You are on page 1of 22

I.

PENDAHULUAN

1.1. Tanah Mineral Masam dan Penyebarannya

Tanah mineral masam banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika basah, termasuk
Indonesia. Luas areal tanah bereaksi asam seperti podsolik, ultisol, oxisols dan
spodosol, masing-masing sekitar 47,5, 18,4, 5,0 dan 56,4 juta ha atau seluruhnya
sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia (Nursyamsi et al, 1996). Luasnya
tanah
masam tersebut sebenarnya mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan usaha
pertanian, tetapi sampai sekarang masih belum dapat dimanfaatkan secara maksimal
mengingat beberapa kendala yang terdapat pada tanah masam.Tanah ordo lain yang
bersifat masam adalah inseptisol dan entisol.

Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalarn tanah
tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi maka tanah
akan bereaksi asam. Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terIalu rendah maka
tanah akan bereaksi basa. Pada kondisi ini kadar kation OH- lebih tinggi dari ion
H+.

Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena kandungan H+ yang tinggi. Pada
tanah masam lahan kering banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam karena
dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Dalarn keadaan tertentu, yaitu
apabila tercapai kcjenuhan ion Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida
,dengan demikian dapat menimbulkan variasi kemasaman tanah (Yulianti, 2007).

Di daerah rawa-tawa, tanah masam umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat
yang tinggi. Di daerah ini sering ditemukan tanah sulfat masam karena mengandung,
lapisan cat clay yang menjadi sangat masarn bila rawa dikeringkan akibat sulfida
menjadi sulfat.

Kebanyakan partikel lempung berinteraksi dengan ion H+. Lempung jenuh hidrogen
mengalami dekomposisi spontan. Ion hidrogen menerobos lapisan oktahedral dan
menggantikan atom Al. Aluminium yang dilepaskan kemudian dijerap oleh kompleks
lempung dan suatu kompleks lempung-Al-H terbentuk dengan cepat ion. Al3+ dapat
terhidrolisis dan menghasilkan ion H.

Reaksi tersebut menyumbang pada peningkatan konsentrasi ion H+ dalam tanah. Sumber
keasaman atau yang berperan dalam menentukan keasaman pada tanah gambut adalah
pirit (senyawa sulfur) dan asam-asam organik. Tingkat keasaman gambut mempunyai
kisaran yang sangat lebar. Keasaman tanah gambut cendrung semakin tinggi jika
gambut semakin tebal. Asam-asam organik yang tanah gambut terdiri dari atas asam
humat, asam fulvat, dan asam humin. Pengaruh pirit yaitu pada oksida pirit yang
akan menimbulkan keasaman tanah hingga mencapai pH 2 - 3. Pada keadaan ini hampir
tidak ada tanaman budidaya yang dapat tumbuh baik. Selain menjadi penghambat
pertumbuhan tanaman, pirit menyebabkan terjadinya karatan (corrosion) sehingga
mempercepat kerusakan alat-alat pertanian yang terbuat dari logam.

Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kemasaman (reaksi
tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi
hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang diukur
pada pemakaiannya sehari-hari. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar
hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang
terdapat dalam larutan (Hanafiah, 2007).

Selanjutnya dijelaskan juga oleh Hanafiah (2007) bahwa sejumlah senyawa menyumbang
pada pengembangan reaksi tanah yang asam atau basa. Asam-asam organik dan
anorganik, yang dihasilkan oleh penguraian bahan organik tanah , merupakan
konstituen tanah yang umum dapat mempengaruhi kemasaman tanah. Respirasi akar
tanaman menghasilkan C02 yang akan membentuk H2CO3 dalam air. Air merupakan sumber
lain dari sejumlah kecil ion H+. Suatu bagian yang besar dari ion-ion H+ yang
dapat dipertukarkan.

H
H---Lempung ---> Lempung + 3 H+
H

Ion-ion H+ tertukarkan tersebut berdisosiasi menjadi ion-ion H+ bebas. Dcrajat


ionisasi dan disosiasi ke dalam larutan tanah menentukan khuluk kemasaman tanah.
Ion-ion H+ yang dapat dipertukarkan merupakan penyebab terbentuknya kemasaman
tanah potensial atau cadangan. Besaran dari kemasaman potensial ini dapat
ditentukan dengan titrasi tanah. Ion-ion H+ bebas menciptakan kemasaman aktif.
Kemasaman aktif diukur dan dinyatakan sebagai pH tanah. Tipe kemasaman inilah yang
sangat menentukan dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Ada beberapa alat ukur reaksi tanah yang dapat digunakan. Alat yang murah ialah
kertas lakmus yang bentuknya berupa gulungan kertas kecil memanjang. Alat lain
yang harganya sedikit mahal tetapi dapat dipakai berulang kali dengan hasil
pengukuran lebih terjamin adalah pH tester dan soil tester.

Pemakaian kertas lakmus sangat mudah, caranya yaitu : mengambil tanah lapisan
dalam, lalu larutkan dengan air murni (aquadest) dalam wadah. Biarkan tanahnya
terendam di dasar wadah sehingga airnya menjadi bening kembali. Setelah bening,
air tersebut dipindahkan ke wadah lain secara hati-hati agar tidak keruh.
Selanjutnya, ambil sedikit kertas lakmus dan celupkan ka dalam air tersebut. Dalam
beberapa saat kertas lakmus akan berubah warna. Cocokan warna pada kertas lakmus
dengan skala yang ada pada kemasan kertas lakmus. Skala tersebut telah dilengkapi
dengan angka pH masing-masing Warna. Angka pH tanah tersebut adalah angka dari
warna pada kemasan yang cocok dengan warna kertas lakmus Misalnya, angka yang
cocok adalah 6 maka pH-nya 6.

Pemakaian soil tester untuk mendapat pH tanah agak berbeda dengan kertas lakmus.
Bentuknya seperti pahat dan berukuran pendek. Oleh karena berbentuk padatan, ada
bagian yang runcing. Bagian runcing inilah yang ditancapkan ke tanah hingga pada
batas yang dianjurkan. Setelah ditancapkan, sekitar tiga menit kernudian jarum
skala yang terletak di bagian atas alat ini akan bergerak. Angka yang ditunjukkan
jarum tersebut merupakan pH dari tanah tersebut.

Pemakaian pH tester lebih sederhana dan soil tester penggunaannya untuk megukur
nilai pH tanah di lahan yang tidak terlalu luas, sekitar 1-2 ha. Walaupun
demikian, alat ini masih bisa diandalkan. Bagian yang menunjukkan angka pH
berbentuk kotak dengan jarum penunjuk angka. Bagian kotak tersebut dihubungkan
dengan besi sepanjang 25 cm yang ujungnya runcing dan dilapisi logam elektroda.
Besi inilah vang ditancapkan ke tanah. Jumlah besi bisa 1-2 buah.

Penetapan pH tanah sekarang ini dilakukan dengan elektroda kaca. Elektroda ini
terdiri dari suatu bola kaca tipis yang berisi HCL. encer, dan di dalamnya
disisipkan kawat Ag-AgCl, yang berfungsi sebagai elektrodanya dengan tegangan
(voltase) tetap. Pada waktu bola kaca tersebut itu dicelupkan ke dalam suatu
larutan, timbul suatu perbedaan antara larutan di dalam bola dan larutan tanah di
luar bola kaca. Sebelum pengukuran pH dilakukan, kedua elektroda pertama-tama
harus dimasukkan ke dalam suatu larutan yang diketahui pH-nya (misalnya
konsentrasi ion H+ = 1 g/L). Kegiatan ini disebut pembakuan elektroda dan petunjuk
pH (pH meter).
Dalam pengukuran pH, elektroda acuan dan elektroda indikator dicelupkan ke dalam
suspensi tanah yang heterogen yang terdiri atas partikel-partikel padat
terdispersi dalam suatu larutan aquadest. Jika partikel-partikel padat dibiarkan
mengendap, pH dapat diukur dalam cairan supernatant atau dalam endapan (sedimen).
Penempatan pasangan elektroda dalam supernatant biasanya memberikan bacaan pH yang
lebih tinggi dari pada penempatan dalam sedimen. Perbedaan dalam bacaan pH ini
disebut pengaruh suspensi. Pengadukan suspensi tanah sebelum pengukuran tidak akan
memecahkan masalah tersebut, karena prosedur ini memberikan bacaan yang tidak
stabil (Hanafiah, 2007).

Jenis tanah masam diantaranya terdapat pada tanah ordo Ultisol. Ultisol dibentuk
oleh proses pelapukan dan pembentukan tanah yang sangat intensif karena
berlangsung dalam lingkungan iklim tropika dan subtropika yang bersuhu panas dan
bercurah hujan tinggi dengan vegetasi klimaksnya hutan rimba. Dalam lingkungan
semacam ini reaksi hidrolisis dan asidolisis serta proses pelindian (leaching)
terpacu sangat cepat dan kuat. Asidolisis berlangsung kuat karena air infiltrasi
dan perkolasi mengambil CO2 hasil mineralisasi bahan organik berupa serasah hutan
dan hasil pernafasan akar tumbuhan hutan (Yulnafatmawita, 2008).

Pelapukan masam tanah membebaskan basa dari mineral tanah secara cepat apabila
didukung dengan daya lindi yang kuat maka akan terbentuk tanah yang miskin hara
dan Al Fe serta Mn yang tinggi dapat meracun tanaman. Persoalan akan bertambah
berat jika bahan induk tanah sudah bersifat masam kondisi inilah yang dijumpai di
Sumatera.

Tanah ultisol memiliki ciri-ciri sebagai berikut ;


1. pH rendah
2. Kejenuhan Al , Fe dan Mn tinggi
3. Daya jerap terhadap fosfat kuat
4. Kejenuhan basa rendah ; kadar Cu rendah dalam tanah yang berasal dari bahan
induk masam (feksil) atau batuan pasir, Zn cukup namun tereluviasi.
5. Kadar bahan organik rendah dan kadar N rendah
6. Daya simpan air terbatas
7. Kedalaman efektif terbatas
8. Derajat agregasi rendah dan kemantapan agregat lemah baik pada lahan berlereng
maupun datar.

Kerentanan terhadap erosi membuat tanah akan semakin cepat berkurang kesuburannya
terutama pada lapisan atas dan akan terakumulasi di bagian yang lebih rendah
(Notohadiprawiro, 2006).

Kekahatan fosfor merupakan salah satu kendala terpenting bagi usaha tani di lahan
masam. Hal ini karena sebagian besar koloid dan mineral tanah yang terkandung
dalam tanah Ultisol mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi, sehingga
sebagian besar fosfat dalam keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak tersedia bagi
tanaman maupun biota tanah (Hasanudin dan Ganggo, 2004).

