Professional Documents
Culture Documents
Dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang pluralistis di mana setiap anak yang mengalami
berbagai jenis kebudayaan diharapkan belajar beradaptasi terhadap kebudayaan utama Indonesia
(mainstream culture), upaya pendekatan belajar bagi setiap anak harus lebih banyak dikaji secara
mendalam sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman dan sesuai dengan kebutuhan
perkembangan anak (Developmentally Appropriate Practice, DAP)
Sejak kemerdekaan bangsa ini maka telah disebutkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa setiap
anak Indonesia berhak untuk belajar. UUD ini dilandasi oleh filsafat yang serasi dengan hak asasi
manusia yang menjaga kedaulatan manusia yang memiliki hak untuk belajar. Selanjutnya dalam UU
No.2 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa setiap anak diberi hak untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran, bahkan, lebih jauh lagi, pasal 8 ayat 2 UU Sisdiknas 1989,
menyatakan juga bahwa perhatian khusus harus diberikan kepada anak yang kecerdasannya luar biasa
(unggul, berbakat) dan anak yang memiliki perkembangan yang menyimpang (exceptional, dalam arti
handicapped) (UU no.2 tahun 1989 ini masih untuk acuan sebab proses UU Sisdiknas tahun 2003
belum selesai, masih perlu peraturan pelaksana- Red). Ini berarti, bahwa secara legal sistem
pendidikan dilandasi oleh suatu filsafat pendidikan yang mendalam yang mengakui perbedaan unik
pribadi individu. Artinya, keragaman, martabat serta perbedaan nilai dalam pertumbuhan anak
Indonesia secara implisit mengandung peluang untuk mewujudkan azas eksploratif dan kecenderungan
kreatif dalam seluruh tumbuh kembangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Munawwar, Said Aqil Husin, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur'ani dalam Sistem Pendidikan Islam,
Jakarta: Ciputat Press, 2003, Cet. I
Amir, Muhammad, Konsep Masyarakat Islam, Jakarta, Fikanati, Aneska, 1992.
Analisis CSIS, tahun XXX/2001, No. 3
DEPAG RI dan IRD, Majalah: Inovasi Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalism, Edisi IV,
Tahun 2003
Dewey, John, Democracy and Education, New York: The Mac Millan Company, 1964
Hery Noer Aly dkk, Watak Pendidikan Islam, Jakarta, Friska Agan Insani, 2000
Freire, Paulo, Pendidikan pembebasan, Jakarta, LP3S, 2000
IKA UIN Syarif Hidayatullah, Majalah: Tsaqafah: Mengagas Pendidikan Multikultural , Vol. I No:2,
2003
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2001, cet I
Nita E. Woolfolk, educational Psychology: Seventh Edition, The Ohio State Universiy, 1998
Paul Gorski, Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The Question We Should Be
Asking, dalam www. Edchange.org/multicultural
Republika, tanggal 03 September 2003.
Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai Wahana mencerdaskan kehidupan Bangsa dan Membangun
Peradaban Negara-Bangsa, Jakarta, CINAPS, 2000, cet. I
Stavenhagen, Rudolfo, "Education for a Multikultural world", in Jasque Delors (et all), Learning: the
treasure within, Paris, UNESCO, 1996
Tilaar, H. A. R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia,
Jakarta, Grasindo, 2002
http://www.wahanakebangsaan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=33
Belum lagi isu akhlak, moralitas, dan karakter yang menyertai proses dan hasil pendidikan.
Kecurangan ujian, tradisi mencontek, pornografi remaja, narkoba, hingga tawuran terus menjadi
masalah-masalah siswa di sekolah. Bahkan, tawuran tak lagi menjadi monopoli anak SMP-SMA.
Mahasiswa yang dianggap sebagai kelompok elit masyarakat berbasis intelektual pun sibuk melakukan
tawuran dan anarkisme di mana-mana.
Lalu, apa harapan kita sebagai anggota masyarakat? Akankah kita menjadi katak yang direbus pelan-
pelan hingga kemudian ketika air mendidih menjadi tak sanggup melompat lagi dan mati?
