You are on page 1of 26

10 Golongan yang Tidak Masuk Surga

Oleh: Mochamad Bugi

Ibnu Abas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Ada sepuluh golongan dari
umatku yang tidak akan masuk surga, kecuali bagi yang bertobat. Mereka itu adalah al-qalla’,
al-jayyuf, al-qattat, ad-daibub, ad-dayyus, shahibul arthabah, shahibul qubah, al-’utul, az-
zanim, dan al-’aq li walidaih.

Selanjutnya Rasulullah saw. ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah al-qalla’ itu?” Beliau menjawab,
“Orang yang suka mondar-mandir kepada penguasa untuk memberikan laporan batil dan palsu.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah al-jayyuf itu?” Beliau menjawab, “Orang yang suka
menggali kuburan untuk mencuri kain kafan dan sebagainya.”

Beliau ditanya lagi, “Siapakah al-qattat itu?” Beliau menjawab, “Orang yang suka mengadu
domba.”

Beliau ditanya, “Siapakah ad-daibub itu?” Beliau menjawab, “Germo.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah ad-dayyus itu?” Beliau menjawab, “Dayyus adalah laki-laki
yang tidak punya rasa cemburu terhadap istrinya, anak perempuannya, dan saudara
perempuannya.”

Rasulullah saw. ditanya lagi, “Siapakah shahibul arthabah itu?” Beliau menjawab, “Penabuh
gendang besar.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah shahibul qubah itu?” Beliau menjawab, “Penabuh gendang
kecil.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah al-’utul itu?” Beliau menjawab, “Orang yang tidak mau
memaafkan kesalahan orang lain yang meminta maaf atas dosa yang dilakukannya, dan tidak
mau menerima alasan orang lain.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah az-zanim itu?” Beliau menjawab, “Orang yang dilahirkan
dari hasil perzinaan yang suka duduk-duduk di tepi jalan guna menggunjing orang lain. Adapun
al-’aq, kalian sudah tahu semua maksudnya (yakni orang yang durhaka kepada kedua orang
tuanya).”

Mu’adz bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan engkau
tentang ayat ini: yauma yunfakhu fiish-shuuri fata’tuuna afwaajaa, yaitu hari (yang pada waktu
itu) ditiup sangkakala, lalu kalian datang berkelompok-kelompok?” (An-Naba’: 18)

“Wahai Mu’adz, engkau bertanya tentang sesuatu yang besar,” jawab Rasulullah saw. Kedua
mata beliau yang mulia pun mencucurkan air mata. Beliau melanjutkan sabdanya.
“Ada sepuluh golongan dari umatku yang akan dikumpulkan pada Hari Kiamat nanti dalam
keadaan yang berbeda-beda. Allah memisahkan mereka dari jama’ah kaum muslimin dan akan
menampakkan bentuk rupa mereka (sesuai dengan amaliyahnya di dunia). Di antara mereka ada
yang berwujud kera; ada yang berwujud babi; ada yang berjalan berjungkir-balik dengan muka
terseret-seret; ada yang buta kedua matanya, ada yang tuli, bisu, lagi tidak tahu apa-apa; ada
yang memamah lidahnya sendiri yang menjulur sampai ke dada dan mengalir nanah dari
mulutnya sehingga jama’ah kaum muslimin merasa amat jijik terhadapnya; ada yang tangan dan
kakinya dalam keadaan terpotong; ada yang disalib di atas batangan besi panas; ada yang aroma
tubuhnya lebih busuk daripada bangkai; dan ada yang berselimutkan kain yang dicelup aspal
mendidih.”

“Mereka yang berwajah kera adalah orang-orang yang ketika di dunia suka mengadu domba di
antara manusia. Yang berwujud babi adalah mereka yang ketika di dunia gemar memakan barang
haram dan bekerja dengan cara yang haram, seperti cukai dan uang suap.”

“Yang berjalan jungkir-balik adalah mereka yang ketika di dunia gemar memakan riba. Yang
buta adalah orang-orang yang ketika di dunia suka berbuat zhalim dalam memutuskan hukum.
Yang tuli dan bisu adalah orang-orang yang ketika di dunia suka ujub (menyombongkan diri)
dengan amalnya.”

“Yang memamah lidahnya adalah ulama dan pemberi fatwa yang ucapannya bertolak-belakang
dengan amal perbuatannya. Yang terpotong tangan dan kakinya adalah orang-orang yang ketika
di dunia suka menyakiti tetangganya.”

“Yang disalib di batangan besi panas adalah orang yang suka mengadukan orang lain kepada
penguasa dengan pengaduan batil dan palsu. Yang tubuhnya berbau busuk melebihi bangkai
adalah orang yang suka bersenang-senang dengan menuruti semua syahwat dan kemauan mereka
tanpa mau menunaikan hak Allah yang ada pada harta mereka.”

“Adapun orang yang berselimutkan kain yang dicelup aspal mendidih adalah orang yang suka
takabur dan membanggakan diri.” (HR. Qurthubi)

Saudaraku, adakah kita di antara 10 daftar yang dipaparkan Rasulullah saw. di atas? Bertobatlah,
agar selamat!

Jalan Menuju Surga

Oleh: Rikza Maulan, M.Ag

Dari Abdullah Jabir bin Abdillah Al-Anshari r.a. bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah saw.: “Bagaimana pendapatmu jika aku melaksanakan shalat-shalat fardhu, berpuasa
di bulan ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram serta aku tidak
menambah dengan sesuatu apapun selain itu, apakah (dengan hal tersebut) bisa menjadikan aku
masuk surga?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” (HR. Muslim)
Tarjamatur Rawi

· Jabir bin Abdillah bin Amru bin Haram

Beliau adalah Jabir bin Abdillah bin Amru bin Haram Abu Abdillah Al-Anshari, salah seorang
sahabat Rasulullah saw. Tinggal di Madinah dan wafat pula di Madinah pada tahun 78 H. Beliau
termasuk sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits Rasulullah saw. Tercatat hadits riwayat
beliau sekitar 1.540-an hadits. Beliau juga termasuk sahabat terakhir yang wafat di Madinah.
Beliau wafat dalam usia 94 tahun.

· Abu Al-Zubair

Beliau adalah Muhammad bin Muslim Abu Al-Zubair Al-Azady, salah seorang di bawah wushta
minat tabiin. Wafat tahun 136 H. Beliau mengambil hadits dari sahabat dan juga dari tabiin, di
antaranya adalah Anas bin Malik, Aisyah ra, Umar bin Khatab, Abdullah bin Umar bin Khatab,
Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, dan Thawus bin Kaisan. Sedangkan murid-murid beliau
adalah Hammad bin Salamah bin Dinar, Sufyan bin Uyainah, Sulaiman bin Mihran, Syu’bah bin
Hajjaj, dan Malik bin Anas. Adapun dalam derajat jarh wa ta’dil-nya, sebagian
mengkategorikannya tisqah, sebagian lainnya shaduq. Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengkategorikan
beliau sebagai Shaduq.

· Ma’qil bin Ubaidillah

Beliau adalah Ma’qil bin Ubaidillah, Abu Abdullah Al-Harani Al-Abasy, salah seorang Atba’
Tabiin. Wafat pada tahun 166 H. Beliau mengambil hadits di antaranya dari Atha’ bin Abi
Ribah, Ikrimah bin Khalid, Amru bin Dinar, dan Ibnu Syihab Al-Zuhri. Sedangkan murid-
muridnya adalah Makhlad bin Yazid, Muhammad bin Abdullah bin Zubair bin Umar bin
Dirham, dan Abdullah Muhammad bin Ali bin Nufail. Dalam jarh wa ta’dil beliau dikategorikan
sebagai shoduq.

Gambaran Umum Tentang Hadits

Para ulama hadits mengemukakan bahwa hadits ini memberikan gambaran penting tentang
kaidah beramal secara umum dalam Islam. Oleh karenanya sebagian bahkan mengatakan bahwa
hadits ini mencakup seluruh ajaran Islam. Kaidah yang digambarkan hadits ini adalah bahwa
sesungguhnya segala “amal perbuatan” itu boleh dilaksanakan selagi terpatri dengan kewajiban-
kewajiban syariat serta tidak melanggar prinsip umum hukum Islam, yaitu menghalalkan yang
halal dan mengharamkan yang haram.

Terkait dengan hal ini, ulama ushul fiqh bahkan memberikan satu kaidah tersendiri mengenai
“bolehnya” melakukan segala perbuatan dalam muamalah dengan kaidah: Hukum asal dalam
bermuamalah adalah “boleh”, kecuali ada dalil yang melarang perbuatan tersebut.

Makna Hadits
Hadits ini memberikan gambaran sederhana mengenai cara untuk masuk ke dalam surga.
Dikisahkan bahwa seseorang sahabat (dalam riwayat lain disebutkan bahwa sahabat ini adalah
An-Nu’man bin Qauqal) datang dan bertanya kepada Rasulullah saw. dengan sebuah pertanyaan
sederhana, “Ya Rasulullah saw, jika aku melaksanakan shalat yang fardhu, puasa yang wajib
(puasa ramadhan), kemudian melakukan yang halal dan meninggalkan yang haram, apakah
dengan hal tersebut dapat mengantarkanku ke surga?” Pertanyaan sederhana ini dijawab oleh
Rasulullah saw. dengan jawaban sederhana, yaitu “ya”.

Hadits di atas secara dzahir menggambarkan “kesederhanaan” amalan yang dilakukannya


sebagai seorang sahabat, yaitu hanya melaksanakan shalat dan puasa serta melakukan perbuatan
yang dihalalkan dan meninggalkan perbuatan yang diharamkan. Dan ketika perbuatannya
tersebut “ditanyakan” kepada Rasulullah saw., beliau pun tidak mematahkan “keterbatasan” yang
dimiliki sahabat tersebut, namun justru menyemangatinya dengan membenarkan bahwa dengan
hal sederhana tersebut insya Allah dapat membawa dirinya masuk ke dalam surga.

