Professional Documents
Culture Documents
TIPOLOGI BUDAYA
INTI SARI
Budaya yang terkait dengan penelitian bisnis akan memerlukan kerangka kerja yang
jelas untuk aplikasi dan analisis dari fenomena kompleks ini. Penelitian bisnis telah
sangat mengandalkan dan mengaplikasikan dimensi Hofstede terhadap permasalahan
kultural. Paper ini akan mengkaji dan membahas alternatif lain (Trompenaars
Triandis dan Fiske ) untuk klasifikasi Hofstede. Selain itu, paper ini akan
mengidentifikasi kriteria yang jelas untuk mengukur klasifikasi ini dan
mengevaluasi setiap klasifikasi sesuai dengan kriteria ini. Kriteria yang telah
diidentifikasi yaitu: simplisitas atau kesederhanaan, kemampuan untuk
mentransendenkan level analisis, kemampuan untuk “meminjamkan dirinya”
kepada metode penelitian yang berbeda-beda, menambah kekayaan dalam
identifikasi tema, dan memungkinkan pemahaman yang lebih beragam atas
perubahan kultural.
Selain menawarkan alternatif yang layak untuk klasifikasi Hofstede, paper ini
menyarankan kepada para peneliti budaya untuk mengadopsi suatu kerangka kerja
yang didasarkan kepada tujuan penelitian mereka, kriteria ke depan untuk membentuk
dan mengarahkan penelitian budaya, dan menyediakan kepada para peneliti suatu
kerangka kerja untuk mengembangkan tipologi yang lebih jelas.
Pengantar
Konsiderasi utama untuk studi ini adalah hampir sepenuhnya didasarkan kepada
literatur bisnis tentang klasifikasi Hofstede atas budaya nasional dan klasifikasi dari
peneliti lain dalam area ini. Dimensi nilai Hofstede telah semakin banyak
mendapatkan kritikan karena kemampuannya yang terbatas dalam memperluas nilai
dominan sekarang dalam suatu negara untuk merepresentasikan nilai budaya dari
sebuah negara (Hunt 1983), ketepatan yang tidak memadai dari definisi lintas
kategori (Chow dkk 1999), dan lingkup yang terbatas dalam metodologi dan
pengukuran (Yeh 1988).
Berdasarkan kepada besarnya kritik atas kerangka-kerja Hofstede, maka semakin
dipandang penting bagi para peneliti untuk mengkaji klasifikasi yang lainnya.
Literatur bisnis juga kekurangan sintesis yang bermakna (meaningful) atas klasifikasi
budaya. Bagaimanapun, budaya akan tetap menjadi area penelitian yang menarik.
Vista baru dalam penelitian budaya mencakup: budaya dengan strategi kepemilikan
dan usaha patungan atau joint venture (Kogut and Singh 1988), gaya kognitif
(Abramson dkk 1993), budaya dengan manajemen informasi global (Myer and Tan
2002). Oleh sebab itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji klasifikasi
alternatif dari budaya, mengidentifikasi kriteria untuk evaluasi klasifikasi, dan
menganalisis kerangka-kerja ini sepanjang kriteria yang diidentifikasi. Bagian
berikutnya akan mempertentangkan pandangan budaya berbasis nilai yang lebih
mapan dengan pandangan ontologis.
Konsep dan manifestasi budaya
Satu definisi awal dari budaya adalah keseluruhan kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, seni dan moral hukum adat istiadat dan kapabilitas
lainnya dan kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat
(Tylor 1871). Para pakar lainnya telah mengidentifikasi 164 definisi dari budaya
(Kroeber 1952) yang secara umum akan memandang budaya sebagai suatu properti
dari kebanyakan warga negara atau modal personalitas (Inkeles 1969). Budaya akan
dapat dipelajari, didapatkan, dan diwariskan. Budaya akan merefleksikan pola
pemikiran, perasaan, dan perilaku (Harris 1987) dan aksi dan reaksi (Kluckhohn
1951) dan ide, nilai, dan sistem makna simbolis lainnya (Kroeber dkk 1958).
Tema yang mendasari adalah bahwa budaya adalah abstraksi dari perilaku kongkrit
tetapi bukan perilaku itu sendiri. Budaya akan ditransmisikan terutama oleh simbol
yang menyusun prestasi distinktif dari kelompok manusia, termasuk yang
terkandung dalam artefak. Transmisi ini telah dipandang sebagai suatu pemrograman
kolektif dari pikiran yang akan membedakan anggota dari satu kelompok manusia
dengan kelompok yang lainnya (Hofstede 1980). Hofstede mengakui bahwa ini
bukanlah definisi yang lengkap dari budaya. Tetapi ia secara sederhana telah
mencakup apa yang dapat diukur. Hofstede menekankan nilai sebagai tonggak
budaya, yang mana penekanan ini konsisten dengan peneliti lainnya.
Nilai akan diprogram sejak usia dini dan akan menentukan definisi subyektif dari
rasionalitas. Nilai akan dimanifestasikan pada level individu dan kolektif (Parson
1951) dan akan dianggap sebagai keadaan akhir atau tujuan akhir dan bukannya
sebagai sarana (Bem 1970). Perbedaan sarana (nilai instrumental) dan tujuan (nilai
akhir atau nilai terminal) ini juga telah diakui oleh para ahli filsafat (Lovejoy 1950)
dan para pakar antropologi (Kluckhohn 1951) serta para pakar psikologi (English
and English 1958). Nilai akan dapat dianggap sebagai nilai yang diterima secara
tidak sadar atau kepercayaan pada level nol dan nilai yang diperoleh secara
langsung sebagai kepercayaan yang datang pertama kali.
