You are on page 1of 1043

i

i
DAFTAR ISI


PKM-P Kelompok 1

Kode Judul Nama_Ketua PT
PKMP-1-1 Uji Penggunaan Minyak Angin
1001 untuk Pengendalian
Populasi Wereng Coklat
(Nilaparvata lugens) dan
Wereng Hijau (Nepholettix sp)
Adelina Manurung Universitas Negeri
Medan
PKMP-1-2 Pemakaian Lapisan Ketuban
yang di Konservasi (Amnion
Lyophilisasi Steril Radiasi)
sebagai Perban Biologis pada
Tukak Diabetes
Jefri Henky Universitas Andalas
PKMP-1-3 Pemberdayaan Media Komik
Ilmu Pengetahuan alam
(Kolam) Untuk Meningkatkan
Pemaham Konsep IPA
Netty Universitas Negeri
Padang
PKMP-1-4 Daya Hambat Rebusan Daun
Rumput Mutiara (Hedyotis
corymbosa) terhadap
Pertumbuhan Tumor Payudara
Mencit C3H secara In-Vivo
Eva Febia Universitas
Indonesia
PKMP-1-5 Aktivitas Anti Tumor Dari
Ekstrak Daun Sisik Naga
(Pyrrosia nummularifolia
(Sw.) Ching) Secara Invitro
dan In Vivo Pada Tumor
Payudara Mencit (Mus
musculus)
Shanti Agustina Institut Pertanian
Bogor
PKMP-1-6 Pemanfaatan Limbah
Cangkang Kepiting Sebagai
Pengganti Kitin Komersial
Untuk Memproduksi Enzim
Kitinase
Mustopha Ahad Universitas
Diponegoro
PKMP-1-7 Skrining dan Potensi Kulit
Buah Pepaya Mentah Sebagai
Obat Antimalaria Alami
Muhammad
Mawardi Abdullah
Universitas Gadjah
Mada
PKMP-1-8 Pemanfaatan Ekstrak Bawang
Merah Sebagai Pengganti
Rooton F Untuk Menstimulasi
Pertumbuhan Akar pada Stek
Pucuk Jati (tectona grandis L.)
Rifki Masana Aulia
El Hakim
Universitas Gadjah
Mada
PKMP-1-9 Pagelaran Wayang Kagok
sebagai Media Pendidikan
Seks pada Anak di
Yogyakarta : Studi Kasus
terhadap Siswa Kelas III - VI
SD Negeri Pakel Yogyakarta
Kurniastuti Lestari Universitas Negeri
Yogyakarta

ii
PKMP-1-10 Pengolahan Air Baku Menjadi
Air Minum dengan Teknologi
Membran Mikrofiltrasi dan
Ultrafiltrasi
Nila Sari Mahardani Institut Teknologi
10 Nopember
Surabaya
PKMP-1-11 Pemanfaatan Protein Whey
(By product Keju) Menjadi
Edible Film Coating Untuk
Mempertahankan Kualitas
Daging
Erwin Wieddyanto Universitas
Brawijaya
PKMP-1-12 Formulasi Sediaan Tablet
Ekstrak Gossypium
Herbaceum Sebagai Alternatif
Kontrasepsi Pria
Ika Sherly
Rudiawati
Universitas Jember
PKMP-1-13 Studi Potensi Kalakai
(Stenochlaena palustris
(Burm.F) Bedd) sebagai
Pangan Fungsional
Dessy Maulidya
Maharani
Universitas
Lambung
Mangkurat
PKMP-1-14 Pemanfaatan Limbah Plastik
(Polisterina) dan Kertas Bekas
Sebagai Bahan Pembuatan
Fiber Board
Rita Afriyanti Politeknik Negeri
Lhokseumawe
Banda Aceh
PKMP-1-15 Kinerja dari Pemakaian Pasir
Alam Hasil Tambang
Masyarakat Desa Koto Baru
Sebagai Agregat Halus
Campuran Lataston
Ali Afdal Politeknik Negeri
Padang
PKMP-1-16 Pembuatan Abon Ampas Tahu
Sebagai Upaya Pemanfaatan
Limbah Industri Pangan
Ridayanti Universitas Djuanda
Bogor
PKMP-1-17 Pemaparan Logam Berat
Timbal (Pb) dan Kadmium
(Cd) pada Ayam Kampung
(Gallus domesticus)
Reny Pratiwi Universitas Kristen
Duta Wacana
Yogyakarta
PKMP-1-18 Sistem Detektor Kebocoran
Gas pada Tabung LPG dengan
Mennunakan Sensor AF56
Adi Prasetyawan Universitas
Muhammadiyah
Surakarta
PKMP-1-19 Analisa Uji Tarik Polipadu
Poliester Tak Jenuh dengan
Serabut Kelapa
Anton Setiawan Universitas
Muhammadiyah
Sidoarjo
PKMP-1-20 Kajian Hubungan Kuantitatif
Struktur Aktivitas Senyawa
Kalanon dan turunannya
sebagai Anti Leukemia dengan
Pendekatan PCR (Principle
Component Regression)
Harjono Universitas Jenderal
Soedirman
PKMP-1-21 Kajian Optimasi Pengaruh
Orientasi Serat dan Tebal Core
Terhadap Peningkatan
Kekuatan Bending dan Impak
Komposit Sandwich GFRP
dengan Core PVC

Istanto Universitas Sebelas
Maret Surakarta

iii
PKMP-1-22 Flash Card Klasifikasi dengan
sistem Permainan Bridge
Untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Sistem Klasifikasi
Makhluk Hidup Pada Siswa
SMA
Dewi Wulandari Universitas Negeri
Malang
PKMP-1-23
( TPSDP )
Pengujian Sifat Fisik dan
Mekanik Ori (Bambusa
arundinaceae)
Trio Parsaoran
Hutapea
Universitas
Tanjungpura


PKM-P Kelompok 2

Kode Judul Nama_Ketua PT
PKMP-2-1 Evaluasi Hasil Persilangan
Bebrapa Ayam Lokal
Anggiat Humisar
Siahan
Universitas Jambi
PKMP-2-2 Upaya Penurunan Lemak Tubuh
Ayam Broiler Melalui
Penambahan Metionin dan Lisin
sebagai Prekursor Karnitin
dalam Ransum
Eli Ratni Universitas Andalas
PKMP-2-3 Uji Ketahanan Tanaman Pisang
yang Telah di Imunisasi dengan
Pseudomonas Berflouresensi
Terhadap Ralstonia
solanacearum
Fidel Kasfar Universitas Negeri
Padang
PKMP-2-4 Aplikasi Nanofluida Pada
Radiator
Angga Permana Universitas
Indonesia
PKMP-2-5 Formulasi Campuran Flower
Leather dari Bunga Mawar
Dengan Ekstrak Rempah-
rempah (Cengkeh dan Kayu
Manis) sebagai Pangan
Fungsional Kaya Antioksidan.
Karen Puspasari Institut Pertanian
Bogor
PKMP-2-6 Pemanfaatan Limbah Kulit
Kacang Tanah (Arachis
hypogea) Sebagai Bahan Bakli
Asap Cair (Liquid Smoke)
Antioksidan dan Aplikasinya
dalam Pengasapan Ikan
Bandeng (Chanos chanos F.)
Titisari Dian
Pertiwi
Universitas
Diponegoro
PKMP-2-7 A Comic Enlightment: Suatu
Metode Peningkatan Integritas
Ego Pada Lansia
Adi Dinardinata Universitas Gadjah
Mada
PKMP-2-8 Kajian Potensi Undur-Undur
Darat (Myrmeleon sp.) sebagai
Antidiabetes
Tyas Kurniasih Universitas Gadjah
Mada
PKMP-2-9 Absorbsi Timbal (Pb) dalam
Gas Buang Kendaraan Bermotor
Bensin dengan Karbon Aktif

Murhadi Universitas Negeri
Yogyakarta

iv
PKMP-2-10 Kajian Penyebaran Limbah Cair
Bawah Permukaan Berdasarkan
Sifat Kelistrikan Batuan di
Lokasi Pembuangan Akhir
(LPA) Benowo Surabaya
Suparmanto Institut Teknologi
10 Nopember
Surabaya
PKMP-2-11 PEngaruh Campuran Lemak
Sapi dan Mentega Sera Jenis
Pelarut dalam Proses Ekstraksi
Minyak Melati Menggunakan
Sisten Enflourasi
Kelik Kurniawan Universitas
Brawijaya
PKMP-2-12 Modifikasi Membran Selulosa
Asetat Sebagai Membran
Ultrafiltrasi : Studi Pengaruh
Komposisi Terhadap Kinerja
Membran
Ali Muhammad
Yusuf Shofa
Universitas Jember
PKMP-2-13 Pengaruh Ekstrak Bawang Putih
dengan Dosis yang Berbeda
terhadap Mortalitas Kutu Ikan
(Argulus sp.) yang Menginfeksi
Ikan Mas Koki (Carrasius
auratus Linn)
Akhmad Fakhrizal
Nur
Universitas
Lambung
Mangkurat
PKMP-2-14 Rancang Bangun Sistem Scada
Proses Kontrol Industri
Menggunakan Kendali Logika
Fuzzy (Desain Software dan
Hardware)

Bima Harimurti Politeknik Negeri
Jakarta
PKMP-2-15 Pengaruh Pemberian
Konsentrasi Pupuk dan Media
Tanam Terhadap Pertumbuhan
Vegetatif Fase Sledling Anggrek
Phalaenopsis

Mus Mulyadi Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa
Serang - Banten
PKMP-2-16 Toksisitas Rifampin Terhadap
Fetus Mencit (Mus musculus)
Swiss Webster Intrauterus
Adhi Pranoto Universitas
Katholik Indonesia
Atmajaya
Yogyakarta
PKMP-2-17 Pemanfaatan Azolla (Azolla
microphylla L.) Sebagai
Biofilter Limbah Tambak
Udang

Sujiati Universitas
Muhammadiyah
Yogyakarta
PKMP-2-18 Uji Aktivitas Antiradikal
Ekstrak Herba Cakar Ayam
(Selaginella doederleinii
Hieron), Herba Keladi Tikus
(Typhonium flagelliforme
(Lodd) BL), Daun Dewandaru
(Eugenia uniflora Linn.) Sebagai
Sumber Alternatif Pencegahan
Penyakit Degeneratif

Setyo Nurwaini Universitas
Muhammadiyah
Surakarta

v
PKMP-2-19 Pola Interaksi Sosial Antar
Umat Beragama (Studi Kasus
Tentang Pola Interaksi Antar
Umat Beragama di Wonosalam
Jmbang Jawa Timur)
Fuad Amrulloh Universitas
Bhayangkara
Surabaya
PKMP-2-20 Studi Kasus Trigger Factor
(Bootom Line) Pada Penderita
Ketergantungan NAPZA yang
Pulih
Erwan Nizwarudin Universitas
Padjadjaran
PKMP-2-21 Pemanfaatan Bentonit Sebagai
Katalis Padat Dalam
Optimalisasi dan Efisiensi
Sintesis Tokoferol (Vitamin
E).
Ucik
Ayudianingsih
Universitas
Airlangga
PKMP-2-22 Investasi Hukum Adat Suku
Bajo Atas Penguasaan Wailayah
Laut di kab. Banggai
Rhenita Universitas
Tadulako
PKMP-2-23
( TPSDP )
Koefisien Pengeringan dan
Kadar Air Kesetimbangan
Dinamis pada Pengeringan
Lapisan Tipis Buah Pisang
Irisan
Toar Daniel
Malingkas
Universitas Sam
Ratulangi


PKM-P Kelompok 3

Kode Judul Nama_Ketua PT
PKMP-3-1 Investigasi Penyebaran Intrusi
Air Laut di Kota Bengkulu
dengan Metode Geolistrik
Tahanan Jenis
Bayu Suhartanto Universitas
Bengkulu
PKMP-3-2 Pembuatan Tablit Kunyah
(Suplemen) Dadih dengan
Penambahan Madu, dan Rasa
Jeruk
Rony Hamdy Universitas Andalas
PKMP-3-3 Respon Regenerasi Eksplan
Kalus Kedelai (Glycine max
(L.) Merril) Terhadap
Pemberian NAA dan BAP
secara In Vitro
Eva Azriati Universitas Negeri
Padang
PKMP-3-4 Pengembangan Multiple
Intelligence Melalui Program
Pemeliharaan Hewan
Regina Anindya
Tantri
Universitas
Indonesia
PKMP-3-5 Pembuatan Egg Instan Drink
dari Putih Telur dengan
Penambahan Efek Effervescent
dan Citra Rasa Lemon
Dwi Yogo
Wardoyo
Institut Pertanian
Bogor
PKMP-3-6 Pengembangan Ubi Jalar
Sebagai Produk Konfeksioneri
Permen Jelly Prebiotik

Helmi Nashirudin Institut Pertanian
Bogor

vi
PKMP-3-7 Isolasi Eugenol dalam Minyak
Cengkeh dengan Destilasi
Fraksionasi Tekanan Rendah
Ria Amiriani Universitas
Diponegoro
PKMP-3-8 Pengaruh Pemberian Ekstrak
Buah Merah (Pandanus
conoideus) Terhadap Tikus
(Rattus novergicus) Diabetik
yang Diinduksi Aloksan
Rahmi Febriyanti Universitas Gadjah
Mada
PKMP-3-9 Pemanfaatan Senyawa
Flavonoid dari Tumbuhan Asli
Indonesia Ganiothalamus
Sumatranus sebagai Biolarv-
asida dan Pengendali Hama
yang Ramah Lingkungan
Nurwakhid Suko
Diantoro
Universitas
Airlangga
PKMP-3-10 Pencelupan Pada Kain Sutera
Menggunakan Zat Warna Urang
Aring (Eclipta Alba) dengan
Fiksator Tawas, Tunjung dan
Kapur Tohor
Khoiromi
Trismawati
Universitas Negeri
Yogyakarta
PKMP-3-11 Pengaruh Penambahan
Surfaktan Terhadap Kelarutan
Limbah Plastik Jenis
Polipropilen Dalam High Speed
Diesel
Ernia Novika
Dewi
Institut Teknologi
10 Nopember
Surabaya
PKMP-3-12 Studi Perbandingan Kualitas
Gelatin dari Limbah Kulit Ikan
Tuna (Thunnus spp.) Kulit Ikan
Pari (Dasiatis sp.) dan Tulang
Ikan Hiu (Carcarias sp.) Sebagai
Penyedia Alternatif Gelatin
Halal

Doni Muhammad
Irawan
Universitas
Brawijaya
PKMP-3-13 Pemanfaatan Potensi Tandan
Kosong Kelapa Sawit (Elais
guineensis Jacq) Sebagai Bahan
Dasar C-aktif untuk Logam
Perak dalam Larutan
Winda Rahmalia Universitas
Tanjungpura
PKMP-3-14 Pemanfaatan Ekstrak Akar
Pasak Bumi (Eurycoma
longifolia Jack) Sebagai Model
Antipenuaan in-vitro

Muhammad Riyad
Filza
Universitas
Lambung
Mangkurat
PKMP-3-15 Pemanfaatan Limbah Gas
Kolektor Hasil Pengolahan
Logam PT. Krakatau Steel
Sebagai Bahan Campuran
Conblock
Kiki Marina
Murdiani
Politeknik Negeri
Jakarta
PKMP-3-16 Perbanyakan Beberapa Species
Anggrek Hutan Langka
Sumatera Utara Melalui Kultur
In-Vitro

Yusnidar Tanjung Universitas
Muhammadiyah
Sumatera Utara

vii
PKMP-3-17 Struktur Komunitas Arthropoda
Tanah di Bukit Plawangan
Sleman, Yogyakarta
Acressendo
Taman
Universitas
Katholik Indonesia
Atmajaya
Yogyakarta
PKMP-3-18 Motivasi Non-Ekonomi
Pengemis di Kota Yogyakarta
Arie Kusuma
Paksi
Universitas
Muhammadiyah
Yogyakarta
PKMP-3-19 Pemanfaatan Seni Karawitan
untuk Menumbuhkan dan
Meningkatkan Nilai
Kedisiplinan dan Kebersamaan
Anak
Muhammad Arifin Universitas
Muhammadiyah
Surakarta
PKMP-3-20 Uji Tata Letak Meja Kursi
Model Tapal Kuda dan
Intelegence Quotient (IQ)
terhadap Prestasi Belajar Bidang
Studi Matematika pada Siswa
SDN Kertajaya XII Surabaya
Alexander Universitas Putra
Bangsa Surabaya
PKMP-3-21 Karakteristik Pemakaian
Register Polisi Dalam
Komunikasi "Handy Talky" do
Polwiltabes Surabaya
Siti Alfiyatul MH Universitas Negeri
Surabaya
PKMP-3-22 Pemanfaatan Limbah Abu
Layang (Fly Ash) Menjadi
Material Terembani MnO2 dan
Penggunaannya Pada
Desinfektasi Fotokatalitik
Bakteri Escherichia coli
Khoirul Himmi
Setiawan
Universitas Islam
Indonesia
Yogyakarta
PKMP-3-23
( TPSDP )
Analisis dan Perancangan
Perangkat Ajar Pengetahuan
Dasar Indonesia Berbasis
Multimedia
Adi Purwoko Universitas Bina
Nusantara



PKM-P Kelompok 4

Kode Judul Nama_Ketua PT
PKMP-4-1 Penapisan Mikroba Penghasil
Enzim Lignosellulosa dari
Lumpur Selokan untuk Starter
dalam Pembuatan Kompos di
Kota Padang
Masteria
Yunovilsa Putra
Universitas Andalas
PKMP-4-2 Rancang Bangun Mesin
Pembuat Pasta Melinjo
Asropi Universitas
Lampung
PKMP-4-3 Pengaruh Penggunaan Pasta
Gigi yang Mengandung
Triklosan, Baking Soda dan
Enzim Terhadap Aktivitas
Laktoperoksidase Saliva

Tri Rahayu
Oktaviani
Universitas
Indonesia

viii
PKMP-4-4 Keefektifan Bakteri Rhizosfer
Rumput Gajah (Pennisetum
purpureum) Dalam Pembuatan
Kompos dan Pengendalian
Penyakit Akar Gada
(Plasmodiophora brassicae)
pada Tanaman Cruciferae

Irfanni Institut Pertanian
Bogor
PKMP-4-5 Studi Tentang Pengaruh Medan
Magnet dalam Proses Deposisi
Lapisan Film Tipis pada Reaktor
Opposed Target Magnetron
Sputtering (OTMS)
Wulan Anggraeni Institut Teknologi
Bandung
PKMP-4-6 Pelarutan Senyawa Fosfat
Anorganik Oleh Kultur Campur
Secara In Vitro
Agustina Dwi K. Universitas
Diponegoro
PKMP-4-7 Pembuatan Keju dengan
Bantuan Pepsin dari Sekum
Kelinci Sebagai Pengganti
Rennet
Pobi Tarosman Universitas Gadjah
Mada
PKMP-4-8 Peranan &-Endoktoksin Bacillus
Thuringiensis B-18749 sebagai
Pemutus Siklus Hidup Aedes
Aegyptu dalam Mencegah
Demam Berdarah Dengue
Debora Natalia Universitas
Airlangga
PKMP-4-9 Kemampuan Potong End Mill
Cutter Two Lips Dengan
Tangkai Bahan VCL 140
Terhadap Bahan Mild Steel dan
Aluminium
Simson Purnomo Universitas Negeri
Yogyakarta
PKMP-4-10 Kajian Penelitian Sistem
Keamanan Mobil dengan
Membuat Remote Control yang
Dilengkapi dengan Fasilitas
Short Massage Service (SMS)
dan Miscall Berbasis
Mikrokontroler AT89C51
Nurul Diyah
Kristiyani
Universitas Negeri
Malang
PKMP-4-11 Upaya Peningkatan Hasil
Tanaman Kacang Hijau (Vigna
radiata L.) Varietas Walet
Melalui Aplikasi jenis dan
Ketebalan Mulsa Kertas Bekas.
Harno Purwanto Universitas
Brawijaya
PKMP-4-12 Pemanfaatan Ball Clay Cap
Kala Untuk Penjernihan Air
Gambut
Aderya Monika Universitas
Tanjungpura
PKMP-4-13 Pirolisis Tandan Kosong Kelapa
Sawit (TKKS) untuk
Mendapatkan Asap Cair Serta
Uji Kemampuannya sebagai
Bahan Pembeku Lateks
Alternatif

Mira Setiyawati Universitas
Lambung
Mangkurat

ix
PKMP-4-14 Alat Pendeteksi Kantuk Sebagai
Sarana Pengaman Bagi
Pengemudi Mobil
Diko Harneldo Politeknik Negeri
Bandung
PKMP-4-15 Efektivitas Beberapa
Fitohormon dan Tingkat
Kematangan Benih Terhadap
Pertumbuhan Kecambah
Tanaman Mahkota Dewa
Bambang
Anggono Iriawan
Universitas
Muhammadiyah
Sumatera Utara
PKMP-4-16 Pengaruh Terapi Perilaku
Kognitif Terhadap Kecemasan
Menjelang Masa Pensiun
Nofrans Eka
Saputra
Universitas Ahmad
Dahlan Yogyakarta
PKMP-4-17 Pengaruh Komposisi Media
yang Dipadatkan (Nutricake
Plant Media) Terhadap
Pertumbuhan Stump Jati
(Tectona grandis Linn.F)
Sarwono Institut Pertanian
Stiper Yogyakarta
PKMP-4-18 Uji Efektivitas Filtrat Serai
(Andropogon nardus) Sebagai
Insektisida Nabati Dalam Upaya
Memberantas Nyamuk Aedes
aegypti
Ema Kurniawati Universitas
Muhammadiyah
Malang
PKMP-4-19 Upaya Meningkatkan Kualitas
Tanah Gohong untuk Pekerjaan
Lapis Pondasi Bawah
Jainudin Universitas
Muhammadiyah
Palangkaraya
PKMP-4-20 Modifikasi Bentonit dan Uji
Kinerja Bentonit Hasil
Modifikasi pada Proses
Pemucatan Minyak Sawit
Mentah
Irwan Nugraha Universitas
Pendidikan
Indonesia
PKMP-4-21 Model Diseminasi Inovasi
Budidaya Tanaman Padi Sistem
Jajar Legowo Melalui
Pengembangan Teknologi
Partisipatoris (Kasus di Wilayah
Demplot Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian BPTP
Karang Ploso Malang)
Muliatin Universitas
Brawijaya
PKMP-4-22 Kinetika Degradasi Zat Warna
Rhodamin B Dengan Fotokatalis
Titanium Dioksida (TiO2)
Muhammad
Arfandi
Universitas
Haluoleo
PKMP-4-23
( TPSDP )
Program Aplikasi Order
Penjualan Menggunakan Web
Order dan Program Aplikasi
Pemprograman Guna
Meningkatkan Efektifitas
Pelaksanaan Order Penjualan
pada PT. Indomurni Dairy
Industry
Sunan Nur Huda Politeknik Negeri
Malang





x
PKM-P Kelompok 5

Kode Judul Nama_Ketua PT
PKMP-5-1 Pemanfaatan Senyawa
Difeniltimah Disalisilat untuk
Mengatasi Penyakit Panu
Sri Ayu Dewi Universitas
Lampung
PKMP-5-2 Frekuensi Siulan Lumba-Lumba
Hidung Botol (Tursiops sp.)
Saat Berenang Bersama anak-
anak di Gelanggang Samudera
Jaya Ancol.
Alfrido Marlianno Universitas
Indonesia
PKMP-5-3 Prospek Steinernema sp. dan
Heterorhabditis sp. sebagai
Agens Pengendali Populasi
Meloidagyne incognita
Chidwood di Laboratorium
Ridwan
Fatamorgana
Institut Pertanian
Bogor
PKMP-5-4 Aplikasi Kolom Penukar Ion
Dalam Pengembangan
Generator Strontium 90/Yttrium
90 Untuk Penyiapan
Radiofarmaka Terapi Kanker
Moh. Elvan
Kamal
Universitas
Padjadjaran
PKMP-5-5 Perancangan dan Pengembangan
Sarana Relaksasi bagi Ibu Hamil
Sebagai Alternatif Solusi
Hypnoterapi Melalui Media
Keramik di Industri Studio 181
Wesdiarman Institut Teknologi
Bandung
PKMP-5-6 Felspar Jepara Sebagai Bahan
Baku Utama Industri Keramik
Indonesia : Efektivitas Metode
Flotasi dan Metode CBD Dalam
Menurunkan Kandungan Besi
Pengotor Felspar
Tyas Tri
Parwatiningsih
Universitas Sebelas
Maret Surakarta
PKMP-5-7 Pengelolaan Biji Karet Menjadi
Biodiesel
Agus Jayadi Universitas Gadjah
Mada
PKMP-5-8 Beton Polimer Termoplastik
yang Ringan dengan Kuat Tekan
Tinggi
Irfan Krisna
Saputra
Universitas Negeri
Yogyakarta
PKMP-5-9 Pemanfaatan Zeolit Teraktivasi
Sebagai Adsorben Ion Sianida
Siti Churrotin Universitas
Airlangga
PKMP-5-10 Perbandingan Efektifitas Larva
Lucillia sp. dan Musca sp.
dalam Uji Ekstrak In Vitro, Uji
Ekstrak In Vivo, Manggot
Debridement Therapy pada
Luka Terinfeksi Methicillin-
Resistanst Staphylococcus
aureus (MRSA)
Albert
Cendikiawan
Universitas
Brawijaya
PKMP-5-11 Sintesis Bahan Pewarna
Keramik Tahap Awal
Penyediaan Bahan Pewarna
Keramik Pengganti Import
Dina Sugiyanti Universitas Negeri
Malang

xi
PKMP-5-12 Analisis Kekerabatan Antar
Jenis Kelompok Anura (Amfibi)
Sulawesi Tenggara Melalui
Penanda Kariotipe
Nur Wahidah Universitas
Haluoleo
PKMP-5-13 Inventarisasi dan Identifikasi
Cempedak (Artocarpus
champeden Spreng) di
Kelurahan Ansus Distrik Yapen
Barat di Kab. Yapen, Papua
Charlos Guntur
Maay
Universitas Negeri
Papua
PKMP-5-14 Teknologi Penyisihan Logam
Timbal dengan Metode
Elektrokoagulasi pada Limbah
Cair Industri Kecil Pewarnaan
Logam
Mahendra Galih Politeknik Negeri
Semarang
PKMP-5-15 Pengebor PCB dengan
Pemanfaatan Pola Gambar
Komputer
Calvin Nico
Herlambang
Universitas
Katholik Indonesia
Atmajaya Jakarta
PKMP-5-16 Formulasi Lotion Antinyamuk
Minyak Atsiri Kayu Manis
Sri Widiastuti Universitas Ahmad
Dahlan Yogyakarta
PKMP-5-17 Pengembangan Produk Soygurt
Bubuk Menggunakan Metode
Foam - Mat Drying Untuk
Memperpanjang Masa Simpan
Soygurt dengan Menggunakan
Penambahan Prebiotik
Pendhina AS. Institut Pertanian
Stiper Yogyakarta
PKMP-5-18 Perilaku Seks Bebas dan Aborsi
Mahasiswa di Malang
Hutri Agustino Universitas
Muhammadiyah
Malang
PKMP-5-19 Efek Ekstrak Etanol Biji Jintan
Putih (Cuminum cyminum Lin.)
Terhadap Induksi Enzim
Glutation-S-Transferase dan
Penghambatan Mutasi gen p53
pada Hepar Tikus Galur Sprague
Dawley yang Diberi 7,12-
Dimentilben[a]Antrasena
Marlyn Dian
Laksitorini
Universitas Gadjah
Mada
PKMP-5-20 Studi Dampak Pengeboran
Geotermal pada Proyek
Pembangkit Listrik Tenaga
Panas Bumi (PLTPB) terhadap
Lingkungan dan Masyarakat
Bedugul dan Sekitarnya
Kadek Agus
Apriawan Putra
Ikip Negeri
Singaraja
PKMP-5-21 Studi Pembuatan Serbuk
Minuman Umbi Bit (Beta
vulgaris L) Berkarbonasi
(Effervescent)
Retno Kurniasih Universitas Sahid
Jakarta
PKMP-5-22 Perbedaan Kadar Timbal (Pb)
Pada Tanaman Kangkung Air
Berdasarkan Lokasi Penanaman
Edy Setyorini Universitas
Muhammadiyah
Semarang
PKMP-5-23
( TPSDP )
Kajian Karakteristik Fisik dan
mekanik pada Buah Markisa dan
Tomat
Winarno Universitas Andalas

xii

PKM-P Kelompok 6


Kode Judul Nama_Ketua PT
PKMP-6-1 Teknologi Biodegrasi dan
Biofilter dalam Treatment Air
Terproduksi (Produce Water
Pengeboran Minyak Lepas
Pantai)
Aditya Ary
Yudhanto
Institut Pertanian
Bogor
PKMP-6-2 Rancang Bangun Alat Ukur
Getaran Jembatan Dengan
Transducer LVDT Berbantuan
IBM PC
E.B. Fatari Universitas
Padjadjaran
PKMP-6-3 Model Pendidikan dan Pelatihan
Pengembangan Kemampuan
Entrepreneurship Untuk Siswa
Sekolah Menengah Kejuruan
Tarma Universitas
Pendidikan
Indonesia
PKMP-6-4 Pengurangan Kadar Ca2+
Dalam Air Sadah Menggunakan
Zeolit alam Banyumas Sebagai
Penukar Kation
Teguh Purwanto Universitas Jenderal
Soedirman
PKMP-6-5 Menelisik Terorisme dan
Gejalanya (Analisis Kasus
Terorisme di Kota Semaarang)
Awaludin Marwan Universitas Negeri
Semarang
PKMP-6-6 Pemanfaatan Adsorben Serbuk
Gergaji Kayu Sengon pada
Knalpot Sepeda Motor 4 Tak
yang Dimodifikasi Sebagai
Alternatif Pengurangan Emisi
Pb di Surakarta
Aan Yunianto Universitas Sebelas
Maret Surakarta
PKMP-6-7 Studi Kemampuan Hutan Kota
Dalam Penyerapan Karbon
(Carbon Sequestration) (Stufi
Kasus di Kampus Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta)
Jany Tri Raharjo Universitas Gadjah
Mada
PKMP-6-8 Kontraversi Peristiwa AOI
(Angkatan Oemat Islam) di
Kebumen Tahun 1950
Banu Setiawan Universitas Negeri
Yogyakarta
PKMP-6-9 Pemanfaatan Hidrolisis
Beberapa Jenis Xilan Dengan
Enzim Xilanase Rekombinan
Sebagai Bahan Baku Industri
Alkohol
Rizki Indra Irawan Universitas
Airlangga
PKMP-6-10 Pembuatan Minuman Probiotik
Tersuplementasi "Rice Bran"
yang Bersifat Multifungsional
(Kajian Pengaruh Penambahan
Bekatul Terhadap Viabilitas
BAL dan Aktivitas Bakteriosin)

Elmi Dewi Universitas
Brawijaya

xiii
PKMP-6-11 Keefektifan Media Komputer
Sebagai Sarana Pembelajaran
Ikatan Kimia pada Siswa SMA
Kelas I
Siti Ni'matul
Fitriyah
Universitas Negeri
Malang
PKMP-6-12 Isolasi dan Karakterisasi Pektin
Kulit Buah Kakao (Theobroma
cacao L.) Kabupaten Kolaka
Propinsi Sulawesi Tenggara
Irnawati Universitas
Haluoleo
PKMP-6-13 Studi Pembotolan Buah Matoa
(Pometia sp.)
Sritina Novreta
Paulina Paiki
Universitas Negeri
Papua
PKMP-6-14 Pemanfaatan ban Bekas untuk
Mengurangi Tekanan dan
Potensi Pengembangan Tanah
Ekspansif
Yayan Rahmadi
Utomo
Politeknik Negeri
Malang
PKMP-6-15 Fermentasi Molase untuk
Produksi Mikroprotein sebagai
Bahan Pakan Unggas
Yuniati Universitas
Katholik Indonesia
Atmajaya Jakarta
PKMP-6-16 Pilarisasi Bentonit
Menggunakan TiO2 dan
Pemanfaatannya pada
Fotodegradasi Limbah Cair
Industri Tekstil
Purwo Guntoro Universitas Islam
Indonesia
Yogyakarta
PKMP-6-17 Perancangan Instrumen
Pengontrol Biaya Listrik Rumah
Tangga dengan Sistem
Pengambilan Data Metode
Digital
Ahmad Yuliyanto Politeknik Pratama
Mulia Surakarta
PKMP-6-18 Teleoperasi Robot Via Internet Ahmad Mursid Universitas
Muhammadiyah
Malang
PKMP-6-19 Studi Awal Pembuatan dan Uji
Menara Pendingin (Cooling
Tower) Tipe Induced Counter
Flow dengan Berbagai Bahan
Filler untuk Pre Colling Produk
Buah dan Sayur
Ilham Politeknik Negeri
Jember
PKMP-6-20 Studi Tentang Keamanan
Pangan Melalui Deteksi
Kandungan Unsur Babi dengan
Metode Imunodifusi dalam
Produk Bakso Sapi di Wilayah
Kodya Malang
Khoirun Anam Universitas
Muhammadiyah
Malang
PKMP-6-21
( TPSDP )
Pengaruh Temperatur dan
Kelembaban Terhadap Kinerja
Matrial Isolasi Komposit
Silicone Rubber-Fiber Glass
Novalina
Tarihoran
Universitas
Tanjungpura
PKMP-6-22
( TPSDP )
Mekanisme Sistem Pengaturan
Jarak Aman Pengereman
terhadap Benda yang Berada di
Depan Mobil untuk
Menghindari Terjadinya
Benturan
Himawan
Hindrarto
Universitas Kristen
Petra Surabaya

xiv
PKMP-6-23
( TPSDP )
Pembuatan Batu Bata dengan
menggunakan Campuran Tras,
Kapur, Tohor dan Tanah Liat
tanpa Proses Pembakaran
Nodia Herman Universitas Bung
Hatta



PKMP-1-1-1
UJI PENGGUNAAN MINYAK ANGIN 1001 TERHADAP
PENGENDALIAN POPULASI WERENG COKLAT (Nilaparvata lugens)
DAN WERENG HIJAU (Nephottetix sp.)

Adelina Manurung, Aida Warni, Peberliana Sihombing
Jurusan Biologi, Universitas Negeri Medan, Medan


ABSTRAK
Wereng Coklat (Nilaparvata lugens) dan Wereng Hijau (Nephotettix sp.)
merupakan dua jenis serangga yang berpotensi sebagai hama paling dominan
menyerang tanaman padi. Untuk mengurangi serangan hama wereng terhadap
lahan pertanian beberapa tehnik pengendaliannya telah banyak dilakukan. Salah
satu cara pengendalian populasi wereng coklat yang telah dilakukan para petani
di Desa Prambon, Kabupaten Trenggalek adalah dengan mencampurkan Minyak
Angin 1001 kedalam air. Pelaksanaan penelitian diawali dengan mengkoleksi
serangga percobaan sebanyak mungkin dari lapangan (Deli Serdang) dengan
menggunakan jala serangga dan aspirator, dilanjutkan dengan penyortiran dan
identifikasi di laboratorium, kemudian diperbanyak di Rumah Kaca dengan
meletakkannya pada tanaman padi yang terdapat dalam tabung kaca dan pada
bagian atasnya ditutupi kain kasa. Kemudian dilanjutkan dengan pengisolasian
telur wereng hijau dan wereng coklat sebanyak 480 telur. Kemudian 30 butir telur
ditempatkan pada larutan Minyak Angin 1001 dengan kadar 0% (kontrol); 0,1%;
0,3%; 0,5%. Kemudian telur ini diamati setiap hari dan masing-masing perlakuan
dilakukan sebanyak 4 ulangan, dan diamati selama 8 hari. Data yang diperoleh
diolah dengan menggunakan Uji F dan yang menjadi rancangan penelitian ini
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) non-faktorial yang kemudian diuji
dengan Uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Minyak Angin 1001 yang diberikan pada telur wereng hijau dan wereng coklat
berpengaruh sangat nyata (<0,01) terhadap perkembangan embrio pada
perlakuan 0,1%; 0,3%; dan 0,5%. Tingkat mortalitas pada konsentrasi Minyak
Angin 1001 0,3% tidak mencapai angka 50% kematian dan pada konsentrasi
0,5% mencapai lebih dari 50% angka kematian telur wereng coklat, sedangkan
pada wereng hijau tidak mencapai angka 50% kematian (46,63%). Uji BNT (Beda
Nyata Terkecil) menunjukkan kematian (penghambat perkembangan embrio)
terbesar pada konsentrasi Minyak Angin 1001 0,5%.

Kata kunci: pengendalian, populasi wereng coklat, Nilaparvata lugen, wereng
hijau, Nephottetix sp.

PENDAHULUAN
Wereng coklat (Nilaparvata lugens) dan wereng hijau (Nephotettix sp.)
merupakan dua jenis serangga yang berpotensi sebagai hama paling dominan
menyerang tanaman padi di Indonesia maupun negara-negara lainnya yang ada di
kawasan Asia Tenggara, dalam hal ini disamping lewat menghisap cairan yang
terdapat pada jaringan tanaman padi, kedua jenis wereng tersebut dapat
memindahkan (sebagai vektor) virus ke tanaman padi. Lewat kedua perilaku itu,
biasanya tanaman padi akan menjadi kuning, kerdil dan akhirnya mati. Alhasil

PKMP-1-1-2
gagal panen pun terjadi. Wereng hijau merupakan vektor virus atau penyakit
tungro, sedangkan wereng coklat (Nilaparvata lugens) vektor virus atau
penyakit rice grassy stunt (Wilson & Claridge, 1991; Baehaki, 1993).
Gagal panen yang diakibatkan oleh serangan wereng dan virusnya sudah
sering kali dilaporkan di Indonesia. Serangan yang paling dahsyat dari kedua jenis
wereng tersebut misalnya pernah terjadi di Sumatera Utara pada tahun 70-an dan
tahun 80-an. Ketika itu gagal panen mencapai hingga 100%. Gagal panen yang
diakibatkan oleh wereng-wereng tadi bersama dengan virusnya juga terjadi pada
tahun 1999 dan 2002 yang lalu pada berbagai daerah pertanian yang ada di
Indonesia (Suara Pembaharuan 26-27.07.1999 dan Suara Merdeka 28.01.2002).
Untuk mengurangi serangan hama wereng terhadap pertanian beberapa
tehnik pengendaliannya telah diperkenalkan kepada para petani. Pengendalian ini
pada dasarnya mencakup pengendalian secara fisik atau mekanik, kimiawi dan
biologi. Bahkan juga lewat pengendalian terpadu (Jumar,2000).
Untuk mengendalikan populasi wereng coklat, seorang petani dari kelompok
tani tunggak semi di Desa Prambon, Kabupaten Trenggalek telah menggunakan
Minyak Angin 1001.
Kegiatan PKM ini bertitik tolak dari pengalaman kelompok tani di atas
dalam mengendalikan populasi wereng coklat, khususnya kelompok tani Janggi.
Dalam hal ini ingin di uji kebenaran dari pengalaman tersebut. Pengujiannya di
fokuskan pada populasi stadium telur dan juga dengan menambah jenis wereng
yang di uji, yaitu wereng hijau (Nephotettix sp).
Rumusan
1. Bagaimana pengaruh minyak angin 1001 dalam menghambat
perkembangan wereng hijau?
2. Bagaimana pengaruh minyak angin 1001 dalam menghambat
perkembangan wereng coklat?
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh dan manfaat penggunaan minyak angin 1001
dalam mengendalikan perkembangan populasi wereng hijau.
2. Untuk mengetahui pengaruh dan manfaat penggunaan minyak angin 1001
dalam mengendalikan perkembangan populasi wereng coklat.
Manfaat Penelitian
Luaran yang diharapkan dari program ini adalah dihasilkannya sebuah
artikel yang dapat dipublikasikan pada jurnal yang terakreditasi secara nasional,
yang akan mengkaji tentang pengaruh penggunaan minyak angin 1001 untuk
pengendalian perkembangan populasi wereng hijau dan wereng coklat.
Setelah program ini berakhir diharapkan :
1. Para petani dapat mengendalikan perkembangan wereng hijau.
2. Para petani dapat mengendalikan perkembangan wereng coklat.
3. Para petani tidak hanya bergantung pada penggunaan pestisida akan tetapi
dapat menggunakan alternatif lain, seperti minyak angin 1001

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 5 Bulan (Juli-November 2005) di Desa
Sambirejo Timur Tembung Deli Serdang, Laboratorium, dan Rumah Kaca MIPA
Universitas Negeri Medan.

PKMP-1-1-3
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah wereng hijau, wereng coklat, minyak angin
1001, aquades, pasir, dan tanah.
Alat yang digunakan adalah jala serangga, tabung kaca, botol kaca,
aspirator, kain kelambu, baki, mikroskop, alat bedah, gelas ukur, beaker glass,
cawan petri, pipet tetes, pengaduk, polibag, magnetik stirer, dan erlemeyer.

Metode yang Digunakan dalam Kegiatan
Untuk meneliti pengaruh penggunaan minyak angin 1001 untuk pengendalian
wereng hijau dan wereng coklat akan digunakan prosedur dan pendekatan sebagai
berikut :
Persiapan Penelitian
1. Koleksi serangga percobaan
Serangga yang akan digunakan dalam penelitian ini pertama-tama akan
dikoleksi dari lapangan. Dalam hal ini dengan menggunakan jala serangga
(Stewart, 2002), penangkapan wereng coklat dan wereng hijau akan
dilakukan di daerah pertanian sekitar Desa Sambi Rejo Timur Tembung Deli
Serdang, Sumatera Utara. Dengan menggunakan aspirator wereng-wereng
yang telah tertangkap dalam jala serangga akan disortir dalam keadaan hidup-
hidup dan selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung-tabung yang telah
disediakan. Bagian atas dari tabung-tabung itu akan ditutupi dengan kain
kelambu agar serangga tetap mendapat oksigen. Wereng yang sudah
tertangkap dan telah berada dalam tabung-tabung selanjutnya dibawa ke
laboratorium untuk disortir dan diidentifikasi lebih lanjut.
2. Penyortiran dan Identifikasi di laboratorium
Setelah sampai di laboratorium, wereng-wereng yang ada dalam tabung
tabung kemudian dilepaskan kedalam tabung kaca yang pada salah satu
bagian sisinya diberi sumber cahaya. Dalam keadaan seperti itu, wereng-
wereng akan berkumpul ke sumber cahaya dan dengan mudah di tangkap
kembali dengan menggunakan aspirator. Wereng-wereng kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang bagian atasnya ditutupi dengan kain
kelambu. Wereng-wereng ini selanjutnya diidentifikasi di bawah mikroskop
dengan menggunakan kunci determinasi. Dalam hal ini untuk memastikan
bahwa wereng yang tertangkap betul-betul termasuk wereng hijau dan wereng
coklat digunakan kunci determinasi wereng yang disusun oleh Wilson dan
Claridge (1991). Untuk itu aedagus dari kedua wereng tersebut menjadi
parameter utama untuk memastikan kebenaran speciesnya.
3. Perbanyakan Serangga (Mass Rearing)
Wereng coklat dan wereng hijau yang sudah diidentifikasi dengan benar
kemudian dipelihara pada tanaman padi yang terdapat dalam tabung kaca,
yang pada bagian atasnya ditutupi dengan kain kelambu. Dalam hal ini pada
tiap tabung kaca ditempatkan 30 betina dan 30 jantan. Tanaman padi tadi
bersama dengan wadahnya ditempatkan pada suatu baki berisi pasir yang
senantiasa basah dan ditempatkan di Rumah Kaca. Tiap hari wereng tersebut
akan senantiasa di kontrol untuk mengetahui perkembangannya. Setelah 10
hari wereng-wereng dewasa tadi dipindahkan pada tanaman padi yang baru,
yang terdapat dalam tabung kaca lainnya. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh

PKMP-1-1-4
populasi wereng yang homogen. Yang akan digunakan pada pelaksanaan
penelitian.

Pelaksanaan Penelitian
Untuk menyelidiki pengaruh penggunaan Minyak Angin 1001 terhadap
tingkat mortalitas telur wereng coklat dan wereng hijau maka akan digunakan
pendekatan seperti yang digunakan Manurung (2001). Dalam hal ini pertama-
tama telur diisolasi dari daun tumbuhan, dan kemudian diberi perlakuan Minyak
Angin 1001.
1. Isolasi Telur
Untuk mendapatkan telur yang cukup akan digunakan pada penelitian,
sebanyak 120 individu betina dari masing-masing wereng coklat dan hijau
yang berasal dari mass rearing akan ditempatkan pada tanaman padi yang
ditempatkan pada 4 tabung kaca (@ 30 individu). Setelah 4 jam masa
peletakan telur, wereng akan dipindahkan ke tanaman lain yang berada pada
tabung lain. Sementara itu daun-daun padi yang sebelumnya ditempati
wereng akan diisolasi untuk mendapatkan telur-telur. Dalam hal ini
diperlukan sebanyak 480 telur.
2. Perlakuan dengan minyak angin 1001
Untuk mengetahui pengaruh pemberian minyak angin 1001 terhadap tingkat
mortalitas telur wereng coklat dan wereng hijau, maka dilakukan perlakuan
sebagai berikut: masing-masing sebanyak 30 telur yang telah diisolasi
ditempatkan pada larutan Minyak Angin 1001 dengan kadar 0% (sebagai
kontrol); 0,1 %; 0,3%; dan 0,5 %. Dalam hal ini untuk masing-masing
perlakuan dibuat 4 ulangan karena itu jumlah telur yang digunakan sebanyak
480. Telur-telur itu selanjutnya ditempatkan pada temperatur suhu kamar.
Telur-telur pada cawan ini akan diamati hari demi hari. Memperhatikan
perubahan yang terjadi. Dalam hal menghitung jumlah telur yang gagal
berkembang dan yang menetas menjadi larva.
3. Rancangan Penelitian
Adapun rancangan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) non faktorial. Bagan sebagai berikut:



Analisis data hasil Penelitian
Data jumlah telur yang gagal berkembang/menjadi larva akan diolah selanjutnya.
Kemudian akan dianalisis dengan menggunakan uji F-Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Dan selanjutnya dilakukan uji rata-rata LSD (Zar,1999).
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30

PKMP-1-1-5
Bila terdapat pengaruh nyata dan sangat nyata, maka perlu dilakukan Uji Beda
Nyata Terkecil (BNT) untuk melihat beda antar perlakuan. Bila koefisien lebih
kecil dari 20% maka penelitian dikatakan cukup teliti, bila koefisien lebih besar
dari 20% maka penelitian dikatakan kurang teliti.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan taraf kepercayaan 95% dan 99% atau F 0.05
dan F 0.01. Jika F (h) < F 0.05, menunjukkan tidak nyata taraf konsentrasi dan
lama perendaman, maka Ho diterima dan Ha ditolak pada taraf kepercayaan 95%.
Jika F (h) F 0.05, menunjukkan pengaruh nyata konsentrasi dan lama
perendaman, maka Ho ditolak dan Ha diterima pada taraf kepercayaan 95%. Jika
F (h) F 0.01, menunjukkan pengaruh sangat nyata konsentrasi dan lama
perendaman pada taraf kepercayaan 99% (Sastrosupadi,2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Wereng Coklat (Nilaparvata lugens)
Jumlah kematian telur wereng coklat setelah diberi perlakuan Minyak Angin
1001 dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Jumlah Kematian Telur Wereng Coklat Dengan Perlakuan Minyak Angin 1001

Ulangan Perlakuan
1 2 3 4
Total Perlakuan Rata-Rata
0%
0,1%
0,3%
0,5%
0
6
15
28
2
3
16
25
0
8
11
29
3
6
11
26
5
23
53
108
1,25
5,75
13,25
27
Total 189 47,25

Dari data tabel diatas dapat dilihat bahwa pada konsentrasi 0,5% Minyak
Angin 1001 jumlah kematian telur wereng coklat semakin meningkat. Setelah
dianalisis secara statistik, jumlah kematian dari ketiga kelompok perlakuan
tersebut berbeda sangat nyata dibanding dengan kelompok kontrol (0%).

Tabel 2. Analisis Sidik Ragam Jumlah Kematian Telur Wereng Coklat Dengan Perlakuan
Minyak Angin 1001

Ftabel Sumber
Variasi
Db JK KT Fhitung
0,05 0,01
Perlakuan 3 1524,19 508,06 121,33
**
3,49 5,95
Galat 12 50,25 4,19
Total 15 1574,44

Pada daftar sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan Minyak Angin 1001
memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 99%
terhadap jumlah kematian telur wereng coklat (Nilaparvata lugens). Hal ini
terlihat dari F
hitung
(121,33) > F
tabel
(5,95), maka Ho ditolak dan H
a
diterima pada
taraf kepercayaan 99%, yang berarti ada pengaruh perlakuan Minyak Angin 1001
terhadap jumlah kematian telur wereng coklat (Nilaparvata lugens).
Untuk mengetahui beda antar perlakuan, maka digunakan uji beda nyata terkecil
(BNT).

PKMP-1-1-6
Tabel 3. Uji BNT Jumlah Kematian Telur Wereng Coklat Dengan Perlakuan Minyak Angin 1001

Beda Rata-Rata Perlakuan Rata-Rata
0% 0,1% 0,3% 0,5%
0%
0,1%
0,3%
0,5%
1,25
5,75
13,25
27
-
4.5
**

12
**

25,75
**

-
7,5
**
21,25
**


-
13,75
**



-
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa semua perlakuan menunjukkan
pengaruh yang berbeda sangat nyata antar perlakuan.
Untuk mengetahui secara jelas hubungan antara jumlah kematian telur wereng
coklat dengan perlakuan Minyak Angin 1001 dapat dilihat pada gambar histogram
berikut ini:

Gambar 1. Persentase Mortalitas Telur Wereng Coklat Dengan Perlakuan Minyak Angin 1001.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi Minyak Angin 1001
0,5% mengakibatkan telur wereng coklat tidak berkembang bahkan mengalami
kematian dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pada konsentrasi 0,5%
jumlah telur wereng coklat yang mati paling banyak dibandingkan dengan
konsentrasi Minyak Angin 1001 0,1% dan 0,3%. Dibandingkan dengan kontrol
(0%), pengaruh Minyak Angin 1001 terhadap perkembangan embrio ini sudah
sangat nyata mulai dari konsentrasi 0,1%. Tetapi berdasarkan gambar 3.3
menunjukkan bahwa yang mendekati mencapai angka kematian 50% adalah pada
konsentrasi 0,5%.
Untuk mengetahui ketelitian dari penelitian ini maka dilakukan uji ketelitian
koefisien keragaman (KK). Dari uji ketelitian ini diperoleh hasil KK(4,33%) <
20% (Lampiran I). Hal ini berarti penelitian yang dilakukan cukup teliti.

Wereng Hijau (Nephotettix sp)
Jumlah kematian telur wereng hijau setelah diberi perlakuan Minyak Angin
1001 dapat dilihat pada Tabel 4. Dari data tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada
konsentrasi 0,5% Minyak Angin 1001 jumlah kematian telur wereng hijau
semakin meningkat. Setelah dianalisis secara statistik, jumlah kematian dari ketiga
kelompok perlakuan tersebut berbeda sangat nyata dibanding dengan kelompok
kontrol (0%).
0
10
20
30
40
50
60
Persentase
Mortalitas
Telur Wereng
Coklat
0% 0,1% 0,3% 0,5%
Konsentrasi Minyak Angin 1001
0%
0.10%
0.30%
0.50%

PKMP-1-1-7
Tabel 4. Jumlah Kematian Telur Wereng Hijau Dengan Perlakuan Minyak Angin 1001

Ulangan Perlakuan
1 2 3 4
Total Perlakuan Rata-Rata
0%
0,1%
0,3%
0,5%
0
5
16
23
3
6
18
20
0
6
18
17
3
5
15
23
6
22
67
83
1,5
5,5
16,75
20,75
Total 178 44,5

Tabel 5. Analisis Sidik Ragam Jumlah Kematian Telur Wereng Hijau Dengan Perlakuan Minyak
Angin 1001

Ftabel Sumber
Variasi
Db JK KT Fhitung
0,05 0,01
Perlakuan 3 994,25 331,41 109,01
**
3,49 5,95
Galat 12 36,5 3,04
Total 15 1030,75

Pada daftar sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan Minyak Angin 1001
memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 99%
terhadap jumlah kematian telur wereng Hijau (Nephotettix sp). Hal ini terlihat dari
F
hitung
(109,01) > F
tabel
(5,95), maka Ho ditolak dan H
a
diterima pada taraf
kepercayaan 99%, yang berarti ada pengaruh perlakuan Minyak Angin 1001
terhadap jumlah kematian telur wereng Hijau (Nephotettix sp).
Untuk mengetahui beda antar perlakuan, maka digunakan uji beda nyata
terkecil (BNT).

Tabel 6. Uji BNT Jumlah Kematian Telur Wereng Hijau Dengan Perlakuan Minyak Angin 1001

Beda Rata-Rata Perlakuan Rata-Rata
0% 0,1% 0,3% 0,5%
0%
0,1%
0,3%
0,5%
1,5
5,5
16,75
20,75
-
4
**

15,25
**

19,25
**

-
11,25
**
15,25
**


-
4
**



-
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa semua perlakuan menunjukkan
pengaruh yang berbeda sangat nyata antar perlakuan.
Untuk mengetahui secara jelas hubungan antara jumlah kematian telur wereng
Hijau dengan perlakuan Minyak Angin 1001 dapat dilihat pada gambar histogram
(Gambar 2). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi Minyak Angin
1001 0,5% mengakibatkan telur wereng Hijau tidak berkembang bahkan
mengalami kematian dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pada Konsentrasi
0,5% jumlah telur wereng Hijau yang mati paling banyak dibandingkan dengan
Konsentrasi Minyak Angin 1001 0,1% dan 0,3%. Dibandingkan dengan kontrol
(0%), pengaruh perlakuan Minyak Angin 1001 terhadap perkembangan ini sudah
sangat nyata mulai dari konsentrasi 0,1%. Tetapi berdasarkan gambar 3.4
menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0,5% belum mencapai angka kematian
50%. Hal ini berbeda dengan wereng coklat yang mencapai lebih dari 50%
(57,14%) sedangkan wereng hijau hanya 46,63%.

PKMP-1-1-8
Gambar 2. Persentase Mortalitas Telur Wereng Hijau Dengan Perlakuan Minyak Angin 1001.

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi Minyak Angin 1001
0,5% mengakibatkan telur wereng Hijau tidak berkembang bahkan mengalami
kematian dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pada Konsentrasi 0,5%
jumlah telur wereng Hijau yang mati paling banyak dibandingkan dengan
Konsentrasi Minyak Angin 1001 0,1% dan 0,3%. Dibandingkan dengan kontrol
(0%), pengaruh perlakuan Minyak Angin 1001 terhadap perkembangan ini sudah
sangat nyata mulai dari konsentrasi 0,1%. Tetapi berdasarkan gambar 3.4
menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0,5% belum mencapai angka kematian
50%. Hal ini berbeda dengan wereng coklat yang mencapai lebih dari 50%
(57,14%) sedangkan wereng hijau hanya 46,63%.
Untuk mengetahui ketelitian dari penelitian ini maka dilakukan uji ketelitian
koefisien keragaman (KK). Dari uji ketelitian ini diperoleh hasil KK(3,9%) < 20%
(Lampiran II). Hal ini berarti penelitian yang dilakukan cukup teliti.

Pembahasan
Sebagaimana telah disebutkan dari hasil sebelumnya, bahwa Minyak Angin
1001 menyebabkan kematian (menghambat perkembangan embrio) pada telur
wereng coklat dan wereng hijau. Sifat penghambat ini kemungkinan karena
adanya Methylis salicylas 54,8% yang merupakan salah satu komposisi dari
minyak angin tersebut. Zat ini jumlahnya paling besar dibandingkan dengan
komposisi lainnya. Rumus molekul Methylis salicylas tersebut adalah
C
6
H
4
(OH)C))CH
3
yang merupakan metil ester asam salisinil (Anonim,2005). Hal
ini terbukti dari hasil penelitian yang diperoleh bahwa konsentrasi dari Minyak
Angin 1001 yang mengandung zat Mythylis salicylas dapat mengakibatkan telur-
telur wereng coklat dan hijau menjadi tidak berkembang bahkan mengalami
kematian. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana cara
kerja Mythylis salicylas dalam menghambat perkembangan embrio wereng coklat
dan wereng hijau. Dari data yang dihasilkan pada konsentrasi 0,5% Minyak Angin
1001, jumlah kematian telur wereng coklat dan hijau semakin meningkat. Setelah
dianalisis secara statistikjumlah kematian dari ketiga kelompok perlakuan tersebut
berbeda sangat nyata jika dibandingkan dengan kontrol (0%).
0
10
20
30
40
50
Persentase
MortalitasT
elur Wereng
Hijau
0% 0,1% 0,3% 0,5%
Konsentrasi Minyak Angin 1001
0%
0.10%
0.30%
0.50%

PKMP-1-1-9

KESIMPULAN
1. Wereng Coklat (Nilaparvata lugens) dan Wereng Hijau (Nephotettix sp)
memiliki tahapan perkembangan embrio yang ditandai dengan adanya
perubahan warna dan pertambahan ukuran telur serta terbentuknya berbagai
organ tubuh seperti mata, kepala, notum, abdomen dan organ lainnya.
2. Minyak Angin 1001 yang diberikan pada telur wereng coklat dan hijau
berpengaruh sangat nyata ( = 0,01) terhadap jumlah kematian telur wereng
coklat dan hijau pada taraf 0,1%; 0,3%; dan 0,5%.
3. Persentase kematian telur wereng coklat secara berturut-turut 0%; 0,1%;
0,3% dan 0,5% adalah 2,65%; 12,17%; 28,04% dan 57,12% sedangkan pada
wereng hijau adalah 3,37%; 12,36%; 37,64% dan 46,63%.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 26 Juli 1999. Awas Serangan Hama Padi. Suara Pembaharuan
Anonimus. 27 Juli 1999. Perlu Disiplin Mengendalikan Hama Padi. Suara
Pembaharuan
Anonimus. 28 Januari 2002. Wereng Cokelat dan Tikus Mengganas. Suara
Merdeka
Anonimus. 2005. www.ibiblio.org
Baehaki. 1993. Berbagai Hama Serangga Tanaman Padi. Bandung: Angkasa
Harahap I.S. dan Tjahjono B. 2003. Pengendalian Hama dan Penyakit Padi.
Jakarta: Penebar Swadaya
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: Rineka Cipta
Kartasapoetro A.G. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Jakarta:
Bumi Aksara
Manurung, B., Witsack, W. dan E. Fuchs. 2001. Zur Embryonal-und
Larvalentwicklung der Zikade Psammotettixalienus (DAHLBOM, 1985)
(Hemiptera, Auchenorrhyncha:Homoptera). Beitrage zur Zikadenkunde
4:49-58
Munthe. 2005. Kajian Biologi Perkembangan Embrionik dan Larva Wereng Hijau
(nephotettix virescens Dist.). Medan: Unimed
Pracaya. 2003. Hama dan Penyakit Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya
Rismunandar. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Pembasmiannya. Bandung:
Sinar Baru Algesindo
Simajuntak D. 2005. Kajian Biologi Perkembangan Embrionik dan Larva Wereng
Cokelat (Nilaparvata lugens). Medan: Unimed
Semangun H. 1993. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Indonesia. Yoyakarta:
Gajah Mada University Press
Stewart, A.J.A. 2002. Techniques for Sampling Auchenorrhyncha in Grassland.
Denisia 04:491-512
Suprayono dan Setyono A. 1997. Mengatasi Permasalahan Budidaya Padi.
Jakarta: Penebar Swadaya
Tjahjadi N. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta: Kanisius
Wilson, M.R. dan Claridge, M.F. 1991. Handbook for the Identification of
Leafhoppers of Rice. Wallingford-Oxon : CAB

PKMP-1-2-1
PEMAKAIAN LAPISAN KETUBAN YANG DIKONSERVASI
(AMNION LYOPHILISASI STERIL RADIASI)
SEBAGAI PERBAN BIOLOGI PADA TUKAK DIABETES

Jefri Henky, Ikhsan Hidayat, Irsal Munandar
Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK
Tukak Diabetes merupakan komplikasi menahun Diabetes Melitus (DM) dan
penyebab terbanyak pasien dirawat di Rumah Sakit. Perawatan tukak diabetes
memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar. Komplikasi lain pada pasien
ini berupa gangguan aktifitas sehari-hari dan akhirnya menderita cacat.
Patogenesis terjadinya tukak DM akibat iskemia, neuropati dan infeksi yang tidak
sembuh. Iskemia disebabkan buruknya aliran darah ke perifer dan ke kulit,
menyebabkan penurunan asupan O
2
dan nutrisi untuk metabolisme serta proses
perbaikan jaringan. Neuropati menyebabkan penurunan kemampuan mendeteksi
sensasi atau vibrasi rasa, sehingga luka pada kaki akibat trauma tidak dirasakan.
Luka yang disebabkan iskemia dan neuropati akan menimbulkan infeksi, hal ini
juga diakibatkan kurangnya kemampuan leukosit menahan invasi bakteri
sehingga menimbulkan ulserasi dan destruksi pada jaringan. Penyembuhan tukak
diabetes melibatkan beberapa faktor pertumbuhan yang merangsang
pembentukan jaringan granulasi, epitel, neovaskular dan respon imun. Faktor
pertumbuhan itu berupa : PDGF (Platelet Derived Growth Factor), TGF-
(Transforming Growth Factor Betha), AF (Angioneogenik Factor), EGF
(Epidermis Growth Factor), Somatomedin atau IGF (Insulin-like Growth Factor)
dan Fibronectin. Faktor tersebut bekerja merangsang proliferasi sel, sehingga sel
jaringan pengganti tumbuh dan berkembang tanpa tergantung faktor tumbuh.
Untuk perawatan tukak diabetes dalam waktu yang cepat dan biaya yang kecil,
diperlukan perban yang menyembuhkan sekaligus menutup jaringan tukak.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa amnion (selaput ketuban) mampu
merangsang terjadinya jaringan granulasi, epitelisasi, neovaskularisasi dan
respon imun untuk penyembuhan luka bakar, luka pasca operasi dan tukak lepra.
Penelitian ini bertujuan melihat efek pemakaian amnion sebagai perban biologis
pada 7 pasien tukak diabetes. Setelah debridemant, tukak dibagi dalam 2 daerah
sebagai : Kelompok I (perlakuan) dan Kelompok II (kontrol positif). Kemudian
dilakukan insisi untuk pemeriksaan histopatologi setelah tukak sembuh atau
menutup. Pemeriksaan histopatologi berupa penghitungan jumlah jaringan
granulasi, sel epitel, neovaskular, jaringan nekrotik, sel MN dan sel PMN.
Lamanya penyembuhan pada masing-masing pasien dihitung berdasarkan
kelompok yang sembuh lebih dahulu. Uji T-Test menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara Kelompok I dan Kelompok II, dengan hasil : jaringan granulasi
(p=0,015), sel epitel (p=0,126), neovaskular (p=0,000), jaringan nekrotik
(p=0,055), sel MN (p=0,611) dan sel PMN (p=0,271). Tukak pada Kelompok I
lebih cepat sembuh dan menutup dibandingkan tukak pada Kelompok II.
Perbedaan penyembuhan itu juga signifikan antara kedua kelompok penelitian
(p=0,000). Uji Korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang bermakna antara
gambaran histopatologi jaringan tukak dengan Kelompok I (perlakuan), yaitu :
jaringan granulasi (p=0,05), neovaskular (p=0,01) dan waktu penyembuhan

PKMP-1-2-2
(p=0,01). Jadi, dapat disimpulkan bahwa amnion (ALS-Radiasi) dapat
meningkatkan jumlah sel jaringan pengganti dan mempercepat penyembuhan
tukak diabetes secara signifikan.

Kata kunci : tukak diabetes, amnion (ALS-radiasi), histopatologi

PENDAHULUAN
Tukak Diabetes merupakan suatu komplikasi menahun pada Diabetes
Melitus (DM) berupa gangguan neurologi dan vaskular (International 1999;
Sarwono 1996). Tahun 1996, sekitar 15% pasien DM di dunia menderita tukak
diabetes dan diperkirakan akan meningkat 2 kali lipat pada tahun 2025
mendatang. 40%-70% dari jumlah tersebut diamputasi, karena jaringan tukak
telah mengalami ganggren (Armstrong et al. 1998).
Sub Bagian Endokrin UPF Penyakit Dalam Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin
menyebutkan 50%-80% indikasi rawat pasien DM adalah karena tukak dan
biasanya terjadi setelah 5-15 tahun menderita DM. Di RS Dr. M. Djamil Padang
tahun 1990-1994 terdapat 106 kasus tukak DM, diantaranya 62,3% adalah wanita
dan 50,9% pasien berumur lebih dari 50 tahun (Endokrinologi UNDIP 2002;
Dona 1996).
Tukak DM merupakan penyebab utama pasien dirawat dan waktu perawatan
yang lama, yaitu 20% lebih lama dari komplikasi DM lainnya. Lamanya
perawatan dan biaya pengobatan yang mahal merupakan salah satu masalah yang
harus dihadapi pasien. Tahun 1998, beberapa pusat penelitian di Indonesia
melaporkan biaya perawatan setiap pasien dengan tukak DM di kelas III sebesar
Rp105.154,-/hari dengan lama perawatan 30 hari (Sarwono 1998; Levin et al.
1993).
Umumnya tukak DM terjadi akibat iskemia, neuropati dan infeksi yang tidak
sembuh. Iskemia disebabkan buruknya aliran darah ke perifer dan ke kulit,
menyebabkan penurunan asupan O
2
dan nutrisi untuk metabolisme serta proses
perbaikan jaringan. Neuropati menyebabkan penurunan kemampuan mendeteksi
sensasi atau vibrasi rasa, sehingga luka pada kaki akibat trauma tidak dirasakan.
Luka yang disebabkan iskemia dan neuropati akan menimbulkan infeksi, hal ini
juga diakibatkan kurangnya kemampuan leukosit menahan invasi bakteri
(Stadelmann et al. 1998; Siti et al. 2002).
Penyembuhan tukak diabetes melibatkan beberapa faktor pertumbuhan yang
merangsang pembentukan jaringan granulasi, epitel, neovaskular dan respon
imun. Faktor pertumbuhan itu berupa : PDGF (Platelet Derived Growth Factor),
TGF- (Transforming Growth Factor Betha), AF (Angioneogenik Factor), EGF
(Epidermis Growth Factor), Somatomedin atau IGF (Insulin-like Growth Factor)
dan Fibronectin. Faktor tersebut bekerja merangsang proliferasi sel, sehingga sel
jaringan pengganti tumbuh dan berkembang tanpa tergantung faktor tumbuh
(Underwood 1999; Robbins 1995).
Selama ini tukak DM hanya dibersihkan dan ditutup dengan perban sintesis
yang steril atau perban sintesis berbasis antibiotik (Sofratulle), sehingga
membutuhkan waktu perawatan dan penyembuhan yang lama serta biaya yang
mahal. Untuk itu diperlukan suatu perban biologis yang dapat menyembuhkan
sekaligus melindungi jaringan tukak diabetes.

PKMP-1-2-3
Di RS Dr. M. Djamil terdapat perban biologis yang dapat mempercepat
penyembuhan luka. Perban biologis itu adalah Amnion Lyophilisasi Steril Radiasi
(ALS-Radiasi), yang dikonservasi dengan pengeringan beku tanpa melewati fase
cair, tanpa merusak fisik dan biokimia amnion (Nazly, 1992). ALS-Radiasi
berasal dari selaput ketuban wanita setelah melahirkan. Selaput ketuban ini
tersedia banyak, namun selalu dibuang, dihanyutkan atau dikubur karena
mengikuti tradisi budaya masyarakat. Sekarang ini selaput itu dikonservasi dan
dipergunakan dalam bentuk ALS-Radiasi untuk mengobati dan menyembuhkan
luka, seperti luka bakar, luka post operasi, tukak lepra dan pterigium pada mata
(Menkher & Helfial 2000; Kamardi et al. 1993).
Beberapa penelitian yang membandingkan pemakaian ALS-Radiasi dengan
bahan sintesis (perban steril, sofratulle) menyebutkan bahwa Amnion merangsang
proses granulasi, neovaskularisasi dan epitelisasi 2 kali lebih cepat dan lebih baik,
mengurangi rasa nyeri, menahan evaporasi, menekan populasi kuman dan melekat
rata pada permukaan sehingga akan mempercepat waktu penyembuhan. Manfaat
lain yang dirasakan pasien adalah elastis, ringan, tipis, transparan, tidak perlu
dilepas dan tidak menghalangi pergerakan. Dari segi ekonomi, Amnion
mengurangi biaya hari perawatan dan harga jual yang relatif lebih murah (Barry
1991; Menkher et al. 2000; Yulfirstayuda 2001).
Berdasarkan pada teori dan penelitian terhadap luka yang memakai Amnion
(ALS-Radiasi) dan belum adanya kemajuan penelitian terhadap penyembuhan
tukak diabetes dengan perban sintesis, maka dirasakan perlu untuk meneliti
apakah Amnion (ALS-Radiasi) dapat dipakai sebagai perban biologis untuk
mempercepat perbaikan jaringan pada tukak diabetes.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Efek pemakaian Amnion (ALS-Radiasi) terhadap gambaran histopatologi
penyembuhan jaringan tukak diabetes.
2. Efek pemakaian Amnion (ALS-Radiasi) dalam mempercepat waktu
penyembuhan jaringan (lama sembuh) pada tukak diabetes.
3. Membandingkan lama kesembuhan dan gambaran histopatologi
penyembuhan jaringan tukak diabetes yang memakai Amnion (ALS-Radiasi)
dengan memakai sofratulle (perban sintesis berbasis antibiotik).
4. Mengetahui hubungan korelasi antara gambaran histopatologi penyembuhan
jaringan tukak diabetes dengan pemakaian Amnion (ALS-Radiasi).
Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemanfaatan bahan buangan
manusia (selaput ketuban yang sering dibuang, dikubur atau dihanyutkan) menjadi
bahan berguna, yaitu sebagai perban biologis untuk penyembuhan tukak diabetes.
Hasil penelitian ini dapat diterbitkan pada jurnal ilmiah, seminar pengembangan
Bank Jaringan Indonesia dan dipakai sebagai dasar penelitian selanjutnya dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan dasar teoritis dan aplikatif
dari bukti klinis dan histopatologis yang ditemui nantinya.
Penelitian ini berguna untuk melatih mahasiswa berkomunikasi, berinteraksi
dan menghargai pasien (inform consent) terhadap tindakan yang dilakukan dalam
penelitian dan memberikan tuntutan tanggung jawab serta kemampuan membagi
waktu bagi peneliti dalam bekerjasama melaksanakan kegiatan penelitiannya.
Penelitian ini juga dapat melatih keterampilan dan menambah ilmu pengetahuan
mahasiswa, baik dalam ilmu bedah, penyakit dalam dan laboratorium patologi
anatomi.

PKMP-1-2-4
Secara ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam upaya penyembuhan dan perbaikan jaringan tukak diabetes seoptimal
mungkin, juga untuk mengetahui keefektifan pemakaian Amnion (ALS-Radiasi)
sebagai perban biologis. Sehingga dapat membantu pasien dalam mempersingkat
waktu perawatan tukak, penderitaan terhadap komplikasi penyakit dan
meringankan biaya penyembuhan tukak diabetes yang dideritanya.

METODE PENELITIAN
Disain penelitian yang dipakai adalah penelitian eksperimental di klinik,
melibatkan pasien tukak diabetes yang dirawat inap sebagai sampel (Sudigdo et
al. 2002).
Pada penelitian ini masing-masing sampel mempunyai 2 kelompok, dengan
nama kelompok I dan kelompok II.
Kelompok I : atau kelompok perlakuan adalah bagian tukak yang
ditutup memakai Amnion (ALS-Radiasi) sebagai perban biologis.
Kelompok II : atau kelompok kontrol adalah bagian tukak yang ditutup
memakai perban sintesis berbasis antibiotik (Sofratulle).

Sampel (Satu Pasien)
Debridemant

Kelompok I : Kelompok II :
Amnion (ALS-Radiasi) Perban sintesis (Sofratulle)

Insisi Jaringan (A) Waktu Yang Sama Insisi Jaringan (B)

Perbaikan Jaringan

Populasi penelitian ini adalah semua pasien wanita dengan tukak diabetes
derajat II yang dirawat inap. Sampel penelitian ini sebanyak 7 orang berdasarkan
rumus (Fraenkle et al, 1993) : {(np 1) (p 1)} p
2

Keterangan : n = Besar sampel, p = Banyaknya variabel perlakuan
Sehingga dalam penelitian ini dibutuhkan sampel sebesar :
{(6n 1) (6 1)} 6
2

{(6n 1) (5)} 36
6n 6 36
6n 42
n 7

Variabel Bebas : Variabel Perancu : Variabel Tergantung :
Pakai ALS-Radiasi Kriteria Inklusi Jaringan Granulasi
Pakai Sofratulle & Eksklusi Epitelisasi
Neovaskularisasi
Jaringan Nekrosis
Sel Morfo Nuklear
Sel Poli Morfo Nuklear
Waktu Penyembuhan

PKMP-1-2-5

Kriteria Inklusi :
a) Pasien wanita dengan tukak diabetes derajat II menurut Wagner
(Klasifikasi Wagner pada lampiran No.1) yang dirawat inap.
b) Berumur > 45 tahun dan punya riwayat keturunan DM.
c) Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani Inform
Consent.
d) Termasuk pasien DM pengendalian baik (Kriteria pada lampiran
No.2).
e) Index massa tubuh 18,5-25 kg/m
2
.
Kriteria Eksklusi :
a) Perokok, peminum alkohol dan obat-obatan (jamu).
b) Punya riwayat penyakit pembuluh darah atau penyakit kulit.

Penelitian ini dilakukan di Bangsal Penyakit Dalam Perjan RS Dr. M. Djamil
Padang untuk perlakuan. Pemeriksaan histopatologi dilakukan di laboratorium
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, dengan tatalaksana
sebagai berikut :
1. Penyaringan sampel (pasien)
Sampel dipilih secara manual memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pasien
yang terpilih bersama keluarganya diberi penjelasan tentang manfaat dan
resiko penelitian, pasien sebagai sampel tersebut menandatangani inform
consent (surat keterangan kesediaan).
2. Persiapan sampel
Pasien dirawat sebagai pasien DM dengan tukak diabetes, terapi dan diet
pasien sesuai dengan protap Bangsal Penyakit Dalam Perjan RS Dr. M.
Djamil. Untuk antibiotik diberikan obat-obatan berupa ; metronidazol dan
cepotaxime secara intra vena.
3. Penanganan pasien selama penelitian
a. Tukak pasien dibersihkan dengan NaCl 0,9%. Pus maupun jaringan
nekrotik dibuang dengan tindakan debridemant.
b. Tukak ditutup sebagai Kelompok I (perlakuan) pada daerah tukak
dan daerah tukak lainnya ditutup sebagai Kelompok II (kontrol).
c. Pengulangan cara kerja a dan b setiap hari, maksimal selama 30 hari.
d. Jaringan tukak diambil dengan ukuran (Panjang x Lebar x Dalam)
0,5cm x 1cm x 0,5cm dengan memasukkan jaringan di sekitar luka,
kemudian dikirim dalam tabung berisi Formalin 10% ke laboratorium
Patologi Anatomi untuk pemeriksaan histopatologi.
4. Penangan pasien setelah penelitian
Tukak pasien yang tidak sembuh pada kelompok II ditutup dengan perban
biologis (ALS-Radiasi) untuk mempercepat perbaikan jaringannya.
Data yang diperoleh dari pemeriksaan histopatologi dan lamanya perbaikan
jaringan, dianalisa secara statistik dan dilakukan pengujian dengan menggunakan
perbandingan dua rata-rata (T-Test) dengan =0,05 (95%), sedangkan untuk
mencari hubungan antara data yang diperoleh dengan kelompok I (perlakuan)
dipergunakan Korelasi Pearson secara komputerisasi.


PKMP-1-2-6
Klasifikasi tingkat pertumbuhan masing-masing variabel (jaringan granulasi,
epitelisasi, neovaskularisasi, jaringan nekrosis, sel morfo nuklear, sel poli morfo
nuklear dan waktu penyembuhan) adalah :

Variabel Nilai
Intensit
as
< 10 lapis sel kolagen / LPB Tipis
Jaringan Granulasi
> 11 lapis sel kolagen / LPB Tebal
< 5 lapis sel epitel / LPB Tipis
Epitelisasi
> 6 lapis sel epitel / LPB Tebal
< 5 pembuluh darah / LPB Sedikit
6-10 pembuluh darah / LPB Sedang Neovaskularisasi
> 11 pembuluh darah / LPB banyak
Tidak terdapat mikroabses / LPB Negatif
Jaringan Nekrosis
Terdapat mikroabses / LPB Positif
< 10 sel MN / LPB Sedikit
Sel Morfo Nuklear
> 11 sel MN / LPB Banyak
< 10 sel PMN / LPB Sedikit
Sel Poli Morfo Nuklear
> 11 sel PMN / LPB Banyak
> 21 hari perawatan tukak Lambat
Waktu Penyembuhan
< 20 hari perawatan tukak Cepat

HASIL DAN PEMBAHASAN
Telah dilakukan insisi jaringan setelah pemakaian perban (ALS-Radiasi dan
Perban Berbasis Antibiotik-Sofratulle) pada seluruh sampel guna untuk
pembuatan sediaan histopatologi dan pemeriksaan jaringan granulasi, sel epitel,
neovaskular, jaringan nekrosis, sel MN dan sel PMN. Penghitungan jaringan
granulasi, sel epitel, neovaskular, jaringan nekrosis, sel MN dan sel PMN
menggunakan mikroskop perbesaran 10 x 100 dilakukan secara manual per satu
lapangan pandang besar (LPB) dengan hasil seperti terlihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Jumlah rata-rata dan perbedaan rata-rata dua kelompok penelitian berdasarkan
pemeriksaan histopatologi secara mikroskopik. (Hasil perhitungan pada lampiran
No.4)

Gambaran
Histopatologi
Intensit
as
Kelompo
k I
N = 7
Kelompo
k II
N = 7
T-
Test
(p<
0,05)
Tipis
42,9 %
100,
0 %
Jaringan Granulasi
Tebal
57,1 %

0,0 %
0,01
5
Tipis
28,6 %

71,4 %
Epitelisasi
Tebal
71,4 %

28,6 %
0,12
6
Sedikit
0,0 %
100,
0 %
Sedang
71,4 %

0,0 %
Neovaskularisasi
Banyak
28,6 %

0,0 %
0,00
0

PKMP-1-2-7
Negatif 100,
0 %

57,1 %
Jaringan Nekrosis
Positif
0,0 %

42,9 %
0,05
5
Sedikit
71,4 %

57,1 %
Sel Morfo Nuklear
Banyak
28,6 %

42,9 %
0,61
1
Sedikit
85,7 %

57,1 %
Sel Poli Morfo Nuklear
Banyak
14,3 %

42,9 %
0,27
1
Lambat
0,0 %

85,7 %
Waktu Penyembuhan
Cepat 100,
0 %

14,3 %
0,00
0

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa jumlah rata-rata (T-Test) jaringan
granulasi, neovaskular dan jaringan nekrosis antara dua kelompok penelitian
(kelompok I dan kelompok II) mempunyai perbedaan bermakna, sedangakan
pertumbuhan sel epitel, sel MN dan sel PMN antara dua kelompok penelitian
tidak mempunyai perbedaan yang signifikan.

Tabel 4.2. Korelasi Pearson antara perlakuan sampel penelitian dengan gambaran
histopatologinya. (Hasil perhitungan pada lampiran No. 4)

Gambaran Histopatologi
Korelasi
Pearson
Interprestasi
Jaringan Granulasi 0,05 Bermakna
Epitelisasi -----
Tidak
Bermakna
Neovaskularisasi 0,01 Bermakna
Jaringan Nekrosis -----
Tidak
Bermakna
Sel MN -----
Tidak
Bermakna
Sel PMN -----
Tidak
Bermakna
Waktu Penyembuhan 0,01 Bermakna

Insisi dan pemeriksaan histopatologi ditentukan dari salah satu daerah atau
bagian tukak (kelompok I atau kelompok II) yang menutup atau sembuh lebih
dahulu, dengan batas maximal 40 hari. Pada kedua kelompok penelitian,
penyembuhan lebih dahulu terjadi pada kelompok I, sedangkan kelompok II
masih membutuhkan waktu lebih lama untuk penyembuhan jaringan tukak. Oleh
karena itu, batas waktu insisi histopatologi berdasarkan pada kelompok I. Waktu
penyembuhan tersebut berkisar antara 12 hari sampai 38 hari, dengan perbedaan
rata-rata kedua kelompok yang bermakna (lihat tabel 4.1).
Tukak Diabetes merupakan komplikasi DM terbanyak dan penyebab utama
pasien dirawat dengan waktu yang lama (Sarwono 1998 ; Levin 1993). Lamanya
perawatan merupakan masalah besar bagi pasien, karena memerlukan biaya yang
banyak baik biaya perawatan maupun biaya pengobatan tukak. Kerugian lainnya,

PKMP-1-2-8
pasien akan kehilangan pekerjaan, gangguan aktifitas dan menderita cacat pada
ekstremitas (Levin 1996).
Pada penelitian ini bertujuan melihat efek pemakaian amnion (ALS-Radiasi)
sebagai perban biologis dalam mempercepat penyembuhan jaringan tukak DM.
Didapatkan hasil bahwa amnion bermakna secara klinis dan statistik dalam
menyembuhkan tukak diabetes. Secara klinis amnion mempercepat waktu
penyembuhan dan pertumbuhan jaringan pengganti dalam mengisi defek pada
tukak, sedangkan secara statistik amnion (ALS-Radiasi) meningkatkan jumlah
jaringan granulasi dan neovaskular dalam pemeriksaan sediaan histopatologi.
Hasil terlihat pada tabel 4.1. dan tabel 4.2.
Pada penelitian ini perbedaan jumlah sel radang (sel MN dan sel PMN)
antara bagian yang memakai amnion dengan sofratulle tidak signifikan, hal ini
menandakan bahwa respon pertahanan tubuh awal terhadap penyembuhan tukak
adalah sama. Secara fisiologis peningkatan sel radang ini berguna untuk
memfagosit bakteri dan membuang massa nekrotik serta fibrin dalam bentuk pus,
sehingga jaringan tukak bersih dari bakteri dan bahan suplai hidupnya
(Underwood et al. 1999 ; Robin et al. 1995; Cotrans et al. 1999; Peters 2000).
Hasil penelitian ini memperkuat dugaan bahwa amnion berperan dalam
menurunkan populasi bakteri dan meningkatkan respon imun lokal karena tidak
ada perbedaan efektifitas antara Amnion dengan pembandingnya (perban berbasis
antibiotik). Diduga allantoin dan lisozim pada amnion yang berfungsi sebagai
bakteriostatik dan bakterisid. Allantoin berfungsi sebagai pembangkit anti bodi,
selain itu lisozim merupakan enzim yang bersifat bakteriostatik dan bakteriolitik.
Permeabilitas amnion terhadap O
2
dan CO
2
juga merupakan faktor penting dalam
menurunkan infeksi dan populasi kuman anaerob. Hasilnya, populasi kuman aerob
maupun anaerob akan menurun akibat mekanisme penarikan sel radang, sifat
bakteriostatik dan bakterisid substansi serta permeabilitas dari amnion (Bose
1979; Gruss et al. 1978; Robson 1973).
Namun, untuk membuktikan kemampuan amnion dalam menurunkan
populasi kuman pada tukak diabetes, diperlukan penelitian untuk menghitung
jumlah populasi kuman dan pengaruhnya terhadap pemakaian amnion (ALS-
Radiasi) serta uji sensitivity dengan amnion secara invitro. Pada kasus yang
berbeda (pada luka bakar) Nursal H. menghitung sekitar 4,372 juta koloni kuman
dapat dihindari dengan memakai amnion pada luka bakar ditubuh pasien (Nursal
1994).
Penarikan sel radang dan interaksi trombosit beserta komplemen pada tukak
akan melepaskan 2 faktor pertumbuhan potensial yaitu PDGF dan TGF-. PDGF
dan TGF- menyebabkan proliferasi miofibroblast berupa pembelahan dan
menghasilkan kolagen membentuk serabut otot dan perlekatan sel didekatnya,
sehingga menghasilkan anyaman kolagen atau jaringan granulasi. Peningkatan
pembentukan granulasi ini berperan dalam mengisi defek dan memperbaiki
jaringan yang hilang (Underwood et al. 1999; Robins et al. 1995; Cotran et al.
1999; Peters et al. 2000).
Pada bagian tukak diabetes yang sembuh dengan memakai amnion, secara
histopatologi memperlihatkan peningkatan jumlah jaringan granulasi. Namun
waktu pembentukannya tidak diukur, karena membutuhkan pengamatan berkala
secara mikroskopis. Sebagai perbandingan, Kamardi T. menghitung lama
terjadinya jaringan granulasi pada luka bakar yang memakai amnion yaitu sekitar

PKMP-1-2-9
6-7 hari atau 2-3 hari lebih cepat dibandingkan dengan sofratulle. Diduga dengan
penyembuhan yang lebih awal ini, akan memperbanyak jumlah jaringan granulasi
sampai menutupi defek pada tukak (Kamardi et al. 1993).
Peningkatan jumlah vaskular pada hasil penelitian yang memakai amnion
diduga disebabkan oleh transferin sebagai faktor angioneogenik, berupa
perangsangan pertumbuhan pembuluh darah baru. Faktor angioneogenik
menyebabkan sel endotel kapiler akan tumbuh ke dalam daerah yang diperbaiki,
dimulai dengan tunas padat yang kemudian segera terbuka menjadi saluran.
Vaskularisasi tersebut tersusun sebagai lengkungan yang masuk ke jaringan yang
rusak (ulkus). Menurut Nursal H. pada penelitiannya mengenai luka bakar,
terdapat 2,5-3 kali lebih banyak neovaskular bila memakai amnion dibandingkan
dengan perban biasa (Nursal 1994).
Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan jumlah sel epitel pada dua
kelompok perlakuan. Hal ini dikarenakan permeabilitas dua penutup luka terhadap
O
2
sebagai bahan metabolisme. Selain itu epitelisasi juga dirangsang oleh
pelepasan PDGF, EGF, Fibronectin dan Somatomedin (IGF-1 & IGF-2) yang
bekerja memindahkan sel dari fase istirahat sampai fase sintesa DNA, setelah itu
sel epitel yang terbentuk bermigrasi menjadi sel epitel basalis. Kamardi T.
menyebutkan bahwa proses epitelisasi ini terjadi lebih cepat bila memakai
amnion, hal ini juga diduga dari pelepasan substansi yang ada pada amnion
(Kamardi et al. 1993).
Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa amnion merangsang
peningkatan jumlah sel secara mikroskopis untuk membentuk jaringan pengganti.
Mekanisme peningkatan sel radang, jaringan granulasi, sel epitel dan neovaskular
pada bagian yang memakai amnion sesuai dengan respon hemostatik terhadap
penyembuhan dan perbaikan tukak sehingga akan mempercepat waktu dalam
penyembuhan. Penelitian ini membuktikan bahwa waktu penyembuhan tukak
yang memakai amnion lebih cepat dibandingkan dengan memakai perban berbasis
antibiotik, ini disebabkan oleh respon dari substansi biologis yang dilepaskan
amnion.
Peningkatan jumlah sel dan percepatan waktu penyembuhan ini secara
biomolekular belum dapat dijelaskan dengan pasti. Oleh karena itu guna
mengetahui mekanisme biomolekular dan substansi apa yang terdapat pada
amnion yang merangsang penyembuhan tukak ini, perlu diadakan suatu penelitian
lanjutan. Tujuannya adalah untuk memastikan pelepasan dan perangsangan
substansi amnion terhadap mekanisme penyembuhan tukak ditingkat seluler
dalam tubuh manusia.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Amnion (ALS-Radiasi) merupakan perban biologis yang meningkatkan
jumlah jaringan granulasi dan neovaskular, serta menurunkan jumlah
jaringan nekrotik sebagai respon radang yang berkelanjutan pada jaringan
tukak diabetes.
2. Amnion (ALS-Radiasi) dapat mempercepat waktu penyembuhan tukak
diabetes.

PKMP-1-2-10
3. Penyembuhan jaringan tukak diabetes yang memakai amnion mempunyai
perbedaan yang bermakna secara klinis dan histopatologis dibandingkan
dengan memakai perban berbasis antibiotik (Sofratulle).
4. Terdapat korelasi yang bermakna antara gambaran histopatologi
penyembuhan jaringan tukak diabetes dengan pemakaian amnion (ALS-
Radiasi).

DAFTAR PUSTAKA
Armstrong DG, Lavery LA. Diabetic Foot Ulcers : Prevention, Diagnosis and
Classification. University of Texas Health Science Center at San Antonio
and Diabetic Foot Research Group. San Antonio. Texas. Diakses dari :
http//:www.AAFP.org/afp/980315ap/armstrong.html. 2 Maret 1998.
Barry P. Thermal and Electrical Injury. Dalam : Smith JW, Grab and Smith.
Plastic Surgery. 4
th
Ed. Little Brown Comp. Boston. 1991 : 675-723.
Bose B. Burns Wound Dressing with Human Amniotic Membranes. Annals of The
Royal College of Surgeons. England. 61
st
Ed. 1979 : 444-447.
Cotran RS, Kumar V and Collins T. Robbins : Pathologyc Basis of Disease. 6
th

Ed. WB Sauders Co. Philadelphia. New York. 1999 : 97-111.
Dona A. Kaki Diabetik Pada Penderita NIDDM Yang dirawat Inap di RSUP Dr.
M. Djamil Padang Tahun 1990-1994. Dalam : Acta Medica Indonesiana. Vol
XXVIII. 1996 : 1341-1346.
Endokrinologi UNDIP. Naskah Lengkap Kongres Nasional V Persatuan Diabetes
Indonesia. Ceramah Ilmiah Populer Para Pakar Diabetes Indonesia. Cet I.
Badan Penerbit UNDIP. CV Agung. Semarang. Oktober 2002 : 42.
Fraenkle JR and Wallen NE. How to Design and Evaluate Research in Education.
Mc Grawhill. New York. 1993 : 28-32.
Gruss JS, et al. Human Amniotic Membrane : A Versatile Wound Dressing. CMA
Journal. 118
th
Ed. 1978 : 1237-1254.
International Working Group on The Diabetic Foot. International Consensus on
The Diabetic Foot. Noordwijkerhout. May 1999.
Kamardi T, Nursal H and Nazly H. Clinical Studies on Application of Sterille
Irradiate Freeze-Dryed Amnio Chorion Membranes on Burn Wound
Treatment. Padang. 1993 : 5-26.
Levin ME, ONeil LW, Bowker JH. The Diabetic Foot. 5
th
Ed. St Louis Mosby
Year Book Inc. USA. 1993a.
Levin ME. Medical Management of The Diabetic Foot Lesion. 25
th
Ed.
Endocrynology and Metabolism Clinics of North America. USA. 1996b :
447-462.
Menkher M and Helfial H. Using Amniotic Membrane as Wound Covering After
Cesarean Section Operation. Padang. 2000 : 1-6.
Menkher M, Ismail and Doddy E. Experience of Using Amniotic Membrane After
Circumsision. Padang. 2000 : 1-27.
Nazly H. Physical and Chemical Properties of Freeze-Dryed Amnio Chorion
Membrane Sterilized by Irradiation. BATAN Research Tissue Bank. Jakarta.
1992.
Nursal H. Efek Angioneogenik dan Penekanan Populasi Kuman dari Amnion
yang Dikonservasi pada Luka Bakar di RS Dr. M. Djamil Padang. Padang.
1994 : 31-32.

PKMP-1-2-11
Peter SM, Robin R and Robin C. Pathology Illustrated. 7
th
Ed. Churchill
Livingstone. Philadelphia. New York. 2000 : 48-51.
Robbins SL, Kumar V. Basic Pathology (Buku Ajar Patologi). Part 1. 4
th
Ed.
EGC. Jakarta. 1995 : 53-64.
Robbson MC and Krizek TJ. The Effect of Human Amniotic Membrane on The
Bacterial Population on Infected Rat Burns. Annals Surgeons. 177
th
Ed.
1973 : 144-149.
Sarwono W. Komplikasi Kronik Diabetes Melitus : Pengenalan Dan
Penanganannya. Dalam : Sjaifoellah N, Sarwono W, Djoko W, et al. Buku
Ajar Ilmu Penyakti Dalam. Ed-3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1996a : 597-
600.
Sarwono W. Aspek Imunologi Kaki Diabetes. Sub Bagian Metabolik
Endokrinologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. PERKENI.
Jakarta. 1998b : 1-7.
Siti S, Idrus A, Yoga IK, Lucky AB, Aida L. Current Diagnosis and Treatment in
Internal Medicine 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. Oktober 2002 : 74-77.
Stadelmann WK, Digenis AG, Tobin GR. Physiology and Healing Dynamics of
Chronic Cutaneus Wounds. The American Journal of Surgery. 176 Suppl 2A.
1998 : 26-38.
Sudigdo S dan Sofyan I. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Ed-2.
Sagung Seto. Jakarta. 2002 : 24-46, 67-70, 79-90, 144-160, 221-238, 288-
293.
Underwood JCE. General and Systematic Pathology. Vol I. 2
nd
Ed. EGC. Jakarta.
1999 : 96-98, 123-127.
Yulfirstayuda. Makalah Ilmiah : Keefektifan Penggunaan Amnion Yang
Dikonservasi Sebagai Bahan Penutup Luka Sirkumsisi. Laboratorium Bedah
RS. Dr. M. Djamil. Padang. 2001 : 4-16.

PKMP-1-3-1
PEMBERDAYAAN MEDIA KOMIK ILMU PENGETAHUAN ALAM
(KOLAM) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP IPA

Netty, Roseswinda, Jummita Sari, Ika Ichwani Y
Biologi/Pendidikan Biologi, UNP, Padang

ABSTRAK
Salah satu mata pelajaran yang wajib dikuasai siswa Sekolah Dasar adalah Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA). Namun pada kenyataannya siswa SD mengalami
kesulitan dalam mempelajarinya bahkan mereka merasa pelajaran IPA
merupakan hafalan yang berat dan sulit. Buku-buku pelajaran IPA yang
seharusnya mereka baca tampaknya juga belum mampu menarik minat mereka
untuk belajar. Republika (2003) mengatakan bahwa sebagian besar siswa lebih
menyukai bacaan hiburan seperti komik dibandingkan buku pelajaran. Oleh
karena itu kami mencoba untuk memberikan solusi dengan merancang dan
menerapkan media pengajaran berupa Komik Ilmu Pengetahuan Alam (KOLAM)
untuk memotivasi serta meningkatkan pehamaman konsep IPA bagi siswa SD.
Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan rancangan penelitian Randomized
Control Group Only Design. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas V
dan VI SDN 24 Parupuk Tabing Padang. Diperoleh sampel penelitian yaitu kelas
VA dan VIB sebagai kelas kontrol sedangkan kelas VB dan VIC sebagai kelas
eksperimen. Data dianalisis dengan uji normalitas, uji homogenitas dan uji
hipotesis. Instrumen penelitian terdiri atas tes hasil belajar, angket motivasi dan
lembar observasi. Setelah dilaksankan tes hasil belajar dan dianalisis dengan
menggunakan uji t, diperoleh t
hitung
>t
tabel
, berarti terdapat perbedaan antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol. Grafik observasi menunjukkan bahwa
aktivitas positif lebih tinggi daripada kelas kontrol sedangkan aktivitas negatif
tidak berbeda antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil angket
menunjukkan bahwa sebagian besar siswa lebih setuju dengan pernyataan positif
dan tidak setuju dengan pernyataan negatif. Dapat disimpulkan bahwa media
KOLAM dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa pada konsep IPA

Kata Kunci: Media Komik, Komik Ilmu Pengetahuan Alam (KOLAM), Konsep
IPA

PENDAHULUAN
Kebutuhan akan Sumber Daya Manusia yang handal di era teknologi dan
globalisasi saat ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi persaingan disegala sisi
kehidupan. Salah satu sektor strategis yang perlu ditingkatkan yaitu bidang
pendidikan. Dengan adanya program Wajib Belajar sembilan tahun (Wajar 9
Tahun) yang diinstruksikan oleh pemerintah Indonesia diharapkan mampu
menjadi titik awal pencerdasan kehidupan bangsa. Wajar 9 tahun terdiri dari dua
jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Usaha peningkatan mutu
pendidikan khususnya pada tingkat dasar sangat mempengaruhi kualitas SDM
Indonesia pada jenjang pendidikan selanjutnya.
Salah satu mata pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa sekolah dasar
adalah ilmu pengetahuan alam. Sukadi (2003, hal 38) menyatakan bahwa, belajar

PKMP-1-3-2
IPA dapat membantu siswa berfikir logis tentang peristiwa sehari-hari, disamping
itu juga memberi peluang agar siswa mampu mengembangkan lingkungannya
secara logis dan sistematis. Pada hakikatnya mempelajari konsep IPA bukan
sekedar menghafal teori-teori saja, tetapi juga diharapkan dapat mengembangkan
keterampilan seperti percobaan-percobaan sederhana.
Meskipun telah banyak dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkan hasil
belajar dan aktivitas belajar dengan cara melakukan berbagai penelitian
eksperimen dan tindakan kelas untuk PBM IPA namun hingga saat ini IPA masih
dianggap sebagai pelajaran hafalan yang monoton, sehingga masih belum
menunjukan hasil yang memuaskan. Sebagian siswa cenderung menganggap IPA
adalah mata pelajaran yang sulit dipahami, hal ini dapat dilihat dari perolehan
nilai UAN maupun semester yang rendah.
Kualitas pendidikan ditentukan oleh berbagai faktor. Diantaranya mencakup
kompetensi guru, fasilitas untuk penunjang PBM IPA seperti media, kurikulum,
dan faktor siswa itu sendiri. Pada saat ini perlu disadari bahwa kemampuan guru
dalam menciptakan iklim belajar yang menyenangkan seperti pengadaan media
belajar yang menarik masih kurang. Disisi lain siswa pun kurang menyukai
bacaan-bacaan pada buku paket IPA sebagai buku sumber. Sangat dibutuhkan
sebuah usaha untuk mengatasi hal ini seperti menemukan dan mengembangkan
media belajar yang tepat, efektif dan mampu membangkitkan semangat belajar
siswa.
Menurut Chaeruddin (2004:20) ada dua aspek yang paling menonjol dalam
metodologi pembelajaran yaitu metode pembelajaran dan media pembelajaran.
Wibowo (1991:8) menyatakan bahwa media adalah pembawa pesan (dapat berupa
benda atau orang) kepada penerima pesan. Psikolog Ebbinghans dalam
Chaeruddin (2004:20) mengatakan bahwa materi pelajaran di dalam ingatan siswa
yang diransang dengan media tepat guna dapat bertahan lebih lama karena sifat
sifat media mempunyai daya stimulus yang kuat. Mengacu pada pendapat di atas
maka jelaslah betapa pentingnya penggunaan media khususnya dalam memahami
konsep IPA SD. British Audio Visual Assosition dalam Budiningsih (1995:30)
mengatakan bahwa ternyata 75% pengetahuan diperoleh dari indera penglihatan.
Berkenaan dengan hal ini Faridi (2002) mengungkapkan bahwa ilmuwan syaraf
mengemukakan bahwa 90% masukan otak berasal dari sumber
visual(penglihatan). Jelaslah bahwa belajar dengan memanfaatkan indera
penglihatan seperti bacaan dengan gambar-gambar yang menarik lebih besar
pengaruhnya.
Saat ini salah satu bacaan yang sangat diminati siswa adalah komik.
Republika (2003) menyatakan bahwa sebagian besar siswa lebih menyukai bacaan
komik dibandingkan buku-buku pelajaran. Mereka sanggup bertahan lama hanya
sekedar membaca komik dan menikmati hiburan yang ada di dalamnya. Alangkah
lebih baiknya bila komik tersebut mampu menyajikan hiburan sekaligus bahan
pelajaran yang dapat menunjang prestasi belajar siswa. Oleh karena itu peneliti
mencoba untuk memasukkan konsep IPA dalam bentuk komik sehinga konsep
tersebut menjadi mudah dicerna, dipahami dihafal dan diingat. Kegiatan ini
dilaksankan di SD mengingat pada usia ini umumnya imajinasi mereka sangat
tinggi, sehingga diharapkan dapat memicu semangat mereka dalam belajar IPA.
Kurniawan (2001:260) mengatakan bahwa sebuah komik dapat dikatakan sebuah
media pembelajaran jika di dalam komik tersebut terkandung pesan-pesan yang

PKMP-1-3-3
mempunyai tujuan tertentu. Dari hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan
oleh Muhammad Iqbal dalam Republika (2003) telah menerapkan penggunaan
komik sebagai media pembelajaran matematika SD. Ternyata usaha ini mampu
membangkitkan motivasi dan pandangan positif siswa terhadap matematika.
Selanjutnya Netty (2005) telah melakukan penelitian penggunaan Komik Biologi
di SMUN 2 IV Angkat Candung Bukittinggi dengan hasil dapat meningkatkan
hasil belajar siswa secara signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Di tingkat SLTP
juga pernah dilakukan penelitian oleh Nugroho (2003) yang berjudul Pengaruh
Penggunaan Media Kartun Fisika terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas I SLTPN 3
Batusangkar. Dengan hasil penelitian terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada
taraf kepercayaan 95%. Pada kesempatan kali ini peneliti memperkenalkan sebuah
media belajar IPA yaitu KOLAM (Komik Ilmu Pengetahuan Alam) sebagai salah
satu media alternatif yang menarik dan tidak membosankan dalam mempelajari
konsep IPA. Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas
sedikitnya ada tiga masalah yang dapat diidentifikisasi sebagai berikut:
1. Kecendrungan siswa SD menganggap pelajaran IPA adalah pelajaran yang
membosankan
2. Kurangnya minat baca siswa SD terhadap buku pelajaran IPA dibandingkan
dengan bacaan hiburan
3. Guru IPA SD kurang menyediakan dan menerapkan media belajar yang
kreatif dan menyenangkan bagi siswa
4. Guru IPA SD belum menerapkan komik dalam pembelajaran IPA

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka masalah
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Sejauh manakah perbedaan hasil belajar IPA antara pembelajaran
menggunakan KOLAM dengan pembelajaran biasa
2. Sejauh manakah perbedaan motivasi belajar IPA antara pembelajaran
mengunakan KOLAM dengan yang menggunakan pembelajaran biasa.
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah
merancang dan menerapkan media pengajaran berupa Komik Ilmu Pengetahuan
Alam (KOLAM) di Sekolah Dasar.
Setelah penelitian ini berakhir diharapkan dapat:
1. Memperkaya media alternatif yang dapat digunakan dalam proses kegiatan
belajar mengajar IPA
2 Menjadi bahan pertimbangan bagi guru-guru SD dalam kegiatan belajar
kegiatan mengajar sebagai alat bantu pengajaran

Metode Pendekatan
Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental dengan rancangan
penelitian Randomized Control Only Design. Populasi adalah seluruh siswa kelas
V SD Negeri 24 Parupuk Tabing untuk penelitian kelas V dan seluruh siswa kelas
VI SD Negeri 24 Parupuk Tabing untuk penelitian kelas VI. Untuk mengambil
sampel digunakan teknik Purposive Sampling di mana peneliti menggunakan
pertimbangan tertentu sehingga didapatkan satu kelas eksperimen dan satu kelas
kontrol. Dari nilai tes awal IPA yang diberikan pada dua kelas yaitu kelas VA dan
VB diperoleh rata-rata untuk kelas VB=5,8 dan VA=5,5. Setelah dilakukan uji
normalitas dan uji kelas sampel untuk kelas VB didapatkan S
2
=4,10; L
o
=0,0898

PKMP-1-3-4
dan L
t
=0,1476. Karena L
0
<L
t
berarti kelas terdistribusi normal. Sedangkan
untuk kelas VA diperoleh S
2
=3,69 ; L
o
=0,1246 dan L
t
=0,1476. Karena L
0
<L
t

berarti kelas terdistribusi normal. Kemudian dilanjutkan dengan uji homogenitas,
didapatkan Fh=1,11 dan Ft=1,79, karena Fh,Ft maka kedua kelas berdistribusi
homogen. Untuk menguji hasil yang diperoleh, secara statistik dilakukan uji
kesamaan dua rata-rata, sehingga diperoleh t
h
= 0,30 dan t
t
= 2,00. Karena t
h
< t
t

berarti kedua kelas tidak memiliki perbedaan. Sedangkan pada pengambilan
sampel untuk kelas VI dilakukan pada kelas VIB dan VIC diambil berdasarkan
pertimbangan nilai rapor semester sebelumnya.
Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun pengajaran 2005/2006
selama 3,5 bulan dimulai pada bulan September 2006 pada kelas V dan VI SD
Negeri 24 Parupuk Tabing Padang. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel
bebas. Variabel terikat dan variabel kontrol. Variabel bebas berupa media
pengajaran melalui Komik Ilmu Pengetahuan Alam (KOLAM) sedangkan
variabel terikat berupa hasil belajar dan motivasi belajar. Variabel kontrol adalah
guru yang mengajar harus sama, penggunaan sarana dan buku pelajaran harus
sama. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer yang
langsung diambil peneliti melalui observasi selama proses belajar mengajar, tes
hasil belajar IPA serta angket setelah penelitian berlangsung, dan data skunder
yaitu data tentang jumlah siswa dan nilai rapor IPA siswa semester genap kelas VI
yang akan dijadikan sebagai populasi dan sampel dalam penelitian ini.
Tahapan pelaksanaan kegiatan ini dimulai dari persiapan awal berupa
pengurusan surat izin meneliti, pengadaan buku paket IPA untuk persiapan materi
mengajar, observasi ke sekolah, pembuatan Komik Ilmu Pengetahuan alam
(KOLAM). Penelitian ini berlangsung selama 3,5 bulan, terdiri dari pengambilan
data, pengolahan data dan analisis data dan terakhir penyusunan laporan akhir.
Instrumen pelaksanaan penelitian sebagai alat pengumpul data penelitian ini
adalah lembar observasi, angket dan tes hasil belajar. Instrumen Penelitian
Alat pengumpul data penelitian ini adalah:
1. Lembar Observasi
Digunakan untuk melihat perbedaan motivasi siswa yang pembelajarannya
menggunakan media KOLAM dengan yang menggunakan pengajaran biasa.
Lembar observasi digunakan dalam pengamatan alktivitas siswa pada beberapa
kali pertemuan dengan beberapa aspek tertentu. Hasil pengamatan ditunjukkan
melaui grafik. Jika tingkat aktivitas positif lebih tinggi pda pembelajaran yang
menggunakan media KOLAM, berarti media KOLAM berpengaruh baik dalam
pembelajaran, yakni dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Sebaliknya jika
grafik yang didapat sama datar berarti media KOLAM tidak mempengaruhi
pembelajaran IPA, sedangkan bila grafik pembelajaran dengan menggunakan
media KOLAM lebih rendah dari pembelajran biasa berarti media memberikan
pengaruh yang kurang baik terhadap proses belajar mengajar. Angket
Berguna untuk menambah tingkat kepercayaan terhadap hasil observasi yang
diperoleh
2. Tes hasil Belajar. Dalam aspek kognitif dibuat berupa soal objektif
berdasarkan materi yang telah diajarkan dengan memperhatikan validitas dan
reliabilitasnya.

PKMP-1-3-5
Agar tes yang digunakan dalam penelitian ini berkualitas, maka terlebih dahulu
dilakukan uji coba tes akhir yang dilakukan pada kelasa lain. Kemudian dari hasil
uji coba itu dilakukan analisis item. Analisis ini mencakup perhitungan daya beda,
tingkat kesukaran, validitas dan reliabilitas soal.

1. Menghitung daya beda.
Daya beda soal merupakan suatu indikator untuk membedakan antara siswa yang
pandai dengan yang kurang pandai. Cara menghitung daya pembeda menurut
Arikunto (1992:214) dapat dirumuskan sebagai berikut:
D=
Ja
Ba
-
Jb
Bb

Dimana
D : daya pembeda
Ba : jumlah kelompok atas yang menjawab benar
Bb : jumlah kelompok bawah yang menjawab benar
Ja : jumlah peserta kelompok atas
Jb : jumlah peserta kelompok bawah
Indeks daya pembeda soal dapat diklasifikasikan dalam table berikut:

Tabel 1. klasifikasi indeks daya pembeda soal

No Indeks daya pembeda klasifikasi
1
2
3
4
5
0.00-0.20
0.20-0.40
0.40-0.70
0.70-1.00
minus
Jelek
Cukup
Baik
Baik sekali
Tidak baik
Kriteria yang di pakai adalah dengan daya beda > 0.20

2. Menentukan tingkat kesukaran soal
Tingkat kesukaran soal merupakan bilangan yang menunjukkan sukar dan
mudahnya suatu soal. Rumus yang digunakan untuk menentukan tingkat
kesukaran soal seperti yang dikemukakan oleh Arikunto (1996:212) yaitu:
P=
Js
B

Dimana:
P : Tingkat kesukaran
B : Jumlah siswa yang menjawab soal dengan benar
Js : Jumlah seluruh siswa peserta tes
Indeks kesukaran dapat diklasifikasikan seperti tabel berikut:

Tabel 2. Klasifikasi indeks kesukaran soal

No Indeks kesukaran Klasifikasi
1
2
3
0.00-0.30
0.30-0.70
0.70-1.00
Sukar
Sedang
Mudah

Soal yang dipakai adalah yang mempunyai indeks kesukaran > 0.30

PKMP-1-3-6
3. Validitas
Tes dikatakan valid apabila tes tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur.
Ada tiga jenis validitas yang digunakan dalam menyusun instrumen. Yaitu
validitas isi (content validy), validitas bangun pengertian (construct validity),
validitas ramalan (prediktif validity). Dalam menyusun instrumen penelitian ini
berpedoman pada validitas isi. Yaitu soal yang digunakan disusun berpedoman
pada GBPP untuk mata pelajaran IPA kelas V dan VI dengan membuat kisi-kisi
soal.
4. Reliabilitas
Reliabilitas merupakan ketepatan suatu tes apabila digunakan kepada subjek yang
sama. Untuk menentukan indeks reliabilitas tes menggunakan rumus Kudar
Richardson (KR-21) yang dikemukakan oleh Arikunto (1992:98)
r
11
=

1 n
n

2
) (
1
nS
M n M


dengan M=
N
X



S
2
=
N
N X X

/ ) (


Keterangan:
r
11
: Reliabilitas tes secara keseluruhan
n : Jumlah butir soal
M : Rata-rata skor tes
S
2
: Varians total
Tingkat reliabilitas soal yang dikemukakan oleh Slameto (1988:215)
adalah

Table 3. Klasifikasi indeks reliabilitas soal (r
11
)

No Indeks reliabilitas klasifikasi
1
2
3
4
5
0.00-0.20
0.21-0.40
0.41-0.60
0.61-0.80
0.81-1.00
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi

3. Angket
Angket untuk menambah tingkat kepercayaan terhadap hasil observasi
yang diperoleh. Angket terdiri dari 18 item dan kemudian dianalisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah melakukan penelitian ini peneliti menghasilkan kumpulan KOLAM
kelas V dan VI SD. Kolam kelas V SD terdiri atas dua materi yaitu Penyesuaian
Diri Makhluk Hidup dan Tumbuhan Hijau, sedangkan KOLAM VI SD terdiri atas
tiga materi yaitu Perkembangbiakan Makhluk Hidup, Populasi, dan Indera.

PKMP-1-3-7
Setelah dilaksankan tes hasil belajar di kelas V diperoleh nilai rata-rata kelas
eksperimen 21.7 dan kelas kontrol 17,25. Hasil ini kemudian dianalisis dengan uji
normalitas, uji homogenitas dan uji kesamaan dua rata-rata. Dari hasil tersebut
didapatkan t
hitung
>t
tabel
, berarti terdapat perbedaan antara kelas eksperimen
dengan kelas kontrol. Sedangkan untuk kelas VI untuk tes I diperoleh rata-rata
kelas eksperimen 18,73 dan kelas kontrol 15,58, dan untuk tes II diperoleh nilai
rata-rata kelas eksperimen 15.6 dan kelas kontrol 12,8. Hasil ini kemudian
dianalisis dengan uii normalitas, uji homogenitas dan uji kesamaan dua rata-rata.
Dari hasil didapatkan t
hitung
>t
tabel
. Berarti terdapat perbedaan antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
Dari pengamatan terlihat anemo siswa dalam mengikuti proses belajar
mengajar meningkat setelah diberikan perlakuan berupa media KOLAM. Pada
saat pertama kali KOLAM diberikan siswa menanggapi dengan sangat antusias.
Hal ini tampak dari perilaku siswa yang saling berebut untuk mendapatkan komik.
KOLAM dibagikan kepada siswa dalam bentuk lembaran lembaran sesuai
dengan materi yang akan dipelajari. KOLAM dapat dibawa pulang oleh masing
masing siswa.
Dalam pelaksanaannya pada saat proses belajar mengajar berlangsung
peneliti sebagai guru memberikan materi terlebih dahulu, setelah itu dilanjutkan
dengan membaca komik. Materi yang telah diajarkan dapat dijumpai pada komik
yang mereka dapatkan. sehingga penjelasan di dalam KOLAM dapat menambah
pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan.
Pada umumnya siswa sangat tertarik dengan adanya KOLAM. Hal ini tergambar
dari komentar siswa seperti, meminta agar KOLAM diberikan setiap kali belajar
IPA, juga ada yang meminta KOLAM untuk materi pelajaran lain yang belum
diajarkan. Banyak siswa yang berkomentar positif seperti :
Ee.. rancak mah buk, baraja jo KOLAM ko, yang artinya wah bagus ya buk,
belajar dengan KOLAM ini.
Banyak banyak se lah buek komik IPA ko buk, Awak suko mambaconyo,
artinya banyak banyak buat komik IPA ya buk, saya suka membacanya.
Bisuak agiah komik baliak yo buk artinya besok minta lagi komiknya ya buk.
Komiknyo buek panjang-panjang caritonyo yo buk artinya Cerita komiknya
dipanjangkan ya buk.
Jika dilihat dari tes akhir berupa tes hasil belajar yang diberikan tampak
bahwa nilai rata rata kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol. Berarti
ada pengaruh komik yang diberikan. Dari hasil observasi yang dilaksanakan
tampak bahwa aktivitas positif pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan
dengan kelas kontrol. Sedangkan aktifitas negatif hampir sama ditunjukkan pada
kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini disebabkan psikologi siswa seumuran
SD yang masih kurang mempunyai tanggung jawab dalam belajar. Selain itu
peneliti juga menyebarkan angket di kelas eksperimen, dimana hasilnya sebagian
besar siswa lebih setuju dengan pernyataan positif dibanding pernyataan negatif
sebagaimana yang terlihat seperti di bawah ini.
Dari grafik diatas terlihat bahwa perbedaan antara kelas eksperimen dan
kontrol tampak pada pernyataan 3,4,5,6,7. Pernyataan 3,4,5 adalah pernyataan positif.
Dan pernyataan 1,2,6 dan 7 adalah pernyataan negatif. sPernyataan 6,7 pada kelas
eksperimen juga tampak tinggi sedikit, hal ini disebabkan karena psikologi siswa SD

PKMP-1-3-8
yang kurang bertanggungjawab terhadap pembelajarannya. Pada pernyataan 1 dan 2
tidak terdapat perbedaan mencolok diantard keduanya.

















Gambar. 2. Grafik Observasi Motivasi Siswa Kelas VI




Dari grafik diatas terlihat bahwa perbedaan antara kelas eksperimen dan kontrol
tampak pada pernyataan 3,4,5,6,. Pernyataan 3,4,5 adalah pernyataan positif. Dan
pernyataan l,2,6,dan 7 adalah pernyataan negatif. Pernyataan 6 pada kelas eksperimen
juga tampak tinggi sedikit, hal ini disebabkan karena psikologi siswa SD yang
kurang bertanggungjawab terhadap pembelajarannya. Pada pernyataan 1, 2dan7
tidak terdapat perbedaan mencolok diantara keduanya.



















PKMP-1-3-9


















Gambar 3. Lokasi Penelitian.

















PKMP-1-3-1
Tabel 3 Analisis angket motivasi siswa kelas VI

No SS f ssxf S f Sxf TS f TSxf STS f STSxf Jumlah % motivasi Keteangan
1 4 27 104 3 4 12 2 0 0 1 0 0 120 96.77 Sangat kuat
2 4 7 24 3 11 33 2 13 26 1 0 0 87 70.16 Kuat
3 4 8 28 3 11 33 2 9 18 1 3 3 86 69.35 Kuat
4 4 15 56 3 11 33 2 5 10 1 0 0 103 83.06 Sangat Kuat
5 4 28 108 3 1 3 2 2 4 1 0 0 119 95.97 Sangat Kuat
6 4 26 100 3 4 12 2 0 0 1 1 1 117 94.35 Sangat Kuat
7 4 27 104 3 4 12 2 0 0 1 0 0 120 96.77 Sangat Kuat
8 4 14 52 3 7 21 2 6 12 1 4 4 93 75.00 Kuat
9 4 18 68 3 8 24 2 5 10 1 0 0 106 85.48 Sangat Kuat
10 1 26 100 3 4 12 2 1 2 1 0 0 118 95.16 Sangat Kuat
11 4 3 3 2 3 6 3 17 51 4 8 32 92 74.19 Kuat
12 4 14 52 3 10 30 2 6 12 1 1 1 99 79.84 Kuat
13 4 1 1 2 0 0 3 19 57 4 6 24 82 66.13 Kuat
14 4 21 80 3 7 21 2 2 4 1 1 1 110 88.71 Sangat Kuat
15 4 15 56 3 10 30 2 4 8 1 2 2 100 80.65 Sangat Kuat
16 4 4 16 3 8 24 2 8 26 1 6 6 72 58.06 Cukup
17 4 23 88 3 7 21 2 26 2 1 0 0 115 92.74 Sangat Kuat
18 4 20 76 3 9 27 2 2 4 1 1 1 112 90.32 Sangat Kuat

Tabel 3 Analisis angket motivasi siswa kelas VI
No SS f ssxf S f Sxf TS f TSxf STS f STSxf Jumlah % motivasi Keteangan
1 4 32 128 3 4 12 2 0 0 1 0 0 140 97.22 Sangat Kuat
2 4 23 92 3 10 30 2 3 6 1 0 0 128 88.89 Sangat Kuat
3 4 29 116 3 2 6 2 3 6 1 2 2 130 90.28 Sangat Kuat
4 4 27 108 3 7 21 2 2 4 1 0 0 133 92.36 Sangat Kuat
5 4 25 100 3 8 24 2 2 4 1 1 1 129 89.58 Sanagt Kuat

PKMP-1-3-2
6 4 31 124 3 5 15 2 0 0 1 0 0 139 96.52 Sanagt Kuat
7 4 29 116 3 7 21 2 0 0 1 0 0 137 95.14 Sangat Kuat
8 4 14 56 3 8 24 2 11 22 1 3 3 105 72.92 Kuat
9 4 19 76 3 12 36 2 5 10 1 0 0 122 84.72 Sangat Kuat
10 4 27 108 3 8 24 2 0 2 1 0 0 134 93.06 Sangat Kuat
11 1 3 3 2 2 4 3 28 84 4 3 12 103 71.53 Kuat
12 4 35 140 3 1 3 2 0 0 1 0 0 143 99.30 Sangat Kuat
13 1 3 3 2 1 2 3 24 72 4 8 32 109 75.69 Kuat
14 4 24 96 3 10 30 2 2 4 1 0 0 130 90.23 Sangat Kuat
15 4 18 72 3 9 27 2 - 10 1 4 4 113 78.47 Kuat
16 4 13 52 3 4 12 2 13 26 1 6 6 96 66.67 Kuat
17 4 28 112 3 7 21 2 1 2 1 0 0 135 93.75 Sangat Kuat
18 4 32 128 3 3 9 2 1 2 1 0 0 139 96.53 Sangat
Kuats

PKMP-1-3-1
KOLAM ini dapat membuat siswa merasa terhibur, dengan gambarnya yang
menarik,dan ceritanya yang sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini
tampak saat komik dibaca, mereka ikut tersenyum bahkan tertawa bila ada percakapan
dan kondisi yang lucu pada KOLAM. Setelah KOLAM dibaca ada sebagian siswa yang
mewarnai sendiri KOLAM sehingga dapat menyalurkan bakat menggambarnya. Karena
media komik ini ternyata cukup ampuh diterapkan di Sekolah Dasar, semoga ada
penelitian lebih lanjut untuk menerapkan komik pada mata pelajaran lain

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dari perolehan nilai rata-rata hasil belajar IPA pada kelas eksperimen lebih tinggi
dibandingkan dengan kelas kontrol, setelah dilakukan uji statistik dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan media KOLAM lebih baik dari
pembelajaran biasa.
2. Pembelajaran dengan menggunakan media KOLAM dapat meningkatkan motivasi
belajar siswa.
Bertitik tolak dari kesimpulan di atas maka dapat dikemukakan beberapa saran:
1. Dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA
diharapkan guru SD dapat menggunakan KOLAM.
2. Penelitian ini dilakukan di SD, maka untuk memperoleh hasil yang lebih baik
diharapkan penelitian juga dilakukan pada jenjang pendidikan selanjutnya.
3. Kepada para komikus diharapkan kerja samanya untuk dapat mengembangkan
komik pembelajaran pada mata pelajaran lainnya.
4. Kepada penerbit buku agar dapat menerbitkan komik-komik ilmu pengetahuan
dalam rangka mencerdaskan anak bangsa dan memperkaya khasanah media
alternatif pendidikan
Berikut kami tampilkan cuplikan komik Ilmu Pengetahuan Alam















DAFTAR PUSTAKA


Gambar 5. Contoh Komik IPA.

12

PKMP-1-3-2
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi.1996. Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Budiningsih, Asri. 1995. Intensitas Penggunaan Media IPA di SD. Jurnal Pendidikan
no.I tahun XXV. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP.
Chaeruddin. 2004. Media Membantu Mempertinggi Mutu Proses Belajar. Buletin Pusat
Perbukuan Vol. 10. Jakarta: Depdiknas.
Faridi, Salman. 2002. Komik Sebagai Media yang Mengasyikkan. Majalah Sabili no. 16.
Jakarta.
Kurniawan, Agus. 2001. Pemanfaatan Komik Sebagai Salah Satu Sumber Belajar.
Jakarta: UT.
Netty. 2005. Pengaruh Penggunaan Media Komik Biologi Terhadap Hasil Belajar
Siswa Kelas II SMU Negeri I Angkat Candung Tahun Pelajaran 2005. Padang:
Skripsi
Nugroho, Sari Dewi. 2003. Pengaruh Pengunaan Media Kartun Fisika Terhadap Hasil
Belajar Siswa Kelas 1 SLTPN 3 Batusangkar. Padang: Skripsi.
Sukandi, Ujang. 2003. Belajar Aktif dan Terpadu. Surabaya: Duta Graha Pustaka.
Republika.14 November 2003. Mengajar Matematika dengan Komik. (on line).
http://www.republika.co.id/, diakses 23 oktober 2004.
Wibowo, Basuki.1991. Media Pengajaran. Jakarta: Depdikbud.



PKMP-1-4-1
DAYA HAMBAT REBUSAN DAUN RUMPUT MUTIARA (HEDYOTI S
CORYMBOSA) TERHADAP PERTUMBUHAN TUMOR PAYUDARA
MENCIT C3H SECARA I N VI VO

Eva Febia, Felix, Risha Ayuningtyas, Andri, Leovinna
Program Studi Kedokteran Umum, Universitas Indonesia, Jakarta


ABSTRAK
Kanker payudara adalah penyakit multifaktor yang mengakibatkan insidens
kematian wanita tertinggi di seluruh dunia. Pengobatan definitif kanker payudara
saat ini adalah pembedahan, kemoterapi dan radioterapi tergantung dari
stadiumnya. Akhir-akhir ini berkembang beberapa terapi alternatif menggunakan
bahan alami. Salah satunya adalah rumput mutiara (Hedyotis corymbosa).
Hedyotis corymbosa dilaporkan memiliki efek antineoplastik, antitoksik, dan
imunomodulator yang berguna pada penyakit keganasan. Tujuan penelitian ialah
mengetahui daya hambat dan dosis efektif rebusan daun Hedyotis corymbosa
terhadap pertumbuhan tumor payudara mencit strain C3H in vivo. Sebanyak 30
ekor mencit strain C3H dengan berat badan 18-20 gr dibagi menjadi 6 kelompok
perlakuan, yaitu kelompok kontrol tanpa perlakuan, kelompok kontrol yang
dicekok pelarut, kelompok dosis 0,25 mg/ml, kelompok dosis 0,5 mg/ml, kelompok
dosis 1 mg/ml, dan kelompok dosis 2 mg/ml. Setiap mencit dicekok 0,1 ml selama
21 hari (hari ke-2 sampai 22). Panjang dan lebar tumor diukur dua kali
seminggu. Pada akhir penelitian, dilakukan pengambilan tumor mencit dan
dianalisa dengan pewarnaan AgNOR dan HE. Pada hari terakhir pengukuran
diperoleh volume tumor setelah dibedah lebih besar dibandingkan sebelum
dibedah. Analisis one-way ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
bermakna volume tumor antar kelompok. Pada pembacaan dengan pewarnaan
AgNOR menggunakan metode Kruskal-Wallis ditemukan bahwa tidak terdapat
perbedaan bermakna skor AgNOR antara kelompok I sampai VI (p > 0,05).
Rebusan daun Hedyotis corymbosa dengan dosis yang digunakan dalam
penelitian ini tidak dapat menghambat laju pertumbuhan tumor payudara pada
mencit strain C3H secara in vivo yang tercermin dari volume tumor maupun skor
AgNOR.

Kata kunci: tumor payudara, Hedyotis corymbosa

PENDAHULUAN
Kanker payudara adalah penyakit multifaktor yang mengakibatkan insidens
kematian wanita tertinggi di seluruh dunia. Terdapat banyak faktor yang terbukti
dapat mencetuskan terjadinya kanker payudara, yaitu konstitusi genetik,
ketidakseimbangan hormon (estrogen, progesteron, androgen dan prolaktin),
faktor-faktor onkogen (virus, makanan, obesitas dan intoleransi glukosa), kondisi
lingkungan seperti pemasukan estrogen, merokok, karsinogen kimiawi pada
makanan (penyedap makanan), air minum dan udara [1].
Penatalaksanaan kanker payudara cukup sulit. Satu-satunya pengobatan
kanker payudara yang bersifat primer (penyembuhan) adalah pembedahan


PKMP-1-4-2
(mastektomi) yang sudah dilakukan sejak tahun 1894. Terapi ini hanya dapat
dilakukan pada stadium I, II, dan III awal. Sedangkan untuk stadium III akhir dan
IV, pengobatan lebih bersifat paliatif yang bertujuan untuk mengurangi
penderitaan dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Terapi-terapi lainnya
seperti radioterapi, terapi hormon dan kemoterapi merupakan terapi yang bersifat
sekunder.
1
Akhir-akhir ini, terapi dengan bahan-bahan alami berkembang sebagai
terapi alternatif untuk kanker di kalangan masyarakat. Salah satunya adalah terapi
dengan menggunakan rumput mutiara (Hedyotis corymbosa) [2].
Hedyotis corymbosa dilaporkan mempunyai efek antineoplastik, antitoksik
dan dapat memperkuat sistem imun tubuh, sehingga digunakan sebagai
pengobatan pada penyakit-penyakit keganasan [2,3,4]. Berdasarkan penelitian
oleh Hsu dkk, komponen utama dalam Hedyotis corymbosa yang memiliki efek
antineoplastik adalah asam triterpene yaitu asam oleanolat dan asam ursolat.
Kedua komponen tersebut dapat menghambat pertumbuhan tumor yang sudah
ditransplantasikan subkutan dan sel hepatoma secara in vitro dan in vivo [4,5,6].
Mekanisme penghambatan tumor adalah dengan menginduksi INK4 yang
berfungsi untuk menginhibisi aktivitas Cyclin Dependent Kinase 4 dan 6
(CDK4/6) sehingga terjadi aktivasi Rb, yang merupakan salah satu gen supresor
tumor. Dengan demikian tidak terjadi proliferasi sel yang melampaui batas
berlebihan [6].
Penelitian mengenai manfaat Hedyotis corymbosa pada kanker payudara
masih sangat terbatas. Hal tersebut menyebabkan penelitian mengenai Hedyotis
corymbosa sangat dibutuhkan [2,3].
Masalah yang melatarbelakangi penelitian ini adalah apakah rebusan daun
Hedyotis corymbosa (RDHC) memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan
tumor.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah RDHC memiliki daya
hambat terhadap pertumbuhan tumor payudara pada mencit strain C3H secara in
vivo dan mengetahui dosis yang paling efektif dari keempat dosis yang diteliti
terhadap pertumbuhan tumor payudara pada mencit C3H secara in vivo
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pemberian RDHC
memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan tumor payudara mencit strain C3H
secara in vivo.
Apabila RDHC ternyata memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan tumor
payudara pada mencit strain C3H, maka terbuka peluang pemanfaatan RDHC
dalam terapi kanker pada manusia, terutama kanker payudara.

METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni mengenai
hubungan pertumbuhan tumor payudara dengan pemberian rebusan daun Hedyotis
corymbosa (RDHC) pada mencit strain C3H.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Patologi Eksperimental,
Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada
tanggal 23 Juli 2005 sampai tanggal 17 Agustus 2005.


PKMP-1-4-3

Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah mencit strain C3H dengan berat badan 18-20 gr
sebanyak 30 ekor. Mencit strain C3H yang berasal dari W.E Heston National
Cancer Institute di Amerika ini digunakan karena memiliki insidens tumor
payudara yang tinggi, yaitu 81% pada mencit betina yang dikawinkan. Mencit
akan dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan dengan jumlah masing-masing 5 ekor.
a. Kelompok I: kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan apa-apa
b. Kelompok II: kelompok kontrol yang dicekok pelarut, yaitu cairan
fisiologis NaCl 0,9% sebanyak 0,1 ml per hari selama 21 hari.
c. Kelompok III: kelompok yang dicekok Hedyotis corymbosa 0,25
mg/ml sebanyak 0,1 ml per hari selama 21 hari.
d. Kelompok IV: kelompok yang dicekok Hedyotis corymbosa 0,5 mg/ml
sebanyak 0,1 ml per hari selama 21 hari.
e. Kelompok V: kelompok yang dicekok Hedyotis corymbosa 1 mg/ml
sebanyak 0,1 ml per hari selama 21 hari.
f. Kelompok VI: kelompok yang dicekok Hedyotis corymbosa 2 mg/ml
sebanyak 0,1 ml per hari selama 21 hari.

Alat dan Bahan
Adapun alat yang dipergunakan selama penelitian dan dipinjamkan oleh
Departemen Patologi Anatomik adalah sebagai berikut:
1. timbangan OHAUS
2. kaliper TAJIMA
3. gelas ukur
4. seperangkat alat bedah untuk transplantasi
5. jarum trokar untuk inokulasi tumor
6. semprit 1 ml, 5 ml dan 10 ml
7. mikrotom
8. gelas objek dan gelas tutup
9. mikroskop cahaya
10. NaCl 0,9% (garam fisiologis)
Bahan:
1. Hedyotis corymbosa kering 6 bungkus @ 50 mg
2. NaCl 0,9% 10 kolf
3. Aqua tribides 2 L
4. Pulasan perak koloidal (AgNOR)

Pelaksanaan Penelitian
Pembuatan Rebusan Hedyotis corymbosa
Pertama-tama timbang Hedyotis corymbosa kering sebanyak 50 mg dan
dilarutkan ke dalam pelarut NaCl 0,9% sebanyak 500 ml, dipanaskan sampai
menjadi 25 ml sehingga didapatkan konsentrasi 50 mg/25 ml atau 2 mg/ml. Dosis
tersebut dipilih berdasarkan pada dosis ramuan yang dipergunakan pada manusia,
yaitu 15-60 gr daun Hedyotis corymbosa yang direbus dalam 600 ml air sampai
menjadi 200 ml.


