You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan sebagai suatu usaha sadar yang sistemik – sisitematik


selalu bertolak dari landasan serta mengindahkan sejumlah asas-asas tertentu.
Landasan serta asas tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan
pilar utama terhadap pengembangan manusia dan masarakat suatu bangsa.
Untuk Indonesia pendidikan diharapkan mengusahakan (i) pembentukan
manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan
mampu mandiri, dan (ii) pemberian dukungan bagi perkembangan masarakat,
bangsa dan negara Indonesia (Undang-Undang, 1992:24). Landasan-landasan
pendidikan tersebut akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan
manusia Indonesia, dan serentak dengan itu mendukung perkembangan
masarakat, bangsa dan negara. Sedangkan asas-asas pokok pendidikan akan
memberi corak khusus dalam penyelenggaraan pendidikan itu dan pada
gilirannya akan memberi pula corak pada hasil-hasil pendidikan itu yakni
manusia dan masarakat Indonesia.

Beberapa dari landasan pendidikan tersebut adalah landasan fislosofis,


sosiologis dan kultural yang sangat memegang peranan penting dalam
menentukan tujuan pendidikan. Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi
akan mendorong pendidikan itu menjemput masa depan. Kajian berbagai
landasan pendidikan itu akan berbentuk wawasan yang tepat tentang
pendidikan. Dengan wawasan pendidikan yang tepat, serta dengan
menerapkan asas-asas pendidikan yang tepat pula, akan dapat memberi
peluang lebih besar dalam merancang dan menyelenggarakan program
pendidikan yang tepat wawasan itu akan memberikan prespektif yang luas
terhadap pendidikan, baik dalam aspek konseptual maupun operasional.

1
1.2 Tujuan Penulisan

Setelah mempelajari kedua permasalahan ini, kita mengharapkan agar


anda dapat:

1. Memahami berbagai landasan pendidikan utamanya landasan filosofis,


landasan sosiologis, landasan kultural, landasan psikologis, serta
landasan ilmiah dan teknologi, baik pada pendidikan pada umumnya
maupun khusus untuk Indonesia.
2. Memahami makna serta cara-cara penerapan berbagai asas pendidikan,
utamanya asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan
asas kemandirian dalam belajar.
3. Memiliki wawasan kependidikan dengan prespektif yang luas tentang
pendidikan, baik dari segi konseptual maupun dari segi operasional.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 LANDASAN PENDIDIKAN

Pendidikan adalah sesuatu yang universal dan berlangsung terus tak


terputus dari generasi ke generasi dimana pun di dunia ini. Upaya
memanusiakan manusia melalui pendidikan itu diselenggarakan sesuai dengan
pandangan hidup dan latar sosial-kebudayaan setiap masarakat tertentu. Oleh
karena itu meskkipun pendidikan itu universal, namun terjadi perbedaan-
perbedaan tertentu sesuai dengan pandangan hidup dan latar sosio-kultural
tersebut. Artian pendidikan diselenggarakan berdasarkan berdasarkan falsafah
hidup dan latar-sosiokultural setiap masarakat, termasuk di Indonesia. Kajian
ketiga landasan itu (filosofis, sosiologis, dan kultural) akan membekali setiap
tenaga kependidikan dengan wawasan dan pengetahuan yang tepat tentang
bidang dan tugasnya.

1. Landasan Filosofis

Landasan ini berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, yang


berusaha menelaah masalah-masalah pokok seperti : “Apakah pendidikan itu?;
mengapa pendidikan diperlukan?; apa yang seharusnya menjadi tujuannya?”
dan masih banyak lagi. Landasan filosofis adalah landasan yang berdasarkan
atau bersifat filsafat. Filsafat menelaah sesuatu secara radikal, menyeluruh dan
konseptual yang menghasilkan konsepsi-konsepsi mengenai kehidupan dan
dunia.
Tinjauan filosofis tentang pendidikan ini berarti berpikir bebas serta
menantang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang sesuatu itu. Penggunaan
istilah filsafat dapat dalam dua pendekatan, yakni:
1) Filsafat sebagai kelanjutan dari berpikir ilmiah, yang dapat dilakukan serta
sangat bermanfaat dalam memberi makna kepada ilmu pengetahuannya
itu.

