You are on page 1of 104

KUMPULAN CERPEN PILIHAN

PENYESALAN MARNI
Cerpen: Humam S. Chudori
Sumber: Republika, Edisi 09/16/2007

Sejak di-pehaka, Himawan sering sekali dirawat di rumah sakit. Penyakit asma
yang dideritanya sering kambuh. Padahal, sebelum kena pehaka, ia jarang
dirawat di rumah sakit kendati tiap bulan mesti mengunjungi dokter. Tragisnya,
setelah empat kali dirawat di rumah sakit, Marni mengalami nasib serupa
dengan suaminya -- kena pehaka. Sejak itu neraca keuangan keluarga Himawan
mulai goncang.

"Jadi orang itu jangan penyakitan," kata Marni, tatkala suaminya pulang dari
rumah sakit, setelah kesekian kalinya ia dirawat. Himawan diam. Betapa tidak,
baru dua langkah pasangan suami-istri itu masuk ke dalam rumah, Marni sudah
melontarkan kalimat ketus. "Kalau sudah begini, apalagi yang harus dijual?"
kata Marni lagi.

Himawan tak menyahut. Hatinya terasa sakit mendengar kalimat yang


dilontarkan istrinya. Rasanya ia ingin mendaratkan tamparan ke muka
perempuan itu jika tidak ingat tubuhnya sendiri masih lemah.

Sebetulnya ia ingin langsung ke kamar, tiduran. Namun, setelah mendengar


kata-kata istrinya itu tubuhnya langsung lemas. Gemetar. Limbung. Matanya
seperti berkunang-kunang. Kepalanya terasa nyut-nyutan. Ia kehilangan tenaga
untuk melangkah ke kamar. Karena itu, ia langsung duduk di atas tikar. Di
ruang tamu.

Rumah itu memang sudah lama tak punya kursi tamu lagi, sudah mereka dijual.
Sebelumnya beberapa perabotan rumah lain -- televisi, kulkas, dan bupet -- juga
sudah mereka jual.

Sejak tak ada meja kursi tamu, di ruangan yang tidak terlalu luas itu hanya ada
selembar tikar plastik yang tak pernah digulung.

Watak asli Marni baru disadari Himawan setelah anak pertama mereka lahir.
Semula sifat buruk istrinya dianggap Himawan sebagai bawaan jabang bayi,
lantaran istrinya nyaris tidak mengalami kekosongan. Setelah dua bulan
dinikahi Himawan. Sikap dan kelakuan Marni mulai berubah.

Ketika pertama kali berhenti haid, Himawan menganggap kelakuan perempuan


itu berubah karena mengalami fase ngidam. Himawan menyadari orang yang
sedang ngidam -- seperti yang sering didengarnya dari orang lain -- emosinya
labil. Itulah sebabnya lelaki itu berusaha untuk tidak tersinggung. Dia sendiri
sangat berharap secepatnya mempunyai keturunan, lantaran terlambat
menikah.
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Bukan sekali dua kali Himawan mendengar cerita tentang kelakuan orang
ngidam yang berubah nyleneh. Menjadi manja, gampang cemberut, bahkan
serba ingin menang sendiri. Meski pada umumnya orang ngidam cuma ingin
makan yang serba pedas atau masam. Kebiasaan orang ngidam seringkali
menjadi aneh, kolokan, bahkan tidak jarang membuat suaminya kesal.

Ketika Erna -- adik Himawan -- ngidam bukan hanya sekali menyuruh


suaminya membelikan bakso di tengah malam. Widodo pun mengabulkan
permintaan Erna. Ia terpaksa mencari makanan yang diminta 'jabang bayi'.

Namun, alangkah kesalnya lelaki itu setelah sampai di rumah. Erna hanya
mencoba sesendok kuahnya. Dan, makanan yang diperoleh dengan susah payah
itu tidak disentuh sama sekali. Celakanya jika permintaan Erna tidak dituruti,
ia akan marah-marah kepada suaminya. Meskipun demikian, Widodo tak berani
menolak permintaan 'sang jabang bayi'.

Memang tidak sedikit orang ngidam yang tidak berubah kelakuannya. Tidak ada
perubahan perilaku atau kebiasaan, kecuali menjadi sering muntah karena
perutnya terasa mual.

Andaikata tak pernah memikirkan masa depan anak, barangkali, Himawan


sudah menceraikan istrinya. Ia sudah merasakan sendiri betapa tidak enaknya
menjadi korban perceraian orangtua. Lantaran ia dan dua orang adiknya
memang produk rumahtangga yang berantakan alias broken home.

Ketika masih bekerja, Marni acapkali berkata kepada Rita -- tetangga depan
rumahnya -- kalau dirinya tidak bekerja, kebutuhan rumah tangganya pasti
takkan pernah bisa tercukupi.

"Berapa sih gaji seorang sopir seperti suami saya?" kata Marni, tatkala mereka
belum di-pehaka, mengeluh kepada Rita usai menceritakan penghasilannya.

"Sama saja, Mbak," kata Rita jika tetangga depan rumahnya sudah berkata
demikian, "Suami saya juga sopir." "Kalau suami Dik Rita lain. Biar sopir tapi
sopir kedutaan besar. Pasti gajinya besar. Karena itu, kamu tidak perlu bekerja
lagi seperti saya."

Apabila Marni sudah mulai membicarakan penghasilan suaminya, Rita


berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Waktu itu mereka -- baik Himawan
maupun Marni -- masih aktif bekerja. Mereka masih punya penghasilan.
Namun, setelah di-pehaka Marni tak berani lagi membicarakan gajinya. Ia tak
pernah membanggakan penghasilannya.

Walaupun demikian, toh ternyata Marni masih merasa lebih hebat dari para
tetangganya yang tidak bekerja. Ia memang sering melecehkan wanita yang
hanya menjadi ibu rumah tangga. Itu sebabnya tak ada tetangga yang mau
dekat dengan Marni, kecuali Rita.
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Sejak di-pehaka, Marni tidak pernah melamar kerja lagi. Karena, ia sudah tak
mungkin bekerja lagi. Pertama, karena usianya sudah di atas kepala empat.
Kedua, pendidikannya pas-pasan. Hanya berijazah slta dan tidak punya ijazah
lain. Ijazah dari kursus ketrampilan, misalnya.

Dan, ketiga, pengalaman kerjanya tidak bisa digunakan sebagai referensi


mencari pekerjaan lain. Sebab pekerjaannya hanya sebagai pemandu penonton
bioskop. Ya, tugas Marni di tempat kerjanya hanyalah mengantar penonton ke
kursi sesuai dengan nomor karcisnya. Sementara itu, sudah banyak bioskop
yang tidak mampu bertahan. Menghentikan usahanya. Tidak beroperasi. Gulung
tikar.

Untungnya, Hendy, ayah Himawan, meninggalkan warisan kepada anak-


anknya, termasuk Himawan. Sebuah rumah yang kini dikontrakkan. Dari hasil
kontrakan itulah keluarga Himawan berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari
selama belum mendapatkan pekerjaan lagi, meski tidak cukup juga.

"Kalau sudah begini apalagi yang masih bisa dijual, Mas?" Marni mengulang
pertanyaan sebelumnya, setelah lama Himawan tak melontarkan sepatah kata
pun.

Himawan masih duduk mematung. Mengatur napasnya yang tak teratur.


"Orang ditanya istri kok diam saja."

"Rumah warisan bapak masih ada," kata Himawan, pelan. Nyaris tak terdengar.
Setelah ia berhasil menepis rasa galau yang memenuhi benaknya.

"Sudah gila kamu, Mas?"

"Tadi kamu tanya barang apalagi yang masih bisa dijual. Rumah peninggalan
bapak masih laku dijual. Kalau laku dijual masih cukup untuk biaya hidup kita.
Paling tidak dalam waktu beberapa tahun ke depan," jawab Himawan lemah.
"Jika nanti kurang ya rumah ini yang kita jual."

Marni diam.

"Kalau bukan rumah itu apalagi, coba pikir? Jual perabotan? Perabotan apa
yang masih bisa di jual? Tikar atau bantal? Atau jual tenaga? Nyatanya kita
juga sudah tidak bisa bekerja? Bukankah ini artinya tenaga kita juga sudah tak
laku?" kali ini Himawan sudah tidak kuasa untuk menahan kekesalannya.
Suaranya gemetar.

"Mas!"

"Atau kamu mau jual diri? Jual diri kamu juga sudah tidak laku. Kamu su...
sudah tua...."
Himawan tak mampu melanjutkan kalimatnya. Nafasnya sesak. Dia terjatuh.
Tidak kuat duduk. Tubuhnya mendadak kejang-kejang. Mulutnya terkatup
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
rapat. Nafasnya berhenti.

Dengan terbata-bata Marni menceritakan kematian suaminya kepada Rita,


tetangga depan rumahnya. Ada nada sesal, tatkala ia menceritakan peristiwa
yang telah menyebabkan Himawan menghembuskan napas terakhirnya.

"Andaikata akan begini jadinya...." Marni tak melanjutkan kalimatnya.

"Ya, sabar saja, Mbak. Barangkali sudah menjadi suratan takdir."

"Masalahnya bukan itu, Rita," Marni memotong kalimat Rita, "Almarhum masih
meninggalkan utang sama saudara-saudara saya. Ya, selama ini biaya rumah
sakit sudah tidak ditanggung kantor. Lha wong Mas Himawan sudah tidak
kerja."

Rita masih diam.

"Untungnya, dulu saya juga kerja. Kalau tidak, mungkin utang almarhum bisa
dua kali lipat lebih. Selama ini saya yang menanggung biaya keluarga. Gaji
suami selama ini sudah habis buat biaya berobat. Di kantornya, Mas Himawan
hanya mendapat ganti sebagian dari biaya yang dikeluarkan. Itu pun tidak
seberapa jika dibandingkan dengan biaya yang harus kami tanggung selama ini.
Sebab, tiap bulan Mas Himawan, tidak bisa tidak, harus tetap berobat.
Terlambat berobat, ia harus dirawat," lanjutnya berapi-api. Rita tetap diam.

"Coba kalau saya tidak pernah bekerja, apa tidak...."

"Maaf," Rita memotong kalimat yang belum usai dilontarkan Marni, "Perut saya
sakit. Ingin buang air."

Dengan tergopoh-gopoh Rita pulang. Ia tidak ingin mendengar kalimat Marni


selanjutnya. Kedatangan Rita ke rumah Marni, malam itu, semula hendak
menghibur sang tetangga yang belum genap seminggu ditinggal suaminya.
Namun, setelah mendengar ceritanya Rita justru merasa muak. Bahkan kesal.

Yang disesalkan Mbak Marni ternyata bukan karena kematian suaminya, tapi
karena almarhum masih meninggalkan utang, pikir Rita.***
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
ATHEIS
Cerpen: M. Dawam Rahardjo
Sumber: Media Indonesia, Edisi 09/02/2007

KAKAK kami Suparman kini tinggal di Jakarta menjelang masa pensiun. Tapi
ia tidak terikat. Karena ia mengelola sebuah perusahaan konsultan sendiri,
dengan karyawan sekitar 50 orang. Ia adalah seorang arsitek lulusan ITB.
Setelah lulus, ia melamar sebagai arsitek di sebuah perusahaan. Setelah
mendapatkan pengalaman, ia mendirikan perusahaan sendiri bersama beberapa
orang kawannya. Usahanya ini boleh dikatakan maju, berkat kegiatan
pembangunan di Ibu Kota.

Kakak kami itu ialah saudara tertua dalam keluarga kami yang tinggal di
sebuah desa bernama Jatiwarno di Wonogiri. Sekitar 30 kilometer dari Kota
Solo. Daerah tempat tinggal kami itu dikenal kering. Dulu sering kali menjadi
berita di koran karena kelaparan. Di zaman kolonial pernah terjadi busung
lapar. Kini Wonogiri tidak lagi kering seperti dulu karena di situ dibangun
waduk Gajah Mungkur. Sekarang sudah ada ladang-ladang ubi kayu dan jagung
selain sawah padi. Waduk ini juga menjadi pusat pariwisata yang dikunjungi
terutama oleh orang-orang Solo. Keluarga kami, keluarga Parto Sentono lebih
populer dipanggil Kiai Parto adalah sebuah keluarga yang religius. Ayah kami
itu adalah seorang petani yang juga berperan sebagai ulama lokal karena ia
adalah santri lulusan Mamba'ul Ulum dan tinggal di pesantren Jamsaren. Jadi
ia pernah berguru kepada KH Abu Amar, Ulama Solo yang masyhur itu. Itulah
sebabnya Kiai Parto mengirim kami, anak-anaknya, ke pesantren sebagai
lembaga pendidikan.

Mas Parman sebagai anak tertua dikirim ke Gontor Ponorogo yang jaraknya
tidak jauh dari desa kami. Kakak saya yang kedua Muhammad Ikhsan
dipondokkan ke Pesantren Pabelan di bawah pimpinan Kiai Haji Hamam Ja'far.
Saya sendiri sebagai anak ketiga cukup bersekolah di Madrasah Al-Islam,
Honggowongso, Solo. Jadi saya punya dua orang adik. Yang pertama, dikirim ke
Tebu Ireng, sedangkan adik saya yang paling bontot disuruh belajar ke
madrasah Mu'alimat Muhammadiyah, Yogyakarta.

Walaupun semuanya berlatar belakang pendidikan pesantren, kami semua


mempunyai profesi yang berbeda-beda, misalnya Mas Parman menjadi seorang
arsitek, sedangkan saya sendiri menjadi petani jagung dan ubi kayu meneruskan
pekerjaan bapak. Karena itulah, saya adalah anak yang paling dekat dengan
keluarga dan menyelenggarakan pertemuan halalbihalal setiap tahun dengan
keluarga.

Bapak merasa sangat bangga anaknya bisa masuk ke pondok modern Gontor.
Mas Parman sendiri juga merasa mantap berguru dengan Kiai Zarkasi dan Kiai
Sahal. Di masa sekolah dasar, kami semua dididik langsung oleh bapak kami.
Mas Parman ternyata berhasil menjadi seorang santri yang cerdas. Bapak
sangat berharap kelak Mas Parman menjadi seorang ulama modern. Bapak
memang tidak mengikuti perkembangan anaknya itu sehingga ia merasa
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
terkejut ketika pada suatu hari ia berkunjung ke Gontor, anaknya itu ternyata
sudah tidak lagi bersekolah di situ. Namun sebentar kemudian, ia mendengar di
mana anaknya berada. Ternyata Mas Parman yang pandai matematika itu ikut
ujian SMP negeri dan lulus dengan nilai yang sangat baik. Ia kemudian
melamar untuk bersekolah di Solo dan diterima di SMA 2 atau SMA B yang
terletak di Banjar Sari. Sekolahnya itu berdekatan dengan SMA 1 jurusan sastra
budaya. Sehingga ia banyak bergaul dengan pelajar-pelajar sastra. Walaupun
belajar ilmu eksakta, Mas Parman ternyata punya bakat seni. Ia bisa melukis
dan membuat puisi. Ia ikut di klub sastra remaja yaitu sastra remaja Harian
Nasional di Yogya. Bapak tidak bertanya banyak kepada anak sulungnya itu.
Walaupun ia merasa sangat kecewa dan agak marah karena Mas Parman telah
mengambil keputusan besar tanpa berkonsultasi dengan Bapak dulu. Saya
mewakili keluarga menanyakan perihal keputusannya itu kepada Mas Parman.
"Mas, kenapa tidak minta izin bapak dulu ketika Mas keluar dari Gontor?,"
tanyaku pada suatu hari.

"Kalau aku bilang dulu pada bapak, pasti tidak dikasih izin," jawabnya.

"Kenapa pula Mas berani mengambil keputusan besar itu?" tanyaku lagi. "Aku
ternyata tidak betah tinggal di pondok. Aku merasa pesantren ini adalah sebuah
masyarakat buatan. Kami hidup menyendiri, dilarang bergaul dengan penduduk
desa. Kami di pondok menganggap diri sebagai keluarga ndoro," jawabnya lagi.

"Itu kan karena kepentingan para santri sendiri supaya tidak terkontaminasi
oleh pengaruh luar," jelas saya.

"Tapi hidup kan menjadi artifisial, santri hanya diajar sesuatu yang baik tapi
tidak mengetahui dunia nyata yang tidak terlalu bersih. Malah banyak
kotornya."

"Kalau hanya itu alasannya, mengapa Mas tetap mengambil keputusan?" tanya
saya.

"Terus terang saja, aku sendiri jenuh dan bosan hidup di pondok. Aku
memahami jika sebagian santri melakukan homo bahkan mencuri-curi bergaul
dengan perempuan di luar pondok."

"Nah, itulah akibatnya kalau para santri tidak disiplin."

"Pokoknya aku bosan, yang lebih mendasar lagi aku tidak bisa menerima
pelajaran-pelajaran agama. Kupikir pendidikan semacam itu tidak berguna,
karena tidak membekali santri untuk bisa hidup dalam realitas yang sering
keras itu di luar dunia pesantren. Jadi apa gunanya aku bersusah payah
mencapai kelulusan. Itulah maka aku mengambil keputusan untuk pindah
sekolah."

"Mas Ikhsan ternyata senang nyantri di Pabelan," ujar saya.


KUMPULAN CERPEN PILIHAN
"O... Pabelan itu beda dengan Gontor, Kiainya juga alumni Gontor, tapi ia bisa
berbeda dengan Gontor. Santri Pabelan bebas bergaul bahkan diharuskan. Kiai
Hamam bisa menerima saran dari LP3ES untuk menyelenggarakan program
lingkungan hidup. Pesantren bahkan menyediakan air bersih yang diolah dari
kali Pabelan untuk penduduk desa. Kiai Hamam juga membuat pemandian
umum desa. Sehingga santri-santrinya bisa bergaul dengan penduduk desa
setiap pagi sore sambil mandi bersama."

Mas Parman kemudian melanjutkan perubahan di dalam hidupnya. "Har, aku


ingin memberitahukan padamu, perubahan pola hidupku di Solo. Aku sekarang
sudah tidak menjalankan salat, juga puasa Ramadan," katanya jujur.

"Mas, apakah ini tidak terlalu jauh? Ibu bapak pasti akan marah besar sama
Mas," jawab saya.

"Ya jangan dilaporkan ke ibu bapak, tapi ceritakan saja apa adanya kepada Mas
Ikhsan, barangkali ia bisa menerima dengan kepala dingin." Saya kemudian
berpisah dengan Mas Parman dan melaksanakan wasiatnya. Tidak henti-
hentinya saya berpikir dan merenung, sehingga memberatkan pikiran saya.
Sebagai adik kandung, saya menyayangkan keputusan dan langkah radikal Mas
Parman. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa sehingga hanya bisa menerima
dengan sedih yang menjadi unek-unek terus-menerus. Sebab, saya pun juga
ingin jawaban terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan keputusan kakak
saya itu. Saya khawatir sikapnya itu akan memengaruhi kakak dan adikku yang
lainnya sehingga unek-unek itu saya sampaikan kepada Mas Ikhsan. Ia juga
tampak terkejut tapi hanya terdiam saja tanpa reaksi. Karena itu aku minta
kepada Mas Ikhsan untuk bertemu sendiri dengan Mas Parman.

Akhirnya, pada suatu hari, Mas Ikhsan menyempatkan diri untuk bertemu
langsung dengan Mas Parman di Solo. Ia tinggal di daerah Manahan. Berikut ini
adalah laporan Mas Ikhsan kepadaku dari hasil pertemuannya dengan Mas
Parman. "Aku diajak Mas Parman pada suatu malam di suatu warung hik yang
masyhur dengan jualan wedang ronde dan makanan tradisional Surakarta. Mas
Parman memang romantis. Dia tidak ragu mengajakku menikmati suasana Solo
di waktu malam yang dirasakan rakyat jelata. Terkesan olehku bahwa ia
memang merakyat hidupnya. Karena setiap kali kami berbincang-bincang,
selalu saja ada orang yang menyapa. Ada juga para pengemis dan gelandangan.
Di warung hik itulah aku mencoba secara tenang menanyakan banyak hal
kepada Mas Parman.

"Mas, aku sudah mendengar semua cerita mengenai dirimu dari adik kita,
Haryono, terus terang saja aku terkejut. Timbul seribu satu pertanyaan dalam
pikiranku, aku masih seorang santri yang baik dan terus bercita-cita menjadi
ulama pemikir modern. Sebagai adik, aku tidak bisa memahami sikapmu.
Bahkan aku tidak percaya dengan cerita Haryono, aku juga sudah tanya kepada
Haryono bagaimana pandangannya. Tapi ia tidak banyak memberi penjelasan
sehingga aku harus langsung bertemu denganmu. Mohon jangan tersinggung
dengan pertanyaan-pertanyaan dan komentarku. Aku bahkan ingin belajar
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
kepada Mas, yang memiliki sebuah pengalaman dramatis."

"O... boleh saja, jadi aku sekarang sudah tidak menjalankan kewajibanku
sebagai seorang muslim."

"Kalau begitu, Mas telah murtad?" tanyaku.

"Ya, sebelum hukuman murtad dijatuhkan kepadaku, aku lebih baik keluar saja
dulu dari Islam. Sekarang siapa pun juga tidak berhak menghakimiku."

"O... begitu, aku pun tidak akan menghakimimu. Cuma aku ingin bertanya
apakah Mas telah meninggalkan seluruh akidah Islam?" tanyaku ingin tahu.

"Ya, aku sekarang seorang atheis, aku sudah tidak percaya kepada Tuhan."

"Lalu status Mas sekarang sebagai apa?" tanyaku.

"Aku sudah menjadi humanis. Aku bercita-cita ingin menjadi pemikir bebas."

"Untuk menjadi orang seperti itu kan tidak perlu meninggalkan akidah. Islam
memberi kebebasan."

"Ya aku tahu, aku hanya ingin mengatakan bahwa selama di Gontor aku tidak
pernah memperoleh penjelasan yang memuaskan mengenai Tuhan. Dan
mengapa orang harus percaya kepada Tuhan. Aku ingin bebas dari belenggu
akal dan aku harus bisa mendasarkan perilakuku berdasarkan rasionalitas.
Tidak dibelenggu iman dan syariat. Sekarang ini aku merasakan diriku menjadi
orang bebas, tanpa belenggu. Ketika menjadi orang Islam aku merasa terjatuh
ke dalam belenggu. Sekarang ini aku merasa mengalami pencerahan."

"Mas kan tahu bahwa Islam itu mengajarkan perbuatan baik berdasarkan iman.
Jadi manusia memerlukan Tuhan untuk bisa berbuat baik."

"Inilah yang saya tidak setujui dalam Islam. Seperti kamu tahu sendiri,
perbuatan baik itu tidak diakui Tuhan jika tidak didasarkan kepada iman.
Mengapa harus begitu. Buddha Gautama mengajarkan perbuatan-perbuatan
baik tanpa mensyaratkan iman kepada-Nya. Demikian pula Konghucu. Aku
suka dengan dua agama yang kita sebut sebagai agama bumi itu. Aku ingin
menjadi orang baik tanpa iman. Kalau mendengar keteranganmu itu terkesan
olehku bahwa Tuhan itu adalah ciptaan manusia sendiri, bukannya sebaliknya."

"Astaghfirullahal'adzim."

"Dalam kenyataannya, agama itu hanyalah candu yang membius dan membuat
lupa terhadap kesengsaraan dan penindasan yang menimpa mereka."

"Berlindung aku dari bisikan semacam itu."


KUMPULAN CERPEN PILIHAN
"Sorry ya, jangan anggap aku sesat. Semuanya itu sudah kupikirkan dan
kurenungkan dalam-dalam. Pokoknya aku ingin bebas menjadi humanis."

"Tapi aku yakin bahwa Islam akan membawaku ke sana, tapi sampean punya
pendapat yang lain dan aku ingin belajar darimu sebagai seorang kakak tertua."

"Kamu tidak perlu jawaban verbal dariku. Lihat saja perbuatanku. Bukankah
agamamu mengajarkan bahwa Tuhan itu akan bisa ditemui dengan perbuatan
baik di dunia ini."

"Kalau gitu, Mas masih percaya kepada Tuhan."

"Tidak! Aku tidak bisa percaya pada adanya Tuhan. Aku hanya ingin berbuat
baik kepada sesama manusia berdasarkan alasan-alasan yang rasional saja."

"Wah, menurutku manusia yang percaya kepada Tuhan itu tentu akan terdorong
untuk berbuat baik, karena itu apa salahnya kita percaya akan adanya Tuhan."

"Ya terserah. Cuma saya tidak mau percaya kepada Tuhan yang diciptakan
manusia. Tuhan begini, sama saja dengan dewa-dewa Hindu maupun Yunani."

Begitulah Mas Ikhsan menceritakan kembali dialognya. "Lalu bagaimana


tanggapan dan sikapmu?"

"Lakumdinukum waliyadin, biar dia percaya apa yang ia percayai dan kita
percaya apa yang kita percayai."

"Lalu bagaimana pandanganmu mengenai kakak kita itu?"

"Aku tidak menganggap dia orang sesat. Ia hanya memilih suatu jalan hidup.
Dalam hatiku, aku percaya bahwa Mas Suparman itu sebetulnya percaya
kepada Tuhan. Cuma dia tidak mau merumuskan apa Tuhan itu. Bukankah
agama kita mengajarkan bahwa apa pun yang kita pikirkan mengenai Tuhan,
itu bukan Tuhan. Jadi Tuhan itu diimani saja, tidak perlu dirasionalkan.
Walaupun teori-teori mengenai Tuhan boleh saja dikemukakan. Biar dia tidak
percaya kepada Tuhan, asalkan ia berbuat baik dan melaksanakan ajaran Islam
menurut ukuran-ukuran kita. Tidak perlu kita mensyaratkan iman kepadanya."

Mas Suparman yang kini sudah menjelang masa pensiun itu sekitar enam puluh
lima tahunan nampaknya, paling tidak menurut kesan saya, telah mencapai apa
yang ia cita-citakan berdasarkan kebebasan yang ia yakini. Saya berpendapat
bahwa pada dasarnya, kakak kami itu masih seorang muslim yang baik.
Hidupnya sesuai dengan sepuluh wasiat Tuhan yang didendangkan Iin dan Jaka
Bimbo.

Pertama aku masih percaya bahwa ia masih punya iman dalam lubuk hatinya
yang paling dalam. Seperti kata Jalaludin Rumi dan Al Halaj, ia pada akhirnya
akan memperoleh pengertian Tuhan yang sebetulnya melekat pada dirinya
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
sendiri jika ia masih tetap bisa menjalankan hidup yang benar berarti Allah
masih membimbingnya. Cuma, dia tidak tahu dan tidak mengaku. Malah saya
berpendapat bahwa sikap Mas Parman itulah yang mencerminkan Tauhid yang
semurni-murninya. Wallahu'alam. Kedua, ia berbuat baik kepada ibu bapaknya,
ia tidak pernah mau menyakiti kedua orang tuanya. Harus kami akui bahwa di
antara kami, Mas Parmanlah yang paling banyak membantu orang tua kami.
Ketiga, ia bisa menjaga harta anak-anak yatim, yaitu adik-adiknya, ia tidak mau
mengambil bagian warisannya. Ia serahkan semuanya kepada kita. Mas Parman
juga membuat yayasan yang menampung anak-anak yatim. Tutur katanya tidak
pernah menyakiti orang lain, ia selalu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan
tercela.***
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
BIDADARI ITU DIBAWA JIBRIL
Cerpen: A Mustofa Bisri
Sumber: Media Indonesia, Edisi 03/09/2003

SEBELUM jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai
busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat.
Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama,
seperti salat pada waktunya, puasa Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah
dengan mereka yang dari kecil belajar agama. Apalagi setelah di perguruan
tinggi. Ketika di perguruan tinggi dia justru seperti mendapat kesempatan lebih
aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.Dalam soal syariat agama,
seperti banyak kaum muslimin kota yang sedang semangat-semangatnya
berislamria, sikapnya tegas. Misalnya bila dia melihat sesuatu yang menurut
pemahamannya mungkar, dia tidak segan-segan menegur terang-terangan. Bila
dia melihat kawan perempuannya yang muslimah--dia biasa memanggilnya
ukhti--jilbabnya kurang rapat, misalnya, langsung dia akan menyemprotnya
dengan lugas. Dia pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum
dengan memegang gelas tangan kiri, "Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu
soal tayammun;" katanya, "Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan
sesuatu yang baik, menggunakan tangan kanan!" Dosen yang lain ditegur
terang-terangan karena merokok. "Merokok itu salah satu senjata setan untuk
menyengsarakan anak Adam di dunia dan akherat. Sebagai dosen, Bapak tidak
pantas mencontohkan hal buruk seperti itu." Dia juga pernah menegur terang-
terangan dosennya yang memelihara anjing. "Bapak tahu enggak? Bapak kan
muslim?! Anjing itu najis dan malaikat tidak mau datang ke rumah orang yang
ada anjingnya!"Di samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang
Islam, Hindun selalu bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran
dan kemaksiatan yang merajalela di Tanah Air yang menurutnya banyak
dilakukan oleh orang-orang Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan
banteng luka. Apalagi bila melihat atau mendengar ada orang Islam melakukan
perbuatan yang menurutnya tidak rasional, langsung dia mengecapnya sebagai
klenik atau bahkan syirik yang harus diberantas. Dia pernah ikut
mengoordinasi berbagai demonstrasi, seperti menuntut ditutupnya tempat-
tempat yang disebutnya sebagai tempat-tempat maksiat; demonstrasi
menentang sekolah yang melarang muridnya berjilbab; hingga demonstrasi
menuntut diberlakukannya syariat Islam secara murni. Mungkin karena itulah,
dia dijuluki kawan-kawannya si bidadari tangan besi. Dia tidak marah, tetapi
juga tidak kelihatan senang dijuluki begitu. Yang penting menurutnya, orang
Islam yang baik harus selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana
pun berada. Harus membenci kaum yang ingkar dan menyeleweng dari rel
agama. Bagi Hindun, amar makruf nahi mungkar bukan saja merupakan bagian
dari keimanan dan ketakwaan, tetapi juga bagian dari jihad fi sabilillah. Karena
itu dia biarkan saja kawan-kawannya menjulukinya bidadari tangan besi.Ketika
beberapa lama kemudian dia menjadi istri kawanku, Mas Danu, ketaatannya
kian bertambah, tetapi kelugasan dan kebiasaannya menegur terang-terangan
agak berkurang. Mungkin ini disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat,
namun sabar dan lemah lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas
Danu, dengan kesabaran dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
melakukan amar makruf nahi mungkar. Banyak kawan mereka yang tadinya
mursal, justru menjadi insaf dan baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan
oleh dia.***Sudah lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu
dan Hindun. Dulu sering aku menerima telepon mereka. Sekadar silaturahmi.
Saling bertanya kabar. Tetapi, kemudian sudah lama mereka tidak menelepon.
Aku sendiri pernah juga beberapa kali menelepon ke rumah mereka, tapi selalu
kalau tidak terdengar nada sibuk, ya, tidak ada yang mengangkat. Karena itu,
ketika Mas Danu tiba-tiba menelepon, aku seperti mendapat kejutan yang
menggembirakan. Lama sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas
kerinduan.Setelah saling tanya kabar masing-masing, Mas Danu bilang, "Mas,
Sampeyan sudah dengar belum? Hindun sekarang punya syeikh baru
lo?""Syeikh baru?" tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar."Ya, syeikh
baru. Tahu, siapa? Sampeyan pasti enggak percaya.""Siapa, mas?" tanyaku
benar-benar ingin tahu."Jibril, mas. Malaikat Jibril!""Jibril?" aku tak bisa
menahan tertawaku. Kadang-kadang sahabatku ini memang sulit dibedakan
apakah sedang bercanda atau tidak."Jangan ketawa! Ini serius!""Wah. Katanya,
bagaimana rupanya?" aku masih kurang percaya."Dia tidak cerita rupanya,
tetapi katanya, Jibril itu humoris seperti Sampeyan."Saya ngakak. Tetapi, di
seberang sana, Mas Danu kelihatannya benar-benar serius, jadi kutahan-tahan
juga tawaku. "Bagaimana ceritanya, mas?""Ya, mula-mula dia ikut grup
pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi musim grup-grup pengajian. Ada
pengajian eksekutif; pengajian seniman; pengajian pensiunan; dan entah apa
lagi. Nah, lama-lama gurunya itu didatangi malaikat Jibril dan sekarang
malaikat Jibril itulah yang langsung mengajarkan ajaran-ajaran dari langit.
Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam mulutnya.""Bagaimana mereka tahu
bahwa yang datang itu malaikat Jibril?""Lo, malaikat Jibrilnya sendiri yang
mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya itu, maksud saya malaikat Jibril itu,
menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam yang ajaib yang tidak
mungkin bisa dilakukan oleh manusia.""Ya, tetapi jin dan setan kan bisa
melakukan hal seperti itu, mas!" selaku, "Kan ada cerita, dahulu Syeikh Abdul
Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah digoda iblis yang menyamar
sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon, sebelumnya,
Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tetapi, karena
keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera
mengusirnya.""Tak tahulah, mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya
lo.""Wah."Ketika percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu dia
akan terus menelepon bila sempat, aku masih tertegun. Aku membayangkan
sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin memurnikan agama itu
kini "hanya" menjadi pengikut sebuah aliran yang menurut banyak orang tidak
rasional dan bahkan berbau klenik. Allah Mahakuasa! Dialah yang kuasa
menggerakkan hati dan pikiran orang.***Beberapa minggu kemudian aku
mendapat telepon lagi dari sahabatku Mas Danu. Kali ini, dia bercerita tentang
istrinya dengan nada seperti khawatir."Wah, mas; Hindun baru saja membakar
diri.""Apa, mas?" aku terkejut setengah mati, "membakar diri
bagaimana?""Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya
untuk membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri
mereka dengan spritus kemudian membakarnya.""Hei," aku ternganga. Dalam
hati aku khawatir juga, soalnya aku pernah mendengar di luar negeri pernah
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
terjadi jemaah yang diajak guru mereka bunuh diri."Yang lucu, mas," suara Mas
Danu terdengar lagi melanjutkan, "gurunya itu yang paling banyak terbakar
bagian-bagian tubuhnya. Berarti kan dia yang paling banyak dosanya ya,
mas?!"Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon."Doakan
sajalah mas!" kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.Beberapa hari
kemudian Mas Danu menelepon lagi, menceritakan bahwa istrinya kini jarang
pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang mengharuskan jemaahnya
berkumpul di suatu tempat. Tugas berat, tetapi suci. Memperbaiki dunia yang
sudah rusak ini."Pernah pulang sebentar, mas" kata Mas Danu di telepon, "dan
Sampeyan tahu apa yang dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah
dapat dari mana?"***Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku
mencoba menghubunginya juga tidak pernah berhasil. Baru hari ini. Tak ada
hujan tak ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, SMS, isinya singkat: "Mas,
Hindun sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak
puasa. (Danu)."Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu
saat menulis SMS itu. Aku sendiri yang menerima pesan itu, tidak bisa
menggambarkan perasaanku sendiri. Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan
masya Allah.***Rembang, Akhir Ramadan 1423
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
LUKISAN KALIGRAFI
Cerpen: A Mustofa Bisri
Sumber: Kompas, Edisi 11/24/2002

Bermula dari kunjungan seorang kawan lamanya Hardi. Pelukis yang capai
mengikuti idealismenya sendiri lalu mengikuti jejak banyak seniman yang lain:
berbisnis; meski bisnisnya masih dalam lingkup bidang yang dikuasainya.
Seperti kebanyakan bangsanya, Hardi sangat peka terhadap kehendak pasar.
Dia kini melukis apa saja asal laku mahal. Mungkin karena kecerdasannya, dia
segera bisa menangkap kela-kuan zaman dan mengikutinya. Dia melukis mulai
perempuan cantik, pembesar negeri, hingga kaligrafi. Menurut Hardi,
kedatangannya di samping silaturrahmi, ingin berbincang-bincang dengan
Ustadz Bachri soal kaligrafi. Ustadz Bachri sendiri yang sedikit banyak
mengerti soal kaligrafi Arab, segera menyambutnya antusias. Namun, ternyata
tamunya itu lebih banyak berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari
naturalis, surealis, ekpresionis, dadais, dan entah apa lagi. Tentang teknik
melukis, tentang komposisi, tentang perspektif, dan istilah-istilah lain yang dia
sendiri baru dengar kali itu. Sepertinya memang sengaja menguliahi Ustadz
Bachri soal seni dan khususnya seni rupa. Yang membuat Ustadz Bachri agak
kaget, ternyata, meskipun sudah sering pameran kaligrafi, Hardi sama sekali
tak mengenal aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak tahu bedanya Naskh
dan Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau Riq'ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya.
Katanya dia asal “menggambar” tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-
kitab bertulisan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang ia
ketahui lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat
itu ke dalam kertas atau kanvas. Bila ayat itu berbicara tentang penciptaan
langit dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan
ayat yang bersangkutan. Kalau tidak begitu, dia tulis ayat yang dipilihnya
dalam bentuk-bentuk tertentu yang menurutnya sesuai dengan makna ayat. Ada
hurufnya yang ia bentuk seperti mega, burung, macan, tokoh wayang, dan
sebagainya. Ustadz Bachri bersyukur atas kedatangan kawannya yang-
meskipun agak sok- telah memberinya wawasan mengenai kesenian, terutama
seni rupa. ***RINGKAS cerita, begitu si tamu berpamitan seperti biasa Ustadz
Bachri mengiringkannya sampai pintu. Nah, sebelum keluar melintasi pintu
rumahnya itulah si tamu tiba-tiba berhenti seperti terkejut. Matanya
memandang kertas bertulisan Arab yang tertempel di atas pintu, lalu katanya,
“Itu tulisan apa? Siapa yang menulis?” Ustadz Bachri tersenyum, “Itu rajah.
Saya yang menulisnya sendiri.” “Rajah?” “Ya, kata Kiai yang memberi ijazah, itu
rajah penangkal jin.” “Itu kok warnanya aneh; sampeyan menulis pakai apa?”
Matanya tanpa berkedip terus memandang ke atas pintu. “Pakai kalam biasa
dan tinta cina dicampur sedikit dengan minyak za'faran. Katanya minyak itu
termasuk syarat penulisan rajah.” “Wah,” kata tamunya masih belum melepas
pandangannya ke tulisan di atas pintu, “sampeyan mesti melukis kaligrafi.”
“Saya? Saya melukis kaligrafi?” katanya sambil tertawa spontan. “Tidak. Saya
serius ini,” tukas tamunya, “sampeyan mesti melukis kaligrafi. Goresan-goresan
sampeyan berkarakter. (“Ini apa pula maksudnya?” Ustadz Bachri membatin,
tak paham). Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan?! Betul ya. Tiga bulan
lagi, kawan-kawan pelukis kaligrafi kebetulan akan pameran; Nanti sampeyan
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
ikut. Ya, ya!” Ustadz Bachri tidak bisa berkata-kata, tapi rasa tertantang
muncul dalam dirinya. Kenapa tidak, pikirnya. Orang yang tak tahu khath saja
berani memamerkan kaligrafinya, mengapa dia tidak? Namun, ketika didesak
tamunya, dia hanya mengangguk asal mengangguk. Setelah tamunya itu pergi,
dia benar-benar terobsesi untuk melukis kaligrafi. Setiap kali duduk-duduk
sendirian, dia oret-oret kertas, menuliskan ayat-ayat yang ia hapal. Dia buka
kitab-kitab tentang khath dan sejarah perkembangan tulisan Arab. Bahkan dia
memerlukan datang ke kota untuk sekadar melihat lukisan-lukisan yang
dipajang di galeri dan toko-toko, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk
membeli kanvas, cat, dan kuas. Anak-anak dan istrinya agak bingung juga
melihat dia datang dari kota dengan membawa oleh-oleh peralatan melukis.
Lebih heran lagi ketika dia jelaskan bahwa dialah yang akan melukis. Meski
mula-mula istri dan anak-anaknya mentertawakan, namun melihat
keseriusannya, ramai-ramai juga mereka menyemangati. Mereka dengan riang
ikut membantu membereskan dan membersihkan gudang yang akan dia
pergunakan untuk “sanggar melukis”. Mungkin tidak ingin diganggu atau malu
dilihat orang, Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk melukis. Istri dan
anak-anaknya pun biasanya sudah lelap tidur, saat dia mulai masuk ke gudang
berkutat dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-kadang sampai subuh, dia
baru keluar. Di gudangnya yang sekarang merangkap sanggar itu, berserakan
beberapa kanvas yang sudah belepotan cat tanpa bentuk. Di antaranya sudah
ada yang sedemikian tebal lapisan catnya, karena sering ditindas. Karena begitu
dia merasa tidak sreg dengan lukisannya yang hampir jadi, langsung ia tindas
dengan cat lain dan memulai lagi dari awal. Hal itu terjadi berulang kali.
“Ternyata sulit juga melukis itu,” katanya suatu ketika dalam hati, “enakan
menulis pakai kalam di atas kertas.” Hampir saja Ustadz Bachri putus asa. Tapi,
istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau
komentar-komentar yang kedengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya.
Maka, dia pun bertekad, apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi
untuk diikutkan pameran. Sampai akhirnya, ketika seorang kurir yang dikirim
oleh Hardi kawannya itu, datang mengambil lukisannya untuk pameran yang
dijanjikan, dia hanya-atau, alhamdulillah, sudah berhasil-menyerahkan sebuah
“lukisan”. Ketika sang kurir menanyakan judul lukisan dan harga yang
diinginkan, seketika dia merasa seperti diejek. Tapi kemudian dia hanya
mengatakan terserah. “Bilang saja kepada Mas Hardi, terserah dia!” katanya.
Dia sama sekali tidak menyangka. ***MESKIPUN ada rasa malu dan rendah
diri, dia datang juga pada waktu pembukaan pameran untuk menyenangkan
kawannya Hardi, yang berkali-kali menelepon memaksanya datang. Ternyata
pameran-di mana “lukisan” tunggalnya diikutsertakan-itu diselenggarakan di
sebuah hotel berbintang. Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun semakin
memuncak. Dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi dia menyelinap di antara
pengunjung. Dari kejauhan dilihatnya Hardi berkali-kali menoleh ke kanan ke
kiri. Mungkin mencari-cari dirinya. Ada pidato-pidato pendek dan sambutan
tokoh kesenian terkenal, tapi dia sama sekali tidak bisa tenang mendengarkan,
apalagi menikmatinya. Dia sibuk mencari-cari “lukisan”-nya di antara deretan
lukisan-lukisan kaligrafi yang di pajang yang rata-rata tampak indah dan
mempesona. Apalagi dipasang sedemikian rupa dengan pencahayaan yang
diatur apik untuk mendukung tampilan setiap lukisan. “Apakah lukisanku juga
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
tampak indah di sini?” pikirnya, “di mana gerangan lukisanku itu dipasang?”
Sampai akhirnya, ketika acara pidato-pidato usai dan para pengunjung beramai-
ramai mengamati lukisan-lukisan yang dipamerkan, dia yang mengalirkan diri
di antara jejalan pengunjung, belum juga menemukan lukisannya. Tiba-tiba
terbentik dalam kepalanya “Jangan-jangan lukisanku diapkir, tidak diikutkan
pameran, karena tidak memenuhi standar.” Aneh, mendapat pikiran begitu, dia
tiba-tiba justru menjadi tenang. Dia pun tidak lagi menyembunyikan diri di
balik punggung para pengunjung. Bahkan, dia sengaja mendekati sang Hardi
yang tampak sedang menerang-nerangkan kepada sekerumunan pengunjung
yang menggerombol di depan salah satu lukisan. Lukisan itu sendiri hampir tak
tampak olehnya tertutup banyak kepala yang sedang memperhatikannya. “Lha
ini dia!” tiba-tiba Hardi berteriak ketika melihatnya. Dia jadi salah tingkah
dilihat oleh begitu banyak orang, “Ini pelukisnya!” kata Hardi lagi, lalu
ditujukan kepada dirinya, “Kemana saja sampeyan. Sudah dari tadi ya
datangnya? Sini, sini. Ini, bapak ini seorang kolektor dari Jakarta, ingin
membeli lukisan sampeyan.” Astaga, ternyata lukisan yang dirubung itu
lukisannya. Dia lirik tulisan yang terpampang di bawah lukisan yang
menerangkan data lukisan. Di samping namanya, dia tertarik dengan judul
(yang tentu Hardi yang membuatkan): Alifku Tegak di Mana-mana. Wah, Hardi
ternyata tidak hanya pandai melukis, tapi pandai juga mengarang judul yang
hebat-hebat, pikirnya. Di kanvasnya itu memang hanya ada satu huruf, huruf
alif. Lebih kaget lagi ketika dia membaca angka dalam keterangan harga. Dia
hampir tidak mempercayai matanya: 10.000 dollar AS, sepuluh ribu dollar AS!
Gila! “Begitu melihat lukisan Anda, saya langsung tertarik;” tiba-tiba si bapak
kolektor berkata sambil menepuk bahunya, “apalagi setelah kawan Anda ini
menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!” Dia tersipu-sipu. Hardi
membisikinya, “Selamat, lukisan sampeyan dibeli beliau ini!” “Katanya, Anda
baru kali ini ikut pameran,” kata si bapak kolektor lagi tanpa memperhatikan
air mukanya yang merah padam, “teruskanlah melukis dari dalam seperti ini.”
(“Melukis dari dalam? Apa pula ini?” pikirnya) Wartawan-wartawan
menyuruhnya berdiri di dekat lukisan alifnya itu untuk diambil gambar. Dia
benar-benar salah tingkah. Pertanyaan-pertanyaan para wartawan dijawabnya
sekenanya. Mau bilang apa? Besoknya hampir semua media massa memuat
berita tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan tentang
dirinya dan lukisannya. Hampir semua koran, baik ibu kota maupun daerah,
melengkapi pemberitaan itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam semua
foto itu sama sekali tidak tampak lukisan alifnya. Yang terlihat hanya dia
sedang berdiri di samping kanvas kosong! Beberapa hari kemudian, beberapa
wartawan datang ke rumah Ustadz Bachri. Bertanya macam-macam tentang
lukisan alifnya yang menggemparkan. Tentang proses kreatifnya, tentang
bagaimana dia menemukan ide melukis alif itu, tentang prinsip keseniannya,
dlsb. Seperti ketika pameran dia asal menjawab saja. Ketika makan siang, istri
dan anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang
lukisan alifnya itu pula. “Kalian ini kenapa, kok ikut-ikutan seperti wartawan?!”
teriaknya kesal. “Tidak pak, sebenarnya apa sih menariknya lukisan Bapak?
Kok sampai dibeli sekian mahalnya?” tanya anak sulungnya. “Kenapa sih Bapak
hanya menulis alif?” tanya si bungsu sebelum dia sempat menjawab pertanyaan
kakaknya, “mengapa tidak sekalian Bismillah, Allahu Akbar, atau setidaknya
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Allah, seperti umumnya kaligrafi yang ada?” Istrinya juga tidak mau kalah
rupanya. Tidak sabar menunggu dia menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-
anaknya. “Terus terang saja, Mas, sampeyan menggunakan ilmu apa, kok
lukisanmu sampai tidak bisa difoto?” Ustadz Bachri geleng-geleng kepala.
Kepada para wartawan dan orang lain, dia bisa tidak terus terang, tapi kepada
keluarganya sendiri bagaimana mungkin dia akan menyembunyikan sesuatu.
Bukankah dia sendiri yang mengajarkan dan memulai tradisi keterbukaan di
rumah. “Begini,” katanya sambil menyantaikan duduknya; sementara semuanya
menunggu penuh perhatian, “terus terang saja; saya sendiri sama sekali tidak
menyangka. Kalian tahu sendiri, saya melukis karena dipaksa Hardi, tamu kita
yang pelukis itu. Saya merasa tertantang.” “Saya sendiri baru menyadari bahwa
meskipun saya menguasai kaidah-kaidah khath, ternyata melukis kaligrafi tidak
semudah yang saya duga. Apalagi, kalian tahu sendiri, sebelumnya saya tidak
pernah melukis. Lihatlah, di gudang kita, sekian banyak kanvas yang gagal saya
lukisi. Bahkan, saya hampir putus-asa dan akan memutuskan membatalkan
keikutsertaan saya dalam pameran. Tapi, Hardi ngotot mendorong-dorong saya
terus.” “Lalu, ketika cat-cat yang saya beli hampir habis, saya baru teringat
pernah melihat dalam pameran kaligrafi dalam rangka MTQ belasan tahun yang
lalu, seorang pelukis besar memamerkan kaligrafinya yang menggambarkan
dirinya sedang sembahyang dan di atas kepalanya ada lafal Allah. Saya pun
berpikir mengapa saya tidak menulis Allah saja?” Ustadz Bachri berhenti lagi,
memperbaiki letak duduknya, baru kemudian lanjutnya, “Ketika saya sudah
siap akan melukis, ternyata cat yang tersisa hanya ada dua warna: warna putih
dan silver. Tetapi, tekad saya sudah bulat, biar hanya dengan dua warna ini,
lukisan kaligrafi saya harus jadi. Mulailah saya menulis alif. Saya merasa huruf
yang saya tulis bagus sekali, sesuai dengan standar huruf Tsuluts Jaliy. Namun,
ketika saya pandang-pandang letak tulisan alif saya itu persis di tengah-tengah
kanvas. Kalau saya lanjutkan menulis Allah, menurut selera saya waktu itu,
akan jadi wagu, tidak pas. Maka, ya sudah, tak usah saya lanjutkan. Cukup alif
itu saja.” “Jadi, tadinya Bapak hendak menulis Allah?” sela si bungsu. “Ya, niat
semula begitu. Yang saya sendiri kemudian bingung, mengapa perhatian orang
begitu besar terhadap lukisan alif saya itu. Saya juga tidak tahu apa yang
dikatakan Hardi kepada kolektor dari Jakarta itu, tetapi dugaan saya dialah
yang membuat lukisan saya bernilai begitu besar. Termasuk idenya memberi
judul yang sedemikian gagah itu.” “Tetapi, sampeyan belum menjawab
pertanyaan saya,” tukas istrinya, “sampeyan menggunakan ilmu apa, sehingga
lukisan sampeyan itu ketika difoto tidak jadi dan yang tampak hanya kanvas
kosong yang diberi pigura?” “Wah, kamu ini ikut-ikutan mempercayai mistik
ya?! Ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah bilang, alif itu saya lukis hanya dengan
dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan sedikit silver untuk huruf
alifnya. Mungkin, ya karena silver di atas putih itu yang membuatnya tak
tampak ketika difoto.” Istri dan anak-anaknya tak bertanya-tanya lagi; tetapi
Ustadz Bachri tak tahu apa mereka percaya penjelasannya atau tidak. *
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
MUBALIG KONDANG
Cerpen: A Mustofa Bisri
Sumber: Media Indonesia, Edisi 10/27/2002

