You are on page 1of 24

PAPER

APAKAH UU NO.30 TAHUN 1999

SUDAH MEMENUHI STANDARD

PERATURAN ARBITRASE

INTERNASIONAL?

OLEH :

DINA JULIANI

STAFF DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI

JAKARTA, 2009

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dahulu boleh dikatakan orang lebih mengenal peradilan sebagai pranata yang berfungsi

untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak yang berselisih. Namun

sesungguhnya jika kita buka lagi lembaran sejarah hukum di Indonesia, akan kita temui bahwa

ada alternatif penyelesaian sengketa yang sesungguhnya telah dikenal sejak jaman

pemerintahan Hindia Belanda, tepatnya dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering

atau disingkat Rv. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa alternatif ini diatur dalam pasal

615 sampai dengan 651 Rv tersebut.1

Sekarang ini kita mengenal adanya penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan formal,

yakni Penyelesaian Sengketa Alternatif yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang

bersengketa sebagai bentuk perjanjian kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak untuk

menyelesaikan sengketa melalui forum di luar pengadilan harus ditaati oleh para pihak.

Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang

mendasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa. Sengketa yang bisa dibawa ke arbitrase adalah sengketa perdata yang bersifat

hukum perdata dan hukum dagang.


1
Pasal 615 ayat (1) Rv. menguraikan, “Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu
sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan
pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa wasit.”
Pasal 615 ayat (3) Rv. menguraikan, “Bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk
menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau
beberapa wasit.”

2
Kegunaan menerapkan perjanjian arbitrase secara paksa pada umumnya timbul ketika salah

satu pihak mencoba untuk menghambat proses arbitrase. Perlawanan yang tersedia bagi pihak

lain adalah meminta kepada arbiter untuk memberikan putusannya tentang keabsahan

perjanjian arbitrase tersebut.

Dalam banyak hal, beberapa ketentuan positif yang mengatur pranata penyelesaian

sengketa di luar peradilan ada yang tidak singkron dan tidak sejalan dengan Undang-Undang

Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (untuk

selanjutnya disebut dengan UU Arbitrase).

Dengan tidak mengurangi adagium hukum yang mengatakan bahwa senantiasa ada asas lex

specialis derograt lex generalis (sebagaimana diatur dalam UU Arbitrase) namun secara

esensi, beberapa ketentuan khusus menyatakan bahwa salah satu pihak dapat setiap saat

menyatakan diri keluar dari forum atau proses penyelesaian sengketa alternatif jelas

bertentangan dengan jiwa pengakuan akan keberadaan pranata alternatif penyelesaian

sengketa itu sendiri.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berangkat dari fenomena-fenomena pelanggaran pelaksanaan hukum acara arbitrase ini,

maka penulis akan mengkaji lebih lanjut tentang:

Apakah UU No.30 tahun 1999 sudah memenuhi standard peraturan

Arbitrase Internasional?

Hal ini penting dipertanyakan karena ternyata masih ada praktek arbitrase yang masih

dipertanyakan keberadaannya dan UU No. 30 tahun 1999 tidak bisa menaungi keputusan

arbitrase tersebut. Hal ini disebabkan karena tidak dilaksanakannya putusan arbitrase secara

3
sukarela oleh pihak yang dikalahkan. Pihak yang dikalahkan mengajukan permohonan

pembatalan putusan arbitrase kepada Pengadilan. Kurangnya pemahaman Hakim akan

arbitrase daapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Para hakim seharusnya juga membaca

klausul dalam perjanjian, apakah ada klausul arbitrase atau tidak. Jika ada klausul arbitrase,

kecuali permohonan pembatalan putusan arbitrase sesuai dengan UU, maka wajib bagi para

hakim untuk menolak memeriksa perkara tersebut.

Selain itu, menimbulkan suatu keragu-raguan pada UU Arbitrase karena pada umumnya

para pihak lebih memilih badan arbitrase internasional daripada badan arbitrase yang dimiliki

oleh Indonesia. Apakah badan arbitrase yang dimiliki Indonesia tidak sebaik badan arbitrase

internasional?

