Professional Documents
Culture Documents
Berbicara mengenai lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari pandangan atau
konsep Islam itu sendiri mengenai pendidikan. Pendidikan Islam merupakan wujud dari
pengaruh berbagai kebudayaan atau peradaban yang pernah ada dalam sejarah. Namun
demikian para ahli pendidikan Islam biasanya berpandangan bahwa pendidikan Islam
memiliki karakter dan tujuannya sendiri yang khas, karena ia didasarkan kepada tujuan
yang bersifat metafisis-transendental, yaitu untuk mencapai keridlaan Allah SWT, di
dunia dan akhirat.
Karena itu, kendatipun ilmu pengetahuan menempati kedudukan yang tinggi dan
terhormat di dalam konsep pendidikan Islam, tetapi ilmu pengetahuan itu bukanlah tujuan
dalam dirinya sendiri. Tujuan ilmu pengetahuan digariskan berdasarkan tuntunan wahyu,
sebab ilmu pengetahuan itu sendiri berasal dari wahyu (baca: Allah SWT). Ilmu
pengetahuan memperoleh maknanya yang hakiki jika ia mampu menghantarkan manusia
(penuntut ilmu) kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada
Allah, dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaqul karimah). Karena itu akhlak
menempati posisi penting, bahkan sentral dalam pendidikan Islam. Hal ini merupakan
kelanjutan logis dari pernyataan Nabi Saw. sendiri bahwa beliau diutus membawa agama
Islam ke dunia ini untuk menyempurnaan keluhuran akhlak budi manusia.
Jika demikian, pendidikan dalam Islam merupakan sarana untuk menuju ke arah
penyempurnaan akhlak budi. Dengan kata lain, pendidikan dalam Islam adalah
fungsiuntuk mencapai keluhuran akhlak budi, sedangkan lembaga pendidikan adalah
aspek material untuk menjalankan fungsi tersebut. Pendidikan adalah substansinya,
sedangkan lembaga pendidikan adalah institusi atau pranatanya yang telah terbentuk
secara ajeg dan mapan di tengah-tengah masyarakat.
Di bawah ini akan dibahas lebih lanjut konsep pendidikan Islam, bagaimana pula
kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam, kemudian dirangkaikan dengan pembahasan
seputar lembaga-lembaga pendidikan yang pernah ada atau dikenal di masa-masa awal
pertumbuhan dan perkembangan agama Islam, terutama sebelum berdirinya Madrasah .
Istilah pendidikan Islam dapat dipahami dari tiga sudut pandang, yaitu: (a)
pendidikan agama Islam (b) pendidikan dalam Islam (c) pendidikan menurut Islam.
Dalam kerangka akademik, ketiga sudut pandang itu harus dibedakan dengan tegas,
karena ketiganya akan melahirkan disiplin ilmu sendiri-sendiri. Pendidikan agama Islam
menunjuk kepada proses operasional dalam usaha pendidikan ajaran-ajaran agama Islam.
Pendekatan ini kelak menjadi bahan kajian dalam "Ilmu Pendidikan Islam Teoretis".
Pendidikan dalam Islam bersifat sosio-historis, dan menjadi bahan kajian dalam "Sejarah
Pendidikan Islam". Sedangkan pendidikan menurut Islam bersifat normatif, dan menjadi
bahan kajian dalam "Filsafat Pendidikan Islam". 1
Konsep pendidikan Islam dimulai dengan konsep tentang manusia. Hal itu terlihat
dengan jelas dalam surat al-Baqarah/2 ayat 31 dan 32 yang menceritakan bagaimana
Tuhan mengajarkan kepada Adam nama-nama benda, kemudian Adam mengajarkan
nama-nama benda itu kepada para malaikat. Dua ayat itu terangkai dengan ayat
sebelumnya, ayat 30, tentang penciptaan manusia, yang selengkapnya berarti demikian:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Kemudian para malaikat menjawab,
"Apakah Engkau akan menciptakan orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau? "Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
Tajab, et. al., Dasar-Dasar Kependidikan dalam Islam: Suatu Pengantar Ilmu Pendidika n Islam , 1
dikutip dari Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999), h. 24-25.
Kerangka religius etis inilah, menurut Imam al-Ghazali, yang menjadi ciri khas
konsep pendidikan Islam. Kendati begitu, al-Ghazali tidak bermaksud mengabaikan
masalah-masalah dunia. Hanya baginya urusan dunia dan kebahagiaannya hanya faktor
suplementer untuk mencapai kebahagiaan akhirat yang lebih utama dan abadi. Dunia
adalah ladang menuju akhirat. la merupakan tempat pengembaraan dan sarana menuju
kepada Allah, bukan tempat untuk menetap atau bertempat tinggal.
Dalam konsep Paulo Freire seorang praktisi dan teoritisi pendidikan radikal dari
Brasil, dinyatakan bahwa pendidikan yang benar adalah pendidikan yang mampu menjadi
kekuata penyadar dan pembebas manusia. Artinya, pendidikan harus embebaskan dan 2
menyadarkan manusia tentang adanya elemen-lernen yang menindas dalam struktur
sosial.
Dalam Islam, konsepsi pendidikan sebenarnya jauh lebih radikal dari itu. Konsepsi
pendidikan Freire adalah dalam rangka hurnanisasi (manusia harus menjadi subyek).
Menjadi subyek dalam hubungannya dengan dunia adalah memberi nama ("to narne"),
dan "to name" adalah "to act" (memberi arti temporal terhadap ruang geografis dengan
menciptakan kebudayaan). Dalam Islam, "to name" (yakni ketika Allah mengajarkan
Adam nama-nama), tujuannya adalah agar ia sadar akan esensi ciptaan, esensi sifat
Tuhan, dan hubungan antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Dan "to act"-nya adalah menjadi
wakil Tuhan di muka bumi (khalifah). 3
Karena itu, sekali lagi, konsepsi dan filosofi pendidikan Islam sejak awal tidak
hanya bersumber dari intelektualitas, melainkan juga spiritualitas. Dan dengan begitu,
tujuan akhirnya sendiri sudah ditetapkan, yaitu Tuhan, Sang Pendidik Pertama, yang
menjadi Pusat untuk mendidik, mengontrol, dan membimbing manusia. Maka tema
pemerdekaan dan pembebasan dalam konsepsi pendidikan Islam bukan hanya
berkonotasi struktural (sosial politik) sebagaimana dikehendaki oleh Freire dan para
pendukungnya, melainkan jauh lebih luas lagi. Yaitu, memotivasi semua aspek
manusiawi untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan, yang berujung pada penyerahan
diri secara mutlak kepada Allah, pada tingkat individu, masyarakat, dan kemanusiaan
pada umumnya. mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dj khalifahnya di 4
muka bumi, atau dengan kata yang lebih singl dan sering digunakan oleh Al-Qur'an,
'untuk bertaqwa kepadanya'". 5
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas , edisi Indonesia Jakarta: LP3ES, 1985), h. 27. 2
Ahmad Gaus AF, "Pendidikan Yang Memerdekakan" , dalam Mingguan Hikmah Jum'at No. 3
Islam adalah agarna yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Hal itu dapat
dilihat dari banyaknya ayat-ayat al-Qur'an maupun Hadits Nabi Muhammad Saw. yang
menyinggung mengenai tingginya kedudukan orang yang berilmu atau ilmu pengetahuan
itu sendiri di dalam Islam. Beberapa ayat al-Qur'an yang sering dikutip berkaitan dengan
itu di antaranya ialah:
Surat Az-Zumar/39 ayat 9 yang artinya "Adakah sama kedudukan orang yang berilmu
dengan orang yang tidak berilmu ?"
Surat Al-Mujadalah/58 ayat 11 yang artinya "Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orangyang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."
Surat Ali Imran/3 ayat 36 yang artinya "janganlah kamu mengikuti apa-apa yang
tentangnya kamu tidak punya pengetahuan"
Surat An-Nahl/16 ayat 125 yang artinya "Serulah kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan
nasihat yang baik."
Kata hikmah dalam surat An-Nahl di atas oleh para mufassir diterjemahkan sebagai
ilmu pengetahuan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah bahwa ketika mengajak orang
kepada kebenaran Islam, hendaknya kita menggunakan argumentasi, sebab Islam
merupakan agama yang rasional, yang lahir dalam sejarah yang nyata dan empirik, dalam
arti tidak diselimuti oleh kabut mitos maupun dongeng.
Selain ayat-ayat al-Qur'an yang dikutip di atas, dan tentu saja masih banyak ayat-
ayat yang lain, sikap, perilaku, dan ucapan-ucapan Nabi Muhammad sendiri semasa
mengemban tugas menyampaikan ajaran Islam, sangat mencerminkan kedekatan dan
penghargaan beliau kepada ilmu pengetahuan. Di antara ucapan atau Hadits Nabi yang 6
Menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi kaum Muslimin pria maupun wanita
(Hadits riwayat Ibn Abd al-Barr).
Iman itu telanjang, pakaiannya adalah taqwa, perhiasannya adalah malu, dan
Lihat misalnya, Yusuf al-Qardhawi, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah , 6
Orang-orang yang berilmu adalah pewaris para Nabi (Hadits riwayat Al-Khatib).
Sebagaimana diketahui bahwa pada awal munculnya Islam hanya ada 17 orang
suku Quraisy yang pandai baca tulis. Maka Nabi Muhammad Saw, menganjurkan
pengikut-pengikutnya untuk belajar membaca dan menulis, sebagai kunci ilmu
pengetahuan. Tak terkecuali 'Aisyah, istrinya, pun belajar membaca dan menulis. Juga
anak angkatnya Zaid ibn Tsabit disuruhnya belajar tulisan Ibrani dan Suryani. Budak-
budak belian dan tawanan perang pun dibebaskan dengan syarat mereka sanggup
mengajar membaca dan menulis kepada sepuluh orang Muslim. 7
Dalam perang Badar banyak penduduk Makkah yang jatuh ke dalam tawanan kaum
Muslimin.Para tawanan itu telah diperintahkan oleh Rasulullah untuk mengajari baca-
tulis kepada orang-orang Islam, sebagai penebus diri mereka. Semua itu menunjukkan
perhatian Nabi Muhammad Saw., yang sangat tinggi kepada ilmu pengetahuan sebagai
pelaksanaan dari perintah Allah SWT. Dalam suratThaha/20 ayat 114 dinyatakan bahwa
Nabi Muhammad meskipun telah mencapai puncak segala puncak masih tetap
diperintahkan selalu berdoa dan berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Berbagai keterangan baik dari Al-Qur'an maupun Hadits Nabi berkenaan dengan
pentingnya ilmu pengetahuan, menjadi semacam penopang bagi umat Islam untuk
mengembangkan dan merintis ilmu-ilmu pengetahuan yang kelak menjadi sendi
bangunan peradaban, baik yang muncul di dunia Islam (zaman Abbasiyah) maupun yang
kelak dilanjutkan di dunia Barat. Berkaitan dengan ini, menarik pernyataan S.I.
Poeradisastra bahwa, ilmu pengetahuan dan teknologi modern lahir dari kandungan
Islam. Islamlah yang menemukan metoda ilmiah, yakni metoda empirik induktif dan
percobaan yang menjadi kunci pembuka rahasia-rahasia alam semesta, yang menjadi
perintis modernisasi Eropa dan Amerika. 9
Sejak Nabi Muhammad Saw., mendapat wahyu dari, SWT, ayat-ayat al-Qur'an dan
penafsirannya merupakan mate pengajaran yang sangat penting. Karena itu, beliau melal
tugasnya disetiap kesempatan yang memungkinkan baginya untuk menyampaikan
risalahnya. Nabi Saw., ketika itu memar menghadapi kenyataan bahwa risalah yang akan
S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern (Jakarta: P3M, 1981), 7
h. 8.
M. Quraish Shihab, op. cit ., h. 178 . 8
S.I. Poeradisastra, op. cit ., h. 7. 9
disampaikan terhadang oleh adat-istiadat dan kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah
kaumnya, yang dalam banyak hal bahkan bertentanga dengan wahyu yang diterimanya
dari Allah SWT.
Pada periode ini, Nabi Saw. menggunakan Darul Arqam (rumah kediaman sahabat,
al-Arqam bin Abi Al-Arqam r.a.) sebagai tempat pertemuan dengan para sahabatnya.
