Professional Documents
Culture Documents
Abstrak
Kata kunci:
Bahan pangan, teknologi produksi, produktifitas, perluasan areal, diversifikasi pangan
1
Pendahuluan
2
Kebijakan Impor pangan yang menonjol sebagai program instant untuk mengatasi
kekurangan produksi justru membuat petani semakin terpuruk dan tidak berdaya atas
sistem pembangunan ketahanan pangan yang tidak tegas. Akibat over suplai pangan dari
impor seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi rendah tidak sebanding
dengan biaya produksinya sehingga petani terus menanggung kerugian. Hal ini
menjadikan bertani pangan tidak menarik lagi bagi petani dan memilih profesi lain di luar
pertanian, sehingga ketahanan pangan nasional mejadi rapuh.
Melihat kenyataan tersebut seakan kita tidak percaya sebagai negara agraris yang
mengandalkan pertanian sebagai tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya
tetapi pengimpor pangan yang cukup besar. Hal ini akan menjadi hambatan dalam
pembangunan dan menjadi tantangan yang lebih besar dalam mewujudkan kemandirian
pangan bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu diperlukan langkah kerja yang serius untuk
mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan
dalam negeri.
Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di
Indonesia antara lain disebabkan oleh:
1. Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun
2. Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun
khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa.
Kombinasi kedua faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun
ke tahun yang cenderung terus menurun. Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang
mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian
pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan nasional. Upaya-upaya
tersebut diantaranya yaitu dengan meningkatkan produktivitas tanaman pangan, menambah
perluasan areal pertanian baru dan menggalakan diversifikasi pangan.
3
menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha budidaya pangannya, sehingga
dalam skala luas mempengaruhi produksi nasional.
Untuk mengatasi permasalahan di atas pemerintah harus memberikan subsidi teknologi
kepada petani dan melibatkan stakeholder dalam melakukan percepatan perubahan (Saragih,
2003). Subsidi teknologi yang dimaksud adalah adanya modal bagi petani untuk memperoleh
atau dapat membeli teknologi produktivitas dan pengawalannya sehingga teknologi budidaya dapat
dikuasai secara utuh dan efisien sampai tahap pasca panennya. Sebagai contoh petani dapat
memperoleh dan penerapan teknologi produktivitas organik hayati, benih/pupuk bermutu dan
mekanisasi pasca panen dan sekaligus pengawalan pendampingannya.
Tingkat kesuburan lahan pertanian produktif terus menurun; revolusi hijau dengan
mengandalkan pupuk dan pestisida memiliki dampak negatif pada kesuburan tanah yang
berkelanjutan dan terjadinya mutasi hama dan pathogen yang tidak diinginkan. Sebagai
contoh lahan yang terus dipupuk dengan Urea (N) cenderung menampakkan respon
kesuburan tanaman seketika, tetapi berdampak pada cepat habisnya bahan organik tanah
karena memacu berkembangnya dekomposer dan bahan organik sebagai sumber makanan
mikroba lain habis (< 1%). Pemakaian pupuk kimia, alkali dan pestisida yang terus
menerus menyebabkan tumpukan residu yang melebihi daya dukung lingkungan yang jika
tidak terurai akan menjadi “racun tanah” dan tanah menjadi “Sakit”. Akibatnya disamping
hilangnya mikroba pengendali keseimbangan daya dukung kesuburan tanah, ketidak-
seimbangan mineral dan munculnya mutan-mutan Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT) yang kontra produktif. Di lahan sawah/irigasi dengan berbagai upaya program
revolusi hijau yang telah ada tidak lagi memberikan kontribusi pada peningkatan
produktivitas karena telah mencapai titik jenuh dan produktivitas yang terjadi justru
cenderung menurun.
Upaya yang harus dilakukan adalah melakukan Soil Management untuk
mengembalikan kesuburan tanah dengan memasukkan berbagai ragam mikroba pengendali
yang mempercepat keseimbangan alami dan membangun bahan organik tanah, kemudian
diikuti dengan pemupukan dengan jenis dan jumlah yang tepat dan berimbang serta teknik
pengolahan tanah yang tepat. Telah diketahui bahwa mikro-organisme unggul berguna
dapat diintroduksikan ke tanah dan dapat diberdayakan agar mereka berfungsi
mengendalikan keseimbangan kesuburan tanah sebagaimana mestinya. Selain itu,
sekumpulan mikroorganisme
Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal tampak pada
kesenjangan hasil petani dan hasil produktivitas di luar negeri atau hasil dalam penelitian.