Misalnya:

1. Kasus AMCO Asia Corp vs Republik Indonesia2

Kasus AMCO Asia yang kemudian berkembang menjadi kasus AMCO Asia Corporation.

Pan America Development Limited dan PT AMCO Indonesia (AMCO) vs Republik

Indonesia. Sidang AMCO Asia di ICSID ini telah memakan waktu bertahun-tahun dengan

biaya yang besar dan berakhir dengan kekalahan Republik Indonesia.Pada tanggal 21

Desember 1992 tiga arbitrator yang terdiri dari Sompong Sucharitul (ketua), Arghyrios A.

Fatouros dan Dietrich Sehindler telah memerintahkan RI membayar ganti rugi pada

penggugat sejumlah kurang lebih dua juta dollar (ICSID case ARBI 81/1).

2. Kasus Karaha Bodas3

2
D. Sidik Suraputra SH, Hukum Internasional dan berbagai permasalahaannya (suatu kumpulan karangan),
Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004, hlm. 313.
3
The Jakarta Post, 30 Oktober 2006 (http://www.kabar-irian.com/pipermail/kabar-indonesia/2006-
October/012331.html), 8 Juni 2009

4
Reports about Karaha Bodas have resurfaced as Pertamina has been ordered to pay

the company compensation resulting from the cancellation of the construction of the

Karaha Bodas Geothermal Power Plant in Garut, West Java in 1997. The amount of the

claim to be paid is reportedly over US$300 million, which is not an insignificant amount

for Pertamina, a company that is actually not fully financially sound. As time passes, this

amount of money will continue to rise as interest and a penalty are imposed on any late

payment.

Pertamina and the government is that they should immediately pay Karaha Bodas'

claim because the ruling of the International Arbitration Institute in Switzerland in favor

of Karaha Bodas is final and binding. No matter how many legal efforts have been and

will be made, the fact that the International Arbitration Institute found against Pertamina

will stand.

On the basis of the international legal doctrine, an appeal cannot be made against a

ruling at international arbitration, which is actually the choice of the disputing parties,

and, in addition to this, there is only a very small opportunity for this ruling to be

nullified. International legal theory and practices are too standardized to be contested with

a national legal effort that will nullify a ruling of the International Arbitration Institute.

Law No. 30/1999 on Arbitration and Dispute Settlement Options explicitly

recognizes rulings at international arbitration. Here one can demand that a ruling at

international arbitration be implemented through the Central Jakarta District Court. If the

district court rejects it, an appeal may be made to the Supreme Court. It must be noted

that, by law, a request can be made to have a ruling at international arbitration nullified

but such a request is rarely met. On the other hand, in many cases an international

5
arbitration panel has ignored the ruling of a domestic court nullifying a ruling at

international arbitration. In this context, it should also be noted that Indonesia, by virtue

of Presidential Decree No. 34/1981, is committed to the Convention on the Recognition

and Enforcement of Foreign Arbitral Award. As Indonesia has ratified this convention, its

obligation to enforce a ruling at international arbitration is inevitable.

Untuk melihat apakah UU Arbitrase sudah sesuai dengan Aturan Arbitrase Internasional,

mari kita bandingkan antara UU No. 30 tahun 1999 dengan peraturan tentang Arbitrase

Internasional. Apakah UU ini telah menyimpang jauh dari peraturan Arbitrase Internasional

atau sebenarnya UU ini sudah memuat berbagai klausul yang diatur dalam peraturan Arbitrase

Internasional, hanya saja pelaksanaannya di Indonesia tidak konsekuen dengan aturan

hukumnya.

6
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE

A. PENGERTIAN ARBITRASE

Jika dilihat dari beberapa pendapat ahli hukum, Arbitrase adalah:

1. Menurut Subekti4 : Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh

seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak

yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan.


