Professional Documents
Culture Documents
KOLELITIASIs
Oleh:
Kelompok 6
1. Aulia Dwi Zukmana (06060012)
2. Endah Setyo rini (06060012)
3. Anis Khiliya (06060018)
4. Rahma Latifa (06060024)
5. Yufi Febri Hadi (06060030)
6. Wahyu Saputro (06060038)
2009
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam lagi yang dimaksud dengan
kolelitiasis.
2.1 Defenisi
Cholelithiasis merupakan adanya atau pembentukan batu empedu; batu ini
mungkin terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus
choledochus (choledocholithiasis).
Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana
terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki
ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada
individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor
resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.
Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis
dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu.
—-
2.2 Anatomi
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya
sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc.
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan
biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan
dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus
bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri.
Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk
bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus.
Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus
dan collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica
kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri
yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat
collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici
hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus.
Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.
a. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam
yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin
yang larut dalam lemak.
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman
usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %)
garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus
sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat.
Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga
bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau
reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.
b. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin.
Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin
yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat
erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi)
yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah
berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat
banyak.
2.4 Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan, yaitu:
a) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol.
b) Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.
c) Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.
2.5 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang
dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan
angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat
dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.
2.8 Patofisiologi
2.8.1 Patogenesis Bentukan Batu Empedu
Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang
terbesar yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari Tetsuo
Maki tahun 1995 sebagai berikut:
a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa
sebagai:
Batu Kolesterol Murni
Batu Kombinasi
Batu Campuran (Mixed Stone)
b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar
kolesterolnya paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai:
Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium
Batu pigmen murni
c) Batu empedu lain yang jarang
Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:
Batu Kolesterol
Batu Campuran (Mixed Stone)
Batu Pigmen.
Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:
a. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen
yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu
membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu
ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat.
Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan
garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada
keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa
mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu
dan lecithin jauh lebih banyak.
Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga
terjadi supersaturasi.
Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan
tinggi.
Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan
sirkulasi enterohepatik).
Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan
kadar chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya
melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol.
Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya
sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel
yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal
kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam
empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu
untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana
kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti
batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila
konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat
supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi
pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total
parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada
keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus
yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal
kolesterol dan sukar dipompa keluar.
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:
a. Asimtomatik
b. Obstruksi duktus sistikus
c. Kolik bilier
d. Kolesistitis akut
Empiema
Perikolesistitis
Perforasi
e. Kolesistitis kronis
Hidrop kandung empedu
Empiema kandung empedu
Fistel kolesistoenterik
Ileus batu empedu (gallstone ileus)
2.10 Diagnosis
2.10.1 Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan
yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul
tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.
b. Pemeriksaan radiologis
Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar
kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut
dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang
menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan
gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral
lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
c) Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah
angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian
prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi
dan hilangnnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan,
kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.
d) Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-
ter-butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan
per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien
tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan
yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
e) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad
saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah
benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
f) Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping
tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama
untuk pasien yang sakitnya kritis.
2.12 Terapi
Ranitidin
Komposisi: Ranitidina HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50
mg/ml injeksi.
Indikasi: Ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap
simetidina, ulkus duodenum, hiperekresi asam lambung (Dalam kasus
kolelitiasis ranitidin dapat mengatasi rasa mual dan muntah / anti emetik).
Perhatian: Pengobatan dengan ranitidina dapat menutupi gejala karsinoma
lambung, dan tidak dianjurkan untuk wanita hamil.
Buscopan (analgetik /anti nyeri)
Komposisi: Hiosina N-bultilbromida 10 mg/tablet, 20 mg/ml injeksi.
Indikasi: Gangguan kejang gastrointestinum, empedu, saluran kemih
wanita.
Kontraindikasi: Glaukoma hipertrofiprostat.
Buscopan Plus
Komposisi: Hiosina N-butilbromida 10 mg, parasetamol 500 mg.