Dalam hal ini teknologi pemuliaan telah mengalami kemajuan yang cukup berarti dalam
menciptakan berbagai varietas unggul berpotensi produksi tinggi. Meskipun upaya
breeding modern, teknologi transgenik dan hibrida dirancang agar tanaman yang
dikehendaki memiliki kemampuan genetik produksi tinggi (Gurdev S Kush, 2002), tetapi
jika dalam menerapkannya di lapangan asal-asalan, maka performa keunggulan genetiknya
tidak nampak. Hasil penggunaan varietas unggul di lapangan seringkali masih jauh dari
harapan. Penyebabnya adalah masih belum dipahaminya teknik budidaya sehingga hasil
yang didapat belum menyamai potensinya, apalagi melebihi.
Padi
Dalam kurun waktu satu dasa warsa ke depan Indonesia harus mampu mandiri dalam
memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakatnya. Dengan asumsi pertumbuhan penduduk
rata-rata per tahun 1,5 % dan impor beras sekitar 1,5 - 2 juta ton pada tahun 2003 dan
produksi dalam negeri sekitar 52 juta ton, maka untuk mencapai swasembada pada tahun
2010 diperlukan trend peningkatan produksi sebesar 1,8 – 2,1 % pertahun. Peningkatan ini
sangat rasional dan dapat dilakukan dengan melihat potensi produktivitas yang dapat
4
ditingkatkan dan potensi ketersediaan lahan baru yang dapat dibuka. Upaya untuk
mewujudkan peningkatan produktivitas tanaman padidapat dilakukan melalui program
Supra Indus, pengelolaan tanaman terpadu, System Rice of Intensification dan teknologi
lainnya yang berkelanjutan.
Jagung
Pada tahun 2002 impor jagung mencapai 2,2 juta ton dan sejak tahun 2000
pertumbuhan produksinya menunjukkan trend yang cenderung negatif. Melihat potensi
yang ada bahwa hal upaya memacu produksi jagung dalam 10 tahun kedepan masih dapat
dilakukan, bahkan sekalipun untuk dapat mencapai surplus (ekspor). Dengan menciptakan
tingkat pertumbuhan produksi 2 % sampai 6,5 %per tahun maka pada tahun 2010
Indonesia akan dapat mengekspor jagung. Hal ini sangat rasional untuk dapat diwujudkan
dan dicapai mengingat masih banyak lahan tidur dan lahan kering potensial yang dapat
dimanfaatkan secara optimal untuk dapat meningkatkan produksi jagung. Peluang
penerapan teknologi produktivitas Bio hayati organic dan penerapan benih hibrida untuk
meningkatkan produktivitas dari rata-rata 3,5 ton/ha menjadi lebih dari 6,5 ton/ha di lahan
tersebut masih sangat rasional apalagi agribisnis jagung telah didukung dengan tersedia
dan kesiapan stakeholder dari hulu sampai hilirnya.
Kedelai
Upaya mendongkrak produksi kedelai memang berat mengingat ada sekitar 70 %
kebutuhan kedelai dipenuhi dari impor. Terus membanjirnya impor kedelai tahun 2000
memiliki dampak yang tragis bagi petani kedelai dan untuk dapat mencapai imbangan
impor harus ada perlakuan khusus dengan mengembalikan kepercayaan petani kembali
bertanam kedelai. Upaya perimbangan impor dan pertumbuhan produksi kedelai jika
produksi dapat terus ditingkatkan secara linear dari 13 % di tahun 2003 terus tumbuh
meningkat hingga 20 % pada tahun 2010. Selama dasawarsa ke depan (2003 – 2013), yang
rasional dilakukan adalah menekan impor dengan substitusi dari produksi dalam negeri
sampai tinggal 10 – 20 % impor. Hal ini relevan dengan kondisi saat ini dan dapat terjadi
jika ada pengaturan tata niaga untuk kepastian harga yang layak saat petani panen raya dan
menciptakan produktivitas kedelai yang tinggi sehingga menurunkan biaya produksinya
per satuan hasil.
