Professional Documents
Culture Documents
1. Pendahuluan
“Manusia tidak dapat hidup tanpa nilai. Nilai sebagai sifat atau kualitas yang
membuat sesuatu berharga, layak diingini dan dikehendaki, dipuji, dihormati, dan
dijunjung tinggi, pantas dicari, diupayakan dan dicita-citakan perwujudannya, merupakan
pemandu dan pengarah hidup kita sebagai manusia. Berdasarkan sistem nilai yang kita
miliki dan kita anut kita memilih tindakan mana yang perlu dan bahkan wajib kita
lakukan dan mana yang perlu dan wajib kita hindarkan. Berdasarkan sistem nilai yang
kita miliki dan kita anut, kita memberi arah, tujuan, dan makna pada diri dan keseluruhan
hidup kia. Dengan kata lain, berdasarkan sistem nilai yang kita miliki dan dalam
kenyataan kita hayati, akhirnya kita membentuk indentitas diri kita sebagai manusia dan
bahkan menentukan nasib keabadian kita.”1 Demikianlah kutipan yang diambil penulis
dari kata pengantar J. Sudarminta dalam buku Paulus Wahana yang berjudul Nilai Etika
Aksiologi Max Scheler. Dari kutipan di atas, manusia, demikianlah ia dinamakan, adalah
manusia yang tidak hidup tanpa nilai. Sebab dengan nilai, manusia digerakkan untuk
“maju selangkah”; manusia mengalami transformasi.
Nilai. Ia tidak berada jauh dari hidup kita. Ia berada dekat degan hidup kita. Bahkan
sangat dekat. Kehadirannya menuntut kesadaran kita. Kehadirannya bukanlah pertama-
tama berdasarkan pada pengalaman atau karena pengalamanlah maka kita mengetahui
bahwa nilai sesuatu itu baik atau jelek atau nilai itu ada dan tidak ada. Tidak! Saya
tegaskan sekali lagi Tidak. Nilai itu entah baik atau jahat ada dalam dirinya sendiri tanpa
bergantung pada apa yang mengembannya. Ia tetap ada dalam dirinya sendairi. Sekarnag,
kitalah yang berusaha agar apa yang bernilai itu kita sadari sehingga kita mengalami apa
yang disebut mengidentifiksai plus menginternalisasi nilai.
Jika demikian apa hubungan antara nilai dengan realitas pluralitas Indonesia? Hidup
kita selalu dikelilingi dengan aneka nilai. Dan nilai-nilai itu menuntut
pertanggungjawaban kita artinya kita mempunyai tanggung jawab atas arah dan tujuan
hidup kita tanpa mengabaikan nilai-nilai yang ada disekitar kita. Nilai-nilai yang ada
disekitar kita termanifestasi dalam realitas pluralitas di Indonesia. Realitas yang
menyimpan nilai-nilai yang mendorong dan mengarahkan manusia menuju kesejahteraan
dan kebahagiaan hidup. Akan tetapi, manusia, justru menggunakan realitas itu sebagai
senjata dan alsan untuk saling bermusuhan, saling bertikai satu sama lain. Jadi, agar
realitas pluralitas yang tetap merupakan perbedaan tanpa mengalami pergeseran ke arah
pertentangan dan yang masing-masingnya memiliki nilai yang ideal, maka perlulah kita
memperlajari dan memahami nilai. Demikianlah maksud dari paper ini ditulis.
Menemukan, memahami dan melihatnya peranannya bagi kehidupan manusia dan
mengelola realitas pluralitas di Indonesia.
2. Membaca realitas pluralitas di Indonesia
Manusia. Demikianlah ia dinamakan. Penamaan ini mengisyaratkan bahwa manusia
tidak bisa dipisahkan dari pribadi-pribadi atau persona2. Karena pada hakikatnya manusia
1
Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologi Max Scheler, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 5.
2
Istilah yang biasa digunakan oleh Max Scheler bahkan dalam menjelaskan mengenai manusia ia
menggunakan istilah persona.