Indikasi: Nyeri paroksimal pada penyakit usus dan lambung, nyeri spastik
pada saluran uriner, bilier, dan organ genital wanita.
NaCl
NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida yang dimana
kandungan osmolalitasnya sama dengan osmolalitas yang ada di dalam
plasma tubuh.
NaCl 3 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida tetapi kandungan
osmolalitasnya lebih tinggi dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma
tubuh.
Keamanan
Tanda : Demam, menggigil.
Ikterik, dengan kulit berkeringat dan gtal (Pruiritus).
Kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K).
Penyuluhan/Pembelejaran
Gejala : Kecenderungan keluarga untuk terjadi batu empedu.
Adanya kehamilan/melahirkan; riwayat DM, penyakit inflamasi
usus, diskrasias darah.
Pertimbangan : DRG menunjukan rerata lama dirawat: 3,4 hari.
Rencana pemulangan: Memerlukan dukungan dalam perubahan
diet/penurunan berat badan.
Pemeriksaan Diagnostik
Darah lengkap: Leukositosis sedang (akut).
Bilirubin dan amilase serum: Meningkat.
Enzim hati serum-AST (SGOT): ALT (SGPT); LDH; agak meningkat alkaline
fosfat dan 5-nukletiase; Di tandai
obstruksi bilier.
Kadar protrombin: Menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus
menurunkan absorbsi vitamin K.
Ultrasound: Menyatakan kalkuli, dan distensi kandung empedu dan/atau
ductus empedu (sering merupakan prosedur diagnostik awal).
Kolangeopankreatografi retrograd endeskopik: Memperlihatkan
percabangan bilier dengan kanualasi duktus koledukus melalui deudenum.
Kolangiografi transhepatik perkutaneus: Pembedaan gambaran dengan
flouroskopi anatara penyakit kantung empedu dan kanker pankreas ( bila
ekterik ada ).
Kolesistogram (untuk kolositisis kronis): Menyatakan batu pada sistem
empedu. Catatan: kontraindikasi pada kolesititis karena pasien terlalu lemah
untuk menelan zat lewat mulut.
Skan CT: Dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatasi duktus empedu,
dan membedakan anatara ikterik obstruksi/non obstruksi.
Skan hati (dengan zat radioaktif): Menunjukan obstruksi percabangan bilier.
Foto abdomen (multiposisi): Menyatakan gambaran radiologi (kalsifikasi)
batu empedu, kalsifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu.
Foto dada: Menunjukan pernapasan yang menyebapkan penyebaran nyeri.
B. Analisa Data
Analisis meliputi pemeriksaan temuan pengkajian, pengelompokan temuan yang
berhubungan, dan membandingkan temuan terhadap parameter normal yang dibuat.
Kemudian, untuk membuat diagnose keperawatan manjadi akurat adalah identifikasi
masalah yang memfokuskan perhatian pada respon fisik atau perilaku saat ini atau
beresiko tinggi yang mempengaruhi kualitas hasrat hidup klien atau pada apa yang
menjadi kebiasaan (Doenges, 2001).
C. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menunjukkan masalah keperawatan/masalah klien, orang
terdekat, dan atau perawat yang memerlukan intervensi keperawatan dan penatalaksanaan
(Doenges, 2001:14).
The North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) telah menerima
definisi kerja dari diagnose keperawatan, yaitu: penilaian klinis tentang respon individu,
keluarga, atau komunitas terhadap masalah-masalah kesehatan/proses kehidupan yang
actual dan potensial. Diagnose keperawatan memberikan dasar terhadap pemilihan
intervensi keperawatan untuk mencapai hasil dimana perawat dapat bertanggung gugat.
D. Rencana/Intervensi Keperawatan
Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis:
obstruksi/spasme duktus, proses inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.
Hasil yang diharapkan:
- Pasien akan melapor bahwa nyeri akan hilang.
