You are on page 1of 13

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept.

Ilmu Hubungan Internasional 1


Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Operasi Militer Indonesia 1959-1965


Periode Demokrasi Terpimpin
Mata Kuliah Strategi Pertahanan Indonesia

Pendahuluan: Operasi Militer Indonesia 1959-1965


Di periode 1959-1965, jumlah operasi militer yang dilakukan Indonesia meningkat
secara signifikan. Dalam periode demokrasi terpimpin, Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia mengadakan 77 operasi militer yang sebagian besar dikerahkan untuk menghadapi
ancaman neokolonialisme Malaysia, ancaman internal DI-TII, serta ancaman disintegrasi
oleh pendudukan Belanda di wilayah Irian Barat. Lingkungan strategis Indonesia pada
periode ini yang dikelilingi ancaman neokolonialisme membuat Indonesia mengintegrasikan
sikap antikolonialisme dan antiimperialisme dalam pertahanan negara. Dalam paper ini,
penulis akan membahas dua komando operasi militer yang mengoperasionalisasikan sikap
antikolonialisme tersebut dalam strategi militernya, yaitu Komando Mandala Pembebasan
Irian Barat dan Komando Ganyang Malaysia.
Pembahasan kelompok kami dalam makalah ini akan berdasarkan pada dua pertanyaan:
(a) bagaimanakah operasi militer Indonesia dilakukan di Indonesia; dan (b) apakah doktrin
militer Indonesia koheren dengan aplikasi lapangan dalam bentuk operasi militer Indonesia.
Dalam tulisan ini kami akan mengambil dua studi kasus, yaitu terhadap Operasi
pembebasan Papua barat (Operasi Mandala) dan operasi Ganyang Malaysia. Dari kedua
operasi itu kami ingin mengargumentasikan bahwa Indonesia melakukan operasi militernya
secara disintegratif terhadap doktrin. Ada ruang bagi inovasi terhadap penyesuaian bentuk
operasi militer Indonesia dengan kondisi keadaan dan kalkulasi lapangan, namun semuanya
masih sesuai dengan idealisasi strategi pertahanan semesta yang dimiliki Indonesia.

Definisi dan Konsepsi Operasi Militer

Operasi militer adalah tindakan militer terkordinasi dari sbeuah negara yang
merupakan respon/tanggapan terhadap sebuah perkembangan situasi. Tindakan ini dirancang
sebagai sebuah rencana militer untuk mengatasi situasi di lapangan sesuai dengan aspirasi
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional 2
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

negara. 1 Operasi militer dapat berwujud kombat atau dalam bentukan non-kombat, dan
operasi militer dapat dinamakan sesuai dengan kode istilah demi menjamin keamanan dan
efektivitras operasi militer terkait. Operasi militer dalam hal ini dapat didefinisikan melalui
lingkup, skala kekuatan pasukan dan format penggelaran pasukan militer terkait dengan
tujuan spesifik yang ingin diraih oleh sebuah negara2:

 Teater (Theatre): operasi ini merupakan sebuah upaya kontestasi pada area dan skala
besar, biasanya dalam skala benua dimana terlihat sekali adanya komitmen nasional
strategis, seperti operasi Barbarossa. Operasi militer tipe ini biasanya melinkupi juga
konsiderasi non-militer seperti efek ekonomis dan politis dari sebuah operasi.
 Kampanye (Campaign): operasi ini merupakan bagian dari sebuah operasi teater,
dengan sebuah komitmen grografis dan operasional strategis yang terbatas seperti
pertempuran Inggris dimana terkadang totalitas komitmen nasional sebuah negara
terhadap konflik tersebut tidak terlalu dibutuhkan.Mirip dengan operasi pada lingkup
teater, operasi jenis kampanye juga dapat didasari konsiderasi dominan non-militer.
 Pertempuran operasional: Jenis pertempuran seperti ini memiliki tujuan militer
spesifik dan merupakan sebuah bagian lebih kecil dari operasi militer berjenis
kampanye (campaign), seperti dicontohkan dalam pertempuran Gallipolli,
yangmerupakan kombinasi-kombinasi operasi angkatan bersenjata yang melibatkan
kurang lebih 480.000 pasukan sekutu. Konsiderasi militer menjadi faktor dominan.
 Pelibatan (Engagement): operasi ini merupakan bagian terkecil yang biasanya
mendeskripsikan kontestasi taktikal untuk menguasai area spesifik atau tujuan militer
spesifik oleh unit-unit yang terlihat perbedaan jelasnya (distinct spesification of units).
Operasi jenis ini dicontohkan dengan the Battle of Kursk, dimana konsiderasi teknikan
militer menjadi corak utama operasi ini.

