You are on page 1of 317

DAFTAR ISI

Prakata iii
Daftar Isi v

BAB I PENDAHULUAN 1
Definisi Keuangan Publik 1
Alasan Mempelajari Keuangan Publik 1
Pentingnya Sektor Publik 2
Karakteristik Kebijakan Publik 4
Ruang Lingkup Keuangan Publik 5
Pendekatan Analisis 6
Kriteria yang Digunakan untuk Mengevaluasi kebijakan
Politik 7

BAB II BARANG PUBLIK DAN EKSTERNALITAS 9


Identifikasi Barang Publik 9
Karakteristik Barang Publik 10
Perbedaan antara Barang Publilk dan Barang Pribadi 10
Permintaan Barang Publik 12
Tingkat Output yang Efisien 13
Free Rider Problem 13
Eksternalitas 14

BAB III PENENTUAN HARGA BARANG PUBLIK 16


Tujuan Kebijakan Harga 16
Penentuan Harga Barang Publik 17
Implementasi Penentuan Harga dalam Produk Pertanian 18
Fungsi Penawaran dan Tanggapan Sektor Pertanian 19
Kebijakan Harga Positif 20
Kebijakan Harga Negatif 21
Kebijakan Penyangga (Buffer Stock Policy) 21

BAB IV FUNGSI DAN AKTIVITAS PEMERINTAH DALAM


PEREKONOMIAN 23
Fungsi Utama 23
Alasan Keterlibatan Pemerintah dalam Ekonomi 24
Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian 26
Fungsi Alokasi 26
Fungsi Distribusi 27
Fungsi Stabilisasi 28
Koordinasi Fungsi Anggaran 29

BAB V FUNGSI ALOKASI 30


Latar Belakang Adanya Fungsi Alokasi 30
Efisiensi Pasar dan Kegagalan Pasar 31

v
Penyediaan Barang Publik 34
Efisiensi Penyediaan Barang Publik oleh Pemerintah 39

BAB VI FUNGSI DISTRIBUSI 43


Konsep Keadilan 44
Faktor-Faktor yang Menentukan Distribusi 46
Distribusi sebagai Suatu Kebijakan 46
Pemecahan atas Distribusi yang Adil dan Merata 47
Redistribusi 47

BAB VII FUNGSI STABILISASI 50


Kebijakan Stabilisasi 50
Kebijakan Moneter 50
Kebijakan Fiskal 51
Stabilisasi Anggaran 51

BAB VIII SISTEM PILIHAN PUBLIK 52


Konsep Keseimbangan Politis (Political Equilibrum) 52
Pemilihan dan Pemungutan Suara (Election and Voting) 53
Memberikan Suara atau Abstain (Vote or not to vote) 54
Keseimbangan Politis dalam Aturan Mayoritas (Majority Rule) 56
Fenomena Cycling 62
Penyebab Cycling 63
Metode Pemungutan Suara 65

BAB IX KONSEP ANGGARAN 69


Balance budget 70
Jenis-Jenis Anggaran 70
Konsep PPBS (Planning Programming and Budgeting System) 73
Siklus Anggaran 75
Masalah Umum Anggaran 78

BAB X KEBIJAKAN STABILISASI 80


Model-model Pengganda dengan Investasi Tetap 80
Pengeluaran publik 83
Pajak Lump-Sum 83
Peranan Tunjangan Sosial (transfer) 84
Sistem dengan Pajak Penghasilan 84
Kenaikan Anggaran Berimbang 85
Jenis-Jenis Inflasi 86
Keseimbangan menurut Paham Ricardo 89

BAB XI PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN 91


Unsur-Unsur Pembangunan 91
Kebijakan Struktur Perpajakan 93
Kapasitas Kena Pajak dan Upaya Perpajakan 93
Pengembangan Struktur Perpajakan 95
Pajak Penghasilan Perorangan 95
Pajak Penghasilan Perusahaan 96

vi
Pajak Tanah 97
Pajak Kekayaan dan Pajak atas Bumi dan Bangunan 97
Pajak dan Bea atas Komoditas 98
Insentif Perpajakan 98
Insentif Domestik 99
Insentif bagi Modal vs Insentif bagi Tenaga Kerja 100
Insentif bagi Modal Asing 101
Insentif Ekspor 102
Kebijakan Pengeluaran 102
Bantuan Internasional dan Redistribusi 103

BAB XII HUTANG PUBLIK 106


Pertumbuhan Hutang Pemerintah 106
Struktur Hutang 106
Pemerintah Hutang Publik sebagai Bagian dari Struktur
Likuiditas Ekonomi 110
Pendanaan Kembali vs Pelunasan Hutang 110
Beban Pajak dari Pelunasan Hutang 111
Pengalihan Beban melalui Hutang Luar Negeri 115
Peminjaman oleh Pemerintah Daerah 116
Manajemen Hutang 117
Struktur Jangka Waktu dari Suku Bunga 117
Teori Struktur Jangka Waktu 118
Dampak Inflasi 118
Struktur Jangka Waktu dan Manajemen Hutang yang Efektif 119
Hutang Pemerintah Lokal 121

BAB XIII DASAR-DASAR PERPAJAKAN 124


Penerimaan Pajak 124
Penerimaan Non Pajak 124
Prinsip-Prinsip Pajak 126
Siklus Arus Pajak 127
Tarif Pajak 128
Istilah-istilah dalam Perpajakan 129

BAB XIV PRINSIP KEADILAN PERPAJAKAN 132


Prinsip Manfaat 132
Prinsip Kemampuan Membayar 133
Kriteria Umum Keadilan Perpajakan 134
Prinsip Keadilan dan Pajak Penghasilan 136
Prinsip Keadilan dan Pajak Penjualan 137
Prinsip Keadilan dan Pajak Kekayaan 138

BAB XV DAMPAK PERPAJAKAN TERHADAP PEREKONOMIAN 140


Efficiency Effect 140
Dampak Pajak 141
Kriteria Tarif Pajak 143
Kriteria Struktur Pajak yang Baik 145

vii
BAB XVI PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK PRIBADI 147
Aturan Utama 147
Penentuan Penghasilan Kena Pajak 148
Penerapan Tarif Pajak 148
Prosedur Pembayaran 149
Prinsip-Prinsip Definisi Penghasilan 150
Praktek Definisi Penghasilan : Pengecualian 153
Praktek Definisi Penghasilan : Pengurangan atas Penghasilan
Neto 157
Preferensi Pajak 158
Permasalahan-Permasalahan Wajib Pajak Berpenghasilan
Tinggi 159
Perlakuan Pajak Bagi Wajib Pajak Berpenghasilan Rendah 159
Pola Progresivitas Tarif Pajak 161
Penyesuaian Terhadap Inflasi 163
Pilihan Unit Kena Pajak 163

BAB XVII PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN 167


Struktur Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan 167
Perlukah Perseroan Dikenakan Pajak? 167
Integrasi Pajak 172
Aspek-Apek Khusus Definisi Basis Pajak 174
Aturan Penyusutan dan Waktu Penyusutan 175
Metode Penyusutan Ekonomis vs Metode Penyusutan
Dipercepat 177
Pembebanan Sekaligus 179
Penyesuaian Terhadap Inflasi 180
Investment Tax Credit 180
Siapa yang Menanggung Beban Pajak? 181
Pajak Penghasilan Badan untuk Usaha Kecil dan Menengah 182

BAB XVIII PAJAK ATAS KONSUMSI 184


Jenis Pajak atas Konsumsi di Indonesia 184
Bahasan-bahasan dalam Pajak atas Konsumsi 185
Tahap Pengenaan 187
Pajak Pertambahan Nilai 188
Nilai Akhir Sebagai Agregat dari Pertambahan Nilai 189
Jenis Pajak Pertambahan Nilai 189
Distribusi Beban Pajak 192
Cukai 192
Pajak Penjualan Umum 192
Pajak Pengeluaran Wajib Pajak Pribadi 193

BAB XIX PAJAK ATAS KEKAYAAN 197


Alasan-alasan Pengenaan Pajak atas Kekayaan 197
Pajak atas Tanah 199
Distribusi Beban Pajak Kekayaan 201
Pajak Kekayaan sebagai pajak atas Penghasilan Modal 202
Pola-Pola Alternatif 205

viii
Pajak atas Kekayaan Bersih 206
Pengalaman Berbagai Negara yang Menerapkan Pajak atas
Kekayaan Bersih 206
Struktur dan Basis Pajak 206
Peranan Harta tak Berwujud (Intangibles) 207
Bea atas Modal 209

BAB XX PAJAK ATAS WARISAN 210


Alasan-alasan Pengenaan pajak atas Warisan 210
Tujuan dan Jenis Pajak 210
Permasalahan-Permasalahan Khusus 212

BAB XXI ANALISIS MANFAAT DAN BIAYA ATAS BARANG DAN


JASA SOSIAL 213
Mengidentifikasai Manfaat dan Biaya 214
Mengevaluasi dan Mengkonversi Manfaat dan Biaya 214
Mendiskonto Manfaat yang Akan Datang 215
Pengaruh Tingkat Diskonto terhadap Present Value 216
Menentukan Tingkat Diskonto Sosial (Social Rate of Discount) 217
Pengaruh Inflasi 219
Menentukan Peringkat Proyek 220

BAB XXII STRUKTUR BELANJA PUBLIK 224


Faktor-Faktor Penyebab Pertumbuhan 224
Faktor Belanja Barang dan Jasa 224
Faktor Pengeluaran dari Transfer Porsi Pendapatan 226
Klasifikasi Belanja Publik 229

BAB XXIII KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK SEKTOR-SEKTOR UMUM 231


Perlunya Analisis Sektor 231
Pertahanan Nasional 232
Jalan Raya 233
Pendidikan 234
Fasilitas Rekreasi 235

BAB XXIV KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK DALAM TUNJANGAN


SOSIAL 237
Tunjangan Kepada Penghasilan Rendah 237
Asuransi Sosial 239
Sistem Tunjangan Sosial Terkini 239

BAB XXV KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH 241


Dimensi Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal 243
Efisiensi 243
Stabilitas Makro Ekonomi 244
Keadilan (Equity) 245
Syarat-Syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal 245

ix
BAB XXVI TRANSFER PUSAT KE DAERAH : TEORI DAN PRAKTIK 247
Pendahuluan 247
Tujuan Transfer 249
Kriteria Desain Transfer Pusat ke Daerah 255
Jenis-Jenis Transfer 256

BAB XXVII PERPAJAKAN DAERAH 264


Pendahuluan 264
Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah 265
Ciri-Ciri Tertentu Suatu Pajak Daerah 266
Ketentuan Mengenai Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah 269
Ketentuan Mengenai Bagi Hasil Pajak Propinsi dan
Peruntukannya 271
Tarif Pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota 271
Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam
Pembiayaan Daerah 272

BAB XXVIII PINJAMAN DAERAH 274


Pendahuluan 274
Tujuan dan Batas-Batas Pinjaman 274
Metode dan Sumber-Sumber Pinjaman 276
Persyaratan-Persyaratan Pinjaman 277
Penggunaan Pinjaman dalam Pembiayaan 278
Praktek Pinjaman Daerah di Indonesia 279
Beberapa Isu yang Terkait dengan Regulasi Pinjaman Daerah 280

BAB XXIX KOORDINASI PAJAK INTERNASIONAL 284


Pendahuluan 284
Prinsip-Prinsip Pajak Internasional 287
Koordinasi atas Pajak Penghasilan dan Pajak Laba 288
Koordinasi Pajak Produk 290
Koordinasi Pengeluaran 292
Koordinasi Kebijakan Stabilisasi 293
Pemahaman atas Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda) 294
Cakupan Tax Treaty 295
Pencegahan Penghindaran Pajak 301
Ketentuan Lain-Lain 301

Daftar Pustaka 304


Biografi Penyusun 307

x
1

B A B I

PENDAHULUAN

Definisi Keuangan Publik


euangan publik adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas

K finansial pemerintah. Yang termasuk pemerintah disini adalah seluruh


unit pemerintah dan institusi atau organisasi pemegang otoritas publik
lainnya yang dikendalikan dan didanai oleh pemerintah. Keuangan publik
menjelaskan belanja publik dan teknik-teknik yang digunakan oleh pemerintah
untuk membiayai belanja tersebut. Keuangan publik juga menganalisis
pengeluaran publik untuk membantu kita dalam memahami mengapa jasa
tertentu harus disediakan oleh negara dan mengapa pemerintah
menggantungkannya pada jenis-jenis pajak tertentu. Dalam keuangan publik,
sebagai contoh, uraian-uraian mengapa pertahanan nasional harus dikelola oleh
negara sedangkan makanan diserahkan kepada swasta dan mengapa suatu negara
menggunakan komposisi berbagai jenis pajak - bukan pada pajak tunggal -
merupakan hal-hal yang dibahas didalamnya.

Keuangan publik mempelajari proses pengambilan keputusan oleh


pemerintah, karena setiap keputusan mempunyai pengaruh pada ekonomi dan
keuangan rumah tangga dan swasta. Sehingga, penting untuk mengembangkan
model-model ekonomi yang membantu menjelaskan arti alokasi sumber daya
yang efisien atau optimal, arti keadilan, dan antisipasi akibat finansial maupun
ekonomi atas suatu keputusan publik. Dengan demikian, fokus keuangan publik
adalah mempelajari pendapatan dan belanja pemerintah dan menganalisis
implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja pada alokasi sumber daya,
ditribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi.

Alasan Mempelajari Keuangan Publik


Keuangan publik erat kaitannya dalam proses pengambilan keputusan berdasar
asas demokrasi. Apabila para pemilih wakil rakyat memonitor aktivitas para
wakilnya, maka para wakil rakyat ini akan bekerja lebih keras dan berusaha

Dasar-dasar Keuangan Publik


2

meyakinkan para pemilih bahwa kontribusi mereka atas pembayaran-pembayaran


pajak akan menyebabkan pencapaian kondisi yang lebih baik.

Sektor publik telah mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Jumlah


yang sangat besar nilainya ini merupakan alasan yang kuat untuk menumbuhkan
rasa ingin tahu masalah keuangan publik. Penting bagi kita untuk mengamati
aktivitas organisasi pemerintah - yang tidak ditujukan untuk mencari laba tetapi
memaksimalkan jasa pelayanan kepada masyarakat - dan mengetahui
karakteristik khusus yang melekat pada sektor publik.

Salah satu perhatian pokok pengeluaran rumah tangga ada pada


makanan, perumahan, pakaian, transportasi, kesehatan dan rekreasi. Kemudian,
muncul pertanyaan apakah pengeluaran-pengeluaran untuk masing-masing jenis
tersebut dilakukan dengan bijaksana. Kemudian, apakah hasil penerimaan pajak
(terutama pajak penghasilan) dari rumah tangga seperti yang tercantum dalam
anggaran negara memang relevan dengan aktivitas-aktivitas sektor publik ini.
Pertanyaan-pertanyaan lain akan timbul berkaitan dengan mengapa pemerintah
memerlukan anggaran sebanyak itu, digunakan untuk apa uang-uang itu, dan
apakah uang tersebut digunakan dengan bijaksana?

Secara normal, semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka semakin


besar proporsi pajak yang harus dibayarkan. Seiring dengan itu, kepentingan dan
perhatian publik akan meningkat. Bagi individu yang merasa tidak puas dengan
beban pajak yang menjadi tanggungan mereka, maka mereka akan memberi
pengawasan yang lebih pada aktivitas pemerintah. Sistem perpajakan haruslah
diarahkan pada kepuasan dari sudut pandang para individu tersebut, karena para
individu ini menaruh perhatian pada aktivitas belanja publik setelah mereka
membayar pajak. Karena, apabila pembayar pajak merasa terpuaskan, mereka
akan merasa sukarela pada saat pemerintah mengambil sebagian pendapatan
mereka. Dalam situasi ini, pembayar pajak akan memberikan otoritas lebih kepada
pemerintah untuk mengelola dan mengendalikan sejumlah sumber daya
keuangannya.

Pentingnya Sektor publik


Di Amerika Serikat, lebih dari dua puluh persen pendapatan nasional
(GNP) berasal dari belanja pemerintah, sedangkan di negara-negara Eropa Barat,
prosentase belanja publik tersebut lebih besar. Kebijakan publik dianggap penting
dalam hal mempengaruhi kegiatan ekonomi nasional, melalui kebijakan moneter
dan penganggaran, karena sektor publik dan sektor swasta merupakan kesatuan
integral dalam sistem perekonomian.

Dalam sistem perekonomian kapitalis, dikehendaki adanya kebebasan


individu yang mutlak dan tidak membenarkan pengaturan ekonomi oleh
pemerintah, kecuali dalam hal-hal yang tidak dapat diatur sendiri oleh para
individu. Pada situasi ini, peran pemerintah timbul untuk mengatur dan
mengelola aspek-aspek kepentingan publik dan karakteristik umum dari aktivitas
tersebut adalah bahwa kegiatan tersebut tidak ditujukan untuk memperoleh

Dasar-dasar Keuangan Publik


3

keuntungan. Pemerintah dapat melakukan tiga kegiatan publik utama, tipikalnya


dalam penyediaan pertahanan nasional, keadilan sosial dan pekerjaan umum.

John Stuart Mill menyampaikan alasan-alasan tentang perlunya aktivitas


publik yang dilakukan oleh pemerintah sebagai berikut:

1. Bahwa campur tangan pemerintah, walaupun harus membatasi kebebasan


individu, dibutuhkan dalam memelihara perdamaian dan melindungi
masyarakat terhadap serangan yang datang dari luar maupun dari dalam.
2. Bahwa pemerintah haruslah bersifat inferior dalam melakukan kegiatan
industri dan perdagangan, karena usaha seperti itu dapat dijalankan oleh
sektor swasta.
3. Bahwa individu akan lebih percaya diri apabila mengerjakan sesuatu
untuk kepentingannya sendiri, sehingga pemerintah hanya bergerak
dalam area yang menyangkut kepentingan publik atau umum.

Dalam perkembangannya, tidak ada lagi paham ekstrim seperti itu


sehingga negara kapitalis pun memandang perlu adanya peranan pemerintah
dalam perekonomian. Pemerintah semakin diperlukan dalam melakukan kegiatan-
kegiatan ekonomi karena mekanisme pasar dalam sistem kapitalis mempunyai
beberapa kelemahan. Diantara kelemahan-kelemahan mekanisme pasar tersebut
adalah sebagai berikut:

1. Adanya barang publik (akan didefinisikan dan dibahas dalam bab


mendatang) yang tidak dapat disediakan oleh mekanisme pasar, sehingga
harus disediakan oleh pemerintah.
2. Adanya perbedaan biaya pribadi dan biaya sosial, manfaat pribadi dan
manfaat sosial, sehingga pemerintah secara nyata diperlukan dalam
pengelolaan biaya dan manfaat sosial karena swasta tidak ada keinginan
mengelolanya.
3. Adanya risiko yang sangat besar yang tidak mungkin dikelola oleh swasta.
4. Adanya sifat monopoli dalam bidang usaha tertentu yang menyebabkan
pemerintah harus campur tangan agar monopoli tidak merugikan para
pelaku ekonomi.
5. Adanya inflasi atau deflasi yang tidak dapat diselesaikan secara otomatis
oleh mekanisme pasar.
6. Adanya distribusi pendapatan yang tidak merata antar pelaku ekonomi
pasar.

Akan tetapi, fungsi sektor publik berbeda dengan fungsi rumah tangga
dan perusahaan dalam perekonomian. Peran tersebut dapat dilihat dalam aliran
sirkuler seperti dibawah ini.

Dasar-dasar Keuangan Publik


4

Gambar 1.1

Dari gambar terlihat bahwa akan terdapat hubungan yang erat antara arus
sektor swasta (rumah tangga dan perusahaan) dan sektor pemerintah. Sektor
publik (anggaran pemerintah) memberi kontribusi pada pasar faktor produksi dan
pasar produk sehingga merupakan bagian integral dari sistem pembentukan
harga. Itulah sebabnya dalam merancang suatu kebijakan fiskal, perlu
diperhatikan bagaimana sektor swasta akan bereaksi. Arus barang pribadi dan
barang publik tidak dibiayai oleh penjualan tapi melalui perpajakan atau melalui
pinjaman. Barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah dapat saja diproduksi
oleh pemerintah, atau diproduksi oleh swasta untuk dijual kepada pemerintah.
Peranan sektor publik dalam perhitungan GNP (Gross National Product) atau
pendapatan nasional adalah bahwa pemerintah memberi kontribusi terhadap GNP
melalui pembelian barang dan jasa.

Karakteristik Kebijakan publik


Dalam menilai pentingnya sektor publik, ada sejumlah kriteria dimana
komposisi output pengeluaran publik haruslah sesuai dengan keinginan
konsumen, adanya preferensi pengambilan keputusan yang terdesentralisasi, dan
tidak menyerahkan ekonomi hanya pada kekuatan pasar, karena mekanisme pasar
tidak dapat melaksanakan semua fungsi ekonomi.

Dasar-dasar Keuangan Publik


5

Dengan demikian karakteristik kebijakan publik mempunyai sifat


mengarahkan, mengoreksi dan melengkapi peranan mekanisme pasar. Rincian
karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:

1. Untuk mencapai efisiensi pasar - kondisi dimana produksi barang sama


dengan keinginan pasar - mensyaratkan adanya informasi yang lengkap
mengenai pasar baik bagi produsen maupun konsumen dan peraturan
pemerintah diperlukan untuk menjamin persyaratan kelengkapan
informasi itu.
2. Peraturan pemerintah diperlukan untuk mengoreksi penyimpangan yang
terjadi bila terdapat kondisi persaingan yang tidak efisien.
3. Pertukaran barang dan jasa tertentu dalam mekanisme pasar perlu ada
proteksi dari pemerintah untuk melindungi pelaku pasar.
4. Timbulnya masalah eksternalitas (akan dibahas lebih lanjut pada bab
mendatang) perlu dipecahkan oleh pemerintah, melalui anggaran, subsidi
dan pajak.
5. Perlunya peran sosial yang dilakukan oleh pemerintah dalam distribusi
pendapatan dan kesejahteraan dalam mekanisme pasar.
6. Kebijakan publik diperlukan untuk menjamin kesempatan kerja, stabilitas
harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Ruang Lingkup Keuangan Publik


Ruang lingkup Keuangan Publik dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.

Bahasan Keuangan Publik dimulai dari keadaan dan alasan perlunya


peran pemerintah dalam perekonomian. Hal ini menyangkut kondisi-kondisi
adanya eksternalitas yang perlu dikendalikan pemerintah, adanya barang publik
yang perlu disediakan oleh pemerintah, adanya mekanisme pasar yang perlu
diintervensi pemerintah karena berbagai alasan, perlunya pencapaian kondisi
stabil dalam eknomi dimana peran pemerintah sangat dominan, dan sebagainya.
Setelah itu, Keuangan Publik juga mencoba memberi gambaran tentang pilihan
publik yang menyangkut aspek institusi publik, keseimbangan publik yang
dicapai melalui proses pemilihan umum. Hasil pemilihan umum ini akan

Dasar-dasar Keuangan Publik


6

menghasilkan keputusan diantaranya menyangkut penyediaan barang dan jasa


publik , dan juga alokasi dan distribusi sumber daya.

Kemudian, bahasan Keuangan Publik akan mencakup masalah-masalah


kreasi memperoleh pendapatan yang dilakukan oleh pemerintah. Sumber
pendapatan pemerintah dapat mencakup pajak dan non pajak, dan, dalam
keuangan publik, sumber-sumber tersebut akan dihubungkan dengan aspek
keadilan dan distribusi pendapatan. Keuangan Publik kemudian akan membahas
aspek belanja publik yang merupakan aktivitas utama pemerintah dalam
penyediaan barang dan jasa publik untuk kesejahteraan masyarakat. Contoh-
contoh belanja pemerintah tersebut meliputi pendidikan, kesehatan dan
pertahanan, dimana bahasan tersebut akan dihubungkan dengan aspek efisiensi
penyediaan jasa tersebut. Salah satu titik penting sisi belanja tersbut juga akan
mencakup efek pengganda (multiplier) yang diperankan oleh pemerintah.

Aspek pembiayaan merupakan area pembahasan Keuangan Publik


berikutnya. Secara tipikal, pemerintah perlu memberikan stimulus pada
perekonomian melalui kebijakan belanjanya yang mengalami pertumbuhan dari
waktu ke waktu, dimana belanja tersebut dapat didanai oleh pendapatan yang
dihasilkan dari kegiatan pemerintah. Untuk menutup kekurangannya, pemerintah
dapat melakukan usaha-usaha memperoleh sumber pendanaan lainya melalui
hutang, misalnya. Bahasan yang meliputi kegiatan memperoleh pendapatan,
kegiatan yang mencakup belanja publik dan kegiatan pembiayaan sering disebut
sebagai struktur fiskal (fiscal structure).

Yang terakhir, bahasan keuangan publik biasanya juga menyangkut


kegiatan analisis hubungan antara kebijakan pemerintah dengan perekonomian
yang dikelola oleh rumah tangga dan swasta. Dengan demikian, ruang lingkup
Keuangan Publik akan menyangkut ketiga bidang utama sebagai berikut:

1. Permasalahan keuangan pemerintah itu sendiri, dengan keterbatasan-


keterbatasan yang ada.
2. Segala kegiatan yang berhubungan dengan alokasi sumber daya,
distribusi pendapatan, dan aspek stabilisasi.
3. Analisis hubungan sektor publik dan sektor swasta.

Fokus buku ini akan meliputi kegiatan penerimaan dan pengeluaran dari
anggaran pemerintah dan hal-hal yang berkaitan dengan anggaran pendapatan
dan belanja negara, termasuk kebijakan publik.

Pendekatan Analisis
Dalam melakukan analisis kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan anggaran
pemerintah, dapat dipakai beberapa pendekatan analisis sebagai berikut:

Pendekatan Normatif.
Pendekatan ini mencakup kriteria yang perlu ditetapkan untuk menilai
kebijakan anggaran, bagaimana kualitas kebijakan fiskal, dan bagaimana agar

Dasar-dasar Keuangan Publik


7

prestasi dapat ditingkatkan. Dengan menggunakan welfare economics, analisis


dihubungkan dengan kondisi efisien perilaku rumah tangga dan perusahaan.
Implementasi kebijakan sektor publik mempunyai derajat kesulitan lebih tinggi,
karena erat kaitannya dengan aspek politik dan harus mempertimbangkan aspek
pemerataan dan keadilan. Jadi, pendekatan normatif ini akan mengarah pada
bagaimana seharusnya suatu kebijakan publik ditetapkan.

Pendekatan ini menggunakan alat indifference curve untuk menyatakan


preferensi individu yang kemudian dihubungkan dengan preferensi bermuatan
sosial untuk mendapatkan kondisi efisiensi Pareto. Teori dasar dari welfare
economics menyatakan bahwa, pertama, dalam kondisi tertentu, mekanisme pasar
yang kompetitif mengarah pada hasil yang efisien, dan, kedua, menyatakan suatu
masyarakat dapat mencapai efisiensi Pareto tersebut dengan membuat
kesepakatan (dengan melibatkan intervensi pemerintah) atas donasi individu-
individu dan kemudian memberi kebebasan pada masyarakat untuk melakukan
pertukaran satu sama lain.

Pendekatan Positif.
Pendekatan ini dilakukan dengan membahas hal-hal yang berhubungan
dengan estimasi, berdasar bukti empiris. Analisis ini menilai mengapa kebijakan
fiskal pemerintah mencakup aspek ekonomi, historis, politik dan sosial; bagaimana
tekanan pihak-pihak yang berkepentingan dan bagaimana preferensi fiskal, dan
bagaimana proses politik. Jadi, pendekatan positif ini akan mengarah pada
kebijakan publik apa yang harus diambil.

Pendekatan ini menggunakan alat eksperimen berdasar suatu estimasi


untuk melihat perubahan perilaku. Pendekatan ini menggunakan model-model
ekonometrik untuk melihat pengaruh dari suatu kebijakan dalam perilaku
ekonomi yang diobservasi dan juga menggunakan analisis regresi untuk
memprediksi pengaruh kebijakan setelah parameternya dapat diketahui dari
model ekonometrik tersebut.

Kriteria yang Digunakan untuk Mengevaluasi Kebijakan Publik


Beberapa kriteria dibawah ini dapat digunakan untuk melakukan evaluasi
dan analisis kebijakan publik.

1. Equity & Fairness (Keadilan dan kewajaran)


Suatu kebijakan publik dapat diuji dengan berbagai pertanyaan: Apa yang
dimaksud dengan kewajaran dalam persepsi sosial dan seberapa fair suatu
kebijakan publik terhadap isu hak kepemilikan? Sebagai contoh, apakah
wajar menutup perusahaan yang menyebabkan polusi udara
dibandingkan dengan kesempatan kerja yang disediakan oleh usaha
tersebut? Apakah wajar menutup bisnis penebangan hutan untuk
menyelamatkan habitat burung hantu? Atau, apakah wajar bagi keluarga
tanpa anak harus membayar pajak pendidikan?

Dasar-dasar Keuangan Publik


8

2. Economic Efficiency (Efisiensi Ekonomi)


Kebijakan publik dapat dianalisis dari sudut Pareto Efficiency yaitu alokasi
sumber daya dari kondisi yang tidak mungkin – melalui perubahan
alokasi – sehingga mencapai kondisi dimana seseorang atau beberapa
orang mengalami kepuasan lebih baik tanpa menyebabkan pihak lain
terbebani.

3. Paternalism (Sistem Paternal)


Kebijakan publik dapat dievaluasi dari asumsi bahwa pemerintah adalah
pihak yang paling mengetahui permasalahan penduduk suatu negara dan
pemerintah bebas menentukan kebijakan apa saja. Sebagai contoh, orang
tidak akan menabung dalam jumlah yang cukup untuk pensiun sehingga
pemerintah harus mengalokasikan penerimaan pajak agar penduduk usia
lanjut dapat memperoleh manfaat.

4. Freedom of choice (Kebebasan Individu)


Dalam asas demokrasi, kebebasan individu dalam perekonomian
memungkinkan pertukaran sukarela atau mempromosikan proses
pengambilan keputusan sukarela yang didasarkan atas pertimbangan
dagang yang bebas biaya transfer antar pihak yang bertransaksi. Sehingga
salah satu indikator keberhasilan kebijakan publik adalah apakah
kebijakan pemerintah dapat mendorong kebebasan individu dalam
bertransaksi ekonomi.

5. Stabilization (Stabilisasi)
Kebijakan publik dapat dianalisis dengan menilai apakah kebijakan yang
diambil pemerintah mampu meningkatkan pengeluaran agregat? Atau
apakah ekonomi sektor swasta - yang dapat memberi pekerjaan pada
setiap orang - perlu diintervensi pemerintah?

6. Trade Off
Secara umum, ekonom menekankan efisiensi dan keadilan sebagai kriteria
melakukan evaluasi atas kebijakan publik. Akan tetapi, mungkin ada
konflik yang substansial antara beberapa kriteria tersebut. Contoh,
kebijakan upah minimum mungkin mendorong keadilan, tetapi hal ini
mungkin tidak efisien. Kemudian, welfare economics telah dipertimbangkan
sebagai cara pemberian insentif untuk mengoreksi kebijakan berdasar
keadilan sosial. Suatu kebijakan publik dapat dievaluasi dengan
pertanyaan apakah pilihan kebijakan tidak akan mengorbankan tujuan
lainnya atau apakah manfaat agregat dapat melampaui beban agregat.

Dasar-dasar Keuangan Publik


9

B A B II

BARANG PUBLIK & EKSTERNALITAS

Identifikasi Barang Publik


alam mengklasifikasi barang publik dan barang pribadi, kita dapat

D menggunakan gambar dengan sumbu horizontal berupa tingkat


excludability dan sumbu verikal berupa tingkat rivalry, sebagai berikut.

Rivalry rendah

Barang Publik Lokal: Barang Publik:


Perpustakaan Pertahanan
Taman Rekreasi Danau & sungai
Area parkir Lampu Jalan

Excludability Tinggi Excludability Rendah

Barang Pribadi: Barang dengan eksternalitas:


Rumah, mobil Pendidikan,
Makanan, pakaian Pengangkut sampah
Jasa personal lain Jalan lokal
Rivalry Tinggi

Dari gambar diatas, dapat ditunjukkan bahwa dengan


mempertimbangkan sifat rivalry dan excludability, suatu barang dapat
dikelompokkan kedalam empat kategori yaitu barang publik, barang pribadi,
barang publik lokal (sering disebut congestible goods) dan barang dengan
eksternalitas. Karakteristik masing-masing jenis akan dibahas kemudian, terutama
sifat-sifat dasar yang dipertimbangkan dalam pembahasan aspek keuangan
publik.

Dasar-dasar Keuangan Publik


10

Karakteristik Barang Publik


Secara umum, suatu barang publik mempunyai sifat-sifat berikut:

1. Konsumsi atas barang publik oleh seseorang tidak mempengaruhi


penawaran barang publik tersebut untuk dikonsumsi oleh orang lain, atau
suatu barang dapat dikonsumsi oleh beberapa orang secara bersama-sama.
Sifat barang publik seperti ini disebut non rival consumption.
2. Walaupun penyedia barang menginginkan, setiap anggota masyarakat
tidak dapat dibatasi/dilarang untuk mengkonsumsi barang publik atau
kegiatan pembatasan tersebut sangat sulit untuk dilakukan. Sifat barang
publik seperti ini disebut non exclusion.
3. Walaupun setiap orang mengkonsumsi jumlah yang sama atas barang
publik, tidak ada persyaratan bahwa konsumsi ini dinilai atau dihargai
oleh semua orang.

Karakteristik barang publik seperti diatas tidaklah absolut, tetapi


tergantung pada kondisi pasar dan teknologi. Suatu komoditas dapat saja
memenuhi satu kriteria dari barang publik, tapi mungkin tidak memenuhi kriteria
yang lain. Beberapa barang tertentu yang secara konvensional tidak dipandang
sebagai komoditas pribadi dapat saja mempunyai karakteristik sebagai barang
publik.

Sifat lain dari barang publik yang lain adalah bahwa barang publik tidak
disediakan secara eksklusif oleh pihak swasta. Penyediaan barang publik yang
dilakukan oleh pemerintah tidak berarti bahwa produksinya harus dilakukan oleh
sektor publik, tapi mungkin disediakan oleh swasta kemudian pemerintah
melakukan pembelian atas barang tersebut.

Perbedaan antara Barang Publik dan Barang Pribadi


Barang publik adalah barang-barang yang mempunyai dua sifat pokok
yaitu non rival consumption dan non exclusion. Non rival consumption mengandung
maksud bahwa sejumlah orang dapat mengkonsumsi secara bersama-sama
terhadap barang tersebut atau, pada tingkat tertentu, konsumsi yang dilakukan
atas barang tidak akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Contoh
barang publik dengan sifat ini adalah jalan raya dan pertahanan nasional dimana
konsumsi terhadap barang tersebut oleh seseorang tidak mengurangi kesempatan
bagi orang lain untuk ikut mengkonsumsinya.

Sedangkan non exclusion mengandung arti bahwa orang tidak dapat


membatasi manfaat atas barang tersebut pada orang-orang yang sanggup
membayar saja. Dengan lain perkataan, apakah seseorang itu mau membayar atau
tidak (free rider) dalam mengkonsumsi barang, orang tersebut tetap dapat
memperoleh barang tersebut.

Terdapat beberapa perbedaan karakteristik antara barang pribadi dan


barang publik. Pertukaran barang pribadi dalam mekanisme pasar tidak
menghasilkan eksternalitas, sedangkan pertukaran barang publik selain dapat

Dasar-dasar Keuangan Publik


11

menghasilkan manfaat eksternal juga dapat menyebabkan beban eksternal bagi


pihak lain. Contoh barang publik yang menghasilkan manfaat eksternal adalah
pertahanan nasional dan contoh barang publik yang menghasilkan beban adalah
penyediaan mesin atau peralatan yang menyebabkan adanya polusi udara.

Perbedaan lain adalah bahwa biaya marjinal untuk distribusi barang


publik kepada konsumen adalah nihil. Hal ini merupakan efek dari sifat non rival
consumption. Suatu unit barang pribadi hanya dapat dinikmati oleh konsumen
tertentu dan setelah itu tidak tersedia bagi orang lain, sedangkan suatu barang
publik tidak dapat dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang terpisah yang dapat
dikonsumsi habis. Jadi, satuan kuantitas barang publik dapat dinikmati bersama-
sama secara kolektif oleh sekelompok orang.

Untuk memperjelas karakteristik diatas, dimisalkan ada sekelompok orang


yang berada di satu ruangan tertentu. Setiap hari, penghuni ruang ini dapat
mengkonsumsi sejumlah roti dan udara sejuk dari alat pendingin ruangan. Jumlah
roti yang tersedia akan dikonsumsi dengan porsi yang sama oleh orang-orang
yang berada di ruangan itu, dan bila seseorang akan mengkonsumsi lebih dari
porsinya, dipastikan akan mengurangi porsi orang lain. Di lain pihak, tidak
mungkin membagi temperatur yang telah diberi pendingin udara kepada orang-
orang dalam ruangan tersebut. Semua orang akan mengkonsumsi tingkat
temperatur yang sama. Penambahan orang dalam ruangan, sampai batas tertentu,
tidak akan mempengaruhi tingkat konsumsi atas udara sejuk tersebut. Tidak
mungkin orang akan mengkonsumsi tingkat temperatur yang berbeda satu sama
lain. Sejumlah roti mempunyai karakteristik sebagai barang pribadi sedangkan
tingkat suhu seperti uraian diatas mempunyai karakteristik sebagai barang publik
bagi orang-orang yang menghuni ruangan.

Perbedaan karena kegagalan mekanisme pasar


Kebutuhan barang pribadi dirasakan secara perorangan, sedangkan
kebutuhan barang publik dirasakan secara bersama-sama oleh para individu
dalam masyarakat. Manfaat yang dihasilkan oleh barang publik tidak terbatas
pada konsumen tertentu saja yang membeli barang itu, akan tetapi juga bagi
konsumen lainnya.
Contoh barang pribadi adalah roti. Konsumsi orang satu dengan orang lainnya
berada dalam hubungan yang saling bersaingan (rival), karena apabila roti tadi
dikonsumsi oleh seseorang, maka barang tersebut tidak tersedia bagi orang lain.
Sedangkan contoh barang publik adalah alat untuk mengurangi pencemaran
udara. Jika alat tersebut berfungsi dan terjadi peningkatan kualitas udara, manfaat
yang dihasilkan akan tersedia bagi semua orang yang bernafas. Konsumsi atas alat
anti pencemaran udara tadi oleh beberapa individu adalah tidak saling bersaing
(non rival), karena keikutsertaan orang lain untuk memanfaatkan alat tidak
mengurangi manfaat bagi yang lainnya. Kedua sifat barang tadi akan
menimbulkan permasalahan bagaimana konsumen berperilaku dan bagaimana
kedua jenis barang tadi harus disediakan.
Mekanisme pasar secara tepat dapat menggambarkan penyediaan barang pribadi.
Mekanisme ini didasarkan pada pertukaran dan pertukaran hanya terjadi jika
terdapat hak eksklusif bagi pihak yang membelinya. Suatu pasar menyediakan

Dasar-dasar Keuangan Publik


12

sistem dimana produsen akan akan memproduksi barang jika konsumen


membutuhkan barang itu. Hanya pihak yang bersedia membayar barang itulah
yang dapat memperoleh manfaat atas barang. Dalam kondisi ini, pasar menjadi
efisien, karena transaksi pemanfaatan barang dianalogikan suatu tender terbuka
dan setiap orang boleh mengikuti tender sehingga tidak ada yang dirugikan.

Lain halnya dengan penyediaan barang publik dimana tidak terjadi


mekanisme pasar yang efisien. Satu orang tidak dapat secara ekslusif
memanfaatkan barang publik, karena apabila orang tersebut mengkonsumsi, pada
saat yang sama orang atau pihak lain dapat mengkonsumsi barang publik tersebut
secara bersama-sama. Konsumen juga tidak bersedia untuk melakukan
pembayaran atas barang publik tadi, dengan pertimbangan bahwa orang lain juga
menikmati barang yang sama. Manfaat yang dirasakan oleh satu pihak akan sama
dengan manfaat yang dirasakan pihak lain, sehingga pembayaran hanya oleh satu
konsumen tidak signifikan. Hubungan antara produsen dan konsumen menjadi
tidak ada dan pemerintah lah yang harus bersedia memproduksi barang publik.
Pemerintah harus mengambil tindakan apabila mekanisme pasar tidak berjalan.

Perbedaan karena penyediaan barang publik


Permasalahan yang ada adalah bagaimana pemerintah harus menentukan
berapa banyak barang publik tersebut perlu diadakan. Kesulitan terjadi dalam
menentukan jenis dan kualitas barang publik, dan berapa konsumen harus
membayar. Kesulitan yang sama adalah bagaimana manfaat ini dapat dinilai oleh
konsumen.
Dari sudut pandang konsumen, mereka tidak dapat menyatakan kepada
pemerintah berapa nilai pelayanan umum yang disediakan oleh pemerintah.
Persediaan barang publik tidak banyak dipengaruhi oleh kontribusi individu.
Konsumen tidak mempunyai hak suara secara perorangan untuk menyatakan
bagaimana nilai pelayanan yang nyata bagi mereka, kecuali ada jaminan
konsumen lain juga melakukan hal yang sama. Konsumen akan dapat memilih
sebagai free rider (dibahas lebih lanjut pada sub bab berikut) atas apa yang
disediakan oleh pemerintah. Dengan demikian, cara penyediaan barang publik
dan alokasinya akan berbeda dengan cara penyediaan barang pribadi.
Pada tahap ini, proses politik akan menggantikan mekanisme pasar. Pemilihan
dengan pemungutan suara akan menggantikan transaksi jual beli yang terjadi di
mekanisme pasar. Mereka merasa berkepentingan untuk memilih apa yang akan
memberi manfaat bagi mereka. Hasil pemungutan suara akan menggantikan
pilihan melalui mekanisme pasar. Tingkat efisiensi proses pemilihan dan
kebersamaan pilihan masyarakat akan menentukan tingkatan pencapaian
pemecahan yang efisien.

Permintaan Barang Publik


Kurva permintaan barang publik harus diinterpretasikan secara berbeda
dengan kurva permintaan barang pribadi. Untuk barang publik (murni), seluruh
konsumen harus mengkonsumsi sejumlah kuantitas yang sama atas barang. Para
pembeli barang publik tidak akan dapat menyesuaikan tingkat konsumsinya
sehingga seorang individu mengkonsumsi satu unit, sementara individu lain

Dasar-dasar Keuangan Publik


13

dapat mengkonsumsi dua unit. Para konsumen tidak dapat menyesuaikan jumlah
yang dibeli sampai harga barang publik sama dengan manfaat marjinalnya atau
sampai dengan transaksi pengadaan barang publik tersebut terjadi (kondisi
equilibrium). Sayangnya, barang publik tidak dapat dihargai seperti itu, karena
sifatnya yang non exclusion.

Bila digambarkan dalam grafik, sumbu vertikal bukanlah harga pasar,


tetapi jumlah maksimum seseorang bersedia membayar per unit barang publik,
sebagai fungsi dari jumlah barang yang secara nyata tersedia, yakni sumbu
horizontalnya berupa jumlah unit barang. Sebagai contoh, ada tiga orang hidup
bersama dalam sebuah komunitas yang kecil dan mempunyai keinginan yang
sama untuk mengadakan satuan pengamanan (satpam). Harga sewa satpam
merupakan jumlah maksimal yang individu bersedia membayar dan kuantitas
proteksi keamanan dapat diukur dari jumlah satpam yang disewa untuk tujuan
itu, dan merupakan cerminan dari barang publik yang dapat dikonsumsi oleh
ketiga orang tersebut.

Tingkat Output yang Efisien


Efisiensi dalam pasar barang pribadi mensyaratkan bahwa seluruh
aktivitas ekonomi dilaksanakan sampai pada titik dimana manfaat sosial marjinal
(marginal social benefit) sama dengan biaya sosial marjinal (marginal social cost).
Prinsip ini dapat juga berlaku untuk penerapan teori barang publik.

Dimisalkan ada seseorang berkeinginan memproduksi atau membeli suatu


barang (publik) untuk kepentingan pribadinya. Penyediaan barang publik oleh
orang itu akan memberi manfaat kepada si penyedia dan juga kepada orang-orang
di sekitarnya. Dengan demikian, manfaat sosial marjinalnya akan melebihi
manfaat yang diterima oleh orang yang menyediakan barang tadi. Gabungan
seluruh manfaat yang dinikmati oleh orang-orang di sekitarnya memberikan
manfaat sosial marjinal atas tambahan unit yang disediakan. Jadi, manfaat sosial
marjinal adalah jumlah manfaat marjinal yang dinikmati oleh seluruh konsumen
tersebut.

Kuantitas yang efisien per periode waktu berhubungan dengan titik


dimana output meningkat sedemikian rupa sehingga jumlah manfaat marjinal
konsumen sama dengan biaya sosial marjinal atas barang.

Free Rider Problem


Sebuah sistem yang mensyaratkan kontribusi secara sukarela untuk
penyediaan dan pembiayaan barang publik dapat berjalan apabila komunitas
publik terdiri hanya beberapa individu. Dalam kelompok kecil, masing-masing
orang kenal satu sama lain dan apabila mempunyai gagasan penyediaan suatu
barang akan mudah mencapai kompromi, karena setiap anggota kelompok dengan
mudah dapat mengidentifikasi manfaat barang tersebut. Sebagai contoh,
sekelompok orang yang menghuni sebuah apartemen yang mewah mempunyai
kepentingan yang sama dalam memperbaiki jalan akses atau mengadakan proteksi
keamanan, akan secara mudah mencapai kompromi untuk menyediakan barang

Dasar-dasar Keuangan Publik


14

publik tersebut dengan mendanai secara bersama-sama. Selain proses mencapai


kesepakatannya tidak rumit, ada keterikatan moral antar mereka.

Tetapi, jika jumlah orang yang terlibat dalam proses pengambilan


keputusan bertambah dan informasi tentang selera dan kemampuan ekonomi
kurang, sepertinya akan sulit menggambarkan preferensi kelompok tersebut,
karena tidak seorang pun dalam kelompok besar tersebut secara akurat
memperoleh informasi tentang manfaat nyata pengadaan barang publik. Di satu
pihak, seseorang akan secara sukarela memberikan kontribusi untuk penyediaan
barang publik tersebut, namun di lain pihak, akan terdapat orang-orang yang
enggan memberikan kontribusi biaya. Mereka mengetahui secara persis bahwa
barang publik yang akan dibeli atau diadakan tidak mungkin hanya dapat
dinikmati oleh orang-orang yang membayar saja.

Apabila kondisi itu terjadi, akan ada orang-orang yang mengambil


manfaat barang publik tanpa memberikan kontribusi apa pun terhadap biaya
penyediaan barang tersebut. Orang ini disebut free rider. Problem muncul jika free
rider berjumlah banyak dan akhirnya penyediaan barang publik, misalnya
perbaikan jalan akses ke apartemen, tidak jadi dilakukan. Semua anggota
kelompok tersebut, pada akhirnya, tidak dapat menikmati kenyamanan
menggunakan jalan tadi.

Eksternalitas
Eksternalitas didefinisikan sebagai biaya atau manfaat dari transaksi pasar
yang tidak tercermin dalam harga. Eksternalitas muncul pada saat pihak ketiga,
selain pembeli dan penjual, mempengaruhi produksi atau konsumsi suatu barang.
Manfaat yang dinikmati atau biaya yang menjadi beban pihak ketiga ini tidak
dipertimbangkan oleh baik pembeli maupun penjual dari barang atau jasa yang
bersangkutan. Eksternalitas ini muncul, biasanya, dalam transaksi penyediaan dan
atau pertukuaran barang publik, karena karakteristik dasarnya.

Eksternalitas dapat dihasilkan dari kegiatan produksi maupun konsumsi.


Eksternalitas produksi dan konsumsi dapat merupakan sesuatu yang negatif.
Contoh ektrenalitas negatif ini adalah kepadatan jalan dan taman yang tidak
dirawat dan dikelola secara baik.

Salah satu karakteristik penting dari eksternalitas adalah sifat reciprocal.


Suatu pabrik mungkin menyebabkan eksternalitas kepada lingkungannya dengan
aroma yang tidak sedap. Di sisi lain, keinginan warga sekitar untuk membebaskan
diri dari bau tak sedap akan menimbulkan beban bagi perusahaan. Beban ini tetap
akan timbul tidak tergantung apakah bau tak sedap akan berkurang atau tidak.
Pertanyaannya adalah siapa yang harus menanggung beban tersebut. Perhatian
ekonom tertuju pada distribusi manfaat dan beban sedemikian rupa sehingga
menggerakkan produksi pada tingkat dimana biaya marjinal sama dengan
manfaat marjinal. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan berbagai cara.

Dasar-dasar Keuangan Publik


15

Eksternalitas Positif
Beberapa kasus eksternalitas positif dicontoh berikut ini. Pendidikan
untuk anak, misalnya, tidak hanya memberi manfaat bagi anak-anak dan
keluarganya, akan tetapi juga bagi masyarakat. Orang-orang yang berpendidikan
akan lebih produktif, lebih berperilaku positif, dan akan memiliki selera yang lebih
mapan dalam barang dan jasa, yang merupakan ciri-ciri masayarakat terdidik.
Dengan cara yang sama, ketika sampah lingkungan kita diangkut secara teratur,
risiko kesehatan kita akan berkurang, dan nilai properti kita akan mengalami
peningkatan. Ketika lampu penerangan jalan ada di seberang blok rumah kita,
yang dibayar oleh para warga dalam kompleks tersebut, kita dapat berjalan dalam
kondisi aman di malam hari. Ketika sebuah keluarga memperbaiki rumah dan
lingkungan sekitar dengan indah, manfaat tidak hanya dinikmati oleh warga
sekitar, akan tetapi juga dinikmati oleh orang-orang yang lewat di perumahan
tersebut. Masih banyak kasus lain yang dapat dijadikan contoh untuk eksternalitas
postif.

Eksternalitas Negatif
Beberapa kasus eksternalitas negatif dapat dijadikan contoh berikut ini.
Perokok pasif – orang yang ikut menghirup asap rokok meskipun dia tidak
merokok – merupakan contoh eksternalitas konsumsi, sementara polusi air yang
diakibatkan oleh limbah pabrik merupakan contoh eksternalitas produksi.
Keduanya merupakan eksternalitas negatif. Ketika barang diproduksi dan dijual
atau dikonsumsi, kurva biaya marjinal hanya menggambarkan biaya yang nyata
timbul untuk memproduksi barang tersebut. Apabila biaya-biaya kepada pihak
lain timbul karena proses produksi menimbulkan kebisingan, polusi, dan bahaya
lain – termasuk biaya sosial – pasar tidak akan memperhitungkan biaya tersebut
dalam menentukan harga equilibrium. Tanpa intervensi pihak lain, produsen dan
konsumen akan mempertimbangkan harga yang terlalu rendah, karena mereka
tidak mempertimbangkan biaya-biaya sosial.

Dengan demikian, biaya sosial harus ditambahkan dalam biaya produksi -


biaya material, tenaga kerja, modal dan input lain - dalam kurva biaya marjinal.
Proses menambahkan biaya sosial kedalam biaya produksi dan nantinya tercermin
dalam biaya pasar tersebut sering disebut sebagai proses internalisasi eksternalitas
(internalizing externalities). Banyak teknik dapat digunakan dalam proses
internalisasi ekstrnalitas tersebut. Misalnya, peraturan mengharuskan produsen
untuk memperhatikan keamanan pekerjanya, mengurangi emisi gas buang,
mengurangi kebisingan dalam metode produksinya.

Dasar-dasar Keuangan Publik


16

B A B III

PENENTUAN HARGA BARANG


PUBLIK

Tujuan Kebijakan Harga


ecara umum, pemerintah tidak menjual jasanya kepada masyarakat, akan

S tetapi pemerintah menyediakan jasa publik kepada masyarakat tanpa


harus membayar. Sebagai contoh, jasa pertahanan nasional tidak dijual
kepada para individu dimana individu harus membayar bila memanfaatkannya.
Jasa ini disediakan secara seragam kepada seluruh pengguna di seluruh daerah
dan seluruh masayarakat dapat memanfaatkan jasa ini. Namun demikian, bukan
berarti bahwa penyediaan jasa publik ini tanpa menimbulkan biaya. Sebuah proses
politik digunakan dalam menentukan jumlah yang harus disediakan dan distribusi
biaya kepada para individu. Pemerintah terlibat dalam penyediaan barang dan
jasa publik ini karena kegagalan mekanisme pasar.

Pertanyaan mendasar tentang mengapa pemerintah terlibat dalam


kegiatan penentuan harga barang merupakan pertanyaan yang cukup sulit untuk
dijawab. Harapan pemerintah, dengan keterlibatan dalam penentuan harga barang
publik, adalah ingin meningkatkan baik efisiensi alokasi sumber daya maupun
keadilan dalam distribusi pendapatan. Ini tidak berarti bahwa setiap tindakan
pemerintah pasti berhasil mengatasi problem ini. Dalam menentukan seberapa
banyak suatu barang harus dibeli oleh individu-individu, mereka hanya akan
mempertimbangkan manfaat yang diperoleh secara pribadi, sehingga kesempatan
bahwa barang tersebut tersedia di pasar akan sangat kecil. Dalam kasus ini,
pemerintah akan melibatkan diri untuk menjamin bahwa manfaat eksternal harus
juga dipertimbangkan dalam mengambil keputusan jumlah yang akan dikonsumsi
oleh individu. Dengan analogi yang sama, pemerintah juga akan terlibat dalam
penyediaan barang pribadi untuk memproteksi masyarakat dari penipuan
(misalnya kebenaran iklan), kepastian tersedianya jasa (misal jasa rumah sakit dan
pos), maupun keseragaman kualitas jasa (misal pendidikan). Semua keterlibatan
pemerintah ini ditujukan untuk mencapai penentuan harga yang efisien.

Dasar-dasar Keuangan Publik


17

Tujuan kebijakan harga oleh pemerintah mencakup tindakan-tindakan


yang diperlukan agar pasar bekerja lebih baik, termasuk memperbaiki arus
informasi atau mengurangi unsur-unsur monopoli dan batasan-batasan dalam
masuknya perusahaan-perusahaan baru dalam pasar. Akan selalu ada tujuan-
tujuan ekonomi dan non-ekonomi yang dapat diikuti pemerintah melalui campur
tangan, dalam meminimalkan biaya ekonomi guna mencapai sasaran-sasaran yang
diinginkan.

Penentuan Harga Barang Publik


Tergantung pada masing-masing tujuannya, pemerintah mempunyai
banyak pilihan berkaitan dengan keputusan penyediaan barang atau jasanya:

1. Dapat dijual dengan harga pasar.


2. Dijual dengan tingkat harga tertentu yang berbeda dengan harga pasar.
3. Diberikan secara gratis kepada para konsumennya.

Masing-masing keputusan akan mempunyai konsekuensi. Sebagai contoh,


meskipun keputusan memberikan secara gratis kepada masyarakat akan
memaksimalkan penggunaan barang atau jasa oleh masyarakat, cara ini
menimbulkan biaya yang sangat tinggi yang harus ditanggung oleh pemerintah.
Dengan kata lain, contoh tersebut menggambarkan kondisi yang tidak efisien bagi
penyediaan barang dan jasa oleh pemerintah.

Keputusan penentuan harga oleh pemerintah ditujukan untuk


memperbaiki alokasi sumber daya ekonomi pada sektor publik. Dalam
perekonomian, tingkat harga merupakan suatu tanda tingginya nilai yang
merupakan kesediaan konsumen untuk membayar atas barang yang dihasilkan
oleh produsen, sekaligus merupakan tingginya biaya untuk menghasilkan barang
tersebut oleh produsen.

Dalam mekanisme pasar barang pribadi yang bersifat persaingan


sempurna, untuk menentukan tingkat keseimbangan, berlaku hukum bahwa harga
sama dengan biaya marginal (marginal cost) dan sama dengan pendapatan marjinal
(marginal revenue) bagi produsen, atau p = MC = MR, dimana p adalah price atau
harga, MC adalah marginal cost atau biaya marjinal dan MR adalah marginal revenue
atau pendapatan marjinal. Sehingga, apabila konsumen akan memaksimalkan
kepuasannya, pada tingkat equilibrium, konsumen akan membeli barang-barang
sampai tercapai kondisi equilibrium tersebut.

Pertanyaan akan timbul, apakah hukum ekonomi tersebut berlaku juga


untuk barang atau jasa yang disediakan oleh pemerintah? Pada dasarnya, tugas
pemerintah adalah menyediakan barang untuk kepentingan orang banyak dengan
harga murah. Dengan demikian, pemerintah akan ditekan oleh kekuatan politik
untuk tidak mengambil keuntungan dari barang atau jasa yang dihasilkannya.
Itulah sebabnya, pemerintah seringkali menetapkan harga dibawah tingkat harga
yang sebenarnya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen barang
tersebut. Konsekuensinya, keputusan pemerintah ini menimbulkan akibat

Dasar-dasar Keuangan Publik


18

ketidakefisienan atau terjadi pemborosan apabila dipandang dari ilmu ekonomi,


karena konsumen menilai barang atau jasa yang disediakan oleh pemerintah
terlalu mudah diperoleh.
Contoh yang dapat digunakan adalah penyediaan public utilities oleh
pemerintah, seperti air minum dan listrik. Pemerintah tidak diharapkan untuk
memperoleh keuntungan dari penyediaan barang yang dibutuhkan oleh
masyarakat banyak itu, sehingga pemerintah dapat menetapkan harga tertinggi.
Pemerintah hanya menutup biaya totalnya yang mengakibatkan perusahaan-
perusahaan pemerintah penyedia barang public utilities akan tetap dapat berjalan
tanpa mengalami kerugian.

Akan tetapi, situasi penyediaan public utilities tersebut diatas tidak berlaku
untuk seluruh barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah. Perusahaan yang
mengelola public utilities yang harus menjual produksinya tanpa memperoleh
keuntungan sama sekali akan menghadapi permasalahan dalam ekspansi atau
melakukan perluasan usaha. Maka, pemerintah akan mengarahkan perusahaan
pada kondisi bahwa, selain menghasilkan barang dan jasa sebanyak mungkin
untuk mencukupi kebutuhan rakyat banyak, perusahaan juga diijinkan
memperoleh keuntungan dalam jumlah tertentu. Pemerintah akan menetapkan
jumlah keuntungan maksimum, kemudian konsumen akan membayar jumlah
diatas nilai yang ditetapkan sebelumnya pada saat zero profit. Pada kondisi ini,
konsumen tidak terlalu dibebankan tingkat harga yang terlalu tinggi, tetapi
produsen masih dapat melakukan perluasan usaha untuk menambah investasinya.

Penentuan harga dengan metode seperti inilah yang harus


dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan penyediaan barang publik oleh
pemerintah. Kajian-kajian harus dilakukan untuk memperoleh kebijakan yang
tepat sasaran, artinya perusahaan penghasil public utilities diwajibkan
menyediakan barang dan jasa publik, sedangkan pemerintah berkewajiban
membatasi keuntungan yang harus diperoleh oleh perusahaan-perusahaan
tersebut, mengingat tugas pemerintah dalam penyediaan brang dan jasa yang
dibutuhkan oleh masyarakat.

Implementasi Penentuan Harga dalam Produk Pertanian.


Kebijakan penentuan harga merupakan salah satu kebijakan yang dapat
digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan khusus, misalnya
mendorong produksi atau memelihara kestabilan.

Dalam menentukan harga atas produk pertanian, kebijakan publik dapat


difungsikan. Produk-produk pertanian merupakan barang primer, seperti bahan
makanan atau bahan mentah yang akan diolah menjadi barang jadi atau setengah
jadi. Produk pertanian mempunyai posisi strategis dan erat kaitannya dengan
produk non pertanian, seperti alat-alat pertanian, pupuk kimia dan obat pembasmi
hama. Sektor pertanian juga mempunyai kaitan yang erat dengan kebutuhan jasa
angkutan, pendidikan dan kesehatan. Pendekatan yang dilakukan untuk
melakukan analisis penyediaan produk pertanian adalah dengan menggunakan
kebijakan harga positif, artinya kebijakan harga yang ditujukan untuk mendorong

Dasar-dasar Keuangan Publik


19

peningkatan produksi, atau kebijakan harga negatif yang berarti kebijakan harga
yang ditujukan untuk mengurang peningkatan produksi.

Fungsi Penawaran dan Tanggapan Sektor Pertanian


Fungsi penawaran menunjukkan hubungan antara jumlah barang yang
ditawarkan dan berbagai tingkat harga dari barang tersebut. Hukum penawaran
menyatakan bahwa jumlah yang ditawarkan akan meningkat apabila harga barang
tersebut semakin tinggi. (hal-hal lain tetap atau ceteris paribus). Secara matematis,
fungsi penawaran dapat dinyatakan dengan:

Q a = f ( P a, S, F, X, T )

Dimana:
Qa = jumlah barang A yang ditawarkan
Pa = harga barang A
S = jumlah input yang tersedia
F = keadaan alam
X = pajak atau subsidi atau keduanya
T = tingkat teknologi.

Dalam menggambarkan hukum penawaran, maka yang dinyatakan tetap


(ceteris paribus) adala S, F, X dan T. Sehingga, kurva penawaran merupakan garis
miring dari bawah keatas, yang berarti apabila barang yang ditawarkan harganya
naik, maka jumlah yang ditawarkan akan meningkat, dan sebaliknya. Tentang
jumlah barang yang ditawarkan akan tergantung dari tingkat elastisitas
penawaran.

Dengan mengubah harga, pemerintah akan mempengaruhi jumlah


produksi yang dihasilkan. Apabila jumlah produk pertanian ada di gudang,
peningkatan harga segera mendorong peningkatan penawaran produk tersebut.
Namun, apabila peningkatan penawaran membutuhkan tenggang waktu,
penyesuaian produksi akan mengikuti pola Cobweb theorem (sarang laba-laba)
seperti digambarkan grafik sebagai berikut:

Dasar-dasar Keuangan Publik


20

Gambar 3.1
D merupakan kurva permintaan dan S kurva penawaran. Apabila pada
periode tertentu harga pasar setinggi P a1, petani akan terdorong menanam atas
dasar harga tersebut dan akan menghasilkan Q a1 pada akhir periode tanam.
Karena terjadi peningkatan produksi di periode 2, maka harga pasar akan turun
menjadi P a2. Pada tingkat harga tersebut, produsen akan terdorong untuk
mengurangi produksinya dan harga akan meningkat menjadi P a3. Dengan tingkat
harga itu, petani akan terdorong memproduksi sebesar Q a3 di akhir periode
tanam berikutnya. Tetapi, harga akan terkoreksi menjadi P a4, karena fungdi
permintaan tetap. Akan terjadi pergerakan sepanjang waktu ke arah titik
perpotongan antara kurva D dan kurva S. Hubungan tersebut mengakibatkan
tingkat harga akan cenderung mencapai equlibrium pada perpotongan kurva
penawaran dan kurva permintaan.

Kebijakan Harga Positif


Dari analisis diatas menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan
sumber kapital bagi pembangunan. Syaratnya adalah apabila produsen cukup
responsif terhadap insentif harga. Dengan memberikan jaminan harga yang tinggi,
para petani akan terdorong untuk meningkatkan produksi pangan. Kebijakan
harga yang positif dapat berperan sebagai pendorong peningkatan produksi
pertanian dan kebijakan ini akan dipakai sebagai alat untuk mempengaruhi
komposisi produk pertanian.

Ada tiga tanggapan produksi terhadap perubahan harga yang dapat


dianalisis sebagai berikut:

1. Perubahan komposisi produksi pertanian karena perubahan harga relatif


masing-masing komoditi pertanian secara individu.
2. Peningkatan produksi pertanian secara total karena adanya perbaikan
harga relatif komoditi pertanian dalam perbandingannya dengan harga
komoditi sektor non pertanian.

Dasar-dasar Keuangan Publik


21

3. Peningkatan produksi pertanian yang dapat dipasarkan sebagai respon


terhadap kenaikan harga komoditi pertanian (marketable surplus).

Hasil studi mengenai tanggapan produksi di negara berkembang


menunjukkan bahwa tanggapan pertama tersebut dapat bersifat sangat elastis
untuk jenis komoditi tertentu, akan tetapi untuk tanggapan kedua dan ketiga
justru sangat inelastis atau bahkan turun dengan adanya kenaikan harga.
Perkecualian dapat terjadi, jika tanaman tidak dimaksudkan hanya untuk
memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan sekunder, tetapi juga ditujukan untuk
ketersediaan pasar maka respon yang diharapkan, baik untuk produksi pertanian
secara keseluruhan maupun untuk marketable surplus, akan menunjukkan positif.

Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalnya setiap tanaman


ditujukan untuk tujuan komersial, elastisitas penawaran komoditi yang
dipasarkan akan sama dengan elastisitas produksi/output, artinya prosentase
peningkatan produksi sama dengan prosentase peningkatan pemasaran. Namun
apabila faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja dan kapital, harus diserap dari
produksi komoditi lain, maka produksi pertanian secara total dapat menurun.
Berdasarkan hasil studi, peningkatan produksi merupakan bentuk perubahan luas
areal tanam, bukan dalam hal peningkatan produktivitas, karena produktivitas
berkaitan erat dengan kondisi musim maupun faktor lain. Simpulan umum
menyatakan bahwa tanaman yang merupakan kebutuhan sekunder masyarakat
cenderung memiliki elastisitas penawaran yang rendah, sedangkan tanaman
komersial memiliki elastisitas penawaran yang tinggi.

Kebijakan Harga Negatif


Kebijakan harga yang positif diharapkan dapat mendorong peningkatan
produksi pertanian. Namun demikian, karena hasil pertanian merupakan
kebutuhan primer masyarakat (seperti makanan), kebijakan ini membuat biaya
produksi sektor industri dan jasa lain akan tinggi juga, sehingga akan
menghambat perkembangan produksi sektor industri dan jasa. Sektor ini
menghendaki adanya harga pangan yang murah, untuk memungkinkan menekan
tingkat upah di sektor itu.

Banyak negara mengambil kebijakan sebaliknya untuk menekan


keresahan mesyarakat yang diakibatkan oleh tingginya harga pangan dan produk
pertanian lainnya dengan melakukan kebijakan harga negatif agar sektor industri
dan jasa mampu berkembang. Tetapi, untuk mencegah agar produksi pertanian
tidak merosot, maka pemerintah mengenalkan program subsidi input dibarengi
dengan penyuluhan pertanian yang intensif. Dengan demikian, para petani tidak
terlalu dirugikan dengan meningkatnya produksi pertanian, dan pertumbuhan
sektor lain tidak terhambat.

Dari uraian diatas, jelas terdapat suatu konflik antara program bantuan
harga dan program subsidi input. Di satu pihak, program bantuan harga membuat
harga pangan dan produk pertanian mahal dan hasilnya dinikmati para petani,
tetapi akan menghambat perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Di lain

Dasar-dasar Keuangan Publik


22

pihak, program subsidi input lewat harga faktor produksi pertanian yang murah
akan mendorong produksi pertanian sehingga harga pangan akan murah dan
dapat mendorong perkembangan ekonomi lebih lanjut. Cara subsidi yang terakhir
ini menyebabkan pemerintah harus menyisihkan sebagian anggarannya untuk
membiayai subsidi. Meskipun dengan menyisihkan anggaran ini mengakibatkan
investasi di bidang lain, seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya, menjadi
berkurang, kebijakan ini juga diarahkan agar swasta dapat berkembang dengan
sendirinya akibat dukungan harga pangan yang murah. Cara ini, secara politis,
juga merupakan alternatif yang menjamin ketenangan masyarakat.

Kebijakan Penyangga (Buffer Stock Policy)


Dalam merumuskan kebijakan harga barang dan jasa publik umumnya,
dan produk pertanian khususnya, pemerintah menghadapi dilema kepentingan.
Di satu pihak, para konsumen mengharapkan harga pangan, khususnya, murah,
dan di lain pihak, para produsen selalu menginginkan agar hasil produksinya
dapat terjual dengan harga yang layak. Pemerintah berkewajiban melindungi
kedua kepentingan tersebut agar konsumen dan produsen tidak menderita.

Langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah adalah dengan


menentukan harga patokan berupa harga dasar (floor) dan harga maksimum
(ceiling). Harga dasar ditujukan untuk melindungi produsen agar harga produk di
pasar tidak turun lebih rendah dari harga yang ditetapkan, sedangkan harga
maksimum ditujukan untuk melindungi konsumen agar jangan sampai menderita
karena harga yang terlalu tinggi. Kebijakan ini terkenal dengan istilah kebijakan
penyangga (buffer stock policy).

Kebijakan penyangga dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut:

Gambar 3.2

Dasar-dasar Keuangan Publik


23

Pada awalnya, keadaan keseimbangan tercapai pada harga P ao dan Q ao.


Kemudian, bila penawaran bertambah, misal pada saat panen, kurva penawaran
bergeser ke kanan, misalnya bergeser dari S o menjadi S 1, dan harga cenderung
menjadi turun. Harga dapat saja bergerak lebih rendah dari P a2. Untuk mencegah
supaya harga turun tidak terlalu drastis, pemerintah turut membeli hasil panen,
sehingga kurva permintaan pasar bergeser kekanan menjadi D1 sampai memotong
kurva penawaran S 1 tepat pada harga dasar P a2. Keadaan sebaliknya dapat pula
terjadi, bila terjadi paceklik. Untuk melindungi konsumen, maka pemerintah dapat
mencegah naiknya harga komoditi dengan turut menjual produk pertanian ke
pasar.

Berhasil atau tidaknya kebijakan penentuan harga ini tergantung pada


tersedianya dana untuk operasi (sering disebut operasi pasar). Apabila dana
operasi terbatas, sedangkan harga cenderung merosot terus (dalam keadaan over
supply), maka pemerintah dapat saja tidak mampu melindungi produsen, atau
sebaliknya. Dengan demikian, kebijakan penentuan harga perlu dukungan
kebijakan lain, seperti kebijakan moneter.

Dasar-dasar Keuangan Publik


24

B A B IV

FUNGSI DAN AKTIVITAS


PEMERINTAH
DALAM PEREKONOMIAN

Fungsi Utama
emerintah sangat diperlukan dalam perekonomian dan berfungsi dalam

P mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan standar


kehidupan penduduk pada tingkat yang layak. Dengan melihat berbagai
kelemahan mekanisme pasar, fungsi pemerintah dapat dikelompokkan
sebagai berikut.

1. Fungsi Alokasi.
Yang dimaksud fungsi alokasi dalam kebijakan publik adalah fungsi
penyediaan barang publik atau proses alokasi sumber daya untuk
digunakan sebagai barang pribadi atau barang publik dan bagaimana
komposisi barang publik ditetapkan.
2. Fungsi Distribusi.
Yang dimaksud dengan fungsi distribusi dalam kebijakan publik adalah
penyesuaian atas distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin
pemerataan dan keadilan.
3. Fungsi stabilisasi.
Yang dimaksud dengan fungsi stabilisasi dalam kebijakan publik adalah
penggunaan kebijakan anggaran sebagai alat untuk mempertahankan
tingkat kesempatan kerja, stabilitas ekonomi dan laju pertumbuhan
ekonomi, dengan memperhitungkan akibat kebijakan pada perdagangan
dan neraca pembayaran.

Suatu kebijakan publik, misalnya pengenaan pajak dan pengeluaran


publik, dapat secara simultan diarahkan kepada tiga tujuan tadi. Permasalahan
utama adalah bagaimana merancang kebijakan anggaran sehingga tujuan yang

Dasar-dasar Keuangan Publik


25

berbeda-beda tersebut dapat dicapai secara lebih terpadu. Dalam the Wealth of
Nations, Adam Smith mencatat empat fungsi ‘pengoreksi’ dari pemerintah:

1. Tugas memproteksi suatu kelompok masyarakat dari pelanggaran dan


invasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lainnya.
2. Tugas memproteksi setiap anggota masyarakat dari ketidakadilan dan
dominasi yang dilakukan oleh anggota lain dalam masyarakat.
3. Tugas membentuk dan memelihara institusi publik agar memberi manfaat
yang tinggi dan pekerjaan publik yang karena sifatnya profit yang
diperoleh institusi tersebut tidak pernah mencapai tingkat pembayaran
kembali dari individu yang menyediakan dan, dengan demikian, tidak
dapat diharapkan bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut akan disediakan
dalam kuantitas yang tepat.
4. Tugas mempertemukan biaya yang diperlukan untuk mendukung
peraturan-peraturan.

Pedoman aktivitas pemerintah yang dipromosikan oleh Milton Friedman


adalah bahwa keterlibatan pemerintah harus dapat membuat dan memaksa
aturan-aturan umum yang mengatur perilaku para individu dan apabila
pemerintah memutuskan untuk campur tangan dalam aktivitas individu,
keterlibatan tersebut harus mempunyai tingkat yang minimal, misalnya tanpa
mengelola aktivitas (swasta tersebut), baik secara langsung atau tidak langsung.
Milton Friedman juga menyarankan pemerintah supaya membeli sumber daya
yang digunakannya dalam pasar, bukan mengendalikan/mengatur sumber daya
tersebut. Pada saat pemerintah memproduksi barang atau jasa, pemerintah harus
membebankan secara pro rata kepada pengguna, bukan bertransaksi dengan
pengguna. Aktivitas pemerintah, seharusnya, hanya berperan sebagai last resort,
dalam mendanai, mengatur dan menyediakan barang atau jasa yang gratis.

Alasan Keterlibatan Pemerintah dalam Ekonomi


Dalam situasi tertentu, mekanisme pasar mengarah pada alokasi sumber
daya yang efisien yang timbul pada saat tidak seorang pun dapat dipuaskan lebih
baik tanpa menyebabkan orang lain menderita kerugian (sering disebut efisiensi
Pareto). Namun demikian, suatu masyarakat dapat saja memilih alokasi yang tidak
efisien atas dasar kesetaraan atau kriteria lainnya. Kondisi inilah yang
menyebabkan adanya suatu intervensi pemerintah dalam operasi pasar bebas.

Ada dua argumen perlunya intervensi pemerintah yaitu kegagalan pasar


dan penekanan pada aspek keadilan.

Kegagalan pasar.
1. Ada beberapa barang publik yang bersifat non-rival dan non-excludable,
seperti pertahanan nasional dan penerangan jalan, yang membuat tidak
mungkin membebankan biaya penyediannya kepada para pengguna. Hal
ini menyebabkan kegagalan pasar dimana negara dapat saja mencoba
turut campur mengatasi permasalahan ini.
2. Konsumsi atau produksi barang/jasa publik mungkin menghasilkan suatu
akibat eksternal positif atau negatif kepada masyarakat yang tidak

Dasar-dasar Keuangan Publik


26

tercermin dalam harga barang. Tanpa intervensi pemerintah, pasar akan


memproduksi barang publik tersebut melebihi atau kekurangan,
tergantung pada apakah eksternalitas ini baik atau buruk.
3. Tidak bisa bergeraknya sumber daya yang produktif, terutama tenaga
kerja, dapat membantu mencegah pencapaian alokasi sumber daya yang
efisien.
4. Informasi yang tidak simetris dan tidak sempurna mungkin mengarah
pada penilaian yang salah atas barang dan jasa publik, dan dengan
demikian menyebabkan penawaran dan permintaan yang tidak tepat.
5. Akhirnya, kegagalan pasar juga berhubungan dengan permasalahan dari
seleksi yang tidak menguntungkan dan bahaya moral ketika pembeli atau
penjual bertindak secara eksklusif atas dasar mencari keuntungan bagi
dirinya sendiri.

Aspek keadilan
1. Kepedulian secara luas atas kebutuhan mengatasi kemiskinan secara lebih
serius harus menjadi perhatian oleh pemerintah.
2. Data empiris di seluruh dunia secara umum menyarankan bahwa
peningkatan keadilan memberikan kontribusi pada pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, pembangunan lebih cepat, dan kurangnya
kemiskinan.
3. Ketidakadilan sering menghasilkan ketidakamanan dan kejahatan,
eksternalitas negatif yang mempengaruhi pertumbuhan dan keadilan
sosial, secara nasional dan global.
4. Peranan sektor swasta dan kebutuhan kemitraan dalam kesempatan,
pemberdayaan dan proteksiperlu difasilitasi oleh pemerintah.
5. Penekanan pada aspek keadilan bukan berarti bahwa hanya negara yang
harus atau dapat memberikan kontribusi menekan kemiskinan. Tugas ini
berhubungan dengan penyediaan kesempatan, pemberdayaan dan
proteksi. Tiga dimensi pokok dari kemiskinan yang tidak dimiliki secara
eksklusif oleh sektor publik.
6. Sektor swasta dapat berperan aktif dalam menciptakan kesempatan
ekonomi (penciptaan lapangan kerja, kredit), mempromosikan tambahan
kepada anggota masyarakat (erat hubungannya kepada produsen dan
pekerja swasta), dan memberikan kontribusi untuk mengurangi
ketidakadilan melalui aktivitas yang berhubungan dengan pemerintah
dan partisipasinya dalam sektor swasta (rumah sakit umum dan sekolah
yang dananya dari swasta)

Dengan demikian, peran pemerintah terdiri dari:

Peran penyedia (Provider Role).


Monopoli yang alami dalam sektor tertentu seperti energi, tambang dan lain-lain,
saat sekarang dalam pertanyaan berkaitan dengan teknologi masa kini. Negara
harus menyediakan barang publik untuk menjamin stabilitas ekonomi makro,
keadilan, lingkungan yang bersih, penyelesaian konflik, perlindungan hak asasi,
dan stabilitas nasional. Namun demikian, tidak semua fungsi mensyaratkan
kehadiran negara sebagai penyedia barang atau jasa publik, dimana beberapa
diantaranya difasilitasi oleh peraturan dan penciptaan ruang gerak yang tepat.

Dasar-dasar Keuangan Publik


27

Peran Kemitraan (Partnership Role).


Diakui secara luas bahwa baik negara maupun sektor swasta tidak dapat berfungsi
secara tepat tanpa berfungsinya kedua sektor tersebut secara bersamaan. Pada
masa sekarang, lebih banyak kebutuhan negara dalam perannya sebagai regulator
dari mekanisme pasar dan sebagai fasilitator dari lingkungan kelembagaan dan
pengaturan yang kondusif atas pembangunan sektor swasta. Pemerintah dapat
menjadi mitra swasta dalam penyedia peraturan, pembangunan infrastruktur
dasar dan perlindungan dari risiko dan kerugian (misalnya asuransi).

Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian


Tingkat konsumsi dan produksi barang dan jasa publik oleh masyarakat
dapat dirubah oleh kebijakan publik. Kebijakan publik menggunakan sumber daya
yang mempunyai nilai yang lebih tinggi kepada masyarakat bila digunakan dalam
sektor swasta. Dalam kasus ini, para ekonom mengatakan bahwa kebijakan ini
tidak dalam kondisi pareto optimal. Hukum ekonomi mengatakan biaya yang naik
didasarkan pada fakta bahwa sumber daya cenderung mengarah pada kondisi
yang spesifik, sehingga sejumlah produktivitas hilang bila ditransfer dari kondisi
yang relatif baik kepada kondisi yang baik.

Kebijakan publik dapat mempengaruhi distribusi pendapatan nyata,


secara langsung dan tidak langsung. Pertanyaannya adalah siapa yang
memperoleh manfaat dan siapa yang menanggung beban dari suatu kebijakan
distribusi tertentu. Inilah yang dimaksud dengan true incidence dari kebijakan.
Sebagai contoh, kebijakan dalam upah minimum akan menyebabkan penerimaan
upah lebih tinggi kepada pekerja, tetapi kesempatan kerja total mungkin turun
karena kebijakan ini.

Siapa yang menanggung beban atas akibat diterapkannya kebijakan pajak


penghasilan badan? Apakah kepada pengusaha, pekerja atau konsumen? Dan
siapa juga yang menerima tanggung jawab akibat adanya pajak penjualan?
Konsumen atau pekerja? Beberapa kebijakan secara aktual menggeser ditribusi
pendapatan antara generasi sekarang dan generasi mendatang. Isu ini disebut
internerational transfer. Mungkin ada opprtunity cost dalam hubungannya dengan
efisiensi dalam merubah distribusi pendapatan, yakni memindahkan alokasi pasar
dari hak kekayaan.

Fungsi Alokasi.
Dilihat dari fungsi alokasi, suatu barang publik – yang berbeda sifatnya dengan
barang pribadi – tidak dapat disediakan melalui sistem pasar yang melalui
transaksi antara konsumen dan produsen secara individu. Sering, mekanisme
pasar berfungsi, namun tidak efisien. Alasan-alasan adalah seperti diuraikan
dibawah ini.

1. Akibat kegagalan mekanisme pasar, hubungan antara produsen dan


konsumen yang terjadi dalam mekanisme pasar tidak ada dan pemerintah

Dasar-dasar Keuangan Publik


28

lah yang harus bersedia memproduksi barang publik. Pemerintah harus


mengambil tindakan apabila mekanisme pasar tidak berjalan.
2. Akibat kegagalan mekanisme pasar yang lain adalah bahwa proses politik
akan menggantikan mekanisme pasar. Pemerintah harus menjamin bahwa
proses politik dalam pengambilan keputusan penyediaan barang publik
dapat terjadi secara efisien.

Barang pribadi dapat diproduksi dan dijual kepada pembeli swasta baik
oleh swasta maupun oleh perusahaan pemerintah. Sedangkan, barang publik
dengan cara yang sama dapat diproduksi oleh perusahaan swasta dan dijual
kepada pemerintah atau dapat juga diproduksi secara langsung oleh pemerintah,
seperti misalnya pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Masalah-masalah
yang timbul dalam fungsi alokasi adalah berapa banyak barang publik yang harus
disediakan oleh pemerintah dan jenis maupun kualitas barang yang perlu
disediakan oleh pemerintah.

Fungsi Distribusi
Dilihat dari fungsi distribusi, fungsi distribusi mempunyai sifat yang lebih
sulit dipecahkan dibanding fungsi alokasi dan merupakan permasalahan utama
dalam penentuan kebijakan publik. Lebih khusus, fungsi distribusi memainkan
peranan penting dalam kebijakan pajak dan transfer.

Faktor yang Menentukan Fungsi Distribusi


Tanpa adanya intervensi kebijakan, distribusi pendapatan dan kekayaan akan
tergantung pada ketersediaan sumber daya alam dan kepemilikan kekayaan.
Permasalahannya terletak pada aspek pemerataan dan keadilan. Apabila hukum
ekonomi pasar diberlakukan, penggunaan sumber daya yang efisien ditentukan
oleh nilai penetapan harga faktor produksi yang kompetitif dan distribusi
pendapatan keluarga ditentukan oleh proses pasar. Namun hal ini dipandang
sebagai suatu tingkat ketidakadilan yang besar, terutama dalam distribusi
pendapatan modal. Para ekonom sepakat bahwa dibutuhkan penyesuaian untuk
menentukan batas minimum kelompok berpenghasilan rendah. Proses
penyesuaian ini akan menimbulkan inefisiensi dan merupakan biaya, dan inilah
yang selanjutnya diperhitungkan dalam merancang kebijakan distribusi.

Distribusi Optimal.
Dalam ilmu ekonomi kesejahteraan modern berlaku prinsip bahwa suatu kondisi
ekonomi disebut efisien jika, dan hanya jika, peningkatan kesejahteraan seseorang
tidak akan merugikan orang lain. (Pareto Optimum). Kriteria ini tidak sama
artinya dengan suatu tindakan pendistribusian kembali atas sumber daya yang
ada kepada konsumen, tetapi kriteria ini digunakan untuk menilai tingkat efisiensi
pasar.

Distribusi yang adil mempunyai pengertian yang sangat dalam yang


menyangkut perimbangan sosial dan pertimbangan nilai. Dengan menyimpulkan
berbagai kriteria, pernyataan yang telah diterima secara luas adalah orang harus
dikenakan pajak sesuai dengan kemampuan mereka membayar.

Dasar-dasar Keuangan Publik


29

Sedangkan kaidah pemerataan mempunyai dua masalah. Pertama, hampir


tidak mungkin membandingkan tingkat utilitas masing-masing individu atas
pendapatannya, dan kedua, besarnya pendapatan yang tersedia tidak dapat
dipisahkan dengan cara mendistribusikan pendapatan tersebut. Simpulan umum
berkaitan dengan pemerataan adalah bahwa kebijakan distribusi akan mencakup
biaya efisiensi yang harus diperhitungkan.

Fokus perhatian distribusi terletak pada aspek posisi pendapatan relatif


yakni pemerataan secara keseluruhan. Secara lebih detail, aspek pemerataan
membahas pencegahan kemiskinan dan penentuan batas minimum kelompok
berpenghasilan rendah.

Instrumen Fiskal
Alternatif peralatan fiskal dalam fungsi distribusi adalah:

1. Skema pemindahan pajak yang menggabungkan pajak progresif, yaitu


pengenaan jenis pajak dimana rasio pajak terhadap penghasilan naik
dengan naiknya pendapatan.
2. Pajak penghasilan progresif yang digunakan untuk membiayai pelayanan
umum.
3. Kombinasi antara pajak atas barang mewah dengan subsidi terhadap
barang tidak mewah.

Dalam mempertimbangkan instrumen kebijakan, perlu diperhitungkan


bobot atau biaya efisiensi, yaitu biaya yang timbul akibat pilihan terhadap perilaku
konsumen atau produsen. Pemecahan optimal menghendaki suatu kombinasi
yang kompleks antara pajak dan subsidi. Konsekuensi pilihan instrumen fiskal
akan menunjukkan bahwa setiap perubahan harus diselesaikan dengan biaya
efisiensi yang minimum dan timbulnya suatu kebutuhan untuk menyeimbangkan
konflik antara tujuan pemerataan dan tujuan efisiensi.

Fungsi Stabilisasi
Akhirnya dilihat dari fungsi stabilisasi, fungsi stabilisasi dirancang untuk
mencapai tingkat kesempatan kerja, tingkat stabilitas harga, neraca pembayaran
yang sehat, dan pertumbuhan ekonomi.

Perlunya Kebijakan Stabilisasi.


Tanpa kebijakan stabilisasi pemerintah, perekonomian cenderung mengalami
fluktuasi, pengangguran dan inflasi. Meskipun demikian, faktor-faktor penyebab
ketidakpastian dapat dialihkan dari suatu negara ke negara lain, karena adanya
saling sifat salain ketergantuangan antar negara.

Tingkat kesempatan kerja dan tingkat harga tergantung dari tingkat


permintaan agregat dan output kapasitas berdasar harga yang berlaku.
Permintaan agregat merupakan akumulasi dari pengeluaran individu dan
perusahaan. Sedangkan keputusan pengeluaran dipengaruhi oleh pendapatan,

Dasar-dasar Keuangan Publik


30

kesejahteraan, penyediaan kredit dan pengharapan. Yang dibutuhkan adalah


meningkatkan permintaan agregat apabila ingin meningkatkan kesempatan kerja,
akan tetapi mengurangi permintaan apabila terjadi tingkat pengeluaran melebihi
output sehingga dapat menyebabkan inflasi. Kondisi stabil tidak ada dapat dicapai
secara otomatis.

Instrumen Kebijakan Stabilisasi.


1. Instrumen Moneter.
Meskipun mekanisme pasar berfungsi, para ekonom berpendapat
bahwa jumlah uang beredar harus diawasi oleh sistem bank sentral
dan disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi. Komponen kebijakan
moneter mencakup antara lain pembentukan cadangan wajib, tingkat
diskonto, kebijakan pasar terbuka dan pengendalian kredit selektif.
Instrumen moneter tidak dibahas secara detail pada buku ini.
2. Instrumen Fiskal.
Peningkatan anggaran belanja pemerintah yang bersifat ekspansi
akan meningkatkan permintaan pemerintah dan kemudian menjalar
ke sektor swasta. Penurunan pungutan pajak dapat juga bersifat
ekspansi, karena pendapatan yang dapat diterima (disposable income)
para wajib pajak lebih besar sehingga akan membelanjakan
pendapatannya dengan lebih besar. Peranan sektor publik yang
penting terletak pada bagaimana defisit anggaran dibiayai. Jika
kebijakan moneter longgar, pengaruh ekspansioner akan tinggi
karena defisit ditutup dari pinjaman. Sebaliknya, bila kebijakan
peredaran uang diperketat, pinjaman akan mempertinggi bunga
sehingga menghambat ekspansi pasar.

Koordinasi Fungsi Anggaran.


Kegiatan-kegiatan pemerintah dalam melaksanakan ketiga fungsi tersebut akan
tercermin dalam kebijakan anggaran, sehingga kebijakan anggaran, secara
simultan, mempunyai beberapa tujuan:

1. Peningkatan pelayanan pemerintah perlu diikuti dengan kenaikan pajak


(tujuan alokasi)
2. Distribusi pendapatan ke kelompok rendah/tinggi perlu diikuti
pengenaan pajak progresif atau sebaliknya (tujuan distribusi), dan
3. Kebijakan yang lebih ekspasioner diperlukan dengan menaikkan
pengeluaran publik atau dengan menurunkan pajak (tujuan stabilisasi)

Suatu kebijakan publik tertentu mungkin tidak dapat memenuhi tiga


tujuan sekaligus, sehingga dimungkinkan akan ada banyak pengecualian. Namun
demikian, suatu kebijakan selalu berupaya meminimumkan konflik antar masing-
masing tujuan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


31

B A B V

FUNGSI ALOKASI

Latar Belakang adanya fungsi alokasi


ntuk barang-barang pribadi (private goods), sistem pasar terjadi melalui

U transaksi antara konsumen dan produsen secara individual secara suka


rela dan sangat tepat untuk menggambarkan hubungan permintaan dan
penawaran. Namun untuk barang-barang publik (social goods), sistem pasar tidak
berlaku.

Sebagai ilustrasi, dapat dimisalkan bahwa kebutuhan yang dirasakan oleh


seseorang akan pakaian akan sangat berbeda dengan kebutuhan pakaian yang
dirasakan oleh orang yang berbeda. Apabila seseorang membeli satu set pakaian,
maka pakaian yang sama tidak akan tersedia untuk orang lain (konsumsi terhadap
barang tersebut bersifat bersaing).

Berbeda dengan kebutuhan seseorang terhadap, misalnya, penggunaan


atas jalan umum. Kebutuhan atas barang ini dirasakan secara bersama-sama,
begitu pula manfaat yang dihasilkan dengan adanya jalan umum tersebut tersedia
bagi banyak orang (tidak untuk satu konsumen). Apabila seseorang mengambil
manfaat dari adanya jalan umum tersebut, manfaat yang tersedia bagi orang lain
tidak akan berkurang.

Dari ilustrasi tersebut dapat dipahami bahwa mekanisme pasar sangat


cocok untuk menggambarkan penyediaan barang-barang pribadi. Mekanisme
pasar terjadi apabila ada suatu permintaan dari konsumen, kemudian produsen
akan menyediakan barang yang paling diinginkan oleh konsumen. Konsumen
akan berusaha mendapatkan barang yang mereka inginkan dengan harga yang
serendah-rendahnya, sedangkan produsen akan menjual barang dengan harga
yang setingi-tingginya. Mekanisme pasar akan membawa konsumen dan
produsen ke suatu titik harga tertentu.

Untuk barang seperti pakaian, aplikasi dari prinsip hubungan permintaan


dan penawaran seperti ini menjadi suatu pemecahan yang efisien. Akan banyak

Dasar-dasar Keuangan Publik


32

keuntungan yang didapat - terutama oleh produsen - apabila membatasi


konsumen ikut dalam sistem pasar dengan syarat mereka mau membayar.

Berbeda halnya dengan barang publik, akan sangat tidak efisien untuk
menghalangi seorang konsumen (yang tidak membayar) untuk ikut
memanfaatkan barang publik. Karena pemanfaatan barang publik oleh seseorang
tidak akan mengurangi manfaat yang dirasakan oleh orang lain. Dalam keadaan
demikian mekanisme pasar tentunya tidak berfungsi secara sempurna.

Konsumen biasanya tidak bersedia untuk membayar pemanfaatan atas


barang publik, karena manfaat yang akan dirasakan oleh setiap orang akan sama
saja, baik jika dia membayar ataupun tidak. Apalagi jika semakin banyak orang
yang menggunakan barang tersebut, manfaat yang dirasakan masing-masing
individu akan semakin tidak berarti apa-apa. Akibatnya tidak ada pembayaran
yang dilakukan secara sukarela. Dalam hal ini hubungan antara produsen dan
konsumen terputus dan pemerintah harus bersedia turut campur.

Efisiensi Pasar dan Kegagalan Pasar


Dalam suatu sistem ekonomi pasar, kriteria efisien dapat digunakan untuk
mengevaluasi alokasi sumber daya dimana semua pasar dalam kondisi persaingan
sempurna. Di sini, diasumsikan bahwa terdapat hak ekslusif terhadap semua
sumber daya produktif yang tersedia di pasar dan tidak ada individu yang
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga atas komoditi atau produk
yang diperjualbelikan. Harga atas suatu komoditi sudah ditetapkan atau harus
identik untuk semua pembeli dan penjual. Hal ini berarti tidak ada distorsi pasar
yang akan mengakibatkan adanya perbedaan harga antara yang diterima oleh
penjual dengan yang dibayarkan oleh pembeli.

Bila semua kondisi tersebut telah terpenuhi, sistem ekonomi pasar dapat
menjamin penggunaan sumber daya secara efisien dalam penyediaan barang
pribadi. Tentu saja, pandangan ini merupakan gambaran paling ekstrim dari
sistem pasar. Dalam kenyataannya banyak kesulitan yang terjadi, sehingga pasar
dapat menjadi ajang persaingan yang tidak sempurna. Distorsi yang disebabkan
oleh iklan, misalnya, akan mengakibatkan konsumen kekurangan informasi atau
dapat tersesatkan, dan hal ini berarti bahwa informasi yang dimiliki oleh kosumen
dan produsen tidaklah sama.

Selain itu, masih banyak permasalahan lain yang tidak dapat dipecahkan
oleh mekanisme pasar, sehubungan dengan pemenuhan kriteria efisien. Di sinilah
kemudian terjadi alasan perlunya aturan pemerintah guna menjamin efisiensi
dalam sistem ekonomi pasar. Alasan pertama adalah bahwa pemerintah
diharapkan dapat menjamin pasar agar dapat beroperasi secara efisien, terutama
dalam hal persaingan. Alasan kedua, pemerintah sendiri seharusnya bekerja keras
untuk mencapai tingkat efisiensi yang sama dengan pihak swasta, terutama dalam
hal biaya produk dan kualitas produk yang dihasilkannya. Alasan ketiga terletak
pada hubungan rasional dari produksi pemerintah atas barang-barang publik,
misalnya terhadap sejumlah barang tertentu yang menjadi preferensi konsumen,

Dasar-dasar Keuangan Publik


33

namun pasar gagal dalam memproduksinya. Efisiensi produksi pemerintah di sini


akan menjadi fokus pembahasan.

Barang publik.
Istilah barang publik digunakan untuk menggambarkan barang atau jasa
apapun yang disediakan oleh pemerintah, mulai lampu jalan sampai dengan
keamanan nasional. Para ekonom secara lebih spesifik menjabarkan istilah barang
publik sebagai barang-barang yang mempunyai sifat tidak bersaing (non rivalry)
dan tanpa pengecualian (non excludability). Kedua sifat tersebutlah yang kemudian
akan mengakibatkan kegagalan pasar dalam memproduksi secara efisien.

Sifat Tidak Bersaing


Sifat tidak bersaing berarti bahwa barang tersebut dapat dikonsumsi
sebanyak-banyaknya oleh seseorang tanpa akan mengurangi jumlah barang yang
tersedia untuk dikonsumsi oleh orang lain. Namun perlu dipahami, bahwa sifat
tidak bersaing bukan berarti bahwa manfaat yang diterima oleh setiap konsumen
adalah sama. Misalnya konsumsi atas lampu jalan, seseorang dapat terlindungi
dari gelapnya malam, tanpa mengurangi kebutuhan orang lain atas lampu yang
sama. Namun, orang yang tinggal disekitar wilayah lampu tersebut akan lebih
merasakan manfaatnya, dibandingkan dengan orang yang tinggal lebih jauh dari
wilayah lampu tersebut. Dari berbagai macam barang publik, terdapat barang-
barang yang mempunyai sifat tidak bersaing dengan kadar yang tinggi dan
rendah.

Rendah Tinggi

Jalan Lokal Pendidikan Pelayanan Kesehatan Udara bersih Keamanan Lampu Jalan

Gambar 5.1

Untuk barang publik seperti, jalan lokal, pelayanan kesehatan dan pendidikan,
terdapat sifat tidak bersaing yang rendah dalam konsumsinya. Semakin banyak
orang dalam suatu wilayah, akan ada kemungkinan sifat bersaing dalam
penggunaan barang publik tersebut. Sebaliknya, barang publik seperti lampu jalan
dan keamanan, sifat tidak bersaingnya tinggi.

Sifat Tanpa Pengecualian


Dimensi kedua dari barang publik adalah sifat tanpa pengecualian. Istilah
ini digunakan untuk menggambarkan ketidakmampuan untuk mencegah
seseorang yang tidak memberikan kontribusi (tidak membayar) ikut
mengkonsumsi barang publik. Misalkan, A tidak memberi kontribusi dengan
membayar pajak, akan sulit bagi pemerintah untuk mencegah orang tersebut agar
tidak menggunakan jalan umum, karena apabila pemerintah mencegah dengan
cara tidak membangun jalan di sekitar rumahnya, maka hal tersebut akan dapat
merugikan orang-orang di sekitarnya yang membayar pajak. Namun demikian,
tidak menutup kemungkinan sifat ini dihilangkan, jika biaya untuk mendapatkan

Dasar-dasar Keuangan Publik


34

kontribusi konsumen tidak lebih besar dari manfaatnya. Misalnya untuk tempat
rekreasi, pemerintah mungkin saja menarik bayaran dari para pengunjung, selama
biaya yang dikeluarkan untuk membayar staf penjaga tempat rekreasi tersebut
tidak lebih besar dari pendapatan yang diterima. Oleh karena itu, sama halnya
dengan sifat tidak bersaing, terdapat garis spektrum yang menggambarkan tinggi
rendahnya sifat tanpa pengecualian

Rendah Tinggi

Tempat Parkir Tempat Rekreasi Perpustakaan Udara bersih Pendidikan Jalan Lokal

Gambar 5.2

Barang publik versus barang pribadi


Gambar 5.3. dan 5.4 dibawah ini menguraikan tentang perbedaan antara
barang publik dan barang pribadi dalam suatu masyarakat yang diasumsikan
hanya terdiri dari dua kelompok individu, yaitu A dan B. Gambar 5.3 mewakili
barang pribadi yang mempunyai sifat bersaing dan pengecualian yang sangat
tinggi. Kurva permintaan pasar (Dt) diperoleh dengan menambahkan secara
horizontal kurva permintaan A (Da) dan kurva permintaan B (Db). Kurva
permintaan pasar Dt berhimpitan dengan kurva permintaan Db, selama tingkat
harga masih cukup tinggi, selanjutnya pada saat tingkat harga sudah cukup
rendah, A dapat masuk ke dalam pasar sehingga kurva permintaan pasar Dt
berbelok. Semua titik-titik dalam kurva permintaan pasar Dt merupakan gabungan
dari titik-titik harga dan kuantitas yang diminta dalam kurva perimtaan A dan B.

Kurva penawaran pasar SS memperlihatkan biaya marginal (MC) yang


dapat dibebankan kepada A dan B secara bersama-sama untuk berbagai output
dari barang pribadi. Perpotongan antara kurva SS dan Dt menentukan titik
ekuilibrium harga P1 dan titik ekuilibrium kuantitas Qt. Dengan catatan bahwa Qt
merupakan penjumlahan dari Qa (barang yang dibeli oleh A) dan Qb (barang yang
dibeli oleh B).

Kurva Permintaan Atas Barang Pribadi


P

MC
P1

Da Dt
Db

Qa Qb Qt Q Gambar 5.3.

Dasar-dasar Keuangan Publik


35

Gambar 5.4 memperlihatkan pola yang sama namun untuk barang publik.
Situasi yang berbeda terjadi di sini, karena barang publik mempunyai sifat tidak
bersaing dan tanpa pengecualian, sehingga barang yang dikonsumsi oleh A sama
jumlahnya dengan barang yang dikonsumsi B, baik manfaat yang diterima A lebih
besar maupun lebih kecil. Misalnya A sebagai warga kota Jakarta dapat
menggunakan seluruh jalan kota maka demikian juga halnya dengan B, meskipun
A memiliki mobil sedangkan B tidak. Oleh karena itu, dalam hal ini perbedaan
terjadi bukan pada kuantitas yang dikonsumsi oleh masing-masing orang, tapi
lebih kepada perbedaan dari manfaat marjinal dari setiap konsumen atau harga
yang dibayarkan oleh masing-masing konsumen.

Penyediaan Barang publik


Ketika pemerintah melakukan fungsi penyediaan barang publik, trade off
dari penyediaan barang publik oleh pemerintah dengan penyediaan barang
pribadi melalui mekanisme pasar dapat digambarkan dengan kurva kemungkinan
produksi. Gambar 5.5 menunjukkan alternatif kombinasi antara barang publik dan
barang pribadi, dengan asumsi seluruh sumber daya yang ada digunakan.

Kurva Permintaan Atas Barang publik

MC
P1
Pa Dt

Db
Pb
Da

Qb Qt Q

Gambar 5.4.

Barang pribadi adalah barang-barang yang diproduksi untuk dijual dan


tersedia di pasar, seperti makanan, pakaian, dan lain-lain. Sedangkan barang
publik adalah barang-barang yang tersedia tapi tidak untuk dijual di pasar, seperti:
jalan umum, pendidikan, keamanan nasional dan lain-lain.

Dasar-dasar Keuangan Publik


36

Kurva Kemungkinan Produksi


P

Penyediaan Batang Publik per Tahun


C
B

G2
A
G1

O X2 X1 M

Penyediaan Barang Pribadi per Tahun

Gambar 5.5

Titik A dalam gambar menunjukkan bahwa MX1 unit adalah jumlah


barang pribadi yang dikorbankan oleh masyarakat sehingga pemerintah dapat
menyediakan barang publik sejumlah OG1. Pengorbanan masyarakat merupakan
harga sumber daya yang seharusnya digunakan untuk memproduksi barang
pribadi digunakan oleh pemerintah untuk dapat menyediakan barang publik.
Sumber daya yang dikorbankan tersebut adalah harga yang harus dibayar oleh
masyarakat atau pajak yang diminta oleh pemerintah agar barang publik dapat
tersedia.

Peningkatan jumlah barang publik yang tersedia di pasar dalam satu


tahun dari OG1 ke OG2 (titik B) akan meminta penurunan dari jumlah barang
pribadi di pasar dari OX1 ke OX2, atau dengan kata lain meminta pengorbanan
lebih besar dari MX1 ke MX2, jika diumpamakan peningkatan jumlah barang
publik per tahun merupakan respon pemerintah atas peningkatan permintaan
masyarakat terhadap keamanan nasional. Jika untuk memenuhi kebutuhan
keamanan nasional tersebut pemerintah harus meningkatkan pajak penghasilan,
maka kualitas keamanan yang disediakan pemerintah akan meningkat dan
masyarakat akan merasa lebih aman. Namun di sisi lain, pengorbanan dari pihak
masyarakat terjadi dengan menurunnya kemampuan konsumsi atas barang-
barang pribadi.

Penyediaan Barang Melalui Anggaran

Sebagaimana telah diterangkan dalam bab sebelumnya, penyediaan barang publik


perlu adanya campur tangan pemerintah. Masalah yang timbul kemudian adalah
bahwa setiap individu seharusnya mau membayar atas setiap manfaat yang dia

Dasar-dasar Keuangan Publik


37

terima, namun karena manfaat yang diterima dari barang publik dirasakan oleh
banyak orang, maka orang tidak bersedia untuk membayar manfaat barang. Akan
timbul masalah tentang jenis dan kualitas barang seperti apa yang harus
disediakan oleh pemerintah. Masalah lain yang timbul, ketika pemerintah akan
menetapkan jumlah uang yang harus disumbangkan untuk memperoleh barang
publik.

Oleh karena itu, diperlukan proses politik untuk mengungkapkan


preferensi masyarakat kepada pemerintah tentang barang publik apa yang perlu
disediakan dan melengkapinya dengan sumber-sumber pembiayaan yang
dibutuhkan untuk membayar barang-barang publik tersebut. Untuk ini, dilakukan
proses pemungutan suara guna menetapkan keputusan perpajakan dan
pengeluaran publik.

Pengungkapan preferensi masyarakat kepada pemerintah dilakukan


melalui suatu proses pemungutan suara. Proses ini dimulai dengan pemahaman
dari anggota masyarakat tentang pentingnya memberikan suara mereka, karena
setiap keputusan pemerintah diambil mengikuti keputusan suara terbanyak.
Namun dalam prakteknya, sering anggota masyarakat merasa bahwa biaya yang
mereka keluarkan untuk menyatakan tuntutan mereka seringkali lebih besar dari
manfaatnya. Akibatnya, tidak cukup informasi yang disampaikan oleh masyarakat
kepada pemerintah.

Dasar pemikiran tentang komunikasi efektif antara pemerintah dan


masyarakat mengikuti logika kepentingan setiap individu dalam masyarakat.
Setiap orang akan dengan senang hati ikut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan politik – mulai dari sekedar memberikan suara, berkampanye,
menyumbang bahkan sampai keluar dari pekerjaannya – jika mereka merasa
bahwa ada akibat langsung dari kebijakan politik pemerintah kepada mereka.
Sementara itu, apabila suatu usulan kebijakan tidak berpengaruh langsung - atau
kecil pengaruhnya - masyarakat akan merasa enggan untuk ikut serta dalam
proses pengambilan keputusan tersebut, karena biaya yang mereka keluarkan
akan lebih besar dari manfaat yang akan mereka terima. Secara normatif,
masyarakat dalam sistem yang demokratis akan terhindar dari apatisme
anggotanya dalam proses pengambilan keputusan politik.

Agar dapat berfungsi sebagai mekanisme yang efisien dalam


mengungkapkan preferensi, maka proses pemungutan suara harus mengaitkan
keputusan perpajakan (sebagai alat pendanaan) dengan keputusan pengeluaran
atau belanja publik. Para pemberi suara kemudian akan dihadapkan pada suatu
pilihan diantara beberapa usulan pengeluaran publik berkaitan dengan
sumbangan pajak mereka. Pilihan para pemilih karena itu akan tergantung pada
pengetahuan mereka sendiri serta kesadaran mereka bahwa orang lain juga
menyumbang sesuai dengan rencana perpajakan yang dianut.

Keterbatasan Jangkauan Manfaat atas Barang publik


Pada dasarnya, barang publik disediakan untuk semua orang yang mempunyai
kepentingan atas barang tersebut. Namun dalam prakteknya, ada barang publik

Dasar-dasar Keuangan Publik


38

yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat di dalam negara (berskala


nasional) dan ada barang publik yang hanya dapat dimanfaatkan oleh sekelompok
orang tertentu (berskala lokal). Melihat sifatnya tersebut, barang publik berskala
nasional lebih tepat disediakan oleh pemerintah pusat, sementara barang publik
berskala lokal lebih tepat disediakan oleh pemerintah lokal atau pemerintah
daerah.

Barang publik berskala lokal dalam garis kontinum,seperti yang terlihat


pada gambar 5.1. dan 5.2., mempunyai sifat tidak bersaing yang rendah. Selain itu
dalam skala lokal akan lebih dimungkinkan untuk mengatasai permasalahan free
rider. Sebagai contoh, dalam suatu kelompok yang kecil, kontribusi seseorang baik
itu berupa waktu, uang, maupun pemberian suara akan dapat menciptakan
perubahan atas suatu keputusan. Berpartisipasi atau tidak berpartisipasi akan
menjadi sangat terlihat, sehingga akan lebih memperkecil timbulnya masalah free
rider.

Akan sangat mudah bagi pemerintah lokal untuk menarik kontribusi dari
para pengguna barang publik yang disediakan seperti tiket masuk tempat rekreasi,
karcis parkir, tol, atau retribusi pasar, dengan biaya tarip yang rendah. Bagi
pengguna juga tidak akan merasa keberatan membayar untuk dapat
menggunakan barang publik karena akan lebih jelas manfaat yang dapat mereka
peroleh bila dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan. Sebaliknya, bagi
yang sedikit atau tidak memberikan berkontribusi, maka akan sedikit atau bahkan
tidak ada sama sekali manfaat yang mereka dapatkan.