Hofstede (1980) mengikuti definisi nilai intensitas dan modalitas dari Kluckhohn
(1951) dan mendefinisikannya secara cukup sederhana sebagai tendensi umum untuk
menyukai atau memilih keadaan tertentu di atas keadaan yang lainnya. Hofstede
mengklaim bahwa nilai akan mempunyai arah dan intensitas atau dengan kata lain
nilai akan mempunyai tanda dan ukuran. Nilai haruslah dibedakan antara nilai yang
diharapkan dengan yang tidak diharapkan: apa yang manusia benar-benar harapkan
dan apa yang mereka anggap pantas diharapkan. Mempersamakan keinginan dengan
harapan adalah positifistic fallacy, tetapi Hofstede memilih untuk mengadopsi suatu
pandangan pragmatis untuk membantu pengukuran nilai.
Nilai yang didasarkan kepada literatur ini (atau nilai laten ini) telah dihadapkan
kepada banyak kritik dari sudut pandang kognitif dan ontologis. Debat ini secara
kritis akan dievaluasi sebagai berikut
Budaya: pandangan berbasis nilai vs pandangan berbasis ontologis
Pandangan ontologis didasarkan kepada pendapat (ide) kognitivisme budaya yang
menyatakan bahwa budaya akan dapat dipahami secara lebih baik dalam istilah
kognitif daripada dengan seperangkat nilai latennya. Dengan mengkaji kognisi
maka kerangka-kerja imperatif akan menjelaskan mengapa orang berasosiasi dan
berbagi ide dan fenomena dalam cara tertentu sehingga hal itu akan dapat
menjelaskan budaya. Ide kognitivisme cultural ini (dan sehingga disebut ide
ontologis) akan mengembangkan konsep seperti representasi kesamaan kognitif
dalam pikiran individu individu, sehingga akan membentuk budaya (Romney dkk
1996); pola konsisten dari persepsi, penginterpretasian dan perelasian informasi
yang akan mempengaruhi perilaku individualis dan kelompok (Abramson 1996),
ontologis intuitif spesifik domain yang akan membentuk jalur dari akuisisi dan
kognisi yang membingkai representasi kultural (Boyer 1996); organisasi kognitif
pada individu adalah lokus utama dari budaya (Talmy 1996). Bahasa spasial dan
kognisi akan bervariasi lintas budaya (Levinson 1996).
Pandangan ontologis ditarik dari proses kognitif dari perolehan informasi dan
pengambilan keputusan sebagai basis unit (unit dasar) dari analisis budaya (Talmy
1995). Dengan menggunakan skema ini maka para peneliti akan dapat menemukan
mekanisme dimana budaya akan terbentuk dan mengalami bias. Hakikat dimana
budaya akan bervariasi secara ontologis dalam kaitannya dengan kategorisasi,
differensiasi, dan abstraksi akan memungkinkan analisis dari persepsi manajer dan
hubungan dan interpretasi informasi sehingga akan mempengaruhi perilaku individu
dan kelompok (Abramson 1996). Oleh sebab itu, para pakar ontologis mengklaim
telah meletakkan landasan kerja melalui interaksi dari struktur kognitif bersama
(DeMaggio 1997).
Tetapi, suatu eksaminasi yang lebih mendalam telah menunjukkan bahwa pandangan
ontologis menghadapi tiga tantangan besar. Yang pertama, literatur ontologis
menegaskan bahwa kerangka-kerja interpretif yang berakar secara kultural akan
menjelaskan asosiasi dan diskriminasi seseorang lebih baik dari pada daya tarik
konvensional pada nilai budaya laten. Hal ini mengimplikasikan bahwa pandangan
dunia berbasis emik akan selalu lebih unggul daripada pandangan etis. Ini adalah
posisi yang ekstrim, karena pandangan emik akan memerlukan validitas eksternal
untuk memungkinkan suatu teori dapat digeneralisir, sehingga akan menjamin
pandangan etis tetap berada di bawah pandangan emik.
Yang implisit dengan perspektif ontologism adalah bahwa emik, dan etik akan
dipandang sebagai dikotomik dan pandangan emik dan etik (pada saat digunakan
bersama-sama) akan bersifat saling melengkapi dan akan meningkatkan validitas.
Oleh sebab itu, pandangan ontologis memerlukan pengembangan debat etik dan
emik secara lebih jelas dan perlu mengadopsi posisi berdasarkan pengetahuan dan
landasan ilmiah.
Kedua, para pakar ontologis mengasumsikan bahwa bergerak dari level kolektif
(pandangan laten atas nilai) ke level individual (pandangan kognitif) akan
memfokuskan konsep budaya agar menjadi stabil dan visibel. Asumsi ini adalah
cacat, karena kognisi dan preferensi dan kesadaran individu akan dapat berubah dan
akan bergantung kepada sejumlah kondisi internal dan eksternal. Oleh sebab itu,
kognisi individual akan sama latennya dengan konsep nilai kolektif. Bergerak dari
kolektif ke individualis tidaklah suatu hal yang nista (Campbell 1977).
Ketiga, kerangka-kerja kognitif pada saat diaplikasikan kepada analisis empiris akan
menyediakan pandangan atas diri dan waktu mirip dengan yang telah disediakan oleh
literatur nilai laten. Kemiripan ini akan dijelaskan dalam dua cara. Pada awalnya,
pembingkaian kognisi individual kemungkinan akan disandarkan kepada nilai nilai
kolektif, misalnya seperti apa suatu fenomena akan dipersepsikan oleh kelompok
referen dan teman sebaya. Hal ini berarti bahwa kognisi individu akan dapat dibentuk
oleh kekuatan (Redding 1980) yang berada di luar individu, yaitu nilai laten dari
budaya. Ada banyak hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa budaya akan
mempengaruhi konsepsi diri seseorang (Erez dkk 1993). Oleh sebab itu, kognisi
individu dan persepsinya akan diarahkan, dikendalikan, dan dibentuk oleh nilai laten
dari budaya.
