You are on page 1of 29

Kesehatan dan Keselamatan Kerja Laboratorium Kesehatan Oleh Pusat

Kesehatan Kerja
I. PENDAHULUAN
Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020
mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang
ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara
yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia.
Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat
pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran
masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan
dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil
dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk
upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi
bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara
menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada
masyarakat luas.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas
kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik.
Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara
maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan
prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran
pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak
pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat
pengaman walaupun sudah tersedia.
Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah
mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya
kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga,
masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
Diantara sarana kesehatan, Laboratorium Kesehatan merupakan suatu institusi
dengan jumlah petugas kesehatan dan non kesehatan yang cukup besar. Kegiatan
laboratorium kesehatan mempunyai risiko berasal dari faktor fisik, kimia,
ergonomi dan psikososial. Variasi, ukuran, tipe dan kelengkapan laboratorium
menentukan kesehatan dan keselamatan kerja. Seiring dengan kemajuan IPTEK,
khususnya kemajuan teknologi laboratorium, maka risiko yang dihadapi petugas
laboratorium semakin meningkat.
Petugas laboratorium merupakan orang pertama yang terpajan terhadap bahan
kimia yang merupakan bahan toksisk korosif, mudah meledak dan terbakar serta
bahan biologi. Selain itu dalam pekerjaannya menggunakan alat-alat yang mudah
pecah, berionisasi dan radiasi serta alat-alat elektronik dengan voltase yang
mematikan, dan melakukan percobaan dengan penyakit yang dimasukan ke
jaringan hewan percobaan.
Oleh karena itu penerapan budaya ?aman dan sehat dalam bekerja? hendaknya
dilaksanakan pada semua Institusi di Sektor Kesehatan termasuk Laboratorium
Kesehatan.
II. FASILITAS LABORATORIUM
• Laboratorium Kesehatan adalah sarana kesehatan yang melaksanakan
pengukuran, penetapan dan pengujian terhadap bahan yang berasal dari
manusia atau bahan yang bukan berasal dari manusia untuk penentuan
jenis penyakit, penyebab penyakit, kondisi kesehatan dan faktor yang
dapat berpengaruh terhadap kesehatan perorangan dan masyarakat.
• Disain laboratorium harus mempunyai sistem ventilasi yang memadai
dengan sirkulasi udara yang adekuat.
• Disain laboratorium harus mempunyai pemadam api yang tepat terhadap
bahan kimia yang berbahaya yang dipakai.
• Kesiapan menghindari panas sejauh mungkin dengan memakai alat
pembakar gas yang terbuka untuk menghindari bahaya kebakaran.
• Untuk menahan tumpahan larutan yang mudah terbakar dan melindungi
tempat yang aman dari bahaya kebakaran dapat disediakan bendung-
bendung talam.
• Dua buah jalan keluar harus disediakan untuk keluar dari kebakaran dan
terpisah sejauh mungkin.
• Tempat penyimpanan di disain untuk mengurangi sekecil mungkin risiko
oleh bahan-bahan berbahaya dalam jumlah besar.
• Harus tersedia alat Pertolongan Pertama Pada Kecelakaam (P3K).
III. MASALAH KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan
resultante dari tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja
dan lingkungan kerja yang dapat merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila
ketiga komponen tersebut serasi maka bisa dicapai suatu derajat kesehatan kerja
yang optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidak
serasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun
kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.
1. Kapasitas Kerja
Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum
memuaskan. Dari beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30?40%
masyarakat pekerja kurang kalori protein, 30% menderita anemia gizi dan 35%
kekurangan zat besi tanpa anemia. Kondisi kesehatan seperti ini tidak
memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan produktivitas yang
optimal. Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja yang ada
sebagian besar masih di isi oleh petugas kesehatan dan non kesehatan yang
mempunyai banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam melakukan tugasnya
mungkin sering mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan
kecelakaan kerja.
2. Beban Kerja
Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis beroperasi
8 - 24 jam sehari, dengan demikian kegiatan pelayanan kesehatan pada
laboratorium menuntut adanya pola kerja bergilirdan tugas/jaga malam. Pola kerja
yang berubah-ubah dapat menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat
terjadinya perubahan pada bioritmik (irama tubuh). Faktor lain yang turut
memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan sosial bagi pekerja
yang masih relatif rendah, yang berdampak pekerja terpaksa melakukan kerja
tambahan secara berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat
menimbulkan stres.
3. Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi
kesehatan kerja dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational Accident),
Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Occupational
Disease & Work Related Diseases).
IV. IDENTIFIKASI MASALAH KESEHATAN DAN KESELAMATAN
KERJA LABORATORIUM KESEHATAN DAN PENCEGAHANNYA
A. Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan.
Biasanya kecelakaan menyebabkan, kerugian material dan penderitaan dari yang
paling ringan sampai kepada yang paling berat.
Kecelakaan di laboratorium dapat berbentuk 2 jenis yaitu :
1. Kecelakaan medis, jika yang menjadi korban pasien
2. Kecelakaan kerja, jika yang menjadi korban petugas laboratorium itu
sendiri.
Penyebab kecelakaan kerja dapat dibagi dalam kelompok :
1. Kondisi berbahaya (unsafe condition), yaitu yang tidak aman dari :
o Mesin, peralatan, bahan dan lain-lain

o Lingkungan kerja
o Proses kerja

o Sifat pekerjaan

o Cara kerja

2. Perbuatan berbahaya (unsafe act), yaitu perbuatan berbahaya dari manusia,


yang dapat terjadi antara lain karena :
o Kurangnya pengetahuan dan keterampilan pelaksana

o Cacat tubuh yang tidak kentara (bodily defect)

o Keletihanan dan kelemahan daya tahan tubuh.

o Sikap dan perilaku kerja yang tidak baik.

Beberapa contoh kecelakaan yang banyak terjadi di laboratorium :


1. Terpeleset , biasanya karena lantai licin. Terpeleset dan terjatuh adalah
bentuk kecelakaan kerja yang dapat terjadi di laboratorium.
Akibat :
• Ringan
o memar

• Berat
o fraktura, dislokasi, memar otak, dll.

