You are on page 1of 5

APA ITU METAFISIKA?

(SEBUAH ULASAN ATAS TEKS KULIAH PERDANA HEIDEGGER


MENGENAI METAFISIKA)

1. Pengantar
Apa itu Metafisika? Demikianlah pertanyaan yang muncul dari sebuah pemahaman
tentang realitas konkret. Pertanyaan ini bukanlah sebuah pertanyaan baru di kalangan
para filsuf yang mencoba mempertanyakan keberadaan Ada. Berhadapan dengan
pertanyaan itu, para filsuf mencoba untuk menjelaskan apa itu Ada dengan aneka
pemahaman mereka mengenai Ada. Hal ini akan sangat nampak sekali dalam panorama
metafisika.1 Beberapa panorama Metafisika antara lain metafisika kosmologis (yang
langsung berkaitan dengan alam), metafisika unitis-univokal (yang berhubungan dengan
keunggulan karakter yang diproduksi penjelajahan akal dan tidak adanya ruang bagi
prinsip-prinsip keanekaragaman dan perubahan realitas), metafisika teologis (yang
berlanjut pada eksistensi Allah. Jadi tidak hanya berhenti pada penjelahan akal budi akan
pengertian yang menyeluruh mengenai ada), metafisika ontologis (yang menaruh
perhatian pada beberapa konsep fundamental mengenai yang-ada dengan segala karakter
yang mengikutinya), dan metafisika gnoseologis (penjelajahan realitas dari sudut pandang
Ilmu Pengetahuan).
Berdasarkan panorama di atas, dapatlah dikatakan bahwa usaha untuk mencari inti
dari realitas tidak dapat dihentikan apalagi dimatikan. Hal ini terbukti dengan semakin
berkembanganya bagian-bagian filsafat maka semakin Ada menampakan dirinya dari
ketersembunyiannya. Inilah yang mendorong filsuf eksistensialis asal Jerman Martin
Heidegger untuk mendekati Ada sedikit berbeda dengan para filsuf lainnya. Heidegger
mendekati Ada sebagai fenomen. Mengapa ia menggunakan fenomenologi untuk
merenungkan Ada? Bagaimana kaitan keduanya? Bagaimana ia memandang Ada?
2. Metafisika Heidegger
Fakta telah membuktikan bagaimana Heidegger melangkahkan alur pikirannya
mengenai Ada sedikit berbeda dengan para filsuf lainnya. Ia memiliki artikulasi yang lain
dalam penjelajahan metafisis.2 Hal ini terlihat dalam pelepasan pertanyaan apa itu
metafisika yang menggugah para filsuf lainnya untuk menguakkannya.3 Menggeledah
eksistensi manusia, demikianlah yang dilakukan oleh Heidegger dalam menjelaskan
Metafisika. Sebuah langkah baru yang mencoba mendekati Ada sebagai fenomen artinya
membiarkan Ada itu menampakkan diri.
Dalam teks kuliah perdananya, Heidegger menggunakan term unfolding artinya
membuka. Dapat dipahami mengapa term ini digunakan. ‘Membuka’ mengindikasikan
bahwa ada yang perlu disingkapkan. Dan sesuatu itu adalah Ada, sebab tidak seluruhnya
Ada menampakkan diri karena dalam penampakannya Ada menyembunyikan diri.
Heidegger mengatakan “Ada bisa terus terselubung sehingga dilupakan dan pertanyaan
tentangnya serta maknanya tak muncul.”4 Dalam melihat realitas ini, sebagai penanya
yang sedang menanyakan mengenai Ada, penanya harus bisa hadir dalam Ada. Maka,
penanya yang bisa menanyakan mengenai Ada, menurut Heidegger hanya bisa dilakukan

1
Prof. Dr. Armada Riyanto,CM, Diktat Metafisika, hlm. 23.
2
Ibid., hlm 26.
3
Bdk. Teks kuliah perdana Heidegger nomor 1 (satu).
4
F. Budi Hardiman,Heidegger dan Mistik Keseharian, Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2003, hlm. 28.