5
1. Pemerintah sebaiknya memberikan ijin legal atas hak pengelolaan lahan yang telah
diusahahan petani yaitu semacam HGU untuk usaha produktif usaha tani tanaman
pangan sehingga petani dapat memberikan kontribusi berupa pajak atas usaha dan
pemanfaatan lahan tersebut
2. Memberikan bimbingan teknologi budidaya khususnya untuk menerapkan
teknologi organik dan Bio/hayati guna meningkatkan kesuburan lahan dan menjamin
usaha tani yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dan
3. Melibatkan stakeholder dan swasta yang memiliki komitmen menunjang dalam
sistem Agribisnis tanaman pangan sehingga akan menjamin kepastian pasar.
Menempatkan pangan sebagai bagian menempatkan kepentingan rakyat, bangsa dan
negara serta rasa nasionalisme untuk melindungi, mencintai dan memperbaiki produksi
pangan lokal harus terus dikembang-majukan. Pertanian pangan termasuk di kawasan
transmigrasi hendaknya jangan dipandang sebagai lahan untuk menyerap tenaga kerja atau
petani dikondisikan untuk terus memberikan subsidi bagi pertumbuhan ekonomi sektor lain
dengan tekanan nilai jual hasil yang harus rendah dan biaya sarana produksi terus
melambung. Tetapi seharusnya petani pangan mendapatkan prioritas perlindungan oleh
pemerintah melalui harga jual dan subsidi produksi karena petani membawa amanah bagi
ketahanan pangan, petani pangan perlu mendapatkan kesejahteraan yang layak. Dalam hal
ini adalah wajar jika pemerintah berpihak kepada petani dan pelaku produksi pertanian
pangan karena merupakan golongan terbesar dari masyarakat Indonesia.
Melihat kondisi saat ini dan trend produksi pangan yang semakin tergantung impor
dan bergesernya pola konsumsi masyarakat maka untuk mencapai kemandirian pangan ke
depan harus dilakukan melalui upaya-upaya terpadu secara terkonsentrasi pada
peningkatan produksi pangan nasional yang terencana mulai “presisi” di sektor hulu –
proses (on farm) dan hilirnya. Yang perlu ditekankan adalah: peningkatan produktivitas
dan penerapan teknologi bio/hayati organik, perluasan areal pertanian pangan dan
optimalisasi pemberdayaan sumber daya pendukung lokalnya, kebijakan tataniaga pangan
dan pembatasan impor pangan, pemberian kredit produksi dan subsidi bagi petani pangan,
pemacuan kawasan sentra produksi dan ketersediaan silo untuk stock pangan sampai
tingkat terkecil dalam mencapai swasembada pangan di setiap daerah. Untuk itu
pemacuan peningkatan produksi pangan nasional harus ditunjang dengan kesiapan dana,
penyediaan lahan, teknologi, masyarakat dan infrastrukturnya yang dijadikan sebagai
kebijakan ketahanan pangan nasional.
Menerapkan kebijakan tata niaga kedelai, pembatasan impor (tarif bea masuk) dan
insentif/subsidi bagi petani produsen dipandang perlu pada komoditas ini karena
merupakan komoditi hajat hidup orang banyak (Inkopti, 2001), jika memang keputusan
kemandirian pangan sebagai keputusan politik untuk ketahanan pangan. Persoalan
teknologi produktivitas kedelai dan lahan sebenarnya bukan lagi sebagai permasalahannya,
hanya saja jika petani tidak diberikan subsidi teknologi, produktivitasnya tetap rendah
(< 1,2 ton/ha) dan biaya produksi per satuan produk menjadi tinggi sehingga ke depannya
tidak dapat bersaing dipasaran bebas. Upaya ini perlu dilakukan dengan dengan
menerapkan kebijakan yang simultan untuk merangsang pertumbuhan tinggi baik dengan
melibatkan stakeholder pelaku bisnis kedelai dari hulu hingga hilir, teknologi, petani,
perbankan dan pemerintah.
Harus diciptakan kondisi yang kondusif untuk memberikan perlindungan pada petani.
Menciptakan dan mewujudkan kemandirian pangan nasional agar lebih ditekankan pada
peran petani serta stakeholder yang mengawal sistem produksi dari keterjaminan
penyediaan teknologi, sarana produksi hingga industri hilirnya. Fasilitas kebijakan yang
memberikan kemudahan petani pangan mendapatkan subsidi teknologi, mekanisasi dan
fasilitasi penunjang budidaya (seperti infrastruktur untuk pertanian seperti irigasi dan jalan,
6
dan kredit produksi), perlindungan pasar serta kebijakan impor terbatas diperlukan untuk
kembali menggairahkan pertanian pangan. Dalam hal ini perlu adanya rencana dan
pedoman yang jelas dan sistematis sebagai komitmen bagi stakeholder khususnya dari
pemerintah melalui Departemen Pertanian dan departemen terkait dalam mewujudkan
kemandirian pangan nasional yang tangguh sebagai keputusan nasional yang didukung
oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana di lapangan.
