You are on page 1of 61

Pandangan Mengenai Profesi Guru

Kalau kita mengaku sebagai bangsa Timur, yang berbudaya Timur, apakah yang kurang pada
diri kita? Kenapa topangan etis yang selalu kita dengung-dengungkan "bangsa yang
bermoral", "bangsa yang menghargai jasa pahlawan" tidak mampu mensejahterakan bangsa
ini? Budaya timur yang kita junjung –kalau kita kritis, hanya di Indonesia sajalah yang tidak
terimplementasi dengan baik. Kasus Cina, Malaysia, Singapura, bisa bangkit dengan begitu
cepatnya ketika terlanda krisis, kenapa Indonesia tidak?. Jawabannya adalah karena kondisi
pendidikan mereka yang maju. Namun jawaban inipun melahirkan pertanyaan; bagaimana
kondisi pendidikan mereka bisa maju?

Penghargaan terhadap profesi guru inilah yang selama ini menjadi pemicu utama kemorosotan
dunia pendidikan kita. Padahal profesi ini begitu mulia dan terhormat, sebab bagaimanapun
ketika seseorang menjadi guru atau dosen berarti dia memiliki potensi yang berbeda dengan
orang lain yang tidak menjadi guru. Guru berbeda dengan profesi lain, tetapi kenapa guru dan
dosen sering kali disama-ratakan dengan profesi lain? hanya dianggap sebagai pengemudi dan
pengendali anak didik agar terhindar dari kebodohan? Setelah si anak didik mencapai tujuan
(pandai dan lulus) lalu mereka (guru dan dosen) hanya diberi ucapan terima kasih dengan gaji
(ongkos) yang begitu minim, dan karena saking minimnya gaji ini tersemat "Guru adalah
pahlawan tanpa tanda Jasa".

Harus disadari bahwa antara guru dan dunia pendidikan merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan, pendidikan akan hidup ketika guru mampu menciptakan suasana belajar
(learning situation) yang humanis dan demokratis dengan orientasi visi yang jelas. Guru-pun
akan memberikan performa yang baik dan akan menjalankan proses instruksional yang
optimal ketika eksistensinya betul-betul ‘dihargai’ dalam institusi pendidikan. Sebab,
bagaimanapun guru merupakan salah satu pilar utama keberhasilan dunia pendidikan yang
bakal melahirkan out put yang berkualitas, bahkan guru pula-lah yang dapat menentukan
maju dan hancurnya sebuah negara.

Kita dapat menjumpai pelajaran sejarah dunia yakni kasus yang terjadi pasca peledakan
Herosima dan Nagasaki di Jepang, Kaisar Jepang saat itu, tidak mengeluhkan luluh-lantahnya
dua propinsi Jepang tersebut. Karena ia sadar sikap "cengeng" tidak menyelesaikan masalah.
Ia mengevaluasi dan menemukan jawaban bagi bangsanya, bahwa kuncinya ada pada
keberadaan guru; masih adakah guru yang tersisa untuk mendidik bangsa? Di sanalah sebuah
bangsa akan bangkit. Profesionalisme Guru dan Sertifikasi.

Lahirnya UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003. dan UU RI No 14 tentang Guru dan Dosen dan
Sertifikasi merupakan anggitan awal peningkatan mutu dan penghormatan terhadap guru.
Anggitan awal ini disertai dengan implementasi uji sertifikasi yang telah dilaksanakan oleh
baik DIKNAS ataupun Depag 6 bulan yang lalu. Sertifikasi sendiri apabila diperoleh adalah
sebagai wujud peningkatan gaji guru dan dosen, juga demi profesionalisme guru dan dosen.
UU Guru memberikan perlindungan hukum dalam hal; profesi, kesejahteraan, jaminan social,
hak dan kewajiban. UU ini juga dilengkapi tentang prasyarat sebagai guru bahwa guru harus
memiliki, kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik.

Melihat idealisme yang hendak dicapai yakni peningkatan mutu pendidikan dengan
kompetensi Isi, Proses dan Kelulusan, sesuai dengan UU SISDIKNAS 2003 dan
membandingkan dengan peliknya profesionalisme guru ini diperoleh, sekilas pikir, kita akan
mengatakan Indonesia layak menjadi macan Asia 2030 mendatang. Namun ketika kita korek
ke dalam, bahwa uji sertifikasi dilaksanakan dengan model uji Portofolio, harapan ini patut
dipertanyakan.

Pertama, guru yang memproduksi kita, bahkan yang mendidik mereka yang saat ini
menelurkan UU guru dan dosen, juga Tim Sertifikasi Guru, adalah murid dari Guru produk
masa lampau, yang saat itu tradisi dokumentasi sangat jarang, yang berimbas pada
kemungkinan lolos untuk sertifikasi mereka minim.

Kedua, dengan portofolio, mempermudah guru-guru muda mendapatkan sertifikat ini, dengan
pemikiran bahwa saat ini IT adalah hal yang sepele, dan berbagai dokumen yang dibutuhkan
untuk mendapatkan sertifikat adalah hal sangat mudah. Tidak adanya pembedaan uji
sertifikasi antara guru lama (yang hampir pensiun) dengan guru muda adalah permasalahan
pertama peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Permasalahan kedua dari peningkatan mutu pendidikan Indonesia adalah Standar pendidikan
Indonesia masih kebingungan mencari pola. Standar isi dan kelulusan yang ada sampai saat
ini masih mengkopi tradisi negara Orang (Barat), model kelulusan akhir UAN yang melulu
kognitif dan standar isi kurikulum yang masih menganut domain Bloom (pengembangan
kognitif, psikomotorik, dan afektif siswa), secara praksis tidak aplikable dalam kondisi
pendidikan Indonesia. Indonesia adalah negara kepulauan yang rata-rata penduduknya
mendiami daerah pedesaan. Konsekuwensi dari standar isi model bloom ini adalah pelapukan
desa, warga terdidik lebih senang mencari penghidupan di kota dari pada di desa karena
memang mereka hanya dibekali model keilmuan yang seuai dengan perilaku dan paradigma
kota, hingga potensi desa tidak dapat dikembangkan.

Memikirkan Indonesia maju adalah memikirkan bagaimana mengembangkan potensi yang ada
di desa menjadi tenaga pendorong kemajuan bangsa. Kalau setiap desa di Indonesia mampu
mengembangkan diri, maka Indonesia tidak lama lagi bersanding sebagai negara maju yang
dapat turut mangatur tata-kehidupan dunia.

Mamajukan desa, berarti mencegah pelapukan desa terjadi, menjadikan semua warga
terdidiknya mampu mengembangkan potensi yang ada di sekitarnya. Bagaimanakah
mengembangkan warga terdidik yang sadar tentang potensi yang ada di sekitarnya?
Jawabannya adalah perombakan Isi kurikulum pendidikan di Indonesia.

Kalaupun telah kita temui muatan lokal dalam kurikulum pendidikan Indonesia, hal ini belum
memberi jalan cukup. Isi kurikulum pendidikan Indonesia harus mencerminkan kepribadian
bangsa, salah satu jalannya adalah tawaran standar isi kuikulum yang berbeda dengan yang
ada, tidak cukup dengan mengganti model, dari CBSA, KBK ke KTSP. Pendidikan ini butuh
perubahan revolusioner. Kita dapat memulai berpikir tentang menjadikan sistem pendidikan
pesantren sebagai model pendidikan Indonesia.

Berbeda dengan paradigma pendidikan umum, di dalam sistem pendidikan pesantren selain
mengembangkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, lembaga pendidikan pesantren
adalah gabungan antara penguasaan sumber ilahi dan persemaian sinergis dengan
masyarakat. Menurut penelitian M. Dian Nafi', di pesantren mengenal tiga paradigma berbeda
dengan pendidikan umum, yakni ranah faqaha' (pemahaman terhadap agama), thabi'ah
(pembentukan karakter) dan Kafa'ah (kecakapan operasioanal). Proses pembentukan ranah
faqaha' adalah dengan ta'lim (pembelajaran) yang akan menghasilkan kecakapan kognitif
(tadlil / mampu menunjukkan alasan), ranah thabi'ah dilalui dengan model belajar taslik
(pencarian dan pembuktian), model belajar ini akan menghasilkan uswah (contoh) yang baik,
yang selama ini tidak kita miliki. Paradigma Kafa'ah terbentuk melalui tasfiq (mengalih
bentukan/praktek) dari ilmu teoritis ke dalam kondisi real masyarakat. Model paradigma ini
akan menghasilkan keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan (syahadah).

Pemikiran tentang peralihan model pendidikan umum ke pesantren ini dengan standarisasi
dan kompetensi kelulusannya, untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia ini bukanlah
kajian melangit. Mengingat di samping keunggulan di atas, pesantren telah lama memelopori
eduacation based comunity, juga aducation based liffe skill. Juga dengan menjamurnya sistem
full day school adalah padanan sistem pesantren dalam bentuk lain.Kalaupun ini tidak
memberi solusi, setidaknya tawaran menjadikan Indonesia maju melalui pengembangan desa,
telah dirintis dari awal oleh pesantren. Terakhir dengan UU SISDIKNAS dan UU No 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, Setidaknya dengan itu akan mampu memajukan pendidikan di
Indonesia, setidaknya dengan UU tersebut guru lebih dihargai.

Langkah-Langkah Strategis Dalam Mewujudkan Guru


Sebagai Profesi

Written by Harry
friday, 24 august 2007

Last Updated ( Friday, 24 August 2007 )

A. Pendahuluan

Berbagai pihak telah lama menyadari bahwa guru


memiliki peran yang sangat sentral dalam pengembangan manusia yang utuh sebagai sumber
daya pembangunan yang tangguh. Namun demikian, kesadaran tersebut belum sepenuhnya
diikuti oleh pemberian perhatian dan penghargaan yang pantas kepada guru sesuai dengan
bebannya yang berat dan penting. Akibatnya, pekerjaan sebagai guru kurang menarik – dalam
banyak hal pekerjaan guru merupakan pilihan terakhir. Konsekuensinya adalah bahwa
sebagian besar jabatan guru dipegang oleh mereka dengan kapasitas rata-rata. Dampak lain
dari kurangnya perhatian dan penghargaan kepada guru adalah rendahnya
kinerja/profesionalitas guru. Karena penghasilan mereka kurang memadai, banyak guru yang
terpaksa melakukan pekerjaan sambilan yang sangat potensial. mengakibatkan menurunnya
mutu proses pembelajaran.

Menyadari akan peran penting guru dan potensi buruk yang dapat timbul sebagai akibat dari
kurangnya perhatian dan penghargaan yang selama ini masyarakat dan pemerintah berikan
kepada guru, berbagai pihak telah memiliki kesatuan pandangan dan tekad untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kinerja guru melalui pengakuan bahwa guru sebagai profesi
seperti profesi lainnya misalnya dokter, advokat, dsb. Tekad yang kuat dari berbagai pihak itu
telah diwujudkan dalam berbagai bentuk, misalnya diselenggarakannya seminar-seminar oleh
berbagai institusi dan diterbitkannya artikel-artikel tentang guru sebagai profesi di berbagai
media. Kristalisasi dari tekad itu diwujudkan dalam bentuk Deklarasi Guru sebagai Profesi oleh
Presiden RI pada tanggal 2 Desember 2004. Selain itu, RUU tentang guru yang telah disusun
dan dibahas selama beberapa tahun terakhir ditetapkan sebagai undang-undang pada tanggal
6 Desember 2005 (UU tentang Guru dan Dosen).

Dukungan moral dari berbagai institusi dan elemen masyarakat, deklarasi Guru sebagai Profesi
oleh Presiden RI, dan ditetapkannya UU tentang Guru dan Dosen tidak cukup untuk
menjadikan guru sebagai profesi. Yang diperlukan lebih lanjut adalah langkah-langkah
strategis yang tepat, riil, dan realistis yang secara bertahap dapat merealisasikan guru sebagai
profesi. Tulisan pendek ini berisi gagasan mengenai langkah-langkah strategis untuk
mewujudkan guru sebagai profesi tersebut.

B. Langkah-langkah Strategis untuk Mewujudkan Guru sebagai Profesi


Setidak-tidaknya ada 6 (enam) langkah pokok yang perlu diambil untuk mengembangkan guru
sebagai profesi, yaitu pengembangan sistem penjaminan mutu guru, pembenahan manajemen
guru, pembenahan sistem renumerasi guru, pengembangan pola pendidikan profesi guru,
pengembangan organisasi profesi guru, dan perumusan kode etik guru sebagai profesi.
1. Pengembangan sistem penjaminan mutu guru
Harkat dan martabat suatu profesi ditentukan oleh kualitas layanan profesi yang didukung
oleh praktisi profesi yang dapat dijamin mutunya. Oleh karena itu, perlu ditetapkan standar
kompetensi guru yang menjadi acuan penilaian kompetensi. Lulusan dari lembaga
terakreditasi penyelenggara pendidikan profesi guru yang menempuh dan lulus uji kompetensi
akan mendapatkan Sertifikat Kompetensi dan Nomor Register yang sekaligus merupakan
pengakuan resmi kemampuannya dan bukti kewenangannya untuk mengajar sesuai dengan
jenjang dan jenis pendidikan dan/atau bidang studi tertentu. Untuk menjamin pengembangan
kemampuan guru sesuai dengan tuntutan perkembangan, sertifikat kompetensi ini perlu
diperbaharui oleh guru lima tahun sekali. Sehubungan dengan hal ini perlu dikembangkan
sistem penjaminan mutu guru. Terkait dengan penjaminan ini perlu dibentuk badan pelaksana
uji kompetensi dalam rangka sertifikasi yang secara bertahap akan dikembangkan menjadi
lembaga independen semacam Badan Sertifikasi Nasional untuk Profesi Guru.
2. Pembenahan manajemen guru
Proses rekrutmen, pengangkatan, dan penempatan guru selama ini diwarnai oleh KKN.
Akibatnya calon yang terseleksi dan diangkat sebagai guru banyak yang kurang berkualitas,
dan penempatan guru kurang tepat dan merata. Guru sebagai profesi harus bercirikan pada
transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme. Oleh karena itu ke depan seleksi dan
penempatan guru harus benar-benar transparan, akuntabel, dan profesional. Selain itu, perlu
dibuat perangkat perundangan untuk menjamin sistem pembinaan karir guru sebagai profesi.
Perangkat perundangan tersebut harus memberi kepastian kepada guru dalam jaminan
perlindungan profesi, penghargaan yang sepadan dengan prestasi dan produktivitas, serta
kesempatan untuk berkembang baik melalui studi lanjut, penugasan ke satuan pendidikan
atau instansi kependidikan yang dapat memberi peluang pengembangan profesi. Dengan
jaminan pembinaan dan pengembangan karir yang jelas serta dibarengi dengan tingkat
renumerasi yang memadai, profesi guru akan lebih menarik bagi masyarakat.
3. Pembenahan sistem renumerasi guru
Dengan alasan keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah, selama ini gaji yang
ditetapkan untuk guru rendah dan oleh karenanya jauh dari layak. Hal ini diperburuk oleh
sedikitnya/langkanya peluang bagi guru untuk mengembangkan profesionalisme melalui
penataran, studi lanjut, dan penugasan lainnya yang berorientasi pada pengembangan karir.
Keadaan ini lebih diperburuk lagi dengan sistem penggajian bahwa gaji bagi guru dengan
pangkat/golongan dan masa kerja yang sama diberi gaji yang sama tanpa memperhatikan
apakah yang bersangkutan menunjukkan kinerja yang baik. Menyadari sistem renumerasi
yang kurang ‘menantang’ dan kurang memperhatikan kinerja (sehingga kurang adil) tersebut,
agar profesionalitas guru meningkat perlu dilakukan pembenahan terhadap sistem renumerasi
guru.
Pembenahan sistem renumerasi guru menyangkut beberapa hal pokok. Pertama, gaji guru
harus disesuaikan/ditingkatkan sampai jumlah yang layak bagi kehidupan yang sejahtera. Ke
dua, selain pangkat/golongan, besarnya renumerasi seorang guru harus ditentukan oleh
kinerja guru yang bersangkutan. Guru yang berprestasi (misalnya ditunjukkan oleh prestasi
siswanya) harus menerima imbalan yang lebih tinggi. Ke tiga, pembinaan karir harus merata
bagi semua guru. Namun demikian peluang jabatan dan pembinaan karir/profesionalisme
harus diutamakan bagi guru yang berprestasi. Pembenahan yang demikian memerlukan
komitmen yang tinggi dari pemerintah dan partisipasi masyarakat secara luas.
4. Pengembangan pola pendidikan profesi guru
Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, salah satu
konsekuensi dari pengakuan guru sebagai profesi adalah diperlukannya pendidikan profesi
yang berbasis pendidikan tinggi. Hal ini sejalan dengan persyaratan kualifikasi guru
sebagaimana diatur dalam standar nasional pendidikan. Selain perlunya pendidikan profesi
yang berbasis pendidikan tinggi, perlu dikembangkan pola pendidikan yang benar-benar
berorientasi pada pengembangan kemampuan profesional. Pola-pola yang dapat diterapkan
antara lain pola terpadu, yaitu pendidikan profesi guru yang memberikan bekal keilmuan
dalam bidang studi dan kemampuan profesi pada waktu yang bersamaan. Pada akhir masa
studinya yang bersangkutan memperoleh gelar kesarjanaan pada bidang studinya dan
lisensi/sertifikat guru. Alternatif lainnya adalah pola pendidikan berkelanjutan, yaitu selama
periode tertentu (misalnya 4 tahun) pendidikan difokuskan pada ilmu tertentu yang diakhiri
dengan diperolehnya gelar kesarjanaan, dan dilanjutkan dengan program profesi selama 1
tahun untuk memperoleh lisensi menjalankan praktek sebagai guru.
Untuk menunjang terciptanya pendidikan profesi guru yang baik, perlu dijalin kemitraan yang
intensif antara perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi guru dan sekolah.
Kemitraan ini harus menguntungkan bagi kedua belah pihak. Misalnya, sementara perguruan
tinggi (PT) dapat mengembangkan kemampuan profesional mahasiswanya di sekolah, guru-
guru di sekolah akan selalu dapat mengikuti perkembangan dunia pendidikan. Untuk menarik
minat calon mahasiswa yang berkemampuan tinggi untuk memasuki program pendidikan
profesi guru, perlu dikembangkan bentuk-bentuk insentif bagi mahasiswa pendidikan profesi
guru misalnya ikatan dinas, sistem sandwich dalam program induksi, dan berbagai penawaran
beasiswa lainnya baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dunia usaha/industri
atau yayasan.
Untuk menjamin mutu pendidikan, PT yang boleh menyelenggarakan pendidikan profesi guru
hanyalah PT yang terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Guru baik sebagai
lembaga akreditasi tersendiri atau merupakan bagian dari BAN-PT yang sudah ada.
5. Pengembangan organisasi profesi guru
Keberadaan organisasi profesi diyakini penting bagi setiap jenis profesi karena organisasi
tersebut yang mengkoordinasikan dan mengawasi jalannya suatu praktek profesi
sebagaimana diatur dalam kode etik profesi yang dimiliki dan dihayati oleh setiap profesi.
Organisasi tersebut juga menangani berbagai kegiatan seperti urusan lisensi, dewan
kehormatan profesi, pemantauan pelaksanaan kode etik profesi, dan pengembangan
pendidikan dan pelatihan profesi. Karena di Indonesia belum ada organisasi profesi yang
benar-benar mencurahkan perhatiannya secara terfokus pada profesi guru, perlu
dikembangkan organisasi profesi guru. Organisasi ini dapat dikembangkan dari PGRI, ISPI, dan
Organisasi Guru Bidang Studi.
6. Penyusunan kode etik guru sebagai profesi
Disahkannya UU Guru dan Dosen merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi dunia
pendidikan Indonesia. Undang-undang tersebut penting bagi guru antara lain untuk :
1. Memberikan perlindungan profesi bagi pelaksanaan pekerjaan/jabatan guru.
2. Memberikan jaminan perlindungan hukum bagi guru untuk memperoleh hak-
haknya sebagai pengemban profesi yang tidak saja layak/manusiawi, tetapi juga
sesuai dengan nilai keterampilan dan keahliannya.
3. Sebagai instrumen hukum untuk memberikan sanksi bagi guru yang
melanggar hukum atau kode etik.
4. Memberikan jaminan perlindungan hukum bagi guru dalam menghadapi
ancaman dan/atau tindakan siswa, orangtua/wali murid, dan anggota masyarakat.
5. Memberikan jaminan kepastian hukum bagi siswa, orangtua/wali murid dan
masyarakat dalam menerima layanan pendidikan yang profesional.
6. Memberikan jaminan pada meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab
profesionalisme dalam bekerja.
7. Memberikan jaminan pada dihasilkannya lulusan sebagai SDM yang
berkualitas.
Selain undang-undang, yang perlu disusun adalah kode etik guru sebagai profesi.
Sebagaimana profesi-profesi lainnya seperti dokter dan advokat, guru sebagai profesi
memerlukan kode etik dalam menjalankan profesinya. Kode etik yang dimaksud adalah
seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu
profesi. Kode etik ini merupakan persetujuan bersama yang timbul dari para anggota sesuai
dengan nilai-nilai ideal yang mereka harapkan. Kode etik penting bagi guru antara lain dalam
hal :
1. Menjaga dan meningkatkan kualitas moral guru.
2. Menjaga dan meningkatkan kompetensi guru sebagai profesi, dan.
3. Perlindungan kesejahteraan terhadap guru.
Dalam menjalankan tugasnya, guru harus selalu terikat pada kode etiknya. Guru dengan
sendirinya akan menghindarkan dirinya dari melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji
atau merugikankan peserta didik. Dengan demikian kualitas layanan pendidikan akan
maksimal, kinerja guru optimal, dan mutu lulusan akan sangat baik.
C. Penutup
Masa depan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia ditentukan oleh kinerja guru. Hanya
guru yang profesional dan dapat mengimplementasikan profesionalismenya secara penuh
yang dapat mewujudkan bangsa yang cerdas dan berbudi luhur yang pada gilirannya dapat
melaksanakan pembangunan di segala bidang, misalnya ekonomi, politik, hukum, dan
kesehatan secara efektif dan efisien. Untuk itu sudah saatnya masyarakat dan pemerintah
menempatkan dan menghargai jabatan/pekerjaan guru sebagai profesi yang sama atau lebih
baik daripada profesi lainnya. Sehubungan dengan hal itu diperlukan suatu kebijakan/langkah-
langkah nyata yang secara komprehensif dan berkesinambungan mewujudkan guru sebagai
profesi yang antara lain meliputi pengembangan sistem penjaminan mutu, pembenahan
manajemen guru, pembenahan sistem penghargaan guru, pengembangan pola pendidikan
profesi guru, pengembangan organisasi profesi guru, dan perumusan kode etik guru sebagai
profesi.
Perlu disadari bahwa pengembangan profesi guru tidak akan optimal tanpa peran serta
masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu kepedulian masyarakat pada umumnya perlu
ditingkatkan. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pendidikan, implementasi kebijakan
pendidikan, evaluasi kebijakan pendidikan, pemutakhiran kompetensi guru, dan peningkatan
kesejahteraan guru perlu terus digali dan dioptimalkan.

Digunting dari:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0603/27/humaniora/2539642.htm

Jangan Takut Menjadi Guru


SUPARMAN

Undang-Undang Guru dan Dosen mengajak kita percaya bahwa program


kualifikasi, sertifikasi, dan pemberian beberapa tunjangan untuk guru akan meningkatkan kualitas
guru dan secara otomatis mendongkrak mutu pendidikan. Tentu kita tidak percaya sepenuhnya.
Mengapa? Karena ada satu hal yang sering kali terluput dari diskursus tentang rendahnya
kualitas guru di Indonesia, yaitu soal birokratisasi profesi guru.

Birokratisasi profesi guru di zaman Orde Baru telah menghasilkan mayoritas guru bermental
pegawai. Orientasi jabatan sangat kental melekat dalam diri para guru. Jabatan guru utama—
sebagaimana layaknya guru besar di perguruan tinggi—tidak lagi dilihat sebagai tujuan puncak
karier yang harus diraih seorang guru, melainkan lebih pada jabatan kepala sekolah atau
jabatan-jabatan birokrasi lainnya di dinas-dinas pendidikan maupun di departemen pendidikan.
Semangat profesionalismenya luntur seiring terjadinya disorientasi jabatan ini.
Birokratisasi juga menciptakan hubungan kerja "atasan-bawahan", yang lambat laun
menghilangkan kesejatian profesi guru yang seharusnya merdeka untuk menentukan berbagai
aktivitas profesinya tanpa harus terbelenggu oleh juklak dan juknis (petunjuk pelaksana dan
petunjuk teknis) yang selama ini menjadi bagian dari budaya para birokrat. Guru menjadi tidak
kreatif, kaku, hanya berfungsi sebagai operator atau tukang dan takut melakukan berbagai
pembaruan.

Rasa takut itu pada akhirnya semakin memperkokoh kekuasaan birokrasi dengan menjadikan
guru sebagai bagian dari pegawai-pegawai bawahan yang harus tunduk patuh pada perintah
"atasan". Guru yang berani mengkritik, apalagi memprotes tindakan "atasan" yang tidak benar,
dengan mudah diperlakukan sewenang-wenang seperti diintimidasi, dimutasi, diturunkan
pangkatnya atau bahkan dipecat dari pekerjaannya. Kasus mutasi Waldonah di Temanggung,
kasus mutasi 10 guru di Kota Tangerang, kasus pemecatan Nurlela dan mutasi Isneti di Jakarta,
serta beberapa kasus penindasan terhadap guru di berbagai daerah menunjukkan begitu kuatnya
proses birokratisasi profesi guru sampai saat ini.

Proses yang sama terjadi pula sampai ke dalam kelas. Dalam proses pembelajaran, guru lebih
menempatkan diri sebagai agen- agen kekuasaan. Ia memerankan dirinya sebagai pentransfer
nilai-nilai ideologi kekuasaan yang tidak mencerahkan kepada anak-anak didiknya daripada
membangun suasana pembelajaran yang demokratis dan terbuka. Anak didik dijadikan
"bawahan-bawahan" baru yang harus tunduk dan patuh kepada guru sesuai juklak dan juknis
atau atas nama kurikulum.

Kondisi ini semakin diperparah ketika proses birokratisasi ikut memasuki jejaring organisasi guru.
Sebagian pengurusnya dikuasai oleh kalangan birokrasi. Akibatnya, organisasi yang diharapkan
mampu membangun komunitas guru yang intelektual-transformatif dan melindungi gerakan
pembaruan intelektual guru, justru jadi bagian dari rezim birokrasi yang "mengebiri" kemerdekaan
profesi guru.

Penunggalan organisasi guru menjadi bagian dari agenda penguatan kekuasaan birokrasi yang
tak terlepas dari kepentingan politik kekuasaan yang lebih besar lagi. Bisa dibayangkan, guru
menjadi tidak cerdas dan tumpul pemikirannya justru oleh ulah organisasinya sendiri. Sungguh
ironis!

Debirokratisasi

Program kualifikasi, sertifikasi, dan pemberian tunjangan kesejahteraan kepada guru jelas bukan
jawaban satu-satunya untuk membangun kualitas guru. Tanpa disertai gerakan debirokratisasi
profesi guru, sulit rasanya kesejatian kualitas guru akan terbangun.

Oleh karena itu, profesionalisme guru harus dibangun bersamaan dengan dorongan untuk
membangun keberanian guru melibatkan diri dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan,
bebas menyampaikan berbagai pandangan profesinya, mengkritik, bebas berekspresi dan bebas
berserikat sebagai wujud kemandirian profesinya. Bagaimana semua itu dapat diwujudkan?

Beberapa pasal dalam UU Guru dan Dosen ternyata menjadikan debirokratisasi profesi guru
sebagai bagian penting dari upaya peningkatan kualitas guru. Pasal 14 Ayat 1 Butir (i)
menyebutkan: Dalam menjalankan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh kesempatan
untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.

Klausul ini mempertegas hak guru untuk terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan,
mulai dari tingkat sekolah sampai penentuan kebijakan pendidikan di tingkat provinsi maupun
pemerintahan pusat. Guru tidak boleh lagi ditempatkan sebagai bawahan yang hanya menerima
berbagai kebijakan birokrasi, tetapi harus duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang
partisipatif.

Pada pasal yang sama Butir (h) disebutkan: Guru berhak memiliki kebebasan untuk berserikat
dalam organisasi profesi guru. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 41 Ayat 1 yang menyebutkan
bahwa: Guru dapat membentuk organisasi profesi yang bersifat independen, juga Pasal 1 Butir
(13) yang menyebutkan: Organisasi profesi guru adalah perkumpulan berbadan hukum yang
didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.

Ketiga pasal ini mempertegas kemandirian guru untuk bebas berorganisasi dan melepaskan diri
dari kepentingan kekuasaan birokrasi. Pasal 1 Butir (13) mempertegas bahwa siapa pun yang
bukan guru tidak dibenarkan mendirikan dan mengurus organisasi guru, seperti yang selama ini
banyak dilakukan oleh birokrasi atau bahkan para petualang politik.

