You are on page 1of 21

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala

internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan
hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang
semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga
mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan, pada batas tertentu,
perusahaan multinasional dan individu.

Hukum Internasional publik berbeda dengan Hukum Perdata Internasional. Hukum


Perdata Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan
perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata
antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional)
yang berlainan. Sedangkan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas
hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan
internasional) yang bukan bersifat perdata. Persamaannya adalah bahwa keduanya
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (internasional).
Perbedaannya adalah sifat hukum atau persoalan yang diaturnya (obyeknya).

Hukum Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas negara antara:

(i) negara dengan negara


(ii) negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara
satu sama lain.

Istilah hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antar bangsa atau
hukum antar negara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada
kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman
dahulu. Hukum antar bangsa atau hukum antar negara menunjukkan pada kompleks
kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau
negara.

[sunting]
Bentuk Hukum internasional

Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang
khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu :
Hukum Internasional Regional
Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti
Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen
(Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the
living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi
hukum Internasional Umum.
Hukum Internasional Khusus
Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara
tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan,
taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat
yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan.

[sunting]
Hukum Internasional dan Hukum Dunia

Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang


terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing
berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib
hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.

Hukum Dunia berpangkal pada dasar pikiran lain. Dipengaruhi analogi dengan Hukum
Tata Negara (constitusional law), hukum dunia merupakan semacam negara (federasi)
dunia yang meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di atas
negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib
hukum subordinasi.

Masyarakat dan Hukum Internasional

1. Adanya masyarakat-masyarakat Internasional sebagai landasan sosiologis hukum


internasional.

a. Adanya suatu masyarakat Internasional

Adanya masyarakat internasional ditunjukkan adanya hubungan yang terdapat antara


anggota masyarakat internasional, karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain
oleh pembagian kekayaan dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia seperti
adanya perniagaan atau pula hubungan di lapangan kebudayaan, ilmu pengetahuan,
keagamaan, sosial dan olah raga mengakibatkan timbulnya kepentingan untuk
memelihara dan mengatur hubungan bersama merupakan suatu kepentingan bersama.
Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan Internasional inilah dibutuhkan
hukum dunia menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang
teratur.

Masyarakat Internasional pada hakekatnya adalah hubungan kehidupan antar manusia


dan merupakan suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam
masyarakat yang menjalin dengan erat.

b. Asas hukum yang bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional.

Suatu kumpulan bangsa untuk dapat benar-benar dikatakan suatu masyarakat Hukum
Internasional harus ada unsur pengikat yaitu adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-
bangsa di dunia ini. Betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku di tiap-
tiap negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa merupakan hukum
alam (naturerech) yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingan
secara damai dapat dikembalikan pada akal manusia (ratio) dan naluri untuk
mempertahankan jenisnya.
2. Kedaulatan Negara : Hakekat dan Fungsinya Dalam Masyarakat Internasional

Negara dikatakan berdaulat (sovereian) karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri
hakiki negara. Negara berdaulat berarti negara itu mempunyai kekuasaan tertentu. Negara
itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri dan
mengandung 2 (dua) pembatasan penting dalam dirinya:

(1) Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai.
(2) Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu.

Konsep kedaulatan, kemerdekaan dan kesamaan derajat tidak bertentangan satu dengan
lain bahkan merupakan perwujudan dan pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti
wajar dan sebagai syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat Internasional yang
teratur.

3. Masyarakat Internasional dalam peralihan: perubahan-perubahan dalam peta bumi


politik, kemajuan teknologi dan struktur masyarakat internasional

Masyarakat Internasional mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok ialah
perbaikan peta bumi politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses ini
sudah dimulai pada permulaan abad XX mengubah pola kekuasaan politik di dunia.
Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat dan sama derajatnya satu dengan
yang lain terutama sesudah Perang Dunia

4. Perubahan Kedua ialah kemajuan teknologi.

Kemajuan teknologi berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang


melintasi batas negara.

Perkembangan golongan ialah timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional


yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara dan adanya perkembangan yang
memberikan kompetensi hukum kepada para individu. Kedua gejala ini menunjukkan
bahwa disamping mulai terlaksananya suatu masyarakat internasional dalam arti yang
benar dan efektif berdasarkan asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antar
negara sehingga dengan demikian terjelma Hukum Internasional sebagai hukum
koordinasi, timbul suatu komplek kaedah yang lebih memperlihatkan ciri-ciri hukum
subordinasi.

[sunting]
Sejarah Hukum Internasional dan Perkembangannya

Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan
antara negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat Interansional yang didasarkan
atas negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang
modern biasanya diambil saat ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Westphalia yang
mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa.

Zaman dahulu kala sudah terdapat ketentuan yang mengatur, hubungan antara raja-raja
atau bangsa-bangsa:

Dalam lingkungan kebudayaan India Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum
yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh
adat kebiasaan. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-
raja dinamakan Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau
Chanakya.Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di
bidang hukum.

Kebudayaan Yahudi.

Dalam hukum kuno mereka antara lain Kitab Perjanjian Lama, mengenal ketentuan
mengenai perjanjian, diperlakukan terhadap orang asing dan cara melakukan
perang.Dalam hukum perang masih dibedakan (dalam hukum perang Yahudi ini)
perlakuan terhadap mereka yang dianggap musuh bebuyutan, sehingga diperbolehkan
diadakan penyimpangan ketentuan perang.

Lingkungan kebudayaan Yunani.Hidup dalam negara-negara kita.Menurut hukum negara


kota penduduk digolongkan dalam 2 golongan yaitu orang Yunani dan orang luar yang
dianggap sebagai orang biadab (barbar). Masyarakat Yunani sudah mengenal ketentuan
mengenai perwasitan (arbitration) dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya.

Sumbangan yang berharga untuk Hukum Internasional waktu itu ialah konsep hukum
alam yaitu hukum yang berlaku secara mutlak dimanapun juga dan yang berasal dari
rasion atau akal manusia.

Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan


tidak mengalami perkembangan yang pesat pada zaman Romawi. Karena masyarakat
dunia merupakan satu imperium yaitu imperium roma yang menguasai seluruh wilayah
dalam lingkungan kebudayaan Romawi. Sehingga tidak ada tempat bagi kerajaan-
kerajaan yang terpisah dan dengan sendirinya tidak ada pula tempat bagi hukum bangsa-
bangsa yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan. Hukum Romawi telah
menyumbangkan banyak sekali asas atau konsep yang kemudian diterima dalam hukum
Internasional ialah konsep seperti occupatio servitut dan bona fides. Juga asas “pacta sunt
servanda” merupakan warisan kebudayaan Romawi yang berharga.

Selama abad pertengahan dunia Barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang berpuncak
pada kaisar sedangkan kehidupan gereja berpuncak pada Paus sebagai Kepala Gereja
Katolik Roma. Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu masyarakat Kristen yang
terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan Tahta Suci, kemudian sebagai pewaris
kebudayaan Romawi dan Yunani.

