Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
AGUS SALIM
D4 K4207162
PROGRAM PENDIDIKAN D4
MANAJEMEN AGROINDUSTRI JOINT PROGRAM
PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK
DAN TENAGA KEPENDIDIKAN (PPPPTK) PERTANIAN
Kerjasama Dengan
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2009
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing II Pembimbing I
Mengetahui,
Dengan mengucapkan Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahakn Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga telah dapat
menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang berjudul “ Pembenihan
Udang Windu (Penaeus monodon), dan Produksi Pakan Alami (Skeletonema
costatum dan Artemia salina)” di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Ujung Batee
Kabupaten Aceh Besar”.
Selama pembuatan laporan ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dorongan kepada penulis
sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik.
2. Menteri Pendidikan Nasional, yang telah memberikan kesempatan Bagi
mahasiswa mendapatkan Beasiswa.
3. Bapak Drs. Dedy H. Karwan. MM, selaku Kepala PPPPTK Pertanian Cianjur
4. Bapak Ir. Anton Sugiri, MP, selaku kepala Divisi Kerjasama Pendidikan Tinggi
5. Bapak Karyawan Perangin Angin S.St. M.Si, Selaku dosen Pembimbing 1 yang
sekaligus sebagai Kepala Departemen Perikanan Budidaya Vedca Cianjur.
6. Bapak Ir. Coco Kokarkin. S., M.Sc., Ph.D. selaku Pimpinan Industri Balai
Budidaya Air Payau Ujung Batee
7. Bapak Jalaluddin, S.Pi., selaku Pembimbing Praktek Kerja Lapangan (PKL)
8. Segenap karyawan/karyawati BBAP Ujung Batee, yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian laporan praktek kerja lapangan
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih belum
sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang
sifatnya membangun sangat diharapkan oleh penulis. Semoga laporan ini
bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi penulis sendiri.
Penulis
ABSTRAKSI
Oleh:
Agus Salim
K 420 7162
Gambar 2.1. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.) ................... 6
Gambar 2.2. Karakteristik Udang Windu ............................................................... 9
Gambar 2.3. Proses Perkawinan pada Udang......................................................... 10
Gambar 2.4. Skema Pembelahan Sel pada Skeletonema costatum ....................... 14
Gambar 4.1. Persiapan Bak Untuk Pemeliharaan Larva Udang Windu ............... 30
Gambar 4.2. Ablasi Mata pada Udang Windu........................................................ 33
Gambar 4.3. Sampling Tingkat Kematangan Gonag Udang ................................. 33
Gambar 4.4. Aklimatisasi Nauplius di Bak Pemeliharaan..................................... 34
Gambar 4.5 Pengamatan Secara Mikroskopik........................................................ 35
Gambar 4.6. Pengamatan Secara Visual ................................................................. 35
Gambar 4.7. Proses Pemanenan Hingga Packing pada Udang Windu ................. 37
Gambar 4.8. Panen Nauplius dari Bak Penetasan .................................................. 47
Gambar 4.9. Penampungan Nauplius ke Baskom .................................................. 47
Gambar 4.10. Pembersihan Nauplus dari Seser .................................................. 47
Gambar 4.11. Aklimatisasi Nauplius ke Bak Pemeliharaan Larva ....................... 47
Gambar 4.12. Post Larva Udang Windu ................................................................. 54
Gambar 4.13. Skema System Pemasaran Benur Udang Windu............................ 60
DAFTAR TABEL
1.3 Sasaran
Sasaran yang dicapai dalam kegiatan PKL mahasiswa adalah :
- Meningkatkan keterampilan dalam bidang budidaya air payau.
- Mahasiswa memperoleh pengalaman dan kedisiplinan di dunia kerja yang
sifatnya membangun keahlian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Udang windu matang kelamin pada umur 1,5 tahun dan siap melakukan
tugasnya untuk berkembang biak. Pada saat itu, berat tubuhnya mencapai 90-120
gram/ekor. Perkawinan udang windu umumnya berlangsung pada malam hari. Ada
kecenderungan, pada saat bulan purnama terjadi pemijahan massal udang windu
yang sudah matang kelamin (Darmono, 1991).
