You are on page 1of 8

PPN KMS

Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri [PPN KMS] sudah ada sejak tahun 2000. Waktu itu
Objek PPN KMS adalah rumah dan tanah dengan luas minimal 400 meter persegi. Kemudian pada tahun 2002,
batasan objek PPN KMS diturunkan dari 400 meter persegi menjadi 200 meter persegi.

Sedangkan tarif efektif PPN KMS adalah 4% dari total pengeluaran. Berikut Pasal 3 ayat (3) KMK 545/2000 :
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas kegiatan membangun sendiri, jumlahnya ditetapkan sebesar 10% x
40% x jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan pada setiap bulannya dan harus dibayar
seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.

Dari situ jelas bahwa batasan objek PPN KMS adalah luas bangunan. Tetapi hari ini saya baca berita di Bisnis.com
dan kontan.co.id bahwa PPN KMS akan dikenakan pada rumah yang memiliki nilai tinggi. Apakah batasan objek
akan berubah dari luas ke nilai? Kita tunggu saja UU PPN yang baru!

Tapi ada kalimat yang saya kira tidak tepat, yaitu :


Ada kabar buruk bagi Anda yang berniat membangun rumah. Pasalnya, Rancangan Undang-Undang tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Baramg Mewah (PPN dan PPnBM) mengusulkan adanya pengenaan PPN
atas pembangunan rumah.

Saya kira ini bukan kabar buruk karena dari dulu memang sudah dikenakan PPN KMS!
salaam

Diposting oleh raden.suparman di 7/04/2009 1 komentar

Label: Objek PPN

Thursday, March 12, 2009


PPh Kegiatan Usaha Berbasis Syariah

Kegiatan ekonomi berbasis syariah memiliki karakteristik tersendiri. Waktu kuliah di Jurangmangu, seorang dosen
malah berkomentar waktu pendirian Bank Muamalat, “Bank kok jualan barang.” Karena itu, tidak sedikit pejabat
DJP juga berpendapat jika atas pembiayaan yang berasal dari bank syariah terutang PPN. Hal ini karena dia
melihat bahwa nasabah bank syariah ternyata membeli barang ke bank syariah bukan kepada penjual barang.

Khusus untuk Pajak Penghasilan, UU PPh 1984 amandemen 2008 telah menyiratkan di Pasal 31D UU PPh 1984
bahwa harus ada kesetaraan antara kegiatan ekonomi berbasis syariah dan konvensional. Berikut bunyi Pasal 31D
UU PPh 1984:
Ketentuan perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang
usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Sebelum amandemen 2008, tidak ada pasal 31D. Ini benar-benar pasal baru! Salah satu alasan penambahan pasal
ini adalah memberikan perlakuan yang sama dengan kegiatan usaha konvensional.

Perbedaan perlakuan antara transaksi konvensional dan transaksi berbasis syariah juga disebutkan di penjelasan
Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut Pasal 31D khusus bidang usaha berbasis syariah yaitu Peraturan
Pemerintah No. 25 Tahun 2009. Penjelasan dari Peraturan Pemerintah ini diantaranya menyebutkan :

Perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional tersebut
akan mengakibatkan beberapa implikasi. Perbedaan tersebut menyebabkan perlakuan perpajakan yang berbeda
dalam suatu industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan kegiatan usaha
berdasarkan sistem konvensional. Dengan perlakuan yang berbeda tersebut, maka perlakuan perpajakan menjadi
tidak netral bagi para pihak yang terlibat untuk menentukan pilihan apakah menggunakan transaksi berdasarkan
prinsip syariah atau berdasarkan sistem konvensional. Implikasi berikutnya terkait dengan kesulitan-kesulitan
dalam pelaksanaan bagi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tertentu, apabila ketentuan Pajak Penghasilan
yang berlaku umum diterapkan atas transaksi syariah yang mendasari kegiatan usaha tersebut.

Dengan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2009, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan
memberikan perlakuan yang sama (level playing field) bagi Wajib Pajak dalam suatu industri yang sama. Semoga!
Berikut ini adalah kutipan dari PP ini yang saya anggap perlu :

Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
yang meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha
berbasis syariah lainnya.

Perlakuan Pajak Penghasilan dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah meliputi:


a. penghasilan;
b. biaya; dan
c. pemotongan pajak atau pemungutan pajak.

Biaya dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah termasuk:


a . hak pihak ketiga atas bagi hasil;
b. margin; dan
c. kerugian dari transaksi bagi hasil.

Pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah
dilakukan juga terhadap :
a. hak pihak ketiga atas bagi hasil;
b. bonus;
c. margin; dan
d. hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis.

Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha
Berbasis Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan bahwa ketentuan
perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis Syariah.

Pembiayaan murabahah menggunakan prinsip jual beli sehingga memunculkan margin yang merupakan selisih
antara dana yang diberikan dengan total dana yang harus dikembalikan oleh penerima dana. Karena terkait dengan
pembiayaan, bukan semata-mata transaksi jual beli. Maka terhadap margin tersebut diperlakukan sebagai
penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan.

Jika peraturan perpajakan merupakan satu kesatuan, tidak dilihat secara parsial, maka Pertaturan Pemerintah ini
menegaskan bahwa pembiayaan bukan jual beli sehingga atas transaksi pembiyaan murabahah tidak terutang PPN
[bukan objek PPN]. Disini, bank tidak ditempatkan sebagai penjual atau pembeli, tapi dianggap sebagai lembaga
keuangan!

Cag!

Diposting oleh raden.suparman di 3/12/2009 0 komentar

Label: Biaya, Objek PPh, Objek PPN, PPh Pasal 23

Wednesday, December 26, 2007


Komisi Luar Negeri

Pak Raden, apabila kita menagih komisi kepada WP Luar Negeri Apakah dikenakan PPN dan apakah dipotong
PPH Pasal 23

satri_nursatria@yahoo.com

Jawaban Saya:
Komisi dari luar negeri berarti Wajib Pajak Dalam Negeri memberikan jasa kepada Wajib Pajak Luar Negeri.
Perlakuan perpajakan atas penghasilan lintas batas seperti itu pada dasarnya diatur pada dua asas : yaitu asas
sumber dan asas domisili.

Asas sumber, artinya negara pemberi penghasilan, berhak mengenakan / memotong Pajak Penghasilan berdasarkan
undang-undang perpajakan yang berlaku di negara sumber. Jika kita mendapat penghasilan dari Inggris, maka
penghasilan yang bersumber dari Wajib Pajak yang terdaftar di Inggris tersebut akan dipotong Pajak Penghasilan
oleh Wajib Pajak Luar Negeri jika menurut undang-undang perpajakan di Inggris diharuskan dipotong.
Kedua, asas domisili, yaitu negara tempat domisili penerima penghasilan akan mengenakan pajak berdasarkan
undang-undang perpajakan di negara yang bersangkutan. Jika kita mendapat penghasilan dari Inggris, maka atas
penghasilan tersebut harus dilaporkan di SPT Tahunan kita. Darimana pun asal penghasilan tersebut, baik dari
dalam negeri maupun dari luar negeri harus dilaporkan. Total penghasilan tersebut kemudian dihitung berapa pajak
terutang menurut UU PPh 1984.

Karena satu objek akan dikenakan pajak di dua negara yang berbeda, maka pasti terjadi perpajakan ganda (double
taxation). Untuk menghindari pajak ganda, maka dibuatlah perjanjian perpajakan (tax treaty). Tetapi jika posisi kita
sebagai penerima penghasilan (asas domisili) maka kita tidak perlu pusing membaca tax treaty. Kita cukup
membaca ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU PPh 1984 dan peraturan dibawahnya.

Isu yang penting bagi penerima penghasilan hanya berkaitan dengan kredit pajak. Apakah pajak yang sudah
dibayar (jika sudah dipotong pajak di luar negeri) dapat dikreditkan? Berapa kredit pajak yang dapat
diperhitungkan menurut peraturan perpajakan di Indonesia?

Karena itu, atas komisi yang diterima dari luar negeri tidak ada PPh Pasal 23 (atau withholding tax lain) yang
terutang.

Apakah dikenakan PPN?


Permasalahannya adalah : apakah jasa yang kita berikan dinikmati atau dimanfaatkan di Indonesia atau di luar
negeri? Jika jasa tersebut dinikmati atau dimanfaatkan di Indonesia maka menjadi objek PPN (prinsip destinasi).
Artinya, atas jasa tersebut wajib dipungut PPN oleh pemberi jasa, dalam hal ini Wajib Pajak Dalam Negeri, sebesar
10%. Jika Wajib Pajak Luar Negeri tidak mau dipungut PPN maka kewajiban memungut PPN “tetap” dibebankan
kepada Wajib Pajak Dalam Negeri. Penjual menanggung pajak karena pembeli tidak mau membayar pajak!

Cag!