Di samping masyarakat Eropa Barat, pada waktu itu terdapat 2 masyarakat besar lain
yang termasuk lingkungan kebudayaan yang berlaianan yaitu Kekaisaran Byzantium dan
Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium sedang menurun mempraktekan diplomasi untuk
mempertahankan supremasinya. Oleh karenanya praktek Diplomasi sebagai sumbangan
yang terpenting dalam perkembangan Hukum Internasional dan Dunia Islam terletak di
bidang Hukum Perang.

Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum


Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional
modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya adalah : (1) Selain
mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam
peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa .
(2) Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang
suci.
(3) Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan
didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
(4) Kemerdekaan negara Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui
dalam Perjanjian Westphalia.

Perjanjian Westphalia meletakan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru,
baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi
didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan
pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh
gereja.

Ciri masyarakat Internasional yang terdapat di Eropa yang dasarnya diletakkan oleh
Perjanjian Westphalia. Ciri-ciri pokok yang membedakan organisasi susunan masyarakat
Internasional yang baru ini dari susunan masyarakat Kristen Eropa pada zaman abad
pertengahan :

(1) Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat.


(2) Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan
persamaan derajat.
(3) Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang
kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja.
(4) Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil
oper pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi.
(5) Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur
hubungan antar negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara
dalam kepatuhan terhadap hukum ini.
(6) Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk
memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional.
(7) Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari
anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) kearah ajaran yang
menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan.

Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam Perjanjian


Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik Internasional, karena menerima asas
keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internsional.

Hugo Grotius mendasarkan sistem hukum Internasionalnya atas berlakunya hukum alam.
Hukum alam telah dilepaskannya dari pengaruh keagamaan dan kegerejaan. Banyak
didasarkan atas praktek negara dan perjanjian negara sebagai sumber Hukum
Internasional disamping hukum alam yang diilhami oleh akal manusia, sehingga disebut
Bapak Hukum Internasional.

Selain Hugo Grotius ada pula Sarjana yang menulis Hukum Internasional: Fransisco
Vittoria (biarawan Dominikan – berkebangsaan Spanyol Abad XIV menulis buku
Relectio de Indis mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS.
Bahwa negara dalam tingkah lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya. Maka
hukum bangsa-bangsa ia namakan ius intergentes. Fransisco Suarez (Yesuit) menulis De
legibius ae Deo legislatore (on laws and God as legislator) mengemukakan adanya suatu
hukum atau kaedah obyektif yang harus dituruti oleh negara-negara dalam hubungan
antara mereka. Balthazer Ayala (1548-1584) dan Alberico Gentilis mendasarkan ajaran
mereka atas falsafah keagamaan atau tidak ada pemisahan antara hukum, etika dan
teologi.
Hukum Internasional atau sering disebut sebagai “Internasional Law” dalam mata kuliah
ini merupakan lapangan hukum publik, di mana kualifikasi publik sering kali tidak
disebutkan secara langsung, berbeda dengan hukum Internasional dalam lapangan hukum
privat yang sering disebut sebagai “Hukum Perdata Internasional.

Perbedaan antara Hukum Internasional dalam pengertian publik dengan Hukum Perdata
Internasional bukanlah ditinjau dari unsur perbedaan subyeknya dengan menyatakan
bahwa subyek hukum Internasional Publik adalah negara sedangkan subyek hukum
Internasional Perdata adalah individu. Dalam perkembangannya perbedaan semacam ini
tidak dapat dipertanggungjawabkan sebab antara keduannya dapat memiliki subyek
hukum negara ataupun individu. Oleh karena itu yang paling tepat adalah dengan
meninjau urusan yang diatur oleh keduanya, jika mengatur urusan yang bersifat publik
maka disebut sebagai Hukum Internasional Publik tetapi jika mengatur urusan yang
bersifat perdata disebut sebagai Hukum Internasional Perdata. Sedangkan Persamaan
antara Hukum Internasional Publik dengan Hukum Perdata Internasional adalah bahwa
urusan yang diatur oleh kedua perangkat hukum ini adalah sama – sama melewati batas
wilayah suatu negara.

Pengertian secara umum dari hukum Internasional adalah, bahwa istilah “hukum” masih
diterjemahkan sebagai aturan, norma atau kaidah. Sedangkan istilah internasional
menunjukankan bahwa hubungan hukum yang diatur tersebut adalah subyek hukum yang
melewati batas wilayah suatu negara, yaitu hubungan antara negara dengan negara,
negara dengan subyek hukum bukan negara satu dengan lainnya, serta hubungan antara
subyek hukum bukan negara satu dengan subyek hukum bukan negara lainnya.
Menyikapi konfrotasi pendapat yang berbeda antara para pakar Hukum Internasional
mengenai sifat “hukum” dalam hukum Internasional : John Austin yang mengatakan
bahwa hukum Internasional adalah “bukan hukum”, hanya “properly so called”, “moral
saja” dengan alasan yang mendasari bahwa hukum Internasional tidak memiliki sifat
“hukum”, yakni dalam hal:
1. Hukum Internasional tidak memiliki lembaga legeslatif sebagai lembaga yang bertuga
membuat hukum;
2. Hukum Internasional tidak memiliki lembaga eksekutif sebagai lembaga yang
melaksanakan hukum,
3. Hukum Internasional juga tidak memilki lembaga yudikatif sebagai lembaga yang
megakakan hukum,
4. Hukum Internasional juga tidak memiki polisional sebagai lembaga yang mengawasi
jalanya atau pelaksanaan hukum,
Dengan demikian menurut Kelsen, jika terdapat negara yang melanggar hukum
internasional maka tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memberikan sanksi kepada
negara tersebut. Negara mau mentaati atau tidak terhadap ketentuan internasional itu
adalah terserah dari negara yang bersangkutan. Jadi hukum internasional tidak tepat
dikatakan sebagai hukum melainkan hanya norma saja atau adat istiadat saja.

Pendapat yang demikian kiranya perlu ditinjau ulang, sebab keraguan akan keberadaan
lembaga eksekutif, legeslatif , yudikatif serta polisional dalam hukum iNternasional telah
digantikan oleh peranan beberapa vbadang khusus sejak diber\ntuknya Organisasi
Internasional PBB. Keberadaan lembaga pembuat undang-undang atau legeslatif dapat
digantikan oleh kesepakatan-kesepatan yang dibuat oleh dan diantara subyek hukum
Internasional baik yang bersifat bileteral, atau multilateral. Hal ini karena kedudukan
negara sebagai subyek hukum Internasional adalah koordinatif atau sejajar. Tidak ada
negara yang melebihi atau di atas negara yang lain. Lembaga penegak hukum atau
yudikatif perannya dapat kita lihat keberadaan Mahkamah Internasional maupun
Arbitrase Internasional. Lembaga eksekutif tidak lain adalah subyek hukum internasional
itu sendiri. Meskipun hukum INternasional tidakm memiliki sanksi yang tegas dan
memaksa dalam pelaksanaannya, bukan berarti sifat aturan yang demikian tidak dapat
dikategorikan sebagai ‘hukum’. Kita dapat melihat “hukum adat’ yang berlaku di
Indonesia. Meskipun ‘hukum adat’ tersebut munculnya dari kebiasaan yang dilakukan
oleh masyrakat, namun kebiasaan tersebut ditaati dan dilaksanakan meskipun tidak ada
sanksi yang tegas. Jadi menurut pendapat penulis, Kelsen telah mencampur adukan antara
pengertian efektifitas hukum dengan sifat hukum itu sendiri. Jika dalam
perkembangannya atau pelaksaannya ternyata hukum Internasional masih banyak yang
melanggar, maka hal yang demikian itu merupakan sisi belum efektifnya hukum
Internasional, tetapi bukan berarti “hukum internasional” menjadi bukan hukum. Sebab
pada kenyataanya masih banyak aturan-aturan yazng dibuat oleh dan antara subyek
hukum Internasional yang masih di taati oleh negara-negara dan dilaksanakan.