1. Periode Nauplius atau periode pertama larva udang. Umur nauplius selama 46-
50 jam dan mengalami enam kali pergantian kulit.
2. Periode Zoea atau periode kedua. Umur zoea adalah sekitar 96-120 jam
mengalami tiga kali pergantian kulit.
3. Periode Mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam
dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.
4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub-
stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang
lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.
5. Periode Juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang
menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.
6. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga
udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad, udang
dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa
menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt.
Mata
Ekor
Kaki Renang
Antena Kaki Jalan
Sumber: http//www.google.com/image/udangwindu.jpg.
Gambar 2.2. Karakteristik Udang Windu
Karakteristik induk udang baik yang lain adalah udang jantan dan betina
memiliki karakteristik reproduksi yang sangat bagus. Spermatophore jantan
berkembang baik dan berwarna putih mutiara. Udang betina matang secara seksual
dan menunjukkan perkembangan ovarium yang alami. Berat udang jantan dan
betina sekitar 40 gram dan berumur 12 bulan (Prosedur Oprasional Standar BBAP
Ujung Batee, 2008).
2.5.2 Morfologi
Skeletonema costatum bersel tunggal (Uniselular), berukuran 4-6 mikron.
Akan tetapi alga ini dapat membentuk urutan rantai yang terdiri dari beberapa sel.
Sel berbentuk seperti kotak dengan sitoplasma yang memenuhi sela dan tidak
memiliki alat gerak. Dinding sel yang unik karena terdiri dari dua bagian yang
bertindih (flustula) yang terbuat dari silikat, bagian katub atas disebut epiteka dan
kutup bawah disebut hipoteka. Pada bagian epiteka terdiri dari komponen epivaf
dan episingulum dan pada bagian hipoteka terdiri dari komponen hipovaf dan
hiposingulum ( Dahril. T, 1990).
Diatom adalah ganggang atau alga renik yang termasuk dalam divisi
Thallophyta dan kelas diatomae (Bacillariophyta). Ganggang jenis ini memiliki
dua ordo, yakni Centrales dan Pennales. Ordo Centrales bentuknya seperti
silinder dan kebanyakan hidup di laut. Beberapa contoh anggota ordo Centrales
diantaranya Planktoniella, Cyclotella, Coscinodiscus, Chaetoceros, Melosira dan
Skeletonema. ordo Pennales berbentuk lonjong, memanjang, seperti gada, dan
seperti perahu. Jenis ini banyak hidup di air tawar. Beberapa contoh diantaranya
adalah Synedra, Pleurosigma, Navicula, Nitzschia dan Amphora (Mudjiman,
2004).
1) Kultur murni
Tujuan isolasi untuk memperoleh fitoplankton monopesies (murni)
dengan cara mengambil sampel air laut di alam dengan menggunakan
planktonet, untuk selanjutnya diamati dibawah mikroskop. Ada beberapa cara
isolasi antara lain pengenceran berseri dan menggunakan pipet kapiler.
Pengenceran berseri digunakan bila jumlah organisme banyak dan ada spesies
dominan, memindahkan sampel kedalam beberapa tabung reaksi yang
dikondisikan untuk pertumbuhan yang akan diisolasi. Sedangkan dengan
menggunakan pipet kapiler, dimana sampel 10 – 15 tetes setiap
medium(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1999).
3) Kultur Massal
Kultur massal/out door dimulai dari volume 1 ton sampai dengan 20 ton
atau lebih. Air laut dengan salinitas tertentu dimasukan kedalam bak-bak
kultur, selanjutnya dilakukan pemupukan dan diberi aerasi. Pupuk yang
digunakan untuk kultur massal adalah pupuk teknis atau pupuk pertanian
seperti : Urea, TSP, dan vitamin mix (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1999).
2.5.8 Artemia salina
2.5.8.2 Morfologi
Artemia dijual belikan dalam bentuk telur istirahat yang disebut dengan
kista. Kista ini apabila dilihat dengan mata telanjang berbentuk bulatan kecil
berwarna kecoklatan dengan diameter yang berkisar antara 200-300 mikron.
