Professional Documents
Culture Documents
Yuni Pratiwi
1. Pendahuluan
Pembelajaran Apresiasi Sastra Indonesia telah puluhan tahun dilaksanakan di
sekolah. Jika dilihat dari segi usianya, siapa pun tentu boleh berharap bahwa
pembelajaran apresiasi sastra Indonesia seharusnya telah berkembang menjadi sosok
dengan citra yang cukup dewasa. Pikiran dan tenaga beratus ribu guru mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia telah disumbangkan untuk mencapai target yang
ditetapkan dalam kurikulum. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
guru masih menghadapi sejumlah masalah antara lain, minat siswa dalam belajar
apresiasi sastra tidak sehebat minat belajar terhadap mata pelajaran lain seperti
matematika, biologi, bahasa Inggris; sebagian guru menghadapi kesulitan memilih
strategi pembelajaran yang dapat membangkitkan motivasi belajar, tidak tersedia teks
sastra yang memadai untuk mendukung kegiatan pembelajaraan apresiasi, alokasi
waktu tidak jelas, pengukuran hasil belajar belum sesuai dengan hakikat pembelajaran
apresiasi sastra, dan kurang ada kepedulian masyarakat untuk mendukung
terselenggarakannya kegiatan pembelajaran apresiasi sastra yang benar.
Kenyataan di atas, sangat kontras dengan hasil penelitian yang dilaporkan
sejumlah guru dari negara lain. Penelitian berjudul “A Gay-Themed Lesson in an
Ethnic Literature Curriculum: Tenth Graders’ Respones to “Dear Anita” yang
dilakukan oleh Steven Z. Athanases (1995) memberikan gambaran tentang kegiatan
kelas yang dilakukan siswa-guru dalam mengapresiasi karya sastra. Langkah-langkah
apresiasi yang dirancang secara cermat dengan mempertimbangkan pengalaman dan
kebutuhan hidup siswa dapat menumbuhkan motivasi belajar yang tinggi. Lebih dari
itu, kegiatan kelas yang dikembangkan dengan diskusi dan penulisan tugas akhir juga
memberikan kesempatan untuk berbagi pengalaman dan menggali pandangan yang
jernih terhadap masalah dalam teks sastra. Penelitian lainnya, berjudul “Cultural
2
Identity and Response to Literature: Running Lessons from Maniac Magee” yang
dilakukan oleh Patricia Enciso (1994) menjelaskan bahwa teks sastra dapat menjadi
salah satu sumber vital yang dapat membantu menjadi penunjuk arah untuk
memahami manusia sebagai anggota sosial yang berbeda-beda. Karya sastra diyakini
dapat mengembangkan minat siswa untuk memahami dan merasakan empati terhadap
perbedaan manusia, waktu, dan dilema. Phyllis E. Within (1996) melakukan
penelitian dengan judul “Exploring Visual Response to Literature” memberikan
alternatif bahwa untuk menyatakan hasil analisisnya siswa dapat memanfaatkan
simbol-simbol non linguistik, misalnya gambar, sketsa, dan chart. Simbol-simbol
tersebut dimanfaatkan sebagai bahan diskusi. Dalam diskusi siswa berlatih untuk
mengorganisasikan pikiran-pikirannya dengan mengggunakan argumentasi yang
runtut dan jelas. Untuk itu, guru perlu membuat persiapan secara menyeluruh dan
teliti sehingga pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang berarti.
Masalah menumpuk dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia
mengakibatkan ketidakmampuan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia untuk
memberikan sumbangan bagi pertumbuhan dan perkembangan mental-spritual siswa.
Pembelajaran apresiasi sastra juga tidak siap mengantarkan siswa memasuki abad
kemajuan teknologi informasi. Padahal, kemajauan teknologi informasi telah
mengaburkan batas-batas geografis wilayah negara yang ditandai identitas budaya.
