You are on page 1of 9

Penyetaraan Jender dalamKkonteks Pendidikan di Era Global

PENYETARAAN JENDER DALAM KONTEKS PENDIDIKAN


DI ERA GLOBAL 1

A. Pendahuluan

Diskursus jender (gender discourse) dalam agenda feminisme kontemporer banyak


memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan,
kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Menurut Shorwalter, wacana jender mulai
ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi
memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu
Jender (gender discourse).
Dari kubu pro dan kontra feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar,
Islam diantaranya yang paling mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status
dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap
perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam dalam praktek keseharian
di panggung kehidupan, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul,
mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi
ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suaranyapun tidak berarti layaknya seorang
warga negara atau anggota masyarakat atau hak seorang inddividu.
Fenomena ini terlihat jelas di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,
yang notabenenya adalah negara Islam. Namun benarkah demikian? atau justru Islam yang
menginspirasikan munculnya gerakan feminisme masa lalu dan menyuarakan persamaan
hak antar laki-laki dan perempuan yang hidup dalam kondisi kronis pada masa itu?
Makalah yang sederhana ini mencoba untuk memaparkan tentang permasalahan
yang berkaitan dengan jender.

B. Pengertian Jender
Kata jender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin". Dalam Webster's
New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu
konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender an Introduction
mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan
(cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum
feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan
seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a
given society defines as masculine or feminin is a component of gender).
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan jender sebagai suatu dasar untuk
menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki
dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan
gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi
sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat
menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose
meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to
define it).

1
Disampaikan pada Acara PROSPEK STAI Miftahul Ulum Panyepen Pamekasan, Agustus 2008.

1
Penyetaraan Jender dalamKkonteks Pendidikan di Era Global

Kata jender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan
Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai "interpretasi mental dan
kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya
dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan
perempuan".
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jender adalah suatu konsep
yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi pengaruh sosial budaya. jender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa
masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Dan Kajian-
kajian tentang jender memang tidak bisa dilepaskan dari kajian teologis. Hampir semua
agama mempunyai perlakuan-perlakuan khusus terhadap kaum perempuan. Posisi
perempuan di dalam beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second
sex, dan kalau agama mempersepsikan sesuatu biasanya dianggap sebagai "as it should
be" (keadaan sebenarnya), bukannya "as it is" (apa adanya).
Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender masih tetap dipertahankan dengan
dalih doktrin agama. Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum
perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan laki-laki. Tidak mustahil di balik
"kesadaran" teologis ini terjadi manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan
struktur patriarki, yang secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya
menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.

C. Kedudukan Wanita Sebelum datangnya Islam


Status wanita dalam Islam akan lebih mudah dan jelas dipahami kalau kita terlebih
dahulu melihat bentangan sejarah peradaban manusia tentang bagaimana wanita
diposisikan dalam masyarakat sebelum datangnya Islam. Apakah masyarakat pra-Islam
memposisikan wanita sama, lebih baik atau bahkan lebih jelek? Menurut Jawad dalam
bukunya "Sejarah Peradaban Manusia" mencatat bahwa kedudukan wanita, sebelum
datangnya Islam, sangat mengkhawatirkan, mereka tidak dipandang sebagai manusia yang
pantas dihargai. Bahkan wanita tidak lebih dipandang sebagai makhluk pembawa sial dan
memalukan serta tidak mempunyai hak untuk diposisikan di tempat yang terhormat di
masyarakat. Praktek yang inhuman ini tercatat berlangsung lama dalam sejarah peradaban
masyarakat terdahulu.
Mendeskripsikan status wanita Yunani kuno, Badawi (1990) menulis:
“….Athenian women were always minors, subject to some male…”. Dalam tradisi Hindu,
sebagaimana tertulis dalam The Encyclopaedia Britannica, bahwa ciri seorang isteri yang
baik adalah wanita yang pikiran, perkataan, dan seluruh tingkah lakunya selalu patuh pada
suaminya bagaimanapun seorang suami bersikap kepadanya. Dalam tradisi dan hukum
Romawi Kuno bahkan disebutkan bahwa wanita adalah makhluk yang selalu tergantung
kepada laki-laki. Jika seorang wanita menikah, maka dia dan seluruh hartanya secara
otomatis menjadi milik sang suami. Ini hampir sama dengan yang tertulis dalam English
Common Law, …all real property which a wife held at the time of a marriage became a
possession of her husband.
Dalam tradisi Arab, kondisi wanita menjelang datangnya Islam bahkan lebih
memprihatinkan. Wanita di masa jahiliyah dipaksa untuk selalu taat kepada kepala suku
atau suaminya. Mereka dipandang seperti binatang ternak yang bisa di kontrol, dijual atau
bahkan diwariskan. Arab jahiliyah terkenal dengan tradisi mengubur bayi wanita hidup-
hidup dengan alasan hanya akan merepotkan keluarga dan mudah ditangkap musuh yang
pada akhirnya harus ditebus. Dalam dunia Arab jahiliyah juga dikenal tradisi tidak adanya
batasan laki-laki mempunyai isteri. Kepala suku berlomba-lomba mempunyai isteri
sebanyak-banyaknya untuk memudahkan membangun hubungan famili dengan suku lain.
Ali Asghar Engineer (1992) bahkan mencatat kebiasaan kepala suku untuk mempunyai