Satu gram kista artemia kering rata-rata terdiri atas 200.000-300.000 butir kista.
Kista yang berkualitas baik akan menetas sekitar 18-24 jam apabila
diinkubasikan dalam air bersalinitas 5-70 permil. Ada beberapa tahapan proses
penetasan artemia ini yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap
payung atau tahap pengeluaran. Tahap hidrasi terjadi pengeluaran air sehingga
kista yang diawetkan dalam bentuk kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif
bermetabolisme. Selanjutnya adalah tahap pecah cangkang dan disusul dengan
tahap payung yang terjadi beberapa saat sebelum nauplius keluar dari cangkang.
Artemia yang baru menetas disebut dengan nauplius. Nauplius yang
berwarna oranye, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron,
lebar 170 mikron, dan berat 0,002 mg. ukuran-ukuran tersebut sangat bervariasi
tergantung strainnya. Nauplius mempunyai sepasang antenulla dan sepasang
antena. Antenulla berukuran lebih kecil dan pendek dibandingkan dengan
antena. Selain itu, diantara antenulla terdapat bintik mata yang disebut dengan
ocellus. Sepasang Mandibula rudimenter terdapat dibelakang antena.
Sedangkan labrum (semacam mulut) terdapat dibagian ventral.
Nauplius berangsur-angsur mengalami perkembangan dan perubahan
morfologis dengan 15 kali pergantian kulit hingga menjadi dewasa. Pada setiap
tingkatan pergantian kulit disebut dengan instar, sehingga dikenal instar I
hingga instar XV. Setelah cadangan pakan yang berupa kuning telur habis dan
saluran pencernaan berfungsi, nauplius mengambil pakan ke dalam mulutnya
dengan menggunakan setae pada antenae. Artemia mulai mengambil pakan
setelah mencapai instar II. Saat instar kedua, pada pangkal antenanya tumbuh
gnatobasen setae menyerupai duri menghadap ke belakang. Perubahan
morfologi yang sangat mencolok terjadi setelah masuk instar X antena
mengalami perubahan sesuai dengan jenis kelaminnya, thoracopoda mengalami
diferensiasi menjadi tiga bagian yaitu telopodite/eksopodite yang berfungsi
sebagai penyaring pakan, endopodite yang berfungsi sebagai alat gerak atau
berenang, dan epipodite yang berfungsi sebagai alat pernafasan.
Artemia dewasa biasanya berukuran panjang 8-10 mm yang ditandai
dengan adanya tangkai mata yang jelas terlihat pada kedua sisi bagian kepala,
antena sebagai alat sensor, saluran pencernaan yang terlihat jelas, dan II pasang
Thorakopoda. Pada artemia jantan, antena berubah menjadi alat penjepit
(mascular grasper), sepasang penis terdapat di bagian belakang tubuh.
Sedangkan pada artemia betina antena mengalami penyusutan, sepasang indung
telur atau ovary terdapat di kedua sisi saluran pencernaan, di belakang
Thorakopoda. Telur yang sudah matang akan disalurkan ke sepasang kantong
telur atau uterus.
2.5.8.3 Sifat Ekologi, Fisiologi, dan Reproduksi
Sifat ekologi artemia bervariasi tergantung pada strainnya. Secara umum
artemia tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25 0C-30 oC. Akan tetapi kista
artemia yang kering sangat tahan terhadap suhu yang ekstrem dari 27oC hinnga
100oC.
Artemia banyak ditemukan di danau-danau yang kadar garamnya sangat
tinggi sehingga disebut juga dengan brain shrimp. Toleransi terhadap kadar
garam yang sangat menakjubkan, bahkan pada siklus hidupnya memerlukan
kadar garam yang tinggi agar dapat menghasilkan kista. Untuk pertumbuhan
biomasa artemia yang baik membutuhkan kadar garam antara 30-50 ppt.
Sedangkan kadar garam yang diperlukan agar artemia tersebut dapat
mengahasilkan kista yang bervariasi tergantung strainnya, pada umumnya
membutuhkan kadar garam di atas 100 permil.
