Professional Documents
Culture Documents
REPRODUKSI PEREMPUAN
Abortus merupakan suatu masalah kontroversi yang sudah ada sejak sejarah di
tulis orang. Kontroversi karena di satu pihak abortus ada di masyarakat. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya jamu dan obat-obat peluntur serta dukun pijat untuk
mereka yang terlambat bulan. Di pihak lain abortus tidak dibenarkan oleh agama.
Bahkan dicaci, dimaki dan dikutuk sebagai perbuatan tidak bermoral. Pembicaraan
tentang abortus dianggap tabu. Sulit ditemukan seorang wanita yang secara sukarela
mengaku bahwa ia pernah diabortus, karena malu.
Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil kehamilan sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil, yang
dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu
lahir. Akan tetapi karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di
bawah 500 gram dapat hidup terus, maka abortus dianggap sebagai pengakhiran
kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau usia kehamilan kurang dari
20 minggu. Abortus dapat berlangsung spontan secara alamiah atau buatan. Abortus
buatan ialah pengakhiran kehamilan sebelum 20 minggu dengan obat-obatan atau
dengan tindakan medik.
Frekuensi abortus sukar ditentukan karena abortus buatan banyak tidak
dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi. Abortus spontan kadang-kadang hanya
disertai gejala dan tanda ringan, sehingga pertolongan medik tidak diperlukan dan
kejadian ini dianggap sebagai terlambat haid. Diperkirakan frekuensi abortus spontan
berkisar 10-15%. Frekuensi ini dapat mencapai angka 50% bila diperhitungkan
mereka yang hamil sangat dini, terlambat haid beberapa hari, sehingga wanita itu
sendiri tidak mengetahui bahwa ia sudah hamil. Di Indonesia, diperkirakan ada 5 juta
kehamilan per-tahun. Dengan demikian setiap tahun 500.000-750.000 abortus
spontan.
Sulit untuk mendapatkan data tentang abortus buatan (selanjutnya akan ditulis :
abortus) di Indonesia. Paling sedikit ada dua sebabnya. Yang pertama, abortus
dilakukan secara sembunyi. Yang kedua, bila timbul komplikasi hanya dilaporkan
komplikasinya saja, tidak abortusnya.
Dengan menggunakan Randomized Response Technique, Saifuddin dan
Bachtiar menemukan bahwa hampir sepertiga dari wanita yang datang ke Poliklinik
Kebidanan di RS Cipto Mangunkusumo pernah melakukan abortus.
Seminar Kelahiran Tidak diinginkan (aborsi) Dalam Kesejahteraan Reproduksi Remaja, Palembang 25 Juni 2002
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus
dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian :
• 1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura
• antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia
• antara 155.000 sampai 750.000 di Filipina
• antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand
Tidak dikemukakan perkiraan tentang abortus di Kamboja, Laos dan Myanmar.
Hasil survei yang diselenggarakan oleh suatu lembaga penelitian di New York
yang dimuat dalam International Family Planning Perspectives, Juni 1997,
memberikan gambaran lebih lanjut tentang abortus di Asia Selatan dan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Abortus di Indonesia dilakukan Baik di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Dan dilakukan tidak hanya oleh mereka yang mampu
tapi juga oleh mereka yang kurang mampu ( lihat Tabel 1.)
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 2
seksual dan reproduksi.Menurut Family Care International (1995), lebih dari 15 juta
remaja perempuan berusia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya. Satu dari setiap
20 remaja tertular penyakit menular seksual (PMS), dengan persentase tertinggi pada
kelompok usia 15-24 tahun. Data dari negara berkembang menunjukkan 60% dari
kasus baru infeksi HIV terdapat pada usia 15-24 tahu. Selain itu, 10% dari seluruh
kasus aborsi, atau sekitar 5 juta pertahun, dialami remaja perempuan berusia 15-19
tahun. remaja dan dewasa muda perempuan juga rawan tindak kekerasan seksual,
perkosaan dan eksploitasi seks.
