You are on page 1of 3

BUDAYA LITERASI DI PESANTREN*1

Ilzamudin Ma’mur*

“Biarkan jasad-raga ku terkubur dalam-dalam di antara himpitan bumi,


tetapi jiwa ku kan tetap hidup bersemayam di antara bibir-bibir umat manusia,”
demikian kurang lebih bunyi kata bijak Jalaludin al-Rumi (?) yang penulis baca
puluhan tahun silam. Kata-kata arif tersebut sejatinya merupakan ajakan implisit
kepada kita khalayak pembacanya untuk melakukan kesalehan amal spiritual,
sosial dan intelektual agar kelak ketika sesorang telah berpulang kembali pada
Sang Khaliq, ia akan tetap hidup dalam ucapan, fikiran dan tindakan generasi
penerusnya dengan wasilah, utamanya, kesalehan karya intelektualnya.
Betapapun tidak dikehendakinya sama sekali, bahkan kemungkinan berada di
luar wilayah ‘nawaitu’ awalnya, karya intelektual tersebut tetap bergerak
melintasi batas-batas demografis dan geografis, menembus ruang dan waktu
yang relatif luas dan abadi. Pameo tradisi intelektualitas Barat “Publish or Perish”
yang dapat dimaknai “Menulis atau Habis,” sepenuhnya sejalan dengan nasihat
Rumi tersebut. Faktanya, kita dari kalangan pesantren umumnya mengenal dan
mengkaji pemikiran Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i (767-820) melalui Kitab al-
Umm, Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) melalui karya ensiklopediknya Ihya al-
Ulum al-din, Muhammad Abu al-Wahid Ibn Rusyd (1126-1198) melalui Bidayat
al-Mujtahid wa-Nihayat al-Muqtashid, ‘Abdulrahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun
(1332-1406) melalui Al-Muqaddimah, Muhammad Abduh (1849-1905) melalui
Risalah al-Tawhid, Muhamad Rasyid Ridha (1865-1935) melalui Tafsir al-Manar;
Sayyid Qutub melalui Fi Dzilal al-Qur’an, Haji Abdul Malik Karim Amrullah melalui
Tafsir Al-Azhar, dan masih banyak lagi ulama dan karya intelektualnya yang
tidak disebutkan di sini.
Demikian juga Syeikh Nawawi al-Bantani (1813-1897), kendati telah
berpulang ke rahmatullah ratusan tahun silam, ia tetap hidup melalui karya-
karya intelektual yang diwariskannya. Kendati telah banyak karya tulis, mulai
makalah, skripsi, tesis, hingga disertasi, yang telah dihasilkan anak bangsa serta
berbagai seminar regional, nasional dan internasional telah pula digelar untuk
membahas berbagai aspek pemikiran yang terkandung dalam karya-karyanya,
tetap saja karya intelektual Nawawi tiada habis-habisnya dikupas dan dibahas,
tiada kering-keringnya digali dan menjadi sumber inspriasi dan aksi Islami.
Nawawi al-Bantani tetap hidup dalam lisan, pikiran dan tindakan generasi umat
manusia tidak saja di Banten, sebagai tanah kelahirannya, tetapi seantero dunia
tempat karyanya berada dan para muridnya bermukim.
Nawawi al-Bantani, adalah penggerak utama laju roda tradisi
intelektualisme pesantren di Nusantara dari dahulu hingga sekarang
sebagaimana dipaparkan secara mendalam dan meyakinkan oleh Abdurahman
Mas’ud dalam Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi (2004).
Nawawi, ulama prolific yang santun dan rendah hati, mewariskan karya
intelektualnya tidak kurang dari 100 buah kitab kuning yang membahas sembilan

1* Dimuat dalam Fajar Banten, Jum’at 8 Februari 2008


* Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Adab, IAIN SMH Banten
bidang ilmu pengetahuan Islam: tafsir, fiqih, ushuludin, tauhid, tasawuf, sejarah
Nabi, gramatika bahasa Arab, hadits, dan akhlaq. Melalui karya-karya tersebut,
Nawawi juga menumbuhkan budaya literasi pada diri murid-muridnya mulai dari
K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947), pendiri NU dari Jawa Timur, K.H. Khalil (1819-
1925) dari Bangkalan Madura, hingga K.H. Tb. M. Asnawi dari Caringin Banten,
untuk menyebut beberapa murid Indonesianya saja yang juga berhasil menulis
dan mewariskan beberapa karya intelektual mereka. Misalnya, K.H. Wahid
Hasyim dengan Qanun Asasi, Ihya ‘Amal al-Fudlala, dan K.H. Khalil Bangkalan
dengan As-Silah fi Bayan al-Nikah. Dengan kata lain, Nawawi berhasil mencetak
murid-murid yang literate guna memperkokoh tradisi yang dirintisnya.