Artemia juga termasuk hewan euroksibion yaitu hewan yang
mempunyai kisaran toleransi yang lebar akan kandungan oksigen. Pada
kandungan oksigen 1 mg/L artemia masih dapat bertahan. Sebaliknya, pada
kandungan oksigen terlarut yang tinggi sampai mencapai kejenuhan 150 %,
jenis udang-udangan ini masih dapat bertahan hidup. Kandungan oksigen yang
baik untuk pertumbuhan artemia adalah di atas 3 mg/L.
Kemasaman air (pH) juga mempengaruhi kehidupan artemia. Seperti
halnya hewan-hewan yang hidup di air laut, artemia juga membutuhkan pH air
yang sedikit bersifat basa untuk kehidupannya. Agar artemia dapat tumbuh
dengan baik maka pH air yang baik digunakan untuk budidaya berkisar antara
7,5-8,5.
Satu hal lagi tentang sifat ekologi artemia yang sangat menakjubkan,
yakni ketahanannya terhadap kandungan amonia yang tinggi. Pada kondisi
budidaya kandungan amonia hingga 90 mg/L masih dapat ditoleransi oleh
hewan ini. Akan tetapi, agar pertumbuhan artemia bagus, kandungan amonia
pada media budidaya sebaiknya kurang dari 80 mg/L.
Artemia bersifat pemakan segala atau omnivora. Pakan artemia berupa
plankton, detritus, dan partikel-partikel halus yang dapat masuk mulut. Artemia
dalam mengambil pakan bersifat penyaring tidak selektif (non selectif filter
feeder), sehingga apa saja yang dapat masuk mulut artemia seakan-akan
menjadi pakannya. Akibatnya kandungan gizi artemia sangat di pengaruhi oleh
kualitas pakan yan tersedia pada perairan tersebut. Partikel pakan yang dapat
ditelan artemia paling besar berukuran 50 mikron. Artemia mengambil pakan
dari media hidupnya terus menerus sambil berenang. Pengambilan pakan
dibantu dengan antena II pada nauplius, sedangkan pada artemia dewasa dibantu
oleh telepodite yang merupakan bagian dari thoracopoda.
Menurut cara reproduksinya, artemia dipilah menjadi dua yaitu artemia
yang bersifat biseksual dan artemia yang bersifat partenogenetik. Keduanya
mempunyai perkembangbiakan yang berlainan artemia biseksual
berkembangbiak secara seksual, yaitu perkembangbiakannya didahului dengan
perkawinan antara jantan dan betina. Sedangkan artemia partenogenetik
berkembangbiak secara partenogenesis, yaitu betina menghasilkan telur atau
nauplius tanpa adanya pembuahan.
Siklus hidup artemia cukup unik, baik jenis biseksual maupun
partenogenetik perkembangbiakannya dapat secara ovovivipar maupun ovipar
tergantung kondisi lingkungan terutama salinitas. Pada salinitas tinggi akan
dihasilkan kista yang keluar dari induk betina sehingga disebut
perkembangbiakan secara ovipar. Sedangkan pada salinitas rendah tidak
menghasilkan kista akan tetapi langsung menetas dan dikeluarkan sudah dalam
bentuk nauplius sehingga disebut dengan perkembangbiakan secara ovovivipar.
Pada jenis biseksual perkembangbiakan diawali perkawinan. Perkawinan
sendiri diawali dengan adanya pasangan-pasangan jantan dan betina yang
berenang bersama (riding pair). Artemia betina di depan sedangkan jantannya
“memeluk” dengan menggunakan penjepit dibelakangnya. Riding pair
berlangsung cukup lama, walaupun perkawinan/kopulasinya hannya
membutuhkan waktu singkat. Artemia jantan memasukan penis ke dalam
lubang uterus betina dengan cara membengkokan tubuhnya ke depan sambil
naik turun.
BAB III
METODE PELAKSANAAN PKL
3.2.2 Observasi
Selain dari perkenalan lingkungan baik itu berupa fasilitas dan para pekerja yang
ada di balai tersebut, para peserta praktek diperkenankan melihat – lihat semua kegiatan
yang berlangsung yang dengan atau tanpa dipandu oleh pihak balai. Hal ini dimaksud
agar para peserta dapat lebih leluasa dalam melaksanakan praktek nantinya.