Pencegahan :
• Pakai sepatu anti slip
• Jangan pakai sepatu dengan hak tinggi, tali sepatu longgar
• Hati-hati bila berjalan pada lantai yang sedang dipel (basah dan licin) atau
tidak rata konstruksinya.
• Pemeliharaan lantai dan tangga
2. Mengangkat beban Mengangkat beban merupakan pekerjaan yang cukup berat,
terutama bila mengabaikan kaidah ergonomi.
Akibat : cedera pada punggung.
Pencegahan :
• Beban jangan terlalu berat
• Jangan berdiri terlalu jauh dari beban
• Jangan mengangkat beban dengan posisi membungkuk tapi pergunakanlah
tungkai bawah sambil berjongkok
• Pakaian penggotong jangan terlalu ketat sehingga pergerakan terhambat.
3. Mengambil sample darah/cairan tubuh lainnya Hal ini merupakan pekerjaan
sehari-hari di laboratorium
Akibat :
• Tertusuk jarum suntik
• Tertular virus AIDS, Hepatitis B.
Pencegahan :
• Gunakan alat suntik sekali pakai
• Jangan tutup kembali atau menyentuh jarum suntik yang telah dipakai tapi
langsung dibuang ke tempat yang telah disediakan (sebaiknya gunakan
destruction clip).
• Bekerja di bawah pencahayaan yang cukup
4. Risiko terjadi kebakaran (sumber : bahan kimia, kompor) bahan desinfektan
yang mungkin mudah menyala (flammable) dan beracun.Kebakaran terjadi bila
terdapat 3 unsur bersama-sama yaitu: oksigen, bahan yang mudah terbakar dan
panas.
Akibat :
• Timbulnya kebakaran dengan akibat luka bakar dari ringan sampai berat
bahkan kematian.
• Timbul keracunan akibat kurang hati-hati.
Pencegahan :
• Konstruksi bangunan yang tahan api
• Sistem penyimpanan yang baik terhadap bahan-bahan yang mudah
terbakar
• Pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya kebakaran
• Sistem tanda kebakaran
o Manual yang memungkinkan seseorang menyatakan tanda bahaya
dengan segera
o Otomatis yang menemukan kebakaran dan memberikan tanda
secara otomatis
• Jalan untuk menyelamatkan diri
• Perlengkapan dan penanggulangan kebakaran.
• Penyimpanan dan penanganan zat kimia yang benar dan aman.
B. Penyakit Akibat Kerja & Penyakit Akibat Hubungan Kerja di
laboratorium kesehatan
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik
atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, pada umumnya terdiri dari satu agen
penyebab, harus ada hubungan sebab akibat antara proses penyakit dan hazard di
tempat kerja. Faktor Lingkungan kerja sangat berpengaruh dan berperan sebagai
penyebab timbulnya Penyakit Akibat Kerja. Sebagai contoh antara lain debu silika
dan Silikosis, uap timah dan keracunan timah. Akan tetapi penyebab terjadinya
akibat kesalahan faktor manusia juga (WHO).
Berbeda dengan Penyakit Akibat Kerja, Penyakit Akibat Hubungan Kerja
(PAHK) sangat luas ruang lingkupnya. Menurut Komite Ahli WHO (1973),
Penyakit Akibat Hubungan Kerja adalah ?penyakit dengan penyebab
multifaktorial, dengan kemungkinan besar berhubungan dengan pekerjaan dan
kondisi tempat kerja. Pajanan di tempat kerja tersebut memperberat, mempercepat
terjadinya serta menyebabkan kekambuhan penyakit.
Penyakit akibat kerja di laboratorium kesehatan umumnya berkaitan dengan
faktor biologis (kuman patogen yang berasal umumnya dari pasien); faktor kimia
(pemaparan dalam dosis kecil namun terus menerus seperti antiseptik pada kulit,
zat kimia/solvent yang menyebabkan kerusakan hati; faktor ergonomi (cara duduk
salah, cara mengangkat pasien salah); faktor fisik dalam dosis kecil yang terus
menerus (panas pada kulit, tegangan tinggi, radiasi dll.); faktor psikologis
(ketegangan di kamar penerimaan pasien, gawat darurat, karantina dll.)
1) Faktor Biologis
Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan favorable bagi berkembang biaknya
strain kuman yang resisten, terutama kuman-kuman pyogenic, colli, bacilli dan
staphylococci, yang bersumber dari pasien, benda-benda yang terkontaminasi dan
udara. Virus yang menyebar melalui kontak dengan darah dan sekreta (misalnya
HIV dan Hep. B) dapat menginfeksi pekerja hanya akibat kecelakaan kecil
dipekerjaan, misalnya karena tergores atau tertusuk jarum yang terkontaminasi
virus.
Angka kejadian infeksi nosokomial di unit Pelayanan Kesehatan cukup tinggi.
Secara teoritis kemungkinan kontaminasi pekerja LAK sangat besar, sebagai
contoh dokter di RS mempunyai risiko terkena infeksi 2 sampai 3 kali lebih besar
dari pada dokter yang praktek pribadi atau swasta, dan bagi petugas Kebersihan
menangani limbah yang infeksius senantiasa kontak dengan bahan yang tercemar
kuman patogen, debu beracun mempunyai peluang terkena infeksi
Pencegahan :
1. Seluruh pekerja harus mendapat pelatihan dasar tentang kebersihan,
epidemilogi dan desinfeksi.
2. Sebelum bekerja dilakukan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan
dalam keadaan sehat badani, punya cukup kekebalan alami untuk bekrja
dengan bahan infeksius, dan dilakukan imunisasi.
3. Melakukan pekerjaan laboratorium dengan praktek yang benar (Good
Laboratory Practice)
4. Menggunakan desinfektan yang sesuai dan cara penggunaan yang benar.
5. Sterilisasi dan desinfeksi terhadap tempat, peralatan, sisa bahan infeksius
dan spesimen secara benar
6. Pengelolaan limbah infeksius dengan benar
7. Menggunakan kabinet keamanan biologis yang sesuai.
8. Kebersihan diri dari petugas.
2) Faktor Kimia
Petugas di laboratorium kesehatan yang sering kali kontak dengan bahan kimia
dan obat-obatan seperti antibiotika, demikian pula dengan solvent yang banyak
digunakan dalam komponen antiseptik, desinfektan dikenal sebagai zat yang
paling karsinogen. Semua bahan cepat atau lambat ini dapat memberi dampak
negatif terhadap kesehatan mereka. Gangguan kesehatan yang paling sering
adalah dermatosis kontak akibat kerja yang pada umumnya disebabkan oleh iritasi
(amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh karena alergi (keton). Bahan
toksik ( trichloroethane, tetrachloromethane) jika tertelan, trhirup atau terserap
melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan kematian.
Bahan korosif (asam dan basa) akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang
irreversible pada daerah yang terpapar.
Pencegahan :
1. ?Material safety data sheet? (MSDS) dari seluruh bahan kimia yang ada
untuk diketahui oleh seluruh petugas laboratorium.
2. Menggunakan karet isap (rubber bulb) atau alat vakum untuk mencegah
tertelannyabahan kimia dan terhirupnya aerosol.
3. Menggunakan alat pelindung diri (pelindung mata, sarung tangan,
celemek, jas laboratorium) dengan benar.
4. Hindari penggunaan lensa kontak, karena dapat melekat antara mata dan
lensa.
5. Menggunakan alat pelindung pernafasan dengan benar.
3) Faktor Ergonomi
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi dan seni berupaya menyerasikan alat, cara,
proses dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan
manusia untuk terwujudnya kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman,
nyaman dan tercapai efisiensi yang setinggi-tingginya. Pendekatan ergonomi
bersifat konseptual dan kuratif, secara populer kedua pendekatan tersebut dikenal
sebagai To fit the Job to the Man and to fit the Man to the Job
Sebagian besar pekerja di perkantoran atau Pelayanan Kesehatan pemerintah,
bekerja dalam posisi yang kurang ergonomis, misalnya tenaga operator peralatan,
hal ini disebabkan peralatan yang digunakan pada umumnya barang impor yang
disainnya tidak sesuai dengan ukuran pekerja Indonesia. Posisi kerja yang salah
dan dipaksakan dapat menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang
efisien dan dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan fisik dan
psikologis (stress) dengan keluhan yang paling sering adalah nyeri pinggang kerja
(low back pain)
4) Faktor Fisik
Faktor fisik di laboratorium kesehatan yang dapat menimbulkan masalah
kesehatan kerja meliputi :
1. Kebisingan, getaran akibat mesin dapat menyebabkan stress dan ketulian
2. Pencahayaan yang kurang di ruang kamar pemeriksaan, laboratorium,
ruang perawatan dan kantor administrasi dapat menyebabkan gangguan
penglihatan dan kecelakaan kerja.
3. Suhu dan kelembaban yang tinggi di tempat kerja
4. Terimbas kecelakaan/kebakaran akibat lingkungan sekitar.
5. Terkena radiasi Khusus untuk radiasi, dengan berkembangnya teknologi
pemeriksaan, penggunaannya meningkat sangat tajam dan jika tidak
dikontrol dapat membahayakan petugas yang menangani.
Pencegahan :
1. Pengendalian cahaya di ruang laboratorium.
2. Pengaturan ventilasi dan penyediaan air minum yang cukup memadai.
3. Menurunkan getaran dengan bantalan anti vibrasi
4. Pengaturan jadwal kerja yang sesuai.
5. Pelindung mata untuk sinar laser
6. Filter untuk mikroskop
5) Faktor Psikososial Beberapa contoh faktor psikososial di laboratorium
kesehatan yang dapat menyebabkan stress :
• Pelayanan kesehatan sering kali bersifat emergency dan menyangkut hidup
mati seseorang. Untuk itu pekerja di laboratorium kesehatan di tuntut
untuk memberikan pelayanan yang tepat dan cepat disertai dengan
kewibawaan dan keramahan-tamahan
• Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat monoton.
• Hubungan kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan bawahan atau
sesama teman kerja.
• Beban mental karena menjadi panutan bagi mitra kerja di sektor formal
ataupun informal.
V. PENGENDALIAN PENYAKIT AKIBAT KERJA DAN KECELAKAAN
MELALUI PENERAPAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
A. Pengendalian Melalui Perundang-undangan (Legislative Control) antara
lain :
1. UU No. 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
2. Petugas kesehatan dan non kesehatan 1. UU No. 1 tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja.
3. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
4. Peraturan Menteri Kesehatan tentang higene dan sanitasi lingkungan.
5. Peraturan penggunaan bahan-bahan berbahaya
6. Peraturan/persyaratan pembuangan limbah dll.
B. Pengendalian melalui Administrasi / Organisasi (Administrative control)
antara lain :
1. Persyaratan penerimaan tenaga medis, para medis, dan tenaga non medis
yang meliputi batas umur, jenis kelamin, syarat kesehatan
2. Pengaturan jam kerja, lembur dan shift
3. Menyusun Prosedur Kerja Tetap (Standard Operating Procedure) untuk
masing-masing instalasi dan melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaannya
4. Melaksanakan prosedur keselamatan kerja (safety procedures) terutama
untuk pengoperasian alat-alat yang dapat menimbulkan kecelakaan (boiler,
alat-alat radiology, dll) dan melakukan pengawasan agar prosedur tersebut
dilaksanakan
5. Melaksanakan pemeriksaan secara seksama penyebab kecelakaan kerja
dan mengupayakan pencegahannya.
C. Pengendalian Secara Teknis (Engineering Control) al.:
1. Substitusi dari bahan kimia, alat kerja atau proses kerja
2. Isolasi dari bahan-bahan kimia, alat kerja, proses kerja dan petugas
kesehatan dan non kesehatan (penggunaan alat pelindung)
3. Perbaikan sistim ventilasi, dan lain-lain
D. Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical Control)
Yaitu upaya untuk menemukan gangguan sedini mungkin dengan cara mengenal
(Recognition) kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat tumbuh pada
setiap jenis pekerjaan di unit pelayanan kesehatan dan pencegahan meluasnya
gangguan yang sudah ada baik terhadap pekerja itu sendiri maupun terhadap
orang disekitarnya. Dengan deteksi dini, maka penatalaksanaan kasus menjadi
lebih cepat, mengurangi penderitaan dan mempercepat pemulihan kemampuan
produktivitas masyarakat pekerja. Disini diperlukan system rujukan untuk
menegakkan diagnosa penyakit akibat kerja secara cepat dan tepat (prompt-
treatment)
Pencegahan sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan pekerja
yang meliputi :
1. Pemeriksaan Awal Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan
sebelum seseorang calon/pekerja (petugas kesehatan dan non kesehatan)
mulai melaksanakan pekerjaannya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran tentang status kesehatan calon pekerja dan
mengetahui apakah calon pekerja tersebut ditinjau dari segi kesehatannya
sesuai dengan pekerjaan yang akan ditugaskan kepadanya. Anamnese
umum Pemerikasaan kesehatan awal ini meliputi:
o Anamnese pekerjaan

