Professional Documents
Culture Documents
Kering
Juli 3, 2007 — La An
Berdasarkan data yang dibuat oleh puslitbangtanak pada tahun 2002, potensi lahan
kering di Indonesia sekitar 75.133.840 ha. Suatu keadaan lahan yang sangat luas.
Akan tetapi lahan2 kering tersebut tidak begitu menghasilkan dan berguna bagi
masyarakat yang tinggal di sekitar area lahan kering. Hal ini disebabkan oleh masih
kurangnya teknologi pengelolaan lahan kering sehingga sering mengakibatkan makin
kritisnya lahan2 kering.
Erosi, kekurangan air dan kahat unsur hara adalah masalah yg paling serius di daerah
lahan kering. Paket2 teknologi untuk mananggulangi masalah2 tersebut juga dah
banyak, akan tetapi kurang optimal di manfaatkan karena tidak begitu signifikan
dalam meningkatkan kesejahteraan petani daerah lahan kering. Memang perlu
kesabaran dalam pengelolaan daerah lahan kering, karena meningkatkan produktivitas
lahan di daerah lahan kering yang kondisi lahannya sebagian besar kritis dan potensial
kritis tidaklah mudah.
Konservasi tanah dan air merupakan cara konvensional yang cukup mampu
menanggulangi masalah diatas. Dengan menerapkan sisitem konservasi tanah dan air
diharapkan bisa menanggulangi erosi, menyediakan air dan meningkatkan kandungan
hara dalam tanah serta menjadikan lahan tidak kritis lagi. Ada 3 metode dalam dalam
melakukan konservasi tanah dan air yaitu metode fisik dengan pegolahan tanahnya,
metode vegetatif dengan memanfaatkan vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi
dan penyediaan air serta metode kimia yaitu memanfaatkan bahan2 kimia untuk
mengaawetkan tanah.
Menurut Sitanala Arsyad (1989), Konservasi Tanah adalah penempatan setiap bidang
tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukkannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan tanah. Sedangkan konservasi Air menurut Deptan (2006) adalah upaya
penyimpanan air secara maksimal pada musim penghujan dan pemanfaatannya secara
efisien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan konservasi air selalu berjalan
beriringan dimana saat melakukan tindakan konservasi tanah juga di lakukan tindakan
konservasi air.
Dengan dilakukan konservasi tanah dan air di lahan kering diharapkan mampu
mengurangi laju erosi dan menyediakan air sepanjang tahun yang akhirnya mampu
meningkatkan produktivitasnya. Tanah2 di daerah lahan kering sangat rentan terhadap
erosi. Daerah lahan kering biasanya mempunyai curah hujan yg rendah dan intensitas
yg rendah pula, dengan kondisi seperti itu menyebabkan susahnya tanaman2 tumbuh
dan berkembang, padahal tanaman merupakan media penghambat agar butiran hujan
tidak berbentur langsung dengan tanah. Benturan seperti inilah yg menyebabkan tanah
mudah terurai sehingga gampang di bawa oleh aliran air permukaan dan akhirnya
terjadi erosi. Pemanfaatan vegetasi pada system konservasi tanah dan air selain
sebagai penghambat benturan juga berguna sebagai penghambat aliran permukaan,
memperbaiki tekstur tanah dan meningkatkan kadar air tanah
Penggabungan metode vegetatif dan fisik dalam satu teknologi diharapkan mampu
mengefisienkan waktu dan biaya yg dibutuhkan. Misalkan penanaman tanaman pada
sebuah guludan ato penanaman tanaman di sekitar rorak. Dan langkah terakhir yg di
harapkan adalah penanaman tanaman yg bernilai ekonomis tinggi seperti jambu mete.
1. Ciri-ciri Lahan Potensial dan Lahan Kritis dilihat dari sudut Pertanian
Gambar 1.3 Daerah wilayah subur di daerah pegunungan dengan sawah dan sayuran
2. Memiliki Sifat Fisis yang Baik
Lahan yang memiliki sifat fisis baik adalah lahan yang daya serap air dan
sirkulasi udara di dalam tanahnya cukup baik. Sifat fisis ini ditunjukkan
oleh tekstur dan struktur tanahnya. Tekstur tanah adalah sifat fisis tanah
yang berkaitan dengan ukuran partikel pembentuk tanah. Partikel utama
pembentuk tanah adalah pasir, lanau (debu), dan lempung (tanah liat).