- Pasien akan menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktifitas
hiburan sesuai indikasi ubtuk situasi individual.
Intervensi Keperawatan:
• Observasi dan catet lokasi, beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri
(menetap,hilang timbul,kolik).
R/ Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi
tentang kemajuan/ perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan keefiktifan
intervensi.
• Cataet respon terhadap obat, dan laporkan pada dokter bial nyeri hilang.
R/ Nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan
terjadinya komplikasi atau kebutuhan terhadap intervensi lebih lanjut.
• Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.
R/ Tirah baring pada posisi fowler rendah menunjukkan tekanan
intraabdomen, namun pasien akan melakukan posisi yang menghilangkan
nyeri secara alamiah.
• Gunakan sprei halus/katun; cairan kalamin; minyak mandi (Alpha keri);
Kompres dingin/lembab sesuai indikasi.
R/ Menurunkan iritasi/kulit kering dan sensasi gatal.
• Control suhu lingkungan.
R/ Dingin pada sekitar ruangan membantu meminimalkan ketidaknyamanan
kulit.
• Dorong menggunakan tekhnik relaksasi, contoh bimbingan imajinasi,
visualisasi, latihan napas dalam.berikan aktifatas senggang.
R/ Meningkatkan istirahat,memusatkan kembali perhatian, meningkatkan
koping.
Kolaborasi
• Pertahankan status puasa, masukkan/pertahankan penghisapan NG sesuai
indikasi.
Intervensi Keperawatan:
• Pertahankan masalah haluaran akurat, perhatikan haluaran kurang dari
masukan, peningkatan berat berat jenis urine. Kaji membram mukosa/kulit,
nadi perifer dan pengisian kapiler.
E. Evaluasi
Evaluasi respon klien terhadap asuhan yang diberikan dan pencapaian hasil yang
diharapkan (yang dikembangkan dalam fase perencanaan dan di dokumentasikan dalam
rencana keperawatan) adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Fase evaluasi perlu
untuk menentukan seberapa baik rencana asuhan tersebut berjalan dan bagaimanan
selama proses terus menerus. Revisi rencana keperawatan adalah komponen penting
dalam evaluasi.
Pengkajian ulang adalah proses evaluasi terus menerus yang terjadi tidak hanya
hasil yang diharapkan terjadi pada klien di tinjau ulang atau bila keputusan dibutuhkan
apakah klien siap atau tidak untuk pulang. (Doengos, 2001:15).
Evaluasi adalah merupakan langkah akhir dari proses keperawatan yaitu proses
penilaian pencapaian tujuan dalam rencana perawatan, tercapai atau tidak serta untuk
pengkajian ulang rencana keperawatan (Santosa NI, 1995).
Evaluasi adalah proses berkelanjutan. Perawat dapat mengasumsikan perawatan
tersebut telah efektif saat hasil yang diharapkan untuk perawatan dapat terjadi. (Wong,
2002:366).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Kolelitiasis adalah pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung
empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu
yang terbentuk di dalam kandung empedu.
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu
campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50%
kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20 - 50% kolesterol). Angka 10%
sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang
mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung empedu,
pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam
kandung empedu.
3.2 Saran
Berikan penjelasan yang jelas kepada pasien tentang penyakitnya dan untuk
mencegah terjangkitnya penyakit kolelitiasis dan mempercepat penyembuhan.
Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan hasil
yang maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. 2001. Keperawatan medikal bedah vol 2. Jakarta: EGC.
http://yayanakhyar.wordpress.com/2008/04/25/kolelitiasis-gallbladder-stones/. Diakses
tanggal 4 Oktober 2009.
Husadha, Yast. 1996. Buku ajar ilmu penyakit dalam: fisiologi dan pemeriksaan
biokimiawi hati. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
ISFI. 2008. ISO Indonesia. Volume 43 – 2008. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
Lesmana, L. 2000. Batu empedu. Buku ajar penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, A. 1999. Kapita selekta kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius FKUI.
Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.