Itu artinya, Rasulullah saw dapat memahami bahwa tidak semua muslim memiliki kemampuan
yang “lebih”, sehingga ia dapat maksimal melakukan berbagai aktivitas ibadah secara bersamaan
sekaligus, seperti ibadah, jihad, tilawah, shaum, shadaqah, haji, birrul walidain dan sebagainya.
Namun di antara kaum muslimin terdapat juga yang hanya memiliki kemampuan terbatas; hanya
dapat mengimplementasikan Islam sebatas amaliyah fardhu, namun tetap menghalalkan yang
halal dan mengharamkan yang haram. Dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai
dengan kemampuannya (Al-Baqarah: 286).

Menghalalkan Yang Halal Dan Mengharamkan Yang Haram

Kesederhanaan amalan yang dilakukan seorang muslim hingga dapat membawanya ke dalam
surga, dibingkai dengan bingkai “menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram”.
Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram artinya bahwa dirinya atau
keinginannya mengikuti apa yang dihalalkan oleh Allah swt. serta menjauhi apa yang
diharamkan oleh Allah swt. Dan bukan atas dasar keinginan serta kemauan diri pribadinya (Al-
Kahfi: 28).

Bahkan dalam hadits, Rasulullah saw. menegaskan bahwa hanya dengan melaksanakan
kewajiban seperti shalat, puasa dan zakat saja, namun belum menghalalkan yang halal dan
mengharamkan yang haram, itu semua belum cukup:

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda, “Tahukah kalian siapakah orang yang
bangkrut?” Sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak
memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta.” Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya orang
yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan shalat, puasa dan
zakat. Namun ia juga mencela (orang) ini, menuduh zina (orang) ini, memakan harta (orang) ini,
menumpahkan darah dan memukul (orang) ini. Lalu diambillah kebaikannya untuk menutupi hal
tersebut. Dan jika kebaikannya telah habis sebelum terlunasi “perbuatannya” tersebut, maka
diambillah dosa-dosa mereka (yang menjadi korbannya) dan dilemparkan kepadanya, lalu ia
dilemparkan ke dalam api neraka (HR. Ahmad).
Banyak Jalan Menuju Surga

Sesungguhnya jika diperhatikan hadits-hadits Rasulullah saw. lainnya akan didapatkan bahwa
banyak amalan sederhana yang jika dilakukan akan mengantarkan kita menjadi ahlul jannah, di
antaranya adalah:

· Melaksanakan shalat subuh dan ashar. Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, bahwasanya Rasulullah
SAW bersabda, “Barang siapa yang shalat dua waktu dingin (subuh dan ashar), maka ia akan
masuk surga (HR. Bukhari).

· Tauhidkan Allah dan melaksanakan ibadah fardhu. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa seorang
Badui datang menemui Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku satu
amalan yang jika aku laksanakan dapat mengantarkanku ke dalam surga?” Beliau menjawab,
“Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya terhadap apapun, melaksanakan shalat
fardhu, membayar zakat yang wajib serta melaksanakan puasa di bulan ramadhan.” (HR.
Bukhari)

· Mentaati Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Semua
umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Sahabat bertanya, “Siapa yang enggan, wahai
Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang mentaatiku masuk surga, dan siapa yang
maksiat terhadapku (tidak mentaatiku) maka ia adalah yang enggan.” (HR. Bukhari)

· Beramal sosial. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Siapakah di antara
kalian yang berpuasa hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah saw.” Kemudian
beliau berkata, “Siapakah di antara kalian yang hari ini mengiringi jenazah?” Abu Bakar
menjawab, “Saya, wahai Rasulullah saw.” Kemudian beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara
kalian yang telah memberikan makan pada orang miskin hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya,
wahai Rasulullah saw.” Kemudian beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini
telah menjenguk saudaranya yang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah saw.”
Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah semua hal di atas terkumpul dalam diri seseorang,
melainkan ia akan masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim)

Kunci Surga adalah La Ilaha Ilallah

Pada hakikatnya, kunci surga itu adalah kalimat tauhid “Tiada Ilah selain Allah swt”. Sehingga
seorang mu’min yang telah mengucapkan kalimat itu dan ia meyakini sepenuh hati atas segala
konsekuensinya, maka ia berhak untuk masuk ke dalam surga Allah swt.

Dari Ubadah bin Al-Shamit r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang bersaksi
bahwasanya tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwasanya Isa a.s. adalah hamba dan
utusannya yang merupakan kalimat dan ruh yang ditiupkan pada Maryam, dan bahwasanya surga
dan neraka adalah benar adanya, maka Allah swt. akan memasukkannya dalam surga sesuai amal
perbuatannya (HR. Bukhari).
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa seorang mukmin yang benar-benar beriman kepada
Allah, berhak mendapatkan surga dari-Nya. Dan sekiranya ia melakukan perbuatan maksiat,
maka ia tetap berhak mendapatkan surga namun setelah dosa-dosanya dihapuskan dalam neraka.

Celaan Terhadap Orang Yang Mengikuti Hawa Nafsu

Penyebab seseorang melakukan satu perbuatan maksiat yang dilarang oleh Allah. adalah karena
mengikuti hawa nafsunya. Oleh karenanya dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. pernah
mengatakan, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa
yang aku bawa (syariat Allah swt.).” Dalam Alquran Allah memberikan perumpamaan yang
amat hina bagi orang yang mengikuti hawa nafsunya: seperti anjing. (Al-A’raf: 176)

Mengikuti hawa nafsu ini dapat menjadikan seseorang mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram. Ini kebalikan dari pesan yang tersurat dari hadits di atas. Oleh
karenanya, salah satu bentuk “menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram” adalah
dengan membuang jauh-jauh hawa nafsu yang cenderung mengajak pada kemaksiatan pada
Allah swt. Dan insya Allah, hal ini akan dapat menjadikan kita termasuk calon penghuni surga.

Hikmah Tarbawiyah

Bagi seorang mukmin yang senantiasa mengharap ridha Allah swt. ketika membaca sebuah
hadits, ia akan berupaya untuk mentadaburi hadits tersebut sehingga memberikan bekal dalam
perjalanan panjangnya. Di antara hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas adalah:

1. Bahwa kesederhanaan dalam beramal, disertai ketulusan dan keikhlasan untuk senantiasa
berpijak pada syariat Allah, insya Allah akan mengantarkan seseorang pada surga Allah
swt.
2. Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memiliki “prestasi” yang menonjol
dalam amalan ukhrawi, sehingga tidak baik bagi seorang dai untuk ‘memaksakan’ suatu
amaliyah tertentu pada obyek dakwahnya yang tidak sanggup mengembannya. Namun
bukan berarti bahwa setiap orang harus dinilai berdasarkan ‘pengakuan’ dan
‘keinginannya’ saja. Karena manusia jika tidak dipacu untuk maju, akan sukar baginya
untuk maju.
3. Bahwa dalam muamalah, Islam memberikan kebebasan mutlak untuk melakukan inovasi
amal, selama tidak ada dalil yang melarang satu perbuatan tertentu. Apakah di bidang
sosial, politik, ekonomi, pendidikan, seni, budaya, dan lain sebagainya. Namun semua hal
ini tetap harus dalam ‘frame’ untuk menegakkan kalimatullah di muka bumi ini, serta
harus diproteksi dengan sistem yang dapat menjaganya dari kekeliruan dan potensi
penyelewengan. Hal ini berbeda dengan masalah ibadah, yang tidak boleh dilakukan
kecuali adanya dalil yang memerintahkannya.
4. Seorang dai haruslah bersikap bijaksana dan senantiasa memotivasi objek dakwahnya
untuk beramal, kendatipun kecilnya amalan tersebut. Karena dengan adanya motivasi,
seseorang akan terus tergerak untuk beramal yang lebih baik dan baik lagi. Sikap ini
tergambar dari jawaban Rasulullah saw. dalam hadits di atas.
5. Sebuah cita-cita yang besar demi kemaslahatan umat, tidaklah bisa dijadikan satu alasan
untuk meninggalkan perkara-perkara yang kecil. Hadits Abu Bakar Al-Siddiq di atas
menggambarkan kepada kita, betapa perhatiannya Abu Bakar terhadap masalah kecil,
seperti menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memberi makan orang miskin, dan
sebagainya. Padahal beliau merupakan sahabat yang paling besar andilnya dalam
mensukseskan dakwah pada masanya. Sehingga jangan sampai karena alasan cita-cita
yang besar, seorang dai mengabaikan amaliyah-amaliyah kecil.
6. Dalam beberapa hadits, shalat dan puasa selalu disebutkan sebagai amalan yang dapat
memasukkan seseorang ke dalam surga. Hal ini menunjukkan ‘pentingnya’ peranan
shalat dan puasa. Sehingga tiada alasan bagi seseorang mengabaikan kedua ibadah ini
dalam kondisi apapun juga.
7. Penyebutan shalat dan puasa yang berulang-ulang, sekaligus menunjukkan bahwa
sesungguhnya shalat dan puasa memiliki implikasi positif dalam diri siapapun yang
mengamalkannya. Shalat dan puasa bukanlah sebuah ritual yang ‘wajib’ dilaksanakan
dan setelah itu sudah. Namun shalat dan puasa adalah ibarat pondasi dasar dan pagar
yang dapat membentengi iman dari kerusakan dan kehancuran.

Menatap Wajah Allah

Oleh: Mochamad Bugi

Kata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, “Ini merupakan puncak kerinduan pecinta surga dan bahan
kompetisi mereka. Dan untuk hal ini seharusnya orang-orang bekerja keras untuk
mendapatkannya.”

Nabi Musa pernah meminta hal ini. Dijawab oleh Allah swt. seperti yang tertera di ayat 143 surat
Al-A’raf.

