You are on page 1of 5

ABSTRAKSI MENGENAI KEBUDAYAAN MATERIAL

Oleh, Aceng Ruhendi Saifullah

NPM: 0906506776

Program Studi: Ilmu Linguistik

Istilah " kebudayaan material" sering digunakan oleh para arkeolog sebagai cara tertentu untuk
merujuk pada artefak atau hal-hal konkret lainnya yang ditinggalkan oleh budaya masa lalu.
Seorang arkeolog dengan demikian dapat digambarkan sebagai orang yang mempelajari budaya
material masyarakat masa lalu. Dengan demikian, sebuah "studi kebudayaan material",
bagaimanapun, adalah salah satu yang menekankan artifak sebagai subjek tersendiri, yang
terpisah dari konteks. Seseorang yang mempelajari tekstil atau lukisan di sebuah museum atau
kelas, ia menyelidiki artefak seperti proyektil poin atau keramik kapal. Itulah tipikal seorang
spesialis kebudayaan material.

Persoalannya kemudian, “A culture is the collective manifestation of human intellectual


achievement, and relates to the accomplishments and attitudes of a people of a particular time”.
Jadi, kalau begitu duduk perkaranya, bagi kalangan linguis dan sejarahwan misalnya, ketika
mereka berbicara mengenai kebudayaan material, mereka melihat sebuah objek di dalam
lingkungan dan konteks budaya, seperti yang kerap kita lihat pada deskripsi Bahan Budaya.
Dengan demikian, budaya materi mencakup semua benda-benda fisik yang diciptakan oleh
manusia dan memberinya makna. Sebut saja mobil, pakaian, sekolah, komputer, dan buku
sebagai beberapa contoh. Sebuah objek hanya menjadi bagian dari budaya setelah makna telah
diberikan kepadanya. Sebuah batu di lapangan tidak ada artinya sampai digunakan sebagai alat
atau untuk membangun pagar. Sementara budaya non-materi terdiri dari pikiran dan perilaku
yang orang belajar dari padanya sebagai bagian dari budaya mereka, mencakup politik, ekonomi,
bahasa, aturan, adat, keluarga, agama atau kepercayaan, nilai, dan pengetahuan.

Karena itulah, istilah kebudayaan material mengacu baik untuk peran psikologis maupun
pemaknaan, bahwa semua benda-benda fisik di lingkungan harus berarti sesuatu kepada orang-
orang dalam budaya tertentu dan berbagai objek yang dibuat khas (techno-complex) dalam
socioculture membentuk dan merupakan bagian penting dari identitas budaya. Manusia melihat

1
dan memahami hal-hal materi di sekitar mereka karena mereka telah belajar dari budaya mereka.
Jadi, selalu ada hubungan antara objek dalam studi budaya material. Bahan budaya sebagai
perilaku dapat dibandingkan dengan budaya linguistik, (budaya verbal).

Lantas, kalau kita mengikuti kerangka kebudayaan dari Kuhn (sebagaimana yang dikuliahkan
oleh Prof.Dr. Noerhadi Magetsari, Rabu, 30 September 2009)) yang berlapis tiga, yaitu ide di
lapisan dalam, perilaku di lapisan tengah, dan kebudayaan material di lapisan luar, maka upaya
mengabstraksikan konsep “kebudayaan material” sebagai salah satu lapisan obyek kajian ilmu
pengetahuan budaya tentu akan berkelindan dengan dua lapisan lainnya, yakni lapisan perilaku
dan lapisan ide. Ketika fokus kajian kita berada pada lapisan luar (berupa kebudayaan material)
dan lapisan tengah (berupa kebudayaan perilaku), maka secara teroretis obyektifitas masih
mungkin dan ini merupakan tipikal dari paradigma positivisme yang serba empiris dan
materialistis. Persoalannya, ketika fokus kajian memasuki lapisan dalam (berupa ide atau aturan),
maka keobyektifan menjadi sesuatu yang kurang memadai, bahkan boleh jadi nihil, dan
kesubyektifan menjadi sesuatu yang niscaya. Peran subyek yang dominan dalam kajian ilmu
pengetahuan budaya ini merupakan tipikal dari paradigma idealisme, pasca-strukturalisme, dan
hermeneutika yang serba kritis, transformatif, dan interpretatif.

