You are on page 1of 8

Sejarah Pelacuran

Pelacuran[1] sejak jaman dahulu telah hadir dan berkembang di kehidupan manusia, karena seiring dengan hadirnya manusia di muka bumi ini. Seperti menurut Hull (1997) menyatakan bahwa adanya perkembangan pelacuran di Indonesia dari masa ke masa yang dimulai dari masa kerajaan-kerajaan di Jawa, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan setelah kemerdekaan. Pada masa kerajaan di Jawa, perdagangan wanita yang kemudian akan dimasukan dalam dunia pelacuran terkait dengan sebuah sistem pemerintahan yang feodal. Bentuk pelacuran ini disebabkan oleh konsep kekuasaan raja yang bersifat agung, mulia dan tak terbatas, sehingga mendapatkan banyak selir. Muncul pula anggapan bahwa, semakin banyak selir yang dimiliki raja maka semakin kuat pula posisi raja di mata masyarakat. Sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks seperti masyarakat modern ini, meskipun apa yang dilakukan pada masa itu dapat membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang sekarang. Setelah masa kerajaan, pelacuran muncul kembali dengan wajah yang berbeda dalam masa penjajahan Belanda. Pada periode penjajahan Belanda, bentuk pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat. Didasarkan pada pemenuhan kebutuhan pemuasaan seks masyarakat Eropa yang ada di Indonesia, dengan melalui adanya selir-selir. Juga adanya dasar alasan lain mengapa pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat, yaitu sistem perbudakan tradisional. Contohnya dalam pertumbuhan industri seks di pulau Jawa dan Sumatera, berkembang seiring pendirian perkebunan-perkebunan. Para pekerja perkebunan dengan mayoritas laki-laki akan menciptakan permintaan aktivitas prostitusi. Komersialisasi seks di Indonesia terus berkembang, selama pendudukan Jepang (antara tahun 19411945), semua perempuan yang dijadikan budak sebagai wanita penghibur dikumpulkan dan dijadikan satu dalam rumah-rumah bordir. Bukan hanya wanita yang tadinya memang sebagai wanita penghibur saja yang masuk ke rumah bordir, di masa pemerintahan Jepang banyak pula wanita yang tertipu ataupun terpaksa melakukan hal tersebut (Hull, 1997:13). Dalam suatu acara di televisi[2] mengkisahkan bahwa ada seseorang wanita yang dipaksa menjadi wanita penghibur bagi tentara Jepang pada jaman dahulu, yang sampai sekarang sering diejek dan dikucilkan oleh masyarakat karena dia dianggap sebagai pelacur. Terdapat kaitan antara ekonomi dengan pelacuran, seperti yang diungkapkan oleh Geertz (1963, dalam Hull 1997) yang menyatakan bahwa ada dua perbedaan perekonomian yang berkembang di daerahdaerah kota. Perekonomian yang pertama, kelompok perekonomian yang sifatnya komersial dimana perdagangan dan industri berlangsung dengan cara tidak melakukan kontak langsung dengan pelakupelaku ekonomi. Perkembangan yang ke dua adalah, ekonomi bazaar terdiri dari berbagai macam kegiatan ekonomi ditujukan untuk melayani kebutuhan konsumen dan dikelola oleh sekolompok penjual yang berkompetisi ketat, dan saling berkomunikasi melalui transaksi. Masa penjajahan, komersialisasi seks diikuti oleh bentuk perdagangan seks yang berkembang mencerminkan dualistik dari struktur perdagangan ekonomi komersial dan bazaar.

