You are on page 1of 24

KONSOLIDASI DEMOKRASI MELALUI AMANDEMEN

KONSTITUSI :
PENGALAMAN INDONESIA

(Hasyim Asy’ari)
Universitas Diponegoro

Abstrak
Demokratisasi memiliki dua aspek, yaitu transisi
demokrasi dan konsolidasi demokrasi. Transisi
dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama, yang
kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan
lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di
bawah payung demokrasi. Proses konsolidasi
demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil
komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan
main demokrasi. Konstitusi baru yang telah
terbentuk akan memberikan jaminan bagi prosedur
tetap pembuatan keputusan politik. Implementasi
dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format
baru sistem politik dan institusi politik. Tulisan ini
akan membahas tentang konsolidasi demokrasi
melalui amandemen konstitusi di Indonesia.

Keywords : 1. Konsolidasi Demokrasi-- 2. Amandemen Konstitusi-- 3.


Indonesia.

Pengantar

Arus demokratisasi di Indonesia agaknya berjalan begitu cepat. Terhitung


sejak turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998,
serangkaian peristiwa politik menandai transisi menuju demokrasi di
Indonesia. Pengalaman Indonesia yang berada dalam kungkungan rezim
otoriter selama kurang lebih 32 tahun tentu saja sedang mencari pola
demokratisasi yang tepat untuk dipraktekkan. Penyelenggaraan Pemilu 1999
di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie sebagai awal dimulainya
transisi demokrasi. Hasil Pemilu 1999 berupa lahirnya kelembagaan
perwakilan rakyat (MPR) yang kemudian melanjutkan agenda demokratisasi

1
ini melalui serangkaian amandemen konstitusi terhadap Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945.1
Sejak amandemen konstitusi UUD 1945 yang secara tegas
meneguhkan eksistensi kedaulatan rakyat sebagai prinsip umum demokrasi,
implementasi ke dalam pasal-pasal UUD 1945 hasil amandemen juga turut
menyertainya.2 Nomenklatur dan gagasan tentang pemilihan umum (pemilu)
sebagai aspek demokratisasi juga menjadi hal baru dalam khazanah konstitusi
Indonesia.
Tulisan ini akan membahas tentang konsolidasi demokrasi di Indonesia
melalui amandemen konstitusi. Konsolidasi demokrasi yang dikaji dalam
tulisan ini akan memfokuskan diri pada institusionalisasi politik melalui strategi
rekonstitusi atau amandemen konstitusi. Studi ini relevan dilakukan, karena
Indonesia sebagai negara yang memiliki populasi penduduk tertinggi ketiga di
dunia potensial menjadi negara besar yang mempraktekkan demokrasi
setelah Amerika Serikat dan India. Pola demokratisasi di Indonesia dapat
menjadi model transisi dan konsolidasi demokrasi dalam ranah studi-studi
demokratisasi.

Konsolidasi Demokrasi

Dalam khazanah studi-studi demokratisasi, Samuel Huntington dalam


studinya tentang “gelombang demokratisasi ketiga”,3 menggambarkan bahwa
demokratisasi pada tingkatan yang paling sederhana mensyaratkan terjadinya
tiga hal, yaitu (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter; (2) dibangunnya sebuah
rezim demokratis; (3) pengkonsolidasian rezim demokratis itu. Alfred Stepan
menyebutkan bahwa transisi demokrasi dari rezim otoriter ada tiga model

1
Lihat : R. William Liddle, 2002, “Indonesia’s Democratic Transition : Playing by the Rules”, dalam
Andrew Reynolds (ed.), 2002, The Architecture of Democracy : Constitutional Design, Conflict
Management, dan Democracy, ((Oxford : Oxford University Press), hlm. 373-399.
2
Hendarmin Ranadireksa, 2002, Amandemen UUD 45 Menuju Konstitusi yang Berkedauatan Rakyat,
(Jakarta : Yayasan Pancur Siwah), hlm. 105-107.
3
Samuel P. Huntington, 1995, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta : Grafiti).

2
kemungkinan4 : (1) penjajahan dari luar dan peperangan internal; (2)
tranformasi internal dari elit rezim otoriter menuju rezim demokratis; (3)
kekuatan internal kelompok oposisi yang menumbangkan kekuasaan otoriter
yang berkuasa.
Sementara Samuel Huntington menyebutkan bahwa ada tiga
kemungkinan model demokratisasi, yaitu (1) transformasi (reforma), yaitu
demokratisasi terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori proses
perwujudan demokrasi. (2) Replacement (ruptura), yaitu demokratisasi terjadi
ketika kelompok oposisi mempelopori proses perwujudan demokrasi, dan
rezim otoriter tumbang atau digulingkan. (3) Transplacement (ruptforma), yaitu
demokratisasi terjadi sebagai sebuah hasil tindakan bersama antara kelompok
pemerintah dan kelompok oposisi.
Dengan demikian, demokratisasi memiliki dua aspek, yaitu transisi
demokrasi dan konsolidasi demokrasi.5 Transisi demokrasi adalah titik awal
antara rezim otoritarian dengan rezim demokratis. Transisi dimulai dari
keruntuhan rezim otoritarian lama, yang kemudian diikuti atau berakhir dengan
pengesahan lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung
demokrasi.
Proses konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil
komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi.6
Konsolidasi demokrasi juga dipahami sebagai sebuah proses panjang yang
mengurangi kemungkinan pembalikan demokratisasi, mencegah erosi
demokrasi, menghindari keruntuhan demokrasi, yang diteruskan dengan
melengkapi demokrasi, pendalaman demokrasi dan mengorganisir demokrasi
secara berkelanjutan.7
Dalam konsolidasi demokrasi diawali dengan negosiasi (transaksi)

4
Alfred Stepan, 1993, “Berbagai Jalur Menuju Demokratisasi : Sejumlah Pertimbangan Teoritis dan
Komparatif”, dalam Guillermo O’Donnell, Philippe C. Schmitter and Laurence Whitehead (eds.), 1993,
Transisi Menuju Demokrasi : Tinjauan Berbagai Perspektif, (Jakarta : LP3ES), hlm. 104-143.
5
Giuseppe di Palma, 1997, Kiat Membangun Demokrasi : Sebuah Esai tentang Transisi Demokrasi,
(Jakarta : Yayasan Sumber Agung).
6
Laurence Whitehead, 1989, “The Consolidation of Fragile Democracy”, dalam Robert Pastor (ed.),
Democracy in the Americas, (New York : Holmes), hlm.30.
7
Andreas Schedler, 1998, “What is Democratic Consolidation?”, Journal of Democracy, No. 2.