Praktek belajar-mengajar yang dilakukan Nabi Saw. ketika itu, menurut Muhammad
Raf'at Sa'id, betul-betul sudah terorganisir dengan rapi, sesuai dengan target yang hendak
dicapai terhadap peserta didik. Jadi bukan hanya sekadar pemahaman, hafalan, dan
pelaksanaan, tetapi lebih dari itu untuk melahirkan kader-kader pendidik. Karena itu 10
setelah tiga tahun digembleng secara sembunyi-sembunyi, maka di masa-masa berikutnya
para sahabat itu sudah tumbuh menjadi kader-kader pendidik andalan Nabi Saw., yang
kelak mendampingi beliau dalam menyampaikan risalah Islam secara terang-terangan.
Muhammad Ra'fat Said, Rasulullah SAW. Profil Seorang Pendidik: Methodologi Pendidikan dan 10
Pengajarannya, esidi Indonesia Jakarta: Firdaus, 1994), h. 93. Sebenarnya Said menggunakan is tilah
"madrasah", tetapi sebagaimana kita tahu bahwa lembaga pendidikan model madrasah di dunia Islam belum
ada pada zaman Nabi dan para sahabat, madrasah baru lahir pada abad ke-4 H.
Ibid., h. 108 . 11
Lembaga pendidikan Islam yang bersifat semi-formal atau hampir mendekati ciri-
ciri sebuah lembaga formal, karena memiliki metodologi pengajaran dan jadwal yang
tetap, baru tumbuh seiring dengan perkembangan dakwah Islam yang mulai memperoleh
sambutan relatif luas, yaitu di Madinah.
Di antara para sahabat Nabi yang memeluk Islam setelah Khadijah, Ali bin Abi
Thalib, dan Abu Bakar Shiddiq, ialah Zaid bin Haritsah, Utsman bin Affan, Zubair bin
Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidilah, Arqam
bin Abi al-Arqam, Abu Ubaidillah bin Jarrah, Fatimah binti Khattab dan suaminya Sa'id
bin Zaid, dan beberapa sahabat lainnya. Merekalah "murid-murid" Nabi Saw., pertama
yang memperoleh pendidikan di Darul Arqam. Mereka pula yang menjadi guru-guru
pertama, setelah Nabi Saw. sendiri, dalam sejarah Islam.
Ketika jumlah kaum Muslimin ini mulai banyak, kebutuhan untuk belajar membaca
dan menulis muncul sejalan dengan kebutuhan kaum Muslim untuk memahami dan
mendalami ayat-ayat al-Qur'an. Maka pada fase berikutnya muncullah apa yang
kemudian dikenal sebagai kuttab , sebuah lembaga pengajaran al-Qur'an untuk tingkat
dasar. Di samping itu, rumah terutama rumah orang alim juga digunakan sebagai tempat
belajar.
Dan ketika masjid mulai didirikan, umat Islam tidak menyia-nyiakannya begitu
saja. Masjid juga digunakan untuk proses belajar mengajar. Ruangan mesjid pun segera
dimanfaatkan sebagai tempat berlangsungnya halaqah-halaqah al-dras .
Dalam perjalanan sejarah Islam yang panjang itu, para peneliti sejarah pendidikan
Islam mencatat nama-nama lembaga pendidikan yang pernah muncul dalam sejarah Islam
di masa Idasik dan telah memberi jasa besar bagi perkembangan intelektual dalam Islam.
Lembaga-lembaga pendidikan itu di antaranya adalah seperti Dar al-Hikmah, al- Khan at,
al-Bimaristan, ar- Ribath , dan lain-lain. Dalam perkembangannya, akhirnya muncul
lembaga pendidikan yang tertata rapih dan proses pendidikan dan pengajarannya
berlangsung secara lebih sistematis. Inilah yang disebut Madrasah , lembaga pendidikan
yang dapat dikatakan sebagai puncak dari perkembangan lembaga pendidikan, tempat
proses belajar-mengajar berlangsung dalam Islam.
Secara harfiah, "masjid" berarti "tempat sujud", dari akar kata " sajada " yang artinya
"bersujud". Dalam sejarah Islam, masjid memiliki fungsi yang sangat luas, bukan hanya
tempat bersujud dalam arti ibadah semata seperti shalat dan i'tikaf, tetapi juga berfungsi
sebagai tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar. Ketika Nabi Saw. hijrah dari
Mekah ke Madinah, yang pertama beliau bangun adalah masjid, yaitu masjid Quba'
ketika beliau masih dalam perjalanan dan Masjid Nabawi ketika beliau telah tiba di
madinah. Nabi Saw. tampaknya sangat menyadari bahwa masjid akan menjadi modal
utama dalam melanjutkan misi dakwahnya di Madinah, untuk membangun masyarakat
yang beradab.
Masjid Nabawi merupakan tonggak sejarah amat penting bagi umat Islam. Di
Masjid Nabawi itulah Nabi Saw. melaksanakan seluruh misi beliau dari mulai mengajar,
latihan militer, diplomasi, musyawarah, dan seterusnya. Dengan kata lain, Nabi Saw. 12
telah mencontohkan bagaimana sebuah masjid bisa bersifat multifungsi dan menjadi
bagian penting dari pranata masyarakat Islam. Bahkan pada masa-masa lebih
belakangan, ketika ruangan masjid tidak lagi memadai untuk kebutuhan kegiatan-
kegiatan yang semakin beragam itu, maka untuk kebutuhan itu kaum muslimin
mendirikan bangunan-bangunan tambahan di samping masjid, seperti lembaga
pendidikan, termasuk di antaranya Madrasah , sebagaimana akan kita bahas berikut.
Pertama, murid-murid yang terdaftar di situ untuk belajar. Mereka ini senantiasa
belajar di sana sampai mereka menamatkan pelajaran dan memperoleh ijazah dari guru.
Mereka belajar di sana sepanjang hari untuk beberapa tahun. Kedua, pelajar-pelajar
pendengar yang tidak terdaftar ( mustami' ). Mereka ini pergi ke sana untuk mendengar
beberapa mata pelajaran, seperti orang yang pergi mendengar ceramah umum tanpa
terikat dengan kurikulum pelajaran tertentu.
Cara belajar di dalam masjid itu tergolong unik bila dilihat dari kacamata sekarang.
Para guru atau pengajar mengambil tempat tersendiri di dalam ruangan masjid. Para
murid duduk di atas lantai atau tikar mengelilingi sang guru, sehingga terciptalah
lingkaran-lingkaran atau halaqah. Banyaknya halaqah di dalam suatu; masjid tergantung
pada besarnya masjid. Semakin besar sebuah masjid biasanya semakin banyak terdapat
Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 34. 12
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Fihafat Pendidikan Islam, edisi Indonesia (Jakarta: Bulan 13
Berbeda dengan masa tumbuhnya kuttab baik di dalam maupun di luar masjid, para
pengajar dalam sistern halaqah ini dalam perkembanganya mulai ada yang memperoleh
gaji yang diambil dari harta wakaf yang diserahkan kepada dan dikelola oleh pengurus
masjid. Meskipun demikian ada juga pengajar yang tidak mau menerima gaji, mereka
hanya mengharapkan pahala dari Allah SWT. Sementara itu, para pelajar tidak dipungut
bayaran, bahkan dalam banyak hal mereka mendapat hadiah atau pemberian. Memang
ada beberapa masjid yang memungut bayaran dari siswa sebagai biaya pendidikan,
misalnya masjid-masjid di Andalus di awal masa Islamnya. Hal ini bisa dipahami karena
menurut suatu pendapat di negeri Andalus masjid merupakan satu-satunya lembaga
pendidikan dan pengembangan ilmu. Negeri itu pada masa itu tidak mengenal
Madrasah ,
duwar al-'ilm , dan lembaga-lembaga pendidikan formal lainnya. 14
Akan halnya harta wakaf yang diserahkan kepada masjid yang kemudian dikelola
untuk biaya pendidikan, biasanya berasal dari umat Islam sendiri dan orang-orang tua
murid yang anaknya menuntut ilmu di masjid tersebut. Besarnya pemberian tidak
ditentukan, karena memang bukan dimaksudkan sebagai biaya administrasi pendidikan.
Meskipun terdapat penguasa yang menafkahkan hartanya untuk biaya pendidikan di
masjid, tetapi sifatnya tidak mengikat, karena masjid tidak memiliki sangkut paut dengan
kekuasaan. Terlepas dari tidak adanya hubungan langsung antara masjid dengan
kekuasaan, karena masjid merupakan tempat pendidikan, maka tidak jarang para
penguasa merekrut pegawai dari masjid untuk dipekerjakan di kantor pemerintahan.
Melihat antusiasme umat Islam dalam memanfaatkan masjid sebagai tempat untuk
menuntut ilmu, ditambah lagi dengan pesatnya pembangunan masjid-masjid baik yang
dibangun secara swadaya oleh masyarakat maupun yang dibangun oleh penguasa, maka
bisa dimengerti kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa masjid merupakan simbol
kejayaan pendidikan Islam sejak masa Nabi Saw., sampai dua abad berikutnya.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa dalam perkembangannya selama dua abad
pertama setelah kebangkitan Islam, masjid hanya menjadi tempat untuk belajar ilmu-ilmu
agama. Pengajaran ilmu pengetahuan umum dan filsafat di dalam masjid, sebagaimana
telah dijelaskan di bagian terdahulu, telah menim-bulkan konflik atau pertentangan
pendapat. Adanya pandangan yang ingin membebaskan masjid dari beban-beban
" sekuler " itu, menambah sulit untuk mencari titik temu antara tujuan pendidikan dengan
tujuan agama. Ditambah lagi alasan bahwa kian semaraknya pendidikan yang
diselenggarakan di masjid, membuat masjid menjadi hiruk-pikuk, sehingga mengganggu
ketenangan dan kekhusukan orang beribadah. Alasan inilah yang kemudian melahirkan
gagasan mendirikan lembaga pendidikan di luar masjid yang bisa dimanfaatkan untuk
mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Lembaga pendidikan dimaksud di antaranya
adalah Madrasah .
Ibid., h. 37 14
b. Kuttab
Kuttab secara harfiah berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis. Tapi
secara istilah kuttab berarti tempat untuk belajar menulis dan membaca pada tingkat
dasar. Para sahabat Nabi Saw., yang pandai baca tulis memanfaatkan lembaga kuttab itu
untuk keperluan mengajarkan ketrampilan menulis dan membaca ayat-ayat al-Qur'an
kepada anak-anak. Dengan demikian, kuttab di masa awal Islam oleh para sahabat
dimanfaatkan untuk mengajarkan tulis baca ayat-ayat al-Qur'an. Dalam kisah diceritakan
bahwa Rasullulah SAW. memerintahkan Al-Hakam bin Said untuk mengajarkan al-
Quran dan tulis baca pada sebuah kuttab di Madinah. Ini menunjukkan bahwa lembaga
pendidikan jenis kuttab ini telah menjadi perhatian Rasulullah untuk menunjang
keberhasilan dakwahnya.
Pendidikan jenis kuttab ini pada mulanya diadakan di rumah-rumah guru. Setelah
Nabi Saw. dan para sahabat membangun masjid, barulah ada kuttab yang didirikan di
samping masjid. Selain itu ada juga kuttab yang didirikan terpisah dari masjid. Masa
belajar di kuttab tidak ditentukan, bergantung kepada keadaan si anak. Anak yang cerdas
dan rajin, akan lebih cepat menamatkan pelajarannya. Sebaliknya anak yang malas akan
memakan waktu yang lama untuk menamatkan pelajarannya. Sistem pengajaran di kuttab
ketika itu tidak berkelas. Para murid biasanya duduk bersila dan berkeliling menghadap
guru.
Sampai pada abad ke-2 H, lembaga kuttab ini semakin banyak didirikan oleh kaum
Muslimin atas prakarsa mereka sendiri, dalam arti lepas dari campur tangan pemerintah.