PKMP-1-4-4
Untuk kebutuhan mencekok lima ekor mencit (satu kelompok) selama
seminggu dibutuhkan 7x5x0,1ml atau 3,5 ml. Maka sebanyak 6 ml Hedyotis
corymbosa konsentrasi 2 mg/ml disisihkan dalam tabung reaksi 10 ml.
Sisanya diencerkan dengan NaCl dua kali, tiga kali dan empat kali sehingga
didapatkan konsentrasi 1 mg/ml; 0,5 mg/ml dan 0,25 mg/ml. Ketiga larutan
dengan konsentrasi yang berbeda dimasukkan dalam tabung reaksi masing-
masing.

Transplantasi tumor mencit
Pada hari ke 0, dilakukan transplantasi tumor mencit. Sebelumnya, 30
mencit resipien yang sudah diacak dimasukkan ke dalam kandang masing-masing.
Satu kelompok berisi lima ekor mencit dalam satu kandang. Kandang mencit
dibuat dengan serbuk kayu dan dilengkapi makanan, yaitu jagung dan gandum
dan minuman air keran ad libitum.
Transplantasi dilakukan dengan mengeluarkan jaringan tumor dari mencit
donor. Pertama-tama mencit donor dimatikan dengan eter, kemudian jaringan
tumor diambil menggunakan alat bedah. Jaringan tumor dimasukkan ke dalam
cawan arloji, dilarutkan dengan larutan PBS, dicacah-cacah sampai menjadi bubur
tumor yang halus.
Bubur tumor yang sudah halus dan merata tersebut disuntikkan subkutan di
daerah lengan kanan bawah tumor resipien sebanyak 0,1 ml, dengan
menggunakan spuit 1 cc.

Pemberian Hedyotis corymbosa
Pemberian cekokan Hedyotis corymbosa dimulai pada hari ke dua, yaitu dua
hari setelah dilakukan transplantasi mencit. Pencekokan dilakukan selama 21 hari,
yaitu dari hari 2 sampai hari ke 22.
Selain mencekok, setiap hari juga dipantau makanan dan minuman semua
kelompok mencit. Kelompok I sebagai kelompok kontrol, tidak dicekok, hanya
dipantau makanan dan minumannya. Kelompok II dicekok dengan NaCL 0,9%
setiap hari. Kelompok III dicekok dengan Hedyotis corymbosa 0,25 mg/ml.
Kelompok IV dicekok dengan Hedyotis corymbosa 0,5 mg/ml. Kelompok V
dicekok dengan Hedyotis corymbosa 1 mg/ml. Kelompok VI dicekok dengan
Hedyotis corymbosa 2 mg/ml. Setiap kelompok mencit yang dicekok
menggunakan satu buah spuit, yang sudah ditandai masing-masing.
Selain dilakukan pencekokan dan pemantauan makanan dan minuman
mencit setiap hari, juga dilakukan pembersihan kandang mencit seminggu sekali
semua kelompok pada hari yang sama oleh satu orang tenaga peneliti.

Pengukuran Pertumbuhan Tumor Mencit
Pengukuran pertumbuhan tumor dimulai sejak hari ke-3. Pengukuran
dilakukan dua kali seminggu, yaitu setiap hari selasa dan jumat, yang dilakukan
oleh satu orang tenaga peneliti yang mengukur semua kelompok mencit selama
penelitian berlangsung. Pengukuran dilakukan dengan membasahi kulit badan
mencit dengan air sebelumnya, supaya bulu-bulunya tidak mengganggu
pengukuran


PKMP-1-4-5
Pengukuran tumor dilakukan dengan menggunakan kaliper. Ukuran yang
diukur adalah diameter terbesar dan diameter terkecil. Rumus volume tumor
diperoleh berdasarkan penelitian Shibata dkk [7], yaitu Volume = 0,4 x diameter
terbesar x (diameter terkecil) [2]. Pembulatan volume adalah sampai dengan tiga
angka di belakang koma.

Pengambilan Jaringan Tumor Mencit
Pada akhir penelitian, yaitu pada hari ke-22 dilakukan pengukuran tumor
terakhir kali. Sesudah itu, mencit dimatikan dengan eter, lalu jaringan tumor
dikeluarkan. Setelah dikeluarkan, dilakukan pula pengukuran jaringan tumor yang
sudah dikeluarkan tersebut. Sesudah itu jaringan tumor dimasukkan dalam larutan
formalin untuk dibuat sediaan AgNOR. Hal itu dilakukan pada setiap mencit (30
ekor mencit).

Pengamatan Mikroskopik Sediaan AgNOR
Sediaan tumor mencit dibuat sediaan mikroskopik, kemudian diwarnai
AgOR di laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Pengamatan mikroskopik sediaan AgNOR dilakukan secara kuantitatif
dengan menghitung skor AgNOR yang ditujukan untuk menilai aktivitas
proliferasi sel. Penghitungan skor AgNOR dilakukan dengan menghitung titik-
titik pulasan pada sel. Titik-titik yang terpulas merupakan bagian dari nukleus,
nukleolus, dan organel pada sel sehingga titik-titik tersebut akan tampak lebih
jelas pada sel-sel yang mengalami proliferasi. Setiap titik-titik yang berukuran
besar, sedang, dan kecil ikut dihitung. Caranya adalah menghitung lima sel yang
berbeda pada setiap lapang pandang. Kemudian dihitung sepuluh lapang pandang,
sehingga didapatkan lima puluh sel yang dihitung. Skor AgNOR yang didapat
merupakan rata-rata dari skor lima puluh sel tersebut.

Pengolahan Data
Data yang diperoleh akan diolah secara deskriptif dan analisis. Data volume tumor
diolah menggunakan analisis varian one way ANOVA dan data skor AgNOR
diolah menggunakan analisis varian one way ANOVA

HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Volume Tumor Mencit
Data yang didapatkan dari penelitian ini adalah data ukuran tumor mencit
tiap-tiap kelompok dan data skor AgNOR. Data kuantitatif berupa numerik yang
didapat adalah data ukuran tumor mencit dan data skor AgNOR. Berikut ini
disajikan data ukuran tumor mencit tiap-tiap kelompok.

Tabel 1. Volume Tumor Rata-Rata Pada Tiap-Tiap Kelompok Selama 3 Minggu
Kelompok Mencit Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3
I 0,196 0,113 0,082
II 0,154 0.089 0.092
III 0.105 0.068 0.048
IV 0.166 0.117 0.070
V 0.177 0.114 0.047
VI 0.081 0.010 0.019



PKMP-1-4-6
Tabel 2. Uji Analisis Volume Tumor Rata-Rata Dengan One-Way ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Minggu 1 Between Groups
Within Groups
Total
.049
.174
.223
5
24
29
.010
.007
1.352 .277
Minggu 2 Between Groups
Within Groups
Total
.043
.201
.245
5
24
29
.009
.008
1.032 .421
Minggu 3 Between Groups
Within Groups
Total
.018
.071
.089
5
24
29
.004
.003
1.216 .332

Data Skor AgNOR
Rata-rata skor AgNOR mencit donor adalah 8,72. Sedangkan data rata-rata
skor AgNOR kelompok mencit dicantumkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 3. Tabel Skor AgNOR Kelompok Mencit I-VI

Mencit
Ke-
Kelompok I Kelompok II Kelompok
III
Kelompok
IV
Kelompok V Kelompok
VI
1 9.8 9.44 12.22 9.8 12.88 11.6
2 8.12 7.04 11.52 Tdh 12.38 11.5
3 11.7 11.78 9.48 11.38 12.08 8.88
4 Tdh 11.2 9.74 Tdh 9.7 12.1
5 9.3 12.16 10.62 10 9.86 9,44
Rata-
rata
9,73 10.324 10.316 10.393 11.38 10.704
Keterangan: tdh=tidak dapat dihitung

Tabel 4. Uji Korelasi Antara Volume Tumor Minggu Ke-3 Dengan Skor AgNOR Dengan One-
Way ANOVA

Minggu 3 AgNOR
Minggu 3 Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1

30
-.210
.293
27
AgNOR Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
-.210
.293
27
1

27

Dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan bahwa data
volume tumor dan skor AgNOR memiliki sebaran data normal yaitu p > 0,05.
Analisis one-way ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
bermakna volume tumor antar kelompok. Hasil yang sama juga didapatkan saat
mencari hubungan antara volume tumor minggu ke-3 dengan skor AgNOR.
Pada tabel 1, volume rata-rata minggu 1 merupakan rata-rata dari hasil
pengukuran volume tumor pada tanggal 29 Juli dan 2 Agustus. Minggu 2 adalah
rata-rata volume tumor pada tanggal 5 dan 9 Agustus. Sedangkan minggu 3
adalah rata-rata volume tumor pada tanggal 12 dan 15 Agustus.


PKMP-1-4-7
Secara umum, volume tumor berhasil ditekan dengan semua dosis
(kelompok III, IV, V dan VI). Penurunan volume tumor terlihat seiring dengan
besarnya dosis yang diberikan, artinya semakin besar dosis, semakin berkurang
pula volume tumor. Hal tersebut tercermin pada kelompok VI dimana pada
minggu ke-2 volume tumor dengan cepat menurun walaupun terdapat sedikit
kenaikan pada minggu ke-3. Akan tetapi, analisis volume tumor dengan one-way
ANOVA menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna (p > 0,05) volume
tumor antar kelompok pada minggu ke-1 hingga minggu ke-3 [tabel 2].
Pada tabel 3, skor AgNOR mencit ke-4 dari kelompok I, mencit ke-2 dan ke-
3 dari kelompok IV tidak dapat dihitung. Hal itu dikarenakan sediaan pada
preparat sangat sedikit atau pewarnaan yang tidak memungkinkan untuk
dilakukan penghitungan skor AgNOR. Bila satu preparat tidak dapat dihitung,
maka skor AgNOR rata-rata kelompok merupakan rata-rata skor preparat lain
dalam kelompok tersebut yang dapat dihitung.
Rata-rata skor AgNOR yang tertinggi terlihat pada kelompok V, sedangkan
skor AgNOR yang terendah adalah pada kelompok I. Hal itu berbeda dengan
hipotesis awal yang mengharapkan bahwa pada kelompok perlakukan skor
AgNOR akan lebih rendah daripada kelompok kontrol. Selain itu hubungan antara
volume tumor minggu ke-3 dengan skor AgNOR tidak menunjukkan hasil yang
bermakna yaitu p sebesar 0,293 (p > 0,05). Hubungan antara volume tumor
minggu ke-3 dengan skor AgNOR dicari karena dengan anggapan bahwa skor
AgNOR merupakan cerminan dari keadaan tumor minggu terakhir (minggu ke-3).
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan hasil penelitian ini
kurang bermakna yaitu dosis yang digunakan dan kandungan zat antitumor dalam
sediaan rebusan daun Hedyotis corymbosa.
Menurut WHO, perhitungan dosis relatif untuk mencit dibandingkan
manusia memerlukan faktor koreksi 17,5 kali. Faktor koreksi yang digunakan
untuk menghitung dosis relatif antar spesies ini digunakan berdasarkan berat
badan atau luas permukaan tubuh [8]. Pada penelitian ini digunakan perhitungan
dosis yang mengacu pada dosis manusia sehingga dosis tersebut mungkin belum
cukup untuk menghambat proliferasi sel tumor payudara, yang tercermin dari
volume tumor maupun skor AgNOR. Sebaiknya dosis yang akan digunakan
dalam penelitian ini diuji terlebih dahulu melalui uji toksisitas akut dengan
melakukan titrasi dosis.
Kandungan senyawa antitumor yaitu asam oleanolat, asam ursolat dan asam
geniposidik dalam sediaan rebusan daun Hedyotis corymbosa terlihat kurang
bermakna dalam menghambat aktivitas proliferasi sel tumor payudara. Hasil ini
berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Hsu dkk [5,6] yang menggunakan
asam oleanolat, asam ursolat dan asam geniposidik dalam bentuk sediaan ekstrak
daun Hedyotis corymbosa. Perbedaan hasil penelitian ini memberi gambaran
bahwa konsentrasi senyawa antitumor dalam sediaan rebusan kurang cukup bila
dibandingkan dengan sediaan ekstrak. Padahal penelitian ini semula
mengharapkan sediaan rebusan daun Hedyotis corymbosa juga memiliki efek
sama dengan sediaan ekstrak dalam menghambat perkembangan sel tumor
melalui beberapa mekanisme diantaranya dengan menurunkan sintesis DNA sel
tumor dan menginduksi INK4 yang selanjutnya mengaktivasi gen supresor tumor,
Rb.


PKMP-1-4-8
Selain itu, pemberian rebusan daun Hedyotis corymbosa per oral melalui
sonde sekali sehari selama 21 hari belum dapat menghambat laju pertumbuhan
tumor yang tercermin dari volume tumor maupun skor AgNOR, walaupun
pemberian dengan sonde memiliki akurasi dosis yang cukup baik bila
dibandingkan dengan mencampurkan pada makanan mencit. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya faktor farmakodinamik dan farmakokinetik zat aktif rebusan daun
ini (asam oleanolat, asam ursolat dan asam geniposidik) yang sampai di lokasi
tumor, seperti kemampuan absorbsi oleh saluran pencernaan mencit maupun jalur-
jalur metabolisme patut dipertimbangkan.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa
pemberian rebusan daun Hedyotis corymbosa dengan dosis 0,25 mg/ml; 0,5
mg/ml; 1 mg/ml; dan 2 mg/ml per hari selama 21 hari secara per oral tidak dapat
menghambat laju pertumbuhan tumor payudara pada mencit strain C3H secara in
vivo yang tercermin dari volume tumor maupun skor AgNOR. Hipotesis ditolak.
Sebagai perbaikan bagi penelitian berikutnya, perlu dipertimbangkan untuk
menggunakan dosis yang ditingkatkan sebesar 17,5 kali atau lebih dari dosis
manusia sesuai dengan perhitungan dosis relatif untuk mencit menurut WHO. Hal
ini dilakukan dengan tetap mempertimbangkan dosis toksiknya. Selain itu, bila
memungkinkan, dapat dilakukan ekstraksi daun Hedyotis corymbosa, sehingga
didapatkan zat aktifnya. Zat aktif inilah yang kemudian digunakan untuk
mencekok mencit dalam penelitian tersebut.
Dalam jangka panjang, penelitian serupa diharapkan dapat dilakukan di
masyarakat mengingat masyarakat sudah banyak yang menggunakan Hedyotis
corymbosa sebagai obat tradisional.

DAFTAR PUSTAKA
1 Vorherr H. Breast Cancer: Epidemiology, Endocrinology, Biochemistry and Pathobiology. 1980.
Germany. Urban & Schwarzenberg, Inc.
2 Dalimartha S. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker. 2003. Jakarta. PT Penebar
Swadaya.
3 Busey P. The little weed that could. Available at: http://turfscience.com/weeds/ diamond.html
4 Lin CC, Ng LT, Yang JJ, Hsu YF. Anti-inflamatory and hepatoprotective activity of Peh-Hue-
Juwa-Chi-Cao in male rats. 2002. Am J Chin Med. Spring-Summer. Available at:
http://www.findarticles.com/cf_dls/mOHKP/2002_Spring Summer/ 91913154/
p1/article.jhtml.
5 Hsu HY. Tumor inhibition by several components extracted from Hedyotis corymbosa and
Hedyotis diffusa. 1998. Cancer Detection and Prevention 22 Suppl 1. Available at:
http://www.cancerprev.org/Journal/Issues/22/101/28/ 2864
6 Hsu HY. Involvement of p-151NK4b gene expression in oleanolic acid and ursolic acid induced
apoptosis of hepG2 cells. Available at:
http://www.cancerprev.org/Journal/Issues/26/101/1092/4315.
7 Shibata M, Kavanaugh C, Shibata E, Abel H, Nguyen P, Utsukil Y, dkk. Comparative effects of
lovastatin on mammary and prostate oncogenesis in transgenic mouse models.
Carcinogenesis 2003;24:453-9.
8 Fishbein L. IPCS Training Module No. 4 General Scientific Principles of Chemical Safety.
Geneva: World Health Organization, 2000.

PKMP-1-5-1
AKTIVITAS ANTI TUMOR DARI EKSTRAK DAUN SISIK NAGA
(PYRROSIA NUMMULARIFOLIA (SW.) CHING) SECARA INVITRO
DAN IN VIVO PADA TUMOR PAYUDARA MENCIT (MUS MUSCULUS)

Shanti Agustina, A Abdillah, P Mei Widiyanti, Nina Herlina, Rinaldi Ghurafa
Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-1-6-1
PEMANFAATAN LIMBAH CANGKANG KEPITING SEBAGAI
PENGGANTI KITIN KOMERSIAL UNTUK MEMPRODUKSI
ENZIM KITINASE

Mustopha Ahad, Arif Nurkamto, Dewi Marbawati, Eva Oktiawati, Uly M Ulfah
Universitas Diponegoro, Semarang

ABSTRAK

Kata kunci:


PKMP-1-7-1
SKRINING DAN POTENSI KULIT BUAH PEPAYA MENTAH
SEBAGAI OBAT ANTIMALARIA ALAMI

M Mawardi Abdullah, P Ariowibisono, Richard Ariefiandy, Moh. Fauzi, Sutarto
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK

Kata kunci:


PENDAHULUAN
Pada beberapa wilayah Indonesia, penyakit malaria telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang cukup besar. Penyakit tersebut memiliki dampak
infeksi yang lebih luas dibanding penyakit infeksi lainnya karena terus
menyebabkan morbiditas dan mortalitas dalam skala besar ( WHO &Depkes,
2000).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi permasalahan tersebut,
salah satunya dengan pemberian obat antimalaria. Namun beberapa tahun terakhir
ini, pada beberapa wilayah Indonesia dilaporkan telah terjadi resistensi
Plasmodium falcifarum terhadap obat antimalaria, contohnya klorokuin (Pribadi,
1997).
Oleh karena itu untuk mengurangi penyakit malaria tersebut diperlukan
penggunaan obat alternatif yang lebih aman dan tidak menimbulkan efek samping.
Pepaya merupakan tanaman obat yang sering dimanfaatkan masyarakat India dan
sebagian masyarakat Indonesia dalam pengobatan tradisional (Sadikin, 1995).
Daun, akar, dan buah pepaya mengandung beberapa senyawa, antara lain: papain,
damar, papayatin, dan tannin yang mempunyai potensi sebagai antibiotik.
Beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa kulit dan daging buah pepaya
muda berpotensi sebagai antimalaria (Bhat & Surolia, 2001). Sedangkan daun
pepaya digunakan sebagai pencegahan terhadap serangan malaria (Beckstrom-
Sternberg et al., 1994).
Identifikasi masalah dari penelitian ini adalah pepaya merupakan salah
satu tanaman obat yang dapat menghasilkan metabolit sekunder selama proses
metabolisme berlangsung. Kandungan metabolit sekunder pada pepaya sangat
beragam baik jumlah maupun jenisnya. Keragaman dari kandungan metabolit
sekunder pada pepaya bergantung dari umur, sex, dan varietas atau kultivar
tanaman. Metabolit sekunder tersebut terdistribusi pada berbagai bagian tanaman
pepaya termasuk kulit dari buah pepaya. Metabolit sekunder pada umumnya
mempunyai aktivitas biologi dan kimia yang sangat unik yang dapat bersifat
sebagai antiplasmodial, antikanker. Antimikrobial dan sebagainya.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh
ekstrak kulit buah pepaya mentah var. jingga terhadap Plasmodium berghei pada
mencit sebagai hewan uji.
Tujuan Penelitian ini adalah mempelajari pengaruh ekstrak kulit buah
pepaya mentah var. jingga terhadap Plasmodium berghei pada mencit sebagai
hewan uji.


PKMP-1-7-2
Hasil penelitian ini berguna sebagai:
a. Sumber informasi tentang gambaran pengaruh ekstrak kulit buah pepaya
mentah kultivar jingga terhadap pertumbuhan Plasmodium berghei pada
mencit
b. Dasar penelitian selanjutnya, khususnya untuk uji aktivitas ekstrak buah
pepaya terhadap Plasmodium falcifarum secara invitro.
c. Dasar kerangka berpikir mahasiswa untuk pengembangan dan
pemanfaatan pepaya lebih lanjut terutama dalam bidang pengobatan dan
kesehatan.

METODE PENELITIAN
Cara kerja dari penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap:
1. Preparasi sampel
Sampel kulit buah pepaya mentah yang telah diperoleh kemudian
dikeringkan di bawah sinar matahari secara tidak langsung dengan menutup kain
hitam diatas sampel tersebut. Hal ini bertujuan untuk melindungi senyawa-
senyawa aktif yang mudah rusak oleh radiasi sinar ultraviolet. Setelah sampel
kering kemudian dihancurkan dengan blender.
2. Ekstraksi sampel dan Pembuatan variasi dosis
Serbuk kulit buah pepaya mentah (70 g) diekstraksi secara maserasi
menggunakan pelarut petroleum ether selama lebih kurang 24 jam. Maserasi
dilakukan sebanyak 2 kali dengan pertimbangan agar senyawa aktif yang
diperlukan terisolasi seluruhnya. Setelah 2 X 24 jam, adonan terpisah sehingga
dihasilkan filtrat dan residu. Filtrat kemudian dievaporasi menggunakan kipas
angin sampai menjadi ekstrak kering. Beberapa variasi dosis (100, 200, 400, 800,
1600 mg/kg BB) dibuat dengan melarutkan ekstrak ke dalam pelarut Tween 80
5%.
3. Pengelompokan hewan uji
Hewan uji sebanyak 35 ekor dibagi menjadi 7 kelompok secara acak (tiap
kelompok terdiri atas 5 ekor mencit), yaitu 5 kelompok perlakuan ekstrak kulit
buah pepaya mentah dengan variasi dosis yang diberikan sebesar 100, 200, 400,
800, dan 1600 mg/kg BB; 1 kelompok pembanding (klorokuin 5 mg/kg BB) dan 1
kelompok kontrol negatif.
4. Pengembangan Plasmodium berghei
Plasmodium berghei diinokulasikan ke mencit strain Balb/ c. Untuk
memelihara kelangsungan Plasmodium berghei dilakukan pasase (transfer) dari
mencit yang telah terinfeksi berat ke mencit yang masih sehat. Pasase dilakukan
dengan cara mengambil darah mencit dari jantung dengan spuit injeksi 2,5 ml
yang sebelumnya telah diisi dengan antikoagulan yaitu heparin sebanyak 0,5 ml.
Darah yang diperoleh diinjeksikan ke mencit lain yang belum terinfeksi
Plasmodium berghei dengan volume 0,2 ml. Pada mencit tersebut dilakukan
pemeriksaan derajat parasitemia. Setelah parasitemia mencapai sekitar 30-40%
maka mencit tersebut digunakan sebagai sumber pembuatan inokulum untuk
menginfeksi hewan coba.



PKMP-1-7-3
5. Cara infeksi
Inokulum disiapkan dengan cara mengencerkan sejumlah darah donor
dengan parasitemia 30%-40% dalam RPMI 1640. Infeksi dilakukan dengan cara
suntikan intraperitonial 0,2 mL darah yang mengandung 1x10
7
parasit stadium
eritrositik pada hari pertama.
6. Uji potensi antiplasmodial ekstrak kulit buah pepaya mentah
Uji potensi antiplasmodial ekstrak kulit buah pepaya mentah dilakukan
terhadap mencit yang terinfeksi Plasmodium berghei dengan cara suntikan
subkutan sebanyak 20 L ekstrak yang telah dilarutkan dalam larutan Tween 80
5%. Pemberian ekstrak tersebut dilakukan selama 4 hari sejak hari diinokulasi
dengan Plasmodium berghei (D
+0
sampai D
+3
).
7. Pemeriksaan parasitemia
Pemeriksaan parasitemia dilakukan setiap hari dari hari pertama setelah
infeksi sampai hari keempat. Darah diambil dari ujung ekor mencit kemudian
dibuat apusan darah tipis. Sediaan tersebut diletakkan di atas rak datar kemudian
difiksasi dengan methanol absolut kemudian digenangi larutan Giemsa 10%
selama 45 menit. Sediaan dicuci dengan air mengalir sebentar sehingga larutan
Giemsa hilang dan dikeringkan pada suhu kamar. Sediaan darah diperiksa di
bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran objektif seratus kali dengan diberi
minyak emersi. Persentase eritrosit yang terinfeksi Plasmodium berghei dihitung
pada masing-masing sediaan. Penghitungan ini dilakukan untuk setiap seribu
eritrosit.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum persentase parasitemia pada hari pertama ini lebih sedikit
karena jumlah parasit yang mati lebih banyak ketika awal penyuntikan
Plasmodium berghei ke mencit. Pada hari kedua parasit mulai menyesuaikan diri
setelah masuk ke tubuh mencit sehingga peningkatan persentase parasitemia pada
hari kedua belum begitu banyak yaitu sekitar 20-30 %. Pada hari pertama dan
kedua antara kontrol, klorokuin dan perlakuan ekstrak kulit buah pepaya mentah
dengan dosis yang bervariasi tidak berbeda nyata secara statistik, hal ini berarti
pemberian ekstrak kulit buah pepaya mentah per subkutan tidak mampu
menghambat pertumbuhan parasit.
Pada hari ke-3, parasit mulai menginfeksi darah mencit yang ditunjukkan
oleh persentase parasitemia yang tinggi pada kontrol negatif. Masing-masing
dosis ekstrak memberikan daya hambat terhadap pertumbuhan Plasmodium
berghei yang bervariasi yang ditunjukkan dengan persentase parasitemia lebih
rendah daripada kontrol. Pemberian ekstrak kulit buah pepaya mentah dosis 200,
800, dan 1600 mg/kg BB mempunyai pengaruh penghambatan terhadap
pertumbuhan parasit namun dosis 100 dan 400 mg/kg BB jauh lebih tinggi
pengaruhnya dalam menghambat pertumbuhan parasit.
Pada hari keempat, kelompok perlakuan dosis 200, 800, dan 1600 mg/kg
BB mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan Plasmodium berghei, namun
masih lebih rendah dibanding dengan daya hambat yang diberikan oleh klorokuin.
Persentase parasitemia mencit yang diberi ekstrak dosis 100 dan 400
mg/kg BB lebih tinggi daripada kontrol padahal pada hari ketiga ekstrak dosis ini
mempunyai persentase parsitemia yang paling rendah. Hal ini dimungkinkan

PKMP-1-7-4
terjadi seleksi pada parasit dimana hanya parasit yang kuat yang mampu bertahan
dari efek ekstrak tersebut.
Dari grafik pertumbuhan Plasmodium berghei selama empat hari
pengamatan, jumlah parasit cenderung terus meningkat pada perlakuan kontrol.
Pada dosis 100 dan 400 mg/kg BB pada awal infeksi terjadi peningkatan
parasitemia relatif lambat namun pada hari ke-4 terjadi peningkatan parasitemia.
Pada perlakuan 200, 800, dan 1600 mg/kg BB serta klorokuin parasit cenderung
terus meningkat tetapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan kontrol
Berdasarkan penelitian Peters (1970), efektivitas dari suatu ekstrak yang
diujikan secara invivo didasarkan pada gambaran hasil persentase parasitemia hari
keempat. Berdasarkan persentase parasitemia hari keempat tersebut, secara umum
pemberian ekstrak kulit buah pepaya mentah per subkutan tidak menunjukkan
pengaruh penghambatan pertumbuhan Plasmodium berghei secara signifikan.
Perlu diketahui bahwa ekstrak kulit buah pepaya mentah tersebut
dimungkinkan masih mengandung campuran berbagai senyawa aktif yang belum
diketahui secara pasti aktivitasnya. Selain itu, ekstrak tersebut juga mengandung
berbagai bahan pengotor yang ikut terlarut di dalam ekstrak tersebut, diantaranya
klorofil. Klorofil diduga mengganggu aktivitas dari senyawa aktif yang
terkandung di dalam ekstrak tersebut.

KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak kulit buah pepaya mentah
var. jingga memiliki pengaruh penghambatan terhadap pertumbuhan Plasmodium
berghei pada mencit namun secara statistik tidak berbeda nyata.

DAFTAR PUSTAKA
Beckstrom-Stemberg, Stepen, M., and Duke, J.A. 1994. The Phytochemical
Database. http://probe nalusda. Gov:8300/cgi-bin/browse/phythochemdb.
Bhat, G.P. and Surolia, N. 2003. Invitro Antimalarial Activity of Extract of Three
Plants Used in The Traditional Medicine of India. J. American Society of
Tropical Medicine and Hygene. 65 (41):304-308.
Pribadi, W., Gandahusada, S., Illahude, H.D., 1988, Parasitologi Kedokteran,
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, hal: 98.
WHO & Depkes. 2000. Workshop Report An Integrated Development in
Malarias Area and Roll Back malaria in Indonesia.


PKMP-1-8-1
PEMANFAATAN EKSTRAK BAWANG MERAH SEBAGAI PENGGANTI
ROOTON F UNTUK MENSTIMULASI PERTUMBUHAN AKAR STEK
PUCUK JATI (Tectona grandis L)

R.M. Aulia El Halim, B. Pramudityo, R. Setiawan, I.Y. Habibi, M.T. Daryono
Jurusan Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta

ABSTRAK
Tingginya minat masyarakat sekitar hutan untuk menanam jati sebagai
bentuk investasi masa depan di pekarangan semakin meningkat. Namun
kurangnya asupan teknologi yang digunakan untuk mengembangkan tanaman
jati, menyebabkan usaha mereka dalam menghasilkan bibit tanaman jati yang
berkualitas dan dalam yang jumlah memadai kurang berhasil. Masyarakat sekitar
hutan cenderung menanam jati secara generatif dan biji jati ditanam secara
langsung. Sedangkan untuk menghasilkan bibit jati secara vegetatif yang
khususnya dengan kultur jaringan nyaris tidak mungkin dilakukan masyarakat
karena tingginya biaya dan sulitnya perawatan. Atas dasar pertimbangan ini,
maka pembiakan jati dengan stek pucuk menjadi perhatian dalam penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pengaruh ekstrak
bawang merah terhadap pertumbuhan akar stek pucuk dan membandingkan
pembentukan perakaran antara stek pucuk jati yang diberi Rooton F dan yang
diberi ekstrak bawang merah. Metode pendekatan diawali dengan pengambilan
stek pucuk dari kebun pangkas kemudian dibandingkan kemampuan berakarnya
antara stek yang memakai Rooton F, ekstrak bawang merah, dan kontrol. Desain
percobaan pada penelitian ini menggunakan metode rancang acak lengkap
berblok (RCBD) dengan 3 blok dan 3 macam perlakuan, setiap perlakuan terdiri
dari 5 sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian eksrtak bawang
merahampu menstimulasi pertumbuhan akar pada stek pucuk jati.

Kata kunci: Jati, Stek pucuk, Perakaran, Ekstrak bawang merah, Rooton F
PENDAHULUAN
Menurut Simon (2003) pengelolaan tanaman jati secara ekonomis telah
dimulai sejak abad 17 dengan sistem timber extarction. Pengelolaan jati pada saat
itu ditujukan untuk mendukung industri hulu yang berupa industri perkapalan.
Tanaman jati adalah jenis pohon hutan yang telah lama dibudidayakan di
Indonesia oleh negara (PERHUTANI) maupun oleh masyarakat. Pengetahuan dan
pengalaman menanam jati sudah banyak diketahui baik secara konvensional (biji)
maupun secara terpadu yaitu penerapan silvikultur intensif, penanaman jati klon
unggul, rekayasa genetik dan sebagainya (Mahfudz dkk., 2003 ).
Pengadaan bibit jati dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Secara
generatif, pengadaan bibit jati dilakukan dengan menggunakan biji yang
merupakan hasil perkawinan antara tepung sari (bagian jantan) dan kepala putik
(bunga betina). Sedangkan secara vegetatif dilakukan tanpa melalui proses
perkawinan, tetapi dengan mengambil bagian tanaman seperti daun, batang, umbi
dan lain lain. Untuk pembiakan vegetatif jati dapat dilakukan dengan cara

PKMP-1-8-2
sederhana yaitu dengan pengadaan stump, puteran hingga grafting dan kultur
jaringan (Mahfudz dkk., 2003).
Masyarakat sekitar hutan cenderung menanam jati secara generatif yaitu
menanam bijinya. Pada pelaksanaannya, pengadaan bibit secara generatif cukup
sulit dan memerlukan waktu yang lama. Hal ini disebabkan tidak adanya
identifikasi yang memadai mengenai bibit tersebut ditambah rendahnya
pemahaman masyarakat tentang cara penanaman generatif dan dormansi biji jati.
Sedangkan untuk menghasilkan bibit jati secara vegetatif yang khususnya dengan
cara kultur jaringan nyaris tidak mungkin dilakukan masyarakat karena tingginya
biaya dan sulitnya perawatan.
Atas dasar pertimbangan ini, maka pembiakan jati dengan stek pucuk
menjadi perhatian dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh ekstrak bawang merah terhadap pertumbuhan akar stek pucuk dan
membandingkan pembentukan perakaran antara stek pucuk jati yang diberi
Rooton F dan yang diberi ekstrak bawang merah
Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai cara pengadaan bibit jati secara vegetatif yang efektif,
murah dan efisien, yaitu dengan menggunakan ekstrak bawang merah. Dengan
demikian akan memberikan solusi cara pengadaan sumber bibit jati berskala kecil
kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat memproduksi bibit jati secara
mandiri, dimana saat ini masih didominasi oleh perusahaan besar.

METODE PENDEKATAN
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama 3 bulan dimulai pada bulan
Maret sampai Mei di laboratorium Silvikultur Intensif Klebengan Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada DIY, dengan bibit yang diperoleh dari
laboratorium lapangan Wanagama I, petak 14, Gunung Kidul DIY. Perawatan stek
pucuk dilakukan di laboratorium Silvikultur Intensif Klebengan Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada DIY untuk mempermudah pengamatan.
Bahan yang digunakan adalah stock plant (materi induk pangkasan) jati
yang telah dipangkas dengan tinggi seragam 70 cm, Rooton F 100 ppm dan
ekstrak bawang merah untuk setiap perlakuan stek pucuk jati. Sedangkan alat
penelitian yang digunakan adalah gunting stek, polybag, silet, bak pembibitan,
ember, penggaris, sprayer, plastik, terpal.
Tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
a. Pemangkasan dan Trubusan
1. Pemilihan Bibit.
Bibit yang ada di kebun bibit di Wanagama diidentifikasi terlebih
dahulu, baik dalam hal umur bibit maupun tinggi minimal bibit yang bisa
dijadikan sebagai stock plant (materi induk pangkasan). Setelah didapatkan
bibit yang sesuai dengan kriteria umur dan tinggi minimal, kemudian bibit
tersebut dipindahkan ke laboratorium Silvikutur Intensif Klebengan,
Sleman,Yogyakarta.
2. Perawatan Setelah Pemindahan.
Setelah dilakukan pemindahan, tanaman jati yang akan diberi
perlakuan pemangkasan terlebih dahulu diberikan perlakuan pameliharaan
awal, yaitu penyiraman rutin pagi dan sore selama 4 hari. Hal ini

PKMP-1-8-3
dimaksudkan untuk proses adaptasi untuk bibit jati tersebut pada lingkungan
yang baru.
3. Pemangkasan.
Setalah diberikan perlakuan khusus pada tanaman yang akan
dipangkas, tanaman yang sehat dipindahkan ke dalam medium tanam yang
telah dipersiapkan berupa top soil dan pupuk kandang dengan perbandingan
6:2. Setelah itu dilakukan pemangkasan stock plant setinggi 70 cm dari
pangkal batang.
b. Penumbuhan Perakaran
1. Seleksi stek pucuk dari kebun pangkas dengan persyaratan:
a. Terdapat 1 lembar atau 2 lembar daun.
b. Sehat,tidak terserang penyakit.
2. Stek pucuk yang telah diseleksi dikumpulkan dalam ember yang diisi air
untuk menjaga kesegaran bibit selama pengambilan berlangsung.
3. Pemberian hormon perakaran Rooton F dengan konsentrasi 100 ppm
sebanyak 15 sampel (replikasi).
4. Pemberian ekstrak bawang merah dengan perbandingan air dan ekstrak 1:
9 sebanyak 15 sampel.
5. stek pucuk yang tidak diberi apapun sebagai perlakuan kontrol sebanyak
15 sampel.
6. Penempatan stek pucuk pada media perakaran (top soil : Pasir = 6:2) di
dalam bak perakaran.
7. Perawatan dan penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari dengan
menggunakan sprayer.
8. Desain Percobaan
Desain percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain acak
lengkap berblok (RCBD) dimana terdapat 3 blok dan 3 perlakuan (Rooton
F, bawang merah, kontrol). Setiap perlakuan terdiri dari 5 sampel.
9. Koleksi Data
Pengamatan perakaran dilakukan pada bulan ke 2 penanaman. Parameter
yang diukur adalah : jumlah akar, panjang akar, dan pembentukan kalus.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamtan yang dilakukan dapat disajikan data sebagai
berikut (tabel 1). Sementara berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa
kemampuan pembentukan kalus yang paling tinggi terdapat pada perlakuan
pemberian ekstrak bawang merah sebanyak 5 kalus, rooton F 3 kalus dan kontrol
1 kalus. Pada perlakuan bawang merah, pembentukan kalus relatif merata pada
setiap sampel dimana masing-masing membentuk 1 kalus, demikian pula dengan
kontrol.








PKMP-1-8-4
Tabel 1. Pembentukan kalus, akar dan panjang akar stek pucuk jati umur 2 bulan.

Sampel
Blok Perlakuan 1 2 3 4 5
1 Rooton F Kalus 1
Jumlah Akar
Panjang Akar
Kontrol Kalus 1
Jumlah Akar
Panjang Akar
Bawang Merah Kalus 1
Jumlah Akar 1
Panjang Akar 2.8

2 Rooton F Kalus
Jumlah Akar 1
Panjang Akar 17.8
Kontrol Kalus
Jumlah Akar
Panjang Akar
Bawang Merah Kalus 1 1
Jumlah Akar
Panjang Akar

3 Rooton F Kalus 1
Jumlah Akar 1
Panjang Akar 6.2
Kontrol Kalus
Jumlah Akar
Panjang Akar
Bawang Merah Kalus
Jumlah Akar
Panjang Akar


5
3
1
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
JUMLAH KALUS
Bawang Merah Rooton F Kontrol
PERLAKUAN
JUMLAH KALUS STEK UMUR 2 BULAN
JUMLAH KALUS


Gambar 1. Grafik pembentukan kalus pada stek pucuk umur 2 bulan.


PKMP-1-8-5
1
2
0
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
1,8
2
JUMLAH AKAR
Bawang Merah Rooton F Kontrol
PERLAKUAN
JUMLAH AKAR STEK PUCUK JATI UMUR 2 BULAN
Jumlah Akar

Gambar 2. Grafik pembentukan akar pada stek pucuk umur 2 bulan.

Dari gambar 2 dapat diketahui bahwa hanya 2 jenis perlakuan yang mampu
membentuk perakaran yaitu perlakuan pemberian hormon Rooton F dan perlakuan
pemberian ekstrak bawang merah sebagai pemacu sistem perakaran. Perlakuan
yang membentuk perakaran paling banyak adalah perlakuan pemberian hormon
Rooton F sebanyak 2 sampel dari 15 sampel diikuti oleh perlakuan pemberian
ekstrak bawang merah sebanyak 1 sampel dari 15 sampel. Sedang pada kontrol
tidak terjadi pembentukan perakaran dari 15 sampel yang telah disiapkan. Jumlah
stek pucuk yang mampu membentuk perakaran adalah 3 dari total 45 sampel.

2,8
12
0
0
2
4
6
8
10
12
PANJANG AKAR
Bawang Merah Rooton F Kontrol
PERLAKUAN
RERATA PANJANG AKAR STEK PUCUK JATI UMUR 2 BULAN
Rerata Panjang Akar

Gambar 3. Grafik rerata panjang akar pada stek pucuk jati umur 2 bulan.

Pada gambar 3 dan gambar 4 dapat diketahui bahwa perakaran stek pucuk
terbaik dibentuk oleh Rooton F dengan sampel yang mampu membentuk akar
sebanyak 2 sampel dan panjang akar rata-rata 12 cm. Pada perlakuan bawang
merah terdapat sampel yang membentuk akar dengan panjang akar 2,8 cm.
Sedangkan pada kontrol tidak ada sampel yang mampu membentuk perakaran.
Mengingat jumlah stek pucuk yang berakar maupun yang berkalus dalam jumlah
sedikit (tabel 1) maka analisis varians tidak dapat dilakukan lebih lanjut.

PKMP-1-8-6











A B C


Gambar 4. Perakaran yang dibentuk stek pucuk jati dari tiapa perlakuan umur
2 bulan. (A) kontrol; (B) bawang merah; (C) Rooton F

Stek pucuk merupakan suatu metode perbanyakan vegetatif secara
konvensional dengan menumbuhkan tunas-tunas axilar pada media persemaian
yang dipengaruhi faktor luar dan dalam menurut (Mahfudz dkk., 2004 dalam
Soekotjo, 2004)
Faktor luar yang berpengaruh antar lain :
1) Medium.
2) Faktor lingkungan, antara lain : kelembaban udara, temperatur dan cahaya.
3) Pengerjaan mekanis.
Sedangkan faktor dalam menurut Soekotjo (2004) yang mempengaruhi
penyetekan antara lain:
1) Umur pohon induk.
2) Tempat cabang dalam pohon induk.
3) Persediaan makanan.
4) Callus formasi.
Pada penelitian ini, masing-masing perlakuan ditempatkan pada lingkungan
yang sama, sehingga pengaruh dari ketiga perlakuan relatif seragam.
Ekstrak bawang merah mampu untuk menstimulasi pembentukan kalus,
dimana kalus merupakan awal dari pembentukan akar pada stek pucuk jati. Hal ini
karena bawang merah mengandung hormon auksin yang berfungsi menstimulasi
pertumbuhan akar ataupun juvenil.
Hasil penelitian membuktikan bahwa pertumbuhan akar stek pucuk jati yang
diberi bawang merah relatif bagus meskipun panjang akarnya masih lebih pendek
dari akar stek jati yang diberi Rooton F. Saran untuk penelitian selanjutnya
diharapkan adanya kajian tentang berbagai dosis ekstrak bawang merah agar
diperoleh hasil perakaran yang optimal dan relatif sama dengan menggunakan
Rooton F.

PKMP-1-8-7
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak bawang merah
berpengaruh pada pertumbuhan akar stek pucuk jati. Pembentukkan perakaran
antara stek pucuk jati yang telah diberi eksrtak bawang merah lebih baik jika
dibandingkan hasil stek pucuk tanpa perlakuan (kontrol), meskipun panjang
akarnya relatif pendek dibandingkan Rooton F.


DAFTAR PUSTAKA
Mahfudz M.A, Fauzi, Yuliah, T. Herawan, Prastyono, H. Supriyanto. 2003.
Sekilas Jati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.
Simon, H. 2004. Cetakan I. Aspek Sosio-teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Soekotjo,S. Hardiwinoto, Sukirno, Adriana. 2004. Silvikultur. Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
PKMP-1-9-1
PAGELARAN WAYANG KAGOK SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN
SEKS UNTUK ANAK DI YOGYAKARTA: STUDI KASUS TERHADAP
SISWA KELAS III-VI SD NEGERI PAKEL YOGYAKARTA

Kurniastuti Lestari, Sudaryanto
Mahasiswa Prodi/Jur. PBI dan PBSI, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta


ABSTRAK
Penelitian ini memiliki latar belakang bahwa perkembangan teknologi yang
semakin pesat ternyata berimbas pada tingkat kekerasan seksual terhadap anak-
anak. Akibatnya, jumlah kekerasan seksual kian bertambah. Kondisi tersebut
diperparah dengan terbukanya akses informasi yang tidak sehat mengenai
kesehatan reproduksi di keluarga dan sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan pengaruh Wayang Kagok terhadap pemahaman anak tentang
seks, dan menguraikan manfaat pendidikan seks yang diperoleh anak dari
pagelaran Wayang Kagok.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan
kualitatif-deskriptif-analitis. Metode pengumpulan yang digunakan ialah
purposive sampling. Sample dalam penelitian ini adalah siswa sekolah dasar
(SD) Negeri PAKEL Yogyakarta yang berusia 912 tahun. Data diperoleh dari
pengamatan berperan serta, wawancara, dan pengamatan dokumen.
Hasil penelitian berupa pre-test menunjukkan bahwa pada awalnya responden
putri (90,9%) dan putra (95,5%) belum paham mengenai organ reproduksi
mereka. Setelah pagelaran wayang kagok diselenggarakan, peneliti memberikan
post-test dan terdapat pengaruh yang signifikan yaitu responden putri (90,9%)
dan (57,9%) putra sudah paham. Selain itu, responden juga memberi respon
jawaban yang diharapkan pada saat diberikan pertanyaan mengenai tindakan
yang harus dilakukan saat mereka menghadapi ancaman kekerasan seksual,
seperti berteriak minta tolong dan melaporkan kepada orangtua atau guru
mereka. Penelitian ini memiliki kesimpulan bahwa Wayang Kagok ini layak
dipertimbangkan sebagai alternatif baru media pendidikan seks untuk anak yang
menggabungkan unsur sosial-budaya. Dari hasil penelitian ini, siswa SD Negeri
PAKEL Yogyakarta sebagai responden penelitian telah memahaminya secara
fisik, dan juga mengerti bagaimana bersikap menjaga organ reproduksi mereka
jika ada orang lain yang bermaksud jahat terhadap mereka.

Kata Kunci: Wayang Kagok, pendidikan seks, anak

PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi yang semakin pesat ternyata berimbas dengan
tingkat kekerasan seksual terhadap anak-anak. Maraknya tayangan media
elektronik, seperti televisi, VCD, dan internet yang berbau seks sangat
mendominasi lingkungan anak-anak. Akibatnya, jumlah kekerasan seksual
terhadap anak-anak kian lama kian bertambah (Wahyuni, 2005).
PKMP-1-9-2
Idealnya, pendidikan seks pada anak-anak diberikan kali pertama oleh
orangtua di rumah atau lingkup keluarga. Akan tetapi, tidak semua orangtua mau
bersikap secara terbuka terhadap anak dalam membicarakan permasalahan
seksual. Dari sinilah kita berharap agar pendidikan seks bisa membuat seorang
anak mengetahui tentang jenis kelaminnya, dan hal itu bisa memberikan penilaian
yang tepat tentang suatu tindakan yang berkaitan dengan urusan seksualitas
(Purwatiningsih, 2005; Thomassen, 2004).
Rendahnya tingkat pendampingan orangtua ini ternyata berkait erat dengan
meningkatnya angka kekerasan seksual pada anak, terutama di DIY. Menurut
Koordinator Divisi Media dan Informasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Rifka Annisa Women Crisis Center (WCC) Yogyakarta, Rofi Widiastuti
(Kompas, 26/7/2004), anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual
umumnya tidak mengetahui apa yang menimpa diri mereka.
Penelitian ini memiliki dua tujuan penting, yakni mendeskripsikan (1)
bagaimana pengaruh pagelaran Wayang Kagok terhadap pemahaman anak tentang
seks, dan (2) apa sajakah manfaat pendidikan seks yang diperoleh anak dari
pagelaran Wayang Kagok.
Penelitian ini memberi manfaat bagi empat pihak, yakni (1) Bagi para
orangtua, dimaksudkan untuk memberi salah satu alternatif dalam memberikan
pendidikan seks yang benar pada anak-anak; (2) Bagi para pendidik, diharapkan
menjadi sebuah jalan keluar bagi ketidaktahuan yang dihadapi oleh anak-anak
tentang seks dan semoga ada partisipasi aktif, serta kerjasama dari sekolah untuk
menjadi sarana pagelaran Wayang Kagok di masa yang akan datang; (3) Bagi
masyarakat, dimaksudkan untuk lebih menghidupkan budaya yang terlahir dari
masyarakat dan mengembalikan untuk kemanfaatan masyarakat; dan (4) Bagi
pemerintah, terutama Pemprov DI Yogyakarta dalam hal ini Dinas Diknas DIY
semoga dapat memberikan dukungan, baik moral dan material, dalam upaya
sosialisasi pagelaran Wayang Kagok sebagai media alternatif dalam pendidikan
seks pada anak-anak.
Penelitian ini memiliki rujukan tentang pendidikan seks bagi anak-anak.
Darno (2005) mendefinisikan pendidikan seks sebagai pelajaran khusus yang
dimaksudkan untuk memberi anak fakta-fakta tentang seksualitas yang akurat dan
mudah dipahami. Pendekatan dalam pengajaran dapat bersifat konstruktif,
preventif, atau keduanya. Pendidikan konstruktif menyajikan fakta-fakta dan
penjelasan tentang perilaku seksual. Pendidikan preventif memberikan fakta-fakta
dengan menekankan pengajaran mengenai apa yang harus dihindarkan dalam
menjaga kesehatan seksual.
Memberikan pendidikan seks kepada anak sejak usia dini akan
mendatangkan banyak manfaat selama cara dan materi yang disampaikan tepat.
Materi pendidikan seks yang diberikan tidak bisa lepas dari latar belakang budaya
yang mewarnai masyarakat. Materi yang disampaikan harus memerhatikan
batasan norma-norma, kebudayaan, maupun agama yang dianut.
Menurut Sarwono (1989), secara umum pendidikan seksual adalah suatu
informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, meliputi
aspek-aspek kesehatan, kejiwaan, proses terjadinya pembuahan, kehamilan,
kelahiran, tingkah laku seksual, dan hubungan seksual.
Pendidikan seksual sangatlah luas, di antaranya mengajarkan anak untuk
berperilaku sesuai gendernya, pengenalan organ tubuh, bagaimana menjaga dan
PKMP-1-9-3
merawat organ reproduksinya, serta melindungi diri dari pelecehan seksual.
Pendidikan seks diajarkan untuk memberi pemahaman kepada anak dalam
menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Pendidikan
seksual hendaknya diberikan sejak dini, ketika anak mulai sadar tentang
perbedaan kelamin dirinya dengan orang lain. Pendidikan ini diberikan secara
berkesinambungan dan bertahap sehingga penjelasannya dapat disesuaikan
dengan kebutuhan dan daya tangkap anak.
Beberapa alasan mendasar pentingnya pendidikan seks secara dini pada
anak-anak adalah pendidikan seks secara dini akan memudahkan anak-anak
menerima keberadaan tubuhnya secara menyeluruh dan menerima fase-fase
perkembangan secara wajar, membuat anak sadar dan paham akan perannya kelak
di masyarakat menurut jenis kelaminnya, meraih tahap kedewasaan yang layak
menurut usianya dan mengatasi informasi negatif dari lingkungan luar keluarga.
Pendidikan seksual selain menerangkan aspek-aspek anatomis dan biologis,
juga menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual
yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Nilai-nilai kultur
dan agama hendaknya juga diikutsertakan sehingga akan menjadi pendidikan
akhlak dan moral.
Beberapa ahli mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi
dengan pendidikan etika dan pendidikan tentang hubungan sesama manusia, baik
dalam hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Tujuan dari pendidikan
seksual pada anak bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba,
namun untuk menyiapkan anak agar tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya
(Suminar, 2005).
Selanjutnya penelitian ini pun merujuk soal Wayang Kagok. Wayang Kagok
merupakan satu dari sekian jenis wayang kreasi baru yang muncul pada
perkembangan abad ke-20. Tradisi wayang sendiri dikenal masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat Jawa sebagai media membawa muatan-muatan, seperti
ilmu pengetahuan, seni, hiburan, pendidikan, kejiwaan, mistis, serta simbolis.
Dalam Buku Panduan Museum Wayang Kekayon Yogyakarta (t.th), wayang
memiliki tiga arti, yaitu wayang kulitnya sendiri, pagelaran wayang, dan refleksi
falsafah hidup Jawa. Dalang sebagai sebuah medium, mendatangkan roh nenek
moyang dalam bentuk bayang-bayang yang kemudian mempertunjukkan tiruan
atau imitasi kehidupan manusia kepada para penonton.
Seperti kita ketahui di bagian sebeelumnya, Wayang Kagok termasuk dalam
kategori wayang kreasi baru yang penciptaannya memang dikhususkan untuk
suatu tujuan tertentu, yakni sebagai media pendidikan seks, khususnya pada anak-
anak usia sekolah dasar (SD) yang berumur 6-12 tahun. Dengan begitu, pagelaran
Wayang Kagok didesain untuk memperkenalkan anak-anak pada bagian tubuh
mereka sendiri. Tujuan berikutnya adalah tindakan-tindakan yang harus
diwaspadai anak-anak.
Dalang dalam pagelaran Wayang Kagok tidak hanya bertindak sebagai
pendongeng saja, namun dia juga harus mengundang minat bertanya anak.
Pagelaran Wayang Kagok pun dikondisikan informal dan dialogis, sehingga anak-
anak tidak merasa sungkan dan mungkin terlalu asing dengan beberapa definisi
biologis tentang bagian tubuh mereka, yang disampaikan secara terbuka oleh sang
dalang. Penggunaan istilah-istilah yang disampaikan pada anak juga dimodifikasi
agar mudah dipahami oleh anak-anak, serta ditambah iring-iringan musik.
PKMP-1-9-4
Diharapkan, dari pagelaran tersebut pendidikan seks yang sehat dan sesuai etika
dapat semakin mudah dipahami oleh anak-anak.



Gambar 1. Pementasan Wayang Kagok Didalangi oleh Kang Memed di SD
Negeri PAKEL Yogyakarta, 25 Juni 2005.

Berawal dari tingginya kasus kekerasan pada anak-anak, khususnya dalam
bentuk kekerasan seksual, LSM Rifka Annisa Women Crisis Center (WCC)
menyikapinya dengan program sosialisasi pendidikan seks yang berakar pada
kesadaran anak-anak sendiri akan bagian-bagian tubuhnya, serta cara menjaga diri
mereka dari ancaman kekerasan yang ada di sekitarnya.
Menurut Koordinator Divisi Media dan Informasi Rofi Widiastuti (Kompas,
26/7/2004), anak-anak tidak sadar bahwa mereka telah menjadi korban kekerasan
atau pelecahan seksual. Ditambah lagi, hampir semua peristiwa kekerasan
terhadap anak, termasuk kekerasan seksual, tidak pernah ditanggapi para pejabat
pemerintah secara serius. Sementara itu, rasa malu disertai rasa ketakutan
menyebabkan anak-anak yang menyadarinya tidak berusaha mencari pertolongan
(Kompas, 30/6/2003). Kondisi itu makin lengkap ketika faktor kemiskinan
merupakan salah satu faktor penyebab eksploitasi seksual terhadap anak.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, kemudian media berupa wayang
yang juga bertujuan mengembalikan minat anak terhadap budaya mereka sendiri.
Wayang yang khas Indonesia bisa diolah menjadi kisah yang menarik dan dekat
dengan keseharian anak-anak. Oleh karena itu, disebutlah wayang ini sebagai
Wayang Kagok, mengingat sifatnya sangat adaptif terhadap kondisi riil
masyarakat, khususnya anak, serta tidak sepenuhnya mengikuti pakem dunia
pewayangan yang ada.
Tokoh yang diambil ialah tokoh-tokoh punakawan seperti Bagong, Gareng,
Petruk, Togog, dan Bilung sebagai representasi dari golongan rakyat atau
masyarakat bawah dalam dunia wayang. Adapun penokohan yang diambil pun
tidak jauh dari kisah keseharian masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu,
tokoh-tokohnya juga disimbolkan memiliki peran atau posisi yang hampir sama
dengan kehidupan sehari-hari yang setidaknya dihadapi oleh anak-anak.
Sebagai contoh, Bagong, Gareng, Petruk, dan Limbuk digambarkan sebagai
siswa sekolah dasar (SD) dengan khas seragam merah-putih, sementara Togog
digambarkan sebagai sesepuh desa dan Bilung sebagai tipikal anggota masyarakat
yang nakal dan berperilaku menyimpang. Dengan cara demikian, diharapkan
PKMP-1-9-5
anak-anak dapat menangkap pesan yang disampaikan secara jelas dan
menyeluruh, sekaligus menghibur.


Gambar 2. Tokoh Gareng.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini memilih anak-anak usia sekolah dasar (SD) yang berusia 9-12
tahun di SD Negeri PAKEL Yogyakarta, atau tepatnya siswa-siswa di kelas III-VI
sebagai responden. Jumlah total mereka yaitu 44 orang, yang terdiri atas 22 siswa
putri dan 22 siswa putra.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan
menambahkan pendekatan kuantitatif menggunakan angket. Sebelum pagelaran
Wayang Kagok dimulai, kami selenggarakan terlebih dulu pre-test terhadap para
responden, yakni para siswa kelas III-IV SD Negeri PAKEL Yogyakarta berupa
obrolan ringan tanya-jawab seputar perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Kemudian setelah pagelaran Wayang Kagok itu selesai, kami adakan post-test
berupa pembagian angket atau kuesioner kepada para responden.
Data diperoleh dari pengamatan berperan serta (participant observation),
wawancara, dan pengamatan dokumen. Pengamatan berperan serta digunakan saat
pagelaran dilaksanakan, yaitu untuk memahami pengaruh pagelaran Wayang
Kagok terhadap pemahaman anak tentang pendidikan seks.
Peneliti melakukan pendampingan bagi responden saat pagelaran
dilangsungkan. Sedangkan metode angket/kuesioner digunakan untuk mengukur
respon siswa SD Negeri PAKEL Yogyakarta terhadap pagelaran Wayang Kagok
tersebut. Kuesioner ini juga akan menguraikan manfaat yang didapat dari
pagelaran Wayang Kagok sebagai media pendidikan seks pada anak.

PKMP-1-9-6

Gambar 3. Pementasan Wayang Kagok Didalangi oleh Kang Memed di SD
Negeri PAKEL Yogyakarta, 25 Juni 2005.

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua
pendekatan, yaitu kualitatif dan kuantitatif yang digunakan secara bersamaan.
Pendekatan kuantitatif digunakan saat menguraikan data yang diperoleh dari
kuesioner dan menyajikannya dalam bentuk tabel persentasi. Sementara
pendekatan kualitatif digunakan untuk memberikan penjelasan atau uraian yang
lebih mendalam terhadap temuan yang disajikan dalam tabel persentasi tersebut
(Miles & Huberman, 1994).
Setelah keseluruhan data terkumpul dan dianggap tuntas, maka dilakukan
dua kegiatan yang terjadi secara bersama-sama, yaitu reduksi data dan penyajian
data. Reduksi merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, dan membuang hal-hal yang tidak perlu.
Penyajian hasil analisis data dalam studi ini selain berupa teks naratif, juga
didukung dengan beberapa tabel yang bertujuan untuk memudahkan dalam
membaca hasil studi (Moleong, 2002).
Untuk mencapai derajat keterpercayaan (dependability) dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan teknik triangulasi, di mana peneliti menggunakan sumber
di luar data untuk mengecek atau membandingkan data tersebut. Ada empat cara
untuk melakukan verifikasi data, yaitu melalui verifikasi sumber, metode,
pengamat atau peneliti lain dan teori (Denzin & Lincoln, 1994).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pengamat atau peneliti lain, yang
paham atas wayang ataupun pendidikan seks pada anak. Peneliti
mengkonfirmasikan hal ini pada beberapa pihak, di antaranya kepada Rifka
Annisa WCC dan kepala sekolah SD Negeri PAKEL Yogyakarta.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Adapun penelitian ini kami dilakukan sejak bulan April hingga bulan
Agustus 2005 yang meliputi beberapa hal:
Bulan April dan Mei 2005, meliputi konfirmasi dengan LSM Rifka Annisa
WCC selaku penggagas awal ide pagelaran Wayang Kagok, penelaahan
kajian dan literatur secara mendalam, konfirmasi dengan pihak Kepala
Sekolah SD Negeri PAKEL Yogyakarta. Dipilihnya SD tersebut, karena
dilatarbelakangi:
1. Sebagian besar siswa SD berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi
menengah ke bawah. Menurut survei Rifka Annisa, kecenderungan kasus
PKMP-1-9-7
kekerasan seksual pada anak banyak terjadi pada tingkat ekonomi
menengah ke bawah;
2. Dalam kurikulum pembelajaran SD pendidikan seksual belum terdapat
dalam mata pelajaran agama, baik sebagai sisipan terhadap pelajaran lain
maupun sebagai mata pelajaran yang otonom;
3. Para siswa SD pernah mendapatkan materi tambahan tentang wayang
purwa yang merupakan hibah dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Akan
tetapi, belum ada lanjutan terhadap materi tersebut; dan
4. Secara geografis, letak SD berada di perbatasan antara Kota Yogyakarta
dan Kabupaten Bantul membuat akses para siswa terhadap pendidikan
kesehatan reproduksi menjadi berkurang. Mereka kurang mendapat
informasi yang memadai terhadap kemungkinan-kemungkinan kekerasan
seksual di lingkungan tempat tinggal mereka.
Bulan Juni 2005, meliputi pelaksanaan pementasan Wayang Kagok berjudul
Jangan Ganggu Aku pada tanggal 25 Juni 2005, hari Sabtu di SD Negeri
PAKEL Yogyakarta. Persiapan utama dari pementasan ini ialah pengadaan
sembilan buah Wayang Kagok, gunungan, dalang, dan properti wayang
lainnya. Dalang dalam pementasan ini ialah Kang Memed yang masih
berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta. Adapun sembilan tokoh wayang itu meliputi Petruk, Gareng,
Togog, Limbuk, Cangik, Bagong, Cublak, Bilung, dan Pak Cantrik.
Bulan Juli 2005, meliputi kegiatan pengolahan data yang berbentuk kuesioner.
Kuesioner yang dibagikan kepada responden terdiri atas dua poin penting,
yakni 1) pendidikan seks dalam cerita Wayang Kagok (terdiri atas 5
pertanyaan ganda), dan 2) pendidikan seks anak sehari-hari (terdiri atas 11
pertanyaan ganda dan uraian/esai).
Bulan Agustus 2005, meliputi konfirmasi ulang melalui wawancara dengan
Ibu Kepala Sekolah dan beberapa guru SD Negeri PAKEL Yogyakarta.



Gambar 4. Pementasan Wayang Kagok yang Diikuti oleh Siswa-siswa SD
Negeri PAKEL Yogyakarta, 25 Juni 2005

Dalam angket yang kami dibagikan, terdapat 16 butir pertanyaan yang
mencakup lima buah pertanyaan berkaitan dengan cerita Wayang Kagok dan
PKMP-1-9-8
sebelas buah pertanyaan berkaitan dengan pengetahuan tentang pendidikan seks
anak-anak sehari-hari. Dari 16 butir pertanyaan terdapat dua buah pertanyaan
bersifat uraian (esai) dan 14 buah pertanyaan lainnya bersifat pilihan ganda.
Dalam cerita Wayang Kagok dikisahkan bahwa Cangik merasa khawatir
terhadap perubahan perilaku Limbuk, anak perempuannya. Namun, Limbuk justru
bersikap diam dan tidak menceritakan kepada siapapun, termasuk ibunya sendiri,
bahwa dirinya pernah mendapat perlakuan tak senonoh dari Bilung, pamannya.
Tabel 1 menunjukkan pendapat responden putra sebanyak 7 siswa (36,8 persen)
dan responden putri sebanyak 4 siswa (16 persen) bahwa Limbuk menjadi
pendiam. Selanjutnya dalam tabel yang sama, ada pendapat responden putra
sebanyak 10 siswa (52,6 persen) dan responden putri sebanyak 17 siswa (68
persen) bahwa Limbuk takut untuk menceritakan perlakuan jahat Bilung atas
dirinya.
Sementara itu responden putra sebanyak 2 siswa (10,6 persen) dan
responden putri 3 siswa (12 persen) memberi jawaban, yaitu Limbuk merasa
bahagia. Sampling error sebanyak 1 siswa dari responden putri sedangkan
responden putra tidak ada. Berdasarkan data tersebut, kita bisa menarik
kesimpulan bahwa pendidikan seks melalui Wayang Kagok cukup berhasil
diapresiasi oleh anak usia sekolah dasar (SD). Hal ini membuktikan bahwa anak
perempuan amat rentan terhadap kekerasan seksual, seperti yang dialami oleh
Limbuk. Ditambah lagi, mereka yang mengalami sexual abuse cenderung
mengalami gangguan psikologis.

Tabel 1. Kekhawatiran Cangik Akan Perilaku Limbuk

Putri Putra Apa yang membuat Cangik
khawatir akan perubahan
perilaku Limbuk?
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Limbuk menjadi Pendiam 4 16 % 7 36,8 %
Limbuk takut untuk
menceritakan perlakuan Bilung

17

68 %

10

52,6 %
Limbuk merasa bahagia 3 12 % 2 10,6 %
Tidak menjawab 1 4 % 0 0 %
Jumlah 25 100 % 19 100 %

Dari tabel 1 kita bisa menyimpulkan bahwa bukti dari adanya kekerasan
seksual yang dilakukan oleh Bilung terhadap Limbuk sangat jarang terlihat,
kecuali terjadi kehamilan karena perkosaan. Hal ini mengingat bahwa sebagian
besar anak seperti Limbuk, tidak dapat memberitahukan apa yang mereka alami.
Ini artinya bahwa orang dewasalah yang seharusnya peka terhadap tanda-tanda
kekerasan seksual terhadap anak. Tanda-tandanya sangat beragam, mulai dari
sulitnya berkonsentrasi di sekolah, menyendiri, sulit tidur, depresi, tidak punya
nafsu makan, dan sebagainya.
Pada usia 9-12 tahun, organ-organ seksual anak sudah berkembang secara
matang. Hal ini menjadikan anak ingin memahami elemen-elemen organ
reproduksi yang berhubungan dengan cara membersihkan, menjaga, dan
merawatnya. Oleh sebab itu, Wayang Kagok digunakan sebagai media pendidikan
seks untuk membantu anak-anak mengenali organ reproduksinya. Sebelum
pagelaran dimulai, diadakan survei secara lisan tentang pemahaman anak akan
PKMP-1-9-9
organ reproduksi mereka. Hasil yang didapatkan dari survei tersebut ditampilkan
dalam tabel 2a berikut ini.

Tabel 2a. Pemahaman Anak Tentang Organ Reproduksi

Putri Putra Apakah kamu tahu vagina atau
penis itu apa? Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Ya 2 9,1% 1 4,5%
Tidak 20 90,9% 21 95,5%
Jumlah 22 100% 22 100%

Pada umumnya responden belum memahami benar apakah penis atau vagina
itu. Hal itu dikarenakan pada umumnya orangtua ataupun guru lebih sering
mengasosiasikannya sebagai burung atau anu pada anak-anak untuk menjawab
keingintahuan anak akan organ reproduksi mereka sendiri. Sementara itu, dalam
kuesioner yang kami bagikan setelah pagelaran, kami kembali menanyakan
tentang organ reproduksi kepada seluruh responden. Setelah menggelar
pementasan Wayang Kagok dengan judul Kenali Tubuhku, kami peroleh data
responden tentang pemahamannya terhadap organ reproduksi dalam tabel berikut.
Hasil yang kemudian kami peroleh kami tampilkan dalam dalam tabel 2b berikut.

Tabel 2b. Pemahaman Anak Tentang Organ Reproduksi

Putri Putra Apakah kamu tahu vagina atau
penis itu apa? Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Ya 20 90,9% 11 57,9%
Tidak 2 9,1% 8 42,1%
Jumlah 22 100% 19 100%

Tabel 2b tersebut menunjukkan bahwa secara garis besar responden telah
memahami organ reproduksinya. Terungkap bahwa responden putri lebih
memahami organ reproduksinya dibandingkan responden putra. Responden putri
lebih termotivasi untuk mencari informasi seputar menstruasi agar pada saat
mengalaminya nanti mereka sudah merasa siap. Keingintahuan itu menyebabkan
anak putri lebih paham akan organ reproduksinya. Pada umumnya orangtua tidak
menyebut organ reproduksi dengan istilah vagina atau penis. Hal ini
menyebabkan anak merasa tabu dan malu dengan istilah vagina dan penis.
Padahal, istilah vagina dan penis bukanlah kata yang perlu disembunyikan,
terutama untuk menyampaikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak.
Isi pagelaran Wayang Kagok berusaha mengungkapkan organ reproduksi
manusia secara jelas dan gamblang dengan penyebutan vagina dan penis. Hal ini
dimaksudkan agar anak-anak memahami organ reproduksi mereka dengan tidak
malu-malu karena membicarakan seputar vagina dan penis bukanlah sesuatu yang
patut dipermalukan. Selain itu, ketika anak sudah merasa biasa dengan istilah
vagina dan penis, diharapkan anak memiliki keberterimaan yang tinggi untuk
menerima materi pendidikan seks daripada jika mereka asing dengan penyebutan
vagina dan penis.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada Ibu Kepala
Sekolah dan beberapa guru SD Negeri PAKEL Yogyakarta dapat disimpulkan
bahwa siswa-siswi SDN Pakel Yogyakarta mampu memahami bagaimana etika
PKMP-1-9-10
yang benar dalam bergaul. Manfaat pagelaran Wayang Kagok yang secara riil
dapat terlihat adalah dengan berkurangnya kejadian yang sebelumnya sering
terjadi yaitu saat anak-anak laki-laki, dengan maksud bercanda, menyibakkan rok
anak-anak perempuan dengan penggaris sesekali.
Pendapat para guru SD Negeri PAKEL Yogyakarta mengenai pagelaran
Wayang Kagok yang pernah diadakan sangat positif. Mereka mendukung
pagelaran tersebut meskipun ada catatan yang dapat disampaikan kepada peneliti
yaitu sebaiknya materi cerita yang disampaikan pada pagelaran tersebut
mendekati kondisi yang sebenarnya serta jalan ceritanya lebih diperdalam karena
menurut pengamatan kepala sekolah, siswa-siswanya masih belum dapat
memahami detail cerita dalam pagelaran Wayang Kagok tersebut.

KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman anak-anak akan
pagelaran Wayang Kagok berjudul Jangan Ganggu Aku sudah baik. Dari lima
pertanyaan yang berkaitan langsung dengan isi cerita pementasan tersebut
(pertanyaan nomor 1-5) diketahui bahwa tingkat pemahaman anak cukup tinggi.
Dari hasil jawaban responden atas tanda-tanda kekerasan seksual yang dialami
oleh Limbuk, kita bisa mengetahui bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan
seksual cenderung akan menjadi pendiam, suka menyendiri dan menutup diri. Hal
itu kelak menyulitkan bagi si korban untuk mengungkapkan kekerasan tersebut
pada orang lain. Untuk itu, kepekaan dari orang yang dewasa sangat dibutuhkan
guna menolong anak-anak yang mengalami kekerasan seksual.
Selanjutnya, sebelas pertanyaan yang diberikan pada responden (pertanyaan
nomor 6-16) tentang pendidikan seks untuk anak sehari-hari dapat dijawab dengan
relatif baik. Anak-anak telah mengerti bagaimana bersikap defensif dan menjaga
organ reproduksi mereka jika ada orang lain yang bermaksud jahat terhadap
mereka. Anak-anak juga telah memahami bahwa secara fisik, antara anak laki-laki
dan perempuan berbeda. Akan tetapi, pemahaman mereka tentang organ
reproduksi mereka sendiri dan orang lain bisa dibilang masih rendah.
Dari konfirmasi atau pemberian umpan balik dari pihak SD Negeri PAKEL
Yogyakarta melalui Ibu Kepala Sekolah diperoleh respon positif dari guru atas
pagelaran Wayang Kagok yang mampu memberikan manfaat bagi siswa sekolah
tersebut. Manfaat yang dimaksud ialah masukan-masukan tentang etika bergaul
yang tepat antarlawan jenis. Tindakan lanjutan (follow up) dari sekolah tersebut
adalah pemberian pelajaran atau materi budi pekerti dan etika lewat mata
pelajaran agama dan kegiatan ekstrakurikuler, seperti TPA (Taman Pendidikan Al
Quran).

DAFTAR PUSTAKA
Yayasan Sosial Kekayon Yogyakarta. t.th. Buku Panduan Museum Wayang
Kekayon Yogyakarta. Yogyakarta: tanpa nama penerbit.
Darno. 2005. Pendidikan Seksual dalam Kurikulum Sekolah. Makalah untuk
Seminar Mengemas Pendidikan Seks di Sekolah di Ruang Utama Lantai
III Pemkot Yogyakarta, 28 Maret 2005, diselenggarakan oleh PKBI DIY.
Denzin, N. K. & Lincoln, Y. S. 1994. Handbook of Qualitative Research.
California: Sage Publications.
PKMP-1-9-11
Kompas. Mematahkan Mitos, Menghormati Anak sebagai Manusia edisi 30 Juli
2003.
_______ Kekerasan Seksual terhadap Anak Kian Merajalela edisi 26 Juli 2004.
_______. Saat Anak Mengenal Tubuhnya Sendiri edisi 26 Juli 2004.
Miles and Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis (2
nd
ed.). California: Sage
Publications, Inc.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.
Purwatiningsih, Sri. 2005. Analisis Kebutuhan Remaja Akan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi, Bening edisi Oktober 2004, vol. V No. 2, hal. 8-
12.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali
Suminar, Dyah. 2005. Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Sekolah. Makalah
untuk Seminar Mengemas Pendidikan Seks di Sekolah di Ruang Utama
Lantai III Pemkot Yogyakarta, 28 Maret 2005, diselenggarakan oleh PKBI
DIY.
Thomassen, Dorine. 2004. Yogyakarta Kota Pacaran: Gender dan Seksualitas
Remaja: Pengetahuan, Ide dan Perilaku, Bening edisi Oktober 2004, vol.
V No. 2, hal. 2-7.
Wahyuni, Budi. 2005. Pendidikan Seks di Sekolah, Sebuah Pengalaman:
Pemenuhan HAM yang Terabaikan. Makalah untuk Seminar Mengemas
Pendidikan Seks di Sekolah di Ruang Utama Lantai III Pemkot
Yogyakarta, 28 Maret 2005, diselenggarakan oleh PKBI DIY.

PKMP-1-10-1
PENGOLAHAN AIR BAKU MENJADI AIR MINUM DENGAN
TEKNOLOGI MEMBRAN MIKROFILTRASI DAN ULTRAFILTRASI

Nila Sari Mahardani, Ferdyan Hijrah Kusuma
Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP-ITS, Surabaya


ABSTRAK
Air baku PDAM Surabaya yang berasal dari Kali Surabaya telah tercemar
limbah dari kawasan industri Driyorejo (Kali Tengah). Penurunan kualitas air
Kali Tengah (anak Kali Surabaya) berpengaruh pada kualitas air PDAM
Surabaya sehingga dapat mengancam konsumen PDAM. Hal ini menyebabkan
diperlukannya teknologi untuk menghasilkan kualitas air PDAM yang dapat
langsung diminum. Teknologi yang digunakan adalah teknologi membran dengan
variasi jenis membran Mikrofiltrasi, Ultrafiltrasi dan rangkaian membran
Mikrofiltrasi dan Ultrafiltrasi. Jenis membran yang menghasilkan persen rejeksi
kontaminan terbaik adalah rangkaian KFS-MF-UF untuk parameter pH, suhu,
TDS, TSS, dan E. coli. Sementara untuk parameter warna dan kekeruhan, yang
terbaik dihasilkan oleh rangkaian KFS-MF. Pengolahan air dengan teknologi
membran telah menghasilkan air olahan dengan kualitas air minum yang
disyaratkan KEPMENKES RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002 (untuk 7 parameter
penting, yaitu pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS, dan kandungan bakteri E.
coli), bukan hanya sekedar menghasilkan air bersih, sehingga air olahan
teknologi membran dapat dikonsumsi manusia secara aman.

Kata kunci: air baku, air minum, teknologi membran, mikrofiltras, ultrafilrasi

PENDAHULUAN
Kali Surabaya merupakan sumber air baku air minum bagi kota Surabaya.
Air minum sangat penting dalam kehidupan manusia. Produsen air bersih yang
ada di Surabaya saat ini, PDAM, hanya mampu menghasilkan air bersih tetapi
bukan air yang dapat langsung di minum. Hal ini, salah satunya, disebabkan oleh
air baku PDAM yang berasal dari Kali Surabaya, telah tercemar limbah dari
kawasan industri Driyorejo (Kali Tengah). Sehingga penurunan kualitas air Kali
Tengah (anak Kali Surabaya) berpengaruh pada kualitas air PDAM Surabaya
sehingga dapat mengancam konsumen PDAM.
Dalam proses pengolahan air baku menjadi air minum, diperlukan
pengolahan yang memenuhi standar kualitas yang ada, agar produk yang
dihasilkan berkualitas tinggi dan tidak membahayakan kesehatan manusia.
Pengolahan air minum yang sudah diterapkan di Indonesia berupa pengolahan
konvensional yang terdiri dari Koagulasi-Flokulasi, Sedimentasi dan Filtrasi.
Akan tetapi pengolahan konvensional ini memiliki keterbatasan seperti
membutuhkan luas lahan besar, operasional dan perawatan yang rumit hingga
kualitas air yang masih dibawah standar. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk
mengembangkan lebih jauh bahkan hingga memodifikasinya dengan teknologi
baru.
Akhir-akhir ini, salah satu teknologi yang banyak digunakan di negara-
negara maju adalah Teknologi Membran. Teknologi ini merupakan teknologi

PKMP-1-10-2
bersih yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan dampak yang buruk
bagi lingkungan Teknologi membran ini dapat mengurangi senyawa organik dan
anorganik yang berada dalam air tanpa adanya penggunaan bahan kimia dalam
pengoperasiannya. (Wenten 1999).
Inovasi baru yang akan dilakukan yaitu memodifikasi pengolahan secara
konvensional (Koagulasi-Flokulasi-Sedimentasi) dengan membran Mikrofiltrasi
dan Ultrafiltrasi untuk mendapatkan air dengan kualitas yang jauh lebih baik
bahkan dapat langsung di minum.
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Seberapa besarkah efektifitas antara variabel jenis membran yaitu membran
mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi dan gabungan antara membran
ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi?
2. Bagaimanakah korelasi masing-masing parameter air minum dikaitkan
dengan jenis membran yang berbeda yaitu membran mikrofiltrasi, membran
ultrafiltrasi dan gabungan antara membran ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi?
3. Dapatkah menghasilkan air dengan kualitas lebih baik yaitu tidak hanya air
yang bersih melainkan juga air minum yang sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan No. 907/MENKES/SK/VII/2002?
Tujuan yang ingin dicapai melalui Penelitian ini adalah:
1. Menguji efektifitas antara variabel jenis membran yaitu membran
mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi dan gabungan antara membran
ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi.
2. Mengetahui korelasi masing-masing parameter air minum dikaitkan dengan
jenis membran yang berbeda yaitu membran mikrofiltrasi, membran
ultrafiltrasi dan gabungan antara membran ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi .
3. Mendapatkan air dengan kualitas lebih baik yaitu tidak hanya air yang bersih
melainkan juga air minum.
Luaran yang diharapkan dari penelitian ini dapat menghasilkan air minum
dari teknologi membran yang sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.
907/ MENKES/SK/VII/2002.
Pengolahan pendahuluan berupa proses koagulasi dan flokulasi secara
umum merupakan suatu proses penambahan bahan kimia pembentuk flok pada air
minum atau air buangan, untuk bergabung dengan padatan koloid yang sulit
mengendap, sehingga dapat dihasilkan flok-flok yang mudah mengendap serta
proses pengendapan secara perlahan dari suspended solid (Reynolds 1996).
Kata membran berasal dari bahasa Latin Membrana yang berarti potongan kain.
Saat ini istilah membran didefinisikan sebagai lapisan tipis (film) yang fleksibel,
pembatas antara dua fasa yang bersifat semipermiabel. Membran dapat berupa
padatan atau cairan dan berfungsi sebagai media pemisahan yang selektif
berdasarkan perbedaan koefisien difusifitas, muatan listrik atau perbedaan
kelarutan (Wenten 1999). Secara definitif menurut Wenten (1999), membran
memiliki arti sebagai lapisan tipis yang berada diantara dua fasa dan berfungsi
sebagai pemisah selektif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1
berikut ini.

PKMP-1-10-3

Gambar 1. Pemisahan Partikel oleh Membran (Wenten 1999).

Pengelompokkan membran dapat dilakukan atas dasar berbagai hal. Atas
dasar material yang digunakan, membran dapat dikelompokkan menjadi membran
polimer, liquid membran, padatan (keramik) dan membran penukar ion (Scott
1995). Berdasarkan konfigurasinya, membran dapat dikelompokkan menjadi
membran lembaran, lilitan spiral (spiral wound), tubular, dan emulsi. Dan
berdasarkan ukuran pori, membran dapat dikelompokkan menjadi mikrofiltrasi,
ultrafiltrasi, dan nanofiltrasi (Wenten 1999).
Membran mikrofiltrasi (MF) mengalami perkembangan yang sangat cepat
pada 40-50 tahun terakhir ini. Membran MF dikomersilkan pertama kali pada
tahun 1927 oleh Sartorius Werke di Jerman. Membran MF dapat dibedakan dari
membran reverse osmosis (RO) dan ultrafiltrasi (UF) berdasarkan partikel yang
dapat dipisahkannya. Membran mikrofiltrasi dapat dibuat dari berbagai macam
material, baik organik maupun anorganik. Membran anorganik banyak digunakan
karena ketahanannya pada suhu tinggi dan zat kimia. Membran MF memiliki
ukuran pori antara 0,05-10 m dan tebal antara 10-150 m. Membran Polyolefin
(PE) adalah salah satu kelas terpenting dari material polimer. Beberapa
keuntungan dari membran polyolefine adalah :
Tidak mengeluarkan gas yang berbahaya apabila dibakar
Terdiri dari beberapa ukuran diameter pori, dari 0.05 sampai 0.5 m, yang
dipakai dalam penelitian ini adalah 0,1 m.
Tidak terdegradasi oleh larutan asam maupun basa.
Membran polyolefine mudah untuk dibersihan dan tidak mudah robek.
Membran ultrafiltrasi (UF) memiliki peranan penting pada pengolahan air,
baik air baku menjadi air minum maupun pengolahan air limbah. Hal ini
disebabkan ukuran pori membran yang sangat kecil untuk bisa menahan
(mereject) partikel-partikel kecil berukuran makromolekul hingga virus sekalipun
dari larutan. Membran ini cocok diterapkan untuk memisahkan senyawa berberat
molekul tinggi dari senyawa berberat molekul rendah atau memisahkan
makromolekul dan koloid dari larutannya. Tekanan kerja yang dibutuhkan relatif
besar yaitu 1-10 bar. Bahan ini terbuat dari selulosa diasetat dan selulosa triasetat.
Peningkatan kandungan acetyl memberikan stabilitas kimia dan rejeksi garam
yang baik, namun akan memberikan penurunan fluks (Nasrul 2002). Gambar 2
memperlihatkan struktur kimia dari selulosa asetat.
Ada beberapa keuntungan selulosa asetat dan derivatnya sebagai material
membran yaitu :
Sifatnya merejeksi fluks dan garam yang tinggi, kombinasi yang jarang ada
pada material membran lainnya.
Relatif mudah untuk manufaktur.
Bahan mentahnya merupakan sumber yang dapat diperbarui (renewable)

PKMP-1-10-4







Gambar 2. Struktur Kimia Selulosa Asetat (Rautenbach 1989).

Selain memiliki keuntungan, juga ada kerugiannya yaitu :
Memiliki range temperatur yang sempit. Temperatur maksimum adalah 30
o
C. Temperatur yang tinggi akan mempercepat degradasi. Yang tidak
menguntungkan dari hal tersebut adalah perolehan fluks (karena temperatur
tinggi menyebabkan difusitas semakin tinggi dan viskositas menjadi lebih
rendah, keduanya menyebabkan fluks lebih banyak) dan sanitasi karena
keadaan ini menghasilkan keadaan istimewa bagi pertumbuhan mikroba.
Memiliki range pH yang cukup pendek. Kebanyakan dibatasi pada pH
antara 2-8, kadang-kadang 3-6.
Resistansinya lemah terhadap klorin, pada keadaan kontinu hanya tahan
hingga konsentrasi 1 mg klorin/L. Oksidasi klorin terhadap selulosa asetat
menyebabkan waktu operasi menjadi sangat sebentar.
Selulosa asetat mengalami creep atau fenomena pemadat yang sedikit lebih
besar dibandingkan dengan material lainnya yaitu secara gradual kehilangan
properti membran (khususnya fluks) pada tekanan diatas waktu operasinya.
Selulosa asetat sangat biodegradable yaitu sangat rentan terhadap mikroba
yang terdapat di alam.
Membran ini biasanya terbuat dari polimer dan teknik yang digunakan
dalam pembuatannya adalah teknik inversi fasa. Polimer ruang umum digunakan
antara lain polisulfon, polietersulfon, polivinilidin fluorida, poliakrilonitril,
selulosa asetat, poliamida, polieter keton dan lain sebagainya. Selain polimer
material organik lainnya yang dapat digunakan seperti alumina, zirconia juga
mulai digunakan akhir-akhir ini.
Adapun karakteristik membran MF dan UF terdapat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Karakteristik Membran Mikrofiltrasi dan Ultrafiltrasi.
Membran
Kekuatan
Dorong
Mekanisme
Pemisahan
Struktur
Operasi
(Ukuran Pori)
Range
Operasi
Tipikal (m)
Deskripsi
Permeat
Konstituen
Yang
Direduksi
MF Perbedaan
Tekanan
hidrostatik
saringan Makropori
(> 50 nm)
0,08-2,0 Air +
Senyawa
terlarut
TSS,Kekeruha
n, Protozoa,
Oocysts,
Cysts,
Beberapa
Bakteri dan
virus
UF Perbedaan
tekanan
hidrostatik
Saringan,
difusi
Mikropori
(< 2 nm)
0,001-0,01 Air +
molekul
sangat
kecil,
cairan
ionik
Molekul-
molekul kecil,
kesadahan dan
virus
Sumber: Wenten (1999)

PKMP-1-10-5
METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini akan dibandingkan efektifitas antara variabel jenis
membran yaitu membran mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi dan gabungan antara
membran ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi. Skema rangkaian alat proses membran
untuk variabel jenis membran mikro filtrasi dapat dilihat pada Gambar 3.
Digunakan jenis pengolahan pendahuluan yaitu KFS. Sedangkan membran yang
digunakan adalah mikrofiltrasi.

























Gambar 3. Skema Sistem KFS-Membran MF.


Skema rangkaian alat proses membran untuk variabel jenis membran
ultrafiltrasi dapat dilihat pada Gambar 4. Digunakan jenis pengolahan
pendahuluan yaitu koagulasi flokulasi (KFS). Sedangkan membran yang
digunakan adalah ultrafiltrasi. Keduanya terpasang pada rangkaian sistem. Proses
awalnya tidak jauh berbeda dengan membran mikrofiltrasi hanya ada perbedaan
dalam jenis penggunaan membrannya.







Suction Pump
Membran MF
Wadah Efluen KFS
Feeding Tank
Slow Mix dan Sedimentasi
Flash Mix

Pressure Gauge
Valve
Air baku
Wadah
Permeat
Reaktor Membran MF
Speed Controller
Air Pump

PKMP-1-10-6
Reaktor
Membran UF
Wadah Efluen KFS
Feeding Tank
Slow Mix dan Sedimentasi
Flash Mixing

pembuangan
Pressure Gauge
Valve
Air baku
Air buangan
Resirkulasi
Resirkulasi pendingin
Pompa
Resirkulasi Retentat
By Pass
Wadah
Permeat
Kran air
























Gambar 4. Skema Sistem KFS-Membran UF.

Skema rangkaian alat proses membran untuk variabel jenis membran mikro
filtrasi dan ultra filtrasi dapat dilihat pada Gambar 5. Digunakan jenis pengolahan
pendahuluan yaitu KFS. Sedangkan membran yang digunakan adalah mikrofiltrasi
dan ultra filtrasi. Rangkaian sistem adalah sebagai berikut:




















PKMP-1-10-7













Gambar 5. Skema Sistem KFS-Membran MF Membran UF.

Prosedur penelitian yang dilakukan yaitu air baku yang digunakan diambil
dari intake PDAM Ngagel Surabaya. Air baku tersebut dianalisa di laboratorium
untuk mengetahui kualitasnya. Parameter yang dianalisa adalah pH, suhu, warna,
kekeruhan, TSS, TDS, dan E. coli. Kemudian air baku tersebut dimasukkan dalam
feeding tank yang dialirkan menuju wadah flash mix (koagulasi) secara gravitasi
dengan kecepatan pengadukan 60 rpm selama 30 detik. Pada wadah tersebut akan
dibubuhkan koagulan tawas (alum) sesuai dengan dosis optimum yang telah
dihasilkan pada analisa jartest. Dari koagulasi, air mengalir secara gravitasi ke
slow mix (flokulasi) dan secara perlahan-lahan mulai terbentuk flok-flok halus
dengan kecepatan pengadukan 20 rpm selama 5 menit (Jahn, 1979) . Proses ini
berlangsung terus-menerus hingga air mengalir menuju bak sedimentasi. Pada bak
sedimentasi ini, flok-flok berukuran semakin besar sehingga dapat cepat
mengendap. Di sini, air olahan diendapkan selama 1 jam lamanya. Supernatan
dari sedimentasi ini akan ditampung pada bak penampung efluen koagulasi-
flokulasi-sedimentasi (KFS).
Selanjutnya, dilakukan proses filtrasi dengan teknologi membran. Untuk
rangkaian KFS-MF, supernatan dialirkan ke reaktor membran MF dengan
menggunakan pompa hisap dengan tekanan sebesar 1,5 bar. Untuk rangkaian
KFS-UF, supernatan dialirkan ke membran UF dengan menggunakan pompa
tekan dengan variasi TMP sebesar 1,6 -3,6 bar. Sedangkan untuk rangkaian KFS-
MF-UF, digunakan pompa hisap dengan tekanan sebesar 1,5 bar untuk
Wadah Efluen KFS
Reaktor Membran MF
Membran MF
Air Pump
Flash Mix
Pompa
By Pass
Reaktor Membran UF
Resirkulasi pendingin
Feeding Tank
Suction Pump
Slow Mix dan Sedimentasi
Wadah
Permeat
MF
Wadah
Permeat
Kran air
Speed Controller
Pressure Gauge
Valve
Air baku
Air buangan
Resirkulasi
pembuangan

PKMP-1-10-8
mengalirkan supernatan ke reaktor membran MF, kemudian digunakan pompa
tekan dengan variasi TMP sebesar 1,6 -3,6 bar untuk mengalirkan permeat MF ke
membran UF.
Pompa hisap berfungsi untuk menghisap hasil efluen KFS (supernatan) yang
telah dialirkan ke dalam reaktor membran MF yang kemudian hasilnya (permeat)
akan ditampung dalam ember kecil.Sedangkan pompa tekan berfungsi untuk
mengalirkan efluen KFS (rangkaian KFS-UF) atau permeat MF (rangkaian KFS-
MF-UF) ke dalam reaktor membran UF yang kemudian hasilnya (permeat UF)
akan ditampung dalam wadah kecil. Sistem dirancang sedemikian rupa dengan
resirkulasi sehingga permeat (efluen membran MF/UF/MF dan UF) tertampung
pada wadah tersendiri sedangkan retentat kembali menuju wadah efluen KFS.
Selanjutnya permeat (efluen membran MF, UF, dan MF-UF)yang telah
tertampung diambil sampel 130 mL dan dianalisa 7 parameter (pH, suhu, warna,
kekeruhan, TSS, TDS, dan E. coli). Hasil analisa akhir yang berasal dari permeat
MF, UF, dan MF-UF dibandingkan dengan standar kualitas air minum
(Kepmenkes No.907/MENKES/SK/VII/2002) agar dapat diketahui hasilnya
apakah layak disebut sebagai air minum.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian, air baku dianalisa untuk mengetahui karakteristiknya.
Parameter yang dianalisa adalah pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS, dan E.
coli. Tabel 2 berikut memperlihatkan karakteristik air baku.

Tabel 2. Hasil Analisa Karakteristik Air Baku

Air Baku
Parameter Satuan
Uji I Uji II Uji III Rata-rata
KEPMENKES
907/2002
pH - 6,98 7,06 7,2 7,08 6,5-8,5
Suhu air 28,4 28,8 28,6 28,6
Suhu ruang
0
C
28 28 28 28
Suhu ruang 3
0
C
Warna Mg/LPtCo 18,27 17,86 18,05 18,06 Maks. 15
Kekeruhan NTU 112 98 117 109 Maks. 5
TSS mg/L 157 148 139 148 Maks. 50
TDS mg/L 283 268 262 271 Maks. 1000
E.coli MPN/100
mL
7,08x10
8
- - 7,08x10
8
Maks. 0

Dari hasil analisa diatas menunjukkan bahwa kualitas air tidak memenuhi
standar kualitas air minum (Kepmenkes No. 907/MENKES/SK/VII/2002)
terutama untuk parameter warna, kekeruhan, TSS dan E.coli, maka dari itu perlu
dilakukan pengolahan sebelum dikonsumsi.
Kemudian dilakukan pengolahan pendahuluan dengan tujuan untuk
menurunkan kandungan kontaminan yang terkandung dalam air baku sebelum
menuju proses pengolahan lanjut menggunakan teknologi membran. Pengolahan
pendahuluan yang dilakukan menggunakan sistem KFS. Pengolahan pendahuluan
menggunakan KFS ini diawali dengan melakukan analisa jartest yang ditujukan
untuk menentukan dosis optimum dari koagulan.. Koagulan yang digunakan
adalah alum.. Hasil analisa jartest selengkapnya pada Tabel 3 dan Gambar 6.




PKMP-1-10-9
Tabel 3. Hasil Analisa Jartest

No.
Dosis
Alum
(mg/L)
pH
Suhu
(0C)
Warna
(mg/L
PtCo)
Kekeruhan
(NTU)
1 40 6,75 27,1 4, 00 2,85
2 50 6,71 27,1 2, 75 2,20
3 60 6,65 27,1 2,13 1,05
4 70 6,56 27,2 1,81 0,85
5 80 6,46 27,1 1,34 0,55
6 90 6,51 27,2 1,81 1,05
7 100 6,65 27,1 2,13 1,35
8 110 6,74 27,2 3,38 1,80










Gambar 6. Hasil Analisa Jartest.

Pada gambar di atas terlihat kekeruhan menurun seiring dengan penambahan
koagulan hingga 80 mg/L, hal ini disebabkan penambahan koagulan mempercepat
timbulnya flok. Sedangkan setelah dosis koagulan di atas 80 mg/L, kekeruhannya
meningkat kembali. Hal ini dikarenakan kondisi air sudah jenuh yang
menyebabkan flok terpecah kembali.
Selanjutnya dilakukan pengenceran konsentrasi alum supaya memudahkan
dalam mengatur flow rate pembubuhan. Pengenceran dilakukan sebanyak 5 kali
sehingga konsentrasi alum yang ada menjadi 4000 ppm. Alum dengan konsentrasi
4000 ppm ini kemudian digunakan untuk KFS. Pada sistem pilot plan KFS, air
baku memiliki flow rate 0,75 L/menit dan flow rate alum untuk konsentrasi 4000
ppm sebesar 15 mL/menit.
Perangkat proses KFS dapat di lihat pada Gambar 7. Sedangkan hasil
analisa efluen KFS yang dapat dilihat pada Tabel 4.









Gambar 7. Perangkat Proses KFS.

GRAFIK ANALISA WARNA HASIL JARTEST
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
DOSI S KOAGULAN ( mg/ L)
GRAFIK ANALISA KEKERUHAN HASIL JAERTEST
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
DOSI S KOAGULAN ( mg/ L)

PKMP-1-10-10
Tabel 4. Hasil Analisa Efluen dan % Rejeksi KFS

Parameter Satuan Air Baku
Efluen
KFS
% Rejeksi
KEPMENKES
907/2002
pH - 7,08 6,47 - 6,5-8,5
Suhu 30 27,75 -
Suhu ruang
0
C
29 29
Suhu ruang 3
0
C
Warna mg/L PtCo 18,06 5,25 70,93 Maks. 15
Kekeruhan NTU 109 6,55 93,99 Maks. 5
TSS mg/L 148 47 68,24 Maks. 50
TDS mg/L 271 170 37,24 Maks. 1000
E.coli MPN/100 mL 7,08x10
8
1550 99,9994 Maks. 0

Pada proses KFS, penambahan koagulan ini dilakukan untuk membantu
pengendapan koloid, koloid merupakan partikel yang tidak dapat mengendap
secara alami karena adanya stabilitas suspensi koloidal. Hidrolisa atom Al dalam
air menurut reaksi sebagai berikut :
Al
2
(SO
4
)
3
+ 6 H
2
O 2 Al(OH)
3
+ 6 H
+
+ SO
4
2-

Reaksi diatas menyebabkan pembebasan ion H
+
sehingga pH larutan
berkurang. Jika dilihat pada Tabel 3 diatas, dimana pH air baku 7,08 kemudian pH
efluen KFS menjadi 6,47, hal ini sesuai dengan proses hidrolisa atom Al seperti
telah dijelaskan diatas. Selain itu, pH 6,47 untuk efluen KFS ini menunjukkan
bahwa berada pada kondisi rentang pH dimana alum dapat bekerja optimum yaitu
berkisar antara 6-8 (Alaerts dan Santika 1987).
Setelah air baku diolah menggunakan pengolahan pendahuluan, seelanjutnya
dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air baku tersebut menggunakan teknologi
membran, dalam hal ini membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi. Membran
mikrofiltrasi (MF) dan ultrafiltrasi (UF).








Gambar 8. Membran Mikrofiltrasi dan Perangkat Membran Mikrofiltrasi











Gambar 9. Membran Ultrafiltrasi dan Perangkat Membran Ultrafiltrasi


PKMP-1-10-11
Sebelum digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji kompaksi dan
permeabilitas untuk mengetahui karakteristik membran yang dihasilkan.
Berdasarkan uji kompaksi dan permeabilitas terhadap membran MF dan UF.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya didapatkan hasil bahwa nilai rejeksi
untuk membran MF yang paling tinggi dicapai oleh tekanan hisap pompa sebesar
1,5 bar (Susilowati, 2005). Luas permukaan dari membran adalah 0.0828 m
2

sehingga dihasilkan fluks sebesar 105,797 L/m
2
.jam. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 10 berikut.
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80
Wakt u ( meni t )


Gambar 10. Uji Kompaksi Membran MF dengan Tekanan Hisap Pompa 1,5 bar.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui untuk uji kompaksi ini
digunakan TMP 1,25 bar karena membran UF memiliki range TMP 1-10 bar
sehingga digunakan TMP minimum untuk mendapatkan fluks konstan yang paling
rendah (Arfiantinosa, 2004). Hasil uji kompaksi untuk membran ultrafiltrasi ini
dapat dilihat pada gambar 11 berikut.
2
22
42
62
82
102
0 2 4 6 8 10
Waktu (meni t)
F
l
u
k
s

(
L
/
m
2
.
j
a
m
)


Gambar 11. Uji Kompaksi Membran Ultrafiltrasi.

Nilai permeabilitas membran UF adalah 10-50 L/m
2
.jam.bar (Mulder, 1996).
Dan berdasarkan penelitian sebelumnya untuk TMP 1,6-3,6 nilai permeabilitasnya
antara 13-25 yang menunjukkan bahwa membran yang digunakan merupakan
membran UF. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5 berikut.

Tabel 5. Nilai Permeabilitas Membran UF
Membran UF
No.
TMP
(bar)
K
(L/m
2
.jam.bar)
KFS-1 1,6 14,208
KFS-2 2,0 17,891
KFS-3 2,4 14,683
KFS-4 2,8 21,398
KFS-5 3,2 24,291
KFS-6 3,6 19,638
Sumber : Hasil Penelitian (Dipareza, 2004).

PKMP-1-10-12

Rangkaian proses membran dan perbandingan hasil analisa permeat dapat dilihat
pada Gambar 12 dan Tabel 6.










Gambar 12. Rangkaian Proses Membran dan Perbandingan Air Baku, Efluen KFS, Permeat
MF, UF, dan Gabungan MF-UF

Tabel 6. Hasil Analisa Permeat dan % Rejeksi Membran MF, UF dan MF-UF

Parameter Satuan Air Baku
Permeat
MF
%
Rejeksi
Permeat
UF
%
Rejeksi
Permeat
MF-UF
%
Rejeksi
KEPMENKES
No. 907/2002
pH - 7,08 7,81 - 6,40 - 7,68 - 6,5-8,5
Suhu air 30 26,5 - 28,60 - 29 -
Suhu ruang
0
C
29 28 - 28 - 28 -
deviasi 3
Warna
mg/L
PtCo
18,06 0,41 97,73 2,13 88,21 2,12 88,26 15
Kekeruhan NTU 109 0,54 99,5 1,00 99,08 4,76 95,63 5
TSS mg/L 148 ND 100 ND 100 ND 100 50
TDS mg/L 271 150 44,65 77,5 71,4 75,3 72,21 1000
E.coli
MPN/100
mL
7,08x10
8
0 100 0 100 0 100 0


KESIMPULAN
Dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan
yaitu berdasarkan variabel jenis membran yang digunakan dalam penelitian ini,
maka dapat diketahui bahwa jenis membran yang menghasilkan persen rejeksi
kontaminan terbaik adalah rangkaian KFS-MF-UF untuk parameter pH, suhu,
TDS, TSS, dan E. coli. Sementara untuk parameter warna dan kekeruhan, yang
terbaik dihasilkan oleh rangkaian KFS-MF.
Berdasarkan KEPMENKES No. 907/MENKES/SK/VII/2002, maka dapat
diketahui bahwa permeat dari ketiga variasi sistem membran yaitu membran
mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi, dan rangkaian membran mikrofiltrasi dan
ultrafiltrasi, telah memenuhi persyaratan air minum untuk 7 parameter penting,
yaitu pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS, dan kandungan bakteri E.coli.
Pengolahan air dengan teknologi membran telah menghasilkan air olahan
dengan kualitas air minum yang disyaratkan (untuk 7 parameter penting, yaitu pH,
suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS, dan kandungan bakteri E. coli), bukan hanya
sekedar menghasilkan air bersih, sehingga air olahan teknologi membran dapat
dikonsumsi manusia secara aman.



PKMP-1-10-13
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts G, Santika SS. 1987. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional.
Arfiantinosa N. 2004. Aplikasi Membran Ultrafiltrasi Untuk Pemurnian Air.
Tugas Akhir. Surabaya: Teknik Lingkungan ITS.
AWWA. 1998. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. 20
th

edition. USA
Dipareza A. 2004. Studi Pengaruh Tans Membrane Pressure dan Sistem
Pengaliran Terhadap Fluks Pada Membran Ultrafiltrasi. Tugas Akhir..
Surabaya: Teknik Lingkungan ITS.
Jahn. 1979. Traditional Water Purification in Tropical Developing Countries :
Existing Methods and Potential Application. GTZ. Eschborn
Mulder M. 1996. Basic Principles of Membrane Technology . 2
nd
edition.
Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Nasrul. 2002. Kemampuan Membran Selulose Asetat Sebagai Media Filter
Terhadap Penyisihan Kekeruhan dan Escheria Coli Pada Proses Pemurnian
Air. Thesis. Surabaya: Jurusan Teknik Lingkungan ITS.
Rautenbach RR, Albrecht. 1989. Membrane Process. Translated by Valerie
Cottrel. John Willey and Sons
Reynold, Richards. 1996. Unit Operations and Process in Environmental
Engineering. 2
nd
editon. PWS Publishing Company.
Susilowati. 2005. Studi Pengolahan Lindi LPA Benowo Dengan Menggunakan
Koagulan Biji Kelor (Moringa oleifera) dan Membran Mikrofiltrasi. Tugas
Akhir. Surabaya: Jurusan Teknik Lingkungan ITS.
Scott K. 1995. Handbook of Industrial Membrane. 1
st
edition. Elsevier Advanced
Tecnology.
Wenten IG. 1999. Teknologi Membran Industri. Bandung.

PKMP-1-11-1
PEMANFAATAN PROTEIN WHEY MENJADI EDI BLE FI LM COATI NG
UNTUK MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAGING AYAM

Erwin Wieddyanto, Ermy Indah S., Esti W., dan Siti Khoirul Z
Jurusan Teknologi Hasil Ternak, UNIBRAW, Malang

ABSTRAK
Whey merupakan hasil samping dari pembuatan keju yang selama ini belum
dimanfaatkan dengan baik. Whey keju banyak mengandung protein jenis
laktoglobulin yang merupakan bahan dasar pembuatan edible film. Protein whey
menghasilkan film yang transparan, lunak, fleksibel dan sifat penahan aroma dan
oksigen yang baik pada kelembaban relatif yang rendah, sehingga dapat
mempertahankan integritas daging. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pemanfaatan protein whey keju yang lebih optimal. Mengetahui sifat
edible film yang memiliki WVP yang rendah dengan penambahan lemak dan
edible film protein whey keju yang tidak mudah larut dalam air melalui
denaturasi panas. Penerapan edible film dari protein whey untuk
mempertahankan kualitas daging atau karkas selama penyimpanan dingin dan
distribusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa edible film dari protein whey
yang ditambah lemak mempunyai nilai WVP yang rendah tetapi kelarutannya
lebih tinggi daripada yang tanpa ditambahkan lemak. Namun demikian pada
edible film yang tidak ditambahkan lemak WVPnya cenderung meningkat saat
kondisi denaturasi ditingkatkan. Disamping itu dengan adanya pelapisan ini
ternyata mampu menurunkan penyusutan berat dan jumlah kontaminasi
mikroorganisme pada permukaan daging, akan tetapi tidak memberikan
pengaruh yang nyata pada kualitas daging yang meliputi pH, Water Holding
Capacity (WHC), cooking loss, dan kadar air antara daging yang dilapisi edible
film dan yang tidak dilakukan pelapisan. Kesimpulan yang diperoleh yaitu protein
whey yang merupakan hasil samping keju dapat dimanfaatkan menjadi edible
film. Edible film ini dapat diaplikasikan sebagai bahan pelapis daging yang dapat
mempertahankan penurunan berat dan menurunkan jumlah mikroorganisme yang
mengkontaminasi permukaan daging.

Kata kunci: protein whey, edible film, daging ayam

PENDAHULUAN
Permasalahan utama bagi industri rumah potong ayam dan pengemasan
daging unggas adalah terjadinya pengkerutan atau turunnya berat daging selama
pendinginan setelah penyembelihan, penyimpanan dan distribusi. Pengkerutan
karkas dapat dikendalikan melalui penyimpanan pada suhu rendah yang disertai
dengan pengaturan kelembaban relatif (RH) yang tinggi dan sirkulasi udara yang
minimal. Namun RH yang tinggi mengakibatkan permukaan karkas menjadi
basah sehingga lebih kondusif bagi pertumbuhan bakteri, untuk melindungi
permukaan karkas dari RH yang tinggi dapat menggunakan coating dengan
edible film.
Film dari protein whey dapat menghasilkan film yang transparan, lunak,
fleksibel dan mempunyai sifat penahan aroma dan oksigen yang baik pada RH
yang rendah sehingga diharapkan dapat mempertahankan integritas daging, aroma

PKMP-1-11-2
daging dan melindungi daging dari reaksi oksidasi. Meskipun demikian film dari
protein whey mempunyai sifat hidrofil yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan
film jenis ini kurang mampu mempertahakan kadar air daging yang disebabkan
oleh tingginya permeabilitas film protein whey terhadap air. Akibatnya daging
mudah mengalami pengeringan pada bagian permukaan dan terjadi penurunan
berat, yang secara ekonomis sangat merugikan. Kelemahan ini dapat diatasi
dengan penggabungan lipid ke dalam film protein whey baik dalam emulsi atau
sebagai coating sehingga dapat mengurangi permeabilitas uap air. Penggabungan
lipid ke film protein whey ditujukan untuk mengurangi sifat hidrofil dan
meningkatkan sifat hidrofob film sehingga diharapkan dapat menurunkan
permeabilitas terhadap uap air. Disamping itu dilakukan perlakuan pemanasan
untuk mendenaturasi protein whey sehingga dapat memacu gugus sulfidril internal
membentuk ikatan disulfida intermolekuler yang berperan dalam pembentukan
struktur film sehingga protein whey tidak mudah larut dan integritas film dan
daging yang dilapisi film portein whey dapat terjaga integritasnya serta mencegah
terjadinya kontaminasi mikroorganisme atau bahan asing yang berbahaya.
Oleh karena itu dari hasil kajian film dari protein whey ini diharapkan
dapat meningkatkan nilai ekonomi whey, meningkatkan kemampuan film protein
whey sebagai coating daging ayam yang dapat diterapkan untuk mempertahankan
kualitas daging ayam selama pendinginan setelah pemotongan, penyimpanan dan
distribusi. Disamping itu, hasil penelitian ini bisa menjadi masukan bagi para
pengusaha daging agar dihasilkan produk yang bermutu tinggi melalui
penggunaan edible film yang sekaligus bermanfaat bagi kesehatan karena
disamping melindungi daging dari kontaminasi zat-zat polutan dan
mikroorganisme juga mengandung nilai nutrisi yang tinggi.

METODE PENDEKATAN
Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya mulai bulan
Maret sampai Oktober 2005. Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik,
sentrifuge, pH meter, oven semi vakum, pompa vakum, teflon, cawan petri, pipet
mikro, blue tip, plat kaca, besi pemberat, desiccator, inkubator, dan outoclav.
Bahan yang digunakan berupa whey hasil samping keju yang diisolasi
proteinnya menggunakan sentrifuge dengan pengaturan pH 2,0 menggunakan HCl
1N, minyak sawit, gliserol, dan CaCl
2
20%. Protein whey (kadar 5%) sebanyak
25% (
W
/
V
aquadest) ditambah gliserol 8% (
V
/
V
protein whey) diaduk sampai
homogen, kemudian ditambahkan ke aquadest yang sudah mengandung CaCl
2

sebanyak 1% (
V
/
V
potein whey). Larutan tersebut diatur pada pH 8,0
menggunakan NaOH 0,1N. Denaturasi 90
o
C selama 30 menit dan distirer 250
rpm. Minyak sawit 0,5; 0,75; 1% (
V
/
V
protein whey) ditambahkan 5 menit terakhir
denaturasi. Larutan film didinginkan sampai suhu ruang dan diatur pada pH 5,2
menggunakan HCl 0,1N. Larutan film dicetak pada teflon dan dikeringkan
menggunakan oven semi vakum berventilasi pada suhu 342
o
C selama 24 jam
(Cagri 2003). Film dikelupas dari teflon dan dilakukan pengujian WVP dan
Kelarutan protein, sedangkan untuk aplikasi ke daging ayam dilakukan
pencelupan potongan paha dan dada ke larutan film setelah pengaturan pH 5,2 dan
seterusnya dilakukan penyimpanan ke refrigerator.


PKMP-1-11-3
Kelarutan Protein
Sebanyak 500 mg sampel film ditambah NaCl 0,1M dan diaduk hingga
membentuk pasta, kemudian ditambahkan NaCl 0,1M hingga volume mencapai
40 mL. pH diatur pada pH 3,0 menggunakan HCl 0,1N dan distirer 300 rpm
selama 1 jam dan pH selalu dimonitor. Larutan dimasukkan labu ukur 50 mL dan
ditambah NaCl 0,1M hingga volume 50 mL dan dikocok hingga homogen.
Larutan disentrifuge dengan kecepatan 12000 rpm selama 30 menit dengan suhu
4
o
C. Kemudian disaring dengan kertas Whatman nomor 1 dan dihitung kadar
protein supernatannya (Morr et al., 1985). Kelarutan protein diperoleh dengan
rumus :




Water Vapor Permeability (WVP)
Metode pengukuran WVP menggunakan modifikasi metode gravimetrik
ASTM E 96-92 untuk menentukan RH pada permukaan bawah film (Perez
Gago et al., 1999). Setelah kering film tanpa cacat dipotong dari setiap perlakuan.
Aquadest 6 mL dimasukkan ke dalam beacker glass 250 mL. Film dijepit
menggunakan cincin yang mempunyai 4 sekrup simetris. Cincin tersebut
diletakkan ke beacker glass yang berisi aquadest dan dimasukkan ke dalam
desiccator yang mengandung kipas. Berat film di ukur hingga mencapai berat
konstan. Nilai WVP diukur menggunakan rumus :



Penyusutan berat daging
Penyusutan berat daging diperoleh dari selisih antara berat daging setelah
pemotongan dengan berat akhir setelah penyimpanan.


Kadar air
Sebanyak 5 g sampel ditimbang dalam botol timbang yang telah diketahui
beratnya. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105
o
C selama 24 jam.
Sampel dimasukkan desiccator selama 20 menit dan dilakukan penimbangan.
Penurunan berat merupakan banyaknya air dalam bahan (Sudarmadji, 1997).




Water Holding Capacity (WHC)
Sebanyak 0,3 g sampel utuh dipres pada kertas saring whatman No. 42
yang diletakkan diantara dua plat kaca dengan beban 35 Kg selama 5 menit.
Daerah basah pada kertas saring kemudian digambar pada plastik dan dipindahkan
pada kertas grafik, dari gambar diperoleh area basah setelah dikurangi area yang
tertutup daging (dari total area) (Soeparno, 1994). WHC dihitung menggunakan
rumus :

Kel. Prot. (%) = Konsentrasi protein supernatan (mg/ ml) x 50
Berat sampel (mg) x Kadar protein sample (%)
100
X 100
WVP = Berat film (g) x Ketebalan film (mm)
Luas film (m
2
) x Waktu (jam) x P (KPa)
Penyusutan berat = berat setelah pemotongan (g) berat setelah pelapisan (g)
Kadar air (%) = % 100 x
beratawal
beratakhir beratawal



PKMP-1-11-4
WHC (%) = % kadar air sampel -
% 100
8
0948 , 0


l beratsampe
areabasah

Cooking Loss (CL)
Sampel daging 50 g dimasukkan dalam plastik polietilen dan direndam
dalam waterbath suhu 80
o
C selama 30 menit. Sampel dikeluarkan dalam air yang
mengalir pada suhu kamar sampai dingin. Sampel dikeluarkan dari plastik dan
dikeringkan pada permukaannya dengan kertas tissue tanpa memeras dan
menekan. Sampel kemudian ditimbang dan dihitung menggunakan rumus :




Total Plate Count (TPC)
Penghitungan TPC bakteri menggunakan metode Pour plate (Pettipher,
1999). Sampel bakteri diambil dengan cara membilas daging setelah pelapisan
dengan larutan peptone, kemudian dilakukan pengenceran 10
-1
sampai 10
-7
.
sebanyak 1 mL sampel dari masing-masing pengenceran dimasukkan ke dalam
cawan petri steril menggunakan pipet mikro dengan aseptis. Larutan Plate Count
Agar PCA steril suhu 37
o
C dituang ke dalam cawan yang telah berisi sampel
sebanyak 10-15 mL dengan aseptis. Setelah PCA membentuk agar diinkubasi ke
dalam incubator dengan suhu 37
o
C selama 24 jam. Bakteri yang tumbuh dihitung
dan dilaporkan sebagai Standart Plate Count cfu/ mL.

Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam menggunakan
rancangan acak lengkap, apabila hasil analisis tersebut menunjukkan perbedaan,
maka analisis data akan diteruskan dengan menggunakan Uji Berganda Duncan
(Sastrosupadi, 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembentukan Film
Proses pembentukan film dipengaruhi oleh viskositas, pH dan kekuatan
ikatan silang ionik. Ketika pH mendekati pI gaya penolakan antar molekul
menjadi lemah dan lebih mampu mengadakan ikatan baru dalam penyusunan
struktur film. Perbedaan pH pada protein whey menyebabkan terjadinya
perubahan struktur (De Wit, 1981; Leman dan Kinsella, 1989 dalam Perez-Gago,
1999b) yang mempengaruhi interaksi-interaksi protein, pembentukan dan sifat
film yang dihasilkannya. Pengaturan pH akhir larutan pembentuk film
dikondisikan pada pH 5,2 yang bertujuan untuk meningkatkan viskositas larutan
sehingga menghasilkan gel yang lunak dan mampu membentuk suatu polimer
pembentuk film. Hal ini sesuai dengan Perez-Gago (1999b) yang menyatakan
bahwa pembentukan edible film dari protein whey tidak bisa secara sempurna
pada pH 3, kemungkinan disebabkan oleh tingginya gaya elektrostatik yang
mengadakan penolakan antar protein. Ketika edible film ini dikondisikan pada pH
4 dan 5 (range pI dari protein whey), viskositas larutan meningkat dengan cepat
sehingga menghasilkan gel yang lunak. Ditambahkan pula oleh Perez-Gago
CL (%) =
( )
% 100
dim
dim dim

asak lsebelum beratsampe


asak setelah asak sebelum l beratsampe


PKMP-1-11-5
(1999a) bahwa proses pembentukan film dapat dipengaruhi oleh stabilitas emulsi
yang mungkin juga mempengaruhi morfologi dari film yang dihasilkan dan sifat
bariernya.
Proses pemanasan diatur pada suhu 70, 80, dan 90
o
C yang bertujuan untuk
mendenaturasi protein agar diperoleh gugus hidrofobik yang semula berada di
dalam struktur protein. Protein whey merupakan protein globular dimana
kebanyakan gugus hidrofobik dan sulfidrilnya berada di dalam struktur protein
sehingga diperlukan denaturasi panas untuk memunculkannya dan memacu ikatan
disulfide intermolekuler yang merupakan struktur penyusun film protein whey
(Perez-Gago dkk., 1999b). Adanya ikatan kovalen disulfide meningkatkan
kestabilan film dan menyebabkan film dari protein ini tidak larut dalam air
(Galietta, 1998). Menurut Aguilera (1995), saat gelatinasi protein whey, rantai
asam amino terurai selama pemanasan yang terbongkar ikatan intrachain
disulfidanya. Ikatan ini rusak dan persilangan baru dari rantai disulfide akan
terbentuk dengan rantai protein yang lain membentuk struktur film. Denaturasi
panas dengan suhu diatas 65
o
C akan membuka struktur -laktoglobulin,
memunculkan gugus sulfidril dan hidrofobik, dan mendukung oksidasi dari
sulfidril bebas, ikatan disulfide intermolekuler, dan ikatan hidrofobik
(Damodaran, 1997). Denaturasi ini juga akan membuka struktur -laktalbumin
untuk mendapatkan tambahan ikatan disulfide intermolekuler.
Pembentukan film dari protein whey juga dipengaruhi oleh adanya bahan
plasticizer. Komponen ini diperlukan untuk membantu meningkatkan pengikatan
antara molekul-molekul protein di dalam film, tetapi jumlahnya tidak boleh terlalu
sedikit ataupun terlalu banyak, apabila terlalu sedikit film yang dihasilkan rapuh
dan apabila terlalu banyak akan meningkatkan nilai WVP film yang tidak
diinginkan dalam pembentukan film ini. Bahan plasticizer yang digunakan adalah
gliserol karena mampu meningkatkan pengikatan molekul-molekul protein dan
tidak mengganggu ikatan hydrogen (Galietta, 1998). Penambahan komponen
plasticizer kedalam formulasi film mempengaruhi keregangan, fleksibelitas dan
elastisitas film yang dihasilkan.
CaCl
2
digunakan untuk meningkatkan ikatan silang ionic didalam film
(Cagri, 2003), ikatan ini penting untuk membantu meningkatkan gaya kohesi, sifat
barier, kekuatan, dan mencegah film larut dalam film (Galietta, 1998).

Kelarutan Protein
Kelarutan protein merupakan suatu sifat yang penting di dalam
menentukan kualitas edible film yang dihasilkan. Dengan rendahnya nilai
kelarutan protein berarti film tersebut tidak mudah rusak atau terlarut di dalam air,
yang berarti film tersebut tetap melapisi produk meskipun terkena air.
Berdasarkan hasil penelitian kelarutan protein film dalam air menurun dengan
meningkatnya suhu denaturasi pada saat proses pembuatan edible film tersebut
(Gambar 1). Penurunan ini disebabkan karena banyak gugus hidrofobik dan ikatan
intermolekuler disulfida protein yang semula tersembunyi di dalam protein keluar
akibat pengaruh dari denaturasi yang diberikan. Menurut Fukusima dan Van
Buren, 1970; farnum et al., 1976; Schofield et al., 1983; Mine et al., 1990 dalam
Roy et al. (1999), denaturasi panas akan mengekspos barier grup seperti gugus
hidrofobik dan sulfidril (SH). Gugus-gugus ini akan berinteraksi selama
pengeringan film yang akan meningkatkan berat molekul dari fraksi protein,

PKMP-1-11-6
sehingga kelarutan film menjadi rendah. Ditambahkan Shimada dan Cheftel, 1998
dalam Gago dkk, (1999) protein whey merupakan protein globuler dimana
kebanyakan gugus hidrofobik dan sulfidril berada dibagian dalam molekul.
Denaturasi panas terhadap protein whey akan memacu denaturasi protein dan
memacu pembentukan ikatan disulfida intermolekuler.

















Penggunaan lipid di dalam proses pembuatan film ternyata memberi suatu
kontribusi terhadap kelarutan protein film. Berdasarkan data yang kami peroleh,
penambahan komponen lipid (minyak sawit) meningkatkan kelarutan protein film,
namun demikian peningkatan ini masih bisa ditolerir karena tidak terlalu tinggi,
perbandingan nilai kelarutan protein antara penambahan dan tanpa penambahan
minyak dapat dilihat pada Tabel 1. Peningkatan ini berhubungan dengan struktur
dasar dari edible film itu sendiri.

Tabel 1. Perbandingan nilai kelarutan protein antara penambahan dan tanpa
penambahan minyak ke dalam formulasi film

Tanpa penambahan minyak Dengan penambahan minyak
Perlakuan Kelarutan protein
(%)
Perlakuan Kelarutan protein (%)
70
o
C 8,8667
b
90
o
C; 0,5% Minyak 11,6000
a

80
o
C 8,1333
b
90
o
C; 0,75% Minyak 9,4667
ab

90
o
C 2,9667
a
90
o
C; 1% Minyak 14,8000
b


Struktur dasar edible film berbahan protein berupa pembentukan polimer
dari protein-protein yang saling berinteraksi dengan gaya kohesi yang kuat.
Akibat penambahan lipida menyebabkan polimer ini berubah, tidak hanya berupa
interaksi rantai-rantai protein saja melainkan ada bagian lain yang berikatan
dengan rantai lemak yang juga bersifat hidrofobik. Kondisi ini menyebabkan gaya
kohesi film menjadi lemah dan mudah rapuh. Jumlah lipida yang ditambahkan
ternyata memberi pengaruh yang berbeda pula. Penambahan minyak sebesar 0,5%
ternyata memberikan pengaruh yang tidak nyata (p> 0,05) pada penambahan
0,75% minyak, tetapi berbeda nyata (p< 0,05) pada saat konsentrasi minyak
ditingkatkan menjadi 1%. Saat konsentrasi minyak 0,5% kelarutan protein
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 20 40 60 80 100
Denaturasi (C)
K
e
l
a
r
u
t
a
n

p
r
o
t
e
i
n

(
%
)
Gambar 1. Kelarutan protein edible film berbahan protein whey
dipengaruhi denaturasi panas pada saat proses pembuatan film.

PKMP-1-11-7
meningkat menjadi 11,6% dan kemudian menurun saat konsentrasi ditingkatkan
menjadi 0,75%, namun kelarutan protein ini meningkat kembali saat konsentrasi
ditingkatkan menjadi 1%.

Water Vapor Permeability
Water vapor permeability (WVP) merupakan kemampuan edible film
dalam menjaga kandungan air dalam produk agar tidak menguap. Penguapan ini
menyebabkan terjadinya penyusutan berat yang pada umumnya merugikan baik
dari segi ekonomi maupun kualitas produk itu sendiri. Masalah ini berhubungan
dengan sifat dari edible film apakah hidrofilik atau hidrofobik.
Protein whey merupakan suatu protein yang berbentuk globular dengan
rantai disulfide intramolekuler yang dominan sehingga menyebabkan protein ini
bersifat hidrofilik. Namun demikian karena berbentuk globular protein ini juga
mengandung rantai disulfida intermolekuler (kovalen disulfida), ionik, dan ikatan
hydrogen yang apabila rantai-rantai ini terekspos akan menyebabkan protein ini
bersifat hidrofobik.
Berdasarkan penelitian kami perlakuan denaturasi panas pada saat proses
pembentukan edible film dengan pengaturan pH akhir larutan 5,2 ternyata
menyebabkan nilai WVP menjadi naik Tabel 2). Menurut Kinsella (1984), ketika
protein whey didenaturasi kelarutan protein menurun sebagai akibat dari
mendekatinya titik isoelektrik protein yang kemudian memberikan nilai WVP
yang tinggi. Peningkatan ini sebagai konsekuensi dari viskositas larutan film yang
tinggi, karena pada kisaran pH ini larutan film membentuk gel yang lemah. Hal ini
menyebabkan pembuangan semua uap air pada saat pencetakan sulit, sehingga
WVP meningkat. Ditambahkan McHugh dan Krochta (1994) dalam Perez-Gago
(1999b) yang mempelajari pengaruh pH pada WVP dari edible film berbahan 10
% protein whey menemukan bahwa pada pH 6 nilai WVP film lebih tinggi
daripada pada saat pH 7 atau 8. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat pH asam
terjadi penghambatan parsial dari thiol disulfide interchange dengan thiol
oksidasi. Peningkatan viskositas larutan pada pH 6 mungkin menyebabkan
degassing tidak sempurna sehingga nilai WVP menjadi lebih tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian kami dengan meningkatnya konsentrasi lipida
menyebabkan nilai WVP semakin menurun, pada saat konsentrasi lipida sebesar
0,5% nilai WVP sebesar 7,8 x 10
-5
dan demikian pada saat konsentrasi lipida
dinaikkan menjadi 1% nilai WVP turun menjadi 2,8 x 10
-5
. Menurut Perez-Gago
(1999a) pada pH 5 (dekat pI), fase separasi tampak lebih nyata daripada kondisi
pH yang lain. Pada kestabilan emulsi-protein, pengumpulan lipida yang lebih
tinggi dipengaruhi oleh pH emulsi. Peningkatan viskositas pada saat pI
memungkinkan pengumpulan protein-protein lebih rendah daripada mobilitas
lipida sehingga menghalangi fase separasi. Pada pH > 8, reaktivitas SH memulai
reaksi SH-SH interchange yang akan meningkat dengan cepat sehingga
menyebabkan partikel-partikel lipida terjebak dalam jaringan protein-protein yang
mampu mencegah fase separasi.






PKMP-1-11-8
Tabel 2. Nilai WVP edible film berbahan protein whey yang dipengaruhi
denaturasi panas.
No. Denaturasi Nilai WVP (g. mm/ m
2
. h. kPa)
1 70
o
C 3,7 x 10
-5

2 80
o
C 4,6 x 10
-5

3 90
o
C 8,7 x 10
-5


Penambahan lipida ke dalam larutan film ternyata mampu menurunkan
nilai WVP, Gambar 2. Lipida ini memberikan tambahan komponen hidrofobik ke
dalam film sehingga nilai WVP berubah.














Menurut Tanaka (2000) kemampuan edible film dalam mencegah
penguapan air dapat ditingkatkan dengan penambahan komponen lipida seperti
neutral lipid, asam lemak atau malam (wax). Penambahan lipida ini meningkatkan
jarak tempuh molekul air yang diserap permukaan film sehingga menurunkan
WVP. Ditambahkan Maria (2000), penambahan gugus hidrofobik lipida ke dalam
gugus hidrofilik protein dalam edible film yaitu dengan membentuk kestabilan
emulsi lipida atau melaminasi film dengan lapisan lipida ternyata mampu
meningkatkan kemampuan film dalam menghalangi penguapan air.
Jumlah bahan plasticizer juga memberikan pengaruh yang nyata dalam
perubahan nilai WVP film. Jumlah yang terlalu tinggi akan menyebabkan
peningkatan nilai WVP. Hal ini disebabkan karena bahan plasticizer bersifat
hidrofilik sehingga menyebabkan nilai WVP meningkat. Menurut Lieberman dan
Gilbert (1973) dalam Perez-Gago (1999a) peningkatan jumlah bahan plasticizer
meningkatkan nilai WVP pula, karena bahan plasticizer menurunkan pengikatan
internal hydrogen dan meningkatkan ruang intermolekuler. Dengan perbandingan
protein:gliserol sebesar 1,5:1 memberikan nilai WVP yang relatif tinggi, akan
tetapi apabila bahan plasticizer yang ditambahkan terlalu sedikit menyebabkan
film rapuh pada pH 4 dan 5 (Perez-Gago, 1999a). Ditambahkan Galietta (1998),
semakin meningkatnya bahan plasticizer akan meningkatkan pula keregangan dan
fleksibelitasnya tetapi menurunkan elastisitas dan sifat barier dari film itu sendiri.
Penggunaan bahan plastizer pada penelitian kami sebesar 8% (
V
/
V
protein)
memberikan nilai akhir WVP seperti pada Tabel 2 dan Gambar 2 di atas. Apabila
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Damodaran (1997), dengan
penggunaan 1 bagian gliserol dalam 1,6 bagian protein whey memberikan nilai
WVP sebesar 119,8 g. mm/kPa. h. m
2
, dimana kondisi pemanasan saat pembuatan
0
2
4
6
8
10
0 0.5 1 1.5
Konsentrasi lipida (%)
W
V
P

(
g
.

m
m
/

k
P
a
.

h
.

m
2
)
Gambar 2. Perubahan nilai WVP edible film berbahan
protein whey akibat penambahan lipida (x 10
-5
)

PKMP-1-11-9
larutan film adalah sama, yaitu 90
o
C selama 30 menit. Dalam jumlah yang rendah
tersebut ternyata juga mampu membentuk film yang tidak rapuh pada kondisi pH
5,2.

Penyusutan karkas
Tabel 3. Prosentase Penyusutan Berat Karkas.
Masa simpan (hari) Tanpa pelapisan edible film (%) Pelapisan edible film (%)
1
2
3
2,85
4,81
5,81
0,70
3,32
4,02

Berdasarkan Tabel 3 diatas dengan adanya pelapisan edible film
penyusutan berat karkas lebih rendah dibandingkan yang tanpa pelapisan.
Menurut Smith dan Carpenter (1973) dalam Lazarus (1976) 75% dari berat karkas
yang hilang setelah 72 jam terjadi selama masa awal 24 jam setelah pemotongan.
Besarnya penyusutan awal ini berkaitan dengan pemakaian air selama prosedur
pencucian. Kehilangan berat berikutnya berkaitan dengan kehilangan kelembaban
karena penguapan dari jaringan karkas. Pada penelitian ini, pelapisan edible film
menghalangi penguapan kelembaban dan transfer panas dari karkas selama 24 jam
pertama. Penguapan air dapat menjadikan permukaan daging menjadi kering,
maka konsentrasi garam dipermukaan akan meningkat sehingga mengakibatkan
oksidasi pigmen daging menjadi metmioglobin berwarna coklat dan warna gelap
yang disebabkan karena perubahan optik dalam urat daging (Purnomo, 1996).
Sedangkan menurut Keeton (1995) protein whey dapat meningkatkan kelembaban
dan penahan lemak, menghasilkan peningkatan hasil masakan, retensi kelembaban
dan meningkatkan daya tahan terhadap penyusutan.

Water Holding Capacity (WHC), Cooking Loss, Kadar air, dan pH
WHC, cooking loss, kadar air, dan pH merupakan kualitas daging yang
sangat dipengaruhi oleh kondisi kimiawi daging itu sendiri. Kondisi ini erat
kaitannya dengan usia ternak, dan kondisi antemortem daging (sebelum ternak
dipotong. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan daging
dengan edible film tidak memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan
yang tidak dilakukan pelapisan (Tabel 4).
Menurut Soeparno (1994) penurunan pH otot postmortem banyak
ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot. Susut
masak atau cooking loss bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer, dan status
kontraksi miofibril. Disamping itu penurunan WHC juga dipengaruhi oleh pH
(Bouton et al., 1971; Wismar-Pedersen, 1971 dalam Soeparno, 1994) dimana pH
diatas pI daging (5,4-5,8) kondisi WHC meningkat karena adanya penolakan
muatan positif maupun negatif yang memberikan lebih banyak ruang kosong
untuk molekul-molekul air.
Berdasarkan Tabel 4 diatas dengan adanya pelapisan menggunakan edible film
memberikan hasil yang berbeda pada WHC dan cooking loss, namun demikian
perbedaan ini tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Hal ini disebabkan
karena parameter tersebut tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya pelapisan,
tetapi sangat dipengaruhi oleh kondisi ATP daging yang nantinya berpengaruh
pada proses glikolisis dan penurunan pH yang sangat besar sekali pengaruhnya
terhadap parameter-parameter tersebut.

