Professional Documents
Culture Documents
Masa kekuasaan Islam di Iberia dimulai sejak Pertempuran Guadalete, dimana pasukan
Umayyah pimpinan Tariq bin Ziyad mengalahkan orang-orang Visigoth yang
menguasai Iberia. Awalnya Al-Andalus merupakan provinsi dari Kekhalifahan
Umayyah (711-750), lalu berubah menjadi sebuah keamiran (c. 750-929), sebuah
kekhalifahan, (929-1031), dan akhirnya "taifa" yaitu kerajaan-kerajaan kecil pecahan
dari kekhalifahan tersebut (1031-1492).
Karena pada akhirnya orang-orang Kristen berhasil merebut kembali Iberia dari tangan
umat Islam (Reconquista secara harfiah "penaklukkan ulang"), nama Al-Andalus
umumnya tidak merujuk kepada Iberia secara umum, tapi kepada daerah-daerah yang
dikuasai para Muslim pada zaman dahulu. Pada 1236, benteng terakhir umat Islam di
Spanyol, Granada menyatakan tunduk kepada Ferdinand III dari Kastilia, dan menjadi
negara bawahan Kastilia, hingga pada 1492 Muhammad XII menyerah sepenuhnnya
kepada Los Reyes Católicos (Kerajaan Katolik Spanyol) pimpinan Raja Ferdinand dan
Ratu Isabella. Sedangkan kekuasaan Islam di Portugal berakhir pada 1249 dengan
ditaklukkannya Algarve oleh Afonso III. Kekalahan penguasa Muslim kemudian diikuti
oleh penganiyaan dan pengusiran terhadap kaum Muslim dan Yahudi di Spanyol.[2]
Teori pertama adalah nama tersebut berasal dari Vandal, suku Jerman yang menguasai
sebagian Iberia selama 407-429. Salah satu ilmuwan yang menerima teori ini adalah
Reinhart P. Dozy, sejarawan abad ke-19.[4] Teori kedua adalah berasal dari Arabisasi
kata "Atlantik". Pendukung teori ini adalah sejarawan Spanyol Vallvé.[5] Teori ketiga
yang diajukan oleh Halm (1989)[6] adalah bahwa nama ini berawal dari nama yang
diberikan suku Visigoth yang berkuasa di Iberia pada abad ke-5 hingga 9. Dalam bahasa
Latin, Iberia Visigoth disebut Gothica Sors (tanah undian Goth). Halm memprediksikan
bahwa dalam bahasa Gothic "tanah undian" mungkin disebut *landahlauts, dan ia
menyarankan dari sinilah asal nama Al-Andalus berasal.
Ketiga teori ini semuanya tidak memiliki bukti historis, sehingga dapat dikatakan amat
lemah. Pelopor dan pembela dari ketiga teori ini semuanya adalah sejarawan. Namun
belakangan, ahli bahasa telah diikutsertakan dalam diskusi ini. Argumen-argumen dari
ilmu sejarah, linguistik dan toponimi (ilmu yang mempelajari nama daerah), selanjutnya
menunjukkan kelemahan semua teori diatas, dan bahwa nama Al-Andalus ternyata
berasal dari masa Romawi.[7]
Sejarah
Penaklukan dan masa-masa awal
Sebelum kedatangan umat Islam, daerah Iberia merupakan kerajaan Hispania yang
dikuasai oleh orang Kristen Visigoth. Pada 711, pasukan Umayyah yang sebagian besar
merupakan bangsa Moor dari Afrika Barat Laut, menyerbu Hispania dipimpin jenderal
Tariq bin Ziyad, dan dibawah perintah dari Kekhalifahan Umayyah di Damaskus.
