You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam suatu perkawinan terkadang ada ketidakcocokan antar pasangan satu

sama lainnya terkadang ketidakcocokan tersebut menimbulkan adanya perceraian atau

thalak. Thalak adalah perbuatan yang dibolehkan namun dibenci Allah Swt.

Pada makalah ini kami akan membahas tentang thalak yang berisikan

tentang pengertian thalak, syarat-syarat dibolehkannya thalak, macam-macam bentuk

thalak dan hukum terhadap thalak tersebut.

Dengan makalah ini semoga kita dapat memahami apa sebenarnya

perceraian tersebut. Dan kita dapat mengambil pelajaran. Pada bab kedua ini kami

akan membahas tentang thalak dengan lebih rinci.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Thalak

Thalak menurut bahasa berarti melepaskan atau meninggalkan. Dan

menurut istilah agama, thalak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau

putusnya hubungan perkawinan (suami-istri) dengan mengucapkan secara

sukarela ucapan thalak kepada istrinya, dengan kata-kata yang jelas ataupun

dengan kata-kata sindiran.

Tujuan pernikahan itu adalah:

1. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

2. Suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan keturunan.
3. Sebagai suatu tali yang amat teguh guna memperkokoh tali persaudaraan antar

kaum.

Kerabat perempuan (istri) sehingga pertalian itu akan menjadi suatu jalan

yang membawa satu kaum (golongan) untuk menolong dengan kaum yang

lainnya.

Apabila pergaulan kepada suami istri tidak dapat mencapai tujuan-tujuan

tersebut, maka hal itu akan mengakibatkan berpisahnya dua keluarga. Karena

tidak adanya kesepakatan antara suami istri, maka dengan Allah Swt, dibuka-Nya

suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni pintu perceraian. Mudah-

mudahan dengan adanya jalan keluar itu terjadi ketertiban dan ketentraman antara

kedua belah pihak dan supaya masing-masing dapat mencari pasangan yang dapat

mencapai apa yang dicita-citakan.

Apalagi bila perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan,

menanam bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka,

sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat

disambung lagi, maka thalak (perceraian) itulah jalan satu-satunya yang menjadi

pemisah antara mereka, sebab menurut asalnya hukum thalak itu makruh adanya,

berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw, berikut ini:


Artinya: “Dari Ibn Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw, telah

bersabda, Sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah thalak". (Riwayat

Abu Dawud dan Ibnu Majah).

B. Macam-macam Thalak

1. Pembagian Thalak Dilihat Dari Segi Siqhat (Ucapan).

Siqhat thalak adalah bentuk kalimat yang diucapkan oleh lelaki untuk

menunjukkan pelepasan ikatan suami istri dan mewujudkan perkataan dengan

perbuatan. Ada katanya berupa kalimat terang-terangan dan ada kalanya

sendiri.

a. Thalak yang terang-terangan

Maksud dari kalimat yang disampaikan ketika mengucapkannya,

seperti; kamu terthalak, kamu dithalak atau setiap perkataan yang berasal

dari kata "thalak".

Asy Syafi’i mengatakan: kata-kata thalak yang terang-terangan ada

tiga yaitu:
Semua itu tersebut didalam Al-Qur'an. Sebagian ahli Dhair

mengatakan: Thalak tidak sah, kecuali dengan tiga kali lafal ini, karena

syara' hanya menggunakan ketiga lafal ini. Maka wajib membatasi lafal

syar’i yang disebut dalam kalimat itu.

b. Thalak Dengan Sindiran

Yaitu thalak yang lafalnya tidak menunjukkan maksud thalak, tetapi

menunjukkan thalak dengan cara kinayah, seperti kata-kata Anti baz-in

(kamu terpisah). Ia mengandung kemungkinan terpisah dari perkawinan.

Al-Baimunah artinya jauh dan terpisah atau kata-kata; kamu haram

bagi diriku. Itu mengandung kemungkinan keharaman menikmatinya dan

mengandung kemungkinan haram mengganggunya.