Yang lebih penting lagi, perubahan pada kognisi individu (media, pendidikan, dan
interaksi dengan budaya dan kelompok referen lainnya) barangkali akan mendorong
perubahan dalam nilai laten. Oleh sebab itu, nilai laten dan kognisi individu adalah
sangat berkaitan. Oleh sebab itu, suatu pendapat yang mengabaikan nilai laten adalah
salah arah (menyesatkan) dan sehingga paper ini akan mengkaji secara lebih utuh
literatur berbasis nilai.
Klasifikasi budaya
Meskipun klasifikasi dari Hofstede adalah klasifikasi yang paling terkenal, tetapi
paper ini telah memilih tiga klasifikasi yang lainnya yang akan menyediakan
wawasan kepada budaya dan akan memapar alternative bagi klasifikasi Hofstede.
Para penulis ini adalah Trompenaars Triandis dan Fiske , yaitu pakar dalam bidang
psikologi, psikologi lintas budaya dan sosiologi, yang tulisan-tulisannya sering
muncul di media massa. Klasifikasi budaya ini dikembangkan dan diukur sepanjang
lima criteria evaluasi. Kriteria ini akan membentuk benchmark untuk evaluasi
kecukupan dan kememadaian dari setiap skema klasifikasi.
Kelima criteria ini adalah:
Simplisitas: klasifikasi haruslah bersifat simple dan sederhana. Klasifikasi cultural
haruslah dapat mensintesis konstruk yang kompleks dan kaya ke dalam sejumlah
kecil konsep sederhana yang mudah dipahami. Simplisitas pada bentuk dan substansi
tidak boleh mengkompromikan analisis dan kekayaan skema. Substansi akan
dicirikan oleh kemampuan dari skema klasifikasi untuk menjadi eksklusif.
Bentuknya harus elegan dan keeratan dengan klasifikasi haruslah dipertahankan.
Oleh sebab itu, semakin besar kesetimbangan antara simplisitas dan kekayaan isi
maka akan semakin besar pula tingkat kecanggihan dari klasifikasi itu.
Kemampuan untuk mentransedensikan level analisis: Klasifikasi cultural akan
sering dibatasi oleh level atau unit analisis dimana dia diaplikasikan. Budaya akan
dikaji pada level sub kelompok, kelompok, organisasi, bangsa atau negara. Jelas
sekali, pemilihan level analisis yang tepat adalah hal yang sangat penting (Rousseau
1985). Beberapa klasifikasi telah memungkinkan aplikasi dari skema tertentu
kepada level tertentu atau unit analisis tertentu sehingga akan membatasi
kemanfaatannya. Pembatasan/kendala analitik ini akan dapat menghambat para
peneliti dalam memahami skema dan mengaplikasikannya ke dalam subyek yang
lainnya dan dalam memperluas klasifikasi itu sendiri. Suatu skema yang lebih
canggih akan memungkinkan banyak level analisis.
Aplikabilitas terhadap berbagai metode penelitian; Suatu klasifikasi yang
bermanfaat adalah klasifikasi yang fleksibel dan memungkinkan para peneliti untuk
mengadopsi dan mengaplikasikan berbagai metode penelitian (misalnya metode
penelitian eksperimental, studi kasus, studi lapang dkk) dalam menginvestigasi
permasalahan (Newman dkk 1998).
Mengulang studi menggunakan metode yang berbeda akan menegaskan bahwa
temuan itu akan dijelaskan oleh teori yang mendasari dan bukannya dijelaskan oleh
kesamaan metode. Jika suatu skema klasifikasi memungkinkan pluralitas metode,
maka suatu investigasi akan dapat memberikan hasil yang akurat dan dapat
digeneralisir dan dipertanggungjawabkan validitasnya. Oleh sebab itu, suatu
kerangka-kerja yang siap pakai akan menyerahkan dirinya untuk adopsi dan aplikasi
berbagai metode penelitian.
Identifikasi tema dominant: Budaya akan mempunyai tema tertentu yang adalah
lebih dominan daripada tema yang lainnya. Klasifikasi kultural yang lebih
bermanfaat haruslah cukup memadai untuk memungkinkan para peneliti dalam
mengidentifikasi tema dominan dalam suatu budaya di atas aplikasi dari
klasifikasinya. Sebagai analogi, suatu tapestry yang indah, yang kaya warna, dan
berdesain bagus akan dapat dikaji dalam dua cara mendasar. Yang pertama,
mendekomposisikan makna dari tema dominan tapestry. Kedua, mengkaji tema
yang lebih rumit dan periperal. Semakin kaya suatu kerangka-kerja dalam
memungkinkan tema dominan dan periperal untuk diidentifikasi secara tegas, maka
akan semakin canggihlah klasifikasinya.
Fleksibilitas dalam memahami perubahan cultural: Budaya akan berubah atas
waktu dan dimensi spesifik dalam taksonomi juga akan dapat bervariasi.
Kemampuan dari suatu taksonomi untuk menganalisis perubahan adalah kuat karena
ini akan memungkinkan para peneliti untuk menjelaskan, mendeskripsikan, dan
memprediksi perubahan dalam sikap, nilai, dan norma. Oleh sebab itu, semakin
fleksibel klasifikasi dalam menjelaskan perubahan, maka akan semakin canggihlah
ia.