3
2) Filsafat sebagai kajian khusus yang formal, yang mencakup epistimologi,
etika, estetika, metafisika, serta sosial dan politis.
a. Pengertian tentang landasan filosofis
Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat
mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan
pendididkan berusaha mewujudkan citra tersebut.
Kajian-kajian yang dilakukan oleh berbagai cabang filsafat akan besar
pengaruhnya terhadap pendidikan, karena prinsip-prinsip dan kebenaran hasil
kajian tersebut pada umumnya diterapkan dalam bidang pendidikan. Berikut
diantara hasil kajian filsafat dalam bidang pendidikan
a) Keberadaan dan kedudukan manusia sebagai makhluk didunia ini,
seperti yang disimpulkan zoon politicon, homo sapiens, animal
aducantum, dan sebagainya.
b) Masyarakat dan kebudayaannya
c) Keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup yang banyak
menghadapi tantangan; dan
d) Perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan, utamanya
filsafat pendidikan (wayan ardhana, 1986: modul 1)
Hasil-hasil kajian filsafat tersebut, utamanya tentang konsepsi manusia dan
dunianya, sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan.
Berbagai pandangan filosofis tentang manusia dan aliran dunianya
yang dikemukakan oleh berbagai aliran dalam filsafat ternyata sangat
bervariasi, bahkan kadang-kadang bertentangan. Secar historis terdapat dua
alira yang saling bertentangan yakni idealisme dan naturalisme (positivisme),
dengan segala variasinya masing-masing (Abu Hanifah, 1950). Di samping
kedua aliran tersebut telah berkembang pula beberapa aliran lain, sehingga
terdapat aliran-aliran filsafat materi filsafat cita, filsafat hidup, filsafat
hakekat, filsafat eksistensi, dan filsafat ujud (Beerling 1951:40). Wayan
ardhana, dan kawan-kawan (1986: modul 1/12-18) mengemukakan bahwa
aliran-aliranh filsafat itu bukan hanya mempengaruhi pendidikan, tetapi juga
telah melahirkan aliran filsafat pendidikan, seperti :
a) Idealisme.
b) Realisme.
c) Perenialisme.

4
d) Esensialisme.
e) Pragmatisme dan progresivisme.
f) Eksistensialime
Sedangkan Waini Rasyidin (dalam Redja Mudyahardjo, et. Al., 1992:
145-150) membedakan antara aliran filsafat dan mazhab filsafat pendidikan,
yakni : aliran filsafat yang besar pengaruhnya terhadap pendidikan adalah
idealisme, realisme (positivisme, meterialisme), neothomisme dan
pragmatisme; sedangkan mazhab filsafat pendidikan adalah esensialisme,
perenialisme, progresivismme dan rekronstruksionisme. baik sebagai aliran
filsafat maupun mazhab filsafat pendidikan, pandangan-pandangan tentang
mannusia da dunianya pada umumnya ikut mempengaruhi konsepsi atau
penyelenggaraan pendidikan.

b. Pancasila sebagai landasan filosofis sistem pendidikan nasional ( sisdiknas)


Manusia akan mengalami perkembangan apabila berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya berdasarkan pemikiran. Sekolah adalah suatu
lingkungan khusus yang merupakan sambungan dari lingkungan sosial yang
lebih umum. sekolahh merupakan lenbaga masyarakat yang bertugas memilih
dan menyederhanakan unsur kebudayaan yang dibutuhkan oleh individu,
belajar harus dilakukan oleh siswa secara aktif dengan cara memecahkan
masalah. Guru harus bertindak sebagai pembimbing atau fasilitator bagi
siswa.
Progresivisme atau gerakan pendidikan progresif mengembangkan teori
pendidika yang mendasakan diri pada beberapa prinsip, antara lain :
a) Anak harus bebas untuk dapat berkembang secara wajar
b) Pengalaman langsung merupakan cara terbaik untuk merangsang
minat belajar.
c) Guru harus menjadi seorang peneliti dan pembimbing kegiatan
belajar
d) Sekolah progresif harus merupakan suatu laboratorium untuk
melakukan reformasi pedagogis dan eksperimentasi.
Pasal 2 UU-RI NO.2 Tahun 1989 menetapakan bahwa pendidikan
nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Rincian selanjutnya tentang
hal itu selanjutnya tercantum dalam perincian UU-RI No. 2 Tahun 1989, yang