PKMP-1-11-10
Tabel 4. Perbandingan kualitas daging (WHC, cooking loss, kadar air, dan pH)
dengan pelapisan dan tanpa pelapisan.
Perlakuan
No. Parameter Hari
Tanpa pelapisan Pelapisan edible film
1 43,32 32,61
2 40,55 40,01
1 WHC
3 35,58 41,27
1 21,06 16,46
2 24,94 20,39
2 Cooking loss
3 26,66 23,21
1 74,25 74,03
2 74,25 74,51
3 Kadar air
3 74,66 73,76
1 6 6
2 6 6
4 pH
3 6 6

Total Plate Count (TPC)
Berdasarkan data penelitian kami menunjukkan bahwa dengan adanya
pelapisan terhadap daging ayam jumlah koloni mikroorganisme yang hidup di
permukaan daging menurun (Gambar 3). Menurut Davies and Ron (1998) bahwa
selama penyimpanan dingin jumlah bakteri yang ada di permukaan daging akan
menurun menjadi sekitar 10
2
-10
5
.
















Berdasarkan grafik diatas tampak bahwa daging yang dilapisi dengan
edible film mempunyai TPC yang lebih rendah pada setiap tahapan waktu
penghitungan. Hal ini dikarenakan permukaan daging tanpa pelapisan film kaya
lebih kaya nutrisi daripada permukaan daging dengan pelapisan, sehingga
mikroorganisme lebih mudah tumbuh dan berkembang pada daging tanpa
pelapisan film. Berdasarkan penelitian Natrajan (2000) edible film yang berasal
dari protein dan polisakarida ternyata mampu menghambat pertumbuhan
Salmonella pada permukan daging ayam, penghambatan ini akan lebih baik
apabila edible film tersebut ditambahkan senyawa antimikroorganisme.
Ditambahkan pada penelitian Cagri (2003) bahwa edible film berbahan protein
whey mampu menghambat pertumbuhan Listeria monocytogenes pada hot dog
selama 42 hari penyimpanan dingin.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 2 4
Hari ke
T
o
t
a
l

P
l
a
t
e

C
o
u
n
t

(
c
f
u
/

m
l
)
Tanpa
pelapisan
Pelapisan
Gambar 3. Pertumbuhan mikroorganisme pada daging yang dilapisi dan tanpa
dilapisi edible film pada suhu dingin ( 5
o
C), dengan nilai (x 10
6
).

PKMP-1-11-11
KESIMPULAN
Perlakuan denaturasi panas diatas suhu denaturasi laktoglobulin (78
o
C)
ternyata mampu menurunkan kelarutan protein ke dalam air, dimana pada suhu
denaturasi 90
o
C memberikan hasil kelarutan protein yang terendah tetapi masih
menyebabkan WVP meningkat saat suhu ditingkatkan pula. Namun setelah
penambahan lipida (lemak) WVP yang semula tinggi bisa diturunkan saat
konsentrasi lipida sebesar 0,75%, akan tetapi ketika konsentrasi lipida ini
ditingkatkan menjadi 1% WVP meningkat kembali.
Penggunaan edible film berbahan protein whey ini mampu menurunkan
jumlah kontaminasi mikroorganisme pada permukaan daging dan mengurangi
penurunan berat daging. Akan tetapi penggunaan bahan pelapis ini tidak
memberikan pengaruh yang nyata pada kondisi pH, WHC, cooking loss, dan
kadar air daging.

DAFTAR PUSTAKA
Aguilera JM, 1995. Gelation of Whey protein. Food Tecnology. 49 (10) : 83-89.
Cagri A, Ustunol Z. Osburn W. dan Ryser ET. 2003. Inhibition of Listeria
monocytogenes on Hot Dogs Using Antimicrobial Whey Protein-based
Edible Casings. Journal of Food Science Vol. 68:291-298.
Damodaran S, dan Alazin P. 1997. Food Protein and Their Application. Marcel
Dekkef inc. New York.
Davies A, dan Ron B. 1998. The Microbiology of Meat and Poultry. Blakie
Academic and Professional. London.
Gago, Nadaud. dan Krochta. 1998. Water Vapor Permeability, Solubility, and
tensile Properties of Heat-Denatured Versus Native Whey Protein Film.
Journal of Food Science Vol 64 No 6.
Galietta G, Di Gioia L. Guilbert S. dan Cuq B. 1998. Mechanical and
Thermomechanical Properties of Film Based on Whey Protein as Affected
by Plasticizer and Crosslinking Agents. Journal of Dairy Science Vol.
81:3123-3130.
Keeton J, 1995. Produk Protein Whey dan Laktosa Pada Daging Olah, Dalam
Manual Referensi untuk Produk-Produk Whey dan Laktosa Amerika
Serikat, U. S. Dairy Export Council.
Kinsella JE, 1984. Milk Protein : Psyco- Chemical and Functional Properties.
CRC Critical Reviews in Food Sci. Nutr. 2 : 197-262.
Lazarus DR, West RL. Oblinger JL. dan Palmer AZ. 1976. Evaluation of Calcium
Alginate Coating and A Protective Plastic Wrapping for The Control of
Lamb Carcas Shrinkage. Journal of Food Science Vol 41.
Maria B, Perez-Gago. dan Krochta JM. 2000. Drying Temperature Effect on
Water Vapor Permeability and Mechanical Properties of Whey Protein-
Lipid Emulsion Film. Journal of Agriculture Food Chemistry Volume
48:2687-2692.
McHugh TH, Aujard JF. dan Krochta JM. 1998. Plasticized Whey Protein Edible
Film : Water Vapor Permeability Propertis. Jurnal Food Sci. 59 : 416-
419,423.
Morr CV, German B. Kinsella JE. Regenstein JM. Van Buren JP. Kilara A. Lewis
BA. dan Mangino ME. 1985. A Collaborative Study to Develop a

PKMP-1-11-12
Standardized Food Protein Solubility Procedure. Journal of Food Science
Volume 50: 1715.
Natrajan N, dan Brian WS. 2000. Inhibition of Salmonella on Poultry Skin Using
Protein-and Polysaccharida-Based Films Containing a Nisin Formulation.
Journal of Food Protection. volume 63 No 9: 128-1272.
Perez-Gago MB, dan Krochta JM. 1999a. Water Vapor Permeability of Whey
Protein Emulsion Films as Affected by pH. Journal of Food Science
Volume 64 No. 4:695-698.
, Nadaud P. dan Krochta JM. 1999b. Water Vapor Permeability,
Solubility, and Tensile Properties of Heat-denatured versus Native Whey
Protein Films. Journal of Food Science Volume 64 no. 6:1034-1037.
Pettipher GL, 1999. Microbiological Analyses, pp.441-460, In. Modern Dairy
Technology Volume 2: Advances in Milk Products. 2
nd
ed. Robinson RK
(ed). Chapman dan Hall. New York.
Purnomo H, 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. UI
Press. Jakarta.
Roy S, Weller CL. Gennadios A. Zeece MG. dan Testin RF. 1999. Physical and
Molecular Properties of Wheat Gluten Films Cast from Heated Film-
Forming Solutions. Journal of Food Science Volume 64 no. 1:57-59.
Sudarmadji S, Hariyono B. dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Bahan Makanan
dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Soeparno 1994. Ilmu dan Teknologi Pengolahan Daging. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Tanaka M, Ishizaki S. Suzuki T. dan Takai R. 2000. Water Vapor Permeability of
Edible Films Prepared from Fish Water Soluble Proteins as Affected by
Lipid Type. Journal of Tokyo University of Fisheries Volume 87:31-37.
Sastrosupadi A, 2000. Rancangan percobaan praktis bidang pertanian. Kanisius.
Jakarta.




PKMP-1-12-1
FORMULASI SEDIAAN TABLET EKSTRAK GOSSYPI UM HERBACEUM
SEBAGAI ALTERNATIF KONTRASEPSI PRIA

Ika S Rudiawati, Rice Riskiyah, Irma Rachmawati, Rama Perkasa, Dwi F
Shofiyanti
Fakultas Farmasi, Universitas Jember, Jember

ABSTRAK
Ekstrak Gossypium herbaceum telah diketahui berkhasiat sebagai
antispermatogenik dan tidak menimbulkan efek toksik pada mencit, sehingga
perlu diformulasikan dalam bentuk sediaan yang lebih efisien. Penelitian ini
bertujuan memformulasi ekstrak Gossypium herbaceum yang beraktivitas
antispermatogenik atau kontrasepsi pria dalam bentuk sediaan tablet. Dalam
formulasi dibandingkan pengaruh pemakaian tiga bahan pengikat yang berbeda
yaitu amilum tritici, gelatin, dan CMC terhadap sifat fisik tablet (kekerasan,
kerapuhan, waktu hancur). Dari hasil penelitian bahan pengikat yang paling baik
adalah gelatin 10%.

Kata kunci : Formulasi tablet, Gossipium herbaceum, Gossypol, Kontrasepsi Pria

PENDAHULUAN
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih dirasakan terlalu tinggi
walaupun pemerintah telah mencanangkan program keluarga berencana. Hal ini
terlihat pada jumlah penduduk Indonesia tahun 2003 mencapai 215.276.906 jiwa
(Anonim, 2004). Keberhasilan program ini membentuk catur warga masih belum
dapat dikatakan memuaskan karena peningkatan jumlah penduduk tahun 2003
mencapai 1,50% (Anonim, 2004).
Program KB yang dicanangkan pemerintah menekankan pada penggunaan
alat kontrasepsi. Kontrasepsi adalah usaha-usaha untuk mencegah terjadinya
kehamilan (Prawirohardjo, 1982). Usaha-usaha itu dapat bersifat sementara atau
permanen. Pada umumnya akseptor KB saat ini masih didominasi oleh kaum
wanita dan penggunaan kontrasepsi hormonal menduduki peringkat tertinggi
(Anonim, 2004). Namun kontrasepsi hormonal memiliki beberapa efek samping
yaitu retensi cairan, sakit kepala dan fluor albus (Prawirohardjo, 1982).
Keterlibatan kaum pria sebagai akseptor KB masih jauh dari yang diharapkan.
Hal ini terlihat pada diagram di bawah ini :


Gambar 1. Diagram Pengguna Kontrasepsi di Jawa Timur

PKMP-1-12-2
Umumnya pria menggunakan alat kontrasepsi kondom dan vasektomi. Kedua
metode tersebut memiliki beberapa efek samping, diantaranya pada vasektomi
dapat menimbulkan autoimmuno orchitis dan kemandulan seumur hidup (Yatim,
1994). Sedangkan pada kondom dapat menyebabkan kebocoran sperma dan iritasi
(Prawiroharjo, 1982). Sehingga diperlukan suatu alat kontrasepsi pria yang aman,
nyaman, dan terjangkau. Maka penting adanya suatu obat kontrasepsi yang
berasal dari bahan alam yang mempunyai efek samping serta toksisitas yang lebih
rendah.
Salah satu bahan alam yang berkhasiat sebagai kontrasepsi pria adalah
Gossypol (Dalimarta, 2003). Gossypol adalah senyawa polifenol berwarna yang
diisolasi dari biji Gossypium herbaceum (Yu et al, 1998). Gossypol dapat
menyebabkan infertilitas dengan menekan spermatogenesis. Hal ini telah diteliti
di propinsi Jiangxie China sejak tahun 1929. Dalam penelitian tersebut, beberapa
responden pria yang memakai minyak cotton seed mentah memiliki fertilitas
rendah (Gu, et al, 2000). Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa gossypol
hanya efektif untuk kontrasepsi pria. Pemakaian langsung ekstrak Gossypium
herbaceum untuk pengobatan memiliki kelemahan. Ekstrak Gossypium
herbaceum memiliki rasa yang pahit dan bau yang tidak enak. Hal ini membuat
pemakainya tidak nyaman sehingga mengganggu proses pengobatannya. Untuk
mengatasi ketidaknyamanan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang
bertujuan memformulasi ekstrak Gossypium herbaceum yang beraktivitas
antispermatogenik atau kontrasepsi pria dalam bentuk sediaan tablet.
Bentuk sediaan ini dipilih karena memiliki kelebihan dibanding bentuk
sediaan lain diantaranya adalah lebih acceptable dan merupakan sediaan yang
tepat dosis.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian berupa artikel Formulasi Sediaan
Tablet Ekstrak Gossypium herbaceum Sebagai Alternatif Kontrasepsi Priadan
paten formula tablet ekstrak Gossypium herbaceum.

METODE PENDEKATAN
a. Waktu, lama, dan tempat dilakukannya observasi
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Farmasetika, Biologi dan Biomedik
Program Studi Farmasi Universitas Jember, dimulai pada bulan Februari Juni
2006 (lima bulan).
b. Bahan dan Alat yang digunakan
Alat yang digunakan antara lain: Neraca analitik, Seperangkat alat maserasi,
Mesin pencetak tablet Healty, Hardness tester, Pharmeq Disintegration tester,
Pharmeq Rotap sieve shaker, Microskop binoculair dilengkapi micrometer
Olympus , Oven Memert, Alat-alat gelas, Rotary evaporator, Corong Buchner,
Sonde, Mortir-stamper dan Mikroskop dengan program WinTV 2000.
Bahan-bahan yang digunakan: Biji kapas (Gossypium herbaceum) dari daerah
Lamongan dan determinasinya dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi
Program Studi Farmasi Universitas Jember, Etanol 96%, Avicel, amylum
tritici (tablet grade), CMC (4 %), Gelatin (pharmaceutical grade), Asam
stearat (pharmaceutical grade), Aquades, larutan ringer, 25 ekor mencit jantan
dan tilosa 1%.



PKMP-1-12-3
c. Metode untuk memperoleh data
1. Pembuatan Ekstrak Etanol
Serat biji kapas dipisahkan, diperoleh biji berkulit, kulitnya dikupas, dan
didapatkan inti biji (kernel). Inti biji ditumbuk lalu dikeringkan ditempat
teduh, setelah kering, diserbuk dan diayak hingga diperoleh 1400 g serbuk
kering berderajat halus. Serbuk dimaserasi dengan etanol 96 % sebanyak 9
L, kemudian disaring dengan corong Buchner dan diperoleh maserat.
Maserat dipekatkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak
pekat. Ekstrak yang diperoleh diuapkan diatas water bath hingga diperoleh
ekstrak kental. Kemudian ditimbang dengan timbangan analitik dan
diperoleh ekstrak Gossypium herbaceum sejumlah 90 g.
2. Uji aktivitas ekstrak Gossypium herbaceumterhadap mencit jantan.
Ekstrak Gossypium herbaceum dilarutkan dalam tilosa 1% dan dipejankan
pada mencit jantan dengan tiga konsentrasi yang berbeda secara per oral.
Pemejanan dilakukan setiap hari selama lima hari. Kemudian untuk
mengetahui pengaruh ekstrak Gossypium herbaceum terhadap mencit
jantan dilakukan pembedahan untuk mendapatkan epididimis. Epididimis
dicacah dan disuspensikan dalam larutan ringer, kemudian diambil
cuplikan untuk dianalisa dengan mikroskop program WinTV 2000.
3. Pembuatan Granul
Ekstrak Gossypium herbaceum dikeringkan dengan avicel sehingga
didapatkan ekstrak kering. Kemudian ekstrak kering dibagi 3 sehingga
masing-masing formula mempunyai prosentase ekstrak 25 %. Dilakukan
granulasi dengan bahan pengikat Gelatin (10 %), CMC (4 %), dan
mucilago amylum tritici (10 %). Granul diayak dengan ayakan 16 mesh.
Granul dikeringkan pada suhu 50
0
C. Ditambah Asam stearat sebagai
bahan pelincir sejumlah 3% dari total sediaan, dan diaduk hingga
homogen.
4. Pengamatan Distribusi Ukuran Partikel
Massa granul sejumlah 10 g ditempatkan pada Rotap sieve shaker, mesin
dinyalakan selama 20 menit. Massa pada masing-masing ayakan
ditimbang. Ukuran partikel granul diamati dengan mikroskop yang
dilengkapi dengan lensa okuler berskala dan mikrometer.
5. Pembuatan Tablet
Massa granul dikempa dengan mesin pencetak tablet. Diambil 20 tablet,
diamati keseragaman bobotnya dengan neraca analitik.
6. Uji aktivitas tablet ekstrak Gossypium herbaceumterhadap mencit
jantan.
Tablet ekstrak Gossypium herbaceum dilarutkan dalam tilosa 1% dan
dipejankan pada mencit jantan secara per oral. Pemejanan dilakukan setiap
hari selama lima hari. Kemudian untuk mengetahui pengaruh tablet
ekstrak Gossypium herbaceum terhadap mencit jantan dilakukan
pembedahan untuk mendapatkan epididimis. Epididimis dicacah dan
disuspensikan dalam larutan ringer, kemudian diambil cuplikan untuk
dianalisa dengan mikroskop program WinTV 2000.
7. Uji Kekerasan Tablet
Lima tablet diambil sebagai sampel dan diukur kekerasannya dengan
menggunakan hardness tester.

PKMP-1-12-4
8. Uji Waktu Hancur
Tablet dimasukkan dalam disintegration tester dengan pelarut air. Mesin
dinyalakan, dicatat waktu yang dibutuhkan tablet untuk hancur.
9. Uji Friabilitas
Tablet dimasukkan friabilator lalu diuji kerapuhannya.
10. Analisis dan Evaluasi Hasil
Data distribusi ukuran partikel, data uji kekerasan tablet, keseragaman
bobot, dan waktu hancur dari ketiga macam tablet dengan bahan pengikat
yang berbeda kemudian dibandingkan untuk memilih tablet dengan
formula terbaik.

d. Skema Kerja Penelitian





















Gambar 2. Skema Kerja Penelitian

4. Data dan Analisis data
a. Pembuatan Ekstrak Gossypium herbaceum
Diperoleh ekstrak kental Gossypium herbaceum dengan pelarut etanol 96 %
sebanyak 5, 29 % dari bobot simplisia.
b. Uji aktivitas ekstrak Gossypium herbaceumterhadap mencit jantan
Pemejanan ekstrak Gossypium herbaceum terhadap mencit jantan dilakukan
selama 7 hari dengan replikasi 3 kali, dengan tiga peringkat dosis:
1. Dosis I = 1, 27 mg
2. Dosis II = 2,12 mg
3. Dosis III = 3,75 mg (Data hasil percobaan masih dalam proses pemejanan)
c. Pembuatan Granul
Ekstrak kental = 74 g dibagi 3 bagian untuk tiga macam formula
Dibuat formula dengan komposisi


Uji Pada Mencit
Uji Pada Mencit
Pembuatan
Ekstrak Gossypium
Pembuatan Granul
Pengamatan Distribusi
Ukuran Partikel
Pembuatan Tablet
Uji Kekerasan Tablet Uji Waktu Hancur Uji Keseragaman Bobot
Analisis data

PKMP-1-12-5
Tabel 1.Resep atau Formula Tablet
Formula 1 Formula 2 Formula 3
R/ Ekstrak 25 %
Avicel 62 %
Gelatin(10%) 10 %
Asam Stearat 3 %
R/ Ekstrak 25 %
Avicel 62 %
CMC(4%) 10 %
Asam Stearat 3 %
R// Ekstrak 25 %
Avicel 62 %
Gelatin(10%) 10 %
Asam Stearat 3 %

d. Pembuatan Tablet
Tablet dibuat dengan metode kempa cetak, setelah didapatkan tablet
kemudian dilakukan uji sifat fisika tablet meliputi :
1. uji keseragaman bobot
Diambil masing-masing 20 tablet dari formula yang berbeda, dihitung
harga purata dan standar deviasinya, didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 2. Data uji keseragaman bobot
No Formula 1
(Gelatin 10
%)(mg)
Formula 2
(CMC 4 %)(mg)
Formula 3
(Amilum Tritici
10 %) (mg)
1 390 339 324
2 387 339 318
3 390 338 320
4 385 340 315
5 387 340 314
6 386 335 318
7 387 343 319
8 390 337 327
9 390 340 302
10 386 342 316
11 390 335 323
12 387 342 289
13 384 337 325
14 384 344 331
15 383 338 322
16 387 332 313
17 385 343 314
18 386 338 324
19 385 337 325
20 388 338 324
xSD 386,85 2.23 323,85 67.12 318,15 9,37

2. Data uji kekerasan tablet
Lima tablet diambil sebagai sampel dan diukur kekerasannya dengan
menggunakan hardness tester. Didapatkan data sebagai berikut :

Tabel 3. data uji kekerasan tablet
No Formula 1
(Gelatin 10 %) (kg)
Formula 2
(CMC 4 %) (kg)
Formula 3
(Amilum Tritici 10 %) (kg)
1 6 1,2 1
2 5 1 1,2
3 5,5 1,5 1
4 5,3 1 1
5 5 1,3 1
X = (5,36 0,41) X = (1,2 0,12) X = (1,04 0,09)
Dalam bidang Industri kekerasan tablet yang sesuai adalah 4 kg (Ansel, 1989).

PKMP-1-12-6
3. Data uji waktu hancur
Tablet dimasukkan dalam disintegration tester dengan pelarut air. Mesin
dinyalakan, dicatat waktu yang dibutuhkan tablet untuk hancur. Didapatkan data
sebagai berikut :
1. Formula 1 (Gelatin 10 %) = 14 menit
2. Formula 2 (CMC 4 %) = 5 menit
3. Formula 3 (Amilum Tritici 10 %) = 2 menit
Waktu yang diperlukan kelima tablet tidak lebih dari 15 menit untuk tablet tidak
bersalut (Anonim, 1979).
4. Data kerapuhan tablet
20 tablet diambil sebagai sampel dan diukur kerapuhannya dengan
menggunakan friabilator. Didapatkan data persen kerapuhan sebagai berikut :
1. Formula 1 (Gelatin 10 %) = 0,48 %
2. Formula 2 (CMC 4 %) = 15 %
3. Formula 3 (Amilum Tritici 10 %) = 54 %
Kerapuhan yang masih memenuhi syarat adalah 0,5%-1% (Anonim, 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi sediaan tablet ekstrak Gossypium herbaceum menggunakan tiga
bahan pengikat yang berbeda yaitu gelatin 10%, CMC 4%, dan mucilago tritici
10%. Bahan pengikat dalam formulasi tablet berpengaruh terhadap sifat fisik
tablet. Sifat fisik tablet yang diamati antara lain :
Uji keseragaman bobot
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa formulasi 1 mempunyai keseragaman
bobot yang paling baik dibanding formulasi 2 dan 3. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai distribusi (standar deviasi) terkecil. Semakin kecil standar deviasi maka
simpangan bobot semakin besar. Keseragaman bobot tablet dipengaruhi oleh sifat
alir granul sedangkan sifat alir granul dipengaruhi oleh bahan pengikat.
Uji kekerasan tablet
Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada ketiga formula pembuatan
ekstrak Gossypium herbaceum, tablet yang dihasilkan memiliki kualitas yang
berbeda-beda. Tablet yang menggunakan pengikat gelatin memiliki kekerasan
baik sekali sesuai dengan persyaratan Farmakope Indonesia III, namun untuk
formula dengan pengikat CMC dan amilum tritici tidak sesuai. Hal ini disebabkan
sifat dari bahan pengikat gelatin lebih baik daripada kedua pengikat lainnya dan
sifat dari ekstrak Gossypium herbaceum yang lebih mudah dibuat granul dengan
pengikat gelatin.
Uji kerapuhan tablet
Uji friabilitas pada ketiga formula menunjukkan bahwa tablet yang memiliki
friabilitas paling bagus adalah formula dengan bahan pengikat gelatin. Hal ini
dikarenakan gelatin mengikat kuat komponen-komponen tablet sehingga
kerapuhan tablet akibat gesekan mekanis masih dalam rentang yang
dipersyaratkan Farmakope Indonesia III.
Uji waktu hancur
Uji waktu hancur menunjukkan lama tablet hancur didalam saluran cerna
untuk proses absorbsi di saluran cerna. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
formula 1 dengan bahan pengikat gelatin memiliki waktu hancur yang memenuhi
persyaratan Farmakope Indonesia III. Bahan pengikat berperan dalam perlekatan

PKMP-1-12-7
antar partikel bahan-bahan penyusun tablet sehingga berpengaruh terhadap waktu
hancur.
Perbandingan Sifat Fisika Tiga Formula Tablet Berdasarkan Nilai Distribusi
Data
Hasil analisa data yang diperoleh dapat dibandingkan secara kualitatif berdasarkan
pemenuhannya terhadap prasyarat sifat fisik tablet yang baik.
Tabel 4. Peringkat sifat fisik tablet
Formula Variabel
1 (Gelatin 10%) 2 (CMC 4%) 3 (Amilum tritici)
Keseragaman bobot 3 1 2
Kekerasan tablet 3 1 1
Waktu hancur 3 2 1
Kerapuhan 3 2 1
Jumlah 12 6 5

Keterangan :
Peringkat 3 : baik
Peringkat 2 : cukup baik
Peringkat 1 : kurang baik

Dari tabel diatas dapat diketahui peringkat formula terbaik adalah Formula 1 >
Formula 2 > Formula 3

KESIMPULAN
Ekstrak Gossypium herbaceum dapat diformulasi dalam bentuk sediaan tablet
yang baik secara fisik dengan formula : ekstrak Gossypium herbaceum 25 % ,
Avicel 62 %, Gelatin(10%) 10 %, Asam Stearat 3 %.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia ed. Ketiga, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia ed. Keempat, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1995, Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas
KedokteranUniversitas Indonesia, Jakarta
Anonim, 1999, Organic Compouds That Affect The Heart, Departement of
Veterinary Biosciences, College of Vetenary Medicine, University of
Illinois at Urbana-Champaign Urbana, IL, USA,
http://www.ivis.org/advances /Beasley/ cpt14f/ chapter_frm.asp?LA=1
Anonim. 2000. The United States Pharmacopeia Book 1. United States
Pharmacopeial Convention. Inc: USA.
Anonim , 2001, Kapas, Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Dinas
Pertanian, Malang
Anonim, 2002, Kapas, Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Dinas
Pertanian, Malang
Anonim, 2004, Jawa Timur Dalam Angka 2003, BPS Propinsi Jatim, Surabaya,
JawaTimur
Anonim, 2004, Statistik Indonesia 2003, BPS Statistik Indonesia, Jakarta,
Indonesia
Ansel, H., 1989, Pengantar bentuk sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta.

PKMP-1-12-8
Aulton, M. J., 1988, Pharmaceutics The Sience of Dosage Form Design,
Churchill livingstone, Hongkong
Dalimartha, S., 2003, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 3, Trubus Agriwidya,
Jakarta
Gu et al, 2000, Asian Journal of Andrology 2000; vol 2(4), pp 283-287,
http://www.malecontraceptives.org/methods/gossypol_frame.html
Gu ZP, Wan YX, Sang GW, Wang WC, Chen ZX, Zhao XJ, et al, 1990,
Relationship between hormone profiles and the testoration of
spermatogenesis in men treated with gossypol, Shanghai Institute of
Materia Medica, Chinese Academy of Sciences, Shanghai 200031, China
Meng et al, 1988, Internat'l Journal of Andrology 1988; vol 11(1), PP 1-11,
http://www.malecontraceptives.org/methods/gossypol_frame.html
Robinson, T., 1991, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, ITB, Bandung
Segal, S.J.,2000 Low dose gossypol for male contraception, Population Division,
Rockefeller Foundation, New York, USA
Steenis, V. et all, 1975, Flora untuk Sekolah di Indonesia, Pradnya Pramita,
Jakarta
Voigt, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, UGM Press, Yogyakarta
Waites et al, 1998, Internat'l Journal of Andrology 1998; vol 21(1), PP 8-12,
http://www.malecontraceptives.org/methods/gossypol_frame.html
Yatim, W.,1994, Reproduksi dan Embryologi, Transito, Bandung
Yu et al, 1998, Internat'l Journal of Andrology 1998; vol 21(1), PP 2-7,
http://www.malecontraceptives.org/methods/gossypol_frame.html
PKMP-1-13-1
STUDI POTENSI KALAKAI (Stenochlaena palustris (BURM.F) BEDD),
SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL

Dessy Maulidya Maharani, Siti Noor Haidah, Haiyinah
Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru

ABSTRAK
Kalimantan Selatan memiliki lahan basah cukup luas. Luasan terbesar terdapat
di Kabupaten Barito Kuala yaitu sebesar 155477,50 Ha. Salah satu tumbuhannya
adalah Kalakai (Stenochlaena palustris (Burm F)Bedd). Berdasarkan studi
empirik kalakai dipergunakan sehari-hari oleh masyarakat untuk mencegah
kekurangan darah (pencegah anemia) dengan mengkonsumsinya sebagai
sayuran. Sehingga perlu diteliti kandungan zat gizinya. Diharapkan hal itu dapat
mengantarnya menjadi salah satu pangan fungsional. Penelitian meliputi analisa
proksimat, uji mineral (Fe dan Ca), uji vitamin (vitamin C dan vitamin A) dan uji
fitokimia (flavonoid, alkaloid dan steroid). Hasil pengukuran sampel daun dan
batang yaitu untuk kadar air 8,56% dan 7,28%, kadar abu 10,37% dan 9,19%,
kadar serat kasar 1,93% dan 3,19%, kadar protein 11,48% dan 1,89%, kadar
lemak 2,63% dan 1,37%. Hasil analisis mineral Ca lebih tinggi di daun
dibandingkan batang yaitu 182,07 mg per 100 g, demikian pula dengan Fe
tertinggi 291,32 mg per100 g. Hasil analisis vitamin C tertinggi terdapat di
batang 264 mg per 10 g dan vitamin A tertinggi terdapat di daun 26976,29 ppm.
Hasil analisa fitokimia flavonoid, alkaloid dan steroid tertinggi terdapat pada
batang ,sebesar 3,010%, 3,817% dan 2,583%. Senyawa bioaktif yang paling
dominan adalah alkaloid. Berdasarkan hasil analisis, Kalakai dapat dijadikan
pangan fungsional. Selanjutnya perlu dikaji peluang jenis pangan yang
direkomendasikan mengingat berbagai sifat dari senyawa yang dikandungnya
(baik daun maupun batang) karena sifat produk pangan basah, semi basah
maupun kering (seperti cookies) memerlukan proses pengolahan dengan
teknologi yang berbeda, sehingga dapat menjaga stabilitas gizi, mineral dan
senyawa bioaktif di dalamnya sehingga berfungsi dalam mekanisme fisiologis
tubuh.

Kata Kunci : Kalakai, Stenochlaena palustris, Pangan Fungsional

PENDAHULUAN
Potensi lahan basah di Indonesia masih belum banyak tergali. Kalimantan
Selatan merupakan daerah yang mempunyai sebaran lahan rawa (rawa air tawar
dan rawa gambut) yang cukup luas, yaitu 287.000 ha atau rawa gambut mencakup
daerah yang luas di dataran rendah Kalimantan dengan taksiran beragam antara 8
% - 11% (MacKinnon dalam MacKinnon dan Artha 1981; Soeprapto dan
Driessen 1976 dalam MacKinnon et al 2000) dari seluruh luas wilayah yang ada.
Tanah gambut menunjukan adanya formasi hutan khas dengan flora yang agak
terbatas, (Anderson, 1972 MacKinnon et al (2000)). Lahan rawa yang cukup luas
itu ditumbuhi oleh berbagai macam jenis paku-pakuan, dan salah satunya
tumbuhan Kalakai (Stenochlaena palustris (Burm F)Bedd). Kalakai di
Kalimantan Selatan memiliki sebaran yang sangat banyak dan umumnya belum
banyak dimanfaatkan. Pemanfaatan tumbuhan ini hanya untuk sayuran saja dan
PKMP-1-13-2
menurut Soendjoto (2002) dijelaskan bahwa kalakai merupakan makanan
bekantan (Larvatus nasalis). Pangan fungsional diartikan sebagai kumpulan
makanan yang terbukti mampu mempertahankan fungsi biologis, baik tunggal
(single) maupun berkali-kali untuk meningkatkan (improve) kesehatan. Pangan
fungsional mempunyai karakteristik sebagai makanan yaitu karakteristik sensorik,
baik warna, tekstur, dan citarasanya, serta mengandung zat gizi disamping
mempunyai fungsi fisiologis bagi tubuh. Di konsumsi layaknya makanan
sehari-hari berupa makanan atau minuman (Sampoerno dan Dedi Fardiaz, 2001).
Fungsi fisiologis yang diberikan antara lain mengatur daya tahan tubuh, mengatur
kondisi fisik, mencegah penuaan dan penyakit yang berkaitan dengan makanan.
Menurut data TAD (1981) dalam MaCKinnon (2000) kalakai adalah tumbuhan
sebagai sumber makanan suku Dayak Kenyah di Long S Barang (Apo Kayan) dan
Long Segar (S. Telen) Kalimantan Timur, bagian yang diambil batang dan daun.
Secara spesifik, kalakai yang digunakan oleh suku dayak untuk mengobati anemia
belum pernah diteliti, tetapi memberikan bukti yang nyata secara empiris
(etnobotani). Kelakai berkhasiat mencukupi Fe pada ibu menyusui dan balita,
pereda demam, mengobati sakit kulit, dan juga sebagai pencuci perut. Umumnya
kandungan senyawa aktif seperti alkaloid dan steroid diduga berperan bilamana
terkait dengan kulit. Selain diduga adanya flavonoid terkait dugaan keberadaan
senyawa anti oksidan seperti vitamin A dan C. Pada bagian lain potensi tersebut
mampu dikembangkan sebagai komoditas unggulan atau bahan dasar komoditas
industri khususnya industri pangan yang saat ini mengacu pada trend back to
nature, perlu diteliti dan dikaji secara ilmiah dengan metodologi yang tepat serta
mengacu pada SOP yang berlaku. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendapatkan informasi ilmiah tentang potensi tumbuhan kalakai (Stenochlaena
palustris (Brum. F) Bedd) untuk dijadikan pangan fungsional. Informasi ilmiah
adalah sebagai berikut : Golongan senyawa metabolit primer (lemak, protein) dan
sekunder (Flavonoid, Steroid, Alkaloid) di dalam jaringan komponen tumbuhan
kalakai. Variasi kandungan vitamin dan mineral terutama besi, perlu dianalisa
secara kuantitatif untuk dijadikan dasar untuk menjawab empirical studies yang
selama ini berkembang di masyarakat tentang peran fungsional kalakai terhadap
anemia karena Fe yang dikandungnya.

METODE PENDEKATAN
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode uji proximate (Air, abu,
Serat kasar, Protein, Lemak dan Karbohidrat), Uji Mineral (Fe dan Ca), Uji
Vitamin (Vitamin A dan Vitamin C) dan Uji Fitokimia (Alkaloid, steroid dan
Flavonoid). Metode pendekatan untuk mengetahui informasi sebaran kalakai
adalah dengan pengumpulan data kuantitatif kawasan budidaya pertanian lahan
basah pada Kabupaten Barito Kuala yang menjadi titik fokus kajian.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan dari bulan April - Oktober 2005, bertempat di
Laboratorium Analisis Kimia, Laboratorium Mikrobiologi dan Analisis Bahan
Industri Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Pengambilan
sample dilakukan diwilayah Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan.

PKMP-1-13-3
Pelaksanaan
Persiapan Sampel
Persiapan sampel dilakukan pada dua bagian Kalakai (batang dan daun).
Pekerjaan tersebut meliputi beberapa kegiatan: Pengumpulan bahan baku, Sortasi
basah, Pencucian, Perajangan, Pengeringan,Sortasi kering, Ekstraksi. Ekstraksi
Alkaloid mengacu pada metode Martono, (1983), ekstrak flavonoid mengacu pada
Budzianowski et al (1985) dan ekstraksi Steroid pada metode Bahti et al (1983).
semua kegiatan dilaksanakan berurutan.

Uji proksimate
Penentuan/Penetapan Kadar Air (AOAC, 1995) : Penetapan kadar air
dilakukan dengan mengeringkan pinggan porselin pada suhu 105
o
C selama 30
menit. Setelah didinginkan di dalam eksikator kemudian ditimbang. Serbuk daun
sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam pinggan porselin lalu dikeringkan di oven
dengan suhu 105
o
C selama 2 jam. Kadar air dihitung dengan cara berikut : KA
(%) = bobot awal-bobot setelah dikeringkan/bobot awal x 100%.
Uji Kadar Protein (AOAC, 1995) : 2 g sample dalam labu kjeldhal 30 ml.
Tambahkan 1,9 g K
2
SO
4
, 4 mg HgO dan 3,5 H
2
SO
4
. Jika sampel lebih dari 15 mg
tambahkan 0,1 H
2
SO
4
untuk setiap bahan organik di atas 15 mg. Didihkan sampel
selama 1 1,5 jam sampai jernih. Dinginkan, tambahkan sedikit air perlahan,
dinginkan dengan menambahkan 5 ml aquadest. Pindahkan isi labu ke alat
destilasi. Cuci dan bilas labu 5 - 6 kali dengan 12 ml aquadest, pindahkan cucian
ke alat destilasi. Letakkan erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml asam borat dan 2
4 tetes indikator (campuran dua bagian metilen merah 0,2 % dalam alkohol dan
satu bagian metilen blue 0,2 % dalam alkohol) di bawah kondensor. Ujung tabung
kondensor harus terendam dibawah larutan asam borat. Kemudian tambahkan 8
10 ml NaOH 60 % dan Na
2
S
2
O
8
. Lakukan destilasi sampai tertampung kira-kira
15 ml destilat dalam erlenmeyer. Bilas tabung kondensor dengan air dan tampung
bilasannya dalam erlenmeyer yang sama. Encerkan isi erlenmeyer kira-kira
sampai 50 ml kemudian titrasi dengan HCl 0,1 N sampai warna menjadi abu-abu.
%N = ((ml HCl ml blanko) x N x 14,007 x 100) /mg sample, %protein= %N x 6,25
Uji kadar lemak (AOAC, 1995) : Contoh bebas air sebanyak 10 gr
diekstraksi dengan pelarut Hexan selama 6 jam dalam soxhlet. Hasil ekstraksi
diuapkan dengan cara dianginkan lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu 40
o
C
sampai kering selanjutnya didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan.
Kadar lemak (%) = (B2 /B1) x 100%
Keterangan B1 = Bobot contoh awal (gr) , B2 = Bobot lemak (gr)
Uji Kadar serat kasar (AOAC, 1995) : Timbang 2 g bahan kering dan
ekstraksi lemaknya dengan soxhlet. kalau bahan sedikit mengandung lemak tidak
perlu gunakan 10 g bahan tidak perlu dikeringkan dan ekstraksi lemaknya.
Pindahkan bahan ke dalam erlenmeyer 600 ml. Kalau ada tambahkan 0,5 g asbes
yang telah dipijarkan dan 3 tetes zat anti buih. Tambahkan 200 ml H
2
SO
4
mendidih (1,25 g H
2
SO
4
pekat/100 ml = 0,255 N H
2
SO
4
) atau 7 ml/1000 ml air.
Tutuplah dengan pendingin balik, didihkan selama 30 menit sambil digoyang.
Saring suspensi lalu residu yang tertinggal dan erlenmeyer dicuci dengan aquadest
mendidih. Cucilah residu dalam kertas saring sampai air cucian tidak bersifat
asam lagi. Pindahkan secara kuantitatif residu dari kertas saring kedalam
erlenmeyer kembali dengan spatula, dan sisanya dicuci dengan larutan NaOH
PKMP-1-13-4
mendidih (1,25 g NaOH/100 ml = 0,313 N NaOH) sebanyak 200 ml sampai
semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Didihkan dengan pendingin balik
sambil digoyang selama 30 menit. Saring melalui kertas kering diketahui
beratnya, sambil dicuci dengan larutan K
2
SO
4
10%. Cuci lagi residu dengan
aquadest mendidih, dan lebih kurang 15 ml alkohol 95%. Keringkan kertas saring
atau krus Gooch dengan isinya pada 110
o
C sampai berat konstan (1-2 jam),
dinginkan di desikator dan timbang. Berat residu = Berat serat kasar
Uji kadar abu (AOAC, 1995) : Bakar cawan pengabuan di tanur, dinginkan
didesikator, dan timbang. Timbang 2 gr sampel dalam cawan tersebut, bakar
sampai berwarna abu-abu. Pengabuan dilakukan 2 tahap Pertama suhu sekitar
400
o
C dan kedua suhu 600
o
C. dinginkan di desikator kemudian timbang.
Ca (Anton A. 1989) : Pipet 20-100 ml larutan abu hasil pengabuan kering,
masukkan ke dalam gelas piala 250 ml. Jika perlu tambahkan 25-50 ml aquadest.
Tambahkan 10 ml larutan amonium oksalat jenuh dan 2 tetes indikator merah
metil. Buat larutan menjadi lebih sedikit asam dengan menambahkan beberapa
tetes asam asetat sampai warna larutan merah muda (pH 5,0). Panaskan larutan
sampai mendidih, diamkan selama minimum 4 jam atau semalam pada suhu
kamar. Saring menggunakan kertas saring Whatman No.42 dan bilas dengan
aquadest sampai filtrat bebas oksalat (jika digunakan HCl dalam pembuatan abu,
fitrat hasil saringan terakhir harus bebas Cl dengan mengujinya menggunakan
AgNO
3
. Lubangi ujung kertas saring menggunakan batang gelas. Bilas dan
pindahkan endapan dengan H
2
S0
4
encer (1+4) panas, kedalam gelas piala bekas
tempat mengendapkan kalsium. Kemudian bilas 1 kali dengan air panas dan
selagi panas (70
o
- 8O
o
C) titrasi dengan larutan KmNO
4
0,01 N sampai larutan
berwarna merah jambu permanen yang pertama. Masukkan kertas saring dan
lanjutkan titrasi sampai tercapai warna merah jambu.

Perhitungan:

mgCa/100g sample = Hasil titrasi x 0,2 x total volume larutan abu x 100
Vol larutan abu x berat sample yg diabukan

Fe (Anton A. 1989) :Pembuatan pereaksi
1. Larutan potasium persulfat jenuh (K
2
S
2
O
8
) : larutkan 7-8 g potasium persulfat
bebas besi dengan 100 ml air didalam sebuah botol tertutup gelas, campur
merata. Kocok sebelum digunakan dan simpan di dalam kulkas.
2. Larutan potasium tiosianat 3 N : larutkan 146 g KSCN di dalam air dan
encerkan sampai 500 ml. Saring jika keruh. Tambahkan 20 ml aseton murni
untuk menaikkan keeping quality.
3. Larutan besi standar : larutkan 0,702 g kristal FeSO
4
.(NH
2
)
4
SO
4
.6H
2
O di
dalam 100 ml air. Tambahkan 5 ml asam sulfat pekat, hangatkan sebentar dan
tambahkan potasium permanganat pekat tetes demi tetes sampai satu tetes
terakhir menghasilkan warna tetap. Pindahkan ke labu takar 1000 ml, bilas
dengan air, encerkan sampai tanda tera (konsentrasi standar = 0,1 mg besi/ml
larutan). Larutan ini stabil.
Gunakan larutan abu dari hasil pengabuan kering. Kedalam tiga tabung reaksi
tertutup yang terpisah masukkan larutan seperti daftar berikut:

PKMP-1-13-5
Blanko (ml) Standar Sampel
Larutan besi standar
(1 ml = 0,1 mg Fe)
Larutan abu
Air
H
2
SO
4
Pekat
K
2
S
2
O
8

KSCN
0,0
0,0

5,0
0,5
1,0
2,0
1,0
0,0

4,0
0,5
1,0
2,0
0.0
5,0

0,0
0,5
1,0
2,0
Catatan : Penambahan reaksi harus berurutan dari atas ke bawah
Masing-masing encerkan sampai volume 15 ml dengan air. Ukur absorban warna
dengan spektrofotometer panjang gelombang 480 nm blanko pada 100%
transmisi.
mg besi/ 100g = OD sample x 0,1 x vol total lar abu x 100
OD standar x 5 x berat sample pengabuan
Vitamin A (Anton A. 1989) : Hancurkan 10 g contoh/sampel dengan
blender, tambahkan aseton lalu diaduk (ekstraksi). Filtrat dipindahkan kedalam
labu pemisah dan tambahkan 10 15 ml petroleum eter. Pigmen dipindahkan ke
dalam fase petroleum eter dengan cara mengencerkan aseton dengan air yang
mengandung 5 % Na
2
SO
4
(penambahan sedikit demi sedikit ). Ulangi ekstraksi
fase aseton dengan petroleum eter, saring melalui Na
2
SO
4
anhidrans, kepekatan
diatur supaya dapat terbaca pada spektrofotometer. Tentukan absorbance pada
panjang gelombang () 436 nm.
Total karoten (ppm) =
100
100
x
AbsS
AbsC
xfpx
B

B = Berat contoh
fp = faktor pengenceran
Abs C = Absorbance Contoh
Abs S = Absorbance standar = 2 : 53
Vitamin C (Jacobs) : Timbang 200 300 g bahan segar dan hancurkan
dalam waring blender sampai diperoleh slurry. Timbang 10 30 g slurry
masukkan ke dalam labu takar 100 ml dan tambahkan aquadest sampai tanda.
Saring dengan krus Gooch atau dengan sentifuge untuk memisahkan filtratnya.
Ambil 5 25 ml filtrat dengan pipet dan masukkan ke dalam erlenmeyer 125 ml.
Tambahkan 2 ml larutan amilum 1 % (soluble starch) dan tambahkan 20 ml
aquadest kalau perlu, kemudian titrasi lah dengan 0,01 N standard yodium yang
mengandung 16 g KI per liter.
Perhitungan : 1 ml 0,01 N Yodium = 0,88 mg asam askorbat.
Uji fitokimia : Senyawa yang akan diuji yaitu alkaloid, steroid dan
flavonoid.. Golongan senyawa alkaloid dideteksi dengan menyemprotkan pereaksi
Dragendorf. Golongan senyawa steroid, dideteksi dengan H
2
S0
4
dan asam asetat
anhidrat. Sedangkan golongan senyawa flavonoid dideteksi dengan cara
melarutkan 10 ml filtrat dengan 0,5 g Mg ditambahkan 2 ml. alkohol klorhidrat
dan 20 ml amil alkohol, dikocok dengan kuat, terbentuknya wama merah, kuning,
dan jingga pada lapisan amil alkohol, itulah pertanda yang menunjukkan adanya
kandungan senyawa flavonoid. Bila deteksi dini menunjukkan hasil positif maka
dilanjutkan dengan uji secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan
metode spesifik yaitu untuk senyawa alkaloid mengaju pada metode Martono
PKMP-1-13-6
(1983), ekstraksi flavonoid mengacu pada Budzianowski et al (1985) dan
ekstraksi steroid dengan metode Bahti et al (1983)
Bahan : Daun dan Batang muda Kalakai, NaOH 1,25%, K
2
SO
4
, etanol,
H
2
S0
4
1,25%, aquadest, K
2
SO
4
, HgO,H
2
SO
4
, H
3
BO
4
, NaOH, HCl, Heksana, besi
standar, air, H
2
S0
4
pekat, K
2
S
2
0
8
, KSCN, larutan abu, aseton murni, larutan
amoniumoksalat jenuh, indikator merah metil, asamasetat encer, AgN03, H
2
S0
4

encer, air panas, KMN0
4
0,01 N, KI, I
2
, Amilum, MgCO
3
, Mg aktif, supercel
(1+1), lapisan Na
2
S0
4
anhydros setinggi 1 cm, Pereaksi Wagner, Mayers, dan
Dragendorf, NH
2
, CHCl
3
, etanol, metanol, etil asetat, amilalkohol, besi klorida,
formaldehid, asam asetat anhidrat.
Alat : pisau stainless steel, gunting tanaman, baskom, pinggan porselin,
eksikator, neraca analitik, oven, Labu kjedahl, alat destilasi, erlenmeyer,
kondensor, soxhlet, pendingin balik, kertas saring, cawan porselen, tanur, kuvet,
gelas ukur, tabung reaksi, pipet, gelas piala, biuret, kertas saring Whatman No 42,
Blender/mortar, water bath, sentrifuge, labu pemisah, labu takar, Sprayer

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kadar Air
Hasil analisis kadar air kalakai disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Persen kadar air pada batang dan Daun
Daun Batang
(d1) (d2) (b1) (b2)
8,8140% 8,3034% 7,5519% 7,1993%
Rata-rata = 8,5587% Rata-rata = 7,2756%
Kadar Abu
Hasil analisis kadar abu pada kalakai disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Persen kadar abu pada batang dan Daun

Daun (%) Batang (%)
(d1) (d2) (b1) (b2)
10,0714 10,6642 9,0159 9,3712
Rata-rata = 10,3678 Rata-rata = 9,1936
Serat Kasar
Hasil analisis kadar serat kasar pada kalakai disajikan pada Tabel 3


Tabel 3. Persen serat kasar pada batang dan Daun

Daun (%) Batang (%)
(d1) (d2) (b1) (b2)
1,57 2,29 3,50 3,19
Rata-rata = 1,93 Rata-rata = 3,35
Kadar Protein. Hasil analisa Protein pada kalakai disajikan pada tabel 4.



PKMP-1-13-7
Tabel 4. Persen Protein pada batang dan Daun.

Daun (%) Batang (%)
(d1) (d2) (b1) (b2)
11,5206 11,4428 2,8787 0,9043
Rata-rata = 11,4817 Rata-rata = 1,8915

Kadar Lemak
Hasil analisis kadar lemak pada kalakai disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Persen kadar lemak pada batang dan Daun

Daun (%) Batang (%)
(d1) (d2) (b1) (b2)
2,6770 2,5799 1,2723 1,4597
Rata-rata = 2,6285 Rata-rata = 1,3660

Uji Mineral
Kalsium (Ca). Hasil analisis mineral Kalsium pada kalakai disajikan pada tabel 6.

Tabel 6. Kadar Kalsium (Ca) batang dan Daun

Daun (mg per 100 ml) Batang (mg per 100 ml)
(d1) (d2) (b1) (b2)
176,22 187,91 136,06 201,49
Rata-rata = 182,065 Rata-rata = 168,775

Besi (Fe). Hasil analisis mineral besi (Fe) pada kalakai disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kadar besi (Fe) Batang dan Daun

Daun (mg per 100 mg) Batang (mg per 100 mg)
(d1) (d2) (b1) (b2)
236,484 346,148 358,046 84,839
Rata-rata = 291,316 Rata-rata = 221,443

Uji Vitamin
Vitamin C. Hasil analisis Vitamin C pada kalakai disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Kadar vitamin C pada batang dan Daun

Daun (mg per 100 ml) Batang (mg per 100 ml)
(d1) (d2) (b1) (b2)
255,20 184,20 308 220
Rata-rata = 219,7 Rata-rata = 264

Vitamin A
Hasil analisis vitamin A pada kalakai disajikan pada Tabel 9.


PKMP-1-13-8

Tabel 9. Kadar vitamin A pada batang dan Daun

Daun (ppm) Batang (ppm)
(d1) (d2) (b1) (b2)
25779,49 28173,08 11304,12 9547,51
Rata-rata = 26976.29 Rata-rata = 10425.65

Uji fitokimia
Komponen pengamatan uji fitokimia meliputi flavonoid, alkaloid, dan steroid.
Hasil analisis senyawa bioaktif pada kalakai disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Persen senyawa bioaktif pada batang dan daun

Komponen
kalakai
Senyawa bioaktif Ulangan 1
(%)
Ulangan 2
(%)
Rata-rata
(%)
Flavonoid 3,040 2,980 3,010
Alkaloid 3,467 4,158 3,817
Batang
Steroid 2,467 2,697 2,583
Flavonoid 1,620 1,880 1,750
Alkaloid 1,120 1,050 1,085
Daun
Steroid 1,470 1,830 1,650

Pembahasan
Mitchel, 1991; daun dan jaringan lainnya merupakan sumber hasil asimilasi.
Sebagian hasil asimilasi yang telah diproduksi tetap tinggal dalam jaringan untuk
pemeliharaan sel. Daun yang sedang berkembang memerlukan hasil asimilasi
yang di impornya untuk penyediaan energi dan kerangka karbon yang
diperlukannya untuk tumbuh dan berkembang sampai daun-daun itu dapat
memproduksi hasil asimilasi yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Berdasarkan pernyataan inilah diduga mengapa sebagian besar kandungan
senyawa yang dianalisis lebih tinggi jumlahnya pada daun dibandingkan batang.
Hasil penelitian Potensi Kalakai sebagai Pangan Fungsional, diketahui Kalakai
memiliki kandungan Protein, Lemak dan serat yang sangat berpotensi untuk
dikembangkan sebagai pangan fungsional. Keunggulan mineral besi memberikan
hasil yang signifikan dan sesuai dengan potensi pada kajian secara empiris. Hasil
analisa komponen proximate, kandungan vitamin, mineral dan kandungan
senyawa bioaktif yang ada pada tumbuhan tersebut, menunjukkan angka-angka
yang bervariasi besarnya antara bagian batang dan daun. Pada beberapa
komponen yang dianalisa menunjukkan bahwa angka-angka yang ditunjukkan
pada analisa daun lebih besar daripada angka-angka yang ditujukkan oleh bagian
batang.

Analisa Proksimate
Kadar Air
Hasil analisis proksimat kadar air kering ditunjukkan pada tabel 1, yaitu :
pada daun dengan kadar air rata-rata sebesar 8,85587 % dan pada batang 7,2756
%. Persentase kadar air tertinggi berdasarkan Tabel 1. terdapat pada bagian daun.

PKMP-1-13-9
Kadar Abu
Persentase rata-rata kadar abu pada bagian daun adalah sebesar 10,3678%
lebih besar daripada persentase rata-rata kadar abu bagian batang yaitu 9,1936%.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya (Slamet Sudharmaji, Bambang Haryono, Suhardi, 2003). Abu
dalam proses analisis proksimat merupakan sisa pembakaran sempurna dari suatu
bahan yang tidak menguap yang didalamnya terdapat beberapa mineral. Mineral
tersebut dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan, pembentukan
tulang dan gigi, pembentukan rambut, dan kuku (R.B. Ach. Murtada et al., 2002)
Serat Kasar
Persentase serat kasar pada batang lebih besar daripada yang ada pada
daun.ditunjukkan pada Tabel 3. Persentase rata-rata pada daun 1,93% sedangkan
pada batang 3,35%. Serat kasar mengandung selulose dan senyawa sebangsanya
yang tidak dapat dicerna sebaik atau secepat bahan ekstrak tanpa nitrogen
(terutama terdiri dari pati) (Tillman, et al., 1986 dalam R.B. Ach. Murtada et al.,
2002). Dikemukakan juga bahwa serat kasar mengandung selulose, hemiselulose
dan lignin. Selulose merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman
bersama hemiselulose dan lignin. Hemiselulose merupakan sekelompok senyawa
yang terdapat bersama-sama dengan selulose pada jaringan daun, batang dan
beberapa macam biji tanaman. Lignin adalah bagian yang menjadi kayu dari
tanaman seperti janggel, biji, bagian serabut kasar, akar, batang dan daun yang
mengandung subtansi yang kompleks dan tak dapat dicerna (R.B. Ach. Murtada et
al., 2002). Inilah yang menyebabkan bagian batang memiliki serat kasar yang
lebih tinggi daripada di daun. Berdasarkan R.B. Ach. Murtada et al., 2002;
keberadaan serat kasar tinggi berhungan dengan rendahnya nutrisi dan
kemampuan suatu makanan untuk dicerna, tetapi memiliki fungsi dan peran yang
penting pada sistem peristaltik dalam pencernaan.
Kadar Protein
Rata-rata persen Protein daun 11,4817 % dan batang rata-rata 1,8915%
Nilainya lebih rendah bila dibandingkan dengan jenis sayuran yang merupakan
sumber protin seperti kacang hijau yang memiliki kadar protein sebesar 22,2%.
Hal ini disebabkan kadar N yang terkandung di dalam protein lebih banyak
terdapat di daun. Nitrogen selalu bergerak dalam tubuh tanaman. N banyak
digunakan oleh daun yang masih muda dan organ yang sedang tumbuh dimana
organ tersebut banyak memerlukan N seperti buah dan biji (Franklin P Gardener
et al., 1991). Dengan adanya kadar protein yang diperoleh maka tanaman kalakai
juga dapat menjadi salah-satu sumber asupan protein nabati bagi masyarakat yang
mengkonsumsinya, terkait dengan kandungan proteinnya daun sangat
direkomendasikan untuk dikonsumsi.
Kadar Lemak
Kadar lemak pada batang lebih rendah yaitu sebesar 1,366% dan daun lebih
tinggi sebesar 2,6770 %. Tingginya persentase kadar lemak pada daun disebabkan
daun merupakan jaringan yang aktifitasnya tinggi. Menurut Tillman, et al., 1986
dalam R.B. Ach. Murtada et al., 2002 mengemukakan bahwa protein dan lemak
pada tanaman erat kaitannya dengan aktifitas jaringan. Lemak tak jenuh penting
bagi tubuh yaitu untuk cadangan energi dan proses metabolisme di dalam tubuh,
sementara rendahnya lemak pada bagian batang karena didominasi senyawa
selulose, lignin dan lainnya yang merupakan komponen serat kasar.
PKMP-1-13-10
Kalsium (Ca)
Pada hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata kadar Ca di daun
lebih besar dari pada di batang sebesar 182,065 mg per 100 ml di batang dan
168,775 mg per 100 ml di daun. Mineral kalsium merupakan salah satu mineral
yang menunjang aktivitas metabolisme dalam tubuh. Kalsium diperlukan untuk
pertumbuhan tulang dan gigi, selain itu kalsium dapat mengurangi resiko
osteoporosis
Besi (Fe)
Hasil analisis mineral Fe pada Tabel 7 menunjukkan rata-rata Fe di daun
lebih tinggi sebesar 291,3158 mg per 100 mg, dibandingkan di batang 221,4427
mg per 100 mg. Fe merupakan salah satu komponen penyusun pigmen yang ada
pada daun (Franklin F Gardener. et al,. 1991). Kandungan besi dalam kalakai
cukup tinggi. Mineral besi (Fe) sendiri berfungsi untuk membentuk hemoglobin
yang membawa oksigen dari paru-paru keseluruh tubuh. Sehingga kalakai dapat
digunakan sebagai pangan fungsional penambah darah (Prof. Dr Made Astawan,
2005). Berdasarkan penelitian Daisy Irawan, C. Hanny Wijaya, Suwido H. Limin,
Yayusuki Hashidoko, Mitsuru Osaki dan Ici P. Kulu, 2003; menyatakan bahwa
kalakai secara tradisional juga diketahui dapat menstimulasi produksi ASI pada
ibu menyusui.
Vitamin C
Jumlah rata-rata vitamin C di daun lebih rendah dari pada rata-rata di
batang yaitu sebesar 219,7 mg per 100 ml dan 264 mg per 100 ml. Asam askorbat
berfungsi membantu penyerapan Fe dalam tubuh, sehingga sangat sesuai dengan
hasil Fe yang tinggi. Kombinasi beberapa nutrien dalam tubuh sangat diperlukan,
pada plasma darah, mineral tembaga berikatan dengan seruplasmin yang
mengkatalisis oksidasi Fe
2+
menjadi Fe
3+
yang kemudian akan ditransfer oleh
protein transpor menuju hati (Belitz dan Grosch, 1999 dalam Daisy Irawan et al.,
2003). Vitamin C juga berperan sebagai elektron transport, pembentukan kolagen,
obat dan metabolisme steroid, metabolisme tirosin, metabolisme ion logam,
antihistamin, fungsi imun, anti carsinogen, antioksidan dan fungsi prooksidan
dalam tubuh. Sebagai antioksidan vitamin C dapat menetralkan radikal bebas dan
penyakit kulit. Melalui pengaruh pencahar, vitamin C dapat meningkatkan
pembuangan faeses atau kotoran (Daisy Irawan et al., 2003; Intisari online, http//
:www.indomedia.com. 2000).
Vitamin A
Jumlah vitamin A pada daun sebesar 26976.29 ppm dan di batang 10425.65
ppm. Hasil ini berkolerasi positif dengan keberadaan senyawa Fe yang dikandung
daun juga jauh lebih tinggi dibandingkan batang. Keberadaan vitamin A tidak
terlepas dari keberadaan derivat lainnya seperti senyawa beta karoten dan
antosianin. Senyawa Antosianin juga menyebabkan pigmen kuning kemerahaan
seperti yang terlihat pada pucuk daun Kalakai. Pada bagian inilah yang dominan
diambil dan dikonsusmsi masyarakat dayak untuk bahan sayuran. Bahan aktif
vitamin A, bermanfaat memperkuat sel kekebalan, mengatur pertumbuhan,
pembelahan sel, mengurangi pertumbuhan sel ganas. Berbagai penelitian
menunjukkan suplementasi vitamin A dapat menurunkan 23% angka kematian
anak akibat campak, diare, dan infeksi saluran pernapasan (Kompas, 26 Februari
1999

PKMP-1-13-11
Uji fitokimia
Dari Tabel 10. pada daun menunjukkan kandungan flavonoid lebih tinggi
dibandingkan dengan alkaloid dan steroid. Hal ini diduga terkait dengan fungsi
spesifik dari flavonoid yang mampu sebagai antioksidan dan sama dengan vitamin
A yang lebih dominan pada daun. Pada batang alkaloid lebih tinggi dibandingkan
flavonoid dan steroid. Diduga erat terkait dengan komponen kulit batang berbagai
tanaman terutama tanaman obat yang kaya akan alkaloid. Fungsi Fisiologis
senyawa fitokimia adalah sebagai antikanker, antimikroba, antioksidan,
antitrombotik, anti-radang, merangsang sistem daya tahan tubuh, mengatur
tekanan darah, mengatur kadar gula darah, dan menurunkan kolesterol (Waltz,
1996 dalam Sampoemo et al., 2000). Berdasarkan Winarno, 2002; warna-
warna merah, biru, ungu pada bagian-bagian tanaman disebabkan oleh warna
pigmen antosianin, yang merupakan bagian dari senyawa flavonoid. Namun
warna daun kalakai yang hanya berwarna merah keunguan menunjukkan bahwa
konsentrasi antosianin yang dikandung bagian tanaman tersebut rendah. Pada
batang kalakai yang berwarna hijau muda diduga hanya sedikit mengandung
senyawa flavonoid dan hal ini dibuktikan sesuai data pada Tabel 10. Alkaloid
sejati merupakan senyawa nitrogen yang memiliki struktur kompleks dan bersifat
basa. Atom nitrogen yang terdapat di dalam struktur merupakan bagian dari
sistem heterosiklik dan dapat menyebabkan terjadi aktifitas farmakologis.
Alkaloid jenis ini terbentuk secara biosintesis dari asam amino dan pada
tumbuhan ditemukan dalam bentuk garam (Hesti Heryani, 2002). Pada tanaman
sendiri, alkaloid berfungsi sebagai zat racun untuk melawan serangga atau hewan
pemakan tanaman, pengatur tumbuh, sebagai substansi cadangan untuk memenuhi
sumber Nitrogen atau elemen lain yang penting bagi tumbuhan, dan merupakan
hasil akhir reaksi detoksifikasi dari zat yang berbahaya bagi tumbuhan (Sumiwi,
1992).

Potensi Sebaran Kalakai
Potensi Sebaran Kalakai dapat dilihat dari habitat Kalakai yang ada di
Kalimantan Selatan. Habitat kalakai adalah di daerah rawa gambut yang secara
umum disebut lahan basah. (MacKinnon et al., 2000). Daerah yang banyak
memiliki rawa gambut adalah Kabupaten Barito Kuala yang luasnya menurut
Peta Rencana Tata Ruang Kalimantan Selatan (Perda Nomor 9 Tahun 2002)
adalah sebesar 155477,50 Ha.

KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang dilakukan baik pada komponen daun maupun batang
diperoleh kesimpulan beberapa hal berikut :
1. Daun memiliki protein dan lemak, masing-masing 11,48% dan 2,63%.
Keunggulan daun yaitu tingginya kandungan mineral Kalsium dan Besi.
Kandungan besi 291,32 mg per 100 mg bahan, memungkinkan sebagai
pencegah anemnia. Vitamin A daun dua kali lipat lebih banyak
dibandingkan batang yaitu sebesar 26976,29 ppm. Flavonoid yang lebih
tinggi di daun (1,75%) memungkinkannya dijadikan sebagai antioksidan
dan anti kanker.
PKMP-1-13-12
2. Batang memiliki keunggulan dalam hal serat kasar (3,19%). Dalam hal
kandungan bioaktif, batang memilki kandungan alkaloid yang lebih besar
dibanding daun yaitu 3,82%. Karena itu batang sangat terkait dengan
kemampuannya sebagai anti alergi dan gatal pada kulit.
3. Berdasarkan habitat tumbuh kalakai, potensi sebaran terbesar di daerah
Barito Kuala Propinsi Kalimantan Selatan yaitu sebesar 155477,50 Ha.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait dengan produk pangan fungsional
yang diekomendasikan, sehingga kandungan protein, mineral Fe, vitamin A serta
senyawa alkaloid dan flavonoid yang menonjol dapat dipertahankan dan tidak
hilang selama proses atau dalam fase teknologi pengolahan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Analisa Proksimat Bahan Pakan. Fakultas Pertanian Unlam.
Banjarbaru.
Anonim.Juli 2000. Vitamin-Vitamin Untuk Tubuh. www.indomedia.com/intisari.
Anonim. Health: Saturday, 24 Sep 2005. Jenis, Fungsi, Sumber Gizi bagi Tubuh.
Majalah Lisa.
Anton Apriantono dkk. 1989. Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bahti et al 1983. Isolasi dan Identiflkasi senyawa-senyawa Steroid dan Senyawa-
senyawa yang Bertalian Dengan serta Senyawa-senyawa Alkoloid dari
Daun Kamboja (Plumiera acutofolia Poir). Laporan penelitian. Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Budzianowski et al. 1985. di dalam Gauci, K. 1998. Pharmacognosy of the local
plant P. Officinalis. www. Cis. Urn. Ed. MC-plicy/sypm98/KevinGauci.
Htnil-7k.
Daisy Irawan, C. Hanny Wijaya, Suwido H. Limin, Yayusuki Hashidoko, Mitsuru
Osaki dan Ici P. Kulu. 2003. Ethnobotanical Study And Nutrient Potency
of Some Local Traditional Vegetable in Central Kalimantan (I) dalam
Proceeding of The International Symposium on Land Management And
Biodiversity In South East Asia. Bali, Indonesia. 17-20 September 2005.
Hokaido University. Sapporo. Japan and Research Center of Biology, The
Indonesia nstitute of science Bogor.
F. G. Winamo. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. M-BRIO Press.
Bogor.
Franklin P Gerdener, Pearce R Brand, Mithel Roger L. 1991. UI Press. Jakarta.
Gembong Tjiprosoepomo. 1988. Taksonomi tumbuhan (spermathopyta). Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Terjemahan K.Padmawinata dan 1. Soediro. ITB. Bandung.
Hesty Heryani. 2002. Kajian Fraksi Aktif Formulasi Tabat Barito (Ficus
deltoidea Jack) Sebagai Anti Kanker Mikroorganisme Klinis. Proram
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
MacKinnon., dkk. 2000. Ekologi Kaliamantan Edisi Ill. Jakarta
Made Astawan. Prof. DR. 2002 Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang
Optimal. KOMPAS
PKMP-1-13-13
Martono S. 1983. Isolasi dan Identifikasi Zat Aktif Berkhasiat analgetik pada
Daun Gendarussa vulgaris Ness. Laporan Penelitian. Fakultas Farmasi
Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi Keenam.
Penerbit ITB, Bandung.
R.B Ahmad. Murtada. 2002. Analisa Proksimat Pakan Kijang. Agrosain Vol 15
(2). Hal 263-274
Sampoemo dan Dedi Fardiach. 2000. Kebijakan. dan Pengembangan Pangan
Fungsional dan Suplemen Di Indonesia di dalam Prosiding Seminar
Nasional Pangan Tradisional Basis Bagi Industri Pangan Fungsional &
Suplemen. Pusat Kajian Makanan Tradisional Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Slamet Sudarmadji, Bambang Haryono, Suhardi. 1976. Prosedur Analisa Hasil
Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberti Gadjah Mada. Yogyakarta.
. 1989. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberti Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sudjana, Dr, MA, Msc. 1975. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.
Sumiwi, S.A. 1992. Kromatografl Lapis Tiga Alkaloid dari Daun Kelor. Moringa
oleifera Lamle Laporan Penelitian. Direktorat Jenderal PendidikanTinggi.
DepartemenPendidikanDan Kebudayaan. Jakarta.
Voon Boon Hoe, Bagsci dan Kuch Hong Siong, Bagsei (1999). The Nutritional
value of indigenous fruits and vegetables in sarawak. konference
International Asia Pasifik Clinical Nutrition Society, Serawak Malaysia


PKMP-1-14-1
PEMANFATAN LIMBAH PLASTIK (POLISTIRENA)
DAN KERTAS BEKAS
SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN FIBER BOARD

Rita Afriyanti, Nurhayati, Nafisah
Teknik Kimia/Teknik kimia, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Lhokseumawe

ABSTRAK
Polistirena (gabus elektronik) dan kertas bekas adalah salah satu hasil industri
yang merupakan limbah, sesudah digunakan oleh manusia. Limbah tersebut
dapat kita manfaatkan menjadi suatu produk komposit yang lebih bernila
ekonomisi, yaitu fiber board. Pembuatan fiber board dilakukan dengan dengan
melarutkan polistirena menggunakan toluene dan mencampurkannya dengan
benzoil peroksida, asam akrilat dan kertas. Dari hasil uji tekan dan perhitungan
yang dilakukan didapat bahwa pada perbandingan polistirena dengan serbuk
kertas (60:40) nilai MoR sebesar 192.3675 kg/cm
2
dan MoE sebesar 12696.125
kg/cm
2
, pada perbandingan polistirena dengan serbuk kertas (70:30) nilai MoR
sebesar 156.585 kg/cm
2
dan MoE sebesar 15571.2375 kg/cm
2
, dan pada
perbandingan polistirena dengan serbuk kertas (80:20) nilai MoR sebesar
135.135 kg/cm
2
dan MoE sebesar 20569.4125 kg/cm
2
. Dengan demikian semakin
besar berat serbuk kertas maka modulus patah (uji tekan) semakin tinggi dan
semakin kecil berat polistirena maka modulus elastisitas semakin kecil.

Kata Kunci : Polistirena, Fiber Board

PENDAHULUAN
Limbah adalah buangan yang kehadirannya tidak dikehendaki lingkungan
karena tidak memiliki nilai ekonomis dan dapat menurunkan kualitas lingkungan,
serta dapat mengganggu kelangsungan hidup manusia juga makhluk hidup lain.
Umumnya limbah tidak hanya berasal dari suatu industri yang memproses atau
mengolah bahan baku menjadi bahan jadi yang dapat digunakan oleh manusia
atau makhluk lain, tetapi limbah juga berasal dari manusia itu sendiri yang
biasanya dikenal dengan limbah rumah tangga. Oleh karena itu limbah rumah
tangga juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan pencemaran
lingkungan, sehingga memerlukan perhatian khusus. Namun, dengan
meningkatnya perkembangan teknologi kita dapat memanfaatkan limbah menjadi
suatu produk yang bernilai guna.
Polistirena (gabus elektronik) dan kertas bekas adalah salah satu hasil
industri yang merupakan limbah, sesudah digunakan oleh manusia. Limbah
tersebut dapat kita manfaatkan menjadi suatu produk komposit, yaitu fiber board.
Pada awal 1990 di Jepang dan Amerika Serikat telah berkembang
teknologi dibidang papan komposit. Teknologi ini menghasilkan produk komposit
yang merupakan gabungan antara serbuk kayu dengan plastik daur ulang
(Setyawati, 2003:1). Namun, sekarang kita mencoba menggantikan kayu dengan
kertas bekas dan plastik dengan polistirena (gabus elaktronik).
Limbah polistirena dan kertas bekas merupakan limbah yang dibuang ke
lingkungan, dan apabila dibuang terus-menerus tanpa penanganan sedikitpun,
maka limbah tersebut dapat mengganggu kelestarian lingkungan.

PKMP-1-14-2
Dalam hal ini diupayakan untuk meningkatkan pengembangan dalam
pemanfaatan polistirena dan kertas bekas untuk dijadikan produk yang bernilai
ekonomis. Pengolahan limbah tersebut selain menghasilkan produk, juga dapat
mengurangi banyaknya pencemaran lingkungan, dan fiber board adalah salah satu
produk yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan limbah.
Adapun tujuan dari penelitian pemanfaatan limbah polistirena dan kertas
bekas sebagai bahan pembuatan fiber board adalah memanfaatkan limbah
polistirena dan kertas bekas menjadi produk yang bernilai ekonomis, serta dapat
mengetahui proses pembuatan fiber board dari bahan komposit polistirena dan
kertas bekas.
Penelitian ini sangat berguna untuk pengembangan kelestarian lingkungan
karena bahan-bahan yang digunakan adalah limbah-limbah yang dapat merusak
lingkungan. Pada masa yang akan datang jika program ini diwujudkan dalam
suatu proses industri, dimungkinkan pasar akan melirik produk ini sebagai suatu
pengganti papan yang sebenarnya. Dari segi ekonomi hal ini sangat
memungkinkan karena bahan-bahan yang mendukung dalam pembuatan fiber
board sangat mudah didapat dan harganya relative terjangkau. Di lain sisi
pembuatannya pun relative sederhana.

METODE PENDEKATAN
Proses pelaksanaan penelitian dilakukan selama 6 bulan, mulai dari bulan
Januari 2006 sampai dengan bulan juni 2006. Pelaksanan penelitian bertempat di
Laboratorium Kimia Analisa Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri
Lhokseumawe.
Uraian persiapan yang telah dilakukan termasuk mempersiapkan bahan,
desain dan instrumen penelitian. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu
persiapan penelitian dan tahap pelaksanaan penelitian:

1. Tahap persiapan penelitian meliputi:
Pengadaan zat-zat kimia, yang dipesan/dibeli di Medan
Pengadaan Bahan Kertas dan polistirena
Pembuatan Serbuk Kertas

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian meliputi:
Pada tahap penelitian meliputi prosedur kerja untuk pembuatan serbuk kertas
dan pembuatan fiber board.
a. Prosedur kerja untuk pembuatan serbuk kertas
Adapun prosedur kerja untuk pembuatan kertas adalah sebagai berikut :
1) Kertas bekas dikumpulkan sampai dengan berat yang diingikan
(dibersihkan).
2) Kertas bekas yang telah terkumpul direndam sampai lunak.
3) Selanjutnya kertas diblender sampai kertas menjadi bubur dengan
menggunakan sedikit air.
4) Bubur kertas kemudian dikeringkan dengan oven atau dengan sinar
matahari sampai menjadi bubuk kertas.
5) Serbuk kertas ditempatkan dalam wadah yang kering.
b. Prosedur kerja untuk pembuatan fiber board

PKMP-1-14-3
Adapun prosedur kerja untuk proses pembuatan fiber board adalah
sebagai berikut :
1) Polistirena/busa elektronik yang telah disiapkan ditimbang sampai 60
gram.
2) Memasukkan polistirena ke dalam beaker glass 500 ml dan
menambahkan pelarut toluena 100 ml, benzoil peroksida 0,1 gram,
dam asam akrilat 4 ml.
3) Menambahkan serbuk kertas 40 gram ke dalam campuran tersebut.
4) Campuran diaduk sampai bahan-bahannya tercampur sempurna.
5) Campuran tersebut adalah fiber board yang siap dicetak.
6) Setelah pencetakan, fiber board dikeringkan dengan oven atau sinar
matahari.
7) Selanjutnya dilakukan uji tekan dan uji lentur.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil uji tekan dan lentur yang telah dilakukan di laboratorium
polimer FMIPA-USU Medan diperoleh data sbb:

Sampel P(kg)
Polistirena
Serbuk
kertas
1 2 3
Rata-
rata
MoR
(Kg/cm
2
)
80 20 13.8 14.2 13.6 13.86 135.135
70 30 12.1 19.3 16.8 16.06 156.585
60 40 17.6 21.8 19.8 19.73 192.3675


Dari data diatas dapat diperoleh grafik uji tekan terhadap berat polistirena
dan serbuk kertas. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin besar berat
serbuk kertas maka semakin tinggi kekuatan tekannya. Sebagai contoh, pada berat
polistirena dengan serbuk kertas (60 dan 40) gr nilai MoR sebesar 192.3675
kg/cm
2
pada berat (70 dan30) gr nilai MoR sebesar 156.585 kg/cm
2
dan pada
berat (80 dan 20) gr nilai MoR sebesar 135.135 kg/cm
2
.
Dari data pada Tabel berikut dapat diperoleh grafik uji lentur terhadap berat
serbuk kertas menunjukkan nilai yang sebaliknya yaitu semakin besar berat
serbuk kertas maka semakin rendah nilai MoE, misalnya pada berat polistirena 60
gr dengan serbuk kertas 40 gr nilai MoE sebesar 12696.125 kg/cm
2
, pada berat
polistirena 70 gr dengan serbuk kertas 30 gr nilai MoE sebesar 15571.2375
kg/cm
2
dan pada berat polisrirena 80 gr dengan serbuk kertas 20 gr sebesar
20569.4125 kg/cm
2
.


PKMP-1-14-4
Grafik Uji Tekan Terhadap Berat Serbuk Kertas
0
50
100
150
200
250
0 1 2 3 4 5
Berat Serbuk Kertas
M
o
R
MoR
(kg/cm2)


Sedangkan pada data uji lentur menunjukkan nilai yang berbeda. Hal ini
ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

Sampel P' (kg)
Polistirena
Serbuk
kertas
1 2 3
Y
(cm)
MoE
(Kg/cm
2
)
80 20 18.8 26.1 22.5 0.3 20569.4125
70 30 20.1 13.7 17.3 0.3 15571.2375
60 40 9.35 14.2 12.6 0.26 12696.125


Grafik Uji Lentur Terhadap Berat Polistirena
0
5000
10000
15000
20000
25000
0 1 2 3 4 5
Berat Polistirena
M
o
E
MoE
(kg/cm2)




PKMP-1-14-5
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Perbandingan polistirena dan serbuk kertas dapat mempengaruhi modulus
elastisitas dan modulus patah.
2. Semakin besar berat serbuk kertas maka semakin besar kekuatan tekan dari
fiber board
3. Semakin besar berat pilistirena maka semakin besar pula kekuatan lentur dari
pada fiber board.

DAFTAR PUSTAKA
1. Fessenden & Fessenden. kimia organik. Edisi ketiga jilid I, Erlangga,
Jakarta;1990
2. http:// Mawar. Colombs. Itb.ac.id/files/unsorted/kimia dasar 2, kimia,
material/komposit. Htm;2001.
3. http:// pustaka, bogor, rust/dt baru/hut 1046.htm:2003
4. Maraudin Industri Petrokimia dan Dampak Lingkungannya. Gajah Mada
University Press, Yogyakarta : 2002.
5. Niazi Anan. Penggunaan Tepung Mineral Silika (S
1
O
2
) dalam Pembuatan
Komposit Poliester Resin. Skripsi Universitas Syiahkuala, Banda Aceh;2002
6. Rahmi Ita. Membuat Kertas Daur Ulang. TGA Politeknik Negeri
Lhokseumawe;2001
7. Tim Suhuf Kertas Seni Nusantara. Berkreasi dengan kertas Daur
Ulang.puspa Swara, Jakarta;2000
8. www.geocities.Com/kertas seni/Sejarah-Kertas.Htm;2001
9. www. Manggala.Or.id/Pubchation/media info/edaran/Edr;1999.

PKMP-1-15-1
KINERJA DARI PEMAKAIAN PASIR ALAM HASIL TAMBANG
MASYARAKAT DESA KOTO BARU SEBAGAI AGREGAT
HALUS CAMPURAN LATASTON

Ali Afdal, Sony Afriyanto, Islah
Politeknik Negeri Padang, Padang

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-1-16-1
PEMBUATAN ABON AMPAS TAHU SEBAGAI UPAYA
PEMANFAATAN LIMBAH INDUSTRI PANGAN

Ridayanti, Ai Patmawati, Elin Lisnawati
PS Teknologi Pangan dan Gizi, Teknologi Pertanian, Universitas Djuanda, Bogor


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu dan teknologi menimbulkan dampak positif bagi
perkembangan perekonomian rakyat Indonesia, namun dilain pihak dampak
negatifnya berupa makin banyaknya limbah yang dihasilkan dari industri-
industri tidak dapat dihindari. Untuk menanggulangi masalah pencemaran,
masyarakat harus mulai befikir keras untuk memanfaatkan limbah industri
yang masih dapat dimanfaatkan. Hal ini akan mengurangi biaya pengolahan
limbah dan akan menambah pendapatan bagi masyarakat.
Industri tahu yang menghasilkan limbah merupakan salah satu sumber
pencemaran udara berupa bau busuk dan pencemaran sungai yang ada di
sekitar pabrik. Limbah yang dihasilkan pabrik tahu berupa kulit kedelai,
ampas dan air tahu masih dapat dimanfaatkan menjadi produk-produk yang
bermanfaat.
Pada proses pengolahan tahu akan dihasilkan limbah berupa ampas
tahu yang apabila tidak segera ditangani, dapat menimbulkan bau tidak sedap.
Ampas tahu masih mengandung zat gizi yang tinggi yaitu protein (26.6%),
lemak (18.3%), karbohidrat (41.3%), fosfor (0.29%), kalsium (0.19%), besi
(0.04%) dan air (0.09%) (Daftar Komposisi Bahan Makanan, 1992). Oleh
karena itu masih memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar atau
campuran pada proses pengolahan pada poduk tertentu.
Pada tahun 1990 ditemukan cara pemanfaatan limbah cair tahu
menjadi nata de soya yang jika dilakukan bersama-sama oleh pengusaha tahu
dapat mengurangi pencemaran sungai akibat pembuangan limbah cair tahu di
sekitar pabrik. Ampas tahu dapat diolah menjadi produk makanan, salah satu
alternatifnya adalah dibuat abon ampas tahu.
Abon merupakan salah satu bentuk diversifikasi makanan berbahan
baku ampas tahu. Abon adalah produk hasil olahan dengan menggunakan
tehnik pengeringan untuk menghilangkan air yang terdapat dalam bahan
sehingga produk menjadi renyah. Pembuatan abon adalah salah satu cara
dalam berbagai macam tehnik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai
ekonomi ampas tahu. Produk yang dihasilkan ini diharapkan memiliki
kandungan gizi yang tinggi dengan umur simpan yang lama. Abon memiliki
umur simpan yang relatif lama, karena berbentuk kering. Dengan cara
pengolahan yang baik, abon dapat disimpan berbulan-bulan tanpa mengalami
banyak penurunan mutu.
Pada dasarnya masyarakat lebih menyukai produk pangan yang siap
dikonsumsi dan bergizi tinggi. Abon dapat dijadikan pilihan sebagai makanan
yang siap dikonsumsi karena abon bisa disajikan sebagai lauk, bahan isi utama
dalam pangan tradisional atau hanya sebagai taburan dalam berbagai produk
pangan atau menu makanan. Abon sebagai salah satu bentuk produk olahan

PKMP-1-16-2
kering sudah dikenal masyarakat luas karena harganya cukup terjangkau dan
rasanya lezat.

B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat produk abon dari ampas
tahu, mendapatkan formulasi abon ampas tahu yang tepat, dan mengetahui
umur simpan abon ampas tahu yang dikemas dalam plastik polypropylene.

C. Rumusan Masalah
Masalah-masalah pokok yang dianalisis dan dicoba untuk dipecahkan
dalam program penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kemungkinan pemanfaatan limbah industri tahu berupa ampas tahu
diproses menjadi abon ampas tahu.
2. Menentukan formulasi abon ampas tahu yang enak dan disukai oleh
masyarakat.
3. Bagaimana proses produksi yang tepat untuk menghasilkan abon ampas
tahu yang baik.
4. Bagaimana tingkat kesukaan masyarakat terhadap abon ampas tahu.
D. Manfaat
1. Melatih daya kreativitas, inovasi dan improvisasi mahasiswa.
2. Memasyarakatkan abon ampas tahu.
3. Merangsang masyarakat yang berada di sekitar pabrik tahu untuk
memanfaatkan limbah industri tahu
4. Mengurangi pencemaran akibat limbah industri pangan

METODE PENDEKATAN
A. Tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT SARTIKA Universitas
Djuanda, Bogor.
B. Waktu
Pelaksanaan program penelitian ini dilakukan secara berkesinambungan
selama 3 bulan dari bulan Februari sampai bulan April 2006.
C. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan kasar,
oven, soxhlet, desikator, labu kjeldahl, buret, pipet volumetrik, tanur,
penangas air, cawan porselen, Erlenmeyer, filter glass, wadah plastik, pisau,
sendok, pengering sentrifugal, kompor, wajan, panci kukus, peniris, pengaduk,
penumbuk dan plastik PP (polypropylene). Spektrofotometer, desikator, silika
gel, mikrometer, penggaris, timbangan analitik.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas tahu,
santan kelapa, minyak goreng dan beberapa bumbu-bumbu antara lain garam,
bawang merah, bawang putih, lada, lengkuas, gula pasir, ketumbar, daun
salam. Sedangkan bahan yang digunakan untuk analisa antara lain air
destilata, K
2
SO
4
, HgO, H
2
SO
4
pekat, asam borax, HCl 0.1 N, HCl 0.2 N,
pepsin, NaOH 4 N, pankreatin, sodium deodesil sulfat, HCl 4 N, aseton,
isoamil alkohol, kristal timol.



PKMP-1-16-3
D. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara dua tahap, yaitu tahap awal adalah
menentukan proses dan formulasi penambahan abon nangka untuk
menghasilkan abon ampas tahu dengan mutu yang baik. Selanjutnya produk
abon ampas tahu dilakukan uji organoleptik untuk menentukan tingkat
kesukaan masyarakat. Parameter uji yang dilakukan meliputi tekstur, rasa,
warna dan aroma. Kemudian ditentukan nilai gizinya melalui analisa
proksimat (uji kadar air, kadar abu, kadar protein, lemak dan serat
makanan/dietary fiber).
Tahap kedua adalah melihat umur simpan abon ampas tahu yang terbaik
dari tahap 1, pengamatan umur simpan ini dilakukan setiap 1 minggu sekali
(pada hari ke-0, ke-7, ke-14, dan ke-21) dengan metode Arrhenius dimana
produk disimpan plastik PP (Polypropylene). Setiap satu minggu sekali
dilakukan uji thiobarbituric acid dan uji FFA (Free Faty Acid).
Data hasil penelitian akan dianalisis dengan menggunakan tabel ANOVA.
Jika terdapat perbedaan nyata, data dianalisis lebih lanjut menggunakan uji
Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan proses dan
mencari formula penambahan abon nangka untuk menghasilkan abon ampas
tahu yang baik yang akan digunakan pada penelitian utama. Pembuatan abon
ampas tahu dapat dilihat pada Lampiran 4. Pemilihan formula terbaik dipilih
berdasarkan uji organoleptik menggunakan uji hedonik. Abon ampas tahu
yang dihasilkan memiliki warna coklat muda, rasanya enak, memiliki aroma
khas abon dan teksturnya lembut (tidak berserat). Karena abon ampas tahu
yang dihasilkan memiliki tekstur yang kurang baik (tidak berserat seperti abon
pada umumnya), jadi pada penelitian ini dilakukan penambahan abon nangka
dengan tujuan untuk menambah kadar serat dan memperbaiki tekstur abon
yang dihasilkan. Dimana nangka memiliki serat seperti daging sehingga abon
ampas tahu yng ditambahkan abon nangka akan memiliki tekstur seperti abon
daging. Kadar serat yang terkandung dalam nangka muda yaitu sebanyak 1.6
gram (www.asiamaya.com).
Abon nangka yang dihasilkan memiliki warna coklat tua, rasanya enak,
memiliki aroma khas abon dan teksturnya berserat. Pada penelitian ini
menggunakan 3 perlakuan yaitu perlakuan A (100% abon ampas tahu),
Perlakuan B (25% abon nangka + 75% abon ampas tahu), dan perlakuan C
(50% abon nangka + 50% abon ampas tahu).
Analisa yang dilakukan pada penelitian pendahuluan meliputi analisa
proksimat (kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat) dan uji
organoleptik.

1. Uji Organoleptik
Dalam menentukan mutu suatu produk, sifat pertama kali yang
menentukan diterima atau ditolaknya produk tersebut oleh konsumen
addalah sifat organoleptik yang dimilikinya, seperti warna, aroma, rasa
dan tekstur. Untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap

PKMP-1-16-4
warna, aroma, rasa, dan tekstur dilakukan uji organoleptik yaitu dengan uji
hedonik.
a. Warna
Warna merupakan suatu sifat bahan yang dianggap berasal dari
penyebaran spektrum sinar (Kartika, 1988). Pada uji organoleptik,
warna merupakan sifat produk pangan yang paling menarik perhatian
konsumen serta paling cepat pula memberi kesan produk tersebut
disukai atau tidak (Soekarto, 1990).
Warna memegang peranan penting dalam menentukan mutu
suatu produk. Selain faktor yang menentukan mutu, warna juga
mempunyai banyak arti yaitu dapat digunakan sebagai indikator
kesegaran atau kematangan, indikator kerusakan, serta baik tidaknya
cara pengolahan (Soekarto, 1990).
Dengan penambahan abon nangka pada abon ampas tahu dapat
mempengaruhi warna abon ampas tahu yang dihasilkan, dimana abon
nangka memiliki warna coklat tua dan abon ampas tahu memiliki
warna coklat muda, sehingga warna abon ampas tahu yang dihasilkan
menjadi coklat. Penilaian 24 orang panelis terhadap parameter warna
abon ampas tahu yang dihasilkan terdapat perbedaan nyata antara
perlakuan A, B dan C.
Setelah dilakukan analisis sidik ragam perlakuan C berbeda
nyata dengan A, dan B pada taraf 5%. Sedangkan perlakuan A tidak
berbeda nyata dengan perlakuan B. Tetapi berdasarkan penilaian
panelis perlakuan B lebih disukai daripada perlakuan A dan C, karena
abon B mempunyai penilaian yang paling tinggi (5.5450), dimana
semakin tinggi tingkat penilaian abon akan semakin disukai.
Perbedaan ini dapat disebabkan oleh lamanya pemasakan atau
penggorengan abon yang berbeda dan varietas nangka yang
digunakan. Penggorengan abon ampas tahu dilakukan hingga bahan
berwarna coklat kekuning-kuningan dengan menggunakan api yang
tidak terlalu besar agar bahan tidak gosong. Sedangkan abon nangka
sebelum dilakukan penggorengan sudah terjadi reaksi browning
sehingga setelah dilakukan penggorengan warna abon nangka yang
dihasilkan memiliki warna coklat tua. Hal ini dikarenakan varietas
nangka yang digunakan tidak begitu bagus, sehingga mempengaruhi
warna abon ampas tahu yang dihasilkan.
b. Aroma
Aroma dapat didefinisikan sebagai suatu yang dapat diamati
dengan indra pembau. Pada industri pangan pengujian terhadap
aroma/bau diangggap penting karena dengan cepat dapat memberikan
hasil penilaian
tentang diterima atau tidaknya produk tersebut. Selain itu aroma yang
dapat dipakai sebagai indikator terjadinya kerusakan pada produk
misalnya sebagai akibat dari pengemasan atau cara penyimpanan yang
kurang baik.
Aroma merupakan bagian penting untuk menarik konsumen
pada produk bahan pangan, sehingga memberikan ciri tertentu. Dalam
setiap bahan pangan khususnya abon memiliki aroma yang berbeda

PKMP-1-16-5
dan khas, hal ini bisa dipengaruhi oleh penambahan bumbu dan bahan
yang digunakan ketika pemasakan.
Dengan adanya penambahan abon nangka dapat berpengaruh
nyata terhadap abon ampas tahu yang dihasilkan. Setelah dilakukan
analisis sidik ragam perlakuan A tidak berbeda nyata dengan C dan
perlakuan C tidak berbeda nyata dengan B, sedangkan perlakuan A
berbeda nyata dengan B pada taraf 5%. Tetapi menurut panelis
perlakuan B lebih disukai daripada perlakuan A dan C, karena abon B
mempunyai penilaian yang paling tinggi (5.4350), dimana semakin
tinggi tingkat penilaian abon akan semakin disukai.
Aroma abon ampas tahu yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh
bumbu yang ditambahkan ketika pemasakan. Pada saat pemasakan
terjadi penyerapan air oleh adonan dan bumbu dengan bantuan air serta
panas, sehingga mengeluarkan zat volatil ketika pemasakan adonan.
Pada saat pemasakan adonan akan terjadi proses pelepasan komponen
volatil yang memberikan aroma khas pada abon.
c. Rasa
Rasa juga memegang peranan yang penting dalam menentukan
suatu produk diterima atau tidak oleh konsumen. Apalagi dalam
pembuatan suatu produk baru, penilaian konsumen terhadap rasa
sangat menentukan mutu produk tersebut.
Dengan adanya penambahan abon nangka dapat berpengaruh
nyata terhadap rasa abon ampas tahu yang dihasilkan, dimana rasa
abon ampas tahu dan abon nangka yang dihasilkan sangat berbeda.
Perbedaan ini dapat disebabkan oleh penambahan bumbu yang berbeda
pada saat pemasakan.
Setelah dilakukan analisis sidik ragam perlakuan C berbeda nyata
dengan A dan B, sedangkan perlakuan B tidak berbeda nyata dengan A
pada taraf 5%. Tetapi menurut panelis perlakuan A (100% abon ampas
tahu) lebih disukai daripada Abon B dan C, karena Abon A
mempunyai penilaian yang paling tinggi (5.5050), dimana semakin
tinggi tingkat penilaian abon akan semakin disukai.
Abon ampas tahu memiliki rasa yang lebih baik daripada abon
nangka, karena penyerapan bumbu pada pemasakan ampas tahu lebih
baik dibandingkan dengan nangka. Dengan demikian rasa yang
dihasilkan pada abon ampas tahu lebih kompak dan merata.
d. Tekstur
Tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan
mulut ataupun perabaan dengan jari (Kartika, 1988). Tekstur juga
dapat menentukan suatu produk dapat diterima atau tidak oleh
konsumen.
Tekstur suatu produk dipengaruhi oleh komponen apa yang
terdapat dalam produk tersebut.
Abon ampas tahu dan abon nangka yang dihasilkan memiliki
tekstur yang berbeda, dimana abon ampas tahu memiliki tekstur yang
lembut (tidak berserat) sedangkan abon nangka berserat. Dengan
adanya penambahan abon nangka seharusnya dapat berpengaruh nyata
terhadap tekstur abon ampas tahu yang dihasilkan, tetapi setelah

PKMP-1-16-6
dilakukan analisis sidik ragam perlakuan A, B, dan C tidak berbeda
nyata. Tetapi menurut panelis perlakuan B (25% abon nangka + 75%
abon ampas tahu) lebih disukai daripada perlakuan A dan C, karena
abon B mempunyai penilaian yang paling tinggi (5.5000), dimana
semakin tinggi tingkat penilaian abon akan semakin disukai.
Nangka ini memiliki tekstur seperti daging sehingga baik untuk
ditambahkan pada abon ampas tahu. Kadar serat yang terkandung
dalam nangka muda yaitu sebanyak 1.6 gram (www.asiamaya.com).

2. Analisa Proksimat
Abon ampas tahu yang dihasilkan dengan tiga perlakuan yaitu 100%
abon ampas tahu, 25% abon nangka + 75% abon ampas tahu dan 50%
abon nangka + 50% abon ampas tahu, dilakukan analisa proksimat untuk
mengetahui kandungan gizi abon ampas tahu. Hasil analisa proksimat
dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisa proksimat abon ampas tahu
Hasil (%)
Kandungan
A
1
A
2
B
1
B
2
C
1
C
2
Kadar air 7.30 7.52 6.41 7.61 9.04 8.43
Kadar protein 8.47 10.01 9.94 9.80 9.73 9.38
Kadar lemak

11.94
11.78 13.04 14.20 14.03 15.20

Hasil dari analisis proksimat abon ampas tahu dijelaskan sebagai
beikut :
a. Kadar air
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan, karena
air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan.
Kandungan air dalam makanan ikut menentukan acceptability,
kesegaran dan daya tahan bahan tersebut terhadap serangan mikroba.
Menurut Winarno (1992), kadar air air yang tinggi akan
mempengaruhi keawetan bahan pangan dan mempercepat umur
simpan serta memudahkan pertumbuhan mikroba.
Dari hasil analisa didapatkan kadar air rata-rata pada perlakuan A
(100% abon ampas tahu) adalah 7.4100 %, perlakuan B (25% abon
nangka + 75% abon ampas tahu) adalah 7.0100% dan perlakuan
C (50% abon nangka + 50% abon ampas tahu) adalah 8.7350%.
Secara statistik perlakuan A, B dan C tidak berbeda nyata pada taraf
5%. Tetapi perlakuan B nilai kadar airnya lebih rendah daripada
perlakuan A dan C. Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Kadar air pada abon yang dihasilkan dipengaruhi oleh proses
pengolahan yakni pada tahap penggorengan, dikarenakan air yang
terdapat dalam bahan menguap atau keluar sewaktu bahan digoreng.
Hal ini disebabkan air bebas yang terdapat dalam bahan langsung
diuapkan oleh panas wajan dan minyak sebagai media perantara,
sehingga sebagian bebas air yang terdapat dalam jaringan bahan dapat
menguap atau berkurang.

PKMP-1-16-7
0
2
4
6
8
10
100% 75% 50%
Abon ampas tahu
%

K
a
d
a
r

a
i
r
Konsetrasi Ampas
Tahu

Gambar 1. Kadar air abon ampas tahu

b. Kadar abu
Kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral yang
terdapat dalam abon ampas tahu. Penentuan kadar abu adalah dengan
mengoksidasikan semua zat organic pada suhu yang tinggi, yaitu
sekitar 500-600
o
C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang
tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Menurut Winarno
(1992), dalam proses pembakaran bahan-bahan organic terbakar tetapi
zat anorganiknya tidak dan disebut abu. Unsur mineral diperlukan
manusia agar memiliki kesehatan dan pertumbuhan yang baik.
Uji kadar abu ini dilakukan pada abon yang terbaik yaitu 25%
abon nangka + 75% abon ampas tahu. Kadar abu yang diperoleh
sebanyak 4.71%. Meningkatnya kadar abu dalam produk abon ampas
tahu dikarenakan kandungan mineral yang terdapat dalam abon ampas
tahu seperti potassium, natrium, besi, fosfor, dan kalsium tidak hilang
selama proses pengolahan.

c. Kadar protein
Menurut Almatsier (2001), Protein dihidrolisasi dengan asam
alkali dan enzim, akan dihasilkan campuran-campuran asam-asam
amino. Kandungan protein merupakan nutrisi terpenting yang menjadi
daya tarik untuk mengkonsumsi ampas tahu.
Kadar protein rata-rata yang diperoleh pada perlakuan A (100%
abon ampas tahu) adalah 9.2400%, perlakuan B (25% abon nangka +
75% abon ampas tahu) adalah 9.5550% dan perlakuan C (50% abon
nangka + 50% abon ampas tahu) adalah 9.8700%. Secara statistik
perlakuan A, B dan C tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Tetapi
perlakuan B nilai kadar
proteinnya lebih tinggi daripada perlakuan A dan C. Penentuan
kadar protein ini dilakukan dengan metode kjeldahl.
Dari hasil analisa protein abon ampas tahu diperoleh data seperti
terlihat pada Gambar 2.
Ampas tahu mengandung protein sebanyak 26.6% sedangkan
kandungan protein pada poduk yang dihasilkan lebih rendah, hal ini
terjadi karena pada proses pemasakan dimana gula pasir yang
ditambahkan dalam adonan menyebabkan reaksi mailard sehingga
mengurangi jumlah protein yang ada dalam abon ampas tahu. Hal ini

PKMP-1-16-8
diperkuat oleh pernyataan Muchtadi (1989), penurunan protein pada
abon daging terutama disebabkan karena terjadinya reaksi pencoklatan
(Mailard) selama proses pengolahan, dimana protein (asam amino)
daging bereaksi dengan gula (pereduksi) yang ditambahkan sebagai
bumbu. Gula pereduksi tersebut mempunyai gugus OH bebas yang
reaktif, yaitu suatu kemampuan untuk mereduksi ion dalam keadaan
basa (Goutara et al., 1985).

8,8
9
9,2
9,4
9,6
9,8
10
100% 75% 50%
Abon ampas tahu
%

K
a
d
a
r

P
r
o
t
e
i
n
Konsetrasi Ampas
Tahu

Gambar 2. Kadar protein abon ampas tahu

Menurut winarno (1980), protein dapat mengalami kerusakan
oleh pengaruh panas, reaksi kimia dengan asam atau basa, goncangan-
goncangan dan sebab-sebab lainnya. Pemanasan yang berlebihan
dapat mengakibatkan denaturasi protein dan selama penyimpanan
protein dapat mengalami degradasi yaitu pemecahan molekul-molekul
kompleks menjadi komponen yang lebih sederhana oleh aktivitas
mikroba.

d. Kadar Lemak
Lemak merupakan bahan yang tidak larut dalam air yang berasal
dari tumbuh-tumbuhan dan hewani. Dari segi kimia lemak terdiri dari
sebagian ester yang terbentuk dari gabungan gliserol dengan asam
lemak (www. Astaga.com).
Kerusakan lemak dalam bahan pangan dapat terjadi selama
proses pengolahan, kerusakan lemak menyebabkan bahan pangan
berbau dan rasa tidak enak, sehingga dapat menurunkan mutu dan nilai
gizi bahan pangan tersebut.
Lemak tidak jenuh mudah mengalami reaksi oksidasi, reaksi ini
bertanggung jawab dalam menyebabkan bau tengik pada produk. Bila
lemak dipanaskan untuk jangka waktu yang lama atau
berulang-ulang, maka reaksi oksidasi asam lemak tak jenuh akan
menghambat pembentukan polimer.
Penetapan kadar lemak pada abon ampas tahu dilakukan dengan
metode soxhlet. Dari hasil analisa diperoleh kadar lemak abon ampas
tahu pada perlakuan A (100% abon ampas tahu) adalah 11.8600%,
perlakuan B (25% abon nangka + 75% abon ampas tahu) adalah
13.6200% dan perlakuan C (50% abon nangka + 50% abon ampas
tahu) adalah 14.6150%. Secara statistik perlakuan A tidak berbeda

PKMP-1-16-9
nyata dengan B, perlakuan B tidak berbeda nyata dengan C
danperlakuan A berbeda nyata dengan C pada taraf 5%. Sedangkan
perlakuan A nilai kadar lemaknya lebih rendah daripada perlakuan B
dan C. Hasil analisa kadar lemak dapat dilihat pada Gambar 3.

0
2
4
6
8
10
12
14
16
100% 75% 50%
Abon ampas tahu
%

K
a
d
a
r

L
e
m
a
k
Konsetrasi Ampas
Tahu

Gambar 3. Kadar lemak abon ampas tahu

Ampas tahu mengandung lemak sebanyak 18.3% sedangkan
abon ampas tahu yang dihasilkan memiliki kadar lemak yang lebih
rendah, hal ini dikarenakan proses pemerasan yang lebih baik karena
menggunakan alat sentrifuse sehingga minyak yang dikeluarkan lebih
banyak dan kadar lemak pada abon ampas tahu yang dihasilkan akan
lebih rendah.

e. Serat makanan (dietary fiber)
Serat makanan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak
dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Menurut The
American Association of Cereal Chemist (2001), Serat makanan
merupakan bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat
analog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus
dengan fermentasi lengkap atau partial pada usus besar. Serat
makanan tersebut meliputi pati, polisakarida, oligosakarida, lignin dan
bagian tanaman lainnya.
Metode analisis yang digunakan untuk analisa serat makanan
menggunakan metode enzimatis. Metode enzimatis yang
dikembangkan oleh Asp et al. (1984), merupakan metode fraksinasi
enzimatik, yaitu penggunaan enzim amilase, yang diikuti oleh
penggunaan enzim pepsin pankreatik.
Dari hasil analisa didapatkan serat makanan untuk 25% abon
nangka + 75% abon ampas tahu adalah 9.21 g/100g bahan. Besarnya
serat
makanan dalam produk dikarenakan pengaruh dari proses
pengolahan yang menyebabkan kadar air produk berkurang dan lebih
padat sehingga yang dianalisa merupakan serat dari penambahan abon
nangka yang tidak hilang selama proses pengolahan.



PKMP-1-16-10
B. Penelitian Utama
Penelitian utama dilakukan dengan tujuan untuk melihat pengaruh
jenis kemasan dan untuk melihat pengaruh suhu penyimpanan terhadap mutu
produk abon ampas tahu yang dihasilkan dengan menggunakan analisa umur
simpan metode Arrhenius. Abon yang digunakan pada penelitian utama ini
berdasarkan pada hasil uji organoleptik yang terbaik dan memiliki kandungan
gizi yang baik berdasarkan analisa proksimat (Kadar air, kadar protein dan
kadar lemak) dari hasil penelitian pendahuluan.
Perlakuan pada penelitian utama adalah pengemasan dalam kemasan
plastik PP (Polypropylene), serta penyimpanan pada kondisi suhu 30
o
C.
Penyimpanan dilakukan selama satu bulan dengan waktu pengamatan
dilakukan setiap satu minggu sekali. Analisa yang dilakukan pada penelitian
utama adalah uji thiobarbituric acid dan uji FFA (Free Faty Acid).
Untuk nilai thiobarbituric acid abon ampas tahu yang dikemas dengan
menggunakan plastik PP (Polypropylene) dapat dianalisa regresi linier dengan
menggunakan persamaan :
Y = a + bx
Dimana :
Y = Nilai thiobarbituric acid
x = Lama penyimpanan
a = Intercept
b = Slope
Hasil perhitungan analisis regresi linier selama penyimpanan dengan
menggunakan suhu 30
o
C dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil perhitungan analisis regresi linier selama penyimpanan dengan
menggunakan suhu 30
o
C
Xi Yi X
2
Y
2
Y = 0.11348x 0.04306
1 0.0688 1 0.0047
2 0.1163 4 0.0135
3 0.2652 9 0.0703
4 0.4692 16 0.2201
Total 10 0.9195 30 0.3086 Intercept
(a) = -
0.04306
Slope (b) =
0.11348
Koefisien
relasi (r) =
0.96031

Dari hasil perhitungan ini dapat diperoleh nilai umur simpan abon
ampas tahu yang dikemas plastik PP (Polypropylene) dengan menggunakan
suhu penyimpanan 30
o
C adalah selama 27 minggu. Menurut Winarno (1997),
dalam penentuan umur simpan suatu produk banyak sekali faktor yang
terlibat, tetapi faktor yang sangat menentukan adalah jenis makanan itu
sebdiri, pengemasan dan kondisi penyimpanan.
Penurunan mutu abon ampas tahu dapat diketahui dengan
menggunakan persamaan dQ/dt = k atau Qt = Q
0
+ kt, sehingga dapat
diketahui persamaan untuk mencari waktu penyimpanan yaitu :
ts = Qt Q
0
k


PKMP-1-16-11
Kurva hubungan antara lama penyimpanan (minggu) sebagai absis
dan nilai thiobarbituric acid sebagai ordinat dapat dilihat pada Gambar 4.

0.0688
0.1163
0.2652
0.4692
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
1 2 3
Lama Penyimpanan
N
i
l
a
i

T
h
i
o
b
a
r
b
i
t
u
r
i
c

a
c
i
d
Lama Penyimpanan

Gambar 4. Kurva hubungan antara lama penyimpanan dan thiobarbituric acid

KESIMPULAN
Dari hasil uji organoleptik tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan B
lebih disukai oleh panelis untuk parameter warna, aroma dan tekstur. Perlakuan C
lebih disukai oleh panelis untuk parameter rasa.
Setelah dilakukan analisa sidik ragam, untuk parameter warna pada
perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan A dan B. Untuk parameter aroma
perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan B dan C. Untuk parameter rasa
pada perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan A dan B. Sedangkan untuk
parameter tekstur pada perlakuan A, B dan C tidak berbeda nyata.
Untuk anlisa proksimat kadar air dan kadar protein pada perlakuan A, B
dan C tidak berbeda nyata tetapi perlakuan B memiliki kadar air yang lebih
rendah dan kadar protein yang tinggi. Untuk kadar lemak pada perlakuan A
berbeda nyata dengan B dan C.
Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa penambahan abon nangka 25
% merupakan perlakuan yang lebih baik karena memliki kadar protein dan kadar
serat yang tinggi, selain itu juga perlakuan ini lebih disukai oleh panelis.

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Asp, N.G., L. Prosky., L.Furda., J.W. De Vries., T.F. Schweizer and B.F. Harland.
1984. Determination of Total Dietary Fiber in Foods and Food Products
and Total Diets : Interlaboratory Study. J.A.D.A.C.
Daftar Komposisi Bahan Makanan. 1992. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan
RI. Bhratara, Jakarta.
Gautara dan S. Wijayandi. 1981. Dasar pengolahan Gula I. jurusan Teknologi
Industri. Fateta-IPB, Bogor. Kartika, B., Hastuti, P dan Supartono, W.
1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi-
UGM, Yogyakarta.
Kartika, B., Hastuti, P dan Supartono, W. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan
Pangan. PAU Pangan dan Gizi-UGM, Yogyakarta.

PKMP-1-16-12
Rismana, E.M.S. 2005. Minyak dari Biji Mengkudu. Peneliti Muda di P3
Teknologi Farmasi dan Medika. Bahan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi. www. Astaga.com, Jakarta.
Soekarto, S. 1990. Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan.
IPB- Press, Bogor.
Winarno, F.G., Fardiaz, S dan Fardiaz, D. 1980. Pengantar Teknologi
Pangan. Gramedia, Jakarta.
Winarno, F.G. 1992. kimia pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

PKMP-1-17-1
PEMAPARAN LOGAM BERAT TIMBAL (PB) DAN KADMIUM (CD)
PADA AYAM KAMPUNG (GALLUS DOMESTICUS)

Reny Pratiwi, Michael Dian Nugraha, Maggie Olivya Marley Lewier
Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta

ABSTRAK

Kata kunci:


PKMP-1-18-1
SISTEM DETEKTOR KEBOCORAN GAS PADA TABUNG LPG

Adi Prasetiawan
1
, Dari Suparno
2
, Halida Nurrahmah
2
1
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, UMS Surakarta, Surakarta
2
Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik, UMS Surakarta, Surakarta

ABSTRAK
Bahan bakar dengan gas di Indonesia telah meliputi berbagai aspek kehidupan
mulai dari rumah tangga hingga industri, mulai kompor di dapur, penghangat
ruangan, pemanas air pada kamar mandi, hingga bahan bakar penggerak mesin.
Dengan semakin banyaknya peralatan yang menggunakan gas, maka resiko yang
ditimbulkan juga semakin besar, seperti bahaya kebakaran. Sebagai contoh kasus
kebakaran depot LPG (Liquid Petrolium Gasses) milik PT Metroja Mandiri
Tangerang yang meledak berturutan selama delapan kali akibat tabung LPG
meledak dan menyebabkan seorang karyawannya meninggal dunia dan
menghanguskan seluruh bagian depot LPG (Kompas, 23 Maret 2003).
Berdasarkan fakta di atas diperlukan adanya alat yang mampu mendeteksi
kebocoran gas LPG sebagai peringatan dini untuk menghindari bahaya yang
lebih besar. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba memperkenalkan manfaat
detektor kebocoran gas sebagai indikator awal kebocoran gas pada tabung LPG.
Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan kemampuan sistem detektor
kebocoran gas sebagai sebuah solusi untuk mengurangi bahaya kebocoran gas
dan resiko kebakaran yang terjadi. Sistem alat pendeteksi kebocoran gas pada
tabung LPG terdiri dari beberapa komponen, yaitu: (1) sensor; (2) penguat; (3)
mikrokontroller; (4) LCD; (5) rangkaian relay; (6) indikator; dan (7) catu daya.
Sensor memegang peranan penting sebagai indikator awal kebocoran dari gas
pada tabung LPG. Sensor gas ini berupa bahan semi konduktor yang akan
berubah tahanan dalamnya apabila terkena pengaruh gas. Perubahan resistansi
dapat mempengaruhi tegangan keluaran yang akan menjadi tegangan masukan
pada komponen penguat. Tegangan keluaran dari penguat dilanjutkan ke
mikrokontroller yang berfungsi sebagai otak dalam sistem detektor gas ini.
Kemudian proses dilanjutkan ke bagian indikator yang digunakan sebagai sinyal
terjadinya kebocoran dan besarnya gas yang tercium oleh sensor akan
ditampilkan pada LCD. Dengan perancangan sistem ini diharapkan dapat
menurunkan besarnya angka kebakaran yang terjadi akibat kebocoran gas LPG
dapat.

Kata Kunci: Detektor gas, mikrokontroller, dan indikator.

PENDAHULUAN
Elpiji merupakan campuran dari berbagai hidrokarbon, sebagai hasil
penyulingan minyak mentah yang berbantuk gas. Dengan menambah tekanan atau
menurunkan suhunya sehingga elpiji menjadi berbentuk cair. Gas elpiji terkenal
dengan sifatnya yang mudah terbakar sehingga kebocoran peralatan elpiji beresiko
tinggi terhadap kebakaran. Karena sifatnya yang sensitif, maka perlu adanya
perhatian khusus terhadap bahan bakar jenis ini (http: //www.Material.Itb.ac.Id/
MTM/ eminex 2004/eminex 2001).


PKMP-1-18-2
Kebocoran tabung atau perangkat elpiji sampai saat ini masih menjadi
salah satu penyebab utama kebakaran. Gas elpiji yang mengalami kebocoran
memang tercium baunya sehingga kebocoran normal mudah dideteksi. Akan
tetapi, bila gas yang bocor meresap kedalam saluran air, instalasi listrik, atau ke
bawah karpet, maka maka akan sulit dideteksi oleh indra penciuman manusia.
Selain itu, AC dan alat pemanas ruangan juga dapat menutupi bau gas elpiji.
Banyak kasus kebakaran yang terjadi akibat dari kebocoran gas elpiji,
seperti kebakaran di depot elpiji milik PT. Metroja Mandiri yang berlokasi di
Kabupaten Tangerang. Ledakan sejumlah tabung gas ini menyebabkan seorang
karyawannya tewas dan menghanguskan seluruh bagian depot berikut puluhan
tabung elpiji beserta 3 (tiga) mobil pengangkut elpiji (Kompas, 23 Maret 2003).
Dengan dilatarbelakangi permasalahan di atas maka penulis mencoba
memperkenalkan sebuah sistem detektor kebocoran gas elpiji dengan untuk
mencegah kebakaran akibat kebocoran gas elpiji.
Secara khusus penelitian ini hendak mencari jawaban atas pertanyaan
yaitu bagaimanakah sistem detektor yang dapat mencegah terjadinya kebocoran
gas pada tabung elpiji? Tujuan dari program kreativitas mahasiswa penerapan
teknologi dengan judul sistem detektor kebocoran gas elpiji pada tabung elpiji ini
yaitu menciptakan sistem detektor kebocoran gas elpiji sebagai upaya
menanggulangi kebakaran akibat kebocoran elpiji.
Gas elpiji mempunyai sifat flamable (mudah terbakar). Sehingga percikan
api yang sekecil apapun dapat segera menyambar gas elpiji. Untuk mencegah hal-
hal yang tidak diinginkan maka perlu mengetahui beberapa sifat umum dari gas
elpiji. Sifat umum tersebut sebagai berikut: (a) tekanan gas elpiji cukup besar,
sehingga bila terjadi kebocoran gas ini akan membentuk gas secara cepat, memuai
dan sangat mudah terbakar; (b) gas elpiji menghambur di udara secara berlahan
sehingga sulit mengetahui secara dini; (c) elpiji tidak mengandung racun; (d) daya
pemanasannya tinggi dan tidak meninggalkan abu (http://www.Pm2.Usm.
My/mainsite/builetin/racun/1996/gas).
Sistem detektor kebocoran gas elpiji ini tersusun dari beberapa rangkaian
elektronik dalam suatu sistem kontrol otomatis. Suharto (1985) menyatakan
bahwa komponen pada suatu otomatis terbagi menjadi 5 (lima) bagian,
diantaranya adalah: (1) sistem mekanik; (2) sistem elektrik; (3) sistem suhu atau
temperatur; (4) sistem tekanan; dan (5) sistem kontrol dengan feedback.

METODE PENDEKATAN
Pembuatan sistem detektor ini, mulai dari perakitan sampai uji coba
dilakukan di laboratorium teknik elektro Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pelaksanaan program kreativitas mahasiswa ini memakan waktu selama 6 (enam)
bulan, yaitu mulai bulan Januari sampai bulan Juni pada tahun 2006. Waktu
pelaksanaan program sesuai dengan jadwal yang ditunjukkan oleh tabel 1 dibawah
ini.








PKMP-1-18-3
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan Bulan ke-
No
1 2 3 4 5 6
1. Study Literatur
2. Pembuatan Proposal
3. Pengumpulan Proposal
4. Persetujuan
5. Pengumpulan data
6. Perencanaan Sistem
Struktur, dimensi, Error
System

7. Perakitan sistem
8. Uji kesahihan dan analisis
kepekaan

9. Penyusunan Laporan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan sistem detektor
kebocoran gas elpiji ini adalah sebagai berikut:

A. Bahan
1. Sensor Gas

Gambar 1. Sensor Gas
2. Rangkaian Penguat

Gambar 2. Rangkaian Penguat


PKMP-1-18-4

3. Rangkaian Mikrokontroller


Gambar 3. Rangkaian Mikrokontroller

4. LCD

Gambar 4. LCD

5. Rangkaian Relay


Gambar 5. Rangkaian Relay
6. Rangkaian Indikator


Gambar 6. Indikator





PKMP-1-18-5
B. Alat
1. Tang Potong Kabel
2. Solder
3. Obeng

Metode penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi
literatur yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan pembuatan barang dan
melakukan uji coba kemampuan sistem detektor gas terhadap kebocoran gas elpiji.
Data yang dikumpulkan adalah data yang berhubungan dengan sistem detektor
kebocoran gas. Sasaran dalam penelitian ini adalah para konsumen dan para
pengguna gas elpiji termasuk juga agen distributor gas elpiji.
Tahapan pelaksanaan program sesuai dengan diagram tahapan pelaksanaan
program seperti gambar 7 dibawah ini.























Gambar 7. Diagram Tahapan Pelaksanaan Program








Study Literatur
Pengumpulan Data
Perencanaan Sistem Struktur
Perencanaan Dimensi dan Error System
Perakitan Sistem
Uji Kesahihan dan Analisis Kepekaan
Pembuatan Proposal
Pembuatan Laporan


PKMP-1-18-6
HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem kerja detektor kebocoran gas LPG sesuai gambar 8 di bawah ini.













Gambar 8. Sistem Kerja Detektor Gas LPG


Detektor kebocoran gas elpiji terdiri dari beberapa rangkaian, dengan
sistem kerja yaitu sebagai berikut:

1. Sensor Gas
Pada bagian penginderaan sistem deteksi kebocoran gas menggunakan
sensor gas yang di dalamnya terdapat kawat pemanas (heater) dari bahan
nichrome yang berbentuk miniatur dengan nilai resistansi nominal 38 ohm.
Permukaan sensor dilapisi dioxide (SnO
2
), yaitu semikonduktor yang sanggup
menerima temperatur 30 sampai 40 derajad Fahrenheit. Sensor ini dilengkapi 2
lapis selongsong stainless steel untuk menahan jilatan api langsung pada pemanas
akibat konsentrasi gas berbahaya.
Pemanasan terhadap elemen semikonduktor ini menyebabkan 2 macam
pengaruh, yaitu: menaikkan aktivitas molekul dan menimbulkan konveksi aliran
udara. Pada dasarnya, saat melakukan deteksi, gas yang terdekteksi menyentuh
permukaan sensor, maka satuan resistansi dalam sensor akan berubah-ubah.
Sejalan dengan perubahan resistensi tersebut akan menghasilkan tegangan
keluaran. Tegangan keluaran akan membesar sebanding dengan kenaikan
konsentrasi gas yang terdeteksi.

2. Rangkaian Penguat
Tegangan hasil keluaran dari rangkaian sensor gas masih terlalu lemah dan
sifatnya masih labil. Dengan adanya rangkaian penguat maka tegangan keluaran
dari sensor tersebut di proses kembali dengan tujuan untuk mendapatkan tegangan
keluaran yang lebih kuat dan sudah bersifat stabil. Penguatan dan penstabilan
tegangan keluaran dari rangkaian sensor ini dilakukan dengan tujuan untuk
mempermudah proses ketika tegangan masuk ke rangkaian lainnya pada proses
berikutnya.


Sensor
Rangkaian
Penguat
Rangkaian
Mikrokontroller
Rangkaian
Relay
LCD
Indikator
Catu Daya


PKMP-1-18-7
3. Rangkaian Mikrokontroller
Setelah mengalami proses penguatan dan penstabilan pada rangkaian
penguat maka tegangan diteruskan ke rangkaian mikrokontroller. Sesuai dengan
namanya rangkaian ini berfungsi mengkontrol kerja dari sistem detektor
kebocoran gas elpiji ini. Rangkaian ini juga dapat disebut sebagai otak dari
seluruh sistem detektor gas elpiji.
Rangkaian mikrokontroller dalam detektor gas elpiji diprogram untuk
dapat menganalisa kebocoran gas elpiji sampai tiga tingkatan atau level dan setiap
levelnya akan dihubungkan dengan rangkaian indikator yang berbeda-beda. Selain
menganalisa rangkaian ini juga mengubah tegangan yang masuk menjadi bentuk
sinyal-sinyal digital yang nantinya akan ditampilkan oleh layar digital (LCD).
Tingkatan pada detektor gas elpiji ini dibagi menjadi tiga level yaitu level
biasa atau normal, level waspada dan level bahaya. Pada setiap level mempunyai
batasan harga konsentrasi gas elpiji yang tercium sensor yang berbeda-beda dan
mempunyai indikator yang berbeda juga.
Ketika detektor menunjukkan level normal dengan batasan konsentrasi gas
kurang dari 1500 ppm maka lampu warna hijau akan menyala sebagai indikator.
Pada saat detektor menunjukkan level waspada dengan batasan konsentrasi gas
antara 1500 sampai 6000 ppm maka lampu warna kuning akan menyala. Dan
ketika konsentrasi gas diatas 6000 ppm maka masuk pada level bahaya, dimana
lampu warna merah dan alarm akan menyala serta secara otomatis pompa air akan
menyala untuk membuka kran air sehingga air akan disemprotkan keseluruh
ruangan, hal ini dilakukan sebagai tindakan untuk menetralisir gas elpiji untuk
menghindari bahaya kebakaran.

4. Layar Digital (LCD)
Bagian LCD akan menampilkan besarnya konsentrasi gas elpiji yang
tercium oleh sensor gas. Pada layar akan tertulis besarnya konsentrasi gas elpiji
dengan satuan ppm dan dilengkapi dengan tingakat kebocorannya. LCD ini hanya
menampilkan hasil proses dari rangkaian mikrokontroller.

5. Rangkaian Relay
Setelah rangkaian mikrokontroller memproses tegangan dari rangkaian
penguat maka akan dihasilkan sebuah tingakatan kebocoran gas elpiji sesuai
dengan batasan yang sudah diprogramkan, maka akan dilanjutkan dengan
memberikan suatu indikator pada tingkatan kebocoran tersebut. Untuk
menghubungkan menuju ke rangkaian indikator maka diperlukan sebuah
rangkaian relay, Rangkaian ini berfungsi sebagai saklar otomatis dimana akan
mengaktifkan indikator-indikator yang sesuai dengan levelnya. Sehingga
disamping dari program pada rangkaian mikrokontroller, pengaktifan indikator
kebocoran gas elpiji juga dibantu dengan rangkaian relay.

6. Indikator
Untuk mengetahui adanya suatu kebocoran selain membaca dari LCD
maka dipermudah dengan adanya suatu indikator. Indikator pada masing-masing
level kebocoran dibedakan satu sama lain. Untuk level normal menggunakan
lampu warna hijau, level waspada dengan lampu warna kuning dan level bahaya
menggunakan lampu warna merah ditambahkan alarm dan dihubungkan ke
pompa air sebagai usaha pencegahan kebakaran.


PKMP-1-18-8
7. Catu Daya
Semua kebutuhan listrik pada detektor ini dipasok oleh satu catu daya.
Pada rangkaian catu daya atau yang sering disebut dengan adaptor, berfungsi
mengubah arus listrik dari arus bolak balik (AC) menjadi arus searah (DC).
Tegangan hasil proses dari catu daya ini dihubungkan ke rangkaian lainya bengan
kabel sebagai penghubung. Secara lengkapnya alur kerja sistem detektor
kebocoran gas elpiji tampak seperti gambar dibawah ini.

Gambar 9. Sensor Gas




Gambar 10. Rangkaian Penguat




Gambar 11. Rangkaian Mikrokontroller







PKMP-1-18-9

Gambar 12. LCD






Gambar 13. Rangkaian Relay





Gambar 14. Indikator

KESIMPULAN
Sistem detektor kebocoran gas adalah sistem dapat mendeteksi kebocoran
tabung gas elpiji dengan sensor secara otomatis. Komponen penyusun sistem
detektor kebocoran gas terdiri dari : (a) sensor gas; (b) rangkaian penguat; (c)
rangkaian mikrokontroller; (d) LCD; (e) Rangkaian relay; (f) indikator; dan (g)
catu daya.

a. Sensor Gas
Pada bagian penginderaan sistem deteksi kebocoran gas menggunakan sensor gas
yang di dalamnya terdapat kawat pemanas (heater) dari bahan nichrome.





PKMP-1-18-10
b. Rangkaian Penguat
Rangkaian ini berfungsi sebagai penguat dan penyetabil tegangan keluaran dari
sensor gas sehingga tegangan dapat diproses lebih lanjut..

c. Rangkaian Mikrokontroller
Merupakan otak dari sistem detektor gas elpiji ini. Seluruh proses diolah pada
rangkaian ini sesuai dengan program yang di settingkan ke mikrokontroller.

d. LCD
Pada LCD akan ditampilkan besarnya konsentrasi kebocoran gas dengan satuan
ppm dilengkapi dengan levelnya sesuai konsentrasi gas elpiji yang tercium oleh
sensor.

e. Rangkaian Relay
Dari rangkaian mikrokontroller ke indikator dihubungkan oleh rangkaian relay.
Fungsi dari rangkaian ini yaitu sebagai saklar otomatis untuk indikator.

f. Indikator
Indikator setiap level berbeda-beda, level waspada menggunakan lampu warna
hijau, level waspada menggunakan lampu warna kuning dan level bahaya
menggunakan lampu warna merah dan alarm serta dihubungkan ke pompa air
untuk menetralisir gas elpiji ketika terjadi kebocoran gas.

g. Catu Daya
Rangkaian catu daya merupakan suber listrik utuk sistem detektor ini. Rangkaian
catu daya mengubah arul listrik AC menjadi DC.

Berdasarkan analisis kerja sistem detektor kebocoran gas elpiji maka dapat
diambil kesimpulan bahwa dengan adanya sistem detektor kebocoran gas dapat
mengurangi risiko kecelakaan yang disebabkan oleh kebororan tabung gas elpiji.

DAFTAR PUSTAKA
Fredrick W. Hughes. 1990. Panduan Op-Amp. PT Elek Media Komputindo.
Jakarta.
Forrest M. Mims. III. 1987. 103 proyek Elektronika. PT. Elekmedia Komputindo.
Jakarta.
Robert F. Coughlin. Fredrick F. Driscroll. 1985. Penguat Operasional dan
Rangkaian Terpadu Linier. Erlangga. Jakarta.
Schilling. Robert J. 1990. Fundamentals of Robotics Analysis and Control.
Prentice Hall. New Jersey.
Suharto. 1985. Teknik Sistem dan Kontrol Otomatis. Djambatan. Jakarta.
Wasito 5. 1992. Data Sheel Book II. PT Elokmedia Komputindo. Jakarta.
______. 2003. Depo LPG Ludes Terbakar. Kompas. 23 Maret 2003.
http: // www.Material.Itb.ac.Id/MTM/ eminex 2004/eminex 2001.
http: // www. Pm2. Usm. My / main site / builetin / racun / 1996 / gas.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sulawesi/2004/07/27/brk,20040727-
35,jdhtml.

PKMP-1-19-1
ANALISA UJI TARIK POLIPADU POLIESTER TAK JENUH
DENGAN SERABUT KELAPA

Anton Setiawan, Irwan Purwanto, Ali Mas'udin
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Sidoarjo

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-1-20-1
KAJIAN HUBUNGAN KUANTITATIF STRUKTUR AKTIVITAS
SENYAWA KALANON DAN TURUNANNYA SEBAGAI
ANTI LEUKEMIA DENGAN PENDEKATAN PCR
(PRINCIPLE COMPONENT REGRESSION)

Harjono, Dea Iftihani Fitrian, Agni Lili Ariyanti
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRAK

Kata kunci:


PKMP-1-21-1
KAJIAN OPTIMASI PENGARUH ORIENTASI SERAT DAN TEBAL
CORE TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN BENDING DAN
IMPAK KOMPOSIT SANDWI CH GFRP DENGAN CORE PVC

Istanto, Arif Ismayanto, Ratna permatasari
PS Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

ABSTRAK
Komposit sandwich merupakan jenis komposit yang cocok untuk digunakan
sebagai struktur. Salah satu jenis serat dan core yang banyak diaplikasikan di
industri adalah serat gelas dan core Divinycell PVC. Penelitian ini bertujuan
untuk menyelidiki pengaruh orientasi serat dan tebal core terhadap kekuatan
bending dan impak komposit sandwich GFRP dengan core Divinycell PVC.
Bahan penelitian adalah serat E-glass woven roving dengan density 300 gr/m
2
,
unsaturated polyester resin 157 BQTN-EX, dan core Divinycell PVC H 60 ( =
60 kg/m
3
). Spesimen uji terdiri dari lamina komposit GFRP (skin) dan komposit
sandwich. Komposit skin dibuat dengan 5 variasi orientasi serat (0/90, 45/90,
30/90, 45/-45,dan 30/60). Spesimen uji komposit sandwich terdiri dari komposit
sandwich dengan variasi tebal skin (2, 4, 6, dan 8 layer, orientasi serat 0/90)
dengan tebal core 10 mm dan komposit sandwich dengan variasi tebal core (5,
10, 15, dan 20 mm) dengan skin 4 layer. Pembuatan komposit dilakukan dengan
metode cetak tekan. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian bending (ASTM
D 790-93 dan ASTM C 393-94), dan pengujian impak (ASTM D 5941 dan ASTM
D 5942). Hasil penelitian komposit skin GFRP dengan variasi orintasi serat
menunjukkan bahwa orientasi serat [(0/90)
4
] mempunyai kekuatan bending
tertinggi (226,62 Mpa) dan kekuatan impak tertinggi (0,057 J/mm
2
). Skin 4 layer
dengan orientasi serat [(0/90)
4
] dipandang paling efektif sebagai penguat
permukaan komposit sandwich. Semakin tebal core, semakin rendah kekuatan
komposit sandwich. Namun semakin tebal core, kemampuan menahan momen
dan energi patahnya tetap semakin meningkat. Penampang patahan komposit
sandwich mengindikasikan kegagalan yang didominasi oleh core. Kekuatan
komposit sandwich ini dapat ditingkatkan dengan mensubtitusikan core yang
memiliki sifat mekanis lebih tinggi.

