You are on page 1of 7

Clinical Reasoning dan Berpikir Kritis

Selasa, 26 Agustus 2008 12:55

Kemampuan Berpikir Kritis sebagai Jalan Mencapai Kompetensi Clinical Reasoning


pada Pendidikan Kedokteran

Sudaryanto
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

Pendahuluan

Clinical reasoning merupakan proses berpikir untuk memberi makna dari suatu temuan klinik (
Higgs J., Jones M.,1995; University of
Washington, 2005). Setiap tindakan yang dilakukan seorang dokter seperti menentukan
diagnosis, pilihan terapi, atau membuat prognosis merupakan hasil dari proses pemahaman
terhadap fenomena masalah kesehatan.
 
Dalam proses pemahaman yang terjadi pada manusia, bagian vital yang diperlukan adalah cara

berpikir logis dan berpikir kritis (Jenicek M., 2006). Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang
harus menjadi pertimbangan seorang dokter sebelum
 
membuat suatu keputusan klinik.

Metode yang digunakan dalam clinical reasoning antara lain hipotetico-deductive, algoritma,
pattern recognition serta gejala dan tanda patognomonis. Pada prakteknya proses berpikir
heuristic lebih sering digunakan oleh karena pertimbangan efektivitas biaya dan waktu.
Kelemahan dari proses berpikir heuristic adalah adanya kemungkinan terjadinya bias kognitif
yang dapat mempengaruhi kesimpulan yang dihasilkan (Round A., 2000; Kee F, Bickle I.,
2004). Proses berpikir seperti itu memerlukan pemahaman yang mendalam dari pengetahuan
dan pengalaman terhadap masalah klinik. Berpikir kritis menjadi strategi yang diperlukan dalam
 
clinical reasoning
untuk menghindari penyimpangan proses berpikir.

Tulisan ini bertujuan memberikan pembahasan kritis tentang masalah clinical reasoning dilihat
dari konteks berpikir kritis dan cara reasoning yang umum dilakukan. Dengan adanya

1/7
Clinical Reasoning dan Berpikir Kritis
Selasa, 26 Agustus 2008 12:55

pemahaman tentang pentingnya berpikir kritis pada clinical reasoning, dapat dijadikan landasan
pentingnya pengajaran dengan menekankan pencapaian berpikir kritis pada pendidikan
kedokteran. Format tulisan terdiri dari berpikir kritis, proses reasoning yang umum dan
perbedaannya dengan clinical reasoning, hubungan antara reasoning, clinical reasoning, dan
berpikir kritis.

Berpikir kritis pada pendidikan tinggi

Pengertian tentang berpikir kritis secara rinci disampaikan oleh Michael Scriven dan Richard
Paul:

“Critical thinking is the intellectually disciplined process of actively and skillfully conceptualizi
ng, applying, synthesizing, and/or evaluating
information
gathered from, or generated by,
observation, experience, reflection, reasoning
, or
communication
as a guide to
belief
and
action
. In its exemplary form, it is based on universal intellectual values that trancend subject matter
divisions:
clarity, accuracy, precision, consistancy, relevance, sound evidence, good reasons,
depth, breadth, and fairness
. It entails the examination of those structures or elements of thought implicit in all reasoning
: purpose, problem, or questionate-issue, assumptions, concepts, empirical grounding;
reasoning leading to conclusions, implication and consequences, objection from
alternative viewpoints, and frame of reference

(Jenicek M., 2006)
.

 Pengertian di atas menunjukkan bahwa berpikir kritis dapat diartikan sebagai proses juga
sebagai suatu kemampuan. Proses dan kemampuan tersebut digunakan untuk memahami
konsep, menerapkan, mensintesis dan mengevaluasi informasi yang didapat atau informasi
yang dihasilkan. Tidak semua informasi yang diterima dapat dijadikan pengetahuan yang
diyakini kebenarannya untuk dijadikan panduan dalam tindakan. Demikian halnya dengan
informasi yang dihasilkan tidak selalu merupakan informasi yang benar. Informasi tersebut perlu
dilakukan pengkajian melalui berbagai kriteria seperti kejelasan, ketelitian, ketepatan,

2/7
Clinical Reasoning dan Berpikir Kritis
Selasa, 26 Agustus 2008 12:55

reliabilitas, kemamputerapan, bukti-bukti lain yang mendukung, argumentasi yang digunakan


dalam menyusun kesimpulan, kedalaman, keluasan, serta dipertimbangkan kewajarannya.