Dari sini dapat terlihat bahwa biaya marginal dari setiap tambahan
penggunaan atas barang publik ini sama dengan atau paling tidak mendekati nol.
Artinya para pengguna seharusnya akan lebih termotivasi untuk menggunakan
barang-barang ini sampai pada titik dimana manfaat marjinal yang mereka
peroleh sama dengan atau mendekati nol. Mereka akan terus menambah konsumsi
mereka atas barang publik ini sampai manfaat yang mereka dapatkan maksimal,
selama tidak ada tambahan biaya yang harus mereka keluarkan. Sebagai contoh,
seorang pengguna jalan tol dalam kota akan masuk dari pintu terdekat dengan
tempat dia berangkat dan keluar dari pintu terjauh, tapi paling dekat dengan
tempat tujuanya, karena dari manapun dia masuk dan dimanapun dia keluar
biaya yang harus dikeluarkan adalah sama. Berbeda dengan pengguna jalan tol
luar kota, dia akan berfikir dari pintu tol mana dia harus masuk dan di pintu tol
mana dia harus keluar, dengan mempertimbangkan kondisi kemacetan (biaya
oportunitas) di luar jalan tol. Hal ini disebabkan, untuk setiap tambahan pintu tol
yang dia lewati, harus ada tambahan biaya yang dikeluarkan.

Barang publik berskala lokal adalah barang-barang yang diproduksi oleh


pemerintah lokal, yang dalam garis spektrum mempunyai sifat tidak bersaing
yang rendah. Dari berbagai macam barang publik jenis ini, ada yang disebut
dengan istilah congestible goods, yaitu barang publik yang mempunyai sifat tidak
bersaing yang rendah yaitu hanya pada waktu penggunaannya padat dan
penggunanya mencapai jumlah tertentu. Sementara di waktu yang lain ketika
jumlah pengguna barang ini hanya sedikit, maka sifat tidak bersaingnya akan
menjadi tinggi. Sehingga, jika pemerintah lokal harus menarik kontribusi atas

Dasar-dasar Keuangan Publik


39

pengguna barang publik ini, maka biaya marjinalnya bisa akan lebih mahal dari
manfaat marjinalnya. Apabila dimungkinkan, pemerintah lokal tidak perlu
menarik kontribusi dari pengguna barang publik ini.

Gambar 5.6. memperlihatkan bahwa tambahan permintaan atas congestible


goods pada musim sepi jumlahnya sedikit (pergeseran dari titik O ke D1 sampai ke
D2), begitu juga biaya marginalnya yang tetap (jika dimungkinkan nol). Sebegitu
rendah permintaannya sehingga pemerintah lokal merasa tidak perlu ada
penarikan atas pengguna barang publik tersebut. Di lokasi perkantoran misalnya,
dimana pada hari-hari libur hampir tidak ada mobil yang datang berkunjung,
pemerintah dapat menghilangkan biaya parkir, sehingga tidak perlu juga ada
penjaga gerbang sehingga dapat mengurangi atau bahkan menghapus biaya
marjinal.

Strategi lain dalam memperlakukan congestible goods adalah dengan


menggunakan dua macam tarif, yaitu tarif tinggi pada musim padat dan tarif
tinggi pada musim sepi. Misalnya pada tempat-tempat rekreasi, pada musim
liburan dimana pengunjungnya sangat padat, dapat dikenakan tarif tinggi,
sedangkan untuk hari kerja atau sekolah, para pengunjung dapat menikmati
tempat rekreasi dengan biaya yang lebih rendah. Hal ini diharapkan dapat
menarik minat pengunjung untuk mau masuk ke tempat rekreasi tersebut,
sehingga biaya menempatkan penjaga gerbang akan tertutup dari pembayaran
tiket masuk.

Kurva Permintaan Congestible Goods

MC

P1

O D1 D2 Q1 Q
D3

Gambar 5.6.

Dasar-dasar Keuangan Publik


40

Efisiensi Penyediaan Barang publik oleh Pemerintah


Seorang ekonom Italia mengusulkan konsep efisiensi yang dikenal dengan
istilah Efisiensi Pareto (Pareto Efficiency). Efisiensi Pareto didefinisikan sebagai
suatu pengaturan ekonomi tertentu adalah efisien jika di sana tidak dapat
dilakukan pengaturan kembali yang akan menyebabkan seseorang menjadi lebih
baik tanpa memperburuk posisi orang lain. Jadi tidaklah mungkin dalam keadaan
ini untuk mengubah metode produksi, kombinasi barang yang diproduksi, atau
besarnya sektor pemerintah dalam usaha untuk membantu seseorang atau
kelompok tanpa merugikan orang atau kelompok lain. Jika perubahan itu masih
dimungkinkan maka susunan terdahulu belumlah efisien dan peningkatan
efisiensi dapat diperoleh dengan melakukan perubahan.

Kaidah efisiensi mengarah pada terpenuhinya kondisi-kondisi tertentu


agar tercapai pemecahan alokasi yang efisien. Secara sederhana, kita akan
mempertimbangkan suatu perekonomian dengan hanya ada dua konsumen, yaitu
A dan B serta dua macam barang yaitu X dan Y. Kondisi-kondisi berikut harus
terpenuhi:

1. Efisiensi menghendaki bahwa dengan menggunakan teknologi terbaik,


jumlah tertentu barang X harus diproduksi sedemikian rupa sehingga
memungkinkan diproduksinya Y sebanyak-banyaknya pada saat yang
sama dan demikian pula sebaliknya. Jika suatu teknologi memungkinkan
diproduksinya 10 unit barang X dan 8 unit barang Y, sedangkan teknologi
lain memungkinkan diproduksinya 10 unit barang X dan hanya 5 unit
barang Y, maka jelas bahwa teknologi pertama yang akan terpilih.
2. Tingkat substitusi marjinal dalam mengkonsumsi barang X dan Y harus
sama baik bagi konsumen A maupun B. Artinya tingkat dimana A dan B
berkeinginan untuk menukarkan unit terakhir barang X dengan barang Y
haruslah sama. Jika A ingin memberikan satu unit barang X untuk dua
barang Y, sedangkan B mau menukarkan tiga unit barang Y untuk satu
unit barang X, maka hal ini akan menguntungkan keduanya bila
melakukan pertukaran, dimana A akan dapat meningkatkan konsumsinya
terhadap barang Y sedangkan B dapat meningkatkan konsumsinya
terhadap barang X, sampai tercapai tingkat substitusi marjinal yang sama.
3. Tingkat substitusi marjinal barang X untuk barang Y dalam konsumsi
haruslah sama dengan tingkat transformasi marjinal di dalam produksi.
Tingkat transformasi marjinal dapat didefinisikan sebagai suatu tambahan
unit barang X yang dapat diproduksi bila produksi barang Y dikurangi
satu unit. Jadi jika tingkat substitusi marjinal di dalam konsumsi adalah 3X
dan 2Y, sedangkan tingkat transformasi marjinal di dalam produksi
adalah 3X untuk 1Y, maka akan lebih diinginkan untuk meningkatkan
output barang X dan mengurangi barang Y sampai kedua tingkat tersebut
menjadi sama.

Jika kondisi-kondisi di atas terpenuhi seluruhnya, maka menurut pengertian


Pareto, alokasi sumber daya akan menjadi efisien.

Dasar-dasar Keuangan Publik


41

Alokasi yang Efisien Melalui Mekanisme Pasar


Sekarang kita mempertimbangkan suatu kondisi dimana baik barang publik
maupun barang pribadi diproduksi. Bagi barang pribadi yang tersedia melalui
mekanisme pasar dimana produsen akan memproduksi barang-baranng yang
paling diinginkan oleh konsumen (preferensi konsumen jelas ternyatakan),
produsen akan memaksimalkan keuntungan dengan menggunakan metode biaya
sekecil mungkin (memenuhi kondisi 1). Selanjutnya, konsumen akan
mengalokasikan anggaran belanjanya diantara barang-barang tersebut sedemikian
rupa sehingga menyamakan tingkat substitusi marjinal mereka dengan rasio harga
barang (memenuhi kondisi 2). Harga yang sama dibayar oleh semua konsumen,
tetapi jumlah konsumsinya berbeda, tergantung pada selera dan pendapatan
mereka. Penjual dalam upayanya untuk memaksimalkan manfaat akan
menyamakan biaya marjinal dengan penerimaan marjinal yang dalam keadaan
bersaing juga akan menyamakan biaya marjinal dengan harga atau pendapatan
rata-rata (memenuhi kondisi 3). Dari sini, kita dapat melihat bahwa mekanisme
pasar menjamin terlaksananya penggunaan sumber daya yang efisien.

Pemecahan masalah efisiensi sangat dimudahkan dengan menggunakan


mekanisme pasar, karena disini konsumen didorong untuk menyatakan preferensi
mereka, sehingga produsen termotivasi untuk memproduksi apa yang diinginkan
oleh konsumen. Ini adalah kelebihan dari the invisible hands sebagaimana yang
dikemukakan pertama kali oleh Adam Smith. Namun kembali kepada masalah
bahwa tidak semua barang bisa disediakan melalui mekanisme pasar, oleh
karenanya harus disediakan oleh pemerintah. Pemecahan masalah efisiensi
kembali perlu untuk ditemukan, sebagaimana pertama kali pernah dikembangkan
oleh Samuelson, ditunjukkan melalui beberapa langkah sebagai berikut.

Alokasi yang Efisien Atas Barang publik


Seperti diperlihatkan dalam gambar 5.3 dimana kondisi seluruh sumber daya yang
ada dapat digunakan untuk memproduksi barang pribadi, penyediaan barang
publik oleh pemerintah akan menyebabkan trade off dengan penyediaan barang
pribadi melalui mekanisme pasar. Artinya, setiap penyediaan atas barang publik
harus ada pengorbanan dari sumber-sumber daya yang seharusnya dapat
digunakan untuk memproduksi barang pribadi.

Selanjutnya, jika kita perhatikan dalam gambar 5.7 dibawah ini, kita akan
melihat bahwa kurva kemungkinan produksi pada sumbu XY paling atas sekali
lagi mencatat kombinasi barang pribadi dan barang publik yang dapat diproduksi
dengan menggunakan seluruh sumber daya yang tersedia. Sumbu XY pada
gambar bagian tengah memperlihatkan jumlah barang pribadi dan publik yang
dikonsumsi oleh individu A, dan sumbu XY pada gambar bagian bawah
memperlihatkan jumlah barang pribadi dan publik yang dikonsumsi oleh individu
B. Karena sifat barang publik yang tidak bersaing dan tanpa pengecualian, maka
dapat diasumsikan bahwa jumlah barang yang dikonsumsi dari setiap individu
adalah sama, sehingga kedua individu tersebut (A dan B) akan berada pada titik
yang sama pada sumbu horizontal, tetapi mereka dapat mengkonsumsi barang
pribadi dengan jumlah yang berbeda, sehingga keduanya akan berada pada titik
yang berbeda pada sumbu vertikal.

Dasar-dasar Keuangan Publik


42

Akan tetapi, titik-titik ini akan berhubungan dengan kondisi bahwa


jumlah barang X yang dikonsumsi oleh A dan B harus sama dengan output total
barang X. Sebagai ilustrasi, jika A berada pada titik G pada gambar di bagian
tengah, artinya A mengkonsumsi barang publik sebanyak OF dan barang pribadi
sebanyak FG. Dari gambar bagian atas, diketahui bahwa kombinasi output yang
paling efisien meliputi barang publik sebanyak OF dan barang pribadi sebanyak
FE. Karena FG dikonsumsi oleh A maka jumlah yang tersisa bagi B sama FE-FG =
FH, sehingga menempatkan B pada titik H pada gambar bagian bawah.

Selanjutnya kita akan melihat pada tingkat kesejahteraan terbaik untuk A


dan B. Untuk A misalnya dinyatakan oleh kurva indiferen ia2 pada gambar bagian
tengah, menunjukkan bahwa jika A berada pada titik G maka B akan berada pada
titik H pada gambar di bagian bawah. Kemudian jika A bergerak sepanjang ia2 ke
titik P, T, dan V, berdasarkan alasan yang sama akan menempatkan B pada titik L,
Z dan K. Jika A bergerak sepanjang ia2 dari tititk W ke kiri, maka B akan berpindah
ke kiri sepanjang ULK. Bagi A, semua titik sepanjang ia2 akan sama baiknya,
kesejahteraan A akan menjadi maksimal apabila A mendapatkan suatu titik yang
akan dapat membuat B menjadi lebih baik. Hal ini akan terjadi pada titik L,
dimana ULK bersinggungan dengan kurva indeferen ib4 dari B pada gambar
bagian bawah. Inilah kurva tertinggi yang dapat dicapai oleh B. Jika A berada
pada kurva indeferen ia1 pemecahan terbaik adalah membiarkan A dan B pada
titik P dan L, dimana output total barang publik (yang paling efisien) sejumlah
ON, sedangkan total output barang pribadi sebanyak NM akan dibagi antara A
dan B sehingga A menerima sebanyak NP dan B menerima sebanyak NL.

Jika utilitas A berubah lagi, misalnya ke kurva ia3, maka kita dapat
mengulangi prosedur yang sama untuk B. Dalam setiap kasus, kita akan
menemukan posisi baru bagi B pada gambar di bagian bawah (dihubungkan
dengan ULK) dan satu hasil optimal baru (dihubungkan kepada L). Dengan cara
ini, kita akan memperoleh serangkaian pemecahan yang berkaitan dengan
berbagai tingkat kesejahteraan untuk A dan B. Semua ini adalah efisien menurut
pemikiran Pareto dan memenuhi kondisi kesamaan di antara tingkat substitusi
marjinal di dalam konsumsi dan tingkat transformasi marjinal di alam produksi.

Dasar-dasar Keuangan Publik


43

Jumlah Total Barang Pribadi

M
E

O N F Q
Jumlah Total Barang publik
Konsumsi A
atas barang
pribadi
J

T ia3
P G W
ia2

R ia1

N F U
Konsumsi A atas barang publik
Konsumsi B
atas barang
pribadi

ZL

K ib3
ib2

ib1

N F U
Gambar 5.7 Konsumsi B atas barang publik

Dasar-dasar Keuangan Publik


44

B A B VI

FUNGSI DISTRIBUSI

S
eperti telah dibahas dalam bab sebelumnya, terdapat dua masalah pokok
dalam penggunaan sumber daya yang optimal yaitu masalah penggunaan
sumber daya yang efisien dan masalah pendistribusian sumber daya
tersebut dengan adil. Dalam pembahasan terdahulu penekanan lebih pada
efisiensi, yaitu tentang bagaimana pengalokasian sumber daya diantara berbagai
kebutuhan produksi yang saling bersaing guna mencapai suatu tingkat hasil
(utilitas atau kepuasan) tertentu. Pertanyaannya kemudian adalah apakah ada
distribusi yang adil atau merata? Bagaimana keadaan distribusi yang adil dan
merata itu yang dimaksud diatas?.

Ketika istilah efisiensi berada dalam suatu area yang dapat dikatakan
mendekati nilai obyektif, istilah keadilan berada dalam suatu area yang sangat
berlawanan. Istilah keadilan lebih dekat pada nilai normatif daripada obyektif.

Dalam ilmu ekonomi, teori distribusi biasanya mengacu pada teori


mengenai peranan faktor produksi, yaitu teori penetapan harga faktor produksi
dan pembagian pendapatan nasional dari penghasilan atas tanah, tenaga kerja dan
modal. Teori ini memainkan peranan yang sangat penting dalam analisis ekonomi,
namun demikian penekanan teori peranan produksi lebih pada pengalokasian
yang efisien. Agar alokasi sumber daya menjadi efisien maka jumlah faktor
produksi yang digunakan harus sedemikian rupa sehingga nilainya sama dengan
nilai biaya marjinal.

Walaupun demikian, teori efisiensi alokasi faktor produksi ini bukan teori
fungsi distribusi. Sebagai contoh, alokasi faktor produksi dapat dikatakan efisien
apabila dasar penetapan harga faktor produksi juga efisien, tanpa memperhatikan
masalah distribusi akhir dari hasil penjualan produksi tersebut di pasar.
Sedangkan, penekanan utama dari teori fungsi distribusi adalah pada bagaimana
pendistribusian hasil produksi kepada individu-individu atau keluarga-keluarga.
Oleh karenanya, masalah distribusi pendapatan terhadap individu maupun
keluarga harus dibahas lebih lanjut.

Dasar-dasar Keuangan Publik


45

Konsep Keadilan
Idealnya, sistem perpajakan dan belanja publik harus dapat menjamin
terciptanya suatu pengorbanan yang adil dari setiap warga negara, bukan dalam
ukuran rupiahnya namun lebih pada utilitasnya. Sehingga apabila ada dua
kelompok ekstrim dalam masyarakat, si miskin dan si kaya, akan terasa sangat
logis jika standar adil dalam pengorbanan dipenuhi melalui sistem yang menjamin
bahwa kontribusi si miskin harus lebih kecil dari kontribusi si kaya.

Selanjutnya, masih dalam konteks ideal, fungsi pendistribusian oleh


pemerintah dapat mencakup proses penarikan dana (melalui pajak) dari si kaya
dan mentransfernya kepada si miskin baik itu dalam bentuk uang ataupun jasa.
Namun pada kenyataannya, sebagian besar pendistribusian yang dilakukan
pemerintah tidak menguntungkan bagi si miskin, melainkan tetap lebih memihak
kepada si kaya.

Keadilan merupakan isu sentral dalam sektor ekonomi dan kebijakan


publik. Apakah ada suatu cara untuk mendefinisikan keadilan? Pertanyaan ini
telah memicu munculnya beberapa pemikiran terbaik dari para ekonom dalan
kurun waktu dua abad terakhir ini.

Konsep Keadilan Horizontal


Salah satu jawaban atas dilema dalam mendefinisikan dan mengukur keadilan
adalah konsep keadilan horizontal. Dalam konsep ini, disumsikan bahwa setiap
orang memiliki kapasitas yang sama untuk menikmati pendapatan, atau paling
tidak kapasitasnya berada dalam suatu interval tertentu. Oleh karena itu, dari
setiap orang akan ditarik pajak dengan jumlah yang sama, pemerintah akan
menyediakan sejumlah barang publik yang sama pula.

Permasalahannya adalah bahwa dalam suatu perekonomian, tidak hanya


sekedar persoalan pendapatan. Pendapatan sendiri harus mencakup masalah
seluruh pendapatan seumur hidup seseorang, bukan hanya pendapatan dalam
satu tahun. Selain itu, hal lain yang mungkin perlu dimasukkan kedalam
pertimbangan adalah masalah kekayaan, jumlah anggota keluarga, umur, atau
kondisi-kondisi khusus lainnya seperti ketidakmampuan (cacat), dan kondisi
kesehatan seseorang. Jadi, secara umum, pengukuran menggunakan konsep
keadilan horizontal sulit ditemukan. Contoh konkrit dari konsep ini dapat
ditemukan pada tiket masuk suatu tempat rekreasi yang tidak membedakan bagi
setiap orang. Jadi, setiap orang dianggap sama, tidak perduli kaya atau miskin, tua
atau muda, cacat atau normal dan sebagainya.

Konsep Keadilan Vertikal


Konsep kedua dalam mengukur keadilan adalah konsep keadilan vertikal. Dalam
konsep ini, keadilan berarti memperlakukan setiap orang berbeda disesuaikan
dengan kondisinya masing-masing. Dasar pengukuran dapat berupa
pendapatannya, kekayaannya, dan kebutuhan atau kemampuannya untuk
membayar. Oleh karena itu, melalui konsep ini, jumlah pajak yang ditarik dari

Dasar-dasar Keuangan Publik


46

setiap orang tidaklah sama, namun disesuaikan dengan kondisi mereka. Tarif
pajak progresif - yang akan dibahas lebih lanjut di bagian mendatang -
merupakan salah satu contoh konkrit dari konsep keadilan vertikal. Konsep
keadilan vertikal juga tercermin dalam metode pengujian rata-rata yang
digunakan bagi banyak program pemerintah, seperti pembebasan atau
pengurangan biaya sekolah, dan subsidi perumahan dan kesehatan bagi rakyat
miskin. Kategori rakyat miskin adalah mereka yang memiliki pendapatan rata-rata
– berdasarkan uji rata-rata – di bawah tingkat pendapatan tertentu yang
ditetapkan oleh pemerintah.

Salah satu kesulitan dalam menerapkan konsep keadilan vertikal adalah


bagaimana kebijakan publik dapat menetapkan dasar yang dapat dijadikan
pedoman bagi pengukuran ketidaksamaan kondisi (misalnya pendapatan)
seseorang. Bagaimana cara mengukur perbedaan jumlah pendapatan seseorang
jika harus dikaitkan dengan perbedaan kemampuan orang tersebut dalam
membayar pajak. Apakah seseorang yang mempunyai pendapatan dua kali
pendapatan orang yang lain berarti bahwa orang tersebut mempunyai
kemampuan membayar dua kali juga atau tidak. Selanjutnya, dimana harus
menetapkan batas suatu jumlah pendapatan sehingga dapat dikatakan bahwa
jumlah tersebut mempunyai kemampuan membayar pajak lebih rendah atau lebih
tinggi. Apakah seseorang yang mempunyai jumlah pendapatan Rp 50.000.000,00
lebih rendah kemampuan membayar pajaknya dibandingkan dengan seseorang
yang mempunyai pendapatan Rp 50.000.001,-, sehingga pajak penghasilan
menetapkan tarif yang berbeda.

Prinsip Kompensasi
Terakhir, konsep ketiga dalam upaya menginterpretasikan keadilan jatuh pada
konsep prinsip kompensasi. Keadilan diterjemahkan sebagai optimalisasi pareto
yang menyatakan bahwa tidak mungkin merubah kondisi seseorang menjadi lebih
baik, tanpa menyebabkan kondisi orang lain sebaliknya (lebih buruk). Jadi dalam
konsep ini akan tercipta peraturan atau kebijakan yang mau tidak mau akan
terdapat pihak yang menang dan kalah.

Ketidakmampuan untuk membandingkan utilitas dari setiap orang,


menyebabkan suatu keputusan atau perubahan kebijakan sangat sulit untuk
dibuat tanpa mengakibatkan adanya pihak-pihak yang diuntungkan dan pihak-
pihak yang dirugikan. Menyadari hal ini, para ekonom mencari beberapa kriteria
untuk pengambilan keputusan dimana kondisi Pareto optimal tidak mungkin
dapat dicapai. Kriteria ini akan memandu pengambil keputusan untuk memilih
keputusan terbaik kedua setelah Pareto optimal. Salah satu kriteria yang paling
sering digunakan adalah prinsip kompensasi yang menawarkan suatu pedoman
kasar untuk memilih dari beberapa alternatif kebijakan dengan prinsip bahwa
seseorang akan menjadi lebih baik atau sejahtera.

Prinsip kompensasi sebagian dapat terlihat dalam kebijakan perdagangan.


Contoh penurunan secara bertahap terhadap hambatan perdagangan internasional
akan memberikan keuntungan bagi para konsumen dan eksportir di atas beban
para tenaga kerja dan produsen importir dalam industri yang bersaing. Namun

Dasar-dasar Keuangan Publik


47

kebijakan ini tetap diinginkan karena secara total, kesejahteraan publik ini akan
lebih menguntungkan. Seandainya hambatan perdagangan tetap dipertahankan
sehingga tetap ada dinding yang membatasi suatu negara dalam bertransaksi
dengan negara lain, maka tetap saja akan ada pihak-pihak yang diuntungkan
sebagai pemenang dan pihak-pihak yang dirugikan sebagai yang kalah.

Faktor-Faktor yang Menentukan Distribusi


Dalam ekonomi pasar, distribusi pendapatan ditentukan oleh penjualan
faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal. Distribusi pendapatan tenaga kerja
berkaitan dengan distribusi kemampuan sekaligus keinginan tenaga kerja yang
bersangkutan untuk memperoleh pendapatannya. Sedangkan distribusi
pendapatan modal mencakup distribusi kesejahteraan, sebagaimana telah
ditentukan oleh warisan, pola perkawinan, pola hidup dan simpanan semasa
hidup. Dari distribusi pendapatan tenaga kerja dan modal terkait dengan investasi
pendidikan, yang merupakan pengaruh dari tingkat upah yang dapat dicapai oleh
seseorang.

Selain bergantung pada penurunan dari faktor-faktor produksi tersebut,


distribusi pendapatan juga bergantung pada faktor harga. Dalam persaingan
sempurna, tingkat harga sama dengan nilai dari faktor produk marjinal, oleh
karenanya harga-harga tersebut bergantung langsung pada sejumlah variabel
seperti faktor penawaran, teknologi, dan preferensi pelanggan. Namun sebaliknya,
dalam banyak kasus, tingkat pengembalian lebih ditentukan oleh pasar persaingan
tidak sempurna dimana faktor-faktor institusi seperti, struktur gaji, hubungan
keluarga, status sosial, ras dan lain-lain, masih memainkan peran yang penting.
Oleh sebab itu, tingkat pendapatan dari berbagai macam pekerjaan mungkin
berbeda sejalan dengan pertimbangan status dibandingkan dengan produk
marjinal. Begitu pula dengan kesempatan seseorang memperoleh pekerjaan akan
lebih bergantung pada hubungan kekeluargaan dibandingkan dengan
kemampuan produktifitasnya, dan akhirnya pola pernikahan juga menjadi faktor
terpenting dalam pendistribusian pendapatan.

Distribusi pendapatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor tersebut di atas,


menunjukkan tingkat ketidakadilan yang sangat menyolok. Hal ini dapat dilihat
dengan membandingkan prosentase dari pendapatan yang diperoleh dengan
prosentase rumah tangga yang menghasilkan. Perkembangan selanjutnya
menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan meningkatnya ketidakadilan dalam
pendistribusian pendapatan (Musgrave, 1991).

Distribusi Sebagai Suatu Kebijakan


Jika sebelumnya, pembahasan distribusi lebih terfokus sebagai hasil dari
perekonomian pasar, kali ini pembahasan akan di fokuskan pada distribusi
sebagai hasil dari suatu kebijakan.

Setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, meskipun tidak secara


langsung, tetap mempunyai dampak distribusional. Misalnya, kebijakan mengenai
anti trust atau anti monopoli sebenarnya dirancang untuk mengefisienkan pasar,

Dasar-dasar Keuangan Publik


48

namun secara tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan modal dan tenaga
kerja pada industri yang terkait dengan kebijakan tersebut. Selain itu, pendapatan
riil dari konsumen yang menggunakan produk tersebut juga akan ikut
terpengaruh. Contoh lain adalah kebijakan program investasi pemerintah - seperti
pembangunan jalan yang tujuannya untuk menyediakan barang publik kepada
masyarakat - akan mempengaruhi kesejahteraan berbagai kelompok masyarakat
dari segi ekonomi dan tentunya pola distribusi.

Oleh karena itu, perancangan kebijakan publik seharusnya juga


mempertimbangkan masalah distribusi. Namun sayangnya, sampai saat ini analis
ekonomi belum dapat menetapkan standar distribusi mana yang sebenarnya
menjadi patokan, yaitu apa yang seharusnya menjadi kriteria bagi distribusi yang
adil dan wajar. Tetapi, karena masalah distribusi sangat erat kaitannya dengan
permasalahan kebijakan ekonomi secara dominan terhadap politik ekonomi,
semestinya para ekonom yang berurusan dengan kebijakan umum pemerintah
tidak boleh melepaskan pemikiran mereka dari masalah keadilan dalam distribusi
pendapatan.

Pemecahan atas Distribusi yang Adil dan Merata


Seandainya asumsi-asumsi yang mendasari berbagai konsep keadilan
dapat digali kemudian konsekuensinya dapat diamati sehingga dapat dipilih satu
konsep tertentu untuk diterapkan, maka masalah distribusi akan menjadi lebih
sederhana. Namun karena belum ada alasan atau nilai-nilai yang terpilih sebagai
dasar dalam menetapkan struktur masyarakat yang baik, maka masalah ini tetap
belum terpecahkan.

Jika diperhatikan, berbagai pendekatan dalam setiap konsep keadilan


tidak perlu diterapkan secara murni, tetapi dalam perpaduan satu sama lain.
Misalnya saja, prinsip keadilan yang dianut menginginkan tidak ada satu anggota
masyarakat pun yang miskin, namun kebijakan penarikan pajak berdasarkan pada
prinsip keadilan horizontal baru akan diterapkan jika memang kondisi ini sudah
tercapai.

Redistribusi
Sebelumnya pembahasan lebih berfokus pada pertanyaan dasar mengenai
apa yang merupakan distribusi yang adil dan merata. Pertanyaannya sekarang
adalah perlu tidaknya untuk mempertimbangkan atau bahkan menanggulangi
masalah redistribusi, yaitu sampai sejauh mana dan dengan cara bagaimana
mengubah keadaan distribusi yang ditentukan oleh pasar dan lembaga publik
yang ada saat ini. Hal ini bisa dicapai melalui kebijakan redistribusi yang
ditetapkan melalui proses anggaran. Selanjutnya, hasil dari kebijakan ini dapat
dilihat melalui respon dari setiap pihak yang dirugikan atau diuntungkan dari
proses tersebut . Pada gilirannya, hal ini bisa mempengaruhi bagian dari
pendapatan nasional yang tersedia untuk redistribusi dan juga bisa menimbulkan
biaya yang tentunya harus dipikul.

Dasar-dasar Keuangan Publik


49

Sebagian orang akan menolak adanya kebijakan redistribusi jika hal


tersebut merupakan kebijakan wajib dari pemerintah. Namun, hal sebaliknya
sering kali terjadi jika redistribusi didanai melalui kontribusi sukarela, seperti
penggalangan dana di mesjid, gereja, organisasi nir laba dan sumbangan sosial
individu. Hal ini dapat meredistribusi posisi pendapatan atau kekayaan yang telah
ditentukan oleh kekuatan pasar. Jika kegiatan sukarelawan ini cukup untuk
membuat perubahan yang dapat diterima, dimana terjadi penurunan atas tingkat
kemiskinan dan ketidakadilan dalam masyarakat, maka campur tangan
pemerintah tidak lagi dibutuhkan. Tetapi apakah mungkin cukup
menggantungkan keputusan redistribusi ini kepada individu atau kelompok sosial
saja, apakah menjamin bahwa perubahan yang terjadi akan optimal bagi
masyarakat. Rasanya hampir mustahil, karena akan sangat mudah bagi setiap
orang untuk menghindar dari membayar suatu sumbangan sukarela (menjadi free
rider), terlebih dalam kelompok masyarakat yang besar. Didalam masyarakat yang
kecil pun, orang dapat tetap menghindar dari menyumbang secara sukarela,
meskipun hal tersebut akan lebih terlihat.

Menyamakan Kepentingan Pembayar Pajak dan Penerima Pajak


Pembayar pajak – dalam kasus kebijakan redistribusi oleh pemerintah – mungkin
mempunyai tujuan dan kepentingan yang berbeda dengan para penerima pajak.
Secara umum, para pembayar pajak akan lebih tertarik untuk mendapatkan
keadilan atas kesempatan dan memastikan apakah dana yang telah mereka
keluarkan dibelanjakan dengan seharusnya. Sementara itu di pihak penerima
pajak – katakanlah rakyat miskin – lebih tertarik untuk memperhatikan keadilan
atas hasil dan memiliki fleksibilitas dalam menggunakan sumber-sumber dana
yang mereka dapatkan. Kedua kelompok ini akan memberikan suaranya, dan
melakukan lobi politik untuk mempengaruhi pemerintah dengan berbagai cara.
Pertanyaan berikutnya bagi pemerintah adalah apakah perhatian mereka terkait
dengan konsep redistribusi, atau apakah harus lebih terpusat pada keadilan atas
kesempatan atau keadilan atas hasil.

Keadilan atas kesempatan dapat berupa penyediaan pendidikan,


pelayanan kesehatan atau jasa lainnya yang dapat membantu masyarakat untuk
berkembang atau paling tidak tetap berproduksi. Keadilan ini lebih bersifat filosofi
dalam hubungannya dengan sistem pasar. Dalam masyarakat yang besar, keadilan
atas kesempatan mewakili bentuk utama dari redistribusi, terutama dalam bentuk
pembebasan uang sekolah dan wajib belajar.

Dalam keadilan atas hasil, penekanannya lebih pada penurunan


kesenjangan pendapatan dan penghapusan kemiskinan dengan cepat daripada
menekankan pada berinvestasi pada orang miskin. Perbedaan filosofi dari dua
pendekatan keadilan redistribusi ini tercermin dalam pribahasa ”Berikan seseorang
ikan, maka dia dapat makan untuk satu hari; ajari seseorang memancing, maka dia dapat
makan seumur hidupnya”. Secara umum, keadilan atas hasil sebagai suatu strategi
anti kemiskinan telah semakin menurun popularitasnya di banyak negara maju
seperti Amerika Serikat dan Kanada.

Dasar-dasar Keuangan Publik


50

Isu kedua yang seringkali dipandang berbeda dari pihak pembayar dan
penerima pajak adalah bentuk redistribusi. Para penerima akan lebih memilih
untuk menerima uang tunai, karena akan lebih memberikan fleksibilitas kepada
mereka untuk menggunakan dana tersebut. Di sisi lain pembayar pajak lebih
memilih memberikan dananya dalam bentuk barang seperti, pakaian, dan
makanan. Seandainya diberikan dalam bentuk uang, pihak pendana akan
memasukkan preferensi mereka kepada pihak penerima, sehingga membatasi
fleksibilitas penggunaan dana tersebut. Bagi pemerintah, cara yang termudah
adalah dengan memberikan jasa pelayanan langsung seperti pelayanan kesehatan
dan program pendidikan.

Besarnya Bagian untuk Redistribusi


Isu penting lainnya dalam masalah redistribusi yang efisien adalah penetapan
bagian yang harus di redistribusikan. Redistribusi yang telah dibahas sejauh ini
mencakup masalah biaya dan manfaat, dimana keduanya harus dipertimbangkan.
Pertama-tama, kebijakan untuk melakukan redistribusi dapat mengakibatkan
bagian yang tersedia untuk didistribusikan justru menjadi lebih kecil. Hal ini
diakibatkan oleh bekerjanya pengaruh perbedaan yang berlaku pada baik pihak
pembayar pajak maupun pihak penerima pajak.

Hal ini dapat diperlihatkan dalam hubungan antara penawaran tenaga


kerja dengan masalah tabungan, investasi dan pertumbuhan ekonomi, masalah
serupa juga akan timbul. Ketika redistribusi ditetapkan sehingga akan
menurunkan tingkat pendapatan, maka pada tingkat tertentu sebagian besar
masyarakat akan mengurangi usaha mereka dalam mencari pendapatan atau
dengan kata lain mereka akan memperbanyak waktu santai mereka, sehingga
tingkat produktivitas masyarakat menurun. Hubungan antara pendapatan, waktu
senggang dan pajak dapat dilihat pada grafik 6.1.

Pendapatan Pendapatan, Waktu Senggang dan Pajak

A1

A2

X1

X2
A3

X3

Y2 Y1 Y3
Grafik 6.1 Waktu Senggang

Dasar-dasar Keuangan Publik


51

B A B VII

FUNGSI STABILISASI

Kebijakan Stabilisasi
i era globalisasi ekonomi yang semakin luas, fungsi pemerintah sebagai

D pengatur (regulator) semakin dirasakan kebutuhannya. Dalam


hubungannya dengan persaingan yang terjadi pada ekonomi pasar, fungsi
pengatur tersebut dapat berupa beberapa kebijakan baik sebagai pemicu maupun
sebagai penghambat persaingan. Pada intinya, kebijakan pemerintah dalam fungsi
stabilisasi dirancang untuk menjaga stabilitas perekonomian seperti
mempertahankan atau mencapai kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas
harga yang pantas, neraca pembayaran luar negeri yang sehat dan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang dapat diterima.

Kebijakan Moneter
Jika berfungsi dengan baik, suatu mekanisme pasar dijamin dapat diandalkan
untuk menentukan alokasi sumber daya yang efisien di antara barang pribadi.
Namun, para ekonom setuju bahwa mekanisme pasar tidak dapat dengan
sendirinya mengatur jumlah uang yang beredar secara tepat. Sistem perbankan,
jika tidak diawasi, akan berjalan tidak teratur, sehingga tidak hanya akan
menghasilkan jumlah uang beredar yang tidak sesuai, tetapi juga menimbulkan
reaksi dalam permintaan kredit di pasar yang akan cenderung menimbulkan
fluktuasi. Oleh karena itu, keberadaan Bank Sentral sebagai pengawas jumlah
uang beredar perlu menyesuaikan jumlah uang beredar dengan kebutuhan
ekonomi, baik dalam hal stabilisasi jangka pendek maupun pertumbuhan jangka
panjang. Komponen kebijakan moneter antara lain meliputi ketetapan mengenai
cadangan wajib bank, tingkat diskonto, kebijakan pengendalian kredit dan
kebijakan pasar terbuka. Perluasan moneter berupa kebijakan untuk menambah
jumlah uang beredar akan cenderung memperbesar likuiditas, menurunkan suku
bunga dan karena itu akan menaikkan tingkat permintaan, sementara pembatasan
moneter akan berakibat sebaliknya.

Dasar-dasar Keuangan Publik


52

Kebijakan Fiskal
Sementara itu, suatu kebijakan fiskal mempengaruhi secara langsung tingkat
permintaan barang dan jasa. Kebijakan menurunkan pajak dapat dilakukan dalam
upaya pemerintah untuk memperbesar total belanja pemerintah, karena para wajib
pajak akan mempunyai disposible income yang lebih besar sehingga diharapkan
akan membelanjakan jumlah pendapatan yang lebih besar pula. Sejalan dengan
itu, suatu kebijakan menambah pengeluaran publik jelas merupakan jenis
kebijakan yang bersifat ekspansi, karena akan meningkatkan total permintaan
agregat. Kebijakan ini, pada awalnya, akan menaikkan tingkat permintaan sektor
pemerintah dan kemudian akan diikuti oleh sektor swasta.

Di sisi lain, kebijakan defisit anggaran pemerintah juga dapat memainkan


peranan yang tidak kalah penting, tergantung pada bagaimana defisit itu dibiayai.
Pembiayaan defisit akan lebih besar jika defisit tersebut ditutupi dengan pinjaman,
tetapi jika peredaran uang diperketat, maka pinjaman tambahan akan
mempertinggi suku bunga sehingga cenderung menghambat transaksi pasar.

Stabilisasi Anggaran
Kebijakan anggaran semestinya melibatkan beberapa tujuan yang berbeda,
tetapi dalam prakteknya hal ini saling tumpang tindih sehingga mempersulit
penyusunan kebijakan yang efisien, yaitu kebijakan yang benar-benar adil dalam
rangka mencapai tujuan yang beraneka ragam tersebut.

Sebagai ilustrasi, misalnya masyarakat menginginkan peningkatan atas


pelayanan pemerintah. Hal ini bisa diwujudkan dengan meningkatkan
penerimaan dari sektor pajak, yang pada gilirannya nanti akan dipertanyakan oleh
masyarakat tentang cara pendistribusiannya. Dalam proses pemungutan suara
akan ada pihak-pihak yang mendukung dan menolak terhadap perubahan atas
model pelayanan pemerintah, berkaitan dengan perubahan kebijakan perpajakan.
Idealnya, kedua isu tersebut seharusnya dipisahkan. Masyarakat seharusnya
bersedia membayar apa yang dianggap sebagai distribusi yang adil. Kemudian,
dalam masalah pembiayaan kegiatan pemerintah, wajib pajak selayaknya melihat
manfaat yang dapat diambil dari kegiatan tersebut, tanpa harus dihubungkan
dengan kontribusinya, karena dua masalah ini sulit diselesaikan secara simultan.

Akhirnya, kita dapat mengambil simpulan bahwa penentuan anggaran


lebih condong sebagai proses politik ketimbang proses pasar. Proses politik
didasarkan pada peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang
suatu negara. Dalam suatu negara demokrasi, warga negara mempunyai
kesempatan untuk memberikan suaranya dalam memutuskan suatu masalah.
Hasil dari proses tersebut tergantung dari hasil pemungutan suara atau dari
tingkah laku para politisi yang bermain di dalam pemerintahan tersebut.

Proses politik tentunya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain


faktor ekonomi, seperti ideologi. Namun demikian, dari sudut pandang ekonomi,
tujuan politik adalah untuk menyediakan barang dan jasa yang berguna bagi
seluruh warga negaranya.

Dasar-dasar Keuangan Publik


53

B A B VIII

SISTEM PILIHAN PUBLIK

ernahkah anda berpikir bahwa segala keputusan yang dibuat oleh

P pemerintah, pusat maupun daerah, dikeluarkan setelah melalui suatu


proses politik? Hal-hal mulai dari peningkatan taraf hidup, pembangunan
jalan raya, sampai dengan penentuan pajak dan subsidi ditetapkan dalam suatu
keputusan politis.

Di negara demokratis, keputusan politis ditetapkan melalui suatu proses


politik yang melibatkan masyarakat. Masyarakat dapat menyumbangkan suara
mereka untuk menentukan kebijakan apa yang hendak dilaksanakan atau
menyumbangkan suara kepada orang yang mewakili kebijakan tersebut. Misalnya,
bila masyarakat menginginkan anggaran pendidikan yang lebih tinggi maka
mereka dapat melakukan voting untuk meloloskan kebijakan itu atau memilih
untuk mendukung orang yang pro dengan kebijakan anggaran pendidikan yang
lebih tinggi tersebut.

Teori pilihan publik mempelajari bagaimana suatu keputusan yang


mempengaruhi hajat hidup orang banyak dibuat melalui suatu sistem politik.
Proses politik yang ada didalam sistem tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti, ekonomi, budaya, dan ideologi. Namun demikian, dari sudut pandang
ekonomi, tujuan politik tersebut adalah untuk menyediakan barang dan jasa yang
berguna bagi masyarakat. Teori pilihan publik mempelajari bagaimana proses
politik digunakan untuk menentukan besarnya barang dan jasa yang akan
disediakan oleh pemerintah.

Konsep Keseimbangan Politis (Political Equilibrium)


Suatu keputusan publik dibuat setelah melalui interaksi politis antara
beberapa orang menurut aturan yang disepakati bersama. Penyediaan suatu
barang publik memerlukan kesepakatan mengenai jumlah yang akan disediakan
dan anggaran yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang tersebut. Seringkali
keputusan untuk menentukan jumlah serta dana yang diperlukan ini dibuat
dengan cara melakukan pemungutan suara (voting).

Dasar-dasar Keuangan Publik


54

Pada kondisi dimana barang dan jasa publik di supply oleh pemerintah
dengan dana dari pajak, masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut
harus tunduk dengan keputusan yang sudah dibuat. Kondisinya akan berbeda jika
barang dan jasa publik tersebut sebagian atau seluruhnya dibiayai dari sumbangan
atau retribusi dari masyarakat. Pada kasus ini, masyarakat dapat mengajukan
keberatan bila kebijakan tersebut bertentangan dengan kehendak masyarakat.

Keseimbangan politis (political equilibrium) adalah persetujuan mengenai


jumlah barang publik yang akan disediakan, pada kondisi dimana aturan dalam
mengambil keputusan kolektif dan besarnya pajak sudah terbentuk. Porsi pajak
(tax shares) adalah bagian biaya yang dibebankan ke masyarakat. Besarnya porsi
pajak adalah sama dengan biaya per unit dari barang publik yang akan disediakan
oleh pemerintah. Bagi seorang voter, porsi pajak tersebut merupakan harga per
unit dari barang yang disediakan oleh pemerintah. Jumlah dari seluruh porsi pajak
harus sama dengan biaya rata-rata (average cost) dari barang publik tersebut untuk
menghindari anggaran surplus ataupun defisit. Jika ti melambangkan porsi pajak
barang publik bagi voter i, maka Σti untuk seluruh voter harus sama dengan
average cost dari barang tersebut.

Biaya untuk menyediakan barang publik mempengaruhi besarnya pajak


yang harus dibayar oleh penduduk untuk memproduksi barang tersebut. Adanya
kenaikan biaya produksi barang publik akan menaikkan pula besarnya pajak yang
harus dibayar oleh penduduk. Jika kenaikan biaya tidak diiringi dengan kenaikan
manfaat, maka akan mengurangi dukungan penduduk terhadap kebijakan publik
tersebut.

Pada kenyataannya, informasi mengenai besarnya biaya yang diperlukan


untuk memproduksi barang publik susah diperoleh. Akhirnya, perdebatan
maupun kampanye yang dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan itulah
yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam memberikan suaranya. Pada
kampanye inilah penduduk mendapatkan gambaran mengenai biaya dan manfaat
yang dapat diperoleh dari barang publik tersebut.

Pemilihan dan Pemungutan Suara (Election and Voting)


Pilihan publik dilaksanakan secara formal melalui suatu pemilihan umum
dimana setiap individu memiliki satu suara. Analisis ekonomi terhadap proses
politik mengasumsikan bahwa individu menilai kebutuhannya terhadap barang
publik seperti layaknya mereka menilai kebutuhan atas barang dan jasa lainnya.
Individu diasumsikan akan menetapkan pilihan jika hal itu dapat membuat
kehidupan mereka lebih baik.

Keputusan rasional yang paling diinginkan dari suatu proses politik untuk
menentukan jumlah barang publik yang disediakan akan tercapai pada titik
dimana porsi pajak per individu sama persis dengan manfaat marginal dari barang
publik tersebut. Pada titik ini, jumlah barang yang disediakan memberikan
kepuasan maksimal bagi setiap individu. Kenaikan maupun penurunan diluar titik
ini akan menurunkan tingkat kepuasan individu.

Dasar-dasar Keuangan Publik


55

Pada Gambar 8.1, keputusan yang paling diinginkan tersebut terletak pada
titik Z, dimana jumlah barang publik yang diproduksi adalah sebesar Q* dan porsi
pajak sebesar ti. Pada titik Z ini, marginal benefit bagi individu i sama dengan
porsi pajaknya. Setiap penambahan output barang publik dari titik 0 sampai
dengan titik Q* akan membuat kondisi individu i lebih baik. Namun, penambahan
yang dilakukan diatas titik Q* akan membuat kondisi i lebih buruk karena pajak
yang ia bayar melebihi marginal benefit yang ia terima. Setiap individu akan
bertindak seolah-olah barang publik tersebut bisa dibeli di pasar bebas dengan
harga ti dan akan mendukung kebijakan yang berkaitan dengannya sepanjang
manfaat yang mereka terima melebihi biaya (pajak) yang harus mereka keluarkan.

Gambar 8.1: Keputusan yang Paling Diinginkan dari Proses Politis

Pajak per
unit output
Z
Pajak

ti

MBi

0 Q*

Pada kondisi dimana aturan main pilihan umum sudah ada, penentuan
hasil pemilihan umum akan tergantung pada besarnya alokasi pajak yang
dibebankan pada setiap pemilih. Usulan untuk meningkatkan output yang ditolak
pada tingkat pajak tertentu, masih mungkin untuk diajukan kembali bila
menerapkan tingkat pajak yang berbeda dari yang sebelumnya karena perubahan
tingkat pajak akan mempengaruhi titik Z, yaitu keputusan yang paling diinginkan.
Titik equilibrium juga dapat dipengaruhi oleh distribusi manfaat (benefit). Suatu
usulan yang pernah ditolak masih mungkin akan diterima bila distribusi
manfaatnya dirubah sehingga sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemilih. Jadi,
untuk mencapai titik keseimbangan politis, Z, ada dua hal yang perlu
dipertimbangkan yaitu porsi pajak (ti) dan distribusi benefit (MBi).

Memberikan suara atau abstain (Vote or not to vote)


Keputusan seseorang untuk memberikan suaranya tergantung pada
untung rugi yang akan ia terima sebagai akibat keputusannya tersebut dan juga
kemungkinan (probabillitas) suaranya akan memberikan keuntungan bagi dirinya.

Dasar-dasar Keuangan Publik


56

Namun demikian, alasan seseorang untuk memberikan suaranya tidak melulu


didasari atas untung rugi semata namun bisa juga didasari atas kewajibannya
sebagai seorang warga negara.

Beberapa hal yang menyebabkan orang enggan untuk memberikan


suaranya adalah kendala waktu dan tempat. Kadang pemungutan suara dilakukan
pada waktu yang tidak tepat, atau tempat pemungutannya terlalu jauh sehingga
orang tidak bisa hadir. Hal lain yang juga menjadi kendala adalah informasi.
Kadangkala, sebelum seseorang memberikan suaranya ia harus mengumpulkan
informasi dari berbagai sumber seperti surat kabar, majalah, internet, dan
sebagainya untuk meyakinkan bahwa suaranya nanti ditujukan pada pilihan yang
tepat. Hal ini cukup merepotkan bagi sebagian orang.

Ada juga orang yang percaya bahwa suara mereka terlalu kecil dan tidak
mungkin akan mempengaruhi hasil pemilihan. Mereka beranggapan bahwa
probabilitas suaranya akan mempengaruhi hasil pemilihan sangat kecil (bahkan
mendekati nol) bila jumlah peserta pemilunya sedemikian besar. Karena
pengorbanan yang harus dikeluarkan untuk ikut pemilihan sudah jelas, sedangkan
manfaatnya belum jelas, hal ini juga menjadi alasan seseorang untuk tidak ikut
memberikan suaranya. Kenyataannya, hasil suatu pemilihan tidak tergantung
pada orang-orang yang tidak memilih (di Indonesia biasa disebut golongan putih
atau golput). Dampaknya, orang-orang yang ”golput” ini akan mengikuti saja arus
keinginan (free riders) dari orang-orang yang ikut pemilihan.

Jika setiap penduduk berpikiran seperti diatas, maka tujuan diadakannya


negara demokrasi tidak tercapai karena semua penduduk tidak ada yang
memberikan suaranya. Di negara demokrasi, pemilu dijadikan kewajiban bagi
penduduk yang telah memenuhi syarat dengan maksud untuk menghindari free
rider. Namun demikian, di beberapa negara-negara yang tidak mewajibkan
penduduknya untuk memilih, partisipasi masyarakat untuk datang ke tempat
pemilihan sangat tinggi. Ini membuktikan bahwa ada motivasi lain yang
mendorong mereka untuk datang ketempat pemilihan seperti kebanggaan sebagai
warga negara atau rasa kebersamaan antar sesama pemilih.

Di Amerika Serikat telah ditemukan beberapa fakta bahwa tingkat


partisipasi warga negara terhadap pemilu terkait pada mayoritas partai tertentu.
Pada negara bagian yang anggota legislatifnya mayoritas dikuasai oleh satu partai,
tingkat partisipasi masyarakat untuk ikut pemilu lebih rendah dibanding dengan
negara bagian lain yang tidak dikuasai oleh satu partai. Alasan mereka enggan
untuk ikut memilih adalah karena anggapan bahwa suara mereka akan jatuh ke
orang yang sama. Kondisi ini mirip ketika Indonesia hanya mengakui tiga partai
peserta pemilu pada masa orde baru, dimana apapun pilihan masyarakat, yang
menjadi presiden dengan mudah dapat diperkirakan.

Informasi juga merupakan alasan seseorang untuk memberikan suaranya.


Namun demikian, ada beberapa pemilih yang menentukan pilihannya
berdasarkan informasi yang terbatas. Jika mereka memiliki informasi yang
memadai, pilihan mereka mungkin saja berbeda dari yang sebelumnya. Ketika
seseorang menentukan pilihan berdasarkan informasi yang tidak memadai atau

Dasar-dasar Keuangan Publik


57

salah, maka sangat mungkin hasil yang ia capai tidak berbeda dibandingkan jika ia
menjadi ”golput”. Untuk dapat menetapkan pilihan dengan benar, seseorang
harus mempunyai informasi yang lengkap mengenai konsekuensi dari setiap
pilihan yang diambilnya.

Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi suatu


pemilihan umum dalam menghasilkan keputusan tentang kebijakan publik
adalah:

1. Aturan main dari pemilu itu sendiri, yaitu bagaimana kriteria untuk menerima
atau menolak kebijakan publik.
2. Biaya marjinal dan biaya rata-rata dari barang publik
3. Informasi yang tersedia mengenai untung rugi yang terkait dengan kebijakan
tersebut
4. Distribusi pajak ke setiap pemilih.
5. Distribusi manfaat ke setiap pemilih

Jika salah satu dari kelima faktor diatas berubah, maka titik equilibriumnya pun
akan berubah sesuai dengan faktor perubahannya.

Keseimbangan Politis dalam Aturan Mayoritas (Majority Rule)


Dalam melakukan pemungutan suara dikenal aturan simple majority rule,
yaitu pemenang pemungutan suara akan diperoleh bila mampu mengumpulkan,
minimal, setengah plus satu dari seluruh peserta pemilihan. Misalkan ada dua
pilihan, A atau B, yang akan ditentukan melalui pemungutan suara yang diikuti
oleh 10 pemilih. Pilihan A akan menang jika minimal ada 6 orang (10/2 +1) yang
memilih A. Bila jumlah pemilihnya ganjil, maka yang paling banyak
mengumpulkan suara adalah pemenangnya. Dalam contoh diatas, seandainya
jumlah pemilih hanya 9, maka pemenangnya adalah yang mampu mengumpulkan
5 suara.

Gambar 8.2: Keseimbangan Politis dalam Aturan Mayoritas

E MB = AC
Marginal Benfit, Cost, dan Pajak (rupiah)

350

Σ MB

t
50
MBA MBB MBC MBM MBF MBG

0 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah satpam per minggu

Dasar-dasar Keuangan Publik


58

Berikut ini akan penulis berikan contoh penerapan simple majority rule
dalam keuangan publik. Asumsikan ada n orang yang tinggal dalam satu
komunitas dimana Average Cost (AC) dan beban pajak untuk setiap barang publik
sudah ditetapkan. Setiap orang akan mendapat beban pajak yang sama besarnya
yaitu sebesar AC/n untuk setiap unit barang publik yang dikonsumsi.

Misalkan sekarang ada tujuh orang warga yang sedang berembuk untuk
menentukan berapa orang satpam yang diperlukan untuk mengawasi wilayah
tempat tinggal mereka. Diantara mereka telah ada kesepakatan bahwa keamanan
lingkungan adalah barang publik yang harus disediakan dan didanai oleh mereka
sendiri. Namun demikian, marginal benefit ketujuh orang tersebut berbeda-beda
seperti yang ditunjukkan pada kurva A, B, C, M, F, G, dan H dalam Gambar 8.2. A
menghendaki hanya seorang satpam saja yang dibutuhkan, B menghendaki 2
orang, dan seterusnya hingga H yang menghendaki 7 orang. Umpamakan gaji
seorang satpam adalah Rp350 ribu per minggu sehingga average cost dan
marginal cost dari barang publik ini adalah sama, yaitu Rp350 ribu. Dengan
demikian pajak (t dalam hal ini adalah iuran) yang harus ditanggung oleh masing-
masing warga untuk membiayai seorang satpam adalah Rp50 ribu per minggu
(Rp350 ribu/7). Hal ini telah sesuai dengan rumus AC/n = Rp50 ribu.

Karena keamanan lingkungan merupakan barang publik, maka setiap


warga akan menikmati keamanan dalam porsi yang sama. Hal ini berbeda dengan
barang pribadi, dimana masing-masing individu dapat mengkonsumsi barang
sesuai yang diinginkannya tanpa memperdulikan individu yang lain. Dalam
contoh diatas, ketujuh warga tersebut harus menentukan kesepakatan tentang
berapa orang satpam yang dibutuhkan untuk menjaga lingkungan mereka.

Hasil Pemungutan Suara menurut Aturan Mayoritas

Sekarang, ketujuh warga tersebut akan melakukan voting untuk persetujuan atas
setiap penambahan satu orang satpam yang akan mereka pekerjakan.
Ketentuannya, bila penambahan seorang satpam disetujui oleh lebih dari setengah
warga yang ikut memilih maka penambahan tersebut akan dilaksanakan, namun
jika disetujui kurang dari setengah maka akan dibatalkan. Asumsikan dalam setiap
pemungutan suara tidak ada yang abstain. Hasil dari pemungutan suara mereka
tercantum dalam Tabel 10.1.

Tabel 8.1 menunjukkan hasil pemungutan suara untuk setiap penambahan


seorang satpam yang akan dipekerjakan. Pemungutan suara dimulai dengan
penambahan dari 0 satpam menjadi 1 satpam, kemudian dari 1 menjadi 2 satpam,
kemudian dari 2 menjadi 3 satpam, dan seterusnya. Ada tujuh alternatif keputusan
yang akan diambil yaitu memperkerjakan 1 satpam, 2 satpam, 3 satpam, 4 satpam,
5 satpam, 6 satpam, atau 7 satpam.

Pada pemungutan pertama kali, semua warga setuju untuk


memperkerjakan seorang satpam karena marginal benefit yang diterima setiap
warga berada diatas iuran yang harus dibayar. Pada pemungutan suara yang
kedua untuk menambah jumlah satpam menjadi 2 orang, A tidak setuju terhadap
usulan tersebut karena baginya jumlah iuran yang dibayarkan melebihi manfaat

Dasar-dasar Keuangan Publik


59

yang ia terima. Ingat, apabila memperkerjakan 2 orang satpam maka iuran


masing-masing warga menjadi Rp100 ribu per minggu (Rp700 ribu / 7). Namun
karena 6 warga lainnya setuju, maka penambahan satpam tersebut akhirnya
disetujui. Ketika melakukan pemungutan yang ketiga, ada 2 orang yang tidak
setuju atas penambahan jumlah satpam menjadi 3 orang, yaitu A dan B. Namun,
lagi-lagi usulan ini disetujui karena didukung oleh 5 warga lainnya.

Ketika usulan penambahan jumlah satpam dari 4 menjadi 5 orang


diajukan, hanya 3 warga saja yang menyetujuinya sehingga usulan tersebut
ditolak. Dengan demikian, titik keseimbangan politis tentang jumlah satpam yang
akhirnya dipekerjakan untuk mengawasi lingkungan mereka adalah 4 orang per
minggu. Besarnya iuran yang harus ditanggung tiap warga adalah Rp200 ribu per
minggu. Jika jumlah 4 orang satpam ini dibandingkan dengan jumlah yang lain,
maka hasil pemungutan suaranya akan selalu dimenangkan oleh warga yang pro
dengan jumlah 4 orang satpam. Hal ini karena jumlah 4 orang satpam adalah
keputusan politis yang paling diinginkan (ideal) melalui sistem Aturan Mayoritas.
Sebagai bukti, jika diajukan pilihan 4 orang satpam atau 2 orang satpam, maka
dengan memperhatikan kurva marginal benefit masing-masing warga, dalam voting
A, B dan C akan memilih 2 satpam sedangkan M, F, G, dan H akan memilih 4
satpam.

Tabel 8.1: Hasil Pemungutan Suara

Penambahan jumlah satpam per minggu


1 2 3 4 5 6 7
A Setuju tdk setuju Tdk setuju Tdk setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju
B Setuju setuju Tdk setuju Tdk setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju
C Setuju setuju Setuju Tdk setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju
Warga

M Setuju setuju Setuju Setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju
F Setuju setuju Setuju Setuju Setuju tdk setuju tdk setuju
G Setuju setuju Setuju Setuju Setuju setuju tdk setuju
H Setuju setuju Setuju Setuju Setuju setuju Setuju
Keputusan Setuju setuju Setuju Setuju Tolak tolak Tolak

Pemilih Menengah (Median Voter)

Pemilih menengah adalah pemilih yang keputusan ideal dirinya merupakan


median dari keputusan ideal seluruh pemilih yang ikut voting. Pada contoh di atas,
M, yang keputusan ideal baginya adalah 4 orang satpam sesuai kurva marginal
benefitnya, adalah pemilih menengah. Sedangkan keputusan ideal bagi seluruh
warga berkisar dari 1 orang sampai 7 orang satpam. Tiga warga (A, B, dan C)
memiliki keputusan ideal yang kurang dari 4 orang satpam sedangkan F, G, dan H
memiliki keputusan ideal lebih dari 4 orang satpam.

Dasar-dasar Keuangan Publik


60

Jika marginal benefit dari barang publik bagi seluruh warga didalam contoh
berubah, keputusan ideal bagi pemilih menengah akan selalu sama dengan titik
keseimbangan politis bila aturan mayoritas diterapkan. Hal yang sama juga akan
terjadi bila masing-masing warga kenakan jumlah iuran yang tidak sama. Warga
yang keputusan idealnya berbeda dengan keputusan ideal pemilih menengah akan
mengkonsumi lebih banyak ataupun lebih sedikit dari yang sesungguhnya mereka
inginkan jika mereka dapat menyewa tenaga satpam sendiri-sendiri.

Semakian jauh jarak perbedaan antara keputusan ideal pemilih menengah


dengan keputusan ideal warga lainnya, maka akan semakin tinggi tingkat
kekecewaan terhadap keputusan yang dihasilkan dengan cara aturan mayoritas.
Pada contoh kita, warga yang keinginannya untuk memperkerjakan satpam
semakin kecil atau semakin besar dari dari 4 orang maka akan makin kecewa
dengan hasil keputusan yang dibuat. Dalam hal ini A dan H adalah yang paling
kecewa, sedangkan C dan F mungkin tidak terlalu kecewa. Pada kasus ekstrem
dimana semua warga memiliki kurva marginal benefit yang sama, maka keputusan
yang dihasilkan melalui voting adalah keputusan bulat dimana semua warga
menyetujui usulan yang diajukan. Pada kasus ekstrem ini, semua warga adalah
pemilih menengah.

Dengan demikian, jika ada lebih dari dua kemungkinan keputusan yang
dihasilkan dalam suatu pemungutan suara, maka hanya pemilih menengah saja
yang keputusan idealnya sama dengan keputusan hasil voting dengan
menggunakan Aturan Mayoritas. Pihak-pihak lain selain pemilih menengah akan
tetap menerima hasil keputusan voting tersebut meskipun diantara mereka ada
yang kecewa. Kekecewaan paling tinggi dialami oleh orang yang keputusan ideal
bagi dirinya terletak paling jauh dari keputusan ideal si pemilih menengah.

Political Externalities adalah potensi kesejahteraan yang hilang yang


dialami oleh voter yang keinginan idealnya berbeda dengan hasil keputusan
voting. Dalam contoh diatas, political externalities dialami oleh keenam warga selain
M. Political externalities akan hilang jika iuran bagi A, B, C, F, G, dan H disesuaikan
sesuai dengan marginal benefit masing-masing warga. Jadi, agar ke-6 warga lainnya
setuju memperkerjakan 4 orang satpam maka iuran yang harus A, B, dan C
bayarkan harus lebih kecil dari Rp200 ribu per minggu, sedangkan bagi F, G, dan
H harus lebih besar dari Rp200 ribu per minggu. Jika keputusan voting dihasilkan
dari suara yang bulat, semua orang setuju atau tidak setuju, maka tidak terdapat
political externalities.

Political transaction cost adalah seluruh pengorbanan, baik waktu, usaha,


dan sebagainya, yang diperlukan untuk mencapai suatu kesepakatan. Hal ini
adalah faktor yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah sebelum memutuskan
untuk mengadakan/ memproduksi sendiri barang/jasa, atau membelinya secara
langsung melalui mekanisme pasar. Jika keputusan untuk memproduksi
barang/jasa memerlukan kesepakatan bulat atau mendekati bulat dari semua
warga, maka political externalities nya akan kecil. Di lain pihak, untuk mencapai
keputusan yang bulat diperlukan political transaction cost yang cukup besar. Oleh
karena itu, dalam memilih instistusi politis, masyarakat harus membandingkan
antara political externalities dengan political transaction cost nya.

Dasar-dasar Keuangan Publik


61

Masalah Pemungutan Suara dengan Aturan Mayoritas

Pada contoh kita di atas, political equilibrium yang dihasilkan adalah unik, artinya
hanya ada satu yaitu 4 orang satpam per minggu. Bila jumlah 4 orang satpam
dibandingkan dengan jumlah yang lain, kemudian dilakukan voting, maka warga
yang memilih 4 satpam akan selalu menjadi mayoritas. Pada kasus tertentu,
political equilibrium dengan menggunakan aturan mayoritas dapat lebih dari satu.
Jika ini terjadi maka penentuan keputusan yang menang dipengaruhi oleh faktor
lain diluar dari manfaat dan biaya yang sudah dihitung sebelumnya. Faktor yang
dapat mempengaruhi antara lain adalah urutan dalam melakukan pemungutan
suara.

Agar lebih jelas, penulis coba memberikan contoh kasus dimana tidak
terdapat political equilibrium yang unik. Misalkan, ada tiga warga (A, B, dan C)
yang hendak menentukan banyaknya penyelenggaraan festival dalam setahun.
Setiap penyelenggaraan festival memakan biaya sebesar 200 ribu rupiah. Warga A
dikenakan iuran Rp100 ribu per festival, warga B dikenakan Rp75 ribu per festival,
dan C dikenakan Rp25 ribu per festival. Ada tiga alternatif yang diajukan oleh
warga, yaitu: 1 kali festival per tahun, 2 kali festival per tahun, dan 3 kali festival
per tahun. Pemenang voting ditentukan dengan aturan mayoritas sederhana,
sehingga yang meraih 2 suara itulah yang menang.

Tabel 8.2. memuat informasi mengenai urutan preferensi setiap warga atas
alternatif yang diajukan. A adalah orang yang suka pesta, maka pilihan utamanya
jatuh pada 3-festival. Semakin jarang festival dilakukan, semakin kecil ia menerima
net benefit. Pilihan utama B jatuh pada 1 kali festival, sedangkan pilihan keduanya
adalah 3-festival. B adalah orang yang ekstrem. Jika tidak mendapatkan yang
paling sedikit, maka ia lebih memilih yang paling banyak daripada yang moderat.
C adalah orang moderat yang pilihan utamanya jatuh pada 2-festival. Setiap
penambahan maupun pengurangan frekuensi festival akan membuat net benefit
yang diterimanya semakin kecil.

Tabel 8.2: Urutan Preferensi


Pilihan 1
Pilihan 2 Pilihan 3
Warga (utama)
A 3-festival 2-festival 1-festival
B 1-festival 3-festival 2-festival
C 2-festival 1-festival 3-festival

Dasar-dasar Keuangan Publik


62

Gambar 8.3: Preferensi terhadap penyelenggaraan festival

Single peak
*

*
Net benefit A

Festival
1 2 3

Multiple peaks
Single peak
* ** *
Net benefit B

* Net benefit B

*
*

Festival Festival
1 2 3 1 2 3

Single peak
*
Net benefit C

*
*

Festival
1 2 3

Gambar 8.3 menunjukkan grafik preferensi masing-masing warga atas frekuensi


festival yang ditawarkan. Grafik A menunjukkan konsistensi warga A pada net
benefit yang semakin besar jika makin sering diadakan festival. Grafik C
menunjukkan bahwa C menikmati net benefit tertinggi jika hanya 2 kali saja
diadakan festival per tahun. Penambahan maupun pengurangan frekuensi festival
membuatnya menerima net benefit yang makin kecil. Namun demikian, sekali
penyelenggaraan festival masih lebih baik dibanding dengan tiga kali festival per
tahun. A dan C disebut memiliki preferensi tunggal (single-peak preferences) karena
hanya mempunyai satu titik optimal atas preferensi yang paling diinginkan. Titik
optimal A adalah pada 1 kali festival dan titik optimal C adalah pada 2 kali

Dasar-dasar Keuangan Publik


63

festival. Jika tidak mendapatkan titik optimal tersebut, maka net benefit mereka
akan semakin rendah.

Dilain pihak, B disebut memiliki preferensi jamak (multiple-peaked


preferences) karena ketika tidak mendapatkan preferensi optimalnya maka ia
menerima net benefit yang lebih rendah. Namun, jika alternatif yang ditawarkan
berlanjut pada arah yang sama, ia akan mendapatkan net benefit yang lebih baik.
Pada grafik B, arah alternatif frekuensi yang ditawarkan adalah mulai dari yang
paling jarang (1 kali) hingga yang paling sering (3 kali). Titik optimal tertinggi B
adalah pada sekali festival saja. Jika B ditawarkan 2 kali festival maka net benefit
yang ia terima menjadi lebih rendah. Hal ini terlihat pada garis yang menurun
pada Grafik B di atas. Tetapi, bila kemudian diajukan lagi 3 kali festival yang
paling sering, maka net benefit B menjadi lebih baik dari yang sebelumnya.

Contoh nyata dimana preferensi jamak pernah muncul adalah ketika


Amerika melakukan perang melawan Vietnam. Ketika itu, opini yang timbul di
masyarakat AS adalah jika ingin perang melawan Vietnam maka harus dengan
menggunakan kekuatan penuh, bila perlu menggunakan senjata nuklir agar
kemenangan cepat diraih. Jika militer AS tidak diperkenankan menggunakan
kekuatan penuhnya, maka lebih baik AS tidak perlu mengirimkan tentaranya ke
Vietnam karena hanya akan mengorbankan tentara saja, dengan kata lain tidak
ada perang. Jadi, ketika ada 3 pilihan yaitu; 1) perang dengan full power, 2) perang
dengan kekuatan sedang, atau 3) tidak perang, maka urutan preferensi di
masyarakat adalah nomor 1, kemudian 3, dan terakhir 2.

Fenomena Cycling
Pemilihan berpasangan (pair-wise elections) adalah pemilihan yang
membandingkan 2 alternatif diantara 3 atau lebih alternatif yang tersedia. Berikut
ini akan kita lakukan pair-wise elections untuk setiap alternatif yang tersedia yaitu 1
kali, 2 kali, dan 3 kali festival. Karena hanya ada 3 warga yang mengikuti
pemilihan (A, B, dan C), maka alternatif yang meraih 2 suara akan menang, Hasil
dari pair-wise elections tercantum dalam tabel 10.3.

Pada pemilihan pertama, 1-festival dibandingkan dengan 2-festival.


Hasilnya 2-festival menang karena didukung oleh A dan C. Pemilihan berikutnya
dilakukan untuk membandingkan antara 3-festival dan 1-festival. Kali ini, 1-
festival menang karena B dan C mendukungnya. Kemudian, pemilihan terakhir
dilakukan untuk membandingkan antara 2-festival dan 3-festival. Pada pemilihan
ini 3-festival menang karena hanya C yang menolaknya.

Dengan cara seperti ini, voting dengan aturan mayoritas sederhana akan
menemui jalan buntu karena setiap alternatif mempunyai kesempatan untuk
menang. Dalam 3 kali pemilihan, 2-festival mengalahkan 1-festival; kemudian 1-
festival mengalahkan 3-festival; tetapi akhirnya 3-festival dapat mengalahkan 2-
festival. Setiap alternatif mempunyai kesempatan untuk menang tergantung
dengan siapa ia dibandingkan. Fenomena ini disebut dengan cycling.

Tabel 8.3: Hasil Pemungutan Suara dengan Pemilihan Berpasangan (Pair-Wise)

Dasar-dasar Keuangan Publik


64

Pemilihan I
1-festival 2-festival
A X
B X
C X
Total suara 1 suara 2 suara
Hasil : 2-festival menang
Pemilihan II
3-festival 1-festival
A X
B X
C X
Total suara 1 suara 2 suara
Hasil : 1-festival menang
Pemilihan III
2-festival 3-festival
A X
B X
C X
Total suara 1 suara 2 suara
Hasil: 3-festival menang

Penyebab Cycling
Cycling dan tidak adanya political equilibrium dengan menggunakan pair-
wise election dalam aturan mayoritas, disebabkan oleh adanya preferensi jamak
(multiple-peaked preferences). Jika semua voter memiliki preferensi tunggal, maka
aturan mayoritas akan mampu menghasilkan political equilibrium untuk setiap isu
yang dibahas. Titik equilibrium tersebut akan terletak pada median dari semua
voter.

Dengan masih menggunakan contoh sebelumnya, akan penulis tunjukkan


contoh dimana political equilibrium dapat terwujud jika tidak ada warga yang
memiliki preferensi jamak. Kali ini, warga B diganti dengan warga B’ yang
memiliki preferensi tunggal. Asumsikan B’ membayar iuran yang besarnya sama
dengan B. Urutan pilihan terhadap berbagai alternatif dan grafik net benefit dengan
masuknya warga B’ adalah seperti tercantum pada Tabel 8.4 dan Gambar 8.4.

Tabel 8.4: Urutan Pilihan Berbagai Alternatif


Pilihan 1
Pilihan 2 Pilihan 3
Warga (utama)
A 3-festival 2-festival 1-festival
B 1-festival 2-festival 3-festival
C 2-festival 1-festival 3-festival

Dasar-dasar Keuangan Publik


65

Gambar 8.4: Net Benefit Berbagai Alternatif

titik puncak
voter C
titik puncak titik puncak
voter B’ * voter C
* *

*
Net benefit

*
*
*
*

0 1 2 3
Jumlah festival per tahun

Pada Gambar 8.4 di atas, A dan C masih memiliki preferensi yang sama
seperti yang sebelumnya, sedangkan B’ kali ini memiliki preferensi tunggal. B
akan menerima net benefit tertinggi jika festival diselenggarakan hanya satu kali
saja per tahun. Dengan kondisi ini, kini semua warga memiliki preferensi tunggal
dan setiap ada perubahan keputusan diluar preferensi utama akan mengakibatkan
menurunnya net benefit yang mereka terima. Median puncak terletak pada 2-
festival per tahun dan karena C memiliki preferensi utama pada titik ini maka ia
adalah pemilih median.

Sekarang, mari kita lakukan pair-wise election kembali dengan kondisi


seperti di atas. Hasil Pemilihan I dan Pemilihan II berturut-turut masih sama
dengan yang sebelumnya, yaitu dimenangkan oleh 2-festival dan 1-festival. Pada
Pemilihan III, dengan tidak adanya preferensi jamak maka kali ini dimenangkan
oleh 2-festival karena didukung oleh B’ dan C. Dengan hasil ini maka 2-festival
akan menjadi political equilibrium karena dapat mengalahkan dua alternatif
lainnya yaitu 1-festival dan 3-festival. Walaupun 1-festival dapat mengalahkan 3-
festival pada Pemilihan II, namun 1-festival akan kalah dalam pemilihan jika
dibandingkan dengan 2-festival. Dengan tidak adanya preferensi jamak maka
hanya satu political equilibrium yang muncul yaitu milik median voter. Hasil pair-
wise election tanpa adanya preferensi jamak tercantum pada Tabel 8.5.

Dasar-dasar Keuangan Publik


66

Tabel 8.5: Pair-Wise Election tanpa ada Preferensi Jamak


Pemilihan I
1-festival 2-festival
A X
B’ X
C X
Total suara 1 suara 2 suara
Hasil : 2-festival menang
Pemilihan II
3-festival 1-festival
A X
B’ X
C X
Total suara 1 suara 2 suara
Hasil : 1-festival menang
Pemilihan III
2-festival 3-festival
A X
B’ X
C X
Total suara 2 suara 1 suara
Hasil: 2-festival menang

Metode Pemungutan Suara


Simple Majority Rule
Misalkan jumlah masyarakat yang mengikuti voting adalah N. Dengan metode
simple majority rule, kandidat yang mampu mengumpulkan ( N/2 + 1 ) / N suara
adalah pemenangnya. Jika dibutuhkan keputusan yang bulat, maka diperlukan
N/N suara yang mendukung keputusan tersebut. Contoh, dengan menggunakan
simple majority rule jika ada 100 orang yang mengikuti voting, maka kandidat
yang mengumpulkan 51% suara adalah pemenangnya. Bila yang dibutuhkan
adalah keputusan bulat, maka kandidat tersebut harus mampu mengumpulkan
100% suara agar bisa jadi pemenangnya.

Minority Rule
Dengan metode Minority Rule, kandidat atau suatu keputusan dapat dimenangkan
walaupun hanya didukung kurang dari setengah peserta yang melakukan voting.
Dengan metode ini, risiko munculnya ketidakpuasan akan lebih tinggi dibanding
dengan menggunakan majority rule. Ketika setiap keputusan selalu dibuat oleh
kelompok minoritas maka hal ini disebut oligarki.

Hal yang paling ekstrem dari minority rule adalah ketika suatu keputusan
dibuat oleh satu orang saja. Sistem ini dilakukan pada negara yang berbentuk
kerajaan atau pada negara yang dipimpin oleh seorang diktator. Pada kasus ini,

Dasar-dasar Keuangan Publik


67

mungkin tidak akan pernah diadakan pemungutan suara, karena keputusan


ditentukan sepenuhnya oleh satu orang saja.

Plurality Voting
Metode Plurality Rule umum dilakukan bila sekurang-kurangnya ada 3 alternatif
yang hendak diputuskan. Salah satu kelemahan dari Majority Rule adalah bila lebih
dari 2 alternatif untuk diputuskan maka terdapat kemungkinan dimana tidak ada
alternatif yang memperoleh suara mayoritas. Contoh, ada tiga alternatif (1, 2, dan
3) yang hendak dipilih salah satunya melalui voting. Bila 32% suara memilih 1, 32%
suara memilih 2, dan 36% suara memilih 3 maka tidak ada alternatif yang
memperoleh suara diatas 50%. Dengan metode majority rule maka tidak ada
pemenangnya. Akibatnya, perlu dilakukan pemilihan ulang yang tentunya akan
menambah biaya dan memakan waktu.

Dengan menggunakan metode plurality rule, maka kondisi diatas dapat


ditentukan pemenangnya yaitu alternatif 3 karena memperoleh porsi suara yang
terbanyak (36%) jika dibanding dengan 2 lainnya. Jadi, dengan plurality rule
pemenangnya ditentukan oleh alternatif yang memperoleh porsi suara paling
besar. Pada metode plurality rule, dimungkinkan suara minoritas untuk menjadi
pemenangnya. Pada contoh di atas, alternatif 3 (36%) adalah minoritas jika
dibanding dengan alternatif 1 plus alternatif 2 (64%). Hal ini dapat memicu ketidak
stabilan karena keputusan tidak didukung oleh suara mayoritas.

Point Voting
Pada metode point voting, pemilih diberikan sejumlah point (misalkan 10) untuk
kemudian dibagi-bagikan ke masing-masing alternatif menurut tingkat
kepentingan yang mereka rasakan.Sebagai contoh, perhatikan tabel berikut ini.

Tabel 8.6: Point Voting


Alternatif A B C D Total
I 5 2 5 10 22
II 3 2 5 0 10
III 2 6 0 0 8

Misalkan setiap pemilih memperoleh 10 point untuk dibagikan ke masing-


masing alternatif. A menganggap alternatif I paling penting, alternatif II kurang
penting, dan alternatif III tidak penting. Ia mendistribusikan point ke masing-
masing alternatif tersebut sebesar 5, 3, dan 2. hal yang sama dilakukan oleh B, C,
dan D. Bila kita perhatikan, A dan D sama-sama menganggap alternatif I penting,
namun D memberikan seluruh point nya ke alternatif I tanpa membagi kepada
alternatif lainnya. Dengan metode ini, yang jadi pemenangnya adalah alternatif I
karena memperoleh point paling banyak.

Metode ini mempunyai efek samping yaitu dapat menimbulkan transaksi


jual-beli point antar sesama voter. Namun demikian dampak positifnya adalah
setiap voter diberi kesempatan untuk memberikan preferensinya ke masing-masing

Dasar-dasar Keuangan Publik


68

alternatif. Walaupun sama-sama menganggap alternatif I penting, D lebih tinggi


preferensinya terhadap alternatif ini dibanding oleh A.

Instant Runoff Voting


Instant runoff voting merupakan penyempurnaan dari majority rule dan plurality
rule. Untuk lebih jelasnya penulis berikan contoh sebagai berikut. Ada 4 kandidat (
I s.d. IV) yang akan dicari pemenangnya melalui pemungutan suara yang diikuti
oleh 10.000 voter (A, B, C, dst.). Setiap voter diminta untuk memberikan suara
dalam bentuk peringkat untuk masing-masing kandidat. Misal, voter D memberi
peringkat 1 untuk kandidat III, peringkat 2 untuk kandidat I, peringkat 3 untuk
kandidat II, dan peringkat terakhir untuk kandidat IV. Voter yang lainnya juga
diminta untuk melakukan hal yang sama sehingga dicapai hasil seperti pada tabel
dibawah ini.

Tabel 8.7: Pemungutan suara I


Kandidat A B C D E … Total %tase
I 1 1 1 2 4 … 38 0,38%
II 2 3 3 3 1 … 4.895 48,95%
III 3 4 4 4 2 … 4.894 48,94%
IV 4 2 2 1 3 … 173 1,73%

Setelah pemungutan suara, setiap kandidat dihitung perolehan peringkat


pertamanya. Ada 38 voter yang memberikan peringkat pertama pada kandidat I,
4.895 voter memberikan peringkat pertama pada kandidat II, 4.894 voter
memberikan peringkat pertama pada kandidat III, dan 173 voter yang memberikan
peringkat pertama pada kandidat IV. Menurut hasil pemilihan pertama ini, belum
ada kandidat yang mencapai suara mayoritas karena kandidat I baru
mengumpulkan 0,38%, kandidat II mengumpulkan 48,95%, kandidat III
mengumpulkan 48,94% dan kandidat IV mengumpulkan 1,73%. Seandainya pada
pemungutan suara I ada kandidat yang memperoleh lebih dari 50% suara maka
otomatis dialah pemenangnya dan tidak perlu ada instant runoff.

Karena belum ada kandidat yang memperoleh mayoritas, maka dilakukan


proses runoff yang pertama. Hal yang harus dilakukan adalah menyingkirkan
kandidat yang memperoleh suara paling kecil, yaitu kandidat I, kemudian
membagikan porsi suaranya ke 3 kandidat lainnya berdasarkan peringkat. Dari 38
orang yang memilih kandidat I, kita akan melihat bagaimana mereka menyusun
peringkat untuk kandidat II, III, dan IV. Sebagai contoh, mari kita perhatikan
preferensi A, B, dan C yang memilih kandidat I sebagai peringkat pertama. Karena
kandidat I tersisih, maka suara A akan dialihkan ke kandidat II karena ia berada
pada urutan 2. Suara B dialihkan ke kandidat IV dan suara C juga dialihkan ke
kandidat IV.

Setelah dilakukan proses runoff terhadap 38 suara yang memilih kandidat


I, misalkan didapat hasil sebagai berikut; 33 suara diberikan kepada kandidat II, 4
suara diberikan kepada kandidat III, dan 1 suara diberikan kepada kandidat IV

Dasar-dasar Keuangan Publik


69

berdasarkan peringkat 2 yang mereka masukkan. Hasil runoff pertama bisa dilihat
pada tabel berikut ini.

Tabel 8.8: Runoff Pertama


Kandidat A B C D … perhitungan Total %tase
II 2 3 3 3 … 4.895 + 33 4.928 49,28%
III 3 4 4 4 … 4.894 + 4 4.898 48,98%
IV 4 2 2 1 … 173 + 1 174 1,74%

Setelah dilakukan runoff pertama, masih belum terdapat kandidat yang


memperoleh suara mayoritas. Oleh karena itu perlu dilakukan runoff kedua, ketiga
dan seterusnya hingga diperoleh kandidat yang memperoleh suara mayoritas.
Berdasarkan tabel di atas, kandidat IV akan tersingkir karena memperoleh porsi
suara paling kecil. 174 suara yang memilih kandidat IV kemudian didistribusikan
ke kandidat yang tersisa berdasarkan preferensi yang diberikan oleh masing-
masing voter. Proses pembagiannya sama seperti yang dilakukan pada runoff
pertama. Sebagai contoh, suara D akan dialihkan ke kandidat II karena memiliki
urutan berikutnya setelah kandidat IV. Hasil proses runoff kedua dapat dilihat
pada tabel berikut.

Tabel 8.9: Runoff Kedua


Kandidat A B C D … perhitungan Total %tase
II 2 3 3 3 … 4.928 + 17 4.945 49,45%
III 3 4 4 4 … 4.898 + 157 5.055 50,55%

Berdasarkan hasil runoff pertama, 174 suara dari kandidat IV yang


tersingkir akan didistribusikan ke kandidat II dan III pada runoff kedua. Misalkan,
kandidat II menerima limpahan 17 suara dan kandidat III menerima 157 suara.
Suara ini kemudian ditambahkan pada jumlah sebelumnya sehingga diperoleh
hasil sebagai berikut; kandidat II memperoleh 4.945 suara (49,95%) dan kandidat
III memperoleh 5.055 suara (50,55%). Dengan hasil ini maka kandidat III menjadi
pemenangnya karena mampu mengumpulkan suara diatas 50%.

Dasar-dasar Keuangan Publik


70

B A B IX

KONSEP ANGGARAN

ika proses pilihan publik telah selesai, maka pemerintahan yang baru akan

J dinilai kinerjanya oleh masyarakat melalui paket-paket kebijakan politik,


sosial dan ekonominya, termasuk kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal suatu
negara secara keseluruhan terangkum dalam laporan anggaran tahunannya yang
di Indonesia dikenal sebagai Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).
Pada masa orde baru, anggaran di Indonesia menganut sistem anggaran
berimbang. Pada sistem ini pinjaman luar negeri dimasukkan sebagai unsur
penerimaan negara. Sistem ini kemudian dikenal sebagai APBN Berimbang dan
Dinamis. Tujuan utama dari diterapkannya sistem ini pada awal orde baru
menurut Seda (2004) dimaksudkan mengurangi hyper-inflation yang mencapai
650% akibat adanya kegiatan pencetakan uang terus menerus untuk menutupi
defisit anggaran. Dalam beberapa periode lanjut Seda (2004), sistem tersebut
cukup efektif mengendalikan inflasi. Seluruh pengeluaran rutin dalam sistem ini
diusahakan untuk ditutup dari penerimaan dalam negeri. Sedangkan pinjaman
luar negeri digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Selanjutnya secara terus
menerus diusahakan agar penerimaan dalam negeri dapat lebih tinggi dari
pengeluaran rutin sehingga tercipta tabungan pemerintah yang dapat digunakan
sebagai bagian belanja pembangunan. Agar tidak terjadi tambahan inflasi akibat
adanya hutang, seluruh nilai hutang dipergunakan untuk kegiatan pembelian
barang-barang impor. Sistem ini berlaku sampai dengan tahun 1999. Setelah itu
diberlakukan balance budget yang mengakui adanya budget surplus dan budget deficit
(dibahas pada subbab berikut).

Didalam konsep anggaran perlu dibedakan antara penerimaan versus


pendapatan, dan pengeluaran versus belanja. Yang pertama, penerimaan publik
tidak selalu berupa pendapatan publik. Karena ada beberapa aktivitas yang
mengakibatkan aliran dana masuk yang tidak menambah kekayaan neto negara,
seperti penerimaan kembali anggaran pengeluaran yang tidak terpakai. Sedangkan
pendapatan publik pasti menyebabkan kenaikan kekayaan neto negara, contoh
penerimaan pajak. Berikutnya, pengeluaran publik tidak selalu identik dengan
belanja publik. Pengeluaran publik seperti pembayaran pokok hutang akan diikuti
dengan pengurangan liabilitas publik sehingga tidak mengurangi kekayaan neto

Dasar-dasar Keuangan Publik


71

negara. Belanja publik pasti mengurangi kekayaan neto negara, misalnya


pembayaran bunga hutang.

Selanjutnya, anggaran adalah suatu rencana keuangan yang merupakan


perkiraan tentang apa yang akan dilakukan dimasa yang akan datang. Setiap
anggaran belanja menguraikan berbagai fakta yang khusus (spesifik) tentang apa-
apa yang direncanakan untuk dilakukan oleh unit organisasi yang menyusun
anggaran belanja tersebut pada periode waktu yang akan datang. Dalam
anggaran, dipaparkan adanya rencana pengeluaran yang didasarkan pada
ekspektasi pendapatan. Rencana pengeluaran sebaiknya mengindikasikan juga
urutan skala prioritas serta ekspektasi kualitas dan kuantitas layanan.

Balance budget
Seluruh rencana pengeluaran dan penerimaan pemerintah biasanya
melalui prosedur pembahasan oleh lembaga legislatif untuk disahkan setiap
tahun, on-budget. Namun ada sebagian kecil anggaran yang dibiayai dengan
dedicated fund tidak dibahas oleh lembaga legislatif setiap tahunnya, dikenal
sebagai off-budget. Contoh dari off-budget adalah alokasi dana yang diperuntukkan
bagi program pensiun dan tunjangan hari tua.
Jika rencana pengeluaran melebihi anggaran penerimaan, maka timbul
budget deficit sebaliknya jika penerimaan diproyeksikan dapat lebiih tinggi dari
rencana pengeluaraan maka disebut budget surplus. Pada umumnya on-budget
mengalami deficit, sedangkan off-budget mengalami surplus. Apabila anggaran
disusun dengan mengkonsolidasikan antara on-budget dan off-budget, maka
anggaran yang dihasilkan disebut unified-budget.

Jenis-jenis Anggaran
Jenis-jenis anggaran meliputi:
a. Anggaran belanja line-item (line-item budgeting)
Jenis anggaran belanja yang hanya membuat daftar barang-barang atau obyek-
obyek, disebut anggaran oyek pengeluaran atau anggaran belanja line-item.

Anggaran memuat perkiraan dari pengeluaran uang. Pengeluaran tersebut


harus jelas maksud dan tujuannya. Apabila dikatakan untuk membeli barang,
hal ini adalah sesuatu hal yang masih sangat umum, disebabkan setiap instansi
atau Departemen mempunyai kebutuhan barang yang berbeda. Oleh karena
itu harus disebutkan secara khusus atau spesifik, yaitu obyek-obyek atau item-
item apa yang akan dibeli dengan uang yang dianggarkan itu.

Bila obyek yang ada dalam line-item budget cukup banyak, maka perlu dibuat
pengelompokan ataupun penggolongan. Pengolongan barang tersebut
misalnya: jasa-jasa kontrak, perlengkapan dan material serta peralatan,
tergantung pada kriteria unit atau organisasi yang bersangkutan. Dari
pengelompokan barang-barang inilah maka digunakan istilah obyek atau line-
items. Contoh line-item budget adalah sebagai berikut.

Jenis Pengeluaran Jumlah

Dasar-dasar Keuangan Publik


72

• Pengeluaran Rutin
I. Belanja Pegawai Rp XXX
II. Belanja Barang Rp XXX
III. Subsidi Daerah Otonom Rp XXX
IV. Pembayaran Bunga & Rp XXX
cicilan Hutang
• Pengeluaran Pembangunan
I. Pembiayaan Rupiah Rp XXX
1. Bunga Kredit Program Rp XXX
2. Bunga Obl. Rp XXX
Restrukturisasi Perbankan
II. Pembiayaan Proyek Rp XXX

Kelebihan sistem anggaran line-item ialah mudah mengawasi penggunaanya,


karena mencantumkan dengan jelas barang-barang atau obyek-obyek di mana
uang itu dibelanjakan. Setiap barang atau kelompok barang dibuat daftarnya
disertai angka nilai rupiah, sehingga dari catatan tersebut dapat dilihat secara
tepat, apakah anggaran belanja itu dipatuhi dengan baik atau tidak. Dengan
demikian orang yang bertanggung jawab dalam membelanjakan uang itu
mudah diperiksa melalui keharusan mengikuti pengeluaran sebagaimana yang
telah direncanakan.

Sedangkan kelemahan sistem anggaran line-items adalah sulit


menyederhanakan berbagai jenis barang untuk dikelompokkan. Di samping
itu, terdapat perbedaan pengelompokan barang-barang antara unit atau
organisasi yang satu dengan unit atau organisasi barang yang diperlukan
setiap organisasi tersebut dan tidak didasarkan atas perencanaan yang
menyeluruh dan berkesinambungan, karena perkiraan kebutuhan untuk masa
mendatang tidak dikaitkan dengan maksud dan tujuan yang lebih luas.

b. Angaran belanja berprogram (a program budgeting)


Suatu anggaran yang berorientasi kepada maksud dan tujuan untuk apa uang
dibelanjakan, disebut anggaran berprogram (a program budget). Anggaran
berprogram mengelompokan pengeluarannya ke dalam program-program.
Penggunaan kata fungsi, kegiatan, atau misi, kadang-kadang diperlukan
sebagai pengganti program-program. Dengan kata lain, suatu anggaran
belanja yang disusun sesuai dengan tujuan, fungsi-fungsi dan kegiatan-
kegiatan pengeluarannya disebut anggaran berprogram (a program budget).
Contoh dari anggaran berprogram yang digunakan dalam menyusun APBN
Indonesia Tahun 2005 adalah sebagai berikut.

Kode Nama Fungsi, Sub Fungsi, dan Program Jumlah


01 PELAYANAN UMUM PEMERINTAHAN XXX
01.01 LEMBAGA EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF, XXX
KEUANGAN DAN FISKAL, DAN LUAR NEGERI

01.01 01 PENYELENGGARAAN PIMPINAN XXX

Dasar-dasar Keuangan Publik


73

KENEGARAAN DAN PEMERINTAHAN


01.01 02 PENYELENGGARAAN PIMPINAN XXX
DEPARTEMEN/ LEMBAGA
01.01 03 PEMBINAAN PRODUK LEGISLATIF XXX
Dst. Dst. Dst.

Kelebihan sistem anggaran berprogram adalah:


1) Memungkinkan kita membuat daftar prioritas dalam memutuskan
kegiatan-kegiatan yang akan dibelanjakan;
2) Lebih informatif, karena dapat diketahui tingkat kepentingan tujuan
pembelanjaan itu, bukan perincian yang sempit sifatnya.

Dengan anggaran berprogram, kita dapat mengetahui tujuan serta maksud


membelanjakan uang tersebut. Kemudian, kita juga dapat menetapkan tingkat
prioritas untuk membedakan bahwa program yang satu lebih penting dari
program yang lain. Oleh karena itu akan terdapat program yang mendapat
dana jauh lebih sedikit dari yang lain, sekalipun ia dianggap fungsi yang lebih
penting. Dengan demikian tak cukup kita menggunakan suatu anggaran yang
hanya menyebutkan daftar barang-barang yang akan dibelanjakan, sebab
suatu program terdiri atas unsur-unsur program, yang merupakan bagian
program yang lebih luas.

Sedangkan kelemahan anggaran berprogram ialah kurang mengandung arti


pengawasan didalamnya, dibandingkan dengan anggaran line-item (line-item
budget). Hal ini disebabkan karena dalam anggaran berprogram, anggaran
belanja sistem hanya mencantumkan X rupiah untuk belanja yang satu dan Y
rupiah untuk belanja yang lain. Misalnya X rupiah untuk kepentingan
ketertiban umum, yang tidak jelas obyek-obyeknya, sebab dari arti ketertiban
umum itu dapat pula untuk pembangunan prasarana fisik (kantor) yang
mewah bagi kepentingan ketertiban umum yang menyimpan dari tujuan yang
diharapkan.

Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan anggaran berprogram dalam segi
pengawasan dan tingkat keluwesan (flexibility) adalah dengan cara
mengkombinasikan sifat anggaran berprogram dengan sifat anggaran
berdasarkan anggaran line-item. Dengan demikian anggaran berprogram yang
mempunyai perincian line-item dikaitkan dengan tujuan dari pada program.
Sekalipun demikian dapat disebut anggaran berprogram, disebabkan tidak
hanya sekedar mendaftar barang-barang dan jasa-jasa yang akan dibelanjakan,
tetapi penyusunan dana itu disesuaikan dengan program-programnya.

c. Anggaran berbasis kinerja (performance budgeting).


Anggaran belanja berbasis kinerja (performance budget) dibangun atas anggaran
berprogram. Anggaran belanja berbasis kinerja ini hanya menambahkan
keterangan berapa banyak jenis pelayanan yang akan disediakan untuk
melaksanakan suatu tujuan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


74

Ada dua hal yang harus dilakukan dalam menyusun anggaran belanja berbasis
kinerja, yaitu, pertama, harus tersedia ukuran hasil kerja (output) yang
realistis, artinya berapa banyak suatu hasil yang dapat dibuat dengan biaya
itu. Jelasnya unit ukuran yang digunakan harus menguraikan secara nyata
(konkrit) apa yang akan dikerjakan. Kedua, langkah selanjutnya adalah
menetapkan dan mengukur suatu tingkat pelayanan yang wajar.

Dengan demikian anggaran berbasis kinerja adalah anggaran pelaksanaan


yang mencakup kombinasi antara anggaran belanja line-item (line-item budget),
anggaran berprogram (program budget), obyek-obyek pengeluaran (seperti
persediaan dan bahan), dan data-data hasil kerja. Contoh anggaran belanja
berbasis kinerja adalah sebagai berikut.

Program: Peningkatan prasarana jalan


Kegiatan I: Pembebasan tanah
Ukuran hasil: Jumlah
- Panjang lahan yang dibebaskan: 10 kilometer
- Biaya pembebasan per kilometer: Rp50.000.000
Jumlah Sub Total Rp 500.000.000
Kegiatan II: Pembangunan jalan
Ukuran hasil:
- Panjang jalan yang dibuat: 10 kilometer
- Biaya per kilometer: Rp10.000.000
Jumlah Sub Total Rp 100.000.000
Total Biaya peningkatan prasarana jalan Rp 600.000.000

d. Zero-based budgeting
Tidak seperti kebanyakan proses pengganggaran yang jumlah dan rincian
kegiatannya didasarkan atas anggaran tahun sebelumnya seperti dinaikkan
atau sama, zero-based budgeting menggunakan paket-paket anggaran. Seluruh
program kegiatan pemerintah harus dijustifikasi setiap tahun dengan tidak
mendasarkan atas kemiripan kegiatan yang telah selenggarakan tahun
sebelumnya. Konsep ini banyak didukung oleh para pemerhati anggaran yang
tidak menginginkan adanya pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu oleh
pemerintah. Namun dalam prakteknya, konsep penganggaran ini sulit
dilaksanakan sehingga tidak banyak digunakan.

Konsep PPBS (Planning Programming and Budgeting System)


PPBS dimaksudkan sebagai usaha memperbaiki sistem penyusunan
anggaran belanja pemerintah yang telah diuraikan diatas. Dalam membicarakan
teori PPBS, dapat dijelaskan melalui konsep-konsep sebagai berikut:

Tujuan
Sebagaimana telah diuraikan bahwa suatu anggaran belanja yang berencana
(planning budget) disusun dengan penentuan tujuan-tujuan. Konsep tujuan sangat
penting dalam sistem ini, karena orang ingin mengetahui mengapa suatu kegiatan
dilaksanakan, yang merupakan landasan untuk penilaian kegiatan. Disamping itu

Dasar-dasar Keuangan Publik


75

dalam sistem anggaran belanja, ditunjukkan hubungan antara cita-cita atau tujuan
pemerintah dengan kegiatan pemerintah, yang dikelompokkan menurut
tujuannya.

Adapun kelebihan penentuan tujuan, ialah:


1) Berguna untuk mengukur efisiensi dan produktivitas dalam
pengertian manajemen.
2) Berguna dalam menilai keputusan-keputusan alokasi sumber.
3) Berguna bagi tujuan akhir dari kegiatan-kegiatan sesuatu
pemerintahan.

Output.
Sekalipun belum ada kesepakatan mengenai definisi hasil (output), akan tetapi
yang dimaksud disini ialah setiap penyelesaian kerja yang nyata dari seorang
karyawan pemerintah adalah hasil (output) pemerintah. Hal ini dapat juga berupa
sejumlah formulir pajak yang diproses sampai kepada pembangkit listrik yang
menghasilkan sejumlah kilowatt listrik bagi kepentingan masyarakat,

Pandangan yang paling umum mengenai hasil dari suatu institusi ialah
konsep output yang universal. Konsep output yang universal beranggapan bahwa
setiap penyelesaian kerja yang nyata dari suatu karyawan pemerintah dapat
dipandang sebagai output. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan hasil ialah barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan untuk
disalurkan keluar pemerintah.

Pengukuran biaya dan manfaat kegiatan pemerintah.


Konsep biaya sebagaimana digunakan dalam PPBS adalah bersifat
komprehensif (lengkap). Landasan berpikirnya adalah, bahwa dalam menghitung
biaya produksi sesuatu produk (manfaat), kita harus melihat secara menyeluruh
biaya-biaya langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan secara nyata.
Pendekatan sistem anggaran ini adalah mengaitkatkan satu sama lain segala
sesuatu yang berhubungan dengan produksi, yaitu semua manfaat dan semua
biaya yang harus diperhitungkan. Oleh karena itu PPBS menghendaki agar dalam
pengambilan keputusan yang rasional memasukkan biaya kesempatan (opportunity
cost) sebagai bagian dari biaya-biaya yang relevan terhadap output. Yang
dimaksud dengan biaya kesempatan ialah hilangnya kesempatan untuk
membelanjakan uang atau waktu atau sumber-sumber lain untuk suatu alternatif
tujuan. Misalnya kegiatan menghadiri rapat akan menghilangkan kesempatan
untuk melakukan pekerjaan lain yang memperoleh hasil.

Analisis menghitung hubungan antara besarnya input (biaya) dan


besarnya output (hasil-hasil yang dicapai) disebut input output analysis. Ukuran
efektivitas biaya menunjukkan jumlah hasil-hasil yang dapat dicapai dengan
mengeluarkan sejumlah rupiah tertentu. Akan tetapi efektivitas biaya (cost
effectiveness) harus dipertimbangkan pula terhadap hasil-hasil dari sudut manfaat
biaya (cost-benefits). Untuk itu, disamping mengukur biaya-biaya maupun manfaat
menurut nilai sekarang, dibuat juga suatu perbandingan manfaat dan biaya,
dimana manfaat-manfaat yang dinyatakan dalam nilai uang dibagi dengan biaya-

Dasar-dasar Keuangan Publik


76

biaya. Jika perbandingan itu lebih besar dari satu (>1) maka simpulannya adalah
bahwa proyek tersebut layak, karena manfaatnya melebihi biayanya.

Umpamanya : manfaat = Rp50 juta = 2 = 2 (>1)


Biaya Rp25 juta 1

Sebaliknya seandainya rasio itu adalah kurang dari satu (<1), maka
simpulannya adalah bahwa proyek itu tidak layak, karena biayanya lebih besar
dari pada manfaatnya.

Umpamanya : manfaat = Rp25 juta = 1 (<1)


Biaya = Rp50 juta 2

Analisis yang terbuka dan jelas

Analisis yang terbuka dan jelas merupakan asumsi yang merupakan unsur-unsur
kunci dan merupakan prasyarat pokok bagi keberhasilan PPBS. PPBS
menitikberatkan pada pertimbangan rasional yang didasarkan atas data dan
informasi. Hal ini berarti bahwa semua asumsi yang dipergunakan sebagai dasar
pertimbangan harus dibuat dan didukung oleh data atau informasi yang tepat dan
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Mekanisme analisis data dan
informasi harus jelas, sehingga asumsi itu bersifat rasional dan objektif.
Objektivitas yang selengkap-lengkapnya barang kali tidak mungkin diperoleh,
akan tetapi kecenderungan untuk menutupi atau menyembunyikan data kunci
harus dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena hasil analisis itu mungkin
diuji oleh analis-analis lain dan mungkin diulangi lagi dengan menggunakan
susunan asumsi yang berbeda.

Siklus Anggaran
Kebijakan fiskal pemerintah suatu negara secara ringkas tercermin dalam
anggarannya, yang di Indonesia disebut APBN. Istilah APBN yang dipakai di
Indonesia secara formal mengacu pada anggaran pendapatan dan belanja
pemerintah pusat, tidak termasuk anggaran pendapatan dan pelanja pemerintah
daerah dan perusahaan-perusahaan milik negara. Penyusunan anggaran negara
merupakan rangkaian aktifitas yang melibatkan banyak pihak, termasuk lembaga
legislatif. Peran lembaga legislatif dalam proses penyusunan anggaran
menyebabkan proses penyusunan menjadi lebih demokratis, transparan, obyektif,
dan lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Sebelum dibahas oleh lembaga legislatif, pemerintah berkewajiban


menyusun dan mengajukan rancangan anggaran. Rancangan ini memuat asumsi
umum yang mendasari penyusunan anggaran seperti perkiraan penerimaan,
pengeluaran, transfer, defisit/surplus, dan pembiayaan defisit, dan kebijaksanaan
pemerintah. Selain itu juga dimuat perkiraan terperinci pengeluaran dan
penerimaan departemen/lembaga, dan proyek, data aktual dan proyeksi
perekonomian, dan informasi terkait lainnya.

Dasar-dasar Keuangan Publik


77

Proses perjalanan suatu Anggaran yang dimulai dari penyusunan hingga


pertanggungjawaban disebut dengan siklus anggaran. Secara umum siklus
anggaran terbagi atas empat tahap yaitu:
1. Penyusunan Anggaran (budget formulation),
2. Pengesahan Anggaran (budget enactment),
3. Pelaksanaan dan Pengawasan Anggaran (budget execution),
4. Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Anggaran (budget auditing and
assessment),

Penyusunan Anggaran
Pada umumnya proses formulasi anggaran dilakukan oleh eksekutif yang
khusus menangani anggaran negara. Lembaga tersebut biasanya dibawah
naungan Departmen Keuangan yang bertugas mengkoordinasikan dan
mengorganisasikan usulan anggaran pembiayaan dan pengeluaran dari instansi-
instansi terkait, serta mendistribusikannya sesuai urutan prioritas kegiatan dan
tersedianya dana. Proses penyusunan dapat memakan waktu hingga beberapa
bulan, tergantung kompleksitas struktur pemerintahan yang dilayani.

Pada kebanyakan negara, anggaran disusun untuk masa satu tahun.


Kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya sering dijadikan
landasan penyusunan anggaran tahun berikutnya. Namun hal ini tidak
mencerminkan bahwa seluruh kegiatan harus dibiayai secara bertahap.
Pemerintah dapat saja melakukan perubahan drastis terhadap beberapa
pengeluaran jika dipandang perlu dipilih sebagai reaksi atas perubahan indikator-
indikator perekonomian. Beberapa indikator ekonomi yang biasa diikutkan dalam
pembahasan anggaran antara lain: ekspektasi pertumbuhan ekonomi, inflasi dan
karakteristik makro ekonomi lainnya seperti harga minyak mentah dunia.

Ada tiga cara dalam menyusun anggaran yaitu:


1. Bottom – Up (dari bawah ke atas)
Pada cara ini, penyusunan anggaran dimulai dari unit organisasi yang
paling bawah kemudian diteruskan secara berjenjang ke unit
organisasi yang lebih tinggi. Dalam mengajukan usulan, unit
organisasi yang paling bawah harus memperhitungkan besar kecilnya
kegiatan yang akan dilakukan.
2. Top – Down (dari atas ke bawah)
Cara ini merupakan kebalikan dari cara bottom – up. Pada cara ini, unit
organisasi yang paling tinggi menetapkan batas tertinggi (plafond)
anggaran yang dapat dibelanjakan oleh unit organisasi yang lebih
rendah. Unit organisasi yang telah ditetapkan batas anggarannya tidak
boleh melakukan pengeluaran melebihi dari batas tersebut
3. Campuran
Cara ini merupakan gabungan dari 2 cara di atas.

Pengesahan Anggaran
Proses ini dimulai ditandai dengan pengajuan usulan anggaran oleh
eksekutif untuk dibahas di lembaga legislatif. Anggota dewan dapat mengundang
pihak esksekutif pada waktu pembahasannya, atau memilih untuk mendengarkan

Dasar-dasar Keuangan Publik


78

opini publik untuk kemudian diambil keputusan. Hal ini biasa terjadi dikarenakan
adanya kemungkinan anggota legislatif yang ditunjuk dalam komisi pembahasan
anggaran tidak menguasai kerangka kerja anggaran. Faktor politik juga dapat ikut
berperan dalam proses pembahasannya. Kesemua itu tidak mempengaruhi
dibutuhkannya legalisasi usulan anggaran oleh dewan legislatif.
Anggota dewan berhak menolak usulan anggaran yang diajukan
pemerintah. Dalam hal tersebut, beberapa negara memungkinkan anggota dewan
menyusun anggarannya sendiri atau memutuskan untuk menggunakan anggaran
tahun sebelumnya. Proses pembahasan selesai setelah usulan anggaran
diundangkan atau diamandemen.

Pelaksanaan dan Pengawasan Anggaran


Proses berikutnya adalah pelaksanaan anggaran yang telah disetujui
dewan. Instansi dan departemen terkait, melakukan belanja publik terbatas
maksimal sebesar tertera pada anggaran. Sedangkan untuk penerimaan publik
diharapkan dapat melebihi atau minimal sama dengan anggaran yang telah
disetujui. Untuk mengefektifkan pelaksaaan anggaran, dibutuhkan kegiatan
pengawasan.