o Penyakit yang pernah diderita

o Alrergi

o Imunisasi yang pernah didapat

o Pemeriksaan badan

o Pemeriksaan laboratorium rutin Pemeriksaan tertentu :

 Tuberkulin test
 Psiko test
2. Pemeriksaan Berkala Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan
secara berkala dengan jarak waktu berkala yang disesuaikan dengan
besarnya resiko kesehatan yang dihadapi. Makin besar resiko kerja, makin
kecil jarak waktu antar pemeriksaan berkala
Ruang lingkup pemeriksaan disini meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan
khusus seperti pada pemeriksaan awal dan bila diperlukan ditambah dengan
pemeriksaan lainnya, sesuai dengan resiko kesehatan yang dihadapi dalam
pekerjaan.
1. Pemeriksaan Khusus Yaitu pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada
khusus diluar waktu pemeriksaan berkala, yaitu pada keadaan dimana ada
atau diduga ada keadaan yang dapat mengganggu kesehatan pekerja.
Sebagai unit di sektor kesehatan pengembangan K3 tidak hanya untuk intern
laboratorium kesehatan, dalam hal memberikan pelayanan paripurna juga harus
merambah dan memberi panutan pada masyarakat pekerja di sekitarnya, utamanya
pelayanan promotif dan preventif. Misalnya untuk mengamankan limbah agar
tidak berdampak kesehatan bagi pekerja atau masyarakat disekitarnya,
meningkatkan kepekaan dalam mengenali unsafe act dan unsafe condition agar
tidak terjadi kecelakaan dan sebagainya.
VI. PENUTUP
Kesehatan dan keselamatan kerja di Laboratorium Kesehatan bertujuan agar
petugas, masyarakat dan lingkungan laboratorium kesehatan saat bekerja selalu
dalam keadaan sehat, nyaman, selamat, produktif dan sejahtera. Untuk dapat
mencapai tujuan tersebut, perlu kemauan, kemampuan dan kerjasama yang baik
dari semua pihak. Pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan sebagai
lembaga yang bertanggung-jawab terhadap kesehatan masyarakat, memfasilitasi
pembentukan berbagai peraturan, petunjuk teknis dan pedoman K3 di
laboratorium kesehatan serta menjalin kerjasama lintas program maupun lintas
sektor terkait dalam pembinaan K3 tersebut. Keterlibatan dan komitmen yang
tinggi dari pihak manajemen atau pengelola laboratorium kesehatan mempunyai
peran sentral dalam pelaksanaan program ini. Demikian pula dengan pihak
petugas kesehatan dan non kesehatan yang menjadi sasaran program K3 ini harus
berpartisipasi secara aktif, bukan hanya sebagai obyek tetapi juga berperan
sebagai subyek dari upaya mulia ini. Melalui kegiatan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja , diharapkan petugas kesehatan dan non kesehatan yang
bekerja di laboratorium kesehatan dapat bekerja dengan lebih produktif, sehingga
tugas sebagai pelayan kesehatan kepada masyarakat dapat ditingkatkan mutunya,
menuju Indonesia Sehat 2010. (Dr.Erna Tresnaningsih MOH, PhD,SpOK sebagai
Kepala Pusat Kesehatan Kerja Depkes RI)
[Indeks] http://www.depkes.go.id/index.php?
option=articles&task=viewarticle&artid=127&Itemid=3