Di Indonesia, Undang-undang No.4 tahun1979 tentang kesejahteraan Anak
menetapkan definisi anak sebagai seorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan
belum pernah kawin. Batasan usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan
bahwa baru pada usia inilah tercapai kematangan mental, pribadi, dan sosial,
walaupun kematangan biologis mungkin sudah terjadi lebih awal pada usia belasan
tahun. Pertimbangan kematangan mental dan sosial di sini sesuai dengan definisi
WHO (1992) bahwa kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan
sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit dan kecacatan, dalam segala aspek
yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.
Dari segi program pelayanan, definisi remaja yang dipergunakan oleh Depkes
adalah mereka yang berusia 10 sampai19 tahun dan belum kawin.hal ini sesuai
dengan batasan usia remaja (adolescence) menurut WHO dulu. Ternyata usia 19
tahun tidak menjamin remaja mencapai kondisi sehat fisik, mental dan sosial untuk
proses reproduksi, WHO juga menamakan dewasa muda (youth) bagi mereka yang
berusia 15-24 tahun, dan memakai istilah penduduk muda (young people) bagi kedua
kelompok atau mereka yang berusia antara 10-24 tahun (WHO, safe mother hood,
1996). Pada kenyataanya di Indonesia, perkawinan usia muda masih tinggi sehingga
remaja perempuan terpapar pada risiko kehamilan dan persalinan pada usia muda
(kurang dari 20 tahun), dimana mereka belum mencapai kematangan mental dan
sosial. Masa depan mereka seringkali terputus karena harus memikul kesehatan
reproduksi yang sebenarnya bisa dihindari. Mutu generasi muda akan lebih baik bila
mereka mendapat akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi
remaja yang berkualitas.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 3
dapat menahan ketertarikan untuk mencoba hubungan seksual dan mulai melakukan
hubungan seksual pra-nikah walau pernikahan dilangsungkan pada usia lebih dewasa.
Ironisnya, walau hal ini sifatnya sama bagi semua remaja, dampaknya lebih sulit bagi
kaum perempuan. Masyarakat biasanya mengutuk perempuan yang aktif seksual pada
masa pra-nikah tetapi mentolerir perbuatan tersebut pada lelaki yang belum kawin.
Akibatnya remaja laki-laki lebih mungkin mengambil risiko untuk aktif seksual pra-
nikah. Hasil penelitian oleh Pusat Penelitian Kesehatan-Universitas Indonesia yang
rnelibatkan 400 pria dan 400 perempuan pelajar SMA di Manado dan Bitung
rnendapatkan 6% pelajar perempuan dan 20% pelajar laki-laki pernah melakukan
hubungan seksual (Moran, 1997)s. Di Sumatra Barat, remaja yang telah melakukan
hubungan seksual sebelum menikah mengakui kebanyakan melakukannya pertama
kali pada usia antara 15-18 tahun (PKBI SumBar, 1997).
Risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja tidak hanya berdampak secara
fisik tetapi juga pada kondisi emosi, ekonorni, dan kesejahteraan sosial dalam jangka
panjang. Menurut literatur, ada 4 risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja:
1) PMS terrnasuk infeksi HIV/AIDS; 2) tindak kekerasan seksual dan pemaksaan,
termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial; 3) kehamilan
dan persalinan usia muda yang berisiko kematian ibu dan bayi; dan 4) kehamilan
tidak dikehendaki, seringkali menjurus ke aborsi tidak aman dan komplikasinya.
Kehamilan dan persalinan pertama bagi remaja perempuan mempunyai pengaruh
yang dalam dan berkepanjangan terhadap kesejahteraan, pendidikan dan
kemampuannya untuk memberikan sumbangsih kepada masyarakat. Remaja
merupakan kelompok yang rentan terinfeksi PMS termasuk HIV melalui kontak
heteroseksual, berdasar pola penularan PMS di negara berkembang maupun negara
maju. Penyebabnya antara lain: 1) ketidaktahuan tentang PMS; 2) tidak ada
perlindungan seksual bila pasangan tidak menggunakan kondom secara konsisten; 3)
semakin muda usia pertama aktif seksual, semakin tinggi kemungkinan memiliki
lebih dari satu pasangan seksual, semakin besar risiko terpapar PMS/ HIV; 4) lapisan
mukus mulut rahim remaja lebih rentan terhadap infeksi gonore, klamidia, dan
papiloma (dapat menyebabkan kanker mulut rahirn); 5) pola pencarian pengobatan
remaja buruk karena berusaha menyembunyikan masalah atau mengobati sendiri; 6)
remaja perempuan dengan pasangan berbeda usia yang jauh ternyata berisiko 2 kali
lebih tinggi, bila pasangannya sudah terkena PMS sebelumnya.