1
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
adalah makhluk sosial (Latin socius artinya teman, sahabat)3 artinya manusia yang selalu
membutuhkan orang lain untuk menjadi sahabat atau teman dalam kehidupannya untuk
menjalin sebuah keharmonisan dalam membangun sebuah kehidupan yang lebih baik
Manusia tidak bisa dipisahkan dari masyarakat sebab dalam dan oleh masyarakatlah
manusia menjadi manusia. Atau dengan kata lain di dalam masyarakat, manusia semakin
dimanusiawikan; manusia semakin menemukan siapakah dirinya. Dan inilah realitas kita
sekarang. Kita hadir di dunia khususnya sebagai warga negara Indonesia dengan aneka
latar belakang yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan konkrit setiap
hari. Oleh karena itu kita tidak dapat memungkiri lagi realitas pluralitas Indonesia yang
merupakan suatu realitas eksistensial yang terbentuk dari kehidupan manusia dalam
masyarakat yang secara kodrati berbeda. Di sini dapat dikatakan bahwa pluralitas
Indonesia ada secara kodrati. Pluralitas kodrati ini kemudian secara sosial, agama,
kultural dan lain sebagainya mengalami perkembangan dalam gerak dinamika kehidupan
manusia dan melahirkan aneka visi dan misi mengenai kehidupan dan masa depan ‘ke
mana arah’ yang hendak dituju sebagai usaha “mengaktualisasikan” nilai yang ada dalam
diirnya.
Realitas pluralitas di Indonesia secara kodrati terus berkembang dan perlu mendapat
perhatian yang intensif demi menjaga keutuhan dan keharmonisan masa depan bangsa.
Oleh karena itu, kita tidak bisa melarikan diri dari kenyataan yang mengatakan bahwa
pluralitas yang pada hakekatnya merupakan kekayaan, pemersatu yang melahirkan visi
dan misi masa depan telah berubah menjadi lahan yang subur bagi munculnya
pertentangan. Perbedaan bukan lagi menjadi perbedaan melainkan menjadi sebuah
pertentangan. Pertentangan ini mewujudkan dirinya dalam sikap primordialisme,
kecenderungan masyarakat modern yang melangkah lebih ekstrim dalam menyingkapi
pluralitas yang ada dengan mengatur sistem kehidupan sosial menurut sudut pandang
yang individualistic, ekslusivisme, fundamentalisme, dan lain sebagainya. De facto, kita
tidak bisa berdiam diri melihat realitas pluralitas masyarakat ini terus berada dalam
lingkaran pertentangan. Sebuah usaha mengelola pluralitas menjadi bagian yang sangat
penting sehingga dari perbedaan yang ada akan tercipta dinamika kehidupan manusia
yang harmonis. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap pluralitas yakni sikap kesediaan untuk
menerima perbedaan bukan hanya melihatnya sebagai realitas obyektif melainkan
sebagai potensi dinamik yang memberikan kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan
kemajuan bangsa, ‘kini dan saat ini’. Sehingga mampu membuka ruang bagi ‘sistim
pergaulan sosial’ di mana terciptanya relasi secara alamiah untuk saling memperkaya
yang melahirkan masyarakat yang terbuka dalam kemajemukkan, multikulutral dan
demokratis.
3. Mempertanyakan realitas pluralitas di Indonesia dan mencari akar problem
realitas pluralitas di Indonesia
Mengapa pluralitas itu ada? Jawabannya karena ada manusia. Manusia yang
bagaimana? Manusia yang menyadari bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang sama
dengan manusia lainnya kendati kembar sekalipun. Maka konkretisasinya, manusia
membentuk suatu sistem sosial yang di dalamnya terdiri dari persona-persona yang saling
berinteraksi secara tetap dan terpola yang dinamakan masyarakat. Maka dalam
masyarakat, pluralisme itu ada. Sebelum pluralisme “menampakan dirinya” dalam
tindakan-tindakan yang ekstrim seperti individualistik, fundamentalisme, esksklusivisme,
3
Laurens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia. 2005. hlm 1030.