Doktrin dan Strategi Pertahanan Indonesia 1959-1965


Doktrin Pertahanan Indonesia 1959-1965
Di periode 1959-1965, terjadi konsistensi penggunaan doktrin pertahanan rakyat seperti
yang digunakan di periode sebelumnya. Doktrin yang mengikutsertakan seluruh rakyat dalam

1
http://www.dtic.mil/doctrine/jel/doddict/data/f/02222.html diakses pada 13/10/09 p.k. 15.30 WIB
2
http://www.globalsecurity.org/military/agency/navy/group.htm diakses pada 15/10/09 p.k. 00.30 WIB
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional 3
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

pembelaan negara bermula dari konsepsi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang A.H.
Nasution pada 1948 mengenai cara-cara perlawanan menghadapi Belanda, yaitu sebagai
berikut.
1. Tidak akan melakukan pertahanan yang linier.
2. Tugas memperlambat setiap majunya musuh serta pengungsian total (semua pegawai
dan sebagainya), serta bumi hangus total.
3. Tugas pokok membentuk kantong-kantong di tiap onderdistrik yang mempunyai
kompleks di beberapa pegunungan.
Inti dari konsepsi itu adalah perang gerilya. Pokok-pokok gerilya adalah
1. Tidak bertempur di lapangan terbuka dan frontal.
2. Mengundurkan diri bila diserang musuh yang lebih kuat.
3. Menyerang dan menghancurkan pasukan-pasukan musuh yang lebih kecil.
4. Mengganggu dan menyerang garis-garis komunikasi dan konvoi-konvoi musuh.
Dalam konsepsi itu, terlihat bahwa perang harus dilakukan oleh seluruh rakyat dengan
mengikutsertakan seluruh potensi yang ada. Perang tidak hanya menyangkut aspek militer,
tetapi juga aspek-aspek lain (ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya). 3
Konsepsi itu terus dikembangkan oleh Angkatan Darat dan kemudian dituangkan dalam
Doktrin Tri Ubaya Çakti, yang dirumuskan pada 1965 dengan pokok-pokok sebagai berikut.4
1. Antipenjajahan.
2. Melaksanakan pertahanan rakyat semesta.
3. Melakukan doktrin pertahanan defensif-aktif.
4. Percaya kepada kekuatan sendiri.
5. Tidak mengenal menyerah.

Komando Mandala Pembebasan Irian Barat: Suatu Inovasi Strategi

Strategi Perang Konvensional dalam Serangan Ofensif


Komando Mandala adalah suatu Komando Pelaksana Utama Tri Komando Rakyat
(Trikora), yang dikumandangkan Presiden Sukarno untuk merebut Irian Barat. 5 Dalam
strategi besar Pembebasan Irian Barat dalam Komando Mandala, dapat dilihat bahwa