Hambatan hukum, peraturan dan sosial seharusnya diatasi dengan PKRE yang
ramah remaja (adolescentfriendly services) mengingat masalah kesehatan reproduksi
seperti PMS dapat berakibat seumur hidup. Pada saat memasuki pernikahan
berencana, ternyata pasangan tidak mernpunyai anak karena pada masa remajanya
calon ibu pernah terkena gonore dan/atau klamidia yang berlanjut ke penyakit radang
panggul (PRP), terjadi sumbatan tuba falopii yang menyebabkan kemandulan. Satu
kali saja mengalami episode PRP, menurut literatur sudah cukup untuk mengalami
keharmilan ektopik, salah satu kornplikasi fatal penyebab kernatian ibu. Kemandulan
merupakan beban emosi pada perempuan Indonesia, dimana budaya/tradisi masih
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 4
rnenuntut fungsi reproduksi perempuan adalah melahirkan anak. Lebih jauh, janin
dengan ibu terkena PMS juga berisiko (dapat menyebabkan lahir prematur atau bayi
berat lahir rendah), selain infeksi mata pada bayi baru lahir (Oftalmia Gonoroika).
Sifilis dan herpes juga dapat berdampak keguguran spontan, lahir mati, atau kematian
perinatal.
Melahirkan mengandung risiko bagi semua perempuan, tetapi bagi remaja <20
tahun tahun, risiko komplikasi bagi dirinya dan bayi dalam kandungan lebih besar
lagi. Menurut Affandi (1980), kehamilan remaja <20 tahun berisiko kematian ibu dan
bayi 2-4 kali lebih tinggi dibanding ibu berusia 20-35 tahun. Ancaman lain adalah
bila remaja perempuan memutuskan untuk mengakhiri kehamilan yang tak
dikehendaki. Karena hal ini tidak dibenarkan oleh hukum di Indonesia, pada
umumnya mereka mencari orang yang dapat melakukan pengguguran kandungan
gelap, seringkali oleh mereka yang tidak ahli dan bekerja dengan kondisi yang tidak
memenuhi persyaratan medis. Literatur mengatakan bahaya 10-50% pengguguran
tidak aman atau dikerjakan oleh orang yang tidak ahli menyebabkan komplikasi yang
memerlukan tindakan medis seperti infeksi (berakibat kemandulan) atau kematian.
Survei Depkes (1995/96) pada remaja belum menikah berusia 13-19 tahun sebanyak
1189 orang di Jawa Barat dan 922 orang di Bali menemukan 7% remaja perempuan
di Jawa Barat dan 5% di Bali mengakui pernah terlambat haid atau hamil. Dan 10.981
pengunjung klinik KB di Yogyakarta, menurut data sekunder tahun 1996-97, terdapat
19,3% yang datang dengan kehamilan tak dikehendaki dan telah melakukan tindak
pengguguran disengaja sendiri secara tidak aman, sekitar 2% berusia <22 tahun.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 5
menjadi penyebab terjadinya komplikasi abortus, terutama karena perdarahan dan
sepsis, yang dapat berakhir dengan kematian ibu.
