You are on page 1of 12

Ketenagakerjaan

Tersedianya lapangan/kesempatan kerja baru untuk mengatasi peningkatan penawaran tenaga


kerja merupakan salah satu target yang harus dicapai dalam pembangunan ekonomi daerah.
Upaya tersebut dapat diwujudkan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi khususnya
investasi langsung (direct investment) pada sektor-sektor yang bersifat padat karya, seperti
konstruksi, infrastruktur maupun industri pengolahan. Sementara pada sektor jasa, misalnya
melalui perdagangan maupun pariwisata. Tenaga kerja adalah orang yang siap masuk dalam
pasar kerja sesuai dengan upah yang ditawarkan oleh penyedia pekerjaan. Jumlah tenaga kerja
dihitung dari penduduk usia produktif (umur 15 thn–65 thn) yang masuk kategori angkatan kerja
(labour force). Kondisi di negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat pengangguran
yang jauh lebih tinggi dari angka resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena
ukuran sektor informal masih cukup besar sebagai salah satu lapangan nafkah bagi tenaga kerja
tidak terdidik. Sektor informal tersebut dianggap sebagai katup pengaman bagi pengangguran.
Angka resmi tingkat pengangguran umumnya menggunakan indikator pengangguran terbuka,
yaitu jumlah angkatan kerja yang secara sungguh-sungguh tidak bekerja sama sekali dan sedang
mencari kerja pada saat survei dilakukan. Sementara yang setengah pengangguran dan
penganggur terselubung tidak dihitung dalam angka pengangguran terbuka, karena mereka masih
menggunakan waktu produktifnya selama seminggu untuk bekerja meskipun tidak sampai 35
jam penuh. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2000, penduduk berumur 15 tahun ke atas yang
termasuk angkatan kerja adalah 264.802 orang (BPS, 2005) atau 64,48 % dari jumlah penduduk
sebesar 410.682 jiwa. Dilihat dari lokasi, sebagian besar tinggal di desa yaitu 211.681 jiwa,
sedangkan di kota sebanyak 53.121 jiwa. Dari jumlah angkatan kerja tersebut yang bekerja
adalah sebesar 89,01%, sedangkan sisanya 10,99% tidak bekerja atau menganggur. Dilihat aspek
gender, sebagian besar yang menganggur adalah wanita (17,42%), sedangkan yang laki-laki
sekitar 5,32%. Apabila dilihat dari jumlah pencari kerja yang tercatat pada Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Kabupaten Bima (2006) sebagian besar berpendidikan SMU keatas atau
perguruan tinggi, yaitu sekitar 5.217 orang yang terdiri dari diploma III dan sarjana (S1).
Sempitnya lapangan kerja di Kabupaten Bima tidak terlepas dari masih rendahnya potensi
ekonomi yang dimanfaatkan terutama pada sektor pertanian. Adapun penyerapan tenaga kerja
yang baru lebih banyak mengandalkan sektor jasa pemerintahan melalui kebijakan pemerintah
pusat mengangkat tenaga honor daerah menjadi PNS dimana selama 2005 s/d 2009 diperkirakan
mencapai lebih dari 5.000 orang. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam analisis
ketenagakerjaan adalah berkaitan dengan rasio beban tanggungan atau burden of dependency
ratio. Yang dimaksud dengan dependency ratio adalah beban yang ditanggung oleh penduduk
produktif terhadap penduduk tidak produktif. Oleh karena itu, semakin banyak penduduk
produktif yang tidak bekerja, maka dengan sendirinya akan meningkatkan beban tanggungan.
Kondisi ini juga banyak ditemukan di Kabupaten Bima di mana masyarakatnya tinggal di
wilayah pedesaan yang mana laki-laki muda banyak tidak bekerja demikian pula dengan
wanitanya. Masalah–masalah ketenagakerjaan di Kabupaten Bima yang paling menonjol antara
lain : 1. Rendahnya minat tenaga kerja untuk menciptakan lapangan kerja baru melalui kegiatan
wirausaha, terutama tamatan dari sekolah kejuruan maupun SMA. 2. Kurangnya inovasi di
bidang pertanian, industri dan sektor jasa dalam meningkatkan investasi padat tenaga kerja. 3.
Tenaga kerja berpendidikan sarjana umumnya bekerja sebagai setengah penganggur karena
memasuki bidang yang tidak sesuai dengan keahliannya dan bekerja kurang dari 36 jam per
minggu. 4. Minimnya investasi dan pabrik yang dapat menampung tenaga kerja skala besar. 5.
Tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, yang disebabkan oleh
kualifikasi sarjana di Kabupaten Bima didominasi oleh ilmu–ilmu sosial dibandingkan ilmu–
ilmu eksakta yang lebih bersifat aplikatif. 6. Hambatan budaya yang lebih memandang PNS
sebagai pekerjaan prestisius, sehingga mematikan kreatifitas untuk bekerja di luar sektor jasa
pemerintahan. Dari kajian tekstual yang dilakukan KPPOD (2006) , dalam aspek kebijakan dan
regulasi (Perda/SK Kepala Daerah), peta persoalan umum yang menandai distorsi kebijakan
ketenagakerjaan di sejumlah daerah dalam masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini adalah :
Pertama, pelanggaran dalam hal perijinan dan pungutan terkait penggunaan tenaga kerja asing.