Pasukan ini mendarat di Gibraltar pada 30 April, dan terus menuju utara. Setelah
mengalahkan Raja Roderic dari Visigoth dalam Pertempuran Guadalete (711),
kekuasaan Islam terus berkembang hingga pada 719 hanya daerah Galicia, Basque dan
Asturias yang tidak tunduk kepada kekuasaan Islam. Setelah itu, pasukan Islam
menyeberangi Pirenia untuk menaklukkan Perancis, namun berhasil dihentikan oleh
kaum Frank dalam pertempuran Tours (732). Daerah yang dikuasai Muslim Umayyah
ini disebut provinsi Al-Andalus, terdiri dari Spanyol, Portugal dan Perancis selatan
sekarang.
Pada awalnya, Al-Andalus dikuasai oleh seorang wali (gubernur) yang ditunjuk oleh
Khalifah di Damaskus, dengan masa jabatan biasanya 3 tahun. Namun pada tahun
740an, terjadi perang saudara yang menyebabkan melemahnya kekuasaan Khalifah.
Pada 746, Yusuf Al-Fihri memenangkan perang saudara tersebut, menjadi seorang
penguasa yang tidak terikat kepada pemerintahan di Damaskus.
Kekhalifahan Kordoba
c. 1000 pada masa
kejayaan Al-Mansur.
Cucu Abdullah, Abdurrahman III, menggantikannya pada 912, dan dengan cepat
mengembalikan kekuasaan Umayyah atas Al-Andalus dan bahkan Afrika Utara bagian
barat. Pada 929 ia mengangkat dirinya sebagai Khalifah, sehingga keamiran ini
sekarang memiliki kedudukan setara dengan kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dan
kekhalifahan Syi'ah di Tunis.
Kekhalifahan terpecah
menjadi negara-negara
kecil (taifa) pada 1031.
Periode kekhalifahan
ini dianggap oleh para
penulis Muslim sebagai
masa keemasan Al-
Andalus. Hasil panen
yang diperoleh melalui
irigasi serta bahan
Orang-orang Muslim dan non-Muslim sering datang dari luar negeri untuk belajar di
berbagai perpustakaan dan universitas terkenal di Al-Andalus. Yang paling terkenal
adalah Michael Scot, yang menerjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan Al-
Bitruji dan membawanya ke Italia. Karya-karya ini kemudian memiliki dampak penting
dalam berawalnya Renaisans di Eropa.[9][10]
Kekhalifahan Kordoba mengalami kejatuhan dalam peran saudara antara 1009 hingga
1013, dan akhirnya dihapuskan pada 1031. Al-Andalus kini terpecah menjadi banyak
kerajaan kecil, yang disebut taifa. Taifa-taifa ini pada umumnya amat lemah sehingga
tidak dapat mempertahankan diri menghadapi serangan-serangan dan permintaan upeti
dari kerajaan-kerajaan Kristen di daerah utara dan barat, antara lain Kerajaan Navarre,
León, Portugal, Kastilia dan Aragon, serta Barcelona. Akhirnya serangan-serangan ini
berubah menjadi penaklikan, sehingga taifa-taifa di Al-Andalus memina bantuan dari
dinasti Al-Murabitun (Almoravid) yang berhaluan Islam fundamental di Afrika Utara.
Orang-orang Murabitun mengalahkan raja Kastilia Alfonso VI, dalam Pertempuran
Zallāqah dan Pertempuran Uclés, dan akhirnya menguasai Al-Andalus.
Muhammad XII dari Granada menyerah kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella.