5
2. Menurut Willian H. Gill, “An arbitration is the reference of a dispute or difference

between not less than two persons for determination after hearing both sides in judicial

manner by another persons, other than court of competent jurisdiction”.

3. Black’s Law Dictionary, Arbitration is the reference of dispute to an impartial (third)

person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the

arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be

heard. An arrangement for taking and abiding by the judgment of selected persons in

some disputed matter. Instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is

intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary

litigation.

4. Menurut UU Nomor 30 tahun 1999, Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa

perdata di luar lembaga peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang

dibuat secara tertulis oleh kedua belah pihak. Perjanjian arbitrase adalah suatu

kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tecantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat
4
Priyatno Abdur Rasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Makalah Seminar Nasional tentang
Arbitrase dan E-Commerce, 2000, hlm.8.
5
Ibid, hlm 7

7
para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat

oleh para pihak setelah timbul sengketa.

Arbitrase biasa dilakukan oleh para pengusaha (nasional maupun internasional) sebagai

suatu cara perdamaian memecahkan ketidaksepahaman pihak-pihak di bidang komersial.

Seperti yang dicantumkan dalam “The United Nastions Commision on International Trade

Law (UNCITRAL) tanggal 28 April 1976 (UNCITRAL ARBITRATION RULES), bidang

komersial itu meliputi: transaksi untuk ekspor impor makanan, perjanjian distribusi,

perbankan, asuransi, konsensi, perusahaan joint venture, pengangkutan penumpang pesawat

udara, laut, kereta api, maupun jalan raya.6 Dalam perkembangan selanjutnya ternyata tata

cara penyelesaian cara damai seperti arbitrase banyak dimanfaatkan dalam bidang-bidang

sengketa tentang franchising, penerbangan, telekomunikasi internasional, dan penggunaan

ruang angkasa komersial, bahkan ada yang menghendaki agar juga ditetapkan dalam kartu

kredit perbankan, dan pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.

B. ARBITRASE INTERNASIONAL

Berbagai peraturan Internasional tentang Arbitrase ada yang sudah diratifikasi oleh

Indonesia. Peraturan-peraturan ini menjadi pegangan dalam pembuatan undang-undang nomor

30 tahun 1999 dan juga pelaksanaan Arbitrase di Indonesia. Peraturan-peraturan internasional

dibawah inilah yang dalam Bab berikutnya akan kita bandingkan dengan UU Nomor 30 tahun

1999, apakah UU 30 tahun 1999 itu sudah memenuhi atau searah dengan peraturan

6
UNCITRALArbitration Rules 1976

8
Internasional tentang Arbitrase. Sebelum kita membahas mengenai UU nomor 30 tahun 1999,

ada baiknya kita mengenal tentang peraturan Internasional tentang Arbitrase berikut ini: 7

1. Arbitrase menurut Konvensi New York tahun 1958;

Pemerintah telah mengeluarkan Keppres No.34 tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 yang

meratifikasi Konvensi New York tahun 1958 (United Nations Convention on The

Enforcement of Foreign Arbitral Award 1958), yang inti utamanya mempersoalkan

eksekusi arbitrase asing (foreign arbitral awards), bukan hanya arbitrase internasional.

Bahwa terhadap putusan arbitrase asing di Indonesia ada pengakuan (recognition) dan

pelaksanaan (enforcement). Demikian juga Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1

tahun 1990, tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Sehingga sejak

tanggal 1 Maret 1990 berdasarkan Perma tersebut putusan-putusan BANI yang menyangkut

warga Negara asing atau badan hukum asing, dalam hal pihak warga Negara atau badan

hukum itu dikalahkan, dan sebaliknya berdasarkan asas resiprositas/timbale balik maka

putusan badan arbitrase diluar negeri/asing dapat dieksekusi di Indonesia apabila pihak

warga Negara atau badan hukum Indonesia dikalahkan.