Thalak yang terang-terangan berlaku tanpa membutuhkan niat,

untuk menjelaskan maksudnya, karena petunjuk dan maknanya sudah jelas.

Thalak terang-terangan mempunyai syarat, yaitu lafalnya dihubungkan

dengan istri, seperti ia katakan: istriku terthalak atau kamu terthalak.

Adapun kinayah (sindiran), maka thalaknya tidak sah, kecuali

dengan bukti. Andaikata orang yang mengucapkan thalak shirih itu

mengatakan; saya tidak menginginkan thalak dan tidak bermaksud itu,

tetepi menginginkan makna lain, maka ia tidak boleh dipercaya secara

qadha dan thalaknya sah. Misalnya orang yang mengucapkan kinayah itu
berkata, saya tidak berniat thalak, tetapi berniat makna lain, maka

pengakuannya boleh dipercaya secara qadha dan tidak sah thalaknya,

karena lafal itu mengandung kemungkinan mempunyai arti thalak dan

lainnya. Dan yang menentukan maksudnya adalah niat dan tujuan.

Fuqaha Maliki dan Syafi’iyah menganggap hanya niat sajalah dasar

yang dalam menjelaskan maksud dari lafal-lafal ini. Apabila orang yang

mengucapkannya niat thalak, maka ia sah sebagai thalak. Apabila tidak

niat thalak, maka perkataan itu tidak berpengaruh apa-apa, karena orang

yang mengucapkannya tidak bermaksud apa-apa.

Adapun fuqaha Maliki, mereka berpendapat bahwa lafal-lafal ini

memberlakukan thalak dengan petunjuk keadaan atau niat suami. Yakni

mereka menganggapnya thalak bilamana petunjuk keadaan menguatkan

kemungkinan ini atau suami niat thalak dengannya.

Fuqaha Hanafi berpendapat bahwa kinayah tidak memberlakukan

thalak dengan niat dan ia pun memberlakukan thalak dengan petunjuk

keadaan. Diriwayatkan dalam hadits Khalaf bin Ka'ab bin Malik, ia

berkata: Tatkala lewat 40 hari dari 50 hari dan wahyu tertunda, tiba-tiba

datang utusan Rasulllah Saw, kepadaku. Ia berkata, Rasulullah Saw.

Menyuruhmu menjauhi istrimu. Kemudian aku berkata, "Apakah aku harus

menthalaknya atau apa yang harus ku lakukan? Nabi Saw menjawab:


"Jauhilah dia dan jangan mendekatinya". Maka aku berkata kepada istriku:

Pulanglah kepada keluargamu". (HR. Muttafaq Abihi).

Hadits itu merupakan dalil bahwa orang yang mengatakan kepada

istrinya, "Pulanglah kepada keluargamu dan bermaksud thalak, maka istri

terthalak. "Jika tidak bermaksud begitu, maka istrinya tidak terthalak

sebagaimana disebutkan dalam hadits.

2. Thalak Ditinjau Dari Tempat Kejadian

a. Thalak Munjaz

Thalak munjaz ialah thalak yang kalimatnya tanpa disertai syarat dan

penetapan waktu. Misalnya seseorang berkata kepada istrinya: "Saya thalak

(cerai) kamu atau kamu terthalak (tercerai)". Bentuk kalimat ini menunjukkan

jatuhnya thalak seketika itu tanpa menyebutkan tempo atau tergantung pada

syarat. Hukum thalak munjaz ini berlaku dengan keluarnya kalimat thalak

bilamana terpenuhi syarat-syarat lainnya.

b. Thalak Mudhaf

Yaitu bentuk kalimat thalak yang berkaitan dengan masa jatuhnya

thalak diwaktu itu apabila telah tiba. Misalnya seseorang berkata, "Kamu

terthalak besok" atau "awal bulan". Abu Hanifah dan Malik menyatakan
bahwa dia terthalak seketika itu. Asy-Syafi’i dan Ahmad menyatakan bahwa

thalaknya tidak jatuh hingga tahunya berganti.