KETIKA jauh-jauh hari istriku menginformasikan bahwa di kota kami akan


kedatangan seorang dai kondang dari Ibu Kota, aku tak begitu memerhatikan.
Waktu itu pikiranku sedang mengembara ke soal-soal lain. Hari ini dia
mengingatkan lagi."Pak, nanti malam Sampeyan ikut ke kota apa tidak?"
katanya sambil mendekati saya yang sedang duduk termenung di lincak*) depan
rumah."Ada apa ke kota?" tanyaku malas."Lo, Sampeyan ini bagaimana sih; kan
nanti malam ada pengajian akbar?!" dia jatuhkan pantatnya yang tambun ke
lincak bambu hingga menimbulkan suara berderak; aku sedikit bergeser sambil
berdoa mudah-mudahan lincak kesayanganku tak ambrol. "Orang sedesa
upyek**) membicarakan dai kondang Ibu Kota yang akan mengisi pengajian
nanti malam, kok Sampeyan tenang-tenang saja. Makanya Sampeyan itu jadi
orang mbok kumpul-kumpul. Jangan mengurung diri di rumah saja, seperti
katak dalam tempurung!"Istriku berhenti sebentar, merogoh dunak di bawah
lincak, meraup biji-biji jagung dan menebarkannya ke halaman. Tak lama ayam-
ayam peliharaannya ribut, riuh rendah suaranya, berebut jagung. Disenggolnya
pundakku dengan pundaknya sendiri yang gempal hingga aku hampir
terjengkang sambil berkata melanjutkan omelannya:"Ustaz makin bikin
rombongan nyewa colt. Ibu-ibu juga bikin rombongan sendiri. Bu Lurah
menyiapkan bus mini dan truk. Tadi saya sudah daftar dua orang. Kalau
Sampeyan enggak pergi, biar nanti saya sama simbok. Ini pengajian akbar,
mubalignya dari Jakarta. kita mesti datang agak gasik supaya dapat
tempat."Istriku --seperti kebanyakan warga kampung yang lain-- mungkin
maniak pengajian. Di mana saja ada pengajian --di kota kecamatan atau di desa-
desa-- dia mesti mendengar dan datang menghadirinya. Saya tak tahu apa saja
yang diperolehnya dari pengajian-pengajian yang begitu rajin ia ikuti itu.
Nyatanya, kelakuannya --seperti kebanyakan warga kampung yang lain-dari
dulu tidak berubah. Kesukaannya menggunjing orang tidak berkurang. Hobinya
bohong juga berlanjut. Senangnya kepada duit malah bertambah-tambah.
Seperti juga Haji Mardud yang sering menjadi panitia pengajian itu, sampai
sekarang tak juga berhenti merentenkan uang. Si Salim dan Parman yang rajin
mendatangi pengajian juga masih terus rajin merekap togel. Imron itu malah
sambil ngaji sambil nggodain cewek-cewek. Lalu apa gunanya pengajian-
pengajian itu jika tak mengubah apa-apa dari perilaku masyarakat
pengajian?Mubalig kondang dari Ibu Kota? Apa istimewanya? Mubalig di mana-
mana ya begitu itu. Tidak sedikit dari mereka yang cuma pinter ngomong;
ngompor-ngompori; menakut-nakuti; melawak. Ngapusi masyarakat yang awam.
Kalau hanya tidak konsekuen --mengajak baik tapi diri sendiri tak bisa
melakukannya-- masih lumayan. Ini tidak, mengajak baik tapi diri sendiri justru
melakukan yang sebaliknya. Menganjurkan hidup sederhana, diri sendiri
bermewah-mewah. Menganjurkan kerukunan, diri sendiri provokator. Bahkan
ada yang keterlaluan. Dengan berani menggunakan ayat-ayat Quran dan hadis
Nabi untuk kepentingan politik praktis dan menyebar kebencian. Bangga jika
agitasinya melecehkan pihak lain --sering kali malah pribadi-- ditepuki."Hei,
Kang!" aku kaget, kembali istriku menyenggolkan pundak-gempalnya ke
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
pundakku, sekali lagi aku hampir terjengkang, "diajak ngomong, malah bengong!
Piye? Berangkat apa enggak?""Sudahlah kau berangkat saja dengan simbok!"
kataku biar dia tidak terus ngomel. Kalau enggak malas nanti aku berangkat
sendiri, nyepeda.""Ya sudah!" katanya agak ketus. Diambilnya lagi segenggam
jagung dan disebarkannya ke arah ayam-ayam yang memang seperti menunggu.
Lalu bangkit dari lincak, meninggalkanku sendirian lagi. Alhamdulillah, aku
bisa melamun lagi.***Menjelang isyak rupanya istriku dan simbok sudah
berdandan. Begitu selesai sembahyang langsung rukuh mereka copot dan
memperbaiki sebentar dandanan mereka."Mau mengaji kok seperti mau
mendatangi ngantenan," kataku begitu datang dari surau dan melihat mereka
sibuk membedaki muka mereka."Cerewet!" kata mereka hampir
serempak."Kalau makan, ambil sendiri di grobok!" teriak istriku begitu melewati
pintu rumah. Dan, ditinggalkannya aku sendirian. Kudengar keriuhan dari
kelurahan yang tak jauh dari rumahku. Pastilah itu ibu-ibu sedang rebutan naik
bus mini dan anak-anak-anak muda rebutan naik truk. Dari arah surau juga
kudengar kesibukan rombongan mau berangkat ke kota. Mereka yang akan
mendengarkan --atau melihat atau sekadar kepingin tahu-- mubalig kondang
dari Ibu Kota.Tak lama kemudian suasana menjadi sepi. Rombongan-rombongan
sudah berangkat. Setelah makan, aku rebahkan badanku di balai-balai,
berharap bisa tertidur, tapi mata tak mau terpejam juga. Aku menyesal juga tadi
tidak ikut, ketimbang bengong sendirian begini. Kalau bosan dengan
pengajiannya, aku kan bisa jalan-jalan, cuci mata. Terpikir begitu, akhirnya aku
pun bangkit. Kukenakan baju, kuambil sepeda pusakaku, dan kututup pintu
rumahku.Kukayuh sepedaku pelan-pelan menuju kota. Aku toh tidak sedang
mengejar apa-apa. Hampir tak kujumpai manusia dan yang kudengar hanya
sesekali lenguh sapi dan suara jengkerik. Untunglah listrik sudah masuk
desaku. Meskipun lampu-lampu yang terpasang di pinggir jalan hanya jarang-
jarang dan tidak begitu terang, cukup membantu juga. Apalagi lampu berko
sepedaku nyalanya byarpet. Bersepeda malam-malam begini, aku jadi teringat
Sudin, kawanku di pesantren dulu yang suka mengajakku balapan mengayuh
sepeda bila ngluyur bersama. Dia sering dimarahi Pak Sahlan yang
menyewakan sepeda kepada santri-santri, karena sering merusakkan
sepedanya. Di mana kira-kira anak badung itu sekarang?Sudin anak orang kaya
kota yang konon sudah putus asa melihat kelakuan anaknya dan terpaksa
'membuangnya' ke pesantren. Sering kali dulu aku ditraktir Sudin nonton
bioskop dan makan-makan di restoran. Dan, tidak jarang pulangnya ke
pesantren sudah larut malam. Karena sudah berkali-kali ditakzir, dihukum,
sebab nonton, aku pun lalu menolak jika Sudin mengajak nonton. Aku malu
dengan kawan-kawan santri yang lain. Sudin sendiri sepertinya berpedoman
sudah telanjur basah. Karena sudah terkenal sebagai langganan takzir, dia pun
cuek. Menganggap takzir sebagai perkara biasa yang tidak perlu ditakuti. Dia
tidak hanya ditakzir karena nonton, tapi juga karena melanggar banyak
larangan dan menyalahi banyak peraturan pesantren; seperti berkelahi dengan
kawan, membolos, mengintip santri putri, dlsb. Berbagai macam bentuk takzir
sudah dicobanya, mulai dari membersihkan kakus; membayar denda; mengisi
kulah masjid; dlsb. Rambutnya tak sempat tumbuh, karena sering kena
hukuman gundul. Terakhir Sudin diusir dari pesantren karena kedapatan
mencuri kas pesantren."Eit!" hampir saja aku terjatuh. Akar pohon asam di tepi
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
jalan membuat sepedaku oleng. Untung aku segera bisa menguasainya.
Lamunanku buyar. Tapi aku bersyukur, tak terasa kota sudah kelihatan
dekat.Di pinggir jalan menuju alun-alun yang kulalui, berderet-deret mobil
diparkir. Ada colt, ada bus, dan terbanyak truk. Rupanya --melihat nomor-nomor
polisi berbagai kendaraan itu-- mereka yang datang menghadiri pengajian, tidak
hanya dari dalam kota. Dari luar kota juga banyak. Dari suara pengeras suara
yang sudah terdengar, aku tahu ceramah mubalig kondang sudah mulai.Dua
orang anak muda gondrong tiba-tiba menghadangku dan menyeret sepedaku ke
sebuah halaman yang di depannya ada papan tulis bertuliskan 'TITIPAN
SEPEDA Rp1000'. Untung di kantongku ada persis seribu rupiah. Kuulurkan
satu-satunya lembaran uang yang kumiliki itu kepada salah seorang anak muda
yang kelihatan tidak sabar. Aku terus ngeloyor menyibak kerumunan orang di
mana-mana. Termasuk mereka yang mengerumuni pedagang-pedagang yang
mremo menjual berbagai macam makanan dan mainan anak-anak.Luar biasa.
Lautan manusia meluber ke mana-mana. Suara pengeras suara bergaung-gaung
ke berbagai penjuru, melantunkan pidato mubalig yang berkobar-kobar dan
sesekali menyanyi atau menyampaikan lelucon-lelucon. Setiap kali disusul
dengan gemuruh teriakan dan tepuk tangan hadirin.Dari kejauhan mubalig itu
sudah kelihatan, karena panggung yang tinggi dan lampu yang luar biasa
terangnya. Entah berapa watt saja. Hanya beberapa puluh pengunjung di bagian
depan, di kanan-kiri panggung, yang duduk di kursi; lainnya lesehan di
rerumputan alun-alun. Banyak ibu-ibu yang menggelar selendangnya untuk
tidur anaknya yang masih kecil, bahkan bayi. Tapi, aku tak melihat istriku dan
simbok. Entah di mana mereka duduk. Aku terus menerobos pelan-pelan dan
kadang harus melingkar-lingkar dan berjalan miring di antara pengunjung, agar
bisa lebih dekat ke panggung.Semakin dekat, semakin jelas sosok mubalig
kondang yang dari kejauhan suaranya menggelegar itu. Ternyata tubuhnya
sedang-sedang saja. Yang membuat tampak gagah justru pakaiannya. Dia
mengenakan setelan baju koko, tapi tidak seperti yang biasa dikenakan orang di
kampungku. Baju kokonya mengilap, mungkin dari sutra. Di bagian leher dan
dadanya ada bordiran kembang-kembang dari benang emas. Sorban yang
disampirkan di pundaknya juga tidak seperti umumnya sorban. Warna dan
coraknya serasi benar dengan setelan bajunya. Ada dua cincin bermata zamrud
dan pirus, besar-besar, di jari-jari manisnya. Penampilan mubalig kondang
memang lain dengan mubalig lokal yang biasa kami saksikan. Bicaranya
mantap. Gerakan tubuh dan tangannya benar-benar sejiwa dengan isi
ceramahnya.Dan, wajahnya.... Dan, wajahnya.... Nanti dulu. Wajah itu seperti
sudah aku kenal. Tapi tak mungkin. Tak mungkin! Masa dia? Tapi persis sekali.
Dahinya yang sempit itu, matanya yang agak sipit dengan sorot yang nakal itu,
hidungnya yang bulat itu, mulutnya yang lebar dan seperti terus mengejek itu,
dagunya yang terlalu panjang itu, dan telinganya yang lebar sebelah itu, ah tak
mungkin lain. Aku tak salah lagi, pastilah itu dia. Sudin!Aku tiba-tiba kepingin
mendengarkannya."Jadi sekali lagi, Saudara-saudara, maksiat yang sudah
merajalela itu harus kita perangi! Juga kenakalan remaja sekarang ini sudah
sangat mengkhawatirkan. Apa jadinya generasi kita yang akan datang bila
kenakalan remaja itu tidak segera kita tanggulangi sekarang juga. Kalau di
waktu muda malas, apa jadinya bila sudah tua? Kere, saudara-saudara! Kere!
'Tul enggak?!""Betuuul!! Kereee!!" teriak hadirin serempak."Kalau di waktu
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
muda sudah suka jambret, apa jadinya bila sudah tua. Apa, saudara-saudara?
Ko... ko...!""Korupsiii!!!" sekali lagi hadirin berteriak menyambutnya, disusul
tempik-sorak gegap gempita."Ya, korupsi!" ulangnya berwibawa.Ah, Sudin, kau
masih belum juga bisa fasih melafalkan huruf 'r' sampai sekarang.Memang
ajaib. Sudin kawan di pesantren yang tadi baru saja datang di lamunanku, kini -
-meski juga seperti tidak nyata-- berdiri di depanku. Apa tadi itu firasat? Baru
dilamun, tiba-tiba ketemu! Sudin yang nakal. Sudin yang di pesantren
langganan takzir. Sudin yang diusir karena mencuri uang kas pesantren. Ah,
siapa mengira kini jadi mubalig kondang seperti itu. Bagaimana ceritanya Sudin
sampai memunyai karamah begitu besar? Bagiku itu sungguh musykil.Kalau ini
nanti kuceritakan kepada orang-orang kampung --kalau kukatakan bahwa
Almukarram KH Drs Samsuddin, mubalig kondang yang baru saja berceramah
di alun-alun itu adalah Sudin, kawan nakal saya di pesantren-- pasti tak ada
yang percaya. Istriku sendiri pun pasti akan menertawakan. Lebih baik
kuceritakan kepadamu saja.****)semacam balai-balai sederhana**) ribut; sibuk
membicarakan .
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
LELAKI YANG MENYISIR RINDU
Cerpen: Asma Nadia
Sumber: Republika, Edisi 01/30/2005

Ibu tua dalam kebaya, menangis tanpa suara. Matanya nanap menatap laut
lepas. Pada ombak-ombak kecil berkejaran. Dulu sekali, dia dan tiga anaknya
sering menghabiskan waktu di sana. Mereka berempat saja. Sebab suami, yang
telah membawanya ke tanah serambi itu, telah berpulang ketika Din, anaknya
yang paling kecil baru belajar jalan.

Berempat saja. Berlari di antara kaki-kaki ombak yang lincah menggulung.


Bermain pasir, dan berlomba mengejar perahu nelayan yang menepi. Dari
pinggir laut, mereka biasa menikmati rumah-rumah bagus yang terletak tak
jauh dari tempat tinggal mereka. Rumah-rumah orang kaya, katanya. Sambil
berkhayal, seperti apa rasanya tinggal di sana. "Kaki harus bersih," kata Yanti,
anaknya yang paling tua dan terkenal rapi. "Pasti makan enak terus!" timpal
Azhar, anaknya nomor dua yang berbadan besar.

Sementara Din, yang bungsu diam saja. Hanya matanya memandang lekat.
Barangkali membandingkan bangunan kokoh itu dengan rumah mereka yang
semi permanen. Ruangan satu kamar, yang sebagian besar masih berupa bilik.
Sebagai ibu, telah dia beri segala yang bisa. Bekerja apa saja untuk
menyekolahkan anak-anak, meski napasnya tak cukup membawa mereka ke
perguruan tinggi. Hanya si bungsu saja yang kini bekerja di Banda, sempat
menamatkan kuliahnya. Sementara anak-anak yang lain hanya tamatan SMA.

Begitu cepatnya waktu. Kedua matanya yang cekung masih merayapi senja yang
turun diantara barisan pohon-pohon kelapa. Rasanya belum lama dia dan anak-
anak bermain di sana. Melihat orang-orang memanjat batang kelapa, dan
memetik buahnya yang bergerombol di pucuk. Ibu tua dalam kebaya mengapus
air matanya. Ia tak mengerti kenapa kesedihan itu semakin kental dari tahun ke
tahun. Mungkin usia, pikirnya. Mungkin juga kesendirian. Sejak anak-anak
lulus SMA, dia mulai merasa kesepian. Seolah berlomba-lomba mereka
meninggalkannya, meski dengan alasan yang bisa dimengerti, bekerja. Dan
waktu yang berkelebat cepat, tiba-tiba sudah membawa mereka pada tahapan
lain dalam kehidupan, menikah dan punya anak.

Harusnya dia bisa mengerti, dan bukan meratapi diri. Mungkin mereka sibuk.
Perempuan itu masih menangis sesenggukan tanpa suara. Pipinya yang keriput,
basah. Sudah dua hari raya, keluarga besar mereka tak berkumpul.

Anak-anak sudah tak mengingatnya lagi. Padahal hari ini, pagi-pagi sekali dia
sudah bangun dan merapikan rumah, lalu masak ala kadarnya. Ini hari jadinya.
Dulu dia dan anak-anak selalu membuat syukuran sederhana untuk mengingat
bertambahnya usia. Bukan upaya membawa gaya hidup Barat dalam kehidupan
mereka. Tapi mereka jarang makan enak, dan makan enak itu jadi lebih berarti
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
ketika disesuaikan dengan tanggal kelahiran anggota keluarga. Dengan cermat
pula, perempuan berkebaya itu menyimpan uang sedikit demi sedikit, agar
anak-anak bisa makan istimewa, beberapa kali dalam setahun. Dan hari ini hari
jadinya. Perempuan tua dalam kebaya menutup jendela kayu. Berhenti
berharap. Satu dua air mata masih menitik. Anak-anak sudah tak mengingatnya
lagi!

Laki-laki itu menginjak pedal gas dalam-dalam, hingga mobilnya terasa terbang.
Dia sudah terlambat. Seharusnya kemarin. Sesekali diliriknya jam di
pergelangan tangan. Tak sabar ingin segera sampai. Dia ingin segera menemui
Mak, meminta maaf atas keterlambatannya. Perasaan rindunya berbaur dengan
rasa bersalah yang kental, membayangkan perempuan yang melahirkannya
menunggu sia-sia. "Kakak tak bisa datang, Din. Abang pun masih repot dengan
kerjaannya. Tak bisa ditinggalkan," suara Yanti di telepon kemarin, "sampaikan
salam pada Mak."

Din hanya mengangguk. Sambil dalam hati menghitung, ini sudah dua tahun,
Yanti yang tinggal di Medan tak pulang. Sementara Azhar beralasan panjang
meski tak jelas, namun intinya sama. "Tak bisa, aku Din. Kau saja, ya?" Padahal
Yanti dan Azhar pula yang memintanya menunda kunjungan itu. "Cuma sehari,
Din. Kakak masih cari waktu bicara sama si Abang." "Kalau hari ini tak bisa.
Besok pagi-pagi sekali kita jalanlah." Din mengembuskan napas kesal. Kalau
tahu begitu, lebih baik kemarin dia berangkat sendiri. Apalagi semuanya sudah
siap. Dia memang tak pintar bicara seperti kedua kakaknya. Tapi mimpi itu
didekapnya sejak lama. Sejak dia sadar keinginan yang disimpan kuat-kuat di
bilik hati Mak, meski perempuan berkebaya itu tak pernah mengucapkan.

Itu pula alasan Din belum mau menikah. Dia bisa melihat bagaimana kedua
saudaranya serta merta terampas oleh rutinitas berkeluarga, dan pelan-pelan
berkurang perhatian pada Mak.
"Anakku sakit, kalau dipaksa mana bisa istirahat di rumah Mak!" "Aduh, lagi
tanggung bulan nih, Din."
Padahal tanggung bulan atau tidak, Mak mereka nyaris tak pernah meminta
apa-pun. Cukup kedatangan tiga permata hatinya. Mata tuanya akan segera
bercahaya.
"Istriku tak enak badan, kepalanya pening-pening terus. Sampaikan maafku
pada Mak."
"Si Abang tak memberi izin, Din. Soalnya ada acara di gubernuran. Tak
mungkin dia ke sana sendiri tanpa kakak, kan?"
Kasihan Mak, pasti rindu.
Din, laki-laki berusia tiga puluh tiga tahun itu, menekan pedal gas lebih dalam.
Tekadnya kuat. Dia sudah harus melihat wajah Mak, saat matahari pertama
terbit nanti.

Suara orang mengaji di surau baru berakhir ketika kijang tuanya berhenti.
Lelaki itu menengok ke arah laut yang bergejolak tenang. Laut yang menyimpan
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
sejarah masa kecil mereka. Laut yang membuktikan, betapa tegarnya Mak
membesarkan ketiga anaknya. Tangan Din mengetuk pintu, bersama salam
yang dibisikkannya. Suara sandal diseret dari dalam terdengar mendekat. Tak
lama pintu terbuka, sesosok perempuan tua dalam balutan kebaya yang lusuh
menatapnya beberapa kejap. Lalu memeluknya tanpa kata-kata.

"Mau kau ajak kemana Mak?"


Din tersenyum saja. Hati-hati dia menuntun langkah Mak ke mobil.
"Tak jauh. Mak tenang saja."
Perempuan berkebaya itu tak bertanya lagi. Wajahnya lurus menghadap ke
depan. Tak ada yang tahu betapa hatinya melonjak karena kebanggaan yang
terselip. Anaknya si Din, sudah jadi orang tampaknya. Sudah bisa pula
membawa Mak-nya berkeliling naik mobil.
"Jangan cepat-cepat, Din."
Din tersenyum, disorongkannya wajah ke arah Mak. Dikecupnya lembut dahi
yang penuh guratan usia itu.
"Tenang saja, Mak."

Din, anaknya yang paling muda memang berbeda. Mungkin karena dia belum
berkeluarga. Dibandingkan yang lain, si Bungsu itu lebih perhatian. Malah sejak
dua tahun ini, hanya Din saja yang setia mengunjunginya. "Kemarin kemana
kau, Din? Mak menunggu sampai maghrib." Din memutar setirnya. Kendaraan
bergerak pelan. Di sepanjang sisi jalan, laut berayun lembut. Dia sudah di sini
sekarang, dekat dengan Mak. Tapi perasaan bersalah karena membiarkan Mak
menunggu kemarin, masih mengganjal di hatinya. Rasanya seperti menjadi
Amad Rhang Manyang, anak durhaka serupa Malin Kundang dalam mitos Aceh,
yang sering diprotesnya. Ibu mengutuk anak rasanya kejam sekali. Sulit untuk
membayangkan ibu-ibu Aceh setega itu. Tak mungkin.

"Kemarin tu Kak Yanti dan Bang Azhar...," Din memulai penjelasannya. Mak
mengangguk-angguk mendengarkan. Mata Din beberapa kali beralih dari jalan
di hadapannya. Mak-nya tak berubah. Perempuan Jawa yang telah lama hidup
di tanah sebrang ini, masih tetap saja berkebaya. Ketika dia tanyakan kepada
Mak, kenapa tetap mengenakan kain dan kebaya, padahal pakaian itu
membuatnya tak leluasa bergerak. Perempuan tua itu hanya menjawab singkat.
"Beginilah ayahmu melihat Mak pertama kali, Din."
Din mengagumi Mak. Jerih payah dan kegigihan perempuan itu luar biasa
dalam membesarkan ketiga anaknya. Bagi lelaki itu, keputusan Mak untuk
tidak menikah lagi, seolah menjadi bukti totalitas pengabdian yang telah
dipilihnya. Totalitas untuk bersama anak-anak. Sungguh menjadi ironi karena
ketika anak-anaknya mampu membalas budi, totalitas serupa tak bisa mereka
berikan.

Din melenguh dalam hati. Seharusnya dia bisa lebih sering bersama Mak.
Harusnya. Tapi tenggat-tenggat dari kantor, lalu tugas-tugas keluar kota,
menyisakan hanya sedikit waktu. Itupun terkadang sudah dibalut lelah dan
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
pening. Padahal Mak semakin tua.
Tak berapa lama mobil berhenti. Mak turun dengan pandangan penuh tanya.
"Eh, kemana kau ajak Mak, Din?"
Rumah bercat putih itu berdiri di antara rumah-rumah lain yang lebih besar.
Dulu mereka sering memandang rumah-rumah di kawasan elit ini, dengan kaki
terendam air.
"Kau tak mengajak Mak melamar perempuan secara mendadak, kan?" Din
menggeleng. Dituntunnya langkah Mak hingga berada tepat di depan pintu.
"Ini rumah Mak," bisiknya ke telinga perempuan itu.
Mak menatapnya dengan pandangan tak percaya. Lalu tersedu-sedu di dadanya.

Tidak. Mak tak boleh menangis. Sebab rumah ini dibelinya untuk
membahagiakan wanita itu. Mak tak boleh lagi tinggal sendirian dalam rumah
bilik satu kamar. Perempuan itu sudah melewati begitu banyak bilangan tahun
di sana. Mak butuh tempat yang lebih sehat, tempat yang lebih nyaman, di
mana dia bisa menunggu kedatangan mereka dengan lebih tenang.
"Din...."
Lelaki itu mengangguk. Mengajak perempuan itu berkeliling di dalamnya.
Rumah bercat putih itu memiliki tiga kamar tidur.
"Supaya Yanti bisa membawa anak-anaknya menginap di sini, Mak."
"Ya... ya...." Mak mengangguk. Lidahnya kelu. Tak disangkanya Din yang
selama ini tak banyak bicara membelikannya sebuah rumah.
"Nah, kamar yang satunya lagi buat Bang Azhar dan istrinya kalau datang."
Mak mengangguk lagi. Di wajahnya terselip rasa khawatir.
"Kau benar-benar punya uang untuk membeli ini, Din?" tanya Mak, setelah
beberapa lama mereka hanya diam mengagumi rumah baru itu.
Din mengusap-usap punggung ibunya.
"Jangan sampai kau pakai uang orang," kata Mak lagi. "Mak tak perlu
khawatir."
Dan dengan satu kalimat itu, Din kembali ke mobilnya.
Matahari mulai menyibak langit, saat Din menstarter kijangnya.
Mak memandangnya dari mulut rumah, melambaikan tangan. Din
membalasnya dengan senyum lepas dan rindu yang belum selesai. Dia ingin
semua tuntas hari ini, dan Mak bisa segera menempati rumah barunya.
Dia tak berencana meninggalkan Mak lama. Hanya beberapa jam ke kota untuk
membeli perabot baru bagi Mak.

Penduduk asli desa nelayan itu, jika masih ada mungkin mengenal sosok laki-
laki berumur tiga puluhan yang wajah kerasnya tampak keruh. Sementara
kedua matanya menyimpan kabut. Dua hari sejak musibah itu, sosoknya muncul
dari arah berlawanan dengan pengungsi. Dan lelaki itu tak beranjak meski lima
hari telah berlalu, dan gempa-gempa lain masih kerap menggoyang bumi.

Tanpa alas kaki, sosoknya berjalan di wilayah nelayan yang telah rata dengan
tanah. Rumah-rumah dan perahu tak tampak lagi. Begitupun deretan rumah-
rumah bagus yang dulu dibangun beberapa kilometer dari pantai. Semuanya
runtuh. Sekarang hanya batang-batang pohon kelapa yang menjulang, diantara
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
serpihan tubuh-tubuh manusia yang mengambang di laut tenang, dan sebagian
terserak di pantai. Kedua mata lelaki itu awas mencari-cari sesuatu. Ketika
menemukan yang dicarinya, lelaki itu akan mulai bekerja. Setelah selesai dia
akan bersimpuh, dengan kepala tertunduk khidmat, berdoa di atas pusara yang
digalinya.

Setiap hari, tanpa bicara lelaki itu bekerja. Menguburkan setiap jenazah yang
dilihatnya langsung dengan tangannya. Tidak seperti relawan lain yang
mengangkut semua dengan kendaraan dan menguburkan secara massal.
Uniknya lagi, lelaki itu hanya mencari jenazah perempuan. Tak peduli wajah-
wajah itu kini tampak mirip karena kembung oleh gelombang dan mulai rusak
karena waktu. Pun tak berhenti, meski matanya selalu saja gagal mengenali
penggal kain yang dikenakan, sebab tak banyak yang masih melekat di badan
jenazah.
Dia hanya tahu, dia tidak boleh berhenti. Sebab, satu dari mereka, mungkin saja
perempuan berkebaya yang melepasnya di pintu rumah. Sungguh, dia tak
berencana meninggalkan Mak lama. Hanya beberapa jam ke kota untuk
membeli perabot baru. Tapi sesuatu menghalanginya untuk segera kembali.
Gelombang besar yang tiba-tiba saja datang.***
RANTI MENDERAS
Cerpen: Asma Nadia
Sumber: Republika, Edisi 07/07/2002

Pertama kali berdampingan dengannya, aku mencium harum badannya. Wangi,


seperti aroma keik di hotel-hotel bintang lima. Mengalir lewat udara membelai-
belai setiap hidung pada jejak pertama pintu masuk. Enak dan
menggoda.Penampilannya 'baru' dan rapi. Meski terlihat agak canggung, tapi ia
berusaha keras menyesuaikan diri. Ia belajar lewat apa yang dipandang, dan
didengar. Ia memperhatikan, mengamati, menyimpulkan. Tak semuanya benar,
tapi aku menghargai usahanya mencoba. Dulu, mula-mula kemari, tiga tahun
yang lalu, aku pun seperti dia. Anak gunung yang turun ke kota besar.
Canggung, rikuh, tapi seperti yang lain, cepat terjerat pesona ibu kota.Maka
kebun teh di puncak gunung berganti sawah manusia di tiap sudut kota.
Matahari dan udara bening pagi yang didominasi aroma daun dan pepohonan
bercampur tanah basah, menjadi udara penuh knalpot dan polusi yang lewat
ambang batas. Tarian riak sungai dari celah pegunungan menjelma cahaya
lampu yang berpendar di perempatan-perempatan jalan.Lalu semua potret desa
tiba-tiba tercerabut dari ingatan. Seperti rumput-rumput yang tersabit tukang
kebun dengan sekali sentak.“Ya, seperti itu.”Ia terperanjat. Tapi tak menolak
pendapatku.“Masa?”Suaranya lemah serupa bisikan. Pandangannya mengkilat
seolah tak percaya secepat itu orang akan melupakan kampung halaman.Aku
mengangguk mantap. “Tak ada yang tahan godaan ibu kota, teman!”“Panggil
saya Ranti.”Ia tak melanjutkan percakapan. Menyoroti orang-orang yang masuk
ke tempat kami. Para pelayan menghampiri dengan senyum terlalu ramah, yang
akan hilang tak sampai 2 menit. Senyum pelayanan, senyum servis. Senyum,
karena kita harus tersenyum, atau mendapat komplain dari pelanggan.Di
sampingku Ranti mulai membiasakan diri. Tersenyum. Meski tak banyak orang
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
yang menanggapi. Mereka hanya melirik kami sekilas, lalu cepat memutar
pandangan, memilih meja yang nyaman.“Padahal semua meja sama saja.” Keluh
Ranti tak mengerti.“Tidak, tidak sama.” Aku tersenyum. Puas karena bisa sekali
lagi menempatkan diriku sebagai senior.“Kamu lihat meja yang di tengah itu
Ranti?”Ranti mengangguk. Matanya mengarah ke meja tepat di pusat café yang
disoroti lampu kristal hingga lebih terang benderang.“Oh, yang diduduki orang-
orang yang sedang rapat, kan? Mereka pasti teman atau relasi ya?”Aku tak
menanggapi. Ranti masih terus memandang. “Yang laki-lakinya gagah, jasnya
bagus ya?”Aku mengangguk.“Tapi perempuannya, mereka....”“Ranti... itu bukan
sekedar meeting.”“Bukan?”Aku menggeleng.“Itu mungkin lobi-lobi yang
dilakukan, dan wanita-wanita cantik itu punya peran. Sering keberhasilan
negosiasi bisnis terletak pada kerling mata, atau senyum, bahkan dada
mereka.”Ranti tercengang.Satu dua... tiga detik. Aku mengibaskan tangan ke
wajahnya.“Hus jangan bengong! Nanti kamu akan terbiasa.”“Maksudmu...”Aku
mengangguk, lagi.Si “gadis desa” menyebut nama Gusti Allah berkali-
kali.“Jangan lupa, kamu sekarang di Jakarta.”Ranti manggut-manggut. “Meja
itu memang dipilih oleh orang-orang yang datang beramai-ramai, kamu lihat
sofanya bisa diduduki banyak orang.”“Kalau yang itu?” Ranti menoleh ke meja di
sisi-sisi ruangan. Cuma ada dua kursi berhadapan di sana. Lampunya lebih
redup di bandingkan yang sebelumnya. Tiba-tiba wajahnya cerah, penuh
senyum.“Kenapa?”“Saya tidak menyangka. Ternyata di Jakarta masih ada
bapak yang tetap memperhatikan anak-anaknya, sekalipun mereka beranjak
besar.” Ia meletakkan tangannya pada dada. Terharu.Mataku menerobos
pengunjung kafe, cepat menemukan sosok yang dimaksud Ranti. Seorang lelaki
setengah baya dengan uban di pelipis-pelipisnya. Sekejap tadi dia tersenyum
lebar. Ramah dan kebapakan, mungkin itu yang tertangkap di benak Ranti.
“Licik, buaya gak tahu diri!” itu kataku.Ranti terperangah.“Jangan kasar
begitu.”Aku terbahak-bahak. Aduh si Ranti ini, naif sekali.“Ran, kamu pikir
gadis dengan rok celana jeans ketat, dan kaos gantung itu anaknya?”“Iya,
kayaknya anak sekolahan, ya? Mungkin kelas satu es ema, atau tiga
esempe.”“Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi aku pasti dia perempuan
'bawaan'!”“Ahh, masa? Kayaknya masih kecil. Lihat tampangnya juga polos.
Tidak pakai dandanan macam-macam!”“Pasti! Coba kamu perhatikan lagi.”Dua
pasang mata kami terfokus pada pasangan 'bapak dan anak' tadi. Lima menit
sebelumnya mereka hanya saling pandang, dan bercakap-cakap. Sekarang pun
masih. Tapi tak lagi dengan bahasa lisan, melainkan lewat tangan-tangan yang
bertemu. Di bawah meja yang tidak tertutup taplak seluruhnya, dua pasang
kaki bertaut. Lelaki dengan wajah kebapakan tadi menggelinjang
kegelian.“Ciss!”Ranti menunjukkan wajah muak. Memalingkan wajahnya. Tak
sanggup melihat keterusan adegan di depan kami.“Meja itu memang dicari
pasangan yang ingin privacy lebih. Contohnya kayak bapak tadi.”“Kamu benar.
Rasanya sulit mencari kemurnian tanpa nista di pergaulan malam ibu
kota.”“Ya... begitulah.”Lampu-lampu di panggung mulai dinyalakan. Pasangan
demi pasangan, sebagian besar anak-anak muda. Sebagian lagi campuran
tengah baya-muda, dan ada juga... usia dewasa mengalir dari pintu utama kafe.
Seperti pancuran yang tak henti-henti dari hulu sungai. Mengalir dalam
gelombang deras, seiring waktu yang melarut.Di atas panggung, seorang
penyanyi ibu kota, dengaan dandanan seperti Barbie, rambut disasak tinggi dan
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
terjurai seperti air mancur di taman kota, dan baju yang super sexy, mulai
mengalunkan suara. Band di belakang meningkahi dengan beat-beat cepat. Si
penyanyi diiringi tiga penari latar dengan baju semi striptease, berjingkrak-
jingkrak di atas panggung.“Itu penyanyi yang....”“Ya. Yang katanya baru cerai
dari suaminya.”“Astaghfirullah, itu di samping panggung, yang menunggui...
lelaki yang dikabarkan teman selingkuhnya. Katanya tidak benar?”“Tidak benar
gimana? Lihat cara penyanyi itu sebentar-sebentar melangkah ke arahnya dan
mendaratkan kecupan di pipi lelaki itu. Lihat caranya menggelayut pada tubuh
lelaki itu. Lihat...,” aku menjelaskan panjang lebar. Ranti makin terpana.“Gusti
Allah, mereka ciuman! Di depan orang banyak!”Ranti histeris. Aku menepuk-
nepuk punggungnya.“Kalau ibu-ibu di kampung saya melihatnya, bisa pingsan
mereka!”“Memang ajaib.”“Padahal katanya lulusan pesantren!” istighfar
lagi.“Gak jaminan. Ingat, ini Jakarta, Ranti!”Suasana ruangan kian bising.
Lampu-lampu kristal bundar di langit-langit berputar memantulkan kerlap
warna warni. Pelayan-pelayan beredar dengan baki di tangan. Sedikit
membungkuk saat meletakkan menu di meja. Tersenyum-hilang sebelum dua
menit -- lagi. Suara tawa cekikikan terdengar tak normal. Orang-orang menari.
Lupa diri.“Eh, lihat pasangan itu! Mereka berbeda! Lihat pakaiannya.”“Ya,
sepertinya.”“Maksudmu? Mereka pasti pasangan suami istri yang mungkin
sedang merayakan hut pernikahan ke dua puluh mereka.”Aku menatap lelaki
dan perempuan, dengan pakaian terhormat di arah jarum jam 5. Sepertinya
keduanya tak sempat pulang dari kantor dan langsung kemari.“Tidak.”Ranti
terlengak, lalu matanya menggodaku.“Kamu pasti bercanda, kan? Mereka pasti
suami istri!”“Tidak. Mereka mungkin suami, tapi suami orang lain. Dan istri,
tapi istri dari orang lain.”“Astaga...mereka se...se....”“Selingkuh!” cepat kupotong
habis ucapannya, “Yang lelaki sudah sering kemari. Tapi selama dua tahun
menjadi langganan di sini, ia sudah berganti pasangan tiga kali.”Ranti
melongo.“Dan dia selalu memilih tempat di pojok itu. Kecuali kalau sudah terisi
oleh orang lain. Kamu lihat sikap perempuan yang dibawanya? Agak cemas dan
hati-hati. Mereka berharap lampu paling temaram mengamankan bayangan
mereka dari pandangan orang lain. Itu tempat paling eksklusif!”“Kenapa kamu
selalu seperti ini?” Suara Ranti menghembuskan udara kesal.“Seperti
bagaimana?”“Penuh prasangka!”“Aku lebih suka kalau ternyata semua memang
cuma prasangka burukku!”“Apa kamu selalu seyakin ini?”“Hanya untuk hal-hal
yang aku yakini. Percaya deh, Ran... aku sering melihat lelaki itu!”“Mungkin
satu dari tiga perempuan yang pernah diajaknya, istrinya.” Desis Ranti
lirih.“Mungkin, tapi menurutku tidak. Kalau lelaki mau selingkuh, biasanya ia
tak membawa istri ke tempat di mana ia sering bersama wanita lain.”“Di mana
istrinya?”“Mana aku tahu. Mungkin di rumah, bergumul sama cucian piring
kotor, debu di atas tivi, dan anak-anak yang berantem karena berebut chanel
tivi!”“Kasihan.”“Mungkin juga dia selingkuh di tempat lain seperti ini.
Haha....”Ranti memandangku dengan raut tak suka. Aku buru-buru mengerem
tawa.“Maaf, aku berlebihan, ya?”Ranti mengangguk. Wajah cerah dan harum
aroma tubuhnya tiba-tiba sudah berkurang setengahnya. Mungkin tergilas
suasana drastis malam di ibu kota.“Saya jadi ingin pulang. Tidak betah. Tapi
bagaimana caranya?”Aku menatapnya setengah kasihan. “Tidak bisa. Kamu
tahu kamu tidak bisa pulang lagi.”“Kenapa?”“Aduh, Ranti....”“Tapi saya ingin
pulang. Saya ingin kembali ke hutan dari mana saya berasal. Saya rindu celoteh
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
jernih anak-anak di pinggiran sungai, juga pegunungan. Di sana hutan-hutan
bernyanyi sepanjang hari lewat daunnya yang gemerisik. Saya rindu ibu-ibu
berkerudung membawakan shalawat dan yasinan setiap malam Jumat.
Suaranya selalu sampai ke tempat saya. Dibawa angin sampai jauh. Saya
rindu....”“Ran, tidak bisa! Itu sudah nasib kita.”“Saya tidak mungkin bertahan di
sini. Saya bisa mati.”“Eh lupa? Kita kan memang benda mati menurut mereka.
Tidak bisa. Kecuali kalau bos menemukan pajangan kayu yang lebih antik lagi
dari kamu!”Dan Ranti mulai tersedu-sedu. Terus terisak sepanjang malam, dan
esok serta esoknya lagi. Tapi pelitur mengkilat yang menyebarkan bau wangi
menahan deras air matanya. ***Depok, 9 April 2002
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
PEREMPUAN
Cerpen: Avi Basuki
Sumber: Suara Pembaruan, Edisi 11/13/2005