Berkeluh-kesah boleh-boleh saja. Tapi berkeluh-kesah tak banyak berguna kecuali membuang sampah
emosi kita ke alam semesta. Sambil mendorong terus perubahan dan pembaruan pendidikan, kita
memerlukan inisiatif dan tindakan-tindakan yang dapat menjadi inspirasi dan alternatif buat
masyarakat.
Artikel ini membahas mengenai homeschooling sebagai salah satu inisiatif dan model pendidikan
alternatif bagi masyarakat. Sebagai sebuah gerakan, homeschooling menemukan signifikansinya dalam
konteks inisiatif kultural yang dilakukan masyarakat sebagai respon terhadap model pendidikan yang
tak memenuhi harapan.
Dalam konteks gerakan masyarakat sipil (civil society), homeschooling merupakan wujud
keterlibatan/inisiatif masyarakat untuk mempengaruhi keadaan sosio politik dan mendapatkan
pendidikan yang berkualitas. Proposal utama dari homeschooling adalah memberikan alternatif bagi
masyarakat sehingga masyarakat memiliki berbagai alternatif yang dapat dipilihnya.
Dalam ekspresi yang lebih positif, homeschooling dapat menggerakkan keluarga untuk terlibat aktif
dalam pendidikan, menggantikan kepasrahan pada sistem sekolah. Partisipasi keluarga dengan seluruh
kecintaan dan kepentingan masa depan anak-anak dapat menjadi sumber yang kuat untuk menjadi
penggerak perubahan wajah dunia pendidikan di Indonesia.
Homeschooling bukanlah sekedar mengungkung anak di rumah, mengundang guru privat yang mahal,
dan model belajar artis yang malas pergi ke sekolah. Sebagai sebuah gagasan dan praktek,
homeschooling jauh lebih substantif dibandingkan persepsi yang berkembang di masyarakat itu.
Homeschooling adalah gerakan “back to basic”, memasuki kembali esensi-esensi pembelajaran yang
tak dipasung oleh tempat belajar, jam belajar, keharusan-keharusan administratif dan ritual-ritual (baju
seragam, uang gedung, buku baru, ijazah, wisuda, dll) yang semakin menggantikan esensi proses
belajar. Dengan motto “belajar di mana saja, kapan saja, bersama siapa saja”, homeschooling
memberikan kesempatan proses belajar yang kontekstual dan penggunaan kehidupan keseharian
sebagai sumber belajar.
Sementara model sekolah bersifat massal dan mengejar standar-standar eksternal seperti pabrik,
homeschooling memberikan peluang untuk melakukan kustomisasi pendidikan; mulai aspek penentuan
tujuan, pemilihan materi ajar, dan metode-metode yang digunakan dalam proses belajar.
Homeschooling memberikan kesempatan kepada orangtua untuk menghargai keragaman jenis
kecerdasan anak (multiple intelligences) yang tak mungkin dikembangkan dalam sistem pendidikan
massal.
Homeschooling bukanlah mengubah orangtua menjadi guru untuk proses belajar anak-anak karena
kemampuan orangtua pasti terbatas. Peran utama orangtua dalam homeschooling adalah menjadi
mentor dan fasilitator. Proses utama dalam pembelajaran homeschooling adalah menumbuhkan dan
menggerakkan spirit belajar anak-anak sehingga anak-anak dapat menjadi pembelajar mandiri.
Berbeda dengan model sekolah, homeschooling justru semakin mudah dilaksanakan pada saat anak
semakin besar karena semakin anak menjadi besar, anak semakin mandiri.
Karena homeschooling dibangun dengan keluarga sebagai entitas penggerak kegiatan belajar,
homeschooling meniscayakan keragaman dan sistem terdistribusi. Tak ada pusat dan model standar
homeschooling karena setiap keluarga bebas merancang model pendidikan sesuai tujuan-tujuan
pendidikan keluarga yang khas. Yang ada adalah entitas-entitas otonom, yang saling berinteraksi dalam
proses penyelenggaraan pendidikan.
