Professional Documents
Culture Documents
b. Adat Istiadat
1
Aji krame terdiri dari dua suku kata : aji dan karma. Aji berarti harga atau nilai
sedangkan karma berarti suci atau terkadang berarti aerah atau kesatuan penduduk dalam suatu
wilayah dalam wilayah adat. Dengan demikian Aji Krama berarti lambing adat atau nilai suci
dari suatu strata social adat sasak berdasarkan wilayah adatnya.
tentang aj kramenya masing-masing strata. Masyarakat yang berasal ari strata
terendah (sepangan atau panajak) atau yang disebut strata perwangsa perbapa
dengan aji karma 66 samapi 99, dan yang tertinggi strata perwangsa permenak atau
datu raden dengan aji karma 100 sampai 200.16 2. Namun demikian, menurut Gde
Parman terjadi Aji Krama sebagai lambang adat antara daerah dengan daerah lain.
Di Desa Pujut atau Bon Jeruk Raden aji kramanya 200 (ini sudah tidak ada) ,
Menak aji kramenya 100, Perbape sebesar 66, Perdanan sebesar 50, Jajar Karang
sebesar 33-7/400, dan Sepangan sebsar 3/400 (sudah tidak ada). Di Gerung dan
Kuripan ; Raden : 200 (sudah tidak ada). Di Praya ; Raden (sudah tidak ada),
Permenak : 100, Perwangsa : 66, Jajar Karang : 33, dan Sepangan : 17. Dan di
Tanjung Lombok Utara : Datu : 10.000, Raden : 8.000, Luput : 6.850, dan Perjaka :
4.850. dan yang merupakan consensus, pokok-pokok aji karma tersebut adalah :
Raden : 200, Permenak : 100, Perbape : 66, dan Jajar Karang : 33, serta Sepangan :
17 3.
Asas Triwangsa sebagai pelapisan social tradisional menentukan keturunan
dari garis laki-laki. Artinya anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan akan
mengikuti nasab (pertalian darah) pihak laki-laki (bapaknya), sehingga jika seorang
laki-laki yang berstrata Lalu atau Gede mengawini wanita berstrata Jajar Karang
maka anak yang lahir tersebut akan mengikuti strata bapaknya. Anak yang
dilahirkan dapat dipanggil Lalu, Gede, Baiq, atau Lale. Sebaliknya jika laki-laki
berstrata Jajar Karang mengawini wanita berstrata raden atau permenak, maka anak
yang dilahirkan tidak mengikuti strata ibunya, melainkan akan mengikuti strata
ayahnya.
System perkawinan seperti ini memang sering kali menimbulkan konflik serta
prcekcokan antara kedua belah pihak yang bahkan sering kali menimbulkan
peemutusan tali kekeluargaan. Dan perwaliannya pun tidak jarang diserahkan
kepada wali hakim (wali ‘adilal). Dan system ini selalu menjadi tumbal kritikan dari
berbagai kalangan karena dianggap sebagai warisan dari ajaran Hindu-Bali yang
mengabsahkan adanaya kasta (pelapisan dari aspek keturunan). Dan dalam nada
2
Fat Zakaria, Mozaik, hal 184
3
Gde Parman, Kitab Adat Sasak Dulang I Perkawinan. Aji Kraka Pembayun, Cendrasengkala,
Mataram, Lembaga Pembakuan Dan Penyebaran Adat Sasak Mataram Lombok, 1995, hal 23-24.
kualitas kedirian manusia sebagai hamba dan sekaligus khalifah yang mempunyai
kewajiban dan hak yang sama.