Terdapat perbedaan kehidupan wanita tuna susila dari kedua masa penjajahan tersebut (Belanda dan Jepang), yang ditegaskan dalam sebuah dokumen yang dikumpulkan majalah mingguan Tempo (1992) yang menyebutkan bahwa wanita-wanita yang dijadikan pelacur pada kedua masa penjajahan tersebut lebih menyukai kehidupannya yang nyaman pada masa penjajahan Belanda dibanding dengan masa penjajahan Jepang. Hal ini dikarenakan banyak Sinyo yang memberi hadiah (pakaian, uang, perhiasan, tempat tinggal), sedangkan orang Jepang terkenal pelit dan lebih suka kekerasan (Hull, 1997:15). Kemudian pelacuran lebih bervariatif pada tahun 1980-an dengan diawali munculnya fenomena baru yaitu hadirnya perek , yang biasa diartikan sebagai perempuan eksperimental. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga kalangan ekonomi menengah, masih bersekolah, dan bekerja sebagai pekerja seks. Menurut Murray (1993:5, dalam Hull 1997) menyatakan bahwa mereka menekankan kepentingan diri sendiri, secara bebas melakukan hubungan seks dengan siapa saja yang mereka inginkan, dengan atau tanpa bayaran. Biasanya seorang perek adalah seseorang wanita muda, dengan memiliki jiwa petualang dan mempunyai sikap melawan. Terdapat beberapa penelitian yang sudah dilakukan, tidak sedikit mengangkat wacana seksualitas. Penelitian bertemakan seksualitas biasanya dibalut dengan isu politik, gender, kemiskinan, budaya, kesenian, agama, mata pencaharian, gaya hidup, dan masih banyak lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Amaliah dengan lokasi penelitian di Jakarta menyatakan bahwa akibat dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 dan mencapai puncaknya awal tahun 1998 menimbulkan dampak yang besar bagi masyarakat. Harga barang-barang kebutuhan membumbung tinggi sementara banyak karyawan terkena PHK, biaya sekolah semakin mahal sehingga banyak anak-anak yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Rendahnya pendidikan dan kurangnya keahlian menyebabkan anak-anak dan remaja mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu cara adalah menjadi pekerja seks muda . Dari sampel yang diambil berjumlah 200 responden. Hasil dari penelitian ini adalah 59,5% dari 100% responden berpendidikan SMA, dengan 95% status belum menikah dan yang menjadi janda 5% (http://digilib.itb.ac.id). Di kota Bogor didapat data bahwa ada beberapa dari remaja yang masih berusia sekolah menjajakan tubuhnya menjadi pekerja seks komersial. Disebabkan oleh letak kota yang dijadikan sebagai daerah menyangga ibukota Jakarta, sehingga pengaruh gaya hidup kota Jakarta yang kerap diikuti oleh remaja kota Bogor. Salah satu contoh adalah terbongkarnya kasus prostitusi di kalangan anak-anak di bawah umur pada bulan Februari dan Agustus 2006 lalu. Pelajar yang kedapatan melacurkan diri ini, justru mengaku melakukannya secara suka rela (http://www.indosiar.com). Kebanyakan para pekerja seks remaja memang memiliki masalah berbeda-beda ketika akhirnya memutuskan diri terjun ke dunia prostitusi. Ada yang merasa sudah terlanjur kehilangan kegadisan akibat hubungan tak terkendali, masalah keluarga, atau sekedar mencari kesenangan di luar rumah dan jangan salah jika mata rantai ini akan terus panjang karena adanya pengaruh dari teman sepergaulan yang menuntut untuk menjadi pekerja seks. Selain itu uang juga turut ambil peranan, remaja yang sudah merasakan enaknya memegang uang dalam jumlah relatif besar untuk ukuran mereka bisa dengan mudah dan enak memanfaatkan uang tersebut untuk kesenangan mereka.

