You are on page 1of 6

TEOLOGI MUKTAZILAH

Oleh: A Khudori Soleh

Muktazilah adalah satu satu dari madzhab teologi dalam Islam. Kelahiran
Muktazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil
ibn Atha dari halaqah gurunya, Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang
status orang Islam yang melakukan dosa besar. Menurut sang guru, orang tersebut
dianggap munafiq sekaligus fasiq, sehingga ia harus dikeluarkan dari kemunitas
masyarakat muslim. Sementara itu, menurut sang murid, orang tersebut dihukumi
fasiq. Ia berada di antara “manzil bain manzilatain” (tempat di antara dua tempat,
yaitu mukmin dan kafir). Karena perbedaan tersebut, sang murid lantas
memisahkan diri dan membentuk halaqah sendiri bersama Amr Ibn Umaid. Sang
guru mengatakan, “Intazala anna Washil” (Washil telah memisahkan diri dari
kita). Dari situlah kemudian muncul istilah Muktazilah, orang-orang yang
memisahkan diri.1
Akan tetapi, dalam tradisi Muktazilah sendiri, Hasan Basri dianggap
sebagai salah satu tokoh mereka. Bahkan, bebarapa orang shahabat besar seperti
Abu Bakar, Umar dan Ali dimasukkan dalam tokoh mereka juga.2 Selain itu,
hubungan Hasan Basri dan Washil ibn Atha tidak terputus, sampai kematian
memisahkan mereka. Bahkan, Washil masih sering terlihat bepergian bersama
gurunya dalam berbagai perjalanan.3 Ini membuat orang bertanya mengenai
kebenaran cerita di atas.
Sementara itu, menurut Montgomery Watt, pemikiran utama Muktazilah
sesungguhnya diberikan oleh Mu’ammar (Makmar). Nama Washil ibn Atha, Amr
ibn Ubaid, Abu Hudzail dan lainnya, hanyalah orang-orang yang ditokohkan oleh
Muktazilah ketika mereka memerlukan figur panutan. Selanjutnya, ketika figur
Washil dianggap lebih baik dan disukai, maka ia kemudian dianggap sebagai
pendirinya.4
Muktazilah yang lahir di Basrah dengan tokoh --katakanlah-- Washil ibn
Atha dan Amr ibn Ubaid, pada masa kekhalifahan Abd Al-Malik ibn Marwan,
muncul sebagai aliran pertama yang bersistem cukup “lengkap” dalam sejarah
teologi Islam. Dalam perjalananya, aliran ini terbagi menjadi dua cabang besar
dengan perhatian yang berbeda, yaitu Basrah dan Baghdad. Cabang Basrah
dengan tokoh utamanya Abu Al-Huzail ibn Al-Allaf lebih banyak menaruh

1
Lihat antara lain Ali M. Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’at Ilm al-
Kalam inda al-Muslimin, hal 80-81.
2
Lihat Ahmad ibn Yahya al-Murtadho, Kitab Tabaqat al-Muktazilah, ed. Susanna
Diwald-Wiltzer, hal 9-24. Tentang Hasan Basri, lihat hal 18-24.
3
Lihat Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq,
4
Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, hal 73-77. Meski demikian,
tidak jelas juga siapa yang dimaksud dengan Muammar atau Makmar oleh Watt. Hanya saja,
menurutnya, Muktazilah lahir karena pengaruh pemikiran Yunani. Ia berusaha menggabungkan
dogma-dogma Islam dengan filsafat pemikiran Yunani kuno. Akan tetapi, pernyataan Watt ini juga
rancu dan sulit dibuktikan. Sebab, kenyataannya, Muktazilah telah lebih dahulu mapan sebelum
filsafat Yunani masuk ke dalam Islam lewat terjemahan. Lihat Khudori Soleh, Wacana Baru
Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), xvii.
2

perhatian pada pemikiran dan pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan.