Proses berpikir untuk menilai informasi tersebut dilakukan secara sistematis dengan
menggunakan kriteria tersebut pada setiap bagian informasi seperti tujuannya, permasalahan
atau pokok persoalan yang ingin dicarikan jalan keluarnya, asumsi dan konsep yang digunakan,
dasar-dasar empiris, dampak atau akibat yang dapat ditimbulkan, alternatif lain yang dapat
digunakan. Keputusan atau kesimpulan yang dilakukan dengan berpikir kritis merupakan
informasi terbaik yang telah melalui pengkajian dari berbagai sumber informasi termasuk
mengkaji kesimpulan yang dihasilkan dengan memberikan bukti-bukti yang mendukung.

Berpikir kritis telah menjadi salah satu kompetensi dari tujuan pendidikan perguruan tinggi di
banyak negara. Pendidikan tinggi di Amerika menjadikan berpikir kritis sebagai salah satu
sasaran yang ingin dicapai dan dimuat dalam Goals 2000: Educate America Act of 1990.
(Duldt-Battey BW. , 1997; Phillips V., Bond C., 2004). Selama menempuh pendidikan, berpikir
kritis dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman materi yang dipelajari dengan
mengevaluasi secara kritis argumen pada buku teks, journal, teman diskusi, termasuk
argumentasi dosen dalam kuliah (Bassham G., et al., 2005). Jadi berpikir kritis dalam
pendidikan tinggi merupakan kompetensi yang akan dicapai serta alat yang diperlukan dalam
mengkonstruksi pengetahuan.

Reasoning dan Clinical Reasoning

Reasoning merupakan kegiatan berpikir untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Kesimpulan


merupakan hasil suatu pemahaman yang didapatkan melalui persepsi seseorang terhadap
suatu fenomena dan proses berpikir. Dalam proses berpikir tersebut seseorang dapat
dipengaruhi oleh faktor subyektif yaitu pertimbangan-pertmbangan yang menguntungkan
dirinya, serta faktor obyektif yaitu nilai-nalai yang berlaku secara umum. Hal ini menyebabkan
pemahaman manusia terhadap fenomena yang sama dapat menghasilkan kesimpulan yang
berbeda-beda. Kesimpulan yang berbeda dapat memberi dampak pada keputusan jenis
tindakan yang berbeda (Jenicek M., 2006).

Ada 2 metode yang digunakan agar suatu kesimpulan dapat diterima dengan akal sehat yaitu
logika deduktif dan induktif. Kedua metode tersebut sering digunakan pada proses reasoning
pada penelitian ilmiah untuk mendapatkan kesimpulan yang akurat dan relatif terbebas dari
bias. Logika deduktif merupakan kesimpulan yang mengacu pada pendapat yang sifatnya
umum ke khusus. Proses ini dimulai dari adanya hipotesis sebelumnya dan menganalisis atau
membuktikan kesesuaian fenomena dengan hipotesis tersebut. Logika induktif adalah
kesimpulan yang mengacu pada pendapat yang sifatnya khusus ke umum. Kesimpulan dibuat

3/7
Clinical Reasoning dan Berpikir Kritis
Selasa, 26 Agustus 2008 12:55

dari proses menggali data atau informasi yang akan dianalisis menjadi hipotesis (Higgs J,
Jones M. 1995; Jenicek M., 2006). Kedua metode ini

Strategi reasoning yang umumnya digunakan untuk penelitian-penelitian ilmiah tersebut pada
awalnya dianggap sama untuk semua proses dalam membuat kesimpulan termasuk pada clinic
al reasoning.
Strategi
clinical reasoning
menggunakan logika induktif dan deduktif untuk membuat kesimpulan dikenal sebagai metode
hipotetico-deductive (metode analitik). Strategi reasoning dimana data atau informasi yang
diperoleh dari pasien digeneralisasikan menjadi hipotesis sebagai diagnosis banding. Hipotesis
atau diagnosis banding yang dihasilkan digunakan sebagai dasar untuk menentukan data yang
masih diperlukan untuk membedakan berbagai kemungkinan penyakit dalam hipotesisnya.
Data yang dikumpulkan akan diintepretasikan untuk menetapkan diagnosis pasti
(Norman G., 2005).