Abortus terkomplikasi berkontribusi terhadap kematian ibu sekitar 15%. Data
tersebut seringkali tersembunyi di balik data kematian ibu akibat perdarahan atau
sepsis. Data lapangan menunjukkan bahwa sekitar 60-70% kematian ibu disebabkan
oleh perdarahan, dan sekitar 60% kematian akibat perdarahan tersebut, atau sekitar
35-40% dan seluruh kematian ibu, disebabkan oleh perdarahan postpartum. Sekitar
15-20% kematian ibu disebabkan oleh sepsis. Manajemen aktif kala III dalam
persalinan normal dikatakan dapat mencegah sekitar 50% perdarahan postpartum,
atau sekitar 17-20% kematian ibu. Dengan demikian, paket intervensi berupa
pelayanan paska keguguran dan pertolongan persalinan yang bersih dengan
manajemen aktif kala III dapat berkontribusi dalam mencegah kematian ibu sampai
sekitar 50%.
Dalam rangka menurunkan angka kematian ibu, Pemerintah memfokuskan
intervensi pada pelayanan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan
pengelolaan komplikasi Obstetri. Banyak upaya yang dilaksanakan untuk
mensukseskan kegiatan tersebut antara lain melalui penempatan BdD dan pelatihan
klinik kegawatdaruratan obstetri. Walaupun Asuhan paskakeguguran merupakan
bagian dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri namun dalam pelatihan tersebut
belum termasuk kegawatan akibat komplikasi paska keguguran.
Dalam situasi seperti dikemukakan di atas, maka sangatlah penting untuk
melakukan tindakan pencegahan abortus dan penyediaan asuhan paska
keguguran yang berkualitas serta dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Dengan demikian kejadian abortus dapat dicegah dan kematian akibat komplikasi
abortus dapat dikurangi, yang pada waktunya akan mampu memberikan kontribusi
nyata dalam menurunkan AKI.
Bulan Oktober 2000 telah dicanangkan Making Pregnancy Safer (MPS) oleh
Kepala Negara RI yang menyatakan bahwa Gerakan Nasional Kehamilan Yang
Aman merupakan Strategi Pembangunan Kesehatan Nasional menuju Indonesia
Sehat 2010. Selanjutnya tanggal 26 November 2001 telah dicanangkan Rencana
Strategis Nasional MPS oleh Menteri Kesehatan yang kegiatan utamanya mengacu
pada 3 pesan kunci MPS yaitu: 1) Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
terlatih; 2) Semua komplikasi obstetrik dan neonatal mendapat pelayanan adekuat dan
3) Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi
abortus yang tidak aman.
Kegiatan asuhan paskakeguguran dilaksanakan tidak hanya dilaksanakan semata
untuk penanganan komplikasi tetapi juga harus mencakup kegiatan-kegiatan deteksi
dini dan pencegahan terhadap kejadian abortus. Sehingga kegiatan asuhan
paskakeguguran dilaksanakan tidak hanya oleh tenaga kesehatan, juga oleh
masyarakat berupa kegiatan deteksi dini kejadian abortus dan komplikasinya di
tingkat masyarakat.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 6
Ada tiga (3) elemen dasar dalam Paket Asuhan Paskakeguguran yaitu:
1. Penatalaksanaan komplikasi abortus
2. Pelayanan KB paskakeguguran termasuk konseling dan pelayanan kontrasepsi
3. Asuhan paskakeguguran terintegrasi dengan pelayanan kegawatdaruratan dan
kesehatan reproduksi termasuk KIE
Angka Kematian lbu (AKI) di Indonesia masih tinggi. Menurut Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI 1994), AKI di Indonesia 390/100.000 kelahiran
hidup. Ada 3 penyebab klasik kematian ibu yaitu perdarahan, keracunan kehamilan
dan infeksi. Sebenarnya ada penyebab ke 4 yaitu abortus. Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) 15-50% kematian ibu disebabkan oleh abortus. Komplikasi
abortus berupa perdarahan atau infeksi dapat menyebabkan kematian. Itulah sebabnya
rnengapa kematian ibu yang disebabkan abortus sering tidak muncul dalam laporan
kematian, tapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis.
Tidak ada data yang pasti tentang berapa besarnya dampak abortus terhadap
kesehatan ibu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan di seluruh dunia
setiap tahun:
• dilakukan 20 juta unsafe abortion.
• 70.000 wanita ineninggal akibat unsafe abortion.