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan
dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya Tuhanku,
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Tuhan
berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah ke gunung itu, jika ia
tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun
jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku
bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”

Ada tujuh pelajaran dari ayat di atas:

1. Tidak boleh menuduh kepada Nabi Musa bahwa ia meminta sesuatu yang tidak
diperkenankan oleh Allah swt.
2. Allah tidak memungkiri permintaan Nabi Musa.
3. Allah menjawab dengan kalimat, “Kamu tidak akan sanggup melihat-Ku.” Bukan
mengatakan, “Aku tidak bisa dilihat.”
4. Allah Mahakuasa untuk menjadikan gunung itu tetap kokoh di tempatnya, dan ini bukan
hal mustahil bagi Allah, itu merupakan hal yang mungkin. Hanya saja dalam hal ini Allah
juga mempersyaratkan adanya proses ru’yah (melihat). Jadi, seandainya hal itu
merupakan sesuatu yang mustahil, sudah tentu Allah tidak akan mempersyaratkan hal itu.
5. Kalimat “tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung
itu hancur luruh” adalah bukti bahwa bolehnya melihat Allah swt. Jika boleh bagi-Nya
menampakkan diri kepada gunung, bagaimana terhalang untuk menampakan diri kepada
para nabi, rasul, dan wali-Nya di kampung akhirat?
6. Di ayat itu Allah swt. memberitahu kepada Nabi Musa bahwa gunung saja tidak mampu
melihat-Nya di dunia, apalagi manusia yang lebih lemah dari gunung.
7. Allah swt. telah berbicara dengan Nabi Musa. Nabi Musa juga telah mendengar perkataan
Allah swt. tanpa perantara. Maka, melihat-Nya sudah pasti sangat bisa.

Dalil Bertemu Allah

1. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. (Al-
Baqarah: 223)

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik)
untuk dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

2. Penghormatan kepada mereka (orang-orang beriman) pada hari mereka menemui-Nya adalah
salam. (Al-Ahzab: 44)

Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-
Nya ialah: Salam; dan dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.

3. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang shalih. (Al-Kahfi: 110)

Katakanlah: Sesungguhnya aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku,
“Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barang siapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan
janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

4. Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah. (Al-Baqarah: 249)

Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, “Sesungguhnya Allah akan
menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia
pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, Maka dia
adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka.
Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai
itu, orang-orang yang telah minum berkata, “Tak ada kesanggupan kami pada hari Ini untuk
melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui
Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan
yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Para ahli bahasa sepakat bahwa jika liqa’ itu dinisbahkan kepada yang hidup, yang selamat dari
gangguan kebutaan dan penghalang lainnya. Maka, hal itu menuntut adanya penglihatan dengan
mata.

Bagaimana Dengan Ayat 103 Surat Al-An’am?

Laa tudriku hu al-absharu wa huwa yudriku al-abshara wa huwa al-lathiifu al-khabiir.

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan
itu.

Kata Ibnu Taimiyah, “Ayat ini lebih menunjukkan bahwa Allah bisa dilihat daripada
menunjukkan tidak bisa dilihat. Allah menyebutkannya dalam konteks memberikan pujian.
Sudah maklum bahwa pujian terhadap diri-NYa adalah sifat-sifat yang pasti dan melekat. Jika
tidak ada, maka tidak sempurna, sehingga tidak layak dipuji.”

Ibnu Taimiyah menambahkan, “Hanya saja Allah itu dipuji dengan tidak adanya sesuatu bila
sesuatu itu mengandung hal yang ada wujudnya, sebagaimana pujian terhadap diriNya dengan
menafikan kantuk dan tidur yang mencakup kesempurnaan terus-menerusnya Allah mengurus
makhluk-Nya; menafikan kematian yang berarti kesempurnaan hidup, serta menafikan capek dan
letih yang mengandung kesempurnaan kekuasaan.”

Ibnu Taimiyah lalu menegaskan, “Oleh karena itu, Allah tidak memuji diri-Nya dengan
ketiadaan yang mengandung sesuatu yang melekat. Sebab, sesuatu yang ditiadakan (ma’dum) itu
menyertai yang disifati berkenaan dengan ketiadaan itu. Sesuatu Dzat Yang Sempurna tidak bisa
disifati dengan hal yang layak bagi-Nya maupun sesuatu yang tiada. Jika saja yang dimaksud
oleh firman Allah swt. laa tadrikuhu al-abshaaru adalah bahwa Dia tidak bisa dilihat dalam
kondisi apa pun, maka dalam hal ini tidak ada pujian maupun kesempurnaan, karena yang tiada
juga demikian. Sesuatu yang tiada jelas tidak bisa dilihat dan tidak bisa ditangkap dengan
penglihatan, sedangkan Rabb jelas Mahatinggi untuk dipuji dengan sesuatu yang juga terdapat
pada sesuatu yang jelas tidak ada. Dengan demikian, makna dari ayat di atas adalah bahwa Ia
tetap bisa dilihat namun tidak bisa ditangkap sepenuhnya dan tidak bisa dimengerti hakikatnya.”

Maka, kata Ibnu Taimiyah, “Firman Allah laa tudrikuhu al-abshaaru menunjukkan puncak dari
keagungan Allah. dan bahwa Dia lebih Besar dari segala sesuatu. Dan juga, karena
keagunganNya, Dia tidak bisa ditangkap atau dimengerti oleh pandangan. Kata idraak adalah
lebih dalam daripada ru’yah (melihat).”

Liqa’ullah Adalah Az-Ziyadah

Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya
kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada “pahala yang baik”
(surga) dan “tambahannya”. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula)
kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (Yunus: 25-26)
Menurut Ibnu Qayyim, yang dimaksud dengan kata al-husna di ayat itu adalah al-jannah (surga),
sedangkan yang dimaksud dengan az-ziyadah (tambahan) adalah memandang wajah Allah Yang
Mulia. Ini adalah tafsir Rasulullah saw. atas ayat itu dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahih-nya.

Rasulullah membaca ayat lilladzina ahsanu al-husna wa ziyadah, lalu bersabda, “Jika ahli surga
sudah masuk ke dalam surga, demikian juga ahli neraka sudah masuk ke dalam neraka, maka ada
seorang malaikat yang menyeru: Wahai ahli surga, sesungguhnya kalian telah dijanjikan di sisi
Allah, maka sekarang Allah hendak menunaikan janji itu kepada kalian. Mereka berkata: apakah
janji itu? Bukankah Dia telah membuat berat timbangan kebaikan kami dan telah membuat putih
(cerah) wajah kami, serta telah memasukkan kami ke dalam surga dan mengeluarkan kami dari
neraka? Akhirnya, tabir pun dibuka lalu mereka bisa melihat kepada-Nya. Sungguh tidak ada
sesuatu yang telah Dia berikan kepada ahli surga yang lebih mereka cintai daripada melihat
kepada-Nya. Itulah yang dimaksud dengan ziyadah.”

Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik berkata, “Yang dimaksud adalah melihat Wajah Allah
swt.” saat menafsirkan ayat lahum maa yasyaa-una fiihaa wa ladainaa maziid, mereka di
dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami ada tambahannya. (Qaf:
35).

Melihat Dengan Mata Kepala

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada
RabbNya. (Al-Qiyamah: 22-23)

Ayat ini menegaskan dengan gamblang bahwa Allah akan dilihat dengan mata kepala secara
langsung pada hari kiamat nanti. Tentang hal ini banyak hadits berderajat mutawatir.

Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id dalam Shahihain menceritakan bahwa para sahabat
bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat?” Rasulullah
saw. menjawab, “Apakah kalian mendapatkan kesulitan melihat bulan pada saat purnama?”
Mereka menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kalian mendapatkan
kesulitan melihat matahari pada saat tidak ada awan?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau
kemudian bersabda, “Seperti itu juga kalian melihat Rabb kalian.”

Anas bin Malik berkata, “Manusia akan melihat Allah pada hari kiamat nanti dengan mata
kepala mereka.”

Orang Kafir Tidak Akan Melihat Allah

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati
mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari
(melihat) Rabb mereka. (Al-Muthaffifin: 14-15)

Dan salah satu bagian dari hukuman terbesar terhadap orang-orang kafir adalah mereka terhalang
untuk melihat Allah dan terhalang dari mendengar perkataan-Nya.
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i menjelaskan tentang ayat itu, “Ketika mereka itu terhalang dari
melihat Rabb mereka karena mereka dalah orang-orang yang dibenci atau dimurkai Allah, maka
ini menjadi bukti bahwa wali Allah itu akan melihat Allah karena Allah meridhai mereka.”

Lalu Ar-Rabi’ bertanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah benar engkau mengatakan demikian?” Ia
menjawab, “Ya, benar! Karena itu pulalah aku menundukkan diri diri di hadapan Allah. Kalau
saja Muhammad bin Idris tidak meyakini bahwa ia akan melihat Allah tentu ia tidak mau
menghambakan diri kepada-Nya.”

Amal Yang Diterima Allah

Oleh: Samin Barkah, Lc

Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda, “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niatnya dan tiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya,
maka ia akan mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulullah. Barang siapa yang
hijrahnya karena faktor duniawi yang akan ia dapatkan atau karena wanita yang akan ia nikahi,
maka ia dalam hijrahnya itu ia hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari-
Muslim)

Bunyi hadits di atas adalah:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل إِنَّ َما ْاألَ ْع َما ُل‬
َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬
ُ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل َس ِمع‬ ِ ‫ص ُع َم َر ْبنَ ْال َخطَّا‬
ِ ‫ب َر‬ ٍ ‫ير ْال ُمؤ ِمنِينَ أبي َح ْف‬ ِ ‫ع َْن أَ ِم‬
ْ‫ُصيبُهَا أَو‬ ِ ‫َت ِهجْ َرتُهُ ل ُد ْنيَا ي‬ ْ ‫َت ِهجْ َرتُهُ إِلَى هللا ورسوله فهجرته إلي هللا ورسوله َ َم ْن َكان‬ ْ ‫ئ َما نَ َوى فَ َم ْن َكان‬ ٍ ‫ت َوإِنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬ ِ ‫بِالنِّيَّا‬
)‫اري َو ُم ْسلِ ُم‬ َ‫ُخ‬ َ ُ َ ْ َ
ِ ‫إِلَى ا ْم َرأ ٍة يَن ِك ُحهَا ف ِهجْ َرتهُ إِلى َما هَا َج َر إِل ْي ِه ( َر َواهُ الب‬
َ

Tentang Hadits

Hadits ini hanya diriwayatkan oleh satu alur sanad, yaitu alur sanad Yahya bin Said Al-Anshari
dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari ‘Alqamah bin Abi Waqash Al-Laitsi, dari Umar bin
Khathab.