2
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
dan lain sebagainya, pluralisme sudah ada dalam diri manusia itu sendiri dalam keadaan
baik. Saat manakah sesuatu yang baik itu menjadi suatu pertentangan? Jawabannya ada
dalam manusia itu sendiri, dimana manusai mengalami apa yang dinamakan diorientasi
makna pluralitas manusia mengidentifikasi tanpa menginternalisasinya.. Jika demikian,
apa sesungguhnya yang dikejar manusia dalam hidup ini dengan realitas pluralitas yang
ada? Nilai. Demikianlah dapat dijawab. Tetapi nilai yang mana? Ada banyak nilai dalam
hidup ini. Salah memilih nilai maka akan berdampak negatif—dalam kerangka pluralitas
maka munculnya individualistik, fundamentalisme, esksklusivisme, dan lain sebagainya.
Dan kesalahan memilih nilai inilah yang ditemukan penulis sebagai akar problem realitas
pluralitas di Indonesia.
Apa itu nilai? Apakah keberadaanya subyektif atau obyektif? Bagaimana Filsafat
Nilai berbicara dalam mengelola realitas pluralitas yang ada di Indonesia?
4. Max Scheler—Filsuf Jerman (1874 -1928)
a. Riwayat Hidup Max Scheler4
Max Scheler dilahirkan di Munich, Jerman pada tanggal 22 Agustus 1874. ayahnya
seorang Lutheran dan ibunya seorang Yahudi Ortodoks. Sebagai seorang anak remaja, ia
masuk Katolik, karena ketertarikkannya pada ajaran mengenai cinta. Scheler belajar ilmu
kedokteran di Munchen dan Berlin, Filsafat dan Sosiologi pada W.Dilthey dan G.Simmel
pada tahun 1895. Ia memperoleh gelar doktornya pada tahun 1897. Setelah belajar di
Munchen, Berlin, Heildelberg dan Jena, ia kemudian menjabat sebagai dosen privat di
Jena dan Munchen pada tahun 1899. Seluruh hidupnya, Scheler memiliki pemikiran yang
begitu berpengaruh bagi filsafat pragmatisme Amerika.
Kemudian, Max Scheler mengajar di Universitas Jena dari tahun 1900 sampai tahun
1906. Pada tahun 1902, ia bertemu bertemu dengan Edmund Hursell seorang
fenomenolog untuk pertama kalinya di Halle. Scheler tidak pernah menjadi murid
Hursell. Akan tetapi, perjumpaan dengannya memberikan pengaruh yang besar bagi
Scheler. Scheler menjadi seorang fenomenolog yang getol menyebarluaskan ajaran
Hursell ini.
Dari tahun 1907-1910 ia mengajar pada universitas di Munchen. Ia bergabung dengan
lingkungan fenomenolog Munchen diantaranya M.Beck, Th. Conrad, J. Daubert, M.
Geiger. D.Y Hildebrand, Th.Lipps, and A. Pfaender. Dari tahun 1910-1911 Ia menjadi
dosen Filsafat Sosial Goettigen. Ia membuatnya sedikit berbeda dan memulai berkenalan
dengan Th.Conrad, H.Conrad Martius, E.Hursell, A.Koyre, H. Reinach, M. Geiger, J.
Hering dan R. Ingarden. Edith Stein menjadi salah satu muridnya. Edith Stein begitu
terkesan dengan pemikiran Scheler rmengenai “jalan melampaui filsafat”. Tanpa disadari
pemikirannya, turut memengaruhi lingkungan gereja saat ini termasuk di dalamnya Edith
Stein dan Paus Johanes Paulus.
Selama perang dunia I (1914-1918) Scheler mengikuti wajib militer tetapi ia
kemudian dihentikan karena menderita astigmia pada matanya. Kemudian pada tahun
1919, ia menjadi professor filsafat dan sosiologi di KÖln. Pada tahun 1927, dalam sebuah
kesempatan konferensi di Darmstad dekat Frankfurt, yang diprakarsai oleh Graf
Keyserling, Scheler membawakan sebuah ceramah yang sangat lama, dengan judul
“Man’s Particular Place”5 yang kemudian dipublikasikan dalam bentuk yang lebih
4
Disarikan dari http://www.maxscheler.com diakses pada tanggal 06 Oktober 2009.
5
Tempat khusus bagi manusia.
3
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
disingkatkan dengan judul “Man’s place in the Cosmos”6. Gaya dan caranya berceramah
menarik simpati para pendengarnya.