3 Seri Text-Book Sedjarah ABRI: Angkatan Darat, h. 106-107.


4 Ibid., h. 107.
5 Ibid., h. 30.
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional 4
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Indonesia mengembangkan perang berlarut untuk suatu serangan ofensif yang cenderung
mengandalkan strategi perang konvensional. Konsepsi Trikora membutuhkan Angkatan
Bersenjata yang lebih kuat daripada kekuatan Belanda di Irian Barat agar Belanda secara
sukarela menyerahkan hak mutlak Indonesia atas wilayah Irian Barat serta ABRI yang telah
disiapsiagakan penuh mengadakan penyerbuan militer fisik dan frontal. 6 Dapat dilihat bahwa
concern Indonesia bukanlah strategi perang gerilya yang tidak bertempur di lapangan terbuka
dan frontal, melainkan strategi decisive battle yang menekankan penghancuran center of
gravity.
Untuk Rencana Operasi Gabungan Irian Barat, Indonesia juga memilih Operasi B-1, di
mana Indonesia merebut dan mempertahankan seluruh Irian Barat dalam waktu secepat-
cepatnya dengan tujuan memperoleh kekuasaan de facto atas seluruh wilayah tersebut, bukan
alternatif course of action, yaitu Operasi B-2, operasi militer dengan sasaran terbatas di mana
Indonesia merebut dan mempertahankan suatu bagian di daerah Irian Barat dengan tujuan
menimbulkan suasana politik yang menguntungkan serta mendapatkan basis terdepan untuk
merebut seluruh Irian Barat, serta Operasi B-3, operasi militer dengan scope infiltrasi di
mana Indonesia melakukan infiltrasi militer untuk memperoleh pangkalan bagi serangan
selanjutnya. Hal ini disebabkan Operasi B-2 hasilnya tidak menentukan, sementara Operasi
B-3 risikonya sulit diperhitungkan, sehingga GKS menyarankan agar Operasi B-1 yang
dilaksanakan.7 Hal ini juga mencerminkan operasionalisasi strategi perang konvensional,
karena kalah-menangnya perang dipandang dari segi kehancuran enemy forces dan
pendudukan wilayah sebagai kemenangan perang.
Bukti lain dari inovasi baru militer Indonesia untuk mengandalkan strategi perang
konvensional terlihat dari penahapan operasi militer dalam Komando Mandala untuk secara
berangsur-angsur menduduki bagian-bagian dari wilayah Irian Barat dalam jangka waktu tiga
tahun, yaitu sebagai berikut.8
1. Tahap infiltrasi: Infiltrasi dalam jangka waktu 10 bulan dimulai awal 1962 sampai
akhir 1962, diharapkan 10 kompi inti Angkatan berhasil masuk dan membentuk
kantong-kantong daerah bebas Republik Indonesia di Irian Barat untuk menciptakan

6 Ibid., h. 28-30.
7 Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, Sejarah TNI Jilid III (1960-1965) (Jakarta: Markas Besar
TNI – Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000) h. 115-116.
8 Seri Text-Book Sedjarah HANKAM/ABRI: Perjuangan Irian, h. 40-47.
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional 5
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

dan mempertahankan daerah-daerah bebas tersebut dan mengikat kekuatan-kekuatan


Belanda setempat sehingga kekuatan musuh tercerai berai.
2. Tahap eksploitasi: Gerakan-gerakan yang terang-terangan oleh operasi-operasi militer
secara besar-besaran untuk merebut dan menduduki pulau Biak sebagai pusat
pertahanan strategis Belanda di Irian Barat dimulai awal 1963 untuk melumpuhkan
inti kekuatan militer musuh sedemikian rupa, sehingga seluruh wilayah Irian Barat
dapat dikembalikan pada kekuasaan Republik Indonesia. Operasi terbuka yang
dimaksudkan dalam tahap ini pada saatnya dinamakan Operasi Jayawijaya.
3. Tahap konsolidasi: Konsolidasi kekuasaan Republik Indonesia di seluruh wilayah
Provinsi Irian Barat yang dimulai akhir 1963 setelah selesai tahap eksploitasi.
Penahapan operasi militer dalam tiga tahun ini merupakan inovasi baru militer
Indonesia, yang selama ini mengandalkan strategi gerilya dengan organisasi pertahanan
melingkar yang digelar selama masa perang kemerdekaan atau strategi kontra-gerilya yang
mengandalkan konsolidasi pertahanan wilayah yang digelar untuk menumpas pemberontakan
bersenjata dalam negeri. 9

Operasionalisasi Konsep Force-to-Space Ratio Liddell Hart


Dalam Operasi Jayawijaya, yang merupakan tahap eksploitasi Komando Mandala,
Indonesia menerapkan strategi yang berbasis penguasaan kantong-kantong daerah bebas
Republik Indonesia di Irian Barat. Indonesia menghadapi musuh dengan front line yang kuat,
di mana secara teoritis, sistem pertahanan Belanda nampak kuat, ketat, dan sukar ditembus.
Terdapat jumlah unsur-unsur militer Belanda yang besar yang ditempatkan di Irian Barat,
namun itu baru sebagian kecil dari kekuatan militer seluruhnya yang dimiliki, sehingga
apabila keadaan memaksa, Belanda akan dapat menggerakkan bala bantuannya ke Irian
Barat. Belanda juga telah membagi daerah pertahanan menjadi lini pertama, lini kedua, dan
lini ketiga. Pesawat-pesawat militer dipusatkan di Biak. Terdapat warning system berupa
patroli pesawat terbang Neptune (P2V7) dengan pangkalan-pangkalan tolak Sorong,
Kaimana, dan Biak, patroli kapal-kapal jenis fregat, perusak, dan kapal selam di Biak dan
Sorong atau Kaimana, kesatuan buru-sergap pesawat-pesawat terbang jenis Hawker Hunter di
Biak, serta stasiun-stasiun radar di berbagai tempat.10