Pada abad ke-14, dinasti Islam Banu Marin (Marinid) di Maroko mengalami kemajuan
dan mengancam kerajaan-kerajaan Kristen di Iberia. Banu Marin kemudian mengambil
alih Granada dan menduduki kota-kotanya, seperti Algeciras. Namun, mereka gagal
merebut Tarifa, yang bertahan dari serangan Banu Marin hingga kedatangan Tentara
Kastilia pimpinan Raja Alfonso XI. Alfonso XI, dibantu Afonso IV dari Portugal dan
Pedro IV dari Aragon, mengalahkan Banu Marin pada Pertempuran Rio Salado (1340)
dan merebut Algeciras (1344). Alfonso XI juga mengepung Gibraltar, yang saat itu
dikuasai Granada, selama 1349-1350, namun Alfonso XI dan sebagian besar
pasukannya dibinasakan oleh wabah Kematian Hitam di tahun 1350.[11] Penggantinya,
Pedro dari Kastilia (Peter si Kejam), memutuskan berdamai dengan umat Islam dan
berperang melawan kerajaan-kerajaan Kristen yang lain.[12] Peristiwa ini menandai
dimulainya 150 tahun pemberontakan dan perang saudara umat Kristen di Eropa, yang
mengamankan keberadaan Granada.
Keamiran Granada
Setelah perjanjian perdamaian dengan Raja Pedro dari Kastilia, Granada menjadi
sebuah negara yang aman merdeka hingga hampir 150 tahun berikutnya. Umat Islam
diberi kemerdekaan, kebebasan bergerak dan beragama, dan dibebaskan dari upeti
selama 3-tahun. Setelah tiga tahun, umat Islam diharuskan membayar upeti tidak lebih
dari yang diharuskan sebelumnya pada masa Banu Nasri.
Pada 1469, terjadi pernikahan antara Raja Ferdinand II dari Aragon dan Ratu Isabella
dari Kastilia yang mengisyaratkan serangan terhadap Granada, yang direncanakan
secara hati-hati dan didanai dengan baik. Ferdinand dan Isabella kemudian meyakinkan
Paus Siktus IV untuk menyatakan perang mereka sebagai perang suci. Mereka
mengalahkan satu persatu perlawanan umat Islam dan akhirnya pengepungan tersebut
berakhir saat Sultan Granada Muhammad Abu Abdullah (Boabdil) menyerahkan istana
Masyarakat
Orang-orang Yahudi biasanya bekerja sebagai pedagang, pemungut pajak, dokter atau
duta besar. Pada akhir abad ke-15 terdapat sekitar 50.000 Yahudi di Granada dan
100.000 di seluruh Al-Andalus.[13]
Al-Andalus merupakan pusat kunci peradaban Yahudi pada Abad Pertengahan, dan
menghasilkan ilmuwan-ilmuwan ternama, seperti Maimonides, rabbi, filsuf, dan dokter
yang menjadi ikon masa keemasan Yahudi di Al-Andalus. Masyarakat Yahudi di Al-
Andalus juga merupakan salah satu masyarakat Yahudi yang paling stabil dan paling
makmur. Sedangkan umat Kristen di Al-Andalus disebut kaum Muzarab. Kaum
Muzarab merupakan keturunan orang Kristen terdahulu di Spanyol yang tetap memeluk
Kristen namun mengadopsi budaya Arab.[14] Dalam bukunya The Ornament of the
World (2003), Menocal berpendapat bahwa sebagai dzimmi, agama minoritas di Al-
Andalus diberikan hak yang lebih terbatas daripada umat Muslim, namun masih lebih
baik daripada di daerah Eropa yang dikuasai Kristen. Orang-orang Yahudi dan sekte-
sekte Kristen yang dianggap terlarang datang dari seluruh Eropa ke Al-Andalus, dimana
mereka menerima toleransi.