Munculnya subyek hukum bukan negara sebagai salah satu subyek hukum Internasional
adalah tidak terlepas dari perkembangan hukum Internasional itu sendiri. Semakin
berkembangnya keberadaan organisasi Internasional, serta adanya organisasi-organisasi
lain yang bersifat khusus yang keberadaannya secara fungsional kemudian diakui sebagai
subyek hukum internasional yang bukan negara. Diantaranya adalah vatikan atau tahta
suci, Palang Merah Internasional, Pemberontak atau Belligerent. Bahkan pada
perkembangannya tindakan individu yang mewakili negara dan bertindak dalam
kapasitasnya sebagai wakil negara juga dianggap sebagai subyek hukum Internasional
bukan negara.

1.2 Hukum Internasional dan Perkembangannya

1.1.1. Sejarah Perkembangan H I


HI Klasik : 4000 SM
HI Moderen : beberapa ratus tahun yang lalu,
DITANDAI dg.

1. Perjanjian Perdamaian Wesphalia (1618- 1648)


- Menghakhiri Thirty Yaers War di Eropa
- Persoalan anatar negara lepas dari persoalan gereja.
- Telah didasarkan atas kepentingan nasional
- Negara-negara mempunyai persamaan derajat
- Timbulnya Rev. Perancis dan Rev. Amerika. (Pemerintahan Demokrasi).
2. Konperensi Perdamaian (1856) dan Konperensi Jenewa (1864), Konferensi Den
Haag (1899).
- Terbentuklah Mahkamah Arbitrase Permanen
3. PD I ---- Perjanjian Versailles
- Didirikan Liga Bangsa-bangsa (League Og Nations)
4. PD II
- Didirikan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Organition).
- Perjanjian Briand Kellocg Pact (1928) : Melarang penggunaan Perang sebagai alat
untuk mencapai Tujuan Nasional.

1.1.2. Sifat dan Hakekat HI


Sifat HI
- Tidak mengenal suatu kekuasaan eksekutif yang kuat
- HI bersifat koordinatif tidak Sub ordinatif.
- HI tidak memiliki badan-badan legeslatif dan yudikatif dan kekuasaan Polisional.
- Tidak dapat memaksakan kehendak masyarakat Internasional sebagai kaidah Hukum
Nasional.
Atas kelemahan di atas ada pendapat :
Hi tidak mempunyai sifat hokum, HI bukan hukum
Tokoh: JL. Van Apeldoorn, John Austin, Spinoza, Jeremy Bethan.

JOHN AUSTIN :
Sejarah telah membuktikan bahwa pendapat John Austin dkk, adalah tidak benar:
ALASAN :
1. Sifat Hukum tidak selamanya ditentukan oleh badan-badan tsb. Tidak berarti tidak
ada badan maka tidak ada hukum,
Contohnya : Hukum Adat Indonesia.
2. Pendapat mereka telah menyamarakatan pengertian antara dijalankannya hukum
secara efektif dengan sifat dari Hukum.
3. Lembaga legislative diisi : Perjanjian Internasional oleh MI
4. Kebiasaan Internasional diterima sebagai hokum karena keyakinan.
5. Badan Yudikatif : diisi oleh Mahkamah Internasional dan Mahkamah Arbritase
Permanent.

Hakekat HI

Hukum Internasional benar-benar mempunyai sifat hokum. Hakekat HI sbg hokum


koordinasi tidak perlu diragukan lagi.

A. Dasar-dasar berlakunya HI
Teori Hukum Alam atau Kodrat (natural Law)
Hukum Ideal yang didasarkan atas hakekat manusia sebagai mahluk yang berakal, atau
kesatuan kaidah-kaidah yang diilhami alam pada akal manusia.
HI tidak lain merupakan Hukum Alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat
bangsa-bangsa.
Kelemahan :
- konsep alam yang masih membutuhkan konsep rasio, keadilan, keagaman pada
kenyataannya banyak menimbulkan kegaduhan.
- Kurang jelas dan menjadi doktrin yang subyektif.
- Tidak ada perhatian dalam praktek actual antar negara.
- Bersifat sangat samar terutama berkaitan dengan keadilan dan kepentingan MI.
- Dsb.
Kelebihan :
- menjadi dasar moral dan dasar etis HI

2. Teori Positivisme
Kekuatan mengikatnya HI pada kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada HI
HI berasal dari kemauan negara dan berlaku Karen disetujui oleh negara.
Kelemahan ;
- Tidak dapat menjelaskan jika ada negara yang tidak setuju apakah HI tidak lagi
mengikat.
- Tidak dapat menjelaskan jika ada negara baru tetapi langsung terikat oleh HI
- Tidak dapat menjelaskan mengapa ada hokum kebiasaan.
- Kemauan negara hanya Facon De Parler (perumpaan).
- Berlakunya hI tergantung dari society of state.
Kelebihan :
- Praktek-praktek negara dan hanya perautran-peraturan yang benar-benar ditaati yang
menjadi HI.

3. Teori Aliran Madzab Viena


kekuatan mengikat HI bukan kehendak negara melainkan norma hokum yang merupakan
dasar terakhir ; Grudnorm.
Kekeuatan mingikat HI didasarkan pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dst.
“Pacta Sunt Servanda” sebagai kaidah yang paling tinggi (Hans Kelsen).
Kelemahan :
- Tidak dapat menerangkan mengapa kaidah dasar itu mengikat.
4. Teori Aliran Madzhab Perancis.
Kekuatan mengikatnya HI dihubungkan dengan kenyataan – kenyataan hidup manusia.
HI mengikat karena factor biologis, social, sejarah, atau fakta kemasyarakatan, Tokoh :
Fauchile, Scelle, Leon Duguit.
Persoalan yang dihadapi manusia sama dengan persoalan negara-negara.

1. 2. Pengertian / Batasan dan istilah


Hukum Internasional yang dimaksud disini adalah Hukum Internasional Publik
(International Publik Law).