Aku tak sanggup lagi berpaling. Sesekali saja aku bisa memandang ke arah
kelam ruangan diterangi lampu kuning redup berpendar pelan, seperti ratusan
lilin sayu yang bergoyang ditiup angin. Membuat bayangan tubuh kami seperti
sepasang bidadari terbang melayang tak menyentuh lantai kayu yang sudah tak
mulus lagi. Aku hanya ingin menenggelamkan kepalaku ke dalam harum rimba
rambut hitam berkilau yang berwangi indah itu. Seperti sebuah magnet sedap
membuatku melekat dan mendekapnya sangat dekat. Jari-jari lentik dari tangan
kanannya kubiarkan bertengger kuat di atas genggaman kiriku, halus seperti
sutra, sudah pasti harum seperti rambut panjangnya yang sesekali jatuh di atas
hidungku, aromanya seperti sebuah pecut sedap yang menyiksa nikmat. Tangan
kirinya aku biarkan tergeletak sengaja di belakang punggungku, sesekali aku
bisa merasakannya naik ke atas sampai ke pundak, bergeser ke leher dan
membelai rambutku yang terpangkas pendek di bawah topi hitam borsalino yang
terus bertengger. Membuat bulu-bulu halus di leher belakangku seperti sebaris
rumput alang tertiup angin dingin di sebuah pagi buta berembun. Aku ingin
terus memeluknya erat, sangat erat sampai ia tak bisa berlari menjauh lagi.
Sangat erat sampai wajahnya terus menempel di sisi kanan pipiku. Sampai aku
bisa mendengar dengus nafasnya yang terengah, sampai aku bisa merasakan
lekuk seluruh tubuhnya yang bergetar halus, bergerak dan bertumpu. Sampai
aku bisa merasakan tubuh kakunya perlahan mencair dan membiarkan aku jadi
sanggup membawanya kemanapun aku melangkah. Sampai aku bisa merasakan
degup jantungnya yang berdetak semakin keras seperti jam dinding mabuk yang
bingung bersuara. Sampai payudara besarnya bertumpu di atas dadaku yang
hampir tak berbentuk, rata di balik kutang seadanya di bawah kemeja putih
baju laki-laki yang membuatku merasa jantan melangkah tegap di atas sepatu
dansa licin mengkilap yang tak henti bergeser. Aku ingin memilikinya, aku ingin
ia tak pergi, aku ingin jadi laki-laki yang bisa membawanya pulang nanti
malam. Aku ingin tak jadi perempuan hari itu dan aku ingin ia tahu.
"Aku tak ingin berdansa dengan wanita," kataku setengah merajuk, Cico
memandangku putus asa. Aku memandangnya dengan tajam. Matanya seakan
merengek supaya aku bisa memaafkannya, paling tidak untuk kali ini.
"Cico, sudah berapa kelas aku harus antri untuk bisa berdansa dengan seorang
laki-laki dan kini kau memintaku untuk jadi laki-laki?" kataku lagi, setengah
berbisik, takut kalau murid yang lain mendengar.
"Tolonglah, kali ini saja," katanya lagi, wajahnya begitu dekat di telingaku,
bisikannya seperti setengah menangis.
Aku mendengus, sangat lemah. Aku tak pernah bisa bilang tidak pada laki-laki
yang sedih. Laki-laki, gumamku dalam hati. Sebuah rasa pedih seperti mengiris
perlahan di bawah payudaraku. Perih seperti sebuah luka terbuka yang tertetes
jeruk lemon. Aku mencoba memandangnya lagi tapi ia sudah beranjak pergi,
terlihat berdebat gembira dengan sepasang penari yang sedang berlatih. Aku
melihat mereka berdansa, begitu harmonis dan tampak bahagia. Aku
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
mendengus lagi dan perlahan mencoba berdiri dan mendekat ke arah seorang
perempuan sendiri.
"Mau coba denganku?" tanyaku sopan, berusaha tersenyum semanis mungkin.
Gadis itu memandangku dengan tanda tanya besar, matanya yang hampir-
hampir bundar seperti dua bola ping pong dengan bulatan lebih kecil berwarna
biru. Ia kemudian tersenyum, gigi-gigi mungilnya tampak putih teratur berbaris
rapi di dalam bibirnya yang bergincu mengkilat berwarna merah jambu. Ia
mengangguk dan meraih tanganku yang sudah terulur.
Jari-jemarinya begitu mungil berkuku panjang, seperti tubuhnya yang terasa
begitu tipis seakan hendak melayang. Aku membawanya ke dalam dekapanku
yang canggung.
"Maaf, aku belum pernah jadi laki-laki," kataku setengah malu, mencoba
mengingat langkah-langkah yang baru saja diperagakan Cico. Gadis itu
tersenyum lagi, wajahnya terasa begitu dekat, nafasnya yang hangat
menghembus perlahan di pipi.
"Tak mudah jadi laki-laki," kataku lagi, meminta maaf entah untuk yang ke
berapa kalinya. Berharap supaya ia tak bosan ketika aku salah langkah.
"Jangan khawatir, kita bisa coba lagi," ia berkata sambil memandangku, manis.
Aku tersenyum tipis. Aku mencoba memeluknya lebih erat, seperti yang biasa
dilakukan Cico dan penari laki-laki yang lain. Tubuhnya terasa tipis, hanya
bulatan payudaranya saja yang terasa lunak di dadaku. Hangat. Aku tersenyum
sendiri. Tangan kananku memeluk punggungnya, aku bisa merasakan seluruh
lekuk tubuhnya.
"Maaf," kataku lagi setengah berbisik, ketika sekali lagi aku salah langkah.
"Kau harus lebih tenang," serunya berbisik di dalam telingaku, napasnya hangat
berhembus perlahan, membuat rambutku seperti jadi setengah berdiri dan
tubuhku bergetar sejenak. Pelukkannya jadi serasa lebih erat, wajahnya melekat
di atas pipi kananku, aku bisa merasakan bulu matanya menutup, matanya
terpejam, seperti yang biasa aku lakukan jika aku berdansa dengan seorang
laki-laki yang mahir. Sesekali aku rasakan bibirnya bergesek dengan telingaku.
Tubuhku terasa bergetar lagi. Aku mulai melangkah benar.
Pagi sudah jadi siang namun mataku masih saja tak cerah. Aku memandang
keluar jendela apartemen melihat ke arah langit kelabu yang seperti jadi
langganan di setiap musim gugur yang gemar berkabut. Kopi di cangkirku masih
setengah, pahit, dan tak lezat. Aku biarkan ia bertengger di atas kedua
tanganku menjadi dingin dan tak nikmat untuk di minum lagi. Seperti sebuah
cinta yang berakhir. Seperti tadi malam. Seperti setiap kisah cintaku yang selalu
kandas dan tak pernah berlayar penuh, membiarkanku kembali ke sebuah titik
pertama di mana aku berawal, di sebuah kesendirian yang sendu yang selalu
membuat hatiku perih.
"Bagaimana mungkin kau tak mencintaiku lagi?" tanyaku perih, rumah makan
itu remang kekuningan, di atas meja kami sebuah lilin mungil berpendar lemah,
hampir habis seluruhnya terbakar. Matanya seperti berlari dari pertanyaanku.
Aku terus mencarinya, aku ingin masuk dan menikamnya tajam. Ia mendengus
perlahan, seperti tak ingin menjawab pertanyaanku. Aku putus asa dan tak
mencarinya lagi. Beberapa pasangan lain tampak duduk di meja-meja di
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
seberang, kebanyakan saling memandang, berpegangan tangan. Mataku perih.
Dulu kami seperti itu, pikirku dalam hati.
"Cinta berakhir," katanya tiba-tiba, mengejutkanku dari sebuah lamunan
picisan. Aku memandangnya, matanya berada di tempat di mana aku mudah
menerkam. Tapi aku tak ingin menusuknya lagi. Aku hanya ingin menangis dan
pergi. Berharap kalau saat ini tidak pernah terjadi. Aku memandangnya.
"Cinta tidak pernah berakhir, hanya berubah," aku berusaha berkata, di tengah
sungguk tangisku yang tak lancar. Matanya seperti dua buah tanda tanya besar.
Aku beranjak berdiri dan pergi meninggalkannya sendiri. Aku juga tak ingin
menyelesaikan perubahan itu. Mataku lelah dan tubuhku penat. Kakiku
membawaku untuk segera tidur.
Pemandangan di luar jendela masih saja sama. Lalu lintas jalan di bawah belum
ramai berjalan. Di hari Minggu seperti ini biasanya tak banyak yang lalu. Kopi
itu sudah dingin dan aku beranjak menuju dapur ketika telpon genggamku
berdering keras.
"Rita?" seru suara seorang wanita di seberang. Aku tak mengenal nomornya.
"Ya?" jawabku bertanya.
"Hai, aku Yvonne, kau ingat?"
"Ya?" jawabku tak jelas.
"Partner dansamu di kelas." Dadaku berdegup kencang, mencoba mengingat
gadis bermata bundar yang sudah beberapa minggu ini berdansa denganku.
Bibirku tersenyum tipis.
"Kau pergi ke milonga nanti malam?"
"Ya?" Seluruh koleksi kosa kataku seakan hilang tertelan angin musim gugur
yang terdengar bertiup menimpa jendela.
"Ok, sampai ketemu nanti malam!"
"Ya." Aku tak tahu gaun apa yang harus aku kenakan.
Malam itu Yvonne bergaun hitam. Tipis dan menerawang, membuat bagian
bawah kakinya terlihat di bawah sinar lampu. Atasannya mungil bertali
spaghetti, membuat dadanya seperti mencuat bak dua buah bulat yang
menunggu di petik. Aku mengelus dadaku sendiri, rata dan tak bergairah. Aku
melambaikan tanganku ke arahnya di kejauhan, di antara lautan manusia yang
berdansa dan berpelukan. Setengah berlari ia datang menghampiri. Seperti
seekor gazelle lincah di atas sepatu tali temali berhak tinggi. Wajahnya cerah
dengan sebuah korsase merah besar mengikat di lehernya. Ia seperti sekuntum
bunga mawar. Sebuah peluk dan cium mesra segera menghampiriku. Aroma
tubuhnya sedap. Aku berusaha menghirupnya sedapat mungkin. Takut kalau-
kalau ia segera hilang.
"Dansa denganku?" tanyanya lucu. Aku mengangguk. Aku ingin berdansa
dengannya sepanjang malam. Paling tidak sampai malam ini berakhir. Sampai
sedihku tak hadir. Sampai esok. Sampai semuanya berubah lagi. Mungkin.
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
KESEDIHAN
Cerpen: Chekov, Anton Pavlowich
Sumber: Kompas, Edisi 07/21/2002

KERAMAIAN senja. Salju basah yang lebat dengan malas terbang mengitari
nyala lentera yang baru saja dinyalakan, dan perlahan-lahan hinggap dengan
lembut pada atap, punggung kuda, pundak dan topi-topi. Iona Potapov, sang
kusir, telah lama memutih karenanya. Ia bertekuk-sejauh mana badan makhluk
hidup bisa melakukannya- duduk di atas kursi kereta dan tak bergerak.
Tumpukan salju telah menimbuninya. Walaupun demikian pada saat itu
seakan-akan ia tidak menemukan alasan untuk mengibaskan salju dari
dirinya....Kuda betinanya juga memutih dan bergeming. Dengan bentuk-bentuk
kaki yang ceking dan kaku, dia mirip permen jahe. Sang kuda barangkali
tenggelam dalam pikirannya. Kuda mana pun-yang dipisahkan dari weluku, dari
lukisan-lukisan alam nan biru, kemudian terbuang pada jeram yang dipenuhi
dengan nyala api yang mengerikan, gemerisik yang bising dan hiruk-pikuk
manusia-maka mau tak mau akan berpikir. Iona dan kuda betinanya sudah
lama tak beranjak dari tempat. Mereka hanya keluar dari terminal pada waktu
makan siang, dan selanjutnya tidak. Sesaat, kegelapan malam datang
menghampiri kota. Api lentera yang pucat meredupkan warna-warna cat yang
hidup. Kegaduhan jalanan pun mulai ramai. "Kusir, ke Viborskaya," terdengar
oleh Iona. "Kusir!" Iona terkejut. Melalui bulu matanya yang dipenuhi oleh salju
ia melihat seorang opsir tentara memakai mantel berkudung. "Ke Viborskaya!"-
ulang sang opsir. "Ah, kamu tidur ya? Ke Viborskaya!" Sebagai tanda setuju Iona
menggerakkan tali kekang. Lapisan salju berhamburan dari punggung kuda.
Sang opsir duduk di kursi penumpang. Iona mendecak, menggelengkan kepala,
sedikit bangkit dan seterusnya seperti kebiasaan para kusir (bukan karena
keperluan), ia mencambuk kudanya. Si kuda betina menggerakkan leher,
menyerongkan kakinya yang kaku dan dengan enggan bergerak dari tempatnya
tadi. "Hai, mau kemana kau, bangsat!" terdengar oleh Iona teriakan orang-orang
yang berlalu lalang di samping dan di depan dalam kegelapan. "Rupanya setan
telah membawamu! Yang benar dong!" "Kamu tak becus mengendalikan kuda
rupanya! Ke sebelah kanan!" Sang Opsir marah. Seorang kusir pedati
menyumpahi Iona, sedang seorang pejalan kaki yang bahunya terendus moncong
kuda, menatap marah sambil menyeka salju dari tangannya. Iona duduk gelisah
di pojok tempat duduknya seakan mau jatuh. Ia menyentakkan sikut dan
memalingkan mata seolah-olah tidak mengerti mengapa dan buat apa berada di
sana. "Mereka bajingan!" kata sang Opsir. "Toh mereka tinggal menghindar
bertabrakan dengan keretamu atau mereka jatuh ke bawah kaki kuda. Mereka
tentunya tahu hal itu." Iona melirik penumpangnya dan menggerakkan
bibirnya... tampaknya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi dari kerongkongnya
tak sepatah katapun keluar, kecuali hanya desisan. "Ada apa?" tanya sang
Opsir. Iona berpaling dan dengan senyuman yang pahit ia menegangkan
tenggorokannya dan mengerang: "Anak saya... Anak saya meninggal... minggu
ini." "Hmmm... mati karena apa?" Iona memalingkan seluruh tubuhnya pada si
penumpang seraya berkata: "Siapa yang tahu hal itu! Ia demam.... tiga hari
dirawat di rumah sakit dan kemudian meninggal.... Begitulah Kehendak
Tuhan!" "Belok goblok!" terdengar dalam kegelapan. "Kamu linglung, anjing tua?
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Pakai matamu!" Iona kembali menjulurkan leher, sedikit bangkit dan
mengibaskan cambuk dengan gemulai dan berat. Beberapa saat kemudian ia
menoleh pada penumpang, tetapi kali ini Sang Opsir memejamkan mata dan
tampaknya ia tidak bersimpati untuk mendengarkan. Setelah menurunkan
penumpang di Viborsaya, Iona berhenti di depan restoran dan lagi-lagi salju
yang basah mengecat putih Iona dan kudanya. Satu jam berlalu, dua jam.... Tiga
orang laki-laki, dua di antaranya tinggi dan kurus, seorang lagi kecil dan
bungkuk datang menghampiri dengan suara langkah yang keras pada trotoar.
"Kusir, ke jembatan Poliskaya!" teriak Si Bungkuk dengan suara yang geram.
"Kami bertiga... dua puluh kopek*!" Iona menarik cambuk dan memukulkannya
pada kuda. Dua puluh kopek... harga yang tidak seimbang.... Tetapi harga tidak
menjadi masalah... satu rubel**, lima kopek... baginya sama saja... Yang penting
ada penumpang. Orang-orang muda ini sambil saling dorong dan menyumpah,
naik ke kereta. Ketiganya langsung menjatuhkan diri ke kursi kereta. Timbul
sebuah pertanyaan: siapa dua orang dari mereka yang harus duduk dan siapa
yang harus berdiri? Setelah perang mulut, tingkah polah dan omelan yang
panjang, mereka sampai pada keputusan yaitu: karena yang paling kecil adalah
Si Bungkuk, maka ia lah yang harus berdiri. "Baik, ayo maju!" Kata Si Bungkuk
parau, sambil mencari posisi yang enak dan menghembuskan napas pada leher
Iona. "Cambuk! A ha... Kawan topi apa ini? Dicari di seluruh Petersburg pun tak
akan ada yang sejelek ini." "Ha... ha... Ha..." Iona tertawa. "Ada kok..." "Ya, ada,
ayo cepat! Begini caramu mengendalikan kuda sepanjang jalan? Hai? Mau
kupukul lehermu?" "Kepalaku sakit..." kata salah seorang yang jangkung.
"Kemarin di rumah Duhmasov, saya dan Vaska minum empat botol brendi."
"Aku tak mengerti, buat apa kau berdusta," kata Si Jangkung yang lain dengan
marah. "Dia bohong seperti binatang." "Demi Tuhan, betul kok...." "Ya betul,
sebetul kutu batuk!" "He... he... he..." Iona tersenyum lebar. "Tuan-tuan yang
berbahagia!" "Cuih, demi setan!" Si Bungkuk menyela. "Kau akan berangkat
atau tidak, tua bangka? Begini caramu membawa kereta? Cambuk kudamu!
Demi setan! Kendalikan dengan benar!" Iona merasakan badan gelisah dan
suara parau Si Bungkuk di balik punggungnya. Dia mendengar pula cacian
orang-orang. Sedikit-demi sedikit kesepian yang membanjiri dadanya reda. Si
Bungkuk terus menyumpah dengan enam tingkat sumpah serapah sampai tak
bisa lagi menyumpah dan batuk. Teman-temannya yang jangkung mulai
membicarakan Nadezda Petrovna. Iona menoleh pada mereka. Setelah
menunggu sedikit jeda, ia menoleh lagi dan berkomat-kamit: "Anak saya... Anak
saya minggu ini... meninggal". "Kita semua akan mati," Si Bungkuk menarik
napas, setelah menyeka bibirnya sehabis batuk. "Ayo Cepat! Tuan-tuan, aku tak
tahan lagi merayap seperti ini! Kapan dia akan mengantarkan kita ke tujuan?"
"Kalau begitu... beri dia sedikit semangat di lehernya?" "Tua bangka! Kau
dengar itu? Baik! Kan kusentil lehermu! Pergi ke pesta dengan orang sepertimu,
rasanya lebih baik jalan kaki! Kau dengar, ular kadut? Atau kau tak peduli
dengan kata-kata kami?" Iona sebenarnya mendengar lebih dari sekadar suara
hantaman di kuduknya. "Ha... ha... ha..." Iona tertawa. "Tuan-tuan yang
berbahagia... semoga Tuhan memberkati Anda!" "Kusir, kau telah kawin?" tanya
Si Jangkung. "Saya? Ha... ha... ha... satu-satunya istri saya sekarang ada di
tanah yang lembab... He... he... he... kuburan! Anak saya pun meninggal... Hal
yang aneh. Kematian memasuki pintu yang salah. Seharusnya dia
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
menjemputku, eh malah dia datang pada anak saya..." Dan Iona berpaling untuk
menceritakan bagaimana anaknya meninggal, tetapi pada saat itu Si Bungkuk
memberi tanda bahwa 'Puji Tuhan', akhirnya mereka sampai. Setelah menerima
20 kopek, Iona menatap hampa pada para tukang pesta itu, yang kemudian
menghilang ke balik pintu gerbang yang gelap. Kembali Iona menyendiri dan
kembali kesepian menghampirinya. Kesedihan yang beberapa saat lalu mereka
muncul lagi dan membanjiri dadanya dengan kekuatan yang lebih besar. Mata
Iona menerawang dengan sedih dan penuh harap pada kerumunan yang berlalu
lalang di kedua sisi jalan: tak dapatkah ia menemukan satu dari ribuan orang
ini yang mau mendengarkannya? Akan tetapi, gerombolan orang ini berlalu
tanpa ada yang peduli, baik pada dirinya maupun pada kesedihan itu.
Kemasygulan hati Iona tumpah ruah seakan-akan hendak membanjiri dunia,
tetapi belum terlihat. Sang kemalangan sanggup bersembunyi pada sel yang
sangat kecil, sehingga pada saat terang sekalipun tak ada yang mampu
melihatnya.... Iona melihat penjaga rumah yang membawa karung, dan
memutuskan untuk bicara dengannya. "Kawan, jam berapa ini?" tanya Iona.
"Hampir jam sepuluh... Kenapa kau berhenti di sini? Ayo pergi sana!" Iona maju
beberapa langkah, bertekuk dan menyerah pada duka lara. Menunjukkan pada
orang-orang dia pikir sudah tidak ada gunanya. Belum juga lima menit berlalu,
ia sudah meluruskan badan dan menggelengkan kepala seolah ia menderita
sakit yang parah. Ia mengibaskan pecutnya.... Dan tak kuasa menahan hal ini
lebih lama lagi. "Kembali ke terminal!" pikirnya. "Ya, ke terminal." Dan kuda
betina kecilnya seakan-akan mengerti pikiran Iona, ia mulai berlari kecil. Satu
setengah jam kemudian Iona sudah duduk di dekat perapian besar yang kotor.
Di lantai, di atas bangku-bangku orang-orang mendengkur. Udara pengap dan
bau. Iona melihat pada orang-orang ini. Ia menggaruk-garuk kepala dan
menyesal mengapa pulang terlalu cepat.... "Buat dedak saja sudah tak cukup,"
pikirnya. "Itu sebabnya aku sedih. Manusia yang tahu betul bagaimana
seharusnya ia bekerja... yang sanggup mencukupi makanannya, dan makanan
kudanya, selalu hidup lebih tenang." Di salah satu sudut, seorang kusir muda
terbangun, tenggorokannya mengorok dan ia menjangkau ember air. "Mau
minum?" "Begitulah." "Minumlah... demi kesehatanmu.... Anakku.. anakku
meninggal minggu ini... kau dengar... di rumah sakit... Begitu ceritanya!" Iona
menatap untuk melihat efek apa yang ditimbulkan dari kata-katanya. Tetapi ia
tak melihat apa pun. Si pemuda telah menutupi kepalanya dan kembali tertidur.
Sebesar rasa haus pemuda itu, sebesar itu pula keinginan Iona untuk berbicara.
Seminggu akan segera berlalu sejak kematian anaknya dan dia masih belum
dapat membicarakannya dengan siapa pun.... Ia ingin membicarakannya dengan
serius, dan tersusun... Iona ingin menceritakan bagaimana anaknya terjangkit
penyakit, bagaimana anaknya menderita, apa yang dikatakan sebelum anaknya
meninggal, bagaimana anaknya meninggal... Iona ingin memaparkan dengan
jelas dan tersusun bagaimana ia harus mendaftarkan penguburan dan
bagaimana ia berlari ke rumah sakit untuk mengambil pakaian mendiang. Ia
masih mempunyai seorang putri, Anisya, di desa... Ya, timbul hasrat untuk
menceritakan hal ini, juga padanya. Sang pendengar akan mengaduh, menarik
napas, meratap. Makanya harus bicara pada seorang wanita. Walaupun mereka
makhluk yang menyedihkan, tetapi mereka selalu meraung sejak dua kata
pertama. "Ah lebih baik melihat kuda," pikir Iona. "Selalu ada waktu untuk
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
tidur... Kau akan tidur nyenyak, tak ada yang perlu ditakuti..." Iona memakai
mantelnya dan pergi ke istal tempat kuda betinanya berdiri. Dia berpikir
tentang dedak, jerami, cuaca... Dia tak mampu berpikir lagi tentang anaknya,
ketika sendirian begini. Membicarakannya dengan seseorang mungkin dia
mampu, tetapi memikirkan dan menggambarkan anaknya.. sungguh sesuatu
yang sangat mengerikan.... "Kamu masih makan?" Iona bertanya pada kuda,
sambil menatap matanya yang bercahaya. "Ayo terus kunyah. Sejak kita tak
cukup uang untuk membeli dedak, kita hanya makan jerami. Ya... Aku terlalu
tua untuk jadi kusir... Mestinya anakku lah yang menjadi kusir, kusirmu
sekarang... bukan aku, ... Mestinya dia masih hidup." Iona terdiam sejenak,
kemudian melanjutkan: "Begitulah... Kuzma Ionitc telah pergi... dia
mengucapkan selamat tinggal padaku. Dia pergi tanpa alasan.... Bayangkan,
seandainya kamu punya anak, dan kamu adalah ibu kandungnya... kemudian
anakmu mati... Kau juga akan sedih bukan?" Kuda betinanya yang kecil tetap
memamah biak, mendengarkan, dan mengendus tangan sang majikan. Iona
terhanyut dan menceritakan semua itu padanya. * Diterjemahkan oleh Trisna
Gumilar dari bahasa aslinya, 'Toska'. Diambil dari buku kumpulan cerpen: A.P.
Chekov-Raskazy I Povesty, hal: 56-60. Terbitan: Izdatelstvo Detskaya Literatura,
Moskwa, 1964.
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
AIR
Cerpen: Djenar Maesa Ayu
Sumber: Kompas, Edisi 06/25/2006

Air putih kental itu saya terima di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang
rongga vagina hingga lengket, liat sudah di indung telur yang tengah terjaga.
Menerima. Membuahinya. Ada perubahan di tubuh saya selanjutnya. Rasa mual
merajalela. Pun mulai membukit perut saya. Ketika saya ke dokter kandungan
untuk memeriksakannya, sudah satu bulan setengah usia janinnya.
Akan kita apakan calon bayi ini? Kita masih terlalu muda," kata ayahnya.
Saya akan menjaganya.
Air kental itu seperti bom yang meledak di dalam tubuh saya. Mengalir deras
sepanjang rongga vagina hingga keluar mendesak celana dalam yang tak kuat
membendungnya. Terus menyeruak dan mendarat lengket, liat, di atas seprai
motif beruang teddy berwarna merah muda. Ketuban sudah pecah. Rasa takut
seketika membuncah. Tapi segera mentah berganti dengan haru memanah.
Sembilan bulan sudah. Lewati mual tiap kali mencium bau parfum keluaran
baru eternity. Rasa waswas setiap kali belum waktunya namun sudah kontraksi.
Tidak mengambil cuti, mencari uang demi mengonsumsi makanan bergizi yang
konon bisa membuahkan kecanggihan otak maupun fisiknya nanti. Tapi…
"Kami mengerti, tapi perutmu sudah kelihatan tambah besar. Kami tidak bisa
mempekerjakan SPG yang kelihatan sedang hamil," kata supervisor saya.
Saya akan menjaganya.
Air ketuban sudah hampir kering. Baru pembukaan delapan, masih harus
menunggu dua pembukaan lagi. Harus operasi. Tapi saya ngotot persalinan
alami. Uang yang terkumpul tidak cukup untuk operasi. Dan jika operasi, saya
khawatir tidak bisa langsung mengurusnya sendiri. Untuk keperluan sehari-hari
saja pas-pasan. Membayar pembantu, apalagi suster, jelas belum mapan. Materi
yang ada, belum cukup untuk hidup sebagai majikan. Memikirkan itu
tenggorokan saya jadi ikut kering. Erang kesakitan sudah tidak lagi melengking.
Kepala saya pening. Dokter yang baik itu menatap saya dengan prihatin. Tapi
saya berkata dengan yakin.
"Robek saja, Dok. Gunting saja supaya tuntas pembukaannya."
Saya akan menjaganya
Air hangat itu membasuh kulit tubuhnya yang bening. Suara tangisnya seisi
ruangan melengking. Saya jentikkan jari kelingking di pipinya yang merah.
Mengecup kedua matanya yang masih lengket. Masih tak percaya. Makhluk
manis tak berdaya itu pernah tinggal di dalam rahim saya. Masih tak percaya.
Makhluk mungil itu keluar dari dalam tubuh saya. Lantas suster membawanya.
Pergi ke kamar bayi jauh dari ibunya. Saya ingin protes, tapi tak bisa. Saya
hanya bisa berjanji dalam hati, setelah ini tak akan ada yang memisahkan kami
lagi, ketika suster itu berkata, "Ibu butuh istirahat untuk mempersiapkan ASI.
Sekarang kami akan membawanya ke kamar bayi."
Saya akan menjaganya.
Air putih cair itu keluar berupa jentik-jentik yang ajaib di ke dua puting saya.
Suster yang sedari tadi memijat payudara saya terlihat puas. Tidak terlalu sulit
mengeluarkannya. Selama sembilan bulan setiap harinya saya sudah memijat
payudara saya dengan minyak kelapa. Lucu, sekarang ke dua payudara kecil ini
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
pun gemuk membungkah seperti kelapa. Penuh dengan air susu yang sebentar
lagi akan ada pengisapnya. Di mana makhluk mungil itu? Saya begitu tak sabar
menunggu. Begitu ingin segera menimang dan menatapnya menyusu. Saya
sudah tidak butuh rehat. Air susu saya sudah sarat. Payudara sudah terasa
berat.
"Benar Ibu sudah siap?"
Saya akan menjaganya
Air mata meleleh di pipinya, tak ingin begitu saja melepas kepergian saya.
Cukup lama saya harus menenangkannya. Berusaha memberikan pengertian.
Berusaha memberikan rasa aman. Dan harapan. Harapan akan segera pulang.
Harapan akan segera pulang membawa uang. Harapan akan segera pulang
membawa uang untuk suatu hari nanti tak perlu pergi kerja dan tinggal angkat
kaki ongkang-ongkang. Jika saat itu tiba, kami akan menjelajah dunia.
Mengunjungi semua Disneyland di tiap negara yang memilikinya. Bermain
dengan penguin-penguin di Cape Town selatan Afrika. Menyeruput pinacolada di
Hawaii sambil menyaksikan tarian bora-bora. Kalau perlu, kalau ia mau, saya
akan membeli rumah berikut taman bermain milik raja pop Michael Jackson
yang tengah bangkrut. Membeli apa pun yang ia inginkan semudah orang
membuang kentut. Tapi tidak mudah memberikan sejuta harapan. Apalagi jika
harapan-harapan itu kerap diulang-ulang dan tak pernah mewujud jadi
kenyataan. Karena sudah beribu-ribu kali saya hanya pulang membawa sedikit
uang. Hanya cukup untuk makan sekadar, membayar listrik, air, telepon,
kontrakan, dan sekolah yang semakin hari harganya semakin tinggi menjulang.
Dan saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia akan tetap tak membiarkan
saya pergi. Tetap menunggu saya pulang. Saya tetap akan pergi. Tetap akan
pulang. Ia membiarkan saya pergi. Tak menunggu saya pulang.
"Capek ah nunggu, aku udah mau tidur!" semprotnya.
Saya akan menjaganya.
Air asin itu mendarat di bibir saya lagi. Lampu-lampu besar seperti makhluk
pemeras keringat yang tak berperikemanusiaan. Sudah jam delapan. Baru akan
dimulai merekam adegan. Saya harus segera menghayati peran. Tapi kepala
saya masih dipenuhi pikiran. Apakah makhluk kecil yang sudah beranjak
remaja itu sudah makan? Apakah ia kesepian? Atau jangan-jangan di rumah ia
sedang asyik masyuk pacaran? Saya menjadi ketakutan. Ingin menelepon tapi
sutradara memberi instruksi jika ponsel mutlak dimatikan. Tak ada yang
mungkin saya lakukan untuk menjangkaunya sekarang. Padahal saya sudah
begitu ingin cepat-cepat menjangkaunya dan terbang pulang. Melayang seperti
burung tanpa harus terhambat kemacetan. Melayang bersamanya menikmati
indahnya kelap kelip lampu jalan seperti dongeng anak-anak Peter Pan.
Lampaui semua beban. Lampaui semua luka dan penderitaan. Kadang saya juga
ingin melayang jauh ke masa lampau. Tidak membiarkan air putih kental itu
lengket di indung telur hingga tumbuh menjadi janin yang kini terlahir sebagai
manusia yang merasa disia-siakan. Melayang lebih jauh lagi ke masa lampau.
Tak bertemu dengan ayahnya yang dengan mudahnya lepas tangan.
"Action!" teriak sutradara.
Saya akan menjaganya.
Air jernih di dalam gelas yang dulu ada di atas meja samping tempat tidurnya,
kini telah berganti dengan air berbusa kekuning-kuningan. Di gelas itu berdiri
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
sebotol bir merek bintang. Entah disengaja untuk menarik perhatian. Entah ia
sudah teler dan lupa menyimpan. Yang sudah pasti telah terjadi perubahan
yang membuat saya tertekan. Tapi lebih pasti lagi ia tak kurang tertekan.
Apakah yang sudah saya lakukan? Atau justru apakah yang tidak saya lakukan?
Sudahkah karenanya ia menjadi korban? Di balik selimutnya ia tertidur dengan
amat tenang. Saya jentikkan kelingking di pipinya yang bening. Saya kecup
kedua matanya yang merapat, persis seperti ketika ia baru lahir dengan kedua
mata yang masih lengket. Tapi ia menggeliat. Lantas meronta, menghalau saya
supaya tak dekat-dekat. Semakin terkumpul segala lelah segala penat.
"Bangsaaaaaaaat!"
Saya tak kuasa menjaganya
Air kuning kental itu meluap dari mulut saya. Lima puluh pil penenang saya
tenggak. Harusnya seratus pil seperti yang dikonsumsi Maryln Monroe hingga
ajal menjemputnya. Ada cahaya di ujung lorong, igau saya. Ternyata datang dari
tubuhnya yang berbalut cahaya kemilau dengan tangan terbuka. Siap menerima
saya dalam pelukan bahagia. Saya menengok ke arah ujung lorong yang
berlawanan. Ada kegelapan, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang
sama sekali tak berbalut cahaya kecuali melulu kegelapan dan luka. Terkulai
lemah seakan menunggu saya menerima ia dalam pelukan saya. Menunggu.
Seperti semasa ia bayi menunggu saya membersihkan puting payudara sebelum
menyerahkan untuknya menyusu. Menunggu. Seperti semasa ia balita
menunggu saya pulang selepas kerja membawa sedikit uang dan satu kantung
plastik berisi sepatu baru.
Menunggu. Seperti saya sekarang menunggunya dengan ilusi dirinya berkilauan
merentangkan tangan atau terkulai lemah membutuhkan pegangan setelah
menemukan mulut saya berbusa akibat menenggak obat penenang. Menunggu.
Seperti sekarang saya menunggu emosi saya pergi. Menunggu kesadaran saya
kembali. Menunggu. Seperti saya sekarang menunggu satu saat nanti ia
mengerti. Satu saat nanti ia kembali.
Saya kembali ke kamarnya. Duduk di samping tempat tidurnya dan
memerhatikannya yang sudah kembali pulas tidur. Ada buku di sampingnya
menarik perhatian saya. Pelan-pelan saya ambil dan buka. Ada puisi di
dalamnya.
Air dapat memelukmu
tapi tak akan membelenggumu
Air dapat pantulkan cahayamu
tapi tak dapat jadikanmu nyata(*)
Saya akan menjaganya.
Jakarta, 13 Mei 2006 12:24:00 PM
Untuk Banyu Bening
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
WAKTU NAYLA
Cerpen: Djenar Maesa Ayu
Sumber: Kompas, Edisi 03/31/2002