Dalam kasus kajian bahasa -- sebagai salah satu bentuk kebudayaan di samping religi, kesenian,
sistem pengetahuan,organisasi sosial, sistem ekonomi dan sistem teknologi – kebudayaan
material dan kebudayaan perilaku akan tampak ketika fokus kajian memasuki wilayah parole,
sementara kebudayaan ide akan tampak ketika fokus kajian memasuki wilayah langue.
Persoalannya, bahasa sebagai perilaku budaya verbal memiliki dua ujud representasi, yakni lisan
dan tulisan. Ketika perilaku bahasa direpresentasikan dalam ujud lisan, yang muncul adalah
fenomena parole yang obyektif dan bermakna tunggal. Namun, ketika perilaku bahasa
direpresentasikan dalam ujud tulisan, yang muncul adalah fenomena teks yang subyektif,
interpretatif, dan bermakna jamak. Di sinilah peran subyek dalam ilmu dan metodologi linguistik
mengemuka sebagaimana menjadi tipikal dari paradigma pasca-strukturalisme dan
hermeneutika.

Ilustrasi di atas agaknya sejalan dengan yang dilakukan oleh Tilley (1992) ketika membahas
tentang kebudayaan material yang membelahnya menjadi dua: ihwal “Structure and Material-
Culture Analysis” dan ihwal “Ideology and Material-Culture”.

2
Mendiskusikan duduk perkara kebudayaan material tentu tak bisa lepas dari strukturalisme, baik
di tingkat metodologis maupun epistemologis. Untuk itu, harus disebut sebuah nama yang
sangat popular dalam kajian antropologi, terkait erat dengan pendirinya, yakni Claude Lévi-
Strauss. Kontribusi utamanya di bidang kekerabatan dan dalam analisis simbolisme, terutama
tentang mitos. Karakteristik pendekatan analisis strukturalis adalah untuk mengkategorikan
sistem, bukan dari segi komposisi atau isi dari elemen komponen mereka, tetapi dalam hal
struktur hubungan antara elemen-elemen.

Levi-Strauss menerapkan pendekatan ini dalam karya besarnya, volume empat seri Mitologi:
The Raw and the Cooked (1964), From Honey to Ashes (1966), The Origin of Table Manners
(1968), dan The Naked Man (1971). Tujuan dari analisisnya adalah "untuk menunjukkan betapa
empiris-kategori seperti kategori mentah dan matang, segar dan membusuk, yang basah dan
dibakar, dll, yang hanya dapat secara akurat ditentukan oleh pengamatan dan etnografi, dalam
setiap contoh, dengan mengadopsi sudut pandang budaya tertentu dapat tetap digunakan sebagai
alat konseptual yang menguraikan ide-ide abstrak dan menggabungkan mereka dalam bentuk
proposisi. "

Pada pandangan pertama, Jacques Derrida's Of Grammatology (1967), membuat klaim


provokatif bagi prioritas logis dalam menulis yang memengaruhi pemikiran antropologis. Inti
pemikiran Derrida adalah, pertama-tama, bahwa menulis mengungkapkan spasi, diam, dan
menyembunyikan inti pidato itu. Kedua, bahwa ada suatu kesenjangan yang jelas dalam ruang
dan waktu, sebuah differance, antara pemberitahuan dan penerimaan teks tertulis, sedangkan
pidato memberikan ilusi kedekatan. Menurut Derrida, istilah dekonstruksi telah digunakan begitu
longgar oleh banyak antropolog yang telah kehilangan rujukan yang jelas -- sesuatu ironis untuk
sebuah konsep yang dimaksudkan untuk menantang kepastian makna. Lebih khusus, skeptisisme
Derrida tentang niat dalam penafsiran teks-teks telah memicu munculnya paradigm
"pascamodern dan " kritik representasi antropologis " yang lain. Gaya Derrida dalam permainan
kata dan elips telah mengilhami bentuk-bentuk baru antropologi menulis, yang secara baik
dicontohkan oleh karya Michael Taussig. Lebih jauh, Derrida menegaskan, “Ultimately, both
structuralism and poststructuralism have contributed to tendencies on the part of many (but by no
means all) anthropologists to call into question the characterization of their discipline as
"science" and to reposition themselves more centrally in the humanities…”