UU Guru dan Dosen juga memberikan perlindungan hukum kepada guru dari tindakan
sewenang-wenang birokrasi, baik dalam bentuk ancaman maupun intimidasi atas kebebasan
guru untuk menyampaikan pandangan profesinya, kebebasan berserikat/berorganisasi,
keterlibatan dalam penentuan kebijakan pendidikan dan pembelaan hak-hak guru.

Pasal 39 Ayat 3 menegaskan bahwa guru mendapat perlindungan hukum dari tindak kekerasan,
ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi atau
pihak lain. Ayat 4 pada pasal yang sama secara tegas memberi perlindungan profesi kepada
guru terhadap pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi dan
terhadap pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.

UU Guru dan Dosen cukup mendorong proses debirokratisasi profesi guru. Ruang kebebasan
guru tanpa harus dibayangi ketakutan pada kekuasaan birokrasi kini mulai terbuka lebar.
Birokrasi kekuasaan harus menerima perubahan paradigma yang ditawarkan undang-undang ini.
Guru harus berani menempati ruang tersebut. Karena itu, jangan pernah takut lagi untuk menjadi
guru yang kreatif!

Suparman Guru SMA Negeri 17 Jakarta; Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia

Tags: kliping artikel


Prev: Puisi Seorang Filsuf
Next: Tujuh Ayat Sekolah Unggul
replyshare

10 CommentsChronological Reverse Threaded


reply
ferryzuljanna wrote on Mar 27, '06
Pendapat kang Arman sendiri sebagai seorang guru bagaimana?

How is your personal opinion about to become a teacher, especially in Indonesia?


reply
armanbelajar wrote on Mar 27, '06, edited on Mar 27, '06
Sebagian pendapat saya ada secara kebetulan sering muncul pada tulisan-tulisan orang lain seperti tulisan di atas ini.
Seorang guru memang harus idealis dan profesional. Guru harus kembali bermartabat sebagai agen keshalehan
masyarakat. Kembali menjadi panutan di tengah-tengah munculnya berbagai idola. Silakan melihat blog-blog saya yang
lain yang berisi pendapat-pendapat yang sejajar dengan pemikiran saya. Terima kasih atas tanggapannya, Pak!
reply
ferryzuljanna wrote on Mar 28, '06
Boleh saya tulis kembali?
Menurut kang Arman, seorang guru itu harus:

1. Idealis dan profesional


2. Bermartabat sebagai agen keshalehan masyarakat
3. Menjadi panutan di tengah berbagai idola

Saya yakin penjelasan terhadap tiga hal di atas saja sudah merupakan artikel yang bagus. Saya tunggu artikelnya ya.
reply
armanbelajar wrote on Mar 28, '06
Hmmm...terima kasih, Pak! Iya, tunggu saja. Lagi sibuk pamitan neeh sama sahabat-sahabat Jepang. Ke perpus akses
internet sambil nunggu waktu janjian. Lagi dikembangkan ketiga ide tersebut. Seep!Alhamdulillah.
reply
ferryzuljanna wrote on Mar 28, '06
Ok bagus sekali.

Saya membayangkan, guru yang ideal itu bagaimana ya? Kemudian, apa bedanya dengan guru yang profesional?

Wah, nggak sabar nih menunggu artikelnya.


reply
armanbelajar wrote on Mar 28, '06
Hmm...pertanyaannya menuntun saya membuat kerangka berpikirnya, Pak!

Comment deleted at the request of the author.


reply
agustianwar wrote on Mar 28, '06
Kang Arman, saya termasuk yang prihatin atas keterabaian nasib guru di tanah air. Maklmu juga dari keluarga guru---
kakek (alm), paman, bibi, ayah, ibu (alm), adik-adik---banyak yang berprofesi guru/dosen. saya pun selagi sempat, selain
sebagai PNS biasa, juga suka mengajar di universitas swasta, karena perasaan tenteram yang diberikan dunia pendidikan,
menyumbang sebisanya. Saya kira semangat keguruannya perlu terus diperkuat---kalau bisa sekaligus yang ideal dan
profesional, bermartabat saleh dan menjadi panutan (seperti dikutip Mas Ferry di atas). Saya ingat pesan dosen waktu
mahasiswa dulu, 'sekali guru tetap guru, tidak ada bekas guru'. Apa yang diberikan guru kita adalah abadi, walaupun pada
akhirnya kita bisa lebih tinggi pendidikan dari guru yang dulu, jasa beliau abadi---dan keguruannya tak kan berhenti.
Salam, Anwar.
reply
wyudi70 wrote on Mar 28, '06
Bapak Ibu saya adalah guru SD dengan 7 orang anak. Kami tidak dibesarkan dalam kemewahan hidup, tapi diajarkan
untuk cinta pada ilmu. Hampir semua penghasilan digunakan untuk membiyai sekolah anak2nya. Hari ini anaknya yang
terakhir di sumpah sebagai seorang dokter. Menurutku guru adalah pekerjaan yang mulia, dan karenanyalah saat smp aku
ingin menjadi seorang guru. Dan memang akupun seorang pendidik juga sekarang, meskipun belum berani menyebut diri
sebagai seorang guru.

Guru, dalam bahasa India, berarti seseorang yang memberi cahaya ketika ada kegelapan. Rasanya aku belum seperti itu.
reply
diniauliya wrote on Mar 30, '06
sy msh awal banget ...semoga guru2 yg senior bs sering posting jurnal ttg guru...spy jd masukan buat sy sp terus
memperbaiki diri sbg guru
http://armanbelajar.multiply.com/journal/item/104/Jangan_Takut_Menjadi_Guru

artikel keguruan - Presentation Transcript

1. Refleksi Hari Guru Ke-63 Citra guru masa kini SOSOK Ibu Guru Muslimah dalam Film Laskar
Pelangi sangat menyentuh hati. Dengan penuh kasih ia didik murid-muridnya, ia terima semua
kelebihan dan kekurangan dari murid-murid tersebut. Ia mengajar dengan penuh kelembutan dan
dedikasi yang tinggi. Dalam kebimbangan ia mampu menjadi motivator bagi para muridnya.
Ketika murid membutuhkan ilmu ia menjadi transformator. Ketika harus menggali kreativitas
murid ia menjadi fasilitator. Ketulusan dan kreativitas Guru Muslimah dalam mendidik para
muridnya merupakan suatu pelajaran berharga yang patut diteladani, khususnya bagi kaum guru.
Seperti apa pun perubahan zaman dan perkembangan teknologi, ketulusan mengabdi seorang
guru tetap diperlukan demi masa depan putra-putri bangsa. Walaupun zaman telah berubah,
teknologi semakin maju, peradaban semakin berkembang nilai-nilai keluhuran budi harus tetap
dipertahankan. Seorang pendidik berkewajiban untuk menumbuhkan nilai-nilai kehidupan, budi
pekerti, dan norma-norma pada murid-muridnya. Guru sebagai sosok yang digugu lan ditiru. Dari
pameo tersebut tersirat pandangan serta harapan masyarakat terhadap seorang guru. Dalam
kedudukan seperti itu guru tidak hanya sebagai pengajar di kelas namun juga tampil sebagai
pendidik di sekolah maupun di masyarakat. Harapan ini akan menjadi rancu manakala ada oknum
guru yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Masyarakat menjadi ragu untuk
mempercayakan pendidikan putra-putrinya kepada guru. Bagaimana agar citra guru tetap
menempati hati masyarakat? Bukan hal mudah untuk menjadi guru yang benar-benar guru,
menjadi panutan masyarakat, mampu mengabdikan dirinya dengan tulus. Oleh karena itu dalam
rangka menyambut hari guru ke-63 kiranya para guru wajib merenung, introspeksi diri, agar
menjadi guru yang mempunyai citra di masyarakat. Kompetensi guru Kualitas guru belakangan
ini banyak diragukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Persoalan- persoalan yang menyangkut
generasi muda selalu dikaitkan dengan kualitas guru yang pernah mendidiknya. Jika ada siswa
tawuran, narkoba, brutal, guru yang pertama disalahkan. Oleh karena itu pemerintah telah
melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme guru sesuai dengan
amanat perundang-undangan guru dan dosen. Berbagai upaya ini antara lain adalah dengan
melakukan pelatihan, peningkatan pendidikan bergelar, sertifikasi, dan pemberian tunjangan
profesi guru (sambutan Menteri Pendidikan Nasional pada Majalah Suara Guru edisi khusus Hari
Ulang Tahun PGRI ke-63). Hal ini sebenarnya merupakan bentuk perhatian pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan dan citra para guru di hati masyarakat. Profesi guru yang dulu
dipandang sebelah mata berangsur-angsur mulai diperhitungkan kembali oleh masyarakat. Guru
yang dulunya hanya dikenal sebagai tukang mengajar kini anggapan itu kian terkikis, sebab
untuk menjadi guru harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional seperti yang tertuang dalam pasal 10
ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kompetensi guru juga
tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007
tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang

2. menyatakan bahwa guru perlu menguasai 4 (empat) kompetensi, yakni pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional. Realitas di lapangan empat kompetensi tersebut belum seluruhnya
dikuasai oleh para guru. Sebagai contoh pengembangan kurikulum, guru enggan membuat
Program Tahunan (Prota), Program Semester (Promes), silabus bahkan sampai Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Guru lebih senang copy paste perangkat pembelajaran yang
sudah ada tanpa mencermati lebih dalam kekurangan dan kelebihan perangkat tersebut. Dalam
bidang teknologi guru juga belum banyak yang memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk pembelajaran. Banyak guru yang masih gaptek (gagap teknologi) sehingga
tidak pernah memanfaatkan internet untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan.
Tindakan reflektif untuk meningkatkan kualitas belajar wajib dilakukan oleh guru. Kegiatan ini
tercermin dalam Penelitian Tindakan Kelas ((PTK). Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru
akan lebih baik jika ditulis dalam bentuk karya tulis PTK. Selain untuk memperbaiki kualitas
belajar siswa, memperbaiki kualitas pengajaran guru, juga melatih guru untuk berpikir ilmiah.
Tujuan yang bagus ini tidak didukung oleh semua guru, lantaran mereka merasa kesulitan
menyusun karya tulis, merasa tidak mampu, namun juga tidak mau belajar. Guru memang profesi
yang mulia, kepribadiannya pun juga harus mulia. Walaupun masih ada oknum guru yang
menentang hukum. Bahkan berita-berita di koran sering memuat tindak asusila yang dilakukan
oleh oknum guru. Guru yang semula harus menjadi panutan akhirnya menjadi bahan hinaan
masyarakat. Guru yang seperti inilah yang mencoreng citra guru. Upaya pemerintah Berbagai
upaya untuk meningkatkan kualitas guru sudah dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Kegiatan tersebut, antara lain: berbagai bentuk pelatihan, seminar untuk guru- guru mulai dari
tingkat gugus hingga tingkat nasional sering diselenggarakan. Hal ini sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas guru. Harapannya para guru memperoleh wawasan yang luas dalam
mengembangkan karirnya sehingga ilmu-ilmu yang diperolehnya mampu diterapkan di tempat ia
bekerja. Guru tidak statis, selalu memperoleh dan mengembangkan ilmunya. Ajang bergengsi
untuk guru juga digelar setiap tahun di antaranya lomba keteladanan guru, keteladanan kepala
sekolah, lomba keberhasilan guru, dan sejenisnya. Dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat
kompetisi tersebut akan mendorong guru untuk meningkatkan kualitasnya, selalu berinovasi,
memberikan semangat dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kompetensi guru benar-benar
teruji diajang perlombaan tersebut. Fasilitas untuk belajar mengajar yang diberikan pemerintah
juga merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas guru dalam pembelajaran. Fasilitas tersebut
akan sangat membantu guru dalam menjalankan tugasnya seperti gedung sekolah, alat peraga,
buku-buku, bea siswa, dan sebagainya. Tujuan pembelajaran akan tercapai apabila pembelajaran
berlangsung dengan optimal. Pembelajaran akan optimal apabila sarana dan prasarana tercukupi.
Oleh karena itu fasilitas belajar mengajar sangat urgen keberadaannya. Sertifikasi bagi guru
merupakan bentuk perhatian pemerintah untuk meningkatkan kualitasnya, sebab persyaratan
sertifikasi menggambarkan kompetensi guru dalam menjalankan tugasnya. Guru yang memenuhi
syarat sertifikasi berhak memperoleh tunjangan profesional. Dengan program semacam ini para
guru akan berlomba-lomba meningkatkan kualitas dirinya dalam menjalankan tugas
mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Harus diakui bahwa seorang guru yang telah
mendapat sertifikat dalam proses sertifikasi harus mampu menunjukkan kinerja lebih optimal.
Benarkah sudah demikian? Sebuah pertanyaan yang patut untuk ditindakkritisi dengan

3. merumuskan seperangkat instrumen penilaian untuk menilai kinerja guru yang sudah
tersertifikasi. Sebagai kado HUT Guru ke-63 agaknya kita wajib merenungkan kata-kata William
Arthur Ward, “Guru biasa memberitahu, guru baik menjelaskan, guru ulung memperagakan, dan
guru hebat mengilhami “. Jadilah guru hebat yang mampu mengilhami siswa sehingga mereka
menjadi pemroduksi gagasan bukan pengonsumsi gagasan. Guru yang hebat akan selalu
dirindukan oleh murid-muridnya. Pembelajarannya yang bermakna akan selalu ditunggu
kehadirannya di sekolah. Ketulusan pengabdiannya akan selalu dikenang di hati masyarakat.
Akhirnya, selamat hari guru, selamat berjuang! Embun pagi akan selalu tersenyum menyambut
kedatanganmu. R Tantiningsih SPd Guru SDN Anjasmoro Semarang (Dimuat di Koran Sore
Wawasan 24 November 2008) BAB I PENDAHULUAN A. LANDASAN 1. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 butir 6 yang mengemukakan bahwa
konselor adalah pendidik, Pasal 3 bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik, dan Pasal 4 ayat (4) bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi
keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran, dan Pasal 12 Ayat (1b) yang menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Pasal 5 s.d Pasal 18 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan
menengah. 3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang memuat pengembangan diri peserta didik
dalam struktur kurikulum setiap satuan pendidikan difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor,
guru, atau tenaga kependidikan. 4. Dasar Standarisasi Profesi Konseling yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2004 untuk memberi arah pengembangan profesi
konseling di sekolah dan di luar sekolah.

4. B. PENGERTIAN Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran


sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri
merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui
kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan
belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler. Di samping itu, untuk satuan
pendidikan kejuruan, kegiatan pengembangan diri, khususnya pelayanan konseling ditujukan
guna pengembangan kreativitas dan karir. Untuk satuan pendidikan khusus, pelayanan konseling
menekankan peningkatan kecakapan hidup sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik.
Kegiatan pengembangan diri berupa pelayanan konseling difasilitasi/ dilaksanakan oleh konselor,
dan kegiatan ekstra kurikuler dapat dibina oleh konselor, guru dan atau tenaga kependidikan lain
sesuai dengan kemampuan dan kewenangnya. Pengembangan diri yang dilakukan dalam bentuk
kegiatan pelayanan konseling dan kegiatan ekstra kurikuler dapat megembangankan kompetensi
dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. C. TUJUAN 1. Tujuan Umum
Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat,
kondisi dan perkembangan peserta didik, dengan memperhatikan kondisi sekolah/madrasah. 2.
Tujuan Khusus Pengembangan diri bertujuan menunjang pendidikan peserta didik dalam
mengembangkan: a. Bakat b. Minat c. Kreativitas d. Kompetensi dan kebiasaan dalam kehidupan
e. Kemampuan kehidupan keagamaan

5. f. Kemampuan sosial g. Kemampuan belajar h. Wawasan dan perencanaan karir i. Kemampuan


pemecahan masalah j. Kemandirian D. RUANG LINGKUP Pengembangan diri meliputi kegiatan
terprogram dan tidak terprogram. Kegiatan terprogram direncanakan secara khusus dan diikuti
oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pribadinya. Kegitan tidak terprogram
dilaksanakan secara lansung oleh pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah/madrasah yang
diikuti oleh semua peserta didik. Kegiatan terprogram terdiri atas dua komponen: 1. Pelayanan
konseling, meliputi pengembangan: a. kehidupan pribadi b. kemampuan sosial c. kemampuan
belajar d. wawasan dan perencanaan karir 1. Ekstra kurikuler, meliputi kegiatan: a. kepramukaan
b. latihan kepemimpinan, ilmiah remaja, palang merah remaja c. seni, olahraga, cinta alam,
jurnalistik, teater, keagamaan E. BENTUK-BENTUK PELAKSANAAN 1. Kegiatan pengembangan diri
secara terprogram dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam kurun waktu tertentu untuk
memenuhi kebutuhan peserta didik secara individual, kelompok, dan atau klasikal melalui
penyelenggaraan: a. layanan dan kegiatan pendukung konseling b. kegiatan ekstra kurikuler.

6. 2. Kegiatan pengembangan diri secara tidak terprogram dapat dilaksanakan sebagai berikut. a.
Rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan terjadwal, seperti: upacara bendera, senam, ibadah khusus
keagamaan bersama, keberaturan, pemeliharaan kebersihan dan kesehatan diri. b. Spontan,
adalah kegiatan tidak terjadwal dalam kejadian khusus seperti: pembentukan perilaku
memberisalam, membuang sampah pada tempatnya, antri, mengatasi silang pendapat
(pertengkaran). c. Keteladanan, adalah kegiatan dalam bentuk perilaku sehari-hari seperti:
berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca, memuji kebaikan dan atau keberhasilan
orang lain, datang tepat waktu. BAB II PENGEMBANGAN DIRI MELALUI PELAYANAN KONSELING A.
STRUKTUR PELAYANAN KONSELING Pelayanan konseling di sekolah/madrasah merupakan usaha
membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kegiatan
belajar, serta perencanaan dan pengembangan karir. Pelayanan konseling memfasilitasi
pengembangan peserta didik, secara individual, kelompok dan atau klasikal, sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat, minat, perkembangan, kondisi, serta peluang-peluang yang dimiliki.
Pelayanan ini juga membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta masalah yang dihadapi
peserta didik. 1. Pengertian Konseling Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik,
baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara
optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar,
dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan
norma- norma yang berlaku. 2. Paradigma, Visi, dan Misi a. Paradigma

7. Paradigma konseling adalah pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam bingkai budaya. Artinya,
pelayanan konseling berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan dan teknologi pendidikan serta
psikologi yang dikemas dalam kaji-terapan pelayanan konseling yang diwarnai oleh budaya
lingkungan peserta didik. b. Visi Visi pelayanan konseling adalah terwujudnya kehidupan
kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian
dukungan perkembangan dan pengentasan masalah agar peserta didik berkembang secara
optimal, mandiri dan bahagia. c. Misi 1) Misi pendidikan, yaitu memfasilitasi pengembangan
peserta didik melalui pembentukan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan
masa depan. 2) Misi pengembangan, yaitu memfasilitasi pengembangan potensi dan kompetensi
peserta didik di dalam lingkungan sekolah/ madrasah, keluarga dan masyarakat. 3) Misi
pengentasan masalah, yaitu memfasilitasi pengentasan masalah peserta didik mengacu pada
kehidupan efektif sehari-hari. 3. Bidang Pelayanan Konseling a. Pengembangan kehidupan
pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan
mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan
karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik. b. Pengembangan kehidupan
sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta
mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya,
anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas. c. Pengembangan kemampuan
belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan
belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri. d.
Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami
dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir. 4. Fungsi Konseling

8. a. Pemahaman, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memahami diri dan lingkungannya. b.
Pencegahan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mampu mencegah atau menghindarkan
diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat perkembangan dirinya. c. Pengentasan,
yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mengatasi masalah yang dialaminya. d. Pemeliharaan
dan pengembangan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memelihara dan menumbuh-
kembangkan berbagai potensi dan kondisi positif yang dimilikinya. e. Advokasi, yaitu fungsi untuk
membantu peserta didik memperoleh pembelaan atas hak dan atau kepentingannya yang kurang
mendapat perhatian. 5. Prinsip dan Asas Konseling a. Prinsip-prinsip konseling berkenaan dengan
sasaran layanan, permasalahan yang dialami peserta didik, program pelayanan, serta tujuan dan
pelaksanaan pelayanan. b. Asas-asas konseling meliputi asas kerahasiaan, kesukarelaan,
keterbukaan, kegiatan, kemandirian, kekinian, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan,
keahlian, alih tangan kasus, dan tut wuri handayani. 6. Jenis Layanan Konseling a. Orientasi, yaitu
layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan
sekolah/madrasah dan obyek- obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta
mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru. b. Informasi,
yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri,
sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan. c. Penempatan dan Penyaluran, yaitu
layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di
dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan
ekstra kurikuler. d. Penguasaan Konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai
konten tertentu, terumata kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di
sekolah, keluarga, dan masyarakat.

9. e. Konseling Perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan
masalah pribadinya. f. Bimbingan Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam
pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan
pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok. g.
Konseling Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan
pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok. h. Konsultasi, yaitu layanan yang
membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan
cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik. i.
Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan
memperbaiki hubungan antarmereka. 7. Kegiatan Pendukung a. Aplikasi Instrumentasi, yaitu
kegiatan mengumpulkan data tentang diri peserta didik dan lingkungannya, melalui aplikasi
berbagai instrumen, baik tes maupun non-tes. b. Himpunan Data, yaitu kegiatan menghimpun
data yang relevan dengan pengembangan peserta didik, yang diselenggarakan secara
berkelanjutan, sistematis, komprehensif, terpadu, dan bersifat rahasia. c. Konferensi Kasus, yaitu
kegiatan membahas permasalahan peserta didik dalam pertemuan khusus yang dihadiri oleh
pihak-pihak yang dapat memberikan data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya
masalah peserta didik, yang bersifat terbatas dan tertutup. d. Kunjungan Rumah, yaitu kegiatan
memperoleh data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik melalui
pertemuan dengan orang tua dan atau keluarganya. e. Tampilan Kepustakaan, yaitu kegiatan
menyediakan berbagai bahan pustaka yang dapat digunakan peserta didik dalam pengembangan
pribadi, kemampuan sosial, kegiatan belajar, dan karir/jabatan. f. Alih Tangan Kasus, yaitu
kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah peserta didik ke pihak lain sesuai keahlian
dan kewenangannya. 8. Format Kegiatan

10. a. Individual, yaitu format kegiatan konseling yang melayani peserta didik secara perorangan. b.
Kelompok, yaitu format kegiatan konseling yang melayani sejumlah peserta didik melalui suasana
dinamika kelompok. c. Klasikal, yaitu format kegiatan konseling yang melayani sejumlah peserta
didik dalam satu kelas. d. Lapangan, yaitu format kegiatan konseling yang melayani seorang atau
sejumlah peserta didik melalui kegiatan di luar kelas atau lapangan. e. Pendekatan Khusus, yaitu
format kegiatan konseling yang melayani kepentingan peserta didik melalui pendekatan kepada
pihak-pihak yang dapat memberikan kemudahan. 8. Program Pelayanan a. Jenis Program 1)
Program Tahunan, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu
tahun untuk masing-masing kelas di sekolah/madrasah. 2) Program Semesteran, yaitu program
pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran
program tahunan. 3) Program Bulanan, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh
kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran. 4) Program Mingguan,
yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu minggu yang
merupakan jabaran program bulanan. 5) Program Harian, yaitu program pelayanan konseling
yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan
jabaran dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan (SATLAN) dan atau satuan kegiatan
pendukung (SATKUNG) konseling. b. Penyusunan Program 1) Program pelayanan konseling
disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik (need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi
instrumentasi. 2) Substansi program pelayanan konseling meliputi keempat bidang, jenis layanan
dan kegiatan pendukung, format kegiatan, sasaran pelayanan, dan volume/beban tugas konselor.

11. (Lampiran 1 dan Lampiran 2a, 2b, 2c, dan 2d) B. PERENCANAAN KEGIATAN 1. Perencanaan
kegiatan pelayanan konseling mengacu pada program tahunan yang telah dijabarkan ke dalam
program semesteran, bulanan serta mingguan. 2. Perencanaan kegiatan pelayanan konseling
harian yang merupakan jabaran dari program mingguan disusun dalam bentuk SATLAN dan
SATKUNG yang masing-masing memuat: a. Sasaran layanan/kegiatan pendukung b. Substansi
layanan/kegiatan pendukung c. Jenis layanan/kegiatan pendukung, serta alat bantu yang
digunakan d. Pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang terlibat e. Waktu dan
tempat (Lampiran 3) 3. Rencana kegiatan pelayanan konseling mingguan meliputi kegiatan di
dalam kelas dan di luar kelas untuk masing-masing kelas peserta didik yang menjadi tanggung
jawab konselor. (Lampiran 1) 4. Satu kali kegiatan layanan atau kegiatan pendukung konseling
berbobot ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran. 5. Volume keseluruhan kegiatan pelayanan
konseling dalam satu minggu minimal ekuivalen dengan beban tugas wajib konselor di sekolah/
madrasah. C. PELAKSANAAN KEGIATAN 1. Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah
lainnya, konselor berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang bersifat
rutin, insidental dan keteladanan. 2. Program pelayanan konseling yang direncanakan dalam
bentuk SATLAN dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis kegiatan,
waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.

12. 1. Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Konseling a. Di dalam jam pembelajaran sekolah/madrasah:


1) Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan
informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten, kegiatan instrumentasi, serta
layanan/kegiatan lain yang dapat dilakukan di dalam kelas. 2) Volume kegiatan tatap muka
klasikal adalah 2 (dua) jam per kelas per minggu dan dilaksanakan secara terjadwal 3) Kegiatan
tidak tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan konsultasi, kegiatan
konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah, pemanfaatan kepustakaan, dan alih tangan
kasus. b. Di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah: 1) Kegiatan tatap muka dengan peserta
didik untuk menyelenggarakan layanan orientasi, konseling perorangan,, bimbingan kelompok,
konseling kelompok, dan mediasi, serta kegiatan lainnya yang dapat dilaksanakan di luar kelas.
2) Satu kali kegiatan layanan/pendukung konseling di luar kelas/di luar jam pembelajaran
ekuivalen dengan 2 (dua) jam pembelajaran tatap muka dalam kelas. 3) Kegiatan pelayanan
konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah maksimum 50% dari seluruh kegiatan
pelayanan konseling, diketahui dan dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah. 4. Kegiatan
pelayanan konseling dicatat dalam laporan pelaksanaan program (LAPELPROG). (Lampiran 4). 5.
Volume dan waktu untuk pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling di dalam kelas dan di luar
kelas setiap minggu diatur oleh konselor dengan persetujuan pimpinan sekolah/madrasah
(Lampiran 5) 6. Program pelayanan konseling pada masing-masing satuan sekolah/madrasah
dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan program antarkelas dan
antarjenjang kelas, dan mensinkronisasikan program pelayanan konseling dengan kegiatan
pembelajaran mata pelajaran dan kegiatan ekstra kurikuler, serta mengefektifkan dan
mengefisienkan penggunaan fasilitas sekolah/ madrasah.

13. D. PENILAIAN KEGIATAN 1. Penilaian hasil kegiatan pelayanan konseling dilakukan melalui: a.
Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan kegiatan
pendukung konseling untuk mengetahui perolehan peserta didik yang dilayani. b. Penilaian
jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu minggu sampai dengan
satu bulan) setelah satu jenis layanan dan atau kegiatan pendukung konseling diselenggarakan
untuk mengetahui dampak layanan/kegiatan terhadap peserta didik. c. Penilaian jangka panjang
(LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu bulan sampai dengan satu semester)
setelah satu atau beberapa layanan dan kegiatan pendukung konseling diselenggarakan untuk
mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan pendukung konseling terhadap peserta
didik. 2. Penilaian proses kegiatan pelayanan konseling dilakukan melalui analisis terhadap
keterlibatan unsur-unsur sebagaimana tercantum di dalam SATLAN dan SATKUNG, untuk
mengetahui efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan. 3. Hasil penilaian kegiatan pelayanan
konseling dicantumkan dalam LAPELPROG (Lampiran 4). 1. Hasil kegiatan pelayanan konseling
secara keseluruhan dalam satu semester untuk setiap peserta didik dilaporkan secara kualitatif.
(Lampiran 6 dan Lampiran 7) E. PELAKSANA KEGIATAN 1. Pelaksana kegiatan pelayanan konseling
adalah konselor sekolah/ madrasah. 2. Konselor pelaksana kegiatan pelayanan konseling di
sekolah/madrasah wajib: a. Menguasai spektrum pelayanan pada umumnya, khususnya
pelayanan profesional konseling. b. Merumuskan dan menjelaskan peran profesional konselor
kepada pihak-pihak terkait, terutama peserta didik, pimpinan sekolah/ madrasah, sejawat
pendidik, dan orang tua. c. Melaksanakan tugas pelayanan profesional konseling yang setiap kali
dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan, terutama pimpinan sekolah/madrasah,
orang tua, dan peserta didik.