Padahal, Perijinan (menurut Pasal 42 UU No.13 Tahun 2003) maupun pungutan (menurut Pasal
3 PP No.92 Tahun 2002) yang terkait dengan penggunaan TKA berada di pusat. Kedua,
pungutan yang tidak proporsional dan amat lemah dalam acuan konsiderans. Ketiga, diskriminasi
gender. Di sejumlah daerah ditemukan cukup banyak perda yang mengatur jam kerja lembur atau
ijin kerja lembur malam bagi wanita dan mengenakan pungutan (retribusi) tertentu atasnya.
Keempat, proteksionisme (perlindungan berlebihan) bagi tenaga kerja lokal. Tidak hanya terjadi
dalam sektor pemerintahan, dimana muncul tuntutan preferensi berlebihan bagi putera daerah
untuk duduk dalam jabatan-jabatan strategis (politik dan birokrasi), gejala serupa juga terjadi
dalam dunia swasta (bahkan tidak sekedar sebagai tuntutan pemerintah) terkait pemberian
kesempatan kerja, dimana perusahaan wajib memberikan jatah, yang bahkan dengan patokan
kuota tertentu bagi putera daerah untuk sesuatu pekerjaan dalam perusahaan tersebut. Begitu
pentingnya posisi pengaruh faktor Ketenagakerjaan di satu sisi dan banyaknya persoalan pada
sisi lain menyebabkan efek serius bagi kelancaran berusaha di daerah. Semua itu menambah
biaya tambahan (additional cost) dalam ongkos berbisnis (cost of doing business), baik biaya
waktu (banyaknya waktu untuk bernegosiasi dengan pihak buruh dan pemda) maupun biaya
material karena berbagai pungutan legal dan ilegal yang ada. Kekakuan dalam kebijakan
ketenagakerjaan kita maupun iklim kebijakan makro yang terkait dengan pelaksanaan otonomi
daerah merupakan peta jalan kemana arah menelusuri persoalan. Berdasarkan beberapa kasus
daerah lain di atas, tampaknya persoalan kebijakan ketenagakerjaan di Kabupaten Bima belum
begitu kompleks sebagaimana dialami daerah yang telah maju sektor industri dan jasanya.
Bahkan, penanganan ketenagakerjaan di Kabupaten Bima dari aspek upah saja belum dapat
ditangani dengan baik, belum masalah-masalah seperti keselamatan kerja dan perlindungan
tenaga kerja lainnya sesuai dengan amanat perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Upah Tenaga Kerja


Pemberian Upah tenaga kerja di Kabupaten Bima belum sepenuhya mengikuti Upah Minimum
Provinsi. Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2007 ditetapkan sebesar Rp. 645.000 per bulan
di mana telah diperhitungkan kebutuhan fisik minimum. Sementara dari hasil observasi di
beberapa wilayah Kabupaten Bima, diperoleh informasi bahwa untuk sektor pertanian, upah per
hari berkisar antara Rp. 20.000- 30.000 atau paling rendah Rp. 600.000 per bulan apabila
menggunakan seluruh waktunya untuk bekerja sebagai buruh tani. Sementara untuk sektor
bangunan dan konstruksi , seorang pekerja profesional yang tukang batu dibayar sekitar Rp.
40.000 ribu per hari atau Rp. 1.200.000,- per bulan. Upah untuk pekerja di sektor perdagangan,
masih relatif lebih rendah yakni take home pay Rp 200-250 ribu per bulan di mana pekerja yang
bersangkutan telah ditanggung kebutuhan makanan. Sedangkan untuk sektor jasa pendidikan,
misalnya, masih sangat rendah yaitu sebesar Rp. 250.000 per bulan. Kendatipun demikian,
masyarakat Bima umumnya memiliki pekerjaan lain sehingga dapat memenuhi kebutuhannya
sehari-hari. Pada dasarnya banyak tenaga kerja yang bekerja rangkap khususnya setelah hari
libur atau pulang kerja.
Penduduk Yang Bekerja Menurut Upah/Gaji
Pendapatan hampir selalu dikaitkan dengan aktifitas ekonomi karena ”pendapatan/penghasilan”
seseorang atau suatu rumah tangga terangsang untuk bekerja karena besar kecilnya upah atau
gaji merupakan salah satu faktor yang menarik seseorang tenaga kerja untuk masuk ke dalam
suatu lapangan usaha. Di Kabupaten Bima, secara umum, upah/gaji yang diterima di daerah
perkotaan lebih tinggi dibanding upah/gaji yang diterima di daerah pedesaan. Demikian juga
dengan upah/gaji yang diterima oleh laki-laki, lebih besar upah/gaji yang diterima perempuan.
Untuk daerah perkotaan upah/gaji yang diterima laki-laki, rata-rata Rp. 640.714,29 per-bulan,
sedangkan untuk daerah pedesaan upah/gaji yang diterima mencapai Rp.684.413,85. Upah/gaji
perempuan berdasarkan daerah perkotaan atau pedesaan berbeda polanya dengan rata-rata
upah/gaji yang diterima oleh laki-laki. Secara umum upah/gaji yang diterima oleh perempuan
adalah Rp. 494.214,29. pada tabel 2.10 dapat dilihat upah/gaji berdasarkan status daerah. Rata–
rata upah/gaji yang diterima perempuan di daerah perkotaan lebih besar dibandingkan dengan
upah/gaji yang diterima di pedesaan. Upah/gaji yang diterima perempuan diperkotaan mencapai
Rp. 646.500,00, sedangkan didaerah pedesaan sebesar Rp. 468.833,33. Pada tabel 2.11, dapat
dilihat rata-rata upah/gaji yang diterima berdasarkan pendidikan tertinggi dan jenis kelamin.