NAYLA melirik arloji di tangan kanannya. Baru jam lima petang. Namun, langit
begitu hitam. Matahari sudah lama tenggelam. Ia menjadi muram seperti
cahaya bulan yang bersinar suram. Hatinya dirundung kecemasan. Apakah jam
tangannya mati? Lalu jam berapa sebenarnya sekarang? Nayla memeriksa jam
di mobilnya. Juga jam lima petang. Jam pada ponselnya pun menunjukkan jam
lima petang. Ia memijit nomor satu nol tiga. Terdengar suara operator dari
seberang, "Waktu menunjukkan pukul tujuh belas, nol menit, dan dua puluh
tiga detik." Lalu manakah yang lebih benar. Penunjuk waktu atau gejala alam?
Nayla menambah kecepatan laju mobilnya. Kemudi di tangannya terasa licin
dan lembab akibat telapak tangannya yang mulai basah berkeringat. Ia harus
menemukan seseorang untuk memberinya informasi waktu yang tepat. Tapi jika
Nayla berhenti dan bertanya, berarti ia akan kehilangan waktu. Sementara
masih begitu jauh jarak yang harus dilampaui untuk mencapai tujuan. Nayla
sangat tidak ingin kehilangan waktu. Seperti juga ia tidak ingin kehilangan
kesempatan untuk melakukan banyak hal yang belum sempat ia kerjakan.
Namun Nayla pada akhirnya menyerah. Ia menepi dekat segerombolan anak-
anak muda yang sedang nongkrong di depan warung rokok dan menanyakan
jam kepada mereka. Tapi seperti yang sudah Nayla ramalkan sebelumnya,
jawaban dari mereka adalah sama, jam lima petang. Hanya ada sedikit
perbedaan pada menit. Ada yang mengatakan jam lima lewat lima, jam lima
lewat tiga, dan jam lima lewat tujuh. Nayla semakin menyesal telah membuang
waktu untuk sebuah pertanyaan konyol yang sudah ia yakini jawabannya, yaitu
jam lima petang. Berarti benar ia masih punya banyak waktu. Sebelum jam
tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya
berubah menjadi abu. ***ENTAH kapan persisnya Nayla mulai tidak bersahabat
dengan waktu. Waktu bagaikan seorang pembunuh yang selalu membuntuti dan
mengintai dalam kegelapan. Siap menghunuskan pisau ke dadanya yang
berdebar. Debaran yang sudah pernah ia lupakan rasanya. Debaran yang satu
tahun lalu menyapanya dan mengulurkan persahabatan abadi, hampir abadi,
sampai ketika sang pembunuh tiba-tiba muncul dengan sebilah belati.
Sebelumnya Nayla begitu akrab dengan waktu. Ketika cincin melingkar agung
di jari manisnya. Ketika tendangan halus menghentak dinding perutnya.
Menyusui. Memandikan bayi. Bercinta malam hari. Menyiapkan sarapan pagi-
pagi sekali. Rekreasi. Mengantar anak ke sekolah. Membantu mengerjakan
pekerjaan rumah. Memarahi pembantu. Membuka album foto yang berdebu.
Mengiris wortel. Pergi ke dokter. Menelepon teman-teman. Berdoa di dalam
kegelapan. Doa syukur atas kehidupan yang nyaris sempurna. Kehidupan yang
selama ini ia idam-idamkan. Kala itu, waktu adalah pelengkap, sebuah sarana.
Mempermudah kegiatannya sehari-hari. Menuntunnya menjadi roda
kebahagiaan keluarga. Mengingatkan kapan saatnya menabur bunga di makam
orang tua, kakek, nenek dan leluhur. Membeli hadiah Natal, ulang tahun dan
hari kasih sayang. Mengirim pesan sms kepada si pencari nafkah supaya tidak
terlambat makan. Memperkirakan lauk apa yang lebih mudah dimasak supaya
tidak terlambat menjemput anak di tempat les. Bercinta berdasarkan sistem
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
kalender, kapan sperma baik untuk dimasukkan dan kapan lebih baik
dikeluarkan di luar. Waktu bukanlah sesuatu yang patut diresahkan. Karena
waktu yang berjalan, hanyalah roda yang berputar tiga ribu enam ratus detik
kali dua puluh empat jam. Gerakan mekanis rutinitas kehidupan.
Menggelinding di atas jalan bebas hambatan. Sementara banyak yang sudah
terlupakan. Suara mesin tik membahana dalam kamar yang lengang. Riuh
rendah suara karyawan di kafetaria gedung perkantoran. Ngeceng di Plaza
Senayan. Mengeluh bersama sahabat tentang cinta yang bertepuk sebelah
tangan. Menampar pipi laki-laki kurang ajar di diskotek. Menghapus air mata
yang menitik. Melamun. Membaca stensilan. Makan nasi goreng kambing ramai-
ramai dalam mobil di pinggir jalan. Masak Indomie rebus rasa kari ayam.
Menatap matahari terbenam. Nonton Formula One atau Piala Dunia di Sports
Bar. Menatap mata kekasih dengan berbinar-binar. Bersentuhan tangan ketika
memasangkan celemek di paha kekasih dengan tangan bergetar. Menanti dering
telepon dengan hati berdebar. Memilih kartu ucapan rindu yang tidak terlalu
norak tanpa lebih dulu menunggu hari besar datang dengan dada berdebar.
Memilih baju terbaik setiap ada janji dengan pacar dengan jantung berdebar.
Menanti pujian dengan rasa berdebar. Bercinta dengan rasa, jantung, dada, hati,
tangan, kaki, payudara, vagina, leher, punggung, ketiak, mata, hidung, mulut,
pipi, raga, berdebar. Yang terlupakan adalah waktu yang mengalir dalam lautan
debar, samudera getar, cakrawala harapan. ***MUNGKIN Nayla tidak
bermaksud dengan sengaja melupakan, ia hanya tidak sadar. Ia hanya pingsan
keletihan dan belum jua siuman. Ia hanya terhipnotis bandul jam yang bergerak
kiri kanan dan berdetak dalam keteraturan. Membuat raganya beku. Lidahnya
kelu. Hatinya membatu. Imajinasinya buntu. Kadang dalam tidur imajinasinya
memberontak terbang. Mengepakkan sayap bersama dengan burung-burung dan
kupu-kupu. Mengendarai ikan paus di samudera lepas. Bungy jumping. Arung
jeram. Baca komik Petualangan Tintin. Minum teh di atas awan sambil diskusi
tentang cerpen Anton Chekov dengan almarhum ayah dan bertanya mana yang
lebih mahal antara berlian dengan Fancy Diamond kepada almarhumah ibu.
Menjadi Arnold Schwarzeneger dan menggagalkan aksi teroris yang hendak
menabrakkan pesawat ke gedung World Trade Center. Menelan biji durian.
Makan rambutan. Nonton Cirque du Soleil. Nonton N'SYNC dan dipanggil ke
atas panggung untuk diberi kecupan oleh Justin Timberlake. Bertinju dengan
Moehammad Ali. Mengalahkan Michael Jordan. Merebut suami Victoria
Beckham. Mengedit karya Gabrielle Garcia Marques. Minum sirup markisa.
Baca puisi bareng Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri. Diculik UFO.
Punya toko buku kecil di Taman Ismail Marzuki. Melaju kencang ke pusat
getaran yang mendebarkan. Tapi mimpi juga terbatas waktu. Debaran itu
mendadak buyar ketika terdengar suara ketukan pembantu di pintu luar kamar.
Suara kokok ayam jantan. Kicau burung. Kemilau sinar matahari menerobos
jendela. Dan suara alarm jam ketika jarum panjangnya menunjuk angka dua
belas dan jarum pendeknya menunjuk angka enam. Suara alarm itu, adalah
suara yang sama dengan suara dokter yang menyampaikan bahwa sudah
terdeteksi sejenis kanker ganas pada ovariumnya. Suara alarm itu, adalah suara
yang sama dengan suara dokter yang memvonis umur Nayla hanya akan
bertahan maksimal satu tahun ke depan. Suara alarm itu, adalah suara yang
sama dengan suara dokter yang mengatakan bahwa sudah tidak ada harapan
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
untuk sembuh. Suara alarm itu, adalah suara yang menyadarkannya kembali
dari pengaruh hipnotis bandul waktu masa lalu, masa kini dan masa depan.
***MANUSIA sudah menerima hukuman mati tanpa pernah tahu kapan
hukuman ini akan dilaksanakan. Karena itu Nayla tidak tahu mana yang lebih
layak, merasa terancam atau bersyukur. Di satu sisi ia sudah tidak perlu lagi
bertanya-tanya kapan eksekusi akan dilaksanakan. Tapi apakah setahun yang
dokter maksudkan adalah 12 bulan, 52 minggu dan 365 hari dari sekarang?
Bagaimana kalau satu tahun dimulai dari ketika kanker itu baru tumbuh. Atau
satu minggu sebelum Nayla datang ke dokter. Atau mungkin benar-benar pada
detik ketika dokter itu mengatakan satu tahun. Lalu berapa lamakah waktu
sudah terbuang? Dari manakah Nayla harus mulai berhitung? Mata Nayla
berkunang-kunang. Perutnya mulai terasa sakit seiring dengan bunyi dari
segala bunyi jam, berdetak keras memekakkan telinganya. Satu, sepuluh,
seratus, seribu, sepuluh ribu, seratus ribu, sejuta detik mengejar dan
mengepung pendengarannya ke mana pun Nayla melangkah. Memaksa mata
Nayla menyaksikan lalu lalang kaki-kaki bergegas, suara klakson dari
pengendara yang tak sabaran, lonceng tanda masuk sekolah, jutaan tangan
karyawan memasukkan kartu ke dalam mesin absen, aksi dorong mendorong
masuk ke dalam bus, tubuh-tubuh meringkuk di atas atap kereta api, semua
orang tidak mau ketinggalan. Semua orang harus tepat waktu sampai di tujuan.
Semua orang tidak lagi punya kesempatan, untuk sekadar berhenti memandang
embun sebelum menitik ke tanah. Matahari yang bersinar tidak terlalu cerah.
Awan berbentuk mutiara, semar atau gajah. Kelopak bunga mulai merekah.
Kaki anjing pincang sebelah. Semut terinjak-injak hingga lebur dengan tanah.
Padi menguning di sawah. Burung bercinta di atas rumah. Semua orang
melangkah bagai tidak menjejak tanah. Sejak saat itu, alarm Nayla tidak
pernah berhenti berbunyi. ***NAYLA ingin menunda waktu. Nayla ingin
mengulur siang hingga tidak kunjung tiba malam. Nayla ingin merampas bulan
supaya matahari selalu bersinar. Nayla ingin menghantamkan palu ke arah jam
hingga suara alarmnya bungkam. Nayla ingin menunda kematian. Tapi Nayla
selalu terlambat. Nayla selalu berada di pihak yang lemah dan kalah akan
rutinitas yang tak mau menyerah. Dan ia mulai merasa kewajibannya sebagai
beban. Ia mulai cemburu pada orang-orang yang masih dapat berjalan santai
sambil berpegangan tangan. Atau orang-orang yang berjemur di tepi kolam
renang sambil membaca koran. Ketika, ia tergesa-gesa menyiapkan air hangat,
sarapan dan seragam. Berdesakan di antara hiruk pikuk suara dan keringat
dalam pasar. Memastikan pendingin ruangan belum saatnya dibersihkan.
Membayar iuran telepon dan listrik bulanan. Memberi makan ikan. Memberi
peringatan berkali-kali pada pembantu yang tidak juga mengerjakan perintah
yang sudah diinstruksikan. Mengikuti senam seks dan kebugaran. Menjadi
pendengar yang baik bagi suami yang berkeluh-kesah tentang pekerjaan.
Memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan dalam sebulan.
Menyimpan kekecewaan ketika anak sudah tidak lagi mau mengikuti nasihat
yang seharusnya diindahkan. Dan masih saja ada yang kurang. Masih ada saja
yang tidak sempurna. Sarang laba-laba di atas plafon. Terlalu banyak
menggunakan jasa telepon. Buah dada yang mulai mengendur. Vagina yang
tidak lagi lentur. Terlalu letih hingga tidur mendengkur. Seragam sekolah yang
luntur. Kurang becus mengatur keuangan. Terlalu banyak pemborosan. Kurang
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
peka. Kurang perhatian. Kurang waktu.... Waktu... Waktu... Waktu...
Waktu...................? Bahkan Nayla merasa sudah tidak punya waktu untuk
sekadar memanjakan perasaan. Tidak nongkrong bersama teman-teman. Tidak
belanja perhiasan. Tidak pergi ke klab malam. Tidak dalam sehari membaca
buku lebih dari dua puluh halaman. Tidak lagi nonton film layar lebar di studio
twenty one. Tidak lagi mengerjakan segala sesuatu yang baginya dulu
merupakan kesenangan. Nayla mulai merasakan dadanya berdebar.
Semangatnya bergetar. Ia ingin menampar suaminya jika membela anaknya
yang kurang ajar. Ia ingin ngebut tanpa mengenakan sabuk pengaman. Ia ingin
bersendawa keras-keras di depan mertua dan ipar-ipar. Ia ingin berjemur di tepi
pantai dengan tubuh telanjang. Ia ingin mengatakan ia senang bercinta dengan
posisi dari belakang. Ia ingin mewarnai rambutnya bak Dennis Rodman. Ia ingin
berhenti minum jamu susut perut dan sari rapet. Ia ingin memelihara anjing,
kucing, babi, penguin, panda dan beruang masing-masing satu pasang. Ia ingin
makan soto betawi sekaligus dua mangkok besar. Ia ingin berhenti hanya makan
sayur dan buah-buahan waktu malam. ***APA yang sedang mengkhianati
dirinya hingga ia merasa sama sekali tidak bersalah atas debaran di dadanya
yang begitu memukau? Apa yang sedang memberi pengakuan sehingga ia
merasa begitu lama membuang-buang waktu? Apakah hidup diberikan supaya
manusia tidak punya pilihan selain berbuat baik? Dan mengapa pertanyaan ini
baru datang ketika sang algojo waktu sudah mengulurkan tangan? Mungkin
hidup adalah ibarat mobil berisikan satu tanki penuh bahan bakar. Ketika sang
pengendara sadar bahan bakarnya sudah mulai habis, ia baru mengambil
keputusan perlu tidaknya pendingin digunakan, untuk memperpanjang
perjalanan, untuk sampai ke tujuan yang diinginkan. Nayla memacu laju
mobilnya semakin kencang. Memburu kesempatan untuk bersimpuh memohon
pengampunan atas dosa-dosa yang Nayla sesali tidak sempat ia lakukan,
sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu,
dan dirinya berubah jadi abu...***
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
SAYA DI MATA SEBAGIAN ORANG
Cerpen: Djenar Maesa Ayu
Sumber: Kompas, Edisi 10/26/2003

SEBAGIAN orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya


pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap
saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!
PADAHAL saya tidak pernah merasa munafik. Tidak pernah merasa membual.
Tidak pernah merasa sok gagah. Tidak pernah merasa sakit jiwa. Tidak pernah
merasa murahan!
Dan apa yang saya rasa toh tidak membuat mereka berhenti berpikir kalau saya
munafik. Berhenti berpikir kalau saya pembual. Berhenti berpikir kalau saya
sok gagah. Berhenti berpikir kalau saya sakit jiwa. Berhenti berpikir kalau saya
murahan!
Sementara saya sudah berusaha mati-matian menjelaskan kalau saya tidak
munafik. Kalau saya tidak membual. Kalau saya tidak sok gagah. Kalau saya
tidak sakit jiwa. Kalau saya tidak murahan!
Tapi penjelasan saya malah semakin membuat mereka yakin kalau saya
munafik. Yakin kalau saya pembual. Yakin kalau saya sok gagah. Yakin kalau
saya sakit jiwa. Yakin kalau saya murahan!
Maka inilah saya, yang tidak munafik. Yang tidak membual. Yang tidak sok
gagah. Yang tidak sakit jiwa. Yang tidak murahan!
Walau sebagian orang tetap menganggap saya munafik. Menganggap saya
pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa.
Menganggap saya murahan!
SAYA katakan ke banyak orang kalau saya tidak punya pacar. Saya tidak punya
kemampuan untuk mencintai seseorang. Tapi bukan berarti saya tidak punya
teman. Saya punya banyak sekali teman. Ada teman yang setiap pagi
menyiapkan air hangat untuk mandi. Ada teman makan siang ketika rehat
kantor. Ada teman yang menjemput sepulang kantor. Ada teman yang
menemani nonton. Ada teman yang menemani clubbing. Mereka semua teman-
teman yang baik. Mereka semua teman-teman yang bisa diandalkan dalam
segala hal dan saya yakin saya pun cukup bisa diandalkan sebagai teman.
Bukankah sudah sepatutnya begitu dalam hubungan pertemanan? Buktinya
tidak jarang sebenarnya saya malas makan siang. Tapi karena teman mengajak,
saya merasa tidak enak untuk menolak. Begitu juga halnya dengan nonton atau
clubbing. Pulang kantor saya sering kelelahan. Inginnya lekas pulang dan tidur.
Tapi jika ada teman yang mengajak nonton, rasanya saya tidak tega menolak
apalagi ia sudah khusus jauh- jauh menjemput ke kantor. Maka saya akan
mengiyakan walaupun belum tentu saya suka dengan film yang kami tonton.
Pada saat kami nonton, tidak jarang pula ponsel saya berdering. Andaikan tidak
saya angkat karena tidak sopan menerima telepon di dalam bioskop, tetap saja
mereka bisa meninggalkan pesan SMS. Biasanya minta ditemani ke disko atau
sekadar nongkrong di kafe. Sungguh, tidak selalu saya ingin menerima ajakan
mereka. Tapi bagi saya itulah konsekuensi pertemanan. Apalagi, sekali lagi,
mereka adalah teman-teman yang baik. Yang setia menyiapkan air hangat
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
untuk mandi setiap pagi. Yang setia menemani makan siang. Yang setia
menjemput pulang kantor. Yang setia menemani ke disko atau kafe. Yang setia
memberikan perhatian dan waktu kapan pun saya butuhkan, walaupun
mungkin mereka tidak selalu ingin mengiyakan, walaupun mungkin mereka
sedang kelelahan, sama seperti apa yang sering saya rasakan.
Kepada merekalah saya sering menumpahkan segenap perasaan. Kepada
merekalah saya meminta bantuan. Tidak hanya sebatas perhatian dan waktu,
tapi juga dari segi finansial. Kalau saya butuh uang, saya bilang. Kalau saya
mau ganti ponsel model terbaru, saya beri tahu. Kalau saya bosan mobil van dan
ingin ganti sedan, saya pesan. Padahal karena akan selalu ada yang menjemput
dan mengantar, mobil jarang sekali saya gunakan. Kalau saya dapat undangan
pesta dan perlu gaun malam lengkap dengan perhiasan, saya utarakan. Kenapa
harus sungkan? Toh saya tidak memaksa. Toh mereka ikhlas. Dan yang paling
penting adalah mereka memang mampu mengabulkan apa yang saya minta.
Saya tidak paksa mereka khusus menabung untuk saya apalagi sampai suruh
mereka merampok bank. Saya juga teman yang baik. Saya tidak mau mereka
susah hati karena tuntutan-tuntutan saya. Kalau sekali-sekali harus jebol
tabungan atau terpaksa mencairkan deposito bolehlah… yang penting dananya
memang ada. Itu pun bukan masalah yang harus saya besar-besarkan. Bukan
sesuatu yang layak untuk membuat saya terharu. Apalagi jatuh cinta?! Saya
harus garis bawahi bahwa saya tidak memaksa. Apalagi saya sangat tahu,
sangat sadar kalau jumlah dana yang dikeluarkan hanya sepersekian persen
dari keseluruhan harta mereka. Coba bayangkan, kurang pengertian apa saya
sebagai teman? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, tidak jarang
saya harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk mereka. Mungkin lebih
tepat jika saya menggunakan kata merelakan ketimbang mengorbankan.
Walaupun saya agak terganggu, tapi saya rela. Saya melakukannya karena saya
mau, bukan karena paksaan. Saya menikmati kebersamaan kami. Menikmati
tiap detail manis yang kami alami. Makan malam di bawah kucuran sinar
rembulan dan keredap lilin di atas meja. Percakapan yang mengasyikkan penuh
canda dan tawa. Sentuhan halus di rambut saya. Kecupan mesra di ke dua mata,
hidung, pipi, dan bibir yang berlanjut dengan ciuman panas membara lantas
berakhir dengan rapat tubuh kami yang basah berkeringat di atas tempat tidur
kamar hotel, di dalam mobil, di taman hotel, di toilet umum, di dalam elevator,
di atas meja kantor, atau di dalam kamar karaoke. Saat-saat yang begitu
melelahkan sekaligus menyenangkan. Saat-saat yang selalu membuat jantung
saya berdegup lebih kencang dari biasanya. Saat-saat yang selalu membuat
aliran darah saya menderas dan naik ke atas kepala. Saat-saat yang selalu
membuat saya pulas tertidur dan mendengkur. Saat-saat yang tidak pantas
untuk tidak membuat saya merasa bersyukur.
Namun dari sanalah segalanya berpangkal. Semua yang saya lakukan itu
dianggap tidak benar. Sebagian orang menganggap saya munafik karena tidak
pernah mengakui kalau saya punya pacar. Sebagian lagi menganggap saya
pembual setiap kali saya bilang hubungan kami hanya sebatas pertemanan.
Sebagian lagi menganggap saya sok gagah karena mereka berpikir saya tidak
mau mengakui kalau sebenarnya saya mencintai seseorang. Sebagian lagi
menganggap saya sakit jiwa karena berteman dengan begitu banyak orang.
Sebagian lagi menganggap saya murahan karena saya bisa ditiduri tanpa harus
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
ada komitmen percintaan bahkan bisa dalam satu hari dengan orang yang
berlainan. Perbuatan yang saya jalani dengan penuh kewajaran tiba-tiba
berubah menjadi perdebatan. Semua orang merasa lebih tahu dibanding diri
saya sendiri. Beberapa bagian dari mereka itu sibuk dengan pendapatnya
masing-masing dan lebih luar biasa lagi mereka bisa membahas perihal saya ini
berjam- jam, berhari-hari, berminggu- minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun,
sementara teman- teman saya semakin banyak, silih berganti tanpa henti dan
ini membuat mereka punya materi yang lebih dari cukup untuk terus
mempergunjingkan saya seolah tidak ada hal lain yang lebih pantas untuk
diangkat sebagai tema. Mereka bergunjing lewat telepon. Mereka saling
bertukar pesan lewat SMS. Mereka saling mengirim surat elektronik. Mereka
saling bertukar pendapat di kafe-kafe. Di rumah. Di kantor. Di pertokoan. Di
restoran. Apalagi jika secara kebetulan kami bertemu dalam satu kesempatan
dengan membawa teman baru. Pembicaraan mendadak berhenti. Mereka
sembunyi-sembunyi bertukar senyum. Mereka sembunyi- sembunyi bermain
mata. Mereka sembunyi-sembunyi mengirim pesan SMS. Mereka saling berbisik
dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diterjemahkan. Kadang ada satu dua
kalimat yang terdengar dan sudah cukup bagi saya untuk merangkumnya utuh
menjadi satu bagian. Kebanyakan berkisar pada seberapa indah dan seberapa
tebal kantong teman yang saya bawa. Pandangan mereka menyapu bersih kami
berdua dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti serigala kelaparan.
Menyeleksi mulai dari apakah ada pernak-pernik baru yang saya pakai, kantong
belanja, hingga jenis kartu kredit saat membayar bon tagihan makan. Jika
teman saya kelihatan indah, maka dikaitkannyalah dengan seberapa dahsyat
kehebatannya di atas ranjang. Jika teman saya kelihatan berkantong tebal,
maka dikaitkannyalah dengan seberapa besar saya menguras uang. Tapi jika ke
dua sisi itu tidak ada yang memenuhi standar pergunjingan, mulailah mereka
dengan teori cinta-cintaan. Dan karena saya tetap bilang kalau kami benar-
benar berteman, perdebatan pun dimulai dan mereka saling membuktikan
pendapat siapa yang paling benar. Sebagian orang menganggap saya munafik.
Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok
gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap
saya murahan!
SAYA tidak bisa mungkiri banyak dari teman-teman yang akhirnya
mempertanyakan. Banyak dari teman-teman yang tidak ingin berbagi dan pada
akhirnya hubungan kami harus terakhiri. Tapi tidak satu pun dari mereka yang
mendendam karena saya menjunjung tinggi keterbukaan. Saya tidak pernah
membohongi, saya tidak pernah akal-akalan. Sehingga jika dibilang hubungan
kami berakhir, sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Yang berubah hanyalah
kami sudah tidak saling melenguh dan mencabik di atas ranjang. Tapi kami
masih saling berbagi cerita walaupun jarang. Saling bertanya apakah sudah
punya pasangan tetap, menikah, atau masih melajang. Hal- hal seperti ini yang
sering tidak saya temukan pada sebagian orang yang menanggap saya munafik,
pembual, sok gagah, sakit jiwa, atau murahan itu. Sebagian dari mereka malah
sering saya dapati tidak lagi bertegur sapa sama sekali dengan teman lamanya.
Biasanya itu disebabkan karena hubungan mereka yang sembunyi-sembunyi
dengan si A ketahuan oleh si B. Setelah putus dengan si B ternyata ketahuan
pulalah si A berteman dengan perempuan lain. Alangkah sayangnya sebuah
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
hubungan yang menempuh berbagai aral rintangan itu akhirnya harus kandas
di tengah jalan. Tapi saya tetap menghargai sebuah pilihan. Saya hanya heran.
Tapi walaupun saya heran, saya tetap tidak berani menganggap mereka
munafik, pembual, sakit jiwa, sok gagah, atau murahan. Kadang saya juga
mengalami kesulitan dalam satu hubungan. Beberapa kali saya bertemu dengan
tubuh-tubuh indah yang membuat mata silau. Membuat darah saya berdesir dan
mengisyaratkan satu kenikmatan. Malam-malam panjang. Kontraksi dahsyat di
tengah selangkangan. Yang nyatanya berakhir dengan rasa mual. Ereksi yang
tidak lama kekal. Reaksi yang membuat waktu berjalan bagai tak berujung
pangkal. Dan saat itulah alarm dalam tubuh saya mengisyaratkan segala
rencana kencan lanjutan mutlak batal. Sebagian orang menamakan kejadian-
kejadian seperti itu sebagai cinta semalam. Sebagian orang merasa kejadian-
kejadian seperti itu bertentangan dengan moral. Sementara buat saya kejadian-
kejadian seperti itu hanyalah semata-mata proses pengenalan. Seleksi alam
yang akhirnya menjawab apakah kami akhirnya bisa tidak atau lanjut
berteman. Tapi tetap orang menganggap saya munafik. Menganggap saya
pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa.
Menganggap saya murahan!
MUNGKIN jika bukan karena penyakit yang datang tanpa bisa saya larang
tidak saya idap sekarang, saya hampir percaya pada pendapat sebagian orang
yang tiap bagiannya menyatu menjadi satu pendapat utuh bahwa tindakan saya
menyimpang. Mungkin jika bukan karena saya tergeletak tak berdaya dan
diperlakukan bagai anjing kusta saya hampir beralih dari apa yang selama ini
saya percayai dan nikmati dengan hati lapang. Karena, ketika saya positif
mengidap HIV ternyata saya masih punya banyak teman yang setia menyiapkan
air hangat untuk bilas badan. Mengirim makan siang. Menemani makan malam.
Mendongeng tentang sebuah peristiwa lucu di satu kafe. Bercerita tentang film
yang baru saja diputar, membayar ongkos perawatan, ketika sebagian orang
sibuk bergunjing atas akibat yang saya terima karena saya munafik. Pembual.
Sok gagah. Sakit jiwa. Murahan!
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
KEKASIH BATU
Cerpen: Husnul Kuluqi
Sumber: Pikiran Rakyat, Edisi 12/02/2006

AKU akan ceritakan padamu tentang seorang lelaki yang sering kujumpa di
taman. Ia bernama Zillo, datang dari kawasan industri. Di setiap Sabtu sore
dengan seragam kerja yang masih melekat di tubuh ia akan ada di sana,
memandangi patung gadis yang ada di tengah kolam. Patung itu dalam posisi
berdiri, kepalanya memandang datar ke depan, wajahnya tampak murung dan
tatapan matanya kosong. Itu adalah patung terindah yang pernah dilihatnya.
Senja mulai menepi. Malam perlahan turun menyelimuti bumi. Lampu-lampu
hias sepanjang taman telah pula dinyalakan. Beberapa pasang muda-mudi
mulai berdatangan. Mereka biasa menghabiskan malam minggu di taman. Ada
yang duduk-duduk di bangku kayu, ada yang duduk tepat di tepi kolam, ada
pula yang duduk bergerombol di bawah batang-batang palma yang menjulang.
Lelaki itu duduk di salah satu bangku kayu. Ia tak peduli dengan bau keringat
dari tubuhnya. Ia terus memandang ke arah patung batu yang berdiri sendiri
dipagut sunyi waktu.
"Malam yang indah," lelaki itu bergumam sendiri.
Ini Sabtu ke empat ratus delapan puluh lelaki itu berada di taman. Ia melirik ke
arah patung batu yang diam-diam dicintainya. Memandang patung itu, ia
menemukan sepercik kedamaian dan ketenangan di hatinya yang kerontang.
Itulah sebabnya ia senang berlama-lama memandang patung batu itu. Ia seperti
menemukan hiburan yang menyenangkan setelah seharian berada di pabrik,
menggulung berpuluh-puluh benang dalam ukuran besar dengan ruang panas
yang membuat keringat tak berhenti mengucur membasahi baju. Patung itu
seakan memberikan kesegaran tersendiri setelah badan dan jiwanya terkurung
tembok-tembok penuh kebisingan.
Malam semakin larut. Lelaki itu sendirian di taman, duduk di bangku kayu. Ia
membungkuk. Dipungutnya sebutir kerikil yang tergeletak di dekat sepatu
kirinya, lalu dilempar ke kolam tepat di depan patung gadis itu. Kerikil itu
melesak ke dasar kolam menyisakan bunyi plung yang sangat jelas di tengah
keheningan malam. Meninggalkan lingkaran-lingkaran di permukaan air yang
kemudian melebar dan lenyap.
"Aku mencintaimu," ia berbisik lirih di antara hamparan rumput hijau yang
berselimut bening embun dan desir angin yang menggoyang ranting-ranting
bougenvile yang banyak tumbuh di taman. Semesta hening. Bintang-bintang
menunduk.
Bulan di langit masih cemerlang cahayanya. Ia mengingatkan pada banyak
mimpi-mimpinya yang selalu datang sejak masa remajanya. Lelaki itu menarik
nafas berat. Mimpi-mimpi itu mulai datang sejak ia menemukan sehelai sapu
tangan di pantai saat plesir bersama teman-teman sekolahnya. Sejak itulah
seorang perempuan dengan rambut ikal tergerai tersenyum dan melambaikan
tangan ke arahnya. Mimpi itu terus diingatnya hingga bertahun-tahun sampai
akhirnya nasib menggariskannya sebagai buruh pabrik. Di rumah petaknya
yang sempit, wajah perempuan itu tetap menyambanginya dalam mimpi.
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Bahkan dengan senyum yang semakin indah, dengan wajah yang semakin
sumringah.
"Akh, engkaulah perempuan itu. Wajahmu adalah wajah perempuan yang selalu
hadir dalam mimpiku," lelaki itu membatin.
Malam semakin sunyi. Jalanan benar-benar telah sepi. Lelaki yang dikurung
kesunyian taman itu berjalan ke bibir kolam. Ia berdiri tepat di seberang patung
batu itu dan memandang lurus ke arahnya.
"Aku mencintaimu. Engkau cantik sekali," katanya lirih.
Malam bagai membeku. Angin seperti berhenti berdesir sejenak. Bulan bintang
menunduk bersaksi. Semesta diam. Tubuh patung batu itu seolah bergerak.
Wajahnya yang sedikit menunduk perlahan terangkat. Ia tak lagi terlihat
murung. Senyumnya mengembang. Kedua tangannya dijulurkan ke depan
seolah menyambut lelaki yang berdiri di tepi kolam. Seperti terkena sihir, lelaki
itu melangkah menuju perempuan batu, menyeberangi kolam, membiarkan baju
dan celananya basah. Lantas ia berdiri di depan perempuan batu itu sambil
menggenggam kedua tangannya yang dingin.
"Aku hanya batu," jawabnya pelan dan pilu.
"Apa bedanya dengan aku. Meski tubuhku masih seonggok daging, jiwaku sudah
lama mati. Aku tak punya hak lagi atas tubuhku. Aku bergerak ke sana kemari
tidak ubahnya seperti robot yang sudah diatur. Rutinitas telah merampas
badanku juga membatukan hatiku. Dan waktu telah mengajariku untuk jadi
kaum yang menurut pada setiap aturan atau kebijakan. Ya, peraturan dan
kebijakan yang terus menerus meminggirkan kami, memiskinkan kami,
memojokkan kami dan tak sekali pun menghargai tetes-tetes keringat kami,"
sergah lelaki itu. Ada ledakan kemarahan di matanya. Tapi seperti biasa,
kemarahan itu diredamnya di dasar hati.
"Karena itu kau selalu datang kemari untuk menghibur diri?" tanya perempuan
itu dengan paras yang tampak kian cantik di bawah pendar cahaya bulan yang
gemetar. Ada percik keriangan yang perlahan muncul di bola matanya.
Keriangan yang bertahun-tahun menghilang dari hatinya sejak tubuhnya
mengeras jadi sebongkah batu.
"Ya. Juga untuk menemanimu," jawab si lelaki dengan jujur.
Nada suaranya terdengar lebih tenang dan dengus nafas lebih teratur, pertanda
kelelahan yang menyiksa selama jam-jam kerja sudah sirna.
"Begitu setianya engkau padaku," bisik perempuan itu. Ada keharuan yang
merambat di sulur-sulur hatinya. Matanya berkaca-kaca.
"Apa salah? Sedang engkau kekasihku. Perempuan yang tak pernah berhenti
menanam benih-benih kerinduan. Kekasih yang selalu datang dalam mimpi.
Engkau cintaku. Kekasih yang tumbuh dan hidup di segenap ingatanku," sahut
si lelaki dengan suara yang mengalun di antara desir angin malam yang
tertahan ranting-ranting kembang.
Perempuan itu menunduk. Dua titik air bening yang serupa kristal di sudut
matanya pecah menjadi anak sungai kecil yang mengalir di mulus lekuk pipinya.
Lelaki itu mencium sisa aroma kehidupan yang menguar ke udara dari mata
yang kini basah. Kehidupan yang begitu getir. Perempuan itu menerawang,
menatap kosong ke langit malam. Ada kabut kembali berlayar di matanya.
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Kabut hitam yang telah membunuh sempurna hari-harinya. Di sana ada
kesedihan panjang. Dan selalu perempuan itu hanya bisa memandang
kelengangan air kolam.
"Aku akan tetap mencintaimu. Aku akan tetap menemanimu. Siapa pun kamu,"
hibur si lelaki. Malam tambah sunyi. Seekor kodok meloncat ke kolam membuat
bayangan bulan yang sedang bercermin berantakan oleh gelombang kecil.
"Demi bintang-bintang yang menari di malam sunyi. Demi bulan yang
menggantung di langit biru. Demi angin malam yang membelai daun-daun.
Berhentilah engkau mencintaiku. Karena aku hanya manusia malang.
Perempuan yang tak lagi memiliki keluarga. Berhentilah engkau bermimpi
tentang aku. Karena aku hanya dongeng masa lalu, perempuan yang telah
dikutuk jadi batu," ucap perempuan itu dengan suara parau. Air matanya
mengalir berkilat. Kesedihan yang telah sekian lama terkubur kini muncul lagi
mencabik-cabik dadanya. Kenangan buruk yang sekian lama dipendam kini
menari-nari di matanya yang basah dan lelah. Wajah ayah bundanya, juga
kakek-neneknya berganti-ganti datang seperti menyodorkan lakon sedih yang
nyaris tiada habisnya.
Lelaki itu dengan sabar mendengarkan cerita si perempuan malang. Hatinya
trenyuh. Dalam hatinya muncul rasa iba dan kasihan. Direngkuhnya kepala si
perempuan lantas disandarkannya di dadanya yang bidang dan dibelainya
rambutnya penuh kasih seperti ia membelai rambut Rus keponakan kecilnya.
"Siapa yang mengutukmu menjadi batu?" tanya si lelaki ingin tahu.
"Bram. Dia lelaki terkaya di kota ini. Memiliki puluhan hotel dan tempat-tempat
peristirahatan mewah yang tersebar di sepanjang pulau ini. Ia juga memiliki 999
arca yang menghiasi tempat-tempat peristirahatan itu," jawab si perempuan
dengan isak tangis yang tersisa.
"Ia lelaki kaya. Dengan kekayaan itu engkau bisa hidup mewah, berkecukupan
dalam sandang maupun pangan. Engkau bisa pergi ke mana saja mencari
hiburan jika sedang jenuh di rumah. Kenapa engkau menolak?" si lelaki kembali
bertanya.
"Aku tidak mencintainya dan tidak pernah bisa mencintainya," jawab si
perempuan. Ada dendam tersimpan di antara getar suaranya. Dendam yang
berurat berakar dalam hati dan tubuh yang telah lama membatu.
Lelaki itu terdiam sejenak. Malam bagaikan mati. Semesta terasa pulas dalam
belaian udara malam yang dingin. Taman sudah lama sepi, bangku-bangku kayu
yang berjajar di antara rumpun-rumpun kembang sudah lama kosong dan sunyi.
Bayang-bayang pohonan sepanjang pembatas taman serupa barisan hantu
malam yang menyeramkan.
"Kenapa engkau tidak bisa mencintai lelaki kaya itu?" si lelaki bertanya di
antara tatapan sendu lampu taman.
"Karena ia telah menghancurkan keluargaku. Dengan caranya yang licik dia
membangkrutkan usaha orang tuaku. Dia membuat keluargaku jatuh miskin.
Lalu dengan wajah malaikat dia datang pada orang tuaku, menawarkan
bermacam pinjaman. Dia sengaja melilitkan utang di leher orang tuaku. Dia
mengira orang tuaku akan menggadaikan tubuhku untuk melunasi utang yang
kian membengkak. Tapi orang tuaku tidak melakukan itu. Ayah memilih
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
menggadaikan semua yang dimiliki: rumah, sawah, dan kebun kami. Dia marah
sekali karena usahanya mendapatkan tubuhku tak berhasil. Setahun kemudian
ayah meninggal. Mayatnya ditemukan di sebuah gudang tua dengan tubuh
penuh luka. Pada tahun berikutnya ibu menyusul mati bunuh diri dengan cara
menenggak racun serangga setelah diperkosa kaki-tangan bajingan itu," papar si
perempuan dengan penuh kebencian.
Lelaki itu kembali terdiam, ada perih yang tiba-tiba menyesaki rongga dadanya.
Selembar daun kering melayang di udara dan jatuh di bawah kaki bangku kayu,
mengabarkan akhir dari sebuah kisah perjalanannya. Ah, hidup. Di manakah
tangan kasihmu ketika anak-anakmu direnggut kebahagiaannya dan nasib
memburunya dengan sebilah pisau keperihan yang terus menerus dihunjamkan
di detak jantungnya? Lelaki itu menarik nafas berat dan mengembuskannya
pada kesiur angin malam yang kian tajam.
"Ke mana kau pergi setelah kedua orang tuamu meninggal?" lelaki itu bertanya
dengan hati-hati.
"Aku bersembunyi di rumah nenek di tepi pantai di sebuah pulau. Di sana
kujalani hari-hari baruku sebagai yatim-piatu. Aku mencoba untuk tetap
tersenyum menjalani getirnya hidup. Tapi ketika kerinduan pada ayah-bunda
merongrong dada, aku merasakan kesepian yang tiada tara. Kesepian yang terus
datang selaksa ombak menerjang karang sunyi di pantai. Kakek dan nenek
berusaha menghiburku. Kakek sering mengajakku ke pantai di senja hari,
menyaksikan matahari merah perlahan tenggelam ke dalam laut. Sementara
nenek membuatkan aku saputangan warna biru dengan gambar hati di salah
satu sudutnya. Suatu hari saputangan itu hilang waktu aku jalan-jalan dengan
kakek. Aku sedih sekali karena saputangan itu tanda cinta kasih nenek
untukku, satu-satunya cucu perempuan. Nenek menghiburku dengan
mengatakan, kelak siapa pun yang menemukan saputangan itu, dialah jodohku.
Lelaki yang cinta dan ketulusannya tak perlu diragukan seperti matahari yang
selalu datang pagi hari untuk menghangatkan kehidupan di bumi. Aku pun
terus menunggu lelaki itu," jawab si perempuan. Ada sedikit percik harapan di
redup sinar matanya.
"Bagaimana dengan nasib kakek dan nenekmu selanjutnya?" lelaki itu kembali
bertanya kepada si perempuan batu. Ia begitu penasaran akan cerita perempuan
itu.
"Nenek meninggal ketika rumahnya terbakar. Itu bukan kebakaran biasa.
Beberapa warga melihat beberapa orang berwajah sangar sengaja
membakarnya. Sedang kakek dibunuh manakala berusaha menyelamatkanku.
Aku keluar pulau. Hari itu aku benar-benar merasa sebatang kara. Aku
kehilangan orang-orang tercinta. Demi darah yang telah ditumpahkan ke hitam
tanah aku tak akan menyerahkan tubuhku pada lelaki itu. Dan aku bersumpah,
demi ibu yang melahirkanku, demi ayah yang membesarkanku, demi kakek
nenek yang mengasihiku dan demi hari-hariku yang telah disihir jadi kelabu
aku memilih menjadi batu dari pada menjadi seonggok daging pemuas nafsu.
Lelaki itu marah sekali mendengar sumpahku. Dan ia mengutukku menjadi
patung ke seribu. Patung yang akan dijadikan lambang kemegahan hidupnya.
Atas sumpahku dan atas kutuknya, aku pun menjadi patung batu. Patung yang
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
hanya mampu melihat bayangan matahari dan bulan di atas kolam," tutur si
perempuan bercampur antara kemarahan dan kesedihan.
"Lalu lelaki kaya itu memboyong tubuh batumu, menjadikanmu penghias di
taman ini?" tanya si lelaki seraya menebak rangkaian jalan ceritanya.
"Ya. Bahkan ia sengaja menaruhku di alam terbuka agar aku tersiksa
kepanasan saat hari siang terik dan membeku kedinginan saat hujan deras
mengguyur tubuhku. Dan ini lebih baik buatku daripada harus hidup dengan
lelaki yang tidak kucintai," jawabnya pasrah. Tak ada lagi nada pemberontakan
ataupun kemarahan dalam suaranya. Lelaki itu membelai rambut si perempuan.
Kisah perempuan itu telah menyeretnya memasuki sebuah lorong yang penuh
liku-liku.
"Sekarang kau tak akan sendiri lagi. Aku akan menemanimu selalu," bisik si
lelaki di telinga perempuan batu. Ia merogoh saku celana, mengeluarkan
saputangan yang sudah lama disimpan. Lalu diusapnya pipi perempuan itu
dengan saputangan yang masih basah itu.
"Ini milikmu?" tanya si lelaki sambil memperlihatkan saputangan itu.
Perempuan batu memandang seksama saputangan itu. Warnanya mulai tampak
pudar, tapi gambar hati masih tampak jelas di salah satu sudutnya. Ia tak
percaya. Ditatapnya mata lelaki yang sejuk serupa embun.
"Engkau selalu menjaganya?" perempuan itu balik bertanya.
"Begitulah. Aku juga membawanya kemana pun pergi," si lelaki menjawab polos.
Perempuan itu memeluk si lelaki. Ada perasaan damai yang belum pernah
dirasakan sebelumnya, menyelinap di rongga dadanya.
"Percayalah, aku akan selalu menemanimu. Sampai kapan pun," lanjut si lelaki.
Ia berharap perempuan yang kini berada dalam pelukannya itu tidak
menyangsikan ketulusan cintanya.
"Tapi aku hanya batu," kata si perempuan seperti tersadar akan keberadaan
dirinya.
Lelaki itu semakin erat memeluk tubuhnya. Ia berharap perempuan batu itu
mendengar gemuruh di dadanya.
"Atas nama rindu yang kutanam di setiap denyut nafasku, aku tidak akan
pernah meninggalkanmu," si lelaki bersumpah dengan sungguh-sungguh.
Sepasang cahaya bintang di langit selatan memancar lebih terang. Ribuan
kunang-kunang muncul dari balik daun-daun yang menunduk mendengar
sumpah si lelaki. Lantas beterbangan di sekeliling mereka.
"Lihat, kunang-kunang pun ikut merayakan pertemuan kita," seru si lelaki
seperti mau bersorak.
Perempuan batu melepas pelukannya. Dengan tangan saling berpegangan,
keduanya terus memandang takjub kunang-kunang yang menari dengan
senyum mengembang.
Tiba-tiba, tubuh si lelaki perlahan mengeras. Meregang kaku menjadi batu. Tak
ada penyesalan di wajahnya. Senyum di bibirnya mengabarkan itu. **
"MAMA, lihat! Patung itu sekarang ada dua," teriak seorang bocah perempuan
pada mamanya. Orang-orang yang sedang berjalan-jalan di Minggu pagi pun
berhamburan ke tepi kolam. Mereka terkejut mendapati patung laki-laki yang
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
tiba-tiba ada di sebelah patung perempuan. Dari manakah ia?” Gumam mereka
terheran-heran.
"Sepasang patung yang indah," desis seorang perempuan muda tak habis
mengerti.
Di bangku kayu seorang lelaki paruh baya menemukan sebuah tas ransel berisi
botol air mineral kosong, pisau, gunting, masker, dan kartu pengenal. Sementara
petugas kebersihan taman menemukan selembar saputangan biru bergambar
hati mengapung di air kolam. Aku mengenali barang-barang itu sebagai milik
lelaki yang sering terlihat duduk sendiri di tepi kolam.
Dan ketika aku menulis bagian akhir cerita ini, aku merasa akulah patung lelaki
itu yang berbahagia bersanding dengan kekasih tercinta.***
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
SEORANG PEREMPUAN DAN POHONNYA
Cerpen: Oka Rusmini
Sumber: Media Indonesia, Edisi 10/10/2004

INILAH mungkin wujud sesungguhnya dari sebuah kesialan itu. Ketika Pandora
membuka peti, seluruh kutukan yang paling mengerikan berlompatan,
bergulingan, lalu melekat erat-erat di tubuh perempuan. Seperti uap, kadang
baunya menyengat dan memusingkan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Bahkan membuat mual si pemilik tubuh.
Kutukan itu menempel erat, tak ada sepotong makhluk pun bisa mengupasnya.
Semua itu harus dijalani seorang perempuan. Dengan tubuhnya yang indah dan
bertaburan aroma sering mengundang keringat lelaki meleleh.
Perempuan harus punya cinta , harus jatuh cinta, dan harus mahir bercinta!
Konon, tanpa rasa cinta seluruh makhluk di bumi ini tidak ada. Katanya cinta
juga bisa membuat pralaya, grubug, kiamat!
Apakah pohon tumbuh juga karena cinta? Aku tumbuh karena cinta? Cinta dari
siapa? Apakah aku memiliki orang-orang yang mencintai aku? Atau, punyakah
aku cinta? Bolehkah kita hidup tanpa cinta? Bisakah kita tumbuh tanpa cinta?
Besarkah kita? Hidupkah?
Lalu kenapa harus ada perceraian, perpisahan? Di mana cinta bersembunyi saat
itu? Apa itu bagian dari cinta dengan wujudnya yang berbeda?

