Professional Documents
Culture Documents
SATU
Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para
wali menghendaki diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa
Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali diadakan setelah Dewan Walisanga
mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmu ma’rifat dan
hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang diberikan oleh Dewan
Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid.
Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, “Adapun Allah itu
adalah yang berwujud haq”;
Setelah ungkapan Syekh Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan
mengungkapkan konsep dasar teologinya di atas. Hanya saja ungkapan
Syekh Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus,
yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka
terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak
bersekutu dengan sesama.”
Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali
memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid
sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti madzhab resmi yang
digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai masa persidangan
penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan lantang
teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning sun kang
sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu
nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) .
(Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan
Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.)
DUA
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari
Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh
apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
TIGA
EMPAT
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping
tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya
kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya
berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan
tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat
Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
Jadi pemahaman atas ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup
kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan berhasil jika hanya
mengandalkan perangkat syari’at dan tarekat.
LIMA
ENAM
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini
adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah
bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini
mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya
kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun
yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat
membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada
tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi.
Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap
mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan
Khoen Swie, hlm. 18-20).
TUJUH
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah
sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu
bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang
bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja,
hlm. 42-46).
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri
bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya
bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya,
“Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar
menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang
mengajarkan kesamaan tuntas antara sang pembicara dengan Allah. Ini
sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi,
Adapun gelar Prabu Satmata memiliki makna sama dengan Hyang Manon
atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para
Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki
pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua
orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan
mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
DELAPAN
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku,
Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah
ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan
T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
SEMBILAN
“Sesungguhnyalah, Lafal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa
rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan
kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati,
sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk
menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan
Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur
bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia
gagah berani, maha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu
Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat
wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat
abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan
nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa
tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah
payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada
lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-
Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh
tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan
tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia
sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 45-48).
SEBELAS
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup
itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang
melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka
dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian
hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud.
Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau
pantulannya saja. Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah
Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana
saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah. ” Wujud itu dalam Pribadi,
dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk
mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola
keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci.
DUA BELAS
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke
semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal.
Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa
lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab/jibul maulana dengan
budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat
kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa
yang iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga
akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai
oleh keinginan yang lain, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai hawa
nafsu. Maka agar tidak terjadi split personality, dan tidak
mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada
keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia. Dan sang
Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia, bukan di
luarnya.
TIGA BELAS
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat
abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia
berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah
yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah
sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia
ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu
angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 30).
EMPAT BELAS
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia.
Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah
cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam
bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan
tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan
wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam
daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak
yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur,
menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar,
bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan
atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah,
busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah,
api, air dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab
semuanya barang baru, bukan asli.”
“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran
saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak
mau shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk
shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh,
budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut,
karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang,
tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.” (Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36).
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri
manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia
penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau raga
manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri
Sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran
yang sudah tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan
maka sebaiknya disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur
menjadi satu dengan nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau
tingkatan. Semuanya berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam, apa
kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam
kehidupan manusia beserta makhluk lainnya…allahu akbar.
LIMA BELAS
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam
kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan
api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila
saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna,
langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI
Pangkur, 20-21).
ENAM BELAS
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam
kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal,
akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya
TUJUH BELAS
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai
dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-
sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup
selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya
beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak
dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan
kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…”
(Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar dari
ucapan darah Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan
Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la
ilaaha illallah, dan mengeluarkan ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali
dan masyarakat yang menyaksikannya terkejut campur bingung. Setelah
beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan yang
Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja
dibiarkan terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai
monumen kebenaran ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara
dzahir, maka kebenaran ajaran Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan
pernah terwujud. Sebab pembuktian itu –sebagaimana sudah terjadi pada
Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani sebagai
pendahulunya – memang menuntut jasad sang Guru sebagai martir atau
syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai
syuhada’ bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh
Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.