Menurut Subandi (2007) Tanah Ultisol umumnya mempunyai pH rendah yang menyebabkan
kandunganAl, Fe, danMn terlarut tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Jenis
tanah ini biasanya miskin unsur hara esensial makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg;
unsur hara mikro Zn, Mo, Cu, dan B, serta bahan organik. Meskipun secara umum
tanah Ultisol atau Podsolik Merah Kuning banyak mengandung Al dapat ditukar (Al-
dd) (20-70%), namun hasil penelitianmenunjukkan bahwa beberapa contoh tanah
tersebut mengandung Al-dd relatif rendah (< 20%). Tanah di KP. Kayu Agung,
Indralaya, dan Prabumulih Sumatera Selatan, misalnya, mempunyai kejenuhan Al-dd
berturut-turut 11,08%, 1,01%, dan 17,26%, di Jawa Barat 13,40% dan 11 dari 28
contoh tanah lapisan atas yang berasal dari Lampung Tengah jugamemiliki
kejenuhanAl-dd yang rendah .
Tekstur tanah ultisol bervariasi, berkisar dari pasiran (sandy) sampai dengan
lempungan (clayey) .Fraksi lempung tanah ini umumnya didominasi oleh mineral
silikat tipe 1:1 serta oksida dan hidroksida Fe danAl , sehingga fraksi lempung
tergolong beraktivitas rendah dan dayamemegang lengas juga rendah. Karena umumnya
memiliki kandungan bahan organik rendah dan fraksi lempungnya beraktivitas rendah
maka kapasitas tukar kation tanah (KTK) tanah Podsolik juga rendah, sehingga
relatif kurang kuatmemegang hara tanaman dan karenanya unsur haramudah tercuci.
Tanah Podsolik atau Ultisol termasuk tanah bermuatan terubahkan (variable charge),
sehingga nilai KTK dapat berubah bergantung nilai pH-nya, peningkatan pH akan
diikuti oleh peningkatan KTK ,lebih mampu mengikat hara K dan tidak mudah tercuci.

Ultisols (ultimus-selesai) adalah tanah-tanah yang berwarna kuning merah dan telah
mengalami pencucian yang sudah lanjut. Dikenal luas sebagai podsolik merah kuning.
Tanah-tanah ini mendominasi lahan kering yang ada di Sumatera, Kalimantan dan
Jawa. Total luas adalah sekitar 45.79 juta ha atau 24.3 % dari lahan Indonesia dan
menyebar di Kalimantan Timur (10.04 juta ha), Irian Jaya (7.62 juta), Kalimantan
Barat (5.71 juta), Kalimantan Tengah (4.81 juta), dan Riau (2.27 juta ha).

Tanah Oxisols (oxide, oksida) adalah tanah-tanah yang telah mengalami pencucian
yang intensif dan miskin hara, tinggi kandungan AL dan Fe. Seperti halnya
Ultisols, mereka mendominasi lahan kering dengan intensitas curah hujan yang
tinggi. Tanah-tanah ini sudah tua. Total luas tanah ini sekitar 14.11 juta ha atau
7.5% dari total lahan Indonesia dan menyebar di Sumatera Selatan (2.82 juta ha),
Irian Jaya (2.41 juta), Kalimantan Tengah (2.06 juta), Kalimantan Barat (1.79
juta), Jambi (1.14 juta), dan Lampung (1.01 juta ha).

Spodosol merupakan tanah mineral yang mempunyai horizon spodik, suatu horizon
dalam dengan akumulasi bahan organic, dan oksidasi aluminium (Al) dengan atau
tanpa oksidasi besi (Fe). Horizon iluvial ini dijumpai dibawah horizon eluviasi,
biasanya suatu horizon albik (berwarna merah muda, dengan demikian memadai bila
disebut abu kayu). Umumnya terbentuk diwilayah iklim humid, dibawah vegetasi hutan
basah dan berkembang dari bahan endapan dan batuan sediment kaya kuarsa yang
dipercepat oleh adanya vegetasi yang menghasilkan serasah asam. Senyawa – senyawa
organic tercuci kebawah bersama air perkolasi sehingga tanah permukaan menjadi
berwarna terang, sedang horizon bawah menjadi berwarna gelap karena terjadinya
selaput organic pada butir-butir tanah.

Species tumbuhan yang berkadar ion-ion logam rendah, seperti pinus, kelihatannya
merangsang pertumbuhan spodosol. Dengan membusuknya daun-daun yang rendah kadar
ion logamnya, kemasaman tinggi akan terbentuk. Air perkolasi membawa asam-asam itu
kebagian profil tanah yang lenig dalam. Horizon atas hancur karena pencucian
intensif oleh asam. Sebagian besar mineral, dipindahkan kebagian lebih dalam.
Oksida aluminium dan besi serta bahan organic akan diendapkan di horizon bagian
bawah, sehingga menghasilkan profil spodosol yang menarik.

Mengikuti definisi kuantitatif taksonomi tanah, tanah diklasifikasi sebagai


spodosol, apabila memiliki horizon dengan semua sifat berikut : i. Tersementasi
dengan kelembaban minimum 10 cm; ii. Terletak langsung dibawah horizon albik, pada
50 % atau lebih dari setiap pedonnya; iii. Batas atas berada dalam kedalaman <50
cm, apabila kelas besar butirnya berlempung kasar, skeletal berlempung, atau lebih
halus atau <200 cm. Apabila kelas besar butirnya berpasir, dan; iv. Batas bawah
pada kedalaman 25 cm atau lebih, dari permukaan tanah. Dalam hal ini Spodosol
mencakup Tanah-tanah yang disebut : Podzol dan Podzol Air Tanah.

Spodosol adalah Tanah – tanah yang secara unik berkembang dari endapan pasir
kuarsa, dan/atau batu sedimen berupa batu pasir kuarsa. Vegetasi alami yang tumbuh
biasanya spesifik jenisnya. Yaitu vegetasi yang mampu berkembang subur di Tanah
masam, seperti kantung Semar dan Paku-pakuan.

Banyak tanah dari timur laut amerika serikat, termsuk bagian utara michigan dan
winconsin yang dulunya digolongkan sebagai podsol, podsolik coklat dan podsol air
tanah termasuk dalam spodosol. Sebagian dari mereka adalah orthod, suatu spodosol
umum. Akan tetapi beberapa adalah aquod, karena tanah ini selama musim tertentu
jenuh dengan air dan mempunyai ciri-ciri yang berasosiasi dengan kebasahan,
seperti akumulasi bahan organik yang tinggi, becak-becak pada horizon albik dan
terbentuknya semacam lapisan keras (duripan) pada horizon albik. Daerah-daerah
dari aquod adalah Florida.

Di Indonesia sendiri penyebaran endapan pasir dan batu pasir kuarsa yang secara
geologis sangat luas, terdapat di kalimantan tengah, serta setempat-setempat di
kalimantan barat dan kalimantan timur. Di pulau lain nampaknya tidak luas
penyebaranya dan setempat – setempat terdapat disulawesi dan sumatra. Landform –
nya dimasukkan sebagai dataran tektonik. Lanscape luas tanah spodosol seluruhnya
diperkirakan 2,16 juta ha atau 1,1 % wilayah dataran indonesia. Penyebaranya
paling luas terdapat di kalimantan tengah sekitar 1,51 juta ha, kemudian
dikalimantan barat 0,42 juta dan kalimantan Timur 0,15 juta ha. Di silawesi
tengah, tengah, selatan dan tenggara dipearkirakan terdapat antara 11-25 ribu ha
(Himatan, 2006).

Dari empat sub-ordo dalam kelompok spodosol, yang sering kali dibuka untuk
pertanian adalah Haplorthods yaitu spodosol yang terbentuk diwilayah beriklim
basah, dengan curah hujan tunggi dan rezim kelembaban tanah udik dan aquods yaitu
spodosol basah atau jenuh air dengan drainase sangat terhambat dan sering kali
mempunyai permukaan air tanah berada dekat dengan permukaan tanah.

Data dari analisis tanah dari beberapa pedon Spodosol dari kalimantan tengah dan
kalimantan barat menunjukkan bahwa, Spodosol termasuk tanah dengan kelas besar
butir berpasir, dengan kandungan fraksi pasir tinggi (65-96 %). Reaksi tanah
menunjukkan masam ekstrem sampai sangat masam (pH 3,3 – 4,9) di seluruh lapisan
tanah, cenderung menaik kelapisan bawah. Pada permukaan tanah, bisasanya terdapat
lapisan bahan organik (Oi dan Oe) tipis (5-10) cm dan dibawahnya terdapat Horizon
Al dengan kandungan bahan organik termasuk sedang sampai tinggi (3,1 – 9,5)%.
Langsung dibawah horizon ini terdapat horizon E, berwarna putih dan putih
kekelabuan, dengan kandungan bahan organik dangat rendah (0,2 – 0,95) %. Rasio C/N
tergolong tinggi (16-35).

Kandungan P dan K-potensial di lapisan atas dan dilapisan bawah, sangat rendah
sampai rendah. Jumlah basa-basa dapat ditukar termasuk sangat rendah (0,2-1,2 cmol
(+)/kg tanah). Kandungan kedua unsur hara ini dilapisan serasah, selalu lebih
tinggi dari pada lapisan bawah yang berpasir. KTK tanah sebagian besar sangat
rendah dilapisan pasir, dan agak tinggi sampai tinggi pada lapisan serasah dan di
horizon Bs (sesquioksida). KB semuanya sangat rendah sampai. Potensi Kesuburan
alami Spodosol dengan demikian disimpulkan sangat rendah sampai rendah penggunaan
tanah (Himatan, 2006)

1.2. Tinjauan Umum Kesuburan Tanah

Sebagai sumberdaya alam untuk budidaya tanaman, tanah mempunyai dua fungsi,
yaitu : (1) sebagai sumber penyedia unsur hara dan air, dan (2) tempat akar
berjangkar. Salah satu atau kedua fungsi ini dapat menurun, bahkan hilang.

Hilangnya fungsi inilah yang menyebabkan produkvitas tanah menurun menjadi Tanah
Marjinal. Dengan demikian, Tanah Marjinal untuk budidaya tanaman merupakan tanah
yang mempunyai sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi yang tidak optimal untuk
kebutuhan pertumbuhan tanaman. Kalau tanah ini diusahakan untuk budidaya tanaman
memerlukan masukan teknologi, sehingga menambah biaya produksi. Selain itu, tanah
ini juga tidak mempunyai fungsi ekologis yang baik terhadap lingkungan.

Tanah Marjinal dapat terbentuk secara alami dan antropogenik (ulah manusia).
Secara alami (pengaruh lingkungan) yang disebabkan proses pembentukan tanah
terhambat atau tanah yang terbentuk tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman.
Misalnya, bahan induk yang keras dan asam, kekurangan air, suhu yang
dingin/membeku, tergenang dan akumulasi bahan gambut, fraksi tanah yang dihasilkan
didominasi oleh pasir, pengaruh salinisasi/penggaraman.

Tanah Marjinal yang dimaksudkan adalah tanah yang terbentuk secara alami, bukan
tanah yang menjadi marjinal karena antropogenik. Dari 12 ordo tanah di dunia
(Alfisols, Andisols, Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols,
Mollisols, Oxisols, Spodosols, Ultisol, dan Vertisols) yang tergolong Tanah
Marjinal antara lain adalah : Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols,
Inceptisols, dan Ultisols.

