yang telah mengalami disfungsi akan merusak jantung yang dicegah oleh blocker. Merupakan penghambat reseptor yang akan menyebabkan berkurangnya automatisitas sel autumatik jantung, pengurangan kontraktil miokard, serta pengurangan denyut jantung dengan demikian akan menghambat aritmia jantung. 4. Glikosida Jantung Saat ini hanya digoksin yang digunakan untuk terapi gagal jantung. Efek digoksin pada 13

pengobatan gagal jantung berupa inotropik positif, kronotropik negative (mengurangi frekuensi denyut ventrikel pada takikardia atau fibrilasi atrium) dan mengurangi aktivasi saraf simpatis. Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada pasien gagal jantung dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial flutter. Amiodarone atau ibutilide dapat ditambahkan pada pasien dengan kondisi yang lebih parah. Selain obat-obat tersebut dapat juga diberikan obat-obat inotropik seperti dopamine, dobutamin. Dobutamin merupakan agonis yang terpilih untuk pasien gagal jantung dengan disfungsi sistolik. Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi perifer (hipotensi) dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang refrakter terhadap diuretika dan vasodilator pada dosis optimal. Pemakaiannya berbahaya, dapat meningkatkan kebutuhan oksigen dan calcium loading sehingga harus diberikan secara hati-hati. Pemberian vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien GJA sebagai terapi lini pertama pada hipoperfusi yang berhubungan dengan tekanan darah adekuat dan tanda kongesti dengan diuresis sedikit. Obat ini bekerja dengan membuka sirkulasi perifer dan mengurangi preload. Beberapa vasodilator yang digunakan adalah: 1 Nitrat bekerja dengan mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke volume atau meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokardium pada GJA kanan, khususnya pada pasien sindrom koroner akut. Pada dosis rendah, nitrat hanya menginduksi venodilatasi, tetapi bila dosis ditingkatkan secara bertahap dapat menyebabkan dilatasi arteri koroner. Nesiritid merupakan rekombinan peptida otak manusia yang identik dengan hormon endogen yang diproduksi ventrikel, yaitu B-type natriuretic peptides dalam merespon peningkatan tegangan dinding, peningkatan tekanan darah, dan volume overload. Kadar B-type natriuretic peptides meningkat pada pasien gagal jantung dan berhubungan dengan keparahan penyakit. Efek fisiologis BNP mencakup vasodilatasi, diuresis, natriuresis, dan antagonis terhadap sistem RAA dan endotelin. Nesiritid memiliki efek vasodilator vena, arteri, dan pembuluh darah koroner untuk menurunkan preload dan afterload, serta meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik langsung. Nesiritid terbukti mampu mengurangi dispnea dan kelelahan dibandingkan plasebo. Nesiritid juga mengurangi tekanan kapiler baji paru. Komplikasi 14

Komplikasi yang terjadi pada gagal jantung dapat menjadi faktor pemberat dari perjalanan penyakit tersebut. Seperti tromboemboli yang dimana terjadinya bekuan vena dalam atau DVT (Deep Venous Trombosis), kemudian emboli pada paru dan emboli sistemik tinggi, terutama pada gagal jantung yang berat, komplikasi ini dapat diturunkan risikonya dengan pemberian warfarin. Komplikasi yang sering terjadi pada gagal jantung adalah fibrilasi atrium yang dimana bisa menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi pemantauan denyut jantung dengan pemberian digoksin atau pemberian beta bloker dan dapat juga menggunakan warfarin. Komplikasi lainnya yang sering terjadi berupa aritmia ventrikel, hal ini dapat menyebabkan sinkop atau kematian jantung mendadak. 25-50% kematian pada gagal jantung disebabkan oleh hal tersebut. Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, beta bloker, dan defibrilator yang ditanam mungkin mempunyai peranan. Dan yang terakhir adalah kegagalan pompa progresif yang bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis ditinggikan.6 Pencegahan Pencegahan yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Risiko penyakit jantung (kecuali penyakit jantung bawaan) dapat diminimalisir dengan melakukan hidup sehat. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan hidup belum dapat dibuktikan. Prognosis Gagal jantung akut atau gagal jantung kronik sering merupakan kombinasi kelainan jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik. Pasien dengan gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam satu randomized trial yang besar pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang mengalami dekompensasi, mortalitas 60 hari adalah 9,6% dan apabila dikombinasi dengan mortalitas dan perawatan ulang dalam 60 hari jadi 35,2%. Sekitar 45% pasien GJA akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam 12 bulan pertama. Angka kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang disertai gagal jantung berat dengan mortalitas dalam 12 bulan adalah 30%.1 15

Diangosis Banding 1. Gagal Jantung Kronik Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologi, dimana terdapat kegagalan jantung dalam memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Definisi objektif yang sederhana hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai bayas yang tegas pada disfungsi ventrikel. Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai suatu sindroma klinik yang komplek yang disertai dengan keluhan gagal jantung seperti sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat maupun latihan, edema dan tanda objektif seperti adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat. Penyebab dari gagal jantung bervariasi antara lain disfungsi miokard, endokard, dan perikardium serta pembuluh darah besar, adanya aritmia, kelainan katup dan sebagainya. Sering pada pasien dengan usia kurang dari 75 tahun dengan hipertensi dan diabetes.6 2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit paru obstruktif kronik merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofiologi utamanya. Bronkitis kronik, emfisema paru, dan asma bronkial membentuk kesatuan yang disebut COPD. Agaknya ada hubungan etiologik dan sekuensial antara bronkitis kronik dan emfisema, tetapi tampaknya tak ada hubungan antara kedua penyakit itu dengan asma. Hubungan ini nyata sekali sehubungan dengan etiologi, patogenesis dan pengobatan. PPOK biasanya merupakan akibat dari merokok kronis.6

Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum sekama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut. Definisi ini tidak mencakup penyakit-penyakit seperti bronkiektasis dan tuberkulosis yang juga menyebabkan batuk kronik dan penumpukan sputum. Sputum yang terbentuk pada bronkitis kronik dapat mukoid dapat mukopurulen. 16

Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding alveolar. Emfisema dapat didiagnosis secara tepat dengan menggunakan CT scan resolusi tinggi.