2. Convention on the Settlement of Investment Dispute between States and Nationals of Other

States (Washington Convention), yang ditandatangani di USA, disahkan di Indonesia

dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1968. Putusan berdasarkan Washington

Convention dapat dilaksanakan dan dieksekusi di Indonesia dengan nizin tertulis dari

Mahkamah Agung. MA hanya boleh menolak keputusan arbitrase Washington Convention

jika bertentangan dengan ketertiban umum, akan tetapi MA tidak diperbolehkan untuk

menilai atau menguji isi dan materi inti dari putusan arbitrase Washington Convention.

7
Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan
Lembaga Arbitrase, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm 43.

9
3. Resolution 31/98 Adopted by the General Assembly on 15 December 1976, Arbitration

Rules of the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL).

4. UNCITRAL Model Law On International Commercial Arbitration (1985). UNCITRAL

1985 ini bisa dianggap sebagai model arbitrase yang lahir karena kebiasaan internasional.

Model ini dapat disimpangi sesuai dengan kewenangan para Negara. Dalam chapter 1

article 1 ayat 3, Arbitrase Internasional dalam arti sempit – seperti yang dimaksud dalam

model hukum arbitrase UNCITRAL – baru termasuk arbitrase internasional jika memenuhi

syarat-syarat berikut:

a. Jika pada saat penandatanganan kontrak yang menjadi sengketa, para pihak mempunyai

tempat bisnis di Negara yang berbeda;

b. Jika tempat arbitrase sesuai dengan kontrak arbitrase berada di luar tempat bisnis para

pihak;

c. Jika pelaksanaan sebagian besar kewajiban dalam kontrak berada di luar bisnis para

pihak, atau pokok sengketa sangat terkait dengan tempat yang berada di luar tempat

bisnisnya para pihak, atau;

d. Para pihak dengan tegas telah menyetujui bahwa pokok persoalan dalam kontrak

arbitrase berhubungan dengan lebih dari satu Negara.

C. KLAUSUL ARBITRASE

Perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum

dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (dengan acta

compromi) atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul

sengketa (actum decompromittendo). Secara komprehensif ditegaskan dalam UU Arbitrase

10
tentang syarat adanya klausul arbitrase secara tertulis yang disepakati oleh para pihak dalam

perjanjian.

Beberapa contoh klausul arbitrase: 8

1. BANI: “Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus

oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), yang keputusannya mengikat kedua

belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir.”

2. UNCITRAL : “Any dispute, controversy or claim arising out of or relating to this

contract, or the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled by arbitration in

accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as at present force. The appointing

authority shall be the ICC acting in accordance with the rules adopted by the ICC for the

purpose.”

3. ICC : “All disputes arising in connection with the present contract shall be finally settled

under the Rules of Conciliation and Arbitration of the International Chamber of

Commerce by one or more arbitrators appointed in accordance with the said Rules.”

Undang-undang Arbitrase Nomor 30 tahun 1999 menetapkan dalam pasal 2 dan 3 yang

masing-masing berkata, bahwa Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda

pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan

perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat

yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan

cara arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Dengan demikian maka pengadilan wajib

8
Priyatna Abdurrasyid, 2000, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa – Suatu Pengantar, PT. Fikahati
Aneska, Jakarta, 2002, hlm 71-72

11
menghormati dan mengakui fungsi dan wewenang arbiter. Perjanjian arbitrase secara tertulis

harus ditandatangani oleh pada pihak atau kuasa resmi yang bersangkutan.

UNCITRAL Model Law 1985 article 7; New York Convention 1958 article II; juga

memuat tentang perjanjian arbitrase ini, bahwa “Arbitration Agreement is an agreement by

parties to submit to arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise

between them in respect of a defined legal relationship. The arbitration shall be in writing, and

signed by the parties. In exchange the statement in arbitration clause is alleged by one party

and not denied by another.”

12
BAB III

PEMBAHASAN PERMASALAHAN

Ada satu permasalahan tentang arbitrase yang akan dibahas dalam paper ini, yaitu:

Apakah UU No.30 tahun 1999 sudah memenuhi standard peraturan Arbitrase

Internasional?