Pada saat ini yang terjadi bukan hanya akulturasi budaya beserta tatanilai yang
menyertainya, tetapi sudah merupakan peleburan budaya. Dalam kondisi tersebut,
pembelajaran apresiasi satra memiliki tugas melakukan pemberdayaan anak didik agar
tetap bertahan dalam perubahan tatanilai dalam masyarakat yang berlangsung amat
cepat. Pada masa depan, untuk bertahan ditengah gelombang perubahan selain
diperlukan power of reasoning, juga harus dilengkapi dengan power of culturing.
Raka Joni (1991) juga menegaskan bahwa siswa pada masa yang akan datang
diharapkan memiliki kemampuan answering questions, questioning answer, dan
questioning questions. Fungsi imperatif itu diharapkan mampu memasuki wilayah
cultural, education dan ideologi serta memberikan nilai-nilai etis di semua tingkatan
masyarakat.
Dilihat dari kacamata pendidikan nasional, isu mutakhir yang perlu
mendapatkan perhatian serius adalah membangun kehidupan dengan semangat moral
3
2. Pembahasan
2.1 Kedudukan Pendekatan Kontekstual dalam Sistem Pembelajaran Apresiasi
Sastra
pembelajaran yang unik, perwujudan kerja sama anak (siswa) dengan orang dewasa
(guru). Kerja sama tersebut merupakan elemen sentral dalam proses pendidikan dan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami pengembangan kemampuan
dalam sistem yang nyata. Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pembelajaran
memiliki kedudukan yang fundamental dalam aktivitas manusia. Kemampuan
mengajar dan manfaat dari pembelajaran berpengaruh pada perkembangan proses
psikologis siswa.
Pada kenyataannya, banyak siswa di sekolah mengalami kesulitan
menghubungkan pengetahuan yang telah dipelajarinya dalam kelas dengan cara-cara
memanfaatkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan yang nyata (Teacher
Workshops Contextual Learning Resources, 2001). Kesulitan tersebut timbul karena
cara-cara yang digunakan untuk memproses informasi dan motivasi belajar tidak
mampu dijangkau dengan metode pengajaran tradisional. Dalam pengajaran dengan
metode tradisional, siswa mengalami saat-saat yang sulit untuk memahami konsep
akademik (misalnya memahami unsur intrinsik dalam fiksi), karena penjelasannya
sangat abstrak. Meskipun demikian, di dalam kelas siswa tetap didorong untuk
berusaha untuk memahami konsep tersebut meski tanpa menghubungkannya dengan
tempat kerja atau lingkungan sosial yang luas tempat mereka tinggal. Dalam
pengajaran tradisional, siswa diperkirakan telah menghubungkan sendiri sesuatu yang
dipelajarinya dengan dengan apa yang dimilikinya di luar kelas.
Pendekatan kontekstual berpandangan bahwa pengetahuan menjadi lebih
bermakna apabila pengetahuan tersebut dibangun melalui pengalaman belajar yang
menunut kemampuan berpikir kritis dan berhubungan dengan konteks kehidupan yang
nyata. Oleh karena itu, materi yang dipelajari siswa dalam kelas hendaknya
berhubungan kebutuhan yang nyata dalam konteks sehari-hari. Untuk mendukung
maksud tersebut, sekolah perlu mengembangkan lingkungan atau situasi pembelajaran
yang bersifat alamiah. Artinya, belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami dan
membangun sendiri pengetahuan yang dipelejarinya dan dapat menggunakannya
dalam kesempatan yang tepat. Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah
membantu siswa mencapai tujuannya.
Istilah-istilah yang digunakan pembahasan prinsip-prinsip pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual telah dikenal sebelumnya melalui studi tentang
5
INQUIRY KONTRUKTIVISME
PENDEKATAN
KONTEKSTUAL MASYARAKAT
BELAJAR
BERTANYA
REFLEKSI PENILAIAN
PEMODELAN AUTENTIK
Pendekatan
Kontekstual:
⇒ Strategi
Kondisi Awal
Siswa
⇒ Skenario
Pembelajaran
Materi
Konteks Pembelajaran:
Sosial Sumber
⇒ Naskah
Sastra
dengan penghayatan dan kesadaran makna kehidupan yang luas dan mendalam. Karya
interpretatif memberikan penerangan tentang beberapa aspek kemanusiaan atau
tingkah laku manusia. Prosa fiksi interpretatif juga membukakan pandangan tentang
alam, gejala kejiwaan, dan kondisi kebedaraan manusia. Karya semacam ini
mengetengahkan kesadaran yang mendalam tentang kebiasaan-kebiasaan manusia
yang satu saat menjadi amat ramah dan pada waktu yang lain saling bermusuhan.