Secara umum, upah/gaji yang diterima oleh penduduk bekerja yang berpendidikan Diploma,
yakni sekitar Rp. 1.312.171,43 per bulan. Sedangkan upah/gaji terkecil diterima oleh penduduk
bekerja yang tidak/belum pernah bersekolah, yakni rata-rata Rp. 183.571,43 per bulan. Jika
dirinci berdasarkan jenis kelamin, terdapat perbedaan pola gaji tertinggi pada jenis kelamin laki-
laki dan perempuan. Pada laki-laki, gaji tertinggi diterima oleh penduduk bekerja yang
berpendidikan Perguruan Tinggi, yakni sekitar Rp. 1.422.000,- sementara pada perempuan, gaji
tertinggi diterima penduduk yang berpendidikan Diploma, yakni sekitar Rp. 1.140.000,-.
Demikian juga dengan pola gaji terendah, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Pada laki-laki, gaji terendah diterima oleh penduduk bekerja yang tidak/belum pernah
bersekolah, dengan rata-rata pendapatan perbulan mencapai Rp. 222.000,-. Sedangkan pada
Perempuan, gaji terendah diterima penduduk bekerja yang tidak/belum tamat Sekolah Dasar
(SD), dengan rata-rata pendapatan per bulan mencapai Rp. 42.000,-

Pendapatan dari Tenaga Kerja Luar Negeri (Remmitance)


Salah satu sumber pendapatan dari masyarakat adalah pendapatan yang bersumber dari tenaga
kerja yang bekerja di luar negeri. Berdasarkan data yang dikeluarkan Bank Indonesia Mataram
(2007) bahwa sebagian besar tenaga kerja di Nusa Tenggara Barat yang bekerja di luar negeri
adalah berasal dari : Pulau Lombok, Kabupaten Sumbawa dan hanya sebagian kecil yang berasal
dari Kabupaten Bima dan Dompu. Rendahnya keinginan tenaga kerja dari Kabupaten Bima
untuk bekerja di luar negeri antara lain dipengaruhi oleh hal- hal sebagai berikut : • Dampak
psikologis berita negatif tentang perlakuan tidak manusiawi yang seringkali menimpa sebagian
TKI baik secara hukum maupun menyangkut hubungan antara pekerja dan majikan. • Sebagian
besar tenaga kerja di Kabupaten Bima berpendidikan SMA ke atas sehingga preferensi bekerja di
luar negeri menjadi rendah karena lebih banyak didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan
SMA ke bawah. • Minimnya informasi tentang pekerjaan di luar negeri dan lemahnya fasilitasi
oleh PJTKI maupun Balai Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (BPTKLN). • Umumnya
Tenaga kerja dari Kabupaten Bima masih mengandalkan lapangan kerja di dalam negeri seperti:
wilayah Jabodetabek, Surabaya, Batam, Kalimantan. • Sikap PJTKI yang seringkali
menelantarkan tenaga kerja khususnya setelah sampai di luar negeri dan kurangnya tanggung
jawab perlindungan atau kompensasi terhadap kasus yang merugikan Tenaga Kerja, seperti kasus
Malaysia Timur dan beberapa negara lainnya. Tampaknya pola penempatan TKI di luar negeri
sebagaimana data yang dikeluarkan oleh Dinas Tenaga Kerja Provinsi NTB (2006) adalah: • TKI
Pulau Lombok berkonsentrasi di Malaysia • TKI Kab. Sumbawa berkonsentrasi di Timur
Tengah, khususnya Arab Saudi • TKI NTB menyebar di Jepang, Korea dan negara di sekitarnya
Isu yang menarik untuk dicermati oleh Pemerintah Kabupaten Bima, khususnya Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi dalam penempatan TKI di luar negeri adalah : 1. Pemerintah perlu
memfasilitasi peningkatan Skill calon TKI baik di bidang otomotif, elektronik, budaya, bahasa
dan keterampilan human relations yang dibutuhkan. 2. Kerjasama antara Pemkab, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Pusat dan perusahaan pengarah tenaga kerja harus ditingkatkan, guna
meningkatkan pengiriman tenaga kerja yang memiliki skill tinggi ke luar negeri. 3. Upaya
pengiriman TKI keluar negeri harus menjadi salah satu program guna mengatasi pengangguran
yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan meningkatkan koordinasi dengan kementerian
tenaga kerja. 4. Program Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) di bawah koordinasi Disnakertrans
Kabupaten Bima harus diarahkan pada kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan
pekerjaan di luar negeri. 5. Perlu diupayakan pembuatan situs Sistem Informasi Ketenagakerjaan
yang terpadu. 6. Mencegah dan/atau mengatasi praktik ”mafia” pengiriman TKI secara ilegal
melalui calo. 7. Pemerintah Daerah perlu menyiapkan dana stimulan atau pinjaman tanpa bunga
kepada calon TKI untuk kebutuhan awal meliputi pengurusan administrasi dan lainnya.

