You are on page 1of 15

I.

Pendahuluan
Membahas salah satu cabang dalam ulumul Qur’an yakni ilmu Qira’at al-
Qur’an tidak terlepas dengan apa yang disebut dengan Sab’ah Ahruf (Tujuh
Huruf). Dalam satu riwayat, Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya al-Qur’an ini
telah diturunkan dalam Tujuh Huruf, maka bacalah olehmu mana yang mudah
dari padanya”1
Para ulama berbeda pendapat tentang makna ‘Tujuh Huruf’ pada hadits di
atas. Diantara perbedaan tersebut adalah :2
1. Al-Qur’an mengandung tujuh bahasa Arab yang memiliki satu makna.
2. Tujuh dialek bahasa kabilah Arab yaitu Qurays, Hudzail, Tamim,
Tasqif, Hawazin, Kinanah dan Yaman.
3. Tujuh aspek kewahyuan seperti perintah, larangan, janji, halal, haram,
muhkam, mutasyabih dan amtsal.
4. Tujuh perubahan perbedaan yaitu ism, i’rab, tashrif, taqdim dan
ta’khir, tabdil dan tafkhim.
5. Tujuh huruf diartikan bilangan yang sempurna seperti 70, 700, 7000
dan seterusnya.
6. Tujuh Qira’at yang disebut dengan Qira’ah Sab’ah.
7. Tujuh huruf diartikan tujuh bangsa selain bangsa Arab seperti Yunani,
Persia dan lain-lain.3

Dari perbedaan pendapat di atas, yang paling kuat adalah pendapat pertama,
yaitu al-Qur’an mengandung tujuh bahasa Arab yang memiliki satu makna,
seperti aqbil, ta’al, halumma, ‘ajjil, asri’ yang memiliki satu makna yaitu ‘datang
kemari’. Contoh lain terdapat pada rasm utsmani dalam surat al-Ma’idah ayat 82 :
kata qissiisiina yang berarti para rahib (pendeta), berbeda dengan bacaan ‘Ubay
bin Ka’b, yaitu shiddiiqiina (yang membenarkan). Dua perbedaan ini dibenarkan

1
HR. Bukhari, Lafadz yang hampir sama terdapat pada riwayat An-Nasa’i.
2
Abdul Majid Khon, Praktikum Qira’at; Keanehan Bacaan Al-Qur’an Qira’at Ashim dari
Hafash, Jakarta : Amzah, 2008, hlm. 33-34.
3
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir, Jakarta : Bulan
Bintang, 1992, hlm. 68. Hal ini disebabkan karena terdapat kata-kata dalam al-Qur’an yang berasal
dari bahasa lain, seperti istibraq (Yunani), sijjil (Parsi), haunan (Suryayi), shirath (Rum).

1
oleh Nabi SAW.4 Begitu juga pada surat al-Baqarah ayat 9, kata yukhaadi’u
tertulis dalam al-Qur’an Jordania, yakhda’uuna.5
Qira’at al-Qur’an, khususnya istilah ‘qira’ah sab’ah’ sering dimaknai dan
dikorelasikan identik dengan ‘Tujuh Huruf’, tetapi pendapat ini tidak kuat. Meski
demikian, istilah ‘Tujuh Huruf’ merupakan salah satu sebab munculnya multiple
reading (banyak bacaan) al-Qur’an.6