5
menegaskan bahwa pembangunan nasional mengusahakan antara lain: “
pembentukan manusia pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi
kualitasnya dan mampu mandiri” (Undang-Undang, 1992: 24). Sedangkan
ketetapan MPR-RI No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan pancasila menegaskan pula bahwa pancasila itu jiwa seluruh
rakyat Indonesia,kepribadian bangsa indonesia, pandangan hidup bangsa
indonesia dan dasar negara RI. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan
mengenai wujud manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari
segala nilai yang menjadi pangkal serta muara dari setiap keputusan dan
tindakan dalam pendidikan, artian pancasila sebagai sumber sistem nilai dalam
pendidikan.

2. Landasan sosiologis

Manusia selalu hidup berkelompok seperti makhluk hidup lainnya,


yakni hewan. Meskipun demikian kelompok manusia jauh lebih rumit. Pada
hewan, hidup berkelompok memiliki ciri-ciri (wayan ardhana, 1986: modul
1/62) sebagai berikut:
a) Ada pembagian kerja yang tetap pada anggotanya
b) Ada ketergantungan antara anggota
c) Ada kerjasama antara anggota
d) Ada komunikasi antara anggota
e) Ada diskriminasi antarindividu yang hidup dalam suatu
kelompok dengan induvidu yang hidup dalam kelompok lain.
Ciri-ciri hewan tersebut dapat pula ditemukan pada manusia.
Kehidupan sosial manusia dipelajari oleh filsafat yang berusaha menjadi
hakikat masyarakat yang sebenarnya. Filsafat sosial sering membedakan
manusia sebagtgai individu dan manusia sebagi anggota masyarakat.
Pandangan aliran-alira filsafat tentang realitas sosial itu berbeda-beda,
sehingga dapat ditemukan bermacam-macam aliran filsafat sosial.
Sosiologi lahir pada abad ke-19 di Eropa, karena pergeseran
pandangan tentang masyarakat, sebagai ilmu empiris yang memperoleh
pijakan yang kukuh. Sosiologi sebagai ilmu yang otonom dapat lahir karena
terlepas dari pengaruh filsafat. Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan

6
oleh August Comte(1798-1857) pada tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu
pengetahuan psitif yang mempelajari masyarakat. Sosiologi mempelajari
berbagai tindakan sosial yang menjelma dalam realitas sosial. Mengingat
banyaknya realitas sosial maka lahirlah cabang ilmu sosiologi.
a. Pengertian tentang landasan sosiologis
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara
dua individu, bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda
mengembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi dilembaga
sekolah yang dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologis
pada kegiatan pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatkan perhatian
sosiologi pada pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.
Sosiologi pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial
dan pola-pola interaksi soaial di dalam sistem pendidikan. Berikut ruang
lingkupnya:
1) Hubungan sistem pendidikan dengan masyarakat lain, yang mempelajari:
a) Fungsi pendidikan dalam kebudayaan.
b) Hubungan sistem pendidikan dan proses kontrol sosial, dan sistem
kekuasaan.
c) Fungsi sistem pendidikan dalam memelihara dan mendorong proses
sosial dan perubahan kebudayaan.
d) Hubungan pendidikan dan kelas sosal atau sistem status.
e) Fungsionalisasi siistem pendidikan formal dalam hubungannya dengan
ras, kebudayaan atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
2) Hubungan kemanusian di sekolah yang meliputi:
a) Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang berbeda dengan kebudayaan
di luar sekolah.
b) Pola interaksi sosial atau sttruktur masyarakat sekolah.
3) Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya yang mempelajari:
a) Peranan sosial guru.
b) Sifat kepribadian guru.
c) Pengaruh kepribadian guru terhadap tingkah laku siswa.
d) Fungsi sekolah dalam sosialisasi anak-anak.
4) Sekolah dalam komunitas, yang mempelajari pola interaksi antara sekolah
dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya, yang meliputi:

7
a) Pelukisan tentang komunitas seperti tampak dalam pengaruhnya
terhadap organisasi sekolah.
b) Analisis tentang proses pendidikan seperti tampak terjadi dalam
sistemm sosial komunitas kaum tidakk terpelajar.
c) Faktor-faktor demografi dan ekologi dalam hubungannya dengan
organisasi sekolah.
Keempat bidang yang dipelajari tersebut sangat esensial sebagai sarana
untuk memahami sistem pendidikan dalam kaitannya dengan keseluruhan
masyarakat.
Kajian tentang sosiologi pendidikan pada prinsipnya mencakup semua
jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah.
Khusus untuk jalur pendidikann luar sekolah, terutama apabila ditinjau dari
sosiologi maka pendidikan keluarga adalah sangat penting karena keluarga
merupakan lembaga sosial yang pertama bagi setiap manusia.
Selanjutnya, disamping sekolah dan kelurga proses pendidikan sangat
dipengaruhi pula berbagai kelompok sosial masyarakat, seperti kelompok
keagamaan, organisasi pemuda dan pramuka, dan lain-lain. Terdapat satu
kelolmpok khusus yang datangnya bukan dari orang biasa, tetapi dari anak-
anak lain yang hampir seusia yang disebut kelompok sebaya. Kelompok ini
juga merupakan agen sosialisasi yang mempunyai pengaruh kuat searah
dengan bertambahnya usia anak. Kkelompok ini terdiri dari individu yang
rata-rata usianya hampir sama yang mempunyai kepentingan tertentu yang
bersifat sangat sementara. Disamping itu kelompok sebya memberikan jalan
kepada anak untuk lebih independen, memahami solidaritas dan
menumbuhkan sikap kerja sama serta membuka horison anak lebih luas.
Paparan tersebut menyoroti terutama pengaruh masyarakat terhadap
pendidikan. Dimulai dari keluarga, kelompok sebaya dan sebagainya. Dan
tentu tidak kala pentingnya adalah pengaruh pendididkan terhadap
masyarakat. Tentang hal ini, terdapat suatu persoalan klasik yang telah dikaji
sejak dulu. Permesalahan yang dimaksudadalah dengan kaitannya dengan
tujuan pendidikan, yakni yang harus mendapat penekanan: apakah pendidikan
mempersiapkan anak untuk hidup di dalam masyarakatnya (penekanan pada
sosialisasi), atau mempersiapkan anak untuk merombak/memperbaharui
masyarakat (penekanan pada agen pembaruan). Seperti di banyak negara,

8
pendidikan yang dilaksanakan pada umumnya tidak memilih salah satu kutub
pendapat tersebut, tetapi diupayakan keseimbangan antara pelestarian dan
pengembangan.

b. Masyarakat indonesia sebagai landasan sosiologis sistem pendidikan nasiional


(Sisdiknas)
Masyarakat mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar
sesamanya, saling tergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi
bersama, setta pada umumnya bertempat tinggal di wilayah tertentu dan
adakalanya mereka mempunyai hubungan darah atau memiliki kepentingan
bersama. Masyarakat dapat merupakan suatu kesatuan dalam artian yang luas
maupun dalam arti yang sempit seperti masyarakat, bangsa ataupun kesatuan
kelompok kekerabatan di suatu desa dalam, suatu marga. Masyarakat dalam
arti luas pada umumnya lebih abstrak apabila dibandingkan dengan
masyarakat dalam arti sempit. Masyarakat sebai kesatuan hidup memiliki ciri
utama antara lain :
a) Ada interaksi antara warga-warganya.
b) Pola tingkah laku warganya diatur oleh norma-norma hukum, dann
aturan-aturan yang khas.
c) Ada rasa identitas kuat yang mengikat pada warganya
Masyarakat indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang panjang,
bahkan telah dimulai pada jaman prasejarah, zaman kerajaan nusantara, zaman
penjajahan sampai saat ini. Hingga kini ciri yang menonjol dari masyarakat
indonesia adalah sebagai massyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau
di nusantara. Sampai saat ini masyarakat indonesia masih ditandai oleh dua
ciri unik, yakni :
1) Secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan sosial atau
komunitas berdasarkan perbedaan-perbedaan suku, agama, adat istiadat,
dan kedaerahan.
2) Secara vertikal ditandai oleh adanya pola kehidupan antara lapisan atas,
menengah, dan lapisan rendah.