Prosedur pengawasan eksekusi anggaran dapat berbeda di tiap negara.


Menteri Keuangan secara terpusat dapat menerapkan kontrol ketat terhadap
prosedur aliran dana keluar, memonitor efektifitas alokasi anggaran ke
departemen-departemen lainnya, dan memberi persetujuan terhadap pengeluaran-
pengeluaran yang besar. Atau departemen-departemen dibuat lebih independen
dalam realisasi belanja publik. Sedangkan tugas Departemen Keuangan hanya
memonitor melalui laporan yang sampaikan oleh departemen-departemen.

Pada prakteknya, anggaran tidak dijalankan sama persis dengan jumlah


yang disetujui. Beberapa deviasi menyebabkan beberapa pos pengeluaran tidak
terealisasi sebagaimana tertera dalam anggaran. Tetapi pertanyaan harus diajukan
oleh tim pengawas manakala terjadi perbedaan yang signifikan tetapi tanpa dasar
alasan yang dapat diterima. Kemungkinan dari adanya perbedaan yang signifikan
adalah adanya penyelewengan kekuasaan oleh lembaga eksekutif. Bisa juga
disebabkan oleh tidak efisiennya mekanisme dan kekakuan pelaksanaan teknis
realisasi anggaran di lapangan.

Pengawasan anggaran secara kelembagaan dibagi dalam 2 bagian yaitu:


1. Pengawasan intern, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh unit inspeksi yang
betugas melakukan pengawasan di lingkungan departemen yang
bersangkutan.
2. Pengawasan ekstern, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur
pengawasan dari luar departemen.

Menurut subyeknya, pengawasan dapat dibagi menjadi:


1. Pengawasan melekat (waskat), yaitu pengawasan yang dilakukan oleh
pimpinan terhadap bawahannya.
2. Pengawasan fungsional (wasnal) yaitu pengawasan yang dilakukan oleh
institusi.

Dasar-dasar Keuangan Publik


79

3. Pengawasan legislatif (wasleg) yaitu pengawasan yang dilakukan oleh Dewan


Legislatif. Di Indonesia, BPK merupakan lembaga tinggi negara yang
melakukan pengawasan terhadap pemerintah.
4. Pengawasan masyarakat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat
yang disampaikan secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah.

Menurut caranya, pengawasan dapat dibagi menjadi:


1. Pengawasan langsung, yaitu pengawasan yang dilakukan on the spot melalui
inspeksi, sidak, maupun pemeriksaan.
2. Pengawasan tidak langsung, yaitu pengawasan yang dilakukan berdasarkan
laporan dari pejabat yang bersangkutan, aparat pengawasan fungsional,
aparat pengawasan legislatif, atau dari masyarakat.

Menurut waktunya, pengawasan dapat dibagi menjadi:


1. Pengawasan sebelum kegiatan dimulai, yang disebut sebagai pengawasan
preventif
2. Pengawasan selama kegiatan dilaksanakan, yang disebut sebagai pengawasan
represif.
3. Pengawasan setelah kegiatan dilaksanakan, yang disebut sebagai post audit.

Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Anggaran


Siklus terakhir dari anggaran adalah pemeriksaan dan
pertanggungjawaban atas efektifitas anggaran khususnya penggunaan pendapatan
publik. Jika dimungkinkan, pihak eksekutif harus dapat melaporkan pelaksanaan
kebijakan fiskalnya secara lengkap. Agar proses pemeriksaan atas
pertanggungjawaban dapat dengan mudah dilakukan. Laporan ini harus diaudit
secara reguler oleh badan independen semacam Auditor General (di Indonesia
disebut BPK) yang memiliki kapasitas untuk melakukan pemeriksaan yang akurat
dan tepat waktu.

Fungsi pemeriksaan dari lembaga legislatif tidak dimaksudkan untuk


menekan pihak eksekutif atau sekedar mencari-cari kesalahan pejabat publik. Tapi
lebih ditekankan pada bagaimana memanfaatkan seluruh kekayaan publik pada
porsi yang paling menguntungkan ekonomi negara. Manajemen anggaran modern
lebih menekankan pada perlunya sosialisasi dan distribusi informasi mengenai
anggaran publik agar lebih dapat ditingkatkan efektifitas dan efisiensi prosesnya.

Masalah Umum Anggaran


Setiap siklus anggaran memiliki problem tersendiri. Problem pada fase
penyusunan dan pembahasan lebih banyak akibat adanya campur tangan politik.
Sedangkan pada pelaksanaan dan pemeriksaan lebih mengarah pada isu-isu
manajemen dan akuntansi. Untuk mencapai hasil yang diharapkan, kombinasi
konflik antara manajemen dan politik perlu diakomodasi secara memadai.

Pada umumnya negara berkembang, problem anggaran yang dihadapi


meliputi penentuan asumsi-asumsi ekonomi dan indikator fiskal. Negara-negara

Dasar-dasar Keuangan Publik


80

tersebut seperti halnya Indonesia, menghadapi kerentanan tehadap fluktuasi


perdagangan dunia, menentukan jumlah ideal penyerapan pendapatan publik
melalui pajak, koordinasi pembangunan terencana dalam jangka panjang serta
berkesinambungan. Beberapa permasalahan mungkin diakibatkan oleh faktor-
faktor diluar kontrol, akan tetapi banyak juga ketidakefisienan yang disebabkan
oleh praktek penyusunan anggaran yang tidak fair. Sebagian anggaran mengalami
kebocoran atau penggunaan yang tidak selaras dengan pembangunan
perekonomian berkesinambungan. Hal tersebut dapat juga disebabkan oleh
lembaga-lembaga legislatif dan pemeriksa yang tidak independen atau tidak
mempunyai kapasitas sebagaimana mestinya.

Dasar-dasar Keuangan Publik


81

B A B X

KEBIJAKAN STABILISASI

T opik ini membicarakan lebih jauh mengenai fungsi utama ketiga dari
kebijakan anggaran yang, seperti telah dibahas pada Bab VII, stabilisasi
ekonomi. Anggaran, khususnya pengeluaran publik, mempengaruhi
tingkat permintaan agregat. Perubahan tingkat permintaan agregat pada akhirnya
menentukan kesempatan kerja dan tingkat harga. Mau tidak mau, anggaran akan
sangat dikaitkan dengan perilaku perekonomian secara makro dan, pada
gilirannya, akan menjadi alat yang cukup efektif untuk mempengaruhi perilaku
tersebut. Lebih jauh lagi, kebijakan anggaran juga mempengaruhi tingkat
distribusi output total dengan membaginya di antara konsumsi dan tabungan
(yang membentuk modal) yang selanjutnya mempengaruhi tingkat pertumbuhan
ekonomi. Saling keterkaitan inilah yang akan kita simak pada bab ini.

Kebijakan fiskal terhadap tingkat permintaan agregrat dalam keadaan


dimana terdapat tingkat pengangguran yang tinggi diharapkan lebih berpengaruh
terhadap perubahan output riil dibanding pada penyesuaian tingkat harga.
Dengan mempertimbangkan bahwa dalam suatu sistem tingkat investasi adalah
sesuatu yang given (tidak dapat dipengaruhi) dan apabila tidak ada suatu
pemerintahan, maka pendapatan ekuilibrium ditentukan pada tingkat dimana
tabungan masyarakat sama dengan investasi. Kebijakan fiskal itu sendiri
kemudian dapat digunakan untuk mempengaruhi tingkat investasi, hal ini
ditentukan dalam suatu sistem

Model-Model Pengganda dengan Investasi yang Tetap


Mari kita mulai dengan model yang paling sederhana di mana konsumsi
merupakan fungsi dari pendapatan. Sementara jumlah atau tingkat investasi
dianggap tetap. Investasi akan dianggap sebagai variabel endogen (variabel yang
dipengaruhi oleh pendapatan).

Penentuan Pendapatan Tanpa Anggaran


Sekarang kita akan menyimak bagaimana tingkat pendapatan ekuilibrium
ditentukan, pertama-tama tanpa anggaran dan kemudian dengan anggaran.

Dasar-dasar Keuangan Publik


82

Penentuan pendapatan dalam bentuknya yang paling sederhana diperlihatkan


pada Gambar 10-1 di mana pendapatan diletakan pada sumbu horizontal dan
pengeluaran pada sumbu vertikal. C adalah fungsi konsumsi ymg menunjukkan
bahwa pengeluaran untuk konsumsi akan meningkat sejalan dengan pertambahan
pendapatan. Pengeluaran untuk investasi, yakni I, dianggap konstan dan
independen terhadap tingkat pendapatan. Dengan menambahkan I ke C secara
vertikal, kita akan memperoleh garis pengeluaran total Y=C+I. Pendapatan
ekuilibrium tercapai apabila pendapatan yang diterima pada suatu periode sama
dengan jumlah pengeluaran. Nantinya pengeluaran tersebut akan menjadi
pendapatan pada periode berikutnya. Dengan demikian, pendapatan ekuilibrium
tercapai pada perpotongan garis pengeluaran total (atau C+I) dengan garis 450.

Gambar 10-1 Penentuan Pendapatan tanpa Sektor Publik

Perpotongan terjadi dimana pendapatan adalah A. Untuk menjaga tingkat


ekuilibrium, pengeluaran harus sama dengan pendapatan sehingga tabungan
(atau pendapatan dikurangi konsumsi) harus tertutupi oleh investasi. Jika jumlah
output (atau dengan kata lain, pendapatan) melebihi tingkat A, pengeluaran total
tidak akan memadai untuk membeli jumlah output tersebut (yakni garis C+I
terletak di bawah garis 450), nilai uang meningkat dan tingkat harga menurun.
Dengan demikian output serta pendapatan pada akhirnya akan menurun sampai
ke A. Di pihak lain, jika tingkat output atau pendapatan berada di bawah A,
pengeluaran total akan melampaui tingkat output periode berjalan (yakni, C+I
terletak di atas garis 450), nilai uang menurun dan tingkat harga meningkat

Dasar-dasar Keuangan Publik


83

sehingga akhirnya menggeser tingkat output dan pendapatan meningkat sampai


ke A.

Pada Tabel 10-1, persamaan (1) menunjukkan bahwa pendapatan total


sama dengan jumlah konsumsi dan investasi, sementara persamaan (2)
menggambarkan fungsi konsumsi. Konstanta a adalah perpotongan garis C pada
Gambar 10-1 dengan sumbu vertikal, sedangkan kecenderungan marjinal untuk
mengkonsumsi c menunjukkan kemiringannya. persamaan (3) diperoleh dengan
mensubstitusi persamaan (2) ke dalam persamaan (1). Pecahan 1/(1-c) adalah apa
yang disebut sebagai pengganda (multiplier), dan jumlah konstanta-konstanta (a+I)
adalah jumlah yang digandakan (multiplicand). Jika c=0,8, maka penggandanya
adalah 5, dan jika a=$50 milyar dan I=$100 milyar, maka pendapatan Y=$750
milyar [($50+$100)*5].

Penentuan Pendapatan dengan Anggaran


Sekarang kita masukkan pengeluaran dan penerimaan publik ke dalam sistem
tersebut guna melihat bagaimana tingkat pendapatan dipengaruhi oleh berbagai
kebijakan anggaran.

Gambar 10.2 Penentuan Pendapatan dengan Pengeluaran Publik


Pengeluaran publik
Pertama-tama kita masukkan unsur pengeluaran publik G ke dalam sistem kita.
Seperti terlihat pada Gambar 10-2. Dengan demikian diperoleh garis pengeluaran
total Y=C+I+G. Artinya pengeluaran publik tersebut menaikkan output dari A

Dasar-dasar Keuangan Publik


84

menjadi B. Dengan demikian, masuknya pengeluaran publik bisa digunakan


untuk menaikkan pendapatan. Jika pendapatan nasional masih berada di bawah
tingkat pendapatan pada kesempatan kerja penuh, pengeluaran publik bisa
digunakan untuk mencapai tingkat pendapatan yang lebih tinggi, seperti
diperlihatkan juga pada persamaan (4) sampai (7) dari Tabel 10-1. Persamaan (4)
dan (5) menyatakan kembali persamaan dasar, sedangkan persamaan (6)
menghasilkan formula pendapatan yang baru. Pengeluaran publik G akan menjadi
bagian dari konstanta yang digandakan. Persamaan (7) yang diperoleh dengan
menyajikan persamaan (6) dalam bentuk diferensial, menunjukkan kenaikan
pendapatan yang ditimbulkan. Jika C=0,8, kenaikan G sebesat $1 milyar akan
menaikkan pendapatan ekuilibrium sebesar $5 milyar.

Gambar 10-3 Penentuan Pendapatan dengan Pajak Lump-Sum

Pajak Lump-Sum
Selanjutnya mari kita perhatikan peranan pengenaan pajak dalam bentuk
lumpsum, yakni pajak dalam suatu jumlah yang tetap, tanpa memperdulikan
pendapatan. Dengan menambahkan I dan C, kita mendapatkan C+I dan tingkat
pendapatan sebesar A. Sekarang apabila terhadap penerimaan dikenakan pajak,
fungsi konsumsi merosot dari C ke C’. Konsumsi menurun sebesar pajak yang
dikenakan. Perpotongan garis pengeluaran yang baru, C'+I, dengan garis 450
menjadi lebih rendah dan pendapatan menurun dari A ke D. Konsumen yang
menerima pendapatan A setelah membayar pajak akan mempunyai pendapatan

Dasar-dasar Keuangan Publik


85

disposabel sebesar D. Fungsi konsumsi ditentukan melalui C'=a+c(Y-T).


Persamaan tersebut menunjukkan konsumsi sebelum pengenaan pajak sekaligus
dengan penurunan pendapatan disposabel karena adanya pajak. Dengan demikian
baik perubahan pajak maupun perubahan pengeluaran publik bisa digunakan
untuk menyesuaikan tingkat pengeluaran yang tentunya juga mempengaruhi
tingkat pendapatan serta kesempatan kerja.

Pengaruh pungutan pajak lump-sum diperlihatkan pada persamaan (8)


sampai (11) dari Tabel 10-1. Pada persamaan (9), pajak dimasukkan ke fungsi
konsumsi sementara kecenderungan marginal untuk mengkonsumsi c merupakan
pendapatan disposabel, atau pendapatan setelah pajak. Pada persamaan (10) kita
melihat bagaimana pajak memperkecil jumlah yang digandakan. Persamaan (11)
diperoleh dengan mengubah persamaan (10) ke dalam bentuk diferensial dan
melakukan pemecahan untuk ΔT, kita melihat kaitan pajak dengan pendapatan.

Dalam tabel 10-1 terlihat, kenaikan pendapatan akibat turunnya pajak


untuk setiap dollar lebih rumit dibanding kenaikan pendapatan akibat tambahan
pengeluaran publik. Pajak lump-sum tidak mempengaruhi faktor pengganda, tetapi
mengurangi jumlah yang digandakan. Karena penambahan pendapatan akibat
pengurangan pajak dalam konsumsi hanya sebesar c*ΔT saja. Sisanya tercermin
dalam kenaikan tabungan. Dengan alasan yang sama, pengaruh kenaikan pajak
terhadap penurunan tingkat pendapatan tidak sebesar penurunan yang
diakibatkan oleh berkurangnya pengeluaran publik.

Peranan Tunjangan Sosial (transfer)


Tunjangan pemerintah atau pembayaran transfer (tranfer payments), yang tentunya
berbeda dari dari pembelian pemerintah (G), dapat dianggap sebagai pajak negatif
dalam analisis ini. Dengan demikian, tunjangan atau R dapat disubstitusikan
terhadap I pada persamaan (11) tetapi dengan tanda yang terbalik, yang
menunjukkan bahwa kenaikan R akan bersifat ekspansioner (memperbesar
pendapatan). Akan tetapi disinipun perubahan pendapatan yang ditimbulkannya
lebih kecil daripada yang ditimbulkan oleh kenaikan G. Alasannya sama, yaitu
sebagian dari kenaikan pendapatan disposabel yang berasal dari tunjangan akan
tercemin dalam kenaikan tabungan dan bukan dalam konsumsi.

Sistem dengan Pajak Penghasilan.


Sekarang kita harus beralih ke kasus yang lebih realistis dimana penerimaan
pemerintah berasal dari pajak penghasilan bukan dari pajak lump-sum. Pengenaan
pajak semacam ini tidak menggeser fungsi konsumsi secara paralel, sebagaimana
halnya dengan pajak lump-sum, tetapi bergerak ke bawah dengan tetap berpusat
pada titik potong dengan sumbu vertikal yang sama. Pajak bertambah sejalan
dengan bertambahnya pendapatan. Karena itu, kemiringan fungsi konsumsilah
dan bukan titik perpotongannya yang menurun. Agar pendapatan meningkat
maka diperlukan penurunan tarif pajak t seperti yang diperlihatkan pada Gambar
10-4, di mana C adalah fungsi konsumsi sebelum penurunan pajak dan C” setelah
penurunan pajak, dimana pendapatan menurun A ke E.

Dasar-dasar Keuangan Publik


86

Gambar 10-4 Pengaruh Pajak Penghasilan

Proses ini diperlihatkan pada persamaan (12) sampai (18) dari Tabel 10-1.
Perhatikan bahwa cara memperhitungkan pajak ke dalam fungsi konsumsi pada
persamaan (13) berbeda dengan cara memperhitungkan pajak lump-sum pada
persamaan (9), karena pengenaan pajak penghasilan dalam hal ini menurunkan
kecenderungan marjinal untuk mengkonsumsi pendapatan sebelum pajak.
Dengan kata lain, hal ini memperkecil faktor pengganda. Kiranya hal ini cukup
masuk akal karena T=tY. Dengan naiknya pendapatan, naik pulalah penerimaan
pajak, sehingga memperkecil pendapatan disposabel C. Karena itu bisa
meniadakan seluruh efek ekspansioner yang ditimbulkan oleh kenaikan G. Jadi,
sekiranya c=0,8, tarif pajak t=0,3 akan menurunkan pengganda dari 5 menjadi 2,27.
Penambahan G sebesar $1 milyar hanya akan menaikkan Y sebesar $2,27 milyar.
Karena itu pengaruh pajak penghasilan dapat menghambat keefektifan dari
kenaikan pengeluaran publik.

Kenaikan Anggaran Berimbang


Setelah menyadari bahwa kenaikan pengeluaran adalah bersifat ekspansioner
sementara kenaikan pajak bersifat restriktif (menurunkan pendapatan), kita perlu
mempertimbangkan perubahan anggaran berimbang seperti ΔG=ΔT. Artinya
tingkat penerimaan publik bertambah sebesar kenaikan pengeluaran publik.
Pengganda dalam anggaran berimbang sama dengan 1. Kenaikan berimbang
dalam pelaksanaan anggaran mempunyai efek ekspansioner, tetapi hanya satu
banding satu. Efek pengganda yang melipatgandakan pendapatan tidak berlaku.

Dasar-dasar Keuangan Publik


87

Tabel 10-1:
Penentuan Pendapatan dan Faktor Pengganda Fiskal (Investasi = Konstan)

Sistem tanpa sektor publik

Y = C+I (1)
C = a + cY (2)
Y = (a + I) (3)
1–c

Sistem dengan pembelian pemerintah


Y = C+I+G (4)
C = a + cY (5)
Y = (a + I + G) (6)
1–c
ΔY = ΔG (7)
1–c

Sistem dengan pajak lump-sum


Y = C+I (8)
C = a + c ( Y – T) (9)
Y = (a + I - cT) (10)
1–c
ΔY = c*ΔT (11)
1–c

Sistem dengan pajak penghasilan


Y = C+I (12)
C = a + c (1 - t)Y (13)
Y = (a + I) (14)
1 – c(1-t)

Sistem dengan pembelian pemerintah dan pajak penghasilan


Y = C+I+G (15)
C = a + c (1 - t)Y (16)
Y = a + I + G) (17)
1 – c(1-t)
ΔY = ΔG (18)
1 – c(1-t)

Jenis-Jenis lnflasi
Sejauh ini kita mengasumsikan bahwa tingkat harga konstan sehingga
dampak kebijakan angaran terhadap tingkat permintaan agregat tercermin pada
perubahan output dan kesempatan kerja. Tetapi mungkin bukan demikian halnya.
Kenaikan pengeluaran agregat mungkin akan tercermin pada kenaikan harga dan
bukan pada kenaikan output. Pembangunan yang mengatasi pengangguran besar-
besaran dan penggunaan modal yang sangat rendah tidaklah mampu untuk

Dasar-dasar Keuangan Publik


88

menyediakan output yang dibutuhkan secara cepat, dan dalam keadaan demikian
kenaikan tingkat pengeluaran cenderung tercermin pada kenaikan harga.

Karena itu diperlukan kebijakan fiskal yang cermat untuk menghindarkan


inflasi sambil menanggulangi pengangguran. Di sini kita melihat bahwa kebijakan
yang salah bisa menjadi penyebab inflasi. Di pihak lain, inflasi bisa juga timbul
karena hal-hal lain di luar kebijakan stabilisasi. Dalam keadaan demikian
kebijakan stabilisasi diperlukan untuk mengatasi inflasi tersebut. Kedua aspek ini
akan kita pertimbangkan kemudian.

lnflasi Akibat Permintaan (Demand - Pull Inflation)


Inflasi yang timbul karena meningkatnya pemintaan bisa disorot dari dua sektor,
yaitu sektor anggaran pemerintah dan sektor swasta.

• lnflasi yang Diakibatkan Anggaran


Pertama-tama mari kita bayangkan suatu keadaan di mana kebijakan
anggaran bisa menjadi penyebab inflasi. Anggaplah perekonomian berada
pada tingkat tanpa pengangguran sedangkan pengeluaran publik akan
ditingkatkan tanpa menaikkan pajak. Permintaan agregat meningkat dan
akibatnya terjadilah inflasi. Untuk memahami bagaimana inflasi tersebut
berlangsung kita bisa menyimak kembali model penentuan pendapatan
yang paling sederhana di mana kita hanya memperhitungkan konsumsi
dan pengeluaran publik, dan diasumsikan bahwa konsumsi sama dengan
pendapatan disposable. Mari kita ubah model tersebut ke dalam bentuk
yang dinamis dan kita identifikasi periode pada saat mana pengeluaran
dilakukan atau pendapatan diperoleh. Kita akan memulainya dengan
situasi ekuilibrium pada kesempatan kerja penuh dengan anggaran yang
berimbang. Selanjutnya kita mengasumsikan bahwa pemerintah
menaikkan pengeluaran publik tanpa menaikkan pungutan pajak; dengan
kata lain pengeluaran tambahan tersebut dibiayai dengan anggaran yang
defisit. Pada kondisi perekonomian berada dalam kesempatan kerja
penuh, seluruh kenaikan pengeluaran menyebabkan penurunan nilai uang
yang tercermin pada kenaikan harga.

• Inflasi yang Ditimbulkan Sektor Swasta


Proses yang sama juga bisa terjadi jika pihak swasta mengakibatkan
perubahan pemintaan, misalnya berupa kenaikan investasi atau
pergeseran fungsi konsumsi ke arah atas. Dan sekali lagi pemerintah
melalui instrumen kebijakan fiskal harus mengambil sikap apakah akan
membiarkan atau menekan kenaikan harga-harga tersebut.

lnflasi yang Diakibatkan Biaya (Cost-Push Inflation)


Sekarang kita akan beralih pada suatu situasi di mana gejolak awal diakibatkan
oleh kenaikan biaya secara tiba-tiba oleh faktor luar, seperti kenaikan harga
minyak. Kenaikan biaya secara tiba-tiba ini, jika disokong oleh perluasan
permintaan, akan mendorong kenaikan harga dan selanjutnya mengakibatkan
kenaikan upah, sehingga akan menimbulkan inflasi yang berkelanjutan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


89

Pengharapan yang Rasional


Banyak alasan mengapa pelaksanaan kebijakan stabilisasi merupakan
tugas yang pelik. Meskipun demikian, analisis makro sampai saat ini cenderung
mengarah pada suatu konsensus tentang bagaimana kebijakan harus dilaksanakan
dalam keadaan yang serba sulit tersebut. Perdebatan mengenai efektivitas
kebijakan fiskal dibanding kebijakan moneter telah menumbuhkan pengakuan
bahwa kedua alat tersebut bisa efektif dan harus dipadukan dalam proporsi yang
tepat.

Teorema tentang Ketidakefektitan Kebijakan

Jika harga-harga dan upah secara menyeluruh bersifat fleksibel, perekonomian


akan bergerak ke arah ekuilibrium pada kesempatan kerja penuh. Pengangguran
memang akan ada, tetapi pada tingkat yang wajar, yaitu bagi mereka yang sedang
mencari kerja dan sedang pindah kerja. Di sini tidak diperlukan kebijakan tertentu
untuk mempertahankan kesempatan kerja penuh. Jika pemerintah mengumumkan
tekadnya untuk menaikkan pengeluaran publik pada tingkat tertentu, semua
pelaku ekonomi akan mengharapkan harga untuk naik pada tingkat yang sama.
Harga dan upah akan bergerak bersama-sama sehingga nilai riil dari semua faktor
pendapatan tidak berubah - sama halnya dengan ilustrasi terdahulu mengenai
tingkat inflasi yang mengarah ke keadaan ekuilibrium pada kesempatan kerja
penuh.

Dalam perekonomian semacam itu, semua perubahan yang diharapkan


langsung disesuaikan terhadap ekuilibrium dan sistem itu tidak mungkin berubah
dari keadaan tersebut kecuali jika terjadi perubahan mendadak yang tidak
diharapkan atau bersifat acak. Anggaplah misalnya; jumlah upah dinaikkan berkat
desakan tertentu dari serikat pekerja sedangkan produsen belum mengantisipasi
kenaikan biaya ini atau karena itu belum menaikkan harga. Nilai riil dari biaya
pekerja meningkat dan pada akhirnya terjadilah pengangguran. Dapatkah ini
ditanggulangi dengan kebijakan yang ekspansioner? Jawabnya tergantung pada
apa yang terjadi dengan pengharapan.

Anggaplah semua pelaku ekonomi memperlihatkan bahwa pemerintah


akan mengambil tindakan ekspansioner, misalnya dengan menaikkan jumlah
pengeluaran publik untuk mendorong kenaikan harga. Sebagai reaksi, mereka
berasumsi semua harga dan upah akan naik. Hasilnya, nilai riil dari biaya pekerja
tidak akan berubah. Variabel-variabel riil lainnya dari sistem tersebut, termasuk
tingkat kesempatan kerja, tidak akan terpengaruh oleh kebijakan tersebut. Hal ini
tidak efektif. Kebijakan akan dapat mempengaruhi sistem dalam nilai riil hanya
jika tindakan tersebut tidak dapat duga dan karena itu itu tidak diantisipasi oleh
pelaku perekonomian. Tetapi kebijakan yang dianggap layak cenderung
merupakan hal yang dapat di pekirakan sebelumnya, sedangkan kebijakan yang
bersifat acak belum tentu merupakan suatu tindakan yang tepat.

Pemikiran ini didasarkan pada asumsi (1) bahwa perubahan kebijakan


diantisipasikan dan (2) bahwa antisipasi tersebut mendorong dilakukannya
penyesuaian sesegera mungkin tanpa adanya kesenjangan dalam sistem

Dasar-dasar Keuangan Publik


90

perekonomian. Jika antisipasi itu tidak sempurna atau jika kesenjangan terjadi,
tindakan ekspansioner bisa mendorong kenaikan pemintaan melebihi kenaikan
biaya sehingga memperbesar kesempatan kerja. Karena itu teorema yang
menyatakan ketidakmungkinan di atas akan tergantung pada validitas empiris
dari asumsi (1) dan (2). Karena ketidaksempumaan kita untuk memperkirakan
masa mendatang dan dengan adanya keterpakuan dan ketidakluwesan, maka
teorema ini tidak bisa dianggap sebagai suatu penilaian yang realistis atas
keampuhan dari kebijakan. Dalam dunia nyata, kebijakan stabilisasi, meskipun
sukar, namun bisa efektif. Tentu saja antisipasi mengenai pembahasan kebijakan
serta kredibilitas dari pengumuman mengenai kebijakan yang diambil akan
mempercepat tercapainya hasil yang diharapkan kebijakan tersebut dan
memperbesar keefektifannya.

Keseimbangan Menurut Paham Ricardo

Dalil kedua mengenai pengharapan yang rasional dilandaskan pada pilihan antara
pembiayaan dengan pajak atau pembiayaan dengan pinjaman. Pada pembahasan
sebelumnya kita telah melihat bahwa kedua kebijakan itu berbeda. Kenaikan
pengeluaran publik lebih ekspansioner jika dibiayai dengan pinjaman daripada
dengan pajak. Efek crowding out terhadap investasi (dengan mengasumsikan
jumlah uang yang beredar konstan) mengurangi efek ekspansioner dari pembiayaan
dengan anggaran defisit, tetapi tetap lebih besar jika dibanding dengan
pembiayaan melalui pajak.

Pendekatan dengan pengharapan yang rasional mempertanyakan apakah


memang demikian kenyataannya? Individu yang rasional, jika dihadapkan pada
penambahan anggaran yang dibiayai secara defisit, menyadari bahwa pada masa
mendatang pajak pasti dinaikkan guna membayar beban bunga dan tambahan
hutang. Dia akan menghitung nilai sekarang dari kenaikan pajak masa mendatang
tersebut. Nilai sekarang itu sama dengan jumlah yang harus dibayar sekarang jika
kenaikan anggaran dibiayai dengan pajak. Pada kedua kasus tersebut terjadi
pengurangan nilai bersih dalam jumlah yamg sama. Karena itu, pembiayan
dengan pajak atau pinjaman mempunyai efek ekonomi yang seimbang - yaitu
bahwa konsumen yang rasional, jika berada dalam posisi yang sama pada kedua
kasus tersebut, akan bereaksi dengan cara yang sama tanpa memperdulikan apa
pun metode pembiayaan yang dipilih. Karena itu, tidak perlu rasanya
mempersoalkan metode mana yang dipilih. Dampak penurunan bukanlah
merupakan masalah, begitu juga halnya dengan, bauran kebijakan yang
semestinya.

Tetapi, keseimbangan menurut Paham Ricardo ini (Ricardian Equivalence),


yang mengabadikan nama seorang ekonom klasik yang terkenal yaitu Bapak David
Ricardo, juga dilandasi oleh asumsi yang tidak realistik. Hampir tak bisa
dibayangkan bahwa para konsumen akan mengantisipasikan konsekuensi masa
mendatang dari pembiayaan dari pinjaman yang dilaksanakan saat ini. Pemberi
pinjaman dan pembayar pajak bukanlah orang ymg sama, undang-undang pajak
masa mendatang dan distribusi beban mereka tidaklah pasti, dan tambahan
pembayaran bunga mungkin juga akan dibiayai dengan pinjaman lain. Lebih jauh
lagi, nilai dari hutang di masa mendatang mungkin juga menurun karena inflasi.

Dasar-dasar Keuangan Publik


91

Semua faktor ini menunjukkan bahwa mustahil kiranya setiap orang akan
memberikan reaksi yang sama bagi pembiayaan dengan pajak dan pembiayaan
dengan pinjaman sehingga tidak ada pengenaan efek kebijakan terhadap tingkat
permintaan agregat atau terhadap pembagian output di antara konsumsi dan
investasi. Sebagai contoh nyata, defisit besar-besaran pada tahun 1980-an di AS
justru disertai oleh tingkat tabungan perorangan yang rendah, bukan tingkat
tabungan yang tinggi seperti yang dihipotesiskan oleh pengharapan yang rasional.

Dasar-dasar Keuangan Publik


92

B A B XI

PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

euangan publik memainkan peranan penting dalam perekonomian negara.

K Sejumlah kesulitan yang mengganggu kemajuan ekonomi suatu negara


harus dipecahkan oleh sektor publik; namun masalah kelembagaan dan
sosial yang dihadapi oleh suatu negara dapat memperpelik dan membatasi tugas
kewenangan dalam menetapkan kebijakan anggaran dan stabilisasi. Karena itulah
masalah-masalah pembiayaan pembangunan perlu dibicarakan secara khusus dan
terpisah.

Unsur-Unsur Pembangunan
Persyaratan yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi di negara-
negara berpendapatan rendah termasuk dalam rangka kelanjutan pertumbuhan
perekonomiannya sama halnya seperti persyaratan yang diperlukan untuk
mempertahankan pertumbuhan ekonomi di negara yang relatif sudah maju.
Namun di luar itu, masih banyak persyaratan lain yang diperlukan. Untuk
mencapai pertumbuhan, tidak cukup hanya dengan cara penyediaan modal
pembangunan (yang meliputi investasi fisik dan investasi sumber daya manusia)
serta proses teknologi yang diperlukan, tetapi juga diperlukan sejumlah
perubahan sosial dan kelembagaan yang merupakan sebab dan akibat dari tingkat
pembangunan perekonomian yang masih rendah. Dalam hal ini, sektor publik
memegang peranan penting terhadap semua unsur pembangunan ini.

Besarnya Sektor publik dan Pendapatan per Kapita


Sebagaimana telah di ulas pada bagian terdahulu mengenai perkembangan sektor
publik di negara-negara maju, sektor publik cenderung tumbuh sejalan dengan
pertumbuhan pendapatan. Gambaran semacam itu yang terdapat baik pada
negara berpendapatan tinggi maupun rendah.

Pembentukan Modal Pembangunan


Persyaratan fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan
modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk.

Dasar-dasar Keuangan Publik


93

Pembentukan modal tersebut harus didefinisikan secara luas sehingga mencakup


semua pengeluaran yang sifatnya menaikkan produktivitas. Bisa saja hal itu
berupa investasi di sektor publik dan swasta. Pada tahap-tahap awal
pembangunan, khususnya investasi pemerintah dalam bentuk infrastruktur,
sangatlah penting karena hal itu menjadi kerangka persiapan bagi investasi
manufaktur pada tahap berikutnya, entah itu oleh pemerintah (di negara-negara
sosialis) atau oleh swasta (dalam perekonomian pasar bebas). Lebih jauh lagi,
pembentukan modal pembangunan meliputi investasi pada sumber daya manusia
dalam bentuk pendidikan dan pelatihan (training) seperti halnya investasi dalam
bentuk fisik. Terdapat berbagai cara penggunaan sumber daya untuk
meningkatkan produktivitas, dan perpaduan berbagai cara tersebut harus
ditentukan dalam proses perencanaan pengeluaran dan sumber daya. Lebih jauh
lagi, prioritas akan selalu berubah, demikian juga dengan bauran investasi yang
optimum.

Untuk sementara waktu kita akan mengabaikan perencanaan masalah


investasi dan memusatkan perhatian pada dari mana kita akan memperoleh
sumber daya tambahan untuk investasi tersebut. Jika sumber daya yang
terbengkalai tidak bisa dimanfaatkan atau jika sumber daya tambahan tidak dapat
diperoleh dari luar negeri, maka konsumsi periode berjalan harus dikurangi agar
sumber daya bagi investasi tersedia. Sampai pada tingkat tertentu, mobilisasi
sumber daya yang terbengkalai pasti masih memungkinkan.

Misalnya, banyak negara berpendapatan rendah mempunyai sedemikian


banyak tenaga kerja yang terbengkalai dan lapangan kerja bagi mereka bisa
tersedia hanya dengan usaha pembangunan yang sangat sederhana seperti
pembangunan drainase, irigasi, jalan, dan bendungan. Dalam kondisi seperti ini,
pemerintah hanya perlu berperan sebagai pengorganisasi bagi pemanfaatan
sumber daya. Tetapi dilain pihak, sumber modal pembangunan semacam ini
mempunyai keterbatasan tersendiri dan penyediaan lapangan kerja bagi para
pengangguran mungkin akan memerlukan investasi pendukung tertentu.

Kemungkinan lain adalah dengan mengusahakan sumber daya investasi


dari luar negeri dalam bentuk pinjaman dan bantuan pemerintah atau sebagai
investasi swasta. Akan tetapi, semua itu tentunya tidak akan mencukupi, dan
walau bagaimanapun juga bantuan tersebut tidak akan diperoleh tanpa adanya
usaha pendukung dari negara bersangkutan. Para investor swasta dari luar negeri,
sebagaimana halnya dengan investor domestik, memerlukan investasi yang
memadai dalam bentuk infrastruktur dan bantuan pemerintah baru akan
diberikan jika telah ada rencana pembangunan yang dirumuskan dengan baik. Hal
ini akan mencakup ketentuan mengenai peningkatan investasi domestik yang
sebagian besar dibiayai dengan pajak.

Selanjutnya, tak bisa dipungkiri bahwa salah satu masalah besar adalah
bagaimana mengalihkan sebagian konsumsi periode berjalan untuk digunakan
sebagai sumber daya pembangunan. Pada perekonomian yang dikendalikan
secara terpusat di mana badan usaha milik negara memegang dominasi,
pengalihan ini dapat dilakukan dengan menahan sebagian hasil pengembalian
(returns) yang dibayar kepada faktor produksi sehingga pembayaran lebih kecil

Dasar-dasar Keuangan Publik


94

dari hasil produk marjinal. Tetapi pada perekonomian yang didesentralisir,


pembentukan modal dari hasil internal pasti akan berasal dari tabungan
pemerintah atau swasta. Dalam kadar tertentu, jika keadaan cukup mendukung,
kenaikan tingkat tabungan bisa terjadi secara sukarela di sektor swasta.

Di sinilah diperlukan suatu usaha pemerintah untuk menjaga stabilitas


moneter sehingga kebiasaan menabung tidak diredupkan oleh inflasi yang tak
berkesudahan. Di samping itu pemerintah juga bisa berperan dalam penyediaan
dan pembentukan lembaga keuangan yang cocok guna menarik tabungan rumah
tangga dan menggunakannya secara produktif. Usaha terakhir ini sangat penting
bagi para penabung kecil karena bagi mereka umumnya tidak tersedia sarana
penabungan perorangan selain daripada meminjamkannya dengan risiko tinggi
atau dengan menukarnya dengan barang berharga seperti logam mulia. Dalam
kondisi ini, perpajakan akan sangat berperan untuk memberikan insentif bagi
tabungan atau disinsentif bagi konsumsi barang-barang mewah. Tabungan
perusahaan juga dapat dirangsang melalui sistem penarikan pajak laba usaha yang
mendorong ditahannya dan diinvestasikannya kembali laba usaha. Tabungan
swasta secara sukarela, meskipun bermanfaat dan penting, tidak mungkin akan
cukup, khususnya pada tahap awal pembangunan.

Kebijakan Struktur Perpajakan

Kapasitas Kena Pajak dan Upaya Perpajakan


Walaupun merupakan suatu hal yang esensial untuk mengetahui berapa tingkat
penerimaan pajak yang diperlukan guna menjamin tingkat pertumbuhan tertentu,
namun kelayakan tingkat pengenaan pajak itu sendiri merupakan faktor penting
yang harus diperhitungkan dalam menentukan target pertumbuhan. Dalam hal
ini, kebijakan perpajakan harus dipertimbangkan secara bersama-sama dengan
aspek-aspek lain dari kebijakan pembangunan, tetapi hal itu tidak bisa dianggap
sebagai variabel dependen di dalam sistem tersebut yang berubah secara otomatis
sesuai dengan pengenaan pajak yang diperlukan.

Jika demikian, bagaimana kita dapat menilai kemampuan membayar pajak


dari suatu negara dan bagaimana kelancaran pembayaran pajak dapat diukur?
Sebagaimana telah kita pahami bersama bahwa besarnya sektor publik di negara-
negara maju tidak hanya berkembang sejalan dengan pendapatan per kapita,
tetapi kenaikan pendapatan per kapita juga disertai dengan kenaikan persentase
sektor publik dalam GNP. Pada kenyataannya persentase sektor publik jauh lebih
kecil pada negara-negara berpendapatan rendah sebagai suatu kelompok, tetapi
tidak terlihat adanya suatu hubungan yang mencolok di dalam kelompok tersebut.
Pola yang sama juga akan kita jumpai sehubungan dengan rasio penerimaan pajak
terhadap GNP. Rasio penerimaan pajak terhadap GNP di negara terbelakang
cenderung sangat rendah, yaitu berkisar dari 8 sampai 18 persen. Di negara-negara
Amerika Latin rasio umumnya adalah sekitar 14 persen, dan di beberapa negara
sampai 8 persen. Rasio pada negara-negara di Asia dan Afrika dengan pendapatan
per kapita yang serupa cenderung lebih tinggi. Sementara rasio semacam itu di
negara-negara maju adalah 40 persen atau lebih.

Dasar-dasar Keuangan Publik


95

Mengapa upaya perpajakan (tax effort) di negara-negara berkembang


sedemikian rendah, dan benarkah rasio yang rendah itu pada kenyataannya
menandakan upaya perpajakan yang rendah? Jawabannya tergantung pada
bagaimana kita mengartikan upaya perpajakan itu. Lembaga pemberi pinjaman
internasional mungkin saja mensyaratkan agar bantuan yang diberikan dibarengi
dengan upaya perpajakan yang sepadan dengan negara penerima bantuan.
Dengan demikian lembaga itu mungkin akan menuntut agar pada negara dengan
pendapatan per kapita yang tinggi terdapat rasio penerimaan pajak yang tinggi
guna menunjukkan keselarasannya dengan upaya perpajakan.

Negara berpendapatan rendah menghadapi keterbatasan dalam


mentransfer sumber daya untuk digunakan pemerintah. Pada tingkat pendapatan
per kapita yang sangat rendah, semua pendapatan pribadi diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, seperti pangan, sandang, dan papan. Sekiranya dana
pemerintah tidak dimaksudkan untuk menyediakan kebutuhan hidup yang sama-
sama mendasar (misalnya program kesehatan) maka penggunaan dana tersebut
akan menimbulkan beban berat yang tidak sepatutnya. Tetapi asumsi ini tidak
berlaku jika distribusi pendapatan sangat timpang yang mana akan
mengakibatkan besarnya konsumsi barang-barang mewah. Keadaan ini sangat
perlu diperhatikan sebagai sumber penerimaan yang potensial.

Terlepas dari tingkat dan distribusi pendapatan, adanya penanganan pajak


akan selalu berkaitan dengan struktur perekonomian suatu negara. Dengan
demikian, pengelolaan pajak penghasilan akan jauh lebih sulit jika semua
lapangan kerja terdapat pada perusahaan-perusahaan kecil. Penarikan pajak laba
tidaklah layak sebelum praktek akuntansi mencapai standar minimal, dan hal ini
sulit tercapai jika perusahaan-perusahaan yang ada berukuran kecil dan tidak
stabil. Pajak produk tidak bisa dikenakan pada tingkat pengecer jika perusahaan
pengecer kecil dan tidak permanen. Pengenaan pajak tanah yang efektif sukar
dilaksanakan jika hasil pangannya dikonsumsi sendiri, sektor pertanian belum
terukur dengan nilai mata uang, dan survai pertanahan belum memadai untuk
menghasilkan penilaian yang semestinya. Di pihak lain, pengenaan pajak sangat
sederhana pada perekonomiam yang sangat terbuka di mana impor dan ekspor
berlangsung melalui pelabuhan-pelabuhan utama dan terbuka bagi petugas fiskus.

Akhirnya, kelayakan pengenaan pajak tergantung juga pada kesadaran


masyarakat untuk membayar pajak, dukungan pengadilan terhadap penegakan
peraturan perpajakan, dan ketersediaan petugas fiskus yang mampu dan jujur.
Pemberian jasa pungut pajak (tax farming), yaitu sistem di mana kepada para
pemungut pajak diberikan persentase tertentu sebagai insentif, hanya bisa
diandalkan untuk sementara waktu saja, demikian juga halnya dengan penetapan
kuota pajak bagi para petugas pajak. Meskipun demikian, dengan cara-cara
semacam ini pun tidak akan tercipta struktur perpajakan yang mapan dan adil.

Karena alasan ini dan alasan-alasan lainnya, maka penilaian yang realistis
atas upaya perpajakan (tax effort) harus memperhitungkan penanganan pajak (tax
handles) yang tersedia untuk itu. Dengan demikian, ukuran komparatif atas upaya
perpajakan dapat diperoleh dengan membandingkan rasio aktual dari
penerimaam terhadap GNP pada suatu negara tertentu dengan rasio yang

Dasar-dasar Keuangan Publik


96

seharusnya diperoleh, dengan melihat respon pada umumnya terhadap


penanganan yang tersedia.

Pengembangan Struktur Perpajakan


Masalah perencanaan dan pengelolaan perpajakan akan berbeda-beda sesuai
dengan struktur perekonomian suatu negara dan sikap masyarakat terhadap
perpajakan. Perbedaan juga akan timbul sebagai akibat tahap-tahap pembangunan
ekonomi, dan sejumlah ciri struktur perpajakan yang lazim ditemukan dalam
kaitannya dengan pendapatan per kapita dapat diamati.

Pajak akan berperan besar terhadap perdagangan luar negeri (terutama


bea) dan pajak atas produksi dan penjualan domestik untuk negara-negara
berpendapatan rendah. Dengan naiknya pendapatan per kapita, peranan pajak
penghasilan pun makin meningkat relatif terhadap bea demikian juga terhadap
pajak penjualan dan produksi domestik. Peranan pajak upah juga makin penting
dengan naiknya pendapatan per kapita.

Selain itu terdapat fenomena menarik yang menyatakan bahwa pajak yang
sering diklasifikasikan sebagai pajak penghasilan di negara miskin sering kali jauh
berbeda dari pajak penghasilan perorangan di negara maju. Sejalan dengan itu,
pajak penghasilan usaha sering kali lebih mirip dengan pajak penjualan daripada
dengan pajak laba sebagaimana kita temukan di negara-negara maju dan
sebagainya.

Pajak Penghasilan Perorangan


Pajak penghasilan perorangan tidak mungkin dan tidak dapat diharapkan untuk
menduduki posisi sentral dalam struktur perpajakan pada Negara sedang
berkembang dan begitu juga umumnya di negara-negara maju. Meskipun
demikian, pajak penghasilan harus ditata dengan baik sejak dini dan ditingkatkan
selama berlangsungnya pembangunan. Pajak ini bersifat elastis terhadap
pertumbuhan GNP dan karena itu bisa menjadi sumber penerimaan yang cukup
besar untuk pembiayaan pembangunan. Kontribusi pajak penghasilan perorangan
di negara-negara Amerika Latin lazimnya berkisar 20 persen dan karena itu
merupakan bagian yang besar dari penerimaan pemerintah, perusahaan asing, dan
kelompok perusahaan domestik besar yang jumlahnya sangat kecil. Karyawan
perusahaan kecil dan sebagian besar masyarakat yang mengelola usaha sendiri,
khususnya di sektor pertanian, pada umumnya masih di luar jangkauan pajak
penghasilan. Di satu sisi hal ini akan mencerminkan tingkat pembebasan pajak
yang ditetapkan relatif tinggi jika dikaitkan dengan pendapatan rata-rata, tetapi
hal itu juga merupakan akibat dari upaya pengelolaan yang tidak aktif.

Pemungutan pajak penghasilan atas modal bahkan lebih sukar lagi.


Prinsip penghitungan pajak sendiri (self assessment) seperti diterapkan di Indonesia
tidak berjalan lancar. Penghitungan pajak oleh para petugas sering kali didasarkan
pada negoisasi dan bukan ditetapkan secara objektif, dan pembayaran akhir sangat
banyak yang terlambat. Penggunaan sistem pemungutan pajak oleh orang lain
(witholding) bisa mempercepat pemungutan pajak dan hal itu sangat baik, tetapi
penerapannya sangat terbatas pada jenis upah dan gaji tertentu saja sehingga lebih

Dasar-dasar Keuangan Publik


97

mudah dilaksanakan. Keterlambatan pembayaran pajak atas pendapatan modal


merupakan keuntungan besar khususnya jika hukumannya tidak sebanding
dengan suku bunga dan nilai hutang pajak tersebut semakin menurun akibat
inflasi.

Meskipun tidak tersedia estimasi yang andal, namun bisa dikatakan


bahwa pendapatan kena pajak akan benar-benar dicapai bila peraturan perpajakan
dijalankan secara ketat. Tidak ada satu obat mujarab untuk mengatasi kesulitan ini
kecuali dengan menerapkan wajib pungut pajak, penjatahan jumlah wajib pajak
bagi setiap petugas (khususnya wajib pajak berpendapatan tinggi), komputerisasi
dan penanganan terpusat atas surat pemberitahuan pajak, diharuskannya
perusahaan dan bank menyampaikan informasi tentang pembayaran bunga dan
pembayaran deviden, pengurangan keterlambatan penafsiran, dan hukuman yang
lebih tinggi bagi pembayaran yang tertunda semuanya bermanfaat Namun semua
itu tidak akan mencukupi kecuali jika badan pengadilan mendukung penuh
penegakan peraturan perpajakan. Inilah prasyarat utama yang kerap kali sukar
untuk dipenuhi oleh negara-negara berkembang dalam konteks budaya dan
politik.

Lebih jauh lagi, pengelolaan pajak penghasilan diperparah oleh masalah


inflasi. Tidak jarang negara-negara berkembang menghadapi inflasi puluhan
bahkan ratusan persen per tahun. Hal itu, misalnya telah dialami Cili dan Brasil
selama bertahun-tahun. Guna menghadapinya, badan perpajakan bisa menaikkan
tingkat pembebasan dan kelompok tarif secara otomatis setiap tahunnya sejalan
dengan naiknya harga-harga, sehingga hubungan antara tarif marjinal dan
pendapatan riil dipertahankan konstan. Akibatnya, pengaruh inflasi terhadap
perpajakan dinetralisir, tetapi peredaran inflasi secara melekat melalui pajak
penghasilan progresif akan melemah.

Masalah keuntungan modal, terutama dalam kaitannya dengan tanah dan


bangunan, sangat penting bagi negara-negara berkembang di mana urbanisasi
yang pesat akan menaikan nilai tanah sebagaimana dialami Amerika Serikat pada
akhir abad sembilan belas sesuai dengan pengamatan Henry George dan juga
terjadi di Indonesia terutama di Jakarta dan sekitarnya. Karena itu, pajak atas
keuntungan modal bagi real estate, yaitu bangunan dan tanah, dikelola sebagai
suatu jenis pajak tersendiri.

Pajak Penghasilan Perusahaan


Masalah yang pelik akan timbul dalam pengenaan pajak penghasilan perusahaan,
entah itu berupa pajak laba perseroan atau pajak persekutuan dan perusahaan
perseorangan yang dikenakan menurut pajak penghasilan perorangan. Bila
akuntansi perusahaan belum begitu maju sehingga belum bisa mengukur laba
dengan cukup akurat, metode lain harus digunakan. Banyak negara menggunakan
taksiran dan bukan pendekatan langsung guna menentukan laba. Caranya adalah
dengan menaksir marjin laba atas penjualan di mana terdapat marjin yang
beragam untuk berbagai industri. Metode ini, yang digunakan secara luas di
negara-negara Asia, yang mana akan mengubah bentuk pajak laba menjadi

Dasar-dasar Keuangan Publik


98

semacam pajak penjualan. Hal ini terjadi karena kewajiban pajak menjadi fungsi
dari penjualan dan marjin tersebut merupakan taksiran dan bukan aktual.

Dalam keadaan lain, laba taksiran didasarkan pada patokan tertentu


seperti luasnya lantai atau ruang kerja dan lokasi pada wilayah perkotaan. Ini juga
merupakan praktek yang bisa ditemukan pada tradisi perpajakan Eropa,
khususnya sehubungan dengan pendapatan profesional. Dalam hal pertanian,
luasnya lahan atau jumlah ternak bisa digunakan sebagai dasar taksiran. Serentak
dengan itu, pembayar pajak yang setia perlu diberi penghargaan, sementara yang
bandel diberi hukuman. Proses perbaikannya harus bertahap dan tidak bisa
bergerak lebih cepat dari perbaikan metode akuntansi. Para pembaharu pajak
sering menyepelekan perbaikan teknik penaksiran pajak terhadap perbaikan teknis
dalam pemajakan perseroan, padahal hal terakhir ini tidak begitu penting bagi
negara yang sedang berkembang.

Lebih jauh lagi, bentuk hukum dari badan-badan usaha sering kali
berbeda. Di negara-negara Amerika Latin, misalnya, hukum Eropa daratan lebih
berperan daripada tradisi common law (hukum Inggris), sedangkan di negara-
negara Asia sistem hukum kebendaan yang sangat berbeda bisa diterapkan; dan
praktek yang cocok bagi suatu negara seperti Amerika Serikat mungkin tidak
dapat diterapkan di Negara sedang berkembang dengan mengingat tradisi dan
tingkat pembangunannya saat ini.

Pajak Tanah
Satu pertanyaan mendasar dalam pajak atas tanah adalah apakah pajak tersebut
harus dikenakan atas nilai tanah, atas pendapatan aktual, atau atas pendapatan
potensial yang bisa dihasilkan tanah tersebut jika dimanfaatkan secara penuh.
Dalam sistem persaingan sempurna, ketiga dasar tersebut akan bisa saling
dipertukarkan karena nilai tanah akan sama dengan nilai pendapatannya yang
dikapitalisasi, dan pendapatan aktual akan sama dengan pendapatan potensial.
Dalam kenyataan, tidak demikian halnya. Tanah sering kali tidak dimanfatkan
secara penuh dan ditahan untuk tujuan spekulatif atau ditahan sesuai dengan adat
istiadat setempat. Pasar atas tanah mungkin tidak tersedia dan nilai jualnya saat
ini tidak bisa diperoleh. Dengan demikian, ketiga dasar tersebut akan memberikan
nilai yang sangat berbeda. Pajak penghasilan jarang diterapkan secara efektif ke
sektor pertanian sehingga pendapatan dari tanah sering kali merupakan gabungan
dari pajak penghasilan dan pajak atas tanah, yang meliputi tidak hanya
penyewaan atas tanah tersebut tetapi juga peningkatan nilai atas tanah.

Pajak Kekayaan dan Pajak atas Bumi dan Bangunan


Disamping penerimaan dari tanah, penarikan pajak atas real estate dan pertokoan
juga menjadi dasar pengenaan pajak yang penting, khususnya selama
berlangsungnya urbanisasi. Ada baiknya jika hal tersebut di atas dikenakan pajak
progresif atas tempat hunian, yang mengabungkan pajak atas sejumlah rumah
dalam satu dasar pengenaan pajak guna melengkapi sistem penarikan pajak
komoditas atas konsumsi barang-barang mewah di samping terhadap perumahan.
Di luar semua ini, pajak kekayaan atas harta benda bersih jarang ditemukan dalam
struktur perpajakan di Negara sedang berkembang. Meskipun pajak semacam ini

Dasar-dasar Keuangan Publik


99

pada akhirnya akan lebih kecil dari pada pajak bumi dan bangunan, karena
banyaknya harta tak berwujud yang tidak termasuk dalam dasar pengenaan pajak,
namun jenis pajak ini penting guna melengkapi pajak penghasilan.

Pajak dan Bea atas Komoditas


Pengenaan pajak komoditas harus ditentukan berdasarkan kelayakan administratif
sehingga tergantung pada struktur perekonomian negara tertentu. Dengan pajak
yang dikenakan secara berjenjang seperti halnya pajak pertambahan nilai,
penerimaan pemerintah yang hilang tidak akan besar meskipun tingkat pengecer
tidak terjangkau. Jadi bukan merupakan kehilangan total seperti pada pajak
penjualan eceran. Penggunaan metode faktur mungkin akan membuat para wajib
pajak lebih taat. Di pihak lain, pengenaan pajak produk dengan tarif yang berbeda-
beda cenderung lebih sukar jika diterapkan dengan pendekatan nilai tambah. Jika
suatu produk dengan nilai kena pajak yang sangat besar dihasilkan pada
perusahaan yang relatif besar, maka pengenaan cukai atas produsen akan
merupakan pendekatan yang paling sederhana dan gamblang. Kombinasi dari
berbagai metode bisa diterapkan, tergantung mana yang paling jitu dalam
keadaan tertentu.

Cukai domestik juga perlu untuk dikoordinasikan dengan bea impor.


Karena ingin membebani konsumsi barang mewah dengan lebih berat, sering kali
mengenakan bea impor yang lebih tinggi atas barang mewah. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah keterkaitannya dengan pengenaan bea cukai atas produk
domestik. Dengan demikian, bea masuk sering menjadi pelindung bagi produk
barang mewah pengganti di dalam negeri. Jika hal ini terjadi akan merupakan
kebijakan yang buruk. Jika pemerintah ingin menggunakan bea masuk sebagai
proteksi atas industri itu harus dipilih sesuai dengan potensi pembangunan
sehingga pengembangan itu bukan merupakan akibat sampingan dari pengenaan
pajak barang mewah. Pendekatan terbaik mungkin adalah dengan menggunakan
tarif yang cukup seragam sambil tetap memasukkan unsur bea impor barang
mewah di dalam sistem pengenaan cukai domestik.

Aspek kebijakan bea masuk lainnya yang perlu ditinjau secara kritis
adalah praktek pembebasan cukai atas barang modal yang digunakan di dalam
negeri. Dalam situasi di mana, karena berbagai alasan, biaya modal cenderung
dinilai terlalu rendah, praktek ini akan memperburuk distorsi harga.

Insentif Perpajakan
Tujuan pemerintah yang berupa pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
paling bisa dicapai dengan berpedoman pada pajak kosumsi progresif. Disamping
itu pendekatan keadilan menuntut agar pendekatan ini dipadukan dengan
penarikan pajak atas pendapatan modal dengan tarif progresif. Karena adanya
kemungkinan timbulnya konflik antara pajak penghasilan progresif dengan
insentif untuk inventasi maka tidak mengherankan bahwa telah diupayakan
berbagai cara untuk meminimumkan pengaruh masalah justifikasi sampai dimana
pemerataan dan pertumbuhan didahulukan terhadap satu sama lain. Kebijakan
perpajakan harus memperhatikan bahwa kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi

Dasar-dasar Keuangan Publik


100

tidak akan memperparah pemerataan. Keringanan pajak untuk investasi yang


tidak berdiri sendiri dalam meningkatkan pertumbuhan, bukan hanya
menyebabkan hilangnya penerimaan pemerintah tetapi juga memperbesar
ketimpangan apabila keringanan itu diberikan kepada masyarakat berpendapatan
tinggi.

Dengan alasan alasan ini insentif pajak bagi investasi pada umumnya
merupakan pemborosan dan tidak adil, sehingga banyak pengamat sampai sampai
terdorong untuk menolak semua bentuk insentif. Namun meskipun demikian,
penolakan total tidak bisa diterima. Tekanan politik agar diberikan insentif pajak
akan tetap ada; dan karena ini tidak bisa dielakkan, maka sebaiknya insentif
dirancang seefisien mungkin. Lebih jauh lagi, beberapa kelonggaran bagi
pertumbuhan mungkin layak asalkan hal itu dilaksanakan dengan cara terbaik.

Insentif Domestik
Dalam menangani masalah insentif, ada baiknya kita membedakan antara insentif
domestik dan masalah insentif yang berkaitan dengan modal asing. Insentif
domestik bisa dikaitkan dengan investasi pada umumnya, atau dibatasi pada
industri atau wilayah tertentu. Insentif bisa dirancang untuk menggalakkan ekspor
dan memperkuat neraca pembayaran.

Insentif Umum
Intensif investasi umum bisa berupa kredit pajak atas investasi atau penyusutan
yang dipercepat seperti lazim digunakan dinegara-negara maju. Selain itu di
beberapa negara sering kali diberikan pembebasan pajak (tax holiday) untuk jangka
waktu tertentu misalnya selama lima atau tujuh tahun, dimana selama jangka
waktu itu pajak atas laba di bebaskan. Metode ini merupakan insentif bagi
investasi yang memberikan laba yang tinggi pada tahap awal dan hal ini
bertentangan dengan kebutuhan akan investasi yang stabil dan bersifat jangka
panjang. Bagi perusahaan lama yang mengadakan investasi lama dan baru,
masalah ini bisa diatasi dengan pendekatan kredit investasi atau bantuan investasi.
Lebih jauh lagi, tidaklah bijaksana jika pemerintah mengadakan komitmen jangka
panjang untuk mensubsidi pajak, teristimewa jika diperkirakan bahwa subsidi
semacam itu tidak akan di perlukan di masa mendatang.

Apapun masalahnya, insentif investasi umum tidak bisa efektif guna


menaikkan tingkat investasi menyeluruh kecuali jika peningkatan tabungan juga
mendapat perhatian. Ini bisa tercapai dengan mendorong perusahaan untuk
menahan laba atau dengan memberikan kredit pajak bagi tabungan atas
pendapatan perorangan. Tentu saja masalahnya adalah bagaimana mencapai suatu
jumlah tabungan tertentu tanpa mengurangi tabungan di sektor lain.

Daftar Skala Prioritas


Meskipun keefektifan investasi umum di ragukan, namun insentif yang dibatasi
pada sektor atau industri tertentu kiranya bisa lebih efektif dalam mengalokasikan
modal data ekspor industri tersebut. Masalah utama di sini adalah bagaimana
memilih industri yang akan diberi perlakuan istimewa tersebut. Dapat diduga

Dasar-dasar Keuangan Publik


101

bahwa industri yang akan dipilih adalah industri yang memainkan peranan
strategis dalam pembangunan dan yang tidak akan berkembang jika tidak
mendapat bantuan khusus. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembangunan
mengandung dampak eksternal (external economies) yang tidak diperhatikan dalam
pengambilan keputusan investasi swasta; dan pasar modal yang tidak sempurna
bisa mengacaukan investasi meskipun tanpa eksternalitas. Karena itu investasi
semacam itu perlu dikoreksi. Tetapi pengalaman menunjukkan bahwa hal itu
sangat sukar untuk dilaksankan. Seiring daftar skala prioritas sedemikian luas
sehingga hampir tidak ada yang patut di pilih. Sedangkan dipihak lain, pemilihan
industri tertentu selalu di barengi dengan teknan politik dari kelompok tertentu;
dan dalam kesempatan lain lagi kita akan melihat bahwa insentif diberikan untuk
mempertahankan pasar bagi perusahaan negara, seperti pabrik baja, yang
seharusnya tidak mendapat prioritas utama. Meskipun pada prinsipnya insentif
yang selektif itu baik, namun penerapannya secara efisien sukar untuk
dilaksanakan.

Insentif Regional
Insentif selektif lainnya dapat kita temukan dalam kebijakan regional. Seperti telah
kita ketengahkan sebelumya, kebijakan pajak bisa mempengaruhi keputusan
lokasi investasi, apakah itu untuk tenaga kerja atau modal dan umumnya
diharapkan agar kebijakan pajak bersifat netral. Namun keadaan negara negara
berkembang bisa menuntut lain. Tenaga kerja mungkin tidak bisa berpindah
secara luwes, atau mungkin juga tenaga kerja ingin dipertahankan di suatu daerah
tertentu karena terlalu banyaknya perpindahan penduduk ke kota atau karena
alasan non ekonomis yang menghendaki pemerataan tingkat pembangunan
daerah. Karena itu, insentif khusus bisa diberikan demi pembangunan daerah
tersebut. Masalahnya adalah apakah insentif itu lebih baik diberikan dengan
mensubsidi investasi atau mensubsidi perusahaan pekerja di wilayah
bersangkutan. Jawabannya tergantung pada tujuan yang hendak dicapai, yaitu
apakah peningkatan produksi atau nilai tambah didaerah tersebut, atau apakah
peningkatan upah atau standar hidup masyarakatnya. Untuk tujuan terakhir ini,
subsidi upah akan lebih efektif, khususnya jika terdapat banyak penganggur atau
penganggur tak kentara di sektor pertanian yang dapat di tarik kesektor industri
apabila biaya upah berkurang.

Insentif Bagi Modal vs Insentif bagi Tenaga Kerja


Penggunaan bentuk investasi yang insentif modal didorong oleh distorsi harga
yang menyebabkan biaya buruh terlalu tinggi dan biaya modal menjadi rendah.
Biaya buruh yang tinggi umumnya disebabkan oleh peraturan upah minimum dan
berbagai tuntutan serikat pekerja; biaya modal yang rendah disebabkan oleh kurs
valuta yang menguntungkan, pembebasan bea masuk, dan pengenaan pajak atas
laba yang tidak efektif. Guna mengembalikannya ke keseimbangan semula,
subsidi upah bisa diberikan entah secara langsung atau tidak melalui kredit atas
daftar upah yang pada prinsipnya mirip dengan kredit investasi. Bisa juga pajak
atas laba diperingan dengan syarat peralatan yang digunakan harus padat tenaga
kerja. Cara-cara semacam itu mungkin akan tepat dalam kaitannya dengan insentif
regional di mana tujuannya adalah untuk menaikkan tingkat pendapatan di
daerah terbelakang. Hal itu juga mungkin tepat untuk menanggulangi

Dasar-dasar Keuangan Publik


102

pengangguran akibat berjubelnya perpindahan penduduk ke kota. Cara lain untuk


mendorong investasi yang padat kerja adalah dengan memberikan insentif pajak
bagi pekerjaan gilir kerja (shift) malam.

Insentif bagi Modal Asing


Dari sudut pandang nasional, peranan insentif pajak bagi modal asing berbeda
dari insentif pajak bagi modal domestik. Insentif bagi modal domestik hanyalah
melibatkan transfer dari pemerintah ke investor, tetapi keringanan pajak yang
diberikan kepada investor asing akan mengurangi jatah keseluruhan negara atas
laba yang dihasilkan modal asing tersebut. Karena itu, kerugian ini harus
dikompensasi oleh keuntungan yang diperoleh akibat pelipatgandaan modal
tersebut agar insentif pajak tersebut bisa diterima. Perancangan insentif mungkin
akan bisa mengarahkan investasi tersebut pada sektor yang menguntungkan
negara bersangkutan. Keuntungan tersebut adalah berupa kenaikan penghasilan
faktor-faktor produksi domestik akibat adanya modal asing. Tidak ada
manfaatnya bagi suatu negara untuk menerima modal asing lengkap dengan
sumber dayanya dan hanya meminjam lokasi pada negara tersebut. Karena itu,
insentif pajak harus dikaitkan dengan nilai tambah domestik sebagai akibat
adanya modal asing. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa insentif
tersebut harus dirancang sedemikian rupa sehingga mendorong dilakukannya
reinvestasi dan operasi permanen, dan menghambat investasi yang hanya ingin
mengeruk keuntungan sesaat.

Apapun masalahnya, suatu negara membutuhkan kerja sama dari negara


asal investor asing agar insentif yang efektif bisa diberikan. Jika negara sumber
modal tersebut menarik pajak penghasilan yang diperoleh dari luar negeri dengan
tarifnya sendiri sambil tetap memberikan kredit pajak luar negeri, maka pajak
yang lebih rendah di negara tersebut hanya akan menjadi transfer ke negara lain
tanpa adanya manfaat bagi investor yang mengirimkan labanya ke negara asalnya.
Dalam hal ini, penundaan pajak akan menjadi sangat penting. Hal itu tidak hanya
berfungsi sebagai penarik modal ke suatu negara yang menawarkan insentif pajak
tetapi juga mendorong terlaksananya reinvestasi di negara tersebut. Karena itu,
cukup beralasan untuk mempertahankan penundaan atas investasi di suatu negara
yang sedang berkembang dan meniadakannya untuk investasi di negara maju.

Cara lain untuk membuat insentif menjadi efektif bagi investor asing yang
akan mengirimkan labanya ke negara asal adalah apa yang disebut sebagai
kesepakatan pajak bersama (tax-sparing arrangement). Dengan pendekatan ini,
negara asal modal akan memberikan kredit atas laba yang direpatriasi sebesar
pajak yang dikenakan di negara tujuan meskipun tidak ada pajak yang dibayar
menurut kesepakatan insentif tersebut. Akan tetapi, pendekatan ini tidak
menggairahkan reinvestasi; dan karena tekanan politik akan menuntut agar
insentif tersebut diberlakukan secara umum bagi investasi domestik, maka
penarikan pajak atas laba secara umum bagi investasi domestik harus
dipertimbangkan.

Persoalan terakhir yang timbul dalam kaitannya dengan persaingan di


antara negara sedang berkembang untuk memperebutkan modal asing adalah jika

Dasar-dasar Keuangan Publik


103

suatu negara mengalahkan yang lain dengan menawarkan insentif yang lebih
besar, maka negara sedang berkembang sebagai suatu kelompok akan dirugikan.
Untuk mengatasi hal semacam itu diperlukan semacam kerja sama antar negara
sedang berkembang. Salah satu peran utama pasar bersama antar negara sedang
berkembang adalah untuk menghindarkan hal semacam itu.

Insentif Ekspor
Insentif pajak untuk ekspor merupakan kebijakan umum guna membantu
pengembangan pasar luar negeri dan memperkuat neraca pembayaran. Agar
efektif, insentif semacam itu tidak harus dikaitkan dengan total penjualan di luar
negeri atau laba yang dihasilkannya, seperti lazimnya kita hadapi, tetapi dengan
nilai tambah domestik. Hanya nilai tambah domestiklah yang menambah hasil
perdagangan luar negeri bagi suatu negara. Pengeksporan kembali atas barang
yang diimpor atau barang dalam transito tidak memberikan nilai tambah
domestik.

Kebijakan Pengeluaran
Peranan kebijakan pengeluaran dalam pembangunan ekonomi kurang
disorot bila dibandingkan dengan kebijakan perpajakan, dan data pembanding
lebih sukar diperoleh. Negara-negara berpendapatan rendah menghabiskan
banyak pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan sementara tunjangan sosial
kurang diperhatikan. Dalam kadar tertentu, banyak pengeluaran untuk
pendidikan juga mencerminkan tingginya biaya pendidikan di negara-negara ini.
Besarnya tunjangan sosial di negara-negara kaya mencerminkan sistem jaminan
sosial yang lebih baik.

Peranan strategis dari investasi pemerintah dalam pembangunan ekonomi


sebagian dilandasi oleh belum berkembangnya pasar modal swasta dan sebagian
karena kurangnya bakat entrepreneurial (kewiraswastaan) masyarakat. Hal ini
juga dilandasi oleh kenyataan bahwa tipe investasi yang diperlukan pada tahap-
tahap awal pembangunan sering kali memerlukan jumlah besar seperti untuk
pembangunan sistem transportasi atau pembukaan suatu daerah yang
terbelakang. Lebih jauh lagi, investasi semacam ini menghasilkan manfaat
eksternal sehingga penyediannya sebaiknya dilakukan oleh pemerintah.

Karena itu tidak mengherankan jika pengembangan investasi pemerintah


memainkan fungsi utama dalam perancangan rencana pembangunan di negara
sedang berkembang. Dalam konteks ini, pengunaan analsis biaya-manfaat sangat
penting. Negara–negara berkembang bisa dihantui oleh pemborosan sumber daya,
namun evaluasi proyek yang efisien merupakan suatu tugas yang sukar. Di satu
pihak analisis biaya–manfaaat akan lebih mudah diterapkan di negara
berkembang dari pada negara maju, karena investasi pemerintah lazimnya
dimaksudkan untuk penyediaan barang–barang antara yang nilainya bisa diukur
dengan melihat pengaruhnya terhadap harga–harga barang yang disediakan oleh
swasta. Jadi manfaat dari proyek transportasi atau irigasi dapat di nilai
berdasarkan penurunan biaya produk yang di timbulkannya dipasar. Suatu
ukuran yang tidak bisa diperoleh jika pengeluaran publik digunakan untuk

Dasar-dasar Keuangan Publik


104

menghasilkan barang jadi untuk konsumsi. Tetapi di pihak lain, pelaksanaan


evaluasinya di negara sedang berkembang lebih sulit.

Di suatu sisi, manfaat langsung yang tersedia akan di sertai dengan


manfaat tidak langsung atau manfaat eksternal yang lebih sukar untuk
diperkirakan. Di sisi lain, jumlah biaya lebih sulit untuk di tentukan. Karena harga
pasar mungkin tidak mencerminkan biaya sosial yang benar–benar terjadi, maka
untuk itu harus di gunakan harga bayangan (shadow price). Jika modal dinilai
terlalu rendah sementara tenaga kerja dinilai terlalu tinggi penggunaan harga
pasar akan menimbulkan distorsi yang mengarah kepada teknologi yang sangat
padat modal sebagaimana telah kita simak sebelumnya. Kesulitan–kesulitan itu
akan makin rumit dalam konteks pembangunan yang dinamis dimana harga-
harga relatif yang berlaku pada saat proyek dimulai mungkin akan sangat berbeda
dari harga–harga yang berlaku setelah proyek berfungsi. Sekali lagi, kemungkinan
ini menunjukkan pentingnya perencanaan jangka panjang dan evaluasi atas setiap
proyek dalam konteks rencana pembangunan yang menyeluruh.

Faktor lain yang juga penting adalah penentuan tarif/tingkat diskonto


yang semestinya karena pasar modal swasta yang belum berkembang sepenuhnya,
maka penggunaan tarif sosial kiranya tidak bisa dielakkan. Dengan
memperhitungkan adanya manfaat eksternal tarif sosial tersebut harus di tetapkan
lebih rendah dari pada tarif yang berlaku sehingga menunjukkan tingkat diskonto
yang lebih tinggi bagi penyediaan modal dan lebih mendukung pengadaan
proyek–proyek jangka panjang. Jika kita melihat dari sisi yang berlawanan, akan
kita jumpai bahwa biaya konsumsi sangat tinggi pada tingkat pendapatan yang
rendah; namun di masa mendatang setelah keuntungan dari penundaan konsumsi
itu diperoleh, utilitas marjinal dari konsumsi itu akan lebih kecil karena
pendapatan sudah lebih tinggi. Kenyataan ini cenderung diabaikan dalam
pengambilan keputusan tabungan perorangan, tetapi pemerintah harus
memperhitungkannya. Tetapi di sini sebagaimana halnya dalam penentuan
tingkat diskonto lainnya, taksiran yang lebih kasar mungkin akan di gunakan.
Dalam konteks pembangunan lazimnya, pemerintah mungkin akan merasa lebih
praktis untuk menentukan tingkat konsumsi minimum yang secara politis dapat di
terima untuk lima atau sepuluh tahun mendatang dan kemudian menghitung
tingkat diskonto dari konsumsi minimum tersebut.

Investasi dalam sumber daya manusia perlu mendapat perhatian khusus


dalam konteks pembangunan. Program pendidikan penting bukan hanya dalam
kaitannya dengan kebijakan pertumbuhan tetapi juga dengan pendistribusian
hasil-hasil pembangunan diantara lapisan masyarakat dan keberbagai sektor
perekonomian. Sejumlah studi telah memperlihatkan betapa besarnya manfaat
investasi di bidang pendidikan bagi negara–negara berkembang. Yang perlu
dipertimbangkan adalah bahwa investasi bagi pendidikan dirancang guna
menghasilkan pekerja terampil sesuai dengan kebutuhan negara bersangkutan.

Bantuan Internasional dan Redistribusi


Pertimbangan kemanusiaan atau politis yang menyangkut distribusi
pendapatan di suatu negara tidak bisa dibatasi hanya pada lingkup negara itu saja.

Dasar-dasar Keuangan Publik


105

Kelihatannya aspek–aspek dari distribusi internasional akan menjadi unsur yang


makin penting dalam politik dunia masa mendatang. Tetapi meskipun hal itu
penting, masalah distribusi di tingkat internasional lebih sukar untuk di tangani
dari pada lingkup suatu negara. Di tingkat internasional, kesenjangan lebih besar
dan masalah organisasi lebih pelik karena tidak ada pemerintah pusat yang harus
menanganinya dan upaya mengatasi ketimpangan tersebut harus melalui transfer
antar negara. Upaya itu bisa dilaksanakan dalam bentuk bantuan internasional
yang di rancang untuk menaikkan tingkat pertumbuhan negara-negara
berkembang. Pendekatan ini telah dilaksanakan secara cukup besar-besaran dalam
beberapa dekade terakhir. Atau mungkin juga pada suatu saat hal itu
dilaksanakan berupa redistribusi dari tingkat pendapatan dunia pada saat itu,
sehingga mirip dengan pajak penghasilan negatif yang diterapkan pada
redistribusi domestik. Meskipun pendekatan ini tidak bisa diharapkan dalam
waktu dekat, namun mungkin saja pada suatu saat nanti hal itu akan menjadi
suatu pemikiran pokok.

Masalah Besarnya Transfer


Dalam menangani distribusi pada taraf internasional, yang menjadi persoalan
mungkin adalah perbedaan pendapatan rata-rata di negara-negara; atau juga
ketimpangan distribusi diantara masyarakat seluruh dunia tanpa memandang
batas negara. Dalam kadar tertentu kedua masalah itu bertumpang tindih karena
kebanyakan masyarakat miskin pada kenyataannya merupakan penduduk dari
negara berpendapatan rendah; tetapi jika keduanya tidak tumpang tindih, masalah
mendasar adalah redistribusi di antara anggota masyarakat. Tidak ada gunanya
jika redistribusi ke negara berpenghasilan rendah pada akhirnya hanya akan
menambah kekayaan segelintir masyarakat kaya di negara tersebut. Jadi, sekali
lagi masalahnya mirip dengan masalah antara negara bagian di suatu negara
berserikat.

Ketimpangan distribusi pendapatan di antara masyarakat dunia


merupakan masalah yang sangat pelik. Ketimpangan di dalam negeri diperparah
dengan ketimpangan pendapatan rata-rata di antara berbagai negara. Jika
seseorang di suatu negara memperoleh pendapatan sebesar rata-rata di antara
berbagai negara tersebut, maka bisa diperkirakan bahwa 40 persen termiskin dari
penduduk dunia menerima 3 persen dari pendapatan seluruh dunia, sementara 20
persen terkaya menerima 60 persen. Jika ketimpangan di dalam negara-negara
masih diperhitungkan lagi, maka rasio tersebut berubah menjadi 2 dan 70 persen.
Tingkat ketimpangan ini jauh lebih besar daripada ketimpangan di suatu negara,
khususnya di negara maju. Dalam kondisi ini, mustahil kiranya untuk meratakan
ketimpangan ini. Lebih jauh lagi, lebih masuk akal bahwa pendapatan per kapita
di negara maju akan naik lebih cepat ketimbang di negara miskin, sehingga situasi
tersebut akan semakin parah seperti halnya distribusi pendapatan domestik.

Bantuan Pembangunan
Dari penjelasan terdahulu terlihat dengan jelas bahwa kebijakan redistribusi
tidaklah sederhana dan pengaruhnya pertumbuhan ekonomi, harus ditelaah
dengan seksama. Jika sudut pandang ini mengena pada redistribusi yang bersifat
nasional, maka akan lebih mengena lagi pada tingkat internasional di mana skala

Dasar-dasar Keuangan Publik


106

penyesuaian potensial yang harus dicapai melalui distribusi sangat besar. Tak ada
manfaatnya jika kontribusi negara-negara maju terlalu dipaksakan sehingga
kemampuan ekonominya untuk mempertahankan kesinambungan bantuan
menjadi terganggu.

Perbaikan besar atas kemelaratan masyarakat hanya dapat dicapai dengan


meningkatkan produktivitas pekerja-pekerja di negara miskin. Salah satu upaya
penting untuk ini adalah dengan menata kembali aliran modal dari negara kaya ke
negara miskin dengan penerapan itu, output dunia akan meningkat karena modal
akan dimanfaatkan secara efisien di negara di mana keuntungan modal pekerja
sangat rendah. Para pemasok modal dari negara kaya tetap mendapat keuntungan
karena memperoleh hasil pengembalian yang lebih besar dari investasinya di
negara-negara miskin. Akan tetapi, akan terjadi redistribusi pendapatan dari
pekerja negara kaya (yang akan beroperasi dengan modal yang cukup besar)
kepada pekerja di negara miskin yang produktivitasnya akan meningkat
bersamaan dengan naiknya keuntungan modal pekerja. Dengan demikian,
perbaikan distribusi pendapatan dunia dapat dicapai meskipun dengan
memperbesar ketimpangan (kendatipun hanya dalam taraf yang lebih kecil) di
negara maju. Juga dipermasalahkan bahwa masuknya tenaga manajemen asing
yang menyertai masuknya modal asing, di samping menambah keahlian juga
menghambat pengembangan kewiraswastaan domestik dan menciptakan
ketergantungan politis.

Kontribusi penting kedua bagi pembangunan ekonomi adalah dengan


membuka pasar negara-negara maju lebih lebar bagi ekspor negara-negara
berkembang. Ini bisa dilakukan dengan memberikan preferensi dan penghapusan
pembatasan perdagangan. Dalam hal ini, pekerja di negara maju juga dirugikan
karena mereka kurang leluasa untuk berpindah jika dibandingkan dengan faktor
modal. Tetapi di pihak lain sebagai konsumen mereka akan diuntungkan karena
harga barang-barang impor menjadi turun. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan
semacam ini tidak menjamin bahwa negara-negara berkembang akan mampu
secara independen untuk mempertahankan pertumbuhan yang telah mereka
capai. Karena itu sindrome orang kaya baru akan tetap menggejala dan hal ini
merupakan hambatan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional.

Dasar-dasar Keuangan Publik


107

B A B XII

HUTANG PUBLIK

Pertumbuhan Hutang Pemerintah


ertumbuhan hutang pemerintah dan implikasinya terhadap perekononian

P sejak lama menjadi isu perdebatan yang hangat, khususnya dalam keadaan
meningkatnya defisit dewasa ini. Pertumbuhan hutang publik sudah lama
menjadi isu yang hangat dalam perdebatan mengenai kebijakan fiskal. Kritik-kritik
terhadap pembiayaan defisit tidak hanya ditujukan pada pengaruh inflasionernya,
tetapi juga terhadap konsekuensi akumulasi hutang di masa depan dan bebannya
terhadap gcnerasi mendatang.

Pertumbuhan hutang pemerintah harus dilihat dalam kaitannya dengan


GNP. Lebih dari 70 persen hutang pemerintah berbentuk surat berharga yang
mudah dipasarkan. Bank komersial, perusahaan asuransi dan lembaga tabungan
merupakan penanam utama hutang pemerintah. Sepertiga dari hutang yang
beredar jatuh tempo kurang dari satu tahun. Kegiatan hutang pemerintah meliputi
peminjaman dari instansi dalam bentuk kredit hipotik.

Struktur Hutang pemerintah


Setelah menelaah pertumbuhan dan struktur hutang pemerintah, kita
beralih pada implikasi ekonomi dari hutang yang beredar. Kekhawatiran bahwa
hutang yang beredar tidak dapat dibayar kembali pada saat jatuh tempo tidak
beralasan. Sesuai dengan sifat hutang publik, surat berharga yang jatuh tempo,
didanakan kembali, bukan dilunasi. Tetapi meningkatnya rasio pembayaran
bunga terhadap GNP, menimbulkan beban karena perpajakan diperlukan untuk
membiayai pembayaran bunga dan mengakibatkan timbulnya deadweight loss.
Namun demikian, prakiraan pertumbuhan ini, bahkan dengan asumsi yang paling
pesimistik, akan bersifat moderat dan tidak eksplosif. Namun dengan menaikkan
tingkat pembayaran bunga dan anggaran cenderung mengganggu program publik
lainnya. Inflasi dapat berlaku sebagai bentuk penyangkalan hutang yang
tersembunyi, tetapi ini bukan faktor utama karena faktanya adalah bahwa
sebagian besar hutang pemerintah jatuh tempo dalam jangka sangat pendek.

Dasar-dasar Keuangan Publik


108

Tujuan Hutang Pemerintah


Tiga tujuan utama Pemerintah pusat dan daerah berhutang adalah: Pembiayaan
modal, kebutuhan jangka pendek, dan kepentingan darurat. Pinjaman jangka
panjang untuk pembiayaan modal mengalokasikan biaya perolehan tanah,
bangunan dan fasilitas-fasilitas selama masa ekonomis proyek permodalan.
Pinjaman juga mendistribusikan beban pembayaran kepada para wajib pajak
secara lebih adil daripada meletakkan semua beban pada mereka yang hidup pada
saat fasilitas diperoleh atau dibangun. Pada tingkat lokal, pinjaman jangka pendek
sering dimanfaatkan untuk mengkoreksi pendapatan, yang diterima tidak merata,
terhadap pengeluaran permintaan, dimana lebih seperti arus sepanjang tahun.
Pinjaman darurat digunakan untuk menanggulangi bencana alam dan kontijensi
yang tidak terprediksikan sebelumnya.

Permodalan sektor publik paling sering diperoleh melalui bursa dengan


penerbitan obligasi, sebagai suatu jalan untuk berhutang. Beberapa jenis obligasi
pemerintah: (Holley Ulbrich)
1. Obligasi Umum (General Obligation Bonds)
Dijamin penuh oleh pemerintah yang menerbitkan
2. Obligasi Pendapatan (Revenue Bonds)
Pendapatan dari penjualan jasa dijaminkan untuk pembayaran
hutang.
3. Municipal Bond
Obligasi yang bunganya dibebaskan dari pajak dari institusi
penerbitnya.

Beberapa faktor akan menentukan tingkat bunga yang harus dibayar oleh
pemerintah atas obligasi yang diterbitkannya. Tetapi pertimbangan utama adalah
evaluasi dari penyedia jasa rating obligasi yang menilai potensi pemerintah untuk
membayar pokok dan bunganya pada tanggal jatuh temponya. Rating ini dibuat
berdasarkan pada catatan kinerja pelunasan hutang masa lalu, praktek kebijakan
fiskal, cadangannya, taxbase-nya, dan semua hal yang terkait dengan kemampuan
untuk membayarnya. Sebagai tambahan, tingkat bunga adalah berbeda antara dua
jenis dasar hutang pemerintah: obligasi umum pemerintah dan obligasi
penerimaan.

Hutang yang Ditanam Swasta


Dalam beberapa aspek hutang publik (khususnya pembiayaan pembayaran bunga
melalui pajak), tidak menjadi masalah, apakah hutang itu ditanam oleh lembaga
masyarakat atau pun oleh instansi pemerintah. Tetapi yang menjadi masalah
adalah hutang publik yang memegang sebagai bagian dari struktur likuiditas
ekonomi; dan hanya hutang publik yang ditanam swasta yang menimbulkan
masalah bagi manajemen. Hutang publik sebagai menunjukkan persentase dari
aktiva lancar (hutang publik dan jumlah uang beredar).

Komposisi Hutang Berdasarkan Jenis Penerbitnya.


Komposisi hutang Pemerintahan menurut jenis penerbitnya dibagi menjadi:
1. surat berharga yang dapat dipasarkan

Dasar-dasar Keuangan Publik


109

2. surat berharga yang tidak dapat dipasarkan,

Surat berharga yang dapat dipasarkan (berjumlah sekitar tiga perempat


dari total);
Surat berharga yang dapat dipasarkan diperdagangkan dan tersedia bagi setiap
pembeli. meliputi tagihan, wesel dan obligasi. Perbedaan utama dari ketiga jenis
hutang itu terletak pada jatuh temponya. Tagihan diterbitkan sebagian besar
dengan jatuh tempo dua belas bulan, tetapi jatuh tempo itu bisa saja tiga bulan.
Wesel berkisar dari 1 sampai 10 tahun dan obligasi untuk periode yang lebih
panjang. Wesel dan obligasi mempunyai kupon pembayaran tahunan dan dapat
ditebus dengan nilai pari pada tanggal jatuh tempo. Tagihan dijual dengan
diskonto dan tidak berbunga, dimana peningkatan nilai sampai jatuh tempo
merupakan pengembalian investor.

Surat berharga yang tidak dapat dipasarkan ditawarkan kepada berbagai


kelompok investor dan hanya dapat ditahan oleh pembeli pertama. Surat berharga
ini dirancang terutama bagi berbagai dana trust lokal, tetapi surat berharga khusus
juga disediakan untuk pemerintah daerah dan pemerintah luar negeri. Penerbitan
yang tak dapat dipasarkan ditahan oleh individu dalam bentuk obligasi tabungan
(savings bond). Dengan tersedianya, sarana investasi baru yang lebih menarik,
obligasi sebagai sumber pembiayaan utama menjadi makin kurang penting.

Siapa yang Menanam Hutang?


Pembagian hutang menurut jenis penanamnya menjadi penting karena
mempengaruhi struktur likuiditas dan posisi pasar modal. Yang paling penting
adalah Trust Fund, yang menahan kewajiban dalam tahun-tahun di mana
peneriman pajak masa berjalan melebihi pembayaran tunjangan. Hal ini dilakukan
dalam bentuk surat berharga khusus. Sedangkan penanaman Bank Sentral
berbentuk surat berharga yang dapat dipasarkan dan diperoleh melalui proses
pembelian pasar terbuka. Karena sifat publik, penanaman itu sebenamya
merupakan bagian dari dasar moneter (monetary base) ketimbang bagian dari
hutang pemerintah kepada publik.

Kecuali hutang yang ditahan pada negara-negara maju, 80 persen ditahan


secara domestik, dan 20 persen ditanam luar negeri. 95 persen dari penanaman
domestik adalah dari investor swasta. Sebagian besar penanaman swasta adalah
pada lembaga tabungan dan dana trust perseroan, yang menyerap lebih dari 50
persen. 18 persen ditahan oleh bank komersial, 14 persen oleh pribadi (sebagian
besar dalam bentuk obligasi tabungan), dan 8 persen oleh perusahaan asuransi.

Struktur Jatuh Tempo


Instrumen hutang diterbitkan untuk berlaku selama periode waktu tertentu,
dengan pembayaran modal dilakukan pada nilai pari pada tanggal jatuh tempo.
Namun kebanyakan hutang masih terpusat pada jangka pendek, dengan jatuh
tempo di atas 10 tahun. Pengandalan pada jangka pendek selama periode inflasi
memungkinkan Departemen Keuangan guna menghindarkan komitmen jangka
panjang untuk meminjam pada tingkat bunga nominal yang tinggi dengan
harapan inflasi akan dapat dicek dan tingkat bunga akan turun di masa depan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


110

Pada saat yang sama, investor merasa tak yakin mengenai masa depan (inflasi
dapat memburuk) dan lebih suka untuk mencegah komitmen jangka panjang. Jadi,
lebih cepat mendapatkan pengembalian pada surat berharga jangka pendek,
namun dengan demikian likuiditas struktur klaim meningkat.

Pembatasan Hutang
Pertumbuhan hutang ditentukan oleh peraturan pajak dan pengeluaran yang
mendasarinya serta tingkat surplus dan defisit yang dihasilkannya. Sesudah
menentukan defisit atau surplus dan perubahan tingkat bunga dengan cara ini,
lembaga legislatif dapat menetapkan batas hutang eksplisit yang tak boleh
dilewati oleh Departemen Keuangan. Apabila operasi masa berjalan memerlukan
kenaikan pinjaman pemerintah di atas pagunya, Menteri Keuangan meminta
kenaikan pagu pinjaman. Pagu hutang, seperti yang disepakati oleh kebanyakan
pengamat, merupakan suatu anakhronisme karena setiap saat legislatif, bisa
menentukan penambahan hutang melalui peraturan pajak dan pengelurannya.

Pagu Bunga
Menjelang akhir Perang Dunia I, legislatif di USA memberlakukan pagu bunga 4
1/4 persen pada surat berharga yang lebih lama dari lima tahun, tidak temasuk

yang diterbitkan kepada instansi pemerintah. Pagu sebagian besar tetap tidak
efektif sampai paruh kedua tahun 1960-an ketika limit jangka panjang di pasar
naik di atas tingkat ini. Meskipun pagu ini dapat dielakkan dengan penjualan
obligasi bertarif kupon 4 1/4, persen pada bunga di bawah pari, Departemen
Keuangan memilih tidak melakukan hal itu, karena ini akan mengganggu
ketentuan legislatif. Jadi tidak ada obligasi jangka panjang yang dapat dijual
sesudah tahun 1965 manakala hasil pasar melebihi pagu. Sesudah Departemen
Keuangan meminta berkali-kali, Konggres mengesahkan penerbitan terbatas
obligasi Tresury di atas hasil pagu. Batas ini diperluas oleh Legislatif empat kali,
dan 1988 adalah sebesar $150.000 milyar. Jadi ini bukan merupakan faktor yang
berarti dalam membatasi penggunaan surat berharga jangka panjang.

Hutang lnstansi dan Pinjaman yang diberikan oleh Pemerintah


Di samping pinjaman langsung Departemen Keuangan, pemerintah dapat terlibat
dalam penjanjian dan pensponsoran pinjaman oleh berbagai institusi yang pada
gilirannya meminjamkannya kembali pada peminjam swasta. Karena instansi-
instansi ini menggunakan dana, pinjaman yang diberikan oleh pemerintah (yang
dibedakan dari pengeluaran) memasuki arena sebagai instrumen kebijakan
penganggaran tambahan. Pemberian pinjaman, seperti penarikan hutang,
mengurangi posisi hutang bersih pemerintah. Dalam pagu modal yang sempuma,
pemberian tambahan pinjaman $100 dengan jatuh tempo sepuluh tahun akan
sama dengan pelunasan penerbitan hutang $100 dengan jatuh tempo ymg sama
dengan asumsi pendapatan pajak yang sama digunakan urituk membiayai
masing-masing transaksi itu. Tetapi hasil kedua transaksi itu bisa sangat berbeda
dalam pasar yang tidak sempurna. Penerima pinjaman pemerintah mungkin tidak
mampu mendapatkan kredit dari tempat lain. Sebenarnya, alasan utama
pemberian pinjaman oleh pemerintah adalah menyediakan dana bagi peminjam
yang tidak mampu meminjam dari tempat lain tetapi yang pantas mendapat

Dasar-dasar Keuangan Publik


111

pinjaman karena alasan kebijakan publik. Jadi hal itu digunakan umum sebagai
alat untuk alokasi, bukan sebagai kebijakan stabilisasi. Dengan demikian, masalah
ini penting dalam konteks negara berkembang di mana investasi yang ditunjang
pemerintah merupakan segi yang penting dari kebijakan pembangunan.

Hutang Publik sebagai Bagian dari Struktur Likuiditas Ekonomi


Sifat hutang yang berjangka waktu sangat pendek telah membuatnya
makin likuid dan merupakan pengganti uang yang lebih dekat. Hutang publik
merupakan media investasi yang penting bagi lembaga keuangan, khususnya
bank, perusahaan asuransi dan pasar uang. Setelah meninjau pertumbuhan dan
status hutang pemerintah, sekarang kita dapat beralih pada implikasi ekonominya.
Masalahnya adalah bagaimana hutang yang beredar mempengaruhi berfungsinya
ekonomi, yaitu bagaimana konsekuensi dari kebijakan masa lalu (yakni, defisit
yang telah ditambahkan pada hutang) terhadap kondisi ekonomi di depan.
Pengaruh ekonomi dari hutang yang beredar oleh karenanya harus dibedakan
dengan dampak masa kini dari pembiayaan defisit yang melibatkan penciptaan
hutang. Apakah akumulasi hutang yang berkelanjutan tidak akan mengarah pada
kebangkrutan fiskal?

Pendanaan Kembali versus Pelunasan Hutang


Dengan makin membengkaknya hutang, apakah ada kemungkinan untuk
membayarnya kembali? Pertanyaan yang menguatirkan ini tidaklah tepat: cepat
atau lambat, hutang rumah tangga memang harus dibayar kembali, karena
tindakan rumah tangga merupakan kegiatan yang terbatas. Sebaliknya hutang
publik tidak perlu dibayar kembali, karena anggaran dan perekonomian
merupakan kegiatan yang berkesinambungan. Apabila suatu penerbitan hutang
jatuh tempo, hal itu harus dilunasi; tetapi dana yang diperlukan diperoleh dengan
menerbitkan obligasi baru. Hutang itu didanakan kembali (refunded). Dengan
hutang yang sebagian besar berjangka pendek, volume pendanaan kembali
tabungan sekarang dengan pembayaran obligasi jatuh tempo dan penggantian
melalui penerbitan obligasi kembali merupakan operasi mingguan. Sekalipun
operasi penerbitan kembali obligasi secara tradisional melibatkan prosedur yang
sangat rumit, yang memerlukan taksiran yang tepat atas hasil (yield) yang
diinginkan masyarakat, teknik-teknik yang dikembangkan dalam tahun-tahun
terakhir ini telah banyak disederhanakan. Penerbitan baru sekarang dijual melalui
sistem lelang, dengan penawaran tertutup diterima dari dealer dan kemudian
didasarkan pada sistem datang pertama, dilayani pertama. Meningkatnya
pengandalan pada hutang jangka pendek, yang dijual pada diskonto dan bukan
dengan suatu kupon, telah memperlancar perkembangan ini. Guna mempercepat
proses ini, Bank Sentral bekerja erat dengan Pejabat Bendahara (Departemen
Keuangan) dan bertindak sebagai instansinya.

Singkatnya, operasi pendanaan kembali merupakan masalah manajemen


dan apakah kita dapat membayar kembali hutang merupakan pertanyaan yang
salah arah. Yang menjadi masalah adalah bagaimana jasa bunga akan
mempengaruhi perekonomian dan bagaimana hutang yang beredar masuk ke
dalam struktur ekononomi.

Dasar-dasar Keuangan Publik


112

Beban Pajak dari Pelunasan Hutang


Untuk melunasi hutang, bunga harus dibayar. Pajak yang dikenakan untuk
membiayai pembayaran ini menimbulkan beban bagi perekononian. Beban ini
tidak terlihat karena sumber daya ditarik dari perekonomian. Dengan asumsi kita
membicarakan hutang yang ditahan secara domestik, kita berhutang kepada diri
kita sendiri dan pembayaran bunga hanyalah pemindahan dana dari satu kantong
ke kantong yang lain. Namun demikian, pajak yang harus dikenakan untuk
membiayai transfer ini membawa kerugian yang berat, seperti juga pajak laimya,
dan ini menimbulkan beban bagi perekonomian. Beratnya pengaruh tersebut
cenderung muncul bila rasio penerimaan pajak (yang diperlukan untuk melunasi
hutang) pada GNP meningkat. Jelaslah hal itu menjadi begitu besar sehingga
menimbulkan masalah beban dan hambatan yang serius, suatu faktor yang
terlupakan dalam proposisi kita berhutang kepada diri kita sendiri. Akumulasi
hutang selama perang mungkin begitu drastis, sehingga menyebabkan kekacauan
fiskal dan penyangkalan hutang dalam periode sesudah perang. Peristiwa ini
terjadi di negara-negara Eropa sesudah kedua perang dunia.

Untunglah hanya ada sedikit kemungkinan bahwa bencana seperti itu


akan terjadi dalam keadaan damai. Untuk memastikan, perluasan hutang yang
terus menerus digabungkan dengan GNP yang konstan akan mengakibatkan
suatu rasio hutang terhadap GNP yang tak terbatas. Tetapi GNP juga mengalami
peningkatan dan dapat diperlibatkan bahwa rasio defisit pada GNP digabungkan
tingkat pertumbuhan GNP yang konstan, akan mengakibatkan, rasio hutang pada
GNP dan rasio bunga pada GNP yang mendekati konstan. Dengan melihat pada
dekade yang akan datang, marilah kita andaikan bahwa GNP meningkat pada
tingkat tahunan 5 persen (3 persen untuk inflasi dan 2 persen untuk pertumbuhan
riil.) Selain itu, defisit tahunan kita andaikan sama dengan 4 persen dari GNP.
Dengan asumsi yang agak pesimistik ini, rasio hutang terhadap GNP akan naik
dari 51 persen menjadi 64 persen dalam 10 tahun, sedangkan rasio pembayaran
bunga pada GNP akan meningkat dari 4,1 ke 5,1, Tingkat yang sepadan sesudah
periode lima puluh tahun, masing-masing akan menjadi 8,1 dan 6,5 persen.
Tampak bahwa prospek pertumbuhan hutang, sekalipun menurut asumsi sangat
defisit, tidak langsung mengasumsikan proporsi yang eksplosif. Bahaya yang
melekat dalam melanjutkan defisit yang besar tidak terletak pada pengaruhnya
terhadap besarnya hutang, seperti dalam dampak langsung pada bauran fiskal-
moneter sehingga berarti pada tingkat tabungan dan pertumbuhan.

Penyangkalan Hutang melalui lnflasi?


Secara nominal nilai pari dari hutang yang beredar bersifat tetap, tetapi inflasi
akan mengurangi nilainya dalam satuan riil. Contoh, nilai pari hutang yang
beredar di USA dalam tahun 1970 adalah $370 milyar. Tetapi antara tahun 1970
s.d. 1982, harga-harga naik dengan 150 persen atau pada tingkat majemuk tahunan
8 persen. Jadi nilai hutang ini dalam satuan dollar tahun 1970 turun menjadi $148
milyar, atau 40 persen dari saat itu. Apakah ini berarti bahwa inflasi menghasilkan
penyangkalan (repudiation) hutang tersembunyi sebesar 60 persen?

Jawabannya tergantung pada jangka waktu saat hutang diterbitkan. Bila


diasumsikan seorang investor yang membeli obligasi pemerintah berjangka tiga

Dasar-dasar Keuangan Publik


113

tahun dalam tabun 1970. Hasil pada saat itu adalah 7 persen, sehingga obligasi itu
dapat ditebus pada $100 dalam tahun 1982 dan peneriman per tahun sampai
terjual $100 adalah $7. Kemudian bila diasumsikan tingkat pengembalian modal
yang sebenarnya adalah 3 persen, sehingga investor kita mengharapkan tingkat
inflasi sebesar 4 persen. Pada tingkat inflasi ini hasil nominal 7 persen akan
menghasilkan tingkat pengembalian 3 persen. Tetapi ternyata tingkat inflasi
selama tiga tahun adalah 8 persen. Jika si investor telah mengetahui hal ini, ia akan
meminta hasil sebesar 11 persen, yakni suatu obligasi yang terjual pada nilai pari
yang seharusnya mempunyai pembayaran kupon sebesar $11 per tahun. Tingkat
inflasi yang lebih tinggi dari yang diantisipasikan memberikan tingkat
pengembalian riil (real rate of return) kepada investor sebesar -1 persen (7 persen
dikurangi 8 persen). Kerugian investor ini dicerminkan oleh keuntungan yang
diterima pembayar pajak, yang beruntung dalam melunasi hutang (bunga dan
pembayaran kembali pada jatuh tempo) dengan dollar yang lebih murah. Pada
tahun 1982, hasil (yields) telah meningkat menjadi 13 persen dan disusul dengan
meningkatnya perkiraan inflasi. Sejak itu jumlahnya menurun menjadi sekitar 8
persen, bersama dengan penurunan dalam tingkat inflasi menjadi di bawah 4
persen.

Dengan demikian, apakah penyangkalan hutang melalui inflasi akan


terjadi, tergantung pada seberapa tepat inflasi dintisipasi pada waktu hutang
diterbitkan dan bagaimana antisipasi ini dicerminkan dalam tingkat bunga nominal
yang lebih tinggi. Pada gilirannya hal ini tergantung pada jatuh tempo hutang. Jika
hutang ditanam dalam bentuk klaim jangka pendek, katakanlah tagihan tiga
bulan, tingkat hasilnya akan sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku dalam
pasar uang hingga akan cenderung menceminkan tingkat inflasi. Situasinya
berbeda jika hutang tersebut bersifat jangka panjang dan terjadi tingkat inflasi
yang tinggi yang tidak diperhitungkan kctika menetapkan syarat-syarat pada
waktu hutang diterbitkan. Karena hutang paling banyak diterbitkan dalam bentuk
surat berharga jangka pendek, maka penyangkalan hutang melalui inflasi tidak
lagi menjadi isu utama.

Apakah Pembiayaan melalui Hutang akan Membebani Generasi


Mendatang?

Pembahasan yang berhati-hati dilakukan terhadap pertanyaan apakah


pembiayaan melalui hutang akan menimbulkan beban bagi generasi mendatang.
Pengalihan beban kepada generasi mendatang adalah layak, sebagai suatu
keadilan antar generasi, untuk pembiayaan atas pengeluaran modal publik.
Terdapat berbagai mekanisme pengalihan beban, di antaranya termasuk a)
pembentukan modal yang berkurang, b) pengalihan melalui tumpang tindih
generasi, dan c) pengalihan beban dari hutang luar negeri.

Lebih lanjut, pengandalan pada sumber daya luar tidak harus melibatkan
penyerapan hutang luar negeri, tetapi dapat mengambil bentuk arus modal masuk
dan surplus impor yang berkaitan. Menimbang bahwa ketakutan terhadap
kebangkrutan fiskal adalah tidak realistik, timbul pertanyaan apakah
pembelanjaan dengan hutang tidak akan membebani generasi mendatang?

Dasar-dasar Keuangan Publik


114

Bagaimana pengalihan (transfer) beban itu terjadi dan apa pengaruhnya pada
ekuitas fiskal?

Pengalihan Beban melalui Pembentukan Modal yang Berkurang


Jika sumber daya sepenuhnya dimanfaatkan, kenaikan dalam jasa publik akan
memindahkan sumber daya dari sektor swasta ke sektor publik, sehingga sumber
daya yang tersedia untuk produksi barang-barang swasta akan berkurang. Dalam
pengertian pelepasan sumber daya, beban tersebut haruslah dipikul oleh generasi
sekarang. Tetapi tidak demikian halnya jika pemindahan beban dipandang dalam
artian konsumsi masa berjalan (current consumption).

Mekanisme pertama dari pengalihan beban diberikan melalui


pembentukan modal yang berkurang. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme
ini bekerja, kita kembali ke kerangka sistem klasik dimana investasi menyesuaikan
dirinya sendiri secara otomatis terhadap tingkat tabungan yang akan datang, pada
tingkat pendapatan full-employment. Dalam sistem tersebut, setiap pengalihan
sumber daya dari sektor swasta ke sektor publik mengakibatkan sumber daya
sektor sawsta berkurang. Dalam pengertian sempit ini, beban dari pengeluaran
sekarang harus dipikul oleh generasi sekarang. Tetapi sumber daya yang ditarik
dari sektor swasta mungkin berasal dari konsumsi atau pembentukan modal.
Dalam kasus pertama, kesejahteraan dari generasi sekarang, yang diukur dengan
konsumsinya dikurangi, dan pendapatan generasi mendatang tidak dipengaruhi.
Dalam kasus kedua, kesejahteran konsumsi dari generasi sekarang tidak diganggu
sementara generasi mendatang akan mewarisi stok modal yang lebih kecil dan
menikmati pendapatan yang lebih rendah.

Dalam pengertian ini, generasi mendatang akan dibebani. Jika kita


selanjutnya mengasumsikan bahwa pembelanjaan dengan pajak berasal dari
konsumsi, sedangkan pembelanjaan dari pinjaman berasal dari tabungan
(sehingga menurut asumsi sistem klasik; berasal dari investasi maka selanjutnya
pembelanjaan dengan pinjaman akan membebani generasi masa depan.

Mengikuti prinsip bahwa jasa publik harus dibiayai atas dasar manfaat,
sifat pengeluaran, yang harus dibiayai menjadi sangat panting. Dalam hal
pengeluaran modal, manfaat akan terbawa ke masa depan sehingga pengalihan
beban diperlukan sebagai suatu keseimbangan antar generasi. Seperti yang
dinyatakan sebelumnya, ini merupakan penalaran untuk membagi anggaran
menjadi komponen masa berjalan dan komponen modal, dengan yang pertama
dibiayai oleh pajak dan yang terakhir oleh pinjaman.

Beberapa kualifikasi dari argumen yang berlaku perlu dikemukakan;


1. Tergantung pada jenis pajak yang digunakan, pembiayaan dengan pajak
sebagian dapat berasal dari tabungan. Demikian pula, pembiayan dengan
pinjaman sebagian dapat berasal dari konsumsi. Tidak perlu semua
transfer menaikkan konsumsi. Oleh sebab itu, defisit hanya memberikan
suatu taksiran kasar mengenai penarikan sumber daya dari pembentukan
modal swasta.