2
Penyetaraan Jender dalamKkonteks Pendidikan di Era Global

tujuh puluh sampai sembilan puluh isteri. Budaya barbar penguburan hidup-hidup bayi
wanita dan tidak adanya batasan mempunyai isteri dilarang ketika Islam datang, dan ini
bagi Engineer adalah salah satu prestasi luar biasa peningkatan status wanita dalam Islam.
Tradisi lain yang berkembang di masyarakat jahiliyyah sebelum Islam datang
adalah adanya tiga bentuk pernikahan yang jelas-jelas mendiskreditkan wanita. Pertama
adalah nikah al-dayzan, dalam tradisi ini jika suami seorang wanita meninggal, maka anak
laki-laki tertuanya berhak untuk menikahi ibunya. Jika sang anak berkeinginan untuk
menikahinya, maka sang anak cukup melemparkan sehelai kain kepada ibunya dan secara
otomatis dia mewarisi ibunya sebagai isteri. Kedua, zawj al-balad, yaitu dua orang suami
sepakat untuk saling menukar isteri tanpa perlu adanya mahar. Ketiga adalah zawaj al
istibda. Dalam hal ini seorang suami bisa dengan paksa menyuruh isterinya untuk tidur
dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang isteri dipaksa untuk kembali lagi
kepada suami semula. Dengan tradisi ini diharapkan sepasang suami isteri memperoleh
“bibit unggul” dari orang lain yang dipandang mempunyai kelebihan.
Dari pemaparan bentuk-bentuk tradisi masyarakat pra-Islam terhadap wanita diatas
kita bisa berasumsi bahwa wanita sebelum Islam sangat dipandang rendah dan tidak
dianggap sebagai manusia, mereka lebih dipandang sebagai barang seperti harta benda
yang lainnya. Dengan asumsi ini kita dengan mudah akan melihat bagaimana Islam
memposisikan wanita dan mencoba menghapus tradisi jahiliyah tersebut

D. Feminisme dan Islam


Mendiskusikan kaitan feminisme dan Islam tak akan kita lepaskan dari kehadiran
Qur’an sebagai buku petunjuk samawi yang secara komprehensif dan lugas memaparkan
hak asasi perempuan dan laki-laki yang sama, hak itu meliputi hak dalam beribadah,
keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai manusia, dan eksistensi menyeluruh
pada hampir semua sektor kehidupan.
Islam sangat memuliakan wanita. Al Qur'an dan as Sunnah memberikan perhatia
yang sangat besar dan kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik ia sebagai anak, ibu,
saudara maupun peran lainnya. Begitu pentingnya hal ini sampai Allah mengabadikannya
dalam Al Qur'an, Surat ini dikenal dengan surat An-nisa’ yang di dalamnya membahas
persoalan yang berkaitan dengan kedudukan, peranan dan perlindungan hukum terhadap
hak-hak wanita. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi
diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan
persamaan status dan hak dengan laki-laki.
Konsep yang paling familiar tentang kedudukan wanita dalam Islam yang sering
disebut al-Qur’an adalah konsep equality (persamaan). Equality, responsibility (tanggung
jawab) dan accountability (pertanggunganjawab) antara wanita dan laki-laki adalah tema
dalam Al-Quran yang sering ditekankan. Term persamaan antara laki-laki dan wanita
dimata Tuhan tidak hanya terbatas pada hal-hal spiritual atau isu-isu religius semata, lebih
jauh Al-Qur’an berbicara tentang persamaan hak antara laki-laki dan wanita dalam segala
aspek kehidupan.
Menurut Al-Qur’an, wanita dan laki-laki mempunyai spiritual human-nature yang
sama. Dalam hal kewajiban moral-spiritual beribadah kepada Sang pencipta, seperti
shalat lima waktu sehari semalam, puasa, zakat, haji, Al-Quran menekankan bahwa tidak
ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Dan lebih dari satu ayat, Al-Qur’an menyebut
bahwa siapa pun yang berbuat baik, laki-laki atau wanita, Tuhan akan memberikan pahala
(reward) yang setimpal. Firman Allah dalam Surat an Nahl; 97
      
