STRATEGI PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PERIKANAN
DAN KELAUTAN DALAM KONTEKS KEKINIAN
By : Dr. Harnita Agusnty, S.Pi, M.Si1
Pengertian masyarakat adalah kelompok-kelompok individu yang
teratur, dimana setiap kelompok manusia saling bergaul dan berinteraksi dan bekerjasama dalam jangka waktu yang cukup lama (Linton 1973 dalam Sunarto, 1993). Masyarakat yang mendiami wilayah pesisir dan memanfaatkan sumberdaya kelautan dalam rangka interaksi sosialnya dalam jangka waktu lama membentuk pola kehidupan bersama yang serasi dan telah mewujudkan ‘rasa kita’ (we-feeling) diantara mereka atau dengan kata lain tercipta pengambilan peranan (role-taking) secara teratur dan rasa saling bergantung (dependency-feeling) satu sama lain (Sallatang, 1999), sehingga Mattulada (1997) menyebutkan bahwa masyarakat pesisir adalah sekelompok manusia yang hidup bekerjasama dan menghasilkan interaksi sosial yang khas dan mencirikan mereka hidup di suatu daerah tertentu yang disebut pantai.
Sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan jumlah penduduk
Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta rumahtangga yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan. Dengan asumsi tiap rumahtangga memiliki 6 jiwa maka sekurang-kurangnya terdapat 12 juta jiwa nelayan yang menggantungkan hidupnya sehari-hari pada sumber daya laut termasuk pesisir tentunya.
Mereka pada umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang
pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai. Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap ikan akan tetapi juga di bidang-bidang lain. Gambaran umum kehidupan masyarakat bahari berkenaan dengan adaptasi terhadap sumberdaya alam, antara lain yang terpenting ialah : (i) pekerjaan menangkap ikan di laut (nelayan), (ii) pekerjaan memelihara ikan di empang atau di tambak (pembudidaya tambak), (iii) pekerjaan membudidayakan rumput laut (pembudidaya rumput laut), (iv) pekerjaan angkutan barang dan orang di laut (pelayar atau pelaut), (v) pekerjaan membuat atau mereparasi alat tangkap ikan, (vi) pekerjaan membuat perahu baik untuk angkutan atau mereparasi alat tangkap ikan (fishing gear), (vii) pekerjaan mencari dan mengumpulkan bibit ikan dan udang, (viii) pekerjaan membuat makanan ikan dan udang serta input lainnya untuk pengelolaan tambak, (ix) pekerjaan menanam tanaman pangan, padi, jagung, dan palawija lainnya, hortikultura dan tanaman industri serta pemeliharaan ternak dan sebagainya, yang semuanya dirangkum sebagai pembudidaya, dan (x) pekerjaan sebagai pedagang meliputi pedagang pengumpul hasil bumi dan laut serta pedagang pengecer kebutuhan sehari-hari. 1 Staf BBAP Takalar Dept. Kelautan dan Perikanan. Dalam dinamika interaksi sosialnya, serupa dengan masyarakat lainnya, masyarakat pesisir juga terdiri atas kelompok-kelompok sosial, khususnya kelompok kerja. Diantaranya adalah kelompok kerja dengan tugas adaptasi atau pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya : kelompok nelayan, kelompok pembudidaya tambak, kelompok pembuat perahu, kelompok pelayaran dan sebagainya, sehingga dalam stratifikasi sosialnya secara garis besar tersusun atas dua strata, yaitu : lapisan atas atau elit adalah mereka yang memiliki atau menguasai fasilitas (materil dan non materil) yang memperolah tempat yang tinggi (lebih tinggi) di dalam sistem yang di anut, dan lapisan bawah atau non elit atau orang kebanyakan (common people) adalah mereka yang kurang memiliki atau kurang menguasai fasilitas termaksud di atas. Meskipun sebenarnya jika diamati secara cermat bahwa, perbatasan antara lapisan atas dan lapisan bawah dalam piramida sosial muncul satu lapisan yaitu lapisan tengah atau seolah- olah lapisan tengah. Dengan demikian, maka masyarakat pesisir dapat terlihat atas tiga bentuk lapisan, yaitu: lapisan atas, lapisan tengah dan lapisan bawah (Sallatang. et.al, 1999).
