You are on page 1of 4

3.

HUBUNGAN ANTARA KUH PERDATA DAN KUHD

Secara umum dapat dikatakan bahwa KUH Perdata dan KUHD adalah
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, akan tetapi kalau
kita lihat ketentuan :
Psl 1 KUHD : adalah KUH Perdata seberapa jauh dari padanya dalam Kitab
ini tidak khusus diadakan penyimpangan, berlaku juga
terhadap hal-hal yangg dibicarakan dalam kitab ini.
Psl 15 KUHD : menyebutkan segala perseroan tersebut dalam bab ini
dikuasai oleh persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan, oleh
kitab ini dan oleh hukum perdata.

Dari kedua ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa, ketentuan yang diatur
dalam KUH Perdata berlaku juga terhadap masalah yang tidak diatur secara
khusus dalam KUHD, dan sebaliknya apabila KUHD mengatur secara khusus,
maka ketentuan-ketentuan umum yang diatur dalam KUH Perdata tidak
berlaku, dalam bahasa Latin “ Leu specialis derogat legi generali ”
(hukum khusus dapat mengeyampingkan hukum umum).
Contoh : 1. Nilai kekuatan pembuktian surat Psl. 1881 KUH Perdata.
2. Psl. 7 KUHD khususnya.

Sebagai perbandingan tentang hubungan KUH Perdata dan KUHD di negara


Swiss adalah :
 Schweizerieches Zivilgesets bueh (SZ)
 Schweizerieches Obligatimen recht (SO)

SZ dapat dikatakan sama dengan KUH Perdata dikurangi Buku III (Perikatan),
sedang SO mengenai perikatan dan Hukum Dagang.
Contoh : Asas Hukum perjanjian dari SO dapat dipakai untuk SZ dalam
bidang hukum keluarga dan hukum waris.

Beberapa pendapat sarjana tentang hubungan KUH Perdata dan KUHD,


yakni :
 I. Kant : Hukum Dagang adalah suatu tambahan hukum perdata, yaitu
yang mengatur hal-hal khusus.
 Prof. Soebandono : Bahwa pada Psl. 1 KUHD memelihara antara hukum
perdata umum dan hukum dagang. Sedangkan KUHD itu tidak
khusus menyimpang dari KUH Perdata.
 Van Apeldoorn : Bahwa hukum dagang suatu bagian istimewa dari lapangan
hukum perikatan yang ditetapkan dalam Buku III KUH Perdata.

Sumber Hukum Dagang tempat dimana hukum dagang diatur :


1. Dalam bentuk undang-undang : a. KUH Perdata dan KUHD
b. UUNo. 14 Tahun 1945 tentang Pos.
c. UU No. 21 Tahun 1961 tentang Merek.
d. Stb 1939 No. 569 Perseroan Indonesia atas
nama.
2. Yang tidak tertulis (kebiasaan) : timbul dalam praktek perdagangan,
misalnya beberapa provisi komisioner untuk jenis
barang dagang tertentu.
3. Persetujuan khusus : Persetujuan khusus yang dibuat oleh pihak-pihak.
4. Perjanjian antara negara (Traktat) tentang khusus dalam perdagangan.

1
5. Jurisprudensi : Keputusan hakim terdahulu yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, dan dijadikan keputusan
oleh hakim yang lain mengenai masalah yang
timbul.

4. PERBEDAAN PERUSAHAAN DAN PEKERJAAN

Penting dibedakan kedua pengertian ini, karena ada akibat hukum tertentu
apabila suatu kegiatan dikategorikan menjalankan perusahaan atau
pekerjaan.
Pasal 6 KUHD : Pada pokoknya bahwa wajib bagi mereka menjalankan
perusahaan untuk membuat pembukuan. Jadi tidak wajib
bagi yang melakukan pekerjaan.
Pasal 16 KUHD : Pada pokoknya setiap perseroan Firma, harus
menjalankan perusahaan tidak dapat disebut Firma kalau
hanya menjalankan pekerjaan.

Stb. 1930 No. 276 sebagai landasan penggunaan istilah perusahaan


(Bedrijt) sebagai pengganti pengertian pedagang dan perbuatan perniagaan
terdapat Psl. 2-5 KUHD (lama). Karena sampai saat ini belum ada
Jurisprudensi tentang perbuatan yang dapat disebut perusahaan.
Dikemukakan pendapat para sarjana (Doktrin), antara lain :
a. Perumusan dari Pemerintah Belanda.
Dikatakan adanya perusahaan, apabila pihak yang berkepentingan
bertindak secara tidak terputus dan terang-terangan serta di dalam
kedudukan tertentu untuk memperoleh laba bagi dirinya sendiri.
b. Molengraaf berpendapat :
Barulah dikatakan ada perusahaan jika secara terus menerus bertindak
keluar untuk memperoleh penghasilan dengan mempergunakan atau
menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian perdagangan.
c. Polak berpendapat :
Yang diberikan oleh Molengraaf harus ditambah unsur dengan keharusan
melakukan pembukuan.

Dapat disimpulkan bahwa seseorang baru dapat dikatakan menjalankan


suatu perusahaan apabila ada unsur – unsur :
1. Terang-terangan bertindak keluar.
2. Teratur bertindak keluar.
3. Bertujuan untuk memperoleh keuntungan materi.