   
 
   

3
Penyetaraan Jender dalamKkonteks Pendidikan di Era Global

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan
beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan
Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.
Untuk hak-hak yang bersifat ekonomis, Al-Qur’an mengenal adanya hak penuh
bagi wanita sebelum dan sesudah menikah. Jika sebelum menikah seorang wanita
memiliki kekayaan pribadi, maka begitupun setelah dia menikah. Dia mempunyai hak
kontrol penuh terhadap kekayaannya. Berkenaan dengan hak ekonomis bagi wanita, di
Eropa sampai akhir abad 19, wanita tidak mempunyai hak penuh untuk memiliki
kekayaan. Ketika seorang wanita menikah, secara otomatis harta seorang wanita menjadi
milik sang suami atau kalau si isteri mau mempergunakan harta yang sebenarnya milik dia
ketika belum menikah, harus mempunyai ijin dari sang suami. Sebagai contoh di Inggris,
hukum positif tentang wanita mempunyai hak kepemilikan baru diundangkan pada sekitar
tahun 1860-an yang terkenal dengan undang-undang “Married Women Property Act”.
Padahal Islam telah mengundangkan hukum positif hak pemilikan wanita 1300 tahun lebih
awal ( Lihat QS 4:7dan 4:32).
    
 
  
 
    
    
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi
orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
    
    
  
  
    
    
    
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang
mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.

Mendiskusikan posisi wanita di bidang sosial, adalah penting untuk melihat


bagaimana peranan wanita sebagai anak, isteri dan ibu dalam Islam. Ketika tradisi
penguburan hidup-hidup bayi wanita menjamur dalam tradisi jahiliyah Arab, Islam
dengan tegas melarangnya dan bahkan menganggap tradisi itu sebagai tradisi barbar yang
tidak bermoral. Lebih jauh, sebagai ibu, wanita mempunyai posisi yang sangat terhormat
dalam Islam. Al-Qur’an memerintahkan setiap anak yang beragama Islam untuk
mempunyai respektifitas yang tinggi terhadap orang tua, terutama ibu berimplikasi dosa
besar (QS 31:14).

 
  
   

4
Penyetaraan Jender dalamKkonteks Pendidikan di Era Global

  



Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya
telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu.
Kedudukan wanita sebagai isteri pun sangat dihargai dalam Islam. Al-Qur’an
dengan jelas menekankan bahwa pernikahan dalam Islam adalah love-sharing antara dua
insan yang berbeda jenis dalam masyarakat dengan tujuan mempertahankan keturunan dan
menciptakan spiritual-harmony (QS 30:21)
   
   
  
    
   
 
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.
Demikian halnya dengan hak wanita untuk mencari ilmu juga tidak berbeda
dengan laki-laki. Rasulullah bersabda:

(‫طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة )رواه بيهقى‬

Menuntut ilmu merupakan kewajibab bagi setiap orang Islam laki-laki dan wanita. (HR Al-
Baihaqi).

Pemaparan keadaan wanita dalam Islam diatas dengan jelas mengindikasikan


bahwa posisi wanita diangkat martabatnya ketika Islam datang. Kedatangan Islam bahkan
bertujuan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan pelecehan harkat wanita.
Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama
Islam yang memposisikan kaum wanita sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup
dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun dan hanya sebagai komoditi
tanpa nilai. Penghargaan Islam atas eksistensi wanita ditauladankan dalam sisi-sisi
kehidupan nabi Muhammad saw terhadap istri-istri beliau, anak maupuan hubungan beliau
dengan perempuan di masyarakatnya.
Kondisi dinamis perempuan masa risalah tercermin dalam kajian-kajian yang
dipimpin langsung Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan kaum wanita dalam satu
majelis. Terlihat jelas bagaimana kaum wanita pada masa itu mendapatkan hak untuk
menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas permintaan kaum wanita
sendiri meminta Rasul satu majlis terpisah untuk mendapat kesempatan lebih banyak
berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah.
Terlihat juga dari geliat aktifitas kaum wanita sahabat Rasullullah dalam panggung
bisnis, politik, pendidikan, keagamaan dan sosial, dan ikut serta dalam peperangan dengan
sektor yang mereka mampu melakukan. Sirah kehidupan istri-istri Rasul pun
mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul mukminin Khadijah ra. adalah salah satu
kampiun bisnis pada masa itu, Aisyah ra. adalah perawi hadis dan banyak memberikan
fatwa karena kecerdasannya. Bahkan hawa feminispun telah terdengar dari suara-suara
protes dan pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah ra. atas eksistensi perempuan.