3
politik yang hendak mempromosikan sistem atau aturan main baru ketimbang
merusak sistem lama. Struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama
proses transisi akan dimantapkan, diinternalisasikan dan bahkan diabsahkan
dalam proses konsolidasi. Akhirnya proses konsolidasi akan menghasilkan
penetapan sistem demokrasi secara operasional dan ia akan memperoleh
kredibilitas di hadapan masyarakat. Karena itu, konsolidasi demokrasi tidak
hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural dan
lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi yang
terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, partai, kelompok kepentingan, dan
lainnya menganggap bahwa tindakan demokratis sebagai alternatif utama
untuk meraih kekuasaan (democracy as the only game in town), dan tidak ada
aktor atau kelompok yang mempunyai klaim terhadap tindakan yang sudah
dipilih secara demokratis.
Proses konsolidasi demokrasi jauh lebih kompleks dan panjang setelah
transisi. Karena itu, studi-studi tentang konsolidasi demokrasi juga jauh lebih
kompleks dan bervariasi ketimbang studi transisi. Studi-studi konsolidasi
demokrasi, menurut Goran Hyden, memiliki empat pendekatan.8 Pertama,
pendekatan agen-elite yang memfokuskan studinya pada interaksi elite politik,
baik pemimpin, penyelenggara negara maupun politisi. Menurut pendekatan
ini, elite harus mempunyai sikap, pilihan, tindakan dan keyakinan yang kuat
pada demokrasi serta saling membangun konsensus bersama untuk
konsolidasi demokrasi.
Kedua, pendekatan teori budaya politik. Pendekatan ini selalu
menekankan bahwa budaya politik demokratis (toleran, egalitarian,
kompromis, akomodatif, kompeten) sebagai prasyarat bagi tumbuhnya
demokrasi. Pendekatan teori budaya politik ini memiliki dua fokus, yaitu relasi
horisontal antar-warga masyarakat dan relasi vertikal antara elit-massa atau
pemerintah-rakyat. Secara horisontal, demokrasi mengajarkan tentang
pluralisme, yaitu semangat hubungan yang menghargai perbedaan dan

8
Goran Hyden, 2002, “Development and Democracy : An Overview”, dalam Ole Elgstrom and Goran
Hyden (eds.), Development and Democracy : What Have We Learn and How?, (London : Routledge),
hlm. 2.

4
melewati batas-batas etnis, agama, daerah, bahasa dan unsur-unsur
primordial lainnya. Secara vertikal, demokrasi mengajarkan bahwa relasi
pemerintah dengan rakyat atau antara elite dengan massa bukan berdasar
kepada klientelisme, paternalisme atau patrimonialisme, namun berdasar
kepada prinsip kewarganegaraan.
Ketiga, pendekatan pembangunan ekonomi dan demokrasi.
Pendekatan ini memiliki dua pandangan yang berbeda. Pada satu sisi,
terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi, yaitu
pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berperan sebagai penopang
tumbuhnya demokrasi. Namun pada sisi lain justru sebaliknya, terdapat
korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan munculnya rezim
otoriter-birokratis, yaitu pertumbuhan ekonomi justru ditopang oleh
keberadaan rezim otoriter-bikroratis.
Keempat, pendekatan struktur-massa, yaitu pendekatan yang lebih
fokus kepada gerakan-gerakan sosial dalam masyarakat dalam proses
demokrasi. Pendekatan ini memfokuskan diri untuk mengkaji peranan civil
society dalam proses demokratisasi.
Sependapat dengan Goran Hyden, Larry Diamond berpendapat bahwa
terdapat empat pendekatan dalam studi-studi konsolidasi demokrasi, yaitu (1)
pendekatan aktor elite; (2) pendekatan institusional; (3) pendekatan budaya
politik; dan (4) pendekatan yang barhaluan kepada masyarakat (civil society).9
Pendekatan institusional, menurut Larry Diamond, yaitu pentingnya
institusionalisasi politik dalam proses konsolidasi demokrasi. Pendekatan ini
merupakan bagian dari tiga tugas dalam konsolidasi demokrasi : pendalaman
demokrasi, institusionalisasi politik dan mengontrol kinerja rezim. Pendalaman
demokrasi membuat struktur-struktur formal demokrasi menjadi lebih liberal,
akuntabel, representatif dan aksesibel.10
Institusionalisasi politik melibatkan konvergensi yang mapan pada

9
Larry Diamond, 2003, Developing Democracy Toward Consolidation, (Yogyakarta : IRE).
10
Adam Przeworski et.al. (eds.), 1999, Democracy, Accountability and Representation, (Cambridge :
Cambridge University Press).

5
tingkat aturan dan prosedur dalam persaingan dan aksi politik.11 Konsolidasi
demokrasi harus mampu melakukan penguatan tiga tipe institusi politik, yaitu
aparat administrasi negara (birokrasi); institusi representasi dan
penyelenggaraan demokrasi (partai politik, parlemen dan sistem pemilihan
umum); dan struktur-struktur yang menjamin akuntabilitas horisontal,
konstitusionalisme, dan pemerintahan berdasar hukum (sistem peradilan dan
lembaga pengawasan). Institusionalisasi politik ini adalah upaya memperkuat
struktur demokrasi representatif dan pemerintahan formal, sehingga menjadi
lebih koheren, kompleks, otonom, mudah beradaptasi, dan karenanya lebih
kapabel, efektif, berharga, dan mengikat.
Proses konvergensi elite dalam konsolidasi demokrasi tidak sekedar
untuk mencapai kesepakatan atau untuk mengakhiri konflik di antara mereka,
tetapi juga menjadi bagian dari proses institusionalisasi politik, yang di
dalamnya mencakup agenda rekonstitusi maupun penciptaan prosedur
kelembagaan baru yang kondusif bagi demokrasi. Institusionalisasi politik
pada dasarnya hendak melakukan reformasi sistemik institusi politik, prosedur
dan aturan main yang lebih cocok dengan demokrasi.
Setidaknya ada tiga sasaran dalam melakukan institusionalisasi politik,
yaitu (1) institusi eksekutif-negara (lembaga kepresidenan, sistem
pemerintahan, birokrasi dan militer); (2) institusi perwakilan (parlemen, partai
politik dan pemilihan umum); dan (3) lembaga peradilan dan sistem hukum.
Dalam konteks ini, para pemimpin politik melakukan crafting yang didukung
oleh partisipasi dan konsultasi publik, untuk membuat sistem baru yang
dituangkan dalam konstitusi atau perundang-undangan. Tujuan
institusionalisasi politik ini adalah membuat institusi politik menjadi lebih
akuntabel, transparan, terkontrol, responsif, partisipatif, dan berpijak pada rule
of law.
Urgensi rekonstitusi (amandemen konstitusi) dalam konsolidasi
demokrasi adalah bahwa norma-norma konstitusional baru yang dihasilkan
dari konsolidasi konstitusional, hadir pada langkah awal dalam proses
11
John Higley and Richard Gunther (eds.), 1992, Elites and Democratic Consolidation in Latin
America and Southern Europe, (Cambridge : Cambridge University Press).