9
Pada zaman penjajahan sifat dasar masyarakat indonesia yang
menonjol adalah :
1) Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok sosial atau golongan
sosial jajahan yang sering kali memiliki sub-kebudayaan sendiri.
2) Memiliki struktr sosial yang terbagi-bagi
3) Seringkali anggota masyrakat atau kelompok tidak mengembangkan
konsensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat
mendasar.
4) Di antara kelompok, relatif sering kali mengalami konfli-konflik.
5) Terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi.
6) Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok –
kelompok sosial yang lain
7) Secara relatif integrasi sosial sukar dapat tumbuh.

Masyarakat indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman


pemerintahan orde baru telah mengalami banyak perubahan. Sebagai
masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unuk, baik secara
horizontal maupun vertikal masih dapat ditemukan, demikian pula halnya
dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya.
Namun dengan niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat bangsa
indonesia serta dengan kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan,
utamanya dalam pendidikan politik, maka sisi ketunggalan dari bhineka
tunggal ika makin mencuat. Berbagai upay yang dilakukan baik melalui
kegiatan jalur sekolah (penataran P4, pemasyrakatan P4 nonpenataran, dan
lain-lain), telah mulai menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang
semakin kukuh. Berbagai upaya tersebut dilaksanakan denagn tidak
mengabaikan kenyataan tentang kemajemukan masyarakat indonesia. Hal
terakhir tersebut kini mendapat perhatian yang semestinya dengan antara lain
dimasukkannya muatan lokal di dalam kurikulum sekolah. Muatan lokal yang
didasarkan pad kebhinekaan masyarakat indonesia itu telah dikukuhkan dalam
UU-RI No. 2 Tahun 1989 dan Pasal 38, PP-RI No. 28 tahun 1990 Pasal 14
Ayat 3 dan 4. Perlu ditegaskan bahwa muatan lokal di dalam kurikulum tidak
dimaksudkan sebagai upaya membentuk “manusia lokal”, akan tetapi haruslah
dirancang dan dilaksanakan dalam rangka mewujudkan “manusia indonesia”

10
di suatu “lokal” tertentu. Dengan demikian akan dapat diwujudkan manusia
indonesia dengan wawasan nusantara dengan berjiwa nasional akan tetapi
yang memahami dan menyatu dengan lingkungan (alam, sosial, dan budaya)
di sekitarnya.

3. Landasan kultural

Pendidikan selalu terkait dengan manusia sedang setiap manusia selalu


menjadi anggota masyarakat dann pendukung kebudayaan tertentu. Oleh
karena itu, dalam UU-RI No. 2 Tahun 1989 Pasal 1 Ayat 2 ditegaskan
bahwa yang dimaksudkan dengan Sistem Pendidikan Nasional adalah
pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesia yang
berdasarkan pada pancasila dan UUD 1945. Kebudayaan dan pendidikan
mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat
dilestarikan/dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari
generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik secara formal
maupun infoormal. Sebaliknya bentuk, ciri-ciri dan pelaksanaan
pendidikan itu ikut dii tentukan oleh kebudayaan masyarakat dimana
proses pendidikan itu berlangsung. Dimaksudkan dengan kebudayaan
adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-norma, nilai-nilai
kepercayaan, tingkah laku, dan tekknologi yang diipelajari dan dimiliki
oleh semua anggota masyarakat tertentu.

a. Pengertian tentang landasan kultural

Kebudayaan sebagai gagasan dan karya manusia beserta hasil dan


budi dan karya itu akan selalu terkait dengan pendidikan, utamanya belajar
kebudayaan dalam arti luas tersebut dapat berwujud:

1) Ideal seperti ide, gagasan, nilai dan sebagainya.

2) Kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan

3) Fisik yakni benda hasil karya manusia.

(Koentjaraningrat, 1975: 15-22).

Kebudayaan dapat dibentuk, dilestarikan atau dikembangkan karena


dan melalui pendidikan. Baik kebudayaan yang berwujud ideal, atau
kelakuan dan teknologi, dapat diwujudkan melalui proses pendidikan sebagai

11
contoh dalam penggunaan bahasa, setiap masyarakat dapat dikatakan
mengajarkan kepada anak-anak untuk mengatakan sesuatu, kapan hal itu
dapat dikatakan, bagaimana mengatakannya, dan pada siapa mengatakannya.
Contoh lain, setiap masyarakat mempunyai persamaan dan perbedaan dalam
berpakaian. Dengan mempelajari tingkah laku yang dapat diterima dan
kemudian menerapkansebagai tingkah lakunya sendiri menjadikan anak
sebagai anggota masyarakt. Oleh sebab itu, anak-anak mesti diajarkan pola-
pola tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam
masyarakat. Dengan kata lain , fungsi pokok setiap sistem pendidikan adalah
untuk mengajarkan anak-anak pola yingkah laku yanng esensial tersebut
(Redja Mudyaharjo, 1992: 45).

b. Kebudayaan nasional sebagai Landasan Sistem Pendidikan Nasional


(Sisdiknas)

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, yang dimaksud dengan


sisdiknas adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa
Indonesia. (UU-RI No.2/1989) Pasal 1 Ayat 2. Karena masyarakat Indonesia
sebagai pendukung kebudayaan tersebut adalah masyarakat majemuk, maka
kebudayaan bangsa tersebut lebih tepat disebut sebagai kebudayaan
Nusantara yang beragam.

Pada awal perkembangannya, suatu kebudayaan terbentuk berkat


kemampuan manusia mengatasi kehidupan alamiahnya, dan kesengajaan
manusia menciptakan lingkungan yang cocok bagi kehidupannya. Setiap
individu yang terlahir akan menghadapi dua sistem lingkungan yang berbeda,
sistem kebudayaan dan sistem alamiah. Individu dalam masyarakat modern
sangat dipengaruhi oleh besar dan kompleksnya masyarakat modern dan
kecanggihan kenudayaannya, ini berarti bahwa individu hanya dapat hidup
dalam masyarakat modern apabila ia mau dan mampu belajar terus menerus.

Salah satu upaya pendidikan jalur sekolah dengan keberagaman latar


belakang sosial budaya di Indonesia adalah dengan memberlakukan muatan
lokal dalam kurikulum sekolah, utamnya Sekolah Dasar (SD).

Beberapa tahun terakhir, makin kuat pendapat bahwa pendidikan


seharusnya diupayakan agar lebih menjamin adanya rasa ketertarikan antara

12
peserta didik dengan lingkungannya (alam, sosial, dan budaya) dan sebaiknya
dapat mengembangkannya. Oleh karena itu, muatan lokal tidak hanya
sekedar meneruskan minat akan kemahiran daerah tertentu, tetapi juga
serentak memperbaiki/meningkatkannya sesuai dengan perkembangan
iptek/seni, dan atau kebutuhan masyarakat.