Dasar-dasar Keuangan Publik


115

2. Pendekatan harapan yang rasional (the rational expectation approach), seperti


yang dikemukakan pada Bab X, mempertanyakan apakah tanggapan
setiap individu terhadap pembiayaan melalui pajak dan pinjaman akan
berbeda. Ketika generasi sekarang (sebagai individu yang rasional)
meminjam kepada pemerintah, mereka diasumsikan dapat
mengantisipasikan pajak masa depan (yang terhutang oleh pewarisnya)
yang harus dipenuhi untuk melunasi hutang itu. Oleh karena itu,
pembiayaan dengan pinjaman akan membuat keaadaan generasi pertama
seperti pada pembiayaan dengan pajak. Tetapi apakah kekayaan bersih
wajib pajak berkurang sedangkan pemberi pinjaman dikompensasikan
ketika menerima obligasi pemerintah? Jawabannya adalah tidak, atau
begitulah menurut pandangan aliran harapan rasional. Karena
keuntungan ini akan dibatalkan oleh adanya asumsi kewajiban pajak masa
depan. Jadi kekayaan bersih sektor swasta akan berkurang oleh
pengeluaran publik, apapun metode pembiayaan (pajak atau hutang)
yang digunakan. Berdasarkan argumen 'Ricardan Equivalence' ini, tidak
dapat lagi dikemukakan bahwa pembiayaan melalui pinjaman akan
mengakibatkan pengalihan beban sedangkan pembiayaan melalui pajak
tidak seperti yang dinyatakan sebelumnya, hal ini merupakan asumsi
yang hampir tidak realistis.
3. Penalaran kita didasarkan atas asumsi sistem klasik yang terlaksana baik,
di mana tingkat pemintaan agregat tidak dipengaruhi oleh pilihan antara
pembiayaan melalui pajak dan melalui pinjaman. Jika asumsi ini tidak
berlaku, pilihan antara pembiayaan melalui pajak dan melalui pinjaman
seperti halnya bauran kebijakan fiskal-moneter mungkin harus ditentukan
untuk memberikan tingkat permintaan agregat yang tepat, bukan
mengakomodasikan pertimbangan keseimbangan antar generasi.
Pertimbangan ini khususnya penting pada tingkat nasional, yang
memikul tanggung jawab terhadap kebijakan stabilisasi; dan kurang
penting pada tingkat lokal. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada
tingkat lokal lebih sesuai menggunakan anggaran modal.

Pengalihan Beban Melalui Tumpang Tindih Generasi


Bila tidak ada tumpang tindih generasi (generation overlap), pembentukan modal
swasta yang berkurang merupakan satu-satunya mekanisme di mana pinjaman
domestik dapat dialihkan kepada generasi masa depan. Tetapi tidak demikian
halnya jika terdapat dua generasi yang tumpang tindih dalam suatu waktu.
Andaikan bahwa generasi 1 hidup dari tahun satu sampai tahun lima puluh,
sedangkan generasi 2 hidup dari tahun dua puluh lima sampai tahun tujuh puluh
lima. Juga andaikan bahwa semua pajak berasal dari konsumsi. Sekarang generasi
1, dalam tahun satu, dikenakan pajak sebesar $200.000 untuk memikul biaya
gedung pemerintah ymg memiliki kegunaan selama lima puluh tahun. Hal itu
dilakukan dengan mengorbankan konsumsi generasi tersebut dalam jumlah yang
sama. Akan tetapi terdapat pula kemungkinan dalam tahun dua puluh lima
sampai lima puluh untuk memungut pajak sebesar $100.000 dari generasi 2 guna
membayar generasi 1, jadi melibatkan pengalihan konsumsi swasta dari generasi 2
ke generasi 1. Dengan cara ini generasi 1, sekalipun pada awalnya memikul
keseluruhan beban tembut, namun kemudian dapat mengalihkan sebagian dari

Dasar-dasar Keuangan Publik


116

beban itu ke generasi 2. Untuk maksud memastikan kembali, generasi 1 dapat


diberi janji pembayaran kembali dalam bentuk obligasi, yang akan ditebus
kemudian dengan pajak yang dikenakan pada generasi 2. Transfer antar generasi
yang tumpang tindih seperti itu dapat berfungsi, sekalipun tidak ada pengaruh
pada pembentukan modal sektor swasta.

Kebalikan dari kasus ini, generasi 1 dapat memberi hadiah kepada


generasi 2 dan menanggung semua beban tanpa menghasilkan generasi 2 untuk
membayar hutang di masa mendatang. Hal ini persis sama dengan mekmisme
yang diterapkan ketika pensiun hari tua diberlakukan dan yang pensiun pertama
kali diberi tunjangan tanpa harus memberi sumbangan.

Pengalihan Beban Melalui Hutang Luar Negeri


Setelah membahas peranan pinjaman domestik, sekarang kita beralih pada
pinjaman dari sumber-sumber luar. Mekanisme pengalihan beban melalui
pinjaman luar negeri berbeda dalam beberapa hal. Perbedaan pertama adalah
bahwa sekarang tidak ada keharusan bagi generasi 1 untuk mengurangi
pengeluarannya. Pengeluaran sektor swasta tetap tidak berubah karena sumber
daya tambahan yang diperlukan diperoleh dari luar negeri melalui surplus impor.
Pembiayaan melalui pinjaman sekarang menimbulkan beban pada generasi 2
bukan dalam bentuk pembentukan modal yang berkurang, tetapi dengan
membebani mereka dengan kewajiban untuk melunasi hutang kepada luar negeri.
Pajak sekarang dipakai untuk membayar bunga kepada pihak luat negeri, bukan
kepada pemegang hutang domestik. Generasi 2 tidak lagi berhutang kepada
dirinya sendiri. Beban hutang luar negeri ini menggantikan kerugian pendapatan
modal yang harus ditanggung oleh generasi 2, bila pembiayaan dilakukan melalui
pinjaman domestik dan berakibat pengurangan dalam pembentukan modal.

Sekarang bandingkanlah tiga sumber pembiayaan: (1) pajak, (2) pinjaman


domestik dan (3) pinjaman luar negeri. Asumsikan bahwa metode I diambil dari
konsumsi dan 2 diambil dari pembentukan modal, maka metode I akan
membebani gcnerasi sekarang sedangkan metode 2 dan 3 akan membebani masa
depan. Sekalipun metode 2 dan 3 sama dalam hal ini (dalam masalah beban),
tetapi pilihan diantara keduanya tidak berarti harus persis sama. Jawabanya
tergantung pada biaya pinjaman di dalam negeri dan di luar negeri. Jika biayanya
sama (jika pengembalian pada modal domestik sama dengan tingkat bunga di
luar), beban yang ditanggung generasi 2 akan sama dalam kedua kasus tersebut.
Tetapi jika biaya domestik lebih tinggi, pinjaman luar mungkin akan lebih disukai.

Pengandalan pada sumber daya luar negeri tidak harus melibatkan


penempatan langsung hutang di luar negeri, tetapi dapat mengambil bentuk yang
tidak langsung. Hasil yang sama bisa diperoleh jika hutangnya ditempatkan secara
domestik, yaitu dengan menaikkan tingkat bunga yang menyebabkan arus masuk
modal dan sekali lagi merupakan surplus impor. Jika disalurkan pada konsumsi,
generasi 1 sekali lagi lepas dari beban sedangkan generasi 2 membayar pelunasan
hutang pada dirinya sendiri, tetapi mereka harus membagi sebagian pendapatan
nasional dengan pemilik luar negerinya.

Dasar-dasar Keuangan Publik


117

Peminjaman oleh Pemerintah Daerah


Masalah keadilan antar generasi muncul paling serius pada tingkat lokal, karena
pada tingkat inilah sejumlah besar pengeluaran investasi publik dilakukan dan
dibiayai. Andaikan suatu kotapraja bermaksud membangun gedung sekolah, yang
akan mempunyai usia kegunaan selama tiga puluh tahun. Pengeluaran ini dengan
demikian menyebabkan kenaikan tajam dalam total pengeluaran kotapraja. Bila
pengeluaran itu akan dibiayai dari pajak, kenaikan sementara yang tajam dalam
tarif pajak mungkin diperlukan, Kenaikan ini dengan sendirinya tidak diinginkan,
karena wajib pajak merasa lebih mudah untuk membayar tarif pajak yang kurang
lebih stabil. Lagipula, dan yang lebih penting adalah bahwa tidak adil
menimpakan semua beban kepada mereka yang membayar pajak dalam tahun
tersebut. Karena usia kegunaan fasilitas itu akan berlangsung selama tiga puluh
tahun, cara yang paling adil adalah menyebarkan beban itu di antara generasi-
generasi berikutnya dari warga kota yang akan memanfaatkan fasilitas tersebut.
Prinsip pemajakan berdasar kaidah manfaat ditempatkan dalam mengalokasikan
beban di antara generasi-generasi.

Untuk melaksanakan pemajakan berdasarkan manfaat, biaya awal ditutup


dengan pinjaman yang biasanya diperoleh dari pasar luar, Dalam tahun-tahun
berikutnya, generasi mendatang, warga kota dan penerima manfaat akan dipajaki
setiap tahun sesuai dengan bagian manfaat yang diterimanya dalam masa berjalan.
Dalam proses itu, hutang diamortisasi dan dibayar kembali pada saat fasilitas itu
digunakan. Sekali lagi, keadilan antar generasi terjamin, dengan setiap generasi
membayar untuk bagian manfaatnya sendiri. Sebuah kotapraja yang membiayai
bangunan sekolahnya dengan meminjam dan mengamortisasikan hutang itu
selama usia kegunaan aktiva itu, oleh karenanya memberikan suatu pola
pembagian beban yang seimbang. Pembagian beban itu tidak hanya terjadi di
antara kelompok umur, tetapi juga di antara kelompok-kelompok warga kota yang
berubah dengan berubahnya populasi jurisdiksi akibat migrasi ke dalam dan
migrasi ke luar.

Pengalihan Beban dalam Pembiayaan Pembangunan


Pembahasan sebelumnya memberi implikasi yang kurang menyenangkan
terhadap pembiayaan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun
mekanisme pengalihan beban dapat digunakan untuk menyebarkan biaya
investasi publik, namun hal itu tidak dapat digunakan untuk menyebarkan biaya
program pembangunan dalam arti luas, karena tujuan pokok program terebut
mensyaratkan bahwa pembentukan modal secara total (publik atau swasta) harus
naik. Tetapi tidak ada keuntungan yang diperoleh dalam pencapaian tujuan ini
jika pembentukan modal publik dibiayai dengan pinjaman, karena hal ini akan
mengakibatkan penurunan tingkat pembentukan modal swasta. Sayangnya,
mekanisme pengalihan beban pembiayaan dari pinjaman intern dengan demikian
tidak dapat ditempatkan dalam situasi di mana seharusnya sangat tepat. Akan
tetapi, tidak demikian halnya dengan pinjaman luar negeri, yaitu topik, yang akan
kita bahas nanti pada saat membicarakan pembiayaan pembangunan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


118

Manajemen Hutang
Struktur jangka waktu dari suku bunga dan kriteria untuk bauran jatuh
tempo hutang yang optimal perlu ditelaah. Apakah suku bunga jangka panjang
berada di atas atau di bawah suku bunga jangka pendek, tergantung pada apakah
suku bunga itu diperkirakan akan naik atau turun. Pilihan terhadap struktur jatuh
tempo dapat dipandang sebagai suatu cara untuk membeli likuiditas pada biaya
yang paling rendah.

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, manajemen hutang melibatkan


kegiatan pelunasan tahunan yang besar. Dalam melaksanakan kegiatan ini, seperti
halnya pembiayaan kenaikan total hutang, harus diambil keputusan mengenai
jenis instrumen hutang apa yang akan diterbitkan. Masalah utamanya adalah
pilihan jatuh tempo. Secara tradisional dinyatakan bahwa hutang publik harus
didanai (funded) dengan baik, yaitu dalam jatuh tempo jangka panjang. Jadi hutang
Inggris selama abad sembilan belas sebagian besar berbentuk konsol atau surat
berharga berkesinambungan (perpetual securities) yang tidak mempunyai tanggal
jatuh tempo tetap, tetapi dapat ditarik oleh pemerintah asalkan dibayarkan pada
harga pasar. Ketentuan ini akan melindungi pemerintah terhadap kontinjensi
bahwa kreditor akan menuntut uangnya kembali pada waktu yang tidak tepat.
Pandangan modern terhadap hutang nasional dan posisi pemerintah nasional
dalam pasar hutang sangat berbeda. Manajemen hutang didasarkan pada asumsi
bahwa surat berharga yang jatuh tempo selalu dapat dilunasi. Meskipun tingkat
keseluruhan hutang dapat dinaikkan pada beberapa periode dan diturunkan pada
periode lainnya (tergantung pada apakah kebijakan stabilisasi menghendaki defisit
atau surplus), tidak dapat diperkirakan bahwa akumulasi hutang masa lain dapat
dilunasi. Apabila suatu surat berharga jatuh tempo, hal itu akan didanakan
kembali ke dalam surat berharga lain. Makin pendek rata-rata hutang yang
beredar, makin besar volume kegiatan pendanaan kembali tahunan, tetapi ini
tidak berkaitan khusus untuk menentukan struktur jatuh tempo.

Jika demikian halnya, pedoman dasar apa yang dipakai untuk memilih
jatuh tempo yang akan ditawarkan Departemen Keuangan? Salah satu jawaban
yang mungkin adalah memilih struktur jangka waktu dari hutang untuk
meminimalkan biaya bunga. Karena biaya untuk meminjam cenderung berbeda
sesuai dengan jatuh tempo hutang, maka surat berharga yang harus dipilih adalah
surat berharga yang menyerap biaya paling rendah bagi investor. Prinsip ekonomi
yang mengatakan bahwa pemerintah akan membeli pensil dari pemasok yang
paling murah, juga berlaku terhadap pinjaman, yakni mereka akan meminjam dari
pemberi pinjaman yang berbiaya paling rendah. Bila dipertimbangkan lebih
cermat, ini tampaknya suatu aturan yang terlalu sederhana, tetapi marilah kita
lihat bagaimana penerapannya.

Struktur Jangka Waktu dari Suku Bunga


Jika kita melihat ke belakang pada sejarah suku bunga sepanjang-abad ini, suku
bunga jangka pendek teeryata selalu mendekati atau di atas suku bunga jangka
panjang. Pola ini terbalik selama tahun-tahun depresi 1930an di mana laju suku
bunga menurun tajam dan suku bunga jangka pendek berada di bawah suku

Dasar-dasar Keuangan Publik


119

bunga jangka panjang. Selama periode perang, tingkat ymg rendah ini
dipertahankan, sehingga memungkinkan pembiayaan hutang perang pada biaya
yang lebih rendah. Hal ini mengharuskan penyempurnaan jumlah besar hutang
oleh bank-bank komersial dan kenaikan yang sepadan dalam jumlah uang
beredar. Kebijakan masa perang ini berlanjut sampai awal tahun lima puluhan.
Metode yang dipertahankan oleh Departemen Keuangan ini diserang oleh Sistem
Bank Sentral. Kebijakan ini terbukti tidak sesuai dengan penerapan pembatasan
moneter, karena Bank Sentral harus selalu siap membeli obligasi di pasar terbuka,
apabila diperlukan untuk menjaga harga obligasi agar tidak turun dan menjaga
hasil obligasi agar tidak naik. Kebijakan Bank Sentral dengan demikian
menggunakan ketentuan tagihan saja di mana semua kegiatan pasar terbuka dan
dijalankan dalam Treasury Bills. Sesudah transisi secara bertahap, pasaran surat
berharga kembali ke pola suku bunga yang lebih tinggi, dengan tingkat jangka
pendek dan jangka panjang bergerak mendekat satu sama lain dan tingkat jangka
pendek kadang-kadang di atas tingkat jangka panjang.

Teori Struktur jangka Waktu


Para ekonom telah mencoba untuk menjelaskan istilah struktur suku bunga
berdasarkan tingkat pengharapan. Dalam suatu situasi di mana diperkirakan tidak
ada perubahan dalam suku bunga, seperti yang berlaku dalam argumen, tidak ada
alasan bahwa tingkat jangka pendek dan jangka panjang akan berbeda. Akibatnya,
pemberi pinjaman (atau peminta surat hutang) akan ragu-ragu untuk mengikat
dirinya untuk periode waktu yang lama, karena mereka berharap mendapatkan
jangka waktu yang lebih menguntungkan di waktu berikutnya. Jadi pemintaan
akan surat hutang beralih dari jangka panjang ke jangka pendek. Peminjam (atau
penawar surat hutang), di pihak lain senang meminjam sebelum biaya-biaya naik.
Jadi, penawaran surat hutang beralih dari pasar jangka pendek ke pasar jangka
panjang. Akibatnya, pemintaan akan surat hutang jangka pendek meningkat relatif
terhadap penawarannya. Harga surat hutang jangka pendek meningkat dan
hasilnya menurun. Pada saat yang sama, pemintaan surat hutang jangka panjang
turun relatif terhadap penawarannya. Akibatnya, harga surat hutang jangka
panjang menurun dan hasilnya meningkat. Jadi, kurva hasil akan miring ke atas.
Hal sebaliknya akan timbul bila diperkirakan akan terjadi penurunan tingkat
bunga. Tingkat jangka panjang, sesuai dengan teori ini, timbul untuk
menceminkan tingkat jangka pendek masa depan yang diperkirakan.

Dampak lnflasi
Akhimya, bagaimanakah mekanisme masuknya inflasi ke dalam struktur suku
bunga? Dampak inflasi terhadap suku bunga umum mudah kita lihat. Inflasi akan
menaikkan suku bunga karena pemberi pinjaman ingin melindungi diri mereka
terhadap kerugian nilai riil klaim mereka, akibat naiknya harga-harga. Jadi, jika
suku bunga atau pengembalian riil dalam keadaan tanpa inflasi adalah 3 persen,
sedangkan laju inflasi yang diperkirakan adalah 6 persen, maka suku bunga
nominal akan cenderung menjadi 3+6, atau 9 persen. Tambahan 6 persen
diperlukan untuk mempertahankm daya beli obligasi sekalipun keuntungan
bersih dalam bentuk neto hanyalah 3 persen. Penyesuaian inflasioner ini
diperhitungkan untuk kenaikan tajam dalam suku bunga umum, sama seperti

Dasar-dasar Keuangan Publik


120

perkiraan penurunan inflasi yang diperhitungkan untuk perkiraan penuruan suku


bunga.

Hubungan antara inflasi dan jangka waktu suku bunga kurang jelas.
Selama inflasi bergerak pada laju yang konstan, katakanlah 4 persen, dan investor
mengharapkan laju ini dapat dipertahankan, beban tambahan inflasi juga akan
tetap pada 4 persen, sehingga struktur jangka waktu tidak akan dipengaruhi.
Hanya jika laju inflasi yang diperkirakan berubah, maka struktur jangka waktu
akan dipengaruhi. Jadi, suatu harapan bahwa inflasi akan menurun akan
ccnderung menurunkan suku bunga nominal masa depan, sehingga menyebabkan
penurunan dalam tingkat jangka panjang relatif terhadap tingkat jangka pendek.
Demikian pula sebaliknya untuk kenaikan yang diperkirakan dalam tingkat
inflasi. Telah beberapa kali diusulkan agar Departemen Keuangan dan wajib pajak
dapat dilindungi terhadap perubahan yang tak terduga dalam laju inflasi, dengan
menerbitkan obligasi yang berjangka lebih panjang dan nilai pelunasan dari surat
berharga tersebut diindeks pada tingkat harga. Atau terhadap obligasi tersebut
ditetapkan nilai pari yang tetap, tetapi dengan pembayaran kupon tahunan yang
bervariasi mengikuti tingkat inflasi.

Struktur Jangka Waktu dan Manajemen Hutang yang Efektif


Sekarang kita dapat mempertimbangkan kembali implikasi struktur jangka waktu
dari suku bunga untuk majemen hutang dan mempertanyakan apakah biaya
bunga dapat diperkecil dengan menjual surat berharga yang, bila diukur dengan
hasil saat ini, dapat ditempatkan pada biaya jatuh tempo ymg paling rendah.
Jawabnya jelas tidak. Andaikan bahwa Departemen Keuangan dapat meminjam
untuk jangka waktu satu tahun pada 5 persen dan dua puluh tahun pada 7 persen.
Ini tidak berarti bahwa mengambil surat berharga satu tahun akan lebih baik,
karena pada akhir tahun peluang untuk meminjam pada 7 persen mungkin akan
lenyap jika tingkat bunga naik. Atau andaikan Departemen Keuangan dapat
meminjam untuk 20 tahun pada 5 persen dan untuk satu tahun pada 7 persen.
Pilihan yang pertama belum tentu baik karena tingkat bunga bisa juga turun
sebelum dua puluh tahun berakhir.

Yang menjadi masalah pokok adalah arah perubahan suku bunga yang
diharapkan oleh Departemen Keuangan. Jika para pengelola hutang berharap
suku bunga akan naik, pilihan yang tepat adalah meminjam untuk jangka panjang;
jika mereka memperkirakan suku bunga akan turun, pilihannya adalah pada
jangka pendek. Hal yang penting adalah sekali suatu komitmen telah dibuat, tidak
ada lagi jalan keluar lain. Biaya bunga hutang yang telah dibuat harus dibayar
untuk periode penuh meskipun tingkatnya bisa turun; dan keuntungan dari suku
bunga yang rendah akan terus diakrualkan sekalipun tingkatnya mungkin naik.
Dengan demikian manajemen hutang merupakan suatu seni yang tinggi, yang
membutuhkan penaksiran tajam terhadap prospek pasar untuk jangka waktu yang
cukup panjang.

Tetapi seandainya pun perubahan tingkat yang diperkirakan telah


diperhitungkan, kriteria biaya bunga minimum tidak memberikan pedoman yang
mencukupi. Namun bagaimanapun juga, pemerintah pusat dengan

Dasar-dasar Keuangan Publik


121

pengendaliannya atas penciptaan uang dapat mengatur laju suku bunga di pasar.
Mereka selalu dapat mengganti hutang publik dengan uang, baik langsung
melalui pencetakan uang ataupun dengan meminjam dari bank sentral.
Penggantian hutang dengan uang jelas merupakan cara yang paling murah untuk
menangani masalah tersebut, karena sama sekali tidak akan melibatkan biaya
bunga. Namun itu bukanlah pemecahan yang memuaskan, karena mengganti
hutang dengan uang akan menaikkan likuiditas dalam jumlah besar, yang
menimbulkan kenaikan tingkat pemintaan agregat dan inflasi yang berlebihan.

Dipandang dari sudut ini, tujuan menerbitkan surat hutang dan bukan
uang (atau mengganti hutang jatuh tempo yang beredar dengan hutang baru dan
bukan menguangkannya) adalah membeli likuiditas. Para investor harus
diyakinkan untuk memiliki surat hutang dan bukan uang, dan cara melakukan hal
ini adalah dengan membayar mereka. Timbul pertanyaan apakah satu dollar dari
hutang jangka pendek bermanfaat mengurangi likuiditas seperti satu dollar dari
hutang jangka panjamg. Jika hutang jangka panjang membuat penanamnya
kurang likuid, mungkin beralasan bagi Departemen Keuangan untuk menerbitkan
surat berharga seperti itu, sekalipun biaya bunga agak lebih tinggi. Jadi prinsip
meminimisasikan biaya bunga harus dinilai kembali karena adanya pembelian
likuiditas pada jangka yang lebih murah, yang tidak selaras dengan tujuan
kebijakan stabilisasi.

Perpanjangan hutang pada saat pengembalian cenderung untuk menjadi


restriktif, dan sebaliknya mempersingkat hutang cenderung untuk menjadi
ekspansioner. Perpanjangan akan menaikkan suku bunga jangka panjang relatif
dibanding jangka pendek. Para investor yang ingin menahan persediaan surat
berharga jangka panjang dan jangka pendek pada rentang hasil tertentu, sekarang
harus menahan lebih banyak surat berharga jangka panjang dan lebih sedikit
jangka pendek. Untuk melakukan hal ini, mereka menginginkan syarat yang lebih
menguntungkan pada surat berharga jangka panjang dan bisa menerima syarat
yang kurang menguntungkan pada surat berharga jangka pendek. Pengaruh
restriktif dari kenaikan suku bunga jangka panjang pada investasi swasta akan
melebihi pengaruh ekspansioner dari penurunan suku bunga jangka pendek,
karena pengeluaran modal biasanya didasarkan pada pembelanjaan jangka
panjang. Hutang jangka pendek cenderung lebih mirip uang, jadi perpanjangan
hutang akan bersifat restriktif.

Pertimbangan serupa yang diterapkan pada pendanaan kembali (atau


swapping hutang) juga berlaku dalam hal memilih jenis penerbitan surat berharga
untuk membiayai defisit, atau jenis penerbitan yang akan ditarik bila surplus
digunakan untuk pengurangan hutang. Dalam hal apapun, manajemen hutang
dapat digunakan untuk mendukung dampak ekspansioner dan restriktif dari
kebijakan stabilisas saat ini. Konsekuensinya, tujuan kebijakan jangka pendek,
bukan perkiraan perubahan tingkat jangka panjang dan implikasinya pada biaya
bunga, yang mungkin merupakan faktor penentu dalam menentukan kebijakan
manajemen hutang.

Di samping penyesuaian jangka pendek, tetap ada pertanyaan mengenai


apa yang merupakan bauran jatuh tempo yang baik, sejauh bersangkutan dengan

Dasar-dasar Keuangan Publik


122

hutang yang beredar. Hutang jangka panjang, seperti yangg dikemukakan


sebelumnya, memerlukan volume kegiatan pendanaan kembali yang lebih kecil,
tetapi ini hampir bukan merupakan pertimbangan yang menentukan. Suatu
hutang pada ukuran tenentu, jika jangka pendek, akan membuat perkonomian
berada dalam posisi yang lebih likuid hingga cenderung untuk menaikkan
kemungkinan perubahannya. Akibatnya, tugas kebijakan stabilisasi menjadi lebih
sulit. Di pihak lain, suatu hutang ymg terlalu panjang dapat menimbulkan
kekakuan dalam struktur keuangan dan kurang dapat memberikan likuiditas yang
diperlukan. Dalam situasi apapun, hal ini, sebagian besar akan tergantung pada
besamya stok uang. Dampak likuiditas pada sektor swasta dari kombinasi hutang
yang lebih panjang serta persediaan uang yang lebih besar, mungkin serupa
dengan dampak kombinasi hutang jangka pendek dengan persediaan uang
(jumlah uang beredar) yang lebih kecil. Bila tidak ada penalaran yang lebih baik,
orang akan mempunyai pandangan bahwa struktur jatuh tempo yang seimbang
sampai, katakanlah lima belas tahun, akan dipilih oleh seseorang dengan hampir
semuanya jangka pendek atau hampir semuanya jangka panjang.

Hutang Pemerintah Lokal


Akhimya, kita bahas secara singkat mengenai pasar bagi hutang
pemerintah lokal. Pasar untuk hutang pemerintah lokal sangat terstratifikasi,
karena hasil (yields) tergantung pada peringkat kredit dari jurisdiksi. Biaya
peminjaman untuk pemerintah lokal dikurangi, jika hal itu tidak efisien, dengan
membebaskan pajak pusat untuk pembayaran bunga atas hutang tersebut.
Peningkatan penggunaan yang meragukan atas pinjaman pemerintah lokal
dilakukan dalam bentuk obligasi pendapatan, yang pada hakikatnya berlaku
untuk membiayai industri swasta di bawah payung kebebasan pajak.

Masalah manajemen hutang untuk pemerintah lokal berbeda dengan


tingkat pusat, dan lebih mirip investor swasta yang berupaya mengamankan dana
di pasar. Perbedaan ini berlaku baik mtuk sisi permintaan maupun untuk sisi
penawaran. Pada sisi pemintaan, kesempatan untuk meminjam oleh pemerintah
lokal terjadi terutama ketika sejumlah besar pengeluaran modal harus dibiayai.
Jika kita perhatikan kembali pembahasan dalam pemerintah lokal, lebih bijaksana
apabila pengeluaran tersebut dibiayai dari pinjaman dan bukan dari pajak.
Pertimbangan untuk meminjam pada tingkat pemerintah lokal dengan demikian
sangat besar dibandingkan dengan tingkat pusat, di mana kebijakan stabilisasi
merupakan penentu utama. Pada sisi penawaran dalam pasar dana, pemerintah
lokal tidak memiliki kendali atas kondisi pasar uang tempat mereka harus
meminjam. Yang terbaik dapat dilakukan adalah mendapatkan dana pada syarat
yang menguntungkan yang tersedia; dan biaya peminjaman banyak bevariasi,
tergantung pada posisi fiskal dari juridiksi dan peringkat kreditnya.

Hutang pemerintah lokal sekarang melebihi $500 milyar dan telah naik
dengan jumlah tahunan rata-rata sekitar $15 milyar selama dekade lalu. Persentase
kenaikannya agak di bawah hutang pemerintah dan GNP. Hutang ini sebagian
besar berjangka panjang dan mengmbil berbagai bentuk, temasuk obligasi umum
dan obligasi pendapatan khusus. Yang terakhir dikeluarkan oleh instansi tertentu
atau perusahaan umum, seperti perusaahaan listrik dan air minum yang dikelola

Dasar-dasar Keuangan Publik


123

oleh negara bagian, kotapraja, atau subdivisi lain, dan laba perusahaan itu
digadaikan untuk membiayai pelunasan hutang. Biaya penyediaan dana bagi
berbagai juridiksi peminjamaman merupakan faktor penting bagi ketentuan
pelayanan lokal dan negara bagian yang melibatkan pengeluaran modal yang
besar, misalnya jalan raya dan bangunan sekolah. Pengeluaran seperti itu sangat
penting baik dari sudut pandang nasional, negara bagian maupun lokal. Dengan
demikian, peminjaman ncgara bagian dan lokal merupakan aspek tambahan dari
federalisme fiskal.

Pembebasan Pajak versus Subsidi Bunga Langsung


Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, kebijakan publik memberikan
dukungan secara umum terhadap pinjaman pemerintah lokal dengan
membebaskm pajak penghasilan bunga surat berharga menurut pajak
penghasilan. Seorang investor yang tarif pajak marginalnya 28 persen akan
bersedia (dengan asumsi hal lain tetap sama) mensubstitusikan obligasi kotapraja
yang menghasilkan 4 persen untuk obligasi perusahaan yang menghasilkan 5,6
persen. Keuntungan pajak ini akan mengalihkan dana ke pasar yang bebas pajak,
sehingga mcngurangi biaya peminjaman pemerintah lokal dan negara bagian.
Seperfi telah dibahas sebelumnya, keuntungan ini banyak dikurangi pada tahun
1986 melalui pemotongan tarif pajak marjinal. Tetapi bentuk bantuan khusus ini
memperoleh kritik karena dua alasan. Pertama, bantuan ini mempengaruhi segi
keadilan dari struktur pajak penghasilan. Penerima penghasilan tinggi yang
menerima bunga bebas pajak, membayar pajak lebih sedikit daripada mcreka yang
mendapat penghasilan sama dari sumber lain. Selain itu, nilai pembebasan pajak
meningkat menurut tarif kelompok sehingga mengganggu keadilan vertikal.
Karena alasan ini, akan lebih baik jika bantuan tersebut diberikan dcngan cara
yang tidak melibatkan preferemi pajak. Lebih lanjut, pembebasan pajak hanya
menghasilkan keuntungan tabungan bunga yang lebih kecil terhadap pemerintah
lokal, dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh subsidi langsung dari
pemerintah pusat pada biaya yang sama.

Terlepas dari pertanyaan tentang cara bagaimana dukungan pembayaran


bunga yang paling baik dapat diberikan, terdapat pertanyaan selanjutnya tentang
apakah dukungan umum untuk pembayaran bunga pada tingkat negara bagian-
lokal tersebut diperlukan. Karena pinjaman pemerintah lokal digunakan untuk
pengeluran modal, maka dukungan seperti itu maka sama saja dengan
menggunakan hibah untuk keperluan pengeluaaran modal. Dipandang dari sudut
ini, pertanyaan yang timbul kemudian adalah apakah pengeluaran modal (capital
expenditure) sebagai suatu kelompok lebih dipilih dibanding pengeluaran masa
berjalan (current expenditure) hingga bermanfaat memberikan subsidi khusus, baik
berdasarkan dampak pelimpahan (spillover effects) atau pun pertimbangan
manfaat. Tampaknya, jawaban pertanyaan tersebut negatif. Terlepas dari masalah
politik dan sejarah konstitusional (dilihat dari pembahasan sebelumnya bahwa
instrumentalitas pemerintah lokal harus dibebaskan dari perpajakan pusat), alasan
pokok terhadap dukungan bunga umum tampaknya meragukan.

Dukungan terhadap pinjaman negara bagian dan lokal atas dasar lebih
selektif, seperti halnya hibah menurut kategori tertentu, mungkin lebih dapat

Dasar-dasar Keuangan Publik


124

dibenarkan Dalam hubungan ini, pembentukan lembaga perantara keuangan


(financial intermediaries) yang meminjam untuk dirinya sendiri di pasar dan
kemudian meminjamkan kembali kepada kotapraja lebih bisa dipertimbangkan.
Jadi, suatu bank dapat berfungsi sebagai alat dalam mengatasi ketidakmenentuan
yang sekarang berlaku dari sistem peringkat kredit, dan hal itu akan mengurangi
biaya pinjaman bagi kotapraja kecil dengan cara menyebarkan risiko. Di pihak
lain, hal itu juga akan menimbulkan pembiasan politik pada dana yang tersedia.
Dengan perkataan lain, institusi tersebut dapat bermanfaat dalam
menstabilisasikan fluktuasi siklus pada biaya pinjaman dan dalam memodifikasi
dampak perubahan kebijakan moneter terhadap sektor pasar modal ini.

Obligasi Pendapatan industri


Akhimya, perlu diperhatikan pula pertumbuhm pendapatan obligasi industri
selama dekade terakhir. Obligasi seperti itu diterbitkan oleh jurisdiksi pemerintah
lokal, dan hasilnya digunakan untuk membangun fasilitas industri yang pada
gilirannya disewakan kepada perusahaan-perusahaan swasta. Akhir-akhir ini
praktek seperti itu juga telah diperluas dengan memberikan dana hipotik. Jadi,
pengurangan dalam biaya pendanaan melalui pembebasan pajak pusat diteruskan
pada kesatuan yang pada hakikatnya merupakan perusahaan swasta. Dan sudut
pandang kotapraja tertentu, hal itu dipandang sebagai sarana untuk menarik
perusahaan ke daerahnya. Tetapi kebijakan seperti itu tidak dapat dipertahankan
dari sudut pandang nasional, dan berbagai pembatasan telah diterapkan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


125

B A B XIII

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

A ktivitas pemerintah memerlukan realokasi sumber-sumber daya dari


sektor swasta. Untuk itu, masyarakat harus dihimbau secara sukarela
menyerahkan sebagian pendapatannya untuk kepentingan penyediaan
barang-barang dan jasa-jasa publik. Pengumpulan pendapatan dari masyarakat
dapat dikategorikan sebagai penerimaan pajak dan penerimaan non pajak.

Penerimaan Pajak
Pajak adalah pungutan yang ditarik dari masyarakat tanpa mengakibatkan
timbulnya kewajiban bagi pemerintah terhadap pihak pembayar. Menurut
sifatnya, pajak adalah wajib. Kewajiban pajak menurut undang-undang dapat
dipaksakan. Sedangkan terhadap pelanggar peraturan perpajakan dapat dikenai
hukuman yang berlaku. Di Indonesia, sumber penerimaan pajak adalah yang
terbesar.

Disamping sebagai sumber penerimaan negara (fungsi budget), pajak juga


dapat difungsikan sebagai alat pengaturan dan pengawasan kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan sektor swasta (fungsi regulator). Pada fungsi budget, pajak
dimaksudkan untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan bagi pembiayaan
kegiatan rutin operasional pemerintah mengatur negara. Sedangkan pada fungsi
regulator, kebijakan perpajakan dimaksudkan untuk mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dengan cara mengatur pola produksi dan
konsumsi barang-barang ekonomi. Dengan sistem perpajakan, pemerintah dapat
mendorong investasi yang menghasilkan barang-barang produksi tertentu atau
sebaliknya. Mekanisme perpajakan juga dapat diterapkan untuk mendorong atau
mengurangi jumlah pendapatan yang dikonsumsikan.

Penerimaan Non Pajak


Disamping pajak, pemerintah dapat menggunakan sumber-sumber non
pajak yang mampu menggalang dana bagi keperluan pembiayaan pengeluaran
publik. Jenis-jenis penerimaan tersebut antara lain:

Dasar-dasar Keuangan Publik


126

1. Debt Finance
2. Government Induced Inflation
3. Donations
4. User Charges
5. Government Enterprise
6. Lottery

Debt Finance adalah penggunaan dana pinjaman untuk membiayai


pengeluaran publik. Hal ini biasanya dilakukan untuk membiayai suatu proyek
besar dan memakan waktu lama seperti pembangunan rumah sakit, jalan tol dan
sebagainya. Pinjaman merupakan penarikan dana masyarakat yang dilakukan
oleh pemerintah dengan janji untuk membayar kembali pada masa mendatang.
Dewasa ini, mekanisme pinjaman oleh pemerintah terhadap dana masyarakat
dapat juga digunakan untuk mengurangi jumlah uang beredar. Untuk keperluan
pinjaman, pemerintah akan membayarkan sejumlah bunga selama pinjaman
tersebut belum dilunasi. Di Indonesia, kebijakan utang oleh pemerintah
diaplikasikan dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN).

Government Induced Inflation dilakukan dengan cara mencetak uang baru


untuk membiayai pengeluaran publik. Inti dari kegiatan ini adalah mengakibatkan
penambahan jumlah uang yang beredar dimasyarakat. Kebijakan yang serupa
seperti kegiatan melepas cadangan uang yang ditahan oleh bank sentral dapat juga
dikategorikan sebagai Government Induced Inflation. Adanya tambahan jumlah
uang beredar yang tidak diikuti tambahan jumlah produksi, menurut kaidah
ekonomi akan menyebabkan kenaikan harga pasar barang dan jasa.

Donations adalah kontribusi sukarela kepada pemerintah dari masyarakat


atau oraganisasi-organisasi kemasyarakatan. Penggalangan dana tersebut biasa
dilakukan melalui himbauan-himbauan yang dapat menggugah kerelaan
masyarakat. Misalnya penggalangan dana kemanusiaan untuk korban bencana
alam, korban peperangan dan sebagainya. Dana hibah (grant/sumbangan yang
tidak perlu dikembalikan) negara lain dapat juga dianggap sebagai donations.
Akan tetapi, karena sulitnya memprediksi, dana hibah tidak dapat diharapkan
sebagai alternatif penerimaan andalan.

User Charges atau retribusi dipungut apabila dimungkinkan untuk


dikenakan kepada masyarakat yang menggunakan jasa-jasa tertentu. Dengan kata
lain, adanya keterkaitan langsung antara jumlah nominal yang dibayar dengan
balas jasa yang diterima, seperti tarif jalan tol, tarif pintu masuk tempat-tempat
rekreasi, tarif parkir dan sebagainya. Berkaitan dengan otonomi daerah, dewasa ini
banyak sekali jenis-jenis retribusi yang diatur dengan Peraturan Daerah yang
dimaksudkan untuk menopang Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Government Enterprise adalah perusahaan yang dimiliki pemerintah yang


memproduksi dan menjual barang, jasa atau keduanya untuk memperoleh laba.
Sebagian laba yang dihasilkan perusahaan-perusahaan negara dapat dijadikan
sebagai tambahan penerimaan pemerintah. Pada kebanyakan negara maju, dewasa
ini fungsi perusahaan negara terutama bukan untuk mencari laba tetapi lebih pada
pemicu pertumbuhan ekonomi. Untuk mendorong iklim investasi yang positif,

Dasar-dasar Keuangan Publik


127

perusahaan-perusahaan milik negara sebisa mungkin bersaing secara kompetitif


dalam iklim pasar yang sehat. Jika dirasakan bahwa sektor swasta telah mampu
mengembangkan sektor ekonomi tertentu, pemerintah dapat mengurangi
perannya sedemikian rupa dengan cara melepas sahamnya kepada publik. Pada
akhirnya, perusahaan-perusahaan yang dimiliki negara lebih berkonsentrasi pada
sektor-sektor ekonomi yang belum mampu dibiayai swasta.

Lottery adalah kegiatan penggalangan dana yang bertujuan untuk


membiayai kegiatan tertentu dengan diiming-imingi hadiah bagi yang membeli
surat undian. Secara teori, surat undian harus dijual secara murah sehingga tidak
menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak menang. Atau
masyarakat diharapkan lebih berniat untuk menyumbang kepada pemerintah
dibanding berharap memenangkan hadiah. Pada prakteknya, kebijakan ini sering
disalahgunakan oleh sebagian masyarakat dengan kultur tertentu yang senang
berangan-angan dan ingin merubah status sosialnya secara cepat. Hal ini berakibat
kurangnya tingkat produktivitas masyarakat pada sektor-sektor ekonomi yang
menghasilkan barang dan jasa.

Prinsip-Prinsip Pajak
Pada awal bab digambarkan bahwa pajak tidak hanya berfungsi sebagai
penggalangan dana masyarakat untuk membiayai pengeluaran publik, tetapi juga
dapat difungsikan sebagai regulator (pengatur). Untuk mengoptimalkan
pelaksanaan kedua fungsi tersebut, kebijakan perpajakan harus berlandaskan pada
prinsip-prinsip yang relevan. Teori Adam Smith yang terkenal mengenai prinsip-
prinsip pengenaan pajak mengacu pada empat hal yaitu:
1. Prinsip keadilan (equity)
2. Prinsip kepastian (certainty)
3. Prinsip kenyamanan (convenience)
4. Prinsip ekonomi (economy)

Prinsip keadilan menekankan bahwa beban pajak harus disesuaikan


dengan kemampuan relatif masyarakat. Jumlah nominal pajak yang dibayarkan
oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah harus lebih kecil dari
golongan masyarakat yang lebih tinggi. Pajak diharapkan dapat menjadi alat
distribusi pendapatan secara lebih fair dan mengurangi kesenjangan pendapatan.
Pembahasan selanjutnya akan memaparkan bahwa apapun kebijakan yang
diambil, prinsip keadilan yang memuaskan semua pihak tidak akan pernah
tercapai.

Prinsip kepastian dimaksudkan agar pada pelaksanaan pemungutan pajak


tidak terjadi distorsi berupa kesalahan yang disengaja (penyelewengan) atau yang
tidak disengaja akibat kekurangpahaman. Kebijakan perpajakan harus dibuat
sesederhana mungkin dan diformulasikan menggunakan kata-kata yang
meminimalkan adanya penafsiran ganda. Hal ini juga perlu ditunjang dengan
adanya kecukupan proses sosialisasi dengan memasukkan unsur-unsur
kemajemukan masyarakat.

Dasar-dasar Keuangan Publik


128

Prinsip kenyamanan menggarisbawahi pentingnya menciptakan kondisi


yang menyenangkan bagi wajib pajak agar dengan sukarela bersedia memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Dengan kata lain, sebisa mungkin dihindarkan adanya
unsur-unsur menekan atau kekerasan. Kenyamanan wajib pajak dapat diberikan
dengan bentuk layanan prima. Prosedur pembayaran pajak atau menjadi wajib
pajak harus dibuat semudah mungkin. Kepada mereka yang patuh diberikan
penghargaan yang setimpal.

Prinsip ekonomi menegaskan pentingnya perbandingan antara biaya dan


hasil yang efisien. Upaya-upaya penarikan pajak harus disertai dengan kegiatan
yang meminimalkan biaya pemungutan atau biaya-biaya lain yang dapat
mengurangi penerimaan bersih negara. Biaya pemungutan juga tidak layak
dibebankan kepada wajib pajak. Mereka sedapat mungkin tidak dikenakan biaya-
biaya lain diluar kewajiban pajak murni. Sehingga tujuan penggunaan pajak untuk
pembiayaan pengeluaran publik lebih mudah tercapai.

Siklus Arus Pajak


Pengenaan pajak kepada masyarakat dan dunia usaha secara umum dapat
berbentuk pajak atas pendapatan dan pajak atas konsumsi. Pajak atas pendapatan
berarti adalah pengenaan tarif pajak terhadap seluruh pos-pos penerimaan rumah
tangga dan perusahaan dalam siklus perekonomian. Sebaliknya, pajak atas
konsumsi berarti pengenaan tarif pajak atas seluruh pola pengeluaran rumah
tangga serta perusahaan. Untuk itu perlu diidentifikasi pos-pos penerimaan dan
pengeluaran dalam siklus perekonomian. Pada hakekatnya siklus penerimaan dan
pengeluaran dalam perekonomian pada umumnya adalah seperti gambar berikut:

Dasar-dasar Keuangan Publik


129

Gambar 11.1

Pos yang pertama adalah pendapatan rumah tangga (1). Pendapatan


rumah tangga adalah pendapatan golongan masyarakat yang diperoleh dari
penghasilan upah atau gaji sebagai karyawan dan pendapatan jasa modal.
Sedangkan golongan masyarakat lainnya yang memiliki usaha yang menghasilkan
produk dikategorikan sebagai perusahaan. Pendapatan rumah tangga ini
kemudian akan mengalir dalam dua bentuk yaitu sebagian menjadi konsumsi
rumah tangga (2) sebagai biaya pemenuhan kehidupan sehari-hari masyarakat dan
sisanya menjadi tabungan rumah tangga (3). Jumlah pendapatan rumah tangga
yang dikonsumsi kemudian akan mengalir ke pasar barang konsumsi, sedangkan
seluruh tabungan masyarakat diasumsikan mengalir menjadi bagian dari investasi
(5) yang pada akhirnya mengalir ke pasar barang modal.

Jumlah nominal konsumsi masyarakat akan sama dengan jumlah


penerimaan kotor perusahaan dari pasar barang konsumsi (4) sedangkan jumlah
investasi akan sama dengan jumlah penerimaan kotor dari pasar barang modal (6).
Adapun total penerimaan dari kedua pasar tersebut disebut penerimaan kotor
perusahaan (7).

Total penerimaan perusahaan tersebut selanjutnya sebagian akan


digunakan sebagai pengeluaran perusahaan (8). Sebagian pengeluaran perusahaan
akan disisihkan untuk biaya penyusutan (9), dan sebagian lagi dibayarkan
perusahaan sebagai biaya gaji karyawan (11) sedangkan sisanya adalah
keuntungan perusahaan (12).

Termasuk dalam keuntungan perusahaan adalah pendapatan jasa modal


(14) yang dibayarkan kepada rumah tangga seperti bunga, deviden, dan sewa.
Sedangkan sisa keuntungan yang tidak dibagi (15) akan menjadi tabungan
perusahaan (16). Jumlah biaya gaji yang dibayarkan perusahaan akan menjadi
pendapatan gaji (13) bagi rumah tangga. Sedangkan tabungan perusahaan
bersama-sama tabungan rumah tangga, diasumsikan akan menjadi investasi
seluruhnya.

Tarif Pajak
Titik-titik pembebanan dalam siklus pajak adalah segala sesuatu yang
dapat dikenakan pajak atau biasa disebut objek pajak. Sedangkan jumlah pajak
yang dipungut dihitung dengan mempergunakan tarif pajak. Jika dilihat dari
sudut pandangan dasar penentuan tarif pajak, secara umum terbagi atas tiga
bentuk yaitu:
1. Proportional (flat) tax rate
2. Progressive tax rate
3. Regressive tax rate

Proportional (flat) tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif dalam
persentase tertentu dengan tidak melihat perubahan pendapatan individu. Dengan
kata lain, berapapun jumlah kemampuan membayar seorang wajib pajak, jumlah
pengenaan tarif pajaknya sama. Sebagai ilustrasi, jika pendapatan yang diterima

Dasar-dasar Keuangan Publik


130

oleh wajib pajak naik sebesar 100%, maka secara otomatis jumlah pajak yang
terhutang menjadi naik sebesar 100%. Tabel dibawah ini akan menggambarkan
bagaimana pajak proportional diterapkan.

Tabel 11.1: Pajak Proporsional


Pendapatan Pajak
Nominal %
1.000 100 10.0
2.000 200 10.0
3.000 300 10.0

Progressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif meningkat seiring
dengan peningkatan pendapatan individu. Dengan kata lain, jumlah pendapatan
yang lebih besar yang diterima oleh wajib pajak, akan dikenakan tarif yang lebih
besar pula. Sebagai ilustrasi, jika kemampuan membayar seorang wajib pajak naik
sebesar 100%, jumlah pajak yang terhutang menjadi naik melebihi 100%. Tabel
dibawah ini akan menggambarkan bagaimana pajak progessive diterapkan.

Tabel 11.2: Pajak Progresif


Pendapatan Pajak
Nominal %
1.000 100 10.0
2.000 300 15.0
3.000 600 20.0

Regressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif menurun dengan
makin meningkatnya pendapatan wajib pajak. Dengan kata lain, peningkatan
jumlah kemampuan membayar seorang wajib pajak, semakin menurun tarif yang
dikenakan. Sebagai ilustrasi, jika seorang wajib pajak mendapat kenaikan
pendapatan sebesar 100%, maka jumlah kenaikan pajaknya kurang dari 100%.
Tabel dibawah ini menggambarkan bagaimana tarif pajak regressive diterapkan.

Tabel 11.3: Pajak Regresif


Pendapatan Pajak
Nominal %
1.000 100 10.0
2.000 180 9.0
3.000 240 8.0

Istilah-istilah Dalam Perpajakan


Pembahasan lebih lanjut mengenai perpajakan perlu dimulai dengan
mengenal lebih jauh tentang definisi istilah yang sering muncul dalam dunia
perpajakan. Beberapa istilah yang perlu mendapat perhatian khusus antara lain:
• Pajak Perseorangan dan Pajak in Rem
• Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung
• Pembayaran Transfer

Dasar-dasar Keuangan Publik


131

Pajak perseorangan adalah pajak yang dikenakan kepada orang per orang
yang memperoleh penghasilan dimana besarnya jumlah yang terhutang
disesuaikan dengan kemampuan untuk membayar pajak. Pajak perseorangan
dikenakan atas transaksi rumah tangga berupa pendapatan dan konsumsi. Untuk
menentukan kemampuan seseorang dalam membayar pajak atas pendapatan
(personal income tax), maka seluruh sumber pendapatan perseorangan harus
digabung sebagai basis pembayar pajak. Sedangkan jika konsumsi juga akan
dikenai pajak, maka pajak perseorangan diterapkan dalam bentuk pajak
pengeluaran perseorangan (personal expenditure tax)

Pajak in Rem adalah pajak atas aktivitas atau obyek tertentu misalnya
pembelian, penjualan, atau pemilikan harta kekayaan. Aktivitas atau objek yang
dikenakan pajak tidak terkait dengan karakteristik pihak-pihak yang melakukan
transaksi atau pemiliknya. Siapapun yang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu
atau memiliki objek-objek pajak tertentu, wajib membayar pajaknya. Pajak in Rem
dapat dikenakan atas rumah tangga atau badan usaha. Pajak atas transaksi jual beli
yang dikenakan terhadap perusahaan akan dapat diperlakukan juga terhadap
semua rumah tangga yang melakukan transaksi. Hal yang sama juga berlaku
ketika mengenakan pajak terhadap harta kekayaan, yang berkaitan dengan nilai
kekayaan dari perseorangan atau perusahaan.

Pajak langsung adalah pajak yang berdasarkan surat ketetapan dikenakan


terhadap rumah tangga ataupun perseorangan dan dilakukan secara berkala.
Beban pajak ini tidak dapat dipindahkan kepada orang lain. Pajak penghasilan
dapat dikategorikan sebagai pajak langsung.

Pajak tidak langsung adalah pajak yang tidak dipungut secara berkala dan
dapat beralih sampai dengan penanggung akhir beban tersebut. Sifat pemungutan
pajak ini cukup sederhana dan biasanya dikaitkan dengan adanya kejadian
tertentu. Maka hampir semua pajak in Rem. Pajak pertambahan nilai dan cukai
merupakan pajak tidak langsung. Pengertian dari pajak cukai adalah pajak tidak
langsung yang diterapkan atas penjualan barang-barang manufaktur tertentu.
Beberapa kebaikan dan kekurangan dari pajak tidak langsung, menurut
Suparmoko adalah sebagai berikut:

Kebaikan:
1. Pajak tidak langsung cenderung lebih stabil digunakan sebagai sarana
penerimaan negara dibanding pajak langsung. Jumlah nilai yang diperoleh
melalui pajak tidak langsung cenderung lebih mudah diprediksi.
2. Pengenaan pajak dapat mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat
tanpa memandang besar kecilnya penghasilan yang diperoleh. Tanpa
pandang bulu, semua yang melakukan transaksi atau kejadian tertentu,
diwajibkan melunasi pajak yang tertenggung.
3. Biaya-biaya yang ditimbulkan akibat adanya penerapan pajak tidak
langsung relatif lebih murah dibanding pajak langsung. Dikarenakan
kesederhanaan landasan aturan yang dipakai, tidak diperlukan banyak
perangkat yang bertujuan untuk mensosialisasikan aturan tersebut.

Dasar-dasar Keuangan Publik


132

4. Teknik pemungutannya yang sederhana tidak memerlukan kegiatan


administrasi yang kompleks. Kesederhanaan aturan juga memungkinkan
dilakukannya penelusuran dan pengecekan jika terjadi kesalahan dengan
cepat tanpa perlu menggunakan formula audit yang kompleks.
5. Fungsi regulator yang dimiliki pemerintah dalam hal kebijakan perpajakan,
dapat dengan mudah diterapkan. Dengan mudahnya dipahami,
pemerintah lebih mudah memperkirakan dampak dari setiap kebijakan
perpajakan yang dikeluarkan.

Kekurangan:
1. Kurangnya rasa berkeadilan antara golongan masyarakat yang
berpenghasilan tinggi dengan masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini
dikarenakan kedua golongan tersebut dibebani tarif pajak yang sama
untuk setiap transaski atau kejadian tertentu.
2. Karena dimungkinkannya terjadi penggeseran beban pajak kepada
golongan wajib pajak lainnya, penanggung akhir dari beban pajak tidak
langsung belum tentu sesuai dengan target awal. Hal ini tergantung dari
tingkat elastisitas kurva permintaan dan penawaran untuk barang-barang
terkena pajak tidak langsung. Sebagai contoh, apabila kurva permintaan
suatu barang adalah elastis sempurna maka seluruh beban pajak tidak
langsung akan menjadi tanggungan produsen. Dengan kata lain, dalam
kondisi seperti itu beban pajak tidak langsung tidak dapat dialihkan
kepada konsumen.

Menurut studi yang pernah dilakukan, pajak yang diterima sebagian besar
negara-negara berkembang lebih banyak dari kategori pajak tidak langsung. Hal
ini terutama diakibatkan sulitnya melakukan administrasi yang baik dan teliti
untuk menerapkan pajak langsung. Sedangkan untuk negara-negara maju,
peranan kebijakan fiskal adalah sangat penting. Akibatnya, pajak langsung lebih
banyak digunakan dalam instrumen fiskal di negara-negara tersebut.

Seluruh aliran dana yang masuk kas negara akibat diterapkannya


kebijakan perpajakan biasa disebut sebagai pajak positif. Sedangkan pembayaran
transfer oleh pemerintah dapat dipandang sebagai pajak negatif. Pembayaran
transfer atau grant oleh pemerintah dapat dianggap sebagai arus pajak dengan
arah yang berlawanan. Misalnya adalah tunjangan sosial dan subsidi pajak
terhadap beberapa jenis usaha tertentu. Pada beberapa negara, tunjangan sosial
dapat diterapkan untuk memenuhi prinsip keadilan perpajakan. Sebagai contoh,
program pensiun kepada semua pegawai akan menguntungkan golongan
pendapatan yang rendah karena mereka memperoleh manfaat dari program ini
melebihi jumlah kontribusi yang dibayarkan melalui pajak penghasilan yang
progresif. Hal tersebut disubsidi silang oleh golongan masyarakat yang
berpenghasilan menengah keatas.

Dasar-dasar Keuangan Publik


133

B A B XIV

PRINSIP KEADILAN PERPAJAKAN

ada kenyataannya, sulit sekali didapat suatu formula kebijakan perpajakan

P yang memenuhi seluruh aspek keadilan. Tidak ada suatu kebijakan yang
bisa memuaskan seluruh pelaku ekonomi. Suatu kebijakan dianggap adil
jika dilihat dari satu sisi, tetapi kurang adil dari sisi yang lain. Untuk itu perlu
dibandingkan prinsip-prinsip yang menerangkan bagaimana konsep keadilan
dapat dibakukan. Lebih lanjut pembahasan keadilan perpajakan dikaitkan dengan
beberapa jenis pajak.

Prinsip Manfaat
Setiap orang setuju bahwa sistem perpajakan harus adil, dimana setiap
wajib pajak harus memberikan kontribusinya yang layak untuk membiayai
kegiatan pemerintah. Pendekatan pertama adalah prinsip manfaat (benefit
principle). Suatu sistem pajak dikatakan adil bila kontribusi yang diberikan oleh
setiap wajib pajak sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari jasa-jasa
pemerintah. Berdasarkan prinsip ini, sistem pajak yang adil akan tergantung dari
struktur pengeluaran publik. Oleh karena itu, prinsip manfaat memandang
perekonomian sektor publik sebagai sektor yang melibatkan pengeluaran maupun
penerimaan yang berkesinambungan. Agar prinsip manfaat dapat dilaksanakan,
maka manfaat yang diperoleh wajib pajak atas terjadinya pengeluaran publik
harus diketahui terlebih dahulu. Prinsip manfaat cenderung mengalokasikan
penerimaan pajak untuk membiayai jasa-jasa publik, tetapi tidak terlalu
mempertimbangkan pembiayaan transfer serta tujuan redistributif. Agar sistem
perpajakan dengan prinsip manfaat bisa adil, maka harus diasumsikan bahwa
ketika sistem tersebut mulai diberlakukan, sudah terdapat distribusi yang tepat
dalam perekonomian.

Penerapan berdasarkan manfaat secara umum didasarkan karena setiap


wajib pajak mempunyai preferensi terhadap jasa publik yang berbeda-beda, maka
tidak ada rumusan umum yang berlaku bagi semua orang. Setiap wajib pajak akan
membayar sesuai hasil evaluasi individu. Akan tetapi ada pola umum yang bisa
dipelajari.

Dasar-dasar Keuangan Publik


134

Penerapan kebijakan fiskal berdasarkan prinsip manfaat didalam


prakteknya, lebih banyak ditetapkan pada penyediaan jasa-jasa publik
berdasarkan prinsip manfaat yang khusus. Misalnya pembebanan bea (bea cukai
dan bea masuk) serta pajak pengganti pembebanan seperti pajak BBM dan pajak
kendaraan dalam rangka pembiayaan jalan raya. Dalam halnya pengenaan pajak
melalui pembebanan langsung terhadap pengguna, konsumsinya bersaing secara
bebas. Manfaat hanya dapat diperoleh apabila pemakai dapat membayar misalnya
biaya penggunaan sarana transportasi dan penyediaan fasilitas bandar udara.
Dengan penetapan harga, penyediaan jasa-jasa publik oleh pemerintah
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang sama seperti yang dilakukan oleh
swasta. Keuntungan penyediaan jasa publik model ini adalah dapat meringankan
beban keuangan pemerintah. Mekanisme pasar dapat diterapkan untuk
mendapatkan posisi tawar menawar yang efisien.

Prinsip Kemampuan Membayar


Yang kedua adalah prinsip kemampuan membayar (ability to pay principle).
Menurut prinsip ini, sistem pajak dipisahkan dari sisi pengeluaran publik.
Perekonomian memerlukan suatu jumlah penerimaan tertentu dan setiap wajib
pajak diminta untuk membayar sesuai dengan kemampuannya. Pendekatan ini
menyebabkan sisi pengeluaran publik menjadi tidak jelas. Agar prinsip
kemampuan membayar dapat diterapkan, harus diketahui dulu bagaimana
mengukur kemampuan tersebut. Pendekatan kemampuan membayar lebih baik
dalam hal mengatasi masalah redistribusi, tetapi mengabaikan masalah-masalah
yang berkaitan dengan penyediaan jasa-jasa publik. Ukuran kemampuan
membayar mencerminkan kesejahteraan menyeluruh yang dapat diperoleh
seseorang termasuk diantaranya adalah pendapatan, pola konsumsi, dan
kekayaan.

Kemampuan membayar seseorang meningkat jika pendapatan meningkat.


Prinsip ini dianggap lebih berkeadilan secara horizontal dan vertikal. Berkeadilan
horizontal adalah bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan yang sama
harus membayar dengan jumlah yang sama. Berkeadilan vertikal adalah bahwa
orang-orang yang mempunyai kemampuan yang lebih besar harus membayar
pajak dengan jumlah yang lebih besar pula.

Hobbes berpendapat bahwa kewajiban membayar pajak harus dikaitkan


dengan pendapatan yang dibelanjakan bukan yang ditabung. Dalam arti,
pemborosan harus dikenakan pajak, sedangkan kebajikan harus diberi
penghargaan. Pendapat lain mengatakan bahwa tabungan adalah konsumsi yang
ditunda. Dan apabila tabungan masyarakat memperoleh bunga, jumlah pajak yang
dibayar ikut meningkat apabila seluruh tabungan tersebut dikonsumsikan.

Adapun perbandingan dari metode pengenaan pajak terhadap


pendapatan dan konsumsi dari prinsip kemampuan membayar tercermin dari
table berikut.

Dasar-dasar Keuangan Publik


135

Tabel 12.1: Perbandingan Pajak Penghasilan dan Pajak Konsumsi


Pajak penghasilan Pajak Konsumsi
Periode I
• Gaji 100 100 100 100
• Pajak 10 10 10 0
• Konsumsi 90 0 90 0
• Tabungan 0 90 0 100
Periode II
• Bunga 0 9 0 10
• Pajak 0 0,9 0 11
• Konsumsi 0 98,1 0 99
• Tabungan 0 0 0 0
Total Pajak 10 10,9 10 11
Nilai Sekarang (PV) 10 10,82 10 10

Pajak = 10%; Inflasi/Bunga = 10%

Pengenaan pajak yang didasarkan atas diterimanya pendapatan (termasuk


pendapatan dari bunga tabungan) akan menyebabkan total pajak yang dibayar
oleh wajib pajak menjadi lebih besar berbanding lurus dengan besarnya jumlah
pendapatan yang ditabung. Ilustrasi pada pajak penghasilan menggambarkan
apabila seluruh pendapatan setelah dikurangi pajak dikonsumsi habis, maka tidak
akan ada tambahan pendapatan pada periode II (berikutnya) dari tabungan gaji
periode I. Sedangkan tambahan pajak akan dikenakan terhadap bagian gaji yang
ditabung yang mendapat bunga. Keadaan ini menyebabkan orang cenderung
untuk mengurangi tabungan.
Ilustrasi pajak atas konsumsi terlihat lebih adil. Hal ini disebabkan tanpa
melihat kapan pendapatan akan dikonsumsi, jumlah pajak yang harus dibayar
oleh wajib pajak mempunyai nilai sekarang yang sama. Atau dengan kata lain,
ditabung atau dikonsumsi, jumlah total pajak yang dibayar memiliki nilai
sekarang yang sama (asumsi nilai bunga sama dengan inflasi).

Apabila pajak atas konsumsi yang dipilih, dimungkinkan adanya bagian


pendapatan yang tidak pernah kena pajak. Bagian pendapatan itu ditabung dan
tidak pernah dikonsumsi, yang pada akhirnya menjadi kekayaan individu.
Apabila kekayaan individu dapat diwariskan kepada individu lain tanpa
dikenakan pajak, maka pendapatan tersebut selamanya bisa tidak dikonsumsi dan
tidak kena pajak. Sebaliknya kekayaan individu bisa menambah pendapatan
pemiliknya sebagai pendapatan barang-barang modal. Atas dasar ini, kekayaan
individu dan warisan bisa dikenakan pajak.

Kriteria Umum Keadilan Perpajakan


Untuk keperluan analisis, pajak dapat dikategorikan sebagai pajak
penghasilan, pajak penjualan (barang dan jasa) dan pajak kekayaan. Walaupun
pada umumnya perpajakan lebih didasarkan atas penghasilan yang dimiliki
masyarakat.

Dasar-dasar Keuangan Publik


136

Prinsip keadilan perpajakan didasarkan pada distribusi pengenaan pajak


untuk memenuhi belanja publik harus didasarkan pada proporsi kekayaan dan
pendapatan masyarakat. Prinsip ini dianut oleh semua negara dalam rangka
memenuhi tuntutan keadilan dalam hukum. Walaupun pada pelaksanaannya
banyak menimbulkan perbedaan-perbedaan. Secara konsep, keadilan perpajakan
mengimplikasikan proses redistribusi kekayaan masyarakat dimana orang kaya
membayar lebih banyak dari orang yang lebih miskin (dimensi vertikal). Dalam
prakteknya, tidak dipungkiri jika orang kaya ikut menikmati sebagian keuntungan
dari adanya belanja negara.

Disamping keadilan pajak secara dimensi vertikal, perlu juga diperhatikan


secara horizontal dimana pengenaan pajak terhadap seseorang harus lebih rendah
dari kemampuannya membayar. Sebagai ilustrasi, pajak terhadap seorang petani
harus lebih rendah dari hasil pertanian yang dimilikinya. Perlu juga prinsip
keadilan pajak dilihat secara geografis dimana orang-orang yang tinggal pada
daerah tertentu harus dikenakan pajak yang lebih tinggi.

Prinsip keadilan pajak dapat juga dilihat dari sisi yakni penerimaan dan
pengeluaran. Beberapa argumen menyimpulkan keadilan pajak jika misalnya
kenaikan pajak dikompensasikan dengan penyediaan pendidikan dan transportasi
umum yang murah. Juga dapat dikatakan tidak adil jika sumber pendapatan
tertentu dikenakan pajak tinggi, sementara sumber tersebut memiliki kontribusi
yang besar terhadap perekonomian nasional.

Struktur pajak yang progresif cenderung lebih mudah dicapai pada


struktur perekonomian yang mapan. Menurut konsep ini, masyarakat golongan
ekonomi rendah harus dikenakan pajak yang ringan atau dibebaskan dari
kewajiban pajak seluruhnya. Hambatan utama dari kebijakan pajak adalah
keadaan ekonomi dan politik suatu negara, terbatasnya volume pendapatan
masyarakat yang dapat dikenakan pajak, ketakutan akan efek negatif pajak
terhadap produksi dan investasi nasional, serta pengaruh kekuatan orang-orang
kaya terhadap kebijakan politik nasional. Tidak jarang para pelaku ekonomi yang
kuat menyuarakan keluhan-keluhannya terhadap kebijakan pajak baru yang dapat
menggangu kegiatan bisnisnya.

Distribusi pembebanan pajak yang adil dipengaruhi oleh cakupan faktor-


faktor siapa yang membayar dan jenis pendapatannya serta tarif pajak. Hal ini juga
dipengaruhi oleh metode assesment dan akurasi penghitungan pajak terhutang.
Ketidakakuratan mengakibatkan ketidakadilan karena adanya pajak yang lebih
atau kurang bayar. Sulitnya menerapkan metode assesment yang baik juga muncul
dalam hal menentukan subjek pajak yang dikecualikan. Kebijakan pajak dianggap
adil jika faktor-faktor seperti lanjut usia, dibawah umur, kemiskinan, dan cacat
dikecualikan dari subjek kena pajak. Lebih lanjut keadilan pajak juga harus
memperhitungkan besarnya jumlah tanggungan dalam keluarga. Sekali lagi pada
negara-negara yang relatif maju dalam perekonomian cenderung dapat
mempercayai dokumen-dokumen yang membuktikan adanya hak atas
pengecualian pajak.

Dasar-dasar Keuangan Publik


137

Prinsip Keadilan dan Pajak Penghasilan


Pajak penghasilan dapat dikategorikan sebagai pajak individu dan pajak
badan. Sebagai pajak individu, pajak penghasilan dikenakan kepada orang
perorang yang memiliki penghasilan tanpa melihat umur atau jumlah yang
diterimanya. Sebagai pajak badan adalah pengenaan pajak atas keuntungan badan
usaha yang dapat diterima para pemegang saham sesuai proporsi nilai saham
yang dimilikinya.

Berdasarkan dimensi waktu, pajak penghasilan biasanya dihitung atas


jumlah penghasilan selama satu tahun. Penghasilan tersebut merupakan daya beli
individu atas barang dan jasa selama satu tahun yang dapat dikonsumsikan atau
disimpan untuk keperluan mendatang. Pendapatan masyarakat dapat diukur
berdasarkan sumber perolehannya ataupun penggunaannya. Berdasarkan
sumbernya, pendapatan adalah seluruh penerimaan selama periode pajak,
keuntungan jasa, tunjangan dari pemerintah atau swasta, dan kenaikan nilai
kekayaan. Sedangkan berdasarkan penggunaannya berupa pembelian barang dan
jasa, beban pajak, sumbangan, dan tabungan.

I = C + ΔNW

I = Pendapatan tahunan (annual income)


C = Konsumsi tahunan (annual consumption)
ΔNW = Perubahan kekayaan bersih setahun (annual change in net worth)

Metode untuk mengukur pendapatan baik berdasarkan sumbernya atau


penggunaannya harus ditentukan sebelum pajak penghasilan di jalankan.
Kebanyakan sistem akuntansi menggunakan sisi sumber sebagai alat ukurnya.
Beberapa ahli menyarankan untuk memasukkan unsur tambahan kenaikan
kekayaan sebagai bagian pendapatan kena pajak. Untuk itu perlu dihitung
pendapatan yang real jika dimasukkan unsur inflasi sebagai penyeimbang.
Pengukuran relatif lebih mudah jika kekayaan yang dimiliki berupa saham dan
obligasi.

Jika dari sisi pengeluaran, ada item-item pengeluaran yang erat kaitannya
dengan kegiatan memperoleh pendapatan seperti peralatan kerja, pakaian kerja,
iuran serikat pekerja, biaya penitipan anak, dan transportasi dari/menuju tempat
kerja. Pengeluaran-pengeluaran tersebut diperlukan untuk mendapatkan
penghasilan dan tidak menambah kekayaan wajib pajak sehingga layak
dikeluarkan dari jumlah pendapatan kena pajak. Biaya pelatihan juga
diperdebatkan sebagai pengeluaran yang dapat mengurangi pendapatan kena
pajak.

Pada beberapa kasus, wajib pajak dimungkinkan menerima pendapatan


selain uang tunai. Kesulitan muncul pada saat menghitung berapa nilai tambahan
kekayaan yang timbul akibat adanya transaksi non moneter ini (income in kind).
Pendapatan jenis ini sering terjadi pada usaha-usaha kecil yang memproduksi
barang atau jasa. Adakalanya, seorang wajib pajak memperoleh suatu produk atau
menerima jasa yang dihasilkan sendiri sehingga tanpa harus mengeluarkan

Dasar-dasar Keuangan Publik


138

sejumlah uang. Kegiatan tersebut jelas menambah kekayaan bersih wajib pajak,
tapi biasanya luput dari pengenaan pajak.

Contoh lain adalah fringe benefit, dimana seorang wajib pajak misalnya
menerima pinjaman kendaraan yang dapat digunakan untuk keperluan pribadi
atau tunjangan makan yang diberikan tidak dalam bentuk uang. Kesemua itu
dapat dikategorikan sebagai pendapatan yang tidak tercermin dalam gaji yang
tertera (nonpecuniary returns).

Secara umum, konsep keadilan dalam perpajakan masih dapat


diperdebatkan. Akan tetapi, perbedaan pendapat dalam hal kebijakan yang
berkeadilan lebih kompleks lagi pada pajak penghasilan. Baik prinsip keadilan
secara horizontal maupun secara vertikal, perumusan rancangan kebijakan fiskal
lebih memerlukan perhatian khusus.

Secara horizontal, pengenaan pajak harus sesuai dengan kesetaraan


kemampuan ekonomi masyarakatnya. Sedangkan kesetaraan kemampuan
ekonomi bisa diejawantahkan sebagai kesamaan tingkat pendapatan. Atau
kesetaraan ini hanya diukur dari jumlah pendapatan yang diterima saja. Sama
sekali mengabaikan potensi perbedaan pengeluaran dari masing-masing rumah
tangga. Hal-hal seperti jumlah anggota keluarga, biaya kesehatan, biaya
pendidikan yang bervariasi sangat mempengaruhi pola pengeluaran rumah
tangga. Supaya lebih adil, seharusnya hal-hal yang mempengaruhi pengeluaran
rumah tangga juga ikut diperhitungkan.

Banyak pendapat yang kurang setuju jika keadilan secara vertikal


dilambangkan dengan tarif pajak progresif. Adapun alasan yang mendasari dapat
dilihat dari dua kebijakan yang biasa berkaitan dengan pajak progresif. Pertama
adalah kebijakan pendapatan tidak kena pajak. Kompensasi dari adanya kebijakan
ini adalah rumitnya pelaksanaan peraturan dalam praktek. Pada akhirnya,
kerumitan cenderung mendorong keengganan dan penyelewengan wajib pajak.
Kedua adalah kebijakan pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi untuk setiap
tambahan pendapatan. Wajib pajak cenderung mempermainkan tempo pengakuan
suatu pendapatan untuk menghindari pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi.

Prinsip Keadilan dan Pajak Penjualan


Prinsip umum yang ingin dicapai dalam pajak penjualan adalah bahwa
jumlah pendapatan masyarakat yang ditabung seharusnya tidak perlu dikenakan
pajak. Hal ini dipercaya dapat mendorong masyarakat untuk meningkatkan
tabungannya disamping kegiatan administrasi perpajakannya yang cenderung
lebih mudah.

Basis yang menyeluruh terhadap kajian pajak penjualan dapat diturunkan


dari basis pajak penghasilan. Jika dalam pajak penghasilan seluruh konsumsi dan
tambahan kekayaan wajib pajak dikenakan pajak, maka pada pajak penjualan
tambahan kekayaan tersebut (yang biasanya dari tabungan) dikeluarkan dari basis
pajak. Seperti pada ilustrasi awal bab, ada semacam penundaan pajak penghasilan
sampai terjadi konsumsi atas bagian penghasilan tersebut. Untuk menghindari

Dasar-dasar Keuangan Publik


139

akumulasi pendapatan yang tidak kena pajak akibat wajib pajak meninggal dunia,
warisan dikenai pajak seketika setelah wajib pajak diumumkan meninggal dunia.

Pajak penjualan sama sekali tidak dipengaruhi inflasi. Hal ini disebabkan,
hanya porsi penghasilan yang dibelanjakan lah yang kena pajak. Dibandingkan
dengan pajak penghasilan, capital gain harus memperhitungkan tingkat inflasi
sebelum menentukan jumlah kena pajak. Pada pajak penjualan, selisih lebih
kekayaan wajib pajak secara moneter akibat adanya inflasi tidak membuat
kemampuan membayarnya meningkat sebagai akibat wajib pajak tersebut harus
membelanjakan penghasilannya dengan harga yang telah terinflasi.

Perbedaan menarik pajak penjualan dengan pajak penghasilan adalah


pada dana yang tersedia berupa pinjaman. Dalam pajak penjualan, pinjaman yang
dikonsumsikan tetap dikenai pajak. Sedangkan pada pajak penghasilan, pinjaman
tidak dikenakan pajak. Justru bunga yang timbul akibat adanya pinjaman dapat
mengurangi dasar penghasilan yang dikenai pajak.

Pengenaan pajak penjualan lebih dirasakan dampaknya oleh golongan


masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal ini dikarenakan, golongan
masyarakat ini cenderung untuk mengkonsumsi seluruh pendapatan yang
dimilikinya. Sedangkan golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi
memiliki kesempatan untuk menabung sebagian pendapatannya. Makin besar
pendapatan golongan masyarakat, makin tinggi pula persentase pendapatan yang
ditabung.

Untuk menghindari hal tersebut, beberapa langkah, seperti dijelaskan oleh


Ulbrich, dapat ditempuh oleh pemerintah seperti:
1. Memperbanyak item aktivitas penjualan kena pajak yang hanya mungkin
dilakukan oleh golongan masyarakat berpenghasilan tinggi.
2. Mengurangi atau mengeliminasi pengenaan pajak yang lebih banyak
dikonsumsi oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
3. Mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi untuk beberapa jenis produk
yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.
4. Mengembalikan jumlah pajak penjualan yang dibayar kepada masyarakat
dengan standar penghasilan tertentu.

Prinsip Keadilan dan Pajak Kekayaan


Kekayaan adalah akumulasi dari tabungan dan investasi suatu negara.
Seorang wajib pajak dapat memiliki kekayaan melalui kegiatan menabung,
memperoleh hibah atau mewarisi kekayaan keluarganya. Seorang wajib pajak
yang tidak mampu menabung, tidak memperoleh hibah/hadiah atau warisan
tidak akan pernah disebut kaya.

Banyak pendapat yang setuju jika pajak kekayaan diterapkan. Hal ini
dikarenakan banyak wajib pajak yang berpenghasilan rendah memiliki sejumlah
kekayaan yang mana mereka memungut sewa atas pemanfaatan kekayaan
tersebut oleh orang lain. Jika hal ini terjadi, sulit sekali mengukur berapa jumlah
tambahan pendapatan dari kegiatan sewa tersebut.

Dasar-dasar Keuangan Publik


140

Mengadministrasikan pajak kekayaan cenderung lebih sulit. Hal ini


terutama untuk kekayaan yang jarang diperjualbelikan. Estimasi nilainya sering
meleset dari nilai yang sesungguhnya. Dalam halnya kekayaan yang dimiliki
dengan cara hutang, nilai bersih kekayaan harus dikurangi dulu dengan jumlah
total hutang supaya tidak terjadi penghitungan ganda. Pengukuran nilai kekayaan
akan menjadi lebih sulit jika berupa kekayaan tak berwujud (intangible asset).

Secara umum pada pajak kekayaan, seorang penilai independen ditunjuk


untuk mengestimasikan nilai. Jika hasilnya dirasa memadai, pengenaan tarif
didasarkan atas estimasi nilai yang dihasilkan. Cara lain yang dapat dipakai untuk
mengukur nilai sebuah kekayaan adalah dengan menghitung nilai sekarang
(present value) dari potensi pendapatan sewa selama masa manfaat kekayaan
tersebut. Tentu saja hal ini harus memperhitungkan tren kenaikan harga sewa
sehingga dapat mencerminkan nilai pasar sesungguhnya.

Secara prinsip, target pengenaan pajak kekayaan (kekayaan atas benda-


benda seperti rumah dan mobil) adalah pemiliknya. Aplikasi pengenaan pajak
terhadap kekayaan akan lebih mudah diterapkan jika pemilik dan pengguna
kekayaan tersebut adalah sama. Problem distribusi pajak yang muncul akan lebih
kompleks diprediksi keadilannya apabila kekayaan tersebut disewakan kepada
pihak ketiga. Dalam dunia usaha, penanggung akhir dari adanya pengenaan pajak
kekayaan makin sulit ditentukan karena melibatkan pemilik usaha, para pegawai,
konsumen, dan pemilik kekayaan.

Pajak kekayaan cenderung bersifat regresif. Artinya, pajak kekayaan lebih


menguntungkan golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi karena nilai
uang yang dikeluarkannya sebagai pajak jauh lebih rendah dengan nilai uang
untuk pajak kekayaan yang dikeluarkan oleh golongan masyarakat
berpenghasilan rendah.

Dasar-dasar Keuangan Publik


141

B A B XV

DAMPAK PERPAJAKAN TERHADAP


PEREKONOMIAN

S istem perpajakan yang baik adalah sistem perpajakan yang memberikan


pengaruh terbaik terhadap perekonomian negara. Jika tujuan tersebut
adalah mengoptimalkan tingkat produksi, kebijakan perpajakan yang
dapat ditempuh dapat dengan mengenakan pajak tidak langsung. Sebaliknya jika
tujuan yang ingin dicapai adalah pemerataan penghasilan, pajak langsung yang
progresif lebih tepat untuk diterapkan.

Efficiency Effect
Excess Burden adalah tambahan biaya yang membebani masyarakat diatas jumlah
pajak yang seharusnya dibayar. Hal ini mengakibatkan adanya keuntungan yang
hilang akibat terdistorsinya keseimbangan harga pada kurva permintaan dan
penawaran. Excess burden disebabkan adanya kelebihan biaya pajak yang bersedia
dibayar pembeli dibanding jumlah yang diterima oleh penjual. Dengan kata lain,
penurunan pendapatan penjual tidak diikuti dengan peningkatan kuantitas yang
tersedia untuk dibeli. Berkaitan dengan penerimaan negara, terkadang total excess
burden tidak sama dengan total penerimaan negara. Untuk mengukurnya
digunakan efficiency-loss ratio dengan persamaan sebagai berikut:

W = Excess Burden
R = Tax Revenue

Estimasi efficiency-loss ratio penting dilakukan untuk meminimalkan total


excess burden pada sistem perpajakan nasional. Dengan mengurangi pengenaan
pajak yang menimbulkan excess burden lebih besar dalam jumlah nominal yang
sama, tarif pajak dapat diturunkan tanpa mempengaruhi jumlah total penerimaan
negara.

Tax Incidence adalah teori yang mempelajari pelaku-pelaku ekonomi mana


yang sesungguhnya menanggung beban pajak. Hal ini dimungkinkan karena
pelaku ekonomi yang secara hukum berkewajiban membayar pajak kepada

Dasar-dasar Keuangan Publik


142

pemerintah belum tentu menggunakan dana pribadi atau dengan kata lain dapat
membebankan pajaknya kepada pelaku ekonomi yang lain. Berkenaan dengan
dimungkinkannya memindahkan beban pajak kepada pelaku ekonomi lain secara
keseluruhan atau sebagian (distribusi pembebanan) maka pembahasan tax
incidence dapat dibagi dalam dua konsep yakni statutory incidence dan economic
incidence. Statutory Incidence merujuk pada pelaku-pelaku ekonomi yang secara
hukum terlibat dalam pendistribusian pembebanan pajak. Sedangkan Economic
Incidence lebih mengarah pada pengaruh pendistribusian pembebanan pajak pada
tingkat ekulibrium harga.

Dampak Pajak
Terhadap Sistem Ekonomi Keseluruhan
Secara umum, struktur perekonomian nasional (tanpa pajak) terdiri dari
Pendapatan Nasional (Y), jumlah Konsumsi (C) dan Tabungan (S). Hubungan dari
ketiga unsur tersebut adalah Pendapatan Nasional sama dengan jumlah Konsumsi
ditambah jumlah Tabungan (Y = C + S). Apabila seluruh Tabungan (S) digunakan
sebagai Investasi (S = I), maka tidak akan pernah terjadi inflasi atau deflasi.
Kadang-kadang yang muncul adalah jumlah Tabungan (S) lebih besar dari jumlah
Investasi (I) atau dengan kata lain, tidak semua tabungan digunakan untuk
investasi (S > I) maka akan terjadi kelesuan ekonomi, penurunan harga (deflasi),
dan pengangguran. Yang sering terjadi justru jumlah Tabungan lebih rendah dari
jumlah Investasi (S < I). Kondisi ini menyebabkan kegairahan ekonomi dan
kenaikan harga (inflasi).

Gambar 13.1

Dasar-dasar Keuangan Publik


143

Gambar menunjukkan hubungan antara tingkat Pendapatan Nasional (Y),


dengan tingkat Konsumsi (C) dan tingkat Investasi (I). Pada tingkat pendapatan
nasional sebesar 0Y (S=I), perekonomian dalam keadaan seimbang, tidak ada
inflasi ataupun deflasi. Pada tingkat pendapatan 0Y1 (S<I) terdapat inflationary
gap. Harga-harga cenderung terus naik sampai tidak ada lagi perbedaan antara
Tabungan dan Investasi. Pada kondisi ini instrumen pajak dapat digunakan untuk
menurunkan tingkat inflasi, menggeser kurva C+I kebawah dengan menerapkan
pajak atas konsumsi. Sebaliknya pada tingkat pendapatan 0Y2 (S>I) terdapat
deflationary gap dimana harga-harga cenderung terus turun sampai tidak ada lagi
perbedaan antara Tabungan dan Investasi. Pada kondisi ini instrumen pajak dapat
digunakan untuk menurunkan tingkat inflasi, menggeser kurva C+I keatas dengan
menerapkan pajak atas tabungan.

Terhadap Komposisi Produksi


Pajak dapat digunakan sebagai pendorong kepada pelaku ekonomi untuk
melakukan aktivitas tertentu dengan memberikan insentif-insentif. Berkaitan
dengan dimungkinkannya penerapan insentif pajak pada suatu daerah tertentu,
menimbulkan adanya beberapa alternatif pilihan yang dapat diambil oleh para
pelaku ekonomi.

Dengan kata lain, pajak dapat menyebabkan pergeseran penggunaan


faktor-faktor produksi. Pergeseran yang dimaksud adalah dengan mengubah pola
produksi sehingga menghasilkan barang-barang yang lebih rendah biaya
produksinya akibat tarif pajak yang lebih kecil atau beralih produksi. Sebagai
contoh, perusahaan dapat saja mengurangi produksi barang-barang yang
merupakan objek pajak dan meningkatkan produksi barang-barang lain yang
masih belum merupakan kategori barang kena pajak. Perusahaan lain dapat saja
berpindah lokasi industri dari suatu tempat yang mengenakan pajak yang tinggi
ke tempat yang memberikan insentif pajak.

Seberapa jauh pengaruh pajak terhadap penggunaan faktor-faktor


produksi dipengaruhi elastisitas permintaan terhadap barang-barang yang
dihasilkan. Barang-barang yang tingkat permintaannya in-elastis sempurna tidak
akan terpengaruh dengan adanya pengenaan pajak. Konsumen akan membayar
seluruh beban pajak yang ditambahkan pada harga barang. Sebaliknya, jika
elastisitas permintaan barang adalah sempurna, perusahaan tidak dapat
mengalihkan beban pajaknya pada harga barang. Sehingga disarankan untuk
barang-barang yang memiliki elastisitas tinggi, dikenakan pajak yang ringan.

Terhadap Usaha Kerja


Sebagian besar penerimaan negara dari pajak di Indonesia adalah pajak
penghasilan yang dikenakan atas pendapatan para pegawai. Secara teoritis,
pegawai-pegawai tersebut mempunyai dua pilihan yaitu bekerja atau tidak bekerja
(memanfaatkan waktu santai) akibat adanya pengenaan pajak penghasilan.

Secara mudah dikatakan, pajak mempunyai pengaruh negatif terhadap


kemauan usaha kerja. Pajak dapat menyebabkan orang menjadi kurang giat
bekerja. Orang lebih memilih untuk mempunyai lebih banyak waktu santai. Pada

Dasar-dasar Keuangan Publik


144

kenyataannya, pengaruh pajak terhadap kemauan kerja individu memiliki sifat


yang lebih kompleks. Bagi sebagian orang, pajak tidak menimbulkan disinsentif
untuk bekerja. Juga tidak setiap kenaikan pajak akan memberi dampak negatif
pada Tabungan masyarakat ataupun Investasi.

Reaksi individu terhadap pengenaan pajak lebih banyak ditentukan oleh


elastisitas penawaran usaha. Bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan
rendah, biasanya permintaannya terhadap penghasilan adalah tinggi. Sehingga
elastisitas penawaran usahanya adalah tinggi dimana dengan turunnya
pendapatan, justru akan mendorong kemauan kerja yang lebih besar. Sedangkan
bagi mereka yang kurang peduli dengan gaya hidup mewah, permintaannya
terhadap penghasilan rendah sehingga elastisitas penawaran usaha dalam
hubungannya dengan penghasilan adalah rendah juga.

Terhadap Distribusi Pendapatan


Tujuan pembangunan suatu negara pada umumnya adalah peningkatan
pendapatan per kapita nasional, penciptaan lapangan kerja, dan distribusi
pendapatan yang merata dan keseimbangan dalam neraca pembayaran
internasional. Secara teori, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi
pula persentase pendapatan yang ditabung. Dari kelompok-kelompok kaya inilah
diharapkan sejumlah dana tabungan yang dapat digunakan untuk investasi.
Dengan kata lain, masyarakat kelompok miskin tidak punya kemampuan
tabungan dan investasi. Menurut pengertian ini, pendapatan nasional yang
dikenai pajak akan banyak mempengaruhi turunnya jumlah tabungan masyarakat
bukan pada porsi pendapatan yang dikonsumsi yang diasumsikan tetap. Tetapi
pada kenyataannya, keadaan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
pola konsumsi masyarakat cenderung lebih tinggi dari pola konsumsi masyarakat
di negara-negara maju. Sehingga sulit didapatkan dana tabungan masyarakat.
Penarikan dana masyarakat secara sukarela dengan iming-iming bunga yang
tinggi pada akhirnya juga ikut berpengaruh pada tingkat inflasi nasional.

Berdasarkan kenyataan tersebut, kebijakan perpajakan di Indonesia lebih


banyak diterapkan untuk mengurangi kesenjangan pendapatan di masyarakat.
Hal ini dilakukan dengan menerapkan tarif pajak progresif dan minimum
pendapatan yang dapat dikenakan pajak. Kelemahan dari tarif pajak progresif
adalah menekan pada kelompok-kelompok kaya pemilik modal sehingga mereka
malas bekerja, menabung, dan melakukan investasi.

Kriteria Tarif Pajak


Pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi apabila lebih banyak
masyarakat yang bekerja, menabung sebagian pendapatannya serta
menginvestasikan nilai tabungannya. Hal-hal tersebut menurut Daniel J Mitchell
(2003) adalah prilaku-prilaku yang dapat meningkatkan kekayaan nasional.
Masyarakat tidak begitu saja bekerja secara produktif dengan diterapkannya
anggaran pendapatan dan belanja berimbang. Mereka juga tidak begitu saja
meningkatkan tabungan dan investasi apabila dikenakan tarif pajak rendah atau
subsidi perpajakan lainnya. Untuk meningkatkan pendapatan nasional sesuai

Dasar-dasar Keuangan Publik


145

dengan karakteristik masyarakat disuatu negara, para pengambil keputusan


bidang pajak harus mengkonsentrasikan pada hal-hal yang berakibat positif
terhadap prilaku bekerja, menabung dan berinvestasi.

Mitchell (2003) memaparkan sembilan petunjuk kebijakan perpajakan yang


berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sebagai berikut:
1. Penurunan tarif pajak tidak perlu diterapkan seragam untuk seluruh wajib
pajak. Beberapa opsi tarif pajak yang dipungut dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi. Karena tarif pajak yang rendah dapat membuat
masyarakat yang produktif semakin giat bekerja. Sedangkan sebagian
masyarakat lainnya cenderung kurang peduli dengan pungutan pajak.
Sehingga penurunan tarif pajak tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional.
2. Fokus pada pertumbuhan ekonomi, bukan pada penurunan tarif.
Beberapa kebijakan insentif pajak atau subsidi dapat berakibat hanya
mengurangi jumlah penerimaan negara tanpa menghasilkan peningkatan
kegiatan ekonomi secara signifikan. Beberapa negara telah membuktikan
bahwa deregulasi perpajakan yang kecil pengaruhnya terhadap turunnya
penerimaan negara justru dapat meningkatkan gairah investasi dunia
usaha.
3. Kebijakan yang baik menghasilkan penerimaan negara lebih banyak. Jika
keadaan prilaku masyarakat wajib pajak adalah produktif, penurunan tarif
pajak justru meningkatkan jumlah penerimaan negara. Agar pelaksanaan
kegiatan pemerintah tidak terganggu, harus diperhitungkan cara-cara
yang dapat mengkompensasikan turunnya penerimaan negara akibat
pengenaan tarif yang lebih rendah.
4. Jumlah potensi tambahan konsumsi masyarakat akibat adanya penurunan
tarif pajak kurang signifikan terhadap peningkatan kegiatan ekonomi
dibandingkan dengan turunnya jumlah total penerimaan negara. Untuk
itu perlu diupayakan suatu kebijakan pelengkap yang dapat meng-offset
selisih penurunan penerimaan negara tersebut. Pada akhirnya penurunan
tarif pajak tidak merubah total pengeluaran, pendapatan nasional, dan
pertumbuhan ekonomi.
5. Pertumbuhan ekonomi tidak diakibatkan oleh peningkatan konsumsi.
Justru sebaliknya, pertumbuhan ekonmi sebagai faktor yang mendorong
jumlah total konsumsi akibat meningkatnya jumlah daya beli masyarakat.
Untuk itu, sebaiknya kebijakan publik tidak mengedepankan motif yang
berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan jalan mendorong
konsumsi.
6. Kebijakan pajak yang bardampak positif pada jangka pendek biasanya
berdampak positif pula pada jangka panjang. Sebagai contoh, insentif
pajak investasi dalam jangka pendek akan menarik minat pemodal masuk
kedalam negeri. Secara jangka panjang, faktor produksi tersebut akan juga
mendorong pertumbuhan ekonomi agregat menjadi lebih baik.
7. Efisiensi belanja negara penting dilakukan. Meskipun beberapa pos-pos
belanja negara membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti
penyediaan keamanan dan penegakkan hukum, studi membuktikan
bahwa banyak pengeluaran publik yang justru berefek negatif terhadap

Dasar-dasar Keuangan Publik


146

pertumbuhan ekonomi. Efisiensi belanja negara dapat dilakukan dengan


merampingkan struktur pemerintahan.
8. Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh investasi yang produktif. Dana
investasi terutama diambil dari tabungan masyarakat. Invesatsi dan
tabungan, keduanya dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Sedangkan
tarif pajak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi suku bunga.
Untuk itu perlu dikembangkan kebijakan pajak yang mendorong iklim
investasi dan menabung.
9. Defisit belanja negara dapat berpengaruh pada turunnya tingkat suku
bunga. Tetapi pengaruhnya kurang signifikan dibanding pengaruh faktor-
faktor lain seperti pasar modal. Riset akademis yang dihasilkan
menunjukkan bahwa tidak ada korelasi positif antara anggaran surplus,
berimbang, atau defisit dengan tingkat suku bunga.

Inti dari sembilan petunjuk diatas adalah segala upaya kebijakan pajak
seharusnya difokuskan pada pertumbuhan ekonomi nasional dengan memberikan
insentif pada aktivitas-aktivitas produktif nasional. Walaupun dibeberapa negara
penurunan tarif pajak justru dapat meningkatkan penerimaan negara dan
pertumbuhan ekonomi, penurunan tarif bukanlah satu-satunya cara yang dapat
diambil pemerintah.

Kriteria Struktur Pajak yang Baik


Kebijakan perpajakan akan memberi dampak yang signifikan jika disusun
secara komprehensif, dengan mempertimbangkan seluruh dampak yang dapat
ditimbulkan pada level ekonomi makro. Seperti dikutip dari Musgrave, kriteria
yang bisa menentukan baik tidaknya sebuah kebijakan perpajakan dapat dilihat
sebagai berikut:
1. Penerimaan/pendapatan harus ditentukan dengan tepat
2. Distribusi beban pajak harus adil. Setiap orang harus dikenakan pajak
sesuai dengan kemampuannya.
3. Penanggung akhir beban pajak harus menjadi pokok perhatian.
4. Peraturan perpajakan harus mendukung kebijakan perekonomian dan
mendorong pasar yang efisien.
5. Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebijakan fiskal untuk
mencapai stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi.
6. Sistem pajak harus menerapkan administrasi yang wajar dan mudah
dipahami oleh wajib pajak.
7. Biaya administrasi dan biaya-biaya pembayaran pajak lainnya harus
dibuat serendah mungkin.

Penerimaan pajak harus dirumuskan secara tepat, sehingga bisa


merefleksikan kemampuan membayar dari seluruh wajib pajak yang ada sehingga
tidak terlalu besar atau terlalu kecil. Jika jumlah yang ditetapkan terlalu besar,
dikhawatirkan investor tidak akan mau menanamkan modalnya di dalam negeri.
Hal ini mengakibatkan multiplier efek yang diharapkan bisa mendorong
pertumbuhan ekonomi menjadi tidak tercapai. Pada akhirnya, jumlah target
penerimaan pajak tidak akan pernah tercapai. Sebaliknya jika terlalu kecil,
dikhawatirkan jumlahnya tidak dapat membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah

Dasar-dasar Keuangan Publik


147

yang bermanfaat untuk menciptakan value yang dapat merangsang perputaran


gerak roda eknomi.

Keadilan perpajakan pada intinya adalah, beban pajak harus terdistribusi


sedemikian rupa sehingga target pencapaian penerimaan pajak bisa diimbangi
dengan mengurangi kesenjangan pendapatan golongan masyarakat yang kaya
dengan golongan masyarakat miskin. Kecilnya kesenjangan bisa mendorong
stabilisasi yang kondusif bagi perbaikan ekonomi nasional.

Adanya kemungkinan peralihan beban pajak kepada penanggung akhir,


perlu dilakukan pengkajian mendalam dengan melakukan simulasi yang
menyeluruh untuk dapat memperoleh gambaran dampak pembebanan
penanggung akhir terhadap stabilisasi ekonomi. Perlu dibuat aturan-aturan teknis
yang simple dan dapat menghindarkan terjadinya salah sasaran. Jika pajak
diterapkan atas produk-produk tertentu, perlu dikaji serius mengenai elastisitas
permintaan dan penawarannya dalam ekonomi pasar.

Ekonomi yang terus tumbuh dan pasar yang efisien harus terus dijaga
agar kemakmuran masyarakat tidak rusak akibat adanya penerapan kebijakan
perpajakan. Kemungkinan pergeseran titik equilibrium kurva permintaan dan
penawaran harus terus diantisipasi dan terus diawasi dengan memasukkan unsur-
unsur spesifik para pelaku ekonomi setempat.

Kebijakan perpajakan harus tetap mengindahkan konsep kestabilan


ekonomi. Harus dapat ditentukan pada awal permusan kebijakan bahwa
implementasinya pada akhirnya akan meminimalkan gejolak ekonomi, misalnya
dengan adanya kegiatan sosialisasi yang memadai. Ekonomi yang sering
bergejolak biasanya tidak menguntungkan iklim investasi. Dengan kata lain,
investor-investor terutama para pemodal asing sangat mengharapkan adanya
kepastian iklim berusaha.

Segala kebijakan harus mengacu pada kesederhanaan. Rumusan-rumusan


yang dipakai harus menghindari kesalahpahaman massal yang menyebabkan
kekacauan pada proses administrasi. Simulasi terhadap bakal munculnya
kekeliruan yang tidak diharapkan harus disiapkan secara matang. Simulasi
tersebut bisa menggunakan beberapa skenario yang berbeda dan mengamati
hasilnya.

Segala biaya yang tidak berkaitan langsung dengan beban pajak


sesungguhnya harus diminimalkan. Hal ini untuk memberikan kepastian berusaha
bagi para pemilik modal dalam rangka menghitung proyeksi keuntungan
investasi. Dengan demikian risiko biaya tinggi yang tidak terduga akibat
penyelewengan peraturan oleh oknum pelaku ekonomi bisa dieliminasi.

Dasar-dasar Keuangan Publik


148

B A B XVI

PAJAK PENGHASILAN
WAJIB P AJAK PRIBADI

P ajak penghasilan pertama kali diberlakukan di Indonesia sebagai suatu


sistem perpajakan integral yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda. Pertama kali diberlakukan dikenal dengan nama Pajak
Penghasilan 1932 atau Inkomsten Belasting 1932. Pada tahun 1944, peraturan pajak
ini diubah dengan Ordonansi Perpajakan tahun 1944 yang digunakan oleh
Pemerintah Kolonial Jepang untuk melakukan pungutan-pungutan terhadap hasil
pertanian sebagai pajak.

Selama masa revolusi, tidak ada pungutan pajak yang berarti yang dapat
dikumpulkan. Yang ada hanyalah kantor iuran negara yang menerima
pembayaran pajak dari beberapa pedagang. Setelah kedaulatan diserahkan kepada
Pemerintah Indonesia, peraturan perpajakan Belanda dipergunakan kembali
dengan melakukan penataan dan perluasan seperlunya, sehingga sampai dengan
sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, pajak-pajak yang berlaku di Indonesia
yang dapat dikelompokkan sebagai pajak penghasilan adalah Pajak penghasilan
(PPd), Pajak Perseroan (PPs) serta Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti (PBDR).

Setelah reformasi perpajakan tahun 1983, pajak-pajak berdasarkan


peraturan perpajakan Belanda ini disatukan dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-Undang ini mengalami
perubahan dan perbaikan sebanyak tiga kali, yaitu tahun 1991, 1994 dan 2000.

Aturan Utama
Prinsip dasar Pajak Penghasilan adalah bahwa penghasilan wajib pajak
dari semua sumber harus digabungkan menjadi satu angka tunggal ukuran
penghasilannya. Penghasilan total ini kemudian dikurangi dengan pengecualian-
pengecualian dan pengurangan-pengurangan tertentu untuk mendapatkan
penghasilan yang akan dikenakan pajak. Inilah dasar pengenaan pajak yang akan

Dasar-dasar Keuangan Publik


149

dikalikan dengan tarip pajak untuk mendapatkan pajak yang menjadi beban bagi
wajib pajak.

Penentuan Penghasilan Kena Pajak


Konsep utama dalam perhitungan penghasilan kena pajak adalah penghasilan
bruto dan penghasilan kena pajak.

Penghasilan Bruto. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mendefinisikan


penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam nama dan
bentuk apapun. Penghasilan dari semua sumber, selain yang dikecualikan
digabungkan untuk menentukan Penghasilan Bruto. Penghasilan ini akan
meliputi:
a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas,
seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik profesi dan sebagainya.
b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan.
c. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak
yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan sebagainya.
d. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain
sebagainya.

Dari angka penghasilan ini, wajib pajak dapat mengurangkan biaya-biaya


atau pengurangan-pengurangan tertentu untuk mendapatkan penghasilan neto.
Penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas dimasukkan dalam penghasilan neto
setelah dikurangkan biaya-biaya. Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan
dilaporkan dalam penghasilan setelah dikurangkan dengan beberapa biaya dan
penghasilan yang dikecualikan. Walaupun penghasilan neto dimaksudkan untuk
menjadi satu alat ukur yang komprehensif atas posisi penghasilan wajib pajak, alat
ukur ini ternyata tidak sekomprehensif mungkin. Beberapa penghasilan nonkas
diabaikan (seperti imputed rent dan capital gain yang belum direalisasikan) dan
beberapa penghasilan kas tertentu dikecualikan (seperti pembayaran asuransi dan
pensiun).

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghasilan neto yang telah dihitung
kemudian dikurangkan dengan PTKP. PTKP yang berlaku saat penulisan buku ini
adalah wajib pajak dan pasangannya (masing-masing Rp2.880.000, kecuali bila
pasangannya tidak berpenghasilan maka PTKP-nya Rp1.440.000) ditambah tiga
orang tanggungan (masing-masing Rp1.440.000).

Penerapan Tarip Pajak


Pajak dihitung dengan menerapkan angka tarip pada skedul tarip pajak dengan
angka Penghasilan Neto setelah dikurangi PTKP. Skedul tarip ini ditetapkan
berdasarkan Undang-Undang dalam bentuk tarip marjinal, yang berlaku untuk
tingkatan penghasilan yang naik secara berurutan. Sejak tahun 1983 sampai

Dasar-dasar Keuangan Publik


150

dengan 1994, tarip pajak yang ditetapkan antara 15% sampai dengan 35%, sejak
tahun 1995 tarip pajak diturunkan antara 10% sampai dengan 30%.

Prosedur Pembayaran
Beberapa hal penting berkenaan dengan aspek prosedural utama pajak
penghasilan

Kewajiban menyerahkan SPT. Kewajiban menyerahkan SPT Tahunan Pajak


Penghasilan diberlakukan kepada semua wajib pajak yang telah memiliki NPWP.
Oleh karena itu, hanya wajib pajak yang tidak wajib memiliki NPWP tidak
diwajibkan untuk menyerahkan SPT Tahunan. Wajib pajak tersebut adalah mereka
yang mempunyai penghasilan neto lebih kecil dari PTKP atau yang memperoleh
penghasilan hanya dari satu pemberi kerja. Batas waktu penyerahan SPT Tahunan
adalah tiga bulan setelah Tahun Pajak berakhir, pada saat wajib pajak harus
menyerahkan pembayaran terakhir untuk pajak-pajak yang terutang pada Tahun
Pajak yang telah berakhir atau menagih pengembalian pajak. Bersamaan dengan
penyerahan SPT, wajib pajak menyerahkan estimasi pajak penghasilan yang harus
dibayar tahun berikutnya, dan setoran pajak penghasilan masa tahun berikutnya
itu didasarkan pada informasi estimasi ini.

Pemotongan Pajak (Withholding). Sebagian besar pajak dipungut dengan cara


dipotong oleh pihak yang melakukan pembayaran. Sistem ini memiliki banyak
keunggulan. Dengan cara ini, pembayaran pajak dikaitkan dengan tingkat
penghasilan tahun berjalan daripada tertinggal satu tahun, responsivitas
pembayaran pajak terhadap perubahan dalam tingkat penghasilan pribadi sangat
meningkat. Responsifitas sangat penting bagi efektivitas kebijakan stabilisasi.
Sistem Pemotongan Pajak juga memastikan ketaatan sepenuhnya karena
pernyataan penghasilan tidak diberikan sepenuhnya hanya kepada wajib pajak.

Pada saat yang sama, sistem pemotongan pajak juga menimbulkan biaya
tersendiri. Jika tarip pajak yang dipotong ditetapkan cukup tinggi untuk
mendapatkan penerimaan pajak setinggi-tingginya, kelebihan pemotongan pajak
akan dialami oleh para wajib pajak tertentu sehingga para wajib pajak ini yang
secara riil memberikan pinjaman bebas bunga kepada Pemerintah. Pemerintah,
dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, harus mengembalikan kelebihan
pemotongan ini kepada para wajib pajak tertentu tersebut.

Audit. Sistem dasar yang melandasi Pajak Penghasilan Indonesia adalah self
assessment. Setiap wajib pajak bertanggung jawab untuk menyatakan penghasilan
mereka dan menghitung besarnya pajak penghasilan yang terhutang. Walaupun
Direktorat Jenderal Pajak memeriksa aritmetika perhitungan pajaknya, dalam hal
ini sangat dibantu oleh fasilitas komputer yang dimilikinya, DJP tidak dapat
mengaudit semua SPT yang diterima. Biaya untuk mengaudit semua SPT tersebut
akan sangat besar. Oleh karena itu, pemeriksaan sampel secara acak digunakan
untuk membuat wajib pajak tetap patuh pada peraturan perpajakan. SPT yang
melaporkan hal-hal yang tidak biasa (misalnya biaya yang mengurangi
penghasilan yang sangat besar atau sumber penghasilan yang tidak biasa dapat
diaudit), pada waktu-waktu tertentu kelompok wajib pajak tertentu akan

Dasar-dasar Keuangan Publik


151

diperiksa, misalnya dokter atau pengusaha retail. Walaupun begitu, cakupan


auditnya terbatas.

Prinsip-Prinsip Definisi Penghasilan


Konsep penghasilan dasar yang menjadi penentuan kewajiban pajak
penghasilan dalam praktiknya adalah penghasilan neto. Seberapa baikkah
penghasilan neto digunakan sebagai suatu ukuran kapasitas pajak? Dalam konsep
basis pajak, ada dua kandidat utama sebagai basis pajak untuk pajak pribadi, yaitu
penghasilan dan konsumsi. Bila kita memilih penghasilan sebagai basis pajak,
maka penghasilan, sebagai indeks kapasitas kemampuan membayar pajak, harus
didefinisikan sebagai kenaikan total atas kekayaan seseorang. Semua tambahan
kemampuan ekonomis (accretion) harus dimasukkan, baik yang teratur ataupun
yang fluktuatif, yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan, baik yang
terealisasi ataupun yang tidak terealisasi. Kita tidak perlu mempertimbangkan
bagaimana penghasilan tersebut digunakan, apakah akan diinvestasikan atau akan
dikonsumsi.

Selain itu, penghasilan dari semua sumber yang didefinisikan harus


diperlakukan secara seragam dan digabungkan sebagai penghasilan global yang
akan dikenakan tarip pajak. Tanpa pengglobalan ini, penerapan tarip yang
progresif tidak dapat menghasilkan efek yang diharapkan yaitu mengadaptasi
pajak pada kemampuan membayar wajib pajak. Pandangan pajak penghasilan ini
banyak diterima oleh berbagai kalangan dewasa ini. Sekarang, konsep tambahan
kemampuan ekonomis ini akan dianalisis secara mendalam apa implikasinya
dalam praktik dan bagaimana konsep ini diterapkan secara memuaskan dalam
perhitungan penghasilan neto.

Penghasilan bruto versus penghasilan neto


Penghasilan dalam konsep tambahan kemampuan ekonomis (accretion concept)
harus diukur dalam satuan penghasilan neto, yaitu penghasilan setelah dikurangi
dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan. Peraturan
perpajakan mendefinisikan penghasilan yang akan dikenakan pajak sebagai
penghasilan neto karena biaya-biaya yang terjadi dalam memperoleh penghasilan
pada umumnya, walaupun tidak selalu, dikurangkan dari penghasilan. Peraturan
perundang-undangan juga membolehkan wajib pajak mengurangkan biaya-biaya
yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti biaya jabatan dan iuran pensiun. Akan
tetapi, perlakuan biaya bunga yang boleh dikurangkan dipertanyakan
konsistensinya, terutama berkaitan dengan perlakuan biaya-biaya permodalan
lainnya. Walaupun ada pengecualian-pengecualian tertentu, pada umumnya
penghasilan yang dapat dikenakan pajak telah dinyatakan dalam satuan
penghasilan neto.