6
konsolidasi demokrasi.12 Norma-norma itu memberi petunjuk pola-pola
perilaku formal dalam konstestasi politik, yang dikembangkan dan
dinegosiasikan dalam proses transisi, dan memantapkan standarisasi
penyelenggaraan kekuasaan. Kegiatan merancang konstitusi baru
(rekonstitusi atau amandemen konstitusi) terjadi pada bagian awal konsolidasi
demokrasi, dan mulai memberi kesempatan pada konsolidasi level berikutnya.
Bahkan konstitusi baru yang telah terbentuk akan memberikan jaminan bagi
prosedur tetap pembuatan keputusan politik. Pada akhirnya, implementasi dari
konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem politik dan institusi
politik.

Mengapa Amandemen Konstitusi?

Pertanyaan yang mengemuka seputar amandemen konstitusi UUD 1945


adalah mengapa perlu dilakukan amandemen terhadap UUD 1945? Berkaitan
dengan pertanyaan tersebut, terdapat beberapa alasan dilakukannya
amandemen konstitusi UUD 1945, yaitu alasan historis, alasan filosofis,
alasan yuridis, alasan teoritis, dan alasan politik.13
Pertama, alasan historis, yaitu sejarah pembentukan UUD 1945
memang didesain oleh para pendiri negara (founding fathers) sebagai
konstitusi yang “bersifat sementara” karena dibentuk dalam suasana
ketergesa-gesaan Soekarno sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dalam pidatonya pada tanggal 18 Agutus 1945 mengatakan
:
“Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah Undang-Undang
Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-
Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang
lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang
lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini

12
Felipe Aguero, 1995, Soldiers, Civilians, and Democracy : Post-Franco Spain in Comparative
Perspective, (Baltimore : The John Hopkins University Press).
13
Abdul Mukthie Fadjar, 2002, “Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik”, dalam
Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas (eds.), 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi
Konstitusi Independen, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan), hlm. xxxiii-xxxv.

7
adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar
kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti
kita membuat Undang-Undang Dasar jang lebih sempurna dan lengkap.”14

Pada kesempatan yang lain, yaitu saat pelantikan anggota Konstituante


pada tanggal 10 Nopember 1956, Soekarno menyampaikan pidato tentang
“sifat sementara” konstitusi UUD 1945. Dalam pidatonya, Soekarno
mengatakan :
“Kita bukan tidak punya konstitusi, malahan dengan konstitusi yang berlaku
sekarang (UUD Sementara 1950) kita sudah mempunyai tiga konstitusi. Tapi
semua konstitusi (UUD 1945, UUD RIS 1949 dan UUD Sementara 1950)
adalah bersifat sementara. Semua konstitusi itu bukanlah hasil
permusyawaratan antara anggota-anggota sesuatu konstituante yang dipilih
langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Semua
konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat pemerintah. Tapi
semua negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak
sebuah konstitusi yang dibuat oleh rakyat sendiri.”15

Kedua, alasan filosofis, yaitu dalam UUD 1945 terdapat


pencampuradukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, seperti
antara faham kedaulatan rakyat dengan faham negara integralistik, dan antara
faham negara hukum dengan faham negara kekuasaan.16
Ketiga, alasan yuridis, yaitu sebagaimana lazimnya dalam setiap
konstitusi tertulis memuat ketentuan tentang perubahan konstitusi. Ketentuan
yang mengatur tentang perubahan konstitusi ini merupakan bentuk keinsyafan
pembentuk konstitusi bahwa konstitusi merupakan produk manusia yang tidak
mungkin sempurna.17 Oleh karena itu, secara yuridis disediakan ketentuan
yang mengatur kemungkinan perubahan konstitusi. Demikian juga dalam UUD
1945 diatur ketentuan tentang perubahan konstitusi dalam Pasal 37.

14
Mohammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta : Yayasan
Prapantja).
15
Adnan Buyung Nasution, 1992, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia : A
Socio-Legal Study of the IndonesianKonstituante 1956-1959, (Utrecht : Rijk Universiteit).
16
Tentang kontradiksi-kontradiksi gagasan filosofis dalam UUD 1945, terutama antara faham
kedaulatan rakyat dengan faham negara integralistik, lihat : Marsillam Simanjuntak. 1994. Pandangan
Negara Integralistik. (Jakarta : Grafiti).
17
Perdebatan tentang ketidaksempurnaan konstitusi dan perlunya amandemen konstitusi, lihat : Sanford
Levinson (ed.), 1995, Responding to Imperfection : The Theory and Practice of Constitutional
Amendment, (Princeton, N.J. : Princeton University Press).

8
Keempat, alasan teoritis, yaitu dalam perspektif teori konstitusi,
keberadaan konstitusi bagi suatu negara pada dasarnya adalah berfungsi
untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang.
Berbeda dengan fungsi tersebut, keberadaan UUD 1945 sebagai konstitusi
sering digunakan sebagai instrumen dasar legitimasi kekuasaan negara
otoriter yang dipraktekkan baik oleh Presiden Soekarno maupun Presiden
Soeharto, sehingga berdasarkan konstitusi yang sama yaitu UUD 1945 dapat
muncul model “Demokrasi Terpimpin” era Soekarno dan “Demokrasi
Pancasila” era Soeharto, yang keduanya memiliki karakter otoriter ketimbang
demokratis.18
Kelima, alasan politik, yaitu dalam praktek politik ketatanegaraan dalam
kurun waktu sepanjang berlakunya UUD 1945 telah terjadi sejumlah
penyimpangan dan manipulasi. Manipulasi tersebut dilakukan melalui
interpretasi konstitusi secara otoriter berdasarkan selera elit yang sedang
berkuasa, di antaranya dengan memanfaatkan kelemahan substansi konstitusi
yang cenderung multi-interpretasi. Termasuk dalam kategori ini adalah
inkonsistensi sistem pemerintahan Indonesia yang dianut UUD 1945, apakah
menganut sistem presidensil atau kah menganut sistem parlementer.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut, amandemen UUD 1945
diarahkan kepada tersedianya konstitusi yang demokratis, yaitu konstitusi
yang memberikan jaminan kepastian hukum dalam pengaturan lembaga
negara dan kewenangannya, jaminan kepastian perlindungan terhadap hak
asasi warga negara, dan jaminan tersedianya mekanisme checks and
balances dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dengan demikian, agenda amandemen konstitusi UUD 1945 dapat
diartikan sebagai agenda menyusun ulang desain negara (redesigning the
state).19 Karena amandemen konstitusi sebagai agenda mendesain ulang
negara, maka amandemen konstitusi UUD 1945 diarahkan kepada