Hukum thalak yang diteguhkan jatuhnya hingga waktu tertentu ialah

bahwa thalak itu baru thalak itu baru berlaku sesudah jatuh tempo yang

ditentukan penthalaknya dala sighat (kalimat) thalak.

c. Thalak Muallaq

Thalak muallaq ialah thalak yang berlakunya dikaitkan oleh suami

dengan suatu perkara yang terjadi dimasa mendatang. Hal itu dilakukan

dengan menggaitkan sighat thalak dengan kata yang menunjukkan syarat atau

yang semakna dengan itu, seperti: jika, apabila, bilamana, dan sebagainya.

Apabila suami berkata kepada istrinya, "Jika engkau pergi ke tempat

Anu, maka engkau terthalak, "maka thalaknya tidak jatuh. Kecuali bila ia pergi

ke tempat yang ditentukan dalam perkataannya. Karena ia mengkaitkan

jatuhnya thalak dengan kepergiannya ke tempat itu.

Para fuqaha berselisih pendapat tentang jatuhnya thalak yang bersyarat.

Fuqaha mazhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat bahwa itu dianggap thalak.

Apabila terjadi perkara yang disyaratkan, maka thalak jatuh, yakni bahwa istri

itu terthalak jika ia pergi ke tempat yang ditentukan. Sebagian fuqaha

berpendapat bahwa thalak tidak dianggap sah bila tujuannya menyuruh

melakukan sesuatu atau melakukannya.


Ibnu Taimiyah dadn Ibnu Qayy’im berkata, sesungguhnya thalak

bersyarat yang mengandung makna sumpah tidak menjatuhkan thalak, namun

wajib membayar katarat sumpah bila ada sumpah yang diucapkan, yaitu

memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian mereka. Jika

tidak menemukan, maka berpuasa tiga hari. Dalam thalak terdapat beberapa

syarat, di antaranya perkara yang dikaitkan itu betul-betul terjadi.

Ibn Taimiyah mengatakan: lafal-lafal yang diucapkan oleh orang-orang

dalam thalak ada tiga macam:

Pertama: Bentuk tanjiiz (langsung dan lepas), seperti kata-kata "Anti

Thaaliq (kamu tercerai), maka jatuh thalaknya dengan ucapan ini dan bukan

sumpah. Menurut kesepakatan ulama tidak ada kafarat.

Kedua: Sighat takliiq, seperti: "Engkau tercerai, jika melakukan

begini." Menurut kesepakatan ahli bahasa dan ulama fiqh mengandung kata

sumpah.

Ketiga: Sighat takliiq, seperti kata-kata, "Jika engkau melakukan

begini, maka istriku tercerai."

Apabila ucapan ini dimaksudkan sumpah, dan ia tidak menghendaki

jatuhnya thalak, maka ucapan itu adalah sumpah. Hukumnya sama dengan

pertama yang merupakan bentuk sumpah, sesuai dengan kesepakatan para

fuqaha.
Jika ia menginginkan adanya balasan ketika mengemukakan syarat itu,

maka ia tidak bersumpah. Seperti kata-kata, "Jika engkau beri aku seribu

rupiah, maka engkau tercerai." Dan, "Jika engkau berzina, maka engkau

tercerai." Maka ia berarti menjatuhkan thalak bila terjadi perbuatan keji, tidak

hanya bersumpah atas dasar perbuatan itu. Ini bukan sumpah dan tidak wajib

membayar kafarat. Akan tetap thalaknya jatuh bila ia menemukan syaratnya.

3. Thalak Bid’i dan Sunni

Para ulama dahulu dan sekarang masih tetap membagi thalak menjadi

Sunni dan Bid’i.

Thalak Sunni ialah, bila suami menthalak istrinya yang tidak dipergauli

yang suci dan tidak dalam keadaan hamil, bukan wanita yang masih kecil

maupun wanita yang sudah tidak haid (menopause).

Thalak bid’i ialah, suami menthalak istrinya dalam keadaan haid atau

nifas atau dalam keadaan suci yang menggauli istrinya dan belum jelas

kehamilannya.