II. Arti Penting tetang Qira’at


Secara etimologi, kata qira’ah berarti ‘bacaan’, dari kata qara’a – yaqra’u –
qira’atan.7 Kata qira’ah berbentuk tunggal, dalam studi ilmu al-Qur’an, ia
ditempatkan dalam bentuk jamak karena pembahasannya mencakup banyak jenis
qira’ah (bacaan).
Secara terminologi, qira’at adalah salah satu aliran dalam
pelafalan/pengucapan al-Qur’an oleh salah seorang imam Qurra’ yang berbeda
dengan yang lainnya dalam hal ucapan al-Qur’an serta disepakati riwayat dan
jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun dalam
pengucapan lafadznya.8 Secara praktis, qira’at disandarkan kepada salah satu
imam Qurra’ yang tujuh, sepuluh dan empat belas.9
Qira’at sebagai satu sistem bacaan menjadi sangat vital bagi para
pembacanya, terlebih lagi al-Qur’an merupakan sumber pokok rujukan dalam
segala hal bagi pemeluk agama Islam. Teks wahyu yang diturunkan dalam bentuk
lisan, diajarkan oleh Nabi SAW dalam cara yang sama, meski tetap ada usaha
dalam bentuk penulisan teks al-Qur’an tersebut. Tetapi, dalam praktek dominan,
metode ajar secara lisan tetap menjadi metode utama hingga saat ini. Itulah
4
Ahmad Von Denffer, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an,
Liecester: The Islamic Foundation, 1989. hlm. 73.
5
Ibid..
6
M. M. Al A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin
Solihin dkk, Jakarta : Gema Insani Press, 2005, hlm. 73. Ada perbedaan istilah yang dipakai oleh
penulis buku ini dengan apa yang dipakai oleh orientalis, yaitu multiple reading dan variant
reading.
7
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa,
1998, hlm. 85.
8
Ibid.
9
Abduh Zulfikar Akaha, Al-Qur’an dan Qira’ah, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1996, hlm.
194.

2
mengapa dalam sejarahnya, al-Qur’an banyak mengalami ragam cara baca, sesuai
dengan dialek Arab yang ada saat itu.
Jika al-Qur’an merupakan inti ajaran Islam, maka ilmu Qira’at menjadi
sebuah sunnah yang harus dipegang, sebagaimana Nabi SAW selalu menjaga
orisinalitas al-Qur’an dengan cara memanggil para sahabat penghafal al-Qur’an
untuk kemudian mengulang dan mengingat kembali bacaannya. 10 Zaid bin Thabit,
orang yang begitu penting dalam pengumpulan Al-Qur'an, menyatakan bahwa
“al-Qira’ah sunnatun muttaba’ah” (Seni bacaan (qira'at) Al-Qur'an merupakan
sunnah yang mesti dipatuhi dengan sungguh-sungguh).11
Dalam satu riwayat, Nabi SAW bersabda : “Ambillah (belajarlah) al-
Qur’an dari empat orang : Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz dan Ubay bin
Ka’b”12
Sepeninggal Nabi SAW, ragam bacaan al-Qur’an mendapat tempat
tersendiri di kalangan sahabat sesuai dengan dialek kabilah yang ada.

III. Latar Belakang dan Tujuan Qira’at


Cara baca al-Qur’an yang beragam, disebabkan beberapa hal utama :13
1. Perbedaan karena tidak ada kerangka tanda titik.
2. Perbedaan karena tidak adanya tanda diakritikal.
Ketika pemerintahan Islam meluas dimasa khalifah Utsman bin Affan,
terjadi beberapa perselisihan di kalangan sahabat tentang car abaca al-Qur’an,
yang mana masing-masing pihak menyatakan bacaannya adalah yang paling sahih
dan benar. Kondisi ini mengancam keharmonisan umat Islam, hingga khalifah
Utsman bin Affan memerintahkan para sahabat untuk menyusun dan membuat
mushaf al-Qur’an. Hal ini dikenal dengan Mushaf Utsmani, yang sampai saat ini
mushaf ini kita temukan, baca dan amalkan. Perlu kita ingat bahwa saat itu
muncul beberapa mushaf yang berasal dari sahabat, seperti Mushaf Ali bin Abi
10
MH. Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madani dan Hamim
Ilyas, Bandung : Mizan, 1990, hlm. 138.
11
M. M. Al A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin
Solihin dkk, Jakarta : Gema Insani Press, 2005, hlm. 73.
12
HR. Bukhari.
13
M. M. Al A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin
Solihin dkk, Jakarta : Gema Insani Press, 2005, hlm. 74.