Kebijakan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Kerangka


Perlindungan TK dan Perluasan Kes.Kerja
Posted on November 30, 2008 by Junaidi

Oleh : Junaidi
I. PENDAHULUAN
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis yang terjadi pada
pertengahan tahun 1997 hingga 1998 diakui telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang
cukup signifikan. Selama tahun 2000-2007, perekonomian Indonesia telah tumbuh dengan
kisaran antara 4 – 5 persen pertahun, yang terutama disebabkan menguatnya peran investasi dan
ekspor. Indikator-indikator ekonomi lainnya juga menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Inflasi rata-rata tahunan mengalami penurunan dari 9,35 persen pada tahun 2000 menjadi 6,59
persen pada tahun 2007. Suku bunga SBI (1 bulan) mengalami penurunan dari 14,5 persen pada
tahun 2000 menjadi 8,00 persen pada tahun 2007. Demikian juga jika diamati dari nilai tukar
rata-rata tahunan mata uang rupiah terhadap dollar, dimana pada periode krisis (1998) sebesar
10.210 telah menjadi 9.140 pada tahun 2007 (Laporan Tahunan Bank Indonesia, berbagai tahun)
Namun demikian, dalam konteks ketenagakerjaan, berbagai perbaikan pada indikator
makroekonomi tersebut ternyata belum memberikan dampak yang menggembirakan terhadap
penciptaan kesempatan kerja. Hal ini terlihat dari kenyataan meningkatnya angka pengangguran
baik secara absolut maupun relatif. Pada tahun 2000 tingkat pengangguran terbuka sebesar 6,08
persen menjadi 9,67 persen pada tahun 2003 dan 9,75 persen pada tahun 2007. Secara absolut,
pengangguran terbuka bertambah sebanyak 4,74 juta dari 5,81 juta pada tahun 2000 menjadi 9,53
juta pada tahun 2003 dan 10,55 juta pada tahun 2007. (Statistik Indonesia berbagai tahun, Badan
Pusat Statistika).
Pasar kerja di Indonesia – sebagaimana karakteristik umumnya negara sedang berkembang –
bersifat dualistik. Lapangan kerja sektor modern (formal) dengan jumlah tenaga kerja yang
relatif sedikit dan sektor tradisional (informal) dengan jumlah tenaga kerja yang besar, berjalan
secara bersamaan dalam perekonomian. Sektor modern memiliki upah yang lebih tinggi dan
kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan sektor tradisional. Selain itu, pekerja sektor modern
memiliki kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses terhadap pelatihan sehingga
memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka.
Sebaliknya, pekerja di sektor tradisional melakukan kegiatan yang rendah tingkat
produktivitasnya dengan upah rendah. Kesenjangan produktivitas-upah antara sektor modern dan
sektor tradisional juga mencerminkan perbedaan tingkat pendidikan. Pekerja sektor modern
berpendidikan lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor tradisional.
Oleh karenanya, persoalan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terkait dengan upaya
perluasan kesempatan kerja, tetapi juga mencakup upaya memfasilitasi perpindahan ’surplus
tenaga kerja’ keluar dari sektor informal ke sektor modern yang lebih produktif dan memberikan
upah yang lebih tinggi. Perpindahan surplus tenaga kerja dari sektor informal ini selain bertujuan
meningkatkan hak-hak tenaga kerja juga menjadi tujuan utama dari siklus pembangunan,
pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut
secara selaras, maka dalam konteks kebijakan tenaga kerja di Indonesia, perlu dijalin
keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.
Tulisan ini menganalisis kebijakan tenaga kerja di Indonesia dalam kaitannya dengan
perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Diawali dengan pembahasan
mengenai trade-off antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.
Dilanjutkan dengan analisis mengenai kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia khususnya UU
No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya, pada bagian akhir adalah rekomendasi dalam penerapan
kebijakan ketenagakerjaan yang berorientasi pada keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan
perluasan kesempatan kerja.
II. TRADE-OFF ANTARA PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DAN PERLUASAN
KESEMPATAN KERJA
Perlunya kebijakan perlindungan tenaga kerja didasarkan pada kenyataan bahwa setiap pekerja
menghadapi berbagai risiko, baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Risiko-risiko tersebut
berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Beberapa risiko pasar
kerja (labor market risks) yang utama adalah:
1. Risiko kehilangan pekerjaan (unemployment risks): Kehilangan pekerjaan
dapat terjadi baik karena faktor kinerja individu, kinerja perusahaan maupun
karena faktor ekonomi makro. Kehilangan pekerjaan akan berdampak secara
langsung pada penurunan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
2. Risiko kesehatan (health risks): Risiko kesehatan yang berdampak pada
penurunan/kehilangan sumber pendapatan dari seorang pekerja dapat terjadi
baik pada saat sedang bekerja maupun di luar pekerjaan.
3. Risiko penurunan upah riil (declining wage risks): Penurunan upah riil adalah
penurunan daya beli, sehingga secara langsung menurunkan tingkat kesej
ahteraan pekerja dan keluarganya. Penurunan upah riil dapat terjadi karena
pemotongan tingkat upah atau karena laju inflasi yang lebih tinggi dari
kenaikan upah nominal.