Berasarkan ukuran partikel batuan, perhatikan tabel 2.
Tekstur tanah berpengaruh terhadap daya serap dan daya tampung air.
Tanah lempung teksturnya sangat halus, mudah menampung air tetapi daya
serapnya kecil. Sebaliknya tanah pasir mudah menyerap air, tetapi sukar
menampungnya. Tekstur tanah yang ideal untuk pertanian adalah geluh,
yaitu tanah yang lekat. Tekstur tanah geluh terdiri dari dua macam tanah,
yaitu tanah lanau (20% lempung, 30 - 50% lanau dan 30 - 50% pasir) dan
tanah lanau berpasir (20 - 50% lanau/lempung, 50 - 80% pasir).
Struktur tanah adalah sifat fisis tanah yang dikaitkan dengan cara partikel-
partikel tanah berkelompok. Struktur tanah ini berpengaruh terhadap
pengaliran air dan sirkulasi udara di dalam tanah.
3.
Belum Terjadi Erosi
Terjadinya erosi pada suatu lahan akan menyebabkan berubahnya lahan
potensial menjadi lahan kritis. Lahan yang telah mengalami erosi, tingkat
kesuburannya berkurang, sehingga kurang baik untuk pertumbuhan
tanaman. Erosi mengakibatkan lahan tanah yang paling atas terkelupas.
Sisanya tinggal tanah yang tandus, bahkan sering merupakan batuan yang
keras (padas). Proses erosi yang kuat sering dijumpai di daerah pantai,
akibat abrasi (pengikisan oleh gelombang laut) dan di daerah pegunungan
dengan lereng terjal serta miskin tumbuhan. Erosi di pegunungan akibat
adanya longsor dan soil creep (tanah merayap).
b. Ciri-ciri Lahan Kritis Untuk Pertanian
1.
Tidak Subur
Lahan tidak subur adalah lahan yang sedikit mengandung mineral yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Umumnya lahan tidak subur
terdapat di daerah yang resiko ancamannya besar (ancaman erosi dan
banjir).
2. Miskin Humus
Lahan yang miskin humus umumnya kurang baik untuk dijadikan lahan
pertanian, karena tanahnya kurang subur. Anda pernah mendengar istilah
tanah humus? Tanah Humus adalah tanah yang telah bercampur dengan
daun dan ranting pohon yang telah membusuk. Tanah humus dapat
dijumpai di daerah yang tumbuhannya lebat, contohnya hutan primer.
Sedangkan lahan yang miskin humus adalah lahan yang terdapat di daerah
yang miskin atau jarang tumbuhan, contohnya kawasan pegunungan yang
hutannya rusak.
Gambar 1.4 Lahan Kritis di daerah pegunungan yang gundul / hutan yang rusak
2. Ciri-ciri Lahan Potensial dan Lahan Kritis dilihat dari Sudut Permukiman
Anda telah mengetahui ciri-ciri lahan potensial dan lahan kritis dilihat dari sudut
pertanian. Sekarang silahkan Anda mempelajari tentang ciri-ciri lahan potensial
dan lahan kritis dilihat dari sudut permukiman.
1.
Daya Dukung Tanah Besar
Artinya memiliki kemampuan untuk menahan beban dalam ton tiap satu
meter kubik. Jadi bila didirikan bangunan di atasnya tidak amblas.
2. Fluktuasi Air Baik
Artinya memiliki kedalaman air tanah yang sedang. Fluktuasi air
berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, jika air tanahnya dangkal maka
keadaan di atasnya lembab dan jika air tanahnya dalam maka keadaan di
atasnya gersang (kering/tandus).
3.
Kandungan Lempung cukup
Kandungan lempung berpengaruh terhadap kembang kerutnya tanah. Hal
ini erat kaitannya dengan pembuatan pondasi,pembangunan jalan, saluran
air, dan sebagainya.