Secara antropogenik adalah karena ulah manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam
yang tidak terkendali, sehingga terjadi kerusakan ekosistem. Misalnya, deforestasi
dan degradasi hutan, eksploitasi deposit bahan tambang, terungkapnya unsur atau
senyawa beracun bagi tanaman, pengeringan ekstrem pada tanah gambut, serta
kebakaran. Deforestasi dan degradasi hutan menyebabkan terjadinya erosi yang
dipercepat dan punahnya organisme yang berperan dalam pembentukan tanah T = ƒ (i,
b, r, o, w).

Aliran permukaan yang berasal dari curah hujan akan mengikis lapisan permukaan
yang merupakan bagian tersubur dari tanah. Fraksi tanah yang dahulu diangkut
adalah yang halus dan ringan yaitu liat dan humus. Kedua fraksi ini sangat
berperan dalam menentukan kesuburan tanah, karena merupakan kompleks petukaran ion
dan penahan unsur hara. Dalam sedimen yang terangkut pada peristiwa erosi terdapat
juga berbagai unsur hara dan bahan organik. Oleh karena itu, tanah yang mengalami
erosi akan menurun produktivitasnya menjadi tanah marjinal yang kalau erosi
selanjutnya tidak dikendalikan, tanah tersebut akan menjadi lahan kritis.

Luas lahan kritis di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat, sejalan dengan
semakin mengganasnya deforestasi dan degradasi hutan serta belum diterapkannya
teknologi konservasi tanah yang memadai, terutama pada areal budidaya tanaman pada
lahan berlereng. Dari hasil survei Direktorat Kehutanan tahun 1985 pada 75 DAS
(sebagian dari jumlah DAS di Indonesia) jumlah lahan kritis telah mencapai 16 juta
ha dan meningkat 2,5 % / tahun. Sedangkan dari laporan Suranggajiwa (1975) luas
lahan kritis pada seluruh DAS di Indonesia mencapai 30 juta ha dan meningkat 2 % /
tahun. Dapat diprediksi betapa luasnya lahan kritis di Indonesia saat ini.

Produktivitas tanah merupakan kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk


tertentu suatu tanaman dibawah suatu sistem pengelolaan tanah tertentu. Suatu
tanah atau lahan dapat menghasilkan suatu produk tanaman yang baik dan
menguntungkan maka tanah dikatakan produktif. Produktivitas tanah merupakan
perwujudan darifaktor tanah dan non tanah yang mempengaruhi hasil tanaman.

Tanah produktif harus mempuyai kesuburan yang menguntungkan bagi pertumbuhan


tanaman. Akan tetapi tanah subur tidak selalu berarti produktif. Tanah subur akan
produktif jika dikelaola dengan tepat, menggunakan jenis tanaman dan teknik
pengelolaan yang sesuai. Kesuburan tanah adalah kemampuan atau kualitas suatu
tanah menyediakan unsur hara tanaman dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan
tanaman, dalam bentuk senyawa-senyawa yang dapat dimanfaatkan tanaman dan dalam
perimbangan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman tertentu dengan didukung oleh
faktor pertumbuhan lainnya (Yuwono dan Rosmarkam 2008).

Tanah yang sehat akan memberikan sumbangan yang besar tehadap kualitas tanah.
Kualitas tanah dapat sebagai sifat atau atribut inherent tanah yang dapat
digambarkan dari sifat-sifat tanah atau hasil observasi tidak langsung, dan
sebagai kemampuan tanah untuk menampakkan fungsi-fungsi produktivitas lingkungan
dan kesehatan.

Winarso (2005) menjelaskan bahwa pengukuran kualitas tanah merupakan dasar untuk
penilaian keberlanjutan pengelolaan tanah yang dapat diandalkan untuk masa-masa
yang akan datang, karena dapat dipakai sebagai alat untuk menilai pengaruh
pengelolaan lahan. Pada umumnya proses degradasi tanah dalam sistem pertanian
dapat disebabkan oleh erosi, pemadatan, penurunan ketersediaan hara atau penurunan
kesuburan, kehilangan bahan organik tanah dan lain lain.

Aryantha (2002) menjelaskan ada tiga konsep untuk memperbaiki kesuburan tanah
yaitu yang berwawasan lingkungan atau berkelanjutan adalah Low External Input
Agriculture (LEIA) dan Low Ezternal Input Sustainable Agriculture (LEISA), dan
pertanian modren yang tergantung dengan bahan kimia adalah High External Input
Agriculture (HEIA)

LEIA adalah sistem yang memanfaatkan sumberdaya lokal yang sangat intensif dengan
sedikit atau sama sekali tidak menggunakan masukan dari luar sehingga tidak
terjadi kerusakan sumberdaya alam. Pendauran hara di dalam usahatani dengan
sumber-sumber yang berasal dari luar usaha tani. Kegiatan ini berguna untuk
menambahkan hara kepada tanah dari luar usaha tani. Bahan-bahan yang digunakan:
sampah, kompos, limbah, dll. Pendauran hara di dalam usaha tani dengan sumber-
sumber yang berasal dari usaha tani itu sendiri. Pendauran ini dapat dilewatkan
dengan ternak atau pengembalian sisa-sisa biomassa hasil panen. Cara ini tidak
menambahkan hara kepada tanah, tetapi hanya mengembalikan hara yang tidak
terangkut ke luar bersama dengan hasil panen . Pendauran hara di dalam petak
pertanaman. Kegiatan ini biasanya melibatkan tanaman legum (cover crop) untuk
memenuhi sebagian besar kebutuhan N pada tanaman pokok.

HEIA adalah Merupakan sistem pertanian yang menggunakan masukan dari luar (secara
berlebihan). Umumnya berupa bahan-bahan agrokimia konvensional yang memang
disengaja dibuat untuk input produksi. Sistem ini sangat tergantung senyawa kimia
sintetis (pupuk, pestisida, zat pengatur tumbuh). Dapat berpengaruh buruh pada
keseimbangan lingkungan dan kesehatan manusia .

LEISA adalah Pertanian dengan masukan rendah tetapi mengoptimalkan pemanfaatan


sumberdaya alam (tanah, air, tumbuhan dan hewan), manusia (tenaga, pengetahuan dan
keterampilan) yang tersedia ditempat dan layak secara ekonomis, mantap secara
ekologis, adil secara sosial dan sesuai dengan budaya lokal. Ciri-ciri sitem ini
(a) berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dengan mengkombinasikan
berbagai komponen sistem usahatani (tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia)
sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang luar biasa,(b)
berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dengan mengkombinasikan
berbagai komponen sistem usahatani (tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia)
sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang luar biasa.

Prinsip dasar LEISA adalah menjamin kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan
tanaman, khususnya dengan mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan
mikroorganisme di dalam tanah (soil regenerator), mengoptimalkan ketersediaan dan
menyeimbangkan aliran unsur hara, khususnya melalui penambatan Nitrogen, pendaur
ulangan unsur hara dan pemanfaatan pupuk luar sebagai pelengkap,, meminimalkan
kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara dan air dengan pengelolaan iklim
mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi, saling melengkapi dan sinergi dalam
penggunaan sumberdaya genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian
terpadu dengan tingkat keanekaragaman fungisonal tinggi .

1.3. Kualitas dan Karekteristik Lahan

Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat kompleks
dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan ( performance) yang
berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri
atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics ). Kualitas lahan
ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada
umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan (FAO, 1976).

Sitorus (1985) menjelaskan ada empat kelompok kualitas lahan utama : (a) Kualitas
lahan ekologis yang berhubungan dengan kebutuhan tumbuhan seperti ketersediaan
air, oksigen, unsur hara dan radiasi (b) Kualitas yang berhubungan dengan kualitas
pengelolaan normal, seperti kemungkinan untuk mekanisasi pertanian (c) Kualitas
yang berhubungan dengan kemungkinan perubahan, seperti respon terhadap pemupukan,
kemungkinan untuk irigasi dan lain-lain (d) Kualitas konservasi yang berhubungan
dengan erosi.

Karakteristik lahan yang erat kaitannya untuk keperluan evaluasi lahan dapat
dikelompokkan ke dalam 3 faktor utama, yaitu topografi, tanah dan iklim.
Karakteristik lahan tersebut terutama topografi dan tanah) merupakan unsur
pembentuk satuan peta tanah (Ritung,2003).

Topografi yang dipertimbangkan dalam evaluasi lahan adalah bentuk wilayah


(relief) atau lereng dan ketinggian tempat di atas permukaan laut. Relief erat
hubungannya dengan faktor pengelolaan lahan dan bahaya erosi. Sedangkan faktor
ketinggian tempat di atas permukaan laut berkaitan dengan persyaratan tumbuh
tanaman yang berhubungan dengan temperatur udara dan radiasi matahari.

Ketinggian tempat diukur dari permukaan laut (dpl) sebagai titik nol. Dalam
kaitannya dengan tanaman, secara umum sering dibedakan antara dataran rendah
(<700> 700 m dpl.). Namun dalam kesesuaian tanaman terhadap ketinggian tempat
berkaitan erat dengan temperatur dan radiasi matahari. Semakin tinggi tempat di
atas permukaan laut, maka temperatur semakin menurun. Demikian pula dengan radiasi
matahari cenderung menurun dengan semakin tinggi dari permukaan laut. Ketinggian
tempat dapat dikelaskan sesuai kebutuhan tanaman. Misalnya tanaman teh dan kina
lebih sesuai pada daerah dingin atau daerah dataran tinggi. Sedangkan tanaman
karet, sawit, dan kelapa lebih sesuai di daerah dataran rendah.

Iklim sebagai salah satu faktor lingkungan fisik yang sangat penting dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Bebrapa unsur iklim yang penting adalah curah
hujan, suhu, dan kelembaban. Di daerah tropika umumnya radiasi tinggi pada musim
kemarau dan rendah pada musim penghujan. Namun demikian mengingat sifat saling
berkaitan antara unsur iklim satu dengan yang lainnya, maka dalam uraian iklim ini
akan diuraikan unsur-unsur iklim yang yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman.

Tanaman kina dan kopi, misalnya, menyukai dataran tinggi atau suhu rendah,
sedangkan karet, kelapa sawit dan kelapa sesuai untuk dataran rendah. Pada daerah
yang data suhu udaranya tidak tersedia, suhu udara diperkirakan berdasarkan
ketinggian tempat dari permukaan laut. Semakin tinggi tempat, semakin rendah suhu
udara rata-ratanya dan hubungan ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus Braak
(1928): 26,3 C (0,01 x elevasi dalam meter x 0,6 C) Suhu udara rata-rata di tepi
pantai berkisar antara 25-27 C.
Data curah hujan diperoleh dari hasil pengukuran stasiun penakar hujan yang
ditempatkan pada suatu lokasi yang dianggap dapat mewakili suatu wilayah tertentu.
Pengukuran curah hujan dapat dilakukan secara manual dan otomatis. Secara manual
biasanya dicatat besarnya jumlah curah hujan yang terjadi selama 1(satu) hari,
yang kemudian dijumlahkan menjadi bulanan dan seterusnya tahunan. Sedangkan secara
otomatis menggunakan alat-alat khusus yang dapat mencatat kejadian hujan setiap
periode tertentu, misalnya setiap menit, setiap jam, dan seterusnya.