18
Saldi Isra, 2002, “Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi : Memastikan Arah Reformasi
Konstitusi”, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2, hlm. 233-245.
19
Daniel J. Elazar, 1985, “Constitution-making : The Pre-eminently Political Act”, dalam Keith G.
Banting, and Richard Simeon, (eds.), 1985, The Politics of Constitutional Change in Industrial Nations
: Redesigning The State, (London : The MacMillan Press Ltd.), hlm. 232-248.

9
perumusan ulang gagasan kedaulatan rakyat, bagaimana implementasi
gagasan kedaulatan rakyat dalam praktek ketatanegaraan, dan diikuti dengan
pembentukan lembaga negara dan pemberian kewenangan kepadanya dalam
rangka pelembagaan negara.20

Amandemen Konstitusi

Negara yang menganut paham konstitusionalisme adalah negara yang


dalam mengorganisasikan pemerintahan tergantung dan taat kepada
seperangkat hukum dan prinsip-prinsip fundamental yang telah digariskan
dalam konstitusi.21 Konstitusionalisme merupakan sebagian prasyarat dari
demokrasi, karena demokrasi mengandaikan adanya sebuah pembatasan
kewenangan dari kekuasaan yang diatur dalam sebuah perangkat hukum
yang jelas.
Konstitusi diartikan sebagai seperangkat aturan yang digunakan untuk
membangun atau mengatur sebuah pemerintahan negara.22 Dalam definisi
yang lain, konstitusi diartikan sebagai sebuah dokumen yang berisi perangkat
aturan pokok tentang pemerintahan sebuah negara.23 Konstitusi dalam arti ini
akan menunjukkan sebuah gambaran tentang keseluruhan sistem
pemerintahan dalam suatu negara. Dengan demikian, konstitusi
berkududukan sebagai hukum yang fundamental sifatnya, dan hukum yang
tinggi kedudukannya. Sebagai konsekuensi dari pengertian konstitusi yang
demikian ini adalah : (1) adanya pengaturan tentang pembentukan lembaga
negara; (2) adanya pemberian kewenangan kepada lembaga-lembaga negara
tersebut; (3) sebagai konsekuensinya adalah adanya pembatasan
kewenangan terhadap lembaga-lembaga negara.
20
John P. Wheeler Jr. menyatakan bahwa “The major of a constitution is threefold: (1) to protect the
people in the exercise of their civil liberties; (2) to define the powers of government; (3) to establish the
more important, the more permanent institutions of government, such as the executive, the legislative
and the judicial.” Lihat : John P. Wheeler Jr., (ed.), 1961, Salient Issues of Constitutional Revision,
(New York : National Municipal League), hlm. xii.
21
Stephen Holmes, 1995, “Constitutionalism”, dalam Seymour M. Lipset (ed.), 1995, The Encyclopedia
of Democracy, (Washington : Congressional Quarterly Inc.), hlm. 299-306.
22
K.C. Wheare, 1966, Modern Constitutions, (London : Oxford University Press), hlm. 1.
23
S.A. de Smith, 1973, Constitutional and Administrative Law, (Middlesex : Penguin Education), hlm.
17-18.

10
Pada umumnya, konstitusi diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu
konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis.24 Menurut klasifikasi ini, UUD
1945 termasuk dalam kategori sebagai konstitusi tertulis. Dalam kategori
konstitusi tertulis, maka perubahan konstitusi akan memiliki 3 pengertian :25
(1) menjadikan lain rumusan teks yang terdapat dalam konstitusi; (2)
menambah sesuatu yang tidak (belum) terdapat dalam konstitusi; dan (3)
adanya perbedaan antara apa yang tercantum dalam teks konstitusi dengan
apa yang ada dalam praktek ketatanegaraan.
Perubahan konstitusi pada umumnya memiliki dua model, yaitu
“perubahan” (amandemen), dan “pembaharuan” atau “penggantian”
(renewal).26 Amandemen biasanya berupa perubahan konsep dalam
konstitusi yang ditandai dengan perubahan teks konstitusi. Model amandemen
biasanya masih mempertahankan teks konstitusi yang lama, namun ia sudah
tidak memiliki kekuatan hukum lagi, melainkan sekedar menjadi dokumen
historis, dan hasil perubahan teks konstitusi yang memiliki kekuatan hukum
ditempatkan sebagai “lampiran” (adendum) dari konstitusi yang sudah diubah
tersebut. Model renewal biasanya ditandai dengan digantinya suatu konstitusi
dalam suatu negara dengan konstitusi yang lain, seperti UUD 1945 diganti
dengan UUDS 1950.
Konstitusi biasanya juga diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu
konstitusi yang “rigid” dan konstitusi yang “fleksibel”.27 Ukuran yang digunakan
untuk menentukan “rigid” dan “fleksibel”-nya sebuah konstitusi adalah : (1)
berdasarkan mudah atau sulitnya konstitusi untuk dapat diubah; (2)
berdasarkan mudah atau sulitnya konstitusi untuk menyesuaikan dengan
dinamika perubahan masyarakat. Konstitusi disebut “rigid” bila ia sulit untuk
diubah dan sulit menyesuaikan dengan perubahan masyarakat. Sebaliknya,

24
Wheare, op.cit., hlm. 14-16.
25
Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung : Penerbit Alumni), hlm.
133-134.
26
Soewoto Mulyosudarmo, 1999, “Sistem Perubahan Konstitusi dan Konsekuensi Penerapannya di
Indonesia”, Makalah Seminar Nasional Hukum VIII “Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani”,
oleh BPHN, 12-15 Oktober 1999, Jakarta, hlm. 1.
27
Wheare, op.cit., hlm. 16-19.