Upaya menciptakan kemandirian pangan dengan mengembangkan produksi sumber
pangan alternatif substitusi pangan impor dilakukan seiring dengan pemacuan tiga
komoditi pangan utama di atas. Sumber pangan karbohidrat yang dapat dimanfaatkan
untuk substitusi pangan impor seperti kentang, jagung putih dan umbi-umbian.
Mengembangkan sumber pangan alternatif ini justru memiliki nilai ekonomis tinggi karena
disamping produktivitas per hektarnya tinggi, pangan tersebut sebagai bahan baku industri.
Dengan keragaman sumber bahan pangan yang dikonsumsi dan dapat diproduksi di dalam
negeri diharapkan dapat menekan impor pangan secara nyata dan mengurangi
ketergantungan pangan dari luar negeri sehingga ketahanan dan kemandirian pangan
nasional semakin mantap.
7
Pada Tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi energi dan protein
masyarakat berbeda antar kelompok pendapatan dan terdapat kecenderungan semakin
tinggi pendapatan semakin tinggi pula tingkat konsumsinya. Dengan mengacu pada
patokan anjuran dalam WNPG VI tahun 1998, seseorang akan terpenuhi konsumsi energi
dan proteinnya apabila pendapatan per kapita per bulannya di atas Rp. 200.000. Dengan
memperhatikan Tabel di atas, berarti jumlah penduduk yang memenuhi kriteria tersebut
hanya 43,4% atau dalam arti jumlah penduduk yang mengalami kekurangan pangan atau
rawan pangan masih besar dan apabila hal ini tidak ditangani secara serius akan berdampak
pada kualitas sumberdaya manusia Indonesia.
Pola konsumsi pangan mayoritas masyarakat Indonesia baik di perkotaan maupun
dipedesaan masih didominasi oleh kelomppok padi-padian (beras, jagung, terigu). Padahal
pangsa konsumsi energi dari kelompok padi-padian ini seharusnya hanya 50%. Sebaliknya
pangsa energi dari umbi-umbian masih sekitar setengahnya dari yang dianjurkan, padahal
di Indonesia tersedia berbagai jenis umbi-umbian masih sekitar setengahnya dari yang
dianjurkan, padahal di indonesia tersedia berbagai jenis umbi-umbian dengan harga yang
relatif murah. Pada umumnya memang pola konsumsi Indonesia masih lebih rendah dari
yang dianjurkan (Tabel 2)
Tabel 2. Perkembangan Konsumsi Energi Menurut kelompok pangan di Kota dan Desa
1999 – 2004 (%)
Harapan Kenyataan
Kelompok Pangan 1999 2002 2003 2004
Kota Desa
Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa
Padi-padian 50,0 50,0 63,9 68,3 60,2 64,5 60,6 64,6 60,7 63,9
Umbi-umbian 6,0 6,0 2,3 4,5 2,4 4,2 2,2 4,1 2,1 5,1
Pangan hewani 12,0 12,0 6,3 3,8 8,3 4,7 8,7 5,3 9,7 5,3
Minyak&lemak 10,0 10,0 10,5 8,4 11,2 9,4 10,8 9,1 10,8 9,0
Buah/biji berminyak 3,0 3,0 1,7 2,5 2,0 2,9 2,1 2,9 1,9 2,7
Kacang-kacangan 5,0 5,0 3,5 2,5 4,2 3,3 3,9 2,9 3,7 3,3
Gula 5,0 5,0 5,3 4,8 5,4 5,4 5,2 4,9 5,3 4,8
Sayur & Buah 6,0 6,0 4,9 3,9 4,3 4,2 4,6 4,6 4,1 4,3
Lain-lain 3,0 3,0 1,5 1,3 2,0 1,8 1,8 1,5 1,8 1,6
Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa masih banyak masyarakat baik di desa
maupun di kota yang pola konsumsi pangannya pada padi-padian melebihi harapan
sedangkan pada kelompok pangan yang lainnya masih dibawah harapan. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pdi-padian masih sangat
mendominasi, walaupun kalau di liaht berdasarkan kenyataannya masyarakat di kota masih
lebih rendah dibandingkan masyarakat di desa. Secara kualitatif memang terlihat
perubahan konsumsi pada masyarakat kota.