DELAPAN BELAS
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul
kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat
besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang
sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya
Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV
Sinom, 6-7).
SEMBILAN BELAS
“Ingsun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran
amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan
Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku
rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling
tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing
kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-
wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora
kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora
karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi
ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.”
(R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken
Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta,
penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
KEMANUNGGALAN KE-IMAN-AN
DUA PULUH
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya
jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di
bawah ini:
a. Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah.
b. Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah panunggale (tempat manunggalnya)
Allah.
c. Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).
d. Imannya ma’rifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan Allah.
e. Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah menghadap Allah.
f. Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.
g. Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah kepunyaan keangungan Allah.
h. Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah pertemuan Allah.
Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan
bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi
memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak merumuskan hanyalah
“perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang Maha Memiliki Iradah.
Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga pelimpahan kodrat
Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik manusia
untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu
kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas, agar manusia menjadi Pribadi
Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.
SYAHADAT
Dalam hal Syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai macam
Syahadat dan hal itu selaras dengan konsep utama ajarannya,
manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi ajaran shalat
daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh, bukan sekedar
ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati.
Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa
Dibawah ini adalah aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian
Syahadat yang ada merupakan Dzikir dan Wirid ketika Syekh Siti Jenar
mengajarkan cara melepaskan air kehidupan (tirta nirmaya) untuk
membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati di alam akhirat.
Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng Pengging kepada
Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Terjemahan :
(Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat Sakarat [Menjelang dan
proses datangnya pintu kematian], sudah nyata penuh kesempatan
hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal, keselamatan dan
kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya hidup,
hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat
pasti dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat
sekarat roh menghadap hati memuji nyawa, selalu berada dalam
dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak terkena
kerusakan sukma mulia Maha Suci).
Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia
yang manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-
Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian di
dunia ini, menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu
selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang terpapar di atas, adalah
syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih ada beberapa
syahadat.
Semua Syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal harian
atau Dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga
tetap berada dalam kondisi kemanunggalan Iradah dan Qodrat.
Terjemahan :
(Syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) Idhafi, (roh)
Idhafi lebur menjadi Rasa, Rasa lebur Sirna kembali kepada yang sejati,
tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian).
[Mantra Wedha, hlm. 53).
Terjemahan :
“Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas munculnya
napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang
kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag, kemuliaan sukma
kesempurnaan, kembali kepada Dzatullah, Allah sebagai labuhan iman,
iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu
adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai
ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada
Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.”
Terjemahan :
(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup
tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak
terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak
terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain adalah Rasulullah, selesailah
berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang musnah ketempat
wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati secara
abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).
Terjemahan :
(Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di
kedalaman hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi
bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku adalah roh
Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna.
Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah,
Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi
dan esensi yang umum. Pengucapannya tidak berhubungan dengan waktu,
tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat
Syahadat ini hanyalah berfungsi untuk meneguhkan hati akan tauhid al-
wujud.
TIGA PULUH
Shalat tarek adalah Shalat Thariqah, diatas sedikit dari Syari’at. Shalat
Tarek diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada
tingkatan Manunggaling Kawula Gusti.
Sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus sebagai efek
dari kemanunggalannya.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang memiliki
arti pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa
dari dunia, yang disusul dengan tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam
jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan
untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian dunia, menuju
kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya
sekedar melaksanakan perintah Syari’at adalah tindakan kebohongan, dan
merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221;
Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan Shalat Tarek ini diterjemahkan
dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang
bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun
maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa
Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan
diatas. (penulisnya wanti-wanti banget).
Jika dalam Shalat Syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah
wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam Shalat Tarek
adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh
seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar,
dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya
rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek
sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada
keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka
paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya dihafalkan, jangan
sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini,
dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan
(di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta
selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa
dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan
qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut
sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah
mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna,
dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena
itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Shalat Subuh
Niat yang paling awal, “Niyat ingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku
rohing Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat
ana gusti, sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana nyawa,
sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu
akbar, tetep mantep weruh ing awakku.”