3
Thalib, Mushaf Ubay bin Ka’b, Mushaf Abdullah bin Mas’ud, Mushaf Ibnu
Abbas, Mushaf Zaid bin Tsabit, Mushaf Abu Musa al-‘Asy’ari dan mushaf
beberapa sahabat lain yang sangat mungkin tidak kita kenal.
Qira’ah, disebutkan oleh para ahli sejarah, menjadi sebuah disiplin ilmu
bermula ketika Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam (w. 224 H) menulis sebuah
buku Al-Qira’at, yang termuat di dalamnya qira’at dari 25 orang rawi. 14 Di masa
inilah mulai timbul kebohongan dan usaha-usaha penggantian kata atau kalimat
dalam al-Qur’an, sehingga para ulama qurra’ memulai penyusunan qira’at al-
Qur’an menuju kepada disiplin ilmu.
Meski sebelumnya telah ada beberapa ulama qira’ah yang terbagi kedalam
beberapa kelompok yaitu :
1. Kelompok sahabat : Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’b,
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari.
2. Kelompok Tabi’in :
a. Madinah : Ibnu Musayyib, Urwah, Salim, dan Umar bin Abdul Aziz
b. Mekah : Ubaid bin Umair, Atho' bin Abi Robah, Thowus, Mujahid,
: Ikrimah
c. Kufah : ilqimah, al-aswad, masruq, ubaidah, dll
d. Bashroh : abu aliyah, abu roja', qotadah, ibnu siirin
e. Syam : al-mughiroh, shohib utsman, dll
3. Kelompok Ulama Qurra’ yang hidup pada pertengahan abad dua hijriyah,
seperti Ibnu Katsir, Abu Ja’fah, Nafi bin Nua’im, dll.
4. Kelompok yang meriwayatkan qira’ah dari ulama kelompok ketiga, seperti
Ibnu Iyasy, Hafsh dan Khalaf.
5. Kelompok pengkaji dan penyusun ilmu qira’ah, yaitu Abu Ubaid al-Qasim
bin Salam, Ahmad bin Jubair al-Kufi, Ismail bin Ishak al-Maliki, Abu Ja’far
bin Jarir at-Tabari, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Dajuni
dan Abu Bakar bin Mujahid.

14
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa,
1998, hlm. 88.

4
Abu Bakar bin Mujahid, terlahir di Baghdad tahun 245 H, memberikan
penjelasan yang cukup rinci tentang ilmu qira’ah, sebagai berikut :
Pertama, macam-macam Qira’at dari segi kuantitas atau jumlahnya.
Adapun sebutan qira`at dari segi jumlah qira’at ada bernacam-macam. Ada yang
bernama qira`at tujuh, qira`at delapan, qira`at sepuluh, qira`at sebelas, qira`at tiga
belas, dan qira`at empat belas. Tetapi dari sekian macam jumlah qira`at yang
dibukukan, hanya tiga macam qira’at yang terkenal yaitu:
1. Qira`at al-Sab’ah: ialah qira`at yang dinisbatkan kepada para imam qurra’
yang tujuh yang masyhur. 15
No. Tempat Imam Qurra’
1 2 3
1 Madinah Nafi' (169/785)
2 Mekah Ibn Katsir (120/737)
3 Damaskus Ibn 'Amir (118/736)
4 Basrah Abu 'Amru (148/770)
5 Kufah 'Asim (127/744)
6 Kufah Hamza (156/772)
7 Kufah Al-Kisa'i (189/804)

2. Qira`at ‘asyroh: ialah qira`at sab’ah diatas ditambah dengan tiga qira`at lagi.
No. Tempat Imam Qurra’
1 2 3
8 Madinah Abu Ja'far (130/747)
9 Basrah Ya'qub (205/820)
10 Kufah Khalaf al-Asyir (229/843)

3. Qira`at arba’ah asyrah: ialah qira`at ‘asyrah yang lalu ditambah dengan
empat qira’ah lagi.
No. Tempat Imam Qurra’
1 2 3
11 Basrah Hasan al Basri (110/728)
12 Mekah Ibn Muhaisin (123/740)
13 Basrah Fahya al-Yazidi (202/817)
14 Kufah al-A’masy (148/765)

15
Ahmad Von Denffer, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an,
Liecester: The Islamic Foundation, 1989. hlm. 83.