Untuk keperluan penilaian kesesuaian lahan biasanya dinyatakan dalam jumlah curah
hujan tahunan, jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah. Oldeman (1975)
mengelompokkan wilayah berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering berturut-
turut. Bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah hujan >200 mm, sedangkan
bulan kering mempunyai curah hujan <100 mm. Kriteria ini lebih diperuntukkan bagi
tanaman pangan, terutama untuk padi.

Berdasarkan kriteria tersebut Oldeman (1975) membagi zone agroklimat kedalam 5


kelas utama (A, B, C, D dan E). Sedangkan Schmidt & Ferguson (1951) membuat
klasifikasi iklim berdasarkan curah hujan yang berbeda, yakni bulan basah (>100
mm) dan bulan kering (<60 mm). Kriteria yang terakhir lebih bersifat umum untuk
pertanian dan biasanya digunakan untuk penilaian tanaman tahunan.

Faktor tanah dalam evaluasi kesesuaian lahan ditentukan oleh beberapa sifat atau
karakteristik tanah di antaranya jenis tanah, drainase tanah, tekstur, kedalaman
tanah dan retensi hara (pH, KTK), serta beberapa sifat lainnya diantaranya
alkalinitas, bahaya erosi, dan banjir/genangan. Data jenis tanah dapat di lihat
melalui peta satuan lahan khusus jenis tanah, seperti contoh peta jenis tanah
propinsi Jambi Kabupaten Muaro Jambi.

Drainase tanah menunjukkan kecepatan meresapnya air dari tanah atau keadaan tanah
yang menunjukkan lamanya dan seringnya jenuh air. Kelas drainase tanah disajikan
pada Tabel 5. Kelas drainase tanah yang sesuai untuk sebagian besar tanaman,
terutama tanaman tahunan atau perkebunan berada pada kelas 3 dan 4. Drainase tanah
kelas 1 dan 2 serta kelas 5, 6 dan 7 kurang sesuai untuk tanaman tahunan karena
kelas 1 dan 2 sangat mudah meloloskan air, sedangkan kelas 5, 6 dan 7 sering jenuh
air dan kekurangan oksigen.

Tekstur merupakan komposisi partikel tanah halus (diameter 2 mm) yaitu pasir, debu
dan liat. Tekstur dapat ditentukan di lapangan seperti disajikan pada Tabel 4,
atau berdasarkan data hasil analisis di laboratorium dan menggunakan segitiga
tekstur . Pengelompokan kelas tekstur adalah: Halus (h) : Liat berpasir, liat,
liat berdebu. Agak halus (ah) : Lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung
liat berdebu. Sedang (s) : Lempung berpasir sangat halus, lempung, lempungberdebu,
debu. Agak kasar (ak) : Lempung berpasir. Kasar (k) : Pasir, pasir berlempung.
Sangat halus (sh) : Liat (tipe mineral liat 2:1).

Bahan kasar adalah persentasi kerikil, kerakal atau batuan pada setiap lapisan
tanah, dibedakan menjadi: sedikit : <> 60 %. Ketebalan gambut, dibedakan menjadi:
tipis : <> 400 cm.

Karakteristik Kelas Drainase Tanah

1. Cepat (excessively drained):


Tanah mempunyai konduktivitas hidrolik tinggi sampai sangat tinggi dan dayamenahan
air rendah. Tanah demikian tidak cocok untuk tanaman tanpa irigasi.Ciri yang dapat
diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpabercak atau karatan besi
dan aluminium serta warna gley (reduksi).

2. Agak cepat (somewhat excessively drained):


Tanah mempunyai konduktivitas hidrolik tinggi dan daya menahan air rendah.Tanah
demikian hanya cocok untuk sebagian tanaman kalau tanpa irigasi. Ciri yang dapat
diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi
dan aluminium serta warna gley (reduksi).

3. Baik (well drained):


Tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sedang dan daya menahan air sedang, lembab,
tapi tidak cukup basah dekat permukaan. Tanah demikian cocok untuk berbagai
tanaman. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa
bercak atau karatan besi dan/atau mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan 0
sampai 100 cm.

4. Agak baik (moderately well drained):


Tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sedang sampai agak rendah dan daya menahan
air (pori air tersedia) rendah, tanah basah dekat permukaan. Tanah demikian cocok
untuk berbagai tanaman. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah
berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan/atau mangan serta warna gley
(reduksi) pada lapisan 0 sampai 50 cm.

5. Agak terhambat (somewhat poorly drained):


Tanah mempunyai konduktivitas hidrolik agak rendah dan daya menahan air (pori air
tersedia) rendah sampai sangat rendah, tanah basah sampai ke permukaan. Tanah
demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang
dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau
karatan besi dan/atau mangan serta warna gley(reduksi) pada lapisan 0 sampai 25
cm.

6. Terhambat (poorly drained):


Tanah mempunyai konduktivitas hidrolik rendah dan daya menahan air (pori air
tersedia) rendah sampai sangat rendah, tanah basah untuk waktu yang ke cukup lama
sampai permukaan. Tanah kemikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman
lainnya. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah mempunyai warna gley
(reduksi) dan bercak atau karatan besidan/atau mangan sedikit pada lapisan sampai
permukaan.

7. Sangat terhambat (very poorly drained):


Tanah dengan konduktivitas hidrolik sangat rendah dan daya menahan air (pori air
tersedia) sangat rendah, tanah basah secara permanen dan tergenang untuk waktu
yang cukup lama sampai ke permukaan. Tanah demikian cocok untuk padi sawah dan
sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah
mempunyai warna gley (reduksi) permanen sampai pada lapisan permukaan.

Tingkat bahaya erosi dapat diprediksi berdasarkan kondisi lapangan, yaitu dengan
cara memperhatikan adanya erosi lembar permukaan (sheet erosion), erosi alur (rill
erosion), dan erosi parit (gully erosion). Pendekatan lain untuk memprediksi
tingkat bahaya erosi yang relatif lebih mudah dilakukan adalah dengan
memperhatikan permukaan tanah yang hilang (rata-rata) pertahun, dibandingkan tanah
yang tidak tererosi yang dicirikan oleh masih adanya horizon A. Horizon A biasanya
dicirikan oleh warna gelap karena relative mengandung bahan organik yang lebih
tinggi.
II. Permasalahan Pada Tanah Mineral Masam

Tanah masam di Indonesia memiliki ciri-ciri tekstur lempungan, struktur gumpal,


permeabilitas rendah, stabilitas agregat baik, pH rendah, KPK rendah, aras N, P,
Ca, Mg sangat rendah, vegetasi alami alang-alang (Imperata cylindrica) dan hutan
(Hardjowigeno, 1993), fraksi lempung didominasi oleh mineral-mineral bermuatan
terubahkan seperti kaolinit, gibsit dan atau goetit (Ismail et al., 1993). Tanah
ini di Indonesia terbentuk di daerah yang bercurah hujan tinggi (2500-3000 mm per
tahun), topografi berombak hingga berbukit dengan ketinggian 50-350 mm di atas
muka air laut, batuan induk granit, abu vulkan atau andesit .

Pengelolaan tanah-tanah mineral masam untuk kepentingan pertanian menghadapi


kendala pH yang rendah, keracunan Al, Mn, dan/atau Fe, serta kekahatan unsur-unsur
hara penting seperti N, P, Ca, dan atau Mg dan Mo . Upaya untuk mengatasi
persoalan kesuburan tanah-tanah masam adalah dengan mengkombinasikan antara
praktek usaha tani dengan penerapan bioteknologi tanah yang menekankan pada
komponen mengamankan suplai N di dalam sistem tanah-tanaman dengan pengayaan
fiksasi N2 secara biologis (Notohadiprawiro, 1990). Teknologi ini mencakup segala
upaya untuk memanipulasi jasad renik dalam tanah dan proses metabolik mereka untuk
mengoptimumkan produktivitas pertanaman.

Lahan kering tergolong suboptimal karena tanahnya kurang subur, bereaksi masam,
mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni
tanaman. Lahan masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara makro N, P, K, Ca,
dan Mg. Pemberian bahan ameliorasi kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K
merupakan kunci untuk memperbaiki kesuburan lahan kering masam.

Usaha pertanian di tanah Ultisol akan menghadapi sejumlah permasalahan.Tanah


Ultisol umumnya mempunyai pH rendah yang menyebabkan kandunganAl, Fe, dan Mn
terlarut tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Jenis tanah ini biasanya miskin
unsur hara esensial makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg; unsur hara mikro Zn, Mo,
Cu, dan B, serta bahan organik . Meskipun secara umum tanah Ultisol atau Podsolik
Merah Kuning banyak mengandung Al dapat ditukar (Al-dd) (20-70%), namun hasil
penelitianmenunjukkan bahwa beberapa contoh tanah tersebut mengandung Al-dd
relatif rendah (< 20%).

Tanah di KP. Kayu Agung, Indralaya, dan Prabumulih Sumatera Selatan, misalnya,
mempunyai kejenuhan Al-dd berturut-turut 11,08%, 1,01%, dan 17,26% di Jawa Barat
13,40% dan 11 dari 28 contoh tanah lapisan atas yang berasal dari Lampung Tengah
jugamemiliki kejenuhanAl-dd yang rendah (Taufiq et al. 2003).

Tekstur tanah ultisol bervariasi, berkisar dari pasiran (sandy) sampai dengan
lempungan (clayey). Fraksi lempung tanah ini umumnya didominasi oleh mineral
silikat tipe 1:1 serta oksida dan hidroksida Fe danAl, sehingga fraksi lempung
tergolong beraktivitas rendah dan dayamemegang lengas juga rendah. Karena umumnya
memiliki kandungan bahan organik rendah dan fraksi lempungnya beraktivitas rendah
maka kapasitas tukar kation tanah (KTK) tanah Podsolik juga rendah, sehingga
relatif kurang kuatmemegang hara tanaman dan karenanya unsur haramudah tercuci.
Tanah Podsolik atau Ultisol termasuk tanah bermuatan terubahkan (variable charge),
sehingga nilai KTK dapat berubah bergantung nilai pH-nya, peningkatan pH akan
diikuti oleh peningkatan KTK, lebih mampu mengikat hara K dan tidak mudah tercuci
(Subandi, 2007).

Memperhatikan permasalahan yang dihadapi pada lahan kering masam seperti yang
disebutkan di depan, maka dalam pengelolaannya untuk pertanaman, secara teknis,
terdapat dua pendekatan pokok yakni pemilihan jenis komoditas atau varietas yang
adaptif serta perbaikan kesuburan tanah dengan ameliorasi dan pemupukan.

Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar
dan tersebar di Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa
Tenggara (Soebagyo,et al., 2004; Hidayat dan Mulyani, 2005). Salah satu ordo tanah
yang cukup luas penyebarannya adalah Ultisols. Ditinjau dari luasnya, Ultisol
mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan pertanian lahan kering. Namun
demikian, pemanfaatan lahan ini menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat
menghambat pertumbuhan tanaman terutama tanaman pangan bila tidak dikelola dengan
baik. Beberapa kendala sifat fisik tanah yang sering dijumpai antara lain adalah
kemantapan agregat yang rendah, tanah mudah menjadi padat dan permeabilitas tanah
yang lambat.

Pada umumnya lahan kering masam didominasi oleh tanah Ultisol, yang dicirikan oleh
kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang/menyimpan air yang rendah,
tetapi kadar Al dan Mn tinggi. Oleh karena itu, kesuburan tanah Ultisol sering
kali hanya ditentukan oleh kadar bahan organik pada lapisan atas, dan bila lapisan
ini tererosi maka tanah menjadi miskin hara dan bahan organik. Di samping itu,
kekahatan fosfor merupakan salah satu kendala terpenting bagi usaha tani di lahan
masam. Hal ini karena sebagian besar koloid dan mineral tanah yang terkandung
dalam tanah Ultisol mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi, sehingga
sebagian besar fosfat dalam keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak tersedia bagi
tanaman maupun biota tanah (Notohadiprawiro, 2006).

Kendala pengembangan lahan Podzolik Merah Kuning beriklim basah dengan topograsi
bergelombang cukup kompleks. Kesalahan dalam pengelolaan merupakan penyebab
degradasi lahan yang mendasar. Di daerah tropika basah yang topografinya
bervariasi dari datar, bergelombang hingga bergunung, erosi tanah merupakan salah
satu penyebab degradasi lahan yang dominan disamping penyebab lain seperti
pencucian hara dan akumulasi unsur-unsur beracun.

Lahan kering Podzolik Merah Kuning beriklim basah didominasi oleh tanah masam PMK
dengan bahan induk yang miskin unsur hara (Partohardjono et al, 1994). Oleh karena
itu lahan ini tergolong lahan marginal yang tingkat produktivitasnya rendah.
Kesuburan tanah ini secara alamiah sangat tergantung pada lapisan atas yang kaya
bahan organik tetapi bersifat labil. Kalau lahan ini diolah untuk budidaya,
kandungan bahan organik yang memadai, produktivitas lahan cepat pula menurun dan
akhirnya menjadi lahan kritis.

Tanaman yang dibudidayakan pada lahan kering PMK yang krits tidak mampu
berproduksi secara optimal jika dikelola secara konvensional (Hakim et al, 1997).
Sedangkan pembuatan teras dan galengan memerlukan biaya yang tinggi dan petani
tidak memiliki cukup biaya.

Sifat kimia dan fisika tanah PMK yang jelek merupakan kendala misalnya tanah yang
bereaksi masam sampai sangat masam. Kandungan dan kejenuhan aluminiumnya tinggi
yang dapat meracuni tanaman dan daya fiksasi yang tinggi terhadap Phospor.

Kandungan bahan organik, KTK dan kejenuhan basahnya umumnya rendah. Mineral liat
umumnya didominasi oleh kaolinit yang tidak banyak memberikan sumbangan terhadap
kesuburan tanah serta sebagian besar tanah ini mempunyai kapasitas memegang air
yang rendah dan peka terhadap erosi (Arief dan Irman, 1997). Dampak langsung dari
wilayah yang mengalami erosi adalah terjadinya suatu areal yang secara bertahap
menjadi tandus dengan konsekuensi penduduk yang tinggal disekitarnya akan menjadi
miskin (Pandang dan Subandi, 1997).

Mineral Kaolin telah lama dikenal akan reaktivitasnya terhadap fosfat, karena
kaolin merupakan mineral lempung yang merajai terutama pada tanah-tanah mineral
masam seperti Ultisols, Alfisols dan Oxisols maka reaktivitasnya terhadap fosfat
perlu dipertimbangkan sebagai landasan pengelolaan P pada tanah-tanah ini. Wild
(1950) melakukan penelitian tentang reaksi fosfat dengan lempung alumino-silikat
dan berkesimpulan bahwa montmorillonit dan kaolinit menjerap P dalam jumlah yang
hampir sama apabila ukuran partikelnya serupa. Ia mengusulkan dua mekanisme
retensi P oleh mineral-mineral lempung, yaitu pertukaran ion fosfat dengan gugus
hidroksil pada lapisan gibbsite dan/atau sebagai anion tertukarkan yang
mengimbangi muatan positif hasil protonasi ion. Muljadi et al. (1966)
berkesimpulan bahwa isotherm retensi P adalah sama untuk kaolinit, gibbsite dan
pseudoboehmite, perbedaannya adalah pada jumlah tapak retensi.

Oksida-oksida besi dan aluminium maupun lempung aluminosilikat, yang merupakan


komponen utama fraksi lempung tanah-tanah mineral masam, mampu menjerap P.
Meskipun demikian perlu disadari bahwa terdapat perbedaan kekuatan ikatan retensi
yang bersumber pada perbedaan sifat ikatan antara anion fosfat dengan oksida-
oksida besi dan lempung alumino silikat. Perbedaan ini akan menimbulkan perilaku
dan tanggapan yang berbeda terhadap perlakuan pemberian fosfat ke dalam tanah
sebagai pupuk. Dalam hubungan ini nisbah antara oksida besi dan lempung silikat
perlu dipertimbangkan sebagai dasar pengelolaan P terutama pada tanah-tanah
mineral masam. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kemampuan retensi P dari
kaolin dan oksida-oksida besi yang diperoleh dari tanah-tanah mineral masam di
Indonesia.

Tanaman kedelai mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan di tanah
Ultisol asal dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Umumnya
tanah tersebut mempunyai pH yang sangat masam hingga agak masam, yaitu sekitar
4.1-5.5, jumlah basa-basa dapat ditukar tergolong rendah hingga sedang dengan
komplek adsorpsi didominasi oleh Al, dan hanya sedikit mengandung kation Ca dan
Mg. Kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) lapisan atas tanah
umumnya rendah hingga sedang (Subagyo et al., 2000).

Kekahatan kalium merupakan kendala yang sangat penting dan sering terjadi di tanah
Ultisol. Masalah tersebut erat kaitannya dengan bahan induk tanah yang miskin K,
hara kalium yang mudah tercuci karena KTK tanah rendah, dan curah hujan yang
tinggi di daerah tropika basah sehingga K banyak yang tercuci. Upaya untuk
meningkatkan produksi kedelai di tanah masam dapat dilakukan melalui pengelolaan
tanaman yang sesuai dan manipulasi tanah yang tepat. Pemupukan kalium memegang
peranan yang sangat penting dalam meningkatkan produksi kedelai di tanah Ultisol.
Hara kalium merupakan hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah banyak
setelah N dan P (Nursyamsi,2006)
III. Perkembangan Penelitian Tanah Mineral Masam

Hasil penelitian Arimurti et al (2006) menunjukkan bahwa tanah tersebut mempunyai


sifat yang sangat masam (pH 4,2), hal ini dapat disebabkan tanah tersebut
mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi dan mempunyai kejenuhan basa rendah
dan bereaksi masam (Sanchez, 1976). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tanah
ini mempunyai sifat berikut: C tinggi, N sangat rendah, P tersedia dan P total
yang sangat rendah.

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa perlakuan bakteri pelarut fosfat (BPF) mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung pada tanah masam, yang tampak pada
parameter tinggi tanaman 10 dan 45 HST, berat basah trubus, berat kering trubus,
berat basah akar, berat kering akar, luas daun serta kadar P trubus. Perlakuan
dengan pupuk P ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan hanya pada parameter tinggi
tanaman 10 dan 17 HST serta kadar P trubus. Perlakuan masing-masing SP-36 maupun
rock fosfat sama baiknya dalam meningkatkan tinggi tanaman 10 dan 17 HST serta
kadar P trubus. Perlakuan kombinasi pupuk P dengan BPF dapat meningkatkan
pertumbuhan yang tampak pada parameter berat kering trubus. Semua kombinasi
perlakuan jenis pupuk P dengan BPF sama baiknya dalam meningkatkan berat kering
trubus pada tanah masam.

Hasanudin (2003) melakukan penelitian tentang ketersediaan dan serapan P pada


tanaman jagung di tanah ultisol melalui inokulasi mikoriza dan pemberian bahan
organik. Terlihat bahwa ketersediaan P dan serapan P meningkat dengan perlakuan
tersebut diikuti pula peningkatan pada ketersediaan N serta hasil tanaman jagung.

Hasil penelitian Joy (2005) bahwa pada tanah masam terjadi penurunan kandungan Al-
dd tanah dan peningkatan kandungan P-tersedia tanah dipengaruhi oleh interaksi
antara takaran P-alam dengan jenis kapur, sedangkan peningkatan nilai pH tanah
dipengaruhi oleh efek mandiri P-alam dan jenis kapur. Pengapuran dengan dolomit
meningkatkan pH tanah lebih tinggi dibandingkan pengapuran dengan kalsit. Secara
umum, semakin tinggi takaran P-alam, semakin tinggi pula nilai pH tanah.

Peningkatan takaran P- alam akan menurunkan kandungan Al-dd tanah, terutama jika
dikombinasikan dengan kapur, baik kalsit maupun dolomit. Efek peningkatan takaran
P-alam juga berpengaruh terhadap peningkatan kandungan Ptersedia tanah pada setiap
level pengapuran. Meningkatnya nilai pH tanah menyebabkan penurunan kandungan Al-
dd tanah sedangkan penurunan nilai Al-dd tanah akan meningkatkan kandungan P-
tersedia tanah.

Penelitian Siradz (2003) memperlihatkan bahwa baik mineral lempung golongan kaolin
maupun oksida-oksida besi mampu menjerap P. Kapasitas retensi P dari oksida-oksida
besi sekitar 10 kali lipat lebih besar dari kaolin, tetapi keberadaan kaolin di
dalam tanah-tanah mineral masam sekitar 18 kali lipat dibandingkan dengan oksida
besi. Oleh karena itu sebenarnya jumlah P yang dijerap oleh kaolin jauh lebih
besar dibandingkan dengan oksida-oksida besi.

Tanah Latosol merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan yang intensif,
bereaksi asam dan terjadi pencucian yang kuat terutama basabasa K, Ca dan Mg.
Kendala lain untuk budidaya pertanian adalah kekurangan unsur hara P akibat
terjadinya fiksasi oleh mineral lempung kaolinit dan ion-ion Fe dan A1 akibat pH
yang rendah. Hasil penelitian Sumaryo dan Suryono (2000) tentang pengaruh pupuk P
dan Dolomit pada hasil tanaman kacang tanah di tanah latosol menunjukkan bahwa
pengaruh sangat nyata dari dosis pupuk dolomit pada semua parameter yang diamati
dikarenakan pemberian dolomit dapat menambah unsur hara Ca dan Mg yang di dalam
tanah Latosol sangat rendah sampai rendah serta dimungkinkan dapat memperbaiki
sifat fisik dan kimia tanah.