Homeschooling bukanlah sebuah ide asing di Indonesia dan dunia. Homeschooling adalah
model awal pendidikan, sebelum pendidikan distrukturkan dan dilembagakan dalam institusi-institusi
sekolah sebagaimana yang berkembang dalam beberapa abad terakhir ini.
Dalam khazanah Indonesia, ide-ide homeschooling dapat kita lihat akarnya dari proses belajar
otodidak, magang bisnis di kalangan pengusaha China, belajar dari orangtua dan kolega di kalangan
pesantren. Tokoh-tokoh semisal KH Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka adalah contoh
diantara anggota masyarakat yang pernah menjalani pendidikan dengan model otodidak atau
homeschooling.
Saat ini, di Indonesia ada sekitar 1400 orang yang melakukan homeschooling. Walaupun
jumlah siswa homeschooling masih relatif kecil dibandingkan total seluruh siswa sekolah, siswa
homeschooling terus bertambah dan tumbuh. Di Amerika Serikat saja, saat ini ada sekitar 3 juta siswa
homeschooling dengan laju pertumbuhan 15% per tahun. Di Kanada, pada periode 2000-2001 ada
sekitar 95.000 siswa homeschooling, di New Zealand sekitar 7000 (1996), Australia 55.000, dan masih
banyak lagi kegiatan homeschooling yang tak terdata secara resmi di berbagai belahan dunia.
Di Amerika Serikat, walaupun homeschooling banyak diawali oleh kalangan agama yang
merasa terancam nilai-nilai tradisionalnya (1970-an), praktisi homeschooling semakin beragam.
Pertumbuhan homeschooling yang didasarkan pada alasan akademis semakin meningkat karena,
berdasarkan riset, anak-anak homeschooling tidak kalah berprestasi dibandingkan anak-anak sekolah.
Kekhawatiran mengenai isu sosialisasi dan eksklusivitas pun semakin tereduksi oleh fakta bahwa
anak-anak homeschooling dapat berintegrasi secara sosial di masyarakat.
Untuk dapat berkembang baik, homeschooling perlu menghadapi tantangan-tantangan yang ada di
hadapannya, antara lain:
a. Dukungan legalitas
Secara prinsip, eksistensi homeschooling dijamin melalui UU Sisdiknas no 20/2003 pasal 27 yang
mengatur pengakuan pendidikan jalur informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan. Negara
juga menjamin praktisi pendidikan informal untuk mengikuti Pendidikan Kesetaraan jika praktisi
homeschooling menginginkan kesetaraan dengan pendidikan formal (sekolah).
Tantangan legalitas homeschooling adalah mengembangkan aturan-aturan teknis yang lebih pasti dan
tetap sederhana. Kesederhanaan menjadi kata kunci penyusunan aturan teknis yang mencerminkan
keberpihakan negara untuk memfasilitasi inisiatif yang tumbuh di masyarakat.
Di masa depan, sarana fisik yang dibutuhkan dalam pengembangan homeschooling adalah
pembentukan pusat belajar (learning center), perpustakaan, laboratorium, dan bengkel belajar.
Lembaga-lembaga ini tidak menempel di sekolah, tetapi menjadi institusi mandiri yang dapat
dimanfaatkan oleh siswa homeschooling atau siapapun yang membutuhkannya.
c. Kerangka kultural
Karena kekuatan dari homeschooling terletak pada keluarga, kunci keberhasilan homeschooling
terletak pada penumbuhan kultur keluarga yang sehat. Kesehatan kultur keluarga bukan hanya terletak
pada komitmennya untuk mendukung anak secara akademis-intelektual, tetapi juga komitmen untuk
mengembangkan nilai-nilai moral tertinggi dan penghargaan terhadap keragaman (pendidikan
multikultural) agar anak-anak dapat menjadi bagian integral yang dapat menyatu sekaligus menjadi
agen perubahan untuk perbaikan masyarakat.
d. Pengembangan komunitas
Untuk mengembangkan aspek sosial dari proses pembelajaran, tantangan homeschooling adalah
mengembangkan model belajar komunitas yang memungkinkan pengembangan aspek-aspek sosial
dari anak homeschooling. Berbeda dengan model sekolah yang bersifat rigid dan terstruktur ketat,
komunitas bersifat longgar dan cair yang berfungsi untuk mengintegrasikan proses-proses belajar
individual yang diselenggarakan di rumah menjadi sebuah kerangka pandang holistik pada anak.