Kata kunci : komposit sandwich, komposit skin, kekuatan bending, kekuatan
impak

PENDAHULUAN
Penggunaan bahan komposit sebagai pengganti logam dalam bidang
rekayasa sudah semakin meluas, tidak hanya dalam bidang transportasi tetapi juga
merambah bidang lainnya seperti properti, arsitektur dan lain sebagainya.
Berbagai keuntungan penggunaan komposit semakin dirasakan oleh industri dan
masyarakat, misalnya ringan, tahan korosi, tahan air, performance-nya menarik,
dan tanpa proses pemesinan. Karena sifat panel komposit yang ringan, maka
beban akibat konstruksi tersebut juga menjadi lebih ringan. Harga produk
komponen yang dibuat dari komposit dapat turun hingga 60% dibandingkan
dengan produk logam (sumber: Kunjungan di PT. INKA Madiun). Bahkan,


PKMP-1-21-2
penggunaan bahan komposit ini diprediksi mampu mereduksi penggunaan bahan
logam import, yang lebih mahal dan mudah terkorosi.
Komposit sandwich merupakan material yang tersusun dari tiga material
atau lebih yang terdiri dari flat composite sebagai skin dan core di bagian
tengahnya. Jika digunakan perekat untuk menggabungkan skin dan core, maka
lapisan bahan perekat diperhitungkan sebagai komponen tambahan. Ketebalan
lapisan perekat umumnya diabaikan karena lebih tipis dari ketebalan skin maupun
core (ASTM C 274-99, 1998). Untuk mendapatkan struktur sandwich yang
memiliki sifat mekanis tinggi maka diperlukan jenis skin dan core yang tepat.
Dalam struktur sandwich, fungsi utama skin antara lain : sebagai pelindung core
dari benturan, gesekan dan memperbaiki penampilan (Steeves dan Fleck, 2005).
Dalam tugasnya sebagai lapisan pelindung, skin sangat tergantung pada jenis serat
dan orientasinya. Serat menerima tegangan dari matrik dan meneruskan tegangan
yang diberikan sesuai dengan orientasinya. Penentuan orientasi serat yang tepat
akan sangat membantu dalam mentransfer tegangan tersebut sehingga bahan
komposit yang dihasilkan memiliki sifat mekanis yang tinggi. Variasi ketebalan
core juga turut mempengaruhi sifat mekanis komposit sandwich.
Komposit sandwich GFRP dengan core Divinycell PVC H 100
mempunyai kekuatan bending sebesar 70,977 MPa, dan kekuatan impak sebesar
0,0718 J/mm
2
. Penggunaan core Divinycell PVC H 200 mampu meningkatkan
kekuatan bending menjadi 81,92 MPa, dan kekuatan impaknya menjadi 0,0741
J/mm
2
. Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan density
core Divinycell mampu meningkatkan kekuatan komposit sandwich (Kowangid
dan Diharjo, 2003).
Kekuatan impak komposit GFRP dengan kombinasi serat E-glass chopped
strand mat (CSM) 450 gr/m
2
dengan serat E-glass moven roving (WR) 300 gr/m
2

berkisar antara 0,084 - 0,116 J/mm
2
, dengan nilai rata-rata 0,099 J/mm
2
.
Penggunaan density serat gelas yang lebih rendah (CSM 300 gr/m
2
dan WR 300
gr/m
2
akan menurunkan kekuatan impak komposit GFRP menjadi berkisar antara
0,080 - 0,109 J/mm
2
, atau dengan nilai rata-rata 0,088 J/mm
2
(Santoso dan
Diharjo, 2002).
Sudiyono dan Diharjo K. (2003) menyimpulkan bahwa rancangan
komposit sandwich GFRP dengan core polyurethane foam (PUF) memiliki
kelemahan di bagian core, yaitu mudah lepasnya ikatan komposit skin GFRP
dengan core PUF. Hal ini disebabkan oleh sifat PUF yang mudah mripil. Jenis
core ini tidak cocok untuk digunakan sebagai core komposit sandwich yang
menerima beban dinamis. Core ini hanya cocok untuk beban statis tekan yang
ringan.
Hillger (1998), mengemukakan bahwa ada beberapa macam tipe
kerusakan pada pengujian impak yang dapat dideteksi, seperti retak dan
delaminasi pada skin, debonding antara skin dan core, serta kerusakan di dalam
core. Kerusakan tergantung pada geometri balok sandwich dan sifat bahan
penyusunnya. Model kerusakan yang terjadi dapat berupa core shear, micro
buckling pada skin, dan indentation dibawah loading rooller (Steeves dan Fleck,
2005).
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki optimasi pengaruh orientasi
serat, tebal skin, dan tebal core terhadap sifat bending dan impak komposit
sandwich dengan core Divinycell

PVC H 60. Analisis optimasi berdasarkan




PKMP-1-21-3
ketiga variabel tersebut di atas diharapkan dapat menemukan formulasi disain
komposit sandwich yang memiliki sifat mekanis paling optimum. Pengamatan
penampang patahan dilakukan untuk menyelidiki mekanisme kegagalan struktur
komposit sandwich tersebut.

Kekuatan Bending
Untuk mengetahui kekuatan bending suatu material, dapat dilakukan
pengujian bending. Pada umumnya, material komposit mempunyai nilai modulus
elastisitas bending yang berbeda dengan nilai modulus elastisitas tariknya. Akibat
pengujian bending, pada bagian atas spesimen akan mengalami tekanan, dan
bagian bawah akan mengalami tarikan. Kekuatan tekan komposit lebih tinggi
daripada kekuatan tariknya. Kegagalan yang terjadi akibat pengujian bending,
komposit akan mengalami patah pada bagian bawah karena tidak mampu
menahan tegangan tarik. Kekuatan bending komposit dapat dirumuskan (ASTM D
790) :

b
=
2
2
3
bd
PL
...................................................................................... (1)
P = beban (N), L = panjang span (mm), b = lebar (mm), dan d = tebal
(mm). besarnya Momen bending dapat dihitung dengan rumus :
M =
4
PL
.......................................................................................... (2)
dengan catatan M = momen (N.mm). Jika uji bending dilakukan dengan metode
midspan load maka kekuatan bending komposit sandwich (facing bending stress)
dapat dihitung dengan rumus (ASTM C 393) :
b c d t
PL
) ( 2 +
= ................................................................................ (3)
dengan catatan P = beban yang diberikan (N), d = tebal sandwich (mm), c = tebal
core (mm), = kekuatan bending permukaan sandwich (MPa), t = tebal skin
bawah (mm), L = panjang span (mm), b = lebar sandwich (mm).

Model Kegagalan Struktur Sandwich
Model kegagalan komposit sandwich akibat mengalami tegangan bending
(three/four point bending) biasanya berupa face yield/ micro buckling, core shear,
core crushing, dan indentation (Steeves dan Fleck, 2004).








Kekuatan Impak
Kekuatan impak material komposit umumnya di bawah kekuatan impak
logam. Untuk mendapatkan kekuatan impak komposit yang mendekati logam
maka fraksi serat yang digunakan sebaiknya 60 %. Peralatan uji yang digunakan
untuk pengujian impak ada dua jenis, yaitu impak Izod dan Charpy. Pengujian
Gambar 1. Model kerusakan akibat beban bending


PKMP-1-21-4
impak komposit biasanya dilakukan dengan metode flat impact method, sesuai
dengan aplikasinya sebagai panel struktur. Energi yang digunakan umtuk
mematahkan spesimen dapat dihitung dengan persamaan 4.
( ) ( )

+
+
=
'
cos ' cos cos cos


WR E
patah
.................. (4)
Besarnya kekuatan impak dapat dihitung dengan persamaan 5.
A
E
E
patah
impack
= ................................................................................ (5)
Berbagai jenis kegagalan material akibat pengujian impak ditunjukkan
pada gambar 2.






------- ------
(a) Fracture (b) Tarik (c) Tekan (d) Delaminasi



METODE PENDEKATAN
Bahan penelitian adalah serat E-glass woven roving dengan density 300
gr/m
2
, unsaturated polyester resin (UPRs)157 BQTN-EX, dan core divinycell
PVC H 60 ( = 60 gr/m
3
). Spesimen uji terdiri dari lamina komposit GFRP (skin)
dan komposit sandwich. Komposit skin dibuat dengan 5 variasi orientasi serat
(0/90, 45/90, 30/90, 45/-45,dan 30/60) dengan fraksi volume serat 40%.
Komposit sandwich terdiri dari komposit sandwich dengan variasi tebal
skin (2, 4, 6, 8 layer, orientasi serat 0/90) dengan tebal core 10 mm dan komposit
sandwich dengan variasi tebal core (5, 10, 15, dan 20 mm) dengan skin 4 layer.
Besarnya fraksi volume serat komposit skin pada rancangan komposit sandwich
juga ditentukan 40%. Core Divinycell yang digunakan adalah jenis core segmen.
Posisi sambungan core diletakkan pada bagian tengah sampel uji (yang dikenai
beban). Pembuatan komposit dilakukan dengan metode cetak tekan. Untuk
mengontrol besarnya fraksi volume serat, maka selama proses manufaktur
diberikan stopper pada molding. Model komposit sandwich yang dibuat
ditunjukkan pada gambar 3. Komposit hasil cetakan tersebut dipotong-potong
menjadi spesimen uji.









Gambar 2. Karakteristik kegagalan akibat beban impak
Gambar 3. Komposit sandwich GFRP dengan core Divinycell


Skin/laminat bagian atas
GFRP (Polyester - Woven Roving)
(variasi tebal skin)
Skin/laminat bagian bawah
GFRP (Polyester - Woven Roving)
(variasi tebal skin)
Core Divinycell

H 60 (variasi tebal core)




PKMP-1-21-5
Pengujian bending komposit sandwichnya mangacu standar ASTM C 393-
94 sedangkan pengujian impak komposit skin mengacu pada standar ASTM D-
5942 dengan impak Charpy.






















Berhubung spesimen uji memiliki titik terlemah di daerah sambungan core
(daerah kosong), maka beban uji bending dan impak diarahkan pada titik tersebut.
Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh merupakan kekuatan terendah,
sehingga jika diimplementasikan struktur sandwich tersebut akan tetap aman.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Bending
Tabel 1. Data hasil uji bending skin komposit GFRP
Orientasi Serat E-
glass WR (
o
)
Jumlah
Lamina
V
f
(%) Momen (Nmm)
Kekuatan
Bending (MPa)
[(0/90)
4
] 4 40 1102.60 266.62
[{(30/-60)/(60/-30)}
2
] 4 40 757.90 192.28
[{(45/-45)
4
}] 4 40 708.07 182.39
[{(30/-60)/(0/90)

}
2
] 4 40 571.02 152.07
[{(45/-45)/(0/90)}
2
] 4 40 681.07 189.28

Berdasarkan analisis hasil uji bending komposit GFRP (skin) dengan
variasi orientasi serat, kekuatan bending tertinggi terdapat pada skin dengan
orientasi serat [(0/90)
4
] sebesar 266,62 MPa. Hal ini disebabkan oleh faktor
orientasi serat yang searah beban. Momen maksimum dan kekuatan bending skin
dengan orientasi serat [(0/90)
4
] memiliki harga yang paling tinggi.

Gambar 4. Prosedur pengujian Three Point Bending dan Impak Charpy
Pendulum
Support
Support
Skin
primer
Skin
sekunder
50
Dimensi Spesimen:
Lebar = 15 mm
Panjang Span = 50 mm
Tebal Sandwich = 12 mm
(detail dimensi di data hasil uji)
Dimensi Spesimen:
Lebar = 40 mm
Panjang Span = 60 mm
Tebal sandwich = 12 mm
(detail dimensi di data hasil uji).
Skin primer
Skin sekunder
core
30 30
P


PKMP-1-21-6
0
200
400
600
800
1000
1200
(0/90) (30/-60)/
(60/-30)
(45/-45) (30/-60)/
(0/90)
(45/-45)/
(0/90)
Orientasi serat
M
o
m
e
n

m
a
k
s
i
m
u
m
,

N
m
m
0
50
100
150
200
250
300
(0/90) (30/-60)/
(60/-30)
(45/-45) (30/-60)/
(0/90)
(45/-45)/
(0/90)
Orientasi serat
K
e
k
u
a
t
a
n

b
e
n
d
i
n
g
,

M
P
a
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
0 2 4 6 8 10
Tebal skin (jumlah lamina E-glass)
M
o
m
e
n

M
a
k
s
i
m
u
m
,

N
m
m
0
10
20
30
40
50
0 2 4 6 8 10
Tebal skin (jumlah lamina E-glass)
K
e
k
u
a
t
a
n

B
e
n
d
i
n
g
,

M
P
a














Tabel 2. Data hasil uji bending komposit sandwich variasi tebal skin
Jumlah layer
E-glass skin
Tebal core
(mm)
Span
(mm)
Momen
(Nmm)
Kekuatan
Bending (MPa)
Defleksi
(mm)
2 10 60 13282.74 35.67 5.00
4 10 60 20060.88 40.72 11.25
6 10 60 20895.30 30.50 9.42
8 10 60 27875.12 29.89 9.08

Skin yang semakin tebal meningkatkan kemampuan komposit sandwich
dalam menahan beban momen. Komposit sandwich dengan tebal skin 8 layer
memiliki kemampuan menahan beban momen tertinggi (27.875,12 Nmm).
Kekuatan bending tertinggi komposit sandwich dimiliki oleh komposit sandwich
dengan skin 4 layer, yaitu sebesar 40,72 MPa (14,13 % lebih tinggi dari kekuatan
bending komposit sandwich dengan skin 2 layer). Kenaikan kekuatan bending ini
sangat signifikan jika dibandingkan dengan kekuatan bending komposit sandwich
dengan tebal skin 6 dan 8 layer.














Kenaikan kekuatan bending komposit sandwich tebal skin 4 layer
disebabkan meningkatnya kemampuan komposit sandwich dalam menahan
momen maksimum yang terjadi. Dengan kata lain, skin menahan beban sampai
batas maksimumnya kemudian beban didistribusikan core pada seluruh luasan.
Skin dan core memberikan kontribusi optimumnya pada peningkatan kekuatan
bending komposit sandwich.
Gambar 5. Diagram batang momen maksimum dan kekuatan bending
komposit GFRP variasi orientasi serat
Gambar 6. Kurva momen maksimum dan kekuatan bending
komposit sandwich variasi tebal skin


PKMP-1-21-7
0
5000
10000
15000
20000
25000
0 5 10 15 20 25
Tebal core, mm
M
o
m
e
n

m
a
k
s
i
m
u
m
,

N
m
m
0
20
40
60
80
100
0 5 10 15 20 25
Tebal core, mm
K
e
k
u
a
t
a
n

B
e
n
d
i
n
g
,

M
P
a
Pada komposit sandwich dengan skin 6 dan 8 layer, core akan mengalami
kegagalan terlebih dahulu. Penebalan skin tidak memberikan kontribusi kekuatan
bending komposit sandwich jika masih menggunakan core yang sama, karena
kekuatan bending komposit sandwich sangat dipengaruhi oleh sifat mekanis
komponen penyusunnya.

Tabel 3. Data hasil uji bending komposit sandwich variasi tebal core
Jumlah layer
E-glass skin
Tebal core
(mm)
Span
(mm)
Momen
(Nmm)
Kekuatan
Bending (MPa)
Defleksi
(mm)
4 5 60 12331.17 77.01 5.33
4 10 60 18815.58 56.15 5.33
4 15 60 21062.07 33.77 4.25
4 20 60 22381.51 30.38 8.33

Kekuatan bending tertinggi terdapat pada komposit sandwich dengan tebal
core 5 mm, yaitu sebesar 77,01 MPa. Peningkatan ketebalan core menyebabkan
penurunan kekuatan bending komposit sandwich. Dengan tebal core yang lebih
besar maka akan menyebabkan momen inersia menjadi lebih besar. Semakin besar
momen inersia maka kekuatan bending komposit akan semakin menurun
(kekuatan bending berbanding terbalik dengan momen inersia).














Core yang semakin tebal meningkatkan kemampuan komposit sandwich
menahan momen maksimum. Namun, penebalan core secara otomatis juga
meningkatkan momen inersia core sehingga berpengaruh terhadap kekuatan
bending.

Sifat Impak
Tabel 4. Data hasil uji impak izod komposit skin GFRP.
Orientasi Serat E-
glass WR (
0
)
Jumlah
Lamina
V
f

(%)
l x t (mm)
E-Patah
(Joule)
Kek. Impak
(J/mm
2
)
[(0/90)
4
] 2 40 12.73 x 1.40 1.008 0.057
[{(30/-60)/(60/-30)}
2
] 2 40 12.83 x 1.37 0.902 0.051
[{(45/-45)
4
}] 2 40 12.70 x 1.35 0.727 0.042
[{(30/-60)/(0/90)

}
2
] 2 40 12.83 x 1.33 0.920 0.054
[{(45/-45)/(0/90)}
2
] 2 40 12.67 x 1.32 0.867 0.052
Gambar 7. Kurva momen maksimum dan kekuatan bending
komposit sandwich variasi tebal core


PKMP-1-21-8
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
(0/90) (30/-60)/
(60/-30)
(45/-45) (30/-60)/
(0/90)
(45/-45)/
(0/90)
Orientasi serat
K
e
k
u
a
t
a
n

I
m
p
a
k
,

J
/
m
m
2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
(0/90) (30/-60)/
(60/-30)
(45/-45) (30/-60)/
(0/90)
(45/-45)/
(0/90)
Orientasi serat
E
n
e
r
g
i

P
a
t
a
h
,

J














Kekuatan impak tertinggi dimiliki oleh komposit skin dengan orientasi
serat [(0/90)
4
]. Orientasi tersebut merupakan orientasi yang paling optimum.
Orientasi serat 0
o
memberikan penguatan yang lebih dominan terhadap ketahanan
impak. Komposit yang memiliki orientasi serat 0
o
memiliki energi patah dan
kekuatan impak yang tertinggi (1,008 J dan 0,057 J/mm
2
), seperti ditunjukkan
pada gambar 8.

Tabel 5. Data hasil uji impak charpy komposit sandwich variasi tebal skin.
Jumlah layer
E-glass skin
tebal core
(mm)
Ukuran
Lxt (mm)
Span
(mm)
E-serap
(Joule)
Kek. Impak
(J/mm
2
)
2 10 13.67 x 11.22 50 5.924 0.039
4 10 14.17 x 12.25 50 11.34 0.065
6 10 14.38 x 13.33 50 14.47 0.075
8 10 14.17 x 14.50 50 16.69 0.081

Hasil pengolahan data uji impak komposit sandwich variasi tebal skin
menunjukkan bahwa energi patah dan kekuatan impak meningkat seiring dengan
penambahan jumlah layer (tebal skin). Peningkatan kekuatan impak komposit
sandwich optimum pada skin 4 layer (0,065 J/mm
2
). Harga kekuatan tersebut
meningkat 43,1 % dibandingkan dengan komposit sandwich dengan skin 2 layer
(0,037 J/mm
2
). Kekuatan impak komposit sandwich dengan skin 6 layer (0,075
J/mm
2
) dapat dikatakan tidak terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan
dengan kekuatan impak komposit sandwich dengan skin 4 layer (0,065 J/mm
2
).
Dengan demikian, skin 4 layer dipandang lebih menguntungkan untuk
diaplikasikan.
Berdasarkan gambar 10, komposit sandwich dengan tebal core 5 mm
memiliki kekuatan impak yang lebih tinggi daripada sandwich dengan tebal core
10, 15, dan 20 mm. Namun, energi patah komposit sandwich meningkat seiring
dengan penambahan tebal core. Energi patah komposit sandwich dengan
ketebalan core 10 mm semestinya lebih tinggi dari pada komposit sandwich
dengan core 5 mm. Rendahnya energi patah komposit sandwich dengan core 10
mm dapat disebabkan oleh kurang kuatnya ikatan antara skin dengan core yang
disebabkan oleh faktor manufaktur.

Gambar 8. Diagram batang energi patah dan kekuatan impak
komposit GFRP variasi orientasi serat


PKMP-1-21-9
0
5
10
15
20
0 2 4 6 8 10
Tebal skin (jumlah lamina E-glass)
E
n
e
r
g
i

P
a
t
a
h
,

J
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0 2 4 6 8 10
Tebal skin (jumlah lamina E-glass)
K
e
k
u
a
t
a
n

I
m
p
a
k
,

J
/
m
m
2
0
5
10
15
20
25
30
0 5 10 15 20 25
Tebal core, mm
E
n
e
r
g
i

P
a
t
a
h
,

J
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0 5 10 15 20 25
Tebal core, mm
K
e
k
u
a
t
a
n

I
m
p
a
k
,

J
/
m
m
2















Tabel 6. Data hasil uji impak Charpy komposit sandwich variasi tebal core.
Variasi Tebal core
(mm)
Skin
(layer)
Ukuran
L x t (mm)
Span
(mm)
E-serap
(Joule)
Kek. Impak
(J/mm
2
)
5 4 15.47 x 07.35 50 10.894 0.096
10 4 15.07 x 12.38 50 10.893 0.059
15 4 14.90 x 17.57 50 22.788 0.088
20 4 14.50 x 21.85 50 25.780 0.081


















Penampang patahan dari berbagai jenis struktur sandwich mengindikasikan
bahwa kegagalan didominasi oleh faktor rendahnya sifat mekanis core. Kegagalan
tersebut disebabkan oleh rendahnya kekuatan tekan core. Dengan demikian pola
kegagalannya berupa core shear dan indentation seperti ditunjukkan pada gambar
12.


Gambar 9. Kurva energi patah dan kekuatan impak
komposit sandwich variasi tebal skin
Gambar 10. Kurva energi patah dan kekuatan impak
komposit sandwich variasi tebal core


PKMP-1-21-10
Penampang Patahan Bending dan Impak








































Berdasarkan pengamatan dengan foto makro, kegagalan komposit
sandwich ini didominasi oleh kegagalan core. Mekanisme kegagalan yang terjadi
pada uji impak komposit sandwich antara lain (1) core pecah tidak dapat menahan
beban impak, (2) core tidak mampu menahan beban tekan dan terdefleksi, dan (3)
terjadi delaminasi antara komposit GFRP skin dengan core.


Gambar 11. Model kegagalan uji bending komposit sandwich variasi tebal core
(pandangan samping)
10 mm
Tebal core 20 mm
I ndentation
Tebal core 15 mm
Model kegagalan tidak bagitu nampak
10 mm
10 mm
Tebal core 10 mm
Core shear
10 mm
Tebal core 5 mm
Core shear
Gambar 12. Model kegagalan komposit sandwich akibat beban impak
Skin patah Core shear
Multiple core shear Delaminasi skin
Tebal core 20 mm
Tebal core 5 mm
Tebal core 10 mm
Tebal core 5 mm


PKMP-1-21-11
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
orientasi serat (0/90) memiliki kekuatan bending dan impak tertinggi. Orientasi
serat yang searah beban akan meningkatkan kekuatan bending dan impak
komposit GFRP. Peningkatan ketebalan skin akan meningkatkan energi patah dan
kemampuan menahan beban bending komposit sandwich. Tebal skin pada
komposit sandwich yang paling efektif adalah 4 layer. Peningkatan tebal core juga
akan menurunkan kekuatan impak dan bending, namun kemampuan menahan
momennnya tetap lebih tinggi. Tebal core efektif yang paling baik untuk
diaplikasikan adalah 5 mm. Penampang patahan komposit sandwich
mengindikasikan bahwa kegagalan didominasi oleh lemahnya kekuatan core.

UCAPAN TERIMA KASIH
Tim Peneliti PKMP mengucapkan terima kasih kepada DP2M Dikti yang
telah mendanai penelitian ini. Ucapan terima kasih yang tulus juga kami
sampaikan kepada Kuncoro Diharjo ST., MT. yang telah membimbing penelitian
ini.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1998. ASTM C 274-99 standards, Standard Terminology for
Composites and Structural Sandwich Construction, New York.
Hillger, W.M., 1998. Stress Analysis of Fiber Reinforced Composite Material,
McGraw Hills Book Company, New York, USA.
Kowangid dan Diharjo K., 2003. Karakteristik Mekanis Komposit Sandwich
Serat Gelas Dengan Core PVC, Skripsi, Jurusan Teknik Mesin FT-UNS,
Surakarta.
Santoso B. dan Diharjo K., (2002). Pengaruh berat serat Chooped Strand
terhadap kekuatan tarik, bending dan impak komposit GFRP kombinasi
serat gelas Chooped Strand dan Woven Roving, Skripsi, Teknik Mesin FT
UNS, Surakarta.
Sudiono dan Diharjo K., 2004. Karakteritik Mekanis Komposit Sandwich Serat
Glass dengan Core Foam/PU. Skripsi, Teknik Mesin FT UNS, Surakarta.
Steeves C. A., dan Fleck N.A., 2004. Colllaps Mechanism of Sandwich Beam
with Composite Face and Foam Core Loaded in Three Point Bending,
Available Online at www. sciencedirect.com.


PKMP-1-22-1
FLASH CARD KLASIFIKASI DENGAN SISTEM PERMAINAN BRIDGE
UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISTEM KLASIFIKASI
MAKHLUK HIDUP PADA SISWA SMA

D Wulandari, K Trianisa, R F Abswari, D Wulandari, K Tranisa dan R Fendi.A
PS Biologi Fakultas MIPA, Universitas Negeri Malang, Malang

ABSTRAK
Materi klasifikasi makhluk hidup merupakan materi yang cukup sulit dikuasai
oleh siswa SMA karena tingkat keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi dan
siswa kesulitan menggunakan bahasa latin (nama ilmiah). Berdasarkan masalah
tersebut, maka perlu dibuat suatu media pembelajaran yang inovatif, murah,
mudah, serta menarik. Media pembelajaran tersebut berupa flash card klasifikasi
yang diterapkan dengan sistem permainan bridge. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui: (1) bentuk, isi, dan sistem permainan flash card
klasifikasi; (2) pengaruh penggunaan flash card klasifikasi terhadap hasil belajar
siswa; dan (3) pendapat siswa dan guru mengenai penggunaan media flash card
klasifikasi. Jenis penelitian adalah eksperimental semu dengan variabel bebas
adalah penggunaan media flash card klasifikasi dan variabel terikat adalah hasil
belajar. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X SMA Laboratorium UM
dengan pemilihan sampel secara random. Instrumen yang digunakan ada dua
jenis, yaitu tes dan angket. Analisis data menggunakan analisis deskriptif dan uji
t. Hasil uji t menunjukkan bahwa nilai t hitung (3,63) > nilai t tabel (1,991) yang
berarti penggunaan media flash card klasifikasi berpengaruh terhadap hasil
belajar siswa, yang ditunjukkan dari rerata nilai kelompok kontrol (63,97) lebih
rendah dibandingkan dengan rerata nilai kelompok perlakuan (71,51). Hasil
analisis deskriptif dari hasil angket menunjukkan secara umum siswa dan guru
memberi tanggapan posistif terhadap penggunaan media flash card klasifikasi.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) Media flash card klasifikasi berupa
kartu kecil yang berisi tulisan/gambar tingkat-tingkat takson. Model permainan
flash card yang bisa digunakan ada dua macam. (2) Penggunaan flash card
klasifikasi dengan sistem permainan bridge dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. (3) Secara umum, siswa dan guru memberikan tanggapan yang positif
terhadap penggunaan media flash card klasifikasi.

Kata Kunci: Flash card, Klasifikasi, Hasil Belajar.

PENDAHULUAN
Materi klasifikasi pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan
pengetahuan dasar untuk mengetahui keanekaragaman makhluk hidup. Sampai
sekarang siswa kesulitan untuk menghafal dan memahami klasifikasi makhluk
hidup. Hal tersebut dikarenakan tingkat keanekaragaman makhluk hidup yang
tinggi dan kesulitan siswa dalam menggunakan bahasa latin atau nama ilmiah.
Pembelajaran di luar kelas sangat baik untuk memahamkan siswa akan
keanekaragaman makhluk hidup. Daya ingat siswa sangat terbatas, karena hanya
melakukan pengamatan beberapa kali, untuk mengatasi hal tersebut maka
diperlukan media yang dapat mendokumentasikan makhluk hidup yang dilihat
siswa. Banyak media yang dimanfaatkan dalam pembelajaran, Heinich, dkk.

PKMP-1-22-2
(1996) dalam Pribadi dan Putri (2001) membuat klasifikasi jenis media
pembelajaran sebagai berikut: (a) non projected media, (b) projected media, (c)
media audio video, (d) media berbasis komputer, dan (e) multimedia kit.
Sihkabuden (1995) menyatakan beberapa kriteria media pembelajaran yang baik,
yaitu: (a) tujuan pembelajaran, (b) efektifitas media, (c) media sesuai dengan
sasarannya, (d) ketersediaan media, dan (e) biaya pengadaan media, (f) kualitas
media.
Tidak semua jenis media dapat digunakan karena biaya yang mahal
untuk pembelian atau pembuatan media dan kurangnya kemampuan guru untuk
mengoperasikan suatu media. Berdasarkan hal tersebut, perlu dibuat sebuah media
pembelajaran yang inovatif, biaya murah, pengoperasiannya sederhana, dan
menarik siswa untuk aktif mempelajari sistem klasifikasi makhluk hidup. Media
yang dirancang berupa flash card klasifikasi. Flash card ini merupakan
pengembangan dari flash card yang sebelumya hanya berisi gambar-gambar
(benda-benda, binatang, dan sebadan digunakan untuk melatih siswa mengeja dan
memperkaya kosakata (Arsyad, 2003).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dari
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah bentuk, isi dan sistem
permainan flash card klasifikasi yang dikembangkan untuk pembelajaran sistem
klasifikasi makhluk hidup?; (2) Bagaimanakah pengaruh penggunaan flash card
klasifikasi terhadap hasil belajar sistem klasifikasi makhluk hidup pada siswa
SMA?; (3) Bagaimanakah pendapat guru dan siswa mengenai model
pembelajaran sistem klasifikasi makhluk hidup dengan flash card klasifikasi?
Tujuan penelitian sesuai dengan rumusan masalah. Hipotesis dalam
penelitian ini adalah penggunaan media flash card berpengaruh terhadap hasil
belajar siswa tentang sistem klasifikasi makhluk hidup. Sedangkan manfaat dari
program ini adalah: (1) Menciptakan model pembelajaran materi sistem klasifikasi
makhluk hidup dan mengetahui keefektifannya; (2) Meningkatkan hasil belajar
mengenai sistem klasifikasi makhluk hidup.; (3) Membantu guru dalam proses
pembelajaran materi sistem klasifikasi makhluk hidup.

METODE PENDEKATAN
Jenis penelitian adalah eksperimental semu. Variabel bebas adalah
penggunaan media flash card, variabel terikat adalah hasil belajar siswa, dan
variabel kontrol adalah tingkat kelas siswa. Populasinya adalah semua siswa kelas
X SMA Laboratorium UM dengan sampel kelas X-3 (kontrol) dan X-6
(perlakuan). Data yang telah diperoleh dari tes dianalisis dengan menggunakan
uji t tidak berpasangan, sedangkan data dari kuisioner dianalisis secara deskriptif
dengan rumus sebagai berikut: P =
n
f
x 100 %
Keterangan : P = persentase
f = frekuensi atau banyaknya skor
n = jumlah seluruh skor
Pelaksanaan program dimulai tanggal 6 April 2006 sampai dengan 10 Juni
2006, secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.




PKMP-1-22-3
Tabel 1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
No Kegiatan Waktu Tempat
1.

2.
3.
4.
Pengambilan foto untuk media
pembelajaran
Pembuatan media flash card
Pembuatan soal dan angket
Penelitian
Melaksanakan pembelajaran materi
pokok Plantae
Diskusi kelas





Permainan Flash card

Tes dan pengisian kuisioner
6 April 2006

6- 30 April 2006
16- 22 April 2006

25 Maret 2006

17, 19 April 2006
untuk kelompok
perlakuan
18, 20 April 2006
untuk kelompok
kontrol
1 dan 3 Mei 2006

8 Mei 2006 untuk
kelompok perlakuan
10 mei 2006 untuk
kelompok kontrol
Kebun Raya
Purwodadi
Rumah
Rumah

Kebun Raya
Purwodadi
SMA Laboratorium
UM




SMA Laboratorium
UM
SMA Laboratorium
UM



Pembuatan flash card klasifikasi pada tumbuhan dengan alat kamera
digital, internet, dan komputer, serta dengan bahan kertas glossy dan tinta.
Langkah pembuatan flash card klasifikasi secara lebih rinci dapat dilihat pada
Gambar 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Flash card klasifikasi yang digunakan sebagai media pembelajaran pada
klasifikasi makhluk hidup berbentuk kartu kecil yang berisi tingkatan takson
mulai dari divisi/filum, kelas, bangsa, suku, marga yang hanya berupa tulisan,
sementara pada kartu kelas ditambahi dengan ciri-ciri umum dari kelas tersebut
dan pada kartu spesies terdapat gambar foto dan nama ilmiah spesies tersebut.
Contoh flash card klasifikasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar pada flash card klasifikasi bertujuan untuk memudahkan siswa
mengetahui morfologi jenis makhluk hidup tersebut. Hal ini diperkuat oleh
pendapat Latuheru (1988) yang mengemukan bahwa ada beberapa keuntungan
dari penggunaan gambar, antara lain: (a) gambar diam dapat menerjemahkan ide-
ide yang abstrak kedalam bentuk yang realita, (b) gambar diam mudah didapat, (c)
mudah penggunaannya, (d) dapat digunakan pada semua jenjang pendidikan dan
jenis pendidikan, (e) menghemat waktu dan tenaga kerja, (f) menarik perhatian.

PKMP-1-22-4














































Gambar 1. Langkah Pembuatan Flash Card Klasifikasi pada Tumbuhan
Memasukkan data ke
komputer:
Membuat persegi
dengan ukuran 6 X 9
cm
Menuliskan nama
takson devisi/filum,
kelas, bangsa, suku,
marga, dan spesies
dalam persegi
Pada takson kelas
diberi ciri-ciri umum
dari kelas tersebut
Pada takson spesies
diberi gambar dari
spesies tersebut
Mengumpulkan
data klasifikasi
tumbuhan
Mengumpulan
data gambar
tumbuhan dari
foto atau internet
Pencetakan
dengan kertas
glossy

Bryophyta
Riccia fluitans

PKMP-1-22-5















































Gambar 2. Kartu Flash Card Klasifikasi





Marchantiaceae





Marchantia







Marcantia
polimorpha
Spesies
Suku
Marga





Bryophyta

Hepaticopsida

Gametofit pipih
dorsoventral
Berupa talus yang
menempel pada tanah
Sporofit tidak punya sel
yang menganduk
kloroplas
Spora berkecambah
tidak membentuk
protonema





Marchantiales




Bangsa
Divisi Kelas

PKMP-1-22-6
Media flash card klasifikasi ini sudah memenuhi kriteria media
pembelajaran seperti yang dikemukan Sihkabuden (1995), antara lain: (a) flash
card klasifikasi bertujuan untuk mempelajari klasifikasi makhluk hidup, (b) guru
berpendapat bahwa flash card klasifikasi efektif untuk digunakan. Sedangkan
sebanyak 68,29% siswa berpendapat bahwa flash card klasifikasi ini cukup efektif
digunakan, (c) flash card klasifikasi memudahkan siswa memahami materi
klasifikasi, (d) flash card klasifikasi sangat mudah dibuat sendiri oleh guru dan
siswa (e) biaya pembuatan flash card klasifikasi cukup murah dan bahannya
mudah didapat (f) flash card klasifikasi memiliki kualitas cukup baik karena tidak
mudah rusak dan dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam klasifikasi
makhluk hidup.
Penerapan media flash card klasifikasi dikombinasikan dengan sistem
permainan bridge. Tujuan dari hal ini adalah untuk membuat siswa lebih tertarik
dan termotivasi dalam mempelajari materi klasifikasi makluk hidup seperti yang
diungkapkan oleh Latuheru (1998), bahwa penerapan permainan dalam
pembelajaran dapat menambah motivasi pada materi yang kurang menarik
perhatian siswa.
Flash card klasifikasi dimainkan dengan sistem permainan bridge yang
terdiri dari 2 macam langkah permainan:
1). Langkah permainan 1
a. Permainan ini dilakukan secara berkelompok dimana jumlah pesertanya
adalah 4 orang. Salah seorang lalu mengocok dan membagi flash card
tersebut.
b. Siswa yang mempunyai flash card divisi atau filum mengeluarkan kartu
tersebut.
c. Selanjutnya siswa berikutnya mengeluarkan kelas, kemudian siswa
berikutnya mengeluarkan bangsa dan siswa selanjutnya mengeluarkan
marga kemudian yang terakhir mengeluarkan spesies.
d. Apabila tidak mempunyai flash card yang seharusnya dikeluarkan maka
gilirannya langsung diberikan pada siswa selanjutnya.
e. Siswa yang terakhir kali mengeluarkan spesies, berhak untuk
mengeluarkan flash card yang dia kehendaki.
f. Apabila seseorang mengeluarkan flash card marga maka siswa
berikutnya boleh mengeluarkan flash card spesies ataupun juga dapat
mengeluarkan flash card family. Jadi dalam hal ini boleh mengeluarkan
kartu tingkatan takson di atasnya.
g. Apabila flash card yang dia bawa sudah habis maka siswa itulah
pemenangnya dan yang kalah adalah siswa yang paling akhir membawa
flash card .
h. Apabila ternyata siswa tersebut salah dalam mengeluarkan flash card
maka flash card yang dikeluarkan mati kemudian siswa selanjutnya dapat
mengeluarkan flash card lainnya.
2). Langkah permainan II
a. Permainan ini dilakukan secara berkelompok yaitu jumlah pesertanya
adalah 4 orang, kemudian salah satu peserta mengocok flash card
klasifikasi tersebut dan membaginya yaitu setiap peserta mendapat flash
card .

PKMP-1-22-7
b. Langkah selanjutnya adalah peserta yang mengocok mengambil sebuah
flash card dari kumpulan flash card yang tidak dibagikan. Setelah
mengambil maka peserta tersebut harus membuang salah satu flash card
nya. Langkah ini diikuti oleh siswa selanjutnya.
c. Flash card yang dikumpulkan tersebut harus menunjukkan tingkatan
takson yang benar dan yang benar semua mempunyai poin sempurna,
apabila ada kesalahan maka setiap kesalahan mengakibatkan pointnya
semakin berkurang.
Data hasil belajar siswa diperoleh dari hasil tes yang telah dilakukan.
Berdasarkan standar ketuntasan belajar minimum yang berlaku di SMA
Laboratorium UM, siswa dikatakan tuntas belajar apabila memiliki skor minimal
70. Data hasil belajar ini terdiri atas 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan
perlakuan. Gambaran selengkapnya mengenai data hasil belajar siswa dapat
dilihat pada Tabel 2 untuk kelas perlakuan dan pada Tabel 3 untuk kelas kontrol.

Tabel 2. Hasil Belajar Kelas Perlakuan
Ketuntasan belajar
No. Nilai
tuntas Belum tuntas
1 72,5 V
2 80 V
3 85 V
4 80 V
5 75 V
6 72,5 V
7 67,5 V
8 70 V
9 72,5 V
10 80 V
11 57,5 V
12 72,5 V
13 75 V
14 62,5 V
15 67,5 V V
16 75 V
17 72,5 V
18 77,5 V
19 77,5 V
20 75 V
21 72,5 V
22 75 V
23 70 V
24 72,5 V
25 55 V
26 72,5 V
27 72,5 V
28 67,5 V
29 72,5 V
30 67,5 V
31 70 V

PKMP-1-22-8
Lanjutan Tabel 2. Hasil Belajar Kelas Perlakuan

Ketuntasan belajar
No. Nilai
tuntas Belum tuntas
32 57,5 V
33 67,5 V
34 65 V
35 77,5 V
36 72,5 V
37 70 V
38 72,5 V
39 62,5 V
40 72,5 V
41 75 V
42 67,5 V
43 80 V

Persentase ketuntasan belajar kelas untuk kelompok perlakuan adalah:
siswa seluruh jumlah
belajar tuntas yang siswa Jumlah
x 100 %
% 09 , 72 % 100
34
31
=

Tabel 3. Hasil Belajar Kelas Kontrol
Ketuntasan belajar
No. Nilai
tuntas belum tuntas
1 70 V
2 60 V
3 45 V
4 72,5 V
5 75 V
6 57,5 V
7 70 V
8 32,5 V
9 77,5 V
10 70 V
11 42,5 V
12 72,5 V
13 52,5 V
14 72,5 V
15 77,5 V
16 72,5 V
17 55 V
18 65 V
19 62,5 V

PKMP-1-22-9
Lanjutan Tabel 3. Hasil Belajar Kelas Kontrol
Ketuntasan belajar
No. Nilai
tuntas belum tuntas
20 77,5 V
21 57,5 V
22 75 V
23 52,5 V
24 75 V
25 70 V
26 65 V
27 72,5 V
28 70 V
29 40 V
30 62,5 V
31 72,5 V
32 65 V
33 45 V
34 72,5 V
35 57,5 V
36 72,5 V
37 55 V
38 65 V
39 70 V

Prosentase ketuntasan belajar kelas untuk kelompok kontrol adalah
siswa seluruh jumlah
belajar tuntas yang siswa Jumlah
x 100 %
% 28 , 51 % 100
39
20
=

Dari hasil tes dapat diketahui bahwa ada perbedaan hasil belajar antara
kelompok kontrol dan kelompok yang diberi perlakuan. Hasil analisis statistik
dengan menggunakan uji t menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu t hitung
(3,63) lebih besar dari t tabel (1,991). Hal ini berarti ada pengaruh penggunaan
flash card klasifikasi terhadap hasil belajar siswa, yang ditunjukkan dengan hasil
belajar kelompok perlakuan memberikan rerata lebih tinggi (71,5) dibandingkan
kelompok kontrol (63,97). Prosentase ketuntasan belajar untuk kelompok kontrol
adalah 51,28%, sedangkan untuk kelompok perlakuan adalah 72,09%.
Peningkatan hasil belajar disebabkan karena adanya peningkatan keantusiasan
siswa saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Flash card klasifikasi yang
digunakan dengan sistem permainan bridge dapat membuat anak lebih suka
mempelajari sesuatu sehingga nantinya akan dapat meningkatkan pemahaman
mereka terhadap materi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Latuheru (1988)
permainan tidak hanya semata-mata untuk mendapatkan kesenangan, namun

PKMP-1-22-10
permainan adalah kegiatan untuk mencapai suatu tujuan. Dalam permainan yang
ada hubungannya dengan pembelajaran, bertujuan untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Berdasarkan hasil analisis angket yang disebarkan pada subyek penelitian
(siswa) dan guru, diketahui bahwa secara umum responden menunjukkan rasa
ketertarikan terhadap penggunaan flash card klasifikasi sebagai media
pembelajaran. Media pembelajaran dalam bentuk flash card klasifikasi yang
dikombinasikan dengan sistem permainan bridge belum pernah digunakan dalam
proses pembelajaran sebelumnya. Selain itu, penerapan permainan dalam proses
pembelajaran dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, sehingga mampu
meningkatkan pemahaman siswa mengenai materi pembelajaran.
Di sisi lain, ternyata pengunaan flash card klasifikasi sebagai media
pembelajaran kurang bisa memberikan hasil yang optimal. Sebanyak 68,29 %
siswa responden menyatakan bahwa permainan flash card klasifikasi dengan
sistem bridge kurang mudah dimainkan. Hasil ini diduga karena siswa baru
pertama kali menggunakan media flash card klasifikasi untuk membantu proses
pembelajaran, sehingga siswa belum begitu terampil dalam memainkan flash card
klasifikasi. Selain itu, jumlah flash card klasifikasi yang sangat banyak (meliputi
seluruh tingkatan takson Kingdom Plantae) menyebabkan siswa menjadi kesulitan
dalam memilah dan memainkan kartu flash card klasifikasi. Berbeda dengan
pendapat siswa, guru cenderung berpendapat bahwa permainan flash card
klasifikasi dengan sistem permainan bridge mudah untuk dimainkan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan: (1) Flash card
klasifikasi yang digunakan sebagai media pembelajaran pada pokok bahasan
Plantae berbentuk kartu kecil berukuran 6 x 9 cm yang berisi tulisan/gambar
tingkatan takson mulai dari divisi/filum, kelas, bangsa, suku, marga, dan spesies.
Model permainan flash card klasifikasi yang bisa digunakan ada dua macam.
Model pertama, seluruh kartu flash card klasifikasi dibagikan kepada peserta dan
masing-masing peserta membuang kartu flash card klasifikasi sesuai dengan
urutan takson secara bergiliran. Model kedua, sebagian kartu flash card klasifikasi
dibagikan kepada peserta, sementara sebagian lainnya ditumpuk (dek kartu).
Selanjutnya, setiap peserta mengambil sebuah kartu flash card klasifikasi dari dek
dan membuang satu kartu flash card klasifikasi yang dipegangnya sesuai dengan
urutan takson secara bergiliran. Peserta yang pertama kali membuang habis
seluruh kartu flash card klasifikasi yang dipegangnya secara benar dianggap
sebagai pemenang; (2) Penggunaan flash card klasifikasi Kingdom Plantae
dengan sistem permainan Bridge berpengaruh terhadap hasil belajar siswa tentang
sistem klasifikasi Kingdom Plantae. Sedangkan bentuk pengaruh perlakuan adalah
dapat meningkatkan hasil belajar siswa tentang sistem klasifikasi Kingdom
Plantae. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan rerata nilai tes antara kelompok
kontrol dengan kelompok perlakuan, dimana rerata nilai kelompok kontrol (63,97)
lebih rendah dibandingkan dengan rerata nilai kelompok perlakuan (71,51); (3)
Secara umum, siswa dan guru (responden) memberikan tanggapan yang positif
dan antusias terhadap penggunaan flash card klasifikasi sebagai media
pembelajaran sistem klasifikasi makhluk hidup.

PKMP-1-22-11
Peneliti menyarankan: (1) Untuk memproduksi dalam jumlah yang banyak
flash card klasifikasi dan dapat dipasarkan; (2)Membuat flash card klasifikasi
untuk kingdom animalia, monera, fungi dan algae; (3) Perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai pengunaan flash card klasifikasi sebagai media dengan
menggunakan metode pembelajaran atau sistem permainan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Arsyad, Azhar. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafinda
Persada.
2. Latuheru, John.d. 1988. Media Pembelajaran: Dalam proses Belajar
Mengajar masa kini. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
3. Pribadi, Deni dan Dewi Putri. 2001. Ragam Media dalam Pembelajaran .
Jakarta: Departeman Pendidikan Nasional.
4. Sihkabuden. 1995. Media Pembelajaran. Malang : UM




PKMP-1-23-1
PENGUJIAN SIFAT FISIK DAN MEKANIK ORI (BAMBUSA
ARUNDINACEAE)

Trio Parsaoran Hutapea
Universitas Tanjungpura, Pontianak

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-2-1-1
EVALUASI HASIL PERSILANGAN BEBRAPA AYAM LOKAL

Anggiat Humisar Siahan, Sukkri, Lidya Triani, Julie
Universitas Jambi, Jambi

ABSTRAK

Kata kunci:


PKMP-2-2-1
UPAYA PENURUNAN LEMAK TUBUH AYAM BROILER
MELALUI PENAMBAHAN METIONIN DAN LISIN
SEBAGAI PREKURSOR KARNITIN DALAM RANSUM

Eli Ratni, Alfajri, Deri Afriko, Dwi Trizamadani, Surya Sandikha P
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Universitas Andalas Padang, Padang


ABSTRAK
Pertambahan berat badan yang cepat pada ayam broiler diikuti perlemakan yang
tinggi, hal ini bisa mengganggu kesehatan manusia. Pemakaian karnitin 150
mg/kg dalam ransum mampu menurunkan lemak dan kolesterol daging ayam
broiler. Bahan baku biosintesis karnitin dalam tubuh adalah metionin dan lisin
yang ditunjang adanya kofaktor untuk aktivasi enzim : niasin, FeSO
4
, piridoksin
(vitamin B
6
) dan asam askorbat (vitamin C).
Tujuan penelitian untuk mendapatkan komposisi metionin dan lisin yang tepat
sebagai prekursor karnitin, menggunakan 64 ekor ayam broiler jantan strain CP
707 umur 3-6 minggu, ditempatkan dalam 32 unit boks percobaan. Metode
eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), 8 perlakuan dan 4 kali
ulangan. Data diolah dengan analisis keragaman (Steel and Torrie 1991), jika
hasil signifikan dilakukan uji lanjut kontras ortogonal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian karnitin dosis 150 mg/kg ransum
dan prekursor karnitin mempunyai pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap
perlakuan. Prekursor karnitin dapat menggantikan kerja karnitin dalam upaya
menurunkan kandungan lemak tubuh ayam broiler, bahkan bisa bekerja lebih
baik daripada karnitin terhadap pertambahan bobot badan dan konversi ransum
tanpa mengganggu pertumbuhan organ lainnya. Komposisi prekursor karnitin
yang paling baik adalah 0,55 % L-HCl Lisin; 0,44 % DL-Metionin; 0,33 mg/kg
niasin; 80 mg/kg FeSO
4
; 250 mg/kg asam askorbat/vitamin C dan 3,5 mg/kg
piridoksin/vitamin B
6
. Menurunkan kandungan lemak daging dada dari 4,99 %
menjadi 1,75 %, kandungan lemak daging paha dari 21,55 % menjadi 16,76 %
dan lemak abdominal dari 2,50 % menjadi 1,61 %.

Kata Kunci : broiler, lemak, karnitin, metionin, lisin

PENDAHULUAN
Sektor perunggasan terutama ayam ras masih menjadi prioritas utama untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani manusia. Mengingat sifat-sifat unggulnya
yaitu tidak memerlukan tempat luas dalam pemeliharaan, bergizi tinggi,
pertumbuhan cepat dan efisien mengkonversikan makanan menjadi daging
sehingga cepat mencapai usia berat jual dengan bobot badan yang tinggi. Tetapi
mempunyai kecenderungan sifat perlemakan yang tinggi pula, karena diikuti
adanya gen pembentuk lemak.
Lesson dan Summers (1980) menyatakan bahwa lemak tubuh ayam broiler
jantan dan betina umur sehari adalah 14,6 % dan 9,2 %, umur 6 minggu menjadi
17,9 % (jantan) dan 22,2 % (betina), setelah umur 8 minggu mencapai 21,1 %
(jantan) dan 23,3 % (betina). Dan lemak abdomen antara 1,4 % - 2,6 % dari berat


PKMP-2-2-2
hidup ayam broiler jantan dan 3,2 % - 4,8 % dari berat hidup ayam broiler betina.
Lebih lanjut Yuniza (2002) menyatakan bahwa lemak abdomen ayam broiler yang
dipelihara di daerah tropik adalah 2,85 % dari berat hidup umur 6 minggu.
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa seiring meningkatnya umur, kandungan
lemak tubuh semakin meningkat, dan ayam betina lebih cepat menimbun lemak
dibandingkan ayam jantan.
Kelebihan energi dalam tubuh ayam akan disimpan dalam bentuk lemak,
sedangkan metabolisme pembentukan lemak tersebut membutuhkan banyak
energi, maka secara tidak langsung terjadi pemborosan energi ransum. Sedangkan
penimbunan lemak abdomen termasuk kedalam hasil ikutan, merupakan
penghamburan energi dan pengurangan berat karkas, karena lemak tersebut
dibuang pada waktu pengolahan. Lemak abdomen merupakan salah satu
komponen lemak tubuh, yang terdapat dalam rongga perut.
Penilaian karkas ternak didasarkan pada berat karkas dan tingkat perlemakan
tubuh. Karkas yang baik adalah mengandung daging yang baik, ikutan yang
rendah dan kadar lemak tidak terlalu tinggi, yang semua itu sangat dipengaruhi
oleh makanan dan pengelolaan. Sesuai pendapat Summers et al. (1965) bahwa
pengaruh makanan ternyata paling menonjol terhadap kadar lemak tubuh,
dilanjutkan oleh Scott et al. (1982) bahwa ayam tidak sepenuhnya
mengadaptasikan diri terhadap konsumsi energi terutama energi makanan,
konsumsi secara berlebihan akan diikuti dengan tingginya deposisi lemak.
Disisi lain ditinjau dari animo (psikis) masyarakat yang menerapkan pola
hidup sehat, cenderung enggan menerima produk ayam broiler tinggi kandungan
lemak. Hal ini diperkirakan konsumen sebagai pendorong meningkatnya
kolesterol dalam darah, sehingga mempengaruhi kesehatan serta penyebab
berbagai penyakit degeneratif. Oleh karena itu untuk mencegah agar tidak terjadi
penurunan konsumsi daging ayam broiler sebagai sumber protein hewani, perlu
diupayakan penurunan kandungan lemak tubuh ayam broiler.
Lemak yang tinggi dalam tubuh akan mengakibatkan terjadinya kenaikan
kadar LDL yaitu lipoprotein yang kaya akan kolesterol (Muhajir 2002). Semakin
banyak lemak yang dikeluarkan oleh tubuh, dengan demikian kadar kolesterol
dalam tubuh akan menurun (Syahruddin 2002). Hasil penelitian Griffith et al.
(1998) menunjukkan bahwa lemak rongga tubuh berkorelasi positif dengan
pertumbuhan lemak pada karkas, dan lemak karkas akan meningkat sekitar 12 %
dari umur 4-8 minggu.
Penelitian Supadmo (1997) menghasilkan bahwa pemakaian karnitin level
150 mg/kg dapat menurunkan kolesterol daging ayam broiler dari 64,88 mg %
menjadi 48,04 mg %, kolesterol darah dari 132,50 mg/dl menjadi 88,00 mg/dl,
triasilgliserol darah dari 158,50 mg/dl menjadi 72,50 mg/dl. Menurut Mangisah
(2003) kandungan lemak yang tinggi pada ayam broiler menimbulkan asumsi
bahwa kandungan kolesterolnya juga tinggi.
Karnitin sebagai senyawa pembawa asam lemak rantai panjang dalam
menembus membran mitokondria pada -oksidasi asam lemak, berarti
ketersediaan karnitin dalam ransum dapat meningkatkan -oksidasi asam lemak,
sehingga timbunan lemak dalam bentuk kolesterol, trigliserida, garam empedu,
dan hormon steroid dapat ditekan. Tetapi yang menjadi kendala adalah harga
karnitin sangat mahal sehingga akan membebani peternak jika menggunakannya
dalam ransum. Sementara diketahui bahwa secara kimia senyawa karnitin dapat


PKMP-2-2-3
disintesis oleh tubuh dengan senyawa makronutrien yaitu metionin dan lisin, dan
senyawa mikronutrien yaitu niasin, FeSO
4
,

piridoksin/vitamin B
6
dan asam
askorbat/vitamin C dengan bantuan enzim spesifik (Feller dan Rudman 1988).
Asam-asam lemak yang telah diaktifkan, proses oksidasinya sangat
tergantung pada karnitin, dimana asil karnitin dan asil CoA rantai panjang tidak
akan menembus mitokondria dan tak teroksidasi kecuali bila asam lemak bebas
tersebut membentuk asil karnitin (Fenita 2002). Karnitin memainkan suatu
peranan pusat dalam seluruh proses sebagai pereaksi yang memperbolehkan
masuknya gugus asil lemak ke dalam mitokondria, berarti membran dalam
mitokondria harus mengandung suatu sistem pengangkutan untuk asil karnitin.
Secara sederhana, asam lemak koenzim A (Asil CoA) yang terbentuk dalam
sitoplasma dibawa ke dalam mitokondria dengan bantuan molekul karnitin (Asil
Karnitin). Dalam mitokondria terjadi degradasi asam lemak, Asil CoA akan
diteruskan ke dalam siklus krebs, dan molekul karnitin dilepaskan kembali ke
dalam sitoplasma, terdapat pada Gambar 1. berikut :

Mitokondria Membran Sitoplasma

O O O O
II II II II
R-C-CoA R-C-Karnitin R-C-Karnitin R-C-CoA
s
Karn CoA-
SH
Degradasi
Biosintesis
Asam Lemak As.
Lemak

Co-ASH Karn
O O O O
II II II II
CH
3
C-CoA CH
3
C-Karnitin CH
3
C-Karnitin CH
3
C-CoA

Asil CoA Asil Karnitin Asil Karnitin Asil CoA
Gambar 1. Pengangkutan Asam Lemak Melalui Membran Mitokondria dengan
Bantuan Karnitin (Wirahadikusumah 1985).

Pada umumnya bahan-bahan yang digunakan dalam penyusun ransum ternak
ayam yang berasal dari bahan nabati sering mengalami kekurangan asam amino
metionin dan lisin. Ini sesuai dengan pendapat Soeharto (1980) bahwa asam
amino metionin dan lisin selalu kurang dalam ransum ternak ayam, bila dilakukan
penambahan asam amino metionin dan lisin ke dalam ransumnya akan dapat
memperbaiki kualitas ransum.
Fungsi metionin dan lisin dalam biosintesa karnitin ini mempunyai beberapa
tahap, dijelaskan pada Gambar 2. sebagai berikut :




PKMP-2-2-4
AdoMet -Ketoglutarat Suksinat
H + O
2
+ CO
2
H


LISIN (CH
3
)
3
N
+
(CH
2
)
4
-C-COO (CH
3
)
3
N
+
(CH
2
)
3
CHOH-C-COO
-

Askorbat, Fe
2+


NH
3+
NH
3+

-N-trimetil-L-lisin (-hidroksi--N-trimetil-L-lisin)

1. Metilase 2. Hidroksilase
mitokondrial
PLP
3. Aldolase

Glisin
Suksinat -Ketoglutarat
H + CO
2
+ O
2
NADH+H
+
NAD
+



(CH
3
)
3
N
+
CH
2
CCH
2
COO
-
(CH
3
)
3
N
+
(CH
2
)
3
COO
-
(CH
3
)
3
N
+
(CH
3
)
3
CHO
Askorbat, Fe
2+


OH 5. Hidrolsilase sitosolik 4. Dehidrogenase
L-Karnitin -butirobetain -butirobetain-aldehid
Gambar 2. Fungsi Metionin dan Lisin dalam Biosintesa Karnitin (Feller dan
Rudman 1988).

Hal ini memang agak rumit dan sangat membutuhkan pemikiran karena
membahas metabolisme dalam sel perlu mempelajari pengaturan metabolisme
dalam tubuh. Namun berawal dari pemikiran yang sederhana tentang -oksidasi
asam lemak dan cara kerja karnitin, peneliti mencoba mencari jawaban tentang
peran kerja metionin dan lisin sebagai prekursor karnitin dalam peningkatan
oksidasi asam lemak guna menurunkan kandungan lemak tubuh ayam broiler.
Bertitik tolak dari pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
yang ada sebagai berikut :
1. Konsumen lebih menyukai ayam yang rendah lemak untuk dapat memenuhi
kebutuhan protein tanpa mengganggu kesehatan.
2. Karnitin yang bisa menurunkan lemak tubuh ayam broiler, harganya sangat
mahal dan meningkatkan biaya produksi, maka harus dicari prekursor
karnitin.
3. Belum diketahui komposisi yang tepat untuk metionin dan lisin sebagai
bahan baku biosintesis karnitin dalam tubuh, serta berapa besar pengaruhnya
untuk menurunkan kandungan lemak tubuh ayam broiler.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi metionin dan lisin
yang tepat sebagai prekursor karnitin untuk ditambahkan dalam ransum sebagai
upaya menurunkan kandungan lemak tubuh ayam broiler melalui peningkatan
oksidasi asam lemak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi para


PKMP-2-2-5
peternak ayam broiler dalam memenuhi permintaan konsumen akan daging ayam
broiler yang rendah kandungan lemak. Bahkan pada masa yang akan datang bisa
dijadikan suatu peluang usaha untuk memproduksi prekursor karnitin atau ransum
komersial yang telah disupplementasi dengan prekursor karnitin, yang mudah
digunakan oleh peternak.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, dengan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) terdiri dari 8 perlakuan dan 4 kali ulangan (Steel and Torrie
1991). Dilaksanakan di kandang percobaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) ternak
unggas dan laboratorium Nutrisi Non Ruminansia Fakultas Peternakan
Universitas Andalas pada bulan Mei s.d. November 2005.
Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Ayam broiler jantan strain CP 707 umur 21 hari sebanyak 64 ekor.
2. Kandang yang digunakan kandang berlantai dan dinding kawat berbentuk
kotak (boks) sebanyak 32 unit yang ditempatkan dalam ruangan atau
bangunan kandang, tiap unit diisi dengan 2 ekor ayam umur 3 minggu yang
dilengkapi dengan tempat makan dan minum, plastik hitam, layar plastik
transparan dan lampu penerang 25 watt.
3. Makanan yang diberikan adalah ransum komersial Bravo 512 yang tersedia
di poultry shop, kandungan nutrisi ransum tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Ransum Komersial Bravo 512

Ransum Bravo 512 Nutrisi Ransum
Kadar (%)* Kadar (%)**
Kadar air
Protein
Lemak
Serat
Abu
Kalsium
Phospor
13
19 - 21
5 - 8
5
7
0.9
0.6
10.49
20.67
7.6
1.94
-
-
-
* PT. Charoen Pokphand Indonesia, KIM Medan
** Laboratorium Nutrisi Non Ruminansia Fak. Peternakan Unand

Ransum perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi atas 8
macam yaitu :
A : Ransum komersial (RK) = Bravo 512
B : RK + karnitin 150 mg/kg ransum
C : RK + prekursor karnitin 1
D : RK + prekursor karnitin 2
E : RK + prekursor karnitin 3
F : RK + prekursor karnitin 4
G : RK + prekursor karnitin 5
H : RK + prekursor karnitin 6
Komposisi senyawa makro dan mikronutrien yang digunakan sebagai prekursor
karnitin 1 - 6 dapat dilihat pada Tabel 2.


PKMP-2-2-6
4. Senyawa makronutrien sintetis berupa L-HCl Lisin dan DL-Metionin,
senyawa mikronutrien yaitu FeSO
4
, niasin, piridoksin (vitamin B
6
) dan asam
askorbat (vitamin C), sebagai prekursor karnitin, dengan komposisi pada
Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Prekursor Karnitin

Prekursor Karnitin Senyawa
1 2 3 4 5 6
L-HCl Lisin (%)
DL-Metionin (%)
Niasin (mg/kg)
FeSO
4
(mg/kg)
Vitamin C (mg/kg)
Piridoksin,vit B
6
(mg/kg)
0,55
0,22
0,33
80
250
3,5
0,55
0,44
0,33
80
250
3,5
0,55
0,66
0,33
80
250
3,5
1,1
0,22
0,33
80
250
3,5
1,1
0,44
0,33
80
250
3,5
1,1
0,66
0,33
80
250
3,5

5. Alat-alat lain yang digunakan adalah timbangan teknis, kantong plastik,
wadah plastik, peralatan laboratorium dan perlengkapan lain yang
mendukung.
Peubah yang diamati pada penelitian ini dibagi atas 3 parameter pengukuran
yaitu:
1. Performan ayam broiler meliputi : konsumsi ransum (g/ekor), pertambahan
bobot badan (g/ekor) dan konversi ransum yaitu perbandingan konsumsi
ransum dengan pertambahan bobot badan (%).
2. Kualitas karkas ayam broiler meliputi : berat hidup yaitu penimbangan ayam
pada akhir penelitian (g), berat karkas yaitu berat ayam tanpa bulu, darah,
kepala, kaki bagian bawah dan alat tubuh bagian dalam kecuali paru-paru
dan ginjal (g), persentase karkas yaitu perbandingan berat karkas dengan
berat hidup (%), potongan karkas komersial yaitu berat dada, paha atas dan
paha bawah (g), persentase potongan karkas komersial (%), persentase
lemak abdominal (%), organ fisiologis yaitu berat hati dan ginjal (g) serta
persentase organ fisiologis terhadap berat hidup (%)
3. Kualitas daging ayam broiler meliputi : kandungan lemak daging dada dan
paha ayam broiler (%).
Untuk pengujian kualitas daging ayam broiler, otot yang dipilih adalah otot
yang cukup besar dengan arah serabut yang cukup jelas. Bentuk dan bagian ayam
broiler dapat dilihat pada Gambar 3.






Paha Atas

Otot Dada Paha Bawah

Gambar 3. Bagian Komersial Ayam Broiler Sebagai Sampel.


PKMP-2-2-7
Proses penelitian dilaksanakan sebagai berikut :
1. Sanitasi atau Persiapan kandang
Kandang dibersihkan atau disucihamakan dengan cara pengapuran dan
penyemprotan formalin dosis 5 cc/liter air, termasuk tempat makan dan
minum ayam broiler.
2. Pemeliharaan DOC, menggunakan ransum Bravo 511 dan setelah umur
20 hari dilakukan sexing guna pengambilan ayam jantan untuk perlakuan
sebanyak 64 ekor.
3. Pengacakan
Dilakukan penomoran boks 1-32 untuk 8 perlakuan dan 4 ulangan, yang
dilengkapi tempat makan dan minum pada masing-masing boks.
Penempatan nomor boks dilakukan secara acak untuk proses perlakuan.
4. Penimbangan awal berat badan
Ayam jantan umur 21 hari diambil secara acak sebanyak 10 ekor, ditimbang
untuk mendapatkan berat rata-rata yang dijadikan berat patokan. Kemudian
diambil dua level di bawah dan diatas berat tersebut. Disediakan 5 kotak
untuk menempatkan ayam dengan kelima level berat tersebut. Semua ayam
ditimbang dimasukkan kedalam kotak sesuai dengan berat badannya. Ayam
dimasukkan ke dalam unit kandang yang telah diberi nomor 1-32 secara
berurutan dan sebaliknya. Ayam diambil dari kotak dengan berat tertinggi
sampai terendah sehingga masing-masing unit kandang terisi 2 ekor ayam.
5. Pemberian ransum dan air minum
Ayam diberi ransum perlakuan dari umur 3 - 6 minggu. Ransum diberikan
secara ad libitum dan ditimbang sesuai perlakuan. Sisa ransum dikumpulkan
dan ditimbang setiap minggu. Air minum diberikan secara ad libitum setiap
hari bersamaan dengan pemberian makanan.
6. Prosessing pemotongan dan pengumpulan data
Pengumpulan data konsumsi ransum dan pertambahan berat badan
dilakukan setiap minggu. Setelah umur 6 minggu, pada setiap unit
percobaan diambil 1 ekor ayam broiler untuk dipotong. Lakukan
pengukuran sesuai peubah yang diamati dan pengambilan sampel daging
dada dan paha ayam broiler.
7. Analisis kandungan lemak daging dada dan paha di Laboratorium Nutrisi
Non Ruminansia.
8. Pengolahan data dan pembuatan laporan.
Data-data yang diperoleh selama penelitian lebih lanjut diolah secara
statistik menggunakan analisis ragam menurut Steel and Torrie (1991), jika
hasil analisis menunjukkan signifikan, maka dilakukan uji lanjut kontras
ortogonal, untuk mendapatkan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Performan Ayam Broiler Umur 6 Minggu
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian perlakuan mempunyai
pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum, berbeda sangat
nyata (P<0,01) terhadap pertambahan bobot badan dan berbeda sangat nyata
(P<0,01) terhadap konversi ransum ayam broiler (Tabel 3).


PKMP-2-2-8
Pengaruh berbeda tidak nyata terhadap konsumsi ransum menunjukkan
bahwa penambahan karnitin dosis 150 mg/kg ransum dan prekursor karnitin tidak
menyebabkan penurunan konsumsi ransum. Dengan kata lain tidak terjadi efek
samping sebagai akibat cekaman makanan atau stress pada ayam broiler. Hal ini
disebabkan karena palatabilitas dari ransum perlakuan yang hampir sama,
walaupun adanya suplementasi.

Tabel 3. Rataan Pengukuran Performan Ayam Broiler Umur 6 Minggu

No. Perlakuan Konsumsi
Ransum (g)
ns

Pertambahan Bobot
Badan (g)**
Konversi Ransum
(%)**
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
A (RK)
B (RK + Karn.)
C (RK + pk1)
D (RK + pk2)
E (RK + pk 3)
F (RK + pk 4)
G (RK + pk 5)
H (RK + pk 6)
2613,91
2404,71
2562,08
2500,11
2520,25
2489,04
2490,70
2398,65
1250,00
1276,88
1383,13
1463,13
1440,63
1304,38
1308,75
1296,88
2,09
1,89
1,89
1,71
1,75
1,91
1,91
1,86

Tabel 4. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Performan Ayam Broiler

Perbandingan Q Signifikasi
(Pertambahan Bobot Badan)
Signifikasi
(Konversi Ransum)
A vs BCDEFGH
B vs CDEFGH
CDE vs FGH
DG vs CEFH
CF vs EH
A vs B
D vs E
1
2
3
4
5
6
7
6,00*
4,38*
15,27**
0,76
ns

0,39
ns

0,23
ns

0,16
ns

36,51**
1,59
ns

14,29**
1,03
ns

60,32**
14,29**
0,51
ns

Keterangan : - (**) menunjukkan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01)
- (*) menunjukkan pengaruh berbeda nyata (P<0,05)
- (ns) menunjukkan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05)

Pengaruh berbeda sangat nyata terhadap pertambahan bobot badan
menunjukkan bahwa penambahan karnitin dosis 150 mg/kg ransum dan prekursor
karnitin menyebabkan peningkatan pertambahan bobot badan. Hasil uji lanjut
kontras ortogonal menjelaskan bahwa perlakuan A berbeda nyata dengan
perlakuan B, C, D, E, F, G, H, hal ini menunjukkan bahwa respon ayam yang
diberi ransum kontrol berbeda dengan respon ayam yang diberi perlakuan
prekursor karnitin. Dibuktikan terlihatnya pertambahan bobot badan paling rendah
pada perlakuan A yaitu 1250,00 g.
Perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan C, D, E, F, G, H, menunjukkan
bahwa respon ayam yang diberi perlakuan karnitin berbeda dengan respon ayam
yang diberi perlakuan prekursor karnitin, bahkan prekursor karnitin memberikan
pengaruh lebih baik terhadap pertambahan bobot badan pada tingkat konsumsi
yang sama. Pertambahan bobot badan sebesar 1276,88 g pada perlakuan B masih
dibawah angka pada perlakuan prekursor karnitin.
Selanjutnya perlakuan C, D, E berbeda sangat nyata dengan perlakuan F,
G, H, menunjukkan perbedaan respon yang sangat nyata diantara perlakuan


PKMP-2-2-9
1200
1250
1300
1350
1400
1450
1500
1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan (X)
P
e
r
t
a
m
b
a
h
a
n

B
o
b
o
t

B
a
d
a
n

(
Y
)
prekursor karnitin. Pertambahan bobot badan pada perlakuan C, D, E cenderung
lebih tinggi daripada perlakuan F, G, H, menunjukkan bahwa pemakaian dosis
lisin lebih dari 0,55 % tidak efektif dalam meningkatkan pertambahan bobot
badan, karena adanya sifat antagonis sehingga menekan metabolisme asam-amino
yang lain, seperti arginin. Hal ini menyebabkan keseimbangan asam amino
terganggu dan mengakibatkan gangguan pertumbuhan.
Pertambahan bobot badan paling tinggi terdapat pada perlakuan D. Rataan
pertambahan bobot badan dijelaskan pada Gambar 4. sebagai berikut :

D E
C
F G H
A B






Gambar 4. Grafik Rataan Pertambahan Bobot Badan Tiap Perlakuan.

Pengaruh berbeda sangat nyata terhadap konversi ransum, menunjukkan
bahwa penambahan karnitin dosis 150 mg/kg ransum dan prekursor karnitin
menyebabkan perbedaan efisiensi penggunaan makanan oleh ayam broiler. Hal ini
terjadi karena respon terhadap pertambahan bobot badan yang juga berbeda sangat
nyata, sehingga secara langsung akan membedakan tingkat konversi ransum.
Ransum pada perlakuan D terbukti paling efisien dengan tingkat konversi paling
rendah yaitu 1,71 %, sedangkan perlakuan A tetap mempunyai nilai konversi
paling tinggi yaitu 2,09 %.

Tabel 5. Rataan Kualitas Karkas Ayam Broiler Umur 6 Minggu

No. Perlakuan Berat Hidup
(g)
ns

Berat
Karkas (g)
ns

Persentase
Karkas (%)
ns

Persentase
L. Abdominal (%)*
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
A
B
C
D
E
F
G
H
2075,00
1931,25
2231,25
2125,00
2200,00
2063,75
2187,50
1975,00
1532,88
1408,73
1625,25
1531,38
1644,53
1489,00
1602,88
1413,63
73,93
72,87
72,82
72,00
74,71
72,12
73,39
71,64
2,50
1,86
2,19
1,61
2,15
2,16
2,13
2,09










PKMP-2-2-10
Rataan Performan Potongan Karkas Komersial Ayam Broiler Umur 6 Minggu

No. P Berat
Dada (g)
ns

Persentase
Dada (%)
ns

Berat Paha
Atas (g)
ns

Persentase
PA (%)
ns

Berat Paha
Bawah (g)
ns

Persentase
PB (%)
ns

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
A
B
C
D
E
F
G
H
464,23
422,33
506,55
501,95
546,55
451,25
494,25
452,75
30,27
30,06
31,11
32,62
33,25
30,36
30,93
31,95
123,05
117,68
130,18
135,23
130,40
122,93
131,50
114,70
26,53
27,82
25,67
27,55
23,72
27,29
26,73
25,22
119,38
113,25
123,75
111,68
116,05
113,18
116,88
102,90
7,78
8,03
7,61
7,31
7,04
7,59
7,27
7,23

Rataan Organ Fisiologis Ayam Broiler Umur 6 Minggu

No. P Berat Hati
(g)
ns

Persentase Hati
(%)
ns

Berat Ginjal
(g)
ns

Persentase Ginjal
(%)
ns

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
A
B
C
D
E
F
G
H
34,86
33,53
40,39
35,84
35,46
33,21
38,04
33,52
1,68
1,74
1,82
1,69
1,61
1,61
1,73
1,70
9,61
8,54
10,37
9,83
9,81
9,90
12,56
9,65
0,46
0,44
0,46
0,46
0,45
0,48
0,58
0,49

Tabel 6. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Persentase Lemak Abdominal

Perbandingan Q Signifikasi Persentase Lemak Abdominal
A vs B
A vs CDEFGH
B vs CDEFGH
CDE vs FGH
DG vs CEFH
C vs DE
C vs D
1
2
3
4
5
6
7
8,159**
6,745*
1,306
ns

1,232
ns

4,1696
ns

2,484
ns

6,6324*
Keterangan : - (**) menunjukkan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01)
- (*) menunjukkan pengaruh berbeda nyata (P<0,05)
- (ns) menunjukkan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05)

Analisis Kualitas Karkas Ayam Broiler Umur 6 Minggu
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian perlakuan memberikan
pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kualitas karkas, kecuali berbeda
nyata (P<0,05) terhadap persentase lemak abdominal ayam broiler. Menunjukkan
bahwa penambahan karnitin dosis 150 mg/kg dan prekursor karnitin tidak
mempengaruhi perkembangan organ tersebut, ayam broiler masih dapat mengatur
pertumbuhan organnya dan menyesuaikan dengan berat hidup.
Pengaruh berbeda nyata terhadap persentase lemak abdominal menunjukkan
bahwa penambahan karnitin dosis 150 mg/kg dan prekursor karnitin dapat
menurunkan lemak abdominal ayam broiler. Hasil uji lanjut kontras ortogonal
menunjukkan perbedaan respon ayam yang diberi perlakuan kontrol dengan ayam
yang diberi perlakuan karnitin dan prekursor karnitin. Persentase lemak


PKMP-2-2-11
abdominal paling rendah pada perlakuan D yaitu 1,61 %. Jika dibandingkan
perlakuan A, maka terjadi penurunan persentase lemak abdominal sebesar 0,9 %.

Analisis Kualitas Daging Ayam Broiler Umur 6 Minggu
Hasil analisis ragam kandungan lemak daging dada dan paha ayam broiler
diketahui bahwa pemberian perlakuan memberikan pengaruh berbeda sangat
nyata (P<0,01) terhadap kandungan lemak daging dada dan berbeda nyata
(P<0,05) terhadap kandungan lemak daging paha ayam broiler (Tabel 7).
Hasil uji lanjut kontras ortogonal kandungan lemak daging dada
menunjukkan bahwa perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan B, berbeda
sangat nyata dengan perlakuan C, D, E, F, G, H, hal ini menunjukkan bahwa
respon ayam yang diberi ransum kontrol berbeda dengan ayam yang diberi
perlakuan karnitin maupun prekursor karnitin. Pemberian karnitin dosis 150
mg/kg ransum dan prekursor karnitin dapat membawa asam lemak rantai panjang
lebih banyak ke dalam mitokondria sehingga dapat meningkatkan -oksidasi asam
lemak dan menurunkan kandungan lemak daging dada ayam broiler.

Tabel 7. Rataan Kandungan Lemak Daging Dada dan Paha Ayam Broiler Umur
6 Minggu (%)

No. Perlakuan Lemak Dgg. Dada (%)** Lemak Dgg. Paha (%)*
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
A (RK)
B (RK+K 150mg/kg)
C (RK + pk 1)
D (RK + pk 2)
E (RK + pk 3)
F (RK + pk 4)
G (RK + pk 5)
H (RK + pk 6)
4.99
3.49
3.39
1.75
2.03
3.19
1.96
2.08
21.55
21.03
19.09
16.76
17.42
19.80
17.72
22.37
Standar Error (SE) 0.25 0.65

Tabel 8. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Kualitas Daging Ayam Broiler

Perbandingan Q Signifikasi
(Lemak Daging Dada)
Signifikasi
(Lemak Daging Paha)
A vs CDEFGH
B vs CDEFGH
A vs B
CDE vs FGH
DG vs CEFH
C vs DE
C vs D
1
2
3
4
5
6
7
23,298**
4,165
ns

4,527*
0,002
ns

3,628
ns

6,098*
5,450*
3,684
ns
2,392
ns

0,081
ns

4,332*
4,654*
1,579
ns
1,604
ns
Keterangan : - (**) menunjukkan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01)
- (*) menunjukkan pengaruh berbeda nyata (P<0,05)
- (ns) menunjukkan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05)

Perlakuan B berbeda tidak nyata dengan perlakuan C, D, E, F, G, H,
menunjukkan bahwa peranan prekursor karnitin dapat menyamai efek pemberian
karnitin sehingga prekursor karnitin dapat menggantikan penggunaan karnitin
dalam ransum. Perlakuan C, D, E berbeda tidak nyata dengan perlakuan F, G, H,
tapi perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan D, E, berbeda nyata dengan


PKMP-2-2-12
perlakuan D, menjelaskan bahwa perlakuan D lebih baik menurunkan kandungan
lemak daging dada menjadi 1,75 %, jika dibandingkan dengan perlakuan A maka
terjadi penurunan kandungan lemak daging dada sebesar 3,24 %.
Hasil uji lanjut kontras ortogonal kandungan lemak daging paha
menunjukkan bahwa perlakuan A dan B berbeda tidak nyata dengan perlakuan C,
D, E, F, G, H, tapi perlakuan C, D, E berbeda nyata dengan perlakuan F, G, H.
Hal ini menunjukkan bahwa penambahan karnitin dosis 150 mg/kg ransum belum
dapat menurunkan kandungan lemak daging paha ayam broiler disebabkan karena
senyawa karnitin disini belum bekerja secara optimal sebagai pereaksi masuknya
gugus asil lemak ke dalam mitokondria, tetapi penambahan prekursor karnitin
dapat membawa asam lemak rantai panjang lebih banyak ke dalam mitokondria
sehingga dapat meningkatkan -oksidasi asam lemak dan menurunkan kandungan
lemak daging paha ayam broiler.
Perlakuan D, G berbeda nyata dengan perlakuan C, E, F, H, walaupun
perlakuan C berbeda tidak nyata dengan perlakuan D, E. Namun kandungan
lemak daging paha paling rendah terdapat pada perlakuan D yaitu 16,76 %. Jika
dibandingkan dengan kandungan lemak daging paha pada perlakuan A maka
terjadi penurunan kandungan lemak daging paha sebesar 4,79 %.
Fenita (2002) menyatakan bahwa asam-asam lemak yang telah diaktifkan,
proses oksidasinya sangat tergantung pada karnitin, dimana asil karnitin dan asil
CoA rantai panjang tidak akan menembus mitokondria dan tak teroksidasi kecuali
bila asam lemak bebas tersebut membentuk asil karnitin Karnitin memainkan
suatu peranan pusat dalam seluruh proses sebagai pereaksi yang memperbolehkan
masuknya gugus asil lemak ke dalam mitokondria, berarti membran dalam
mitokondria harus mengandung suatu sistem pengangkutan untuk asil karnitin.
Lebih ditegaskan oleh Ismadi (1993) bahwa langkah pertama dalam jalur -
oksidasi adalah pengaktifan asam lemak dan langkah berikutnya pembentukan asil
karnitin, gugus asil ditranesterkan ke karnitin untuk menembus membran
mitokondria.
Mampunya prekursor karnitin menggantikan kerja karnitin untuk
meningkatkan oksidasi asam lemak dalam upaya menurunkan kandungan lemak
tubuh ayam broiler, maka dapat diartikan kemungkinan besar juga mampu
menurunkan kadar kolesterol darah dan daging ayam broiler, karena menurut
Mangisah (2003) kandungan lemak yang tinggi pada ayam broiler menimbulkan
asumsi bahwa kandungan kolesterolnya juga tinggi. Serta ditegaskan oleh Muhajir
(2002) bahwa lemak yang tinggi dalam tubuh akan mengakibatkan terjadinya
kenaikan kadar LDL yaitu lipoprotein yang kaya akan kolesterol. Semakin banyak
lemak yang dikeluarkan oleh tubuh, dengan demikian kadar kolesterol dalam
tubuh akan menurun (Syahruddin 2002).
Berdasarkan hal diatas didapatkan komposisi prekursor karnitin yang paling
baik menurunkan kandungan lemak daging dada dan paha ayam broiler yaitu
perlakuan D; 0,55 % L-HCl Lisin; 0,44 % DL-Metionin; 0,33 mg/kg niasin; 80
mg/kg FeSO
4
; 250 mg/kg asam askorbat/vitamin C dan 3,5 mg/kg
piridoksin/vitamin B
6
.

KESIMPULAN
1. Prekursor karnitin dapat menggantikan kerja karnitin dalam upaya
menurunkan kandungan lemak tubuh ayam broiler, bahkan bisa bekerja


PKMP-2-2-13
lebih baik daripada karnitin terhadap pertambahan bobot badan dan konversi
ransum tanpa mengganggu pertumbuhan organ lainnya.
2. Komposisi prekursor karnitin yang paling baik adalah 0,55 % L-HCl Lisin;
0,44 % DL-Metionin; 0,33 mg/kg niasin; 80 mg/kg FeSO
4
; 250 mg/kg asam
askorbat/vitamin C dan 3,5 mg/kg piridoksin/vitamin B
6
.
3. Menurunkan kandungan lemak daging dada dari 4,99 % menjadi 1,75 %,
kandungan lemak paha dari 21,55 % menjadi 16,76 % dan lemak abdominal
dari 2,50 % menjadi 1,61 %.

DAFTAR PUSTAKA
Feller AG, Rudman D. 1988. Role of carnitin in human nutrition. J Nutr 118:541-
547.
Fenita Y. 2002. Supplementasi lisin dan metionin serta minyak ikan lemuru ke
dalam ransum berbasis hidrolisat bulu ayam terhadap peternakan dan
pertumbuhan ayam ras pedaging (Disertasi). Bogor: Program Pascasarjana.
IPB.
Griffiths L, Leeson S, Summers JD. 1998. Studies and abdominal fat with four
commercial strain of male broiler chicken. Poultry Sci 1998-1203.
Ismadi M. 1993. Biokimia Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus. Jilid 2. Ed.
Ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr.
Leeson S, Summers JD. 1980. Production and carcass characteristic of the broiler
chicken. Poultry Sci 59:786-798.
Mangisah. 2003. Pemanfaatan kunyit (curcuma domestika) dan temulawak
(curcuma xanthiriza) sebagai upaya menurunkan kadar kolesterol daging
ayam broiler. Research and Development Agency Central Java Propincial :
Semarang.
Muhajir. 2002. Turunkan kolesterol ayam kampung dengan lisin. Poultry
Indonesia. Ed. September. 68-69.
Scott ML, Neshein MC, Young RJ. 1982. Nutrition of The Chicken. Third
Edition. M. L. Scott and Associates. Ithaca : New York.
Soeharto PR. 1980. Protein dan Asam-Asam Amino. Poultry Indonesia. No : 28.
Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan
Biometrik. Terjemahan Sumantri B. Edisi 2. Yogyakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Summers JD, Slinger SJ, Ashton GL. 1965. The effect of dietary energy and
protein on carcass composition with a note on a method for estimating
carcass composition. Poultry Sci. 44: 501-509. Illinois : USA.
Supadmo. 1997. Pengaruh sumber khitin dan prekursor karnitin serta minyak ikan
lemuru terhadap kadar lemak dan kolesterol serta asam lemak omega-3
ayam broiler. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB : Bogor.
Syahruddin E. 2002. Penggunaan eceng gondok fermentasi dalam ransum
terhadap kandungan kolesterol dan sistem pencernaan ayam broiler. J.
Peternakan dan Lingkungan. Vol. 08. No. 02 Juni. 44-47.
Wirahadikusumah M. 1985. Biokimia : Metabolisme Energi, Karbohidrat dan
Lipid. Penerbit ITB : Bandung.
Yuniza A. 2002. Respons ayam broiler di daerah tropik terhadap kelebihan asupan
energi dalam upaya menurunkan kandungan lemak abdominal. Disertasi.
Bogor: Program Pascasarjana. IPB.

PKMP-2-3-1
UJI KETAHANAN TANAMAN PISANG YANG
DIIMUNISASI DENGAN PSEUDOMONAS BERFLOURESENSI
TERHADAP RALSTONI A SOLANACEARUM

Fidel Kasfar, Aidhya Irhash Putra, Zulia Yuningsih
Jurusan Biologi, Universitas Negeri Padang, Padang


ABSTRAK
Pisang (Musa spp) merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara dan
kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hampir setiap
orang gemar mengkonsumsi pisang. Produksi buah pisang di Propinsi Sumatera
Barat menurun dari tahun ke tahun disebabkan oleh gangguan hama dan
penyakit. Salah satu penyakit yang dapat menurunkan produksi pisang adalah
penyakit layu bakteri oleh bakteri Ralstonia solanocearum E. F. Smith. Penelitian
ini bertujuan untuk menguji ketahanan tanaman pisang yang diimunisasi dengan
Pseudomonas berflouresensi terhadap Ralstonia solanacearum E. F. Smith. Jenis
penelitian ini adalah eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 3
ulangan. Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis secara sidik ragam
dan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%. Parameter yang diamati adalah
intensitas tanaman yang terserang penyakit dan pertumbuhan tanaman pisang.
Hasil penelitian diketahui bahwa bakteri Pseudomonas berflouresensi dapat
menghambat serangan penyakit layu bakteri Ralstonia solanacearum E. F. Smith
Bakteri Pseudomonas berflouresensi dapat meningkatkan tinggi tanaman,
panjang daun, lebar daun, diameter batang dan jumlah daun. Isolat yang dipakai
dalam penelitian ini baik untuk digunakan dalam penendalian penyakit layu
bakteri.

Kata kunci: pisang, Pseudomonas, Ralstonia solanacearum

PENDAHULUAN
Pisang (Musa spp.) merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara
dan kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Produksi
pisang pada tahun 2000 adalah 3.584.694 ton yang merupakan urutan pertama
diantara produksi buah-buahan di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik
(2002) total produksi pisang di Indonesia mencapai 4.384.384 ton. Propinsi
Sumatera Barat memproduksi pisang sebesar 46.389 ton dan menduduki urutan ke
empat setelah Lampung, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Produksi pisang
di Propinsi ini menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1998 produksi 80.326
ton, tahun 1999 produksi 81.865 ton, tahun 2000 produksi 59.549 ton, tahun 2001
produksi 48.810 ton dan tahun 2002 produksi 33.367 ton. Penurunan produksi
pisang disebabkan oleh gangguan hama dan penyakit (BPS, 2002).
Salah satu penyakit penting yang dapat menurunkan produksi pisang adalah
penyakit layu bakteri oleh bakteri Ralstonia solanacearum ras 2 dan dikenal
sebagai penyakit moko. Penyakit layu bakteri di Indonesia termasuk urutan
pertama dalam daftar prioritas penyakit yang menyerang tanaman. (Anonim, 1991




PIMNAS XIX 2006
2
dalam Hermanto 2001). Berdasarkan jumlah kerugian dan luasnya serangan, yang
dikemukakan oleh Geddes (1992, cit Supriadi, 2000) menempatkan
R. solanocearum pada urutan ke enam dari 68 organisme pengganggu tanaman
(OPT) di Indonesia. Penyakit layu bakteri mulai berkembang di Sumatera Barat
tahun 1996. Pada tahun 2002, diketahui bahwa penyakit ini sedikitnya menyerang
satu juta rumpun pisang dan hampir memusnahkan pekebunan pisang (Djoni,
2003).
Sampai saat ini pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman pisang
belum ditemukan metode yang efektif. Beberapa penelitian dalam pengendalian
penyakit layu pada tanaman pisang sudah dirintis dengan beberapa cara antara lain
; 1). Program pengendalian terpadu berupa kultur teknis dan pengendalian
kimiawi. 2). Pemindahan sifat ketahanan terhadap penyakit dari pisang liar kepada
pisang budidaya melalui persilangan antar jenis (Ortis dan Vuylsteke 1995). 3).
Pembentukan mutan yang tahan tehadap penyakit melalui induksi mutan dengan
iradiasi. 4). Rekayasa genetik (Brimecombe et al. 2001). 5). Mencegah penularan
penyakit dengan cara pembungkusan buah sehingga terlindungi dari serangga
pengunjung bunga dan sterilisasi alat-alat pertanian yang akan digunakan dengan
larutan desinfektan (Sahlan dkk. 1996). 6). Penggunaan bibit pisang yang sehat
dan bebas penyakit seperti bibit hasil kultur jaringan. 7). Penggunaan agen hayati
(Rivai dan Habazar 2002).
Salah satu alternatif untuk pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman
pisang yang ramah lingkungan adalah dengan mengoptimalkan fungsi agen
hayati. Pengendalian penyakit dengan menggunakan agen hayati yang telah
dikembangkan hingga saat ini umumnya masih bersifat langsung terhadap
terhadap patogen melalui mekanisme kompetisi, antibiosis dan parasitisme.
Yusriadi dkk. (1997) melaporkan bahwa Pseudomonas berflouresensi BSK 8 dan
CMK 12 sangat potensial untuk menghambat perkembangan Ralstonia
solanacearum secara in vitro dengan mekanisme antagonisnya adalah antibiosis.
Aplikasi Psedomonas berflouresensi BSK 8 dan CMK 12 pada kacang tanah di
rumah kaca, memperlihatkan kemampuannya menghambat perkembangan dan
mencegah masuknya Ralstonia solanacearum ke tanaman.
Aspek lain dari pengendalian secara hayati yang masih belum banyak diteliti
adalah pengendalian secara tidak langsung dengan mekanisme induksi ketahanan
atau sering juga disebut dengan imunisasi. Tuzun dan Kuc (1990) mengemukakan
bahwa ketahanan tanaman dapat terinduksi dengan inokulasi patogen, bukan
patogen dan metabolit mikroorganisme. Satu jenis agen penginduksi dapat
mengimunisasi tanaman terhadap berbagai jenis patogen. Sumardiyono dkk.
(2000) melaporkan bahwa Pseudomonas berflouresensi yang diisolasi dari derah
perakaran Mimosa invisa secara in planta mampu menginduksi ketahanan
tanaman pisang terhadap penyakit layu bakteri R. solanacearum dan layu
Fusarium oleh Fusarium oxysporum f.sp cubence. Mengingat begitu pentingnya
induksi ketahanan tanaman pisang yang diimunisasi dengan Pseudomonas
berfluoresensi terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R.
solanacearum, maka dilakukan penelitian tentang uji ketahanan tanaman pisang
yang diimunisasi dengan Pseudomonas berflouresensi terhadap Ralstonia
solanacearum E. F. Smith.






PIMNAS XIX 2006
3
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana ketahanan
tanaman pisang yang diimunisasi dengan Psedoumonas berflouresensi terhadap
Ralstonia solanacearum.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketahanan tanaman pisang dari penyakit
R. solanacearum dan menentukan isolat dari Pseudomonas berfluoresensi yang
baik dalam pengendalian penyakit layu bakteri.

Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan dalam rangka pemanfaatan agen hayati seperti Pseudomonas
berfluoresensi sebagai penginduksi ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit
layu bakteri R. solanacearum.
2. Mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam memenfaatkan agen hayati
sebagai pengendalian penyakit layu bakteri.
3. Menumbuhkan dan memupuk sikap ilmiah serta kemandirian dalam
bidang fitopatologi (Biologi terapan).
4. Memberikan sumbangan ide terhadap pengendalian penyakit tanaman
pisang kepada masyarakat umumnya dan para petani khususnya

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di laboratorium Mikrobiologi, kebun percobaan jurusan
Biologi FMIPA UNP dan lahan pertanaman pisang di Desa Tabek Panjang Baso
Sumatera Barat yang dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2005.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat bakteri Ralstonia
solanocearum, isolat Psedomonas berflouresensi, bibit pisang Barangan hasil
kultur jaringan, medium kings B, akuades steril, kapas, alumanium foil dan
alkohol 70%.
Alat yang digunakan adalah autoklav, gelas piala, gelas ukur, jarum ose, tabung
reaksi, cawan petri, pinset, pipet, gelas ukur, batang pengaduk, erlemeyer, pisau,
timbangan analitik, vortex, shaker, lumpang porselen dan meteran

Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) di kebun percobaan
dan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pada lahan pertanaman dengan 5
perlakuan dan 3 ulangan. Isolat yang digunakan adalah isolat hasil penapisan
Advinda 2005 (belum dipublikasikan) dengan kode perlakuan adalah:
A = Isolat PfPj1 ( dari perakaran Pisang jantan yang sehat )
B = Isolat Pfpj2 (dari perakaran Pisang jantan yang sehat)
C = Isolat PfPb1 (dari perakaran Pisang batu yang sehat)
D = Isolat PfPm (dari perakaran Pisang manis yang sehat)
E= Kontrol





PIMNAS XIX 2006
4
Prosedur Penelitian
1 Persiapan Penelitian
a. Penyediaan Bibit Pisang
1) Persiapan tanah untuk penanaman planlet
Tanah yang digunakan berasal dari daerah endemik penyakit layu bakteri
(Desa Tabek Panjang Baso Sumatera Barat). Tanah dikering anginkan, diayak dan
ditambahkan pupuk kandang dan pasir (3:1:1), kemudian disterilisasi dengan
autoclave suhu 121
o
C selama 20 menit. Selanjutnya tanah dimasukkan ke dalam
gelas plastik.
2) Aklimatisasi planlet pisang
Bibit pisang Barangan hasil kultur jaringan diperoleh dari Balai Benih Induk
(BBI) Jakarta. Planlet yang tumbuh dalam botol lalu ditanam dalam gelas plastik
dan diletakkan di ruang laboratorium. Setelah 3 minggu dalam ruang
laboratorium, bibit pisang diletakkan di kebun percobaan.
b. Isolasi dan Perbanyakan R. solanacearum
Bakteri diisolasi di laboratorium dengan memotong buah pisang yang
terserang penyakit. isolat R. solanacearum diperbanyak dengan cara
menginjeksikan suspensi bakteri pada skala 1 McFarlands

sebanyak 0,1 ml pada
pangkal batang semu bibit tanaman pisang berumur 1 bulan setelah aklimatisasi.
Tanaman yang diinokulasi ditutup dengan kantong plastik dan diinkubasi di
laboratorium. Patogenisitas isolat ditandai dengan kemampuan bakteri untuk
menimbulkan gejala penyakit berupa daun layu, menguning, dan kering. Setelah
memperlihatkan gejala penyakit, jaringan tanaman tersebut diambil kemudian
distrerilkan dengan alkohol 70% selama 10 menit dan dicuci dengan akuades
steril. Selanjutnya jaringan dimaserasi dengan lumpang porselen dan ditambahkan
9 ml akuades steril (pengenceran 10
-1
).
c. Peremajaan dan perbanyakan Pseudomonas berfluoresensi.
Isolat Pseudomonas berfluoresensi yang telah tersedia diremajakan dalam
cawan petri pada medium Kings B padat dengan metode gores. Perbanyakan
inokulum dilakukan dengan mengambil satu ose biakan murni dalam petri,
kemudian dibiakkan dalam 25 ml medium Kings B cair di dalam erlenmeyer 100
ml. Kemudian dishaker selama 24 jam (preculture). Diambil 1 ml preculture,
kemudian dipindahkan ke dalam 24 ml air kelapa steril dan diinkubasi selama 3 x
24 jam (main culture) di atas shaker.
d. Persiapan di lapangan
1) Penyiapan lahan
Lahan yang digunakan adalah lahan yang terdapat di daerah endemik
penyakit layu bakteri R. solanacearu (Desa Tabek Panjang Baso Sumatera
Barat).
2) Pemupukan
Lubang tanam yang telah dipersiapkan, lalu diberi pupuk kandang dengan
dosis 10 kg /lubang tanam.
2 Pelaksanaan Penelitian
a. Aplikasi Pseudomonas berfluoresensi.
Bibit pisang Barangan hasil kultur jaringan berumur satu bulan setelah
aklimatisasi lalu diaplikasi dengan Pseudomonas berflouresensi dengan cara
Perakaran dari bibit pisang dikeluarkan dari gelas plastic, dibersihkan dari sisa
tanah dan perakaran tersebut dicelupkan ke dalam 20 ml suspensi Pseudomonas




PIMNAS XIX 2006
5
berfluoresensi (skala 3 McFarlands) selama 10 menit. Kemudian bibit pisang
ditanam dalam polybag yang telah dipersiapkan dan diletakkan di kebun
percobaan.
b. Inokulasi Ralstonia solanacearum.
Dua bulan setelah aklimatisasi, dilakukan inokulasi R. solanacearum
melalui pelukaan akar bibit pisang. Tanah di sekitar perakaran bibit pisang dengan
jarak 5 cm dari batang dan kedalaman 10 cm, kemudian disiram dengan suspensi
R. solanacearum sebanyak 5 ml. Masa inkubasi dari bakteri diamati setiap hari
selama dua bulan.
c. Pemindahan bibit ke lapangan
Bibit pisang yang masih tetap sehat setelah tiga bulan inokulasi
R. solanacearum dipindahkan ke lapangan yang telah dipersiapkan, kemudian
dilakukan penanaman bibit pisang sehat.
3 Pengamatan
a. Intensitas tanaman yang terserang oleh bakteri R. solanacearum.
Pengamatan intensitas serangan penyakit dilakukan satu kali sebulan
dengan cara skoring dan rumus yang digunakan adalah
% 100 x
NxZ
nxV
IP

=

Keterangan rumus adalah:
IP = Intensitas Penyakit.
n = jumlah tanaman dengan skor tertentu.
V = jumlah seluruh tanaman yang diamati.
N = jumlah tanaman yang diamati.
Z = skor tertinggi (5)
Skor Keterangan
1 Daun tidak layu
2 Satu helai daun layu
3 Dua sampai tiga daun layu
4 Empat sampai lima daun layu
5 > lima daunn layu (matii)
(Sumardiono et al, 1999)
b. Pertumbuhan bibit di kebun percobaan dan lahan pertanaman tanaman
pisang
Pengamatan pertumbuhan bibit pisang dilakukan satu kali dalam sebulan
hingga bibit berumur dua bulan setelah aklimatisasi, meliputi tinggi tanaman,
jumlah daun, panjang daun, lebar daun, dan diameter batang.
Teknik analisis data
Data yang diperoleh dari pengamatan dari pertumbuhan tanaman pisang dianalisis
secara sidik ragam dan dilakukan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Intensitas Tanaman yang Terserang oleh Bakteri Ralstonia solanacearum
Setelah dua bulan di kebun percobaan terlihat bahwa bibit pisang yang
diimunisasi dengan beberapa isolat Pseudomonas berflouresensi ada yang
terserang penyakit layu bakteri R. solanacearum yaitu pada perlakuan E (kontrol),
Hal ini dapat dilihat Tabel 1.





PIMNAS XIX 2006
6
Tabel 1. Intensitas tanaman yang terserang bakteri R. solanacearum (%)
Perlakuan Intensitas Penyakit (%)
A (Isolat PfPj1) 0
B (Isolat PfPj2) 0
C (Isolat PfPb1) 0
D (Isolat PfPm) 0
E (Kontrol) 66,67

Tabel 1 memperlihatkan bahwa tanaman yang diimunisasi dengan Pseudomonas
berflouresensi ada yang tidak terserang bakteri R. solanacearum yaitu perlakuan
A, B, C dan D. Hal ini diduga terjadi karena Pseudomonas berflouresensi berhasil
menghambat masuknya bakteri R. solanacearum ke dalam jaringan perakaran.
Disamping itu Pseudomonas berflouresensi dapat menginduksi ketahanan
tanaman secara alami. Hal ini sesuai dengan pendapat Hammerchmidt and Kuc
(1995 dalam Habazar 2001), bahwa imunisasi oleh Pseudomonas berflouresensi
pada tanaman mampu menginduksi ketahanan secara alami.
Terjadinya induksi ketahanan pada tanaman pisang yang diimunisasi
dengan Pseudomonas berflouresensi terhadap R. solanacearum terbukti dengan
tidak adanya serangan dari bakteri tersebut. Mekanisme induksi ketahanan yang
diduga berperan penting adalah kemampuan mikroorganisme menghasilkan
senyawa yang dapat menjadikan signal bagi tanaman untuk menghasilkan
metabolik sekunder yang bersifat anti mikroba seperti fitoaleksin (Habazar dan
Rifai 2001). Beberapa senyawa yang dipunyai oleh mikroorganisme yang
berperan sebagai signal tersebut adalah lipopolisakarida, siderofor dan asam
salisilat (Habazar 2001).
Pseudomonas berflouresensi merupakan kelompok mikroorganisme yang
mengkolonisasi perakaran tanaman (rizhobakteria) dan mempunyai potensi untuk
dikembangkan sebagai agens biokontrol untuk pengendalian penyakit.
Pemanfatan Pseudomonas berflouresensi terhadap pengendalian penyakit yang
disebabkan oleh patogen tular tanah telah banyak diteliti dan telah terbukti efektif
(Reaijmakers et al. 1995). Namun pada perlakuan kontrol terlihat adanya serangan
oleh penyakit layu bakteri R. solanacearum sehingga tanaman menjadi layu
kemudian mati. Tanaman yang sehat kemudian dipindahkan ke lahan pertanaman
Desa Tabek Panjang Baso Kabupaten Agam Sumatera Barat.

Pertumbuhan Bibit Pisang di Kebun Percobaan
Hasil sidik ragam dari pertumbuhan bibit pisang di kebun percobaan
tanaman pisang yang diimunisasi dengan beberapa isolat Pseudomonas
berflouresensi dan diingkubasi dengan R. solanacearum adalah:
Tinggi Tanaman Pisang. Dari Tabel 2 dapat dilihat rerata tinggi tanaman
pisang antara perlakuan isolat tidak berbeda nyata namun berbeda nyata dengan
perlakuan E. Tanaman pisang yang tertinggi adalah tanaman pada perlakuan D
yaitu 96,83 cm dan yang terendah adalah perlakuan E yaitu 60,33 cm.
Imunisasi Pseudomonas berflouresensi ternyata mampu meningkatkan
tinggi tanaman, karena Pseudomonas berflouresensi termasuk kedalam golongan
bakteri pemicu pertumbuhan (PGPR). Beberapa senyawa yang dihasilkan oleh
bakteri tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan, seperti kemampuan untuk
mengikat fosfat dari tanah sehingga tersedia bagi tanaman. Unsur ini berperan




PIMNAS XIX 2006
7

Tabel 2. Rerata tinggi tanaman pisang yang diimunisasi dengan Pseudomonas berflouresensi dan
diinokulasi dengan R.. solanacearum.
Perlakuan Rerata (cm)
E (kontrol) 60,33 a
C (Isolat PfPj1) 94,57 b
B (Isolat PfPj2) 94,90 b
A (Isolat PfPb1) 95,07 b
D (Isolat PfPm) 96,83 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang tidak sama terdapat perbedaan nyata taraf 5%.

penting dalam melakuan pembelahan sel sehingga tanaman menjadi lebih tinggi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bucman dan Brandy (1982) bahwa unsur pospat
yang digunakan oleh tanaman sebagai pembantu dalam proses pembelahan sel.
Panjang Daun Tanaman Pisang. Tabel 3 dapat dilihat rerata panjang daun
tanaman pisang antara perlakuan isolat tidak berbeda nyata namun berbeda nyata
dengan perlakuan E. Tanaman pisang yang berdaun terpanjang adalah tanaman
diberi perlakuan D yaitu 45,47 cm dan yang terpendek adalah perlakuan E yaitu
27,73 cm.

Tabel 3. Rerata panjang daun tanaman pisang yang diimunisasi dengan Pseudomonas
berflouresensi dan diinokulasi dengan R. solanacearum

Perlakuan Rerata (cm)
E (kontrol) 27,73 a
A (Isolat PfPj1) 39,73 b
B (Isolat PfPj2) 42,67 b
C (Isolat PfPb1) 43,57 b
D (Isolat PfPm) 45,47 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang tidak sama terdapat perbedaan nyata taraf 5%.

Pengamatan yang dilakukan menunjukkan adanya peningkatan terhadap
panjang daun karena pengaruh imunisasi Pseudomonas berflouresensi.
Pseudomonas berflouresensi ini merupakan bakteri yang mampu mengkolonisasi
daerah perakaran dengan cepat dan mampunyai kemampuan mencelat Fe serta
dapat meningkatkan ketersediaan fospat bagi tanaman, hal ini dapat menyebabkan
tanaman lebih sehat dan pertumbuhan tanaman meningkat. Kloeper et al. (1990
cit Sigee 1983) mengemukakan bahwa pseudomonas berflouresesensi secara
alami pada sistem perakaran tanaman kentang dan gula bit dapat memperbaiki
pertumbuhan tanaman. Panjang daun tanaman pisang akan mempengaruhi proses
fotosintesis. Salisbury and Ross (1995) menerangkan bahwa panjang daun akan
mempengaruhi peningkatan aktivitas klorofil dalam melakukan fotosintesis.
Lebar Daun Tanaman Pisang. Tabel 4 dapat dilihat rerata lebar daun
tanaman pisang antara perlakuan isolat tidak berbeda nyata namun berbeda nyata
dengan perlakuan E. Tanaman pisang dengan daun terlebar adalah tanaman pisang
yang diimunisasi dengan Pseudomonas berflouresensi dengan perlakuan D yaitu
22,27 cm dan yang terkecil adalah perlakuan E yaitu 15,10 cm.
Pengamatan terhadap lebar daun tanaman pisang yang diimunisasi dengan
Pseudomonas berflouresensi menunjukkan peningkatan terhadap lebar daun
tersebut. Bakteri Pseudomonas berflouresensi ini mampu mengikat Fe dari tanah
sehingga tersedia bagi tanaman yang digunakan dalam proses asimilasi Fe.




PIMNAS XIX 2006
8

Tabel 4. Rerata lebar daun tanaman pisang yang diimunisasi dengan Pseudomonas
berflouresensi dan diinokulasi dengan R. solanacearum

Perlakuan Rerata (cm)
E (kontrol) 15,10 a
A (Isolat PfPj1) 20,97 b
B (Isolat PfPj2) 21,57 b
C (Isolat PfPb1) 21,57 b
D (Isolat PfPm) 22,27 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang tidak sama terdapat perbedaan nyata taraf 5%.

Salisbury and Ross (1995) menerangkan bahwa Fe merupakan salah satu unsure
mikro yang harus tersedia bagi tanaman. Sitompul dan Guritno, (1995 dalam
Saipul 2003) menerangkan bahwa pertambahan ukuran bagian-bagian tanaman
(organ-organ) sebagai akibat dari pertambahan jaringan sel yang dihasilkan oleh
pertambahan ukuran sel.
Diameter Batang Tanaman Pisang. Dari Tabel 5 dapat dilihat rerata
diameter batang tanaman pisang, antara isolat yang digunakan tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata tapi berbeda nyata dengan perlakuan E. Tanaman pisang
dengan diameter terbesar adalah tanaman yang diimunisasi dengan Pseudomonas
berflouresensi dengan perlakuan B yaitu 39,67 mm dan yang berdiameter terkecil
adalah perlakuan E yaitu 27,27 mm.

Tabel 5. Rerata diameter batang tanaman pisang yang diimunisasi dengan Pseudomonas
berflouresensi dan diinokulasi dengan R. solanacearum

Perlakuan Rerata (mm)
E (kontrol) 27,27 a
A (Isolat PfPj1) 38,90 b
B (Isolat PfPj2) 39,03 b
D (Isolat PfPm) 39,53 b
C (Isolat PfPb1) 39,67 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang tidak sama terdapat perbedaan nyata taraf 5%.

Pemberian Pseudomonas berflouresensi memberikan pengaruh terhadap
diameter batang. Hal ini diduga karena pengaruh imunisasi Pseudomonas
berflouresensi yang merupakan golongan rizhobakteria pemicu pertumbuhan
tanaman. Lakitan (1996) menerangkan bahwa pertumbuhan tanaman pada
dasarnya disebabkan oleh pembesaran dan pembelahan sel, dimana pembesaran
dan pembelahan sel ini dilakukan jika tercukupinya unsur hara. Imunisasi bakteri
Pseudomonas berflouresensi akan dapat mencukupi unsur hara yang dibutuhka
oleh tanaman.
Kemampuan dari mikroorganisme (Pseudomonas berflouresensi)
menginduksi ketahanan tanaman yang rentan terhadap penyakit disebabkan oleh
beberapa faktor. Habazar (2001) melaporkan bahwa faktor tersebut adalah
mikroorganisme menghasilkan senyawa yang dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman berupa zat pengatur tumbuh, meningkatkan kelarutan pospat sehingga
tersedia bagi tanaman, disamping itu pospat merupakan senyawa penginduksi
ketahanan tanaman (induser) secara abiotis.




PIMNAS XIX 2006
9
Salah satu keuntungan dari dari pemakaian kelompok bakteri pemicu
pertumbuhan adalah prepentif colonization. Pseudomonas berflouresensi yang
diintroduksi menepati permukaan akar secara agresif, sehingga tidak ada
kesempatan mikroorganisme lain terutama yang bersifat merugikan (Saiful, 2003).
Jumlah Daun Tanaman Pisang. Dari Tabel 6 dapat dilihat rerata jumlah
daun tanaman pisang antara perlakuan isolat yang digunakan tidak berpengaruh
nyata terhadap jumlah daun namun ada isolat yang berbeda nyata dengan isolat
yang lainnya. Perlakuan tersebut adalah perlakuan B dengan perlakuan lainnya
yaitu perlakuan E,A,C dan D. Tanaman pisang dengan daun terbanyak adalah
tanaman yang diimunisasi dengan Pseudomonas berflouresensi dengan perlakuan
B yaitu 10 helai dan yang paling sedikit adalah perlakuan E yaitu 8 helai.

Tabel 6. Rerata jumlah daun tanaman pisang yang diimunisasi dengan Pseudomonas
berflouresensi dan diinokulasi dengan R. solanacearum
Perlakuan Rerata (Helai)
E (kontrol) 8 a
A (Isolat PfPj1) 9 a
C (Isolat PfPb1) 9 a
D (Isolat PfPm) 9 a
B (Isolat PfPj2) 10 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang tidak sama terdapat perbedaan nyata taraf 5%.

Dari Tabel 6 dapat dilihat rerata jumlah daun tanaman pisang antara
perlakuan isolat yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun
namun ada isolat yang berbeda nyata dengan isolat yang lainnya. Perlakuan
tersebut adalah perlakuan B dengan perlakuan lainnya yaitu perlakuan E,A,C dan
D. Tanaman pisang dengan daun terbanyak adalah tanaman yang diimunisasi
dengan Pseudomonas berflouresensi dengan perlakuan B yaitu 10 helai dan yang
paling sedikit adalah perlakuan E yaitu 8 helai.
Pengamatan terhadap jumlah daun memperlihatkan pengaruh terhadap
imunisasi Pseudomonas berflouresensi mampu memberikan makanan atau unsur
hara bagi tanaman. Bakteri ini merupakan golongan bakteri pemicu pertumbuhan.
Lakitan (1996) menerangkan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan daun adalah intensitas cahaya, suhu udara, unsur
hara dan ketersediaan air. Hal ini memperlihatkan bila tercukupinya unsur hara
akibat imunisasi Pseudomonas berflouresensi akan meningkatkan pembentukan
daun baru.

Pertumbuhan Tanaman Pisang di Lahan Pertanaman.
Hasil sidik ragam dari rerata pertumbuhan tanaman pisang di lahan
pertanaman yang diimunisasi dengan beberapa isolat Pseudomonas berflouresensi
dan diingkubasi dengan R. solanacearum, adalah sebagai berikut.
Tinggi Tanaman Pisang. Rata-rata pertumbuhan tanaman pisang yang
diimunisasi dengan Pseudomonas berflouresensi setelah berumur tiga bulan
dilahan pertanaman tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: adaptasi tanaman, intensitas cahaya,
suhu udara, unsur hara dan ketersediaan air. Hal ini sesuai dengan pendapat
lakitan (1996) bahwa faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan tanaman di
lahan pertanaman adalah adaptasi tanaman yang baik, intensitas cahaya yang




PIMNAS XIX 2006
10

Tabel 7. Rerata tinggi tanaman pisang yang diimunisasi dengan Pseudomonas berflouresensi
dan diinokulasi denga R. solanacearum
Perlakuan Rerata (cm)
D (Isolat PfPm) 151,3
C (Isolat PfPb1) 157,2
B (Isolat PfPj2) 199,6
A (Isolat PfPj1) 203,6

Panjang Daun Tanaman Pisang.

Tabel 8. Rerata panjang daun tanaman pisang yang diimunisasi dengan Pseudomonas
berflouresensi dan diinkubasi dengan R. solanacearum

Perlakuan Rerata (cm)
A (Isolat PfPj1) 69,4
D (Isolat PfPm) 73,4
B (Isolat PfPj2) 75,9
C (Isolat PfPb1) 75,9

Lebar Daun Tanaman Pisang.

Tabel 9. Rerata lebar daun tanaman pisang yang diimunisasi dengan Pseudomonas
berflouresensi dan diinokulasi dengan R. solanacearum
Perlakuan Rerata (cm)
D (Isolat PfPm) 30,1
A (Isolat PfPj1) 30,8
B (Isolat PfPj2) 30,8
C (Isolat PfPb1) 31,8

Diameter Batang Tanaman Pisang.

Tabel 10. Rerata diameter batang tanaman pisang yang diimunisasi dengan Pseudomonas
berflouresensi dan diinokulasi dengan R. solanacearum
Perlakuan Rerata (cm)
B(Isolat PfPj2) 3,7
C(Isolat PfPb1) 3,7
D(Isolat PfPm) 3,7
A(Isolat PfPj1) 3,9

Jumlah Daun Tanaman Pisang.

Tabel11. Rerata jumlah daun tanaman pisang yang diimunisasi dengan Pseudomonas ber-
flouresensi dan diinokulasi dengan R. solanacearum
Perlakuan Rerata (Helai)
C(Isolat PfPb1) 7,7
D(Isolat PfPm) 7,9
A(Isolat PfPj1) 8,1
B(Isolat PfPj2) 8,3

cukup, suhu udara yang baik, dan ketersediaan air dan unsur hara. Bila
dibandingkan dengan pertumbuhan di kebun percobaan, maka rata-rata
pertumbuhan tanaman mengalami peningkatan, namun jika dilakukan uji statistik




PIMNAS XIX 2006
11
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Salah satu keuntungan dari dari
pemakaian kelompok bakteri pemicu pertumbuhan seperti Pseudomonas
berflouresensi adalah Pseudomonas berflouresensi yang diintroduksi menempati
permukaan akar secara agresif, sehingga tidak ada kesempatan mikroorganisme
lain terutama yang bersifat merugikan.
Senyawa yang dihasilkan oleh bakteri Pseudomonas berfluoresensi
diantaranya antibiotik dan siderofor (Champbell, 1989), sehingga mampu
menghambat penyakit layu oleh bakteri R. solanacearum di lahan pertanaman
pisang. Terbukti setelah tiga bulan di lahan pertanaman tidak adanya serangan
penyait tersebut. Imunisasi Pseudomonas berfluoresensi dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman, namun setelah dianalisis dengan statistik tidak terlihat
pengaruh yang nyata.

KESIMPULAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat kesimpulan sebagai berikut :
1. Imunisasi tanaman pisang dengan Pseudomonas berflouresensi dapat
menimbulkan ketahanan terhadap serangan penyakit layu bakteri Ralstonia
solanacearum.
2. Pseudomonas berflouresensi merupakan golongan bakteri pemicu
pertumbuhan sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman pisang
Barangan seperti tinggi tanaman, lebar daun, panjang daun, diameter batang
dan jumlah daun tanaman pisang.
3. Isolat Pseudomonas berflouresensi yang dipakai dalam penelitian ini, baik
digunakan dalam pengendalian penyakit layu bakteri.

DAFTAR PUSTAKAAN
Badan Pusat Statistik, 2002. Produksi Tanaman Sayuran Dan Buah-Buahan.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Barat, 2002 Sumatera Barat dalam
Angka.
Brimecombe, M.J., De Leij-F.A.AM., J.M., 2001. Nematode Community structure
as a Sensitive Indicator of Microbial Perturbation Indused by a genetically
modified Pseudomonas Fluorescents Strain. University of surre. surrey.
Djoni, 2003. Ditemukan Penangkal Penyakit Layu Pohon Pisang. Kompas
16 Januari 2003.
Habazar, T dan F, Rivai, 2000. Dasar Dasar Bakteri Patogenik Tumbuhan.
Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang.
Habazar, T., 2001. Aspek Imunisasi Dalam Pengendalian Penyakit Tanaman
Secara Hayati. Orasi Ilmiah Pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke- 47.
30 November 2001. Fakultas pertanian Universitas Andalas.
Klopper, JW., M.N, Schroth, 1981. Development Of Powder Formulation Of
Rhizobacteria For Inoculation Of Potato Seed Pieces. Phytopathology.
Lakitan, B., 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Jakarta:
Raya Grafindo Persada.
Sahlan, Nurhardi dan C , Hermanto, 1996. Penyakit-Penyakit Utama Tanaman
Pisang. Balai Penelitian Buah Pisang. Pusat Penelitian Dan Pengembangan
Hortikultura.




PIMNAS XIX 2006
12
Salisbury, F.B., C.W, Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilit 1. Bandung: ITB.
Sitompul, S.M. dan B Guritno, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman.
Yokyakarta: Gadjah Mada Press.
Sumardiyono, C., B, Hadisutrisno., S, Subandiah., S.M., widyastuti, 2000.
Mekanisme Pengendalian Penyakit Layu Bakteri Pseudomonas
solanacearum dan Layu Fusarium oxyxporum F.SP. Cubense pada Pisang
dengan Rhizobakteria . Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada.
Sunarjono, H., 2000. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Supriadi, 2000. Penyakit Layu Bakteri ( Ralstonia solanacearum) pada Tumbuhan
Obat dan Strategi Penanggulangannya. Bogor: Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat.
Tuzun, S. Kuc, 1991. Plans Imunizatio: an Alternative to Pesticides for Control of
Plants Disease in the Greenhause Ang Fild. Of the International Seminar
Biological Control of Plants Disease ang Virus Vector. Food Fertilizer Tech.
Center for the Asian and Fasific Region. Tsyukaba Japan. September 20-21.
Yusrial., B, Tjahno., M.S, Sinaga., M. Mahmut, 1997. Dampak Introduksi
Mikroorganisme Antagonis terhadap Perkembangan Penyakit Layu Bakteri
Ralstonia solanacearum E.F. Smith. Pada kacang tanah. Buletin Hama dan
Penyakit Tumbuhan. Bogor.







PKMP-2-4-1
APLIKASI NANOFLUIDA PADA RADIATOR

Angga Permana, Ahmad Fauzan, Christiand
Departemen Teknik Mesin, Universitas Indonesia, Depok


ABSTRAK
Penelitian telah dilakukan tentang perpindahan kalor pada fluida air bersuspensi
nano partikel yang bertujuan untuk mengukur koefisien perpindahan kalor yang
terjadi didalamnya. Adapun fluida kerja alternatif yang dipakai adalah
nanopartikel Al
2
O
3
yang terdispersi didalam fluida dasar air oleh adanya gerak
Brownian yang lebih dikenal dengan nanofluida. Nanofluida ini merupakan fluida
kerja yang dikatakan cukup handal dalam hal perpindahan kalor. Sebelum
nanofluida ini diterapkan sebagai fluida kerja komersil dalam aplikasi dibidang
industri dan otomotif, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
menyempurnakannya. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan suatu alat
uji radiator otomotif yang dipasang pada sebuah terowongan angin. Pada alat uji
ini akan dilakukan proses perpindahan kalor konveksi paksa antara fluida kerja
nano dan udara sebagai pendinginnya. Pada penelitian lanjutan ini penulis
mendapatkan hasil penelitian yang mengindikasikan koefisien perpindahan kalor
konveksi nanofluida mengalami peningkatan sebesar 31-48% untuk konsentrasi
1% dan peningkatan sebesar 52-79% untuk konsentrasi 4% dari fluida dasarnya.

Kata kunci : nano partikel, gerak Brownian , koefisien perpindahan kalor
konveksi

PENDAHULUAN
Pemanasan atau pendinginan fluida adalah suatu kebutuhan utama didalam
banyak sektor industri, termasuk transportasi, kebutuhan di bidang energi dan
produksi serta bidang elektronika. Diketahui bahwa sifat-sifat termal dari fluida
kerja memegang peran yang penting didalam perkembangan efisiensi energi
peralatan perpindahan kalor. Tetapi, fluida perpindahan kalor fluida konvensional
seperti air, ethylene glycol dan minyak mesin secara umum, memiliki sifat-sifat
perpindahan kalor yang sangat rendah dibandingkan dengan kebanyakan benda
padat. Walaupun perkembangan dan riset terdahulu dilakukan berfokus pada
persyaratan perpindahan kalor pada industri, peningkatan utama dalam
kemampuan perpindahan kalor sangat kurang. Sebagai akibatnya, suatu usaha
dibutuhkan untuk mengembangkan suatu strategi baru dalam meningkatkan
efektivitas perpindahan kalor dari fluida konvensional tersebut.
Perkembangan dewasa ini dalam teknologi nano telah menciptakan suatu
kelas fluida baru dan agak khusus, disebut nanofluida, yang muncul sebagai fluida
yang memiliki potensi yang besar untuk aplikasi pendinginan [1]. Istilah
nanofluida berarti dua campuran fase dimana fase yang kontinu biasanya cairan
dan fase yang terdispersi terdiri dari nanopartikel padat yang sangat halus,
berukuran lebih kecil daripada 50 nm. Beberapa dispersi nanopartikel dari
keperluan rekayasa sebenarnya dibuat dan secara komersial tersedia [2]. Telah

PKMP-2-4-2
dibuktikan bahwa sifat-sifat termal dari campuran yang terbentuk secara
signifikan lebih tinggi daripada fluida dasarnya [1].
Beberapa penelitian telah dilakukan oleh para peneliti seperti studi mengenai
implikasi hidrodinamik dan perpindahan kalor dari slurry yang dilakukan oleh
Ahuja [3] dan Liu et.al [4]. Akan tetapi dari penelitian tersebut, slurry memiliki
permasalahan yakni terjadinya penyumbatan, adanya fouling (pengotoran) dan
adanya erosi pada komponen alat uji karena adanya sifat abrasif partikel serta
terjadinya penurunan tekanan aliran. Permasalahan diatas dikarenakan ukuran
partikel solid yang tersuspensi terlalu besar sehingga terjadi penggumpalan.
Perkembangan teknologi material telah mampu memproduksi partikel dalam
ukuran nanometer sehingga diharapkan partikel yang dicampurkan dalam fluida
cair akan tersuspensi lebih baik, seperti dilakukan oleh Choi [5] yang
mencampurkan partikel CuO dan Al
2
O
3
dalam ukuran nanometer dengan fluida
cair diantaranya air dan ethylene. Dari hasil penelitian diperoleh peningkatan
perpindahan kalor konduksinya sebesar 20%. Lalu Eastman, et.al [6] menyatakan
dari hasil penelitiannya diperoleh peningkatan sebesar 40% pada termal
konduktivitasnya hanya dengan menambahkan 0.3% partikel Cu pada ethylene
glycol.
Penelitian terhadap pengukuran termal konduktivitas dari nanofluida juga
dilakukan oleh Lee, et.al [7] dengan menggunakan metode hotwire dihasilkan
peningkatan termal konduktivitas nanofluida sebesar 1% - 10% dengan
penambahan 1% - 4% partikel CuO dan Al
2
O
3
dari volume campuran. Das, et.al
[8] menyatakan melalui penelitiannya bahwa nanofluida dengan campuran
partikel Al
2
O
3
memiliki termal konduktivitas lebih tinggi 20% dibandingkan
hanya menggunakan fluida dasar saja. Ini juga diprediksikan oleh Putra [9] dan
diperkuat dengan penelitian lanjutannya [10] yang menunjukkan peningkatan
koefisien perpindahan kalor sebesar 6% - 8% pada konsentrasi 1% - 4% dengan
range temperatur 40C 60C.

Tujuan Penelitian
Mengingat penelitian ini mengkaji potensi nanofluida pada peningkatan
perpindahan kalor, kemudian diharapkan diaplikasikan di bidang industri. Pada
proses konveksi ini dilakukan variasi konsentrasi volume partikel yang
dicampurkan 1% dan 4% serta variasi laju aliran pendingin. Adapun tujuan
penelitian ini meliputi pengukuran koefisien perpindahan kalor dari nanofluida
dan membandingkan koefisien perpindahan kalor yang diperoleh dengan fluida
dasarnya dalam hal ini air dan mendapatkan korelasi empiris koefisien
perpindahan kalor fluida air dan nanofluida.

METODE PENELITIAN
Perpindahan Kalor pada Nanofluida
Perkembangan penelitian tentang konduktivitas termal nanofluida telah
banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu dan menunjukkan bahwa nanofluida
merupakan fluida kerja yang cukup handal dalam proses perpindahan kalor
konduksi. Choi (1995), adalah orang pertama yang menggunakan istilah
nanofluida yang menunjukkan fluida dengan nano partikel tersuspensi..
(Eastmann et.al 1997), menunjukkan bahwa peningkatan konduktivitas termal

PKMP-2-4-3
sekitar 60% dapat dicapai untuk nanofluida terdiri dari air dan volume 5%
nanopartikel CuO. Yimin Xuan dan Qiang Li (2000), juga melakukan penelitian
tentang peningkatan perpindahan kalor pada nanofluida. Mereka menjelaskan
suatu prosedur untuk mempersiapkan nanofluida dengan menggunakan peralatan
hot wire untuk mengukur konduktivitas termal nanofluida dengan nanopartikel
bubuk tembaga yang tersuspensi. Das, et.al. (2003), melakukan pengukuran
diffusivitas termal dan konduktivitas termal pada nanofluida dengan nanopartikel
Al2O3 atau CuO sebagai bahan suspensinya. Das et. al. (2003), meneruskan
penelitiannya mengenai konduktivitas termal pada nanopartikel Au yang diukur
dengan media air dan toluene. Mansoo Choi et.al.(2003), penelitiannya tentang
konduktivitas termal pada multiwalled carbon nanotubes (CNTs). Dengan
memperlakukan CNTs dan menggunakan asam nitrit terkonsentrasi untuk
menguraikan kumpulan CNT dalam memproduksi nanofluida CNT. P.E. Phelan
et.al.(2004), menggunakan teknik simulasi dinamika Brownian di dalam
menghitung konduktivitas termal efektif dari nanofluida. Stephen U.S. Choi
et.al.(2004), menemukan bahwa gerak Brownian dari nanopartikel pada tingkat
skala nano dan molekul adalah suatu mekanisme pengatur sifat termal dari
nanofluida.
Suatu permodelan yang komprehensif telah diusulkan untuk menjelaskan
peningkatan yang besar dari konduktivitas termal di dalam nanofluida dan
ketergantungannya akan temperatur, dimana teori model konvensional tidak
mampu untuk menjelaskannya. Adapun model yang diusulkan tersebut adalah
model partikel diam (stationary particle model), yang menjelaskan
ketergantungan nilai k pada konsentrasi volume dan ukuran partikel. Dan model
yang kedua adalah model partikel bergerak (moving particle model) yang
menjelaskan bahwa ketergantungan yang kuat akan temperatur pada medium
dihubungkan dengan variasi kecepatan nano partikel dengan temperatur.
Pada penelitian kali ini, penulis menggunakan nanofluida dengan
nanopartikel Al
2
O
3
sebagai media pendinginnya. Dan dengan menggunakan alat
penukar kalor radiator otomotif yang dipasang pada sebuah terowongan angin
(wind tunnel). Konsentrasi nanopartikel yang dipakai sebesar 1% dan 4%.
Pengukuran yang dilakukan untuk menentukan nilai koefisien perpindahan kalor
konveksi nanofluida pada radiator tersebut dan dibandingkan dengan fluida
dasarnya (air).

Persiapan Nanofluida
Proses persiapan nanofluida harus menjamin terdispersinya nano partikel
dengan baik dalam cairan dan mekanisme yang baik seperti pengaturan nilai pH
atau penambahan permukaan katalis untuk mempertahankan kestabilan suspensi
terhadap sedimentasi. Akibat dari pencampuran nano partikel kedalam fluida
dasar, maka akan terbentuk karakteristik baru pada fluida yang dihasilkan.
Karakteristik yang terbentuk tergantung pada konsentrasi volume dari partikel
yang tercampur. Para peneliti sebelumnya melakukan penelitian dengan
melakukan variasi konsentrasi volume dari partikel dengan perlakuan yang
berbeda-beda, tergantung proses yang digunakan. Untuk mencari hasil yang lebih
baik Das et al [2] melakukan pencampuran menggunakan ultrasonic vibration
yang menghasilkan campuran yang partikel nanonya terdispersi dengan baik.

PKMP-2-4-4
Dalam persiapan nanofluida perlu diperhatikan densitas dari partikel nano
untuk mendapatkan perbandingan campuran yang tepat. Digunakan persentase
volume untuk menentukan konsentrasi campuran. Volume partikel ditentukan
dengan menggunakan densitas sebenarnya dari partikel nano dan massanya
dengan mengabaikan massa udara yang terperangkap didalamnya. Pencampuran
partikel nano kedalam fluida dasar mengakibatkan pembentukan karakteristik
baru terhadap fluida yang dihasilkan yaitu nanofluida. Karakteristik yang
terbentuk tergantung dengan fraksi volume dari partikel yang dicampurkan. Pada
penelitian ini, penulis menggunakan konsentrasi volume sebesar 1% dan 4%
nanopartikel Al
2
O
3
dengan ukuran 32 nm.
Karena keterbatasan alat modern seperti ultrasonic vibration maka untuk
pencampuran nanofluida penulis menggunakan suatu alat pengaduk sederhana
dengan batang bersirip yang diputar dengan bantuan motor listrik. Setelah
menentukan nilai perbandingan campuran, dengan menggunakan densitas dari
partikel nano dan air, lalu dicampur dengan alat tersebut hingga partikel
tersuspensi merata. Ini dapat dilihat dengan tidak adanya endapan yang terbentuk
setelah campuran ini dibiarkan selama 1 malam. Pada penelitian ini proses
pencampuran dengan pengaduk sederhana dilakukan selama 5 jam.