Pada suatu waktu, Scheler memusatkan perhatiannya pada pembangunan politik. Ia
berjumpa dengan filsuf emigrant asal Rusia N. Berdlaev di Berlin pada tahun 1923.
“Politik dan Moral” “ide kedamaian abadi dan pasifisme” adalah bahan yang
disampaikannya pada suatu kesempatan di Berlin pada tahun 1927. Scheler meninggal
dunia di Frankfurt pada tanggal 19 Mei 1928.
b. Karya-karya Max Scheler7
Fisafat Max Scheler dibagi ke dalam dua periode: Periode pertama rentang waktunya
di mulai antara disertasinya pada tahun 1897 hingga karyanya on the eternal in Man
(manusia dalam keabadian) pada tahun 1920/1922—volume I-VII. Periode kedua,masa-
masa dari tahun 1920?1922 hingga 1928 yang terangkum dalam Vol. VIII-XV.
Dalam periode pertama, karyanya yang paling menonjol adalah penyelidikannya
mengenai nilai-etika, perasaan, agama, dan teori politik. Dalam tahun-tahun ini ada dua
karya besar yang dihasilkannya, The Nature of Sympathy dan Formalisme Etics dan non-
Formal etichs of Vlues. Dari karya-karyanya ini, Scheler memusatkan perhatiannya pada,
perasaan manusia, cinta, dan kodrat manusia. Ia memperlihatkan bahwa ego, akal budi
dan kesadaran manusia mengisyarakan lingkungan manusia dan menyangkal sebuah
kemurnian ego, kemurnian akal budi, atau kemurnian kesadaran. Di sini, Scheler
mengkritik apa yang telah ada sebelumnya yakni apa yang diajarkan oleh Husserl, Kant,
dan Idealisme Jerman. Bagi Scheler, ego, akal budi dan kesadaran adalah hati manusia
yang merupakan tempat duduk dari cinta lebih dari pada sebuah ego yang transcendent,
akal budi, kehendak atau penginderaan. Dan hal ini merupakan nilai bagi essensi dari
eksistensi manusia. Scheler membeda-bedakan beberapa tipe perasaan, lebih dari itu ada
yang sungguh-sungguh menyembunyikan diri dan pribadi, dan di antara itu Cinta
menampakan diri dan menjadi pusatnya. Kemanusiaan manusia atas dasar Cinta (ens
amans). Dari sini mengalirlah sebuah prinsip yang besar yang melewati seluruh periode
pertama ini: perasaan dan cinta memiliki logikanya di dalam diri mereka sendiri, yang
sungguh-sungguh berbeda dari logika akal budi. Di sini Scheler mengikuti Blaine Pascal
filsuf dan matematikawan asal Perancis.
Dalam periode kedua (1920/1922-1928) Scheler menentang ide mengenai Tuhan
sebagai Pencipta. Baginya, dewa, manusia dan dunia adalah satu bentuk yang “menjadi
ada” karena proses penyatuan yang terjadi dalam waktu yang absolut. Waktu yang
Absolut bukanlah waktu yang dapat diukur dengan waktu atau jam yang digunakan oleh
ilmu pengetahuan dan dalam kehidupan sehari-hari. Waktu absolut mirip waktu yang
lewat ketika kita tidak berpikir mengenai waktu. Contoh, ketika kau sedang membaca
tu;isan ini. Waktu absolut sudah menjadi sifatnya di dalam dirinya dalam seluruh proses
penerusan generasi, memeram, memodifikasi diri; mencakup proses atomic, tumbuh-
tumbuhan dan hewan. Scheler mengatakan dengan sangat simple: tanpa sebuah self-
generating di dalam hidup manusia maka tidak ada waktu. Maka pada gilirannya, waktu
yang absolut adalah sebuah kondisi –Scheler memperlihatkan—keterukuran waktu ketika
mengidentifikasinya sebagai waktu per se.
6
Tempat manusia di dalam Kosmos.
7
Disarikan dari http://www.maxscheler.com diakses pada tanggal 06 Oktober 2009.