Kriteria ini tidak diurutkan oleh kepentingan atau ukuran yang lainnya. Setiap
kriteria itu sendiri adalah tidak memadai, sehingga harus dilengkapi dengan yang
lainnya. Kriteria itu sendiri mungkin tidak mutlak, tetapi akan disajikan sebagai
benchmark untuk evaluasi empat klasifikasi budaya. Klasifikasi Hofstede
Trompenaars Triandis dan Fiske akan kami sajikan pada tulisan berikutnya. Bagian
ini akan distruktur untuk membahas konsep penting dari tipologi yang akan diikuti
oleh evaluasi tipologi berdasarkan lima kriteria evaluasi yang telah kita bahas di
depan. Kesimpulan akan menyediakan perbandingan tipologi-tipologi ini dan arahan
untuk penelitian ke depan.
Dimensi nilai Hofstede
Dimensi individualisme, maskulinitas, jarak kekuasaan, dan penghindaran
ketidakpastian Hofstede adalah proses psikologis yang sangat sugestif (Bond 1987).
Dengan menempatkan budaya pada peta empat factor maka kerja seminal akan
memungkinkan pakar psikologi lintas budaya untuk menyeleksi (memilih) budaya
sebagai basis perbandingan. Operasionalisasi budaya ini adalah sangat penting jika
penelitian empiris hendak membangun struktur teoritis untuk menjelaskan
perbedaan lintas budaya dalam perilaku (Hales 1979). Hofstede telah
memperkenalkan empat dimensi pada tahun 1980 dan lima dimensi pada tahun 1988.
Individualisme dan kolektivisme
Individualisme akan mewakili preferensi kerangka kerja social yang lebih longgar
dalam masyarakat dimana individualisme akan cenderung mengutamakan
kepentingan dirinya sendiri dan keluarga terdekat mereka. Sedangkan kolektivisme
akan cenderung lebih disukai oleh masyarakat dimana individu individu dapat
mengharapkan tetangga, klan, dan anggota lain dari masyarakat turut menjaga mereka
sebagai suatu bentuk solidaritas. Persoalan utamanya adalah derajad interdependensi
yang dipertahankan oleh individu dalam masyarakat.
Jarak Kekuasaan besar vs kecil
Jarak Kekuasaan adalah luasan dimana anggota masyarakat akan menerima distribusi
kekuasaan yang tidak setara. Hal ini akan mempengaruhi perilaku dari anggota yang
lebih kuat dan anggota yang kurang kuat. Orang-orang pada masyarakat dengan jarak
kekuasaan besar akan menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang mempunyai
tempatnya sendiri yang akan mengarah kepada ketidaksetaraan kekuasaan yang tidak
perlu lagi dijustifikasi.
Persoalan mendasar yang dicoba diatasi oleh dimensi ini adalah bagaimana suatu
masyarakat akan mengelola ketidaksetaraan diantara individu individu dan hal ini
akan mempunyai konsekuensi dalam pembangunan insititusi dan organisasi.
Penghindaran ketidakpastian lemah vs kuat:
Penghindaran ketidakpastian adalah derajad dimana anggota masyarakat akan merasa
tidak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Masyarakat dengan
Penghindaran Ketidakpastian kuat akan mempertahankan kode kepercayaan dan
perilaku secara ketat yang menjanjikan kepastian dan melindungi kenyamanan.
Masyarakat semacam ini akan tidak toleran terhadap ide dan individu yang
menyimpang. Masyarakat dengan penghindaran ketidakpastian lemah akan
mempertahankan suasana yang lebih rileks. Dalam masyarakat semacam itu
Penyimpangan akan cenderung lebih mudah ditolerir. Secara mendasar, dimensi ini
akan mengupas bagaimana suatu masyarakat akan memandang linearitas waktu dan
mengontrol masa depan atau membiarkannya terjadi. Penghindaran Ketidakpastian
akan mempunyai konsekuensi bagi cara-cara dimana individu akan membangun
institusi dan organisasi.
Maskulinitas vs femininitas
Maskulinitas akan merujuk kepada preferensi dalam masyarakat terhadap prestasi,
ketegasan, kepahlawanan, kejantanan, dan keberhasilan material. Sebaliknya,
femininitas akan merujuk kepada preferensi masyarakat akan hubungan
persaudaraan, kesederhanaan, perhatian kepada pihak yang lemah, dan kualitas
kehidupan. Masalah mendasar yang coba dipecahkan oleh dimensi ini adalah cara
dimana suatu masyarakat akan mengalokasikan peran sosial kepada jender.
Orientasi jangka pendek vs panjang
Orientasi jangka pendek akan merujuk kepada preferensi masyarakat yang memupuk
nilai-nilai luhur yang diorientasikan terhadap kesabaran dan ketekunan. Sedangkan
Orientasi jangka jangka panjang akan merujuk kepada suatu masyarakat yang lebih
memilih stabilitas dan kemajuan personal dan penghargaan terhadap tradisi dan
kemapanan.
Evaluasi dimensi Hofstede
Pada evaluasi, klasifikasi Hofstede telah mencatatkan skor tinggi pada simplisitas.
Hal ini terjadi karena dimensi Hofstede adalah konsep yang relatif jelas, mudah, dan
kaya makna terkait dengan bentuk. Tetapi, terkait dengan substansi, klasifikasi itu
tidaklah eksklusif atas dasar dua alasan. Alasan Yang pertama, penghindaran
ketidakpastian akan menghadapi kritik karena tidak dapat menangkap secara valid
nilai oriental, sehingga tidak akan dapat bersifat ekshaustik. Alasan Kedua,
pemasukan orientasi jangka panjang telah memperlihatkan kurangnya eksklusivitas.
Terlebih lagi, Hofstede tidak dapat mengesampingkan kemungkinan penemuan
dimensi baru. Oleh sebab itu, terkait dengan simplisitas, peringkat klasifikasi
Hofstede adalah moderat dalam substansi dan tinggi dalam bentuk.
