You are on page 1of 7

RASIONALISME:

Sebuah Epistemologi Ilmu Pengetahuan di Barat

Miftahul Badar

PENGANTAR

Ada dua sumber primer pengetahuan yang secara alamiah telah diperoleh manusia,
yaitu akal dan pengalaman. Seluruh pengetahuan, tak terkecuali falsafah, senantiasa
berkutat dalam dua sumber ini. Ada yang sangat mementingkan pengalaman, dan ada
yang sebaliknya mementingkan akal. Bila kalangan yang mementingkan pengalaman
dinilai sebagai empirisme, maka kalangan yang mementingkan akal itulah yang disebut
rasionalisme. Meskipun tak jarang filosof berupaya mengompromikan dua sumber dan
implikasinya itu, misalnya Immanuel Kant, namun pertentangan rasionalisme dan
empirisme kiranya belum juga kunjung henti.

Rasionalisme, laiknya firqah-firqah lain dalam falsafah, ia dibangun tidak hanya oleh
seorang filosof, dan tidak hanya dalam sebuah tempat atau kawasan. Rasionalisme
dibangun oleh banyak filosof, di mana dari upaya-upaya berfalsafah mereka dapat
disimpulkan sebuah kecenderungan (type) dasar berfalsafah yang disebut rasionalisme;
rasionalisme dibangun di banyak kawasan dunia, di mana dari macam-macam pengaruh
atau pertimbangan-pertimbangan kawasan itu, tetap dapat ditarik sebuah
kecenderungan umum bernama rasionalisme.

Meskipun rasionalisme baru menemukan bentuk sistematisnya pada masa modern,


namun sebenarnya varian-varian rasionalisme telah ada sejak masa klasik falsafah itu
sendiri. Berkaitan dengan hal ini Prof. Dr. Ahmad Tafsir misalnya, menengarahi bahwa
rasionalisme telah ada sejak zaman Thales, Socrates, Plato, Aristoteles, bahkan
kalangan Sofis. Dia mengemukakan bahwa mereka, para filosof klasik, telah
menerapkan rasionalisme dalam falsafah mereka.

Adalah Rene Descartes (1596-1650), selain disebut sebagai bapak filsafat modern, ia
adalah bapak rasionalisme kontinental. Ide terkenalnya bahwa cogito ergo sum (Prancis:
Je Pense, Donc Je Suis), telah menjadi tonggak awal bagi babak baru falsafah, yaitu era
modern. Lewat ide itu pula ia ingin menegaskan bahwa hanya akal atau rasio yang
dapat menjadi dasar falsafah, satunya-satunya dasar yang dapat dipercaya, dan bukan
iman atau wahyu sebagaimana dipegangi oleh abad pertengahan.

Di samping Descartes, ada Baruch Spinoza atau Benedictus de Spinoza (1632-1677),


dan Gotiefried Wilhelm von Leibniz (1646-1716). Nama-nama ini sebenarnya hanyalah
nama-nama besar yang secara konsisten berusaha berfalsafah dengan kecenderungan
rasionalisme. Artinya, tidak menutup kemungkinan akan ada banyak nama lain selain
mereka yang juga berfalsafah dengan kecenderungan rasionalisme.

PENEGASAN ISTILAH

Sebuah ungkapan sederhana namun cukup representatif akan arti istilah rasionalisme
ialah apa yang telah diungkapkan oleh F. Budi Hardiman, bahwa konsep rasionalisme
mengacu pada sebuah aliran falsafah yang berpandangan bahwa pengetahuan
(episteme) tidak didasarkan pada pengalaman empiris, melainkan pada asas-asas a-
priori yang ada dalam rasio. Rasionalisme menghadirkan aksioma-aksioma, prinsip-
prinsip atau definisi-definisi umum sebagai dasar atau titik tolak, sebelum akhirnya
menjelaskan kenyataan atau memahami sesuatu. Sepaham dengan ini, ialah apa yang
dikatakan oleh Prof. Dr. Ahmad Tafsir, bahwa “rasionalisme adalah paham filsafat yang
mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh
pengetahuan dan mengetes pengetahuan.”

Sementara itu epistemologi, ia merupakan sebuah sub falsafah yang secara khusus
berusaha menggeluti pertanyaan-pertanyaan menyeluruh dan mendasar tentang
pengetahuan. Dengan sifatnya yang evaluatif, normatif dan kritis, epistemologi berusaha
mengkaji dan menemukan ciri-ciri umum dan hakiki pengetahuan, serta mengkaji
pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari pengetahuan.
Lantaran kapasitasnya itu, epistemologi merupakan upaya rasional untuk menimbang
dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia.