Setelah Yahya bin Said Al-Anshari inilah kemudian banyak ulama dan ahli hadits yang
meriwayatkan. Diriwayatkan lebih dari 200 orang rawi. Ada yang mengatakan bahwa yang
meriwayatkan dari Yahya ini sekitar 500 orang. Di antara ulama yang meriwayatkan dari Yahya
adalah Imam Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Ibnu Mubarak, Al-Laits bin Saad, Hamad bin Zaid,
Syu’bah, Ibnu ‘Uyainah dan ulama lainnya.

Para ulama sepakat mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits shahih.

Menurut Imam Ahmad bahwa hadits ini adalah satu dari tiga hadits dasar-dasar Islam. Imam
Syafii mengatakan bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu. Hadits ini masuk pada 70 bab fiqih.
Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Jika aku akan menulis satu bab, maka aku meletakkan hadits
ini pada tiap bab. Barang siapa yang mau menyusun buku, maka mulailah dengan hadits ini.

Para ulama lain juga selalu menyebutkan hadits ini pada mukadimah kitabnya, seperti Imam
Bukhari pada kitab Hadits Shahihnya. Karena itu pulalah penulis memulai rubrik ini dengan
hadits niat.

Penjelasan Hadits

Hadits ini menegaskan bahwa diterimanya amal perbuatan manusia tergantung keikhlasan
kepada Allah. Al-Qur’an juga menegaskan dalam surat Al-Bayyinah ayat 5 dan Az-Zumar ayat
2-3.

Ada dua penyakit hati yang bisa merusak amal manusia. Pertama adalah penyakit ujub dan yang
kedua adalah penyakit riya. Dua penyakit ini akan mengakibatkan amal perbuatan manusia tidak
bernilai.

Diriwayatkan oleh Al-Qasim bin Al-Mukhaimarah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak
akan menerima amal perbuatan yang di dalamnya masih terdapat riya walau sebesar biji sawi.”

Para ulama fiqih menegaskan bahwa niat adalah pembeda antara ibadah dan adat, membedakan
antara satu ibadah dengan ibadah lainnya; misalnya mandi, bisa mandi untuk kesegaran, untuk
kebersihan atau mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar atau mandi sunat shalat Jum’at.

Jadi, niat dalam Islam merupakan asas ibadah dan tempat niat itu ada di hati. Apabila seseorang
niat shalat atau puasa di dalam hati, tanpa dilafalkan oleh lisan, maka sudah cukup.

ٍ ‫( لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬seseorang akan


Ada ibadah-ibadah yang tidak dapat diwakili, karena ‫ئ َما ن ََوى‬
mendapatkan apa yang ia niatkan) dan apa pula beberapa ibadah yang boleh diwakilkan, seperti
zakat atau sembelih kurban atau menghajikan orang yang sudah meninggal.

Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengomentari ayat, ً‫ لِيَ ْبلُ َو ُك ْم أَيُّ ُكم أَحْ َسنُ َع َمال‬bahwa maksud dari amal yang
ihsan (paling baik) adalah amal yang akhlash (paling ikhlas) dan yang ashwab (paling benar).
Ada dua syarat diterimanya amal ibadah manusia, ikhlas dan benar. Amal perbuatan, termasuk
ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata tetapi pelaksanaannya tidak sesuai
dengan syariat Islam, maka amal tersebut tidak akan diterima Allah. Begitu juga sebaliknya, jika
perbuatan dan ibadah dilakukan sesuai dengan syariat, tetapi yang melaksanakannya tidak
semata-mata karena Allah, maka amalnya tidak diterima.

Seseorang yang niat ikhlas ketika membangun masjid, tetapi dana untuk membangun masjid
tersebut didapat dengan cara yang haram dan itu bertentangan dengan tuntunan agama, maka
amalnya ditolak Allah. Seseorang yang niatnya ikhlas untuk shalat Subuh, tetapi pelaksanaannya
sengaja dilebihkan rakaat karena semangat sampai 3 atau 4 rakaat, maka ibadahnya tidak
diterima Allah. Semua ibadah atau perbuatan yang niatnya baik, tetapi dilakukan tidak
berdasarkan syariat, maka tidak akan diterima oleh Allah. Begitu juga sebaliknya.
Itulah yang dimaksud dengan amal shalih seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 110 disebutkan,
“Barang siapa berharap berjumpa dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.

Umat Islam perlu memahami makna hijrah yang lebih luas, yaitu meninggalkan negeri yang
tidak dijalankan syariat ke negeri yang dijunjung syariat Islam. Selain ditentukan Allah dan
Rasul-Nya, keutamaan tempat juga ditentukan oleh penghuninya. Dan keutamaan muslim
ditentukan oleh ketaatan dan ketaqwaannya.

Abu Darda pernah mengirim surat kepada Salman Al-Farisi, “Berangkatlah ke sini, ke bumi
muqaddas, bumi yang suci.” Salman pun membalas surat itu dan mengatakan, “Sesungguhnya
bumi tidak akan membuat orang menjadi mulia, tetapi seorang hamba akan mulia dengan
amalnya.

Salman telah dipersaudarakan oleh Rasulullah saw dengan Abu Darda. Salman lebih menguasai
hukum fiqih daripada Abu Darda.

Untuk menguatkan pengertian ini, Allah menegaskannya ketika Dia berfirman kepada Musa a.s,
“Aku akan perlihatkan kepadamu bumi orang-orang fasik” (Al-A’raf: 145), yaitu negeri para
begundal bertubuh besar. Kemudian dengan perubahan penghuninya, negeri itu menjadi negeri
orang-orang beriman.

Sosial Kemasyarakatan

Penggunaan kata ‫ئ‬ ٍ ‫ َوإِنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬merupakan suatu ungkapan yang
ٍ ‫( ا ْم ِر‬seseorang) pada ‫ئ َما نَ َوى‬
tepat, karena ungkapan ini mencakup wanita dan pria. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak
membedakan antara pria dan wanita dalam menjalankan syariah, seperti juga disebut dalam surat
An-Nisa ayat 124, “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun
wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak
dianiaya walau sedikit pun.”

Islam mengarahkan peran sosial kepada tugas pria dan wanita secara proporsional seperti disebut
dalam surat At-Taubah ayat 71, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Tidak ada perbedaan pahala bagi pria atau wanita ketika beramal atau melakukan perbuatan baik.
Semuanya sama di sisi Allah, siapa yang beramal ikhlas dan sesuai syariat, pria atau wanita, pasti
akan mendapatkan kebaikan.

Ketika Barat memberikan kebebasan multak dengan emansipasinya kepada wanita atau Timur
yang membelenggu hak-hak wanita Islam, Islam justru meletakkan wanita pada tempat yang
layak sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Islam tidak membelenggu kebebasan dan
kemerdekaan wanita dan juga tidak melepaskannya sama seperti pria, tanpa memperhatikan
kodrat kewanitaan yang berbeda dengan pria, seperti haidh, melahirkan, menyusui dan lain-lain.

ْ ‫ فَ َم ْن َكان‬menunjukkan
Dari ungkapan Rasulullah saw. “‫َت ِهجْ َرتُهُ إِلَى هللا ورسوله فهجرته إلي هللا ورسوله‬
bahwa perintah hijrah pada masa Rasulullah saw. adalah perintah yang sangat penting dan
melaksanakan perintah tersebut merupakan bagian dari strategi politik dakwah. Allah
memerintahkan Rasulullah dan sahabat untuk membina masyarakat Islam di kota Yatsrib.

Hijrah secara bahasa berarti “tarku” (meninggalkan). “Hijrah ila syai” berarti “intiqal ilaihi ‘an
ghairi” (berpindah kepada sesuatu dari sesuatu).
Menurut istilah, hijrah berarti “tarku maa nahallahu ‘anhu” (meninggalkan sesuatu yang
dilarang Allah)

Hijrah menurut sejarah penetapan hukum (tarikh tasyri) adalah berpindahnya kaum muslimin
dari kota Mekah ke kota Madinah, dan juga dari kota Mekah ke kota Habasyah.

Pengertian hijrah secara khusus dibatasi hingga penaklukan kota Mekah. Setelah itu hijrah
dengan makna khusus sudah berakhir, maka tinggallah perintah hijrah dengan makna umum,
yaitu berpindah dari negeri kafir ke negeri iman. Makna kedua ini berlaku setelah penaklukan
kota Mekah.

Hijrah dalam sejarah perjuangan Rasul merupakan strategi dakwah Islam. Para sahabat
berlomba-lomba melakukan hijrah, baik dari kota Mekah maupun dari negeri dan kawasan
sekitar Mekah, karena mereka memahami bahwa hijrah adalah bagian dari syariat dan strategi
dakwah Rasul.

Melaksanakan perintah hijrah merupakan bagian dari strategi politik dakwah dan hukumnya
wajib bagi para sahabat yang berada di luar kota Madinah. Allah memerintahkan Rasulullah saw
dan sahabat untuk membina masyarakat Islam di kota Yatsrib. Hijrah dalam sejarah perjuangan
Rasul merupakan strategi dakwah Islam. Para sahabat berlomba-lomba melakukan hijrah, baik
dari kota Mekah maupun dari negeri dan kawasan sekitar Mekah, karena mereka memahami
bahwa hijrah adalah bagian dari syariat dan strategi dakwah Rasul.