9 Andi Widjajanto, “Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia”, h. 8-9.


10 Seri Text-Book Sedjarah HANKAM/ABRI: Perjuangan Irian, h. 30-37.
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional 6
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Untuk menghadapi operasi-operasi tersebut, disusun komposisi pasukan Komando


Mandala terdiri dari bagian pertahanan, bagian penipuan/pengikat, bagian
penghubung/penyelidik, bagian pengangkut, bagian perawatan/logistik, dan bagian
penyerang. Dalam hubungannya dengan kesiapan tempur di bidang pertahanan udara, AULA
(Angkatan Udara Komando Mandala) membentuk Kesatuan-kesatuan Tempur yang terpencar
di pangkalan-pangkalan udara. Kesatuan-kesatuan yang telah disusun untuk mempersiapkan
bidang pertahanan laut meliputi Kesatuan Kapal Cepat Torpedo KKCT-16, Kesatuan Kapal
Selam KKS-15, Angkatan Tugas Amfibi ATA-17, dan Pasukan Pendarat PASRAT-45.
Seluruh kekuatan yang dapat dikerahkan ini diperkirakan tiga kali lebih besar dari kekuatan
yang dimiliki Belanda. 11
Strategi ini sejalan dengan konsep penting Basil Liddell Hart tentang offense-defense
balance dalam force-to-space ratio (strategi yang berbasis penguasaan zona pertahanan).
Liddell Hart mengungkapkan bahwa apabila front line musuh kuat, berlaku rumus 3:1, yaitu
ketika suatu pasukan ingin menyerang dengan force to force, pasukan tersebut harus tiga kali
lipat lebih kuat daripada pasukan lawan. Dalam hal ini, Komando Mandala menjadi suatu
theatre campaign, sebuah upaya kontestasi pada area dan skala besar dengan komitmen
geografis dan operasional strategis yang terbatas pada wilayah Irian Barat. Sayangnya,
kegiatan-kegiatan Operasi Jayawijaya dihentikan dengan semua persiapannya dengan
ditandatanganinya Perjanjian New York yang secara resmi mengakhiri sengketa Indonesia
dengan Belanda mengenai masalah Irian Barat. Sehingga, perang decisive battle antara
Indonesia dan Belanda tidak terjadi.

Komando Operasi Ganyang Malaysia: Konfrontasi Indonesia-Malaysia


Periode sejarah pada tahun 1959-1965 juga ditandai dengan sebuah peristiwa sensasional
di mana dapat dikatakan Indonesia dan Malaysia hampir terlibat konflik besar. Peristiwa
Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan serangkaian konflik bersenjata yang terjadi di
pulau Kalkimantan (Borneo) dalam rangka memperebutkan kekuasaan total pulau
Kalimantan, antara Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962-1966. Perang ini berawal dari
keinginan otoritas politik Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak
dengan Persekutuan Tanah Melayu yang dimerdekakan oleh Inggris pada tahun 1961.
Keinginan itu ditentang habis-habisan oleh Presiden Soekarno yang menganggap
pembentukan dan penguatan Malaysia sebagai ‟upaya imperialis membentuk negara boneka

11 Ibid., h. 78-81.
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional 7
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