Prinsip lain dalam mendefinisikan penghasilan neto adalah bahwa


kerugian harus dapat diperlakukan sebagai pengurangan sepenuhnya. Karena
tambahan kemampuan ekonomis dirancang untuk mengukur konsumsi plus
kenaikan dalam kekayaan bersih, kerugian operasi harus dikurangkan dalam
menentukan penghasilan neto dari kegiatan usaha. Kerugian mengurangi

Dasar-dasar Keuangan Publik


152

kekayaan bersih sebagaimana keuntungan meningkatkannya. Oleh karenanya,


Pemerintah harus konsisten memperlakukan keduanya. Walaupun peraturan
perundang-undangan tidak memberikan fasilitas pengembalian pajak, para wajib
pajak dapat memperlakukannya untuk mengurangi kewajiban pajak beberapa
tahun yang akan datang.

Capital Income versus Labor Income


Berdasarkan konsep tambahan kemampuan ekonomis, sumber penghasilan
bukanlah suatu permasalahan. Akan tetapi, beberapa ahli perpajakan secara
tradisional membedakan antara penghasilan dari pekerjaan (upah dan gaji) dan
penghasilan dari modal, yang menekankan bahwa penghasilan dari pekerjaan
harus dikenakan beban pajak yang lebih ringan. Pada beberapa negara maju, ada
kredit pajak bagi wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan tetapi
wajib pajak yang hanya memperoleh penghasilan atas modal tidak memperoleh
kredit pajak ini. Hal ini dinilai sebagai ketidakkonsistenan penerapan konsep
penghasilan ini.

Penghasilan Riil versus Penghasilan Nominal


Penghasilan adalah alat ukur kemampuan membayar, oleh karenanya harus
didefinisikan dalam satuan riil. Kenaikan dalam penghasilan uang yang sepadan
dengan kenaikan harga-harga bukan merupakan kenaikan dalam penghasilan riil.
Dengan demikian, dalam situasi ini, kewajiban pajak dalam satuan riil sama
dengan nol. Pandangan ini menjadi penting ketika tingkat inflasi sangat tinggi.

Penghasilan yang Terakumulasi versus Penghasilan yang Terealisasi


Sesuai dengan definisi penghasilan sebagai ukuran peningkatan penghasilan,
maka tidak menjadi perbedaan apakah penghasilan tersebut telah diterima secara
kas (seperti gaji, upah, dan hasil penjualan aset) ataupun terakumulasi dalam
bentuk kenaikan nilai aset yang tidak dijual. Direalisasikan ataupun tidak adalah
pilihan portofolio bagi investor dan tidak boleh mempengaruhi penghasilan yang
diukur untuk keperluan perpajakan. Hal inilah yang menjadi bagian dari topik
kontroversial untuk memajaki capital gains.

Imputed Income
Beberapa orang memiliki aset yang memberikan penghasilan kas; yang lainnya
memiliki barang-barang konsumsi jangka panjang yang memberikan imputed
income, contohnya adalah rumah yang ditinggali pemiliknya. Pemilik
mendapatkan imputed rent yang sama dengan penghasilan yang ia dapatkan
apabila ia menyewakan rumahnya. Karena kenaikan kemampuan (accretion)
didefinisikan sebagai peningkatan kekayaan bersih dan konsumsi, nilai dari
konsumsi yang imputed tersebut harus dimasukkan ke dalam basis pajak.
Penghasilan neto, yang condong pada konsep penghasilan kas, tidak
memperhitungkan imputed income. Pengabaian ini menyebabkan ketidakadilan
perlakuan pajak bagi pemilik rumah dan penyewa.

Pembayaran yang diterima dalam bentuk natura, seperti makanan yang


diperoleh dari tanaman dari lahan pribadi, layanan kendaraan kantor atau

Dasar-dasar Keuangan Publik


153

keuntungan-keuntungan dari tunjangan-tunjangan natura, juga tidak


diperhitungkan dalam penghasilan neto, walaupun seharusnya diperhitungkan
dalam konsep penhasilan. Hal ini menjadi penting karena pembayaran dalam
bentuk natura, dalam bentuk berbagai tunjangan-tunjangan natura seperti
kendaraan kantor, menjadi pengganti penghasilan kas untuk menghindari pajak
penghasilan. Dan juga, penerapan imputed income menjadi tidak mungkin apabila
dilakukan terlalu jauh. Contohnya, secara konseptual, jasa rumah tangga yang
dilakukan sendiri (seperti memasak, mencuci dan memelihara anak) merupakan
penghasilan imputed bagi rumah tangga. Akan tetapi, memasukkan penghasilan ini
ke dalam penghasilan neto memunculkan permasalahan serius dalam hal
pengukuran dan hal-hal lain yang harus diperhitungkan ketika memberlakukan
pajak penghasilan atas dasar rumah tangga.

Permasalahan yang lebih membingungkan lagi adalah waktu santai (tidak


bekerja). Jika seseorang memutuskan untuk santai (tidak bekerja), ini adalah bukti
(seperti yang dinyatakan oleh logika ekonomi) bahwa ia menilai tidak bekerja
tersebut sama dengan penghasilan ekuivalen yang hilang karena tidak bekerja.
Logika tambahan kemampuan ekonomis (accretion) menyatakan bahwa
penghasilan yang diterima dalam bentuk natura, dalam bentuk santai, harus
dimasukkan ke dalam basis pajak. Akan tetapi, implementasi dari aturan ini tidak
akan mungkin bisa dilakukan.

Penghasilan versus Transfer


Dari sudut pandang ekonom, pendapatan nasional adalah jumlah dari pendapatan
faktor selama satu periode, yang juga menyatakan nilai dari output yang
diproduksi oleh faktor-faktor tersebut. Transfer yang diterima dari pemerintah
atau sumber-sumber swasta (seperti donasi dan hibah) bukan merupakan
komponen penghasilan dalam istilah pendapatan nasional. Akan tetapi, perlakuan
pajak seharusnya tidak mengikuti aturan dalam perhitungan pendapatan nasional.
Pemilihan basis pajak merupakan permasalahan keadilan pajak. Oleh karenanya,
penghasilan kena pajak seseorang tidak harus sama dengan bagiannya dalam
pendapatan nasional dan juga total penghasilan kena pajak dala suatu negara
harus sama dengan total pendapatan nasional.

Warisan dan Hibah


Transfer pribadi, seperti warisan dan hibah, juga tidak dikenakan pajak
penghasilan. Transfer seperti ini tidak dikurangkan dari penghasilan oleh pemberi
dan juga tidak dilaporkan sebagai penghasilan oleh penerima. Dalam konsep
tambahan kemampuan ekonomis (accretion), perolehan warisan atau hibah
merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi penerima, seperti juga
tambahan kemampuan ekonomis dari sumber-sumber lain, dengan demikian
harus dimasukkan ke dalam basis pajak penghasilan bagi penerimanya.

Jika hal ini dilakukan, apakah transfer seperti ini harus dikurangkan dari
basis penghasilan pajak pemberi? Tidak selalu, karena konsep penghasilan
berdasarkan tambahan kemampuan ekonomis, bukannya penggunaan. Juga, tidak
ada keharusan bahwa basis pajak agregat sama dengan penghasilan total yang
didefinisikan dalam pendapatan nasional.

Dasar-dasar Keuangan Publik


154

Penghasilan Teratur versus Penghasilan Tidak Teratur


Seringkali dimunculkan argumen bahwa penghasilan yang tidak teratur dan tidak
diharapkan harus dimasukkan dalam penghasilan yang dikenakan pajak. Akan
tetapi, posisi ini seringkali tanpa alasan yang kuat. Bagaimanapun juga,
penghasilan yang tidak teratur dan penghasilan yang teratur sama pengaruhnya
bagi kemampuan wajib pajak. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk
membedakannya. Walaupun demikian, tarip pajak yang progresif cenderung
diskriminatif terhadap penghasilan yang fluktuatif. Permasalahan ini dapat
dikurangi dengan menerapkan aturan meratakan penghasilan.

Praktek Definisi Penghasilan: Pengecualian


Analisis terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan
menunjukkan banyaknya penyimpangan dari prinsip tambahan kemampuan
ekonomis. Beberapa tambahan kemampuan ekonomis, seperti imputed income,
tidak dimasukkan, sedangkan beberapa lainnya dikecualikan dari penghasilan
neto.

Penghasilan-penghasilan yang dikenakan pajak final


Untuk memudahkan penagihan dan meningkatkan ketaatan pajak, pada beberapa
transaksi tertentu berlaku tarip pajak final. Pada transaksi-transaksi ini, pajak
langsung dibayarkan dengan sistem pemotongan dan tidak dapat dikreditkan
dalam perhitungan Pajak Penghasilan akhir. Beberapa penghasilan yang
dikenakan pajak final adalah:
1. Penghasilan yang diperoleh dari hak atas tanah dan bangunan.
2. Penghasilan jasa konstruksi dan jasa konsultan, sebelum tahun 2000.
3. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
4. Penghasilan dari hadiah undian

Perlakuan atas pajak final ini sebenarnya melanggar prinsip keadilan


pajak, karena pada transaksi tertentu seperti transaksi penjualan saham di bursa
efek, walaupun belum ada penghasilan karena belum tentu transaksi tersebut
memberikan untung, wajib pajak sudah diharuskan membayar pajak. Demikian
pula pada transaksi-transaksi yang menguntungkan, tarip pajaknya proporsional
seberapapun besarnya penghasilan (keuntungan) yang didapat. Keadilan
horizontal dilanggar karena perlakuan ini menghasilkan perbedaan dalam
kewajiban pajak pada tingkatan penghasilan tertentu. Keadilan vertikal
dipengaruhi karena prinsip progresivitas tidak berlaku pada penerapan pajak
final.

Capital gain
Berkenaan dengan perlakuan pajak terhadap capital gain, debat yang terjadi
berkisar (1) apakah laba yang direalisasikan harus diperlakukan sebagai
penghasilan biasa, dan (2) apakah laba yang tidak direalisasikan harus juga
dipajaki.

Dasar-dasar Keuangan Publik


155

Perlakuan atas laba yang direalisasikan. Peraturan perpajakan memberikan


perbedaan perlakuan pada beberapa capital gain, yaitu capital gain dari penjualan
saham di bursa efek dan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pajak
untuk transaksi-transaksi ini bersifat final dan dikenakan atas nilai transaksi,
bukannya atas labanya. Perlakuan ini jelas-jelas melanggar prinsip keadilan pajak,
baik keadilan horizontal maupun keadilan vertikal.

Tidak ada dasar yang kuat berdasarkan prinsip keadilan untuk


membedakan perlakuan pajak terhadap laba yang direalisasikan terhadap
penghasilan dari usaha. Penghasilan didapatkan dari keduanya dan tidak ada
dasar yang membedakan keduanya. Memang ada masalah khusus bahwa capital
gain sifatnya tidak teratur dan cenderung berfluktuasi sehingga harus membayar
lebih banyak dalam sistem tarip pajak yang progresif, bila dibandingkan jika
capital gain tersebut diterima sebagai pendapatan tetap, kesulitan ini dapat
dihilangkan dengan menggunakan aturan perataan yang tepat.

Perlakuan terhadap laba yang belum direalisasikan. Karena penghasilan neto


dinyatakan dalam bentuk penghasilan kas dan hanya memasukkan penghasilan
kas saja, laba yang belum terealisasikan tidak dipajaki. Hal ini jelas-jelas
bertentangan dengan prinsip tambahan kemampuan ekonomis. Berdasarkan
prinsip ini, penghasilan sebagai suatu indeks dari kemampuan membayar wajib
pajak harus diukur sebagai tambahan kekayaan. Semua tambahan harus
dimasukkan, baik terealisasi (berubah menjadi kas) ataupun tidak. Jika Tuan Amir
memiliki portofolio saham PT Telkom yang nilainya naik Rp100.000.000,
kekayaannya telah bertambah sebanyak jumlah ini yang dapat diubahnya menjadi
kas bila ia memutuskannya. Faktanya dia tetap memiliki dalam bentuk portofolio
saham menunjukkan preferensinya untuk tetap terus memegangnya bila
dibandingkan dengan alternatif lainnya, misalnya menjualnya untuk dikonsumsi
atau diinvestasikan dalam bentuk aset lainnya. Apakah laba telah terealisasi tidak
ada relevansinya dengan apakah ada peningkatan kemampuan ekonomis. Bahwa
realisasi dalam bentuk kas memungkinkan, keputusan untuk merealisasikan
dalam bentuk kas atau tidak adalah keputusan manajemen portofolio dan bukan
adanya tambahan penghasilan. Penundaan pengenaan pajak setelah realisasi
memberikan perlakuan yang menguntungkan kepada jenis penghasilan yang
belum direalisasikan.

Walaupun demikian, simpulan ini telah menjadi bahan perdebatan yang


berkelanjutan dalam bentuk argumentasi-argumentasi berikut:
a. Laba yang belum direalisasikan tidak boleh dipajaki karena pemiliknya
dihalangi untuk melakukan konsumsi. Walaupun tidak ada konsumsi, hal
ini tidak relevan dengan definisi basis dari pajak penghasilan. Prinsipnya
adalah semua penghasilan harus dipajaki, tidak peduli akan digunakan
untuk apa; dan walaupun berdasarkan pajak konsumsi, pembedaan
apakah sudah terealisasi dan belum terealisasi bukan merupakan hal yang
utama. (Berdasarkan suatu pajak konsumsi, laba yang belum
direalisasikan akan dikecualikan dan laba yang direalisasikan akan
dimasukkan hanya jika dikonsumsi. Laba yang sudah direalisasikan tetapi
tidak dikonsumsi perlakuannya sama dengan laba yang belum
direalisasikan.)

Dasar-dasar Keuangan Publik


156

b. Laba yang belum direalisasikan tidak boleh dipajaki karena ketiadaan


realisasi membuat kita tidak mengetahui keberadaannya. Pada awal
munculnya pembukuan oleh para saudagar Venesia, mereka tidak
membukukan pendapatan mereka sampai nakhoda kapal telah kembali ke
pelabuhan dan menyerahkan uang hasil dagangan. Prinsip akuntansi yang
hati-hati hanya mengakui pendapatan setelah ada realisasi. Akan tetapi,
situasi bisnis telah berubah dan analogi seperti ini tidak tepat lagi,
misalnya untuk pemegang saham PT Telkom yang dapat menjual
sahamnya sewaktu-waktu. Pengukuran atas laba yang belum
direalisasikan memang sulit, tetapi hal ini bukan halangan yang luar biasa.
c. Pemajakan atas laba yang belum direalisasikan mengharuskan wajib pajak
membayar pajak walaupun ia tidak memiliki uang kas untuk
membayarnya. Pandangan ini tepat, tetapi apakah hal itu jadi persoalan?
Sebagaimana halnya hutang-hutang lainnya yang jatuh tempo, adalah
beralasan bagi pemerintah untuk meminta wajib pajak melikuidasi
sebagian asetnya untuk membayar pajak bila diperlukan. Untuk situasi-
situasi di mana likuidasi parsial tidak memungkinkan (misalnya bisnis
keluarga), pemerintah dapat memberikan waktu yang cukup untuk itu.
d. Untuk suatu penghasilan yang akan diterima, penghasilan tersebut harus
dapat dipisahkan dari aset yang menghasilkannya. Pandangan ini, yang
banyak mendapatkan dukungan-dukungan hukum pada tahap-tahap
awal diskusi pajak penghasilan, sulit digunakan untuk meyakinkan para
ekonom. Pemisahan adalah pilihan investasi, sedangkan penghasilan
diperoleh karena nilai aset meningkat.

Jika pendekatan tambahan kemampuan ekonomis diikuti, laba yang sudah


ataupun yang belum direalisasikan harus dimasukkan dalam penghasilan kena
pajak dan digabungkan dengan penghasilan dari sumber-sumber lainnya. Suatu
pendekatan yang konsisten mengharuskan bahwa pengenaan pajak pada semua
laba ini harus diikuti dengan pemberian pengurangan untuk kerugian-kerugian.
Selain itu juga, pengenaan pajak atas capital gain harus juga disesuaikan dengan
inflasi.

Permasalahan penerapan. Walaupun permasalahan pengenaan pajaknya telah


jelas secara prinsip, apakah ada cara yang layak untuk memajakinya? Pengenaan
pajak sepenuhnya atas laba yang sudah direalisasikan dapat dilaksanakan tanpa
kesulitan-kesulitan teknis yang muncul, akan tetapi situasinya jauh lebih sulit
untuk laba yang belum direalisasikan. Pengenaan pajak secara tahunan atas laba
yang belum direalisasikan tidak memungkinkan karena ketidakpraktisan dalam
melakukan penilaian aset secara tahunan. Beberapa aset, seperti sekuritas yang
diperdagangkan, dapat dinilai dan dikenakan pajak secara periodik, misalnya
setiap lima tahun. Akan tetapi, untuk aset lainnya (seperti lukisan dan tanah
pertanian) sulit untuk dinilai. Oleh karena itu, telah ada usulan untuk mengenakan
pajak pada saat kematian atau pemindahan aset ini (misalnya melalui pemberian)
seolah-olah telah terealisasi pada saat itu. Hal ini sering disebut dengan realisasi
konstruktif yang akan mengurangi kebutuhan penilaian aset hanya pada satu
tanggal tertentu sehingga lebih mudah dikelola. Dengan membolehkan perataan
dan menyebarkan pembayaran pada beberapa periode, ketidakadilan yang timbul
karena likuidasi paksa dapat dihindari.

Dasar-dasar Keuangan Publik


157

Walaupun realisasi konstruktif dapat memindahkan laba yang belum


direalisasikan ke dalam basis pajak, cara ini masih memberikan beberapa
keuntungan bagi capital gain. Bila penghasilan-penghasilan lain dipajaki secara
reguler, pajak atas laba yang belum direalisasikan ditunda sampai kematian, yang
memungkinkan wajib pajak untuk memperoleh penghasilan atas aset tersebut
sementara waktu. Penundaan pajak sama dengan memperoleh pinjaman bebas
bunga, yang nilainya dapat sangat substansial terutama bagi para wajib pajak
muda yang mampu menunda untuk periode waktu yang sangat panjang.

Tabungan Hari Tua dan Rencana Pensiun


Tabungan Hari Tua adalah kegiatan memisahkan penghasilan tahun berjalan
untuk penggunaan di masa depan, dengan menyetorkan sejumlah uang kepada
lembaga dana pensiun atau sejenisnya. Apabila prinsip penghasilan global diikuti,
semua penghasilan harus dikenakan pajak, tanpa memandang penggunaannya.
Iuran pensiun dan bentuk pembayaran tabungan hari tua lainnya tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan, dan ketika uang manfaat pensiun atau tabungan
hari tua diterima di kemudian hari, hanya komponen bunganya saja yang
dikenakan pajak penghasilan. Alternatif yang dilakukan saat ini, membolehkan
pembayaran-pembayaran ini sebagai pengurang atas penghasilan dan
mengenakan pajak sepenuhnya pada saat uang pensiun/tabungan dibayarkan
kembali, memunculkan ketidakadilan terhadap para penabung lainnya karena dua
keuntungan bagi pembayar iuran pensiun/tabungan. Pertama, penundaan
pembayaran pajak sama saja dengan memperoleh pinjaman bebas bunga. Kedua,
penghasilan pembayar iuran pensiun di masa depan akan lebih kecil sehingga
penghasilan yang ditunda pengenaannya ini pada akhirnya terkena tarip pajak
yang lebih rendah.

Tabungan Hari Tua. Peraturan perundang-undangan pajak penghasilan


membolehkan pembayaran Tabungan Hari Tua kepada PT Taspen tidak
dimasukkan sebagai penghasilan kena pajak. Sebagaimana disebutkan di muka,
aturan ini sama saja memberikan kepada pembayar Tabungan Hari Tua suatu
pinjaman bebas bunga dan penerapan tarip pajak yang lebih rendah di kemudian
hari ketika tabungan ini diambil oleh penabung.

Tabungan ini semakin beralasan untuk dimasukkan ke dalam basis pajak


apabila dipandang sebagai skema redistribusi, bukannya asuransi. Perlakuan yang
tepat tentu saja dengan memperlakukan iuran Tabungan sebagaimana bentuk
tambahan kemampuan lainnya dan dikenakan pajak sebagaimana mestinya. Iuran
ini tidak dikenakan pajak apabila penghasilan penerima berada di bawah PTKP,
sebagaimana yang berlaku pada penghasilan dari sumber-sumber lainnya. Pajak
penghasilan atas gaji/upah juga tidak dikurangkan dan menjadi bagian dari
penghasilan umum dan diperlakukan sama seperti pajak-pajak lainnya.

Iuran Pensiun. Iuran yang tidak dikenakan pajak penghasilan adalah iuran
pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan. Hal ini berlaku baik iuran pensiun itu dipotong dari
penghasilan para pegawai maupun dibayarkan atau ditanggung oleh perusahaan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


158

Pengenaan pajaknya ditunda sampai uang pensiun diterima oleh para pegawai
selama masa pensiun.

Asuransi Jiwa. Pembayaran premi kepada perusahaan asuransi jiwa dan


pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi jiwa mendapatkan perlakuan yang
berbeda. Pembayaran premi asuransi jiwa tidak boleh digunakan untuk
mengurangi penghasilan yang akan dikenakan pajak. Sementara itu, pembayaran
asuransinya tidak dikenakan pajak penghasilan. Perlakuan premi asuransi telah
sesuai dengan konsep tambahan kemampuan tetapi perlakuan atas pembayaran
asuransinya tidak sesuai. Asuransi jiwa tertentu memiliki komponen tabungan
(investasi) yang karena perlakuan ini bunga yang diperoleh atas tabungan ini
terhindar dari pengenaan pajak. Untuk asuransi jiwa yang tidak memiliki
komponen investasi, perlakuannya sudah tepat yaitu pembayarannya
dikecualikan dari pengenaan pajak tanpa memperbolehkan pengurangan atas
premi yang dibayarkan.

Praktik Definisi Penghasilan: Pengurangan Atas Penghasilan Neto


Peraturan pajak penghasilan di Indonesia hanya membolehkan satu jenis
pengurangan terhadap penghasilan neto yang disebut Pengurangan Standar atau
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Peraturan pajak penghasilan di Amerika
Serikat memberikan pilihan bagi wajib pajak, apakah akan menggunakan
pengurangan standar atau pengurangan khusus (itemized deduction). Pada
umumnya wajib pajak yang berpenghasilan tinggi akan memilih pengurangan
khusus karena akan memberikan jumlah pengurangan yang lebih besar daripada
pengurangan standar.

Pengurangan standar pada mulanya diberlakukan untuk memudahkan


ketaatan dan administrasi. Di Amerika Serikat, pengurangan standar ini ditujukan
untuk menjadi subtitusi dari pengurangan khusus, sehingga memudahkan
penghitungan bagi wajib pajak yang berpenghasilan rendah. Akan tetapi
kemudian, angka pengurangan standar ini telah dinaikkan jauh melebihi angka
pengurangan khusus yang disubtitusikan. Oleh karena itu, pengurangan standar
fungsinya menjadi hibrida antara pengganti pengurangan khusus dan
memberikan tambahan pengurangan yang tidak berkaitan dengan ukuran rumah
tangga.

Dukungan untuk pengurangan khusus


Prinsip pengenaan pajak atas penghasilan mengharuskan basis pajak yang
komprehensif, yakni memasukkan semua tambahan kemampuan. Pendekatan ini
menjadi dasar utama keberatan akan adanya pengurangan-pengurangan, tetapi
beberapa pengeluaran mungkin layak diberikan.

Aspek Keadilan. Penghasilan yang sama tidak berarti kemampuan yang sama
untuk membayar jika para wajib pajak berada pada posisi yang berbeda-beda. Hal
ini tidak saja disebabkan oleh ukuran rumah tangga tetapi juga oleh beberapa hal
lainnya. Para wajib pajak dengan tagihan-tagihan darurat yang berat, seperti
tagihan biaya pengobatan yang besar, dapat dikatakan memiliki kemampuan

Dasar-dasar Keuangan Publik


159

untuk membayar yang lebih kecil dibandingkan dengan para wajib pajak lainnya
yang tidak menghadapi tagihan-tagihan darurat tersebut. Oleh karena itu, situasi
seperti ini menjadi sangat penting terutama bagi wajib pajak yang berpenghasilan
rendah. Prinsip ini dapat dinyatakan dengan memberikan pengurangan atas
penghasilan untuk biaya pengobatan. Jika dirancang dengan baik, pengurangan
ini tidak saja mendapat dukungan tetapi juga mampu mendorong terciptanya
basis pajak yang lebih adil. Pertimbangan yang sama juga dapat diberlakukan bagi
para wajib pajak yang cacat karena mereka membutuhkan biaya hidup yang lebih
banyak.

Aspek Insentif. Pengurangan dapat dipandang sebagai suatu cara untuk


menyediakan insentif penggunaan penghasilan untuk hal-hal yang mulia seperti
sumbangan sosial atau untuk mendorong konsumsi atas hal-hal yang
menimbulkan manfaat-manfaat eksternal. Dalam hal ini, pengurangan bertindak
sebagai hibah tandingan yang disediakan oleh pemerintah di mana biaya
pelaksanaan aktivitas-aktivitas tertentu oleh wajib pajak menjadi berkurang,
sehingga mendorong wajib pajak untuk membelanjakan lebih banyak pada
aktivitas-aktivitas ini. Jika aktivitas tertentu layak didukung dan jika pengurangan
pajak adalah cara terbaik untuk melakukannya, keuntungan yang didapatkan
dapat jauh melebihi kerugiannya pada aspek keadilan pajak. Tidak ada aturan
alam yang tidak membolehkan pajak penghasilan digunakan tujuan-tujuan selain
perolehan penghasilan. Pertanyaannya adalah apakah aktivitas yang perlu
didukung itu membutuhkan subsidi. Jika subsidi dibutuhkan, apakah subsidi ini
harus diberikan dalam bentuk pengurangan pajak.

Preferensi Pajak
Kita telah mempelajari bagaimana definisi perundang-undangan dari
penghasilan kena pajak, setelah pengecualian-pengecualian dan pengurangan-
pengurangan, yang seharusnya identik dengan konsep teoritis tentang tambahan
kemampuan ekonomis. Perbedaan-perbedaan yang substansial timbul yang
seringkali menyebabkan penghasilan kena pajak jumlahnya di bawah dari yang
ditentukan oleh konsep tambahan kemampuan. Walaupun penentuan kerugian
basis pajak karena suatu hal tertentu masih diperdebatkan, banyak bukti
menunjukkan bahwa kerugian atau penyusutan pendapatan atau pengeluaran
pajak yang telah terjadi jumlahnya cukup besar. Istilah penyusutan pengeluaran
pajak digunakan karena kegagalan memperoleh penerimaan pajak karena lubang-
lubang dalam basis penghasilan kena pajak pada dasarnya adalah sama dengan
memperoleh penerimaan pajak sepenuhnya kemudian melakukan pengeluaran
sehingga wajib pajak tetap pada posisi yang sama. Misalnya, aturan yang
membebaskan pajak atas bunga pinjaman rumah sama dengan mengenakan pajak
sepenuh pada pemilik rumah dan kemudian secara bersamaan melakukan
pengeluaran subsidi kepada mereka.

Keberadaan preferensi pajak tidak menjadi masalah besar apabila basis


yang berkurang karena pengecualian dan pajak final merupakan proporsi yang
tetap dari basis pajak sepenuhnya bagi seluruh wajib pajak. Dalam hal ini,
preferensi pajak dapat dinetralisasi dengan pengenaan tarip pajak yang progresif.
Akan tetapi, pada kenyataannya insiden preferensi sangat bervariasi, baik bagi

Dasar-dasar Keuangan Publik


160

wajib pajak rata-rata pada berbagai tingkatan penghasilan maupun wajib pajak
tertentu pada satu tingkatan pajak penghasilan, sehingga menimbulkan adanya
ketidakadilan secara vertikal dan horizontal.

Ketidakadilan pajak secara vertikal dapat terjadi karena manfaat-manfaat


pengeluaran pajak hanya dinikmati oleh kelompok wajib pajak dengan
penghasilan tertentu. Misalnya, di Amerika Serikat, kehilangan penerimaan dari
aturan pajak terhadap terhadap capital gain lebih dinikmati oleh wajib pajak
berpenghasilan tinggi. Untuk di Indonesia, penelitian tentang hal ini ada,
bagaimana aturan pajak menciptakan preferensi pajak bagi golongan-golongan
wajib pajak dengan penghasilan tertentu.

Ketidakadilan pajak secara horizontal terjadi karena wajib pajak dengan


penghasilan sama tidak mendapat manfaat yang sama karena perbedaan aturan.
Wajib pajak yang menerima penghasilan dalam bentuk natura membayar lebih
sedikit daripada pegawai yang menerima seluruh penghasilannya dalam bentuk
kas.

Permasalahan-Permasalahan Wajib Pajak Berpenghasilan Tinggi


Beberapa permasalahan penghindaran pajak timbul berkaitan dengan
berbagai jenis penghasilan modal. Cara penghindaran pajak yang paling utama
adalah adanya tax shelter yang timbul dari kerugian usaha.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kerugian dapat digunakan


untuk mengurangi penghasilan kena pajak dan bunga dapat dikurangkan sebagai
biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak. Kedua aturan ini memang
sejalan dengan konsep yang benar tentang laba bersih sebagai basis pajak. Bila
dikombinasikan, keduanya ternyata dapat dipakai untuk menghindari pajak
dengan membentuk tax shelter. Contohnya, suatu firma dibentuk untuk investasi di
dunia real estate. Dengan investasi modal yang kecil, firma tersebut dapat
meminjam dalam jumlah yang banyak dengan jaminan harta real estatenya.
Pembayaran bunga akan mengakibatkan kerugian yang besar pada periode-
periode awal beroperasinya firma tersebut sebelum firma tersebut memperoleh
penghasilan yang cukup besar. Dengan melakukan investasi pada firma tersebut,
investor dapat menghapuskan kerugian yang besar tersebut pada penghasilan
mereka sehingga mengurangi pajak yang dibayarkan.

Perlakuan Pajak Bagi Wajib Pajak Berpenghasilan Rendah


Permasalahan keadilan pajak secara vertikal tidak hanya seberapa besar
wajib pajak berpenghasilan tinggi dipajaki, tetapi juga yang lebih penting adalah
seberapa sedikit wajib pajak yang berpenghasilan rendah harus membayar pajak

Berapa besarnya penghasilan minimal yang tidak dikenakan pajak?


Pada umumnya, semua sependapat bahwa ada sejumlah pertama penghasilan
tertentu yang tidak boleh dikenakan pajak. Penghasilan yang dikenakan pajak
harus didefinisikan sebagai penghasilan kena pajak dikurangi dengan PTKP.
Dalam menentukan jumlah PTKP ini, kita harus menggunakan tingkat

Dasar-dasar Keuangan Publik


161

penghasilan yang rendah yang membuat wajib pajak diklasifikasikan sebagai


miskin. Karena tingkat kemiskinan bervariasi sesuai dengan ukuran besarnya
keluarga, sehingga beban pajak pun harus menyesuaikan dengan ukuran besarnya
keluarga.

Titik awal beban pajak bergantung pada berbagai faktor. Pertama, adanya
PTKP sebesar Rp1.440.000 per wajib pajak, pasangannya dan setiap tanggungan
(maksimal tiga tanggungan). PTKP memperhitungkan ukuran keluarga dengan
asumsi implisit bahwa tambahan tanggungan tidak menciptakan skala ekonomis.
Berdasarkan faktor ini, jumlah PTKP maksimal adalah Rp7.200.000. Di Indonesia,
jumlah maksimal tanggungan adalah tiga orang karena adanya tujuan tambahan
untuk mendukung program keluarga kecil. Hal ini menimbulkan permasalahan
ketidakadilan pajak karena aturan pajak telah terdistorsi untuk memenuhi tujuan-
tujuan nonfiskal. Ketidakadilan didapatkan oleh wajib pajak yang karena sesuatu
dan lain hal harus memiliki jumlah tanggungan lebih dari tiga orang.

Berikutnya, ada PTKP bagi anggota keluarga yang memiliki penghasilan


untuk wajib pajak yang bersangkutan dan pasangannya, masing-masing sebesar
Rp1.440.000. Ditambah dengan faktor ini maka jumlah PTKP maksimal adalah
Rp10.800.000.

Batas bebas pajak tersebut tidak hanya penting dalam menentukan batas
bawah untuk kewajiban pajak, tetapi juga mendominasi kenaikan tarip pajak
efektif atau pola progresivitas pada skala penghasilan menengah ke bawah. Tarip
pajak efektif (yang didefinisikan sebagai rasio pajak terhadap penghasilan neto)
pada tingkat penghasilan neto yang rendah jumlahnya sangat kecil karena porsi
terbesar dari penghasilan neto adalah PTKP. Ketika penghasilan neto naik, jumlah
PTKP turun secara relatif terhadap penghasilan neto, sehingga tarip pajak efektif
naik. Kita dapat mengatakan bahwa PTKP adalah penghasilan yang dikenakan
tarip pajak sebesar nol persen dan merupakan bagian integral dari struktur tarip
pajak. Signifikansi utama dari pemberian PTKP berkaitan erat dengan pola tingkat
pajak efektif pada para wajib pajak dengan penghasilan menengah ke bawah.

Kredit Pajak bagi Wajib Pajak berpenghasilan Rendah


Pada negara maju, telah muncul pemikiran-pemikiran dan praktik-praktik
berkaitan dengan tarip pajak negatif. Struktur tarip pajak tidak lagi selalu positif,
tetapi bergerak dari tarip negatif pada penghasilan nol (wajib pajak pada tingkatan
penghasilan ini mendapatkan subsidi dari pemerintah) bergerak ke angka nol (titik
impas) dan menjadi tarip positif pada angka di atas titik impas ini. Prinsip
progresifitas tidak saja menyatakan seberapa tinggi tarip pajak yang dikenakan
kepada wajib pajak berpenghasilan besar tetapi juga seberapa besar transfer yang
dapat diberikan kepada wajib pajak miskin. Praktik ini dapat dilakukan dengan
memberikan kredit pajak pada para wajib pajak berpenghasilan rendah.

Kredit Pajak untuk Biaya Mengasuh Anak


Sejalan dengan perkembangan tentang hak-hak wanita dan perlakuan yang adil
terhadap penghasilan keluarga, aturan hukum di negara maju menyediakan kredit
pajak bagi keluarga yang memiliki anak dan pasangannya juga bekerja. Untuk

Dasar-dasar Keuangan Publik


162

keluarga seperti ini, mereka harus menyediakan dana untuk menyewa pengasuh
untuk anak-anak mereka.

Pola Progresivitas Tarip Pajak


Pajak penghasilan secara tradisional telah dipandang sebagai suatu
instrumen pajak yang progresif. Seberapa progresifkah pajak penghasilan
Indonesia dan perubahan-perubahan apa yang telah dilakukan dalam pola
progresivitasnya?

Arti Progresivitas Tarip Pajak


Pada saat membahas penghasilan neto, tarip pajak yang dikenakan meningkat
seiring dengan peningkatan penghasilan neto. Pajak dikatakan progresif apabila
tarip pajak cenderung meningkat pada tingkat penghasilan yang lebih tinggi,
proporsional apabila tarip pajak konstan pada semua tingkat penghasilan, dan
regresif bila tarip pajak turun pada tingkat penghasilan yang lebih tinggi.Untuk
suatu pajak penghasilan dikatakan progresif, tidak cukup apabila kewajiban pajak
meningkat ketika tingkat penghasilan meningkat. Peningkatan kewajiban pajak
yang lebih rendah daripada peningkatan penghasilan membuat pajak menjadi
regresif. Selain itu, semakin progresif pajak penghasilan, semakin cepat kenaikan
rasio pajak terhadap pendapatan nasional.

Mengukur Tingkat Progresivitas


Perbedaan antara pajak-pajak progresif, proporsional dan regresif dapat
digambarkan dengan mudah. Suatu pajak dikatakan progresif bila rasio pajak
terhadap penghasilan naik ketika skala penghasilan meningkat, proporsional bila
rasionya konstan, dan regresif bila rasionya turun. Pembedaan ini sangat jelas,
tetapi situasinya lebih rumit bila kita ingin mengukur derajat progresivitas atau
regresivitas.

Tidak ada cara tunggal yang tepat mengukur tingkat progresivitas.


Beberapa ukuran dapat dipakai, yaitu:
• Rasio perubahan tarip efektif terhadap perubahan penghasilan.
T1 − T0
Y1 Y0
Rumusnya:
Y1 − Y0
• Rasio persentase perubahan kewajiban pajak terhadap perubahan
T1 − T0 Y0
penghasilan. Rumusnya: .
T0 Y1 − Y0
• Rasio persentase perubahan penghasilan setelah pajak terhadap persentase
perubahan penghasilan sebelum pajak Rumusnya:
(Y1 − T1 ) − (Y0 − T0 ) Y0
.
(Y0 − T0 ) Y1 − Y0

Dasar-dasar Keuangan Publik


163

Ukuran pertama, yang juga disebut sebagai progresivitas tarip rata-rata


(average-rate progression), merupakan ukuran kemiringan kurva yang diperoleh
dari menggambar hasil bagi tarip pajak efektif terhadap penghasilan. Nilai dari
koefisien ini adalah nol untuk pajak proporsional dan positif untuk pajak
progresif. Kurva tarip efektif cenderung berkurang kemiringannya dan
progresivitas cenderung menurun seiring dengan meningkatnya skala
penghasilan. Ukuran kedua, yang juga disebut sebagai progresivitas kewajiban
pajak, mencatat elastisitas kewajiban pajak terhadap penghasilan. Koefisien ini
mengukur kemiringan kurva yang diperoleh dari menggambar hasil bagi
kewajiban pajak terhadap penghasilan pada bagan logaritme-ganda.
Proporsionalitas ditunjukkan dengan nilai koefisien sama dengan satu dan
progresivitas ditunjukkan dengan nilai koefisien di atas satu. Ukuran ketiga atau
progresivitas penghasilan residu mencatat elastisitas dari penghasilan setelah
pajak Ukuran ini menunjukkan kemiringan kurva yang diperoleh dengan
menggambar penghasilan sebelum dan sesudah pajak pada bagan logaritme.
Koefisiennya juga satu untuk pajak proporsional tetapi progresivitas sekarang
ditunjukkan dengan angka koefisien yang kurang dari satu. Progresivitas pada
semua indikator cenderung menurun seiring dengan kenaikan skala penghasilan
setelah tingkatan penghasilan tertentu.

Untuk menghindari kebingungan dalam membandingkan progresivitas


pada jangkauan penghasilan tertentu yang berbeda atau untuk struktur pajak yang
berbeda, perlu ditetapkan apa ukuran yang akan digunakan. Hal ini menjadi
sangat penting untuk mengetahui apa yang terjadi terhadap progresivitas ketika
tarip-tarip pajak berubah. Ketika tarip-tarip pajak dinaikkan atau diturunkan,
banyak pihak yang mengusulkan perubahan pada seluruh tarip untuk menjaga
kenetralan kenaikan dan penurunan. Apakah yang dimaksud dengan kenetralan
dalam hal ini?

Misalkan pajak akan dinaikkan. Jika progresivitas tarip pajak rata-rata


ditetapkan konstan, semua hutang pajak harus dinaikkan dengan persentase yang
sama. Tarip-tarip pajak dinaikkan pada persentase yang semakin besar pada tarip-
tarip yang lebih tinggi. Jika progresivitas kewajiban pajak ditetapkan konstan,
semua tarip pajak dinaikkan sebesar persentase kenaikan yang sama. Jika
progresivitas penghasilan residu ditetapkan konstan, tarip-tarip pajak akan
dinaikkan pada persentase yang semakin kecil pada tarip-tarip yang lebih tinggi.
Pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingan masyarakat yang berpenghasilan
rendah tentu saja akan sangat berkeinginan untuk menginterpretasikan netralitas
dalam bentuk yang paling diinginkan adalah progresivitas tarip rata-rata,
kemudian progresivitas kewajiban pajak dan yang terakhir adalah progresivitas
penghasilan residu. Pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingan masyarakat
berpenghasilan tinggi akan cenderung mengambil posisi yang berlawanan. Yang
lebih menarik lagi adalah urutan preferensi tersebut akan terbalik bila yang
diperjuangkan adalah pengurangan pajak. Dengan demikian, konsep teoritis dapat
menimbulkan implikasi politis.

Dasar-dasar Keuangan Publik


164

Penyesuaian Terhadap Inflasi


Permasalahan inflasi tidak hanya berkaitan dengan angka nominal PTKP
dan tarip pajak, tetapi juga dalam cara yang rumit berkaitan dengan perlakuan
terhadap penghasilan modal.

PTKP dan tingkat penghasilan yang dikenakan tarip pajak


Ketika harga-harga naik, nilai riil dari PTKP menjadi turun. Akibatnya, tingkat
penghasilan riil yang mulai dikenakan pajak semakin turun. Selain itu, ketika
harga-harga naik, nilai riil dari tingkat penghasilan yang dikenakan tarip pajak
turun, sehingga tingkat tarip pajak yang berlaku untuk tingkat penghasilan riil
tertentu akan naik. Untuk kedua alasan inilah, kewajiban pajak naik lebih cepat
daripada kenaikan harga. Dalam hal ini kewajiban pajak naik dalam nilai riil.

Berkaitan dengan pengaruh inflasi, peraturan pajak di Indonesia hanya


menyesuaikan PTKP. Itupun tidak dilakukan setiap tahun, tetapi beberapa tahun
sekali. Dengan demikian, nilai riil dari PTKP cenderung turun. Sementara itu,
tingkat penghasilan yang dikenakan tarip pajak tertentu tidak pernah disesuaikan.
Karena pajak di Indonesia tidak terlindung dari pengaruh inflasi, wajib pajak di
Indonesia mengalami kenaikan kewajiban pajak dalam nilai riil.

Penghasilan Modal
Beberapa permasalahan lanjutan muncul berkenaan dengan perlakuan pajak
terhadap penghasilan modal. Capital gain yang sudah terealisasi, sebagian
dikenakan pajak final dan sebagian lagi dikenakan pajak reguler. Perlakuan yang
sama terhadap capital gain seharusnya hanya akan memajaki laba dalam nilai riil,
bukannya laba dalam nilai nominal. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian
terhadap inflasi.

Permasalahan yang sama juga muncul berkenaan dengan kerugian yang


dialami kreditur dalam nilai riil hutang nominal yang mereka berikan kepada
debitur, yang tentu saja merupakan keuntungan bagi debitur. Penghasilan yang
berbasis tambahan kemampuan yang didefinisikan dalam nilai riil harus
membolehkan kreditur mengakui kerugian dan juga mengharuskan debitur
mengakui keuntungan. Salah satu solusi yang pernah diusulkan adalah
mengurangi penghasilan bunga kena pajak sesuai dengan tingkat inflasi.
Permasalahan selanjutnya yang ditimbulkan oleh inflasi adalah berkenaan dengan
depresiasi. Ketika harga-harga naik, pengembalian dari biaya perolehan aktiva
berkurang dalam nilai riil dan penyesuaian inflasi juga diperlukan dalam hal ini.
Solusi atas permasalahan ini dalam perundang-undangan pajak hanyalah parsial
dalam bentuk penggunaan metode penyusutan dipercepat

Pilihan Unit Kena Pajak


Perlakuan yang tepat untuk unit kena pajak berdasarkan pajak
penghasilan progresif adalah suatu hal yang kontroversial yang sampai saat ini
belum ada solusi yang memadai. Di Indonesia, permasalahan ini disebabkan

Dasar-dasar Keuangan Publik


165

adanya kecenderungan sosioekonomis yaitu meningkatnya partisipasi wanita


dalam angkatan kerja.

Pendekatan Unit Keluarga


Kita mulai pembahasan dengan suatu hipotesis yang sering diterapkan dalam
kebanyakan diskusi pajak penghasilan, bahwa unit kena pajak dan pengukuran
kemampuan untuk membayar harus diarahkan kepada unit keluarga. Kemudian,
kita akan mempertimbangkan suatu alternatif lainnya yang mendefinisikan unit
kena pajak dalam bentuk individu yang memperoleh penghasilan.

Prinsip. Pembahasan masalah ini ditinjau dari pandangan pengenaan pajak


berdasarkan kemampuan untuk membayar, keadilan mengharuskan ketaatan
akan tiga aturan berikut:
1. Unit-unit dengan penghasilan yang sama dan jumlah anggota yang sama
harus membayar pajak yang sama jumlahnya.
2. Di antara unit-unit yang berpenghasilan sama, unit yang jumlah
anggotanya lebih kecil harus membayar pajak lebih banyak dan unit yang
jumlah anggotanya lebih besar harus membayar pajak lebih sedikit.
3. Dengan pengenaan pajak progresif, jumlah pajak (yang dinyatakan dalam
persentase terhadap penghasilan) untuk unit-unit dengan jumlah anggota
yang sama harus naik seiring dengan kenaikan penghasilan unit.

Aturan 1 tidak perlu penjelasan lebih lanjut karena aturan ini secara
sederhana mewakili persyaratan bahwa hal yang sama harus diperlakukan sama
juga. Ada hal yang perlu dipertegas bahwa aturan ini tidak membedakan
kemampuan untuk membayar dalam konteks unit keluarga apakah penghasilan
diperoleh oleh satu anggota atau lebih. Aturan 2 menunjukkan proposisi bahwa
seorang bujangan dengan penghasilan Rp30 juta memiliki posisi (kemampuan)
lebih baik daripada pasangan dengan total penghasilan keduanya juga sama
dengan Rp30 juta. Walaupun beberapa jenis pengeluaran konsumsi (misalnya
penerangan di ruang tamu) dikonsumsi dalam jumlah yang sama baik oleh satu
orang atau dua orang, pengeluaran-pengeluaran konsumsi lainnya (misalnya kursi
untuk santai) lebih mahal apabila untuk pasangan. Oleh karena itu, perlakuan
yang adil adalah apabila pajak yang dikenakan kepada seorang bujangan tersebut
lebih tinggi daripada pajak yang dikenakan kepada pasangan suami-istri dengan
tingkat penghasilan yang sama. Perbedaan seperti ini (pada jumlah yang layak)
tidak boleh dipandang sebagai pajak yang diskriminatif terhadap seorang
bujangan. Aturan 3 mengikuti secara langsung prinsip progresivitas dan tidak
perlu penjelasan lebih lanjut. Sistem yang mengikuti aturan-aturan keadilan ini
tidak akan mempengaruhi keputusan pernikahan, baik hanya satu orang dari
pasangan yang menikah tersebut yang memiliki penghasilan ataupun kedua-
duanya memiliki penghasilan.

Penggabungan Penghasilan. Instrumen yang dapat digunakan untuk mencapai


tujuan di atas meliputi penerapan PTKP dan penggunaan struktur tarip pajak
untuk berbagai jenis Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, aturan perpajakan membolehkan tambahan PTKP sesuai dengan
ukuran keluarga, walaupun dibatasi hanya sampai tiga tanggungan. Sistem

Dasar-dasar Keuangan Publik


166

pengenaan pajak penghasilan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu


kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota
keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak.
Penggabungan penghasilan ini tidak mengurangi jumlah PTKP yang dapat
dikurangkan dari penghasilan, baik ketika penghasilan masih dilaporkan sendiri
maupun penghasilan digabungkan.

Pendekatan Alternatif: Unit Peroleh Penghasilan


Pendekatan alternatif untuk mengatasi permasalahan di atas yang diikuti oleh
beberapa negara Eropa adalah mengabaikan unit keluarga dan menggunakan
individu sebagai unit yang dikenakan pajak. Dalam hal ini, kewajiban pajak
gabungan pasangan suami istri bergantung pada bagaimana penghasilan
terdistribusi di antara mereka. Struktur tarip yang digunakan, baik proporsional,
progresif ataupun regresif, tidak menimbulkan perbedaan. Bila dibandingkan
dengan unit keluarga, pendekatan Eropa ini memberikan perlakuan yang lebih
menguntungkan bagi wajib pajak yang berpenghasilan rendah.

Pengurangan untuk Tanggungan. Dalam proses mengukur kemampuan untuk


membayar dari suatu unit keluarga, jumlah tanggungan tentu saja menjadi
pertimbangan utama. Suatu keluarga besar dengan penghasilan neto tertentu
mempunyai kemampuan untuk membayar yang lebih redah daripada keluarga
kecil dengan penghasilan neto yang sama. Pertanyaannya adalah siapa yang
menjadi tanggungan dan bagaimana pengurangan diberikan. Pertanyaan pertama
akan menyangkut masalah bagaimana memperlakukan anak-anak yang tinggal
jauh dari orang tua dan yang memiliki penghasilan. Pertanyaan kedua berkenaan
dengan apakah pengurangan tersebut diberikan dalam bentuk pengurang atas
penghasilan atau kredit pajak. Jika biaya dari setiap tambahan anak diukur dalam
satuan pengeluaran standar (misalnya pengeluaran rata-rata), pendekatan kredit
pajak lebih tepat digunakan; tetapi jika biayanya diukur dalam berapa banyak
pengeluaran akan dilakukan, pendekatan pengurang atas penghasilan lebih tepat
digunakan. Karena wajib pajak dengan penghasilan yang tinggi mengeluarkan
biaya untuk anak yang lebih besar, sudah selayaknya memberikan manfaat pajak
yang lebih besar pula.

Cara lain dari perlakuan pajak terhadap tanggungan adalah PTKP.


Peraturan pajak di Indonesia menggunakan cara ini dengan memberikan
pengurangan atas penghasilan netto sebesar Rp1.440.000 untuk setiap tanggungan,
tapi dengan jumlah maksimal tiga tanggungan.

Pasangan yang tidak Bekerja. Pertanyaan terakhir dalam pajak penghasilan


adalah bagaimana pengaturan tentang pasangan yang tidak bekerja dan hanya
tinggal di rumah untuk mengurus rumah, menjaga anak-anak, atau menganggur.
Misalkan ada sepasang suami istri A dan B di mana A memiliki penghasilan dan B
tidak dan bandingkan dengan pasangan lain C dan D yang keduanya memiliki
penghasilan. Asumsikan bahwa A dan C penghasilannya sama dan bahwa B
memiliki potensi penghasilan yang sama dengan D. Dalam peraturan perpajakan
sekarang ini keluarga C dan D membayar pajak lebih besar daripada keluarga A
dan B. Padahal berdasarkan aturan opsi yang sama (bekerja dan tidak bekerja)

Dasar-dasar Keuangan Publik


167

keduanya harus membayar pajak dalam jumlah yang sama, seperti simpulan kita
pada pembahasan tentang imputed income di muka, yang harus dimasukkan
sebagai tambahan kemampuan.

Secara prinsip, imputed income (dalam bentuk gaji yang tidak didapatkan)
dari pasangan yang tidak bekerja harus dimasukkan ke dalam dasar pengenaan
pajak. Selain itu, secara prinsip, prosedur yang sama juga harus diberlakukan
kepada bujangan yang tidak bekerja.

Dasar-dasar Keuangan Publik


168

B A B XVII

PAJAK PENGHASILAN
WAJIB P AJAK BADAN

Struktur Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan


rinsip dasar penentuan penghasilan kena pajak cukup sederhana.

P Penghasilan kotor dari perseroan dikurangi dengan biaya-biaya yang


dikeluarkan dalam rangka menjalankan usaha, yang akan menghasilkan
laba bersih untuk dikenakan pajak. Pada dasarnya semua pengeluaran
dapat dibebankan sebagai biaya apabila mempunyai hubungan langsung dengan
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
bruto yang menjadi objek pajak. Pengeluaran untuk penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Demikian juga
pengeluaran yang melebihi batas kewajaran karena adanya hubungan istimewa
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Beberapa permasalahan penghasilan yang dikecualikan yang muncul pada


wajib pajak pribadi juga muncul pada wajib pajak badan, ditambah dengan
masalah-masalah lain yang khusus ada pada pengenaan pajak penghasilan kepada
wajib pajak badan, menambah kerumitan dalam merancang pajak penghasilan
badan yang adil dan efisien. Permasalahan ini diantaranya penentuan
pengeluaran-pengeluaran apa yang dapat dibebankan sebagai biaya dan kapan
pembebanan tersebut dapat dilakukan. Setiap industri memiliki kerumitan
tersendiri sehingga sangat sulit untuk merancang suatu perlakuan pajak yang
seragam untuk berbagai industri yang berbeda tersebut. Dengan adanya
kerumitan hukum dari perseroan dan hubungan di antara mereka maka suatu
pajak penghasilan badan yang adil bukanlah pajak yang sederhana

Perlukah Perseroan Dikenakan Pajak?


Peranan pajak penghasilan badan dalam suatu sistem pajak yang baik
tampak jelas. Jika basis pajak yang tepat dinyatakan dalam bentuk konsumsi, pajak
penghasilan tidak boleh dikenakan kepada badan. Sumber penghasilan dari

Dasar-dasar Keuangan Publik


169

perusahaan hanya dapat dipajaki apabila didistribusikan dan dibelanjakan oleh


penerima. Pengenaan pajak kepada badan juga tetap dipertanyakan walaupun
konteksnya adalah pendekatan berbasis penghasilan. Dalam hal ini, pengenaan
pajak pada tingkatan perusahaan dapat dipandang sebagai alat untuk
mengintegrasikan sumber penghasilan dari perusahaan ke dalam pajak
penghasilan pribadi, atau pajak terhadap perusahaan dapat dipandang sebagai
pajak absolut terhadap penghasilan bersumber dari perusahaan. Pandangan ini
juga yang digunakan oleh Peraturan Pajak Penghasilan di Indonesia. Badan
(dalam hal ini perusahaan) dikenakan pajak dan tidak dapat dikreditkan terhadap
pajak penghasilan pribadi atas penghasilan dividen. Pandangan lain yang
berkembang adalah mengintegrasikan penghasilan perusahaan ke dalam pajak
penghasilan individu.

Pandangan Integrasi
Para penganut posisi integrasi memandang permasalahan perpajakan pada
tingkatan perusahaan hanyalah sebagai satu cara memasukkan semua penghasilan
yang bersumber dari perusahaan ke dalam basis pajak penghasilan pribadi.
Proposisi dasarnya adalah pada akhirnya pajak harus menjadi beban pribadi dan
bahwa konsep pajak yang adil hanya dapat dibebankan kepada pribadi. Selain itu,
mereka berpendapat bahwa penghasilan harus dipajaki secara keseluruhan dalam
konsep penghasilan global, tanpa memperdulikan dari mana sumbernya. Bila
mengenakan pajak pada laba, maka laba tersebut ketika didistribusikan dipajaki
dua kali, pertama pada tingkatan perusahaan dalam bentuk pajak penghasilan
badan, dan berikutnya pada tingkatan pribadi sebagai dividen dalam perhitungan
pajak penghasilan pribadi.

Misalkan, seorang wajib pajak A yang membayar pajak penghasilan


pribadi pada tarip pajak 25%. Bagiannya pada laba perusahaan adalah
Rp10.000.000, yang dikenakan pajak dengan tarip efektif sebesar 28,25% (atau
sebesar Rp2.825.000). Sisanya, sebesar Rp7.175.000 didistribusikan sebagai dividen
kepada A, yang kemudian akan membayar pajak atasnya sebesar Rp1.793.750.
Apabila kedua pajak ini digabungkan, jumlahnya menjadi Rp4.618.750. Bila tidak
ada pajak penghasilan badan, pajak penghasilan yang dibayarkan pada
penghasilan yang didistribusikan (dividen) sejumlah Rp10.000.000 hanya akan
sebesar Rp2.500.000. Dengan demikian, ada kelebihan pajak sebesar Rp2.118.750.
Berikutnya, seorang wajib pajak B, yang membayar pajak penghasilan pribadi
pada tarip pajak 15%. Baginya, pajak gabungan sama dengan Rp2.825.000
ditambah Rp1.076.250, atau sebesar Rp3.901.250. Pajaknya berdasarkan sistem
integrasi hanya akan sebesar Rp1.500.000, sehingga ada kelebihan pajak sebesar
Rp2.401.250, di atas jumlah kelebihan bagi wajib pajak A. Dengan tidak
mengintegrasikan penghasilan, sistem pajak sekarang memberikan tambahan
beban pajak dan beban pajak atas penghasilan yang bersumber dari perusahaan
lebih besar bagi pemegang saham kecil yang pajak penghasilan pribadinya
sebenarnya lebih kecil. Pada kenyataannya, dividen yang diterima mungkin
merupakan bagian penghasilan terbesar bagi A daripada bagi B. Dalam hal ini,
pajak tambahan sebagai persentase dari total penghasilan akan lebih besar bagi A
daripada bagi B. Walaupun demikian, pajak tambahan ini tidak adil bila ditinjau
dari sudut pandang penganut integrasi, sebab semua penghasilan (termasuk yang

Dasar-dasar Keuangan Publik


170

diperoleh dari sumber perusahaan) harus dipajaki dengan tarip yang sama. Pada
pajak penghasilan badan, harus ada sumber pungutan pajak penghasilan pribadi
untuk penghasilan yang bersumber dari perusahaan.

Ilustrasi sebelumnya ini mengasumsikan bahwa laba setelah pajak


didistribusikan sebagai dividen. Dalam kenyataanya tidak harus seperti ini, sebab
paling tidak sebagian dari laba perusahaan setelah pajak ditanamkan kembali
pada operasi perusahaan. Dengan tidak memperhitungkan laba yang ditahan pada
penghasilan pemegang saham (seperti yang seharusnya ada pada sistem
terintegrasi), pajak penghasilan badan telah memenuhi fungsinya untuk
mencakup laba yang ditahan.

Pandangan Absolut
Para penganut pandangan yang berlawanan menyatakan bahwa pendekatan
integrasi memandang perusahaan secara tidak realistis. Perseroan yang dimiliki
publik secara luas – merupakan wajib pajak besar yang menjadi sumber terbesar
penerimaan pajak negara – bukan hanya merupakan instrumen untuk penghasilan
pribadi. Perusahaan adalah entitas legal yang memiliki keberadaan sendiri, pelaku
yang kekuatan besar dalam pengambilan keputusan ekonomi dan sosial,
dioperasikan oleh profesional manajemen yang tidak begitu dikendalikan oleh
pemegang saham secara individu. Oleh karena itu, sebagai entitas yang terpisah,
perusahaan juga mempunyai kapasitas membayar pajak tersendiri, yang dengan
tepat telah dikenakan pajak yang terpisah dan absolut. Apakah laba setelah pajak
yang diperoleh akan dibagikan atau ditahan tidaklah relevan dalam konteks ini.

Pandangan absolut atau klasik tentang pajak ini sangat rasional.


Perusahaan memang bertindak sebagai unit-unit pengambilan keputusan, hanya
tidak begitu jelas kaitannya dengan keinginan para pemegang saham, sehingga
membutuhkan kebijakan pengaturan pada tingkatan perusahaan daripada pada
tingkatan pemegang saham. Selain itu, alat-alat pajak dapat berguna pada situasi-
situasi tertentu untuk tujuan-tujuan peraturan perundang-undangan tersebut.
Akan tetapi, permasalahannya akan berbeda apabila mengusulkan pengenaan
pajak pada perusahaan karena lembaga ini memiliki kemampuan membayar pajak
sendiri dan oleh karenanya harus dikenakan pajak terpisah. (Ada pendapat yang
menyatakan bahwa kemampuan ini adalah kemampuan untuk membayar pajak
tanpa mengalami kebangkrutan atau mengganggu operasinya. Konsep kapasitas
membayar yang digunakan dalam pendapat ini lebih berkaitan dengan efek
ekonomi dari pajak bukannya kemampuan untuk membayar yang digunakan
dalam konteks keadilan pajak.) Pada akhirnya, seluruh pajak harus dibebankan
pada orang. Laba perusahaan merupakan bagian penghasilan para pemegang
saham dan, dalam konteks pendekatan kemampuan ekonomis pada pajak
penghasilan, harus dipajaki sebagai bagian dari penghasilan mereka. Tidak ada
alasan mengapa para pemegang saham harus membayar pajak tambahan atau
diberikan perlakuan khusus.

Pandangan absolutmendasarkan pada asumsi bahwa pajak dikenakan atas


laba dan tidak digeserkan kepada para pelanggan atau pekerja. Walaupun
penggeseran terjadi, niat dari para penganut absolutisme untuk membebankan

Dasar-dasar Keuangan Publik


171

pajak tambahan pada penghasilan yang bersumber dari perusahaan tetap tidak
tepat. Pajak, dalam kasus ini, menjadi pajak penjualan atau pajak atas upah yang
inferior dan arbiter, tanpa landasan rasional dalam suatu struktur pajak yang adil
(Pajak ini dikatakan inferior karena tarip implisit dari pajak penjualan atau upah
akan bervariasi secara arbiter dengan rasio [marjin] laba atas penjualan atau rasio
laba atas upah dari beberapa perusahaan).

Alasan-Alasan Lain Mengenakan Pajak kepada Perseroan


Walaupun tidak ada argumentasi sah untuk mengenakan pajak atas badan secara
absolut berdasarkan prinsip kemampuan untuk membayar, sejumlah
pertimbangan lain dapat mendukung keberadaan pajak tersebut. Walaupun
demikian, pajak tersebut tidak akan seperti yang diberlakukan sekarang.

Pertimbangan Manfaat. Perusahaan dapat diminta untuk membayar pajak atas


manfaat. Pemerintah menyediakan berbagai layanan yang memberi manfaat
kepada perusahaan dengan cara mengurangi biaya, memperluas pasar, membantu
transaksi-transaksi keuangan, dan lain-lain. Sebagian dari layanan ini, tidak hanya
dinikmati oleh perusahaan, tetapi juga oleh berbagai bentuk organisasi lainnya.
Langkah yang paling rasional adalah menerapkan pajak umum atas kegiatan
bisnis daripada menerapkannya dengan menggunakan pajak penghasilan badan
saja. Walaupun ada beberapa biaya pemerintah yang dikeluarkan dalam kaitannya
dengan perusahaan secara khusus, biaya-biaya ini hanyalah faktor yang minor dan
sulit untuk mendukung pengenaan suatu pajak. Hal melakukan kegiatan
berdasarkan kewajiban terbatas, tentu saja sangat berharga bagi perusahaan tetapi
institusi dengan kewajiban terbatas seperti itu tidak membebani biaya kepada
masyarakat dan oleh karenanya tidak layak dikenakan pajak atas manfaat. Tujuan
dari pajak atas manfaat adalah mengalokasikan biaya layanan publik yang
diberikan, bukannya untuk membebani manfaat yang tidak menimbulkan biaya.

Apabila penerapan pajak atas manfaat dipandang tepat, dua pertanyaan


lanjutan muncul. Pertama berkaitan dengan tingkatan mana pajak tersebut harus
dikenakan. Karena sebagian besar layanan publik yang memberikan manfaat
kepada bisnis diberikan pada tingkatan pemerintah daerah, maka pajak tersebut
bukan merupakan urusan pemerintah pusat. Pajaknya akan bervariasi sesuai
dengan jumlah layanan yang diberikan, bukannya sesuai dengan jumlah laba yang
dihasilkan. Oleh karena itu, kekayaan akan lebih tepat menunjukkan nilai layanan
pemadam kebakaran; jumlah pegawai akan menunjukkan input untuk
pengeluaran untuk sekolah umum; transportasi akan menunjukkan layanan jalan
raya, dan sebagainya. Jika ukuran umum yang digunakan, total biaya yang
dikeluarkan pada daerah operasi lebih tepat digunakan sebagai ukuran
keseluruhan, dengan nilai tambah (termasuk laba dan biaya-biaya faktor lainnya)
sebagai kemungkinan kedua.

Tujuan-tujuan Peraturan Perundang-Undangan. Kasus berbeda untuk pengenaan


pajak perusahaan secara absolut dapat dilakukan apabila pajak dipandang sebagai
instrumen pengendali berkaitan dengan tingkah laku perusahaan. Bentuk pajak
perusahaan yang tepat bergantung pada tujuan kebijakan tertentu yang akan
dicapai.

Dasar-dasar Keuangan Publik


172

1. Pengendalian terhadap monopoli telah dilakukan dengan menggunakan


alat peraturan perundang-undangan, tetapi pendekatan pajak dapat
digunakan. Pengendalian ini tentu saja tidak akan menggunakan pajak
umum atas laba, yang tidak akan efektif untuk mengoreksi tingkat laku
monopolistik. Pengendalian ini memerlukan suatu pajak yang lebih
kompleks, yang berkaitan dengan tingkat pembatasan monopolistik.
2. Jika ada keinginan untuk membatasi ukuran absolut atau besarnya
perusahaan (yang tidak sama dengan membatasi monopoli atau pangsa
pasar), suatu pajak dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini.
Pengendalian ini membutuhkan pajak bisnis yang progresif. Alasan
progresivitas tentu saja bukanlah kemampuan untuk membayar seperti
pada pajak penghasilan pribadi. Perusahaan-perusahaan besar dapat
dimiliki oleh investor-investor kecil dan perusahaan-perusahaan kecil
dapat dimiliki oleh investor-investor kaya. Progresivitas akan digunakan
untuk memberlakukan diskriminasi terhadap perusahaan besar dan
membatasi apa yang dianggap sebagai akibat-akibat sosial yang tidak
diinginkan dari perusahaan-perusahaan besar. Pertanyaan berikutnya
adalah apakah pajak tersebut sebaiknya dikenakan pada laba dan
bukannya ukuran aset atau penjualan. Walaupun ukuran yang besar tidak
diinginkan, itu bukan alasan memberikan penalti kepada perusahaan
besar yang menguntungkan.
3. Suatu pajak atas kelebihan laba dapat dikenakan pada periode-periode
krisis (seperti perang) ketika diperlukan pengendalian langsung atas upah
dan harga. Pembatasan atas upah dalam kondisi seperti ini tidak dapat
diterapkan secara efektif tanpa juga membatasi laba, dan pajak atas
kelebihan laba merupakan alat-alat yang berguna dalam kaitannya dengan
situasi ini. Walaupun kelihatannya baik secara prinsip, pajak atas
kelebihan laba sulit diadministrasikan karena kelebihan laba tidak mudah
didefinisikan. Kelebihan laba tersebut harus diukur dengan
membandingkannya dengan periode dasar, tetapi akan muncul
ketidakadilan karena perbedaan posisi awal; atau, suatu tingkat
pengembalian standar dapat digunakan, dalam hal ini disparitas risiko
dapat terlewatkan, sehingga memunculkan masalah yang sulit dalam hal
menentukan tarip berapa yang cocok untuk setiap industri. Suatu situasi
lain yang berbeda di mana pajak atas kelebihan laba secara selektif dapat
dikenakan karena krisis tertentu, seperti krisis harga minyak dan
pelepasan kendali atas harga minyak, yang memunculkan pengenaan
pajak atas laba tak terduga dari kenaikan harga minyak.
4. Sebagai stimulus bagi formasi modal dan pertumbuhan, tabungan
perusahaan perlu didukung dan distribusi dividen perlu dibatasi. Tujuan
ini dapat dicapai dengan mengenakan pajak atas dividen yang dibayarkan
dan mengecualikan laba yang ditahan. Alternatif kebijakan lain, dalam
rangka mendukung berfungsinya pasar modal atau meningkatkan
pengeluaran konsumsi, distribusi dividen perlu didukung sedangkan
menahan laba perlu dihindari. Tujuan ini dapat dicapai dengan
mengenakan pajak atas laba yang tidak dibagi dan mengecualikan laba
yang dibayar sebagai dividen.

Dasar-dasar Keuangan Publik


173

5. Terakhir, pajak perusahaan dapat digunakan untuk memberikan insentif


atau disinsentif investasi, yang berbeda dari tabungan perusahaan. Alat-
alat seperti penyusutan dipercepat dan kredit pajak investasi dapat
digunakan untuk tujuan ini dan juga dapat diterapkan secara siklus atau
pada saat-saat tertentu.

Secara keseluruhan, pembahasan di atas menunjukkan bahwa instrumen


pajak dapat menjadi alat yang berguna dalam mengendalikan tingkah laku
perusahaan dalam banyak hal, tetapi bentuk pajak yang diperlukan bukanlah
pajak atas laba.

Integrasi Pajak
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, banyak pendapat yang
menyatakan bahwa perusahaan adalah alat untuk mencari penghasilan bagi
pemegang saham dan oleh karenanya sumber penghasilan dari perusahaan
diintegrasikan ke dalam pajak penghasilan pribadi. Apakah penyesuaian-
penyesuaian yang diperlukan dalam struktur pajak untuk mencapai tujuan ini?

Integrasi Penuh
Untuk menjamin integrasi sepenuhnya, penyesuaian harus mengintegrasikan
perlakuan pajak baik untuk laba yang ditahan maupun distribusi dividen. Hal ini
dapat dicapai baik dengan menggunakan metode partnership atau melalui
pengenaan pajak sepenuhnya atas capital gain.

Metode Partnership. Solusi ini memasukkan laba total kepada penghasilan


pemegang saham dan mengenakan pajaknya dengan pajak penghasilan pribadi.
Bila laba tidak dibagi, perusahaan akan memberitahukan kepada para pemegang
saham berapa jumlah yang tidak dibagi yang menjadi bagian mereka dan
ditambahkan ke dalam ekuitas mereka dan kemudian pemegang saham akan
memasukkan jumlah ini ke dalam perhitungan laba kena pajak mereka.

Pada saat yang sama, pemberlakuan skema pemotongan pajak


(withholding) juga diperlukan terhadap penghasilan laba ini. Sebagaimana
perusahaan bertindak sebagai pemotong dan pemungut pajak untuk pajak
penghasilan pribadi atas upah dan gaji karyawannya, perusahaan juga dapat
bertindak sebagai pemotong dan pemungut pajak untuk penghasilan laba dari
pemegang sahamnya. Misalkan bahwa seorang pemegang saham menerima
bagian laba sebesar Rp10.000.000, dan telah diberitahukan kepadanya. Perusahaan
memotong dan memungut pajak, misalnya 20 persen, sehingga pemegang saham
mendapatkan sisanya sebesar Rp8.000.000. Seberapa besar bagian laba tersebut
akan didistribusikan sebagai dividen, pemegang saham akan melaporkan jumlah
kotornya sebesar Rp10.000.000 dalam penghasilan kena pajaknya. Jika pajak
marjinalnya 25%, pajaknya akan sebesar Rp2.500.000. Atas jumlah pajak ini, ia
dapat mengkreditkan Rp2.000.000 yang dipotong oleh sumber penghasilan, dan
hanya membayar sisanya sebesar Rp500.000. Seorang pemegang saham yang
dikenakan pajak marjinal sebesar 15% akan memunculkan beban pajak sebesar
Rp1.500.000. Karena ia telah dipotong sebesar Rp2.000.000, ia berhak mendapatkan

Dasar-dasar Keuangan Publik


174

pengembalian pajak sebesar Rp500.000. Dengan melaporkan penghasilan laba


pada jumlah kotornya ini, pemegang saham akan membayar pajak sesuai dengan
tarip pajak marjinalnya.

Dengan penjelasan lain, untuk tujuan pajak, pemegang saham


diperlakukan seolah-olah mereka adalah partner dalam suatu bisnis non-
perusahaan. Karena pajaknya dikenakan ketika laba diperoleh, capital gain yang
menunjukkan kenaikan nilai kepemilikan yang ditimbulkan dari menahan laba
harus dikecualikan dari pajak atas capital gain. Hal ini daat dilakukan dengan cara
membolehkan pemegang saham menambahkan basisnya (menambahkan ke harga
pokok investasi saham mereka) dengan jumlah yang sama dengan bagian mereka
atas laba yang tidak dibagi.

Prosedur ini tampaknya cukup adil, dan cara ini yang diusulkan sebagai
prosedur standar oleh para ahli pajak. Akan tetapi, beberapa kesulitas dengan
metode ini perlu dikemukakan. Ada pendapat bahwa wajib pajak tidak
diharuskan membayar pajak atas penghasilan yang tidak mereka terima. Oleh
karena itu, adalah tidak adil bila memasukkan laba yang ditahan ke dalam
penghasilan kena pajak pribadi. Keberatan ini sama dengan yang dikemukakan
dalam pembahasan pajak atas laba yang belum direalisasikan, tetapi tidak begitu
meyakinkan. Satu hal penting, sebagian besar bagian dari pajak akan dibayar pada
sumber pemotongan, sehingga tidak menimbulkan permasalahan likuiditas pada
pemegang saham. Sisanya, terutang apabila tarip pajak marjinal yang dikenakan
kepada pemegang saham melebihi tarip potongan, dapat dibayar dengan menjual
sebagian saham. Pendekatan ini tidak memungkinkan untuk perusahaan yang
bukan perseroan publik yang sahamnya tidak diperdagangkan, tetapi para
pemegang saham dapat meningkatkan rasio yang dibayarkan sebagai dividen
untuk mendapatkan kas yang dibutuhkan.

Ada juga argumentasi yang menyatakan bahwa pendekatan partnership,


walaupun memungkinkan untuk perseroan kecil dan perseroan non-publik, tidak
praktis untuk perusahaan besar dan dimiliki publik secara luas. Karena para
pemegang saham bertransaksi saham secara cepat di pasar modal, sulit untuk
mengalokasikan bagian laba diantara mereka. Selain itu, kesulitan-kesulitan lain
akan muncul berkenaan dengan kebijakan-kebijakan pemberian insentif, seperti
kredit pajak atas investasi. Manajemen, yang umumnya membuat keputusan
investasi, tidak akan memberikan respons atas suatu kredit pajak yang manfaatnya
diserahkan kepada para pemegang saham, dan proses penyerahan itu sendiri
memunculkan kesulitan-kesulitan teknis. Akan tetapi, permasalahan-
permasalahan ini terbukti bukan sesuatu yang tidak dapat diselesaikan bila usaha
integrasi yang serius dijalankan.

Bagaimanapun juga, perlu dicatat bahwa integrasi dengan menggunakan


metode partnership tidak akan menghilangkan permasalahan-permasalahan dalam
penentuan laba kena pajak perusahaan. Penentuan laba kena pajak ini sama
pentingnya seperti dalam pajak perusahaan absolut. Integrasi dengan metode
partnership tidak menyederhanakan administrasi pajak bahkan menambah
kerumitan atasnya.

Dasar-dasar Keuangan Publik


175

Metode Capital gain. Cara lainnya untuk mencapai integrasi sepenuhnya adalah
dengan mengenakan pajak sepenuhnya atas semua capital gain (termasuk yang
belum direalisasikan), dikombinasikan dengan penghapusan pajak atas laba.
Bagian yang didistribusikan akan muncul dalam penghasilan pemegang saham
sebagai dividen, sedangkan bagian yang tidak dibagikan akan muncul sebagai
capital gain. Cara ini tidak memerlukan penentuan laba kena pajak untuk
perusahaan. Dalam pendekatan ini, pengenaan pajak secara periodik dapat
digabungkna dengan pajak atas pemindahan aset. Dengan ketiadaan pajak pada
tingkatan perusahaan, insentif investasi seperti kredit pajak atas investasi harus
diberikan pada tingkatan pemegang saham atau diberikan langsung sebagai
subsidi kepada perusahaan.

Integrasi Parsial
Bila integrasi sepenuhnya telah didiskusikan selama beberapa tahun, cara ini tidak
pernah dipandang sebagai cara yang realistis. Akan tetapi, beberapa praktik di
negara maju telah memunculkan sampai tingkatan tertentu suatu integrasi parsial.
Misalnya, di AS sebelum tahun 1986, pendapatan dividen maksimal sebesar $200
dikecualikan dari penghasilan kena pajak. Perlu diingat, keringanan ini diberikan
dalam bentuk pengecualian dan bukannya kredit pajak. Akibatnya, manfaatnya
bagi penerima dividen akan meningkat sejalan dengan tarip pajak marjinalnya,
sehingga menguntungkan wajib pajak yang berpenghasilan besar. Sejak tahun
1986, pengecualian dividen ini ditiadakan dan tarip pajak atas perusahaan
disesuaikan ke tingkat tarip pajak untuk pajak penghasilan pribadi. Cara ini
dipandang sebagai mendekati perlakuan yang terintegrasi untuk laba yang tidak
dibagi, tetapi pajak berganda tetap berlaku bagi dividen.

Aspek-Aspek Khusus Definisi Basis Pajak


Permasalahan-permasalahan pada keuangan perusahaan, lebih rumit
daripada keuangan pada rumah tangga, demikian juga permasalahan pada desain
pajaknya. Berikut ini beberapa contoh atas permasalahan-permasalahan pajak
tersebut.

Hutang versus Modal Saham


Bunga yang dibayar oleh perusahaan atas dana yang diperolehnya dengan
berutang dikurangkan dari penghasilan kena pajak ketika memperhitungkan pajak
penghasilan badan. Bunga diperlakukan sebagai biaya bisnis, seperti juga
pembayaran gaji dan upah. Dengan ketiadaan integrasi, hal ini memunculkan
insentif bagi pemberi dana untuk meminjamkan daripada melakukan investasi
ekuitas. Bila meminjamkan, pendapatan bunga hanya dikenakan dalam pajak
penghasilan pribadi. Bila menanam modal, distribusi dividen mengalami pajak
berganda. Distorsi yang sama muncul pada sisi manajemen yang lebih memilih
pendanaan hutang. Jika dana diperoleh dari hutang, bunga yang dibayarkan dapat
dikurangkan dari laba kena pajak, sedangkan laba atas modal ekuitas tidak boleh
dikurangkan. Penggunaan integrasi sepenuhnya akan mengembalikan netralitas
perlakuan pajak. Jika tidak ada integrasi sepenuhnya, netralitas dapat
dikembalikan dengan cara (1) tidak membolehkan pengurangan biaya bunga pada
pajak penghasilan badan tetapi akan memperluas cakupan pajak berganda, atau

Dasar-dasar Keuangan Publik


176

(2) membolehkan pengurangan bunga yang diperhitungkan atas modal ekuitas


dalam pajak penghasilan badan sehingga mengurangi cakupan pajak berganda.
Pada kenyataaanya, karena sangat mengandalkan sumber pendanaan internal,
modal ekuitas pada perusahaan selalu meningkat, dengan sedikit bukti bahwa
adanya perlakuan pajak yang buruk tersebut memiliki pengaruh.

Pembayaran dalam bentuk Natura dan Biaya Entertainment


Pembayaran dalam bentuk natura dan biaya entertainment merupakan topik yang
banyak dibahas. Ketika biaya entertainment dapat dikurangkan dari penghasilan,
biaya untuk pengeluaran tersebut berkurang sebanyak 30 persen dan aktivitasnya
sulit dikategorikan untuk didukung dengan subsidi publik. Selain itu, dengan
membayar dalam bentuk natura daripada dalam bentuk kas, perusahaan telah
membantu pengawainya mengurangi pajak penghasilan pribadi mereka. Jadi, bila
sebuah mobil senilai Rp200.000.000 diberikan kepada manajer perusahaan, biaya
dari perusahaan akan sama dengan apabila gajinya dinaikkan dengan jumlah yang
sama. Akan tetapi, kenaikan gaji akan menambah kewajiban pajaknya, sedangkan
tunjangan kendaraan tidak.

Cara penghindaran pajak penghasilan pribadi ini dapat ditutup baik


dengan cara memasukkan pembayaran dalam bentuk natura ke dalam pajak
penghasilan pribadi atau melarang pengurangan biaya-biaya tersebut pada pajak
penghasilan badan. Cara yang dilakukan sekarang ini adalah jalan tengah dengan
membatasi pengurangan atas pembayaran dalam bentuk natura dan biaya
entertainment.

Aturan Penyusutan dan Waktu Penyusutan


Apakah dalam bentuk pajak perusahaan absolut atau integrasi berbentuk
partnership, laba kena pajak harus didedinisikan dan berbagai kesulitan harus
dihadapi dalam proses definisi ini. Permasalahan penyusutan adalah salah satu
permasalahan yang paling sulit dan paling penting

Karena pajak perusahaan adalah pajak atas laba bersih, semua biaya usaha
harus dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Dalam hal
pembayaran gaji dan upah atau pembelian bahan mentah, pengurangan dapat
dilakukan ketika pembayaran terjadi. Dalam hal investasi modal, pengurangan itu
dilakukan selama beberapa periode. Peraturan perundang-undangan harus
menentukan pada tarip berapa para investor diperbolehkan untuk memperoleh
kembali biaya investasi mereka. Kapan waktu perolehan kembali biaya modal
sangat penting karena nilai tunai dari kewajiban pajak berkurang ketika
penyusutan dibebankan. Pengurangan biaya modal memunculkan penghematan
pajak bagi investor, dan akan lebih besar bila biaya modal dikurangkan lebih
cepat. Oleh karena itu, nilai tunai dari pajak dan juga pengurangan atas
penghasilan tidak hanya bergantung pada tarip pajak tetapi juga pada kapan
pengurangan penyusutan diperbolehkan. Faktor-faktor ini melibatkn jangka
waktu penyusutan dibebankan dan kecepatan hasilnya dalam interval ini.

Lama Masa Manfaat. Jangka waktu periode di mana investasi dapat diperoleh
kembali atau penyusutan dibebankan pada umumnya telah ditetapkan sesuai

Dasar-dasar Keuangan Publik


177

dengan masa manfaat dari aset bersangkutan. Peraturan perpajakan telah


menetapkan patokan umur yang sejalan dengan praktik bisnis yang sehat,

Metode Penyusutan. Metode penyusutan yang diperbolehkan untuk dipakai


hanya dua metode yaitu metode garis lurus dan metode saldo menurun (declining
balance method). Bangunan harus disusutkan dengan menggunakan metode garis
lurus di mana jumlah yang sama sebesar C/n harus dihapuskan setiap tahun,
dengan C sama dengan nilai perolehan aset dan n adalah umur aset. Jadi, untuk
suatu aset yang bernilai Rp100.000.000 dengan masa umur selama 10 tahun, setiap
tahun sejumlah Rp10.000.000 boleh dikurangkan. Peralatan disusutkan dengan
menggunakan metode saldo menurun, dengan persentase sebesar dua kali tarip
garis lurus dikurangkan pada tahun dan persentase yang sama ini kemudian
diterapkan pada jumlah yang belum disusutkan setiap tahunnya. Dengan
demikian, sebesar Rp20.000.000 akan dikurangkan pada tahun pertama,
Rp16.000.000 akan dikurangkan pada tahun kedua, dan seterusnya. Ada satu
metode lagi yang tidak diperbolehkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan saat ini, yaitu metode jumlah angka tahun (sum-of-years-digits method); di
mana bagian yang dikurangkan pada setiap tahun sama rasio dari sisa tahun
terhadap jumlah angka tahun selama masa manfaat aset. Jadi, untuk suatu aset
dengan harga perolehan Rp100.000.000 dan masa manfaat selama 10 tahun, jumlah
angka tahunnya sama dengan 10 + 9 + 8 + 7 + 6 + 5 + 4 + 3 + 2 + 1 = 55. Beban
penyusutan tahun pertama adalah 10/55 dari Rp100.000.000 = Rp18.111.111; beban
untuk tahun kedua adalah 9/55 dari Rp100.000.000 = Rp16.363.636; dan
seterusnya.

Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini, nilai tunai dari
penyusutan yang paling tinggi apabila menggunakan metode penyusutan saldo
menurun daripada engan menggunakan metode garis lurus, dan perbedaan
semakin besar dengan semakin lamanya masa manfaat. Simpulan yang sama juga
berlaku apabila kita membandingkan metode jumlah angka tahun dengan metode
garis lurus. Bila kita membandingkan antara metode saldo menurun dengan
metode jumlah angka tahun, metode saldo menurun lebih menguntungkan pada
aset-aset berumur pendek dan metode jumlah angka tahun lebih menguntungkan
pada aset-aset yang berumur panjang.

Dasar-dasar Keuangan Publik


178

Nilai Tunai Penyusutan


(dalam Rupiah, Harga Perolehan Aset = Rp100,000)

Jumlah Angka
Masa Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun Tahun
(I) (II) (III) (IV)
DISKONTO 6 PERSEN
5 86.750 87.811 87.515
10 75.787 78.716 79.997
20 59.055 64.661 67.680
50 32.460 40.935 44.756
DISKONTO 10 PERSEN
5 79.534 81.100 80.614
10 64.469 68.528 70.099
20 44.663 51.539 54.697
50 20.806 28.829 31.439

Metode Penyusutan Ekonomis versus Metode Penyusutan Dipercepat

Tarif efektif dari pajak bergantung pada tarip nominal (sekarang 30 persen untuk
perusahaan) dan tingkat penyusutan yang diperbolehkan. Semakin cepat tingkat
penyusutannya, semakin rendah tarip efektif pajaknya. Ketika
mempertimbangkan suatu investasi, investor akan menimbang nilai tunai dari
arus laba bersihnya terhadap biaya perolehan dari aset. Nilai tunai ini sama
dengan nilai tunai dari arus laba sebelum pajak dikurangi dengan nilai tunai dari
pembayaran pajaknya. Nilai tunai dari pajak dapat dipandang sama dengan nilai
tunai dari pajak kotor (sebelum dikurangi dengan penyusutan yang
diperbolehkan) dikurangi dengan nilai tunai dari penghematan pajak karena
penyusutan. Jika komponen negatif ini menjadi semakin besar seperti yang
ditunjukkan pada tabel di ataas, pajaknya akan semakin turun, semakin cepat
penyusutan dilakukan. Hasilnya demikian karena nilai tunai dari penghematan
pajak akan semakin tinggi ketika penghematan pajak tersebut semakin cepat
terealisasi. Mempercepat penyusutan (baik dengan cara memperendek periode
penyusutan atau membolehkan menyusutkan jumlah yang besar pada awal-awal
masa guna aset) akan mengurangi tarip efektif pajak dengan menunda tanggal
jatuh tempo dari kewajiban pajak. Dari sudut pandang investor, percepatan ini
ekuivalen dengan pinjaman tanpa bunga, dengan nilai tunai dari penghematan
bunganya sama dengan nilai tunai dari penghematan pajak yang dihasilkan.

Netralitas Metode Penyusutan Ekonomis. Sudah terbukti bahwa penyusutan


yang cepat menguntungkan investor, terutama yang menginvestasikan pada aset-
aset yang berumur panjang. Bagaimana mengoreksi tarip penyusutan yang akan
memperlakukan semua investasi secara netral?

Bila hanya melihat satu investasi saja, hal ini tidaklah sulit. Pemerintah
akan mengalami kerugian dari semakin cepatnya penyusutan yang diperoleh oleh
wajib pajak dan oleh karenanya beban yang sama – yang didefinisikan sebagai

Dasar-dasar Keuangan Publik


179

nilai tunai dari pajak – dapat diberlakukan dengan berbagai kombinasi tarip pajak
dan tarip penyusutan. Suatu tarip pajak yang lebih rendah dan penyusutan yang
lebih lambat akan memberikan nilai tunai pajak yang sama dengan suatu tarip
pajak yang lebih tinggi dan penyusutan yang lebih cepat. Jika semua investasai
sama, tidak akan menjadi masalah kombinasi mana yang dipilih yang memberikan
kepada pemerintah arus pendapatan yang tertentu. Kesulitan akan muncul karena
investasi berbeda dalam jangka waktu dan keuntungan sehingga menghasilkan
pendapatan yang berbeda dalam berbagai kebijakan, padahal investasi-investasi
ini harus diperlakukan sama, baik dalam hal keadilan (investor dengan
penghasilan yang sama harus membayar pajak yang sama besar), maupun dalam
hal netralitas (pajak tidak boleh mendistorsi pola investasi). Pola penyusutan
seperti apa yang diperlukan untuk memastikan definisi penghasilan yang adil dan
netral?

Aset yang disusutkan, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat


dipandang sebagai menghasilkan dua arus penghasilan. Pertama adalah arus
penghasilan positif berupa laba, yang timbul dari penggunaan aset. Yang lainnya
adalah arus penghasilan negatif, yang ditimbulkan dari semakin memburuknya
kondisi aset dan penurunan nilai karena keusangan. Bila dijumlahkan, aset
tersebut memberikan arus laba bersih positif, nilai tunai yang menjadi nilai aset
tersebut. Aset dengan nilai tunai arus laba bersih yang sama harus mendapat
beban yang sama yang didefinisikan sebagai nilai tunai pajak.

Hal tersebut akan sesuai ketika penyusutan dibebankan sejalan dengan


pengurangan nilai aset, sehingga mengenakan pajak pada arus laba bersih yang
sebenarnya ketika diterima setiap tahun. Nilai berjalan dari aset pada setiap waktu
sama dengan nilai kapitalisasi dari arus penghasilan di masa depan yang
dihasilkannya. Oleh karena itu, penurunan dalam nilai berjalan sama dengan nilai
kapitalisasi dari penurunan arus penghasilan, yang adalah biaya modal atau
penyusutan ekonomis yang harus dibebankan bersama-sama dengan biaya lain
dalam menghitung laba bersih.

Dalam hal penyusutan pajak sama dengan penyusutan ekonomis,


pengenaan pajak akan mengurangi nilai dari arus laba bersih sebesar persentase
tarip pajak yang berlaku. Tarip efektifnya akan sama dengan tarip nominal atau
tarip yang berlaku dan tarip ini independen terhadap umur aset dan karenanya
tidak akan mendistorsi pilihan investasi di antara mereka. Jika penyusutan
diperbolehkan dengan tarip percepatan, investasi yang lebih lama akan mendapat
keuntungan terbanyak dan juga mendapat manfaat dari tarip pajak efektif yang
lebih rendah. Oleh karenanya, pilihan-pilihan investasi akan terdistorsi dan lebih
banyak modal akan mengalir ke arah tersebut. Hal sebaliknya akan terjadi bila
tarip penyusutan yang diperbolehkan lebih rendah daripada tarip ekonomis.

Dengan demikian, ada alasan kuat untuk menggunakan penyusutan


ekonomis. Akan tetapi, walaupun prinsipnya jelas, penerapannya tidak mudah.
Peralatan modal modern tidak aus secara seragam dan juga menjadi usang
sebelum sempat digunakan sepenuhnya. Tingkat keusangan akan berbeda dan
tidak dapat diprediksi. Oleh karena itu, cara yang terbaik yang dapat dilakukan
adalah memakai masa guna seperti yang biasa dipakai dalam praktik bisnis dand

Dasar-dasar Keuangan Publik


180

dengan asumsi bahwa masa guna yang dipercepat merupakan masa guna
sebenarnya dan jejak waktu dari arus penghasilannya.

Tarip Pajak yang Efektif. Berdasarkan diskusi sebelumnya, tampaklah jelas


bahwa tingkat tarip nominal dan perubahannya bukanlah indikator yang cukup
atas tingkat tarip efektif. Tarip efektif ditentukan dengan cara menghitung (rb – ra)
/ rb, di mana rb adalah tingkat pengembalian sebelum pajak dan ra adalah tingkat
pengembalian setelah pajak. Dengan demikian, tarip efektif sama dengan
persentase pengurangan dalam pengembalian modal karena pajak. Tarip ini
bergantung pada tarip pajak yang berlaku dan tarip penyusutan.

Investasi Tunggal versus Investasi Berkelanjutan. Dalam diskusi sebelumnya,


kita membahas pengaruh dari penyusutan yang dipercepat terhadap tingkat
pengembalian bersih dari investasi tunggal. Untuk investasi seperti itu, yang
dilakukan sekali dan kemudian selesai, penyusutan yang dipercepat tidak
mengurangi jumlah total pajak yang akan dibayarkan. Kewajiban pajaknya
berkurang pada tahun-tahun awal dan bertambah pada tahun-tahun akhir.
Labanya (ekuivalen dengan pinjaman bebas bunga) timbul dari penangguhan
pajak sekali, di mana pemerintah kehilangan pendapatan pada tahun-tahun awal
dan mendapatkan kembali pendapatan tersebut pada tahun-tahun terakhir.

Untuk investasi yang berkelanjutan, kejadiannya tidak sama. Misalkan bahwa


suatu aset diganti ketika semakin usang sedemikian rupa sehingga dasar yang
akan disusutkan tidak berubah. Wajib pajak mendapat keuntungan dari
penundaan (dan kerugian bagi Pemerintah) dan nilai sepanjang tahun-tahun awal
dan kemudian akan rata. Pada tahun-tahun awal, kerugian pendapatan
pemerintah akan berakhir tetapi tidak ada perolehan kembali kerugian awal
selama reinvestasi terus-menerus berlangsung. Perolehan kembali baru terjadi
setelah reinvestasi berakhir. Ada juga kasus di mana suatu perusahaan terus-
menerus meningkatkan aset-asetnya yang dapat disusutkan. Jika penyusutannya
cukup cepat dan ekspansinya cukup tajam, perusahaan seperti ini dapat menunda
pembayaran pajak selamanya. Semua pembayaran dapat dihindari dan tanpa
terjadi perolehan kembali.

Pembebanan Sekaligus
Biaya gaji dan pembelian bahan dikurangkan ketika terjadi investasi. Biaya-biaya
ini langsung dibebankan pada biaya investasi. Apa yang akan terjadi bila hal yang
sama juga dilakukan terhadap pengeluaran modal, yaitu bila percepatan
dilakukan sampai titik ekstrem dan biaya investasi dibebankan ketika terjadi?
Seorang investor yang melakukan investasi tunggal mungkin tidak akan dapat
memanfaatkan penghapusan segera tersebut. Investor tersebut mungkin tidak
dapat merealisasikan penghematan pajak (tax savings) sampai diperoleh
pendapatan (laba) yang cukup di mana penyusutan akan dibebankan. Misalkan
suatu perusahaan memiliki penghasilan dari investasi lain yang dapat digunakan
untuk pembebanan tersebut, investor tidak perlu membayar pajak dan pemerintah
tidak memperoleh pendapatan pajak.

Dasar-dasar Keuangan Publik


181

Untuk mengetahui mekanisme ini, misalkan kita menginvestasikan uang


Rp100 juta pada aset A dan segera membebankannya sebagai penyusutan sebesar
Rp100 juta. Karena kita belum mendapatkan penghasilan dari A, kita menderita
kerugian sebesar Rp100 juta. Kemudian kita membebankan kerugian ini pada laba
dari aset B, sehingga mengurangi kewajiban pajak dari penghasilan aset B. Dengan
tarip pajak 30%, penghematan pajaknya akan sebesar Rp30 juta. Kita kemudian
menambahkan sejumlah ini ke dalam investasi anda pada A, membebankan
tambahan Rp30 juta sebagai penyusutan, mendapatkan penghematan pajak
sebesar Rp9 juta, dan seterusnya. Bila kegiatan serial ini diulangi terus-menerus,
kita akan berakhir dengan investasi pada A sebesar Rp100 juta + 0,30 x Rp100 juta
+ 0,302 x Rp100 juta . . . . = Rp142,857 juta. Kita harus membayar suatu pajak
dengan tarip 30 persen penghasilan kita dari Rp142,857 juta dalam investasi pada
A, membuat posisi kita sama dengan menginvestasikan Rp100 juta tanpa pajak.
Penyusutan segera dengan reinvestasi secara kontinyu dari penghematan pajak
yang didapat membatalkan pajak.

Kebijakan yang dilaksanakan tidak akan sejauh ini. Aturan hukum


biasanya hanya membolehkan sebagian (misalnya sepertiga) dari biaya investasi
yang dapat diperoleh kembali dengan penyusutan segera. Dalam hal ini, hanya
sepertiga dari pajak yang akan dihapuskan. Pendekatan ini sering disebut sebagai
cadangan awal (initial allowance) yang merupakan cara yang netral dalam
memberikan insentif investasi. Suatu sistem yang membolehkan sebagian dari
pajak dibiayakan dan menyusutkan sisanya sesuai dengan penyusutan secara
ekonomis akan netral antara investasi jangka pendek dan jangka panjang.

Penyesuaian terhadap Inflasi


Dengan harga yang selalu naik, perolehan kembali investasi dengan berdasarkan
harga perolehan tidak akan memberikan penghematan pajak yang cukup untuk
menjaga modal perusahaan dalam nilai riilnya. Akibatnya, penghasilan kena pajak
terlalu besar, menimbulkan kenaikan tarif efektif pajak yang tersembunyi, bila
diukur dalam nilai riil. Hal ini sangat relevan terutama dalam periode inflasi
tinggi.

Untuk menghilangkan permasalahan ini dan untuk mengatasi


permasalahan inflasi dengan benar, dua solusi tersedia: (1) basis penyusutan dapat
diindeks untuk naik sesuai dengan biaya penggantian; (2) seluruh penyusutan
dapat dilakukan pada tahun pertama sehingga menghilangkan pengaruh inflasi.

Investment Tax Credit


Di Amerika Serikat, pada dua dekade sebelum reformasi pajak tahun 1986, kredit
pajak investasi (investment tax credit) merupakan alat insentif yang utama. Pertama
kali diperkenalkan tahun 1964, suatu kredit pajak diperbolehkan atas sebagian
(pada tahun 1985 sebesar 10%) dari biaya investasi yang dikualifikasikan. Jadi,
seorang investor yang membeli aset dengan harga Rp100 juta dapat
memperolehnya pada biaya perolehan bersih sebesar Rp90 juta. Investasi yang
dikualifikasikan untuk kredit pajak tersebut adalah semua aset yang dapat
disusutkan kecuali gedung.

Dasar-dasar Keuangan Publik


182

Bagaimana kedua alat insentif, kredit investasi dan penyusutan


dipercepat, dapat diperbandingkan? Kredit investasi sama dengan penyusutan
dipercepat dalam hal keduanya dapat digunakan untuk mengurangi pajak, tetapi
mekanismenya berbeda. Bedanya dengan penyusutan dipercepat, kredit investasi
tidak hanya merupakan alat penunda pajak, tetapi juga alat yang memberi hak
untuk pengurangan pajak. Untuk suatu investasi tertentu dengan lama masa
manfaat tertentu, dimungkinkan untuk merancang penyusutan yang dipercepat
dan provisi kredit yang menghasilkan nilai tunai yang sama kepada investor.
Akan tetapi, kedua pendekatan itu berbeda diantara berbagai investasi.
Penyusutan dipercepat lebih tepat untuk investasi jangka panjang, sedangkan
kredit pajak memberikan keuntungan bagi aset berumur pendek. Aset yang
berumur lebih pendek dapat diganti lebih sering sehingga dapat dimungkinkan
untuk mendapatkan kredit pajak lebih sering lagi.

Siapa Yang Menanggung Beban Pajak?


Sebagian besar ekonom memandang beban pajak penghasilan badan jatuh
kepada modal, sesuai dengan model kompetitif. Para pebisnis sering memiliki
pandangan berbeda dan memandang pajak sebagai biaya yang harus dipindahkan.
Pandangan ekonomis adalah pandangan yang tepat bila diasumsikan bahwa
semua pasar beroperasi untuk memaksimalkan laba. Akan tetapi, jika perusahaan
berada dalam situasi monopoli, yang penjualan bukannya laba yang
dimaksimalkan, atau aturan harga lainnya yang berubah, perusahaan akan
berusaha memindahkan beban pajak dengan harga yang lebih tinggi. Demikian
juga, bila pasar tenaga kerja tidak sempurna, pajak yang tinggi dapat dicerminkan
dalam permintaan yang lebih terbatas dalam perundingan dengan manajemen dan
oleh karenanya dapat dipindahkan bebannya kepada tenaga kerja.

Hasilnya bergantung pada struktur dan tingkah laku pasar yang ada.
Beberapa struktur industri sering terjadi apa yang disebut administered pricing,
yaitu penentuan harga bukan berdasarkan mekanisme pasar. Pemindahan beban
dengan cara penyesuaian administered pricing (dibedakan dengan pemindahan
beban karena perpindahan faktor dan perubahan pasokan faktor dalam pasar yang
kompetitif) tidak dapat dianggap tidak ada. Hal yang sama juga berlaku pada
pasar tenaga kerja yang terorganisir.

Ada banyak usaha pada tahun-tahun terakhir untuk memberikan bukti


tentang ini. Jika tarip pajak perseroan berbeda antar industri, masalahnya akan
cukup sederhana. Beberapa pandangan dapat diperoleh dari memeriksa
perubahan-perubahan harga yang terjadi dan membandingkan posisi-posisi relatif
beberapa sektor sebelum dan sesudah perubahan pajak. Hal ini tidak dapat
dilaksanakan dalam dunia nyata karena pajak diterapkan pada semua perseroan
dengan tarip efektif yang sama. Demikian juga, pembandingan antara tingkat
pengembalian dari investasi pada perseroan dan non-perseroan sulit dilakukan
karena ketidaktersediaan data pada usaha-usaha non-perseroan. Kemungkinan
yang tersisa adalah mempelajari pengalaman sektor perusahaan dan bagaimana
berbagai komponen dalam sektor perusahaan menanggapi pajak, termasuk tingkat
pengembalian dari pemegang saham perusahaan, bagian laba perusahaan dalam
nilai tambah pada sektor perusahaan, dan marjin laba perusahaan. Pendekatan

Dasar-dasar Keuangan Publik


183

inipun tidak dapat menghasilkan pandangan yang cukup jelas karena perubahan
tarip pajak tidak berlangsung secara sering.

Hasil penelitian di Amerika Serikat tentang perubahan tarip pajak dalam


rangka menguji adanya pemindahan beban pajak menunjukkan hasil yang
berbeda-beda dan konsisten dengan kedua hipotesa pemindahan dan non-
pemindahan. Hal ini terjadi karena banyaknya faktor-faktor non-pajak yang
mempengaruhi hasil penelitian sehingga penelitian tidak dapat menunjukkan
siapa sebenarnya yang menanggung beban pajak.

Pendekatan lain untuk mengukur adanya pemindahan beban pajak adalah


dengan menggunakan pendekatan ekonometrika, yang dirancang untuk
mengisolasi pengaruh pajak penghasilan perseroan. Berbagai studi telah
dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir, akan tetapi masalah ini masih
kontroversial. Satu jenis penelitian menggunakan model bahwa tingkat
pengembalian perusahaan adalah suatu fungsi dari berbagai variabel yang telah
ditentukan sebelumnya, seperti tingkat permintaan konsumen, utilisasi kapasitas,
pengeluaran publik, dan tarip pajak perusahaan. Dengan memasukkan tarip pajak
perusahaan, para analis berharap menggunakan koefisien regresi dari variabel ini
untuk mengukur pengaruh perubahan tarip pada tingkat pengembalian. Beberapa
studi mengindikasikan adanya pemindahan beban pajak yang cukup tinggi,
sehingga mengarahkan kepada hipotesa pemindahan beban pajak. Beberapa studi
lainnya mengindikasikan hasil yang sebaliknya. Analisis ekonometrik tidak
mampu secara bulat memisahkan pengaruh pajak dari beberapa perubahan yang
terjadi secara bersamaan dalam pengeluaran publik, kondisi ekonomi dan faktor-
faktor lain. Pada kenyataannya, tarip pajak itu sendiri merupakan konsep yang
kompleks. Dan juga, yang terpenting adalah tarip pajak efektif bukannya tarip
pajak nominal. Tarip pajak efektif ini bergantung pada aturan penyusutan, kredit
investasi, tingkat inflasi, dan berbagai faktor yang tidak dapat dinilai dengan jelas.
Teknik ekonometrik yang lebih baik dikombinasikan dengan penggunaan data
yang kurang agregatif mungkin dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Pajak Penghasilan Badan Untuk Usaha Kecil Dan Menengah

Haruskah tarip pajak bagi UKM berbeda?


Alasan pengenaan tarip pajak progresif untuk pajak penghasilan wajib pajak
pribadi tidak dapat diterapkan pada sektor perusahaan. Perusahaan tidak
memiliki kemampuan untuk membayar seperti halnya yang dimiliki individu dan
beban pajak pada akhirnya ditanggung oleh individual. Tidak ada hubungan
positif antara ukuran usaha perusahaan dan laba bersih pemiliknya. Banyak
perusahaan kecil dimiliki oleh individu-individu berpenghasilan tinggi dan
sebagian besar dividen yang dibayarkan oleh perusahaan diterima oleh individu-
individu dengan penghasilan menengah.

Jika tarip pajak akan ditetapkan progresif maka harus didasarkan pada
alasan-alasan lain, seperti menahan ukuran bisnis sehingga tidak terlalu besar atau
mendukung usaha-usaha kecil. Jika tujuan menahan ukuran bisnis yang

Dasar-dasar Keuangan Publik


184

ditetapkan, pajak yang progresif dapat diberlakukan tetapi diterapkan pada


ukuran usaha (ukuran aset) dan bukannya tingkat laba. Akan tetapi tujuan ini pun
dapat dipertanyakan, karena pada umumnya perusahaan-perusahaan ukuran
menengah dan besar lebih efisien daripada usaha kecil, walaupun sedikit sekali
bukti bahwa ukuran usaha yang besar diperlukan untuk mencapai efisiensi.

Walaupun demikian, keringanan pajak untuk usaha-usaha kecil selalu


menjadi perbincangan politik yang penting. Posisi ini dapat dipandang benar
untuk mengurangi kemampuan perusahaan-perusahaan besar untuk beroperasi
pada pasar-pasar modal yang tidak sempurna dan mendapat manfaat dari praktik-
praktik monopolis. Selain itu, ada pandangan yang selalu ada bahwa memelihara
usaha-usaha kecil yang diinginkan secara sosial walaupun tidak efisien.

Bantuan kepada UKM


Pilihan partnership. Untuk menghilangkan penerapan pajak berganda bagi usaha
kecil berbentuk perusahaan, ada aturan khusus bahwa usaha-usaha kecil sampai
dengan ukuran aset atau ukuran penjualan tertentu boleh dipajaki sebagai suatu
partnership. Perusahaan kecil ini dipandang sebagai mekanisme melewatkan beban
pajak, suatu penerapan integrasi yang sempurna.

Tarip awal yang rendah. Pemerintah dapat pula memberikan bantuan kepada
UKM dengan mengenakan tarip awal pajak yang rendah. Penggunaan tarip awal
yang rendah tidak banyak manfaatnya bagi usaha-usaha besar. Walaupun tarip
awal yang rendah ini dapat digunakan oleh wajib pajak pribadi untuk mengurangi
pajaknya. Hal ini dapat dihindari dengan membuat aturan pajak berbeda untuk
wajib pajak pribadi. Permasalahan lain yang dapat muncul adalah aturan ini dapat
dimanfaatkan oleh perusahaan besar dengan memecahnya menjadi unit-unit kecil
dengan melakukan spin off. Permasalahan ini dapat diatasi dengan memberikan
penalti kepada suatu perusahaan holding yang memiliki banyak anak perusahaan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


185

B A B XVIII

PAJAK ATAS KONSUMSI

ajak penjualan mirip dengan pajak penghasilan karena dikenakan pada

P arus yang diciptakan oleh produksi output. Bila pajak penghasilan


dikenakan pada sisi penjual dari faktor-faktor produksi (misalnya, atas
penghasilan yang diterima oleh rumah tangga) maka pajak penjualan dikenakan
pada sisi penjual dari transaksi produksi (misalnya atas penjualan yang dilakukan
perusahaan), dengan angka penjualan diukur dalam ukuran unit produk atau
penerimaan kotor. Pajak penjualan atas barang konsumsi dapat dipandang
ekuivalen dengan pajak yang dikenakan atas pembelian-pembelian rumah tangga.
Bila pajak penghasilan didasarkan pada sisi sumber pada rumah tangga maka
pajak penjualan didasarkan pada sisi penggunaan. Dalam pajak umum atas
barang-barang konsumsi, semua penggunaan dikenakan kecuali untuk menabung.

Hal yang paling penting adalah pajak penjualan berbeda dari pajak
penghasilan dalam hal pajak ini merupakan pajak in rem bukannya pajak pribadi.
Oleh karenanya, dalam pajak penjualan tidak membolehkan situasi-situasi pribadi
konsumen sebagaimana halnya dalam pajak penghasilan individu dengan aturan-
aturan pengecualian, pengurangan, dan tarip progresif. Oleh karena itu, pajak
penjualan inferior baik dalam hal keadilan vertikal maupun keadilan horizontal.