* Disajikan dalam Simposium Nasional I Hasil-hasil penelitian dan


Pengembangan Kesehatan sebagai Makalah
Poster , Jakarta, 20-21 Desember 2004.
** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan dan
Status Kesehatan
TINGKAT RISIKO PEMAKAIAN ALAT PELINDUNG DIRI DAN
HIGIENE
PETUGAS DI LABORATORIUM KLINIK RSUPN
CIPTOMANGUNKUSUMO, JAKARTA*
Level of Risk Used Material Safety and Hygiene Laboratory Employee In
Clinical
Laboratory Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta
Dian Perwitasari**, Athena Anwar**
Abstract. The study on the description of personal protective equipment (PPE)
and personal hygiene for
laboratorian were undertaken, in relation to high risk factor being infected with
diseases including
HIV/AIDS, in clinical laboratory Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta, in 2001.
The number of samples
is 48 personnel who work in laboratories (24 hour, emergency installation,
hematology, and child
laboratory), and the study design is cross-sectional. The risk level is being scored
in several criteria. There
are 56.8% laboratorian who did not use PPE. Based on risks, the high risk group is
those who work in
child laboratory (100%) and hematological laboratory (75%). Based on personal
hygiene habit after
handling specimen, such as handwashing, 45.4% personnel had bad personal
hygiene, thus the high risk
group in child laboratory and hematological laboratory are both 75%.
Keywords: clinical laboratory, level of risk, personal hygiene
PENDAHULUAN
Laboratorium di rumah sakit
merupakan salah satu fasilitas medik yang
disediakan sebagai penunjang diagnosis
penyakit. Laboratorium juga mempunyai
fungsi sebagai tempat untuk berbagai
penelitian yang berhubungan dengan
pembiakan media-media kuman penyakit,
karena itu lingkungan laboratorium menjadi
salah satu tempat yang baik untuk
berkembangnya berbagai penyakit infeksi,
antara lain HIV/ AIDS (Miller, 1986).
Untuk melindungi petugas
laboratorium tersebut dari penularan penyakit
yang berbahaya, pemerintah telah mengatur
melalui UU Kesehatan Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan dan PP R.I Nomor
102 tahun 2000 tentang Standar Nasional
Indonesia (SNI). Melalui peraturan ini diatur
pemberian perlindungan bagi pekerja di
dalam pekerjaannya dari kemungkinan
bahaya yang disebabkan oleh faktor –faktor
yang membahayakan kesehatan.
Prosedur kerja yang sistematis dalam
pelaksanaan tugas di dalam laboratorium,
termasuk pengolahan spesimen merupakan
faktor yang terpenting dalam sistem
manajemen laboratorium secara menyeluruh,
oleh karena itu dalam penyelengaraan
pelayanan laboratorium selalu diperlukan
adanya suatu petunjuk sebagai pegangan bagi
petugas untuk mengurangi risiko terjadinya
penularan penyakit infeksi antara lain
HIV/AIDS. Dalam melakukan pelayanannya
petugas laboratorium perlu mengikuti
prosedur kerja yang ditetapkan, terutama saat
menangani sampel penderita. Hal ini penting
untuk menjamin keselamatan dirinya, salah
satu persyaratan tersebut adalah pada
pemakaian alat pelindung diri berupa sarung
tangan, jas laboratorium dan masker. Selain
itu aspek prilaku petugas sendiri terhadap
disiplin pemakaian alat pelindung diri (APD)
dan higiene petugas sehabis penanganan
sampel berupa pencucian tangan tidak boleh
diabaikan.
Laboratorium RSUPNCM merupakan
laboratorium rujukan dari seluruh
Indonesia yang menerima sekitar 50 – 80
spesimen darah per hari, ada kemungkinan
bahwa beberapa spesimen tersebut berasal
dari penderita penyakit infeksi seperti
HIV/AIDS.
Tulisan ini menyajikan hasil
penelitian tentang gambaran pemakaian alat
pelindung diri (APD) dan higiene petugas
terhadap risiko terinfeksi HIV/AIDS di
laboratorium Rumah Sakit Umum Pusat
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 5 No 1, April 2006 : 380 - 384
Nasional Ciptomangunkusumo
(RSUPNCM).
TINJAUAN PUSTAKA
a. Keselamatan kerja dalam laboratorium
klinik
Bekerja dalam laboratorum klinik
mempunyai resiko terkena bahan kimia
maupun bahan yang bersifat infeksius.
Resiko tersebut dapat terjadi bila kelalaian
dan sebab-sebab lain diluar kemampuan
manusi. Menjadi suatu tanggung jawab bagi
manusia untuk mempelajari kemungkinan
adanya bahaya dalam pekerjaan agar mampu
mengendalikan bahaya serta mengurangi
resiko sekecil-kecilnya melalui pemahaman
mengenai berbagai aspek bahaya dalam
lingkungan laboratorium, mengarahkan para
pekerja dalam melaksanakan keselamatan
dan kesehatan kerja (Imamkhasani, 1990:1).
Laboratorium harus merupakan
tempat yang aman bagi pekerjanya, terhadap
setiap kemungkinan terjadinya kecelakaan,
sakit maupun gangguan kesehatan. Hanya
dalam laboratorium yang bebas dari rasa
kekhawatiran akan kecelakaan dan keracunan
seseorang dapat bekeraja dengan produktif
dan efisien. Keadaan yang sehat dalam
laboratorium, dapat diciptakan apabila ada
kemauan dari setiap pekerja untuk menjaga
dan melindungi diri. Diperlukan suatu
kesadaran dan tanggung jawab, bahwa
kecelakaan dapat berakibat pada diri sendiri
dan orang lain serta lingkungannya.
Tanggung jawab moral dalam keselamatan
kerja memegang peranan penting dalam
pencegahan kecelakaan disamping dislipin
setiap individu terhadap perautran juga
memberikan andil besar dalam keselamatan
kerja (Imamkhasani, 1990:2)
b. Penanganan Spesimen
Dalam penanganan spesimen perlu
diperhatikan cara pemeliharaan/mempertahankan
kualitas kerja (perfomance) pada
setiap taraf/langkah dalam keseluruhan rantai
prosesnya. Pengambilan/pengumpulan spesimen,
transportasi dan proses merupakan
mata rantai yang penting, tetapi justru
sebagian besar menganggap tidak perlu
diawasi secara khusus. Masing-masing
laboratorium mempunyai cara kerja yang
bervariasi, oleh karena itu perlu adanya
kewaspadaan terhadap spesimen-spesimen
kiriman /rujukan. Paling tepat adalah bila
laboratorium rujukan memberi petunjuk
kepada laboratorium perujuk (yang merujuk)
mengenai cara persiapan, pengambilan,
penanganan dan pengiriman spesimen, jenis
spesimen dan diagnosa penderita bila perlu,
agar tidak terjadi kesalahan apabila hasil
yang diperoleh tidak sesuai dengasn klinis.
Idealnya petunjuk ini disusun secara
sistematis per jenis pemeriksaan/parameter
yang mudah dimengerti oleh petugas di
semua laboratorium perujuk. Selain petunjuk
berdasarkan parameter, perlu juga ditambahkan
petunjuk umum tentang sampling
berdasarkan jenis spesimennya tentang
bagaimana cara memperoleh dan menanganinya,
bila perlu diberi label terhadap
diagnosa penyakit yang berbahaya seperti
berlabel bulatan merah biala terinfeksi
HIV/AIDS. (Laboratorium Patologi Klinik,
RSUPNCM).
c. Risiko Pemakaian APD bagi Petugas
Laboratorium Kesehatan
Kecelakaan kerja adalah kejadian
yang tidak terduga dan tidak diharapkan.
Biasanya kecelakaan menyebabkan kerugian
material dan penderitaan dari yang paling
ringan sampai pada yang paling berat. Untuk
menghindari risiko dari kecelakaan dan
terinfeksinya petugas laboratorium khususnya
pada laboratorium kesehatan
sebaiknya dilakukan tindakan pencegahan
seperti pemakaian APD, apabila petugas
laboratorium tidak menggunakan alat pengaman,
akan semakin besar kemungkinan
petugas laboratorium terinfeksi bahan
berbahaya, khususnya berbagai jenis virus
(Depkes RI, 1996/97).
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini bersifat Cross
Sectional dengan responden seluruh petugas
yang bekerja sebagai pelaksana harian di
bagian laboratorium 24 jam (patologi klinik),
laboratorium IGD, laboratorium Hematologi
dan laboratorium anak, yang khusus menangani
spesimen berupa darah di
RSUPNCM Jakarta, yaitu sebanyak 48
orang. Penelitian dilakukan pada tanggal 26
Maret 2001 untuk observasi dan tanggal 27
Risiko Infeksi ...(Dian, Athena)
* Disajikan dalam Simposium Nasional I Hasil-hasil penelitian dan
Pengembangan Kesehatan sebagai Makalah
Poster , Jakarta, 20-21 Desember 2004.
** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan dan
Status Kesehatan
Maret 2001 untuk penyebaran kuesioner,
sehingga penelitian ini belum menggambarkan
yang diterima petugas selama 1
tahun.
Untuk mendapatkan data tentang
kepatuhan petugas dalam menggunakan APD
dan higiene perorangan, serta alasan yang
dikemukakan dilakukan dengan sistem
angket (penyebaran kuesioner). Selain itu
juga dilakukan observasi (pengamatan),