yang dapat mengancam Indonesia di kemudian hari‟. Konflik ini sebetulnya bermula dari
ketidaksukaan Indonesia terhadap tindakan Malaysia yang dianggap melanggar perjanjian
kesepakatan dengan Indonesia perihal masa depan wilayah kekuasaanya dimana Mayasia
tidak menunggu hasi referendum para penduduk di daerah kalimantan sebelum
memasukannya menjdai bagian dari negara federasi Malaysia. 12
Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio pada 20 Januari 1963, mendeklarasikan
bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia, dan bersiap memasuk
fase konflik bersenjata. Pada tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di
Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) 13
yang isinya:
(a) Tingkatkan ketahanan revolusi Indonesia
(b) Membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah,
untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia".
Operasionalisasi perang yang dilakukan oleh Indonesia berdasarkan pada dua macam strategi:
(a)penggunaan strategi perang gerilya dengan memanfaatkan mobilisasi masyarakat sebagai
pasukan ‟tidak resmi‟; dan (b)penggunaan pasukan resmi, dalam proyeksi perang untuk
merebut beberapa obyek vital-strategis, terutama untuk meraih center of gravity dari konflik
antara dua negara ini.
Pertama, penggunaan pasukan tidak resmi dalam konflik strategi gerilya. Sebelum
dibentuknya Komando Siaga (Koga) ataupun Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang
memungkinkan dimobilisasinya prajurit utama TNI secara optimal, pemerintah Indonesia
telah mengupayakan mobilisasi relawan dari masyarakat Indonesia yang simpatik dengan
casus belli yang ditodongkan Indonesia kepada Malaysia; dimana tersebut dianggap proyek
neo-kolonialisme lama yang akan mengancam Indonesia sebagai ’The New Emerging Force‟
di masa yang akan datang. Para relawan ini akan dibekali dengan pelatihan secukupnya untuk
selanjutnya disusupkan dalam belantara hutan Kalimantan dengan misi melakukan sabotase,
perlawanan gerilya dan mengganggu jalannya komunikasi dan suplai pasukan pro-Malaysia.
Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (bukan merupakan bagian dari ketentaraan resmi)
mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan
penyerangan dan upaya sabotase. Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu
DiRaja bentrok dengan lima puluh gerilyawan Indonesia dan menyebabkan korban jatuh

12
David Easter, Keep the Indonesian pot boiling: western covert intervention in Indonesia, October 1965–
March 1966, dalam jurnal Cold War History, Vol 5, No 1, February 2005.
13
G, Poulgrain, The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945–1965, (London: C. Hurst &
Co., 1998) hal 46 -54
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional 8
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

secara signifikan di dua belah pihak. Pada ujungnya sepanjang perbatasan di Kalimantan
menjadi ajang peperangan perbatasan dimana pasukan ‟tak resminya‟ atau amatir Indonesia
dengan dukungan terbatas dari prajurit profesional kesatuan militer Indonesia terus mencoba
menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil yang memuaskan dimana hal ini berujung
pada terciptanya ’stalemate’.14
Dalam hal ini kita dapat melihat kuatnya pengaruh doktrin perjuangan semesta, yang
dalam hal ini dapat disebut juga ‟perang rakyat‟ dalam penggelaran operasi militer fase awal
terhadap Malaysia. Indonesia dalam hal ini tidak membatasi penggelaran konfliknya hanya
dengan menggunakan tentara resmi yang melakukan serangan langsung (direct attact) untuk
merangsek masuk ke dalam wilayah Malaysia. Indonesia dalam hal ini berupaya menciptakan
sebuah operasi militer yang berbasiskan perang gerilya, yang mengandalkan pasukan
penyusup ini untuk melakukan kontestasi tidak langsung (indirect approach) dalam
menghadapi pasukan pertahanan yang kemungkinan besar lebih kuat dari korps pasukan
sukarelawan. Memang terkait dengan konsepsi Arreguin-Toft terkait dalam interaksi strategi
militer, penggunaan strategi ‟indirect approach‟ dalam menghadapi peperangan yang tidak
seimbang (assymetric warfare) merupakan pilihan paling logis dan membnerikan leverage
point lebih tinggi bagi pasukan weak actor. Namun kenyataannya pasukan Indonesia pada
fase awal yang seharusnya mampu menimbulkan kebingungan dan ketakutan pada fase awal
nampaknya kurang berhasil (kalau tidak ingin disebut gagal) dalam menjalankan misinya.
Korban jiwa yang jatuh dari pihak Indonesia lebih besar dimana diperkirakan 590 orang
meninggal, 222 terluka dan 771 ditangkap dan dijadikan prisoner of war.15
Saya melihat salah satu dari faktor tidak berhasilnya Indonesia adalah environment of
war hutan Borneo yang sejatinya menyulitkan para pasukan relawan Indonesia. Pada titik ini,
kita harus mengingat kembali bahwa salah satu alasan yang dikemukakan Arreguin-Toft
ketika membahas mengenai keunggulan pasukan ’weak actor’ adalah keberadaan lingkungan
strategis perang yang menguntungkan bagi pasukan yang jumlahnya lebih kecil dan mampu
bergeraks ecara lebih cepat dan efisien. 16 Dalam hal ini environment of war Malaysia
mungkin sebetulnya menguntungkan bagi pasukan gerilya relawan dari Indonesia, namun
mereka tidak dapat memanfaatkan keunggulan alam tersebut secara optimal karena
kurangnya pengetahuan mereka akan kondisi alam sekitar, alam seperti dijelaskan oleh sang
maestro strategi perang Cina, Sun Tzu, hanya akan memberikan keuntungan bagi mereka