Kisah-kisah yang dikembangkan membantu pembaca memahami kehidupan manusia,
perilaku, dan eksistensinya.
Norma Moral
Norma hukum
ASPEK LITERER
TEKS SASTRA
PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Dalam novel remaja dapat ditemukan perikehidupan remaja yang tentu saja lebih
akrab dengan pembaca kalangan remaja. Dalam “Eiffel, I’m in Love” (selanjutnya
akan disingkat Eiffel), misalnya, dapat ditemukan dunia remaja ketika ia berada di
sekolah, di jalan ketika pulang dari sekolah, percakapan di luar kelas ketika mereka
membincangkan guru yang disukai/tidak disukai, keresahan mereka ketika
dikungkung oleh orang tua yang menurut mereka “kolot” karena anaknya tidak boleh
berpacaran, dan sebagainya. Aspek-aspek yang sangat sangat kontekstual bagi
kalangan remaja ini merupakan “modal dasar” untuk mengakrabkan remaja dengan
karya sastra yang dibacanya. Dalam pembelajaran apresiasi sastra pembahasan tentang
tokoh, urutan peristiwa, latar cerita, tema yang dihubungkan dengan relatitas
kehidupan remaja akan menjadi lebih bermakna.
Pemanfaatan novel remaja sebagai sumber pelajaran dapat dirancang dalam
dengan strategi dan skenario yang melibatkan siswa dalam bentuk aktivitas sosial-
kemasyarakatan misalnya, reportase, debat, sarasehan, representasi-visaul, penulisan
dan pementasan fragmen drama, wawancara, dan lomba penulisan esai dan kritik
sastra. Dengan demikian, analisis aspek-aspek literer hanyalah sebagai titian untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang lebih bermakna. Tugas-tugas yang variastif dan
partisipatif menghindarkan siswa dari situasi rutin analisis teks sastra.
3. Penutup
Pendekatan kontekstual dapat digunakan sebagai dasar pemilihan strategi dan
skenario pembelajaran apresiasi sastra. Pendekatan kontekstual menyediakan
kesempatan bagi siswa membangun pengetahuan bermakna melalui kegiatan
pemecahan masalah, kerja sama, partisipasi, pemberian contoh, bimbingan, serta
refleksi. Lebih dari itu, pengetahuan dibangun dengan mempertimbangkan relevansi
dan fungsinya dengan kehidupan yang nyata. Sesuai dengan hakikat pembelajaran
apresiasi sastra, pengetahaun yang dibangun dalam pembelajaran apresiasi sastra
yakni untuk memahami kehidupan dan manusia. Dalam lingkup yang lebih khusus,
pembelajaran apresiasi sastra dapat memanfaatkan novel remaja yang sekaligus dapat
difungsikan sebagai media pendidikan nilai moral.
RUJUKAN
13
Beach,, R. dan Marshall, J. 1990. Teaching Literature in the Secondary School. San Diego:
Harcourt Brace Javanovich, Publisher.
Clymer, T. Tanpa tahun. “10 Ways to Recognize Great Childrens Literature”. Dalam Burdet,
S. & Ginn (Ed.). Star-Walk. California: World of Reading.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia SLTP. Jakarta: Depdiknas.
Harris, A. 1976. Teaching Morality and Religion. London: George Allen & Unwin Ltd.
Johnson, E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc.
Joyce, B.; Weit, M.; Showers, B. 1992. Models of Teaching. Boston: Allyn and bacon.
Mool, L.C (Ed.)., 1993. Vygotsky and Education. New York: Cambridge University Press.
Perrine, L.. 1983. Story and Structure. New York: Harcourt Brace Jovanovich,
Publisher
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.