Terkait dengan level analisis, Hofstede berpendapat bahwa klasifikasinya hanya akan
dapat diaplikasikan pada level nasional. Meskipun argumen yang pas masih tidak
jelas, tetapi Hofstede menegaskan bahwa mengaplikasikan dimensinya kepada level
lain adalah tidak benar dan akan salah secara ekologis. Hal ini akan sangat
membatasi penggunaan skemanya dan sehingga akan mendapatkan peringkat rendah
untuk kriteria level analisis.
Dalam mengaplikasikan kriteria metode penelitian yang berbeda, aplikasi suatu
metode lain yang tidak dispesifikasikan oleh Hofstede akan dianggap tidak tepat.
Meskipun data Hofstede telah digunakan secara luas, tetapi tampaknya hanya ada
sedikit aplikasi dimensi ini pada metode penelitian lainnya (misalnya pada penelitian
lapang dan penelitian eksperimental). Oleh sebab itu, klasifikasi Hofstede akan
mendapatkan peringkat rendah untuk kriteria metode penelitian.
Dalam kaitannya dengan kemampuan untuk mengidentifikasi tema dominan, maka
dimensi itu akan dapat digunakan untuk mengidentifikasi tema dominan dalam
budaya tertentu dan dan untuk mengidentifikasi tema dominan lintas budaya. Oleh
sebab itu, klasifikasi Hofstede akan mendapatkan peringkat menengah pada kriteria
identifikasi tema dominan.
Dalam kaitannya dengan pemahaman perubahan budaya, kerangka kerja Hofstede
tidak secara eksplisit memberikan ruang untuk studi sistematis atas perubahan
budaya. Tetapi, aplikasi yang diresepkan dari instrumen dan metodenya akan
memungkinkan kita untuk menyorot budaya pada berbagai titik waktu. Sorotan ini
adalah tidak indikatif dari proses perubahan, tetapi hanyalah besaran dan arah dari
perubahan. Oleh sebab itu, model Hofstede hanya sedikit bermanfaat dalam
memahami dan menjelaskan perubahan budaya.
Terlepas dari semakin tumbuhnya kritik atas karya dari Hofstede, empat alasan telah
diidentifikasi untuk adopsi luas dari klasifikasi nya.
1. Alasan yang Pertama, studi Hofstede adalah studi pertama yang
mengintegrasikan konstruk yang sebelumnya terpisah-pisah dan dia adalah
orang yang pertama menyajikan kerangka kerja koheren untuk
mengklasifikasi kan budaya yang berbeda.
2. Alasan kedua untuk pemakaian secara luas klasifikasi budaya Hofstede
adalah karena kesederhanaan dari dimensinya. Dimensinya adalah jelas dan
tegas dan mempunyai daya tarik intuitif bagi peneliti akademik dan pembaca
bisnis lintas disiplin ilmu.
3. Alasan yang ketiga yang terkait dengan luasnya penggunaan klasifikasi
budaya Hofstede adalah karena klasifikasi nya menawarkan instrumen untuk
mengukur nilai.
4. Alasan yang Keempat adalah; bahwa Hofstede mampu menawarkan suatu
perangkat data ekstensif untuk analisis empiris yang akan mempunyai daya
tarik besar bagi para peneliti.
Sindrom budaya Triandis
Menurut Triandis (1994), budaya adalah seperangkat elemen obyektif dan subyektif
buatan manusia yang pada masa lalu telah meningkatkan probabilitas dari
keberlangsungan hidup manusia dan telah memberikan kepuasan dari partisipan
dalam niche ekologis sehingga menjadi sesuatu yang dimiliki secara bersama oleh
pihak-pihak yang dapat berkomunikasi satu sama lain karena mereka mempunyai
kesamaan bahasa dan tinggal atau hidup pada tempat dan waktu yang sama.
Meskipun definisi budaya adalah sangat luas, tetapi Triandis membedakan elemen
obyektif dari budaya dengan elemen subyektifnya. Aspek obyektif dari budaya akan
mencakup alat alat, jalan raya, radio, televisi dan lain-lain, sedangkan aspek
subyektifnya antara lain kategorisasi, asosiasi, norma, peran dan nilai yang akan
membentuk beberapa elemen dasar yang akan mempengaruhi perilaku sosial.
Elemen subyektif dari setiap budaya akan diorganisir ke dalam pola unik dari
kepercayaan, sikap nilai dan norma. Triandis telah mengidentifikasi empat sindrom
budaya yang akan berlaku (yang akan dapat diaplikasikan) kepada semua budaya
yaitu kompleksitas budaya, keketatan budaya individualisme dan kolektivisme
Kompleksitas budaya
Dalam budaya yang kompleks, manusia akan membuat sejumlah besar perbedaan di
antara obyek dan peristiwa dalam lingkungan mereka. Ekologi dan sejarah
masyarakat akan menentukan kompleksitasnya serta akan menentukan jumlah
pekerjaan dalam masyarakat itu. Masyarakat dalam Budaya non huruf akan jarang
mempunyai jenis pekerjaan lebih dari 29 macam (Triandis 1994). Masyarakat yang
mempunyai pekerjaan berburu dan meramu (berburu dan mengumpulkan bahan
makanan) akan cenderung sederhana. Masyarakat agraris akan cenderung lebih
kompleks lagi dan masyarakat industri akan cenderung sangat kompleks.
Pertentangan antara budaya yang sederhana dan kompleks adalah faktor yang paling
penting dari variasi budaya dalam perilaku sosial. Tetapi Triandis tidak menawarkan
metode yang obyektif dalam pengukuran dan pemeringkatan kompleksitas budaya.