4. Risiko usia lanjut (old-age risks): Dampak menjadi tua bagi seorang pekerja
adalah menurunnya tingkat produktivitas, dan kehilangan pekerjaan ketika
kondisi fisik sebagai akibat faktor usia tidak memungkinkan lagi bagi pekerja
tersebut untuk bekerja. Ini berarti bahwa semakin tua seorang pekerja akan
menyebabkan risiko menurunnya/kehilangan pendapatan mereka.
Risiko-risiko tersebut dapat bersifat individual pekerja ataupun melibatkan banyak pekerja.
Munculnya risiko-risiko tersebut dapat berkaitan dengan kondisi individu, kondisi mikro
perusahaan ataupun kondisi perekonomian secara makro yang tidak menguntungkan. Oleh
karenanya, tujuan dari kebijakan perlindungan tenaga kerja adalah untuk meminimalkan dampak
negatif dari berbagai risiko pasar kerja terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Secara garis besar, kebijakan perlindungan pekerja dapat dikelompokkan ke dalam pengaturan
hubungan pekerjaan (employment relations) dan penyediaan jaminan sosial (social
security).Kebijakan hubungan pekerjaan atau hubungan industrial umumnya mencakup
pengaturan dan syarat- syarat hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja, mulai dari
rekrutmen, interaksi selama masa kerja, sampai dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Bentuk-bentuk jaminan sosial umumnya terdiri dari tabungan wajib hari tua (provident fund),
asuransi kesehatan (health insurance), asuransi kematian (life insurance), kompensasi atau
asuransi kecelakaan kerja (work accident insurance), pesangon untuk pemutusan hubungan kerja
atau asuransi pengangguran (unemployment insurance), dan lain-lain.
Biaya-biaya yang timbul sebagai akibat kebijakan perlindungan tenaga kerja baik dari sisi
pengaturan hubungan kerja maupun penyediaan jaminan sosial, ditanggung sepenuhnya atau
sebagian besar oleh pemberi kerja. Oleh karenanya, dilihat dari sudut pandang pemberi kerja
penerapan kebijakan ini menambah terhadap total biaya tenaga kerja (labor costs).
Sebagai akibat dari hal ini, apabila kebijakan pelindungan pekerja terlalu berlebihan maka dapat
timbul dampak negatif yang tidak diinginkan. Dari sudut pandang pemberi kerja, meningkatnya
total biaya tenaga kerja yang terlalu besar dapat menjadi hambatan (disincentive) terhadap
penciptaan kesempatan kerja. Sebaliknya bagi pekerja, kebijakan pelindungan pekerja yang
terlalu berlebihan dapat menjadi hambatan untuk bekerja. Bagi perekonomian secara makro, hal
ini dapat menciptakan kekakuan (inflexibility) dalam pasar kerja.
Berbagai fakta di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan perlindungan tenaga kerja
yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap kesempatan kerja (Suharyadi,2003). Di
negara-negara Eropa Barat, penerapan kebijakan pemberian tunjangan pengangguran yang relatif
tinggi (generous) telah berdampak pada tingginya tingkat pengangguran. Di Bangladesh,
kebijakan yang melarang pekerja anak di bawah usia 15 tahun, berdampak pada pemecatan
pekerja anak secara besar-besaran yang justru menyebabkan anak-anak ini terpaksa menjadi
anak-anak jalanan dan berubah profesi menjadi pengemis atau pekerja seks komersial. Demikian
juga, larangan bagi pemberi kerja untuk merekrut pekerja yang bukan anggota serikat pekerja di
sektor pelabuhan di Australia menyebabkan pasar kerja di sektor ini menjadi bersifat
monopsonistik sehingga efisiensi sektor secara keseluruhan menjadi rendah. Studi pada skala
makro pada 48 negara juga menunjukkan fakta adanya hubungan negatif antara banyaknya
kebijakan perlindungan tenaga kerja dengan pertumbuhan kesempatan kerja dan kenaikan upah
riil.
Oleh karena itu, pembuatan kebijakan perlindungan pekerja perlu didasarkan pada kebutuhan riil
pekerja terhadap perlindungan, dengan memperhitungkan seberapa besar dan siapa yang akan
menanggung biaya kebijakan yang dibuat, dan memperhatikan kondisi perekonomian secara
keseluruhan. Di samping itu, perlu pula diperhatikan agar kebijakan perlindungan pekerja yang
dibuat tidak memperbesar diskriminasi antara pekerja yang terlindungi (pekerja sektor formal)
dan pekerja yang tidak terlindungi (pekerja sektor informal) oleh kebijakan tersebut.
III. ANALISIS KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA (UU No. 13 Tahun
2003)
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat kebijakan
pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja yaitu
kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon, ketentuan yang
berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja.
Upah Minimum
Pengaturan mengenai upah minimum dijelaskan pada pasal 88 – 90. Dalam pasal-pasal tersebut
dinyatakan bahwa salah satu komponen/kebijakan pengupahan adalah upah minimum (pasal 88).
Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (pasal 88). Upah minimum ditetapkan
berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota serta berdasarkan sektor pada wilayah
provinsi atau kabupaten/kota (pasal 89). Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari
upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum tersebut dapat
dilakukan penangguhan (pasal 90).
Jika diterapkan secara proporsional, kebijakan upah minimum bermanfaat dalam melindungi
kelompok kerja marjinal yang tidak terorganisasi di sektor modern. Namun demikian, kenaikan
upah minimum yang tinggi dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah di Indonesia
belakangan ini telah berdampak pada turunnya keunggulan komparatif industri-industri padat
karya, yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja akibat berkurangnya
aktivitas produksi.