1
oleh Dasein. Inilah nama baru bagi manuisa. Heidegger tidak pernah menyebut manusia
dalam bukunya melainkan Dasein.
2.1 Dasein: Mengada yang Menampakkan Ada
Dalam filsafat Heidegger, Dasein muncul tatkala ia kembali memunculkan konsep
ada. Dasein ini dihadirkan sebagai “ Ada di sana” (ruang dan waktu). Pada point ini,
dasein berbeda dengan benda-benda material seperti yang ada di dunia. Misalnya: pohon,
rumah, kursi dan sejenisnya. Dasein terus terlibat dan melibatkan diri, berpengaruh dan
memengaruhi alam sekitarnya. Keberadaan Dasein dipahami sebagai yang lebih bersifat
mendunia, artinya ia memahami dirinya sebagai yang terkait dengan benda-benda lain.
Dengan konsep ini, dasein memiliki eksistensi yang menyejarah, meruang dan
mewaktu, tetapi ia bukan benda-benda yang ada di dalam ruang dan waktu itu.
Pernyataan ini meruntuhkan kepastian, absolutitas, universalitas, obyektivitas, yang
ditegaskan ratio. Artinya, kebenaran-kebenaran yang diusung oleh metafisika barat yang
mengusung ratio menjadi tidak berarti. Selain itu, subyek kebenaran satu-satunya dalam
dunia bukan manusia semata, mengingat dasein merupakan keberadaan yang saling
bergelut dan memengaruhi serta dipengaruhi dunianya.
Dasein merupakan manusia yang seutuhnya; memandang manusia dari segala aspek
yang menyeluruh yang membuat ia menjadi jelas. Dasein memahami manusia sebagai
“menjadi”. Dasein tidak bisa lepas dari konteks. Dalam Dasein, manusia yang otentik
dipahami dalam ruang dan waktu, tempat di mana ia berada. Manusia hanya bisa
dipahami dalam situasinya5.
2.2 Ketiadaan: Sesuatu yang Menentukan Ada-Dasein
Pergulatan metafisika Barat tak akan pernah lepas dari pencariannya akan Ada. Ada
menjadi penekanan yang terus-menerus, sehingga Ada menjadi pusat pembahasaan dalam
metafisika. Namun pernyataan ini menjadi “musuh” yang dilawan Heidegger.dengan
upaya reflektifnya, Heidegger mau meyakinkan bahwa pergulatan metafisika yang
sesungguhnya adalah pencarian akan ketiadaan. Yang menjadi pertanyaan bagi kita
apakah yang dimaksud dengan ketiadaan dalam konsep metafisika Heidegger? Dan
bagaimana ketiadaan muncul dalam Metafisikanya?
Selama ini, ketiadaan dimengerti sebagai negasi total dari apa yang ada.
Konsekuensinya, totalitas Ada harus dikedepankan agar dapat menjadi obyek dari negasi.
Maka dari situlah ketiadaan akan terlihat. Tetapi tidaklah demikian bagi Heidegger.
Baginya, ketiadaan menentukan Ada-Dasein, maka lompatan ke dalam kekosongan yang
menimbulkan kecemasan bukanlah suatu nihilisme yaitu raibnya nilai-nilai melainkan
justru suatu kontak dengan Ada yang menjadi sumber nilai-nilai.6
Heidegger menjelaskan bahwa ketiadaan hadir dengan mewakili ketidaktentuan total.
Hal ini digambarkan olehnya, ketika kita mengalami suatu kecemasan. Dalam kecemasan
itulah, kita menemukan apa yang kita perlu dengan ketidaktentuan. Penggambaran lebih
jelasnya sebagai berikut “Kecemasan memang selalu ada di hadapan kita...., tetapi bukan
kecemasan dihadapan ini atau itu. Kecemasan terhadap ...., selalu merupakan kecemasan
untuk...,tetapi bukan ini atau itu”.7 Dengan rasa cemas, manusia semakin menyadari akan
eksistensinya. Heidegger mengatakan “kecemasan menyendirikan Dasein pada Ada di
dalam dunianya yang tidak dapat dipertukarkan dengan orang lain.”8 Heidegger

5
E. Sumaryono, Hermeneutika, Sebuah Metode Filsafat, Jakarta: Kanisius, 1999, hlm., 32.
6
F. Budi Hardiman, Op. Cit., hlm. 79.
7
Lihat Teks kuliah perdana Heidegger no. 22.
8
F. Budi Hardiman, Op. Cit., hlm. 78.

