Professional Documents
Culture Documents
A. Pendahuluan
rakyat dengan berpegang pada hukum Tuhan, di mana kepala pemerintahan tertinggi
harus dipegang seorang faqih, yang ahli di bidang hukum Islam yang harus dilaksanakan
oleh pemerintah. Dalam pemerintahan Islam model Shiah, kaum ulama menduduki
posisi, baik sebagai pengawal (guardian atau wali), penafsir (interpreter) maupun
pelaksana (executor) hukum-hukum Tuhan. Oleh sebab itu maka pemerintahan yang
demikian itu merupakan pemerintahan yang benar dan adil. Pemerntahan Islam harus
bertindak sesuai dengan syari’at. Syarat-syarat tersebut asumsinya hanya bisa dipenuhi
oleh para faqih. Kerenanya para faqih adalah figur yang dianggap paling siap memerintah
masyarakat.
Hindi lahir di kintur, maupun kakek ayahnya, Sayyid Din Ali Syah, dikenal sebagai tokoh
Pada tahun 1903, Ayah Ruhollah meninggal dunia pada usia 42 tahun.
Kabarnya sayyid Mustafa dibunuh oleh dua orang bernama Ja’far Quli Khan dan Ridha
Quli Sultan, agen-agen dinasti Qajar(1796-1926). Waktu itu Sayyid Mustafa sedang
dalam perjalanan menuju ibukota provinsi Arak untuk menemui Gubernur Adhuh al-
Sultan, guna melaporkan situasi yang tidak aman di kota Khomayn, jenazah Sayyid
1
Mustafa segera di bawah ke Najaf. Paara Ulama Taheran, Arak, Isfahan, Golpaygan, dan
Periode bergolak ini tidak pelak lagi mwninggkan kesan pada Ruhullah
mudaa, kendatipun di disayangi oleh Sahebeh, bibinya yang tinggal bersama keeluarga
ruhullah. Sahibeh memiliki mental dan pikiran yang kuat, keehidupan Ruhullah di
dominasi Sahebeh dan Ibunya. Keduanya meeninggal keetika Ruhullah berusia enam
belas tahun.
Pada usia dua puluh tuju tahun, khomeini menikah dengan Batul, putri
seorang Ayatullah dari Taheran. Mereka dikarunia lima anak, dua putra dan tiga putri.
pendidikan
Sebagai anak, Khomeini belajar bahasa Arab, syair Persia dan kaligrafi
disekolah neegeri dan ‘maktab’. Maktab, tempat menulis dalam bahasa arabnya,
dan menirukan apa saja yang dikatakan sang guru. Disiplin di maktab sangatlah keras.
Kalau diatur dengan standar dewasa ini, hukuman untuk salah melafalkan kata-kata Al-
Al-Quran dan beberapa frase serta kata Arab tentang Nabi dan Para Imam. Selain
berbagai buku riwayat para imam dan sebuah buku hadis NabiMuhammad SAW,
diajarkan pula sejaarah versi Syia’ah. Misalnya ada keyakinan bahwa Nabi maupun
keluarga Nabi (termasuk para Imam Syiaah) wafat secara tidak alamiah. Ini ditunjukan
2
dengan perkataan yang dinisbahkan kepada para imam Syiah, kami kalau tidak diracun ,
yaa dibunuh.