4. Topografi
Topografi yang ideal untuk permukiman adalah yang kemiringan lahannya
antara 0% sampai 3%. Kemiringan merupakan perbandingan antara jarak
vertikal dan jarak horisontal dikali 100%.
Ciri-ciri lahan kritis untuk permukiman adalah kebalikan dari ciri-ciri lahan
potensial untuk pertanian, yaitu:
1) Daya dukung tanah rendah, artinya tidak mampu menahan beban dalam
ton tiap satu meter kubik. Sehingga bila didirikan bangunan di atasnya,
bangunan tersebut akan roboh (amblas).
2) Fluktuasi air tidak baik, artinya air tanahnya terlalu dangkal atau terlalu
dalam. Hal ini dapat mempengaruhi bangunan dan kesehatan penduduk
yang tinggal di atas lahan tersebut.
3)
Topografi
Topografi yang tidak cocok untuk permukiman adalah yang kemiringannya
lebih dari 3%. Karena topografi dengan kemiringan lebih dari 3% resiko
ancaman bencana alam seperti tanah longsor dan banjir besar. Hal ini dapat
mengganggu kenyamanan hunian dan keamanan dari bencana alam
tersebut.
Kemiringan lereng pada gambar di bawah ini adalah ....
Untuk mengetahui suatu lahan potensial atau kritis untuk pemukiman dapat
dilihat dari kemiringan lerengnya yaitu perbandingan antara jarak vertikal (y)
Setelah Anda mengetahui ciri-ciri lahan potensial dan lahan kritis untuk
permukiman serta berhasil menjawab latihannya dengan tepat. Silahkan Anda
pelajari materi selanjutnya.
Degradasi Lahan Akibat Alih Fungsi Lahan menjadi Lahan pertanian Monokultur
Pendahuluan
Aktivitas dalam ekologi tanah hutan tidak berhenti pada taraf ini saja.
Lebih jauh, exudant akar dan akar yang mati khususnya akar rambut akan memicu
aktivitas mikroorganisme yang akan menghasilkan bahan humik yang berfungsi
sebagai semen. Bahan humik tanah mempunyai peranan yang besar terhadap agregasi
liat tanah yang berukuran relatif kecil, sedang peranannya terhadap agregasi agregat
kecil atau partikel debu dan pasir relatif kecil (Marshall et al., 1999). Dengan adanya
fungsi perakaran yang disati sisi dapat merugikan di sisi lain perakaran yang telah
mati dapat mencptakan kondisi yang seimbang pada tanah hutan
Peran hutan yang sangat penting bagi alam, dapat sebagai faktor pembatas
keseimbangan keadaan alam yang ada di daerah tersebut. Peran hutan tersebut juga
merupakan salah satu penyeimbang kelangsungan hidup biota dalam hutan dan
menjaga diversitas tanaman. Hutan juga memiliki peran tersendiri bagi masyarakat,
sebagai tempat ekosistem hasil sumber daya yang dapat terbaharukan dan memiliki
nilai ekonomi yang tinggi.
Dengan rusaknya sifat fisika tanah hutan yang berawal dari perubahan
kondisi struktur talah lapisan atas dengan lapisan bawah maka dapat dikatakan bahwa
perubahan fungsi lahan hutan menjadi lahan tanaman monokltur dapat menyebebkan
degradasi sifat-sifat tanah. Dalam hal ini degradasi sifat tanah akan mempengaruhi
sifat satu dengan yang lainnya.
ISI
Perubahan sifat fisika yang terjadi dapat dilihat secara langsung dan ada
yang mengalami perubahan sejalan dengan waktu. Tekstur tanah pada kondisi alih
fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian monokultur juga ikut berubah jumlah
fraksi yang membentuk suatu tanah. Menurut penelitian Didik Suprayogo dkk 2001
pada kasus perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian kopi monokultur, terjadi
perubahan kandungan fraksi tanah. Semula pada tanah hutan diketahui fraksi tanag
berkisar dari lempung liat berpasir hingga lempung berpasir. Setelah mengalami
perubahan fungsi lahan tekstur tanah berubah menjadi tekstur liat. Perubahan tekstur
tanah ini juga mempengaruhi terhadap fungsi kimia tanah , yaitu reaksi yang terjadi
dalam tanah potensilal H+ .