11
konstitusi disebut “fleksibel” manakala ia mudah untuk diubah dan mudah
menyesuaikan dengan perubahan masyarakat.
Dalam praktek ketatanegaraan, mekanisme perubahan konstitusi di
Indonesia pernah mengalami masa “rigid”, di mana konstitusi sulit untuk
diubah. Mekanisme yang rigid ini ditempuh melalui dua tingkat. Tingkat
pertama dilaksanakan dalam lembaga MPR sebagaimana pasal 37 UUD
1945, dan selanjutnya di tingkat rakyat dilaksanakan dengan mekanisme
referendum sebagaimana diatur dalam TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang
Referendum, dan dilaksanakan dengan UU No. 5 tahun 1985 tentang
Referendum. Berdasarkan dua peraturan tersebut, referendum dimaksudkan
untuk menentukan pendapat rakyat tentang kehendak melakukan perubahan
konstitusi. Syarat yang berat ditentukan dalam dua peraturan tersebut, yaitu
90 % warga negara yang berhak harus menggunakan hak pilihnya, dan 90 %
dari 90 % warga negara yang berhak harus menyatakan setuju. Kini
mekanisme perubahan konstitusi mengalami perubahan, tepatnya mengalami
penyederhanaan, yaitu hanya satu tingkat melalui persetujuan hanya pada
tingkat MPR, tanpa melalui persetujuan rakyat langsung. Hal ini ditandai
dengan keluarnya TAP MPR No. VIII/MPR/1998 hasil Sidang Istimewa MPR
yang mencabut berlakunya TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum.
Dalam konteks perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan beberapa
cara atau prosedur. C.F. Strong menyebutkan empat cara mengubah
konstitusi.28 Pertama, perubahan konstitusi oleh lembaga legislatif/parlemen
dengan pembatasan tertentu. Dalam hal ini biasanya ditentukan syarat
pengusulan, kuorum, dan jumlah pengambil keputusan. Kedua, perubahan
konstitusi oleh rakyat melalui referendum, yaitu parlemen mengajukan
rancangan amandemen untuk diputuskan oleh rakyat melalui referendum.
Ketiga, perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara bagian dalam
negara serikat, yaitu usulan dapat berasal dari parlemen federal atau sejumlah
negara bagian. Keempat, perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi atau
konstituante, yaitu keanggotaan parlemen ditambah dengan pemilihan

28
C.F. Strong, 1952, Modern Political Constitutions, (London : Sidgwick & Jackson), hlm. 146-148

12
anggota baru untuk membentuk konvensi konstitusi atau konstituante, atau
dapat pula parlemen dibubarkan terlebih dahulu kemudian dilaksanakan
pemilihan umum anggota konstituante.
Arend Lijphart menyebut ada tiga tipe amandemen konstitusi.29
Pertama, amandemen konstitusi oleh parlemen berdasarkan suara mayoritas
murni atau sederhana (separuh lebih satu). Kedua, amandemen konstitusi
oleh parlemen berdasarkan suara mayoritas khusus, misalnya dua pertiga
atau tiga perempat. Ketiga, amandemen konstitusi yang disiapkanoleh
parlemen, namun harus memperoleh persetujuan rakyat melalui referendum.
Tipologi ini disusun untuk mengetahui watak sistem politik yang dianut,
apakah cenderung mengutamakan konsensus dalam pengambilan keputusan
(consensus democracy) ataukah cenderung pada suara mayoritas
(majoritarian democracy).
Terlihat bahwa demikian cara atau prosedur amandemen konstitusi
dapat dikategorikan dua model, yaitu amandemen dengan model elitis dan
partisipatoris.30 Model amandemen konstitusi dikatakan elitis bila prosedur
pengusulan hingga pengambilan keputusan dilakukan sepenuhnya oleh
parlemen. Model partisipatoris bila amandemen konstitusi dilakukan dengan
melibatkan peran rakyat dari pengajuan usul amandemen hingga
pengambilan keputusan lewat referendum.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tentang “perubahan
konstitusi” dalam UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai perubahan oleh
parlemen dengan syarat tertentu, yaitu suara mayoritas. Amandemen
konstitusi UUD 1945 juga dapat dikategorikan sebagai model amandemen
elitis, karena prosedur pengusulan, pembahasan dan pengambilan keputusan
semata-mata hanya terbatas dilakukan oleh anggota parlemen, tanpa melalui
proses partisipasi rakyat.

29
Arend Lijphart, 1984, Democracies : Patterns of Majoritarian and Consensus Government in
Twenty-One Countries, (New Haven and London : Yale University Press), hlm. 189-191).
30
Mohammad Fajrul Falaakh, 2002, “Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat dalam Perubahan UUD
1945”, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2, hlm. 188-201.

13
Atas dasar itu kemudian muncul gagasan dan gerakan amandemen
konstitusi oleh “Komisi Konstitusi Independen” Ada dua argumentasi yang
diajukan.31 Pertama, pembentukan komisi konstitusi independen diharapkan
untuk menghindari pertarungan dan konflik kepentingan antara berbagai
kekuatan politik dalam MPR, mengingat anggota MPR mayoritas merupakan
wakil partai politik yang berkepentingan terhadap bagaimana kekuasaan akan
dirumuskan dalam konstitusi. Kedua, komisi konstitusi independen diharapkan
dapat mengakomodir kepentingan pluralisme masyarakat Indonesia, yaitu
dengan memberikan kesempatan partisipatif dari berbagai perwakilan rakyat
dari daerah. Pada akhirnya dengan mengakomodasi partisipasi rakyat melalui
komisi konstitusi independen, diharapkan akan terbentuk konstitusi dengan
semangat rasa memiliki (sense of belonging, sense of ownership) terhadap
konstitusi.
Dalam perkembangan, gagasan pembentukan Komisi Konstitusi
diakomodir oleh MPR melalui Ketetapan MPR No. 1/MPR/2002 tentang
Pembentukan Komisi Konstitusi, dan Ketetapan MPR No. 4/MPR/2002
tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan, dan Keanggotaan Komisi
Konstitusi.32 Ternyata Komisi Konstitusi hasil bentukan MPR tersebut hanya
diberikan kewenangan terbatas, yaitu melakukan pengkajian secara
komprehensif terhadap UUD 1945 hasil amandemen, bukan melakukan
amandemen konstitusi itu sendiri. Pada akhirnya hasil kerja Komisi Konstitusi
sebatas hanya “hasil kajian” dan ternyata tidak memiliki pengaruh apa pun
terhadap struktur dan substansi hasil amandemen konstitusi.
Mekanisme perubahan konstitusi dalam UUD 1945 diatur dalam pasal
37. Dalam pasal ini mengandung norma : (1) lembaga yang berwenang
melakukan perubahan adalah MPR; (2) untuk dapat melakukan perubahan

31
Saldi Isra, 2002, “Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi : Memastikan Arah Reformasi
Konstitusi”, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2, hlm. 233-245. Perdebatan tentang perlunya
pembentukan Komisi Konstitusi Independen, lihat : Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas
(eds.), 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan).
32
Tentang pembentukan Komisi Konstitusi, tugas, wewenang dan hasil kerjanya, lihat : Krisna
Harahap, 2004, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, (Jakarta : Grafitri
Budi Utami), terutama bab “Konstitusi Memasuki Era Reformasi”, hlm. 152-162, dan “Hasil Kerja
Komisi Konstitusi”, hlm. 163-303.