Diposting oleh raden.suparman di 12/26/2007 1 komentar

Label: Objek PPN, opini, PPh Pasal 24

Wednesday, November 28, 2007


PPN Pasal 16D

Pada kesempatan ini saya ingin menanyakan hal mengenai PPN atas penyerahan aktiva oleh PKP yg menurut
tujuan semula tidak untuk diperjual belikan yg disebut kan dlm pasal UU PPN & PPN BM 18 TAHUN 2000 pasal
16 D. Kebetulan saya sebagai PKP ingin menjual mobil kepada seorang yg buka PKP, apakah saya harus membuat
faktur pajak sederhana...?
Karena saya tidak mengetahui apakah PPN yg dibayar pada saat perolehan aktiva (mobil) tsb dapat dikreditkan
atau tidak, mengingat data nya uda gak ada, uda dibeli 15 tahun yang lalu. Bagaimana supaya amannya...?Apakah
dibuat faktur pajak sederhana atau tidak ? Dan apakah pada saat pelaporan SPT tahunan PPH OP, hasil penjualan
harus diperinci...? maksudnya dipisahkan hasil dari penjualan brg dagangan dgn penjualan mobil tsb...?
Mohon pencerahannya...Terimakasih.

Salam,

Tji Beng

Jawaban Saya:
Pasal 16D UU PPN 1984 berbunyi, "Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha
Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan
Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan."

Pasal 16D ini pengenaan PPN atas aktiva yang digunakan oleh perusahaan. Pada umumnya, aktiva yang kita
gunakan untuk operasional perusahaan terdapat PPN-nya. Nah, pada saat kita beli, PPN yang telah kita beli
tersebut bisa kita kreditkan atau biayakan. Jika dikreditkan disebut pajak masukan. Dikreditkan atau tidak bukan
semata-mata karena tidak boleh dikreditkan. Bisa saja, menurut peraturan suatu pajak masukan dapat dikreditkan
tetapi tidak kita kreditkan malah kita biayakan saja.

Walaupun tidak dikreditkan, tetapi karena menurut peraturan perpajakan pajak masukan tersebut boleh atau
"dapat" dikreditkan, maka pada saat aktiva tersebut dijual kembali, akan terutang PPN Pasal 16D! Karena itu, saya
biasa membacanya seperti ini : "semua penjualan aktiva perusahaan objek PPN kecuali pajak masukannya tidak
dapat dikreditkan".

Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan diatur di Pasal 9 ayat 8 UU PPN 1984, yaitu :
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk :
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidakmempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, stationwagon, van, dan kombi kecuali merupakan
barang dagangan atau disewakan;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan
ketetapan pajak;
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.

Berkaitan dengan pertanyaan diatas, maka jika kendaraan bekas aktiva yang djual berupa sedan, jeep,
stationwagon, van, dan kombi maka bisa dipastikan bukan objek PPN karena untuk kendaraan jenis tersebut pada
saat perolehannya, pajak masukannya, tidak dapat dikreditkan.

Jika objek PPN maka WP harus membuat faktur pajak atas penjualan aktiva tersebut. Dasar pengenaan pajaknya
sebesar harga jual. Pasal 16D termasuk jenis transaksi penyerahan dalam negeri dengan faktur pajak dan
dilaporkan di SPT PPN form 1107A romawi II.

Penjualan aktiva biasanya merupakan penghasilan lain-lain. Karena itu, pelaporan di SPT Tahunan PPh, penjualan
aktiva pasti bukan pos peredaran usaha, karena pos ini untuk kegiatan usaha pokok (kalau di akuntansi sering
dimasukkan ke pos sales). Cara pelaporan penjualan aktiva gampang ko : hasil penjualan dilaporkan sebagai
penghasilan lain-lain, dan jika masih ada nilai buku, maka nilai buku tersebut disusutkan sekaligus.

Tapi untuk kendaraan yang sudah 15 tahun seperti pertanyaan diatas, saya yakin nilai bukunya sudah nihil he ..
he ..

cag!

Diposting oleh raden.suparman di 11/28/2007 11 komentar

Label: Objek PPN, opini, PPN Pasal 16D

Thursday, September 6, 2007


PPN Atas Jasa Bengkel

Yth Mas Raden,

Perkenalkan saya Agung Suryadi, salah satu pengunjung blog pajaktaxes Mas Raden. Sangat informatif, bagi saya
yang awam pajak alias "GAPTAXES".