Dengan demikian, rasionalisme sebagai sebuah epistemologi atau metode memperoleh


pengetahuan, merupakan sebuah aliran falsafah yang ingin mengkaji seluk beluk
pengetahuan, dengan menitikberatkan akal sebagai basis dan sumber pengetahuan itu
sendiri.

IDE RASIONALISME
Dalam pandangan rasionalisme, sumber dan dasar pengetahuan adalah akal (reason).
Kalangan rasionalis menyatakan bahwa akal itu universal dalam semua manusia, dan
pemikiran (akal aktif) merupakan elemen penting manusia. Pemikiran merupakan satu-
satunya instrumen kepastian pengetahuan, dan akal merupakan satu-satunya jalan
untuk menentukan kebenaran atau kesalahan.

Bagi filosof rasionalis, pengetahuan yang dapat memenuhi syarat-syarat yang dituntut
oleh semua pengetahuan ilmiah, adalah hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akal.
Dalam pandangan kaum rasionalis, akal dipahamai sebagai sejenis perantara khusus, di
mana dengan akal kebenaran dapat dikenal dan ditemukan. Karena itu, kunci
pengetahuan dan keabsahannya, bagi rasionalisme, adalah akal.

Dalam prosedur praksisnya, kalangan rasionalisme memulai dengan menghadirkan


aksioma-aksioma, prinsip-prinsip atau definisi-definisi umum sebagai dasar atau titik
tolak, sebelum akhirnya menjelaskan kenyataan atau memahami sesuatu. Aksioma-
aksioma yang dipakai dasar pengetahuan itu, diturunkan dari ide yang dipandang sudah
jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia.

Sebuah contoh sederhana yang sering digunakan kalangan rasionalis untuk


mendeskripsikan sistem rasionalisme ialah, aksioma geometri. Bagi para rasionalis,
aksioma geometri adalah ide yang jelas lagi tegas, yang dari aksioma itu dapat
dideduksikan sebuah sistem yang terdiri dari subaksioma-subaksioma.

Misalnya sebuah aksioma geometri yang menyatakan bahwa, “garis lurus merupakan
jarak terdekat antara dua titik.” Aksioma ini merupakan prinsip yang sudah ada dalam
pikiran, yang dengan prinsip itu semua keadaan serupa dapat dijelaskan (baca:
dideduksikan).

Secara khusus Rene Descartes mengetengahkan bahwa agar falsafah, termasuk


epistemologi, dapat meraih kepastian absolut dan diakui benar secara universal,
sehingga bisa mencapai kebenaran akhir yang pasti, maka falsafah harus menggunakan
metode matematika sebagai idealismenya. Karena bagi Descartes, hanya
matematikalah satu-satunya disiplin yang dapat menghasilkan pemikiran yang terbukti
dan pasti. Artinya, bila falsafah ingin menemukan hasil atau pemikiran yang pasti, maka
harus menjadikan metode matematika sebagai idealismenya.
Menurut Descartes, matematika mungkin melakukan itu lantaran ia mempunyai dua
pengoperasian mental. Di mana dengan dua hal itulah, pengetahuan yang
sesungguhnya akan bisa diraih.

Pertama, intuisi. Intuisi merupakan pemahaman kita atas prinsip bukti diri. Misalnya
persamaan aritmatika bahwa, 2 + 5 = 7. Pembuktian akan kebenaran persamaan ini
adalah menggunakan pemikiran atau akal, dirasiokan. Dalam hal ini, matematika
mempunyai prinsip-prinsip yang kebenarannya telah diakui dalam akal, yang dipahami
bahwa itu benar.

Kedua, deduksi. Deduksi yang dimaksud di sini ialah pemikiran atau kesimpulan logis
yang diturunkan dari prinsip bukti diri. Persamaan aritmatika di atas misalnya, dengan
persamaan itu kita bisa mendeduksikan, yakni menurunkan kesimpulan-kesimpulan lain
yang serupa.

Jadi, intuisi dan deduksi itulah yang ada dalam metode matematika. Ketika sebuah
metode pengetahuan (baca: epistemologi) mampu beroperasi seperti metode
matematika itu, maka, bagi kalangan rasionalis, pasti akan menghasilkan pengetahuan
yang tidak bisa diragukan lagi, pengetahuan yang tetap dan pasti, absolut dan universal.

Bagiamana rasionalis memandang pengalaman? Peneguhan kalangan rasionalis bahwa


hanya akal yang menjadi basis dan sumber pengetahuan, bukanlah berarti bahwa
kalangan ini menafikan pengalaman secara total-sepenuhnya. Artinya, rasionalisme
masih tetap memandang pengalaman sebagai sebuah kualitas yang bernilai, meskipun
kadar nilai itu tentunya tidak setinggi akal atau rasio. Bagi kalangan rasionalis,
pengalaman dapat menjadi pelengkap bagi akal.