Perbedaan proses clinical reasoning pada expert dan novice menunjukkan bahwa seorang exp
ert
tidak menggunakan metode reasoning yang umum yaitu logika induktif-deduktif. Seorang expert
cenderung menggunakan jalan pintas (heuristic) sebagai srategi clinical reasoning seperti
pattern recognition atau gejala-tanda klinis yang patognomonis. Strategi tersebut beresiko
terjadinya bias kognitif, meskipun hasil diagnosis yang dilakukan expert menunjukkan
keakuratan dan kecepatan yang lebih baik dibandingkan novice.
 
Hal ini membuktikan bahwa
clinical reasoning
yang dilakukan oleh expert tidak tergantung pada proses
reasoning
yang dilakukan
 
melainkan pada pemahaman terhadap materi pengetahuan (
content specificity
) dan cara yang digunakan untuk mengorganisasikan pengetahuan (Norman G., 2005).

Seorang expert mengorganisasikan pengetahuan melalui tiga fase yaitu

- Fase pertama adalah akumulasi pengetahuan dasar tentang penyakit seperti


patofisiologi dan patogenesis.
- Fase kedua adalah proses penggabungan pengetahuan dasar dengan kasus nyata

4/7
Clinical Reasoning dan Berpikir Kritis
Selasa, 26 Agustus 2008 12:55

melalui pengalaman menangani pasien yang disebut dengan illness script.


- Fase ketiga adalah proses menggunakan script yang sesuai untuk menangani kasus
baru. Pengetahuan dasar hanya digunakan ketika seorang dokter memerlukannya, misalnya
ketika menghadapi kasus yang sulit. Pengalaman klinik akan menambah script-script yang
dapat digunakan secara instan untuk menyelesaikan kasus yang sama.

Meskipun proses tersebut sesuai dengan kurikulum tradisional tetapi tidak adanya integrasi dari
ketiga fase tersebut menyebabkan seorang expert mengetahui basic science tetapi sulit untuk
menjelaskan mekanismenya. Hal ini dapat terjadi oleh karena pengetahuan dasar yang tidak
diintegrasikan dalam jangka waktu yang lama mengalami enkapsulasi (Schmidt H G, Boshuizen
H., 1993; Norman G., 2005).

Teori script menyatakan bahwa hipotesis yang dihasilkan pada proses clinical reasoning
merupakan proses aktivasi script, sedangkan testing hipotesis merupakan pemrosesan dari
script.
Clinical reasoning
merupakan proses untuk menemukan, menentukan, dan melihat kembali kebenaran dari
script
yang sudah dimiliki. Proses tersebut merupakan gabungan antara metode analitik-non analitik
yang dapat menghasilkan diagnosis lebih baik dibandingkan dengan metode analitik saja.
(Schmidt H G, Boshuizen H., 1993; Eva K.W., 2004)
.

Hubungan reasoning, clinical reasoning dan berpikir kritis

Pada banyak kondisi klinik, seorang dokter dituntut untuk membuat keputusan secara cepat
dan akurat. Strategi reasoning menggunakan metode yang umum dilakukan dalam penelitian
ilmiah seperti hipothetico-deductif memerlukan waktu yang lama. Dalam praktek seorang dokter
cenderung menggunakan strategi non-analitik dalam clinical reasoning. Strategi non analitik
yang digunakan oleh dokter dalam clinical reasoning memungkinkan terjadinya bias kognitif.
Cara mengurangi terjadinya bias kognitif adalah dengan mengevaluasi kesimpulan untuk
memberikan argumentasi berdasarkan bukti-bukti yang sesuai. Proses tersebut merupakan
kemampuan berpikir kritis.

Strategi clinical reasoning juga memerlukan pemahaman terhadap materi pengetahuan


kedokteran, cara pengorganisasian pengetahuan, serta pengalaman menggunakan
pengetahuan. Proses membangun informasi merupakan proses aktif menggunakan informasi
dan mengevaluasi hasil kesimpulan yang dibuat terhadap permasalahan yang dihadapi. Proses
tersebut memerlukan berbagai macam ketrampilan seperti:

5/7
Clinical Reasoning dan Berpikir Kritis
Selasa, 26 Agustus 2008 12:55

- Ketrampilan interpretasi untuk memahami argumentasi dan pendapat orang lain


- Ketrampilan untuk mengevaluasi secara kritis argumentasi dan pendapat
- Ketrampilan untuk mengembangkan dan mempertahankan argumentasi yang dibuat
dengan landasan yang kuat.