14. d. Mewaspadai hal-hal negatif yang dapat mengurangi keefektifan kegiatan pelayanan profesional
konseling. e. Mengembangkan kemampuan profesional konseling secara berkelanjutan. (Rincian
kewajiban konselor Lampiran 8). 3. Beban tugas wajib konselor ekuivalen dengan beban tugas
wajib pendidik lainnya di sekolah/madrasah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
4. Pelaksana pelayanan konseling a. Pelaksana pelayanan konseling di SD/MI/SDLB pada dasarnya
adalah guru kelas yang melaksanakan layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran,
dan penguasaan konten dengan menginfusikan materi layanan tersebut ke dalam pembelajaran,
serta untuk peserta didik Kelas IV, V, dan VI dapat diselenggarakan layanan konseling
perorangan, bimbingan kelompok, dan konseling kelompok. b. Pada satu SD/MI/SDLB atau
sejumlah SD/MI/SDLB dapat diangkat seorang konselor untuk menyelenggarakan pelayanan
konseling. c. Pada satu SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB/SMK/MAK dapat diangkat sejumlah
konselor dengan rasio seorang konselor untuk 150 orang peserta didik. F. PENGAWASAN
KEGIATAN 1. Kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah dipantau, dievaluasi, dan dibina
melalui kegiatan pengawasan. 2. Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara: a.
interen, oleh kepala sekolah/madrasah. b. eksteren, oleh pengawas sekolah/madrasah bidang
konseling. 3. Fokus pengawasan adalah kemampuan profesional konselor dan implementasi
kegiatan pelayanan konseling yang menjadi kewajiban dan tugas konselor di sekolah/madrasah.
4. Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara berkala dan berkelanjutan.
15. 5. Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis, dan ditindaklanjuti untuk peningkatan mutu
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah. BAB III
PENGEMBANGAN DIRI MELALUI KEGIATAN EKSTRA KURIKULER A. STRUKTUR KEGIATAN EKSTRA
KURIKULER 1. Pengertian Kegiatan Ekstra Kurikuler Kegiatan Ekstra Kurikuler adalah kegiatan
pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan
peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang
secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang
berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah. 1. Visi dan Misi a. Visi Visi kegiatan
ekstra kurikuler adalah berkembangnya potensi, bakat dan minat secara optimal, serta
tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga
dan masyarakat. b. Misi 1) Menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh peserta didik
sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka. 2) Menyelenggarakan kegiatan
yang memberikan kesempatan peserta didik mengespresikan diri secara bebas melalui kegiatan
mandiri dan atau kelompok. 3. Fungsi Kegiatan Ekstra Kurikuler a. Pengembangan, yaitu fungsi
kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik
sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka.

16. b. Sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan rasa
tanggung jawab sosial peserta didik. c. Rekreatif, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk
mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang
menunjang proses perkembangan. d. Persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk
mengembangkan kesiapan karir peserta didik. 4. Prinsip Kegiatan Ekstra Kurikuler a. Individual,
yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan potensi, bakat dan minat peserta didik
masing-masing. b. Pilihan, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan keinginan
dan diikuti secara sukarela peserta didik. c. Keterlibatan aktif, yaitu prinsip kegiatan ekstra
kurikuler yang menuntut keikutsertaan peserta didik secara penuh. d. Menyenangkan, yaitu
prinsip kegiatan ekstra kurikuler dalam suasana yang disukai dan mengembirakan peserta didik.
e. Etos kerja, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang membangun semangat peserta didik
untuk bekerja dengan baik dan berhasil. f. Kemanfaatan sosial, yaitu prinsip kegiatan ekstra
kurikuler yang dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat. 5. Jenis kegiatan Ekstra Kurikuler a.
Krida, meliputi Kepramukaan, Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), Palang Merah Remaja
(PMR), Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (PASKIBRAKA). b. Karya Ilmiah, meliputi Kegiatan Ilmiah
Remaja (KIR), kegiatan penguasaan keilmuan dan kemampuan akademik, penelitian. c.
Latihan/lomba keberbakatan/prestasi, meliputi pengembangan bakat olah raga, seni dan budaya,
cinta alam, jurnaistik, teater, keagamaan. d. Seminar, lokakarya, dan pameran/bazar, dengan
substansi antara lain karir, pendidikan, kesehatan, perlindungan HAM, keagamaan, seni budaya.
6. Format Kegiatan a. Individual, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti peserta didik
secara perorangan.

17. b. Kelompok, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti oleh kelompok- kelompok peserta
didik. c. Klasikal, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti peserta didik dalam satu
kelas. d. Gabungan, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti peserta didik
antarkelas/antarsekolah/madraasah. e. Lapangan, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang
diikuti seorang atau sejumlah peserta didik melalui kegiatan di luar kelas atau kegiatan lapangan.
B. PERENCANAAN KEGIATAN Perencanaan kegiatan ekstra kurikuler mengacu pada jenis-jenis
kegiatan yang memuat unsur-unsur: 1. Sasaran kegiatan 2. Substansi kegiatan 3. Pelaksana
kegiatan dan pihak-pihak yang terkait, serta keorganisasiannya 4. Waktu dan tempat 5 Sarana
(Lampiran 10) C. PELAKSANAAN KEGIATAN 1. Kegiatan ekstra kurikuler yang bersifat rutin,
spontan dan keteladanan dilaksanakan secara langsung oleh guru, konselor dan tenaga
kependidikan di sekolah/madrasah. 2. Kegiatan ekstra kurikuler yang terprogram dilaksanakan
sesuai dengan sasaran, substansi, jenis kegiatan, waktu, tempat, dan pelaksana sebagaimana
telah direncanakan. (Lampiran 11) D. PENILAIAN KEGIATAN Hasil dan proses kegiatan ekstra
kurikuler dinilai secara kualitatif dan dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah dan
pemangku kepentingan lainnya oleh penanggung jawab kegiatan. (Lampiran 12,13, dan14)

18. E. PELAKSANA KEGIATAN Pelaksana kegiatan ekstra kurikuler adalah pendidik dan atau tenaga
kependidikan sesuai dengan kemampuan dan kewenangan pada substansi kegiatan ekstra
kurikuler yang dimaksud. F. PENGAWASAN KEGIATAN 1. Kegiatan ekstra kurikuler di
sekolah/madrasah dipantau, dievaluasi, dan dibina melalui kegiatan pengawasan. 2. Pengawasan
kegiatan ekstra kurikuler dilakukan secara: a. interen, oleh kepala sekolah/madrasah. b. eksteren,
oleh pihak yang secara struktural/fungsional memiliki kewenangan membina kegiatan ekstra
kurikuler yang dimaksud. 3. Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis, dan ditindaklanjuti
untuk peningkatan mutu perencanaan dan pelaksanaan kegiatan ekstra kurikuler di
sekolah/madrasah. No Comments yet... Ditulis dalam Uncategorized Posted by:
trieelangsutajaya2008 | Nopember 8, 2008 Internalisasi Paradigma 4 Pilar Pendidikan oleh: Trimo,
S.Pd.,M.Pd. (IKIP PGRI Semarang) A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Membicarakan
system pendidikan di Indonesia ibarat orang berjalan tanpa ujung tidak ada titik temu. Pejabat
lebih senang membuat dan memilih kebijakan baru yang lebih spektakuler agar orang menjadi
lupa dan terkonsentrasi terhadap kebijakan barunya. Lupa akan harapan dan tujuan sebuah
program yang dirumuskan tentang sistem pendidikan di Indonesia.

19. Hal tersebut merupakan sebuah realita dunia pendidikan. Masih segar dalam ingatan kita tentang
pola pengajaran di Indones dari CBSA, PAKEM, Portofolio, ia, MBS, Broad Based Education dan
yang terbaru adalah KBK. Penerapan tersebut tentunya menimbulkan permasalahan baru dalam
proses belajar-mengajar. Proses belajar-mengajar merupakan suatu proses yang mengandung
serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam
situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu (Usman, 2000:4). Sedangkan menurut
Suryosubroto, proses belajar-mengajar meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari
perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung
dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran (Suryosubroto 1997:19).
Mengacu dari kedua pendapat tersebut, maka proses belajar-mengajar yang aktif ditandai adanya
serangkaian kegiatan terencana yang melibatkan siswa secara komprehensif, baik fisik, mental,
intelektual dan emosionalnya. Dalam konteks pemahaman tentang proses belajar-mengajar, guru
dihadapkan pada sesuatu yang secara conditio sine qua non harus diaktualisasikan dalam bentuk
pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan. Fenomena yang berkembang di lapangan
menunjukkan bahwa sebagian besar guru terbiasa mendesain pembelajaran yang
“memenangkan” guru. Artinya, guru lebih senang dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar
bagi siswa (teacher centered). Pembelajaran didasarkan target kurikulum, juga merupakan
refleksi dari saratnya beban dan materi pelajaran sehingga guru cenderung mengejar
penyelesaian materi daripada mengoptimalkan substansi dari kristalisasi nilai- nilai yang
seyogyanya diaktualisasikan. Artinya, guru kurang peduli dengan pentingnya kecakapan hidup
(life skill) yang harus dikuasai siswa, dan lebih mementingkan pencapaian hasil belajarnya.
Kondisi tersebut sudah barang tentu rentan akan berbagai dampak negatif yang muaranya pada
kualitas pendidikan di mana berada pada ambang batas “kekawatiran”. Problematika yang
kompleks dalam dunia pendidikan

20. merupakan tantangan guru, yang harus diupayakan alternatif pemecahannya. Hal ini lantaran
stakeholder dalam dunia pendidikan adalah orang tua, guru, masyarakat, institusi, dan para
praktisi pendidikan yang diharapkan sumbang sarannya. Realitas di lapangan menunjukkan
bahwa sebagai upaya pencapaian target kurikulum guru cenderung “memaksa” siswa menerima.
Pengajaran tanpa mempertimbangkan apakah siswa mampu menguasai serta mengerti dengan
apa yang ia pelajari. Kondisi dapat dilihat dari berbagai aktivitas guru, di antaranya: (1) guru
memberi les/pelajaran tambahan secara berlebihan dan cenderung menerapkan metode drill, (2)
guru hanya menjadi “tukang LKS”, (3) guru memberi pelajaran tidak sistematis, (4) guru
memberikan PR dalam jumlah yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa, dan (5) pengajaran
tanpa media. Ada beragam teknik yang dapat digunakan guru untuk menciptakan suasana kelas
yang kondusif, kreatif, konstruktif, ceria, dan menyenangkan serta memberi ruang gerak anak
untuk berkreasi, sesuai daya imajinasi masing- masing. Apabila kondisi tersebut dapat didesain
guru sudah barang tentu akan bersampak pada meningkatnya kualitas pembelajaran.
Pembelajaran yang berkualitas pada akhirnya bermuara pada penciptaan suasana pembelajaran
yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Paradigma tersebut kemudian dikenal dengan
istilah PAKEM dan mendapatkan rekomendasi dari UNESCO sebagai satu bentuk pembelajaran
efektif, dengan mengacu pada empat pilar pendidikan, yakni belajar mengetahui (learning to
know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan
belajar menjadi diri sendiri (learning to be). 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di
atas, maka persoalan mendasar yang hendak dibahas adalah: “Bagaimana internalisasi
paradigma empat pilar pendidikan dalam proses belajar-mengajar sebagai upaya peningkatan
mutu pendidikan? 3. Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah

21. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menelaah secara mendalam internalisasi paradigma
empat pilar pendidikan dalam proses belajar-mengajar sebagai upaya peningkatan mutu
pendidikan 4. Manfaat Penulisan Makalah Penyusunan makalah ini memiliki manfaat secara
teoretis dan praktis. Secara teoretis makalah ini bermanfaat untuk menelaah teori-teori
pembelajaran efektif yang direfleksikan dalam paradigma empat pilar pendidikan sebagai upaya
peningkatan mutu pendidikan. Secara praktis, makalah ini bermanfaat untuk: (1) guru, sebagai
penggerakan motivasi dalam mendesain pembelajaran bermakna, (2) kepala sekolah, sebagai
sarana memberkikan pembinaan bagi guru-guru dalam rangka meningkatkan kualitas
pembelajaran, dan (3) pengawas sekolah, sebagai masukan dalam meningkatkan profesionalisme
guru. B. PEMBAHASAN 1. Interaksi Belajar-Mengajar Lingrend (dalam Usman, 2000:25),
mengatakan bahwa ada empat pola komunikasi dalam proses interaksi guru dengan siswa seperti
digambarkan dalam diagram berikut ini: Diagram 1 Jenis-Jenis Interaksi Dalam belajar-Mengajar
(Lingren, 1976)

Berita
25 Nov 2008 | Komentar: 0

Refleksi Peringatan Hari Guru Nasional Ke-63


Malu kalau Ogah-ogahan Mengajar

Hari ini (25/11) adalah Hari Guru Nasional Ke-63. Hari Guru Nasional diperingati bersamaan dengan hari
ulang tahun (HUT) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Momen tersebut seharusnya tak sekadar
diperingati dengan melaksanakan upacara di sekolah atau seremonial pemberian tanda jasa bagi guru.

------

POERWODIONO berkali-kali mengucap syukur. Guru SMAN 15 itu tidak menduga bahwa kepedulian
pemerintah terhadap profesi guru makin lama makin baik, termasuk soal peningkatan kesejahteraan.
"Sekarang, kesejahteraan guru lebih baik. Gaji dan tunjangan guru sudah cukup banyak daripada dulu,"
tuturnya.

Guru yang telah mengabdi selama 30 tahun tersebut mengaku, dulu, saat awal menjalani profesi pendidik,
bayaran yang diperoleh Rp 18.120 per bulan. Dengan gaji sebesar itu, alokasi duit untuk belanja setiap
hari hanya Rp 604. "Saat itu gaji yang saya peroleh sebagai PNS jauh lebih kecil daripada gaji seorang
guru swasta. Ketika itu gaji guru swasta mencapai Rp 80 ribu sampai Rp 90 ribu," ujarnya.

Meski tidak mau menyebut jumlah pasti pendapatan sebagai guru sekarang ini, Poerwodiono mengatakan
relatif sudah mencukupi. Yang jelas, jika dibandingkan dengan gaji saat kali pertama menjadi PNS, sudah
pasti jumlahnya berlipat-lipat. Apalagi, dia sudah bergolongan IV dan mengikuti sertifikasi untuk kuota
2008. "Pokoknya, banyak bersyukur," terangnya.

Tidak hanya perbaikan kesejahteraan. Guru bahasa Inggris tersebut mengakui, sekarang pandangan
masyarakat terhadap guru sudah bergeser. Jika dulu profesi guru masih dipandang dengan sebelah mata,
kini pandangan tersebut mulai berubah. Karena itu, sudah sewajarnya para guru terus memberikan yang
terbaik bagi anak didik. Di pihak lain, dia tidak menutup mata bahwa masih ada sebagian guru yang belum
bernasib baik. Untuk itu, pemerintah harus memperhatikan mereka.

Ketua PGRI Jatim Matadjit juga tidak menutup mata bahwa nasib guru sekarang jauh lebih baik. "Insentif
guru sekarang mulai diperhatikan. Pemerintah sudah mengabulkan tuntutan anggaran pendidikan yang
kami suarakan," ungkapnya. "Karena itu, nanti malam (tadi malam, Red) kami mengadakan tasyakuran,"
lanjutnya.

Karena kesejahteraan relatif jauh lebih baik, pria berusia 69 tahun itu berharap kualitas pendidik juga
ditingkatkan. Kualitas guru yang sudah diberi kesejahteraan berlimpah tersebut harus sebanding. "Malu
kalau sampai ogah-ogahan mengajar," paparnya.

Dia juga mendukung bahwa sudah seharusnya ada audit skill sebagai evaluasi. Program evaluasi bagi guru
sangat baik. Sebab, kualitas pendidik dapat terpantau secara pasti. "Audit skill sebagai bahan rotasi guru-
guru negeri juga dapat berdampak positif. Setidaknya, pemerataan kualitas guru diharapkan bisa
terlaksana," tambahnya.

Kendati menganggap nasib guru saat ini sudah lebih baik, Matadjit menyatakan masih ada guru yang
butuh perhatian. Terutama, para guru tidak tetap (GTT). Sampai saat ini gaji mereka sebagai GTT tidak
lebih dari Rp 300 ribu hingga Rp 450 ribu per bulan. "Seharusnya, gaji mereka sesuai dengan UMK atau
UMR yang berlaku saat ini," ungkapnya. (may/hud)
http://klubguru.com/v2-index-download.php?do=download

balasan atas komentar saudara syarief terhadap


artikel : “menjadi guru (pl) idola”
Oleh nofrionsikumbang 3 Komentar

Kategori: 1

Tanggapan untuk komentar Syarief pada artikel menjadi guru idola. Terimakasih.

Kamis, 28 Mei 2009

syarief, itulah fakta belakangan ini. profesi sebagai guru naik turun dalam pandangan

masyarakat. tahun 1970an guru adalah profesi yang sangat bergengsi, untuk bisa masuk SPG

dan SGA harus nilai rata-rata 8 lho. malah mereka adalah utusan terbaik dari daerahnya dan

mereka diasramakan. tapi setelah itu, karena kebutuhan guru sangat banyak, maka saratnya

diperlonggar, akhirnya masuklah dalam dunia guru,,”guru” yang terpaksa menjadi guru atau

mereka yang menjadi guru karena tidak ada lagi pilihan yang lain.

tapi jangan terlalu bersedih syarif,,,insyaallah guru sekarang akan bisa lebih baik, walau untuk

masuk jurusan keguruan lebih mudah dari FK selama ini, tapi data tahun 2008 syarif bisa liat

pada situs snmptn, bahwa ternyata Beberapa jurusan keguruan di UNP memiliki tingkat

persaingan hampir sama atau malah lebih ketat dari jurusan2 yang menurut sebagain orang

favorit selama ini. Jurusan favorit UNP tahun 2008 adalah Pendidikan Bahasa Inggris,
Pendidikan Biologi, Pendidikan Kimia, Pendidikan Fisika, PGSD, termasuk jurusan Pendidikan

Geografi (Peminat 1079 daya tampung 75) dan Penjaskesrek. semoga ini bermanfaat.

Tapi terlepas dari semua itu, semua mahasiswa jurusan apa saja dan dimana saja, merek

PTN/PTS dan Jurusan apapun belum bisa dijadikan jaminan untuk kesuksesan. Semua kembali

kepada pribadi Mahasiswanya sendiri, Ibaratnya, Mau jadi harimau tapi ekornya saja, atau

kambing tapi kepala???>

3 Tanggapan ke “Balasan Atas Komentar Saudara Syarief Terhadap Artikel :


“Menjadi Guru (PL) Idola””
Pengumpan untuk Entri ini Alamat Jejakbalik

1. 1Syariif
Mei 29, 2009 pukul 4:55 AM

Terima kasih atas tanggapannya bg Dion..

memang betul bg.., tp apakah dgn angka2 tsb sudah mencerminkan grade yg tinggi? apakah

SNMPTN memakai nilai batas minimal? kalo sudah memakai nilai batas minimal mgkin bisa

kita bisa berbangga. tp kalo hanya sekedar kita berpatokan dgn angka jumlah peminat, mgkin

kita belum bisa mengatakan itu suatu keberhasilan. mungkin kualitas dulu perlu di tingkatkan,

baru kita bisa mengatakan kuantitas itu adalah suatu yg patut kita banggakan bg.

mungkin suatu perbandingan saja bg dgn PT di jawa.., yg relatif penduduknya 2 kali lipat

dibandingkan dn luar jawa.

UNJ Jakarta = 28 Unsyiah = 28

UPI Bandung = 50 Unimed = 80

UNS Semarang = 25 UNP = 75

UNY Yogyakarta = 30 Unila = 50

UNM Malang = 45 233

175

(belum termasuk angka jml mahasiswa non reguler dan PMDK)

Mungkin itu hanyo angka nyo bang. tp dgn jumlah penduduk yg 2x lipat lebih dari penduduk

luar jawa dan pastinya jumlah sekolah yg jauh lebih banyak dari pada daerah luar jawa .

Mungkin perlu sedikit di pertimbangkan pembukaan kelas yg banyak bg. karena pada
dasarnya jurusan keguruan.., diharapkan semuanya jadi guru..,

kalo ka jadi pengusaha ancak lah di jurusan ekonomi kuliah bg.., hehehe

Mohon maaf bg.., mungkin ado kato2 yg indak pas di tampeknyo bg.

itu dulu bg.., bilo2 di sambuang baliak..

wassalam…

Balas

2. 2nofrionsikumbang
Mei 29, 2009 pukul 10:27 AM

sampai detik ini kita belum bisa berbuat banyak. kita sukuri aja apa yang ada. sebelum tahun

2008 minat orang masuk geografi dan jurusan keguruan masih minim. ke geografi aja hanya

berkisar 300-400 orang saja tiap tahun, sekarang 1000an. walaupun belum memakai sistem

PAP, tapi minimal dengan perbandingan jumlah kursi dengan peminat yang makin ketat,

cukuplah sebagai langkah awal seleksi menuju penyempurnaan. ini proses yang panjang

syarif. kita semua harus bisa membantu dan memberikan kontribusi untuk perubahan panjang

ke arah yang lebih baik itu, kita semua!

terimakasih,

ORGANISASI PROFESI GURU


DAN PERLINDUNGAN BAGI GURU[1]

Oleh : Suparman[2]

Dalam menjalankan tugas profesinya guru tidak jarang mengalami persoalan-


persoalan yang terkait dengan profesinya. Sebut saja persoalan diskriminasi, PHK secara
sepihak, imbalan yang tidak wajar, itimidasi oleh birokrasi, ketiadaan jaminan untuk
kesehatan dan keselamatan kerja serta persoalan-persoalan lain. Jika ini semua terjadi
apakah guru mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan dan siapa yang wajib
memberikan perlindungan bagi guru untuk mengatasi persoalan-persoalannya?
Pasal 14 ayat (1) butir c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugas keprofesionalan guru behak
memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektualnya. Yang dimaksud dengan hak perlindungan guru menurut pasal 39 meliputi
perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja.
Perlindungan hukum tersebut mencakup perlindungan hukum terhadap tindakan
kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari
pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan
kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang
tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi,
dan pembatasan pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan
tugas.
Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja mencakup perlindungan terhadap
resiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana
alam, kesehatan lingkungan kerja dan/atau resiko lain.
Secara yuridis sesungguhnya guru telah memiliki payung hukum untuk
memperoleh perlindungan dalam menjalankan tugasnya, baik perlindungan hukum,
perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Tetapi apakah guru
sudah memperoleh itu semua? Dalam kenyataannya masih ditemukan sejumlah kasus
pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dan perlakuan diskriminatif terutama
untuk guru-guru swasta, guru honorer maupun guru sukarelawan. Masih banyak diantara
mereka yang memperoleh penghasilan dibawah penghasilan pekerja pabrik (buruh) yang
tidak saja kurang untuk memenuhi keperluan hidup pribadi para guru tetapi juga tidak
cukup untuk memenuhi berbagai keperluan profesi apalagi keperluan keluarga.
Keikutsertaan guru dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan di tingkat
satuan pendidikan sampai di tingkat nasional masih mengalami hambatan. Di tingkat
satuan pendidikan penyusunan rencana kegiatan sekolah, khususnya yang terkait dengan
penyusunan rencana anggaran / biaya pendidikan di sekolah masih terlihat serba dibatasi.
Guru yang menyampaikan kritik terhadap penganggaran sekolah sering dianggap tidak
memiliki kesetiaan terhadap korps guru. Beberapa kasus malah menyebabkan guru-guru
dimutasi ke sekolah lain karena mempertanyakan penggunaan dana sekolah oleh kepala
sekolah. Tidak jarang keputusan kepala sekolah untuk mendiamkan guru-guru yang kritis
ini didukung oleh kebijakan birokrasi melalui para pengawas sekolah baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Di kalangan birokrasi pendidikan masih terlihat pandangan bahwa kebijakan
pendidikan dibuat tanpa perlu megikutsertakan para guru baik secara langsung maupun
melalui perwakilannya. Guru masih diposisikan sebagai komunitas yang harus menerima
begitu saja berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh para birokrasi pendidikan,
termasuk yang langsung menyangkut kepentingan guru. Pendapat / pandangan guru
disejumlah daerah dan pusat pemerintahan masih terasa dibatasi. Bahkan beberapa kasus
menunjukkan adanya intimidasi/ancaman secara tidak langsung terhadap guru yang
mencoba menyampaikan pandangannya berupa kritik atau pendapat dengan mutasi
terhadap guru yang bersangkutan, atau dengan cara mengingatkan posisi guru yang
bersangkutan sebagai pegawai negeri, bahkan menyodorkan aturan disiplin PP 30 tahun
1980 yang belum tentu isinya diketahui dan dipahami secara utuh oleh birokrasi tersebut
dengan tujuan mengendurkan niat guru yang bersangkutan.
Pembatasan dalam bentuk larangan-larangan lain juga kerap masih terjadi yang
menyebabkan guru tidak berani melakukan kreatvitas. Guru secara birokratis terpaku
pada pola-pola pembelajaran yang harus disesuaikan dengan kepentingan birokrasi.
Aktivitasnya sehari-hari lebih didominasi oleh pekerjaan-pekerjaan administrasi yang
mengurangi ruang profesionalitasnya untuk mengembangkan kreativitasnya dalam
mengembangkan berbagai pembaruan pendidikan.
Kebebasan berserikat dalam organisasi profesipun yang juga merupakan bagian
dari tugas keprofesionalannya masih terasa dihambat oleh keharusan memasuki satu
organisiasi guru saja. Keinginan sejumlah guru untuk mendirikan dan mengurus
organisasi guru yang baru masih terhambat oleh pandangan tersebut baik di kalangan
para kepala sekolah maupun di kalangan birokrasi. Tidak jarang pula aktivitas organisasi
para guru tersebut dihambat dengan cara mengaitkan antara tugas keprofesionalan
didalam organisasi dengan sulitnya memperoleh izin sewaktu-waktu meninggalkan
sekolah. Padahal antara tugas di sekolah dengan tugas organisasi profesi secara
profesional keduanya saling memberikan dukungan positif. Apa yang dilakukan
organisasi profesi pada dasarnya adalah bagian dari usaha pengembangan profesi diri
para guru sekaligus sebagai usaha untuk memperbaiki pendidikan menjadi lebih baik
kedepan termasuk usaha perbaikan kegiatan pendidikan di sekolah-sekolah/satuan
pendidikan.
Dari aspek keselamatan dan kesehatan kerja gurupun masih jauh dari harapan.
Sejumlah kasus menunjukkan belum terpenuhinya keselamatan kerja untuk guru-guru
didaerah terpencil dan daerah bencana. Hal itu yang menyebabkan banyaknya guru yang
terpaksa harus meninggalkan tugas yang diembannya di daerah tersebut. Masih banyak
ditemukan guru yang tidak terjamin kesehatannya kala menderita sakit, baik untuk
dirinya apalagi untuk keluarganya. Guru-guru swasta, honorer dan sukarelawan masih
harus bersusah payah mengongkosi biaya kesehatannya dari kantongnya sendiri
sementara satuan pendidikan tempatnya bertugas apalagi pemerintah/pemerintah daerah
tidak juga memberikan jaminan kesehatan.
Fenomena diatas menunjukkan bahwa perlindungan terhadap guru baik dari sisi
hukum , perlindungan profesi, keselamatan dan kesehatan kerjanya masih sebatas aturan-
aturan normatif yang implementasinya masih jauh dari harapan. Tugas untuk memenuhi
harapan guru akan perlindungan profesinya menurut Undang-Undang berada di tangan
pemerintah, pemerintah daerah, organisasi profesi dan masyarakat. Untuk memenuhi itu
semua guru tentunya tidak dapat melakukannya secara pribadi, yang tepat adalah
memanfaatkan organisasi profesi guru. Melalui organisasi profesi, guru dapat
menghimpun kebersamaan untuk memperoleh perlindungan baik yang menjadi haknya
yang semestinya diterima dari pemerintah dan pemerintah daerah maupun bagian yang
semestinya diterima dari keanggotaannya dalam organisasi profesi.
Membangun profesionalisme guru tidak cukup hanya dengan ’memaksakan’ guru
untuk memiliki kulifikasi akademik, kompetensi dan memiliki sertifikat pendidik. Tanpa
pemberian perlindungan yang jelas dan pasti kepada guru dalam menjalankan tugas
profesinya, baik perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan kesehatan dan
keselamatan kerja maka keinginan untuk membangun profesionalisme guru sama artinya
dengan membangun mimpi setiap saat.