Di masa ini pula kuttab tersebar merata di setiap negeri, sehingga karakteristik kuttab
sebagai lembaga pendidikan yang terbuka sangat menonjol, dalam arti siapa saja bisa
memanfaatkannya sebagai sarana untuk menimba ilmu pengetahuan Islam. Orang kaya
dan miskin mempunyai kesempatan yang sama untuk belajar di kuttab . Hal ini terjadi
karena kuttab tidak dikomersialisasikan. Para pengajar pun pada umumnya tidak mencari
penghidupan di kuttab , mereka mengajar secara ikhlas. Memang ada di antara mereka
yang menerima upah, tapi umumnya tidak seberapa memberatkan.
c. Rumah Ulama
Di masa awal perkembangan agama Islam, rumah orang alim telah digunakan untuk
belajar agama. Di masa Nabi Saw. menyampaikan risalah Islam, rumah para sahabat
sering digunakan oleh Nabi untuk berkumpul dalam rangka menga-jarkan Islam. Rumah
juga menjadi tempat menyampaikan ajaran Islam secara relatif aman, terutama dalam tiga
tahun pertama dakwah Nabi, karena kondisi saat itu belum memungkinkan untuk
berdakwah secara terang-terangan.
Hal itu terjadi, misalnya, pada kasus ditutupnya lembaga-lembaga pendidikan yang
mengajarkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Apakah kemudian filsafat dan ilmu
pengetahuan menjadi mati di dunia Islam? Ternyata tidak. Sebab orang-orang yang
menghargai ilmu pengetahuan, apapun jenisnya, tetap mempelajari dan menekuni ilmu
tersebut meskipun harus secara sembunyi-sembunyi, yaitu di rumah-rumah ulama yang
bersedia untuk mengajarkannya kepada mereka.
Halaqah al-dars (biasa disebut halaqah saja) atau "lingkaran belajar", termasuk
lembaga pendidikan Islam yang cukup dikenal sebelum lahirnya adrasah. Sebagian ahli
bahkan mengatakan; bahwa halaqah masih ada dan dilangsungkan meskipun Madrasah .
telah bermunculan di dunia Islam. Malah ada yang mengatakan bahwa Halaqah al-dars
juga sering dilangsungkan di Madrasah .
Tampaknya, bagi Asma Hasan Fahmi, sepanjang sebuah majlis memenuhi kriteria
ilmiah, maka ia sudah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan. Halaqah al-dars ,
menurutnya, telah memenuhi kriteria tersebut. Asma Hasan Fahmi menyatakan bahwa
diskusi-diskusi ilmiah yang diselenggarakan di rumah-rumah para ulama, istana raja-raja,
dan para pembesar adalah Halaqah al-dars yang cukup representatif. Lebih-lebih lagi
apabila diskusi-diskusi itu juga menghadirkan orang-orang ternama dan para pemuka
masyarakat seperti kalangan ulama, sastrawan, ahli logika, dokter, dan lain-lain.
Perbedaan antara Halaqah al-dars dengan "rumah ulama" yang dijadikan sebagai
lembaga pendidikan adalah bahwa "rumah ulama" lebih bermuatan pengajaran, dalam arti
bahwa di situ ada murid yang belajar, dan ada guru atau pemilik rumah yang mengajar.
Sedangkan Halaqah al-dars lebih merupakan pertemuan ilmiah antara orang-orang
pandai. Asma Hasan Fahmi menyebut contoh bagaimana kedudukan ilmu manthiq
diperdebatkan secara berbobot dalam suatu Halaqah al-dars yang dipandu oleh Ibn al-
Furat.
Dilihat dari materi pengajarannya, halaqah tidak sama dengan kuttab. Kalau kuttab
dapat dikategorikan sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, maka halaqah dapat
disebut sebagai lembaga pendidikan tingkat lanjutan yang setingkat dengan college .
Keempat lembaga pendidikan Islam disebut di atas merupakan lembaga pendidikan
yang sangat awal dan dengan cepat sekali perkembangannya. Keempatnya sudah berdiri
dan tersebar pada masa al-Khulafa' al-Rasyidun dan Bani Umayyah. Melalui lembaga
pendidikan seperti inilah untuk pertama kalinya ilmu hadits, ilmu tafsir, dan fikih
berkembang di kalangan para sahabat, tabi'in (generasi setelah sahabat), dan atba' al-
tabi'in (generasi setelah tabi'in).
Dengan melalui empat lembaga pendidikan itu telah lahir para ulama besar Islam
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam , edisi Indonesia (Jakarta: Bulan 15
1) Di Makkah
Mereka ini dapat dikatakan sebagai ulama generasi kedua yang berjasa
mengembangkan pendidikan di Makkah pada masa berikutnya. Adapun ulama generasi
ketiga yang rerkenal adalah Sufyan ibn Uyainah dan Muslim ibn Khalid Al-Zanji. Imam
Syafi'i, pengarang kitab fiqh terkenal "al-Umm" dan pendiri mazhab Syafi'i, pernah
menimba ilmu di Makkah, sebelum belajar di Madinah.
2) Di Madinah
Lembaga pendidikan Islam di Madinah sudah ada dan berlangsung sejak Rasulullah
Saw. dan para sahabat hijrah dari Makkah ke kota yang semula bernamaYatsrib itu.
Masjid adalah salah satu yang terpenting dari lembaga yang digunakan oleh Nabi Saw.
dalam proses pendidikan tersebut. Setelah beliau wafat, fungsi masjid sebagai lembaga
pendidikan itu diteruskan oleh para sahabat. Kuttab dan rumah-rumah para sahabat pun
masih tetap digunakan untuk menyampaikan pelajaran Islam. Di antara para sahabat yang
meneruskan pendidikan Islam itu ialah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar ibn Khattab, Ali ibn
Abi Thalib, Zaid ibn Tsabit, dan Abdullah ibn Umar. Pengajaran al-Qur'an dan tafsir
berkembang pesat ditandai dengan terbitnya al-Qur'an hasil tulisan tangan para murid
yang dipimpin oleh Zaid ibn Tsabit.
Abdullah ibn Umar tampaknya sangat memusatkan pengajarannya pada bidang apa
yang kemudian dikenal dengan hadits dan fiqh karena beliau adalah ahlinya dan dianggap
sebagai pelopor mazhab Ahl al-Hadits yang berkembang pesat pada masa sesudahnya.
Setelah para sahabat dan ulama Madinah generasi pertama wafat, para pengganti mereka
yang berkecimpung di dunia pendidikan adalah Sa'ad bin Musayyab dan Urwah bin al-
Zubair bin al-A\vwan. Kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya yaitu seorang ahli
hadits dan fiqh, yaitu ibn Syihab al-Zuhri.
Kebanyakan kegiatan belajar mengajar di Madinah dilakukan di masjid-masjid,
kuttab, dan rumah-rumah sahabat, seperti masa Rasullulah.
3) Di Basrah
Seperti di Makkah dan Aladinah, proses pendidikan dan pengajaran Islam di Basrah
pertama-tama pada masa awal kebangkitan Islam memanfaatkan masjid dan rumah-
rumah ulama. Proses pendidikan dan pengajaran di Basrah itu dipelopori oleh Abu Musa
al- Asy'ari dan Anas bin Malik, atas usulan Ali bin Abi Thalib. Kedua orang ini
merupakan generasi pertama. Keduanya terkenal sebagai ahli Fiqh, Hadits dan Ilm al-
Quran. Tidak heran kalau ilmu-ilmu tersebut cukup dominan di Basrah. Dua ulama
terkenal yang pernah dibesarkan oleh Abu Musa al-Asy'ari dan Anas ibn Malik adalah
Hasan al-Basri dan Ibn Sirin, dua ulama terkenal di awal abad ke-2 H. Hasan al-Basri
disebut-sebut sebagai perintis dan pemberi jalan bagi perkembangan Mazhab Ahl Al-
Sunnah dalam bidang Ilmu Kalam. Ibn Sirin adalah seorang ahli Hadits dan Fiqh. Dia
pernah belajar secara langsung dari Zaid bin Tsabit dan Anas bin Malik.
Selain ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqh, tafsir, dan ilmu al-Qur'an, pada masa yang
agak belakangan ilmu lain seperti sejarah, retorika, dan logika, juga banyak diajarkan di
Basrah. Proses pendidikan dan pengajaran di Basrah berkembang pesat sejalan dengan
kemajuan peradaban Islam di wilayah ArabTengah, dan banyak terpengaruh oleh
perkembangan peradaban Islam di Irak dan Mesir.
4) Di Kufah
Ketika terjadi peperangan di Kufah, Umar bin Khattab, yang ketika itu menduduki
jabatan khalifah, mengutus Ali bin Abi Thalib untuk memadamkan api peperangan di
kota tersebut dengan perdamaian. Salah satu hasil yang dicapai dalam perdamaian itu
adalah dibentuknya majlis pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Guru pertama
dan utama yang ditugaskan menjalankan proses pendidikan dan pengajaran itu adalah
Abdullah Ibn Mas'ud, seorang sahabat yang dikenal sebagai ahli fiqih dan ahli tafsir. Dia
sendiri memberikan mata pelajaran al-Qur'an.
Dalam menjalankan tugasnya, Abdullah bin Mas'ud ditemani oleh enam ulama
besar, yaitu: 'Alqamah, al-Aswad, Masruq, 'Ubaidah, al-Harits bin Qais dan 'Amr bin
Syurahbil. Mereka itulah yang kemudian menggantikan Abdullah Ibn Mas'ud dan
mengembangkan majlis pendidikan di Kufah. Mereka berhasil mengembangkan lembaga
pendidikan tersebut setelah mengadakan studi banding ke Madinah dan Makkah. Nama-
nama lain yang pernah terlibat dalam pendidikan di Kufah adalah Abu Musa al-Asy'ari,
Syuraih, Sya'bi, Nakha'i, Sa'id bin Zubair, Nu'man, dan Abu Hanifah.
5) Di Damaskus (Syiria)
Masih pada zaman Umar bin Khattab, ketika Islam sudah mulai mengembangkan
sayap kekuasaannya sampai ke Syria (Syam), pengajaran Al-Quran secara berkala
dimulai di mesjid-mesjid dan rumah-rumah. Itulah awal lembaga pendidikan Islam di
sana. Para pengajar didatangkan oleh Umar dari Madinah. Tiga orang guru agama sudah
memainkan perananannya pada masa itu yaitu: Mu'az bin Jabal, 'Ubadah dan Abu Darda'.
Ketiga orang tersebut kemudian bersepakat mendirikan sebuah lembaga pendidikan baru
yang lebih formal untuk menampung murid yang kian hari makin bertambah. Di lembaga
baru tersebut bahan pengajaran yang pertama disampaikan adalah al-Quran. Lembaga
pendidikan serupa ini kemudian menyebar sampai ke Palestina, Maghrib dan Andalusia,
terutama setelah naiknya Bani Umayyah ke panggung politik Islam.
Setelah tiga ulama yang sekaligus merupakan guru pertama di Damaskus itu, proses
pendidikan dan pengajaran ditangani oleh ulama generasi kedua, yaitu Abu Idris al-
Khailani, Makhul al-Dimasyqi, Umar bin Abd al-'Aziz dan Razak bin Haiwah. Proses
pendidikan di Damaskus telah pula melahirkan ulama besar semisal Abdurrahman Al-
Auza'iy yang dinilai oleh banyak ulama mutakhir bahwa ilmunya sederajat dengan Imam
Malik dan Abu Hanifah. Mazhabnya tersebar sampai ke Andalusia walau kemudian
padam akibat pengaruh Mazhab Syafi'i dan Maliki.
6) Di Fustat (Mesir)
Proses pendidikan dan pengajaran Islam di Mesir dimulai oleh Abdullah bin 'Amr
bin al-'Ash, pahlawan Islam yang menaklukan negeri Mesir pada masa khalifah Umar bin
Khath-thab. Proses pendidikan dan pengajaran ini semakin intensif setelah Mesir
mengalami islamisasi dan masjid-masjid mulai banyak didirikan. Lebih-lebih lagi setelah
Mesir menjadi propinsi negara Islam yang berpusat di Madinah. Ibukotanya ketika itu
adalah Fustat, sebuah kota baru yang dibangun tentara Islam di pinggiran Mesir.
Sekarang kota itu lebih dikenal sebagai Mesir Lama (Kuno).