Kenaikan upah minimum yang terlalu cepat ini selain berdampak negatif terhadap prospek
pekerja memperoleh pekerjaan di sektor formal, juga menyebabkan tingkat pengangguran
terbuka menjadi lebih tinggi, terutama di kalangan angkatan kerja usia muda. Studi SMERU
(2002) tentang upah minimum menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum selama periode
1990 hingga 1999 tidak mengurangi kesempatan kerja bagi pekerja laki- laki dewasa, pekerja
berpendidikan tinggi atau para profesional. Sebaliknya, kenaikan upah minimum tersebut telah
mengurangi kesempatan kerja bagi pekerja perempuan, pekerja usia muda dan pekerja kurang
terdidik (yaitu mereka yang berpendidikan dasar atau lebih rendah). Studi SMERU menunjukkan
bahwa secara rata–rata, kenaikan upah minimum riil sebesar 20%, sebagaimana terjadi di
beberapa daerah pada tahun 2002, menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan sektor formal
di daerah perkotaan sebesar 2%, lapangan pekerjaan bagi pekerja perempuan dan pekerja usia
muda berkurang masing-masing sebesar 6%, dan bagi pekerja kurang terdidik sebesar 4%.
Kenaikan upah minimum memberikan dampak yang lebih besar terhadap lapangan pekerjaan
bagi kelompok pekerja marjinal karena upah minimum telah mendekati tingkat upah rata-rata
kelompok tersebut di pasar kerja.
Kenaikan upah minimum yang tinggi akhir- akhir ini di seluruh Indonesia disebabkan oleh
sejumlah kelemahan dalam proses penetapan upah minimum diantaranya, ketergantungan yang
besar terhadap indeks kebutuhan hidup minimum atau KHM, penetapan indeks secara kurang
hati- hati sej ak diberlakukannya otonomi daerah, tidak adanya pedoman mengenai bagaimana
menggunakan kriteria lain dalam penetapan upah minimum, dan rendahnya partisipasi para
stakeholder utamanya dalam proses penetapan upah. Proses penetapan upah minimum menjadi
semakin rumit sejak penyerahan kewenangan penetapan upah minimum kepada pemerintah
daerah di era otonomi.
PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab XII pada pasal
150 – 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan dengan serikat pekerja
(pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan persetujuan maka permohonan
penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang mendasarinya (pasal 152). Selanjutnya
dalam pasal 153-155 dijelaskan alasan-alasan yang diperbolehkannya PHK dan alasan-alasan
tidak diperbolehkannya PHK.
Aturan PHK yang diberlakukan pada UU ini telah mempersulit dan menimbulkan biaya tinggi
bagi perusahaan untuk memberhentikan pekerja karena setiap kasus pengurangan pekerja wajib
diajukan kepada pemerintah agar dikeluarkan izinnya. Tidak terdapat kewenangan manajemen
dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan.
Undang-Undang Ketenagakerjaan hendaknya memberikan kewenangan kepada manajemen
dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan, tergantung pada pelaksanaan kontrak,
negosiasi bipartit terhadap keadaan yang menyebabkan terjadinya PHK yang tidak adil, dan
kerangka hukum yang memungkinkan pekerja dan serikat pekerja naik banding ke lembaga
penyelesaian perselisihan industrial. Sekalipun dalam UU Ketenagakerjaan keputusan
dilakukannya PHK harus didasarkan pada alasan yang jelas, persetujuan terlebih dahulu untuk
melakukan PHK tidak diwajibkan oleh standar ketenagakerjaan internasional dan tidak diatur
oleh sebagian besar undang- undang ketenagakerjaan modern. Persetujuan terlebih dahulu
hendaknya hanya diwajibkan oleh UU untuk kategori kelompok pekerja tertentu yang rawan
pemecatan seperti misalnya pengurus serikat pekerja.
Jika terjadi PHK perusahaan diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (pasal 156). Dalam pasal
tersebut juga dirincikan besarnya uang pesangon/penghargaan tersebut.
Pada pasal 158 dinyatakan bahwa pengusaha tidak wajib pemberi kerja membayar uang
pesangon atau uang penghargaan masa kerja kepada pekerja yang mengundurkan diri secara
sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat (misalnya, pencurian atau melakukan kekerasan
di tempat kerja). Namun, pengusaha diwajibkan membayar “uang pisah” kepada pekerja yang
mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat, yang besarannya
ditetapkan melalui proses perundingan bersama.
Terkait dengan aturan mengenai uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, Widianto
(2006) mengemukakan UU ini telah menaikkan tingkat uang pesangon sebesar antara 19%
sampai 63% bagi pekerja yang masa kerjanya mencapai lima tahun atau lebih. Tingkat uang
pesangon yang baru tersebut termasuk tertinggi di kawasan Asia, khususnya untuk pesangon
yang diberikan kepada pekerja yang terkena PHK karena pengurangan karyawan .
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ketentuan pesangon ini:
1. Biaya pesangon meningkat pesat dari waktu ke waktu, baik terkait dengan
peningkatan besaran uang pesangon maupun melalui kenaikan upah
minimum yang tinggi. Peningkatan besarnya uang pesangon meningkatkan
insentif bagi pekerja untuk menjadikan dirinya dipecat dengan melakukan
pelanggaran ringan pada setiap waktu tertentu.