14
Chris Tuck, Borneo 1963–66: Counter-insurgency Operations and War Termination, Small Wars and
Insurgencies, dalam The military journal Vol 15, No 3, Winter 2004.
15
Michael Carver, Conventional Warfare in the Nuclear Age, dalam Peter Paret (ed), ‘The Makers of
Modern Strategy: from Machiavelli to Nuclear Age, (Princeton: Princeton University Press, 1986) hal: 806
- 808
16
Arreguin-Toft
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional 9
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

yang mengenal, mengerti dan mampu menafsirkan kondisi alam tempat peperangan
berlansung. 17 Hal ini diperparah dengan kondisi prajurit gerilya relawan Indonesia yang tidak
dibekali secara cukup dan profesional, baik dari segi logistik dan intelijensi dan juga dari segi
pelatihan teknis dan cara-cara bertahan di hutan rimba. Pasukan amatir yang terdiri dari para
relawan Indonesia ini harus menghadapi pasukan elit Inggris, the Gurkhas, RAF, dan
beberapa elemen pasukan common wealth yang diatas kertas jauh lebih unggul, baik secara
teknologi dan persenjataan juga secara kualitas per individu kesatuan tentara pasukan Inggris
yang sudah mengalami banyak pengalaman berperang di Hutan akibat keterlibatannya di
konflik Burma dan pemberantasan insurgen komunis Malaysia sebelumnya. Hal inilah yang
menjadi kegagalan mengapa Indonesia tidak mampu menuntaskan misi operasi militer bagian
satunya secara optimal. Inggris dan sekutunya berbeda dengan Belanda, mereka mampu
memberikan perlawanan yang tangguh. 18
Dan poin yang juga penting untuk dicatat, adalah, keberdaan brutalisme, terlihat pada
perang the long Jawi, dimana peristiwa itu merupakan pertama kalinya inkursi dilakukan oleh
divisi ketiga pasukan Indonesia, terjadi aksi tidak simpatik yang dilakukan oleh pasukan
Indonesia telah kehilangan rasa percaya dan simpati dari masyarakat lokal ketika melihat
brutalisme yang dilakukan pasukan Indonesia terhadap 7 orang border scout (polisi
perbatasan) yang disiksa guna kepentingan intelligence gathering. Hal ini sejatinya merusak
imej Indonesia, dan karena itulah pasukan Indonesia tidak dapat mengaplikasikan strategi
’win heart and mind’ masyarakat lokal.19 Hilangnya dukungan dari masyarakat lokal ini
berpengaruh kepada tidak didukungnya perjuangan pasukan Gerilya Indonesia yang smekain
mempersulit ruang gerak pasukan tersebut.
Kedua, mengenai penggunaan pasukan regular untuk merebut objek-objek vital
dan strategis. Pengerahan dan mobilisasi pasukan militer Indonesia dilakukan dengan
bertahap menunggu terkumpulnya kekuatan yang dianggap cukup dalam upaya merebut
target-target utama di wilayah Kalimantan milik Malaysia. Dalam hal ini, pasukan reguler
ikut mendampingi pasukan gerilyawan dalam proses infiltrasi dan ketika berkali-kali
mencoba melakukan aksi sabotase dan mengganggu jalur komunikasi dan logistik pasukan
gabungan pro-Malaysia. Namun dalam beberapa operasi lainnya pasukan reguler berada
terpisah dari pasukan relawan dalam operasi-operasi khusus yang dalam hal ini merupakan
proyeksi dari kontestasi strategis secara langsung (indirect approach). Pasukan utama
Indonesia pun tidak suskes merebut target-target vital seperti yang telah direncanakan karena