Oleh karena itu, sebagai suatu mekanisme hubungan dalam sistem
sosial, sedikitnya ada tiga hubungan yang terjadi yaitu, (1) hubungan masyarakat dengan sang sang pencipta; (2) hubungan antara masyarakat itu sendiri, dan; (3) hubungan masyarakat dengan sumberdayanya. Ketiganya ini yang mewarnai perjalanan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan pada kebanyakan daerah. Dalam konteksnya sistem sosial pada masyarakat pesisir berperan dalam dua hal, yaitu; orientasi pengelolaan sumberdaya; dan orientasi pemanfaatan sumberdaya. Sistem sosial yang berorientasi pengelolaan sumberdaya masih dapat ditemukan, misalnya Sasi di Maluku, Panglima laut di Nangroe Aceh Darussalam. Sistem sosial yang berorientasi kepada aspek ekonomi misalnya Ponggawa-Sawi di Sulawesi Selatan (Nur Indar, 2005).
Dalam konteks rumahtangga masyarakat pesisir (nelayan), pada
umumnya memiliki persoalan yang lebih komplek dibandingkan dengan rumahtangga pertanian atau perkotaan. Rumahtangga masyarakat pesisir memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan lautan (common property) sebagai faktor produksi, jam kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari, sisanya mereka relatif menganggur. Selain daripada itu pekerjaan menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan hanya dapat dikerjakan oleh laki-laki, hal ini mengandung arti bahwa keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh.
Dengan persoalan yang demikian tentunya harus dipahami bahwa
kondisi masyarakat pesisir memerlukan perhatian yang multi dimensi. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun sektor ini agar dapat mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat pesisir maupun masyarakat lainnya yang terkait dengan sumber daya kelautan dan pesisir.
Berkenaan dengan titik berat pembangunan Indonesia meskipun
telah diakui sebagai benua maritim melalui UNCLOS (United Nation Convetion on the Law of the Sea) tahun 1982, namun selama ini (Orde Lama dan Orde Baru) fokus perhatian pemerintah belum secara optimal atau tidak sama sekali meletakkan pada potensi sumberdaya perikanan dan kelautan sebagai negara yang memiliki wilayah 75% terdiri dari lautan, sehingga dalam lintasannya di daerah-daerah, pembangunan juga kurang menyentuh pada masyarakat pesisir. Konteks ini tentunya juga berpengaruh dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam perikanan dan kelautan yang terjadi. Sedikitnya ada tiga ciri yang menonjol dan dapat teramati, yaitu; sentralistik, anti pluralisme dan commom property. Konfigurasi politik semacam itu, telah melahirkan tumpang tindih kewenangan (ego sektoral), dan masyarakat pesisir (nelayan/pembudidaya) yang sejatinya sebagai target pembangunan malah semakin termarginalkan (Nur Indar, 2003). Meskipun demikain, tidak berarti bahwa masyarakat pesisir tidak mengalami perubahan, namun jalannya relatif lamban atau tidak secepat dengan yang mungkin diharapkan.