2
menambahkan bahwa ketidaktentuan kecemasan ini bukan karena tidak ada penentuan
melainkan karena tidak mungkin menentukannya. Ketidaktentuan inilah yang menjadi hal
yang penting. Ketidaktentuan ini membawa kita kepada sumber pencarian yang
didasarkan pada pengalaman di mana manusia otentik tidak melarikan diri dari rasa
cemas yang tidak menentu ini melainkan manusia bermukim di dalamnya sehingga ia
semakin menemukan jalan masuk ke dalam Ada.
Lalu bagaimana dengan ketiadaan itu muncul? Ketiadaan muncul dalam kecemasan,
bukan sebagai Ada.9 Ketiadaan muncul di dalam dan melalui kecemasan. Ketika ada
kecemasan di dalam diri kita, kita merasakan ada ketidakpastian, dan dari situ tidak ada
pegangan lagi. Tidak adanya pegangan ini, bukan berarti pegangan itu hilang. Pegangan
itu tinggal tetap, hanya saja pegangan itu menjadi tidak ada. Dengan kata lain, pegangan
itu adalah ketiadaan, sehingga ketika kecemasan10 itu semakin kita lawan, sebenarnya kita
semakin mengalami ketiadaan itu secara keseluruhan. Maka, cemas terhadap apa dan
untuk apa tidak ada. Yang ada ialah ketiadaan. Atau dapat disederhanakan demikian,
bahwa di dalam kecemasan, ketiadaan membuatnya semakin bernilai sehingga manusia
bukan menjauhkan diri dari kecemasan itu melainkan berkontak dengannya yang menjadi
sumber dari ilai-nilai Ada. Manusia tidak dapat lari dari kecemasan sebab manusia tanpa
kecemasan bukanlah manusia karena ia tidak ada sebagai manusia, tetapi manusia macam
itu tentu tidak ada.11 Bahkan dapat dikatakan bahwa kecemasan adalah isi ringkas dari
drama Dasein sebagai Ada di dalam dunia.12
Keaslian ketiadaan dibuktikan berdasarkan pengalaman fundamental dari ketiadaan.
Jadi realitas ada tidak dipikirkan dalam rangka ada konkret atau dalam struktur akal budi
murni yang tak tercampur oleh pengalaman, melainkan dalam eksistensi manusia.13 Maka
metafisika Heideggerian tidak lagi memandang ada ini atau itu tetapi langsung menunjuk
pada being saya sebagai eksisten. Pengalaman eksistensial manusia seperti bosan, cemas,
rindu, sendiri, sakit memacu manusia untuk menghadapi dirinya sendiri. Disinilah
manusia mencapai keontetikannya. Artinya manusia tidak melepaskan dirinya dari
kesehariannya atau berada di luar kesehariannya, melainkan berada didalamnya, tetapi
tidak terbawa arus keseharian. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa disinilah letak
manusia mencapai kebahagiaan di dalam hidupnya. Dan kebahagiaan ini dipandang
sebagai buah dari reflektif perdamaian dengan dirinya sendiri14 yang berada dalam
kesehariannya.
3. Relevansi Metafisika Heidegger bagi Kehidupan Sehari-hari
Pada hakikatnya, hidup manusia tidak dapat dipisahkan dari perasaan atau suasana
hati seperti duka, cemas, takut, dan suasana hati lainnya. Bahkan dengan perasaan atau
suasana hati itulah, manusia semakin menyadari Ada-nya. Lalu muncul pertanyaan bagi
kita, jika demikian apakah itu berarti manusia akan selalu berputar dalam perasaan
tersebut? Heidegger menjawab “suasana hati membuat jelas ‘bagaimana seseorang
menjadi ada dan menjadi’. Di dalam bagaimana seseorang menjadi ada inilah suasana
hati membawa Ada (sein) ke’di-sana’ (Da)-nya”.15 Itu berarti manusia tidak akan bisa
dilepaspisahkan dari suasana hati tersebut. Suasana hati itu akan membantu manusia
9
Lihat Teks kuliah perdana Heidegger no. 28.
10
Istilah kecemasan, kekhawatiran dalam filsafat Heidegger digunakan kata sorgen.
11
F. Budi Hardiman, Op. Cit., hlm. 84.
12
Ibid., hlm. 85.
13
Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Op.Cit, hlm. 26.
14
Ibid., hlm. 27.
15
F. Budi Hardiman, Op. Cit., hlm. 69.