Bernard Lewis memiliki pandangan yang berbeda, dan berpendapat bahwa "klaim
toleransi yang sekarang banyak didengar dari apologis Muslim, dan khususnya apologis
untuk Islam, merupakan hal baru dan tidak diketahui asal-usulnya."[15] Lewis menolak
bahwa Muslim dan non-Muslim diberikan perlakuan sama di masa lalu. Ia juga
mengatakan "bagaimana mungkin orang yang memeluk agama yang benar dan orang
yang menolaknya dipelakukan sama? Ini merupakan hal yang mustahil secara teologi
maupun logika"[15]
Orang-orang Kristen di Al-Andalus, dipicu oleh contoh dari umat Kristen lain di
sepanjang perbatasan Al-Andalus kadang kala menegaskan klaim-klaim Agama Kristen,
dan dengan sengaja mencari kemartiran, bahkan selama masa-masa toleransi. Misalnya,
48 orang Kristen Kordoba melakukan penghinaan terhadap agama Islam, dan akhirnya
dipenggal. Mereka sengaja melakukan tersebut agar mati sebagai martir, dan mereka
dikenal sebagai Martir Kordoba. Beberapa orang dari generasi berikutnya-pun
meneruskan hal ini, dan mereka sepenuhnya tahu apa nasib yang menimpa pendahulu
mereka.[16]
Setelah kematian Al-Hakam pada 976, situasi mulai memburuk bagi non-Muslim pada
umumnya. Hampir 100 tahun berikutnya, pada 30 Desember 1066, peristiwa
penganiayaan pertama terjadi dimana kaum Yahudi diusir dan ratusan kelarga dibunuh
Saat terjadi kekerasan terhadap non-Muslim, banyak ilmuwan Yahudi dan bahkan
Muslim yang meninggalkan daerah kekuasaan Muslim menuju Toledo, yang lebih
memiliki toleransi dan telah dikuasai oleh pasukan Kristen. Sekitar 40,000 Yahudi
bergabung dengan pasukan Kristen, dan sisanya bergabung dengan pasukan Murabitun
menghadapi raja Alfonso VI dari Kastilia.
Penguasa Muwahidun yang mengambil alih kekuasaan Murabitun pada 1147,[20] lebih
fundamentalis dari Murabitun, dan memperlakukan non-Muslim dengan keras. Takut
akan kematian atau paksaan pindah agama, banyak orang Yahudi yang pindah ke daerah
Muslim yang lebih toleran di Selatan dan Timur,[21] atau ke daerah Kristen di
Utara.[22][23] Keluarga Maimonides sendiri pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran.
Namun, penguasa Muwahidun juga mendorong perkembangan seni dan tulisan,
menghasilkan diantaranya Ibnu Tufail, Ibnu Araby, dan Ibnu Rusyd.[20]
Kebudayaan
Ibnu Rusyd: filsuf, dokter, dan ilmuwan Muslim terkemuka dari Al-Andalus.
Pada abad ke-10, kota Kordoba memiliki 700 masjid, 60.000 istana, dan 70
perpustakaan, dan salah satu perpustakaan yang terbesar memiliki hingga 500.000
naskah.[26][27] Sebagai perbandingan, perpustakaan terbesar di Eropa Kristen saat itu
memiliki tak lebih dari 400 naskah, bahkan pada abad ke-14 Universitas Paris baru
memiliki sekitar 2.000 buku.[26] Perpustakaan, penyalin, penjual buku, pembuat kertas,
dan sekolah-sekolah di seluruh Al-Andalus menerbitkan sebanyak 60.000 buku tiap
tahunnya, termasuk risalah, puisi, polemik dan antologi.[26] Sebagai perbandingan,
Spanyol modern menerbitkan rata-rata 46.300 buku tiap tahunnya, menurut
UNESCO.[28]
Filosofi
Namun ketika anak Al-Hakam II Hisyam II naik takhta (976), kekuasaan yang
sebenarnya berada di tangan Al-Mansur bin Abi Amir.[29] Ia merupakan tokoh agama
yang tidak menyukai ilmu pengetahuan, sehingga banyak buku yang dikumpulkan
dengan susah payah oleh Al-Hakam II dibakar di depan umum. Setelah kematian Al-
Mansur pada 1002, filosofi di Al-Andalus bangkit kembali. Sejumlah cendikiawan
terkenal bermunculan, termasuk Maslamah Al-Majriti (?-1008), seorang petualang
berani yang menjelajahi daerah-daerah Islam dan daerah lain, dan tergabung dalam
organisasi Ikhwan As-Shafa. Al-Majriti membantu penerjemahan karya Ptolemeus
Almagest, membuat dan memperbaiki berbagai tabel astronomi, dan mempelopori
geodesi serta triangulasi.[30]
Murid Al-Majriti yang terkenal adalah Abu Hakam Al-Kirmani,[31] yang kemudian
menjadi guru bagi filsuf dan dokter terkemuka Ibnu Bajjah (Avempace)
Kedokteran
Dokter dan tabib dari Al-Andalus memiliki sumbangan yang penting bagi bidang
kedokteran, termasuk anatomi dan fisiologi. Diantaranya adalah Abul Qasim
(Abulcasis), "bapak ilmu bedah modern",[32] yang menuliskan Kitab at-Tashrif, buku
penting dalam kedokteran dan ilmu bedah. At-Tashrif merupakan ensiklopedia yang
terdiri dari 30 volume, yang kemudian diterjemahkan ke Bahasa Latin dan digunakan
dalam sekolah kedokteran di kebudayaan Eropa maupun Islam selama berabad-abad.