Jenis Pajak Atas Konsumsi Di Indonesia


Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Pajak atas konsumsi yang pertama kali berlaku di Indonesia adalah Pajak
Penjualan (PPn) yang mulai diberlakukan sejak tahun 1951. Proses penggantian
Pajak Penjualan menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
Barang Mewah (PPnBM) merupakan salah satu rangkaian perombakan sistem
perpajakan nasional sebagai Reformasi Perpajakan tahun 1983 dan mulai berlaku
sejak tanggal 1 April 1985.

Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1984, yang telah

Dasar-dasar Keuangan Publik


186

mengalami perubahan-perubahan yang terakhir diubah dengan Undang-Undang


Nomor 18 tahun 2000. PPN merupakan pajak konsumsi yang dikenakan atas
konsumsi barang-barang dan jasa-jasa tertentu di dalam negeri (di dalam Daerah
Pabean). Selain itu, untuk konsumsi barang-barang tertentu yang dikelompokkan
sebagai barang mewah di dalam negeri, selain dikenakan PPN juga dikenakan
PPnBM. Khusus untuk PPnBM hanya dikenakan satu kali ketika dijual oleh
pabrikan atau ketika diimpor.

Tidak semua konsumsi barang dan jasa dikenakan pajak. Jenis barang
yang tidak dikenakan PPN adalah:
- Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya.
- Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak.
- Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung dan sejenisnya.
- Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Jasa-jasa yang tidak dikenakan PPN cukup banyak, seperti jasa pelayanan
kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa
keuangan, jasa keagamaan, jasa pendidikan dan lain-lain.

Cukai
Cukai adalah pungutan atau pajak yang dikenakan terhadap konsumsi barang-
barang tertentu. Pada prinsipnya, cukai adalah pajak atas konsumsi, seperti pajak
penjualan, tetapi hanya dikenakan pada barang-barang tertentu seperti tembakau,
gula, bensin dan minuman keras. Cukai merupakan hak atas pemerintah pusat.

Pajak Konsumsi di Daerah


Jenis pajak konsumsi lainnya diberlakukan pada tingkatan daerah dengan
besarnya tarip pajak bergantung pada peraturan masing-masing daerah. Pajak-
pajak ini diantaranya Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame dan Pajak Parkir.

Bahasan-Bahasan Dalam Pajak Atas Konsumsi


Pajak penjualan, seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, terdiri
dari beberapa jenis, termasuk definisi basis pajak, cakupan dan saat
pengenaannya.

Pajak per Unit versus Pajak atas Nilai (Ad Valorem)


Pembedaan lebih lanjut dalam pajak penjualan adalah pajak yang dikenakan
berdasarkan unit produk dan pajak yang dikenakan atas nilai produk. Sebagian
besar cukai atau pajak penjualan atas produk-produk tertentu dikenakan
berdasarkan unit produk, misalnya pajak atas bahan bakar minyak, cukai
tembakau dan cukai minuman keras. PPN dan PPnBM merupakan contoh pajak
penjualan yang dikenakan berdasarkan ad valorem. Di antara dua basis ini, bentuk

Dasar-dasar Keuangan Publik


187

ad valorem lebih berarti daripada bentuk per unit, seperti yang telah dibahas dalam
bab-bab sebelumnya.

Ruang Lingkup Cakupan Pajak Penjualan Umum


Pajak-pajak penjualan umum dapat berbeda dalam cakupan pengenaannya.
Apakah pajak-pajak tersebut mencakup semua transaksi ataukah basisnya sama
dengan GNP ataukah hanya konsumsi saja yang dapat dimasukkan?

Inferioritas Basis Transaksi. Pajak berdasarkan perputaran (turnover tax) yang


dikenakan pada jumlah total seluruh transaksi adalah pajak yang paling tidak
diinginkan untuk diterapkan. Dalam pajak jenis ini, suatu produk dikenakan pajak
berkali-kali sejalan dengan pergerakannya sepanjang tahapan produksi. Misalnya,
penjualan biji besi dikenakan pajak ketika biji besi tersebut berpindah dari
tambang ke pabrik baja, kemudian penjualan besi baja dikenakan pajak ketika besi
baja berpindah dari pabrik baja ke pabrik produksi lembaran baja, penjualan
lembaran baja dikenakan pajak ketika lembaran baja berpindah dari pabrik
produksi lembaran baja ke pabrik mobil, dan seterusnya sampai pajak terakhir
dikenakan pada penjualan mobil eceran. Akibatnya, basis pajaknya akan
berjumlah beberapa kali lipat dari GNP dan hasil pajak yang besar akan
didapatkan hanya dengan pengenaan tarip pajak yang rendah. Dengan GNP
Indonesia yang diperkirakan sebesar sebesar Rp1180 trilyun misalnya, penerapan
pajak berdasarkan perputaran yang komprehensif sebesar 1% akan menghasilkan
pendapatan pemerintah sebesar Rp46 trilyun, atau sepertiga hasil dari pajak
penghasilan.
Prosedur seperti ini mempunyai daya tarik karena kemampuannya
menghasilkan pajak yang besar dengan penerapan tarip yang kecil. Memasukkan
seluruh transaksi akan tidak menimbulkan permasalahan bila setiap produk
melalui jumlah transaksi yang sama sehingga persentase total kewajiban pajak
berdasarkan perputaran terhadap nilai pada penjualan akhir akan sama. Dalam
kenyataannya, setiap produk tidak melalui jumlah transaksi yang sama.

Dengan demikian, pajak berdasarkan perputaran menimbulkan


diskriminasi pengenaan pajak terhadap produk-produk yang harus melalui
banyak tahapan produksi dan distribusi. Selain itu, untuk menghindari pajak,
perusahaan-perusahaan akan bergabung dengan para pemasok mereka, sehingga
mendorong timbulnya integrasi vertikal yang pada gilirannya akan mengurangi
kompetisi. Atas dasar inilah, pajak berdasarkan perputaran dipandang sebagai
bentuk pajak yang inferior. Bahkan beberapa negara Eropa telah menggantikan
bentuk pajak ini dengan pajak pertambahan nilai yang menunjukkan inferioritas
pajak atas perputaran ini.

Basis GNP versus Basis Penghasilan atau Konsumsi. Dengan pertimbangan


bahwa pengenaan ganda seperti yang dibahas dalam basis transaksi harus
dihindari, pilihan basis pajak yang tersisa adalah GNP (Pendapatan Nasional) atau
konsumsi. Pada umumnya, pajak penjualan yang dikenakan di berbagai negara
berbasiskan konsumsi.
Pajak penjualan jenis GNP akan mengenakan pajak penjualan atas barang-
barang konsumsi dan barang-barang produksi. Dengan demikian, basis ini akan

Dasar-dasar Keuangan Publik


188

sama dengan yang dipakai dalam pajak atas penghasilan kotor, dalam hal ini
penghasilan sebelum perhitungan penyusutan. Pajak jenis ini memiliki kelemahan
dalam hal keadilan dan efisiensi. Dalam hal keadilan, pajak ini akan melanggar
prinsip dasar pajak penghasilan yang menyatakan bahwa penghasilan dari semua
sumber harus dikenakan pajak sepenuhnya, tetapi dalam jumlah netonya. Dalam
hal efisiensi, pajak ini akan memberikan perlakuan diskriminatif yang
mengecualikan penghasilan yang ditabung (tidak dikonsumsikan) yang dalam
pajak penghasilan tidak dikecualikan.

Kelemahan ini akan hilang bila pajak hanya dikenakan pada basis yang
sama dengan Pendapatan Nasional atau GNP dikurangi dengan pajak-pajak tidak
langsung dan penyusutan. Pajak seperti ini akan memiliki basis yang sama dengan
pajak penghasilan dan dapat diselenggarakan dengan menggunakan pajak
pertambahan nilai jenis penghasilan. Karena basis penghasilan telah digunakan
dalam pajak pribadi dengan pengenaan pajak penghasilan, satu-satunya basis
yang tersisa sebagai kandidat basis pajak adalah basis konsumsi. Basis inilah yang
paling banyak digunakan dalam pajak penjualan.

Pajak Konsumsi Komprehensif versus Pajak Konsumsi Tertentu. Pajak


penjualan umum atau eceran bertujuan mengenakan pajak yang mencakup
seluruh konsumsi secara komprehensif. Dengan pengeluaran konsumsi sebesar
Rp1.170 trilyun, pajak penjualan yang komprehensif sebesar 10% akan
menghasilkan pendapatan negara sebesar Rp117 trilyun. Akan tetapi jumlah
dalam basis ini akan berkurang karena beberapa konsumsi tertentu dikecualikan
dari pengenaan pajak penjualan, seperti konsumsi perumahan (sewa rumah dan
imputed-rent bagi pemilik rumah), konsumsi makanan rumah, jasa kesehatan dan
lain-lain.

Tahap Pengenaan
Keputusan mengenai tahap pengenaan melibatkan pilihan tahapan mana yang
terbaik bagi pengenaan pajak satu kali dan pilihan mengenakan pajak satu kali
atau beberapa kali. Bilamana penetapan cakupan pajak merupakan hal yang
substantif dalam menentukan jenis pajak yang akan diberlakukan, pemilihan
tahap pengenaan lebih merupakan masalah administratif dalam rangka efisiensi
penerapan pajak atas basis yang dipilih.

Saat Produksi versus Saat Penjualan Eceran. Bila menggunakan pajak yang
dikenakan satu kali, pilihan pengenaan pajak biasanya antara saat selesai produksi
atau saat dijual secara eceran kepada konsumen.

Jika pajaknya bersifat umum, pengenaan pada saat penjualan eceran lebih
baik karena memungkinkan pengenaap tarip ad valorem yang seragam. Pengenaan
pajak ad valorem dengan tarip yang sama pada tingkatan produksi menghasilkan
tarip ekuivalen yang tidak sama dengan pengenaan pada tingkatan penjualan
eceran, karena rasio harga eceran terhadap harga produksi berbeda-beda untuk
berbagai produk. Pengenaan tarip yang berbeda untuk menghilangkan perbedaan
ini akan sangat sulit dan merupakan cara yang tidak seefisien dan seefektif
pengenaan pajak pada tingkatan penjualan eceran.

Dasar-dasar Keuangan Publik


189

Jika pajak akan dikenakan secara selektif, jawaban atas pertanyaan


tahapan pengenaan akan lebih tidak jelas lagi. Jika produknya diidentifikasi pada
tahapan produksi, misalnya mobil murah atau televisi, akan lebih menguntungkan
mengenakan pajak pada tahapan ini, karena pengenaan pajak secara selektif pada
tingkatan eceran akan sangat sulit. Dalam situasi lain (misalnya bahan kain yang
digunakan untuk pakaian mewah atau pakaian murah), identifikasi produk tidak
memungkinkan. Pembedaan dalam situasi ini lebih berkaitan dengan sifat dari
produk final pada tahapan penjualan eceran. Walaupun demikian, pandangan
umum lebih condong kepada pengenaan pada tahapan penjualan eceran untuk
diterapkan pada pajak penjualan umum dan tidak begitu sering digunakan pada
pajak-pajak penjualan selektif.

Di negara-negara berkembang, pengenaan pajak pada tahapan produksi


lebih menguntungkan karena cara ini akan mengurangi jumlah pembayar pajak
yang harus ditagih pajaknya sehingga mempermudah administrasi. Selain itu,
badan-badan usaha produksi cenderung lebih besar, lebih permanen, dan lebih
memiliki pembukuan yang baik daripada badan-badan usaha eceran.
Karakteristik-karakteristik ini memperbaiki kualitas untuk tujuan perhitungan
pajak. Negara-negara berkembang dapat memperoleh hasil yang lebih baik
dengan pajak penjualan yang dikenakan pada tahapan produksi karena jumlah
titik penagihan pajak yang lebih sedikit, walaupun hal ini menimblkan dampak
yang berbeda pada tingkatan penjualan eceran.

Saat Penjualan Eceran versus Pertambahan Nilai. Pertanyaan lebih lanjut adalah
apakah pajak harus dikumpulkan dalam satu kali pengenaan dan pada titik
penjualan final atau apakah dikumpulkan secara bertahap dengan menggunakan
prosedur nilai tambah. Dengan cara kedua, nilai produk dibagi dalam potongan-
potongan (nilai tambah pada setiap tahapan) di mana pajak dikenakan pada
tahapan-tahapan sepanjang proses produksi. Walaupun ada perbedaan dalam
teknik, basis nilai tambah dari pajak penjualan jenis konsumsi sama dengan basis
penjualan eceran, hanya cara penagihannya yang berbeda. Pemilihan keduanya
lebih didasarkan pada kemudahan administrasi. Penggunaan pendekatan
beberapa tahapan dalam konteks pertambahan nilai harus dibedakan dengan yang
sebelumnya dibahas dalam diskusi tentang pajak atas perputaran

Pajak Pertambahan Nilai


Menurut sudut pandang ekonom, pajak pertambahan nilai yang
diselenggarakan dengan benar akan ekuivalen dengan penerapan pajak dalam
satu tahapan. Pajak pertambahan nilai bentuk pajak yang baru seperti pajak
pengeluaran, pajak ini hanyalah pajak penjualan yang diadministrasikan dengan
cara berbeda.

Nilai akhir sebagai Agregat dari Pertambahan Nilai


Mari kita lihat suatu produk, misalnya sepatu. Dengan menelusuri ke berbagai
tahapan produksi, kita akan mulai dengan peternak yang menjual kulit hewan
kepada penyamak, penyamak menjual kulit bahan sepatu kepada produsen

Dasar-dasar Keuangan Publik


190

sepatu, produsen sepatu menjual sepatu kepada distributor utama, distributor


utama menjual sepatu kepada toko eceran, yang akhirnya akan menjual sepatu
tersebut kepada konsumen. Pada setiap tahapan, nilai barang meningkat dan
harga jual juga meningkat sejalan dengan peningkatan nilai tersebut. Setiap
kenaikan harga menunjukkan tambahan nilai pada setiap tahapan, dengan nilai
atau harga final dari produk tersebut sama dengan jumlah kenaikan atau
pertambahan nilai pada seluruh tahapan. Suatu pajak yang dikenakan pada
pertambahan nilai akan identik basisnya dengan suatu pajak yang dikenakan pada
nilai final dari produk tersebut.

Jenis Pajak Pertambahan Nilai


Ada tiga jenis pajak pertambahan nilai sesuai dengan basis GNP, NNP, dan
konsumsi, tetapi hanya jenis konsumsi yang dapat diterapkan secara praktis.
Jenis GNP. Anggaplah bahwa semua barang dan jasa final yang diproduksi dan
dijual dalam suatu periode, yaitu GNP, menjadi subyek pajak penjualan umum.
Pajak tersebut akan diberlakukan baik pada barang konsumsi maupun barang
modal. Pajak ini akan dibayarkan oleh penjual ketika produk dijual kepada
pembeli terakhir, baik oleh konsumen rumah tangga, oleh suatu perusahaan untuk
menambah persediaan barangnya, atau oleh suatu perusahaan untuk pembelian
barang-barang modal. Dengan GNP sebesar Rp1.170 trilyun, pajak dengan tarip
5% yang mencakup semua barang tersebut akan menghasilkan Rp58,5 trilyun
pendapatan pajak bagi negara. Jumlah yang sama dapat diperoleh dengan
menggunakan pendekatan nilai tambah, mengenakan pajak kepada setiap penjual
dengan tarip 5 persen dari nilai tambah, yaitu penerimaan kotor dikurangi dengan
biaya pembelian barang setengah jadi dari produsen sebelumnya dalam lini
produksi. Basis pajak pada setiap tahapan akan sama dengan penyusutan, pajak,
bunga, laba dan biaya-biaya. Pajak ini akan merupakan bentuk yang paling
komprehensif dari pajak pertambahan nilai dan dapat disebut sebagai pajak
pertambahan nilai jenis GNP. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pajak
ini ekuivalen dengan pajak penjualan yang diterapkan pada barang konsumsi dan
barang modal.

Jenis Penghasilan. Pendekatan nilai tambah ini, seperti yang telah dibahas
sebelumnya, juga dapat digunakan untuk menyelenggarakan pajak penjualan
pada produk neto. Anggaplah tujuannya adalah mengenakan pajak pada NNP,
yang sama dengan GNP dikurangi cadangan untuk konsumsi modal atau
penyusutan. Pajak seperti ini dapat dikenakan dalam bentuk beberapa tahapan
dengan mengenakan pajak pada nilai bersih yang ditambahkan oleh setiap
perusahaan, dengan nilai bersih didefinisikan sebagai penerimaan kotor dikurangi
nilai bersih dari barang setengah jadi dan penyusutan. (Catatan: Pajak ini tidak
dapat dikenakan sebagai pajak atas total nilai bersih dari barang pada saat
penjualan terakhir dilakukan karena prosedur ini mengharuskan pencatatan biaya-
biaya penyusutan yang dibebankan oleh semua produsen sepanjang lini produksi.
Jadi, hanya pendekatan nilai tambah yang layak digunakan apabila pajak
penjualan akan dikenakan pada produk neto). Hasil yang sama dapat diperoleh
dengan menerapkan pajak penghasilan umum karena basis suatu pajak produk
neto dan pajak penghasilan pada dasarnya sama. Pajak pertambahan nilai jenis
penghasilan berbeda dari jenis konsumsi dalam hal jenis penghasilan

Dasar-dasar Keuangan Publik


191

membolehkan perusahaan mengurangkan penyusutan sedangkan jenis konsumsi


membolehkan perusahaan mengurangkan investasi bruto, yaitu pembelian
barang-barang modal.

Jenis Konsumsi. Basis untuk pajak pertambahan nilai jenis ini didefinisikan
sebagai pendapatan bruto perusahaan dikurang nilai dari seluruh pembelian
produk-produk setengah jadi (bahan mentah dan barang dalam proses) dan juga
pengeluaran modalnya atas pabrik dan peralatan-perakatan. Dengan
membolehkan setiap perusahaan untuk mengurangkan pengeluaran modalnya,
yang tersisa hanyalah nilai dari output barang konsumsi saja. Pajak seperti ini
akan sama dengan pajak penjualan eceran umum atas barang konsumsi, dengan
perbedaan hanya pada prosedur administrasi saja.

Ilustrasi Perhitungan PPN untuk setiap Jenis

Tabel 18.1: Ilustrasi Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai

PERUSAHAAN
A B C Ekonomi

Pendapatan
01. Penjualan barang konsumsi - 70 151 221
02. Penjualan produk setengah jadi 120 145 - 265
03. Penjualan barang modal - 100 - 100

04. Jumlah total 120 315 151

Biaya
05. Upah, bunga, laba, dsb. 100 80 90 270
06. Pembelian produk setengah jadi - 120 45 165
07. Penyusutan 20 15 16 51

08. Jumlah total 120 215 151

Biaya Modal
09. Pembelian barang-barang modal - - 100 100

Basis-basis pajak
10. Basis konsumsi (baris 04 dikurangi baris 06 dikurangi baris 09) 120 195 6 321
11. Basis penghasilan (baris 04 dikurangi baris 06 dikurangi baris 07) 100 180 90 370
12. Basis GNP 120 95 106 321

Perhitungan Pendapatan Nasional


13. Konsumsi - - - 221
14. Plus Investasi - - - 100
15. GNP - - - 321
16. Minus Penyusutan - - - 51
17. NNP atau Pendapatan Nasional - - - 270

(Tabel ini menunjukkan perhitungan ketiga basis dengan menggunakan metode


yang disebut metode pengurangan. Alternatif lainnya yang dapat digunakan
adalah metode penambahan. Untuk basis penghasilan, perhitungan dengan
metode penambahan adalah dengan cara menambahkan semua pembayaran
kepada berbagai faktor yang dinyatakan pada baris 05. Basis GNP dihitung
dengan cara menambahkan pembayaran-pembayaran kepada faktor dengan
penyusutan (baris 05 dan 07). Basis konsumsi ditentukan dengan menambahkan

Dasar-dasar Keuangan Publik


192

pembayaran-pembayaran kepada faktor dengan penyusutan (baris 05 dan 07)


kemudian dikurangi dengan pembelian barang modal (baris 09). Jadi metode
penambahan langsung menghasilkan angka pada pajak pertambahan nilai jenis
penghasilan tetapi agak membingungkan pada pajak pertambahan nilai jenis
konsumsi.)

Basis konsumsi, seperti yang ditunjukkan pada baris 10, dihitung untuk
setiap perusahaan dengan mendapatkan angka penjualannya dan dikurangi
dengan pembelian barang-barang setengah jadi dan barang-barang modal (baris 06
dan 09). Basis penghasilan, seperti yang ditunjukkan pada baris 11, dihitung untuk
setiap perusahaan dengan cara penjualan dikurangi dengan biaya barang-barang
setengah jadi dan penyusutan (baris 06 dan 07). Basis GNP, seperti yang
ditunjukkan pada baris 12, akan sama dengan penjualan total (baris 04) dikurangi
pembelian barang-barang setengah jadi (baris 06). Penjumlahan basis-basis pada
setiap perusahaan ini menghasilkan basis-basis untuk seluruh ekonomi, seperti
yang ditunjukkan pada kolom terakhir. Jumlah total basis-basis ini sama dengan
nilai dari konsumsi, pendapatan nasional, dan GNP yang ditentukan dalam
perhitungan pendapatan nasional.

Metode Penagihan
Bila kita melihat jenis konsumsi dari pajak pertambahan nilai, kita akan
menghitung basis pajak untuk setiap perusahaan adalah penjualan dikurangi
dengan pembelian-pembelian barang-barang setengah jadi dan barang modal. Bila
perhitungan pajak telah selesai, ada dua cara untuk menagihnya. Pertama, dikenal
dengan nama metode perhitungan, yaitu metode yang meminta perusahaan
membayar pajak atas basis yang telah dihitung tersebut. Kedua, metode faktur,
yaitu metode yang mengharuskan perusahaan menghitung pajak brutonya dengan
mengalikan tarip pajak terhadap total penjualan dan mengkreditkan atas pajak
bruto ini jumlah yang sama dengan pajak yang telah dibayarkan oleh para
pemasok yang barang-barang setengah jadi dan barang-barang modalnya dibeli
oleh perusahaan. Dengan membuat aturan bahwa kredit pajaknya bergantung
pada penyajian bukti setor pajak yang dilakukan oleh para pemasok, metode
faktur memiliki elemen ketaatan karena setiap pembeli akan meminta salinan dari
bukti setor tersebut. Metode ini cocok di negara yang ketaatan pajaknya rendah.

Simpulan
Kita telah melihat bahwa pajak pertambahan nilai jenis konsumsi memiliki basis
yang sama dengan pajak penjualan eceran dengan cakupan yang sama. Bila
demikian, mengapa harus ada perbedaan pendapat yang cukup tajam mengenai
mana di antara kedua pajak ini yang lebih baik?

Satu perbedaan berkaitan dengan persoalan politik dari kedua pajak ini.
Pendukung pajak pertambahan nilai merasa bahwa pajak ini tampak berbeda
sehingga tidak terkontaminasi reputasi buruk dari pajak penjualan eceran, yang
mungkin saja menjadi atau tidak menjadi masalah. Jika pajak bruto pengecer
disajikan sebagai bagian terpisah dari harga-harga bagi para konsumen, konsumen
akan menyadari adanya pajak pada kedua pendekatan ini. Selain pertimbangan
politis, ada beberapa perbedaan teknis dalam implementasi yang cukup penting.

Dasar-dasar Keuangan Publik


193

Dalam pajak penjualan eceran, jumlah pembayar pajak lebih rendah


daripada dalam pajak pertambahan nilai, sehingga memudahkan administrasi
karena para pengecer dapat diakses secara efektif. Di negara maju yang usaha
ritelnya sudah mapan, hal ini mudah dilakukan, tetapi di negara berkembang di
mana usaha ritelnya umumnya usaha kecil, pajak penjualan eceran tidak akan
efektif. Dalam pajak pertambahan nilai, pengecualian barang-barang modal dapat
dilakukan dengan lebih efektif daripada dalam pajak penjualan eceran karena
sulitnya menelusuri penggunaan barang-barang yang dibeli dari para pengecer.
Selain itu, dengan menggunakan metode faktur, pajak pertambahan nilai memiliki
elemen ketaatan yang tidak dimiliki dalam pajak penjualan eceran.

Distribusi Beban Pajak


Pajak penghasilan memiliki peringkat yang tinggi dalam hal keadilan
karena dikenakan sebagai suatu pajak pribadi yang berusaha mencapai
kemampuan membayar dari wajib pajak. Hal yang sama tidak berlaku untuk pajak
penjualan dan cukai. Karena tidak dibebankan secara pribadi, pajak-pajak ini tidak
memberikan aturan mengenai kemampuan untuk membayar.

Cukai
Pada diskusi kita sebelumnya tentang tax incidence dari pajak penjualan, kita
menyimpulkan bahwa distribusi beban pajak berdasarkan kelompok penghasilan
didominasi dari sisi penggunaan, yaitu berdasarkan pola pengeluaran konsumsi
atas produk yang dipajaki. Beban dari pajak atas barang-barang kebutuhan sehari-
hari cenderung regresif, sedangkan beban dari pajak atas barang-barang mewah
cenderung progresif. Karena sebagian besar cukai dikenakan atas barang-barang
konsumsi masal, seperti minuman beralkohol dan rokok, bebannya cenderung
regresif. Selain itu, cukai bersifat diskriminatif di antara konsumen dengan
penghasilan yang sama tetapi dengan preferensi yang berbeda. Oleh karena itu,
cukai memiliki peringkat yang rendah dalam hal keadilan horizontal dan vertikal.
Dan juga, karena hanya dikenakan pada barang-barang tertentu, cukai akan
menimbulkan biaya efisiensi yang lebih besar daripada pajak yang lebih umum.

Dengan keterbatasan-keterbatasan seperti ini, mengapa cukai tetap


digunakan? Pertanyaan ini dijawab dengan mempertimbangkan jenis barang yang
dikenakan cukai. Cukai umumnya dikenakan kepada barang-barang konsumsi
massal yang dipandang kurang baik untuk dikonsumsi, seperti rokok dan
minuman beralkohol. Cukai juga dikenakan dalam rangka meminimalkan dead
weight loss, tetapi hal ini belum menjadi kebijakan yang telah diterapkan.

Pajak Penjualan Umum


Pajak penjualan umum dalam bentuk pajak penjualan eceran atas barang-barang
konsumsi pada dasarnya sama dengan pajak umum bertarip tetap atas
pengeluaran konsumen. Bila dilihat dari keadilan horizontal, suatu pajak
penjualan umum akan adil bila indeks keadilan dinyatakan dalam bentuk
konsumsi tetapi akan tidak adil bila indeksnya dinyatakan dalam bentuk
penghasilan. Keluarga-keluarga dengan penghasilan yang sama mungkin saja

Dasar-dasar Keuangan Publik


194

memiliki tingkat konsumsi (menabung) yang berbeda karena faktor usia atau
faktor-faktor lainnya. Keluarga-keluarga seperti itu akan membayar jumlah pajak
yang berbeda, sehingga melanggar keadilan horizontal dalam bentuk penghasilan.

Bila dipandang dari keadilan vertikal, suatu pajak penjualan umum akan
proporsional berkenaan dengan tingkat konsumsi tetapi akan regresif berkenaan
dengan tingkat penghasilan, karena konsumsi dalam persentase atas penghasilan
menurun (menabung dalam persentase atas penghasilan naik) sejalan dengan
kenaikan penghasilan. Pola ini kurang regresif bila dihitung dalam jangka waktu
seumur hidup dan bukannya tahunan. Bila dihitung dalam jangka waktu seumur
hidup, penghindaran atas pajak penjualan hanya dapat dilakukan dengan melalui
warisan. Perlu dicatat pula bahwa sifat regresif dari pajak penjualan telah
dimodifikasi dengan mengecualikan beberapa produk konsumsi massal, seperti
makanan.

Pajak Pengeluaran Wajib Pajak Pribadi


Walaupun telah mengecualikan beberapa produk konsumsi massal,
pendekatan tradisional atas pajak konsumsi baik melalui cara selektif (cukai)
maupun pajak penjualan umum (PPN bila di Indonesia) tetap bersifat regresif
karena pengeluaran konsumsi dalam persentase penghasilan cenderung menurun
sejalan dengan peningkatan penghasilan.Oleh karena itu, dalam perkembangan
historis, pajak penjualan dipandang sebagai pajak yang progresif dan pajak
penjualan dipandang sebagai pajak regresif. Dengan demikian, pendukung pajak
penghasilan cenderung berasal dari pendukung progresivitas pajak, sedangkan
pendukung pajak penjualan cenderung berasal dari penentang progresivitas pajak.

Akan tetapi, tidak ada dasar logika yang tepat pada kedua basis pajak
yang mengharuskan keduanya sama. Perbedaan progresivitas di antara kedua
jenis pajak ini muncul karena pajak penghasilan telah dikembangkan dalam
kerangka pajak pribadi, sedangkan pajak konsumsi telah ditetapkan sebagai
kerangka dalam pendekatan nonpribadi atau in rem dari pajak penjualan.
Penggunaan suatu jenis pajak pribadi dari pajak pengeluaran akan menghilangkan
perbedaan ini dan membuat pemajakan atas konsumsi menjadi bersifat pribadi
dan progresif. Pajak seperti ini pernah dicobakan di India dan Sri Lanka, tetapi
pengenaan pajak ini dalam situasi modern belum pernah ada. Pajak ini merupakan
ide yang baru dan menarik dan telah banyak mendapatkan dukungan dari para
akademisi di dunia perpajakan. Berikut ini pembahasan teknis apabila pajak ini
diterapkan.

Penentuan Konsumsi Kena Pajak


Apabila konsumsi digunakan sebagai indeks atas kemampuan untuk membayar,
semua yang telah dikemukakan sebelumnya tentang keinginan untuk suatu
definisi global dari basis pajak penghasilan berlaku juga. Semua konsumsi harus
dimasukkan ke dalam basis pajak dan kewajiban pajak para wajib pajak tidak
dipengaruhi oleh pola tertentu dari pengeluaran konsumsi mereka. Analogi
dengan pajak penghasilan, wajib pajak akan menentukan konsumsinya pada suatu
tahun pajak, kemudian akan mengurangkan konsumsi tidak kena pajak yang

Dasar-dasar Keuangan Publik


195

diperbolehkan, dan menerapkan tarip pajak progresif kepada jumlah sisanya yang
merupakan konsumsi kena pajak.

Ide ini tampaknya sederhana, tetapi belum diketahui bagaimana konsumsi


kena pajak dapat ditentukan dalam kenyataannya. Perhitungan dengan
menambahkan pengeluaran rupiah untuk konsumsi individu bukan merupakan
pendekatan yang mungkin. Kemungkinan yang lain adalah dimulai dari
penghasilan dan mengurangkannya dengan jumlah tambahan tabungan. Untuk
mendapatkan angka konsumsi, jumlah tambahan tabungan harus didefinisikan
sebagai tabungan neto (tambahan tabungan dikurangi penarikan tabungan), atau
penambahan atas kekayaan bersih. Hal ini akan menjadi tugas yang sangat berat.
Cara yang paling baik dan yang paling mungkin untuk menentukan konsumsi
tahunan wajib pajak adalah dengan menggunakan cara berikut

Saldo bank dan uang pada awal tahun


1. + penerimaan uang
2. + tambahan pinjaman bersih (pinjaman baru dikurangi pembayaran
pinjaman atau memberikan pinjaman)
3. – investasi bersih (biaya pembelian aset-aset dikurangi hasil dari aset-aset
yang dijual)
4. – saldo bank dan uang pada akhir tahun
5. = konsumsi untuk tahun berjalan.

Konsumsi dalam cara ini akan diperoleh dari perubahan dalam saldo bank
dan uang dan arus penerimaan dan pembayaran-pembayaran nonkonsumsi
selama tahun berjalan. SPT harus digunakan untuk membuat wajib pajak
menyatakan jumlah-jumlah tersebut (dengan dirinci) seperti pelaporan
penghasilan dalam pajak penghasilan.

Konsep penerimaan yang digunakan dalam skedul perhitungan di atas


sama dengan penghasilan yang didefinisikan dalam pajak penghasilan,
disesuaikan dengan mengecualikan capital gain tetapi memasukkan imputed rent
dari rumah-rumah yang dihuni pemiliknya dan juga warisan dan hadiah yang
diterima. Walaupun konsumsi rumah akan dimasukkan dengan cara memasukkan
komponen imputed rent, pembelian barang-barang konsumsi jangka panjang
(seperti mobil), akan diperlakukan sebagai konsumsi tahun berjalan, dengan
membolehkan penggunaan tarip merata untuk menghindari ketidakadilan.

Dalam beberapa hal, pendekatan ini lebih sederhana daripada yang


dipakai dalam pajak penghasilan. Dilema dalam memperlakukan capital gain yang
belum direalisasikan akan tidak ada. Jika aset dijual, hasil yang diterima akan
masuk ke dalam basis pajak kecuali dikurangi dengan pembelian aset-aset lain
atau kenaikan dalam saldo-saldo aset. Dan juga, tidak ada kebutuhan untuk
menentukan laba perusahaan. Dividen akan muncul sebagai penerimaan, dan
capital gain yang belum direalisasikan, yang diperoleh dengan menahan laba,
bukan hal yang relevan sampai realisasi terjadi dan hasilnya disalurkan ke dalam
konsumsi. Permasalahan sulit dari akuntansi penyusutan juga akan hilang.
Penyesuaian terhadap inflasi hanya diperlukan untuk indeks tarip-tarip pajak,

Dasar-dasar Keuangan Publik


196

karena permasalahan yang lebih mengganggu berupa perubahan nilai-nilai


nominal tidak akan muncul.

Akan tetapi, pajak pengeluaran akan memunculkan kesulitan-kesulitan


baru. Untuk alasan-alasan administratif dan lainnya, metode pemotongan pajak
harus tetap diberlakukan, tetapi cara ini akan sangat sulit dalam pajak
pengeluaran daripada dalam pajak penghasilan. Karena pemotongan pajak harus
dilakukan terhadap penghasilan, suatu rasio yang ditetapkan sebelumnya dari
penghasilan terhadap konsumsi harus diterapkan. Selain itu, pemotongan pajak
dalam sistem tarip yang gradual mempersulit penerapan karena tarip pajak yang
tepat bergantung pada apakah penerimaan tersebut akan dibelanjakan atau
diinvestasikan kembali, suatu faktor yang sangat mengganggu dalam kasus
penghasilan modal.

Permasalahan lainnya adalah pentingnya mencatat secara lengkap saldo-


saldo kas pada awal tahun. Bila tidak dilakukan, konsumsi yang tidak dikenakan
pajak akan dapat dilakukan oleh wajib pajak yang akan didanai nantinya dengan
menarik lebih banyak uang dari bank. Untuk memastikan peminjaman
dipertanggungjawabkan, pemberi pinjaman diharuskan untuk melaporkan
informasi mengenai pinjaman-pinjaman yang diberikan. Dengan demikian,
pengecekan silang akan lebih banyak dilakukan. Hal yang sama juga diperlakukan
untuk penjualan-penjualan aset. Untuk tujuan ini, wajib pajak diharuskan untuk
melaporkan neraca atau daftar harta mereka dalam SPT.

Perlakuan atas Warisan dan Hibah


Dalam konsep pajak pengeluaran wajib pajak pribadi, ada suatu permasalahan
khusus timbul karena penghasilan tidak digunakan untuk konsumsi tetapi akan
diwariskan atau dihibahkan. Berdasarkan filosofi tambahan kemampuan
ekonomis, penerimaan suatu warisan/hibah akan dimasukkan ke dalam basis
pajak penerima warisan/hibah. Akan tetapi, seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, konsep penghasilan yang berdasarkan tambahan kemampuan
ekonomis memperlakukan secara diskriminatif terhadap konsumsi di masa depan.
Pajak berdasarkan konsumsi, memberikan perlakuan yang sama dengan
menerapkannya pada nilai tunai konsumsi sehingga beban pajak tidak
dipengaruhi oleh faktor waktu. Tetap saja, perlakuan terhadap warisan/hibah
masih menimbulkan tanda tanya.

Seorang pembayar pajak dapat menghindari pajak apabila ia memutuskan


sebagian penghasilannya digunakan sebagai warisan/hibah. Apabila penerima
warisan/hibah tidak membelanjakannya, penghasilan tersebut tetap tidak
dikenakan pajak. Cara terbaik untuk mengatasi penghindaran pajak ini adalah
dengan memasukkan warisan/hibah sebagai basis pajak pengeluaran. Dengan
demikian, basis pajak yang adil bukannya konsumsi saja tetapi semua penggunaan
penghasilan, baik itu untuk konsumsi ataupun untuk diwariskan.

Evaluasi
Penggunaan pajak pengeluaran wajib pajak pribadi akan meningkatkan kualitas
perpajakan konsumsi karena memungkinkan penerapan prinsip kemampuan

Dasar-dasar Keuangan Publik


197

untuk membayar dan menghilangkan sifat regresif yang melekat pada pajak
penjualan umum. Walaupun pajak pengeluaran berbasis konsumsi merupakan
cara yang lebih baik, akan tetapi ada dua pertanyaan yang harus dijawab yaitu
basis mana yang lebih baik (penghasilan atau konsumsi) dan bagaimana
memperlakukan warisan/hibah. Dalam hal kegiatan menabung berupaya
didukung dengan sistem pajak yang ada, pendekatan pajak pengeluaran lebih
disukai daripada pemberlakuan pengecualian secara sepotong-potong dalam
sistem pajak penghasilan.

Penggantian pajak penghasilan dengan pajak pengeluaran akan


menyederhanakan beberapa hal penting, terutama yang berkaitan dengan
permasalahan inflasi. Akan tetapi, penggantian ini juga akan menimbulkan
kesulitan-kesulitan baru seperti masalah pemotongan pajak. Pajak pengeluaran
juga tidak akan menghilangkan perlakuan-perlakuan khusus dan loophole yang
selama ini ada pada pajak penghasilan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


198

B A B XIX

PAJAK ATAS KEKAYAAN

Alasan-Alasan Pengenaan Pajak Atas Kekayaan


rgumen atas pengenaan pajak kekayaan didasarkan pada kemanfaatannya

A dan kemampuan untuk membayar, akan tetapi kedua alasan ini tidak
pernah dapat menjelaskan mengapa hanya pajak atas bumi dan bangunan
saja yang diberlakukan. Pertimbangan manfaat mengarah pada
pemberlakuan pajak bumi dan bangunan jenis in-rem sedangkan pertimbangan
kemampuan untuk membayar mengarah pada pemberlakuan pajak kekayaan
wajib pajak pribadi.

Alasan Manfaat Pajak atas Kekayaan


Alasan pengenaan pajak kekayaan atas dasar manfaat adalah bahwa layanan-
layanan publik meningkatkan nilai dari bumi dan bangunan dan oleh karenanya
harus dibayarkan oleh pemiliknya. Dalam bentuknya yang paling umum,
argumentasi dukungan ini dapat diturunkan dari teori Locke yang menyatakan
bahwa negara adalah pelindung bumi dan bangunan, yang dinyatakan pada akhir
abad ke-17. Salah satu dari fungsi dasar suatu negara, sebagaimana pendapat para
ahli teori hukum alam, adalah pelindung kekayaan; dan oleh karenanya pemilik
kekayaan membayar kepada negara untuk biaya-biaya negara tersebut. Logikanya,
basis pajaknya adalah seluruh kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Atau lebih
tepat lagi, basis pajaknya akan didefinisikan sebagai kekayaan bersih, yaitu
kekayaan wajib pajak dikurangi dengan kewajibannya. Demikian juga,
berdasarkan konsep ini, pendapatan dari pajak harus dibatasi hanya sebesar biaya
yang diperlukan untuk melaksanakan layanan perlindungan, seperti biaya
penegakan hukum, administrasi perundang-undangan dan administrasi
pengadilan. Walaupun berapa besarnya biaya tersebut masih dapat
diperdebatkan, yang pasti tidak semua biaya dari fungsi negara harus diperoleh
dari pengenaan pajak ini. Penggunaan pajak kekayaan untuk mendanai
pendidikan, misalnya, tidak memiliki dasar yang rasional.

Dasar-dasar Keuangan Publik


199

Penerapan aturan kemanfaatan yang lebih spesifik lagi, terutama berkaitan


pada tingkat lokal, mengharuskan pemilik kekayaan membayar untuk layanan-
layanan khusus yang meningkatkan nilai dari kekayaan. Pembangunan trotoar,
misalnya, meningkatkan nilai gedung di belakang trotoar tersebut, demikian juga
perlindungan khusus oleh polisi pada daerah-daerah tertentu. Dalam kasus-kasus
tertentu, manfaat khusus yang dinikmati oleh setiap kekayaan dapat diukur
dengan suatu indeks seperti panjang jalan di depannya atau lokasinya. Dalam
kasus-kasus lain, manfaat yang dinikmati harus diperkirakan secara relatif
terhadap nilai dari kekayaan. Hal ini mengindikasikan bahwa suatu pajak khusus
dapat dikenakan untuk mendanai suatu layanan tertentu. Cara pengenaan seperti
ini sangat tepat dikenakan pada tingkatan lokal untuk mendanai layanan-layanan
khusus tadi.

Alasan Kemampuan Membayar Pajak


Dalam kaitannya dengan kemampuan untuk membayar pajak, asal mula dari
pajak kekayaan harus dilihat dari konteks sejarahnya. Pada masa lalu, kepemilikan
harta tak bergerak dan harta bergerak (seperti hewan ternak) merupakan indeks
yang paling mudah untuk menentukan kemampuan untuk membayar. Sebagian
besar pajak yang dipungut oleh negara diterima dalam bentuk barang, sehingga
pendapatan uang seperti yang digunakan sekarang akan merupakan indeks yang
menyesatkan. Akan tetapi, dalam kondisi modern di mana penghasilan sebagian
besar diterima dalam bentuk uang, kekayaan lebih sulit diukur daripada
penghasilan. Berdasarkan situasi ini, dapatkah pajak kekayaan dapat dibenarkan
untuk alasan kemampuan untuk membayar?

Berdasarkan diskusi sebelumnya, ada dua simpulan yang diambil.


Penggunaan penghasilan sebagai indeks kesetaraan, tidak diperlukan lagi pajak
kekayaan sebagai pelengkap apabila penghasilan tersebut didefinisikan sebagai
secara komprehensif mencakup seluruh tambahan kemampuan ekonomis. Akan
tetapi dalam praktiknya tidak semua penghasilan dapat dicakup sehingga
memunculkan kebutuhan akan pajak kekayaan. Juga dalam hal konsep pajak atas
konsumsi, pajak tambahan atas kekayaan dapat dibenarkan karena alasan
penumpukkan kekayaan. Oleh karena itu, jika kekayaan dipajaki karena
kemampuan untuk membayar, yang diperlukan bukanlah pajak atas kekayaan
tetapi pajak atas kekayaan besih wajib pajak pribadi.

Alasan Pengendalian Sosial


Pajak atas kekayaan dapat dibenarkan dengan alasan untuk pengendalian sosial.
Konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam distribusi kekayaan berbeda
dengan konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam distribusi konsumsi, dan
karenanya masyarakat perlu menanganinya secara terpisah. Untuk tujuan ini,
suatu pajak progresif atas kekayaan dan bukannya atas penghasilan adalah
instrumen yang tepat. Sebagaimana berdasarkan pendekatan kemampuan untuk
membayar, indikasinya adalah juga pajak pribadi dan definisi kekayaan secara
global. Bedanya, basisnya lebih tepat didefinisikan sebagai kekayaan kotor
daripada kekayaan bersih karena kekayaan kotor lebih menunjukkan cakupan
kendali ekonomis yang diperoleh oleh pemiliknya.

Dasar-dasar Keuangan Publik


200

Pajak atas Tanah


Pengenaan pajak khusus atas tanah yang terpisah dari kekayaan telah
diusulkan berdasarkan alasan efisiensi dan keadilan. Karena pengembalian atas
tanah adalah dalam bentuk rente ekonomis (yaitu suatu tingkat pengembalian dari
suatu faktor produksi dalam penawaran yang tidak elastis), tanah dapat dipajaki
tanpa menimbulkan suatu excess burden. Pajak atas tanah juga dapat digunakan
untuk mendorong penggunaan tanah yang lebih intensif. Selain itu, kenaikan nilai
tahan dapat dipandang sebagai peningkatan kekayaan yang tidak adil, seperti
yang dikemukakan oleh Henry George dalam bukunya Progress and Poverty.

Struktur Dan Basis Pajak Atas Kekayaan Di Indonesia (Pajak Bumi Dan Bangunan)
Jenis pajak atas kekayaan yang berlaku di Indonesia adalah pajak atas bumi
(tanah) dan bangunan. Sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, peraturan yang
berkaitan dengan pajak atas tanah dan bangunan ini adalah Undang-Undang
Nomor 11 PRp1959 untuk pajak atas tanah yang tunduk pada hukum adat,
Ordonansi Verponding Indonesia 1923 dan Ordonansi Verponding 1928 untuk
pajak atas tanah yang tunduk pada hukum Belanda (Barat), dan Ordonansi Pajak
Rumah Tangga 1908 untuk pungutan-pungutan lain daerah atas tanah dan
bangunan.

Setelah reformasi pajak, dasar hukum yang mengatur pajak atas bumi dan
bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun
1994.

Basis Pajak, Tarip Nominal, Rasio Penilaian dan Tarip Efektif


Yang menjadi objek PBB adalah bumi dan bangunan. Bumi mencakup permukaan
bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, yang meliputi tanah dan perairan
pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan, meliputi jalan
lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan, jalan tol, kolam
renang, pagar mewah, tempat olah raga, galangan kapal, dermaga, taman mewah,
dan fasilitas lain yang memberikan manfaat. Beberapa objek pajak dikecualikan
dari pengenaan pajak, yaitu:

- Objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum


di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional,
yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
- Objek pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau
yang sejenisnya dengan itu.
- Hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak.
- Objek pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat
berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
- Objek pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


201

Basis pajak untuk objek-objek pajak ini adalah harga pasar wajar atau
harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
Karena harga ini sulit didapat, yang sering dilakukan adalah menggunakan harga
objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau nilai pengganti. Pada
praktiknya, basis pajak ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap tiga tahun
sekali, kecuali untuk daerah yang mengalami perkembangan pembangunan yang
cepat, penetapannya dilakukan setiap tahun.

Dari basis pajak ini tidak seluruhnya akan diterapkan PBB. Basis yang
akan diterapkan pajak serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100%,
bergantung pada jenis objek pajaknya. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah
No. 74 tahun 1998, hanya 40% dan 20% dari basis pajak saja yang akan dikenakan.
Pada umumnya, pengenaan tarip pajak hanya akan dikenakan sebesar 20% dari
basis pajak kecuali untuk objek-objek pajak tertentu, yaitu:

- Objek pajak perumahan yang WP-nya perseorangan dengan basis pajak sama
dengan atau di atas Rp1 milyar, tidak berlaku untuk PNS, ABRI, Pensiunan
Janda/Duda yang semata-mata dari gaji/uang pensiun.
- Objek pajak perkebunan yang luasnya sama dengan atau lebih dari 25 Ha yang
dikuasai BUMN dan Badan Usaha Swasta.
- Objek pajak kehutanan, termasuk areal blok tebangan dalam kegiatan
Pemegang HPH, Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Pemegang Ijin
Pemanfaatan Kayu.

Tarip pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah 0,5 persen yang
merupakan tarip tunggal. Dengan demikian, tarip efektif PBB yang berlaku
sekarang ini secara nasional adalah 1 persen dan 2 persen.

Nilai Pasar versus Penghasilan sebagai Basis Penilaian


Ada satu pertanyaan mendasar dalam pajak atas kekayaan yaitu bagaimana
mengukur nilai kekayaan. Apakah kekayaan tersebut diukur dengan nilai jualnya
atau nilai sewanya dan apakah nilai yang digunakan adalah nilai aktual atau nilai
potensialnya? Negara-negara tertentu, seperti Amerika Serikat dan Indonesia,
menggunakan harga jual atau harga pasar sebagai nilai kekayaan, sedangkan
negara-negara lain, seperti Inggris, menggunakan penghasilan sewa aktual yang
diperoleh dari harta tersebut. Jika pasar yang sempurna tersedia dan penggunaan
optimal terjadi, perbedaan ini akan hilang karena harga jual dari kekayaan akan
sama dengan nilai kapitalisasi dari penghasilan aktual yang juga akan sama
dengan potensi penghasilannya. Dalam kenyataannya, hal ini tidak terjadi.

Jika kekayaan kurang didayagunakan, pengenaan pajak berdasarkan basis


penghasilan akan menyajikan nilainya terlalu rendah, suatu faktor yang sangat
penting bagi negara-negara berkembang. Perbedaan lainnya antara pendekatan
nilai pasar dan pendekatan penghasilan muncul dari perbedaan dalam risiko. Satu
kekayaan dengan penghasilan tahunan sebesar Rp100 juta dapat memiliki nilai
pasar sebesar Rp500 juta, sedangkan kekayaan lainnya dengan penghasilan yang
sama dapat memiliki nilai pasar dua kali lipat. Penghasilan dikapitalisasi dengan

Dasar-dasar Keuangan Publik


202

tingkat bunga yang berbeda karena adanya premi risiko yang harus dibebankan
pada kekayaan yang pertama. Kasus-kasus ini dapat terjadi dalam kondisi
ekonomi yang melesu pada daerah-daerah bisnis yang menyebabkan kekayaan-
kekayaan pada daerah ini memiliki tingkat hasil yang tinggi atas penghasilan bila
dibandingkan secara relatif terhadap nilai pasarnya. Basis pengenaan pajak yang
paling baik pada kondisi seperti ini adalah pendekatan nilai pasar karena
memperhitungkan perbedaan tingkat risiko atas kekayaan-kekayaan tersebut.

Walaupun penilaian dengan menggunakan nilai jual lebih disukai,


seringkali tidak terjadi frekuensi penjualan rumah-rumah sejenis yang cukup
untuk memberikan basis evaluasi nilai jual. Penilaian dengan perkiraan,
berdasarkan jenis rumah dan lokasinya, terpaksa digunakan. Pada negara-negara
tertentu, telah dikembangkan prosedur yang canggih untuk melakukan evaluasi
atas nilai jual dengan menggunakan persamaan regresi yang berisi sejumlah
variabel, yang mengaitkan nilai rumah terhadap berbagai karakteristik. Prosedur
seperti ini memiliki keunggulan dalam hal memungkinkan dilakukannya
penyesuaian atas nilai tanah dan bangunan lebih sering lagi, suatu hal yang sangat
penting dalam periode inflasi.

Tanah versus Bangunan sebagai Komponen Basis


Pajak kekayaan dikenakan atas nilai pasar suatu real estate tanpa membedakan
apakah dikenakan pada komponen tanah atau komponen penyempurnaan tanah
(bangunan). Dalam sudut pandang ekonomi, pembendaan ini penting sekali
karena berkaitan dengan pembebanan pajak.

Karena penawaran atas tanah jumlahnya tetap, pengenaan pajak atas rente
tanah atau mengenakan pajak atas nilai tanah (yang menunjukkan nilai kapitalisasi
dari rentenya) telah lama diakui sebagai suatu bentuk pemajakan yang paling kecil
kemungkinannya menghambat insentif untuk menginvestasikan pada
penyempurnaan tanah (bangunan). Selain itu, keuntungan yang timbul dari
kenaikan nilai tanah karena pertumbuhan populasi dan pendapatan dapat
dipandang sebagai laba yang tidak diinginkan secara sosial.
Dalam praktiknya, pengenaan pajak terjadi sebaliknya. Pada kota-kota
besar negara maju, pengenaan pajak atas penyempurnaan tanah telah
menghambat investasi seperti itu, terutama investasi untuk rumah-rumah murah.

Circuit Breaker
Pajak kekayaan atas rumah tinggal dipandang sebagai beban bagi penduduk yang
berusia tua. Sejumlah besar pemilik rumah yang berpenghasilan rendah adalah
orang-orang tua. Beberapa aturan telah dikembangkan di berbagai negara untuk
menyediakan pengurangan beban pajak kepada penduduk berusia tua dan
keluarga dengan penghasilan rendah, yang disebut juga dengan circuit breaker.

Distribusi Beban Pajak Kekayaan


Beban atas pajak kekayaan merupakan hal yang kontroversial. Satu
pandangan menyatakan bahwa pajak kekayaan merupakan pajak atas penghasilan
modal, dikenakan dalam pasar-pasar yang kompetitif. Pandangan lain

Dasar-dasar Keuangan Publik


203

membedakan berdasarkan jenis pengenaan dan menempatkan lebih banyak


pembahasan pada konsekuensi-konsekuensi dari ketidaksempurnaan pasar.

Pajak Kekayaan sebagai Pajak atas Penghasilan Modal


Bila Pajak Kekayaan dikenakan secara Nasional. Misalkan bahwa ada suatu
pajak nasional atas semua barang modal. Pajak seperti ini dapat juga dipandang
sebagai pajak atas penghasilan modal. Dengan asumsi pasar modal yang dan
prosedur penilaian yang sempurna, suatu pajak sebesar 5 persen yang dikenakan
atas nilai dari suatu aset dapat segera diterjemahkan sebagai suatu pajak
penghasilan atas penghasilan yang diperoleh dari aset tersebut. Misalkan aset
tersebut memiliki nilai Rp100 juta dan memperoleh penghasilan tahunan sebesar
Rp10 juta, yang sesuai dengan tingkat bunga pasar yang sebesar 10 persen. Hutang
pajak berdasarkan pajak 5 persen atas nilai aset akan sebesar Rp5 juta. Bila
dinyatakan dalam suatu persentase atas penghasilan aset, jumlah ini sama dengan
50 persen. Pajak sebesar 5 persen atas nilai aset (pajak kekayaan) adalah sama
dengan pajak sebesar 50 persen atas penghasilan kekayaan (pajak penghasilan).
Dengan menggunakan rumus umum, nilai dari suatu aset pada pasar modal yang
sempurna ditentukan dengan persamaan Y = iV, sehingga V = Y/i, di mana V
adalah nilai aset, Y adalah penghasilan tahunan, dan i adalah tingkat bunga pasar.
Jika hasil yang sama akan diperoleh dari pajak kekayaan pada tingkat pajak tp dan
suatu pajak atas penghasilan aset tersebut pada tingkat pajak ty, maka tpY/i = ty
atau tp = ity.

Dalam suatu pasar di mana modal menghasilkan tingkat pengembalian


sebesar 10 persen, kejadian pajak dari suatu pajak umum atas nilai aset modal
yang dikenakan dengan tarip Rp5 juta per Rp100 juta nilai aset sama dengan
kejadian pajak dari suatu pajak atas penghasilan dengan tarip 50 persen. Dengan
demikian, distribusi beban pajak pada pajak umum atas penghasilan modal
kembali berlaku. Dengan kejadian ditentukan terutama dari sisi sumber, pajak
seperti itu akan mengurangi tingkat pengembalian bersih dari modal dan diserap
oleh penerima penghasilan modal. Dengan pengecualian pada sisi terendah,
penghasilan ini sebagai bagian dari total penghasilan akan meningkat besarnya
sejalan dengan peningkatan, sehingga kejadian pajaknya progresif. Dalam jangka
panjang, pengurangan dalam tingkat pengembalian bersih dari modal akan
menekan persediaan modal, sehingga mengurangi produktivitas tenaga kerja di
masa depan, yang juga karenanya akan mendapatkan tanggungan beban pajak.

Bila PBB dikenakan secara Lokal. Jika daerah dibebaskan untuk menentukan
tarip atas pajak kekayaan, seperti yang berlaku di Amerika Serikat, maka kejadian
pajak akan terjadi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka
pendek, modal yang diinvestasikan pada daerah-daerah bertarip tinggi tidak
dapat bergerak dan pemiliknya harus menanggung beban pajak yang tinggi.
Beban dari pajak atas penghasilan modal ini akan dikapitalisasi dan mengurangi
nilai dari kekayaan. Hal ini juga berlaku pada bangunan dan tanah. Penerima
beban pajak dalam jangka pendek adalah pemilik dari kekayaan lokal yang
dikenai beban pajak yang lebih tinggi. Beban pajak diterima oleh pemilik yang
memiliki kekayaan pada saat pajak tersebut dinaikkan. Mereka tidak dapat
mengurangi beban pajak dengan menjual aset yang dipajaki.

Dasar-dasar Keuangan Publik


204

Untuk mengilustrasikan fakta ini, kita mengasumsikan kembali bahwa


tingkat pengembalian atas modal sebelum pajak adalah 10 persen, sehingga suatu
aset yang menghasilkan Rp10 juta per tahun memiliki nilai sebesar Rp100 juta.
Sekarang asumsikan suatu daerah tempat aset tersebut mengenakan pajak
kekayaan sebesar Rp5 juta untuk setiap Rp100 juta nilai aset. Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, pajak ini sama dengan pajak penghasilan sebesar 50 persen.
Penghasilan neto berkurang menjadi Rp5 juta, yang bila dikapitalisasikan pada
tingkat 10 persen akan menurunkan nilai aset menjadi sebesar Rp50 juta. Jika
pemilik aset yang semula ingin menjual aset tersebut, ia harus menanggung
kerugian pajak tersebut karena pembeli akan meminta suatu tingkat pengembalian
sebesar 10 persen, sama dengan tingkat pengembalian investasi-investasi lain yang
tersedia. Beban pajak jatuh pada pemilik aset mula-mula, yaitu pemilik aset
sebelum pengenaan pajak tersebut. Pemilik berikutnya yang membeli aset tersebut
akan melakukannya hanya pada harga yang lebih rendah sehingga tidak dibebani
oleh pajak tersebut. Kerugiannya telah dikapitalisasikan dan tetap berada pada
pemilik aslinya.

Dalam jangka panjang, bagian pajak yang menyatakan nilai dari tanah
tidak berubah. Tanah tidak dapat dipindahkan, sehingga pemilik asli dari tanah
pada daerah-daerah berpajak tinggi akan menderita kerugian permanen yang
besarnya sama dengan bagiannya dalam pajak. Tidak ada perbedaan dalam jangka
pendek dan jangka panjang. Karena kepemilikan tanah lebih banyak pada wajib
pajak berpenghasilan tinggi, beban pajaknya bersifat progresif.

Situasinya berbeda apabila yang dikenakan pajak adalah modal. Modal


yang diinvestasikan pada penyempurnaan tanah (bangunan) tidak akan melekat
selamanya. Dalam jangka panjang, modal ini akan pindah dari daerah yang
berpajak tinggi ke daerah yang berpajak rendah. Pengeluaran pemeliharaan atas
aset-aset tua akan berkurang dan investasi baru pada daerah berpajak tinggi akan
menurun. Sejalan dengan penurunan persediaan modal pada daerah berpajak
tinggi dan kenaikan persediaan modal pada daerah berpajak rendah, tingkat
pengembalian bruto atas modal pada daerah berpajak tinggi akan naik sedangkan
tingkat pengembalian bruto atas modal pada daerah berpajak rendah akan turun.
Pergerakan ini akan terus berlangsung sampai tingkat pengembalian bersih dari
investasi pada daerah berpajak tinggi sama dengan tingkat pengembalian pajak
daerah-daerah lain. Seperti situasi pada pajak perseroan, suatu pajak yang
dikenakan pada modal dalam satu sektor ekonomi akan dibagi bebannya oleh
semua pemilik modal.

Seberapa besar perpindahan modal dari daerah yang berpajak tinggi


bergantung pada mobilitas keluar dari tenaga kerja. Jika tenaga kerja dapat
berpindah dengan segera, tenaga kerja tersebut harus dibayar sebesar apa yang ia
terima di tempat lain dan perpindahan modal akan semakin besar. Jika tenaga
kerja tidak dapat berpindah, pajak akan dinyatakan dalam bentuk pengurangan
upah. Karena tenaga kerja yang tidak terampil cenderung kurang mudah bergerak
daripada tenaga kerja terampil, situasi seperti ini akan memunculkan pengaruh
regresif. Bila tenaga kerja pada daerah berpajak tinggi cenderung merugi, tenaga
kerja pada daerah berpajak rendah cenderung beruntung. Demikian juga, pemilik
tanah dan pemilik modal lainnya. Pengaruh ini adalah yang paling penting bila

Dasar-dasar Keuangan Publik


205

dipandang dari perspektif suatu daerah khusus, walaupun secara nasional tidak
berpengaruh terhadap distribusi beban pajak.

Beban di Dalam versus Beban di Luar. Pajak nasional dan lokal yang akan
menjadi perhatian suatu daerah lokal hanya bagian yang akan terbeban bagi
penduduknya dan bukan bagian yang menjadi beban penduduk daerah lain.

Jadi misalkan suatu kekayaan yang berada pada daerah A dimiliki oleh
penduduk daerah B. Akibatnya, beban jangka pendek akan berada pada individu
luar tersebut sedangkan penduduk lokal menikmati free ride. Akan tetapi,
penduduk lokal tidak akan menikmati hal ini dalam jangka panjang ketika modal
dapat berpindah ke luar. Sekarang, penduduk lokal merasakan bahwa sewa
meningkat dan upah turun sedangkan pihak luar mengalami keuntungan.
Semakin besar perpindahan modal, semakin kecil pendapatan yang diperoleh dan
semakin besar juga kenaikan sewa dan penurunan penghasilan yang dialami oleh
penduduk yang berpajak tinggi. Tidak hanya penduduk lokal tidak mampu
mengekspor beban pajak tersebut ketika ditagihkan, tetapi mereka juga mengalami
kerugian terhadap pihak luar karena modal makin sedikit tersedia untuk mereka.

Kebijakan pajak lokal akan melibatkan suatu pilihan yang sulit antara (1)
laba yang diperoleh dari pemindahan beban pajak kepada pihak luar melalui
pemajakan atas modal yang dimiliki oleh orang asing dan (2) bahaya kerugian
pada ekonomi lokal dari berpindahnya modal asing. Hal ini juga terjadi pada
tingkatan internasional dalam hal perbedaan pajak antar negara.

Perbedaan Manfaat. Sebagaimana kenaikan dalam tarip pajak kekayaan akan


mengurangi nilai dari kekayaan dan mendorong perpindahan modal ke luar,
demikian pula penyediaan tambahan layanan publik akan meningkatkan nilai dari
kekayaan dan menarik modal masuk. Sekolah atau layanan-layanan lokal yang
lebih baik akan membuat suatu kota atau daerah menjadi tempat yang lebih
menarik untuk ditinggali dan menjadi lokasi bisnis. Perbaikan ini akan
meningkatkan permintaan akan rumah dan bangunan, mendorong pada
peningkatan nilai kekayaan, dan karenanya menimbulkan efek sebaliknya dari
kenaikan tarip pajak kekayaan. Dengan demikian, manfaat-manfaat dari
pengeluaran-pengeluaran tersebut dapat dikapitalisasi tidak kurang dari beban
pajaknya sehingga pengaruh kombinasi pajak dan pengeluaran akan
menyebabkan nilai perumahan menjadi turun, tidak berpengaruh atau naik,
bergantung pada bagaimana pendapatan pajak diperoleh dan apa
penggunaannya.

Jika semua pajak kekayaan dikenakan dalam kesesuaian kuat dengan


prinsip manfaat, kedua pengaruh tadi akan saling menghilangkan dengan nilai
kekayaan tidak bergantung pada tarip pajak. Kenyataannya tidak demikian. Pajak
kekayaan, seperti PBB, digunakan sebagai sumber pendapatan umum dan
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang manfaatnya tidak
selalu sejalan dengan kontribusi pajak. Walaupun demikian, penyelidikan empiris
menunjukkan bahwa nilai kekayaan berkaitan dengan pengeluaran dan juga
perbedaan pajak, sehingga menyatakan secara jelas pentingnya
mempertimbangkan kedua aspek tersebut.

Dasar-dasar Keuangan Publik


206

Keadilan pengenaan PBB dan Pajak Penghasilan. Karena keberatan utama atas
pajak kekayaan berasal dari pemilik rumah, mari kita bandingkan posisi mereka
sebagai investor dalam jasa perumahan dengan posisi investor saham perusahaan,
dengan mempertimbangkan tidak hanya pajak kekayaan, tetapi juga pajak
penghasilan wajib pajak pribadi dan pajak penghasilan wajib pajak badan.
Walaupun investor pada jasa-jasa perumahan akan membayar pajak lebih tinggi
dalam kerangka pajak kekayaan, keseluruhan beban pajaknya masih lebih rendah
daripada kombinasi ketiga pajak ini. Hasil ini menunjukkan tambahan beban yang
harus ditanggung oleh pemegang saham karena pajak penghasilan wajib pajak
badan dan juga perlakuan yang lebih baik kepada pemilik rumah dalam kerangka
pajak penghasilan wajib pajak pribadi.

Pola-Pola Alternatif
Bagian pajak yang dikenakan kepada tanah dapat segera dibebankan kepada
pemilik tanah. Karena penawaran atas tanah bersifat tidak elastis dan tanah tidak
dapat dipindahkan, tidak ada penghindaran atas pajak. Distribusi pembebanannya
cenderung progresif.

Pajak yang dikenakan pada bangunan komersial dapat dipandang sebagai


sama dengan pajak penghasilan badan. Dalam kasus ini, kita dapat
mengasumsikan suatu pasar yang tidak sempurna dan mempostulasikan bahwa
sebagian dari pajak tersebut, misalkan separuhnya, dipindahkan kepada
konsumen. Bagian dari distribusi beban pajak ini kemudian akan menjadi regresif.

Yang tersisa adalah pajak atas rumah tinggal. Sebagaimana masyarakat


melihatnya, pajak ini dipandang sebagai pajak atas jasa-jasa konsumsi perumahan.
Karena pengeluaran perumahan akan menjadi bagian yang semakin kecil sejalan
dengan kenaikan skala penghasilan, pajaknya akan bersifat regresif. Bagaimana
pandangan pajak ini, yang merupakan pajak atas pengeluaran perumahan, dapat
direkonsiliasikan dengan interpretasi yang lebih awal, yaitu pajak atas penghasilan
modal? Kunci dari teka teki ini terletak pada fakta bahwa perumahan dapat
dipandang sebagai pos investasi, tetapi (dalam kasus perumahan yang ditinggali
pemiliknya) juga dipandang sebagai barang konsumsi yang tahan lama. Karena
hal ini, pemilik yang menempati akan bersedia menerima sewa imputed yang lebih
rendah pada perumahan daripada pada investasi lainnya. Sebagian dari pajak
akan terserap dalam sewa-kepemilikan ini dan didistribusikan sejalan dengan
konsumsi dan bukannya dibagi dengan semua penghasilan modal.

Penjelasan di atas tidak berlaku untuk kekayaan yang disewakan, di mana


pemiliknya hanya mempertimbangkan pilihan investasi. Jika pasarnya kompetitif,
modal yang diinvestasikan pada rumah sewaan akan meminta tingkat penghasilan
yang sama dengan modal-modal lain, dengan distribusi bebannya sejalan dengan
penghasilan modal. Akan tetapi hasilnya akan berbeda bila pasar sewa tidak
sempurna sebagaimana yang sering terjadi. Pajak dapat mengarah pada
peningkatan batas atas sewa atau pelonggaran dari penentuan harga monopoli
yang dibatasi sebelumnya. Tingkat pajak kekayaan efektif cenderung akan tinggi
pada lingkungan berpenghasilan rendah dan sebagian disebabkan oleh pengenaan

Dasar-dasar Keuangan Publik


207

pajak pada tarip yang lebih tinggi di tengah-tengah kota pada lingkungan
berpenghasilan rendah. Tambahan beban pajak ini akan ditanggung pula oleh
penyewa.

Pajak Atas Kekayaan Bersih


Dalam mendiskusikan alasan pengenaan pajak atas kekayaan dan
kekayaan, kita membedakan antara argumentasi kemanfaatan yang menunjukkan
perbedaan beban kepada pengguna dalam kekayaan yang dikenakan dengan basis
in rem dan argumentasi kemampuan untuk membayar yang mengarahkan pada
pajak atas kekayaan bersih yang dikenakan secara pribadi. Pajak kekayaan (PBB) –
yang diterapkan kurang lebih secara seragam sebagai pajak in rem kepada semua
bumi dan bangunan dalam suatu daerah tertentu – tidak mengikuti kedua pola ini.
Sekarang kita bahas jenis pajak yang lain yang lebih menarik tetapi jarang
digunakan, yaitu pajak atas kekayaan bersih.

Pengalaman berbagai Negara yang Menerapkan Pajak atas Kekayaan Bersih


Pajak atas kekayaan bersih diberlakukan pada beberapa negara, seperti Belanda,
Jerman, negara-negara Skandinavia, dan Swiss. India dan beberapa negara
Amerika Latin juga menggunakan pajak jenis ini. Di kebanyakan negara, pajak ini
dikenakan hanya kepada individu, walaupun pada beberapa negara (seperti
Jerman dan India) perseroan juga dipajaki. Definisi dari aset kena pajak biasanya
mencakup aset berwujud dan aset tak berwujud dan dalam banyak kasus semua
kewajiban hutang dapat dikurangkan. Akan tetapi, beberapa negara tidak
membolehkan kewajiban tidak berkaitan dengan perolehan aset kena pajak. Orang
pribadi diberikan pengecualian dan tarip pajak dapat proporsional (umumnya 1
persen atau kurang) atau progresif ( berkisar sampai 2,5 persen).

Pajak atas kekayaan bersih, kecuali di Swiss, dikenakan sebagai pajak


pusat. Negara yang menggunakan pajak ini umumnya menerapkannya sebagai
tambahan atas pajak kekayaan, dengan pendapatan dari pajak atas kekayaan
bersih hanya merupakan bagian kecil (di bawah 5 persen) dari total pendapatan
pajak. Pajak ini merupakan salah satu komponen penting dalam struktur pajak
karena pajak ini dapat digunakan sebagai pelengkap dari cakupan atas
penghasilan modal yang tidak efektif dalam kerangka pajak penghasilan. Aspek
ini sangat penting pada negara-negara berkembang karena sulitnya mengenakan
pajak atas penghasilan modal. Untuk negara-negara lain, pajak ini dapat
digunakan sebagai pelengkap untuk pajak pengeluaran.

Struktur dan Basis Pajak


Basis Pajak. Pajak atas kekayaan bersih sangat berkaitan dengan kemampuan
untuk membayar. Oleh karena itu, pajak ini harus dikenakan pada orang pribadi
dan juga badan. Sejalan dengan pandangan partnership dari pajak laba perusahaan,
kekayaan bersih dari perusahaan harus diperhitungkan kepada pemiliknya.
Sebagaimana dalam hal pajak penghasilan, basisnya harus didefinisikan secara
global, sehingga dapat memberikan perlakuan yang sama pada semua komponen
kekayaan bersih. Selain itu, prinsip keseragaman harus diterapkan baik kepada sisi

Dasar-dasar Keuangan Publik


208

aset maupun sisi kewajiban pada neraca. Semua aset berwujud dan tak berwujud,
aset berpenghasilan dan yang tidak berpenghasilan semuanya dimasukkan.
Demikian juga, semua kewajiban hutang juga dikurangkan.

Mengukur Kekayaan Bersih. Administrasi pajak atas kekayaan bersih


mengharuskan adanya identifikasi atas aset kena pajak dan verifikasi atas hutang
yang diklaim. Administrasi ini mengharuskan SPT yang melampirkan neraca
tahunan yang berisi daftar harta dan kewajiban pembayar pajak.

Berkenaan dengan akuntansi untuk asset, pemerintah harus memastikan


bahwa semua aset telah dinyatakan. Selain itu, ada juga permasalahan dalam
penilaian aset. Kesulitan-kesulitan yang melekat dalam penilaian saat ini atas
semua aset telah didiskusikan dalam kaitannya dengan pajak atas penghasilan
modal. Di sini juga perkiraan juga harus dipergunakan. Dengan demikian, aset
yang menjadi subjek pajak kekayaan (terutama bila pengenaannya disamakan)
dapat dinilai dengan cara itu, sedangkan aset lain, seperti sekuritas yang
diperdagangkan, dapat dinilai berdasarkan harga penawaran di pasar. Untuk
sisanya, perkiraan yang kasar (seperti biaya perolehan dikurangi dengan
penyusutan) harus digunakan. Kesulitan yang sama juga terjadi pada hutang-
hutang yang dapat dikurangkan. Kesulitan dalam mengadministrasikan suatu
pajak atas kekayaan bersih yang baik cukup besar. Tidaklah mengherankan bila
pajak atas kekayaan bersih lama kelamaan akan terdegenerasi menjadi pajak atas
bumi dan bangunan saja. Akan tetapi, kesulitan ini tidaklah sangat besar. Bila
dikaitkan dengan administrasi pajak penghasilan, dan secara khusus dengan
administrasi pajak pengeluaran, dapat memunculkan elemen self enforcement.
Perolehan aset harus dinyatakan untuk meminimalkan pajak pengeluaran,
pernyataan ini akan menambah basis dari pajak atas kekayaan bersih.

Peranan Harta tak Berwujud (Intangibles)


Klaim kepada swasta. Asumsikan suatu keadaan di mana tidak ada hutang publik
atau uang yang dikeluarkan pemerintah. Semua instrumen hutang adalah antara
orang pribadi. Misalnya hanya ada dua orang, yaitu A dan B, yang posisi
kekayaannya adalah berikut:

Tabel 19.1: Basis Pajak


A B A+B

Harta berwujud 100.000 50.000 150.000


Hutang 10.000 -
Piutang - 10.000
Kekayaan bersih 90.000 60.000 150.000

Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di atas, basis total untuk suatu


pajak atas harta berwujud dan kekayaan bersih akan sama, yaitu sebesar
Rp150.000. Jika kita menagih sebesar Rp15.000 dari suatu pajak sebesar 10 persen
atas semua harta berwujud, A akan membayar sebesar Rp10.000 dan B akan
membayar sebesar Rp5.000. Jika kita mengumpulkan jumlah yang sama dengan

Dasar-dasar Keuangan Publik


209

menggunakan pajak atas kekayaan bersih, A akan membayar sebesar Rp9.000 dan
B akan membayar sebesar Rp6.000. Pada awalnya, hal ini menyarankan bahwa A
akan lebih menyukai pajak atas kekayaan bersih sedangkan B akan lebih menyukai
pajak kekayaan. Akan tetapi, pasar akan menyesuaikan seperlunya. Ketika pajak
atas kekayaan dikenakan, peminjam tidak akan bersedia membayar pada tingkat
bunga yang sama seperti yang mereka lakukan sebelumnya karena penghasilan
neto mereka dari investasi pada kekayaan akan menurun. Pemberi pinjaman harus
puas dengan suatu tingkat bunga yang lebih rendah, sehingga sebagian beban
dipindahkan dari A ke B. Pada akhirnya, distribusi beban akan sama dengan yang
terjadi berdasarkan pajak atas kekayaan bersih, yaitu sejalan dengan distribusi
kekayaan. Jika suatu tarip proposional dikenakan, pilihan diantara keduanya tidak
ada permasalahan.

Sebaliknya, keduanya berbeda apabila pajak diterapkan dengan tarip


progresif. Sesuai dengan tabel di atas, kita dapat melihat bahwa distribusi beban
dari suatu tarip progresif pada kekayaan (di mana basis A dua kali basis B) akan
berbeda dengan yang dikenakan pada basis kekayaan bersih (di mana basis A
hanya lebih besar 50 persen daripada basis B). Karena pajak pribadi mengharuskan
adanya pengenaan pajak berdasarkan prinsip kemampuan untuk membayar, pajak
atas kekayaan bersih adalah bentuk yang paling baik dari pajak atas kekayaan.

Klaim terhadap Pemerintah. Perbedaan lebih lanjut dapat terjadi jika kita
mengasumsikan adanya klaim terhadap pemerintah, apakah klaim itu dalam
bentuk hutang publik atau uang yang didukung oleh kredit Bank Sentral. Klaim
seperti ini akan menambah kekayaan dari seseorang tanpa mengurangi kekayaan
dari orang lainnya. Klaim-klaim seperti ini dapat menjadi tambahan pada basis
kekayaan bersih bagi seluruh kelompok secara keseluruhan. Misalnya tabel di atas
dimodifikasi sebagai berikut:

Tabel 19.2: Basis Pajak Modifikasi


A B A+B

Kekayaan bersih dari tabel sebelumnya 90.000 60.000 150.000


Klaim terhadap pemerintah 70.000 20.000 90.000
Kekayaan bersih 160.000 80.000 240.000

Dalam kasus ini, penagihan sebesar Rp15.000 berdasarkan pajak atas


kekayaan bersih tarip tetap akan mengharuskan pengenaan tarip sebesar 6,2
persen, dan mendapatkan Rp9.888 dari A dan Rp5.112 dari B. Untuk mendapatkan
sejumlah pendapatan yang sama dengan pajak kekayaan, suatu tarip sebesar 10
persen, dengan pembayaran sebesar Rp10.000 dan Rp5.000 masing-masing. Pasar
sekali lagi akan mengkompensasikan untuk pengurangan tingkat pengembalian
bersih dari kekayaan, tetapi beban A akan tetap lebih tinggi berdasarkan pajak atas
kekayaan bersih daripada pajak atas kekayaan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


210

Bea Atas Modal


Satu bentuk pajak kekayaan lainnya adalah bea atas modal. Dikenakan
sekali dan selamanya, bea ini telah digunakan oleh beberapa negara dalam situasi-
situasi mendesak seperti reformasi moneter untuk menghentikan inflasi setelah
perang. Jika sifatnya benar-benar satu kali dan selamanya, yang tidak
diantisipasikan atau diharapkan akan terjadi kembali, bea seperti itu berbeda dari
bentuk pajak kekayaan lainnya karena tidak ada efek-efek mengganggu terhadap
tingkah laku ekonomi. Hal ini menambah daya tarik pajak jenis ini sebagai
instrumen pajak redistribusi, akan tetapi asumsi mendasar tentang aplikasinya
yang unik dan tanpa antisipasi menyebabkan pajak ini tidak termasuk bagian dari
struktur pajak normal.

Dasar-dasar Keuangan Publik


211

B A B XX

PAJAK ATAS WARISAN

ajak atas warisan adalah salah satu jenis pajak kekayaan yang tidak

P dikenakan setiap tahun tetapi dikenakan pada saat pemindahan dengan


mewariskan atau menghibahkan. Pajak atas warisan dapat diterapkan
pada tingkatan nasional maupun pada tingkatan lokal. Walaupun basisnya
dikembangkan secara substansial, pajak atas warisan tidak akan menjadi sumber
pendapatan utama suatu negara. Akan tetapi, pajak atas warisan mendapat
perhatian luas karena filosofi sosial dan sebagai instrumen kebijakan untuk
menyesuaikan distribusi kekayaan. Untuk alasan inilah pajak atas warisan secara
potensial merupakan elemen yang penting dalam struktur pajak.

Alasan-Alasan Pengenaan Pajak atas Warisan


Pajak atas warisan dapat dikenakan dalam berbagai bentuk dan untuk
berbagai alasan. Pajak dapat dikenakan pada warisan secara keseluruhan atau atas
jumlah yang diterima oleh ahli waris.

Sekilas pandang, tidak ada perbedaan apakah pajak dikenakan atas


warisan atau kepada penerima warisan. Akan tetapi, apabila tarip pajak yang
dipakai tidak proporsional, perbedaan pengenaan ini dapat menimbulkan
perbedaan jumlah pajak.

Tujuan dan Jenis Pajak


Beberapa hal berikut yang memunculkan pengenaan pajak atas warisan
pada suatu masyarakat:
1. Masyarakat mungkin ingin membatasi hak seseorang untuk membagikan
hartanya pada saat meninggal. Orang pribadi dapat menggunakan harta
mereka ketika mereka masih hidup tetapi hak kepemilikan mereka
berakhir ketika meninggal. Dalam hal ini, suatu pajak atas kekayaan dapat
diberlakukan. Jika masyarakat ingin membolehkan warisan bebas sampai
sejumlah tertentu, suatu pengecualian dapat diberlakukan. Jika

Dasar-dasar Keuangan Publik


212

masyarakat ingin menyita warisan yang melebihi suatu jumlah tertentu,


suatu tarip pajak 100 persen di atas batas tersebut dapat diberlakukan.
2. Suatu masyarakat mungkin ingin menetapkan batasan-batasan yang
semakin meningkat atas hak seseorang untuk memindahkan kekayaannya
pada generasi-generasi berikutnya, dalam hal ini, tingkatan tarip pajak
atas warisan yang dapat diterapkan akan naik ketika kekayaan diwariskan
secara berurutan, suatu pendekatan yang pertama kali disarankan oleh
ekonom Italia, Eugino Rignano.
3. Masyarakat juga dapat membatasi hak seseorang untuk mendapatkan
kekayaan dari warisan, yaitu tanpa usahanya sendiri. Dalam hal ini, pajak
dapat diterapkan kepada ahli waris. Jika diinginkan untuk membolehkan
beberapa perolehan harta melalui warisan tetapi membedakan antara
perolehan-perolehan besar dan kecil, tarip progresif dapat diterapkan.
4. Masyarakat juga dapat mempunyai tujuan yang lebih umum mencapai
distribusi kekayaan yang lebih adil. Tradisi pewarisan merupakan satu
faktor utama yang menimbulkan konsentrasi kekayaan, dengan kekayaan
dari warisan merupakan sumber lebih dari separuh kekayaan dari pria-
pria kaya dan merupakan sumber hampir seluruh kekayaan wanita-
wanita kaya. Pajak atas warisan dapat digunakan untuk mengurangi
ketidakadilan dalam distribusi kekayaan ini.
5. Pajak pada saat kematian dapat dipandang sebagai pelengkap atas pajak
penghasilan daripada sebagai tambahan pajak atas transfer. Berdasarkan
pendekatan tambahan kemampuan ekonomis dari pajak penghasilan,
penerimaan dari suatu warisan selayaknya dimasukkan sebagai
penghasilan bagi ahli waris. Dalam hal ketiadaan memasukkan hal
tersebut, suatu pajak atas warisan (yang taripnya dikaitkan dengan
penghasilan dari ahli waris) dapat dipandang sebagai koreksi definisi
penghasilan yang kurang baik. Hal yang sama juga dapat dinyatakan
untuk pernanan dari pajak atas warisan (yang berkaitan dengan konsumsi
dari pewaris) sebagai koreksi untuk definisi basis yang efektif dalam hal
pajak pengeluaran yang tidak memasukkan warisan dalam basisnya.
6. Pajak atas warisan dapat dipandang sebagai suatu alternatif dari pajak
atas penghasilan modal selama masa hidup penerimanya. Pandangan ini
dapat dinyatakan bahwa penggantian kepada pajak atas warisan dari
pajak atas penghasilan modal yang progresif akan mengurangi pengaruh
disinsentif pada menabung dan investasi.

Oleh karena itu, pilihan antara pendekatan pajak atas warisan atau pajak
kepada ahli waris bergantung pada tujuan-tujuan yang akan dicapai dengan
merancang pajak tersebut. Hanya jika tarip pajaknya proporsional tidak ada
perbedaan di antara keduanya. Walaupun tujuannya berbeda, keduanya tidak
harus mutually exclusice. Dalam mencapai tujuan 1 dan 3 di atas, masyarakat dapat
menerapkan pajak atas warisan (yang mengurangi hak pewaris membagikan
hartanya) dan pajak kepada ahli waris yang dirancang untuk membatasi hak ahli
waris untuk menerima dan/atau mengkompensasikan ketidaktercakupan warisan
ke dalam penghasilan kena pajak. Pilihan di antara tujuan-tujuan ini dan
pemilihan pajak yang tepat merupakan permasalahan yang harus dibedakan
dengan pertanyaan bagaimana transaksi-transaksi pada saat kematian

Dasar-dasar Keuangan Publik


213

(penerimaan suatu warisan atau memberikan warisan) harus diperlakukan dalam


suatu pajak penghasilan atau pengeluaran.

Permasalahan-Permasalahan Khusus
Capital gain. Di Amerika Serikat, aset untuk tujuan pajak warisan dinilai
berdasarkan harga pasarnya pada saat pemiliknya meninggal, bukannya sebesar
harga perolehan aslinya. Basis yang baru ini kemudian digunakan untuk tujuan
pemajakan atas penghasilan modal pada saat penjualan aset tersebut oleh ahli
waris. Jadi, hanya peningkatan harga dari saat kematian saja yang diperhitungkan,
membuat peningkatan harga sebelum kematian tidak dipajaki.

Pengurangan karena Status Pernikahan. Permasalahan perlakuan terhadap unit


keluarga yang muncul pada pajak penghasilan, terjadi juga pada pajak warisan.
Apabila salah satu pasangan meninggal, warisan dapat diberikan kepada
pasangannya yang masih hidup bebas dari pajak. Hal ini sesuai dengan
pendekatan unit keluarga dalam pajak penghasilan. Harta yang diwariskan
kepada pasangan yang masih hidup diperlakukan seolah-olah harta tersebut
adalah harta bersama, walaupun sebelum kematian kepemilikannya terpisah.
Aturan yang sama tidak berlaku untuk anak dan anggota keluarga lainnya.
Walaupun demikian, aturan sampai seberapa jauh hubungan kekeluargaan
menyebabkan pengecualian dari pengenaan pajak sangat bergantung pada
peranan keluarga dalam kaitannya dengan hak untuk memindahkan harta setelah
meninggal.

Kontribusi bagi Lembaga Sosial. Sumbangan sosial juga penting dalam pajak atas
warisan/hibah. Pada umumnya tidak ada batasan pengurangan atas sumbangan
sosial dalam kerangka pajak atas warisan. Peranan dari sumbangan sosial dalam
pajak warisan, sebagaimana juga dalam pajak penghasilan, melibatkan persoalan-
persoalan budaya, sosial dan politik yang sudah di luar pembahasan kebijakan
pajak. Organisasi-organisasi yang didukung oleh sumbangan-sumbangan tidak
kena pajak telah mencapai tujuan-tujuan yang berguna yang tidak dapat dicapai
oleh anggaran negara, akan tetapi pembebasan pajak ini mendorong timbulnya
kendali privat yang tinggi dalam penggunaan dana yang sebenarnya dana publik.

Bisnis Keluarga. Para kritikus dari pajak atas warisan menyatakan bahwa pajak
ini mengancam kelangsungan institusi perusahaan yang dimiliki keluarga. Salah
satu keberatan yang dimunculkan adalah pajak atas warisan dapat membuat ahli
waris harus melikuidasi perusahaan dengan persyaratan-persyaratan yang tidak
menguntungkan dalam rangka membayar pajak tersebut. Keberatan ini
sebenarnya bukan masalah besar karena dapat diatasi dengan aturan-aturan yang
liberal untuk pembayaran yang dicicil atau ditunda. Walaupun demikian,
pembayaran pajak akan mengharuskan suatu likuidasi, yang tidak harus
melibatkan pemecahan unit usaha. Unit tersebut dapat dijual secara keseluruhan
atau sebagian dari ekuitas dapat dipindahkan kepada pihak luar. Konsekuensi
yang mungkin sulit dicegah adalah gangguan atau pengurangan terhadap kendali
keluarga atas bisnis sebagai akibat dari pengenaan pajak apabila kekayaan yang
diwariskan dalam bentuk bisnis keluarga.

Dasar-dasar Keuangan Publik


214

B A B XXI

ANALISIS MANFAAT DAN BIAYA


ATAS
BARANG DAN JASA SOSIAL

nalisis manfaat dan biaya (cost benefit analysis) adalah suatu cara untuk
A menentukan bobot dari berbagai alternatif proyek pemerintah. Tujuan
analisis ini adalah untuk meyakinkan pengambil keputusan bahwa proyek
yang akan dilaksanakan adalah yang paling efisien dan memiliki marginal benefit
yang lebih besar dari marginal cost nya. Analisis ini akan menyajikan informasi
yang berguna bagi pengambil keputusan dalam menentukan proyek yang akan
dilaksanakan dari berbagai alternatif proyek yang diajukan.

Ada tiga langkah pokok dalam melakukan analisis manfaat dan biaya
yaitu:
1. Mengidentifikasi manfaat dan biaya dari setiap proyek yang diusulkan,
2. Mengevaluasi dan mengkonversi manfaat dan biaya tersebut kedalam
suatu nilai uang, dan
3. Mendiskontokan manfaat yang akan datang.

Langkah tersebut bertujuan untuk mengetahui nilai sekarang (present


value) dari manfaat proyek dibandingkan dengan anggaran biaya yang
dibutuhkan untuk membiayai proyek tersebut.

Walau langkah-langkah diatas terlihat sederhana, namun analisis manfaat


dan biaya yang benar membutuhkan kombinasi dari keahlian ekonomi, teknik,
dan logika. Dalam mengukur manfaat, harus memperhitungkan pula seluruh
dampak sampingan (externalities) yang timbul dari proyek tersebut. Biaya pun
harus diterapkan dengan benar, termasuk menghitung manfaat yang dikorbankan
(opportunity cost) karena melepaskan alternatif proyek. Tingkat diskonto juga harus
ditentukan dengan benar guna membandingkan manfaat sekarang dan manfaat
yang akan datang dari berbagai alternatif proyek.

Dasar-dasar Keuangan Publik


215

Mengidentifikasi Manfaat dan Biaya


Langkah awal yang harus dilakukan adalah menentukan proyek-proyek
yang diusulkan beserta masing-masing outputnya. Selanjutnya, mengidentifikasi
biaya yang dibutuhkan serta manfaat yang dihasilkan selama umur ekonomis
proyek tersebut.

Manfaat dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu, manfaat langsung dan
manfaat tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang diterima oleh
pihak-pihak yang terkait langsung dengan output dari proyek yang bersangkutan.
Contoh, dalam suatu proyek irigasi yang bertujuan untuk meningkatkan areal
persawahan maka yang menjadi manfaat langsung adalah seluruh hasil bersih
yang diperoleh petani yang tinggal di areal yang dilalui oleh jaringan irigasi
tersebut. Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang diterima oleh pihak-pihak
yang tidak terkait langsung dengan output proyek yang bersangkutan. Dalam
contoh irigasi diatas, yang menjadi manfaat tidak langsung adalah meningkatnya
kesuburan tanah di daerah yang tidak dilewati jaringan irigasi secara langsung.

Dalam menghitung manfaat, hanya kenaikan riil pada output atau


kesejahteraan saja yang perlu diperhitungkan. Selain itu, perlu juga diperhatikan
jangan sampai terjadi perhitungan ganda. Sebagai contoh, nilai tanah yang dilalui
proyek irigasi diperkirakan akan bertambah mahal karena disamping harga tanah
itu sendiri, orang akan memperhitungkan pula potensi lahan yang dapat
dikembangkan. Oleh karena itu bila kita memasukkan kenaikan harga tanah dan
juga hasil panennya dalam menghitung manfaat, maka kita telah melakukan
penghitungan ganda karena hasil panen sudah tercermin dalam harga tanah.

Pada proyek-proyek tertentu terdapat kendala dalam menghitung


besarnya manfaat yang diperoleh. Misalnya, bagaimana cara mengkuantifkan
manfaat dari proyek pendidikan maupun proyek kesehatan? Dalam proyek
pendidikan, kenaikan penghasilan yang dinikmati orang yang menerima proyek
pendidikan dapat juga dimasukkan sebagai manfaat proyek tersebut. Dalam
proyek peningkatan keselamatan kerja, manfaat dapat mencakup kenaikan
produksi sebagai akibat berkurangnya kecelakaan kerja.

Dalam menghitung biaya proyek, disamping memasukkan unsur biaya


langsung, kita harus memperhitungkan pula biaya tidak langsung (externalities)
yang timbul karena proyek tersebut. Sebagai contoh, suatu proyek pembangunan
bendungan telah menyebabkan beberapa daerah menjadi kekurangan air. Biaya-
biaya yang timbul akibat kesulitan air tersebut harus pula dimasukkan sebagai
biaya dalam proyek pembangunan bendungan itu.

Mengevaluasi dan Mengkonversi Manfaat dan Biaya


Setelah berhasil mengidentifikasi seluruh manfaat dan biaya yang timbul,
maka langkah selanjutnya adalah mengevaluasi serta mengkonversi manfaat dan
biaya tersebut kedalam nilai uang tertentu. Dalam menilai output dari suatu
proyek diperlukan estimasi mengenai permintaan dan surplus konsumen atas

Dasar-dasar Keuangan Publik


216

output yang bersangkutan. Misalnya, dalam proyek yang akan menghasilkan padi,
kita memerlukan estimasi permintaan dan surplus konsumen terhadap komoditi
padi untuk menghitung manfaat dari proyek tersebut.

Kesulitan baru timbul bila hasil proyek tidak bisa dijual atau merupakan
benda yang tidak berwujud. Misalnya, dalam proyek peningkatan kesehatan
masyarakat, kita sulit menentukan secara langsung manfaat proyek tersebut
mengingat outputnya dinikmati oleh masyarakat secara kolektif. Alternatifnya,
manfaat proyek dapat diestimasi dengan cara menghitung besarnya kenaikan
penghasilan yang dinikmati oleh masyarakat yang menjadi obyek proyek
kesehatan tersebut. Cara yang sama juga dapat diterapkan untuk menghitung
manfaat proyek pendidikan.

Kesulitan lain dapat pula timbul apabila input maupun output suatu
proyek merupakan barang yang dapat dipasarkan namun harganya tidak sesuai
dengan kondisi yang sesungguhnya. Sebagai contoh, listrik merupakan output
proyek pembangkit listrik yang dapat dipasarkan, namun karena pasokannya
dimonopoli oleh PLN maka harga listrik yang diterapkan adalah harga
monopolistik yang lebih tinggi dibanding dengan harga pasar persaingan
sempurna. Oleh karena itu, dalam menghitung manfaat proyek kita harus
menurunkan harga output agar sesuai dengan kondisi harga pasar yang
sebenarnya. Demikian pula dengan faktor input. Bila harga input yang digunakan
terlalu rendah karena input tersebut menerima subsidi, misalnya bahan bakar, kita
harus menaikkan harga bahan bakar tersebut dalam menghitung biaya yang
dibutuhkan suatu proyek.

Mendiskonto Manfaat yang akan datang


Alasan kita melakukan diskonto karena nilai uang Rp 100 saat ini lebih
tinggi dibanding nilai uang Rp 100 di masa yang akan datang, dengan asumsi
suku bunga perbankan positif. Jika tingkat suku bunga bank sebesar 5% setahun,
maka hanya dengan menyimpan uang sebesar Rp. 95,24 sekarang kita akan
mendapatkan Rp. 100 setahun yang akan datang. Nilai Rp. 95,24 adalah present
value dari Rp. 100 satu tahun yang akan datang. Diakhir tahun, uang sebesar Rp.
95,24 akan menjadi Rp. 95,24 + (Rp. 95,24)(0,05) = Rp. 100,-

Secara umum, present value (PV) dapat dihitung dengan rumus sbb:

X
PV =
(1 + r )n

dimana: X = adalah nilai uang masa yang akan datang


r = tingkat suku bunga
n = jangka waktu

Semakin tinggi kita menerapkan tingkat suku bunga, semakin rendah


present value dari X. Tingkat suku bunga, r, disebut juga sosial rate of discount
yang digunakan untuk menghitung present value dari penerimaan dimasa yang

Dasar-dasar Keuangan Publik


217

akan datang. Bila suatu proyek menghasilkan penerimaan sebesar Xi per tahun
selama beberapa tahun mendatang, maka present value dari seluruh penerimaan
tersebut dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

n
Xi
PV = ∑
i =1 (1 + i )
i

Misalnya, jika suatu proyek menghasilkan penerimaan sebesar X1 pada


tahun pertama, dan X2 pada tahun kedua, present value seluruh penerimaan
tersebut adalah,

X1 X2
PV = +
(1 + r ) (1 + r ) 2
1

Pengaruh Tingkat Diskonto terhadap Present Value


Mengapa memilih tingkat diskonto yang tepat merupakan hal yang penting?
Pertama, karena dalam rangka mengevaluasi manfaat dan biaya secara akurat.
Suatu analisis yang sudah menetapkan tingkat diskonto secara tepat namun salah
dalam mengkalkulasi manfaat dan biayanya maka akan menghasilkan informasi
yang menyesatkan. Seluruh tahap dalam menganalisis manfaat dan biaya adalah
sama pentingnya bila hendak menghasilkan informasi yang akurat. Namun
demikian, penentuan tingkat diskonto akan berdampak pada peringkat proyek
yang diajukan. Tingkat diskonto yang rendah cenderung menguntungkan proyek
yang berjangka panjang dibanding proyek yang berjangka lebih pendek.

Berikut ini disajikan ilustrasi pengaruh tingkat diskonto yang berbeda


dalam memilih suatu proyek. Diasumsikan ada 2 alternatif proyek, yang akan
dipilih salah satunya untuk dilaksanakan. Proyek A menghasilkan manfaat bersih
sebesar Rp. 90 pada saat itu juga. Proyek B menghasilkan Rp. 0 pada tahun
pertama dan Rp. 100 pada tahun kedua. Pada tingkat tingkat diskonto 0 %, 5 %,
dan 10 %, present value dari dua proyek tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel 21.1: Tingkat Diskonto dan Peringkat Proyek


Tingkat Present value Present Value
Diskonto Proyek A Proyek B
Rp.100
0% Rp. 90 = Rp.100
(1 + 0) 2
Rp.100
5% Rp. 90 = Rp.90,7
(1 + 0,05)2
Rp.100
10% Rp. 90 = Rp.82,6
(1 + 0,1)2

Dasar-dasar Keuangan Publik


218

Present value Proyek A selalu Rp. 90 karena langsung menghasilkan


manfaat di awal proyek. Present value Proyek B bervariasi tergantung pada
tingkat diskontonya. Pada Tabel 8.1 terlihat bahwa present value Proyek B lebih
besar daripada present value Proyek A pada tingkat diskonto 0 % dan 5 %. Namun
pada tingkat diskonto 10 %, Proyek A lebih menguntungkan dibanding Proyek B.
Secara umum, semakin besar tingkat diskonto yang digunakan, semakin kecil nilai
manfaat yang diterima dimasa yang akan datang.

Alasan kedua perlunya ditentukan tingkat diskonto secara akurat adalah


semakin besar tingkat diskonto yang digunakan maka akan semakin banyak
proyek-proyek pemerintah yang akan ditolak pelaksanaannya. Sejauh ini, tingkat
diskonto yang digunakan adalah tingkat suku bunga umum yang dipakai untuk
menghitung bunga tabungan dan investasi oleh masyarakat. Tingkat diskonto
yang lebih besar dari bunga tabungan berarti opportunity cost belanja pemerintah
lebih besar dibanding kepuasan masyarakat yang hilang. Hal ini berarti
pemerintah dituntut untuk lebih efisien agar dapat menerapkan tingkat diskonto
yang lebih rendah. Suatu proyek yang menghasilkan present value negatif akan
dapat menjadi positif bila menggunakan tingkat diskonto yang lebih rendah.

Menentukan Tingkat diskonto Sosial (Social Rate of Discount)


Tingkat diskonto sosial mencerminkan tingkat return yang dapat
dihasilkan dari suatu dana jika dikelola pada sektor swasta atau masyarakat.
Tingkat diskonto sosial merupakan opportunity cost dari dana tersebut bila
digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah. Agar tidak timbul
pemborosan, dana tersebut tidak boleh digunakan oleh pemerintah jika ternyata
alternatif penggunaannya di sektor swasta menghasilkan manfaat sosial yang lebih
tinggi.

Penggunaan tingkat diskonto sosial sebagai tingkat diskonto dalam


menganalisis suatu proyek adalah untuk meyakinkan bahwa tidak terjadi salah
kalkulasi dalam menganalisis manfaat dan biaya proyek. Tingkat diskonto sosial
merupakan tingkat suku bunga dimana baik penabung maupun investor rela
melepaskan dananya guna membiayai kegiatan atau proyek pemerintah. Sebagai
contoh, jika suku bunga tabungan adalah sebesar 10 persen, maka proyek
pemerintah harus dapat menghasilkan manfaat yang sama atau lebih besar dari 10
persen agar ada aliran dana dari sektor swasta ke sektor publik.

Tingkat return yang diharapkan oleh penabung dan investor tidak selalu
sama karena adanya distorsi dalam perekonomian (misalnya pajak). Sebagai
contoh, jika perusahaan dikenakan pajak penghasilan sebesar 50 persen, maka
keuntungan bersih perusahaan dari hasil investasinya hanya setengah dari
keuntungan aktual yang diperoleh. Bila dalam investasinya tersebut perusahaan
harus membayar bunga sebesar 10 persen atas dana yang dipinjamnya, maka dana
tersebut harus dapat menghasilkan keuntungan lebih dari 20 persen supaya dapat
menutup biaya bunga, pajak, beserta keuntungan yang diharapkan. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 21.1

Dasar-dasar Keuangan Publik


219

Gambar 21.1 Pengaruh Pajak terhadap Tingkat Return

S
20 = rg
Return (persen)

16 E

i = 10 = rn E’

D = keuntungan

D’ = keuntungan
setelah pajak

0 F2 F1
Dana tabungan dan investasi per tahun

Pada Gambar 21.1, kurva D adalah tingkat permintaan dana untuk


investasi tanpa dipengaruhi pajak. Setiap titik dalam kurva ini menunjukkan gross
return yang diperoleh perusahaan atau investor untuk setiap dana yang
diinvestasikannya. Semakin tinggi gross return, semakin sedikit dana yang diminta
oleh investor untuk diinvestasikan. Kurva S adalah supply dana yang siap
diinvestasikan. Setiap titik dalam kurva S menggambarkan suku bunga yang harus
dibayarkan kepada penabung agar mau menyimpan dananya untuk kepentingan
investasi. Semakin tinggi tingkat bunga, semakin banyak dana yang disediakan
oleh penabung. Pada kondisi tidak ada pajak, titik keseimbangan pasar akan
terjadi pada titik E. Penerimaan kotor (gross return) yang diperoleh perusahaan, rg,
akan sama dengan bunga yang dibayarkan kepada penabung, dan dalam contoh
ini diumpamakan sebesar 16 persen.

Sekarang, diasumsikan investor dikenakan pajak penghasilan sebesar 50


persen sedangkan bunga tabungan tetap tidak dikenakan pajak. Dampak
pengenaan pajak penghasilan ini adalah penerimaan bersih investor turun hingga
setengahnya. Pada Tabel 8.2. hal ini digambarkan oleh pergeseran kurva D ke D’.
Akibat turunnya dana yang diinvestasikan dari F1 ke F2 per tahun, gross return
yang dikehendaki investor naik menjadi 20 persen (rg) karena harus membayar
pajak. Gross return sebesar 20 persen ini hanya akan menghasilkan penghasilan
neto sebesar 10 persen (rn). Titik keseimbangan yang baru sekarang terletak di E’.
Jika dana sebesar F2 ini hendak diinvestasikan ke proyek pemerintah, maka

Dasar-dasar Keuangan Publik


220

tingkat diskonto yang digunakan adalah 20 persen. Namun, bila dana tersebut
digunakan untuk konsumsi, opportunity cost nya hanya 10 persen.

Hal lain yang dapat mempengaruhi tingkat diskonto selain pajak adalah
tingkat risiko. Dalam contoh diatas, jika faktor risiko tidak diperhitungkan maka
titik keseimbangan pasar akan terletak pada rate sebesar 10 persen. Jika
memasukkan faktor risiko dan inflasi dalam menghitung penghasilan neto, maka
investor akan menginginkan gross return yang lebih tinggi lagi, dalam contoh
diatas bisa lebih tinggi dari 20 persen. Semakin tinggi faktor risiko suatu proyek,
semakin tinggi pula gross return yang diharapkan dari proyek tersebut.

Pengaruh Inflasi
Inflasi dapat menjadi masalah dalam analisis manfaat dan biaya karena ia
mempengarungi net present value dari manfaat bersih suatu proyek. Ada dua
alternatif cara untuk mengatasi masalah inflasi ini. Pertama, manfaat dan biaya
suatu proyek diperhitungkan dahulu, kemudian tingkat inflasinya disesuaikan.
Dan, NPV manfaat dan biaya yang sudah memasukkan unsur inflasi tersebut
didiskonto dengan menggunakan nilai nominal tingkat bunga. Nominal tingkat
bunga adalah tingkat bunga murni ditambah dengan tingkat inflasi.

Kedua, bila manfaat dan biaya dihitung tanpa memperhitungkan inflasi,


maka NPV nya dihitung dengan menggunakan tingkat suku bunga murni saja
(yaitu nominal interest rate setelah dikurangi tingkat inflasi).

Contoh: Ada 2 proyek yang diajukan, A dan B, yang mempunyai jangka waktu
selama 1 dan 2 tahun. Manfaat bersih (net benefit) kedua proyek tersebut adalah
sebagai berikut.

Tahun Net Benefit Net Benefit


Proyek A Proyek B
0 - 1.000.000 - 1.000.000
1 1.500.000 500.000
2 - 1.000.000

Tingkat Inflasi pertahun adalah 5%. Nominal Tingkat Bunga adalah 15%

Bila menggunakan cara pertama, kita perhitungkan dahulu pengaruh tingkat


inflasi terhadap net benefit yang diterima pada tahun ke-1 dan ke-2. Hasil dari
penyesuaian terhadap inflasi adalah sebagai berikut

Tahun Net Benefit Net Benefit


Proyek A Proyek B
0 - 1.000.000 - 1.000.000
1 1.575.000 525.000
2 1.102.500

Dasar-dasar Keuangan Publik


221

Setelah itu, NPV proyek A dan B dihitung dengan menggunakan nominal tingkat
bunga sebagai tingkat diskonto nya. Perhitungannya adalah sebagai berikut:

− 1.000.000 1.575.000
NPV ( A) = + = 369.565
(1 + 15%)0 (1 + 15%)1
− 1.000.000 525.000 1.102.500
NPV ( B) = + + = 290.170
(1 + 15%)0 (1 + 15%)1 (1 + 15%)2

Bila menggunakan cara kedua, NPV proyek A dan B dihitung dengan


menggunakan tingkat suku bunga murni sebagai tingkat diskonto nya. Tingkat
suku bunga murni pada contoh ini adalah 10% (15% - 5%). Maka, perhitungan
dengan cara kedua akan menghasilkan NPV sebagai berikut:

− 1.000.000 1.500.000
NPV ( A) = + = 363.636
(1 + 10%)0 (1 + 10%)1
− 1.000.000 500.000 1.000.000
NPV ( B) = + + = 280.991
(1 + 10%)0 (1 + 10%)1 (1 + 10%)2

Perhitungan dengan cara pertama maupun kedua menghasilkan NPV yang


hampir sama dan keputusan yang diambil pun sama, yaitu memilih melaksanakan
Proyek A karena ia menghasilkan NPV manfaat bersih yang paling besar.

Menentukan Peringkat Proyek


Jika ada beberapa proyek yang diajukan, maka biasanya mereka akan
diurut sesuai dengan besarnya NPV manfaat bersih yang dihasilkan oleh masing-
masing proyek tersebut. Ada tiga kriteria dalam menentukan peringkat proyek,
yaitu:
1. Net Benefit Criterion (Net Present Value)
Dengan kriteria ini, proyek yang menghasilkan manfaat bersih positif akan
dipertimbangkan untuk dilaksanakan. Rumus yang digunakan untuk menghitung
Net Benefit Criterion adalah

n
( Bi − Ci )
Net _ Benefit _ Criterion :B − C = ∑
i =1 (1 + r )
i

dimana:
Bi = manfaat tahun ke-i
Ci = biaya tahun ke-I
r = tingkat diskonto

Jika ada beberapa proyek yang menghasilkan manfaat bersih positif, maka proyek
yang dipilih adalah proyek yang menghasilkan manfaat bersih yang paling besar.

2. Benefit-Cost ratio

Dasar-dasar Keuangan Publik


222

Benefit-Cost ratio merupakan modifikasi dari Net Benefit Criterion. Rumus yang
digunakan untuk menghitung adalah

B ∑ B (1 + r )
i
i
Benefit − Cost _ Ratio : = i =1
n

∑ C (1 + r )
C i
i
i =1
dimana:
Bi = manfaat tahun ke-i
Ci = biaya tahun ke-I
r = tingkat diskonto

Pada kriteria Benefit-Cost Ratio, proyek yang dipilih adalah yang menghasilkan
rasio lebih dari 1 (satu). Bila ada beberapa proyek menghasilkan rasio diatas 1,
maka yang dipilih adalah proyek dengan rasio paling besar.

Contoh:
Anggota DPRD suatu daerah sedang mempertimbangkan usulan pemda setempat
untuk mengucurkan dana guna membiayai proyek pemanfaatan lahan kosong.
Ada dua usulan yang diajukan yaitu Proyek A dan Proyek B. Proyeksi penerimaan
dan pengeluaran dari masing-masing proyek tersebut adalah sebagai berikut.