• 1 diantara 8 kematian ibu disebabkan unsafè abortion.
Yang dimaksud dengan unsafe abortion adalah abortus yang dilakukan oleh orang
yang tidak terlatih/ kompeten sehingga menimbulkankan banyak komplikasi bahkan
kematian. Sumapraja menngemukakan beberapa ciri unsafe abortion sebagai berikut:
a. Membahayakan
Unsafe abortion yang dilakukan sendiri atau oleh orang yang tidak terlatih
akan selalu membahayakan. Di Indonesia dikenal jamu-jamu peluntur, atau
terlambat datang bulan, yang diiklankan lewat surat kabar dan radio amatir
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 7
dengan peringatan: “Awas, jangan dimakan oleh wanita hamil”, dengan
maksud agar para wanita yang hamil akan berduyun-duyun membeli jamu itu
untuk induksi haid. Yang berbahaya ialah kalau wanita itu berusaha
menginduksi haid dengan jalan kekerasan, yang dapat dilakukan oleh “dukun”
dengan memijit kandungannya, atau dengan benda tajam yang dimasukkan
sendiri ke dalam peranakkannya.
b. Kurang pengetahuan
Kurang pengetahuan menyebabkan wanita itu tidak tahu bahwa ia hamil,
apalagi berapa besar/ tua kehamilannya.
Bila mengetahui sudah hamil, umumnya mereka akan mencoba dulu sendiri,
bila tidak berhasil ke dukun. Akhirnya setelah sampai ke dokter kehamilannya
sudah sangat besar.
c. Kurang fasilitas
Kekurangan fasilitas kesehatan di negara-negara yang sedang berkembang
akan lebih terasa lagi dalam pelayanan abortus, karena undang-undang
menuntut standar pelayanan yang sangat tinggi. Di Bangladesh umumnya
untuk menentukan abortus diperlukan persetujuan 3 orang dokter. Tuntutan
setinggi itu untuk negara masih serba kurang, akan menghambat sampai tidak
memungkinkan terlaksananya abortus.
d. Biayanya selangit
Biaya yang selangit merupakan akibat abortus yang tidak mudah dicapai oleh
yang memerlukannya. Wanita yang sangat memerlukan akan terpaksa pergi
ke klinik atau praktek yang sophisticated. Biaya yang tinggi itu tidak selalu
berarti kualitas pe!ayanan yang tinggi pula. Apabila dokter melakukan abortus
dengan sembunyi-sembunyi, dengan segala risiko yang dihadapinya, maka
dengan sendirinya biaya akan selangit.
e. Keterlambatan
Bahaya abortus meningkat dengan bertambah tuanya umur kehamilan.
Keterlambatan pelayanan abortus biasanya disebabkan tuntutan kelayakan
administrasi yang terlampau tinggi, di samping oleh sebab kurang penge-
tahuan pasien dan kurang fasilitas kesehatan.
f. Masabodoh
Seringkali petugas kesehatan bersikap masa bodoh atau menolak wanita yang
dirujukkan untuk abortus. Wanita yang datang dengan permintaan untuk
abortus seringkali tidak dilayani seramah, dan sehormat seperti pasien lainnya.
Walaupun setiap orang berhak untuk tidak setuju dengan abortus, akan tetapi
kalau dihadapkan kepada masalah abortus sekurang-kurangnya sudilah
rnerujukkan pasien itu ke fasilitas kesehatan lain yang mau memper-
hatikannya.
g. Tidak diteruskan dengan kontrasepei
Karena sikap yang masabodoh itu tadi, petugas kesehatan tidak hendak
menyusahkan sendiri dengan melakukan follow up, apa lagi menganjurkan
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 8
pasiennya untuk memakai kontrasepsi. Masing-masing mengharapkan satu
sama lain tidak akan bertemu lagi. Sesungguhnya, pasien-pasien itu sangat
memerlukan dan akan memakai kontrasepsi yang terbaik, apabila ditawarkan
dengan baik-baik.