1.2.a. Istilah HI
- Indonesia : Hk. Bangsa-bangsa, Hk. Antar Bangsa, Hk. Antar
Negara.
- Inggris : International Law, common Law, Law of mankind, Law
of Nation, Transnational Law (Inggris).
- Perancis : Droit de gens
- Belanda : Voelkenrecht.
- Jerman : Woelkrrecht.
- Romawi : Ius Gentium, Ius Inter Gentes.

1.2.b. Asal-usul istilah HI


Prof. Dr. Mochtar Kusumaadmadja, mangatakan bahwa aneka ragam istilah Hi itu
bermula dari. Hk. Romawi, yang dikenal denga ius gentium, yang berarti :
- Hukum antar bangsa-bangsa Romawi.
- Orang Romawi dan bukan orang Romawi
- Orang bukan Romawi satu sama lainnya.
Baru kemudian, orang membedakan antara hubungan kesatuan-kesatuan publik (kerajaan
dan republik) dengan hubungan antar individu, dengan ius inter gentes.
Dari istilah ius inter gentes kemudian lahirlah istilah Hk. Bangsa-bangsa,
Hk. Antar Bangsa, Hk. Antar Negara. Kemudian lahirlah istilah HukumI (publik) yang
mejadi cabang ilmu Hukum yang berdiri sendiri.

1.2.b. Persamaan dan perbedaan istilah HI dengan Hk. Bangsa-bangsa, Hk. Antar Bangsa,
Hk. Antar Negara.

1.1.b. (1) Persamaan


- Semuannya bersumber pada hukum Romawi.
- Persamaan landasan sosiologis : Masyarakat Internasional, Masyarakat bangsa-bangsa.
- Persamaan subyek dan sumbernya : negara.

1.1.b (2) Perbedaan.


- perbedaan istilah dan bahasa yang digunakan oleh setiap negara.
- Perbedaan istilah menunjukakan tingkat perkembangannya :
- Ius Gentium – Ius Inter Gentes -- Hk. Bangsa-bangsa,--Hk. Antar Bangsa -- Hk. Antar
Negara.— HI.
- Hukum bangsa –bangsa : menunjukan pada kebiasaan dan aturan (hukum) yang
berlaku dalam hubungan raja-raja pada zaman dahulu.
- Hukum Antar bangsa : menunjukkan kompleksitas kaidah-kaidah dan asas-asas
hukum yang mengatur hubungan antar anggota masayarkat bangsa-bangsa atau negara
yang kita kenal sejak meunculnya negara dalam bentuknya yang modern (nation satte).
- HI : menunjukan pada kaidah-kaidah dan asas-asas hukum, selain mengatur
hubungan antara negara, menga

1.1..c.(3). Perbedaan terletak pada skope hubungan yang diatur;


Hk. Bangsa-bangsa : mengatue hubungan antar bangsa
Hk. Antar Negara : mengatur hubungan anatar negara dengan negara (bangsa dalam
bentuk negara)
Hk Internasional : mengatur yang melintasi batas negara antara negara dengan
negara, antara subyek hokum bukan negara dengan negara, anatar subyek hokum bukan
negara satu dengan yang lain.

5. Sifat perkembangan / pertumbuhan HI dibandingkan istilah yang lain menunjukakan


suatu perubahan yang radikal ke arah pembentukkan suatu hokum Internasional yang
benar-benar universal.

Kenapa istilah Hukum Internasional yang kemudian di pakai termasuk dalam perkuliahan
ini ?
Alasan :
a. Istilah HI paling mendekatai kenyataan dengan sifat-sifat hubungannya dan masalah-
malash yang menjadi obyek bidang hokum ini, yang dewasa ini tidak hanya terbatas pada
hubungan antar bangsa atau antar negara saja, seperti yang dilaksanakan oleh istilah Hk.
Anatar bangsa dan hk. Anatar negara.
b. Istilah HI dalam penggunaannya tidak menimbulkan keberatan di kalanagan para
sarjana, karena telah lazim dipakai orang untuk segala peristiwa yang melintasi batas-
batas negara.
c. Penggunaan istilah HI secara tidak langsung menunjukkan suatu taraf perkembangan
tertentu dalam bidang HI (sebagai perkembangan mutakhir).

1.2. Pengertian dan batasan HI


1.2.1. Pengertian menurut para sarjana

a. Pandangan klasik : “system Hk. yang mengatur hubungan negara-negara.”


b. Prof. Hyde : “sekumpulan hukum, yang sebagaian besar terdiri dari asas-asas dan
peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat negara-negara, karena itu biasanya
ditaati dalam hubungan negara-negara satu sama lian.”
c. J.L. Brierly : “ himpunan kaidah-kaidah dan asas-asas tindakan yang mengikat
bagi negara-negara beradab dalam hubungan mereka satu sama liannya.”
d. Oppenheim : “International law is the name of the body of customary and treaty
rules which are of considered legally binding by states in their intercource which each
other”.
e. Max Rosense :”International law is a strict term of art, connoting that system of
law whose primary function it is to regulate the relation of stateswhic one another “.
e. G. Schwarzenberger : “ International law is the body of legal rules binding upon
sovereign state and such other en tities as have been granted International personality”.
f. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH.,L.L.M. : “keseluruhan kaidah-kaidah dan
asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara
antara:
(1) NEGARA dengan NEGARA;
(2) NEGARA dengan SUBYEK HUKUM LAIN BUKAN NEGARA;
(3) SUBYEK HUKUM BUKAN NEGARA satu dengan YANG LAIN.

1.2.2. Pengertian HI Publik dan HI Perdata

HI Publik (HI) : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan


atau persoalan yang melintasi batas- batas negara yang bukan bersifat perdata”.
H Perdata Internasional : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara yang berfat perdata”

1.2.2.a. Persamaan
Keduanya mengatur hubungan-hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas
negara.

1.2.2.b. Perbedaan
• Perbedaan keduanya terletak pada : sifat hubungna/ persoalan dan obyek yang
diaturnya.
• Cara membedakan berdasarkan sifat dan obyeknya adalah tepat, dari pada
membedakan berdasarkan pelaku-pelaku (subyeknya), yaitu dengan mengatakan HI
Publik mengatur hubungan atara negara, sedangkan H Perdata Internasional mengatur
hubungan orang-perorang.
WHY ?
Alasan :
a. Negara dapat saja menjadi sunyek Hperdata Internasional, dan perorangan dapat saja
menjadi subyek HI.
b. Batasan yang bersifat negatif lebih tepat karena ukuran publik memang sering kali
sukar dicari bats-batasnya.
c. Dewasa ini persoalan Internasional tidak semuannya merupakan persoalan antar
negara; persoalan perseoranga dapat dikatakan persoalan negara (pelanggaran pidana
Konvensi Jenewa 1949).
d. Persoalan yang menyangkut “perseorangan” yang demikian tidak dapat dimasukkan
dalam bidang Tata Usaha Negara atau Pidana Internasional, dan bukan merupakan
persoalan perdata Inte

Relasi antar bangsa-bangsa yang terus menerus meningkat dewasa ini meniscayakan
bangunan hukum yang di jadikan acuan bersama dalam meretas kesepakatan dan
peraturan yang diberlakukan di atas pentas dunia internasional. Munculnya hukum
internasional sebagai suatu bidang dan obyek kajian ilmu hukum bukanlah suatu kajian
ilmu hukum yang telah berumur tua. Pembidangan hukum internasional merupakan
akumulasi dari proses evolutif yang pernah dialami manusia sebagai sekumpulan rumpun
berbagai bangsa dalam pelbagai perbedaan geografis serta tatanan administratif dan
politiknya. Perumusan hasil kajian atas hubungan antar rumpun bangsa-bangsa ini
sebagai suatu disiplin keilmuan telah, sedang dan akan terus mengalami sentuhan
perubahan selaras dengan pergeseran iklim politik, sosial dan budaya yang melanda dunia
internasional.