Rasulullah saw. menjanjikan pahala yang besar bagi yang berhijrah dan menjadi catatan atau aib
jika seorang muslim tidak berhijrah. Semangat hijrah adalah semangat mentaati pemimpin dan
semangat melaksanakan kebijakan dakwah. Kesempatan untuk mendapatkan keutamaan hijrah
pun dibatasi dengan takluknya kota Mekah. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada lagi hijrah
setelah penaklukan kota Mekah. Yang masih ada adalah jihad dan niat.” Kenapa, karena memang
strategi hijrah pada masa Rasul saat itu adalah mengumpulkan kekuatan dari kota Mekah ke kota
Madinah.

Disebutkan dalam riwayat dengan sanad yang lemah dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Suatu
perkataan tidak akan bermanfaat kecuali dengan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan tidak
bermanfaat kecuali dengan niat. Tidak akan bermanfaat suatu perkataan, perbuatan dan niat
kecuali jika sesuai dengan syariat Islam.”
Kerja dakwah yang sangat besar ini harus dipikul oleh banyak orang. Agar lebih rapih dan
hasilnya maksimal, maka diperlukan pembagian kerja yang proporsional. Sehingga setiap job
dan lapangan dakwah diisi oleh orang yang paham dan ahli. Jenis job dan pekerjaan itu sendiri
tidaklah sama antara satu dengan yang lain. Ada yang menjadi pemimpin, ada yang dipimpin.
Ada panglima, ada tentara. Ada ketua, ada anggota. Ada yang menjadi panitia, ada yang menjadi
penceramah. Ada yang tampil, ada yang tidak tampil. Ada yang memimpin rapat, ada yang
menyiapkan teh dan seterusnya. Semua di sisi Islam adalah sama, yaitu ibadah dan taat kepada
Allah. Semua itu bergantung pada niat pelakunya. Jika semua bekerja dengan niat yang ikhlas,
maka bangunan Islam akan tampak megah dan menarik. Tetapi jika masing-masing ingin tampil
dan ingin dikenal, maka akan terlihat Islam penuh dengan umat yang saling baku hantam satu
dengan yang lain.

Sangat bijak apa yang dikatakan oleh Ibnu Mubarak, “Berapa banyak pekerjaan yang kecil dan
ringan, tetapi menjadi besar pahalanya karena niat. Dan berapa banyak pekerjaan yang besar,
tetapi menjadi tidak bernilai karena niatnya tidak ikhlas.”

Penutup

Pemahaman yang luas dan dalam terhadap ajaran Islam dapat menjaga dan meningkatkan
ma’nawiyah. Keikhlasan tidak boleh bergantung kepada orang lain, tetapi berdasarkan
pemahaman bahwa Allahlah yang melihat, memberi balasan dan menghukum, bukan orang lain.

Jika kita menyaksikan saudara muslim kita yang lebih senior melakukan kekhilafan atau
melanggar komitmen, maka hal itu tidak akan mengendorkan semangat dan keikhlasan dalam
bekerja. Atau jika aktivis sudah banyak berbuat untuk dakwah, maka keikhlasannya tidak akan
terganggu dan rusak hanya karena diberikan jabatan atau tidak.

Jika aktivis dakwah melihat para yuniornya tidak menghormati dan tidak menghargainya, maka
dengan niat yang ikhlas dia tidak akan tersinggung, karena dia yakin bahwa apa yang pernah ia
lakukan akan dicatat dan diberikan ganjaran oleh Allah, diketahui manusia atau tidak. Disebut-
sebut oleh manusia atau tidak.

Keikhlasan janganlah dijadikan alasan untuk tidak profesional dan tidak mau tampil.
Profesionalisme merupakan karakter hamba yang dicintai Allah dan merupakan tuntutan amal
da’wi dan amal tarbawi. Dengan kepribadian dan dengan profesionalisme seseorang dituntut
untuk tampil ke depan agar masyarakat melihat citra Islam yang baik.

Gerakan dakwah harus memiliki tokoh dan sekarang saatnya bagi aktivis dakwah untuk
ditokohkan di masyarakat melalui berbagai sarana. Masyarakat kita memerlukan tokoh bersih
dan idealis. Semua upaya memunculkan tokoh janganlah dibenturkan dengan keikhlasan.
Pemunculan tokoh dalam tiap bidang adalah bagian dari kerja dakwah jangka menengah dan
jangka panjang. Proses ke sana itu harus dilakukan dengan profesional.

Penutup kalam bahwa ikhlas adalah salah satu rahasia Allah yang tidak dapat diketahui oleh
manusia, kecuali Allah saja dan orang yang bersangkutan. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk
menilai seseorang, ikhlas atau tidak ikhlas. Wallahu a’lam.
Aku Akan Menuju Surga

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

Duduknya gelisah! Sesekali wajahnya di arahkan ke langit! Beberapa hari belakangan ini
pemuda dari kabilah Aslam itu selalu termenung sendirian. Agaknya dia sedang sibuk
memikirkan sesuatu yang membebani hatinya. Pemuda dengan tubuh atletis, kuat, gagah, dan
penuh enerjik itu belum dapat jawaban tentang pertanyaan yang selalu menggelayuti pikirannya.
Tentang satu keinginan yang tidak lumrah di usianya yang terbilang masih belia. Keinginannya
untuk hadir di barisan para mujahid fi sabilillah. Hanya itu! Ya…hanya itu. Di kepalanya hanya
tersembul satu pertanyaan,”Adakah jalan yang lebih afdhal dan lebih mulia dari jihad
fisabilillah?” Rasa-rasanya tak ada. Sebab itulah satu-satunya jalan jika memang benar-benar
telah menjadi tujuan dan niat suci untuk mencari restu dan ridha Allah.

“Demi Allah, inilah satu kesempatan yang sangat baik”, kata hati pemuda itu. Ya….sebab di
sana, serombongan kaum muslimin sedang bersiap menuju medan jihad fisabilillah. Sebagian
sudah berangkat, sebagian lagi baru datang, dan akan segera berangkat. Semuanya
menampakkan wajah senang, pasrah, dan tenang dengan satu iman yang mendalam. Wajah-
wajah mereka membayangkan suatu keyakinan penuh, bahwa sebelum ajal datang, berpantang
mati. Maut akan datang dimanapun kita berada, yakin bahwa umur itu satu. Kapankah sampai
batasnya? Hanya Allah yang Maha Tahu. Bagaimana sebab dan kejadiannya? Takdir Allahlah
yang menentukan. Maut, adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Dia pasti datang menjemput
manusia. Entah di saat sedang duduk, diam di rumah, atau mungkin ketika dalam perlindungan
benteng yang kokoh, mungkin pula sedang bersembunyi di suatu tempat, di gua yang gelap, di
jalan raya yang ramai, atau di medan peperangan. Bahkan bukan mustahil maut akan menjemput
kala manusia sedang tidur, di atas tempat tidurnya. Semua itu hanya Allah yang berkuasa, dan
berkehendak atasnya. Menunggu kedatangan maut memang masa-masa yang paling
mendebarkan jiwa. Betapa tidak? Hanya sendiri ini yang dapat dibawa menghadap Penguasa
yang Esa kelak. Medan juang fisabillah tersedia bagi mereka yang kuat. Penuh keberanian dan
keikhlasan mencari ridho Allah semata. Mereka yang berjiwa suci di tengah-tengah tubuh yang
perkasa. Angan-angan ikhlas yang disertai hati yang bersih.

Memang, saat itu keberanian telah menjiwai setiap kalbu kaum muslimin. Panggilan dan
dengungan untuk jihad fisabilillah merupakan harapan dan tujuan mereka. Mereka yakin di balik
hiruk-pikuknya peperangan, Allah telah menjanjikan imbalan yang setimpal. Selain dengan itu
dia dapat membersihkan jiwanya dari berbagai noda. Baik noda-noda aqidah, niat-niat jahat,
perbuatan ataupun kekotoran muamalah yang lain. Pengorbanan mereka di medan jihad
menunjukkan keluhuran budi. Semua sesuai dengan seruan Allah ’mukhlishiina lahudiini’ hanya
untuk Allah semata. Pantas menjadi contoh dan teladan, bahkan sebagai mercusuar yang
menerangi dunia dan isi alam semesta.

Itulah renungan hati pemuda Aslam yang gagah itu. Sepenuh hati dia berkata seolah kepada diri
sendiri. “Harus! Harus dan mesti aku berbuat sesuatu. Janganlah kemiskinan dan kefakiran ini
menjadi hambatan dan penghalang mencapai tujuanku.” Mantap, penuh keyakinan dan semangat
yang tinggi pemuda tersebut menggabungkan diri dengan pasukan kaum muslimin. Usia pemuda
itu relatif masih muda, namun cara berfikir dan jiwanya cukup matang, kemauanya keras,
ketangkasan dan kelincahan menjadi jaminan kegesitannya di medan juang. Namun mengapa
pemuda yang begitu bersemangat itu tak dapat ikut serta dalam barisan pejuang? Sebabnya
hanya satu. Dia tidak mempunyai bekal dan apapun yang dapat dipakainya berperang karena
kemiskinan dan kefakirannya. Sebab pikirnya, tidak mungkin terjun ke medan jihad tanpa
berbekal apapun. Tanpa senjata dia tidak mampu melakukan apapun. Bahkan dia tidak akan bisa
berbuat apa-apa. Jangankan berperang, untuk menyelamatkan diri saja, tidak mampu.

Inilah daftar pertanyaan panjang yang selalu menjadikan pemuda itu tak henti berpikir. Otaknya
selalu disibukkan dengan satu lintasan, satu pertanyaan, bagaimana saya dapat berlaga di medan
jihad? Setelah tidak juga dicapainya pemecahan, dia pergi menghadap Rasulullah saw.
Diceritakan semua keadaan dan penderitaan serta keinginannya yang besar. Dia memang miskin,
fakir dan menderita, namun dia tidak mengangankan apapun dari keikutsertaannya di medan
perjuangan. Dikatakannya kepada Rasulullah saw, bahwa dia tidak meminta berbagai pendekatan
duniawi kepada Rasulullah. Dia hanya menginginkan bagaimana caranya agar dia dapat masuk
barisan pejuang fisabilillah.