Alat Uji
Fluida kerja kemudian dialirkan ke tangki preheater sampai keadaan stabil.
Pada tangki utama terdapat sebuah heater (12) berdaya 3kW yang terhubungkan
dengan sebuah thermo controller B yang dipasang pada panel box 2 (16). Thermo
controller B tersebut juga dihubungkan dengan sebuah termokopel (14) yang
diletakkan pada tangki penampungan tadi. Fungsi termokopel tersebut adalah
untuk memberikan sensor kepada thermo controller. Jika sensor yang diterima
oleh thermo controller sudah sama dengan temperatur yang diinginkan, maka
thermo controller tersebut akan berhenti mengalirkan tegangan listrik ke heater
sehingga heater 2 (11) pun akan berhenti memberikan kalor kepada fluida kerja.
Begitu pun juga untuk tangki preheater (6) memiliki thermo controller A di panel
box 2 (16) yang dihubungkan dengan termokopel 1 (13) yang cara kerjanya sama
dengan tangki utama. Keseluruhan sistem tersebut dihubungkan pada sebuah
switch on/off yang berada pada panel box 2 (16).
Fluida kerja yang sudah dipanaskan hingga suhu yang diinginkan kemudian
dialirkan melalui sebuah pipa menuju upper tank radiator. Untuk selanjutnya pipa
tersebut akan disebut sebagai pipa inlet. Pada pipa inlet dipasangkan sebuah
flowmeter turbin (8) yang berfungsi untuk mengetahui debit aliran fluida kerja
pada saat memasuki radiator. Untuk pembacaannya, flowmeter turbin (8) tersebut
dihubungkan dengan sebuah batch controller yang terpasang pada panel box 1
(15). Fungsi batch controller tersebut adalah untuk mengubah sensor yang
diterima oleh flowmeter (8) sehingga dapat ditampilkan secara digital.
Pada pipa inlet juga dipasang sebuah valve (b) yang berfungsi untuk
menghentikan aliran fluida kerja jika terjadi kebocoran pada alat uji radiator ini.
Ketika valve (b) tersebut ditutup, fluida cair dari tangki utama (7) tidak ada yang
dapat memasuki sistem sehingga dapat dilakukan perbaikan pada kebocoran-
kebocoran yang terjadi.

PKMP-2-4-5

Gambar 1. Alat uji perpindahan kalor konveksi pada radiator.

Tepat pada bagian inlet radiator dipasangkan sebuah termokopel (20), begitu
juga pada bagian outlet radiator (21). Kedua termokopel (20 & 21) tersebut
dihubungkan pada data akusisi (17) dan juga display temperatur pada panel box 2
(16). Selama melalui radiator (10), fluida kerja mengalami penurunan temperatur
akibat adanya udara yang dialirkan melintang melalui sirip-sirip radiator tersebut.
Fluida kerja yang keluar dari radiator akan dibawa kembali ke tangki preheater
melalui pipa (warna biru). Untuk selanjutnya pipa (warna biru) disebut dengan
pipa outlet. Pada pipa outlet terdapat sebuah pompa (1) yang berfungsi untuk
memompa fluida kerja dari radiator (10) menuju ke tangki preheater (6).
Kemudian fluida kerja mengalir menuju tangki utama (7) dengan hanya
menggunakan gaya gravitasi. Diantara tangki preheater dan tangki utama
dipasangkan sebuah valve (c) yang berfungsi sebagai pengatur debit fluida yang
masuk ke tangki utama (7). Pada pipa antara tangki utama (7) dan upper tank
radiator dipasangkan sebuah valve (b) yang berfungsi sebagai pengatur debit
fluida kerja pada sistem. Semakin kecil bukaan valve (b) maka semakin kecil pula
debit fluida kerja pada sistem ini.
Untuk mengalirkan udara melalui terowongan udara (2) digunakanlah motor
(4) dengan kecepatan putaran maksimum sebesar 3000 rpm. Motor (4) tersebut
berfungsi untuk memutar adjustable axial fan (3). Kecepatan putaran motor diatur
menggunakan sebuah dial variabel yang terdapat pada panel box 1 (15). Ketika
fan (3) berputar, maka udara akan memasuki terowongan udara melalui sisi
sebelah kanan. Pada bagian inlet wind tunnel dipasangkan bagian kontraksi dan
honey comb (9) yang berfungsi untuk mengurangi turbulensi dan membuat aliran
udara yang masuk ke terowongan udara lebih seragam (uniform). Pada saat akan
memasuki radiator (10), kecepatan aliran udara diukur menggunakan hot wire
anemometer.

PKMP-2-4-6
Pada bagian depan dan belakang radiator juga dipasangi masing-masing satu
buah termokopel (18 & 19). Termokopel ini kemudian dihubungkan dengan data
akusisi (18) dan juga display temperature pada panel box 2 (16). Fungsi
termokopel ini adalah untuk mengetahui kalor yang akan diambil oleh udara dari
fluida kerja yang berada di dalam radiator.

Prosedur Pengujian
Untuk alat uji ini dilakukan pengujian dengan variasi data seperti pada Tabel
1. Pengambilan data dilakukan secara kontinyu pada temperatur inlet radiator
sebesar 50C-70C untuk setiap variasi debit air.
Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis fluida yang terdiri dari fluida air,
nanofluida 1%, dan nanofluida 4%. Fluida pertama yang diuji adalah air disusul
nanofluida 1% dan terakhir nanofluida 4%. Setelah penelitian dilakukan terhadap
air, maka untuk penelitian terhadap nanofluida terlebih dahulu dilakukan
persiapan pencampuran partikel ini ke fluida dasar (air). Yaitu terlebih dahulu
volume nanopartikel yang diperlukan ditentukan dengan menghitung berat
equivalent dari partikel dengan menggunakan densitas sebenarnya, di mana Al
2
O
3

= 66.7 gram/liter (dengan mengabaikan massa udara yang terjebak di dalamnya).
Kemudian melakukan pencampuran nanopartikel ke dalam fluida dasar yang
dalam penelitian ini, penulis masih menggunakan cara manual.

Tabel 1. Variasi Temperatur dan Debit Fluida

Kecepatan Putaran Motor
(rpm)
Debit Fluida Panas
(liter/mnt)
Temp. Inlet Radiator
(
o
C)
15.5 70,60,50
18.3 70,60,50
22.3 70,60,50
800
25.1 70,60,50
15.5 70,60,50
18.3 70,60,50
22.3 70,60,50
900
25.1 70,60,50
15.5 70,60,50
18.3 70,60,50
22.3 70,60,50
1000
25.1 70,60,50
15.5 70,60,50
18.3 70,60,50
22.3 70,60,50
1100
25.1 70,60,50

Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui koefisien perpindahan kalor konveksi dari nanofluida pada aplikasi
radiator. Di dalam pengolahan data, perhitungan koefisien perpindahan kalor
tersebut akan direpresentasikan oleh koefisien perpindahan kalor menyeluruh.
Fluida dihitung berdasarkan temperatur rata-rata fluida dari alat penukar kalor.
Pertukaran kalor yang melalui dinding akan diabaikan. Kalor yang hilang antara

PKMP-2-4-7
fluida panas (dalam hal ini air) dan fluida dingin (udara) dihitung dengan cara
sebagai berikut :
) (
, , o h i h
h
p h h
T T c m q =

(1)
) (
, , i c o c
c
p c c
T T c m q =

(2)
Nilai koefisien perpindahan kalor keseluruhan dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan dibawah berikut. Dimana nilai kalor yang akan
digunakan sebagai acuan dalam perhitungan adalah q
c
karena menunjukkan kalor
yang benar-benar diserap oleh sistem:
m
T UA q = (3)
Sementara
m
T pada persamaan 3 adalah Logarithmic Mean Temperature
Difference (LMTD), yaitu sesuatu pendekatan yang digunakan untuk menghitung
perbedaan temperature yang terjadi pada sebuah alat penukar kalor
[11]
. Nilai
LMTD dapat ditentukan dari temperatur inlet dan outlet kedua fluida sebagai
berikut :
( ) ( )
( ) ( ) [ ]
i c o h o c i h
i c o h o c i h
m
T T T T
T T T T
T
, , , ,
, , , ,
/ ln

= (4)
c o h
h H
w
A h A k C
D
R
UA ) . . (
1
) . Pr Re . (
1
4 . 0 8 . 0
,

+ =


Perlu diketahui bahwa karena aliran perpindahan kalor yang terjadi didalam
radiator merupakan aliran yang saling menyilang antara fluida satu dengan
lainnya, nilai logarithmic mean temperature difference pada persamaan 4 harus
dikalikan terlebih dahulu dengan faktor koreksi.
CF lm lm
T F T
,
. = (5)
faktor koreksi F tersebut didapatkan dengan memplot nilai P dan R pada grafik
faktor koreksi
([11] , hal. 654)
untuk single pass, alat penukar kalor aliran menyilang
dengan fluida cair tidak tercampur dan fluida gas (udara) tercampur.
dimana
i c i h
i c o c
T T
T T
P
, ,
, ,

= (6)
dan
i c o c
o h i h
T T
T T
R
, ,
, ,

= (7)
Dengan nilai q
c
yang didapatkan dari persamaan 2 dan T
m
dari persamaan
4, maka dengan korelasi pada persamaan 3 akan didapatkan nilai UA. Nilai UA
tersebut kemudian akan dipergunakan dalam persamaan umum 8 hambatan termal
pada alat penukar kalor radiator. Kemudian untuk mendapatkan nilai h dapat
digunakan metoda Wilson Plot
[12]
. Nandy et.al 2005 menjelaskan secara rinci
mengenai penggunaan metode ini.
c o
w
h
A h
R
A h UA ) . . (
1
) . (
1 1

+ + =
(8)




PKMP-2-4-8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran koefisien konveksi paksa dari nanofluida 1% dan 4% pada
temperatur 50
o
C, 60
o
C, dan 70
o
C ditunjukkan pada Gambar 2 - Gambar 4.
Grafik-grafik tersebut menunjukkan hubungan koefisien perpindahan kalor
konveksi sebagai fungsi bilangan Reynolds.
Selain itu untuk mengetahui pengaruh dari konsentrasi nano partikel (Al
2
O
3
)
hasil pengukuran koefisien konveksi air, nanofluida 1 %(volume) dan nanofluida
4% (volume) ditampilkan pada grafik yang sama untuk setiap temperatur fluida
panas yang meningkat.

Re
h
vs Nu
h
(50C,800 rpm)
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
600 900 1200 1500
Re
h
N
u
h
Air
Nano 1%
Nano 4%

Gambar 2. Grafik Nu Vs Re temperatur 50
o
C.

Re
h
vs Nu
h
(60C,800 rpm)
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
600 900 1200 1500
Re
h
N
u
h
Air
Nano 1%
Nano 4%

Gambar 3. Grafik Nu Vs Re temperatur 60
o
C.


PKMP-2-4-9
Re
h
vs Nu
h
(70C,800 rpm)
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
600 900 1200 1500
Re
h
N
u
h
Air
Nano 1%
Nano 4%

Gambar 4. Grafik Nu Vs Re temperatur 70
o
C.

Dan jika dianalisa dengan menggunakan teknik permodelan yang ada
[13]
,
dalam hal ini penulis menggunakan model partikel bergerak (moving particle
model). Menurut teori kinetik partikel
[14]
dijelaskan bahwa konduktivitas termal
partikel berbanding lurus dengan kecepatan rata-ratanya, dan kita ketahui gerak
Brownian dari nano partikel akan semakin cepat dengan kenaikan temperatur, hal
ini dapat diterangkan dengan menggunakan rumus Stokes-Einstein. Dari
persamaan tersebut dijelaskan bahwa kecepatan partikel tergantung pada faktor
T/, dan adalah viskositas dinamik dari medium fluida dan T adalah temperatur.
Dan gerak Brownian dari nano partikel juga tergantung pada faktor T/. Karena
viskositas nanofluida menurun dengan peningkatan temperatur, maka
menyebabkan kecepatan nanofluida akan meningkat, sehingga nilai konduktivitas
termal nanofluida akan meningkat. Dengan meningkatnya kecepatan akan juga
meningkatkan bilangan Reynoldsnya, sehingga nilai koefisien perpindahan kalor
konveksinya akan semakin besar.
Dan dengan menggunakan metode partikel diam (stationary particle model),
juga dapat dianalisa pengaruh konsentrasi volume terhadap kenaikan nilai
koefisien perpindahan konveksi. Pada model ini dijelaskan bahwa peningkatan
laju perpindahan kalor adalah berbanding lurus dengan perbandingan
konduktivitas dan fraksi volume dari nano partikel (untuk <<1) dan berbanding
terbalik dengan radius nano partikel. Jadi dari persamaan itu jika nilai konsentrasi
volume naik maka q juga akan naik, hal ini sesuai dengan hasil yang didapat dari
percobaan yang telah peneliti lakukan yaitu konsentrasi nano partikel sangat
mempengaruhi kenaikan nilai koefisien konveksi. Hasilnya menunjukkan bahwa
secara umum koefisien konveksi akan meningkat dengan adanya peningkatan nilai
bilangan Reynolds, namun untuk konsentrasi volume partikel nano (Al
2
O
3
) yang
berbeda akan menunjukkan kecenderungan yang berbeda pula. Dari grafik dapat
dilihat bahwa semakin besar konsentrasi nano partikel maka nilai koefisien
perpindahan kalor konveksinya akan semakin besar pula, hal ini berlaku untuk
setiap temperatur. Kenaikan koefisien konveksi paksa nano terhadap air berkisar
31-38% pada temperatur 50
o
C, 36-43% pada temperatur 60
o
C dan 40-48% untuk
temperatur 70
o
C pada konsentrasi nano partikel 1% dan mengalami kenaikan 52-
65% pada temperatur 50
o
C, 59-73% pada temperatur 60
o
C dan 65-79% pada
temperatur 70
o
C untuk nanofluida dengan konsentrasi nano partikel 4%. Hasil ini
menunjukkan bahwa konsentrasi volume dari nano partikel memegang peranan

PKMP-2-4-10
penting dalam peningkatan koefisien konveksi yang terjadi dan pengaruhnya
memiliki kecenderungan berbanding lurus yaitu dengan penambahan konsentrasi
partikel nano maka akan meningkatkan koefisien perpindahan kalor konveksinya.
Pada Gambar 5 dapat dilihat secara keseluruhan nilai korelasi bilangan
Nusselt dan Reynolds pada setiap variasi debit fluida panas dan fluida pendingin
dan dapat dibuat persamaan sebagai berikut :

Untuk fluida pendingin air :
Nu = 0.028709 Re
0.8
Pr
0.4
(800rpm), Nu = 0.034451 Re
0.8
Pr
0.4
(900rpm)
Nu = 0.035203 Re
0.8
Pr
0.4
(1000rpm), Nu = 0.036787 Re
0.8
Pr
0.4
(1100rpm)

Reh vs Nuh
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
600 900 1200 1500 1800
Reh
N
u
h
Air
Nano 1%
Nano 4%

Gambar 5. Grafik Nu Vs Re.

Untuk fluida pendingin nanofluida dengan konsentrasi nano partikel 1%:
Nu = 0.033585 Re
0.8
Pr
0.4
(800 rpm), Nu = 0.03921 Re
0.8
Pr
0.4
(900 rpm)
Nu = 0.04191 Re
0.8
Pr
0.4
(1000 rpm), Nu = 0.043997 Re
0.8
Pr
0.4
(1100 rpm)

Untuk fluida pendingin nanofluida dengan konsentrasi nano partikel 4%:
Nu = 0.035249 Re
0.8
Pr
0.4
(800 rpm), Nu = 0.04175 Re
0.8
Pr
0.4
(900 rpm)
Nu = 0.046225 Re
0.8
Pr
0.4
(1000 rpm), Nu = 0.048219 Re
0.8
Pr
0.4
(1100 rpm)

Peningkatan koefisien perpindahan kalor konveksi ini akibat terjadinya
penurunan perbedaan selisih temperatur rata-rata logaritmik (LMTD) dengan
adanya nano partikel dalam air atau dapat dikatakan juga terjadi peningkatan rasio
perpindahan kalor yaitu terlihat bahwa kalor yang diterima oleh air di tube lebih
besar.
Rasio koefisien perpindahan kalor konveksi nanofluida terhadap air menurut
prediksi yang dilakukan Nandy, 2003 akan meningkat seiring dengan peningkatan
temperatur, dalam penelitian ini ternyata didapatkan kecenderungan yang sama,
hal ini digambarkan pada Gambar 6 diatas. Dari grafik tersebut terlihat bahwa
untuk kenaikan temperatur rasio koefisien perpindahan kalor konveksi nanofluida
dan air untuk nanofluida 1 % dan nanofluida 4% menunjukkan peningkatan yang
cukup besar.


PKMP-2-4-11
1
2
40 50 60 70
T(C)
h
n
a
n
o
/
h
a
i
r
Nano 1%
Nano 4%


Gambar 6. Rasio perpindahan kalor konveksi antara nanofluids dan air Vs
Temperatur.

Sementara jika melihat pengaruhnya dari peningkatan debit udara (Qc),
bilangan Nusselt fluida panas (Nuh) juga mengalami peningkatan yang sistematis.
Hal ini dikarenakan dengan semakin meningkatnya debit fluida dingin yang
melalui sirip-sirip radiator, maka pertukaran panas yang terjadi dari dinding-
dinding tube dan sirip-sirip tersebut ke udara yang melaluinya akan semakin besar
pula. Dinding tube pun akan lebih cepat dingin karena udara sebagai fluida
pendingin lebih cepat berganti, sehingga kalor yang dimiliki oleh fluida panas
yang mengalir di dalam tube akan akan lebih cepat dilepaskan ke dinding-dinding
tube yang dilaluinya (laju perpindahan kalor akan meningkat).
Dengan semakin besarnya nilai perpindahan kalor yang terjadi pada fluida
panas akibat kenaikan temperatur, maka nilai perpindahan kalor yang dialami oleh
fluida dingin pun akan ikut meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7,
dimana ketika temperatur inlet fluida panas semakin besar nilainya maka nilai
koefisien perpindahan kalor juga semakin meningkat. Namun kenaikan nilai
perpindahan kalor ini tidak sebesar kenaikan akibat perubahan bilangan Reynolds
fluida dingin.

Nuc vs Rec
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000
Rec
N
u
c
800rpm (nano 4%) 900rpm (nano 4%) 1000rpm (nano 4%)
1100rpm (nano 4%) 800rpm air 900rpm air
1000rpm air 1100rpm air 800rpm (nano 1%)
900rpm (nano 1%) 1000rpm (nano 1%) 1100rpm (nano 1%)


Gambar 7. Hubungan Nu udara terhadap variasi temperatur dan debit aliran
fluida dingin Grafik Nu Vs Re




PKMP-2-4-12
KESIMPULAN
Dari hasil pengolahan data dan analisa maka dari penelitian ini dapat
disimpulkan :
1. Faktor konsentrasi partikel nano pada nanofluida sangat mempengaruhi
besarnya peningkatan rasio koefisien perpindahan kalor konveksi nanofluida
terhadap fluida dasarnya (air). Semakin besar konsentrasi volume dari
partikel nano maka akan mengakibatkan rasio peningkatan koefisien
perpindahan kalor konveksi paksa yang semakin besar.
2. Faktor temperatur nanofluida sebagai fluida kerja, menunjukan
kecenderungan peningkatan rasio koefisien perpindahan kalor konveksi
nanofluida terhadap fluida dasarnya (air) seiring dengan peningkatan
temperatur.
3. Pada percobaan yang dilakukan dengan nanofluida 1% menunjukan
peningkatan koefisien konveksi sebesar 31-48%, sedangkan dengan
menggunakan nanofluida 4% menunjukan peningkatan koefisien konveksi
sebesar 52-79%.
4. Kecenderungan peningkatan koefisien perpindahan kalor konveksi paksa
pada nanofluida ini memberikan peluang nanofluida sebagai fluida baru
yang dapat digunakan pada aplikasi industri khususnya dalam bidang
pertukaran kalor.

DAFTAR PUSTAKA
1 Lee S, Choi SU.-S. 1996. Application of Metallic Nanoparticle Suspensions
in advanced Cooling Systems, ASME Publications PVP-Vol. 342/MD-Vol.
72, pp. 227-234.
2 Nanophase Technologies, Romeoville, IL, USA,
http://www.nanophase.com.
3 Ahuja AS. 1975. Augmentation of Heat Transport in Laminar flow of
Polystyrene Suspension. Experiments and results, J. Appl. Phys., Vol. 46,
No. 8, pp.3408-3416.
4 Liu KV, Choi US, Kasza KE. 1988. Measurements of pressure drop and
heat transfer in turbulen pipe flows of particulate slurries. Argonne National
Laboratory Report, ANL-88-15.
5 Choi US. 1995. Enhancing Thermal Conductivity of Fluids with
Nanoparticles, Development and Applications of Non-Newtonian Flows,
D.A. Siginer and H.P. Wang, eds., FED-vol. 231/MD-Vol. 66, ASME, New
York, pp. 99-105.
6 Eastman JA, Choi US, Li S, Thompson LJ, Lee S. 1997. Enhanced thermal
conductivity through the development of nanofluids. In: Komarneni, S.,
Parker, J.C., Wollenberger, H.J. (Eds.), Nanophase and anocomposite
Materials II. MRS, Pittsburg, PA, pp. 3-11.
7 Lee S, Choi US, Li S, Eastman JA. 1999. Measuring thermal conductivity of
fluids containing oxide nanoparticles, ASME Journal of Heat Transfer, vol
121, pp. 280-289.
8 Das SK, Putra N, Thiesen P, Roetzel W. 2003. Temperature dependence of
thermal conductivity enhancement for nanofluids, J. Heat Transfer, 125,
567-574.

PKMP-2-4-13
9 Putra, Nandy, Menentukan koefisien perpindahan kalor konveksi dengan
korelasi Dittus Boelter, Seminar Nasional Perkembangan Riset dan
Teknologi di Bidang Industri Universitas Gajah Mada Yogyakarta 13 Mei
2003.
10 Putra, Nandy, Riki Ferki, Enhancement of force convective heat transfer in
water-based nanofluids containing Al2O3 nano particle, 3rd International
Conference on Heat Transfer, Fluid Mechanics and Thermodynamics
(HEFAT 2004), Cape Town, South Africa 21-24 June 2004.
11 Incropera, Frank P, David P. Dewitt. 2002, Fundamentals Of Heat and Mass
Transfer, New York : John Wiley & Sons, Inc
12 Rose JW, Heat Transfer coefficients, Wilson plots and accuracy of thermal
measurement, 2003
13 Tien CL, Lienhard JH. Statistical Thermodynamics (McGraw-Hill Book
Company, New York, 1979), revised printing, p. 311.
14 Noviar, S.Fred, Mengukur koefisien Perpindahan Kalor Kondensasi Film
pada Kondenser Silinder Vertikal dengan Fluida Pendingin Nanofluida
Al
2
O
3
Air, Jurnal Teknologi, Fakultas Teknik UI, 2004.

PKMP-2-5-1
FORMULASI CAMPURAN FLOWER LEATHER DARI BUNGA MAWAR
DENGAN EKSTRAK REMPAH-REMPAH (CENGKEH DAN
KAYUMANIS) SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL KAYA
ANTIOKSIDAN

Karen Puspasari, Fenni Rusli, Steisianasari Mileiva
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRAK
Flower leather dari bunga mawar merupakan salah satu produk pangan dari
hancuran atau ekstrak mawar yang dapat diposisikan pangan fungsional kaya
antioksidan. Produk ini dapat diaplikasikan sebagai snack fungsional, edible
coating permen, alternatif pengganti nori dalam hal membungkus makanan,
topping es krim, aneka macam minuman, dan rice cracker. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk memperoleh formulasi flower leather dari bunga mawar dengan
ekstrak rempah-rempah dengan karakteristik sensori dan antioksidan yang
terbaik. Penelitian ini terdiri dari tahap persiapan sampel, optimasi proses dan
formula, serta mempelajari pengaruh penambahan cengkeh dan kayumanis
terhadap karakteristik kimia, sensori, dan fungsional. Tahap formulasi
menghasilkan lima formula terpilih, yaitu 2,5% mawar + 0,4% kayumanis
(formula 1), 2,5% mawar + 0,4% cengkeh (formula 2), 2,5% mawar + 0,25%
kayumanis + 0,15% cengkeh (formula 3), 2,5% mawar + 0,3% kayumanis + 0,1%
cengkeh (formula 4), dan 2,5% mawar + 0,325% kayumanis + 0,075% cengkeh
(formula 5). Nilai pH rata-rata dari kelima formula adalah 3,41. Sedangkan rata-
rata nilai A
w
adalah 0,539. Hasil proksimat adalah sebagai berikut kadar air
sebesar 8,05%, kadar abu sebesar 0,73%, kadar protein sebesar 0,66%, kadar
lemak mendekati 0%, dan kadar karbohidrat (by difference) 90,56%. Hasil uji
sensori menghasilkan formula 1 dan 5 sebagai formula yang direkomendasikan.
Total fenol ditentukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 760 nm.
Hasil yang diperoleh (per 100 gram) untuk formula 1, 2, 3, 4, 5, dan kontrol
berturut-turut adalah 254,128 mg TAE; 266,361 mg TAE; 193,578 mg TAE;
115,902 mg TAE; 131,804 mg TAE; dan 85,321 mg TAE. Kapasitas antioksidan
ditentukan dengan metode rancimat. Periode induksi yang diperoleh adalah 5,40
jam untuk kontrol minyak kedelai murni; 11,77 jam untuk kontrol minyak kedelai
+ BHT; 9,66; 10,56; 8,83; 8,95; dan 10,74 jam berturut-turut untuk formula 1, 2,
3, 4, dan 5. Formula yang direkomendasikan adalah formula 1 dan formula 5.
Interaksi antara komponen fenolik dan komponen antioksidan dari cengkeh dan
kayumanis perlu dikaji lebih lanjut.

Kata kunci: flower leather, pangan fungsional, antioksidan, fenol

PENDAHULUAN
Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan kebugaran telah
meningkat secara nyata pada dasawarsa terakhir ini. Salah satu faktor yang
mempengaruhi kesehatan dan kebugaran seseorang adalah makanan yang
dikonsumsinya. Dalam mengkonsumsi suatu produk pangan seharusnya
masyarakat tidak hanya menilai dari segi gizi dan rasanya saja, tetapi juga

PKMP-2-5-2
pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh. Kenyataan ini menuntut suatu jenis
makanan tidak lagi sekedar bergizi dan lezat, tetapi juga bersifat fungsional.
Pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya
dapat memberikan manfaat kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat
gizi yang terkandung di dalamnya.
Fruit leather merupakan salah satu produk makanan ringan dari hancuran
buah-buahan (puree) yang dikeringkan dalam oven atau dehidrator. Sedangkan
flower leather merupakan salah satu produk makanan ringan dari hancuran atau
ekstrak bunga. Produk ini berbentuk lembaran tipis yang mempunyai konsistensi
dan rasa khas (Salunkhe dan Bolin 1974). Produk ini merupakan makanan sehat
yang berbahan alami dan kaya vitamin dan dapat dijadikan alternatif pangan
olahan yang dibuat dari buah-buahan, tanaman sayur, dan juga tanaman bunga,
seperti mawar.
Mawar adalah tanaman bunga yang umumnya digunakan dalam industri
mawar potong, kosmetik, dan aromaterapi. Namun dibalik aroma khas dan
keindahannya, mawar juga mengandung komponen flavonoid yang memiliki
aktivitas antioksidan. Antosianin pada helaian mahkotanya telah diketahui dapat
memperkuat sistem vaskular, mempunyai aktivitas antibakteri, antiinflamasi, dan
antioksidan yang kuat (Anonim

2003a). Hal ini menyebabkan mawar sangat
berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan dasar produk makanan, seperti
flower leather.
Tanaman cengkeh memiliki aroma yang khas, terutama pada minyak
atsirinya. Senyawaan yang utama dalam minyak atsiri adalah eugenol dan yang
lainnya ester eugenol asetat, kariofilin, naftalaen, metil alkohol, furfural, dan
aldehid (Thorpe dan Whiteley 1939). Senyawa-senyawa tersebut berfungsi
sebagai antioksidan dan juga dalam industri farmasi eugenol mempunyai sifat-
sifat khusus dalam pengobatan jika ditambahkan dengan zat-zat tertentu. Eugenol
benzoat berguna untuk pengobatan penyakit paru-paru dan penenang syaraf.
Selain itu cengkeh juga mengandung berbagai macam flavonoid, seperti
kaempferol dan rhamnetin. Flavonoid tersebut memberikan aktivitas anti-
inflamasi dan antioksidan (Sedona Labs 2001).
Komponen utama dari minyak kulit kayumanis Cinnamomum zeylanicum
adalah sinamaldehida, sedangkan komponen lainnya dalam jumlah sedikit, tetapi
memberikan karakteristik bau dan flavor, yaitu eugenol, eugenol asetat, aldehid,
keton, alkohol, ester, dan terpen (Purseglove et al. 1981). Senyawa sinamaldehida
digunakan secara luas dalam industri flavor untuk memberikan bau Cinnamon
pada jenis makanan, minuman, dan produk farmasi. Selain itu kandungan aktif
proantosianidin pada kayumanis juga dapat meningkatkan sensitivitas sel terhadap
insulin dengan mengaktivasi reseptor insulin (Sedona Labs 2001).
Berdasarkan keistimewaan bunga mawar, cengkeh, dan kayumanis
tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan formulasi campuran flower
leather dari bunga mawar dan ekstrak rempah-rempah tersebut. Produk yang
dihasilkan dapat menjadi salah satu alternatif pangan fungsional kaya antioksidan.
Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah aplikasi bunga mawar
menjadi suatu produk baru berupa flower leather, memperkenalkan flower leather
dari campuran bunga mawar dan rempah-rempah kepada masyarakat nasional dan
internasional, dan memperkaya diversifikasi pemanfaatan campuran bunga mawar
dan rempah-rempah sebagai alternatif pangan fungsional kaya antioksidan.

PKMP-2-5-3
METODE PENDEKATAN
Program kreativitas mahasiswa bidsang penelitian ini telah dilaksanakan
selama empat bulan yaitu pada bulan Juni, September, Oktober, dan November
2005. Tempat penelitian adalah di laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bunga mawar
kampung warna merah, cengkeh, kayumanis, pektin, gula, dan asam sitrat. Alat-
alat utama yang digunakan adalah oven kabinet, kaca pencetak, A
w
meter, pH
meter, spektrofotometer, dan alat Rancimat. Penelitian ini terdiri dari beberapa
tahap, yaitu tahap persiapan sampel, optimasi proses dan formula, serta
mempelajari pengaruh penambahan cengkeh dan kayumanis terhadap karakteristik
kimia, sensori, dan fungsional.
Tahap persiapan sampel dilakukan dengan pemisahan bagian yang
berwarna putih dari mahkota mawar. Diagram alir persiapan sampel tersaji dalam
Gambar 1. Tahap optimasi menghasilkan prosedur pembuatan flower leather
sebagai berikut. Pengekstrakan dilakukan dengan memanaskan campuran 2,5%
bunga mawar, berbagai konsentrasi kayumanis dan cengkeh, dan asam sitrat
sampai dengan suhu 70
o
C selama 15 menit. Filtrat kemudian dicampurkan dengan
gula dan pektin lalu dihomogenkan. Setelah dimasak selama 15 menit pada suhu
90
o
C, larutan tersebut dituang pada kaca pencetak. Pengeringan awal dilakukan
dengan oven selama 2 jam, kemudian dibalik dan dikeringkan kembali selama 1
jam, sehingga diperoleh flower leather. Setelah diperoleh formula terpilih
dilakukan analisis untuk mengetahui pengaruh penambahan cengkeh dan
kayumanis terhadap karakteristik kimia, sensori, dan fungsional.
Analisis karakterisitik kimia meliputi proksimat, nilai pH, dan nilai Aw.
Proksimat meliputi pengukuran kadar air dengan gravimetri, kadar abu dengan
pengabuan kering, kadar lemak dengan metode soxhlet, kadar protein metode
Kjeldahl, dan kadar karbohidrat dengan by difference. Pengukuran derajat
keasaman dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang telah distandarisasi
menggunakan larutan buffer pH 4 dan pH 7. Pengukuran nilai Aw produk
menggunakan Aw meter merk Shibaura tipe Wa-360 yang telah distandarisasi
dengan NaCl.
Analisis karakteristik fungsional meliputi uji fenol dan aktivitas
antioksidan. Analisa total fenol dilakukan metode spekterofotometri dengan
reagen Folin Ciocalteu. Total fenol diperoleh dengan memplotkan absornansi
sampel pada kurva standar asam tanat dalam 95% metanol dengan seri konsentrasi
0, 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm. Pengujian aktivitas aktioksidan dengan
menggunakan alat Rancimat dengan minyak kedelai murni dan campuran 200
ppm BHT dalam minyak kedelai murni sebagai kontrol. Aktivitas antioksidan
dinyatakan sebagai Periode Induksi (PI).
Pengaruh terhadap karakterisistik sensori dilakukan dengan uji
organoleptik berdasarkan Soekarto (1982). Uji organoleptik dilakukan untuk
mengetahui batas penerimaan konsumen akan produk yang disajikan melalui uji
kesukaan (uji hedonik) dan rangking oleh 30 panelis. Parameter yang diuji adalah
warna, rasa, aroma, tekstur dan penerimaan umum keseluruhan. Uji hedonik
dilakukan penilaian dengan menggunakan 7 skala numerik dan diolah secara
statistik dengan analisa sidik ragam, yang dilanjutkan dengan uji Duncan apabila
hasil yang diperoleh berbeda nyata antar sampel. Uji rangking diolah secara

PKMP-2-5-4
statistik dengan uji non parametrik untuk mengetahui tingkat kesukaan yang
paling disukai atau tidak disukai antara sampel yang ada.










































Keterangan : * % (w/w) dari berat air
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan flower leather
2,5%* Mawar siap pakai + cengkeh + kayumanis


Air dan asam sitrat 0,1%*
Dipanaskan 70
o
C selama 15 menit
Disaring
Ditambah gula 5,6%* dan dipanaskan hingga larut
Saat suhu 65
o
C ditambahkan pektin 1,1%*
Diaduk dan dihomogenizer
Pemasakkan pada suhu 90
o
C selama 15 menit
Penuangan adonan pada kaca dengan ketebalan 3-6 mm
Pengeringan dengan oven selama 2 jam pada suhu 55
o
C
Pembalikkan flower leather
Pengeringan dengan oven selama 1 jam pada suhu 55
o
C
Flower leather

PKMP-2-5-5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap formulasi menghasilkan lima formula terpilih, yaitu 2,5% mawar +
0,4% kayumanis (formula 1), 2,5% mawar + 0,4% cengkeh (formula 2), 2,5%
mawar + 0,25% kayumanis + 0,15% cengkeh (formula 3), 2,5% mawar + 0,3%
kayumanis + 0,1% cengkeh (formula 4), dan 2,5% mawar + 0,325% kayumanis +
0,075% cengkeh (formula 5).
Karakteristik kimia mencakup pengukuran nilai pH, A
w
, dan analisis
proksimat. Untuk formula 1, 2, 3, 4, 5, dan kontrol, nilai pH berturut-turut adalah
3,41, 3,36, 3,49, 3,41, 3,43, dan 3,37. Nilai pH menunjukkan bahwa flower
leather ini merupakan makanan berasam rendah. Sedangkan nilai A
w
berturut-
turut adalah 0,530, 0,511, 0,549, 0,566, 0,542, dan 0,538, menunjukkan flower
leather yang dihasilkan termasuk kategori pangan semibasah. Hasil proksimat
adalah sebagai berikut kadar air sebesar 8,05%, kadar abu sebesar 0,73%, kadar
protein sebesar 0,66%, kadar lemak mendekati 0%, dan kadar karbohidrat (by
difference) 90,56%.
Karakteristik sensori dilakukan dengan uji hedonik (uji ranking).
Berdasarkan hasil uji ranking, formula 1 menempati urutan pertama dengan skor
1,85. Lalu, formula 5 menempati urutan kedua dengan skor 2,65. Urutan ketiga
dengan skor 2,90 merupakan formula 4. Selanjutnya, urutan keempat adalah
formula 3 dengan skor 3,38. Urutan terakhir adalah formula 2 dengan skor 4,22.
Hasil uji ranking tersebut sesuai dengan penambahan konsentrasi cengkeh pada
masing-masing formula. Penambahan cengkeh pada flower leather cenderung
memberikan rasa dan aftertaste yang pahit. Sehingga, semakin sedikit
penambahan cengkeh, flower leather semakin disukai.
dan data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan metode ANOVA
dan Duncan. Sebagai hasilnya diperoleh dua formulasi yang direkomendasikan,
yaitu formula 1 dan 5. Kedua formula tersebut memberikan hasil uji sensori yang
baik.
Karakteristik fungsional terdiri dari total fenol dan aktivitas antioksidan.
Uji total fenol dimaksudkan untuk mengetahui konsentrasi senyawa fenol pada
produk flower leather. Semakin tinggi total fenol pada suatu bahan diharapkan
sifat antioksidannya akan semakin meningkat. Konsentrasi sampel dinyatakan
dalam mg TAE (Tannic Acid Equivalent) per 100 gram flower leather seperti
yang ditampilkan pada Gambar 2. Total fenol dari produk flower leather adalah
sebagai berikut: 254,128 mg TAE per 100 g bahan untuk formula 1; 266,361 mg
TAE per 100 g bahan untuk formula 2; 193,578 mg TAE per 100 g bahan untuk
formula 3; 115,902 mg TAE per 100 g bahan untuk formula 4; 131,804 mg TAE
per 100 g bahan untuk formula 5; dan 85,321 mg TAE per 100 g bahan untuk
formula kontrol.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan rempah-rempah pada
produk flower leather berhasil meningkatkan kadar total fenol. Kelima kombinasi
penambahan rempah-rempah memiliki kadar total fenol yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan flower leather dari mawar saja. Kadar total fenol tertinggi
dimiliki oleh flower leather ekstrak mawar dengan penambahan cengkeh sebesar
0,4%. Cengkeh memang dikenal sebagai rempah-rempah yang memiliki kapasitas
antioksidan yang paling kuat dan mengandung senyawa fenolik dalam jumlah
besar (Gendel, 2003). Ada tiga komponen fenolik utama yang terkandung dalam
cengkeh, yaitu eugenol, isoeugenol, dan metileugenol (Anonim
b
, 2000).

Selain itu,

PKMP-2-5-6
kayu manis juga merupakan senyawa yang memiliki kandungan senyawa fenol
yang tinggi, dengan adanya komponen aktif proantosianidin, meskipun total
fenolnya tidak sebesar cengkeh. Tingginya senyawa fenol tidak menunjukkan
tingginya aktivitas antioksidan. Walaupun demikian, tingginya aktivitas
antioksidan diduga disebabkan oleh beberapa golongan fenol tertentu.

0.000
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
Kontrol 1 2 3 4 5
Formula
K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

F
e
n
o
l

(
m
g

T
A
E
/
1
0
0
g
)

Gambar 2. Grafik konsentrasi total fenol flower leather berbagai formula

Kapasitas antioksidan dinyatakan dengan periode induksi. Belitz dan
Grosch (1986) menyatakan bahwa periode induksi merupakan waktu yang
dibutuhkan oleh senyawa antioksidan untuk mencegah terjadinya peristiwa
oksidasi pada lipida. Data periode induksi digunakan untuk mengetahui aktivitas
antioksidan sampel dengan cara membandingkan antara periode induksi sampel
dengan kontrol. Kontrol yang digunakan adalah minyak kedelai murni dan minyak
kedelai yang mengandung 200 ppm BHT. BHT memang umum diaplikasikan
pada produk emulsi dan shortening dengan konsentrasi sebesar 200 ppm (Branen
et al., 2002).
Kontrol minyak kedelai murni memiliki periode induksi 5,40 jam; kontrol
minyak kedelai + BHT memiliki periode induksi terpanjang yaitu 11,77 jam;
formula 1 sebesar 9,66 jam; formula 2 sebesar 10,56 jam; formula 3 memiliki
periode induksi sebesar 8,83 jam; formula 4 sebesar 8,95 jam; formula 5 sebesar
10,74 jam; dan formula kontrol sebesar 8,95 jam (Gambar 3). Periode induksi
sampel yang paling mendekati periode induksi BHT adalah formula 5. Hal ini
menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan formula tersebut sudah cukup baik
untuk menghambat kerusakan produk oleh oksidasi.

5 4 3 2
1
K
o
n
tro
l
M
. k
e
d
e
la
i +
B
H
T

M
. k
e
d
e
la
i m
u
rn
i
0
2
4
6
8
10
12
14
Formula
P
e
r
i
o
d
e

I
n
d
u
k
s
i

(
j
a
m
)


Gambar 3. Grafik kapasitas antioksidan flower leather berbagai formula

PKMP-2-5-7
KESIMPULAN
Penambahan cengkeh dan kayumanis dalam pembuatan flower leather dari
ekstrak mawar terlihat dapat meningkatkan nilai total fenol dan aktivitas
antioksidan, tetapi belum diketahui interaksi antara komponen fenolik dan
komponen antioksidan dari cengkeh dan kayumanis. Formula yang
direkomendasikan adalah formula 2,5% mawar + 0,4% kayumanis (formula 1)
dan formula 2,5% mawar + 0,325% kayumanis + 0,075% cengkeh (formula 5)
karena secara organoleptik memperoleh penerimaan yang terbaik. Namun apabila
ditinjau dari segi fungsional, formula 5 merupakan formula terbaik karena
memiliki kandungan fenol cukup tinggi dan aktivitas aktivitas antioksidan
tertinggi.
Aplikasi flower leather pada produk pangan bermanfaat untuk
memberikan nilai tambah dari produk pangan tersebut. Nilai tambah tersebut
adalah dari segi kesehatan dan estetika. Segi kesehatan adalah karena flower
leather dengan penambahan rempah-rempah ini telah diketahui memiliki aktivitas
antioksidan yang diperlukan oleh tubuh untuk melawan radikal bebas. Segi
estetika yang diperoleh adalah sebagai dekorasi dari produk pangan karena warna
dari flower leather ini sangat menarik. Satu contoh elaborasi adalah pada produk
permen susu yang di-coating dengan flower leather, dimana konsumsi permen
tersebut tidak hanya memberikan manfaat susu sebagai sumber protein, tetapi juga
memberikan manfaat antioksidan dari flower leather. Produk flower leather ini
dapat diaplikasikan pada beberapa produk pangan, antara lain: sebagai edible
coating permen, alternatif pengganti nori dalam hal membungkus makanan,
topping es krim, aneka macam minuman, dan rice cracker.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim
.
2003a. www.florahealth.com.
Anonim
.
2003b. http://physchem.ox.ac.uk/MSDS/CL/clove_oil.html
Belitz HD, Grosch. 1986. Food Chemistry. New York: Springer-Verlag.
Branen AL, Davidson PM, Salminen S, Thorngate JH. 2002. Food Additives. Ed
ke-2. New York Marcel-Dekker.
Purseglove JW, Brown EG, Green CL, Robbins SRL. 1981. Spices. Vol. 2. New
York: Longman.
Salunkhe DK, Bolin HR. 1974. Developments in technology and nutritive value
of dehidrated fruits, vegetables and their products. Di dalam: Salunkhe DK
(ed) Storage, Processing and Nutritional Quality of Fruit and Vegetables.
Cleveland: CRC.
Soekarto ST. 1982. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Thorpe JF, Whiteley MA. 1939. Thorpes Dictionary of Applied Chemistry. Vol.
III. Toronto: Longman, Green and Co.
Sedona Lab. 2001. Spice Up Your Health This Holiday Season. http://www.
sedonalabs.com. [16 September 2005].



PKMP-2-6-1
PEMANFAATAN LIMBAH KULIT KACANG TANAH (Arachis Hypogea)
SEBAGAI BAHAN ASAP CAIR (Liquid Smoke) ANTIOKSIDAN
DAN APLIKASINYA DALAM PENGASAPAN
IKAN BANDENG (Chanos chanos F.)
Titisari Dian Pertiwi, Herda Bolly, Mirna Dyah Praptitorini
PS Tekn Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Diponegoro, Semarang

ABSTRAK
Kacang tanah (Arachis hypogea) baru dimanfaatkan bijinya saja, sedangkan
pemanfaatan kulit baru dilakukan sebagai makanan ternak. Kulit kacang tanah
(Arachis hypogea) ditengarai memiliki zat penting seperti yang terkandung dalam
bijinya, termasuk zat antioksidan. Salah satu cara yang dapat dilakukan bagi
pemanfaatan limbah yang melimpah ini adalah dengan mengolahnya menjadi
asap cair. Asap cair mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan
pengasapan yang telah dilakukan sebelumnya (rumah pengasapan dan smoking
cabinet), yaitu dari sisi keamanan pangan dan kesehatan pengasap. Pada
kegiatan ini dibuat asap cair dengan bahan baku limbah kulit kacang tanah
(Arachis hypogea) dan aplikasi pada pengasapan ikan Bandeng (Chanos chanos
F.). Asap cair dari bahan baku ini diharapkan mampu memberikan manfaat
antioksidan bagi konsumennya.

Kata kunci : limbah kulit kacang tanah, asap cair, ikan Bandeng asap

PENDAHULUAN
Kacang tanah (Arachis hypogea) termasuk jenis kacang-kacangan yang
sangat bermanfaat bagi manusia. Dalam www.jurnalcelebes.com, dikemukakan
bahwa dalam kacang tanah (Arachis hypogea) kaya akan vitamin E yang
berfungsi sebagai antioksidan serta berguna bagi efek sirkulasi, menopause,
jantung, pembuluh darah, dan kesehatan kulit. www.darylcom.multiply.com,
mengemukakan bahwa kacang tanah (Arachis hypogea) adalah salah satu jenis
kacang-kacangan yang mengandung selenium, yaitu zat gizi mikro yang penting
dalam sintesis enzim antioksidan alam dalam tubuh seperti glutathione peroxide
yang membasmi superoxide anion.
Sejauh ini pemanfaatan kacang tanah (Arachis hypogea) masih terbatas
pada pengolahan bijinya saja yang kemudian diolah menjadi berbagai produk
makanan ringan atau bumbu masakan. Sementara itu, kulitnya belum
dimanfaatkan secara maksimal. Padahal tidak tertutup kemungkinan bahwa di
dalam kulit kacang tanah (Arachis hypogea) tersebut juga tersimpan berbagai zat
penting seperti yang terkandung dalam bijinya, termasuk zat antioksidan.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Chin Yan (1995), mengenai ekstrak
methanolik,diketahui adanya ikatan phenol dan luteolin sebagai senyawa
antioksidan yang dapat menghambat peroksidasi lemak.
Pengasapan merupakan salah satu metode pengawetan ikan yang telah
cukup lama berkembang di Indonesia. Adapun macam-macam pengasapan
meliputi pengasapan dengan rumah pengasap, pengasapan panas (hot smoking),
pengasapan dingin (cold smoking), pengasapan elektrik (electrical smoking), dan
pengasapan cair (liquid smoke). Yang disebutkan terakhir adalah cara pengasapan


PKMP-2-6-2
terbaru yang memiliki banyak keunggulan. Berbeda dengan pengasapan yang
dilakukan pada rumah-rumah pengasap ikan yang selama ini diterapkan oleh para
pengolah ikan asap di Indonesia, pengasapan cair (liquid smoke) mampu
menghasilkan produk ikan asap yang tidak hanya memiliki cita rasa yang khas,
namun juga bebas zat karsinogenik penyebab kanker, serta ramah lingkungan.
Pada prinsipnya, pengasapan cair menggunakan cara perendaman/
pencelupan (immersion) ikan ke dalam asap cair (liquid smoke) dengan
konsentrasi dan waktu tertentu, kemudian memanggang ikan dengan
menggunakan oven.
Menurut Baltes dan Bange (1977), bahan baku utama yang digunakan
untuk memproduksi asap cair adalah bahan-bahan organik yang bertekstur keras.
Kulit kacang tanah (Arachis hypogea) adalah bahan organik yang potensial
digunakan sebagai bahan baku pembuatan asap cair. Selain karena teksturnya
yang cukup keras, kulit kacang tanah (Arachis hypogea) diduga memiliki
kandungan antioksidan yang sangat penting bagi kesehatan manusia, terutama
kandungan phenolnya.
Antioksidan, zat yang dalam kadar rendah mampu menghambat laju
oksidasi molekuler target, sering disebut sebagai senyawa ajaib karena dapat
menangkal penuaan dini dan beragam penyakit yang menyertainya. Senyawa yang
bersemayam dalam buah, sayur, ikan, rempah-rempah, dan biji-bijian ini dapat
menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal bebas dalam tubuh yang
diyakini sebagai dalang penuaan dini (Sibuea, 2003).
Program ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah kulit kacang tanah
(Arachis hypogea) sebagai bahan baku asap cair (liquid smoke) yang mengandung
zat antioksidan potensial serta aplikasinya. Dengan adanya program ini,
diharapkan nantinya diperoleh asap cair kulit kacang tanah (Arachis hypogea)
yang bermanfaat bagi kesehatan manusia dan bernilai ekonomis tinggi yang dapat
menciptakan sumber pendapatan baru bagi para petani dan pengelola ikan asap
pada khususnya.
Selama ini, bahan baku yang digunakan untuk memproduksi asap cair
adalah kayu-kayuan, seperti kayu jati, lamtoro, mahoni, kamper, kruing, dan yang
paling umum adalah tempurung kelapa. Selain itu, pengasapan dengan metode
pengasapan cair ternyata terbilang asing bagi para pengelola ikan asap di
Indonesia yang umumnya masih menggunakan rumah pengasapan. Padahal
dengan metode pengasapan cair, produk ikan asap yang dihasilkan memiliki
kualitas yang lebih baik, menghemat waktu dan tenaga, bebas senyawa tar dan zat
berbahaya lainnya, serta meminimalisir kemungkinan terjadinya kebakaran dalam
proses pengasapan dan lebih ramah lingkungan.
Di lain sisi, sejumlah usaha perkebunan menunjukkan masih kurangnya
pemanfaatan terhadap hasil perkebunan yang tidak terpakai, misalnya kulit kacang
tanah (Arachis hypogea) yang umumnya hanya menjadi limbah atau sebagai
pakan ternak. Hal ini kontradiktif dengan potensi antioksidan yang terdapat pada
kulit kacang tanah (Arachis hypogea) yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan
sebagai produk bernilai ekonomi tinggi, misalnya asap cair (liquid smoke).
Secara umum, tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan alternatif
pemanfaatan limbah kulit kacang tanah (Arachis hypogea) menjadi asap cair.
Secara khusus, tujuan penelitian ini antara lain :


PKMP-2-6-3
1. Melakukan produksi liquid smoke menggunakan bahan bakar kulit kacang
tanah.
2. Melakukan analisa komposisi kimia liquid smoke dari kulit kacang tanah
terutama kandungan phenol dan vitamin E.
3. Menerapkan penggunaan liquid smoke kulit kacang tanah pada pengasapan
ikan Bandeng (Chanos chanos F.) dan menganalisa produknya.
Luaran dari kegiatan program kreativitas mahasiswa ini adalah
menghasilkan asap cair (liquid smoke) kulit kacang tanah (Arachis hypogea) dan
mengaplikasikan pada ikan Bandeng (Chanos chanos F.) kemudian menganalisa
produk secara organoleptik dan kimia.
Kegunaan dari program ini adalah memberikan alternatif pemanfaatan
limbah kulit kacang tanah (Arachis hypogea) yang diharapkan dapat memberikan
manfaat antioksidan potensial kepada manusia, melalui aplikasinya dalam
pengasapan ikan Bandeng (Chanos chanos F.). Di samping itu dapat memperkaya
dinamika keilmuan dalam bidang Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.

METODE
Tempat pelaksanaan program dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil
Perikanan dan Bengkel Asap Cair Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Diponegoro.
Bahan dan peralatan penelitian yang digunakan dalam produksi asap cair
dan pembuatan ikan Bandeng asap adalah sebagai berikut :
a. Kulit kacang tanah (Arachis hypogea)
Kacang tanah (Arachis hypogea) varietas Gajah yang diperoleh dari industri
pengolah kacang tanah di Magelang.
b. Liquid Smoke Processor Machine (rangkaian alat yang terdiri dari tungku
pemanas, pengontol suhu, bak penampung air, ruang destilasi, serta pompa air).
c. Ikan Bandeng (Chanos chanos F.)
d. Oven
e. Asap cair kayu pinus
Langkah-langkah yang dilakukan dalam program ini adalah :
1. Tim peneliti melakukan pengadaan kulit kacang tanah (Arachis hypogea) dan
memilih kulit yang bagus dan besar.
2. Membuat asap cair kulit kacang tanah (Arachis hypogea) menggunakan Liquid
Smoke Processor Machine (mesin pembuat asap cair) yang ada di bengkel
asap cair.
3. Melakukan pengasapan ikan Bandeng (Chanos chanos F.) menggunakan asap
cair kulit kacang tanah (Arachis hypogea) yang dihasilkan dari produksi asap
cair sebelumnya.
4. Melakukan uji organoleptik ikan Bandeng asap dan mengirimkan sampel
untuk uji kimia asap cair dan ikan Bandeng asap yang dihasilkan.


Pembuatan asap cair dilakukan dengan menggunakan alat mekanik
bertenaga listrik. Alat pemroses asap cair ini terdiri dari alat pengendali
temperatur, sistem pemanas, sistem destilasi dan sistem pendingin. Prinsip kerja
alat pemroses asap cair dapat dilihat pada diagram berikut ini :



PKMP-2-6-4









Keterangan:
1. Pengatur suhu
Merupakan sistem pengatur suhu ruang tungku. Sistem ini dapat
diprogram secara otomatis pada digital thermo control hiangga batas maksimum
600
0
C. Pada sistem ini terdapat alat pengukur suhu yang dihubungkan pada
tungku atau reaktor pemanas, sehingga dapat terliaht besarnya suhu di dalam
tungku tersebut.











2. Sistem pemanas
Pada bagian ini disebut juga reaktor yang merpakan tempat bahan baku
yang akan dibakar secara destilat kering. Sistem ini terdiri dari 3 bagian utama
yaitu :
- bagian isolator
- kumparan pemanas
- ruang bahan
Kapasitas ruang bahan untuk bahan bakar 20 kg (tergantung berat bahan baku).








Sistem
Pemanas
Setting
Temperatu
Sistem
Pengendali
Sistem
Pendingin
Sistem
destilasi
Gambar 1. Skema alat pemroses asap cair
Gambar 2. Skema Pengatur suhu
Gambar 3. Skema Sistem Pemanas


PKMP-2-6-5

3. Sistem destilasi
Asap hasil pembakaran bertingkat masuk ke dalam ruang sistem destilasi
yang kemudian mengalami proses kondensasi. Proses kondensasi tersebut akan
mengubah asap hasil pembakaran menjadi cair seperti halnya proses terjadinya air
hujan. Kondensat asap cair yang terbentuk kemudain ditampung pada botol atau
tempat yang telah disediakan.









4. Sistem pendingin










Yang berperan pada sistem pendingin ini adalah air. Air digerakkan oleh
pompa dari tempat penampungan keluar menuju ke sistem destilasi kemudian air
bersirkulasi menuju ke tempat penampungan. Dari sistem destilasi tersebut
menurunkan suhu asap hingga terjadi kondensat asap cair.


Gambar 6. Rangkaian Liquid Smoke Processor Machine


Gambar 4. Skema Sistem destilasi
Gambar 5. Skema Sistem pendingin


PKMP-2-6-6
HASIL DAN PEMBAHASAN

Asap cair adalah suatu produk kondensat berbentuk cair dari proses
pembakaran kayu yang telah mengalami aging dan filtrasi sehingga senyawa tar
dan senyawa tertentu lainnya dapat dipisahkan (Psiczola, D.E. 1995). Girard
(1992) mendefinisikan asap sebagai suatu sistem kompleks yang tersusun dari
fase dispersi berupa cairan dan medium dispersi berupa gas. Komponen asap cair
terbentuk dari hasil pirolisis kayu yang merupakan dispersi koloid dari proses
pengembunan atau sublimasi bentuk gas (uap asap) menjadi bentuk cair dan pada
umumnya telah mengalami pemisahan senyawa-senyata tar serta PAH (Polyciclic
Aromatic Hydrocarbon).
Asap cair diperoleh sebagai hasil kondensasi asap gas yang terjadi dalam
ruang destilasi, dimana terjadi kondensasi asap gas akibat adanya sistem
pendingin. Dari 1 Kg kulit kacang tanah (Arachis hypogea), diperoleh 400 ml
asap cair.

Gambar 7. Liquid smoke kulit kacang tanah
Fenol merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam asap yang
dapat menyebabkan hasil asapan bermutu tinggi. Adapun hasil analisis fenol
liquid smoke kulit kacang tanah tersaji dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Hasil analisis kadar fenol liquid smoke kulit kacang tanah (mg/kg)
Ulangan Rata-rata
1 2
Kadar fenol liquid smoke
(mg/kg)
1,57 1,56 1,565

Pada tabel 1 diatas didapatkan hasil uji kadar fenol liquid smoke kulit
kacang tanah sebesar 1,565 mg/kg. Fenol berperan dalam pembentukan aroma,
bahan pengawet dan antioksidan. Bahan-bahan antioksidan yang dihasilkan dari
masuknya senyawa-senyawa fenol ke dalam ikan asap menyebabkan ketahanan
simpan yang lebih lama dan bebas dari ketengikan (Buckle et al, 1985).


PKMP-2-6-7
Daun (1975), menyatakan bahwa cita rasa spesifik produk asapan
dipengaruhi oleh senyawa fenol yang terkandung dalam asap. Senyawa-senyawa
fenolat tertentu seperti guaiakol, 4-metil guaiakol, 2,6-dimetoksi fenol dan
siringol menentukan cita rasa dari bahan yang diasap. Guaiakol memberikan rasa
asap dan siringol memberikan aroma asap.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Lina (2005),
banyak sedikitnya kadar fenol yang terdapat pada daging ikan asap ditentukan
oleh besarnya konsentrasi liquid smoke yang digunakan dan lama waktu
perendamannya. Semakin lama waktu perendaman maka akan semakin banyak
kandungan fenol pada daging ikan bandeng asap. Fenol yang terdapat dalam
produk ikan hasil pengasapan panas sifatnya tetap atau tidak berubah meskipun
suhu selama masa penyimpanan dinaikkan ataupun diturunkan
(Zaitsev et al., 1969).
Fenol berperan sebagai bahan pengawet karena bersifat racun bagi bakteri
sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Clifford et al (1980)
mengatakan bahwa total kadar fenol pada permukaan ikan asap dengan
pengasapan panas mencapai 40-50 mg/kg. Pada kadar 45 mg/kg fenol dapat
menghambat petumbuhan Staphyloccocus aureus. Fenol sebagai desinfektan
bersifat aktif terhadap sel vegetatif, virus, dan kapang sehingga ikan asap dapat
awet.
Ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) yang digunakan sebagai bahan baku
ikan asap, sebelum diolah dilakukan pengujian proksimat ikan segar terlebih
dahulu. Adapun hasil pengujian proksimat tersaji dalam tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Kadar proksimat ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) segar (%)
No. Komposisi Kadar Standar deviasi
1. Kadar air 73,8 0,28
2. Kadar protein 27,6 0,49
3. Kadar lemak 2,6 0,14
4. Kadar abu 1,4 0,07
Keterangan : Nilai merupakan hasil rata-rata dua kali ulangan

Pengetahuan mengenai komposisi kimia asap setiap jenis ikan sangat
penting. Komposisi kimia dalam tubuh ikan bervariasi menurut speciesnya,
bahkan antara satu individu terhadap individu yang lainnya dalam satu species
mempunyai komposisi kadar air, protein, lemak, dan abu yang berbeda
(Sofyan Ilyas, 1972).
Pada penyimpanan hari ke-0 dilakukan analisis proksimat ikan bandeng
asap. Jumlah sampel yang digunakan untuk pengujian proksimat ikan bandeng
asap adalah sebanyak 9 sampel untuk 3 perlakuan dalam 2 kali ulangan.
Adapun hasil pengujian kadar proksimat ikan bandeng asap dapat dilihat
dalam tabel 3 dan digambarkan pada gambar 8.





PKMP-2-6-8
5 3 , 0 2
5 0 , 6
5 0 , 8 2
3 6 , 0 8
3 3 , 6 7
3 7 , 6 4
4 , 3 3
5 , 3 6
4 , 9 2
3 , 7 3
3 , 2 5
3 , 9 1
0
1 0
2 0
3 0
4 0
5 0
6 0
K
a
d
a
r

(
%
)
K a d a r a i r K a d a r
p r o t e i n
K a d a r l e m a k K a d a r a b u
K 1 L 1
K 2 L 1
K 3 L 1
Tabel 3. Kadar proksimat ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) asap (%)
Kadar
No. Komposisi
K1P1 K2P1 K3P1
1. Kadar air 53,02 4,26 50,60 1,75 50,82 2,21
2. Kadar protein 36,08 6,01 33,67 3,29 37,64 3,09
3. Kadar lemak 4,33 2,09 5,36 0,59 4,92 2,19
4. Kadar abu 3,73 0,97 3,25 0,07 3,91 0,13
Keterangan : Nilai merupakan hasil rata-rata dua kali ulangan standar deviasi
a. Kadar Air
Menurut F. G. Winarno (1995) semua bahan makanan mengandung air
dalam jumlah yang berbeda-beda. Kandungan air dalam bahan makanan akan
menentukan kesegaran dan daya tahan selama waktu penyimpanan. Ikan bandeng
asap yang diasapi dengan konsentrasi liquid smoke 2,5% mempunyai kadar air
paling besar yaitu sebesar 53,02%, sedangkan ikan bandeng yang diasapi dengan
konsentrasi liquid smoke 5% kadar airnya sebesar 50,60%, dan untuk konsentrasi
7,5% sebesar 50,82. Hal ini berarti penggunaan konsentrasi liquid smoke yang
berbeda tidak memberikan perbedaan nyata pada kadar air ikan asap.
Kadar air ikan asap menurut Saleh (1992) tergantung pada lama, suhu dan
cara pengasapan. Batas maksimal kadar air ikan asap menurut Standar Nasional
Indonesia adalah 60%, ikan bandeng asap hasil penelitian memiliki kadar air
sebesar 50-53%. Hal ini berarti produk ikan asap tersebut dapat diterima oleh
konsumen.












Gambar 8. Grafik nilai proksimat ikan bandeng asap

Kadar air pada ikan bandeng asap akan berpengaruh pada kualitas ikan.
Adapun akibat dari kadar air yang cukup besar adalah penurunan kualitas pada
ikan yang diakibatkan oleh meningkatnya koloni bakteri pada produk tersebut.
Agus Irawan (1997), mengemukakan bahwa dalam proses pengeringan kadar air
yang masih tertinggal adalah sekitar 30-40%. Dalam kadar inilah aktivitas
mikroorganisme dan enzim terhenti.


PKMP-2-6-9
b. Kadar Protein
Hasil pengujian kadar protein yang telah dilakukan pada ikan bandeng
asap dengan perlakuan K1P1 sebesar 36,08%, perlakuan K2P1 sebesar 33,67%,
dan untuk perlakuan K3P1 sebesar 37,64%. Hasil pengujian proksimat ini sesuai
dengan pendapat Singgih Wibowo (2002), bahwa kadar protein ikan Bandeng
asap 27-40%. Besarnya kandungan protein ikan asap antara lain tergantung pada
cara pengolahannya.
F. G. Winarno (1995) mengemukakan bahwa dengan adanya pemanasan,
protein dalam bahan makanan akan mengalami perubahan bentuk persenyawaan
dengan bahan lain misalnya antara asam amino hasil perubahan protein dengan
gula reduksi yang membentuk senyawa rasa dan aroma makanan. Kenaikan kadar
protein pada ikan asap disebabkan oleh adanya reaksi antara protein dengan garam.
Menurut Fronthea Swastawati (2003) protein dengan asam amino lysine
melalui gugus amino merupakan sumber utama terjadinya reaksi mailard.
Kehilangan lysine dan asam amino esensial lainnya selama proses pemanasan
dapat terjadi, dan reaksi mailard dapat pula meningkat bersamaan dengan
meningkatnya proses dekomposisi asap pada tubuh ikan. Reaksi mailard akan
mengakibatkan pembentukan warna cokelat pada ikan asap.
c. Kadar Lemak
Analisa proksimat kadar lemak ikan bandeng asap dengan perlakuan K1P1
sebesar 4,33%, perlakuan K2P1 sebesar 5,36%, dan perlakuan K3P1 sebesar
4,92%. Sedangkan pada penelitian Ariestiana Kartikarini (2004) dijelaskan bahwa
kadar lemak ikan bandeng asap 3%. Singgih Wibowo (2002) berpendapat bahwa
kadar lemak ikan bandeng asap yaitu 2,5-6,0%. Dengan demikian kadar lemak
ikan bandeng asap mempunyai hubungan terbalik dengan kadar air. Sofyan Ilyas
(1972) menjelaskan bahwa semakin tinggi kadar air seekor ikan maka semakin
rendah kadar lemaknya, selain itu kadar lemak ikan asap juga tergantung pada
umur dan ukuran ikan yang diasap.
Menurut Buckle et al (1985) kerusakan lemak dapat disebabkan oleh
mikroorganisme, selain itu juga bisa melalui hidrolisis dan oksidasi. Mikroba
yang menyerang bahan pangan pada umumnya merusak lemak dengan
menghasilkan cita rasa yang tidak enak.
d. Kadar Abu
Kadar abu ikan bandeng asap menurut Singgih Wibowo (2002) adalah 2,5-
5,0%. Hasil penelitian kadar abu pada ikan bandeng asap dengan perlakuan K1P1
sebesar 3,73%, perlakuan K2P1 sebesar 3,25%, dan untuk perlakuan K3P1
sebesar 3,91%. Dari hasil pengujian kadar abu ikan bandeng asap mengalami
kenaikan dibandingkan dengan kadar abu ikan bandeng segar. Hal ini disebabkan
karena adanya pengendapan unsur-unsur mineral yang berasal dari garam dapur
pada saat proses penggaraman. Menurut F. G. Winarno (1995) yang dimaksud
kadar abu suatu bahan adalah jumlah atau kadar mineral dalam suatu bahan
makanan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan meliputi dua macam garam,
yaitu garam organik, contohnya : garam asam asetat, dan garam anorganik,
contohnya : garam klorida atau NaCl.



PKMP-2-6-10

Gambar 9. Ikan Bandeng asap
Perendaman ikan Bandeng (Chanos chanos F.) dalam larutan garam jenuh
dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukakan perendaman dalam larutan asap
cair dengan konsentrasi 5 %. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989),
pengggaraman sebelum pengasapan ikan mempunyai banyak fungsi diantaranya
membantu memudahkan pencucian dan menghilangkan lendir, membantu
pengawetan, memberikan cita rasa produk yang lebih lezat, membantu
pengeringan dan menyebabkan tekstur daging ikan menjadi lebih kompak. Tujuan
utama proses penggaraman dan pengeringan pada proses pengolahan/pengasapan
ikan adalah membunuh bakteri (Afrianto dan Liviwaty, 1989).

PENUTUP
Dari pelaksanaan program pemanfaatan limbah kulit kacang tanah
(Arachis hypogea) sebagai bahan asap cair (liquid smoke) antioksidan dan
aplikasinya dalam pengasapan ikan Bandeng (Chanos chanos F.) dapat
disimpulkan :
1. Limbah kulit kacang tanah (Arachis hypogea) dapat digunakan sebagai bahan
baker pembuatan asap cair.
2. Asap cair kulit kacang tanah menyebabkan rasa khas seperti kacang saat
diaplikasikan pada pengasapan ikan Bandeng.
3. Asap cair kulit kacang tanah memiliki senyawa antioksidan berupa phenol.
Hendaknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek antioksidan
asap cair kulit kacang tanah terhadap makhluk hidup, agar diketahui pengaruh
antioksidan tersebut bagi kesehatan manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Buckle, K.A.; Edward, R.A.; Fleet, G.H.; Wooton, M. 1987. Ilmu Pangan. UI-
Press, Jakarta. Diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono.
Clifford, S.; Tang, S.L.; Eyo, A.A. 1980. Smoking of Foods. Journal of Process
ang Biochemistry, June/July Edition. Vol 7.Page : 261-273.
Daun, H. 1975. Interaction of Wood Smoke Components and Food. Food
Technology Journal, 33 (5) : 66-70.
Girard, J.P. 1992. Smoking in Technology of Meat and Meat Product. Pure and
Application Chemistry, 49 : 1640-1653.
Ilyas, S. 1972. Pengantar Pengolahan Ikan. Lembaga Penelitian Teknologi
Perikanan. Jakarta.


PKMP-2-6-11
Zaitsev, V.I.; Keizevetter, L.; Lagunov, T.; Makarova, D.; Minder and Padsevalvo.
1969. Fish Curing and Processing. Mir Published, Moscow. 722 pp
Sumber media :
//http:www.darylcom multiply.com
//http:www.jurnalcelebes.com (oleh Safitri, et al.)


PKMP-2-7-1
A COMIC ENLIGHTMENT: SUATU METODE PENINGKATAN
INTEGRITAS EGO PADA LANSIA

Adi Dinardinata, Amanda Murtiningtyas, Miftahul Jannah, Wening Sihniyati
Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas komik
dalam meningkatkan integritas ego pada lansia. Ada sembilan aspek yang
tercakup dalam variabel integritas ego: perasaan cinta pada sesama manusia,
menerima keadaan dirinya sendiri, mensyukuri nasib, keadaan tetap tegar
menghadapi kegagalan yang dialami sebagai orang tua, keadaan tetap tegar
menghadapi keberhasilan yang dialami sebagai orang tua, telah menghasilkan
sesuatu, mencintai orang tua yang menyebabkan keberadaannya di dunia, akrab
dengan penyakit dan kematian, bijaksana. A Comic Enlightment yaitu program
yang dilakukan oleh peneliti yang meliputi proses pembuatan skala, pembuatan
komik, pre test, treament dan post test. Hipotesis yang diajukan adalah apakah
ada peningkatan integritas ego pada subjek yang diberi perlakuan komik dengan
kelompok subjek yang tidak diberi perlakuan komik. Penelitian ini melibatkan 18
orang subjek dari Panti Wreda Abiyoso, Pakem, Kaliurang, Yogyakarta yang
dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok eksperimen
yaitu kelompok yang memperoleh perlakuan berupa penyajian komik integritas
ego, terdiri dari 9 orang, kelompok kedua adalah kelompok kontrol, yaitu
kelompok yang tidak mendapat perlakuan pada saat eksperimen , terdiri dari 9
orang subjek. Alat ukur yang digunakan adalah skala integritas ego yang disusun
berdasarkan sembilan aspek integritas ego. Setelah diuji coba didapatkan 32 item
soal valid dan reliabel dengan 28 soal gugur (alpha = 0,8942). Dari data yang
diperoleh didapatkan uji asumsi dengan Kolmogoro-Smirnov test, hasil penelitain
ini normal dan homogen. Dilanjutkan analisis ststistik parametrik (t-test) dengan
membandingkan nilai gain score pada Levenes Test for Equality Variances.
Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan gain score yang signifikan
antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen dengan nilai F sebesar
11,205 dan p = 0,04 (p,0.05). Dapat disimpulkan bahwa komik mampu
meningkatkan integritas ego lansia secara signifikan pada kelompok eksperimen
dibandingkan kelompok kontrol. Nilai sumbangan efektif menunjukkan bahwa
komik memberikan sumbangan sebesar 37,5 % dalam peningkatan integritas ego
subjek.

Kata kunci : komik, integritas-ego, lansia

PENDAHULUAN
Apalah artinya sebuah nama, kata Shakespeare, seorang pujangga Inggris
yang terkenal (www.kompas.com, 2000). Mawar, atau apa pun namanya, tetaplah
bunga yang menggambarkan aroma wangi menawan. Tetapi, bila mempercayai
pernyataan para ahli yang mengamati masyarakat kontemporer bahwa dibalik
nama ada konstruksi sosial, maka penamaan dan pelabelan bisa mengandung arti
sosial tertentu dengan berbagai konotasinya.
Dibalik akronim "lansia" (lanjut usia) dan "manula" (manusia usia lanjut)
misalnya, dapat terkandung diskriminasi berdasarkan usia, dapat pula terkandung

PKMP-2-7-2
arti yang melemahkan karena berkonotasi "tidak berguna lagi" atau "tidak
mampu" kalau dikaitkan dengan produktivitas manusia, "harus dikasihani" kalau
dikaitkan dengan kondisi fisik dan lain-lain.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai masa lanjut usia
sampai saat ini masih sangat kurang bila dibandingkan dengan penelitian-
penelitian tentang masa anak-anak, remaja, dan dewasa. Padahal banyak sekali
permasalahan-permasalahan serius yang dialami oleh lansia yang patut untuk
diteliti, seperti frustasi akan kualitas fisik yang menurun, pengasingan oleh
keluarga, kesepian, dan kecemasan akan kematian yang semakin meningkat.
Meskipun ada, penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak cukup
komprehensif dan luas untuk dapat memberikan solusi permasalahan-
permasalahan lanjut usia di Indonesia yang memiliki tingkat variasi kultur
sedemikian tinggi.
Paparan di atas sangat ironis, mengingat lansia juga membutuhkan
kehidupan yang layak. Mereka berhak untuk bahagia, mendapat perhatian, kasih
sayang, juga pengertian. Permasalahannya adalah banyak aspek-aspek pada lansia
yang masih perlu diungkapkan serta dipahami lebih mendalam agar dinamika
psikologis dan sosial mereka dapat terpetakan secara benar, terutama di Indonesia
yang memiliki banyak karakter kebudayaan khas. Selain itu, jumlah lansia yang
banyak seolah-olah menegaskan bahwa mereka merupakan komunitas yang
sangat penting untuk diperhatikan. Karena itulah penelitian-penelitian terhadap
lansia mutlak diperlukan.
Pada kenyataannya banyak lansia yang hidup dengan cara yang tidak
menyenangkan. Mereka hidup dalam kesepian karena kehilangan atau
ditelantarkan keluarganya. Banyak juga diantara mereka yang merasa
kehadirannya membebani lingkungan sekitarnya. Para lansia yang tinggal di Panti
Wreda Muhammadiyah misalnya, umumnya memiliki pengalaman hidup getir.
Mereka rata-rata hidup sebatang kara, dan itulah yang memaksa mereka untuk
tinggal di Panti Wreda. Istri, suami, atau anak mereka sudah meninggal
(Dharmasaputra, 2001).
Suparman, telah lama hidup sendiri karena istrinya telah meninggal.
Sedang Jaheri, anak satu-satunya, tidak pernah kembali semenjak tujuh tahun
yang lalu berpamitan untuk bekerja di Surabaya. Karena hidup seorang diri, oleh
kepala desanya, Suparman dititipkan di Panti Wreda Muhammadiyah. "Saya ini
benar-benar hidup sebatangkara," katanya lirih.
Sri, nenek berusia 75 tahun, mengalami hal serupa. Suami dan anaknya
sudah meninggal. Sebelum tinggal di Panti Wreda, ia dirawat keponakannya.
Tetapi, karena rumah keponakannya terlalu sempit, akhirnya ia dititipkan di Panti
Wreda.
Untung (54) juga mempunyai pengalaman hampir serupa. Kakek yang
kedua matanya mengalami kebuataan juga hidup sendirian. Istrinya sudah
meninggal beberapa tahun lalu. Dia tidak mempunyai anak. Sanak saudaranya pun
sudah meninggal. Akhirnya, oleh tetangganya, ia dititipkan di Panti Wreda.
Hanya A'on yang memiliki pengalaman sedikit berbeda. Usianya
sesungguhnya belum terlalu tua. Dia dilahirkan tahun 1959. A'on yang masih
bujangan itu dititipkan oleh kakaknya ke Panti Wreda karena dianggap
merepotkan. Kakak A'on memang tidak menerima A'on dengan baik. A'on

PKMP-2-7-3
mengaku sering dipukuli oleh kakaknya. Bahkan pukulan kakaknya itu pula yang
menyebabkan mata kanannya menjadi buta (Dharmassaputra, 2001).
Kisah-kisah di atas tentunya sangat lekat dengan kehidupan kita sehari-
hari, terutama bagi yang bergelut dengan mereka sehari-harinya. Namun kisah-
kisah tersebut hanyalah sebagian kecil dari begitu banyaknya permasalahan-
permasalahan lansia yang kian memerlukan perhatian. Masih banyak polemik
yang terjadi di sana jika kita mau membuka mata. Tidak mungkin beragam
masalah tersebut hanya menjadi bagian dari tontonan sejarah semata. Tindakan-
tindakan konkret dari semua pihak untuk mengatasi, atau setidaknya mengurangi
permasalahan-permasalahan yang dialami oleh para lansia sangat diperlukan
sehingga mereka dapat memperoleh porsi perhatian yang selayaknya mereka
terima.
Idealnya bagi lansia adalah mereka dapat mencapai successful aging,
dimana mereka dapat menjalani masa tua mereka dengan bahagia. Mereka dapat
menerima keadaan dirinya sendiri, mensyukuri nasib, dan mencintai orang tua
yang menyebabkan keberadaannya di dunia. Mereka mengerti bahwa cara-cara
hidup tertentu yang mungkin dipandang kurang baik pada waktu ini, diterima
pada masa lalu, dan bahwa gaya hidup tertentu merupakan hal yang berarti bagi
sementara orang atau berarti dalam waktu-waktu tertentu.
Para lansia yang dapat menjalani kehidupan mereka dengan penuh
kebahagiaan merupakan suatu hal yang menyenangkan. Suatu kondisi dimana
mereka dapat menerima kondisi fisik dan kognisi yang melemah, serta menjalani
kehidupan mereka dengan senyum yang lebar. Mereka dapat melakukan kegiatan-
kegiatan yang sesuai dengan kapasitasnya dengan penuh semangat. Tentu
harapan-harapan tersebut masih sangat jauh dari kenyataan yang ada.
Menghadapi tantangan tersebut, penulis ingin melakukan sesuatu yang
dapat membantu lansia untuk mencapai idealitas seorang lansia. Dengan komik
kami ingin memberikan warna yang berbeda bagi kehidupan lansia. Harapan kami,
comic enlightment ini dapat membantu lansia dalam meningkatkan apa yang
disebut Erikson sebagai integritas ego.
Masyarakat sering beranggapan bahwa masa lansia hanya merupakan saat
menunggu kematian saja. Anggapan ini seringkali menyebabkan orang lanjut usia
merasa bahwa dirinya sudah tidak dibutuhkan lagi, merasa tidak berdaya,
mengalami depresi, post power syndrome karena tidak mampu menerima
kondisinya yang sudah mengalami penurunan (Sandtrock 2002). Untuk itu
dibutuhkan solusi untuk membantu orang lanjut usia dalam memahami dirinya,
sehingga mampu menjadi pribadi yang integrated.
Pribadi Lanjut Usia yang integrated menurut Erikson adalah pribadi yang
merasa menjadi bagian daripada tata aturan yang ada dalam alam semesta,
memiliki perasaan cinta pada sesama manusia, dan dengan begitu menimbulkan
keteraturan dunia (Hurlock, 1980). Integritas ego (keadaan ego yang menjadikan
Lanjut Usia menjadi pribadi yang terintegrasi) juga berarti menerima keadaan
dirinya sendiri, mensyukuri nasib, dan mencintai orang tua yang menyebabkan
keberadaannya di dunia (Monks, 2002).
Kaum Lanjut Usia yang memiliki Integritas Ego yang baik cenderung
merasakan kepuasan hidup (Santrock, 2002). Mereka mampu menerima
kenyataan tidak menyenangkan yang telah terjadi secara bijaksana dan menyadari
pentingnya bersikap positif terhadap pengalaman dan kenyataan hidup. Mereka

PKMP-2-7-4
juga cenderung menyesuaikan aktivitas dengan kemampuan fisik, kognitif, dan
psikologis mereka saat ini. Kesemuanya itu membuat mereka mensyukuri apa
yang dapat dilakukan hari ini dan esok hari, serta meminimalkan emosi negatif
yang dikarenakan penyesalan masa lalu.
Pada tahun 1967, Roger Shepard menemukan bahwa meski orang dewasa
memiliki kapasitas untuk menyimpan materi verbal yang luar biasa, tetapi ini
masih lebih kecil jika dibandingkan dengan kapasitas untuk menyimpan gambar
(Purnomo, 2003)
Perbandingan yang dilakukan terhadap gambar dan kata-kata juga
menunjukkan bahwa gambar lebih punya kekuatan daripada kata-kata (Corsini,
Jacobs, and Leonard, 1969 dalam Levin and Allen, 1976 dalam Purnomo, 2003).
Bahkan secara ekstrim, McCloud menyatakan: bahwa tanpa bantuan kata-kata pun,
gambar mampu membuat suatu pesan tertangkap dengan mudah (McCloud, 2001
dalam Purnomo, 2003)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Purnomo tahun 2003, media komik
terbukti efektif untuk meningkatkan persepsi positif siswa terhadap pelajaran
fisika.
Dari deskripsi diatas dapat disimpulkan, bahwa penggunaan gambar atau
media visual sangat efektif dalam membantu seseorang menangkap informasi
yang diberikan, karena gambar memberikan membantu seseorang untuk
memperoleh gambaran yang lebih konkret; namun demikian, agar gambar dapat
dipahami oleh seseorang dengan baik, gambar harus digunakan secara tepat:
diusahakan berada dalam suatu rangkaian yang membentuk suatu hubungan yang
jelas.
Dari penjelasan di atas, komik yang telah dirancang dengan baik dapat
dijadikan sarana untuk meningkatkan integritas ego pada lanjut usia. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui efektifitas komik untuk meningkatkan integritas ego
pada lansia. Hipotesis penelitian adalah komik mampu meningkatkan integritas
ego pada lanjut usia.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dipatenkan menjadi sebuah komik
yang bermanfaat bagi para lansia dalam menjalani hari tuanya dan dapat dijadikan
artikel yang dapat memperkaya wawasan tentang orang lanjut usia, dapat
bermanfaat untuk pra-lansia dalam menjemput hari tuanya, keluarga yang
memiliki lansia, maupun mempermudah orang-orang muda untuk memahami
dunia lansia yang selama ini sering terabaikan.

METODE PENELITIAN
Penelitian telah dilaksanakan pada hari minggu, 09 oktober 2005 di PSTW
Abiyoso, Pakem, Kaliurang. Subyek penelitian sebanyak 18 orang, dengan
kelompok kontrol berjumlah 9 orang dan kelompok eksperimen berjumlah 9
orang. Penelitian dilaksanakan di ruang aula PSTW Abiyoso. Dalam penelitian
ini, subyek dipilih dengan kriteria: memiliki fungsi penglihatan dan pendengaran
yang masih bagus, bisa berbahasa Indonesia, sehat mental dengan berdasarkan
data medical record PSTW Abiyoso.
Penelitian dilakukan dengan metode quasi eksperimen. Adapun rancangan
penelitiannya sebagai berikut:
Y1 X1 Y2 KE
Y1 X2 Y2 KK

PKMP-2-7-5
Keterangan:
KE : Kelompok Eksperimen
KK : Kelompok Kontrol
Y1 : Skor total pada pre-test
Y2 : Skor total pada post-tes
X1 : Pemberian Perlakuan Comic Enlightment
X2 : Tanpa Perlakuan Comic Enlightment
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pemberian skala Integritas-
ego, pencatatan feedback sewaktu diskusi antara peneliti dengan subyek setelah
pemberian komik, dan dengan metode observasi yang dilakukan sebelum program,
pada saat program berlangsung, dan setelah program berlangsung. Dimana proses
dan hasil pengumpulan data akan berupa jawaban skala, hasil kualitatif dari
wawancara dan observasi terhadap subjek penelitian.
Data kuantitatif yang diperoleh dari kedua kelompok (kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol) dianalisis dengan uji analisis statistik. Dari
data yang diperoleh dilakukan uji asumsi dengan Kolmogoro-Smirnov test, hasil
penelitain ini menunjukkan bahwa data normal. Data kemudian diasumsikan
homogen berdasarkan Robustness Assumption. Dilanjutkan analisis ststistik
parametrik (t-test) dengan membandingkan nilai gain score pada Levenes Test for
Equality Variances antara kelompok eksperimen dan kontrol.
Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan gain score yang
signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen dengan nilai F
sebesar 11,205 dan p = 0,04 (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa komik mampu
meningkatkan integritas ego lansia secara signifikan. Nilai sumbangan efektif
menunjukkan bahwa komik memberikan sumbangan sebesar 37,5% dalam
peningkatan integritas ego subjek.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dari analisis statistik diketahui bahwa data kuantiitatif skor skala
integritas ego pada lansia. Hal ini diketahui dari tes normalitas Kolmogoro-
Smirnov test yang menunjukkan nilai z= 0,620 untuk pre test kelompok yang
diberi perlakuan komik dan nilai post test nya z= 0,644 (p>0,05) sedangkan untuk
pre test kelompok tanpa perlakuan komik z= 0,868 (p>0,05) dan post test nya z=
0,728 (p>0,05). Dengan menggunakan asumsi Robustness yang menyatakan
bahwa sampel random dengan jumlah anggota kelompok yang setara adalah
homogen, dapat diasumsikan bahwa kelompok kontrol dan kelompok eksperimen
sebelum treatmen adalah homogen. Pengolahan data selanjutnya dapat
menggunakan statistik parametrik.
Setelah pengambilan data pre test dan post test pada masing-masing
kelompok penelitian, skor post test yang didapatkan kemudian dikurangi dengan
skor pre test sehingga didapatkan skor perbedaan (gain)
Skor perbedaan (gain) pre-post antara kelompok yang diberi perlakuan
komik dan kelompok yang tidak diberi perlakuan komik dianalisis dengan
independent t-test. Didapatkan hasil bahwa ada peningkatan integritas ego yang
signifikan pada kelompok yang diberi perlakuan komik dibanding dengan
kelompok yang tidak diberi perlakuan komik, dengan F= 11,205 dan p=0.04

PKMP-2-7-6
(p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok yang diberi perlakuan komik
mengalami kenaikan integritas ego secara signifikan.
Sebagai data tambahan dilakukan analisis pre-test pada kedua kelompok
untuk melihat keadaan awal dua kelompok subjek. Rerata skor pre-test pada
kelompok yang diberi perlakuan komik (mean = 132,5556) lebih kecil dari
kelompok yang tidak diberi perlakuan komik (mean = 145,1111), namun
perbedaan ini tidak signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa kelompok dengan
pelatihan maupun kelompok tanpa pelatihan berangkat dari keadaan awal yang
sama. Rerata skor post test pada kelompok yang diberi perlakuan komik (mean =
135,5556) lebih besar dari pada kelompok yang tidak diberi perlakuan komik
(mean = 116,4444). Rerata skor pre-test dan post-test kelompok yang tidak diberi
perlakuan komik mengalami penurunan, kemungkinan disebabkan karena kondisi
fisik subjek yang sudah menurun, sehingga cepat mengalami kelelahan dan
berpengaruh terhadap hasil tes.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil setelah melalui analisis hasil penelitian ini,
yaitu perlakuan comic enlightment efektif untuk meningkatkan integritas ego pada
subjek
Dalam penelitian ini, peneliti merekomendasikan kepada Departemen
Sosial untuk memproduksi comic enlightment dalam jumlah yang lebih banyak,
sehingga bisa dimanfaatkan oleh Panti-panti Wreda di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
Dharmasaputra, Sutta. 2001. Mereka Kesepian. http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0112/06/jatim/mere48.htm. Diakses pada tanggal 19 Maret 2004
pukul 14.32 WIB
Echols, J.M. & Shadily,H.1976. An English-Indonesian Dictionory. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Hurlock,E.B.1980. Psiklogi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan.Edisi kelima. Jakarta Penerbit Erlangga.
Fatan, Muh. Dkk.2001. Continuous Learning Activity Programme (Program
Aktivitas Belajar Berkelanjutan), Proposal Program Kreativitas
Mahasiswa (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Jurusan Psikologi Fakultas
Psikologi, Universitas Gadjah Mada.
Krueger, R.A.1994. Focus Groups : A Practical Guide for Applied Research (2nd
Ed). California : SAGE Publications.
Maki, Tatsu. 2002. How To Draw and Create Manga ( The Perfect Ed). Jakarta :
Mexx Media Inc.
Purnomo, Joko. 2003. Efektivitas Kartun Dalam Membantu Siswa Memahami
Pelajaran Fisika, Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Jurusan
Psikologi Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada.
________________. Setengah Abad Seni dan Informasi tentang Manga, Japan
Pictorial, Majalah Triwulan Vol. 18, No. 1, 1995, Hal. 19-22.
Santrock, J.W. 1995.Life-Span Development (Edisi kelima). Jakarta : Penerbit
Erlangga.

PKMP-2-7-7
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.1989. Kamus Besar Bahasa Indonesi. Jakarta : Balai Pustaka.
Wakhidah, R. Dkk. 2002. Pelatihan Death Education Untuk Mengurangi
Tingkat Kecemasan Lansia, Laporan Penelitian (tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah
Mada.
Wojowasito, S. & Poerwadarminta, W.J.S. 1974. Kamus Lengkap Inggris-
Indonesia, Indonesia-Inggris. Jakarta : Penerbit Hasta.
_______________.2000.Usia Emas, Bukan Lansia atau Manula.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0008/13/latar/usia13.htm. Diakses
pada tanggal 19 Maret 2004 pukul 14.24 WIB


PKMP-2-8-1
KAJIAN POTENSI UNDUR-UNDUR DARAT (MYRMELEON SP.)
SEBAGAI ANTIDIABETES

Tyas Kurniasih, Mokhamad Ismail, Febri Susilowati, Sinta Puji Lestari
Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

ABSTRAK
Penyakit diabetes mellitus menduduki peringkat ke empat sebagai penyakit
yang menyebabkan kematian terbanyak di Indonesia. Berdasarkan perhitungan
WHO, penderita diabetes di seluruh dunia saat ini adalah 177 juta orang.
Mahalnya terapi pengobatan diabetes mellitus adalah salah satu penyebab
tinnginya tingkat kematian penderita. Masyarakat Kepulauan Karimun Jawa
telah memanfaatkan undur-undur darat (Myrmeleon sp.) dengan pisang ambon
(Musa paradisiaca L.) sebagai campurannya untuk obat penyakit diabetes.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan jus undur-undur, pisang
dan campuran dari keduanya dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus putih
(Rattus norvegicus L.) jantan hiperglikemik.
Penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap menggunakan 30
ekor tikus putih jantan galur wistar umur 2-2,5 bulan dengan berat 150-250 g ,
dibagi menjadi 6 kelompok yakni 1 kelompok normal dan 5 kelompok
hiperglikemik dengan pemberian aloksan 125 mg/kg berat badan tikus. Perlakuan
jus undur-undur dosis 0,01 ml/200 g bb tikus, jus pisang ambon dosis 1,26 ml/200
g bb tikus, campuran undur-undur+pisang ambon dengan dosis yang sama
dengan perlakuan pertama dan kedua, serta larutan glibenklamida dosis 0,378
mg/200g bb tikus (sebagai kontrol positif) selama 35 hari secara oral. Kadar
glukosa darah diukur setiap 7 hari sampai hari ke 35 dengan metode
spektrofotometri. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA dan uji
LSD pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian jus undur-undur mampu
menurunkan secara nyata (p<0,05) kadar glukosa darah tikus hiperglikemik
setelah 14 hari perlakuan.

Kata kunci : antidiabetes, hiperglikemik, undur-undur darat

PENDAHULUAN
Penyakit diabetes mellitus atau kencing manis menduduki peringkat
keempat sebagai penyakit yang menyebabkan kematian terbanyak di Indonesia
setelah penyakit-penyakit infeksi, jantung, dan stroke. Diabetes merupakan
penyakit kelainan pada metabolisme karbohidrat yang ditandai dengan adanya
peningkatan kadar glukosa darah yang melebihi normal. Penyakit diabetes
mellitus dapat menimbulkan komplikasi seperti serangan jantung, kebutaan,
stroke, dan gagal ginjal.
Berdasarkan perhitungan International Diabetes Federation dan WHO
setidaknya ada 177 juta penduduk dunia yang menderita diabetes. Sekitar 80
persen diantaranya berada di negara berkembang. Jika tidak dilakukan upaya
untuk memperlambat epidemik, tahun 2025 jumlah penderita, diabetes di dunia


PKMP-2-8-2
akan melonjak hingga 300 juta orang (Suara Pembaruan, 28 Maret 2004).
Mahalnya terapi pengobatan diabetes mellitus secara medis merupakan
salah satu penyebab tingginya tingkat kematian penderita sehingga banyak orang
mulai beralih pada pengobatan alternatif ataupun tradisional. Selain itu,
penggunaan obat sintesis menimbulkan resiko terjadinya kerusakan organ secara
permanen. Pengobatan altenatif antara lain dapat dilakukan dengan metode
akupuntur, sedangkan untuk pengobatan tradisional dapat menggunakan tanaman
maupun hewan yang berkhasiat obat atau ramuan tradisional lainnya yang lebih
murah dengan resiko medis yang kecil.
Undur-undur darat (Myrmeleon sp.) merupakan hewan tingkat rendah yang
banyak ditemui di sekitar rumah penduduk. Sekilas hewan ini tampak tidak
memiliki manfaat penting. Akan tetapi masyarakat Kepulauan Karimun Jawa
telah memanfaatkannya sebagai obat bagi penderita diabetes. Walaupun sudah
digunakan secara turun temurun akan tetapi belum ada bukti ilmiah mengenai
potensi undur-undur dalam menurunkan kadar glukosa darah. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian awal dalam rangka pengenalan potensi undur-undur
sebagai penurun kadar gula darah yang mungkin nantinya dapat dijadikan obat
alami.
Masyarakat Kepulauan Karimun Jawa secara tradisional telah
memanfaatkan undur-undur (Myrmeleon sp.) sebagai obat penurun gula darah
dengan menggunakan pisang sebagai campurannya. Dari latar belakang tersebut,
timbul permasalahan bagaimana pengaruh pemberian jus undur-undur, pisang dan
campuran dari keduanya terhadap kadar glukosa darah tikus putih (Rattus
norvegicus L.) jantan hiperglikemik.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan jus
undur-undur, pisang dan campuran dari keduanya dalam menurunkan kadar
glukosa darah tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan hiperglikemik.
Penelitian ini sangat berguna, terutama sebagai informasi yang sangat
penting bagi masyarakat tentang pemanfaatan undur-undur (Myrmeleon sp.)
sebagai antidiabetes. Diharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan dan
kesehatan masyarakat dengan cara mengurangi konsumsi obat-obatan sintetik
secara berlebihan karena selain mahal juga memiliki dampak buruk bagi
kesehatan. Selain itu dapat menjadi pendorong kreativitas mahasiswa, akademisi
dan peneliti untuk mengembangkan potensi sumber daya hayati lain, dalam
rangka pengembangan ilmu, teknologi dan kewirausahaan.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari Mei 2006 di
Laboratorium Biokimia Fakultas Biologi UGM dan Laboratorium Penelitian dan
Pengujian Terpadu (LPPT) UGM. Bahan yang dibutuhkan adalah hewan uji
berupa tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur wistar umur 2-2,5 bulan
sebanyak 30 ekor dengan berat badan 150-250 gram; undur-undur darat
(Myrmeleon sp.) yang masih hidup sebanyak lebih kurang 10 gram; pisang ambon
(Musa paradisiaca L.) dengan tingkat kemasakan yang sama; aloksan tetrahidrat
(C
4
H
2
N
2
O
2
.4H
2
O) ; glibenklamida; CMC (Carbonil Metil Cellulosa) 1%; pereaksi
GOD-PAP; aquabidest dan aquadest.


PKMP-2-8-3
Peralatan yang dibutuhkan adalah kandang hewan uji, timbangan digital,
timbangan mikroanalitik, syringe 0,5 ml, disposable syringe (2 ml dan 10 ml)
dengan ujung yang diberi kanul, seperangkat alat untuk pengambilan sampel
darah dan penentuan kadar glukosa serum darah tikus yang terdiri dari mikropipet,
blue tip, yellow tip, tabung Eppendorf; mikrohematokrit, sentrifuge,
spektrofotometer Microlab 300 dari Merck dan kuvet serta seperangkat alat untuk
membuat jus dan larutan CMC 1% yang terdiri dari magnetic stirrer; gelas beker,
gelas ukur, pipet ukur, mortar, alumunium foil, kertas label dan lemari pendingin.
Sebanyak 30 ekor tikus dikelompokkan secara acak lengkap atau
Completely Randomized Design (CRD) menjadi 6 kelompok perlakuan, masing-
masing kelompok perlakuan terdiri dari 5 ulangan dengan pola pengelompokkan
Kn (kontrol normal) yaitu tikus diinjeksi aquabidest secara sub kutan dan diberi
perlakuan dengan aquabidest dosis 0,5ml/200g berat badan tikus/hari; Kh (kontrol
hiperglikemik) yaitu tikus diinjeksi aloksan secara sub kutan kemudian diberi
perlakuan dengan aquabidest dosis 0,5ml/200g berat badan tikus/hari; Kp (kontrol
positif yaitu tikus diinjeksi aloksan secara sub kutan kemudian diberi larutan
glibenklamid dosis 0,378 mg/200 g berat badan tikus/hari; U (Perlakuan 1) yaitu
tikus diinjeksi aloksan secara sub kutan kemudian diberi jus undur-undur dosis
0,01 ml/200 g berat badan tikus/ hari; P (Perlakuan 2) yaitu tikus diinjeksi
aloksan, kemudian diberi perlakuan sari pisang ambon dosis 1,26 ml/200 g berat
badan tikus/ hari; dan UP (perlakuan 3) yaitu tikus diinjeksi aloksan, kemudian
diberi perlakuan jus undur-undur dosis 0,01 ml/200 g berat badan tikus dan sari
pisang dosis 1,26 ml/200 g berat badan tikus / hari. Waktu penelitian adalah 35
hari, dan perlakuan diberikan secara oral.
Seluruh tikus diaklimasi selama 3 hari, setelah itu diinduksi dengan
aloksan dosis 125 mg/kg berat badan tikus secara sub kutan (Nugroho, 2004).
Setelah 4x24 jam, tikus diberi perlakuan sesuai dengan pola pengelompokkan di
atas selama 5 minggu. Pengambilan sampel darah tikus dilakukan melalui vena
orbitalis. Pengambilan cuplikan darah tikus dilakukan 7 kali yaitu pada saat
setelah aklimasi sebelum diinjeksi aloksan, empat hari setelah diinjeksi aloksan
untuk menguji kondisi hiperglikemia, pada hari ke 7, ke 14, ke 21, ke 28 dan ke
35..
Alat pengukuran kadar glukosa darah yang digunakan adalah
spektrofotometer Microlab 300 dengan absorbansi pada panjang gelombang 500
nm. Kadar glukosa serum darah diukur dengan metode enzimatik GOD-PAP
menggunakan reagen kit produksi Merck. Data kuantitatif kadar glukosa tersebut
kemudian dianalisis secara statistik dengan ANAVA untuk melihat ada tidaknya
beda nyata antar perlakuan maupun antar waktu. Selanjutnya apabila ada beda
nyata maka dicari letaknya dengan uji lanjutan yaitu LSD.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jus undur-undur,
pisang ambon dan campuran undur-undur pisang (undur-undur+pisang)
terhadap kadar glukosa darah tikus putih (Rattus norvegicus L.) yang dibuat
hiperglikemik. Keadaan hiperglikemik tersebut dapat ditimbulkan dengan
sejumlah prosedur eksperimental, diantaranya pankreatektomi (pengambilan
pankreas), pemberian senyawa aktif seperti aloksan atau streptozotocin. Menurut


PKMP-2-8-4
Turner and Bagnara (1988) pemakaian aloksan merupakan cara yang tepat untuk
menimbulkan hiperglikemik, karena aloksan secara selektif dapat merusak sel
pulau Langerhans pankreas tanpa merusak sel atau asinus pankreas. Selain itu,
dengan pemberian aloksan, kondisi hiperglikemik dapat ditimbulkan dalam
jangka waktu 24 48 jam setelah injeksi subkutan (Renold, 1985).
Pada penelitian ini digunakan tikus putih jantan (Rattus norvegicus L.)
galur wistar umur 2 2,5

bulan, dengan berat badan antara 150 200 gram.
Tidak digunakan tikus betina karena siklus estrus yamg dikendalikan oleh hormon
estrogen dan progesteron, berpengaruh dalam metabolisme karbohidrat sehingga
dapat menyebabkan perubahan kadar glukosa darah yang fluktuatif. Menurut
Turner dan Bagnara (1988), hormon estrogen mempunyai efek penyembuhan
pada tikus yang dibuat hiperglikemik dengan pemberian aloksan. Hormon
estrogen juga dapat menyebabkan pertambahan sel-sel pulau Langerhans pada
pankreas tikus putih diabetik karena aloksan.
Dari hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus perlakuan setelah
diinjeksi aloksan, diketahui bahwa kadar glukosa darah tikus normal lebih rendah
dibandingkan kadar glukosa darah tikus perlakuan dengan aloksan (Gambar 1.).
Hal ini menunjukkan bahwa aloksan mampu menimbulkan pengaruh diabetogenik
secara mendadak dan secara selektif merusak sel pankreas, dengan demikian
mengurangi atau menyebabkan produksi insulin menurun. Dengan menurunnya
produksi insulin mengakibatkan terjadinya kondisi hiperglikemia.
58.48
64.98
84.68
64.08
61.36
65.08
93.1
76.82
96.48
99.06
104.74
78.62
0
20
40
60
80
100
120
kn kp kh u p up
Perlakuan
K
a
d
a
r

g
l
u
k
o
s
a

d
a
r
a
h

(
m
g
/
d
L
)
normal hiperglikemik


Gambar 1. Kadar glukosa darah tikus putih (Rattus norvegicus L.)
normal dan setelah diinjeksi aloksan.

Kadar glukosa darah tikus hiperglikemik setelah pemberian aloksan,
menunjukkan adanya perbedaan bermakna dengan kontrol normal untuk
kelompok perlakuan kecuali kontrol positif dan kelompok perlakuan dengan
undur-undur+pisang (Tabel 1). Pada kondisi hiperglikemik yang ditimbulkan
akibat pemberian aloksan sel pulau Langerhans pankreas mengalami kerusakan
sehingga terjadi defisiensi insulin. Dengan demikian kadar glukosa darah
meningkat.. Sedangkan pada kelompok kontrol positif dan perlakuan dengan
undur-undur+pisang tidak berbeda nyata dengan kontrol normal. Hal ini


PKMP-2-8-5
disebabkan efek yang timbul akibat perlakuan aloksan berbeda-beda pada setiap
individu yang dipengaruhi pula oleh waktu. Tingkat kerusakan sel pankreas
pada satu individu dapat berbeda dengan individu yang lain sehingga produksi
insulin juga berbeda. Regenerasi sel pankreas yang telah mengalami kerusakan
setelah injeksi aloksan dipengaruhi oleh waktu. Kemampuan regenerasinya juga
tergantung pada kondisi fisiologis tiap individu. Jika kemampuan regenerasi
cepat, maka produksi insulin akan segera kembali normal.

Tabel 1. Kadar glukosa darah tikus putih (Rattus norvegicus L) setelah diinjeksi
aloksan.
perlakuan Kadar glukosa darah tikus(mg/dL)
kontrol normal 93,1
a
kontrol positif 76,82
a
kontrol hiperglikemik 96,48
ab
undur-undur 99,06
ab
pisang 104,74
ab
undur-undur+pisang 78,62
a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dengan huruf yang sama dalam satu kolom
menunjukkan tidak beda nyata (n=5, P>0,05).

Pada hari ke-7 perlakuan (Gambar 2), kadar glukosa seluruh kelompok
perlakuan mengalami penurunan, kecuali perlakuan pemberian pisang (p), kontrol
positif (kp) dan perlakuan pemberian undur-undur+pisang (up). Peningkatan
glukosa darah tersebut dimungkinkan karena aloksan masih memiliki efek
hiperglikemik. Selain itu buah pisang mengandung karbohidrat sehingga dapat
meningkatkan kadar glukosa darah tikus.
76.82
80.56
70.225
96.48
93.64
92.98
99.06
87.14
81.76
104.74
115.5
84
78.62
98.92
72.64
0
20
40
60
80
100
120
K
a
d
a
r

G
l
u
k
o
s
a

(
m
g
/
d
L
)

kp kh u p up
Kelompok perlakuan
H0
H7
H14

Gambar 2. Kadar glukosa tikus putih (Rattus norvegicus L.) pada kelompok
perlakuan kontrol positif (kp), kontrol hiperglikemik (kh), undur-
undur (u), pisang (p), serta undur-undur+pisang (up) pada hari ke
nol (H0), hari ke-7 (H7), dan hari ke-14 (H14) setelah perlakuan.


PKMP-2-8-6
Pada hari ke-14, seluruh kelompok perlakuan mengalami penurunan kadar
glukosa (Gambar 2). Hal tersebut disebabkan sel-sel pankreas mulai mengalami
regenerasi. Sehingga insulin mulai diproduksi kembali. Akan tetapi karena
regenerasinya belum sempurna maka kadar glukosa darah belum mencapai kadar
normal.
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa setelah hari ke 14
perlakuan menunjukkan kadar glukosa darah tikus untuk semua perlakuan lebih
rendah dibandingkan kelompok tikus hiperglikemik. Nilai kadar glukosa darah
kelompok tikus dengan perlakuan undur-undur (u) menunjukkan perbedaan yang
bermakna (P<0,05) dengan kelompok tikus hiperglikemik (kh) sedangkan
kelompok perlakuan yang lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
jika dibandingkan dengan kelompok tikus hiperglikemik.
Hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus hiperglikemia pada hari ke
21, 28 dan 35 dalam penelitian ini tidak dapat diinterpretasikan. Hal ini
disebabkan kontrol hiperglikemia yang digunakan pada hari ke 21 menunjukkan
adanya penurunan kadar glukosa darah yang signifikan (Gambar 3). Kondisi
tersebut juga dialami pada kelompok tikus yang diperlakukan setelah hari 21 hari.
Berdasarkan hal tersebut, maka hasil penelitian setelah hari ke 21 tidak dibahas.

78.02
92.02
83.46
81.9
83.82
93.18
70
75
80
85
90
95
K
a
d
a
r

G
l
u
k
o
s
a

(
m
g
/
d
L
)
kn kh
Kelompok Perlakuan
H21
H28
H35

Gambar 3. Kadar glukosa darah tikus putih (Rattus norvegicus L.) pada kontrol
normal (kn) dan kontrol hiperglikemik (kh) hari ke 21 (H21), ke 28
(H28) dan ke 35 (H35).

KESIMPULAN
Pemberian jus undur-undur dosis 0,01 ml/200 g berat badan tikus/ hari
selama 14 hari dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus hiperglikemik
(p<0,05).







PKMP-2-8-7
DAFTAR PUSTAKA
Arnett, Jr., Ross H. 1985. American Insects: A Handbook of The Insects of
America North of Mexico. New York. P:602-603
Darmono. 1990. Ciri-ciri Laboratorium Diabetes Mellitus Malnutrisi Pankreatik
Tipe Klasifikasi. Universitas Diponegoro. Semarang. Hal:9-10, 21-24,
31,79.
Grzimek, Benard. 1979. Grzimeks Animal Life Encyclopedia. Van Nostrand
Reinhold Co. New York.
Kompas Cyber Media. 9 Juni 2005. Diabetes Mellitus : Masalah Kesehatan
Masyarakat yang Serius. http://www.kcm.com
Nugroho, A.Y. 2004. Pengaruh Empedu dan Darah Ular Kobra (Naja naja
sputatrix) Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Putih (Rattus norvegicus
L.) Hiperglikemia. Fakultas Biologi UGM.
Renold, A. E. 1985. Possible animal models for diabetes mellitus: syndromes
involving toxic or immune etiology.Di dalam The Diabetes Annual,
Elservier Sciense Publisher, p.494
Suara Pembaruan. 28 Maret 2004. ______________. http://www.suarapembaruan.
com/News2004.03.28.Iptek.ipt02.htm
Turner, C.D. dan J.T. Bagnara. 1988. Endokrinologi Umum. Edisi VI. Airlangga
University Press. Surabaya. Hal : 323, 325-326, 341-34.

PKMP-2-9-1
ABSORPSI TIMBAL (PB) DALAM GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR BENSIN DENGAN KARBON AKTIF

Murhadi, Suyitno, Feny Mega Vistha, Fitria Khasanah dan Siti Murtinah
PS Teknik Otomotif Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyerapan timbal pada gas buang
kendaraan bermotor bensin dengan karbon aktif. Bahan bakar bensin yang
banyak digunakan oleh sebagian besar kendaraan di Indonesia mengandung zat
tambahan TEL (tetra ethyl lead) yang digunakan untuk meningkatkan angka
oktan dari bensin tersebut. TEL (timbal) ini akan ikut keluar ke udara bersama
gas buang kendaraan bermotor dan mencemari udara disekitarnya. Timbal ini
sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia, mulai dari yang kadarnya rendah
yang mengakibatkan gangguan pendengaran, penurunan IQ, gangguan
pertumbuhan dan fungsi penglihtan sampai yang kadarnya tinggi yang dapat
mengakibatkan anemia, kerusakan otak bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Kendaraan yang berkembang pada saat ini banyak dilengkapi dengan alat
catalytic converter, namun alat ini hanya mampu mereduksi kandungan CO, HC,
SOx dan NOx dalam gas buang kendaraan. Alat ini tidak mampu mereduksi
kandungan timbal pada gas buang, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang
penyerapan timbal pada gas buang ini. Penyerap yang digunakan dalam
penelitian ini adalah karbon aktif. Karbon aktif memiliki ruang pori sangat
banyak dengan ukuran tertentu. Pori-pori ini dapat menangkap partikel-partikel
sangat halus dan menjebaknya di dalam pori-pori tersebut. Dengan penelitian ini
diharapakan adanya sebuah solusi bagaimana penyerapan timbal yang ada pada
gas buang kendaraan bermotor. Pengambilan sampel pada penelitian ini
dilakukan dengan metode stek sampling, pengambilan sampel dilakukan dengan
memodifikasi metode pengujian berdasarkan SII (Standar Industri Indonesia)
1834-85. Timbal (Pb) dalam gas buang kendaraan bermotor diambil
menggunakan asam nitrat (HNO
3
) 1% dan digunakan sebagai sampel. Sampel
diambil pada 2 kondisi yaitu pada knalpot yang tidak dilengkapi dengan karbon
aktif dan knalpot yang dilengkapi dengan penyerap karbon aktif. Setelah sampel
diperoleh kemudian sampel di uji dengan menggunakan AAS (Atomic Absorbance
Spectrophotometer), sehingga kandungan timbal masing-masing sampel dapat di
ketahui. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan dengan AAS dengan LOD
(Limit Deteksi) 0,001 mg/m
3
, didapatkan bahwa kandungan timbal pada sampel
tanpa absorben karbon aktif yaitu 0,0245 mg/m
3
. Sedangkan untuk sampel yang
menggunakan absorben karbon aktif didapatkan kandungan timbal dibawah LOD
(Limit Deteksi) AAS. Sehingga dapat di simpulkan bahwa karbon aktif dapat
menyerap kandungan timbal pada gas buang kendaraan bermotor.

Kata kunci : Absorpsi, Timbal (Pb), Gas Buang Kendaraan Bermotor dan
Karbon Aktif

PENDAHULUAN
Latar belakang penelitian ini yaitu dengan melihat perkembangan
teknologi dan industri kian berkembang dengan pesat dan memberikan banyak

PKMP-2-9-2
manfaat dan kemudahan bagi manusia. Seiring dengan perkembangan tersebut,
pencemaran udarapun semakin meningkat. Perkembangan teknologi dan industri
disamping memberikan manfaat ternyata juga mendatangkan akibat berupa
rusaknya lingkungan sebagai tempat hidup manusia. Beberapa dampak tersebut
antara lain berupa asap dari cerobong-cerobong pabrik, asap kendaraan bermotor
dan lain-lain. Asap yang dihasilkan tesebut mengandung zat-zat yang
membahayakan kesehatan dan merugikan ekosistem.
Dalam ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara), dinyatakan bahwa
kategori udara yang baik adalah jika tingkat kualitas udara tidak memberikan efek
buruk bagi kesehatan manusia serta tidak berpengaruh pada tumbuhan dan nilai
estetika bangunan. Kemudian udara dikatakan tidak sehat, apabila kualitas udara
di suatu kota secara umum dapat merugikan kesehatan yang serius pada penduduk
setempat.
Menurut beberapa sumber dikatakan bahwa semua gas-gas pencemar yang
mengandung karbon, nitrogen, sulfur, timbal, dan ozon dapat menimbulkan
gangguan pernafasan, kanker, menurunkan tingkat kecerdasan, bahkan bisa
mematikan. Perlu disadari dan dipahami oleh masyarakat bahwa polusi udara dari
kendaraan bermotor bensin (spark ignition engine) menghasilkan 70% karbon
monoksida (CO), 100% plumbum (Pb), 60% hidrokarbon (HC) dan 60% oksida
nitrogen (NOx). Kendaran bermotor diesel (compression ignition engine)
menghasilkan partikel halus yang akan mengendap lebih lama dalam paru-paru
dan menjadi faktor pemicu kanker.
Meskipun untuk saat ini sudah dikembangkan alat Catalytic Converter.
Konverter katalis berfungsi untuk mengubah polutan yang membahayakan pada
gas buang menjadi gas yang tidak membahayakan. Alat ini dipasang pada sistem
pembuangan, sehingga semua gas buang harus mengalir melaluinya. Katalis
adalah suatu bahan pada konverter katalis yang menyebabkan suatu perubahan
kimia tanpa menggunakan reaksi kimia pada bagian tersebut. Katalis tersebut
berperan untuk mendorong saling bereaksi antara satu dengan yang lainnya.
Hasilnya adalah gas buang yang keluar dari konventer katalis kandungan HC, CO,
dan NOx lebih rendah dibandingkan yang masuk.
Namun Konverter katalis ini tidak dapat mereduksi kandungan Timbal
(Pb) dalam bahan bakar, sehingga alat ini hanya di gunakan pada kendaraan yang
berbahan bakar bukan mengandung timbal. Timbal di udara terutama berasal dari
penggunaan bahan bakar bertimbal yang dalam pembakarannya melepaskan
timbal oksida berbentuk debu/partikulat yang dapat terhirup oleh manusia. Debu
timbal juga dapat mengkontaminasi tanah pertanian. Mobil berbahan bakar
bertimbal melepaskan 95% timbal yang mencemari udara di negara berkembang.
Karbon aktif adalah suatu bahan yang berupa karbon amorf, yang sebagian
besar terdiri atas karbon bebas serta memiliki permukaan dalam (internal surface)
sehingga mempunyai kemampuan daya serap yang baik. Diketahui bahwa karbon
aktif dimanfaatkan sebagai katalis untuk reaksi katalisator atau pengangkut vinil
kiorida, dan vinil acetate.
Oleh karena itu diperlukan sebuah penelitian mengenai adsorpsi Timbal
yang ada dalam gas buang kendaraan bermotor dengan karbon aktif. Umumnya
katalis reaksi kimia ialah katalis logam murni yang mahal dan sukar di sediakan.
Jadi perlu diupayakan katalis yang murah dengan cara mengimpregansikan logam

PKMP-2-9-3
atau oksida logam kedalam pengemban seperti zeloit, alumina, silika dan karbon
aktif.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka kami dapat merumuskan
masalah yaitu, Apakah karbon aktif dapat mengadsorpsi kandungan timbal yang
ada dalam gas buang kendaraan bermotor yang mengandung timbal? Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi apakah karbon aktif dapat mengabsorpsi
kandungan timbal yang ada dalam gas buang kendaraan bermotor yang
mengandung timbal.
Keluaran program yang diharapkan adalah dapat mengatasi polusi udara
karena pengaruh timbal yang dihasilkan oleh gas buang kendaraan bermotor dan
dapat menjadi kajian untuk waktu berikutnya dalam pembuatan katalisator
menggunakan karbon aktif .
Kegunaan penelitian program ini adalah, bagi peneliti, dapat mengetahui
bahwa kandungan timbal yang terkandung dalam gas buang kendaraan bermotor
dapat di adsorpsi dengan karbon aktif. Bagi masyarakat, Dapat mengatasi
terjadinya polusi udara karena pengaruh timbal yang dihasilkan oleh gas buang
kendaraan bermotor.
Karbon aktif adalah suatu bahan yang berupa karbon amorf, yang sebagian
besar terdiri atas karbon bebas serta memiliki permukaan dalam (internal
surface) sehingga mempunyai kemampuan daya serap yang baik. Daya serap dari
karbon aktif umumnya bergantung kepada jumlah senyawaan karbon yang
berkisar antara 85% sampai 95% karbon bebas.











Gambar 1. Karbon Aktif

Pada dasarnya karbon aktif dapat dibuat dari semua bahan yang
mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun
barang tambang. Bahan-bahan tersebut adalah berbagai jenis kayu, sekam padi,
tulang binatang, batu bara, tempurung kelapa, kulit biji kopi, dan lain-lain. Prinsip
pembuatan karbon aktif adalah proses karbonasi yaitu proses pembentukan
tempurung kelapa sawit menjadi arang (karbon), kemudian diaktivasi dengan
menggunakan bahan kimia seperti ZnCl2 atau dengan menggunakan steam (uap
air).
Berdasarkan hasil penelitian Ponten M. Naibaho (1991), tempurung kelapa
sawit dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif melalui proses
karbonisasi menggunakan alat destilasi kering. Proses karbonisasi pada suhu
550C selama 3 jam menghasilkan karbon aktif dengan rendemen 29%,
sedangkan kadar abu masih tinggi.

PKMP-2-9-4
Tharapong Vitidsant (1999) melakukan penelitian untuk memproduksi
karbon aktif dari tempurung kelapa sawit dengan satu langkah pirolisis dan
aktivasi menggunakan steam. Luas permukaan dan kapasitas adsorpsi maksimum
karbon aktif diperoleh dengan menggunakan 200 g tempurung kelapa sawit
ukuran 1,18-2,36 mm pada suhu 7500C dan waktu pirolisis 3 jam serta laju alir
udara 30 menit (0,72 ml/min) sebelum aktivasi steam. Produk akhir diperoleh
hasil 12,18% dengan karakteristik sebagai berikut: densitas 0,54048 g/cm3, kadar
abu 7,54%, iodine number 766,99 mg/g, methylene blue number 189,20 mg/g dan
luas permukaan BET 669,75 m2/g.
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa karbon aktif dari tempurung
kelapa sawit memiliki peluang yang cukup besar dengan rendemen berkisar 18
29%, dan penelitian lanjutan diharapkan dapat menyempurnakan kualitas karbon
aktif yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan pasar.
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 06-3730-1995 persyaratan
karbon aktif adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Syarat mutu arang aktif teknis (SNI) No. 06-3730-1995
Persyaratan No Uraian Satuan
Butiran Serbuk
1 Bagian yang hilang pada
pemanasan 950C
% Maks.15 Maks.25

2 Air % Maks.4,4 Maks.15
3 Abu % Maks. 2,5 Maks.10
4 Bagian yang tidak
terarang
- Tidak ternyata Tidak ternyata

5 Daya serap I2 mg/g Min.750 Min.750
6 Karbon aktif murni % Min.80 Min.65
7 Daya serap benzena % Min.25 -
8 Daya serap biru metilena ml/g Min.60 Min.120

9 Kerapatan jenis curah g/ml 0,45-0,55 0,30- 0,35
10 Lolos ukuran mesh 325 % - Min.90
11 Jarak Mesh % 90 -
12 Kekerasan % 80 -

Saat ini, karbon aktif telah digunakan secara luas dalam industri kimia,
makanan/minuman dan farmasi. Pada umumnya karbon aktif digunakan sebagai
bahan penyerap, dan penjernih. Dalam jumlah kecil digunakan juga sebagai
katalisator. Karbon aktif merupakan produk yang banyak dipakai di dalam negeri,
hampir 70% produk karbon aktif digunakan untuk pemurnian dalam sektor
industri gula, minyak kelapa, farmasi dan kimia. Selain itu juga banyak digunakan
untuk proses penjernihan air dan industri lain.

Tabel 2. Penggunaan karbon aktif dalam industri
No Maksud/Tujuan Pemakaian
I . Untuk Gas
a. Pemurnian Gas Desulfurisasi, menghilangkan gas beracun,
bau busuk, asap, menyerap racun.
b Pengolahan LNG Desulfurisasi dan penyaringan berbagai bahan

PKMP-2-9-5
mentah dan reaksi gas
c Katalisator Reaksi katalisator atau pengangkut vinil
klorida, dan vinil acetat
d Lain-lain Menghilangkan bau dalam kamar
pendingin dan mobil
I I . Untuk Zat Cair
a. Industri obat dan makanan

Menyaring dan menghilangkan warna, bau,
rasa yang tidak enak pada makanan
b. Minuman ringan, minuman
keras
Menghilangkan warna, bau pada
arak/minuman keras dan minuman ringan
c. Perminyakan Penyulingan bahan mentah, zat perantara
d Pembersih air Menyaring/menghilangkan bau, warna, zat
pencemar dalam air, sebagai pelindung dan
penukaran resin dalam alat/penyulingan air
e Pembersih air buangan Mengatur dan membersihkan air buangan
dari pencemar, warna, bau, logam berart
f Penambakan udang dan
benur
Pemurnian, menghilangkan bau dan warna

g Pelarut yang digunakan
kembali
Penarikan kembali berbagai pelarut, sisa
metanol, etil asetat dan lain-lain
I I I . Lain-Lain
a Pengolahan pulp Pemurnian, menghilangkan bau
b Pengolahanpupuk Pemurnian
c Pengolahan emas Pemurnian
d Penyaringan minyak makan
dan glukosa
Menghilangkan bau, warna, dan rasa tidak enak


Timbal (Pb)
Studi toksisitas timbal menunjukkan bahwa kandungan timbal dalam darah
g/dl (1/10 bagian dari 1 liter darah) dianggap sebagai tingkat sebanyak 10 aktif
(level action. Timbal di udara terutama berasal dari penggunaan bahan bakar
bertimbal yang dalam pembakarannya melepaskan timbal oksida berbentuk
debu/partikulat yang dapat terhirup oleh manusia. Debu timbal juga dapat
mengkontaminasi tanah pertanian. Mobil berbahan bakar mengandung timbal
melepaskan 95% timbal yang mencemari udara di negara berkembang
Timbal adalah logam berat yang terdapat secara alami di dalam kerak
bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah kecil melalui proses alami. Timbal yang
ada di lingkungan juga berasal dari kegiatan manusia yang menghasilkan timbal
300 kali lebih banyak dibandingkan timbal yang berasal dari proses alami.
Timbal terakumulasi di lingkungan, tidak dapat terurai secara biologis dan
toksisitasnya tidak berubah sepanjang waktu. Timbal bersifat toksik jika terhidup
atau tertelan oleh manusia dan di dalam tubuh akan beredar mengikuti aliran
darah, diserap kembali di dalam ginjal dan otak, dan disimpan di dalam tulang dan
gigi.
Manusia menyerap timbal melalui udara, debu, air dan makanan. Jutaan
anak dan orang dewasa terpapar timbal dalam jumlah besar di lingkungan, rumah,
sekolah dan tempat kerja. Penduduk kota mempunyai kandungan timbal dalam
darah yang lebih tinggi dibandingkan penduduk desa. Penduduk di negara
berkembang, terutama anak-anak, terancam paparan timbal yang sangat besar
disebabkan oleh:

PKMP-2-9-6
1) Belum ada peraturan tentang emisi industri dan penggunaan bahan bakar
yang mengandung timbal.
2) Lemahnya pelaksanaan peraturan lingkungan dan keselamatan kerja.
3) Banyaknya industri rumah tangga pelapisan dan pengolahan logam.
4) Penerapan budaya tertentu seperti penggunaan alat masak dari keramik
mengandung timbal dan penggunaan timbal untuk bahan kosmetik.
Timbal adalah racun bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat global.
Penyebab terjadinya keracunan timbal bersifat lokal, bervariasi dalam komunitas
dan negara yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa timbal yang terserap
oleh anak, walaupun dalam jumlah kecil, dapat menyebabkan gangguan pada fase
awal pertumbuhan fisik dan mental yang kemudian berakibat pada fungsi
kecerdasan dan kemampuan akademik.
Anak perkotaan di negara berkembang memiliki risiko yang tinggi dalam
keracunan timbal. Diperkirakan pada tahun 1994 sebanyak 100% darah dari anak
berumur di bawah 2 g/dl menurut US Centre tahun mengandung timbal yang
melampaui ambang batas 10 for Disease Control and Prevention dan 80% darah
dari anak 3-5 tahun melebihi ambang batas tersebut. Anak yang tinggal atau
bermain di jalan raya sering menghirup timbal dari asap kendaraan yang
menggunakan bahan bakar bertimbal.
Di negara yang maju sekalipun diperkirakan masih banyak anak yang
darahnya mengandung timbal melebihi ambang batas. Diperkirakan 78% anak
berumur di bawah 2 tahun dan 28% anak berumur 3-5 tahun memiliki kandungan
timbal dalam darah yang melebihi ambang batas. Timbal yang terserap oleh ibu
hamil akan berakibat pada kematian janin dan kelahiran prematur, berat lahir
rendah bahkan keguguran.
Sistem syaraf dan pencernaan anak masih dalam tahap perkembangan,
sehingga lebih rentan terhadap timbal yang terserap. Anak dapat menyerap hingga
50% timbal yang masuk ke dalam tubuh, sedangkan dewasa hanya menyerap 10-
15%. Anak dapat menyerap 3 kali dosis lebih besar dibandingkan orang dewasa
karena memiliki perbandingan permukaan penyerapan dan volume yang lebih
besar. Anak senang memasukkan segala sesuatu ke dalam mulutnya.
Anak yang bermain dan menjelajah lingkungan dapat menelan timbal
pada debu yang menempel di tangan, mainan atau benda lain di sekitarnya. Anak
dapat menelan 200 mg timbal perhari terutama yang tinggal di kota dan dekat
jalan raya yang padat. Janin dapat menyerap timbal yang terkandung dan
terakumulasi di dalam darah ibunya karena timbal dapat masuk ke dalam plasenta
dengan mudah.
Studi toksisitas timbal g/dl (1/10 bagian menunjukkan bahwa kandungan
timbal dalam darah sebanyak 10 dari 1 liter darah) dianggap sebagai tingkat aktif
(level action). Pada g/dl, gangguan perkembangan dan
penyimpangan kandungan timbal sebesar 10 perilaku pada anak dapat teramati
g/dl membutuhkan . Kandungan timbal 45 perawatan segera dalam waktu 48 jam
g/dl. Kandungan timbal lebih dari 70 menyebabkan kondisi gawat secara medis
(medical emergency). Kandungan timbal g/dl bersifat sangat toksik dan dapat
menimbulkan kematian pada di atas 120 anak.
Timbal di udara terutama berasal dari penggunaan bahan bakar bertimbal
yang dalam pembakarannya melepaskan timbal oksida berbentuk debu/partikulat

PKMP-2-9-7
yang dapat terhirup oleh manusia. Debu timbal juga dapat mengkontaminasi tanah
pertanian. Mobil berbahan bakar bertimbal melepaskan 95% timbal yang
mencemari udara di negara berkembang. Debu timbal menempel di pintu atau
jendela yang dapat terhirup ke dalam saluran pernafasan dan masuk ke dalam
mulut.
Pada kadar rendah, keracunan timbal pada anak dapat menyebabkan,
penurunan IQ dan pemusatan perhatian, kesulitan membaca dan menulis,
hiperaktif dan gangguan perilaku, gangguan pertumbuhan dan fungsi penglihatan
dan pergerakan, serta gangguan pendengaran. Pada kadar tinggi, keracunan timbal
pada anak dapat menyebabkan, anemia, kerusakan otak, liver, ginjal, syaraf dan
pencernaan, koma, kejang-kejang atau pilepsi bahkan kematian. Dampak
keracunan yang terjadi pada anak bersifat, jangka panjang dan tidak dapat pulih,
diperparah oleh paparan timbal berulang-ulang dan akumulasi di dalam tubuh.
Adsorpsi (Serapan) dengan Karbon Aktif
Adsorpsi merupakan suatu proses dimana suatu partikel terperangkap
kedalam struktur suatu media dan seolah-olah menjadi bagian dari keseluruhan
media tersebut. Proses ini dijumpai terutama dalam media karbon aktif. Karbon
aktif memiliki ruang pori sangat banyak dengan ukuran tertentu. Pori-pori ini
dapat menangkap partikel-partikel sangat halus (molekul) dan menjebaknya
disana. Dengan berjalannya waktu pori-pori ini pada akhirnya akan jenuh dengan
partikel-partikel sangat halus sehingga tidak akan berfungsi lagi. Sampai tahap
tertentu beberapa jenis arang aktif dapat di reaktivasi kembali, meskipun
demikian tidak jarang yang disarankan untuk sekali pakai. Reaktifasi karbon aktif
sangat tergantung dari metode aktifasi sebelumnya, oleh karena itu perlu
diperhatikan keterangan pada kemasan produk tersebut.
Secara umum karbon/arang aktif biasanya dibuat dari arang tempurung
dengan pemanasan pada suhu 600-2000C pada tekanan tinggi. Pada kondisi ini
akan terbentuk rekahan-rekahan (rongga) sangat halus dengan jumlah yang sangat
banyak, sehingga luas permukaan arang tersebut menjadi besar. 1gram karbon
aktif, pada umumnya memiliki luas permukaan seluas 500-1500 m
2
, sehingga
sangat efektif dalam menangkap partikel-partikel yang sangat halus berukuran
0.01-0.0000001 mm. Karbon aktif bersifat sangat aktif dan akan menyerap apa
saja yang kontak dengan karbon tersebut, baik di air maupun di udara. Apabila
dibiarkan di udara terbuka, maka dengan segera akan menyerap debu halus yang
terkandung diudara(polusi). Dalam waktu 60 jam biasanya karbon aktif tersebut
manjadi jenuh dan tidak aktif lagi. Oleh karena itu biasanya arang aktif di kemas
dalam kemasan yang kedap udara.

METODE PENDEKATAN
Waktu penelitian yaitu dilaksanakan mulai bulan Mei-Juni 2006, termasuk
pengumpulan bahan dan observasi alat uji kandungan timbal dalam gas. Tempat
pengujian gas yaitu, dilakukan di Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja
Yogyakarta di Jl. Ireda No.38 Yogyakarta pada tanggal 8-9 Juni 2006.

Bahan yang digunakan.
1. Karbon Aktif, dengan seri 1.02186. K 23361386 dengan Merek dagang
MERCK

PKMP-2-9-8
2. Asam Nitrat (HNO
3
) 1%
3. Kondom
4. Kertas saring.

Alat yang di gunakan
1. Sepeda Motor, 2 Tak Yamaha F1Z tahun 1995
2. Thermometer
3. Barometer
4. Stop Watch
5. Tabung Pengumpul Contoh Gas
6. Botol Pencuci
7. Pompa pengisap
8. Pipa Penghubung
9. AAS (Atomic Absorbance Spectrophotometer) LOD 0,001 mg/m
3


Langkah Kerja
Persiapan awal sebelum melakukan pengujian adalah:
1. Masukkan Asam Nitrat kedalam botol pencuci.
2. Memasang tabung pengumpul, botol pencuci, pompa pengisap dengan pipa-
pipa penghubung.
3. Memanaskan mesin motor selama 5 menit.
4. Mengukur suhu knalpot dengan thermometer
5. Mengukur tekanan udara luar dengan barometer

Pengujian timbal tanpa pemasangan karbon aktif (sebagai media kontrol).
Langkah-langkah pengujiannya yaitu:
1. Memasang tabung pengumpul pada lubang knalpot dengan kondisi mesin
pada putaran stasioner (idle).
2. Hidupkan pompa penghisap dan aktifkan stop watch.
3. Sambil di pertahankan posisi mesin pada putaran stasioner, lakukan pengujian
sampai 15 menit
4. Setelah 15 menit, matikan pompa penghisap dan matikan mesin.
5. Buka botol pencuci dan tampung asam nitrat pada wadah yang disediakan.

Pengujian timbal dengan karbon aktif.
Sebagai persiapan, pasang karbon aktif yang telah dipasang pada tabung
yang dibuat pada tabung pengumpul dengan bantuan kondom, seperti gambar
berikut:









Gambar. Karbon aktif yang terpasang pada kondom
Tabung karbon aktif
Kondom

PKMP-2-9-9
Langkah kerja:
1. Memasang tabung pengumpul pada lubang knalpot dengan kondisi mesin
pada putaran stasioner (idle).
2. Hidupkan pompa penghisap dan aktifkan stop watch.
3. Sambil di pertahankan posisi mesin pada putaran stasioner, lakukan pengujian
sampai 15 menit
4. Setelah 15 menit, matikan pompa penghisap dan matikan mesin.
5. Buka botol pencuci dan tampung asam nitrat pada wadah yang disediakan.