5
Penyetaraan Jender dalamKkonteks Pendidikan di Era Global

Dari sini terlihat bahwa era risalah telah mengubur masa penetrasi kaum laki-laki
atas wanita dan mengganti dengan masa yang lebih segar bagi perjalanan hidup kaum
wanita selanjutnya. Sejarah awal Islam telah memaparkan kenyatan bahwa Islam justru
mendorong dan mengangkat kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan
sebelumnya oleh suku bangsa manapun sebelumnya dan peradaban tua sebelum Islam.

E. Hak-Hak Perempuan Dalam Islam


Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan
tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan
kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh
wanita dalam sejarah agama atau kemanusiaan.
.
1. Hak Wanita dalam bidang politik
Secara umum surah Al-Nisa' ayat 32, menunjuk kepada hak-hak perempuan. Islam
memandang bahwa antara laki-laki dan wanita secara umum mempunyai hak yang sama.
Dalam Surat at Taubah; 71 dinyatakan:

 
    

   
 
 
  
  

    
  
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Kata awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan
penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang
ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi
nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan
Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing
mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.
Realitas sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat
dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi
Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik
(jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi
Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan 'Ali
ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu terbesar dalam
peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a.
Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M).
Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya
dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut
paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.

6
Penyetaraan Jender dalamKkonteks Pendidikan di Era Global

Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun wanita memiliki hak
tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai
melarang keterlibatan wanita dalam bidang kehidupan bermasyarakat --termasuk dalam
bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum wanita
terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali.
2. Hak Perempuan dalam Bidang Pekerjaan
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan wanita dalam pekerjaan pada masa awal
Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif
dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam
ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga
pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana
terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula
menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan
lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan wanita yaitu
bahwa " wanita mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut
membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut".
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh wanita pada masa Nabi cukup
beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-
peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah
(istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain,
tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam Bukhari,
membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang menginformasikan kegiatan-kegiatan
kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan
Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.
Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai
bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti
Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay--istri Nabi Muhammad saw. Ada
juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti
Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Istri Nabi saw., Zainab binti
Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu
beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn Mas'ud, sangat aktif bekerja,
karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga
ini. Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar
r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan
sahabat beliau menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan
pekerjaan. Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul
saw. banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan
waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat.
3. Hak dan Kewajiban Belajar
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang
kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan.
Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar, Seperti surat
pertama kali yang turun; al Alaq: Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan...
Keistimewaan manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya
adalah karena makhluk ini memiliki pengetahuan
Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak
mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar:

7
Penyetaraan Jender dalamKkonteks Pendidikan di Era Global

(‫طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة )رواه بيهقى‬

Menuntut ilmu merupakan kewajibab bagi setiap orang Islam laki-laki dan wanita. (HR Al-
Baihaqi).

Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan
tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan
mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak
lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki
saja, tetapi juga kaum perempuan. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Ali Imran; 195

       
   
      
    
   
  
 
      
    

   
 
     
 
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain[259]. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang
disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-
kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai
".di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian
mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka
ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan
berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas
untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-
masing.
Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a.,
adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus.
Sampai-sampai dikenal secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara
ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.:
Demikian juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Kemudian Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan)
adalah salah seorang guru Imam Syafi'i (tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya
menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.
Imam Abu Hayyan mencatat tiga nama perempuan yang menjadi guru-guru tokoh
mazhab tersebut, yaitu Mu'nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil saudara
Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan Abdul-Latif
Al-Baghdadi. Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang
sangat terhormat adalah Al-Khansa', Rabi'ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap
perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi juga para

8
Penyetaraan Jender dalamKkonteks Pendidikan di Era Global

budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian
banyak perempuan yang tadinya budak belian mencapai tingkat pendidikan yang sangat
tinggi.
Al-Muqarri, dalam bukunya Nafhu Al-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul
Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada
masanya, pernah mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang
wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya
dalam bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena keahliannya
dalam bidang ini.202
Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak
dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin
ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di
atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari
disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban
perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka
sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah
tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi
(dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak
daripada soal-soal keagamaan."
Demikian sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang
pendidikan. Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak
kaum perempuan dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik
adalah bahwa mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-
saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat
dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan
tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu,
sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan
atas yang lain.

"SELAMAT MENJADI CALON


INTELEKTUAL MUSLIM"

You might also like