Aku tidak percaya cinta itu ada. Sejak adikku berkata:


"Kita ini anak siapa? Kenapa orang yang mengaku orang tua kita sibuk dengan
anak-anak mereka. Lalu pada siapa kita harus mengadu? Bermanja-manja.
Minta tolong. Kita ini anak siapa? Apakah kelahiran kita diinginkan? Kenapa
sejak kecil kita harus mencoba mengerti tentang mereka? Kapan mereka mau
mendengarkan kita, memperlakukan kita sama seperti anak-anak baru mereka?
Berpikir tentang kita? Khawatir sesuatu yang membahayakan mengancam kita?
Punyakah mereka cinta, harapan, dan cerita ketika membuat kita?"
Aku tidak bisa menjawabnya. Pemikiran itu justru tidak pernah ada di otakku
sampai adikku berkata seperti itu. Iya, punyakah manusia-manusia yang
membuat kami ada sepotong cinta? Mungkin secuil. Sampai buntu otakku, tidak
ada jawabannya.
Tapi aku senang dengan pertanyaan adikku itu. Aku mulai mencari hakikat
cinta yang membuat aku ada. Melalui sebuah pohon beringin besar yang tumbuh
di kuburan.
Dia begitu ramah. Kukuh dan kuat. Setiap memandangnya kutemukan figur
bapak. Sulur-sulur yang memenuhi tubuhnya sering kulihat seperti tangan
lelaki yang ingin mendekapku. Kadang keteduhan daunnya yang hijau dan
beraroma cinta seperti potret seorang ibu yang menimang anaknya. Menciumi
tubuhnya yang lembab. Kutemukan kedamaian dan kasih sayang. Kutemukan
wajah bapak dan ibuku yang hilang.
Aku mengagumi pohon beringin besar yang tumbuh dekat Pura Dalem di
tikungan gang. Aku sering lewat di jalan itu menuju kantor. Kulewati jalan itu
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
hampir lima tahunan. Tapi aku tidak pernah melihat pohon itu, sampai sebuah
peristiwa menimpaku.
Aku hampir ditabrak dokar. Pohon itulah yang menolongku sehingga aku tidak
masuk lubang besar. Tangannya yang kukuh merangkul tubuhku yang kurus.
Aku pun berayun tidak jadi masuk got. Kami tertawa dan melempar senyum.
Aku selalu mengagumi pohon itu. Terlihat kekar, dengan urat-urat keras dan
kaku. Bagiku, dia satu-satunya makhluk hidup yang paling menggairahkan
dibanding makhluk hidup yang lain. Dia sangat seksi mengalahkan ratusan
lelaki yang pernah kukenal dalam hidupku.
Kau tahu pohon beringin?

Kuceritakan padamu tentang aku dulu, sebelum kau mengenal pohon


beringinku. (saat ini kehadiran dia seperti seorang kekasih bagiku. Diam-diam,
aku sering melumatnya di dalam otakku. Menggenggam bayangnya untuk
menidurkan tubuhku). Begini ceritanya, diamlah. Aku akan memulai cerita ini.
Aku seorang perempuan, tubuhku kurus. Tulang-tulangku terbuat dari lidi
enau, terlalu kecil untuk kriteria seksi. Tapi aku menyukai bentuk tulangku
yang kecil, terlihat lucu.
Rapi dan cantik. Mirip susunan gamelan. Tubuhku juga tidak gampang
menggelembung seperti balon. Sering juga aku terobsesi ingin gendut, kesannya
seksi memiliki tubuh sintal. Kuambil pompa kumasukkan ke mulutku, aku ingin
sekali melihat tubuhku gendut. Seperti apa tampangku kalau gendut? Seperti
drum minyak tanah? Atau seperti ibu-ibu gendut yang kerjanya menonton tv
sambil mengunyah camilan. Pipinya tumbuh seperti bakpao.
Jari-jariku tangkai bunga rumput. Rambutku buih ombak. Tubuhku belalang
hijau yang sering menggerogoti dan membunuh daun-daun muda. Otakku
ditumbuhi beratus jenis akar. Bukan urat kupikir, karena setiap akar dalam
otakku, selalu memiliki cerita sendiri, satu dengan yang lain berbeda. Kau pasti
tidak percaya. Kadang, akar-akar dalam otakku juga berbicara sendiri. Yang
sering membuatku jengkel, akar dalam otakku sering memiliki keinginan
sendiri. Sering sekali dia bertindak semaunya.
Sialnya, dia juga bisa memaksaku! Untuk melakukan suatu hal yang dia
inginkan. Kau bisa bayangkan akar-akar otakku? Dia itu makhluk paling egois,
yang selalu meremas setiap impianku, dan menggelindingkan mimpinya sendiri
untuk kuteguk. Main paksa!Pernah aku datang ke praktek dokter terkenal. Kata
orang-orang, dia adalah dokter terbaik di pulauku, tamatan sekolah terbaik di
Jerman. Orangnya lucu, tampangnya tidak menunjukkan dia seorang
intelektual (seperti teman-teman yang sering kutemui), dia terlihat seperti lelaki
minder, tapi aku yakin otaknya pasti ditumbuhi akar.
Ketika dia melihatku, aku merasa langsung sembuh. Matanya saja mampu
mengobati penyakitku. Aku tak bicara, dia langsung memegang kepalaku. Dia
benar-benar mengerti maksudku, aku direbahkan di kasur putih, sebuah alat
yang kupikir mangkuk, menyekap kepalaku. Sebuah sinar, mengupas tubuh dan
tulangku. Juga otakku rasanya seperti dikelupas. Sinar itu juga hampir
membunuh mataku. "Sudah. Anda bisa duduk kembali."Dia hanya manggut-
manggut, menulis sesuatu di kertas, lalu menyuruhku antre di apotek.
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Aku tak pernah menebus obat yang diberikannya, karena matanya mampu
membuatku lebih segar. Bagiku itu sudah cukup. Sejak bertemu dengan dokter
itu, aku merasa lebih fit. Aku punya teman yang mengerti bahwa kepalaku tidak
dipenuhi urat tapi akar!
***
Sekarang aku ada di jalan. Motorku tiba-tiba saja mati di sebuah tikungan yang
sangat tajam, aku merasa ada beratus-ratus mata menatapku. Aku mendengus.
Menantang tatapan mata itu. Gila! Mata itu berasal dari sebuah pohon beringin
besar, sangat besar! Daunnya membungkus batangnya. Kakiku, kakiku, kaku!
Benar-benar kaku. Aku mendekat, tubuh pohon beringin itu memiliki aroma
khas, daging manusia terbakar! Aku menarik napas, wanginya benar-benar luar
biasa, merasuk, dan melubangi pori-pori tulangku. Aku menyukai bau itu, begitu
khas, dan membuatku bergairah.
Sejak bertemu dengan pohon beringin itu, aku melupakan dokterku. Yang ada di
kepalaku hanya tubuh pohon itu, daunnya rimbun, dan hijau, dia tampak begitu
seksi dan menakjubkan. Akar-akarnya begitu liar ketika menyentuh tubuh
tanah. Aku sering bergidik, ketika mereka mulai bermesraan. Kadang beringin
besar itu meneteskan cairan yang berbau anyir. Aku senang memandang
kemesraan tanah, dan pohon beringin itu. Yang membuatku takjub lagi, tanah
itu mengandung bangkai manusia. Itulah pohon beringin itu, orang-orang sering
datang mengambil daunnya untuk upacara. Musik di tabuh, bunga di sebar.
Setiap orang-orang datang pohon beringin itu tersenyum, sambil merontokkan
beberapa daunnya. Dia senang mendengar gamelan, kadang matanya sering
nakal ketika melihat perempuan-perempuan cantik berkain dan berkebaya ketat
bersandar di tubuhnya.
Orang-orang yang memetik daunnya sering bercerita padaku, pohon beringin itu
sesungguhnya telah ada sejak raja Denpasar membangun Pura Dalem ini,
bahkan raja bisa berdialog dengannya. Pohon itu juga bisa menceritakan asal-
usul kerajaan Bali, bahkan dia juga konon bisa memberi tahu, perempuan
tercantik yang harus dijadikan istri oleh raja untuk menambah
kewibawaan,kekuasaan dan kejantanan. Masih kata orang-orang, pohon
beringin itu bisa membunuh orang-orang yang ingin menguji kesaktiannya.
Getahnya bisa membuat orang buta.

Ranting pohonnya bisa menjelma keris tajam yang siap menjatuhkan tubuhnya
di jantung manusia, menghisap darah dan menyedot energi hidup. Aku
menyukai pohon beringin itu. Sampai suatu hari, ketika aku menikah. Pohon itu
tiba-tiba saja muncul di atas tubuhku. Dia ingin menindih tubuhku. Bahkan dari
sorot matanya aku tahu dia ingin meremas dan membunuh lelakiku. Kulihat,
akar-akarnya mulai mendekati ubun-ubun lelakiku. Aku ingin berteriak,
membangunkan lelaki yang tertidur di sebelah kiriku. Lelakiku tetap diam,
bahkan membalikkan tubuhnya.
***
Pagi-pagi aku terbangun. Setumpuk cucian piring, sisa nasi, sisa sayuran, dan
sisa makanan kami. Tiga hari! Belum dicuci! Aku menutup mataku. Berjalan
menuju ruang tamu, kakiku menyentuh benda asing, begitu lengket dan bau
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
anyir. Itu muntahanku, memenuhi seluruh ruang tamuku. Bahkan kulihat kaki
kursi dan meja tamu mengambang. Kelihatan sekali mereka jijik. Aku meraba
kursi tamu, mereka merenggut tanganku. Lalu bersin, bau cat hampir saja
membuatku muntah. Bantal kursiku melompat dan menutup mulutku,
muntahanku kembali tertelan. Sekarang aku berbalik. Masih menutup mata.
Aku ingin berada di belakang. Aku mencium bau apek, bau yang luar biasa.
Pelan-pelan aku membuka mataku. Hyang Jagat! Setumpuk bajuku, dan baju
lelakiku! Seminggu, dua minggu, tiga minggu? Aku tidak tahu berapa ratus hari
baju-baju itu telah berada di tempat cucian.
Perutku yang membuncit terasa ingin meletus.
***
"Hal terbodoh yang dimiliki manusia adalah mencintai seseorang. Dan kau
adalah makhluk bodoh, tolol, goblok! Sialnya lagi kamu perempuan! Dan kamu
sedang menunjukkan pada dunia bahwa kau perempuan terhebat. Buktinya,
kamu bisa menumbuhkan sepotong dagingmu dan daging lelakimu di perutmu.
Kau bangga bisa membuat manusia? Sakitkah? Tidak nyamankah?"
Aku terdiam. Sambil tetap memejamkan mata berharap ada kekuatan gaib yang
membantuku membersihkan rumahku. Membantu mencuci piring, mencuci baju,
menyetrika, dan membersihkan sisa muntahanku yang tidak pernah di pel
lelakiku, tiga bulan usia makhluk di perutku. Seumur itu juga muntahan di
ruang tamu!

"Menjadi manusia itu sial! Coba kau putar otakmu. Ketika kau jatuh cinta,
seluruh tubuhmu kau biarkan terbuka, kau berharap semua lelaki bisa dengan
santai menghirup aroma keindahannya. Lalu, kau akan memberikan pada
seorang lelaki. Juga atas nama cinta! Kau akan melayaninya, bahkan ketika
lelaki itu meminta tubuhmu, kau dengan senang hati membuka kulitmu,
membiarkan lelakimu itu menyantap tubuhmu. Lalu apa yang terjadi? Ketika
lelakimu itu menyantap tubuhmu dengan sendok dan garpu. Membalikkan
tubuhmu seperti ikan panggang, menusuk, mengerat dagingmu, lalu
menelannya dengan rakus, sampai lelaki itu memekik. Apa yang kau dapat?
Tubuhmu ditumbuhi daging, daging yang memiliki akar-akar kuat, menguras
seluruh tubuhmu. Itukah hasilnya cinta? Untuk sepotong lelaki, kau korbankan
tubuhmu, dagingmu!"
Aku terdiam, sambil tetap memejamkan mataku. Ya, kurasakan tulang-
tulangmu sedikit menciut. Gumpalan daging dalam perutku seperti terus
mendesak, sering juga dia melompat-lompat, membuatku mual. Dan kembali
muntah. Seluruh makanan yang kumasukkan keluar, persis seperti yang
kutelan. Lalu mana makanan untuk tubuhku? Sementara tiap malam lelakiku
menyantap tubuhku lengkap dengan pisau, sendok, dan garpu. Kadang ditemani
white wine terbaik. "Menjadi perempuan itu menurutku sudah kutukan. Kau
tambah lagi dengan cinta. Memang kau sering katakan: Hidupku tidak akan
lengkap, menjadi perempuan itu harus bisa mencintai, dan cinta itu harus jatuh
ke sepotong lelaki, bukan makhluk lainnya, perempuan misalnya! Kau berteriak,
dan menyadarkan dirimu sendiri. Kadang aku berpikir kau sedang berkata dan
memaki dirimu sendiri. Tapi mencintai itu suatu keunikan. Kau pernah rasakan
rasa seperti ini: jam yang tiba-tiba begitu lambat. Hidangan lezat yang hambar,
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
atau kau tidak bisa tidur karena potongan lelaki itu muncul di seluruh ruangan
yang kau kunjungi. Bahkan ketika kamu memejamkan mata. Hasilnya apa?
Tubuhmu yang tambun. Rasa sakit yang terus mengerat daging di perutmu.
Mual yang tak ada habisnya, tulang di pinggangmu yang mau patah! Atau sudah
patah?"
Aku lelah. Tak ingin makan, tak ingin pulang. Dan, kupikir aku mulai merasa
tak memiliki siapa pun. Tidak juga daging yang mulai tumbuh dan membesar di
perutku. Kuseret tubuhku. Aku datang ke pohon beringin kesayanganku."Kau
datang lagi kan? Bahagia?"

Aku terdiam, menjatuhkan tubuhku yang mulai membesar. Meluruskan kakiku,


dan menyandarkan punggungku ke batang tubuh beringin itu.
***
Sebuah kelelahan yang dalam merusak seluruh akar-akar dalam otakku. Cucian
piring yang menumpuk, baju-baju kotor, sampah di dapur, muntahanku yang
memenuhi ruang tamu. Kamar tidur yang tidak pernah diganti seprainya.
Korden-korden yang diselubungi debu. Taman-taman yang mulai dirambah
alang-alang yang makin liar dan meninggi. Kaca-kaca jendela yang menghitam,
genteng bocor, kasur bau apek.
Aku merebahkan tubuhku yang makin membesar, ku cium harum rumput.
Ketika rasa lapar mengejarku. Daging dalam tubuhku makin menjadi-jadi,
kurasakan daging itu mulai menggigit perutku, menguras seluruh simpanan
lemak yang menggumpal di perutku.
Aku meringis, kutelan rontokan daun-daun beringin yang mulai membusuk, dan
hampir menyelimuti tubuhku. Perutku makin membesar, bahkan daging yang di
tanam oleh lelakiku makin menyusahkan.
Pelan-pelan aku mengangkat kakiku tinggi-tinggi. Aku mengambil pisau, ku
potong kakiku, kukerat dagingnya. Darah segar menetes dan aku mengisapnya
pelan-pelan.
Beratus-ratus tahun aku hidup dari sebuah kaki. Besoknya, kulihat sepotong
tubuh lelakiku diusung orang-orang, wajahnya pucat, kain putih mengikat
tubuhnya. Orang-orang melempar tubuhnya ke tanah. Aku bersembunyi di balik
tumbukan daun beringinku.
Ketika senja datang, akar pohon beringin menguras tanah tempat lelaki di
tanam. Seperti potongan kayu kering, lelakiku dihidangkan di depanku. Aku
menyerahkan sebuah kakiku, dan lelaki itu menatap mataku, kuhidangkan
potongan kakiku, dia mulai bergerak, dia mulai hidup dan bisa bernafas. Sebuah
kaki kuberikan untuk sepotong lelaki yang pernah dibenamkan tanah.
Senja turun, dan jatuh menimpa kepalaku. Buntalan perutku meletus, sepotong
daging meloncat dari tubuhku. Sepotong lelaki! Beringin itu mencengkeram
tubuhku dengan akar-akarnya yang menggantung, lalu membenamkannya ke
tanah. Aku berteriak. Mengamuk. Menyelamatkan potongan daging lelaki yang
muncrat dari perutku. Dengan sisa kekuatanku, kubunuh pohon beringin itu.
Kugigit tubuhnya, kumakan daun-daunnya sampai tak tersisa. Sampai orang-
orang tidak pernah lagi bisa melihat tubuh pohon itu lagi. Aku puas, sambil
menggendong potongan tubuh lelaki kecilku.***
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
SEPOTONG TUBUH
Cerpen: Oka Rusmini
Sumber: Bali Post, Edisi 07/21/2002

PEREMPUAN itu mengurai rambutnya yang panjang. Aroma bunga cempaka


berhamburan, berlompatan dan turun dari keping rambutnya yang mulai
rapuh."Aku ingin menari. Bisakah? Adakah tempat untukku menari? Aku masih
memiliki tubuh. Setiap lekuknya kupersembahkan untuk Tuhan!" Dia
menyanyikan kidung yang indah. Begini bunyinya. Alahu kumarem maremkan
santonyakaremDuremkem sermemiymbcde seremkybbbbBeremkem senem
geremdem bademrem Entah apa artinya, tetapi orang-orang kampung senang
mendengar suaranya yang indah. Dialah satu-satunya perawan suci di kampung
itu, tempat para perempuan mengadukan nasib mereka. "Kau jelmaan dewi,
tolong aku, lelakiku tak habis-habisnya mencangkuli tubuhku. Lihat!"
Perempuan dua puluh tahun itu membuka kebayanya, puting susunya hampir
lepas. Lehernya yang jenjang penuh gigitan. Punggungnya yang kurus dipenuhi
tulang-tulang yang menonjol, penuh keratan. Kau bisa menyaksikan sapu lidi,
potongan kayu, juga ada runcing pisau, dan paku. "Lelakiku berniat memakan
tubuhku, tolong aku!" Perempuan itu bersimpuh, mencium lantai tempat
perempuan setengah baya itu duduk. "Aku ingin menari? Kau ingin
melihatnya?""Aku tidak ingin melihat pementasan tari. Katakan padaku apa
yang harus kulakukan? Aku sudah tidak tahan. Lelaki itu terus memahat
tubuhku. Aku bukan kayu, dan tidak ingin jadi patung hidup!""Pernahkah kau
telanjang?""Apa maksudmu?""Aku bertanya padamu! Pernahkah kau
telanjang?!""Pertanyaan apa itu!""Aku hanya ingin jawabanmu. Kalau kau
minta tolong padaku, kau juga harus jujur menjawab pertanyaan yang kuajukan
padamu. Hanya perempuan tolol yang tidak mengerti bahasa!""Aku sedang
susah. Aku perlu bantuanmu. Aku capek mendengar pidato! Orang-orang di luar
sudah sering meracau. Apa kau juga ingin belajar pidato? Di jalan-jalan
kutemukan mulut-mulut terbuka. Ratusan suara muncul, tak mengubah apa
pun. Tolong, jangan beri aku kotbah!""Aku tidak sedang berkotbah. Aku hanya
ingin telanjang.""Untuk apa?""Untuk menutup mulut para lelaki yang
membuatku muak. Kau pikir aku tidak sumpek! Radio isinya kotbah, televisi
juga. Hotel-hotel dipenuhi orang-orang yang membuka mulut mereka lebar-
lebar. Kau pernah melihat para manusia itu memiliki mulut yang lebih besar
dari tubuh mereka, bahkan kulihat mulutnya memakan kepala." "Hyang Jagat!
Sungguhkah itu?!" "Iya. Aku melihat orang-orang di jalan berhimpitan, karena
jalan raya sudah dipenuhi oleh tumpukan kertas seminar, huruf-huruf yang
berlarian di trotoar. Aku sesak nafas!""Hyang jagat!""Makanya aku ingin
telanjang, mungkin aku bisa membersihkan bumiku ini dari tumpukan suara-
suara itu, aku akan menelannya.""Dengan telanjang?""Iya. Kau mau ikut?""Aku
seorang istri, aku akan berdosa bila mempertontonkan tubuhku di jalan! Apa
kata Tuhan?""Tuhan tak pernah bersuara.""Aku takut dosa.""Pernahkah kau
telanjang?""Kenapa kau bertanya seperti itu?""Aku ingin jawaban, pernahkah
kau telanjang di depan orang lain?""Ya!""Kau senang melakukannya?""Rasanya
tidak.""Untuk siapa?""Lelakiku.""Lelaki yang memahat tubuhmu
ini?""Ya.""Maukah kau telanjang untuk orang lain?""Lelakiku akan
membawakan parang, lalu menebas kepalaku. Aku akan mati, jangan suruh aku
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
melakukan itu. Di tubuhku, ada potongan daging yang baru tumbuh, usianya
baru dua bulan.""Kau harus ajak daging hidupmu itu telanjang.""Tetapi dia
masih potongan daging!""Itu yang bagus!""Besok, ketika matahari terbenam kau
boleh datang padaku. Kau bisa lihat tubuhku. Kau mau?""Melihat
tubuhmu?""Ya. Aku ingin menari telanjang.""Apa menariknya tubuhmu?""Kau
ingin menyaksikan tubuhku menelan sampah huruf-huruf yang ditebar orang-
orang di luar itu kan?""Kau akan telanjang? Bukankah kau perawan suci tempat
para perempuan mengadukan nasibnya?""Aku juga memiliki keinginan. Kau
perempuan tolol! Apakah tubuhmu hanya untuk lelakimu? Tidakkah kau ingin
bersedekah pada kosmis dan membiarkan kosmis juga menyaksikan aroma
tubuhmu?""Kupikir kau mulai gila!"Perempuan muda itu menggigil. Telanjang
di trotoar? Sambil menari? Bukankah itu ide gila!Hyang Jagat! Apakah
perempuan di negeri yang penuh carut marut ini juga mulai gila! Perempuan itu
berjalan ke luar. Benar saja, setiap dia berpapasan dengan mahluk, sepertinya
dia benar-benar kaget. Mereka tidak memiliki telinga. Wajah mereka datar,
mata mereka kosong. Tanpa malu-malu mereka telanjang, melepaskan seluruh
serat yang menempel di tubuh mereka. Perempuan muda itu mencium bau
bunga cempaka.Hyang Jagat! Tiba-tiba aja dia merasa ada yang mau
melepaskan pakaiannya secara paksa, dia berteriak! Dan terus berlari! ***
Perawan setengah baya itu mengusap rambut panjangnya. Membuka jendela
kamarnya lebar-lebar. Dia memejamkan mata sambil menghirup kuncup bunga
mawar yang mulai merekah persis di depan jendela. Harum bunga itu begitu
menggairahkannya. Dia merasa tubuhnya mulai berair. Helai-helai rambutnya
mengusap seluruh bagian tubuhnya. Perempuan itu memejamkan mata."Apakah
aku akan hamil?""Kau mau?""Ya, aku ingin hamil. Merasakan sebuah cairan
bisa memecahkan dagingku. Apakah ada cairan yang begitu hebat! Konon
tubuhku juga berasal dari cairan itu? Tetapi Karna tidak memerlukan cairan
untuk lahir. Bisakah aku melahirkan anak tanpa memecahkan tubuhku, seperti
Kunti melahirkan Karna?""Kau bukan Kunti!""Kami memiliki
kesamaan!""Apa?!""Kami sama-sama perempuan!"Suasana hening. Perempuan
itu memejamkan matanya, lalu mengusap tubuhnya dengan udara pagi yang
memiliki beratus-ratus tangan. Perempuan itu menggeliat, begitu banyak
tangan mengusap tubuhnya. Dia merasakan kehangatan yang dalam, dia
merasa dicintai dan dikasihi. Tiba-tiba saja dia ingat pada ibu! "Ibu, kaukah
itu?""Kenapa, kau takut?""Tanganmukah?""Kau tidak perlu tahu siapa aku.
Untuk apa? Kau suka sentuhanku?""Aku merindukan kau!""Jangan
cengeng!""Tidak bolehkah perempuan menangis?""Tidak! Aku juga tidak suka
mendengar suaramu yang merengek seperti itu. Tolol!""Di depanmu tidak
bolehkah aku menangis?""Tidak!""Tetapi aku ingin menangis!""Aku akan pergi!
Aku tak pernah mengajari kau kecengengan!"Perempuan itu terdiam. Ya, ibu
memang tidak pernah menangis, dia pernah menyaksikan aji membawa
perempuan muda, memasukkan ke rumah dan memeliharanya tiga hari. Ibu
tidak pernah menangis, beratus-ratus perempuan muda selalu datang dan pergi,
memandang ibu dengan penuh ejekan. Ibu tetap tanpa ekspresi, sibuk
majejahitan, atau mempersiapkan rangkaian sesaji untuk merajan. Kerja ibu
hanya berkutat dengan benda-benda itu. Kadang terpikir oleh perempuan itu,
apakah ibu memiliki kekasih para leluhur? Apakah ibu bercinta dengan mereka?
Ibu tidak pernah menunjukkan kelaparannya sebagai istri? Sorot mata ibu tetap
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
ingin. "Ibu, pernahkah ibu memiliki keinginan?""Tentu.""Apa?""Aku ingin kau
tidak cengeng. Hanya perempuan tolol yang selalu mengeluh dengan hidup.
Hidup itu harus diajak bertarung. Kau harus mampu bersabung dengannya.
Kalau kau menang, itulah nikmatnya menjadi perempuan!""Apa artinya
itu?""Cari sendiri, kelak hidup sendiri yang akan menuntunmu!"Ibu tidak
pernah berkata lembut. Suaranya tegas, bahkan cenderung kasar, padahal dia
seorang rabi, istri terhormat. Tetapi ibu memang tidak begitu peduli dengan
simbol-simbol kehormatan itu. Bagi ibu, bagaimana dia bisa tetap hidup dan
mendidik anak-anaknya!Mungkinkah ibu memiliki kekasih para dewa? Dewa
siapa yang mau menjadi kekasih ibu? Habis, ibu tidak pernah berhenti ke
merajan. Jangan-jangan ibu bercinta di balik tembok pelinggih, atau di atas
bunga kamboja, atau di bawah guguran bunga-bunga itu?"Aku ingin telanjang!"
Perempuan itu berteriak. Mengurai rambutnya, memandikan tubuhnya dengan
kembang. Lalu di bukanya jendela lebar-lebar, dia meloncat, menari, dan
berjalan di trotoar, sambil memunguti tumpukan huruf-huruf memasukkannya
ke mulut. Semakin terik matahari semakin banyak perempuan mengikuti
dirinya, mereka telanjang! Menelan huruf-huruf. Hyang Jagat, mereka hamil!
Apa mereka akan melahirkan Kurawa? Denpasar, Juli 2002
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
KERANGKA
Cerpen: Rabindrath Tagore
Sumber: Pikiran Rakyat, Edisi 11/21/2002

DAHULU kami menempati kamar tidur kecil yang di dinding sebelahnya ada
kerangka manusia tergantung. Di malam hari, kerangka itu berderak-derak
diterpa angin sepoi-sepoi, sedang di siang hari kami sendiri yang menderek-
derekannya. Saat itu seorang mahasiswa kedokteran mengenalkan dan
mengajarkan kami tentang kerangka. Bahkan, pengasuh kami berharap agar
kami lebih pandai menguasai ilmu anatomi tubuh.Cerita itu sudah lama berlalu.
Saat itu kerangka yang tergantung di dinding kamar, hilang entah ke mana.
Begitu pula dengan pengetahuan tentang anatomi tubuh, tidak berbekas di
benak kami.Di hari yang lain, rumah kami dihebohkan oleh peristiwa aneh, tapi
saya harus bermalam di situ. Dalam kegelisahan, rasa kantuk tidak kunjung
datang. Saya hanya berjalan-jalan di sekitar kamar. Tidak lama, terdengar
dering bel jam hampir setiap kali jarumnya berdetak. Lampu minyak lama-lama
sinarnya meredup, ruang menjadi gelap. Di rumah kami, baru-baru ini, telah
terjadi beberapa peristiwa kematian. Tentu saja, matinya lampu tadi
menyebabkan timbulnya perasaan-perasaan yang mengerikan. Lampu yang
mati itu laiknya sebuah kehidupan manusia, yang kapan pun bisa terjadi dan
mudah dilupakan.Sekonyong-konyong pikiran saya mulai dihantui kerangka itu.
Saya bayangkan sosok manusia, pemilik kerangka itu. Terbayang tiba-tiba,
sosok itu berjalan mengitari ranjang tidur saya. Dalam bayangan saya, sosok itu
seperti sedang bernafas. Tampaknya makhluk itu seperti sedang mencari
sesuatu. Ada langkah pelan-pelan. Saya menyadari rasa takut itu akibat
perasaan yang berlebihan sehingga membuat gelisah. Kendati seperti itu, saya
tetap merasa ada yang aneh."Siapakah di sana?" teriak saya. Ada langkah kaki
yang tiba-tiba berhenti di sebelah ranjang saya.Ada suara membalas, "Aku...Aku
ke sini untuk mencari kerangkaku."Alangkah tololnya diri ini, takut pada
makhluk yang dibayangan sendiri. Dengan lantang saya katakan, "Baiklah! Ini
kerjaan yang menyenangkan malam ini! Apa kamu masih membutuhkan
kerangka itu?"Ada suara menjawab yang terdengar di balik tirai kamar saya.
"Betapa tidak! Dalam kerangka itu ada bagian dadaku. Biarlah, aku tak mau
melihatnya lagi?""Tentu saya tahu masudmu," jawab saya. "Lanjutkan
kepenasaran itu, lalu enyahlah. Saya akan coba melepas kantuk."Aku tahu, kau
sendirian," balas suara itu. "Namun, bolehkah aku duduk sebentar dan ngobrol
denganmu, mengingatkanku pada usia 35 tahun, yang saat itu juga aku pernah
mengobrol dengan seorang pria. Kala itu, aku mengembara bersama angin
pembakaran jenazah. Sungguh menyenangkan berada di dekatmu dan
mengobrol layaknya seseorang yang hidup lagi."Saya rasakan ada seseoarang
duduk dekat tirai kamar. Mencoba tidur, tapi susah sekali, akhirnya saya ladeni
makhluk itu. "Baiklah, ayo kita bicarakan sesuatu agar senang sama-sama,"
ajak saya.Jam menunjukkan pukul dua."Saat aku masih jadi muda, ada
seseorang yang membuatku seperti mati ketakutan. Dia adalah suamiku. Aku
seperti seekor ikan yang terjebak ke dalam jaring. Dia menculik dari rumah
masa kecilku yang sepi. Aku tidak bisa menghindar darinya."Dua bulan
kemudian setelah pernikahanku, suamiku meninggal dunia. Kemudian, ayah
mertuaku berkata pada ibu mertuaku, 'Perhatikanlah! Apakah kau tidak
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
melihatnya? Perempuan itu sangat buruk!'""Baiklah, apakah kau masih
mendengarkanku? Semoga ceritaku ini menyenangkanmu?""Sungguh saya
senang permulaan cerita yang sangat menarik," balas saya."Berikutnya, aku
kembali ke rumah ayahku dengan perasaan bahagia. Di hari-hari itu,
kecantikanku sangat jarang dimiliki orang lain. Kendati orang mencoba
menyembunyikan hal tersebut dariku, tetapi aku sangat menyadarinya.
Bagaimana pendapatmu?""Sangat mungkin! Tapi saya belum pernah
melihatmu," bisik saya."Apa? Belum pernah melihatku? Bagaimana dengan
kerangkaku? Ha...ha...ha...! Tak apalah. Aku hanya bercanda. Bagaimana aku
dapat mempercayai kebenarannya padamu? Bahwa di dunia lubang mata itu
terdapat mata besar dan hitam? Senyuman pada bibirku sangat menawan
sehingga gigiku membuat pesona bagi lelaki yang dahulu pernah
melihatnya.""Senyuman itu membuktikan kerapian, daya tarik, lesung pipi, dan
kemolekan diriku, yang telah berubah jadi susunan kerangka tua dan kering.
Hal ini membuatku murka. Tidak ada seorang dokter pun yang mampu
menganalisis anatomi tubuhku, kendati pernah ada seorang dokter muda yang
memperkirakan kerangka terbentuk dari setangkai bunga melati.""Aku tak
punya teman yang menyertaiku," kata sebuah suara. "Kakakku berkeputusan
untuk tidak menikah. Dulu aku pernah duduk di sebuah taman idaman, yang
dalam benakku, semua orang di dunia jatuh cinta padaku. Kurasa setiap
pemuda gagah di dunia bertekuk lutut di hadapanku, laiknya sebilah rumput.
Entah mengapa, saat itu perasaanku kian sedih.""Saat kawan baik kakakku,
Shekhar, berhasil menyelesaikan studi kedokteran, dia menjadi dokter keluarga
kami. Di balik tirai, dulu aku sering memperhatikan ia. Kakakku berkelakuan
sangat aneh, tidak pernah memperhatikan dunia dengan sempurna sehingga ia
mundur hingga ke sudut yang jauh dari dunia. Kawan dekat satu-satunya,
Shekhar, orang yang paling sering kulihat. Saat duduk di kebun itulah, aku
membayangkan semua lelaki di dunia bertumpu di kakiku, Shekhar di
antaranya."Sejenak dia berhenti. "Apa kau masih mendengarkanku? Apa yang
kau pikirkan?""Saya ingin seperti Shekhar!""Sebentar. Dengarkan dulu semua
ceritanya. Pada suatu hari, di musim hujan, aku terkena demam. Dokter itu
memeriksaku. Itu merupakan saat pertemuan pertama kami. Kupalingkan
wajah ke arah jendela. Di luar lembayung senja menyorot wajahku. Tatkala
dokter itu memperhatikan wajahku, aku berkhayal kalau diriku sendiri yang
menatap wajah ini. Kuperhatikan senja indah itu bagai bunga layu di atas
bantal. Rambut keritingku tergerai di jidat dan bulu mataku merunduk rendah
seperti sebuah bayangan di pipiku."Dokter itu bertanya kepada kakakku,
"Mungkin saya harus memeriksa nadi adikmu."Aku julurkan lenganku yang
lemah dari balik selimut. Sebelumnya aku belum pernah melihat dokter yang
gelisah saat memeriksa nadiku yang sakit. Jari tangannya bergetar. Dia rasakan
panas akibat demamku. Aku juga rasakan nadi ini terasa panas."Tidakkah kau
mempercayaiku?""Sangat percaya," jawab saya."Walau sangat sakit, aku masih
bisa bertahan untuk beberapa waktu. Rasanya dunia ini hampir aku lupakan, di
sana hanya ada seorang dokter dan pasiennya.""Malam itu diam-diam aku
kenakan gaun warna kuning. Kulakukan diam-diam karena kalau memakai
gaun warna putih seperti seorang janda. Kujalin untaian bunga melati di
rambutku. Dengan membawa sebuah cermin kecil, aku lalu kembali duduk di
taman.""Baiklah! Lalu apa kesenangan itu seperti membuatmu bosan?" tanya
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
saya."Nggak begitu! sesungguhnya aku tidak suka menatap diri sendiri. Aku
tatap diriku ini seperti dokter itu juga menatap diriku. Aku sedang terpesona
dan jatuh cinta.""Sejak itu aku tidak pernah sendirian. Kuperhatikan selalu
diriku yang mempesona itu, yang kuharap dokter itu memperhatikanku.
Khayalanku selalu bersama sang dokter.""Apa yang ada di benakmu jika cerita
ini berakhir?""Ya, akhir yang menarik! Tapi akhir cerita itu belum sempurna,
kan? Walau bagaimana, saya kira harus menghabiskan sisa malam ini."Namun,
kisah selanjutnya lebih serius. Di mana asalnya ada tawa? Di mana kerangka
dengan giginya yang menonjolnya itu ditinggalkan? Yang terjadi kemudian,
dokter itu mendirikan tempat praktik kecil, di lantai dasar rumah
kami."Terkadang aku bertanya sambil bercanda mengenai obat-obatan dan
racun yang bisa mematikan manusia. Dengan senang hati, dokter itu
menceritakan aktivitasnya sehingga di antara kami menjadi lebih akrab, apalagi
bercerita soal kematian. Cinta dan kematian merupakan hal yang nyata bagiku.
Ceritaku hampir berakhir, tidak banyak lagi yang harus diceritakan.""Malam
juga akan berakhir," gumam saya.Tidak lama, aku rasakan dokter itu tampak
kaku, ada rasa malu yang diam-diam dalam keakraban sebelumnya. Aku
perhatikan dokter itu mengenakan pakaian lengkap, seperti akan meminjam
kereta kuda kakakku untuk semalam. Dengan segera, aku temui kakakku untuk
menanyakan sesuatu. Setelah berbincang ke sana ke mari, aku pertegas
pertanyaanku. "Kulihat dokter itu menggunakan kereta kudamu, ke mana ia
akan pergi?""Pergi untuk mati," jawab kakakku singkat."Yang benar, ke mana ia
pergi?""Untuk menikah," jawab kakakku lebih terbuka."Sungguhkah!" kataku,
terbahak lebar."Diam-diam aku tahu kalau dokter itu akan mendapatkan uang
banyak dari pernikahannya. Namun apa alasannya mempermalukan diriku
dengan rencana yang ditutup-tutupi? Bukanlah dia sudah bersumpah dan
mengatakan akan sangat patah hati jika ia menikah? Lelaki memang sulit
dipercaya. Aku pahami ini sebagai pelajaran, dari seorang pria yang kucintai di
dunia ini."Dokter itu masuk ke ruang praktiknya sesaat setelah memeriksa
pasiennya. Aku berkata, "Baiklah dokter, kini aku sudah menikah?" Aku tertawa
parau. Keterusteranganku membuat dokter itu malu."Bagaimana? Tidakkah ada
lampu-lampu dan suara musik?" tanyaku acuh tak acuh.Dengan nafas tersengal,
dokter itu balik menjawab, "Kau kira pernikahan sekadar perayaan seperti
itu?"Aku tertawa lagi seperti biasa. "Bukan, bukan itu maksudku. Belum pernah
kudengar sebelumnya kalau dalam pesta pernikahan tanpa ada lampu-lampu
dan musik." "Aku omeli juga kakakku yang sedang bersemangat menyusun
rencana perayaan pernikahan."Aku sudah tahu risikonya jika mempelai wanita
datang ke rumah. Aku bertanya, "Dokter akan memeriksa nadi para gadis
sekarang?" Ha...ha...ha...! Aku bersumpah kalau kata-kataku tadi akan
membuat hati sang dokter tergores seperti anak panah menusuk dada.Acara
pernikahan itu akan dilangsungkan di rumah malam ini. Sebelumnya seperti
kebiasaan mereka; dokter dan kakakku minum anggur bersama. Perlahan sinar
bulan memancar di atas langit. Sambil tertawa, aku hampiri dokter. "Lupakah
kau bahwa perayaan pernikahan akan segera dimulai?""Oh ya, aku hampir lupa!
Aku harus katakan sedikit tentang sesuatu. Sebelumnya aku pernah masuk ke
dalam kamar praktiknya untuk mengambil sejenis serbuk mematikan, yang
telah kucampurkan ke dalam gelas anggurnya. Tidak ada yang tahu."Dokter itu
menegak anggur itu. Matanya yang tampak sedih di arahkan padaku. "Aku
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
harus berlalu sekarang," kata dokter.Musik mulai dimainkan. Di dalam kamar,
aku kenakan gaun untuk pernikahan, lengkap dengan pernak-pernik perhiasan.
Kemudian, aku berlalu ke kebun sambil membentangkan seprai. Ini adalah
malam yang indah. Aroma bunga melati menusuk hidung. Suara musik
terdengar lamat-lamat. Bulan yang bulat sempurna, menjadi samar. Aku
menutup mataku dan tersenyum. Kuberkhayal kalau orang-orang akan
menemukanku dan mereka terpesona oleh senyum manisku. Aku masuk ke
dalam kamar pengantin agar malam abadiku berlalu bersama senyuman itu.
Wajahku berseri-seri. Tapi di manakah kamar idamanku itu? Ke manakah
perhiasan-perhiasanku? Keramaian suara membuatku terbangun. Aku lihat ada
tiga anak laki-laki sedang mempelajari kerangkaku. Di dada yang berdegup oleh
kebahagiaan dan kemalangan, seorang guru menunjukkan bagian kerangkaku
dengan tongkatnya. Dan siapa yang kini tertinggal di dalam senyum terakhir
yang kubentuk di bibirku?Aku diam sebentar."Bagaimana, sukakah kau pada
ceritaku?""Dahsyat!" jawab saya.Ayam jantan berkokok menandakan malam
segera siang. "Apakah kau masih di sini?" tanya saya. Tidak ada jawaban. Di
luar, cahaya pagi menerobos masuk, menerangi ruangan itu.***Terjemahan Edi
Warsidi
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
SUATU HARI DI BULAN DESEMBER 2002
Cerpen: Sapardi Djoko Damono
Sumber: Kompas, Edisi 03/30/2003