Pengujian kadar timbal dengan AAS (Atomic Absorbance Spectrophotometer)
LOD 0,001 mg/m
3

Timbal dalam larutan sampel yang dioksidasi dengan asam nitrat
(HNO
3
)1%, diencerkan sampai volume tertentu, dikabutkan kedalam nyala udara-
asetelin. Diukur serapannya pada panjang gelombang 283.3 nm.
Kandungan timbal dapat dicari dengan rumus:
C
L
P =
P = g Pb per m
3
udara pada kondisi 0 C, 760 mm Hg
L = g Pb dalam contoh.
C = Volume contoh udara (Nm
3
)

Pada sampel yang tanpa penyerap timbal diperoleh
L = 0,47619 g
= 0,00047619 mg
C = 0,019 m
3


Sehingga,

= 0,0245 mg/m
3


Pada sampel yang menggunakan penyerap karbon aktif diperoleh L = 0 (tidak
dapat terdeteksi oleh AAS), maka P = 0.

Pembahasan
Karbon aktif sebagai absorben sangat efektif dalam menyerap zat-zat
beracun. Dalam penelitian ini, timbal diserap seluruhnya oleh karbon aktif,
sehingga menghasilkan kandungan timbal yang 0. Dari hasil penelitian Untung
Sukamto (1998) diperoleh kenyataan bahwa adsorpsi karbon aktif dipengaruhi
oleh ukuran butir karbon Waif, luas permukaan dan porositasnya. Selain itu
kuantitas penyerapan masing-masing logam berbanding lurus dengan kenaikan
konsentrasi, meskipun prosentase logam teradsorpsinya cenderung turun.
Kuantitas penyerapan pada pengujian yang dilakukan dapat dilihat pada tabel
berikut:




P =
0,00047619 mg
0,019 m
3


PKMP-2-9-10
Tabel. 2. konsentrasi berbanding lurus dengan adsorpsi.
Konsentrasi (ppm) Adsorpsi
0 0
5 0,008
10 0,022
25 0,054
50 0,093
100 0,21

Karbon aktif yang digunakan dalam penelitian ini merupakan karbon aktif
dengan bentuk serbuk dengan mesh yang sangat kecil sehingga luas permukaan
untuk mengadsorpsi timbal sangat luas. Karena kemapuan adsorpsi karbon aktif
sangat tergantung pada luas permukaan karbon aktif. Jadi semakin kecil mesh
karbon aktif maka semakin baik daya serap dari karbon aktif tersebut.
Jika tingkat penyerapan kandungan timbal dengan AAS LOD 0,001 mg/m
3

diprosentasekan, maka prosentasenya adalah 100%. Jadi karbon aktif dapat
menyerap timbal dalam gas buang kendaraan bermotor dengan sangat efektif.


KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat di simpulkan
bahwa karbon aktif dapat mengadsorpsi kandungan timbal yang ada dalam gas
buang kendaraan motor bensin dengan tingkat adsorbsi 100% jika menggunakan
metode AAS (Atomic Absorbance Spectrophotometer). Jadi karbon aktif sangat
efektif dalam menyerap kandungan timbal (Pb).

DAFTAR PUSTAKA
AC Lua, J Guo. 1999. Chars Pyrolyzed From Oil Palm Wastes For Activated
Carbon Preparation. Journal of Environmental Engineering- ASCE. 125: 1
(JAN 1999)
Azah, Dahlius, Rudyanto J.S., 1983. Pembuatan Karbon Aktif dari Tempurung
Inti Sawit. Medan: Balai Penelitian dan Pengembangan Industri.
Hendra, Dj. Pari, G. 1999. Pembuatan Arang Aktif dari Tandan Kosong Kelapa
Sawit. Buletin Penelitian Hasil Hutan : 17 (2) 1999: 113-122.
Naibaho, P.M., 1991. Penggunaan Tempurung Kelapa Sawit Sebagai Bahan
Arang Aktif dengan Metode Karbonisasi, Berita Penelit. Perkeb., 1 (1) 1991:
33- 36.
Purwanto, W. 1998, Beberapa Alternative Pemanfaatan Limbah Padat Industri
Kelapa Sawit. Media ISTA: media komunikasi civitas akademika Institut
Sains dan Teknologi Al-Kamal : 2 (1) 1998: 12-15.
Rudyanto. 1998. Pengaruh Suhu Pembakaran terhadap Rendemen Carbon dari
Tempurung Inti Sawit. Buletin Litbang Industri: Balai Penelitian dan
Pengembangan Industri: 2 (15) 1997/1998:10-17
www.google.com/Beberapa Hal Penting Tentang Timbal dan Keracunan Timbal
www.chemistry.com.



PKMP-2-10-1
KAJIAN PENYEBARAN LIMBAH CAIR BAWAH PERMUKAAN
BERDASARKAN SIFAT KELISTRIKAN BATUAN DI LOKASI
PEMBUANGAN AKHIR (LPA) BENOWO SURABAYA

Suparmanto, Agus M.U., Rahmadana A.
Laboratorium Geofisika, Jurusan Fisika, Fakultas MIPA
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

ABSTRAK
Sebagai lokasi pembuangan akhir (LPA) sampah, LPA Benowo merupakan satu-
satunya depo akhir sampah kota Surabaya. Timbunan sampah merupakan sumber
polutan, di antaranya polutan cair hasil pembusukan sampah yang biasa disebut
lindi (leachate). Lindi dapat mencemari lingkungan sehingga dapat berdampak
pada penurunan mutu pada lingkungan hidup sekitarnya. Sementara itu,
Kecamatan Benowo dan sekitarnya pada khususnya dan daerah Surabaya Barat
pada umumnya saat ini sedang mengalami perkembangan sosial ekonomi secara
pesat. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian pola penyebaran lindi dari
LPA ke daerah sekitarnya, khususnya potensi pencemaran lingkungan melalui
bawah permukaan tanah yang bersifat laten dan sulit dipantau. Pada penelitian
ini telah dilakukan pengamatan sifat kelistrikan di daerah LPA Benowo dan
sekitarnya dengan menggunakan Metode Geolistrik Resistivitas untuk mengetahui
pola penyebaran polutan cair (lindi) pada daerah LPA Benowo. Hasil korelasi
antara pengukuran resistivitas dan analisa data bor menunjukkan adanya pola
penyebaran lindi pada daerah LPA Benowo dan sekitarnya. Pola penyebaran
limbah cair di LPA Benowo adalah ke arah timur pada kedalaman 1 meter, 2
meter, serta pada kedalaman 6 meter.

Kata kunci : lindi, resistivitas, LPA Benowo

PENDAHULUAN
Sampah merupakan masalah bagi hampir semua orang, terutama bila
menyangkut jenis sampah yang tidak bisa dilebur oleh alam misalnya sampah
rumah tangga atau sampah industri. Bila dalam skala kecil semisal pada rumah
tangga atau lingkungan sekitar sampah sudah menjadi sumber pencemaran yang
meresahkan baik secara langsung maupun tidak, maka dapat dibayangkan apabila
skala itu adalah untuk daerah Lokasi Pembuangan Akhir (LPA). LPA Benowo
merupakan satu-satunya lokasi tempat pembuangan akhir sampah di Surabaya,
sehingga seluruh sampah di daerah Kotamadya Surabaya dan sekitarnya berakhir
di sana. Secara geografis, LPA Benowo Surabaya berada di antara 1123758 BT
- 1123801 BT dan 71302 LS - 71319 LS. Secara geologi, LPA Benowo
berada di daerah Benowo yang termasuk lembar Surabaya (Sukardi, 1992).
Pengelolaan LPA yang kurang dapat memenuhi dan memperhatikan
kaidah pengelolaan sampah dapat menimbulkan permasalahan yang lebih serius.
Umumnya sampah organik dan anorganik tidak dipisahkan di LPA. Akibatnya
dikhawatirkan masih terdapat rembesan atau resapan akibat timbunan sampah
yang dapat mencemari air tanah bawah permukaan di lokasi (Bahri, 2001). Air
tanah yang sudah tercemar oleh limbah cair (logam berat atau fluida beracun)
dapat membahayakan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, informasi


PKMP-2-10-2
mengenai pola penyebaran limbah cair bawah permukaan sangat diperlukan untuk
menghindarkan masyarakat dari bahaya pencemaran limbah cair bawah
permukaan tersebut.
Untuk menyikapi masalah tersebut dilakukanlah penelitian sifat kelistrikan
daerah LPA Benowo dan sekitarnya dengan menggunakan metoda geolistrik.
Metode geolistrik merupakan metode yang digunakan untuk mempelajari sifat
aliran listrik di dalam bumi dengan cara mendeteksinya di permukaan bumi
(Hendrajaya,1990). Salah satu metode geolistrik yang sering digunakan dalam
pengukuran aliran listrik dan untuk mempelajari keadaan geologi bawah
permukaan adalah dengan metode resistivitas (Telford dkk, 1990). Metode
geolistrik resistivitas dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu metode
resistivitas Mapping dan metode resistivitas Sounding atau VES - Vertical
Electrical Sounding (Koefoed, 1979) dan (Bhattacharya dan Patra, 1986).
Tujuan yang ingin dicapai dari PKMP ini adalah penggunaan metode
resistivitas Sounding untuk mengkaji penyebaran limbah cair bawah permukaan di
LPA Benowo Surabaya dan penggunaan analisa sampel di laboratorium untuk
dikorelasikan dengan data pengukuran di lapangan sehingga diperoleh pola
penyebaran limbah cair bawah permukaan yang lebih akurat.
Luaran PKMP akan berupa sebuah laporan yang berisi informasi akurat
mengenai penyebaran limbah cair bawah permukaan di LPA Benowo Surabaya,
selanjutnya dapat digunakan untuk memberikan informasi kepada pihak terkait,
dalam hal ini Dinas Kebersihan, Dinas Lingkungan hidup dan Pemkot Surabaya.
Dengan informasi ini, diharapkan pihak-pihak di atas dapat melakukan tindakan
preventif untuk mengurangi dampak negatif akibat kontaminasi limbah cair LPA
Benowo Surabaya.
Kegunaan yang lain adalah memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai daerah-daerah yang sudah tercemar limbah cair LPA Benowo Surabaya.
Informasi ini dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan simpati dan empati
terhadap permasalahan lingkungan hidup, khususnya pencemaran lingkungan
akibat limbah cair dari sampah.

METODE PENDEKATAN
PKMP ini dilaksanakan selama 5 (lima) bulan pada bulan Februari-Juni
2006.
Bahan dan peralatan yang digunakan untuk mendukung kegiatan PKMP ini
adalah sebagai berikut:
1. GPS (Global Positioning System) 1 set
2. Resistivity-Meter merek Tigre Campus 1 set
3. Piranti lunak IP2WIN Resistivity Sounding Interpretation 1 set
4. Piranti lunak SURFER versi 7.0 1 set
5. Peralatan Bor Dangkal 1 set
6. Automatic LCR Meter 1 set
7. Aquades secukupnya
8. Larutan NaCl 99% secukupnya
Pemetaan lokasi dilakukan untuk menentukan panjang lintasan dan titik ukur.
Selain itu, seluruh posisi titik ukur ditentukan dengan menggunakan GPS. Hasil
pemetaan lokasi berupa 9 (sembilan) titik pengambilan data resistivitas (VES) dan


PKMP-2-10-3
6 (enam) titik pengambilan data bor. Lokasi pengambilan data disajikan pada
Gambar 1.


Gambar 1. Lokasi Titik VES dan Titik Bor

Pengambilan data resistivitas (VES) dilakukan pada 9 titik ukur dan
lintasan yang telah ditentukan pada Gambar 1. Data VES yang diperoleh
kemudian diolah dengan menggunakan piranti lunak IP2WIN Resistivity Sounding
Interpretation 3.0.1.a dari Moscow State University yang menghasilkan kurva
lapangan dan resistivity cross-section. Langkah selanjutnya adalah membuat
kontur sebaran resistivitas berdasarkan kedalamannya yang didapatkan dari hasil
pengolahan data VES dengan menggunakan piranti lunak Surfer versi 7.0 dari
Golden Software Inc. Kontur sebaran resistivitas digambarkan dalam setiap
kedalaman dengan spasi 1 meter hingga kedalaman 6 meter.
Pengambilan data bor dilakukan dengan menggunakan bor dangkal
bekerjasama dengan Laboratorium Geofisika ITS. Pengeboran dilakukan
sebanyak 6 titik dan pengambilan sampel dilakukan pada tiap kedalaman 1 meter
hingga kedalaman 6 meter. Total sampel tanah hasil pengeboran yang didapatkan
adalah sebanyak 36 sampel.
Sampel tanah hasil pengeboran dianalisa di laboratorium untuk
mendapatkan nilai resistivitasnya. Sampel batuan yang akan diukur dipadatkan
dan dimasukkan ke dalam tabung elektroda berupa bahan non-konduktif (plastik
PVC) berbentuk silinder dengan diameter 3 cm dan panjang 10 cm. Setelah itu
larutan elektrolit dimasukkan ke dalam tabung hingga sampel di dalam tabung
tersaturasi penuh. Dalam pengukuran ini terdapat 5 buah tabung dengan kadar
larutan yang berbeda, yaitu sampel dengan larutan aquades, sampel dengan
konsentrasi larutan NaCl 3 gr/ltr (Larutan I), NaCl 20 gr/ltr (Larutan II), NaCl 50
gr/ltr (Larutan III), dan NaCl 100 gr/ltr(Larutan IV). Setelah itu resistivitasnya
diukur dengan menggunakan Automatic LCR Meter di Laboratorium Elektronika
Fisika ITS.
U


PKMP-2-10-4
Hasil pengolahan data VES dan hasil analisa laboratorium dikorelasikan
dan dianalisa untuk mendapatkan nilai resistivitas tanah yang sesuai. Nilai
resistivitas tanah tersebut kemudian diinterpretasikan dalam bentuk pola
penyebaran limbah cair bawah permukaan di LPA Benowo Surabaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode resistivitas VES dilakukan untuk memperoleh distribusi tahanan
jenis secara vertikal. Hasil pengolahan data VES dengan menggunakan piranti
lunak IPI2Win Resistivity Sounding Interpretation Versi 3.0.1.a dari Moscow
State University dari ke 9 titik pengukuran diperlihatkan pada Gambar 2 hingga
Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 2. Hasil pengolahan data VES pada titik 1, titik 2, dan titik 3

Gambar 3. Hasil pengolahan data VES pada titik 4, titik 5, dan titik 6

Gambar 4. Hasil pengolahan data VES pada titik 7, titik 8, dan titik 9
Kontur sebaran tahanan jenis berdasarkan kedalaman didapatkan dari hasil
pengolahan data VES dengan menggunakan piranti lunak Surfer versi 7.0 dari
Golden Software Inc. Kontur sebaran tahanan jenis digambarkan dalam setiap
kedalaman dengan spasi 1 meter hingga kedalaman 6 meter. Berikut kontur
sebaran tahanan jenis berdasarkan kedalaman yang digambarkan pada Gambar 5
hingga Gambar 10 dengan keterangan tanda kotak merupakan lokasi bak sampah.

Titik 1 Titik 2 Titik 3
Titik 4 Titik 5 Titik 6
Titik 7 Titik 8 Titik 9


PKMP-2-10-5

Gambar 5. Distribusi tahanan jenis pada kedalaman 1 meter

Gambar 6. Distibusi tahanan jenis pada kedalaman 2 meter


Gambar 7. Distribusi tahanan jenis pada kedalaman 3 meter
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
2.6
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
2.6
U
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
6.5
7
7.5
8
8.5
9
9.5
10
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
U
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
32
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
32
U


PKMP-2-10-6

Gambar 8. Distribusi tahanan jenis pada kedalaman 4 meter



Gambar 9. Distribusi tahanan jenis pada kedalaman 5 meter


Gambar 10. Distribusi tahanan jenis pada kedalaman 6 meter
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
6.5
7
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
6.5
7
7.5
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
6.5
7
7.5
U
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
2.6
2.8
3
3.2
3.4
3.6
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
2.6
2.8
3
3.2
3.4
3.6
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
2.6
2.8
3
3.2
3.4
U
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
2.6
2.8
3
3.2
3.4
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
2.6
2.8
3
3.2
3.4
3.6
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
2.6
2.8
3
3.2
3.4
3.6
U


PKMP-2-10-7
Sampel tanah yang didapatkan dari hasil pengeboran dilakukan analisa yang
meliputi penentuan jenis batuan/tanah, dan resistivitas yang berasosiasi dengan
konduktivitas tanah. Berikut merupakan contoh hasil analisa data bor 1 yang
berkaitan dengan penentuan jenis tanah di sekitar LPA Benowo yang ditunjukkan
pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisa sampel tanah pada data bor 1
Lokasi : Benowo
Bore Hole : B-1
Kedalaman (m) Diskripsi Tanah/Batuan Warna
0 1 Lempung Coklat muda
1 2 Lempung Coklat muda
2 3 Lempung Coklat muda
3 4 Lempung sedikit lanau Abu abu
4 5 Lempung sedikit lanau Abu abu
5 6 Lempung sedikit lanau Abu abu

Berdasarkan hasil dari data bor pada 6 titik, diketahui bahwa pada
kedalaman 0 sampai 3 meter rata rata berjenis tanah sama yaitu lempung dan
pada kedalaman 3 meter sampai dengan 6 meter berjenis tanah lempung dengan
sedikit lanau.
Uji konduktivitas dilakukan terhadap sampel tanah pada kedalaman 2
meter dan 5 meter dan dianggap sudah mewakili 2 jenis tanah tersebut. Uji
konduktivitas dilakukan dengan menggunakan lima jenis larutan NaCl seperti
diperlihatkan pada Tabel 2.
Berdasarkan hasil uji konduktivitas batuan maka dapat ditentukan
konduktivitas batuan yang tercemar yaitu dengan mencari persamaan garis dari
hasil perhitungan konduktivitas batuan tersebut kemudian disubstitusi dengan
nilai konduktivitas limbah cair. Pendekatan atas nilai konduktivitas limbah cair
hasil pengukuran laboratorium diambil dari Reinhart et. al. (1998) yaitu sebesar
0,005 S/m. Perhitungan nilai resistivitas tanah menghasilkan nilai 1,126 /m
0.1 untuk kedalaman 0 3 meter dan 1,659 /m 0.1 untuk kedalaman 3 6
meter.

Tabel 2. Konduktivitas Larutan NaCl. (Mardianawati, 2004)
Sampel Massa dalam 1 liter
Aquades (gram)
Suhu
(C)
Konduktivitas Larutan
(S/m)
Hambatan Jenis
(/m)
1 0 27 0.00226 442.4779
2 3 25 0.63 1.587302
3 20 25.5 3.81 0.262467
4 50 25.9 8.28 0.120773
5 100 25.9 13.44 0.074405

Pembahasan
Jika dilihat dari hasil pengukuran yang telah dilakukan di LPA Benowo dengan
metode Resistivitas, maka dapat diperkirakan pola penyebaran lindi yang masuk
ke dalam sistem akuifer di sekitar wilayah LPA Benowo adalah ke arah timur.


PKMP-2-10-8
Hal tersebut diperkirakan dengan nilai resistivitas yang rendah pada area tersebut.
Nilai resistivitas rendah berdampak pada nilai konduktivitas yang tinggi. Pola dan
nilai resistivitas yang rendah seperti ini dapat diartikan bahwa pada daerah
kedalaman tersebut memiliki medium yang berpori sehingga dimungkinkan
terdapat akumulasi fluida di dalamnya. Selain itu, pola distribusi fluida tersebut
dapat terbentuk dan mampu menyebar apabila terdapat sistem pelapisan tanah
yang memiliki porositas dan permeabilitas yang tinggi.
Gambar 11 berikut menunjukkan hubungan antara data hasil pengeboran dan data
pengukuran metode resistivitas VES. Posisi kedua data pengukuran tersebut
ditunjukkan pada denah (Gambar 1). Selanjutnya dilakukan korelasi antara hasil
pengukuran dan hasil pengeboran. Gambar 7 menunjukkan bahwa korelasi antara
data bor yang menunjukkan jenis batuan/tanah terhadap kedalaman relatif sama
dengan data pengukuran metode resistivitas VES.

Kedalaman
(m)
Diskripsi Tanah/Batuan
0 1 Lempung
1 2 Lempung
2 3 Lempung
3 4 Lempung sedikit lanau
4 5 Lempung sedikit lanau
5 6 Lempung sedikit lanau

Gambar 11. Korelasi data bor di titik bor 3 terhadap data VES.
Hasil perbandingan antara data bor dan data hasil pengukuran dengan
menggunakan dengan metode resistivitas VES relatif menunjukkan kedekatan
yang baik. Dengan kata lain, bahwa data hasil pengukuran dengan menggunakan
metoda resistivitas VES dapat dijadikan acuan untuk mengetahui struktur dan pola
pelapisan tanah/batuan terhadap kedalaman. Namun demikian masih diperlukan
pengambilan data bor sebagai perbandingan data yang didapatkan dari
pengukuran. Dalam skala pengukuran yang lebih luas hal tersebut dapat
menjadikan pekerjaan penelitian menjadi efisien dan validitasnya dapat
dipertanggungjawabkan.
Setelah didapatkan nilai konduktivitas batuan yang tercemar, maka dilakukan
korelasi antara data hasil pengukuran yang berupa kontur nilai resistivitas dengan
nilai nilai resistivitas tanah yang tercemar. Berdasarkan data bor di lokasi LPA,
tanah dengan kedalaman 0 sampai dengan 3 meter merupakan tanah dengan
struktur yang sama yaitu lempung. Nilai resistivitas tanah yang tercemar pada
kedalaman 0 sampai 3 meter sebesar 1,126 /m 0.1. Nilai ini kemudian
dikorelasikan dengan hasil kontur nilai resistivitas hasil pengukuran pada
kedalaman 1 meter, 2 meter, dan 3 meter dan didapatkan pola persebaran lindi
pada kedalaman tersebut adalah menuju ke timur pada kedalaman 1 meter dan 2
meter, dan pada kedalaman 3 meter tidak ditemukan adanya penyebaran.
Sedangkan untuk kedalaman 4 meter hingga 6 meter, struktur lapisannya juga
sama yaitu berupa lempung dengan sedikit lanau dan memiliki nilai resistivitas
tanah tercemar sebesar 1,659 /m 0.1. Sehingga berdasarkan hasil kontur nilai
resistivitas pada kedalaman 4 meter dan 5 meter, tidak terlihat adanya persebaran
polutan dikarenakan pada kedalaman tersebut lapisan tanah yang terkontaminasi


PKMP-2-10-9
lindi berada di tengah area LPA, sedangkan pada kedalaman 6 meter terlihat lagi
persebarannya yang juga menuju ke timur area LPA. Pola penyebaran
selengkapnya disajikan pada Gambar 12 dan Gambar 13 berikut:

Gambar 12. Pola persebaran lindi pada kedalaman 1 meter, 2 meter, dan 3 meter


Gambar 13. Pola persebaran lindi pada kedalaman 4 meter, 5 meter, dan 6 meter

KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pola penyebaran limbah cair (lindi) pada LPA Benowo terlihat pada
kedalaman 1 meter, 2 meter, dan 6 meter. Hal ini ditunjukkan dari hasil
pengolahan data VES dimana terlihat sebaran nilai resistivitas rendah pada
kedalaman tersebut dan hasil analisa data bor yang menunjukkan bukti
formasi tanah lempung yang dapat dijadikan media transfortasi fluida atau
menjadi medium terdistribusinya aliran fluida yang diperkirakan merupakan
limbah cair atau lindi dari hasil pembusukan sampah LPA.
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
32
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
2.6
U
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
2.6
2.8
3
3.2
3.4
3.6
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
2.6
2.8
3
3.2
3.4
3.6
792500 792550 792600 792650
12489700
12489750
12489800
12489850
12489900
12489950
12490000
12490050
12490100
12490150
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
6.5
7
7.5
U


PKMP-2-10-10
2. Arah penyebaran limbah cair di LPA Benowo adalah ke arah timur pada
kedalaman 1 meter, 2 meter, serta pada kedalaman 6 meter.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bahri, AS., 2001. Interpretasi Data Resistivitas di Tempat Pembuangan
Sampah Akhir Sukolilo. Surabaya, Jurnal Purifikasi.
2. Bhattacharya P.K dan Patra H.P, 1986. Direct Current Geoelectric Sounding,
Elsevier Publishing, India.
3. Hendrajaya, dan Arif I., 1990, Geolistrik Tahanan Jenis, Laboratorium Fisika
Bumi, Jurusan Fisika, FMIPA, ITB.
4. Koefoed, O., 1979, Geosounding Principles, 1., Resistivity Sounding
Measurements, Elsevier Scientific Publishing Company, Netherlands.
5. Mardianawati, S., 2004 Pengukuran Resistivitas Untuk Menentukan Faktor
Formasi dan Konduktivitas Permukaan Pada Tanah Pasir, Tugas Akhir,
Jurusan Fisika FMIPA-ITS Surabaya
6. Reinhart, 1998, Landfill Bioreactor Design & Operation: Lewis Publisher,
New York.
7. Sukardi, 1992, Geologi Lembar Surabaya dan Sapulu, Jawa, Edisi Pertama,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung , Indonesia.
8. Telford, WM, Geldart, LP, dan RE Sheriff, 1990. Applied Geophysics.
Cambridge University Press, London.



PKMP-2-11-1
PENGARUH CAMPURAN LEMAK SAPI DAN MARGARIN SERTA
JENIS PELARUT DALAM PROSES EKSTRAKSI MINYAK MELATI
MENGGUNAKAN SISTEM ENFLEURASI

Kelik Kurniawan, Vita Nindya H., Erna Rahmawati, Iva Nur Rhomadia
Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh penggunaan lemak babi sebagai media
absorbsi dalam proses enfleurasi minyak melati.Penggunaan lemak babi dalam
proses enfleurasi harus dihindari karena mayoritas penduduk Indonesia adalah
muslim. Tujuan dari program ini adalah memanfaatan bunga melati sebagai
penghasil minyak atsiri dengan metode enfleurasi, mengetahui kemungkinan
margarin putih dan margarin kuning sebagai alternatif pengganti lemak babi
sebagai media adsorbent dalam proses ekstraksi minyak melati, mengetahui
pelarut yang paling baik untuk mendapatkan minyak melati. Penelitian ini terdiri
dari 3 tahapan, yaitu persiapan lemak, proses enfleurasi, dan analisa data.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial
yang terdiri dari 2 faktor yaitu jenis margarin dan jenis pelarut. Penelitian
dilakukan dengan dua perlakuan dan setiap perlakuan diulang tiga kali.Hasil
penelitian didapat dari analisis pemilihan alternatif teroptimal dan terbaik
menggunakan metode Multiple Atribute yang didasarkan pada rata-rata nilai
rendemen, rata-rata nilai berat jenis, rata-rata nilai indeks bias, rata-rata nilai
kelarutan, rata-rata rangking aroma, rata-rata rangking warna dan rata-rata
rangking kecerahan. Nilai ideal dari masing-masing perlakuan yang dijadikan
sebagai dasar dalam pemilihan alternatif terbaik merupakan nilai yang sesuai
dengan harapan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ternyata campuran
lemak sapi dan margarin putih atau kuning dapat digunakan sebagai media
adsorben pada proses enfleurasi minyak melati sehingga dapat dijadikan sebagai
alternatif pengganti lemak babi.Tetapi,minyak melati yang dihasilkan masih
belum menyerupai minyak melati yang ada dipasaran.Hasil produk minyak melati
terbaik adalah dengan perlakuan campuran lemak sapi dan margarin kuning
dengan menggunakan pelarut etanol.

Kata kunci: enfleurasi,minyak melati,margarin, pelarut, lemak sapi

PENDAHULUAN
Tanaman melati terdapat hampir disetiap daerah di Indonesia, terutama di
Pulau Jawa, misalnya di daerah Pasuruan, Pamekasan, Banyumas, Purbalingga,
Pemalang dan Tegal. Adapun jenis melati yang banyak terdapat di Pulau Jawa
menurut Rukmana (1997) antara lain Jasminum sambac (melati putih), Jasminum
multiflorum (star jasmine) dan Jasminum officinale (melati gambir). Berdasarkan
data dari Dinas Pertanian Jawa Timur luas areal penanaman baru melati pada
tahun 2001 adalah 186.837 m
2
dengan kapasitas produksi 270.642 kg dan
produktivitasnya sebesar 0,58 kg/m
2
. Sedangkan pada tahun 2002 luas areal
penanaman baru melati adalah 65.997 m
2
dengan kapasitas produksi 2.695.695 kg
dan produktivitasnya sebesar 7,55 kg/m
2
.


PKMP-2-11-2
Pengambilan minyak atsiri yang terkandung dalam bunga melati tidak bisa
dilakukan dengan cara penyulingan/destilasi seperti halnya pada cengkeh, nilam
ataupun kenanga. Hal ini menurut Guenther (1987) disebabkan oleh penyulingan
dengan uap air atau air mendidih yang relatif lama cenderung merusak komponen
minyak karena proses hidrolisa, polimerisasi dan resinifikasi, komponen yang
bertitik didih tinggi khususnya yang larut dalam air tidak dapat diangkut oleh uap
air sehingga rendemen minyak dan mutu yang dihasilkan lebih rendah. Oleh
karena itu melati harus diproses dengan metode ekstraksi lain untuk mengambil
minyak atsirinya (minyak melati). Salah satu metode ekstraksi yang dapat
dilakukan untuk melati adalah metode enfleurasi (ekstraksi dengan lemak dingin).
Metode enfleurasi memanfaatkan lemak sebagai media untuk
mengabsorpsi aroma wangi yang dihasilkan oleh jenis bunga tertentu misalnya
melati, sedap malam dan mawar. Proses enfleurasi berakhir apabila lemak telah
jenuh dengan minyak bunga. Keberhasilan proses enfleurasi tergantung pada
kualitas lemak yang digunakan dan ketrampilan dalam mempersiapkan lemak.
Berdasarkan pengalaman selama beberapa tahun diketahui bahwa campuran 1
bagian lemak sapi dan 2 bagian lemak babi sangat baik untuk proses enfleurasi
(Guenther, 1987). Penggunaan lemak babi dalam proses enfleurasi harus dihindari
karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Maka perlu adanya
alternatif pengganti lemak babi sebagai media absorpsi (adsorben) dalam proses
enfleurasi dalam hal ini adalah margarin putih (shortening) dan margarin kuning.
Permasalahan lain yang timbul adalah mencari pelarut yang paling baik, efisien
dan efektif untuk mendapatkan minyak melati.
Perumusan masalah dalam penelitian ini ada dua, pertama apakah
margarin putih dan margarin kuning dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti
lemak babi sebagai media adsorbent dalam proses ekstraksi minyak melati dengan
menggunakan metode enflerasi, kedua manakah pelarut yang paling baik, efisien
dan efektif untuk mendapatkan minyak melati.
Tujuan dari program ini adalah memanfaatan bunga melati sebagai
penghasil minyak atsiri dengan metode enfleurasi, mengetahui kemungkinan
margarin putih dan margarin kuning sebagai alternatif pengganti lemak babi
sebagai media adsorbent dalam proses ekstraksi minyak melati, mengetahui
pelarut yang paling baik, efisien dan efektif untuk mendapatkan minyak melati.
Keluaran yang diharapkan adalah didapatkan minyak melati dengan
menggunakan metode enfleurasi, didapatkan pelarut yang baik untuk melarutkan
minyak melati dan didapatkan alternatif pengganti lemak babi, yaitu dari margarin
putih dan margarin kuning sebagai adsorbent dalam proses ekstraksi minyak
melati dengan menggunakan metode enfleurasi.
Kegunaan dari program ini adalah memberikan informasi tentang proses
ekstraksi minyak melati dengan menggunakan metode enfleurasi, memanfaatan
margarin putih dan margarin kuning sebagai pengganti lemak babi sebagai media
adsorben dalam proses ekstraksi minyak melati dan hasil dari penelitian ini dapat
digunakan pada produk-produk yang memerlukan minyak melati, sehingga
diperoleh produk yang bebas kandungan lemak babi.
Melati adalah sejenis tumbuhan berbentuk perdu. Batangnya kecil dan
pohonnya langsing hingga cabang-cabangnya bisa mencapai panjang antara 0,5
3 m. tanaman yang masih kecil tumbuhnya agak tegak dan kalau sudah besar
batangnya menjadi lunglai ada kecenderungan untuk memanjat (Waridan, 1989).


PKMP-2-11-3
Daunnya berbentuk jantung sampai lonjong, daun tunggal sampai daun majemuk
tripoliolatus yang berujung lancip dengan permukaan mengkilap. Bunga tumbuh
diujung tunaas, berbentuk tunggal atau berkelompok, dengan warna dan benruk
yang beraneka ragam. Setiap tangkai bunga terdiri ataas 3-15 kuntum bunga,
tergantung jenis melatinya. Bunga mengeluarkan aroma wangi sehingga sering
dijadikan bahan pewangi rambut, parfum atau minyak (Radi, 1997).
Menurut Marcell (1992), dalam dunia industri dikenal 4 jenis minyak
melati, yaitu :
1. Minyak melati istimewa yang diekstraksi dari bunga melati dengan pelarut
ether minyak bumi. Hasil tersebut lebih banyak digunakan sebagai bahan baku
minyak wangi bermutu tinggi.
2. Minyak melati biasa yang diekstraksi dari bunga melati dengan pelarut
benzole. Hasil akhir dari cara tersebut sering digunakan untuk bahan baku
minyak wangi bermutu sedang.
3. Minyak pomade istimewa yang diperoleh dengan cara pengolahan enfleurasi
bunga melati. Hasil akhir proses ini, digunakan untuk bahan baku minyak
rambut.
4. Minyak pomade biasa yang diekstraksi dari bunga melati bekas proses tahap
enfleurasi. Hasil akhir dari cara tersebut, digunakan untuk pewangi teknis atau
pengharum barang-barang.
Minyak melati diperoleh dengan cara ekstraksi sehingga dihasilkan menjadi
concrete dan absolute. Metode ekstraksinya sendiri bisa dilakukan dengan
solvent extraction atau juga enflorage. Minyak melati yang baru diekstrak
concrete-nya berwarna coklat kemerahan, berbentuk seperti lilin dan memiliki
aroma khas melati. Absolute hasil dari ekstrak melati mempunyai sifat lengket,
jernih, kuning coklat dengan aroma yang harum. Sifat fisik ekstrak melati akan
berubah menjadi gelap apabila mengabsorpsi udara dan aroma harumnya akan
menyimpang dari harum melati menjadi bau resin dan bersifat kental. Bunga
melati sebanyak 1 ton jika diekstrak akan menghasilkan 2,8 3,8 kg atau rata-rata
sekitar 3% dari berat bunga (Luqman, 1991).
Menurut Purchon (2002) metode enfleurasi dapat dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut :
1. Sebarkan lapisan tipis dari lemak babi murni atau lemak sayur yang telah
dipadatkan (bukan margarin) dalam suatu lembaran kaca atau enamel.
2. Tekan lapisan dari mahkota bunga segar yang beraroma kuat ke dalam lemak.
Letakkan lembaran kaca yang lain diatasnya. Tinggalkan selama 24 jam,
kemudian ambil mahkota bunga dari lemak dan ganti dengan yang baru.
3. Ulangi proses diatas selama 7-21 hari atau sampai aromanya sekuat sesuai
dengan yang diinginkan
4. Ambil mahkota-mahkota bunga dan lemak, tempatkan dalam mangkok.
Mangkok kemudian ditutup dan diletakkan ke dalam panci berisi air panas
yang befungsi untuk melelehkan lemak. Air yang digunakan jangan terlalu
panas karena akan menyebabkan minyak mudah menguap.
5. Tambahkan beberapa tetes minyak fiksatif seperti cendana, tuangkan lelehan
minyak dalam botol dan letakkan tutupnya pada saat yang bersamaan.
Prinsip kerja proses enfleurasi cukup sederhana. Jenis bunga tertentu
(yaitu sedap malam dan bunga melati) setelah dipetik masih meneruskan aktivitas
fisiologinya, sehingga memproduksi minyak dan mengeluarkan bau wangi.


PKMP-2-11-4
Lemak mempunyai daya absorpsi yang tinggi. Bila lemak dicampur dan
melakukan kontak dengan bunga yang berbau wangi, maka lemak akan
mengabsorpsi minyak yang dikeluarkan oleh bunga tersebut. Prinsip ini
diterapkan dalan proses enfleurasi. Bunga segar hasil pemetikan ditaburkan diatas
permukaan lemak yang telah disediakan dan dibiarkan selama 24 jam untuk bunga
melati, kemudian diganti dengan bunga yang masih segar. Pada akhir proses,
lemak akan jenuh dengan minyak bunga. Kemudian minyak bunga tersebut
diekstraksi dari lemak dengan mnenggunakan alkohol dan selanjutnya alkohol
dipisahkan (Guenther, 1987).
METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses dan Sistem
Produksi, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Brawijaya Malang, pada bulan Mei-Agustus 2005.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
chassis yang terbuat dari kaca dengan ketebalan 5 mm memiliki panjang 40 cm,
lebar 25 cm dan tinggi 8 cm, rotary vaccum evaporator, beaker glass, erlenmeyer,
kasa plastik, panci, mixer dan kain penyaring.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bunga melati jenis
melati putih (Jasminum sambac), lemak sapi, margarin putih, karbon aktif dan
alkohol 96%.
Lemak yang akan dipakai sebagai adsorben pada proses enfleurasi ini
dibuat dari pencampuran antara lemak sapi dan margarin putih (shortening)
dengan perbandingan 15%:85%, 30%:70% dan 45%:55%. Proses persiapan lemak
adalah sebagai berikut:
1. Lemak sapi dicuci dan dibersihkan dari kotoran-kotoran yang ada. Setelah
bersih lemak sapi dipanaskan hingga mencair.
2. Lemak sapi yang telah mencair disaring dan ditimbang beratnya.
3. Tambahkan 0,6% arang aktif pada lemak sapi yang telah mencair dan
dipanaskan selama 5-10 menit.
4. Lemak sapi diaduk dengan menggunakan mixer dengan kecepatan rendah
selama 5 menit.
5. Kecepatan mixer ditambah dan secara perlahan-lahan margarin putih
dimasukkan kedalam lemak tersebut sesuai dengan perbandingan.
6. Pengadukan dilakukan hingga lemak sapi dan margarin putih bercampur rata.
Campuran tersebut kemudian dibiarkan pada suhu ruang.
Proses enfleurasi adalah sebagai berikut :
1. Lemak sebanyak 400 gr dioleskan secara merata diatas permukaan kaca
chassis setebal 0,5 cm kemudian dilapisi dengan kasa plastik.
2. Bunga melati sebanyak 400 gr yang telah disortasi diletakkan diatas
permukaan lemak.
3. Chassis kemudian ditutup dan dibiarkan pada suhu ruang.
4. Chassis dibuka dan bunga melati dikeluarkan dan diganti sesuai dengan
perlakuan yaitu setiap 24 jam, 36 jam dan 48 jam dengan bunga melati yang
masih segar. Pekerjaan tersebut dilakukan hingga 6 hari.
5. Setelah 6 hari, lemak kemudian diambil dari chassis dan ditimbang beratnya.
6. Lemak dilarutkan kedalam alkohol 96% dengan perbandingan 1:2 dan
dibiarkan selama 1 hari.


PKMP-2-11-5
7. Kemudian dipisahkan antara lemak dan alkohol yang mengandung minyak
melati yang akan merupakan ekstrait.
8. Ekstrait diuapkan dengan menggunakan rotary vaccum evaporator supaya
alkohol menguap dan dihasilkan absolut.
9. Minyak melati yang dihasilkan kemudian dianalisa meliputi rendemen, indeks
bias, berat jenis, sisa penguapan alkohol, kelarutan dalam alkohol dan uji
organoleptik.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok
Faktorial yang terdiri dari 2 faktor yaitu jenis margarin dan jenis pelarut.
Penelitian ini dilakukan dengan dua perlakuan dan setiap perlakuan diulang tiga
kali. Perlakuan tersebut adalah :
L
1
P
1
: lemak sapi dan margarin putih ( 30% : 70% ) dengan jenis
pelarut dari etanol.
L
1
P
2
: lemak sapi dan margarin putih ( 30% : 70% ) dengan jenis
pelarut dari metanol.
L
2
P
1
: lemak sapi dan margarin kuning ( 30% : 70% ) dengan jenis
pelarut dari etanol.
L
2
P
2
: lemak sapi dan margarin kuning ( 30% : 70% ) dengan jenis
pelarut dari metanol.
Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini analisa rendemen minyak
melati yang dihasilkan, indeks bias, berat jenis, kenampakan fisik, sisa penguapan
alkohol, kelarutan dalam alkohol dan uji organoleptik.



PKMP-2-11-6
Diagram Alir Persiapan Lemak























Diagram Alir Proses Enfleurasi
Lemak sapi
Arang aktif 0.6% b/b
Margarin Putih
Margarin Kuning
Pencucian
Pemanasan
Penyaringan
Penimbangan
Pemanasan 5-10 menit
Pengadukan dengan kecepatan rendah
Pengadukan dengan kecepatan tinggi
Penyimpanan pada suhu ruang
Lemak


PKMP-2-11-7




HASIL DAN PEMBAHASAN
Rerata rendemen minyak melati yang dihasilkan dengan metode enfleurasi
dari penelitian ini berkisar antara 2,2161% hingga 3,0864%. Rerata rendemen
minyak melati yang terendah dihasilkan oleh perlakuan perbandingan campuran
lemak sapi dan margarin putih ( 30% : 70% ) dengan jenis pelarut dari etanol.
Rerata rendemen minyak melati yang tertinggi dihasilkan oleh perlakuan
perbandingan campuran lemak sapi dan margarin kuning ( 30% : 70% ) dengan
jenis pelarut dari metanol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata rendemen minyak melati akan
meningkat dengan penggunaan media adsorben dari campuran lemak sapi dan
margarin kuning jika dibandingkan dengan campuran lemak sapi dan margarin
putih.
400 g Lemak
Ekstrait
Minyak Melati
Etanol 96%
Metanol
Uap pelarut
Pengolesan pada chassis setebal 0,5 cm
Peletakan bunga melati 300 g
Penutupan chassis
Pengambilan pomade
Penimbangan
Penggantian Bunga setiap 24 jam selama 6 x
Pencampuran
Pendinginan selama 1 hari
Penguapan
Penyaringan


PKMP-2-11-8
Berat jenis merupakan salah satu sifat fisik kimia yang cukup penting
dalam menunjukkan kriteria mutu dan kemurnian dari minyak atsiri dalam hal ini
minyak melati. Menurut Brady (1994), berat jenis (specific gravity) didefinisikan
sebagai angka banding (rasio) kerapatan suatu zat terhadap kerapatan air. Berat
jenis minyak melati yang dihasilkan dengan metode enfleurasi dari penelitian ini
berkisar antara 0,9153 hingga 0,9498.
Indeks bias minyak melati yang dihasilkan dengan metode enfleurasi dari
penelitian ini berkisar antara 1,3525 hingga 1,3620. Indeks bias minyak melati
yang terendah dihasilkan oleh perlakuan campuran lemak sapi dan margarin putih
dengan penggunaan pelarut etanol. Indeks bias minyak melati yang tertinggi
dihasilkan oleh perlakuan campuran lemak sapi dan margarin kuning dengan
penggunaan pelarut metanol.
Pada umumnya minyak atsiri larut didalam alkohol, etanol, metanol dan
sedikit larut di dalam air. Kelarutan minyak atsiri dapat diketahui dengan
menggunakan etanol dan metanol pada berbagai tingkat konsentrasi. Rata-rata
kelarutan minyak melati yang dihasilkan dengan menggunakan metode enfleurasi
ini berkisar antara 1,000 hingga 1,6667 yang artinya setiap 1 ml minyak melati
menjadi jernih jika dilarutkan dalam 1 ml hingga 1,6667 ml etanol dan metanol.
Kelarutan minyak melati yang terendah dihasilkan oleh perlakuan campuran
lemak sapi dan margarin kuning dengan menggunakan pelarut etanol yaitu sebesar
1,000. Kelarutan minyak melati yang tertinggi dihasilkan oleh perlakuan
campuran lemak sapi dan margarin putih dengan penggunaan pelarut etanol yaitu
sebesar 1,6667.
Uji terhadap aroma minyak melati yang dihasilkan dari penelitian ini
dilakukan kepada 3 orang panelis. Hasil uji aroma minyak melati kepada para
panelis menunjukkan skor kesukaan para panelis berkisar antara 3 hingga 4,3
yaitu antara agak tidak suka hingga netral. Aroma minyak melati yang dihasilkan
dari penelitian ini menurut para panelis kurang mendekati dengan aroma minyak
melati yang ada dipasaran pada saat ini.
Uji terhadap warna minyak melati yang dihasilkan dari penelitian ini
dilakukan kepada 3 orang panelis. Hasil uji warna minyak melati kepada para
panelis menunjukkan skor kesukaan para panelis berkisar antara 4,67 hingga 5,67
yaitu antara netral hingga agak suka. Warna minyak melati yang dihasilkan dari
penelitian ini adalah kuning hingga putih sedikit kuning. Warna minyak melati
yang dihasilkan dari penelitian ini untuk perlakuan L2P1 dan L2P2 tidak jauh
berbeda dengan warna minyak melati yang ada dipasaran yaitu berwarna kuning.
Uji terhadap kecerahan minyak melati yang dihasilkan dari penelitian ini
dilakukan kepada 3 orang panelis ahli. Hasil uji kecerahan minyak melati kepada
para panelis ahli menunjukkan skor kesukaan para panelis berkisar antara 3
hingga 6,67 yaitu antara agak tidak suka hingga suka. Kecerahan minyak melati
yang dihasilkan dari penelitian ini adalah kuning jernih hingga putih sedikit
kuning. Kecerahan berhubungan dengan nilai kelarutan minyak melati yang
dihasilkan dari metode enfleurasi ini. Semakin tinggi tingkat kecerahan minyak
melati maka nilai kelarutannya semakin rendah.
Perlakuan dengan jarak kerapatan terkecil merupakan perlakuan terbaik,
yaitu perlakuan dengan campuran lemak sapi dan margarin kuning dengan
penggunaan pelarut etanol. Minyak melati dengan perlakuan campuran lemak sapi


PKMP-2-11-9
dan margarin kuning dengan pelarut etanol memiliki rendemen 2,9074 %, berat
jenis 0,9498, indeks bias 1,3533 dan kelarutan 1,0000.

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan ternyata campuran lemak sapi
dan margarin putih atau kuning dapat digunakan sebagai media adsorben pada
proses enfleurasi minyak melati sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif
pengganti lemak babi.
Minyak melati yang dihasilkan masih belum menyerupai minyak melati
yang ada dipasaran, hal ini disebabkan karena pengaruh pelarut yang digunakan.
Selain itu, perbedaan aroma minyak melati yang dihasilkan dari penelitian ini
dengan minyak melati yang ada di pasaran disebabkan oleh proses penguapan
pelarut yang kurang sempurna.
Rendemen minyak melati yang dihasilkan dari penelitian ini 2,9074 %.
Nilai tersebut lebih kecil dari rendemen minyak melati secara umum yaitu sebesar
2,8 3,8 %. Meskipun demikian, rendemen minyak melati yang dihasilkan dari
percobaan ini tidaklah terlalu rendah, masih berada diatas batas bawah rendemen
minyak melati secara umum.
Hasil perhitungan dengan metode Multiple Atribut untuk memperoleh
perlakuan terbaik mendapatkan hasil prodok minyak melati dengan perlakuan
campuran lemak sapi dan margarin kuning dengan menggunakan pelarut etanol
adalah produk minyak melati yang terbaik.

DAFTAR PUSTAKA
Braddy JE. 1994. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jilid 1. Ed ke-5. Jakarta:
Erlangga.
GuentherE. 1987. Minyak Atsiri. Jilid 1. Jakarta:Universitas Indonesia Press.
Luqman. 1991. Ekspor Bunga Melati Tetap Miliki Prospek. Jakarta:Pikiran
Rakyat Edisi 28 September dalam Kumpulan Kliping Tanaman Hias Luar
Ruangan. Trubus.
Marcell R. 1992. Prospek Budidaya Bunga Melati. Jakarta:Suara Karya Edisi 22
April dalam Kumpulan Kliping Tanaman Hias Luar Ruangan. Trubus.
PurchonNN.2002.Nerys Purchons Handbooks on Soap Natch Essential Oil
Extraction Methods. http://www.soapnaturally.org/NerysPurchon/
essoilextraction. html.2003
Radi J. 1997. Melati Putih. Yogyakarta:Kanisius.
Rukmana HR. 1997. Usaha Tani Melati. Yogyakarta:Kanisius.
Waridan DD. 1987. Melati. Jakarta:Asri Edisi No. 70 dalam Kumpulan Kliping
Tanaman Hias Luar Ruangan. Trubus. Hal. 127



PKMP-2-12-1
MODIFIKASI MEMBRAN SELULOSA ASETAT SEBAGAI MEMBRAN
ULTRAFILTRASI: STUDI PENGARUH KOMPOSISI TERHADAP
KINERJA MEMBRAN

Ali Muhammad Yusuf Shofa, Lutviatus Soliha, Ratna Tri Fauzia
Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Jember

ABSTRAK
Selulosa asetat (CA) dimodifikasi dengan menambahkan dimetil ftalat (DMP)
sebagai plastisizer. Modifikasi membran selulosa asetat dilakukan dengan metode
inversi fasa. Karakterisasi yang dilakukan adalah karakterisasi sifat fisik yaitu
kerapatan dan derajat swelling, uji mekaniknya mengunakan uji kuat tarik, uji
kinerja membran menggunakan fluks dan rejeksi serta analisis struktur membran
dengan spektroskopi IR. Modifikasi membran selulosa asetat dilakukan melalui
tiga tahap, meliputi: analisis kadar asetil dalam selulosa asetat, pembuatan
membran selulosa asetat dan karakterisasi membran selulosa asetat. Parameter
yang diamati adalah komposisi CA/DMP dan waktu penguapan pelarut.
Membran hasil modifikasi dengan komposisi 3% DMP, 22% CA mempunyai pori
yang lebih rapat. Hasil pengukuran kerapatan, derajat swelling, kuat tarik, fluks
dan rejeksinya berturut-turut sebagai berikut: 0,3259 gr/cm
3
, 2,6823 %, 0,09848
N/mm
2
, 6,972 (L/m
2
.jam) dan 92.732 %. MWCO dapat terlampaui pada dekstran
dengan berat molekul 100 kD, waktu penguapan pelarut 60 detik. Hasil uji IR
menunjukkan adanya interaksi Ikatan Hidrogen antara DMP dan CA.

Kata kunci: selulosa asetat; dimetil ftalat; plastisizer; inversi fasa.

PENDAHULUAN
Kegiatan ini dilatar belakangi perkembangan teknologi membran pemisah
saat ini telah meluas diberbagai kalangan, baik kalangan akademis maupun
industri. Dibandingkan dengan proses-proses pemisahan yang lain, teknologi
membran mempunyai beberapa keunggulan, antara lain dalam hal penggunaan
energi, simplisitas dan ramah lingkungan. Keberhasilan proses pemisahan dengan
membran tergantung pada kualitas membran tersebut (Wenten, 2000). Beberapa
parameter penting dalam menentukan kualitas suatu membran yang baik
diantaranya mempunyai permeabilitas yang tinggi, permselektifitas yang tinggi,
stabil pada temperatur yang tinggi, kestabilan mekanik dan tahan terhadap zat
kimia yang akan dipisahkan (Mulder, 1996).
Salah satu membran filtrasi yang dikembangkan saat ini adalah membran
selulosa asetat (CA). Kelebihan dari selulosa asetat sebagai material membran
adalah sifatnya merejeksi garam yang tinggi, kombinasi yang jarang ada pada
material membran lainnya, mudah untuk di produksi, dan bahan mentahnya
merupakan sumber yang dapat diperbaharui (renewable). Kekurangan membran
selulosa asetat adalah (1) sangat sensitif terhadap pH dimana membran selulosa
asetat dibatasi oleh pH antara 2-8. (2) Selulosa sangat biodegradabel, sifatnya
sangat rentan terhadap mikroba yang terdapat di alam (Wenten, 1999), dan (3)
hanya cocok dengan beberapa plastisizer (Mark et al., 1968).
Teknik-teknik yang digunakan pada proses pembuatan membran antara
lain sintering, stretching, track-etching, template-leaching dan inversi fasa. Proses
pembuatan membran filtrasi umumnya menggunakan metoda inversi fasa, yaitu

PKMP-2-12-2
perubahan bentuk polimer dari fasa cair menjadi fasa padatan. Dibanding dengan
teknik yang lain inversi fasa mempunyai kelebihan diantaranya mudah dilakukan,
pembentukan pori dapat dikendalikan dan dapat digunakan pada berbagai macam
polimer (Wenten, 1999).
Parameter-parameter yang mempengaruhi dalam pembentukan struktur
membran dengan teknik inversi fasa diantaranya yaitu pemilihan jenis polimer,
konsentrasi polimer, waktu penguapan dan komposisi larutan polimer. Nasir
(2000) telah meneliti komposisi selulosa asetat 17%, formamida 24% dan aseton
59% dapat menghasilkan membran ultrafiltrasi. Dalam penelitian ini variasi
komposisi selulosa asetat/dimetil ftalat diharapkan akan mempengaruhi sifat
mekanik membran selulosa asetat dan diperoleh membran ultrafiltrasi. Sedangkan
waktu penguapan akan mempengaruhi pembentukan struktur dan ukuran pori
ketika pelarut mengalami penguapan yang sebanding dengan waktu yang
diberikan.
Selulosa asetat dapat dikombinasikan dengan plastisizer, seperti dietil dan
dimetil ftalat. Plastisizer umumnya digunakan untuk menambah sifat mekanik
matrik polimer. Hal ini karena bahan plastisizer dapat melemahkan gaya
intermolekul ikatan polimer (Meier et al., 2004). Dimetil ftalat merupakan aditif
yang cocok untuk selulosa asetat (Mark et al., 1968). Dimetil ftalat merupakan
senyawaan ester yang merupakan plastisizer paling umum digunakan dalam
bidang industri karena dapat memberikan fleksibilitas tinggi ketika ditambahkan
sesudah polimerisasi (Amanto et al., 2001).
Permasalahan yang ingin dipelajari dalam penelitian ini yaitu, bagaimana
pengaruh penambahan dimetil ftalat terhadap struktur membran (berdasarkan uji
FTIR) serta pengaruh komposisi selulosa asetat/dimetil ftalat terhadap kinerja
membran. Tujuan dari kegiatan ini antara lain mempelajari pengaruh penambahan
dimetil ftalat terhadap struktur membran (berdasarkan uji FTIR) dan pengaruh
komposisi selulosa asetat/dimetil ftalat terhadap kinerja membran. Luaran yang
diharapkan adalah dapat memberi kontribusi bagi perkembangan ilmu membran
dalam pengembangan material yang ada dan sebagai informasi karakteristik
membran yang dihasilkan diharapkan sebagai bahan dasar membran pemisah dan
pengembangan lainnya misalnya dalam bidang sensor. Kegiatan ini dapat
digunakan untuk menambah wawasan tentang ilmu membran bagi mahasiswa dan
hasil yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk aplikasi sebagai membran
khususnya membran ultrafiltrasi.

METODE PENDEKATAN
Kegiatan ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai bulan April sampai
bulan Juni 2006 di Laboratorium Kimia Fisik Jurusan Kimia Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember. Alat yang digunakan antara lain:
hot plate, pengaduk magnet, set ultrafiltrasi, neraca analitik, desikator, stop watch,
plat kaca, kertas saring, serta beberapa peralatan gelas (gelas beaker, gelas ukur,
pipet tetes, pipet mohr, buret, erlenmeyer, pengaduk, dan labu ukur), kompresor,
autograf, mikrometer, selotip dan spektrofotometer. Bahan yang digunakan
meliputi: selulosa asetat (Brataco), dimetil ftalat, aseton, dimetil sulfoksida
(DMSO), aquades, asam oksalat, 0,5 N NaOH, HCl 0,5 M, dekstran (10.000D,
40.000D dan 100.000D), indikator PP, 0,5 M HCl, fenol 5% dan H
2
SO
4
pekat.

PKMP-2-12-3
Kegiatan ini dilakukan melalui empat tahap, yaitu: (1) Penentuan kadar
asetil dalam selulosa asetat, caranya adalah selulosa asetat sebanyak 1 gram
dikeringkan pada suhu 100
o
C selama 7 jam kemudian disimpan dalam desikator.
Setelah dingin selulosa asetat dimasukkan ke dalam labu tertutup dan
ditambahkan aseton 10 mL. Campuran ini kemudian dipanaskan pada suhu 50-
60
o
C (30 menit) dan ditambahkan NaOH 0,5 M sebanyak 25 mL. Dipanaskan
kembali pada suhu yang sama selama 15 menit dan dibiarkan selama 72 jam,
kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,5 M dengan indikator fenolftalein sampai
warna merah muda hilang dan ditambahkan HCl 0,5 M sebanyak 1 mL dan
dibiarkan 24 jam. Campuran dititrasi dengan NaOH 0,5 M menggunakan
indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes. (2) Pembuatan Membran dilakukan
dengan metode inversi fasa. Larutan cetak membran terdiri dari selulosa asetat,
aseton/DMSO dan dimetil ftalat dengan koagulan air. Selulosa asetat dengan
berat 2,5 gram dilarutkan dalam 2,3 mL aseton 6,8 mL DMSO. Kemudian
ditambahkan dimetil ftalat (
Dmp
= 1,179 gram/mL) sebanyak 0,5 mL, diaduk
dengan pengaduk magnet sampai larutan homogen. Larutan cetak yang telah
homogen dan tidak mengandung gelembung udara dituang diatas plat kaca yang
bagian tepinya telah diberi selotip (mengatur ketebalan membran). Dibiarkan
selama 30 detik dan dicelupkan dalam bak air. Untuk menghilangkan sisa pelarut
dan aditif pada membran, dicuci dengan air (Nasir, 2000). Pada penelitian ini di
buat pula membran selulosa asetat tanpa plastisizer dengan komposisi 20% berat
selulosa asetat. Membran yang diperoleh dipilih membran yang mempunyai
ketebalan yang seragam yaitu dengan mengukurnya dengan mikrometer pada
beberapa titik kemudian hasilnya dirata-rata. (3) karakterisasi membran selulosa
asetat meliputi uji sifat fisik (uji kerapatan , derajat penggembungan), Uji
mekanik (uji kuat tarik menggunakan alat autograph), Uji kinerja membran.
Pertama adalah uji fluks air yaitu dengan cara film yang diperoleh kemudian
dipotong berbentuk lingkaran dengan diameter 4,5 cm. Penentuan fluks air
diperoleh dengan mengukur banyaknya volume air yang melewati tiap satuan luas
permukaan membran per satuan waktu. Sebelum uji fluks air, terlebih dahulu
dilakukan kompaksi terhadap membran yang akan diuji. Kompaksi dilakukan
dengan mengalirkan air melewati membran hingga diperoleh fluks air yang
konstan. Kedua adalah uji rejeksi, penentuan konsentrasi permeat dan retentat
diukur dengan metode spektrofotometri. Sebelum menentukan konsentrasi
permeat dan retentat lebih dulu dibuat larutan standart dengan variasi konsentrasi
yaitu 100 ppm, 90 ppm, 80 ppm, 70 ppm. Larutan standart dibuat dari dekstran
yang dilarutkan dalam air. Larutan standart ataupun sampel ditambahkan reagen
fenol 5% dan H
2
SO
4
pekat dengan perbandingan 1:1:5 yang menghasilkan warna
kuning kecoklatan. Kemudian dilakukan penentuan
max
dan mengukur absorban
larutan standart. Selanjutnya permeat dan retentat diukur absorbannya. (4)
Analisis struktur membran, dilakukan dengan FTIR.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Asetil Selulosa Asetat
Kadar asetil CA teknis Brataco

yang dihasilkan sebesar 46,87 %. Hasil


sebesar ini diperoleh kemungkinan karena pada CA teknis terdapat aditif sehingga
kadar asetilnya tidak seperti kadar CA pada umumnya yaitu 38%-40%.

PKMP-2-12-4

Membran Selulosa Asetat
Membran selulosa asetat dipreparasi dengan menggunakan metode inversi
fasa sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Nasir (2000). Proses
presipitasi membran terjadi karena adanya pendesakan antara pelarut dan non
pelarut sehingga larutan polimer yang semula cair menjadi padat. Air digunakan
sebagai bak koagulasi karena air bersifat tidak melarutkan selulosa asetat tetapi
dapat melarutkan aseton dan DMSO.


Gambar 1. Keadaan Fisik Membran CA Sebelum (a) dan Sesudah Proses
Pencetakan (b)

Dalam pembuatan membran selulosa asetat digunakan campuran dua
pelarut yaitu aseton 15%-DMSO 60%. Digunakan campuran dua pelarut karena
sistem CA/aseton/air menghasilkan tipe membran yang mempunyai pori yang
rapat. Hal ini sesuai dengan hasil yang telah dilakukan yaitu sistem CA/aseton/air
menghasilkan fluks 0,25 mL/jam.m
2
. Sedangkan sistem CA/DMSO/air dapat
menghasilkan membran berpori yang lebih terbuka. Waktu presipitasi aseton
memerlukan waktu presipitasi diatas 5 menit dan DMSO memerlukan waktu
kurang dari 60 detik.

Karakteritik Sifat Fisik Membran CA Hasil Modifikasi
Ada tiga parameter yang dipakai dalam karakterisasi sifat fisik yaitu berat
jenis, derajat swelling dan kekuatan tarik. Ketiga parameter tersebut diukur pada
ketiga komposisi sehingga dapat dibandingkan pengaruh komposisi CA/DMP.
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
1 2 3
Komposisi (%)
K
e
r
a
p
a
t
a
n

(
g
/
c
m
3
)
0 detik
30 detik
60 detik

Catatan : 1.CA 24%, DMP 1%, 2. CA 22%, DMP 3%, 3. CA 20%,DMP 5%
Gambar 2. Kurva Kerapatan Membran CA

PKMP-2-12-5

Trend kurva kerapatan pada gambar 2 menunjukkan bahwa terjadi
kenaikan nilai kerapatan dari komposisi 24% CA, 1% DMP ke komposisi 22%
CA, 3% DMP. Kurva tersebut menunjukkan pada membran dengan komposisi
22% CA, 3% DMP memiliki diameter pori kecil dan rapat. Pada komposisi ini
nilai kerapatan naik karena komposisi DMP bertambah. Sedangkan pada
komposisi 20% CA, 5% DMP terjadi penurunan kerapatan, karena terjadi
penurunan komposisi CA dari 22% menjadi 20%. Waktu penguapan berpengaruh
terhadap kerapatan membran. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2 waktu
penguapan yang bertambah cenderung meningkatkan kerapatan membran, karena
ketika pelarut diuapkan, larutan polimer yang masih berbentuk cair bergerak
mengisi pori sehingga menghasilkan pori yang lebih rapat dibanding tanpa
penguapan pelarut.
0.08
0.09
0.1
0 1 2 3 4
komposi si (%)
K
u
a
t

t
a
r
i
k

(
N
/
m
m
2
)


Catatan: 1. CA 24%, DMP 1%, 2.CA 22%, DMP 3%, 3.CA 20%, DMP 5%
Gambar 3. Kurva Kuat Tarik Membran CA

Jika dilihat dari trend kuat tarik ternyata kekuatan tarik saat komposisi
CA 22%, DMP 3% mempunyai fenomena yang sama dengan kerapatan. Kuat
tarik memberikan informasi keteraturan rantai polimer. Semakin renggang jarak
antara rantai polimer satu dengan yang lain maka akan memberikan nilai kuat
tarik yang berbeda. Keteraturan polimer menentukan keteraturan pori yang
terbentuk. Pada komposisi CA 22%, DMP 3% dimungkinkan mempunyai pori
yang lebih rapat. Sesuai dengan hasil uji tariknya yang paling tinggi yaitu sebesar
0,09848 N/mm
2
dengan regangan 2,38 mm.
2.42
2.44
2.46
2.48
2.5
2.52
2.54
2.56
2.58
0 1 2 3 4
Komposisi (%)
R
e
g
a
n
g
a
n

(
m
m
)

Catatan: CA 24%, DMP 1%, 2.CA 22%, DMP 3%, 3. CA 20%, DMP 5%
Gambar 4. Kurva Regangan Membran CA


PKMP-2-12-6
Regangan suatu bahan menunjukkan panjang bahan yang dapat ditarik
sampai titik putus (break) atau biasa dinamakan dengan elastisitas. Dari gambar 4
terlihat bahwa dengan bertambahnya DMP regangan bertambah demikian juga
dengan kuat tariknya. Hal ini karena DMP yang berfungsi sebagai plastisizer
dapat menambah elastisitas membran selulosa asetat.
Kecenderungan derajat swelling berbanding terbalik dengan kerapatan.
Pada kurva gambar 5 terlihat jelas bahwa harga swelling minimum terjadi pada
membran saat komposisi 22% CA, 3% DMP. Fenomena derajat swelling ini
berhubungan dengan kerapatan dimana pada komposisi ini kerapatannya naik,
sebaliknya derajat swellingnya turun. Kerapatan yang tinggi berarti pori pada
membran tersebut rapat sehingga molekul air sulit untuk berdifusi ke dalam
membran. Hal ini ditunjukkan dengan nilai derajat swelling ketika nilai
kerapatannya tinggi derajat swellingnya rendah yang berarti molekul air tersebut
sedikit yang terikat dalam membran.
0
1
2
3
4
5
1 2 3
Komposi si (%)
S
w
e
l
l
i
n
g

(
%
)
0 det ik
30 det ik
60 det ik

Catatan: 1. CA 24%, DMP 1%, 2.CA 22%, DMP 3%, 3. CA 20%, DMP 5%
Gambar 5. Kurva Derajat Swelling Membran CA
Selulosa asetat mempunyai derajat swelling yang besar. Hal ini karena
selulosa asetat merupakan polimer yang bersifat hidrofilik. Sifat hidrofilik ini
disebabkan karena pada rantai selulosa terdapat gugus asetat (-COOH) yang
sangat mudah mengikat molekul air dengan ikatan hidrogen.

Kinerja Membran Selulosa Asetat
Kinerja membran dapat ditunjukkan dari nilai fluks dan koefisien
rejeksinya. Nilai fluks menunjukkan nilai laju alir permeat untuk melewati
membran, sedangkan koefisien rejeksinya menggambarkan kemampuan membran
untuk menahan molekul zat terlarut. Pada tahap pertama untuk mengetahui kinerja
membran adalah dengan kompaksi membran yang akan diuji. Tujuan dari
kompaksi adalah untuk memperoleh nilai fluks air yang konstan.
Kurva fluks air menunjukkan bahwa fluks air paling rendah adalah
membran dengan komposisi CA 22% DMP 3% (gambar 6). Hal ini karena
penambahan komposisi DMP dapat menurunkan fluks. Selain untuk menambah
fleksibilitas, plastisizer juga dapat mempengaruhi ukuran pori. Plastisizer ketika
berada dalam matrik membran ada sebagian plastisizer yang mengalami migrasi
kepermukaan sehingga dapat mempengaruhi ukuran pori.

PKMP-2-12-7
0
5
10
15
20
1 2 3
Komposisi (%)
F
l
u
k
s

(
L
/
j
a
m
.
m
2
)
0 detik
30 detik
60 detik

Catatan: 1. CA 24%, DMP 1%, 2. CA 22%, DMP 3%, 3. CA 20%, DMP 5%

Gambar 6. Fluks Air Membran CA

Komposisi 22% CA, 3% DMP mempunyai koefisien yang lebih tinggi
dibanding yang lain karena mempunyai kerapatan pori yang lebih tinggi.

58,683
60,016
92,898
0
20
40
60
80
100
10 40 100
Berat Molekul (kD)
%

R
e
j
e
k
s
i
0 detik
30 detik
60 detik


Gambar 7. % Rejeksi Membran CA Komposisi 22% CA, 3% DMP
Dari grafik gambar 7 menunjukkan bahwa waktu penguapan pelarut yang
meningkat dapat menaikkan koefisien rejeksi. Meningkatnya waktu penguapan,
pori membran yang terbentuk semakin rapat sehingga semakin banyak molekul
yang tertahan oleh membran.
Dari uji rejeksi ini berat molekul yang paling besar direjeksi oleh
membran CA hasil modifikasi adalah Dekstran dengan BM 100.000 Dalton, tetapi
hanya ada satu yang melampaui MWCO (Molecule Weigh Cut Off). Pada
peneltian ini yang dapat melampaui MWCO yaitu pada dekstran 100 kD ketika
komposisi 22% CA, 3%DMP waktu penguapan 60 detik dengan koefisien rejeksi
sebesar 92,898%. Komposisi ini mempunyai kerapatan pori yang lebih tinggi
sehingga kemampuan merejeksinya lebih tinggi dibanding dengan komposisi yang
lain.

Uji Struktur Membran
Berdasarkan hasil uji IR selulosa asetat yang dimodifikasi dengan DMP
ditunjukkan pada gambar 8. Keberadaan DMP dapat dideteksi yaitu dengan
munculnya spektra cincin benzena pada daerah serapan 1572,3 cm
-1
(tanda O)
yang merupakan daerah serapan C-C aril dan pada daerah serapan 749.7 cm
-1

(tanda )yang menunjukkan adanya substitusi orto pada benzena.


PKMP-2-12-8


Gambar 8. Spektra IR Selulosa Asetat Hasil Modifikasi (Modifikasi dengan
DMP)


KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut;
Penambahan DMP sebagai plastisizer dapat menambah fleksibilitas membran
tetapi menaikkan kerapatan pori. Waktu penguapan pelarut sangat berpengaruh
terhadap karakteristik membran, semakin lama waktu penguapan pelarut dapat
menghasilkan membran dengan pori yang rapat. Membran dengan komposisi 22%
CA, 3% DMP mempunyai kerapatan yang tinggi, derajat swelling yang rendah
dan kuat tarik yang tinggi pula. Demikian juga kinerja membran komposisi ini
nilai fluks air yang rendah dan koefisien yang tinggi. MWCO dapat dilampaui 100
kD ketika komposisi 22% CA, 3% DMP, waktu penguapan 60 detik yaitu sebesar
92,732%. Hasil uji IR menunjukkan adanya interaksifisik berupa ikatan hidrogen
antara CA dan DMP.


DAFTAR PUSTAKA

Martin, A., J. Swarbrick., dan A. Sammarata. 1993. Farmasi Fisik: Dasar-dasar
Farmasi Fisik Dalam Ilmu Farmasetik. Terjemahan Yoshita dari
Physical Pharmacy, Pysical hemical Principles in the Pharmaceutical
Sciences (1983). Jakarta: UI Press. Halaman 1170-1171
Master, W. 1999. Pembuatan dan Pemurnian Nata de Coco untuk Memperoleh
Film Polimer Berkekuatan Tinggi. Skripsi. Jurusan Kimia. ITB. Dalam
Bambang Piluharto (2001). Studi Awal Penggunaan Nata De Coco
Sebagai Membran Ultrafiltrasi. Tesis. Bandung: ITB.
Meier, Marcia M., Luis A. Kanis and Valdir S. 2004. Characterization and Drug-
permiation Profiles of Microporous and Dense Cellulose Acetat
Membran: Influence of plasticizer and Pore Forming Agent. In
International Journal of Pharmaeutics.


PKMP-2-12-9
Mulder, M. 1996. Basic Principle of membran Technology. 2
nd
edition. Dordrecht:
Kluwer Academic Publisher.
Nasir, M. dan Cynthia L. Rasiman. 2000. Pembuatan Membran Ultrafiltrasi
Selulosa Asetat untuk Pemekatan Enzim -Amilase. Bandung: ITB.
Padmavathi, N. Ch dan Chatterji, PR. 1996. Struktural Characteristics and
Behavior of Poly(ethylene glycol) diacrilathydrogels. In
Macromolecules. Dalam Bambang Piluharto (2001). Studi Awal
Penggunaan Nata De CocoSebagai Membran Ultrafiltrasi. Tesis.
Bandung: ITB.
Piluharto, B. 2001. Studi Awal Penggunaan Nata De Coco Sebagai Membran
Ultrafiltrasi. Tesis. Bandung: ITB.



PKMP-2-13-1
PENGARUH EKSTRAK BAWANG PUTIH DENGAN DOSIS YANG
BERBEDA TERHADAP MORTALITAS KUTU IKAN (Argulus sp.)
YANG MENGINFEKSI IKAN MAS KOKI (Carassius auratus Linn).

A. Fakhrizal Nur, Eka Rahmaniah,dan Tsaqif Inayah
Jurusan Budidaya Perairan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru


ABSTRAK
Ikan mas koki (Carassius auratus) sering diserang oleh kutu ikan (Argulus sp).
Suatu penelitian diadakan di Laboratorium Basah Fakultas Perikanan
Universitas Lambung Mangkurat untuk mengetahui efektivitas penggunaan
ekstrak bawang putih dengan dosis yang berbeda terhadap mortalitas kutu ikan
yang menyerang ikan mas koki. Penelitian ini menggunakan rancangan acak
lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Hasil yang didapatkan yaitu
mortalitas kutu ikan pada perlakuan A (dosis 10 %) adalah 6,67 %, perlakuan B
(dosis 20 %) adalah 25,33 %, perlakuan C (dosis 30 %) adalah 75,33 % dan
perlakuan D (dosis 40 %) adalah 91,67 %. Dari hasil uji sidik ragam (ANOVA)
perlakuan berbeda sangat nyata. Hasil uji duncan perlakuan D merupakan nilai
yang terbaik tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan C, tetapi perlakuan C
dan D berbeda nyata terhadap perlakuan B maupun A. Untuk hasil yang paling
efektif dan efesien adalah perlakuan C. Kondisi tingkah laku ikan pada akhir
pengobatan menunjukkan gejala yang normal dan kualitas air berada pada
kisaran yang cukup optimal.

Kata kunci: bawang putih, Argulus sp., ikan mas koki

PENDAHULUAN
Seperti jenis-jenis ikan lainnya ikan maskoki juga mempunyai penyakit atau
parasit tertentu yang sering menyerang. Penyakit atau parasit tersebut dapat
menyebabkan ikan-ikan rusak keindahannya, perkembangbiakannya terganggu
dan sering juga menimbulkan kematian pada ikan (Whendrato dan Madyana
1987).
Menurut Liviawaty dan Afrianto (1990), diantara penyakit atau parasit yang
dianggap penting dan sering menyerang ikan maskoki yang dipelihara di
kolam-kolam atau akuarium adalah dari golongan ektoparasit seperti: Argulus,
Lernea, Ichthyophthirius, Dactylogyrus dan Gyrodactylus dan lain-lain.
Penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit ini sering merupakan penyerang
utama (primary infection) atau penyerang sekunder (secondary infection) akibat
luka, mereka mulai tumbuh pada ikan luka dan terus meluas sehingga dapat
mengakibatkan kematian. Karena ektoparasit ini terutama kutu ikan (Argulus sp.)
dapat berperan sebagai tuan rumah sementara (vector) bagi bakteri atau virus yang
sering menyebabkan penyakit pada ikan tersebut. Lebih lanjut Partasasmita
(1978), mengemukakan bahwa kutu ikan (Argulus sp.) yang menginfeksi kulit
ikan dapat mengeluarkan zat racun melalui gigitan dan dapat mengisap darah.
Kerugian yang ditimbulkan dapat membunuh ikan dan dapat menimbulkan infeksi
oleh bakteri, jamur atau virus.

PKMP-2-13-2
Berbagai cara pengobatan telah dilakukan para pelaku usaha dan penggemar
ikan hias diantaranya dengan pemberian kimia sintesis seperti methylen blue dan
malachite green. Penggunaan bahan kimia ini dapat menimbulkan residu kimia
dan mungkin berbahaya bagi lingkungan. Untuk itu perlu alternatif lain untuk
mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan bahan alami seperti bawang
putih (Allium sativum). Penggunaan bawang putih untuk pengobatan dapat
menjadi salah satu alternatif yang mudah didapat, murah dan diharapkan
memberikan hasil yang lebih baik serta aman bagi kehidupan ikan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perendaman
dan konsentrasi ekstrak bawang putih dengan dosis yang berbeda terhadap
mortalitas kutu ikan (Argulus sp.) yang menginfeksi ikan maskoki (Carassius
auratus Linn).
Diharapkan program ini dapat memberikan informasi yang dapat
dimanfaatkan atau diterapkan oleh para petani / pembudidaya / pecinta ikan hias
air tawar dalam menanggulangi masalah parasit ikan terutama kutu ikan (Argulus
sp.) yang menyerang ikan maskoki sehingga keindahan bentuk tubuh ikan tersebut
dapat dipertahankan sebagai salah satu alternatif pengobatan.
Menurut Rachmatun (1980), bahwa Argulus dikenal sebagai kutu ikan,
karena hidup dengan mengisap darah ikan dan dapat berpindah-pindah dari ikan
yang satu kepada ikan yang lainnya. Argulus juga dapat menularkan penyakit ikan
yang disebabkan oleh bakteri atau virus.
Menurut Kusumah (1976), parasit Argulus dewasa berdiameter 3 - 4 mm,
sedangkan menurut Susanto (1989), kutu ikan ini berukuran 4 - 5 mm pada kutu
ikan jantan dan 6 - 7 mm pada kutu betina. Dengan ukuran seperti ini berarti
parasit dapat dilihat dengan mata biasa.
Bawang putih mempunyai salah satu bahan aktif yaitu allicin. Menurut
Ganiswara (1995), allicin adalah suatu senyawa yang terdiri atas 40% sulfur,
tanpa nitrogen maupun halogen dan mempunyai sifat antibakteri. Produk
murninya bersifat mengiritasi kulit, beraroma khas bawang putih, mudah rusak
oleh panas dan larut dalam air.
Dalam penelitian ini digunakan ekstrak bawang putih dengan dosis yang
berbeda untuk melihat efektifitas mortalitas dan pelepasan kutu ikan (Argulus sp.)
pada ikan mas koki (Carassius auratus).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan di Laboratorium Basah Fakultas
Perikanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Bahan yang digunakan
adalah ikan mas koki dengan panjang baku rata-rata 5,8 cm dan berat rata-rata
18,5 gram/ekor sebanyak 36 ekor yang dimasukkan ke dalam 12 akuarium uji
masing-masing 3 ekor. Kutu ikan (Argulus sp) yang digunakan dalam penelitian
ini diperoleh dari induk ikan mas yang terdapat dikolam pemeliharaan Loka
Budidaya Ikan Air Tawar Desa Mandiangin.
Pembuatan ekstrak bawang putih (EBP) dilakukan dengan cara
menghaluskan 400 g bawang putih yang telah dikupas kulitnya dan ditambah 1
liter akuades dengan menggunakan blender. Hasilnya diperoleh 1 liter cairan EBP
sebagai larutan baku (Pakpahan, 1994). Selanjutnya larutan EBP disaring dengan
menggunakan kertas saring.


PKMP-2-13-3
Penelitian ini dilakukan dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu :
a. Perlakuan A : Penggunaan ekstrak bawang putih dengan dosis 10 %.
b. Perlakuan B : Penggunaan ekstrak bawang putih dengan dosis 20 %
c. Perlakuan C : Penggunaan ekstrak bawang putih dengan dosis 30 %
d. Perlakuan D : Penggunaan ekstrak bawang putih dengan dosis 40 %
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL).
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
H
o
= Penggunaan ekstrak bawang putih dengan dosis yang berbeda tidak
berpengaruh nyata terhadap mortalitas kutu ikan (Argulus sp.) yang menginfeksi
ikan maskoki (Carassius auratus Linn)
H
1
= Penggunaan ekstrak bawang putih dengan dosis yang berbeda
memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas kutu ikan (Argulus sp.) yang
menginfeksi ikan maskoki (Carassius auratus Linn)
Analisa data dilakukan sesuai dengan urutan dimulai dengan uji normalitas
liliefors, uji homogenitas ragam bartlett. Apabila data sudah normal dan homogen
selanjutnya diuji dengan analisis sidik ragam (ANOVA). Uji lanjutan dilakukan
dengan menghitung koefesien keragaman (KK). Menurut Hanafiah (1993), bahwa
uji lanjutan tersebut memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Jika KK besar, (minimal 10 % pada kondisi homogen atau minimal 20 % pada
kondisi heterogen), uji lanjutan yang sebaiknya digunakan adalah uji Duncan.
2. Jika KK sedang (antara 5 % - 10 % pada kondisi homogen antara 10 - 20 %
pada kondisi heterogen), uji lanjutan yang sebaiknva dipakai adalah uji BNT
(beda nyata terkecil).
3. Jika KK kecil (maksimal 5 % pada kondisi homogen atau maksimal 10 %
pada kondisi heterogen), uji lanjutan yang sebaiknya dipakai adalah uji BNJ
(Beda Nyata Jujur).
Infeksi kutu ikan dilakukan dengan memasukkan 10 ekor kutu ikan (Argulus
sp) pada masing-masing wadah perlakuan. Dibiarkan selama 3 7 hari sampai
ikan kutu ikan menempel pada ikan mas koki. Pengobatan dilakukan dengan
memindahkan ikan yang sudah terinfeksi ke dalam baskom yang sudah ada
larutan ekstrak bawang putih masing-masing perlakuan. Waktu yang digunakan
dalam masing-masing pengobatan adalah 1 menit, kemudian ikan dikembalikan
ke akuarium lalu dihitung kutu ikan yang mati atau lepas.
Pengamatan yang dilakukan adalah banyaknya kutu ikan yang mati, tingkah
laku ikan dan kualitas air semala masa penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang didapat dalam penelitian ini yaitu persentase kutu ikan yang mati
pada Tabel 1. Hasil uji Normalitas Liliefors terhadap persentase kutu ikan

Tabel 1. Persentase kutu ikan yang mati pada tiap-tiap perlakuan dan ulangan
Perlakuan (%)
Ulangan A B C D
1 20 0 100 100
2 0 60 66 100
3 0 16 60 75
Jumlah 20 76 226 275
Rerata 6,67 25,33 75,33 91,67

PKMP-2-13-4
(Argulus sp.) yang mati menunjukkan L hitung (0,19) < L tabel (0,242) yang
berarti data menyebar normal. Hasil uji Homogenitas Ragam Barlett diperoleh X
2

hitung (1,8671) < X
2
tabel 5% (7,815) dan 1% (11,341) yang berarti data
homogen. Selanjutnya hasil analisis keragaman persentase mortalitas kutu ikan
(Argulus sp) menunjukkan F hitung (10,977) > F tabel 5% (4,07) dan F tabel 1%
(7,59) yang berarti didapatkan antar perlakuan berpengaruh sangat nyata. Hasil
analisis ini menunjukkan bahwa dosis ekstrak bawang putih yang berbeda dengan
metode perendaman mempengaruhi persentasi mortalitas Argulus sp yang
menginfeksi ikan maskoki. Uji duncan pada kutu ikan yang mati dapat dilihat
pada Tabel 2.

Tabel 2. Uji duncan pada kutu ikan yang mati
Perlakuan Nilai tengah
D 91,67 **
C 75,33 **
B 25,33 *
A 6,67

Tingkah laku ikan pada saat ikan mas koki terinfeksi kutu ikan
menunjukkan gejala-gejala terlihat pasif dan lemah, ikan mudah ditangkap dengan
tangan, napsu makan nya turun dan selalu berada didasar akuarium dan
menggesek-gesekan badan nya pada dinding dan dasar akuarium. Menurut
Munajat (2003) bahwa ikan yang sakit ditandai dengan sering nya ikan meggosok-
gosokkan badan pada benda-benda seperti batu, tanaman air, dasar/dinding
akuarium, ikan terlihat kehilagan keseimbangan, pasif dengan berdiam pada dasar
perairan, ikan mempunyai reaksi yang lambat atau sama sekali tidak bereaksi
ketika disentuh tangan, napsu makan nya mulai turun bahkan hilang sama sekali.
Menurut Ghufran (2004), ikan yang mengalami infeksi sekunder memiliki ciri
yaitu bergerak kurang aktif, napsu makan turun, susah bernapas, sisik mudah
rontok dan tidak teratur, ikan mudah tertangkap dengan tangan, sirip sering
mengalami kerusakan, dan terlihat pendarahan pada bagian tertentu.
Setelah dilakukan pengobatan keadaan ikan kembali menjadi normal seperti
sebelum terinfeksi kutu ikan dimana ikan terlihat aktif dan kuat, susah ditangkap
dengan tangan dan napsu makan sudah membaik. Menurut Ghufran (2004), ikan
yang sehat mempunyai ciri yaitu bergerak aktif, nafsu makan baik, mudah
bernapas, sisik melekat kuat dan teratur, ikan sukar tertangkap dengan tangan dan
pada seluruh bagian sirip ikan tidak mengalami kerusakan.
Kualitas air selama masa penelitian dapat dilihat pada Gambar 1, 2, 3 dan 4.









Gambar 1. Suhu pada saat penelitian.

27
27,2
27,4
27,6
27,8
28
28,2
28,4
28,6
28,8
Awal Akhir

C
A B C D

PKMP-2-13-5









Gambar 2. DO pada saat penelitian.










Gambar 3. pH pada saat penelitian.










Gambar 4. Amoniak pada saat penelitian.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa persentasi yang tertinggi pada
kematian kutu ikan adalah perlakuan D, namun perlakuan C dan D tidak berbeda
nyata sehingga perlakuan yang paling efektif adalah perlakuan C. Perlakuan C
menggunakan ekstrak bawang putih lebih sedikit dibanding perlakuan D. Hal ini
memberikan beberapa keuntungan diantaranya lebih murah biaya dan efek lain
yang ditimbulkan oleh allycin terhadap kualitas air maupun ikan dapat dikurangi.
Dari hasil penelitian ini dapat dibuktikan bahwa allycin pada bawang putih
dapat digunakan untuk mematikan kutu ikan (Argulus sp). Fungsi dari allycin
menurut Wijayakusuma (2001) adalah mempunyai daya antibiotik yang dapat
membunuh kuman, bakteri ataupun jamur penyebab penyakit.
Kondisi tingkah laku ikan selama masa pengobatan masih menunjukkan
tingkah laku yang sehat dan tidak ada kematian ikan selama masa pengobatan.
Oksigen terlarut selama penelitian menunjukkan angka penurunan, sedangkan pH
menunjukan gejala peningkatan. Hal ini diakibatkan oleh pengaruh allycin yang
mengikat oksigen dan meningkatkan pH karena bersifat basa. Tetapi penurunan
kualitas air ini tidak berpengaruh secara nyata terhadap kehidupan tingkah laku
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
5,5
6
Awal Akhir
m
g
/
L
A B C D
6,8
7
7,2
7,4
7,6
7,8
8
Awal Akhir
A B C D
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
0,45
0,5
Awal Akhir
m
g
/
l
A B C D

PKMP-2-13-6
ikan. Untuk mengurangi akibat dari penurunan kualitas air dapat dilakukan
dengan mengganti air setiap hari selama masa pengobatan dan penggunaan aerasi
yang lebih banyak.

KESIMPULAN
Penggunaan ekstrak bawang putih terhadap mortalitas kutu ikan (Argulus
sp) yang menginfeksi ikan mas koki (Carassius auratus) berpengaruh nyata pada
antar perlakuan. Perlakuan yang paling efektif adalah perlakuan C yaitu dosis 30
% ekstrak bawang putih dengan lama perendaman selama 1 menit.

DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Gaya Baru.
Halaman 571 701.
Ghufran M. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta: Asdi
Mahasatya. 194 halaman.
Hanafiah KA. 1993. Rancangan Percobaan Teori dan Aflikasi. Edisi Revisi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 238 halaman.
Kusumah H. 1976. Penyakit dan Hama Ikan. Bogor: Departemen Pertanian Badan
Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian. Sekolah Usaha Pertanian
Menengah. 60 halaman.
Liviawaty E, Afrianto E. 1990. Maskoki, Budidaya dan Pemasarannya. Cetakan I.
Yogyakarta: Kanisius. 112 halaman.
Munajat A, Budiana NS. 2003 Pestisida Nabati Untuk Penyakit Ikan. Jakarta:
Penebar Swadaya. 88 halaman.
Pakpahan A. 1994. Pengaruh pemberian ekstrak bawang putih melalui intra vena
terhadap tekanan darah kelinci jantan. Thesis. Bandung: Fakultas Biologi
ITB. 99 halaman.
Partasasmita, S. 1978. Metode Diagnosa dan Epidemilogi Penyakit Ikan oleh
Crustacea dan Protozoa Parasiter di dalam Lokakarya Pemberantasan
Hama dan Penyakit Ikan. Bogor: Direktorat Jenderal Perikanan, Lembaga
Penelitian Perikanan Darat. 20 halaman.
Rachmatun, S. 1980. Parasit Ikan dan Cara-cara Pemberantasannya. Cetakan III.
Jakarta: Penerbit Swadaya. 51 halaman.
Susanto. 1989. Budidaya Ikan Gurame. Cetakan I. Yogyakarta: Kanisius. 115
halaman.
Whendrato, I. Dan I. M. Madyana. 1987. Penyakit Ikan dan Beternak Ikan Lele
secara populer. Semarang : Eka Offset. 71 halaman.
Wijayakusuma, H., 2001. Penyembuhan Dengan Bawang Putih (Allium sativum)
dan Bawang Merah (Allium cepa L. Var.ascalonicum). Jakarta: Penerbit
Milenia Populer. 101 halaman.





PKMP-2-14-1
RANCANG BANGUN SISTEM SCADA PROSES KONTROL INDUSTRI
MENGGUNAKAN KENDALI LOGIKA FUZZY
(DESAIN SOFTWARE dan HARDWARE)

Bima Harimurti, Ari Sulistiono, Eko Sigit Prayogo
PS Teknik Listrik, Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Jakarta, Depok

ABSTRAK
Fuzzy logic controller merupakan alternatif sistem kendali modern yang mudah
karena tidak perlu dicari model matematis dari suatu sistem, tetapi tetap efektif
karena memiliki respon yang stabil. Modul latih yang telah dirancang
menggunakan motor DC servo dan heater yang dikontrol oleh mikrokontroler
89S52 dan metoda pengaturan yang digunakan adalah fuzzy logic dengan sistem
pengawasan / supervisory dengan menggunakan software MMI. Sistem yang
dibuat merupakan sistem minimal dari SCADA karena hanya terdapat satu buah
PC yang menjadi data client. Fuzzy logic yang dirancang memiliki dua buah
input (Err dan Err) dan satu buah output (ton). Masing-masing membership
function memiliki 5 label. Disini digunakan 25 fuzzy if-then rules yang terdiri dari
atas 9 rule pokok / utama, 10 rule tambahan dan 6 rule pelengkap. Sedangkan
proses fuzzy logic terdiri dari fuzzyfikasi, evaluasi rule, dan defuzzyfikasi.
Penggerak motor (motor driver) menggunakan sistem PWM (pulse width
modulation) dan heater driver menggunakan sistem proportional power control.
Input setting point dilakukan melalui software SCADA yang dikirim ke
mikrokontroler melalui port serial RS232 komputer. Pengujian respon sistem
dilakukan terhadap beberapa variasi setting point dan variasi beban. Dari data-
data yang diperoleh menunjukkan bahwa respon sistem cukup cepat dalam
mengejar nilai setting point baik dalam berbagai variasi yaitu beban dan setting
point. Fuzzy logic merupakan salah satu sistem kontrol yang redundant atau fault
tolerant yang artinya fuzzy logic controller masih dapat bekerja dengan adanya
pengurangan beberapa rule, maupun jika terjadi kesalahan-kesalahan kecil
dalam pemrogramannya, tanpa ada perubahan yang signifikan.

Kata kunci: Fuzzy Logic, SCADA System, Microcontroller, Automation.

PENDAHULUAN
Control systems diperlukan untuk memperoleh dinamical performance yang
tinggi dan sistem yang lebih kompleks. PID konvensional cukup efektif untuk
memperbaiki error systems, namun tidak dapat digunakan untuk parameter yang
banyak dan sistem yang yang tidak linear.
Upaya-upaya untuk menemukan sistem yang mampu memberikan data
acquisition dari suatu parameter proses secara real time dengan error-system
(error dan error rate) yang minimum terus dikembangkan. Salah satu diantaranya
adalah teknik pengendalian dengan menggunakan aplikasi Fuzzy Logic Controller
(FLC). Diduga bahwa kinerja dari FLC dengan sistem SCADA adalah memiliki
banyak keunggulan bila dibandingkan dengan sistem kendali klasik (PID).
Karena beberapa analisa diatas maka perlu dibuat sebuah modul untuk
membuktikan, menganalisa, dan mengimplementasikan sistem kendali
terdistribusi pada jaringan menggunakan Fuzzy Logic Controller (FLC).

PKMP-2-14-2
Masalah yang akan dicari pemecahannya melalui penelitian yang diajukan ini
adalah:
1. Pemodelan sistem SCADA yang user friendly dengan mahasiswa maupun
dosen.
2. Desain sistem autotuning heating process (pengaturan temperatur proses
secara automatis) dalam usaha penstabilan temperatur proses.
3. Desain FAM (Fuzzy Association Map) untuk temperature controller dan
water level controller.
4. Pendeteksian dan pemecahan sendiri (autosolving) gangguan (disturbance)
yang terdapat pada plant dan target sistem.
5. Teknik link / komunikasi data yang dipergunakan untuk mengkomunikasikan
antara plant dengan software SCADA.
6. Pengubahan pemetaan data derajat keanggotaan (membership fuctions) ke
dalam bahasa C untuk mikrokontroler AT89S51.
7. Desain database production data monitoring yang akurat.
8. Pengaturan kecepatan putaran motor DC dengan pengaturan lebar pulsa atau
Pulse Width Modulation (PWM).
9. Instalasi rangkaian kontrol serta pengaman peralatan lebih mudah dan
sederhana.

Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah:
1. Menjajaki, menguraikan, menerangkan, membuktikan, dan mendapatkan /
menerapkan suatu konsep, gejala atau respon yang dihasilkan oleh sistem
kendali fuzzy yang sangat diperlukan di Industri.
2. Membuat suatu prototipe modul sistem komunikasi data baik software
(SCADA) maupun hardware (plant).
3. Meningkatkan proses pembelajaran tentang kontrol proses industri di
Perguruan Tinggi menjadi lebih relevan pada aplikasi.
4. Supaya mahasiswa lebih mengenal sistem kendali logika fuzzy.

Manfaat penelitian ini untuk waktu yang akan datang adalah:
1. Memberikan gambaran kepada masyarakat luas khususnya mahasiswa /
pelajar dan staf pengajar yang berkecimpung dalam bidang keilmuan tentang
sistem kendali dengan alogaritma logika fuzzy.
2. Memberikan alternatif produk perangkat kontrol yang murah kepada dunia
industri.
3. Sebagai inspirasi bagi mahasiswa-mahasiswa lain dan ajang pengembangan
Iptek di Indonesia.

METODE PENDEKATAN
Metode penyelesaian penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan bahan-bahan dan data-data referensi tentang dasar teori
SCADA dan fuzzy logic.
2. Merancang deskripsi kerja dari sistem serta menentukan dan merancang
piranti keras yang akan dipergunakan dalam sistem.
3. Membuat model mekanis rangka plant dan tata letak peralatan pada plant dan
panel kontrol.

PKMP-2-14-3
4. Mencatat alamat input dan output pada pin I/O dari port DB25 dari perangkat
keras pengendali.
5. Merancang Software Man Machine Interface (MMI) untuk memonitor status
kerja dari mikrokontroler melalui serial link dengan menggunakan Visual
Basic 6.0.
6. Mendesain sistem pengaturan motor DC menggunakan PWM, menghitung
timing pulsa, jumlah gelombang per detik, perhitungan delay-time per
milidetik pada mikrokontroler, membuat alogaritma program dan merubah
alogaritma ke dalam bahasa pemrograman C untuk mikrokontroler.
7. Mendesain sistem pengaturan heater menggunakan metoda ON-OFF dengan
parameter lebar waktu ON dan lebar waktu OFF, membuat perhitungan
prosentase waktu ON dan waktu OFF dari prosentase total waktu ON dan
waktu OFF, membuat alogaritma program dan merubah program ke dalam
bahasa pemrograman C pada mikrokontroler.
8. Merancang program Fuzzy Distributed Intelligent Control System pada
mikrokontroler menggunakan bahasa pemrograman C.
9. Melakukan pengetesan kerja mesin, kontroller dan MMI (jalur komunikasi).
10. Menganalisa sistem dan membuat laporan.

Tabel 1. Daftar Bahan dan Peralatan Penelitian

No Uraian Satuan Volume
1 Modul Mikrokontroller 89S52 Buah Satu
2 ADC 0804 Buah Satu
3 Sensor Suhu LM335A Buah Satu
4 WLC (Transistor 2N222 + Elektroda) Buah Sembilan
5 Flow Switch (Transistor 2N222 + Elektroda) Buah Dua
6 Kabel RS232 Buah Satu
7 Kabel Data Buah Satu
8 CD Software Visual Basic 6.0 Buah Dua
9 Driver Motor Pompa Set Dua
10 Driver Heater Set Satu
11 Driver Motor DC Servo (Agitator) Set Satu
12 Driver Solenoid Valve Set Satu
13 Motor Pompa Buah Dua
14 Heater Buah Satu
15 Motor DC Servo (Agitator) Buah Satu
16 Solenoid Valve Buah Satu
17 Kabel NYAF 15 cm dan Socket terminal Meter Sepuluh
18 Peralatan Simulator Set Satu


Waktu untuk penelitian ini adalah dimulai pada bulan Maret minggu
pertama, dimana pada minggu tersebut kami mendapatkan hasil bahwa ide kami
disetujui untuk dilakukan penelitian oleh DIKTI.

PKMP-2-14-4
Lamanya waktu untuk penelitian adalah 21 minggu. Dimulai pada awal
maret minggu pertama dan berakhir pada tanggal 26 Juli 2006. untuk penelitian
ini kami optimis akan selesai pada H-4 dari pelaksanaan PIMNAS. Tempat yang
digunakan untuk penelitian kami adalah bengkel dan laboratorium listrik
Politeknik Negeri Jakarta. Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian kami
dapat dilihat pada tabel 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Respon Sistem Dengan 25 Rule
Respon sistem terhadap setting point tetap, ditunjukkan pada gambar 1.
Jumlah rules yang digunakan 25, yaitu 9 rule dasar, 10 rule tambahan, dan 6
rule pelengkap dengan beban 2 liter zat.














Gambar 1. Respon Sistem terhadap Setting Point Tetap

Dari gambar dapat dilihat bahwa respon sistem mempunyai waktu rise
time yang sangat cepat kira-kira 3-4 detik dengan over shoot kira-kira 5 10 rpm.
Steady State Error respon sistem juga sangat kecil + 1 RPM. Gambar 2
menunjukkan respon sistem terhadap penurunan setting point. Setting point
berubah mulai dari 110 rpm kemudian diturunkan menjadi 100 rpm, 90 rpm, dan
yang terakhir 80 rpm. Sebaliknya pada gambar 3 ditunjukkan respon sistem
terhadap penaikkan Setting Point.
Dari gambar dapat dilihat bahwa dibutuhkan waktu 2 detik untuk
mencapai setiap perubahan Setting Point. Dengan overshoot mencapai 5-10 rpm.



110 rpm

100 rpm

90 rpm

80 rpm




Gambar 2. Respon Sistem terhadap Variasi SP dengan perlambatan


PKMP-2-14-5
Dari gambar 1, gambar 2 dan gambar 3 dapat dilihat bahwa pada respon
sistem dengan variasi Setting Point dan variasi beban dengan rule dasar dan rule
tambahan yang berjumlah 19, tidak terdapat perubahan secara signifikan,
meskipun untuk mencapai setting point yang diinginkan terjadi perlambatan
sekitar 1 detik. Untuk Steady State Error dari masing-masing gambar sama
dengan Steady State Error pada respon sistem dengan jumlah rule 25.



110 rpm


100 rpm

90 rpm

80 rpm



Gambar 3. Respon Sistem terhadap Variasi SP dengan percepatan

Pengujian respon stabilitas temperatur aktual yang dihasilkan oleh heater.
Langkah pertama Heater diuji dengan jalan memberikan set point yang berubah-
ubah dan jumlah zat yang berbeda-beda. Apakah aktual mampu mengikuti set
point yang diinginkan.
Langkah kedua adalah mencari kecepatan perubahan atau rise time dengan jalan
merubah set point dengan cepat berulang-ulang, kemudian disini diamati
berapakah kecepatan perubahan yang mungkin dilakukan oleh aktual.
Gambar 4. Karakteristik respon yang dihasilkan oleh modul latih fuzzy pada
pengendalian temperatur

DATA HASIL PENGUJIAN ALAT
Pengujian dilakukan di Laboratorium Listrik dengan arahan Dosen
Pembimbing. Di dalam pengujian ini diamati sinyal keluaran dari Mikrokontroler
berdasarkan input yang diberikan dan juga keluaran dari driver motor agitator dan
driver heater.

PKMP-2-14-6
Peralatan Pengujian:
1. Modul Fuzzy Controller
2. Kabel konektor DB25
3. Motor 24VDC dengan Shaft Encoder (absolute encoder)
4. Heater 150W, 220VAC
5. Osciloscope digital
6. Osciloscope Analog
7. Probe 10x
8. Kabel penghubung
9. PC
10. Kabel Programmer Mikrokontroler ISP
11. Kabel Serial RS232
12. Trafo Isolasi
13. Akuarium + air


Pulsa keluaran yang dibentuk oleh Port 0.1 Mikrokontroller, dimana port ini
tersambung ke driver motor DC. Pengujian dilakukan dengan cara mengatur lebar
pulsa dengan sampling time sebesar 50 mS






Dari input port 0.1 mikrokontroler tersebut maka tegangan keluaran driver motor
DC adalah sebagai berikut.


PKMP-2-14-7























Pengujian ini dilakukan untuk mengamati dan menganalisa pulsa keluaran
yang dibentuk oleh Port 0.0 Mikrokontroller, dimana port ini tersambung ke
driver heater. Pengujian dilakukan dengan cara mengatur lebar pulsa dengan
sampling time sebesar 100 mS.























PKMP-2-14-8


Dari keluaran port 0.0 mikrokontroler tersebut akan mengerjakan driver heater
dan data hasil percobaan yang telah didapatkan adalah sebagai berikut;


































Pembahasan Penelitian
Logika fuzzy merupakan pengembangan dari logika primitif yang hanya
mengenal dua keadaan, yaitu ya atau tidak. Dengan adanya logika fuzzy,
dapat mengenal peubah-peubah linguistik seperti agak besar, besar, sangat besar,
dan sebagainya. Dengan demikian, aplikasi logika fuzzy akan menyebabkan
sistem lebih adaptif [1].
Dalam menentukan keputusan-keputusan pengendalian, kaidah-kaidah
pengendalian yang diiginkan adalah kaidah-kaidah yang mengatur bagaimana
seharusnya sistem itu berperilaku. Dengan kata lain, aturan-aturan inilah yang
akan menentukan sekali kinerja dari sistem kendali yang diinginkan [2]. Aturan

PKMP-2-14-9
dasar kontroller fuzzy menghendaki sedikit kode dan memori dan tidak
membutuhkan heavy number-crunching atau model matematis kompleks untuk
mengoperasikannya [3].
Ungkapan bahasa yang digunakan dalam logika fuzzy dapat membantu
mendefinisikan karakteristik operasional sistem dengan lebih baik. Ungkapan
bahasa untuk karakteristik sistem biasanya dinyatakan dalam bentuk aturan If
Then [4].
Mikrokontroler MCS51 family dapat dipergunakan sebagai pengendali logika
fuzzy. Pengubahan algoritma cukup dengan pengubahan program dalam
mikrokontroler yang relatif lebih mudah dari pengubahan perangkat keras [5].
Pada penelitian ini kami menggunakan Mikrokontroler AT89S52 yang merupakan
keluarga dari MCS51.













Gambar 1. Blok diagram sistem kendali fuzzy pada modul latih MMI

Dalam penelitian ini menggunakan 25 buah rule (aturan) yaitu 9 rule dasar, 10
rule tambahan, dan 6 rule pelengkap dengan beban 2 liter zat.
Untuk mempertahankan kecepatan motor dengan beban bervariasi,
tegangan yang diberikan ke motor dapat diatur dengan teknik modulasi sudut fasa
atau modulasi lebar pulsa [2]. Sedangkan pengaturan suhu oleh heater dilakukan
dengan menggunakan TRIAC.
Tujuan dari setiap sistem kendali adalah untuk menghasilkan keluaran dari
masukan yang diberikan [6]. Disini akan diuji respon sistem terhadap dengan
variasi beban dan variasi SP. Pengujian juga dilakukan dengan memberikan
gangguan / disturbances dari luar yang berupa tambahan gesekan serta
pertambahan beban secara mendadak. Prosedur pengujian yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
Manual:
1. Menjalankan MP1, MP2, Solenoid Valve, Heater dan Motor Agitator secara
manual dari perangkat keras dengan menekan masing-masing push button
tiap-tiap yang ada pada perangkat keras.
2. Menjalankan MP1, MP2, Solenoid Valve dan Motor Agitator secara manual
dari perangkat keras dengan menekan masing-masing push button tiap-tiap
yang ada pada perangkat keras.




PKMP-2-14-10
Automatis:
1 Memberikan beban pada motor agitator sebesar 2 liter zat dan SP di set pada
kecepatan 190 RPM dan suhu 60C.
2 Memberikan beban pada motor agitator sebesar 4 liter dan SP rpm motor dan
SP nilai suhu diubah-ubah.
3 Memberikan beban pada motor agitator sebesar 2 liter dan ditambah lagi 2
liter zat.
4 Merubah nilai suhu naik menjadi 90C, kemudian mengamati kenaikan suhu
yang terjadi.
5 Merubah nilai SP suhu turun menjadi 40C, kemudian mengamati lagi
perubahan suhu yang terjadi dan mencatat waktunya.

Respon sistem kemudian ditampilkan pada layar monitor komputer PC dengan
bantuan fasilitas Data Acquitition yang terdapat pada Software MMI yang dapat
menerima data respon sistem dari sistem mikrokontroler 89S52 yang dikirim
secara serial dengan baudrate 9600bps, startbit 1, stopbit 1, parity = none, panjang
data 8 bit. Gambar dibawah menunjukkan Program Software Man Machine
Interface saat dioperasikan.

Display berikut digunakan sebagai referensi pengamatan dalam pengujian




















Gambar 2. Display SCADA software dengan Visual Basic 6.0


KESIMPULAN
Berdasarkan hasil-hasil yang telah diperoleh maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan antara lain:
1. Fuzzy Logic Controller merupakan suatu sistem kendali yang relatif mudah
perancangannya, karena tidak dibutuhkan model matematis eksak dari sistem.
Dengan pendekatan rule-based dan common sense sistem dirancang dan
dibangun.

PKMP-2-14-11
2. Pada plant ini 9 rules dasar (basic rules) merupakan rule pokok yang
digunakan pada titik-titik puncak, 10 rule tambahan digunakan untuk
memperhalus respon sistem dan 6 rule pelengkap yang digunakan bila sistem
mengalami gangguan secara ekstrim.
3. Kendali Fuzzy Logic memiliki sifat redundant dan fault tolerant, di mana
pengurangan rule tidak menyebabkan sistem tak terkendali. Ia tetap dapat
terkendali dengan terdegradasi.
4. Dengan bantuan software MMI yang telah dibuat, interaksi manusia dengan
plant mesin menjadi lebih mudah dan praktis.
5. Teknik komunikasi data serial tepat dan handal digunakan dalam sistem MMI,
pengaruh faktor drop tegangan sangat kecil, efisien dalam wiring dan
komponen (tidak memerlukan IC TTL / buffer) selain itu juga mampu
digunakan dalam jarak yang sangat jauh.

DAFTAR PUSTAKA
1. Wang, L-X. A Course in Fuzzy Systems and Control. International Edition.
New Jersey : Prentice-Hall. Inc; 1997.
2. Guillemin, P. Fuzzy Logic Applied to Motor Control. IEE Transaction on
Industry Applications Vol 32 No 1; 1996. hlm 51-61.
3. Iwan, dkk. Petrafuz88: Fuzzy Logic Kernel untuk Mikroprosessor 8088.
Surabaya: Laboratorium Sistem Kontrol-Jurusan Teknik Elektro, Universitas
Kristen Petra; 1999.
4. Erwin. Implementasi Logika Fuzzy sebagai Pengendali Kecepatan Motor DC
Berbasis Mikrokontroller 89C51. Jurnal Penelitian. Jurusan Teknik Elektro
Fakultas Teknik. Yogyakarta : Universitas Gakah Mada; 2000.
5. Wahyuunggoro, O. Pengendalian Motor DC Menggunakan Algoritma Fuzzy
Berbasis 89C51. Yogyakarta: DIKS Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada;
2000.
6. Klir, George J, Fuzzy Sets and Fuzzy Logics : Theory and Applications, NJ
: Prentice Hall, 1995.



PKMP-2-15-1
PEMGARUH PEMBERIAN KONSENTRASI PUPUK DAN MEDIA
TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF FASE SEEDLING
ANGGREK PHALAENOPSI S

Mus Mulyadi, Yusep Saepul A, Dadang Abdurahman, Heru Wibowo
PS Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian konsentrasi
larutan pupuk daun dan media tanam yang berbeda dan interaksi keduanya
terhadap pertumbuhan vegetatif fase seedling anggrek Phalaenopsis. Tanaman
ditanam dengan menggunakan Faktor I (M) adalah penggunaan media tanam
yang berbeda, dengan 5 jenis : arang (m
1
), pakis (m
2
), moss (m
3
), sabut kelapa
(m
4
), dan humus (m
5
). Faktor II (P) adalah konsentrasi larutan pupuk Grow
More yang berbeda, dengan 5 level : 0,5 g/liter air (p
1
), 1 g/liter air (p
2
), 1,5
g/liter air (p
3
), 2 g/liter air (p
4
), dan 2,5 g/liter air (p
5
). Percobaan disusun
menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima ulangan. Data
pengamatan dianalisis dengan sidik ragam dalam tarap 5 %. Dari hasi
pengamatan sementara di lapangan data menunjukan berbeda tidak nyata
terhadap dua parameter yaitu jumlah daun dan panjang daun terpanjang, yang
dapat disimpulkan sementara bahwa perlakuan media tanam moss memberikan
hasil yang baik sama dengan perlakuan media tanam humus dibandingkan
dengan media tanam lainnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa media tanam moss
dan humus memiliki kemampuan menyimpan air yang sangat besar dan
mengandung zat hara organik yang diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif fase
seedling Phalaenopsis sehingga mampu memberikan lingkungan yang baik untuk
tumbuhnya daun pada tanaman anggrek yang diteliti. Dilihat dari segi ekonomis,
media tanam humus memiliki keunggulan selain mudah didapat harganyapun
murah, bahkan petani dapat membuatnya sendiri dari sisa-sisa tanaman lain yang
dikomposkan atau mencari di lantai hutan. Sedangkan pada perlakuan
pemberian pupuk terhadap parameter jumlah daun dan panjang daun terpanjang,
konsentrasi larutan yang paling baik sementara ini dapat disimpulkan, dari dua
parameter yang dapat diamati terdapat dua konsentrasi yang berbeda yang
memberikan hasil yang baik, yaitu konsentrasi 0,5 g/l memberikan pengaruh yang
baik terhadap jumlah daun sedangkan konsentrasi 1,5 g/l memberikan pengaruh
yang baik terhadap panjang daun terpanjang. Hal ini dapat dimengerti bahwa
pertumbuhan vegetatif anggrek Phalaenopsis fase seedling tidak memerlukan
pemberian konsentrasi larutan pupuk yang terlalu pekat dikarnakan tanaman
masih terlalu muda belum siap menerimanya, ditambah penggunaan media tanam
organik yang mengandung unsur hara didalamnya sehingga dapat memasok
unsur hara pada pertumbuhan tanaman. Kesimpulan lebih lanjut perlu data yang
lengkap sampai akhir penelitian untuk dapat menyimpulkan pemberian pupuk
mana yang paling baik.

Kata kunci: Anggrek Phalaenopsis, media tanam, konsentrasi larutan pupuk.




PKMP-2-15-2
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Salah satu kekayaan hayati yang ada di hutan Indonesia adalah kelompok
tumbuhan anggrek. Tidak kurang dari 5.000 spesies anggrek tercatat hidup di
belantara yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Anggrek memiliki sifat
yang berbeda dengan tanaman lain, perbedaan ini tampak dari bentuk, ukuran dan
warna bunga serta cara pertumbuhannya. Salah satu jenis anggrek yang cukup
populer adalah kelompok anggrek dari genus Phalaenopsis dengan salah satu
spesies yang paling populer adalah anggrek bulan atau Phalaenopsis amabilis
(Iswanto, 2001).
Anggrek Phalaenopsis merupakan tanaman hias yang mempunyai nilai estetika
tinggi. Bentuk,ukuran, warna dan ketahanan bunga yang unik menjadikan daya
tarik tersendiri dari spesies tanaman hias tersebut, sehingga banyak diminati oleh
konsumen baik dari dalam maupun luar negri. Dengan meningkatnya permintaan
pasar akan anggrek Phalaenopsis dalam bentuk bunga potong dan tanaman pot,
maka diperlukan usaha peningkatan kualitas dan kuantitas penyediaan anggrek
Phalaenopsis lebih banyak dan berkesinambungan. Pertumbuhan vegetatif
tanaman anggrek Phalaenopsis dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti
cahaya, suhu, dan kelembaban serta faktor lain seperti jenis media dan konsentrasi
larutan pupuk yang di berikan sangat menentukan produktivitas tanaman anggrek
tersebut. Tanaman anggrek Phalaenopsis dapat ditanam dalam pot pada berbagai
media tanam seperti arang, pakis, moss, sabut kelapa, humus dan serut kayu.
Dari berbagai jenis media tanam yang digunakan tentunya ada kelemahan dan
kelebihannya. Media tanam arang tidak mudah lapuk, tidak mudah di tumbuhi
cendawan dan bakteri, tetapi sulit mengikat air dan miskin zat hara. Media tanam
pakis mempunyai daya mengikat air, aerasi dan draenasi yang baik, lapuk secara
perlahan-lahan, namun mengandung unsur hara yang sangat sedikit. Sedangkan
media tanam moss, sabut kelapa, humus dan serut kayu memiliki kesamaan yaitu
kemampuannya menyimpan air yang sangat besar dan mengandung zat hara
organik namun serangan hama dan penyakit sering terjadi pada bagian akar
terutama untuk media tanam sabut kelapa dan humus (Setiawan 2003).
Di Indonesia pada umumnya tanaman anggrek Phalaenopsis yang di budidayakan
dengan menggunakan media tanam pakis yang berasal dari tanaman paku-pakuan
(Alsophila glauca) diambil dari hutan, namun bila pakis yang tumbuh di hutan di
ambil terus menerus untuk media tanam anggrek di khawatirkan akan
mengganggu ekosistem. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu dicari bahan
lain sebagai media tanam alternatif yang lebih banyak mengandung unsur hara
dan mudah diperoleh.
Anggrek Phalaenopsis merupakan tanaman epifit sehingga penyerapan
unsur hara dari akar sangat terbatas. Penyerapan hara dapat ditingkatkan dengan
cara memberikan pupuk melalui daun. Hal ini didukung oleh pernyataan (Iswanto,
2001) bahwa penyerapan hara pada tanaman anggrek Phalaenopsis 90% terjadi
melalui daun. Tanaman anggrek Phalaenopsis memiliki laju pertumbuhan yang
sangat lambat hal ini membutuhkan strategi pemberian konsentrasi larutan pupuk
secara tepat agar penyerapanya memberikan pengaruh nyata terhadap percepatan
pertumbuhannya.
Untuk memasok pertumbuhan anggrek Phalaenopsis dalam pot, salah satu
caranya dapat dilakukan dengan pemberian pupuk daun, karena dalam pupuk

PKMP-2-15-3
daun sudah terdapat unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman anggrek, seperti
pupuk daun Grow More. Unsur Nitrogen berpengaruh meningkatkan
pertumbuhan vegetatif, Posfor berpengaruh untuk merangsang pertumbuhan
generatif, inisiasi akar, dan pendewasaan tanaman, sedangkan kalium berfungsi
sebagai katalisator (Ginting, 2001). Kebutuhan tanaman anggrek tersebut dapat
dipasok dengan pemberian pupuk daun namun strategi untuk memberikan
konsentrasi larutan yang tepat pun sangat penting jangan sampai suatu perusahaan
kerugian akibat penggunaan pupuk yang berlebihan atau bahkan tanaman
kekurangan hara. Dari uraian di atas maka didalam penelitian ini akan diuji
pengaruh berbagai jenis media tanam dan konsentrasi larutan pupuk daun yang
berbeda terhadap ertumbuhan vegetatif fase seedling anggrek Phalaenopsis.
1. Perumusan Masalah
Pada umumnya anggrek yang tumbuh di alam bebas mempunyai
pertumbuhan yang optimal, dikarenakan lingkungan tersebut merupakan
habitatnya. Namun tidak menuntut kemungkinan kalau anggrek dari genus
Phalaenopsis ini dapat pula tumbuh dengan optimal di dalam pengawasan
manusia, misalnya dalam pot. Tentunya harus dengan perawatan atau sistem
budidaya yang intensif terutama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
dikarenakan pada tempat yang kita sediakan terkadang tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan tanaman tersebut. Dengan penggunaan media tanam yang tepat
serta pemberian konsentrasi larutan pupuk yang diberikan sesuai dengan yang
dibutuhkan tanaman maka keadaan tersebut dapat diimbangi, salah satunya
dengan penggunaan media tanam humus yang bisa mengurangi konsentrasi
pemberian pupuk, hal ini dapat memecahkan permasalahan sistem budidaya
tanaman anggrek dari genus Phalaenopsis dengan biaya produksi yang rendah
tetapi pertumbuhan tanaman optimal.
2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
konsentrasi larutan pupuk daun dan media tanam yang berbeda dan interaksi
keduanya terhadap pertumbuhan vegetatif fase seedling anggrek Phalaenopsis.
3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini untuk memanfaatkan bahan-bahan organik yang terdapat
disekitar kita, hal ini secara tidak langsung dapat membantu masyarakat dalam
melakukan budidaya tanaman anggrek Phalaenopsis dengan biaya produksi yang
relatif rendah, namun dapat menyokong pertumbuhan tanaman dengan baik.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang tepat bagi
petani anggrek dan digunakan sebagai bahan pertimbangan pada program
pengembangan dan peningkatan kualitas tanaman hias tentang pengaruh
pemberian konsentrasi larutan pupuk dan media tanam yang berbeda terhadap
pertumbuhan vegetatif fase seedling anggrek Phalaenopsis.
4. Tinjauan Pustaka
a. Sejarah Anggrek Phalaenopsis
Phalaenopsis adalah salah satu genus anggrek yang memiliki kurang lebih
40-60 spesies, jumlah varietasnya sekitar 140 jenis, 60 diantaranya terdapat di
Indonesia (Iswanto, 2001). Selama ini pemahaman nama Phalaenopsis sering
disalah artikan dengan anggrek bulan. Padahal anggrek bulan atau Phalaenopsis
amabilis hanyalah salah satu spesies dari genus Phalaenopsis. Nama
Phalaenopsis berasal dari bahasa yunani, yaitu Phalaina yang berarti kupu-

PKMP-2-15-4
kupu, dan opsis yang berarti menyerupai. Dengan demikian Phalaenopsis
berarti menyerupai kupu-kupu (Setiawan, 2003). Blume, seorang ahli botani
berkebangsaan Belanda, yang memberi nama genus anggrek ini dengan
Phalaenopsis pada tahun 1825, nama tersebut muncul manakala ia menjumpai
untuk pertama kalinya Phalaenopsis di dalam hutan dan mengira telah melihat
sekawanan kupu-kupu putih yang tengah hinggap pada sebatang ranting kayu.
Karena kawasan penyebarannya sangat luas dengan variasi agroklimat yang
berbeda-beda, variasi bentuk dan ukuran bunganya sangat beragam. Di Indonesia
yang paling dikenel adalah Phalaenopsis amabilis disebut sebagai bunga puspa
pesona bangsa yang merupakan jenis asli dari Indonesia yang sudah di kenal sejak
jaman Hindu walaupun belum dibudidayakan. Sebagian bukti sejarah, bentuk
angrek bulan ini sudah ditemukan dalam relif Candi, ukiran keris, maupun motif
batik tradisional kuno.
b. Syarat Tumbuh
Melihat cara hidupnya di alam, anggrek Phalaenopsis termasuk jenis
epifit. Jenis ini hidup menumpang pada pohon lain tanpa merugikan tanaman
inangnya. Karena itu pertumbuhan anggrek Phalaenopsis selalu ternaungi oleh
ranting atau daun pohon. Karena ternaungi cahaya matahari yang dibutuhkan
anggrek Phalaenopsis tidak terlalu tinggi hanya 20-50% untuk mendapatkan hasil
yang optimum, sebaiknya anggrek Phalaenopsis ditempatkan di tempat yang agak
teduh. Di tempat yang terbuka atau tidak ternaungi, suhu udara menjadi lebih
tinggi dibandingkan di tempat yang teduh atau tidak terkena sinar matahari secara
langsung sementara itu semakin tinggi tempat semakin rendah suhu udara
(Linuhung, 2001). Biasanya anggrek hasil budidaya memerlukan suhu maksimal
29
0
C dan suhu minimal 15
0
C. Berdasarkan kebutuhan suhu, Phalaenopsis
ternasuk jenis anggrek tipe hangat suhu malam hari yang diperlukan antara 21-
24
o
C dan siang hari antara 24-29
o
C semakin tinggi suhu pada batas toleransi ini
semakin bagus untuk merangsang pertumbuhan vegetatifnya (Setiawan, 2003).
Selain intensitas cahaya dan suhu yang perlu di perhatikan adalah kelembaban
karena tanaman anggrek memiliki kelembaban nisbi cukup tinggi, yakni 60-85%
walaupun demikian tanaman anggrek ini tidak menyukai udara yang kelewat
basah.(Iswanto, 2001). Pada malam hari, kelembaban dijaga agar tidak terlalu
tinggi karena itu media tanam didalam pot tidak boleh terlalu basah. Kelembaban
yang sangat rendah, terutama pada siang hari dapat diatasi dengan cara
memberikan semprotan air disekitar tempat penanaman dengan memakai sprayer.
c. Media tanam
Pada perinsipnya, media tanam yang digunakan harus memiliki
kemampuan untuk menjaga kelembaban, tetapi tidak boleh menahan air secara
berlebih, tidak mudah lapuk (dapat bertahan 2 - 3 tahun), tidak mudah
mengendap, drainase dan airase baik, dan menyediakan atau menyimpan unsur
hara (Setiawan, 2003). Anggrek Phalaenopsis akan tumbuh baik pada media
dengan derajat keasaman (pH air) antara 5,0 - 6,5 (Iswanto, 2001).
Macam-macam media tanam anggrek Phalaenopsis yaitu: arang, pakis,
moss, sabut kelapa, humus dan serut kayu.
- Arang
Arang banyak di gunakan sebagai media tanam untuk anggrek Dendrobium.
Untuk penanaman anggrek Phalaenopsis jarang dipergunakan hal ini disebabkan
arang sukar mengikat air dan mempunyai zat hara yang sangat sedikit. Tetapi

PKMP-2-15-5
terdapat keunggulan diantaranya mempunyai kemampuan aerasi dan drainase
yang baik sehingga tidak mudah menjadi lapuk dan tidak mudah ditumbuhi jamur
serta bakteri. Dalam media tanam arang kebusukan akar juga jarang ditemui
(Ginting, 2001).
- Pakis
Pakis yang banyak digunakan sebagai media tanam anggrek Phalaenopsis berasal
dari batang tumbuhan paku Alsophia glaica. Banyak nilai lebih dari pakis sering
dipilih sebagai media karena: Pakis mempunyai kemampuan menyimpan air tetapi
tidak berlebih, pakis terdiri dari serabut-serabut yang kaku sehingga membentuk
celah-celah udara kecil (aerasi) yang memudahkan akar tanaman anggrek tumbuh
kesegala arah dan kelebihan air dalam media pun dapat dengan mudah mengalir
kebawah (drainase), pakis mengandung zat hara organik yang dibutuhkan untuk
membantu pertumbuhan anggrek Phalaenopsis, media tanam ini tidak mudah
lapuk atau pelapikannya berlangsung lama, selain itu daya tahan media dapat
mencapai 2 - 3 tahun tergantung dari usia pakis tersebut. Selain kelebihannya, ada
pun kekurangannya yaitu pakis yang baik, tua, berwarna coklat tua hitam sulit
diperoleh. Biasanya pakis yang dijual di pasaran ialah pakis muda dan berwarna
coklat muda, pakis muda ini cepat menjadi busuk.
- Moss
Media tanam ini ada yang diimpor dari New Zealand dan ada juga yang lokal.
Media tanam ini memiliki kemampuan menyimpan air yang sangat besar dan
mengandung zat hara organik yang diperlukan untuk pertumbuhan Phalaenopsis.
Bila media tanam ini digunakan, penyiraman dilakukan cukup dua kali seminggu.
Penggunaan media tanam moss harus benar agar air yang disimpan tidak
kelebihan karena dapat menyebabkan resiko busuk akar. Pertama-tama media
tanam ini direndam didalam air bersih selama 1 - 2 jam, volume moss akan
bertambah besar, kemudian moss harus diperas kuat-kuat lalu dimasukan dengan
volume padat kedalam pot yang telah dipersiapkan.
- Sabut Kelapa
Sabut kelapa yang belum diproses memiliki sifat mudah lapuk dan mudah busuk
sehingga dapat menjadi sumber penyakit yaitu tumbuhnya jamur dan bakteri.
Sabut kelapa tua dapat diproses dengan menghilangkan serbuknya dan tinggal
serat-seratnya. Serat-serat ini tidak mudah lapuk dan busuk, mempunyai
kemampuan menyimpan air yang baik, memiliki daya aerase dan draenase yang
baik serta mengandung zat hara organik.
- Humus
Humus mempunyai beberapa keunggulan yaitu: lebih banyak mengandung unsur
hara karena dibentuk dari sisa-sisa tumbuhan terutama unsur nitrogen (N), mudah
didapat disekitar kita, mampu mengikat air (menjaga kelembaban) terutama untuk
anggrek Phalaenopsis. Tetapi tentunya humus juga mempunyai kekurangan
diantaranya mudah ditumbuhi hama dan penyakit, maka penangananya tak
gampang harus di seterilkan terlebih dahulu dengan cara dikukus atau di goreng
tanpa minyak.
d. Pemupukan
Ada beragam cara memupuk anggrek, namun yang banyak dilakukan
adalah pemupukan lewat daun karena lebih efektif dibandingkan cara lain. Alasan
logisnya adalah daun mampu menyerap pupuk sekitar 90%, sedangkan akar hanya
mampu menyerap 10% (Iswanto, 2001). Bila pemupukan dilakukan lewat daun,

PKMP-2-15-6
kandungan unsur hara dalam pupuk bakal langsung masuk kejaringan tubuh
tanaman melalui pembuluh daun atau kutikula. Umumnya pemupukan melalui
daun menggunakan alat semprot namun ada juga yang dilakukan dengan cara
langsung menyiram daun tanaman. Pada umumnya konsentrasi larutan pupuk
daun yang digunakan untuk tanaman anggrek sebanyak 2 g/liter air, namun
keadaan tersebut bisa berubah tergantung kondisi tanaman misalnya untuk fase
vegetatif, penelitian yang sudah dilakukan konsentrasi larutan pupuknya antara
0,5 g/liter air sampai 2 g/liter air, hasil penelitianya konsentrasi larutan 1 g/liter air
pada media pakis pada tanaman yang baru saja dikeluarkan dari botol (proses
aklimatisasi) menunjukkan hasil yang paling bagus (Fatmawati dan Susianti,
2004). Pemupukan dilakukan satu kali per minggu, waktu yang baik untuk
menyemprotkan pupuk adalah antara pukul 07.00-09.00 atau pukul 15.00-17.00.
Pasalnya pada jam-jam tersebut hanya sedikit terjadi penguapan sehingga bahan
makanan dapat lebih banyak diserap oleh daun (Iswanto, 2001).
Jenis pupuk yang dipakai untuk anggrek umumnya berupa pupuk
majemuk, yaitu pupuk yang mengandung unsur hara makro dan unsur hara mikro.
Unsur hara makro adalah unsur hara yang banyak dibutuhkan tanaman contohnya
C, H, K, N, P, S, Mg dan Ca. Sedangkan unsur hara mikro adalah unsur hara
yang sedikit dibutuhkan tanaman contohnya Cu, Zn, Mo, Cl, dan Fe. Namun
syarat utama pupuk untuk anggrek harus mengandung tiga unsur hara penting
yakni nitrogen (N), fhosphor (P), dan kalium (K). Dalam aplikasinya pemberian
pupuk harus menyesuaikan dengan fase pertumbuhan tanaman. Untuk
membedakan kebutuhan pupuk dari setiap fase pertumbuhan, dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.

Tabel 2 : Perbedaan Kebutuhan Pupuk Setiap Fase Pertumbuhan
Fase
Pertumbuhan
N P K Dosis Per minggu
Seedling
Tanaman muda
Tanaman dewasa
60%
30%
10%
30%
30%
60%
10%
30%
10%
1 g/liter air
2 g/liter air
2 g/liter air
Sumber : Sandra, 2001.

Apabila pemupukan dilakukan setiap hari maka pupuk diencerkan tujuh
kali. Contoh pupuk daun Grow More untuk seedling dosis perminggu menjadi 1 g/
7 liter air. Formulasi pupuk dilengkapi unsur hara makro dan mikro yaitu pupuk
anorganik yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan
tanaman anggrek (Setiawan, 2003).

METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan dirumah setengah bayang Fakultas Pertanian
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang. Penelitian ini dilaksanakan dari
bulan Maret sampai bulan Agustus 2006.
2. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman anggrek
Phalaenopsisi hibrid lokal fase seedling, media tanam (arang, pakis, moss, sabut
kelapa, dan humus), pupuk daun vegetatif (Grow More), bakterisida, fungisida

PKMP-2-15-7
dan label. Alat-alat yang dibutuhkan adalah pot, handsprayer, alat pengukur pH,
termometer, hidrometer, paranet, plastik, alat timbang, alat tulis dan rak pot.
3. Metode Penelitian
a. Rancangan Percobaan
Percobaan ini akan disusun menurut Faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 5 ulangan. Perlakuan penanaman anggrek Phalaenopsis pada
beberapa jenis media tanam dan beberapa konsentrasi pupuk Grow More sebagai
berikut.


Faktor I (M) adalah penggunaan media tanam yang berbeda, dengan 5 jenis :
1. 1. Arang = m
1

2. 2. Pakis = m
2

3. 3. Moss = m
3

4. 4. Sabut kelapa = m
4

5. 5. Humus = m
5

Faktor II (P) adalah konsentrasi larutan pupuk Grow More yang berbeda, dengan
5 level :
1. 0,5 g/liter air = p
1

2. 1 g/liter air = p
2

3. 1,5 g/liter air = p
3

4. 2 g/liter air = p
4

5. 2,5 g/liter air = p
5

Analisis data dilakukan dengan menggunakan sidik ragam dengan metode
Rancangan Acak Lengkap (RAL) sebagai berikut :
Yij = + ai + bj + (ab)ij + ij
Keterangan:
Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan a ke-i (i=1,2,3,4,5,), dan
b ke-j (j=1,2,3,4,5,)
= Nilai tengah populasi
ai = Pengaruh perlakuan faktor a ke-i, untuk i = 1,2,3,4,5
bj = Pengaruh perlakuan faktor b ke-j, untuk j = 1,2,3,4,5
(ab)ij = Pengaruh interaksi faktor a ke-i dan b ke- j
ij = Pengaruh galat percobaan ke-ij
Apabila hasil sidik ragam menunjukan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut
dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan taraf 5%.

4. Pelaksanaan
a. Persiapan tanaman
Tanaman yang digunakan adalah tanaman anggrek Phalaenopsis hibrida
lokal (fase seedling). Ciri utama tanaman fase seedling atau tanaman muda
adalah belum menghasilkan bunga. Biasanya dijual dalam pot-pot kecil, bila
dibandingkan bibit dari botol dan kompot pertumbuhannya lebih seragam.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melihat bibit tanaman muda
sebagai berikut:
- Akar, batang ,daun harus tampak sehat.
- Warna daun harus hijau mulus tanpa bercak.
- Pilih daun yang lebar dan tebal diantara bibit yang ada.