5
Kedua, dari segi kualitas, qira`at berdasarkan kualitas dapat dikelompokkan
dalam lima bagian:
1. Qira`at Mutawatir, yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari
orang banyak yang tidak mungkin terjadi kesepakatan di antara mereka
untuk berbohong.
2. Qira`at Masyhur, yakni qira’at yang memilki sanad sahih, tetapi tidak
sampai kepada kualitas mutawatir. Qira`at ini sesuai dengan kaidah bahasa
Arab dan tulisan
3. Qira`at Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan
Mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memilki kemasyhuran, dan
tidak dibaca. (Qira’at Aisyah dan Hafsah, Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab,
Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibn Abbas)
4. Qira’at Syadz (menyimpang), yakni qira’at yang sanadnya tidak sahih.
5. Qira’at Maudhu’(palsu), yaitu qira’at yang dibuat-buat dan disandarkan
kepada seorang tanpadasar. Seperti qira’at yang disusun oleh Abu Al-Fadhl
Muhammad bin Ja’far dan mensbtkannya kepada Imam Abu Hanifah.
6. Qira’at Syabih bi al-mudroj, yaitu qira’at yang mirip dengan mudroj dari
macam-macam hadis. Dia adalah qira’at yang didalamnya ditambah kalimat
sebagai tafsir dari ayat tersebut.

Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama’ dalam menetapkan qira’at
yang sahih adalah sebagai berikut :16
a. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih.
Sebab, qora`at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan
menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
b. Bersesuai dengan salah satu kaidah penulisan Mushaf ‘Ustmani walaupun
hanya kemungkinan (ihtimal) atau mendekati.
c. Memiliki sanad yang sahih atau jalan periwayatannya benar, sebab qira`at
merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada penukilan dan
kesahihan riwayat.
16
Ahmad Von Denffer, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an,
Liecester: The Islamic Foundation, 1989. hlm. 84.

6
IV. Faedah Keragaman Qira’at Al-Qur’an
Dalam keragaman cara baca al-Qur’an, dapat diambil beberapa manfaat
yang berguna sebagai tanda keotentikan al-Qur’an :17
1. Bukti yang jelas tentang keterjagaan Al-Quran dari perubahan dan
penyimpangan, meskipun mempunyai banyak qiroat tetapi tetap terpelihara.
2. Keringanan bagi umat serta kemudahan dalam membacanya, khususnya
mempermudah suku-suku yang berbed logat/dialek di Arab.
3. Membuktikan kemukjizatan Al-Quran, karena dalam qiroat yang berbeda
ternyata bisa memunculkan istinbat jenis hukum yang berbeda pula.
Contoh dalam masalah ini adalah lafadhz : " wa arjulakum" dalam Al-
Maidah ayat 6, yang juga bisa dibaca dalam qiroah lain dengan "wa
arjulikum ". Maka yang pertama menunjukkan hukum mencuci kedua kaki
dalam wudhu. Sementara yang kedua menunjukkan hukum mengusap ( al-
mash) kedua kaki dalam khuf atau sejenis sepatu.
4. Qiroat yang satu bisa ikut menjelaskan / menafsirkan qiroat lain yang masih
belum jelas maknanya.
Contoh masalah ini : dalam surat Jumat ayat 9, lafal " Fas'au ", asli katanya
berarti berjalanlah dengan cepat, tetapi ini kemudian diterangkan dengan
qiroat lain : " famdhou" yang berarti pergilah , bukan larilah.

V. Tanda-tanda Baca Al-Qur’an


Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakr ra, Al-Quran ditulis dengan
memakai khat kufi. Yaitu sebuah model khat yang sedang masyhur saat itu.
Tulisan pertama Al – Quran masih polos tanpa ada tanda harakat ataupun titik.
Ketika Islam mulai tersebar ke segenap penjuru Arab, timbullah beberapa
kekeliruan dalam membaca Al – Quran. Hal ini karena beragamnya dialek yang
dimiliki oleh masing-masing qabilah. Akhirnya pada masa Khalifah Muawiyah
bin Abi Sufyan (40-60 H), Abu Aswad Ad-Duali memprakarsai pemberian tanda-
tanda harakat untuk Al-Quran. Akan tetapi tanda – tanda harakat tersebut tidak
17
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa,
1998, hlm. 92.