Ultisol merupakan tanah terluas dari seluruh lahan kering yang ada di Propinsi
Jambi yang mempunyai potensi besar untuk untuk dijadikan lahan pertanian produktif
yang berkelanjutan dan menunjang program ketahan pangan nasional. Salah satu
kendala adalah permeabilitas tanah yang lambat. Penelitian Junedi (2008)
menunjukkan bahwa untuk memperbaiki permeabilitas tanah dapat dilakukan dengan
penambahan kompos jerami padi saja, kapur saja maupun diberikan secara bersama-
sama.

Pemberian kompos jerami padi 20 ton-1 ha masih mampu meningkatan permeabilitas


tanah, demikian pula dengan pemberian kapur sampai 2xAldd. Akan tetapi jika kompos
jerami padi diberikan bersama sama dengan kapur maka pemberian 10 ton-1 hakompos
jerami padi dan 1xAldd kapur sudah mampu meningkatkan permeabilitas tanah.

Penelitian Bertam et al (2005) pada tanah masam di Bengkulu dengan seri tanah
Kandanglimun Bengkulu yang memiliki pH sangat masam, kadar bahan organik rendah
sampai sedang, kadar N total rendah, kadar P tersedia sangat rendah, Ca tertukar
rendah, Mg dan K tertukar rendah , KTK rendah dan tekstur silt loam . Diberi
perlakuan dengan inokulasi mikoriza dan rhizobia indigeneus pada beberapa varietas
kedelai , memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan kesuburan tanah yang ditandai
dengan meningkatnya N total, P tersedia, KTK , pH meningkat ke arah netral, serta
terjadi peningkatan pertumbuhan dan produksi kedelai jika dibandingkan dengan
kontrol.

Hasil penelitian Wulandari (2001) pada tanah ultisol menjelaskan bahwa inokulasi
bakteri pelarut fosfat jenis Pseudomonas diminuta dan Pseudomonas cepaceae yang
diikuti dengan pemberian pupuk fosfat dapat meningkatkan ketersediaan fosfat dan
meningkatkan produksi tanaman kedelai serta meningkatkan efisiensi pupuk P yang
digunakan. Pelarutan fosfat oleh Pseudomonas didahului dengan sekresi asam-asam
organik, diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksilat,
malat, fumarat. Hasil sekresi tersebut akan berfungsi sebagai katalisator,
pengkelat dan memungkinkan asam-asam organik tersebut membentuk senyawa kompleks
dengan kationkation Ca2+, Mg2+, Fe2+, dan Al3+ sehingga terjadi pelarutan fosfat
menjadi bentuk tersedia yang dapat diserap oleh tanaman.

Hasanudin dan Gonggo (2004) meneliti tentang pemanfaatan mikrobia pelarut fosfat
dan mikoriza untuk perbaikan fosfor tersedia, serapan fosfor tanah ultisol dan
hasil jagung. Dari hasil penelitiannya terdapat pengaruh tunggal dan interaksi
dari pemberian mikrobia pelarut fosfat dan mikoriza terhadap serapan P dan hasil
jagung. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan mikrobia pelarut fosfat 15 ml
tanaman-1 dan mikoriza 20 g tanaman-1 terhadap serapan P dan hasil jagung masing-
masing sebesar 0,3881 ppm dan 280,15 g tanaman-1.

Noor (2003) meneliti tentang pengaruh fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut
fosfat dengan pupuk kandang terhadap P tersedia dan pertumbuhan kedelai pada
ultisol. Dari hasil penelitiannya di dapat bahwa fosfat alam dan kombinasi bakteri
pelarut fosfat dengan pupuk kandang mampu meningkatkan P tersedia tanah , jumlah
dan bobot kering bintil akar dan bobot kering tanaman kedelai. Pemberian bakteri
pelarut fosfat dan pupuk kandang secara sendiri-sendiri maupun kombinasinya
meningkatkan P tersedia berturut-turut 26%, 34% dan 48% dibandingkan dengan
kontrol. Kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang meningkatkan bobot
kering tanaman kedelai 29% dibandingkan kontrol.

Widawati dan Suliasih (2005) meneliti tentang Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat
(BPF) Potensial sebagai Pemacu Pertumbuhan Caysin (Brasica caventis Oed.) di Tanah
Marginal dengan pH rendah. Dari hasil penelitiannya didapat bahwa Empat isolat BPF
jenis Bacillus pantotheticus, Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum dan B.
Megaterium sebagai inokulan padat, mampu memacu pertumbuhan tanaman caysin.
Inokulan yang berisi 4 isolat BPF jenis Bacillus pantotheticus, Klebsiella
aerogenes, Chromobacterium lividum, dan B. megaterium merupakan inokulan terbaik
sebagai biofertilizer dan menghasilkan berat daun segar 1 tanaman terbesar dari 4
tanaman perpot (g), berat daun segar 4 tanaman per pot, dan berat tanaman segar
seluruh tanaman per pot (daun + batang + akar) sebesar 139,22 g, 575,48 g, dan
606,42 g atau ada kenaikan 877,67%; 903,63%; 930,63 dari tanaman kontrol 3/R =
tanaman tanpa pupuk/inokulan; 354,67%; 208,30%; 217,23% dari tanaman kontrol 2/Q =
tanaman dengan pupuk kompos; dan 61,81%; 203,75%; 207,84% dari tanaman kontrol 1/P
= tanaman dipupuk kimia. Ada kenaikan pada tanaman segar seluruh tanaman per pot
(daun + batang + akar) sebesar 32,87% dari tanaman yang diinokulasi dengan isolat
BPF tunggal maupun campuran 2-3 isolat BPF.

Penelitian Sudirja et al (2006) menunjukkan bahwa respon pemberian kompos kulit


buah kakao, kascing, dan pupuk kandang ayam berpengaruh terhadap pH tanah. Semakin
besar dosis perlakuan pupuk organik yang diberikan, maka pH tanah pun semakin
meningkat. Sejalan dengan pemikiran Sufiadi (1999), pemberian bahan organik dengan
dosis yang meningkat akan meningkatkan pelepasan kation ke dalam larutan tanah,
sehingga cukup untuk meningkatkan pH dan akibatnya muatan permukaan negatif
menjadi lebih besar.
IV. Pengelolaan Kesuburan Tanah Mineral

4.1. Pemakaian Pupuk Organik dan Anorganik

Sumber pupuk organik dapat berasal dari kotoran hewan, bahan tanaman dan limbah,
misalnya ; pupuk kandang, hijauan tanaman rerumputan, semak ,perdu dan pohon,
limbah pertanaman dan limbah agroindustri. Tanah yang dibenahi dengan pupuk
organik mempunyai struktur yang baik dan sifat menahan air yang lebih besar dari
pada tanah yang kandungan bahan orgaiknya rendah.

Pada umumnya pupuk organik mengandung hara makro yang rendah, tetapi mengandung
hara mikro yang cukup sangat diperlukan oleh tanaman, sebagai bahan pembenah tanah
pupuk organik dapat mencegah erosi, mencegah pengerakan permukaan tanah
(crusting)dan retakan tanah, mempertahankan kelengasan tanah .

Karekteristik umum yang dimiliki oleh pupuk organik adalah :


1. Kandungan hara rendah. Kandungan hara pupuk organik pada umumnya rendah tetapi
bervariasi tergantung jenis bahan dasarnya.
2. Ketersediaan unsur hara lambat. Hara yang berasal dari bahan organik diperlukan
untuk kegiatan mikrobia tanah untuk dirubah dari bentuk organik komplek yang tidak
dapat dimanfaatkan tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik yang
sederhana yang dapat diabsorpsi oleh tanaman.
3. Penggunaan pupuk organik sebaiknya harus diikuti dengan pupuk anorganik yang
lebih cepat tersedia untuk menutupi kekurangan hara dari pupuk organik .

Pupuk kandang merupakan hasil samping yang cukup penting dari budidaya hewan
peliharaan baik unggas maupun non unggas, terdiri dari kotoran padat dan cair dari
hewan ternak yang bercampur sisa makanan, dapat menambah unsur hara dalam tanah .
Pemberian pupuk kandang selain dapat menambah tersedianya unsur hara, juga dapat
memperbaiki sifat fisik tanah. Beberapa sifat fisik tanah yang dapat dipengaruhi
pupuk kandang antara lain kemantapan agregat, bobot volume, total ruang pori,
plastisitas dan daya pegang air.

Kandungan unsur hara pupuk kandang akan berbeda dengan berbedanya jenis dan wujud
bahan pupuk kandang .

Pemupukan yang dianjurkan pada budidaya tanaman jagung , untuk pupuk organic
( pupuk kandang / kompos ) 20 ton / ha. Sedangkan untuk pupuk an organik : Urea
300 kg / ha, TSP 100 kg / ha, KCI 50 kg / ha. Pupuk dasar diberikan sebelum tanam
atau bersamaan tanam sejumlah 20 ton / ha pupuk organic, 100 kg / ha Urea, 100 kg
TSP, dan 50 kg / ha KCl dengan membuat larikan atau ditugalkan kemudian ditutup
kembali dengan tanah dengan jarak 10 cm dari garis tanam / lubang tanam. Pupuk
susulan diberikan 3 minggu setelah tanam berupa Urea 100 kg / ha, diteruskan pupuk
susulan kedua pada tanaman berumur 5 minggu sejumlah 100 kg Urea / ha (Dinas
Pertanian Jember,2007).
Hasil penelitian Mayadewi (2007) pupuk kandang ayam meningkatkan pertumbuhan hasil
tanaman jagung manis sebesar 47,03% bila dokombinasikan dengan jarak tanam 50 x 40
cm.

Barus (2005) menjelaskan bahwa efisiensi penggunan pupuk dapat ditingkatkan dengan
melakukan serangkaian uji tanah untuk suatu sistem hara-tanah-tanaman. Pada
dasarnya tahapan kegiatan uji tanah meliputi ; (1) Pengambilan contoh tanah yang
mewakili lokasi berdasarkan hasil survey terdahulu, (2) Analisa kimia tanah di
laboratorium dengan metode yang tepat dan teruji, (3) Interpretasi hasil analisis
dan (4) Rekomendasi pemupukan.
Hasil penelitian Hasanudin et al (2007) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang
pada berbagai dosis mampu menurunkan Al-dd sekaligus meningkatkan pH tanah
walaupun peningkatan pH tanah tidak sedrastis penurunan Al-dd. Peningkatan pH
diikuti dengan peningkatan P tersedia tanah .

Pemberian bahan organik pada tanah masam dapat meningkatkan serapan P dan hasil
tanaman jagung karena setelah bahan organik terdecomposisi akan menghasilkan
beberapa unsur hara seperti N, P dan K serta menghasilkan asam humat dan fulvat
yang memegang peranan penting dalam pengikatan Fe dan Al yang larut dalam tanah
sehingga ketersediaan P akan meningkat (Hasanudin, 2003).