Mendengar hal demikian, Rasulullah bertanya, setelah dengan cermat meneliti dan memandang
pemuda tersebut: “Hai pemuda, sebenarnya apa yang engkau katakan itu dan apa pula yang
engkau harapkan?” “Saya ingin berjuang, ya Rasulullah!” Jawab pemuda itu. “Lalu apa yang
menghalangimu untuk melakukan itu”, Tanya Rasulullah saw kemudian. “Saya tidak mempunyai
perbekalan apapun untuk persiapan perjuangan itu ya Rasulullah”, Jawab pemuda tersebut terus
terang. Alangkah tercengangnya Rasulullah mendengar jawaban itu. Cermat diawasinya wajah
pemuda tersebut. Wajah yang berseri-seri, tanpa ragu dan penuh keberanian menghadap maut,
sementara di sana banyak kaum munafiqin yang hatinya takut dan gentar apabila mendengar
panggilan untuk berjihad fisabilillah.

Demi Allah! Jauh benar perbedaan pemuda itu dengan para munafiqin di sana. Kaum munafiqin
yang dihinggapi rasa rendah diri, selalu mementingkan diri-sendiri. Mereka tidak suka dan tidak
mau memikul beban dan tanggung jawab demi kebenaran yang hakiki. Kaum yang tidak senang
hidup dalam alam kedamaian dan ketentraman dalam ajaran agama yang benar. Mereka lebih
suka berada dalam hidup dan suasana kegelapan dan kekalutan. Ibarat kuman-kuman kotor, yang
hidupnya hanya untuk mengacau dan menghancurkan apa saja.

Celakalah mereka yang besar dan berbadan tegap namun licik dan kerdil pikiran serta hatinya.
Kebanggaanlah bagimu hai pemuda! Semoga Allah banyak menciptakan manusia-manusia
sepertimu. Yang dapat menjadi generasi penerusmu. Yang akan menjunjung tinggi izzul Islam
wal muslimin, dengan akhlak yang mulia menuju li’illai kalimatillah. Benar, kaum muslimin
sangat mendambakan para jiwa yang demikian. Jiwa yang besar penuh keyakinan, dan juga
keberanian yang mantap. Sepantasnyalah pemuda seperti dari kabilah Aslam itu mendapat segala
keperluan serta keinginanya untuk melaksanakan hasratnya ke medan jihad. Rasulullah saw
akhirnya berkata kepada pemuda Aslam tersebut: “Pergilah engkau kepada si Fulan! Dia yang
sebenarnya sudah siap lengkap dengan peralatan perang tapi tidak jadi berangkat karena sakit.
Nah pergilah kepadanya dan mintalah perlengkapan yang ada padanya.” Pemuda itu pun
bergegas menemui orang yang ditunjukkan Rasulullah saw tadi. Katanya kepada si Fulan:
“Rasulullah saw menyampaikan salam padamu dan juga pesan. Beliau berpesan agar
perlengkapan perang yang engkau miliki yang tidak jadi engkau pakai pergi berperang agar
diserahkan kepadaku.” Orang yang tidak jadi berperang itu dengan penuh hormat merespon
perintah Rasulullah saw sambil mengucapkan: “Selamat datang wahai utusan Rasulullah! Saya
hormati dan taati segala perintah Rasulullah saw.” Segera dia menyuruh istrinya untuk
mengambil pakaian dan peralatan perang yang tidak jadi dipakainya. Diserahkan semuanya pada
pemuda kabilah Aslam tadi. Sambil mengucapkan terima kasih pemuda tersebut menerima
perlengkapan itu. Sebelum dia berangkat dan meninggalkan rumah itu, pemuda tersebut sempat
berucap: “Terima kasih yang sebesar-besarnya. Anda telah menghilangkan seluruh duka dan
keputusasaanku. Bagimu pahala yang besar dari Allah yang tiada tara.

Terima kasih………Terima kasih.” Pemuda suku Aslam itu kemudian keluar dengan riang. Raut
wajahnya menyiratkan kegembiraan yang luar biasa. Dengan berlari-lari dia meningalkan rumah
orang tersebut.

Di tengah jalan pemuda tersebut bertemu dengan salah seorang temannya yang terheran-heran
dengan ekspresi kegembiraan pemuda tadi. Kemudian temannya bertanya: “Hai, hendak kemana
kau?”, “Aku akan menuju jannatil firdaus yang seluas langit dan bumi”, Jawab pemuda itu
singkat, mantap penuh keyakinan.

Sepucuk “Hidayah” Buat Seorang Sahabat

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

dakwatuna.com - “Celakalah Khalid. Semoga tuhan Romawi melaknatnya.” Sumpah serapah


itu keluar dari mulut Argenta seraya menarik tali kekang kudanya meninggalkan medan perang
yang masih berdebu. Samar-samar terlihat ribuan tentara Romawi mulai mengambil langkah
seribu.

Argenta masih terengah-engah menahan lelah setelah seharian bertempur. Jiwanya masih


terguncang menghadapi kenyataan pahit kekalahan pasukannya, ditambah lagi sebuah peristiwa
tragis masih membekas di pelupuk matanya. Ketika Argenta harus menyudahi duel mautnya
melawan orang yang selama ini amat disegani, seorang jenderal, panglima perang sekaligus
seorang sahabat yang selama ini menjadi atasannya. Gregorius Theodorus, panglima Romawi
yang menjadi muslim tewas di ujung pedang bawahannya sendiri, Argenta.

“Lari, ini instruksi Kaisar Heraklius!!! Kita harus mundur ke Armenia. Berlindung dengan
pasukan panah.” Margiteus resah. Topi besi yang menutupi kepalanya melorot sepertiganya.
Upaya evakuasi itu sungguh melelahkan.

“Apa yang terjadi dengan Gregorius?”


“Dia sudah mati.”

“Oh, malang benar orang itu.”

Dia seorang muslim,” imbuh Margiteus getir sambil mengusap-usap pedang panjangnya.

“Hah, mustahil. Mana mungkin! Dia seorang Kristiani yang taat.”

“Aku telah membunuhnya.” Argenta terduduk lesu

“Cuma aku kesal dan menyesal, kenapa bisa seorang panglima ulung yang pernah dimiliki
bangsa Romawi harus mati di ujung mata pedangku.”

“Siapa yang akan menggantikannya?”

“Wardan.”

“Hah!!? Orang itu tahu apa tentang perang!” Argenta merasa sangat kecewa.

“Dia veteran perang wilayah tengah dulu. Kaisar Heraklius yang memberi restu.”

“Bodoh benar! Kenapa posisi strategis diberikan kepada veteran yang sakit. Orang itu tahunya
cuma bagaimana bisa kabur. Si Pengecut itu mana mungkin mampu menahan gempuran pedang
orang Islam.”

Bunga-bunga api terpecik dari ranting kering yang coba disulut Argenta. Bara api menjalar-jalar
hampir menyentuh sepatu kulit lembunya yang berdebu tebal.

“Kita pernah menaklukkan sepertiga dunia. Tapi kita kalah dari orang-orang Khalid yang
berperang tanpa baju besi. Ini salah siapa? Merekakah yang kuat atau kita terlalu lemah!?”

“Mereka tak takut mati. Mereka menyukai mati seperti halnya kita menyukai hidup ini.”

“Kau pernah melihat Khalid.”

“Pernah. Dua kali. Pertama sewaktu aku melakukan tugas pengintaian di Parsi. Kedua saat dia
bertarung dengan Gregorius sebelum dia memeluk Islam.”

“Berjanjilah atas kebenaran wahai sahabatku, Margiteus. Apakah begitu gagah manusia bernama
Khalid itu?”

“Pernahkah kau mendengar cerita para tentara Romawi mengenai kegagahan Khalid.” Margiteus
tersenyum getir. Dia menghela nafas, lesu sambil melempar pandangan jauh ke gugusun bintang-
bintang yang menghias cakrawala.
Argenta mengerutkan keningnya. Rasa ingin tahunya menyelinap ke seluruh penjuru batok
kepalanya. Menumbuhkan tanda tanya.

“Tuhan mereka telah menurunkan sebilah pedang dari langit kepada Nabi Muhammad lalu
diserahkannya kepada Khalid. Dan setiap kali Khalid menarik pedangnya dia menjadi perwira
tidak terkalahkan. Tiada lawan yang dapat mengalahkannya sehingga mendapat gelar ‘Pedang
Allah’ dari Nabinya.”

Argenta terpana sendirian. Kagumnya menelusup mendengar cerita-cerita yang selama ini
menjadi gunjingan teman-teman seperjuangannya. Malah menjadi igauan para kaisar di
imperium Romawi.

Bagaimanakah para tentara Parsi yang berbesi pemberat di kaki, agar mereka tidak lari dari
medan perang, namun bisa hancur luluh oleh pasukan Khalid? Dia telah menguasai jalur
perniagaan di kota Tadmur dan menguasai Qaryatain di wilayah Homs. Kemudian satu persatu
wilayah Syria jatuh ke tangan mereka. Hawarin, Tsaniat-Iqab dan Busra. Semua lebur. Porak
poranda. Hancur. Pasukan semut menumpaskan bala tentara gajah. Musibah apakah yang tengah
menimpa imperiumku ini?

“Pedang Allah, dongengmu memang hebat. Mungkin hanya aku seorang dari ribuan pejuang
Romawi yang tidak mempercayainya.” Ketus Argenta menahan amarah. Margiteus sudah
bangun dari tidurnya, dia menyarungkan pedangnya ke sisi kuda perang yang tengah asyik
memamah santapan rumput hijau. Margiteus tampak lesu. Mungkin sesuatu yang berat sedang
dipikirkan. Episode perang esok, entah apa yang akan terjadi?

***

Perang di bumi Yarmuk bertambah hebat tatkala masuk hari kedua. Ada prestise yang perlu
dipertahankan. Pasukan perang Romawi sekuat tenaga mempertahankan Syria, wilayah
kekuasaannya di sebelah timur. Sementara para pejuang Islam membawa misi membebaskan
Syria dari cengkeraman pejajahan Romawi di samping tugas berat menyebarkan dakwah
Islamiah.