Untuk itu kita akan membandingkan unsur-unsur dalam UU No. 30 tahun 1999 dengan

peraturan internasional yang telah disebutkan dalam BAB II, pembahasan per bab yang

diharapkan dapat memberikan perbandingan atas Undang-undang 30 tahun 1999 terhadap

aturan internasional tentang arbitrase.

1. Tentang Arbiter

a. Menurut UU Nomor 30 tahun 1999 pasal 12, pasal 13, pasal 15:

Arbiter yang dipilih haruslah arbiter yang kompeten, jujur, dan memiliki integritas

bukan saja pada pribadinya tetapi juga pada kemampuan dan keahlian yang

dimilikinya. Untuk jumlah arbiter dipilih tergantung dari keinginan para pihak, bisa

satu (tunggal), bisa lebih (3 orang) dimana satu dipilih oleh masing-masing pihak, dan

yang ketiga dipilih bersama sehingga dicapai jumlah yang ganjil. Dan andaikata para

pihak tidak memilih dapat saja diserahkan kepada Lembaga Arbitrase atau dipilih oleh

Hakim.

b. Inter-American Convention on International Commercial Arbitration 1975, article 2:

“Arbiters shall be appointed in the manner agreed upon by the parties. Their

13
appointment may be delegated to a third party, whether a natural or juridicial person.

Arbitrators may be nationals or foreigners.”

c. Washington Convention 1965:

Article 12 jo article 37: The Panel of Conciliators and the Panel of Arbitrators shall

each consist of qualified persons, designated as hereinafter provided, who are willing

to serve thereon; the tribunal shall consist or sole arbitrator or any uneven number of

arbitrators appointed as the parties shall agree.

d. UNCITRAL Arbitration Rules 1976, article 5:

The parties have agreed to the arbitrators that they have appointed.

e. UNCITRAL Model Law 1985:

Article 10: the Partie are free to determine the number of arbitrators.

Jadi dapat disimpulkan bahwa ketentuan tentang pemilihan arbiter dalam UU No. 30

tahun 1999, telah sesuai dengan peraturan arbitrase internasional.

2. Penarikan kembali wewenang arbiter:

a. UU Nomor 30 tahun 1999:

Penarikan kembali wewenang arbiter dapat saja dilakukan jika memang wajar dan

telah terbukti terjadi situasi tertentu (pasal 22), yaitu:

1) Bilamana arbiter terbukti melakukan pelanggaran pidana. Arbiter yang telah

dipilih dan mulai melakukan tugasnya tidak dapat dibebaskan dari wewenangnya

bila salah satu pihak meninggal dunia. Jadi wewenang arbiter dapat dibatalkan

bilamana terbukti atau dibuktikan bahwa ia:

2) Mempunyai kepentingan financial atau terbukti tidak independen;

14
3) Penyelewengan.

b. UNCITRAL Model Law 1985, article 14, ayat;

(1) If an arbitrators becomes de jure or de facto unable to perform his functions or for

other reasons fails to act without undue delay, his mandate terminates if he

withdraws from his office or if the parties agree on termination.

Dalam hal pembatalan wewenang arbiter, UU 30 tahun 1999 telah memenuhi unsur

yang diatur dalam Arbitrase Internasional.

3. Peran Serta Pengadilan

a. UU Nomor 30 tahun 1999;

Dalam pasal 3 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili

sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pasal 11 (2):

Pengadilan tidak akan campur tangan ke dalam suatu penyelesaian sengketa yang

sudah ditetapkan kecuali yang telah ditetapkan oleh UU ini, misalnya dalam hal

pengangkatan arbiter (pasal 13), memaksa para pihak untuk melaksanakan putusan

Arbitrase (pasal 61), membatalkan putusan arbitrase jika putusan itu bertentangan

dengan kesusilaan dan kepentingan umum (pasal 62).

b. UNCITRAL Model Law 1985;

Article 5: In matters governed by the Law, no court shall intervene except where so

provided in this Law;

Article 6 menyatakan bahwa pengadilan hanya melakukan fungsinya membantu proses

arbitrase dan pengawasan seputar yang diatur dalam Article 11(3), 11(4), 13(3), 14,

16(3), dan 34(2), yaitu: membantu seputar penunjukkan arbitrase jika tidak ada

15
kesepakatan para pihak atau diminta oleh para pihak, adanya pengalihan atas putusan

arbitrase.