Sementara itu, cabang Baghdad dengan tokoh utama Bisyir ibn Al-Muktamar
lebih memperhatikan penyebaran dan penerapan prinsip-prinsip itu dengan
memanfaatkan hubungan dekatnya dengan kekuasaan khilafah Abbasyiyah.
Cabang ini --dibanding dengan cabang Basrah-- lebih banyak terpengaruh filsafat
Yunani. Para pendukungnya banyak memperluas persoalan yang sudah dibahas
secara sederhana oleh para pendukung Basrah dengan memanfaatkan pendapat
para filosof.5
Di antara para khalifah Abasyiyah, al-Makmun mempunyai jasa dalam
upaya mendorong perkembangan Muktazilah. Bait Al-Hikmah yang didirikannya,
terutama untuk penterjemahan karya-karya filsafat Yunani kuno sangat besar
artinya bagi perkembangan aliran ini dalam bidang teori, walau perkembangan
Muktazilah sendiri tidak semata-mata hasil dorongan khalifah Makmun.6 Di sisi
lain, secara politis, al-Makmun menggunakan paham Muktazilah sebagai alat
untuk menguji loyalitas para bawahannya yang dikenal dengan istilah “mihnah”.
Yaitu, pengujian atas para hakim, apakah mereka percaya bahwa al-Qur’an
diciptakan, sebagaimana ajaran Muktazilah. Yang tidak percaya dipecat.
Kalangan Muktazilah berpendapat bahwa tidak ada yang qadim selain
Allah. Kepercayaan akan adanya dzat yang qadim selain Allah adalah syirik.
Orang yang menduduki jabatan hakim harus bebas dari syirik. Bila sudah
terlanjur, mereka harus diturunkan. Mihnah ini dalam perkembangan tidak hanya
diterapkan pada para hakim, tetapi juga para saksi di pengadilan, dan kemudian
para pemimpin masyarakat.7
Kebijaksanaan al-Makmun ini dilanjutkan oleh al-Muktasim (833-842)
dan bahkan lebih keras oleh al-Wasiq (842-847). Peran Ahmad ibn Abi Daud,
salah seorang tokoh besar Muktazilah aliran Baghdad sangat besar dalam
pelaksanaan mihnah ini.8 Ia adalah kawan dekat al-Makmun, yang kemudian
memegang jabatan Hakim Agung menggantikan Yahya ibn Aksam pada tahun
832.9 Jabatan tersebut tetap dipegangnya sampai pada masa al-Muktasim dan al-
Wasiq.
Meninggalnya al-Wasiq menandai kejatuhan Muktazilah. Penggantinya,
al-Mutawakkil (847-861), lebih cenderung kepada para ahli al-hadits yang lebih
banyak menderita pada masa khalifah sebelumnya. Ia menghentikan mihnah dan
prinsip-prinsip Muktazilah tidak lagi dipakai sebagai prinsip negara. Ini berarti
5
Lihat Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, III, hal 159-161
6
Majid Fahri, A. History of Islamic Philosophy, hal 23. Akan tetapi, menurut penelitian
PS. Van Koningsveld, tidak ada naskah Yunani yang tercatat dalam katalok-katalok mengenai
naskah-naskah yang terdapat dalam lembaga ini. Lihat dalam artikelnya, “Bait Al-Hikmah dan
Kebijaksanaan beragama Kholifah Al-Makmun” dalam Herman L. Beck dan Nico Kaptein, Studi
Belanda Kontemporer tentang islam: Lima Contoh, hal 49-70.
7
Lihat artikel D. Sourdel, “The Abbasid Caliphate” dalam ‘Cambridge History of Islam’,
ed. PM. Holt, KS. Lambton dan Bernard Lewis, I, hal 124-124; Ahmad Amin, Dhuha al-Islam,
III, hal 161 dan seterusnya; Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah, Analisa,
Perbandingan, hal 60.
8
Pada buku Ibn al-Murtadha, Thabaqat al-Muktazilah, hal 62, hanya disebutkan bahwa
namanya Abu Abdullah Ahmad ibn Abi Daud, termasuk generasi ketujuh yang peninggalan-
peninggalannya terkenal. Tidak ada keterangan apapun selain itu.
9
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, III, hal 164.
3