17
Sun Tzu, The Art of War,
18
Tom Pocock, Fighting General – The Public & Private Campaigns of General Sir Walter Walker,
(London: Collins, 1973) hal. 233
19
„The Scourge of Sukarno‟ diambil dari http://www.historicaleye.com/sukarno.html diakses pada
14/10/09 p.k. 10.35 WIB
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional 10
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

aplikasi strategi Dwikora yang mirip dengan aplikasi strategi Trikora tidak lagi relevan
karena Indonesia tidak dapat menandingi ketangguhan pasukan aliansi yang terdiri dari
gabungan empat negara common wealth baik dari segi keunggulan kuantitas maupun
keunggulan keahlian.
Kesiapan Indonesia dalam mengkonsolidasi dan menggelar kekuatan tentara regulernya
terlihat sejak dibentuknya Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan
perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora) dibentuk bulan Mei 1964. Komando ini
kemudian berubah nama menjadi menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga
dipimpin oleh Laksamana Madya Udara Omar Dani sebagai Panglima Kolaga. Kolaga sendiri
terdiri dari tiga Komando yang terhubung secqara integral, yaitu Komando Tempur Satu
(Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD yang siap
digelar, termasuk tiga Batalyon pasukan penerjun dan satu batalyon pasukan KKO yang
merupakan elemen angkatan laut. Komando satu ini ditugasi untuk melaksanakan misi
dengan sasaran operasinya berada di kawasan Semenanjung Malaya dipimpin oleh Brigjen
Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di
Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO,
AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II.
Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga
KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau
dan Kalimantan Timur.20
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya untuk
melakukan serangan langsung demi merebut objek vital-strategis Malaysia. Pada 28 Juni,
mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan
berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed
Constabulary. Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang
melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Sampurna. Serangan dan pengepungan terus
dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah
menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68
Hari" oleh warga Malaysia. 21
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas
Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia
mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit

20
Gelora Konfrontasi Mengganjang Malaysia, (Djakarta: Departemen Penerangan, 1964 (Contains Joint
Statements of the Manila Agreements, Indonesian presidential decrees and all transcripts of Sukarno's
public speeches from July 1963 to May 1964 pertaining the Konfrontasi).
21
J.A.C Mackie, Konfrontasia: the Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966'. (Kuala Lumpur: Oxford
University Press, 1974) hal: 289
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional 11
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit
komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke
Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah
Inggris dan Australia terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service (SAS).
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba
membentuk pasukan pembantu gerakan pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan
terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, sayangnya 52 tentara mendarat di
Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan langsung dikalahkan dan berhasil ditangkap oleh
pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan sisa-sianya berhasil ditangkap
oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor. Ada
sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu.
Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu
perbatasan Indonesia. Majalah Angkasa (2006) mencatat sekitar 2000 pasukan khusus
Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas
setelah bertempur di belantara kalimantan.
Dalam tingkatan strategi konvensional yang tentara Indonesia coba terapkan tidak
mampu memberikan kemenangan cepat dan decisive seperti yang digambarkan para perumus
strategi operasi Ganyang Malaysia. Ada dua faktor yang menyebabkan hal tersebut:
(a)Indonesia menghadapi pasukan militer yang cukup tangguh, terlihat dari jumlah pasukan
yang dapat diturunkan dimana gabungan pasukan Malaysia, New Zealand, Australia dan
Inggris mampu membentuk pertahanan yang solid dan berlapis guna menghalau serangan
pasukan Indonesia baik secara head on maupun dengan perang gerilya; (b) Indonesia
melakukan salah perhitungan, karena tidak memperhitungkan faktor pengalaman dan
kemampuan pasukan elit Inggris dan sekutunya yang telah berpengalaman di matra hutan.

Komparasi Operasi Militer dalam Lingkungan Strategis Serupa


Dalam bahasan pada tahun yang sama (1959-1965), Vietnam memiliki lingkungan
strategis yang sama dengan Indonesia. Indonesia menolak semua hal yang berbau
kolonialisme dan imperialisme, serta anti Amerika. Vietnam juga menolak kolonialisme,
imperialisme dan anti Amerika.22 Indonesia berjuang untuk merebut kembali Irian Barat dari
tangan Belanda. Belanda ingin menjadikan Irian Barat sebagai negara yang bisa dikontrol
olehnya. Vietnam juga berjuang untuk pembebasan Vietnam Selatan dikuasai oleh Amerika
Serikat. Oleh karena itu Vietnam Utara membentuk Front Pembebasan Nasional untuk