14
diperlukan syarat quorum, yaitu 2/3 anggota MPR harus hadir; (3) keputusan
untuk dapat dilakukan perubahan didasarkan kepada persetujuan 2/3 jumlah
anggota MPR yang hadir. Berdasarkan pasal 37 hasil Perubahan IV UUD
1945, norma tentang mekanisme perubahan UUD 1945 adalah : (1) lembaga
yang berwenang melakukan perubahan adalah MPR; (2) usul untuk
melakukan perubahan UUD dapat diagendakan dalam Sidang MPR bila
diajukan oleh 1/3 anggota MPR; (3) usul perubahan UUD diajukan secara
tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah
beserta alasannya; (4) syarat quorum untuk melakukan sidang MPR untuk
mengubah UUD harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR; (5)
putusan untuk mengubah UUD harus dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 50 % + 1 dari seluruh anggota MPR.
Bentuk hukum yang digunakan untuk melakukan perubahan konstitusi
terdapat 2 pendapat. Prof. Soewoto Mulyosudarmo berpendapat bahwa
berdasarkan pada pasal 3 dan pasal 37 UUD 1945, lembaga yang berwenang
melakukan perubahan konstitusi adalah MPR, maka instrumen hukum yang
digunakan untuk melakukan perubahan konstitusi adalah Ketetapan MPR
(TAP MPR).33 Sementara Prof. Sri Soemantri berpendapat bahwa TAP MPR
tidak dapat digunakan sebagai instrumen hukum untuk melakukan perubahan
konstitusi.34 Hal ini didasarkan kepada TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (sekarang telah diubah
dengan TAP MPR No. III/MPR/2000), yang menentukan bahwa kedudukan
TAP MPR berada di bawah UUD 1945. Dengan demikian, secara hukum, TAP
MPR tidak dapat digunakan sebagai instrumen hukum untuk melakukan
perubahan konstitusi. Selanjutnya Sri Soemantri berpendapat bahwa
perubahan konstitusi dilakukan dengan menggunakan bentuk hukum
“amandemen”, yaitu dengan menempatkan hasil perubahan sebagai
“lampiran” atau “adendum” dari konstitusi yang diubah tersebut.

33
Soewoto Mulyosudarmo, op. cit., hlm. 5-7.
34
Sri Soemantri, 1999, “Sistem Perubahan Konstitusi dan Konsekuensi Penerapannya di Indonesia”,
Makalah Seminar Nasional Hukum VIII, hlm. 15-16.

15
Dalam proses perubahan UUD 1945, Panitia Ad Hoc I MPR membuat
kesepakatan tentang batas-batas amandemen konstitusi. Pertama, tidak
mengubah Pembukaan UUD 1945. Kedua, tetap mempertahankan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, mempertegas sistem pemerintahan
presidensial. Keempat, Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal
normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Kelima,
perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.35
Dalam praktek ketatanegaraan, bentuk hukum perubahan konstitusi
UUD 1945 dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan instrumen
TAP MPR dan dengan amandemen. TAP MPR digunakan sebagai bentuk
hukum dalam perubahan konstitusi, terlihat pada TAP MPR No.
XIII/MPR/1998 hasil Sidang Istimewa MPR 1998 tentang Pembatasan Masa
Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI. TAP MPR ini berfungsi untuk
memberikan “penegasan tafsir”36 atas pasal 7 UUD 1945 yang mengatur
pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Pasal 7 UUD 1945
tertulis “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa
lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”, kemudian dipertegas oleh
TAP MPR No. XIII/MPR/1998 pasal 1 yang tertulis “Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk
satu kali masa jabatan” Bentuk hukum amandemen terhadap konstitusi UUD
1945 dilakukan mulai Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000,
Sidang Tahunan MPR 2001, Sidang Tahunan 2002, yang menghasilkan
“Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD Negara RI 1945”
Dalam rumusan pasal 7 Perubahan Pertama UUD 1945 tertulis “Presiden dan
Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa
jabatan”.

35
Krisna Harahap, 2004, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, (Jakarta :
Grafitri Budi Utami), hlm. 59-60 dan 153.
36
Lihat : Konsideran TAP MPR No. XIII/MPR/1998 bagian “Menimbang huruf d”.

16
Kalau diperhatikan secara menyeluruh, materi Perubahan Pertama,
Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 meliputi:37
(1) Mempertegas pembatasan kekuasaan presiden. Sebelum terjadinya
perubahan konstitusi, UUD 1945 memberikan kekuasaan kepada lembaga
kepresidenan begitu besar (executive heavy). Kekuasaan presiden
Indonesia meliputi kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudisial sekaligus.
Namun kini kekuasaan presiden terbatas pada kekuasaan eksekutif saja,
sementara kekuasaan legeslatif dalam membuat UU kini berada di tangan
DPR, dan dalam kekuasaan yudisial lembaga kehakiman diberikan
jaminan independensi.
(2) Mempertegas ide pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara, hal
ini terlihat dalam pengaturan tentang kewenangan lembaga negara yang
lebih terinci.
(3) Menghapus keberadaan lembaga negara tertentu (dalam hal ini DPA), dan
membentuk lembaga-lembaga negara yang baru (munculnya Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Pemilihan
Umum dan Bank Sentral).
(4) Memberikan jaminan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia warga
negara yang lebih jelas dan terperinci.
(5) Mempertegas dianutnya teori kedaulatan rakyat, yang selama ini UUD
1945 lebih terkesan menganut teori kedaulatan negara. Hal ini terlihat dari
dihapusnya klaim politik bahwa MPR adalah “pemegang kedaulatan rakyat
sepenuhnya”, dimasukkannya konsep pemilihan umum dalam mengisi
jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD, dan digunakannya sistem
pemilihan langsung oleh rakyat untuk mengisi jabatan presiden dan wakil
presiden, serta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Secara spesifik, amandemen konstitusi Indonesia menghasilkan
sejumlah design baru format kenegaraan sebagai berikut.38 Pertama,

37
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Setjen Mahkamah
Konstitusi republik Indonesia), terutama bab “Konstitusi Indonesia Dari Masa Ke Masa”, hlm. 35-62.
Krisna Harahap, 2004, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, (Jakarta :
Grafitri Budi Utami), terutama bab “Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”, hlm. 51-151.