Sejalan dengan perkembanagn pemikiran dan orientasi hidup, selain pelapisan
social yang tradisional yang berdasarkan keturunan (triwangsa) diatas, pada
umumnya di masyarakat Suku Sasak terdapat pelapisan sosialnya ; seperti pelapisan
social berdasarkan kedudukan dan kemampuan ekonomi. Namun demikian factor
usia tetap menjadi ukuran. Menghormati orang tua atau yang seuisa sangat
diperhatikan dan ditaati oleh masyarakat Sasak. Hal ini tampak dalam hubungan
dnegan kekerabatan di lingkungan pergaulan dan rumah tangga.
c. Pranata Sosial
1. Kehidupan Keluarga
Keluarga terkecil (ayah, Ibu, dan anak-anak) bagi orang Sasak meruoakan
sebagian yang snagat diperhatikan. Mereka tinggal dalam satu ruamh tangga
yang disebut bale (rumah). Anak yang membangun rumah tangga (suami-istri)
untuk sementara waktu akan bersama keluarga besarnya sampai pada akhirnya
dianggap mampu untuk berdiri sendiri. Dan jika telah berdiri sendiri, maka dia
akan menjadi keluarga baru yang bertanggungjawab terhadap kelangsungannya.
Hubungan-hubungan garis keturunan terbentuk atas dasar pertalian darah
(semeton kuni) dan perkawinan. Hubungan keluarga dari semeton kuni
merupakan hubungan kekerabatan dalam arti biologis yang dijalin atau dasar
satu sumber darah, yaitu dari orang tua yang sama. Sedangkan hubungan
hubungan kekerabatan dengan perkawinan merupakan hubungan dalam arti
sosiologis yang terjadi karena adanya perkawinan.
Rumpun kerabat (keluarga) dibangun atas pandangan kosmogini segi
empat yang dikenal dengan empat generasi orang tua (nenek), empat garis anak
cucu, dan empat lapis sepupu ari satu talian darah. Pungutan garis kekerabatan
ini sering dirangkai dengan mengadakan acara-acara seperti : pertama , acara
keluarga yang diselenggarakan pada acara adat perkawinan, kematian (kepaten)
anggota, dan khitanan anak, serta daur hidup keluarga baru ; kedua, pada acara
keagamaan seperti : Maulid Nabi dan Isra Mi’raj.
Istilah-istilah kekerabatan orang Sasak seperti di bawah ini ; amaq untuk
sebutan ayah, inaq untuk ibu, semeton kuni untuk saudara kandung, naken
untuk anak-anak saudara kandung dan tiri, anak sepupu sekali, atau anak sepupu
dua kali, tuak dan amaq kake (amaq rari) untuk sebutan-sebutan sarudara ayah,
dan kadang-kadang varian panggilan tersebut terjadi perbedaan antraa satu
tempat dnegan lainnya.
2. Perkawinan.
Dalam Kitab Adat Sasak Dulang I Perkawinan yang ditulis oelh Gde
Perman disebutkan ada beberapa macam cara orang Sasak yang akan
melakukan perkawinan. Cara-cara tersebut ada yang baik (solah) dan masih
berlaku dan ada yang tidak baik. Cara-cara tersebut anatara lain :
1. Cara Teperondong atau disebutkan juga tabulungan atau tasegar yaitu
suatu cara dimana seseorang yang menikah (merari’) laki-laki atau
perempuan tersebut telah dijanjiakn sejak kecilnya. Biasanya yang
melakukan perkawinan cara ini adalah mereka yang ada pertalian carah
dan secara suka sama suka ;
2. Cara Kepanjing yaitu seorang anak perempuan yang dianggap cantik
diambil begitu saja oleh para datu (penguasa) dengan cara pemaksaan.
Cara ini sudah ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak cocok dan
bertentangan dengan ajaran agama Islam ;
3. Cara Kahambil yaitu seorang anak gadis orang dari lapisan Jajar
Karang diambil oleh lapis yang lebih tinggi (datu raden atau menak-
perbape) hanya dengan proses musyarawarah, namun tetap atas
persetujuan si perempuan tanpa paksa ;
4. Cara Merari’ atau Memaling yaitu seorang anak gadis (dedare) atau
seorang janda (bebalu) diambil secara diam-diam ; tidak diketahui oleh
bapak dan ibunya serta sanak saudaranya. Cara ini masih berlangsung dan
banyak dilakukan oleh orang-orang Sasak4.