Program diversifikasi konsumsi pangan yang selama ini diharapkan untuk
mengkonsumsi pangan pokok non beras agak lambat proses pencapaiannya, bahkan
cenderung banyak yang tidak tercapai. Oleh karena itu upaya untuk diversifikasi ini harus
terus ditingkatkan disertai dengan upaya mencari strategi dan cara yang jauh lebih baik dan
efektif . Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mendukung tercapainya diversifikasi
konsumsi pangan antara lain adalah:
1. Peningkatan dan pencatatan produksi pangan pokok selain beras. Sudah
saatnya dilakukan pencatatan produksi pangan secara statistik terus menerus untuk
8
pangan lokal. Contohnya: tales, garu dan sejenisnya sehingga keberadaan pangan ini
termonitor. Mengingat setiap daerah mempunyai pangan lokal yang spesifik maka
perlu dikembangkan cadangan pangan non beras
2. Pengembangan divesrsifikasi produk olahan yang melibatkan industri.
Pemerintah harus memberikan dukungan penuh kepada pihak industri untuk
pengembangan pangan lokal
3. Peningkatan pendapatan melalui penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan
kesadaran masyarakat akan pentingnya pangan yang bergizi
Kesimpulan
Kebutuhan pangan yang tinggi akibat jumlah penduduk Indonesia yang semakin
bertambah bila tidak diimbangi dengan tercukupinya kebutuhan pangan akan menimbulkan
ketidaaman terhadap stabilitas bangsa. Agar ketahanan pangan nasional dapat terwujud
perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya.
Upaya-upaya tersebut diantaranya yaitu dengan meningkatkan produktivitas tanaman
pangan, menambah perluasan areal pertanian baru dan menggalakan diversifikasi pangan.
Pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih belum terdiversifikasi
sempurna baik untuk konsumsi pangan maupun untuk pangan pokok. Diversifikasi pangan
pada hakekatnya tidak hanya sebagai upaya untuk mengurangi ketegantungan pada beras
tetapi juga sebagai upaya perbaikan gizi masyarakat untuk mendapatkan masyarakat yang
berkualitas dan mampu berdayasaing dan juga untuk meningkatkan ketahanan pangan
nasional.
Untuk mewujudkan swasembada dan kemandirian serta ketahanan pangan
diperlukan perangkat kebijakan yang mengarah pada perbaikan implementasi sistem
agribisnia dan tataniaga bahan pangan
Saran
1. Sistem pembangunan ketahanan pangan harus lebih tegas lagi
2. Agar program diversifikasi pangan dapat berjalan sesuai dengan harapan,
pemerintah harus lebih bekerja keras dan meningkatkan konsisten dengan pihak-pihak
terkait seperti pemerintah pusat dan daerah, industri makanan, LSM dan masyarakat.
3. Program ketahanan pangan penekanannya haruslah berupa upaya peningkatan
kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan baik produksi sendiri maupun dari
pasar
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 1999. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 1999.
BPS. 2002. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2002.
BPS. 2003. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2003.
9
BPS. 2003. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia.
BPS. 2004. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2004.
FAO. 1993. Rice In Human Nutrition. Food and Nutrition Series. Rome
Gurdev S. Khush. 2002. Food Security by Design: Improving The Rice Plant in
Partnership With NARS. Makalah disampaikan pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi
nasional di Sukamandi 22 maret 2002.
Mashar Ali Zum. 2000. Teknologi hayati Bio P 2000 Z sebagai Upaya untuk
Memacu Produktivitas Pertanian Organik di lahan marginal. Makalah disampaikan pada
Lokakarya dan Pelatihan Teknologi Organik di Cibitung 22, Mei 2000
Purba S dan las I. 2002. Regionalisasi Opsi Strategi Peningkatan Produksi Beras.
Makalah disampaikan pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi nasional di Sukamandi 22
maret 2002.
Sri Adiningsih J., dkk. 1994. Teknologi untuk meningkatkan Produktivitas lahan
Sawah dan lahan Kering. Prosiding Temu konsultasi Sumberdaya lahan untuk
pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
PROGRAM STUDI
AGRIBISNIS
UMMI 10