Seperti halnya pupuk organik, pemakaian pupuk anorganik hanya diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan minimum hara tertentu seperti N, P, dan K, sehingga diberkan
pada takaran yang rendah. Pupuk N (urea) untuk tanaman legum diperlukan sebagi
stater sehingga diberikan pada saat tanam dengan takaran 15-20 kg/ha, sedangkan
untuk tanaman nonlegum takarannya lebih tinggi. Pemakaian pupuk P (P-alam) minimal
60 kg P/ha untuk dua musim tanam, demikian pula pupuk KCl dengan takaran 60-90
kg/ha. Takaran pupuk anorganik secara tepat perlu diteliti lebih lanjut.
Pengapuran mungkin diperlukan, tetapi hanya sebatas memenuhi kebutuhan tanaman,
bukan untuk meningkatkan pHtanah maupun mengurangi kadar Al tanah.

Pemupukan P juga memegang peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan


produksi tanaman. Fosfor berperan pada berbagai aktivitas metabolisme tanaman dan
merupakan komponen klorofil. Sebagian besar hara P dari pupuk P yang diberikan
difiksasi di dalam tanah sehingga hanya 10-20% pupuk P yang diberikan diserap
tanaman. Oleh sebab itu pemberian yang etrus menerus dalam jumlah berlebih akan
terakumulasi dalam tanah dan dapat merubah status P tanah dari rendah ke tinggi
sehingga tanaman tidak lagi tanggap terhadap pemupukan P (Barus, 2005).

Pemberian pupuk P yaitu pupuk SP36 dan pupuk Rock fosfat mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman jagung terlihat darai parameter tinggi tanaman 10 dan 17 hari
setelah tanam serta kadar P trubus (Arimurti et al , 2006).

4.2. Pengapuran

Salah satu kegiatan reklamasi lahan untuk memperbaiki atau memulihkan kembali
tanah –tanah yang tidak subur agar secara optimal dapat mendukung pertumbuhan
tanaman adalah dengan penambahan amelioran seperti pemberian kapur pertanian.
Secara tidak langsung kapur dapat mengurangi keracunan Al, meningkatkan
ketersediaan P, meningkatkan pH tanah dan secara langsung kapur dapat meningkatkan
ketersediaan hara Ca.

Pengapuran ditekankan kepada penggunaan kapur biasa CaCO3 , seterusnya tanah masih
perlu terus dipupuk. Pengapuran hendaknya dipandang hanya untuk menetralisasikan
tanah secara cepat dan seterusnya jangan tergantung lagi pada banyaknya kapur,
walaupun kualitas lahan cepat menurun kembali. Kapur dapat menetralisir Al melalui
ion OH- membentuk Al(OH)3 tidak aktif yang dihasilkan dari pelepasan CO32- yang
selanjutnya Al menjadi tidak larut dan Al-dd semakin berkurang (Hasanudin et al,
2007). Selanjutnya dijelaskan juga bahwa untuk meningkatkan pH tanah dari 4,6
menjadi 5,8 diperlukan dosis kapur 2x Al-dd.

Kapur berfungsi memantapkan stabilitas tanah, tetapi daya kerjanya lebih cepat
dari pada kerja bahan organik. Kelemahannya adalah bila tanah berkualitas rendah,
yang ditandai dengan tingkat kesuburan rendah, maka dengan pengapuran saja hanya
memungkinkan pertumbuhan tanaman yang normal. Sebaliknya penggunaan bahan organik
tanpa didahului dengan pengapuran menghasilkan pemantapan stabilitas tanah secara
lambat, tetapi dampak positifnya berlangsung jangka panjang. Oleh karena itu
pengapuran pada tanah masam sebaiknya diikuti dengan pemberian pupuk organik agar
stabilitas tanah terjaga dan pertumbuhan serta produksi tanaman akan terjamin
(Kuswandi,1993).

4.3. Pupuk Hayati Penyedia Hara Tanaman

Mikrobia tanah yang menguntungkan dapat dikategorikan sebagai biofertilizer atau


pupuk hayati. Menurut Yuwono (2006) secara garis besar fungsi menguntungkan
tersebut dapat dibagi menjadi beberapa :
1. Penyedia hara
2. Peningkat ketersediaan hara
3. Pengontrol organisme pengganggu tanaman
4. Pengurai bahan organik dan pembentuk humus
5. Pemantap agregat tanah
6. Perombak persenyawaan agrokimia

Beberapa mikroorganisme tanah seperti Rhizobium, Azospirillum dan Azootobacter,


Mikoriza, Bakteri pelarut fosfat, bila dimanfaatkan secara tepat dalam system
pertanian akan membawa pengaruh yang positif baik bagi ketersediaan hara yang
dibutuhkan tanaman, lingkungan edapik, maupun upaya pengendalian beberapa jenis
penyakit. Sehingga akan dapat diperoleh pertumbuhan dan produksi tanaman yang
optimal dan hasil panen yang lebih sehat. Mikroorganisme tersebut sering disebut
sebagai biofertilizer atau pupuk hayati (Sutanto, 2002).

Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri pelarut fospat dapat
meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah dan dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan pupuk P serta dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.
Penggunaan pupuk hayati berupa inokulan bakteri fospat dengan tanpa pemberian
pupuk TSP dapat meningkatkan hasil jagung yang setara dengan pemberian TSP
(Prihartini, 2003).

Hasil penelitian Arimurti et al (2006) pada perlakuan bakteri pelarut fosfat (BPF)
mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung pada tanah masam, yang tampak pada
parameter tinggi tanaman 10 dan 45 HST, berat basah trubus, berat kering trubus,
berat basah akar, berat kering akar, luas daun serta kadar P trubus. Pemberian BPF
P. putida sama baiknya dengan P. Aeruginosa atau gabungan keduanya dalam
meningkatkan tinggi tanaman 10 dan 45 HST. Untuk meningkatkan berat basah, berat
kering trubus dan akar paling baik menggunakan P. putida.

Asosiasi simbiotik anatara jamur dan sistem perakaran tanaman tinggi diistilahkan
dengan mikoriza. Dalam fenomena ini jamur menginfeksi dan mengkoloni akar tanpa
menimbulkan nekrosis sebagaimana biasa terjadi pada infeksi jamur patogen, dan
mendapat pasokan nutrisi secara teratur dari tanaman. Asosiasi ini akan dapat
meningkatan ketersediaan hara P dan lainnya serta meningkatkan serapannya. MVA
membantu pertumbuhan tanaman dengan memperbaiki ketersediaan hara fosfor dan
melindungi perakaran dari serangan patogen (Hadiyanto dan Hairiyah, 2007).

Hasil penelitian Hasanudin dan Gonggo (2004) menjelaskan pemberian inokulasi


mikrobia pelarut fosfat 15 ml tanaman-1 dan inokulasi mikoriza 20 g tanaman-1
dapat meningkatkan serapan P dan hasil jagung.

Rhizobium yang berasosiasi dengan tanaman legum mampu menfiksasi 100-300 Kg N/Ha
dalam satu musim tanam dan meninggalkan sejumlah N untuk tanaman berikutnya.
Permasalahan yang perlu diperhatikan adalah efisiesnsi inokulan Rhizobium untuk
tanaman tertentu. Rhizobium mampu mencukupi 80% kebutuhan nitrogen tanaman legum
dan meningkatkan produksi antara 10-25%. Tanggapan tanaman sangat bervariasi
tergantung pada kondisi tanah dan efektifitas populasi asli (Sutanto, 2002).
Kenaikan hasil tanaman setelah diinokulasi Azotobacter terjadi pada tanaman
jagung, cantel, padi, bawang putih, tomat, terong dan kubis. Apabila Azotobacter
dan Azospirillum diinokulasi secara bersama-sama, maka Azospirillum lebih efektif
dalam meningkatkan hasil tanaman. Azospirillum menyebabkan kenaikan hasil cukup
besar pada tanaman jagung, gandum dan cantel (Sutanto, 2002).

Selanjutnya dijelaskan juga oleh Tim Peneliti Pengembangan Sumberdaya Lahan


Pertanian (2008) bahwa pemakaian pupuk hayati pada lahan kering masam sebaiknya
yang telah terbukti dapat menjalankan fungsi ekologis, merupakan mikroba hasil
seleksi yang benar-benar unggul dalam membantu pertumbuhan tanaman.

Pupuk hayati meliputi bakteri penambat N, mikroba pelarut fosfat, dan cendawan
mikoriza arbuskula. Bakteri penambat N2. Bakteri ini mencakup bakteri yang
membentuk bintil akar, bersimbiose dengan tanaman legum, dan bakteri penambat N
yang hidup bebas di dalam tanah. Oleh karena itu, budi daya tanaman legum (kacang-
kacangan) dapat menggunakan Rhizobium spp. Namun, perlu diperhatikan bahwa
hubungan antara tanaman legum dan Rhizobium bersifat sangat spesifik, artinya satu
spesies Rhizobium hanya dapat bersimbiose dengan spesies legum tertentu. Oleh
karena itu, penggunaan Rhizobium sp. harus disesuaikan dengan spesies legum yang
akan dibudidayakan. Bakteri penambat N yang hidup bebas seperti Azotobacter,
Azospirillum, dan Beijerinckia dapat digunakan pada tanaman dari famili Gramineae
(rumput-rumputan) seperti padi, jagung, dan sorgum.

Mikroba pelarut fosfat. Telah banyak dihasilkan pupuk hayati yang mengandung
mikroba pelarut fosfat. Mikroba ini ada yang hidup bebas di dalam tanah atau hidup
di daerah perakaran (rhizobakteri). Mikroba tersebut dapat menghasilkan senyawa
organik yang dapat melarutkan P-tanah, sehingga ketersediaan P bagi tanaman
meningkat dan mengurangi takaran penggunaan pupuk P.

Cendawan mikoriza arbuskula (CMA). CMA merupakan suatu bentuk asosiasi cendawan
dengan akar tanaman tingkat tinggi. Kemampuan asosiasi tanaman- CMA ini
memungkinkan tanaman memperoleh hara dan air yang cukup pada kondisi lingkungan
yang miskin unsur hara dan kering, perlindungan terhadap patogen tanah maupun
unsur beracun, dan secara tidak langsung melalui perbaikan struktur tanah.

Hal ini dimungkinkan karena CMA mempunyai kemampuan menyerap hara dan air lebih
tinggi dibanding akar tanaman. Keunggulan kemampuan CMA dalam pengambilan hara,
terutama hara yang bersifat tidak mobil seperti P, Zn, dan Cu, disebabkan CMA
memiliki struktur hifa yang mampu menjelajah daerah di antara partikel tanah,
melampaui jarak yang dapat dicapai akar (rambut akar), kecepatan translokasi hara
enam kali kecepatan rambut akar, dan nilai ambang batas konsentrasi hara yang
dapat diserap CMA lebih rendah (setengah ambang batas konsentrasi hara yang dapat
diserap akar). CMA secara tidak langsung juga dapat meningkatkan ketersediaan P-
tanah melalui produksi enzim fosfatase oleh akartanaman. CMA juga berperan dalam
membantu pemenuhan kebutuhan air pada saat kekeringan karena bertambahnya luas
permukaan penyerapan air oleh hifa eksternal.