4
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
5
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
2. Hakikat Nilai
Pada point di atas kita telah melihat nilai merupakan kualitas yang tidak bergantung
pada benda. Benda adalah sesuatu yang bernilai. Demikian juga dengan kualitasnya yang
apriori; tidak tergantung pada reaksi kita terhadap benda dan nilai. Meskipun yang “baik”
tidak pernah “nilai” sebagai yang “baik”, itu tetap akan menjadi baik. Sebagai kualitas
yang independent, nilai tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi dalam obyek yang
digabungnya. Disamping itu, nilai itu mutlak; tidak dikondisikan oleh perbuatan. Tanpa
memperhatikan hakikatnya, nilai itu bersifat historis, sosial, biologis atau murni
individual. Hanya pengetahuan kita tentang nilai yang bersifat relatif, bukan nilai itu
sendiri.
Max Scheler mencoba menjelaskan kepada kita bagaimana hakikat nilai dalam
sebuah objetk tidak dapat direduksi dengan pengalaman kita. Ia menulis demikian, “fakta
fenomenologis adalah yang secara pasti dalam persepsi sentimental tentang sebuah nilai
yang di sana nampak bahwa nilai yang persis sama, sebagai yang dibedakan dengan
persepsinya—semua itu valid dalam kasus yang memungkinakn melibatkan sebuah
perpsepsi sentimental—dan akibatnya, hilangnya persepsi sentimental tidaklah mencabut
(menghilangkan) hakikat nilai”.8 Sebab bagi dia, “ada nilai yang tidak terbatas jumlahnya
yang orang belum dapat menangkap atau merasakannya”.9 Dan untuk sampai pada
hakikat nilai perlu adanya pembedan antara “perasaan intensional” dan “keadaan perasan
sensitif”. Yang terakhir mengacu pada pengalaman murni dari keadan sedangkan yang
terdahulu mengacu pada pemahaman. Dan inilah caranya yang seharusnya ditempuh oleh
manusia agar sampai pada hakikat nilai itu sendiri—sebuah perasaan intensional.
Perasaan intensional tidak dibatasi pada perasaan fisik atau emosi. Karena perasaan
intensional menyangkut keterbukaan hati dan budi terhadap semua dimensi. Itulah
sebabnya dikatakan perasaan “intensional” karena setiap nilai ditangkap melalui perasaan
yang terarah tepat padanya.10 Nilai menyatakan diri kepada kita. Dan penyataan dirinya
ini nampak dalam urutannya yang hierarki, yang merupakan salah satu ciri khas dari
hakikat nilai. Dan inilah yang akan kita lihat selanjutnya.
3. Kriteria Nilai
Kelima kriteria yang akan dibahas setidaknya dapat dilihat “semacam pengantar”
untuk menunjukkan dan mengarahkan kita kepada hierarki nilai, yang akan dijelaskan
pada point selanjutnya. Dengan menggunakan kriteria nilai ini, kita akan dibantu
mengetahui mengapa ada hierarki nilai. Kriteria pertama: keabadian nilai. Scheler
melihat bahwa benda yang lebih bertahan lama (abadi) senantiasa lebih disukai daripada
yang sifatnya sementara dan mudah berubah. Keabadian tentunya tidak harus mengacu
pada pengemban nilai. Misalnya, karya seni sastra yang bisa dikatakan memiliki nilai
yang abadi, akan tetapi dengan sebatang korek api akan menghancurkan karya seni sastra.
Maka dari itu,keabadian sebuah nilai lebih mengacu pada nilai. Scheler menegaskan
bahwa “nilai yang terendah dari semua nilai sekaligus merupakan nilai yang pada
dasarnya ‘fana’; nilai yang lebih tinggi daripada semua nilai yang lain merupakan nilai
yang abadi.”11
Kriteria kedua: sifat dapat dibagi-bagi. Ketinggian yang dicapai nlai berbanding
terbalik dengan sifatnya yang dapat dibagi-bagi, yakni semakin tinggi derajatnya semakin
8
Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001, hlm. 118.
9
Ibid., hlm. 119.
10
Franz Magnis-Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 17.
11
Op.Cit., hlm.132.