Kota Surabaya adalah kota kedua setelah Jakarta, di kota ini pun sudah tentu terdapat tempat-tempat pelacuran. Sejarah industri seks di Surabaya, tergolong sangat unik. Pada saat penjajahan setelah perkembangan kota pelabuhan, pangkalan angkatan laut, pangkalan tentara garnisun, daerah tujuan akhir lintasan kereta api, akhirnya daerah Surabaya menjadi aktivitas pelacuran. Sampai saat ini, kota Surabaya masih dijadikan sebagai salah satu tujuan kota yang memiliki tempat lokalisasi terbesar dan terkenal se Asia Tenggara (Hull, 1997: 7-9). Terdapat prostitusi terselubung di kota Surabaya yang berkaitan dengan pekerja seks remaja. Pada dasarnya wanita yang dijadikan sebagai pekerja seks adalah wanita berumur sekitar 16-20 tahun. Modusnya adalah mereka menjadi pekerja seks melalui perantara (germo), dengan sistem bagi hasil sekitar 70% untuk pekerja seks dan 30% untuk germo. Alasan utama mereka menjadi pekerja seks sangat klise, yaitu keadaan ekonomi keluarga mereka yang kurang mampu, juga ada diantara mereka yang diajak teman sepergaulan mereka untuk menjadi pekerja seks. Mereka (pekerja seks) berasal dari sekolah-sekolah di sekitar Kalidami, Menur, Semolowaru, dan dari sekolah-sekolah lainnya. Proses pencarian merekapun tergolong rumit, karena mereka bekerja melalui perantara (germo). Maka seseorang yang menginginkan berhubungan seks dengan pekerja seks tersebut, harus berhubungan dahulu dengan germonya untuk melakukan transaksi. Jika transaksi sudah disepakai, maka germo menghubungi pekerja seks yang sesuai dengan keinginan pelanggan. Mereka pun bisa disewa sesuka pelanggan, ada yang short time (6 jam) dan ada juga yang long time (12 jam sampai dengan sehari). Namun untuk menyewa mereka dengan sistem long time biasanya jarang dilakukan, karena keengganan pekerja seksnya sendiri. Tarif yaang dipakai germo biasanya sekitar Rp. 150.000,- sampai ada yang Rp.750.000,-. Tergantung pada lamanya waktu dalam transaksi juga syarat-syarat yang diinginkan pelanggan dalam memilih pekerja seks. Data diatas adalah hasil investigasi sebuh stasiun televisi[3] . Menurut Bachtiar dan Purnomo (2007), menceritakan kehidupan pekerja seks di lokalisasi Dolly Surabaya. Bahctiar menyatakan bahwa pelacur adalah sebuah profesi yang dikategorikan sebagai profesi non formal yang memiliki permasalahnnya sendiri. Terdapat pro kontra dari masyarakat tentang lokalisasi jarak dan Dolly. Mereka yang pro beranggapan bahwa lokalisasi memiliki peran besar bagi perekonomian kerakyatan, disekitar Dolly dan Jarak banyak masyarakat yang membuka usaha seperti warung makan, menjual pakaian, warung telepon, menyewakan kamar, menyewakan toilet, membuka warung kelontong, tempat parkir, dan lain-lain. Mereka yang kontra beranggapan bahwa lokalisasi yang menyediakan pelacur dianggap oleh masyarakat mengotori agama, yang pada dasarnya dengan adanya lokalisasi mampu memberikan dampak buruk. Contohnya saja merusak moralitas masyarakat, karena pelacur adalah salah satu penyakit sosial. Diceritakan juga bahwa di Dolly dan Jarak terdapat banyak bisnis prostitusi yang menguntungkan dengan cara pembagian jenis-jenis bisnis prostitusi sesuai dengan kelas yang diinginkan. Alasan menjadi pelacur pun bermacam-macam ada yang karena faktor ekonomi, kemalasan, pendidikan, tuntutan keluarga, sakit hati, dan lain-lain. Menceritakan juga suka duka yang dijalani pekerja seks di sana, dari mulai ditipu, mendapat uang lebih, dicuri, terjerat utang, mencintai pelanggan, dan lainnya (Bachtiar, 2007). Bertujuan untuk mengetahui jumlah remaja yang sudah mengalami hubungan seksual, maka dilakukan sebuah polling oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Sahabat Anak Dan Remaja Indonesia (Sahara Indonesia) menyebutkan bahwa 44,8 persen mahasiswa dan remaja di Bandung telah melakukan