17
Presiden dan Wakil Presiden dipilih melalui pemilu secara langsung oleh
rakyat (direct popular vote), sedangkan kewenangan MPR hanya sebatas
melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih saja.39 Sebagai
konsekuensinya, berbeda dengan sebelum perubahan UUD 1945, Presiden
tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, namun bertanggung jawab
langsung kepada rakyat pemilih (direct responsible to the people). Hal ini
berbeda dengan sistem pemerintahan sebelum perubahan UUD 1945, di
mana kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR, dan kini kedaulatan
rakyat tetap di tangan rakyat. Sebagai konsekuensinya adalah jabatan
Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD yang keduanya
merupakan anggota MPR, dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu.
Dengan demikian, masing-masing lembaga negara sama-sama memiliki
legitimasi politik yang kuat, dan masing-masing bertanggung jawab langsung
kepada pemegang kedaulatan asli yaitu rakyat.40
Kedua, kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh berbagai lembaga negara
sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing menurut konstitusi UUD
1945.41 Hal ini terlihat dari adanya pembagian tugas masing-masing lembaga
negara yang makin jelas dan terperinci, sehingga menghindari terjadinya
tumpang tindih dan intervensi kewenangan antar lembaga negara (separation
of power). Presiden memegang kekuasaan menjalankan pemerintahan, DPR
dan DPD dapat mengawasi jalannya pemerintahan yang dilaksanakan oleh
Presiden dan kabinetnya, dan lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang melakukan kontrol
yuridis lewat judicial review terhadap kebijakan yang diambil oleh Presiden

38
Pembahasan tentang perubahan format kenegaraan sebelum dan setelah perubahan UUD 1945, dapat
dibaca : Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945, Cet. Ke-2, (Yogyakarta : FH UII Press), terutama bab “Organ Negara dan Pergeseran-
Pergeseran Kekuasaan”, hlm. 33-95.
39
Afan Gaffar, 2002, “Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Perubahan Kelembagaan”,
dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim (eds.), 2002, Amandemen Konstitusi dan Strategi
Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, (Jakarta : AIPI), hlm. 435-439.
40
I Made Leo Wiratma, 2002, “Mendung Menyelimuti Reformasi Konstitusi : April-Juni 2002”,
Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2, hlm. 144-145.
41
Ramlan Surbakti, 2002, “Perubahan UUD 1945 Dalam Perspektif Politik”, dalam Riza Sihbudi dan
Moch. Nurhasim (eds.), 2002, Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik
Indonesia, (Jakarta : AIPI), hlm. 485-493.

18
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, maupun terhadap kebijakan yang
dibuat oleh DPR berupa produk undang-undang. Kondisi ini mengarah kepada
terciptanya situasi checks and balances antar lembaga negara yaitu eksekutif,
legislatif dan yudisial.
Ketiga, adanya jaminan terciptanya stabilitas jalannya pemerintahan
karena jabatan Presiden dibatasi dalam masa jabatan lima tahun, dan hanya
dapat diberhentikan oleh MPR dalam kondisi tertentu saja berdasarkan UUD,
serta melalui mekanisme hukum yaitu pembuktian hukum oleh Mahkamah
Konstitusi.42 Dengan demikian Presiden tidak dapat diusulkan oleh DPR untuk
diberhentikan semata-mata karena alasan konflik politik. Demikian pula
Presiden dilarang untuk membekukan dan/atau membubarkan DPR.

Penutup

Amandemen konstitusi UUD 1945 membawa perubahan aliran pemikiran


hukum dan politik yang dianut Indonesia. Sebelum perubahan UUD 1945,
aliran pemikiran yang dianut lebih cenderung kepada teori kedaulatan negara.
Hal ini terlihat dari digunakannya teori “negara integralistik” atau teori “negara
organik” yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller dan Hegel, kemudian
staatsidee negara integralistik ini digunakan oleh Soepomo dalam
43
penyusunan UUD 1945, dan dalam perkembangannya teori negara
integralistik ini digunakan sebagai tafsir historis atas model negara yang
dianut oleh UUD 1945 selama era Orde Baru.44
Kini, setelah terjadi perubahan UUD 1945, dengan dimasukkannya
konsep pemilihan umum (pemilihan langsung) untuk mengisi jabatan anggota
DPR, DPD, DPRD dan presiden), dihapusnya klaim bahwa MPR adalah

42
Leo Agustino, 2002, “Pemilihan Presiden Secara Langsung Untuk Indonesia”, Analisis CSIS, No. 2,
Tahun XXXI/2002, hlm. 249.
43
Lihat : Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945. (Jakarta : Sekneg RI, 1992),
hlm. 27-28. Tentang pewarisan aliran pemikiran “negara integralistik” atau “negara organik” mulai dari
jaman kekuasaan Hindia Belanda, kekuasaan bala tentara Jepang, hingga era kekuasaan Orde Baru,
baca : David Bourchier. 1996. Lineages of Organicist Political Thought in Indonesia. Ph.D.
Dissertation. (Melbourne : Department of Politics, Monash University).
44
Marsillam Simanjuntak. 1994. Pandangan Negara Integralistik. (Jakarta : Grafiti), hlm. 3-7.

19
“pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya”, dan diberikannya jaminan yang
lebih jelas dan terinci terhadap perlindungan HAM warga negara, maka
sesungguhnya perubahan UUD 1945 mengalami perubahan aliran pemikiran,
yaitu dari aliran teori kedaulatan negara berubah menjadi lebih cenderung
mengikuti teori kedaulatan rakyat. ©

20
Daftar Pustaka

Abdul Mukthie Fadjar, 2002, “Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi


Paradigmatik”, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas
(eds.), 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, (Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan).
Adnan Buyung Nasution, 1992, The Aspiration for Constitutional Government in
Indonesia : A Socio-Legal Study of the IndonesianKonstituante 1956-1959,
(Utrecht : Rijk Universiteit).
Afan Gaffar, 2002, “Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Perubahan
Kelembagaan”, dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim (eds.), 2002,
Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia,
(Jakarta : AIPI).
Aguero, Felipe, 1995, Soldiers, Civilians, and Democracy : Post-Franco Spain in
Comparative Perspective, (Baltimore : The John Hopkins University Press).
Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas (eds.), 2002, Konstitusi Baru
Melalui Komisi Konstitusi Independen, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan).
Bourchier, David, 1996, Lineages of Organicist Political Thought in Indonesia, Ph.D.
Dissertation, (Melbourne : Department of Politics, Monash University).
de Smith, S.A., 1973, Constitutional and Administrative Law, (Middlesex : Penguin
Education).
Diamond, Larry, 2003, Developing Democracy Toward Consolidation, (Yogyakarta :
IRE).
di Palma, Giuseppe, 1997, Kiat Membangun Demokrasi : Sebuah Esai tentang
Transisi Demokrasi, (Jakarta : Yayasan Sumber Agung).
Elazar, Daniel J., 1985, “Constitution-making : The Pre-eminently Political Act”,
dalam Keith G. Banting, and Richard Simeon, (eds.), 1985, The Politics of
Constitutional Change in Industrial Nations : Redesigning The State, (London
: The MacMillan Press Ltd.).
Hendarmin Ranadireksa, 2002, Amandemen UUD 45 Menuju Konstitusi yang
Berkedauatan Rakyat, (Jakarta : Yayasan Pancur Siwah).
Higley, John and Gunther, Richard (eds.), 1992, Elites and Democratic Consolidation
in Latin America and Southern Europe, (Cambridge : Cambridge University
Press).
Holmes, Stephen, 1995, “Constitutionalism”, dalam Seymour M. Lipset (ed.), 1995,
The Encyclopedia of Democracy, Vol. I, (Washington : Congressional
Quarterly Inc.), hlm. 299-306.
Huntington, Samuel P., 1995, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta : Grafiti).
Hyden, Goran, 2002, “Development and Democracy : An Overview”, dalam Ole
Elgstrom and Goran Hyden (eds.), 2002, Development and Democracy : What
Have We Learn and How?, (London : Routledge).
I Made Leo Wiratma, 2002, “Mendung Menyelimuti Reformasi Konstitusi : April-Juni
2002”, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta :
Setjen Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia).

21
_______________, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945, Cet. Ke-2, (Yogyakarta : FH UII Press).
Krisna Harahap, 2004, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga
Reformasi, (Jakarta : Grafitri Budi Utami).
Leo Agustino, 2002, “Pemilihan Presiden Secara Langsung Untuk Indonesia”,
Analisis CSIS, No. 2, Tahun XXXI/2002.
Levinson, Sanford (ed.), 1995, Responding to Imperfection : The Theory and Practice
of Constitutional Amendment, (Princeton, N.J. : Princeton University Press).
Liddle, R. William, 2002, “Indonesia’s Democratic Transition : Playing by the Rules”,
dalam Andrew Reynolds (ed.), 2002, The Architecture of Democracy :
Constitutional Design, Conflict Management, dan Democracy, ((Oxford :
Oxford University Press).
Lijphart, Arend, 1984, Democracies : Patterns of Majoritarian and Consensus
Government in Twenty-One Countries, (New Haven and London : Yale
University Press).
Marsillam Simanjuntak. 1994. Pandangan Negara Integralistik. (Jakarta : Grafiti).
Mohammad Fajrul Falaakh, 2002, “Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat dalam
Perubahan UUD 1945”, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2.
Mohammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta :
Yayasan Prapantja).
Przeworski, Adam et.al. (eds.), 1999, Democracy, Accountability and Representation,
(Cambridge : Cambridge University Press).
Ramlan Surbakti, 2002, “Perubahan UUD 1945 Dalam Perspektif Politik”, dalam Riza
Sihbudi dan Moch. Nurhasim (eds.), 2002, Amandemen Konstitusi dan Strategi
Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, (Jakarta : AIPI).
Saldi Isra, 2002, “Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi : Memastikan Arah
Reformasi Konstitusi”, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2.
Schedler, Andreas, 1998, “What is Democratic Consolidation?”, Journal of
Democracy, No. 2.
Soewoto Mulyosudarmo. 1999. “Sistem Perubahan Konstitusi dan Konsekuensi
Penerapannya di Indonesia”. Makalah Seminar Nasional Hukum VIII
“Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani”, oleh BPHN, 12-15 Oktober
1999, Jakarta.
Sri Soemantri. 1999. “Sistem Perubahan Konstitusi dan Konsekuensi Penerapannya di
Indonesia”. Makalah Seminar Nasional Hukum VIII “Reformasi Hukum
Menuju Masyarakat Madani”, oleh BPHN, 12-15 Oktober 1999, Jakarta.
____________. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. (Bandung :
Penerbit Alumni).
Stepan, Alfred, 1993, “Berbagai Jalur Menuju Demokratisasi : Sejumlah
Pertimbangan Teoritis dan Komparatif”, dalam Guillermo O’Donnell, Philippe
C. Schmitter and Laurence Whitehead (eds.), 1993, Transisi Menuju
Demokrasi : Tinjauan Berbagai Perspektif, (Jakarta : LP3ES).
Strong, C.F., 1952, Modern Political Constitutions, (London : Sidgwick & Jackson).
Syafroedin Bahar et.el. (eds.), Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945 – 19
Agustus 1945, (Jakarta : Sekneg RI, 1992).
Wheare, K.C., 1966, Modern Constitutions, (London : Oxford University Press).

22
Wheeler Jr., John P., (ed.), 1961, Salient Issues of Constitutional Revision, (New York
: National Municipal League).
Whitehead, Laurence, 1989, “The Consolidation of Fragile Democracy”, dalam Robert
Pastor (ed.), Democracy in the Americas, (New York : Holmes).

23
Tentang Penulis

Hasyim Asy’ari, lahir di Pati, Jawa Tengah, Indonesia, 3 Maret 1973, adalah
Dosen pada Bagian Hukum Tata Negara (HTN), Fakultas Hukum, Universitas
Diponegoro (Undip), Semarang, dan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi Jawa Tengah (2003-2008). Pendidikan hukum ditempuh pada
Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto
(1991-1995), Jurusan Hukum Tata Negara dengan spesialisasi Kajian Hukum
dan Politik, dan menulis skripsi “Pembreidelan Pers : Studi Terhadap
Pembatalan SIUPP Sebagai Bentuk Pembatasan Kebebasan Pers”
Menempuh pendidikan pascasarjana pada Program Pascasarjana Ilmu Politik,
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (1996-1998), dan menulis tesis
“Demokratisasi Melalui Civil Society : Studi Tentang Peranan Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam Pemberdayaan Civil
Society di Indonesia 1971-1996”. Kini sedang menempuh pendidikan tingkat
doktoral (Ph.D. Candidate) dalam bidang kajian Sociology of Politics, Institute
of Postgraduate Studies, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia (sejak
2006), dan menulis disertasi “Road Toward Democratic Consolidation : Study
on Constitution Amendment and Its Implementation at General Election of
2004 in Indonesia”.

24

You might also like