4. Landasan psikologis

Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia. Hingga


landasan psikologis menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan dunia
pendidikan, umunya tertuju pada pemahaman manusia, khususnya proses
perkembangan dan proses belajar. Terdapat beberapa pandangan tenntang
hakekat manusia ditinjau dari segi psikologis dalam kaitannya dengan
pendidikan, yaitu (i) Strategi disposisional; terutama pandangan konstitusiona
dari Kretschmer dan Sheldon, memberikan tekanan pada peranan faktor
hereditas dalam perkembangan manusia; (ii) Strategi behavioral dan Strategi
phenomenologis/humanistik hyang keduanya memberikan penekanan pada
peranan faktor belaja dalam perkembangan tersebut, akan tetappi keduanya
mempunyai pandangan yang berbeda tentang bagaimana proses belajar itu
terjadi. Perbedaan pandangan ini terjadi karena adanya “two models of man”
(sitilah dari William D. Hitt; 1969) yang menyebabkan terjadinya “Lockean
and Leibnitzian tradition” (istilah dari G.W. Allport). Bagi tradisi ala Jhon
Locke (Lockean Tradition) berpendapat bahwa pengetahuan dihasilkan dari
dalam, manusia sebagai pembangkit atau generator informasi. Berbeda
dengan pandangan sebaliknya yang menganggap manusia sebagai makhluk
pasif yang tergantung pada pengaruh lingkungannya; pandangan ini tampak
antara lain pada B.F. Skinner dengan “A Scientify Psychology”-nya.
Perbedaan pandangan manusia tentang hakekat manusia ditijau dari segi
psikoedukatif tersebut antara lain tampak pada perbedaan pandangan tentang
teori-teori belajar, faktor-faktor penentuperkembangan manusia dan
sebagainya. Ini dapat berdampak pula pada pandangan pendidikan.

a. Pengertian tentang landasan psikologis

13
Pemahaman peserta didik yang berkaiytan dengan aspek kejiwaan,
merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu,
hasil kajian dan penemuan psikologis sangat diperlukan dalam
penerapannya dalam bidang pendidikan.

Individu dilahirkan berbeda, baik bakat, kemampuan, minat, kekuatan


serta tempo dan irama perkembangan yang berbeda satu dengan lainnya.
Sangat sukar untuk diharapkan sama, terlebih-lebih apabila mempunyai
pengalaman hidup yang berbeda. Sebagai implikasinya, pandidik tidak
mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik, sekalipun
mereka memiliki beberapa kesamaan. Perbedaan ini terjadi karena adanya
perbedaan aspek kejiwaan peserta didik, bukan hanya yang terkait dengan
kecerdasandan bakat, tetapi juga perbedaan pengalaman dan tingkat
perkembangan, perbedaan aspirasi dan cita-cita, bahkan perbedaan
kepribadian secara keseluruhan. Perlu ditekankan, bahwa kepribadian itu
unik. Keunikan itu bukan hanya dikarenakan perbedaan potensial, tetapi
juga perbedaan dalam perkembangannya karena pengaruh sekitar.

Manusia dilahirkan dengan sejumlah kebutuhan yang harus dipenuhi


dan potensi yang harus dikembangkan. Dalam upaya memenuhi
kebutuhannya itu, maka manusia berinteraksi dengan lingkungannya.
Interaksi dengan lingkungannya itu akan menyebabkan manusia
mengembangkan kemampuannya melalui proses belajar. Semakin kuat
motif sebagai upaya pemenuhan kebutuhan itu, semakin kuat pula proses
belajar yang terjadi, dan pada gilirannya semakin tinggi hasil yang
dicapainnya. Berbagai pendapat tentang motivasi tersebut sangat
didominasi oleh konsep-konsep nafsu dan atau kebutuhan. Sigmund Freud
menekankan peranan nafsu (drive) terhadap perilaku manusia, baik nafsu
hidup (libido) maupun nafsu mati (thanatos). Bahkan teori Freud tersebut
tidak sekedar teori motivasi, tetapi telah diakui sebagai teori kepribadian
(Sulo Lipu La Sulo, 1981: 10-18). Selanjutnya, contoh lain, A. Maslow
mengemukakan kategorisasi kebutuhan-kebutuhan menjadi enam
kelompok, mulai dari yang paling sederhana dan mendasar meliputi:

1) Kebutuhan fisiologis;

14
2) Kebutuhan rasa aman;

3) Kebutuhan akan cinta dan pengakuan;

4) Kebutuhan harga diri;

5) Kebutuhan untuk aktualisasi diri; dan

6) Kebutuhan untuk mengetahui dan memahami.

b. Perkembangan peserta didik sebagai landasan psikolofgis

5. Landasan ilmiah dan teknologis

a. Pengertian tentang Landasan ilmiah dan teknologis

b. Perkembangan Landasan ilmiah dan teknologis

2.2 ASAS PENDIDIKAN

BAB III

KESIMPULAN

15

You might also like