memberikan angin segar kepada lawan-lawan Muktazilah, terutama ahli Al-hadits,


ahli fiqh dan Syiah, untuk balik menjatuhkannya.
Namun, dalam tubuh Muktazilah sendiri masih ada tokoh Abu Ali Al-
Jubai dan anaknya, Abu Hasyim. Keduanya berusaha untuk mengkonsolidasikan
kekuatan Muktazilah. Sudah tentu, ini sesuatu yang sangat sulit. Kenyataanya,
hanya aliran Basrah yang dapat bertahan. Aliran Baghdad, yang dahulu dekat
dengan kekuasaan, harus turun dari panggung sejarah. Dalam banyak hal, usaha
kedua tokoh tersebut bisa dikatakan berhasil. Namun, dalam tubuh mereka sendiri
justru tampil seorang lawan baru; Abu al-Hasan al-Asya’ari (873-935), pendiri
aliran Asy’ariyah, sehingga beberapa saat lamanya, Muktazilah tidak muncul ke
permukaan.
Pada masa-masa berikutnya, ketika Bani Buwaih berkuasa (abad keempat
Hijriyah), Muktazilah bangkit kembali, terutama di wilayah Parsia. Ia
bergandengan dengan Syiah. Saat itu, banyak muncul pemikiran Muktazilah dari
aliran Basrah, walau diakui tidak sebesar para pendahulunya. Mereka
meninggalkan banyak karya yang masih bisa kita lihat sampai sekarang.

A. Kalam Muktazilah
Kalam Muktazilah, pada dasarnya, bertujuan untuk mensucikan Tuhan
dari segala hal yang bisa menodai keesaan dan kebaikan-Nya. Untuk itu, mereka
menggunakan dalil-dalil akal sebagai pengangana. Kalau ada teks al-Qur’an atau
Sunnah yang dianggap bisa memberikan pengertian yang menodai keesaan dan
kebaikan-Nya, mereka mentakwilkanya sehingga sesuai dengan apa yang
ditunjukkan dalil-dalil akal.
Kalam Muktazilah dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “al-
Ushul al-Khamsah”. (1) Keesaan Tuhan, (2) Keadilan-Nya, (3) Janji dan
ancaman-Nya, (4) Posisi di antara dua posisi, (5) Perintah untuk melakukan
perbuatan baik dan mencegah perbuatan jahat.10
Pertama, keesaan Tuhan. Prinsip ini didefinisikan sebagai Allah Maha
Esa. Tidak ada satupun yang menyekutui-Nya dalam sifat-sifat yang menjadi
haknya; baik dalam penegasian maupun penetapan.11 Penetapan ini terkait dengan
pemahaman Muktazilah mengenai sifat-sifat Tuhan dan bagaimana sifat-sifat itu
dinisbatkan kepada Tuhan, sehingga tidak memberikan pengertian adanya hal-hal
yang bisa menodai keesaan-Nya, semisal adanya hal-hal yang qadim selain --dzat-
- Allah.12
Kedua, keadilan Tuhan. Prinsip ini didefinisikan bahwa semua perbuatan-
Nya adalah baik. Dia tidak --mungkin-- melakukan sesuatu yang tidak baik. Dia
juga tidak mungkin meninggalkan apapun yang merupakan kewajiban bagi-Nya.
10
Lihat misalnya, Syarh al-Ushul al-Khamsah, ed. Abdul Karim Usman, hal 128-148.
Dikatakan oleh al-Khayyat, salah satu tokoh Muktazilah, “Seseorang tidak berhak atas nama
‘iktizal’ kecuali ia berpegang pada keseluruhan dari lima prinsip Muktazilah, yaitu tauhid,
keadilan, janji dan ancaman, posisi diantara dua posisi, dan amar makruf nahi munkar. Jika
kelima hal ini ada pada diri seseorang, maka ia adalah seorang Muktazilah”. Lihat bukunya,
Kitab al-Intisar wa al-Radd ala ibn al-Rawandi al-Mulhid ma Qasada min al-Kadzib ala al-
Muslimin wa al-Ta’n Alaihim, hal 126-127.
11
Abd Jabbar, Syarh, hal 128.
12
Ibid, hal 128-131.
4