Satu spesies CMA dapat berasosiasi dengan berbagai tanaman sehingga satu macam CMA
dapat digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Pada saat ini telah dihasilkan
berbagai inokulan CMA,umumnya dari spesies Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora.

4.4. Teknik Pengelolaan Tanah

Apabila dihadapkan pada kondisi tanah masam, ketersediaan hara rendah, bahan
organik tanah rendah, dan tanah memiliki slope tertentu serta berada pada daerah
dengan intensitas hujan tinggi, maka secara teknik pengolahan tanah yang dilakukan
harus berprinsip peningkatan kesuburan tanah dan adanya pelaksanaan konservasi
tanah dan air.

Pada prinsipnya untuk meningkatkan atau mempertahankan kemampuan tanah dapat


dilakukan teknik pengelolaan tanah secara mekanik dan vegetatif. Secara mekanik
pembuatan teras misalnya teras gulud, teras bangku atau teras individu dan
pembuatan saluran drainase. Sedangkan secara vegetatif adalah penerapan pola tanam
yang menutup permukaan tanah sepanjang tahun baik dengan hijauan maupun vegetasi
misalnya dengan pergiliran tanaman , tumpang sari atau penanaman budidaya lorong.

Konservasi tanah secara mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan
bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi dan
meningkatkan kemampuan tanah mendukung usahatani secara berkelanjutan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan teras gulud (Gambar 8)
menurut Sinukaban (1994):
(1) Teras gulud cocok diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10-40%.
(2) Pada tanah yang permeabilitasnya tinggi, guludan dapat dibuat menurut arah
kontur. Pada tanah yang permeabilitasnya rendah, guludan dibuat miring terhadap
kontur, tidak lebih dari 1% ke arah saluran pembuangan. Hal ini ditujukan agar air
yang tidak segera terinfiltrasi ke dalam tanah dapat tersalurkan ke luar ladang
dengan kecepatan rendah.

Teras bangku atau teras tangga dibuat dengan cara memotong panjang lereng dan
meratakan tanah di bagian bawahnya, sehingga terjadi deretan bangunan yang
berbentuk seperti tangga. Pada usahatani lahan kering, fungsi utama teras bangku
adalah: (1) memperlambat aliran permukaan; (2) menampung dan menyalurkan aliran
permukaan dengan kekuatan yang tidak sampai merusak; (3) meningkatkan laju
infiltrasi; dan (4) mempermudah pengolahan tanah.
Teras bangku dapat dibuat datar (bidang olah datar, membentuk sudut 0o dengan
bidang horizontal), miring ke dalam/goler kampak (bidang olah miring beberapa
derajat ke arah yang berlawanan dengan lereng asli), dan miring keluar (bidang
olah miring ke arah lereng asli). Teras biasanya dibangun di ekosistem lahan sawah
tadah hujan, lahan tegalan, dan berbagai sistem wanatani.

Teras individu adalah teras yang dibuat pada setiap individu tanaman, terutama
tanaman tahunan. Jenis teras ini biasa dibangun di areal perkebunan atau
pertanaman buah-buahan.

Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah


dan air karena memiliki sifat : (1) memelihara kestabilan struktur tanah melalui
sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, (2) penutupan lahan oleh
seresah dan tajuk mengurangi evaporasi, (3) disamping itu dapat meningkatkan
aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga
memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi (Rahim, 2006).

Pergiliran tanaman atau tanam berurutan adalah sistem bercocok tanam dengan
menanam dua atau lebih jenis tanaman pada sebidang tanah selama satu tahun;
tanaman musim kedua ditanam sebelum panen tanaman musim pertama. Contohnya adalah
tumpang gilir antara tanaman jagung yang ditanam pada awal musim hujan dan kacang
tanah yang ditanam beberapa minggu sebelum panen jagung. Sistem ini bertujuan
untuk meningkatkan intensitas penggunaan lahan dan menjaga agar permukaan tanah
selalu tertutup tanaman. Selain itu, sistem ini juga dimaksudkan untuk mempercepat
penanaman tanaman pada musim kedua, sehingga masih mendapatkan air hujan dengan
jumlah yang cukup untuk pertumbuhan dan produksinya.

Tanam bersisipan atau tumpang sari adalah sistem penanaman lebih dari satu macam
tanaman pada lahan yang sama secara simultan, dengan umur tanaman yang relatif
sama dan diatur dalam barisan atau kumpulan barisan secara berselang-seling
seperi: padi gogo + jagung - jagung + kacang tanah. Pada musim pertama di awal
musim hujan, padi gogo ditanam secara tumpang sari dengan jagung.

Menambah tanaman penguat teras,tanaman yang memenuhi syarat sebagai penguat teras
adalah:
a. Mempunyai sistem perakaran intensif, sehingga mampu mengikat air.
b. Tahan pangkas sehingga tidak menaungi tanaman utama.
c. Bermanfaat dalam menyuburkan tanah maupun sebagai penghasil makanan ternak.
Tanaman penguat teras yang dianjurkan ditanam antara lain lamtorogung, gamal,
akasia, kaliandra, rumput gajah dan rumput benggala.

Salah satu cara untuk memperbaiki struktur tanah, mempertinggi kemampuan tanah
dalam menyerap air yaitu dengan menggunakan pupuk organik berupa pupuk hijau atau
pupuk kandang serta penggunaan sisa-sisa tanaman yang diletakkan di atas tanah
sebagai serasah (mulsa) sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah. Dengan
cara ini penguapan air tanah dapat diperkecil sehingga air tanah tetap tersedia
bagi tumbuhnya tanaman.

Teknologi yang diintroduksikan ke lahan kering masam DAS bagian hulu haruslah
teknologi yang mampu mengendalikan erosi, mudah dilaksanakan, murah dan dapat
diterima oleh petani. Salah satu teknologi yang tersedia adalah sistem pertanaman
lorong atau Alley cropping.

Anonimous (2009) menjelaskan bahwa alley cropping merupakan salah satu sistem
agroforestry yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan diantara lorong-
lorong yang dibentuk oleh pagar tanaman pohonan atau semak (Kang et al., 1984).
Tanaman pagar dipangkas secara periodik selama pertanaman untuk menghindari
naungan dan mengurangi kompetisi hara dengan tanaman pangan/semusim. Leucaena
leucocephala yang pertama diuji dalam sistem Alley cropping ini dan menyusul
kemudian Glinsidia sepium.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ini sangat efektif


mengendalikan erosi. Di Filipina, Alley cropping dapat menurunkan erosi sebanyak
69%, yang terdiri atas 48% disebabkan oleh pengaruh penutupan tanah oleh mulsa, 8%
disebabkan oleh perubahan profil tanah dan 4% oleh penanaman secara kontour .Di
Indonesia sistem ini sudah diyakini efektif mengendalikan erosi (Sukmana and
Suwardjo, 1991) dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman serta dapat
diadopsi oleh petani di lahan kering. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan
telah menunjukkan bahwa Alley cropping sangat efektif dalam mengendalikan erosi.

Efektivitas pengendalian erosi tersebut sangat tergantung kepada jenis tanaman


pagar yang digunakan, jarak antara tanaman pagar dan pada saat awal, kemiringan
lahan. Efektivitas pengendalian erosi dapat mencapai >95% dibanding apabila tidak
menggunakan Alley cropping.

Alegre dan Rao (1995) menunjukkan bahwa Alley cropping menahan kehilangan tanah
93% dan air 83% dibandingkan dengan pertanaman tunggal semusin. Efektivitas
pengendalian erosi ini selain karena hal yang telah disebutkan diatas juga karena
terbentuknya teras secara alami dan perlahan-lahan setinggi 25-30 cm pada dasar
tanaman pagar. Rendahnya erosi disebabkan oleh hasil pangkasan yang sukar melapuk
yang berfungsi sebagai mulsa, sehingga tanah terlindung dari air hujan dan
pemadatan tanah karena ulah pekerja selama operasi di lapangan. Barisan tanaman
pagar menurunkan kecepatan aliran permukaan sehingga memberikan kesempatan pada
air untuk berinfiltrasi. Selanjutnya tanaman pagar menyebabkan air tanah selalu
berkurang untuk kebutuhan pertumbuhannya selama musim kemarau sehingga sistem ini
menyerap lebih banyak air hujan ke dalam tanah dan akhirnya menurunkan erosi.
Selain efektif mengendalikan erosi, Alley cropping juga ternyata dapat
meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Sistem ini dapat memperbaiki sifat
fisik tanah yaitu menurunkan BD (bulk density) dan meningkatkan konduktivitas
hidraulik tanah.

Hasil penelitian Agas et al. (1997) tentang sifat-sifat tanah dan air di bawah
Alley cropping pada tanah oxilos miring menunjukkan bahwa pada umumnya sifat-sifat
tanah tidak dipengaruhi oleh jenis legum/taman pagar, tetapi dipengaruhi oleh
posisi dalam lorong. Lebih dekat pada barisan tanaman pagar, mempengaruhi
distribusi air. Air tersedia pada kedalaman 10-15 cm adalah 0,16 ; 0,13 dan 0,08
m3 masing-masing pada bagin bawah, tengah dan atas dari lorong. Transmisivitas air
menurun dari 0,49 mm/detik pada bagian bawah menjadi 0,12 mm/detik pada bagian
atas dari lorong. Kandungan air tanah dan tekanan air tanah menurun pada bagian
lorong yang dekat pada tanaman pagar. Hal ini akan menyebabkan kompetisi air
antara tanaman pagar dengan tanaman pangan pada lorong.

Selain perbaikan sifat fisik tanah, penelitian-penelitian terdahulu juga


memperlihatkan bahwa Alley cropping dapat meningkatkan unsur hara di dalam
tanah .Contoh kondisi pertanaman alley cropping.
V. Kesimpulan

1. Tanah mineral masam yang terdapat pada iklim tropik adalah jenis tanah ultisol,
oxisols dan spodosol serta inseptisol . Karekteristik tanah mineral masam adalah
pH rendah , bahan organik rendah dan kahat unsur hara makro maupun mikro serta
tingginya kandungan Al dan Fe.

2. Pengelolaan tanah-tanah mineral masam untuk kepentingan pertanian menghadapi


kendala pH yang rendah, keracunan Al, Mn, dan/atau Fe, serta kekahatan unsur-unsur
hara penting seperti N, P, Ca, dan atau Mg dan Mo

3. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi tanah masam guna mendukung
pertumbuhan dan produksi tanaman adalah pemberian pupuk organik dan anorganik,
pengapuran, pemberian pupuk hayati dan pengelolaan tanah yang berazas peningkatan
kesuburan tanah dan melakukan tindakan konservasi tanah dan air .

You might also like