Tentang kewenangan Pengadilan dalam hal adanya perjanjian arbitrase, sepakat bahwa

Pengadilan tidak memiliki wewenang kecuali wewenang tentang yang diatur oleh

Undang-undang.

4. Persiapan Untuk Seorang Arbiter

a. Menurut UU No. 30 tahun 1999, pasal 18, seorang calon arbiter yang diminta oleh

salah satu pihak untuk duduk dalam majelis arbitrase wajib memberitahukan kepada

pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau

menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.

b. UNCITRAL Model Law 1985:

Article 12: when a person is approached in connection with his possible appointment

as an arbitrator, he shall disclose any circumstances likely to give rise to justifiable

doubts as to his impartially or independency.

5. Hak-hak para pihak selama proses arbitral

a. UU No.30 tahun 1999:

1) Para pihak dalam suatu perjanjian tertulis bebas untuk menentukan acara yang

digunakan (pasal 31).

2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau

bukti disertai dengan dokumen atau bukti disertai terjemahan ke dalam bahasa

yang ditetapkan oleh arbiter / majelis arbitrase (pasal 35).

16
3) Tempat arbitrase dapat ditentukan oleh arbiter atau para pihak (pasal 37).

4) Dalam jangka waktu yang ditentukan, pemohon harus segera menyampaikan

surat tuntutannya kepada arbiter (pasal 38); termohon juga diberikan mengajukan

tanggapan (pasal 39).

b. UNCITRAL Model Law 1985:

1) Para pihak diberikan kesempatan yang sama (article 18).

2) Para bebas untuk menentukan prosedur acara arbitrase (article 19).

3) Para pihak bebas untuk memilih tempat dilaksanakannya arbitrase (article 20),

dan majelis arbitrase atas persetujuan para pihak, bebas memilih tempat yang

nyaman dalam proses mendengarkan kesaksian saksi, saksi ahli, atau

pemeriksaann dokumen atau benda-benda property yang berkaitan.

4) Para pihak bebas untuk memilih bahasa yang akan digunakan dalam proses

arbitrase (article 22), dan majelis arbitrase berhak mendapatkan dokumen-

dokumen terjemahannya.

5) Dalam jangka waktu yang ditentukan, pemohon harus menyampaikan surat

tuntutannya kepada arbiter dan termohon dapat mengajukan pembelaan – claim

and defence - (article 23).

c. UNCITRAL Arbitration Rules 1976;

1) Article 15: subject to these rules, the arbitral tribunal may conduct the

arbitration in such manner as it considers appropriate, provided that the parties are

treated with equality and that at any stage of the proceddings each party is given a

full opportunity of presenting his case.

17
2) Article 16: place of arbitration choosen by the parties or can determined by the

arbitral tribunal.

3) Article 17: subject to an agreement by the parties, the arbitral tribunal shall

promptly after its appointement, determine the language to be used in the

proceddings. The arbitral tribual may order that any documents related with the

procedures, shall be accompanied by a translation into the language agreed upon

by the parties or determined by the arbitral tribunal.

Dilihat dari hak-hak para pihak selama prosedur arbitrase, dapat disimpulkan

bahwa hak-hak yang diatur dalam UU nomor 30 tahun 1999 telah sejalan dengan

aturan arbitrase internasional.