Bukan berarti ilmu hukum internasional saat ini belum menemukan sedikitpun konsensus
ilmiah di bidang hukum yang mengalasi hamparan pandangan para pakar yang terus dan
kian berkembang. Hanya saja prinsip hukum yang nyaris tersepakati itu berpotensi besar
untuk selalu berubah dan bergeser sejalan dengan kemajuan relasi antar bangsa itu
sendiri. Apalagi peradaban manusia pada dua abad terakhir diwarnai oleh penemuan dan
kemajuan bermacam ilmu pengetahuan dan berbagai perangkat teknologi mutakhir
khususnya di teknologi bidang informasi, komunikasi dan tranportasi. Tiga fenomena
terakhir yang disebutkan adalah yang berperan besar meluluhlantakkan paradigma klasik
dalam hubungan antar bangsa dan anak manusia di era modern saat ini.

Dengan demikian kajian hubungan internasional sebagai ilmu hukum telah melewati
berbagai fase dan pengalaman hidupnya sendiri. Oleh karena itu, perbincangan tentang
hukum internasional yang mengatur pergaulan berbagai bangsa ini selayaknya dimulai,
walaupun sepintas lalu, dari sejarah pergaulan suku-suku bangsa di masa pra modern
sebelum dilanjutkan pada pengertian dan pelbagai pembahasan kontempelatif dari sudut
frame ilmu hukum internasional dalam terminologi kekiniannya. Sebagai penutup
pembahasan, seyogyanya diuraikan mengenai pergeseran pemaknaan atas paradigma
hubungan antar bangsa saat ini sebagai implikasi langsung dari kecanggihan perangkat
teknologi dan ilmu pengetahuan masa kini. Berikutnya hendaklah pula dipaparkan pula
sekilas tentang tantangan-tantangan global yang sangat mungkin terjadi di masa-masa
mendatang.

Pengertian Hukum Internasional

Dewasa ini, pengertian hukum internasional (international law) telah mencapai konsensus
umum untuk diartikan sebagai, sekumpulan peraturan dan norma-norma hukm yang
diberlakukan atas bangsa-bangsa dan entitas lainnya yang mendapat pengakuan sebagai
subyek hukum internasional (international personality/askhos al-qonun al-dauli).
Pendevinisian hukum internasioal di atas yang mengikut sertakan entitas internasional
selain negara sebagai subyek hukum internasional terbilangsebagai devinisi yang
berumur muda. Setidaknya, hukum internasional tidak lagi terbatas dan ekslusif bagi
negara-negara semata yang diakui sebagi subyek hukumnya. Devinisi baru bagi hukum
intenasional ini jelas-jelas berbeda dengan pengertian klasik yang hanya membatasi
international law sebagai hukum yang barlaku bagi subyek hukum yang terdiri dari
negara-negara belaka .

Pergeseran pendevinisian ini berkaitan erat dengan peran pelbagai organisasi-organisasi


internasional yang mampu berperan di dunia internasioanl layaknya negara dan bangsa
berdaulat. Pada dekade 1940-an, jumlah organisasi-organisasi internasional menunjukkan
angka membengkak dan nyata-nyata memainkan peran yang punya efektifitas yang
bahkan tidak kalah dari peran yang dimainkan negara-negara. Peran yang ditunjukkan
PBB sebagai salah satu representasi penting organisasi berskala internasional dalam
partisipasinya yang turut meredam perang dunia kedua yang melibatkan negara-negara
besar dan menjadi ancaman global waktu itu manjadi bukti sahih efektivitas peran
organisasi internasional dalam skala global yang tidak kalah dari peran negara.

Devinisi baru ini merevisi pengertian tradisional akan hukum internasional ( the
traditional definition of international law) yang hanya membatasi subyek hukumnya
semata atas negara. Devinisi hukum internasioanal yang dalam perpekstif klasik lebih
diartikan sebagai hukum yang diberlakukan atas bangsa-bangsa di masa perang dan
damai telah kehilangan momentumnya serta dinilai terlalu kaku dan rigid. Fenomena baru
di dunia internasional yang menunjukkan peran besar yang dimainkan organisasi
multinasioanl menjadi rujukan utama yang diakomodir oleh devinisi baru ini. Sehingga
perubahan besar yang dibawa fenomena baru ini mesti direfleksikan dalam pranata
hukum internasional semenjak abad 20.

Dalam pengertian istilah modern, hukum internasional seringkali dikaitkan dengan 'ius
gentium' yang merupakan konsepsi bangsa Romawi. Hanya saja terma 'ius gentium' di
masa Romawi yang kerap di dengungkan sebagai akar devinisi hukum internasional ini
sejatinya mempunya pengertian yang jauh berbeda dengan penggunaannya di masa
modern. Ada dua arti yang diberlakukan bagi 'ius gentium' di masa Romawi. Yang
pertama adalah hukum yang berlaku umum baik bagi orang Romawi maupun bangsa lain,
mengingat di masa Romawi terdapat hukum yang khusus berlaku bagi warga negara
Romawi yang disebut 'ius civile'. Sedangkan arti kedua bagi 'ius gentium' adalah hukum
kodrat yang berlaku umum dan universal bagi semua bangsa dan benda. Kelihatnnya,
pengertian yang terakhir inilah yang kemudian diadaptasi sebagai akar yang menjadi
cikal bakal hukum antar negara .

Sifat Hukum dari Hukum Internasional (The Characteristics of International Law/al-Sifat


al-Qonuniyah li al-Qonun al-Dauli)

Semenjak munculnya hukum internasional sebagai pranata hukum yang menertibkan


relasi antar bangsa, kekuatan hukum yang dimilikinya telah menjadi kontroversi para
pakar. Sebagaian dari mereka berpandangan bahwa hukum internasioan tidak mempunya
kekuatan hukum (al-quwah al-mulzimah). Artinya hukum internasional tidak lebih
daripada pandangan moril (positieve moraal) dalam pergaulan internasional atau sebatas
hanya sopan santun internasional (comitas gentium/al-akhlaq al-dauliah). Pandangan ini
dianut antara lain oleh John Austin dalam bukunya lectures on Jurisprudence. Termasuk
yang tidak mengakui sifat hukum dalam hukum internasional adalah Hobbes dari Inggris
dan Hegel, fisuf kenamaan Jerman.