Perjuangan antara kebenaran dan kebatilan ini, atau melihat segalanya dengan
hitam dan putih, membekas pada jiwa dan pkiran ruhullah. Kosa kata dan rasa dizalimi,
mendalam, tak ada wilayah yang kelabu. Ruhullah mendengar hal ini berulang kali dalam
hidupnya, dari rumah sampai maktab, mesjid dan madrasah. Dalam interprets di sejarah
dihormati oleh kaum Syiah, diperlakukan secara tidak adil oleh Umar. Suaminya Ali
diperlakukan secara tidak adil oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman yang merampas
haknya untuk menggantikan Nabi seabagi khalifah. Kaum Sunni hanya menganggap Ali
sebagai Khalifah ke-empat setelah nabi Muhammad SAW, sedangkan kaum Syiah
memandang Ali sebagai Imam pertama. Setelah diperlakukan secara tidak adil, Ali
Menjelang dewasa, Khomeini mulai belajar agama dengan lebih serius. Ketika
berusia lima belas tahun, dia mulai belajar tata bahasa Arab kepada saudaranya, Murtaza,
yang belajar bahasa Arab dan teologi Isfahan. Khomeini tekun belajar, punya bakat
khusus dalam menulisdan menyusun syair Persia. Dia banyak belajar syair-syair klasik,
dengan penekanan setidak-tidaknya pertama-pertama pada syair moral dan etika seperti
klasik besar’Golistan Sa’di’ (Taman Mawar). Paduan liririsme dan mistitisme Hafes, juga
diajarkan. Hampir tak ada penyair besar yang tidak dicatat oleh Khomeini dalam tulisan-
tulisannya dikemudian hari. Nader-e Naderpour, seorang penyair Iran kontemporer yang
3
bertemu Khomeini pada awal 1960-an di Qum, berkata: kami membacakan syair selama
empat jam. Setiap baris pertama yang saya bacakan dari seorang penyair, dia
membacakan baris keduanya. Khomeini juga memperlihtkan minat pada kaligrafi Persia,
mempelajarinya dari seorang Syaikh yang bernama Hamzah Mahallati. Inilah kecakapan
Khomeini merupakan produk Iran tengah. Khomein bukan lagi lahan yang
subur bagi aspirasinya. Najaf menjadi pilihan yang ideal. Namun runtuhnya imperium
‘Utsmaniah, dan digantikannya imperium ini di Irak olem mandat Inggris, menyebabkan
terjadinya pergolakan politik. Lagi pula Khomeini belum cukup pendidikannya untuk
pergi ke Najaf. Di pihak lain Isfahan, yang merupakan pusat ulama Syiah selama
beberapa abad, merupakan kota penting yang letaknya sangat dekat letaknya dengan
mendengar Syaikh ‘Abdul Karim Ha’ri Yazdi, seorang ulama terkemuka yang
terkemuka untuk menyatakan penentangan pada kepada pemerintah Inggris di Irak. Hairi
tinggal di kota Sultanabad atau Arak, dekat Isfahan. Bagi siswa yang impiaannya adalah
Najaf, ini merupakan peluang yang menarik. Khomeini berusia tujuh belas tahun ketika
berangkat ke Irak.
yang mendapat bantuan dari Haj Aqa Mohsen araki (1325/1907), seorang ulama anti
kontitusi terkemuka, Sebagai seorang yang baru dalam lingkungan ilmu, Khomeini
belajar ‘Suyuti’, sebuah teks tata bahasa Arab karya ulama Mesir, Jalaluddin Suyuti (atau
4
As-Suyuti). Ketika belajar Khomeini hanya sedikit Kompromi, suatu sifat yang senatiasa
menyertainya sepanjang hayatnya . Suatu hari, keyika sedang belajar suyuti bersama
siswa lain dihalaman sekolah, Ha’eri sedang mengajar studi lanjutan kepada talabeh lain.