[1] Disampaikan dalam Seminar Nasional Perlindungan Bagi Profesi Guruu pada tanggal 25 Mei 2008 di
Aula Mahkamah Konstitusi-Jakarta, yang diselengarakan oleh Federasi Guru Independen Indonesia (FGII).
[2] Penulis adalah Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Guru SMAN 17 Jakarta.
http://www.jakartateachers.com/782.html

Konsep Kepribadian Guru: Perspektif Historis


Diposting oleh rulam Tanggal: July 16th, 2009 | Kategori: Artikel | dilihat 12 Kali |

Oleh: Isti’anah Abubakar

Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang (UIN) Malang

1. A. Pendahuluan

Guru merupakan profesi yang mengalami pasang surut dalam percaturan dunia keprofesian. Kalaulah dulu guru dianggap
profesi sakral, membanggakan yang terlihat ketika dengan bangganya seorang yang bermantukan seorang guru, tapi
saat ini disinyalir menjadi profesi yang termarginalkan. Ini terlihat dari banyaknya generasi penerus yang sedikit bercita-
citakan seorang guru. Mereka cenderung menjadikan dokter, insinyur, pilot sebagai pilihan profesi di masa depan. Ada
berbagai macam alasan yang dikemukakan akibat ketidakmauan mereka, namun yang jelas kesejahteraanlah yang
menempati urutan pertama bagi seseorang untuk tidak memilih guru sebagai profesinya.

Fenomena di atas disebabkan adanya pergeseran dalam memaknai profesi seorang guru. Pergeseran ini disebabkan
beberapa faktor, baik faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal diantaranya:

1. Adanya sebagian pandangan masyarakat bahwa siapapun dapat menjadi guru asal dia berpengetahuan.

1. Kekurangan guru di daerah terpencil memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak
mempunyai keahlian (mendidik) untuk menjadi guru.

1. Banyak guru yang belum menghargai profesinya apalagi berusaha mengembangkan profesinya tersebut.

Sedangkan faktor internal yang dimaksud adalah adanya kelemahan yang terdapat pada diri guru itu sendiri diantaranya
rendahnya kompetensi profesional mereka.

Kesemuanya itu telah menjadi wacana umum yang terus dicari pemecahannya, terutama di akhir 2005 dengan akan
disahkannya UU profesi guru dan dosen. Namun demikian perlu disadari bersama, bahwa UU tersebut bukan satu-
satunya solusi yang dapat mendongkrak popularitas profesi guru. Naiknya popularitas guru hanya akan terjadi bila guru
secara pro aktif meningkatkan kapasitasnya sebagai guru. Artinya, UU tersebut tidak akan berdaya guna secara
maksimal bila guru sendiri kurang greget dalam meningkatkan kualitas dia sebagai seorang guru.
B. Pembahasan

Kepribadian guru mempunyai kelebihan sendiri bila diterapkan dalam kelas karena ia akan memberikan kecenderungan
dan kesenangan yang berbeda kepada murid. Namun ada juga yang mengatakan bahwa kepribadian guru sulit
ditemukan kadarnya dan tidak mudah untuk dicari batasannya serta sulit juga untuk didefinisikan secara jamik dan manik.
Kepribadian juga diibaratkan sebagai magnit, listrik dan radio yang tidak bisa diketahui kecuali setelah tahu bekasnya
atau pengaruhnya.

Kepribadian ialah kumpulan sifat-sifat yang aqliah, jismiah, khalqiyah dan iradiah yang biasa membedakan seseorang
dengan orang lain (Slamet Yusuf:37).

Dikatakan guru yang mahir adalah guru yang mampu untuk menundukkan hati mereka dan mempengaruhi mereka
dengan baik sehingga ia dapat memerintah mereka dan berbicara dengan mereka. Maka dengan kepribadian itu
memungkinkan untuk mengarahkan mereka pada jalan yang lurus.

Umar bin Utbah (dalam Slamet Yusuf:39), berkata pada guru dari anaknya sebagai berikut: “Hendaklah perbaikan
pertama-pertama yang engkau lakukan terhadap anak saya dilakukan dengan perbaikan dirimu maka mereka akan
tertuju padamu, yang mereka anggap naik adalah apa yang engkau tinggalkan. Menurut Mr. Norman Mc. Munn (Slamet
Yusuf:41), kepribadian itu didapatkan dari latihan yakni dari kebiasaan dan pendidikan yang sungguh-sungguh. Tokoh
pendidikan dari Inggris, Sir T. percy Nunn mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mendidik kepribadian (Andreas
Hafera, 2000).

Kepribadian itu bisa membangkitkan semangat, tekun dalam menjalankan tugas, senang memberi manfaat kepada murid
menghormati peraturan sekolah sehingga membuat murid bersifat lemah lembut memberanikan mereka, mendorong
pada cinta pekerjaan, memajukan berfikir secara bebas tetapi terbatas yang bisa membantu membentuk pribadi
menguatkan kepribadian menguatkan kehendak membiasakan percaya pada diri sendiri.

Suksesnya seorang guru tergantung dari kepribadian, luasnya ilmu tentang materi pelajaran serta banyaknya
pengalaman. Tugas seorang guru itu sangat berat, tidak mampu dilaksanakan kecuali apabila kuat kepribadiannya, cinta
dengan tugas, ikhlas dalam mengerjakan, memelihara waktu murid, cinta kebenaran, adil dalam pergaulan. Ada yang
mengatakan bahwa masa depan anak-anak di tangan guru dan di tangan gurulah terbentuknya umat.

Ditulis Athiyah Al-Abrosy (dalam Slamet Yusuf:42) bahwasannya sifat-sifat yang seyogyanya dimiliki seorang guru:

Guru harus menjadi bapak sebelum ia menjadi pengajar.

1. Hubungan guru dengan murid harus baik.


2. Guru harus selalu memperhatikan murid serta pelajaran mereka.
3. Guru harus peka terhadap lingkungan sekitar murid.
4. Guru wajib menjadi contoh/teladan di dalam keadilan dan keindahan serta kemuliaan.
5. Guru wajib ikhlas di dalam pekerjaannya.
6. Guru wajib menghubungkan masalah yang berhubungan dengan kehidupan.
7. Guru harus selalu membaca dan mengadakan penyelidikan.
8. Guru harus mampu mengajar bagus penyiapannya dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya.
9. Guru harus sarat dengan ide sekolah yang modern.
10. Guru harus punya niat yang tetap.
11. Guru harus sehat jasmaninya.
12. Guru harus punya pribadi yang mantap.

1. Guru ditempatkan pada tempat yang mulia sesuai dengan hadits Nabi.

Pada suatu hari, Rasulullah keluar rumah kemudian beliau melihat 2 majelis. Majelis yang satu terdiri dari orang yang
berdoa kepada Allah dan mengharap kepadanya. Majelis yang kedua terdiri dari orang yang mengajarkan agama kepada
manusia. Beliau bersabda adapun yang itu (yang pertama) mereka memohon kepada Allah jika Dia berkenan mereka
akan diberi dan Dia juga berkenan untuk tidak memberi. Dan yang itu (kedua) mereka mengajari manusia, dan
bahwasannya aku diutus hanya untuk mengajar. Kemudian beliau maju dan ikut duduk pada kelompok yang kedua.
Dengan demikian Nabi yang mulia telah membuat sebaik-baik contoh buat kita agar menjadi pengajar dan pendorong
dalam mengajar dan mengakui keutamaannya.

Demikian juga yang dikatakan Martin Luther: “jika aku diberi waktu untuk meninggalkan tugas memberi nasihat dan
memberi petunjuk pasti aku akan memilih profesi sebagai pengajar.
Ucapan Bismark: “sungguh kami telah dipengaruhi oleh guru.” Senada dengan itu Iramus dalam ucapannya: “berilah aku
kantor untuk guru dan aku berjanji dengan hati seorang berilmu.” Sedangkan Syauki Bik: “berdiri dan hormatilah guru dan
berilah ia penghormatan.”Hampir-hampir saja seorang guru itu merupakan utusan.

“Hai Ben Sherira, curahkanlah segenap tenagamu untuk mengajar anak-anakmu sewaktu masih kecil dan berikanlah
hadiah kepada guru atas jasanya karena apa yang kamu beriakan adalah diberikan untuk anak-anakmu,” ungkap Ustadz
Al Alim Al Muhiqq Ahmad Amin,

Mengajar adalah pekeejaan yang memayahkan, tidak mendatangkan harta dan tidak memperoleh pangkat. Mengajar itu
hanya pantas dan bagus bagi orang yang Qona’ah terhadap masalah dunia dengan hidup sederhana dan dalam
pembagian rizki yang sangat sempit. Guru yang fasid adalah guru yang menjadikan harta dan pangkat sebagai tujuan
utama dan mengharapkan keduniaan. Mengajar adalah pekerjaan jiwa. Guru itu menciptakan dirinya dan amalnya ke
langit, keluarganyalah yang menariknya ke bumi dengan kekerasan.

Apakah dia rela berkorban seperti berkorbannya tentara? Apakah dia siap menerima kenyataan untuk betapa seperti
pendeta? Apakah dia siap berhibur dengan harta ma’nawi untuk meninggalkan yang materi dan membentuk dirinya
sebagai orang berilmuu yangqona’ah serta menempatkan kelezatan-kelezatan akal dan kelezatan rohani pada kelezatan
badan?”

Seorang penulis Inggris (dalam Slamet Yusuf:32) mengatakan: “kurikulum, peraturan sekolah, bangunan-bangunan yang
besar dan megah dalam pendidikan dan pengajaran tidaklah lebih penting dari guru, karena guru mempunyai pengaruh
besar di hadapan siswa dari ilmunya, etikanya, perbuatannya dan keterampilannya.

Fesyar pernah menyerukan tahun 1017 (dalam Slamet Yusuf: 35) bahwa guru seharusnya sudah tidak merasa kesulitan
lagi dalam masalah keuangan atau kebutuhan hidupnya karena tugas pokok mereka adalah mengelola pendidikan, bagi
guru yang sudah kawin hendaknya mempunyai kondisi sosial ekonomi yang sudah mapan sehingga mampu mendidik
keluarganya dengan baik. Seorang guru yang susah, begitu juga seorang guru yang miskin akan mendapat kesan yang
kurang baik di tengah-tengah masyarakat.

Tugas guru dapat disimpulkan mempunyai 3 tugas pokok, yaitu: (1) tugas dalam bidang profesi yang meliputi mendidik,
mengajar dan melatih. Tugas guru dalam hal ini dituntut untuk selalu mengembangkan profesionalitas diri sesuai dengan
perkembangan IPTEK, (2) tugas dalam bidang kemanusiaan, memposisikan dirinya sebagai orang tua kedua (Usman:
2002: 7), (3) tugas dalam bidang kemasyarakatan dalam hal ini pembelajaran seperti dikutip Usman dari Adfams dan
Decey dalam “Basic Principles of Student” meliputi: (a) guru sebagai demonstrator, (b) sebagai pengelola kelas, (c)
sebagai mediator dan fasilitator, (d) sebagai evaluator. Sedangkan menurut Djamarah (2000: 44) meliputi: (a) sebagai
inspirator, (b) sebagai informatory, (c) sebagai organisator, (d) sebagai motivator, (e) sebagai inisiator, (f) sebagai
pembimbing, (g) sebagai uswah (teladan atau model), (h) sebagai penasihat.

1. Kompetensi: kepribadian

Kompetensi secara bahasa diartikan kemampuan atau kecakapan. Hal ini diilhami dari KKBI dimana kompetensi diartikan
sebagai wewenang atau kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal. Sedangkan menurut Partanto
(1994), dalam Kamus Ilmiah Populer, kompetensi diartikan sebagai kecakapan, wewenang, kekuasaan dan kemampuan.
Sedangkan secara terminologis, sebagai berikut:

Menurut Broke dan Stone, gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti.

1. Mc Leod dalam Usman (2001), keadaan berwenang atau memenuhi syarat menuntut ketentuan hokum.
2. Jhonson, perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang diprasyaratkan sesuai dengan kondisi yang
diharapkan.
3. Pengertia lain diartikan sebagai kemampuan dasar yang mengaflikasikan apa yang seharusnya dapat
dilaksanakan oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
4. Menunjuk pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
5. Hitami dan Sahrodi (2004), pemilikan nilai, silap dan keterampilan yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan.
6. McAshan dalam Mulyasa (2003: 38) sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai
seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif
dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
7. Finch dan Crunkilton (1979: 222) merupakan penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan sikap dan
apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.
8. Kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.

Aspek kompetensi menurut Gordon dalm Mulyasa (2003: 39):


1. Pengetahuan
2. Pemahaman
3. Kemampuan
4. Nilai
5. Sikap
6. Minat

Jenis kompetensi, meliputi diantaranya: (a) kompetensi personal, (b) kompetensi professional, (c) kompetensi meiputi (a)
terampil berkomunikasi dengan orang lain (b) bersikap simpatik terhadap siswa dan masyarakat (c) dapat bekerjasama
dengan orang lain, (d) pandai bergaul.

Kompetensi personal, yaitu sikap pribadi guru yang dijiwai oleh agama dan filasafat pancasila yang akan mengagungkan
moral dan budaya. Dan ini mencakup kemampuan dan integritas pribadi, peka terhadap perubahan dan pembaharuan,
berfikir alternatif, adil, jujur, obyektif, disiplin, ulet, tekun, simpatik, menarik, luwes, terbuka, kreatif dan berwibawa.
Kompetensi personal bisa diidentikkan dengan kepribadian dan kepribadian yang baik akan berpengaruh terhadap hidup
dan kebiasaan belajar para siswa. Untuk memiliki kepribadian yang baik ini guru dituntut memiliki kematangan dan
kedewasaan pribadi serta jasmani dan rohani, dan cirinya adalah sebagai berikut: (1) memiliki pedoman hidup, (2)
mampu melihat segala sesuatu secara obyektif, (3) mampu bertanggung jawab.

Ciri guru yang profesional dikutip dalam Jurnal Educational Leadership (1998): (1) mempunyai komitmen pada siswa dan
proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan pelajaran yang diajarkannya serta metode pelajaran yang
relevan, (3) bertanggung jawab dalam memantau hasil belajar melalui berbagai cara evaluasi, (14) mampu merpikir
sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) guru seyogyanya merupakan bagian dari
masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Yang mempengaruhi rendahnya profesionalisme guru, menurut Akadum (1999) (1) masih banyak guru yang tidak
menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma etika profesi keguruan, (3)
pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah, dll.

Jihad oleh Muhaimin (2003: 230-231) diartikan sebagai makna kesediaan bekerja keras dengan mencurahkan segala
kemampuan, baik fisik/materi maupun totalitas dirinya menuju jalan Allah, mempunyai sikap ketelitian dan kecermatan,
serta terbuka terhadap kritik dari luar, mempunyai kebanggaan terhadap pekerjaan yang bermutu (bukan asal kerja) dan
mempunyai wawasan jangka panjang (harapan masa depan).

Mengenai kesejahteraan guru menurut Komball Wiles (dalam Bafadal, 2003: 101-102), ada 8 hal yang diinginkan guru
melalui kerjanya: (1) adanya rasa aman dan hidup layak, (2) kondisi kerja yang menyenangkan, (3) rasa diikutsertakan,
(4) perlakuan yang wajar dan jujur, (5) rasa mampu, (6) pengakuan dan penghargaan atas sumbangan, (7) ikut ambil
bagian dalam pembuatan kebijakan sekolah, (8) kesempatan mengembangkan self respect.

Pembahasan diatas semakin mempertajam adanya keterkaitan yang kuat antara kompetensi dan kepribadian guru.
Keduanya secara bersamaan mencoba untuk merealisasikan profil guru ideal dari berbagai sudut pandang baik personal,
sosial dan akademik.

1. Kepribadian guru dalam perspektif historis.

1. Profil guru di masa dulu

Secara singkat telah dijelaskan di atas bahwa profesi guru di masa dulu merupakan profesi idaman, dimana semua
orang ingin menjadi guru, kalau toh tidak berhasil sekedar bermantukan seorang guru saja pun sudah bangga.

Kebanggaan yang mendarah daging di masa lalu ini merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji, ada apa dengan guru
sehingga menjadi profesi yang sangat diminati? Padahal kalau dilihat secara kasat mata, dari kesejahteraan sangat jauh
dari kurang, namun demikian mereka selalu mendapatkan tempat tertinggi dalam tatanan masyarakat pada waktu itu.
Guru benar-benar diposisikan dan dihargai.

Bila bukan dari aspek kesejahteraan, pastilah ada aspek yang sangat fenomenal dalam profesi guru iru sendiri. Sosok Ki
Hajar Dewantara merupakan sosok yang mewakili profil guru di masa lalu. Artinya, bila ingin mengetahui secara detail
tentang profil guru di masa lalu, maka amatilah kepribadian beliau. Sosok guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa benar-
benar dapat diamati, tak ada batasan waktu, tempat dalam mengajarkan ilmu dan yang paling penting mereka betul-
betul ideal model. Apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan sejalan yang secara tidak langsung menimbulkan
kewibawaan sejati dalam diri beliau.
Kepribadian semacam inilah yang kemudian menjadikan murid-murid beliau termotivasi untuk menjadi guru sekaliber Ki
Hajar Dewantara. Ini sesuai dengan statement yang mengatakan bahwa pribadi guru itu besar sekali pengaruhnya
terhadap keberhasilan darma baktinya dan guna berpengaruh pada muridnya.

Namun demikian harus juga dipahami juga bahwa bukan hanya kepribadian saja yang menentukan keberhasilan
tugasnya sebagai guru tetapi juga harus dilengkapi dengan ilmu khusus, kebudayaan tertentu dan persiapan pelayanan
yang teratur.

Artinya bisa dikatakan profil guru di masa lalu adalah profil guru ideal, dimana mereka mumpuni dan matang dalam aspek
kepribadian, keilmuan dan perilaku yang semua itu kemudian dilengkapi dengan semangat pengabdian atau menurut
Muhaimin identik dengan semangat jihad. Jihat boleh diartikan sebagai makna bekerja keras (dengan mencurahkan
segala kemampuan, baik fisik/materi maupun totalitas dirinya) menuju jalan Allah, mempunyai sikap ketelitian dan
kecermatan, serta terbuka kritik dari luar, mempunyai kebanggaan terhadap pekerjaan yang bermutu (bukan asal kerja)
dan mempunyai wawasan jangka panjang (harapan masa depan).

Secara lebih dalam, profil guru masa lalu bisa diamati dalam sajak berikut ini:

Siapa guru bangsa ini?

Anda dan saya!

Yang berarti kita. Semua tak terkecuali

Termasuk pak Lurah adalah guru bangsa ini ketika

Dengan senyum membuatkan KTP bagi si Bejo

Tanpa rasa pamrih. Juga pak Darmo yang sopir bus

Adalah guru bangsa ini ketika mempersilahkan

Kendaraan lain yang mau menyalip untuk mendahului.

Demikian pak Budi yang pengusaha adalah guru bangsa ini

Ketika membuang limbah tanpa merusak lingkungan.

Tak terkecuali pak Edi, pejabat yang senantiasa

Lebih dulu memberi salam selamat pagi kepada

Bawahannya, dia adalah guru bangsa ini.

Atau si Udin, adalah guru bangsa ini ketika membuat sumur

Tidak pernah menipu soal kedalaman sumurnya.

Mereka semua adalah guru bagi bangsanya.

Termasuk anda dan saya.

Kalau bukan kita siapa lagi yang mau membimbing

Negeri ini agar lebih baik dan lebih maju.

Perlukah kita mendatangkan guru-guru dari negara lain?


Relakah kalau kita digurui oleh bangsa-bangsa lain?

Atau maukah kita terus-terusan menjadi murid bagi bangsa ini?

Kita semua wajib menjadi guru bagi kemajuan bangsa ini. (dikutip dari Tilaar, 1999:333)

b. Profil guru di masa kini dan akan datang.

Kemerosotan profesi guru baik di dalam minat pemuda kita untuk memasukinya maupun oleh masyrakat yang kurang
memberi perhatian atau penghargaan terhadap profesi guru menunjukkan adanya keharusan untuk mencari paradigma
baru supaya profesi guru memenuhi tuntutan masyarakat baru dalam milenium ketiga. Perlu disadar bahwa fungsi dan
peranan guru bisa berubah tapi profesi akan tetap selalu dibutuhkan.

Sebelum menganaslisa tentang profil atau kepribadian guru masa kini dan akan datang maka perlu diketahui karakteristik
masyarakat yang dihadapi yang notabene merupakan konsumen atau pengguna jasa pendidikan. Menurut Tilaar (1999:
281), ada 3 karaktristik masyarakat masa kini dan akan datang (= masyarakat milenium 21), yaitu:

1) Masyarakat teknologi, dimana kemajuan teknologi sangat berkembang pesat sehingga membuat dunia menjadi
satu, sekat-sekat yang membatasi bangsa-bangsa, pribadi-pribadi menjadi hilang sehingga bentuk-bentuk komunikasi
umat manusia akan berubah.

2) Masyarakat terbuka, pada jenis ini dibutuhkan manusia yang mampu mengembangkan kemampuan dan yang
mampu berkreasi untuk peningkatan mutu kehidupannya serta sekaligus mutu kehidupan bangsa dan masyarakatnya.

3) Masyarakat madani, yaitu masyarakat yang saling menghargai satu dengan yang lain, yang mengakui akan hak-
hak manusia yang menghormati akan prestasi dari para anggotanya sesuai dengan kemampuan yang dapat
ditunjukkannya bagi masyarakat.

c. Deskripsi profil guru masa kini.

Untuk memahami posisi guru masa kini, dapat dipahami dari sajak-sajak berikut:

Sejuta batu nisan

Guru tua yang terlupakan sejarah

Terbaca torehan darah kering

Disini berbaring seorang guru

Semampu membaca buku usang

Sambil belajar menahan lapar (Kompas, 26 Desember 2006).

Dari puisi diatas dapat dipahami ada 3 pesan global yang disampaikan Winarno, yaitu:

1) Adanya kecenderungan profesi guru terlupakan. Senada dengan ini, Tilaar juga mengatakan bahwa profesi guru
diambang kematian karena bukan saja tidak diminati putra bangsa yang terbaik juga masyarakat sendiri tidak
memberikan penghargaan yang wajar terhadap profesi guru. (Tilaar: 1999: 285). Padahal untuk mengatasi itu semua
diperlukan suatu penghargaan masyarakat, karena suatu profesi akan hidup dan berkembang apabila tersebut dihargai
oleh masyarakat. Dan ini ditunjukkan dengan adanya keinginan masyarakat untuk memilihprofesi guru sebagai unggulan.
(Tilaar: 1999: 291)

2) Kemampuan finansial yang amat memprihatinkan. Tilaar dalam hal ini mengatakan bahwa imbalan ekonomis
dalam sektor modern lebih besar daripada profesi yang tua seperti guru dan petani.

3) Pentingnya mengembalikan guru sebagai profesi suci, mengingat banyak guru yang terjangkiti perilaku instan dan
praktis.
Setelah kita melihat profesi guru Indonesia dewasa ini tentunya tidak dapat kita harapkan masyarakat kita dapat dibawa
untuk memasuki masyarakat abad 21 yang kompetitif. Masyarakat kompetitif yang dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan
kemajuan teknologi khususnya teknologi komunikasi. Untuk itu profil guru yang dibutuhkan adalah:

1) Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang (mature and developing personality)

2) Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat, hal ini diilhami dari surat Az-Zumar ayat 9: ”Katakanlah
apakah sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui? Bahwasannya yang dapat mengambil pelajaran
itu adalah orang yang mempunyai akal.” Dan juga surat Ash-Shaf ayat 2-3: “Hai orang-orang yang beriman mengapa kau
mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian Allah karena kau mengatakan sesuatu yang tidak
kamu perbuat.”

3) Keterampilan membangkitkan minat peserta didik.

4) Pengembangan profesi yang berkesinambungan.

C. Analisis

Uraian diatas menjelaskan secara kongkrit bagaimana meningkatkan popularitas profesi guru di masa kini dan akan
datang. Bila diklasifikasikan, maka penjelasan diatas hanya berkutat atau ditekankan pada aspek, (1) performansi
(penampilan luar) seorang guru, (2) akademik, dimana guru dituntut untuk selalu belajar dfan meneliti, (3) kesejahteraan
guru. Ketiga hal diatas tidak balancesehingga yang terjadi protes akan rendahnya gaji yang diterima seorang guru
sehingga harus ngompreng sana ngompreng sini.

Dari klasifikasi diatas, maka dapat langsung dikatakan bagaimana sebenarnya profil guru kita ini. Namun demikian,
kesalahan tidak terletak pada guru sebagai person, tetapi semua itu telah termasukkan dalam sistem yang sangat kuat
sehingga diperlukankontinuitas untuk memperbaikinya.

Dari pembahasan tentang profesi guru diatas, penekanan yang diperjuangkan hanyalah pada masalah materiil sehingga
sangatlah wajar bila kemudian salah satu pengajar UIN Jakarta dalam Swara Cendekia mengatakan bahwa sistem
pendidikan kita sudah termatrialisasikan, artinya semuanya harus ada pelicin. Dan ini berimbas pada guru, dimana kita
jumpai sangat minimnya jiwa pengabdian yang ada dalam diri guru, apalagi yang berada di perkotaan.

Selain minimnya semangat pengabdian=jihad, minim pula sifat qona’ah seorang guru sehingga terjadilah malapraktik
pendidikan, baik dengan menjual nilai, nggompreng buku atau sampai jualan narrkoba. Hal tersebut juga menunjukkan
bahwa guru kita miskin kreativitas atau kurang lincah dalam menangkap peluang yang ada.

Sehingga kita tidak menyalahkan jika ada statement bahwa pekerjaan guru itu berat untuk itu dibutuhkan komitment tinggi
untuk melakoninya. Artinya jika profesi guru sudah menjadi pilihan kita, maka pastilah sudah disadari sejak awal
bagaimana plus-minusnya profesi guru. Jika ini disadari secara mendalam, maka tidak akan ada protes sampai turun ke
jalan hanya untuk sekedar untuk memperjuangkan hak, padahal bila ditanyakan ulang sudahkah seorang guru melakukan
kewajiban, karena notabene hak bisa diambil bila sudah melakukan kewajiban, baik kewajiban mengajar atau mendidik.
Ini juga pernah dilakukan Socrates, dimana ia menolak gaji (Hasan: 1998: 187).

Menyikapi hal ini, hendaklah kita melakukan apa yang dikatakan Maslow sebelum hidupnya berakhir dengan
mengatakan, ini senada dengan piramid Maslow yang telah dibalik, karena diakhir hidupnya Maslow mengatakan Every
one should self actualize as a first priority then for themselves people will be valued by others, loved by others, feel
secure and survive. Bila dianalogikan, maka setidaknya guru harus melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk dapat
dihargai (mis, baik itu dengan mengajar dengan maksimal). Bila ini sudah dilakukan maka secara otomatis, masyarakat
ataupun pemerintah tanpa diminta pun akan menaikkan kesejahteraan guru.

Masalah pengertian kepribadian guru dari waktu ke waktu dapat diperjelas dari tabel berikut ini:

NO DULU KINI, AKAN DATANG


1. Tanpa pamrih No pamrih no service
2. Komitmen tinggi Komitmen angin-anginan
3. Istiqomah Istiqomahnya tergantung
4. Qona’ah Kurang Qona’ah

<br><br>
Keterangan:

Bila mau dikomparasikan, maka ke-3 hal diatas adalah profil guru di masa dulu dengan guru di masa kini dan akan
datang. Dan bila dipahami lebih lanjut, perbedaan terletak pada ruh pendidikan itu sendiri. Artinya pendidikan yang
notabene lapangan pengabdian, seorang guru menggunakan paradigma yang berbeda. Bila dahulu paradigma yang
digunakan adalah amal jariyah ansich. ini semua termotivasi dari hadits nabi tentang 3 amalan kekal yang salah satunya
adalah amal jariyah, serta hikmah arab:

Sedangkan paradigma guru masa kini dan masa akan datang (merupakan prediksi, artinya bisa terjadi dan tidak),
berpatokan pada mencari rejeki sebanyak-banyaknya. Karena rejeki yang dicari maka bila mendapatkan rejeki kecil akan
kebingungan dan mencari obyekan lain. Protes gaji dan demo-demo lainmerupakan akibat logis dari paradigma yang
digunakan tersebut.

Selain itu bila seseorang telah memilih menjadi guru maka ia akan terjun total dalam bidang yang telah dipilihya sehingga
perilaku, ucapan dan tindakan selalu disesuaikan dengan profesi yang telah dipilihnya. Sedangkan saat ini statemen
ibarat guru kencing berdiri, maka murud kencing berlari merupakan dampak kurang diaplikasikannya ruh guru oleh guru
tersebut. Misalnya, betapa banyak guru melarang rokok muridnya namun ia sendiri merokok dan masih banyak lagi yang
lainnya.