Ada thalak yang tidak digambarkan sebagai sunnah maupun bid'ah,

seperti thalak terhadap istri yang belum digauli dan istri yang hamil dan istri

yang sudah tidak haid (menopause) dan istri yang masih kecil.
Dalil tentang talah sunnah adalah hadits yang diriwayatkan Syaikhain

(Bukhari dan Muslim) bahwa Ibnu Umar r.a. menthalak istrinya yang sedang

haid. Kemudian Umar bertanya kepada Rasulullah Saw, tentang hal itu.

Kemudian Nabi Saw, menjawab, "Suruhlah ia merujuk istrinya, kemudian

menahannya sampai ia suci, kemudian haid, kemudian suci. Jika ia mau, maka

ia boleh menahannya. Dan jika mau, ia boleh menthalaknya sebelum

menggaulinya. Itulah iddah yang Allah perintahkan agar wanita menjalaninya

ketika suami menthalaknya."

Peritah yang dimaksud adalah firman Allah Swt, "Fa thalliquuhunna

li’iddatihinna (Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka

dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)." (Ath-Thalak : 1).

 Hukum Thalak Bid'ah

Para ulama sepakat bahwa thalak yang bertentangan dengan thalak

sunnah dinamakan thalak bid'ah. Dinamakan begitu, karena sesuatu yang

diada-adakan dan tidak tercantum dalam Al-Kitab maupun Sunnah,

penyimpangan apapun dinamakan bid'ah.

Para ulama yang lain seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan Ibnu

Qayyim berpendapat bahwa ia tidak jatuh. Mereka menolak masuknya

dibawah keumuman itu, karena ia bukan thalak yang diizinkan Allah. Akan
tetapi Allah menyuruh menjauhi thalak itu, yang jelas bahwa thalak bid'ah

tidak termasuk dalam ajaran Islam.

4. Thalak Ditinjau Dari Segi Pengaruhnya

Ditinjau dari segi pengaruhnya thalak terbagi menjadi thalak raj’i dan

thalak baain. Hal ini berkaitan dengan pembahasan sebelumnya.

 Thalak Raj’i

Adalah thalak yang suami bisa mengembalikan istrinya dalam

perlindungannya sebelum berakhir masa iddah. Hal itu berlangsung dengan

timbulnya keinginan suami untuk merujuknya. Allah berfirman:

Artinya: "Thalak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk

lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik."

Thalak yang ditetapkan Allah berlangsung tahap demi tahap dan boleh

menahan istrinya sesudah thalak yang pertama dengan cara yang ma'ruf

sebagaimana diperbolehkannya sesudah thalak yang kedua. Yang dimaksud

dengan menahan ialah merujuknya dan mengembalikan nikahnya serta

mempergauli dengan cara yang baik. Hal ini tidak terwujud, kecuali bila thalak

itu bersifat raj’i. Allah Swt berfirman:


Artinya: "Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan diri

(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang

diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari

kiamat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika

mereka (para suami) itu menghendaki perdamaian." (Al-Baqarah : 227)

Allah Swt, telah menetapkan thalak karena mengandung hikmah yang

besar dan diisyaratkan dengan firman-Nya:

Artinya: "Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan

sesudah itu suatu hal yang baru." (Ath-Thalak : 1)

Apabila ia menceraikan satu thalak raj’i, kemudian ia biarkan istrinya

tinggal di rumah selama iddahnya, maka barangkali ia bisa memulai berpikir

dengan tenang dan penuh pertimbangan lalu meninjau kembali keputusannya

dan merujuk istrinya. Lebih-lebih bahwa sunnah mewajibkannya menceraikan

istrinya dalam keadaan suci di mana ia belum menggaulinya.


Jelas bagi kita bahwa besar keinginan syariat untuk mempertahankan

ikatan suami istri dan tidak meremehkannya. Bahwa dalam kondisi perpecahan

dan terjadinya thalak, pintu dibiarkan tetap terbuka lebar untuk kembali dalam

kehidupan suami istri sebagaimana biasanya dengan peninjauan dan pemikiran

kembali yang tenang dan penuh pertimbangan ketika istri tingggal bersama di

rumahnya. Barangkali ia menceraikan sebagai akibat kemarahan atau

emosinya.