Arus Penerimaan dan Pengeluaran Proyek (dalam ribuan rupiah)


Proyek A Proyek B
Tahun
Penerimaan Pengeluaran Net Benefit Penerimaan Pengeluaran Net Benefit
0 0 100,000 (100,000) 0 200,000 (200,000)
1 50,000 250,000 (200,000) 0 200,000 (200,000)
2 1,000,000 250,000 750,000 1,550,000 200,000 1,350,000
3 1,000,000 250,000 750,000 1,550,000 200,000 1,350,000
4 2,000,000 100,000 1,900,000 1,550,000 200,000 1,350,000
5 2,000,000 100,000 1,900,000 1,550,000 200,000 1,350,000

Bila tingkat suku bunga yang berlaku adalah 5% per tahun, peringkat proyek
tersebut dapat ditentukan sebagai berikut.
Analisis masing-masing proyek adalah sebagai berikut:

Proyek A
Net Benefit Criterion:
(100.000) (200.000) 750.000 750.000 1.900.000 1.900.000
NBC = + + + + +
(1 + 5%) 0
(1 + 5%)1
(1 + 5%) 2
(1 + 5%)3 (1 + 5%)4 (1 + 5%)5

= 6.119.490

Dasar-dasar Keuangan Publik


223

Benefit-Cost Ratio:
0 + 50.000 + ... + 1.900.000
(1,05)0 (1,05)1 (1,05)5
B / C _ Ratio =
100.000 + 250.000 + ... + 100.000
(1,05)0 (1,05)1 (1,05)5
7.296.200
= = 6,2
1.176.710

Proyek B
Net Benefit Criterion:
(200.000) (200.000) 1.350.000 1.350.000 1.350.000 1.350.000
NBC = + + + + +
(1 + 5%)0 (1 + 5%)1 (1 + 5%)2 (1 + 5%)3 (1 + 5%)4 (1 + 5%)5

= 6.005.082
Benefit-Cost Ratio:
0 + 0 + ... + 1.550.000
(1,05)0 (1,05)1 (1,05)5
B / C _ Ratio =
200.000 + 200.000 + ... + 200.000
(1,05)0 (1,05)1 (1,05)5
7.365.464
= = 5,414
1.360.382

Berdasarkan analisis Net Benefit Criterion dan Benefit-Cost Ratio, Proyek A memiliki
peringkat diatas Proyek B, sehingga DPRD sebaiknya memilih Proyek A untuk
dilaksanakan.

3. Internal Rate of Return (IRR)


Internal Rate of Return adalah tingkat suku bunga pada posisi apabila selisih antara
present value manfaat dan present value biaya sama dengan nol (PV manfaat – PV
biaya = 0). Dengan kata lain, tingkat suku bunga pada kondisi proyek tersebut
mencapai titik impas. Rumus untuk mencari IRR adalah sebagai berikut:

n
( Bi − C i )
IRR = ∑ =0
i =1 (1 + r ) i

IRR adalah tingkat suku bunga ( r ) yang diperlukan untuk menghasilkan NPV = 0.
Bila IRR lebih besar dari tingkat suku bunga pasar maka proyek layak
dilaksanakan, dan bila IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga pasar maka proyek
tersebut tidak layak dilaksanakan. Jika ada dua atau lebih proyek yang memiliki
IRR diatas suku bunga pasar, maka proyek dengan IRR yang tertinggilah yang
akan dilaksanakan.

Ketiga metode analisis tersebut di atas hanya merupakan salah satu ukuran untuk
dapat menolak atau menerima pelaksanaan proyek. Di negara berkembang seperti
di Indonesia, pemilihan proyek tidak hanya diukur dari manfaat dan biaya semata,

Dasar-dasar Keuangan Publik


224

namun juga harus memperhitungkan faktor-faktor lain yang dapat memberikan


kesejahteraan menyeluruh secara nasional, karena tujuan pemilihan proyek adalah
memaksimalkan kemakmuran secara keseluruhan dan bukan memaksimalkan
keuntungan per proyek saja.

Dasar-dasar Keuangan Publik


225

B A B XXII

STRUKTUR BELANJA PUBLIK

ab ini berkaitan dengan struktur belanja publik dan permasalahan

B kebijakan dalam penyusunan program belanja. Pertumbuhan belanja


publik sangat erat kaitannya dengan tuntutan kemajuan masyarakat dan
dikehendakinya pertimbangan sosial yang diperankan oleh pemerintah dalam
menjalankan kebijakannya.

Dari studi empiris telah dibuktikan bahwa belanja publik menunjukkan


angka yang cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Belanja publik
juga cenderung mengalami kenaikan porsinya, apabila dibandingkan dengan total
pendapatan nasional. Kajian-kajian struktur belanja publik perlu
mempertimbangkan kondisi objektif ini.

Faktor-Faktor Penyebab Pertumbuhan


Dalam memahami faktor penyebab pertumbuhan belanja publik, perlu
dibedakan faktor antara belanja barang dan jasa, dan belanja transfer. Kedua faktor
ini mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain.

Faktor belanja barang dan jasa.


Faktor-faktor yang mempengaruhi belanja barang dan jasa diantaranya adalah
sebagai berikut:

Pertumbuhan Pendapatan per Kapita


Proporsi antara barang pribadi dan barang publik selalu berubah sesuai dengan
kenaikan pendapatan per kapita, dan porsi barang publik selalu menunjukkan
peningkatan. Implikasinya adalah bahwa kebijakan anggaran yang efisien
menghendaki adanya peningkatan rasio pembelian pemerintah terhadap
pendapatan nasional.

Dasar-dasar Keuangan Publik


226

Biasanya, peningkatan per kapita seiring dengan perkembangan


perekonomian yang berubah dari negara agraris (yang diasumsikan
berpendapatan rendah) menjadi negara industri (yang diasumsikan
berpendapatan tinggi). Permintaan barang publik akan semakin meningkat
dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Ernst Engel seperti dikutip oleh
Musgrave mengatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi
pengeluaran untuk barang-barang tertentu. Selama pendapatan rata-rata
meningkat, maka pola konsumsi bagi perekonomian diharapkan akan meningkat
pula.

Untuk barang publik, kecenderungan seperti diatas mempunyai dua


kemungkinan. Barang publik yang merupakan kebutuhan dasar (bukan
kemewahan) - seperti keamanan, pendidikan dasar dan sanitasi - mengalami
kecenderungan menurun. Sedangkan kebutuhan lainnya, seperti pendidikan
tinggi dan pelayanan kesehatan, akan mengalami kecenderungan yang semakin
meningkat, bila pendapatan meningkat. Ditambah, barang-barang pelayanan
umum yang merupakan barang mewah, seperti penyelidikan angkasa luar dan
pangkalan perahu, terdapat kecenderungan yang meningkat.

Pengamatan bisa dilakukan juga pada belanja publik dalam penyediaan


barang modal. Pada tahap awal, pembangunan ekonomi menimbulkan kebutuhan
khusus terhadap barang modal, seperti jalan, pelabuhan dan instalasi listrik.
Barang modal tersebut mempunyai manfaat yang bersifat eksternal, dimana
belanja modal diperlukan dalam jumlah yang besar yang memerlukan
pengembalian jangka panjang, sehingga tidak mudah dilakukan oleh pihak
swasta. Kebutuhan akan barang modal ini harus lebih besar pada awal
pembangunan ekonomi, dan peran pemerintah akan semakin menurun dalam
pengadaan barang modal, apabila sektor swasta telah terbuka kesempatannya
menanamkan modal dalam pengembangan industri.

Pola pertumbuhan belanja publik untuk penyediaan barang modal


kelihatannya terbalik, tetapi pengembangan industri akan menimbulkan akibat
sampingan, seperti polusi dan kemacetan kota, yang pada gilirannya akan
menyebabkan peningkatan investasi pemerintah. Akhirnya, investasi dalam
sumber daya manusia dan biaya pendidikan akan mengalami peningkatan selama
pendapatan meningkat seiring dengan laju pembangunan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak dapat diestimasikan


secara tepat kecenderungan yang akan terjadi pada belanja publik untuk barang
konsumsi dan barang modal yang diakibatkan pertumbuhan pendapatan per
kapita. Kadang kecenderungannya meningkat, dan kadang menurun.

Perubahan Teknologi
Perubahan teknologi mempunyai pengaruh penting dalam pertumbuhan porsi
belanja publik. Jika teknologi berubah, maka proses produksi juga berubah.
Perubahan teknologi dapat meningkatkan atau menurunkan kepentingan
penyediaan barang publik yang mempunyai manfaat eskternal besar sehingga
harus disediakan oleh pemerintah.

Dasar-dasar Keuangan Publik


227

Sebagai contoh, penemuan mesin pembakaran mengakibatkan


berkembangnya industri mobil. Dengan meningkatnya industri mobil, permintaan
jalan raya bergerak sangat cepat, sehingga belanja sektor publik meningkat
dibandingkan masa kereta kuda dan mesin uap yang digunakan untuk kereta api.
Contoh lain adalah perubahan teknologi persenjataan yang mengakibatkan
meningkatnya pengeluaran militer. Perubahan teknologi juga mempercepat
barang menjadi usang, sehingga biaya penggantian akan meningkat. Perubahan
teknologi di masa datang yang menyebabkan membengkaknya anggaran
pemerintah adalah bidang teknologi angkasa luar merupakan faktor penting
dalam porsi pengeluaran negara, kecuali terbukti teknologi angkasa luar menjadi
barang pribadi.

Perubahan Populasi
Perubahan populasi terutama akan meningkatkan belanja pendidikan dan
kesehatan, karena terjadi perubahan komposisi umur. Kebutuhan pendidikan juga
akan mendorong peningkatan permintaan perumahan, dan penyediaan jaminan
hari tua. Peningkatan populasi yang disertai dengan mobilitas populasi juga
mendorong pertumbuhan kota baru yang tentunya menyebabkan kebutuhan
peningkatan pelayanan umum, yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan
anggaran.

Biaya Relatif
Selain perubahan-perubahan kuantitas seperti diuraikan diatas, tak kalah
pentingnya adanya pengaruh perubahan biaya jasa publik terhadap pengeluaran
publik. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya inflasi harga faktor produksi
yang dibeli pemerintah lebih cepat dibanding dengan rasio deflasi dalam
pendapatan nasional. Menurut Musgrave, perbedaan respon terhadap inflasi
bukanlah merupakan faktor utama. Dalam jangka panjang, sifat penyediaan
barang dan jasa publik yang dapat mengubah komponen pendapatan nasional
menjadi kurang apabila dibandingkan dengan perubahan teknologi.

Meski pun biaya jasa publik menjadi lebih mahal, bukan berarti porsi
belanja publik dalam pendapatan nasional harus meningkat. Sebuah barang publik
dapat disubstitusi dengan barang pribadi, karena sifatnya yang elastis, kecuali bila
permintaan barang publik bersifat inelastis, maka bisa diestimasikan bahwa porsi
belanja publik akan meningkat.

Urbanisasi
Proses urbanisasi dapat menimbulkan permasalahan bagi pemerintah. Sebagai
contoh, kemacetan di perkotaan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan
infrastruktur dan pelayanan umum. Hal ini mendorong meningkatnya kebutuhan
barang-barang yang perlu disediakan oleh pemerintah.

Faktor Pengeluaran dari Transfer Porsi Pendapatan.


Sejak tahun 1930-an, porsi belanja keperluan sosial dalam pendapatan nasional
meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan transfer. Contohnya adalah

Dasar-dasar Keuangan Publik


228

peningkatan asuransi hari tua. Program ini lebih merupakan alat untuk
menyediakan jaminan hari tua dengan dasar pembiayaan swadaya. Sistem ini
ditujukan untuk menyeimbangkan besarnya distribusi pendapatan melalui
transfer dari anggaran pengeluaran ke program pembelian pemerintah yang
ditujukan bagi penyediaan barang dan jasa untuk kelompok berpenghasilan
rendah.

Tindakan pendistribusian kembali pendapatan tersebut dapat dipengaruhi


dari dua arah. Pertama, jika terdapat ketimpangan pendapatan oleh karena
peningkatan pendapatan per kapita, penyesuaian atau perbaikan atas
ketimpangan tersebut yang perlu dilakukan. Sehingga, perubahan hanya terjadi
pada tingkat yang tidak signifikan atau distribusi pendapatan tetap stabil, dan
hanya sedikit mengarah pada pemerataan.

Kedua, jika tujuan pendistribusian kembali pendapatan adalah untuk


menyesuaikan pendapatan keluarga, peningkatan pendapatan rata-rata tidak
mengubah kebutuhan untuk mendistribusikan kembali pendapatan. Kecuali, jika
tujuannya untuk mencapai tingkat minimum pendapatan, kebutuhan untuk
pendistibusikan kembali pendapatan akan menurun jika pendapatan rata-rata
meningkat. Tingkat pendapatan minimum ditentukan dalam pengertian rata-rata,
sehingga ruang lingkup pendistribusian kembali – yaitu transfer pendapatan
sebagai suatu prosentase dari pendapatan nasional – akan tetap konstan.

Adanya perubahan ruang lingkup redistribusi pendapatan dapat timbul


akibat faktor-faktor demografi. Apabila terjadi penurunan pertumbuhan populasi
dalam bentuk meningkatnya penduduk yang lanjut usia, diperlukan peningkatan
penyediaan kebutuhan penduduk berusia lanjut. Namun demikian, perubahan
tersebut diikuti dengan pergeseran rasio penduduk pensiun ke usia kerja,
sehingga memerlukan peningkatan dalam rasio pengeluaran publik untuk
penduduk usia lanjut terhadap pendapatan nasional. Penjelasan ini perlu
dihubungkan dengan perubahan sosial dan politik, apakah ada tekanan politis
untuk mendistribusikan pendapatan kembali atau tidak.

Efisiensi dan Keadilan dalam Belanja Publik


Prinsip pareto optimum mengatakan bahwa proyek dikatakan efisien jika memberi
manfaat paling tidak kepada satu orang dan tidak merugikan orang lain. Secara
teoritis, tingkat efisien semacam itu dapat dicapai. Akan tetapi dalam
kenyataannya, proyek semacam itu sangat sulit dicapai, sehingga diusulkan agar
konsep efisiensi diperlunak. Misalkan suatu jalan akan dibangun dengan biaya
$150,000 yang akan dibebankan dari general fund, sehingga A, B, dan C harus
membiayai masing-masing senilai $50,000. Manfaat yang akan diperoleh A dan B
masing-masing $70,000 dan C adalah $40,000, sehingga manfaat agregat adalah
$180,000. Karena nilai manfaat lebih besar dari biayanya, maka dikatakan bahwa
proyek tersebut layak dibangun, meski pun C mengalami kerugian. Pada kasus ini,
prinsip Pareto Optimum dilanggar.

Namun demikian, dengan memperlunak konsep, efisiensi proyek tetap


ada apabila orang-orang yang diuntungkan (A dan B) dapat menutupi kerugian

Dasar-dasar Keuangan Publik


229

pihak lain ( C ) dan dipandang masih lebih baik dibandingkan dengan tidak ada
proyek. Berdasarkan kriteria ini, jumlah agregat manfaat bersih senilai $30,000
dapat disahkan dan proyek dikatakan efisien. Tetapi dalam kenyataan, pihak C
tidak menerima manfaat dan kerugiannya belum tentu akan diganti. Perlu
diadakan persyaratan tambahan agar proyek tetap dikatakan efisien yaitu bahwa
penggantian kerugian harus benar-benar dilaksanakan, dalam bentuk transfer dari
A dan B kepada C. Efisiensi proyek tergantung pada bagaimana mendefinisikan
efisiensi tersebut.

Cara yang lebih tepat adalah dengan mendistribusikan beban pajak


sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun mengalami kerugian bersih dan
kondisi ini menghasilkan proyek yang efisien menurut prinsip Pareto optimum.
Problem utamanya adalah bahwa preferensi seseorang tidak mudah untuk
diungkapkan dan mungkin saja proyek tersebut tidak efisien.

Aspek Keadilan
Dalam meninjau aspek keadilan dalam belanja publik, pertimbangan mengenai
distribusi dan fungsi obyektif dapat dipertimbangkan dalam menentukan
kebijakan proyek.

Petimbangan distribusi dimulai dengan penentuan apakah apakah bobot


distribusi dapat digunakan dalam menilai besarnya manfaat dan biaya. Yang
pertama, dimisalkan ada dua buah proyek yang dipertimbangkan, dimana kedua
proyek mempunyai biaya dan tingkat penggunaan yang sama, sementara dana
terbatas untuk satu proyek, sehingga salah satu harus dikorbankan. Proyek I,
dimisalkan, berupa penyediaan taman bermain di lingkungan masyarakat
berpenghasilan tinggi dan Proyek II, dimisalkan, berupa penyediaan taman serupa
untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Permasalahan timbul dalam
menyusun peringkat manfaat kedua proyek tersebut.

Apabila nilai nominal proyek yang dijadikan dasar pertimbangan,


masyarakat berpenghasilan tinggi akan menerapkan nilai yang lebih tinggi
dibanding masyarakat berpenghasilan rendah, karena mereka mampu membayar
lebih tinggi dan proyek I dianggap lebih layak. Tetapi, pertimbangan sosial dapat
menyimpulkan sebaliknya. Setiap rupiah yang dibelanjakan oleh masyarakat
miskin dapat dinilai lebih tinggi, sehingga proyek II akan dipandang lebih layak.

Jika kondisi yang berlaku adalah distribusi optimal, penilaian proyek yang
didasarkan pada permintaan konsumen juga akan optimal dipandang dari segi
sosial. Akan tetapi, jika distribusi yang berlaku tidak optimal, evaluasi sosial yang
tercermin dari kesejahteraan sosial akan menyimpang dari evaluasi swasta dan
proyek II akan dipandang lebih layak. Hal ini menunjukkan kecocokan dengan
konsep efisiensi yang lebih luas.

Kondisi yang sama juga muncul jika ada dua proyek yang menghasilkan
jasa yang sama, tetapi dengan biaya yang berbeda. Dimisalkan akan dibangun
sebuah kapal laut. Alternatif I akan memilih lokasi konstruksi di daerah yang
upahnya tinggi, sementara alternatif II memilih lokasi yang tingkat upahnya

Dasar-dasar Keuangan Publik


230

rendah. Misalkan juga biaya modal, bahan baku dan transportasi di lokasi I lebih
rendah, sehingga total biaya di lokasi I akan lebih rendah. Tanpa
mempertimbangkan aspek distribusi, lokasi I dianggap lebih layak, karena nilai
manfaat bersih lebih tinggi. Tetapi, bila bobot distribusi pendapatan
diperhitungkan, proyek II akan lebih diutamakan, karena memberikan manfaat
kepada mereka yang berpenghasilan rendah.

Dapat disimpulkan bahwa, jika distribusi pendapatan tidak optimal,


penggunaan bobot distribusi dalam perhitungan biaya-manfaat dapat digunakan
sebagai alat pengoreksi aspek distribusi.

Fungsi obyektif dapat digunakan sebagai alat untuk menghitung


pembobotan dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan sosial. Bobot ditentukan
dari kejadian yang ditunjukkan oleh perilaku di masa lalu. Atau bobot dapat
diperoleh dari analisis pajak penghasilan, berdasarkan asumsi bahwa dalam
menerapkan tarip pajak, pemerintah bermaksud mendistribusikan beban pajak
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan prinsip pengorbanan yang sama.

Risiko Perubahan Perekonomian


Perencanaan proyek berlangsung dalam ketidakpastian dan risiko ketidakpastian
manfaat di masa akan datang akan mengurangi nilai sekarang dan harus
diperhitungkan dalam perencanaan pengeluaran investasi pemerintah. Hasil yang
berisiko dapat diestimasikan dengan cara pembobotan berbagai hasil berdasarkan
angka probabilitasnya, dimana jumlah probabilitas adalah sama dengan satu.
Penjumlahan hasil tertimbang ini kemudian akan digunakan dalam analisis nilai
manfaat yang diharapkan.

Risiko perubahan perekonomian mempunyai implikasi perlunya


pendiskontoan atas manfaat maupun biaya, karena adanya dimensi waktu.
Evaluasi proyek jangka panjang perlu mempertimbangkan dinamika
perkembangan perekonomian yang berkaitan dengan harga relatif dan pengaruh
distorsi harga. Akibatnya, analisis manfaat biaya harus dibuat dalam berbagai
alternatif saat dimulainya proyek. Pengaruh penundaan satu tahun akan
menyebabkan perubahan nilai sekarang atas perhitungan neto manfaat dan biaya.

Klasifikasi Belanja Publik.


Kalsifikasi belanja publik dapat dikategorikan berdasar berbagai macam
kriteria. Salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengklasifikasikan
belanja pemerintah adalah seperti diuraikan dalam Government Finance Statistics
Manual. Klasifikasi belanja menurut fungsi pemerintah adalah sebagai berikut:

1. Belanja jasa publik umum.


Belanja-belanja yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah belanja
operasi untuk organisasi eksekutif dan legislatif, belanja untuk jasa-jasa umum,
belanja riset dasar, belanja transaksi hutang, dan belanja administrasi transfer
antar unit pemerintah.
2. Belanja Pertahanan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


231

Belanja-belanja dalam kategori ini antara lain adalah belanja pertahanan militer
dan sipil, bantuan militer untuk asing, riset pertahanan dan sebagainya.
3. Belanja perlindungan umum.
Belanja dalam kategori ini dibedakan dengan belanja pertahanan, dan
dianatara contohnya adalah belanja jasa kepolisian, jasa pemadam kebakaran,
jasa pengadilan, jasa rumah tahanan dan penjara, dan juga riset untuk
perlindungan publik.
4. Belanja urusan ekonomi
Belanja yang termasuk dalam kategori ini diantaranya belanja urusan
ketenagakerjaan, belanja komersial dan ekonomi, belanja kehutanan dan
pertanian, belanja energi dan bahan bakar, pertambangan, transportasi,
komunikasi dan belanja untuk perindustrian lainnya, termasuk risetnya.
5. Belanja perlindungan lingkungan.
Belanja yang termasuk disini diantaranya adalah belanja pengelolaan limbah
dan polusi, proteksi keragaman hewani maupun tata kota.
6. Belanja perumahan dan public utilities.
Belanja dalam kategori ini diantaranya adalah pengembangan perumahan dan
pemukiman, sistem penyediaan air bersih, belanja penerangan jalan, dan
pekerjaan-pekerjaan umum lainnya.
7. Belanja kesehatan.
Belanja kesehatan meliputi perlengkapan dan peralatan kesehatan, jasa kepada
pasien, jasa rumah sakit umum, dan risetnya.
8. Belanja rekreasi, budaya dan agama.
Diantara belanja yang termasuk dalam kategori ini adalah belanja jasa olahraga
dan rekreasi, belanja jasa kebudayaan, jasa penyiaran, jasa urusan keagamaan
dan komunitas, dan lain-lain.
9. Belanja Pendidikan.
Pendidikan mencakup belanja pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi, termasuk belanja pendukung pendidikan lainnya.
10. Belanja perlindungan sosial.
Belanja-belanja yang termasuk dalam kategori ini diantaranya belanja
perlindungan terhadap manusia lanjut usia (manula), belanja perlindungan
anak dan keluarga, belanja untuk mengatasi pengangguran, dan belanja sosial
lainnya.

Dasar-dasar Keuangan Publik


232

B A B XXIII

KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK


SEKTOR-SEKTOR UMUM

D alam bab ini akan dibahas lebih rinci berbagai jenis belanja serta masalah-
masalah yang ditimbulkannya. Pembahasan akan dimulai dari jenis
belanja pertahanan nasional, pembangunan jalan raya, belanja pendidikan
dan perlindungan lingkungan berupa pembangunan taman rekreasi.

Perlunya Analisis Sektor


Banyak pendapat tentang pengelompokan pengeluaran publik kepada
sektor, akan tetapi sektor-sektor yang dibahas disini didasarkan pada klasifikasi
Bank Dunia, dengan melihat pengalaman-pengalaman empiris di berbagai negara.
Sehingga, pendekatan pengelompokan sektor diasumsikan mengacu pada
laporan-laporan Bank Dunia, untuk lebih fokus pada pembahasan materi.

Tujuan analisis sektor menyangkut beberapa tujuan:


1. Membantu pertimbangan strategis dan kebijakan untuk seluruh
perekonomian.
2. Memungkinkan penilaian strategis dan kebijakan pembangunan
sektor yang mendorong kontribusi sektor terhadap pembangunan
ekonomi negara.
3. Menentukan prioritas investasi dalam rangka identifikasi proyek-
proyek khusus lain dan studi pra investasi tambahan yang diperlukan.
4. Mengevaluasi kapasitas lembaga-lembaga tiap sektor dalam
melaksanakan kebijakan-kebijakan publik.

Analisis sektor diperlukan untuk menjawab pertanyaan tentang pilihan,


prioritas, dan hubungan antar sektor diantara proyek dan program yang
dilaksanakan pemerintah. Perencanaan yang berhasil memerlukan penerjemahan
tujuan dan kebijakan sektor kedalam kebutuhan sektor dan subsektor secara
individual dan juga kedalam rincian yang lebih detail pada proyek-proyek

Dasar-dasar Keuangan Publik


233

tertentu. Dengan demikian, tujuan analisis sektor adalah untuk menjembatani


kesenjangan antara kebijakan ekonomi makro tingkat nasional, program-program
investasi dan kebijakan ekonomi mikro dari proyek individu.

Ada beberapa cara atau metode yang dapat digunakan dalam analisis
sektor.
1. Melengkapi cakupan ekonomi makro dengan menganalisis pengaruh
terhadap sektor, sub sektor dan proyek, variabel-variabel kebijakan
umum seperti nilai tukar, struktur pajak, kebijakan upah dan tingkat
bunga.
2. Analisis sektor memberikan perkiraan potensi hasil, lapangan kerja,
dan kebutuhan investasi untuk sektor secara keseluruhan sebagai
masukan bagi keputusan badan perencana mengenai program dan
prioritas investasi nasional.
3. Analisis sektor membantu menjamin bahwa proyek-proyek individu
terpilih didasarkan pada perencanaan dasar kebutuhan dan prioritas
sektor, dan perubahan kebijakan dan kelembagaan perlu berprestasi
baik pada tingkat proyek atau tingkat ekonomi mikro.

Pertahanan Nasional.
Di Amerika Serikat, selama tahun 80-an, belanja pertahanan nasional
merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan anggaran, meskipun
akhirnya dilampaui oleh pertumbuhan program sosial. Dalam dekade tersebut,
belanja pertahanan menjadi faktor utama anggaran pemerintah dalam pembelian
barang dan jasa dari swasta. Belanja pertahanan dibagi menjadi belanja personil,
operasi dan pemeliharaan, pembelian barang dan jasa, penelitian dan
pengembangan.

Masalah utama dalam belanja pertahanan.


Masyarakat tidak dapat menyediakan sendiri keamanan bagi dirinya dan proteksi
yang diberikan haruslah secara kolektif, sehingga contoh penyediaan jasa
pertahanan menjadi contoh klasik yang dapat dibahas. Belanja pertahanan selain
menghadapi masalah yang kompleks dalam perencanaan, juga melibatkan
masalah-masalah kebijakan luar negeri, seperti kesediaan untuk menerima risiko
konflik militer. Suatu kebijakan pertahanan dapat dipandang sebagai kebijakan
subyektif. Alasannya, seseorang dapat saja memandang kebijakan tersebut
defensif, tapi orang lain dapat berpandangan bahwa kebijakan tersebut ofensif.
Keputusan politik memegang peranan angat penting dalam menentukan pola
kebijakan pertahanan ini, meski pun menjadi kebijakan yang sulit diperkirakan.

Masalah lainnya adalah menyangkut keseimbangan antara angkatan


darat, laut, udara dan marinir, dan pemilihan sistem persenjataan tertentu. Yang
paling penting, perencanaan pertahanan nasional harus menemukan
keseimbangan antara senjata konvensional dan modern, ruang lingkup nasional,
regional atau internasional. Terakhir, masalah kekuatan militer tidak hanya
meningkatkan akibat pengrusakan, tetapi juga bisa mencegah konflik yang juga
menimbulkan pengrusakan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


234

Efektifitas biaya modernisasi kekuatan strategis.


Kebutuhan pertahanan nasional dan berbagai masalahnya memerlukan
perancangan yang kesemuanya harus dipenuhi dengan seefisien mungkin.
Perdebatan yang muncul di Amerika Serikat tentang sistem persenjataan adalah
apakah harus memodernisasi kekuatan strategis ataukah harus membangun
kekuatan strategis baru. Kelayakan proyek-proyek militer, mulai land-based
missiles, submarine-based missiles, maupun Administrations Strategic Defensive
Initiative (sering disebut perang bintang), sampai sekarang masih dipertentangkan
oleh para ilmuwan, mengingat risikonya yang sangat tinggi. Dengan melihat
anggaran pertahanan Amerika Serikat saat ini, sangat sulit memperkirakan apakah
akan ada pembatasan persenjataan strategis dengan melakukan pemotongan
anggaran, mengingat peran Amerika dalam perang melawan terorisme sangat
besar bahkan menjadi sponsor bagi program internasional ini.

Dampak terhadap industri


Karena pertahanan merupakan kontributor utama dalam defisit anggaran
pemerintah federal AS, dampaknya terhadap perkenomian negara layak dilakukan
pembahasan. Dampak pertama terjadi pada besarnya pengeluaran untuk
pengadaan struktur industri serta pertumbuhan produktivitas dalam bidang
peralatan pertahanan. Terdapat pergeseran dari permintaan swasta untuk barang
konsumsi dan perumahan kepada pembelian pemerintah untuk sektor pertahanan.
Industri pertahanan mencakup sektor manufaktur, seperti aerospace, pabrik
pembuatan kapal laut, dan pabrik persenjataan elektronik. Di lain pihak, sektor ini
secara nyata juga mendukung kesempatan kerja di sektor swasta.

Dampak terhadap pertumbuhan produktivitas.


Program riset dan pengembangan yang dilakukan untuk kepentingan pertahanan
nasional berpengaruh besar terhadap perkembangan teknologi dan pertumbuhan
produktivitas. Dari satu pihak, produktivitas yang ditimbulkan oleh sektor
pertahanan akan dialihkan ke sektor swasta - seperti komputer - namun di lain
pihak, terserapnya bakat ilmiah oleh industri pertahanan akan menyebabkan
industri swasta tersebut ke arah penurunan. Bukti empiris menunjukkan bahwa
negara dengan prosentase belanja pertahanan terhadap pendapatan nasionalnya
kecil, misalnya Jerman dan Jepang, ternyata mengalami pertumbuhan
produktivitas yang lebih cepat dibanding dengan negara dengan prosentase
belanja pertahanan yang lebih besar, seperti Amerika Serikat. Pertumbuhan
produktivitas jangka panjang akan tergantung pada peningkatan jumlah orang
berbakat ilmiah dan kontribusi anggaran dalam peningkatan aktivitas ilmiah
tersebut.

Jalan Raya
Keunikan sistem jalan raya sebagai barang publik menyangkut tiga hal
yaitu:
1. Kerjasama yang rapi antara pemerintah federal, pemerintah negara bagian
dan pemerintah lokal lainnya.
2. Jalan raya membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.

Dasar-dasar Keuangan Publik


235

3. Perkiraan pajak yang besar.

Kerjasama antar unit pemerintah.


Pengeluaran untuk jalan raya, di Amerika Serikat, paling banyak dilakukan pada
tingkat negara bagian, termasuk jalan antar negara bagian. Sebagian yang lain
dilakukan oleh pemerintah federal dengan mentransfer hampir seluruh
penerimaannya melalui grant kepada tingkat pemerintah dibawahnya dan
sebagian besar diterima oleh negara bagian. Sedangkan pemerintah lokal
bertanggungjawab terhadap jalan raya di daerahnya. Pembagian kerja dan
pembiayaan ini menunjukkan perhatian yang besar dari pemerintah, baik federal,
negara bagian, maupun pemerintah lokal lainnya.

Pembiayaan melalui pungutan kepada pemakai.


Pembangunan jalan raya sebagian besar didanai oleh pemakai jalan. Untuk tingkat
federal, penerimaan berasal dari pajak bahan bakar, yaitu penghasilan yang
ditransfer dari Highway Trust Fund dalam bentuk grant antar pemerintahan. Pada
tingkat negara bagian, penerimaan jalan raya diperoleh dari retribusi dan pajak
kendaraan bermotor, yang selanjutnya dipakai untuk membangun jalan negara
bagian dan sebagian lainnya ditransfer ke pemerintah lokal dalam bentuk grant.
Sedangkan pada tingkat pemerintah lokal, jalan raya dibiayai dari general fund,
yang salah satunya berasal dari pajak atas kekayaan yang dimiliki penduduk lokal
serta dari pembebanan khusus lainnya. Penerimaan dari tarip tol tidak terlalu
siginifikan dibanding dengan sumber pendanaan lainnya.

Pendidikan
Anggaran pendidikan, di Amerika Serikat, terutama dibiayai oleh
pemerintah lokal dan negara bagian, meskipun pengendalian sistem pendidikan
tetap berada di bawah pemerintah lokal. Dana negara bagian yang disalurkan
kepada pemerintah lokal dalam bentuk bantuan dan subsidi, terutama untuk
mendanai pendidikan tingkat tinggi. Pemerintah federal juga ikut membiayai
pembangunan pendidikan, meskipun tidak terlalu besar, karena pendidikan pada
dasarnya tetap merupakan jasa publik yang harus disediakan oleh pemerintah.
Swasta ikut memberikan andil membiayai pendidikan juga, meskipun
kontribusinya tidak sebesar pemerintah.

Masalah-masalah kebijakan pendidikan.


Permasalahan yang ada dalam kebijakan pendidikan menyangkut apa yang
seharusnya diajarkan di sekolah negeri (kurikulum), bagaimana proses pengajaran
berlangsung, siapa yang berhak memperoleh pendidikan, dan apakah sebaiknya
pemerintah memberikan bantuan kepada lembaga pendidikan swasta juga.

Negara bagian pada umumnya mempunyai kebebasan yang cukup


memadai dalam merancang struktur fiskal masing-masing dan dalam
mengendalikan pemerintah lokal yang secara langsung bertanggungjawab dalam
penyediaan pendidikan. Hal ini telah mendapat dukungan undang-undang di
negara bagian dan telah pula diakui oleh Mahkamah Agung bahwa setiap

Dasar-dasar Keuangan Publik


236

warganegara berhak atas perlakukan yang sama dalam bidang pendidikan.


Namun demikian, tidak ada keharusan menurut konstitusi bahwa pendidikan
harus sebanding di seluruh negara bagian.

Pendidikan dasar dan menengah sebagian besar disediakan oleh


pemerintah, melalui sekolah negeri. Pada tingkat ini, timbul perdebatan tentang
perlunya monopoli pemerintah atas sekolah pada tingkatan itu. Hasil yang efisien
akan dapat diperoleh jika terdapat persaingan yang sehat antara lembaga
pendidikan negeri dan swasta. Penganjur pendidikan berpendapat bahwa
pendidikan merupakan kepentingan umum sehingga harus disediakan oleh
pemerintah, akan tetapi mereka juga setuju bahwa tidaklah berarti bahwa
pendidikan harus disediakan oleh sekolah negeri. Konsumen pendidikan
mengharapkan pemberian pendidikan yang sama atau paling tidak ada standar
minimum.

Masalah pokok yang juga timbul adalah berkaitan dengan tingkat


pendidikan. Persaingan yang dapat dilakukan oleh sekolah-sekolah swasta perlu
didukung dengan kebijakan dalam menjamin persaingan yang sehat oleh
pemerintah. Persoalan pendidikan bukanlah hanya persoalan fiskal saja, akan
tetapi merupakan persoalan politik.

Fasilitas Rekreasi
Pembangunan fasilitas rekreasi memberi manfaat ganda yakni manfaat
bagi pemakai, manfaat bagi masyarakat di sekitarnya dan manfaat lain - seperti
keindahan alam. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik yang bersifat barang
akhir atau barang konsumsi, tidak seperti jalan raya yang bersifat barang antara.
Problem utama dalam penyediaan fasilitas rekreasi adalah seberapa besar manfaat
barang tersebut dapat dinikmati oleh publik. Pengukuran manfaat atas barang ini
dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Pengukuran cara pertama dengan menghitung pungutan kepada pemakai.


Dengan cara ini, kelayakan proyek dihitung berdasarkan rencana tarip yang akan
dibebankan kepada para pengguna yang kemudian dibandingkan dengan biaya
proyek. Cara kedua adalah dengan melakukan penghitungan kesediaan
membayar para pemakai untuk penyediaan fasilitas rekreasi. Dari penghitungan
tersebut, kurva permintaan dapat disimulasikan sehingga dapat dijadikan dasar
pengukuran manfaat.

Kemudian, ada cara ketiga dengan analogi fasilitas swasta yang menarik
iuran dari para anggotanya sebagai dasar penghitungan manfaat. Cara lain adalah
dengan penghitungan manfaat yang dapat dilakukan dengan menghitung biaya
yang dikeluarkan oleh pemakai dalam melakukan rekreasi keluar rumah. Sebagai
alternatif, dapat dilakukan pembobotan dalam menilai waktu para pemakai
fasilitas ini dengan membandingkan efisiensi dari setiap alternatif penggunaan
dana.

Selain berbagai manfaat diatas, perlu juga dipertimbangkan manfaat


dalam bentuk lain dari suatu fasilitas rekreasi. Sebagi contoh, proyek sumber daya

Dasar-dasar Keuangan Publik


237

air dapat mempunyai manfaat ganda, selain untuk rekreasi juga dapat digunakan
untuk konservasi sumber daya air. Contoh lain adalah sebuah bendungan dapat
dinilai manfaatnya sebagai pembangkit tenaga listrik, pengendalian banjir, irigasi,
selain ditujukan untuk rekreasi.

Analisis pasar dapat digunakan dalam penilaian manfaat atas fasilitas


rekreasi, meski pun bukan satu-satunya cara. Fasilitas rekreasi merupakan barang
publik sehingga penilaian dan pembobotan sosial atas fasilitas rekreasi harus lebih
diutamakan, bukan penilaian seperti yang dilakukan dalam pengadaan fasilitas
swasta. Dan, hal ini dapat dianggap sebagai subsidi untuk jenis jasa swasta.
Tujuan non finansial tertentu, misalnya keindahan alam dan margasatwa, harus
dipertimbangkan, meskipun tidak dapat diukur dengan mudah melalui pengujian
pasar.

Dasar-dasar Keuangan Publik


238

B A B XXIV

KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK


DALAM TUNJANGAN SOSIAL

erdapat berbagai macam bentuk tunjangan sosial yang dikelola

T pemerintah. Contoh yang diuraikan dalam bab ini merupakan contoh-


contoh tunjangan sosial utama yang umumnya terdapat di negara-negara
maju. Sampai seberapa jauh mana tingkat tunjangan diberikan tergantung pada
kemampuan finansial masing-masing negara.

Tunjangan kepada Penghasilan Rendah


Di Amerika Serikat, terdapat sejumlah program tunjangan yang ditujukan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Komponen-komponen utama program
tersebut antara lain sebagai berikut:

Medicaid.
Program ini ditujukan bagi semua orang yang memenuhi kriteria AFDC (Aid to
Fammilies with Dependent Children) yang sering disebut sebagai program
kesejahteraan. Kriteria-kriteria tersebut antara lain adalah orang yang mempunyai
pendapatan terbatas menurut kriteria SSA (Supplementary Security Income), serta
semua orang yang berumur diatas 65 tahun. Bantuan diberikan dalam bentuk
Medicare yaitu asuransi kesehatan yang preminya dibayar oleh pemerintah suatu
negara. Program ini biasanya dirancang dan dikelola oleh negara bagian dengan
berpedoman pada standar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah federal.

Jaminan Penghasilan Tambahan.


Tunjangan ini diberikan dalam bentuk pembayaran tunai kepada orang-orang
yang penghasilannya atau aset seseorang kurang dari jumlah minimum yang
ditetapkan. Program ini dikelola oleh pemerintah federal.

Dasar-dasar Keuangan Publik


239

Kupon Makanan.
Rumah tangga (tidak terbatas umur) berhak memperoleh kupon makanan jika
mempunyai aktiva atau berpenghasilan kotor yang kurang dari nilai yang
ditetapkan oleh pemerintah federal. Meskipun demikian, program ini diberikan
melalui pemerintah lokal.

Perumahan Murah.
Program ini merupakan program pemerintah federal dimana subsidi perumahan
diberikan dalam bentuk hipotik berbunga rendah bagi petani berpenghasilan
rendah.

Tunjangan Kesejahteraan.
Program AFDC menetapkan bahwa pemerintah federal memberikan bantuan
kepada setiap negara bagian – baik uang tunai maupun dalam bentuk lain – yang
kemudian dipakai untuk menunjang keluarga yang mempunyai anak dibawah 18
tahun yang belum mandiri. Standar yang digunakan dapat berbeda antara satu
negara bagian dengan negara bagian lain.

Program kesejahteraan ini paling banyak menimbulkan perdebatan.


Program ini dipandang sebagai program yang merendahkan martabat karena
persyaratannya dibatasi pada keluarga yang tidak mempunyai kepala keluarga
pria. Tunjangan yang diberikan dinilai tidak memadai untuk standar kehidupan
minimum yang layak. Selain itu, program ini dipandang tidak mendorong orang
untuk bekerja lebih giat, karena tunjangan akan menurun jika pendapatan
meningkat – sering disebut tarif pajak marjinal. Titik permasalahan telah berubah
dari memberikan keringanan dalam ekonomi kepada kesejahteraan anak dalam
keluarga yang berorang tua tunggal. Untuk mengatasi kritik ini, pola tunjangan
alternatif mulai dipertimbangkan.

Cara paling efektif dalam menunjang keluarga berpenghasilan rendah


adalah dengan membagikan dana melalui pemenuhan kekurangan pendapatan
mulai pendapatan tingkat bawah. Dengan demikian alternatif ini akan menjamin
tingkat minimum yang cukup sesuai ketersediaan dana sosial pemerintah. Namun
demikian, kebijakan pemberian tunjangan alternatif ini dapat mengurangi jumlah
bantuan yang dapat diberikan kepada golongan yang paling membutuhkan.

Pola alternatif lain adalah bentuk pajak penghasilan negatif. Bantuan


diberikan kepada orang-orang dengan pendapatan rendah atau yang tidak
berpendapatan. Jika pendapatan kotor meningkat, maka pajak negatif akan
menurun sampai pada titik mencapai nol dan sesudah itu terjadi pajak positif yang
terhutang. Prinsip ini merupakan perluasan prinsip perpajakan progresif yang
telah diterima umum dan berbagai cara untuk menggabungkan prinsip pajak
negatif ke dalam struktur pajak positif telah dipertimbangkan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


240

Asuransi Sosial
Komponen-komponen utama dari asuransi sosial ini di Amerika Serikat
meliputi sistem asuransi sosial OASI (Old Age and Survivors Insurance), HI (Health
Insurance), dan DI (Disability Insurance).

Asuransi Pensiun dan Cacat.


Peraturan OASI menetapkan bahwa program ini mencakup semua pekerja berusia
dibawah 65 tahun dan bekerja di bidang komersial serta industri - kecuali jalan
kereta api dan karyawan pemerintahan yang mempunyai skema lain - berhak
mendapatkan asuransi pensiun dan cacat yang preminya bersumber dari
penerimaan pajak penghasilan upah dan gaji (payroll tax). Prinsipnya adalah
menggabungkan kontribusi pemberi kerja dan karyawan.

Asuransi Kesehatan.
Setiap individu berhak atas jaminan sosial pensiun dan juga berhak atas Medicare
pada usia 65 tahun. Tunjangan ini untuk memberikan perlindungan dasar
terhadap biaya jasa rumah sakit, biaya rawat jalan, dan jasa perawatan kesehatan
rumah. Perdebatan sekitar asuransi kesehatan ini menyangkut apakah asuransi
hanya mencakup orang yang berusia lanjut atau harus diperluas kepada seluruh
penduduk, dan kalau diperluas bagaimana bentuknya. Perdebatan muncul karena
menyangkut pembiayaan yang sangat besar, pengaruhnya terhadap jasa medis
yang diberikan, kebebasan memilih dokter, dan peranan asuransi swasta.

Asuransi Pengangguran.
Program ini dibiayai dari pajak upah dan gaji federal dan pajak tambahan dari
negara bagian yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Semua kontribusi dari
pemerintah federal dan negara bagian dibayarkan kepada dan dikelola oleh Federal
Unemployment Trust Fund.

Sistem Tunjangan Sosial Terkini.


Seiring dengan perkembangan pemikiran aspek keadilan, sistem
tunjangan sosial juga mengalami perubahan. Sistem tunjangan dalam bentuk tunai
dipandang oleh para ekonom dapat menimbulkan efek yang negatif bagi golongan
penghasilan rendah dalam hal produktivitasnya, sehingga golongan penghasilan
tinggi mempunyai preferensi memberikan kontribusinya dalam bentuk non
tunuai. Salah satu perubahan yang substansial dari sistem kesejahteraan di
Amerika Serikat berubah sejak diundangkannya Undang Undang Rekonsiliasi
Kesempatan Kerja dan Tanggungjawab Personal tahun 1996. Aturan tersebut
menciptakan program kesejahteraan yang disebut Temporary Aid for Needy Families
(disingkat TANF) yang pada intinya mengatur hal-hal dibawah ini.

1. Menurut aturan AFDC, setiap orang yang mempunyai pendapatan


dibawah batasan tertentu dan memenuhi persyaratan tertentu diberikan
bantuan manfaat tunai secara mutlak tanpa pandang bulu. TANF
mengubah aturan bantuan tunai tersebut kecuali dalam hal bahwa

Dasar-dasar Keuangan Publik


241

bantuan secara tunai tersedia hanya temporer – tidak setiap saat -


berdasarkan ada tidaknya prgram tunjangan tunai tersebut.
2. Secara umum, TANF mengatur bahwa individu tidak dijinkan menerima
bantuan tunai untuk masa lebih dari lima tahun.
3. Setiap orang dewasa yang normal (tidak cacat) yang telah menerima
pembayaran bantuan tunai selama dua tahun diharuskan mengambil
bagian dalam suatu kegiatan yang ditujukan untuk membuat individu
tersebut dapat menghidupi dirinya sendiri.
4. Setiap negara bagian diberikan grant dari pemerintah federal untuk
mendanai program kesejahteraan dimana jumlahnya adalah tetap,
kemudian negara bagian tersebut melaksanakan prgram kesejahteraannya
sepanjang tepat sasaran dalam batasan grant tersebut. Dengan demikian,
struktur pemberian bantuan kesejahteraan negara bagian dikendalikan
oleh pemerintah federal. Suatu negara bagian dapat menggunakan grant
tersebut untuk membayar bantuan secara tunai, melaksanakan program
pelatihan kerja, melaksanakan program pembatasan kehamilan, atau
program lainnya yang sejenis.

Dasar-dasar Keuangan Publik


242

B A B XXV

KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT


DAN DAERAH

D alam konteks desentralisasi fiskal, apapun bentuk pemerintahan suatu


negara, baik itu negara federal maupun negara kesatuan (unitary), akan
selalu memunculkan pola hubungan fiskal antar pemerintahan (fiscal
intergovernmental relationship). Dan sebagaimana dikemukakan oleh Norregaard
(1995), terdapat perbedaan-perbedaan dalam interval luas dalam struktur
kelembagaan dan hubungan keuangan pusat dan daerah, baik dalam negara-
negara yang pada dasarnya berbentuk federal maupun negara yang berbentuk
kesatuan.

Tabel 25-1: Susunan Rak Desentralisasi Fiskal


Kelompok Negara Federalisme Fiskal Keuangan Federal
Negara Maju Perancis, Jepang Amerika Serikat, Kanada
Negara Berkembang Indonesia, Kolumbia, India, Brasil, Argentina,
Maroko, Tunisia Pakistan, Afrika Selatan
Negara Transisi Cina, Vietnam Rusia, Bosnia Herzegovina
Sumber: Bird dan Vaillancourt (1998)

Menurut Bird dan Vaillancourt (1998), terdapat dua model hubungan


fiskal antar pemerintahan yang berlaku saat ini (lihat Tabel 25-1). Pertama,
federalisme fiskal (fiscal federalism). Kedua, keuangan federal (federal finance).

Konsep federalisme fiskal maksudnya adalah Pemerintahan Daerah


Tingkat II (Kabupaten/Kota) merupakan kepanjangan tangan dari Pusat. Atau, di
beberapa negara yang berbentuk federal, pemerintahan negara bagian (state)
bukan merupakan pelaku otonom. Perancis dan Inggris mencerminkan pola ini

Dasar-dasar Keuangan Publik


243

untuk kelompok negara-negara maju (Bennet, 1990), sementara Indonesia1,


Maroko dan Tunisia adalah untuk negara berkembang, serta Cina dan Vietnam
adalah contoh negara transisi (Bank Dunia, 1996a).

Dalam model federalisme fiskal, konsentrasi kekuasaan di pusat demikian


tinggi. Dalam perspektif ini, kerangka yang sesuai untuk desentralisasi adalah
bersifat “top down” dan berpola dekonsentrasi2 atau maksimalnya berpola
delegasi3, dan kerangka analisis yang sesuai adalah agency theory4. Implikasi dari
hubungan fiskal model federalisme fiskal ini adalah berbagai bentuk transfer dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Dati I dan Dati II) dalam rangka
untuk menggalakkan otonomi regional dan untuk memperbaiki infrastruktur
lokal, biasanya akan dibelanjakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan
pedoman dan sektor-sektor yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Berbeda dengan model federalisme fiskal, model keuangan federal (federal


finance) lebih cocok diterapkan untuk beberapa negara, terutama negara-negara
yang memiliki keanekaragam dalam aspek geografis dan etnis (Bird, 1994b serta
Bird dan Chen, 1996). Dalam model keuangan federal, batas-batas resmi,
penyerahan fungsi, wewenang, serta pembiayaannya sudah secara umum
ditetapkan melalui sebuah undang-undang.

Secara teoritis, negara yang berbentuk federal, pada umumnya menganut


model keuangan federal. Contoh yang paling aktual adalah Amerika Serikat dan
Kanada. Di Amerika Serikat, model hubungan fiskal yang terjadi adalah hubungan
fiskal antara Pemerintah Federal (Pusat) dengan Pemerintah Negara
Bagian/Propinsi (state) dan hubungan fiskal antara Pemerintah Negara
Bagian/Propinsi (state) dengan Pemerintah Lokal (Kabupaten/Kota).5 Di mana,
masing-masing pemerintahan memiliki kewenangan (otonomi) yang jelas
terhadap wilayah, fungsi, serta pembiayaan sesuai dengan konstitusi federal.

1 Indonesia di sini maksudnya adalah sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah.
2 Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah.
3 Delegasi adalah pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar
struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat.
Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang
menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian
tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).
4 Menurut teori ini, principal (Pemerintah Pusat) dapat secara sepihak menentukan dan mengubah
baik tanggung jawab pengeluaran maupun pendapatan Pemerintah Daerah dan pengaturan
hubungan keuangan antar pemerintahan dalam upaya mengatasi permasalahan-permasalahan
informasi yang tidak simetri, serta perbedaan-perbedaan tujuan antara principal dan agent
(Pemerintah Daerah).
5 Di Amerika Serikat (yang berbentuk negara federal), state dibagi ke dalam counties (wilayah
kabupaten), parishes (suatu wilayah pemerintahan gereja, yaitu Lousiana), atau townships (Kota).
Namun, di Amerika Serikat, counties merupakan agen utama pemerintahan regional dari
pemerintahan propinsi dan memiliki memiliki kewenangan (authority) independensi yang
signifikan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


244

Bahkan, beberapa dewan sekolah (school board) di Amerika Serikat memiliki


kekuasaan untuk mengenakan pajak (Davey, 1983).

Meski secara teoritis negara yang berbentuk federal akan menerapkan


model keuangan federal, tetapi pada prakteknya tidak selalu demikian. Menurut
Bank Dunia (1995b) negara-negara seperti Pakistan, Argentina, dan Afrika Selatan
adalah negara-negara berbentuk federal, namun prakteknya sejauh ini masih
sentralisasi fiskal dan federalisme fiskal.

Pada negara yang berbentuk kesatuan (unitary), model keuangan federal


juga berlaku. Sesungguhnya, sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25/1999
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Indonesia secara
tidak langsung telah menerapkan model keuangan federal. Ini terbukti,
sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 25/1999, Pemerintah Daerah
memiliki kewenangan untuk menetapkan pajak serta melakukan pinjaman secara
mandiri. Bahkan, dibandingkan dengan Amerika Serikat, derajat desentralisasi
fiskal di Indonesia lebih tinggi.

Dimensi Ekonomi dari Desentralisasi Fiskal


Dimensi yang ekonomi baku dari suatu kebijakan keuangan publik adalah
stabilitas makro ekonomi, keadilan (equity), dan efisiensi (Musgrave dan
Musgrave, 1989). Menurut para ahli ekonomi, aspek efisiensi merupakan raison
d'etre untuk desentralisasi fiskal. Karena preferensi setiap individu terhadap
barang publik berbeda, maka dalam suatu sistem fiskal yang terdesentralisasi,
setiap individu dapat memilih untuk tinggal di sebuah komunitas atau masyarakat
yang sesuai dengan preferensi mereka dalam rangka untuk memaksimalkan
kesejahteraan sosial.

Argumentasi ekonomi tentang efisiensi berasal dari fakta bahwa


Pemerintah Daerah dapat memenuhi berbagai kepentingan dan pendapat dari
para penduduk dan dapat mengalokasikan berbagai sumber daya (resources) secara
lebih efisien dibandingkan Pemerintah Pusat. Namun demikian, aspek efisiensi
tidaklah satu-satunya dimensi ekonomi untuk mengevaluasi desentralisasi fiskal.
Disain fiskal antar pemerintahan juga memiliki implikasi penting atas] keadilan
dan stabilitas makro ekonomi.

Efisiensi
Teori desentralisasi didasarkan pada asumsi bahwa Pemerintah Pusat hanya
dapatmenyediakan barang dan jasa secara lintas wilayah secara konsisten. Oleh
karenanya, sesuai dengan argumen ini, terdapat keuntungan efisiensi potensial
dari desentralisasi fiskal, yaitu:

(1) Efisiensi Alokasi Sumber Daya (Efficient Allocation of Resources)


Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena Pemerintah Daerah
memiliki informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan penduduknya
dibandingkan Pemerintah Pusat. Keputusan mengenai pengeluaran publik yang

Dasar-dasar Keuangan Publik


245

dibuat oleh Pemerintah daerah akan lebih responsif terhadap keinginan


konstituennya dibandingkan dengan keputusan yang dibuat oleh Pemerintah
Pusat.

(2) Persaingan Antar Pemerintah Daerah (Competition Among Local


Governments)
Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan
inovasinya. Suatu analogi argumen untuk menjelaskan hal ini dikemukakan oleh
Tiebot (1956) yang kemudian dikenal sebagai "The Tiebout Model". Tiebout
menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf
lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi
masyakarat lokal dengan Pemerintah Daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk
tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling
tinggi antara pelayanan publik dari Pemerintah Daerahnya dengan pajak yang
dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan
pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik
bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu
meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan
berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya (Hyman,
2002). Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk
mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang
publik pada tingkat lokal.

Stabilitas Makro Ekonomi


Penilitian empiris tentang desentralisasi dan pengelolaan makro ekonomi
(macroeconomic governance) memberikan sedikit dukungan bahwa desentralisasi
inheren dengan destabilisasi. Studi terkini mengenai hubungan antara
desentralisasi fiskal dengan pengelolaan makro ekonomi menemukan bahwa
“sistem desentralisasi fiskal menawarkan perbaikan potensial yang lebih besar
terhadap perbaikan pengelolaan makro ekonomi dibandingkansistem fiskal yang
tersentralisasi”. Fakyanya, negara-negara federal yang terdesentralisasi secara
tinggi seperti Swiss, Jerman, Austria, dan Amerika Serikat memiliki kinerja makro
ekonomi yang sangat stabil dan tingkat inflasi yang rendah (Shah, 1997).
Namun demikian, khusus bagi negara-negara berkembang, stabilitas
makro ekonomi bukanlah hal yang otomatis dapat terwujud dengan
diterapkannya desentralisasi fiskal. Pengalaman internasional memperlihatkan
bahwa jika suatu negara mendesentralisasikan tanggung jawab pengeluaran lebih
besar dibandingkan dengan sumber-sumber yang tersedia, maka tingkat
pelayanan akan menurun. Atau, Daerah akan menekan Pusat untuk mendapatkan
tambahan kucuran dana yang lebih besar, atau pinjaman yang lebih besar, atau
kedua-duanya. Salah satu contoh terjelas adalah kasus-kasus di negara Federasi
Rusia (Wallich, 1994). Sebaliknya, jika lebih banyak penerimaan daripada
pengeluaran yang didesentralisasikan, maka mobilisasi dana Daerah dapat
menurun dan ketidakseimbangan makro ekonomi dapat kembali muncul (Yu,
1996).

Dasar-dasar Keuangan Publik


246

Keadilan (Equity)
Apek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik berkaitan dengan
redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial. Dalam definisi klasik,
redistribusi biasanya berupa suatu transfer dana kepada rumah tangga
berpendapatan rendah untuk mencapai keseimbangan dalam distribusi
pendapatan.

Dalam konteks desentralisasi, isu redistribusi memiliki dua dimensi:


keadilan horisontal (horizontal equity) dan keadilan lokal (within-locality equity).
Keadilan horizontal merujuk pada tingkat kapasitas Pemerintah Daerah
(subnational governments) dalam memenuhi pelayanan publik. Terdapat dua faktor
utama yang memberikan kontribusi munculnya ketidakadilan horisontal: (1) basis
pajak (taxes bases) sangat berbeda secara signifikan antara daerah satu dengan
daerah yang lain dan (2) karakteristik regional yang mengakibatkan perbedaan
biaya penyediaan pelayanan. Untuk mengurangi ketidakadilan horisontal ini,
maka perlu dirancang kebijakan untuk memberikan sumber daya (resources) yang
lebih besar kepada Daerah yang lebih miskin. Bantuan pemerataan (equalization
grant), adalah alat yang biasa digunakan untuk mengoreksi ketidakadilan
horisontal tersebut.

Namun demikian, penyediaan resources yang lebih banyak kepada daerah


miskin hanyalah satu aspek dari problem keadilan. Kesuksesan dalam kebijakan
redistribusi juga memerlukan perhatian yang khusus terhadap keadilan dalam
wilayah lokal setempat (within-locality equity). Dalam merancang kebijakan
redistribusi, Pemerintah Daerah memerlukan dukungan dari Pemerintah Pusat.
Dengan kata lain, Pemerintah Daerah tidak dapat mengambil kebijakan
redistribusi secara efektif. Mobilitas rumah tangga adalah hambatan riil
Pemerintah Daerah untuk menggunakan kebijakan redistribusi. Jika Pemerintah
Daerah mengeluarkan program redistribusi pendapatan secara agresif, ia akan
menciptakan suatu insentif yang kuat bagi penduduk berpendapatan rendah
untuk datang dan akan mendorong penduduk berpenghasilan tinggi untuk
pindah kemana saja. Sebab, dengan program redistribusi pendapatan, itu berarti
pajak bagi penduduk kaya dan subsidi bagi penduduk miskin.

Syarat-Syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal


Bird dan Vaillancourt (1998) mengisyaratkan ada dua prasyarat penting
bagi kesuksesan desentralisasi, terlepas dari keseimbangan makro atau efisiensi
mikro. Pertama, proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, yaitu
pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya harus transparan dan
pihak-pihak yang terkait harus memiliki kesempatan untuk mempengaruhi
keptusan-keputusan tersebut. Kedua, biaya-biaya dari pengambilan keputusan
tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat. Untuk itu, seharusnya
tidak perlu terjadi “ekspor pajak” dan tidak ada tambahan transfer dari level
pemerintahan yang lain.

Sementara itu, Sidik (2002) menyebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan


desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi,

Dasar-dasar Keuangan Publik


247

dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing


tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan
administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya
manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi,
perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan
masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik.

Di samping itu, Sidik (2002) juga berpendapat untuk mendukung


pelaksanaan desentralisasi, maka Pemerintah Daerah harus didukung sumber-
sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari local revenue, pinjaman,
maupun transfer dari pemerintah pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan
berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut: (1) adanya
Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement
dan (2) terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.

Dasar-dasar Keuangan Publik


248

B A B XXVI

TRANSFER PUSAT KE DAERAH:


TEORI DAN PRAKTEK

Pendahuluan
alam konteks desentralisasi fiskal, transfer dana dari Pemerintah Pusat

D kepada Pemerintah Daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari.


Desentralisasi memang merupakan pelimpahan wewenang dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Sejalan dengan
desentralisasi tersebut, aspek pembiayaannya juga ikut terdesentralisasi.
Implikasinya, Daerah dituntut untuk dapat membiayai sendiri biaya
pembangunannya.

Namun, ternyata banyak daerah di berbagai negara ini local government


revenue) tidak cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran Daerah (lihat Tabel
26.1). Dari Tabel 26.1. terlihat bahwa, tidak ada satupun Pemerintah Daerah di
berbagai negara yang disurvei memiliki pendapatan yang dapat membiayai
seluruh pengeluarannya.

Dasar-dasar Keuangan Publik


249

Tabel 26.1: Prosentase Pendapatan atas Pengeluaran Daerah

Negara Kesatuan 1995 1996 199 1998


7
Albania 5.64% 6.85% 3.69% 4.05%
Azerbaijan 73.97% 68.65% 66.78% 58.30%
Belarusia 73.18% 70.63% 77.73% 81.69%
Bulgaria 57.27% 66.19% 65.35% 61.08%
Kroasia 98.11% 93.62% 93.83% 89.18%
Republik Cekoslowakia 72.26% 60.28% 72.74% 75.80%
Denmark 57.10% 57.50% 58.55% 59.25%
Estonia 65.95% 66.97% 73.10% 72.04%
Irlandia 87.26% 84.64% 84.29% 85.31%
Kazakhstan N/A N/A 78.76% 71.68%
Latvia 75.53% 77.93% 73.82% 72.08%
Lithuania 73.82% 72.22% 71.71% 80.65%
Mauritius 39.51% 39.91% 40.68% 42.52%
Moldova 72.74% 60.50% 58.66% 62.49%
Mongolia 58.46% 56.92% 60.10% 57.32%
Norwegia 60.96% 62.10% 61.30% 59.71%
Polandia 71.52% 66.49% 66.21% 64.83%
Republik Slovakia N/A 89.65% 79.75% 73.69%
Slovenia 77.31% 82.83% 81.88% 80.60%
Inggris 27.47% 27.31% 27.91% 29.33%

Negara Federal*
Australia 85.73% 83.28% 81.92% 81.80%
Austria 82.74% 85.31% 87.28% 83.89%
Bolivia 85.64% 85.93% 85.85% 85.76%
México 97.37% 97.72% 99.98% N/A
Switzerland 81.35% 81.91% 81.96% 82.02%
United States 62.43% 63.51% 64.32% 64.51%

* Pemerintah Daerah di negara-negara federal adalah kelompok


Pemerintah Daerah yang terendah tingkat pendapatannya.
Catatan: Pendapatan Pemerintah Daerah tidak termasuk transfer antar
pemerintahan (intergovernmental transfers)
Sumber: International Monetary Fund. 1998. Government Finance
Statistics Year Book 1998, Country Tables.
Implikasi dari kondisi tersebut, transfer dana dari Pusat (intergovernmental
transfer) merupakan sumber penerimaan yang amat dominan bagi Pemerintah
Daerah di banyak negara, terutama negara berkembang. Tidak terkecuali
Indonesia. Sumber ini membiayai sekitar 85% dari pengeluaran pemerintah daerah
di Afrika Selata, antara 67% sampai 95% pengeluaran negara bagian di Nigeria,
70% sampai 90% pengeluaran negara bagian yang miskin di Meksiko, 72%
pengeluaran popinsi dan 86% pengeluaran Kabupaten/Kota pada dekade 1990-an
di Indonesia (Simanjuntak, 2002).

Dasar-dasar Keuangan Publik


250

Tujuan Transfer
Pada dasarnya, transfer Pusat ke Daerah dapat dibedakan atas bagi hasil
pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants). Adapun tujuan dari transfer ini
bermacam-macam yaitu pemerataan vertikal (vertical equalization), pemerataan
horisontal (horizontal equalization), mengatasi persoalan efek pelayanan publik
(correcting spatial externalities), mengarahkan prioritas (redirecting priorities),
melakukan eksperimen dengan ide-ide baru (experimenting with new ideas),
stabilisasi, dan kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum
di setiap daerah.

Vertical Equalization Transfer


Di banyak negara, Pemerintah Pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber
penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Sementara itu, Pemerintah
Daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau
hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal
dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif
kurang signifikan. Kondisi ini akhirnya menimbulkan ketimpangan vertikal
(vertical imbalance) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pada era tahun 1960-an, Pemerintah Federal Amerika Serikat sangat


memonopoli sumber-sumber penerimaan. Kondisi ini akhirnya bisa menimbulkan
ketimpangan antara Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian (State), dan
Pemerintahan Lokal. Kemudian, pada pertengahan era 1960-an hingga
pertengahan 1980-an lahirlah kebijakan bagi hasil penerimaan umum (General
Revenue Sharing/GRS). GRS untuk tingkat negara bagian diberlakukan secara
tuntas pada tahun 1982 dan untuk tingkat lokal diberlakukan pada secara tuntas
pada tahun 1986.

Dengan demikian, tujuan dari vertical equalization transfer ini adalah untuk
mengkoreksi kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap level pemerintahan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


251

KOTAK 26.1: PRAKTEK VERTICAL EQUALIZATION DI INDONESIA


Penerapan vertical equalization di Indonesia berlaku sejak dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah. Latar belakang diberlakukannya formula vertical
equalization ini didasari oleh suatu kondisi selama Orde Baru, dimana
Pemerintah Pusat begitu dominan dalam menguasai sumber-sumber
penerimaan negara yang berujung pada timbulnya ketimpangan fiskal secara
vertikal antara Pemerintah Pusat dengan Daerah. Daerah-daerah yang kaya
akan sumber daya alam, seperti Aceh dan Irian Jaya, terpaksa harus menjadi
daerah miskin karena hasil dari sumber-sumber kekayaan alam mereka
diangkut ke Pusat.
Kondisi ini kemudian berubah dengan keluarnya Undang-undang Nomor
25/1999. Menurut Undang-undang No. 25/1999 ini, daerah penghasil
penerimaan (baik itu pajak maupun sumber daya alam) mendapat porsi yang
besar dalam bagi hasil penerimaan umum (general revenue sharing) yang
lebih besar dibandingkan sebelum diberlakukannya Undang-undang No.
25/1999 (lihat Tabel 2.2. Dengan bagi hasil yang lebih besar ini, taxing power
. yang diterima Daerah menjadi lebih besar dan ketimpangan vertikal dapat
dikurangi

Tabel 26.2. Proporsi Bagi Hasil Beberapa Penerimaan Negara


Sebelum dan Sesudah UU No. 25/1999 (dalam %)
No Jenis Penerimaan Sebelum UU No. 25/1999 Sesudah UU No. 25/1999

Pusat Dati I Dati II Pusat Propinsi Kab Pemertaan


Kab/Kota
/Kota Lainnya

1. PBB 10 16,2 64,8 - 16,2 64,8(+) +


2. BPHTB 20 16 64 - 16 64(+) +
3. IHH 55 30 15 20 16 64 -
4. PSDH/IHPH 55 30 15 20 16 32 32
5. Land Rent/Iuran Tetap 20 16 64 20 16 64 -
6. Royalty Pertambangan Umum 20 16 64 20 16 32 32
7. Perikanan 100 - - 20 - - 80
8. Minyak 100 - - 85 3 6 6
9. Gas Alam 100 - - 70 6 12 12
10. Dana Reboisasi 100 - - 60 - 40 -
11. PPh 100 - - 80 8 12 -

Sumber : Sidik 2002, berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1999

Horizontal Equalization Transfer


Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan (revenue needs) dan kemampuan
untuk menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi horisontal. Artinya,
dengan tarif pajak yang sama seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang
sama di antara daerah. Pengalaman empirik di berbagai negara menunjukkan
ternyata kemampuan Daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi,
tergantung kondisi daerah bersangkutan yang memiliki kekayaan sumber daya
alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi
atau rendah. Kondisi ini berimplikasi kepada besarnya basis pajak atau kapasitas
fiskal (fiscal capacity) di daerah-daerah bersangkutan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


252

Di sisi lain, daerah-daerah juga memiliki kebutuhan belanja yang sangat


bervariasi. Terdapat daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut
usia, dan anak-anak serta remaja yang tinggi proporsinya. Ada pula daerah-daerah
yang berbentuk kepulauan luas, dimana sarana-prasarana transportasi dan
infrastruktur lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak, ada daerah-
daerah dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar, namun memiliki sarana
dan prasasarana yang telah lengkap. Ini mencerminkan tinggi rendahnya
kebutuhan fiskal (fiscal need) dari daerah-daerah yang bersangkutan.

Membandingkan kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal tersebut di atas,


maka dapat dihitung kesenjangan atau celah fiskal (fiscal gap) dari masing-masing
daerah yang seyogyanya ditutup oleh transfer dari Pemerintah Pusat. Dengan kata
lain tujuan dari horizontal equalization transfer adalah untuk menutup celah fiskal
yang dimiliki oleh setiap daerah.

Dasar-dasar Keuangan Publik


253

KOTAK 26.2: PRAKTEK HORIZONTAL EQUALIZATION DI INDONESIA

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan contoh yang paling tepat sebagai bentuk
horizontal equalizataion di Indonesia. Secara faktual, peran DAU dapat dijadikan
counter atas pembagian dana bagian daerah yang didasarkan atas dasar penghasil
daerah (by origin atau vertical equalization) yang cenderung menimbulkan
ketimpangan antardaerah, karena daerah yang mempunyai potensi pajak dan SDA yang
terbatas pada daerah-daerah tertentu.
Sebagai horizontal equalization, DAU dirancang dengan sebuah formula yang
digunakan untuk menghitung potensi penerimaan daerah atau kapasitas fiskal (fiscal
capacity) dan kebutuhan fiskal daerah (fiscal needs). Sehingga, melalui suatu formula
ini, maka dapat dihitung celah fiskal (fiscal gap) yang akan ditutup dengan transfer
DAU dari Pusat.
Rumus Umum DAU 2001 adalah sebagai berikut:
1. DAU akan dialokasikan kepada Daerah dengan menggunakan bobot daerah.
Bobot daerah harus dirumuskan dengan menggunakan suatu formula yang
didasarkan atas pertimbangan kebutuhan dan potensi potensi penerimaan.
2. Besarnya DAU setelah formula paling tidak sama dengan besarnya bantuan
Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Inpres tahun 2000. Oleh karenanya, dalam
alokasi DAU 2001 terdapat faktor penyeimbang dan faktor lumsum.
Faktor Penyeimbang adalah suatu mekanisme untuk mencegah penurunan
kapasitas Pemerintah Daerah dalam membiayai kewajiban-kewajiban mereka.
Faktor penyeimbang juga diarahkan untuk mengatasi permasalahan pendanaan
akibat terjadinya transfer pegawai dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah
yang tentunya membawa konsekuensi pada gaji dan biaya-biaya terkait
lainnya.
Faktor lumpsum intinya adalah suatu mekanisme untuk membagi habis total
DAU yang sudah dianggarkan dalam APBN 925% dari penerimaan bersih
domestik). Dalam prakteknya, terjadi selisih hitung antara total DAU yang
dianggarkan dengan total faktor penyeimbang dan faktor formula.
3. Faktor formula. Formula DAU terdiri dari dua, yaitu potensi penerimaan dan
kebutuhan fiskal.
Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan potensi penerimaan
adalah (a) PDRB sektor sumber daya alam (primer); (b) PDRB sektor industri
dan jasa lainnya (non-primer); dan besarnya angkatan kreja (SDM).
Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan kebutuhan daerah adalah
(a) jumlah penduduk; (b) luas wilayah; (3) indeks harga bangunan; dan (4)
jumlah penduduk miskin.
4. Penentuan Bobot dan Alokasi Daerah.
Sumber: Brodjonegoro dan Pakpahan (2002)

Dasar-dasar Keuangan Publik


254

Correcting Spatial Externalities


Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah memiliki “efek menyebar” (atau
eksternalities) ke wilayah-wilayah lainnya. Misalnya, pendidikan tinggi
(universitas), pemadam kebakaran, jalan raya penghubung antar-daerah, sistem
pengendali polusi (udara dan air), dan rumah sakit daerah, tidak bisa dibatasi
manfaatnya hanya untuk masyarakat tertentu saja.

Namun, tanpa adanya “imbalan” (dalam bentuk pendapatan) yang berarti


dari proyek-proyek serupa di atas, biasanya Pemerintah Daerah enggan untuk
berinvestasi di sini. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat perlu memberikan semacam
insentif ataupun menyerahkan sumber-sumber keuangan agar pelayanan-
pelayanan publik demikian dapat dipenuhi oleh daerah.

Gambar 26-1: Koreksi “Spillovers” Melalui Transfer


P

MC

P1

PB DT

PA
DA DB

QB QT Q

Berdasarkan Gambar 26-1, jika permintaan dari penduduk (resident


demands) setempat yang diperhitungkan, maka jumlah permintaannya akan sangat
rendah, yaitu sebesar DA dan harganya (biayanya) pun relatif murah (PA) sehingga
Daerah setempat dipastikan dapat mengadakannya. Namun, untuk permintaan
atas barang publik tertentu (misalnya, perguruan tinggi), peminatnya juga berasal
dari luar daerah (nonresident demands), yaitu sebesar DB dengan harga (biaya)
sebesar PB. Sehingga, total permintaan atas barang publik tersebut adalah DT
dengan harga (biaya) sebesar P1, yang bagi Daerah bersangkutan akan sangat sulit
untuk dapat mengadakannya, karena biayanya terlalu mahal.

Agar penyediaan barang publik tersebut tetap dilakukan oleh Daerah


bersangkutan, maka Pemerintah Pusat memberikan transfer (subsidi), yaitu
sebesar perbedaan antara PB dan P1. Dengan adanya subsidi ini, maka Daerah

Dasar-dasar Keuangan Publik


255

bersangkutan dapat menyediakan barang publik tersebut, karena biayanya berada


dalam jangkauan anggaran Daerah.

Redirecting Priorities
Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing-masing di dalam penyediaan
pelayanan publik kepada masyarakatnya. Dan seringkali prioritas yang
dikembangkan oleh setiap level pemerintahan tersebut, akhirnya bertentangan
dengan prioritas yang sedang dibangun oleh level pemerintahan lainya.

Misalnya, Pemerintah Pusat berkeinginan mengedepankan pembangunan


di sektor pendidikan secara murah dan terjangkau. Ini terkait dengan pemenuhan
harapan para konstituen pemilih ketika pemilihan umum berlangsung. Namun
ternyata, keinginan tersebut ternyata tidak sinkron dengan pola kebijakan Daerah.
Pemerintah Daerah ternyata menginginkan pembangunan di sektor kesehatan
lebih mendapat prioritas karena pertimbangan kondisi masyarakat setempat.

Agar keinginan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berjalan


secara paralel, seyogyanya Pemerintah Pusat memberikan transfer atau insentif
kepada Daerah. Transfer Pemerintah Pusat kepada Daerah semacam ini akan
membantu mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat sesuai dengan
keinginan yang diharapkan oleh masing-masing level pemerintahan.

Experimenting with New Ideas


Bantuan (grants) seperti ini berawal dari adanya keinginan Pemerintah Pusat
untuk mengujicobakan suatu program baru di suatu Daerah sebelum program
tersebut diberlakukan terhadap seluruh Daerah. Alasan perlunya bantuan dari
Pusat kepada Daerah sehubungan dengan uji coba program baru tersebut, karena
Daerah yang menjadi tempat uji coba tidak mau menanggung kerugian dan risiko
manakala terjadi dampak negatif terhadap program baru tersebut. Dengan
demikian, sesungguhnya bantuan untuk tujuan uji coba program baru ini tidak
lebih dari sebuah kompensasi atas kesediaan Daerah menjadi ajang uji coba suatu
program baru dari Pusat.

Stabilisasi
Transfer dana dapat ditingkatkann oleh Pemerintah ketika aktivitas perekonomian
sedang lesu. Di saat lain, bisa saja dana transfer ke daerah dikurangi manakala
perekonomian sedang booming. Transfer untuk dana-dana pembangunan (capital
grants) adalah merupakan instrumen yang cocok untuk tujuan ini. Namun
kecermatan dalam mengkalkulasi amat diperlukan agar tindakan
menaikkan/menurunkan dana transfer itu berakibat merusak atau bertentangan
dengan tujuan stabilisasi.

Memenuhi Standar Pelayanan Minimum


Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan subsidi agar dapat
mencapai standar pelayanan minimum. Jika dikaitkan dengan postulat Musgrave
(1983) yang menyatakan bahwa peran redistributif dari sektor publik akan
dijalankan oleh Pemeirntah Pusat, maka penerapan standar pelayanan minimum

Dasar-dasar Keuangan Publik


256

di setiap daerah pun akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh Pemerintah
Pusat.

Kriteria Desain Transfer Pusat ke Daerah


Dari berbagai tujuan yang hendak dicapai dalam rangka transfer antar
tingkat pemerintahan, dapat kiranya sebagai acuan untuk mendesain sistem atau
model transfer bagaimana yang akan diterapkan. Berikut adalah beberapa kriteria
umum yang biasa digunakan di banyak negara di dunia.
1. Otonomi.
Prinsip ini merupakan dasar desentralisasi fiskal di dunia, apakah negara
tersebut berbentuk federal maupun negara kesatuan. Prinsip ini
menekankan agar Pemerintah Daerah memiliki independensi dan
fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritas mereka. Tidak boleh ada
pembatasan yang sedemikian ketat sehingga sebagian besar keputusan di
Daerah harus mengikuti atau mengacu kepada ketentuan Pusat. Pajak-
pajak dimana Daerah bisa ikut memungut di atas tingkat yang ditetapkan
Pusat (piggyback), bagi hasil (revenue sharing) berdasarkan formula,
ataupun transfer yang bersifat umum (block grant) adalah sumber-sumber
penerimaan daerah yang konsisten dengan tujuan tersebut.

2. Penerimaan yang memadai (revenue adequacy).


Pemerintah daerah semestinya memiliki pendapatan (termasuk transfer)
yang cukup untuk menjalankan segala kewajiban atau fungsi yang
diembannya.

3. Keadilan (equity).
Besarnya dana transfer dari Pusat ke daerah seyogyanya berhubungan
positif dengan kebutuhan fiskal daerah dan, sebaliknya, berkebalikan
dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan.

4. Transparan dan stabil.


Formula transfer mesti diumumkan sehingga dapat diakses masyarakat.
Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa setiap daerah dapat
memperkirakan berapa penerimaan totalnya (termasuk transfer), sehingga
memudahkan penyusunan anggaran. Formula tersebut seyogyanya
dipakai untuk jangka menengah (misalnya 3-5 tahun), agar perencanaan
jangka menengah dan panjang dapat dilakukan oleh Daerah.

5. Sederhana (simplicity).
Alokasi dana kepada Pemeirntah Daerah semestinya didasarkan pada
faktor-faktor obyektif dimana unit-unit individual tidak memiliki kontrol
atau dapat mempengaruhinya. Di samping itu juga formula yang dipakai
seyogyanya relatif mudah untuk dipahami.

6. Insentif.
Desain dari transfer ini harus sedemikian sehingga memberikan semacam
insentif bagi daerah dengan manajemen fiskal yang baik, baik sebaliknya
menangkal praktik-praktik yang tidak efisien. Dengan demikian, tidak

Dasar-dasar Keuangan Publik


257

perlu ada transfer khusus/spesifik untuk membiayai defisit anggaran


Pemerintah Daerah, atau ada semacam kontrol terhadap belanja daerah.

Jenis-Jenis Transfer
Pengalaman empiris dari berbagai negara menunjukkan bahwa pemberian
transfer oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dapat disertai dengan syarat-syarat
tertentu atau tidak bersyarat sama sekali. Dengan demikian, pada dasarnya jenis-
jenis transfer dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar, yaitu (1) transfer
tanpa syarat (unconditional grant, general purpose grant, block grant dan (2) transfer
dengan syarat (conditional grant, categorial grant, spesific purpose grant).

Transfer Tanpa Syarat


Pada umumnya transfer jenis ini ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan
dalam kemampuan fiskal antar daerah, sehingga setiap Daerah dapat
melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak. Tujuan
dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang bersifat
horisontal (horizontal equalization).

Ciri utama dari transfer ini adalah Daerah memiliki keleluasaan (diskresi)
penuh dalam memanfaatkan dana transfer ini sesuai dengan pertimbangan-
pertimbangannya sendiri atau sesuai dengan aturan apa yang menjadi prioritas
daerahnya.

Transfer tanpa syarat biasanya dibagikan berdasarkan suatu formula


tertentu. Namun, formula apa yang tepat untuk menjamin meratanya kemampuan
fiskal (fiscal capacity) Daerah dalam menjalankan pelayanan publik minimum, amat
tergantung kepada kondisi atau keadaan di masing-masing negara.

Dasar-dasar Keuangan Publik


258

KOTAK 26.3: PRAKTEK TRANSFER TANPA SYARAT DI INDONESIA


Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan bentuk yang masuk dalam kategori transfer
tanpa syarat (unconditional grant) untuk kasus di Indonesia. DAU adalah dana yang
berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan antar-Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi.
Menurut UU No. 25/1999 ketentuan mengenai aturan alokasi DAU adalah sebagai
berikut:
1. DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari
Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN.
2. DAU untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan
masing-masing 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari
total DAU nasional.
3. Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara Daerah Propinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota, persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah
Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota disesuaikan dengan perubahan
tersebut.
4. DAU untuk suatu Daerah Propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian
jumlah DAU untuk seluruh Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBN,
dengan porsi Daerah Propinsi yang bersangkutan.
5. Porsi Daerah Propinsi merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi yang
bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi di seluruh
Indonesia.
6. DAU untuk suatu Daerah Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan
perkalian jumlah DAU untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang
ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan.
7. Porsi Daerah Kabupaten/Kota merupakan proporsi bobot Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
8. Bobot Daerah ditetapkan berdasarkan:
• kebutuhan wilayah otonomi Daerah;
• potensi ekonomi Daerah.
9. Penghitungan DAU berdasarkan rumus di atas dilakukan oleh Sekretariat
Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Penjelasan efek dari unconditional grant terhadap pembiayaan daerah,


dapat dilihat pada Gambar 26-2. Asumsikan terdapat dua jenis barang publik
(public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan transfer (assisted
public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal (horizontal axis) dan
barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A) yang digambarkan dengan
garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran6 Daerah setempat
(community budget line), yang memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi

6 Garis anggaran (budget line) adalah kurva yang menunjukkan kombinasi konsumsi dua macam
barang yang membutuhkan biaya (anggaran) yang sama besar.

Dasar-dasar Keuangan Publik


259

barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan barang B. Kurva i1i1,
i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference curve)7.

Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A


adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E,
dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada
anggaran yang tersedia.

Karena tidak ada batasan pada cara pembelanjaan fasilitas publik


manapun, maka yang bertambah akibat adanya transfer adalah jumlah anggaran.
Hal ini digambarkan dengan adanya pergeseran (shifting) budget line yang sejajar
dari AB menjadi FG. Sehingga, jumlah barang yang dapat dipenuhi menjadi lebih
banyak, yaitu menjadi OK (untuk assested public goods) dan menjadi OH (untuk
other public goods). Dengan demikian, tingkat kepuasan masyarakat pun menjadi
lebih besar, sebagaimana digambarkan pergeseran kurva indiferensi yaitu dari i1i1
menjadi i2i2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1.

Kondisi inilah yang menyebabkan mengapa penerima lebih memilih


unconditional grants dibandingkan bentuk transfer lainnya. Ini mengingat, dengan
unconditional grants memungkinkan tercapainya kesejahteraan yang lebih baik bagi
Daerah yang muncul dari kemungkinan untuk memilih yang lebih besar. Namun,
bagi pemberi, hal ini bisa juga menjadi suatu kerugian karena tidak ada kepastian
tercapainya tujuan bersama sesuai dengan maksud pemberian grants tersebut.

Gambar 2-2: Efek Unconditional Grant Terhadap Pembiayaan Daerah

Other
Public i2
F Goods

i1

A
E1
H
i2
E
C

i1 G
O D K B Assested Public Goods

7 Kurva indiferensi (indifference curve) adalah kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi
konsumsi dua macam barang yang memberikan tingkat kepuasan sama bagi seorang konsumen.

Dasar-dasar Keuangan Publik


260

Transfer Dengan Syarat (Conditional Transfer)


Transfer ini biasanya digunakan untuk keperluan yang dianggap penting oleh
Pemerintah Pusat namun kurang dianggap penting oleh Daerah. Contohnya
adalah proyek-proyek yang menimbulkan efek eksternalitas positif bagi daerah-
daerah lain ataupun proyek-proyek dari Pemerintah Pusat yang sifatnya ujicoba
atas suatu program atau ide baru (experimenting with new ideas). Transfer ini dapat
dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu:

Transfer pengimbang (matching grants).


Transfer pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh Pusat kepada
Daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan satu jenis
urusan tertentu. Jadi, di sini Pemerintah Daerah telah mengalokasikan sejumlah
dana dari pendapatan daerahnya untuk penyelenggaraan urusan tersebut. Hanya
saja, dana Daerah belum cukup untuk menjamin penyelenggaraan urusan tersebut
dengan baik. Transfer dari Pemerintah Pusat dalam hal ini berfungsi untuk
membantu mengatasi kekurangan dana tersebut. Transfer pengimbang ini juga
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis:

1) Transfer pengimbang tidak terbatas (open-ended matching grants).


Transfer ini diperuntukkan apabila transfer tersebut dapat dan memang ditujukan
untuk menutup seluruh kekurangan dana yang terjadi. Misalnya, sebuah proyek
pembangunan universitas membutuhkan dana sekitar Rp100 miliar. Sementara itu,
Daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar 10% dari total kebutuhan dana
atau sebesar Rp10 miliar. Maka, kekurangan tersebut, yaitu sebesar Rp90 miliar
ditanggung sepenuhnya oleh Pusat.

Penjelasan efek dari open-ended matching grants dapat disajikan dalam


Gambar 26-3. Sama dengan kasus sebelumnya, asumsikan terdapat dua jenis
barang publik (public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan
transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal
(horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A) yang
digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran
Daerah setempat (community budget line), yang memperlihatkan kombinasi
berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan
barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference
curve).

Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A


adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E,
dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada
anggaran yang tersedia.

Pemerintah Pusat dan Daerah berniat meningkatkan kuantitas barang B,


sedangkan barang A dibiarkan tetap. Untuk tujuan ini, Pemerintah Pusat dan
Daerah sepakat memberikan kontribusinya masing-masing, yaitu misalnya Pusat
90% dan Daerah 10%. Dengan demikian, kurva garis anggaran (budget line) akan
mengalami pergeseran dari AB menjadi AM, yaitu hanya menggeser kuantitas

Dasar-dasar Keuangan Publik


261

barang B, sementara barang A tetap. Sehingga, jumlah barang B (untuk assested


public goods) yang dapat dipenuhi menjadi lebih banyak, yaitu dari OD menjadi
OP. Dengan demikian, tingkat kepuasan untuk barang B pun menjadi lebih besar,
namun untuk barang A tetap, sebagaimana digambarkan pergeseran kurva
indiferensi yaitu dari i1i1 menjadi i2i2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1.

Gambar 26-3: Efek Dari Open-Ended Matching Grants


Other
Public i2
A Goods

i1

E1
N
i2
E
C
Q
M
i1
O D B P Assested Public Goods

Efek negatif dari open-ended matching grants adalah grant yang diberikan
oleh Pemerintah Pusat justru akan menyebabkan ketidakmerataan antardaerah,
karena sifat grant ini yang tidak terbatas. Akibatnya, daerah yang kaya akan
mampu membuat proyek yang kaya pula dan menjadi semakin kaya, sementara
Daerah yang miskin akan tetap miskin karena mereka tidak dapat membuat
proyek kaya, yang pembiayaannya bisa sebagian besar dari Pemerintah Pusat.

2) Transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching grants).


Pada transfer ini terdapat batasan jumlah dana maksimum yang dapat digunakan.
Hal ini sangat disukai oleh pemberi bantuan (Pemerintah Pusat), karena walaupun
dana yang diberikan sesuai dengan besar proyek, namun setelah besarnya biaya
proyek melampaui jumlah tertentu, pemberi bantuan dapat mencukupkan
bantuannya.

Misalnya, sebuah proyek pembangunan universitas awalnya


membutuhkan dana sekitar Rp100 miliar. Sementara itu, Daerah hanya mampu
menyediakan dana sebesar 10% dari total kebutuhan dana atau sebesar Rp10
miliar. Maka, kekurangan tersebut, yaitu sebesar Rp90 miliar ditanggung
sepenuhnya oleh Pusat. Namun, dalam perjalanannya, estimasi biaya ternyata
membengkak menjadi Rp110 miliar atau mengalami kekurangan Rp10 miliar lagi.
Karena Pemerintah Pusat tidak lagi mau mengucurkan dananya, dengan

Dasar-dasar Keuangan Publik


262

sendirinya proyek tersebut harus disesuaikan dengan jumlah anggaran semula,


yaitu Rp100 miliar.

Penjelasan efek dari closed-ended matching grants dapat disajikan dalam


Gambar 26-4. Sama dengan kasus sebelumnya, asumsikan terdapat dua jenis
barang publik (public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan
transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal
(horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A) yang
digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran
Daerah setempat (community budget line), yang memperlihatkan kombinasi
berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan
barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference
curve).
Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A
adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E0,
dimana posisi E0 ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada
anggaran yang tersedia.

Dalam rencana awal, Pemerintah Pusat dan Daerah berniat meningkatkan


kuantitas barang B, sedangkan barang A dibiarkan tetap. Untuk tujuan ini,
Pemerintah Pusat dan Daerah sepakat memberikan kontribusinya masing-masing.
Misalnya, dari proyek senilai Rp100 miliar, Pemerintah Pusat akan memberikan
kontribusinya sebesar 90% dan Daerah 10%. Dengan demikian, kurva garis
anggaran (budget line) akan mengalami pergeseran dari AB menjadi AM, yaitu
hanya menggeser kuantitas barang B, sementara barang A tetap. Sehingga, jumlah
barang B (untuk assested public goods) yang dapat dipenuhi menjadi lebih banyak,
yaitu dari OD menjadi OP. Dengan demikian, tingkat kepuasan untuk barang B
pun menjadi lebih besar, namun untuk barang A tetap, sebagaimana digambarkan
pergeseran kurva indiferensi yaitu dari i1i1 menjadi i2i2 dan titik keseimbangan
baru menjadi E1.

Namun dalam perkembangannya, terjadi kenaikan bahan baku sehingga


budget seharusnya dinaikkan menjadi Rp110 miliar. Karena Pemerintah Pusat tidak
lagi mau mengucurkan dananya, dengan sendirinya proyek tersebut harus
disesuaikan dengan jumlah anggaran semula, yaitu Rp100 miliar. Implikasinya,
garis anggaran tidak jadi bergeser dari AB menjadi AM, tetapi dari AB menjadi AT
yang berarti jumlah barang A yang dapat dihasilkan akan lebih sedikit
dibandingkan perkiraan semula. Implikasinya, terjadi titik keseimbangan baru
dari E menjadi E1, dimana posisi permintaan (demand) barang barang B adalah
tetap OD. Dalam gambar terlihat bahwa rotasi pada budget line setelah batas
tertentu, slope-nya menjadi sejajar pada budget line awalnya.

Transfer bukan pengimbang (non-matching grants).


Transfer bukan pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh Pusat
kepada Daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis urusan
tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa Pemerintah Daerah sendiri telah/akan
mengalokasikan dananya dengan jumlah besar atau kecil. Jenis transfer ini dapat
dipakai oleh Pemerintah Pusat untuk menjadi sarana menginternalisasikan

Dasar-dasar Keuangan Publik


263

limpahan manfaat, (eksternalitas) terutama kepada Daerah yang menghasilkan


limpahan manfaat tersebut.

Jadi, kendati Pemerintah Daerah yang bersangkutan telah mengalokasikan


pendapatan daerahnya (local revenue) untuk pembiayaan penyelenggaraan urusan
itu, namun karena pelaksanaannya menghasilkan limpahan manfaat besar kepada
daerah-daerah lain, transfer diberikan oleh Pusat untuk mendorong Daerah agar
tetap bersemangat dan mau mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk
pelaksanaan fungsi tersebut.

Penjelasan efek dari non-matching grants terhadap pembiayaan daerah,


dapat dilihat pada Gambar 26-5. Asumsikan terdapat dua jenis barang publik
(public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan transfer (assisted
public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal (horizontal axis) dan
barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A) yang digambarkan dengan
garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran Daerah setempat
(community budget line), yang memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi
barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan barang B. Kurva i1i1,
i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference curve).

Gambar 26-4: Efek Closed-Ended Matching Grants

Other
Public i2
A Goods

i1

E1
N
i2
E
C
Q
T M
O D B P i1 Assested Public Goods

Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A adalah
OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana
posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada anggaran
yang tersedia. Dengan adanya transfer dari Pusat ke Daerah untuk keperluan
khusus tanpa diperlukannya dana pendamping, maka budget line dari barang

Dasar-dasar Keuangan Publik


264

publik yang dibantu (assested public goods) mengalami pergeseran (shifting), namun
tidak mengubah batas maksimum fasilitas publik lainnya (other public goods).

Gambar 26-5: Efek Non-Matching Grants

Other
Public i2
Goods

i1

A
F E1
H
i2
E
C

i1 G
O D K B Assested Public Goods

Dasar-dasar Keuangan Publik


265

B A B XXVII

PERPAJAKAN DAERAH

Pendahuluan
emerintah Daerah dapat memperoleh pendapatan dari dari perpajakan

P dengan tiga cara. Pertama, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, ialah


melalui pembagian hasil pajak-pajak (revenue sharing) yang dikenakan dan
dipungut oleh Pemerintah Pusat. Dalam konteks Indonesia, menurut
Undang-undang No. 25/1999, pajak Pemerintah Pusat yang dibagikan adalah
Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Kedua, Pemerintah Daerah dapat memungut tambahan pajak (opsen,


surchage di atas suatu pajak yang dipungut dan dikumpulkan oleh Pemerintah
Pusat. Menurut pengertian ini, para Wajib Pajak di wilayah (daerah) mereka, pada
umumnya membayar pungutan tambahan beserta pajak-pajaknya kepada
Pemerintah Pusat. Kemudian, Pemerintah Pusat membayarkan pendapatan opsen
tersebut kepada Pemerintah Daerah. Praktek seperti ini diterapkan di Swedia,
Amerika Serikat, dan India. Pemerintah Daerah Swedia, misalnya, memungut
opsen atas pajak penghasilan nasional. Di Amerika Serikat, Pemerintah Daerah
mengenakan opsen atas pajak penjualan di tingkat negara bagian (state).
Sedangkan, beberapa panchayats (Pemerintah Kabupaten) di India menikmati
opsen atas pajak tanah.

Untuk lebih jelas memahami opsen, Davey (1983) mendefinisikan bahwa


opsen adalah semacam pungutan pajak (precept) yang dipungut oleh propinsi
(county) atau dewan desa (parish council) di Inggris di atas rate (pajak atas harta
tetap, semacam PBB) dewan kabupaten (district council), sedangkan di daerah-
daerah nonmetropolitan, precept Pemerintah Propinsi merupakan proporsi yang
tinggi dari seluruh pungutan pungutan wajib wajib pajak. Opsen tersebut
mungkin dipungut sebagai prosentase tambahan atas pendapatan kena pajak
(PKP), dalam hal pajak penghasilan atau alternatifnya, sebagai suatu prosentase

Dasar-dasar Keuangan Publik


266

tambahan atas pajak yang sebenarnya dibayarkan kepada Pemerintah Pusat atau
negara bagian.

Ketiga, adalah pungutan-pungutan yang dikumpulkan dan ditahan oleh


Pemerintah Daerah sendiri. Adapun variabel yang utama adalah dasar hukumnya
(kewenangannya). Suatu jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah
mungkin ditetapkan berdasarkan ketentuan perundangan Pemerintah Pusat.
Dalam konteks di Indonesia, pajak daerah jenis ini diatur dalam UU No. 34 Tahun
2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.

Bagian ini hanya akan mendiskusikan mengenai pajak yang diperoleh oleh
Pemerintah Daerah sendiri. Alasan pembatasan ini, adalah (i) tax revenue sharing
telah dibahas pada bagian sebelumnya, dan (ii) pembahasan mengenai opsen,
kurang relevan dengan sistem perpajakan di Indonesia, karena Indonesia tidak
menerapkan sistem opsen.

Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah


Menurut Davey (1983) terdapat empat kriteria mengenai pajak Daerah.
Keempat kriteria tersebut adalah kecukupan dan elastisitas, pemerataan,
kemampuan administratif, dan dapat diterma secara politik.
Kriteria pertama, kecukupan dan elastisitas. Kecukupan maksudnya
bahwa sumber pendadapat tersebut harus menghasilkan pendapatan yang besar
dalam kaitannya dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan
dikeluarkan. Seringkali dijumpai Pemerintah Daerah mempunyai banyak jenis
pajak, tetapi pendapatan yang dihasilkan tidak mampu melebihi biaya yang
dikeluarkan untuk memungutnya.

Sedangkan elastis maksudnya adalah kemampuan untuk menghasilkan


tambahan pendapatan agar dapat menutup tuntutan yang sama atas kenaikan
pengeluaran Pemerintah Daerah, dan dasar pengenaan pajaknya berkembang
secara otomatis, misalnya, apabila harga-harga meningkat, penduduk di suatu
daerah meningkat, dan pendapatan individu meningkat, maka dengan sendirinya
pajak juga harus meningkat. Dalam hubungan ini, elastisitas mempunyai dua
dimensi. Pertama, pertumbuhan potensi dari dasar pengenaan pajak itu sendiri.
Kedua, kemudahan untuk memungut pertumbuhan pajak tersebut. Elastisitas
merupakan kualitas suatu sumber pajak yang penting. Elastisitas juga dengan
mudah dapat diukur dengan membandingkan hasil penerimaan selama beberapa
tahun dengan perubahan dalam indeks harga, penduduk, atau PDRB.

Kriteria kedua, adalah keadilan. Prinsip keadilan ini adalah bahwa beban
pengeluaran Pemerintah haruslah dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat
sesuai dengan kekayaan dan kesanggupan masing-masing golongan. Keadilan
memiliki tiga dimensi. Pertama, pemerataan secara vertikal, yaitu dalam
hubungan pembebanan pajak atas tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Dalam
konteks ini, pajak dapat dikatakan baik kalau pajak tersebut bersifat progresif,
yakni prosentase pendapatan seseorang yang dibayarkan untuk pajak bertambah
sesuai dengan tingkat pendapatannya. Sedangkan, pajak dikatakan tidak baik, jika

Dasar-dasar Keuangan Publik


267

pajak tersebut bersifat regresif, yakni persentase pendapatan yang dibayarkan


untuk pajak berkurang dengan adanya kenaikan pendapatan.

Kedua, pemerataan secara horisontal, yaitu dalam konteks hubungan


pembebanan pajak berdasarkan sumber pendapatan. Maksudnya adalah
seseorang yang memiliki jumlah pendapatan yang sama, seharusnya dikenakan
pajak dalam jumlah yang sama. Petani yang memiliki pendapatan Rp100 juta per
tahun, maka pajaknya harus sama dengan pegawai kantor (swasta atau negeri)
yang memiliki gaji sebesar Rp100 juta per tahun. Dengan konsep keadilan
horisontal seperti ini, maka diharapkan tidak ada penduduk yang yang kebal
pajak.
Ketiga, adalah keadilan geografis. Pembebanan pajak harus adil antarpenduduk di
berbagai daerah. Seseorang seharusnya tidak dibebani pajak lebih berat hanya
karena mereka tinggal di suatu daerah tertentu.

Kriteria ketiga adalah kemampuan adimistratif. Untuk menilai suatu pajak


agar dapat memenuhi tuntutan keadilan dan pemerataan, maka dibutuhkan suatu
administrasi yang baik dan fleksibel. Dimana, administrasi pemungutan pajak
harus sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak.

Kriteria keempat, adalah adanya kesepakatan politik. Tidak ada pajak


yang populer. Semua orang pada dasarnya ingin menolak membayar pajak, kalau
diperbolehkan. Bahkan, dalam beberapa jenis pajak, lebih tidak populer
dibandingkan jenis pajak yang lain. Dalam kondisi seperti ini, kemauan politik
diperlukan dalam mengenakan pajak, menetapkan struktur tarif, memutuskan
siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak tersebut ditetapkan, memungut
pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi terhadap para pelanggar. Dengan
adanya kemauan politik seperti ini, maka diharapkan pajak pun dapat secara
politis diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi
untuk membayar pajak.

Sidik (2002) menambahkan bahwa selain keempat kriteria yang ditetapkan


Davey (1983) di atas, pajak daerah juga harus memenuhi kriteria non-distorsi
terhadap perekonomian. Artinya, implikasi pajak atau pungutan yang hanya
menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap
pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen
maupun produsen. Namun demikian, jangan sampai suatu pajak atau pungutan
menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan
merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss). Dalam konteks
Indonesia, kriteria non-distorsi terhadap perekonomian merupakan alasan
keluarnya UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan adanya UU No. 34 Tahun
2000 ini diharapkan pajak daerah tidak menimbulkan beban tambahan bagi
masyarakat.

Ciri-Ciri Tertentu Suatu Pajak Daerah


Untuk mempertahankan prinsip-prinsip pajak daerah tersebut di atas,
maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri

Dasar-dasar Keuangan Publik


268

dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah


sebagai berikut:
• pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara
penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
• relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar,
kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara
tajam.
• tax base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit)
dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).

Dalam konteks Indonesia, terutama kaitannya dengan pelaksanaan


otonomi daerah, maka pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan
pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara
umum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai
pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung
pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi.

Untuk itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus


tetap “menempatkan” sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: fungsi budgeter dan fungsi regulator.
Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara (daerah)
yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
Sementara, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur
untuk mencapai tujuan, misalnya: pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat
menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor
dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam
rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri.

Menurut Teresa Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan


yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat
Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu:
1. Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk
tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat.
2. Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu “mobile”.
Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong pembayar pajak
merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang
beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak terlalu “mobile”
akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarip pajak yang berbeda
sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk alasan ini pajak
komsumsi di banyak negara yang diserahkan kepada daerah hanya karena
pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas (seperti propinsi di Canada).
Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan persyaratan utama
untuk mempertahankan di tingkat pemerintah yang lebih tinggi
(Pusat/Propinsi).
3. Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya
diserahkan kepada Pemerintah Pusat.

Dasar-dasar Keuangan Publik


269

4. Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas
bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak
terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong
akuntabilitas daerah.
5. Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah
lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan
pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).
6. Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai
untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan,
idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu
berfluktuasi.
7. Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah
diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara
ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah
pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan komputerisasi.
8. Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya
pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan kewenangan
pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang manfaatnya dapat
dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.

Model Leviathan
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari
pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar
pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah Daerah cenderung untuk
menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah yang
maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak selalu
menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada respons wajib
pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi.
Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan.

Dengan asumsi bahwa biaya administrasi perpajakan dianggap tidak


signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari
penerimaan pajak, dan hanya kegiatan ekonomi saja yang dipengaruhi oleh
besaran pajak, maka Gambar 27-1 di bawah ini menunjukkan hubungan antara
tarif pajak proporsional atas basis pajak tertentu. Bentuk kurva (“Laffer”) yang
berbentuk parabola menghadap sumbu Y (tarif pajak), menghasilkan Total
Penerimaan Pajak Maksimum yang ditentukan oleh kemampuan wajib pajak
untuk menghindari beban pajak baik legal maupun illegal dengan mengubah
“economic behavior” dari wajib pajak. Gambar 27-1 ini juga mengasumsikan
bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap pengenaan tarif pajak tertentu adalah
independent terhadap jenis pajak dan tarif pajak lainnya. Model Leviathan akan
mencapai total penerimaan pajak maksimum (T*) pada tarif t*. Pada tarif t*,
menunjukkan bukanlah tarif tertinggi, tetapi dapat dicapai total penerimaan pajak
maksimum. Pada kondisi ini dikenal sebagai Revenue Maximizing Tax Rate. Model
Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa peningkatan penerimaan
pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu
tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan
dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respon harga

Dasar-dasar Keuangan Publik


270

dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa, maka akan
dicapai Total Penerimaan Maksimum. Model Leviathan ini dapat dikembangkan
untuk menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak
untuk mencapai Total Penerimaan Pajak Maksimal.

Gambar 27-1: Model Leviathan


Tarif Pajak
Daerah

Kurva Laffer

t*

Total Penerimaan
Pajak Daerah
T*

Ketentuan Mengenai Pungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah


Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah di Indonesia telah diatur sejak lama, terutama sejak tahun 1997
dengan dikeluarkannya UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Namun, dalam perkembangannya, UU No.18 Tahun 1997 dianggap
kurang memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru.
Walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangan kepada
daerah, namun harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Sehingga
pada waktu UU No. 18 Tahun 1997 berlaku belum ada satupun daerah yang
mengusulkan pungutan baru karena dianggap hal tersebut sulit dilakukan. Selain
itu, pengaturan agar Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah harus mendapat pengesahan dari Pusat juga dianggap telah mengurangi
otonomi daerah. Seiring dengan keluarnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999,
maka UU No.18 Tahun 1997 diubag dengan UU No.34 Tahun 2000. Dengan
diubahnya UU No.18 Tahun 1997 menjadi UU No.34 Tahun 2000, diharapkan
pajak daerah dan retribusi daerah akan menjadi salah satu PAD yang penting guna
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP No.65


Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi

Dasar-dasar Keuangan Publik


271

Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang dipungut oleh
Propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh Kabupaten/Kota.

Jenis-Jenis Pajak Daerah Propinsi


Pajak Propinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii)
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP). Jenis Pajak
Propinsi bersifat limitatif yang berarti Propinsi tidak dapat memungut pajak lain
selain yang telah ditetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU.
Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh Propinsi terkait dengan
kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas yang hanya meliputi
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah
Kabupaten/Kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan
daerah Kabupaten/Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya Propinsi dapat tidak memungut jenis
pajak yang telah ditetapkan tersebut jika dipandang hasilnya kurang memadai.
Berkaitan dengan besarnya tarif, berlaku definitif untuk Pajak Propinsi yang
ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur dalam PP No.65 Tahun
2001.

Jenis-Jenis Pajak Daerah Kabupaten

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk memungut 7


(tujuh) jenis pajak (Pasal 2 ayat 2), yaitu : (i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran; (iii)
Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C; (vii) Pajak Parkir.

Jenis pajak Kabupaten/Kota tidak bersifat limitatif, artinya


Kabupaten/Kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber
keuangannya selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No. 34 Tahun 2000,
dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan
memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Kriteria dimaksud
(Pasal 2 ayat 4) adalah :
a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;
b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya
melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum;
d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek pajak
Pusat;
e. Potensinya memadai;
f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
h. Menjaga kelestarian lingkungan.

Dasar-dasar Keuangan Publik


272

Ketentuan Mengenai Bagi Hasil Pajak Propinsi dan


Peruntukkannya (Pasal 2A)
Hasil penerimaan pajak Propinsi sebagian diperuntukkan bagi Daerah
Kabupaten/Kota di wilayah Propinsi yang bersangkutan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air dan
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air diserahkan
kepada Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 30% (tiga puluh persen);
b. Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada
Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 70% (tujuh puluh persen);
c. Hasil penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan diserahkan kepada Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit
70% (tujuh puluh persen).