Pesan Literasi di Pesantren


Lalu, bagaimana dengan kita yang berada pada barisan pendukung dan
pewaris tradisi penyelenggaraan pesantren, tradisi yang telah dibangun
pendahulu kita di bumi Nusantara sejak ratusan tahun lalu, tepatnya sejak abad
16. Kita seyogyanya menghargai dan meneladani ulama-ulama terdahulu secara
memadai seperti yang telah ditunjukkan dan dibuktikan Syaikh Nawawi Al-
Bantani dengan cara menggiatkan upaya untuk menumbuhkan serta
memantapkan budaya literasi, yakni menumbuhkan budaya baca tulis, dalam
konteks kita, baik dalam bahasa daerah, Indonesia, Arab maupun Inggris secara
bertahap berdasarkan prioritas kebutuhan dan kemampuan. Batasan literasi
dalam Longman Dictionary of Contemporary English adalah “the state of being
able to read and write,” yakni keadaan mampu membaca dan menulis
(1995:828). Webster’s New Collegiate Dictionary memberikan batasan literate
secara lebih tegas yakni sebagai orang yang berpendidikan, berbudaya, mampu
membaca dan menulis (1981:666). Tentu saja, kata berpendidikan dapat
mencakup di dalamnya pendidikan umum dan pendidikan pesantren.
Penumbuhan budaya baca-tulis pendidikan pesantren seyogynya berujung pada
pemantapan pada budaya tulisan.
Dalam beberapa kajian akademis tentang literasi disingkapkan bahwa
kebiasaan/keterampilan membaca berkorelasi sangat siginifikan dengan
kebiasaan/keterampilan menulis. Paling tidak, dari kegiatan membaca berbagai
karya intelektual, termasuk di dalamnya beragam kitab kuning, diperoleh banyak
pengetahuan yang kemudian dapat direnungkan, didiskusikan, direfleksikan,
diolah dan akhirnya dituangkan dalam tulisan serta didiseminasikan guna
berbagi dengan yang lain dalam bingkai, sebagaimana sabda Nabi, “balighuu
‘anni walau ayah’ dengan media yang relatif lebih bertahan lama dan
berjangkuan lebih luas, media tulisan baik berupa esei maupun buku. Francis
Bacon mengatakan “Reading makes a full man, conference a ready man, and
writing an axact man.” Membaca manjadikan manusia penuh, konferensi
menjadikan manusia siap, dan menulis menjadikan manusia pasti.” Salah satu
kepastian itu adalah ia akan bermanfaat bagi dirinya dan diri orang lain. Dalam
salah satu hadits yang dikutip al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din dipastikan
bahwa :”Tinta para pelajar (yang menulis) setara dengan darah para syuhada...”
Tradisi lisan yang sangat kental di dunia pesantren, juga pada dunia
pendidikan umum di Indonesia, seyogyanya juga diimbangi dengan upaya
menumbuhkan tradisi budaya tulisan. Bukankah kita menyadari sepenuhnya
bahwa wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW mengandung kata iqra (bacalah!) dan juga kata qalam (alat untuk
mendiseminasikan secara tertulis tentang apa yang telah dibaca)? (al-‘Alaq:1-5).
Bahkan kata ‘ilm dan ‘aql masing-masing tidak kurang dari 450 dan 49 kali
disebutkan dalam al-Quran. Hal ini juga mengindikasikan arti penting ilmu dan
berfikir kritis dalam kehidupan manusia, yang mengemban tugas kekhalifahan di
muka bumi.

Perlu Waktu Lama


Tentu saja merespons tuntutan al-Quran dan meretas upaya ke arah
pembudayaan literacy dan pemantapan pribadi yang literate tersebut tidaklah
semudah membalikan telapak tangan. Upaya yang tidak saja harus serius dan
intens, tetapi juga kesabaran yang konsisten, karena menyangkut society
character building yang time consuming (butuh waktu lama), perlu terus disadari
dan dilakukan sepenuh hati. Fenomena ini disinyalir seorang cendekiawan
Muslim yang prihatin terhadap dunia pesantren, juga pendidikan umum di tanah
air. Ia menyatakan,” antara otak-lisan dan otak-tangan bermil-mil jaraknya.
Buktinya, …,banyak ulama besar di Indonesia yang memiliki ribuan santri. Ketika
wafat mereka mewariskan masjid dan madrasah yang megah, serta ribuan jilid
kitab kuning. Sedikit sekali yang meninggalkan karya tulisnya mereka sendiri”
(Alwasilah, 2005:47). Keprihatinan seperti ini hendaknya dijadikan renungan dan
bahkan pemicu tindakan dan upaya konstruktif edukatif yang nyata di kalangan
kita dalam rangka menumbuh-kembangkan budaya literacy dan mencetak
generasi santri yang literate, budaya “mendekatkan otak ke tangan”, yang telah
pula dibuktikan oleh sedikit saja alumni pesantren di Banten.
Tetapi bagaimana? “Ibda binafsik,” mulailah dari diri sendiri ! demikian
ungkapan yang akrab dalam bahasa pesantren, sebagai jawabannya. Mengingat
budaya pesantern lebih berpola budaya paternalistik, di mana kyai, pimpinan,
atau direktur pesantren merupakan otoritas tertinggi di institusinya yang harus
dipatuhi, dipanuti dan diteladani para santri khususnya dan masyarakat luas
umumnya, maka pembiasan budaya literacy secara hirarkhis dibangun dan
dimulai dari sang kyai, para asatidz, santri senior hingga santri junior, atau boleh
jadi dimantapkan dari arah yang sebaliknya. Dengan aksi nyata yang kolaboratif,
terprogram, sinergis dan bersinambung bukan hal yang mustahil kalau suatau
hari nanti santri yang literate, pada gilirannya nanti juga ulama yang literate,
bermunculan kembali dari institusi pesantren kita di Banten; akan lahir Nawawi-
Nawawi baru yang memanggul peran dan tanggungjawab sesuai semangat
zamannya, Insya Allah ! Wallahu a’lam bis shawab !

You might also like