Jadi clinical reasoning merupakan kemampuan utama yag harus dimiliki seorang dokter yang
memerlukan kemampuan berpikir kritis baik dalam proses mengkonstruksi pengetahuan
maupun maupun proses pengambilan keputusan terhadap pasien. Dalam pendidikan
kedokteran berpikir kritis menjadi alat untuk memperoleh pemahaman materi pengetahuan
serta kompetensi yang dikembangkan agar lulusannya dapat bekerja dengan baik.

Kesimpulan

Clinical reasoning merupakan salah satu kompetensi utama pendidikan dokter. Selama proses
pendidikan, strategi hipothetico-deductif sudah lama digunakan agar mahasiswa mengetahui
alur berpikir dalam proses pengmbilan keputusan klinik. Pada praktek strategi tersebut jarang
dilakukan kecuali pada kasus-kasus sulit atau jarang ditemui. Penelitian tentang pentingnya
pemahaman materi pengetahuan dan cara pengorganisasian pengetahuan memerlukan
kemampuan berpikir kritis untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan sebagai
landasan ketika seseorang menjalani profesinya.

Proses akumulasi pengetahuan menjadi illness script seharusnya dilakukan sejak mahasiswa
mengkonstruksi pengetahuan kedokteran. Pendidikan kedokteran perlu menyadari bahwa
pemahaman pengetahuan yang sebatas menghapalkan fakta, memberikan ketrampilan
memecahkan masalah menggunakan sudut pandang yang terbatas sudah saatnya ditinjau
ulang. Strategi pengajaran seharusnya menggunakan metode yang memberi kesempatas siswa
memahami secara utuh tentang materi pengetahuan menggunakan pendekatan berpikir kritis.

Dengan meningkatkan kemampuan berpikir kritis selama belajar di fakultas kedokteran berarti
pendidikan kedokteran telah berperan dalam memberikan jaminan pelayanan kesehatan
terhadap pasien, serta memberikan jaminan kepada lulusannya agar terhindar dari kesalahan
akibat adanya penyimpangan dalam proses berpikir.

Daftar Pustaka

- Bassham G., Irwin W., Nardone H., Wallace J.M. (2005) Critical Thinking: A Student
Introduction. McGraw Hill Co. 8
- Charlin B, Tardif J, Boshuizen H P.A. (2000) Scripts and Medical Diagnostic Knowledge:

6/7
Clinical Reasoning dan Berpikir Kritis
Selasa, 26 Agustus 2008 12:55

Theory and Applications for Clinical Reasoning Instruction and Research


.
Acad. Med.
;75:182–190.
- Cotton K.(1991) Teaching Thinking Skills. NW Regional Educational Laboratory. available
at http://www.nwrel.org/scpd/sirs/6/cu11.html
- Duldt-Battey BW. (1997) Coaching Winners: How to teach Critical Thinking. in Crirical
Thinking across the Curricullum Project , Longview Community
College. Lee’s Summit. Missouri.
- Higgs J, Jones M. (1995) Clinical Reasoning in the Health Professions.
Butterworth-Heinemann Ltd.
- Eva K.W. (2004) What every teacher needs to know about clinical reasoning. Blackwell
Publishing Ltd. Medical Education; 39: 98–106
- Jenicek M. (2006) Uses of Philosophy in Medical Practice and Research. A Physician’s
Self-Paced Guide to Critical Thinking . American Medical Association:
3-31
- Kee F, Bickle I. (2004) Critical thinking and critical appraisal: the chicken and the egg?. Q
JM
; 97: 609-614
- Norman G. (2005) Research in clinical reasoning: past history and current trends.
Blackwell Publishing Ltd. Medical Education; 39: 418–427
- Phillips V., Bond C. (2004). Undergraduates' experiences of critical thinking . Higher
Education Research & Development . 23 (3): 277-294
- Round A. (2000) Introduction to Clinical Reasoning. Student BMJ;08: 1-44 available at ht
tp://www.studentbmj.com/phprint.php
- Schmidt H G, Boshuizen H. (1993) On Acquiring Expertise in Medicine. Educational
Psychology Review . Plenum Pub co. Vol 5 (3).:
205-221
- University of Washington (2005) The Clinical Reasoning “Guidelines” for ICM II. The
College Faculty of the University of Washington School of Medicine

7/7

You might also like