2. Diberlakukannya uang pesangon yang tinggi dapat dianggap sebagai pajak di
bidang ketenagakerjaan. Karena pemberi kerja harus membayar uang
pesangon secara lump sum pada saat pekerja dikeluarkan atau saat terjadi
pengurangan karyawan, maka uang pesangon dapat dianggap sebagai pajak
atas pemecatan dan penerimaan karyawan baru, yang dapat mengurangi
lapangan pekerjaan di sektor modern dalam jangka panjang.
3. Uang pesangon berkaitan langsung dengan masa kerja pekerja di
perusahaan. Hal ini menciptakan distorsi dalam pasar kerja. Misalnya,
perusahaan akan cenderung mempertahankan para pekerja yang lebih tua
usianya, walaupun mereka kurang produktif dibandingkan yang jauh lebih
muda karena biaya yang harus dikeluarkan untuk memecat pekerja yang
lebih tua lebih mahal. Dengan cara demikian, struktur uang pesangon saat ini
berpotensi menghambat bagi penempatan pekerja usia muda sebagai
pekerja.
4. Mengaitkan uang pesangon dengan masa kerja juga mengurangi insentif
pemberi kerja untuk berinvestasi dalam SDM (human capital) terutama jika
keahlian yang diperlukan merupakan keahlian khusus. Alasannya adalah
bahwa pembayaran uang pesangon mendorong pekerja tersebut untuk
berganti pekerjaan dan ini akan merupakan biaya besar bagi perusahaan
sehingga dalam jangka panjang perusahaan kehilangan insentif untuk
berinvestasi bagi pekerjanya.
5. Besarnya uang pesangon mendorong timbulnya perselisihan industrial
karena kebanyakan perusahaan tidak menyiapkan diri untuk melakukan
pembayaran uang pesangon, sehingga pekerja mempunyai inisiatif untuk
menunggu dipecat daripada mengundurkan diri secara sukarela walaupun
pekerja sudah tidak produktif lagi.
Hubungan Kerja
Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak
tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap.
Undang-undang ini juga mengatur berbagai persyaratan penggunaan tenaga kerja dan
pemborongan produk dari luar perusahaan. Penggunaan pekerja kontrak, pemborongan pekerjaan
produksi dan jasa pada pihak luar (outsourcing), dan perekrutan tenaga kerja melalui agen
penempatan tenaga kerja dibatasi hanya untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu. Pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar hanya
diperbolehkan bagi pekerjaan yang bukan pekerjaan utama dari perusahaan. Selanjutnya dalam
konteks ini hubungan kerja yang terjadi adalah antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh; (pasal 64 – 66)
Tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk memberikan perlindungan kerja di tingkat
perusahaan bagi pekerja di sektor modern. Meskipun demikian, bila ketentuan-ketentuan UU
tersebut diimplementasikan secara kaku, ketentuan-ketentuan tersebut akan menghambat
sebagian angkatan kerja untuk memperoleh kesempatan kerja di sektor modern. Selain itu,
pekerja kontrak memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk cuti libur yang dibayar, cuti sakit,
tidak termasuk dalam program pensiun, dan kurang memperoleh akses untuk pelatihan.
Meskipun, pekerja kontrak biasanya terus memperoleh pekerjaan dan pada akhirnya menjadi
pekerja tetap, tetapi hal ini jarang terjadi pada pekerja berpendidikan rendah.
Dalam kaitannya dengan lembaga outsourcing, lebih jauh Nugroho (2004), mengemukakan
bahwa lembaga outsourcing akan mengaburkan hubungan industrial. Terutama adanya
ketidakjelasan status antara lembaga penyalur dengan perusahaan ketika terjadi perselisihan
hubungan industrial. Posisi tawar buruh akan menjadi semakin lemah, sedangkan di pihak lain
posisi perusahaan dan lembaga penyalur/outsourcing akan semakin kuat. Ini akan menciptakan
hubungan yang subordinatif terhadap pekerja
Waktu Kerja
Terkait dengan waktu kerja, pada pasal 76 dinyatakan adanya larangan mempekerjakan pekerja
perempuan di bawah 18 tahun dan pekerja perempuan hamil pada malam hari (Pukul 23.00
7.00). Selanjutnya pada pasal 77 dinyatakan kewajiban perusahaan untuk melaksanakan
ketentuan waktu kerja 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja berkewajiban membayar
upah lembur, tetapi harus memenuhi syarat : a. ada persetujuan pekerja/buruh yang
bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam
dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu (pasal 78).
Aturan mengenai waktu kerja ini, secara eksplisit memberikan keterbatasan perusahaan untuk
mempekerjakan pekerja sesuai dengan kebutuhan produksi. Meskipun, misalnya karena
kekurangan bahan baku, perusahaan hanya membutuhkan masing-masing pekerja untuk bekerja
kurang dari 40 jam seminggu, tetapi perusahaan harus tetap mempekerjakan pekerja dalam batas
jam kerja tersebut. Demikian juga misalnya, karena peningkatan permintaan yang mengharuskan
perusahaan meningkatkan produksi, perusahaan dibatasi dengan aturan tidak boleh
mempekerjakan pekerja lembur lebih dari 3 jam perharinya.