PKMP-2-15-8
Setelah tanaman tersedia, tanaman kemudiaan di repoting, yaitu tindakan
membongkar ulang media tanam dan tanaman itu sendiri secara menyeluruh,
untuk mengganti media tanam yang lama dengan media tanam yang sesuai
perlakuan. Sebelum ditanam terlebih dahulu di rendam pada larutan fungisida
selama lima menit dengan konsentrasi larutan 2 g/liter air, kemudian tanaman
tersebut ditiriskan sampai kering.
b. Persiapan media tanam
Larutan fungisida dan larutan bakterisida dengan konsentrasi larutan yaitu 2 g/liter
air untuk merendam media yang akan digunakan dalam tempat yang terpisah
selama lima menit, kemudian dicuci bersih dan ditiriskan sampai kering.
Pengisian media dilakukan dengan meletakkan media pada masing-masing pot
sesuai dengan perlakuan hingga 1 cm dibawah bibir pot.
c. Penanaman dan pemeliharan tanaman
Tanaman anggrek ditanam pada pot yang diberi media sesuai dengan perlakuan
untuk satu tanaman per pot, kemudian tanaman tersebut ditempatkan pada tempat
yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman tersebut. Pemupukan dilakukan 1
minggu sekali dengan konsentrasi larutan sesuai perlakuan, dengan cara disemprot
keseluruh bagian tanaman terutama daun, pupuk yang digunakan Grow More
vegetatif. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan bila terjadi gejala serangan.
d. Pengamatan
Pertumbuhan tanaman akan diamati sampai dengan umur 14 minggu setelah
tanam. Parameter yang akan diamati pada akhir percobaan ini adalah panjang
daun terpanjang, panjang akar terpanjang, jumlah daun, jumlah akar, dan berat
basah.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan, secara umum pertumbuhan tanaman
anggrek Phalaenopsis fase seedling dalam penelitian ini dapat tumbuh dengan
baik. Walaupun demikian, selama penelitian ini berlangsung, serangan penyakit
kerap kali menyerang tanaman anggrek yang kami teliti seperti penyakit busuk
lunak yang disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora, gejala serangan ditandai
dengan munculnya bintik kecil lunak berwarna kecoklatan di permukaan daun dan
berbau tidak sedap. Hal ini disebabkan pada saat penelitian ini berlangsung
sedang musim penghujan sehingga penyiraman tanaman dapat mempertinggi
kelembaban lingkungan yaitu rata-rata 85% selama penelitian berlangsung.
Tetapi hal ini masih dapat dikendalikan dengan cara mengurangi penyiraman pada
saat cuaca berawan atau hujan dan segera memotong daun yang terinfeksi lalu
disemprot dengan Physan dengan dosis 2 ml/liter air sejalan dengan anjuran
(Setiawan, 2003). Sehingga tidak mengganggu jalannya penelitian.
Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini dengan menggunakan berbagai
jenis media tanam dan konsentrasi larutan pupuk Grow More sampai saat ini
telah menunjukkan perubahan pertumbuhan secara visual. Parameter yang dapat
diamati sementara ini adalah rata-rata jumlah daun dan panjang daun terpanjang.
Sedangkan untuk parameter lainnya sementara ini tidak dapat diamati secara rinci
karena dikhawatirkan akan dapat merusak pertumbuhan tanaman selanjutnya
sampai satu bulan kemudian.

PKMP-2-15-9
Pada pengamatan jumlah daun, berdasarkan analisis ragam dari data
pengamatan sementara di lapangan, menunjukkan hasil bahwa perlakuan media
tanam dan pemberian pupuk baik secara tunggal maupun interaksi keduanya
menunjukan berbeda tidak nyata terhadap jumlah daun anggrek Phalaenopsis fase
seedling. Namun demikian jika dilihat dari hasil rata-rata perlakuan faktor
tunggal, masing-masing perlakuan menunjukkan hasil yang beragam. Dapat
dilihat pada perlakuan media tanam, tanaman yang diberi perlakuan media moss
dan humus sama memiliki jumlah daun paling tinggi yaitu 3,68 helai
dibandingkan dengan media tanam lainnya hal ini dikarenakan media tanam
tersebut memiliki kecenderungan mampu mempertahankan kelembaban dan
memberikan unsur hara. Hal ini sejalan dengan pernyataan (Ginting, 2001) bahwa
anggrek epifit menghendaki kelembaban yang tinggi, dengan meningkatnya
kelembaban secara buatan maka suhu akan menurun, dengan unsur hara yang
cukup serta suhu dan kelembaban yang sesuai maka pertumbuhan tanaman
anggrek Phalaenopsis fase seedling menjadi baik.
Sedangkan pada perlakuan pupuk, jumlah daun terbanyak terdapat pada
tanaman anggrek yang diberi pupuk pada konsentrasi 0,5 g/l, hal ini disebabkan
karena pada penelitian ini perlakuan media tanam yang digunakan adalah media
tanam organik sehingga dapat memasok unsur hara melalui akar selain itu anggrek
yang digunakan adalah anggrak Phalaenopsis pada fase seedling, fase ini tidak
memerlukan konsentrasi larutan pupuk yang terlalu banyak cukup 1g/liter air
(Sandra, 2001), pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian Fatmawati dan
Susianti (2004) konsentrasi larutan 1 g/liter air pada tanaman yang baru saja
dikeluarkan dari botol (proses aklimatisasi) menunjukkan hasil yang paling bagus.
Secara rinci data pengamatan sementara ini dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai
berikut :

Tabel 1. Pengaruh media tanam dan pemberian pupuk terhadap jumlah daun
anggrek Phalaenopsis fase seedling

Perlakuan Jumlah daun
Media Tanam Arang 3,48
Pakis 3,44
Moss 3,68
Sabut 3,28
Humus 3,68
Konsentrasi Pupuk 0,5 g/l 3,60
1,0 g/l 3,40
1,5 g/l 3,56
2,0 g/l 3,52
2,5 g/l 3,48
Sumber : Data dilapangan (2006)

Pada pengamatan panjang daun terpanjang, berdasarkan analisis ragam
dari data pengamatan sementara di lapangan, menunjukkan hasil bahwa perlakuan
media tanam dan pemberian pupuk baik secara tunggal maupun interaksi
keduanya memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap panjang daun
terpanjang anggrek Phalaenopsis fase seedling. Namun demikian, jika dilihat

PKMP-2-15-10
data rata-rata perlakuan faktor tunggal menunjukkan hasil yang berbeda. Pada
perlakuan media tanam, panjang daun terpanjang sampai saat ini terdapat pada
tanaman dengan perlakuan media tanam moss yaitu sebesar 11,90 cm. hal ini
dikarenakan media tanam moss memiliki kecenderungan mampu
mempertahankan kelembaban dan memberikan unsur hara sehingga dapat
meningkatkan perumbuhan panjang daun, hal ini sejalan dengan pernyataan
(Djaafarer, 2003) bahwa fungsi media tanam untuk anggrek Phalainopsis adalah
sebagai tempat melekatnya akar serta menyimpan air dan hara, sekaligus sebagai
penyangga kelembaban tanaman.
Sedangkan pada perlakuan pupuk, konsentrasi pupuk 1,5 g/l menunjukkan
angka rata-rata yang terbesar yaitu 11,76 cm. Pemberian pupuk dapat
menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi baik karena ada penambahan unsur-
unsur hara yang terkandung di dalam pupuk tersebut hal itu sejalan dengan
penelitian Dirdjopranoto (2001) bahwa pemberian pupuk dapat meningkatkan
lebar daun bibit hibrida serta berpengaruh sangat nyata dibandingkan dengan
tanpa pemupukan. Hasil penelitian lain di Balai Penelitian Tanaman Hias
menunjukan bahwa pemberian pupuk pelengkap cair Hyponex cukup baik untuk
pertumbuhan vegetatif tanaman anggrek hibrida (Widiastoety, 1994). Pemberian
pupuk memberikan perbedaan yang nyata pada pertumbuhan tanaman anggrek
pada fase vegetatif, hal ini dapat dimengerti karena pupuk yang diberikan dapat
mensuplai ketersediaan hara (N-P-K), yang dilepaskan dari pupuk sehingga dapat
menjaga atau memenuhi kebutuhan tanaman selama pertumbuhan (Ginting,
2001). Anggrek yang digunakan adalah anggrak Phalaenopsis pada fase seedling,
fase ini tidak memerlukan konsentrasi larutan pupuk yang terlalu banyak cukup
1g/liter air (Sandra, 2001), pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian
Fatmawati dan Susianti (2004) konsentrasi larutan 1 g/liter air pada tanaman yang
baru saja dikeluarkan dari botol (proses aklimatisasi) menunjukkan hasil yang
paling bagus. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini :

Tabel 2. Pengaruh media tanam dan pemberian pupuk terhadap panjang daun
terpanjang anggrek Phalaenopsis fase seedling

Perlakuan Panjang daun terpanjang
Media Tanam Arang 11,56
Pakis 11,27
Moss 11,90
Sabut 10,82
Humus 11,08
Konsentrasi Pupuk 0,5 g/l 10,57
1,0 g/l 11,33
1,5 g/l 11,76
2,0 g/l 11,72
2,5 g/l 11,17
Sumber : Data dilapangan (2006)

KESIMPULAN
Dari hasi pengamatan sementara di lapangan data menunjukan berbeda
tidak nyata terhadap dua parameter yaitu jumlah daun dan panjang daun

PKMP-2-15-11
terpanjang, yang dapat disimpulkan sementara bahwa perlakuan media tanam
moss memberikan hasil yang baik sama dengan perlakuan media tanam humus
dibandingkan dengan media tanam lainnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa media
tanam moss dan humus memiliki kemampuan menyimpan air yang sangat besar
dan mengandung zat hara organik yang diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif
fase seedling Phalaenopsis sehingga mampu memberikan lingkungan yang baik
untuk tumbuhnya daun pada tanaman anggrek yang diteliti. Dilihat dari segi
ekonomis, media tanam humus memiliki keunggulan selain mudah didapat
harganyapun murah, bahkan petani dapat membuatnya sendiri dari sisa-sisa
tanaman lain yang dikomposkan atau mencari di lantai hutan.
Sedangkan pada perlakuan pemberian pupuk terhadap parameter jumlah
daun dan panjang daun terpanjang, konsentrasi larutan yang paling baik sementara
ini dapat disimpulkan, dari dua parameter yang dapat diamati terdapat dua
konsentrasi yang berbeda yang memberikan hasil yang baik, yaitu konsentrasi 0,5
g/l memberikan pengaruh yang baik terhadap jumlah daun sedangkan konsentrasi
1,5 g/l memberikan pengaruh yang baik terhadap panjang daun terpanjang. Hal
ini dapat dimengerti bahwa pertumbuhan vegetatif anggrek Phalaenopsis fase
seedling tidak memerlukan pemberian konsentrasi larutan pupuk yang terlalu
pekat dikarnakan tanaman masih terlalu muda belum siap menerimanya, ditambah
penggunaan media tanam organik yang mengandung unsur hara didalamnya
sehingga dapat memasok unsur hara pada pertumbuhan tanaman. Kesimpulan
lebih lanjut perlu data yang lengkap sampai akhir penelitian untuk dapat
menyimpulkan pemberian pupuk mana yang paling baik.

DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Hias. 2002. Peningkatan mutu dan produktivitas anggrek
Phalaenopsis. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian.
Dirdjopranoto, S. 2001. Pertumbuhan bibit hibrida Dendrobium dalam kompot,
interaksi kerapatan tanaman dan kadar pupuk daun. Universitas Janabadra.
Yogyakarta.
Djafarer, R. 2003. Phalaenopsis sp jenis dan potensi untuk silangan. Seri
Agrihobi. Lembang.
Fatmawati, A.A., dan Susiyanti. 2004. Aklimatisasi tanaman anggrek Dendribium
dengan pemberian beberapa konsentrasi larutan pupuk Hyponex dan
beberapa media tanam. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Serang.
Ginting, B., Prasetio, W dan Sutater, T. 2001. Pengaruh cara pemberian air,
media, dan pemupukan terhadap pertumbuhan anggrek Dendrobium. Balai
Penelitian Tanaman Hias. Jakarta.
Iswanto, H. 2001. Anggrek Phalaenopsis. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Linuhung, S. 2001. Kiat budidaya Phalaenopsis pada dataran rendah. Seminar
Nasional Anggrek. Yogyakarta.
Sandra,E. 2001. Membuat anggrek rajin berbunga. Agro Media Pestaka. Jakarta.
Setiawan, H., dan Setiawan, L. 2003. Merawat Phalaenopsis. PT Penebar
Swadaya. Jakarta.
Simardjo, M. 2003. Tanaman eksotis http://gatra.com/artikel,php.id., Senin (29
Mei 2006).

PKMP-2-16-1
TOKSISITAS RIFAMPIN TERHADAP FETUS MENCIT (MUS
MUSCULUS) SWISS WEBSTER INTRAUTERUS

Adhi Pranoto
Universitas Katholik Indonesia Atmajaya, Yogyakarta

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-2-17-1
PEMANFAATAN AZOLLA (AZOLLA MICROPHYLLA L.) SEBAGAI
BIOFILTER LIMBAH TAMBAK UDANG

Sujiati, Fadhali, Agung Tri H
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-2-18-1
UJI AKTIVITAS ANTIRADIKAL EKSTRAK HERBA CAKAR AYAM
(Selaginella doederleinii Hieron), HERBA KELADI TIKUS (Typhonium
divaricatum (L) Decne) DAN DAUN DEWANDARU (Eugenia uniflora Linn.)
SEBAGAI SUMBER ALTERNATIF PENCEGAHAN
PENYAKIT DEGENERATIF

Setyo Nurwaini, Yuntari R. Sofiana, Ismah R. Noor, Viesa Rahayu
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta

ABSTRAK
Radikal bebas dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit degeneratif,
diantaranya infark miokard, aterosklerosis, dan abnormalitas DNA yang berakibat
pada timbulnya kanker. Radikal bebas dapat dinetralkan oleh senyawa yang
bersifat antiradikal. Tumbuh-tumbuhan diketahui kaya akan antiradikal sehingga
eksplorasi antiradikal alami untuk mendapatkan antiradikal dengan tingkat
aktivitas dan keamanan yang tinggi semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan
untuk mengukur potensi antiradikal ekstrak kloroform, etil asetat dan etanol dari
herba cakar ayam, herba keladi tikus dan daun dewandaru. Aktivitas antiradikal
ditetapkan dengan menggunakan pereaksi DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil)
dengan pembanding vitamin E. Ekstrak sampel uji diperoleh melalui maserasi
berkesinambungan. Berdasarkan penelitian aktivitas antiradikal dari ekstrak
tumbuhan terutama disumbangkan oleh senyawa fenolik. Oleh karena itu
ditetapkan kadar fenol total dalam ekstrak dengan pereaksi Folin-Ciocalteu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ekstrak herba cakar ayam, herba keladi tikus dan
daun dewandaru memiliki aktivitas antiradikal. Nilai IC
50
ekstrak herba cakar
ayam dalam pelarut kloroform, etil asetat, dan etanol berturut-turut adalah 135,75
g/ml, 51,24 g/ml, 95,26 g/ml. IC
50
ekstrak daun dewandaru dalam pelarut
kloroform, etil asetat, dan etanol berturut-turut adalah 53,3 g/ml, 12,01 g/ml,
8,87 g/ml. Sedangkan IC
50
ekstrak herba keladi tikus dalam pelarut kloroform,
etil asetat, dan etanol berturut-turut adalah 382,19 g/ml, 516,73 g/ml, 364,53
g/ml. Kadar fenol total (GAE) dalam ekstrak berkolerasi tinggi dengan aktivitas
penangkapan radikal.

Kata Kunci : antiradikal, herba cakar ayam (Selaginella doederleinii Hieron),
herba keladi tikus (Typhonium divaricatum (L) Decne), daun
dewandaru (Eugenia uniflora Linn.), kadar fenol total.

PENDAHULUAN
Dunia kesehatan saat ini semakin menaruh perhatian terhadap radikal
bebas. Hal ini dikarenakan semakin banyak bukti ilmiah yang mengindikasikan
bahwa radikal bebas dapat menimbulkan kerusakan DNA (Desmarchelier et al.,
1998). Kerusakan DNA menimbulkan berbagai penyakit seperti diabetes dan
kanker (Khlifi et al., 2005). Kerusakan ini juga menyebabkan gangguan sistem
respon imun dan inflamasi jaringan (Desmarchelier et al., 1997).
Radikal bebas merupakan molekul atau atom apa saja yang tidak stabil
karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas
ini berbahaya karena sangat reaktif mencari pasangan elektron. Radikal bebas
yang terbentuk dalam tubuh akan menghasilkan radikal bebas baru melalui reaksi

PKMP-2-18-2
berantai yang akhirnya jumlahnya terus bertambah dan menyerang sel-sel tubuh
(Sibuea, 2004). Tubuh secara terus menerus membentuk radikal oksigen dan
spesies reaktif lainnya, terutama dihasilkan oleh netrofil, makrofag dan sistem
xantin oksidase (Khlifi et al., 2005). Radikal ini dibentuk melalui mekanisme
metabolisme normal (Desmarchelier et al., 1997). Radikal bebas juga terbentuk
karena peradangan, kekurangan gizi dan akibat respon terhadap pengaruh luar
tubuh seperti polusi udara, sinar ultraviolet, asap kendaraan bermotor dan asap
rokok (Karyadi, 1997). Makanan tertentu seperti makanan cepat saji (fast food),
makanan kemasan, makanan kalengan juga berpotensi meninggalkan racun dalam
tubuh karena kandungan lemak, pengawet serta sumber radikal bebas (Sibuea,
2004).
Tubuh memerlukan antioksidan yang dapat membantu melindungi tubuh
dari serangan radikal bebas dengan meredam dampak negatif senyawa ini.
Vitamin C dan vitamin E telah digunakan secara luas sebagai antioksidan karena
lebih aman dan efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan dengan
antioksidan sintetik. Antioksidan sintetik seperti BHA (butil hidroksi anisol) dan
BHT (butil hidroksi toluen) memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi
dibandingkan vitamin C dan vitamin E (Han et al., 2004) tetapi antioksidan
sintetik ini dapat menimbulkan karsinogenesis (Kikuzaki et al., 2002).
Antioksidan dari tumbuhan dapat menghalangi kerusakan oksidatif
melalui reaksi dengan radikal bebas, membentuk kelat dengan senyawa logam
katalitik, dan menangkap oksigen (Khlifi et al., 2005). Flavonoid adalah
komponen fenolik yang terdapat dalam buah-buahan, sayur-sayuran yang
bertindak sebagai penampung yang baik terhadap radikal hidroksil dan
superoksid, dengan melindungi lipid membran terhadap reaksi oksidasi yang
merusak (Lee et al, 2003). Tumbuhan cakar ayam, keladi tikus dan dewandaru
tumbuh liar di berbagai tempat sehingga ekonomis untuk dieksplorasi sebagai
antioksidan alami. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang akan mengungkap
potensi antiradikal dari tumbuhan cakar ayam, keladi tikus dan dewandaru.
Permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini apakah ekstrak
herba cakar ayam (Selaginella doederleinii Hieron), herba keladi tikus
(Typhonium divaricatum (L) Decne) dan daun dewandaru (Eugenia uniflora
Linn.) memiliki aktivitas antiradikal. Selanjutnya dilakukan penetapan kadar fenol
dalam ekstrak sampel uji untuk mengetahui hubungannya dengan aktivitas
antiradikal.
Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas antiradikal ekstrak herba
cakar ayam (Selaginella doederleinii Hieron), herba keladi tikus (Typhonium
divaricatum (L) Decne) dan daun dewandaru (Eugenia uniflora Linn.) penyari
kloroform, etil asetat dan etanol serta mengetahui hubungan kandungan fenol
terhadap aktivitas antiradikalnya. Hasil penelitian diharapkan dapat memperoleh
sumber antiradikal alami potensial yang berguna bagi upaya pencegahan penyakit
degeneratif yang berkaitan dari proses oksidasi.

METODE PENDEKATAN
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Waktu : November 2005 Mei 2006 (6 bulan)
Tempat penelitian : Lab. Fitokimia dan Laboratorium Kimia Analisis
Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

PKMP-2-18-3
Bahan
Herba cakar ayam (Selaginella deoderleinii Hieron, herba keladi tikus
(Typhonium divaricatum (L) Decne), daun dewandaru (Eugenia uniflora Linn.)
diambil dari BPTO Tawangmangu, alumunium foil, kertas saring, akuabidest
(Ikapharm), akuadest, DPPH (Sigma Co.), kloroform p.a (E. Merck ), etanol p.a
(E. Merck), etil asetat p.a (E. Merck), kloroform, etil asetat dan etanol derajat
teknis (Bratachem), vitamin E (Sigma Co.), asam galat p.a (E. Merck), Folin-
Ciocalteu p.a (E. Merck), dan natrium karbonat p.a (E. Merck).

Alat
Blender, ayakan, alat gelas, neraca analitik (A&D Co. Ltd.), corong
Buchner, tabung ependorf, vortex, mikropipet (Socorex), yellow dan blue tips,
stopwatch, spektrofotometer UV-Vis (Labomed Inc.), rotary evaporator (Kika-
werke).

Cara Kerja
a. Determinasi Tumbuhan
Determinasi dilakukan dengan mencocokkan keadaan morfologi tumbuhan
berdasarkan kunci-kunci determinasi di literatur untuk memastikan identitas
tumbuhan dan menghindari kesalahan dalam pengambilan tumbuhan.
b. Penyiapan bahan
Herba cakar ayam (Selaginella deoderleinii Hieron), herba keladi tikus
(Typhonium divaricatum (L) Decne) dan daun dewandaru (Eugenia uniflora
Linn.) dipetik segar, dicuci bersih dengan air mengalir, kemudian diangin-
anginkan hingga layu, setelah itu dikeringkan di bawah sinar matahari dengan
ditutup kain hitam.
c. Ekstraksi
Ekstrak sampel uji diperoleh melalui maserarsi berkesinambungan
menggunakan penyari kloroform, etil asetat dan etanol. Penyarian dilakukan
selama 5 hari untuk masing-masing penyari. Filtrat diperoleh melalui
penyaringan dengan corong Buchner dan diuapkan dengan rotary evaporator
hingga diperoleh ekstrak kental kloroform, etil asetat dan etanol.
d. Penentuan aktivitas antiradikal
Uji aktivitas penangkap radikal ekstrak sample uji penyari kloroform, etil
asetat, etanol dan vitamin E diukur dengan metode DPPH (Brand-Williams et
al., 1995 cit Rohman dan Riyanto, 2004).. Persiapan larutan yang akan diukur
sebagai berikut: 1,0 ml larutan pereaksi DPPH 0,4 mM ditempatkan dalam
labu takar 5,0 ml, kemudian ditambahkan sejumlah larutan stok sampel uji dan
etanol sampai tanda. Campuran kemudian divortek selama 30 detik dan
didiamkan selama operating time. Absorbansinya diukur pada
maks
terhadap
blangko. Blangko yang digunakan adalah sejumlah larutan stok sampel uji dan
etanol sampai volume 5,0 ml. Sebagai kontrol digunakan 1,0 ml DPPH dan
etanol sampai volume 5,0 ml.
e. Penetapan Kadar Fenol Total
Kadar fenol total dalam ekstrak diukur dengan menggunakan pereaksi
Folin-Ciocalteu (Lee et al., 2003). Sejumlah larutan sampel ditempatkan pada
labu takar 5,0 ml. Kemudian ditambahkan 0,1 ml Folin Cioucalteu dan 2,0 ml
akuabidest. Setelah dikocok dan didiamkan selama 5 menit, lalu ditambahkan

PKMP-2-18-4
2,0 ml Na
2
CO
3
7% dan akuabidest sampai tanda. Larutan divortex selama 30
detik, didiamkan selama operating time dan serapannya dibaca pada
maks.


Analisis Data
Penentuan aktivitas antiradikal dilakukan penghitungan nilai IC
50
yaitu nilai
yang menunjukkan besarnya konsentrasi sampel uji yang dapat menangkap
radikal bebas sebesar 50% melalui persamaan regresi linier.
Persen (%) antiradikal = % 100
) (
x
kontrol Abs
sampel Abs kontrol Abs

Kadar fenol total dalam ekstrak uji dihitung sebagai miligram asam galat per
gram ekstrak (GAE). Penetapan dilakukan dengan memasukkan data serapan
ekstrak pada konsentrasi tertentu ke dalam persamaan regresi linier kurva baku
asam galat (Y) sehingga dapat diketahui kadar fenol total (X).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Aktivitas Penangkapan Radikal DPPH
Serapan hasil reaksi antara ekstrak sampel uji dan DPPH diukur pada
panjang gelombang 515 nm dengan operating time 240 menit. Data hasil uji
aktivitas penangkap radikal vitamin E ditunjukkan dalam tabel (1).

Tabel 1. Aktivitas penangkap radikal vitamin E.

Senyawa
Uji
Konsentrasi
mg/ml
Abs

Abs
kontrol
%
Penangkap
radikal
Rerata%
penangkap
radikal
Persamaan

IC
50
(g/ml)
0,454 42,68
Vitamin E 1 0,457 42,30 42,72
0,450 43,30
0,409 48,36
2,50 0,411 48,11 48,53
0,403 49,12
0,355 55,18
5,0 0,359 0,792 54,67 55,22 3,11
0,350 55,81
Y=3,449x+39,
27
0,270 65,91
7,50 0,274 65,40 65,82
0,268 66,16
0,204 74,24
10,0 0,209 73,61 73,74
0,211 73,36


Data hasil uji aktivitas penangkap radikal ekstrak herba cakar ayam
ditunjukkan dalam tabel (2).








PKMP-2-18-5


Tabel 2. Aktivitas penangkap radikal ekstrak kloroform, etil asetat dan
etanol dari herba cakar ayam.

Senyawa Uji

Konsentrasi
mg/ml
Abs

Abs kontrol

%
Penangkap
radikal
Rerata%
penangkap
radikal
Persamaan

IC
50

(g/ml)
Ekstrak Etanol 0,453 29,33
cakar ayam 25 0,450 29,80 29,07
0,461 28,08
0,407 36,51
50 0,412 35,73 36,35
0,405 36,82
0,360 43,84
75 0,365 0,641 43,06 43,63 Y= 0,302X 95,26
0,359 43,99 + 21,23
0,314 51,01
100 0,315 50,86 51,22
0,309 51,79
0,217 66,15
150 0,211 67,08 66,87
0,209 67,39
Ekstrak Etil 0,455 29,02
Asetat 30 0,450 29,80 29,59
Cakar ayam 0,449 29,95
0,395 38,38
40 0,397 38,07 38,38
0,393 38,69
0,324 49,45
50 0,319 0,641 50,23 49,61 Y= 0,9652X 51,24
0,326 49,14 + 0,54
0,266 58,50
60 0,268 58,19 58,76
0,259 59,59
0,207 67,71
70 0,210 67,24 67,66
0,205 68,02
Ekstrak 0,465 27,46
Kloroform 25 0,461 28,08 27,41
cakar ayam 0,470 26,68
0,426 33,54
50 0,422 34,17 33,53
0,430 32,92
0,388 39,47
75 0,382 0,641 40,41 39,68 Y= 0,1947X 135,75
0,390 39,16 + 23,57
0,367 42,75
100 0,363 43,37 42,90
0,368 42,59
0,306 52,26
150 0,305 52,42 52,21
0,308 51,95




Data hasil uji aktivitas penangkap radikal ekstrak daun dewandaru ditunjukkan
dalam tabel (3).


PKMP-2-18-6

Tabel 3. Aktivitas penangkap radikal ekstrak kloroform, etil asetat dan
etanol dari daun dewandaru.

Senyawa Uji

Konsentrasi
mg/ml
Abs

Abs
kontrol
% Penangkap
radikal
Rerata%
penangkap
radikal
Persamaan

IC
50

(g/ml)
0,670 6,29 Ekstrak Etanol
Dewandaru 2,0 0,676 5,45 5,54
0,680 4,89
0,582 18,60
4,0 0,585 18,18 19,02
0,570 20,28
0,476 33,43
6,0 0,470 34,26 33,75
0,475 33,56 8,866
0,370 0,715 48,25
Y=6,006x-
3,2514
8,0 0,385 46,15 48,6
0,365 48,95
0,275 61,54
10,0 0,280 60,84 61,16
0,278 61,11
0,078 89,09
16,0 0,080 88,81 88,71
0,084 88,25
0,552 19,65
3,20 0,546 20,52 21,10
Ekstrak Etil
Asetat
Dewandaru 0,528 23,14
0,395 42,50
8,0 0,386 43,81 42,59
0,402 41,48
0,237 65,50
16,0 0,219 0,686 68,12 67,29 12,01
0,218 68,26
Y=2,5298x+19
,6134
0,127 81,51
24,0 0,128 81,37 81,51
0,126 81,66
0,023 96,65
32,0 0,028 95,92 96,06
0,030 95,63
0,754 8,81
16,0 0,740 9,42 8,32
Ekstrak
Kloroform
Dewandaru 0,762 6,73
0,683 16,40
24,0 0,697 14,68 15,54
0,690 15,54
0,622 23,86
32,0 0,598 0,817 26,80 25,33 53,30
0,610 25,33
Y=1,098x-
8,568
0,443 45,77
44,0 0,455 44,30 46,46
0,414 49,32
0,336 58,87
64,0 0,341 58,26 58,75
0,334 59,11


PKMP-2-18-7
Data hasil uji aktivitas penangkap radikal ekstrak herba cakar ayam
ditunjukkan dalam tabel (4).

Tabel 4. Aktivitas penangkap radikal ekstrak kloroform, etil asetat dan
etanol dari herba keladi tikus.

Senyawa Uji

Konsentrasi
mg/ml
Abs

Abs kontrol

%
Penangkap
radikal
Rerata%
penangkap
radikal
Persamaan

IC
50

(g/ml)
Ekstrak 0,708 16,51
Kloroform 80 0,716 15,56 15,99
Keladi Tikus 0,713 15,92
0,629 25,82
160 0,627 26,06 26,17
0,622 26,65
0,442 47,87
360 0,444 0,848 47,64 47,64 Y=0,1088x + 382,19
0,446 47,40 8.41
0,312 63,21
480 0,301 64,50 63,44
0,317 62,61
0,192 77,36
640 0,210 75,23 75,98
0,209 75,35
Ekstrak 0,715 8.,30
Etil Asetat 80 0,698 10,51 8,84
Keladi Tikus 0,720 7,69
0,612 21,54
160 0,613 21,41 21,20
0,619 20,64
0,475 0,848 39,10 Y=0,0854x + 516,73
360 0,460 41,03 41,50 5.8712
0,434 44,36
0,328 57,95
640 0,345 55,77 57,86
0,313 59,87
Ekstrak Etanol 0,751 26,08
Keladi Tikus 80 0,751 26,08 26,08
0,751 26,08
0,712 29,92
160 0,717 29,40 29,55
0,718 29,33
0,568 44,09
360 0,574 1,016 43,50 43,67 Y=0.0917x + 364,53
0.575 43,41 16,5727
0,395 61,12
480 0,374 63,19 62,50
0,374 63,19
0,255 74,90
640 0,250 75,39 75,06
0,255 74,90







PKMP-2-18-8
Berdasar data tersebut di atas maka nilai IC
50
sampel uji dan pembanding
vitamin E dapat digambarkan dalam histogram berikut ini.

3.11
8.87 12.01
53.3 51.24
95.26
135.75
364.53
382.19
516.73
0
100
200
300
400
500
600
I
C

5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 1. Histogram nilai IC50 ekstrak kloroform, etil asetat dan etanol
dari herba cakar ayam, herba keladi tikus dan daun dewandaru
dengan metode DPPH dan pembanding Vitamin E.

Keterangan:
VE : Vitamin E
ED : Ekstrak etanol daun dewandaru
EAD : Ekstrak etil asetat daun dewandaru
KD : Ekstrak kloroform daun dewandaru
EAC : Ekstrak etil asetat herba cakar ayam

EC : Ekstrak etanol herba cakar ayam
KC : Ekstrak kloroform herba cakar ayam
EK : Ekstrak etanol herba keladi tikus
KK : Ekstrak kloroform herba keladi tikus
EAK : Ekstrak etil asetat herba keladi tikus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai IC
50
ekstrak etanol daun
dewandaru paling kecil dibandingkan sampel uji lainnya. Hal ini berarti ekstrak
etanol daun dewandaru memerlukan konsentrasi yang paling kecil untuk
menangkap radikal sebanyak 50% dibandingkan sampel uji lainnya
. Dapat disimpulkan komponen aktif yang mampu menangkap atau
mereduksi radikal bebas yang terdapat pada ekstrak etanol daun dewandaru lebih
aktif atau lebih banyak daripada komponen aktif yang terdapat pada ekstrak
sampel uji lainnya.
Nilai IC
50
vitamin E masih lebih kecil dibanding dengan nilai IC
50
ekstrak
sampel uji. Hal ini menunjukkan vitamin E masih merupakan penangkap radikal
yang paling baik karena vitamin E merupakan senyawa yang sudah murni
sedangkan ekstrak uji tersebut masih dalam bentuk campuran dari beberapa
senyawa.

Penetapan Kadar Fenol Total
Pada penetapan kadar fenol total, sampel uji direaksikan dengan Folin-
Ciocalteu dalam suasana alkalis kemudian dibaca pada 705 nm setelah
didiamkan selama 60 menit. Sebagai standar digunakan asam galat yang
merupakan senyawa fenolik dan dikenal sebagai antioksidan yang kuat.
Kurva baku asam galat ditetapkan dengan menggunakan persamaan regresi
linier, yang menyatakan hubungan antara konsentrasi asam galat yang dinyatakan
sebagai X dengan besarnya serapan hasil reaksi asam galat dengan pereaksi Folin-
Ciocalteu yang dinyatakan sebagai Y dari seri replikasi pengukuran. Data
penetapan kurva baku asam galat ditunjukkan dalam tabel (5).
VE ED EAD KD EAC EC KC EK KK EAK

PKMP-2-18-9
Tabel 5. Data penetapan kurva baku asam galat

Kadar asam galat (g/ml) Absorbansi sampel Rerata Absorbansi (SD)
0,713
4,8 0,720 0,718 (0,004)
0,721
0,834
5,6 0,849 0,845 (0,006)
0,851
0,911
6,4 0,920 0,918 (0,009)
0,922
1,030
7,2 1,025 1,030 (0,005)
1,035
1,140
8 1,141 1,142 (0,003)
1,145
Persaman regresi linier :Y = 0,129X + 0,1042 r
2
= 0,9949

Reaksi yang terjadi adalah reaksi redoks, di mana senyawa fenolik
mereduksi fosfomolibdat fosfotungstat dalam Folin-Cioucalteu membentuk
molibdenum yang berwarna biru. Kadar fenol total dalam sampel uji dinyatakan
dalam miligram asam galat per gram ekstrak (GAE). Besarnya kadar fenol total
dalam tiap sampel uji ditunjukkan dalam tabel (6) berikut ini:

Tabel 6. Kadar fenol total dalam ekstrak kloroform, etil asetat dan etanol
dari herba cakar ayam, herba keladi tikus dan daun dewandaru
dihitung sebagai asam galat (GAE)

Jenis ekstrak
Kadar ekstrak
(g/ml)
Abs
sampel
GAE
(mg/g ekstrak)
Rerata GAE
(mg/g ekstrak)
Ekstrak kloroform 1,087 9,52
herba cakar ayam 800 1,079 9,45 9,48
1,082 9,47
Ekstrak etanol 0,838 28,44
herba cakar ayam 200 0,864 28,75 28,49
0,834 28,29
Ekstrak etil asetat 1,065 37,24
herba cakar ayam 200 1,062 37,12 37,06
1,054 36,81
Ekstrak kloroform 0,718 9,92
herba keladi tikus 480 0,708 9,75 9,58
0,665 9,06
Ekstrak etanol 0,944 13,56
herba keladi tikus 480 0,942 13,53 13,15
0,870 12,37
Ekstrak etil asetat 0,883 3,77
herba keladi tikus 1600 0,818 3,46 3,61
0,846 3,59
Ekstrak kloroform 0,959 11,04
daun dewandaru 600 0,943 10.84 10,97
0,959 11,04
Ekstrak etanol 0,898 102,56
daun dewandaru 60 0,911 104,24 105,83
0,961 110,70
Ekstrak etil asetat 0,878 33,32
daun dewandaru 180 0,890 33,84 33,78
0,898 34,19

PKMP-2-18-10
Berdasar data pada tabel (6) di atas terlihat ekstrak yang memiliki
kandungan senyawa fenolik tertinggi adalah ekstrak etanol daun dewandaru.
Hubungan antara kadar fenol total dalam sampel uji dengan kemampuan
penangkapan radikal (IC
50
) dengan menggunakan persamaan regresi linier
ditunjukkan dengan nilai r
2
yang ditunjukkan dalam tabel (7) berikut ini:

Tabel 7. Hubungan kadar fenol total dalam ekstrak kloroform, etil asetat
dan etanol dari herba cakar ayam, herba keladi tikus dan daun
dewandaru dihitung sebagai asam galat (GAE) dengan nilai IC
50


Sampel uji

IC
50
(g/ml)


GAE
(mg/g ekstrak)
r
2

Herba cakar ayam
ekstrak kloroform 135,75 9,48
ekstrak etanol 95,26 28,49 0,94
ekstrak etil asetat 51,24 37,06
Herba keladi tikus
ekstrak kloroform 382,19 9,58
ekstrak etanol 364,53 13,15 0,93
ekstrak etil asetat 516,73 3,61
Daun dewandaru
ekstrak kloroform 53,30 10,97
ekstrak etanol 8,87 105,83 0,53
ekstrak etil asetat 12,01 33,78

Berdasar data dalam tabel (7) aktivitas penangkapan radikal dalam ekstrak
uji berkorelasi dengan kadar fenol total dalam ekstrak. Semakin tinggi kandungan
fenol total dalam ekstrak sampel uji semakin tinggi pula aktivitas penangkapan
radikal yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya nilai IC
50.
Sebesar 94%
aktivitas penangkap radikal dalam ekstrak herba cakar ayam disumbangkan oleh
senyawa fenolik, dalam ekstrak keladi tikus senyawa fenolik menyumbangkan
93% dalam aktivitas antiradikal, sedangkan dalam ekstrak daun dewandaru 53%
aktivitas antiradikal disumbangkan oleh senyawa fenolik. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Javanmardi et al. (2003) yang menyatakan 71% aktivitas
antiradikal ekstrak Ocimum basilicum penyari metanol disumbangkan oleh
senyawa fenolik. Hasil penelitian Lee et al. (2003) juga menyatakan 98% aktivitas
antiradikal dari teh hitam, teh hijau, minuman anggur merah dan coklat
disumbangkan oleh senyawa fenolik.

KESIMPULAN
1. Ekstrak kloroform, etil asetat dan etanol herba cakar ayam, herba keladi
tikus dan daun dewandaru menunjukkan aktivitas penangkap radikal.
2. Nilai IC
50
ekstrak herba cakar ayam dalam pelarut kloroform, etil asetat, dan
etanol berturut-turut adalah 135,75 g/ml, 51,24 g/ml, 95,26 g/ml. IC
50

ekstrak daun dewandaru dalam pelarut kloroform, etil asetat, dan etanol
berturut-turut adalah 53,3 g/ml, 12,01 g/ml, 8,87 g/ml. Sedangkan IC
50
ekstrak herba keladi tikus dalam pelarut kloroform, etil asetat, dan etanol
berturut-turut adalah 382,19 g/ml, 516,73 g/ml, 364,53 g/ml.


PKMP-2-18-11
3. Kadar fenol total (GAE) dalam ekstrak sampel uji berkorelasi tinggi dengan
aktivitas penangkapan radikal. Kadar fenol total dalam ekstrak herba cakar
ayam menyumbangkan 94%, ekstrak herba keladi tikus sebesar 93% dan
ekstrak daun dewandaru sebesar 53% terhadap aktivitas penangkap radikal.

DAFTAR PUSTAKA
Brand-Williams, W., Cuvelier, M.E., Berset, C., 1995, Use of Free Radical
Method to Evaluate Antioxidant Activity, cit. Rohman, A., Riyanto, S.,
2004, Aktivitas Antioksidan dan Antiradikal Buah Mengkudu (Morinda
citrifolia L.), Laporan Penelitian MAK, Fakultas Farmasi UGM,
Yogyakarta.
Desmarchelier, C., Coussio, J., and Ciccia, G., 1998, Antioxidant and Free
Radical Scavenging Effects in Extracts of the Medicinal Herb
Achyrocline satureioides (Lam.) DC. (marcela), Braz J Med Biol Res,
31(9), 1163-1170.
Desmarchelier, C., Mongelli, E., Coussio, J., and Ciccia, G., 1997, Inhibition of
Lipid Peroxidation and Iron (II)-Dependent DNA Damage by Extracts of
Pothomorphe petalta (L.) Miq., Braz J Med Biol Res, 30 (1), 85-91.
Han, S.S., Lo, S.C., Choi, Y.W., Kim, J.H., and Baek, S.H., 2004, Antioxidant
Activity of Crude Extract and Pure Compounds of Acer ginnala Max.,
Bull. Korean Chem. Soc., Vol. 25, No. 3 389.
Javanmardi, J., Stushnoff, C., Locke, E., and Vivanco, J.M., 2003, Antioxidant
Activity and Total Phenolic Content of Iranian Ocimum Accessions, J.
Food Chem., 83, 547-550.
Karyadi, Elvina, 1997, Antioksidan: Resep Awet Muda dan Umur Panjang
(Online), (http://www.kompas.com/kompascetak/fokus.htm diakses 17
Maret 2004).
Khlifi, S., Hachimi, Y., Khalil, A., Essafi, N., and Abboyi, A., 2005, In Vitro
Antioxidant Effect of Globularia alypum L. Hydromethanolic Extract,
Indian Journal of Pharmacology.
Kikuzaki, H., Hisamoto, M., Hirose, K., Akiyama, K., and Taniguchi, H., 2002,
Antioxidant Properties of Ferulic Acid and Its Related Compounds, J.
Agric. Food Chem., 50, 2161-2168.
Lee, K.I., Kim, Y.J., Lee, H.J., and Lee, C.H., 2003, Cocoa Has More Phenolic
Phytochemical and Higher Antioxidant Capacity than Teas and Red
Wine, J. Agric. Food Chem., 51, 7292-7295.
Sibuea, Posman, 2004, Antioksidan: Senyawa Ajaib Penangkal Penuaan Dini
(Online), (http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan.htm diakses 17
Maret 2004).
Steenis, Van C.G.G.J, 1975, Flora: Untuk Sekolah di Indonesia, Paradnya
paramita, Jakarta.


PKMP-2-19-1
POLA INTERAKSI SOSIAL ANTAR UMAT BERAGAMA
(STUDI KASUS TENTANG POLA INTERAKSI ANTAR UMAT
BERAGAMA DI WONOSALAM JMBANG JAWA TIMUR)

Fuad Amrulloh, Fajar Agung Adiyanto, Eko Hari Hidayat
Universitas Bhayangkara, Surabaya

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-2-20-1
STUDI KASUS TRI GER FACTOR (BOTTOM LI NE) SEBAGAI
KEINGINAN MENCARI MAKNA (WI LL TO MEANI NG) PADA
PENDERITA KETERGANTUNGAN NAPZA YANG PULIH

E Nizwarudin, Gratia L Tobing, Andhitia Rama, Andry Yuan, Ira D Maharani
Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran, Bandung

ABSTRAK
Masalah narkotika dan penyalah gunaan obat adalah masalah yang sangat rumit
dan pelik, yang memerlukan adanya pemecahan atau jalan keluar segera.
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa jumlah pemakai NAPZA semakin
tahun semakin meningkat dan terjadi penumpukan pasien di rumah sakit atau
keluar masuk rumah sakit. Jumlah orang-orang yang ketergantungan NAPZA
meningkat dapat disebabkan karena adanya ketersediaan dari NAPZA tersebut di
lingkungan yang membuat seseorang menjadi sulit untuk lepas, faktor lain yang
juga berpengaruh adalah keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Penderita
ketergantungan NAPZA pada umumnya untuk menjadi sembuh membutuhkan
waktu yang relatif panjang dan disertai dengan pergulatan dan perjuangan yang
besar. Dalam pergulatan tersebut dibutuhkan suatu lompatan dari kondisi
ketergantungan menjadi pulih. Para penderita yang mengalami lompatan
tersebut menyebutnya sebagai trigger factor (bottomline), suatu kondisi yang
membuat penderita ketergantungan NAPZA merasa cukup dan beralih untuk pulih
walaupun hasrat untuk pulih sama halnya dengan keinginan untuk mengkonsumsi
kembali NAPZA.

Kata kunci:

PENDAHULUAN
Beberapa tahun belakangan ini melalui berbagai macam media massa
seperti surat kabar, radio, televisi, dan juga iklan di layar bioskop bahkan poster-
poster di jalan terbaca peringatan-peringatan mengenai bahaya narkotika.
Peringatan-peringatan ini tentu mempunyai sebab tertentu. Kenyataannya
memang demikian, bahwa pada waktu belakangan ini terlihat adanya suatu
peningkatan yang besar dalam penyalahgunaan narkotika dan obat-obat keras lain.
Ketergantungan pada narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA)
adalah merupakan suatu fenomena yang berkembang secara cepat di negara-
negara yang sedang berkembang dan telah disadari sepenuhnya oleh pemerintah
dari negara-negara tersebut, dan telah ditentukan pula bahwa masalah tersebut
merupakan suatu masalah yang besar.
Walaupun demikian tidak satu negara pun mengetahui dengan tepat
jumlah dari mereka itu. Ada yang mengatakan bahwa orang yang ketergantungan
NAPZA adalah orang-orang golongan sosio ekonomi rendah (misalnya di
Amerika, khususnya pada kelompok Negro). Tetapi, di negara-negara
berkembang dimana terdapat banyak sekali golongan ekonomi yang lemah,
ternyata secara relatif hanya sedikit saja yang mengalami ketergantungan pada
NAPZA tersebut. Saat ini NAPZA telah meluas ke seluruh dunia dan dikonsumsi
oleh berbagai kalangan, terutama remaja, terutama di Amerika Serikat dan
Afrika. Kedua benua ini lebih banyak mengkonsumsi marijuana. Diperkirakan

PKMP-2-20-2
terdapat 200 juta pemakai marijuana hingga tahun 1977 (Kisker, 1977), dan angka
tersebut diperkirakan akan meningkat dua kali pada abad ke-21. Sedangkan di
Indonesia saat ini diperkirakan sudah ada empat juta pengguna NAPZA
(Republika, 22-5-2001). Media tersebut juga mengutip pernyataan Ketua Umum
Granat (Gerakan Anti Narkotika) Henry Yosodinigrat bahwa omzet narkoba di
Indonesia saat ini berjumlah 24 triliun rupiah per bulan
(www.DEPDIKNAS.GO.iD). Pada bulan Februari tahun 2002, laporan dari
Melbourne's Macfarlane Burnet Institute for Medical Research and Public Health
mengestimasikan bahwa terdapat antara 1.3 juta sampai 2 juta pengguna NAPZA
di Indonesia, dengan lebih dari satu juta menggunakan suntikan. Beberapa
estimasi lokal memperkirakan jumlah pengguna obat sekitar empat jutaan-sekitar
satu dari 50 orang Indonesia (theage.com.au).
Dampak Penyalahgunaan NAPZA dapat meliputi dampak fisik, psikologis,
dan sosial. Dampak fisik bisa berupa, gagal ginjal, perlemakan ataupun
pengkerutan hati, kanker hati,radang paru-paru, radang selaput paru, rentan
terhdap berbagai penyakit hepatitis B, C , dan HIV/AIDS, bahkan menyebabkan
kematian. Sedangkan dampak psikologis seperti : emosi tidak terkendali, curiga
berlebihan sampai pada tingkat waham (tidak sejalan antara pikiran dengan
kenyataan), dan sebagainya. Sedangkan dampak sosial seperti hubungan dengan
keluarga, guru, dan teman serta lingkungannya terganggu, mengganggu ketertiban
umum, tidak peduli dengan norma dan nilai yang ada, dan berbagai dampak sosial
lainnya.
Masalah ini juga menimbulkan kerugian jutaan dolar terhadap dunia bisnis
dan industri dan berdampak sangat buruk di tempat kerja. Sekitar 73%
penyalahguna narkotik di AS tidak bekerja6,7 juta orang bekerja penuh dan 1,6
juta adalah pekerja paruh waktu. Demikian menurut Survei Penyalahgunaan
Narkotik Rumah Tangga yang dilakukan SAMHSA. Hilangnya produktivitas,
tingginya tingkat pergantian karyawan, rendahnya semangat kerja, kesalahan dan
kecelakaan kerja, dan meningkatnya penggantian asuransi dan premi asuransi,
semua adalah akibat masalah penyalahgunaan narkotik di tempat kerja yang tidak
ditangani. Dampak penyalahgunaan narkotik tidak cuma diukur dari
produktivitas kerja yang hilang, tapi juga dapat diukur dari kerusakan taraf
kehidupan dan perpecahan keluarga, kata Administrator SAMHSA, Nelba
Chavez, Ph.D (http://www.samsha.gov/csat, http://www.health.org/recovery99).
Penanggulangan terhadap masalah ketergantungan NAPZA telah banyak
dilakukan dengan berbagai macam cara baik dari pemerintah maupun dari badan-
badan swasta yang menaruh minat pada masalah ini. Para peneliti telah
menawarkan berbagai cara untuk lepas dari ketergantungan bagi para pecandu,
misalnya dengan yoga, diet, akupuntur, LSD, methadone, obat yang mengambat
reseptor neurotranmitor, 12-step programs, konseling, teknik untuk mencegah
kembalinya perilaku memakai obat, cognitive awareness programs, pendekatan
behavioris, agama, pendekatan humanistik dan berbagai bentuk dari self-help
groups. Namun hasilnya belum juga memenuhi harapan. Prof. Dr. Kusumanto
Setyonegoro mengatakan bahwa masalah ketergantungan NAPZA adalah
persoalan kompleks.
Neuroscientist menemukan bahwa sebagian orang tampak dipengaruhi
oleh ketergantungannya dan kemudian meneruskan penggunaan obat
mengarahkan pada perubahan struktural dan kimiawi pada otak (Kalat, 2001;

PKMP-2-20-3
Niehoff, 1999). Penulis abad ke-19, Charles Baudelaire (1860/1996) menyamakan
pengalaman yang didapat ketika berada dalam pengaruh NAPZA dengan
pengalaman religius, sedangkan DSM-IV-TR (2000) American Psychiatric
Association menggambarkan hal tersebut sebagai pola maladaptive perilaku
yang dpelajari (dikutip dari Thompson, 2004, h.2).
Psikolog, Stanton Peele (2000) menekankan bahwa ketergantungan secara
sederhana merupakan suatu kebiasaan buruk, dan pendapat lain yang menyatakan
hal tersebut sebagai suatu penyakit merupakan hal yang keliru. Di lain pihak,
American Society of Addiction Medicine (2001) meyakinkan bahwa
ketergantungan merupakan suatu epidemoligi disorder, sama halnya dengan
diabetes dan penyakit kronis lainnya (dikutip dari Thompson, 2004, h.2).
Berdasarkan data mengenai penanganan ketergantungan obat di Rumah
Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, tentang kunjungan rawat jalan dan
rawat inap periode 1999-2002, menyatakan bahwa tiap tahunnya terjadi
peningkatan pada jumlah pasien lama. Dengan perkataan lain, sangatlah tidak
mudah bagi seorang pengguna NAPZA untuk pulih dari ketergantungannya.
Data yang sama peneliti peroleh dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda
Aceh. Terhitung 1 Januari-30 Juni 2001, RSJ Banda Aceh sudah menangani
sebanyak 88 kasus. Dari jumlah itu, yang sempat diopname sebanyak 32 pasien.
Sedangkan 56 kasus lain hanya berobat jalan, artinya gejalanya belum perlu
ditangani melalui opname. Pasien yang masuk RSJP Banda Aceh sering juga
berulang-ulang. Ketika keadaan pasien sudah agak membaik, lalu dipulangkan.
Pasien akan kembali ketika nanti timbul lagi gejala. Jumlah pasien yang betul-
betul baru sebanyak 30 orang dan 58 kasus lagi merupakan pasien lama.
Statistik juga menunjukan bahwa sangatlah susah bagi penderita untuk
lepas dari ketergantungan NAPZA. Mendapatkan kebenaran atau kesamaan
mendasar dari teori dan treatment di atas khususnya sangat sulit. Terdapat
perbedaan pandangan antara orang yang mengalami ketergantungan dengan pihak
yang tidak mengalami ketergantungan (outsider). Pihak outsider memiliki
pandangan yang lebih linear, logika sebab-akibat terhadap gejala ketergantungan;
sedangkan insider lebih memperlihatkan sisi pegalaman, cerita ekspresif. Titik
berat pandangan outsider ialah reduksi biologis, isu moralitas, ketergantungan
secara fisik, coping skill yang maladaptive, rendahnya motivasi, penarikan diri,
dan pelarian diri. Sedangkan titik berat pandangan insider terletak pada
spiritualitas, makna, ketakutan, kesepian, kebosanan, dan perjuangan eksistensial
lainnya.
Kesulitan pasien untuk pulih sebagaimana terlihat dari data yang
dikemukakan di atas menunjukkan perjuangan besar sebagaimana yang
dikemukakan oleh Thompson sebagai berikut:
Tillich (1952) reminded us that it takes courage to be. The fighting human
spirit struggles to live life fully; it has a never say die attitude. But the
struggle is often overwhelming. The person may give up responsibility and
turn to materialism or follow a path that he or she thinks is approved by
society, even though it may be personally unsatisfying. Such a solution leads
to an inauthentic life and neurotic anxiety. Other times, the person may
retreat into anger, depression, or addiction (dikutip dari Thompson, 2004,
h.25).

PKMP-2-20-4
Oleh karena itu pengalaman orang yang pulih dari ketergantungan diperlukan
sebagai cerminan keberhasilan manusia dalam mengatasi permasalahan dan
penderitaan dalam berbagai situasi.
Keluar masuk program terapi seperti yang dikemukakan di atas merupakan
cerita yang biasa dalam perjalanan penderita mengatasi ketergantungannya. Dari
sekian banyak pengalaman penderita yang pulih, peneliti menemukan bahwa para
penderita yang pulih itu mengalami suatu peristiwa yang membuat mereka merasa
cukup akan ketergantungannya. Peristiwa ini yang oleh para penderita disebut
sebagai trigger factor (bottomline). Berdasarkan data beberapa testimoni
pengguna NAPZA diketahui bahwa orang-orang yang ketergantungan NAPZA
tersebut merasakan cukup untuk menggunakan NAPZA setelah mengalami
peristiwa-peristiwa tertentu. Peristiwa-peristiwa tersebut, dengan perkataan lain
trigger factor, bervariasi antara penderita yang satu dengan penderita yang lain
dan bersifat khas. Berdasarkan data testimoni dari beberapa sumber. peristiwa-
peristiwa yang melatarbelakangi penderita ketergantungan NAPZA (trigger
factor) dapat dikarenakan wanita yang menjadi pacar penderita, anak, mencuri
uang teman.paculih disebabkan oleh keluarganya (istri dan anak), teman, pacar.
Dalam fenomena trigger factor (bottomline) sebagaimana diungkapkan
di atas, peristiwa yang memicu bagi penderita untuk mengakhiri
ketergantungannya pada NAPZA berlainan antara satu penderita dengan
penderita yang lain. Peristiwa pemicu tersebut tampak seperti peristiwa biasa yang
dialami penderita sampai pada akhirnya mengalami lompatan untuk merasa
cukup akan ketergantungannya, sehingga peristiwa tersebut memiliki nilai atau
makna khusus yang menggugah penderita untuk menjadi pulih. Peritiwa pemicu
tersebut sulit dibedakan dengan peristiwa lain dalam rentang kehidupan penderita
selama masih mengalami ketergantungan NAPZA, akan tetapi hal tersebutlah
(dalam berbagai penuturan para penderita yang dapat lepas dari ketergantungan
NAPZA) yang dapat membuat para penderita pulih dari NAPZA.
Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan diatas peneliti tertarik untuk
melihat ada apa di balik fenomena tersebut sehingga penderita sungguh-sungguh
ingin mengakhiri ketergantungannya? Dan bagaimana proses yang mendasari
tercapainya trigger factor tersebut?. Oleh karena itu peneliti mengharapkan,
dengan ditemukannya proses di balik trigger factor tersebut, pemahaman terhadap
penderita ketergantungan NAPZA menjadi bertambah, lebih jauh lagi diharapkan
dengan adanya pemahaman tersebut dapat membantu dalam proses penyembuhan
pasien penderita ketergantungan NAPZA.
Masalah narkotika dan penyalah gunaan obat adalah masalah yang sangat
rumit dan pelik, yang memerlukan adanya pemecahan atau jalan keluar segera.
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa jumlah pemakai NAPZA semakin
tahun semakin meningkat dan terjadi penumpukan pasien di rumah sakit atau
keluar masuk rumah sakit. Jumlah orang-orang yang ketergantungan NAPZA
meningkat dapat disebabkan karena adanya ketersediaan dari NAPZA tersebut di
lingkungan yang membuat seseorang menjadi sulit untuk lepas, faktor lain yang
juga berpengaruh adalah keluarga, teman dan masyarakat sekitar.
Penderita ketergantungan NAPZA pada umumnya untuk menjadi sembuh
membutuhkan waktu yang relatif panjang dan disertai dengan pergulatan dan
perjuangan yang besar. Dalam pergulatan tersebut dibutuhkan suatu lompatan
dari kondisi ketergantungan menjadi pulih. Para penderita yang mengalami

PKMP-2-20-5
lompatan tersebut menyebutnya sebagai trigger factor (bottomline), suatu
kondisi yang membuat penderita ketergantungan NAPZA merasa cukup dan
beralih untuk pulih walaupun hasrat untuk pulih sama halnya dengan keinginan
untuk mengkonsumsi kembali NAPZA.
Berkenaan dengan kondisi demikian, timbullah pertanyaan:
Apakah makna trigger factor bagi pemulihan penderita ketergantungan NAPZA?
Bagaimana proses terjadinya trigger factor pada penderita ketergantungan
NAPZA yang pulih?
Sejalan dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
dari kegiatan PKMP ini adalah untuk memperoleh data empirik dari studi kasus
fenomena trigger factor (Bottom Line) pada penderita ketergantungan NAPZA
yang pulih dengan perumusan sebagai berikut:
1. memahami dinamika, proses, dan karakteristik kasus trigger factor pada
penderita ketergantungan NAPZA yang pulih sehingga dapat diidentifikasi
secara jelas, utuh, dan memahami sifat dasar (nature) dari kasus ini
2. memahami kasus trigger factor berdasarkan pada natural setting sehingga
dapat dipahami penghayatan dan pemaknaan para penderita
ketergantungan NAPZA ketika mengalami trigger factor yang dapat
membuat mereka pulih
Kegunaan teoritis:
Memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang psikologi
khususnya psikologi klinis dan konseling.
Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
Kegunaan praktis:
Sebagai bahan masukan bagi para terapis dalam memberikan terapi
untuk proses pemulihan orang-orang yang ketergantungan obat.
Memberikan pemahaman mengenai makna trigger factor (Bottom
Line) pada penderita ketergantungan NAPZA yang pulih.


METODE PENDEKATAN
Kualitatif
ex post facto, yang berarti data-data dikumpulkan setelah kajadian yang
diteliti selesai berlangsung dan memang telah ada sebelum penelitian
dilakukan, bukan merupakan hasil dari perlakuan peneliti (Moh. Nazir,
1988:69).
Studi kasus digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang utuh,
mendalam, kontekstual, dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai
fakta dan dimensi dari kasus yang diteliti (Poerwandari, 2001).
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan digunakan interview (semi
terstruktur) yang hasilnya akan dicatat secara verbatim dan observasi
ketika proses pengambilan data (melalui interview)
Teknik sampling yang digunakan ialah purposive sampling, dimana
sampel yang dipilih sudah ditentukan kategorinya sesuai dengan tujuan
penelitian dan karakteristik populasi.
Teknik pengolahan data: Data yang dicatat secara verbatim, baik dari hasil
wawancara maupun verbatim akan dicoding dan dikategorisasi dengan
tahapan open coding, axial coding, dan selective coding (Corbin, 1990

PKMP-2-20-6

Panduan Interview

Defenisi Konseptual dan Defenisi Operasional.
Defenisi Konseptual:
Makna hidup adalah nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi
seseorang yang dapat berfungsi sebagai tujuan hidup yang bisa dipenuhi dan
pengarah kegiatan-kegiatan.
Defenisi Operasional:
Makna hidup adalah interview dan observasi mengenai nilai-nilai penting dan
sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang dapat berfungsi sebagai
tujuan hidup yang bisa dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatan pada penderita
ketergantungan NAPZA.

Alat Ukur
Alat ukur yang akan digunakan diturunkan melalui lima tahapan berikut.
Dalam proses penghayatan hidup tak bermakna menjadi lebih bermakna dapat
digambarkan tahapan pengalaman tertentu. Hal ini hanya merupakan konstruksi
teoritis yang dalam realita sebenarnya tidak selalu mengikuti urutan tersebut.
Kelima tahap tersebut adalah
1. Tahap derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna).
2. Tahap penerimaan diri (pemahaman diri, pengubahan sikap).
3. Tahap penemuan makna (penemuan makna dan penentuan tujuan hidup).
4. Tahap realisasi makna (keterikatan diri, kegiatan terarah untuk pemenuhan
makna hidup).
5. Tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagiaan).

Berikut blueprint penurunan alat ukur mulai dari variabel sampai dengan
indikator.

Variabel Dimensi Indikator
Pengalaman-pengalaman tragis atau
pengalaman-pengalaman yang dianggap
responden sebagai pengalaman yang
menyedihkan.

Kegiatan-kegiatan, pemikiran-pemikiran
yang dilakukan oleh responden tanpa
memiliki tujuan melakukan kegiatan
tersebut untuk dirinya sendiri atau kegiatan
tanpa penghayatan makna.

Makna hidup Tahap derita
Masa dimana responden tidak memiliki
tujuan yang ingin dicapainya dalam hidup.


PKMP-2-20-7
Masa dimana responden memahami
dirinya dalam arti menerima apa yang
responden miliki dan tidak dimiliki.

Cara-cara yang dilakukan responden dalam
memahami dirinya dalam arti menerima
apa yang responden miliki dan tidak
dimiliki.

Proses yang dialami responden dalam
memahami dirinya dalam arti menerima
apa yang responden miliki dan tidak
dimiliki.

Tahap
penerimaan diri
Responden mengubah sikap sesuai dengan
apa yang dipahaminya tentang dirinya
sendiri.

Responden menemukan dan menentukan
apa yang menjadi tujuannya dalam hidup.

Pemikiran-pemikiran responden yang
dirasakannya memiliki makna atau tujuan
untuk dirinya sendiri, dengan kata lain
penghayatan makna.

Tahap penemuan
makna
Masa dimana responden memiliki
pemikiran tentang tujuan hidupnya.

Masa dimana responden memiliki
keterikatan (komitmen) dengan tujuan
hidupnya


Responden memiliki keterikatan
(komitmen) dengan tujuan hidupnya.

Tahap Realisasi
Makna
Responden memiliki dan melakukan
kegiatan-kegiatan yang terarah untuk
pemenuhan makna hidupnya.


Tahap kehidupan
bermakna
Masa dimana responden melakukan
kegiatan-kegiatan yang dirasakan sesuai
dengan tujuan hidupnya atau kegiatan
dengan penghayatan makna.


PKMP-2-20-8
Responden melakukan kegiatan-kegiatan
yang dirasakan sesuai dengan tujuan
hidupnya atau kegiatan dengan
penghayatan makna.


Responden menilai hidupnya bahagia
sesuai dengan starndard atau ukuran yang
dimiliki responden sendiri.


Prosedur Analisa data
Data mentah hasil interview dicatat secara verbatim
Data hasil verbatim kemudian di-coding:
Open Coding: Data diturunkan, diperiksa, dibandingkan,
dikonseptualisasi, dan dikategorikan. Konseptualisasi dan kategorisasi
diturunkan dengan konsep dan kategori yang terdapat pada alat ukur
Axial Coding: Data hasil open coding dirangkum dalam bentuk baru.
Kemudian, konsep dan kategori yang telah dibuat dikaitkan satu sama lain
sesuai dengan kondisi yang terjadi pada fenomena dan dengan teori yang
diambil
Selective Coding: data yang telah dikategorikan dan dikonseptualisasi
disleksi untuk dikelompokkan pada kategori utama (dimensi) lalu secara
sistematis dikaitkan dengan kategori-kategori yang lain (dimensi lain).
Pada tahap ini terdapat juga proses validasi dari hubungan antara kategori
yang menjelaskan variabel yang mungkin menambahkan perbaikan dan
pengembangan lebih lanjut

Hasil Axial Coding ditempatkan dalam bentuk matrix
Jika diperlukan, setelah pembahasan data secara keseluruhan dari data primer,
akan ada data tambahan yang diperoleh dari ahli


DAFTAR PUSTAKA

(1) Frankl, Victor E. Logoterapi : Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan
Ekstensial. Terj. M. Murtadlo. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta;
2003
(2) De Klerk, J.J. Motivation to Work, Work Commitment, and Mans Will to
Meaning. United States: University of Pretoria; 2001
(3) Ogden, Jane. Health Psychology. United State: Open University Press;1996
Thompson, Geoff A Psychobiography of Eugene ONeills Recovery from
Alcoholism. Langley, BC: Trinity Western University; 2004
(4) www.DEPDIKNAS.go.id, 20 September 2005
(5) www.health.org/recovery99, 18 September 2005
(6) www.samsha.gov/csat, 18 September 2005
(7) www.theage.com.au, 19 September 2005


PKMP-2-21-1
PEMANFAATAN BENTONIT SEBAGAI KATALIS PADAT
DALAM OPTIMALISASI DAN EFISIENSI SINTESIS -TOKOFEROL
(VITAMIN E)

Ucik Ayudianingsih, Khairun Nisa K, A Swandaru, M Yuni R, Nanik Fauziah
PS Kimia Fakultas MIPA, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
-tokoferol dikenal sebagai salah satu vitamin E yang mempunyai aktivitas
antioksidan. Sintesis senyawa dengan struktur cincin kroman ini merupakan
reaksi kondensasi hidrokuinon dan suatu alilik alkohol menggunakan AlCl
3
, BF
3
,
dan ZnCl
2
sebagai katalis asam Lewis. Penggunaan katalis tersebut memiliki
kelemahan yaitu harganya mahal, mengalami deaktivasi karena terikatnya
molekul-molekul air selama reaksi berlangsung sehingga tidak dapat dipakai
ulang, dan pemisahan katalis dari produk reaksi sulit dilakukan atau memerlukan
bahan kimia tambahan. Untuk mengatasi hal tersebut, Al-bentonit digunakan
sebagai katalis yang bersifat asam Lewis yang diperoleh dari reaksi pertukaran
ion (kation Al
3+
dipertukarkan Ca
2+
dari bentonit). Al-bentonit dalam reaksi
kondensasi alkilasi-siklisasi Friedel Craft dari reaksi trimetil hidrokuinon dengan
isofitol mampu menghasilkan -tokoferol dengan rendemen yang tinggi. Proses
reaksi kondensasi sintesis -tokoferol dalam pelarut n-heksana dengan suhu 50
o
C
merupakan suhu optimum dalam menghasilkan -tokoferol.

Kata kunci : -tokoferol, bentonit, katalis

PENDAHULUAN
-tokoferol dikenal sebagai salah satu vitamin E yang mempunyai aktivitas
sebagai antioksidan. Senyawa ini mempunyai struktur inti kroman yang khas.
Sintesis senyawa dengan struktur cincin kroman merupakan reaksi kondensasi
hidrokuinon dengan suatu alilik alkohol. Reaksi kondensasi ini terjadi dengan
menggunakan AlCl
3
, BF
3
, dan ZnCl
2
sebagai katalis asam Lewis (Warren, 1981;
Thomas, 1989).
Kelemahan menggunakan katalis di atas, selain harganya mahal, setelah
penggunaan katalis-katalis mengalami deaktivasi karena terikatnya molekul-
molekul air yang terjadi selama reaksi berlangsung. Akibatnya katalis tersebut
tidak dapat dipakai ulang, walaupun sebenarnya masih ada (kurang efisien), hal
ini berarti secara komersial kurang menguntungkan. Di samping itu, pemisahan
katalis dari produk reaksi sulit dilakukan atau memerlukan bahan kimia tambahan.
Untuk mengatasi hal tersebut diharapkan katalis padat dapat mengganti katalis di
atas (Matos, 1987).
Akhir-akhir ini penggunaan katalis dalam pengembangan dan penelitian
sintesis organik, bahan katalis padat merupakan alternatif yang digunakan.
Keunggulan katalis padat dibandingkan dengan bahan anorganik diantaranya
harganya relatif murah, rendemen reaksinya tinggi, dapat dipakai berulang-ulang,
luas permukaannya yang luas, dan mudah dipisahkan dari produk hasil reaksi.
Salah satu bahan katalis padat yang digunakan adalah bentonit. Penggunaan
bentonit dalam sintesis organik selain sebagai katalis juga berfungsi sebagai

PKMP-2-21-2
penukar kation sehingga produk samping terikat kuat pada bentonit. Dengan
demikian produk yang terbentuk hasilnya optimal (Balogh, 1993; Laszlo, 1987).
Bentonit dengan kandungan utamanya monmorilonit merupakan lempung
dengan luas permukaan yang besar dan mempunyai struktur yang memungkinkan
terbentuknya situs bersifat asam Lewis. Bentonit merupakan mineral alam yang
sangat murah dan terdapat dalam jumlah yang melimpah di Indonesia, khususnya
di Pacitan, Jawa Timur yang termasuk golongan Ca-bentonit. Dengan demikian
kation-kation pada permukaan Ca-bentonit dapat dipertukarkan dengan kation
lain, misalnya Al
3+
, Fe
3+
, Zn
2+
, dan sebagainya yang bersifat aktif sebagai katalis
dan mempunyai permukaan sebagai asam Lewis. Dengan sifat ini bentonit sering
digunakan sebagai katalisator dalam berbagai macam reaksi kimia (Balogh, 1993;
Harsini, 2001; Laszlo, 1987).
Bentonit Pacitan merupakan lempung yang mempunyai sifat plastik dan
koloidal yang tinggi. Lempung ini mempunyai luas permukaan dan sisi aktif
sebagai asam Lewis yang dapat digunakan sebagai katalis sekaligus reaksi
penukar ion. Di samping itu, bentonit terdiri dari lapisan oktahedral dan
tetrahedral yang dapat bereaksi melalui reaksi pertukaran ion. Dalam penelitian ini
bentonit alam dimodifikasi menjadi Al-bentonit sebagai katalis padat dalam
pembuatan -tokoferol (vitamin E) dari bahan mineral alam yang mudah
diperoleh dengan cara mereaksikan trimetil hidrokuinon dengan isofitol, yakni
melalui reaksi kondensasi. Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa dari
reaksi kondensasi trimetil hidrokuinon dengan isofitol menggunakan pelarut
toluene dan 50% katalis padat bentonit, telah dihasilkan -tokoferol dengan
rendemen yang tinggi. Pada penelitian ini digunakan variasi suhu untuk
mengetahui suhu manakah yang menghasilkan -tokoferol yang optimum dengan
pelarut n-heksana..
Penelitian ini terdiri dari empat tahap. Tahap pertama, pembentukan Al-
bentonit melalui reaksi pertukaran ion (kation Al
3+
dipertukarkan Ca
2+
dari
bentonit) dan Al-bentonit digunakan sebagai katalis yang bersifat asam Lewis.
Tahap kedua, sintesis -tokoferol melalui reaksi kondensasi antara trimetil
hidrokuinon dengan isofitol dengan variasi suhu. Tahap ketiga, pemurnian
senyawa -tokoferol dengan kromatografi lapis tipis dan kolom cair. Sedangkan
tahap keempat, analisis spektroskopi yaitu dengan resonansi magnet inti. Untuk
mengetahui jumlah rendemen yang dihasilkan, digunakan spektrofotometer UV-
vis.
Dengan menggunakan dasar pemahaman di atas, diharapkan penelitian ini
dapat mensintesis tokoferol (vitamin E) dengan rendemen yang tinggi
menggunakan katalis Al-bentonit pada suhu yang tepat.

METODE PENDEKATAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Surabaya. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2006.





PKMP-2-21-3
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah trimetil hidrokuinon,
isofitol, bentonit, Al(NO
3
)
3
. 9H
2
O, Akuabides, n-heksana, plat silika gel GF
254
,
silika gel G
60
, etil asetat.
Untuk keperluan sintesis, pemurnian dan analisis digunakan bahan yang
berkualitas pro analisis (p.a).

Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain : alat-alat gelas
berbagai ukuran, seperangkat alat refluks, alat kromatografi kolom cair, corong
buchner, pengaduk magnetic, mortar, mesh 200, rotary vacuum evaporator,
lampu UV, Spektrofotometer UV-vis, dan Spektrofotometer NMR.

Prosedur Penelitian
Pembuatan Al-bentonit
Bongkahan bentonit dihaluskan dan dilarutkan dengan akuabides, kemudian
di aduk menggunakan magnetic strirer untuk diambil larutan yang berupa
suspensinya. Larutan suspensi bentonit ini selanjutnya dipanaskan untuk
dikeringkan.
Ke dalam campuran 66,59 gram dan 100 gram Al(NO
3
)
3
. 9H
2
O (266,7 mmol)
dimasukkan 500 ml akuabides. Campuran tersebut diaduk menggunakan magnetic
stirrer selama 16 jam pada suhu kamar. Suspensi Al-bentonit yang dihasilkan
kemudian disaring menggunakan corong buchner. Endapan yang terbentuk dicuci
dengan 500 ml akuades sebanyak 3 kali, kemudian dikeringkan dalam oven pada
suhu 110
o
C selama 6 jam. Al-bentonit kemudian dihaluskan dan diayak pada
ukuran 200 mesh.

Sintesis -tokoferol
0,25 gram trimetil hidrokuinon dicampurkan dengan Al-bentonit 0,05 gram,
isofitol 0,6 ml (=0,851 gram/ml) dan n-heksana 6,25 ml. Kemudian dipanaskan
dalam alat refluks selama 30 menit. larutan isofitol kemudian ditambahkan dalam
campuran setetes demi setetes dan direfluks selama 3 jam dengan suhu bervariasi
(40
o
C, 50
o
C, dan 60
o
C). Hasil yang diperoleh disaring dengan corong buchner dan
dicuci dengan n-heksana 10 ml kemudian untuk menghilangkan pelarut digunakan
alat rotary vacuum evaporator.
Pemurnian
Hasil sintesis -tokoferol yang diperoleh, dimurnikan dengan metode
kromatografi kolom cair dengan fasa diam silika gel dan fasa geraknya berupa
n-heksana dan etil asetat. Hasil pemurnian ini dapat diamati dengan penampakan
noda pada uji kromatografi lapis tipis dengan eluen n-heksana : etil asetat = 9 : 1,
yaitu dengan membandingkan antara spot senyawa produk dan reaktan pada plat
TLC. Senyawa produk akan menunjukkan satu spot yang berbeda dengan spot
reaktan. Kemudian senyawa produk yang telah murni ini dipekatkan dan
dihilangkan pelarutnya dengan alat rotary vacuum evaporator. Selanjutnya -
tokoferol yang telah murni ditentukan strukturnya dengan spektrofotometri
resonansi magnet inti dan menentukan rendemennnya.



PKMP-2-21-4
Analisis Spektroskopi
Untuk mengidentifikasi senyawa -tokoferol, ditentukan jumlah dan
lingkungan proton maupun karbon dengan spektrofotometer resonansi magnet
inti pada RMI-
13
C dan RMI-
1
H dengan pelarut CDCl
3
.
Sedangkan untuk menentukan jumlah rendemen -tokoferol pada masing-
masing suhu, digunakan analisis spektrofotometer UV-vis pada panjang
gelombang () 278 nm yang merupakan ciri khas serapan aromatis. Masing-
masing hasil sintesis -tokoferol dibandingkan dengan larutan standarnya, yaitu
-tokoferol yang sudah murni kemudian ditentukan rendemennya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan bentonit yang berasal dari Pacitan, Jawa Timur berdasarkan hasil
penelitian mengandung Ca-bentonit (Harsini, 2001). Bentonit ini mempunyai luas
permukaan dan sisi aktif sebagai asam Lewis yang dapat digunakan sebagai
katalis sekaligus reaksi penukar ion. Dari sifat kimia inilah, Ca-bentonit dapat
dipertukarkan dengan kation lain. Dalam penelitian ini, Ca-bentonit diubah
menjadi Al-bentonit yang digunakan sebagai katalis asam Lewis pada proses
sintesis -tokoferol (vitamin E). Keunggulan penggunaan bentonit sebagai katalis
padat dibandingkan AlCl
3
, BF
3
, dan ZnCl
2
sebagai katalis asam Lewis adalah jauh
lebih efektif dan efisien antara lain dapat didaur ulang, murah dan tidak
mengalami deaktivasi (Matsui, 1996).
-tokoferol atau 5,7,8-trimetil tokol atau 2,5,7,8-tetrametil-2-(4,8,12-
trimetiltridesil)-6-kromanol merupakan senyawa dengan struktur cincin kroman
yang khas, dimana senyawa tersebut dapat disintesis melalui reaksi kondensasi
hidrokuinon dengan alkohol alilik. Dalam penelitian ini, sintesis -tokoferol
adalah reaksi antara trimetil hidrokuinon direaksikan dengan isofitol dalam
pelarut n-heksana menggunakan katalis Al-bentonit. Adapun persamaan reaksinya
dapat dilihat pada gambar-1.


+

Al-bentonit

CH
3
HO
H
3
C
CH
3
O

Gambar-1. Reaksi pembentukan -tokoferol

Al-bentonit dibuat dengan cara mereaksikan Ca-bentonit bersama
Al(NO
3
)
3
.9H
2
O dengan pengadukan selama 16 jam. Ion sisa Ca
2+
dan Al
3+
dicuci
dengan air bebas mineral selama berkali-kali, selanjutnya untuk menghilangkan
sisa air dipanaskan pada suhu 110
o
C selama 6 jam. Al-bentonit yang terbentuk
diayak pada ukuran 200 mesh dan digunakan sebagai katalis pada pembentukan
-tokoferol.
CH
3
HO
H
3
C OH
CH
3

PKMP-2-21-5
Proses pembentukan -tokoferol dilakukan dengan cara merefluks
campuran trimetil hidrokuinon, isofitol, dan Al-bentonit selama 3 jam dalam
pelarut n-heksana dengan beberapa variasi suhu yaitu 40
o
C, 50
o
C, dan 60
o
C. Hasil
reaksi (-tokoferol) selanjutnya dimurnikan dengan kromatografi kolom cair
menggunakan silika gel sebagai fasa diam dan eluen n-heksana : etil asetat
sebagai fasa gerak. Uji kemurnian -tokoferol dilakukan dengan Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) dengan membandingkan spot trimetil hidrokuinon, -tokoferol
hasil reaksi, dan isofitol menggunakan lampu UV dan pereaksi CeSO
4
.
-tokoferol murni yang berupa cairan kental berwarna kuning, menunjukkan satu
spot yang berbeda dari pereaksi pembanding (reaktan) trimetil hidrokuinon dan
isofitol.
Analisis kadar -tokoferol hasil sintesis dilakukan dengan menggunakan
Spektrofotometer UV-vis pada panjang gelombang () 278 nm yang merupakan
ciri khas serapan aromatis, dengan mengkonversikan besarnya absorbansi -
tokoferol kedalam persamaan kurva standar. Hasil dari percobaan dengan
beberapa variasi suhu menunjukkan bahwa sintesis -tokoferol berlangsung
optimum pada suhu 50
o
C dengan rendemen sebesar 77,48%. Besarnya rendemen
(%) -tokoferol pada beberapa variasi suhu disajikan dalam tabel-1.

Tabel-1. Rendemen -tokoferol hasil sintesis
Variasi suhu Rendemen (%)
40
o
C
50
o
C
60
o
C
3,48
77,48
4,70

Besarnya absorbansi pada masing-masing variasi suhu dan kurva standar
-tokoferol dapat diamati pada tabel-2 dan gambar-2.

Tabel-2. Hasil analisis -tokoferol hasil sintesis (pada konsentrasi 1000 ppm)
dengan Spektrofotometer UV-vis
Variasi suhu Absorbansi
40
o
C
50
o
C
60
o
C
0,356
0,170
0,511


Penentuan struktur molekul -tokoferol hasil sintesis dilakukan dengan
analisis spektrofotometri Resonansi Magnet Inti (RMI) yang berguna untuk
mengetahui letak lingkungan kimia dan jumlah proton maupun karbon -
tokoferol. Dari hasil analisis karbon-RMI menunjukkan pergeseran kimia pada
(ppm): 128,89; 128,10; 127,86; 125,17; 119,20; 39,47; 37,46; 32,85; 32,73; 28,06;
24,89; 24,53; 22,79; 22,70; 19,77 dan 12,63 (gambar-3). Sedangkan analisis
proton-RMI menunjukkan pergeseran kimia pada (ppm) : 3,24; 3,16; 2,34; 2,00;
1,21; 1,20; 0,89; dan 0,83 (gambar-4). Pergeseran kimia pada 128,89; 128,10;
127,86; 125,17; dan 119,20 ppm merupakan ciri khas karbon -tokoferol dari
atom C kuartener (Fribolin, 1993).

PKMP-2-21-6
Kurva Standar alfa-tokoferol
Absorbansi VS Konsentrasi
y = 0,0009x + 0,1527
R
2
= 0,9794
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
0 500 1000 1500
Konsentrasi (ppm)
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
Series1
Linear (Series1)

Gambar-2. Kurva standar -tokoferol



Gambar-3. Spektrum karbon resonansi magnet inti -tokoferol



Gambar-4. Spektrum proton resonansi magnet inti -tokoferol

PKMP-2-21-7
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam upaya
pemanfaatan bentonit sebagai katalis serta pengaruh suhu dalam pembentukan
-tokoferol, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Al-bentonit dari bahan baku Ca-bentonit dapat digunakan sebagai katalis
padat bersifat asam Lewis dalam sintesis -tokoferol
2. Suhu 50
o
C yang digunakan pada pembentukan -tokoferol merupakan suhu
optimum dengan rendemen hasil reaksi -tokoferol adalah 77,48%


DAFTAR PUSTAKA
1. Balogh M, Laszlo P. 1993. Organic Chemistry Using Clays. Berlin:
Springer-Verlag. Page 149-154.
2. Fribolin H. 1993. Basic One and Two Dimentional NMR Spectroscopy.
Weinheim: VCH Verlagsgesell Schaft.
3. Grim RE.1988. Clay Mineralogy. New York : MC. Graw-Hill Book Co.
Page 235-237.
4. Harsini M, Buchori. 2001. Karakterisasi Bentonit Pacitan. J Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam 5(3). Universitas Airlangga. Hlmn 141-146.
5. Kemp W. 1979. Organic Spectroscopy. London: The Macmillan Press.
6. Kunrat TS, Sudrajat A. 1994. Prospek Usaha Pengembangan Bentonit.
Bandung: Dirjen Pertambangan Umum Puslitbang Teknologi mineral.
7. Laszlo P, et.al. 1987. Chemical Reaction on Clay. Science. Vol 235.
8. Lowel.1979. Introduction to Power Surface Area. New York: John Wiley
and Sons.
9. Sebrel WH. 1982. The Vitamines. Vol V. New York: Akademic Press.
Page 168-172.
10. Silverstein, et.al. 1996. Spectrometric Identification of Organic
Compounds. New York: John Wiley and Sons.
11. Stecher PG, et.al. 1968. The Merk Index. Eight Edition. Merck & Co., Inc
Rahway, N.J., USA.
12. Tan KH. 1991. Dasar-dasar Kimia Tanah. Terj. Geonadi Radjaguk-guk.
Yogyakarta: gajah Mada Univ. Press.
13. Thomas JM, Teocharis CR. 1989. Modern Synthetic Method. Berlin:
Springer Verlag. Page 249-250.
14. Warren S. 1981. Organic Synthesis; The Disconnection Approach. New
York: John Wiley and Sons. Page 56, 128, 208-210



PKMP-2-22-1
INVESTASI HUKUM ADAT SUKU BAJO ATAS PENGUASAAN
WAILAYAH LAUT DI KAB. BANGGAI

Rhenita, Allanis, Poniwaty, Ermitasi, Dewi Sartika
Universitas Tadulako, Palu

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-2-23-1
KOEFISIEN PENGERINGAN DAN KADAR AIR KESETIMBANGAN
DINAMIS PADA PENGERINGAN LAPISAN TIPIS
BUAH PISANG IRISAN

Toar Daniel Malingkas,
Universitas Sam Ratulangi, Menado

ABSTRAK

Kata kunci:
PKMP-3-1-1
INVESTIGASI PENYEBARAN INTRUSI AIR LAUT
DI KOTA BENGKULU DENGAN METODE
GEOLISTRIK TAHANAN JENIS
Studi kasus : Daerah Kampung Cina, Sumur Melele dan Berkas

Bayu Suhartanto, Andy Pramana,Wardoyo, M. Firman, Sumarno
Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Bengkulu, Bengkulu

ABSTRAK
Intrusi Air Laut merupakan suatu peristiwa menyusupnya air laut ke zona air
tanah. Peristiwa ini menyebabkan air sumur pada daerah pesisir terasa asin atau
payau, sehingga tidak dapat di konsumsi. Salah satu penyebab intrusi air laut
adalah eksploitasi air tanah secara berlebihan. Daerah Kampung Cina, Sumur
Melele dan Berkas merupakan daerah padat penduduk dengan jumlah penduduk
4883 jiwa. Diduga ketiga daerah tersebut telah banyak mangkonsumsi air tanah,
sehingga akan diteliti bagaimanakah beadaan air tanah pada daerah tersebut dan
bagaimanakah pola penyebaran serta kedalaman intrusi air laut pada daerah
tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode Geolistrik Tahanan Jenis.
Metode ini dilakukan dengan menginjeksikan arus listrik kedalam bumi serta
mencatat besarnya nilai beda potensial (V) dan arus (I) yang terukur.
Berdasarkan nilai beda potensial dan arus, maka dapat dihitung besarnya nilai
tahanan jenis. Nilai tahanan jenis ini menggambarkan keadaan lapisan batuan
yang berada di bawah permukaan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
kedalaman batas antara air asin dan air tawar menurut prinsip Badon-Ghyben-
Hertsberg adalah 27,95 m sampai 35,06 m. Sedangkan hasil pencitraan dengan
metode geolistrik tahanan jenis pada masing-masing lintasan pengukuran, dapat
disimpulkan bahwa pada ketiga daerah tersebut telah terjadi intrusi air laut, yaitu
pada kedalaman 4 m sampai 15 m.

Kata Kunci : Intrusi Air Laut, Metode Geolistrik

PENDAHULUAN
Intrusi air laut merupakan suatu peristiwa penyusupan atau meresapmya air
laut atau air asin ke dalam air tanah. Kasus intrusi air laut merupakan masalah
yang sering terjadi di daerah pesisir pantai. Masalah ini selalu terkait dengan
kebutuhan air bersih, dimana air bersih merupakan air yang layak untuk
dikonsumsi. Rusaknya air tanah pada daerah pesisir ditandai dengan keadaan air
yang tidak bersih dan rasanya asin. (Djoko Sangkoro, 1979).
Kebutuhan air bersih akan terus meningkat. Peningkatan kebutuhan air
bersih sebanding dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya
suatu daerah. Semakin meningkatnya kebutuhan air bersih, maka eksploitasi air
tanah akan semakin besar. Hal ini mengakibatkan persediaan air tanah semakin
berkurang. Berkurangnya kandungan air tanah pada lapisan akuifer dapat
mengakibatkan masuknya air laut (yang massanya lebih berat) ke dalam akuifer.
(Sosrodarsono, 2003).
Eksploitasi air tanah yang dilakukan secara berlebihan (penggunaan sumur
bor) khususnya pada daerah berpantai atau pesisir dapat menyebabkan suatu
persoalan dimana air laut akan masuk dan terpenetrasi pada daerah pedalaman.
PKMP-3-1-2
Air laut tersebut akan menyusup ke zona air tanah. Peristiwa ini disebut intrusi air
laut atau menyusupnya air laut pada ke daratan (Sosrodarsono, 2003).
Daerah Kampung Cina, Sumur Melele dan Berkas merupakan daerah
pesisir pantai yang terletak bersebelahan atau berdekatan dan padat penduduknya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari kelurahan, jumlah penduduk pada ketiga
daerah tersebut adalah 4883 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga 1168. Daerah
ini berupa kelurahan yang terletak di bagian barat kota Bengkulu. Pada zaman
dahulu daerah ini merupakan pusat perekonomian dan sebagai bukti sejarahnya
terdapat peninggalan berupa Benteng Malborough dan beberapa bangunan kuno
lainnya. Tidak jauh dari pantai ( 500 m) terdapat rumah kediaman Gubernur dan
Monumen berupa Tugu.
Berdasarkan survei lapangan yang telah dilakukan sebelumnya, pada daerah
ini terdapat banyak bangunan yang merupakan fasilitas umum seperti gedung
Perkantoran, Sekolahan, Pasar, Ruko-ruko, Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan
beberapa industri rumah tangga. Ketiga kelurahan tersebut terletak pada wilayah
pesisir barat kota Bengkulu.
Eksploitasi air tanah secara berlebihan dapat menyebabkan terjadinya intrusi
air laut pada daerah tersebut. Jika hal ini terjadi, maka kondisi air pada daerah
tersebut tidak layak untuk dikonsumsi, karena adanya rasa asin atau payau. Untuk
mengetahui hal tersebut, maka akan dilakukan suatu penelitian atau survei
geofisika menggunakan metoda geolistrik tahanan jenis. Sejauh ini belum pernah
dilakukan suatu penelitian dengan metode geofisika mengenai penyebaran intrusi
air laut pada daerah tersebut, sehingga penelitian ini sangat penting untuk segera
dilakukan. Hal ini mengingat belum adanya data tentang kasus intrusi pada daerah
tersebut. Data hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar mengenai
intrusi air laut pada saat sekarang dan juga dapat digunakan sebagai acuan untuk
melihat penyebaran atau peningkatan intrusi air laut pada tahun-tahun berikutnya.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh citra bawah permukaan
berdasarkan nilai tahanan jenis untuk setiap lapisan bawah permukaan,
menentukan kedalaman intrusi air laut berdasarkan nilai tahanan jenis, dan
menentukan batas kedalaman antara air tawar dengan air asin berdasarkan prinsip
Badon Ghyben-Hersberg.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menambah ilmu pengetahuan dan
pengembangan ilmu fisika khususnya bidang Geofisika dan manfaat yang
diharapkan dalam penelitian ini adalah Sebagai informasi mengenai kedalaman
intrusi air laut pada daerah penelitian. Memberikan informasi kepada masyarakat
agar dapat memanfaatkan air tanah secara efektif, efisien dan tidak berlebihan
serta sebagai data awal untuk penelitian lebih lanjut mengenai intrusi air laut.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari sampai dengan Juni tahun
2006 dengan lokasi penelitian/studi kasus di daerah Kampung Cina, Sumur
Melele dan Berkas. Ketiga Kelurahan tersebut terletak di Kecamatan Teluk Segara
Kota Bengkulu.
Telford (1990) mengemukakan bahwa metode geolistrik tahanan jenis
merupakan salah satu metoda geofisika yang memanfaatkan sifat tahanan jenis
batuan untuk menyelidiki keadaan dibawah permukaan bumi. Metoda ini
dilakukan dengan menggunakan arus listrik yang diinjeksikan melalui dua buah
PKMP-3-1-3
elektroda arus ke dalam bumi, kemudian mengamati beda potensial yang
terbentuk melalui dua buah elektroda potensial yang berada di tempat lain.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kedalaman intrusi air laut,
sehingga metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode geolistrik
tahanan jenis. Metode ini sangat baik untuk mengukur resistivitas batuan. Selain
itu, pada penelitian ini juga akan membandingkan keadaan intrusi air laut
berdasarkan prinsip Badon Ghyben-Hersberg. Dengan demikian akan diperoleh
suatu parameter pambanding mengenai intrusi air laut pada daerah penelitian.
Prinsip dasar yang digunakan pada alat ini adalah dengan menginjeksikan
arus listrik ke dalam bumi. Arus yang diinjeksikan akan merambat kesegala arah
di dalam bumi. Kemudian mengamati beda potensial ( V ) dan arus (I) yang
terbentuk melalui dua buah elektroda yang berada di tempat lain. Perbedaan
potensial dan arus menghasilkan suatu nilai tahanan jenis. Perbedaan nilai tahanan
jenis dapat merefleksikan keadaan di bawah permukaan bumi.
Adapun peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah Resistivity
Meter, alat ini digunakan untuk mengukur besarnya nilai tahanan jenis batuan.
Elektroda arus dan elektroda potensial, alat ini digunakan untuk menginjeksikan
arus kedalam bumi dan menangkap nilai beda potensial potensial ( V ) dan arus
(I) yang terbentuk. Aki 12 volt, alat ini sebagai sumber energi ketika
menginjeksika arus listrik. Kabel Penghubung, alat ini digunakan untuk
menghubungkan elektroda dengan aki dan Resistivity Meter. Meteran, alat ini
digunakan untuk mengukur lebar spasi elektroda dan panjang lintasan.
Secara keseluruhan kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Survei Lapangan
Tahap pertama merupakan survei awal, yaitu pemilihan lokasi penelitian.
Pada tahap ini akan dicari lokasi untuk lintasan pengukuran yang berada tidak
jauh dari bibir pantai.
Teknik Pengambilan data
Tahap ini merupakan tahap pengambilan data. Setelah mendapatkan
lokasi pengukuran, maka akan dilakukan pengukuran untuk masing-masing
lintasan. Pada penelitian ini akan diteliti mengenai kedalaman intrusi air laut
pada suatu tempat, sehingga konfigurasi elektroda yang digunakan adalah
konfigurasi Wenner-Schlumberger dengan faktor geometri K = .n(n+1)a.
Dengan konfigurasi ini akan diketahui gambaran lapisan bawah permukaan
secara vertikal dan horizontal.(Loke 1999).








Gambar 1. Pemasangan konfigurasi elektroda. (Loke, 1999)
Adapun langkah pengambilan data geolistrik tahanan jenis adalah
sebagai berikut :
a. Menentukan lintasan pengukuran.
b. Membuat lebar spasi elektroda (a).
PKMP-3-1-4
c. Pemasangan elektroda berdasarkan konfigurasi yang digunakan, yaitu
konfigurasi Wenner-Schlumberger.
d. Penginjeksian arus ke dalam bumi dan mencatat besarnya nilai beda
potensial ( V ) dan arus (I).
Selanjutnya adalah pengambilan data untuk prinsip Badon Ghyben-
Hersberg. Adapun langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Mengukur kedalaman beberapa sumur di sekitar lokasi penelitian serta
mengukur ketinggiannya dari permukaan air laut. Dengan metode ini akan
diperoleh besarnya nilai h.
b. Mengambil sampel air sumur yang berada di sekitar lintasan pengukuran
untuk dihitung massa jenisnya. Dengan demikian akan diperoleh nilai
0
.
c. Mengambil sampel air laut untuk dihitung massa jenisnya, sehingga
diperoleh nilai .
Teknik Pengolahan data
Tahap ketiga merupakan tahap perhitungan atau pengolahan data. Data
beda potensial ( V ) dan arus (I) yang diperoleh berdasarkan pengukuran
akan dihitung sehingga diperoleh nilai tahanan jenis semu (
a
). Menurut
Telford (1990) dan Reynolds (1997) tahanan jenis semu dapat dihitung
berdasarkan rumus :
I
V
K
a

= ..(1)
dimana :
a
= tahanan jenis semu
K = faktor geometri
V = beda potensial antara kedua elektroda
I = kuat arus yang diinjeksikan
Besarnya nilai tahanan jenis semu (
a
) akan dikelompokan sesuai
dengan kedalaman lapisan (n). Kemudian data-data yang telah tersusun diolah
dengan menggunakan software Res2dinv Ver 3.48a. Sehingga diperoleh
gambaran atau citra mengenai keadaan bawah permukaan berdasarkan
perbedaan nilai tahanan jenis.
Interpretasi
Setelah proses pengambilan dan pengolahan data selesai, maka hal
selanjutnya adalah melakukan interpretasi mengenai pencitraan bawah
permukaan yang berupa gambaran warna yang dihasilkan oleh software
Res2dinv Ver. 3.48a. Dengan membaca panduan atau literature pada software
tersebut, maka akan diketahui kedalaman intrusi air laut pada daerah tersebut.
Menurut Sri Harto (1993), kedalaman perbatasan antara air tawar dan air
asin yang terjadi pada masing-masing daerah penelitian dapat dihitung
berdasarkan prinsip Badon Ghyben-Hersberg, dengan rumus :
h H
h H H
0
0
0
) (

=
+ =
.(2)
dimana :
0
= massa jenis air tawar (pada sumur)
= massa jenis air laut
h = tinggi muka air tanah dari permukaan air laut
H = kedalaman air tanah (perbatasan) dari permukaan air laut
PKMP-3-1-5
Dengan demikian akan diperoleh suatu parameter apakah daerah tersebut
telah terjadi intrusi air laut atau belum. Apabila kedalaman air tanah yang
telah terkontaminasi oleh air laut (berdasarkan pencitraan) lebih kecil dari
nilai H (berdasarkan prinsip Badon Ghyben-Hersberg), maka dapat dikatakan
bahwa daerah tersebut telah mengalami intrusi air laut. Demikian juga
sebaliknya, jika kedalaman air tanah yang telah terkontaminasi aleh air laut
lebih besar dari nilai H, maka dapat dikatakan bahwa daerah tersebut belum
mengalami intrusi air laut.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penelitian yang meliputi beberapa tahapan, maka
dihasilkan suatu gambaran atau pencitraan bawah permukaan secara 2 dimensi
mengenai nilai tahanan jenis batuan. Berdasarkan nilai tahanan jenis batuan, maka
dapat diketahui kedalaman intrusi air laut dari setiap masing-masing lintasan
pengukuran. Adapun hasil penelitian pada daerah Sumur Melele adalah sebagai
berikut :
a. Lintasan 1


Gambar 2. Pencitraan 2-D tahanan jenis bawah permukaan lintasan 1 Sumur
Melele
b. Lintasan 2
PKMP-3-1-6

Gambar 3. Pencitraan 2-D tahanan jenis bawah permukaan lintasan 2 Sumur
Melele

c. Lintasan 3

Gambar 4. Pencitraan 2-D tahanan jenis bawah permukaan lintasan 3 Sumur
Melele
Adapun hasil penelitian pada daerah Kampung Cina adalah sebagai berikut :
PKMP-3-1-7
a. Lintasan 1

Gambar 5. Pencitraan 2-D tahanan jenis bawah permukaan lintasan 1 Kampung
Cina

Adapun hasil penelitian pada daerah Berkas adalah sebagai berikut :
a. Lintasan 1

Gambar 6. Pencitraan 2-D tahanan jenis bawah permukaan lintasan 1 Berkas
PKMP-3-1-8
Perhitungan batas antara air tawar dan air laut berdasarkan prinsip Badon
Ghyben-Hersberg. Batas yang dimaksud dapat dilihat pada gambar 7. Data-data
yang diperlukan untuk menentukan batas tersebut adalah massa jenis air laut (),
massa jenis air tawar (
0
) dan ketinggian muka air tanah dari permukaan air laut
(h).











Gambar 7. Suatu keseimbangan alamiah antara air tawar dan air laut menurut
prinsip Badon Ghyben-Hersberg. (Djoko Sangkoro, 1979)
Massa jenis air tawar (
0
) diperoleh dari air sumur yang belum
terkontaminasi oleh air asin, sehingga massa jenis air tawar nilainya dianggap
1000 kg/m
3
. Sedangkan massa jenis air laut dihitung dengan mengambil sampel
dari perairan pantai. Adapun data hasil pengukuran massa jenis air laut tersebut
adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Massa jenis air laut di lokasi penelitian
m air laut
(gr)
V air
(ml)
Rho
(gr/cm3)
203.77 200 1.01885
203.73 200 1.01865
202.77 200 1.01385
202.82 200 1.0141
202.93 200 1.01465
202.67 200 1.01335
202.29 200 1.01145
202.23 200 1.01115
202.49 200 1.01245
204.54 200 1.0227
Rata-rata 1.01512
Sehingga massa jenis air laut () di peroleh sebesar 1.01512 gr/cm
3
atau 1015.12
kg/m
3
.
Kedalaman air tanah (perbatasan) dari permukaan air laut (H), diperoleh
berdasarkan persamaan (2). Posisi ketinggian air tanah dari permukaan air laut (h)
merupakan selisih antara ketinggian lokasi penelitian terhadap kedalaman sumur.
Sumur-sumur yang diamati berada pada jarak 100 m sampai 150 m dari garis
pantai. Hasil pengukuran beberapa variabel tersebut dapat dilihat pada tabel 2.

Air Tawar
Permukaan Laut
Permukaan Tanah
Permukaan Air Tanah
Lautan
Air Tanah
Asin
h
H
PKMP-3-1-9
Tabel 2. Kedalaman air tanah (perbatasan) dari permukaan air laut (H)
Lintasan Posisi Kedalaman h (m)
0
H (m)
pengukuran Ketinggian (m) Sumur (m) (kg/m
3
) (kg/m
3
)
1 1.5 1.1 0.4 1015.12 1000 26.455
2 1.2 0.75 0.45 1015.12 1000 29.761
3 1.2 0.8 0.4 1015.12 1000 26.455
4 2 1.5 0.5 1015.12 1000 33.068
5 1.2 0.75 0.45 1015.12 1000 29.762
Secara alamiah kedalaman perbatasan air tawar dan air asin dapat dihitung
dengan menjumlahkan besarnya nilai H dan posisi ketinggian. Sehingga diperoleh
kedalaman air asin dari permukaan tanah. Adapun kedalaman air asin tersebut
ditunjukkan oleh tabel 3.
Tabel 3. Kedalaman air asin dari permukaan tanah
Lintasan Posisi H (m) Kedalaman
pengukuran Ketinggian (m) dari permukaan tanah (m)
1 1.5 26.45502646 27.95502646
2 1.2 29.76190476 30.96190476
3 1.2 26.45502646 27.65502646
4 2 33.06878307 35.06878307
5 1.2 29.76190476 30.96190476
Berdasarkan gambar pencitraan bawah permukaan, dapat diketahui
kedalaman intrusi air laut pada masing-masing lintasan pengukuran. Menurut
Loke (1999), nilai tahanan jenis untuk batuan atau lapisan tanah yang telah
mengalami intrusi air laut sebesar 0.02 m. Nilai inilah yang digunakan untuk
memperkirakan kedalaman intrusi air laut yang telah terjadi dalam suatu lapisan
batuan/tanah. Lintasan pengukuran pada metode ini berada pada jarak 100 m
sampai 150 m dari garis pantai.
Hasil pencitraan pada lintasan yang berada di daerah Sumur Melele,
menunjukkan bahwa intrusi air laut terjadi pada kedalaman 4 m sampai 15 m dari
permukaan tanah. Intrusi ini diduga karena ekploitasi air tanah secara berlebihan
pada daerah tersebut. Hal ini mengingat pada daerah tersebut terdapat bangunan
perkantotan seperti PLN serta gedung sekolahan, yaitu TK, SD dan SMP Sint
Carolus. Selain itu pada daerah ini juga terdapat banyak perumahan yang
mengurangi daerah resapan air tanah. Dengan demikian, jumlah air tanah yang
terekploitasi melebihi jumlah masuknya/meresapnya air ke dalam tanah.
Pencitraan bawah permukaan di daerah Kampung Cina (gambar 5)
menunjukkan adanya intrusi air laut pada kedalaman 4 m sampai 12 m. Lintasan
pengukuran ini berada disamping Lembaga Pemasyarakatan (LP). Selain itu
terdapat juga perkantoran dinas Kimpraswil dan gedung SD. Bangunan fasilitas
umum ini terletak sejajar dan berdekatan. Dengan demikian diperkirakan telah
terjadi eksploitasi air tanah secara berlebihan.
Kedalaman intrusi air laut pada daerah Berkas berada pada 5 m sampai 15 m
dibawah permukaan tanah. Intrusi ini terjadi diduga akibat eksploitasi air tanah
yang tidak seimbang dengan masuknya/meresapnya air hujan kedalam tanah.
Hasil perhitungan berdasarkan prinsip Badon Ghyben-Hersberg
dibandingkan dengan kedalaman intrusi air laut berdasarkan pencitraan bawah
permukaan. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh tabel 4.
PKMP-3-1-10
Tabel 4. Perbandingan kedalaman batas antara air tawar dengan air asin
berdasarkan prinsip Badon Ghyben-Hersberg dan pencitraan bawah
permukaan.
Lintasan Kedalaman berdasarkan prinsip Kedalaman berdasarkan
Badon Ghyben_Hersberg (m) Pencitraan bawah permukaan (m)
1 27.95502646 4 15
2 30.96190476 4 15
3 27.65502646 4 15
4 35.06878307 4 12
5 30.96190476 4 15
Prinsip Badon Ghyben-Hersberg menjelaskan kedalaman air laut secara
alamiah yang berada di sepanjang garis pantai, sedangkan pencitraan bawah
permukaan menunjukkan adanya air asin pada kedalaman tertentu. Dari hasil
perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa kedalaman perbatasan antara air tawar
dan air asin berdasarkan prinsip Badon Ghyben-Hersberg lebih besar dari
kedalaman berdasarkan pencitraan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
daerah Kampung Cina, Sumur Melele dan Berkas telah terjadi Intrusi Air Laut.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
a. Daerah Sumur Melele dan Berkas telah mengalami intrusi air laut pada
kedalaman 4 m sampai 15 m. Daerah Kampung Cina juga telah mengalami
intrusi air laut dengan kedalaman 4 m sampai 12 m. Lintasan pengukuran
ini berada pada jarak 100 m sampai 150 m dari garis pantai.
b. Kedalaman perbatasan antara air tawar dan air asin pada ketiga daerah
tersebut menurut prinsip Badon Ghyben-Hertsberg diperkirakan antara
27,95 m sampai 35,06 m di bawah permukaan tanah pada jarak 100 m
sampai 150 m dari garis pantai.

DAFTAR PUSTAKA
Harto, Sri Br. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Loke, M.H., 1999. Res2Dinv ver 3.3 for windows 3.1, 95 and NT: Rapid 2D
resistivity and IP inversion using the least-squares method, Penang
Malaysia.
Raynold, J.M, 1997. Introdution to Applied and Eviromental Geophysics. John
Willey and Soon Ltd.
Sangkoro, Djoko. 1979. Teknik Sumber Daya Air. Jakarta. Erlangga.
Sosrodarsono, S dan Takeda, S. 2003. Hidrologi Untuk Perairan. PT. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Taib, M.I.T. 1999. Dasar Metoda Eksplorasi Tahanan Jenis Galvanik : Diktat
Kuliah Metoda Geolistrik. Bandung. ITB.
Telford, W.M. 1990. Applied Geophysics : Second Edition. Cambridge:
Cambridge University Press.

PKMP-3-2-1
PEMBUATAN TABLET KUNYAH DADIH
DENGAN PENAMBAHAN MADU DAN RASA JERUK

Rony Hamdy, Andy Dermawan, Zulhelmi, Dody Osmon, Jezi Zuhardi
Teknologi Hasil Ternak, Jurusan Produksi Ternak, Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK
Dadih sebagai makanan tradisional Sumatra Barat masih diolah dan dipasarkan
secara sederhana hal ini membuat dadih cuma dikenal di lingkungan tertentu
saja. Padahal jika dilihat dari nilai gizi dan manfaat sebagai pangan probiotik
sudah selayaknya dadih lebih dikembangkan cara pengolahan dan
pemasarannya. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan diversifikasi dadih
dengan menerapkan teknologi farmasi yaitu pengolahan dadih menjadi tablet
kunyah dengan menambahkan beberapa bahan-bahan pembantu. Diversifikasi ini
diharapkan dapat menutupi kekurangan-kekurangan yang dipunyai oleh dadih
yaitu tidak bisa disimpan lama, mempunyai rasa dan aroma khas serta
penampilan dan tekstur yang lunak seperti bubur yang menyebabkan masyarakat
terutama dari golongan anak-anak dan remaja mengalami kesulitan dalam
melakukan penelanan. Padahal dadih sebagai makanan probiotik memiliki nilai
manfaat yang sangat tinggi dan nilai gizi yang besar. Penambahan madu
bertujuan untuk menambah nilai gizi yang mungkin berkurang akibat proses
pembuatan tablet. Rasa jeruk memberikan rasa yang enak sehingga dapat
menutupi rasa asli dadih dan memberikan rasa yang enak dan disukai oleh
masyarakat.Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pembuatan tablet kunyah
dadih meningkatkan kandungan protein dan keasamannya dan proses pembuatan
tablet kunyah dadih ini tidak membunuh Lactobacillus sp yang terdapat didalam
dadih serta efek bakteriosinnya masih terdapat dengan mampunya produk ini
membunuh E. coli

Kata Kunci: Dadih, Probiotik,Tablet Kunyah, Rasa Madu dan Jeruk

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dadih sudah sangat lama dikenal sebagai makanan tradisional asal
Sumatera Barat, yang awalnya dibuat dari hasil fermentasi susu kerbau dalam
tabung bambu dan pada perkembanganya juga bisa dibuat dari susu sapi dengan
menambahkan starter yang mengandung bakteri asam laktat seperti Lactobacillus
sp dan Streptococcus lactis.
Dadih sebagai produk susu fermentasi dapat berfungsi sebagai pangan
probiotik. Menurut Sughita dan Aidi, (1998) bakteri asam laktat yang terdapat
dalam dadih dapat menghasilkan asam laktat yang bisa menghambat pertumbuhan
mikroba yang merugikan, selain itu nisin sebagai hasil sampinganya merupakan
natural antibiotik pencegah / obat penyakit kanker, dan menetralisir bakteri
penggangu saluran pencernaan. Hal ini menunjukan bahwa dadih juga
digolongkan sebagai produk pangan probiotik karena merupakan produk hasil
susu fermentasi dan mengandung bakteri asam laktat.
Akan tetapi dadih memiliki kekurangan yang membuat produk ini kurang
disukai oleh konsumen, terutama pada masyarakat yang tidak terbiasa

PKMP-3-2-2
memakannya dan anak-anak serta remaja yang mengalami kesulitan dalam
penelanan. Proses pembuatan yang masih sangat sederhana ini juga ikut
mempengaruhi mutunya, khususnya penampilan (appearance) dan nilai gizinya
menurun seiring dengan peningkatan waktu simpan, misalnya setelah 2-7 hari
(rasanya sangat asam serta tengik, dengan warna kekuning-kuningan, dengan)
(Sughita, 1995). Rasa asam dan aroma asli dari dadih umumnya kurang disukai
oleh konsumen. Dan semakin lama dadih disimpan maka keasamannya dan
jumlah bakteri akan semakin meningkat, sedangkan komponen gizi seperti
protein, lemak dan pH-nya menurun seiring dengan penurunan kualitas dadih
tersebut (Yuliadi, 1989) yang berarti dadih tidak dapat disimpan lama. Dengan
nilai gizi tinggi yang dipunyai oleh dadih maka sudah sepantasnya perlu adanya
usaha untuk lebih memperkenalkan dadih ketengah masyarakat luas, terutama
konsumen pemula (anak-anak dan remaja).
Diversifikasi dadih merupakan salah satu jalan yang memungkinkan
membuat dadih dapat lebih diterima oleh konsumen. Diversifikasi dadih dalam
bentuk pembuatan tablet kunyah ini secara teori dapat menutupi semua
kekurangan dari dadih tersebut. Tablet kunyah adalah suatu tampilan bentuk
produk sediaan farmasi yang dapat mengatasi kesulitan atau ketidaksukaan dalam
pengkonsumsian dadih. Dengan cita rasa yang beraneka ragam membuat produk
makanan yang dibuat dalam bentuk tablet kunyah lebih dapat diterima dan disukai
oleh masyarakat secara luas. Penambahan rasa jeruk diharapkan dapat menutupi
rasa asam dan bau khas dadih dan juga meningkatkan cita rasa dadih. Sedangkan
penambahan madu bertujuan untuk memberi nilai tambah dalam hal kandungan
gizi dadih terutama kalorinya.

Perumusan masalah
a. Berapa jumlah penambahan madu dan jeruk yang tepat untuk menghasilkan
tablet kunyah dadih yang diingini dan disukai konsumen dan dapat menutupi
rasa serta bau khas dadih yang tidak diharapkan dan juga memberikan rasa
jeruk yang disukai serta memberikan nilai gizi baru yang diharapkan dari
penambahan madu ?
b. Bagaimana pengaruh pembuatan tablet kunyah dadih dengan penambahan
madu dan rasa jeruk terhadap nilai gizi serta keberadaan Lactobacillus sp dan
uji bakteriosin dari bakteri tersebut?


Tujuan Program
Penelitian ini bertujuan untuk mencari formula penambahan madu dan rasa
jeruk yang tepat untuk membuat tablet kunyah dadih yang dapat disukai oleh
konsumen serta pengaruhnya terhadap nilai gizi dan keberadaan lactobacillus sp
serta efek bakteriosinnya terhadap bakteri patogen.



Manfaat yang Diharapkan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi untuk
menjadikan tablet kunyah dadih sebagai sebuah industri pangan probiotik baru
dan menjadi suatu hak paten bagi penulis untuk masa yang akan datang.

PKMP-3-2-3

Kegunaan Program
Dapat memberikan informasi bagi masyarakat luas akan nilai manfaat
dadih sebagai produk pangan probiotik dan juga menjadi masukan untuk
menjadikan dadih sebagai suatu industri pangan

METODE PENDEKATAN
A. Materi Penelitian
1. Alat-alat
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan tablet kunyah adalah
timbangan digital, oven vakum (cole parmer), alat pengukur kekerasan tablet
(stokes-mansato), pengukur kerapuhan tablet (rochefriabilator) dan alat-alat gelas
lainnya. Untuk uji keasaman alat yang diguanakan adalah erlenmeyer dan buret
serta gelas piala. Untuk uji total koloni, alat yang digunakan adalah coloni
counter, autoclav, petridish serta test tube. Untuk uji kandungan vitamin C alat
yang digunakan: labu ukur 250 ml, erlenmeyer, buret dan gelas piala.

2. Bahan
Dadih yang diperoleh dari Pasar Tradisional di Bukitinggi, madu sumbawa
diperoleh dari salah satu supermarket di Padang dan manitol, gum arab, Mg
Stearat dan talk diperoleh dari PT. Sari Kimia. Rasa jeruk didapat dengan
membeli essnce jeruk dalam bentuk Nutrisari di Pasar Raya Padang

B. Metode Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen
dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4
perlakuan dengan membedakan penambahan madu dan rasa jeruk dan 5 ulangan
untuk setiap perlakuan, yaitu:
Tabel 1. Formula Tablet Kunyah Dadih Susu Kerbau Rasa Jeruk
Nama Bahan F
1
(mg) F
2
(mg) F
3
(mg) F
4
(mg)
Dadih 200 200 200 200
Madu 30 20 10 5
Rasa Jeruk 10 20 30 35
Manitol 100 100 100 100
Gum Arab 40 40 40 40
Mg Stearat 12 12 12 12
As Stearat 8 8 8 8

Dengan model matematika penelitian ini adalah:
Yij = + i + ij
Dimana :
Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= Nilai tengah umum
i = Pengaruh perlakuan ke-i
ij = Pengaruh sisa dari perlakuan ke-i dan ke-j
i = Banyak perlakuan (A,B,C,D)
j = Banyak ulangan (1,2,3,4,5)

PKMP-3-2-4

Tabel 2. Tabel Pengamatan untuk Setiap Perlakuan
Perlakuan Ulangan
A B C D
Total

1 YA1 YB1 YC1 YD1
2 YA2 YB2 YC2 YD2
3 YA3 YB3 YC3 YD3
4 YA4 YB4 YC4 YD4
5 YA5 YB5 YC5 YD5
Jumlah YA YB YC YD Y.....
Rata-
rata
YA YB YC YD
Analisa data dilakukan dengan uji statistik dengan analisa keragaman yang
dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 3. Analisa Sidik Ragam Rancangan Acak Lengkap.
F tabel Sumber
Keragaman
Db JK KT F hit
0,05 0,01
Perlakuan t 1 JKP JKP/DbP KTP/KTS
Sisa t ( r 1 ) JKS JKS/DbS
Total ( tr 1 ) JKT
Keterangan :
Db = Derajat Bebas
JK = Jumlah kuadrat
KT = Kuadrat Tengah
JKP = Jumlah kuadrat perlakuan
JKS = Jumlah kuadrat sisa
KTP = Kuadrat tengah perlakuan
KTS = Kuadrat tengah sisa
JKT = Jumlah kuadrat tengah
Perhitungan :
FK = (Y...)
2

t.r
JKT =(yij
2
) - FK
JKP= (Yij)
2
FK
r.i
JKS = JKT JKP
KTS = JKS
t (r 1)
KTP = JKP
t - 1
F hitung = KTP
KTS

PKMP-3-2-5
Jika perlakuan menunjukan hasil berbeda nyata ( P < 0,05 ), maka
dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncans Multiple Range Test
(DMRT) menurut Steel dan Torrie (1980).

2. Parameter yang di ukur
Parameter utama yang diukur adalah total koloni bakteri, keasaman dan
vitamin C, protein dan nilai kalori, isolasi Lactobacillus sp dan uji bakteriosin
serta uji oragnoleptik dari tablet kunyah dadih dengan penambahan madu dan rasa
jeruk.

3. Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian direncanakan pada bulan Maret 2006 s/d
Mei 2006, sedangkan tempat pelaksanaanya meliputi: pembuatan tablet kunyah
dadih dilaksanakan di Labor Sediaan Tablet, Laboratorium Farmasi, Fakultas
MIPA, Unand. Untuk analisa keasaman, protein dan uji organoleptik dilaksanakan
dilaboratorium Teknologi Hasil Ternak. Analisa total koloni bakteri dan isolasi
Lactobacillus sp serta uji bakteriosinya dilakukan pada Laboratorium Kesehatan
ternak, Fakultas Peternakan, sedangkan untuk analisa kandungan vitamin C
dilaksanakan pada Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian,
Unand.

4. Tahap Pelaksanaan
c. Pembuatan tablet kunyah dadih dengan penambahan madu dan rasa jeruk
Pembuatan tablet kunyah dadih dilakukan dengan cara cetak langsung.
Cara ini merupakan cara yang yang paling sederhana, sebab tidak memerlukan
peralatan untuk proses granulasi ataupuin prosedur pengeringan, seperti cara-cara
lainya (Ben, 1997). Tahap-tahap pembuatan tablet kunyah dadih adalah:
1) Persiapan Bahan Baku
Dadih ditempatkan pada wadah ceper lalu dilakukan pengeringan pada
oven vacum pada suhu 60C sampai didapatkan dadih kering yang bisa dijadikan
bubuk. Dadih yang sudah kering dilakukan penggerusan hingga berbentuk bubuk.
2) Pencampuran dengan bahan pengisi
Bubuk dadih dan manitol dimasukan kedalam homogenizer untuk
dilakukan pencampuran, lalu didapatkan massa campuran yang homogen (massa
A).
3) Pencampuran dengan bahan pengikat
Gum arab dicampurkan dengan madu lalu campuran tersebut ditambahkan
kedalam massa A sedikit demi sedikit lalu dilakukan pengerusan dan didapatkan
massa B.
4) Pencampuran dengan bahan pelicir dan lubricant
Bubuk Mg stearat dan as stearat dimasukan sedikit demi sedikit kedalam
massa B sambil dilakukan penggerusan.
5) Penambahan rasa jeruk
Rasa jeruk ditambahkan sampbil dilakukan pengerusan. Dan didapatkan
massa cetak.




PKMP-3-2-6
6) Pencetakan tablet
Kalibrasi mesin cetak terhadap volume ruang cetak dan bobot tablet, setelah
volume dan bobot tablet sudah tetap dilakukan pencetakan dan didapatkan tablet
kunyah dadih rasa jeruk.

d. Analisa Parameter yang diukur
a. Keasaman (%TTA/Titre Table Acidity)
Ditentukan dengan titrasi menggunakan alkali (Hadiwiyoto, 1982).
Caranya tablet kunyah dadih yang telah halus ditimbang dan masukan kedalam
erlnmeyer, tambahkan 2 3 tetes penoppthalen 1% sebagai indikator. Sementara
itu buret diisi dengan larutan NaOH 0,1 N dan baca miniskus permulaan,
kemudian titrasi sampai warna berubah menjadi kemerah-merahan. Pada akhir
titrasi, catat miniskus yang terjadi. Keasaman / % TTA dapat dihitung dengan
rumus:
% TTA : ml NaOH 0,1 N x 0,9
gram dadih
b. Total Koloni Bakteri
Jumlah koloni bakteri dihitung dengan menggunakan Standard Count Plate
(SPC). Perhitungan bakteri hanya pada bakteri yang hidup (Hadiwiyoto, 1982).
Caranya adalah:
Timbang 1 gram tablet kunyah dadih yang telah dihaluskan, dilarutkan dengan 9
ml aquades didalam test tube sehingga didapatkan pengenceran 1:10. Dari
pengenceran ini diambil sebanyak 1 ml untuk diencerkan lagi dengan 9 ml
aquades yang menjadi pengenceran 1:100 dan seterusnya hingga didapat
pengenceran 1: 100.000. Siapkan media NA (Nutrien Agar) dengan
memanaskannya diatas pemanas sampai semuanya cair, lalu tuang kedalam cawan
petri (didekat pemanas) dan langsung ditutup lalu dibiarkan dingin hingga
akhirnya beku. Kemudian ambil 1 ml dadih yang telah diencerkan pada
pengenceran 10
-5
dan ditanam pada media NA setelah itu diinkubasi dalam
inkubator selama 24 jam pada suhu 37C dengan posisi terbalik. Jumlah koloni
yang tumbuh dihitung dengan coloni counter dan dikalikan dengan pengenceran
sebagai populasi dari bakteri sampel.

c. Kandungan Vitamin C
Kadar vitamin C dihitung sebagai kadar asam askorbat yang terkandung
didalam tablet dadih. Menurut Anas, (2001) kadar vitamin C didalam pangan
dapat ditentukan dengan cara: sampel ditimbang sebanyak 10 gram, lalu
tambahkan dan larutkan dalam air destilata sebanyak 100 ml dan masukan
kedalam labu ukur 250 ml ditepatkan sampai tanda batas dengan menambah air
destilata , saring dengan memakai kapas dan filtrat yang didapat sebanyak 25 ml
dimasukkan kedalam erlenmeyer. Tambahkan 1 ml larutan kanji 10%, titrasi
dengan cepat memakai larutan Iod 0,01N sampai timbul perubahan warna. Kadar
asam askorbat bahan dapat dihitung dengan rumus:
A = ml Iod 0,01 N x 0,88 x P x 100
Gram berat contoh
A = mg asam askorbat per 100 g bahan
P = jumlah pengenceran
1 ml Iod = 0,88 mg asam askorbat

PKMP-3-2-7
d. Kandungan Protein
Ditentukan dengan metoda kjedahl (Jamarun dkk., 1989 yaitu: dengan mengambil
sampel sebanyak 1g kemudian masukan kedalam labu kjehdal dan diberikan
campuran selen sebanyak 1 g, kemudian ditambahkan 25 ml H
2
SO
4
pekat. Lalu
panaskan diatas api sampai larutan dalam labu berwarna kuning jernih, lalu
dinginkan di lemari asam. Lalu larutan didestruksi dengan ditambahkan aquades
dan NaOH, lalu dipanaskan sehingga semua Nitrogen dari sample yang ada dalam
labu ditangkap H
2
SO
4
yang telah

lebih dahulu dicampur dengan 5 tetes indicator
MM dalam labu Erlenmeyer, dan dititer dengan NaOH 0,1 N (z ml). Lalu titrasi
juga dilakukan pada blanko (y ml)
Kadar Protein = (y-z) x N NaOH x 0,014 x 6,25 100 %
Berat sampel

e. Nilai Kalori
Basahi kepala bomb dan tabung bomb dengan aquadest. Gantungkan
kapsul yang berisi contoh pada gantungan yang telah disediakan pada kepala
bomb.Ukur wire 10 cm (10 cm = 23 cal), hubungkan kedua ujungnya pada kedua
electroda dan buat gelungan atau lekukan ditengahnya hingga menyentuh contoh.
Pasangkan kepala bomb pada tabung bomb dan kunci sampai erat. Tutup valve
tempat gas (O2) keluar (oulet valve). Hubungkan tempat gas (O2) masuk dengan
oxygen Filling. Buka valve O2 pada tabung. Setting tekanan O2 pada regulator
450 psi. Isi tabung bomb dengan O2 dengan cara menekan O2 fill pada keyboard
calorimeter. Biarkan sampai tekanan cukup 450 psi (dengan otomatis akan
berhenti sendiri) ditandai dengan kedengaran bunyi (flasing). Ukur suhu air yang
keluar dari water handling bila telah tercapai suhu 29-30C langsung isi water
bucket dengan air melalui delivery volume sebanyak 2000 ml secara otomatis.
Masukan water bucket kedalam calorimeter. Tempatkan bomb kedalam water
bucket pada posisi yang telah disediakan. Hubungkan kedua ujung electroda pada
bomb. Tutup kalorimeter. Tekan shif F2 untuk menukar program dari standard ke
determination. Pada display akan muncul DETR. Isikan data : Sample ID
ENTER. Setelah itu pada display akan muncul PRE, tunggu samapi suhu stabil.
Setelah suhu stabil maka secara otomatis akan terjadi pembakaran yang didahului
dengan bunyi alarm alat dan pada display Pre akan berubah menjadi post. Pada
saat pembakaran alat tidak boleh dipegang atau disentuh dengan bagian badan
yang manapun juga. Tunggu sampai pembakaran selesai yang ditandai dengan
bunyi alarm dan pada display akan muncul Gross Heat-nya. Tekan done untuk
menyimpan data, dan pada display akan keluar secara bergantian suhu water
jacket dan water bucket. Keluarkan bomb dan water bucket dari calormeter. Air
yang ada dalam bucket dapat dimasukkan kembali kedalam water handling.
Keluarkan gas dari tabung bomb melalui oulet valve sampai habis. Injeksikan air
yang mengandung mtil orange 1 ml dalam 1 liter air, sebanyak 100 ml melalui
oulet valve kedalam bomb untuk mencuci seluruh bagian dalam bomb.
Kumpulkan air pencuci tadi kedalam bearker dan bilas sampai tidak ada asamnya
tertinggal dengan aquadest. Titrasi larutan dengan larutan Na2CO3 1 ml = 1 cal.
Jumlah volume (milliliter) Na2CO3 yang terpakai untuk menetralisirkan asam =
jumlah calori asam yang dihasilkan contoh yang diperiksa tadi. Ukur panjang wire
yang tersisa kemudian hitung panjang wire yang terbakar dan kalikan dengan 2,3
cal [maka didapat calori yang dihasilkan wire (fuse)]. Hitung harga gross haet
yang sesungguhnya. Tekan RPT pada display calorimeter.

PKMP-3-2-8
f. Isolasi Lactobacillus sp dari tablet kunyah dadih dengan penambahan
madu dan rasa jeruk.
Cara kerja isolasi diawali dengan proses enrichment, dimana 0.4 gram
sampel dicampurkan kedalam 3,6 mL MRS Broth ( Oxoid ), lalu dihomogenkan
sehingga didapatkan pengenceran 1:10 atau 10
-1
, kemudian disimpan dalam
inkubator pada suhu 37
0
C selama 24 am. Setelah inkubasi, sampel diencerkan
melalui proses pengenceran ( serial dilution ) sampai 10
-5
dengan cara diambil
100L dari enrichment ditambahkan kedalam tabung eppendorf yang berisi
900L MRS Broth sehingga didapat pengenceran 10
-2
, diambil 100L dari
pengenceran 10
-2
ditambahkan kedalam tabung eppendorf yang berisi 900L
MRS Broth sehingga didapatkan pengenceran 10
-3
dan seterusnya hingga
didapatkan pengenceran 10
-5
. Kemudian masuk ke proses planting dimana
diambil masing-masing 100L dari tabung eppendorf pada pengenceran 10
-5
lalu
ditanamkan pada medium MRS agar, lalu di inkubasi dalam suhu 37
0
C selama 24-
48 jam. Koloni Lactobacillus sp tunggal yang tumbuh dipindahkan kembali ke
media MRS agar dan kembali diinkubasi pada suhu 37
0
C selama 24 jam untuk
pemurnian dan identifikasi Lactobacillus sp yaitu pewarmaan gram.

g. Uji Bakteriosin dari Lactobacillus sp yang terdapat dalam tablet kunyah
dadih.
Uji bakteriosin menggunakan metode difusi agar, dengan bakteri uji yaitu
Escherichia coli.Stok Lactobacillus dengan kekuatan koloni 2,4,6 di suspensikan
dengan 0,5 mL MRS Broth dan di inkubasi selama 24 jam pada 37
0
C, lalu
celupkan kertas cakram steril ke dalamnya dengan variasi waktu 1,2,3 jam.
Letakkan cakram pada medium Nutrient Agar ( NA ) yang sebelumnya telah di
campur dan diratakan dengan bakteri uji ( Escherichia coli ), Kemudian di
inkubasi pada suhu 37
0
C selama 24-48 jam. Zona terang yang terbentuk di
sekeliling sumur menunjukkan adanya aktifitas bakteriosin terhadap bakteri uji.
Diameter zona yang terbentuk selanjutnya di ukur.

h. Uji Organoleptik (Tingkat Kesukaan)
Untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis pada tablet kunyah dadih ini
dilakukan uji organoleptik dengan 5 panelis. Uji organoleptik dilakukan dengan
cara uji hedonik / uji kesukaan dengan kriteria (1) kurang suka, (2) agak suka, (3)
sangat suka (Rahayu, 2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kadar Keasaman
Tabel 4 Rata-rata Keasaman Tertitrasi (% TTA) Tablet Kunyah Dadih dengan
Penambahan Madu dan Rasa Jeruk
Perlakuan Rataan
F1
F2
F3
F4
11,6
a
12,0
ab
12,2
b
12,5
cb
abc
Superskrip yang berbeda nyata pada kolom yang sama menunjukan nilai
berbeda nyata (P<0,05)


PKMP-3-2-9
Jika dilihat derajat keasaman dadih dibandingkan dengan keasaman tablet
kunyah dadih terlihat perbedaan yang sangat besar, dimana keasaman dadih
adalah berkisar antara 1,42 % TTA (Sughita, 1995), sedangkan dari hasil
penelitan didapatkan keasaman tablet kunyah dadih adalah berkisar antara 11,6-
12,5 % TTA. Hal ini disebabkan oleh adanya proses pengeringan terhadap dadih
sehingga kadar airnya berkurang. Penambahan bahan pembantu yang bersifat
asam juga berpengaruh dalam peningkatan kadar keasaman dadih. Dari hasil uji
DMRT menunjukan bahwa penambahan madu dan rasa jeruk memberi
menunjukan nilai yang berbeda nyata.

2. Total Koloni Bakteri
Tabel 5 Rata-rata Total Koloni Bakteri (x 10
-5
CFU/ berat tablet) Tablet Kunyah
Dadih dengan Penambahan Madu dan Rasa Jeruk
Perlakuan Rataan
F1
F2
F3
F4
76,00
79,40
80,80
82,00
Pengeringan dan penambahan madu sangat berpengaruh pada jumlah
koloni bakteri dalam tablet kunyah dadih. Dengan berkurangnya kadar air dalam
tablet kunyah dadih membuat pertumbuhan dadih menjadi terganggu. Sedangkan
Madu memiliki zat anti bakteri, dari hasil penelitian Wootton dkk (1978), telah
dibuktikan bahwa daya anti bakteri madu tidak dipengaruhi oleh gula dan kadar
air. Dimana hal ini dapat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Dari hasil
uji analisa keragaman menunjukan bahwa penambahan madu dan rasa jeruk
menunjukan nilai tidak berbeda nyata.