3
untuk semakin sadar terhadap keotentikannya. Eksistensi manusia yang otentik terletak
saat manusia mampu mencapai kekedalaman pengalaman kesehariannya, manusia
dituntut untuk terlibat aktif dalam kesehariannya tanpa harus terlarut dalam keseharian
itu. Eksistensi adalah situasi konkret saya sebagai subyek di dalam dunia.16 Dengan
menghayatinya maka manusia menunjukkan keberaniannya untuk menerima rasa takut,
cemas, duka, sedih, marah sehingga pada akhirnya ketentraman dan kedamaianlah yang
dialami oleh manusia. Inilah keadaan di mana manusia tidak dikurung oleh dirinya
sendiri melainkan membuka dirinya terhadap dunia.
De facto, semuanya seakan berjalan terbalik. Manusia semakin jauh dari dirinya.
Manusia semakin terasing dari dirinya sendiri. Pekerjaan dan rutinitas harian seakan
memperlihatkan bagaimana manusia melibatkan dirinya secara aktif. Akan tetapi jauh
dari itu, dalam kesibukkannya, rasa kosong dalam hati selalu menggangu. Rasa kosong
menampakan diri dalam wujud rasa cemas, sedih, duka dan lain sebagainya suasana hati
ini disebabkan karena manusia tidak melibatkan dirinya dalam menghayati suasana hati.
Sikap masa bodoh dan takut menghadapi perasaan ini mendorong manusia zaman kini
mulai mencari kepenuhannya dalam seks bebas, minum-minuman keras, mengonsumsi
obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya, yang dari sana diharapkan dapat memuaskan
kekosongan jiwa mereka. Tetapi apa yang mereka peroleh, mereka bahkan semakin jauh
dari diri mereka yang otentik. Mereka tidak mau berusaha dan berjuang untuk
menemukan makna di balik suasana hati yang mengganggu mereka dan bagaimana
menyelamatkan diri dari suasana hati tersebut.
“BARANGSIAPA mencari kedalaman, mulailah dengan yang dangkal-dangkal dan
melihat kedangkalan dengan tatapan yang cermat dan dalam, maka kedalaman akan
muncul dari hal-hal yang bersifat permukaan itu.”17 Demikianlah Metafisika
Heideggerian memotivasi manusia zaman kini (kita) untuk melibatkan diri secara aktif
dalam perasaan atau suasana hati yang membawa kita pada sorge, bukan melarikan diri
pada hal-hal yang kenikmatannya hanya sementara saja.
4. Penutup
Setelah mengulas teks kuliah perdana Heidegger mengenai Metafisika kami
menemukan adanya kekuatan yang ada dalam pemikirannya ini. Hal ini sangat nampak
sekali bagaimana pemikirannya begitu memengaruhi para filsuf lainnya sesudah ia,
diantaranya Emmanuel Levinas yang mengikuti pemikirannya mengenai suatu filsafat
tentang ada. Kendati tidak menutup kemungkinan juga terdapat kekurangan dalam
filsafatnya.
Akhirnya, sebagai pemula, kami menyadari berkenalan dengan pemikiran Heidegger,
amatlah rumit untuk didekati apalagi untuk mengulas kembali apa yang menjadi
pemikirannya. Akan tetapi, kami dikuatkan untuk terus menjelajahi pemikirannya walau
sebagai pemula sebab bersikap sebagai pemula adalah langkah awal dalam mendekati
Ada yakni membiarkan Ada terlihat.18 Bermodal keyakinan ini, kami memberanikan diri
untuk maju selangkah lagi. Dan keberanian kami tidak sia-sia, kami seakan disadarkan
bahwa ketiadaan itu Ada yakni sorge yang selama ini coba kami hindarkan bahkan kami
tolak. Metafisika Heideggerian menggerakkan kami untuk terjun ke dalam diri yang
paling dalam, agar kami tidak terlarut dalam keseharian dan banalitas semata.
DAFTAR PUSTAKA
16
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Jilid II Prancis, Jakarta: Gramedia, 2006, hlm.,72.
17
F. Budi Hardiman, Op. Cit., hlm. 69.
18
Bdk., Ibid., hlm. 22.

4
SUMBER UTAMA

Teks Kuliah Perdana Martin Heidegger yang diakses dari http://evans-


experientialism.freewebspace.com/heidegger5a.htm pada tanggal 16 September 2009,
pukul 21.00

SUMBER PENDUKUNG

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia. 2006

Hardiman, F. Budi. Heidegger dan Mistik Keseharian, Suatu Pengantar Menuju Sein und
Zeit. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2003

Riyanto, Armada, Prof. Dr. CM. Diktat Metafisika. Ttp: tp. Tt.

Sumaryono, E. Hermeneutika, Sebuah Metode Filsafat. Jakarta: Kanisius. 1999

You might also like