Untuk masa kini dan masa akan datang dimana keadaan dunia dan zamat sangat global, terjangkitnya paradigma
materialis dan hedinisme maka yang paling membedakan antara guru dulu dengan sekarang dan mungkin masa yang
akan datang adalah sifatqona’ah yang dimiliki oleh seorang guru. Ada fenomena guru dulu tidak mau menerima gaji
(Arabiah Baina Yadaik, h,103), dan keadaan ini tidak merata. Memang kita masih menjumpai guru yang
bersifat qona’ah plus jiwa pengabdian yang tinggi namun itu hanya bisa dijumpai di daerah-daerah pedalaman dan
hampir bisa dipastikan mereka menyadari komitmen sebagai seorang guru. Sedangkan di daerah kebanyakan, adalah
sebaliknya.

D. Tawaran solusi

Melihat fenomena kepribadian guruyang kian hari kian bergeser dan melemah, maka diperlukan usaha untuk dapat
memperbaiki keadaan ini yang nantinya secara tidak langsung akan mendongkrak profesi guru itu sendiri. Diantara yang
dapat kita tawarkan di sini adalah:

1. mempertebal sifat qona’ah

Guru di masa kini dan masa akan datang haruslah memahami betul agar dapat bersikap qona’ah, bersikap menerima tapi
bukan pasif keadaan yang bangsa yang sulit ini bukanlah harus ditangisi, tapi dijadikan tantangan untuk dapat
mengeksplorasi kreativitas guru. Hal ini sudah terjadi di sektor kehidupan yang lainnya seperti ekonomi. Naiknya harga
BBM malah menjadikan seseorang lebih kreatif untuk membuat kompor yang berbahan bakar rendah ekonomis. Guru
sendiri juga bisa bila mau, misalnya bagaimana seorang guru bertindak seminim mungkin namun tetap tujuan
pembelajaran tercapai. Artinya mengajar jangan hanya dimaknai sebagai pelajaran yang melelahkan, namun enjoy.
Partisipasi guru dalam kegiatan penelitian (dalam hal ini penelitian tindakan kelas) seharusnya dijadikan salah satu cara
untuk dapar meningkatkan ekonomi guru. Itupun kalau jeli melihat peluang seperti yang dilakukan oleh guru Bahasa
Indonesia MTsN Malang I.

2. mempertebal komitmen

Ketika seseorang memilih profesi guru, maka saat itu juga harus disadari bahwa guru adalah pekerjaan mengabdi bukan
lahan bisnis. Bila ini disadari secara total maka akan tercipta sosok guru yang sangat qona’ah berkomitmen tinggi. Untuk
merealisasikan hal ini maka diperlukan seleksi yang ketat dalam penerimaan mahasiswa keguruan dan penyeleksian di
saat akan mengabdikan ilmunya dalam lapangan pendidikan.

Komentar:

Ada beberapa hal yang sebaiknya kita bahas lebih lanjut, diantaranya adalah:

1. Profesi guru yang sudah tidak lagi mendapat tempat di masyarakat, yang salah satunya disebabkan rendahnya
kemampuan ekonomi guru di Indonesia pada masa ini dan rendahnya kompetensi guru saat ini.
2. Kompetensi guru yang dimaksud adalah kepribadian guru.
3. Perbandingan guru di masa lalu dengan guru di masa ini dan akan datang. Yang penulis menyatakan bahwa
guru di masa dulu lebih baik dari pada guru di masa ini dan akan datang.
4. Tawaran solusi bagi guru dengan memperdalam sifat qona’ah dan mempertebal komitmen.
Hal-hal diatas menimbulkan beberapa pertanyaan, diantaranya:

1. Siapakah sebenarnya guru itu?


2. Benarkah profesi guru sudah tidak mendapat tempat di masyarakat kita saat ini?
3. Kalau benar, apakah penyebabnya?
4. Sudah cukupkah solusi-solusi diatas?

Di dalam tulisan singkat ini kami akan mencoba membahas lebih dalam mengenai hal-hal diatas.

a. Siapakah sebenarnya guru itu?

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang yg pekerjaannya (mata pencahariannya,
profesinya) mengajar. Dalam hal ini berarti guru itu adalah orang yang melakukan tindakan mengajar sebagai
pekerjaannya, dengan kata lain dia mengajar dan mendapat imbalan dari kegiatan mengajar tersebut. Dengan demikian
seorang pengajar yang tidak mendapat imbalan dari kegiatan mengajarnya tidak dinamakan guru. Sehingga ustadz-
ustadz di pondok-pondok pesantren, kiai-kiai di kampung-kampung yang mengajar anak-anak kecil membaca Al-Quran
tanpa imbalan bukanlah dinamakan seorang guru atau seorang artis yang mengajarkan gaya hidup kepada masyarakat
dengan metode yang berbeda, itu juga bukanlah guru yang dimaksud.

Tetapi hal ini berbeda dengan pernyataan Ali R.A yang termasuk sahabat Nabi SAW yang menyatakan bahwa orang
yang mengajari kamu sesuatu walaupun hanya satu huruf hijaiyah (huruf di dalam bahasa arab) itu adalah guru kamu.
Sehingga di dalam pengertian ini, maka ustadz-ustadz, kiai-kiai adalah seorang guru.

Dengan demikian yang dimaksud guru di dalam tulisan diatas adalah tepatnya guru formal.

b. Benarkah profesi guru sudah tidak mendapat tempat dalam masyarakat dan apakah penyebabnya?

Kalau kita mengacu pada pengertian guru adalah profesi, maka hal ini memang benar. Bahwa profesi guru sudah bukan
lagi profesi yang sakral. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana masyarakat menempatkan seorang guru di dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini dikarenakan selain faktor kepribadian guru itu sendiri seperti yang telah diuraikan di dalam tulisan
diatas, juga disebabkan oleh posisi sekolah sebagai institusi guru formal di tengah-tengah masyarakat.

Posisi sekolah di tengah-tengah masyarakat saat ini sangatlah berbeda dengan posisi lembaga pendidikan lain di masa
Hindu-Buddha dan masa pendidikan Islam. Dan ini sangat dipengaruhi oleh sistem yang berlaku. Dari sini ada baiknya
kita ketahui dulu bagaimana sistem pendidikan pada saat itu. Uraian tentang sejarah di bawah ini kami kutip dari artikel
berjudul ” Sedikit Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia” dalam situs: http://tinulad.wordpress.com.

Pada masa Hindu-Buddha

Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur
Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang
diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan
mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.

Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia
berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah
bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar,
ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau
terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan
khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.

Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat
suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para
wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya
untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.

Pada masa Islam

Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha kemudian berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem
pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan
sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem
pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan
permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada masa Islam sistem
pendidikan itu disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal dari kata funduq (funduq=Arab
atau pandokheyon=Yunani yang berarti tempat menginap).

Bentuk lainnya adalah, tentang pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari
permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar. Beberapa pesantren dibangun di atas bukit
atau lereng gunung Muria, Jawa Tengah. Pesantern Giri yang terletak di atas sebuah bukit yang bernama Giri, dekat
Gersik Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984—187). Pemilihan lokasi tersebut telah mencontoh ”gunung keramat” sebagai
tempat didirikannya karsyan dan mandala yang telah ada pada masa sebelumnya (De Graaf & Pigeaud, 1985: 187).

Seperti halnya mandala, pada masa Islam istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”depok”, istilah tersebut menjadi
nama sebuah kawasan yang khas di kota-kota Islam, seperti Yogyakarta, Cirebon dan Banten. Istilah depok itu sendiri
berasal dari kata padepokan yang berasal dari kata patapan yang merujuk pada arti yang sama, yaitu “tempat
pendidikan. Dengan demikian padepokan atau pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan
sistem pendidikan sebelumnya.

Dari sini kita ketahui bahwa kedua sistem lama tersebut sama-sama memposisikan lembaga pendidikan di tempat yang
tinggi. Sehingga masyarakatpun memandang lembaga pendidikan pada masa itu dengan pandangan yang berbeda. Dan
sistem tersebut bisa dikatakan berhasil, bisa kita lihat sekarang bahwa Islam adalah agama terbesar di Indonesia yang
hal itu merupakan hasil dari sistem yang diterapkan wali Songo di dalam dakwahnya.

Hal ini berbeda dengan yang terjadi sekarang. Sebagaimana kita ketahui bahwa kita mengadopsi sistem pendidikan dari
barat yang dibawa oleh Belanda. Dan pada perkembangannya sistem tersebut telah berubah sedemikian rupa seperti
saat ini. Perbedaan yang paling mencolok salah satunya adalah posisi sekolah di tengah masyarakat. Dimana sekarang
ada yang dinamakan pendidikan formal yaitu sekolah, yang mana sekolah ini bukan lagi tempat sakral tempat dididiknya
seseorang, tetapi sekolah lebih berarti tempat disampaikannya ilmu dari guru ke murid. sehingga sekolah sekarang
terkesan hanya sekedar “formalitas” belaka.

Memang sekarangpun masih ada pondok pesantren yang merupakan warisan dari sistem lama. Tetapi tanpa ada
legalisasi (mis: ijazah pondok pesantren setara dengan ijazah SMU) dan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, maka
semakin lama lembaga ini akan terkikis atau bahkan punah dari bumi Indonesia.

Dampak langsung terhadap profesi guru adalah pada pertanyaan siapakah guru itu? Kalau di masa Hindu-Buddha dan
Islam guru adalah orang suci dengan segala kompetensi yang dimiliki, maka sekarang guru itu adalah orang yang bekerja
secara formal dan mendapatkan gaji dari pekerjaan tersebut. Sehingga orientasi keduanya sudah jauh berbeda.

Kalau tulisan oleh Isti’anah Abubakar diatas menyatakan bahwa profesi guru tidak lagi digemari karena faktor ekonomi,
maka hal itu benar sekali dan itu adalah konskuensi logis dari sistem yang diberlakukan di Indonesia saat ini.

Kesimpulanya beberapa faktor yang menjadikan profesi guru tidak lagi digemari masyarakat saat ini,

1. Rendahnya kompetensi guru di Indonesia sesuai dengan pemaparan dalam tulisan Isti’anah Abubakar.
2. Penerapan formalisasi sistem pendidikan Indonesia.
3. b. Solusi

Pada dasarnya kami setuju dengan solusi yang ditawarkan Isti’anah Abubakar diatas, tetapi kami ingin menambahkan
sedikit yaitu perlunya sistem yang mendukung seorang guru untuk melakukan sifat-sifat qona’ah dan tebalnya komitmen.
Dan sistem tersebut untuk saat ini yang paling realistis adalah dukungan total terhadap pondok-pondok pesantren.
Dukungan tersebut bisa berupa penggalian atas khazanah-khazanah sistem pendidikan di pondok pesantren terlebih lagi
pondok pesantren salaf yang keberadaannya sudah seperti lembaga pendidikan asing yang tidak menjanjikan apa-apa.

Sedikit tambahan bahwa ustadz-ustadz pondok pesantren sampai saat ini masih mendapatkan posisi yang tinggi di dalam
masyarakat. Lebih khusus lagi ustadz-ustadz pondok pesantren salaf.

Kontributor

Luqman Ahsanul Karom, Jurusan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Universitas Islam Malang.

Sumber

Jurnal “El-Harakah” Vol V, Universitas Islam Negeri Malang


http://www.infodiknas.com/konsep-kepribadian-guru-perspektif-historis-2/

Guru Madrasyah Dalam Pandangan Saya .:. Oleh: Ahmad Tanaka, S.Ag, M.Pd
Sabtu, 15 November 2008 16:47:28 - oleh : admin
Iftitah
Judul artikel ini mengarahkan saya untuk pertama, menyampaikan persepsi dan refleksi pribadi penulis dalam
memandang profil guru madrasah. Kedua, mendorong saya menginterpretasikan kata “Guru Madrasah” pada
judul ini untuk melihat konsep diri dalam dua aspek. 1) People who watch things happen (diri sebagai penonton).
Artinya, saya seolah berada di luar habitat guru madrasah lalu saya menyampaikan kesan saya atas mereka. 2)
People who make things happening (diri sebagai pelaku). Artinya, sebagai seorang guru madrasah yang ikut
merasakan asam-garamnya lalu saya menyampaikan apa yang saya rasakan sebagai guru madrasah. Hal-hal
tersebutlah yang akan mewarnai materi tulisan ini.

Profil
Untuk mendiskripsikan profil guru madrasah dalam pandangan saya, penulis mengemukakan dua buah
ilustrasi.
Pertama: Seorang petani menemukan telur elang dan menempatkannya bersama telur ayam yang dierami
induknya. Setelah menetas elang itu hidup dan berprilaku persis anak ayam, karena mengira dirinya anak ayam.
Pada suatu hari, ia melihat seekor elang yang dengan gagahnya terbang mengarungi angkasa. “Woh, luar
biasa!! Siapa dia?” katanya penuh kekaguman. “Itulah elang, raja segala burung!” sahut ayam sekitar. “kalau
saja kita bias terbang, ya? Luar biasa!”. Para ayam menjawab, “Ah jangan mimpi, dia makhluk angkasa sedang
kita hanya makhluk bumi. Kita hanya ayam”. Demikianlah, elang itu makan, minum, menjalani hidup dan
akhirnya mati sebagai seekor ayam.
Kedua: Seorang anak kota yang ingin serba tahu, bertanya tentang guru madrasah kepada kakeknya, seorang
direktur eksekutif perusahaan. Sang kakek mengatakan, “kelilinglah di suatu daerah tertentu. Kalau melihat
sekolah yang retak-retak tak terurus, plafondnya sobek terurai, catnya pudar, sengnya berkarat dan bocor.
Kemudian perhatikan, bila ada seorang berkopiah lusuh dan kekuning-kuningan, berbaju dinas yang tidak
matching, sepatunya tidak berikat dan tidak memakai kaos kaki dan rim. Tidak lain itulah guru madrasah.
Ilustrasi pertama menggambarkan falsafah hidup kebanyakan guru madrasah. Sedang yang ilustrasi kedua
menggambarkan performance madrasah sekaligus gurunya.
Guru madrasah, khususnya di tingkat madrasah ibtidayah, menganggap dirinya sebagai orang yang
ditakdirkan untuk lahir, bekerja dan pensiun sebagai guru madrasah. Karenanya mereka tidak perlu
meningkatkan diri. Toh yang dihadapi adalah anak-anak yang apapun diberikan tidak menjadi masalah. Sehingga
meningkatkan kapasitas diri menjadi hal yang tidak penting, baik jenjang dan kualifikasi pendidikan maupun
wawasan keguruan secara mandiri.
Sebuah realita yang menyedihkan dengan kenyataan bahwa hanya 20% guru madrasah yang masuk kategori
layak, 20% masuk kategori mis-match, dan sisanya 60% masih dalam kategori belum layak.
Demikian pula dengan performance guru. Ilustrasi tersebut mungkin berlebihan, tetapi paling tidak kurang
lebih begitulah persepsi “orang luar” kepada kita. Dan kenyataan bahwa sikap under-estimate terhadap
madrasah masih sangat terasa. Penilaian terhadap performance guru madrasah baik fisik maupun non-fisik
mempengaruhi pilihan mereka untuk menyekolahkan anaknya di madrasah, terutama diambil bagi kalangan
menengah ke atas. Ironisnya, sikap yang sama juga diambil oleh sebagian besar pegawai di lingkungan
Departemen Agama, sehingga guru madrasah kadang harus mengelus dada seraya bertanya dalam hati, “siapa
lagi yang menghidupkan madrasah kalau mereka saja menghindari madrasah”.
Demikian pula halnya dengan kurangnya pemahaman terhadap regulasi dan perundang-undangan yang ada.
Masih banyak pengambil kebijakan yang menomorduakan guru madrasah. Undang-undang Sisdiknas No.20
tahun 2003 yang dengan jelas menuntut kesetaraan SD dan MI dan seterusnya ke atas, ternyata masih belum
dipahami dan diaplikasikan dalam hal kebijakan, mulai dari Diknas Provinsi, kabupaten hingga kecamatan. Ironis
memang, sekaligus menjadi tugas guru madrasah untuk keluar dari situasi ini.

Solusi Alternatif
Realitas yang harus disadari oleh setiap guru madrasah. Kata kuncinya hanya satu tingkatan kualitas! Kalau
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi adalah sesuatu yang hight cost, paling tidak ada upaya
keras untuk mengembangkan kapasitas potensi diri.
Kenyataan bahwa persaingan global menuntut sumber daya manusia (SDM) yang mampu mengembangkan
potensi dirinya secara maksimal baik potensi Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual
Quotient (SQ). dalam rangka pengembangan itu diperlukan usaha sadar dan terencana untuk mengantisipasi
kemajuan dunia pada umumnya dan perkembangan dunia pendidikan pada khususnya.
Pertanyaannya adalah, seberapa besar kita menggunakan potensi yang dianugerahkan Allah kepada kita?
Psikolog, Wiliams James mengatakan bahwa manusia baru memanfaatkan kira-kira 10% dari potensinya. Dan
potensi yang belum tergali adalah 90% dapat dikembangkan dengan menggunakan teknik-teknik yang sesuai.
Manusia (termasuk guru madrasah) dapat mengubah hidupnya dengan mengubah cara berpikirnya.
Menurut pandangan Islam, manusia lahir telah dibekali dengan berbagai potensi yang dibawa sejak lahir
dalam kandungan ibu. Sebagaimana dijelaskan Al-Qu’ran dalam surat As-Sajadah ayat 9:
“Kemudian Dia Menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) roh (ciptaan) Nya dan menjadikan bagi
kamu pendengaran, penglihatan dan af’idah, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”
Bersyukur berarti memanfaatkan potensi dengan sebaik-baiknya, dan mengabaikan sama saja dengan tidak
mensyukuri. Potensi lahiriah tersebut selanjutnya dipengaruhi oleh lingkungan dan kesadaran diri sendiri untuk
mengembangkannya melalui berbagai cara dan firmanNya lain,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum ia mengubah dirinya sendiri”.
Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah starata atau jenjang pendidikan guru madrasah (khususnya
di tingkat Ibtidayah), kebanyakan adalah Diploma II, itupun karena telah “didongkrak” oleh pemerintah melalui
program penyetaraan, yang sebelumnya kebanyakan dari PGA atau UGA di era tahun 1960-an. Adalah patut
diacungkan jempol, kebijakan pemerintah yang “memaksa” guru madrasah pada semua tingkatan untuk
meningkatkan kualifikasinya. Dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 29
(2), (3), dan (4), dicantumkan bahwa:
Pendidik pada SD/ MI, SMP/MTs, SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat memiliki kualifikasi akademik
pendidikan minimum Diploma IV (D-IV), atau Sarjana (S-I).
Sikap pro-aktif, kreatif dan mandiri perlu dilakukan, menunggu policy pemerintah untuk mengadakan proyek
kualifikasi seperti dulu, butuh waktu dan political will. Berat memang, tetapi itulah tantangan dan tuntutan
zaman yang harus disikapi. Bila tidak mau bertindak maka anda akan tertindas!
Namun, hendak pula dipahami bahwa yang dimaksud guru madrasah, bukan saja mereka yang berstatus
Pegawai Negeri Sipil (PNS), tetapi juga mereka yang mengabdikan dirinya sebagai guru honorer. Perbedaan
posisi ini ikut juga mempengaruhi stratifikasi guru madrasah, baik dari segi financial, performance maupun Self
of confidence. Penulis mencoba mengelompokkannya sebagai berikut :
--------------------------------------------------------------------------------------------------
No. Status Pegawai Status Sekolah Stratifikasi Jumlah
---------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Negeri Negeri **** *
2. Negeri Swasta *** **
3. Honorer Negeri ** ***
4. Honorer Swasta * ****
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Status kepegawaian dan sekolah berpengaruh sangat besar dalam upaya meningkatkan kualitas. Di madrasah,
status sekolah swasta berkisar antara 70% - 95,2%. Di tingkat MI yang berstatus sekolah swasta bejumlah
95,2%, di tingkat MTs 75%, dan MA sebesar 70%. Kondisi ini berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah di
lingkungan Depdiknas.
Dengan status sekolah yang berkisar 70% - 95 % swasta, maka dapat diprediksi bahwa guru yang
mengabdikan dirinya pada madrasah berkisar pada angka itu juga dibanding guru negeri. Sebuah angka yang
sangat besar. Kondisi inilah yang seharusnya menjadi bahan pemikiran dan kebijakan pemerintah untuk tidak
lagi menciptakan dikotomi antara guru negeri dan honorer. Demikian pula terhadap sekolah negeri dan
sekolah/madrasah swasta. Menciptakan kesenjangan dan mengesampingkan madrasah (termasuk gurunya) yang
kebanyakan swasta/honorer sama dengan melupakan sejarah dan melecehkan profesi guru madrasah.
Namun bagaimanapun suka atau tidak suka, siap atau tidak siap perubahan terus dan terus terjadi. Bukan
saja perubahan dunia pendidikan. Guru madrasah harus menyikapinya dengan dengan pro-aktif, kreaktif dan
inovatif. Pemanfaatan wadah pembinaan guru semacam KKG menjadi alternatif yang baik, tetapi juga yang tak
kalah pentingnya adalah meningkatkan strata jenjang pendidikan, disamping terus mengikuti issu terbaru dunia
pendidikan. Tiada pilihan lain kecuali maju, sebab “When you not change you will be leave behind”.

Harapan yang tersisa


Siapapun boleh dan berhak memberikan penilaian terhadap guru madrasah sesuai dengan versinya masing-
masing. Tetapi yang tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat masih percaya bahwa madrasah sebagai “benteng
moral”. Ini berarti bahwa di tangan guru madrasah masih tersimpan harapan besar. Harapan masyarakat
terhadap pendidikan agama di sekolah dinyatakan oleh para orang tua dengan ungkapan yang sederhana.
“anaknya menguasai dasar-dasar agama termasuk kemampuan membaca al-Qur’an dan berdo’a, anaknya taat
beribadah (shalat, puasa, zakat) dan berakhlak yang baik”. Dan madrasah menjadi benteng bagi semua itu. Jadi,
kalau madrasah adalah “benteng” maka guru madrasah adalah “prajurit dan panglimanya”.
Tawuran antar pelajar yang sering terjadi, sejauh yang saya tahu, baca dan dengar belum pernah melibatkan
siswa madrasah. Pakaian ketat yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh adalah hal yang jauh dari siswi
madrasah. Rambut gondrong, cat rambut, telinga beranting dan tindik rasanya belum pernah saya lihat, baca
dan dengar.
Motivasi keagamaan berupa keinginan agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan agama yang baik di
samping pengetahuan umum, masih menjadi harapan yang tersisa. Kalaupun harapan inipun tidak lagi kita
“tangkap” dan dimiliki oleh guru madrasah, maka eksistensi kitapun sebagai guru patut dipertanyakan. Karena
keberadaan kita sama dengan ketiadaan kita. Wallahu Al’am Bi shawab. (**)

* Kepala Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN) Kolaka, Sultra. Alumni Jurusan Tarbiyah STAIN Kendari
Tahun 1999, Jurusan Bahasa Inggris STIKIP Kolaka Tahun 2004 dan Pascasarjana UNHALU, Calon
penerima Beasiswa Ford Foundation untuk jenjang S3.

kirim ke teman | versi cetak

Guru Dilarang "Nyambi"


Diposting oleh admin Tanggal: July 6th, 2009 | Kategori: Berita | dilihat 29 Kali |

SURYA, Kamis, 19 Maret 2009. Cakasek Lolos Seleksi Awal. Para guru PNS tak boleh ‘nyambi’ di sekolah swasta.
Pemkot Surabaya akan menarik semua PNS yang mengajar di sekolah swasta untuk dikembalikan ke sekolah negeri
sesuai surat tugas. Selanjutnya, posisi mereka di swasta diisi guru tidak tetap (GTT).
Larangan ‘nyambi’ ini diputuskan dalam rapat dengar pendapat (hearing) antara Asisten IV (Bidang Kesejahteraan
Rakyat) Sekkota Tri Siswanto, Kabid Ketenagaan Dindik Surabaya Yusuf Masruh, Kepala Pembinaan dan
Pengembangan Pegawai BKD Surabaya Bergas Tjahjono, perwakilan GTT, dan Komisi D DPRD Surabaya, Rabu (18/3).

Rapat ini menyikapi SE Kadindik Sahudi 800/2008 yang mewajibkan guru GTT mengajar 24 jam seminggu sebagai
prasyarat untuk mendapatkan tunjangan fungsional dan mengikuti sertifikasi. Padahal, kenyataannya, para GTT hanya
mendapat jam mengajar 8, 10, hingga 18 jam seminggu. SE ini membuat sekitar 3.000 GTT Surabaya terancam PHK.
Seperti yang dirasakan Panji Asmoro, GTT. “Kasek saya mengatakan kalau sampai Juni 2009 (tahun ajaran baru) saya
tidak mendapatkan 24 jam akan dikeluarkan dari sekolah. Ini juga dialami sekolah-sekolah lain. Padahal, cari sekolah
swasta itu sangat sulit, karena sudah diisi guru-guru negeri,” kata Ketua Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri
Indonesia Surabaya ini, Rabu (18/3).

Menanggapi hal ini Sekretaris Komisi D DPRD Kota Surabaya M Alyas meminta pemkot turun tangan. “Harus ada
perlindungan GTT. Jangan sampai ada PHK dengan iming-iming sertifikasi. Jadi, Dindik harus menarik seluruh guru
negeri ke sekolah negeri, dan menyalurkan guru GTT ke sekolah swasta,” kata Alyas. Permintaan ini langsung disepakati
Asisten IV Sekkota Tri Siswanto. Tri meminta Kadindik meluncurkan ketentuan mengajar yang isinya melarang guru PNS
mengajar di sekolah swasta. Pelarangan ini adalah kewajiban dan tidak boleh ditolak. Tri bahkan berharap hal ini sudah
diselesaikan di akhir tahun ajaran ini.

“Kadindik harus mengatur kepala sekolah dan guru-gurunya. Intinya pemkot akan memberi kebijakan untuk peningkatan
kesejahteraan GTT. Ketika GTT tidak punya sertifikat kan kasihan tidak dapat tunjangan apa-apa. Ketika dapat sertifikat
kan dapat satu kali gaji,” tandasnya. Kabid Ketenagaan Dinas Pendidikan Kota Surabaya Ir Yusuf Masruh MM juga
menyanggupi pengembalian guru PNS ke sekolah negeri. Tapi, untuk membuat GTT diterima di sekolah swasta, hal itu
sulit dilakukan. “Pemkot intervensi ke swasta itu sulit, sifatnya hanya imbauan saja. Tapi, kami akan upayakan,” janjinya.
147 Cakasek Lolos Sementara itu, 147 calon kepala sekolah (cakasek) dinyatakan lolos seleksi awal jabatan. Mereka
berhak mengikuti proses seleksi berikut, yakni ujian tulis Sabtu (21/3). Mereka terdiri dari 88 cakasek SD, 33 SMP, 21
SMA, dan 5 SMK. Mereka telah menyisihkan lumayan banyak pesaing. Saat pendaftaran 10 Maret – 13 Maret 2009,
untuk SD dilamar 132 cakasek, SMP 117, SMA 51, dan SMK 33.

Mereka yang telah mendaftar ini mengikuti seleksi awal berupa pemeriksaan kelengkapan administratif dan portofolio.
Yang lolos seleksi awal ini (147 cakasek) akan mengikuti tes tertulis. “Dalam ujian tulis ini, mereka harus mendapat nilai
minimal 69,” tegas Kepala Bidang Ketenagaan Dindik Surabaya Yusuf Masruh, Rabu (18/3). Usai ujian tulis, mereka
masih harus mengikuti tes wawancara serta uji kelayakan dan kepatutan. “Kami memang ingin mendapatkan calon
kepala sekolah terbaik,” ungkap Yusuf. Seperti diketahui dalam sistem perekrutan kasek secara terbuka ini Dindik
Surabaya menyediakan total 96 jabatan kasek mulai dari tingkatan pendidikan SD hingga SMA dan SMK. uus/rey.

SUMBER: http://www.surya.co.id/2009/03/19/guru-pns-dilarang-nyambi-hanya-boleh-mengajar-di-negeri/

PROFESI GURU DI INDONESIA

Oleh : Kelvin Djajalaksana


Guru, mendengar kata tersebut kira-kira apa yang ada pada benak
anda? Yah, tentunya bisa beragam yah, tentu semua yang anda
pikirkan bisa saja berbeda dengan apa yang saya pikirkan. Tapi ada
satu persamaan yaitu profesi guru adalah mengajar dan mendidik
murid.

Namun sangat disayangkan bahwa profesi ini kerap kali mendapat


pandangan negatif atau istilah nya kebanyakan orang hanya melihat
sebelah mata mengenai profesi tersebut. Misalnya saja “Kalau ingin
kaya jangan menjadi guru” atau “Jangan jadi guru, hidupmu bakal
susah” mungkin juga anda yang sedang berprofesi sebagai guru pun
berpikir seperti “Saya menjadi guru karena terpaksa, karena tidak
mendapatkan pekerjaan lain”. Padahal kita seharusnya bisa melihat
dengan cara dan sudut pandang yang berbeda.

Baik, pertama-tama disini ada satu hal yang ingin saya luruskan
yaitu bahwa untuk memahami, menghargai dan memaknai suatu hal
terutama mengenai profesi / pekerjaan tidak cukup jika hanya
dengan motivasi imbalan uang yang diterima atau bermodalkan
pengetahuan dan dalam hal ini keterampilan mengajar, melainkan
lebih penting dari kedua hal tersebut yaitu adalah keyakinan positif
tentang profesi itu sendiri.