DI rumah pemasyarakatan itu sempat timbul ribut-ribut kecil ketika Marsiyam


melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan, menurut penilaian teman-
teman di situ, sangat tampan. Sebelumnya tidak ada seorang pun yang
menyadari bahwa ada perempuan bunting di situ. Dan mungkin tidak ada yang
benar-benar yakin bahwa Marsiyam memang bunting sebelum melahirkan.
Berbagai jenis pikiran baik dan buruk beredar di bangunan yang berdasarkan
perhitungan akal sehat sudah tidak bisa menampung pesakitan lagi itu. Tidak
ada seorang laki-laki pun di situ, kecuali kepala penjara. Tapi, apa ada alasan
untuk mencurigainya sebagai bapak bayi itu? Rasanya tidak. Tampang lelaki
yang tak pernah tersenyum itu jauh dari selera perempuan mana pun.
"Tampangnya nyebelin," kata mereka. Dan tampang bayi laki-laki itu minta
ampun cantiknya.
M>small 2small 0< dikenai hukuman dua tahun penjara sebab dituduh telah
menganiaya suaminya, seorang lelaki yang bekerja sebagai guru, yang-menurut
sementara tetangga-"sudah sepantasnya dianiaya," entah sebab apa. Mereka
kawin sekitar tiga tahun dan belum dikaruniai anak. Guru itu selalu
menyalahkannya dan malah sering menuduhnya telah berbuat serong dengan
laki-laki lain. Marsiyam mula-mula menerima tuduhan itu dengan tenang,
bahkan dia yakin kecemburuan suaminya itu muncul justru karena lelaki itu
sangat mencintainya. Ia sadar dirinya cantik, dan tentunya ada alasan juga bagi
suaminya untuk memelihara rasa curiganya.
Sampai pada suatu sore ketika ia sedang memasak untuk makan malam, ketika
suaminya mendekatinya dan mendesakkan pertanyaan-pertanyaan yang
menyakitkan, yang menuduhnya telah berselingkuh dengan seorang pemuda
pengangguran yang suka membantu keluarga itu membetulkan atap bocor atau
kabel listrik yang korslet. Anak muda itu memang lumayan tampangnya, dan
sering berada di rumahnya ketika guru itu sedang mengajar. Marsiyam
meladeni rentetan pertanyaan suaminya dengan sabar, tetapi semakin lama
lelaki yang pendapatannya tak cukup untuk hidup layak itu menunjukkan
tampang yang semakin menyebalkan. Marsiyam menyekam kesabarannya, dan
mendadak bagaikan api kemarahannya berkobar. Ia ambil barang sekenanya di
dapur itu, dipukulkannya ke kepala suaminya yang langsung terkapar di lantai.
Diinjaknya tubuh yang tengkurap itu berkali-kali sambil menjerit-jerit, "Aku
memang tak bisa punya anak, mau apa kau. Aku memang gabuk, mau apa kau."
Tetangga pun berdatangan dan beberapa bulan kemudian ia harus duduk di
kursi terdakwa untuk mendengarkan keputusan hakim. Suaminya telah
melaporkannya ke polisi sehabis peristiwa di dapur itu.
TENTU saja penjara bukanlah tempat yang diidam-idamkannya, tetapi di luar
dugaan Marsiyam dengan cepat bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat
yang aneh hubungan-hubungan antarmanusianya itu. Seperti kampung saja, di
situ ada ibu muda yang konon menganiaya madunya, ada tukang copet yang
suka beroperasi di ka-er-el, ada organisator berbagai arisan yang menggelapkan
uang puluhan juta, ada dokter yang kerja sambilannya menjual narkoba, ada
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
pengacara yang ketahuan menyogok jaksa, dan ratusan perempuan lain yang
entah profesinya. Marsiyam yang pendiam dan tidak banyak cingcong itu
diterima di kalangan mereka, bahkan oleh grup-grup yang biasanya
bermusuhan. Tidak ada yang mau percaya bahwa perempuan semacam itu telah
tega memukuli dan menginjak-injak suaminya, guru yang konon juga dikenal
tidak banyak ulah.
Marsiyam tidak tahu alasan apa yang menyebabkan perempuan-perempuan itu
lebih suka memanggilnya Marsinah atau Mariyam. Menurut mereka, nama
Marsiyam susah diingat-suatu alasan yang menurutnya pasti sekenanya saja.
Dan selama ia di sana tidak pernah ada orang yang menengoknya. Ia hanya
menggelengkan kepala atau menunduk kalau ditanya, "Kau tak ada keluarga,
ya?" Atau, "Kau sudah dibuang keluargamu, ya?" Ia menjalankan tugas rutinnya
dengan tekun, tidak pernah membantah sipir yang mana pun, yang beberapa di
antaranya dianggap ganas oleh rekan-rekannya.
Sampai malam itu, ketika ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat
tampan. Tidak ada yang bisa yakin bahwa perempuan muda itu pernah bunting.
Tak pernah ngidam, tak pernah muntah-muntah. Perutnya rata saja. Tapi tiba-
tiba saja ada bayi keluar dari rahimnya. Tak ada seorang pun di sana yang
percaya pada mukjizat; mana ada orang jahat percaya akan hal semacam itu?
Tetapi pertanyaan yang beredar tetap sama, siapa gerangan yang telah
membuntinginya kalau bukan kepala penjara, satu-satunya lelaki di bangunan
itu yang boleh berhubungan dengan mereka? Tapi mereka tak percaya juga akan
hal itu. Sipir-sipir perempuan yang ganas itu pasti mengetahui perselingkuhan
semacam itu dan akan menggunduli lelaki yang rambutnya tinggal beberapa
lembar itu-tidak peduli ia atasan mereka atau bukan.
Marsiyam diberi kesempatan mendapatkan kamar khusus untuk mendampingi
bayinya sebab toh beberapa hari lagi masa hukumannya akan habis. Tanpa
dirasa, sudah dua tahun ia berada di dalam bangunan itu, tanpa sama sekali
pernah berhubungan dengan dunia luar. Dokter penjual narkoba itu dengan
bangga membantunya, juga tukang copet dan dedengkot arisan. Mereka merasa
mendapatkan kebahagiaan dengan membantu ibu muda itu.
Sore itu akhirnya tiba juga. Marsiyam harus meninggalkan rumah
pemasyarakatan karena masa hukumannya sudah habis, meskipun ia tak
merasa sudah dimasyarakatkan. Ia gendong bayinya sambil menenteng barang
bawaannya.
"Kau pulang ke mana Marsinah?" tanya si gembong arisan.
"Entahlah."
"Kapan-kapan nanti aku boleh menjengukmu, Mariyam? Kalau aku keluar
nanti, tentu bayimu sudah besar, sudah sekolah," kata dokter yang harus
meringkuk di bangunan itu bertahun-tahun lagi.
Marsiyam hanya tersenyum. Tidak memedulikan penyebutan namanya yang
selalu keliru itu. Ditatapnya bayi yang digendongnya dan untuk pertama kalinya
ia menyadari bahwa wajahnya mirip lelaki muda yang dulu suka membetulkan
atap bocor dan kabel listrik yang korslet di rumahnya. Perempuan itu
menyimpan saja perasaannya, yang ia sendiri tidak tahu apa. Selama dalam
masa hukuman, ia memang pernah beberapa kali bermimpi bertemu lelaki muda
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
itu, yang katanya menjenguknya untuk meminta maaf lantaran telah
menyebabkannya masuk penjara. Ia selalu merasa bahagia setiap kali pemuda
itu muncul dalam mimpinya. Sejak semula ia tahu bahwa sebenarnya
suaminyalah yang mandul, tetapi ia tidak pernah mengatakan itu karena pasti
akan menyinggung perasaan dan menyebabkan guru itu semakin tidak masuk
akal tuduhan dan tindakannya.
Ia menoleh untuk terakhir kalinya kepada rekan-rekannya ketika diiringkan
oleh beberapa sipir keluar dari bangunan itu.
"KAU mau pulang ke mana, Marsiyam?" tanya salah seorang sipir. Ia kaget
mendengar namanya disebut dengan benar untuk pertama kali sejak dua tahun
yang lalu.
"Pulang."
"Ke mana?"
"Ke rumah."
"Rumah siapa?"
"Rumah suamiku. Ia pasti senang aku bisa mendapatkan anak. Ini anaknya.
Aku yakin ia akan menerima kami. Ini anaknya." ***
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
ULAR BERBISA
Cerpen: Tahar Ben Jelloun
Sumber: Media Indonesia, Edisi 07/28/2002

AKU suka bepergian naik kapal laut. Di zaman sekarang, naik kapal laut adalah
sebuah kemewahan. Kita bisa menghabiskan waktu luang selama perjalanan.
Sebuah kesempatan untuk mengosongkan pikiran dan bersiap memasuki irama
hidup yang baru. Musim panas ini aku tengah berada di atas kapal pesiar
Marrakech yang sedang melintas antara Sete dan Tangiers. Aku baru saja
duduk saat seorang lelaki bertubuh pendek berusia sekitar lima puluhan
menyambutku dengan lengan terbuka, lalu memelukku. Aku belum pernah
berjumpa dengan orang ini sebelumnya. Aku tak berkata apa pun. Tampaknya
ini sebuah salah paham, mungkin ia mengira aku adalah orang lain yang
dikenalnya. Tapi tidak, ternyata tidak seperti itu.Orang itu berkata kepadaku,
"Namaku Haji Abdul Karim dan aku dilahirkan di Marrakech pada suatu siang
yang amat panas. Aku menikahi seorang perempuan Sicilia dan kami memiliki
tiga orang anak yang mengenal dan menyukai Anda. Aku sendiri, sayangnya,
bukan orang yang suka membaca. Istriku sering membacakan buku-buku
untukku. Aku tak banyak membaca, tapi aku punya banyak pengalaman,
tentang yang kasatmata maupun yang gaib. Bidang usahaku, jika Anda tertarik
mengetahuinya, adalah berupaya menarik orang-orang asing untuk mencintai
negeriku dengan menunjukkan kepada mereka segenap keindahan dan
keunikannya. Tapi, alasan mengapa aku ingin menjumpai Anda-dan aku telah
menunggu sangat lama untuk ini adalah karena aku ingin menceritakan sebuah
kisah kepada Anda, sebuah kisah nyata. Anda seorang penulis, bukan? Baik,
dengarkanlah. Kisah ini tentang Ibrahim, seorang lelaki pendiam dan baik hati
yang bekerja keras untuk menafkahi keluarganya, ini adalah sebuah kisah
tentang seseorang yang bernasib buruk. Dengarlah..."Haji Abdul Karim sedang
berada di tengah bar dan para penumpang lain mengerubunginya untuk ikut
mendengarkan kisahnya.***Sudah lama sekali turis-turis tak lagi berhenti di
depan Ibrahim dan ular-ularnya. Terlalu tua, letih, dan hilang kepercayaan diri,
ular-ular itu tak lagi mematuhi alunan musik penarik ular yang dimainkan
tuannya. Bahkan, walaupun ia mengganti seruling atau nadanya, mereka tetap
saja menyurukkan kepala seperti yang tampak mengantuk.Untuk membuat
pertunjukannya kembali menarik perhatian orang, hanya ada satu jalan: ganti
binatang-binatang itu, bukan alat musiknya. Ibrahim memutuskan untuk
berkorban dan membeli seekor ular berbisa yang masih muda, penuh gairah
hidup, dan berkilat-kilat. Binatang ini dibawa kepadanya dari sebuah desa yang
dikenal sebagai sarang ular.Ia lalu memainkan sebuah komposisi musik
karyanya sendiri untuk ular itu. Ular berbisa yang berbakat menari itu memiliki
lenggak-lenggok tarian yang sangat unik. Ia akan melenggok dan bergoyang-
goyang mengikuti irama musik dengan hentakan yang tepat dan lidahnya
melelet keluar di ujung nada. Ibrahim kembali pulih rasa percaya dirinya.Ular-
ular yang lain kembali bersemangat oleh kehadiran ular berbisa berwarna biru
yang cantik itu.Malam harinya, Ibrahim bermimpi aneh sekali: lapangan luas
itu lengang dan diterangi cahaya bulan. Ia duduk di tengahnya, bersila. Ia tak
mampu bergerak, seakan-akan terpaku di atas bumi oleh sebuah lem ajaib. Di
hadapannya muncul ular berbisa itu, tapi dalam bayangan sesosok gadis
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
berwarna kebiru-biruan. Ia tak tahu pasti apakah gadis itu memakai pakaian
berwarna biru ataukah warna kulitnya memang biru.Makhluk itu memiliki
tubuh seorang perempuan, tapi dengan kepala ular. Saat berputar
mengelilinginya, makhluk itu berbicara, "Siang tadi aku menunjukkan
kepadamu kemampuanku. Aku bukanlah apa yang kaukira. Kau tak boleh
mengutukku untuk bergoyang dan melenggak-lenggok seumur hidup hanya
untuk menyenangkan hati turis-turismu. Aku lebih terhormat dari sekadar itu.
Aku masih muda, aku ingin hidup, merasai segala rasa dan kesenangan, dan
mengumpulkan kenangan untuk masa tuaku. Jika turis-turismu ingin
ketegangan, suruh mereka pergi ke Amazon atau ke sebuah negeri di mana
bebatuan memiliki ingatan. Kuperingatkan kau, jika kau memaksaku lagi untuk
melakukan pertunjukan, kau pasti akan menyesal.... Atau, jangan-jangan kau
tak akan punya waktu lagi, bahkan hanya untuk sekadar menyesal
sekalipun."Saat berbicara, makhluk itu berputar mengitarinya, menggosok-
gosokkan tubuhnya pada tangan dan pinggul Ibrahim. Ibrahim mencoba
menyahut, tetapi lidahnya kelu. Ia terhipnotis.Dengan penuh percaya diri,
makhluk itu melanjutkan perkataannya, "Jangan coba-coba mencari-cari alasan
dan berdalih agar aku jatuh iba kepadamu. Bebaskan aku dan kau akan
memperoleh kedamaian. Aku punya banyak kerjaan. Ini musim panen dan aku
harus pulang ke balik batu. Aku menyukai tangan dingin para gadis pemetik
jagung. Turis-turismu itu membuatku muak. Mereka tidak menarik. Dan kau,
kau cukup puas dengan upah menyedihkan pemberian mereka. Cobalah lebih
punya harga diri.Kini kau boleh pergi. Lapangan ini akan segera dipenuhi orang.
Matahari bakal segera terbit. Dan kau, piara ini baik-baik. Tapi jika kau ingin
kedamaian, berikan kembali kebebasanku."Ibrahim terjaga dengan sekujur
tubuh gemetar. Ia memeriksa kotak tempat penyimpanan ular. Ular biru berbisa
itu masih ada, sedang tidur nyenyak penuh kedamaian.Ia segera mengambil air
wudu, lalu menunaikan salat subuh. Setelahnya, ia berdoa seraya menyatukan
telapak tangannya, memohon agar Tuhan memberinya pertolongan dan
perlindungan, "Ya Allah, Engkau Mahabesar dan Mahapengasih.Jagalah diriku
dari segala kejahatan. Aku ini orang miskin. Mencari nafkah dengan bantuan
hewan-hewan melata. Aku tak tahu bagaimana caranya melawan kejahatan dan
aku tak bisa berganti pekerjaan. Sekarang ini zaman susah. Dalam keluarga
kami, pekerjaan semacam ini telah dilakukan turun-temurun. Aku lahir dan
dibesarkan di tengah-tengah binatang melata. Aku tak pernah benar-benar
memercayai mereka sepenuhnya. Mereka licik. Sebagai seorang muslim yang
baik, aku memang tak percaya pada reinkarnasi, tapi terkadang aku berjumpa
dengan orang-orang yang hati dan jiwanya seperti ular berbisa, yang mewujud
dalam segala kemunafikan dan senyum palsu."Tidak biasanya ia berdoa seperti
itu. Selama bertahun-tahun ia menjalankan mata pencahariannya tanpa banyak
tanya. Tapi semalam, mimpi itu membuatnya terhenyak.Ada sesuatu yang
membuat mimpi itu terasa begitu nyata. Ibrahim ketakutan. Merasa takut
kalau-kalau sesuatu yang mengerikan bakal menimpanya.Hari itu ia akan
melakukan pertunjukan di sebuah hotel besar di hadapan sekelompok turis
asing yang mau membayar lebih untuk menyaksikan tontonan eksotis ini: seekor
ular menari-nari diiringi alunan musik. Ibrahim berdoa sebelum meninggalkan
rumah. Ia tiba di hotel pada waktu yang telah disepakati. Para turis itu baru
selesai makan. Mereka sedang minum anggur dan bir. Pemandu wisata segera
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
memperkenalkan Ibrahim, "Nyonya-nyonya dan Tuan-tuan, kini akan kami
persembahkan apa yang sering Anda dengar, tapi belum pernah Anda saksikan,
sesuatu yang membedakan Afrika Utara dengan Selatan. Di sini kami tak
memiliki ilmu sihir, yang kami punya adalah puisi. Kami memiliki pawang ular
paling terkenal di seantero wilayah ini, inilah dia seorang lelaki yang rela
mempertaruhkan hidupnya untuk membuat Anda tegang, inilah Ibrahim dan
ular-ularnya.... "Kamera-kamera telah disiapkan. Beberapa orang turis tampak
tak terkesan; mereka terus saja makan kue-kue berbentuk tanduk kijang dan
minum teh mentol. Ibrahim memulai pertunjukannya. Ia tampak ragu-ragu.
Dibungkukkannya tubuhnya pada para hadirin. Saat menunduk, sepintas ia
merasa seperti melihat sosok makhluk aneh yang muncul dalam mimpinya
semalam. Makhluk betina itu kini berkepala seekor burung dan mengenakan
djellaba ketat berwarna biru, dadanya rata tanpa payudara.Makhluk itu duduk
di atas dahan sebatang pohon, mengayun-ayunkan kakinya seperti seorang anak
kecil. Ibrahim memainkan serulingnya, lalu membuka kotak tempat
penyimpanan ular. Para turis menatap lekat-lekat pada kotak itu. Ibrahim
memasukkan tangannya ke dalam kotak. Dia hendak mencekal ular berbisa
berwarna biru. Tapi, alih-alih tercekal olehnya, ular itu justru membelit
pergelangan tangannya. Saat ia hendak menyentuh kepalanya, binatang itu
mematuknya. Racunnya masih ada. Bisa ular itu belum dihilangkan saat ia
membelinya. Ibrahim roboh dengan tubuh kaku, mulutnya dipenuhi darah dan
buih putih. Buih itu adalah bisa ular. Para turis mengira itu hanyalah sebuah
lelucon yang buruk. Beberapa orang merasa kecewa, yang lainnya merasa sebal
karena makan siang mereka terganggu oleh sebuah kematian. Foto-foto diambil.
Sebuah cendera mata tentang kematian yang datang tiba-tiba. Sebuah cendera
mata tentang seorang seniman yang tewas di atas panggung. Jenazah Ibrahim
dipindahkan ke kamar mayat dan disimpan dalam laci nomor 031.***ALI dan
Fatima, dua anak kecil yang selalu berjalan bergandengan tangan saat pergi
bersama ke sekolah, kini telah dewasa. Dipertunangkan sejak kecil, mereka kini
telah menjadi sepasang suami-istri kelas menengah. Mereka menikah karena
saling mencintai dan tak seorang pun bisa menghentikan perkawinan itu. Tapi,
di balik segalanya, mereka sesungguhnya terpisah oleh banyak hal: Ali berhasil
melanjutkan pendidikannya dan mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan
swasta, sedangkan Fatima berasal dari keluarga miskin, adalah berkah baginya
dia bisa membaca dan menulis. Ali adalah seorang lelaki yang 'lirikan matanya
bisa menjatuhkan seekor burung yang sedang terbang' dan sebagai kiasan
gairahnya terhadap perempuan, ia digelari 'bermata hijau', walaupun
sebenarnya bola matanya berwarna hitam. Ia suka mabuk, ngebut-ngebutan
dengan mobilnya dan mencuri istri orang. Fatima adalah seorang ibu rumah
tangga yang baik dan menghabiskan waktunya untuk mengurusi rumah. Dia
mengabdikan diri sepenuhnya pada suaminya dan kedua anak mereka.Sebagai
seorang perempuan yang pasrah terhadap nasib, dia tidak terlalu cerdas, tapi
selalu ada saat dibutuhkan. Dia tak pernah menyimpan rahasia sedikit pun
terhadap suaminya, seorang perempuan yang lembut dan baik budi, bahkan
terkadang kebaikannya malah lebih mirip suatu kebodohan. Seperti ibunya, dan
juga neneknya dulu, Fatima hidup dalam sebuah kedamaian yang semu, hingga
pada suatu hari saat dia memutuskan untuk melakukan sesuatu agar suaminya
betah di rumah.Ali menghabiskan waktunya di banyak tempat. Tiada yang bisa
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
membuatnya betah di rumah. Ketika Fatima berani memprotes, Ali
menamparnya dua kali dan pergi membanting pintu. Ia tak pernah
menyembunyikan kesenangannya. Ia menggodai gadis-gadis tanpa pernah
menyangkalnya dan bersikap seolah-olah ia belum menikah. Ini membuat
Fatima merasa cemburu. Dan, rasa cemburu membuatnya sakit, sedangkan para
dokter tak mampu membuat suaminya pulang. Mereka mendiagnosisnya
terserang demam. Fatima tak berani mengadu kepada keluarganya, tetapi
orang-orang yang dekat dengannya tahu bahwa ia tak bahagia.Suatu hari ia
memutuskan untuk datang kepada seorang peramal. "Suamimu memang
ganteng. Ia mengkhianatimu dan akan selalu begitu. Sifat itu bahkan lebih kuat
daripada dirinya sendiri. Aku bisa melihat kerumunan perempuan cantik yang
ingin memeluknya. Ia dianugerahi gairah yang besar. Ia bisa memberi
perempuan kenikmatan yang tak bisa diberikan oleh lelaki lain. Bisa dibilang ia
dilahirkan untuk memuaskan perempuan-perempuan yang ditakdirkan terikat
dengan lelaki-lelaki yang lemah. Tugasnya adalah memperbaiki apa yang rusak.
Kau tak bisa berbuat apa-apa soal ini. Lelaki semacam ini tak diciptakan untuk
pernikahan dan kehidupan berkeluarga. Walaupun kau menyembunyikannya
dalam penjara, perempuan-perempuan itu tetap akan menemukannya dan
merebutnya darimu. Hadapilah dengan tabah! Hanya itu yang bisa kukatakan
padamu, Nak." Fatima merasa putus asa. Dia berkeluh-kesah pada Khadijah,
seorang tetangga yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit lokal. Khadijah
merasa tersentuh atas beban hidup Fatima. Dia sendiri sebenarnya pernah
mencoba menarik perhatian Ali, tetapi tidak berhasil. Dia bukan hanya mengerti
kecemburuan temannya itu, tapi juga berbagi rasa itu dengannya. Dia
menyarankan Fatima agar menemui seorang dukun, seorang perempuan yang
dikenal mampu menyelesaikan berbagai masalah perkawinan. Perempuan itu
membuka kantor di sebuah gedung dan hanya menemui orang setelah
melakukan perjanjian. Dia adalah seorang perempuan modern yang pernah
belajar psikologi. Penampilannya sama sekali tidak mirip dengan nenek sihir
dalam dongeng yang hanya memiliki mata satu dan tampak mengerikan.
Perempuan itu menyuruh Fatima agar menceritakan masalahnya. Dia
mengeluarkan buku catatan dan menanyakan sejumlah pertanyaan."Kau ingin
suamimu kembali dan kau ingin agar ia hanya menjadi milikmu? Aku bisa saja
memberimu pil untuk dicampurkan dengan kopi yang diminum suamimu, tapi
dalam rotinya, tapi ia bisa keracunan. Kau tentu ingin ia kembali padamu dalam
keadaan segar-bugar.... "Fatima membisikkan sesuatu kepada Khadijah, lalu
berkata pada perempuan itu, "Aku tak ingin ia jadi lemah syahwat. Aku ingin ia
tetap sama seperti lelaki yang aku cintai: kuat, penuh cinta, dan lembut.""Kalau
begitu, aku akan memberimu sebuah resep kuno peninggalan nenek moyang
kita: segumpal kecil adonan roti tanpa ragi yang telah disimpan semalam suntuk
dalam mulut sesosok mayat, sebaiknya mayat yang masih segar, bukan yang
telah lama tersia-sia di kamar mayat. Suamimu hanya perlu menggigit adonan
ini dan memakannya, Lalu dia akan berubah perangai dan kembali kepadamu
seperti yang kauimpikan. Adonan ini harus langsung berpindah dari mulut
mayat itu ke mulutnya, tanpa disentuh orang lain. Jika kau tak bisa
membuatnya memakannya, kau mungkin bisa melakukannya saat ia
tidur."Fatima merasa kesulitan menemukan mayat. Tapi, Khadijah memberi
isyarat kepadanya. Fatima lalu membayar pada asisten si dukun yang
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
kantornya terletak di dekat ruang tunggu.Siang itu juga adonan itu telah siap.
Khadijah membungkusnya dengan sapu tangan dan pergi ke rumah sakit.
Malam itu ia memang bertugas jaga. Ia sedang bernasib baik, seperti yang
kadang-kadang terjadi padanya. Khadijah bergegas ke kamar mayat dan
membuka sejumlah laci, mencari-cari mayat paling segar untuk menaruh
adonan itu. Nomor 031 masih hangat. Mulut mayat itu setengah terbuka.Masih
ada buih dan darah di sekitar mulutnya. Khadijah tak mengalami kesulitan
untuk menaruh adonan di antara geligi mayat itu. Esok paginya ia membawa
pulang adonan itu dengan sapu tangan yang sama.Ali sedang tertidur lelap.
Dengan lembut, Fatima membuka mulutnya, lalu menaruh adonan itu di
dalamnya. Ali menggigitnya tanpa sadar. Ia tidak terbangun dan tak akan
pernah bangun. Ali sudah mati. Bisa ular itu masih aktif.Fatima pingsan. Pada
saat itulah perempuan bertubuh biru berkepala ular muncul di hadapannya dan
berkata, "Dukun itu tidak ada. Yang ada hanyalah kebodohan. Seseorang
menentang kemauanku dan ia mati. Yang lainnya mencoba ikut-ikutan dan ia
kehilangan segalanya. Yang satu kehilangan martabatnya, yang satunya lagi
kehilangan harga dirinya. Satu hal yang bisa dipetik: orang mestinya berhati-
hati terhadap ular berbisa, terutama jika mereka telah dikutuk oleh rembulan
pada suatu malam saat sang bulan dipenuhi oleh kesedihan. Selamat tinggal,
anakku. Setidak-tidaknya, akhirnya kau merasa damai dari suamimu. Seperti
yang kaulihat, aku tak sepenuhnya jahat, bukan?"***
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
MAGI DARI TIMUR
Cerpen: Sutardji Calzoum Bachri
Sumber: Riau Pos, Edisi 08/09/2003

Jika para wali di langit tinggi


Jika para wali berarak di awan
Jika para wali menapak langit tinggi
Mari ikut bersama-sama
(disarankan dinyanyikan seperti When the Saints Go Marching In)
BEGITULAH dia Pak Tua itu menyanyi dengan harmonika berjalan menapak-
napak pantai. Sementara burung poididi, si raja udang, elang, gagakagaknya,
makadawaktu, murai dan lainnya meloncat-loncat girang dan bising dengan
kicau lagu masing-masing, seakan tak perduli dengan irama nyanyi dan langkah
loncat Pak Tua di pantai antara pasir dan bebatuan.
Angin pantai senja itu jinak. Tapi sejinak-jinaknya angin pantai, tetaplah dapat
menyibak-nyibak perdu, ranting dan dedaunan berangan dan pelepah
pepohonan kelapa kembar, mendesah dan menderu dalam gumam yang dalam.
Maka engkau takkan dapat mendengar penuh nyanyi dan harmonika Pak Tua
kalau kalian tak dapat masuk ke dalam dirinya.
Dalam diri Pak Tua ada ruang yang luas dan lapang yang dibuat dan dimuat
oleh kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa, pencapaian dan pelepasan yang
ikhlas dan tenang.
Memang tak gampang masuk ke dalam ruang jiwa Pak Tua, namun jika engkau
sanggup bersabar, jika kalian punya waktu dan memiliki hal-hal dan kejadian
yang dapat kalian resapkan, engkau bakal bisa masuk ke dalam diri Pak Tua itu
dan dapat jelas mendengar nyanyi dan harmonikanya.
Lihatlah, ia terus menyanyi, menapak-napak di pasir pantai meloncat-loncatkan
kaki tua yang masih tegap itu pada punggung kokoh bebatuan:
Bila para wali di langit suci
Jika para wali berarak di awan
Bila para wali di langit suci
Mari ikut bersama-sama
Burung poididi, raja udang, makadawaktu, gagakgulana, kakaktua, dan burung
sukadukatuaku, berkicau-kicau bising dan indah memberikan warna suara pada
langit senja jingga merah keperak-perakan. Pelepah-pelepah kelapa kembar,
dedaunan berangan dan perdu pantai disibak rebak angin mensiar-suirkan
nyanyi sendiri-sendiri tanpa perduli.
Namun di antara sibuk bising nyanyi angin, pepohonan, dan para burung itu,
nada dan nyanyi burung makadawaktu-lah yang mengatas segala.
Suaranya yang aneh , acuh tak acuh, dan terdengar netral, berderam keluar
dengan tenang dan penuh wibawa dari paruh yang panjang melengkung
bagaikan pedang:
Waketu waktu waktu waktu waketuku waktu, mengatas segala suara kicau dan
nyanyi yang ada di sekitarnya.
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Tapi seperti sudah kukatakan tadi, jika engkau dapat masuk ke dalam diri Pak
Tua, hirau kicau deram desah burung, pepohonan dan alam yang di luar
kelihatan bising tak perduli, saling sendiri menyanyi, semuanya jadi terasa
selaras sepadan dan menyatu dalam nyanyi Pak tua itu.
Lelah dan puas menyanyi, Pak Tua menggeletakkan tubuh girangnya di pasir
pantai, melelap dalam kesejenakan tidur. Ia kelihatan sebagai batu bernafas di
sela banyak bebatuan yang terhampar di pantai.
Dalam tidurnya ia sering mengeluarkan dengkur yang aneh, bagaikan kord-kord
harmonika yang tak dapat dilacak nadanya.
Memang dulu ketika muda bekerja sebagai pelaut di kapal tanker Yunani
“Philosophia’, menyanyi dan mabuk-mabukan dengan teman-teman pelaut
sekapal dari berbagai bangsa, ia tak pernah mau menyelaraskan suaranya yang
aneh itu dalam nyanyi bersama.
Dalam mabuknya ia berkicau tak ada do bersama. Bahkan tak ada do sebenar
do. Begitu juga re dan seterusnya. Paling yang do mirip do yang tak sebenar do
yang hampir do yang walau do bukan do yang meski do bukannya do tapi do,
namun do tak juga do, tak sampai do namun do mirip do apalah do kalau tak do.
Biasanya kalau ia sudah berkicau begitu, teman-temannya setanker Philosophia
akan bilang: “Engkau benar, engkau ini Magi dari Timur”. Dan ia dalam
mabuknya tertawa sementara pikirannya bilang pada dirinya sendiri: “Bukan
hanya dari Timur, juga dari Barat, Utara, Selatan.
Tapi tentulah itu tak dilafazkan pada teman-temannya sekapal. Karena ia tahu,
sebagaimana teman-temannya tahu: Bagi para bijak cukuplah satu arah, untuk
menunjukkan banyak arah yang ada.
Kini batu bernafas itu yang punggungnya mengarah tenggelamnya senja, terus
tenggelam dalam lelap diiringi dengkur harmonikanya.
Dengkur yang bersuara harmonika itu sudah lama lama sekali tak terpisahkan
pada tidurnya. Dulu puluhan tahun yang lalu, ketika SD kelas tiga ia pertama
kali mengenal harmonika. Ibunya membelikannya sebuah harmonika 3 dollar
Straits Settlement, mata uang yang berlaku waktu itu di semenanjung Malaya,
Singapura, Brunei dan Riau.
Sejak itu setiap bulan ia menghabiskan 3 sampai 4 harmonika. Tetapi ibunya
tak pernah menolak kalau ia minta uang untuk harmonika.
“Engkau menghabiskan harmonika seperti orang makan jagung rebus,” bilang
abangnya yang iri.
Tapi ibunya bilang: Biarlah. Di antara kalian dialah yang akan pergi jauh dan
lama. Dia akan berpisah jauh dari kita. Mungkin untuk selama-lamanya.
Memang sengaja aku biarkan bising dan sibuk dengan harmonikanya. Aku
biarkan dia, sambil bergantungan di akar hawa pepohonan Riau seperti Tarzan,
menyanyi-nyanyi dan menghisap harmonika. Aku biarkan dia berenang di
lautan, timbul tenggelam bagaikan lumba-lumba, sambil menghisap harmonika.
Aku biarkan dirinya, parunya, dan harmonikanya kuyup dengan laut, selat,
sungai, akar, dan pepohonan Riau. Nanti, biarpun ia pergi jauh, dia takkan
terpisahkan dari kita. Setiap ia menampilkan dirinya dan harmonikanya, selalu
ada kita di sana.
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Sejak berusia 50 tahun ia mulai mendengkurkan harmonikanya. Tapi sejak usia
itu pulalah ia tak pernah bermimpi. Tidurnya selalu kosong mimpi tapi sarat
pada makna hayat kediriannya.
Mimpi hanya untuk luka yang ingin disembuhkan, angan-angan dan harapan,
untuk kejadian-kejadian yang diharapkan dan dicemaskan akan datang, juga
untuk hiburan. Tetapi aku, aku sudah lama tak membutuhkan mimpi. Aku telah
melepas-atasi luka, aku telah lama mencapai atasi sampai. Aku tak
membutuhkan hiburan karena aku adalah kegirangan. Aku tidak menanti dan
tak mengharap. Karena aku adalah yang dinanti dan diharapkan, katanya
dalam omong-omong dengan Paul Wisdom, teman akrabnya sesama mantan
pelaut Philosophia ketika suatu hari kebetulan bertemu di Batam.
‘Engkau memang benar-benar Magi dari Timur, seperti dulu sudah kubilang
waktu di kapal,” kata Paul Wisdom.
Dan seperti biasa, kembali kilatan dalam pikirannya bilang: “Bukan hanya dari
Timur, tetapi juga dari Selatan, Utara dan Barat”. Tetapi seperti biasa pula tak
diucapkan lantang pada temannya. Karena ia tahu, bagi para bijak seperti Paul
Wisdom cukuplah satu arah untuk menunjukkan banyak arah yang ada.
Ketika tidur Pak Tua selalu tersenyum. Bukan hanya di wajahnya yang kerut
merut dihiasi alur usia, tetapi sekujur tubuhnya, kaki, bahu, perut dan tangan
dan lengannya tersenyum. Semakin lelap semakin mengembang senyum di
sekujur tubuhnya. Bahkan tattoo perempuan telanjang di tangan kirinya-
kenang-kenangan di masa pelautnya-yang tadi ikut berkeringat ketika Pak Tua
meloncat-loncat menyanyi, ikut pula tersenyum.
Kedua buah dadanya yang ikut keriput bersama usia Pak Tua, kini serupa
dengan kembang senyum, mengundang hasrat keakraban bagi yang
menatapnya.
Maka tak heran kalau Alina, gadis kecil 5 tahun, yang sengaja melepaskan diri
dari pengasuhnya, sedikitpun tak gentar ketika menemukan batu bernafas itu.
Ia berjongkok di depan Pak Tua, mendengarkan dengan cermat dan asyik pada
dengkur harmonika dari batu keras bernafas namun penuh dilimpahi senyum
akrab di sekujurnya. Ia terpukau pada buah dada tattoo yang mengembangkan
senyum. Alina mengusap-usap lengan yang tersenyum seakan menjawab suatu
jabat tangan. Sebesar-besarnya buah dada dari tattoo di lengan tentulah takkan
besar benar. Tapi bagi Alina, buah dada tua yang mengembangkan senyum itu
menjadi besar penuh susu segar. Ia menundukkan muka ke buah dada kiri
tattoo dan mulai menghisapnya. Pak Tua terbangun.
-Itu hanya gambar-kata Pak Tua sambil tersenyum.
Tanpa malu-malu dan tidak terkejut Alina bilang: “Aku ingin menyusu, Kek”.
-Kau sudah lama tak perlu menyusu-kata kakek.
-Memang sudah lama aku tak menyusu. Tapi sekarang aku ingin.
Pak tua mengalihkan hasrat Alina, memainkan harmonika dengan lembut dan
membisikkan lagu di sela-sela riff-nya. Alina senang kegirangan.
-Siapa namamu?
-Alina.
-Usiamu?
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
-5 tahun.
-Kakek namanya siapa?
-Nama.
-Nama Kakek?!
-Ya Nama.
-Aku bilang nama Kakek siapa?-gusar Alina.
-Ya Nama.
Alina tambah gusar dan kesal.
-Orang harus punya nama, Kek. Namaku Alina. Kakek namanya apa?
-Nama-jawab kakek sambil memungut ranting dan menuliskan : N-a-m-a, di
atas pasir pantai.
-Ah masak nama Kakek Nama. Biasanya nama orang itu Abdul, Alek, Wina,
Hadi, Hamid, Rahman. Tapi Kakek namanya Nama. Tak lazim, Kek.
Kakek tersenyum dan tertawa. Ia tahu sedang menghadapi anak yang cerdas.
Kata ‘tak lazim’ yang diucapkan seorang anak 5 tahun, menambah kesan
kecerdasannya.
-Ya. Baiklah. Biar lebih jelas dan lazim namaku ini-kata kakek, sambil
menggoreskan ranting di pasir dan menulis bin Tafsir setelah N-a-m-a.
-Nama bin Tafsir, itulah nama jelasku. Kalau pakai Tafsir pasti akan lebih jelas
memanggil atau mengenalku. Jika kau sebut Tafsirnya kau akan lebih kenal
aku.
Alina terbengong-bengong dan bilang “aku tak mengerti, Kek”.
-Ya aku tahu kau belum paham. Tapi nantilah jika semakin tambah usiamu,
semakin banyaklah kejadian yang kau alami dan saksikan, kau akan bisa akrab
dan paham dengan namaku dan dengan nama-nama lainnya. Buat sekarang,
kau panggil aku Kakek, itu sudah bagus-kata Pak Tua.
Senja semakin kelam. Burung-burung sudah menutup kicaunya. Semak-semak
dan perdu mulai menyatu dalam bayangan kelam. Pepohonan kelapa kembar
mulai tak kelihatan kembarnya. Dermaga yang jauh sayup, mulai menyalakan
lampunya.
-Sudah waktunya pulang-kata Pak Tua.-Kau bisa pulang sendiri?-tanyanya.
-Itu rumahku-jawab Alina menunjukkan sebuah vila mungil 200 meter dari situ,
yang menjadi terang karena lelampunya sudah dihidupkan.
-Kakek rumahnya di mana?-tanya Alina. Kakek menunjuk pada gundukan
tanah yang luas di ketinggian pantai, ditutupi rumput yang tebal dan rapi dan di
pinggir gundukan penuh merambat bunga-bunga.
Bagi Alina rumah kakek kelihatan aneh sebagai gundukan tanah yang luas dan
lapang.
-Boleh aku ikut Kakek?
-Buat apa-jawab Pak Tua.
-Ya ingin tau aja-jawab Alina.
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Aku cuma ingin tahu jalannya. Sampai rumah Kakek aku langsung pulang.
Nanti kan aku bisa jalan sendiri ke rumah Kakek, tentu bila Kakek
mengizinkan.
Ya, nanti-nanti kau bisa sendirian ke sana, kata kakek sambil membimbing
Alina menuju ke rumah.
Sampai rumah Pak Tua, Alina jadi tahu bahwa rumah kakek dalam tanah.
Gundukan besar dan rapi dengan rumputan dan bunga-bunga itu adalah
atapnya. Percis sebuah kuburan besar tetapi lelampu luar dan dalam rumah
yang segera dinyalakan kakek, serta warna-warni bunga-bunga rerumputan
sejuk dan tebal membuat Alina senang dan jauh dari ketakutan.
Di bagian depan bukit rumah Pak Tua itu, terpancang papan lebar kokoh dan
besar bagaikan sebuah nisan yang besar dan jelas tercantum nama Pak Tua:
Nama bin Tafsir. Kakek tersenyum melihat Alina dengan bantuan cahaya
lelampu taman mencoba mengeja namanya.
Sudah waktunya kau pulang sekarang. Nanti ayah dan ibumu bisa cemas.
Lantas digaetnya tangan Alina dan diantarnya bocah kecil itu separuh jalan
menuju rumah orangtuanya. ***
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
BERCINTA DI BAWAH BULAN
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Media Indonesia, Edisi 08/04/2002