Terjemahan :
(Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya
Allah. Allah yang menempati penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu
ada gusti, di dalam gusti ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam
nyawa terdapat kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar tetap mantap
mengerti akan diriku sendiri).
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung,
gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah,
rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat
semesta). Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada
Allahku), Seratus kali.
Terjemahan :
(Aku berniat shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya
Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak, shalat yang di dalam sahalat itu
ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung
nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat
kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat
Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku),
Seratus kali.
Shalat ‘Ashar
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku
rohing Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning
sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning
urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing
Rasulku.”
Terjemahan :
(Aku berniat shalat, roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah
rohnya Utusan. Utusan Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang di
dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam
sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam
kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Utusanku).
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada
Allahku), Seratus kali.
Shalat Maghrib
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku
rohing Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku
sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip,
sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh
ing Muhammadku.”
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak
adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung
membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada
Allahku), Seratus kali.
Shalat ‘Isya’
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku
rohing urip. urip iku lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma,
sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana
eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing uripku.”
Terjemahan :
(Aku berniat shalat, roh Pembimbing yang melaksanakan shalat, yaitulah
rohnya kehidupan. Utusan Tuhan yang menempati napas, shalat yang di
dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam
sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam
kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan kehidupanku).
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada
Allahku), Seratus kali.
Dalam Islam dikenal shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian dari
shalat witir (shalat penutup akhir malam dengan raka’at yang ganjil).
Shalat satu raka’at salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat
witir, namun shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam
rangka mencapai kemanunggalan diri dengan Gusti.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima
waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga
merupakan hal yang tidak begitu penting untuk menjadi perhatian
manusia. Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja masing-masing
orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang
melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika
melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang
liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar
pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah buah dari
shalat.
Sedangkan Shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan
Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri (Wong Jowo
ngomonge’ Pasrah Bongkoan). Sehingga doktrin manunggal bukanlah
masalah paham Qadariyah atau Jabariyah, Fana’ atau Ittihad.
Syekh Siti Jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali
adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh” (sudah tidak ada
yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang
selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at
Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti
Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah
dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya
dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa Syari’at
Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran
makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas
belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan
menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal
syariat tsb.
Lalu bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat lima waktu dalam hal
ini menjadi tata krama syari’at atau shalat nominal.
MAKNA IHSAN
EMPAT PULUH
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan
menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah
lakunya mirip dengan pendapat yang ia lahirkan. Ia berketetapan hati
untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan
diri dari segala yang kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak
menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan
menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat
Muhammad yg kudus.”
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti
Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana
ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6),
beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq
untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dengan kata lain, Ihsan
dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan
sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah
pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan
melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta
kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi.
Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki
kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu
sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta
tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian
manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah
bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti
Rosul sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnya mereka tidak
mengerti”).
Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar
yang maksudnya adalah Sukma (Roh di kedalaman Jiwa) sebagai pusat
kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman
roh batin manusia tersedia cermin yang disebut mir’ah al-haya’ (cermin
yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa
nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yang
menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini
telah terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga
kesejatian dirinya beradu-satu (adhep-idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”.
Maka jadilah dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga
dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi
keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-
Gusti.
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak
dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat
baru, bukan azali. Satu-satunya yang bisa dijadikan gondhelan dan
gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulana, Zat Yang Maha Melindungi.
Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya
harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah yang menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera
harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau
Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan
nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang
Widhi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana, dan sebagainya. Semua itu
produk akal sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam
syari’at justru malah merendahkan Nama-Nya.
Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti
Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan
mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang
baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak
kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki
muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya,
maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar,
manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda,
termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan
alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos
manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar
termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya
ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan
raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai
organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek
keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah
manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali
berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi,
manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an
bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang
menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af’al itu
dipancarkan.
Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu
adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku
dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17),
maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang
melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara
mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga
berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi.
Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang
maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.”
(Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 182-283).
Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-
Qur’an merupakan “kalam” yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya
adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan
semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar
menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol
yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).
Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi
hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa
itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak
mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang
yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat
dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali
kepada kehidupan.” <Serat Syekh Siti Jenar, Sinom, Widya Pustaka; hlm.
25-26 bait 30-36>.
Syekh Siti Jenar menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan,
ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran
bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan
hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya.
Juga ditekankan satu satu hal yang selalu tampil dalam setiap ajaran
Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di
dunia ini, sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan
dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika
manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk
sirna. (bandingkan dengan Zotmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur,
di mana roh suci terjerat badan wadag yang dipenuhi oleh berbagai goda-
nikmat yang menguburkan kebenaran sejati, dan berusaha mengubur
kesadaran Ingsun Sejati.
LIMA PULUH
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat
Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia
berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan
pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah
diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur
bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai
pedoman hidup.”
“Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia, saya pastikan kamu tidak akan
menemuinya, sebab Kyai Ageng berbadan sukma, mengheningkan puja
ghaib. Yang dipuja dan yang memuja, yang dilihat dan melihat yang
bersabda sedang bertutur, gerak dan diam bersatu tunggal. Nah, buyung
yang sedang berkunjung, lebih baik kembali saja.” (Pupuh XIII Sinom, 29;
Falsafah Sitidjenar, hlm. 34).
Dari wejangan Syekh Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat
seluruh alam semesta adalah tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan).
Adapun mengenai alam yang kemudian memiliki nama, bukanlah nama yang
sesungguhnya, sebab segala sesuatu yang ada di bumi ini, manusialah yang
memberi nama, termasuk nama Tuhanpun, dalam pandangan Syekh Siti
Jenar, diberikan oleh manusia. Dan nama-nama itu seluruhnya akan
kembali kepada Sang Pemilik Nama yang sesungguhnya. (Untuk sejarah
pemberian nama Tuhan, lihat buku Karen Armstrong, The History of God:
The 4.000 Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York:
Ballatine, 1993). Maka memang nama itu perlu, namun jangan sampai
menjebak manusia hanya untuk memperdebatkan nama.
Kitab Ma’rifat al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-
Samarqandi, yang menjadi salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan,
bukanlah unsur yang saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya
dipahami manusia. Nur Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam
Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat dengan pernyataan Allah, bahwa
segala sesuatu yang diberikan kepada manusia (seperti pendengaran,
penglihatan dan sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya
kepada Allah, maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia
bisa manunggal dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian
manusia yang melalui orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang
di alam kematian dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.
Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti tidak
akan berhasil menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang akan sampai
ke tujuan sejatinya, yakni Allah Yang Maha Tunggal, karena memang ia
belum mampu untuk manunggal. Nah, zuhud dalam pandangan Syekh Siti
Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju kemanunggalan dan menjadi
salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.
Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis
terhadap sebagian naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan
bahwa Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini
tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” serta ungkapan
sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.”
Kisah yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot
atau kisah konyol dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu
merupakan bentuk penggambaran ajaran anunggaling Kawula Gusti
yang salah kaprah.
Pernyataan pertama “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya
Allah,” memang benar adanya. Namun pernyataan kedua, “di sini tidak
ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak bisa dianggap benar,
dan jelas keliru.
“Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya.
Pertama janganlah hendaknya kamu menjalankan penipuan yang
keterlaluan, agar supaya kamu tidak ditertawakan orang di kelak
kemudian hari.
Yang kedua, jangan kamu merusak barang-barang peninggalan purba,
misalnya : lontar naskah sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-
gambar pada batu candhi. Demikian pula kayu dan batu yang merupakan
peninggalan kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan.
Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus.
Yang ketiga, jika kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja
musnahkan dengan api. Saya berbelas kasihan kepada keturunanmu,
sebab tidak urung mereka menuruti kamu, mabuk do’a, tersesat mabuk-
tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari
itu jangan kamu terus-teruskan, sebab itu palsu.” (Serat Syaikh Siti
Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 25-36).