Lomax (1972) telah menyusun beberapa indeks dan mendapatkan urutan
pemeringkatan yang terpercaya dari kompleksitas budaya
Budaya ketat dan longgar
Dalam budaya ketat, orang diharapkan akan berperilaku sesuai dengan norma yang
tegas. Sesuatu penyimpangan akan layak dihukum dengan sanksi. Budaya ketat akan
memperlihatkan karakteristik karakteristik seperti: control perusahaan atas property,
kepemilikan perusahaan atas pangan dan produksi, kekuasaan, pemimpin agama
yang kuat, pajak tinggi dll. Hubungan ini menunjukkan bahwa keketatan akan
berkorelasi dengan kolektivisme (Pelto 1968). Pada budaya ketat, jika seseorang
melakukan apa yang dilakukan oleh setiap orang, maka ia akan dilindungi dari kritik.
Keketatan akan lebih mungkin terjadi ketika normanya jelas dan hal ini memerlukan
budaya yang relative homogen.
Budaya longgar akan mempunyai norma yang tidak tegas atau menolerir
penyimpangan dari norma. Heterogenitas budaya yang sangat dipengaruhi budaya
lain dan ruangan fisik antar manusia akan dapat mengarah kepada kelonggaran.
Budaya longgar seringkali dijumpai pada interseksi budaya budaya utama yang
sangat berbeda satu sama lain. Lingkungan perkotaan biasanya akan lebih longgar
budayanya daripada lingkungan pedesaan. Kelonggaran ini disebabkan oleh norma
yang saling bertolak belakang atau disebabkan oleh norma-norma yang sangat tidak
fungsional. Terlebih, jika pekerjaan mengijinkan aksi soliter (misalnya berburu atau
menulis) maka norma akan menjadi longgar dan kurang tegas.
Individualisme dan kolektivisme
Dalam Individualisme individu akan terlepas secara emosional dari kelompok
mereka. Individualisme akan menekankan kepada kemandirian, kesenangan, dan
pencapaian kebahagiaan diri sendiri. Dalam Individualisme individu tidak akan
mengganti perilaku mereka secara dramatis pada saat anggota kelompok luar
menjadi anggota kelompok dalam seperti yang terjadi pada kolektivisme. Perilaku
dari individualis akan cenderung menjadi lebih ramah, tetapi tidak merapat kepada
orang-orang yang berada di luar lingkungan keluarga. Triandis lebih lanjut mengakui
adanya korelasi antara kompleksitas budaya dengan individualisme; yaitu semakin
kompleks suatu budaya maka akan semakin individualislah jadinya karena pada
budaya yang kompleks seseorang akan mempunyai pilihan untuk menjadi anggota
dari berbagai kelompok.
Ada dua jenis kolektivisme yaitu horizontal dan vertical, yang akan berkorelasi
pada jelajah 3-4 (Triandis 1994). Pada kolektivisme, budaya itu sendiri akan
didefinisikan dalam kaitannya dengan keanggotaan dalam kelompok, suatu prioritas
diantara kolektivisme vertikal. Kolektivisme akan sering (tetapi tidak selalu)
diorganisasikan secara hirarkis dan akan cenderung peduli dengan hasil dari aksi
mereka terhadap anggota dari kelompok dan akan cenderung berbagi sumber daya
dengan anggota dalam kelompok dan akan merasakan saling ketergantungan dengan
anggota lain dalam kelompok dan akan merasa terlibat dalam kehidupan anggota
kelompok.
Mereka juga akan mempunyai perasaan yang kuat mengenai integritas kelompok.
Jika individu berada dalam kelompok, maka perilakunya akan sangat asosiatif dan
akan merefleksikan pengorbanan diri. Jika individu berada di luar kelompok, maka
perilakunya akan diasosiatif.
Triandis telah mengidentifikasi individualisme dan kolektivisme sebagai konstruk
yang berbeda tetapi saling terkait. Sebagai contoh, budaya Kung telah
memperlihatkan banyak elemen individualisme dan kolektivisme (Lee 1976).
Pandangan ini bertentangan dengan pandangan lain, khususnya pandangan Hofstede
dimana individualisme kolektivisme adalah suatu kontinum yang mengimplikasikan
bahwa budaya kolektivisme mungkin tidak akan mempunyai individualisme.
Evaluasi sindrom budaya Triandis
Setelah melakukan evaluasi atas lima kriteria maka sindrom Triandis akan
mencatatkan skor moderat pada simplisitas. Dalam membahas substansi, sindrom ini
akan tidak cukup memadai, sebab konsep waktu tidak dipertimbangkan secara
memadai. Karena di sana ada sedikit overlap antara sindrom satu dengan sindrom
lain maka sindrom itu menempati peringkat tinggi pada eksklusivitas…….
Dalam kaitannya dengan aplikasinya kepada berbagai metode penelitian, definisi
sindrom Triandis meskipun secara konseptual terlihat bagus ternyata hanya
memberikan sedikit panduan terhadap pengukuran. Karena sindrom Triandis tidak
mempunyai ukuran formal atau metode yang dispesifikasikan, maka bentuknya yang
sekarang tidak akan memungkinkan aplikasinya kepada metode penelitian kuantitatif.
Sindrom Triandis adalah kaya makna dan mempunyai potensi untuk dikembangkan
lebih lanjut untuk dapat semakin memenui persyaratan.
Atas dasar alasan ini, maka sindrom Triandis akan mencatatkan skor rendah pada
aplikabilitas metode penelitian.
Dalam mengidentifikasi tema dominan, sindrom ini adalah cukup bermanfaat.