Setelah beberapa lama Abdullah bin 'Amr al-'Ash menjalankan tugasnya, datang
seorang ulama yang ikut berpartisipasi dalam proses pendidikan dan pengajaran di
masjid-masjid. Ulama tersebut adalah Yazid bin Abi Habib al-Nubi, yang ahli dalam
bidang fiqh. Keahliannya itu sangat dirasakan manfaatnya karena pada saat itu dalam
masyarakat telah banyak muncul persoalan yang berkaitan dengan hukum. Yazid dibantu
oleh guru yang datang kemudian yaitu Abdullah bin Abi Ja'far bin Rabi'ah yang ikut pula
memberikan pelajaran tentang ilmu sastra dan ilrnu sosial. Menurut al-Qatiri, pendidikan
dan pengajaran yang berlangsung di masjid-masjid itu merupakan awal dari proses
terbentuknya kuttab dan halaqah di Mesir.
Seperti diketahui, universitas Islam Al-Azhar yang didirikan pada tahun 970 M di
Kairo berawal dari sebuah mesjid yang dibangun oleh Jauhar al-Katib al-Siqilli, seorang
panglima perang Dinasti Fatimiyah. Belakangan, mesjid ini dikembangkan untuk tempat
melakukan propaganda ajaran Syi'ah dan lambang kepemimpinan spiritual umat Islam.
Karena banyaknya orang yang belajar dan ingin berdiskusi ke masjid ini maka fungsinya
kemudian diperbesar.
Keempat bentuk lembaga pendidikan Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di
masa awal Islam, yaitu pada masa al-Khulafa' al-Rasyidun dan Bani Umayyah, tersebut
di atas itu terus berkembang dan berlanjut pada masa-masa sesudah, bahkan masih dapat
dilihat dan diamati pada sekarang ini. Namun, pada masa Abbasiyah (750 - 1258 M)
lembaga-lembaga pendidikan Islam semakin berkembang dan muncul dalam bentuk yang
semakin beragam. Hal itu sejalan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan
Islam, menyusul keberhasilan gerakan penerjemahan yang sangat menentukan
perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam Islam. Sebelum berdirinya Madrasah , puncak
perkembangan lembaga pendidikan dalam Islam, pada masa Bani Abbas telah tumbuh
dan berkembang bentuk-bentuk baru lembaga pendidikan, di antaranya adalah daur al-
kutub (perpustakaan), observatorium dan rumah sakit, masjid khan , dan ribath . Kalau
daur al-kutub , observatorium dan rumah sakit menjadi tempat pendidikan dan pengajaran
ilmu-ilmu rasional (istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada ilmu-ilmu umum),
maka masjid khan dan ribath adalah tempat yang digunakan sebagai pusat pendidikan
dan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan Islam.
Duwar al-kutub atau perpustakaan telah memainkan peranan sangat penting sebagai
lembaga pendidikan. Daur al-kutub bukan hanya merupakan tempat kumpulan buku, tapi
juga berfungsi sebagai sarana belajar, saling tukar informasi, dan berdiskusi. Dalam
sejarah Islam masa klasik, perpustakaan banyak didirikan baik oleh perorangan,
masyarakat, maupun oleh pemerintah.
Para khalifah, gubernur dan penguasa lokal pada masa Dinasti Abbasiyah, dalam
rangka membina pemikiran dan ilmu pengetahuan, mendirikan bangunan khusus yang
biasanya dinamakan dengan bait al-hikmah atau khiza'nah al-hikmah atau shawawin al-
hikmah. Pada dasarnya, lembaga bait al-hikmah di atas berfungsi sebagai perpustakaan
(daur al-kutub}, yang tampaknya juga aktif di sana para guru, para ilmuwan, di samp ing
aktivitas penterjemahan, penulisan naskah, dan penjilidannya. 16
Bait al-Hikmah yang pertama adalah bait al-hikmah yang didirikan oleh khalifah
Abbasiyah di Baghdad. Bait al-hikmah ini didirikan pertama kali oleh Abu Ja'far al-
Manshur (135-157 H/ 752-774 M). Aktivitasnya terus menanjak dan menjadi sangat
terkenal pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid dan al-Ma'mun, ketika lembaga ini
juga berfungsi sebagai tempat pengajaran.
Termasuk Bait al-hikmah yang terkenal adalah bait al-hikmah yang terdapat di
Qairawan. Disebutkan bahwa bait al-hikmah ini didirikan oleh Ziadatullah III al-Aghlabi
(290-296 H), gubernur Dinasti Abbasiyah yang berkedudukan di Afrika Utara. Di
lembaga bait al-hikmah di Qairawan ini terdapat perpustakaan dan tempat dilakukannya
aktivitas penterjemahan, karang mengarang, tempat pengajaran ilmu kedokteran,
apoteker, matemiatika, astronomi, ilmu ukur, ilmu tumbuh-tumbuhan, musik, dan lain
Perpustakaan, baik dengan aktivitas yang banyak seperti halnya dengan Bait al-
hikmah tersebut, maupun yang hanya berfungsi sebagai perpustakaan, pada waktu itu
sangat banyak mengimpun buku-buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Sebagian perpustakaan itu ada yang menghimpun lebih dari sejuta buku.
Para pakar peradaban sering mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban
buku, dalam arti bahwa buku telah dimanfaatkan secara serius sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Hal itu karena al-Qur'an yang merupakan pedoman hidup kaum Muslim
menempatkan ilmu pengetahuan pada kedudukan yang tinggi dan terhormat. Karena
itulah, orang-orang Islam dari semua kalangan sangat menghargai buku, dan buku dalam
kaitannya dengan peradaban Islam sama artinya dengan perpustakaan. 18
132-3.
ini, Ahmad Syalabi mengatakan bahwa perpustakaan di dunia Islam klasik telah
menjalankan fungsi sebagai perguruan tinggi seperti di zaman modern.
Begitu juga perpustakaan yang terletak di " Dar al-'Ilm " yang didirikan oleh Abu al-
Qasim Ja'far ibn Muhammad ibn Hamdan al-Maushili di Mosul. Perpustakaan ini dibuka
setiap hari dan bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Sebagai pengagum dan pecinta syair,
JaTar memanfatkan perpustakaannya itu untuk mengajarkan syair-syair gubahannya, atau
syair-syair orang lain yang dipelajarinya, kepada para pengunjung. Para pengunjung yang
datang dari negeri yang jauh dan kebetulan tidak berpunya, selalu diberi buku-buku dan
uang oleh Ja'far. Karena alasan-alasan itu., Ahmad Syalabi mengingatkan bahwa siapa
saja yang menulis tentang lembaga pendidikan Islam di masa klasik, maka dia tidak dapat
meninggalkan pembicaraan tentang perpustakaan.
Di samping perpustakaan, para khalifah, sultan, dan para amir juga mendirikan
observatorium dan rumah sakit. Hal ini sejalan dengan kemajuan peradaban Islam paska
penerjemahan karya-karya klasik ke dalam bahasa Arab, yang di antaranya mendorong
perkembangan ilmu astronomi dan kedokteran dalam Islam.
Rumah sakit, yang dalam literatur klasik sering disebut dengan Bimaristan (tunggal,
19 Hanun Asrohahm op. cit ., h. 69-70.
jamaknya Bimaristanat ), sebagaimana halnya dengan perpustakaan dan observatorium,
juga difungsikan sebagai lembaga pendidikan, terutama bagi caloin-calon dokter, atau
orang yang tengah menuntut ilmu kedokteran. Rumah sakit itu tampaknya digunakan
sebagai tempat mereka mempraktekkan ilmu yang secara teoretis telah mereka terima.
Jumlah rumah sakit yang dibangun oleh para penguasa Muslim di masa klasik sangat
banyak. Sampai tahun 1160, di Baghdad saja telah berdiri sekitar enam puluh rumah
sakit, belum lagi kalau dijumlahkan rumah-rumah sakit yang pernah dibangun pada masa
yang sama di kota-kota pusat peradaban Islam, seperti Kairo (Mesir), Kiarawan (Tunisia),
Cordova dan Seville (Spanyol).
c. Masjid Khan
Setelah Madrasah berdiri, kebanyakan Ribath berubah fungsi hanya sebagai asrama
Paparan mengenai sejarah timbulnya madrasah ini lihat tulisan George Makdisi, "The Rise of 21
Colleges: Institutions of Learning In Islam and The West", yang juga dikaji secara mendalam oleh Hasan
Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, op. cit ., h. 45.
Madrasah - Madrasah ." 22
Dari kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang
menyebabkan timbulnya istilah pengajaran di Madrasah , yaitu:
Ketiga , pada abad ke-4 H, Syi'ah telah tumbuh menjadi faham dan gerakan
keagamaan yang kuat yang berkembang dihampir seluruh dunia Islam. Syi'ah tidak hanya
merupakan gerakan politik tetapi juga gerakan ilmu pengetahuan yang secara aktif dan
sistematis menyebarkan ide-idenya melalui lembaga-lembaga pendidikan. Keadaan ini
sangat menantang kaum Muslim dari kalangan Sunni. Karena itu mereka membangun
Madrasah - Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang oleh para ulama fiqih kemudian
digunakan untuk mengembangkan sekaligus mempertahankan faham Ahlussunah.
Keempat , pada masa bangsa Turki Seljuk mulai berpengaruh dalam pemerintahan Bani
Abbasyiah (1055-1194 M) dan mempertahankan kedudukan mereka dalam pemerintahan,
mereka berusaha untuk menarik hati kaum Muslimin, dengan jalan memperhatikan
pendidikan dan pengajaran bagi rakyat umum. Mereka juga berusaha mendirikan
Madrasah - Madrasah ini di berbagai tempat dan dilengkapi dengan sarana dan fasilitas
yang diperlukan. Guru-guru digaji secara khusus untuk mengajar di Madrasah -
Madrasah
yang mereka dirikan. Kelima , mereka mendirikan Madrasah tersebut dengan harapan
mendapatkan simpati rakyat umum, di samping ampunan dan pahala dari Allah SWT.
Para pembesar negara pada masa itu, dengan kekayaan mereka, banyak yang melakukan
maksiat dan bermewah-mewahan, sehingga dengan mendirikan sekolah-sekolah tersebut
mereka ikut mewaqafkan hartanya ke jalan Allah dengan harapan sebagai penebus
dosa. 23
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang awal munculnya Madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam seperti yang dikenal sekarang. Hasan Ibrahim Hasan
berpendapat bahwa: Madrasah belum berdiri sebelum abad 4 hijriyah (sebelum 10
Masehi). Madrasah pertama adalah Al-Baihaqiyah di Naisapur. Al-Maqrizy juga 25
mengemukakan hal yang sama, bahwa Madrasah yang mula-mula berdiri adalah Al-
Baihaqiyah di Naisapur, oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqi yang wafat pada 414 H. 26
Demikian pula Naji Ma'ruf (1966:9) mengatakan bahwa 165 tahun sebelum
Madrasah Nizhamiyah, sudah ada Madrasah diTransoksania dan Khurasan. Sebagai
bukti, ia mengemukakan data dari Tarikh al-Bukhari yang menjelaskan bahwa Ismail Ibn
Ahmad Ibn Asad yang wafat pada tahun 295 H mempunyai Madrasah yang dikunjungi
oleh para pelajar untuk melanjutkan pelajaran mereka. Madrasah Naisapur pada masa
awalnya didirikan oleh ulama fiqih dengan tujuan utama mengembangkan ajaran
mazhabnya. Pada umumnya Madrasah tersebut mengajar-kan satu mazhab fikih saja dan
sebagian besar mazhab Syafi'i. Dari 39 Madrasah yang dikemukakan oleh Bulliet, 28
hanya satu Madrasah yang mengajarkan Fiqh Maliki, empat Madrasah yang
mengajarkan mazhab Hanafi dan yang lain mengajarkan fikih Syafi'i. 29
Pendapat lain mengatakan bahwa Madrasah muncul pertama kali di dunia Islam
adalah Madrasah Nizhamiyah, yang didirikan oleh Nizham al-Mulk seorang penguasa
dari Bani Saljuk (W. 485 H.). Ibnu al-Atsir menyebutkan bahwa Nizham Al-Mulk
seorang wazir Sultan Maliksyah Bani Saljuk (465-485) mendirikan 2 Madrasah yang
Hasan Asari, op. cit ., h. 47. 24
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi Wa al-Dini Wa al-Tsaqafi Wa al-Ijtimai .,]uz 4 Cet-IV 25
(Mesir, Maktabah al-Nahdlah, 1967), h. 425O
Al-Maqrizi, al-Mawaizh wa al-I'tibar bi-Dzikr al-Khithath via al-Atsar . 2 Vol., (Beirut: Dar Shadir, 26
t.t.), h. 212 dan 380.
