Professional Documents
Culture Documents
Untuk negeriku...
Hancur lebir tulang belulangku
Berlumur darah sekujur tubuh
Bermandi keringat penyejuk hati
Kurela demi tanah air negeriku
Sangsaka merah berani
Putih suci
Melambai-lambai ditiup angin
Air mata bercucuran, menganjungkan doa
untuk pahlawan negeri
Berpijak berdebu pasir
Berderai kasih hanya untuk pahlawan jagad raya
Hanya jasamu bisa kulihat
Hanya jasamu bisa kukenang
Tubuhmu hancur hilang entah kemana
Demi darahmu ....
Demi tulangmu ..
Aku perjuangkan negeriku ini, Indonesia.
demi negeri
kau korbankan waktumu
demi bangsa
rela kau taruhkan nyawamu
maut menghadang didepan
kau bilang itu hiburan
hari-harimu diwarnai
pembunuhan, pembantaian
dihiasi bunga-bunga api
mengalir sungai darah disekitarmu
bahkan tak jarang mata air darah itu
muncul dari tubuhmu
namun tak dapat
runtuhkan tebing semangat juangmu
1
pakain dengan seribu wangi
basah dibadan kering dibadan
kini menghantarkan indonesia
kedalam istana kemerdekaan
-- Grathia Pitaloka
TEMA perjuangan tak lagi jadi perhatian penting para penyair. Pemaknaan kepahlawanan mungkin
sudah bergeser.
Pekan lalu negeri ini baru saja merayakan ulang tahun kemerdekaannya, setengah abad lebih umurnya.
Hampir semua pelosok negeri sibuk bersolek, bagai gadis perawan yang asyik menabur pupur putih dan
gincu merah.
2
Gegap gempita kemeriahan pesta kemerdekaan dinikmati seorang kakek tua dari kotak televisi. Melihat
gambar di kotak yang usianya tak kalah renta dengan dirinya, bulir bening mengalir di pipi si kakek.
Benaknya kembali membayangkan perjuangan puluhan tahun silam mengusir penjajah dari bumi
pertiwi.
Kakek tua itu bukan pahlawan nasional yang namanya wajib dihapal oleh murid sekolah dasar. Ia hanya
sosok tak dikenal, namun kontribusinya terhadap negeri ini jelas tak boleh dinafikan begitu saja.
Di sudut lain negeri, Guruh Mahardika, seorang siswa kelas dua sekolah menengah pertama di Bandung
menulis puisi berjudul Pak Harto Tercinta. Meskipun media massa baik cetak maupun elektronik
menyebut penguasa Orde Baru itu sebagai koruptor, tetapi di mata bocah berusia 14 tahun ini Soeharto
tetaplah seorang pahlawan. "Walaupun korupsi, sisi baiknya lebih banyak," kata Guruh polos.
Siapa sesungguhnya sosok yang pantas disebut pahlawan? Apakah hanya Bung Karno, Bung Hatta atau
Sjahrir yang namanya selalu dielu-elukan setiap bulan Agustus tiba? Bagaimana dengan mayat tanpa
nama dalam pertempuran antara Karawang-Bekasi?
Thomas Carlyle dalam bukunya Helden en Helden Vereeing, meletakkan konteks pahlawan sebagai
sumber dari segala perubahan. Pahlawan merupakan manusia besar yang mengubah sejarah umat
manusia, sosok yang menggoreskan tinta dalam lembar peradaban dunia.
Bila mengikuti pengertian Carlyle maka gambaran sosok pahlawan dapat diwakili puisi-puisi Chairil
Anwar, salah satunya yang berjudul Diponegoro:
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
3
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Meski dicipta lebih dari setengah abad lalu, namun puisi yang berjudul Diponegoro masih tetap
memikat. Nilai serta semangat yang ingin dikobarkan masih terlihat jelas bagi siapa saja yang
membacanya. "Diponegoro memiliki pilihan kata yang unik, salah satu hal yang menjadi ciri khas puisi-
puisi Chairil," kata Pengajar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia Ibnu Wahyudi, ketika
dihubungi Jurnal Nasional, Selasa (19/8).
Namun penyair yang dijuluki sebagai binatang jalang itu tak hanya menoreh kan nama-nama besar
seperti Soekarno, Mohammad Hatta atau Diponegoro dalam larik puisinya. Tak lupa ia juga
mengingatkan kita pada mayat-mayat tanpa nama yang gugur pada pertempuran Karawang-Bekasi.