ASUHAN PASCAKEGUGURAN
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 9
TabeI 3 merupakan ringkasan tindakan pengobatan yang akan dapat diberikan oleh
suatu fasilitas kesehatan.
Tabel 3 Perawatan Pasca Keguguran yang dapat diberikan
Fasilitas Tindakan Pengobatan Kontrasepsi
Masyarakat Mengenal gejala & tanda abortus Pil, kondom,
Mengenal gejala & langkah abortus spermatisid
Merujuk ke fasilitas kesehatan terdekat
Seperti di atas serta :
Puskesmas - membuat diagnosis
Klinik KB - infus Seperti diatas
Poliklinik - laboratorium IUD, Suntikan,
- antibiotika Implan
- kuretase
- merujuk
Seperti di atas serta :
- evakuasi jaringan sampai trimester II
Rumah Sakit - pengobatan komplikasi Seperti diatas
- anestesi Sterilisasi
- mendiagnosis dan merujuk komplikasi berat
- laparatomia
- transfusi darah
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 10
pill” atau “morning after treatment “. lstilah “kontrasepsi sekunder” atáu “kontrasepsi
darurat” asalnya untuk menepis anggapan obat tersebut harus segera dipakai/
digunakan setelah hubungan seksual atau harus menunggu hingga keesokan harinya
dan bila tidak, berarti sudah terlambat sehingga tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
Sebutan kontrasepsi darurat juga menekankan bahwa dalam cara KB ini lebih baik
dari pada tidak ada sama sekali. Namun tetap kurang efektif dibandingkan dengan
cara KB yang sudah ada.
ABORTUS BUATAN
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 11
Beberapa cara abortus buatan
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 12
PENUTUP
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 13
Lampiran 1
Masalah aborsi diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Pasal 15 yang tercantum sebagai berikut.
(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
(2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan :
a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya
tindakan tersebut;
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi
serta berdasarkan pertimbangan tim ahli ;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya;
d. Pada sarana kesehatan tertentu
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 14
Butir c
Hak utama untuk memberikan persetujuan ada pada ibu hamil yang
bersangkutan kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat
memberikan persetujuannya, dapat diminta dari suami atau
keluarganya.
Butir d
Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki
tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah
ditunjuk oleh pemerintah.
Ayat (3)
Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal ini dijabarkan
antara lain mengenai keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil
dan atau janinnya, tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan, bentuk persetujuannya, dan sarana kesehatan yang ditunjuk.
Dari tahun ke tahun, sejumlah LSM dan organisasi profesi yang berkecimpung
dan peduli terhadap masalah ini mengharapkan agar kebijakan pemerintah dapat
ditinjau kembali. Salah satunya, PKBI, dsejak tahun 1992 telah merumuskan
indikator dari “ keadaan darurat” untuk dapat melakukan “tindakan medis tertentu “,
yaitu :
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 15
• Kegagalan kontrasepsi dan tidak dikehendaki kehamilannya,
• Korban perkosaan dan tidak dikehendaki kehamilannya,
• Korban atau akibat inses dan tidak dikehendaki kehamilannya,
• Ibu mengalami gangguan kejiwaan berat dan tidak dikehendaki
Kehamilannya
• Gangguan pada janin (Downe syndrome, cacat bawaan ) dan tidak
dikehendaki kehamilannya
• Ibu terinfeksi HIV positif dan tidak dikehendaki kehamilannya
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 16
Rujukan
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 17
18. Moeloek FA, Prihartono J. Djajadilaga et al. The Relation Between Menstrual
Regulation Service and The Incidence of Septic Abortions in Indonesia. MOGI,
1992, 23:167-172.
19. Affandi B, Gunadi ER, Santoso SSI et al. Mencegah Kehamilan yang tidak
Dikehendaki dan Abortus dengan Kontrasepsi Darurat. MOGI. 1999,23:141-144.
20. Minkjosastro GH. Hak Wanita untuk Reproduksi dan Abortus, MOGI 1999,23:
130-134.
21. Kodim N, Abortus: Determinan Sosial yang bermuara ke Dokter. MOGI 1999,
23: 130 –134.