4
. Kata merari’ diambil dari kata “lari” , berlari. Merari’ berate mela’iang artinya melarikan.
Seseorang yang akan merari’ dalam adat Sasak seyogyanya menaati aturan dan tata karma. (awiq-awiq).
Awiq-awiq itu antara lain : a. Perempuan di rumahnya (ruamh ibu-bapaknya) tidak boleh diambil di
sekolah, tempat orang pesta atau persantaian. b. Kedua pihak yang akan merari’ memang saling suka dan
cinta. c. harus diambil di malam hari dan tidak boleh lewat dari jam 23.00 (11.00 malam). d. Perempuan
5. Cara Bekako’ atau disebut juga Memadik dan Ngelamar yaitu
perkawinan dengan cara si gadis diminta (lako’) pada orang tuanya.
Adapun ketentuan urutan belako’ sebagai berikut : a. penawer : Si perjaka
datang berkunjung ke si gadis yang sama-sama saling suka ; b. Si perjaka
memberikan tanda pengikat janji ; c. Melatos : yaitu keluarga dari pihak
laki-laki datang ke keluarga perempuan untuk menetukan wkatu
pengambilan.5
3. Pendidikan
Tradisi masyarakat sasak pada usia di (pra sekolah) anak-anak mereka
terlebih dahulu diberitahukan pendidikan agama Islam. Pendidiakn agama ini
dimulai dnegan belajar mengaji (membaca al-Qur’an) dan tauladan praktek-
praktek ibadah. Pelajaran al-Qur’an biasanya dimulai dengan belajar alif, ba, ta
(system belajar mengeja ala al-bagdadi dna atau sekarang Iqra’). Kemudian
pindah ke al-Qur’an kecil ( Juz ‘Amma) lalu pindah ke al-Qur’an besar.
Setelah menyelesaikan pendidikan al-Qur’an dan sejalan dengan
pendidikan formalnya di sekolah dasar, anak yang mampu (secara material) dan
berminat memeperdalam pelajaran agamanya mencari ulama (Tuan Guru) yang
mempunyai pesantren. Kurikulum pendidiakn pesantren terdiri ilmu alat
(nahwu dan sharqf), fiqih, dan tauhid dan ilmu-ilmu agama yang lainnya. Dan
bagi mereka yang tidak masuk pesantren secara aktif mengikuti pengajian-
pengajian umum yang diadakan di masjid-masjid, mushalla (santen), atau
langgar-langgar.
Pendidikan non formal (terutama pendidikan agama) pada masayrakat Sasak
telah erjalan lama sejak pertengahan abad ke-19, ketika para guru mengaji
(Tuan Guru) mengadakan pengajian dengan system halaqah ala masjidil Haram
yang diambil harus didampingi oleh wanita lain (tidak boleh sendriran) dan tidak boleh dibawa langsung
ke rumah pengantin laki-laki (pesebok). e. Kedua pengantin yang merari’ tidak boleh saling berdekatan
sebelum dilaksanakan akad nokah. f. Segera mungkin (maksimal 3 hari untuk yang dekat dan 7 bhari
bagi yang jauh)nharus sudah diberitahukan (selabarkan) ke pihak perempuan (Gde. Parman, Kitab Adat,
hal 16-17)
5
Ibid Hal 10-11
Makkah di tempat tinggal mereka. Para Tuan Guru ini biasanya mengajarkan al-
Qur’an dan al-Hadits, Fiqih, dan Tauhid dan juga Tassawuf.