IV. REKOMENDASI
Dari kajian mengenai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka
tulisan ini merekomendasikan beberapa poin rekomendasi dalam rangka menyeimbangkan antara
tujuan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja, sebagai berikut:
1. Substansi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
rekruitmen, PHK, upah minimum, perlindungan kerja dan waktu kerja, dengan
tetap memperhatikan jaminan keberadaan upah dan perlindungan kerja yang
layak, serta struktur pasar kerja di Indonesia, perlu ditinjau ulang dalam
konteks keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan
kerja. Terkait dengan struktur pasar kerja di Indonesia, yang harus
diperhatikan adalah karakteristik pasar kerja yang surplus tenaga kerja,
lapangan kerja sektor informal yang sangat besar, banyaknya pekerja berada
dalam kondisi setengah menganggur, rendahnya kualitas tenaga kerja. Data
tahun 2005 menunjukkan 70,06 persen tenaga kerja berada pada sektor
informal, 31,22 persen yang bekerja berada dalam kondisi setengah
menganggur, 60,0 persen berpendidikan SD. Hal ini menunjukkan besarnya
proporsi pekerja kelompok marjinal, yang berdasarkan pengalaman negara-
negara dalam penerapan pasar kerja fleksibel merupakan kelompok yang
paling rentan terkena dampak degradasi pasar kerja fleksibel.
2. UU NO. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah
dikeluarkan pemerintah pada dasarnya telah mengacu pada kebijakan
perlindungan tenaga kerja yang lebih komprehensif. Namun demikian,
implementasi UU tersebut belum berlaku efektif dalam menjamin
pemerataan jaminan sosial.
3. PP No. 31 Tahun 2006 Tentang sistem Pelatihan Kerja Nasional perlu segera
diefektifkan dalam kerangka meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui
berbagai pelatihan-pelatihan kerja. Sebagai dampak era otonomi daerah,
Departemen Tenaga Kerja sebagai instansi yang memiliki kewenangan utama
dalam pelatihan tenaga kerja ini telah kehilangan kendali dalam
mengarahkan kebijakan pelatihan-pelatihan tenaga kerja di daerah. Balai
Latihan Kerja (BLK) sebagai salah satu pusat pelatihan, di banyak daerah
pada saat ini berada dalam kondisi “mati suri”.
4. Perlunya peningkatan peran pemerintah dalam memfasilitasi dialog,
komunikasi, dan negosiasi untuk mendorong hubungan yang baik antara
pengusaha dengan pekerja seperti.
5. Perlunya meningkatkan aksesibilitas pencari kerja pada informasi pasar kerja.
PP No. 15 Tahun 2007 telah mengatur tentang tata cara memperoleh
informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan
tenaga kerja. Namun demikian, dalam PP tersebut belum terlihat secara
tegas upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas pencari
kerja.
6. Perlunya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia aparat yang terkait
dengan proses pengawasan dan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam
pengawasan bertujuan untuk mencegah terjadinya praktek-praktek
penyelewengan peraturan-peraturan yang dapat merugikan buruh. Di sisi
lain, peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam penyelesaian
perselisihan hubungan industrial diperlukan dalam rangka meningkatkan
kepastian hubungan industrial dan dapat menekan biaya tinggi yang selama
ini dialami baik oleh pengusaha maupun pekerja.
Bahan Bacaan
Anonim. 2003.
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Anonim. 2004. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Anonim. 2004. Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
Anonim. 2004. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2004 Tentang Badan Nasional
Sertifikasi Profesi
Anonim. 2005. Peraturan Presiden No. 50 Tahun 2005 Tentang Lembaga Produktivitas
Nasional
Anonim. 2006. Peraturan Pemerintah No. 31/ 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja
Nasional
Anonim. 2007. Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2007 Tentang Cara Memperoleh
Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan serta Pelaksanaan Perencanaan Tenaga
Kerja.
Heckman, James J. & Carmen Pages, “The Cost of Job Security Regulation: Evidence
from Latin America Labour Market.” NBER Working Paper No. 7773, June 2000.
Jepsen, M. and Klammer, U. (2004) .Editorial., TRANSFER . European Review of Labour
and Research. Vol.10 No.2, pp.157~159.
Lindenthal, Roland. 2005. “Kebijakan Ketenagakerjaan dan Pasar Tenaga Kerja di
Indonesia: Beberapa Isu dan Pilihan“, UNSFIR, Discussion Paper Series no. 05/5-IND
Nugroho, Y, Menyoal Kebijakan Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja,
(working paper) dalam Seminar “Implikasi Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja (Labor
Market Flexibility) terhadap Prospek Dunia Kerja di Kawasan Asia” yang
diselenggarakan oleh Pusat Kajian Asia Timur, LPA, Unika Atmajaya, Jakarta, 9 Maret
2004
Rapley, J. 1997. Understanding Development : Theory and Practice in the Third World.
London: UCL Press
Salomon, M. 1992. Industrial Relations: Theory and Practices. 2nd.ed. Hertfordshire:
Prentice Hall.Int.Ltd
Suharyadi, A,2003, Mencari Keseimbangan Antara Perlindungan Pekerja dan Perluasan
Kesempatan Kerja, Lembaga Penelitian SMERU
Widianto, B. 2006. “Kebijakan untuk Memperluas Kesempatan Kerja” Bahan Presentasi
dalam Sarasehan Bappenas dan Wartawan. 15 Desember 2006

You might also like