7
sama dengan harakat yang kita kenal saat ini. Pada masa itu harakat “Fathah”
ditandai dengan titik berwarna merah yang diletakkan di atas hurufnya.
“Dhammah” ditulis dengan titik yang ada di depan hurufnya, “Kasrah” ditulis
dengan titik yang terletak di bawah dan “Tasydid” dilambangkan dengan titik dua
di atas huruf.
Sekitar tahun 65 – 86 H, Khalifah Abdul Malik bin Marwan atas saran
Hajjaj bin Yusuf mulai memberi tanda titik pada huruf-huruf Al – Quran. Ia
menugaskan Yahya bin Ya’mar dan Nashar bin Ashim yang merupakan murid
Dari Abu Aswad Ad_Duali.
Tanda-tanda yang sudah ada pun dirasa masih kurang cukup. Dimana
dengan tanda – tanda tersebut seringkali masih diketemukan terjadi kekeliruan
dalam membaca al-Quran, terutama panjang – pendeknya bacaan. Maka pada
tahun 162 H, Imam Khalil bin Ahmad yang tinggal di Bashrah memberi tanda
yang lebih jelas. Ia memperbaharui tanda-tanda yang telah ditulis oleh Abul
Aswad Ad_Duali. Dan hasilnya adalah seperti tanda-tanda Al-Quran yang kita
ketahui saat ini.
Adapun perubahan khat Al Quran terjadi pada masa Al-Wasil ibnu Muqlah
(272 H), seorang menteri pada Dinasti Abbasiyah. Dialah orang yang dikenal
pertama kali menulis Al Quran dengan berbagai macam khat, termasuk
diantaranya khat Al Quran yang kita pakai sekarang ini.
Sedangkan yang membagi Al Quran menjadi 30 juz adalah Hajjaj bin Yusuf.
Ia juga memberikan tanda “Nishf” (separuh) dan “Rubu’_” (seperempat) dalam
mushaf Al Quran.

VI. Tajwid dan Adab Membaca Al-Qur’an


a. Pengertian Tajwid & Ilmu Tajwid
Tajwid secara bahasa artinya at-tahsiin wal ijaadah : baik dan
membaguskan. Secara Istilah Tajwid berarti : 18

18
Hatta Syamsuddin, Ringkasan Praktis Sistematis dari Terjemahan Kitab " Mabahits Fi
Ulumil Qur'an" karya Syeikh Manna'ul Qathan, dengan beberapa tambahan, catatan dan
penyesuaian, PESANTREN MAHASISWA ARROYAN SURAKARTA, 2008 M / 1430 H.

8
‫ و رد الح رف إلى‬, ‫التجويد هو إعط اء الح روف حقوقها و ترتيبها‬
‫ و تلطيف النطق به على كمال هيئة من غير إسراف وال‬,‫مخرجه و أصله‬
.‫تعسف وال إفراط وال تكلف‬
Tajwid adalah : Memberikan setiap huruf hak-haknya dan susunannya,
mengembalikan huruf pada makhrojnya dan asalnya, menghaluskan pelafalan
pada kondisi yang sempurna, tanpa berlebihan dan pembebanan.
Sedangkan ilmu tajwid diartikan sebagai : ilmu yang menjelaskan hukum-
hukum dan kaidah-kaidah yang harus dijaga pada saat membaca Al-Quran, sesuai
dengan apa yang dipraktekkan kaum muslimin, dari generasi ke generasi , dari
Rasulullah SAW.

b. Keutamaan Tajwid
Allah SWT berfirman :

‫ود ال ذين‬
ُ ‫"اهلل ن زل أحسن الح ديث كتاب اً متش ابهاً مث اني تقش عر منه ُجل‬
.)23 ‫ ثم تلين ُجلودهم وقُلوبهم إلى ذكر اهلل" (الزمر ـ‬،‫يخشون ربهم‬