Richard W. Bulliets, The Patricians oa Nishapur (Cambridge: Mass Harvard University Press, 27
1972), h. 174
Naji Maruf, Madaris Makkah (Baghdad: Al- Irsyad, 1966), h. 9. 28
Bulliet, The Patricians , op. cit .,h. 176. 29
terkenal dengan nama Madrasah Nizhamiyah di Bagdhad dan Naisapur kemudian di
berbagai wilayah yang dikuasainya. 30
Karena perubahan sistem inilah mungkin yang menyebab-kan para ahli pendidikan
Islam menyebut Madrasah Nizhamiyah sebagai Madrasah Pertama. Dengan pengertian
sebagaimana disebut oleh Hasan Abdu A1-A1 bahwa, Madrasah Nizham al-Mulk
bukanlah Madrasah pertama di dunia Islam, tetapi ia adalah Madrasah terbesar
pertama. 32
Istilah Madrasah juga pernah muncul pada masa khalifah Abbasyiah Harun al-
Rasyid yang disebut dengan " Madrasah Baghdad", akan tetapi belum populer pada saat
itu karena mengalami kemandekan. Madrasah pertama di dunia Islam dalam arti populer
menurut beberapa pendapat adalah Madrasah Baihaqiyah di Naisapur pada abad ke-3 H,
sedangkan menurut penelitian Bulliet (1972) Madrasah tertua adalah Miyan Dahiya di
Naisapur juga pada abad ke-3 H. Sedangkan Madrasah Nizhamiyah adalah Madrasah
33
terbesar pertama di dunia Islam.
Pendapat lain dikemukakan oleh Ahmad Amin dalam Dhuha Al-Islam. Dia
membuat kesimpulan tentang Madrasah Nizhamiyah yang disebutnya sebagai
Madrasah
pertama. Namun, sayang ia tidak memberikan informasi bibliografls dari kutipannya
dalam buku tersebut yang memungkinkan pelacakan lebih lanjut tentang Madrasah
tersebut. Keadaan ini tidak bisa dipertahan-kan karena penelitian belakangan 34
membuktikan bahwa sebelum berdirinya Madrasah yang didirikan penguasa Dinasti
Seljuk tersebut sudah ada Madrasah di Naisapur, di bawah naungan Dinasti Samaniyah
(204-395/819-1005) yang berkembang menjadi salah satu pusat kebudayaan dan
pendidikan terbesar di dunia Islam sepanjang abad ke-4/10 M. Daerah yang dikenal
sebagai tempat kelahiran Madrasah ini telah memiliki banyak Madrasah sebelum era
Nizham al-Mulk. 35
Namun, hal demikian tidak mengecilkan arti penting peran Nizham al-Mulk yang
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, op. cit ., h. 425O 30
Ahmad Kamaluddin Hilmi, al-Salajiqah fi al-Tarikh wa al-Hadharah (Kuwait: Dar al-Buhuts al- 31
Ilmiyah, tt), h. 375
Hasan Abd al-'Al, al-Tarbiyah al-hlamiyah Fi al-arni al-Rabi al-Hijri (Beirut: Dar El Fikr Al- 32
Arabi, 1977), h. 213.
Bulliet, The Patrician, loc. cit . 33
Hasan Asari mengatakan bahwa Ahmad Amin tidak mengungkapkan secara jelas mengenai 34
penelidannya terhadap keabsahan penelidannya mengenai Madrasah Nizham al-Mulk dalam bukunya
Dhuha al-Islam. Amin tidak memberikan informasi bibliografis dari kutipannya untuk pelacakan lebih
lanjutnya mengenai penelidannya, lihat Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, op. cit ., h. 48.
Adam Mettz, The Renaissance of Islam , terj. Khuda Buksh dan DS Margoliouth, (NY: AMS 35
Press, 1975), h. 179-180.
telah berjasa membesarkan nama lembaga pendidikan Madrasah . la memang bukan
orang pertama yang membangun Madrasah , tetapi dilihat dari skala usahanya, ia adalah
orang yang pertama yang membangun jaringan lembaga pendidikan yang besar dengan
nama Madrasah . Ahmad Syalabi mengatakan: "Dalam hal ini, tak seorangpun yang
mendahului Nizham al-Mulk. Kalaupun dalam sejarah kemudian nama Nizham al-Mulk
lebih terkenal, karena biasanya dalam penulisan sejarah orang sering menunggu
fenomena besar, tanpa melihat peristiwa-pertistiwa sejarah sebelumnya, saat
perkembangan peristiwa-peristiwa itu masih terpisah-pisah. 36
Mengingat luasnya perkembangan Madrasah ketika itu, maka kiranya perlu pula
untuk menyinggung penyebaran lembaga pendidikan tersebut di dunia Islam. Berikut ini
adalah Madrasah - Madrasah yang pernah tumbuh dan berkembang di masa klasik
Islam.
Pelajaran yang sangat diutamakan adalah pelajaran agama, khususnya membaca dan
menghafal Al-Quran serta Sastra Arab, khususnya puisi-puisi dan syair. Kurikulum dan
materi pelajaran ' belum disusun secara teratur. Guru mengajarkan apa saja yang ia
kuasai. Oleh sebab itu, seorang guru, sebelum diterima sebagai pengajar, harus diuji
terlebih dahulu tentang keahlian mengajar dan bidang ilmunya. Gurupun harus
memperlihatkan ijazahnya sebelum mengajar. Bentuknya adalah semacam legalisasi dari
tempat ia belajar sebelumnya. Sehingga, ia dipercaya untuk memberikan pelajaran yang
ia kuasai. Setiap guru hanya mengajar satu kitab saja. Murid yang telah menyelesaikan
satu kitab dapat pindah ke madrasah lain untuk mempelajari kitab yang lain.
Seorang murid yang telah menamatkan buku/kitabnya pada seorang guru dan telah
melampaui proses penilaian yang dilakukan oleh gurunya, akan memperoleh surat
keterangan bahwa dia menguasai kitab tertentu yang diajarkan guru itu dan sanggup
untuk mengajarkannya kepada orang lain (semacam rekomendasi mengajar). Surat
Ahmad Syalabi, The History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kasyaf, 1954), h. 60-61. 36
keterangan itu dapat pula disebut ijazah. Namun, ijazah itu bukan berisi nilai prestasi
belajar murid dan bukan pula transkrip nilai dari berbagai mata pelajaran seperti saat ini.
Pada masa awal perkembangan madrasah tersebut, tidak ada jadwal pelajaran yang
teratur. Seorang murid bebas menentukan dan meneruskan pelajarannya selama ia
memiliki kecerdasan dan kesanggupan dan gurunya memadai untuk maksud tersebut.
Waktu bukanlah faktor utama untuk menyelesaikan pendidikan dan pengajaran, begitu
pula usia tidak menjadi syarat utama. Proses belajar-mengajar pada saat itu berlangsung
secara sederhana. Guru membacakan pelajaran dari satu teks. Murid menyalin teks
tersebut sebagaimana yang dibacakan gurunya. Murid kemudian membacakan secara
lantang teks tersebut.
Hubungan guru dan murid sangat akrab seperti hubungan orang tua dengan anaknya
yang penuh perhatian dan kasih sayang. Proses belajar mengajar diselenggarakan dengan
segala kerendahan hati. Sebuah kerangka pelajaran yang mudah dimengerti oleh murid
diberikan oleh para guru, lalu ditambah dan dilengkapi dengan rincian sepanjang proses
belajar-mengajar. Kesalahan murid diperbaiki tetapi tidak dengan kekerasan. Kegiatan
belajar mengajar berlangsung dari pagi sampai siang.
Bangunan madrasah di kota ini mempunyai ciri khusus, yaitu mempunyai sebuah
pekarangan luas yang disebut "shahn" . Terdapat pula kamar-kamar untuk para pelajar
dan dewan guru. Setiap kamar memiliki pilar-pilar tinggi. Bagian terpenting dari
madrasah ini adalah ruangan kuliah semacam aula yang disebut "iwanat" dilengkapi
dengan mimbar. Madrasah juga bersanding dengan mesjid tempat para pelajar melakukan
kegiatan ritualnya.
b. Madrasah Nizhamiyah
Seperti diketahui, sebelum Dinasti Saljuk, kekuasaan atas bagian terbesar wilayah
Islam dipegang oleh Dinasti Buwaihi (945-1055 M) dan Dinasti Fatimiyah (969-1171
M). Irak, Iran dan belahan timur lainnya dikuasai oleh Buwaihi. Sedang Mesir, Afrika
Utara dan Syria berada di bawah kekuasaan Fathimiyah. Faham Syi'ah yang menjadi
anutan kedua dinasti tersebut sempat, berkembang luas di tengah-tengah masyarakat.
Peran penguasa Syiah terhadap ajarannya bersamaan dengan ekspansi kekuasaan atas
daerah-daerah milik dinasti Abbasyiah. Dengan rontoknya dinasti Abbasyiah sejak abad
ke-9, situasi politik memburuk drastis sampai ke Hijaz. Pada awal abad ke-10 kaum
Syiah muncul ker panggung kekuasaan di hampir seluruh Timur-Tengah. Dinasti
Fathimiyah berjaya di Mesir dan Afrika Utara. Sementara, dinasti Buwaihi bercokol di
Irak, Iran dan bahkan juga sempat menguasi daerah Sunni di Baghdad.
Berbeda dengan Syiah Fatimiyah yang agak toleran di Mesir, Hijaz harus
berhadapan dengan Syiah Qarmatiyah. Penyebaran Syiah Qarmatiyah ini terbukti
mendatangkan bencana bagi Hijaz mulai dari Bahrain sampai Ke Arab barat. Dengan
pimpinan Thahir al-Qarmati pada 317 H/929 M, kaum Syi'ah Qarmatiyah ini menyerbu
Makkah dan membunuh 30.000 jamaah haji dan penduduk setempat. Setelah menjarah
Makkah mereka mengambil Hajar Aswad ke al-Hijr, kubu mereka di Arabia Barat. Hajar
Aswad itu baru dikembalikan 22 tahun kemudian, ketika Manshur al-Alawi, pemimpin
Qartamiyah Afrika Utara, berhasil membujuk mereka agar mengembalikannya ke
Makkah (Ka'bah).
Selama kekacauan ini, suasana di kota Makkah nyaris lumpuh, pasar-pasar tak lagi
tenang berdagang ketika musim haji, mereka lebih senang pergi ke tempat lain. Fungsi
Haraymain sebagai pusat pendidikan mengalami kemerosostan, bahkan makin terbatas
pada Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Namun, menjelang
abad ke-11 kaum Sunni meraih kembali kontrol politik atas hampir seluruh wilayah
Timur. Penguasa-penguasa Sunni seperti Ghaznawi diTransoxiana dan Afghanistan
(1052-1186 M), Saljuk di Anatolia, Syria dan Irak (1037-1300 M), dan Ayyubiyyah di
Mesir,Yaman, Syria dan Irak (1169-1500 M), meski sering terlibat konflik sesama
mereka, namun mampu membendung pasang naik kaum Syiah yang telah menancapkan
kekuasaannya di Baghdad dan menemnpatkan khalifah Abbasyiah di bawah kontrolnya.
Dinasti-dinasti Sunni tersebut berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijakan politik
dan keagamaan sesuai dengan ajaran ortodoksi Sunni. Hasilnya, ulama Sunni yang
mengembara ke mana-mana selama masa sulit tersebut terdorong untuk kembali ke
daerahnya masing-masing.
Munculnya orang-orang Saljuk pada abad ke-11 M sebagai pendukung ahli Sunnah
dan jatuhnya sebagian kerajaan Islam ke tangan mereka serta sikap mereka yang sangat
setia kepada khilafah merupakan faktor utama yang dapat mengukuhkan mazhab Sunni
dan melemahkan pengaruh dan kedudukan golongan Syiah. Dalam periode inilah
madrasah muncul dalam rangka memperkuat mazhab sunni dengan cara memberikan
Perhatian besar untuk mempelajari ilmu fiqh empat mazhab.