"Pemilihan kata seringkali dianggap sebagai representasi sang penyair," ujar Ibnu.
4
Karawang-Bekasi
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
5
Sementara Chairil secara eksplisit menyebut nama dalam puisinya, Toto Sudarto Bachtiar memilih
bercerita tentang seorang pahlawan tanpa nama. Wajah muda yang tersenyum beku, dengan lubang
peluru bundar di dada.
Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri mengatakan, sosok pahlawan dalam karya sastra biasanya
digambarkan sebagai sosok yang luar biasa. ''Hal itu lumrah dilakukan, sejauh tidak melahirkan kultus
individu dan menyesatkan pembacanya,'' kata penyair yang terkenal dengan puisi mantranya.
Menurut Sutardji, siapa pun berhak dikatakan sebagai pahlawan asalkan bisa menunjukkan keterlibatan
dalam suka duka kehidupan bangsanya. ''Jangan ketika bangsa ini terpuruk orang itu kabur ke luar
negeri dan ketika keadaan sudah makmur baru datang lagi,'' ujar lelaki yang baru saja menerima
Achmad Bakrie Award ini.
Perjalanan sejarah Indonesia bisa dikatakan selaras dengan perkembangan sejarah sastranya. Banyak
karya sastra entah dalam bentuk puisi, cerita pendek maupu novel lahir sebagai penanda zaman.
Tak dipungkiri sastra sejak lama telah dipercaya sebagai salah satu media yang mumpuni untuk
mengobarkan semangat massa. Maka tak heran dalam perjalanannya, perkembangan sastra selalu
dihubungkan dengan keadaan sosial politik suatu negara.
Budayawan Ajip Rosidi mengatakan, kesadaran kebangsaan merupakan pembeda antara kesusastraan
Melayu dengan kesusastraan Indonesia. Kesadaran kebangsaan merupakan persoalan politis sehingga
dari sana dapat ditarik benang merah mengapa persoalan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari
persoalan politik.
Senada dengan pendapat di atas, A Teeuw mengatakan bahwa suatu ciri khusus perkembangan
kesusastraan itu sebagian sejalan dengan gerakan nasionalis. Menurut dia, bahasa sangat efektif dalam
pergerakan nasionalis, maka sastra sebagai seni yang menggunakan media bahasa benar-benar memiliki
peran politis dan budaya yang amat besar.
Tak heran jika kemudian Hans Bague Jassin membagi angkatan sastrawan berdasarkan peristiwa sosial
politik yang terjadi di negeri ini. Di mulai dengan angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru sebelum
kemerdekaan, kemudian dilanjutkan dengan angkatan 45, 66, 70, 80, 90, dan seterusnya.
Ibnu kurang setuju dengan pembagian angkatan yang dibuat oleh Jassin. Menurutnya, sebuah angkatan
6
seharusnya memiliki perbedaan secara estesika dengan angkatan sebelumnya dan hal itu tidak terlihat
pada pembagian yang dilakukan Jassin.
Selain itu, penulis kumpulan puisi Masih Bersama Musim ini melihat, gejolak sosial politik yang
dijadikan dasar oleh Jassin untuk melakukan pembagian angkatan kurang relevan. Seharusnya
pembagian dalam sastra didasarkan pada nilai-nilai intrinsik sastra itu sendiri. "Contohnya seperti karya-
karya Taufik Ismail, apakah secara gaya bahasa menonjolkan keberadaan tahun-66? Saya rasa tidak,"
ujar Ibnu.
Pria yang sempat mengenyam pendidikan di Monash University, Melbourne, Australia ini memberikan
contoh pembagian angkatan sastra di Eropa, di mana perubahan baru terjadi setelah ratusan tahun.
"Jassin terlalu tergesa-gesa, angkatan tak mungkin tecipta hanya dalam jangka waktu dua puluh tahun,"
kata pria kelahiran Ampel, 24 Juni 1958 ini.
Rekan Ibnu sesama pengajar di FIB UI, Maman S Mahayana mengatakan, pembagian angkatan sastra
yang dilakukan Jassin tidak seluruhnya salah. Menurut Maman, kesalahan Jassin terletak pada angkatan
1966, di mana Jassin tak hanya memasukkan nama sastrawan yang turut serta pada pergerakan-66 tetapi
juga memasukkan sastrawan angkatan 50-an.