Artinya : Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al


Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya
kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi tenang kulit
dan hati mereka di waktu mengingat Allah. (QS Az-Zumar 23)
Pada ayat di atas diisyaratkan bahwasanya Al-Quran idealnya dibaca dengan
benar, baik agar bisa mempengaruhi hati mereka yang mendengarnya. Sebaliknya,
jika al-quran dibaca dengan seenaknya, maka tidak akan berpengaruh apapun bagi
hati yang mendengarnya.
Rasulullah SAW bersabda : " seorang yang pandai membaca Al-Quran akan
bersama malaikat yang mulia, sedangkan yang membaca Quran dengan terbata-
terbata dan kesusahan, maka baginya ada dua pahala " (HR Bukhori &
Muslim)

9
c. Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid
Para ulama Tajwid bersepakat bahwa setiap muslim dituntut untuk
mempelajari hukum-hukum tilawah, dan memperhatikannnya ketika sedang
membaca al-quran. Sedangkan lalai dalam masalah ini – tanpa udzur syar'I yang
bisa diterima- adalah berdosa.

d. Objek Pembahasan Ilmu Tajwid


Objek pembahasan dalam Ilmu Tajwid, secara garis besar meliputi :
 Hukum-hukum berkaitan dengan Nun ( Ahkamu an-Nuun)
 Hukum-hukum berkaitan dengan Hamzah ( ahkaamu alhamzah)
 Tata Cara Berhenti ( Kaifiyah Al-Waqf )
 Makhorijul Huruf ( Tempat Keluar Huruf)
 Sifat-sifat Huruf
 Ahkamul Mad ( Panjang Pendek Harokah)

e. KESALAHAN-KESALAHAN DALAM PRAKTEK TAJWID


Kesalahan dalam praktek tajwid , secara umum bisa dibagi menjadi dua
bagian besar :
1. Kesalahan Al-Lahn ( Kekurangan dalam pelafalan /tanpa tajwid)
Kesalahan al-lahn dibagi menjadi dua bagian ;
 yang pertama adalah kesalahan Al-Jaliyy (yang Jelas) yaitu kesalahan
pelafalan / tajwid yang diketahui oleh banyak orang awam secara
umum. Misalnya adalah : salah dalam harokat ( I'rob), atau salah
dalam tashrif.
 Yang kedua adalah kesalahan Al-Khofiyy (tersembunyi), yang tidak
diketahui kecuali oleh mereka yang bergelut lama di ilmu tajwid atau
pakar di bidang Qiro'at. Seperti dalam masalah makhorijul huruf dan
sifat-sifatnya.
2. Berlebihan dalam Tajwid ( Mubalaghoh wa Ifrooth)

10
Berlebihan dalam pengucapan dan pelafalan Al-Quran juga sama bahayanya
dengan meninggalkan tajwid. Berikut contoh-contoh kesalahan yang berhubungan
dengan berlebihan dalam pengucapan al-Quran :
 At-Tar'iid : pembacaan al-quran dengan bergetar secara berlebihan,
bagaikan orang yang menggigil kedinginan atau menahan sakit.
 At-Tarqish : berhenti dan diam pada tempat berhenti, untuk kemudian
melanjutkan harokah dengan cepat seperti lari dari musuh atau
terkejut.
 At-Tathriib : pembacaan seperti musik, khususnya memanjangkan
secara berlebihan pada huruf mad
 At-Tahziin : membaca al-Quran dengan nada sedih yang berlebihan
dan hampir-hampir menangis berlebihan
 At-Tardiid : pengulangan ayat terakhir yang dibaca seorang qori' oleh
sekumpulan orang yang mendengarkannya.