Namun sekarang ini (Orde Reformasi), meskipun terlambat, telah
muncul kesadaran bahwa menyia-nyiakan potensi kelautan dan perikanan adalah sebuah kebodohan dan kerugian besar. Hal ini dibuktikan ketika bangsa Indonesia mengalami puncak krisis ekonomi dan moneter sepanjang tahun 1997-1998, yang ditandai oleh jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, serta terpuruknya sektor-sektor ekonomi yang berbasis bahan baku impor. Sektor pertanian termasuk perikanan di dalamnya, justru tampil sebagai “sektor penyelamat” dan menjadi satu-satunya sektor yang tumbuh positif. Sepanjang tahun tersebut, perikanan mencatat perkembangan nilai ekspor sekitar US$ 2,5 milyar atau sekitar Rp 22,5 trilyun (Ditjen Perikanan, 1999). Kemampuan sektor perikanan untuk bertahan selama masa krisis menandakan bahwa komoditas ini memiliki dasar yang sangat kuat sebagai salah satu pilar perekonomian nasional. Kembalinya kesadaran bahwa negeri ini negeri bahari yang sarat dengan potensi yang menjanjikan mulai muncul saat kepemimpinan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dengan langkah awal membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Oleh karena itu re-orientasi kebijakan pembangunan yang lebih
memfokuskan pada sektor-sektor ekonomi yang memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantages) merupakan salah satu kerangka kebijakan yang harus ditempu dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan sekaligus menciptakan lapangan kerja serta pengentasan kemiskinan. Porter (1998) menyatakan bahwa keunggulan kompetitif sejati suatu bangsa adalah keunggulan yang dibangun atas dasar keunggulan komparatif (comparative advantages) dengan menerapkan IPTEK mutakhir dan manajemen profesional pada seluruh mata rantai sistem ekonomi (bisnis)-nya yakni; produksi, penanganan dan pengolahan hasil, distribusi/transportasi dan, pemasaran. Dengan demikian maka melihat potensi sumberdaya alam pesisir yang besar tersebut maka sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu dari sekian banyak sektor yang dapat dikembangkan oleh bangsa ini sebagai keunggulan kompetitif yang didukung oleh keunggulan komparatif sehingga mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustained economic growth), peningkatan kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu, dan memelihara kelestarian sumberdaya alam berserta ekosistemnya (Dahuri, 2005).
Dalam percaturan global mengenai produksi potensi sumberdaya
perikanan dan kelautan, trend dan strategi arah pembangunannya telah berubah dari perikanan tangkap ke sektor budidaya. Hal ini terjadi hampir di seluruh dunia, khususnya di negara-negara maju Eropa, Amerika, dan beberapa negara Asia seperti Cina, Jepang, Taiwan dan India. Demikian halnya dengan negara kita (Indonesia), secara nasional peluang pengembangan perikanan budidaya (aquaculture) sekitar 27,6 juta lahan (perairan) yang berpotensi untuk lahan budidaya dan baru termanfaatkan sekitar 828 ribu ha (3%) yang sudah dimanfaatkan (Ditjen Budidaya DKP, 2003), artinya bahwa, masih tersisa kurang lebih 97% lahan perairan tersedia. Sementara usaha budidaya laut (mariculture) berdasarkan perhitungan 5 km dari garis pantai ke arah laut, maka potensi luas perairan laut Indonesia yang sesuai untuk kegiatan budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta ha yang terbentang dari ujung bagian barat sampai ke ujung timur Indonesia (Dahuri, 2005). Kondisi ini mengisyaratkan bahwa potensi tersebut merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penambahan devisa negara.
Rumput laut merupakan salah satu komoditas perikanan yang
memiliki nilai tambah (added value) tinggi dan dapat dikembangkan melalui aktivitas budidaya. Sulawesi Selatan misalnya, telah memposisikan diri sebagai penghasil rumput laut utama di Indonesia jenis Cracilaria sp sebesar 58,50% dan Euchema sp sebesar 35% dari produksi nasional dalam tiga tahun terakhir (Tribun, 2007). Akan tetapi kegiatan budidaya rumput laut tersebut haruslah diimbangi dengan berbagai kegiatan pengelolaan dan pengolahannya serta pemahaman yang mendalam tentang dinamika interaksi sosial yang terjadi pada masyarakat pembudidaya khususnya keterlibatan out-sider (stakeholder), agar added value dari rumput laut tersebut dapat dinikmati pembudidaya sebagai aktor utama sehingga kesejahteraan masyarakat pesisir dapat dikatakan signifikan dengan potensi sumberdaya alam yang dimilikinya. Konteks ini penting artinya sebagai sebuah keberlanjutan pembangunan perikanan (revolusi biru) sehingga tidak mengulang “kegagalan” dari revolusi hijau di bidang pertanian yang ternyata menyisahkan wujud ketimpangan antar petani di pedesaan (Damanhuri, 1996)......!!!!
yang sesuai untuk dokumen tersebut karena berisi tentang pengelolaan wilayah pesisir dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Judul ini menggunakan kata kunci "pesisir" dan "optimalisasi