Berkenaan dengan pengalaman tersebut ini, kalangan rasionalis biasanya membedakan


antara pendapat dan pengetahuan. Bila pendapat adalah merujuk pada pengalaman,
maka pengetahuan adalah yang merujuk pada akal atau pemikiran. Perkataan
seseorang bahwa ia telah melihat Monas misalnya, itu adalah sekedar pendapat, dan
bukan pengetahuan, sebab sangat dimungkinkan bahwa mata yang digunakan orang itu
adalah menipu, artinya masih diragukan. Sementara bila seseorang berkata bahwa 2 +
5 = 7, maka inilah pengetahuan, lantaran perkataan orang terakhir ini merupakan prinsip
yang tidak diragukan lagi, aksioma atau prinsip a-priori.
PENUTUP

Rasionalisme merupakan aliran falsafah yang berpandangan bahwa dasar dan sumber
pengetahuan, atau secara umum falsafah, adalah akal atau rasio. Adalah akal, yang
bisa dijadikan dasar sekaligus sumber pengetahuan, sehingga berhasil memperoleh
pengetahuan yang tetap dan pasti, serta absolut dan universal.

Sebagai sebuah epistemologi, rasionalisme menggunakan aksioma-aksioma,


pengertian-pengertian atau prinsip-prinsip umum rasional yang bersifat a-priori, sebagai
basis pengetahuan sekaligus sebagai sumber. Apa yang bersesuaian dengan prinsip-
prinsip dimaksud ini, dan segala hal yang dapat dideduksikan dari prinsip-prinsip
tersebut, itulah pengetahuan bagi kalangan rasionalisme. Sesuatu yang tidak
dideduksikan dari prinsip-prinsip a-priori, atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
tersebut, itu bukanlah pengetahuan, ia hanyalah sekedar opini.

Sebagai sebuah epistemologi yang keberpihakannya hanya terhadap akal atau rasio,
rasionalisme pada akhirnya memang banyak menuai kritik. Tak lama sepeninggal Rene
Descartes sang bapak kontinental rasionalisme, David Hume (1711-1776) misalnya,
telah mengkritik bahwa akal hanyalah sekedar budak daripada nafsu, yang tidak bisa
tidak mengabdi kepada nafsu, pastinya selalu mengabdi.

Namun demikian, problem dan kritik atas rasionalisme tersebut, tentunya bukan berarti
bahwa rasionalisme tidak mempunyai arti atau manfaat sama sekali. Sebaliknya,
sebagai sebuah aliran falsafah sekaligus sebuah epistemologi, kiranya rasionalisme
telah berjasa banyak bagi sejarah falsafah. Melalui bapak kontinentalnya, rasionalisme
telah menjadi pintu utama bagi kelahiran falsafah babak modern, yang pada gilirannya
telah berhasil melahirkan berbagai aliran-aliran falsafah lainnya, termasuk aliran yang
menentangnya.

Dalam hal polemis tersebut ini, penulis pribadi cenderung sepakat dengan GWF. Hegel
bahwa segala sesuatunya merupakan bagian dari proses menjadi sadarnya “Aku
Absolut”, tidak terkecuali rasionalisme.

Wallâhu al-Muwaffiq ilâ al-Haqq.

Miftahul Badar;
Mahasiswa Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, dan Santri
Pesantren Emansipatoris P3M Cililitan Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati dari Thales sampai Capra, Jakarta: Rosda,
2003.

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: Rajawali Pers, 2000.

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta:


Gramedia, 2004.

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta:


Kanisius, 2002.

Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang


Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor, 2003.

Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.

T.J. Lavine, Petualangan Filsafat: dari Socrates ke Sartre, Yogyakarta: Jendela, 2002.

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hal. 111.

Ahmad Tafsir, hal. 128.

Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hal. 135.

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati dari Thales sampai Capra, (Jakarta:
Rosda, 2003), hal. 129.

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta:


Gramedia, 2004), hal. 301.

Ahmad Tafsir, hal. 127.

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta:


Kanisius, 2002), hal. 18.

Louis O. Kattsoff, hal. 135.


T.J. Lavine, Petualangan Filsafat: dari Socrates ke Sartre, (Yogyakarta: Jendela, 2002),
hal. 80.

Asmoro Achmadi, hal. 111.

Louis O. Kattsoff, hal. 135.

F. Budi Hardiman, hal. 301.

Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam Mencari Pengetahuan,


Rasionalisme, Empirisme, dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu
dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, (Jakarta: Yayasan
Obor, 2003), hal. 99.

Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, hal. 100.

T.J. Lavine, hal. 81.

T.J. Lavine, hal. 81.

Louis O. Kattsoff, hal. 137.

Louis O. Kattsoff, hal. 137.

You might also like