6
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
kecil sifatnya untuk dapat dibagi-bagi. Dengan perbedaan derajat dan berdampak lanjut
pada sifat nilai, maka dapat dikatakan bahwa benda material memisahkan orang, karena
benda harus dimiliki, sedangkan benda spiritual menyatukan orang karena menjadi milik
bersama.12. Hal ini mau mengatakan bahwa benda material dengan tingkat kederajatannya
yang rendah sehingga memiliki sifat mudah dibagi akan berdampak juga pada persona
yang berada disekitar benda material tersebut, demikianpun sebaliknya dengan benda
spiritual yang memiliki kederajatannya tinggi sehingga sifatnya yang mudah dibagi-bagi
dimimalisir maka benda spiritual dapat dinikmati bersama-sama.
Kriteria ketiga: dasar. Jika suatu nilai menjadi dasar bagi nilai yang lain, nilai
tersebut lebih tinggi daripada nilai yang lain. Dan bagi Scheler dasar nilai yang lebih
tinggi dari nilai yang lain adalah nilai keagamaan.
Kriteria keempat: kedalaman kepuasan. Semakin dalam kepuasan dihasilkan
semakin tinggilah nilai tersebut. Tetapi kepuasan bukan berarti suatu rasa nikmat
melainkan merupakan pengalaman akan kepenuhan batin. Di samping itu juga kepuasan
di sini tidak dihubungkan dengan kehendak. Kepuasan berbeda dengan pengalaman akan
terwujudnya apa yang diinginkan dan diharapkan. Maka bentuk yang paling murni dari
kepuasan diberikan dalam perasaan penuh kedamaian dan dalam suatu perasaan yang
secara penuh memiliki suatu hal yang bernilai.
Kriteria kelima: relativitas nilai terhadap suatu nilai yang absolut. Semakin
kurang relatif suatu nilai, tingkatannya dalan hierariki semakin tinggi. Nilai yang
tertinggi dari semua nilai adalah nilai mutlak.
4. Hierarki nilai
Scheler percaya bahwa nilai itu tersusun dalam sebuah hubungan hierarki a piori.
Dan ini harus ditemukan di dalam hakikat nilai itu sendiri, bahkan berlaku juga bagi nilai
yang tidak kita ketahui. Dalam keseluruhan realitas, nilai hanya terdapat satu susunan
hierarki yang menyusun seluruh nilai masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri.
Suatu nilai memiliki kedudukan lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain.
Menurut Max Scheler, kenyataan bahwa suatu nilai lebih tinggi daripada yang lain
dapat dipahami dalam suatu tindakan pemahaman khusus terhadap nilai, yaitu dengan
tindakan preferensi; suatu pemahaman akan tingkat tinggi dan rendahnya suatu nilai. Di
sini perlu dibedakan tindakan preferensi dan tindakan memilih. Tindakan memilih
merupakan kecenderungan yang telah mencakup pengetahuan tentang keunggulan nilai,
sedangkan tindakan preferensi merupakan tindakan mengunggulkan atau mengutamakan,
yang diwujudkan tanpa menunjukkan adanya kecenderungan, pemilihan atau keinginan.
Itulah sebabnya, mengapa seluruh nilai pada dasarnya berada dalam suatu susunan
hierarki. Susunan hierarki ini tidak pernah dapat dideduksi atau dijabarkan secara logis.
Nilai manakah yang lebih tinggi hanya dapat diketahui melalui tindakan preferensi.
Berikut ini, hierarki nilai yang terdiri dari empat tingkat:
Nilai Kesenangan
Dalam deretan terendah kita dapat menemukan deretan nilai kesenangan dan nilai
kesusahan atau kenikmatan dan kepedihan. Tingkatan nilai ini berkaitan dengan fungsi
dari perasaan inderawi, yaitu rasa nikmat dan rasa sakit atau pedih. Rumusan bahwa
kesenangan lebih disukai daripada ketidaksenangan tidak ditetapkan berdasarkan
pengamatan melainkan apriori (pengalaman yang mendahului serta tidak berdasarkan
pada pengamatan empiris semata), dan termuat dalam inti nilai.
12
Ibid., hlm. 133-134.