22. Munif HA. Abortus dan Figh Islam.MOGI 1999, 23:: 138 – 140.
23. Affandi B., Gunardi ER, Santoso SSI, Hadisaputra W., Djajadilaga. Dampak
Abortus terhadap Kesehatan Ibu di Indonesia. MOGI.
24. Family Care International. Commitment to Sexual and Reproductive Health and
Rights for All. Framework for Action. New York: FCI, 1995.
25. Family Care International. Sexual and Reproductive Health. Briefing cards. New
York: FCI, 1999.
26. Iskandar, M.B. Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia. Majalah
Ilmiah Fakultas Kedokteran Trisakti. Volume 16, 16 Desember 1997, edisi
khusus. ISSN:0216 – 3969. Jakarta: Fakultas Kedokteran Unversitas Trisakti,
1997.
27. WHO. World Health Day: Safe Motherhood. Geneva: WHO/WHD 98.7, 1998.
28. Moran, John. Data Sheet on Sexual Behavior in the General Population, Jakarta:
MOH-HAPP-HIV/AIDS prevention project, September 1997.
29. PKBI Sumatera Barat. “Perilaku seks Remaja: Kehamilan Remaja di Luar
Nikah”. Dalam Women and health newsletters, October 1997.
30. “Meeting the needs of young Adults – Growth, Change, and Risk”. Population
reports. Series J, Number 41. Baltimore: Johns Hopkins School of Public Health,
Population Information program, October 1995: 12-13.
31. Wasserheit,J.N and K.K. Holmes. “Reproductive tract Infection: Chalenges for
International Health Policy, programs and research.” Dalam Adrienne Germain,
K.K. Holmes,P. Piot and J.N. Wasserheit (eds). Reproductive Tract Infections:
Global Impact and Priorities fo Women’s Reproductive Health. New York:
Plenum Press, 1992.
32. Irdjiati,I. Kebijakan Pemerintah di Bidang Kesehatan Reproduksi Remaja di
Indonesia. Majalah Ilmiah Fakultas Kedokteran Trisakti. Volume 16, 16
Desember 1997, edisi khusus. ISSN:0276- 3969. Jakarta Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti, 1997.
33. Kristianti, Ch. M. Status kesehatan remaja propinsi jawa barat dan bali. Laporan
Penelitian 1995/1996. Jakarta Depkes RI, Ditjen Binkesmas, Dit. Binkesga.
34. Herdayati, Milla dan B Wahyuni. Gambaran Klien Pengguna Pelayanan
Kesehatan Reproduksi di Klinik Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) Yogyakarta Jakarta: The Population Council, Desember 1997.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 18
35. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Pedoman
Penyampaian Materi Reproduksi Sehat Sejahtera Remaja Usia 11-21 Tahun
Untuk Konseling – dengan Sasaran Remaja. Jakarta BKKBN, 1997.
36. Djajadilaga. Langkah-langkah Pencegahan Infeksi Saluran Reproduksi Pada
Pelayanan Kontrasepsi: Pedoman Klinis Untuk Petugas KB. Jakarta: Population
Council, 1998.
37. Hatcher, R.A., et al. The essentials of Contraceptive Technology. A Handbook of
clinic Staff. Baltimore: Population Information Program, Center for
Communication Programs, The John Hopkins School of Public Health. 1997.
38. Depkes RI Ditjen Binkesmas. Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar. Jakarta.
Depkes RI, Ditjen Binkesmas, 1998.
39. Saifudin, B.A., Muhyidin Danakusuma, et al. Safe Motherhood Modules in The
Core Curiculum of Medical Education in Indonesia. Consortium of Health
science, ministry of education and culture, MOH and WHO, 1997.
40. Sharples, Jenifer (ed). Primary Health Care Management Advancement
Programme – Assesing the Quality of Service. Module 6 user’s Guide.
Washington D.C,: The Aga Khan Foundation, 1993.
41. Depkes RI. Ditjen Binkesmas. Rencana Strategis Nasional “Making Pregnancy
Safer (MPS)”. Jakarta: Depkes RI. Ditjen Binkesmas, 2001.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002 19