3.2.3 Adaptasi
Salah satu langkah penting sebelum melakukan praktek kerja lapang ataupun
magang sangat perlu menyesuaikan dengan lingkungan sekitar baik itu adat istiadat,
kebiasan bahasa dan lain sebagainya. Hal ini berguna untuk nantinya kita tidak
mengalami kecanggungan ataupun kesalahan dalam melakukan sesuatu baik itu secara
lisan ataupun perbuatan juga untuk dapat menjalin hubungan yang harmonis antara para
peserta praktek dengan para karyawan ataupun masyarakat sekitar.
3.3 Pelaksaan PKL
Kegiatan praktek lapang dimulai dari penyelesaian administrasi di perusahaan,
mengikuti orientasi lapangan serta mengikuti kegiatan lapangan secara keseluruhan
hingga praktek kerja lapang selesai. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel di
bawah ini:
Table 3.1. Pelaksanaan Kegiatan Praktek Kerja Lapang
Kegiatan Waktu pelaksanaan PKL
No Tahun 2008 Tahun 2009
Tahun / Bulan
10 11 12 1 2
1. Penyelesaian Administrasi
Orientasi dan Perkenalan Lingkungan
2.
Balai
3. Mengikuti Kegian Lapangan
4. Penyelesaian Administrasi
5. Kembali ke Kampus
BAB IV
HASIL PKL DAN PEMBAHASAN
Balai budidaya Air Payau Ujung Batee, merupakan salah satu Unit
Pelaksanaan Teknis (UPT) di lingkungan Departement Kelautan dan Perikanan.
Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee berdiri pada tahun 1986 berdasarkan
SK Menteri Pertanian No.473/kpts/OT.210/8/ 1986 Tanggal 5 Agustus 1986 dengan
Nama SUB Centre Udang dan disempurnakan lagi dengan SK Menteri Pertanian No.
264/kpts/OT.210/1994 Tanggal 18 April 1994 menjadi Loka Budidaya Air Payau.
Pada saat itu Loka Budidaya Air Payau Ujung Batee diberi tugas melaksanakan
penerapan teknik penerapan air payau serta kelestarian sumber daya ikan di
lingkungan wilayah Indonesia bagian barat khususnya Sumatera. Pada Tanggal 19
Oktober 1999 Loka Budidaya Air Payau mendapat tugas berdasarkan SK Menteri
Pertanian No.1040.1/kpts/ik.150/10/1999 dan SK menteri Eksploitasi Laut dan
Perikanan No. 65 Tahun 2000. Selanjutnya pada tanggal 18 November 2002 Loka
Budidaya Air Payau Ujung Batee mendapat tugas sebagai pelaksana teknik
Pembenihan dan Pembudidayaan Ikan Air Payau serta pelestarian sumber daya induk
atau benih ikan dan lingkungan berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor. KEP.49/MEN/2002.
Pada perkembengan terakhir sesuai dengan kebutuhan Organiasasi Loka
Budidaya Air Payau berdasarkan peraturan Menteri Keluatan dan Perikanan Nomor.
PER.08/MEN/2006 Tanggal 12 Januari 2006 mendapatkan peningkatan ekselon ke
III/a sehingga struktur organisasi meningkat menjadi Balai Budidaya Air Payau
Ujung Batee.
Secara umum usaha aplikasi teknik dan segala aspek kegiatan dan sumberdaya
manusia terus berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan, walaupun dalam
berbagai sisi masih harus dilakukan pembinaan dan dipacu perkembangannya.
Sejak Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee berdiri sudah memproduksi
benur udang windu, namun produksinya belum optimal. Tahun 1997, Balai Budidaya
Air Payau Ujung Batee mulai menjalankan usaha pembenihan lebih intensif.