penggunaan alat pelindung diri yang
diperoleh, kemudian dibuat skoring
berdasarkan variabel pemakaian jas lab,
sarung tangan dan masker (Hasrika, 1986).
Petugas berisiko tinggi; bila petugas hanya
menggunakan salah satu APD. Petugas
berisiko rendah; bila petugas tersebut
menggunakan dua macam atau lebih.
Skoring untuk penilaian higiene
perorangan dilakukan berdasarkan perilaku
petugas dalam mencuci tangan. Adapun
kriterianya adalah sebagi berikut:
- Petugas berisiko Tinggi : bila petugas
tidak mencuci tangan sesudah
pemeriksaan spesimen .
- Petugas Berisiko Rendah : bila petugas
mencuci tangan sesudah pemeriksaan
spesimen.
HASIL
Petugas laboratorium yang bekerja
sebagai pelaksana harian dimasing-masing
ruangan laboratorium RSUPN Ciptomangunkusumo
sebanyak 48 orang. Tetapi
kuesioner yang dapat terkumpul sebanyak 44
orang. Hal ini karena ada beberapa petugas
laboratorium yang cuti dan tidak berada
ditempat pada saat observasi dan penyebaran
kuesioner sehingga tidak dapat terkumpul
semua. Proporsi petugas laboratorium
berdasarkan kebiasaan menggunakan APD
dari ke empat laboratorium disajikan pada
Tabel 1.
Hasil pengamatan di ruangan
laboratorium 24 jam menunjukkan seluruh
petugas (100%) berisiko rendah sedangkan di
laboratorium IGD dari 10 orang petugas yang
di observasi, 4 orang (40%) berisiko tinggi.
Di laboratorium hematologi dari 12 orang
petugas yang di observasi 9 orang (75%)
berisiko tinggi, dan dari 12 petugas
laboratorium anak, semua petugas (100%)
berisiko tinggi. (Tabel 1).
Tabel 1. Proporsi petugas
laboratorium yang berisiko terkena infeksi
berdasarkan kebiasaan menggunakan APD
Risiko
Tinggi Rendah Ruangan
N%N%
Lab 24 jam
Lab IGD
Lab
Hematologi
Lab Anak
-
4
9
12
-
40
75
100
10
6
3
-
100
60
25
-
Total 25 56,8 19 43,2
Berdasarkan higiene perorangan tiap
ruangan diperoleh informasi bahwa seluruh
petugas di laboratorium 24 jam (100%)
berisiko rendah sedangkan di laboratorium
IGD sebanyak 2 petugas (20%) berisiko
tinggi, di laboratorium hematologi 9 petugas
(75%) berisiko tinggi, dan di laboratorium
anak 9 petugas (75%) berisiko tinggi, (Tabel
2)
Tabel 2.
Proporsi Petugas laboratorium yang berisiko
terkena infeksi berdasarkan higiene
perorangan
Risiko
Tinggi Rendah Ruangan
N%N%
Lab 24 jam
Lab IGD
Lab
Hematologi
Lab Anak
-
2
9
9
-
20,0
75,0
75,0
10
8
3
3
100,0
80,0
25,0
25,0
Total 20 45,4 24 54,5
Dari 25 responden yang berisiko
tinggi baik karena mempunyai kebiasaan
tidak menggunakan APD maupun dari
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 5 No 1, April 2006 : 380 - 384
higiene perorangan memberikan alasan tidak
tersedia APD dan fasilitas pencucian tangan
(52%).
Sedangkan alasan lain adalah repot
(4%), tidak terbiasa (4%), lupa (8%), malas
(12%), kotor (4%), dan yang tidak
memberikan jawaban adalah (16%) (Tabel
3).
Tabel 3. Proporsi alasan petugas
laboratorium yang berisiko tinggi
tidak menggunakan APD
Alasan
N%
Tidak tersedia
Tidak terbiasa
Repot
Lupa
Malas
Kotor
Tidak menjawab
13
1
1
2
3
1
4
52
4
4
8
12
4
16
Jumlah 25 100
PEMBAHASAN
Berdasarkan penggunaan APD, dari
4 laboratorium yang ada di RSUPN Cipto
Mangunkusumo; ternyata lebih dari 40 %
petugas di tiga laboratorium (IGD,
Hematologi, dan anak) berisiko tinggi
terinfeksi penyakit berbahaya seperti
HIV/AIDS. Apabila dilihat dari kriteria
penggunaan APD, berarti para petugas
tersebut hanya menggunakan salah satu APD
(jas lab, sarung tangan, atau masker saja) saat
bekerja menangani sampel. Adapun alasan
petugas tidak menggunakan APD ketika
bekerja, pada umumnya (52%) karena di
tempat kerjanya tidak tersedia APD. Tidak
tersedianya APD di sebagian besar
laboratorium yang diteliti kemungkinan
disebabkan karena kurangnya perhatian dari
kepala laboratorium dalam penyediaan APD,
atau anggaran rumah sakit yang terbatas
sehingga dana untuk pengadaan APD juga
menjadi terbatas. Alasan lain petugas tidak
menggunakan APD adalah malas, lupa, tidak
terbiasa, dan repot. Alasan-alasan tersebut
sangat terkait dengan kesadaran/perilaku
petugas dalam menggunakan APD. Penyebab
utamanya kemungkinan karena kurangnya
pemahaman petugas terhadap bahaya yang
akan timbul sebagai akibat dari adanya
sample yang berbahaya.
Alasan malas, tidak terbiasa, dan
repot untuk menggunakan APD ditemukan
juga pada penelitian Kusnindar dkk tahun
1997) tentang Penggunaan alat pelindung
Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Industri
Kecil dan Rumah Tangga.
Dilihat dari higiene perorangan,
proporsi petugas yang berisiko tinggi dalam
penelitian ini dijumpai di laboratorium
hematologi (75%) dan laboratorium anak
(75%). Berdasarkan kriteria hygiene
perorangan, yang berisiko tinggi adalah yang
tidak mencuci tangan sesudah bekerja
sehingga faktor yang paling berpengaruh
disini adalah perilaku dari petugas dalam
membiasakan diri untuk mencuci tangan
sesudah bekerja. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh kurangnya pemahaman
petugas akan bahaya dari sampel yang
ditangani atau tidak dipatuhinya prosedur
kerja yang ada.
Khusus di laboratorium hematologi,
proporsi petugas yang berisiko tinggi
berdasarkan penggunaan APD sampai 75%;
padahal laboratorium ini lebih banyak
menangani sample yang bersifat infeksius
bila dibandingkan dengan laboratorium
lainnya. Risiko akan semakin tinggi apabila
petugas selain mempunyai kebiasaan
menggunakan APD juga tidak mencuci
tangan sesudah menangani sampel. Hal ini
terjadi di laboratorium hematologi karena
berdasarkan hygiene perorangan, 75%
petugas di laboratorium ini juga berisiko
terinfeksi penyakit berbahaya.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa berdasarkan penggunaan
APD, lebih dari 40% petugas di beberapa
laboratorium (IGD, hematologi, dan anak)
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
berisiko tinggi terinfeksi penyakit yang
berbahaya, dan berdasarkan hygiene
perorangan 20% petugas di laboratorium
tersebut yang berisiko tinggi
Di laboratorium hematologi, 75%
petugas berisiko tinggi terinfeksi penyakit
Risiko Infeksi ...(Dian, Athena)
* Disajikan dalam Simposium Nasional I Hasil-hasil penelitian dan
Pengembangan Kesehatan sebagai Makalah
Poster , Jakarta, 20-21 Desember 2004.
** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan dan
Status Kesehatan
berbahaya baik berdasarkan penggunaan
APD maupun higiene perorangan
Alasan utama tidak digunakan APD
oleh petugas laboratorium adalah karena
tidak tersedia APD di laboratorium.
SARAN
Perlu penyuluhan bagi petugas
laboratorium tentang pentingnya penggunaan
APD saat bekerja menangani sampel dan
higiene perorangan terutama setelah bekerja.
Peraturan tentang penggunaan APD dan
mencuci tangan setelah bekerja perlu diterapkan
secara ketat, dengan diberikan
sanksi apabila dilanggar serta bimbingan dan
pengawasan terhadap petugas tentang disiplin
dalam hal penggunaan APD dan higiene
perorangan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada semua pihak di
Laboratorium RSUPN Ciptomangukusumo
yang telah banyak membantu sehingga
tulisan ini dapat diterbitkan.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal
P2MPL,1989. AIDS Petunjuk Untuk Petugas
Kesehatan, Jakarta.
Departemen Kesehatan, Laporan Tahunan Balai
Laboratorium Kesehatan Jogyakarta,
1996/1997.
Departemen Kesehatan RI. 1996. Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Pedoman
Program Pencegahan dan Pemberantasan PMS
Termasuk AIDS di Indonesia.
Gandasoebrata, R., 1999. Penuntun Laboratorium
Klinik, FKUI-RSCM, Jakarta
Imamkhasani, Soemanto, 1990. Keselamatan Kerja
Dalam Laboratorium Kimia. P.T.Gramedia,
Jakarta,
Indonesian Journal of Industrial Hygiene Occupational
Health and Safety. Vol XXX No 1, Jakarta hal
20, 28.
Kusnidar, dkk. 1997. Penggunaan Alat Pelindung
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pada
Industri Kecil dan Rumah Tangga.
Miller, Brinton, M, ill, 1986. Laboratory Safety:
Principles and Practice, American Society for
Microbiology, Washington. D.C.
Suma'mur, P.K, 1981.Keselamatan Kerja dan
Pencegahan Kecelakaan, P.T Toko Gunung
Agung, Jakarta.
WHO, Geneva, 1994. Maintenance and Repair Of
Laboratory Diagnostic Imaging And Hospital
Equipment.
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 5 No 1, April 2006 : 380 - 384
http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%205/Dian_1.pdf

Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi
pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari bahaya akibat
kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi
oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko
kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap
sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang
menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai
bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada
masa yang akan datang.
Bagaimana K3 dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu
norma keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja
merupakan sarana atau alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang
tidak diduga yang disebabkan oleh kelalaian kerja serta lingkungan kerja yang
tidak kondusif. Konsep ini diharapkan mampu menihilkan kecelakaan kerja
sehingga mencegah terjadinya cacat atau kematian terhadap pekerja, kemudian
mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja. Konsep ini juga
mencegah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat sekitar tempat
kerja.Norma kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang mampu
menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya.
K3 dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja,
misalnya kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan lain-
lain yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran, gangguan
pernapasan, kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan jaringan tubuh akibat sinar
ultraviolet, kanker kulit, kemandulan, dan lain-lain. Norma kerja berkaitan dengan
manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan dengan masalah
pengaturan jam kerja, shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda, pengaturan
jam lembur, analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal
tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di Eropa,
terutama Inggris, Jerman dan Prancis serta revolusi industri di Amerika Serikat.
Era ini ditandai adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan mesin-mesin
produksi menggantikan tenaga kerja manusia. Pekerja hanya berperan sebagai
operator. Penggunaan mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam jumlah
berlipat ganda dibandingkan dengan yang dikerjakan pekerja sebelumnya.
Revolusi IndustriNamun, dampak penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran
serta risiko kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik
dan kematian bagi pekerja. Juga dapat menimbulkan kerugian material yang besar
bagi perusahaan. Revolusi industri juga ditandai oleh semakin banyak ditemukan
senyawa-senyawa kimia yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan
fisik dan jiwa pekerja (occupational accident) serta masyarakat dan lingkungan
hidup.
Pada awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam perusahaan.
Pada era in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja
(personal risk), bukan tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini diperkuat
dengan konsep common law defence (CLD) yang terdiri atas contributing
negligence (kontribusi kelalaian), fellow servant rule (ketentuan kepegawaian),
dan risk assumption (asumsi resiko) (Tono, Muhammad: 2002). Kemudian konsep
ini berkembang menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab
pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan
kerja.Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak
pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda
mendesak Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang
ditandai dengan penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun
1910. Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk
hukum yang memberikan perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan kerja
yang diatur secara terpisah berdasarkan masing-masing sektor ekonomi. Beberapa
di antaranya yang menyangkut sektor perhubungan yang mengatur lalu lintas
perketaapian seperti tertuang dalam Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en
de Exploitate van Spoor en Tramwegen Bestmend voor Algemene Verkeer in
Indonesia (Peraturan umum tentang pendirian dan perusahaan Kereta Api dan
Trem untuk lalu lintas umum Indonesia) dan Staatblad 1926 No. 334,
Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi Kecelakaan Pelaut),
Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan Keamanan Kerja di
Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya. Kepedulian Tinggi Pada awal zaman
kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan menjadi bagian dari
masalah kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena Pemerintahan
Indonesia masih dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan keamanan
nasional. Sementara itu, pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis
oleh pemerintah dan swasta nasional.
K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin
ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional
(manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi
dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang
dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun
1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja tidak menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang
dikelompokkan sebagai norma kerja.Setiap tempat kerja atau perusahaan harus
melaksanakan program K3. Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas
mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah,
dalam air, di udara maupun di ruang angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang
usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14
Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun
1992 tentang Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.
Selain sekor perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga
dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian,
industri manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.Di era globalisasi saat ini,
pembangunan nasional sangat erat dengan perkembangan isu-isu global seperti
hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh.
Persaingan global tidak hanya sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup
kualitas pelayanan dan jasa. Banyak perusahaan multinasional hanya mau
berinvestasi di suatu negara jika negara bersangkutan memiliki kepedulian yang
tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan
masyarakat miskin. Karena itu bukan mustahil jika ada perusahaan yang peduli
terhadap K3, menempatkan ini pada urutan pertama sebagai syarat investasi.
Diposkan oleh Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3) di 10:07 0 komentar
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perkantoran

Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perkantoran


PENDAHULUAN

Di era golbalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)


di setiap tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita perlu mengem-
bangkan dan meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan
serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan
kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efesiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja di sektor kesehatan
tidak terkecuali di Rumah Sakit maupun perkantoran, akan terpajan dengan resiko
bahaya di tempat kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan
sampai yang paling berat tergantung jenis pekerjaannya.
Dari hasil penelitian di sarana kesehatan Rumah Sakit, sekitar 1.505 tenaga kerja
wanita di Rumah Sakit Paris mengalami gangguan muskuloskeletal (16%) di
mana 47% dari gangguan tersebut berupa nyeri di daerah tulang punggung dan
pinggang. Dan dilaporkan juga pada 5.057 perawat wanita di 18 Rumah Sakit
didapatkan 566 perawat wanita adanya hubungan kausal antara pemajanan gas
anestesi dengan gejala neoropsikologi antara lain berupa mual, kelelahan,
kesemutan, keram pada lengan dan tangan.
Di perkantoran, sebuah studi mengenai bangunan kantor modern di Singapura
dilaporkan bahwa 312 responden ditemukan 33% mengalami gejala Sick Building
Syndrome (SBS). Keluhan mereka umumnya cepat lelah 45%, hidung mampat
40%, sakit kepala 46%, kulit kemerahan 16%, tenggorokan kering 43%, iritasi
mata 37%, lemah 31%.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23
mengenai kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib
diseleng-garakan pada setiap tempat kerja, khususnya tempat kerja yang
mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar bagi pekerja agar dapat bekerja
secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya,
untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program
perlindungan tenaga kerja.
HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN PELAKSANAAN K3 PERKANTORAN
Ada beberapa hal penting yang harus mendapatkan perhatian sehubungan dengan
pelaksanaan K3 perkantoran, yang pada dasarnya harus memperhatikan 2 (dua)
hal yaitu indoor dan outdoor, yang kalau diurai seperti dibawah ini :
Konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap
bahaya kebakaran serta kode pelaksanaannya.
jaringan elektrik dan komunikasi.
kualitas udara.
kualitas pencahayaan.
Kebisingan.
Display unit (tata ruang dan alat).
Hygiene dan sanitasi.
Psikososial.
Pemeliharaan.
Penggunaan Komputer.
PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI
Konstruksi gedung :
Disain arsitektur (aspek K3 diperhatikan mulai dari tahap perencanaan).
Seleksi material, misalnya tidak menggunakan bahan yang membahayakan seperti
asbes dll.
Seleksi dekorasi disesuaikan dengan asas tujuannya misalnya penggunaan warna
yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Tanda khusus dengan pewarnaan kontras/kode khusus untuk objek penting seperti
perlengkapan alat pemadam kebakaran, tangga, pintu darurat dll. (peta petunjuk
pada setiap ruangan/unit kerja/tempat yang strategis misalnya dekat lift dll, lampu
darurat menuju exit door).
Kualitas Udara :
Kontrol terhadap temperatur ruang dengan memasang termometer ruangan.
Kontrol terhadap polusi
Pemasangan "Exhaust Fan" (perlindungan terhadap kelembaban udara).
Pemasangan stiker, poster "dilarang merokok".
Sistim ventilasi dan pengaturan suhu udara dalam ruang (lokasi udara masuk,
ekstraksi udara, filtrasi, pembersihan dan pemeliharaan secara berkala filter AC)
minimal setahun sekali, kontrol mikrobiologi serta distribusi udara untuk
pencegahan penyakit "Legionairre Diseases ".
Kontrol terhadap linkungan (kontrol di dalam/diluar kantor).
Misalnya untuk indoor: penumpukan barang-barang bekas yang menimbulkan
debu, bau dll.
Outdoor: disain dan konstruksi tempat sampah yang memenuhi syarat kesehatan
dan keselamatan, dll.
Perencanaan jendela sehubungan dengan pergantian udara jika AC mati.
Pemasangan fan di dalam lift.
Kualitas Pencahayaan (penting mengenali jenis cahaya) :
Mengembangkan sistim pencahayaan yang sesuai dengan jenis pekerjaan untuk
membantu menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan aman. (secara berkala
diukur dengan Luxs Meter)
Membantu penampilan visual melalui kesesuaian warna, dekorasi dll.
Menegembangkan lingkungan visual yang tepat untuk kerja dengan kombinasi
cahaya (agar tidak terlalu cepat terjadinya kelelahan mata).
Perencanaan jendela sehubungan dengan pencahayaan dalam ruang.
Penggunaan tirai untuk pengaturan cahaya dengan memperhatikan warna yang
digunakan.
Penggunaan lampu emergensi (emergency lamp) di setiap tangga.
Jaringan elektrik dan komunikasi (penting agar bahaya dapat dikenali) :
Internal
Over voltage
Hubungan pendek
Induksi
Arus berlebih
Korosif kabel
Kebocoran instalasi
Campuran gas eksplosif
Eksternal
Faktor mekanik.
Faktor fisik dan kimia.
Angin dan pencahayaan (cuaca)
Binatang pengerat bisa menyebabkan kerusakan sehingga terjadi hubungan
pendek.
Manusia yang lengah terhadap risiko dan SOP.
Bencana alam atau buatan manusia.
Rekomendasi
Penggunaan central stabilizer untuk menghindari over/under voltage.
Penggunaan stop kontak yang sesuai dengan kebutuhan (tidak berlebihan) hal ini
untuk menghindari terjadinya hubungan pendek dan kelebihan beban.
Pengaturan tata letak jaringan instalasi listrik termasuk kabel yang sesuai dengan
syarat kesehatan dan keselamatan kerja.
Perlindungan terhadap kabel dengan menggunakan pipa pelindung.
Kontrol terhadap kebisingan :
Idealnya ruang rapat dilengkapi dengan dinding kedap suara.
Di depan pintu ruang rapat diberi tanda " harap tenang, ada rapat ".
Dinding isolator khusus untuk ruang genset.
Hak-hal lainnya sudah termasuk dalam perencanaan konstruksi gedung dan tata
ruang.
Display unit (tata ruang dan letak) :
Petunjuk disain interior supaya dapat bekerja fleksibel, fit, luas untuk perubahan
posisi, pemeliharaan dan adaptasi.
Konsep disain dan dan letak furniture (1 orang/2 m²).
Ratio ruang pekerja dan alat kerja mulai dari tahap perencanaan.
Perhatikan adanya bahaya radiasi, daerah gelombang elektromagnetik.
Ergonomik aspek antara manusia dengan lingkungan kerjanya.
Tempat untuk istirahat dan shalat.
Pantry dilengkapi dengan lemari dapur.
Ruang tempat penampungan arsip sementara.
Workshop station (bengkel kerja).
Hygiene dan Sanitasi :
Ruang kerja
Memelihara kebersihan ruang dan alat kerja serta alat penunjang kerja.
Secara periodik peralatan/penunjang kerja perlu di up grade.
Toilet/Kamar mandi
Disediakan tempat cuci tangan dan sabun cair.
Membuat petunjuk-petunjuk mengenai penggunaan closet duduk, larangan berupa
gambar dll.
Penyediaan bak sampah yang tertutup.
Lantai kamar mandi diusahakan tidak licin.
Kantin
Memperhatikan personal hygiene bagi pramusaji (penggunaan tutup kepala,
celemek, sarung tangan dll).
Penyediaan air mengalir dan sabun cair.
Lantai tetap terpelihara.
Penyediaan makanan yang sehat dan bergizi seimbang. Pengolahannya tidak
menggunakan minyak goreng secara berulang.
Penyediaan bak sampah yang tertutup.
Secara umum di setiap unit kerja dibuat poster yang berhubungan dengan
pemeliharaan kebersihan lingkungan kerja.
Psikososial
Petugas keamanan ditiap lantai.
Reporting system (komunikasi) ke satuan pengamanan.
Mencegah budaya kekerasan ditempat kerja yang disebabkan oleh :
Budaya nrimo.
Sistem pelaporan macet.
Ketakutan melaporkan.
Tidak tertarik/cuek dengan lingkungan sekitar.
Semua hal diatas dapat diatasi melalui pembinaan mental dan spiritual secara
berkala minimal sebulan sekali.
Penegakan disiplin ditempat kerja.
Olah raga di tempat kerja, sebelum memulai kerja.
Menggalakkan olah raga setiap jumat.
Pemeliharaan
Melakukan walk through survey tiap bulan/triwulan atau semester, dengan
memperhitungkan risiko berdasarkan faktor-faktor konsekuensi, pajanan dan
kemungkinan terjadinya.
Melakukan corrective action apabila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan
ketentuan.
Pelatihan tanggap darurat secara periodik bagi pegawai.
Pelatihan investigasi terhadap kemungkinan bahaya bom/kebakaran/demostrasi/
bencana alam serta Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) bagi satuan
pengaman.
Aspek K3 perkantoran (tentang penggunaan komputer)
Pergunakan komputer secara sehat, benar dan nyaman :
Hal-hal yang harus diperhatikan :
Memanfaatkan kesepuluh jari.
Istirahatkan mata dengan melihat kejauhan setiap 15-20 menit.
Istirahat 5-10 menit tiap satu jam kerja.
Lakukan peregangan.
Sudut lampu 45º.
Hindari cahaya yang menyilaukan, cahaya datang harus dari belakang.
Sudut pandang 15º, jarak layar dengan mata 30 – 50 cm.
Kursi ergonomis (adjusted chair).
jarak meja dengan paha 20 cm
Senam waktu istirahat.
Rekomendasi
Perlu membuat leaflet/poster yang berhubungan dengan penggunaan komputer
disetiap unit kerja.
Mengusulkan pada Pusat Promosi Kesehatan untuk membuat poster/leaflet.
Penggunaan komputer yang bebas radiasi (Liquor Crystal Display).

