Professional Documents
Culture Documents
Miftahul Badar
PENGANTAR
Ada dua sumber primer pengetahuan yang secara alamiah telah diperoleh manusia,
yaitu akal dan pengalaman. Seluruh pengetahuan, tak terkecuali falsafah, senantiasa
berkutat dalam dua sumber ini. Ada yang sangat mementingkan pengalaman, dan ada
yang sebaliknya mementingkan akal. Bila kalangan yang mementingkan pengalaman
dinilai sebagai empirisme, maka kalangan yang mementingkan akal itulah yang disebut
rasionalisme. Meskipun tak jarang filosof berupaya mengompromikan dua sumber dan
implikasinya itu, misalnya Immanuel Kant, namun pertentangan rasionalisme dan
empirisme kiranya belum juga kunjung henti.
Rasionalisme, laiknya firqah-firqah lain dalam falsafah, ia dibangun tidak hanya oleh
seorang filosof, dan tidak hanya dalam sebuah tempat atau kawasan. Rasionalisme
dibangun oleh banyak filosof, di mana dari upaya-upaya berfalsafah mereka dapat
disimpulkan sebuah kecenderungan (type) dasar berfalsafah yang disebut rasionalisme;
rasionalisme dibangun di banyak kawasan dunia, di mana dari macam-macam pengaruh
atau pertimbangan-pertimbangan kawasan itu, tetap dapat ditarik sebuah
kecenderungan umum bernama rasionalisme.
Adalah Rene Descartes (1596-1650), selain disebut sebagai bapak filsafat modern, ia
adalah bapak rasionalisme kontinental. Ide terkenalnya bahwa cogito ergo sum (Prancis:
Je Pense, Donc Je Suis), telah menjadi tonggak awal bagi babak baru falsafah, yaitu era
modern. Lewat ide itu pula ia ingin menegaskan bahwa hanya akal atau rasio yang
dapat menjadi dasar falsafah, satunya-satunya dasar yang dapat dipercaya, dan bukan
iman atau wahyu sebagaimana dipegangi oleh abad pertengahan.
PENEGASAN ISTILAH
Sebuah ungkapan sederhana namun cukup representatif akan arti istilah rasionalisme
ialah apa yang telah diungkapkan oleh F. Budi Hardiman, bahwa konsep rasionalisme
mengacu pada sebuah aliran falsafah yang berpandangan bahwa pengetahuan
(episteme) tidak didasarkan pada pengalaman empiris, melainkan pada asas-asas a-
priori yang ada dalam rasio. Rasionalisme menghadirkan aksioma-aksioma, prinsip-
prinsip atau definisi-definisi umum sebagai dasar atau titik tolak, sebelum akhirnya
menjelaskan kenyataan atau memahami sesuatu. Sepaham dengan ini, ialah apa yang
dikatakan oleh Prof. Dr. Ahmad Tafsir, bahwa “rasionalisme adalah paham filsafat yang
mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh
pengetahuan dan mengetes pengetahuan.”
Sementara itu epistemologi, ia merupakan sebuah sub falsafah yang secara khusus
berusaha menggeluti pertanyaan-pertanyaan menyeluruh dan mendasar tentang
pengetahuan. Dengan sifatnya yang evaluatif, normatif dan kritis, epistemologi berusaha
mengkaji dan menemukan ciri-ciri umum dan hakiki pengetahuan, serta mengkaji
pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari pengetahuan.
Lantaran kapasitasnya itu, epistemologi merupakan upaya rasional untuk menimbang
dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia.
IDE RASIONALISME
Dalam pandangan rasionalisme, sumber dan dasar pengetahuan adalah akal (reason).
Kalangan rasionalis menyatakan bahwa akal itu universal dalam semua manusia, dan
pemikiran (akal aktif) merupakan elemen penting manusia. Pemikiran merupakan satu-
satunya instrumen kepastian pengetahuan, dan akal merupakan satu-satunya jalan
untuk menentukan kebenaran atau kesalahan.