hubungan seks sebelum menikah. Mereka peserta polling mengakui bahwa yang melakukan hubungan seksual ada yang melakukannya dengan pacar, teman dekat, orang asing, om-om. Sekitar 1000 remaja peserta konsultasi (curhat) dan polling yang dilakukan Sahara Indonesia selama tahun 2000 - 2002, tempat mereka melakukan hubungan seksual terbesar dilakukan di tempat kos (51,5 persen). Menyusul kemudian di rumah (30 persen), di rumah perempuan (27,3 persen), di hotel (11,2 persen), di taman (2,5 persen), di tempat rekreasi (2,4 persen), di kampus (1,3 persen), di mobil (0,4 persen) dan tak diketahui (0,7 persen). Banyaknya mahasiswa yang menjadikan kos-kosan sebagai tempat melakukan hubungan seks karena ada kecendrungan pola hubungan sosial sangat renggang antara pemilik kos dengan penghuni yang bersifat hubungan transaksional. Menyebabkan tempat kos bebas tanpa ada yang mengawasi. Pelacuran tidak terlepas dari gaya hidup seseorang. Gaya hidup mampu menjelaskan pandangan seseorang akan suatu hal seperti status sosial, serta berbagai corak baik lama maupun yang baru dalam sebuah budaya modern. Gaya hidup merupakan ciri dari sebuah dunia modern, bisa dikembangkan melalui pola perilaku manusianya itu sendiri atau dengan melalui benda serta orang lain. Gaya hidup juga bisa diartikan sebagai suatu pola-pola tindakan yang membedakan antara seseorang dengan orang lain, dalam kehidupan sehari-hari manusia bisa memberikan suatu contoh dari gaya hidup tanpa harus menjelaskan pengertian dari gaya hidup, karenanya gaya hidup mampu memahami (menjelaskan sesuatu tapi bukan berarti membenarkan) apa yang orang lakukan, mengapa mereka melakukannya, dan apa yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya ataupun orang lain (Chaney. 1996:40). Berdasarkan beberapa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa pelacuran akan selalu berkembang seiring perubahan yang terjadi setiap jamannya. Sejarah pelacuran mampu memperlihatkan bagaimana keadaaan sosial ekonomi suatu masyarakat di suatu tempat dan waktu tertentu. Pelaku yang melakukan pelacuran sudah lebih bervariatif, dahulu hanya wanita yang berusia sekitar 20 tahun ke atas. Dalam perkembangannya pelaku pelacuran saat ini pelaku pelacuran sudah ada dari usia 16 tahun. Sebab akibat dari hadirnya pelacuran berkaitan dengan sendi-sendi kehidupan, yang meliputi ekonomi, gaya hidup, status, peran, pemenuhan kebutuhan hidup, pengaruh pergaulan dan lingkungan sekitar, masalah keluarga, dan lain-lain. Sebab dan akibatnya akan saling berhubungan satu sama lain. Penelitian ini mengangkat isu di kalangan siswi sekolah menengah yang berkaitan dengan adanya dorongan aktualisasi diri dalam peer group. Siswi sekolah yang dimaksud adalah pekerja seks yang sering disebut Ayam Abu-abu . Istilah Ayam dipakai dalam penelitian ini, didasarkan pada tulisan (McCoy, McGuire, Curtis, dan Spunt 2005:820) yang menyatakan bahwa istilah Ayam ditujukan pada seseorang wanita yang masih muda (usia sekolah), memiliki identitas diri sebagai wanita tuna susila, dan dianggap sebagai wanita nakal yang berdandan menor atau molek. Ayam abu-abu adalah salah satu istilah yang dipakai untuk memberikan identitas bagi seorang pekerja seks komersial. Ayam abuabumenunjukkan bahwa seorang pekerja seks pada saat bertransaksi atau mangkal memakai pakaian seragam sekolah menengah umum (putih-abu). Ada diantara mereka yang memakai pakaian seragam sekolah bukan karena mereka siswi sekolah menengah umum, melainkan sebagai salah satu cara mereka untuk menarik minat pelanggan. Seperti dijelaskan oleh salah satu informan dari PKBI ASA A:

Bukan hanya anak sekolah saja loh yang sering mangkal pakai baju seragam, ada pekerja seks yang di stasiun juga pakai seragam sekolah. Cuma kita dari PKBI belum bisa menjangkau anak-anak sekolah saja, karena sulit melakukan pendekatan terlebih masalah kesehatan reproduksi

Di kota Bandung, istilah yang ditujukan bagi pekerja seks diantaranya adalahbayur (dikhususkan pada wanita yang suka diajak jalan-jalan naik mobil mewah), jablai(dipengaruhi oleh soundtrack film Mendadak Dangdut yang dinyanyikan oleh Titi Kamal, yang artinya jarang dibelai), perek (perempuan eksperimen). Di kota Bandung misalnya, pekerja seks bermacam macam bentuknya. Dari mulai pekerja seks yang bertempat tinggal di lokalisasi, pekerja seks yang berada diluar lokalisasi (pinggir jalan, daerah sekitar stasiun, di lingkungan kampus yang sering disebut sebagai ayam kampus), pekerja seks waria, pekerja seks gay, yang kesemuanya ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pekerja seks yang berada di suatu lokalisasi misalnya, mereka lebih merasakan keamanan dalam bekerja, karena dalam suatu lokalisasi memiliki sistem keamanan khusus. Mereka tidak harus bersusah payah mencari tempat mangkal baru, karena telah tersedia. Terakhir pekerja seks yang berada di suatu lokalisasi akan lebih terorganisir, sehingga lebih teratur. Contohnya di kawasan lokalisasi saritem , lokasinya berada di kawasan Gardu Jati, kelurahan Kebon Jeruk Kecamatan Andir. Sistem keamanan sudah terlihat di bagian depan kawasan saritem. Bukan disimpan beberapa satpam atau petugas keamanan, melainkan terdapat gardu atau gapura yang bertuliskan selamat datang di kawasan pondok pesantren. Gapura ini berada tepat disamping jalan Gardu Jati. Entah kenapa ini merupakan faktor disengaja atau tidak, yang bertujuan untuk menutupnutupi keberadaan lokalisasi ini. Akan tetapi pada kenyataannya keberadaan pondok pesantren di kawasaan Saritem tidak menjadi sebuah konflik dalam lingkungan masyarakat. Sistem keamanan juga dilakukan dengan mengeluarkan peraturan bahwa tamu atau pengunjung yang masuk ke wilayah Saritem, tidak diperbolehkan menaiki atau mengendarai sepeda motor. Bukan hanya karena faktor keamanan saja, hal ini juga disebabkan oleh kondisi jalan yang sempit, tidak ada tempat yang luas untuk parkir, dan menghindari adanya kecurangan pengunjung dalam membayar pekerja seks. Di belakang stasiun kota Bandung juga terdapat sebuah kawasan yang menampung banyak pekerja seks, dari mulai pekerja seks remaja, pekerja seks dewasa, hingga pekerja seks waria. Daerah ini tepat berada di samping jalan Stasiun Besar, di sebelah timur Pasirkaliki Sequare. Mereka hidup dengan sistem kontrak kamar berukuran 3X2 M, dengan membayar harga sewa sekitar Rp. 60.000,- per bulan. Dalam satu blok atau keseluruhan, terdapat sekitar 40 kamar yang terdiri dari 2 lantai. Mereka hidup berdampingan satu sama lain, ada yang satu keluarga semuanya menjadi pekerja seks, ada yang menjadi korbanTrafficking, ada juga yang kabur dari lokalisasi Saritem karena tidak mau terkekang oleh germo. Tempat yang sering dijadikan mangkal adalah di sepanjang jalan Stasiun Besar, sepanjang jalan Kebon Jati, dan ada beberapa waria yang mangkal-nya tidak tetap. Bagi pekerja seks yang berada di luar lokalisasi, juga memiliki kelebihan tersendiri. Dalam memilih pelanggan atau pasangan kencan, mereka akan lebih bebas memilih pasangan mana yang sesuai dengan