Tetapi ia akan tidak tepat dalam mengidentifikasi tema dominan karena kekurangan
peringkat ordinal. Oleh sebab itu, mengidentifikasi tema dominan dari sindrom yang
kaya tetapi tersebar (difus) akan menjadi sangat problematis. Membandingkan tema
dengan menggunakan sindrom Triandis akan menjadi sangat sulit. Oleh sebab itu,
sindrom Triandis akan mendapatkan skor rendah pada kemampuannya dalam
menjelaskan perubahan budaya.
Secara ringkas, Triandis menyajikan suatu interpretasi yang unik dan menarik dari
tipologi budaya melalui sindromnya. Sindrom ini adalah kaya dengan makna dan
akan memperkaya wawasan sebelumnya dan seringkali ditarik dari pengetahuan
mendalam atas sejarah budaya. Sindrom ini adalah embrionik dan jika
dikembangkan lebih lanjut dapat menjadi lahan yang subur untuk wawasan ke arah
budaya.
Dimensi budaya dari Trompenaars
Trompenaars (1993) memandang budaya sebagai suatu cara dimana sekelompok
orang akan memecahkan permasalahan. Hal ini didasarkan secara langsung kepada
definisi dari Schein (1985) atas budaya organisasi. Dari solusi terhadap tiga tipe
permasalahan (hubungan dengan yang lain, waktu, dan lingkungan), Trompenaars
(1993) mengidentifikasi 7 dimensi mendasar dari budaya. Definisi Trompenaars atas
budaya adalah generik lintas budaya organisasi dan kebangsaan sehingga disana
seringkali ada kerancuan. Lima dari dimensinya adalah identik dengan sistem sosial
dari Parson (1951); yaitu afektivitas vs netralitas afektif, orientasi diri vs orientasi
kolektif dan universalisme vs partikularisme, Askripsi vs prestasi dan spesivitas vs
difusitas
Universalisme vs partikularisme
Budaya Universalisme akan berpihak kepada perilaku berbasis aturan yang
diimplikasikan secara ketat, yang merefleksikan suatu ketidak percayaan umum
dalam humanitas, sedangkan budaya partikularis akan cenderung lebih difokuskan
kepada hakikat luar biasa dari keadaan yang ada sekarang. Zurcher dkk telah
mendukung klasifikasi ini. Dimensinya mempertentangkan besaran dimana seorang
responden akan bersedia untuk menginterpretasikan aturan yang dibentuk secara
sosial dalam selera salah satu pihak sampai luasan yang akan melampui dimensi
individualisme yang telah dijelaskan di depan. Dimensi ini akan menemukan
aplikasinya dalam berbagai aspek bisnis internasional yang mencakup: peran dari
kepala bagian, evaluasi kerja, dan penghargaan.
Individualisme vs kolektivisme
Trompenaars mengakui bahwa dimensi ini akan merepresentasikan pertentangan
antara kepentingan individu dan kelompok. Mengikuti logika Parson, Trompenaars
telah mendeskripsikan individualisme sebagai orientasi utama terhadap diri sendiri
dan kolektivisme sebagai orientasi utama terhadap tujuan bersama. Dalam
manajemen internasional, negosiasi, pengambilan keputusan dan motivasi akan
dipengaruhi oleh preferensi individualisme dan kolektivisme. Trompenaars seperti
halnya Hofstede memandang individualisme dan kolektivisme berada pada suatu
kontinum, yang akan mengimplikasikan bahwa orang yang beraliran kolektivis akan
sedikit individualis. Kesimpulan ini ditentang oleh Triandis (1994).
Netral vs afektif
Dimensi ini akan mencakup jelajah perasaan yang diekspresikan. Akal sehat dan
emosi keduanya akan memainkan peranan penting dalam hubungan antar manusia.
Yang mana dari keduanya yang akan dominan, hal itu akan tergantung kepada apakah
anggota itu adalah afektif (menonjolkan perasaan atau emosi) ataukah netral (tidak
menonjolkan perasaan). Anggota dari budaya netral akan menjaga perasaan dan
ekspresi secara hati-hati karena sikap ekspresif dan demonstratif akan dapat
mencitrakan tidak dominannya akal sehat. Sedangkan orang dalam budaya afektif
akan cenderung lebih demonstratif.
Trompenaars telah menambahkan humor dan komunikasi (baik lisan maupun tulisan)
sebagai satu konteks untuk memahami dimensi Parson dari budaya afektif dan
netral. Humor adalah bersifat subyektif dan bergantung kepada individu yang akan
menentukan apa saja yang dianggap lucu dan menyenangkan sehingga afektif akan
lebih dekat kepada sikap arbitrer.
Difus vs spesifik
Budaya DIFUS (konteks rendah) dan spesifik (konteks tinggi) akan menggali cara-
cara dimana individu akan terlibat dalam area spesifik dari komunikasi (berbagi
pengetahuan dalam level tinggi akan diperlukan). Dalam budaya spesifik, hubungan
tugas akan dipisahkan dari urusan lain. Dalam budaya spesifik, seorang atasan dan
bawahan akan mempunyai dasar komunikasi tacit untuk setting kerja yang akan
berbeda dari setting sosial yang akan mengindikasikan adaptabilitas dan fleksibilitas.
Pada budaya difus, CEO tidak hanya akan menjalankan perusahaan, tetapi juga akan
membagi nilai perusahaan kepada semua setting sosial dan kerja organisasional.
Prestasi vs askripsi
Anggota dari beberapa masyarakat akan mendapatkan status lebih tinggi daripada
yang lainnya, yang mengindikasikan bahwa perhatian khusus harus difokuskan
kepada orang ini dan aktivitasnya. Meskipun beberapa masyarakat memberikan
status kepada orang berdasarkan kepada prestasi mereka, tetapi pemberian status
berdasarkan keturunan atau hal-hal yang lain masih saja dilakukan. Tetapi, pada
beberapa masyarakat yang lain, anggotanya akan mendapatkan status sesuai dengan
usia, kelas sosial, jenis kelamin dan pendidikan.