Demikian paparan sekilas mengenai homeschooling sebagai salah satu model alternative pendidikan.
Mudah-mudahan bermanfaat dan dapat menjadi pengantar diskusi/sharing kita mengenai pendidikan di
Indonesia.
2. Proses pendidikan yang menerapkan persamaan keseimbangan dan HAM, menentang ketidakadilan
diskriminasi dan menyuarakan nilai-nilai yang membangun keseimbangan.
Pendidikan multikultural adalah sintesa dari pendekatan pendidikan anti-rasis dan multi-budaya yang
dipakai secara internasional pada tahun 60an hingga 90an. Indonesia sejak awal berdirinya telah
mempunyai banyak keanekaragaman budaya, suku, bahasa dan agama. Keanekaragaman inilah yang
sering diistilahkan dengan multikultural atau interkultural. Kedua istilah ini menggambarkan situasi di
mana terdapat banyak kultur dalam sebuah negara. Istilah multikulturalisme kadang digunakan untuk
menggambarkan sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat banyak kultur yang berbeda yang
hidup berdampingan tanpa ada banyak interaksi. Istilah interkulturalisme mengungkapkan sebuah
kepercayaan yang setiap orang merasa diperkaya secara pribadi dengan berinteraksi dengan kultur lain.
Setiap orang dari suku yang berlainan dapat terlibat dan belajar dari satu sama lainnya.
Pendidikan tidak hanya merefleksikan kondisi masyarakat, tapi juga mempengaruhi
perkembangannya. Misalnya, sekolah sesungguhnya mempunyai peran dalam mengembangkan
masyarakat interkultural. Akan tetapi sekolah sebenarnya bukan satu-satunya yang terbebani dengan
tanggung jawab menentang ketidakadilan budaya ataupun menyuarakan arti penting interkulturalisme.
Sekolah mempunyai kontribusi yang penting untuk memfasilitasi perkembangan anak dalam hal
penyikapan, kecakapan, nilai-nilai dan pengetahuan interkultural. Pendidikan interkultural seharusnya
dijadikan sebagai cara untuk mengajak anak untuk berpartisipasi dalam perbedaan-perbedaan yang ada
di masyarakat. Bisa dikatakan, pendidikan yang hanya didasarkan pada satu kultur, akan sulit
mengembangkan anak didik ke depannya.
Pendidikan interkultural ditujukan untuk:
Menciptakan kondisi yang kondusif bagi masyarakat majemuk
Menumbuhkan kesadaran anak atas kultur mereka sendiri dan menyelaraskannya dengan kenyataan
bahwa ada banyak cara hidup lain selain cara hidup mereka sendiri
Menumbuhkan respek terhadap lifestyle lain selain lifestyle mereka sendiri, sehingga anak akan saling
memahami dan menghormati
Menumbuhkan komitmen persamaan hak dan keadilan
Membuat pilihan-pilihan bagi anak tentang bagaimana bertindak berkaitan dengan isu-isu diskriminasi
dan kecurigaan
Menghargai dan menghormati kesamaan dan perbedaan
Menjadikan anak dapat mengungkapkan kultur dan sejarah mereka sendiri.
Contoh Kasus:
Berikut ini adalah pengalaman seorang yang berkulit putih berkenaan dengan interaksi sosial yang
dialami anaknya dengan temannya yang berkulit hitam.