PENUTUP
Dalam pelaksanaan K3 perkantoran perlu memperhatikan 2(dua) hal penting
yakni indoor dan outdoor. Baik perhatian terhadap konstruksi gedung beserta
perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta kode
pelaksanannya maupun terhadap jaringan elektrik dan komunikasi, kualitas udara,
kualitas pencahayaan, kebisingan, display unit (tata ruang dan alat), hygiene dan
sanitasi, psikososial, pemeliharaan maupun aspek lain mengenai penggunaan
komputer.
Hal diatas tidak hanya meningkatkan dari sisi kesehatan maupun sisi keselamatan
karyawan/pekerja dalam melakukan pekerjaan di tempat kerjanya.
Harapannya rekomendasi ini dapat dijadikan sebagai acuan ataupun perbandingan
dalam rangka meningkatkan pelaksanaan K3 khususnya di perkantoran
Diposkan oleh Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3) di 10:03 0 komentar
HSE
HSE
HSE (Health, Safety, Environment,) atau di beberapa perusahaan juga disebut
EHS, HES, SHE, K3LL (Keselamatan & Kesehatan Kerja dan Lindung
Lingkungan) dan SSHE (Security, Safety, Health, Environment). Semua itu
adalah suatu Departemen atau bagian dari Struktur Organisasi Perusahaan yang
mempunyai fungsi pokok terhadap implementasi Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (SMK3) mulai dari Perencanaan, Pengorganisasian,
Penerapan dan Pengawasan serta Pelaporannya. Sementara, di Perusahaan yang
mengeksploitasi Sumber Daya Alam ditambah dengan peran terhadap Lingkungan
(Lindungan Lingkungan).

Membicarakan HSE bukan sekedar mengetengahkan Issue seputar Hak dan


Kewajiban, tetapi juga berdasarkan Output, yaitu korelasinya terhadap
Produktivitas Keryawan. Belum lagi antisipasi kecelakaan kerja apabila terjadi
Kasus karena kesalahan prosedur ataupun kesalahan pekerja itu sendiri (naas).

Dasar Hukum
Ada minimal 53 dasar hukum tentang K3 dan puluhan dasar hukum tentang
Lingkungan yang ada di Indonesia. Tetapi, ada 4 dasar hukum yang sering
menjadi acuan mengenai K3 yaitu:
Pertama, dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan
Kerja, disana terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat Keselamatan Kerja,
Pengawasan, Pembinaan, Panitia Pembina K-3, Tentang Kecelakaan, Kewajiban
dan Hak Tenaga Kerja, Kewajiban Memasuki Tempat Kerja, Kewajiban Pengurus
dan Ketentuan Penutup (Ancaman Pidana). Inti dari UU ini adalah, Ruang lingkup
pelaksanaan K-3 ditentukan oleh 3 unsur:
Adanya Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha,
Adanya Tenaga Kerja yang bekerja di sana
Adanya bahaya kerja di tempat itu.
Dalam Penjelasan UU No. 1 tahun 1970 pasal 1 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2918, tidak hanya bidang Usaha bermotif Ekonomi
tetapi Usaha yang bermotif sosial pun (usaha Rekreasi, Rumah Sakit, dll) yang
menggunakan Instalasi Listrik dan atau Mekanik, juga terdapat bahaya (potensi
bahaya tersetrum, korsleting dan kebakaran dari Listrik dan peralatan Mesin
lainnya).
Kedua, UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81
Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (yang mana disahkan
19 Juli 1947). Saat ini, telah 137 negara (lebih dari 70%) Anggota ILO
meratifikasi (menyetujui dan memberikan sanksi formal) ke dalam Undang-
Undang, termasuk Indonesia (sumber: www.ILO.org). Ada 4 alasan Indonesia
meratifikasi ILO Convention No. 81 ini, salah satunya adalah point 3 yaitu baik
UU No. 3 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun 1970 keduanya secara eksplisit belum
mengatur Kemandirian profesi Pengawas Ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat
pusat (yang diatur dalam pasal 4 dan pasal 6 Konvensi tersebut) – sumber dari
Tambahan Lembaran Negara RI No. 4309.
Ketiga, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf 5
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat
1berbunyi: “Setiap Pekerja/ Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh
perlindungan atas (a) Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Aspek Ekonominya adalah Pasal 86 ayat 2: ”Untuk melindungi keselamatan
Pekerja/ Buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal
diselenggarakan upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Sedangkan Kewajiban penerapannya ada dalam pasal 87: “Setiap Perusahaan
wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang
terintegrasi dengan Sistem Manajemen Perusahaan.”
Keempat, Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang
Sistem Manajemen K3. Dalam Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12
pasal ini, berfungsi sebagai Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3 (SMK3),
mirip OHSAS 18001 di Amerika atau BS 8800 di Inggris.
Diposkan oleh Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3) di 09:13 0 komentar
Langgan: Entri (Atom)
http://arbelprasetyo.blogspot.com/

You might also like