Bani Saljuq berasal dari Asia Tengah yang kemudian berpindah ke Barat, sambil
melakukan Islamisasi sepanjang perjalanannya. Sebelum menyerang Baghdad, pemimpin
Saljuq menyetujui untuk tidak menghapus otoritas keagamaan khalifah, sebagaimana
yang dilakukan Bani Buwaih yang Syi'ah sebelumnya, tetapi hanya membentuk
pemerintahan politik di bawah pimpinan salah seorang dari keluarga Saljuq yang bergelar
sultan. Nizham al-Mulk adalah seorang wazir yang sangat berkuasa, atau perdana menteri
dari sang sultan. Untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya, Nizham al-Mulk
membantu pembangunan ratusan madrasah yang mengajarkan fiqih dalam mazhab
Syafi'i.
Selain itu, Nizham al-Mulk yang lahir di daerah Thus, Persia, adalah seorang
pecinta pengetahuan, terutama hadits. la pernah memimpin halaqah hadits di Baghdad
dan di berbagai kota Khurasan yang dihadiri sejumlah besar orang. Di samping itu ia juga
adalah politikus berbakat. Karirnya menanjak sejalan dengan menguatnya Dinasti Saljuq,
tempat dia menjadi wazir (perdana menteri) bagi Sultan Alp Arslan (455-465/1063-1072)
dan sultan Malik Syah (465-485/1072-1092). Pada masa keduanyalah puncakkejayaan
Saljuq tercapai. Kecintaan Nizahm al-Mulk terhadap pengetahuan dan kesuksesannya
dalam karir politik menjadi faktor sangat menentukan bagi kemajuan pendidikan Islam.
Nizham al-Mulk yang Sunni ini mempunyai komitmen berpegang teguh kepada doktrin
Asy'ariyah dalam "kalam" (teologi) dan ajaran Syafi'i dalam fiqh, yang kemudian
ditanamkannya kepada madrasah yang dikembangkannya.
Hal ini menunjukkan sangat luasnya pembangunan madrasah pada masa itu. Di Irak
madrasah terkenal pada masa Nizham al-Mulk. Nur Al-Din (w.571/1174) dan Shalah Al-
Din Al-Ayyubi (w.589/1193) berperan penting dalam penyebaran madrasah di daerah
Mesir, Syria dan Palestina. Sejarawan abad ke-9 H/15 M, Al-Maqrizi, mencatat
keberadaan 73 madrasah di Mesir, sebagian besar di Kairo. Al-Asali memberikan uraian
tentang 56 madrasah untuk kota Jerusalem. Daerah Yaman mengenal madrasah pada
abad ke 6 H/12 M. Para Sultan Saljuq Anatolia (Saljuq Al-Rum), seperti halnya Saljuq di
Timur, juga membangun sejumlah madrasah. Penyebaran madrasah ke daerah
Transoksiana terjadi secara besar-besaran antara lain semasa pemerintahan Timur Lenk
(771-807 H/1370-1405 M); sementara di anak benua India dan Maroko hal ini terjadi
sekitar abad ke-7 H/l 3 M. Pada abad ini madrasah telah menjadi bagian dari peradaban
Islam, sehingga hampir tak ada kota tanpa madrasah.
Di antara madrasah yang lahir dan berkembang pada masa itu adalah madrasah
Imam Abu Hanifah dan madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, madrasah Al-
Manshuriyah di Kairo, madrasah Granada dan Murcia di Andalusia, dan madrasah
Malaga di Cordova. Berikut ini akan dikemukakan gambaran mengenai madrasah-
madrasah tersebut sebagai kelengkapan memahami sejarah perkembangan madrasah
secara lebih dalam.
Ahmad Syalabi , History Of Muslim Education, op. cit ., h. 111. 37
Nakosteen, History of Muslim Education, op cit ., h. 50. 38
Abd. Ai-Qadir Al-Nuaymi, Al-Darisfi TarikhAl-Madaris (Beirut: Dar Al-KutubAl-Ilmiyyah, 1990), 39
h. 132 .
c. Madrasah Imam Abu Hanifah Baghdad
Dalam tulisan Ibn Al-Jawzi disebutkan bahwa pada tahun 459 H/l066 M, Abu Sa'd,
menteri keuangan Sultan Alp Arslan merenovasi makam Abu Hanifah dengan
memberinya batu nisan (malban), lalu membangun sebuah kubah di atasnya. Di samping
makam ( masyhad ) tersebut ia membangun sebuah madrasah dengan asrama untuk para
fuqaha' dan mengangkat seorang mudarris (guru) untuk mengajar mereka.
Pembangunannya dimulai pada bulan Shafar 459 H/Desember 1067 M dan selesai pada
bulan Jumadil Akhir 459 H/April 1067 M. Madrasah ini, sesuai dengan nama dan
lokasinya, khusus untuk penganut mazhab Hanafi. Ibn Sa'd mendukung biaya
operasionalnya dengan satu badan wakaf yang membayar mudarris , mahasiswa dan staf
lain yang bekerja untuk madrasah ini.
Komplek madrasah ini mencakup sebuah masjid, perpus-takaan, serta makam untuk
ulama-ulama besar mazhab Hanafi. Makam menjadi faktor pembeda antara madrasah
Nizhamiyah dan Madrasah Abu Hanifah; tetapi banyak madrasah yang dibangun
belakangan juga meliputi komplek makam, mengikuti pola madrasah Abu Hanifah ini.
AbuThahir Al-Daylami (w.461/ 1069) adalah mudarris pertama madrasah ini; kemudian
berturut-turut Abu Thalib Al-Zaynabi (w.512/1118), Abu Ishaq Al-Salji (w.515/1121),
Abu Yusuf Al-Lamaghani (w.536/1141), Abu Manshur Al-Hayti (w.537/1142), Al-
Zaynabi yang disebut terdahulu, Zayn Al-A'immah Al-Hanafi (w.546/1151) dan Abu Al-
Ghana'imAl-Baghdadi (w.557/1162). Seorang bernama Abu Sa'id Al-Khawarizmi
diketahui pernah menjadi pustakawan di Madrasah Abu Hanifah.
Madrasah ini beroperasi dengan baik selama lebih kurang dua abad, sampai masa
sebelum serbuan Mongol yang berakhir dengan jatuhnya Baghdad pada 656 H/l 258 M ke
tangan Hulagu. Madrasah ini mengalami pasang naik dan pasang surut sesuai dengan
stabilitas sosial, ekonomi dan politik Irak pada umumnya, dan Baghdad pada khususnya.
Madrasah ini mengambil nama sesuai dengan pendirinya, Khalifah Abbassyiah ke-
36, Al-Mustanshir (623-640/1226-1242). Pembangunannya berlangsung selama sepuluh
tahun, satu indikasi yang menunjukkan kebesaran madrasah yang didisain oleh Mu'ayyad
Al-Din bin Al-Alqami ini. Fasilitas yang tersedia mencakup ruang kuliah, asrama, aula,
kolam, dapur umum dan gudang. Masih merupakan bagian dari madrasah ini adalah
sebuah perpustakaan, sebuah Dar Al-Quran, sebuah Dar Al-Hadits, sebuah rumah sakit,
dan sebuah gudang obat (apotek).
Di sisi lain, umat Islam telah mencapai titik kondisi yaitu mereka siap untuk
eksperimen baru dalam pendidikan; satu institusi yang mencakup semua mazhab hukum
yang empat, menggantikan institusi yang secara eksklusif mendukung satu mazhab saja,
dan mengakhiri pertikaian berkepanjangan antara kelompok-kelompok Syafi'iyah,
Hanbaliyah dan Muta'zilah. Institusi seperti ini mempunyai kesempatan yang lebih baik
untuk diterima di seluruh dunia Islam, karena ia bisa memelihara kesatuan umat.
Patronase semua mazhab Sunni yang empat oleh khalifah akan memberinya satu
prestise yang lebih universal di dunia Islam tanpa hambatan dan batas-batas politik. Itulah
sebabnya, Al-Muntanshir mendukung pengajaran mazhab Hambali dan Maliki di
Madrasahnya walaupun di Baghdad hanya ada sedikit penganut kedua mazhab ini.Tentu
saja Al-Muntanshir tidak saja bertujuan menyediakan fasilitas pendidikan bagi penduduk
Baghdad, tetapi mencita-citakan kota Baghdad kembali sebagai pusat kegiatan
pendidikan bagi semua mazhab Sunni. Dengan madrasah ini, ia ingin merangsang para
ulama untuk berbondong-bondong kembali ke Baghdad.
Periode kedua , sepanjang kekuasaan Mongol atau Dinasti Ilkhan (658-738 H/1258-
1337M).Kehancuran yang ditimbulkan oleh pasukan Mongol di setiap daerah yang
mereka taklukkan terlukis dalam hampir setiap buku sejarah. Baghdad bukan suatu
pengecualian. Kejatuhannya ke tangan Hulagu didahului oleh kehancuran serius
madrasah Al-Mustansyiriyah. Seperti halnya lembaga-lembaga lain, madrasah ini turut
menderita: beberapa stafnya terbunuh dan sebagian buku koleksi perpustakaannya
musnah atau diambil sebagai rampasan perang. Yang lebih berpengaruh, adalah rasa takut
yang disebarkan pasukan Mongol. Ini menimbulkan gelombang perpindahan ulama dari
Irak ke Damaskus, Aleppo, Kairo, Makkah atau tempat lain yang lebih tenang. Peraturan
tentang wakaf yang diterapkan oleh penguasa baru ini seringkali tidak mendukung
kemajuan lembaga pendidikan. Ini adalah salah satu masalah lain yang harus dihadapi
Madrasah Al-Mustansyiriah pada periode ini. Secara keseluruhan kondisi pendidikan di
Baghdad semakin mundur dibanding sebelumnya.
Periode ketiga , adalah dari jatuhnya kekuasaan Mongol (739 H/1338 M) sampai
pertengahan abad ke-12 H/18 M. Keadaan pada periode ini menunjukkan bahwa
madrasah Al-Mustansyiriyah ditakdirkan untuk tidak bangkit dari keruntu-hannya yang
telah bermula sejak abad ke dua belas. Perlahan-lahan, lembaga yang pernah jaya ini
tenggelam dalam gelombang sejarah yang sedang menuju era modern. Pada pertengahan
abad ke-12 H/18 M, meski bangunan fisiknya masih ada, tidak ditemukan lagi kegiatan
pendidikan di dalamnya. Dan penguasa Turki Usmani tampaknya tidak mempunyai
keinginan untuk membangunnya kembali.
Termasuk bagian dari madrasah ini adalah Menara Al-Manshruriyah (al-Qubbah al-
Mansyuriyah) dengan satu kompleks pemakaman bagi beberapa sultana Dinasti Mamalik.
Al-Manshur dan para sultan yang lainnya, juga mewakafkan sejumlah besar kitab dalam
segala bidang ilmu kepada perpusta-kaan madrasah ini. Prestise madrasah Al-
Manshuriyah runtuh seiring dengan runtuhnya pengaruh Bani Qalawun di Mesir.
Bangunan Madrasah Nashriyah terdiri dari ruang pertemuan yang luas terletak di
tengah gedung. Disekeliling ruang itu terdapat ruas-ruas lokal dipergunakan untuk
belajar-mengajar. Ditingkat atas terdapat tempat tinggal untuk para penuntut ilmu yang
datang dari jauh. Diujung lapangan terdapat sebuah mushalla kecil. Patut dicatat bahwa di
samping madrasah ini terdapat penginapan yang menyatu dengan mesjid Granada. Ini
mengandung makna kemungkinan dipergunakannya penginapan untuk para mahasiswa
yang jauh dan para tamu yang berkunjung dan sekedar berdisikusi di madrasah ini. Selain
itu, perpustakaan menjadi sentra utama bagi kelangsungan perkembangan Ilmu
pengetahuan di madrasah tersebut. Pengadaan buku-buku perpustakaan juga dibantu oleh
pemerintah.
h. 387.
madrasah tinggi Zaituna di Tunisia dan Qarawiyyin di Fez.
h. Madrasah Khusus
Pada umumnya madrasah mengajarkan fiqih sebagai kajian utama ditambah dengan
pelajaran-pelajaran lain. Di samping itu, ada pula madrasah yang dikenal sebagai
madrasah khusus. Madrasah semacam ini ini mengabdikan pengajarannya pada bidang
tertentu/khusus. Ada madrasah yang khusus mengkaji tafsir, ada ilmu nahwu, dan pula
ilmu sharaf. Al-Nuaymi, misalnya, menyebut setidaknya ada tiga madrasah di Damaskus
yang secara khusus mengajarkan Ilmu Kedokteran (Madaris al-Thibb) yaitu: Madrasah
Al-Dikhwariyah, Madrasah Al-Dunaysiriah dan Madrasah Al-Labudiyah.