Hasil penerimaan pajak Kabupaten diperuntukkan paling sedikit 10%


(sepuluh persen) bagi Desa di wilayah Daerah Kabupaten yang bersangkutan.
Bagian Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Daerah
Propinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar Daerah
Kabupaten/Kota.
Bagian Desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten dengan
memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar Desa. Penggunaan bagian
Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan sepenuhnya oleh Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam hal hasil penerimaan pajak Kabupaten/Kota dalam suatu Propinsi


terkonsentrasi pada sejumlah kecil Daerah Kabupaten/Kota, Gubernur berwenang
merealokasikan hasil penerimaan pajak tersebut kepada Daerah Kabupaten/Kota
dalam Propinsi yang bersangkutan. Dalam hal objek pajak Kabupaten/Kota dalam
satu Propinsi yang bersifat lintas Daerah Kabupaten/Kota, Gubernur berwenang
untuk merealokasikan hasil penerimaan pajak tersebut kepada Daerah
Kabupaten/Kota yang terkait. Sedangkan ketentuan mengenai realokasi dilakukan
oleh Gubernur atas dasar kesepakatan yang dicapai antar Daerah Kabupaten/Kota
yang terkait dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Tarif Pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota


Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk Pajak Propinsi dan
Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah, namun tidak boleh lebih
tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan
adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungut
oleh Kabupaten/Kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda.
Disebutkan dalam UU No. 34/2000 Pasal 3 ayat (1), tarif jenis pajak ditetapkan
paling tinggi sebesar:
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 5% (lima persen);
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 10% (sepuluh
persen);
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5% (lima persen);

Dasar-dasar Keuangan Publik


273

d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
20% (dua puluh persen);
e. Pajak Hotel 10% (sepuluh persen);
f. Pajak Restoran 10% (sepuluh persen);
g. Pajak Hiburan 35% (tiga puluh lima persen);
h. Pajak Reklame 25 % (dua puluh lima persen);
i. Pajak Penerangan Jalan 10% (sepuluh persen);
j. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 20% (dua puluh persen);
k. Pajak Parkir 20% (dua puluh persen).

Peranan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam Mendukung Pembiayaan


Daerah
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan
retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan
penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang merupakan
salah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.

Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah,


tampaknya pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan
oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan inidiperlihatkan
dalam suatu studi yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerjasama dengan Clean
Urban Project, RTI8 bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan
dengan penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh:
• Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan UU No.34
Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis
pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat
ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan
Pajak Pusat dan Pajak Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan
yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah.
Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti memperkecil
kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
• Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah. Sebagian besar
penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Dari segi upaya
pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha”
daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan
“negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
• Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah. Hal ini
mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani olehbiaya
pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy9 yang

8 Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia, LPEM
Universitas Indonsia bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI, Jakarta, 1999.
9 Buoyancy adalah perbandingan persentase perubahan penerimaan pajak terhadap persentase
perubahan pendapatan nasional. Dengan kata lain, buoyancy adalah elastisitas penerimaan

Dasar-dasar Keuangan Publik


274

rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem “target” dalam


pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong
memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi
sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target
yang ditetapkan.
• Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal ini
mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah. Selama
ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat
kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian
besar daerah Propinsi hanya dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya
kurang dari 10%10. Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi dengan
sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya
menguntungkan daerah tertentu). Demikian pula, distribusi pajak antar daerah
juga sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio
PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600). Peranan pajak dan retribusi
daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi
karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk,
keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan
kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan
pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.

Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas dari
‘sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh
kepada Pemerintah Pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial (yang
tentunya dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu), seperti:
pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan bea masuk. Kenyataan selama ini
menunjukkan bahwa distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat
sangat timpang, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh daerah hanya
sebesar 3,39% dari total penerimaan pajak (Pajak Pusat dan Pajak Daerah).11
Ketimpangan dalam penguasaaan sumbersumber penerimaan pajak tersebut
memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah di Indonesia dari sisi revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”.

perpajakan terhadap PDB yang menunjukkan berapa persen perubahan penerimaan perpajakan
apabila PDB berubah 1%.
10 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2001.
11 Machfud Sidik. 2002. op.cit. hal. 8.

Dasar-dasar Keuangan Publik


275

B A B XXVIII

PINJAMAN DAERAH

Pendahuluan
injaman merupakan alternatif lain yang bisa dipilih untuk membiayai

P pembangunan daerah. Sumber pinjaman dapat berasal dari berbagai


pihak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Banyaknya pihak yang
dapat dijadikan sumber pinjaman membuat pembiayaan pembangunan
dengan pinjaman mampu mengumpulkan dana yang cukup besar. Pinjaman
dalam negeri dapat berasal dari; Pemerintah Pusat, lembaga keuangan bank,
lembaga keuangan bukan bank, masyarakat, dan sumber lainnya seperti pinjaman
dari daerah lain. Pinjaman yang berasal dari masyarakat penghimpunan dana
dapat melalui penerbitan Obligasi Daerah. Walaupun kemungkinan nilai pinjaman
yang mampu dikumpulkan cukup besar karena banyaknya sumber yang bisa
digunakan, namun perlu diperhatikan adanya batas meminjam yang disesuaikan
dengan kemampuan tiap-tiap daerah. Risiko yang terkandung dalam melakukan
pinjaman, terutama risiko dalam pembayaran bunga maupun pokok, harus
menjadi pertimbangan dalam melakukan pinjaman. Pinjaman juga dapat
dibedakan berdasarkan jangka waktu; jangka pendek dan jangka panjang.
Pemilihan jangka waktu akan sangat tergantung pada jenis proyek yang akan
dibiayai.

Pada bagian ini akan dibahas mengenai tujuan dan batas-batas pinjaman,
metode dan sumber-sumber pinjaman, persyaratan-persyaratan pinjaman, dan
kemampuan meminjam (ability to borrowing). Dan agar pembahasan ini lebih riil di
lapangan, dalam subbagian selanjutnya akan disajikan praktek pinjaman daerah di
Indonesia.

Tujuan dan Batas-Batas Pinjaman


Pemerintah Daerah dapat membiayai sebagian pengeluarannya dengan
melakukan pinjaman. Dalam konstitusi di berbagai negara, masalah kewenangan
daerah untuk meminjam ini telah diatur. Pada dasarnya kewenangan daerah

Dasar-dasar Keuangan Publik


276

melakukan pinjaman adalah seperti yang dituliskan oleh Davey (1983), bahwa
berbagai pinjaman dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. untuk menutup kebutuhan dana (cash) jangka pendek;
2. untuk membiayai kekurangan dana anggaran tahunan berupa biaya rutin dan
beban hutang;
3. untuk membeli pabrik dan peralatan dengan unsur jangka menengah;
4. untuk membiayai investasi yang diharapkan dapat menghasilkan penerimaan
bagi daerah;
5. untuk membiayai pembangunan modal jangka panjang (prasarana atau
penyediaan pelayanan umum).

Pinjaman dengan maksud untuk menutup kebutuhan dana jangka pendek


adalah sangat umum dilakukan, biasanya sebagai suatu keharusan karena pola
pengumupulan penerimaan daerah yang tidak seimbang. Bentuk pinjaman yang
umum berupa bank overdraft, akan tetapi Pemerintah Daerah seringkali mencari
pinjaman langsung dari deposito jangka pendek dari masyarakat berupa short-term
bills, dengan jangka waktu sampai tiga bulan.

Kekurangan dana dari anggaran tahunan adalah hal yang umum terjadi
untuk Pemerintah Pusat. Tetapi jarang diperkenankan bagi Pemerintah Daerah.
Pada tahun 1975, Pemerintah Daerah di Italia meminjam 61% dari penerimaan
kotor mereka untuk membiayai pengeluaran modal, membayar hutang dan
membiayai sebagaian besar dari biaya-biaya rutin (operating cost). Pemerintahan
New York juga pernah melakukan pinjaman untuk membayar gaji pegawai dan
uang pensiunan dan membayar hutang yang telah jatuh tempo.

Pembelian sebuah pabrik dan peralatan lainnya juga dapat dibiayai


dengan pinjaman. Suatu cara penyelesaian yang umum untuk membeli peralatan
dengan pinjaman adalah dengan membeda-bedakan perkiraan umur masing-
masing peralatan. Pilihan lain adalah dengan cara pinjam sewa (leasing). Cara
leasing ini semakin dikenal untuk menghindari pembelian peralatan yang cepat
menjadi usang sebagai akibat perubahan teknologi.

Praktek dan konsep yang secara luas dapat diterima adalah dana pinjaman
untuk membiayai kegiatan investasi yang dapat “membiayai sendiri”. Maksudnya
adalah, proyek yang dibiayai tersebut dapat menghasilkan penerimaan (revenue)
yang dapat digunakan untuk membayar kembali dana pinjaman. Praktek-praktek
seperti ini antara lain sering diterapkan di negara-negara maju. Sebagai contoh,
pembangunan British New Town Corporation dibiayai oleh Pemeirntah Pusat
Inggris. Pengembalian pinjaman tersebut dari hasil penjualan rumah-rumah dan
toko-toko yang dibangun oleh British. Pemerintah negara bagian di Amerika
Serikat juga mengadakan pinjaman melalui industrial aid bonds untuk menyediakan
dana investasi perusahaan manufaktur perorangan. Manfaat dari pinjaman seperti
ini adalah, selain mendapatkan sumber penerimaan bagi daerah, Pemerintah
Daerah juga mampu menyediakan pelayanan publik secara lebih baik.

Sementara itu, penggunaan dana pinjaman untuk membiayai


pembangunan prasarana dan penyediaan pelayanan umum, biasanya diarahkan
untuk membiayai prasarana publik yang reraltif cenderung lebih mengedepankan

Dasar-dasar Keuangan Publik


277

manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat dibandingkan dengan revenue yang
dihasilkan. Oleh karenanya, sumber pinjaman untuk pembiayaan jenis ini
biasanya berasal dari negara-negara donor dengan tingkat bunga yang relatif lebih
rendah dibandingkan dengan bunga komersial.

Dari pembahasan ini prinsip dasar yang harus dipegang ketika


Pemerintah Daerah melakukan pinjaman adalah bahwa penggunaan dana
pinjaman harus sesuai dengan karakteristik dari pinjaman itu sendiri. Pinjaman
yang bersifat jangka pendek, tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan
atau investasi jangka panjang, karena akan menimbulkan mismatch
(ketidaktepatan) antara pembayaran pinjaman yang jatuh tempo dengan waktu
penerimaan penghasilan. Dengan kata lain, sesungguhnya batasan-batasan atau
teknik-teknik pembiayaan yang berlaku dalam dunia korporasi juga berlaku bagi
Pemerintah Daerah.

Metode dan Sumber-Sumber Pinjaman


Terdapat beberapa sumber pinjaman dan metode pinjaman yang dapat
dilakukan oleh Pemerintah Daerah, yaitu:
1. Pinjaman yang bersumber dari pemerintah yang lebih atas (umumnya dari
Pemerintah Pusat).
2. Pinjaman yang bersumber dari badan-badan internasional, seperti Bank Dunia
(World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), Bank
Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB), Bank Pembangunan
Amerika Latin (untuk negara-negara di kawasan Amerika Latin), Bank Asia
Afrika dan bantuan bilateral, yang biasanya pinjaman ini diberikan kepada
Pemerintah Pusat negara yang bersangkutan melalui mekanisme pinjaman two
step loan atau subsidary loan aggreement.12
3. Pinjaman yang berasal dari bank sentral di negara masing-masing.
4. Obligasi Jangka Panjang (bond)
5. Pinjaman jangka pendek yang diberikan oleh bank-bank komersial.
6. Pinjaman hipotek atas asset tetap.
7. Pinjaman internal yang berasal dari dana cadangan, misalnya dana pensiun.
8. Dana untuk sewa beli peralatan (leasing).
9. Dana kontraktor untuk pembangunan proyek-proyek.

Di antara sistem pinjaman tersebut di atas, ada tiga cara yang paling sering
digunakan oleh Pemerintah Daerah di berbagai negara. Pertama, adalah
Pemerintah Pusat memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah. Praktek ini
diterapkan oleh India, dimana 71,6% pinjaman daerah berasal dari Pemerintah
Pusat pada tahun 1979. Bahkan, di Indonesia, hampir 100% pinjaman jangka
panjang Pemerintah Daerah berasal dari Pemerintah Pusat, karena ada larangan
dari Pemerintah Pusat bagi Pemerintah Daerah untuk meminjam di luar skema
Pemerintah Pusat. Pembahasan lebih lanjut untuk kasus di Indonesia ini akan di
bahas secara khusus di subbagian berikutnya. Kedua, sumber dana yang berasal

12 Mekanisme pinjaman two step loan dan subsidiary loan aggreement adalah pinjaman dari luar negeri ke
Pemerintah Pusat, kemudian oleh Pemerintah Pusat, pinjaman tersebut diteruskan ke Pemerintah
Daerah.

Dasar-dasar Keuangan Publik


278

dari pasar keuangan. Misalnya, dengan mengeluarkan obligasi (bonds) di pasar


modal. Ketiga, melalui bank-bank komersial, khusus untuk pinjaman jangka
pendek untuk memenuhi cash flow Pemerintah Daerah.

Persyaratan-Persyaratan Pinjaman
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam ketentuan pinjaman
adalah (i) jangka waktu pinjaman; (ii) cara pembayaran kembali; (iii) tingkat
bunga; (iv) keamanan pinjaman; dan (v) persetujuan dan penyidikan.

Jangka waktu pinjaman sangat tergantung dengan tujuan penggunaan


pinjaman. Jangka waktu pinjaman Pemerintah Daerah bisa saja berkisar antara 24
jam (overnight) hingga 40 tahun. Untuk tujuan capital investment, maka Pemerintah
Daerah harus mendapatkan pinjaman dengan jangka waktu yang setidaknya sama
dengan umur proyek. Sebagai pilihan yang dapat dilakukan adalah dimana
jangka waktu pinjaman dapat diturunkan sesuai penerimaan dari pajak dan
retribusi untuk mengimbangi beban pinjaman tersebut.

Yang terpenting adalah bahwa jangka waktu pinjaman bergantung pada


sikap pasar serta suku bunga yang berlaku. Biasanya, pinjaman yang bersumber
dari Pemerintah Pusat atau lembaga keuanga internasional sering mencari turnover
dana yang dipinjamkan secepat mungkin, misalnya pinjaman untuk masa 10
tahun, dengan maksud agar dapat meningkatkan kemampuan finansial
Pemerintah Daerah.

Persyaratan cara pembayaran kembali akan tergantung pada metode


pembayaran yang dilakukan. Jika menggunakan metode anuitas berarti membayar
beberapa kali angsuran dalam jumlah yang sama besarnya setiap kali pembayaran
hingga masa pembayaran selesai. Komponen dalam setiap kali pembayaran
tersebut adalah pokok pinjaman dan bunga pinjaman.
Metode pembayaran yang lain adalah menggunakan metode sinking fund, dimana
angsuran pinjaman dibayar secara tetap, sehingga hutang pokok yang dibayarkan
adalah kumulatif selama masa pinjaman. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan
bahwa bila cara sinking fund dtelah diterapkan dan untuk memenuhi kewajibannya
disanggupi dengan baik, namun dalam prakteknya metode ini sering lebih
merupakan usaha penyelematan terhadap utang kepada pihak luar (external debt).

Persyaratan tingkat bunga pinjaman yang bersumber dari pasar keuangan


pasti didasarkan pada bunga pasar. Pada umumnya, semakin lama suatu
pinjaman, tingkat bunga pun akan semakin tinggi. Sementara itu, pinjaman dari
lembaga-lembaga internasional oleh suatu Pemerintah biasanya memberlakukan
bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan bunga pasar. Namun, pinjaman
dari lembaga-lembaga internasional tersebut juga memberlakukan fee, berupa
management fee dan commitment fee yang besarnya sangat tergantung dari negosiasi
antara kedua belah pihak. Di Indonesia, misalnya, management fee dan
commitment fee sekitar 0,25% dari pinjaman yang belum ditarik.

Persyaratan keamanan pinjaman muncul karena pihak pemberi pinjaman


biasanya menghendaki suatu keadaan aman terhadap kegagalan pembayaran

Dasar-dasar Keuangan Publik


279

kembali. Makanya, dalam berbagai klausul pinjaman oleh Pemerintah Daerah,


tidak jarang pemberi pinjaman meminta adanya jaminan dari Pemerintah Pusat
atau dijamin dengan aset tertentu.

Persyaratan persetujuan muncul karena suatu pinjaman yang dilakukan


oleh Pemerintah Daerah, biasanya tidak dapat dilakukan sebelum ada persetujuan
dari lembaga yang berwenang, misalnya lembaga perwakilan daerah. Dalam
konteks di Indonesia, pinjaman yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah baru
dapat dijalankan jika DPRD setempat memberikan persetujuan.

Penggunaan Pinjaman Dalam Pembiayaan


Kebutuhan akan pinjaman daerah muncul akibat kecenderungan yang
terjadi dimana peningkatan peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan dan
pembiayaan pembangunan proyek-proyek investasi daerah, misalnya proyek-
proyek infrastruktur, semakin besar. Hal ini dilandasi dengan perkembangan
tingkat urbanisasi yang lebih tinggi daripada kemampuan daerah menyediakan
berbagai infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik. Kewenangan yang lebih
besar kepada Daerah untuk menentukan prioritas investasi daerah dan
pelaksanaan proyek-proyek pembangunan daerah. Keterbatasan keuangan
Pemerintah Pusat yang berimplikasi pada dana perimbangan pusat dan daerah.
Keterbatasan Pemerintah Daerah dalam memobilisasi sumber-sumber penerimaan
daerah yang berasal dari daerahnya sendiri menjadi alasan penggunaan pinjaman
dalam pembiayaan suatu daerah.

Dari sisi teori fiskal, pendapat yang mendukung pinjaman daerah


mengacu pada prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity
considerations). Proyek-proyek yang bersifat jangka panjang dengan manfaat
ekonomi dan sosial selayaknya didanai oleh pembiayaan jangka panjang.
Masyarakat yang menerima manfaat proyek di masa mendatang secara prinsip
harus ikut menanggung beban biaya pengadaan proyek tersebut, sedangkan
pinjaman daerah yang berasal dari sumber non-pemerintah (private debt sources)
akan meningkatkan efisiensi penggunaannya, karena Pemerintah Daerah harus
memperhitungkan secara tepat nilai opportunity cost of capital yang sesungguhnya
dan memprioritaskan proyek-proyek yang akan dilaksanakannya sesuai dengan
tingkat manfaat sosial dan ekonomi (Alisjahbana, 2001).
Prasyarat utama bagi diperbolehkannya daerah meminjam adalah dengan
menerapkan “the golden rule guidelines” bagi pinjaman daerah (Magrassi, 2000):
“ ...... local government should only use sub-national debt to finance capital projects that
are anticipated to produce financial rate of returns that, vis-a-vis the project socioeconomic
benefits, justify the debt service paid to lenders”.

Untuk menghindari risiko yang dapat terjadi atas penggunaan pinjaman


daerah dalam pembiayaan hendaknya memperhatikan kaidah yang berlaku dalam
memperkirakan kapasitas meminjam Pemerintah Daerah. Dua ukuran yang sering
digunakan untuk itu adalah Debt Service Ratio (DSR) dan Debt Coverage Ratio
(DCR). DSR merupakan ambang batas kemampuan pelunasan daerah yang pada
prinsipnya digunakan Pemerintah Daerah untuk mengendalikan jumlah pinjaman
yang relatif aman. Sedangkan DCR pada prinsipnya merupakan angka

Dasar-dasar Keuangan Publik


280

perbandingan antara perkiraan kemampuan daerah yang dapat disisihkan


(tabungan neto) dengan total rencana pembayaran pinjaman setiap tahunnya.
Istilah disisihkan dimaksudkan untuk mempertegas adanya rencana untuk
membiayai proyek melalui dana pinjaman daerah, dan terutama tersedianya dana
untuk pengembalian pinjaman secara aman.

Praktek Pinjaman Daerah di Indonesia


Ketentuan Dasar Pinjaman Daerah di Indonesia
Undang-undang No. 25 Tahun 1999 menyebutkan bahwa daerah dapat melakukan
pinjaman yang bersumber dari; (a) sumber dalam negeri (b) sumber luar negeri.
Pinjaman daerah yang berasal dari luar negeri harus melalui Pemerintah Pusat,
perlunya persetujuan Pemerintah Pusat harus ada evaluasi yang menyeluruh
tentang aspek-aspek dapat tidaknya usulan pinjaman untuk diproses lebih lanjut.
Sedangkan untuk pinjaman dari dalam negeri dapat secara langsung dilakukan
bila disetujui oleh DPRD dengan prinsip pinjaman tersebut harus secara langsung
dikaitkan dengan kemampuan daerah untuk membayar pinjamannya. Undang-
undang No 25 Tahun 1999 Pasal 11 ayat 1 menyebutkan bahwa: "Daerah dapat
melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya".
Pinjaman dari dalam negeri dapat bersumber dari (PP 107/2000 pasal 2 ayat 2);
§ Pemerintahan Pusat
§ Lembaga Keuangan Bank
§ Lembaga Keuangan Bukan Bank
§ Masyarakat
§ Sumber Lainnya

Pinjaman daerah menurut PP No 107 Tahun 2000 adalah: semua transaksi


yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau
manfaat bernilai uang, sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk
membayar kembali. Dalam hal ini, tidak termasuk kredit jangka pendek yang
lazim terjadi dalam perdagangan.
Pinjaman pada dasarnya dapat digunakan untuk pembiayaan defisit aliran kas
jangka pendek; pembiayaan defisit anggaran rutin tahunan; pembelian peralatan
dan kendaraan yang memiliki umur ekonomis jangka menengah; pembiayaan
investasi yang diharapkan dapat secara langsung menghasilkan pendapatan, dan
pembiayaan investasi jangka panjang yang tidak menghasilkan pendapatan secara
langsung. Walaupun demikian, pinjaman harus didefinisikan sebagai sumber
dana pelengkap untuk mempercepat proses pembangunan daerah. Pinjaman
harus secara langsung dikaitkan dengan kemampuan mengangsur serta cara
mengalokasikan pada pembangunan dan atau penyediaan layanan publik yang
produktif. Pinjaman daerah sebaiknya bersifat jangka panjang guna membiayai
pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan
penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman serta memberikan manfaat bagi
pelayanan masyarakat (Wiratmo, 2001). Berdasarkan penggunaan dan melihat
jangka waktunya maka;
a. Pinjaman jangka pendek dapat digunakan untuk membantu kelancaran arus
kas dan dana awal bagi investasi jangka panjang

Dasar-dasar Keuangan Publik


281

b. Pinjaman jangka panjang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan


prasarana yang dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali,
serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.

Beberapa Isu yang Terkait dengan Regulasi Pinjaman Daerah


Pada tahun 1999, Pemerintah RI memberlakukan dua undang-undang penting
yang berkaitan dengan desentralisasi, yaitu UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah.
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 telah menyebabkan
terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat
dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam
hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dalam banyak
literatur disebut intergovernment fiscal relation yang dalam UU 25/1999 disebut
perimbangan keuangan.

Salah satu hal penting yang membedakan derajat desentralisasi fiskal


antara sebelum dan sesudah keluarnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999
adalah diperkenankannya Daerah melakukan pinjaman sendiri secara langsung,
baik yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri, yang artinya
Pemerintah Pusat tidak menjadi penjamin (sovereign guarantor). Kondisi ini
sangat berbeda dengan ketentuan mengenai pinjaman daerah sebelum UU No.
22/1999 dan UU No. 25/1999 (lihat Tabel 28-1 ).

Namun, pada kenyataannya lembaga lender multilateral (ADB, World


Bank, dan lain-lain) mensyaratkan perpanjian pinjaman dilakukan oleh negara
sebagai anggota, yang dalam hal ini adalah Pemerintah Pusat. Hal yang sama juga
berlaku untuk pinjaman bilateral, dimana negara lender hanya melakukan
pinjaman dengan Pemerintah Pusat sebagai peminjam (Pakpahan, 2004).

Pasal 11 UU No. 25/1999 menyebutkan bahwa:


(1) Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk
membiayai sebagian anggarannya;
(2) Daerah melakukan pinjaman dari sumber luar negeri melalui Pemerintah
Pusat;
(3) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai
pembangunan prasarana yang merupakan aset Daerah dan dapat
menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta
memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat; dan
(4) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas
dalam rangka pengelolaan kas Daerah.

Dasar-dasar Keuangan Publik


282

Tabel 28-1: Pinjaman Daerah Sebelum dan Setelah Kebijakan Desentralisasi

SEBELUM DESENTRALISASI SETELAH DESENTRALISASI

Legal Foundation
UU No. 5/1974 UU No. 25/1999
PP 107/2000
Institutional Setting
Persetujuan (Approval) Persetujuan (Approval)
• Menteri Dalam Negeri, berkenaan • Menteri Keuangan
dengan persetujuan batas • DPRD
maksimum pinjaman dan
persetujuan pemberian.
• Menteri Keuangan, sebagai
pengawas RPD dan persetujuannya
Batasan Pinjaman (Persyaratan) Batasan Pinjaman (Persyaratan)
• 1982: Debt Service Coverage Ratio • Jumlah kumulatif pokok pinjaman
(DSCR) < 15% yang wajib dibayar tidak melebihi
• Kepmendagri Nomor 96 Tahun 75% dari jumlah Penerimaan
1994: Umum APBD tahun sebelumnya.
§ Minimum DSCR = 1 • DSCR minimal 2,5 berdasarkan
§ Average DSCR > 1,5 proyeksi penerimaan dan
pengeluaran selama jangka waktu
pinjaman.
• Jumlah maksimum pinjaman
jangka pendek adalah 1/6 jumlah
belanja APBD tahun anggaran
berjalan.
Sumber-Sumber Pinjaman
• Pinjaman Luar Negeri Pemerintah • Sumber Dalam Negeri:
Pusat § Pemerintah Pusat
• Pinjaman Pemerintah Pusat melalui § Perbankan
RDI § Lembaga keuangan non-
• INPRES untuk pembangunan pasar bank
• IPEDA § Sumber-sumber lain
• Sumber-sumber lain (BPD dan • Sumber Luar Negeri
sektor swasta) § Bilateral
• Pemerintah Pusat melalui RPD § Multilateral
Sumber: Alm & Mulyani, 2000

Lebih jauh, dalam rangka mengimplementasikan Pasal 11 UU No.


25/1999, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan regulasi/peraturan, yaitu PP
107/2000 tentang Pinjaman Daerah. Beberapa komponen kunci tentang pinjaman
daerah yang ditetapkan oleh UU No. 25/1999 dan PP 107/2000 adalah sebagai
berikut:

Dasar-dasar Keuangan Publik


283

Sumber Pinjaman Institusi tempat Meminjam


Indonesia/Dalam Negeri • Pemerintah Pusat;
• Lembaga Keuangan Bank;
• Lembaga Keuangan Bukan Bank;
• Masyarakat;
• Sumber lainnya.
Luar Negeri • Bilateral
• Multilateral
Sumber: Pasal 11 UU No. 25/1999 dan Pasal 2 PP 107/2000

Jenis/Tipe Pinjaman Penggunaannya


Jangka Panjang (Long Term) • Hanya dapat digunakan untuk
membiayai pembangunan
prasarana yang merupakan aset
Daerah dan dapat menghasilkan
penerimaan untuk pembayaran
kembali pinjaman, serta
memberikan manfaat bagi
pelayanan masyarakat.
Jangka Pendek (Short Term) • Daerah dapat melakukan Pinjaman
Jangka Pendek guna pengaturan
arus kas dalam rangka pengelolaan
Kas Daerah.
Sumber: Pasal 11 UU No. 25/1999 dan Pasal 4 & 5 PP 107/2000

Persyaratan Keterangan
Jangka Panjang (Long Term) • Jumlah kumulatif pokok Pinjaman
Daerah yang wajib dibayar tidak
melebihi 75% (tujuh puluh lima
persen) dari jumlah Penerimaan
Umum APBD tahun sebelumnya;
dan
• Berdasarkan proyeksi penerimaan
dan pengeluaran Daerah tahunan
selama jangka waktu pinjaman, Debt
Service Coverage Ratio (DSCR) paling
sedikit 2,5 (dua setengah).
Jangka Pendek (Short Term) • Jumlah maksimum Pinjaman Jangka
Pendek adalah 1/6 (satu per enam)
dari jumlah belanja APBD tahun
anggaran yang berjalan.
Sumber: Pasal 6 & 7 PP 107/2000

Dasar-dasar Keuangan Publik


284

Prosedur Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat


• Untuk memperoleh pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Daerah
mengajukan usulan kepada Menteri Keuangan disertai surat persetujuan
DPRD, studi kelayakan dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk
dilakukan evaluasi.
• Perjanjian pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat ditandatangani
oleh Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.
Sumber: Pasal 12 PP 107/2000

Prosedur Pinjaman Daerah dari Luar Negeri


• Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui
Pemerintah Pusat.
• Daerah mengajukan usulan pinjaman kepada Pemerintah Pusat disertai surat
persetujuan DPRD, studi kelayakan dan dokumen-dokumen lain yang
diperlukan.
• Pemerintah Pusat melakukan evaluasi dari berbagai aspek untuk dapat
tidaknya menyetujui usulan tersebut.
• Apabila Pemerintah Pusat telah memberikan persetujuan, Pemerintah Daerah
mengadakan perundingan dengan calon pemberi pinjaman yang hasilnya
dilaporkan untuk mendapatkan persetujuan Pemerintah Pusat.
• Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri,
setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
• Perjanjian Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri ditandatangani
oleh Kepala Daerah dengan pemberi pinjaman luar negeri.
Sumber: Pasal 13 PP 107/2000

Pembayaran Kembali Pinjaman Daerah


• Semua pembayaran yang menjadi kewajiban Daerah yang jatuh tempo atas
Pinjaman Daerah merupakan prioritas dan dianggarkan dalam pengeluaran
APBD.
• Pembayaran kembali Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri oleh
Daerah, dilakukan dalam mata uang sesuai yang ditetapkan dalam perjanjian
pinjaman luar negeri.
• Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman
Daerah dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat memperhitungkan
kewajiban tersebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU) kepada Daerah.
• Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman
Daerah yang bersumber dari luar negeri, maka kewajiban tersebut diselesaikan
sesuai perjanjian pinjaman.
Sumber: Pasal 14 PP 107/2000

Larangan Penjaminan
• Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan terhadap
pinjaman pihak lain yang mengakibatkan beban atas keuangan Daerah.
• Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum
tidak dapat dijadikan jaminan dalam memperoleh Pinjaman Daerah.
Sumber: Pasal 10 PP 107/2000

Dasar-dasar Keuangan Publik


285

B A B XXIX

KOORDINASI PAJAK INTERNATIONAL

Pendahuluan
ransaksi internasional bukan merupakan hal yang baru. Transaksi tersebut
T sudah dilakukan sejak jauh sebelum abad Masehi. Ekonom klasik menaruh
perhatian terhadap perdagangan internasional. Adam Smith atau David
Ricardo berpendapat bahwa negara akan lebih baik apabila melakukan spesialisasi
produksi barang berdasarkan keuntungan komparatifnya, mengekspor barang
tersebut dan mengimpor barang dari negara lain yang bisa memproduksi barang
lain dengan lebih efisien. Sebagai contoh, negara dengan tenaga kerja murah akan
lebih baik memproduksi barang bercirikan padat karya, seperti tekstil dan sepatu.
Negara dengan kemampuan teknologi tinggi sebaiknya memproduksi barang
seperti computer atau perangkat lunak. Kemudian kedua negara tersebut akan
melakukan pertukaran: negara yang satu mengeksport tekstil dan mengimpor
computer, sedangkan yang lainnya mengekspor computer dan mengimpor tekstil.
Dengan cara semacam itu kemakmuran dunia akan semakin meningkat. Teori
tersebut kemudian dikenal sebagai doktrin keunggulan komparatif. Asumsi dalam
teori tersebut adalah bahwa faktor produksi seperti tenaga kerja, modal, tanah dan
mesin tidak mudah berpindah (tidak mobil), sedangkan barang yang dihasilkan
bisa dipindahkan dengan mudah. Juga teori tersebut mengasumsikan pertukaran
barang komoditi, bukannya barang yang terdiferensiasi. Daya saing suatu negara
sudah ditentukan (given), tergantung sumberdaya yang dipunyai. Faktor lain
seperti ketidakpastian, skala ekonomi, teknologi tidak dipertimbangkan dalam
teori tersebut.

Perusahaan multinasional tumbuh dengan menyalahi doktrin keunggulan


komparatif. Jika ekonomi klasik mengasumsikan bahwa faktor produksi tidak
mudah berpindah, perusahaan multinasional dibangun dengan asumsi bahwa
faktor produksi sangat mobil. Perusahaan multinasional bisa memproduksi barang
di Indonesia (karena tenaga kerja murah), kemudian memperoleh modal dari
pasar keuangan eropa, produk didesain di prancis, kemudian barang jadi dijual ke

Dasar-dasar Keuangan Publik


286

Amerika Serikat, sedangkan pusat perusahaan tersebut di Jepang. Faktor produksi


tidak dibatasi oleh batas-batas negara, tetapi sudah melintas batas-batas negara.
Koordinasi dan alokasi sumberdaya menjadi kunci pengelolaan perusahaan
multinasional. Perusahaan multinasional berusaha mengoptimalkan sumberdaya
yang ada di dunia ini tidak terbatas pada batas-batas negara.

Gambaran mengenai perusahaan multinasional tersebut diatas


menunjukkan fakta bahwa semakin hari akan semakin meningkat saling
ketergantungan perekonomian dunia dan kondisi ini akan semakin
mempengaruhi aspek internasional dalam hal keuangan publik. Penyatuan
perekonomian Eropa ke dalam pasar bersama, makin meningkatnya peranan
perusahaan multinasional, pembiayaan badan kerjasama internasional seperti
Perserikatan Bangsa Bangsa dan NATO, dan ketimpangan distribusi pendapatan
internasional akan mengarah kepada perlunya koordinasi fiskal internasional.

Setiap negara tentunya akan mengatur bagaimana negara tersebut akan


menarik pajak terhadap pendapatan warga negaranya yang diperolehnya dari luar
negeri dan pendapatan warga negara asing yang berasal dari dalam negeri. Sejalan
dengan kondisi tersebut suatu negara tentunya juga harus mengatur bagaimana
pajak produk dan pajak penjualan dari negara bersangkutan akan diterapkan pada
sistem ekspor impornya. Keputusan ini tentunya akan diambil secara bersama-
sama dengan negara lain, dan perjanjian pajak internasional merupakan suatu
media yang dapat mengkoordinasikan masalah-masalah tersebut. Dalam hal
penerapan koordinasi pajak internasional, terdapat beberapa asas yang perlu
diperhatikan yang diantaranya adalah:

1. Keadilan antar perorangan


2. Keadilan antar negara
3. Efisiensi

Keadilan Antar Perorangan


Dalam prakteknya, jika seseorang menerima pendapatan yang berasal dari
berbagai negara, dia akan dikenakan pajak lebih dari satu kali. Misalnya adalah
Mr. A, seorang warga negara Amerika Serikat, yang dalam masa tertentu bekerja
di Indonesia, akan membayar pajak sesuai dengan ketentuan Indonesia atas
penghasilan yang diperolehnya di Indonesia. Dalam kasus lain, Mr. A juga
melakukan investasi di Indonesia dan menerima deviden yang dikenakan pajak
oleh Indonesia. Karena dia juga menerima pendapatan sebagai warga negara
Amerika Serikat, tentunya Mr. A juga akan dikenakan pajak oleh pemerintah
Amerika Serikat.

Dalam kasus ini yang menjadi pertanyaan adalah, apakah keadilan


horizontal (keadilan antar perorangan) yang mengharuskan bahwa pajak total
yang dibayarnya (baik didalam maupun luar negeri) akan sama dengan pajak
yang di bayar oleh Mr. B, yang menerima pendapatan total yang sama tetapi
seluruhnya berasal dari Amerika Serikat? Atau sudah cukupkah kiranya jika
Amerika Serikat menganggap pajak yang di bayar ke negara lain sebagai
pengurangan pendapatan dan menyamakan beban pajak sesuai dengan

Dasar-dasar Keuangan Publik


287

pengenaan pajak di Amerika Serikat saja? Dalam kasus Mr. A, keadilan


diinterpretasikan dalam artian internasional, sedangkan dalam kasus Mr. B
keadilan diinterpretasikan dalam artian nasional.

Keadilan Antar Negara


Masalah keadilan yang lebih pelik akan kita temui dalam menentukan pembagian
penerimaan pajak diantara ditjen pajak atau departemen keuangan di berbagai
negara. Meskipun dengan cara yang berbeda, masalah ini akan timbul baik dalam
hal pajak penghasilan maupun pajak produk.

Sehubungan dengan pajak penghasilan, secara umum disetujui bahwa


negara dimana pendapatan itu dihasilkan (juga di sebut sebagai negara sumber)
berhak menarik pajak atas pendapatan tersebut, tetapi berapa tarif yang akan di
kenakan masih menjadi persoalan. Konsekuensi dari kondisi tersebut di atas
adalah bahwa pajak Indonesia yang di kenakan terhadap penghasilan atas modal
Amerika Serikat yang ditanamkan di Indonesia tentunya akan mengurangi
pengembalian (return) bagi Amerika Serikat. Berbeda halnya dengan pajak
tambahan yang mungkin di kenakan oleh Amerika Serikat, sehingga tidak akan
merugikan bagi Amerika Serikat tetapi hanya merupakan transfer dari warga
negara Amerika Serikat ke Departemen Keuangan Amerika Serikat. Oleh karena
itu, kerugian yang di derita Amerika Serikat hanya akan tergantung pada tarif
pajak atas modal Amerika Serikat yang di kenakan di Indonesia.

Salah satu pandangan mengenai keadilan antar negara adalah bahwa


negara sumber harus diperbolehkan menarik pajak atas pendapatan yang di
peroleh investor asing dengan tarif sebesar yang di kenakan negara lain atas
pendapatan warganya di negara tersebut. Kondisi ini bisa disebut sebagai prinsip
berbalasan.

Dalam hal pajak produk, masalah keadilan berkaitan dengan


kemungkinan untuk membebani warga asing melalui perubahan harga. Jika
negara A mengenakan pajak atas ekspor, tentunya biaya ekspor akan naik. Jika
negara tersebut mendominasi pasar ekspor, harga ekspor akan naik dan konsumen
di luar negeri akan membayar lebih mahal. Jadi, sebagian dari beban pajak akan
digeser keluar negeri. Sejalan dengan itu, jika Impor dikenakan pajak, pemasok
luar negeri harus menjual produknya dengan harga yang lebih rendah. Hal ini
juga menunjukkan bahwa sebagian beban pajak akan di geser keluar negeri. Jika
kita menerima kriteria bahwa suatu negara harus membayar pajaknya sendiri,
maka penggeseran beban semacam itu bisa dianggap sebagai hambatan bagi
keadilan antar negara.

Efisiensi
Perbedaan tarif pajak tentunya akan mempengaruhi lokasi dari kegiatan
perekonomian dan cenderung menghambat penggunaan sumber daya yang paling
efisien. Jika Mr.C, seorang investor merasakan bahwa pajaknya akan lebih rendah
apabila dia menanamkan modal di Vietnam dari pada di Indonesia, maka Mr C
akan menanamkan lebih banyak modalnya di Vietnam. Dengan demikian,
permasalahannya adalah bagaimana mengelola pengenaan pajak atas pendapatan

Dasar-dasar Keuangan Publik


288

dan investasi internasional sehingga tidak mengganggu efisiensi alokasi modal


secara global. Kondisi ini akan mengakibatkan bahwa lokasi produksi tidak lagi di
tentukan oleh keunggulan komparatif (atau biaya sumber daya relatif), yang
merupakan persyaratan bagi perdagangan yang efisien, tetapi di modifikasi oleh
perbedaan biaya pajak.

Prinsip Prinsip Pajak Internasional


Berbagai struktur sistem pajak nasional mempunyai dampak yang sangat
penting terhadap arah dan aliran baik barang maupun modal secara internasional
dan konsekuensinya, akan tercipta efisiensi alokasi sumber daya di seluruh dunia
dalam integrasi perekonomi dunia. Walaupun kemungkinan tidak ada satu
negarapun yang secara ketat menerapkan prinsip prinsip pajak internasional. Pada
dasarnya terdapat dua pendekatan dalam pajak internasional yang lazim
dipergunakan yakni pajak langsung dan pajak tidak langsung.

Pajak Langsung /Capital Income (Direct) Taxation


Dua prinsip dalam pajak penghasilan internasional adalah prinsip pajak
berdasarkan asas domisili dan prinsip pajak berdasarkan asas sumber pendapatan.
Prinsip pajak berdasarkan asas domisili menyatakan bahwa penduduk akan
dikenakan pajak di negara di mana ia berdomisili tanpa memperhatikan darimana
sumber penghasilan yang diperolehnya baik pendapatan yang diperolehnya di
dalam negeri maupun di luar negeri. Bagi yang bukan merupakan penduduk tidak
akan ditarik pajak terhadap pendapatan yang diperolehnya di negara tersebut.
Yang berkaitan erat dengan asas domisili ini adalah penentuan domisili bagi
subjek pajak. Artinya, seseorang subjek pajak akan dianggap sebagai penduduk
dalam negeri (resident taxpayer) apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-
syarat in tergantung pada undang-undang masing-masing negara. Di samping itu,
setiap negara mempunyai definisi penduduk sendiri-sendiri, yang berbeda dari
negara lain, tergantung dari falsafah yang dianutnya.

Prinsip pajak berdasarkan asas dari sumber pendapatan menyatakan


bahwa seluruh pendapatan yang diperoleh di suatu negara akan dikenakan pajak,
tanpa memperhatikan tempat domisili penerima pendapatan tersebut, baik itu
warga negara ataupun bukan warga negara. Jadi, penduduk suatu negara tidak
akan dikenakan pajak terhadap pendapatan yang diperolehnya di luar negeri dan
warga negara asing akan dikenakan pajak sama dengan pendapatan penduduk
yang diterima di negara tersebut. Penentuan sumber penghasilan tergantung dari
dua hal yang pokok, yaitu (a) jenis penghasilan itu sendiri dan (b) penentuan
sumber penghasilan berdasarkan undang-undang pajak dari suatu negara. Pada
umumnya, untuk menentukan letak sumber penghasilan, jenis-jenis penghasilan
dibagi menjadi dua, yaitu:
• Penghasilan dari usaha (active income)
• Penghasilan dari modal (passive income), misalnya dividen, bunga, royalty
dan penghasilan dari harta.

Dasar-dasar Keuangan Publik


289

Pajak Komoditi (Pajak Tidak Langsung)


Dengan menganalogikan pada pajak domisili dan pajak sumber pendapatan pada
pajak langsung, terdapat dua prinsip pajak tidak langsung yang berlawanan satu
sama lain (khususnya untuk pajak pertambahan nilai) yakni prinsip pajak tujuan
dan prinsip pajak sumber. Menurut prinsip pajak tujuan, barang atau jasa yang
dibeli oleh penduduk dikenakan pajak, baik barang atau jasa tersebut dibuat di
dalam negeri ataupun barang import. Jadi barang barang impor akan dikenakan
pajak sedangkan barang barang ekspor dibebaskan dari pajak. Menurut prinsip
pajak sumber, segala barang maupun jasa yang bertujuan untuk konsumsi akhir
pada suatu negara akan dikenakan pajak, tanpa memperhatikan sumber ataupun
asal produksi.

Koordinasi Atas Pajak penghasilan Dan Pajak Laba


Pengenaan Pajak atas Pendapatan yang Diperoleh
Setiap negara berhak untuk menarik pajak atas pendapatan warganya entah di
manapun pendapatan itu di peroleh. Secara umum prinsipnya adalah
memperbolehkan pengenaan pajak atas pendapatan di negara sumber sedangkan
negara asal warga bersangkutan akan memberikan kredit pajak. Kondisi ini selaras
dengan konsep keadilan antar negara yang menyatakan bahwa negara sumber
pendapatan tidak boleh melakukan diskriminasi, tetapi bisa menerapkan tarifnya
sendiri terhadap penghasilan orang asing. Demikian juga dengan pemberian
kredit pajak oleh negara asal warga bersangkutan, meskipun menyebabkan
menurunnya penerimaan negara bersangkutan, kondisi ini selaras dengan
pandangan internasional mengenai keadilan antar perorangan. Berkaitan dengan
pengertian tersebut berikut illustrasi yang mungkin terjadi jika seseorang warga
negara Amerika Serikat bekerja di Inggris.

Nn. D yang bekerja selama enam bulan di Inggris dan kemudian kembali
ke Amerika Serikat, akan membayar pajak Inggris Raya atas pendapatan yang
diperolehnya di Inggris. Guna menentukan pajak yang akan di bayarnya di
Amerika Serikat, pendapatan di Inggris juga akan diperhitungkan, tetapi pajak
yang telah dibayar di Inggris akan dikreditkan terhadap kewajiban pajaknya di
Amerika Serikat, karena hal itu merupakan pajak seharusnya akan dibayarnya
seandainya pendapatan tersebut diperoleh di Amerika Serikat. Paling tidak itulah
prosedurnya seandainya pajak yang dikenakan Inggris tidak melebihi pajak yang
akan dikenakan Amerika Serikat atas pendapatan yang diperoleh di Inggris
tersebut.

Pengenaan Pajak Tehadap Pendapatan Atas Modal


Pada umumnya terdapat beberapa ketentuan dalam memperlakukan pendapatan
investasi asing;

1. Investor perorangan yang menerima pendapatan investasi dari luar


negeri akan membayar pajak penghasilan perorangan atas pendapatan
tersebut. Pemerintah di negara sumber pendapatan lazimnya akan

Dasar-dasar Keuangan Publik


290

mengenakan withholding tax, misalnya sebesar 15 persen, yang selanjutnya


akan dikreditkan terhadap pajak yang akan dibayarkan di negara asal
investor.
2. Perusahaan yang mengoperasikan kantor cabang di luar negeri akan
dikenakan pajak atas laba kantor cabang sesuai dengan peraturan pajak
perseroan negara bersangkutan. Untuk pengenan pajak di negara asal,
laba perusahan induk dan kantor cabang akan dianggap sebagai satu unit.
3. Perusahaan anak yang didirikan di luar negeri (foreign incomporated
subsidiary), secara hukum merupakan satuan perusahaan terpisah.
Labanya akan dikenakan pajak laba perseroan negara asing dan pajak
untuk negara asal akan ditangguhkan sampai laba perusahaan anak
tersebut dikirimkan ke perusahan induk sebagai deviden.

Penangguhan Pajak
Ketentuan mengenai penangguhan pajak didasarkan pada asumsi bahwa
perusahaan anak diluar negeri benar-benar merupakan satuan usaha yang tepisah.
Jadi, kelihatannya hal ini akan bertentangan dengan ketentuan mengenai
pengkreditan yang mengganggap pajak perusahaan anak pada kenyataannya
merupakan pajak perusahaan induk. Penangguhan pajak hampir tidak
menimbulkan perbedaan apa pun bagi perusahaan induk jika pajak luar negeri
tidak lebih kecil dari pajak yang akan dikenakan di dalam negeri. Jika kondisi ini
terjadi (biasanya pada negara–negara yang sedang berkembang, dimana mungkin
tarif pajak sangat rendah), perusahaan anak akan lebih condong untuk
menginvestasikannya kembali labanya dinegara yang menerapkan tarif pajak yang
rendah (yang disebut sebagai surga pajak).

Pembagian Laba sebagai Dasar Pengenaan Pajak Dalam Lingkup


Internasional
Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa suatu negara berhak mengenakan
pajak dari laba yang timbul di wilayah bersangkutan. Jika dikaitkan dengan
perusahaan multinasional, implementasi dari aturan ini, akan menyebabkan
perlunya ditentukan berapa besar laba yang timbul pada setiap negara. Hal ini
merupakan persoalan yang rumit.

Sebuah perusahaan Amerika Serikat mengoperasikan sebuah perusahaan


anak di Kanada. Sesuai dengan konsep keadilan antar negara, Kanada berhak
menarik pajak perusahaan anak tersebut. Tetapi dengan cara apakah laba ini
benar-benar bisa dipisahkan dari laba perusahaan induknya di Amerika Serikat?
Jika terjadi transaksi jual beli yang terjadi antara perusahan induk dan perusahaan
anak, maka laba bisa di geser dari satu negara ke negara lain guna memanipulasi
pajak agar diperoleh pajak yang terendah. Kesulitan akan berlipat ganda apabila
serangkaian perusahaan anak beroperasi di berbagai negara.

Untuk mengantisipasi kondisi ini, telah diupayakan berbagai aturan untuk


menghambat penggeseran laba, misalnya: persyaratan agar harga ditentukan
berdasarkan transaksi yang wajar dengan pihak ketiga atau transaksi tanpa
hubungan istimewa (arm’s-length-basis). Karena kesulitan-kesulitan yang di hadapi

Dasar-dasar Keuangan Publik


291

dalam menghitung laba yang terpisah bagi satuan satuan usaha yang terkait, maka
pernah disarankan suatu cara yang berbeda sama sekali. Laba sebagai dasar
pengenaan pajak (profits base) dari perusahaan multinasional dapat dialokasikan di
antara negara negara tidak berdasarkan lokasi dari perusahaan anak tetapi
berdasarkan negara asal laba yang diperoleh oleh group usaha tersebut secara
keseluruhan. Negara asal tersebut bisa diperkirakan dengan suatu rumus yang
memperhitungkan lokasi nilai tambah dan penjualan. Meskipun cukup menarik,
namun pelaksanaan pendekatan ini memerlukan pengaturan pajak internasional
dan karena itu masih merupakan alternatif yang tak terjangkau.

Koordinasi Pajak Produk


Aspek Efisiensi
Jika pajak penghasilan mempengaruhi aliran atau perpindahan modal, maka pajak
produk mengarahkan perhatian kita pada pengaruhnya terhadap aliran produk.
Hal ini akan semakin terasa jika kurs valuta asing bersifat fleksibel. Perdagangan
internasional yang berlangsung secara bebas didasarkan pada argumen dasar
bahwa semua negara yang berdagang akan mendapat manfaat jika masing-masing
berspesalisasi pada produk di mana ia memiliki keunggulan komparatif.
Anggaplah negara A mempunyai keunggulan komparatif dalam menghasilkan
produk X sementara negara B mengimpor X dan mengekspor Y. Akan tetapi,
karena biaya produksi semakin meningkat untuk jumlah yang makin besar, negara
A akan tetap memproduksi sebagian dari Y dan negara B memproduksi sebagian
dari X yang dibutuhkannya. Baik A maupun B akan lebih makmur daripada jika
tidak ada perdagangan. Dengan mengekspor X dan mengimpor Y, negara A akan
memperoleh pendapatan riil yang lebih tinggi daripada jika ia memproduksi
semua Y yang dibutuhkannya, dan hal sebaliknya berlaku untuk B. Dalam
menentukan apakah berbagai pajak yang ada berpengaruh atau tidak terhadap
lokasi produksi, pertanyaan kini adalah apakah pajak bersangkutan
mempengaruhi harga relatif antara barang produksi dalam negeri dan barang
impor. Jika pajak mempengaruhi harga, konsumen akan mensubstitusikan kedua
jenis barang itu satu sama lain dan lokasi produksi akan berbeda dari lokasi
produksi untuk pajak yang netral.

Pajak Konsumsi.
Pajak konsumsi atau pajak tujuan produk (destination taxes) tidak mempengaruhi
lokasi kecuali jika terdapat diskriminasi antara barang produksi dalam negeri dan
barang impor, yaitu jika pajak tersebut dalam bentuk bea masuk dan cukai.
Misalkan negara A mengenakan pajak terhadap konsumsi atas semua X dan Y,
yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor. Ini tidak akan
mempengaruhi perdagangan karena harga relatif antara produksi dalam negeri
dan impor tidak berubah. Jika pajak itu hanya dikenakan terhadap Y, baik
produksi domestik maupun impor, akibatnya konsumen akan menambah
konsumsi X dan mengurangi konsumsi Y. Penyesuaian ini bisa mempengaruhi
tingkat perdagangan, tetapi lokasi untuk kedua produk itu (pada tingkat produksi
yang baru) masih akan tetap sejalan dengan keunggulan komparatif.

Dasar-dasar Keuangan Publik


292

Situasinya akan sangat jauh berbeda jika negara A mengenakan pajak


hanya terhadap Y impor, yaitu terhadap Y dikenakan bea masuk. Pajak ini akan
menyebabkan perbedaan harga relatif antara produk domestik dan impor,
sehingga Y produksi dalam negeri akan mensubstitusi Y impor. Dengan
menurunnya impor, mata uang A terhadap mata uang B akan naik. Jadi, ekspor X
dari A juga akan menurun sampai tercapai suatu titik ekuilibrium pada tingkat
perdagangan yang lebih rendah dan dengan pemberian produksi X dan Y yang
kurang efisien di antara negara A dan B. Pajak atau bea semacam itu akan
melemahkan perdagangan yang efisien, dan dewasa ini telah banyak cara
diupayakan untuk mengurangi perdagangan yang bersifat proteksionis.

Pajak Produksi
Dalam mempermasalahkan pajak produksi atau pajak asal produk (origin taxes),
kita bisa melihat bahwa distorsi atau penyimpangan bisa saja terjadi meskipun
tidak ada upaya untuk mendiskriminasikan produk luar negeri. Pertama-tama
anggaplah bahwa harga negara B mengenakan pajak produksi umum misalnya
cukai sebesar 10 persen terhadap barang X dan barang Y. Akibatnya, harga barang
di negara B akan naik sejalan dengan pajak tersebut. Karena merasa bahwa harga
produk dalam negeri telah naik jika dibandingkan dengan harga produk impor,
konsumen negara B akan memperbesar impor. Konsumen negara A akan
merasakan hal sebaliknya. Eksportir B akan menambahkan pajak tersebut ke biaya
(harga) produknya sehingga harga barang impor bagi konsumen A menjadi lebih
tinggi sehingga impor akan dikurangi. Jika kurs valuta asing bersifat fleksibel,
kenaikan permintaan atas mata uang A dan penurunan permintaan atas mata
uang B akan menyebabkan naiknya nilai mata uang A terhadap B. Ini akan
menghambat keinginan konsumen B untuk menambah impor dan keinginan
konsumen A untuk mengurangi impor. Perbandingan harga antara ekspor dan
impor tidak akan berubah dan nilai riil perdagangan tidak terpengaruh.

Situasinya akan berbeda jika pajak produksi negara B dikenakan hanya


pada satu jenis produk saja, misalnya atas produk Y yang diekspornya. Sekali lagi
konsumen A akan merasakan naiknya biaya (harga) Y dan akan mensubstitusinya
dengan Y produksi dalam negeri. Dengan menurunnya impor A atas barang Y,
nilai mata uang A terhadap B akan naik. Biaya impor bagi konsumen B menjadi
naik dan karena itu impor dikurangi. Titik ekuilibrium yang baru akan dicapai
pada tingkat perdagangan yang lebih rendah dengan disertai perubahan distribusi
lokasi produksi. Sekarang negara A memproduksi lebih banyak barang Y dan
negara B memproduksi lebih banyak barang X dari pada sebelumnya. Karena itu,
pengenaan pajak produk hanya kepada barang Y saja di negara B menimbulkan
efek distorsi yang mirip dengan efek distorsi yang timbul akibat dikenakannya bea
masuk atas barang Y di negara A.

Distorsi ini bisa dihindarkan seandainya barang B memberikan


penghapusan pajak atas barang Y yang di ekspornya. Tindakan B akan
membatalkan kenaikan harga barang impor Y di negara A sehingga tidak perlu
mensubtitusinya dengan memproduksi Y di dalam negeri. Dengan dihapusnya
pajak atas barang Y oleh negara B, maka pajak atas barang Y telah berubah dari
pajak produksi menjadi pajak konsumsi. Artinya hal itu sejajar dengan pajak

Dasar-dasar Keuangan Publik


293

penjualan eceran atas produk Y di negara B yang seperti telah kita lihat, tidak
mendistorsikan lokasi produksi sejauh dikenakan terhadap produk impor dan
produk dalam negeri.

Ceritanya juga akan sama jika B memajaki X. Konsumen B dalam hal ini
akan melakukan subtitusi dengan X impor, dan penyesuain selanjutnya akan
terjadi. Pada akhirnya, tingkat perdagangan riil akan naik, tetapi lagi-lagi lokasi
produksi akan mengalami distorsi. Makin banyak X diproduksi di A dan makin
banyak Y diproduksi di B dari pada sebelumnya. Distorsi dalam hal ini bisa
dihindarkan jika B mengenakan bea masuk atas X untuk mengkompensasi pajak
produksi X. Disini juga pajak berubah menjadi pajak konsumsi (yaitu pajak atas
semua X yang di konsumsi di B) tanpa adanya distorsi atas lokasi produksi.

Koordinasi Pengeluaran
Diantara sejumlah negara, sebagaimana halnya dengan pemerintah
daerah, terdapat kepentingan bersama yang mendorong mereka untuk bekerja
sama dalam proyek patungan. Ini bisa saja menyangkut pembangunan jalan di
perbatasan dua negara, usaha pertahanan bersama seperti NATO, usaha bersama
dalam memerangi penyakit, jaringan narkotik, dan pasar bersama. Semua ini
menyebabkan perlunya pembagian beban biaya yang harus dipikul. Jika jumlah
anggota kelompok atau pesertanya kecil, pembagian beban biaya bisa
dirundingkan dengan membandingkan manfaat yang akan diperoleh setiap pihak.
Khusus mengenai pertahanan, kerja sama akan lebih menguntungkan sekutu yang
kecil karena peningkatan pertahanan yang kecil sekalipun oleh sekutu yang besar
akan merupakan tambahan perlindungan yang sangat besar bagi sekutu tersebut.
Jika anggotanya sangat banyak, maka masalahnya akan mirip dengan masalah
penentuan anggaran antar perorangan. Jika tarif perkiraan (assesment rate) yang
proposional digunakan, setiap negara mungkin akan diharuskan untuk membayar
dalam presentase GNP atau presentase pendapatan nasional yang sama. Jika
perhitungan progresif digunakan, akan timbul pertanyaan apakah kelompok tarif
tersebut hanya dikaitkan dengan pendapatan perkapita dari penduduk di berbagai
negara (dimana penduduk dianggap sebagai patokan dasar).

Kedua macam pertimbangan di atas diperhitungkan dalam menentukan


kontribusi bagi anggaran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pembagian beban biaya
ditentukan melalui pemungutan suara setiap tahun dan direvisi berkali-kali.
Prosedurnya pada dasarnya adalah: biaya total dibagi di antara negara anggota
sesuai perbandingan kontribusi dasar atau GNP. Ini akan menimbulkan pajak
proporsional dalam kaitannya dengan GNP, terlepas dari pendapatan per kapita.
Selanjutnya prinsip ini dimatangkan lagi dengan menambah sejumlah ketentuan
seperti pembebasan beban bagi negara miskin, ketentuan kontribusi minimum,
dan pembatasan jumlah yang harus dikontribusikan oleh suatu negara, dengan
bagian tertinggi (sekarang 25 persen) disumbangkan oleh Amerika Serikat.

Organisasi-organisasi lain menerapkan pola yang berbeda. Kontribusi bagi


Dana Moneter Internasional (IMF) tidak ditentukan berdasarkan manfaat yang
diperoleh, melainkan dengan hak penarikan (drawing rights) yang ditetapkan
sesuai dengan kemungkinan diperlukan kredit-kredit IMF. Prosedur yang kira-

Dasar-dasar Keuangan Publik


294

kira sama diikuti dalam pemesanan modal saham Internasional Bank for
Reconstruction and Development (IBRD). Harus dicatat bahwa semua kontribusi
ini relatif kecil jumlahnya sehingga pengecualian atau penyimpanan bagi negara
tertentu tidak begitu berpengaruh. Kontribusi untuk NATO, yang melibatkan
jumlah yang besar, tidak ditentukan dengan suatu dasar perumusan yang
tetapkan tetapi pada hakikatnya tergantung pada negosiasi. Amerika Serikat
merupakan penanggung terbesar atas biaya NATO, dengan kontribusi yang
mungkin melebihi bagian yang seharusnya ditanggungnya seandainya hal itu
ditentukan berdasarkan presentase GNP.

Koordinasi Kebijakan Stabilisasi


Dengan makin meningkatnya saling ketergantungan dunia, maka nasib
suatu negara ditentukan juga oleh apa yang terjadi di negara lain. Suatu negara
tidak mungkin lagi bertindak sendiri untuk mengendalikan persoalan yang
dihadapinya. Kerja sama internasional diperlukan dalam bidang kebijaksanaan
stabilisasi. Hal ini khususnya berlaku untuk negara negara dengan perekonomian
yang terkait erat seperti pasar bersama, tetapi juga berlaku bagi negara dengan
perdagangan luar negeri yang terkecil seperti Amerika Serikat. Koordinasi
khususnya diperlukan karena saling ketergantungan tidak hanya menyangkut
perdagangnan tetapi juga aliran atau perpindahan modal.

Pengaruh terhadap Perdagangan


Dengan asumsi bahwa keadaan kurs valuta asing yang bersifat tetap, menurunnya
pendapatan dan kesempatan kerja dinegara A, akan menyebabkan impornya akan
menurun sehingga menyebarkan kelesuan perekonomian atau malaise tersebut ke
negara B yang menghadapi penurunan ekspor. Jika A mengambil kebijakan
ekspansionir, pendapatannya naik dan begitu juga halnya dengan impornya.
Kebocoran yang ditimbulkan impor akan memperkecil faktor pengganda
(multiplier) dan karena itu kebijakan A menjadi kurang efektif, dan hal itu juga
turut memulihkan keaadan negara B karena ekspornya jadi meningkat. Karena itu,
kebijakan suatu negara akan berpengaruh terhadap negara lain sehingga
diperlukan kordinasi kebijakan untuk menampung kebutuhan kedua negara.
Pengaruh kebijakan ekspansioner dari negara A terhadap perdagangan akan
diperlemah jika kurs valuta asing bersifat fleksible. Dengan naiknya impor A, nilai
mata uangnya akan turun. Karena itu, biaya impornya menjadi tinggi sehingga
membatasi atau memperkecil devisit perdagangan negara A dan ekspor negara B.
Dengan demikian kurs valuta asing yang fleksibel cenderung mengurangi saling
ketergantungan.

Hal yang sama berlaku juga untuk keadaan inflasi, dengan kurs yang
tetap, kebijakan inflasioner negara akan memperlemah (mendefisitkan) neraca
perdagangannya dan menimbulkan besarnya permintaan ke negara B. Dengan
kurs yang fleksibel, pengalihan permintaan ke Negara B ini tidak akan terjadi
karena adanya penurunan nilai mata uang A. Sekali lagi, kurs yang fleksibel akan
mengurangi gejolak perdagangan. Akan tetapi gambaran ini telalu
disederhanakan. Penyesuaian kurs tidak berlangsung dalam sekejap dan
perubahan kurs secara diskresioner dapat menjadi faktor pengganggu

Dasar-dasar Keuangan Publik


295

pengendalian atas kurs itu sendiri merupakan alat kebijakan yang memerlukan
kerja sama lebih lanjut.

Aliran Modal
Pengaruh kebijakan yang ekspansioner atau restriktif terhadap perdagangan bisa
dikatakan sama, entah itu kebijakan fiskal atau moneter. Akan tetapi, bauran
kebijakan stabilisasi akan menjadi masalah besar jika dikaitkan dengan aliran
modal. Aliran modal dipengaruhi oleh tingkat pengembalian yang dihasilkan di
berbagai negara. Perpaduan kebijakan fiskal yang longgar dengan kebijakan
moneter yang ketat akan menghasilkan suku bunga yang tinggi sehingga
mengundang masuknya modal asing, dan begitu juga sebaliknya.

Peranan aliran modal menjadi penting jika kita mempertimbangkan


pengaruh kebijakan stabilitasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Banyak hal
tergantung pada bagaimana bentuk dari surplus impor yang ditimbulkan tersebut.
Jika surplus impor tersebut berupa investasi riil, maka akan terjadi peningkatan
modal di negara bersangkutan yang akan tercermin pada kenaikan produktivitas
tenaga kerjanya. Pendapatan modal di masa mendatang akan dikirimkan keluar
negeri, sehingga keuntungan bagi negara tempat penanaman modal tersebut
adalah berupa kenaikan produtivitas tenaga kerja dan produktivitas faktor-faktor
domestik lainnya.

Pemahaman atas Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak


Berganda)
Tax Treaty atau perjanjian pajak berganda adalah merupakan suatu
perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka mengantisipasi
pemajakan ganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini akan
digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang
timbul dari suatu transaksi diantara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut
dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang
bersangkutan sesuai dengan transaksi yang dihadapi.

Setiap tax treaty mempunyai prinsip prinsip dasar yang kurang lebih sama,
sebagai bagian dari konvensi internasional di mana setiap negara yang terlibat
dalam suatu tax treaty menyusun perjanjiannya masing masing berdasarkan
model-model perjanjian yang diakui secara internasional. Pada dasarnya terdapat
dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam menyusun suatu treaty yaitu
model OECD dan Model PBB.

Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah merupakan suatu kontrak


yang mengikat suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan.
Oleh karena itu, didalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal dan ayat-
ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak tertentu. Pasal-pasal
ataupu ayat-ayat yang terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan
cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan pajak berganda,

Dasar-dasar Keuangan Publik


296

bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang mencakup hal-
hal lainnya.

Cakupan Tax Treaty


Personal Scope
Tax treaty adalah persetujuan yang ditandatangani oleh dua negara, sehingga
subyek pajak yang menjadi sasaran adalah mereka yang menjadi penduduk dari
kedua negara tersebut (Rachmanto Surachmat, 2001). Dengan kata lain, ketentuan
personal scope mengatur tentang kepada siapa sajakah ketentuan-ketentuan dalam
suatu treaty yang bersangkutan bisa diterapkan. Dalam pasal dan ayat ini akan
diatur ketentuan tentang siapa saja yang merupakan orang pribadi, badan usaha
dan entitas lainnya yang berdasarkan treaty tersebut dianggap sebagai penduduk
dari salah satu negara yang terikat perjanjian, termasuk di dalamnya orang
pribadi, badan atau entitas lainnya yang dianggap sebagai penduduk dengan
status kependudukan ganda (double residence). Biasanya disini definisi mengenai
penduduk maupun perihal kependudukan ganda tidak diartikan lebih lanjut.
Kedua hal tersebut akan diatur dalam klausul lain yaitu dalam klausul tentang
general definitions dan tentang residence. Oleh karena itu, pengertian personal scope
akan berkaitan dengan pengertian-pengertian dalam kedua klausul tersebut.

Tax Covered
Klausul ini mengatur tentang jenis-jenis pajak yang perlakuannya menggunakan
ketentuan tax treaty yang bersangkutan. Jenis pajak yang diatur disini akan
mengikuti ketentuan sesuai dengan tax treaty dan mengabaikan ketentuan internal
yang berlaku di masing-masing negara. Dalam beberapa hal, ketentuan suatu tax
treaty memiliki suatu kekuatan yang berada di atas sistem perundang undangan
yang berlaku secara internal di dalam suatu negara. Aturan dalam tax treaty hanya
diberlakukan untuk jenis pajak langsung seperti Pajak Penghasilan (PPh). Atas
pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai atau pajak yang dipungut
oleh pemerintah daerah tidak diatur dalam tax treaty. Dalam ketentuan umumnya
(general definitions), diatur tentang definisi istilah-istilah umum yang berkaitan
dengan definisi persons (orang atau badan), national (negara atau
kewarganegaraan), international traffic (lalu lintas internasional), enterprise (badan
usaha) dan lain lain.

Residence
Dalam kriteria ini akan diatur tentang dua hal yakni definisi penduduk (berkaitan
dengan personal scope) serta tie breaker rule, yaitu tentang ketentuan yang
menentukan tidak berlakunya status residence atas suatu pihak dengan
karakteristik tertentu. Definisi penduduk adalah setiap orang pribadi atau badan
yang berdasarkan ketentuan internal suatu negara – seperti keberadaan, domisili,
tempat kedudukan manajemen atau sebab-sebab lain yang mempunyai
karakteristik yang sama – dapat dikenai pajak di negara tersebut. Dengan kata lain,
penduduk adalah Subjek Pajak dalam negeri suatu negara yang dikenai pajak
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan lokal yang berlaku dinegara
tersebut. Undang-undang nasional dari banyak negara umumnya mengenakan

Dasar-dasar Keuangan Publik


297

pajak berdasarkan hubungannya dengan negara yang bersangkutan (Rachmanto


Surachmat, 2001). Artinya, pengenaan pajak tidak hanya mendasarkan pada alasan
tempat tinggal, tetapi juga karena keberadaan secara teratur di negara tersebut.
Dalam klausul ini juga menegaskan bahwa orang pibadi atau badan tidak dapat
langsung dianggap sebagai penduduk suatu negara hanya karena mendapatkan
penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Dalam prakteknya, orang
pribadi atau badan dapat dianggap sebagai penduduk dari dua negara
berdasarkan asas world wide income yang dianut. Hal ini bisa terjadi karena setiap
negara pada dasarnya berhak mengatur definisi penduduk sesuai dengan versinya
masing-masing.

Menyadari efek-efek negative tersebut, article residence selanjutnya


mengatur langkah yang dapat digunakan untuk menghilangkan status
kependudukan ganda yang sering disebut dengan tie breaker rule. Tie breaker rule
dibedakan menjadi dua yaitu yang diterapkan untuk orang pribadi dan yang
diterapkan untuk selain orang pribadi. Tie breaker rule untuk orang pribadi terdiri
dari penentuan permanent home (tempat tinggal tetap), center of economic and social
interests (pusat kepentingan ekonomi dan social), habitual abode (tempat kebiasaan
untuk tinggal), national (kewarganegaraan) serta mutual agreement (perjanjian antar
otoritas perpajakan). Langkah-langah tersebut secara berurutan bersifat prioritas,
artinya apabila dengan menggunakan ketentuan pertama masalah kependudukan
ganda telah bisa dipecahkan, maka langkah kedua dan seterusnya tidak perlu
digunakan lagi. Sementara itu tie breaker rule untuk pihak selain orang pribadi
hanya ada satu ketentuan yaitu tempat dimana manajemennya efektif berada.

Permanent Establishment
Klausul ini mengatur tentang seberapa jauh jangkauan suatu negara dalam
mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Pada
jaman sekarang, suatu usaha tidak hanya dilakukan di negara sendiri. Di negara
lainpun suatu pihak melakukan usaha. Apabila usaha di negara lain itu ternyata
berhasil, adalah hal yang logis jika otoritas pajak di negara tersebut ingin
mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima. Namun berkaitan dengan
keinginan tersebut, tentunya harus ada batasan-batasan ataupun aturan yang jelas
hingga bisnis yang dilakukan yang sekaligus merupakan investasi di negara
tersebut tetap saja berjalan dengan baik. Cerminan dari batas atau aturan tersebut
adalah ketentuan tentang permanent establishment atau bentuk usaha tetap (BUT).
Contoh contoh dari BUT dapat dikatagorikan menjadi empat macam yaitu:

• BUT Fasilitas Fisik. BUT tipe ini merupakan tipe yang paling mudah
diketahui keberadaannya. BUT timbul karena adanya fasilitas fisik seperti
gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain lain.
• BUT Aktivitas. Timbulnya BUT tipe ini ditandai dengan adanya aktivitas
yang melebihi batas waktu tertentu (time test) yang dilakukan di negara
lain. Aktivitas tersebut bisa berupa pelaksanaan berbagai macam jasa
(seperti jasa konstruksi dan jasa jasa lainnnya). Lamanya time test yang
digunakan dapat berbeda beda antara satu tax treaty dengan tax treaty
yang lain. Time test ini disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua negara.

Dasar-dasar Keuangan Publik


298

• BUT Asuransi. Timbulnya BUT Asuransi ditandai dengan keadaan dimana


suatu perusahaan asuransi menerima premi atau menanggung risiko di
negara lain.
• BUT Keagenan. BUT tipe keagenan timbul jika terdapat agen di negara
lain yang memiliki wewenang untuk menentukan kontrak atau mengurus
barang-barang dagang di negara lain.

Dalam klausul ini juga ditentukan kondisi-kondisi dimana BUT dianggap


tidak muncul seperti dalam hal suatu tempat yang hanya berfungsi untuk
memajang barang-barang dagangan, tempat yang hanya dipergunakan untuk
pembelian barang dagangan atau mengumpulkan informasi dan sebagainya.

Entry Into Force

Klausul ini menjelaskan tentang saat berlakunya sebuah tax treaty. Saat berlakunya
tax treaty sangat bergantung dari selesainya tahap-tahap pembentukannya.
Pembentukan sebuah tax treaty yang dimulai dengan penandatanganan oleh kedua
otoritas yang berwenang dan dilanjutkan dengan ratifikasi di kedua negara.
Setelah kedua negara selesai meratifikasi, selanjutnya dilakukan pertukaran
dokumen-dokumen ratifikasi. Setelah pertukaran dokumen ratifikasi ini selesai
dilakukan maka tax treaty pun dapat diberlakukan.

Termination
Klausul ini menjelaskan tentang saat berakhirnya sebuah tax treaty. Tax treaty
dapat berakhir setelah periode tertentu yang telah disepakati oleh kedua negara.
Salah satu negara dapat mengakhiri sebuah tax treaty dengan cara mengadakan
pemberitahuan terlebih dahulu yang harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu
sesuai dengan yang telah disepakati.

Minimalisasi Pemajakan Berganda


Income from Immovable Property
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang berasal dari harta
tak bergerak termasuk penghasilan yang bersumber dari pertanian atau sektor
perhutanan. Didalamnya diatur bahwa negara tempat harta tak bergerak tersebut
terletak juga dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari harta tersebut.

Business Profits
Klausul ini merupakan perluasan dari klausul permanent establishment yang
mangatur tentang pengenaan pajak atas laba usaha milik penduduk suatu negara
yang bersumber dari negara treaty partner (negara pasangan dalam tax treaty).
Penentuan dapat atau tidaknya negara treaty partner mengenakan pajak, sangat
tergantung pada ada atau tidaknya BUT di suatu negara. Laba usaha milik
penduduk suatu negara pada dasarnya hanya dapat dikenakan pajak di negara
tersebut. Namun apabila penduduk suatu negara mendapatkan penghasilan di
negara treaty partner melalui BUT-nya, maka negara treaty partner tersebut berhak
mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima melalui BUT itu. Bila kegiatan

Dasar-dasar Keuangan Publik


299

usaha yang dilakukan penduduk negara domisili di negara sumber tidak melalui
BUT, maka laba usaha dari kegiatan itu hanya dikenai pajak di negara domisili
(Rachmanto Surachmat, 2001)

Shipping, Inland Waterways Transport and Air Transport


Klausul ini menjelaskan tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh
perusahaan pelayaran (termasuk pengangkutan di sungai dan danau) dan
perusahaan penerbangan yang beroperasi di jalur internasional. Perusahaan yang
bergerak di bidang ini bisa memperoleh penghasilan dari beberapa negara. Jika
setiap negara mengenakan pajak atas laba yang diterimanya maka perusahaan
pelayaran dan penerbangan tersebut tentunya akan menanggung beban pajak
yang terlalu besar. Dalam menghadapi permasalahan ini pada umumnya diatur
dua alternatif pengenaan pajak. Alternatif pertama, memberikan hak pemajakan
kepada negara tempat di mana manajemen efektif berada. Alternatif kedua, sama
dengan alternatif pertama dengan pengecualian untuk penghasilan dari
pengoperasian kapal laut yang hak pemajakannya diberikan kepada kedua negara
sekaligus.

Dividends
Dividen merupakan penghasilan yang diterima oleh pemegang saham dari suatu
perusahaan. Tak sedikit negara yang mengenakan pajak atas penghasilan berupa
dividen ini. Indonesia pun mengenakan pajak atas dividen baik yang diterima oleh
wajib pajak dalam negeri maupun wajib pajak luar negeri. Klausul dividen,
sebagaimana namanya, memang merupakan aturan mengenai pengenaan pajak
atas penghasilan yang berupa dividen. Dalam klausul ini dinyatakan bahwa
negara tempat dividen berasal juga berhak mengenakan pajak atas dividen
tersebut. Dalam artikel ini juga menyatakan tentang tarif pajak maksimal yang
dapat dikenakan di negara asal dividen tersebut yang dibedakan menjadi dua
yaitu tarif untuk dividen portofolio (saham dengan kepentingan semata mata
investasi) dan untuk dividen dari penyertaan langsung ( saham dengan
kepentingan control)

Interets
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan bunga yang diterima
dari negara treaty partner. Selain memberikan definisi tentang bunga, klausul ini
juga mengatur bahwa negara tempat bunga berasal (treaty partner) juga dapat
mengenakan pajak atas bunga tersebut. Tak berbeda dengan artikel dividen,
artikel bunga pun mengatur tentang tarif maksimal pemotongan pajak untuk
negara tempat dividen berasal.

Royalties
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan royalti yang diterima
dari negara treaty partner. Tak berbeda dengan artikel dividend dan bunga, artikel
royalti ini juga memberikan definisi royalti disamping mengatur bahwa negara
tempat di mana royalti berasal dapat mengenakan pajak sesuai dengan tarif
maksimal yang disepakati.

Dasar-dasar Keuangan Publik


300

Capital Gains
Klausul ini mengatur tentang penghasilan berupa keuntungan pemindahtanganan
harta. Ketentuan dalam tax treaty pada umumnya mengatur bahwa negara tempat
harta tersebut terletak sebelum dipindahkan juga berhak untuk mengenakan
pajak. Termasuk dalam pengertian harta dalam artikel ini adalah harta berupa
perumahan dalam suatu kawasan real estate. Dalam bukunya, Rachmanto
Surachmat (2001) memaparkan bahwa hak mengenakan pajak atas keuntungan
karena pemindahtanganan harta yang digunakan untuk berusaha harus diberikan
kepada negara yang sama, yaitu negara yang berhak mengenakan pajak atas
business profit (negara tempat perusahaan berdomisili), tanpa membedakan apakah
keuntungan itu diperlakukan sebagai gain dari usaha. Karena itu, persetujuan
penghindaran pajak berganda tidak memerlukan aturan khusus yang
membedakan capital gain dari business profit. Hal ini diserahkan kepada undang
undang pajak domestik masing-masing negara.

Independent Personal Services


Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima orang
pribadi yang bersumber dari negara treaty partner sebagai imbalan dari jasa-jasa
professional yang diberikannya di negara tersebut. Aturan ini pada dasarnya
sejalan dengan aturan permanent establishment dan business profits namun secara
khusus ditujukan untuk orang pribadi yang memberikan jasa-jasa profesional
(seperti dokter, pengacara) untuk dan atas namanya sendiri di negara treaty
partner. Negara treaty partner tempat jasa tersebut dilakukan dapat mengenakan
pajak sepanjang orang pribadi tersebut memiliki tempat tetap (fixed base) disana
atau berada di negara treaty partner melebihi batas waktu yang disepakati
bersama..

Dependent Personal Services


Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh
orang pribadi sehubungan dengan pemberian jasa yang dilakukannya di negara
lain dalam suatu hubungan kerja. Berbeda dari pemberian jasa oleh independent
personal yang dilakukan untuk dan atas namanya sendiri, jasa yang diberikan oleh
orang pribadi yang dimaksud di sini merupakan jasa yang dilakukan untuk dan
atas nama pihak lain yang memiliki hubungan kerja dengannya. Di sini diatur
bahwa negara tempat orang pribadi tersebut bekerja dapat mengenakan pajak atas
penghasilan yang diterimanya. Namun untuk menganakan pajak tersebut, ada
beberapa syarat kumulatif yang terlebih dahulu harus dipenuhi yaitu:
• Orang pribadi yang bersangkutan berada di negara lain melebihi time test
yang telah disepakati;
• Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi tersebut dibayarkan oleh
pemberi kerja;
• Penghasilan tersebut tidak dibebankan kepada BUT.

Director’s Fees
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh
direktur yang bekerja pada perusahaan yang berada di negara lain (merupakan
penduduk di negara tersebut). Dalam klausul ini dinyatakan bahwa penghasilan

Dasar-dasar Keuangan Publik


301

yang diterima oleh direktur dalam kapasitasnya yang murni sebagai seorang
direktur dapat dikenai pajak di negara domisili perusahaanya tanpa memandang
jangka waktu keberadannya di sana. Bila diperhatikan, prinsip ini berbeda dengan
prinsip pemajakan atas penghasilan orang pribadi yang lain sebagaimana diatur
dalam klausul dependent dan independent personal services yang menggunakan syarat
jangka waktu keberadaan sebagai alat menentukan aspek pemajakan. Menurut
Rachmanto Surachmat (2001), hal ini untuk menyederhanakan pengenaan
pajaknya, sebab seringkali penentuan di mana kegiatan pekerjaan dilakukan –
dalam kedudukannya sebagai anggota dewan direksi – adalah sulit. Fungsi
sebagai direktur bisa saja dilakukan di negara dimana ia berdomisili, karena itu
yang diberikan hak pemajakan adalah negara di mana pihak yang membayarkan
gaji berkedudukan. Namun demikian, apabila pekerjaan yang dilakukan tidak lagi
murni sebagai seorang direktur maka pemajakan atas penghasilan tersebut tidak
lagi mengikuti ketentuan dalam klausul ini. Penentuan aspek pemajakannya
disesuaikan dengan jenis kegiatan (pekerjaan) yang dilakukan oleh direktur
tersebut. Jika direktur tersebut melakukan tugas tugas manajerial misalnya, maka
aspek pemajakannya mengacu pada klausul dependent personal services. Namun
apabila direktur tersebut bekerja sebagai konsultan pada perusahaan, maka aspek
pemajakannya dalam hal ini akan mengacu pada klausul independent personal
services.

Artists and Sportsmen


Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh artis
(entertainer) dan olahragawan (sportsmen) dari negara lain. Prinsip pemajakan yang
diatur dalam artikel ini adalah negara tempat penghasilan tersebut bersumber
dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh artis ataupun atlit.
Prinsip ini juga berlaku meskipun penghasilan tersebut tidak langsung dibayarkan
kepada sang artis/atlit (dibayarkan kepada pihak lain, contohnya agen). Termasuk
dalam pengertian entertainer dalam artikel ini antara lain yaitu artis televisi, artis
radio atau musisi. Sedangkan termasuk dalam olahragawan antara lain adalah
pemain sepakbola, pemain golf, pemain tennis, pemain catur atau pemain bridge.

Pensions
Klausul ini mengatur tentang penghasilan yang diterima oleh pensiunan swasta.
Pada umumnya, penghasilan berupa pensiun dikenai pajak di negara tempat di
mana pekerjaan itu dahulunya dilakukan. Namun sebagian besar tax treaty
mengatur bahwa penghasilan tersebut dikenai pajak di negara di mana yang
bersangkutan menjadi penduduk pada saat pensiun

Government Services

Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas penghasilan yang


diterima oleh para pegawai negeri. Pada prinsipnya, hak pemajakan atas
penghasilan yang diterima oleh para pegawai negeri diberikan kepada negara di
mana ia bekerja. Hal yang sama juga berlaku atas penghasilan yang diterima oleh
pensiunan pegawai negeri. Namun demikian, apabila pegawai negeri atau
pensiunan tersebut merupakan warga negara dari salah satu negara dan sudah

Dasar-dasar Keuangan Publik


302

sejak awal menjadi penduduk di negara tersebut maka penghasilan yang


diterimanya hanya dikenakan pajak di sana.

Pencegahan Penghindaran Pajak


Associated Enterprises
Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa. Apabila terjadi transaksi antara pihak-pihak di
kedua negara yang memiliki hubungan istimewa, akan ada kecenderungan di
mana harga transaksi yang disepakati bukan merupakan harga yang wajar. Harga
yang wajar adalah harga yang terjadi antara dua pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa. Salah satu efek dari adanya harga yang tidak wajar itu adalah
terjadinya pergeseran laba dari suatu negara kepada negara yang lainnya. Hal ini
dipandang sebagai suatu usaha untuk menghindari pajak dari suatu negara.
Dalam kondisi demikian, kepada negara yang bersangkutan diberikan hak untuk
mengadakan penyesuaian penyesuaian sehubungan dengan pergeseran laba
tersebut.

Exchange of Information
Klausul ini mengatur tentang pertukaran informasi antar otoritas pajak di kedua
negara yang terkait dalam suatu tax treaty. Dengan adanya pertukaran informasi,
dapat dikatakan bahwa klausul ini merupakan salah satu senjata dalam
menanggulangi praktek-praktek penyelundupan atau penggelapan pajak.
Pertukaran informasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pertukaran
informasi secara rutin dan pertukaran informasi berdasarkan permintaan.

Ketentuan Lain Lain


Non Discrimination
Klausul ini mengatur tentang persamaan perlakuan perpajakan yang diberikan
oleh suatu negara kepada warga negara dan kepada bukan warga negara. Secara
khusus Rachmato Surachmat (2001) dalam bukunya menyatakan bahwa klausul
ini adalah aturan dalam hukum internasional yang memberikan perlindungan dari
diskriminasi. Suatu negara yang terikat tax treaty memiliki kewajiban untuk
memberikan perlakuan perpajakan yang sama untuk warga negaranya.
Perlakuakn perpajakan yang sama ini mengandung arti bahwa dalam suatu
kondisi yang sama, pihak yang bukan warga negara dari suatu negara tidak boleh
menanggung kewajiban pajak yang lebih berat daripada yang ditanggung oleh
warga negara dari negara tersebut. Perlakuan yang sama juga harus diberikan
kepada mereka yang bukan merupakan warga negara dari kedua negara yang
terikat perjanjian.

Mutual Agreement Procedure


Klausul ini mengatur tentang prosedur yang digunakan oleh kedua negara untuk
berkomunikasi dalam menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan antara
pembayar pajak dengan otoritas pajak mengenai perpajakan tertentu. Klausul ini
dapat dipandang sebagai semacam sarana bagi para pembayar pajak untuk

Dasar-dasar Keuangan Publik


303

“curhat” tentang suatu perlakuan perpajakan yang tidak disetujuinya. Melalui


ketentuan dalam klausul ini, otoritas perpajakanpun memiliki sarana untuk
memecahkan kesulitan yang timbul sebagai akibat dari perbedaan interpretasi atas
suatu ketentuan dalam sebuah tax treaty. Namun demikian perlu diingat bahwa
mutual agreement procedure tidak mencakup seluruh klausul yang terdapat dalam
sebuah tax treaty. Klausul-klausul yang dapat menikmati ketentuan dalam mutual
agreement procedure antara lain adalah business profits, related persons dan royalty.

Member of Diplomatic Missions and Consular Posts


Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan yang diberikan kepada
anggota dari suatu misi diplomatik dan konsulat. Menurut Rachmato Surachmat
(2001), maksud dari kalusul ini adalah untuk menjamin bahwa para diplomat,
berdasarkan tax treaty, tidak memperoleh perlakuan yang kurang menguntungkan
dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan berdasarkan hukum
internasional. Dalam kesepakatan internasional, setiap penghasilan yang diterima
oleh anggota suatu korps diplomatik atau konsulat, ditetapkan hanya dikenai
pajak di negara di mana mereka berasal. Ketentuan dalam klausul ini pun
mengatur hal yang sama. Jadi, meskipun anggota korps diplomatik atau konsulat
mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara di mana mereka bertugas,
negara tersebut tidak dapat mengenakan pajak atasnya.

Tax Treaty Mengalahkan UU PPh


Bisa disimpulkan bahwa tax treaty muncul karena dua sebab yang mendasar.
Pertama, keinginan untuk menghindari pemajakan berganda yang bisa
menimbulkan distorsi ekonomi, yang berakibat buruk bagi investasi. Kedua, tax
treaty juga dimaksudkan untuk mencegah usaha-usaha penghindaran pajak yang
dapat berpengaruh terhadap penerimaan pajak suatu negara. Mengingat sifat
perjanjiannya yang bilateral, antara dua negara, tax treaty mengalahkan UU PPh
yang berlaku di masing masing negara treaty partner. Setiap tax treaty antara suatu
negara dan negara lainnya adalah suatu perjanjian yang bersifat spesifik hanya
mengikat negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Namun demikian,
secara umum setiap tax treaty mengikuti prinsip prinsip dasar dari model model
tax treaty yang ada seperti model OECD atau model PBB, yang dijadikan sebagai
acuan pada saat pembuatannya. Memahami prinsip prinsip dasar tersebut akan
memudahkan setiap pihak dalam memahami berbagai tax treaty yang ada, antara
berbagai negara pada umumnya dan antara Indonesia dengan negara negara lain
pada khususnya. Yang perlu diperhatikan adalah, dalam tax treaty pada umumnya
sudah disepakati bahwa setiap negara treaty partner berhak menentukan prosedur
dan tata cara untuk membuktikan bahwa suatu pihak benar-benar berdomisili
atau berkedudukan dan berstatus sebagai pembayar pajak di negara treaty partner.
Bukti dimaksud seringkali disebut Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate
of Residence Taxpayer (CRT) yang diterbitkan oleh competent authority atau pejabat
yang berwenang yang ditunjuk oleh suatu negara treaty partner. Surat keterangan
yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau instansi sejenis di negara
treaty Partner juga bisa dipersamakan dengan SKD/CRT. Dengan memiliki
SKD/CRT, maka suatu pihak berhak untuk menerapkan suatu ketentuan tax treaty
dengan negara dimana yang bersangkutan berkedudukan atau berdomisili. Jika
tidak memiliki SKD/CRT, maka pengenaan pajaknya kembali pada Undang

Dasar-dasar Keuangan Publik


304

Undang yang berlaku di negara masing masing. Sebagai contoh, jika Wajib Pajak
luar negeri yang berkedudukan di Inggris, maka Wajib Pajak luar negeri tersebut
hanya dapat menerapkan ketentuan tax treaty Indonesia – Inggris apabila memiliki
SKD/CRT dari competent authority yang ditunjuk negara Inggris. Jika tidak, maka
penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri yang bersumber dari Indonesia langsung
dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 26% dari penghasilan bruto.

Dasar-dasar Keuangan Publik


305

DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Armida S. 2001. “Tinjauan Permasalahan serta Prakondisi yang
Diperlukan Bagi Pengembangan Penggunaan Pinjaman Daerah di Indonesia”.
Makalah pada sidang ISEI, Batam, Indonesia, 14 April.
Aronson, J. Richard. 1985. Public Finance, McGraw Hill, Inc.
Arsjad, Nurjaman, dkk. 1992. Keuangan Negara. Intermedia, Jakarta.
Bennet, Robert J., editor. 1990. Decentralisation, Local Governments and Markets.
Oxford: Clarendon Press.
Bird, Richard M dan Chen, Duanjie. 1996. “Federal Finance and Fiscal Federalism:
The Two Worlds of Canadian Public Finance”. Discussion Paper No. 6,
International Centre for Tax Studies. University of Toronto (July).
Bird, Richard M. 1994b. “A Comparative Perspective on Federal Finance” dalam
K.G. Banting, D.M. Brown, dan T.J. Courchence, editor. The Future of Fiscal
Federalism. Kingston, Ont.: Queen’s University School of Public Policy.
Bird, Richard M. dan Francois Vaillancourt. 1998. Fiscal Decentralization in
Developing Countries. United Kingdom: Cambridge University Press.
Brennan, Geoffrey dan Buchanan, James. 1981. “Tax Limits and The Logic of
Constitutional Restriction, dalam “Democratic Choice and Taxation: A
Theoritical and Empirical Analysis”, Hettich,Walter dan Winer, Stanley, L.
Cambridge University Press.
Brodjonegoro, Bambang dan Arlen T. Pakpahan. 2002. ”Evaluasi atas Alokasi DAU
2001 dan Permasalahannya” dalam Machfud Sidik, dkk. 2002. Dana Alokasi
Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Cnossen, Sijbren & Hans-Werner Sinn. 2003. Public Finance and Public Policy in the
New Century, MIT Press, Cambridge, London.
Davey, K.J. 1983. Financing Regional Government: International Practices and Their
Relevance to the Third World. University of Birmingham: Institute of Local
Government Studies.
Feldstein, Martin, (1984), Debt and Taxes in The Theory of Public Finance, NBER,
Massachusetts Avenue Cambridge, MA, USA.
Fullerton, Don dan Metcalf, Gilbert. 2002. Tax Incidence- Working Paper 8829.
National Bereau of Economics Reserach. Cambridge (Maret).
Gunadi, (1999), Pajak Internasional, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta
Hanafi, M, Mamduh, (2003), Manajemen Keuangan Internasional, BPFE, Jogyakarta
Hyman, David N. 2002. Public Finance, A Contemporary Application of Theory to
Policy. Edisi Ketujuh. United States: South-Western, Thompson Learning.
Kadjatmiko. 2004. “Transfer Antar Tingkat Pemerintahan (Intergovernmental
Transfer)” dalam Machfud Sidik, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi

Dasar-dasar Keuangan Publik


306

Fiskal. Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan


Daerah, Departemen Keuangan RI.
Laporan Akhir Pengembangan Obligasi Daerah di Indonesia. 2002. Studi yang
dilakukan oleh Sustainable Indonesian Growth Alliance (SIAGA) Project A
Banking Industry Reform, yang merupakan kerjasama Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta dengan United States Agency for
International Development (USAID).
LPEM Universitas Indonesia bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI (1999),
“Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia”,
Jakarta.
Magrassi, Marco. 2000. “Subnational Investment Needs and Financial Market
Response”. Inter-American Development Bank.
Mitchell, Daniel J. 2003. Nine Simple Guidelines for Pro-Growth Tax Policy. Capitalism
Magazine. (15 April).
Musgrave, Richard A dan Peggy B. Musgrave. 1989. Public Finance in Theory and
Practice. International Edition. United States: McGraw-Hill, Inc.
Norregaard, John. 1995. “Intergovernmental Fiscal Relations” dalam P. Shome,
editor. Tax Policy Handbook. Washington, DC: International Monetary Fund.
Pakpahan, Arlen T. 2004. “Pinjaman Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan
Daerah” dalam Machfud Sidik, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal.
Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,
Departemen Keuangan RI.
Razin, Assaaf., Sadka Efraim, (1991), International Fiscal Policy Coordination and
Competition: An Exposition, NBER, Massachusetts Avenue Cambridge, MA,
USA.
Republik Indonesia, “Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah
Daerah”.
Republik Indonesia, “Undang-undang No.25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pusar dan Daerah”.
Republik Indonesia, “Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah”.
Rosen, Harvey S. 2002. Public Finance (Sixth Edition), McGraw Hill, New York.
Sidik, Machfud, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Sidik, Machfud. 2002. ”Implementasi UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah (Kebijakan Pemerintah Dalam
Perimbangan Keuangan)”. Makalah yang disampaikan Seminar Nasional
Rencana Revisi Undang-Undang Otonomi Daerah Kerja sama Forum Rektor
- Fraksi Utusan Daerah MPR-RI. Jakarta, 4 April.
Sidik, Machfud. 2002. “Optimalisasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam Rangka
Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah”. Makalah yang disampaikan
dalam Acara Orasi Ilmiah dengan Thema “Strategi Meningkatkan

Dasar-dasar Keuangan Publik


307

Kemampuan Keuangan daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam


Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun
Akademik 2001/2002. Bandung. 10 April.
Sidik, Machfud, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Direktoral
Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen Keuangan
RI.
Simandjuntak, Robert A. 2002. ”Transfer Pusat ke Daerah: Konsep dan Praktik di
Beberapa Negara” Machfud Sidik, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Subiyantoro, Heru dan Singgih Riphat, editor. 2003. “Kebijakan Fiskal: Pemikiran,
Konsep, dan Implementasi”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Suparmoko, M, Drs., M.A., Ph.D. 1996. Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktek
(Edisi 4), BPFE, Yogyakarta.
Surahmat, Rachmanto,(2001), Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; Sebuah
Pengantar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ulbrich, Holley. 2003. Public Finance in Theory and Practice. United States: South-
Western, Thompson Learning.
Ter-Minassian,Teresa. 1997. “Fiscal Federalism in Theory and Practice”, International
Monetary Fund, Washington, DC.
The International Budget Project. 2001, A Guide to Budget Work for NGOs, The
Center on Budget and Policy Priorities, Washington DC (Desember).
Wiratmo, Masykur. 2001. “Perencanaan Pembiayaan Daerah”. Makalah pada
Worskhop Manajemen Strategik Penerimaan Daerah dan Keuangan Daerah,
Malang, Indonesia, 26-27 September.
World Bank. 1996a. “Vietnam: Fiscal Decentralization and the Delivery of Rural
Services”. Report No. 15745-VN. Washington, DC (Oktober).
Zakaria, Jaja, (2001), Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda serta penerapannya di
Indonesia, Fiska Sarana, Jakarta.
---------, Tax Review, Volume I/No. 5/2004.

Dasar-dasar Keuangan Publik


308

BIOGRAFI PENYUSUN

Noor Fuad, dilahirkan di Kudus, 1 Januari 1947, menikah dan


telah dikaruniai 1 putri dan 2 putra. Saat ini menjabat sebagai
Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Departemen
Keuangan. Beberapa jabatan penting di lingkungan Departemen
Keuangan pernah dipercayakan kepadanya, antara lain sebagai
Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan dan Kepala Badan
Analisa Keuangan dan Moneter. Gelar Sarjana Ekonomi
diperoleh dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun
1972, kemudian melanjutkan pada undergraduate program
bidang ekonomi di Boulder Colorado University, USA, tahun
1984. Selanjutnya meneruskan ke program master bidang
kebijakan ekonomi di University of Illinois at Urbana
Champaign, USA, tahun 1986.

Beberapa penugasan yang pernah diterima antara lain, sebagai Ketua Grup Kerja Tim
Subsidi Impor Bulog, Anggota Tim Penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN Departemen
Keuangan, Ketua Tim Koordinasi dan Monitoring Perhitungan APBN, Penasehat Tim
Penyempurnaan Sistem Akuntansi, Anggota Dewan Komisaris PT Telkom dan Anggota
Redaksi Jurnal Keuangan dan Moneter, Departemen Keuangan. Selain itu, saat ini beliau
masih aktif sebagai Anggota Dewan Penasehat ISEI Cabang Jakarta, Anggota Dewan
Komisaris PT Pelindo III dan Ketua Dewan Pengawas Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.

Pengalaman mengajar yang pernah dilaksanakan antara lain, sebagai dosen Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara, dosen luar biasa pada Universitas Trisakti, dan STIE Indonesia, Jakarta.
Sedangkan beberapa hasil karya penulisan atau papernya, yaitu ” Energy Comsumption in
USA, Cross Section Analysis” (1980), ”Pengaruh Eksternal Shock Negara Industri
terhadap Negara Berkembang” (terjemahan, 1984), ”Services Account Balance of
Payment” (1985), ”Pokok-pokok Pengembangan Pendidikan dan latihan Jarak Jauh di
Departemen Keuangan (1994), dan ” The Impact of Institutional Environment on Public
Official Permormance: Does Instititional Environment Affect The Rate Of Corruption?”
(bersama Andie Megantara, Jurnal Keuangan Publik, BPPK Vol.1 No.1, September 2003).
Buku hasil karyanya yang lain berjudul “Manual Statistik Keuangan Pemerintah”.

Dasar-dasar Keuangan Publik


309

Andie Megantara, lahir di Solo, 29 Januari 1970. Saat ini


menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Kurikulum, Pusdiklat
Pegawai BPPK. Gelar Sarjana Hukum didapatkan dari
Universitas Airlangga, Surabaya, tahun 1993, kemudian
menyelesaikan program masternya pada bidang Manajemen
Keuangan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun
1996. Sedangkan program doktoral bidang Manajemen
diselesaikan di Nanzan University, Nagoya, Jepang tahun 2003.

Berbagai penugasan lain di luar jabatan struktural banyak


dipercayakan kepadanya, antara lain sebagai Direktur Program
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Manajemen Keuangan
Terapan (LP2MKt), Anggota Dewan Editor Jurnal Keuangan Publik BPPK, dan Ketua Tim
Penyusun Buku Dasar-dasar Keuangan Publik. Selain itu, hampir seluruh perjalanan
karirnya diabdikan sebagai pengajar di berbagai institusi, antara lain pada Diklat Pimpinan
Tingkat III dan IV serta diklat-diklat lain di Pusdiklat Pegawai BPPK, dosen pada Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara, Universitas Paramadina Mulya, Universitas Budi Luhur dan
Universitas Al Azhar Indonesia.

Beberapa hasil tulisan atau paper yang pernah dibuat antara lain; ”An Overview of the
Indonesian Automotive Industry” (Journal of Economics and Business Administration No.
29, March 2002), ”The Impact of Institutional Environment on Public Official Corruption”
(Journal of Economics and Business Administration No. 30, March 2003), dan ”The Impact
of Institutional Environment on Public Official Performance: Does Institutional
Environment Affect the Rate of Corruption?” (bersama Noor Fuad, Jurnal Keuangan Publik
Vol.1 No.1, September 2003). Buku hasil karyanya yang lain berjudul “Manual Statistik
Keuangan Pemerintah”.

Bambang Widjajarso tercatat sebagai staf pengajar di Sekolah


Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang, dan Universitas
Indonesia, Depok, khususnya untuk mata kuliah Seminar
Akuntansi Sektor Publik. Dilahirkan di Boyolali, 13 Agustus
1961. Gelar akuntan diperoleh dari Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara, Jakarta, tahun 1990 sedangkan program master pada
bidang Business Administration diraih dari University of
Kentucky, Lexington, USA, tahun 1994.

Minatnya pada bidang keuangan publik dimulai sejak meniti


karir sebagai auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan Propinsi Bali dimana penugasan-penugasannya
meliputi aspek penerimaan dan pengeluaran negara dari
aktivitas pemerintah yang didanai APBN, sehingga sampai sekarang mendalami
manajemen keuangan sektor publik. Saat ini aktif memberikan pelatihan Manajemen
Keuangan Daerah pada beberapa Pemerintah Daerah melalui Pusat Pengembangan
Akuntansi dan Keuangan, STAN, sebagai tenaga ahli bidang sektor publik. Selain aktif di
bidang pengajaran, juga aktif sebagai peneliti pada Research Institute in Political Economy
and Local Government Empowerment.

Makalah-makalah yang dihasilkan diantaranya “Akuntansi Keuangan Pemerintah


Daerah”, “Memahami GASB Statement No 34”, “Prospek Akuntansi Pemerintah
Indonesia”, dan “Konsep Dasar Akuntansi Dana”. Buku hasil karyanya yang lain berjudul
“Manual Statistik Keuangan Pemerintah”.

Dasar-dasar Keuangan Publik


310

Huriah Akbar Prabowo, lahir di Jakarta 31 Oktober 1971.


Sekarang menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Pengembangan
Pendidikan Akuntan, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN),
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), Departemen
Keuangan. Pendidikan program Diploma III dan IV diselesaikan
di STAN sedangkan gelar Master of Commerce diraih dari
University of New South Wales, Sydney, Australia.

Kecintaannya kepada almamater, membuat dirinya terpanggil


untuk lebih mengembangkan potensi di bidang sistem informasi
yang dikuasainya bagi kemajuan STAN dan BPPK. Tercatat
pembangunan jaringan sistem informasi kepegawaian dan sistem
kontrol awal database keuangan BPPK (early warning system)
merupakan hasil rintisan bersama. Kegiatannya selain menjabat di BPPK antara lain aktif
mengajar pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dan beberapa diklat yang diselenggarakan
di BPPK seperti Diklat Pimpinan Tingkat IV.

Adi Budiarso, lahir di Salatiga, 1 September 1970, menikah


dan dikaruniai dua anak. Setelah menyelesaikan program
diploma III Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) tahun
1991, mendapat penugasan sebagai Asisten Dosen STAN dan
Verifikator pada Bagian Keuangan BPPK. Gelar Akuntan
diperolehnya setelah lulus dari program Diploma IV STAN
tahun 1997, kemudian pada tahun 2001 berhasil menyelesaikan
program Master of Accounting di University of Southern
Californa, USA.

Saat ini disamping jabatan struktural yang disandangnya


sebagai Kepala Sub Bidang Program pada Pusdiklat Pegawai
BPPK Jakarta, juga aktif berkecimpung di bidang pengembangan kepemimpinan, sistem
akuntabilitas instansi pemerintah, perpajakan dan keuangan publik. Jabatan lain yang
dipegangnya adalah sebagai Direktur Program Lembaga Pengembangan Kepemimpinan
Global Yayasan Artha Bhakti BPPK, serta mengajar pada program Pascasarjana
Universitas Atmajaya, Diploma IV (Program dalam Bahasa Inggris) Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara dan Diklat Pimpinan Tingkat IV BPPK.

Rahmadi Murwanto, saat ini menjabat sebagai Kepala Sub


Bagian Perumusan Program pada Sekretariat Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. Pendidikan Diplomanya
diselesaikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, sedangkan
gelar Master of Business Administration dan Master of
Accountancy diperoleh pada tahun 2001 dari Weatherhead
School of Management, Case Western University.

Sejak tahun 1997 telah menjadi staf pengajar pada Sekolah


Tinggi Akuntansi Negara untuk beberapa mata kuliah di
bidang Akuntansi dan Manajemen Keuangan, setelah
sebelumnya menjadi asisten dosen dari tahun 1991 sampai
dengan 1994. Di samping pekerjaan utama yang bersangkutan
dengan pengembangan SDM Departemen Keuangan, juga
aktif mengamati berbagai perkembangan dalam bidang regulasi akuntansi, praktik
perpajakan, investasi dan manajemen risiko.

Dasar-dasar Keuangan Publik


311

Fajar Hasri Ramadhana, saat ini menjabat sebagai Kepala


Sub Bagian Evaluasi Program pada Sekretariat BPPK. Gelar
Sarjana Ekonomi di bidang akuntansi diperoleh dari
Universitas Indonesia pada tahun 1997, sedangkan gelar
Master of Arts diraih dari University of Colorado pada tahun
2003. Kegiatannya selain menjabat di BPPK, adalah mengajar
di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Mengajar bukan
hal yang baru baginya sebab sejak lulus Diploma III STAN
tahun 1993, pernah beberapa kali menjadi Asisten Dosen untuk
mata kuliah tertentu. Beberapa mata kuliah yang pernah
diberikan antara lain Evaluasi Proyek dan Akuntansi Keuangan
Lanjutan.
Disamping hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi, minat yang besar juga dicurahkan
pada dunia komputer. Tidak heran, hal yang sering dilakukan di waktu senggang bersama
keluarga adalah bermain game bersama dua anaknya yang beranjak besar, Umar dan Ilyas.

Insyafiah, dilahirkan di Jakarta, 25 Maret 1974, menikah dan


telah dikaruniai 1 putra dan 1 putri. Pendidikan Diploma III
diselesaikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Jakarta pada
tahun 1995, sedangkan gelar Sarjana Ekonomi diperoleh dari
Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 1999. Kemudian
melanjutkan program master bidang finance di The University of
Newcastle, Australia, lulus tahun 2002.

Di samping bekerja di Pusdiklat Pegawai, Badan Pendidikan dan


Pelatihan Keuangan sejak September 1995, saat ini juga aktif
mengajar antara lain, sebagai Dosen Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara, STIE Tri Bhakti – Bekasi, dan Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta.

Sunarsip, dilahirkan di Tuban, 25 Mei 1973, menikah dan


telah dikaruniai 3 putra. Sejak November 2004 bekerja pada
Kementerian BUMN sebagai Tenaga Ahli Menteri BUMN.
Sebelumnya pernah bertugas di Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan dan Badan Analisa Fiskal, Departemen
Keuangan. Pendidikan Diploma IV diselesaikan di Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara pada tahun 2000, kemudian
melanjutkan pendidikan pada program Magister Perencanaan
dan Kebijakan Publik (MKPK) Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.

Kegiatan lainnya antara lain sebagai Kontributor Ahli Majalah


”Warta Bisnis”, Editor Pelaksana Jurnal Keuangan Publik BPPK, pengajar di Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara dan Universitas Al Azhar Indonesia, Direktur bidang Kajian
Ekonomi Center for Indonesian Reform (CIR), penulis di berbagai harian dan majalah
nasional, pemandu acara talk show ekonomi di radio SMART FM, serta sebagai pembicara
di berbagai seminar dan pelatihan tingkat lokal maupun nasional. Disamping itu, aktivitas
lainnya yang pernah dilakukan adalah sebagai peneliti di Badan Analisa Fiskal, Anggota
Komite Risiko dan Kepatuhan PT Bank BNI (Persero) Tbk., Kepala Divisi Riset Pusat
Pengembangan Akuntansi dan Keuangan STAN, dan Anggota Tim Perumus Kebijakan Exit
Strategy Pasca IMF (Tim Indonesia Bangkit 2001).

Dasar-dasar Keuangan Publik

You might also like