Khomeini terusik oleh kebisingannya. Karena tak mau bertele-tele, Khomeini berpaling
ke Hae’ri dan meminta dengan sopan namun tegas, agar berbicara lebih lembut. Ha’eri
terkejut ditegur seperti ini oleh seorang murid. Khomeini saat itu merupakan talabeh yang
di kota-kota yang ada dibawah mandat inggris. Namun Qum dipandang sebagai kota
Syiah yang pas. Sebagai pusat Syiah awal Qum merupakan tempat suci Ma,sumeh,
saudara perempuan Imam Ridha, Imam kedelapan Syiah. Kebangkitan Qum sebagai
pusat teologi utama pada hakekatnya berkaitan dengan Ha’eri, yang mendapat sambutan
hangat ketika berziarah ke kota ini pada 1921. kemudian dia diundang untuk pindah ke
Qum. Setelah Ha’eri pindah ke Qum, Ahmad Syah, raja terakhir Qajar, megadakan
perjalanan khusus untuk menyambutnya. Segera saja, banyak ulama dari arak maupun
dari kota-kota lain berdatangan ke Qum, dan mengubah Qum menjadi pusat teologi yang
maju, yang mempunyai guru-guru untuk semua cabang ilmu Islam. Sekitar lima bulan
kemudiaan, Khomeini yang pada waktu itu sedang belajar Motawwal, sebuah buku
retorika dan semantik, mengikuti jejak Ha,eri pergi ke Qum, dan tinggal sekolah teologi
Salah seorang guru pertama Khomeini ditempaat tinggalnya yang baru adalah
Muhammad Reza Masjed Syahi. Dari Syahi inilah dia belajar retorika dan syair. Dan
karena Syahi pula dia jadi tertarik pada topik baru, teori evolusi Darwin yang digunakan
5
oleh kaum sekularis anti ulama untuk mencela dan mengejek ulama. Masjed Syahi adalah
satu diantara banyak mullah yang berupaya membantah Darwin. Khoemini segera
Khomeini menyelesaikan studi fiqih dan ushul dengan seorang guru dari
Kasyan, yang sebelas tahun lebih tua darinya, yaitu Ayatulllah Ali Yasrebi Kasyani
(meninggal 1959). Kemudian Khomeini mengikuti kelas Ha’eri. Kalau Orang mengikuti
kuliah seperti itu, berari ia memasuki tingkat tiga . Ha’eri mengajar Dars-e Kharej (studi
diluar teks). Pada tingkat ini tidak ada buku pegangan, para siswa berusaha membentuk
pendapatnya sendiri mengenai soal-soal hukum. Inilah tahap pendidikan Final Khomeini.
Pada awal tahuan 1930-an, dia menjadi mujtahid dan menerima ijazah untuk
menyampaikan hadis dari empat guru terkemuka. Yang pertama dari kempat guru itu
adalah Muhsin Amin Ameli (wafat 1952), seorang ulama terkemuka dari Libanon. Yang
kedua adalah Syaikh Abbas Qumi (wafat 1959) ahli hadis terkemuka dan sejarahwan
Syiah. Qumi adalah penulis yang tulisannya digemari digemari di Iran Modern, terutama
bukunya yang berjudul Mafatih Al-Jinan (kunci surga). Mafatih Al-Jinan diberikan
kepada setiap sukarelawan perang setelah revolusi, suatu praktek yang salah ditafsirkan
lawan Khomeini. Guru ketiganya adalah Abdul Qasim Dehkordi Isfahani (wafat 1934)
seorang mullah terkemuka di Isfahan. Guru keempatnya adalah Muhammad Reza Masjed
Syahi (wafat 1943) yang datang di Qum pada 1925 karena protes menentang kebijakan
Setelah studi hukum dan fiqih di Qum, Khomeini juga mempelajari dua tradisi
Islam yang tidak lazim yaitu irfan dan hikmah. Pelajaran inilah sangat besar dampaknya
pada pandangan Khomeini mengenai dirinya dan dunia . Irafan (pengetahuan mistis dunia
6
bathiniah manusia yang mengupayakan keakraban dengan Allah) merupakan tradisi
spiritual yang terdapat terutama di dunia Syiah. Hikmah yang diwarnai oleh sistem
pemikiran yang sepenuhnya logis dan skolastik, dan juga oleh eksplorasi pengalaman
tentang hakekat realitas puncak. Perwujudan lain irfan, yang juga penting sehubungan
dengan Khomeini, adalah syair mistis persia, kendati tidak terbatas pada penyair Syiah
saja, tapi juga pada penyair Sunni yaitu Jalaluddin Rumi dan Hafiz.