Pendapat pertama yang tidak mengakui hukum internasional sebagai tidak lebih dari
tatakrama antar negara melandaskan argumennya pada kedaulatan negara sebagai
kekuasaan tertinggi (al-siyadah al-muthlaqoh) . Bagi mereka, kekuatan hukum akan
mengikat jika semata-mata berasal dari hukum tertinggi yang termanifestasikan dalam
otoritas dan kedaulatan negara. Berarti, kesepakatan bilateral maupun multilateral apapun
tidak akan mampu mencerabut kekuasaan tertinggi ini. Tidak juga mampu merobohkan
kedaulatan negara ini norma-norma internasional yang berlaku di dunia internasional.
Setiap negara mempunya kedaulatan sendiri di depan negara lain yang tidak boleh terusik
oleh kedaukatan negara lainnya.

Dengan kata lain, kesepakatan yang dihasilkan oleh dua unsur yang sepadan tidak akan
memberikan kekuatan hukum yang mengikat. Kekuatan hukum akan dinilai mengikat
mana kala hukum tersebut dikeluarkan oleh otoritas yang lebih tinggi kederajatannya atas
subyek lain yang berada di bawahnya. Dengan demikian, kelompok ini berpandangan
bahwa kekuatan hukum hanya terdapat pada hukum nasional.atau yang lazim disebut
sebagai undang-undang (municipal law) .Di mana dalam hukum domestik ini terdapat
pembentuk undang-undang yang terpresentasikan dalam parlemen sebagai otoritas
tertinggi yang menjadi pengewajentahan dan perlambang dari kadaulatan negara.

Pandangan ini mendapat pertentangan dari kelompok mayoritas pakar hukum yang
mengakui kekuatan hukum yang terdapat pada hukum internasional. Bagi kalangan yang
mendukung terdapatnya kekuatan hukum yang mengikat dalam hukum internasional,
kesalahan kelompok yang tidak mengakui sifat hukum berpangkal pada generalisasi dan
penyamaan antara hukum yang berlaku antar negara (the international legal system)
dengan hukum yang berlaku dalam negara atau undang-undang ( municipal law).
Penilaian yang dangkal dan berat sebelah dengan mengartikan hukum semata sebagai
hukum nasional saja telah melalaikan perbedaan prinsipil antara undang-undang dan
hukum. Para penyokong pandangan yang mengatakan tidak adanya sifat hukum dalam
hukum internasional telah melupakan bahwa di samping undang-undang terdapat pula
hukum lain dalam negara. Seperti halnya hukum kebiasaan nasional dimana hampir
semua pakar mengakuinya sebagai hukum sah dalam negara di samping undang-undang.
Oleh karena itu, undang-undang adalah salah satu hukum dalam suatu negara, namun
bukan satu-satunya.

Di sisi lain, dalam pandangan mazhab kedua, keluarnya undang-undang dari lembaga
yang menyuarakan otoritas dan kedaulatan negara bukanlah hukum itu sendiri. Memang
benar bahwa peraturan-peraturan yang di keluarkan oleh parleman dan yang diberlakukan
oleh para hakim adalah hukum, namun penetapan parlemen dan keputusan hakim bukan
merupakan elemen hukum. Sebagai bukti banyak peraturan-peratutran hukum negara
yang tidak lahirkan parlemen dan tidak pula dapat diputuskan oleh hakim. Peraturan-
peraturan hukum tentang tata cara menjalankan kekuasaan tertinggi adalah sebuah misal
bagi yang terakhir disebutkan .

Klaim yang disebutkan pendukung pendapat tidak mengikatnya hukum internasional


bahwa dalam hukum internasioanl tidak terdapat pula pembentuk hukum dapat
digantikan dengan pengadaan perjanjian (tractaat) antar negara itu sendiri. Sehingga,
peraturan-peraturan yang tertuang dalam memo perjanjian itu dapat dikategorikan
sebagai hukum yang mengikat, mengingat keyakinan dunia internasianal yang
menganggap traktat sebagai sumber hukum positif. Selain itu, undang-undang yang
merupakan peraturan berdasarkan perintah dan kehendak satu arah dapat menjadi sebuah
hukum yang mengikat, apa lagi traktat yang justru merupakan kehendak bersama antara
negara yang menandatanganinya. Dengan pelbagai argumen di atas, jelaslah bahwa
hukum internasional dapat dinilai sebagai suatu peraturan-peraturan hukum yang
mengikat (al-mulzimah) dan memiliki sifat hukum (al-sifat al-qonuniah) .

Sumber-Sumber Hukum Internasional (The sources Of International Law/Mashodir al-


Qonun al-Dauli)

Peraturan dan norma internasional yang mesti dianut oleh negara-negara harus senantiasa
berdasarkan sumber-sumber autoritatif yang menaunginya. Dengan demikian, maka
sumber internasional ini dapat diartikulasikan sebagai segala sesuatu yang dapat
memunculkan dan melegalisi peraturan dan norma antar negara. Satu perbedaan
mencolok antara sumber hukum yang dijadikan landasan hukum domestik dan sumber
hukum internasional adalah tidak didapatinya sumber tertulis dalam hukum internasional.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan hukum nasional sebuah negara yang lazim
menggunakan sandaran sumber hukum tertulis dalam peraturan-peraturan domestiknya.

Secara karakteristik, sumber hukum ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah sumber
formil (al-mashodir al-syakliyah/formal source). Kedua adalah sumber materil (al-
mashodir al-madiyah/material source). Secara singkat, sumber formil dapat diartikan
sebagai segala proses prosedural yang melegalisi hukum internasional wujud. Sedangkan
sumber materil adalah segala sesuatu di mana hukum internasional terambilkan dari
padanya dan terasaskan atasnya. Beberapa sumber yang sahih dapat dijadikan sandaran
hukum internasional adalah sebagai berikut:
a. Kebiasaan Internasional (al-'urf al-dauli/International Custom)

Asas kebiasaan merupakan suatu sumber hukum internasional yang tersepakati


keabsahannya dalam mendasari peraturan-peraturan antar negara. Meski demikian,
adalah hal yang sangat sulit memberi pengertian yang devinitif tentang kebiasaan ini. Hal
demikian disebabkan tidak ditemukannya kata sepakat antara para pakar hukum dalam
sub syarat yang mesti dipenuhi oleh aksi kebiasaan internasional sehingga mampu
memberi legalitas atas peraturan yang bersandar padanya. Perbedaan pandangan para ahli
hukum dalam elemen-elemen hukum yang mampu mengantarkan sebuah fenomena
kebiasaan yang berlaku menjadikan sumber hukum ini akan berbeda secara devinitif
antara seorang ahli dengan ahli lainnya. Sebagai contoh, sebagian ahli menyatakan
kekuatan sumber kebiasaan bisa terjadi dengan hanya memerlukan suatu perilaku
internasional sebagai elemen materil belaka. Pendapat tersebut tenatu saja
mengesampingkan pandangan kelompok pakar lain yang hanya mensyaratkan elemen
psikologikal yang termanifestasikan dalam tercapainya suatu komitmen dunia
internasional perihal perilaku tadi. Sedangkan ada kubu lain lagi yang mensyaratkan
keduanya sebagai pemenuhan perilaku kebiasaan yang berkekuatan hukum.