Sekirannya berkenan mohon pencerahannya. Ada satu kasus yang sedang kami hadapi saat ini.
Kalau boleh cerita :

"Kami memiliki usaha jasa dalam bidang perbengkelan, dan juga penyediaan spare parts. kebetulan salah satu
customer kami adalah dari pihak asing dalam hal ini badan usaha asing yang berdomisili di luar negeri, mereka
mempercayai kami untuk melakukan perbaikan dan perawatan atas alat kerja kepunyaan mereka kepada kami. Dan
kami melakukan pekerjaan perbaikan, penggantian spare parts dan perawatan tersebut di bengkel kami (indonesia),
Alhamdulillah pekerjaan tersebut sudah selesai dan alat tersebut sudah pihak mereka ambil atau sudah kami
serahkan ke mereka.
Nah tiba saatnya untuk kami melakukan penagihan pembayaran atas jasa yang sudah kami berikan kepada mereka,
yang jadi permasalahan kami adalah : 'Apakah kami harus melakukan pemungutan pajak/ PPN atas jasa tersebut
atau tidak kalau Ya apakah sebesar 10% dari nilai jasa yang kami tagihkan dan bagaimana mekanisme pelaporan
pajaknya?' "

Mohon penjelasannya dari Mas Raden juga sekalian peraturan UU nya, atas perhatiannya kami ucapkan banyak
terima kasih

Wasalam,
Agung Suryadi

===========================================================

Salam kenal Pa Agung,


Sebelumnya saya mohon maaf karena email Pa Agung baru saya jawab seminggu kemudian. Ini terjadi karena
akhir-akhir ini kami di kanwil Bandung sibuk bikin berita acara pemeriksaan.

PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa. Umumnya (termasuk yang berlaku di Indonesia) PPN menganut
asas destinasi. Artinya, PPN dikenakan atas barang yang dikonsumsi di dalam negeri. Contoh paling gampang dari
ciri asas destinasi adalah tarif export 0%. Tarif export ini menjadikan semua PPN yang sebelumnya "menempel" di
suatu barang akan "dilucuti" dan dikembalikan (restitusi).

Untuk kasus Pa Agung, jika "jasa bengkel" dinikmati di dalam negeri maka kena PPN. Tetapi jika jasa bengkel
dinikmati di luar negeri maka jasa tersebut bukan objek PPN. Bagaimana mengidentifikasi suatu jasa dinikmati di
dalam negeri atau di luar negeri? Lihat manfaat jasa yang kita produksi!

Contoh : Saya punya bengkel mobil balap di Bandung. Biasanya saya terima order dari mobil lokal. Suatu waktu,
ada mobil dari Singapur yang mau "dipakai balap" di Bogor. Untuk mobil ini, jasa yang saya berikan akan berguna
saat mobil tersebut dipakai di Bogor. Walaupun setelah balapan mobil tersebut dibawa kembali ke Singapur dan
sudah pasti jasa saya masih "menempel" di mobil tersebut tetapi jasa yang saya berikan tidak untuk "pemakaian di
Singapur". Saya menset atau memodifikasi mobil tersebut untuk balapan di Bogor. Untuk kasus ini, jasa saya
termasuk objek PPN karena jasa saya dimanfaatkan di Bogor.

Waktu lain, ada mobil punya orang Indonesia yang mau dipakai balap di Malaysia. Mobil tersebut dimodif khusus
di bengkal saya untuk balap di Malaysia. Nah, untuk kasus ini, jasa saya bukan objek PPN karena jasa saya
dinikmati (dimanfaatkan) di Malaysia. Walaupun setelah balapan di Malaysia mobil tersebut dibawa kembali ke
Indonesia tetapi fokus dari jasa saya adalah balapan di Malaysia.

Ini pendapat saya!!! Dasarnya adalah Pasal 4 huruf e UU PPN 1984. Bunyi lengkapnya sebagai berikut "Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean" . Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa jasa itu dikenanakan dimana "dikerjakan". Dasarnya adalah
Pasal 4 huruf c UU PPN 1984. Bunyi lengkapnya sebagaiberikut "Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha". Perhatikan kata
"penyerahan" pada Pasal 4 huruf c UU PPN 1984! Dipenjelasan Pasal 4 huruf c UU PPN 1984 kata-katanya
dipertegas lagi dengan "kegiatan penyerahan". Kegiatan penyerahan artinya adanya aktivitas untuk membuat suatu
produk jasa.