Di bagian lain, masih dalam karya yang sama, Nuaymi menerangkan bahwa Ibn Al-
Juzri pernah membangun sebuah madrasah yang diabdikan untuk ilmu qira'at, tetapi ia
kemudian menamainya dengan Dar Al-Quran, satu jenis lembaga yang tumbuh
mengiringi pertumbuhan dan perkembangan madrasah umum dan khusus.
Mereka yang menjalani pendidikan tingkat tinggi di madrasah dituntut untuk belajar
ekstra keras. Oleh karena itu hanya orang-orang yang memiliki kecintaan mendalam
terhadap kehidupan intelektual saja yang dapat menjalani kehidupan sebagai penuntut
ilmu di madrasah. Kegiatan belajar sangat ketat, padat dan tak mudah untuk diikuti.
Jumlah waktu yang dibutuhkan seorang mahasiswa dalam satu bidang studi tertentu
sangat bervariasi sesuai dengan tujuan masing-masing mahasiswa. Studi fiqih biasanya
membutuhkan waktu empat tahun, tetapi mahasiswa boleh belajar lebih lama sepanjang
menurut pertimbangannya dan pertimbangan syaikhnya penambahan waktu tersebut
dibutuhkan untuk menghasilkan satu tingkat pengetahuan dan keahlian tertentu. Biografi
para pengajar madrasah menunjukkan bahwa sebagian besar mereka menghabiskan tidak
kurang 20 tahun untuk belajar di bawah arahan guru terdahulu mereka.
Pada sore hari, mu'id (assisten syaikh) mengulangi materi yang pada pagi hari
disampaikan oleh syaikh dan membantu mahasiswa yang mendapatkan kesulitan dengan
berbagai konsep. Kegiatan ini berlangsung secara non-formal sepanjang sore sampai
malam hari. Oleh karena hafalan mendapat tempat istimewa dalam kurikulum,
mahasiswa menghabiskan banyak waktu untuk menghafal sepanjang sore dan malam
hari. Seorang syaikh bisa saja menjadwalkan perkuliahan formal setiap hari. Tetapi
umumnya mahasiswa diberi tiga hari biasanya Selasa, Jumat dan Sabru untuk belajar
sendiri dan melakukan aktivitas pribadi. Hari Jumat, hari besar Islam, seringkali diisi
dengan debat khusus antara staf pengajar dengan mahasiswa, ditambah dengan ceramah-
ceramah ilmiah. Madrasah secara formal diliburkan sepanjang bulan Ramadhan.
Para ahli sejarah membagi periodesasi sejarah pendidikan Islam jika dihubungkan
dengan perkembangan lembaga pendidikannya menjadi tiga periode yaitu: masa klasik,
masa pertengahan dan masa modern. Muhammad Jawad Ridha dalam "AI-Fikrul al-
Tarbiyah al-Islamiyah", menjabarkan ketiga fase tersebut sebagai berikut: Pertama,
terhitung mulai masa Nabi hijrah sampai berdirinya Dar al-Hikmah di Baghdad; Kedua,
terhitung mulai berdirinya Dar el-Hikmah sampai berdirinya Madrasah Nizhamiyah;
Ketiga, sejak berdirinya madrasah Nizhamiyah sampai runtuhnya khilafah Utsmaniyah.
Beberapa pakar menyebut batasan pendidikan Islam dari zaman Nabi Muhammad
SAW. sampai pada perkembangan ilmu pengetahuan di Baghdad, Mesir dan sekitarnya
(Renaissance Islam). Pembatasan waktu yang dilakukan para ahli sejarah pendidikan
Islam itu dari mulai klasik sampai modern cenderung lebih mengedepankan aspek
kelembagaannya ketimbangkan aspek sistem, kurikulum dan metode pendidikannya.
Oleh karena itu, sedikit sekali literatur tentang perkembangan aspek tersebut sampai saat
ini.
Istilah pendidikan Islam klasik dalam tulisan ini adalah suatu proses kegiatan
belajar mengajar yang dilakukan individu, kelompok tertentu atau pemerintah/lembaga
pemerintah, formal atau non-formal dalam periode tertentu pada masa pertumbuhan dan
perkembangan Islam. Kegiatan itu di lakukan di rumah-rumah, majlis, masjid/halaqah
dengan jenjang pendidikan dasar (kuttab), menengah (masjid/masjid khan, zawiyah)
sampai tingkat tinggi (madrasah/al-Jamiah).
Yang dimaksud dengan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh atau dipelajari oleh siswa dalam suatu periode tertentu. Dalam arti yang lebih
luas, kurikulum sebenarnya bukan hanya sekadar rencana pelajaran, tapi semua yang
secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Dengan kata lain, kurikulum 41
mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam belajar maupun di luar jam belajar,
sepanjang hal itu berlangsung di lembaga pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra-
kurikuler, yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan di luar jam tatap muka di ruangan
kelas. Akan tetapi, tentu saja kurikulum dalam pengertian seperti itu baru dikenal pada
sistem pendidikan modern, baik sekolah maupun madrasah. Pada masa sebelumnya,
meskipun sudah dikenal, muatan kurikulum tidak seketat pengertian tersebut.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfuktif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 53. 41
Makdisi, seperti diungkapkan Hasan Asari menulis:
Nilai penting dari interrelasi ketiga kelompok (pengetahuan) ini paling baik
diibaratkan dengan sebuah segitiga sama kaki yang terbalik. Dua kelompok pertama
berada pada posisi dua ujung dasar segitiga yang telah terbalik ke atas dan kelompok
ketiga ada pada puncak segitiga yang dibalik dari atas ke bawah. Ilmu-ilmu kelslaman
menduduki tempat terhorn.at pada sebelah kanan, filsafat dan ilmu-ilmu alam di sudut
sebelah kiri pada level yang sama dan ilmu-ilmu sastra berada pada sudut yang lebih
rendah, dengan dua sisinya menuju pada dua kelompok yang lebih tinggi.
Ilmu-ilmu keislaman memegang kontrol penuh dan menjadi unsur penting bagi
lembaga-lembaga pendidikan. Naiknya ilmu-ilmu ini mulai terjadi secara nyata setelah
gagalnya gerakan rasionalis (teologi Muktazilah dan filsafat) dan mencapai puncaknya
pada pertengahan abad ke 5 H/l 1 M. Dalam kelompok mi, hukum Islam (fiqh) dianggap
sebagai satu dari segala cabang pengetahuan dengan peringkat yang tertinggi, sementara
ilmu-ilmu sastra berfungsi sebagai pelayannya. Kelompok lainnya, yang disebut ilmu-
ilmu kuno, yaitu ilmu-ilmu yang berasal dariYunani ditentang oleh sarjana Muslim di
tengah masyarakat, tetapi memperoleh penghormatan secara terselebung di kalangan
sebagian terpelajar.
Jadi, sebagai kesimpulan umum, kurikulum madrasah terdiri dari ilmu-ilmu agama
seperti: ilmu al-Qur'an, hadist, tafsir, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam dan lain-lain yang
tergolong kelompok ilmu-ilmu keagamaan Islam ini. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan
untuk mendukung ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah, tetapi tidak menjadi
bagian utama dari kurikulum. Deskripsi madrasah terdahulu menunjukkan bahwa ahli
bahasa arab (nahwi) adalah bagian dari staf di beberapa madrasah, namun posisinya jelas
tidak sepenting posisi mudarris yang mengajar ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu klasik belum
diajarkan kecuali Filsafat, Kedokteran dan Astronomi, tetapi tidak begitu dominan,
karena pelajaran ini memiliki lembaga pengajaran tersendiri (khusus).
Sisi lain dari tesis Makdisi adalah melibatkan satu argumen linguistik berkaitan
dengan satu istilah teknis yang secara luas dipakai dalam dunia pendidikan Islam pra-
modern, sebagaimana terlihat dari sumber-sumber sejarah yang ada. Argumen linguistik
ini mencakup semua istilah paedagogis yang berasal dari akar kata "d-r-s". Argumen ini,
terutama digunakan oleh Makdisi untuk mendukung pernyataannya bahwa madrasah
(salah satu kata jadian d-r-s) adalah lembaga pendidikan fiqih. Makdisi menjelaskan:
Dan akhirnya istilah madrasah nama satu tempat (ism makan) dimana sebuah dars,
yakni satu pelajaran fiqih, adalah merupakan kegiatan utama dari guru dan murid. ....
tidak ada madrasah yang digunakan untuk tujuan utama yang lain; pengajaran disiplin-
disiplin semacam ilmu Qur'an, hadits, nahu dan sebagainya hanyalah [kegiatan]
sampingan.
Makdisi membantah Goldziher dalam kaitan soal antara ilmu kalam dengan
madrasah. Goldziher menyebut bahwa madrasah Nizhamiyyah adalah prototipe lembaga
pendidikan yang mengajarkan ilmu kalam dengan alasan bahwa pembangunan itu atas
kemenangan paham Asy'ariyah terhadap muktazilah dan Hanbaliyah. Goldziher melihat
teologi yang dianut Nizham al-Mulk sebagai kurikulum utama pengajaran di madrasah
yang ia bangun, dan madrasah itu, menurutnya, merupakan bagian dari sarana
propaganda untuk meyebarkan paham Asy'ariyah dan menguburkan paham-paham lain.
Pandangan ketiga tidak melihat persoalan ini secara hitam putih dan menghasilkan
posisi relatif di tengah. Beberapa penulis dapat dikelompokan ke dalam pandangan ini.
Berikut ini akan kita kutipkan dua penulis dan sejarahwan Arab: 'Abd al-Lathif Tibawi
dan M. Hasan Naqib. Tibawi, dalam satu artikel yang dia tulis sebagai respon terhadap
tesis Makdisi, menyatakan bahwa spesialisasi seperti yang diinginkan oleh Makdisi
adalah hal yang tidak mungkin pada abad ke-5/11. Seseorang sarjana saat itu, menurut
Tibawi, adalah orang yang menguasai berbagai cabang ilmu agama sekaligus, termasuk
dalam hal ini Ilmu Kalam. Tibawi mengakui tidak adanya bukti langsung tentang isi
kurikulum madrasah; namun katanya: "Satu hal kita ketahui secara agak pasti, yaitu
bahwa madrasah melambangkan teologi ortodoks atau filsafat spekulatif dan natural, dan
bahwa keseluruhan ilmu-ilmu agama ('ulum al-diri) termasuk cakupan kurikulum
madrasah.
Sisi lain dari argumen pandangan ketiga ini bertalian dengan argumen linguistik
yang dilontarkan oleh Maksidi. Mudarris bukan satu-satunya istilah yang digunakan pada
masa klasik dan pertengahan digunakan untuk merujuk pada pengajar fiqih di madrasah.
Al-Ghazali menggunakan istilah mu'allim dan ustadz untuk maksud yang sama. Dars juga
tidak selalu berarti pelajaran fiqih sebagaimana dalam pandangan Maksidi. Al-Ghazali
mengutip satu hadits yaitu kata nadrusu (kata jadian dari d-r-s) digunakan untuk kajian
hadits. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam al-Daris, di mana al-Nu'aymi
memberitakan bahwa Abu al-Khayr mengajar pada Dar al-Hadits al-Asyrafiyah; dan
kalimat yang dia gunakan adalah: "wa-walla tadris dar al-hadits al-asyrafiyyah". Abu
Nuwas bahkan menggunakan kata dars untuk pelajaran dari seorang mu'allim (guru) di
kuttab.
Dalam pemahaman kita, tadris adalah satu istilah kabur yang mencakup pengajaran
lebih dari satu bidang kajian, dan istilah ini tidak selalu dapat disamakan dengan dars,
yang oleh Maksidi dibatasi hanya untuk pengajaran fiqih. Penelitian kita terhadap istilah
tadris tidak membuahkan satu petunjuk umum sehubungan dengan artinya yang paling
tepat.