Namun demikian, perselishan pendapat ini tidak melunturkan kesepakatan bahwa


perilaku kebiasaan ini mempunyai dua elemen di dalamnya. Pertama, adalah elemen
psikologikal ( al-'unshur al-ma'nawi) yaitu, tercapainya suatu pengakuan dunia
internasional akan legalitas suatu aksi kebiasaan tertentu dan tumbuhnya komitmen untuk
menghormatinya. Kedua adalah elemen materil (al-'unshur al-maadi). Elemen kedua ini
akan terpenuhi dalam suatu perilaku tertentu bila di dalamnya terdapati dan terpenuhinya
beberapa sub elemen sebagai berikut:

1. Kecukupan Temporalistis (Fatroh Zamaniah Mu'ayyanah/Duration of Practice)

Tidak terdapat standar paten dalam waktu yang disaratkan guna suatu perilaku Negara
dianggap telah memenuhi kepantasan secara waktu. Akan tetapi dapat ditakar bahwa
suatu kebiasaan tertentu akan dianggap telah memenhi pra syarat temporalistiknya kala
perilkau tadi mmapu memebrikan kesan yang menumbuhkan komitmen dunia
internasional untuk menegasikan legalitasnya.

2. Generalitis ('Umumiyah al-Suluk/ Extend of Practice)

Yang dimaksud dengan perilaku yang generl adalah suatu tindakan yang dilakukan
kolektif oleh berbagai subyek hukum internasional. Jadi bukan suatu perilaku yang
nyleneh dan individualistic atau menyendiri.

3. Keterpaduan (Ittisaqi/Uniform)

Artinya praktik kebiasaan tadi dilakukan dengan konstan dan tidak saling bertabrakan
satu sama lain. Praktik kebiasaan akan mendapatkan legitimasi sumber hukumnya bila
mana tidak terjadi tumpang tindih dalam perilaku itu dan tidak terdapati dikotomi aksi.
b.Perjanjian Internasional (Mu'hadat/Treaties)

Perjanjian yang bisa menjadi sumber hukum internasional adalah suatu kesepakatan yang
tunduk di bawah peraturan hukum internasional baik berupa kesepakatan umum atau
khusus yang melibatkan dua Negara atau lebih. Dari devinisi ini dapat difahami bahwa
perjanjian internasional yang dapat dijadikan sandaran hukum internasional aterbatas
pada perjanjian yang dilakukan oleh dua Negara berdaulat atau lebih. Dengan demikian,
perjanjian yang dilakukan oleh Negara dan suatu organisasi yang telah mendapat
pengakuan sebagai subyek hukum internasinal tidak dapat dijadikan sebagai sumber
hukum.

Perjanjian internasional dapat dibagi menjadi beberapa macam menurut sudut pandang
yang berbeda. Dilihat dari peserta penandatangan perjanjian, maka perjanjian dapat
dibagi menjadi dua. Pertama perjanjian bilateral (tsunaiyah/bipartite), yaitu perjanjian
yang terjadi di antara dua negara. Kedua, perjanjian multilateral ( jama'iyyah/
multipartite) yakni bila perjanjian tersebut melibatkan tiga negara atau lebih.
Sebagaimana perjanjian internasional disebut sebagai perjanjian traite-lois ( al-syariah/
law making treaties) bila perjanjian itu memunculkan hukum baru di pentas dunia
internasional. Jika perjanjian itu hanya demi merealisasikan hukum internasional yang
ada maka disebut sebagai treate-contranct (al 'aqdiah/treaty contracts).

c. Prinsip Hukum Umum (Al Mabadi' al Ammah Li al-Qonun/General Principles of


Laws)

Meskipun bukan merupakan sumber pokok hukum internasional sebagaiman dua sumber
yang telah disebutkan di atas,sumber yang ketiga ini juga diakui publik internasional
sebgai salah satu sumber hukumnya. Walaupun devinisi tentang sumber hukum ini belum
mencapai kata sepakat. Setidaknya pengertian yang biasa dipakai dalam mengartikan
sumber ini adalah prinsip-prinsp umum hukum yang diakui legalitas dan kekuatan
hukumnya oleh semua segenap bangsa-bangsa masyarakat internasional (ta'tariif bi ha al
qonuniyah li muktlafi al dual/recognized by civilized nations). Yang bisa disebut sebagai
misal dari sumber ketiga ini adalah tentang prinsip tanggung jawab (responbilty) dari
tindakan yang merugikan fihak lain dan semacamnya.

d. Keputusan Hukum Internasional (Ahkamu al-Qodlo al Dauli/ Judicial Decisions)

Sumber ke empat ini sebenarnya adalah sumber hukum internasioanal yang bersifat sub
sumber atau sumber cabangan belaka( al mashdar al ihtiyathi/subsidiang source).
Sehingga meskipun keputusan ini hakikatnya hanya berlaku bagi Negara-negara yang
menjadi subyek penghakiman, namun keputusan yang diambil atas Negara tersebut bisa
dijadikan sebagai pendalilan pada suatu kasus yang sama pada Negara yang berbeda.

Subyek Hukum Internasional (al Syakhsiah al Qonuniah al Dauliah/International


Personality)
Sebagai suatu peraturan yang demikian luas, hukum internasioan mempunyai subyek
hukum yang jelas berbeda dengan hukum perundang-undangan yang bersifat nasional
semata. Sehingga yang menjadi subyek hukum dalam hukum internasional adalah satuan
entitas internasional yang mempunyai kapabilitas mapan guna menggunakan hak dan
menanggung kewajibannya. Dalam pengertian ini, negara bukanlah satu-satunya yang
mempunyai kapabilitas untuk itu semua. Sehingga, menganut pada perkembangan hukum
internasional modern, sifat subyek hukum internasional bisa diberlakukan pula bagi
oraganisasi bertaraf internasional yang telah mendapat pengakuan publik dunia. Sehingga
pemetaan subyek hukum internasional ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, negara
sebagai subyek hukum asli hukum internasional. Kedua, oraganisasi internasional yang
telah diakui publik dunia akan kapablitasnya dalam menggunakan dan menanggung hak
serta kewajiban internasioanl. Termasuk yang terakhir adalah ikatan-ikatan atau asosiasi
negara-negara. Sehingga, seseorang atau individu secara personal tidak akan pernah
menjadi subyek hukum dalam hukum internasional ini.