Asma merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hipersensitivitas cabang trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan dan keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan jalan napas secara periodik dan reversibel akibat bronkospasme. Bronkitis kronik didefinisikan menurut gejala klinisnya, emfisema paru menurut etiologi

anatominya, sedangkan asma menurut patofisiologi klinisnya. Meskipun setiap penyakit dapat timbul dalam bentuknya yang murni, tetapi bronkitis kronik biasanya timbul bersama-sama emfisema pada pasien yang sama. Asma lebih mudah dibedakan dari bronkitis kronik dan emfisema berdasarkan riwayat serangan mengi paroksismal, yang dimulai pada masa kanakkanak dan berhubungan dengan alergi, tapi kadang-kadang pasien bronkitis kronik dapat mempunyai gambaran asmatik dari penyakitnya. Pasien dengan PPOK datang dengan eksaserbasi akut di luar obstruksi saluran napas kronik dasar dan dapat mengalami peningkatan batuk, produksi sputum, atau dispnea. Faktor pencetus meliputi infeksi (virus atau bakteri) dan bronkospasme. Diagnosis didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Obstruksi dapat dikonfirmasi dengan uji aliran puncak (peak flow) dan fungsi paru. Pada pemeriksaan fisik, terdengan hiperresonansi dada dengan mengi dan ronki kasar, atau penurunan gerakan udara dan suara paru. Pasien terlihat menggunakan otot bantu pernapasan, bibir berkerut, atau posisi duduk tripod. Foto dada dapat memperlihatkan hiperinflasi dengan berkurangnya pembuluh darah paru (emfisema) atau penglihatan tanda bronkovaskuler (bronkitis kronik).9,10 3. Cor Pulmonale Cor pulmonale merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan; timbul penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru atau pembuluh darahnya. Definisi ini menyatakan bahwa penyakit jantung kiri maupun penyakit jantung bawaan tidak bertanggung jawab atas patogenesis cor pulmonale. Cor pulmonale dapat terjadi akut (contohnya, PE masif) atau kronik. Diagnosis cor pulmonale terutama berdasarkan pada dua kriteria: (1) adanya penyakit pernapasan yang disertai hipertensi pulmonal dan (2) bukti adanya hipertrofi ventrikel kanan. 17

Adanya hipoksemia yang menetap, hiperkapnia, dan asidosis atau pembesaran ventrikel kanan pada radigram menunjukkan kemungkinan penyakit paru yang mendasarinya. Adanya emfisema cenderung mengaburkan gambaran diagnosis cor pulmonale. Dispnea timbul sebagai gejala emfisema dengan atau tanpa cor pulmonale atau kelelahan, pingsan pada waktu bekerja, atau rasa tidak enak angina pada substernal mengisyaratkan keterlibatan jantung. Tanda -tanda fisik hipertensi pulmonal berupa kuat angkat sistolik pada area parasternal, mengerasnya bunyi pulmonik kedua, dan bising akibat insufisiensi katup trikuspidalis dan pulmonalis. Irama gallop (suara jantung S3 dan S4), distensi vena jugularis dengan gelombang A yang menonjol, hepatomegali, dan edema perifer dapat terlihat pada pasien gagal ventrikel kanan.10 Penutup Berdasarkan pembahasan diatas pasien tersebut menderita gagal jantung akut yang dimana di tandai dengan kriteria Framingham yang dimana dalam kasus ini sudah memenuhi kriteria tersebut dengan memiliki minimal 1 kriteria major dan 2 kriteria minor. Gagal jantung kongestif akut (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan. Riwayat diabetes menjadi faktor pemberat dalam perjalanan penyakit ini, oleh karena itu dalam hal ini tujuan utama kita adalah kontrol diabetes, turunkan tekanan darah, dan mencegah terjadinya perburukan gagal jantung.

18

DAFTAR PUSTAKA 1. Panggabean MM. Gagal jantung. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing; 2010. h. 1583-4. 2. Gleadle J. At a galance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.h.58,161. 3. Willms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Diagnosis fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.h.63-78. 4. Bickley LS. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. 8th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.323-357. 5. Aaronson PI. At a glance sistem kardiovaskular. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010.h.67-68. 6. Mardi S. Kapita selekta ilmu penyakit dalam. Jakarta: yayasan diabetes indonesia; 2004.h.50-55. 7. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons principles of internal medicine. 17th Ed. USA : Mc-Graw-Hill Companies. 2009. Pg. 1318-1328. 8. Elizabeth JC. Buku saku patofisiologi. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.665-669. 9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Vol. II. Ed. VI. Jakarta: EGC; 2005. h.784. 10. Bresler MJ, Sternbach GL. Manual kedokteran darurat. Edisi VI. Jakarta: EGC; 2006. h.175. 19

20

You might also like