Bagi filosof rasionalis, pengetahuan yang dapat memenuhi syarat-syarat yang dituntut
oleh semua pengetahuan ilmiah, adalah hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akal.
Dalam pandangan kaum rasionalis, akal dipahamai sebagai sejenis perantara khusus, di
mana dengan akal kebenaran dapat dikenal dan ditemukan. Karena itu, kunci
pengetahuan dan keabsahannya, bagi rasionalisme, adalah akal.
Misalnya sebuah aksioma geometri yang menyatakan bahwa, “garis lurus merupakan
jarak terdekat antara dua titik.” Aksioma ini merupakan prinsip yang sudah ada dalam
pikiran, yang dengan prinsip itu semua keadaan serupa dapat dijelaskan (baca:
dideduksikan).
Pertama, intuisi. Intuisi merupakan pemahaman kita atas prinsip bukti diri. Misalnya
persamaan aritmatika bahwa, 2 + 5 = 7. Pembuktian akan kebenaran persamaan ini
adalah menggunakan pemikiran atau akal, dirasiokan. Dalam hal ini, matematika
mempunyai prinsip-prinsip yang kebenarannya telah diakui dalam akal, yang dipahami
bahwa itu benar.
Kedua, deduksi. Deduksi yang dimaksud di sini ialah pemikiran atau kesimpulan logis
yang diturunkan dari prinsip bukti diri. Persamaan aritmatika di atas misalnya, dengan
persamaan itu kita bisa mendeduksikan, yakni menurunkan kesimpulan-kesimpulan lain
yang serupa.
Jadi, intuisi dan deduksi itulah yang ada dalam metode matematika. Ketika sebuah
metode pengetahuan (baca: epistemologi) mampu beroperasi seperti metode
matematika itu, maka, bagi kalangan rasionalis, pasti akan menghasilkan pengetahuan
yang tidak bisa diragukan lagi, pengetahuan yang tetap dan pasti, absolut dan universal.
Rasionalisme merupakan aliran falsafah yang berpandangan bahwa dasar dan sumber
pengetahuan, atau secara umum falsafah, adalah akal atau rasio. Adalah akal, yang
bisa dijadikan dasar sekaligus sumber pengetahuan, sehingga berhasil memperoleh
pengetahuan yang tetap dan pasti, serta absolut dan universal.
Sebagai sebuah epistemologi yang keberpihakannya hanya terhadap akal atau rasio,
rasionalisme pada akhirnya memang banyak menuai kritik. Tak lama sepeninggal Rene
Descartes sang bapak kontinental rasionalisme, David Hume (1711-1776) misalnya,
telah mengkritik bahwa akal hanyalah sekedar budak daripada nafsu, yang tidak bisa
tidak mengabdi kepada nafsu, pastinya selalu mengabdi.
Namun demikian, problem dan kritik atas rasionalisme tersebut, tentunya bukan berarti
bahwa rasionalisme tidak mempunyai arti atau manfaat sama sekali. Sebaliknya,
sebagai sebuah aliran falsafah sekaligus sebuah epistemologi, kiranya rasionalisme
telah berjasa banyak bagi sejarah falsafah. Melalui bapak kontinentalnya, rasionalisme
telah menjadi pintu utama bagi kelahiran falsafah babak modern, yang pada gilirannya
telah berhasil melahirkan berbagai aliran-aliran falsafah lainnya, termasuk aliran yang
menentangnya.
Dalam hal polemis tersebut ini, penulis pribadi cenderung sepakat dengan GWF. Hegel
bahwa segala sesuatunya merupakan bagian dari proses menjadi sadarnya “Aku
Absolut”, tidak terkecuali rasionalisme.
Miftahul Badar;
Mahasiswa Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, dan Santri
Pesantren Emansipatoris P3M Cililitan Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati dari Thales sampai Capra, Jakarta: Rosda,
2003.
T.J. Lavine, Petualangan Filsafat: dari Socrates ke Sartre, Yogyakarta: Jendela, 2002.
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hal. 111.
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hal. 135.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati dari Thales sampai Capra, (Jakarta:
Rosda, 2003), hal. 129.