harapan. Kemudian pekerja seks dalam melaksanakan tugasnya tidak merasa terikat oleh germo atau petugas keamanan. Pekerja seks tersebut boleh mangkal kapan saja sesuai keinginan, dan pendapatan yang didapat tidak dibagi dengan germo. Pekerja seks yang tersebar di beberapa kawasan pada malam hari di kota Bandung diantaranya adalah di jalan Riau, jalan Kalimantan, jalan Setia Budi (ke arah Lembang), jalan Braga, jalan Aceh, dan beberapa jalan lainnya. Di sekitar jalan Braga misalnya, kebanyakan pekerja seks yang mangkal berpenampilan layaknya penyanyi dangdut. Mereka memakai sepatu boot, rok mini, atasan yang berwarna cerak bahkan mencolok, dan memakai bulu-bulu. Mereka berdandan layaknya penyanyi dangdut, dikarenakan di daerah sekitar Braga terdapat banyak kelab malam yang bernuansa dangdut yang menyajikan live musik dangdut. Lain halnya dengan Ayam Kampus kota Bandung, mereka meskipun tergolong pekerja seks di luar lokalisasi. Namun jaringan mereka lebih terorganisir, karena ada beberapa orang yang mengurus. Namun di beberapa kampus atau universitas di kota Bandung, Ayam Kampus sudah menjadi hal yang biasa. Mereka secara terang-terangan mengakui pekerjaannya sebagai pekerja seks komersial, ini dikarenakan persaingan yang ketat antar Ayam Kampus membuat mereka mengadakan persaingan secara terbuka. Kebutuhan hidup yang semakin banyak, membuat para Ayam Kampus tersebut berlomba-lomba mencari uang lebih banyak lagi. Ketertarikan peneliti meneliti tema Ayam Abu-abu di kota Bandung, bukan hanya karena peneliti memiliki latar belakang sosio-kultural yang sama dengan yang diteliti serta faktor kepraktisan karena peneliti berasal dari daerah tersebut tetapi karena peneliti merasakan adanya perubahan yang berarti dalam tatanan masyarakat di kota Bandung.Dahulu menjadi seorang pekerja seks masih dianggap sebagai hal yang tabu dan memiliki nilai negatif dalam masyarakat, namun pada akhir-akhir ini pekerjaan itu sudah menjadi biasa dan sangat lumrah. Bahkan seorang siswi sekolah menengah umum tidak malu lagi, bekerja menjadi seorang Ayam Abu-abu. Mereka menganggap bahwa pekerjaan ini sangat mudah dan cepat untuk mencari uang, sehingga pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi diri dalam peer group akan tercapai dengan mudah. Menjadi seorang Ayam Abu-abu juga bukan hanya karena sisi ekonomi semata, melainkan karena pengaruh gaya hidup yang dihembuskan melalui modernisasi yang global. Berdasarkan pada ketertarikan tersebut, peneliti merasa bahwa hal ini sangat pas diangkat sebagai tema suatu penelitian. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan ini dapat digali sedalam-dalamnya tanpa mencampuri perasaan peneliti. Peneliti menjadikanya sebuah laporan yang dapat membantu seseorang untuk mengetahui perihal tersebut.

[1] Pelacuran adalah nama lain dari prostitusi, istilah ini sering dikaitkan dengan wanita yang menjual dirinya kepada laki-laki lain. Dari http://www.wikipedia menjelaskan bahwa pelacuran adalah penjualan jasa seksual, seperti oral seks atau hubungan seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).

[2] Acara kick andy di Metro TV, hari Selasa tanggal 17 April 2007. Mengulas mengenai nasib wanita penghibur di masa pemerintahan Jepang. [3] Acara Fenomena di Trans TV, yang ditayangkan pada hari Senin tanggal 10 April 2006, pukul 23.00 WIB.

You might also like