Setelah mempelajari filsafat, Khomeini mulai mempelajari tasawuf. Dia terutama tertarik
kepada syarh-i fushush, sebuah ulasan oleh Syarifuddin Daud Qaisari (wafat 1450) atas
fushush Al-Hikmah, salah satu karya Ibn Arabi yang memaparkan secara mistis sifat-sifat
Allah yang tercermin dalam sifat para Nabi sejak Adam hingga Muhammad. Pada 1937,
Imam Khomeini, lahir di kota Khomein Tengah, Iran pada tahun 1902, dan
pernah tinggal dan menjalani pendidikan di Najaf, Iraq selama 14 tahun, tapi
menyelesaikan pendidikan tingginya di kota suci Qom di bidang teologi dan hukum Islam
(fiqih) memperoleh gambaran sejarah sebagai pemimpin Revolusi Islam Iran yang
spektakuler. Dalam istilah yang kita kenal di Indonesia, ia menyandang gelar “Pemimpin
Besar Revolusi” dan sekaligus “Ratu Adil”. Sebab misi utamanya, sebagaimana yang di
“hakim yang adil” (just jurist), atau fuqaha yang menurut kata-katanya sendiri adalah
“benteng Islam”. Dalam konteks revolusi yang sedang dalam proses di akhir dasawarsa
’80-an, Imam Khomeini menyerukan agar kaum fuqaha, para ahli hukum Islam,
“memperhatikan keadaan negara sebagaimana kaum saudagar menjaga pasar, tapi dengan
7
kehati-hatian”. Ia sendiri telah menulis sebuah buku kritik yang sangat tajam terhadap
rezim Dinasti Pahlevi dan kondisi di Iran pada tahun 1940-an, dalam bukunya “Kasyful
umumnya). Shiah sendiri adalah suatu mazhab yang meneruskan tradisi Mu’tazilah di
abad pertengahan yang menyebut dirinya sebagai “ahlul tauhid wa al adl”, ahli tauhid dan
keadilan. Dalam kata-kata itu, tauhid dan keadilan adalah dua sisi dari mata uang yang
sama. Keadilan bersumber dari tauhid dan tauhid yang merupakan hubungan manusia
dengan Tuhannya (hablun min al Allah) diwujudkan dalam keadilan dalam hubungan
Islam Shiah, masyarakat itu dipimpin oleh para imam, khususnya Imam yang 12. Imam
yang terakhir telah menghilang, tetapi ia akan kembali sebagai Imam Mahdi. Tapi selama
Sang Imam ghaib itu, kaum ulama, kaum fuqaha harus tampil mengambil alih
adalah wakil atau khalifah dari para imam yang ghaib. Atas dasar kepercayaan itu, maka
Imam Khomeini menciptakan konsep “Wilayah al-Faqih” yang menjadi garda (guardian)
terhadap hukum Islam. Konsep inilah yang menimbulkan kharisma terhadap kaum
fuqaha yang diwakili oleh Imam Khomeini. Agaknya Imam Khomeini menyadari
kepemimpinan semacam itu, yaitu kepemimpinan itu bisa hilang setelah ia meninggal.
Karena itu, maka kharisma kemimpinan atau Imamah itu dilembagakannya dalam konsep
Wilayah al-Faqih, sehingga keimaman itu dapat dilanjutkan dari waktu ke waktu.
Sementara itu kefuqahaan itu dibibitkan dan dikembangkan melalui hauzah-fuqaha, yaitu
8
lembaga pendidikan dan penelitian sebagaimana terdapat dan berkonsentrasi di kota suci
Qom Iran atau Najef Iraq, di mana Imam Khomeini sendiri dididik dan dibesarkan.
Menurut Imam Khomeini, fuqaha bukan hanya ahli di bidang hukum Islam
atau hanya merupakan tokoh spriritual. Fuqaha yang paripurna harus juga ahli d bidang-
bidang lain, misalnya filsafat, politik, sosial dan ekonomi. Ayatullah Rafsanjani
umpamanya, adalah juga seorang ahli ekonomi yang piawai. Demikian pula ulama ahli
tafsir besar Tabataba’i yang menulis buku mengenai sistem ekonomi Islam. Sedangkan
Ayatullah Murtadha Mutahhari adalah juga ahili sejarah, ahli sosiologi dan filsuf sosial
yang sangat produktif menulis buku di berbagai bidang dan sudah banyak diterjemahkan
sekularisme yang memisahkan agama dari negara atau politik. Pandangan ini tidak
mengingatkan kepada pemeluknya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan asing. Inilah
menarik garis pemisah antara antara agama dan pemerintahan dan politik.