Dalam perkembangan lebih lanjut, gerakan pendidikan agama Islam
mengalami kemajuan yang pesat pasca kemerdekaan. Pada tahun 1950-an Tuan
Guru Saleh Hambali di Lombok Barat mendirikan Pesantren dan Madrasah
Darul al-Qur’an di Desa Bengkel, Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Majid di
Lombok Timur mendirikan Pesantren Nadhatul Wathan. Dan sejak itulah
pesnatren-pesantren dan madrasah-madrasah semakin menjamur, dengan
memadukan system pendidikan tredisional (salafiah) dengan system pendidikan
modern.
Pranata pendidikan agama di Lombok saat ini telah mampu sejajar dengan
pendidikan umum mulai dari tingkat para-sekolah (TK-RA), tingkat dasar (SD-
MI), tingkat menengah (SMP-MTS) atau (SMU-MA), dan bahkan di tingkat
Perguruan Tinggi dnegan keluarnya surat keputusan tiga Menteri serta rakyat
diberikan kesempatan untuk mengelola lembaga pendidikan.
4. Ekonomi
Sebagian besar masyarakat Sasak bermata pencaharian hidup dari bertani
kemudian nelayan, kerajinan tangan, dan usaha dagang. Dan bahkan karena
alasan ekonomi ini masyarakat Sasak mernatau ke Negeri Jiran sebagai tenaga
kerja dan buruh,
Lahan pertanian pada umumnya adalah tanah basah (subur) di Lombok
Barat dan sebagian besar Lombok Timur, sementara di Lombok Tengah
sebagian besarnya adalah tanah kering. System irigasi dna pengairannya masih
snagat dipengaruhi oleh system pembagian wilayah perairan (subag) Bali.
Masing-masing wilayah pengairan (subag) diatru system pembagiannya oleh
seorang petugas yaitu pekasih. Dalam melaksanakan tugasnya seorang pekasih
6
diberikan menggarap sebidang tanah yang disebut tanah pecatu dengan luas
antara 3.500 M ² (50 are).
System penggarapan tanah oleh masyarakat masih lebih banyak
menggunakan pestisida. Pada umumnya keluarga petani masih merupakan
petani subsistem. Penggunaan tenaga luar pada proses pembukaan dna
penggarapan serta pada saat memanen. Petani yang tidak mempunyai sawha
atau mempunyai lahan sempit biasanya bertindak sebagai penyakap (pengaro)
artinya mereka mengerjakan tanah orang lain dengan cara bagi hasil atau ada
yang sekedar mengambil upah menjaga (pengairan dan pemeliharaan). Dan
sebagian lai dari masyarakat petani ada yang bertani dnegan system sewa dan
ataupun beli tanah sementara (jangka waktu yang ditentukan oleh pihak penjual
dan pembeli).
Dalam pembukaan sawah (turun bangket) pada pergantian musim kemarau ke
musim hujan pada sebagian masyarakat (secara khusus sebagian Lombok Barat)
masih sangat kental pengaruh budaya Hindu. Mereka menandai datangnya
musim hujan dengan membawa sesajian (pejawali) dan dirangakai dengan
perang tupat (sasak topat) di Lingsar Narmada Lombok Barat.
6
Tanah pecatu adalah tanah adapt yang diberikan kepada seseorang karena mereka baik dalam
bidang agama (penghulu), kebudayaan dan peran sosisal seperti keliang (kepala dusun) atau pekasih.
Kepemilikan terhadap tanah pecatu ini bersifat sementara sebab bila bila tokoh tersebut mengundurkan diri
dari tugas-tugasnya, maka menggarap tanah pecatu tersebut berpindah ke tangan petugas baru yang
menggantikannya.
hubungan erat dan saling ketergantungan fungsional dengan kegiatan social
ekonomi ;
4. Pola konsumsi pada umumnya terdiri dari nasi, ikan, dan
sayur-mayur. Makan buah dianggap sebagai pelengkap. Bagi masyarakat
petani mereka mendapatkan ikan terkadang dengan barter dengan pedagang,
sementara sayur-mayur dapat mereka penuhi dari hasil yang ditanam di
tanah persawahan ;
5. Makanan pokok mereka adalah.