Dalam UU Pajak Perseorangan Tahun 1925 Pasal 1 Ayat (3) bahwa, yang
dimaksud dengan perusahaan juga melakukan perbuatan pekerjaan atau
juga berupa apapun dari pemungutan pajak dalam perseroan. Perusahaan
dapat dikatakan lawan dari beroep (pekerjaan tetap). Pengertian beroep
menurut Tirtaamijaya lebih luas dari pengertian perusahaan. Oleh karena
perusahaan adalah pekerjaan tetap, sedangkan tidak setiap pekerjaan tetap
adalah perusahaan dalam arti mengejar keuntungan pribadi, sehingga
dapat dikatakan seorang dokter, dosen, pengacara dsb, dapat disebut
menjalankan pekerjaan tetap, sedangkan pemilik toko, pengangkutan,
pabrik dsb, mereka disebut menjalankan perusahaan.
Perbedaan antara perusahaan dan pekerjaan adalah :

2
Perusahaan Pekerjaaan
1. Tujuannya mencari 1. Tujuannya memenuhi kebutuhan
keuntungan materi. hidup.
2. Lebih banyak menggunakan 2. Lebih banyak menggunakan
modal tenaga.
3. Izin khusus. 3. Bisa/tidak.

5. PEMBUKUAN (BOOK KEEPING)

Dalam Buku I Bab II diatur tentang pemegangan buku, sedangkan tentang


pembukuan itu diatur dalam pasal 6-13 KUHD Bab II. Yang berlaku sekarang
ini mengalami 2 kali perubahan, yaitu :
1. Pada tanggal 9 Juni 1927 Stb. 1927 No. 146 yaitu :
Dihapuskan keharusan pedagang untuk mengadakan dan memlihara
buku tertentu, diganti dengan kegarusan untuk mengadakan catatan –
catatan mengetai keadaan kekayaan dan tentang susunannya.
2. Perubahan II adalah mengenai perkataan pedagang dalam pasal 6 KUHD
(lama) sehingga dengan Stb. 1972 No. 146 diganti dengan perkataan
“Setiap orang yang menjalankan perusahaan” Stb. 1938 No. 276.

Dua kali perubahan ini,maka dapat dirumuskan tentang tujuan dan gunanya
daru pembukuan, yaitu :
 Melaksanakan ketentuan UU, maksudnya agar setiap suatu dapat diketahui,
baik oleh pengusaha sendiri maupun oleh pihak ketiga tentang berapa
kekayaannya yang seharusnya, tentang hak dan kewajibannya yang harus
dikerjakan dengan pihak lain (Pasal 6 Ayat 1)

Kewajiban ini erat hubungannya dengan :


Pasal 1131 dan 1132 BW : Yang pada pokoknya : harta debitur baik yang
bergerak dan tetap, baik yang telah ada maupun masih
akan diperoleh, kesemuanya itu menjadi tanggungan bagi
hutang-hutangnya.

Pasal 19 UU Kepailitan : Kepailitan meliputi seluruh kekayaan siberhutang


pada saat pernyataan pailit, beserta segala apa yang
diperoleh selama kepailitan.

Dalam KUHD sendiri, pasal 6 istilah pembukuan tidak dipergunakan, tetapi


memakai istilah Catatan, bagaimana cara membuat dan isi, bentuk dari catatan -
catatan ini. KUHD tidak mengaturnya, yang penting dari catatan ini dapat
diketahui kekayaan, hak dan kewajibannya, disamping kewajiban membuat
catatan selanjutnya disebut kewajiban membuat pembukuan.

Dalam Pasal 6 Ayat (2) KUHD, pengusaha diwajibkan 2 kali dari tahun ke tahun
dalam waktu 6 bulan yang pertama, dari tiap-tiap tahunnya membuat dan
menandatangani dengan tangan sendiri akan neraca tersusun sesuai dengan
kebutuhan perusahaan itu.

Menurut Polak, neraca ialah daftar yang berisi, antara lain :


 Seluruh harta kekayaan beserta harganya dari masing-masing benda.
 Segala hutang-hutang dan saldonya.

3
Kewajiban lainnya ialah yang ditentukan dalam pasal 6 ayat (3) berbunyi : “ia pun
diharuskan menyimpan selama 70 tahun akan segala buku-buku dan surat-surat
yang bersangkutan”. Menurut ayat (1), catatan tadi dibuatnya beserta neracanya
dan selama 1o tahun akan surat-surat, dan surat kawat yang diterimanya beserta
segala tembusan dari surat-surat dan surat-surat kawat yang dikirimnya.

Ketentuan ini ada hubungan dengan pasal 1967 KUH Perdata yang menyebutkan
“segala tuntutan hukum, baik bersifat kebendaan maupun bersifat perseorangan,
hapus karena kadaluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun”.

Kedaluwarsa dibedakan atas 2 (dua), yakni :


 Kadaluwarsa Eutinctief : mengakibatkan seseorang dibebaskan
dari suatu perikatan.
 Kadaluwarsa Acqnisitief : hak milik suatu kebendaan diperoleh
karena kadaluwarsa.

Kewajiban penyimpanan buku-buku atau surat-surat ini, erat pula hubungannya


dengan fungsi pembukuan, yaitu segala alat pembuktian kalau ada sengketa
dipengadilan (pasal 7).

Ketentuan Pasal 1881 KUH Perdata yang pada pokoknya bahwa alat bukti surat
yang ditulisnya sendiri tidak memberikan pembuktian bagi keuntungan si-
pembuatnya.

Dalam pembentukan Hukum Dagang Nasional, nanti perlu ditinjau kembali


ketentuan Pasal 6 Ayat (3) KUHD, dengan pertimbangan adalah :
 Dengan lamanya penyimpanan, diberartikan buku-buku atau surat-surat
rusak.
 Memerlukan biaya untuk karena harus disediakan tempat penyimpanan
yang luas serta pemeliharaan, agar tidak rusak.



You might also like