7
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
8
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
Melihat uraian singkat di atas, kita dapat bertanya dimanakah kita akan tempatkan
peran nilai dalam kehidupan manusia? Nilai sebagaimana yang telah dijelaskan ada
dalam dirinya sendiri dan tidak tergantung pada apa yang mengembannya. Dengan
kenyataan seperti ini, maka nilai secara tidak langsung mendorong manusia untuk
meningkatkan kesadarannya sebagai manusia. Bahwa manusia bukanlah hanya terbatas
pada manusia yang berpkir dan berkehendak tetapi jauh dari itu manusia titisan kasih
ilahi. Sebagai titisan ilahi manusia harus berani melihat kembali sederet nilai dalam
kehidupannya, apakah sesuai dengan tujuan atau tidak. Nilai-nilai yang ada disekitar kita
membantu kita untuk berani memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan
khususnya dalam melihat realitas pluralitas yang ada di negeri kita. Bahwa dalam “diri”
pluralitas yang ada, terkandung sebuah nilai yang tinggi, luhur dan mulia dan nilai-nilai
itu adalah ilai yang seringkali diabaikan bahkan kita sendiri tidak mengetahui ada nilai
yang berharga di balik realitas pluralitas yang ada. Akan tetapi, sebelum jauh melangkah,
kita kembali pada diri kita masing-masing. Manusia. Sekali lagi dia adalah titisan ilahi—
Citra Allah. Itulah nilai yang terdalam yang perlu kita sadari. Sebagai titisan ilahi—citra
Allah, manusia hendaknya memahami isi yang terdalam dari dirinya; yakni nilai yang ada
dalam diri manusia; manusia mengejar nilai yang tertinggi yakni nilai kesucian
sebagaiman yang terdapat dalam hierarki nilai diatas. Manusia dengan menyadari hal ini
manusia dapat menjadi manusia yang sejati; manusia yang mampu merenungkan jati
dirinya yang sebenarnya, yaitu manusia yang berpihak pada kebenaran, mempunyai
tanggung jawab moral yang luhur dan tidak pernah henti menyebarkan nilai-nilai dan
gagasan kebenaran dengan sikap dan tindakan yang nyata. Disamping itu, dengan
menyadari akan adanya nilai yang tertinggi manusia, manusia dapat mengatasi fenomena
resentimen (bercirikan keirihatian, kecemburuan dan rivalitas—buah dari vanity) di
zaman ini khususnya dalam realitas pluralitas di Indonesia.
Peranan nilai dalam mengelola realitas pluralitas di
Indonesia.
Dalam melihat sumbangsih nilai dalam mengelola realitas pluralitas di Indonesia,
maka kita akan menemukan satu nilai yang berada di balik nilai-nilai yang ada yakni
kasih. Dengan kasih, maka kita akan bergerak dari nilai yang terendah menuju nilai yang
tertinggi dalam melihat realitas pluralitas yang ada di Indonesia. Tetapi, kasih di sini
kasih yang bagaiamana? Scheler menjelaskan bahwa kasih tidak sama dengan turut
merasakn apa yang dirasakan oleh orang lain, sebab kasih sama sekali bukan perasaan.
Kasih tidak memberikan pertimbangan dan juga bukan suatu perbuatan usaha. Kasih juga
tidak hanya mengandung unsur sosial, sebab kasih tidak hanya diarahkan kepada orang
lain, melainkan kasih juga dapat diarahkan kepada diri sendiri yakni bersatunya persona
dengan nilai yang tertinggi.
Maka dapatlah dipastikan bahwa Scheler mengajak kita untuk memaknai bahwa kasih
yang sejati selalu terarah kepada suatu person, suatu pribadi bukan kepada suatu nilai
sebagai nilai. Kasih mengarah pada pribadi yang berada di belakang nilai-nilai pribadi
dengan menerobos kenyataan nilai-nilai pribadi itu. Dan itulah obyek kasih tersebut. Dan
obyek kasih yang berada di balik kenyataan nilai-nilai pribadi itu adalah nilai yang
tertinggi yakni Yang Mahanilai, Allah. Demikianlah puncak kasih adalah kasih Allah,
bukan kasih kepada Allah yang baik melainkan kasih kepada Allah sebagai kasih yang
ikut serta melaksanakan kasih Allah kepada dunia. Di sini Allah muncul sebagai pusat
kasih yang tertinggi. Oleh sebab itu, menyerah kepadaNya tidak kehilangan nilai,
9
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
10
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
INTERNET
11
Seminar Filsafat
Nilai Dan Realitas Pluralitas Di Indonesia
12