Khalid dengan lantang menggelorakan semangat jihad. Semangat jihad yang bagaikan suatu
keajaiban telah dapat mengalahkan 240.000 pasukan Romawi walau hanya dengan kekuatan
39.000 tentara Islam yang berani berkorban demi agama mereka.

Argenta menjadi gentar dan seperti tak bernyali lagi menghadapi kehebatan tentara Islam yang
terus menggempur, menyerbu dan merangsek bagaikan air bah yang pantang surut. Namun
bukan berjiwa ksatria namanya kalau harus menerima begitu saja kenyataan pahit itu. Tatkala
Argenta merasakan ada titik-titik kelemahan dari tentara Islam disitulah upaya serangan balik
dilakukan. Mereka menghantam sayap kiri dan sayap kanan barisan kaum muslimin. Sementara
pertempuran semakin memanas, Margiteus seperti tak terlihat kehadirannya di sana, dia lenyap
dalam hiruk pikuk Yarmuk.
“Wahai tentara Romawi, rekan-rekanku pembela kaisar yang setia. Perang ini adalah perang
tanding satu tentara Khalid lawan enam pasukan Romawi. Kalian bukan anak-anak Romawi
kalau mati di tangan mereka yang sedikit dan lemah itu.” Argenta meniup semangat pasukannya.

Medan pertempuran semakin bergolak, kepulan debu, dentingan pedang seakan tak pernah
berhenti. Sesekali terdengar jeritan satu dua tentera meregang nyawa, dalam erangan panjang
yang memilukan. Ya! Perang memang sesuatu yang kejam, seperti tak ada ruang untuk diberi
belas kasihan. Benarlah, dalam perang rasa kemanusiaan seakan sudah mati!

“Kaisar Heraklius melarikan diri ke Constantinople.” Teriak salah seorang tentara Romawi di
tengah berkecamuknya perang itu. Laungan teriakan itu timbul tenggelam seakan ditelan
kalutnya pertempuran, nyaris tidak diketahui dari mana asal suara itu. Hal ini menjadi hantaman
dahsyat yang meredupkan semangat juang para tentara Romawi. Seorang Kaisar merangkap
panglima tertinggi melarikan diri! Tragis!!! Suatu tindakan sangat pengecut, setidaknya itu yang
ada di benak Argenta.

Dampaknya mulai terasa, luar biasa. Tentara Romawi mulai gentar. Mereka tidak lagi memiliki
garis komando di medan tarung itu. Daya tempur merosot drastis. Mereka mulai berhitung bila
melanjutkan perang, nyawa melayang atau menjadi tawanan tentara Islam. Akhirnya banyak
diantara mereka yang memilih undur diri. Nyawa lebih penting!

“Bukan kaisar saja yang begitu. Semua panglima sama saja. Membiarkan tentaranya bertempur
di barisan depan. Sementara mereka mengambil posisi di barisan belakang. Mereka dapat dengan
leluasa melarikan diri. Mengapa mereka menjadi penakut seperti itu. Ingat! Kita berjuang demi
Romawi dan diri kita sendiri. Bukan demi Kaisar.” Argenta memprotes semangat pasukan
Romawi yang mulai luntur.

“Jangan coba-coba durhaka kepada Kaisar. Kaisar banyak tugas yang harus ditunaikan. Kita
dalam keadaan terjepit sekarang. Tidak ada yang mengatur strategi. Apatah lagi mendeteksi
taktik musuh dan memompa semangat para tentara. Kita terpaksa mundur juga.” Sergah seorang
tentara menegur Argenta yang merasa kecewa. Rasa iba muncul dalam dirinya. Diakui memang
sukar mencari tipikal prajurit Romawi sekaliber Argenta kini. Tapi apalah daya, sedangkan
Kaisar sendiri melarikan diri. Apalah yang diharapkan para tentara kini, yang mereka tahu hanya
menjunjung perintah. Tanpa jati diri yang teguh.

“Perhatian! Perhatian! Tentara Khalid menyerang dari belakang!” Teriakan itu membuyarkan
lamunan para tentara Romawi itu. Argenta mulai beringsut dibelakang kuda warna coklat gelap,
mencoba membalap kuda tentara tersebut.

“Lihat di medan sana.” Argenta menoleh sambil memastikan letak yang ditunjuk itu. Dari
kejauhan peperangan masih berlangsung walaupun tidak sehebat tadi karena banyak tentara
Romawi yang sudah melarikan diri. Yarmuk bergolak lagi.

“Kenapa? Ada apa?”


“Lihatlah manusia yang paling di depan di kalangan mereka. Itulah Khalid.” Bola mata Argenta
gesit membidik sasarannya. Terekam kegagahan Khalid di kelopak matanya. Khalid sedang
melaju dengan kudanya. Paling terdepan dan paling piawai berkuda. Dia menangkis setiap
hambatan di depannya sambil melaungkan kalam Allah, mengobarkan jihad para pejuangnya.
Dia menebas leher-leher musuh. Baginya tak mengenal kamus mundur atau pun takut. Mengapa
tidak ada perwira Romawi seperti dia?”

“Ketua mereka bertempur paling depan tetapi mengapa bukan Kaisarku yang bertempur paling
depan. Inikah yang dikatakan pembela rakyat dan penerus imperium Romawi. Kini tidak saja
terdengar kebobrokan orang-orang Istana di Eropa, tapi juga semuanya telah menular ke seluruh
pelosok dunia. Pemerintahan Tiranik! Pemeras airmata dan darah rakyat. Apakah ini balasan
Tuhan kepada imperium Romawi?”

Tanpa sadar air mata Argenta menetes. Inilah perasaan terhina yang baru pertama kalinya
dirasakan. Kecintaannya kepada Romawi sangat tinggi. Ketaatannya kepada Kaisar tiada
berbagi. Mengapa harus dibayar pengorbanan para tentaranya dengan sikap pengecut para
atasannya. Kuda dipacu Argenta secepat-cepatnya. Biarlah kesengsaraan ini harus ditanggung
terbang bersama deru angin. Dia pasrah. Samar-samar terlihat kota Damascus berdiri megah.
Apakah kota ini sekokoh dulu? Argenta makin terbawa dalam lamunannya.

Pasukan Romawi kalah telak di tangan kaum muslimin. Mereka kehilangan 50,000 orang
tentaranya. Rata-rata mereka mencari perlindungan di Damascus, Antokiah dan Caesarea serta
ada juga yang turut mabur bersama Kaisar Heraklius ke Constantinople. Pertempuran sehari itu
meninggalkan satu catatan buruk dalam sejarah perang Romawi yang sulit dihapus dalam
sejarahnya. Mereka harus bertekuk lutut dengan pasukan yang bilangannya jauh kecil dengan
peralatan perang yang jauh tertinggal dibanding mereka.

***

Pasukan Romawi semakin terdesak. Kota Damascus dengan mudah jatuh ke pangkuan kaum
muslimin. Kota itu diserbu tatkala Raja Jabala IV  mengadakan jamuan kelahiran anak lelakinya.
Khalid bersama beberapa orang tentara Islam berhasil memanjat tembok kota sekaligus
membuka pintu gerbang al-Syarqi dan al-Jabiat. Panglima Vartanius yang mengepalai tentara
Romawi di Kota Damascus terpaksa melarikan diri ke Homs bersama sisa-sisa tentaranya. Raja
Jabala IV terpaksa mengirim utusan damai dan memilih membayar jizyah kepada kaum
muslimin. Argenta melarikan diri ke Antokiah.

“Argenta, ada surat dari sahabatmu, Margiteus,” Seorang lelaki yang telah berumur memberikan
sepucuk surat kepada Argenta. Langsung wajah Margiteus membayangi hampir seluruh
pikirannya di pagi yang cerah di Antokiah. Bukankah Margiteus sudah ditawan di Yarmuk dulu?
Dia masih belum mati?

Argenta,

Sungguh pun surat ini mungkin menimbulkan tanda tanyamu tapi percayalah aku di sini
senantiasa sehat dan sentosa di bawah lindungan Allah.
Aku masih hidup. Aku tidak seburuk yang kau gambarkan. Aku diberi makan sebagaimana
makanan mereka. Aku tidak dikuliti atau dibelenggu kaki dan tangan untuk diinterogasi.
Mungkin dengan inilah menyebabkan aku mengenal Allah swt yaitu Tuhanku dan juga Tuhanmu
walau waktunya mungkin sangat singkat.

Sahabatku, aku tidak dalam tekanan. Aku tidak dalam keadaan dipaksa sebagaimana biasa
dilakukan pemerintah Romawi yang menyeret paksa rakyat dengan kuda karena menunggak
pajak. Ada ketenangan di sini sehingga aku bisa mengenal siapa sesungguhnya diriku, tujuan
hidup dan agamaku yang satu. Semuanya jelas dan terbentang indah di benak sanubari ini.

Argenta,

Khalid tidak sekejam yang kau gambarkan. Dia mungkin keras dan garang di medan juang.
Tapi dia masih mampu mengulur roti kepada tawanan yang tahu arti menghormati. Raut
mukanya tenang menyiratkan keteduhan jiwanya, hal itulah yang membuat siapa saja tidak
menyangka kalau dia itu Khalid, panglima Islam paling agung. Percayalah!

Kau ingat juga kan dongeng tentang Khalid? Pedang yang konon diturunkan dari langit. Itu
semua dusta. Mungkin itu hanya cerita para penakut yang muncul dari para lawan tarungnya
setiap kali berhadapan dengan pedangnya. Pedang Khalid hanya besi yang ditempa seperti
pedang lain. Tidak ada yang istimewa. Khalid dahulu juga seperti kita. Dia penentang Islam
dan Rasulnya. Setelah mendapat hidayah dia beriman. Gelar Pedang Allah hanyalah doa Nabi
Muhammad ke atasnya bahwa dia adalah pedang di antara sekian banyak pedang Allah,
terhunus buat menghadapi orang musyrik. Nabi Muhammad mendoakan agar Khalid senantiasa
menang di setiap perang yang diikutinya.