Jika pendapat yang terakhir yang jadi patokan maka semua mobil balap yang dimodif atau diservice di bengkel
saya akan menjadi objek PPN. Semua jasa yang saya produksi dibuat/dikerjakan di bengkel saya di Bandung.

Saya menolak pendapat ini karena bertentangan dengan asas destinasi. Pendapat tersebut justru kebalikan dari asas
destinasi. Original principles (asas asal) mengenakan PPN atas semua barang dan jasa yang diproduksi di DN. Ciri
asas ini : impor bukan objek PPN dan sebaliknya ekspor tetap dikenakan PPN (bukan dengan tarif 0%). PPN
dikenakan atas barang dan jasa yang berasal dari dalam negeri, tidak peduli dimana dikonsumsi.

Asas destinasi lebih diperkuat dengan Pasal 17E UU KUP (berlaku mulai Januari 2008). Ini bunyi lengkap Pasal
17E UU KUP "Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena
Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak
Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan ." Walaupun pasal ini tidak menganut asas destinasi murni. Hal ini karena di Pasal 17E ini masih
"diikat" dengan "bukan subjek pajak dalam negeri". Artinya, orang Indonesia yang bawa bekal untuk perjalanan
haji ke Saudi Arabia tidak bisa minta restitusi karena orang Indonesia tersebut hampir bisa dipastikan sebagai
subjek pajak dalam negeri (WPDN, wajib pajak dalam negeri).
Mudah-mudahan jawaban saya dapat menjawab pertanyaan Pa Agung. Jangan kapok bertanya karena email
terlambat dijawab :)
Tambahan : jawaban ini ditampilkan di blog.

Salam hangat,
"raden[dot]suparman[at]gmail[dot]com"

Diposting oleh raden.suparman di 9/06/2007 0 komentar

Label: Objek PPN, opini

Monday, May 21, 2007


PPN Rumah yang Dibebaskan

Pada postingan sebelumnya, bahwa “Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok
boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan
setelah mendengar pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah” dibebaskan dari PPN terutang.

Untuk menentukan rumah mana saja yang dibebaskan dari PPN terutang, pemerintah baru-baru ini mengeluarkan
Peraturan Menteri Keuangan No. 36/PMK.03/2007 tanggal 11 April 2007. Dibawah ini saya kutif informasi yang
“dianggap” penting [rangkuman yang dibikin saya].

Rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS) adalah rumah dengan harga tidak melebihi
Rp.49.000.000 (empat puluh sembilan juta rupiah) dan merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri
sebagai tempat tinggal, dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu lima tahun sejak dimiliki.

Rumah susun sederhana adalah


[a]. Harganya tidak lebih dari Rp.72.000.000 (tujuah puluh dua juta rupiah) per unit,
[b]. Luas hunia tidak lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi),
[c]. Pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur persyaratan teknis rumah
susun, dan
[d]. Hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak dipindahtangankan dalam
jangka waktu lima tahun sejak dimiliki.

Pondok Boro adalah bangunan sederharna,berupa bangunan bertingkat atau tidak bertingkat, yang dibangun dan
dibiayai oleh perseorangan atau koperasi buruh atau koperasi karyawan yang diperuntukkan bagi para buruh tidak
tetap atau para pekerja sector informal berpenghasilan rendah dengan biaya sewa yang disepakati dan tidak
dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diperoleh.

.Asrama mahasiswa dan Pelajar adalah bangunan bertingkat atau tidak bertingkat yang dibiayai oleh universitas
atau sekolah, perorangan, atau pemerintah daerah yang diperuntukkan khusus untuk pemondokan pelajar atau
mahasiswa yang tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diperolah.

Selain itu, ada rumah pekerja dan bangunan yang diperuntukkan bagi korban bencana alam yang dibebaskan dari
PPN terutang. Rumah pekerja adalah bangunan bertingkat atau tidak bertingkat yang dibangun untuk karyawan
sendiri dan tidak bersifat komersial dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
diperoleh.

Sedangkan bangunan untuk korban bencana alam tidak ada pengaturan lebih lanjut. Dengan demikian tidak ada
batasan harga atau batasan luas.

Diposting oleh raden.suparman di 5/21/2007 0 komentar

Label: Objek PPN

Sunday, May 20, 2007


Tarif Efektif dan DPP Lain

Sebenarnya PPN memiliki tarif tunggal, yaitu 10%. Tarif 0% untuk ekspor itu hanyalah sebuah metode untuk
“melucuti” semua PPN yang menempel di sebuah barang kena pajak. Dengan tarif 0% maka ekportir memiliki
pajak keluaran (PK) “Nihil” alias tidak ada pajak yang dipungut tetapi metode PK-PM tetap berlaku. Seorang
eksportir yang telah membayar PPN pada saat beli barang yang akan diekspor maka PPN tersebut akan
dikembalikan pada saat ekspor baik melalui restitusi maupun melalui kompensasi.