Berbeda dengan Ibnu, Maman menilai, peristiwa sosial politik relevan digunakan untuk membagi
angkatan dalam sastra. "Apakah gerakan sosial politik itu menghasilkan sebuah karya estetik yang
berkaitan dengan peristiwa tersebut," kata Maman.
Baik Ibnu maupun Maman sepakat bahwa Angkatan Pujangga Baru merupakan gerakan yang dapat
menunjukan sebuah dinamika perubahan secara signifikan. Di mata Ibnu, motor penggerak Angkatan
Pujangga Baru seperti Sutan Takdir Alisyabana, Armyn Pane dan Sanusi Pane berhasil memunculkan
pembaruan. "Mereka secara sadar membentuk sebuah mahzab," ujar Ibnu.
Setiap generasi tentu berbeda-beda dalam menterjemahkan makna kepahlawanan dalam karya sastra.
Seperti pada zaman setelah perang, puisi bukanlah Puspa Mega (Sanusi Pane) melainkan Deru Campur
Debu, bukan Gamelan Jiwa (Armijn Pane) melainkan Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus.
Ibnu mengatakan, perubahan pemahaman itu juga terjadi pada era reformasi. Saat ini puisi
kepahlawanan tak lagi bercerita mengenai perjuangan fisik, melainkan kritik sosial terhadap persoalan
di sekitarnya.
Menurut dia, puisi juga lebih sering mengangkat tokoh-tokoh tak dikenal, namun memiliki sumbangsih
terhadap bangsa. "Pahlawan tidak lagi bertolak pada sebuah peristiwa politik besar, melainkan cerita
sederhana yang terdapat pada kehidupan sehari-hari," kata Ibnu.
Ia memberikan contoh, petugas penjaga pintu kereta api yang tetap bekerja di saat hampir semua orang
libur di Hari Raya. "Sebenarnya penyair dapat mengangkat hal-hal kecil menjadi sesuatu yang menarik
seperti pada film Nagabonar Jadi 2," tutur pria yang sempat menjadi dosen tamu di Hankuk University
of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.
Perubahan tersebut tak bisa dilepaskan dari perdebatan panjang tentang siapa yang layak menyandang
gelar pahlawan. Apakah seseorang yang meninggal karena penindasan atau menjadi korban
ketidakadilan dapat serta merta disebut pahlawan?
Tak dapat dipungkiri, seiring berputarnya roda zaman, tema-tema kepahlawanan mulai ditinggalkan.
7
Mungkin masih ada satu dua puisi, tetapi jumlahnya sangat minim bila dibandingkan dengan puisi
bertema alam, religi atau cinta. "Mungkin tema tersebut tak lagi dianggap seksi, kita juga tak bisa
memaksa penyair kita untuk membuat puisi dengan tema kepahlawanan," kata Ibnu.
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
8
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
(1948)
Siasat,
Th III, No. 96
1949
9
MALAM
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957
KRAWANG-BEKASI
10
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957
11
DIPONEGORO
MAJU
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
12
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Maju
Serbu
Serang
Terjang
(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954
(1948)
Liberty,
Jilid 7, No 297,
1954
13
Thursday, April 03, 2003
Maret 1943
14
PENERIMAAN
Maret 1943
15
HAMPA
kepada sri
16
DOA
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Tuhanku
Tuhanku
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
SAJAK PUTIH
17
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
18
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
19
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
1946
MALAM DI PEGUNUNGAN
1947
20
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
1949
21
DERAI DERAI CEMARA
1949
AKU INGIN
March 19, 2009
Entah mengapa hari ini aku teringat, sajak yang pertama kali kulihat beberapa tahun lalu. Tepatnya saat
SMA, kelas satu. Menurutku ini puisi bertema cinta terbaik yang pernah aku temui hingga saat ini. Jika
puisi bertema perjuangan memiliki,
22
“aku”
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
maka aku ingin menyatakan bahwa “aku ingin” ialah puisi cinta terbaik. Coba, simaklah bait-baitnya,
kata per kata-nya,
23
“aku ingin”
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
24
(Sapardi Djoko Dharmono)
Kuat sekali, energi puisi ini sangat kuat. Tidak meletup-letup, tetapi gelombangnya sungguh
menghempas. Sesuatu yang menjadi kekuatan inti puisi ini, ialah kesederhanaan dan kelugasan.
Aku tidak bermaksud apa-apa dengan menulis catatan ini. Aku hanya ingin menikmatinya saja untuk
saat ini. Tapi jika suatu saat nanti puisi ini pun menemukan konteksnya, tentu akan sangat
membahagiakan.
25