Secara umum kondisi pendidikan di Indonesia dan secara khusus


kualitas guru-guru di Indonesia adalah sebuah komulasi dari hasil
pikiran masyarakat Indonesia tentang pendidikan dan kualitas guru
itu sendiri. Bahkan bisa saja guru-guru sendiri memiliki kontribusi
terbesar dalam mewujudkan kondisi seperti ini yakni dengan pikiran-
pikiran negatip mereka.

Sebagian besar masyarakat berpikir, berpendapat dan meyakini


bahwa pendidikan di Indonesia sedang dalam kondisi terpuruk.
Keyakinan tersebut memang apa adanya dan bisa kita lihat sendiri
melalui maraknya opini, pendapat, tulisan-tulisan juga media yang
biasanya mendeskripsikan pendidikan di Indonesia dan secara khusus
kondisi guru yang negatif. Berdasarkan indikator tersebut, maka
dengan mudah dapat diprediksikan bahwa banyak masyarakat
termasuk para guru sudah, sedang dan akan terus berpersepsi,
berpikiran negatip tentang pendidikan dan kualitas guru di
indonesia.

Hal ini sangat berbahaya jika tidak dihentikan dan diubah saat ini,
terlebih bagi para guru. Bagaimana tidak? Tentu akan sangat sulit
kualitas guru di ubah, dan ditingkatkan jika para guru sendiri tetap
berpikiran negatif tentang profesinya. Hal ini sangat penting
mengingat kualitas guru / pendidik sangat mempengaruhi kondisi
pendidikan di suatu negara.

Tadi seperti yang sudah kita bahas, bahwa kondisi pendidikan dan
kualitas guru saat ini merupakan hasil pemikiran masa lalu.
Pemikiran masyarakat, pemikiran pemerintah dan pemikiran para
guru sendiri. Menurut James Arthur Ray, bahwa pikiran adalah
sebuah zat tak berbentuk yang mengisi dan menembus seluruh
ruang dan waktu dan menurut fisika kuantum bahwa dalam tingkat
kuantum, semua hal terbuat dari bahan yang sama, yakni energi.
Pikiran adalah energi yang memiliki frekuensi sangat tinggi. Ketika
Anda berpikir maka otak Anda akan memancarkan frekuensi itu ke
segala arah, menembus ruang dan waktu ke alam semesta. Kekuatan
alam semesta akan merespon dan mengembalikan kepada Anda
persis seperti yang Anda pikirkan.

Jadi ketika kita, masyarakat, pemerintah, dan para guru berpikiran


bahwa pendidikan di indonesia tidak berkualitas, guru-gurunya tidak
memiliki kompetensi, menjadi guru tidak bisa kaya, profesi guru
bukan profesi pilihan dan sebagainya, maka saya jamin akan terjadi
persis seperti yang Anda pikirkan. Dan saat ini pikiran itu telah
menjadi kenyataan.

Perlu di ingat bahwa selama guru masih berpikir bahwa hidupnya


tidak pernah akan sejahtera, murid-muridnya tidak memiliki motivasi
belajar, sebagian besar siswanya adalah anak-anak bodoh, sarana
sekolah dan pendukung proses pembelajaran sangat minim, teman-
teman guru lain tidak pernah mendukung ide-idenya, kepala sekolah
sibuk dengan urusan bisnisnya sendiri, pemerintah tidak mau
memperhatikan profesi guru dan sebagainya, maka terjadilah
demikian.

Para guru biasanya terjebak oleh opini / pandangan di luar dirinya,


sehingga pemikiran negatif itu terus tetap bertahan. Bagaimana
mengubahnya? Hanya ada satu cara, yaitu mengubah cara berpikir
kita. Berpikir bahwa kehidupan guru sejahtera, berpikir bahwa setiap
siswa memiliki potensi tak terbatas, berpikir bahwa semua siswa
bersemangat belajar, berpikir bahwa alam menyediakan media
belajar berlimpah dan sebagainya.

Kehidupan dan keberhasilan dalam hidup kita sangat tergantung oleh


pikiran kita. Begitu juga dengan keberhasilan para murid di kelas,
sangat tergantung oleh pikiran guru. Hanya guru yang memiliki
harap tinggi kepada murid-murid nya yang akan mengajar mereka
dengan penuh kesabaran. Guru yang mempercayai murid-muridnya
memiliki potensi tak terbatas, maka ia akan mengajar dengan penuh
totalitas. Hanya guru yang visioner, yang bisa melihat sukses besar
murid-muridnya ke depan. Guru yang demikian akan memiliki gairah
yang menggebu untuk mendidik dan mengajar serta melatih murid-
muridnya. Hanya guru yang bukan sekedar bekerja untuk mencari
uang/makan melainkan panggilan kasih kepada sesama, maka ia
akan memiliki komitmen.

Ada pepatah bijak mengatakan “Berpikirlah anda gagal, maka anda


akan bertindak / berperilaku gagal. Berpikirlah bahwa anak murid
anda gagal, maka anda tidak akan pernah berhasil mengajar
mereka.” Yah itu betul dan bisa saja terjadi, atau dengan kata lain
“Tetaplah membiarkan pikiran negatif anda dalam pikiran anda sama
artinya anda membangun hambatan besar untuk masa depan anda.
Tetaplah anda berpikir bahwa murid anda tidak akan pernah berhasil,
maka sama artinya anda telah ‘membunuh’ masa depan mereka.”

Tapi tentunya memupuk kepercayaan dan keyakinan yang positif


tidaklah semudah membalikkan telapak tangan apalagi jika memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Namun demikian ketika Anda bisa
mengubah pikiran Anda, bisa mengubah pikiran anak murid Anda,
maka apapun yang Anda targetkan akan tercapai.

Hati-hati Anda berpikir, berpikir tentang diri kita sendiri, berpikir


tentang anak-murid, ataupun berpikir tentang apa saja. Pikiran Anda
akan memancar ke alam semesta dan alam semesta akan merespon
semua yang Anda pikirkan, berikut akan me-realita-kan dan
mengirimkan kepada Anda apa yang Anda pikirkan itu.
Salah satu hukum alam senantiasa akan bekerja kepada Anda, yakni
hukum sebab-akibat. Hukum tabur-tuai, Hukum Garbage In Garbage
Out. Buah pikiran Anda akan menjalar ke segala arah di sela-sela
ruang alam semesta, dan getaran pikiran itu akan beresonansi
dengan materi atau kenyataan yang memiliki frekuensi sama, dan
akhirnya materi atau kenyataan itu akan terkirim balik kepada Anda.

Demikian juga dengan apa yang Anda pikirkan tentang pendidikan


anak murid Anda, tentang kualitas profesi Anda, tentang kesuksesan
hidup Anda, tentang masa depan anak-anak didik Anda. ”Hati-hati
berpikir, karena pikiran akan mendorong tindakan, berikut
menghasilkan persis seperti yang dipikirkan”.
Carl Roger salah satu pemikir pendidikan, mengatakan bahwa; “
Saya tahu bahwa saya tidak bisa mengajar apapun, saya hanya bisa
menyediakan lingkungan dimana siswa dapat belajar”. Kiranya
penyataan ini dapat dijadikan sebuah keyakinan bagi para guru jika
tidak ingin tejebak pada kesombongan diri dan merasa paling pintar
dihadapan pada murid-muridnya.
Ketika semua guru memiliki pikiran dan keyakinan seperti ini, maka
perilaku guru, cara mengajar guru, cara bersosialisasi guru dan cara
melayani murid-muridnya akan berubah total. Guru memiliki
kesadaran bahwa setiap siswa memerlukan sebuah lingkungan
belajar yang aman, yang bervariasi, yang merangsang siswa ber-
ekplorasi. Guru memiliki fungsi merancang, mengatur dan
menjadikan lingkungan tersebut sebagai tempat murid menggali
pengalaman baru.
Sependapat dengan Carl Roger, Konstruktivisme dalam pendidikan
dapat dijadikan sebuah dasar paradigma pembelajaran yang dapat
mengembangkan manusia muda (murid) menjadi manusia dewasa
yang mandiri, utuh sesuai talenta mereka.

Konstruktivisme merupakan jembatan antara dunia emipirisme dan


dunia rasionalisme, yang meyakini bahwa pengetahuan anak
dibangun oleh dirinya sendiri berdasarkan pengetahuan-
pengetahuan, pengalaman-pengalaman yang sudah dimilikinya dan
pengetahuan-pengetahuan serta pengalaman-pengalaman baru yang
diperolehnya dari luar dirinya. Dengan kata lain guru tidak bisa
memberikan pengetahuan kepada anak, melalui proses belajar-
mengajar. Pengetahuan anak dibangun oleh faktor dari dalam
sekaligus dari luar, yakni pengetahuan terdahulu dan
lingkungannya/pengalamannya. Karena itu peran guru tidak lagi
sebagai “Sage on the Stage” tetapi harus diubah menjadi “Guide on
the Side”. Hal ini bisa terjadi hanya bila guru memiliki keyakinan dan
paradigma baru yakni konstruktivisme dan jika hal ini bisa dijadikan
”keyakinan” para guru dalam tanggung jawabnya sebagai guru,
maka niscaya anak akan mencapai potensinya.

Jadi saya harapkan kita semua bisa berpikir dengan cara dan sudut
pandang yang berbeda mengenai profesi guru tersebut. Karena
bagaimanapun juga guru membawa tanggung jawab yang besar bagi
kemajuan pendidikan dan masa depan anak-anak kita maka sudah
sepantasnya istilah “pahlawan tanpa jasa” ditujukan untuk guru. Dan
setelah kita memahami dan menyadari bahwa cara kita berpikir, apa
yang kita pikirkan, dan menyadari betapa hebatnya kekuatan pikiran
mempengaruhi hasil maka sangat diharapkan guru berani untuk
mengimplementasikannya.

“Jika hari ini seorang Perdana Menteri berkuasa


Jika hari ini seorang Raja menaiki takhta
Jika hari ini seorang Presiden sebuah negara
Jika hari ini seorang ulama yang mulia
Jika hari ini seorang peguam menang bicara
Jika hari ini seorang penulis terkemuka
Jika hari ini siapa sahaja menjadi dewasa;
Sejarahnya dimulakan oleh seorang guru biasa
Dengan lembut sabarnya mengajar tulis-baca.”
(‘guru oh guru’ Usman Awang 1979)

Dari berbagai sumber


JalaL Posted - 01/12/2009 : 19:57:51
artikel yg bagus bung korewa.. sering2 posting dong hehehe
63 Posts

korewa Posted - 01/13/2009 : 08:46:50


quote:
95 Posts Originally posted by JalaL

artikel yg bagus bung korewa.. sering2 posting dong hehehe

Trimz...
Nanti akan saya post lagi artikel nya...
elshintagroup Posted - 01/13/2009 : 10:33:04
Tulisan lanjutan Bung Kelvin dipindahkan dikolom GURU ini :
Indonesia
138 Posts
MENJADI GURU PROFESIONAL

Oleh : Kelvin Djajalaksana

Seperti yang sudah dibahas di bagian sebelumnya, guru adalah


seseorang yang berprofesi sebagai pengajar dan pendidik. Bisa
dikatakan secara langsung guru menentukan kualitas dan mutu
pendidikan di suatu negara. Tentu idealnya semua dari kita sangat
menginginkan kualitas dan mutu pendidikan yang terbaik untuk
anak-anak kita. Oleh sebab itu peningkatan kualitas guru adalah hal
yang mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tanpa adanya
peningkatan kualitas guru, maka upaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan dan kucuran dana yang besar-besaran akan sia-
sia semua.

Istilah “profesional” sering kali kita dengar. Misalnya ada petinju


amatir dan ada juga petinju profesional. Ada pencopet amatir dan
ada juga pencopet profesional. Yah dan tentunya juga ada guru
amatir dan ada guru profesional. Sebenarnya apa sih arti
“profesional” ? Saya secara pribadi mengartikannya sebagai sifat
atau perilaku seseorang dalam melakukan pekerjaan apakah
perilakunya tersebut didasari atas pengertian yang benar mengenai
hal yang harus dilaksanakan dan pengertian tersebut dilengkapi
dengan kemahiran yang tinggi. “Tindakan yang lahir dari gabungan
kedua sifat itu, mencerminkan lebih kurang tingkat profesionalisme
yang diharapkan dimiliki seseorang” (Winarno Surakhmad)

Namun lagi-lagi sangat disayangkan kembali, profesi guru banyak


dinilai tidak profesional. Banyak lulusan sekolah guru yang memberi
kesan seolah-olah mereka tidak pernah melalui pendidikan
keguruan. Padahal guru diharapkan melaksanakan tugas
kependidikan yang tidak semua orang dapat melakukannya, artinya
hanya mereka yang memang khusus telah bersekolah untuk
menjadi guru, yang dapat menjadi guru profesional.

Lalu bagaimana aplikasi profesionalisme guru dalam pembelajaran ?


Semenjak pendidikan guru, seorang calon guru sudah harus
berupaya membekali diri dengan ilmu, sikap dan keterampilan yang
diperlukan untuk mengajar dan mendidik siswa. Ilmu bisa didapat
dengan selalu membaca, bertanya dan upaya lainnya. Keterampilan
bisa dikembangkan dengan mempelajari, mencoba dan
mempraktikkan metode mengajar baru. Guru juga harus mampu
mendesain kurikulum dan membuat lesson plan untuk ke depannya.
Guru wajib mengetahui ”keteraturan dunia anak”, guru harus peka
terhadap tanda-tanda dan suara hati yang bisa menuntun
perilakunya sebagai guru sejati.

Pertanyaannya sekarang adalah mampukah kita mejadi


profesional ? Memang, kita tentu tidak bisa berharap seketika untuk
bisa menjadi profesional. Menjadi profesional sangatlah berat.
Tanpa motivasi yang kuat dan stamina moral yang tinggi tidak
mungkin kita bisa menjadi profesional. Satu hal penting kira-kira
darimanakah motivasi seorang profesional mendapatkan
motivasinya sehingga ia dapat bertahan, bahkan berkembang ?
Pasti tidak dari sekadar uang saja meskipun dunia profesional
berlimpah dengan uang. Saya rasa pertanyaan tersebut sebaiknya
anda jawab dalam hati diri anda sendiri.

Bagaimana hal tersebut bisa terlaksana di sekolah-sekolah ? Hanya


ada dua faktor, intern dan ekstern. Faktor intern apa ada minat dari
guru itu sendiri untuk menjadi profesional, sedangkan faktor ekstern
apa lingkungan juga mendukung nya, misalnya adanya seminar-
seminar / workshop untuk menambah wawasan dan sebagainya.
Dan sejatinya profesionalisme tidak hanya berhenti pada satu titik
pencapaian saja.

Memang profesionalisme bukanlah sebuah istilah baku. Juga bukan


berharga mati. Profesionalisme adalah konsep yang dinamis,
berkembang sepanjang masa. Dengan itu kita harus mengerti
bahwa adalah tidak mungkin untuk menetapkan standar profesi
yang berlaku sepanjang masa, di dalam keadaan yang
bagaimanapun.

Maukah anda menjadi seorang guru profesional ?

Dari berbagai sumber

NB : Semoga bisa bermanfaat untuk rekan-rekan se-profesi...

http://www.elshinta.com/v2003a/forum/topic.asp?TOPIC_ID=2025

REORIENTASI PENGEMBANGAN
PROFESIONALITAS GURU DALAM PENERAPAN
PENDIDIKAN ISLAMI DI KABUPATEN PIDIE
JAYA

Written by M. Jamil Yusuf | IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh


Wednesday, 29 April 2009 08:46

ABSTRAK
REPRO ESP Pendidikan Islami sebagai suatu sistem pendidikan di
Aceh mengandung berbagai komponen yang antara
satu dengan lainnya saling berkaitan. Komponen dimaksud meliputi landasan,
tujuan, kurikulum, kompotensi dan profesionalitas guru, pola hubungan guru-murid,
evaluasi, metodologi pengajaran, sarana dan prasarana, pendanaan dan sebagainya.
Berbagai komponen tersebut seringkali berjalan apa adanya, bersifat alamiah dan
tradisional, tanpa didukung oleh konsep manajerial yang handal dan terukur.
Akibatnya mutu pendidikan Islam kadang kala memperlihatkan hasil yang tidak
dapat dihandalkan.
Oleh karena itu, dalam hal peranan guru sebagai pendidik profesional dengan
sendirinya menghendaki guru mampu bekerja secara profesional. Reorientasi
pengembangan profesionalitas ini dalam rangka penerapan pendidikan Islami di Aceh
pada prinsipnya mencakup aspek: (1) kemampuan memahami al-Qur’an dan
mengintegrasikannya ke dalam proses belajar mengajar serta mensucikan jiwa dari
dosa dan kemungkaran; (2) keterampilan komunikasi yang efektif antara guru dan
muridnya; (3) menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan guru untuk
mengajar; (4) mengoptimalkan pengaruh lingkungan sekolah untuk peningkatan
mutu lulusan; dan (5) penerapan teknologi informasi dalam proses pembelajaran.
A. Pendahuluan
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia
saat ini dan di Aceh pada khususnya adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap
jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah.
Berbagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan tersebut telah diupayakan, di
antaranya: (1) pengadaan buku dan alat pelajaran; (2) berbagai pelatihan dan
peningkatan kompetensi guru; (3) perbaikan, pengadaan sarana/prasarana
pendidikan; dan (4) peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun, dilihat dari
berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti.
Mulyani AN menyebut bahwa pendidikan di Indonesia secara kuantitatif dapat
dikatakan telah mengalami kemajuan. Indikatornya dapat dilihat pada kemampuan
baca tulis masyarakat yang mencapai 67.24%.[1] Hal ini sebagai akibat dari
program pemerataan pendididikan, terutama melalui Inpres SD yang dibangun pada
masa Orde Baru. Sedangkan keberhasilan dari segi kualitatif pendidikan di Indonesia
belum berhasil membangun karakteristik bangsa yang cerdas dan kreatif, apalagi
yang unggul. Banyaknya lulusan pendidikan formal, baik pada tingkat sekolah
menengah dan perguruan tinggi, terlihat belum mampu mengembangkan kreativitas
dalam kehidupan mereka. Lulusan sekolah menengah masih sukar bekerja di sektor
formal karena belum memiliki keahlian khusus. Bagi sarjana, yang dapat berperan
secara aktif di sektor formal terbilang hanya sedikit. Keahlian dan profesionalisasi
yang melekat pada lembaga pendidikan tampaknya hanya simbol belaka, lulusannya
tidak profesional.
Lembaga industri (swasta, BUMN dan pemerintah) sering menuntut
persyaratan tertentu terhadap lulusan pendidikan formal untuk bekerja di lembaga
tersebut. Penguasaan bahasa Inggris, keterampilan komputer dan pengalaman kerja
merupakan persyaratan utama yang diminta. Sementara ijazah yang diperoleh para
lulusan setelah menempuh pendidikan selama 20 atau 25 tahun dari lembaga
pendidikan formal terabaikan. Hal ini memberikan indikasi bahwa kualitas lulusan
pendidikan belum layak pakai. Melihat kenyataan ini, dapat diduga bahwa terjadi
kesenjangan antara tujuan pendidikan yang hendak dicapai dalam menghasilkan
output pendidikan formal dengan pengelolaan pendidikan dalam peningkatan mutu
lulusannya.
Di samping itu, dilihat dari segi aktualisasinya pendidikan merupakan proses
interaksi antara guru (pendidik) dengan siswa (peserta didik) untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Guru, siswa dan tujuan pendidikan
merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuktriangle, yang jika
hilang salah satunya, maka hilang pulalah hakikat pendidikan. Namun demikian,
dalam situasi tertentu tugas guru dapat dibantu oleh unsur lain, seperti media
teknologi tetapi tidak dapat digantikan. Oleh karena itulah, tugas guru sebagai
pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional.[2] Peranan guru sebagai
pendidik profesional akhir-akhir ini mulai dipertanyakan eksistensinya secara
fungsional karena munculnya fenomena para lulusan pendidikan yang secara moral
cenderung merosot dan secara intelektual akademik juga kurang siap untuk
memasuki lapangan kerja atau bahkan dalam bersaing untuk memasuki dunia
pendidikan tinggi. Jika fenomena ini dijadikan tolok ukur, maka peranan guru
sebagai pendidik profesional baik langsung maupun tidak langsung menjadi
dipertanyakan.
Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui seminar dengan tema
"Membangun Budaya Pendidikan yang Berorientasi Islami secara Kaffah” yang
diselenggarakan oleh Lembaga Mitra Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Pidie
Jaya ini, hendaknya dilihat sebagai upaya revitalisasi peran guru, yaitu mewujudkan
apa yang harus dikerjakan sebagai guru yang profesional. Dengan revitalisasi peran
guru ini diharapkan adanya peningkatan mutu pendidikan secara signifikan.
Dasarnya adalah UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU
ini dinyatakan bahwa otonomi pendidikan berasaskan desentrasilasi, dengan
pendekatan manajemen bebasis sekolah (MBS). Pendekatan MBS dimaksudkan
untuk menumbuhkan kemandirian dan kreatifitas kepemimpinan kepala sekolah dan
guru bidang studi yang kuat dan efektif. Oleh karena itu amanat dalam UU tersebut
harus menjadi dasar dan arah dalam pengembangan profesionalitas guru masa
depan.[3] Dalam penerapan konsep MBS untuk meningkatkan mutu pendidikan
menuntut profil kepala sekolah dan guru bidang studi yang aktif, kreatif dan inovatif
dengan perubahan paradigma pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik, --di
mana sebagian besar urusan persekolahan menjadi urusan sekolah yang
bersangkutan, yakni oleh kepala sekolah, dewan guru dan masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa pokok pikiran di atas, maka reorientasi
pengembangan profesionalitas guru menjadi peluang yang amat terbuka dan amat
urgen dilakukan, terutama dilihat: (1) dengan semakin kompleksnya tuntutan tugas
guru bidang studi, yang menghendaki dukungan kinerja yang semakin efektif dan
efesien; (2) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang
diterapkan dalam pendidikan di sekolah juga cenderung bergerak maju semakin
pesat, sehingga menuntut penguasaannya secara akademik-profesional; (3) setiap
guru dihadapkan pada tantangan untuk melaksanakan pengembangan pendidikan
secara terarah, berencana dan berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan secara keseluruhan; dan (4) khususnya di Provinsi Aceh, termasuk
Kabupaten Pidie Jaya di dalamnya wajib menerapkan Pendidikan Islami sesuai
dengan amanat UU PA yang telah disahkan beberapa waktu yang lalu.
Oleh karena itu, dipandang perlu adanya reorientasi pengembangan profesionalitas
guru di Provinsi Aceh pada umumnya dan di Kabupaten Pidie Jaya pada khususnya,
terutama aspek: (1) integrasi penguasaan pengetahuan agama ke dalam tugas
pokok bidang studi; (2) keterampilan membangun komunikasi yang efektif; (3)
menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk mengajar; (4)
pemahaman dan penguasaan karakteristik sekolah di perkotaan dan pedesaan; dan
(5) penguasaan dan penerapan teknologi informasi dalam proses pembelajaran.
Dalam proses reorientasi ini harus berpegang pada prinsip “teguh mempertahankan
nilai-nlai lama yang baik dan bersungguh-sungguh pula mengambil nilai-nilai baru
yang lebih baik”.[4] Hal ini menjadi penting supaya sistem pendidikan yang
digunakan tidak ketinggalan zaman berbaringan dengan munculnya paradigma baru
pendidikan.
B. Reorientasi Pengembangan Profesionalitas Guru
Sejalan dengan peranan guru sebagai pendidik profesional, maka dengan
sendirinya guru harus bekerja secara profesional. Bekerja sebagai seorang
profesional berarti bekerja dengan keahlian dan keahlian ini hanya diperoleh melalui
pendidikan khusus. Di sini, guru tentunya telah mengikuti pendidikan profesional
melalui LPTK. Keahlian dalam bidang pendidikan ditandai dengan diberikannya
sertifikat atau akta mengajar. Pertanyaannya adalah, apakah benar guru telah
bekerja secara profesional dan bagaimana guru yang profesional dalam proses
pembelajaran? Dalam makalah ini hendak dikemukakan beberapa aspek penting
reorientasi pengembangan profesionalitas guru dalam rangka penerapan pendidikan
Islami di Kabupaten Pidie Jaya pada khususnya serta di Provinsi Aceh pada
umumnya.
Pertama, Imam Al-Ghazali menyebut bahwa makhluk yang paling mulia di
muka bumi ini ialah manusia. Sebaik-baik dari bagian tubuh manusia itu ialah
qalbunya. Guru atau pendidik selalu menyempurnakan, mengagungkan dan
mensucikan qalbu itu serta menuntunnya untuk selalu dekat kepada Allah Swt.
Seseorang yang berilmu dan kemudian ia bekerja dengan ilmunya itu, maka orang
itulah yang dinamakan orang besar di bawah kolong langit ini. Ia bagaikan matahari
yang mencahayai orang lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ia ibarat minyak
kasturi yang harumnya dinikmati oleh orang lain dan dinikmati pula oleh dirinya
sendiri.[5] Di sini dapat dipahami bahwa tenaga pendidik merupakan profesi yang
paling mulia. Dengan profesi yang mulia itu, bahkan guru dipandang sebagai
perantara antara manusia, --dalam hal ini muridnya,-- dengan Penciptanya, yakni
Allah Swt.
Rasulullah Saw sendiri sebagai guru pertama dalam Islam (muallimul awwal
fil Islam) bertugas membacakan dan mengajarkan ayat-ayat Allah (al-Qur’an)
kepada manusia, mensucikan diri dan jiwa dari dosa, menjelaskan mana yang halal
dan mana yang haram, menceritakan tentang manusia di zaman silam,
mengkaitkannya dengan kehidupan pada zaman sekarang ini.[6] Dengan demikian,
tampaklah bahwa pendidik itu betugas dan bertanggung jawab sebagai pewaris para
rasul. Dalam konteks tugas kerasulan, semua pendidik wajib dapat bertugas
membacakan dan mengajarkan ayat-ayat Allah (al-Qur’an) kepada manusia,
mensucikan diri dan jiwa dari dosa, menjelaskan mana yang halal dan mana yang
haram, menceritakan tentang manusia di zaman silam, mengkaitkannya dengan
kehidupan pada zaman sekarang ini. Di sini pendidik tidak terikat dengan bidang
keilmuwan secara khusus yang harus diajarkannya, yang terpenting dari pendidik itu
ialah mengantarkan dan menjadikan muridnya menjadi manusia terdidik yang
mampu menjalankan tugas-tugas kemanusiaan dan tugas-tugas ketuhanan. Pendidik
tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tahap-tahap
pekembangan siswa dan sesuai bidang keahliannya, tetapi semua pendidik
bertanggung jawab pula memberikan dasar-dasar pendidikan kesusilaan atau akhlak
mulia dan pendidikan itu dipandang sebagai suatu proses memanusiakan manusia.
Kedua, bahwa antara mengajar dan belajar merupakan dua hal yang
berbeda. Yang paling menonjol dari perbedaan ini adalah mengajar dilakukan oleh
satu orang sedangkan belajar dapat terjadi pada setiap orang. Suatu hal yang perlu
dipertimbangkan di sini adalah proses belajar mengajar hanya terlaksana dengan
efektif jika ada hubungan yang unik antara dua organisme—suatu “hubungan”, mata
rantai atau jembatan antara guru dan muridnya.[7]Keterampilan berkomunikasi
yang diperlukan, sebenarnya tidaklah rumit, --tidak sukar bagi guru untuk
mengerti,-- meskipun diperlukan latihan dan kesungguhan, sama halnya dengan
keterampilan lainnya, misalnya menjahit, memahat, bermain ski, bernyaji atau
keterampilan menggunakan alat musik.
Inti keterampilan komunikasi ini pada dasarnya adalah melibatkan
”keterampilan berbicara”, sebagai sesuatu yang sudah lazim dilakukan dan dapat
dipraktekkan dengan mudah. Dengan kekuatan berbicara itu, sesungguhnya dapat
memperbaiki hubungan antar manusia dan dapat mendekatkan atau pun dapat
menjauhkan hubungan antara pendidik dan muridnya, bahkan dapat merusak
hubungan pribadi dan memutuskan tali persaudaraan. Di samping itu, berbicara itu
juga tergantung dari kualitas topik pembicaraan dan pemilihan topik pembahasan
yang sesuai untuk situasi yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, cara-cara untuk menjadi pendidik yang efektif itu dibangun
berdasarkan aktivitas-aktivitas mendasar yang setiap hari telah dikerjakan oleh
pendidik. Yang diperlukan di sini hanyalah seperangkat keterampilan, kepekaan dan
kepandaian tambahan saja mengenai beberapa hal, seperti keterampilan
memberikan pujian dan keterampilan mendengar. Setiap orang tua dan pendidik
tahu bagaimana memberikan pujian kepada seorang anak muda. Menjadi pendidik
yang efektif yang ditawarkan di sini adalah dibangun berdasarkan konsep pujian itu
juga. Yang penting di sini adalah bagaimana pujian pendidik dapat membuat
murid memandang pendidik sebagai seorang yang sangat manusiawi, tulus dan
benar-benar penuh perhatian. Jika pendidik memuji anak didiknya, maka jangan
sampai dengan pujian itu murid merasa tidak dipahami dan merasa dipermainkan.
Di samping itu, banyak sekali hasil penelitian menunjukkan betapa
pentingnya mendengar untuk mempermudah proses belajar mengajar. Setiap orang
tua dan pendidik, dengan beberapa pengecualian, secara biologis telah dipersiapkan
dan terlatih untuk mendengarkan apa yang dikomunikasikan oleh anak-anak mereka
atau anak didiknya. Walaupun demikian, banyak hal yang mereka menduga telah
mereka dengar, ternyata bukan hal yang sebenarnya yang dikomunikasikan oleh
anak atau anak didik itu. Di sini pendidik perlu mengetahui cara-cara sederhana agar
dapat meneliti kembali ketepatan pendengaran untuk memastikan bahwa apa yang
pendidik dengar itu adalah sesuatu yang sungguh-sungguh dimaksudkan oleh anak
didik. Pada saat yang bersamaan, hal ini akan membuktikan kepada murid bahwa
pendidik tidak saja mendengarkan, tetapi juga memahaminya.
Ketiga, menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk
mengajar. Bila guru tidak efektif dalam berhubungan dengan murid, sebaiknya
jangan mengabaikan pengaruh sistem organisasi sekolah yang diterapkan. Ketika
guru tidak efektif dalam mempermudah proses belajar mengajar, untuk sebagian
dari kegagalan mereka harus dikaitkan dengan faktor-faktor organisasi sekolah yang
membatasi peran seorang guru. Kadang-kadang ada kecenderungan guru
diharapkan mampu memenuhi kebutuhan murid sekalipun kebutuhan mereka sendiri
tidak terpenuhi. Dalam penerapan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) untuk
meningkatkan mutu pendidikan menuntut profil kepala sekolah yang aktif, kreatif,
dan inovatif dalam mengelola sekolah dengan perubahan paradigma pendidikan dari
sentralistik menjadi desentralistik. Di antara tujuan yang hendak dicapai dengan
penerapan MBS ini adalah mengembangkan kultur sekolah yang kondusif, yakni
menjadikan sekolah sebagai tempat sumber belajar yang menyenangkan bagi anak
didik dari aspek fisik maupun psikologisnya.[8] Untuk mengembangkan kultur
sekolah yang kondusif, kepala sekolah juga harus berperan aktif dalam menjadikan
sekolah sebagai tempat yang menyenangkan guru untuk mengajar. Tugas mengajar
harus menjadi sumber utama mata pencaharian dan kehidupan guru bertumpu pada
pekerjaannya itu. Dengan kata lain, pekerjaan mengajar menjadi sumber utama
kesejahteraan guru.
Namun demikian, peningkatan kesejahteraan guru di masa depan mungkin
saja akan terjadi pergeseran. Pengandalan kenaikan gaji dan tunjangan khusus
secara berkesinambungan mungkin pada satu saat nanti akan terkendala pada
kemampuan pemerintah yang terbatas dan tidak mampu lagi memberikan
peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Dalam keadaan demikian, kesejahteraan
guru berbasis modal maya perlu digalakkan. Modal maya adalah modal yang tidak
berwujud material. Beberapa modal maya yang sangat diperlukan untuk
mewujudkan kesejahteraan hidup guru adalah modal intelektual, modal sosial,
kredibilitas dan semangat.[9] Modal maya ini sebenarnya melekat pada setiap
individu guru sebagai potensi yang perlu digali dan amat besar kekuatannya. Peran
modal maya ini tidak berwujud fisik material, namun dalam perkembangannya
semakin besar dan dapat dilipatgandakan. Dalam banyak hal, erat hubungannya
antara kualitas kepala sekolah dengan berbagai aspek pengembangan modal maya
guru. Semakin besar kekuatan pengembangan modal maya ini, maka semakin besar
pula peluang menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan guru untuk
mengajar, sekaligus mengantarkan sekolah tersebut ke peringkat sekolah unggul.
Keempat, pengaruh lingkungan sekolah dan masyarakat terhadap mutu
pendidikan di Aceh nampaknya merupakan salah satu fokus yang penting
diperbincangkan. Ace Suryadi menyebut mutu pendidikan pada negara-negara maju
cenderung lebih mampu diterangkan oleh variabel-variabel masyarakat, antara lain
sosial ekonomi, aspirasi keluarga, interaksi anak dan orang tuanya. Sebaliknya,
mutu pendidikan pada negara-negara berkembang cenderung lebih mampu
diterangkan oleh variabel-variabel sekolah, antara lain mutu guru, buku paket dan
alat-alat belajar. Studi tentang mutu pendidikan dasar di Indonesia menunjukkan
bahwa mutu pendidikan yang lebih tinggi di daerah perkotaan ditandai dengan lebih
besarnya efek faktor luar sekolah dibandingkan dengan faktor sekolah, sedangkan di
pedesaan mutu pendidikannya cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor
sekolah.[10]
Gambaran pengaruh lingkungan sekolah dan masyarakat terhadap mutu
pendidikan di atas, ada kesamaannya dengan mutu pendidikan di Aceh, terutama
dilihat dari perbedaan kualitas pendidikan di desa (gampong) dan kota. Kalau
diamati pada kondisi proses pendidikan di gampong-gampong dalam Provinsi Aceh
dewasa ini, menunjukkan bahwa “efek” dari faktor-faktor sekolah terhadap prestasi
belajar tampaknya memiliki keterbatasan, yakni sejauh atau sebesar yang dapat
ditentukan oleh kelengkapan fasilitas pendidikan. Perbedaan prestasi belajar murid
di perkotaan lebih banyak diterangkan oleh faktor luar sekolah, di antaranya aspirasi
pendidikan, pengalaman pendidikan di TK dan keadaan sosial ekonomi orang tuanya.
Jika perbedaan ini dipersempit lagi, maka prestasi belajar murid di kota banyak
ditentukan oleh peran orang tua mereka, sedangkan di gampong-gampong banyak
ditentukan oleh peran guru. Oleh karena itu, komitmen dan profesionalitas guru
untuk memaksimalkan pemanfaatan buku paket, alat-alat pelajaran dan kualitas
kehadiran guru dalam mengajar menjadi faktor yang memberikan kontribusi
signifikan.
Kelima, penerapan teknologi dalam proses pendidikan. Yang terjadi selama
ini, proses pembelajaran cenderung berpusat pada guru dan kurang mendorong
proses berpikir kreatif, proses inkuiri (penyelidikan) serta proses pemecahan
masalah. Di samping itu, proses pembelajaran cenderung belum menggunakan
teknologi informasi. Guru harus dapat meletakkan information technology sebagai
bagian yang tak terpisahkan dalam proses pendidikan. Hal ini berarti mulai dari
tingkat pendidikan rendah sampai perguruan tinggi di mana pun lembaga tersebut
berada merupakan jalur linier pendidikan, pengenalan, pemahaman dan pengamalan
ilmu dan teknologi di lembaga pendidikan. Dengan demikian, guru dan segenap
warga sekolah tidak ketinggalan dengan percaturan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sekolah secara terjadwal hendaknya membuat program
belajar dengan TVEdukasi yang sudah dipopulerkan oleh Mendiknas.
C. Penerapan Pendidikan Islami di Kabupaten Pidie Jaya
Menurut al Qur’an, semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian dari
pengetahuan itu diwahyukan oleh Allah Swt kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian
lain diperoleh manusia dengan menggunakan indera, akal dan qalbunya.
Pengetahuan yang diwahyukan itu mempunyai kebenaran absolut (mutlak),
sedangkan pengetahuan yang diperoleh manusia, kebenarannya tidak mutlak. Dalam
kenyataan sejarah, kedua macam pengetahuan ini selalu dimasukkan ke dalam
kurikulum pendidikan Islam. Pengetahuan yang diwahyukan disebutpengetahuan
naqliyah dan pengetahuan yang diperoleh manusia disebutpengetahuan aqliyah.
[11] Ketika pemikiran dan teknologi telah begitu maju, maka hubungan antara
pengetahuan naqliyah dengan pengetahuan aqliyah mulai terganggu sehingga
muncul keterpisahan antara keduanya. Dalam berbagai buku, juga dalam
pembicaraan sehari-hari, sering kali dijumpai istilah pengetahuan
umumdan pengetahuan agama. Dari istilah ini kemudian berkembang pula istilah
lainnya, seperti sekolah umum dan sekolah agama, guru umum dan guru agama.
Bahkan muncul pula kategori masalah dunia (masalah pengetahuan umum)
dan masalah akhirat (masalah pengetahuan agama). Keterpisahan ini sebenarnya
menimbulkan konflik, baik dalam diri individu maupun dalam kehidupan
masyarakatnya.
Oleh karena itu, keterpisahan ini seharusnya diakhiri, keduanya harus
disatukan lagi dalam satu sistem penerapan yang terpadu dan harmonis. Secara
sederhana pendidikan Islami diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada
nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta
dalam pemikiran para ulama dan dalam praktek sejarah umat Islam.[12] Berbagai
komponen pendidikan mulai dari tujuan, kurikulum, guru, metode, pola hubungan
guru-murid, evaluasi, sarana dan prasarana dan lingkungan pendidikan harus
didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Jika semua komponen ini membentuk suatu
sistem yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam, maka sistem tersebut
selanjutnya disebut sistem pendidikan Islami.
Ajaran Islam yang dijumpai dalam al-Qur’an dan al-Hadits telah meletakkan
dasar-dasar yang khas tentang berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek sosial,
politik, ekonomi, hubungan antar umat beragama, hukum, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan demikian, cakupan pendidikan Islami harus diarahkan untuk
memenuhi berbagai aspek kehidupan ini, dan inilah yang menjadi cita-cita Islam
untuk berbagai aspek kehidupan, di antaranya:
a. Dalam bidang sosial, Islam mencita-citakan suatu masyarakat yang
egaliter, yakni sistem sosial yang didasarkan kesetaraan dan
kesederajatan sebagai makhluk Allah Swt. Atas dasar ini, kedudukan dan
kehormatan manusia adalah sama di hadapan Allah Swt, bukan
didasarkan atas perbedaan suku, ras, golongan, bahasa, pangkat,
keturunan dan sebagainya.
b. Dalam bidang politik, Islam mencita-citakan suatu kehidupan negara
yang dipimpin oleh orang yang adil, jujur, amanah, dan demokratis,
sehingga ia tidak menyalahgunaan kekuasaan, menciptakan kemakmuran
dan memperhatikan aspirasi rakyatnya.
c. Dalam bidang ekonomi, Islam mencita-citakan sistem ekonomi yang
didasarkan pada pemerataan, anti monopoli dan saling menguntungkan.
d. Dalam bidang hubungan sosial, Islam mencita-citakan suatu sistem
masyarakat yang didasarkan pada ukhuwah yang kokoh, hubungan yang
harmonis, saling tolong menolong sesama manusia.
e. Dalam bidang hukum, Islam mencita-citakan tegaknya supremasi hukum
yang didasarkan pada keadilan, tidak pilih kasih, manusiawi, konsisten
dan obyektif yang diarahkan untuk melindungi seluruh aspek HAM yang
meliputi hak hidup, hak beragama, hak memiliki dan memanfaatkan
harta, hak memiliki keturunan, hak mengembangkan cita-cita dan
memperoleh ilmu pengetahuan.
f. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Islam mencita-citakan pengembangan
ilmu pengetahuan yang integrated antara ilmu naqliyah dan ilmuaqliyah.
Sedangkan dalam bidang budaya, Islam membolehkan masuknya budaya
baru sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah dan akhlak Islam.
Gambaran tentang cita-cita Islam dalam berbagai lapangan kehidupan di atas selain
harus disosialisasikan kepada umat Islam melalui jalur pendidikan, juga sekaligus
menjadi prinsip dasar dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.
1. Ciri-Ciri Pendidikan Islami
Untuk lebih mudah mengenal pendidikan Islami, terlebih dahulu dipandang
penting disebutkan ciri-ciri yang melekat padanya. Ciri-ciri pendidikan Islami adalah
sifat-sifat yang melekat pada pendidikan Islami yang membuat ia berbeda atau sama
dengan pendidikan konvensional pada umumnya. Dalam pemahaman ini, penamaan
pendidikan Islami sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk secara langsung
menggambarkan karakteristik dan identitas pendidikan berdasarkan ajaran Islam. Di
samping itu, pembahasan mengenai ciri-ciri ini juga merupakan suatu ajakan serius
untuk memikirkan komponen-komponen penting yang menjadi unsur-unsur utama
pendidikan Islami. Hal ini mengingat pendidikan Islami sebagai wadah yang masih
menanti kelengkapan isi dan masih memerlukan kajian lebih lanjut untuk
memantapkan jati dirinya. Jati diri pendidikan Islami secara konseptual harus
menggambarkan secara spesifik nilai-nilai etik ajaran Islam.
a. Pandangan mengenai Hakikat Manusia
Ciri utama pendidikan dapat dikatakan Islami ialah senantiasa berpegang teguh
pada penjelasan Allah Swt mengenai hakikat manusia dan menjadikan penjelasan
Allah Swt itu sebagai rujukan utama di mana pun dan kapan pun pendidikan itu
dilaksanakan. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt, yakni berasal dari Allah dan
akan kembali kepada-Nya.[13] Lebih lanjut Ahmad Tafsir menyebut perbedaan
pandangan itu karena masyarakat Barat pada umumnya berpegang pada hasil rasio
manusia tentang hakikat manusia, sedangkan di kalangan masyarakat Muslim
senantiasa berpegang teguh pada penjelasan Sang Penciptanya mengenai hakikat
manusia dan menjadi penjelasan Sang Pencipta sebagai rujukan utama para ilmuwan
Muslim di mana pun mereka berada. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt, yakni
berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.[14] Di antara ciri-ciri pendidikan
Islami yang perlu dikembangkan akibat perbedaan pandangan mengenai hakikat
manusia, yakni jika dalam pendidikan konvensional pada umumnya hanya mengakui
semata-mata tri-dimensional raga (organo-biologis), jiwa (psiko-edukasi) dan
lingkungan sosial-budaya (sosio-kultural) sebagai penentu utama perilaku dan
kepribadian manusia, maka dalam pendidikan Islami mengakui dimensi Ruhani
sebagai dimensi inti dalam sistem kejiwa-ragaan manusia.
b. Pandangan mengenai Aspek Akidah, Ibadah dan Akhlak
Ciri kedua pendidikan Islami ialah menempatkan permasalahan ”konstan”
aspek akidah, ibadah dan akhlak sebagai fondasi pendidikan. Sekiranya aspek
konstan ini bukan bersumber dari ajaran Islam, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai
pendidikan Islami. Oleh karena itu, pendidikan Islami harus mempunyai landasan
yang kuat menurut ajaran Islam, terutama dalam hal:
1) Landasan pendidikan Islami harus bertumpu pada akidah, ibadah dan
akhlak, yakni: (a) landasan akidah dalam Islam adalah meng-Esakan
Allah Swt, mengimani malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
hari akhirat, qadha dan qadar sampai pada keyakinan bahwa al-
Qur'an adalah kebenaran yang mutlak dan harus menjadi landasan,
wawasan dan sumber ilhami bagi pendidikan Islami; (b) landasan
ibadah yang benar terhadap Allah sesuai ajaran Islam, dimulai dengan
melaksanakan rukun Islam, melaksanakan ibadah dalam arti luas
seperti berlaku adil dan ihsan, menyeru kepada kebaikan,
melaksanakan yang makruf dan mencegah dari yang munkar, berjihad
di jalan Allah sampai dengan mewujudkan perubahan-perubahan
positif pada setiap diri individu yang berangkat dari perintah dan
larangan Allah Swt; dan (c) landasan akhlak mulia, yakni
mengembangkan perbuatan-perbuatan terpuji dan menjauhi
perbuatan-perbuatan buruk atau tercela. Dengan demikian,
pendidikan Islami secara konsisten diarahkan untuk membina manusia
bermoral.
2) Pendidikan Islami dalam tujuan dan proses-prosedur interaksi antar
sesama manusia harus sesuai dengan syariat Islam, yakni
memperlakukan setiap individu sesuai perintah dan larangan Allah
Swt, mensucikan dirinya dengan amal ibadah dan taubat,
mendekatkan kepada Allah Swt dan mengerjakan segala amal
perbuatan wajib dan amal-amal sunah. Konsep interaksi antara
sesama manusia sesuai syariat Islam termasuk kepada mereka yang
non-muslim, di mana Islam melarang tindakan seseorang muslim
yang dapat menggangu dan merugikan pihak non-muslim. Bahkan
sampai pada tingkat tidak boleh memaksakan mereka untuk memeluk
Islam dengan menggunakan kekerasan, intimidasi dan sebagainya.
c. Pandangan mengenai Perubahan dan Perkembangan Zaman
Ciri ketiga pendidikan Islami ialah mampu berinteraksi dengan perkembangan
dan perubahan yang ada, yakni adanya fleksibilitas dan berwawasan luas,
mempunyai pandangan komprehensif dan mendalam terhadap berbagai
permasalahan kehidupan manusia yang selalu berubah-ubah. Oleh karena itu,
kemampuan dalam berinteraksi terhadap perkembangan ini adalah sebuah
pandangan yang menerima suatu perkembangan atau kemajuan jika tidak
bertentangan dengan Islam, dan menolak segala perkembangan kehidupan, baik
pemikiran, kebudayaan, keilmuwan, politik, ekonomi, sosial, jika bertentangan
dengan Islam. Dengan demikian, pendidikan yang tidak bisa berinteraksi dengan
perkembangan, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai pendidikan Islami.
d. Pandangan mengenai Keterbukaan dan Kebebasan Berpikir
Ciri keempat pendidikan Islami adalah terbuka terhadap pergulatan pemikiran
manusia. Manusia selalu memiliki dorongan untuk berkarya dan bercita-cita. Dalam
setiap karya yang dilakukan oleh seseorang Muslim terdapat dua bagian, yakni
bagian yang harus dikerjakan dan bagian yang harus ditinggalkan. Sedangkan cita-
cita ialah yang bisa memberikan motivasi bagi hidup. Pendidikan Islami haruslah
memberikan peluang kepada akal untuk berpikir, hak untuk belajar dan hak untuk
berkreasi dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini merupakan gambaran kebebasan
berpikir yang diberikan oleh Islam kepada manusia, sebagai penghargaan dan
penghormatannya.
2. Program Aksi Penerapan Pendidikan Islami
Tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini dalam bidang pendidikan Islami
ialah belum memiliki teori pendidikan Islami yang komprehensif dan integral dalam
membentuk pribadi Muslim yang diharapkan dan bagaimana menemukan teori
pendidikan Islami itu menjadi praktis dan aplikatif. Namun demikian, jika dicermati
perkembangannya, Islamisasi disiplin ini merebak kuat dan karenanya perbincangan
tentang Islamisasi disiplin ilmu menguat tajam. Dalam perkembangan sekarang ini,
telah muncul Islamic Anthropology yang dipelopori oleh Merril Wynn Davies dan
Akbar S. Akhmad, Islamic Economy yang dipelopori oleh Muhammad Anwar dan
Muhammad Najatullah Siddiqie, Islamic Sociology diprakarsai oleh Ilyas B. Yunus
dan Muhammad al-Mubarrak, Psikologi Islami (Islamic Psychology) digerakkan oleh
Malik B. Badri, Muhammad Utsman Najati dan Hanna Djumhana Bastaman
dan terakhir ini sedang diperbincangkan adalah pendidikan Islami (Islamic
Education).
Mencermati perkembangan di atas, maka ada sejumlah program aksi yang
diperlu diperbincangkan untuk pengembangan profesionalitas guru dan unggul dalam
menerapkan pendidikan Islami di Aceh. Beberapa program aksi yang mendesak
untuk dikembangkan, di antaranya: Pertama, mewujudkan keunggulan dalam mutu
lulusan. Masa depan umat manusia di abad 21 sangat ditentukan oleh seberapa jauh
ia mampu eksis secara fungsional di tengah-tengah kehidupan global yang amat
kompetitif. Dalam situasi tersebut manusia yang akan surviveadalah yang dapat
mengubah tantangan menjadi peluang dan dapat mengisi peluang tersebut dengan
produktif. Sementara itu, faktor kepribadian atau moralitas yang baik akan menjadi
salah satu daya tarik dalam berkomunikasi dengan sesama manusia. Masa depan
membutuhkan manusia-manusia kreatif, inovatif, dinamis, terbuka, bermoral baik,
mandiri atau penuh percaya diri, menghargai waktu, mampu berkomunikasi dan
memanfaatkan peluang serta menjadikan orang lain sebagai mitra yang saling
menguntungkan.
Dengan memperhatikan keunggulan kompetitif masa depan di atas, maka
lulusan pendidikan Islam hendaknya senantiasa memiliki sikap berpegang teguh
kepada nilai-nilai spiritual yang bersumber pada ajaran agama semakin dibutuhkan
masyarakat masa depan. Hal yang demikian diperlukan untuk mengatasi berbagai
kegoncangan jiwa atau stress akibat kekalahan, kelelahan atau keterbatasan daya
dalam bersaing dengan orang lain untuk memperebutkan kesempatan atau sebagai
akibat dari kehidupan sekuler-materialistik yang semakin merajalela.[15]
Kedua, beberapa indikator keunggulan lulusan pendidikan Islam yang perlu
diperjuangkan, yakni: (1) secara akademik, lulusan pendidikan Islam dapat
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, terutama pada PTN terkemuka;
(2) secara moral, lulusan pendidikan Islam dapat menunjukkan tanggung jawab dan
kepeduliannya kepada masyarakat sekitarnya; (3) secara individual, lulusan
pendidikan Islam semakin meningkat ketakwaannya; (4) secara sosial, lulusan
pendidikan Islam dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat
sekitarnya; dan (5) secara kultural, lulusan pendidikan Islam mampu
menginterpretasikan ajaran agamanya sesuai dengan lingkungan sosialnya. Dengan
kata lain, dimensi kognitif intelektual, afektif emosional, psikomotorik-praktis dan
kultural dapat terbina secara seimbang dan selaras. Inilah indikator-indikator yang
dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat ketepatan strategi penerapan pendidikan
Islam yang diterapkan.
Ketiga, pengembangan profesionalitas guru. Pengembangan profesionalitas
guru di satu pihak mengacu kepada sikap guru terhadap profesinya, dan di satu
pihak lagi adalah derajat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki guru dalam
rangka melakukan pekerjaannya sebagai guru. Ada dua hal yang sangat inti dalam
pengembangan profesionalitas ini, yakni panggilan hidup dan keahlian.
a. Guru hendaknya menyadari benar bahwa profesi yang disandangnya
adalah sebagai pemenuhan panggilan hidupnya. Artinya itulah lapangan
pengabdiannya dan itulah lapangan kehidupannya. Kriteria ”panggilan
hidup” mengacu kepada pengabdian, sekarang orang lebih senang
menyebutnya dengan ”dedikasi”.
b. Guru hendaknya menyadari benar bahwa profesi guru yang disandangnya
adalah diperoleh dengan suatu keahlian khusus. Oleh karenanya, kriteria
”keahlian khusus” mengacu kepada mutu layanan yang tercermin dalam
proses belajar mengajar.
Jika demikian halnya, maka persoalan ”dedikasi” dan ”keahlian” guru itulah
yang secara sungguh-sungguh hendak dikembangkan profesionalitasnya. Sebagai
pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara
profesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional.
Karena adanya pendidik profesional itu, maka sekolah-sekolah unggul bernuansa
Islami-lah yang dilirik dan menjadi alternatif pilihan masyarakat di masa kini dan
masa depan, Insya Allah.
D. Penutup
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan
keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar
bidang pendidikan. Jadi, guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertangung
jawab dalam mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut
guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta
mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar, memahami dan
mengamalkan ilmunya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Peningkatan mutu
pendidikan Islami sangat ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan serta
kualitas kehadiran guru dalam proses belajar mengajar.
Salah satu aspek penting dalam reorientasi pengembangan profesionalitas guru di
sini adalah terletak pada kemampuannya meningkatkan modal intelektual, modal
sosial, kredibilitas dan semangatnya dalam mengemban tugas sebagai guru. Ada tiga
tugas utama guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan dan tugas
dalam bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik dalam
arti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar dalam arti
meneruskan dan mengembangkan IPTEK, sedangkan melatih berarti
mengembangkan keterampilan pada peserta didik. Tugas guru dalam bidang
kemanusiaan meliputi bahwa di sekolah harus dapat menjadi orang tua kedua, dapat
memahami peserta didik dengan tugas perkembangannya mulai dari sebagai
makhluk bermain (homoludens), sebagai makhluk remaja/berkarya (homopither),
dan sebagai makhluk berpikir/dewasa (homosapiens). Guru juga bertugas
membantu peserta didik dalam menstransformasikan dirinya sebagai upaya
pembentukan sikap dan mengidentifikasikan diri sebagai peserta didik []
Daftar Pustaka
Abidin Ibnu Rusn, (1998), Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Abuddin Nata, (2003), Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana PreAceha Media Group.
Ace Suryadi dan Wiana Mulyana, (1992), Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan
Pembinaan Kemampuan Profesional Guru, Bandung: Candimas Metropole.
Achmad Mubarok, (2000), Al-Irsyad an Nafsi: Konseling Agama Teori dan
Kasus, Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Achmad Mubarok, (2000), Al-Irsyad an Nafsi: Konseling Agama Teori dan
Kasus, Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Ahmad Tafsir, (2006), Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan
Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ahmad Tafsir, (2007), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Ahmad Tafsir, (1995), Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: IAIN
Sunan Gunung Djati.
Ahmad Tafsir, (1995), Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: IAIN
Sunan Gunung Djati.
M. Quraish Shihab, (2000), Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Volume 2, Ciputat Jakarta: Lentara Hati.
Mulyani A.N., (1999), Pokok-Pokok Pikiran mengenai Implikasi Pelaksanaan UU No.
22 dan 25 Tahun 1999, Makalah disajikan pada Semiloka di UNJ pada tanggal
3 November 1999 di UNJ Jakarta.
Nana Syaodih Sukmadinata, (1997), Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rahman, (Editor), (2006), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan, Jatonangor Bandung: Alqaprint Jatinangor.
Thomas Gordon dan Noel Burch, (1997), Teacher Effectiveness Training (Menjadi
Guru Efektif), (Alih bahasa: Aditya Kumara Dewi), Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

∗Makalah disampaikan pada Seminar Pendidikan dengan tema: "Membangun Budaya Pendidikan
yang Berorientasi Islami secara Kaffah”, Diselenggarakan oleh Lembaga Mitra Pendidikan dan Pelatihan
Kabupaten Pidie Jaya, tanggal 12 April 2009, Di Meureudu Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh.
[1]Mulyani A.N., (1999), Pokok-Pokok Pikiran mengenai Implikasi Pelaksanaan UU No. 22 dan 25
Tahun 1999, Makalah disajikan pada Semiloka di UNJ pada tanggal 3 November 1999 di UNJ Jakarta.
[2]Nana Syaodih Sukmadinata, (1997), Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung:
Remaja Rosdakarya, hal. 191.
[3]Rahman, Editor, (2006), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan, Jatonangor Bandung: Alqaprint Jatinangor, hal. 2.
[4] M. Quraish Shihab, (2000), Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Volume 2, Ciputat Jakarta: Lentara Hati, hal.
165.
[5]Abidin Ibnu Rusn, (1998), Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hal. 63.
[6]Lihat al Qur’an, Surat al-Baqarah, ayat 151.
[7]Thomas Gordon dan Noel Burch, (1997), Teacher Effectiveness Training (Menjadi Guru Efektif),
(Alih bahasa: Aditya Kumara Dewi), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 3.
[8]Rahman, Editor, (2006), Peran Strategis ..., hal. 3.
[9]Ibid., hal. 44.
[10]Ace Suryadi dan Wiana Mulyana, (1992), Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan
Pembinaan Kemampuan Profesional Guru, Bandung: Candimas Metropole, hal. 1.
[11]Ahmad Tafsir, (2007), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, hal. 8.
[12]Ahmad Tafsir, (1995), Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: IAIN Sunan
Gunung Djati, hal. 15.
[13]Achmad Mubarok, (2000), Al-Irsyad an Nafsi: Konseling Agama Teori dan Kasus, Jakarta:
Bina Rena Pariwara, hal. 6-7.
[14]Ahmad Tafsir, (2006), Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu
Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 7.
[15]Abuddin Nata, (2003), Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana PreAceha Media Group, hal. 170-171.