Negara merupakan obyek utama (the principal persons ) dalam hukum internasional.
Kenyataannya adalah, tidak semua komunitas yang menamakan dirinya sebagai negara di
dunia ini bisa memenuhi kualifikasi sebagai negara yang pantas menjadi subyek hukum
internasioanal. Setidaknya ada beberapa syarat yang absolute dipenuhi suatu "negara"
untuk bisa memastikan diri sebagai subyek hukum internasional, yang di antaranya:

a. Rakyat (as Sya'b al Muqimin/Permanent Population)

Yang terpenting dalam hal ini adalah adanya rakyat yang menyandang kewarganegaraan
dari negara yang bersangkutan. Sehingga, standar kwantitas sama sekali bukan
merupakan acuan utama dalam syarat ini. Oleh karena itu, negara dengan populasi ribuan
semacam San Marino atau Nauru masih dianggap sebagai subyek hukum internasional
yang mempunya hak dan kewajiban yang tidak berbeda dengan egara dengan jumlah
penduduk ratusan juta.

b.Wilayah (al-Iqlim/Difined Territory)

Wilayah adalah kawasan geografis yang menjadi hak ekslusif dari suatu negar untuk
mendayagunakan dan menggunakan kedaulatan atasnya. Mirip sebagaimana elemen
rakyat, tidak ada syart khusus seberapa besar wilayah negara untuk bisa mengantarkan
dirinya sebagai subyek hukum internasional. Oleh karena itu negara dengan luas wilayah
yang hanya beberapa kilometer persegi semisal Luxembergo, Monaco dan sesamanya
mempunyai hak yang sama dengan negara dengan luas teritorial jutaan kilometer persegi.

c.Pemerintahan (al Siyadah/a Government)

Guna mencatatkan diri sebagai subyek hukum internasional, sebuah negara harus
mempunyai lembaga pemerintahan yang mengendalikan negara dan menjadi pemegang
otoritas kekuasaannya. Dengan demikian, negara yang sedang dalam masa perwalian
tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagai subyek hukum internasional. Namun,
perannya di dunia internasioanl diwakili oleh dewan perwalian hingga terbentuknya
badan eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan negara tersebut.

Perlu dijelaskan pula bahwa ada beberapa kriteria negara yang sebenarnya tidak berdaulat
penuh namun dianggap sebagai subyek hukum internasional yang diakui. Walaupun
kekuasaan internasional yang dimilikinya terbatas. Secara garis besar, ada dua kriteria
yang masuk dalam tipe negara semacam ini. Pertama, negara-negara bagian dari beberapa
negara serikat. Negara bagian seperti ini bisa memainkan peran di dunia internasioanl
dengan persetujuan negara pusat. Sebagaimana kanton-kanton yang berserikat dengan
Swiss. Kedua, protektorat-protektorat, yaitu negara yang asalnya berdaulat namun dengan
tujuan tertentu meminta perlindungan dari negara berdaulat lainnya yang menjadikannya
sebagai negara dengan status tidak merdeka, sebagaimana yang pernah terjadi pada
Monaco yang meminta proteksi Prancis pada 1908.

Isi dan Kandungan Hukum Internasional

Biasanya hukum internasioanl dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah hukum yang
diberlakukan di saat perang. Kedua adalah hukum di saat damai. Hukum antar negara
yang diberlakukan di saat perang memegang kedudukan sangat vital, mengingat hal ini
berkenaan dengan kedaulatan suatu negara dan kesatuuan wilayah territorial yang
dimilikinya. Di abad pertengahan, dimana hubungan antar negara-negara saat itu lebih
banyak diwarnai perang dari pada damai hukum internasional lebih didominasi oleh
hukum yang mengatur tentang perang antar negara. Hukum perang di darat mempunyai
peraturan yang berbeda dengan perang di laut. Hanya saja hingga saat ini belum pernah
dibakukan hukum internasioanl yang mengatur perang udara. Bisa jadi hal disebabkan
perang udara merupakan fenomena dan trend perang mutakhir. Selain itu, perang udara
hanya bisa dilakukan oleh kalangan terbatas. Yaitu sedikit negara yang mempunyai
infrastruktur peralatan militer canggih. Sehingga perang udara bukan merupakan
fenomena umum yang mudah terjadi. Oleh karena itu sampai hari ini belum ada
kodifikasi khusus yang menjelaskan hukum antar negara yang mengatur perang udara.

Sementara itu, hukum internasional yang mengatur relasi antar negara saat damai
mempunyai peran sangat vital di era modern ini. Mengingat stabilitas internasioanal yang
cenderung baik yang berimplikasi pada pendekatan diplomasi sebagai ujung tombak
negara untuk menunjukkan eksistensinya. Selain itu, upaya negara-negara di dunia yang
menfokuskan diri pada pemakmuran negaranya berhadapan dengan kepentingan negara
lain di tengah percaturan global yang makin ketat dan cepat menumbuhkan urgensi
pemantapan hukum damai. Hukum internasional saat damai meliputi antara lain:

a. Peraturan-peraturan yang menjelaskan batas-batas daerah hukum sebuah negara


dengan negara lain. Baik batas Negara yang berada di daratan, lautan dan udara.

b. Hukum internasional yang mengatur tentang perwakilan suatu negara atau asosiasi
berbagai negara pada negara tertantu. Setidaknya ada tiga lembaga yang menjadi
perwakilan negara.

Pertama, kepala negara yang bertindak sebagai wakil tertinggi dari negara yang
dikepalainya.

Kedua, duta besar yang ditempatkan pada suatu negara tertentu yang bertindak sebagai
wakil negara yang mengutusnya dalam semua relasi yang dibangun antara kedua negara.

Ketiga, kosuler yang diangkat untuk daerah tertentu pada sebuah negara yang hanya
punya wewenang pada kepentingan-kepetningan yang berorientasi pada persolan
ekonomi. Hanya saja, para konsul tidak bebas untuk mengadakan hubungan dengan negra
yang menerimanya. Akan tetapi hubungan yang dijalin dengan pemerintahan negara itu
masih tetapa melalui perantar duta.

Penutup.

Hubungan internasional di era modern ini lebih diwarnai dengan stabilitas dunia yang
cukup baik. Meski tidak dapat pula dinafikan di beberapa belahan dunia masih terjadi
berbagai konflik yang belum usai. Hukum internasional yang disengajakan sebagai
pranata yang mengatur relasi antara satu subyek hukum internasional yang melibatkan
banyak negara ikut andil dan ambil peran yang sangat vital bagi kemajuan dan
perdamaian dunia saat ini. Oleh karena itu, hukum internasional harus senantiasa dikawal
sehingga praktek hukum yang dilakukan oleh semua Negara di dunia ini berlandaskan
pada keadilan dan kemanusiaan. Bukan pada kepentingan dan egoisme serat ambisi
segelintir yang tidak memihak pada perkeadilam. Semoga cita-cita kemakmuran,
keadilan dan kedamaian merata di dunia ini secepatnya terwujud dan terjaga sebelum
makhluk dunia ini menyongsong ketiganya di akhirat nanti. Amien. Be continud?
(By: Arif reza Syah)

You might also like