Pada akhirnya, keberatan pandangan ketiga ini adalah penekanan yang terlalu
ekstrim olek Maksidi pada sisi fiqih dari madrasah dan hal yang sama pada sisi Kalam
oleh Goldziher. Hal ini terjadi pada Maksidi, nampaknya, karena kecende-rungannya
untuk terlalu memusatkan perhatian pada mudarris dan dokumen wakaf yang ada, dan
tidak memberikan perhatian yang memadai pada staf lain, seperti qari\ nahwi,
pustakawan, dan terutama wa'idh, yang sesungguhnya juga merupakan bagian penting
dari sistem pendidikan di madrasah. Kenyataan bahwa ia menulis sebagai respon kepada
tesis Goldziher, kemungkinan besar, juga merupakan faktor lain. Goldziher jatuh pada
persoalan yang sama tidak lain adalah karena penelitiannya memang terfokus pada
sejarah perkembangan teologi, dan madrasah ia singgung tidak lebih dari sekadar
justifikasi bagi tesis teologinya tentang kebangkitan aliran Asy'ariyah.
Pada intinya, fiqih mendapat tempat dalam sistem ini sebagai satu bidang kajian
khusus dalam mazhab tertentu, dan ilmu-ilmu agama yang lain berfungsi sebagai
prasyarat. Di mesjid, mesjid khan, akademi dan madrasah studi fiqih diuraikan oleh
seorang syaikh dalam satu silabus tertentu yang disebut ta'liqah Mated yang terkandung
dalam ta'liqah menjadi latar belakang informasi yang dibutuhkan dalam debat lisan
bentuk lain dari kurikulum pengajaran madrasah. Debat lisan bersifat formal tergantung
pada aturan-aturan logika dan retorika di saat seseorang mempertahankan tesis dalam hal
ini, satu pandangan hukum menghadapi seorang penantang yang akan mencoba
membatalkan argumentasi dan logikanya. Ta'liqah tidak terbatas pada satu bidang saja,
fiqih misalnya, bidang-bidang lainnya juga menggunakan bentuk ini.
Selanjutnya, cakupan kurikulum lembaga pendidikan Islam pada abad ke-10 M
dapat dilihat dari berbagai sumber. Salah satunya adalah kitab Al-Fihrist (Indeks) oleh
Ibn Al-Nadim pada tahun 988 M. Sumber kedua adalah karya-karya Ikhwan Al-Shafa,
sebuah persaudaraan sufi yang mengabdikan diri pada peningkatan pendidikan di dunia
Islam, yang mengembangkan program pendidikannya secara menyeluruh dalam
serangkaian risalah. Pendekatan mereka melalui ensiklopedik pendidikan, yang berasal
dari Basrah pada paruh kedua abad ke-10 M, muncul dalam bentuk kompilasi yang
sebagian besar dipakai di dunia pendidikan Islam.Topik-topikyang tercakup dalam
ensiklopedia pengajaran tersebut adalah:
Disiplin Umum : tulis-baca, arti kata dan grammatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan
puisi), ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sulap, kimia, dagang dan keterampilan
tangan, jual-beli, komersil, pertanian dan peternakan dan biografi serta kisah-kisah.
Ilmu-ilmu Ag ama: Ilmu al-Qur'an. tafsir, hadis, fiqih, dzikir, zuhud, tasawuf dan
syahadah.
Subject Curriculum difokuskan pada materi pelajaran yang diberikan berdiri sendiri,
tidak berhubungan dengan pelajaran yang lain. Dalam subject curriculum, mata pelajaran
diajarkan secara mandiri, dikembangkan berdasarkan keluasan pelajaran tersebut
terhadap ilmu pengetahuannya. Bentuk kurikulum ini biasanya terdapat pada pelajaran
utama, seperti al-Qur'an,Tafsir, Fiqh dan lain-alin. Kemudian pelajaran non-agama seperti
fisika, biologi, ilmu berhitung, kedokteran dsb. Subject Curriculum dikembangkan pada
masa awal berdirinya madrasah dan pertumbuhan pendidikan Islam klasik.
Correlated Curricullum difokuskan pada satu materi pelajaran yang dihubungkan
dengan materi pelajaran yang lain. Contohnya, materi tafsir dihubungkan dengan hadits,
pelajaran fiqih dihubungkan dengan hadits dsb. Bentuk kurikulum seperti ini
mendominasi pada masa akhir pendidikan Islam klasik, yaitu ketika ilmu pengetahuan
sudah berkembang dan mengalami renaissance.
Integrated Curriculum yaitu perpaduan antara materi satu dengan yang lain dan
saling berkaitan, sehingga penyajian bahan pelajaran itu dalam bentuk unit. Kurikulum
ini dilaksanakan dalam pengajaran unit, yaitu satu unit mempunyai tujuan yang bermakna
bagi mahasiswa madrasah. Kurikulum ini diberikan di dalam pelajaran retorika (dakwah)
pada masa Madrasah Nizhamiyah sampai pada perkembangan madrasah selanjutnya.
Pada masa pendidikan Islam klasik, rumusan tujuan pendidikan di madrasah secara
institusional sudah ada. Ini terlihat pada motivasi dan pendirian madrasah Nizham al-
Mulk di Baghdad yang bertujuan mengembangkan mazhab Syafi'i, kemudian al-Azhar
pada masa Dinasti Fathimiyah yang mengembangkan mazhab Syiah, setelah itu pada
zaman dinasti Ayyubiyah tujuan institusional al-Azhar diubah untuk mengembangkan
faham Sunni.
Pada dekade berikutnya, seiring dengan makin banyaknya madrasah yang dibangun,
tujuan institusional lembaga pendidikan madrasah dikuatkan dengan hadirnya Hanafie
Institute (madrasah Hanafiah) dan Hanbali Institute (madrasah Hanbaliah) seperti The
Shrine college oflbn al-Abradi yang bertujuan mengembangkan ajaran-ajaran Ahmad Ibn
Hanbal. Tetapi pada era berikutnya, seperti pada lembaga Dar El 'Ulum di Baghdad,
tujuan institusional madrasah tidaklagi bertumpu pada pengajaran satu mazhab, tetapi
lebih universal yaitu semua mazhab dengan bentuk-bentuk kelas tertentu.
Al-A'la menjelaskan bahwa tujuan institusional madrasah masih bersifat parsial-
terbatas pada madrasah tertentu saja belum menyeluruh, selain pada masing-masing
jenjang pendidikan. Dengan demikian, pada masa pendidikan Islam klasik tujuan
institusional madrasah dikembangkan sesuai dengan misi utama yang diajarkan oleh para
penyusunnya (ulama) yang mengajar di madrasahnya. Namun, terkadang, misi itu perlu
penyesuaian dengan kepentingan dan aturan/ kebijakan pemerintah.
Untuk mengetahui tujuan kurikuler dari pendidikan model madrasah pada masa
klasik Islam, secara tersirat dapat dilihat dari bidang studi yang ditekuninya. Tetapi
sebelum dunia Islam mengenal madasah pun sebenarnya tujuan kurikuler sudah ada,
yakni jika dilihat dari bidang studi yang ditekuninya tadi. Para sahabat Rasullulah,
misalnya, mempelajari Al-Quran bertujuan agar mereka hafal dan mengerti makna yang
terkandung serta berusaha untuk mengamalkan secara utuh. Untuk kepentingan itu
mereka menghafalnya secara tekun dan cermat. Mereka yang berminat menekuni bidang
fiqih bertujuan paling tidak agar mereka dapat melaksanakan ibadah dengan benar sesuai
tuntunan Nabi Muhammad SAW. dan sesuai dengan anjuran syariat Islam.
Pada generasi pasca sahabat, ketika pendidikan madrasah mulai dikenal, kaum
Muslimin mempelajari berbagai bidang keilmuan dengan tujuan agar memahami ajaran
Islam sesuai dengan bidang kajian masing-masing. Selain itu, pengetahuan dasar seperti
membaca dan menulis merupakan kunci dalam mempelajari bidang-bidang keilmuan.
Oleh karena itu, pengetahuan dasar diberikan kepada siapa saja sejak kanak-kanak.
Ahmad Syalabi berpendapat bahwa salah satu tujuan para sahabat mempelajari
hadits Nabi ialah agar mereka mengetahui persis akhlak Nabi. Sementara generasi
berikutnya mempelajari ilmu bahasa agar dapat menolong mereka memahami kandungan
Al-Quran dan sabda-sabda Nabi secara tepat. Menurut Al-Abrasyi, tujuan kurikuler dapat
dilihat dari kecenderungan dan karakteristik ilmu yang ditekuninya, seperti belajar
sejarah bertujuan untuk mengetahui keadaan masa lalu, bagaimana kehidupan para nabi,
para raja dan para penguasa. Tujuan mempelajari ilmu mantiq untuk menjaga dan
memelihara pikiran agar bisa berpikir maksimal dan logis. Tujuan mempelajari ilmu
berhitung adalah untuk membiasakan diri berpikir analisis, sistematis dan kritis. Tujuan
mempelajari ilmu kesehatan untuk memelihara dan mengetahui seluk beluk penyakit dan
cara-cara menolong orang sakit.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pelajaran di madrasah sudah mempunyai tujuan-
tujuan kurikuler tertentu untuk mencapai target lulusan yang diharapkan. Sejak masa
klasik tujuan kurikuler pendidikan Islam memang sudah disusun secara baik, walaupun
belum dianggap sebagai hal yang sistematis.
Tujuan ini dirumuskan pada kondisi yang bersifat aplikatif dan bersifat lebih rinci,
yaitu murid tidak hanya dituntut mengerti dan memahami tetapi juga dapat menyebutkan,
mengungkapkan secara benar dan mempraktekkannya. Misalnya, pengajaran Al-Quran
menuntut murid/mahasiswa dapat membacakan dengan benar, menyebutkan ayat-ayat
tertentu yang berhubungan dengan materi pelajaran, dan dapat menunjukkan ayat-ayat
tertentu jika guru memintanya.
Contoh lain mempelajari berhitung dan ilmu ukur agar murid terbiasa menggunakan
akal dan perasaan dalam mengikuti cara-cara tertentu seperti cara menjumlahkan,
mengalikan, membagikan angka-angka dan mengukur luas dan isi. Kemampuan seperti
ini sangat berguna secara praktis dalam kehidupan mereka sehari-hari, yang kelak akan
membantu mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Secara
Instruksional bila mereka telah menguasai ilmu-ilmu itu mereka dapat memecahkan
persoalan dalam pembagian harta waris. Kemampuan tersebut sangat dibutuhkan oleh
masyarakat luas.
Pada masa perkembangan pendidikan Islam klasik, untuk mengetahui berhasil atau
tidaknya suatu kurikulum dan metode pengajaran yang diterapkan dalam sistem
pendidikan dibutuhkan evaluasi pendidikan. Menurut Stanton dan Makdisi, evaluasi hasil
belajar di madrasah sudah dilakukan pada masa Madrasah Nizhamiyah, dan diikuti oleh
madrasah-madrasah lainnya pada masa sesudahnya.
Bentuk evaluasi pendidikan madrasah pada masa itu sebagian besar dilakukan
sendiri oleh guru bidang studi. Para guru bertanya pada muridnya, atau para murid
diminta menghafal di depan kelas mengenai suatu materi. Evaluasi belum bisa dilakukan
secara teratur dan terjadwal karena keberhasilan seorang murid menguasai materi yang
diajarkan sangat tergantung pada semangat belajar para siswa/mahasiswanya sendiri.
Sepanjang sejarah pendidikan Islam klasik tidak ditemukan suatu catatan yang
menjelaskan bahwa para pelajar diminta mempersiapkan diri mengikuti suatu ujian atau
ulangan.Test yang dilakukan pada saat itu adalah test dalam kelas yang langsung
dilakukan oleh para mudarris/syaikh, atau teman-teman lainnya dengan cara bertukar
pikiran, berdebat atau diskusi. Namun demikian, tes tidak dilakukan secara terstruktur.
Siswa/mahasiswa hanya mendapatkan ijazah atau surat keterangan sebagai bukti bahwa
mereka telah lulus atau pernah belajar di lembaga tersebut. Surat keterangan itu berisi
pernyataan tertentu di bawah bimbing-an ustadz/mudarris/syaikh tertentu, mengikuti
ujian tertentu dan tanda tangan ketua lembaga pendidikan. Pemberian ijazah tersebut
hanya sebatas menunjukkan kemampuan dan kesung-guhan seorang pelajar dalam
mempelajari ilmu-ilmu tertentu tanpa disebutkan alamat lembaga tempat mereka belajar
dan tidak mendapat gelar seperti pada lembaga pendidikan modern.
*****