Pada tahun 2005 kegiatan di Balai Budidaya Air Payau sempat berhenti
selama beberaapa bulan karena adanya musibah Gempa dan Tsunami pada akhir
tahun 2004 yang melanda daerah NAD dan Sumatara. Balai Budidaya Air Payau
Ujung Batee mulai beroperasi kembali pada bulan Mei tahun 2005.
Tahun 2007 beberapa keberhasilan usaha yang sudah dirintis oleh Balai
Budidaya Air Payau Ujung Batee antara lain, pembenihan udang windu, budidaya
udang windu, budidaya udang putih, pembenihan dan budidaya bandeng, budidaya
kepiting sangkat, produksi pakan alami, dan budidaya kerapu kertang. Kegiatan usaha
tersebut dipimpin oleh seorang kepala proyek yang berada di bawah pembinaan dan
pengawasan Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee.
Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee sebagai pusat bisnis inkubator sangat
berkepentingan dalam memacu perkembangan budidaya air payau secara terarah dan
terprogram. Setiap usaha budidaya dipimpin dan dijalankan oleh seorang ketua divisi.
Setiap divisi bertanggung jawab kepada pimpinan proyek. Usaha pembenihan udang
windu dijalankan oleh Bapak Joko Purwantyo sebagai kepala divisi pembenihan
udang yang didampingi oleh 4 orang asistent pelaksana.
Untuk mencapai visi tersebut, misi Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee sebagai
berikut:
4.3.3. Sarana dan Prasaraana Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee
Lokasi Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee berada di Kabupaten Aceh
Besar dengan dua lokasi pengembangan. Lokasi pertama ( balai satu ) terletak di
desa Durung Kecamatan Mesjid Raya dengan luas areal 2,09 ha, sarana dan
prasaraana terdiri dari gedung kantor, bak induk bandeng, bak induk kerapu,
hatchery bandeng, hatchery kerapu, lab pakan alami, lab hama dan penyakit, lab
pakan buatan, bak larva out door, bak pakan alami, perpustakaan dan musholla.
Lokasi kedua (balai dua ) terletak di Desa Neheun Kecamatan Mesjid Raya,
1 (satu ) KM dari lokasi pertama dengan luas areal 7,58 ha. Sarana dan prasarana
terdiri dari bak induk udang windu, bak induk udang putih, hathcery windu,
hathcery udang putih, bak pakan alami massal, reservoir air laut 900 ton, bak pakan
alami, bak larva out door, tambak pendederan, tambak calon induk, tambak udang
windu dan tambak bandeng umpan.
Setelah didapatkan induk udang yang sudah memasuki TKG ke tiga maka
dimasukan ke dalam bak pelepasan telur (konikel tank).
4.2.1.11 Penetasan Dan Perawatan Larva
Telur – telur yang dikeluarkan oleh induknya akan menetas setelah 24
jam, telur yang sudah menetas menjadi nauplius dipindahkan ke bak pemeliharaan
larva. Pemanenan nauplius dilakukan dengan cara menyinari bak dengan lampu
hingga nauplius berkumpul mendekati cahaya pada lampu tersebut, hal ini
disebabkan karena nauplius ini memiliki sifat foto taksis. Setelah itu nauplius
langsung disipon atau diseser dan dimasukkan ke baskom yang selanjutnya
ditebar ke dalam bak pemeliharan.
Pengamatan berlangsung setiap kali pemberian pakan, hal ini perlu di amati
karena untuk mengetahui sejauh mana perkembangan larva yang dipelihara dan
apa langkah selanjutnya bila larva telah berubah stadia.
Hal – hal yang perlu diamati setiap harinya bukan hanya pertumbuhan dan
perkembangan larva saja akan tetapi yang paling penting adalah media dari hidup
larva tersebut seperti: kualitas air dan sisa pakan serta kotoran yang ada di dalam
wadah pemeliharaan.
2.4.1.2 Panen
Panen larva dapat dilakukan apabila larva sudah mencapai PL10, 12, 15 atau
tergantung terhadap permintaan konsumen. Namun di Balai Budidaya Air Payau
Ujung Batee pemanenan larva dilakukan pada saat larva mencapai PL 15 untuk
selanjutnya dipindahkan ke dalam bak tongkolan untuk pemeliharaan lebih lanjut
sebelum konsumen datang untuk membeli benur.