1. Allah tidak berdusta dalam firman-Nya, dan kedustaan tidak boleh menjadi
hukum-Nya.
2. Allah tidak menyiksa anak-anak orang musyrik, karena dosa orang tuanya.
3. Allah tidak memberikan mukjizat kepada orang-orang yang banyak berdusta.
4. Allah tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat dilakukan
dan tidak dapat diketahui (dipahami). Sebaliknya. Dia membuat hamba-Nya
mampu melakukan beban yang diberikan, membuat mereka mengetahui sifat
beban itu, dan menunjukkan serta menjelaskannya kepada mereka.
Sedemikian, sehingga orang yang dibinasakan maupun yang dihidupkan,
adalah berdasarkan atas keterangan yang telah diberikan. Yaitu, karena
ketaatan dan kelalaian mereka sendiri.
5. Allah pasti memberikan balasan yang baik kepada manusia yang menjalankan
kewajibannya secara baik dan benar.
6. Rasa sakit dan sakit yang ditimpakan Allah atas orang mukalaf, adalah untuk
kepentingan mukalaf itu sendiri. Kalau tidak, maka Dia berarti telah
meninggalkan kewajiban-Nya.
7. Pandangan Allah tentang hamba-Nya, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan
agama, tugas serta kewajiban adalah lebih baik daripada pandangan mereka
sendiri mengenai hal itu. 13
Ketiga, janji dan ancaman. Didefinisikan bahwa Allah berjanji untuk
memberikan ganjaran kepada orang yang taat dan mengancam untuk menyiksa
orang-orang yang durhaka. Dia pasti melaksanakan janji dan ancaman-Nya itu;
tidak mungkin terjadi kedustaan dalam janji-Nya. Bila Dia berdusta akan janji-
Nya sendiri, berarti firman-Nya tidak dapat dipegangi (tidak dapat dipercaya).
Keempat, posisi di antara dua posisi. Didefisinikan, bahwa pelaku dosa
besar (dikalangan orang muslim) menduduki posisi di antara dua nama dan
menduduki hukum di antara dua hukum, yaitu fasiq.14 Ia tidak dihukumi kafir,
karena kenyataanya ia masih beriman dan muslim. Ia tidak dikenakan larangan
melakukan perkawinan, pewarisan dan dikubur di pemakaman muslim. Namun,
tidak bisa pula dihukumi sebagai muslim dan mukmin yang “baik”, karena telah
melakukan dosa besar. Karena perbuatannya, sebagaimana dinyatakan dalam
Ijma, ia tidak pantas dihormati, dipuji dan ditolong demi Allah, sebagaimana yang
mesti dilakukan terhadap seorang mukmin.
Kelima, amar makruf nahi munkar. Di sini diperlukan syarat-syarat, antara
lain;
1. Pengetahuan yang pasti bahwa yang diperintahkan adalah sesuatu yang baik
dan yang dicegah adalah sesuatu yang jelek.
2. Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa perbuatan yang tidak baik tersebut
telah benar-benar ada atau telah terjadi. Misalnya, telah tersedia alat-alat
minum (minuman keras), alat-alat judi dan lainnya.
3. Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa pencegahan tersebut tidak --bakal-
- menimbulkan kerugian yang lebih besar. Misalnya, kalau dilakukan
13
Teks aslinya berbunyi “Innahu taâ ahsan nazaran bi al-ibadih minhum li anfusihim wa
fi-ma yata’alaq bi ad-din wa at-taklif”
14
Walau dalam definisi ini hanya disebutkan dua nama, dalam penjelasan lain disebut
tiga nama. Selain mukmin dan kafir, disebut juga munafiq. Lihat, Abd Jabbar, Syarh, hal 38.
5

pencegahan minuman keras bakal menimbulkan huru-hara atau pembunuhan


dikalangan kaum muslimin, maka pencegahan tersebut tidak wajib dilakukan.
4. Pengetahuan atau sangkaan yang kuat bahwa tindakannya itu akan
menimbulkan pengaruh. Kalau sadar bahwa kata-katanya tidak bakal
menimbulkan pengaruh, maka tidak wajib.
5. Pengetahuan atau sangkaan yang kuat bahwa tindakannya tidak bakal
menimbulkan kerugian pada harta atau dirinya.15