3
Mungkin karena Julia Kristeva yang pertama kali mengartikulasikan teori tekstualitas yang
dibingkai dalam konteks dialog yang lebih akrab dengan Marxisme daripada Derrida, ia
menerima lebih banyak perhatian langsung. Secara khusus, dalam beberapa esai yang terdapat
dalam Séméiotiké (1969), Kristeva menghubungkan teks dengan konsep produktivitas. Istilah ini
muncul dari usahanya untuk memikirkan kembali konsep Marx tentang "cara produksi" dari
sudut pandang linguistik dan psikoanalisis, dengan tujuan menangkap kedua hal itu sebagai
landasan untuk menjelaskan bagaimana nilai-nilai (ekonomi, linguistik, dan sebagainya)
merupakan dampak dari suatu sistem hubungan, dan bagaimana sistem ini didefinisikan oleh
heterogenitas hubungan (sosial, psikis, dll) yang menopang diri mereka dalam keadaan krisis
permanen. Dalam esai "The Produktivitas Disebut Teks," Kristeva menunjukkan bagaimana teks,
lagi-lagi sebagai paradigma bukan sebagai hal, memungkinkan seseorang untuk berpikir tentang
bagaimana bahasa digunakan dalam cara-cara yang melemahkan fungsi yang komunikatif,
sekaligus mengungkapkan kode yang membingungkan dalam hal mengatur produksi pesan
linguistik.

Dalam kaitannya dengan upaya mengabstrasikan mengenai kebudayaan material, penting


dikedepankan sudut pandang tentang artikulasi sistemik dalam hubungan yang heterogen yang
merupakan inovasi intertextuality konseptual. Berasal dari konsep semiological substansi
(digunakan oleh Louis Hjlemslev untuk melacak pesan konten dari satu sistem tanda yang lain),
menggambarkan intertextuality transposisi yang memungkinkan register semiological berbeda
untuk terlibat satu sama lain.

Sebuah inovasi konseptual terakhir harus disebutkan. Sepanjang akhir 1960-an dan awal 1970-an
Kristeva menarik perbedaan antara "pheno-teks" dan "Geno-teks." Jelas meniru wacana genetika
(seperti fenotipe dan genotipe), perbedaan ini bukan tentang memulihkan karya "organik"
karakter. Sebaliknya, berusaha untuk menekankan kesinambungan efek yang lewat di antara
pembentukan berbicara subjek dan karya-karya yang dihasilkan oleh dirinya.

Di Revolusi perbedaan ini terikat pada satu di antara semiotik dan simbolis, dan Kristeva
menggunakannya untuk menganalisis bagaimana hubungan subjek dengan tubuh ibu dan tatanan
sosial memanifestasikan dirinya dalam bentuk dan isi puisi. Dalam tingkat yang berbeda
menunjuk teks, teks dan pheno-Geno-teks yang berfungsi untuk memberikan paradigma tekstual
akses ke bidang produksi sastra yang mencapai jauh di luar puisi tanpa, bagaimanapun,
menyangkal setiap klaim pada detail formal. Dalam memberikan analis dengan konseptual
sarana yang digunakan untuk melacak transposisi dari semiotik ke simbolik, yang intertexuality

4
memberikan pheno-text/geno-text perbedaan struktur yang mendalam. Dalam melakukan hal itu
membuat proses transposisi Kristeva sentral untuk teori teks, sebuah teori yang, antara lain,
menyebut konsep tradisi sastra sangat dipertanyakan.

DAFTAR PUSTAKA

Tilley, Christopher.1992. Reading Material Culture. Cambridge, Massachussetts: Blackwell

http://science.jrank.org/pages/8099/Structuralism-Poststructuralism-
Anthropology.html#ixzz0TRbQV3aW

http://science.jrank.org/pages/11353/Structuralism-Poststructuralism-Anthropology-Derrida-
Deconstruction.html#ixzz0TRbxPoL8

http://science.jrank.org/pages/11415/Text-Textuality-Julia-Kristeva-Textual-Productivity-
Intertextuality.html#ixzz0TRcjjzY1

You might also like