Yang perlu diketahui bahwa tanah hutan mempunyai makro pori relatif
lebih banyak dan laju infiltrasi permukaan yang lebih tinggi dibanding lahan pertanian
monokultur. Hutan telah terbukti mampu menurunkan limpasan permukaan dan erosi
(Widianto et al., 2004). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, (a)
hutanmemiliki lapisan seresah yang tebal, (b) penutupan permukaan tanah oleh
kanopi tanaman dan (c) cacing tanah yang hidup pada tanah hutan ukuran
tubuhnyalebih besar dibandingkan dengan lahan pertanian monokultur (Hairiah et al.,
2004). Kondisi ini menyebabkan tingginya kandungan bahan organic tanah dan
rendahnya tingkat pembentukan kerak di permukaan tanah, sehingga makroporositas
tanah di lahan hutan lebih terjaga dibanding di lahan pertanian monokulutur . Kedua,
hutan dapat menurunkan ketersediaan air bawah tanah sehingga limpasan permukaan
akan berkurang. Hal ini karena hutan memiliki sistem perakaran yang panjang dan
berkembang dengan sangat baik dalam sistem tanah . Kondisi ini memicu tingginya
aktivitas biologi tanah dan turnover perakaran, sehingga mendukung air hujan yang
jatuh dapat mengalir ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam dan juga mengalir
secara lateral. Lebih lanjut, pada musim kemarau akar pohon cenderung tumbuh lebih
dalamdi lapisan tanah untuk menyerap air. Ketiga,dibandingkan dengan lahan
monokultur, evapotranspirasi hutan cenderung lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan
tajuk tanaman di hutan yang relatif lebih tinggi dan beraneka ragam dibandingkan
pertanian monoklutur monokultur. Selain itu, pohon dihutan berperakaran lebih dalam
sehingga mampu menyerap air lebih banyak dan hilang melalui prosestranspirasi.
Kondisi ini mampu mengurangi limpasan permukaan di DAS (Bosch dan Hewlett,
1982 dalam Calder, 1999). Hasil penelitian Dariah et al. (2004) menunjukkan bahwa
limpasan permukaan dan erosi relatif rendah di lahan pertanian monokultur dan
mendekati dengan kondisi hutan.
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Calder, I.R. 1999. The Blue Revolution: Land Use and Integrated Water Resources
Management. Earthscan Publications, London. 192 pp.
Cooper, P.J.M., Leakey, R.R.B., Rao, M.R and Reynolds, L. 1996. Agroforestri and
Mitigation of Land Degradation in the Humid and Sub Humid Trofical of
Africa, Experimental Agriculture 32, 249-261.
Dariah, A.; Agus, F.; Arsyad, S.; Sudarsono danMaswar. 2004. Erosi dan aliran permukaan
pada lahan pertanian berbasis tanaman kopi diSumberjaya, Lampung Barat.
Agrivita 26 (1):52-60.
Hairiah, K.; Suprayogo, D.; Widianto; Berlian; Suhara,E.; Mardiastuning, A.; Prayogo, C.;
Widodo, R.H.dan S. Rahayu. 2004. Alih guna lahan hutan menjadi lahan
agroforestri berbasis kopi:Ketebalan seresah, populasi cacing tanah dan
makroporositas tanah. Agrivita 26 (1): 75-88
Marshall, T.J.; Holmes, J.W. and C.W. Rose. 1999.Soil Physics. Cambridge University Press.
Pp 453.Syam,T.H.; Mshide; Salam, A.K.; Utomo, M.; Mahi,A.K.; Lumbanraja,
J.; Nugroho, S.G. and M.Kimura. 1977. Land Use and Cover Changes ina Hilly
Area of South Sumatra, Indonesia (from1970 to 1990). Soil Sci. Plant Nutr. 43
(3): 587-599.
Susswein, P.M.; Van Noordwijk, M. dan B. Verbist.2001. Forest Watershed Functions and
Tropical Land Use Change. Dalam van Noordwijk, M.;Williams, S. dan B.
Verbist (Eds.), Towards integrated natural resource management in forest
margins of the humid tropics: local action andglobal concerns. International
Centre for Research in Agroforestry. Bogor. 28 pp