INILAH ritual yang kuangankan sejak usia dua belas tahun: bercinta di bawah
bulan!Di bawah leleh cahayanya yang melumuri langit dan tergenang di atas
laut, seperti emas cair yang selalu bergelombang mengikuti tarian ombak.
Seperti itu pula tubuhku meliuk mengelilingi tubuhmu, ditumbuhi gairah yang
menggelegak setelah bertahun-tahun kuhimpun dengan sabar hingga terlampau
sulit dibendung. Mengingatkan peristiwa desakan air dalam dam raksasa yang
hanya dibatasi tanggul rapuh dan meruntuhkannya. Menyebabkan jutaan kubik
air tumpah, lalu mengalir dengan kecepatan tak terduga. Merobohkan seluruh
benda yang dilintasi, nyaris tanpa peduli. Sebagaimana percintaan yang
berlangsung tanpa mempertimbangkan sekitarnya, karena seluruh pori tubuh
kita mekar menguapkan aroma syahwat. Mengaduk-aduk darah yang berlalu-
lalang amat gegas, dari jantung ke seluruh tubuh. Melewati jaringan aorta
menuju jemari yang meregang. Dari lorong arteri memasuki bagian-bagian
tersembunyi. Dan sebaliknya, dari akar-akar rambut kembali ke pusat
pembuluh. Seperti Audi Sporty yang meluncur kencang di jalan tol, membuat
napas kita tersengal oleh perebutan antara hasrat dan kesabaran.Oh, mana
mungkin ada kesabaran dalam sebuah percintaan yang bergelora? Tentu tiada
yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, bagi percumbuan yang mirip geliat hiu
mengitari mangsanya, sebelum mencabik-cabik korban dengan taringnya,
sampai menjadi sayatan-sayatan penuh hamburan warna merah. Hanya
bedanya, saat ini warna bulan yang menyiram rambutmu menjadi kelebatan-
kelebatan cahaya kuning sewaktu kaugoyangkan kepalamu mengikuti irama
tubuhku. Menyerupai tarian Boi G Sakti yang lentur sekaligus kejang.
Sementara suara laut menirukan ribuan tambur basah yang ditabuh tangan
kanak-kanak pada sebuah karnaval lepas senja.Kita berdua semakin
bersemangat bercinta di bawah bulan. Di hamparan pasir putih yang dari
butirannya membersit kerlip kilau lantaran mengandung serbuk kaca. Dan,
kadang-kadang dua pasang kaki kita saling menjalin, menelikung, menyebabkan
tubuh kita terguling dalam dekapan erat. Menggelepar memasuki air pantai.
Dijilat-jilat lidah ombak dengan mesra, dan perlahan-lahan terisap pusaran
pasir lembut di bawah air yang tergerus riak gelombang. Seperti diajak kembali
ke tengah laut, mungkin menuju palung, dan tentu saja: suara decap kecupan
bibirmu yang mematuk setiap inci leherku terdengar bagai kicau camar, yang
demikian riang menemukan beribu-ribu ikan kecil mengambang, berenang
dalam suatu koloni ketika air pasang. Sebab, bulan tengah mencapai
purnama.Seperti juga api cinta dalam dada kita yang mencapai puncak bara.
Dan, geliat nyala itulah tubuh kita, yang berputar saling menjepit mirip
anyaman rotan. Bergantian dilahap tatapan bulan, punggungmu dan
punggungku yang telanjang. Di antara siluet masif dua badan saling dekap.
Sementara sesekali butir keringat pada busung indah payudaramu
memantulkan kilatan warna tembaga, campuran rona kulit duku pada tubuhmu
dengan sorot cahaya bulan. Ah, seandainya tak banyak lubang pada tubuh kita,
tentu kita berdua akan terapung seraya terus menggeliat dan tertiup angin ke
tengah samudra. Sebagaimana pelampung yang terombang-ambing ombak, dan
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
hanya sesekali disambar bidikan sinar lampu menara mercu yang berdiri
angkuh di sisi pelabuhan.Tapi kita tak terapung! Sungguh. Karena selain air
laut belum mencapai lutut, gelombang cinta yang memadukan pancaindra ke
pusat saraf, membuat kita terus menari. Menyusun jejak demi jejak kenikmatan,
untuk kita kekalkan dalam erangan panjang yang suaranya akan memantul
menjadi gema tak putus di langit. Menyentuh paras bulan bening, sampai ia
tersipu karena tak berkedip menyaksikan adegan percintaan kita yang demikian
panas. Tampak melalui uap yang terbang dari pori-pori serupa kabut melayang,
sebagai pengorbanan embun malam kepada terik surya pagi. Serupa asap
hangat kepundan yang membubung sehabis sibuk melebur belerang. Ya, itulah
hawa yang mengalir atas nama gelora cinta. Alangkah nikmatnya!Apalagi
hasrat itu telah menjadi impian yang pernah bergulung dari malam ke malam
sejak usiaku dua belas tahun, ketika gambar perempuan telanjang menjadi awal
pacu darahku. Dan, setiap suara perempuan menebar getaran yang meniup
bulu-bulu halus di relung telingaku. Wangi keringat perempuan menjadi aroma
yang mengirimkan ilusi tentang harum tubuh bidadari. Sebuah usia yang
mengubah sentuhan tangan perempuan menjadi semacam demam, dan
membuat jantungku luluh dalam debar. Ketika itu, seluruh imaji tentang
perempuan adalah titisan Ken Dedes dan Dewi Aphrodite.Ya! Usia lelaki
perawan yang kemudian berjanji kepada diri sendiri untuk menjaga kesucian
hingga tiba saatnya bercinta pertama kali dengan seorang perempuan perawan.
Yang secara lahir dan batin dicintai baik siang maupun malam, dalam kubangan
duka maupun gembira. Saat jauh di seberang pulau atau ketika berimpit dalam
persetubuhan yang syahdu.Ternyata, engkaulah perempuan yang akan kucintai
sepanjang hidup. Sampai-sampai tanganku tak hendak menyentuh batang
zakarku sendiri jika semata bermaksud melakukan masturbasi. Bahkan selintas
keinginan untuk mencobanya diam-diam di sebuah kamar sunyi pun
kusingkirkan demi menjaga keperawanan, meskipun godaan untuk sekadar
membelainya sejak lunglai hingga tegak berdiri itu datang demikian bertubi-
tubi. Mirip bujukan ular yang menyamar peri agar kupetik buah khuldi,
sementara barang berharga itu kulindungi dengan segala daya dan pengorbanan
demi cintaku padamu. Karena kita akan melakukan ritual percintaan paling
hangat pada kesempatan yang sangat ditunggu-tunggu. Di tepi pantai saat
bulan purnama terbit dari rahim lautan, yang seolah mendidih setelah
merendam tubuh apinya. Sebagai kesempatan terindah untuk menyerahkan --
tidak hanya jiwaku akan tetapi juga -- badanku yang perawan. Yang akan
membuat tubuh perawanmu juga gemetar dalam puncak ngilu keterharuan,
mengingat betapa aku laki-laki yang pandai menghargai sebuah percintaan
tulus.Diawali sebuah rayuan dari lubuk hati yang memukau, di antara
kepingan-kepingan nafsu yang telah dibuat membeku selama bertahun-tahun
dalam perjalanan mencapai hari ini. Hari yang mungkin diberkahi. Hari yang
memiliki malam amat cerah dan hangat, karena paras ayu bulan purnama
senantiasa memamerkan senyum. Dan, secara diam-diam mengalirkan
pengaruh sihirnya kepada kita berdua.Itulah yang menyebabkan kita masing-
masing rela saling berpagut bibir. Tangan kita bagai mengandung sengat halus,
saling meraba dengan getar vibrasi yang lembut. Menyusup ke dalam pakaian,
memasuki ketiak dan celah-celah yang lain. Meremas bahu dan tonjolan-tonjolan
lainnya. Membelai rambut yang terurai di kepala kita dan bulu-bulu yang lain.
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Mencubit paha dan bagian-bagian tubuh di sekitarnya. Lihatlah: jemari kita
bermain dengan kecepatan jemari Indra Lesmana pada bilah-bilah piano saat
tenggelam dalam jam session. Gesekan tangan kita di pipi dan leher
mengingatkan atraksi biola Vanessa Mae yang menghanyutkan. Sementara
cengkeraman kukumu ke kulit punggungku setegang pemanjat tebing yang
menggantungkan harapan kepada kekuatan ruas jari paling ujung. Desah napas
kita meniru seorang pelari. Erangan erotik yang terdengar dari mulutmu
melampaui rasa sakit seorang ibu yang melahirkan bayi pertamanya. Lalu kita
pun melempar pakaian yang lolos lembar demi lembar ke udara, disambut angin
yang berembus mendorong perahu nelayan ke tengah laut. Sejenak busana kita
melayang tak beraturan dan jatuh ke permukaan laut, yang menyerupai agar-
agar biru kelam pada setiap pahatan ombak, dan menguning pada gigir
lunaknya.Sampai akhirnya tubuh kita bugil, bercahaya karena mata bulan yang
rakus segera menerkamnya. Sungguh membuatku cemburu, karena terasa tak
adil caranya memandang. Dan, tak kutunggu waktu lagi: segera kudekap erat
tubuh hangatmu yang meronta manja. Menggelinjang liar namun pintar
mengisap sejak bagian atas sampai paling bawah. Meluluhkan sendi-sendi di
satu sisi dan membangkitkan seluruh sel berahi di sisi lain. Maka terjadilah
adonan yang saling lekat dan saling rekat, berputar bagai gasing pada sumbu
yang berpindah-pindah. Beribu denyar berlomba menuju ubun-ubun, lalu
kurasakan asin yang aneh pada lidahku, yang kupastikan bukan cipratan air
laut, melainkan darah dari bibirmu yang kugigit lantaran kelewat gemas.
Sebaliknya leherku bagai melepuh oleh hirupan panjang yang membuat
kesadaranku tercerabut sejenak oleh kepayang. Seperti vertigo yang singgah,
sungguh tak terbayangkan sejak awal, karena kita berdua adalah perjaka dan
perawan yang sangat diberkati.Bercinta di bawah bulan! Menggelepar dalam
pangkuan ombak laut di tepi pantai yang dihiasi pohon-pohon nyiur. Di
bawahnya berserak pasir kuarsa, dan serbuk kulit lokan yang tak terkuburkan.
Membuat seluruh saraf di telapak kaki mengalami sensasi. Terlebih ketika
sepasang tanganmu terangkat ke udara dan tatapan matamu menyala pantulan
bulan. Membuatku terpesona, seolah menyaksikan Dewi Yemanja yang
kasmaran.Sampai tak kusadari perubahan mulai terjadi menjelang puncak
ekstase paling bersejarah dalam hidupku. Juga hidupmu, kukira. Meskipun
kemudian muncul perasaan cemas, sewaktu gerakanmu semakin liar. Urai
rambutmu berkibaran mirip lidah api keemasan berlatar langit dengan desiran
angin garam. Desahmu mengandung nada tinggi, mengingatkan erang Sharon
Stone dalam film Basic Instinct. Dan, tentu mengingatkan segala kemungkinan
yang terjadi ketika engkau mulai dekat dengan orgasme.Ya! Sesuatu yang tiba-
tiba membuatku takut, namun terlambat. Dari ujung jari-jari tanganmu tumbuh
kuku yang runcing, berkilau di bawah sinar bulan. Dengan kecepatan yang tak
sanggup kuikuti: terayun ke arah wajahku. Kepalaku bergerak menghindar,
namun tak sepenuhnya berhasil karena bagian bawah badan kita sedang
menjadi satu. Ini merupakan perasaan yang amat sulit dijelaskan. Ketika
puncak gelora sedang kugapai, secara bersamaan keliaranmu menunjukkan
tanda-tanda yang menakjubkan. Nikmat bercampur rasa sakit, atau sebaliknya,
kepedihan berlumur nikmat.Ah, lihatlah darah yang kemudian terciprat dari
luka di wajahku. Engkau tampak sangat menikmati. Melalui senyuman yang
begitu memesona. Senyum yang menyimpan kepuasan tiada tara. Membuatku
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
merasa rela, bahkan sewaktu cabikan tanganmu beralih ke dadaku setelah
terjadi jarak dengan ujung payudaramu. Terasa bagai cakaran yang indah, yang
melukis langit malam dengan darah. Sebagian menabur wajahmu yang kian
cantik, kian membuatku tergila-gila bercinta di bawah bulan. Di antara kecipak
air laut, di tengah embusan angin yang lengket oleh garam, di atas pasir pada
sebuah pantai yang landai. Di musim berahi yang kutunggu sejak usia dua belas
tahun.Kesabaran menunggumu, tentu. Menunggu peristiwa ini terjadi, dan
ternyata sungguh luar biasa! Tak pernah sebersit pun kubayangkan: kelopak
bibirmu yang ranum bergantian mengulum mulutku, di sela cabikan tanganmu
yang bergerak mirip baling-baling pada sebuah kincir angin. Aku mengerang tak
habis-habis, karena pemandangan selanjutnya sungguh menggairahkan. Ketika
bagian perutku mulai terbuka, dan aku demikian bahagia memandangi ususku
perlahan-lahan lolos dari rongga.Tentu memerlukan waktu yang lama untuk
mengatur kembali untaian usus di antara lambung dan tulang iga setelah
percintaan ini selesai. Meskipun tak kupikirkan benar, karena kemudian kulihat
bulan bergetar di atap langit. Cahayanya semakin bening menyala, bagai benar-
benar leleh ke rambut kita yang berkeramas keringat dan air laut.Betapa tubuh
kita mirip sepasang hiu yang bertarung. Sesekali engkau menggigit leherku, dan
kubalas dengan gigitan yang lebih bertenaga. Lalu engkau memekik tertahan,
sebelum mengulang cabikan dengan kuku-kuku runcingmu. Beberapa luka baru
terbentuk di atas pusar. Bahkan di dinding usus yang mulai tersayat.
Mengingatkan aku pada kisah Aryo Penangsang, walau peristiwa ini jauh lebih
indah dan menarik.Sungguh peristiwa yang tak mungkin terlupakan. Kecuali
satu hal: apakah sepasang matamu yang menyala kuning akan disertai
ketajaman telingamu menangkap lolong serigala di bukit hutan yang jauh?
Seperti Michelle Pfeiffer di akhir film Wolf? Sedikit demi sedikit tumbuh taring
pada kedua sisi mulutmu, bulu cokelat di punggung-tanganmu, atau perubahan
yang lebih menakjubkan lainnya. Meskipun itu tak kupikirkan benar, karena
hasratku telah sampai. Dan, aku perlu berterima kasih kepadamu, cintaku.
Sebagai perempuan, engkau telah memenuhi segala impianku.Ya, inilah ritual
yang kuangankan sejak usia dua belas tahun: bercinta di bawah
bulan!***Jakarta, 2 Maret 2002Keterangan:tiada yang lebih tabah dari hujan
bulan Juni; salah satu baris pada puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul
Hujan Bulan Juni.Dewi Yemanja; nama dewi laut di Bahia - Brasilia, yang
dipercaya sebagai pembawa berkah bagi para nelayan, di film Woman on
Top.Dewi Aphrodite; nama dewi kecantikan bangsa Yunani KunoKen Dedes;
perempuan tercantik dari Tumapel, istri Tunggul Ametung yang kemudian
menjadi istri Ken Arok setelah Tunggul Ametung dibunuh dengan keris Empu
Gandring .
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
CERITA DI MALAM PERTAMA
Cerpen: Titis Basino
Sumber: Suara Karya, Edisi 05/30/2002

Pesta empat hari empat malam dari perkawinan Arti dan Pramono hampir
berakhir. Tinggal beberapa tamu yang masih menghabiskan minumnya yang
terakhir sambil melirik ke arah mempelai berdiri seakan mengerti bahwa
kehadirannya tak lagi diharapkan. Bunga anggrek kuning berseling putih cantik
memberisenyum selamat malam pada Arti yang berhai risau. Tidak karena
malam ini malam pertamanya. Tidak. Tapi ada yang harus diceritakan pada
Pram yang kini bisa disebut suaminya. Apa kata Pram kalau tahu Arti seorang
... Sambil menggandeng tangan Arti, Pram mengajak naik ke tingkat
delapanbelas, di mana mereka akan menghabiskan malam pertamanya. Hotel
megah itu menyenandungkan kidung selamat pisah dara remaja. - Sebaiknya
aku bicara dulu sebelum kita berangkat tidur, Pram. - Ya, kita bicara sambil
bercanda di kamar. Kedua orangtua Arti dan juga orangtua Pram pamit pulang
ke rmah masing-masing. Tinggal suasana malam yang penuh keindahan di hotel
dengan senyum para pelayan yang menyembunyikan pengertian bahwa mereka
akan mendapat persen banyak besok dari pengantin laki-laki.*** Hawa dingin
dari alat pendingin menggigilkan Arti. Arti tak ingin mengecewakan Pram, tapi
dia tak ingin pula ditolak kalau Pram tahu istrinya hanyalah seperti remaja
kota besar lainnya. Kalau saja tangga mampu dia naiki, Arti ingin lewat tangga
saja agar dia tak terlalu cepat sampai di kamar pengantin mereka. Tapi tingkat
delapanbelas setinggi 90 meter, bukan satu perjalanan yang mengasyikkan
walau dipanjat oleh mempelai berdua. Karena itu mereka naik lift. Suara
gemerisik dari lift mengajak Arti bersiap menyusun kata demi kata untuk
disajikan pada Pram, agar tidak kecewa. Nah sampai kita di tingkat
delapanbelas, lalu: - Lalu aku mau bicara sebelum kita melepas baju pengantin
ini. - Baik, kau mulai saja aku ambilkan minum ya. - Tidak, kau disini saja.
Keduanya duduk di pinggiran tempat tidur. Permadani yang bertabur melati
menyemburkan wangi cinta suci. redupnya lampu di kedua sisi tempat tidur
mereka, menyembunyikan tingkah polah manusia-manusia yang tidur di kamar
itu. - Nah katakan apa rahasia pengentinku malam ini ... ? - Begini Pram, - Ya?
dalam hati Pramono berdenyit kengerian kalau pengantinnya akan mengatakan
bahwa dia bukan gadis lagi, bukan gadis, dan dia memang bukan perjaka. Itu
rahasia masing-masing manusia itu. Itu tak akan membuat malam ini menjadi
malam yang membatalkan perkawinan mereka. Tapi perasaan ngeri itu akan
menjadikan satu pusat kekecewaan. Bukan itu. Semoga yang akan dikatakan
Arti ... - Pram, kau kau harus mendengarnya dari mula. - Baik, ayolah kau mulai
saja. - Aku dulu semasa remaja, masih di sekolah menengah pertama, aku tak
pernah merasakan kebahagiaan seperti ini. - Tentu manis, kau memang saat itu
belum bertemu denganku. - Tapi, aku tidak pernah diperhatikan orangtuaku.
Ibu tak pernah ada di rumah dan aku selalu menemui rumah yang kosong.
Ruang makan sepi. Dan seekor kucing yang setia saja tak mampu menghiburku.
saudaraku bermain mencari kesenangan juga di luar rumah. - Nah mulai saat
ini kau tidak akan menjadi manusia yang kesepian lagi, aku akan selalu pulang
untuk makan siang bersamamu. - Ya, tidak itu saja, aku lalu pergi, mencari
tempat di mana aku ada yang memperhatikan. - Lalu? - Aku tidak makan di
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
rumah yang sepi dan mencengkam itu. Aku pergi ke rumah Desi. Rumahnya
besar tapi selalu ramai karena penuh teman-teman yang bercanda, dan
membual sambil menghabiskan waktu siangnya. Merokok di situ bukan soal,
siapa yang paling pandai memegang rokok akan menjadi pusat perhatian. Lama
kelamaan siang hari itu disambung malam dan kalau malam mereka tidak saja
merokok tapi juga mengganja. - Dan kau? - Mula pertama aku tidak ingin
menuruti kebiasaan mereka. Tapi, mereka menganggapku anak bawang, mereka
menganggapku bukan termasuk sebagian dari mereka. Aku dikucilkan. Di luar
lingkungan mereka aku malah tidak dianggap punya satu tujuan. Padahal aku
telah mengikuti kebiasaan mereka merokok. Aku telah ikut menghamburkan
uang orangtuaku yang memang aku dapat dengan mudah. Aku tidak akan
meninggalkan mereka begitu saja setelah aku bersama mereka sekian lama.
Mereka biasa tidur bersama. laki-laki dan perempuan. - Satu kamar? - Ya, satu
tempat tidur. - Dan aku masih ragu untuk mengadakan langkah selanjutnya.
Tapi mereka akan mengadakan pemilihan anggota yang lebih intim dengan
mengadakan perjanjian yang akan disetujui dengan tandatangan dari darah
kami masing-masing. Aku bimbang. Dan aku pulang. Aku tidak menemui
seorang pun di rumah, rumah itu tetap sepi, ibu di perusahaan besar dan ayah
di luar negeri mengatur perdagangan yang mengalirkan uang ke perusahaan
ibu. Berdua mereka bekerja seakan lupa bahwa aku ada di antara hidup mereka.
Bahka aku dan kedua saudaraku menantikan mereka, pulang. Aku ingin
mengatakan bahwa aku ini anak mereka tapi tidak pernah berkesempatan,
karena ibu dan ayah berpendapat bahwa uang adalah pengganti dan sarana
kebahagiaan seseorang. Aku selalu mendapat uang di penghujung minggu, aku
biasa menerima uang tanpa bersusah payah meminta dan menerangkan untuk
apa aku pergunakan. Mereka selalu pergi pagi sebelum aku bangun, dan
meninggalkan aku sendiri dengan pembantu dan kedua adikku. - Itu dulu kini
kau tidak akan sendiri. - Tapi aku terbawa arus berkawan dengan amat pesat.
Saat itu, belum usia 17 aku telah menerima tawaran mereka menyuntikkan obat
jahanam itu ke badanku. Hanya karena aku takut terpisah dari pertemuan
dengan mereka. Aku takut kesepian. Beberapa bulan berjalan, aku tiba-tiba
dipanggil oleh orangtuaku. Mukaku masih mengantuk dari keracunan obat yang
aku masukkan ke badanku semalam. Polisi telah menelpon orangtuaku,
menemukan aku berkumpul dengan teman-teman segerombolanku. - Kau
pusing? Ke mana saja kau selama ini? - Papa dari mana? Mengapa baru
sekarang aku ditanyai? - Kau tahu kan papa cari uang. Sedemikian sibuk aku
untuk membahagiakanmu, mengapa kau selalu pergi? Mengganja? Minum-
minum dan apa lagi? - Memang aku mengerjakan semua itu, karena aku ingin
berteman, sedang di rumah tak ada siapa pun yang aku ajak bertimbang rasa. -
Kau tidak kekurangan, bukan? Dan ada yang mengawasimu selama ini, ada
perawat, ada sopir mengantar ke mana kau pergi. Mengapa kau kerjakan itu?
Tak tahukah kau bahwa itu menyusahkan orangtuamu? Sebenarnya aku ingin
membukakan matanya, ingin aku berteriak bahwa aku ini anak papa dan mama.
Bukan anak perawat dan sopir atau pembantu. Mengapa harus mereka yang
menemaniku di rumah ini? Aku tidak tega mengasari ayahku, hingga aku hanya
bisa berkata pelan. - Aku hanya ingin berada di antara orang-orang yang senasib
denganku, tak ada yang menemani kami semua di rumah, orangtua kami semua
sibuk dan kami mendapatkan uang dengan amat mudah. Salah siapa aku tidak
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
akan mengatakan. Bawalah aku ke mana papa suka, aku tidak akan menolak.
Aku ingin kembali seperti anak papa dahulu. - Ya, kau akan aku bawa ke rumah
sakit. - Dan sejak saat itu aku diserahkan ke Pamardi Siwi. Har-hari yang sepi
dan penuh kengerian ada di sekitarku. Terali besi menghambat semua
perjalanan otakku, karena memang satu yang aku damba, obat perangsang
penggoda jiwa itu. Latihan-latihan untuk kembali jadi manusia yang mandiri
diajarkan dengan segala cara pada kami yang ada di sana. Dokter-dokter yang
menanganiku seorang ahli jiwa yang sabar dan cantik. Dia mengajakku
berwawancara mengeluarkan semua keluhanku, tiap kali aku ingin menghisap
ganja. Tapi dengan kesadaran perlahan-lahan aku berusaha menghindarinya,
dengan segala macam cara yang disarankan dokter cantik itu. Aku berhasil
sembuh. Aku tidak dibawa ke rumah, aku masih jarang bertemu ibu walau aku
sudah dirawat di rumah penyelamat itu. Seakan ibu memang menjauhiku, atau
itu memang caranya mencintaiku? Atau dia lebih mencintai uangnya? Atau
mencintai tugasnya di luar rumah? Tapi satu aku tahu pasti dia menginginiku
untuk sembuh. Dan aku ingin membuktikan aku bisa sembuh dan suatu saat
menjadi seorang ibu yang tidak akan meninggalkan anaknya tanpa perhatian
sama sekali. - Lalu kau dibawa ke mana? - Seorang sopir yang baru yang tidak
aku kenal menghantarku ke Halim. Aku akan di bawa oleh orangtuaku ke
Australia. Aku menanyakan ke mana sopir yang lama? Ternyata dia telah
dipecat karena dia mengetahui seluk-beluk masa laluku, dan mereka ingin aku
membuang masa laluku, dengan melemparkan aku ke luar negeri. dari Australia
aku belajar ke Eropa lalu ke Amerika. - Lalu aku menemuimu di Eropa. Di
Amerika, mengapa kau tak pernah menceritakannya? - Ya, aku ingin
mendapatkan cintamu dahulu, dan aku tak mau kau lari dariku bila kau tahu
aku hanya seorang gadis yang pernah dirawat di Pamardi Siwi. - Aku tidak
semudah itu melepas dan menilai seseorang yang telah membuktikan
keakuannya di luar keluarga. Sekian tahun kau selalu sendiri dan kau tak
pernah mengidap lagi, itu satu tanda kau telah benar-benar lepas dari masa
lalumu. Mengapa kau masih mengingatnya kembali? Kau tak boleh terlalu
kejam pada dirimu sendiri. Kau kini manusia lain dari sepuluh tahun yang lalu.
Arti terdiam. Kamar pengantin itu seakan bersinar kemilau oleh nasehat yang
keluar dari mulut laki-laki yang kini akan menuntunnya untuk menjadi anak
manusia yang tegap di antara keriuhan segala goda. Sejak malam itu seakan
detik amat cepat berlalu seperti seekor kelinci melompati padang hijau. Dalam
pelukan seorang menusia berhati baja, Arti membayangkan kembali hari-
harinya. Kawan-kawan yang beraneka citra, berbagai obat yang mengancam
nyawa dan kemewahan yang hampir meruntuhkannya. Pantas tak seorang pun
dari temannya hadir di pesta perkawinan ini. Orangtuanya benar-benr tak
hendak mengembalikan ingatan putrinya, dan tak hendak melepas pria yang tak
pernah tahu masa lalunya. Itu memang menjadi rahasia mereka, tapi tidak
demikian di antara kedua suami-istri pengantin yang akan mengarungi
hidupnya bersama di jagad raya. ***
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
GEROBAK
Cerpen: Seno Gumira Ajidarma
Sumber: Kompas, Edisi 10/15/2006

Kira-kira sepuluh hari sebelum Lebaran tiba, gerobak-gerobak berwarna putih


itu akan muncul di berbagai sudut kota kami, seperti selalu terjadi dalam bulan
puasa tahun-tahun belakangan ini. Gerobak itu tidak ada bedanya dengan
gerobak pemulung, atau bahkan gerobak sampah lainnya, dengan roda karet dan
pegangan kayu untuk dihela kedua lengan di depan. Hanya saja gerobak ini
ternyata berisi manusia. Dari balik dinding gerobak berwarna putih itu akan
tampak sejumlah kepala yang menumpang gerobak tersebut, biasanya seorang
ibu dengan dua atau tiga anak yang masih kecil, dengan seorang bapak
bertenaga kuat yang menjadi penghela gerobak tersebut.
Karena tidak pernah betul-betul mengamati, aku hanya melihat gerobak-
gerobak itu selintas pintas, ketika sedang berjalan merayapi berbagai sudut
kota. Dari mana dan mau ke mana? Aku tidak pernah berada di batas kota dan
melihat gerobak-gerobak itu masuk kota. Mereka seperti tiba-tiba saja sudah
berada di dalam kota, kadang terlihat berhenti di berbagai tanah lapang,
memasang tenda plastik, menggelar tikar, dan tidur-tiduran dengan santai.
Tidak ketinggalan menanak air dengan kayu bakar dan masak seperlunya.
Apabila tanah lapang sudah penuh, mereka menginap di kaki lima, dengan
plastik menutup gerobak dan mereka tidur di dalamnya. Tidak jarang mereka
memasang juga tenda di depan rumah-rumah gedung bertingkat. Salah satu dari
gerobak itu berhenti pula di depan rumah gedung kakekku.
"Kakek, siapakah orang-orang yang datang dengan gerobak itu Kek? Dari
manakah mereka datang?"
Kakek menjawab sambil menghela napas.
"Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti menghilang setelah
Lebaran. Mereka datang dari Negeri Kemiskinan."
"Negeri Kemiskinan?"
"Ya, mereka datang untuk mengemis."
Aku tidak bertanya lebih lanjut, karena kakekku adalah orang yang sibuk. Di
samping menjadi pejabat tinggi, perusahaannya pun banyak sekali, dan Kakek
tidak pernah membagi pekerjaannya yang berat itu dengan orang lain.
Semuanya ia tangani sendiri. Dari jendela loteng, kuamati orang-orang di dalam
gerobak itu. Anak-anak kecil itu tampaknya seusiaku. Namun kalau aku setiap
hari disibukkan oleh tugas-tugas sekolah, anak-anak itu pekerjaannya hanya
bermain-main saja. Kadang-kadang aku ingin sekali ikut bermain dengan anak-
anak itu, tetapi Kakek tentu saja melarangku.
"Jangan sekali-sekali mendekati kere-kere itu," kata Kakek, "kita tidak pernah
tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita."
"Apa yang mereka pikirkan Kek?"
"Coba saja kamu setiap hari hidup di dalam gerobak di luar sana. Apa yang akan
kamu pikir jika dari kegelapan melihat lampu-lampu kristal di balik jendela,
dalam kerumunan nyamuk yang berdenging-denging melihat anak kecil berbaju
bersih makan es buah dan pudding warna-warni waktu berbuka puasa?"
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Aku tertegun. Apa maksud Kakek? Apakah mereka akan menculik aku?
Ataukah setidaknya mereka akan melompat masuk jendela dan merampas
makanan enak-enak untuk berbuka puasa ini? Aku memang selalu mendapat
peringatan dari orangtuaku untuk hati-hati, bahkan sebaiknya menjauhi orang
yang tidak dikenal. Memang mereka tidak pernah menyebutkan kata-kata
semacam, "Hati-hati terhadap orang miskin," atau "Orang miskin itu jahat,"
tetapi kewaspadaan Ibu memang akan selalu meningkat dan segera
menggandeng tanganku erat-erat apabila didekati orang-orang yang berbaju
compang-camping dan sudah tidak jelas warnanya lagi. Dari balik topi tikar
pandan mereka yang sudah jebol tepinya, memang selalu kulihat mata yang
menatap, tetapi tak bisa kuketahui apa yang dikatakan mata itu.
Sekarang aku tahu gerobak-gerobak berwarna putih itu datang dari Negeri
Kemiskinan. Di mana tempatnya, Kakek tidak pernah menjelaskan, tetapi
kurasa tentunya dekat-dekat saja, karena bukankah gerobak itu dihela oleh
orang yang berjalan kaki? Demikianlah gerobak-gerobak itu dari hari ke hari
makin banyak saja tampaknya. Benarkah, seperti kata Kakek, mereka datang
untuk mengemis? Aku tidak pernah melihat mereka mengulurkan tangan di
depan rumah- rumah orang untuk mengemis. Juga tidak kulihat mereka
menengadahkan tangan di tepi jalan dengan batok kelapa atau piring seng di
depannya. Jadi kapan mereka mengemis?
Ternyata mereka memang tidak perlu mengemis untuk mendapat sedekah.
Nenek misalnya selalu mengirimkan makanan yang berlimpah-limpah kepada
gerobak yang menggelar tenda di depan rumah. Ketika kemudian gerobak-
gerobak itu makin banyak saja berjajar-jajar di depan rumah, gerobak-gerobak
yang lain itu juga mendapat limpahan makanan pula. Tampaknya orang-orang
yang dianggap berkelebihan diandaikan dengan sendirinya harus tahu, bahwa
manusia-manusia dalam gerobak itu perlu mendapat sedekah. Demikian pula
manusia-manusia dalam gerobak itu tampaknya merasa, sudah semestinyalah
mereka mendapat limpahan pemberian sebanyak-banyaknya tanpa harus
mengemis lagi. Mereka cukup hanya harus hadir di kota kami dan mereka akan
mendapatkan sedekah yang tampaknya mereka anggap sebagai hak mereka.
Begitulah dari hari ke hari gerobak-gerobak putih itu memenuhi kota kami,
bahkan mobil Kakek sampai sulit sekali keluar masuk rumah karena gerobak
yang berderet-deret di depan pagar. Di jalan-jalan gerobak itu bikin macet, dan
di tepi jalan keluarga gerobak yang memasang tenda-tenda plastik seperti
berpiknik itu sudah sangat mengganggu pemandangan. Manusia-manusia
gerobak ini seperti bersikap dunia adalah milik mereka sendiri. Sepanjang hari
mereka hanya bergolek-golek di atas tikar, tidur-tiduran menatap langit dengan
santai, dan mereka seperti merasa harus mendapat makanan tepat pada
waktunya. Pernah pembantu rumah tangga di rumah Kakek yang terlambat
sedikit mengantar kolak untuk berbuka puasa, karena tentu mendahulukan
Kakek, mendapat omelan panjang dan pendek. Tetangga-tetangga juga sudah
mulai jengkel.
"Tenang saja," kata Kakek, "sehabis Lebaran mereka akan menghilang, biasanya
kan begitu."
"Tapi kali ini banyak sekali, mereka seperti mengalir tidak ada habisnya."
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
"Ya, tapi kapan mereka tidak kembali ke tempat asal mereka? Mereka selalu
menghilang sehabis Lebaran, pulang ke Negeri Kemiskinan."
Para tetangga tidak membantah. Mereka juga berharap begitu. Setiap tahun
menjelang hari Lebaran gerobak-gerobak memenuhi kota, tetapi setiap tahun itu
pula mereka akan selalu menghilang kembali.
>diaC<
Pada hari Lebaran, gerobak-gerobak itu ternyata tidak semakin berkurang.
Meskipun kota kami selalu menjadi sunyi dan sepi setiap kali Lebaran tiba, kali
ini kota kami penuh sesak dengan gerobak yang rupanya setiap hari bertambah
dengan kelipatan berganda. Gerobak-gerobak itu masih saja berisi anak-anak
kecil dan perempuan dekil, dihela seorang lelaki kuat yang melangkah keliling
kota. Mereka berkemah di depan rumah-rumah gedung, mereka tidur-tiduran
sambil memandang rumah-rumah gedung yang indah, kokoh, kuat, asri, dan
mewah dari luar pagar tembok. Pada hari Lebaran, penghuni rumahrumah
gedung itu banyak yang pulang kampung, meninggalkan rumah yang kadang-
kadang dijaga satpam, dititipkan kepada tetangga, atau ditinggal dan dikunci
begitu saja.
Lebih dari separuh warga kota mudik ke kampungnya masing-masing pada hari
Lebaran, pada saat yang sama gerobak-gerobak masuk kota entah dari mana,
pasti tidak lewat jalan tol, entah dari mana, seperti hadir begitu saja di dalam
kota. Apabila kemudian warga kota kembali dari kampung, kali ini gerobak-
gerobak itu masih tetap di sana. Berkemah dan menggelar tikar di sembarang
tempat, bahkan sebagian telah pula masuk, merayapi tembok, melompati pagar,
dan hidup di dalam rumah- rumah gedung itu.
Warga kota yang memasuki kembali rumah-rumah mereka terkejut, orang-orang
yang datang bersama gerobak itu telah menduduki rumah tersebut, makan di
meja makan mereka, tidur di tempat tidur mereka, mandi di kamar mandi
mereka, dan berenang di kolam renang mereka. Apakah mereka maunya hidup
di dalam rumah-rumah gedung yang selalu mereka tatap dari luar pagar dengan
pikiran entah apa dan meninggalkan gerobak mereka untuk selama-lamanya?
"Mereka masih di sini Kek, padahal hari Lebaran sudah berlalu," kataku kepada
Kakek.
Lagi-lagi Kakek menghela napas.
"Mereka memang tidak bisa pulang ke mana-mana lagi sekarang."
"Bukankah mereka bisa pulang kembali ke Negeri Kemiskinan?"
"Ya, tetapi Negeri Kemiskinan sudah terendam lumpur sekarang, dan tidak ada
kepastian kapan banjir lumpur itu akan selesai."
Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang itu tampak sangat amat dekil.
Rupa-rupanya seluruh tubuh mereka seperti terbalut lumpur, sehingga kadang-
kadang mereka tampak seperti patung yang bisa hidup dan bergerak-gerak.
Baru kusadari betapa manusia-manusia gerobak ini memang sangat jarang
berkata-kata. Seperti mereka betul-betul hanyalah patung dan hanya mata
mereka akan menatapmu dengan seribu satu makna yang terpancar dari sana.
Mereka yang tiada punya rumah di atas bumi, di manakah mereka mesti tinggal
selain tetap di bumi?
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Kakek merasa gelisah dengan perkembangan ini.
"Bagaimana nasib cucu-cucu kita nanti," katanya kepada Nenek, "apakah
mereka harus berbagi tempat tinggal dengan kere unyik itu?"
"Siapa pula suruh merendam negeri mereka dengan lumpur," sahut Nenek, "kita
harus menerima segala akibat perbuatan kita. Heran, kenapa manusia tidak
pernah cukup puas dengan apa yang sudah mereka miliki."
Aku tidak terlalu paham bagaimana lumpur bisa merendam Negeri Kemiskinan.
Apakah maksudnya lumpur kemiskinan? Aku hanya tahu, setelah hari Lebaran
berlalu, gerobak-gerobak putih sama sekali tidak pernah berkurang. Sebaliknya
semakin lama semakin banyak, muncul di berbagai sudut kota entah dari mana,
menduduki setiap tanah yang kosong, bahkan merayapi tembok, melompati
pagar, memasuki rumah-rumah gedung bertingkat, tidak bisa diusir dan tidak
bisa dibunuh, tinggal di sana entah sampai kapan. Barangkali saja untuk
selama-lamanya. ***
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
MALAIKAT KECIL
Cerpen: Indra Tranggono
Sumber: Kompas, Edisi 06/16/2002

MESKIPUN tubuhku telah rapat pukulan Bapak, masih saja pukulan demi
pukulan itu kuterima. Teriakan dan tangisan minta ampunku pun gagal
meredam amarahnya. Dengan wajah beringas menumpahkan sumpah serapah
penuh aroma alkohol, Bapak terus menghajarku, serupa petinju kelas berat
menghajar sansak. Pukulan bertubi-tubi itu mengantarkan aku ke puncak rasa
sakit, hingga akhirnya, aku tak merasakan lagi rasa sakit itu. Sejak saat itu,
tangisku pun terhenti. Aku masih menyisakan perlawanan dengan menatap
Bapak lekat-lekat.Sekarang pukul aku, bajingan cilik!" Aroma alkohol Bapak
membadai di ruang hidungku. "Ayo pukul! Ayooo pukul!!!" Aku tetap berdiri
mematung. Pelan-pelan kuraih pisau lipat dari kantung celana, dan beberapa
detik kemudian kurasakan tanganku berkelebat. Wajah Bapak tergores. Darah
menetes. Bapak tersenyum sambil mengusap pipi dan menjilat darah yang
melekat di jari tangannya. "Aku senang kamu mulai berani melawan. Ayo
teruskan. Teruskan! Aku ingin kamu jadi bajingan besar. Pembunuh besar!
Bukan pengecut!" Bapak terus mendesakku, hingga aku terpojok di sudut
ruangan. Mulut Bapak hanya beberapa sentimeter dari wajahku. Aroma alkohol
terus membadai. "Aku ingin kamu jadi bajingan besar. Maling besar. Tak hanya
jadi pencopet yang hanya bisa mengutil kerupuk!" Bapak kembali melayangkan
pukulan tepat di ulu hatiku. Rasa nyeri menggerayangi sukmaku. Aku
terhuyung. Dengan sisa-sisa kekuatanku, kuayunkan pisau lipat. Namun, hanya
angin yang bisa kurobek. Tawa Bapak berderai, mengiringi rebah tubuhku. Ibu,
yang sejak tadi menangis terisak, langsung menubruk tubuhku. Kurasakan
airmatanya yang hangat menetes di pipiku. "Tinggalkan kami bajingan tua!"
kutuk Ibu dengan suara gemetar. Bapak tertawa. Sinis. "Justru kamu yang
harus pergi. Aku tidak ingin anakku dididik pelacur malang seperti kamu."
"Bagaimanapun dia anakku. Aku yang mengandungnya. Kamu tak lebih dari
pejantan...." "Dasar mulut ember! Kamu mestinya merasa bersyukur karena aku
mau menitipkan benihku di rahimmu!" Tangis Ibu terhenti. Ia tertawa. Masam.
"Sebelum aku kau tiduri, entah berapa lelaki telah menggauliku. Hingga aku
hamil. Jadi, tak ada yang bisa menjamin kalau Socra ini anakmu. Bisa saja dia
anak cendekiawan, seniman, politikus, pengusaha, birokrat, atau koruptor,
manusia sejenis ular, kadal, macan, buaya, setan atau bahkan iblis. Kamu tak
berhak mendidiknya menjadi maling atau pembunuh macam kamu, meskipun
mungkin saja ia berdarah tukang jagal, garong atau rampok sekalipun. Titisan
darah pembunuh tak harus jadi pembunuh! Bukankah ia juga punya hak untuk
menjadi semacam malaikat kecil?" Ibu terus memelukku. Melindungiku dari
serangan Bapak. "Bagaimana mungkin aku bisa mempercayai mulut pelacur?"
Mendadak handphone Bapak menjerit. "Ya, dengan saya sendiri. Ini siapa ya?
Oooo Bapak. Ada apa Pak? Apa yang bisa saya bantu? Eeeeee... bisa-bisa... Soal
itu gampang. Bapak bisa langsung kirim ke rekening saya. Tidak mahal Pak.
Bapak tahu sendiri, ini risikonya kan besar. Oke. Terima kasih..." Tanpa
memandang kami sedetik pun, Bapak langsung bergegas. Beberapa menit
kemudian kudengar deru mobil Bapak meninggalkan halaman rumah. ITULAH
saat terakhir aku bertemu Bapak. Mungkin dua puluh tahun. Atau mungkin
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
lebih. Yang kuingat, tubuhku masih lekat dengan seragam sekolah menengah
umum. Bapak begitu membenci jika kenakalanku hanya sedang-sedang saja:
berkelahi dengan kawan, tawuran atau kegiatan remeh lainnya. "Jadi apa saja,
kalau hanya tanggung, ya tak menghasilkan apa-apa!" bentaknya. "Aku ingin
jadi politisi saja. Saya harap Bapak mau membiayaiku kuliah..." "Untuk apa?
Sudah terlalu banyak orang yang hidup dari kebohongan." "Bapak ingin saya
jadi maling atau pembunuh?" "Itu jauh lebih jantan dibanding mereka yang
berkedok kemuliaan padahal yang dilakukan sama, mengais-ais rezeki di
lumpur comberan. Kalau jadi maling atau pembunuh, hanya tanganmu yang
kotor. Tapi tidak mulutmu. Mencuci tangan jauh lebih gampang daripada
mencuci lidah. Kamu sama sekali tak berbakat bersilat lidah..." Ketika aku lulus
SMU, Bapak meninggalkan ibu. Tak ada yang ditinggalkan, selain sumpah
serapah. Ia pergi bagai angin. Entah ke mana. Ibu juga tidak merasa perlu
untuk mencari Bapak. Bentakan kemarahannya selalu menumpas kerinduanku
pada Bapak. "Tak ada yang perlu disesali. Bahkan harus disyukuri, termasuk
jika Bapakmu pergi ke neraka sekalipun!" Dengan susah payah, Ibu membiayai
aku kuliah di Kota Besar: sebuah peradaban baru yang melucuti keprimitifanku.
Otakku bekerja keras menyerap gagasan-gagasan gemerlap yang mungkin
datang dari langit. Tidak serupa "kuliah" rutin Bapak yang mengajarkan
kekerasan... darah... darah... dan darah! Aku sangat sedih, ibu tak bisa
merasakan kebahagiaan ketika aku berhasil menyelesaikan kuliah. Di tengah
pergulatan melawan kanker rahim yang ganas, Ibu pernah mengucap. "Aku
ingin kamu jadi malaikat kecil yang dengan sayap-sayap kecil terbang mengawal
arwahku kelak..." Akhirnya, Ibu harus menyerah pada maut. Satu-satunya
caraku membalas pengorbanan Ibu hanyalah berusaha menjadi malaikat kecil
yang terbang mengawal arwah Ibu. Malaikat kecil? Ah aku yakin, Ibu terlalu
berlebihan. Harapan Ibu itu seperti sinar matahari yang berupaya
menghancurkan kegelapan malam yang muncul dari rongga impian pemabuk
seperti Bapak, "Aku lebih bangga kamu jadi maling besar. Pembunuh besar!"
Dengan pedih, kata-kata Bapak itu hingga kini terus terngiang. Juga siang itu,
ketika aku mengunjunginya di penjara Wallcatraz yang lembab, dingin dan
terkenal "angker". Hanya penjahat-penjahat besar yang berhak menginap di
penjara tua yang terletak di pulau terpencil itu. Aku memasuki lorong-lorong
kompleks penjara itu dengan sedikit gemetar. Di sepanjang lorong berulang kali
kutemui laki-laki berwajah sangar digelandang para sipir dengan ringan
cambukan dan pukulan. Langkahku terasa berat menyusuri lorong-lorong
panjang itu, hingga sampai di ruang besuk. "Socra ya?" Rupanya ingatan Bapak
masih cukup tajam. Ia dengan cepat mengenaliku. Tubuhnya tampak kurus.
Kumis dan jenggot tumbuh sangat lebat, selebat sumpah serapahnya yang selalu
lekat kukenang. Meskipun tampak sedikit lemah, Bapak masih menatapku
dengan nanar. Bola matanya serupa bola api. Keharuan menggenang di kantung
batinku. Aku tak kuasa menahan dua anak sungai yang mengalir di pipiku.
"Tangisan hanya menunjukkan kelemahan." Aku tersengat. Ada rasa bangga
yang diam-diam merayap di rongga jiwaku. Bagaimana mungkin Bapak bisa
setegar itu? Bukankah hidupnya di ambang maut? Besok pagi, dia harus
menghadapi regu tembak. Belasan timah panas akan merobek jantungnya!
"Jantungku telah kuberikan kepada hidup..." Bapak mendesis, seperti ular licik
yang tetap tegar menghadapi sayatan belati pemburu. "Tapi kenapa Bapak
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
harus membunuh Hakim Agung Lopez Mannees itu? Bahkan sampai menghabisi
keluarganya?" Bapak tersenyum. Sama sekali tak menunjukkan penyesalan.
"Ya, kenapa tidak? Itu memang pekerjaanku. Ada orang yang merasa dirugikan
oleh keputusan Pak Lopez. Ia berani membayarku dengan mahal. Dan aku
sepakat pada aturan permainan. Tidak akan menyebut nama dia." "Tapi kalau
Bapak mau mengungkap otak pembunuhan itu, barangkali hukuman Bapak
tidak akan seberat ini." "Untuk apa? Sejelek-jeleknya pembunuh adalah yang
mengingkari kesepakatan dan bersikap pengecut. Eeeee... kamu sendiri
bagaimana? Sudah sangat lama kita tak bertemu, sudah berapa orang yang kau
bunuh, anakku." "Maafkan aku. Aku telah mengecewakan Bapak. Aku sudah
berusaha keras. Tapi ternyata aku sama sekali tak berbakat menjadi perampok,
maling atau pembunuh macam Bapak... Maafkan aku..." Suaraku tertahan. Air
mataku hendak tumpah, tapi cepat kecegah. Aku tak ingin Bapak tertawa geli
melihat kecengenganku. "Lantas selama ini kamu jadi apa? Dan apa saja yang
kau kerjakan?" Kata-kata Bapak membadai dalam rongga jiwaku. Pertanyaan
itu begitu telak, setelak pukulan tinju Bapak yang dulu hinggap di ulu hatiku.
Otakku bekerja keras merancang kalimat yang hendak kuucapkan. Tapi,
kalimat-kalimat itu justru menjelma gumpalan-gumpalan aneh yang
menyumbat tenggorokan. Tarikan demi tarikan napas kulakukan untuk
menenangkan jiwaku yang gelisah. Tapi tak juga menolong. Aku tetap saja gagal
menguasai diriku. "Bapak telah siap menghadapi maut?" ucapku tiba-tiba,
mencoba mengalihkan pembicaraan. Bapak memandangku dengan tatapan yang
tetap saja nanar. Bola-bola api itu berpendar-pendar di matanya. "Kapan pun
aku siap. Dan sedikit pun aku tak gentar pada maut. Aku mampu mereguk
segala kenikmatan dan kemewahan juga atas jasa maut. Jadi kalau kini sang
maut itu berbalik meremas jantungku, aku dengan senang hati menerimanya."
"Apa yang Bapak inginkan menjelang kematian? Mungkin ada pesan?" "Satu-
satunya yang kusesali adalah kegagalanku membinamu menjadi maling besar,
atau pembunuh besar..." "Bukan itu. Maksud saya yang lebih berkaitan dengan
perjalanan Bapak nanti..." "Aku sama sekali tak takut dengan kematian. Karena
selama ini aku hidup dari kematian orang lain. Dan kematian itu sangat indah,
anakku. Berulang kali aku membikin orang mengerjat-ngerjat kesakitan,
kemudian nyawanya loncat... bersama angin... ah... fantastis..." "Mungkin Bapak
perlu bimbingan untuk berdoa?" "Kenapa kamu bilang begitu? Apakah kamu...?"
"Ya. Aku ditugaskan untuk membimbing bapak untuk berdoa." "Jadi kamu ini
pendoa? Semacam rahib, anakku? Apakah Tuhan sudi menerima doa pendosa
macam aku ini?" Aku mengangguk, pelan. Kulihat mata Bapak berkaca-kaca.
Baru kali ini kulihat air mata Bapak menitik. "Ibu mengharapkan aku menjadi
semacam malaikat kecil yang terbang mengawal perjalanan arwah Ibu."
"Mungkin juga arwah Bapakmu..." Bapak langsung memelukku. Erat. Sangat
erat. Baru kali ini kurasakan kasih sayang seorang Bapak mengalir dan
menggenangi ceruk-ceruk jiwaku. Pelukan Bapak merenggang, ketika terdengar
suara sol sepatu menghajar kesunyian. "Sudah siap Bapa?" ujar seorang petugas
dengan sangat santun. "Biarkan kami bicara dulu," ucapku pelan. Petugas itu
pelan-pelan meninggalkan kami. Ruang penjara kami rasakan sangat kuat
menekan kami. Pelan-pelan, dinding-dinding yang dingin itu terasa menghimpit
kami. Kami berpelukan. Erat sekali. Seolah-olah kami tak bisa dipisahkan oleh
kekuatan apa pun. Kurasakan pundakku basah. KUTINGGALKAN penjara
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
dengan langkah yan sangat berat. Waktu terasa melaju begitu cepat. Gerimis
putih yang menaburi senja membuat hari semakin tua, semakin gelap.
Selebihnya adalah detik-detik arloji yang mengiris waktu, menjadi kepingan-
kepingan masa lalu yang muram. Suara ledakan senapan regu tembak itu
membentuk dinding rongga jiwaku. Aku melihat wajah Bapak tersenyum.
Kematian itu begitu indah. Tapi tidak untuk yang ditinggalkan. Arwah Bapak
pun terbang menyusun arwah Ibu. Tapi aku tak pernah tahu, apakah aku bisa
menjelma malaikat kecil yang terbang mengawal arwah mereka. ***Jogja, awal
Mei 2001
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
TENTANG ANGIN
Cerpen: Ammi E.N.
Sumber: Jawa Pos, Edisi 08/03/2003