6. Putusan Arbitrase

a. Menurut UU No.30 tahun 1999:

Pasal 56, keputusan yang diambil oleh arbiter adalah keputusan yang berdasarkan

ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan, tidak boleh melebihi

cakupan perjanjian. Putusan boleh dikoreksi oleh arbiter bilamana ada kesalahan

administrative redaksional berdasarkan kewenangan yang diberikan kepadanya (pasal

58).

b. UNCITRAL Model Law 1985, article 28 jo article 34, the arbitral tribunal shall decide

the dispute in accordance with such rules as law as are chosen by the parties as

applicable to the substance of the dispute, the arbitral tribunal shall decide ex aequo et

bono; the subject matter in award are not under the law of arbitration tribunal, and also

the awards shall not conflict with the public policy of the State.

18
c. UNCITRAL Arbitration Rules 1976:

Article 35, 36, 37: para pihak dapat mengajukan permohonan interpretasi atau koreksi

atau penambahan dalam putusan arbitrase, diajukan secara tertulis dan sesuai dengan

peraturan ini. Koreksi hanyalah seputar kesalahan dalam pengetikan atau kesalahan

administrative sejenisnya.

7. Kekuatan hukum putusan Arbitrase

a. Pasal 60 UU Nomor 30 tahun 1999 : putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai

kekuatan hukum tetap dan mengikat bagi para pihak;

b. Article 53 Washington Convention 1965, the awards shall be binding on the parties

and shall not be subject to any appeal or to any remedy except those provided for in

this Convention.

c. Article 35 UNCITRAL Model Law 1985: An arbitral award, irrespective of the

country in which it was made shall be recognized as binding.

d. UNCITRAL Arbitration Rules 1976 article 32 point 2, the awards shall be made in

writing and shall be final and binding on the parties, the parties undertake to carry out

the award without delay.

8. Tidak dapat diterimanya Putusan Arbitrase

a. Menurut UU No.30 tahun 1999, pengadilan dapat membatalkan putusan (annulment)

arbitrase, dalam hal putusan dengan kewenangan yang berlebihan dan sebagian

yurisdiksi yang berlebihan. Pasal 70 juga menyatakan bahwa putusan arbitrase ini

dapat dibatalkan apabila dapat dibuktikan adanya dokumen-dokumen yang palsu, atau

19
dokumen disembunyikan oleh pihak lawan dan adanya tipu muslihat dalam

pemeriksaan sengketa.

b. Dalam UNCITRAL Model Law 1985, tidak dikenal istilah pembatalan putusan. Tapi

dikenal istilah setting aside (mengesampingkan). Article 34, putusan arbitrase dapat

dikesampingkan oleh pengadilan jika tidak ada perjanjian arbitrase atau perjanjian

tersebut tidak tertulis; atau penunjukkan arbiter dan komposisi arbitor tidak sesuai

dengan peraturan ini; atau putusan arbitrase diluar yang diperjanjikan atau melanggar

kebijakan public suatu Negara.

c. Dalam New York Convention 1958, terdapat beda pendapat lagi. Pada article V butir

1e, dinyatakan bahwa “The award has not yet become binding on the parties, or has

been set aside or suspended by a competent authority of the country ehich, or under the

law which, that award was made.” Berarti yang diakui dalam New York Convention

adalah set aside (mengesampingkan) dan suspended (menunda/menangguhkan).

d. Washington Convention 1965:

Section 5: segala interpretasi, revisi dan pembatalan (interpretation, revision,

annulment) atas putusan arbitrase dapat diajukan kepada majelis arbitrase, tetapi hanya

karena alasan: majelis arbitrase tidak berwenang memutuskan, majelis arbitrase

memutuskan diluar dari perjanjian arbitrase, adanya korupsi dilingkup majelis

arbitrase, adanya pelanggaran serius selama proses arbitrase, atau keputusan arbitrase

tidak sesuai dengan peraturan undang-undang Negara setempat.

Dapat disimpulkan ada 3 macam penggunaan tata bahasa dalam persyaratan tidak

diterimanya suatu putusan arbitrase, yaitu:

20
- Set aside (mengenyampingkan);

- Suspended (menunda); dan

- Annulment (pembatalan).