Dianjurkan bagi orang yang membaca Qur’an memperhatikan hal‐hal


berikut :19
a) Berguru secara musyafahah, bertemu langsung dengan guru.
b) Hendaknya membaca Quran dalam keadaan berwudlu, karena ia
termasuk dzikir yang paling utama, meskipun boleh membacanya bagi
orang yang berhadast.
c) Membacanya hanya di tempat yang bersih dan suci, untuk menjaga
keagungan Al-Quran.
d) Membacanya dengan khusyuk, tenang dan bersahaja.
e) Bersiwak (membersihkan mulut) sebelum mulai membaca.
Membaca taáwwuz (audzu billahi minasysyaitanir rajim) pada
permulaannya.
f) Membaca basmalah pada permulaan setiap surah, kecuali surah Al‐
Baraáh.
19
Abdul Majid Khon, Praktikum Qira’at; Keanehan Bacaan Al-Qur’an Qira’at Ashim dari
Hafash, Jakarta : Amzah, 2008, hlm. 36-50. Lihat juga Abu Zakariya Yahya Muhyiddin bin Syaraf
bin Hizam An-Nawawi, At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran, tk.. hlm. 50-90.

11
Membacanya dengan tartil yaitu dengan pelan dan terang serta
memberikan setiap huruf haknya (betul makhrajul hurf dan tajwidnya),
seperti panjangnya, idgamnya, dsb.
Memikirkan dan mentadabburi ayat‐ayat yang dibacanya.
g) Meresapi makna dan maksud ayat‐ayat Quran yang berhubungan
dengan janji dan ancaman.
h) Membaguskan suara karena itu akan lebih berasa di hati. Nabi SAW
bersabda : Hiasilah Al-Quran dengan suaramu (HR Ibnu Hibban)
i) Mengeraskan bacaan jika dianggap lebih baik dan tidak menimbulkan
riya.

VII. Mengajarkan Al-Qur’an dan Menerima Honor dari Mengajarkannya


Rasulullah SAW bersabda: "Bacalah Al-Qur'an dan janganlah kamu
(mencari) makan dengannya dan janganlah renggang darinya (tidak membacanya)
dan janganlah berlebih-lebihan padanya." (HR. Ahmad, Shahih).Imam Al-Bukhari
dalam kitab shahih-nya memberi judul satu bab dalam kitab Fadhailul Qur'an,
"Bab orang yang riya dengan membaca Al-Qur'an dan makan denganNya",
Maksud makan dengan-Nya, seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar dalam kitab
Fathul Bari.
Adapun mengambil honor dari mengajarkan Al-Qur'an para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini. Para ulama seperti 'Atha, Malik dan Syafi'i serta yang
lainya memperbolehkannya. Namun ada juga yang membolehkannya kalau tanpa
syarat. Az Zuhri, Abu Hanifah dan Imam Ahmad tidak mem-perbolehkan hal
tersebut.Wallahu A'lam.
Ada sebuah riwayat yang dapat kita jadikan dasar pemikiran dalam hal
menerima honor (upah) dari mengajarkan al-Qur’an : Hadits riwayat Imam
Bukhari, Jilid 3, Nomor 476: Diriwayatkan dari Abu Sa’id r.a.:
Beberapa Sahabat Nabi dalam suatu perjalanan, sampailah di sebuah
kampung (di malam hari). Mereka meminta penduduk kampung tersebut untuk
memperlakukan mereka sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut
menolak untuk menjamu mereka. Sang kepala suku kampung Arab tersebut