“Banyak orang yang gemar dengan kesejatian, tapi karena belum pernah
berguru maka semua itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu
dianggap wujud lain. Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan
kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia
berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari. Padahal yang
dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai
keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya
tanpa guru menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan.”
Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan
sangkan paran (asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat
dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi
justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa,
tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir
dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara
Maha Pencipta dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika
masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa
menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa.
Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah
menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
“Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak
dengan pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan
Islam tidak dengan bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam
tidak karena menolak atau menerima yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan
selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu
“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci.
Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah
semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti
dari alif, Allah itulah adanya.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar
seorang mukmin yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan jadi
cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain. Tarkumasiwalahu (Arab asli :
tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur dengan kholiqbta,
hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.” (Serat Syaikh Siti Jenar
Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 29-31)
“Jika sekarang saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun
saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran
Tuhan. Kalau santri gundul, tidak tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia
berpengangan kandhilullah, mabuk akan Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak
menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan Syari’at palsu, yang
merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba, pikirkanlah semua yang saya
katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai atau tidak yang saya
tuturkan itu, kanda pasti tahu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh V Pangkur, 8-18).
“Itu semua disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar,
di Krendhasawa, tekun mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah
guru yang bijaksana. Semua murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang
cakap, berkat kemampuan mereka untuk menerima ajaran guru mereka
sepenuh hati.”
“Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali
mu’min, diberitahu akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah
sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang dituntunkan menuntun serta
membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat hamba ajaran
mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang dapat
dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha, tetapi
karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan
Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana sambil
menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa, kecuali
berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan mencegah makan,
tiada berharap apapun.”
Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah sandang
pangan serta tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang
Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan
memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat
pertanyaan paduka.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V
Pangkur, 22-45).
“Jika saya terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak,
akan tetapi mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah
dalam syariat adalah pada kesalahpahaman dalam memahami larangan.
Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang seharusnya dicari dan disesuaikan
dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika sudah sampai pada
janji maka hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-was…
senantiasa takut gagal….Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan
bumi dan semua isi didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada
keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat
Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal,
karena itu tahu jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada
kita ini sesungguhnya, berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi,
dan kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud mustahil pertandanya
sebagai cermin yang bersih merata keseluruh alam. Yang pasti dzatnya
kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri,
bersikaplah menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang
Maha Pencipta. Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu
repotnya. Yaitu tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada
kehendak Allah.”
“Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan
nyawa. Itulah sarana utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu
dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui Sang
Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal akan mustahil mencapai
kebenaran, dan manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia tidak bisa
mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika
menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya
dengan Hidup Sang Sukma, karena sukmaitu adalah Allah.” <Serat Suluk
Malang Sumirang, Pupuh 2>.
Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung
dan satu lubang mulut.
Adapun shalat ‘Isya’ menjadi empat raka’at karena adanya dua telinga
dan dua buah mata.
Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang dari
kejadian badan dan roh kehidupan.
Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik dzat, sifat, asma
dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa.
Dzat maksudnya adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di
dunia ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang
besar atau yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak memiliki
hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal.
Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau
kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan
Yang Maha Agung.
“Anasir roh, ada empat perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai
cahaya persaksian (nur syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut :
pertama, yang disebut wujud sesungguhnya adalah hidup sejati atau
manusia sejati seperti perempuan yang masih perawan itulah yang
dimaksud badarullah yang sebenarnya.
Kedua, yang disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur
atau cahaya kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan
seperti bintang kejora.
Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin kejora.
KeEMPAT, yang dimaksud Batin Kejora adalah kehendak batin tatkala
memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah
penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.”
_______________________________
*) Dikumpulkan dari pelbagai sumber, terutama dari Mas Djoko Prasetyo (Dipo)