Baginya, ulama atau ahli hukum (fuqaha) memiliki dharma (kewajiban) untuk
menegakkan hukum-hukum Tuhan yang intinya adalah sebuah misi yang dijalankan oleh
9
negara dan pemerintahan yang adil. Dalam menentang rezim dinasti Syah Iran, berbagai
kelompok telah mencobanya, termasuk kelompok sosialis atau Marxis dan terakhir
kelompok nasionalis yang dipimpin oleh pemimpin legendaris yang berani menentang
imperialisme AS, Mosaddeq. Tapi kesemuanya telah gagal. Setelah itu, maka agama
adalah satu-satunya suara oposisi yang mampu didengarkan. Sejak tahun 1964, Imam
Khomeini adalah satu-satunya tokoh yang mampu menyajikan konsep oposisi dalam
ideologi yang secara sistematik berbeda atau merupakan alternatif baru. Ideologinya itu
didasarkannya pada suatu konsep teologi yang disebut Wilayah al-Faqih yang menentang
satu pihak dan kepemimpinan demokratis di lain pihak. Tapi sebenarnya ia tidak
sendirian dalam menyebarkan bibit revolusi. Pada pokoknya ada dua kelompok
pemimpin yang mengakumulasi proses revolusi Islam Iran. Pertama adalah kelompok
ulama atau fukaha dan filsuf. Selain Khomeini, terkemuka juga ayatullah-ayatullah lain,
lainnya punya konsep yang berbeda tentang Wilayah al-Faqih dalam kaitannya dengan
demokrasi. Kedua, adalah kelompok cendekiawan yang tercerahkan yang diwakili oleh
Ali Syari’ati, Dr. Mehdi Bazargan dan Bani Sadr. Ali Syari’ati sendiri menentang konsep
dominasi kaum fuqaha, sebab baginya kaum fuqaha belum tentu bisa memahami ajaran
Islam dengan baik, bahkan di masa lalu telah banyak membuat kesalahan yang
10
menyebabkan kemunduran Islam. Mereka belum tentu juga lebih unggul akhlaknya,
apalagi dalam masyarakat modern. Ali Syari’ati lebih cenderung pada kepemimpinan apa
yang disebutnya cendekiawan yang tercerahkan (rausan fikr). Tapi rausan fikr ini bukan
hanya berasal dari cendekiawan umum, melainkan juga dapat berasal dari ulama, sebagai
contohnya Ayatullah Muttahari yang seorang filsuf sosial yang tidak saja menguasai
memandang al-Qur’an sebagai konstitusi Islam, dan karena itu ia berpendapat bahwa
negara tidak memerlukan parlemen sebagai badan legislatif yang menyusun UU. Baginya
rakyat itu sudah punya UU dasar, yaitu al Qur’an yang didukung oleh Sunnah. Tapi ini
bukan berarti parlemen tidak diperlukan. Parlemen diperlukan, tapi untuk menciptakan
Khomeini juga mengakomodasi pandangan Ali Syari’ati yang berbeda itu. Buktinya ia
memilih Dr. Mehdi Bazargan sebagai Perdana Menteri Pemerintahan Sementara yang
dibentuknya pada masa transsi. Ia kemudian merestui Bani Sadr sarjana ekonomi didikan
Paris yang berkecenderungan sosialis sebagai Presiden Iran nyang pertama, walaupun
kemudian digulingkannya sendiri. Tokoh cendekiawan lain yang juga terkemuka lainnya
misalnya adalah Sadeq Godzabeg dan Dr. Ebrahim Yazdi Dalam kenyataannya sekarang,
walaupun presidennya adalah ulama atau ayatullah, namun para wakil dan menteri-
11