Saya mendapat telepon dari TK tempat anak saya belajar, katanya ada sebuah persoalan yang sulit
dipecahkan berkaitan dengan ketidaksukaan anak saya terhadap temannya yang berkulit hitam. Saya
bingung dan malu, karena keluarga kami bukanlah rasis dan tidak suka membeda-bedakan orang
karena warna kulitnya. Saya ingin tahu apa yang terjadi dengan anak saya, dan saya tidak ingin terlalu
menilai. Saya hanya bertanya, kenapa dia tidak suka temannya yang hitam? Anak saya berkata:
“Karena dia nggak pernah mandi dan selalu kelihatan kotor”. Saya terangkan bahwa temannya
bukannya tidak mandi, dia sebenarnya bersih, cuma kulitnya memang hitam. Tapi keterangan saya ini
tidak membuatnya mengerti.
Lalu saya berpikir sejenak, dan kemudian melihat buku-buku yang biasa saya bacakan kepadanya.
Saya perhatikan ternyata semua gambar dan foto manusia yang ada di buku itu semuanya bekulit
putih. Lalu saya sadar bahwa anak saya ini telah tumbuh dengan kesadaran bahwa normalnya orang itu
berkulit putih, konsekuensinya ia menganggap orang berkulit hitam tidak normal. Saya ingin
menunjukkan padanya bahwa manusia itu memiliki warna kulit yang berbeda-beda, dan tak perlu takut
atau kuatir. Saya membeli beberapa buku baru yang di dalamnya ada orang dengan warna kulit
berbeda-beda. Ketika saya membacakannya, saya menunjukkan bahwa anak-anak lain ada yang
berkulit coklat, hitam, merah, kuning dan lain-lain. Singkat waktu, akhirnya saya melihat ada
perbedaan dalam kesadaran anak saya.
Contoh di atas hanyalah sebuah pengalaman pribadi yang dialami seseoran, akan tetapi hal ini paling
tidak menunjukkan salah satu contoh dari banyak persoalan yang terjadi di masyarakat kita.
Pendidikan interkultural adalah untuk semua anak tanpa memperdulikan kebudayaan mereka sendiri.
Karena semua anak sekarang hidup dalam suatu tatanan dunia yang semakin beranekaragam, maka
kita perlu mempersiapkan mereka. Pendidikan interkultural adalah bagian penting dari pengalaman
pendidikan setiap anak, baik ketika anak belajar di sekolah yang berkarakter multikultural maupun
mono-kultural, bagi anak yang berasal dari kultur dominan maupun minoritas.
Pendidikan interkultural adalah untuk semua anak tanpa memperdulikan umur mereka. Mengakui
bahwa perbedaan adalah normal dan wajar dalam hidup manusia, harus ditanamkan pada anak, berapa
pun usia mereka. Sikap dan kemampuan anak yang mungkin akan menimbulkan persoalan kelak,
sebenarnya telah berkembang ketika mereka masih kecil.
Bahasa dan perbincangan adalah komponen fundamental dari pendidikan interkultural. Adalah penting
untuk memberikan anak informasi yang akurat dan menentang segala stereotip dan miskonsepsi.
Mengembangkan kecakapan interkultural adalah lebih efektif jika dilakukan melalui perbincangan
dengan anak tentang pemikirannya, daripada memberikan penjelasan mengenai salah dan benar.
Pendidikan interkultural terjadi secara natural melalui ‘kurikulum tersembunyi’ melaui apa yang
dilihat dan diserap di mana anak tersebut tumbuh. Sementara itu, kelihatannya mungkin dan perlu bila
ide-ide interkultural dan keadaan mayarakat yang melingkupi anak, dimasukkan dalam pengajaran
kulikulum formal. Dalam mengeksplorasi kurikulum tersembunyi yang ada di masyarakat secara
alami, penting juga untuk dicatat bahwa apa yang ditemukan di dalam masyarakat sama pentingnya
dengan apa yang tidak ada.
Pendidikan interkultural lebih berkaitan dengan kultur dan agama, daripada dengan warna kulit atau
kebiasaan. Pada contoh kasus di atas, warna kulit yang menjadi persoalan diskriminasi. Pendidikan
interkultural harus secara benar diposisikan dalam melawan diskriminasi karena warna kulit maupun
kultur dan agama maupun kelompok minoritas.