B. Tentang Lutf
Apakah Tuhan berkewajiban untuk melakukan sesuatu? Pertanyaan ini
telah melahirkan kontroversi dikalangan ahli kalam. Penyataan bahwa Tuhan
harus melakukan sesuatu atas hamba-hamba-Nya merupakan sesuatu yang sangat
absurd dikalangan muslim tradisional Sunni. Sebaliknya, bagi kaum Muktazilah,
Tuhan memiliki kewajiban terhadap manusia. Di antara kewajiban tersebut, Tuhan
wajib melakukan sesuatu yang baik, bahkan terbaik kepada manusia. Tuhan wajib
menepati janji-janji-Nya, mengutus para Rasul, memberi rizki kepada mahluk-
Nya dan lain-lain.16
Konsep Lutf, Shalah wa al-Ashlah, keduanya adalah pelebaran paham
Muktazilah tentang keadilan Tuhan. Di dalamnya terkandung persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan pertanyaan di atas.
Lutf, bentuk masdar “la-tha-fa” berarti menolong, menyantuni, kehalusan,
keramahan dan kelembutan. Allah disebut “latif”, karena Dia Maha Penolong,
Maha Halus dan Penyantun para hamba-Nya.17 Dalam istilah kalam Muktazilah,
lutf adalah sesuatu yang membuat manusia mampu memilih untuk berperilaku
mukmin, yang tanpanya manusia dapat terjerumus dalam tindakan sebaliknya.18
Akan tetapi, konsep lutf ini bukan berarti menghilangkan makna
kebebasan manusia, konsep utama dalam faham Muktazilah. Menurut Abd
Jabbar, lutf yang diberikan Tuhan kepada mukallaf bukan sebagai balasan,
melainkan sebagai konsekuansi-Nya atas adanya pembebanan pada manusia.19
Dan lutf inipun hanya diberikan kepada orang-orang tertentu, yaitu orang yang
dinilai punya potensi atau kecenderungan untuk beriman. Lutf tidak mungkin
diberikan kepada orang-orang yang ingkar, sebagaimana yang dikatakan dalam al-
Qur’an, “Sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada ada mereka, maka Allah akan
menjadikan mereka dapat mendengar....” (Al-Anfal, 23).
Abd Jabbar membagi lutf dalam tiga kategori;
1. Lutf yang berhubungan dengan perbuatan Tuhan.
2. Lutf yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
3. Lutf yang berhubungan dengan selain perbuatan Tuhan dan manusia.20
Lutf yang berhubungan dengan Allah, menurut Basyar ibn Muktamar,
tidak merupakan kewajiban. Artinya, Tuhan tidak berkewajiban membuat atau

15
Ibid, hal 142-143.
16
Harun Nasution, Teologi Islam, hal 128.
17
Ibrahim Anis, Mu`jam al-Wasit, hal 826.
18
Abd Jabbar, Syarah al-Ushul al-Khamsah, hal 779.
19
Abd Jabbar, al-Mughniy, XIII, hal 7.
20
Abd Jabbar, al-Mughniy, XIII, hal 27.
6

memberikan lutf kepada semua manusia. Sebab, bila lutf tersebut merupakan
kewajiban bagi Allah, maka di dunia ini tentu tidak ada kejahatan. Padahal,
kenyataannya kejahatan masih banyak dan merajalela. Selain itu, kemungkinan
manusia untuk berbuat; baik dan buruk, menjadi tidak mempunyai makna. Begitu
pula tentang balasan surga dan neraka.
Lutf yang berhubungan dengan perbuatan manusia ada dua macam. Yang
diaktifkan untuk menghilangkan kemudaratan, maka ini hukumnya wajib. Sedang
lutf yang digunakan untuk aktifitas sunnah, maka tidak wajib.
Lutf yang tidak berkaitan dengan perbuatan Tuhan dan tidak berkaitan
dengan perbuatan manusia mukallaf, juga ada dua. Yakni, lutf yang berhubungan
dengan hukum kebiasaan, dan lutf yang berhubungan dengan perbuatan yang --
diketahui-- tidak biasa berlaku. Untuk kondisi pertama, adanya lutf dianggap baik,
sedang pada kondisi kedua, tidak baik bahkan jelek.

C. Tentang Salah wa Al-Aslah.


Kata “shalah”, masdar kata “sha-la-ha” berarti baik, lawan kata buruk.
Sedang “aslah” adalah isim tafdhil, yang bermakna “terbaik”. Istilah “Shalah wa
al-Aslah” sebagaimana yang digunakan kaum Muktazilah, adalah suatu kewajiban
bagi Allah untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi para hamba-Nya.21
Konsep ini didasarkan atas paham Muktazilah yang menyatakan bahwa
Tuhan tidak menghendaki kejahatan pada manusia. Sebaliknya, Tuhan
menghendaki kebaikan-kebaikan. Menurut Mutazilah, jika Tuhan menghendaki
kebaikan, maka Dia harus memberikan sarana-sarana kepada manusia, bagaimana
harapan-Nya itu bisa direalisasikan. Artinya, Tuhan harus memberikan kebaikan,
bahkan yang terbaik kepada manusia agar mereka dapat merealisasikan kebaikan
sebagaimana yang diharapkan-Nya.

21
Harun Nasution, Teologi Islam, hal 47,

You might also like