Adapun jika ia tetap tinggal di rumahnya selama tiga bulan tanpa

tergugat perasaannya dan tanpa berpikir untuk kembali dalam

perlindungannya, maka ini adalah bukti bahwa keputusannya sudah final dan

ia sangat membenci istrinya. Sang suami tidak menginginkan lagi menjadi

istrinya. Setelah berakhir iddahnya, berakhir pula sifatnya sebagai thalak raj’i,

karena ia telah berganti sifat, yakni thalak baa’in.

 Hukum Thalak Raj’i

Thalak raj’i mencegah suami menggauli istri, karena ia tidak

menghilangkan akad perkawinan dan tidak menghilangkan pemilikan serta

tidak mempengaruhi keadaan. Meskipun thalak itu menyebabkan perpisahan,

namun tidak menimbulkan sesuatu akibat selama wanita yang dithalak masih

dalam iddah. Akibatnya hanya nampak sesudah berakhirnya iddah tanpa

dirujuk. Apabila iddahnya berakhir dan suami tidak merujuknya, maka istrinya

lepas darinya.
Apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia, maka yang lain

mewarisi hartanya selama iddahnya belum habis dan suami wajib memberinya

nafkah. Demikian pula halnya dhihar dan ilaa' yang dilakukan suami.

Keduanya, dhihar dan ilaa', akan diterangkan secara rinci.

Bila jatuh thalak raj’i tidak halal menangguhkan mahar hingga

melampaui batas karena kematian atau thalak. Seharusnya adalah pembayaran

sampai akhir masa iddah.

 Thalak Baa-in

Yaitu thalak yang memisahkan istri dari suaminya secara final sehingga

tidak boleh merujuknya. Thalak baain terbagi menjadi thalak Laa-in kecil dan

thalak baa-in besar.

 Thalak Baa-in Kecil

Ialah thalak yang kurang dari tiga kali. Apabila suami menceraikan

istrinya untuk kali pertama dengan satu thalak, kemudian habis iddahnya dan

tidak merujuknya sebelum iddahnya habis, maka thalak ini dinamakan thalak

baa-in, tetapi itu thalak pertama dan oleh karenanya dinamakan thalak baa-in

kecil. Dalam keadaan seperti itu ia berhak mengawininya dengan mahar dan

akad baru jika terpenuhi syarat-syarat lain untuk akad perkawinan. Demikian

pula sesudah thalak yang kedua bila habis iddahnya dan suami tidak

merujuknya, maka ia menjadi thalak baa-in. Dan ia boleh mengawini bekas


istrinya sekali lagi dengan akad dan mahar baru disamping memenuhi syarat-

syarat dan rukun-rukun lainnya.

 Thalak Baa-in Besar

Adalah thalak yang genap tiga kali. Apabila suami menceraikan

istrinya dengan thalak ketiga, maka terpisah untuk selamanya. Karena thalak

pertama dan kedua adalah cobaan dan ujian. Jika menjadi baik sesudah thalak

pertama, maka bisa diteruskan dan jika tidak menjadi baik sesudah thalak

kedua, maka itu adalah bukti atas kerusakan asli dalam kehidupan suami-istri,

sehingga tidak dapat diteruskan kehidupan antara keduanya.

Berdasarkan itu, maka thalak baa-in besar memutuskan ikatan suami-

istri sama sekali dan wanita ini tidak halal bagi suaminya, kecuali bila ia kawin

dengan laki-laki lain dengan cara yang sah dan berniat melestarikannya serta

menggauli istri secara hakiki. Selang beberapa waktu, apabila suami kedua

menceraikan dengan thalak yang wajar dan habis masa iddahnya, maka suami

yang pertama boleh mengawininya lagi. Barangkali setalah mencoba lebih dari

seorang suami, ia mengetahui keutamaan suami istri yang lebih baik.

Barangkali setelah merasakan penyesalan terhadap kezalimannya dengan

thalak itu. Jika memulai pergaulan baru, maka masing-masing memelihara hak

pendampingnya dan mengetahui nikmat Allah dalam pergaulannya sehingga

terjalin kasih sayang diantara mereka.