Sikap terhadap waktu
Persepsi waktu akan dapat berkisar dari sekuential (rangkaian linier dari perjalanan
waktu) sampai dengan sinkronik (masa lalu, sekarang dan masa mendatang saling
berkaitan). Orientasi waktu dari masa lalu, sekarang dan masa depan adalah dimensi
penting dari budaya yang akan memungkinkan anggota dari budaya tertentu
mengkoordinasikan aktivitas (Durkheim 1960). Konstruk ini mempunyai implikasi
untuk individu dan kelompok, karena waktu pertemuan yang telah disepakati
barangkali akan dapat ditepati.
Waktu yang dialokasikan untuk menyelesaikan suatu tugas akan dapat menjadi
sangat penting perannya. Oleh sebab itu, tergantung kepada sikap individual terhadap
waktu, manajer akan dapat merencanakan laporan harian, mingguan, atau bulanan..
Sikap terhadap lingkungan
Trompenaars telah mengidentifikasi sikap terhadap lingkungan sebagai variabel
budaya utama. Masyarakat akan mempunyai dua orientasi utama terhadap alam atau
lingkungan; yaitu yang pertama: mereka percaya bahwa mereka dapat dan harus
mengontrol alam sekitar dengan memaksakan kemauan mereka kepada
alam/lingkungan atau yang kedua: mereka percaya bahwa manusia adalah bagian
dari lingkungan dan harus mengikuti hukum, arah, dan kekuatannya. Jenis budaya
yang pertama akan cenderung mengidentifikasikan diri dengan mekanisme; yaitu
organisasi akan dikonsepsikan sebagai mesin yang akan mematuhi apa yang
diinginkan oleh sang operator dan hal ini dapat dideskripsikan sebagi inner directed
atau dikendalikan dari dalam.
Yang terakhir (kedua) ----yaitu outer directed atau budaya yang dikendalikan dari luar
----- akan cenderung memandang organisasi sebagai produk dari alam sehingga
manusia harus senantiasa bersahabat dengan alam dan memelihara kelestariannya.
Ide ini didasarkan kepada lokus kontrol (locus of control) dari Rotter (1969) dan
dalam beberapa hal tampaknya akan overlap dengan dimensi penghindaran
ketidakpastian dari Hofstede.
Evaluasi dimensi budaya Trompenaars
Suatu pengukuran atas dimensi budaya Trompenaars memperlihatkan bahwa dimensi
ini mencatatkan skor rendah pada simplisitas. Secara intuitif, tujuh dimensi budaya
Trompenaars haruslah mudah untuk diaplikasikan. Tetapi dalam kenyataannya,
ketujuh dimensi ini adalah konstruk yang kompleks. Sebagai contoh, sikap terhadap
lingkungan tampaknya simpel (sederhana), tetapi ternyata tema yang mendasarinya
adalah sulit untuk dipahami dan diaplikasikan.
Dimensi budaya Trompenaars mencatatkan skor tinggi pada ekshaustivitas tetapi
rendah pada eksklusivitas. Dua konsep adalah mirip; yaitu sikap terhadap lingkungan
dan individualisme. Sikap terhadap lingkungan akan ditarik dari lokus kontrol
dimana faktor internal (apa yang ada dalam diri seseorang) akan mempunyai kontrol
terhadap apa yang ada dalam diri seseorang, suatu konsep yang mirip dengan
individualisme.
Dalam mengukur aplikasinya kepada berbagai unit analisis, dimensi Trompenaars
barangkali dapat diaplikasikan secara bebas kepada berbagai level analisis. Stabilitas
dalam aplikasi karakteristik psikologis ini kepada level abstraksi yang lebih tinggi
(dari level individu sampai ke level nasional) masih belum teruji dan akan memapar
tantangan untuk penelitian ke depan. Oleh sebab itu klasifikasi ini mencatatkan skor
moderat (menengah) dalam menstransendensikan level analisis.
Dalam hal relevansinya dengan metode penelitian yang berbeda-beda, konstruk ini
kekurangan kejelasan dan ketepatan (clarity and precision) sehingga akan membatasi
upaya pengukurannya. Dimensi dan aplikasinya tampaknya telah diarahkan kepada
para pembaca bisnis yang merasa puas dengan bukti anekdotal. Aplikasi ke dalam
metode penelitian yang berbeda akan bersifat subyektif dan akan tidak persis dan
nilainya akan dapat diperdebatkan. Oleh sebab itu, dimensi ini adalah cukup terbatas
untuk digunakan dalam berbagai metode penelitian. Oleh sebab itu dimensi ini
mencatatkan skor rendah
Dimensi Trompenaars adalah cukup terbatas dalam kemampuannya untuk
mengidentifikasi tema dominan, karena dimensi itu diarahkan kepada psikologi
individu. Oleh sebab itu, dalam kriteria ini (yaitu kriteria kemampuan untuk
mengidentifikasi tema dominan), dimensi Trompenaars mencatatkan skor rendah.
Dalam menjelaskan perubahan kultural, konsep ini kekurangan akurasi ukuran dalam
dan lintas dimensi. Secara khusus, dimensi yang hanya mendasarkan sepenuhnya
kepada ukuran subyektif (misalnya sikap terhadap waktu dan lingkungan) akan
sedikit bermanfaat dalam menjelaskan perubahan. Oleh sebab itu, peringkat rendah
akan diberikan kepada kemampuan dimensi Trompenaars dalam menjelaskan
perubahan budaya..