22
David G. Marr. History and Memory in Vietnam Today: The Journal "Xu'a & Nay". Source: Journal of
Southeast Asian Studies, Vol. 31, No. 1 (Mar., 2000), p: 13.
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional 12
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

pembebasan Vietnam Selatan pada tahun 1960.23 Adapun kepentingan Amerika Serikat di
Vietnam Selatan adalah untuk melindungi Vietnam Selatan dari pengaruh komunis dan untuk
mengurung pengaruh tersebut agar tidak keluar dari perbatasan.
Front Pembebasan Nasional (FPN) untuk pembebasan Vietnam Selatan, adalah
organisasi utama pemberontak yang berjuang melawan Republik Vietnam yang didukung
oleh Amerika Serikat pada masa perang Vietnam. Front Pembebasan Nasional mengklaim
dirinya sebagai barisan nasional dari semua unsur yang melawan pemerintahan yang ada,
baik komunis ataupun bukan. Organisasi militernya dikenal sebagai Angkatan Bersenjata
Pembebasan Rakyat (ABPR). ABPR ini sepenuhnya berada dibawah staf umum di Hanoi.
Tentara AS menyebut FPN sebagai Viet Cong (bahasa Vietnam untuk komunis Vietnam). 24
Dalam taktik peperangan, anggota FPN bertujuan untuk membentuk “wilayah-wilayah yang
dibebaskan” di lingkungan Vietnam Selatan. Namun tanggapan AS atau Angkatan Bersenjata
Vietnam Selatan dengan satuan-satuan yang besar dan taktik perang konvensional, tidak
pernah mampu mengatasi infrastruktur gerilya di desa-desa. 25 Taktik perang yang dilakukan
oleh FPN tersebut sama dengan yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Indonesia dalam
operasi Pembebasan Irian Barat. Angkatan Bersenjata Indonesia juga membentuk “wilayah-
wilayah yang dibebaskan”. Pada Tahap infiltrasi, infiltrasi dalam jangka waktu 10 bulan
sampai akhir 1962, diharapkan 10 kompi inti Angkatan berhasil masuk dan membentuk
kantong-kantong daerah bebas Republik Indonesia di Irian Barat. Tahap ini bertujuan
menciptakan dan mempertahankan daerah-daerah bebas tersebut dan mengikat kekuatan-
kekuatan Belanda setempat sehingga kekuatan musuh tercerai berai.
Perbedaan operasional tentara Viet Cong di Vietnam dengan tentara Indonesia pada
operasi Ganyang Malaysia adalah tentara Viet Cong berhasil mengalahkan tentara Amerika
Serikat di Vietnam karena mereka berperang di wilayahnya sendiri, sehingga mereka telah
memiliki pengetahuan dan penguasaan medan. Sementara, tentara Indonesia kalah pada
operasi Ganyang Malaysia karena mereka tidak mengetahui dan menguasai medan
pertempuran di rimba Malaysia dikarenakan mereka bukan penduduk asli dan bukan tentara
reguler. Tentara Amerika Serikat dalam kasus Vietnam juga berbeda dengan tentara Inggris

23
Ibid., h. 13.
24
Lajpat Rai. Vietnam and the 'Third Communist Front'. Source: Economic and Political Weekly, Vol. 7,
No. 39 (Sep. 23, 1972). pp. 1975+1977-1979+1981- 1984.
25
Truong Nhu Tang. A Viet Cong Memoir. Random House.
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional 13
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional
Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

dan sekutunya dalam kasus Malaysia, karena pengalaman pada konflik Burma dan
pembasmian kelompok insurgency komunis Malaysia telah memberikan kemampuan
penguasaan medan rimba yang optimal.

Penutup: Doktrin dan Strategi Pertahanan dengan Pelaksanaan Operasi


Militer 1959-1965
Dari studi kasus Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan Komando Ganyang
Malaysia, kami menemukan bahwa doktrin dan operasi militer Indonesia pada periode 1959-
1965 bersifat disintegratif karena pada level doktrin, Indonesia menganut strategi perang
gerilya serta mengikutsertakan seluruh rakyat dan potensi yang ada, namun pada level taktis,
terdapat beberapa inovasi strategi, seperti penggunaan strategi perang konvensional dalam
dalam serangan ofensif Komando Mandala. Sama seperti pada Komando Ganyang Malaysia,
aplikasi doktrin dan strategi pertahanan semesta masih menjadi platform operasi militer
Indonesia. Namun, terdapat pola inovasi dan penyesuaian terhadap lingkungan strategis dan
kalkulasi lapangan. Sayangnya, tentara Indonesia tidak memperhitungkan beberapa faktor
berbeda antara operasi Mandala dan operasi Ganyang Malaysia yang menyebabkan
kekurangsesuaian aplikasi operasional yang menyebabkan tidak berhasilnya misi operasi
Ganyang Malaysia.

You might also like