Argenta,

Kau tentu bertanya apa yang menyebabkan aku memilih Islam. Bukan saja karena kebenaran
ajarannya tetapi karena keluhurannya. Aku bertanya pada Khalid. Bagaimana kedudukanku
seandainya aku memeluk Islam dibanding dengan dirinya yang sudah bertahun-tahun memeluk
Islam. Jawabannya sama saja di sisi Allah malah mungkin lebih mulia darinya sebaik ungkapan
syahadah di bibir dan diyakini di dalam hati. Aku sungguh takjub. Sampai sebegitukah?
Tanyaku mana mungkin jadi seperti itu. Kata Khalid dia pernah hidup bersama Nabi dan
menyaksikan keajaiban dan petanda keRasulan dan kebenarannya sedangkan orang setelahnya
dapat menerima Islam walaupun tidak pernah menyaksikan dan berjumpa dengan Baginda,
maka tentunya dia lebih mulia.

Mungkin kau menuduhku sebagai pengagum Khalid. Mungkin tuduhanmu itu benar. Tapi
percayalah aku mengagumi perjuangannya bukan jasadnya. Cintanya sangat tinggi kepada
Allah dan Rasulnya. Itulah yang membuatnya tidak gentar menghadapi musuh. Dia ingin benar
mati di medan perang. Tidak seperti kita yang sungguh takut akan kematian karena kecintaan
kepada dunia ini. Aku bertanya-tanya. Kalau begitulah kondisi Khalid. Tentu sungguh agung
sekali agama dan pegangan yang dianutnya. Dia setia, jujur, luhur, optimis dan seorang genius
perang. Sesuatu yang sukar dicari dalam diri kita sendiri.
Argenta,

Sudilah aku menyeru kepadamu ke jalan kebenaran yang hakiki. Aku tahu selama ini kau
dibelenggu ketaatan kepada Romawi. Aku masih sayang akan Romawi seperti juga kau. Islam
tidak memisahkan kita dengan Romawi. Islam bukannya milik bangsa Arab. Di sini aku ketemu
orang-orang hitam dari benua Afrika yang selama ini kita anggap hanya layak mengangkat tahi
para petinggi kita, atasan kita. Di sini segalanya sama lantas inilah yang menyadarkan aku
tentang arti kemuliaan insan yang tidak kita temui di Romawi.

Kita tetap sahabat. Agamaku tidak memutuskan rasa kasihku kepadamu. Kau tetap seorang
sahabat yang akan ku kenang selagi hayat ini di kandung badan. Cuma aku harap persahabatan
ini lebih manis kiranya dapat kau membuka hatimu menerima hidayah-Nya. Semoga Allah
menemukan kita, sahabat. Wassalam.

Margiteus

Argenta meremas surat itu di tangan. Ada kepedihan menjalar ke ulu hatinya. Sakit dan perih.
Apakah ini benteng egoisme paling tinggi yang berusaha ditahannya atau gelombang pembelotan
dari sahabat sejatinya. Argenta mengepalkan tangan membiarkan tulang temulang jarinya
berderap.

***

Pasukan Islam menuju utara Syria yang dipertahankan Kaisar Heraklius. Kota Homs jatuh
bertekuk lutut sebagaimana pasukan Romawi di Balbek ditumpas abis. Bertempurlah kaum
muslimin di kota Aleppo yang terkenal sangat tangguh pertahanannya selama berabad-abad. 
Allah menolong kaum muslimin dengan kemenangan yang dijanjikan-Nya. Pasukan Romawi
akhirnya mundur ke benteng terakhir di Antokiah. Tentara Romawi diperintah membuat
serangan habis-habisan mempertahan kota. Mereka digempur habis-habisan oleh pasukan
Khalid.

Argenta memerah keringat di medan perang. Dia mengayunkan pedangnya sesuka hati. Tidak
berpikir lagi sabetan itu kena musuh atau kawan. Hatinya terbagi dua. Satu sisi terbetik di
hatinya kebenaran kata-kata Margiteus tetapi egoismenya masih mengatasi segala-galanya.

“Argenta! Kuasa Allah telah menemukan kita.” Argenta menoleh. Ditatapnya manusia di
hadapannya. Gagah dengan (niqob) cadar hitamnya. Darah yang mengalir di sekitar kening
menyulitkannya mengenal dengan pasti orang bercadar itu. Pedang berukir matahari menyadarka
tanda tanya Argenta.

“Kau Margiteus”

“Apa kabar sahabatku.” Margiteus tersenyum menatap sahabatnya. Argenta merasa terpukul
dengan ketenangan yang tergambar di wajah sahabatnya itu. Nampak jelas dia bahagia sekali
dengan kehidupannya kini. Penuh keyakinan.
“Pembelot, kau mengkhianati bangsa Romawi,” Argenta berusaha memancung kepala
Margiteus. Margiteus tenang menahan diri. Mereka saling beradu pedang. Sesekali pedang
mereka bersilang. Margiteus dengan tenang terus mendakwahi sahabatnya.

“Berimanlah kepada Allah, sahabatku. Kau bis berdamai dengan pihak Islam bila bersepakat
membayar jizyah kecali bila tidak mampu membayarnya. Kami berjanji akan memberimu
perlindungan. Kau tetap menjadi sahabatku. Romawi tetap megah bahkan akan lebih bersinar
dengan cahaya Islam.”

“Diam, pembelot!” Argenta naik pitam. Mereka bertarung hingga melelahkan.

“Jangan menipu diri sendiri Argenta. Jangan mendustai hidayah yang Allah turunkan padamu.
Apakah akan kau biarkan rasa congkak dan egomu menguasai dirimu?” Margiteus tidak putus-
putus mendakwahi.

“Percayalah ucapanku. Kebenaran itu sudah kau temukan dalam dirimu. Cuma kau masih ragu-
ragu padahal dia sudah jelas di depan mata. Lihatlah dunia yang kita arungi ini. Adakah karena
Romawi megah seperti yang kau banggakan. Adakah karena Romawi yang dibohongi dengan
mitos dan kemustahilan menyekat nur ilahi yang ada pada dirimu. Bangunlah sahabat.”

“Tutup mulutmu atau aku akan penggal kepalamu menjadi makanan anjing-anjing Kaisar,” amuk
Argenta semakin menjadi-jadi. Dia seakan tengah melawan rasa bersalah yang dipendamnya.
Benarkah dia membohongi dirinya. Kalau dia benar mengapa hatinya memberontak. Menjerit
meminta kebebasan dan kebenaran. Ah…, aku benci semua ini!

Dalam keadaan termangu-mangu pedang Argenta terdesak ke tepi. Memberi peluang terbuka
bagi Margiteus untuk menebas kepala Argenta. Argenta terbeliak memperhatikan mata pedang
Margiteus jatuh tepat di hadapan mukanya. Tangan Margiteus menggigil. Dia berusaha
mengelak dan ini memberi peluang kepada Argenta mencuri kemenangan. Perut Margiteus
ditusuk hingga tembusi ke belakang badannya. Darah memuncraut bersimbah ke muka Argenta.
Rasa sesal menjalar merasuki naluri Argenta. Lantas dia merangkul Margiteus yang hampir
tersungkur. Kedua-duanya melemah. Lesu.

“Lepaskan saja aku, Argenta. Uhh…. . Bukankah aku pembelot Romawi dan mengkhianati
persahabatan kita?”

“Kau dapat memancung kepala aku tadi. Mengapa tidak kau lakukan? Aku lebih rela mati. Aku
merasa sungguh bosan dan benci diriku sendiri.”

“Tahukah kau dalam Islam… membunuh seorang manusia itu bagaikan membunuh seluruh umat
manusia. Kami dibenarkan membunuh orang yang menentang agama kami secara kekerasan.
Itupun kepada yang mengangkat senjata. Tidak boleh terjadi pembunuhan terhadap anak-anak,
wanita dan orang tua serta yang uzur…. Ohhh”

“Akulah yang menentang kau dan agamamu. Mengapa kau tidak membunuhku saja.”
“Apakah ada pedang Romawi yang paling berat melainkan pedangku ini. Pedang yang terpaksa
aku jauhkan dari leher seorang sahabat sejati. Betapa pedih kau mendustai dirimu, tapi lebih
pedih lagi diriku yang memikirkan persahabatan ini. Aku tak mampu menyisihkannya. Aku
berdosa terhadap agamaku… Allahhh…”

“Tidak, Margiteus. Agamamu adalah kebenaran yang ku cari. Cuma aku khawatir kau sudah
melupakan persahabatan kita. Aku terlalu egois. Aku menipu diriku sendiri! Aku menipu kau
wahai sahabat! Maafkan aku.”

“Cukuplah kau tahu betapa dalamnya persahabatan ini. Ingatlah, dalam Islam kemanusiaan itu
tidak hilang meskipun dalam peperangan. Kita bertemu karena Allah dan berpisah juga karena-
Nya. Kalau kau mengasihiku. Inilah aku yang kau lihat akan mati. Kalau kau mencintai
kehormatan dan kemegahanmu semua itu juga akan lenyap dan binasa. Tapi seandainya kau
mencintai Allah, Dia sesungguhnya tidak pernah mati ataupun binasa….”

“Sungguh Margiteus. Aku bersumpah dengan nama tuhanmu. Aku beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, Muhammad. Apakah aku akan membohongi diriku lagi di saat kau begini..?”

Margiteus menahan perih luka tusukan pedang di lambungnya. Dirasakannya luka tusukan itu
telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia tersenyum mendengar keimanan Argenta. Perlahan-
lahan jasadnya kaku mengiringi lafaz syahadah di mulutnya. Argenta terisak meratapi
sahabatnya. Perang dirasanya sunyi. Sepi.

Sumber: Seri Sahabat Nabi, Khalid Al-Walid & Abu Hurairah, K Publishing & Distributors Sdn. Bhd., Kuala
Lumpur, 1990

You might also like