Tentang penulis: Dr. M. Jamil Yusuf, M.Pd, lahir 10 Agustus 1958 di Woyla,
Kabupaten Aceh Barat adalah dosen tetap pada Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan
Islam (BPI) Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry. Setelah menyelesaikan sarjana (S1)
pada Fakultas Tarbiyah (1984), melanjutkan studi S2 pada Universitas Pendidikan
Indonesia Bandung, Program Studi Bimbingan dan Konseling (lulus tahun 2000) dan
melanjutkan ke Program S3 pada universitas dan program studi yang sama (lulus
September 2007). Selain menjadi peneliti, menulis di beberapa Jurnal, juga aktif
menyajikan makalah dalam beberapa seminar, di antaranya: (1) Pengembangan
Ilmu Konseling Islami pada Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia, disajikan
pada Seminar Internasional, Kerjasama IAIN Ar-Raniry dengan Jabatan Usuluddin &
Falsafah, Fakulti Pengajian Islam UKM Malaysia (2008); dan (2) Kebijakan
Penerapan Konseling Islami dalam Seting Pendidikan Sekolah, disajikan pada
Seminar Internasional “Islamic Value-Based Education” yang diselenggarakan oleh
Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Provinsi NAD (2008).

Hak Cipta Terlindungi © Copyrights by The Aceh Institute | Dilarang keras


mengutip, mengacu, mendownload, menggunakan, dan menyebarluaskan isi
website ini tanpa seizin penulis asli dan "Aceh Institute" sebagai sumber.

Review Film: Inkheart »


132009
Mar

nurmaya

PERUBAHAN GAYA HIDUP PUSTAKAWAN (LIBRARIAN’S


LIFE STYLE CHANGING): TRADISIONAL MENUJU
METRO-DIGITAL
Posted at 8:20 am under Uncategorized

Oleh: Nurmaya Prahatmaja

Guru merupakan profesi yang banyak dicita-citakan oleh sebagian masyarakat kita
menurut sebuah hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas pada akhir tahun 2008
yang lalu. Profesi tersebut banyak dipilih oleh sebagian besar responden sebagai pilihan
karirnya kelak dan dinilai paling ideal dibandingkan profesi yang lain, seperti dokter,
pengacara, serta desainer. Kenapa bisa seperti itu padahal beberapa tahun sebelumnya,
profesi guru sempat menjadi pilihan terakhir masyarakat untuk berkarier kelak?
Bukankah pada saat ini juga masih banyak Bapak Ibu guru di tanah air yang hidup secara
tidak layak, terpinggirkan, dan memprihatinkan? Tentu pertanyaan ini memerlukan
jawaban yang logis dan tentunya memerlukan uraian yang cukup panjang dan lebar dari
berbagai sudut pandang. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengangkat hal tersebut,
namun hanya dimaksudkan untuk menggambarkan proyeksi sebagian masyarakat kita
terhadap profesi yang umum dikenal oleh masyarakat. Lalu bagaimana dengan profesi
pustakawan?
Profesi pustakawan atau orang yang bekerja di perpustakaan dan berbagai unit informasi
– dokumentasi malah tidak disebut dalam jajak pendapat tersebut. Harapan saya, profesi
pustakawan disebut oleh sebagian kecil masyarakat sebagai sebuah profesi yang layak
mereka pertimbangkan ketika memilih karier pekerjaannya kelak, walaupun kecil.
Minimal dipilih sekira 0,00001 persen responden. Saya pikir apa yang saya harapkan
tersebut berasalan karena sampai dengan awal tahun 2009 ini, sudah tidak terhitung
banyaknya jumlah alumni atau mahasiswa yang mengambil studinya di jurusan
perpustakaan dan informasi. Malah di Indonesia sudah terdapat sekira sepuluhan
perguruan tinggi negeri maupun swasta yang menyelenggarakan pendidikan bidang itu.
Kembali ke hasil jajak pendapat dari Kompas tersebut. Walaupun belum mewakili
seluruh masyarakat Indonesia, hasil dalam polling tersebut sedikit banyak memberikan
gambaran pada kita bahwa penerimaan masyarakat terhadap profesi ini masih kurang.
Bahkan sebagian anggota masyarakat terdidik kita (baca: akademisi) juga masih ada yang
memandang profesi pustakawan dengan sebelah mata. Sebagian yang lain berpandangan
bahwa untuk menjadi seorang pustakawan tidak harus menempuh jenjang pendidikan
tinggi, seperti sarjana dan pascasarjana, namun cukup lulusan sekolah menengah dengan
tambahan mengikuti kursus kepustakawanan selama satu atau dua tahun. Malah ada yang
lebih ekstrim lagi cukup dengan mengikuti satu dua seminar/pelatihan/workshop
kepustakawanan dan dengan bekal satu dua sertifikat saja. Berbagai pandangan
masyarakat tersebut tidak dapat dibenarkan maupun disalahkan. Namun untuk
“membuka” pandangan masyarakat terhadap profesi ini kiranya dapat melalui ilustrasi
kekinian mengenai profesi pustakawan beserta lika-liku dan perubahan gaya hidup
mereka di bawah ini.
Jika masyarakat mau sedikit “melihat” perkembangan profesi pustakawan pada saat ini,
terlebih dahulu harus mau untuk “keluar” dari persepsi yang sudah sekian lama melekat
dalam benaknya. Anggap saja kita belum mengenal profesi ini. Kita tidak tahu seperti apa
rupa mereka, dimana mereka bekerja, apa pekerjaan mereka, serta bagaimana mereka
bekerja, bergaul, bermasyarakat. Walaupun terkesan mudah, tapi saya yakin sangat sulit
bagi sebagian masyarakat kita untuk meninggalkan anggapan lama yang biasanya
mempersepsikan profesi pustakawan dengan kaca mata tebal, lirikan tajam dari penjaga
buku yang terkesan galak, seram, tidak modis, kuno, tidak sedap dipandang mata, serta
serangkaian kesan negatif lainnya. Dengan kata lain, profesi pustakawan menurut versi
sebagian masyarakat kita tidak lain dan tidak bukan hanyalah seorang penjaga buku
seperti seekor makhluk buas berkepala tiga dalam serial Harry Potter yang menduduki
batu bertuah, The Sorcerer Stone dan siap menerkam siapa saja yang ingin mendekatinya
itu. Tentu saja kiasan saya itu terlalu berlebihan, namun bisa jadi ada sebagian dari
masyarakat kita yang memiliki pengalaman buruk (trauma) terhadap pustakawan.
Lalu bagaimana gambaran pustakawan sebenarnya yang saya sebut metro-digital itu?
Metro-digital merupakan istilah yang saya sebut dan pergunakan untuk menggambarkan
dua sisi profesi pustakawan. Sisi pertama, pustakawan sebagai seseorang/individu yang
merupakan anggota masyarakat (yang punya mata dan punya hati) yang harus bergaul,
mengikuti trend, mode yang berkembang dan lagi in pada saat ini. Mulai dari bagaimana
mereka tinggal, dimana, lingkungan seperti, dimana harus bekerja, bagaimana bergaul,
pakaian dan potongan gaya rambut mana yang harus mereka pakai dan lain sebagainya.
Hmm, kedengarannya sepele namun pada kenyataannya apa yang saya utarakan tadi ada
buktinya.
Lulusan ilmu informasi dan perpustakaan (penyebutan bidang ini di berbagai perguruan
tinggi sangat beragam, namun yang ditekuni tetap sama, yakni informasi dan
perpustakaan) pada saat ini sangat banyak, bahkan cenderung jenuh. Dan biasanya sistem
pendidikan di bidang ini memungkinkan mereka untuk lulus menjadi sarjana
muda/sarjana dalam waktu yang relatif singkat. Untuk tingkat diploma atau sarjana muda,
biasanya sekira 2,5 – 3 tahun. Sedangkan untuk jenjang S1 sekira 3,5 – 5 tahun. Dengan
demikian, lulusan ini terhitung masih berumur cukup muda ketika mereka masuk ke
dunia pekerjaan. Biasanya antara 21 – 25 tahun. Sebagian dari lulusan ini ada yang
langsung bekerja di bidang perpustakaan maupun berbagai bidang yang lainnya yang
relevan atau malah sama sekali berbeda dengan ilmunya. Jika ada yang memiliki biaya
untuk meneruskan pendidikan, diantaranya malah selepas menamatkan pendidikan
jenjang S1-nya akan terus langsung mengambil pendidikan S2 (pascasarjana) selama 1 –
2 tahun lagi di beberapa perguruan tinggi penyelenggara pendidikan ini di tanah air.
Diantaranya UI, Unpad, dan UGM. Lulusan jenjang yang teakhir ini juga terhitung muda
ketika mereka memutuskan berkarier.
Lalu apa konsekuensinya terhadap perubahan gaya hidup pustakawan (librarian’s lifestye
changing)? Anak-anak muda ini, dengan jiwa muda dan semangat kemudaannya akan
membawa serta euforia muda mereka di tempat kerja mereka. Ditambah lahan kerja
lulusan bidang perpustakaan dan informasi masih sangat terbuka lebar dan sangat
beragam. Sebut saja selain di perpustakaan (yang konvensional seperti di perpustakaan
umum, perpustakaan daerah, maupun perpustakaan perguruan tinggi) mereka juga dapat
memasuki ranah kerja bidang yang lainnya seperti: di media massa cetak (koran, majalah,
tabloid); media massa elektronik (seperti di televisi, radio); media massa digital (portal
berita, digital content provider); BUMN (Badan Usaha Milik Negara – seperti di
Departemen Pertambangan dan Mineral, BPPT, Pertamina, dan lain sebagainya); kantor-
kantor pemerintahan (seperti LIPI, BMG, LAPAN, KPK); badan-badan/lembaga
internasional yang membuka afiliasinya di tanah air (WWF, WHO, PBB, ASEAN,
Kedutaan Negara lain); lembaga swasta (Lawyer, Lembaga Survei, Biro Periklanan);
maupun di berbagai NGO (Non Government Officer) dan LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat).
Tentu pilihan yang beragam bukan? Ibaratnya, Anda mau kerja dimana, skala lokal,
nasional, bahkan multinasional pun tersedia jika Anda memilih bekerja dan menekuni
bidang ini. Serta merta, pilihan lapang pekerjaan dan jenis lembaga yang bisa “dimasuki”
alumni bidang perpustakaan dan informasi tersebut menjadi warna tersendiri dalam
profesi ini. Bukan saja dalam bagaimana mereka bekerja, melakukan apa saja dalam
pekerjaan mereka, bagaimana bergaul dan bagaimana harus bersikap, namun juga harus
bagaimana harus berinteraksi dengan teknologi. Beberapa teman dan alumni ilmu ini
membuktikan hal tersebut. Dan menurut hemat saya, perlu ada penelitian khusus
mengenai keterserapan termasuk tracer-study lulusan ini di lapangan kerja.
Mengacu pada kata metro-digital seperti yang sebutkan pada judul tulisan ini, kata metro
lazim dipergunakan untuk mengistilahkan seseorang yang sudah bekerja dan mapan
(biasanya digambarkan sebagai seorang eksekutif) yang bukan saja berpenampilan
menarik, namun juga mampu mengikuti perkembangan zaman, modis, high-technology
(hitech), akrab dengan suasana dan hiruk pikuk kota metropolis dan tentu bekerja di
sektor yang keren (bonafid). Lalu apakah gambaran itu sudah ada pada profesi
pustakawan yang sedang kita bahas saat ini? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak.
Anak muda dengan semangat dan euforia muda, serta bekerja di kota besar (media massa,
kantor pusat pemerintahan/negara, dan lembaga lainnya biasanya menempati wilayah
perkotaan, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya) akan sangat menguatkan tesis tersebut.
Mereka tidak saja bekerja dan bersosialisasi dengan suasana metropolis seperti itu,
namun memiliki komunitas sosial tersendiri. Biasanya mereka tergabung dengan beragam
kegiatan penunjang, seperti komunitas fotografi, komunitas perbukuan, taman bacaan
anak, pecinta perpustakaan, komunitas kuliner, komunitas pecinta kereta Api, petualang
alam (PA), klub kebugaran, maupun komunitas lainnya yang mereka ikuti di sela-sela
waktu luang mereka. Sungguh asyik bukan?
Selain mengikuti beragam komunitas sosial secara nyata dalam lingkungannya, biasanya
para pustakawan ini memiliki profesi dan menyebut profesi mereka sendiri dengan cara
yang sangat bervariasi, seperti: librarian, cyberian, spesialis dokumentasi, spesialis
patent, dokumentalis, information broker, information consultant, library
consultant, penggiat literasi baca, dan banyak sebutan yang lainnya. Selain itu, biasanya
mereka juga memiliki lembaga sosial yang digeluti (juga di sela-sela waktu luangnya)
seperti: 1001 Buku, Pustakawan Membaca, Masyarakat Literasi Indonesia, Bibliophile,
dan sebagainya.
Banyak diantara pekerja muda bidang informasi dan perpustakaan ini memiliki pergaulan
sosial di dunia maya. Mereka ikut dan aktif di berbagai jejaring pertemanan sosial, seperti
di Friendster, FaceBook, GoodReads, Multiply. Dan berbagai aktivitas pribadi, lembaga,
maupun sosial mereka sehari-hari dengan mudahnya dapat kita baca dan lihat di berbagai
blog, seperti di Wordpress, Blogspot, dan lain sebagainya. Terkadang sarana pertemanan
ini juga menjadi ajang promosi dan layanan baru bagi lembaga yang mereka kelola,
seperti perpustakaan yang memiliki blog sendiri, memiliki banyak kemajuan dan
interaksi dengan user-nya melalui jejaring ini. Hebat bukan profesi ini?
Secara sekilas saya gambarkan bahwa pekerja dan pekerjaan di bidang ini tidak melulu
soal buku, namun lebih dari itu. Pustakawan (kalau pun Anda masih ingin memanggil
dan menggunakan dengan istilah itu) bekerja di depan komputer, lebih tepatnya melalui
internet. Mereka memiliki jaringan intranet dan internet yang mendukung kinerja
perpustakaan (itupun juga jika Anda masih ingin memakai istilah ini; istilah lainnya juga
sangat beragam). Jadi, mereka datang ke kantornya, ke meja kerja, menghidupkan
komputer, membuka portal perpustakaan, sambil mengecek email dan membaca berika
terbaru pagi itu, melakukan klasifikasi dan organisasi koleksi, mencari buku-buku
terbaru, membuat abstrak dan intisari informasi, meng-upload informasi tersebut ke
dalamwebsite perpustakaan, mengaktifkan Yahoo Messenger (YM!),”mengobrol” dan
berinteraksi dengan para pengguna serta pustakawan lain di berbagai belahan penjuru
dunia, memperbaharui halaman dan konten website/blog pribadi, ikut serta dalam
euforia citizen journalismdengan menulis berita di sekitar lingkungan kerja dan tempat
tinggalnya, serta masih banyak pekerjaan lainnya yang sungguh mengasyikkan. Saya kira
masih banyak lagi keasyikan lain ketika kita memutuskan untuk bekerja atau menekuni
bidang ini. Beragam lapang pekerjaan dan lembaga tentunya memiliki keasyikan dan
keunikan tersendiri. Tertarik?
Sisi kedua, apa yang mereka kelola dan di dunia apa (bagaimana) mereka tinggali.
Pekerjaan ditangani oleh profesi pustakawan pada dasarnya adalah bagaimana mengelola
informasi dengan baik (cepat, tepat, efisien) sehingga dapat dipergunakan oleh seseorang
untuk menyelesaikan pekerjaannya atau memenuhi ekspektasinya pada saat yang tepat.
So, yang dikelola itu berupa informasi, kawan. Bukankah informasi itu merupakan
barang abstrak? Tidak bisa dibawa kemana-mana? Bukankah sungguh hebat informasi
itu, apalagi orang-orang yang mentasbihkan dirinya sebagai penjaga, pengelola, atau
manajer informasi itu sendiri? Ia tidak saja berkewajiban mengumpulkan, menyeleksi,
mengolah, menyimpan, melestarikan, dan kemudian menyebarkannya ke orang yang
tepat untuk kepentingan estafet ilmu pengetahuan. Bayangkan saja kalau transfer
informasi dan pengetahuan ini mandeg di tengah jalan, tidak ada orang yang
menggawanginya, bagaimana dengan nasib peradaban dan kebudayaan manusia? Profesi
yang mulia bukan?
Perkembangan terbaru dari profesi ini yakni adanya Knowledge Management, alias
bagaimana memetakan pengetahuan manusia, dari awal perkembangan sejarah peradaban
manusia sampai dengan saat ini ketika ilmu dan pengetahuan berkembang sangat
pesatnya. Ditambah lagi dengan hadirnya teknologi komunikasi dan informasi yang
memudahkan manusia di semua lini kehidupannya. Kajian mengenaiknowledge
management ini juga menjadi perhatian penting ilmuwan barat, dan didukung
sepenuhnya oleh perusahaan mesin pencari terbesar, Google.
Google memprakarsai upaya digitalisasi dokumen dan informasi di beberapa
perpustakaan Amerika yang menyimpan koleksi yang sangat berharga. Selain untuk
melestarikan informasi, juga sebagai salah satu bagian untuk merealisasikan proyek
ambisius mereka, membuat metadata informasi yang lengkap. Loh, bukannya itu juga
bagian dari pekerjaan kita? Tentu kawan, information studies juga merupakan lini ilmiah
yang dilakukan oleh Google, sehingga Anda pun sebenarnya dapat memberikan
kontribusi atau bahkan bekerja disana.
Jadi informasi baik yang terekam dalam berbagai bentuknya maupun yang masih belum
berwujud itulah sebenarnya yang dikelola oleh pustakawan. Dengan format digital akan
memudahkan pustakawan maupun penggunya untuk dapat memanfaatkan semaksimal-
optimal mungkin. Kenapa harus digital? Karena dengan berupa digital pula informasi itu
dapat terlestarikan, termanfaatkan, dan tersebarkan ke semua orang pada saat yang
bersamaan, serta dapat dialihbentukkan secara cepat, mudah, dan murah pada banyak
orang. Wuih…
Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (TIK) disertai dengan
tersedianya infrastruktur jaringan yang ada membuat aksesibilitas informasi menjadi
semakin luas. Bahkan di satu bisa dibuat murah, namun di sisi lain memunculkan sebuah
peluang baru dalam bidang manajemen informasi, yakni pengemasan dan pemasaran
informasi (information packacging and information marketing). TIK juga memungkinkan
terjadinya konvergensi media, aksesibilitas informasi menjadi semakin murah-meluas
dan muncul-berkembangnya aplikasi web.2.0. Menangkap peluang ini,
banyak provider telekomunikasi dandigital content corporate yang berlomba
memanfaatkan informasi. Sehingga bukan hal yang mustahil jika banyak juga
pustakawan dan perpustakaan digital yang turut memasuki ranah konvergensi media ini.
Layanan dan jaringan digital mereka memungkinkan seorang pengguna memanfaatkan
layanan dan mengakses informasi melalui gadget mungil yang mereka miliki. Dengan
demikian, hal ini menjadi tuntutan baru sekaligus tantangan baru bagi dunia
kepustakawanan untuk me-manage informasi, mempromosikan dirinya, dan
menyediakan layanan informasi kepada penggunanya dengan sebaik mungkin. Dan itu
artinya adalah sebuah profesi lainnya bagi pustakawan: digital content manager!
Penutup
Ketika masyarakat sudah mau “melihat” secara utuh citra pustakawan seperti yang saya
gambarkan diatas dan masyarakat kita mengetahui seluk beluk pekerjaan seorang
pustakawan serta gaya hidup keseharian mereka di tempat kerja, saya mulai berharap dan
bermimpi lagi: pada satu masa di tahun tertentu, para akademisi, peneliti dan jurnalis di
sebuah negara itu sedang menyajikan hasil jejak pendapat besar-besaran (terakbar yang
pernah ada). Mereka dengan bangganya menyatakan bahwa sebagian besar responden
(hampir seluruhnya – 80%?) memilih pustakawan/cyberian/dokumentalis/digital content
manager/information consultant and manager sebagai profesi yang mereka idolakan/pilih
sebagai profesi bidang kariernya kelak. Mungkinkah?

Mahasiswa Program S2 Manajemen Informasi dan Perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM)
Jogjakarta, Angkatan tahun 2008/2009
Beberapa waktu yang lalu (tahun 2008) pernah diteliti tentang keterserapan lulusan bidang
perpustakaan dan informasi di dalam dunia kerja yang dilakukan oleh lembaga independent
asing. Hasilnya sungguh mencengangkan, yakni menempatkan jurusan ini kedalam empat
besar bidang yang sangat prospektif untuk ditekuni. Namun kajian lebih komprehensif dan
spesifik lainnya masih diperlukan untuk memperkuat hasil yang sudah ada, terutama dalam
konteks Indonesia.
http://nurmayaprahatmaja.blog.ugm.ac.id/?p=13

Refleksi Hari Guru Ke-63, Citra guru masa kini


Posted on November 25th, 2008 in Features

Oleh: R Tantiningsih SPd (Guru SDN Anjasmoro, Semarang)


SOSOK Ibu Guru Muslimah dalam Film Laskar Pelangi sangat menyentuh hati. Dengan penuh kasih ia didik murid-
muridnya, ia terima semua kelebihan dan kekurangan dari murid-murid tersebut. Ia mengajar dengan penuh
kelembutan dan dedikasi yang tinggi.

Dalam kebimbangan ia mampu menjadi motivator bagi para muridnya. Ketika murid membutuhkan ilmu ia menjadi
transformator. Ketika harus menggali kreativitas murid ia menjadi fasilitator. Ketulusan dan kreativitas Guru Muslimah
dalam mendidik para muridnya merupakan suatu pelajaran berharga yang patut diteladani, khususnya bagi kaum guru.

Seperti apa pun perubahan zaman dan perkembangan teknologi, ketulusan mengabdi seorang guru tetap diperlukan
demi masa depan putra-putri bangsa. Walaupun zaman telah berubah, teknologi semakin maju, peradaban semakin
berkembang nilai-nilai keluhuran budi harus tetap dipertahankan. Seorang pendidik berkewajiban untuk menumbuhkan
nilai-nilai kehidupan, budi pekerti, dan norma-norma pada murid-muridnya.

Guru sebagai sosok yang digugu lan ditiru. Dari pameo tersebut tersirat pandangan serta harapan masyarakat terhadap
seorang guru. Dalam kedudukan seperti itu guru tidak hanya sebagai pengajar di kelas namun juga tampil sebagai
pendidik di sekolah maupun di masyarakat. Harapan ini akan menjadi rancu manakala ada oknum guru yang
menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Masyarakat menjadi ragu untuk mempercayakan pendidikan putra-
putrinya kepada guru.
Bagaimana agar citra guru tetap menempati hati masyarakat? Bukan hal mudah untuk menjadi guru yang benar-benar
guru, menjadi panutan masyarakat, mampu mengabdikan dirinya dengan tulus. Oleh karena itu dalam rangka
menyambut hari guru ke-63 kiranya para guru wajib merenung, introspeksi diri, agar menjadi guru yang mempunyai
citra di masyarakat.

Kompetensi guru
Kualitas guru belakangan ini banyak diragukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Persoalan-persoalan yang
menyangkut generasi muda selalu dikaitkan dengan kualitas guru yang pernah mendidiknya. Jika ada siswa tawuran,
narkoba, brutal, guru yang pertama disalahkan.

Oleh karena itu pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme guru sesuai
dengan amanat perundang-undangan guru dan dosen. Berbagai upaya ini antara lain adalah dengan melakukan
pelatihan, peningkatan pendidikan bergelar, sertifikasi, dan pemberian tunjangan profesi guru (sambutan Menteri
Pendidikan Nasional pada Majalah Suara Guru edisi khusus Hari Ulang Tahun PGRI ke-63). Hal ini sebenarnya merupakan
bentuk perhatian pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan citra para guru di hati masyarakat.

Profesi guru yang dulu dipandang sebelah mata berangsur-angsur mulai diperhitungkan kembali oleh masyarakat. Guru
yang dulunya hanya dikenal sebagai tukang mengajar kini anggapan itu kian terkikis, sebab untuk menjadi guru harus
memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional seperti yang tertuang dalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Kompetensi guru juga tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007
tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang menyatakan bahwa guru perlu menguasai 4 (empat)
kompetensi, yakni pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Realitas di lapangan empat kompetensi tersebut belum seluruhnya dikuasai oleh para guru. Sebagai contoh
pengembangan kurikulum, guru enggan membuat Program Tahunan (Prota), Program Semester (Promes), silabus
bahkan sampai Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Guru lebih senang copy paste perangkat pembelajaran yang
sudah ada tanpa mencermati lebih dalam kekurangan dan kelebihan perangkat tersebut. Dalam bidang teknologi guru
juga belum banyak yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk pembelajaran. Banyak guru yang
masih gaptek (gagap teknologi) sehingga tidak pernah memanfaatkan internet untuk memperoleh berbagai informasi
yang dibutuhkan.

Tindakan reflektif untuk meningkatkan kualitas belajar wajib dilakukan oleh guru. Kegiatan ini tercermin dalam
Penelitian Tindakan Kelas ((PTK). Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru akan lebih baik jika ditulis dalam bentuk
karya tulis PTK. Selain untuk memperbaiki kualitas belajar siswa, memperbaiki kualitas pengajaran guru, juga melatih
guru untuk berpikir ilmiah. Tujuan yang bagus ini tidak didukung oleh semua guru, lantaran mereka merasa kesulitan
menyusun karya tulis, merasa tidak mampu, namun juga tidak mau belajar.

Guru memang profesi yang mulia, kepribadiannya pun juga harus mulia. Walaupun masih ada oknum guru yang
menentang hukum. Bahkan berita-berita di koran sering memuat tindak asusila yang dilakukan oleh oknum guru. Guru
yang semula harus menjadi panutan akhirnya menjadi bahan hinaan masyarakat. Guru yang seperti inilah yang
mencoreng citra guru.

Upaya pemerintah
Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru sudah dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Kegiatan
tersebut, antara lain: berbagai bentuk pelatihan, seminar untuk guru-guru mulai dari tingkat gugus hingga tingkat
nasional sering diselenggarakan. Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru. Harapannya para guru
memperoleh wawasan yang luas dalam mengembangkan karirnya sehingga ilmu-ilmu yang diperolehnya mampu
diterapkan di tempat ia bekerja. Guru tidak statis, selalu memperoleh dan mengembangkan ilmunya.

Ajang bergengsi untuk guru juga digelar setiap tahun di antaranya lomba keteladanan guru, keteladanan kepala
sekolah, lomba keberhasilan guru, dan sejenisnya. Dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat kompetisi tersebut akan
mendorong guru untuk meningkatkan kualitasnya, selalu berinovasi, memberikan semangat dalam melaksanakan
tugasnya. Sehingga kompetensi guru benar-benar teruji diajang perlombaan tersebut.

Fasilitas untuk belajar mengajar yang diberikan pemerintah juga merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas guru
dalam pembelajaran. Fasilitas tersebut akan sangat membantu guru dalam menjalankan tugasnya seperti gedung
sekolah, alat peraga, buku-buku, bea siswa, dan sebagainya. Tujuan pembelajaran akan tercapai apabila pembelajaran
berlangsung dengan optimal. Pembelajaran akan optimal apabila sarana dan prasarana tercukupi. Oleh karena itu
fasilitas belajar mengajar sangat urgen keberadaannya.

Sertifikasi bagi guru merupakan bentuk perhatian pemerintah untuk meningkatkan kualitasnya, sebab persyaratan
sertifikasi menggambarkan kompetensi guru dalam menjalankan tugasnya. Guru yang memenuhi syarat sertifikasi
berhak memperoleh tunjangan profesional. Dengan program semacam ini para guru akan berlomba-lomba
meningkatkan kualitas dirinya dalam menjalankan tugas mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Harus diakui bahwa
seorang guru yang telah mendapat sertifikat dalam proses sertifikasi harus mampu menunjukkan kinerja lebih optimal.
Benarkah sudah demikian? Sebuah pertanyaan yang patut untuk ditindakkritisi dengan merumuskan seperangkat
instrumen penilaian untuk menilai kinerja guru yang sudah tersertifikasi.

Sebagai kado HUT Guru ke-63 agaknya kita wajib merenungkan kata-kata William Arthur Ward, “Guru biasa
memberitahu, guru baik menjelaskan, guru ulung memperagakan, dan guru hebat mengilhami “. Jadilah guru hebat
yang mampu mengilhami siswa sehingga mereka menjadi pemroduksi gagasan bukan pengonsumsi gagasan. Guru yang
hebat akan selalu dirindukan oleh murid-muridnya. Pembelajarannya yang bermakna akan selalu ditunggu kehadirannya
di sekolah. Ketulusan pengabdiannya akan selalu dikenang di hati masyarakat.

Akhirnya, selamat hari guru, selamat berjuang! Embun pagi akan selalu tersenyum menyambut kedatanganmu. ***

Sumber Artikel: www.wawasandigital.com

Tags: citra guru, hari guru, refleksi


http://radiospin.net/2008/11/refleksi-hari-guru-ke-63-citra-guru-masa-kini/

You might also like