Daftar pustaka
(en)Al-Djazairi, S.E. (2005). The Hidden Debt to Islamic Civilisation. Bayt Al-Hikma
Press. ISBN 0-9551156-1-2
(de)Bossong, Georg. 2002. Der Name Al-Andalus: Neue Überlegungen zu einem alten
Problem. In David Restle and Dietmar Zaefferer, eds, Sounds and systems: studies in
structure and change. A festschrift for Theo Vennemann. Berlin: Mouton de Gruyter.
pp. 149-164. [edisi online.
(en)Cohen, Mark (1995). Under Crescent and Cross: The Jews in the Middle Ages
Princeton University Press. ISBN 0-691-01082-X
(en)Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain, 710–797, Blackwell. ISBN 0-
631-19405-3
(en)Frank, Daniel H. and Leaman, Oliver (2003). The Cambridge Companion to
Medieval Jewish Philosophy. Cambridge University Press. ISBN 0-521-65574-9
(de)Halm, Heinz. 1989. Al-Andalus und Gothica Sors. Der Islam 66:252-263.
(en)Hamilton, Michelle M., Sarah J. Portnoy, and David A. Wacks, eds. Wine,
Women, and Song: Hebrew and Arabic Literature in Medieval Iberia. Newark, Del.:
Juan de la Cuesta Hispanic Monographs, 2004.
(en)Harzig, Christiane, Hoerder, Dirk and Shubert, Adrian (2003). The Historical
Practice in Diversity. Berghahn Books. ISBN 1-57181-377-2
(en)Kennedy, Hugh (1996).Muslim Spain and Portugal: A Political History of al-
Andalus, Longman. ISBN 0-582-49515-6
(en)Kraemer, Joel (Jul, 1997). Comparing Crescent and Cross. The Journal of
Religion, 77(3), pp. 449-454. (Book review)
(en)Kraemer, Joel (2005). Moses Maimonides: An Intellectual Portrait. In Kenneth
Seeskin (Ed.). The Cambridge Companion to Maimonides. Cambridge University Press.
ISBN 0-521-81974-1
(es)(ar)Lafuente y Alcántara, Emilio, penerjemah. 1867. Ajbar Machmua
(colección de tradiciones): crónica anónima del siglo XI / dada a luz por primera vez,
traducida y anotada por Emilio Lafuente y Alcántara. Madrid: Real Academia de la
Historia y Geografía. edisi online
(en)Luscombe, David et al. (Eds.). (2004). The New Cambridge Medieval History:
Volume 4, c.1024-c.1198, Part 1. Cambridge University Press. ISBN 0-521-41411-3
(en)Marín, Manuela et al. (Eds.). (1998). The Formation of Al-Andalus: History and
Society. Ashgate. ISBN 0-86078-708-7