Pemanenan dilakukan dengan cara mengeluarkan air dari bak dengan
membuka saluran pembuangan dan dipasang saringan. Sebelumnya baskom –
baskom panen harus disiapkan setelah air berkurang sekitar 50% dari volume
yang ada. Maka larva yang ada dalam bak pemeliharaan diseser dengan serokan
yang halus dan dimasukkan ke dalam baskom – baskom yang sudah siapkan.
Setelah itu dilakukan perhitungan dengan takaran dan selanjutnya dilakukan
packing.
Sebelum dilakukan proses packing, plastik – plastik harus disiapkan terlebih
dahulu dan diisi dengan air yang kadar garam dan suhunya sama dengan wadah
pemeliharaan sebelumnya. Setelah itu benur dimasukkan ke dalam plastik packing
dan diberi oksigen lalu diikat dengan karet. Setelah itu benur – benur yang telah
dipacking siap di bawa oleh konsumen.
Gambar 4.7. Proses Pemanenan Hingga Packing pada Udang Windu
Dalam memilih lokasi pembenihan baik udang maupun ikan yang ideal
tidaklah sembarang, karena ini menyangkut dengan uang dan kelangsungan usaha
yang akan dijalankan. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam
memilih lokasi untuk unit pembenihan udang maupun ikan diantaranya:
Pengisian air dari bak penampungan ke dalam bak pemeliharaan induk dan
larva di lakukan dengan menggunakan pompa air ukuran kecil yang telah
dilengkapi dengan kain saringan ukuran 100 mikron.
Kondisi air dalam pemeliharaan larva dikatakan siap tebar, jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
Gambar 4.8. Panen Nauplius dari bak Gambar 4.9. Penampungan Nauplius
penetasan ke Baskom
Gambar 4.10. Pembersihan Nauplus Gambar 4.11. Aklimatisasi Nauplius ke bak
Dari seser pemeliharaan Larva
4.3.6 Perkembangan dan Pemeliharaan Larva
Yang dimaksud larva disini adalah nauplius – mysis III (M-3). Bentuk
tubuh dan organ nauplius sampai mysis jauh berbeda dengan bentuk udang
dewasa. Namun, jika sudah masuk ke dalam stadia post larva bentuknya sudah
menyerupai udang dewasa.
Untuk mencapai kesuksesan dalam pemeliharaan larva perlu penanganan
yang serius dalam hal pemberian pakan, pengelolaan kualitas air serta
pengamatan perkembangan kesehatan larva.
Tabel 4.3. Jenis Pakan ynag diberikan pada Larva Udang Windu
Time Zoea Mysis PL
BP 3 gr/bak Larva Z Plus 3 Artemia
08.00 Skele 2 ember/bak gr/bak secukupnya
Skele 2 ember/bak
Fripak 3 gr/bak Fripak 3 gr/bak Larva Z Plus 5
12.00
Skele 2 ember/bak Skele 2 ember/bak gr/bak
Larva ZM 3 gr/bak Larva ZM 3 gr/bak Artemia
16.00
Skele 2 ember/bak Skele 2 ember/bak secukupnya
BP 3 gr/bak Larva Z Plus 3 Flek 5 gr/bak
Skele 2 ember/bak gr/bak
20.00
Skele 2 ember/bak
Setelah tahap larva mysis, fase selanjutnya adalah Post larva. Pada fase ini
tidak mengalami perubahan bentuk tetapi hanya pengalami perubahan panjang
dan berat. Fase ini merupakan fase terakhir dari metamorfosa larva udang (PL).
post larva yang telah mencapai umur 14 hari sudah dapat dipanen untuk
pemeliharaan udang windu.
b) Usaha Pengobatan
Tindakan ini merupakan upaya terakhir, terutama jika tindakan
pencegahan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pemberian obat–obatan
harus dilakukan secara tepat, sebab jika tidak dilakukan dengan tepat dapat
menimbulkan masalah sebagai berikut:
- Berpengaruh negative terhadap bakteri nitrifikasi yang berperan dalam
filter biologis.
- Berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan pakan alami.
- Kemungkinan meninggalkan residu yang sangat berbahaya bagi
kehidupan dan pertumbuhan larva yang dipelihara.
Dari skema di atas nampak bahwa sistem pemasaran benur pada Balai
Budidaya Air Payau Ujung Batee mempunyai dua tipe pemasaran:
1. Tipe A, yaitu pemasaran langsung bertemu antara Produsen dengan
konsumen.
2. Tipe B, yaitu pemasaran benur melalui agen perantara artinya Produsen dan
konsumen tidak pernah bertemu.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
- Dengan pengambilan induk dari alam maka dapat meminimkan biaya
pemeliharaan Induk dan hasil yang diperoleh dengan memanfaatkan induk dari
alam tidak jauh berbeda dengan induk hasil budidaya.
- Pengorganisasian sumberdaya, pengerahan dan pengawasan berperan dalam
proses pembenihan udang. Peranan manajemen terlihat dari perbedaan antar
perlakuan dan periode produksi. Perbedaan produksi benur udang ini nyata
disebabkan oleh perlakukan pengelolaan tersebut.
- Dengan pengorganisasian sumberdaya (tenaga ahli, induk udang, peralatan dan
input) yang baik maka dapat dihasilkan angka kehidupan benur yang tinggi.
Sebaliknya bila sumberdaya tersebut diorganisasikan kurang baik maka nilai
kehidupan benur yang di dapat akan semakin lebih sedikit.
- Pengerahan input dan pengawasan pertumbuhan benur udang bila dilakukan
dengan baik maka hasil benur yang diperoleh akan tinggi. Sebaliknya bila
dilakukan kurang baik maka jumlah benur yang diperoleh akan lebih rendah.
5.2 Saran
- Untuk meningkatkan pencapaian jumlah benih yang dihasilkan dalam
pembenihan maka yang perlu dilakukan adalah pengelolaan kualitas air dan
manajemen pemberian pakan.
- Alat – alat yang digunakan dalam proses budidaya (Pembenihan) harus betul –
betul bersih dan tidak terinfeksi organisme lain yang akan menimbulkan penyakit
bagi kehidupan larva udang tersebut.
- Ketersediaan air bersih baik air laut maupun air tawar harus selalu terjaga
terutama pada masa larva udang membutuhkan banyak pakan alami. Ketersediaan
air di sini maksudnya adalah untuk menjaga ketersediaan pakan alami yang akan
diberikan sebagai pakan larva udang.
DAFTAR PUSTAKA
Pada tahun 2007 penulis melanjutkan study pada tingkat perguruan tinggi di Politeknik
VEDCA Cianjur (Vocational Educational Developent Center For Agricultureme) Joint
Program Politeknik Negeri Jember. Pada Program Study Penulis mengambil Jurusan
BDP (Budidaya Perairan). Pada tahun 2009 penulis melaksanakan Praktik Kerja
Lapangan (PKL) di Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, Kab Aceh Besar Nanggroe
Aceh Darussalam. Dan Selama melaksanakan PKL penulis mengambil Judul Laporan
”Pembenihan Udang Windu dan Produksi Pakan Alami”. Pada tanggal 13 Februari 2009
penulis dinyatakan lulus pada sidang seminar PKL di perusahaan.
Sampai saat ini, penulis masih terdaftar atau masih aktif sebagai mahasiswa Politeknik
VEDCA Pertanian Cianjur Joint Program Politeknik Negeri Jember.
PROGRAM KERJA MAGANG MAHASISWA DI INDUSTRI
Waktu Pelaksanaan
NO Uraian Kegiatan Oktober Nopember Desember Januari Pebuari
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1 Observasi dan konsultasi
2 Pelaksanaan PKL
@ Budidaya Pakan Alami
@ Pembenihan
@ Pemeliharaan Larva
3 Pembuatan Laporan
4 Presentasi di Industri
5 Presentasi di Kampus .
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II Mahasiswa
KEPALA BBAP
Ir. Coco Kokarkin Soetrisno. S., M. Sc., Ph.D
TATA USAHA
Ir. Jamaluddin