Tetapi pada prakteknya ada istilah tarif umum dan ada istilah tarif efektif. Tarif umum maksudnya tarif PPN 10%
dengan dasar pengenaan pajak (DPP) semua (100%) harga jual. Sedangkan tarif efektif adalah tarif PPN 10%
dengan DPP tidak atau kurang dari 100% harga jual. Contohnya : tarif PPN rokok adalah 8,4%. Tarif ini
sebenarnya 10% kali 84%. Tetapi 8,4% itu bukan dari harga jual sesungguhnya yang terjadi. Dasar pengenaan
pajak rokok adalah harga jual eceran (HJE). Nah beda lagi tuh DPP?

Memang ada dasar pengenaan pajak yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Penetapan dasar pengenaan pajak
oleh Menteri Keuangan menyebabkan dasar pengenaan pajak tidak lagi dari hargu jual sesungguhnya. Karena itu,
dasar pengenaan pajak itu disebut DPP Lain.

Dibawah ini adalah daftar DPP Lain :


a. Pemakaian sendiri BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor;

b. Pemberian cuma-cuma BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;

c. Penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan Harga Jual rata-rata [ditetapkan pemerintah];

d. Penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata [ditetapkan pemerintah] per judul film;

e. Persediaan BKP yg masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar;

f. Aktiva yg menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut
menurut ketentuan dapat dikreditkan adalah harga pasar wajar;

g. Kendaraan bermotor bekas adalah 10% dari Harga Jual [tarif efektif 1%];

h. Penyerahan jasa biro perjalanan/biro pariwisata: 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
[tarif efektif 1%];

i. Jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih [tarif efektif 1%].

j. Jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh imbalan yang diterima, berupa service charge, provisi dan
diskon [tarif efektif 0,5%];

k. penyerahan BKP dan atau JKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP dan atau JKP antar
cabang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;

l. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang.

Diposting oleh raden.suparman di 5/20/2007 5 komentar

Label: Objek PPN

Saturday, May 19, 2007


BKP dan JKP Tertentu

Objek PPN yang bukan objek itu ada dua. Pertama adalah barang-barang yang ditetapkan memiliki sifat strategis
sehingga atas penyerahan tersebut tidak terutang PPN alias dibebaskan. Kedua adalah barang-barang tertentu yang
memang berdasarkan peraturan pemerintah dibebaskan dari pengenaan PPN. Nah berikut ini adalah barang dan
jasa tertentu yang atas impor atau penyerahannya dibebaskan.

Barang Kena Pajak Tertentu

[a]. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, alat angkutan di darat,
kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya [termasuk
di dalamnya adalah kapal perang, pesawat temput, dan kendaraan angkutan pasukan TNI atau POLRI];

[b]. Komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri yang digunakan dalam pembuatan senjata dan
amunisi untuk keperluan Departemen Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia (POLRI);
[c]. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);

[d]. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;

[e]. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu,
kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau
keselamatan manusia yang diimpor atau diserahkan dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional,
Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, atau Perusahaan
Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;

[f]. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan
untuk perbaikan atau pemeliharaan yang
diimpor atau diserahkan dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadang serta
peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor atau diserahkan oleh pihak yang ditunjuk
oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau
reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;

[g]. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana;

[h]. Komponen atau bahan yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan
atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia;

[i]. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan atau TNI untuk penyediaan
data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan
Nasional; dan

[j]. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan
pelajar serta perumahan lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar
pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah.

Jasa Kena Pajak Tertentu

[a]. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan penangkapan ikan nasional,
Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai,
Danau, dan Penyeberangan Nasional, yang meliputi:

[a.1]. Jasa persewaan kapal;


[a.2]. Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh; dan
[a.3]. Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.

[b]. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi:
[b.1]. Jasa persewaan pesawat udara;
[b.2]. Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara.

[c]. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia;

[d]. Jasa yang diserahkan oleh Kontraktor untuk pemborongan bangunan berupa rumah sederhana, rumah sangat
sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar dan pembangunan tempat yang
semata-mata untuk keperluan ibadah;

[e]. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana;

[f]. Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan dalam rangka penyediaan data
batas photo udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.

You might also like