12
kemudian digigit ular (atau tersengat kalajengking) dan para penduduk tersebut
mencoba sekuat tenaga untuk menyembuhkannya, namun gagal.
Beberapa di antara mereka berkata, “Tak satu pun yang dapat membuatnya
sembuh, coba pergilah kalian ke orang-orang itu (para sahabat Nabi) yang
bermalam di sana, mungkin ada di antara mereka yang memiliki obat”. Mereka
pun pergi ke tempat para Sahabat dan berkata “Pemimpin kami telah digigit ular
(atau tersengat kalajengking) dan kami telah mencoba berbagai cara namun ia
tak sembuh-sembuh juga. Apakah kalian memiliki sesuatu (untuk
menyembuhkannya)?” Salah seorang di antara Sahabat Nabi SAW tersebut
menjawab “Ya, Demi Allah! Aku dapat membacakan Ruqya (mantera), tapi
karena kalian telah menolak untuk menerima kami sebagai tamu, aku tak akan
membacakan Ruqya bagi kalian, kecuali bila kalian memberikan upah atasnya.”
Mereka pun setuju untuk membayar para Sahabat tersebut dengan sejumlah
domba. Salah seorang dari para Sahabat Nabi SAW itu kemudian pergi dan
membaca Al-Fatihah: ‘Segala puji adalah bagi Tuhan sekalian alam’ dan
meludahkannya ke sang kepala suku, yang seketika itu menjadi sehat kembali
seakan-akan ia baru terlepas dari kungkungan rantai, dan bangkit serta mulai
berjalan, tanpa menunjukkan tanda-tanda sakit.
Mereka pun membayar para Sahabat sejumlah kambing seperti yang telah
disetujui. Beberapa di antara para Sahabat, kemudian menyarankan untuk
membagi pendapatan mereka tersebut di antara mereka sendiri, tapi Sahabat
yang melakukan pembacaan Ruqyah tadi mengatakan, “Jangan membagi-bagi
upah ini hingga kita pergi menghadap pada Nabi SAW dan menceritakan
keseluruhan peristiwa tadi pada beliau, dan menunggu perintah beliau.”
Maka, mereka pun pergi ke Rasulullah SAW dan menceritakan peristiwa itu.
Rasulullah SAW bertanya, “Bagaimana kamu tahu bahwa Al-Fatihah itu dapat
dipakai sebagai Ruqya?” Kemudian beliau SAW menambahkan, “Kalian telah
melakukan hal yang benar. Bagilah (apa yang telah kalian peroleh) dan berilah
pula bagiku bagianku.” Nabi SAW pun tersenyum.

VIII. Penutup

13
Karena keterbatasan penulis, tidak semua hal yang berhubungan dengan
qira’at al-Qur’an tercakup dalam makalah ini, terutama contoh-contoh ayat al-
Qur’an yang menjadi perbedaan bacaan. Semoga kita dapat mengambil hikmah
dan pelajaran dari apa yang telah diwariskan para ulama terdahulu, amin.

DAFTAR PUSTAKA

Akaha, Abduh Zulfikar, Al-Qur’an dan Qira’ah, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,


1996.
Anwar, Abu, Drs, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Jakarta : Amzah,
2002.
Al A’zami, M. M., Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj.
Sohirin Solihin dkk, Jakarta : Gema Insani Press, 2005.
Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta : Dana Bhakti Prima
Yasa, 1998.
Denffer, Ahmad Von, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an,
Liecester: The Islamic Foundation, 1989.
Esack, Farid, The Qur’an : A User’s Guide, Oxford : Oneworld Publication, 2007.
Khon, Abdul Majid, Praktikum Qira’at; Keanehan Bacaan Al-Qur’an Qira’at
Ashim dari Hafash, Jakarta : Amzah, 2008.

14
Al-Munawar, Said Agil Husin, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
Jakarta : Ciputat Press, 2003.
An-Nawawi, Abu Zakariya Yahya Muhyiddin bin Syaraf bin Hizam, At-Tibyaan
fii Aadaabi Hamalatil Quran, tk..
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir, Jakarta
: Bulan Bintang, 1992.
Thabathaba’i, MH., Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madani dan
Hamim Ilyas, Bandung : Mizan, 1990.
Shihab, Quraish M. dan tim, Sejarah dan 'Ulum al-Qur'an, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000.
Syamsuddin, Hatta, Ringkasan Praktis Sistematis dari Terjemahan Kitab "
Mabahits Fi Ulumil Qur'an" karya Syeikh Manna'ul Qathan, dengan beberapa
tambahan, catatan dan penyesuaian, PESANTREN MAHASISWA ARROYAN
SURAKARTA, 2008 M / 1430 H.
Watt, W. Montgomery, Bell, Richard, Pengantar al-Qur'an, Terj. Lilian D.
Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 1998.
Az-Zanjani, Abu Abdullah, Tarikh Al-Qur’an, terj. Kamaluddin Marzuki Anwar,
Bandung : Mizan, 1993.

15

You might also like