C. Syarat-Syarat Thalak

Terjadinya thalak disyaratkan bila sudah tidak ada harapan untuk berdamai

dan tidak tercipta keharmonisan hidup suami istri.

Syarat-syarat pihak yang menjatuhkan thalak. Pihak yang menjatuhkan

thalak (suami) seorang berakal dan baligh serta suka rela. Bilamana ia gila atau

anak kecil datu dipaksa, maka tidak sah.

Untuk bercerai ada dua syarat yang harus dipenuhi, Pertama yang

berkaitan dengan pihak penthalak (suami) dan yang kedua berkaitan dengan yang

dithalak (istri).

D. Hukum-Hukum Thalak

Dengan menilik kemaslahatan atau kemudharatannya, maka hukum thalak

ada empat:

1. Wajib. Apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sedangkan dua hakim

yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya

bercerai.
2. Sunat. Apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi

kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan

dirinya.

Artinya: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw. Dia berkata,

"Istriku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya." Jawab Rasulullah

Saw, "Hendaknya engkau ceraikan saja perempuan itu." (Dari Muhazzab, Juz

II, hlm. 78)

3. Haram (bid'ah) dalam dua keadaan. Pertama, menjatuhkan thalak sewaktu-

waktu si istri dalam keadaan haid. Kedua, mejatuhkan thalak sewaktu suci

yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.

Sabda Rasulullah Saw:

Artinya: "Suruhlah olehmu anakmu supaya dia rujuk (kembali) kepada

si istrinya itu, kemudian hendaklah dia teruskan pernikahan itu sehingga ia


suci dari haid, kemudian ia haid kembali, kemudian suci pula dari haid yang

kedua itu. Kemudian jika ia menghendaki, boleh ia teruskan pernikahan

sebagaimana yang lalu; atau jika menghendaki, ceraikan ia sebelum

dicampuri. Demikian iddah yang diperintahkan Allah supaya perempuan

dithalak ketika itu." (Riwayat sepakat ahli hadits)

4. Makruh, yaitu hukum asal dari thalak yang tersebut diatas.


BAB III

PENUTUP

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa thalak adalah melepaskan

ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara sukarela ucapan thalak kepada

istrinya. Dengan kata-kata sindiran. Thalak terbagi atas beberapa macam yaitu:

1. Thalak terang-terangan

2. Thalak dengan sindiran

3. Thalak Mundjaz

4. Thalak Mudha

5. Thalak Muallaq

6. Thalak Bid’i dan Sunni

7. Thalak Raj’i
8. Thalak Baa-in

9. Thalak Baa-in kecil

10. Thalak Baa-in besar

Untuk melakukan diperlukan syarat yaitu jika sah dilakukan perdamaian

namun tetap saja tidak dapat kembali bersatu maka boleh cerai. Sedangkann syarat

yang menjatuhkan Thalak yaitu suami yang berakal dan bhaliq serta tanpa paksaan.

Sedangkan hukum-hukum thalak adalah wajib jika sah dipandang keduanya

perlu bercerai, sunat jika istri tidak bisa menjaga kehormatan dan suami tidak dapat

memberi nafkah, haram, ketika dalam keadaan haid dan saat suci yang telah

dicampurnya, makruh yaitu hukum asal dari thalak.


DAFTAR PUSTAKA

Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam. Sinar Baru Algensindo: Bandung, 2005.

Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqih Muslimah. Pustaka Amami. Jakarta: 1995.


Umar, Anshori, Fiqih Wanita. CV. As Syifa: Semarang. 1981.

H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Al Gensindo, 2005. 401-
402.

Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah, Jakarta: Pustaka Amani, 1995.


h. 291-305

Ibid., h. 402-402.

Anshori Umar, Fiqih Wanita, Semarang: CV. Asy Syifa, 1981 h. 228.

H. Sulaiman Rasyid, Op.Cit., h. 402-403.

Prev: Biografi Singkat Beberapa Ulama Hadits


Next: PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT

You might also like