Jam tujuh pagi. Mestinya aku sudah tidak jet lug lagi. Tetapi nyatanya aku
masih tetap merasa setengah gila setiap kali menjenguk keluar dan gelap yang
menyergap. Lampu kota masih sepenuhnya menyala, tetapi lalu lintas mulai
ramai dengan kendaraan yang sebagian masih menghidupkan lampunya.
Beberapa taksi tampak berjajar di belokan jalan, persis di sebelah kanan hotel
tempat aku menginap. Seorang sopir berdiri menyandar pada boks telepon di
sudut trotoar. Tiba-tiba aku merasa ingin sekali menelepon seseorang di Yogya
sana. Tetapi sepagi ini belum satu pun kios penjual kartu telepon buka. Dan
ketika aku selesai acara malam nanti, juga tak ada satu kios pun yang masih
buka.
Segera seorang sopir taksi mendekati. Menawarkan jasa sambil menunjuk
sebuah taksi berwarna kuning kunyit yang diparkir tepat di depan hotel. Tawar-
menawar sebentar (hampir tak ada taksi berargometer di kota ini) dengan
bahasa isyarat, karena aku tidak menguasai bahasanya, begitu juga sebaliknya.
Empat puluh Peso Mexicano, kami bersepakat. Jadilah aku berangkat dengan
taksi yang sopirnya berwajah sangat Latin seperti dalam telenovela.
Selendang yang membelit leher kunaikkan hingga kepala begitu taksi mulai
melaju meninggalkan Plaza Diana, hotel tempatku menginap. Seperti kemarin,
kuarahkan pandang ke kiri-kanan jalan. Toko-toko yang tak pernah kulihat
ketika buka dan menggelar dagangannya. Hanya dari barang yang dipajang di
etalase yang dibiarkan tampak dari luar saja aku tahu jenis dagangannya.
Kulihat berjajar beberapa toko sepatu di sebelah kanan jalan. Salah satunya,
yang agak besar, memajang berjenis-jenis sepatu dengan cara sangat menarik.
Selalu mataku tertumbuk pada sepasang sepatu kecil yang diletakkan lebih
menonjol dari yang lain. Sepatu kecil yang mungkin aku akan membelinya jika
Uzsi masih ada.
Mendesah. Hanya itu yang bisa kulakukan mengenangkan Uzsi kecil yang lucu
itu. Seandainya dia masih ada, mungkin akan lain ceritanya. Tetapi itu hanya
pengandaian, karena nyatanya Uzsi telah meninggal setengah tahun lalu ketika
demam berdarah mewabah. Sebuah penyakit yang kata temanku tak bergengsi,
tetapi sering menyebabkan orang mati karena tak segera tertangani. Sebuah
"kesalahan" yang kurasa tak akan berhenti kusesali.
Aku sedang tidak di rumah ketika dia mengalami gejala itu. Ketika aku pulang,
kudapati kondisinya sudah memburuk. Tiga hari kutunggui dia di rumah sakit.
Waktu seolah pedang berkilat yang merembet pelan sambil merejam-rejam.
Sampai akhirnya aku merasa benar-benar tertikam ketika tak kutemui lagi
detak di jantungnya.
Adam, lelakiku, ternyata lebih tertikam. Didapatinya anaknya telah terbujur
tanpa nyawa, sekalipun masih ada sisa hangat di tubuhnya. Dia tak pernah
tahu, bagaimana anaknya meregang nyawa. Dia tak pernah merasa bagaimana
waktu mencabik-cabik harapan hingga akhirnya habis tak bersisa.
"Kenapa tak kaukabari aku sejak kemarin?" tanyanya parau menahan air mata.
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
"Bukannya kau dead line?" aku balik bertanya.
"Aku bisa pamit pulang."
Beberapa meter di depan adalah persimpangan jalan yang di tengahnya terdapat
patung pahlawan berkuda dikelilingi air mancur-air mancur besar. Di bawahnya
tertulis nama kota ini dengan cat warna keemasan yang sudah mulai pudar.
Guadalajara. Di persimpangan sebelah sana berdiri Fiesta Americana Hotel,
tempat konferensi yang kuikuti terselenggara. Aku minta taksi untuk berhenti
di seberang hotel, di depan rumah makan sederhana. Panitia tidak menyediakan
sarapan bagi peserta. Sarapan di hotel terlalu mahal untukku yang bergantung
hidup dari allowances lembaga.
Segera kupesan pan cake, satu-satunya menu yang kukenal, dan sebotol air
mineral. Sebenarnya aku benci daging. Sagu, gandum dan sejenisnya juga tak
cocok sebagai menu utama bagi pencernaanku. Tapi tak ada pilihan. Aku tak
bisa memanjakan perutku dengan nasi di sini. Kusantap lembaran kue yang
ditaburi daging itu sambil menahan rasa mual. Oh, Adam pasti akan
mengolokku habis-habisan. Dibilangnya aku ndesa karena tidak bisa makan
selain nasi.
Adam, lelaki yang kunikahi hanya dua bulan setelah pertemuan pertama kami.
Sebuah keputusan yang gila, karena aku hampir tak mengenalnya kecuali dari
tulisan-tulisannya, dari pembicaraan orang tentangnya. Sebuah perkenalan
yang terlampau minim, karena hanya tentang militansinya sebagai pekerja seni
dan tajamnya diksi opininya yang kuketahui. Lain tidak.
Ketika kemudian kukenal dia secara langsung, beberapa gambaranku memudar.
Tetapi kekagumanku tetap tinggal. Bahkan, yang tak kuduga akan muncul dari
pertemuan itu adalah, rasa cinta. Cinta yang gila karena sebegitu cepat
mengkristalkan tekadku untuk kawin dengannya.
"Aku serius, Dam," kataku di telepon waktu itu.
"Aku juga tidak main-main. Aku mencintaimu lebih dari yang dapat kucintakan
pada perempuan lain," katanya pula.
"Lalu?"
"Seandainya kita bisa kawin...," suara yang dingin dan datar.
"Kita bisa mengawinkan diri," kataku pasti.
"Kau mau?"
"Ya, I merry you, you merry me . Kau suamiku dan aku istrimu," dengan lancar
kuucap ijab itu.
Hening sesaat. Aku yakin dia mencoba mencari kesungguhan kata-kataku. Aku
sendiri takjub bukan main dengan pernyataanku. Beberapa detik sempat
kusesali betapa emosionalnya mengucap kalimat itu. Meski tanpa petugas
pencatat nikah dan saksi, tetapi aku merasa punya tanggung jawab moral
dengan mengucapnya. Dan itu berarti akan ada berbagai konsekuensi.
"Dam, rasanya aku mau nangis," kalimat pertamaku begitu perasaan kukuasai
lagi.
"Kau pikir aku ra kudu mrebes mili?"
Dan sejak itulah, kami menjadi suami-istri. Persuami-istrian yang hanya kami
sendiri yang mengakui, karena tak ada surat bukti, tak ada pencatatan, tak ada
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
pesta maupun persaksian. Tak ada apa pun kecuali bahwa kami merasa saling
"memiliki". Kata yang kubenci sebelum peristiwa ini.
Kami pun bercinta dengan cara kami. Dalam imajinasi. Betapa nikmat
mencumbunya dalam khayal. Begitu indah membayangkan dia menyentuhku,
menciumku. Suaranya telah mampu menghadirkan dirinya karena hampir tak
pernah lepas, setiap menit menyergap telingaku, menggetarkanku melalui
telepon yang juga tak pernah lepas dari genggamku. Ya, karena dia tetap tinggal
di kotanya, dan aku tetap di kotaku. Hanya sesekali kami bertemu, beberapa
bulan sekali. Ketika kami sama-sama tak ada pekerjaan dan kerinduan begitu
sakit menggigit.
Lalu suatu hari, ketika kami bertemu,
"Dam, aku pingin punya anak," kataku.
"Kamu bercanda?"
"Tidak."
"Kamu akan terepoti oleh kehamilan dan kelahirannya," dia tampak ragu.
"Berat, Yang. Kamu tidak akan bisa lakukan apa yang kamu mau seperti
sekarang. Aku tidak bisa membayangkan kamu terpenjara oleh perutmu yang
besar, dan pengurusan bayi yang luar biasa melelahkan."
"Aku siap. Aku ingin perwujudan dari cinta kita. Dan anak itulah wujudnya."
Jadilah siang itu kami bercinta. Membiarkan spermanya menjalari rahimku dan
bertemu dengan sel telurku di sana.
Ufh, perutku tak mampu lagi menampung sisa pan cake yang masih lebih dari
sepertiganya. Kutegak air banyak-banyak, membayar bill, dan berlalu dari
restoran itu.
Oh, hotel masih sepi. Barangkali aku terlalu pagi. Information desk masih
kosong. Kulongok cyber cafe di belakang lobby. Juga sepi. Bahkan belum satu
pun komputer dihidupkan. Daripada siang nanti harus mengantre, aku
memutuskan untuk menunggu saja komputer itu siap dan duduk di kursi untuk
pengantre. Sambil duduk, kubuka katalog konferensi. Women’s Rights
International Conference.
Kubuka lembar demi lembar. Tetapi pikiranku telanjur melayang-layang. Pada
perkawinanku dengan Adam yang harus kandas di tengah jalan. Aku yang
memutuskan. Dengan hati berdarah-darah, kami berpisah.
Kematian Uzsi telah menorehkan luka teramat dalam bagi Adam. Rasa salah,
penyesalan, membuatnya bertekad menjadi bapak yang baik buat anaknya. Dia
memohonku untuk sekali lagi mengandung anaknya yang anakku juga.
"Aku menghormatimu sebagai perempuan yang punya hak atas alat
reproduksinya. Tetapi untuk satu hal itu, beranak, aku tak mampu. Dulu aku
meragukanmu, sekarang aku mohon, biarkan sekali lagi kaukandung anak kita."
Untuk kesekian kali aku menggeleng. Bukan karena tak lagi cinta padanya,
tetapi aku sungguh-sungguh takut menanam benih lagi di rahimku. Placenta
prifea yang mengenaiku dan membuatku harus menjalani sexio caecarian pada
kelahiran Uzsi telah menghabiskan nyali.
Sering, orang-orang (sekalipun tidak setuju pada cara kami kawin)
menyarankan setengah mendesak agar aku hamil lagi demi Adam. Tetapi
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
kujawab, bahwa rahimku adalah milikku. Aku yang berhak menentukan mau
hamil atau tidak, karena aku yang paling tahu tentang kondisiku. Sudah terlalu
lama rahim perempuan bukan otonomi mereka sendiri. Negara suka campur
tangan mengaturnya dengan berbagai kebijakan. Dan laki-laki, sebagai
pasangan, seringkali merasa lebih berhak dari perempuan si pemilik itu sendiri.
Memang Adam bukan laki-laki seperti itu, tetapi keinginannya yang sangat kuat
untuk punya anak lagi membuatku tertekan. Sampai akhirnya, kuputuskan
untuk berpisah dengannya. Kulipat menjadi lipatan paling kecil. Dan kusimpan
di sudut terjauh hatiku. Tetapi tanpa kusadar, dia sering terbuka dengan
sendirinya. Dan aku lagi-lagi menghubunginya, menemuinya.
Pernah kami bertemu suatu sore di stasiun, ketika dia ada kerja dekat kotaku.
Kuniatkan sekadar bertemu, bercerita, saling ejek, tertawa bersama, dan sedikit
menciumnya. Tetapi ternyata ujung-ujungnya aku tak tahan untuk bercinta lagi
dengannya. Aku terjebak dalam jeratan rasa yang sebegitu kuat lekatnya.
Seorang panitia memberi tanda bahwa komputer siap dioperasikan. Cepat-cepat
kugunakan salah satunya. Kubuka mail address-ku dan ketemui 3 new
messages. Aku yakin, dari Adam salah satunya. Dan debar di jantungku
semakin menggelora.
Dear,
Aku rindu.
Adam (yang tetap suamimu)
Pelan, aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Mungkin, oh tidak,
bukan mungkin tetapi pasti, aku juga rindu. Tetapi mengakui kerinduan itu
sama artinya dengan menjeratkan diri lagi pada cintanya. Dan aku sudah
bertekad untuk lari. Bukankah dulu, sebelum bertemu Adam, aku meyakini
bahwa cinta tak harus memiliki? Dan bukankah aku sudah meniatkan diri
menjadi angin, yang berpeluk dan berjauhan tanpa saling terikat pada
kepemilikan? Aku ingin menjadi angin yang kauhirup dan menyatu dalam
darahmu tanpa kau harus tahu, Adam.
"Excusme, the time is over," seorang perempuan mendekatiku.
"Eh, gracias ," aku tergagap.
Lima belas menit berlalu. Aku harus menyerahkan komputer itu pada pengantre
lain. Sign out, tanpa satu huruf pun sempat kutulis untuk Adam. Aku naik ke
hall di lantai 4, mengambil translation equipment karena presentasi hari ini
dalam bahasa Spanyol, dan masuk ke ruang sambil merapatkan
selendangku.***
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
PEREMPUAN MAISESA
Cerpen: Teguh Winarsho AS
Sumber: Kedaulatan Rakyat, Edisi 01/12/2003

TERIK matahari memekik di atas amben. Tak ada kipas angin. Hanya lemari
usang, setumpuk pakaian rombeng, dan amben reot kini, tidakkah kamu dengar,
Sayang? -- berkerat-kerat lantaran kamu terus menggeliat-geliat dalam tarian
rahim seorang perempuan suci, wajahnya pucat nyaris sekarat. Dua jam. Tiga
jam. Empat jam. Dan kamu mengerucut dari selangkangan diiringi caci-maki
segerombolan perempuan di ujung gang. Juga sorak sorai membahana
menyambut bayi mungil, merah, menggelambir, mirip anak tikus.Tapi kamu tak
mengoek. Membuat aku merasa terkutuk. Sebab bayi sehat harus menangis
keras: Oeeekk! Oeeekk! Tapi matamu berkedip-kedip seperti kerlip bintang di
gugus langit. Ada tanda-tanda kehidupan di matamu, Nak. Juga pada hidungmu
yang kembang kempis mengendus ompol. Maka, aku, perempuan suci itu, pantas
bersyukur dan bangga: Telah lahir dari rahimku bayi laki-laki sehat dan
montok! Inilah kelahiran yang diberkati Tuhan seru sekalian alam sebab
matahari tak henti-henti memanggang.''Pak Modin sudah datang,'' ucap Salmi,
dukun beranak. Serak.''Suruh pulang. Anakku sudah suci. Tak butuh
adzan!''Samar kulihat kelebat surban putih membanting pintu. Bersungut-
sungut melepas dahak. Lalu, ruang kembali lengang. Hanya Salmi, dukun
beranak dan bayiku yang molek rakus menyusup tetek. ''Minum. Minumlah
sepuasmu, Nak. Air susu ini mengalir dari surga di mana dalam tidur
keabadiannya para ahli ibadah melepas dahaga. Sekarang giliranmu. Air susu
ini masih hangat akan membuat badanmu sehat. Kuat. Tapi... aauuw... Jangan
kau gigit, Nak.'' Aku sedikit mengejang sebab terasa geli. Tapi tak apa. Ini
hanya awal. Kelak pasti akan terbiasa.'"Selamat Maisesa. Selamat. Maaf, kukira
tadi bayimu mati.'' Salmi tersenyum masam mengulurkan tangan.''Terima kasih.
Kamu baik sekali.'' Kusambut uluran tangan Salmi, kugenggam erat sebelum
kulepas.''Bayimu tampan. Akan kamu beri nama siapa?'' Salmi mengeliling
menatap bayiku. Kedua mata tuanya mengerjap kagum.Nama? Aku tersentak.
Aku tak pernah berpikir tentang nama. Apakah setiap anak yang lahir ke dunia
harus diberi nama? Juga memeluk salah satu agama? ''Akan kupikirkan nanti,
Salmi...'' Kuelus-elus ubun-ubun bayiku. Kulit kepala itu terasa lembut,
menguar bedak wangi. Hidungku mengembang dikepung rasa haru. Kini aku
benar-benar menjadi seorang Ibu. Oh, Ibu! Ibu! Tapi Ibuku sudah lama mati
sewaktu aku masih bayi. Sedang Ayah? Hmm.''Pasti banyak yang suka dengan
bayimu...''''Cukup Salmi!'' Aku memotong. ''Demi Tuhan. Aku tidak akan
menjualnya!''''Kenapa?'' Salmi mengerutkan kening. Mundur satu langkah.
''Umurmu baru tujuh belas. Dengan uang satu juta kamu bisa bersenang-
senang.''''Tidak Salmi. Aku akan merawat bayiku hingga ia tumbuh besar. Kamu
lihat, bayi ini tampan sekali.''''Tapi orang-orang akan bertanya-tanya siapa ayah
bayimu.''''Bodoh! Mulai sekarang mereka harus tahu bahwa bayi laki-laki bisa
tumbuh tanpa kehadiran seorang Ayah!''Salmi terdiam. Mencoba tersenyum tapi
gagal. ''Baiklah,'' Salmi menghempas nafas. Menggelung rambut. Meraih tas
hitam. Bersiap pulang. ''Tapi ingat Maisesa, aku selalu siap menerima bayimu
jika tiba-tiba kamu berubah pikiran.''Sekadar basa-basi aku mengangguk. ''Akan
selalu kuingat..''Tapi aku Maisesa. Perempuan suci. Pantang menjual darah
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
daging sendiri.***BAYI tampan itu kuberi nama Gandring. Ia kini telah tumbuh
menjadi bocah ajaib; nakal tapi cerdas. Kecerdasannya melompat jauh di atas
rata-rata teman seusianya. Matanya seperti biji kelereng dari kristal, menyorot
tajam. Gerakan-gerakan tubuhnya gesit sedikit liar. Membuat setiap orang
berdecak kagum; geleng-geleng kepala heran. Dan, aku, Ibunya, kian hari
dadaku kian membusung bangga. Sebab telah lahir dari rahim perempuan suci
seorang bocah laki-laki cerdas bermata sebening kristal.Tapi laknat tak pernah
pergi jauh. Sebab Gandring tak berayah. Maka, mulut-mulut nyinyir itu terus
meradang dalam iri dengki. Menghembus-hembuskan hawa busuk yang
dipungut dari lembah hitam ditimpukkan di kepalaku. Kecuali malam hari, aku
nyaris tak berani keluar rumah. Mendekam di kamar persis seorang penderita
kusta menunggu Gandring pulang sekolah. Tatapan orang-orang kampung
selalu membuat perutku mau muntah.''Hai, Maisesa! Tidak malukah kamu pada
anakmu? Setiap malam dia pergi ngaji sementara kamu malah kencan dengan
puluhan laki-laki!''''Maisesa, kamu tidak pantas jadi Ibu Gandring. Berikan
anakmu pada kami. Kami akan mendidik anakmu dengan baik!''''Anakmu
cerdas, Maisesa. Sayang jika jatuh ke tangan yang salah...''Aku cuma tertawa
mendengar semua omong kosong itu. Tahu apa mereka tentang Gandring?
Gandring adalah darah dagingku. Aku Ibunya. Aku yang mengandung selama
sembilan bulan sepuluh hari. Aku berhak sepenuhnya atas diri Gandring.
Tahukah mereka betapa payah saat-saat hamil manakala sejumput beras tak
tersisa di dapur sehingga aku harus rela mengemis lantaran tak seorang laki-
laki pun sudi menjamah tubuhku? Tahukah mereka betapa sakit saat-saat
melahirkan; ketika terik matahari memekik di atas genting nyaris
membakar?Tidak! Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka cuma sekumpulan orang
bodoh yang pandai bersilat lidah. Bicara atas nama kearifan tapi menyimpan
niat busuk. Lihatlah, mata mereka begitu nyalang dan mulut mereka berbusa.
Itu pertanda dusta. Tapi mereka ingin merampas anakku. Mereka mengira aku
tidak becus mengurus anak. Mereka lupa bahwa akulah yang melahirkan
Gandring. Hanya perempuan suci yang melahirkan anak cerdas dan tampan.
Sedang mereka? Berbahagialah, sebab anak-anakmu jelek, bodoh, hitam, kucel
dan bau!''Ibu, Ibu, aku dapat ranking satu!''''Bagus. Lebih giat lagi belajar. Kelak
kamu akan jadi orang besar.''Kucium kening Gandring yang licin bagai porselin.
Kutuntun ke kamar mandi, kubasuh kedua tangannya dengan air dingin. Anak
yang cerdas memang harus diperlakukan istimewa. Dijaga supaya tidak jatuh
sakit. Lalu, kuhamparkan makanan lezat bergizi di atas meja makan agar
tubuhnya tetap sehat. Juga segelas susu coklat. Buah mangga dan apukat.
''Makanlah yang banyak, Nak. Sebab orang lapar sering gelap mata.''''Tapi guru
ngaji bilang, makan tak boleh terlalu kenyang...''''Oh, ya? Siapa guru
ngajimu?''''Ustadz Hudan.''***NAMAKU Maisesa. Perempuan suci yang diberi
kemurahan oleh Tuhan hingga mencapai usia tiga puluh lima, tapi kecantikanku
justru semakin sempurna seperti gadis belasan tahun. Lihatlah, puluhan laki-
laki setiap malam masih bertekuk lutut dihadapanku, merajuk seperti kerbau
dungu. Merengek dengan mata sayu. Tapi aku kuda betina binal dalam gairah
gadis belasan tahun yang sedang tumbuh mekar, dengan puting susu meranum
dan bulu-bulu lebat menghijau. Membuat para laki-laki cepat puas hanya dalam
beberapa menit bahkan detik. Maka, rezeki mengalir lebih cepat sebab antrean
di belakang masih panjang. Maka, takdir gemilang itu pun datang lebih awal,
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
bahwa: Telah diangkat derajat perempuan Maisesa menjadi perempuan kaya
raya!Tapi aku tidak bahagia. Aku justru sedih. Sebab Gandring anak semata
wayang yang kukagumi dan kubanggakan kini mulai berani membangkang. Ia
tujuh belas tahun, hampir lulus SMU. Matanya masih memancar cahaya kristal.
Sedang wajahnya kian matang dalam ketampanan seorang laki-laki dewasa
gagah dan perkasa. Membuat gadis-gadis teman sekolahnya blingsatan. Juga
Ibu-ibu muda yang suka ngrumpi di warung atau pinggir jalan. Mereka takjub
memandang. Ngiler.Bahkan, mungkin, jika mereka tengah mengupas sebutir
mangga sembari menatap wajah Gandring, tak akan pernah mereka rasakan
ketajaman pisau itu mengelupas jari-jari mereka. Mereka sudah berpengalaman
pastilah akan membayangkan kenikmatan bercinta dengan seorang pemuda
gagah dan tampan dalam gairah pertama yang menggebu-gebu. Oh....
Gandring!Kadang aku menyesal telah melahirkan anak laki-laki rupawan
seperti Gandring. Ia hanya mengundang birahi perempuan. Dan gadis cantik itu.
Siapa namanya? Dia tergila-gila pada Gandring. Suratnya bertumpuk di laci
meja belajar. Foto-foto. Juga kartu ucapan. Tapi aku tak sanggup membaca
surat-surat itu sebab dadaku tiba-tiba terasa panas seperti terbakar. Aku
merasa kehilangan dan dikhianati. Mungkin aku marah dan benci. Atau
cemburu. Gandring, tidak tahukah kamu betapa aku sangat mencintaimu? Oh,
Gandring, Gandring, aku Ibumu berhak sepenuhnya atas dirimu. Tubuhmu.
Lalu, malam-malam, diam-diam aku kerap mengintip lubang kunci, melihat
Gandring yang tengah tidur pulas telanjang dada. Betapa kekar dada itu. Penuh
bulu....Tapi malam ini aku sudah tak sadar. Sudah terlalu lama aku menunggu
hingga bosan. Sedang lubang kunci itu terlalu sempit untuk hasrat yang kian
tak tertahan. Malam ini ingin kusempurnakan kesucianku sebagai perempuan
sekaligus Ibu. Sebab namaku Maisesa. Perempuan suci yang diberkati Tuhan
dengan birahi dan kecantikan. Maka, kuberanikan diri memutar gagang pintu.
Berjalan mengendap-endap menghampiri ranjang... ***Kulonprogo-Depok, 2002
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
BULAN TERKAPAR DI TROTOAR
Cerpen: Ahmadun Y Herfanda
Sumber: Jawa Pos, Edisi 06/06/2004

Bulan terkapar di trotoar. Tubuhnya kotor dan ada bercak-bercak darah pada
wajah serta lambung kirinya. Dan, lihatlah, kini ia menggeliat, mencoba untuk
bangkit. Mula-mula ia mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling. Lalu,
memiringkan tubuhnya dan mencoba mengangkat badannya dengan
menekankan kedua telapak tangannya ke trotoar. Tapi, usaha itu gagal,
tubuhnya kembali rebah. "Ya Allah, apa yang telah terjadi denganku,"
gumamnya.
Bulan meraba tulang-tulang rusuknya. Ada rasa sangat nyeri di sana. Mungkin
tulang-tulang rusuknya telah patah. Bulan meraba pinggangnya. Ada rasa
sangat ngilu di situ. Mungkin tulang pinggulnya terkilir atau retak. Bulan
meraba lambung kirinya. Ada rasa sangat pedih di situ, dan darah merembes
menembus kaosnya. Bulan mengusap bercak-bercak darah pada hidung, pipi dan
pelipisnya, lalu meraba kepalanya. Jilbabnya telah tiada, entah terlempar ke
mana. "Seharusnya aku sudah mati…Tuhan menyelamatkanku," batinnya.
Bulan tidak tahu berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, hari sudah
larut malam. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran telah lama reda.
Suasana jalan di depan kompleks gedung MPR pun sudah lengang. Ia yakin
masih hidup ketika merasakan pada hampir semua bagian tubuhnya. Ia merasa
ada keajaiban, kekuatan gaib, yang melindunginya: Tuhan. Jika tidak, ia pasti
sudah mati dengan tubuh remuk diinjak-injak sepatu puluhan tentara dan
ratusan mahasiswa.
Tapi, Bulan merasa malaikat maut belum pergi jauh darinya. Mahluk gaib itu
masih mengintai dari balik kegelapan malam dan tiap saat siap mencabut
nyawanya. Sebab, dalam dingin malam ia masih terkapar sendiri, tak berdaya di
trotoar, tanpa ada yang menolongnya. Mungkin ia akan pingsan lagi, dan tidak
akan tersadar lagi, karena langsung dijemput oleh malaikat maut dengan kereta
kuda, untuk dihadapkan ke Tuhannya. Mungkin ia akan kehabisan darah dan
tidak tertolong lagi.
Bulan meraba lagi lambung kirinya. Rembesan darah makin membasahkan
kaosnya, bahkan terus menetes ke trotoar. "Mungkin lambungku tertembus
peluru nyasar," pikirnya. "Ya Allah, kuatkanlah hamba...," gumamnya.
Bulan mencoba untuk bangkit lagi dengan sisa-sia tenaganya, tapi gagal lagi.
Sudah tidak ada sisa tenaga lagi yang cukup hanya untuk mengangkat
tubuhnya sendiri. Maka, yang dapat ia lakukan hanyalah berbaring pasrah dan
menyerah pada Sang Nasib. Terlintas dalam pikiran, kenapa tidak ada yang
menolongnya. Dinaikkan ke atas truk tentara dan dibawa ke rumah sakit,
misalnya. Atau diangkut dengan ambulan PMI? Bukankah tadi banyak anak-
anak PMI dan ada dua ambulan bersama mereka untuk siaga menolong para
demonstran yang terluka?
"Di manakah kini mereka. Apakah aku dianggap sampah yang tidak perlu
ditolong?" batinnya. "Ah, tidak. Tidak mungkin! Mungkin ambulan PMI dan truk
tentara telah penuh, karena terlalu banyak demonstran yang terluka, dan aku
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
sengaja dibaringkan di sini untuk dijemput nanti… Tapi, kenapa sampai begini
larut belum juga ada yang menjemputku? Apakah mereka lupa dan tidak ada
yang melihatku lagi, karena aku terbaring dengan pakaian hitam-hitam di
tengah kegelapan malam?"
***
Ketika berangkat berdemonstari bersama kawan-kawan sekampusnya siang tadi
Bulan memang sengaja memakai kaos lengan panjang dan celana hitam sebagai
tanda berduka bagi bangsanya yang sedang dilanda krisis ekonomi. Ia pun ingin
menyatakan duka sedalam-dalamnya karena kebebasan sudah mati di negerinya
dan sudah 30 tahun rakyat ditindas oleh rezim yang otoriter, sehingga tiap ada
kawan yang menyapanya "merdeka", ia selalu menjawab, "belum!"
Dan, pada demo mahasiswa yang menandai gelombang reformasi itu ia ingin
menyatakan rasa dukanya secara total, sehingga lipstik yang ia pakai pun
cokelat kehitaman, dengan jilbab hitam dan sepatu cat yang sengaja ia olesi
dengan spidol hitam. "Tapi, kalau sekarang aku mati di sini, adakah yang akan
berduka? Masih adakah orang yang akan peduli padaku?" batinnya.
Kenyataanya kini Bulan terkapar sendiri, sekarat, di trotoar, dan tidak ada
seorang pun yang menolongnya. Ia heran, kenapa sampai selarut itu tidak ada
yang melihat, menemukan, dan menolongnya. Padahal, masih ada satu dua
orang pejalan kaki yang sekali-sekali melewati jalan beraspal tidak jauh dari
tempatnya terbaring. Beberapa tentara juga masih tampak berjaga di pintu
gerbang kompleks gedung bundar yang sedikit terbuka. Jalanan memang
lengang, dan tidak ada satu pun kendaraan yang lewat, karena diblokade
tentara. "Mustahil kalau tidak ada seorang pun yang melihatku terbaring di
sini," pikirnya. "Jangan-jangan aku dianggap gelandangan yang sengaja tidur di
sini, sehingga tidak perlu mereka usik?"
Bulan khawatir jangan-jangan orang-orang Jakarta memang sudah tidak
memiliki kepedulian lagi pada nasib orang lain. Mereka egois, hanya suntuk
pada urusan diri sendiri, dan ia menjadi korban ketidakpedulian itu. "Apakah
tentara-tentara yang siaga di pintu gerbang itu juga tidak melihatku? Apakah
semua orang telah menganggapku sebagai sampah yang pantas dibiarkan
teronggok begitu saja di pinggir jalan, dan cukup diserahkan kepada petugas
kebersihan untuk dilemparkan ke truk sampah?"
Bulan mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia
ingin menolong dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padanya,
maka dialah yang harus menolong dirinya sendiri. Begitu pikirnya. "Hidup ini
keras, Bulan. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali hanya
bergantung pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu
sendiri," kata ayahnya, dua tahun lalu, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah
di Jakarta.
***
Bulan kembali melihat sekeliling dengan sedikit mengangkat kepalanya. Dua
orang tentara masih tampak berjaga-jaga di gerbang masuk kompleks gedung
MPR yang dibuka sedikit dan hanya cukup untuk dilalui pejalan kaki. Tampak
beberapa aktivis berjaket kuning melewati penjagaan dan dibiarkan masuk.
Bulan lantas melihat ke dalam melalui celah pagar besi. Tampak ratusan
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
mahasiswa masih bergerombol di teras gedung MPR. Banyak di antara mereka
yang naik ke atap gedung bundar. Spanduk-spanduk berbentangan di atap
gedung, tapi mata Bulan berkunang-kunang, tak dapat menangkap dengan jelas
bunyi tulisan pada spanduk-spanduk itu.
Tiba-tiba angin malam bertiup sangat kencang, disertai serpihan-serpihan air.
Mungkin serpihan-serpihan embun yang diterbangkan dari pohonan, atau hujan
rintik-rintik. Malam itu langit memang mendung, seperti ikut berduka pada
negeri yang rakyatnya sedang dilanda derita akibat krisis ekonomi, dan saat itu
mereka telah kehilangan kesabarannya sehingga mendesak pemimpin negeri
mereka agar segera turun dari kursi kekuasaannya. Bersama para mahasiswa
mereka pun melakukan aksi-aksi demonstrasi secara besar-besaran. Dan, itulah
yang mereka sebut sebagai gerakan reformasi.
Tapi, tidak mudah untuk menurunkan presiden mereka yang telah berkuasa
selama 30 tahun lebih. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan,
pentungan, gas air mata, semprotan air, dan peluru-peluru karet yang kadang
terselipi peluru beneran. Mungkin mereka para penyusup atau oknum-oknum
yang sengaja disusupkan untuk memperkeruh keadaan.
Bersama para aktivis mahasiswa sekampusnya Bulan pun ikut turun ke jalan --
untuk ketiga kalinya. Pada demo pertama dan kedua ia merasa asyik-asyik saja,
ikut meneriakkan yel-yel di barisan paling depan sambil membentangkan
spanduk. Ketika dibubarkan oleh aparat keamanan ia sempat menyelamatkan
diri meskipun matanya jadi pedih karena gas air mata. Tapi, pada demo ketiga
ia bernasib sial. Setelah terjungkal karena hantaman "meriam air", ia terinjak-
injak tentara dan ratusan mahasiswa. Saat itulah dia merasa benar-benar akan
mati, dan hanya bisa bergumam "Allahu Akbar" sebelum berjuta kunang-kunang
dan kegelapan menyergap kesadarannya.
Dalam kegelapan, Bulan benar-benar kehilangan matahari. Ia terbang jauh
menempuh lorong panjang yang tak sampai-sampai ke ujungnya. Di kanan kiri
lorong tampak beribu-ribu, bahkan mungkin berjuta-juta tangan, dalam bayang-
bayang putih, berderet melambai-lambai padanya. Sempat terbersit dalam
pikirannya bahwa ia telah mati dan saat itu ruhnya sedang terbang kembali
menuju Tuhannya. Tapi, penerbangan itu dirasanya begitu lama, begitu jauh,
dan tak sampai-sampai. Ia ingin berteriak karena kelelahan, tapi tak ada suara
yang keluar dari kerongkongannya. Ia ingin menjerit karena kehausan, tapi tak
ada minuman yang dapat diraihnya. "Kenapa perjalanan menuju Tuhan begitu
menyengsarakan? Apakah karena aku terlalu banyak dosa dan kini sedang
menuju neraka?" pikirnya.
Di puncak kesengsaraan itulah tiba-tiba secercah cahaya menyongsongnya di
ujung lorong. Bulan mencoba berontak dari kegelapan, mempercepat
terbangnya, untuk meraih cahaya itu. Begitu tangannya berhasil menggapai
cahaya, ia pun menggeliat sekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dari tangan-
tangan kegelapan yang terus mencengkeramnya untuk mengembalikannya ke
lorong panjang yang hampa itu. Dengan sekuat tenaga akhirnya ia berhasil
meloloskan diri dan masuk ke gerbang cahaya. Saat itulah ia membuka
matanya, dan menyadari dirinya terkapar dalam gelap malam di luar pagar
halaman kompleks gedung MPR.
***
KUMPULAN CERPEN PILIHAN
Ingat penerbangan panjang yang melelahkan itu, tubuh Bulan tiba-tiba
menggigil hebat. Malam memang telah beranjak ke dini hari, dan udara Jakarta
benar-benar terasa dingin sehabis gerimis. Apalagi trotoar tempat ia terbaring
juga basah. Angin berkesiur cukup keras, menerpa tubuh dan menggigilkan
tengkuknya. Sesekali gerimis menderas dan cepat mereda kembali. Dua tentara
yang masih berjaga di gerbang gedung bundar pun sudah menutup tubuh
mereka dengan mantel.
Bulan merasa tangan-tangan maut kembali mendekatinya, untuk meraih
ruhnya dan menerbangkannya kembali ke lorong panjang tadi, untuk benar-
benar menemui Tuhannya. Bulan tahu tiap mahluk hidup pasti akan mati.
Begitu juga dirinya. Jika saatnya telah tiba, dia pun akan mati juga. "Tapi,
jangan secepat ini, ya Allah. Aku masih terlalu muda. Aku belum siap
menghadapMu. Masih banyak yang harus aku lakukan. Masih banyak yang
harus aku sempurnakan," gumamnya.
Bulan ingat shalatnya yang masih bolong-bolong. Apalagi saat-saat mengikuti
unjuk rasa, karena sebagian besar waktunya habis di jalan. Ia ingat harapan
ayah dan ibunya yang memimpikannya menjadi pengacara untuk meneruskan
karier sang ayah. Mereka tentu akan sangat kecewa, kalau ia pulang bukan
bersama gelar sarjana hukum, tapi bersama peti mayat. "Ya Allah, hamba
benar-benar belum siap menghadapMu. Berilah hamba kekuatan dan
kesempatan untuk meraih cita-cita itu," doa Bulan dalam hati.
Tapi gerimis tidak juga reda dan dingin malam makin menggigilkan tubuh
Bulan. Ia ingin sekali berteriak untuk meminta tolong, tapi tak ada lagi pejalan
kaki yang lewat. Sedang dua tentara yang berjaga di gerbang masuk gedung
bundar terlalu jauh darinya dan ia yakin tidak akan mendengar teriakannya
yang pasti sangat lirih, karena ia sudah kehabisan tenaga. Satu-satunya
harapan tercepat adalah datangnya para petugas kebersihan kota yang memang
mulai bekerja pada dini hari. Ia berharap mereka akan menemukannya dalam
keadaan masih sadar, dan masih menganggapnya sebagai manusia sehingga
tidak dilempar ke truk sampah tapi segera dilarikan ke rumah sakit.
Namun, harapan itu tidak kunjung tiba juga, dan ia merasa terlalu lama
menunggu. Lama sekali. Dan, sebelum "pasukan kuning" itu datang, kepala
Bulan tiba-tiba terasa sangat ringan sehingga ia merasa seperti melayang-
layang di udara. Sedetik kemudian berjuta kunang-kunang menyergapnya dan
menyeretnya ke dalam kegelapan yang sangat dalam, kembali
menerbangkannya ke lorong panjang tak berujung. Bulan tak tahu, kali ini
penerbangannya akan sampai ke mana.***
Jakarta, 1999/2004

You might also like