Dan ciri-ciri yang diatur dalam berbagai aturan tentang arbitrase adalah berbeda-beda, dan

menimbulkan ketidakpastian hukum. Diharapkan adanya satu paham yang dapat diterima

oleh umum, tentang pemisahan pengertian set aside, suspend, dan annulment. Dan akibat

hukum terhadap putusan arbitrase yang dikenakan alasan tersebut.

21
BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

ADR (Alternatif Dispute Resolution), atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan

sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. ADR adalah suatu mekanisme penyelesaian

sengketa yang dipahami sebagai alternatif atau opsi lain bagi para pihak yang bersengketa

untuk menyelesaikan perkaranya selain melalui jalur pengadilan. Secara teori yang termasuk

dalam mekanisme ADR antara lain adalah Pendapat Mengikat, Mediasi, Penilaian Ahli,

Rekonsiliasi, dan Arbitrase.

Dengan adanya ADR para pihak yang bersengketa dapat mengetahui bahwa untuk

menyelesaikan sengketa tidak harus atau tidak selalu ke pengadilan, ada alternatif lain yang

juga layak untuk ditempuh yang dalam beberapa hal mempunyai keunggulan daripada

pengadilan. Bahkan dalam proses persidangan perdata di Indonesia saat ini, daading

(perdamaian dihadapan hakim) harus ditempuh melalui mekanisme Mediasi (court-annexed

mediation).

Pada dasarnya ciri-ciri Arbitrase dalam UU No. 30 tahun 1999 dengan peraturan arbitrase

internasional secara garis besar memiliki kemiripan. Yang terdapat dalam beberapa pearturan

internasional tentang arbitrase sudah terdapat dalam UU No. 30 tahun 1999, misalnya

beberapa ciri sebagai berikut:

1. para pihak menyerahkan kewenangan kepada pihak ketiga untuk memutuskan;

22
2. di dalam arbitrase, para pihak harus meyakinkan arbiter sehingga mengabulkan

tuntutan;

3. proses arbitrase sering merujuk kepada peraturan dari lembaga arbitrase yang dipilih

dan undang-undang mengenai arbitrase sehingga proses beracaranya lebih formal;

4. persidangan arbitrase bersifat tertutup;

5. tuntutan perkara ke arbitrase hanya bisa dilangsungkan jika para pihak yang

bersengketa terikat dengan perjanjian arbitrase;

6. arbiter dipilih berdasarkan keahliannya dan para pihak bebas memilih arbiternya;

7. putusan arbitrase adalah final dan mengikat, tidak dapat diajukan banding atau upaya

hukum apapun.

B. REKOMENDASI

Rekomendasi yang saya paparkan dalam penulisan ini:

Dilihat dari kegunaan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dapat membantu

mengurangi jumlah over kapasitas perkara yang masuk ke pengadilan. Sehingga putusan yang

dihasilkan dapat lebih cepat, tepat sasaran, dan yang diingini oleh kedua belah pihak.

Karenanya penting sekali untuk mensosialisasikan model arbitrase ini kepada masyarakat,

misalnya pengajaran pemahaman secara dini tentang arbitrase di lingkungan akademik, seperti

fakultas hukum.

Perlunya pemahaman yang mendalam tentang arbitrase baik yang diatur dalam peraturan

arbitrase internasional maupun arbitrase nasional, bagi para penegak hukum, terutama bagi

para hakim, sehingga tidak terjadi overlapping keputusan.

23
Para hakim harus menyadari bahwa putusan arbitrase adalah final dan binding. Tidak

dimungkinkan terjadinya pembatalan putusan arbitrase, kecuali yang diatur oleh Undang-

undang dan hal ini tidak bertentangan dengan kepentingan umum, dan juga kepentingan para

pihak yang bersengketa.

Demikian makalah ini saya buat, kiranya makalah ini dapat memberikan pengetahuan

bagi para pembaca.

SELESAI

24

You might also like