3. Kadar Vitamin C
Tabel 6 Rata-rata Kandungan Vitamin C (%) pada Tablet Kunyah Dadih dengan
Penambahan Madu dan Rasa Jeruk
Perlakuan Rataan
F1
F2
F3
F4
0,15
a
0,21
b
0,22
b
0,55
c
abc
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan nilai berbeda
nyata (P<0.05).
Kandungan vitamin c meningkat dengan semakin meningkat pula penambahan
rasa jeruk dan semakin sedikit penambahan madu. Dari hasil uji DMRT
menunjukan bahwa penambahan madu dan rasa jeruk menunjukan nilai yang
berbeda nyata.

4. Kandungan Protein

Tabel 7 Rata-rata Kandungan Protein (%) pada Tablet Kunyah Dadih dengan
Penambahan Madu dan Rasa Jeruk
Perlakuan Rataan
F1
F2
F3
F4
42.48
42.59
42.69
42.74

PKMP-3-2-10
Meningkatnya kandungan protein dari tablet kunyah dadih(42,48% -
42,74%) dengan penambahan madu dan rasa jeruk dibandingkan kandungan
protein dadih asli 5,93% (Yudoamijoyo, dkk., 1983) merupakan pengaruh dari
pengurangan kadar air dadih dengan dilakukannya pengeringan pada dadih.
Dengan dilakukan pengeringan pada dadih dalam pembuatan tablet kunyahnya
dengan kadar airnya 10%, perbandingan antara berat sampel dari tablet kunyah
dadih yang jauh lebih kering dengan berat dadih asli jauh lebih besar, sehingga
akan membuat kadar protein yang diuji jauh lebih besar. Sedangkan penambahan
madu dan rasa jeruk tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata, hal ini
karena jika dilihat dari kandungan zat gizi madu dan rasa jeruk tidak memiliki
protein.

5. Nilai Kalori
Tabel 8 Rata-rata Nilai Kalori / Energi (Kkal/gram) pada Tablet Kunyah Dadih
dengan Penambahan Madu dan Rasa Jeruk
Perlakuan Rataan
F1
F2
F3
F4
5904.4
a
6148.0
a
5.444.0
b
5232.0
b
ab
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan nilai yang berbeda
nyata.

Jika dilihat dari uraian diatas menunjukan semakin berkurangnya
penambahan madu nilai, energi dari tablet kunyah semakin menurun. Hasil ini
disebabkan adanya reaksi madu yang bersifat basa dengan dadih yang bersifat
asam. Penurunan keasaman ini berpengaruh pada penurunan bakteri asam laktat
yang akan berakibat menurunnya energi yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Desrosier (1998) menyatkan bahwa substart akan menentukan energi
yang dihasilkan untuk pertumbuhan bakteri didalam bahan makanan. Sedangkan
penambahan jeruk yang semakin besar tidak terlalu berpenagruh besar untuk
meningkatkan enegi tablet kunyah dadih.



6. Isolasi Lactobacillus sp
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa dengan semua perlakuan yang
diterapkan pada pembuatan tablet kunyah dadih ini termasuk dengan melakukan
pengeringan pada dadih dengan suhu 60C tidak membunuh atau menghilangkan
bakteri Lactobacillus sp yang terkandung didalam dadih, yang dapat ditunjukan
pada gambar 1 dibawah ini,





(a) (b) (c)
Gambar 1
(a) Penampakan koloni Lactobacillus sp pada medium MRS Agar

PKMP-3-2-11
(b) Pewarnaan gram (gram positif) dari Lactobacillus sp (berbentuk batang, dan
berwarna keunguan)
(c) Morfologi Lactobacillus sp dengan menggunakan Elektron Mikroskop

7. Uji Bakteriosin]
Untuk uji bakteriosin hasil yang didapat dapat dilihat pada gambar-gambar
dibawah ini dimana bakteri dari tablet kunyah dadih (Lactobacillus sp)
memberikan zona bening pada media apusan Lactobacillus sp yang ditempeli
Eschericia coli yang membuktikan adanya efek bakteriosinnya dan dapat dilihat
pada gambar 2 dibawah ini. Selain itu juga dilakukan uji bakteriosin dengan
menggunakan apusan Eschericia coli yang ditempeli Lactobacillus sp yang zona
beningnya dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini.



Zona bening Zona Bening
Gambar 2 Gambar 3

8. Uji organoleptik (Tingkat Kesukaan)

Tabel 9 Rata-rata Nilai Uji Organoleptik pada Tablet Kunyah Dadih dengan
Penambahan madu dan Rasa Jeruk.
Perlakuan Rataan
F1
F2
F3
F4
1,8
a
2,4
a
1,2
a
1,2
a
a
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan nilai yang tidak
berbeda nyata.
Dari hasil analisa keragaman menunjukan tingkat kesukaan konsumen
yang tinggi ada pada perlakuan F2, dimana penambahan madu dan rasa jeruk
berimbang.


KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Pembuatan tablet kunyah dadih memberikan pengaruh dengan meningkatkan
kandungan protein dan keasaman pada dadihnya. Sedangkan pengaruhnya
pada koloni bakteri dan koloni Lactobacillus sp tidak membunuh bakteri-
bakteri tersebut dan tidak menghilangkan efek bakteriosinnya pada bakteri
patogen dalam hal ini Escherichia Coli.
2. Penambahan madu dan jeruk yang terbaik dalam pembuatan tablet kunyah
dadih adalah formula kedua dengan jumlah madu dan rasa jeruk yang
ditambahkan sebanyak 20 mg dan 20 mg rasa jeruk.





PKMP-3-2-12
B. Saran
Dalam pembuatan tablet kunyah ini sebaiknya menggunakan sistim
pengeringan dingin karena dadih kering yang didapatkan lebih halus dan aroma
lemaknya didapat ditutupi dengan baik oleh penambahan madu dan rasa jeruk.
Untuk penambahan rasa sebaiknya digunakan bahan yang tidak
mengandung asam, karena dapat meningkatkan kadar keasaman produk, dimana
keasaman yang tinggi tidak baik untuk saluran pencernaan terutama pada
penderita gangguan pencernaan akibata asam lambung.

Daftar Pustaka
1. Anas, Yuliar, Zuraida Zuki. 2001. Penuntun Pratikum Analisa Bahan Pangan.
Falkutas pertanian, Universitas Andalas. Padang
2. Ben, Elfi Sahlan. 1997. Teknologi Tablet Diktat Pratikum. FMIPA.
Universitas Andalas. Padang
3. Desrosier, W. N. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia.
Jakarta
4. Hadiwiyoto, S. 1982. Teknik Uji Mutu dan Hasil Olahannya. Penerbit Liberty.
Yogyakarta.
5. Rahayu, Winiati Pudji. 2001. Penuntun Pratikum Penilaian Organoleptik.
Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Insitut Pertanian
Bogor. Bogor
6. Steel, R. G and J. H. Torrie. 1980. Principle and Procedur of Statistic. MC.
Grow Hill Book Co, Inc. New York
7. Sughita, I. M. 1995. Pengembangan Dadih dengan cara Pasteurisasi,
Penambahan Asam Benzoat dan Penambahan Krim Pada Susu Sapi yang
Diolah menjadi Dadih. Jurnal Pertanian.
8. Sughita, I. M., Lucy A. Aidi. 1998. Daya Cerna Dadih yang Dibuat dengan
Penambahan Starter Streptococcus Lactis dalam Tabung Plastik. Jurnal
Peternakan dan lingkungan. Ditjen Dikti Depdikbud.
9. Yudoamijoyo, R, dkk. 1983. Chemical and Mikrobiologi Aspect of Dadih in
Indonesia. Jpn J of Dairy and Food Science; 32 (1); 1 - 10
10. Yuliardi, 1990. Pengaruh pasteurisasi dan lama penyimpanan terhadap
kualitas dadih. Fakultas Peternakan, Universitas Andalas. Padang

PKMP-3-3-1
RESPON REGENERASI EKSPLAN KALUS KEDELAI
(Glycine max (L.) Merrill) TERHADAP PEMBERIAN NAA SECARA
I N VI TRO

Eva azriati, Asmeliza, Nelfa Yurmita
Biologi FMIPA Universitas Negeri Padang, Padang

ABSTRAK
Kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna yang perkembangannya di
Indonesia menunjukkan penurunan yang cukup besar akibat benih yang tersedia
berkualitas rendah dan tidak mencukupi serta pengendalian terhadap serangan
hama dan penyakit tanaman yang belum memadai. Alternatif untuk mengatasi
kendala tersebut diantaranya menggunakan teknik kultur in vitro dengan
diferensiasi organ tak langsung dari kalus dimana cara ini merupakan langkah
awal untuk perbaikan kualitas tanaman. Pertumbuhan dan morfogenesisnya
dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh tanaman
.Penelitian ini bertujuan untuk melihat respon regenerasi eksplan kalus kedelai
[Glycine max (L.) Merrill] terhadap pemberian NAA dengan konsentrasi yang
berbeda secara in vitro. Penelitian ini telah dilaksanakan di laboratorium
Fisiologi Tumbuhan Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam
Universitas Negeri Padang selama 5 bulan dimulai dari bulan Februari sampai
Juni 2006. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan menggunakan
model Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 20 ulangan. Data
berupa persentase eksplan yang dianalisis secara deskriptif. Perlakuan adalah
berbagai konsentrasi NAA yaitu: tanpa NAA, 0,5M NAA, 1M NAA, 1,5 M
NAA. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah persentase eksplan yang
hidup, persentase eksplan yang membentuk shootlet / tunas, persentase eksplan
yang membentuk rootlet / akar, persentase eksplan yang membentuk planlet /
tanaman lengkap. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa persentase eksplan
yang hidup dari semua perlakuan adalah 100 %, tidak ada satupun eksplan yang
disubkultur membentuk tunas dan planlet., persentase eksplan yang membentuk
akar antara 5-25% dan konsentrasi 0,5M NAA merupakan terbaik untuk
pertumbuhan akar.

Key words: regenerasi, kalus kedelai, NAA, in vitro

PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna karena bisa digunakan
sebagai bahan pangan, pakan ternak, maupun bahan baku berbagai industri
manufaktur (pabrik) dan olahan. Kedelai mengandung kadar protein lebih dari
40% dan lemak 10-15% dan vitamin. Sampai saat ini kedelai merupakan sumber
protein nabati yang relatif murah (Adisarwanto 2005 ).
Perkembangan tanaman kedelai di Indonesia selama 10 tahun terakhir ini
menunjukkan penurunan yang cukup besar, lebih dari 50 % baik dalam segi luas
areal tanam maupun produksi. Pada tahun 1992, luas areal tanam tanaman kedelai
mencapai 1,6 juta ha, sedangkan pada tahun 2003 luas areal tanam hanya 600.000
ha. Total produksi selama periode yang sama menurun dari 1,9 juta ton menjadi
700 ribu ton ( Adisarwanto 2005). Di Sumatera Barat pada tahun 1995 luas areal

PKMP-3-3-2
tanam tanaman kedelai mencapai 12,632 ha dengan total produksinya 13,411 ton,
tetapi pada tahun 2004 mengalami penurunan yang tajam dengan luas areal tanam
hanya 1,304 ha, total produksinya 1,575 ton (Annonimous 2005). Usaha
penanaman komoditi kedelai ini sangat perlu ditingkatkan dan lebih diintensifkan
agar produksi bisa ditingkatkan dan ketergantungan impor bisa dikurangi.
Kendala utama peningkatan produksi kedelai itu antara lain akibat benih
yang tersedia berkualitas rendah dan tidak mencukupi serta pengendalian terhadap
serangan hama dan penyakit tanaman yang belum memadai (Adisarwanto dan
Wudianto 2002). Salah satu alternatif untuk mengatasi kendala di atas adalah
dengan melakukan perbanyakan tanaman secara vegetatif modern yaitu teknik
kultur in vitro. Manfaat dari kultur in vitro ini antara lain menyediakan bibit
tanaman yang sehat dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, dalam
areal yang kecil, tidak tergantung pada musim dan memungkinkan manipulasi
genetik (Yusnita 2004 ). Penerapan metode kultur in vitro merupakan langkah
awal untuk mendapatkan perbaikan kualiatas tanaman.
Kultur in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi potongan jaringan
tanaman dari kondisi alami pada media nutrisi dalam kondisi aseptik, dimana
potongan jaringan yang diambil mampu mengadakan perbesaran, perpanjangan,
dan pembelahan sel dan membentuk suatu massa sel yang belum terdiferensiasi
yang disebut kalus serta membentuk shootlet (tunas), rootlet (akar), atau planlet
(tanaman lengkap) (Suliansyah 2003, Gunawan 1987 ).
Respon pertumbuhan kultur in vitro secara umum meliputi pembentukan
kalus, diferensiasi dan embriosomatik. Diferensiasi dapat terjadi melalui dua cara,
yaitu diferensiasi langsung dimana pembentukan organ tanpa melalui
pembentukan kalus dan diferensiasi tak langsung yaitu terbentuknya organ
didahului dengan pembentukan kalus dan organ akan muncul dari kalus tersebut
(George dan Sherington 1984).
Pada hakekatnya pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro
dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh yang
berada dalam eksplan (endogen) dengan zat pengatur tumbuh yang diserap dari
media tumbuh (eksogen). Dimana bentuk keseimbangan yang terjadi akan
menentukan arah dan bentuk pertumbuhan, seperti: membentuk kalus, shootlet
(tunas), rootlet (akar), atau planlet (tanaman lengkap) . Zat pengatur tumbuh yang
sering ditambahkan pada media kultur in vitro adalah ZPT golongan auksin dan
sitokinin. ZPT sintetik golongan auksin seperti NAA, dan 2,4-D, NAA lebih
sering digunakan karena lebih stabil dari yang lain. ZPT sintetik golongan
sitokinin yang sering digunakan seperti BAP dan 2-iP (Wiendi et al 1992).
Penelitian tentang keberhasilan pembentukan kalus kedelai dengan berbagai
konsentrasi zat pengatur tumbuh telah banyak dilaporkan, tetapi laporan tentang
keberhasilan regenerasinya baru membentuk akar. Dengan memodifikasi
formulasi zat pengatur tumbuh diharapkan kalus akan mampu beregenerasi
membentuk organ lain. Ernita (1995) telah melakukan penelitian untuk
meregenerasi kalus kedelai pada media B5 dengan penambahan zat pengatur
tumbuh 2,4-D dan air kelapa, hasil regenerasi yang diperoleh hanya membentuk
akar dan itupun tanpa air kelapa. Hasil penelitian Chatri (2001), telah berhasil
membentuk planlet dari meristem pucuk kedelai dengan penambahan zat pengatur
tumbuh NAA 1 M tanpa BAP, tetapi tanaman yang terbentuk hanya satu planlet.

PKMP-3-3-3
Penggunaan kalus kedelai sebagai eksplan dengan pemberian zat pengatur tumbuh
NAA saja belum ada dilaporkan.
Berdasarkan uraian di atas penulis mengadakan penelitian dengan judul
Respon Regenerasi Eksplan Kalus Kedelai [Glycine max (L.) Merrill]
Terhadap Pemberian NAA Secara I n Vitro. Dari penelitian ini dapat
dirumuskan masalah bagaimanakah respon regenerasi eksplan kalus kedelai
terhadap pemberian NAA secara in vitro?
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat respon regenerasi eksplan kalus
kedelai [Glycine max (L.) Merrill ] terhadap pemberian NAA dengan konsentrasi
yang berbeda secara in vitro. Manfaat penelitian ini adalah sebagai penambah
ilmu pengetahuan baik bagi peneliti sendiri maupun bagi masyarakat luas dan
dasar bagi peneliti selanjutnya.

METODE PENDEKATAN
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Fisiologi Tumbuhan Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Padang selama 5
bulan dimulai dari bulan Februari sampai Juni 2006.
Bahan penelitian: zat kimia penyusun media B5, zat pengatur tumbuh NAA,
ZPT 2,4-D, NaOH 0,1 N, HCl 0,1 N, alkohol 70%, NaClO 5,25 % (Bayclin),
sukrosa, aquades steril, agar, deterjen, spiritus, karet gelang, kertas label, tissue,
aluminium foil, kertas topi, dan biji kedelai varietas Singgalang.
Alat yang digunakan: timbangan analitik, autoclave, laminar air flow
cabinet (LAFC), lemari es, oven, pH meter, botol kultur, hot plate dan magnetic
stirerr, hand sprayer, scalpel, pinset, lampu spiritus, cawan petri, gelas ukur, gelas
piala, Erlenmeyer, batang pengaduk, rak kultur yang dilengkapi lampu neon dan
alat tulis.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan menggunakan model
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 20 ulangan. Data
berupa persentase eksplan yang dianalisis secara deskriptif. Perlakuan adalah
berbagai konsentrasi NAA sebagai berikut:

tanpa NAA, 0.5 M NAA, 1.0 M
NAA, 1.5 M NAA.
Seluruh alat yang digunakan harus disterilkan. Botol kultur dicuci dengan
deterjen dan bilas hingga bersih, setelah itu direndam dengan bayclin 5 ml/l air
selama 1 malam. Alat penanaman seperti pinset, pisau scalpel dan cawan petri
terlebih dahulu dibungkus dengan kertas lalu disterilisasi bersama dengan botol
kultur dalam autoclave pada tekanan 15 psi dengan suhu 121C selama 30 menit.
Setelah disterilisasi, alat tersebut diovenkan pada suhu 75C sampai saat
digunakan. LAFC dan rak kultur disemprot terlebih dahulu dengan alkohol 70%
setiap akan digunakan. Ruang inkubasi juga disterilkan dengan alkohol 70% 2
hari sebelum digunakan.
Stok NAA dibuat dengan konsentrasi 1 mM dengan cara sebagai berikut:
bahan zat pengatur tumbuh NAA ditimbang sebanyak 18,5 mg, lalu dituang ke
dalam Erlenmeyer 100 ml. Kemudian ditetesi NaOH 0,1 N beberapa tetes untuk
melarutkannya sambil diaduk merata setelah larut ditambahkan aquades steril dan
dicukupkan volumenya menjadi 100 ml, lalu ditutup rapat dengan aluminium foil.
Pembuatan media, terlebih dahulu dibuat larutan stok (I-IV) dengan
menimbang seluruh zat kimia untuk komposisi media padat B5. Larutan stok
disimpan dalam lemari pendingin sampai saat dipergunakan.

PKMP-3-3-4
Untuk 1 liter media B5 dimasukkan masing-masing larutan stok sesuai
dengan kebutuhan ke dalam gelas piala yang berisi 600 ml aquades steril. Setelah
itu dimasukkan 20 gr sukrosa, homogenkan dengan menggunakan magnetik stirer
Dalam beaker glass lain masukkan 200 ml aquades steril dan agar sebanyak 7,5-8
gram dan homogenkan dengan magnetik stirer sambil dipanaskan. Setelah larutan
agar mendidih dan kelihatan jernih maka kedua larutan tadi dicampurkan,
selanjutnya masukkan myo-inositol homogenkan dengan magnetik stirer, setelah
homogen larutan dicukupkan dengan aquades steril sampai 1000 ml. Atur pH
sampai 5,8 dengan penambahan 0,1 N NaOH atau 0,1 N HCl. Selanjutnya larutan
tersebut dibagi menurut perlakuan dan ditambahkan zat pengatur tumbuh sesuai
dengan perlakuan. Kemudian media tersebut dimasukkan ke dalam botol kultur
kurang lebih 10 ml / botol dan ditutup dengan aluminium foil dan kertas topi..
Selanjutnya media tersebut disterilkan dalam autoclave pada temperatur 121C
dengan tekanan 15 psi selama 20 menit. Media yang telah steril diinkubasi selama
1 minggu di ruang inkubasi.
Untuk penyedian eksplan terlebih dahulu biji kedelai disterilisasi permukaan
dengan NaClO 5,25 % (Bayclin), kemudian direndam dalam alkohol 70% selama
1 menit 3 kali, lalu bilas dengan aquades steril 3 kali. Selanjutnya direndam
dengan larutan tween 20% selama 15 menit kemudian biji tersebut dibilas lagi
dengan aquades steril dan buang kulit beserta embrionya, lalu kotiledonnya
ditanam dalam botol kultur yang berisi media B5 dengan zat pengatur tumbuh
2,4-D 20 mg/l untuk mmenginduksi kalus.
Penanaman eksplan caranya yaitu kalus yang terbentuk dipotong dengan
ukuran 0,5 cm x 0,5 cm. Kemudian ditanamkan pada media B5 yang telah
ditambahkan zat pengatur tumbuh NAA sesuai dengan konsentrasi perlakuan.
Pemeliharaan meliputi menjaga kebersihan ruang kultur, pemisahan eksplan
atau media yang terkontaminasi oleh mikroorganisme dari ruang kultur.
Penyemprotan ruangan dan botol- botol eksplan setiap hari dengan menggunakan
alkohol 70% serta penyinaran dengan cahaya lampu neon 20 watt pada tiap- tiap
rak kultur dengan suhu ruangan 25C. Apabila ada yang terkontaminasi atau
browning segera dikeluarkan dari ruang kultur.
Pengamatan dilakukan terhadap respon pertumbuhan kalus kedelai 8
minggu setelah penanaman eksplan, parameter yang diamati yaitu: persentase
eksplan yang hidup, persentase eksplan yang membentuk shootlet / tunas,
persentase eksplan yang membentuk rootlet / akar, persentase eksplan yang
membentuk planlet.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1.Persentase eksplan yang hidup
Hasil pengamatan terhadap persentase eksplan yang hidup diamati pada
akhir pengamatan minggu ke 8 setelah tanam dimana hasil yang diperoleh untuk
masing-masing perlakuan terhadap pemberian NAA dengan konsentrasi yang
berbeda yaitu 100% hidup. Keadaan ini dapat dilihat pada tabel 1.





PKMP-3-3-5
Tabel 1. Persentase eksplan kalus yang hidup terhadap pemberian NAA dengan
konsentrasi yang berbeda (8 minggu setelah tanam).

Perlakuan Eksplan yang hidup (%)
A. (tanpa NAA)
B. (0,5 M NAA)
C. (1 M NAA)
D. (1,5 M NAA)
100 %
100 %
100 %
100 %


2. Persentase eksplan yang membentuk shootlet /tunas
Tabel 2. Persentase eksplan kalus yang membentuk shootlet / tunas
terhadap pemberian NAA dengan konsentrasi yang berbeda (8 minggu
setelah tanam).

Perlakuan Ekplan yang membentuk
shootlet / tunas (%)
A. (tanpa NAA)
B. ( 0,5 M NAA)
C. ( 1 M NAA)
D. ( 1,5 M NAA)
0 %
0 %
0 %
0 %

Dari tabel di atas terlihat bahwa pada setiap perlakuan belum ada eksplan
yang membentuk shootlet /tunas baik dengan pemberian NAA maupun tidak.

3. Persentase eksplan yang membentuk rootlet / akar

Tabel 3. Persentase eksplan kalus yang membentuk rootlet/akar terhadap
pemberian NAA dengan konsentrasi yang berbeda (8 minggu setelah
tanam).

Perlakuan Ekplan yang membentuk
rootlet / akar (%)
A. (tanpa NAA)
B. (0,5 M NAA)
C. ( 1 M NAA)
D. (1,5 M NAA)
10 %
25 %
20 %
5 %

Dari tabel 3 di atas didapatkan hasil pada perlakuan tanpa NAA eksplan
dapat membentuk akar 10%. Kemudian pemberian NAA 0,5 M dapat
meningkatkan pembentukan akar, yaitu sebanyak 25 %. Sedangkan pemberian
NAA 1 M persentase pembentukan akar berubah menurun yaitu sebanyak 20 %.
Pemberian NAA 1,5 M persentase pembentukan akar lebih kecil lagi yaitu 5 %.




PKMP-3-3-6
4. Persentase eksplan yang membentuk planlet
Tabel 4. Persentase eksplan kalus yang membentuk planlet terhadap
pemberian NAA dengan konsentrasi yang berbeda (8 minggu setelah
tanam).

Perlakuan Ekplan Yang Membentuk Planlet
(%)
A. ( tanpa NAA)
B. (0,5 M NAA)
C. (1 M NAA)
D. (1,5 M NAA)
0 %
0 %
0 %
0 %

Hasil pengamatan selama 8 minggu setelah tanam menunjukkan pemberian
NAA dengan konsentrasi yang berbeda pada media kultur belum mampu untuk
menyokong pertumbuhan planlet.

Pembahasan
Dari data diatas ditunjukkan bahwa kemampuan hidup eksplan kalus kedelai
sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena jenis dan komposisi media yang
digunakan telah sesuai untuk mendukung pertumbuhan eksplan kalus kedelai,
serta asal eksplan kalus dari kotiledon yang merupakan jaringan muda dari
tanaman yang telah mempunyai zat pengatur tumbuh endogen.
Penambahan NAA ke dalam media akan merubah keseimbangan zat
pengatur tumbuh endogen, dimana keseimbangan yang terjadi akan berpengaruh
terhadap besarnya penyerapan nutrisi yang tersedia dalam media kultur, sehingga
secara langsung dapat mempengaruhi besarnya daya tahan eksplan kalus untuk
hidup pada media tersebut. Eksplan yang hidup dicirikan dengan keadaan warna
eksplan yang masih berwarna hijau, tidak terkontaminasi, tidak mengering, dan
tidak mengalami pencoklatan ( browning).
Hasil pengamatan terhadap pembentukan tunas menyatakan bahwa
penambahan NAA saja ke dalam media ternyata belum dapat menyokong eksplan
kalus untuk membentuk tunas. Hal ini diduga karena diperlukan waktu yang lebih
lama lagi untuk proses pembentukan tunas. Wiendi et all (1991) menyatakan
bahwa pada beberapa tanaman membutuhkan waktu yang lama untuk
beregenerasi. Kemungkinan sitokinin endogen tidak mencukupi untuk
pembentukan tunas berarti selain auksin zat pengatur tumbuh sitokinin juga perlu
ditambahkan ke dalam media. Pierik (1984) menyatakan bahwa sitokinin berperan
dalam memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman khususnya tunas
adventif. Tanpa adanya penambahan sitokinin ke dalam media tanam
menyebabkan kalus tidak mampu berorganogenesis membentuk tunas karena
belum adanya interaksi dan keseimbangan antara auksin dan sitokinin endogen
dengan auksin dan sitokinin eksogen. Sesuai pendapat Gunawan (1988) bahwa
penambahan auksin dan sitokinin eksogen akan merubah level zat pengatur
tumbuh endogen sel. Pembentukan tunas secara in vitro baik melalui
morfogenesis langsung dan tak langsung sangat tergantung pada jenis dan
konsentrasi yang tepat dari senyawa organik, inorganik dan zat pengatur tumbuh
(Wiendi et all 1991).

PKMP-3-3-7
Dari tabel 3 di atas ternyata pemberian NAA dengan konsentrasi yang
berbeda pada media telah berhasil menyokong terbentuknya akar. Persentase
eksplan yang membentuk akar berkisar antara 5-25 %. Pada perlakuan tanpa
pemberian NAA telah berhasil membentuk akar, ini diduga bahwa auksin endogen
yang ada dalam eksplan telah mampu untuk menyokong pertumbuhan eksplan
kalus untuk membentuk akar. Persentase eksplan yang membentuk akar tertinggi
yaitu 25 % pada konsentrasi perlakuan 0,5 M. Setiap peningkatan pemberian
konsentrasi NAA akar yang terbentuk cendrung terhambat. Ini sesuai dengan
pernyataan Kusumo (1984) bahwa apabila auksin diberikan melebihi kadar
optimum pertumbuhan akar akan berkurang dan apabila diberikan pada kadar
yang lebih tinggi lagi menyebabkan pertumbuhan akar terhenti. Hasil penelitian
Chatri (2002), kalus kedelai dapat menginduksi pembentukan akar dengan
pemberian IAA 0,5-1,5 ppm.
Pemberian sitokinin eksogen juga diperlukan untuk mendorong
organogenesis eksplan untuk membentuk planlet karena kemungkinan sitokinin
endogen tidak mencukupi untuk pembentukan planlet. Interaksi dan
keseimbangan antara zat pengatur tumbuh endogen dengan zat pengatur tumbuh
eksogen akan menentukan arah perkembangan suatu kultur. Hasil penelitian
Chatri (2001) terhadap meristem pucuk kedelai dengan penambahan NAA 1 M
dapat membentuk planlet. Hal ini terjadi karena meristem pucuk kedelai tersebut
mengandung sitokinin yang cukup untuk pembentukan tunas.

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Konsentrasi NAA 0,5 M terbaik untuk pembentukan akar untuk sub
kultur
2. Belum ada satupun eksplan kalus kedelai yang beregenerasi untuk
membentuk tunas dan planlet

DAFTAR PUSTAKA
AdisarwantoT, Wudianto R. 2002. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan
Sawah- Kering- Pasang Surut. Jakarta: Penebar Swadaya
Adisarwanto T. 2005. Budidaya Dengan Pemupukan Yang Efektif Dan
Pengoptimalan Peran Bintil Akar Kedelai. Jakarta: Penebar Swadaya.
Annonimous. 2004. Produksi Tanaman Padi dan Palawija Sumatera Barat.
Sumatera Barat: Badan Pusat Statistik
Chatri M. 2001. Pengaruh Pemberian NAA dan BAP Terhadap Meristem Pucuk
Kedelai pada Medium B5. J Stigma 11(1): 10-13.
Chatri. 2002. Perbanyakan Tanaman Kedelai Dengan Kultur Jaringan. Laporan
Penelitian Peneliti Muda (Unpublished).
Ernita M. 1995. Pengaruh Penambahan 2,4-D dan Air Kelapa pada medium B5
Terhadap Pertumbuhan Kalus Kedelai (Glycine max (L.). Skripsi.
Sarjana Biologi. FMIPA Universitas Andalas.
Georg EF, Sherington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. England:
Exegetics Limited.
Gunawan LW. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur
Jaringan Tumbuhan. Bogor: Pusat Antar Universitas (PAU)
Bioteknologi IPB

PKMP-3-3-8

Kusumo S. 1984. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor: Yasaguna
Pierik RLM. 1984. In Vitro Culture of Higher Plant. Dordrecht Nederland:
Martins Nijhoff Publisher
Suliansyah I. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Padang: Program Pascasarjana
Universitas Andalas Padang.
Wiendi NMA, GA Wattimena, LW Gunawan. 1991. Bioteknologi Tanaman.
Bogor: Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB.
Yusnita. 2004. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.
Jakarta: Agromedia Pustaka

PKMP-3-4-1
PENGEMBANGAN MULTI PLE I NTELLI GENCE ANAK MELALUI
PROGRAM PET CARE

Regina Anindya T., Murni, Natya Ayu Candrika R., Rini Adhi A.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok

ABSTRAK
Howard Gardner (dalam Gage & Berliner, 1992) menjelaskan bahwa setiap
orang memiliki berbagai jenis kecerdasan, yang disebut dengan multiple
intelligences (MI). Hoerr (1994) menjelaskan bahwa telah banyak pendidik yang
menyadari pentingnya mengembangan MI, sehingga penting untuk mengadakan
pendidikan MI di sekolah. Untuk itu, perlu dikembangkan program pendidikan
berbasis MI yang sesuai diadakan di sekolah. Penelitian ini berusaha untuk
membuat program pengembangan MI dengan memanfaatkan hewan sebagai
media. Keputusan menggunakan hewan sebagai media banyaknya manfaat yang
dapat diambil dari hewan peliharaan, seperti meningkatkan tanggung jawab,
mengembangkan keterampilan sosial dan empati, dan lain-lain (Meadows &
Flint, 2006). Selain itu, hewan sebagai media pembelajaran dapat meningkatkan
kesempatan untuk belajar di berbagai bidang kurikulum
(http://www.nationalpetweek.org.uk). Program yang dibentuk terdiri atas 2
program rutin dan 10 program khusus, meliputi berbagai aspek MI. Peserta
program adalah 30 murid kelas 3 SD, dengan menggunakan kelinci sebagai
media pembelajaran. Pendekatan yang digunakan adalah discovery learning,
dengan membiarkan anak bereksperimen dengan hewan peliharaan untuk
mendapatkan pengetahuan baru. Untuk mengetahui perkembangan berbagai
aspek MI, digunakan beberapa lembar penilaian serta observasi. Hasil penilaian
menunjukkan bahwa terdapat beberapa aspek MI yang berkembang setelah
program dilaksanakan. Aspek-aspek tersebut adalah kecerdasan antar-pribadi,
intra-pribadi, naturalistik, dan verbal-linguistik. Sementara itu, tidak terlihat
adanya peningkatan yang berarti dari aspek-aspek MI lainnya. Dari hasil
penelitian, dapat disimpulkan bahwa program belum dapat mengembangkan MI
secara optimal. Diperlukan beberapa perbaikan dalam program, untuk
mendapatkan kegiatan-kegiatan yang paling efektif meningkatkan MI. Perlu juga
ditinjau kembali durasi serta frekuensi pelaksanaan program yang paling efektif.

Kata kunci: multiple intelligences, hewan peliharaan, anak-anak, sekolah

PENDAHULUAN
Gardner (dalam Gage & Berliner, 1992) menjelaskan bahwa sesungguhnya
ada berbagai aspek dalam kecerdasan seseorang, disebut multiple intelligences
(MI), antara lain meliputi kecerdasan linguistik, logis-matematis, spasial,
kinestetik-jasmani, musikal, antarpribadi, intrapribadi, dan naturalis. Penemuan
ini mengubah persepsi akan suatu bentuk kurikulum pendidikan dasar yang baik.
Pendidikan yang tadinya hanya memfokuskan diri pada pengembangan aspek
kognitif kini mulai terbuka dan memberi kesempatan anak untuk mengembangkan
berbagai aspek kecerdasannya (Combs, dalam Gage & Berliner, 2000).
Meski penyelenggara pendidikan dasar di Indonesia telah memunculkan
program ekstrakurikuler untuk mengembangkan berbagai aspek kecerdasan anak,

PKMP-3-4-2
kecerdasan yang banyak dikembangkan hanya mencakup kecerdasan linguistik,
spasial, kinestetik-jasmani, dan musikal. Berbagai aspek lain, seperti kecerdasan
antarpribadi dan interpribadi justru tidak terjamah oleh sistem pendidikan dasar
yang ada sekarang. Hal ini mengkhawatirkan mengingat pernyataan Gardner
(1983 dalam Gage & Berliner, 1992) bahwa pengembangan berbagai aspek
kecerdasan sangat penting karena memberikan banyak kesempatan bagi siswa
untuk mencapai keberhasilan. Hal ini dikarenakan apabila seorang siswa gagal
dalam satu aspek kecerdasan, ia tidak harus merasa rendah diri karena sangatlah
mungkin bahwa ia dapat saja berprestasi tinggi dalam aspek kecerdasan lainnya.
Oleh karena itulah, Peneliti hendak mengembangkan program untuk
memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan MI yang mereka
miliki. Pengembangan MI dalam dilakukan dengan memanfaatkan hewan
peliharaan. Selama 6 minggu, siswa secara berkelompok diminta untuk merawat
hewan peliharaan, serta melakukan berbagai kegiatan untuk mengembangkan MI.
Pengembangan MI anak dapat dilakukan dengan metode discovery
learning. Metode ini telah digunakan di Jepang untuk anak-anak TK dalam
program yang serupa, yakni merawat hewan (Hatano & Inagaki, dalam Ormrod,
2000). Metode ini memungkinkan anak mengkonstruksikan pengetahuannya
dengan melakukan eksperimen dengan hewan peliharaan. Dengan demikian anak
dapat menentukan sendiri cara merawat hewan yang paling baik dan benar
berdasarkan pengalaman langsung dan masukan dari teman maupun guru.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut akan dijabarkan hasil dan pembahasan dari setiap pertemuan yang
diadakan.

I. Perkenalan
Tujuan:
Berkenalan dengan peserta program dan juga memberikan kesempatan
bagi peserta program untuk mengenal tim fasilitator yang akan berinteraksi
dengan mereka. Pada sesi ini juga diberikan pre-test guna mengukur kemampuan
siswa, antara lain kemampuan verbal-linguistik, logis-matematis, dan
naturalistik.

Deskripsi Kegiatan:
Pada pertemuan pertama ini, fasilitator membuat name tag yang dikenakan
baik oleh tim fasilitator maupun para siswa. Fasilitator memberikan penjelasan
mengenai garis besar kegiatan yang akan mereka ikuti. Setelah itu, para siswa
diminta untuk mengerjakan secara individual tes tertulis yang telah disiapkan tim
fasilitator. Kemudian, siswa dibagi ke dalam 6 (enam) kelompok secara acak dan
diminta untuk membuat nama kelompoknya masing-masing. Para siswa diberikan
kesempatan untuk berkenalan dengan teman sekelompoknya dan pertemuan
ditutup dengan pembagian buku catatan pribadi. Buku tersebut akan digunakan
sebagai sarana pencatatan setiap tugas yang diberikan dalam program ini dan
sarana evaluasi pribadi.

Hasil Observasi:

PKMP-3-4-3
Para siswa nampak sangat antusias untuk mengikuti program ini. Hal ini
terlihat dari sambutan hangat yang diberikan para siswa pada saat tim fasilitator
memasuki ruang kelas. Mereka pun banyak mengajukan pertanyaan pada tim
fasilitator berkenaan dengan kegiatan yang akan mereka lakukan. Akan tetapi,
keakraban diantara para siswa belum terjalin. Para siswa duduk secara
berkelompok berdasarkan kelas dan jenis kelaminnya masing-masing. Bahkan
pada saat siswa dibagi dalam kelompok secara acak, mereka masih tampak kaku
dengan teman-teman sekelompoknya. Pada saat pemberian pre-test, anak-anak
masih sulit untuk diatur dan sulit fokus pada instruksi yang diberikan fasilitator.
Tim fasilitator menemukan adanya kesulitan komunikasi dengan siswa yang
mengikuti kegiatan ini. Siswa terlihat kurang tanggap terhadap instruksi
fasilitator. Para siswa juga tidak terbiasa mendengar dan menggunakan bahasa
Indonesia secara baik dan benar. Banyak diantara mereka yang cenderung
menggunakan logat Betawi.

Pembahasan:
Dari hasil pengamatan ini, fasilitator menyimpulkan beberapa hal yaitu:
1. Siswa memiliki motivasi untuk mengikuti program ini karena mereka tertarik
dan antusias untuk memelihara hewan dan mengikuti berbagai kegiatan yang
akan mereka ikuti.
2. Kesulitan para siswa untuk berkomunikasi dengan tim fasilitator dengan
bahasa Indonesia yang baik dan benar mengindikasikan kurang
berkembangnya kemampuan verbal-linguistik pada anak. Mereka belum
mampu menyimak, memahami, dan mengingat instruksi yang dibacakan oleh
fasilitator dengan efektif (Campbell,et.al., 2006). Oleh karena itu, tim
fasilitator memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang lebih
sederhana (sehari-hari) untuk memudahkan komunikasi dengan para siswa.

II. Animal Planet
Tujuan: meningkatkan kecerdasan naturalistik dan antar pribadi.

Deskripsi Kegiatan:
Anak-anak diminta untuk bermain pengelompokkan gambar-gambar
hewan ke dalam kategori yang diberikan. Saat pelaksanaan, anak-anak dibagi
menjadi 6 kelompok, masing-masing beranggotakan 5 orang. Setiap kelompok
dibagikan kartu bergambar hewan, kemudian diminta mengelompokkan hewan-
hewan tersebut berdasarkan cara berkembang biak (beranak dan bertelur). Setelah
selesai, kelompok diminta mempresentasikan hasil pekerjaan mereka di depan
kelas. Pada akhir kgiatan, anak-anak diminta untuk membaca keterangan tentang
hewan-hewan tersebut yang terdapat di belakang kartu bergambar.

Hasil Observasi:
Pada kegiatan pertama sebagai kelompok ini, sebagian anak masih
mengalami kesulitan bekerja sama. Walaupun sebagian besar kelompok dapat
bekerja dengan cukup tenang, beberapa anak tampak memiliki perbedaan
pendapat di dalam kelompok. Pada salah satu kelompok, perbedaan pendapat
tersebut menyebabkan perdebatan panas. Fasilitator pun meminta kelompok untuk
tidak bertengkar, dan memberi pengertian bahwa apabila bekerja dalam kelompok

PKMP-3-4-4
mereka harus berusaha untuk memahami teman-temannya serta tidak naik darah.
Diharapkan sesi ini dapat membantu anak belajar mengenai cara bekerja sama
dengan baik, yang merupakan salah satu aspek kecerdasan antar pribadi.

Pembahasan:
Kegiatan ini telah berjalan dengan cukup baik. Walaupun saat
mengelompokkan hewan sebagian besar kelompok masih melakukan beberapa
kesalahan, namun banyak hal baru yang dipelajari anak-anak mengenai hewan-
hewan tersebut. Hal ini terlihat dari betapa asyiknya mereka mencermati tulisan
mengenai hewan yang terdapat di bagian belakang kartu bergambar.

III. Tell Us What You Know
Tujuan: mengembangkan kemampuan verbal-linguistik dan naturalistik siswa.

Deskripsi Kegiatan:
Program ini berbentuk tes tertulis singkat atau mengisi titik-titik, yang
berisi 10 pertanyaan tentang pengetahuan kelinci dalam wacana yang telah
diberikan sebelumnya. Wacana tersebut merupakan penjelasan pengetahuan
singkat tentang kelinci untuk membekali anak-anak pengetahuan dasar dalam
memelihara kelinci. Pertanyaan yang diajukan dibuat dalam bentuk pertanyaan
isian untuk memudahkan anak-anak dalam pengisiannya. Masing-masing anak
akan mendapatkan lembar soal dan mereka harus menuliskan jawabannya pada
lembar soal tersebut. Adapun pengetahuan kelinci yang termuat dalam wacana
tersebut berisi pengetahuan singkat dan sederhana yang diharapkan mampu
ditangkap dan dipahami oleh anak-anak kelas 3 Sekolah Dasar (SD). Setiap anak
mendapatkan 2 lembar wacana yang harus dibaca sendiri di rumah. Sebelumnya
telah dijelaskan bahwa wacana tersebut harus dibaca dan dipahami baik-baik agar
mereka siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar pengetahuan
tersebut.

Laporan pengamatan:
Hasil tes yang telah dikumpulkan menunjukkan rata-rata nilai yang tidak
tinggi. Nilai tertinggi yang mampu diraih dalam kelas tersebut adalah 6 dan nilai
terendahnya adalah 1. Dari hasil tersebut terlihat bahwa banyak sekali anak-anak
yang tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan. Observasi yang dilakukan
selama tes berlangsung pun memperlihatkan bahwa masih anak yang
membutuhkan waktu lama untuk menjawab setiap soal. Bahkan ada beberapa
anak yang harus membaca secara lisan terlebih dahulu sebelum memahami
pertanyaan dan mulai mengerjakan soal. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
membaca dari anak-anak tersebut masih belum cukup lancar. Dari jawaban-
jawaban yang dituliskan, masih banyak anak-anak yang salah mengeja kata-kata
dan perbendaharaan kata-kata yang dimiliki oleh mereka masih belum banyak.


Pembahasan:
Dari hasil pengamatan ini, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Kemungkinan pertama yang menyebabkan rendahnya rata-rata nilai tes adalah
karena sebagian besar anak-anak tersebut belum membaca wacana yang telah

PKMP-3-4-5
diberikan kepada mereka. Hal ini dapat menyebabkan buruknya nilai tes
karena belum memiliki pengetahuan mengenai pertanyaan yang diajukan.
2. Kemampuan membaca dan mengeja dengan benar yang dimiliki oleh anak-
anak tersebut masih kurang baik. Oleh sebab itu, hal ini dapat menghambat
daya tangkap mereka terhadap suatu materi yang diajarkan.
3. Anak-anak tersebut belum dapat dilepas secara mandiri dalam mempelajari
suatu materi. Dibutuhkan adanya pembahasan dan penjelasan secara bersama-
sama dan perlahan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak atau kurang
dimengerti oleh mereka.
4. Rendahnya rata-rata nilai tes menunjukkan adanya kemungkinan bahwa anak-
anak tersebut belum atau kurang mampu menangkap dan memahami materi
pengetahuan yang diberikan dalam wacana. Oleh sebab itu, pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan tidak dapat dijawab dengan baik.
5. Setelah tes selesai, tim fasilitator memberikan penjelasan mengenai isi bacaan.
Ternyata anak-anak mampu menjawab pertanyaan yang diberikan secara lisan.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah mengalami proses pembelajaran.
Ada informasi dan kosa kata baru yang didapatkan. Dengan demikian, telah
terjadi pengembangan kemampuan verbal linguistik dan naturalistik.
IV. Sing a Song
Tujuan: mengembangkan kemampuan musikal dan verbal-linguistik.

Deskripsi Kegiatan:
Pada pertemuan sebelumnya, siswa telah diberi tugas kelompok untuk
memilih satu lagu yang mereka sukai untuk dinyanyikan di depan kelas. Namun
mereka diminta untuk mengganti lirik lagu tersebut dengan lirik yang
menceritakan mengenai kelinci yang mereka pelihara. Oleh karena itu dalam
pertemuan berikutnya, setiap kelompok telah siap dengan lirik lagu masing-
masing. Siswa diberi waktu selama 30 menit untuk berlatih menyanyikan lagu
pilihannya. Selama latihan, fasilitator ikut membantu siswa untuk bernyanyi
dengan nada yang harmonis dan kompak dalam kelompok. Setelah 30 menit,
setiap kelompok diberikan kesempatan untuk bernyanyi di depan kelas. Setelah
semua kelompok tampil, fasilitator mengajarkan sebuah lagu tentang kelinci
kemudian mengajak siswa untuk menyanyikan lagu baru tersebut bersama-sama.

Laporan pengamatan:
Siswa terlihat sangat senang dan menikmati kegiatan yang dilakukan pada
hari itu. Siswa tampak cukup kreatif ketika diminta untuk mengganti lirik lagu
tersebut dengan lirik baru yang berceritakan tentang kelinci. Selama latihan siswa
juga berusaha untuk menghafalkan lirik yang telah mereka buat. Selama
kelompok menyanyikan lagu di depan kelas, sebagian besar telah dapat menhafal
lirik yang mereka buat dengan baik. Secara umum penampilan mereka sangat
bersemangat. Meskipun demikian, masih banyak kekurangan dalam seni vokal.
Meskipun berhasil menyanyikan lagu dari awal sampai akhir, mereka masih
terlihat kurang dalam harmonisasi nada. Masih banyak nada yang tidak tepat dan
tempo yang tidak teratur. Selain itu sebagian besar siswa masih bernyanyi dengan
berteriak dan kurang kompak dengan anggota kelompok yang lain.

Pembahasan:

PKMP-3-4-6
Dari hasil pengamatan ini, tim pelaksana program menyimpulkan beberapa
hal, yaitu:
1. Dari semangat dan antusiasme siswa dalam kegiatan ini dapat terlihat bahwa
mereka memiliki ketertarikan yang tinggi pada bidang musikal khususnya seni
vokal. Oleh karena itu, kemampuan musikal siswa dapat lebih dikembangkan
lagi melalui program pengajaran seni vokal yang berkelanjutan dan intensif.
2. Kekurangan siswa dalam menyanyikan lagu di depan kelas dikarenakan oleh
waktu latihan yang singkat dan tidak adanya sarana alat musik yang
diperlukan untuk mendukung latihan. Selain itu, para siswa juga belum pernah
mendapatkan pendidikan mengenai teknik-teknik dalam bernyanyi
sebelumnya. Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas performa siswa
dalam bernyanyi juga perlu diajarkan teknik-teknik bernyanyi dan latihan
yang lebih intensif.
3.
V. Clean the House
Tujuan: mengasah kecerdasan naturalistik, kinestetik-jasmani, antar pribadi
serta intra pribadi.

Deskripsi Kegiatan:
Dalam sesi ini setiap kelompok dibagi menjadi dua bagian, yaitu anak-
anak yang bertugas membersihkan kandang kelinci dan anak-anak yang bertugas
membersihkan kelinci. Pada pelaksanaannya, kegiatan ini kami anggap telah
cukup dapat membantu melatih kecerdasan naturalistik. Bagi anak-anak yang
diberi tugas membersihkan kelinci, interaksi dengan kelinci dapat dikatakan
sebagai interaksi dengan makhluk hidup yang merupakan bagian dari alam.
Sementara itu, anak-anak yang membersihkan kandang pun mau tidak mau
berurusan dengan kotoran kelinci, yang membuat mereka dekat juga dengan salah
satu bagian alam. Setiap anak harus bekerja sama dengan teman-teman lainnya
untuk menyelesaikan tugas mereka. Hal ini diharapkan mampu membantu melatih
kecerdasan antar pribadi mereka.

Hasil Observasi:
Pada saat membersihkan kelinci, diperlukan satu anak untuk memegang
kelinci sementara anak lainnya mengelap ataupun menyisir bulu kelinci.
Demikian pula dengan tugas membersihkan kandang, yang memerlukan
pembagian tugas seperti menyikat kandang, membersihkan alas, membersihkan
tempat makanan, dan lain-lain. Pada saat kegiatan ini dilakukan, anak-anak
dengan sendirinya telah membagi diri ke dalam tugas-tugas tersebut. Secara
bergantian, mereka berganti tugas agar semua anggota dalam kelompok
mendapatkan kesempatan untuk mengerjakan seluruh tugas.

Pembahasan:
1. Kegiatan membersihkan kelinci ini melatih kemampuan motorik halus. Hal ini
dikarenakan pada saat melakukan kegiatan ini, setiap anak diminta untuk
menggunakan ketrampilan tangan dan juga ketelitian. Mereka harus
memegang kelinci dengan cukup erat, tapi juga lembut agar tidak menyakiti
kelinci, menggunting bulu yang kepanjangan atau kusut, dan mengelap
bulunya. Kegiatan-kegiatan semacam ini menurut Campbell, et.al. (2006)

PKMP-3-4-7
memang dapat mengembangkan kecerdasan kinestetik anak. Selain itu,
kemampuan motorik kasar pun ikut diasah, terutama bagi anak-anak yang
membersihkan kandang, misalnya saat berlari dari tempat pengambilan air
menuju tempat kandang dibersihkan, mengangkat ember, ataupun
memindahkan kandang.
2. Kegiatan membersihkan kelinci dan kandang kelinci memerlukan kerjasama
yang baik antar anak-anak. Hal ini kembali melatih anak untuk berinteraksi
dan bekerja sama dalam kelompok, yang merupakan bagian dari kecerdasan
antar pribadi.
3. Selain itu, anak-anak yang membersihkan kelinci juga secara tidak langsung
dilatih oleh binatang peliharaannya tersebut untuk berempati. Hal ini terlihat
saat salah satu anak berkomentar, kelincinya pengen lari, atau kelincinya
kegelian, yang menunjukkan bahwa mereka berusaha memahami apa yang
dirasakan oleh kelinci yang mereka pelihara. Kecerdasan lain yang turut
dikembangkan dalam kegiatan ini adalah kecerdasan intra pribadi. Melalui
kegiatan ini, anak-anak diharapkan memiliki rasa tanggung jawab terhadap
barang-barang yang dimilikinya ataupun makhluk hidup yang diperliharanya.
Rasa tanggung jawab tersebut merupakan perwujudan dari kesadaran diri
bahwa ada sesuatu yang harus dilakukan untuk menjamin keselamatan
binatang peliharaannya tersebut.

VI. Vet Visit
Tujuan: mengembangkan kemampuan naturalistik, intra-pribadi dan antar-
pribadi yang dimilikinya.

Deskripsi Kegiatan:
Program ini dilaksanakan dengan mendatangkan dokter hewan ke dalam
kelas tersebut untuk memeriksa kesehatan kelinci dari masing-masing kelompok,
dan berbagi pengetahuan mengenai kelinci ataupun hewan lainnya pada anak-
anak. Selain mendengarkan penjelasan dari dokter hewan, anak-anak
diperbolehkan untuk mengajukan pertanyaan apapun seputar dunia fauna kepada
dokter tersebut.

Hasil Observasi:
Pada awalnya, anak-anak tampak belum terbiasa dengan kehadiran orang
baru di kelas, tetapi secara perlahan suasana mulai mencair. Pengetahuan anak-
anak mengenai dunia hewan masih amat terbatas. Hal ini terlihat dari masih
sedikitnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada dokter hewan, dan
beberapa indikasi yang didapatkan dari pertanyaan ataupun jawaban yang
diajukan oleh anak-anak. Pengetahuan dunia hewan yang dimiliki mereka masih
terbatas pada hewan-hewan yang sering ditemui oleh mereka, seperti ayam dan
kucing. Namun tidak sedikit dari mereka yang bahkan kurang memiliki
pengetahuan mengenai hewan-hewan tersebut. Indikasi lain yang didapatkan dari
pengamatan, adalah kurangnya rasa keingintahuan anak-anak. Pada beberapa sesi
yang dibuka untuk mengajukan pertanyaan pada dokter, masih sedikit anak-anak
yang bertanya, bahkan beberapa saat sempat tidak ada yang mengajukan
pertanyaan. Seandainya ada beberapa hal yang ingin ditanyakan pun, masih
banyak dari mereka yang malu untuk bertanya.


PKMP-3-4-8
Pembahasan:
1. Kecerdasan naturalistik, khususnya pengetahuan mengenai dunia hewan
masih perlu dikembangkan.
2. Kemampuan intra-pribadi siswa masih kurang, yang terlihat dari rendahnya
partisipasi siswa dalam menjawab pertanyaan dan bertanya. Kemungkinan
pertama, sedikitnya pertanyaan yang diajukan oleh mereka menunjukkan
kurang kritis-nya mereka terhadap suatu hal atau masih adanya faktor rasa
malu untuk bertanya. Kemungkinan kedua, kurangnya ketertarikan siswa-
siswi terhadap pengetahuan atau materi yang diajarkan.
3. Kehadiran orang baru dalam kelas menyebabkan munculnya waktu untuk
beradaptasi terhadap orang baru tersebut. Observasi menunjukkan bahwa
anak-anak tersebut masih membutuhkan waktu adaptasi yang cukup lama
untuk dapat merasa nyaman atas kehadiran orang baru. Hal ini terkait dengan
kecerdasan antar-pribadi mereka.

VII. Story Telling and Fun Drawing
Tujuan : mengembangkan kemampuan visual dan kinestetik, serta antarpribadi.

Deskripsi Kegiatan :
Dalam kegiatan pertama, fasilitator membawakan sebuah cerita fabel
singkat. Setelah itu, fasilitator bertanya kepada siswa mengenai pesan-pesan moral
yang terdapat dalam cerita tersebut. Siswa diajak untuk menemukan pesan-pesan
moral dalam cerita tersebut, kemudian siswa diminta untuk menceritakan
jawabannya di depan kelas. Dalam kegiatan kedua, siswa diminta untuk membuat
gambar hewan apa saja yang mereka sukai didalam habitatnya. Siswa diberikan
sarana kertas gambar, pensil warna, kertas warna, dan gunting. Mereka diminta
untuk membuat kreasi gambar hewan dengan menggunakan pensil warna maupun
kertas lipat warna yang digunting sesuai bentuk yang diinginkan. Siswa
mengerjakan tugas tersebut secara individual, namun mereka diminta untuk duduk
dalam kelompok untuk berbagi kertas warna, pensil warna, dan gunting. Siswa
diberikan waktu selama 70 menit untuk menyelesaikan tugas gambar mereka
kemudian dikumpulkan kepada fasilitator.

Hasil Observasi:
Dalam kegiatan pertama, siswa aktif mendengarkan cerita yang dibawakan
oleh fasilitator. Beberapa siswa juga tampak mulai berani untuk menjawab
pertanyaan fasilitator atas kesediaan sendiri. Dari jawaban-jawaban yang
diberikan siswa, terlihat bahwa mereka mampu menangkap pesan moral yang
terdapat dalam cerita dengan cukup baik.
Dalam kegiatan kedua, secara umum siswa tampak bersemangat mengerjakan
tugas yang diberikan kepada mereka. Walaupun demikian, sebagian besar anak
masih kebingungan memilih gambar hewan yang ingin dibuat. Beberapa anak
juga terlihat saling menjiplak atau membuat karya yang sama dengan teman
sekelompoknya. Di dalam kelompok, siswa sudah mulai mau mengalah satu sama
lain untuk bergantian menggunakan perlengkapan yang disediakan. Dari gambar
yang telah selesai dikerjakan siswa, dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa
masih memiliki kemampuan visual dan kinestetik yang kurang. Walaupun
demikian, hampir setiap anak berani mengekspresikan gambarnya dengan
menggunakan berbagai warna yang menarik dan kreatif.

PKMP-3-4-9
Pembahasan:
1. Kemampuan antarpribadi siswa telah mengalami perkembangan yang
cukup baik. Terlihat dari perilaku siswa untuk mau saling mengalah dalam
menggunaan perlengkapan gambar dan kesediaan siswa untuk membantu
teman lainnya yang mengalami kesulitan.
2. Kemampuan spasial siswa masih sangat kurang. Masih banyak siswa yang
belum menggambar dengan proporsi yang tepat.Hal ini mungkin disebabkan
oleh kurangnya pengetahuan siswa mengenai hewan dan habitatnya. Untuk
itu, ada baiknya siswa diberikan contoh-contoh gambar yang benar mengenai
hewan dan habitatnya serta proporsi dari hewan tersebut.
3. Kemampuan kinestetik siswa dalam menggambar dan menggunting juga
masih kurang. Hal ini mungkin dikarenakan siswa jarang berlatih membuat
gambar visual khususnya gambar hewan dan jarang menggunakan gunting,
sehingga motorik halus mereka belum berkembang dengan baik.
4. Kemampuan kinestetik dan visual siswa dapat lebih dikembangkan lagi
dengan banyak latihan.

VIII. Mading
Tujuan: mengembangkan kemampuan antar-pribadi, naturalistik, spasial dan
kinestetik.

Deskripsi Kegiatan:
Didalam kelompok siswa diminta untuk membuat mading tentang hewan
yang telah ditentukan oleh fasilitator. Mereka diminta untuk menaruh gambar
hewan yang bersangkutan (yang telah disiapkan siswa dari rumah maupun yang
diberikan oleh fasilitator), mencantumkan informasi dasar tentang hewan meliputi
habitat, jenis makanan yang dimakan, cara berkembang biak, dan lain-lain, serta
menghias mading dengan sekreatif mungkin.
Hasil Observasi:
Dalam kegiatan ini siswa sudah mulai mampu untuk bekerja sama dan berbagi
tugas. Beberapa kelompok dapat menyelesaikan tugasnya dengan pembagian
tugas yang benar, sehingga masing-masing anggota kelompok bekerja dan
memberikan kontribusi. Namun, masih ada kelompok yang belum dapat
menerapkan pembagian tugas. Akibatnya tugas hanya diselesaikan oleh dua atau
tiga anggota saja. Selain itu, untuk pengetahuan siswa mengenai hewan yang
harus dibuat masing pun, ternyata masih kurang. Hal ini tampak dari kebingungan
siswa untuk menulis informasi mengenai hewan yang bersangkutan. Nampaknya
siswa belum mengumpulkan cukup banyak informasi untuk di tulis dan dibagikan
kepada teman-temannya. Beberapa anak harus dipancing terlebih dahulu untuk
mulai dapat mengingat dan menuliskan informasi yang diminta.

Pembahasan:
1. Kecerdasan naturalistik siswa masih kurang karena belum banyak informasi
baru yang dapat diberikan oleh para siswa. Selain itu, siswa juga belum cukup
aktif untuk mencari informasi sendiri sesuai dengan instruksi tugas yang
diberikanoleh fasilitator. Untuk pemberian tugas yang serupa di masa
mendatang, ada baiknya jika siswa dibimbing terlebih dahulu mengenai
bagaimana cara mengumpulkan informasi dari majalah atau koran, atau dilatih
untuk membuat kliping.

PKMP-3-4-10
2. Siswa sudah mulai mengembangkan kecerdasan antar-pribadi. Hal ini
tampak dari kemampuan bekerja sama untuk menyelesaikan suatu tugas
dengan baik dan pembagian tugas yang jelas. Siswa juga dilatih untuk
menghargai hasil kerja teman sekelompoknya dan saling bergantian untuk
menggunakan gunting, lem, dan kertas warna.
3. Kecerdasan spasial siswa belum banyak berkembang, karena masih banyak
gambar yang belum proporsional dan antara penempatan kotak informasi dan
gambar pun belum rapi. Namun, siswa sudah mulai berani untuk
mengekspresikan seni gambarkan yang beragam.
4. Untuk kecerdasan kinestetik, yang lebih terasah dalam kegiatan ini adalah
motorik halus. Hal ini disebabkan keterampilan yang dikembangkan dalam
kegiatan ini adalah keterampilan menggambar dan menggunting. Kecerdasan
kinestetik siswa sudah lebih berkembang dibandingkan dengan tugas
sebelumnya (Story telling and fun drawing). Kemungkinan hal ini terjadi
karena siswa mulai terbiasa untuk menggunakan gunting.

IX. Review and Rewards
Tujuan:
Mengasah kecerdasan naturalistik, kinestetik-jasmani, antar-pribadi
serta intra-pribadi.

Deskripsi Kegiatan:
Dalam kegiatan ini juga dilaklukan kegiatan membersihkan kandang
hewan seperti kegiatan Clean the House pertama, namun dilakukan pertukaran
tugas. Anak-anak yang sebelumnya bertugas membersihkan kandang akan
membersihkan kelinci, dan sebaliknya. Pertukaran ini dilakukan agar semua anak
pernah merasakan kedua pengalaman tersebut. Selain itu, pada kegiatan ini
diselipkan pula review kegiatan sebelumnya. Kegiatan yang di-review adalah Sing
a Song, yaitu dengan meminta anak-anak menyanyikan kembali lagu yang telah
diajarkan. Selain itu, anak-anak diminta memberikan pendapat dan menyatakan
perasaan mereka terhadap kegiatan-kegiatan yang telah diberikan. Diakhir
kegiatan, fasilitator memberikan penghargaan kepada kelompok terbaik atas dasar
kriteria memiliki kerja sama yang baik dan membersihkan kandang dengan bersih
dan rapi.

Hasil Observasi:
Siswa tampak senang dengan adanya pertukaran tugas dalam kegiatan
membersihkan kandang dan hewan. Seperti sebelumnya, kegiatan berjalan cukup
lancar. Anak-anak dapat bekerja sama dengan baik dalam menjalankan tugas.
Untuk kegiatan review, siswa tampaknya masih mengingat materi lagu yang
diajarkan oleh fasilitator. Dalam menyatakan pendapat dan perasaannya masing-
masing dalam bentuk tulisan pun menunjukkan adanya kemajuan dalam menulis
singkat.

Pembahasan:
1. Kecerdasan naturalistik siswa dikembangkan melalui kegiatan
membersihkan kandang. Siswa dilatih untuk mau dekat dengan alam dan
bertanggung jawab untuk menjaga kelangsungan hidup makhluk hidup yang
dirawat oleh mereka. Siswa diajak untuk mengerti bahwa kelinci sebagai

PKMP-3-4-11
hewan peliharaan pun memiliki kebutuhan akan kebersihan dan makan-minum
seperti halnya mereka sendiri. Oleh sebab itu, membersihkan kandang dan
merawat hewan peliharaan diharapkan mampu meningkatkan kecerdasan
naturalistik siswa.
2. Hampir serupa dengan kegiatan membersihkan kandang sebelumnya,
kemampuan kinstetik-jasmani yang dilatih adalah motorik halus maupun
motorik kasar siswa.
3. Kecerdasan antar-pribadi siswa berkembang cukup baik dengan adanya
kerjasama, pembagian tugas, dan interaksi dengan teman sekelompoknya
untuk membersihkan kandang.
4. Melalui kegiatan ini, siswa diharapkan mampu mengembangkan rasa empati
terhadap hewan peliharaan dan rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan
hidup hewan tersebut. Hal ini dapat meningkatkan kecerdasan intra-pribadi
siswa.

X. Adoption
Tujuan:
Siswa dapat mengungkapkan dan menuangkan pikiran dan perasaannya
mengenai hewan yang ingin ia pelihara dalam sebuah karangan singkat. Dengan
demikian, siswa diharapkan dapat mengembangkan kemampuan intra-personal
dan kemampuan linguistik yang dimilikinya.

Deskripsi kegiatan:
Kegiatan ini merupakan kegiatan penutup dari rangkaian program
pemeliharaan hewan. Siswa diberikan kesempatan untuk dapat memiliki dan
merawat kelinci yang diinginkannya selama ini. Oleh karena itu, siswa yang
berminat telah diminta untuk membuat karangan yang menjelaskan alasan mereka
ingin memelihara kelinci tersebut. Dari semua tulisan yang masuk akan dipilih 6
tulisan terbaik yang akan diperbolehkan membawa pulang kelinci. Dalam
karangan tersebut juga perlu dicantumkan tanda tangan orang tua sebagai bukti
persetujuan orang tua untuk memelihara kelinci di rumahnya.

Hasil Observasi:
Siswa yang telah mengumpulkan karangan dan mendapatkan kelinci
terlihat sangat senang. Dari hasil pengamatan fasilitator terlihat, bahwa
sebenarnya banyak siswa yang juga sangat ingin merawat kelinci. Namun karena
keterbatasan tertentu, seperti tidak ada tempat untuk merawat kelinci serta tidak
mendapatkan persetujuan orang tua, para siswa tersebut tidak dapat merawat
kelinci. Walaupun demikian, siswa yang tidak dapat memilihara kelinci tidak
terlihat kecewa maupun iri. Mereka ikut bahagia untuk teman yang mendapatkan
kelinci. Para siswa lainnya membantu ketujuh siswa yang mendapatkan kelinci
untuk membawa berbagai perlengkapan seperti kandang dan makanan kelinci ke
rumah. Para siswa terlihat saling bergotong royong membawakan kandang kelinci
yang cukup besar dan perlengkapan lainnya dari sekolah ke rumah yang dituju.

Pembahasan:
1. Karangan yang dibuat oleh ketujuh siswa yang berminat untuk mengadopsi
sudah menunjukkan adanya peningkatan kemampuan verbal-linguistik.
Beberapa anak sudah mampu untuk membuat kalimat-kalimat yang saling

PKMP-3-4-12
berkesinambungan dan berbentuk cerita. Pesan yang ingin disampaikan dalam
beberapa tulisan pun sudah cukup mudah untuk dimengerti. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa, dan melatih
siswa untuk menuangkan pikiran dan ide dalam bentuk tulisan. Tampak
beberapa siswa sudah menunjukkan adanya peningkatan dalam kemampuan
ini.
2. Dalam karangan siswa Diharapkan menuliskan mengenai apa saja yang harus
dilakukannya dalam memelihara kelinci dan melakukan refleksi diri untuk
menjelaskan alasan kelayakan mereka untuk memelihara kelinci-kelinci
tersebut. Tentu saja hal ini menyangkut kesadaran setiap siswa atas tanggung
jawab apa saja yang harus dipikul oleh mereka jika mereka memelihara hewan
tersebut. Dengan kegiatan ini, kecerdasan intra-personal setiap siswa pun
dilatih dan dikembangkan.

KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan pelaksanaan program ini yang telah diuraikan
di atas, tim peneliti menyimpulkan bahwa program ini belum cukup efektif untuk
mengembangkan berbagai aspek kecerdasan atau multiple intelligences seperti
yang diuraikan Gardner (dalam Gage & Berliner, 1992). Hal ini disebabkan
kurangnya waktu untuk menjalankan program ini dan juga situasi dan kondisi
subyek serta sekolah yang kurang mendukung. Beberapa aspek kecerdasan yang
tampak berkembang karena adanya program ini antara lain kecerdasan antar-
pribadi, intra-pribadi, naturalistik, dan verbal-linguistik.
Oleh karena itulah, untuk penelitian mendatang perlu dipertimbangkan
waktu yang akan diperuntukkan bagi pelaksanaan program ini, baik durasi
maupun frekuensinya. Selain itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap program ini
dan dilakukan beberapa penyesuaian dengan situasi dan kondisi subyek agar
didapatkan hasil yang lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA
1. Campbell, L., Campbell, B., &Dickinson, D. 2006. Metode Praktis Pembelajaran
Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press.
2. Gage, N.L. & Berliner D.C. 1998. Educational Psychology. (6
th
ed). Boston:
Houghton- Misfflin Company
3. Hoerr, T. 1994. Dalam Celebrating Multiple Intelligences: Teaching for
Success. Australia: Hawker Brownlow Education.
4. Meadows, G. & Flint, E. 2006. Buku Pegangan bagi Pemilik Anjing (The
Dogs Owner Handbook). Tangerang: Karisma Publishing Group.
5. Ormrod, J. E. 2000. Educational Psychology. 3
rd
Ed. New Jersey: Prentice Hall,
Inc.
6. NN. 2006. Teacher's Pet - How can pets benefit your school and your
pupils?. Diambil April 2006 dari
http://www.nationalpetweek.org.uk/teac_pack.ht

PKMI-3-5-1
PEMBUATAN EGG I NSTANT DRI NK DARI PUTIH TELUR DENGAN
PENAMBAHAN EFEK EFFERVESCENT DAN
CITA RASA LEMON

Dwi Y Wardoyo, Diah R. Pamungkas, Niken K, Ratnasari, Henry P. Hartono
PS Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRAK
Penggunaan putih telur sebagai Egg Instan Drink Effervescent diharapkan
menjadi alternatif bagi orang yang menginginkan sumber protein bebas
kolesterol, disamping dapat menjadi alternatif minuman sumber protein bagi
masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan dan
pengaruh perbedaan formulasi tablet effervescent putih telur dengan metode
granulasi basah. Faktor utama yang diamati adalah pengaruh perbedaan
konsentrasi NaHCO
3
(25%, 30% dan 35%) sebagai salah satu komponen utama
effervescent pada tiga formulasi. Parameter yang diamati adalah kadar air,
friabilitas, waktu larut, tinggi buih dan organoleptik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi tidak berpengaruh nyata terhadap
semua parameter yang diujikan. Secara umum waktu larut tablet effervescent
putih telur pada penelitian ini tergolong lama yaitu lebih dari 8 menit, kadar air
lebih dari 14%, friabilitas yang tinggi dan buih yang relatif banyak. Perbedaan
konsentrasi NaHCO
3
juga tidak memberikan hasil yang berbeda pada uji
organoleptik ketiga formula yang meliputi warna tablet,warna larutan, aroma
tablet, aroma larutan, rasa dan penerimaan hedonik secara umum.

Kata kunci : tepung putih telur, tablet effervescent, granulasi basah, NaHCO
3

PENDAHULUAN
Telur merupakan bahan pangan asal ternak yang memiliki nilai nutrisi
tinggi terutama protein (Ibrahim, 2004). Protein dalam telur dipercaya memiliki
susunan asam amino yang paling baik diantara pangan sumber protein lainnya,
sehingga protein telur dijadikan acuan dasar perbandingan komposisi asam amino
bahan pangan lainnya (Anggorodi, 1985). Kompisisi nutrisi telur disajikan pada
Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat badan).
Komposisi Kimia Kuning Telur Putih Telur
Kalori (Kal) 361,0 50,0
Air (gram) 49,4 87,8
Protein (gram) 16,3 10,8
Lemak (gram) 31,9 0,0
Karbohidrat (gram) 0,7 0,8
Mineral (%) 1,1 0,6
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1979)

Sejak munculnya isu kolesterol dan hubungannya dengan penyakit
kardiovaskuler, telur termasuk salah satu bahan pangan yang dihindari dari diet

PKMI-3-5-2
harian orang yang menginginkan diet rendah kolesterol. Kolesterol sendiri
berperan dalam menstimulasi penyakit kardiovaskuler yang saat ini menjadi
momok di banyak negara karena merupakan pembunuh nomor satu di dunia.
WHO menyatakan bahwa 12 juta orang di dunia meninggal karena penyakit
kardiovasculer tiap tahunnya (Capdevila, 2002).
Struktur telur terdiri dari kuning telur, putih telur dan kerabang.
Kandungan kolesterol telur hanya terdapat pada kuning telur, sedangkan putih
telur tidak mengandung kolesterol dan masih memiliki kandungan protein yang
tinggi (Sirait, 1986), sehingga dapat dijadikan sumber protein tersendiri yang
bebas kolesterol. Penggunaan putih telur sebagi Egg Instan Drink diharapkan
menjadi alternatif bagi orang yang menginginkan sumber protein bebas kolesterol,
disamping dapat menjadi alternatif minuman sumber protein effervescent pertama
bagi masyarakat.
Instan drink berbentuk serbuk atau tablet saat ini banyak beredar di pasaran
dan lebih disukai oleh konsumen karena lebih praktis. Instan drink yang
memanfaatkan efek effervescent merupakan instan drink yang tergolong paling
disukai karena efek dan rasa sparklenya yang khas. Tablet atau serbuk minuman
effervescent juga tidak memerlukan alat pengaduk karena efek effervescent dapat
sekaligus melarutkan bahan minuman dengan sendirinya, sehingga memiliki nilai
kepraktisan yang lebih tinggi (Lieberman et al.,1992). Reaksi yang terjadi pada
pelarutan effervescent adalah reaksi antara senyawa asam dan senyawa karbonat
untuk menghasilkan gas karbondioksida. Reaksi ini dikehendaki terjadi secara
spontan ketika effervescent dilarutkan di dalam air (Ansel, 1989). Persamaan
reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

H
3
C
6
H
5
O
7.
H
2
O + 3 NaHCO
3
Na
3
C
6
H
5
O
7
+ 4 H
2
O + 3 CO
2
Asam sitrat Na-bikarbonat Na-sitrat air karbondioksida

H
2
C
4
H
4
O
6
+ 2 NaHCO
3
Na
2
C
4
H
4
O
6
+ 2 H
2
O + 2 CO
2
Asam tartarat Na-bikarbonat Na-tartarat air karbondioksida

Pemanfaatan jeruk lemon dalam industri minuman sudah sering
digunakan sebagai penambah cita rasa (Guenther, 1990). Penggunaan cita rasa
(flavor) jeruk lemon dan efek effervescent dalam produk instan drink putih telur
ini diharapkan dapat memperbesar kemungkinan penerimaan produk minuman
sumber protein instant pertama ini di masyarakat. Flavornya yang khas dan
menyegarkan menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen.

METODE PENDEKATAN
Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan ditujukan untuk mencari kelarutan terbaik dari
tepung putih telur dan mencari kisaran formulasi terbaik untuk digunakan pada
penelitian utama. Langkah pembuatan tablet pada penelitian pendahuluan ini sama
dengan langkah pada penelitian utama yang terdiri dari tahapan penepungan putih
telur dan pembuatan tablet effervescent metode granulasi basah. Perbedaannya
adalah pada penelitian pendahuluan tidak dilakukan penambahan pewarna dan
sedikit penambahan essence. Langkah pembuatan tablet akan diuraikan pada sub
bab penelitian utama.


PKMI-3-5-3
Penelitian Utama
Penelitian utama terdiri dari dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap
pembuatan tepung putih telur, sedangkan tahap kedua merupakan tahap
pembuatan tablet effervescent tepung putih telur.

Tahap 1. Pembuatan Tepung Putih Telur
Pembuatan tepung putih pada penelitian ini menggunakan metode spray
drying. Telur yang diproses merupakan telur segar yang diambil langsung dari
peternak di daerah Darmaga, Bogor. Putih telur dipisahkan dari kuning telur,
kemudian dihomogenkan dan ditambahkan malto dekstrin 15% pada putih telur.
Langkah selanjutnya adalah fermentasi selama 1 jam pada suhu 40
O
C dengan
Saccharomyces cerreviceae. Suhu inlet spray drier pada proses penepungan
adalah 180
O
C dan suhu outlet 110
O
C (Gambar 1).


























Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Putih Telur

Tahap 2. Pembuatan Tablet Effervescent Metode Granulasi Basah
Proses pembuatan tablet effervescent dapat dilakukan dengan tiga metode
yaitu metode granulasi kering, granulasi basah dan pencetakan langsung. Proses
pembuatan tablet effervescent pada penelitian ini menggunakan metode granulasi
basah yang meliputi pencampuran fase dalam dan fase luar. Komposisi bahan
yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Spray Drayer dengan suhu inlet 180
o

C dan suhu outlet 110
o
C
Tepung telur
Putih Telur Kuning Telur
Putih Telur pH 6.2 6.8
Fermentasi selama 2-3 jam
Ditambah
Sacharomyces
cereviceae 0,4%

Pasteurisasi pada suhu
60
o
C selama 3 menit
Ditambah Malto Dekstrin 13 %
Telur Ayam

PKMI-3-5-4
Tabel 2. Bahan yang dicampurkan dalam fase dalam dan fase luar.
Fase Dalam Fase Luar
NaHCO
3
PVP (Polivinil pirolidon)
Laktosa
Etanol 96%
Tepung Putih Telur
PEG (Polietilen glikol) 6000
Aspartam
Asam Sitrat
Asam Tartarat
Flavor Lemon
Pewarna kuning

Semua bahan pada fase dalam diayak dengan ayakan 11 mesh, kemudian
dicampur. Setelah tercampur rata, semua bahan dalam fase luar dioven pada suhu
50-60
o
C selama 15 menit untuk menguapkan etanol. Bahan-bahan yang
digunakan dalam fase luar dicampur. Bahan dari fase dalam yang sudah dioven
dicampur dengan fase luar kemudian dihomogenkan dan dicetak. Proses
pembuatan tablet effervescent dengan menggunakan metode granulasi basah dapat
dilihat pada diagram alir dibawah ini.



















Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Tablet Effervescent Putih Telur


Parameter yang diamati
a. Pengukuran Kadar Air (Nurjanah, 2006)
Sampel minimum seberat lima gram dimasukkan kedalam alat Moisture
Balance Ohaus MB 2000. Suhu diatur pada 100
o
C selama 20 menit. Kadar air
sampel kemudian akan terbaca pada layar alat (% moisture contain).
b. Pengukuran Friabilitas (Nurjanah, 2006)
Sebanyak 10 tablet hasil pencetakan ditimbang (a) kemudian dimasukkan ke
dalam friability tester (Erweka TAR) dengan kecepatan pemutaran 25 rpm
Dicampur
Diayak (11 mesh)
Campuran Fase Dalam
dan Fase Luar
Tepung telur, asam
sitrat,asam tartarat,
aspartam, PEG 6000,
essence lemon,
Dioven suhu 50-60
o
C
selama 15 menit
NaHCO
3
, PVP,
Laktosa, Etanol 96%
Tabletasi

PKMI-3-5-5
selama 4 menit. Tablet ditimbang kembali (b), kemudian dihitung persentase
friabilitasnya dengan menggunakan rumus :





c. Uji Waktu Larut (Said, 2005)
Kelarutan diukur dengan menghitung waktu larut yang diperlukan oleh tablet
untuk satuan ukuran saji menggunakan gelas ukur. Massa tablet sebanyak 2,5
gram dimasukkan ke dalam 200 ml air dalam gelas ukur bersamaan dengan
dimulainya perhitungan waktu dengan menggunakan stopwatch. Tablet larut
sempurna jika seluruh massa tablet larut serta tidak muncul gelembung gas
dalam larutan.
d. Pengukuran Tinggi Buih (Stadelman dan Cotterill, 1977).
Tinggi buih diukur setelah tablet effervescent bereaksi sempurna dalam gelas
berisi 180 ml air. Pengukuran dilakukan menggunakan mistar.
e. Sifat Organoleptik (Rahayu, 1998)
Sifat organoleptik diamati melalui uji organoleptik yang meliputi uji hedonik
dan mutu hedonik. Atribut mutu yang diuji meliputi rasa, warna tablet, warna
larutan, aroma tablet, aroma larutan, dan penerimaan hedonik secara umum.

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini dilakukan untuk menilai kelarutan terbaik dari
empat formulasi pembuatan tablet effervescent putih telur yang diuji. Komposisi
formulasi yang digunakan disajikan secara lengkap pada Tabel 3.
Hasil pengujian kelarutan tablet secara lengkap disajikan pada Tabel 4. Data
pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tablet dengan formulasi 4 larut lebih cepat
dibandingkan dengan formulasi lainnya. Hal ini bisa dilihat dari waktu larutnya
yang lebih pendek (5 menit) dibandingkan dengan formula lainnya. Standar waktu
larut tablet effervescent yang digunakan pada pengamatan penelitian pendahuluan
ini adalah standar yang umum digunakan pada produk farmasi yaitu tidak lebih
dari 5 menit.
Tablet effervescent yang dihasilkan dari formulasi pertama, kedua dan
ketiga merupakan tablet formulasi dari tepung putih telur yang tidak ditambahkan
bahan pengisi pada saat spray drying. Kelarutan dari ketiga formulasi tersebut
sangat rendah disebabkan oleh karakteristik tepung putih telur yang sukar larut
dalam air saat sebelum ditambahkan bahan pengisi. Data pada Tabel 4
menunjukkan bahwa diantara formula pendahuluan 1, 2 dan 3, yang memiliki
kelarutan lebih baik adalah formula 2 dan 3 sehingga selanjutnya dilakukan
evaluasi dan perbaikan yang menghasilkan formula 4.

Tabel 3. Formulasi yang digunakan pada penelitian pendahuluan
Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4
Bahan
-(%)- -(%)- -(%)- -(%)-
Tepung putih
telur
25 20 14,28 20
Friabilitas (%) = a-b X 100%
a

PKMI-3-5-6
NaHCO
3
30 32 42,86 32
Asam
Tartarat
25 12 20 12
Asam sitrat 10 16 14,29 21
PVP 3 3 3 3
PEG 6000
Aspartam
Essence
lemon
Laktosa
5
1
---
1
100
5
1
5
6
100
5
0,9
---
0,9
100
5
1
5
6
100
Keterangan :
Formula granulasi basah ke 4 menggunakan tepung putih telur yang ditambahkan malto dekstrin sebanyak 13
%. Formula 4 merupakan perbaikan dari formula 1, 2 dan 3.

Syarat dari tablet effervescent adalah semua bahan baku yang ditambahkan
harus larut dalam air. Upaya untuk meningkatkan kelarutan tablet effervescent
dilakukan dengan penambahan malto dekstrin 13 % saat penepungan putih telur.
Hal ini terbukti berpengaruh terhadap kelarutan tablet effervescent formula 4,
walaupun peningkatan kelarutan dipengaruhi juga oleh perbaikan pada beberapa
komponen penyusun formula 4. Malto dekstrin juga berperan dalam
meningkatkan perlindungan komponen bahan pada saat pengeringan semprot
karena saat dilarutkan, gugus hidroksil dari monomer dekstrin akan mengikat
molekul dari produk yang dikeringkan (Verral, 1984). Selanjutnya formulasi 4 ini
dijadikan acuan dalam pembuatan formulasi penelitian utama.


Tabel 4. Waktu larut tablet formula pendahuluan
Formulasi Waktu Larut Tablet
(menit)
1
2
3
4
30
25
24
5



B. Penelitian Utama
Pembuatan tablet effervescent pada penelitian utama menggunakan
formulasi keempat dari penelitian pendahuluan sebagai acuan formulasi dasarnya.
Penambahan NaHCO
3
dilakukan sebagai perlakuan dalam penelitian utama ini.
Rincian bahan-bahan yang digunakan pada formulasi penelitian utama disajikan
pada Tabel 5.

Tabel 5. Formulasi Granulasi Basah Tablet Effervescent Penelitian Utama
Formula 4a Formula 4b
Formula
4c Bahan
(%) (%) (%)
Tepung putih telur 20 20 20
NaHCO
3
25 30 35

PKMI-3-5-7
Asam Tartarat 12 12 12
Asam sitrat 20 20 20
PVP 3 3 3
PEG 6000
Aspartam
Essence lemon
Laktosa
Pewarna
5
1
2,25
11
0,2
5
1
2,25
6
0,2
5
1
2,25
1
0,2
Total 100% 100% 100%
Keterangan: Persentase dihitung berdasarkan berat tablet yang diproduksi yaitu 2,5 gram

Penambahan konsentrasi NaHCO
3
yang berbeda (Tabel 6) dilakukan untuk
mengharapkan adanya efek effervescent yang beragam pada tiap formulasi dan
pengaruhnya terhadap rasa, aroma dan palatabilitas hedonik serta parameter fisik.
Selain itu, pada formulasi penelitian utama juga disertai dengan penambahan
flavor lemon dan zat pewarna makanan kuning. Tablet yang dihasilkan dari
berbagai formulasi tersebut disajikan pada Gambar 3.










Gambar 3. Tablet effervescent putih telur dengan flavor jeruk lemon

Parameter yang diamati dari tablet effervescent pada penelitian ini adalah
waktu larut (menit), kadar air (%), friabilitas (%), tinggi buih (cm) dan penilaian
organoleptik dengan sistem skoring. Hasil analisa fisik tersebut secara lengkap
disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Data Hasil Analisis Fisik
Parameter Formulasi 4a Formulasi 4b Formulasi 4c
Waktu Larut (menit)
Kadar Air (%)
Friabilitas (%)
Tinggi Buih (cm)
13
14,3
0,24
1,3
12
14,2
0,08
1,5
9
16,1
0,12
1,4

Waktu Larut (menit)
Pengukuran waktu larut tablet effervescent dilakukan untuk mengetahui lama
waktu yang dibutuhkan untuk melarutkan tablet effervescent dalam air. Akhir
kelarutan effervescent ditandai dengan larutnya seluruh komponen padat
effervescent menjadi larutan dan tidak ada lagi gelembung gas yang timbul.
Semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk melarutkan komponen effervescent,
berarti kelarutan komponen effervescent itu tinggi (Nurjanah, 2006). Proses

PKMI-3-5-8
pelarutan tablet egg instant drink putih telur effervescent, disajikan pada
gambar 4.











Gambar 4. Pelarutan tablet effervescent putih ke telur dalam air

Hasil pengukuran waktu larut menunjukkan bahwa waktu larut tablet
effervescent dari ketiga formula masih tergolong lama, yaitu di atas 10 menit.
Hasil ini masih sangat jauh dari standar yang dikemukakan Lieberman et al
(1989) yaitu kurang lebih satu sampai dua menit. Bahkan masih tidak sesuai
dengan standar yang biasa digunakan farmasi, yaitu tidak lebih dari lima menit
(Nurjanah, 2006). Perbedaan waktu larut antara formula 4 dengan formula 4a, 4b
dan 4c disebabkan oleh kadar air dari tablet effervescent yang tinggi. Berdasarkan
hasil analisa, diketahui bahwa kadar air semua tablet effervescent dari ketiga
formulasi ini di atas 14%, sangat jauh dari standar umum yaitu kurang dari 5%
(Meirina, 2006).
Faktor lain yang berperan dalam kelarutan tablet effervescent adalah sifat
bahan penyusun dan konsentrasi asam dan karbonat penyusun effervescent itu
sendiri. Semua komponen tablet effervescent harus mudah larut dalam air.
(Lieberman et.al.,1992). Konsentrasi NaHCO
3
tertinggi pada formula 3 memiliki
waktu larut tercepat, sedangkan formula 1 yang memiliki konsentrasi NaHCO
3

terendah memiliki kelarutan terendah juga. Hal ini terjadi karena konsentrasi asam
pada ketiga formula adalah sama dan cukup berlimpah dibandingkan konsentrasi
NaHCO
3
.

Kadar Air
Kadar air menunjukkan banyaknya air yang terkandung per satuan bahan
dan merupakan salah satu parameter mutu yang penting untuk produk-produk
kering karena akan menentukan kecenderungan kerusakan pada bahan tersebut.
Pembuatan tablet effervescent tepung putih telur pada penelitian utama dilakukan
di ruangan dengan kelembaban tinggi karena adanya air conditioner (AC)
sehingga menyebabkan kadar air tablet menjadi tinggi. Kelembaban ruangan yang
rendah sangat penting untuk mencegah penyerapan uap air yang dapat
menyebabkan stabilitas granul menurun. Ruangan dengan kelembaban maksimal
25% dan suhu 25
0
C, merupakan kondisi yang paling baik untuk proses pembuatan
granul effervescent (Lieberman et al., 1989).
Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar air tablet effervescent putih telur
berkisar antara 14,2-16,1%. Sangat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan standar
yang telah ditentukan untuk tablet effervescent yaitu kurang dari 5% (Meirina,

PKMI-3-5-9
2006). Tingginya kadar air tablet effervescent menyebabkan tablet tidak sensitif
terhadap air karena telah membentuk hidrat sehingga menurunkan kelarutan
(Lieberman et al., 1989). Air dapat pula mengakibatkan sistem effervescent
menjadi tidak stabil. Kehadiran air dalam jumlah kecil dapat mengaktifkan sistem
effervescent dan dapat bereaksi sebelum waktunya (Mohrle, 1989).
Kadar air yang tinggi ini juga dipengaruhi oleh kadar air bahan baku dari
tablet effervescent yang tinggi karena sebelum pembuatannya tidak dioven atau
tidak dilakukan pengukuran kadar air terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Said (2005), bahwa kadar air yang tinggi dipengaruhi oleh kadar air
bahan baku, sehingga perlu diatasi dengan pengovenan kembali setelah proses
pengeringan semprot. Selain itu, penanganan dan penyimpanannya memerlukan
perhatian khusus karena bersifat sangat higroskopis (Martindale, 1989).

Friabilitas (Keregasan)
Parameter lain yang digunakan dalam mengukur kekuatan mekanik adalah
pengujian terhadap keregasan tablet. Keregasan yang tinggi akan menyebabkan
tablet mudah menjadi serbuk, sehingga dapat menimbulkan debu pada tempat
produksi serta dapat menimbulkan variasi bobot tablet. Keregasan tablet dapat
menjadi salah satu kategori penilaian bahan pengikat tablet (Voight, 1994). Bahan
pengikat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Polivinil pirolidon (PVP)
cukup baik karena menghasilkan kehilangan bobot yang kecil serta larut air.
Ketahanan terhadap kehilangan bobot tablet menunjukkan bahwa tablet
tersebut mampu bertahan terhadap goresan ringan atau kerusakan dalam
penanganan, pengemasan dan transportasi (Ansel, 1989). Nilai keregasan tablet
effervescent dari ketiga formula yang dihasilkan berkisar antara 0,08 - 0,24%.
Menurut Farmakope Indonesia IV, persyaratan keregasan tablet adalah kurang
dari 0,8% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995). Akan tetapi,
keregasan yang terlalu rendah juga dapat berpengaruh terhadap kelarutan, yaitu
tablet menjadi agak sukar larut.

Tinggi Buih
Buih yang muncul pada produk effervescent putih telur ini tergolong
banyak, tidak seperti produk tablet effervescent normal lainnya. Buih pada produk
effervescent dapat berasal dari reaksi komponen effervescent (asam dan karbonat)
serta dari bahan baku yang digunakan. Buih yang banyak pada produk ini, diduga
berasal dari komponen ovomucin tepung putih telur, karena putih telur dikenal
sebagai foaming agent dalam pembuatan berbagai macam kue (Sirait, 1986).

Penilaian Organoleptik Effervescent Putih Telur
Penilaian organoleptik terhadap tablet effervescent putih telur dilakukan
dengan uji mutu hedohik dan hedonik menggunakan 25 orang panelis. Menurut
Soekarto (1981), uji organoleptik terhadap bahan pangan didefinisikan sebagai
penilaian dengan menggunakan alat indra yaitu indra penglihatan, pencicip,
pembau dan pendengar.
Parameter yang diuji pada uji mutu hedonik adalah warna tablet, warna
larutan, aroma tablet, aroma larutan dan rasa. Selain itu, panelis juga diminta
untuk mengemukakan kesan penerimaaan hedonik terhadap effervescent putih
telur ini. Data diolah menggunakan uji non parametrik Kruskal-Walis dan

PKMI-3-5-10
hasilnya tidak menunjukkan perbedaan signifikan pada semua parameter antara
formula 4a, 4b dan 4c. Hal ini berarti secara statistik ketiga formula yang
digunakan adalah sama. Hasil ini disebabkan oleh range perbedaan konsentrasi
NaHCO
3
yang digunakan tidak terlalu jauh. Data rataan yang didapatkan dari uji
organoleptik disajikan pada Tabel di bawah.

Tabel 7. Rataan Hasil Uji Organoleptik
Parameter Formula 4a Formula 4b Formula 4c
Warna tablet 2,64 2,56 2,80
Warna larutan 2,48 2,40 2,52
Aroma tablet 2,52 2,48 2,44
Aroma larutan 2,96 2,92 2,88
Rasa 2,96 3,32 3,36
Hedonik umum 3,12 3,28 3,32
Keterangan: Skala skor penilaian 1 5 untuk masing-masing katagori
Warna : 1 (kuning) 5 (putih)
Aroma : 1 (jeruk lemon) 5 (bau amis telur)
Rasa : 1 (manis asam) 5 (hambar)
Hedonik : 1 (sangat suka) 5 (sangat tidak suka)

Uji Mutu Hedonik.
Data rataan pada Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa perbedaan rataan
parameter organoleptik antar sampel tidak begitu jauh. Keadaan ini juga yang
menyebabkan data tidak berbeda nyata secara statistik dengan menggunakan uji
non parametrik Kruskal-Walis.

Warna. Warna tablet dan warna larutan menunjukkan warna yang mengarah ke
kuning atau kuning muda. Warna ini timbul dari zat pewarna makanan yang
digunakan. Selain itu, warna juga dapat timbul dari warna bahan-bahan
penyusunnya, walaupun pengaruhnya kecil.
Aroma. Aroma tablet dan aroma larutan menurut panelis adalah mengarah ke
aroma jeruk lemon. Hal ini berarti bahwa penggunaan flavor jeruk lemon dapat
menutupi bau amis yang timbul dari tepung putih telur.
Rasa. Rasa produk menurut panelis berkisar dari manis-asam ringan sampai
netral, tetapi kisarannya lebih banyak di netral. Rasa produk effervescent putih
telur ini selain timbul dari pemanis aspartam yang ditambahkan, juga timbul dari
asam sisa reaksi antara komponen asam dengan karbonat sebagai komponen
utama effervescent. Oleh karena itu, semakin sedikit konsentrasi NaHCO
3
yang
digunakan, maka semakin banyak asam yang tersisa dan menimbulkan rasa asam
pada larutan.

Uji Hedonik
Penilaian secara hedonik dilakukan untuk mengetahui daya terima panelis
terhadap tablet effervescent putih telur. Hasil yang didapatkan pada uji hedonik
tidak menunjukkan perbedaan nyata secara statistik antara ketiga formulasi yang
digunakan.
Tingkat kesukaan hedonik panelis pada uji hedonik terhadap effervescent
ini, berkisar di daerah netral ke arah tidak suka. Hasil ini diduga dipengaruhi oleh

PKMI-3-5-11
busa yang tergolong banyak yang timbul dari produk ini dan karena waktu larut
yang tergolong lama.

KESIMPULAN
Putih telur dapat dibuat tablet effervescent sebagai minuman sumber
protein. Kadar air pada bahan baku, selama proses dan pada penanganan produk
akhir harus sangat diperhatikan untuk menghasilkan tablet effervescent yang baik.
Produk yang dihasilkan pada penelitian ini masih memiliki kelemahan dalam
waktu larut dan banyaknya busa yang muncul ketika tablet effervescent putih telur
dilarutkan ke dalam air. Manipulasi penepungan putih telur dengan penambahan
malto dekstrin dapat meningkatkan kelarutan tablet effervescent putih telur, tetapi
tidak bisa mereduksi busa yang ditimbulkannya.

DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas.
Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Terjemahan : Farida
Ibrahim. Edisi keempat. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Capdevila, G. 2002. Simple Step Can Rein in Cardiovascular Disease-WHO.
http://www.cyberdyardo.com/features/f2002 1021 06.htm [August 25th,
2005]
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi
IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Ibrahim, A. 2004. Evaluasi Pemberian Daun Katuk (Sauropus anrogynus) dalam
Ransum Terhadap Kadar Kolesterol Kuning Telur dan Karkas Ayam
Petelur. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lieberman, H.A., L.Lachman, J.B. Schwartz. 1992. Pharmaceutical Dosage
Forms Vol 1. Marcel Dekker Inc. New York.
Martindale. 1989. The Extra Pharmacopoeia, 29
th
edition. The Pharmaceutical
Press. London.
Mohrle, R. 1989. Effervescent Tablets. Dalam : H.A. Lieberman, L. Lachman dan
J.B. Schwartz (Editors). Pharmaceutical Dosage Tablet. Volume 1, 2
nd

Edition. Marcel Dekker Inc. New York.
Meirina, R. 2006. Pembuatan Granul Effervescent Susu Kambing dengan Metode
Granulasi Basah. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nurjanah. 2006. Pembuatan Effervescent Susu Kambing dengan Metode
Granulasi Basah. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahayu, W.P. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Diklat. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Said, N. 2005. Pembuatan Tablet Effervescent Berbahan Baku Susu Kambing
Sebagai Bahan Tambahan (Food Supplement) Dengan Metode Granulasi
Basah. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

PKMI-3-5-12
Stadelman, W.J., dan O.J. Cotterill. 1977. Egg Science and Technology. 2
th
Ed.
The Avi Publ. Co. Inc. Rahway, New York.
Sirait, C.H. 1986. Telur dan Pengolahannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Bogor.
Soekarto, S.T. 1981. Penilaian Organoleptik. Pusat Pengembangan Teknologi
Pangan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Terjemahan : S. Noerono.
Gadjah Mada University Press. Indonesia.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.


PKMI-3-6-1
PENGEMBANGAN UBI JALAR SEBAGAI
PRODUK KONFEKSIONERI PERMEN J ELLY PREBIOTIK

Helmi Nashirudin, Lina Ivanti, Hanifah, M. Nanang Khoirudin, dan Eka Febrial.
PS Ilmu Dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

ABSTRAK
Prevalensi terhadap berbagai penyakit saluran pencenaan semakin meningkat.
Penyakit-penyakit ini tidak terlepas dari mikroorganisme yang tumbuh pada
saluran pencernaan. Oleh karena itu, diperlukan suatu inovasi teknologi kreatif
yang dapat menjawab tantangan untuk mengolah bahan pangan fungsional
menjadi produk pangan yang mudah dikonsumsi, praktis, namun bermanfaat.
Tujuan dari pengembangan teknologi yang diterapkan pada ubi jalar ini adalah
menghasilkan produk baru berupa permen jelly berbasis ubi jalar yang
mengandung prebiotik. Tahap pertama adalah tahap formulasi berdasarkan
perbandingan komposisi bahan baku dan bahan tambahan. Kemudian ditetapkan
perbandingan ekstrak ubi dan air yaitu 1:1, 1:2, dan 1:3. Selanjutnya dilakukan
analisis produk permen jelly dengan dua kali pengukuran (duplo). Adapun
analisis yang dilakukan adalah analisis sifat fisik, sifat kimia, organoleptik serta
uji prebiotik. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh formula terpilih yaitu
Gelatin 10%, Gula pasir 20%, Asam sitrat 0.2%, sirup gula invert 40%, dan
ekstrak ubi jalar 29.8%. Permen jelly dengan perbandingan 1:1 memiliki kadar
air 35.02% (bb) dan 53.89% (bk), kadar abu 0.25% (bb) dan 0.38% (bk), kadar
protein 12.25% (bb) dan 18.85% (bk). Kadar karbohidrat yang terkandung
adalah 51.98% (bb) dan 80.00% (bk), sedangkan kadar lemak 12.25% (bb) dan
18.85% (bk). Persen kekenyalan permen jelly ini adalah 51.00% dengan tingkat
kekerasan 9793.4 g force. Nilai aw sebesar 0.8575. Tingkat kesukaan adalah
berada pada selang netral sampai dengan suka yaitu sebesar 3.91. Permen jelly
dengan perbandingan 1:2 memiliki kadar air 38.94% (bb) dan 63.78% (bk),
kadar abu 0.23 % (bb) dan 0.38% (bk), kadar protein 16.55% (bb) dan 27.11%
(bk). Kadar karbohidrat yang terkandung adalah 44.06% (bb) dan 72.16% (bk),
sedangkan kadar lemak 16.55% (bb) dan 27.11% (bk). Persen kekenyalan permen
jelly ini adalah 56.59% dengan tingkat kekerasan 5944.7 g force. Nilai aw
sebesar 0.8875. Tingkat kesukaan adalah berada pada selang netral sampai
dengan suka yaitu sebesar 3.78. Permen jelly dengan perbandingan 1:3 memiliki
kadar air 39.63% (bb) dan 65.69% (bk), kadar abu 0.16% (bb) dan 0.26% (bk),
kadar protein 16.89% (bb) dan 27.98% (bk). Kadar karbohidrat yang terkandung
adalah 42.50% (bb) dan 70.40% (bk), sedangkan kadar lemak 16.89% (bb) dan
27.98% (bk). Persen kekenyalan permen jelly ini adalah 68.17% dengan tingkat
kekerasan 3892.5 g force. Nilai aw sebesar 0.8865. Tingkat kesukaan adalah
berada pada selang netral sampai dengan suka yaitu sebesar 3.58.
Pengembangan teknologi pada ubi jalar ini dapat menghasilkan produk baru
berupa permen jelly berbasis ubi jalar yang mengandung prebiotik sebagai
produk pangan konfeksioneri. Hasil pengujian prebiotik membuktikan bahwa
permen jelly dengan bahan dasar ubi jalar berpotensi sebagai pangan fungsional
prebiotik. Perlakuan perbandingan ekstrak ubi dan air 1:1 memiliki potensi
tertinggi dibandingkan dengan perbandingan lainnya. Tingkat kesukaan dari


PKMI-3-6-2
ketiga sampel adalah tidak berbeda nyata, namun yang memiliki tingkat kesukaan
paling tinggi adalah permen jelly dengan perbandingan ekstrak ubi dan air 1:1,
yaitu sebesar 3.91 berada pada selang netral sampai dengan suka.

Kata kunci : Ubi jalar Prebiotik Permen Jelly

PENDAHULUAN
Prevalensi terhadap berbagai penyakit saluran pencenaan semakin meningkat.
Hal ini dipicu dengan adanya perubahan gaya dan perilaku konsumen dalam
mengkonsumsi bahan pangan. Masyarakat dunia diguncangkan dengan fenomena
kanker saluran pencernaan (kanker kolon). Penyakit-penyakit ini tidak terlepas
dari mikroorganisme baik yang tumbuh pada saluran pencernaan. Mikroba inilah
yang membantu dalam proses pencernaan. Namun, apabila sumber nutrisi yang
diperlukan mikroba tidak tersedia, maka fungsi-fungsi fisiologis tubuh akan
terganggu.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan berbagai macam
bahan pangan indigenous. Ubi jalar mengandung komponen zat gizi dan zat non-
gizi yang bermanfaat. Namun, potensi ubi jalar belumlah optimal. Oleh karena itu,
diperlukan suatu inovasi teknologi kreatif yang dapat menjawab tantangan untuk
mengolah bahan pangan fungsional menjadi produk pangan yang mudah
dikonsumsi, praktis, namun bermanfaat.
Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu ubi
jalar sebagai pangan indigenous Indonesia memiliki keunggulan sebagai prebiotik
yang dapat memberikan nutrisi pada mikroflora saluran pencernaan. Tujuan dari
pengembangan teknologi yang diterapkan pada ubi jalar ini adalah menghasilkan
produk baru berupa permen jelly berbasis ubi jalar yang mengandung prebiotik.
Program ini diharapkan mampu menghasilkan produk dengan nilai guna
yang lebih, dapat diterima dan disukai masyarakat. Selain itu dapat memberikan
alternatif produk konfeksioneri berupa permen jelly yang bersifat prebiotik dan
mampu mencegah prevalensi terhadap penyakit saluran pencernaan.
Munculnya produk permen jelly ubi jalar prebiotik sebagai pangan fungsional
baru akan memicu jiwa kreatif inovatif mahasiswa dalam menciptakan sebuah
produk pangan olahan baru yang bermanfaat bagi tubuh, sehat dan praktis.
Kondisi ini dapat menumbuhkan iklim kompetitif dikalangan mahasiswa untuk
bersaing melalui pengembangan intelektualitas dan kreatifitas, sehingga secara
tidak langsung dapat meningkatkan kualitas perguruan tinggi.
Dengan program ini akan meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya dalam penerapan teknologi yang dapat dikembangkan lebih
lanjut. Pelaksanaan program ini akan merangsang mahasiswa berfikir positif,
kreatif, inovatif dan dinamis. Pelaksanaan program ini menuntut mahasiswa
untuk dapat bekerja dalam tim yang akan menumbuhkan kesolidan dan kekuatan
tim.
Adanya produk ini akan membantu konsumen dalam pemenuhan kebutuhan
prebiotik yang sesuai dengan tren pangan dan tuntutan masyarakat yang ingin
serba praktis, mudah, namun bermanfaat bagi tubuh. Produk permen jelly
prebiotik dapat membantu mengurangi prevalensi terhadap bahaya kanker saluran
pencernaan. Dengan adanya program ini, masyarakat diharapkan mampu lebih
peduli terhadap kebutuhan pangan fungsional.


PKMI-3-6-3
METODE PENDEKATAN
Pelaksanaan program ini dilakukan selama 5 bulan dari bulan Januari sampai
dengan Mei 2006. Tempat pelaksanaan program ini adalah di Laboratorium
Rekayasa Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Kimia
Pangan, Laboratorium Mikrobiologi, L2, L3, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Alat-alat yang digunakan dalam pengolahan adalah panci, alat pemanas, pisau
stainless steel, termometer, gelas piala, blender, timbangan, alat pencetak, pH
meter, pipet, kertas saring, gelas ukur, desikator, plastik, evaporator vakum,
magnetic stirer, pengaduk, oven, texture analyzer (Instron Model 1140), a
w
meter.
Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan permen jelly adalah ubi jalar,
gelatin, sukrosa, air, dan asam sitrat. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis
adalah MRSA, kultur bakteri Lactobacillus casei Shirota, Etanol, dan pelarut
hexana. Bahan lain yang digunakan adalah K
2
SO
4
, H
2
SO
4
, H
3
BO
4
.
Tahap pertama dilakukan persiapan bahan baku, bahan penunjang dan
persiapan peralatan. Setelah itu, dicari bentuk formulasi yang sesuai untuk
pembuatan permen jelly. Penentuan komposisi bahan pembentuk dilakukan
dengan metode trial and error berdasarkan perbandingan komposisi bahan baku
dan bahan tambahan.
Setelah diperoleh komposisi bahan pembentuk permen jelly maka dilakukan
penelitian untuk mengetahui perbandingan ekstrak ubi dan air yang kemudian
dicari perbandingan dengan komposisi oligosakarida tertinggi. Perbandingan
ekstrak ubi dan air pada penelitian ini adalah 1:1, 1:2 dan 1:3.
Tahap ketiga dilakukan analisis produk permen jelly pada dengan dua kali
pengukuran (duplo). Adapun analisis yang dilakukan adalah analisis sifat fisik,
sifat kimia, organoleptik serta uji prebiotik.
Analisis Sifat Fisik meliputi Aktivitas air (a
w
), Kekerasan, Elastisitas, Titik
leleh. Analisis Sifat Kimia meliputi Pengukuran pH, Kadar air metode oven,
Kadar Protein metode mikro Kjehldal, Kadar Abu metode tanur, Kadar Lemak
metode Sokhlet, Kadar Karbohidrat metode by different. Uji Organoleptik yang
dilakukan adalah uji penerimaan kesukaan secara over all. Uji Prebiotik yang
dilakukan adalah dengan menumbuhkan bakteri probiotik Lactobacillus casei
strain shirota pada media MRSA yang diperkaya ekstrak oligosakarida.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Permen jelly merupakan permen yang dibuat dari air atau sari buah dan
bahan pembentuk gel, yang berpenampilan jernih transparan serta mempunyai
tekstur dengan kekenyalan tertentu. Permen jelly termasuk pangan semi basah
yang mempunyai kadar air sekitar 10-40 % dan nilai a
w
berkisar antara 0,6-0,9
(Bucle et al. 1987). Percobaan tahap I adalah tahap formulasi permen jelly.
Formula standar yang digunakan untuk penentuan formula tahap I adalah

Tabel 1. Hasil formula dasar pada tahap I
Bahan Formula (%) Keterangan
Air ekstrak ubi jalar 27
Sirup marjan 20
Asam sitrat 0,25
Permen yang dihasilkan
lengket, struktur tidak
memadat, sulit dicetak,


PKMI-3-6-4
Gula pasir 42.75
Gelatin 10
Total 100
dan rasa tidak terlalu
manis

Hasil dari formula dasar ini tidak begitu memuaskan. Permen yang
dihasilkan lengket. Menurut Boutin (2000) hal ini terjadi antara lain karena
penggunaan gelatin yang kurang banyak, pelarutan gelatin yang kurang sempurna,
dan penggunaan gula dengan rasio yang kurang tepat.
Faktor terpenting dalam pembentukan gel adalah konsentrasi gelatin
dalam campuran karena gel yang diinginkan akan terbentuk hanya dalam batas
tertentu. Jika konsentrai gelatin terlalu tinggi maka gel yang terbentuk akan kaku,
tetapi jika konsentrasi gelatin terlalu rendah maka gel akan lunak atau bahkan
tidak terbentuk gel (Hunaefi 2002).
Penentuan formula kedua menggunkan gelatin 12 %, dengan
pengurangan jumlah gula pasir (sukrosa). Hasil yang diperoleh adalah permen
terlalu kenyal, namun penampakan sudah menunjukan karakteristik permen jelly
yang diinginkan. Permen gelatin yang terlalu kenyal terjadi karena terlalu banyak
gelatin yang digunakan. Penggunaan gelatin lebih dari jumlah optimum akan
menghasilkan gel yang terlalu keras dan kenyal, bahkan menjadi kaku seperti
karet ban (Hunaefi 2002). Sebaliknya, penggunaan gelatin dengan yang kurang
dari optimum akan menghasilkan gel yang lunak dan lengket, serta sulit dicetak.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Ali (1997) dalam Anson dan Edsal (1948)
bahwa kekerasan gel galatin tergantung pada konsentrasi gelatin yang digunakan.
Pada perbaikan formula selanjutnya digunakan gelatin sebanyak 10 %
dengan merubah komposisi gula pasir (sukrosa), sirup gula invert serta asam
sitrat. Menurut Lees dan Jackson (1973), jumlah gelatin yang diperlukan untuk
menghasilkan gel yang memuaskan berkisar antara 5-12 % tergantung dari
kekerasan produk akhir yang diinginkan. Menurut Boutin (2000), dengan
menggunakan gelatin yang berkisar antara 150-250 Bloom, jumlah gelatin yang
dipakai kebanyakan pada level 6-9 %.
Hasil percobaan formulasi dapat dilihat pada tabel 2. Formula enam
menunjukan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan. Penentuan formula terpilih
dilakukan dengan uji hedonik menggunakan panelis terbatas yang terdiri dari
pelaksana PKM serta dosen pembimbing. Formula ke enam menghasilkan tekstur
yang cukup kenyal, tidak lembek, tidak lengket, rasa manis cukup, dan mudah di
cetak.


Tabel 2. Hasil formula pada tahap I

Formula (%)
Bahan
2 3 4 5 6
Gelatin
12 10 10 10 10
Gula pasir
40.99 43 30 20 20
Asam sitrat
0.05 0.4 0.3 0.2 0.2
Sirup gula invert
20 20 20 40 40


PKMI-3-6-5
Ekstrak ubi jalar
26.96 26.6 39.7 28.8 29.8
Ampas
- - - 1 -
Total 100 100 100 100 100

Menurut Boutin (2000) juga menyebutkan bahwa beberapa tahap yang umum
dilakukan pada pembutan permen jelly ini antara lain :
1. Pelarutan gelatin dalam air
2. Pemasakan gula sampai mencapai total padatan maksimal 78 %
3. Penambahan gelatin ke dalam campuran gula yang dimasak
4. Penambahan flavor, BTP (Bahan Tambahan Pangan), dan asam (jika terdapat
penambahan asam maka harus dilakukan terakhir pada suhu yang tidak terlalu
tinggi.
5. Pencetakan.
Beberapa modifikasi yang dilakukan dalam proses pembuatan permen jelly ini
antara lain :
1. Pencampuran bahan tidak sekaligus, melainkan bertahap dimana bahan satu
persatu dilarutkan terlebih dahulu, baru ditambahkan bahan lainnya.
2. Penggunaan catakan es batu karena sulitnya mendapatkan cetakan permen
jelly
3. Tidak menggunakan penghilang busa (anti foaming agent) sebab busa yang
dihasilkan tidak banyak dan dapat dihilangkan dengan mendiamkan adonan
beberapa saat.
4. Tidak menggunakan pengental seperti sorbitol.
5. Melakukan invertasi sukrosa (hidrolisis sukrosa denagn asam sitrat) untuk
mendapatkan gula invert karena sulinya mendapatkan HFS dan sirup glukosa.
6. Dilakukan pengolesan menggunakan minyak agar permen tidak lengket di
cetakan

Tabel 3. Hasil analisis aktivitas air (a
w
) permen jelly
Perlakuan Rata-rata
Jelly 1 : 1 0.8575
Jelly 1 : 2 0.8875
Jelly 1 : 3 0.8865

Pada pengukuran aktivitas air, nilai a
w
rata-rata yang diperoleh adalah berada
pada selang 0.8575 0.8875. Menurut Karel (1973), makanan semi basah
memiliki a
w
antara 0.70-0.90. Dengan demikian, permen jelly ini termasuk
kedalam pangan semi basah karena a
w
berada pada selang 0.70 0.90. Aktivitas
air menunjukan banyaknya air bebas yang dapat digunakan mikroba untuk
tumbuh.
Menurut Frazier dan westhof (1978), bakteri hanya dapat tumbuh dengan baik
jika nilai a
w
> 0.91. pertumbuhan kapang dapat terjadi pada nilai a
w
minimal 0.80,
sedangkan kamir minimal 0.88. Dengan demikian resiko pertumbuhan mikroba
pembusuk relatif lebih kecil karena mikroba pembusuk tumbuh optimum pada a
w

lebih besar dari 0.90, sedangkan produk permen jelly ini memiliki a
w
sekitar
0.8575 0.8875. Walaupun demikian, kapang dan kamir dapat tumbuh. Namun,


PKMI-3-6-6
kombinasi asam dan kadar gula yang tinggi dapat menurunkan pertumbuhan
kapang dan kamir. Dengan demikian produk ini relatif awet.
Elastisitas permen jelly menunjukan seberapa besar daya tahan gel dari jenis
gelatin yang digunakan untuk pembentukan permen jelly. Menurut Soekarto
(1990), sifat elastis adalah sifat reologi tentang daya tahan untuk putus akibat gaya
tarik. Kekenyalan merupakan seberapa besar daya tahan gel yang diberi beban
tertentu pada selang waktu tertentu.
Berdasarkan pengukuran diperoleh rata-rata tingkat kekenyalan (elastisitas)
permen jelly adalah pada selang 51.00 % sampai dengan 68.17 %. Berdasarkan
data pada tabel 4 dapat diketahui bahwa tingkat elastisitas paling tinggi adalah
permen jelly dengan perbandingan 1 : 3.

Tabel 4. Hasil analisis elastisitas permen jelly
Perlakuan Rata-rata (%)
Jelly 1 : 1 51.00
Jelly 1 : 2 56.59
Jelly 1 : 3 68.17

Berdasarkan data pada tabel 5 dapat diketahui bahwa nilai kekerasan
yang paling besar adalah sampel dengan perbandingan 1:1. Hal ini menunjukan
bahwa produk ini (perbandingan 1:1) memiliki tingkat kekerasan yang lebih besar
dari yang lainnya.

Tabel 5. Hasil analisis kekerasan permen jelly
Perlakuan Rata-rata (g force)
Jelly 1 : 1 9793.4
Jelly 1 : 2 5944.7
Jelly 1 : 3 3892.5

Salah satu sifat gelatin yang diinginkan dalam industri pangan adalah
kecenderungan meleleh dalam mulut, karena gelatin mulai meleleh pada suhu 27-
34
o
C (Imerson 1992). Menurut Hunaefi (2002), permen jelly dengan
menggunakan berbagai jenis gelatin memiliki titik leleh antara 36-45
o
C. Hasil
pengukuran titik leleh diperoleh bahwa, titik leleh permen jelly berada pada selang
yang sama dengan penelitian Hunaefi (2002).
Lebih tingginya titik leleh berbagai permen jelly dibandingkan dengan
gelatinnya sendiri dikarenakan terdapat campuran bahan lainnya untuk
membentuk tekstur permen jelly, seperti sukrosa, yang menurut Hughes dan
Bennion (1970) bahwa sukrosa meleleh pada suhu 160
o
C membentuk cairan yang
jernih yang pada pemanasan selanjutnya berangsur-angsur berubah menjadi
coklat.
Nilai kadar air permen Jelly yang dihasilkan adalah dapat dilihat pada
tabel 6. Kadar air yang diperoleh menunjukan permen jelly termasuk pangan semi
basah karena mempunyai kadar air dalam kisaran 20-50% (basis basah) (Karel
1973). Air yang teranalisis adalah air bebas, air yang membentuk ikatan hidrogen
dengan molekul lain dalam jumlah kecil. Dalam hal ini juga air yang terikat secara
fisik yaitu air yang terkurung diantara gel gelatin.


PKMI-3-6-7

Tabel 6. Hasil analisis kadar air permen jelly
Rata-rata Kadar Air (%)
Basis Basah Basis Kering
Jelly 1 : 1 35.02 53.89
Jelly 1 : 2 38.94 63.78
Jelly 1 : 3 39.63 65.69

Hasil pengukuran kadar protein dapat diketahui bahwa pemen jelly
dengan perlakuan perbandingan ekstrak ubi dan air 1: 3 menunjukan nilai paling
tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nilai kadar protein perlakuan
tersebut adalah 16.89 % (basis basah) dan 27.98 % (basis kering). Menurut
Natacia (1992), bahan makanan sumber protein adalah jika kandungan proteinnya
sebesar 16-35 %, sehingga dalam hal ini permen jelly dengan perbandingan
ekstrak ubi jalar dan air 1:2 dan 1:3 dapat dikatakan mengandung protein yang
tinggi. Hasil pengukuran kadar protein dapat dilihat pada tabel 7 sebagai berikut:

Tabel 7. Hasil analisis kadar protein permen jelly
Rata-rata Kadar protein (%)
Basis Basah Basis Kering
Jelly 1 : 1 12.25 18.85
Jelly 1 : 2 16.55 27.11
Jelly 1 : 3 16.89 27.98

Pengukuran kadar lemak dalam produk permen jelly perlu dilakukan
sebab lemak berpengaruh pada perubahan mutu selama penyimpanan. Perubahan
mutu yang terjadi terkait dengan proses oksidasi lemak yang mengakibatkan
produk menjadi tengik. Bau tengik yang ditimbulkan karena proses oksidasi
lemak ini akan mengakibatkan penurunan mutu permen jelly.
Hasil pengukuran kadar lemak permen jelly (tabel 8) menunjukan nilai
yang tidak terlalu besar, yaitu berada pada selang 0.50 % - 0.82 % basis basah dan
0.36 % - 1.38 % basis kering. Nilai kadar lemak yang tidak terlalu besar ini
mengindikasikan bahwa produk permen jelly ini akan relatif lebih awet terhadap
proses oksidasi lemak yang mengakibatkan ketengikan. Sehingga produk permen
jelly ini memiliki mutu yang baik.
Kadar lemak yang dihasilkan fluktuatif, hal ini disebabkan oleh
penambahan minyak sebagai upaya mengurangi tingkat kelengketan produk yang
tidak seragam. Ketidak seragaman ini mengakibatkan pengukuran kadar minyak
tidak seragam. Hasil yang paling baik adalah dengan kadar lemak yang rendah.
Dalam hal ini, perlakuan dengan perbandingan ekstrak ubi dan air sebesar 1:1
menunjukan hasil yang paling baik. Hasil pengukuran kadar lemak dapat dilihat
pada tabel 8.

Tabel 8. Hasil analisis kadar Lemak permen jelly
Rata-rata Kadar Lemak (%)
Basis Basah Basis Kering
Jelly 1 : 1 0.50 0.77


PKMI-3-6-8
Jelly 1 : 2 0.22 0.36
Jelly 1 : 3 0.82 1.38

Kadar abu merupakan parameter kemurnian produk yang dipengaruhi
oleh kadar mineral bahan pangan tersebut. Kadar abu yang diperbolehkan dalam
permen jelly maksimal 3.0 %. Sedangkan kadar abu yang diperoleh dalam
penelitian adalah berada pada selang 0.16 % - 0.25 % (basis basah) dan berada
pada selang 0.26 % - 0.38 % (basis kering).
Rendahnya kadar abu permen jelly disebabkan minimnya kandungan
komponen anorganik dalam bahan-bahan penyusunnya (Hunaefi 2002).
Rendahnya kadar abu dibandingkan dengan kadar abu maksimal menunjukan
bahwa kualitas permen jelly hasil penelitian ini bagus dan memiliki mutu yang
bagus.

Tabel 9. Hasil analisis kadar abu permen jelly
Rata-rata Kadar Abu (%)
Basis Basah Basis Kering
Jelly 1 : 1 0.25 0.38
Jelly 1 : 2 0.23 0.38
Jelly 1 : 3 0.16 0.26

Menurut Kay (1973), komposisi kimia karbohidrat selain pati dari ubi
jalar adalah 0.5 7.5 %. Karbohidrat merupakan penyusun terbesar dari ubi jalar.
Berdasarkan nilai kadar karbohidrat tersebut dapat diketahui bahwa kadar
karbohidrat tertinggi dari ketiga sampel adalah pada perlakuan 1:1. Hal ini
menunjukan komponen karbohidrat pada sampel dengan perbandingan 1:1 lebih
tinggi dari yang lainnya.
Nilai kadar karbohidrat pada sampel dengan perbandingan 1:1
menunjukan nilai tertinggi karena air yang digunakan untuk mengencerkan
ekstrak ubi jalar lebih sedikit dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga sampel
dengan perbandingan 1:1 memiliki konsentrasi karbohidrat tertinggi. Hasil
analisis dapat dilihat pada tabel 10.
Pengukuran pH berkaitan dengan fungsinya dalam mengontrol
pertumbuhan mikroba. Nilai pH yang dimiliki permen jelly ini adalah berkisar
antara 4.6 - 5.1. Menurut Lees dan Jackson bahwa pH permen Jelly berada pada
kisaran 4.5-5.0. pH pada kisaran ini menunjukan produk memiliki tingkat
keasaman yang tinggi. Tingkat keasaman yang tinggi ini diakibatkan adanya
penambahan asam sitrat yang selain menambah rasa juga akan menurunkan pH.
pH yang asam akan menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk sehingga
produk permen jelly memilki daya awet realtif tinggi.

Tabel 10. Hasil analisis kadar karbohidrat permen jelly
Rata-rata Kadar karbohidrat (%)
Basis Basah Basis Kering
Jelly 1 : 1 51.98 80.00
Jelly 1 : 2 44.06 72.16
Jelly 1 : 3 42.50 70.40


PKMI-3-6-9

Uji organoleptik dilakukan terhadap permen jelly. Uji yang dilakukan
adalah uji hedonik. Uji ini dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan atau
kesukaan konsumen terhadap formulasi produk yang dibuat. Skala yang
digunakan adalah skala 1(sangat tidak suka) sampai 5 (sangat suka) dengan nilai 3
sebagai rasa antara (netral). Parameter yang diuji adalah penerimaan umum (over
all).
Pengujian dilakukan pada 45 orang panelis dari 3 sub golongan
berdasarkan kelompok umur, yaitu 15 orang anak-anak (5-12 tahun), 15 orang
remaja (13-18 tahun), dan 15 orang dewasa (18-55 tahun). Rekruitmen panelis
dilakukan secara acak. Data hasil dianalisa dengan statistik menggunakan SPSS
versi 11,0.
Berdasarkan hasil uji Anova diperoleh bahwa lebih besar dari 0.05
sehingga F hitung (1.669) kurang dari F tabel. Hal ini menunjukan bahwa
perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan over all pada taraf
signifikansi 0.05 (selang kepercayaan 95%). Dengan kata lain, ketiga sampel
permen jelly tidak berbeda nyata secara organoleptik. Hasil uji lanjutan dengan uji
Duncan diperoleh bahwa ketiga sampel berada pada subset yang sama dengan =
0.05. Hal ini, menunjukan bahwa bahwa ketiga sampel tidak menunjukan
perbedaan nyata. Namun demikian, sampel satu (sampel dengan perlakuan
perbandingan 1:1) menunjukan nilai yang tertinggi (3.91) dibandingkan dengan
sampel yang lain.

3.40
3.50
3.60
3.70
3.80
3.90
4.00
Jelly 1:1 Jelly 1:3 Jelly 1:3
T
i
n
g
k
a
t

k
e
s
u
k
a
a
n
Tingkat kesukaan


Gambar 1. Grafik hasil tingkat penerimaan panelis terhadap permen jelly

Hasil organoleptik tersebut menunjukan bahwa tingkat penerimaan
sampel permen jelly pada perbandingan 1:1 adalah sebesar 3.91, yaitu berada pada
selang netral sampai dengan suka. Tingkat penerimaan sampel permen jelly
dengan perbandingan 1:2 adalah 3.78, yaitu berada pada selang netral sampai
dengan suka. Sedangkan sampel permen jelly ketiga, perbandingan 1:3 memiliki
tingkat penerimaan sebesar 3.58, berada pada selang netral sampai dengan suka.
Dari ketiga sampel permen jelly ini, yang memiliki tingkat penerimaan tertinggi
adalah sampel ubi jalar dengan perbandingan 1:1.
Crittenden (1999) di dalam Tannock (1999) menegaskan bahwa semua
komponen diet tak tercerna yang dapat difermentasi di kolon berpotensi sebagai
prebiotik. Hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pada ubi jalar
mengandung komponen oligosakarida, terutama adalah rafinosa. Rafinosa
merupakan rangkaian glikosida yang menyatu sebagai kompleks alfa-


PKMI-3-6-10
galaktoglukosa. Permen jelly dengan bahan dasar ubi jalar merupakan sumber
potensial dari rafinosa dan komponen-komponen oligosakarida.
Struktur spesifik rafinosa disebutkan Crittenden (1999) di dalam
Tannock (1999), yaitu terutama tersusun atas rafinosa trisakarida (-D-Gal-(1-6)-
-D-Glu-(1-2)--D-Fru). Dari hasil ekstraksi dengan proses enzimatik berhasil
diisolasi stakiosa tetrasakarida(-D-Gal-(1-6)-(-D-Gal-(1-6)-(-D-Glu-(1-2)--
D-Fru). Pemberian 10g/hari oligosakarida secara in vivo terbukti meningkatkan
populasi Bifidobacteria fekal selama pengujian. Bahkan pada beberapa individu,
konsumsi 1-2 g/hari telah mampu menstimulasi kerja Bifidobacteria. Pada dosis
yang lebih tinggi (15 g/hari) terjadi reduksi terhadap Clostridia dan Bacteroides.
Glikosida yang tidak teridentifikasi dapat merupakan glukosa maupun fruktosa
karena keduanya merupakan penyususn sukrosa dan rafinosa dengan berat
molekul yang lebih rendah.
Untuk mendukung data ini, pada penelitian dilakukan analisis
kemampuan prebiotik Lactobacillus casei Shirota secara in vitro dengan
menggunakan media MRSA (de Manna Rogosa Sharp Agar). L. casei shirota
digunakan dalam penelitian ini karena kemampuannya sebagai probiotik (Gibson
1999) dan perlakuan minimal untuk kelangsungan hidupnya.
Hasil pengujian dapat diketahui bahwa permen jelly berbasis ubi jalar ini
berpotensi sebagai pangan fungsional prebiotik. Hal tersebut ditunjukan dengan
adanya pertumbuhan L. casei shirota yang diperkaya dengan ekstrak prebiotik.
Perlakuan dengan perbandingan 1:1 menunjukan lebih tinggi dibandingkan
perbandingan yang lainnya.
MRSA merupakan media standar bagi pertumbuhan L. casei shirota.
Untuk mendeteksi pengaruh prebiotik maka medium diperkaya dengan ekstrak
oligosakarida dari permen jelly. Hasil uji menunjukan penambahan ekstrak
prebiotik pada medium dapat meningkatkan aktivitas pertumbuhan L. casei
shirota walaupun tidak signifikan. Hal itu disebabkan keterbatasan L. casei
shirota dalam memetabolisme glukosida prebiotik pada permen jelly. Penyebab
lainnya adalah media agar yang kurang cocok dengan pertumbuhan L. casei
shirota. Uji-uji lain yang sejenis dengan menggunakan jenis mikroba lain seperti
Bifidobacteria dan dengan menggunakan media yang lebih spesifik untuk
pertumbuhan mikroba sangat disarankan.
Gibson et al. (1995) yang melakukan serangkaian studi in vivo terhadap
8 orang sukarelawan (tidak menderita gangguan gastrointestinal dan tidak
mengkonsumsi antibiotik minimal 3 minggu sebelum waktu pengujian)
mendukung hasil tersebut. Secara berurutan, sukarelawan diberikan diet terkontrol
yang disuplementasi 16 g/hari sukrosa selama 15 hari, dilanjutkan dengan
pemberian suplemen 15 g/hari oligofruktosa selam 15 hari berikutnya. Secara
periodik, angka lempeng mikrobial dari feces sukarelawan dihitung. Tabel 11
memperlihatkan hasil penelitian tersebut.

Tabel 11. Perbedaan angka lempeng mikrobial fekal sukarelawan dengan diet
tersuplementasi 15 g/hari sukrosa, oligofruktosa*
Kelompok Bakteri Sukrosa Oligofruktosa
Total bakteri aerob 6.5 + 1.0 6.2 + 1.0
Coliforms 6.0 + 1.2 5.9 + 0.7
Gram Positive cocci 5.8 + 0.7 5.8 + 0.9


PKMI-3-6-11
Total bakteri anerob 10.3 + 0.8 10.2 + 0.9
Bifidobacteria 8.9 + 0.6 9.5 + 0.7
Bacteroides 9.3 + 0.7 8.8 + 1.1
Fusobacteria 8.5 + 0.6 7.7 + 0.9
Clostridia 8.0 + 0.8 7.5 + 0.9
Lactobacilli 6.6 + 1.1 7.0 + 1.4
* hasil perhitungan merupakan log
10
/g (bb) feces

Kelompok bakteri yang diujikan merupakan grup sakarolitik penghuni
kolon yang berkontribusi terhadap fermentasi karbohidrat (Crittenden,1999 di
dalam Tannock, 1999). Konsumsi oligofruktosa (prebiotik) mampu meningkatkan
populasi probiotik (Lactobacilli, gram positive cocci, dan Bifodobacteria).
Sebaliknya bakteri pembusuk (Bacteroides, Fusobacteria, Clostridia) menurun.
Kemampuan Lactobacilli, gram positive cocci, dan Bifodobacteria dalam
memanfaatkan karbohidrat tak tercerna meningkatkan daya saing mereka untuk
berproliferasi dibandingkan mikrobial sakarolitik fekal lain yang bersifat
pembusuk. Hal itu juga didukung oleh ketahanan probiotik pada lingkungan asam
sehingga pada saat hasil-hasil metabolisme berupa asam-asam lemak rantai
pendek (Short Chain fatty Acid/ SCFAs) dihasilkan, mikroba lain dapat lebih
terseleksi.

KESIMPULAN
Pengembangan teknologi pada ubi jalar ini dapat menghasilkan produk
baru berupa permen jelly berbasis ubi jalar yang mengandung prebiotik sebagai
produk pangan konfeksioneri. Hasil pengujian prebiotik membuktikan bahwa
permen jelly dengan bahan dasar ubi jalar berpotensi sebagai pangan fungsional
prebiotik. Perlakuan perbandingan ekstrak ubi dan air 1:1 memiliki potensi
tertinggi dibandingkan dengan perbandingan lainnya. Tingkat kesukaan dari
ketiga sampel adalah tidak berbeda nyata, namun yang memiliki tingkat kesukaan
paling tinggi adalah permen jelly dengan perbandingan ekstrak ubi dan air 1:1,
yaitu sebesar 3.91 berada pada selang netral sampai dengan suka.


DAFTAR PUSTAKA
Ali S. 1997. Aspek-aspek Fisiko Kimia Serta Proporsi Bahan-bahan Pembentuk
Gel dalam Pengolahan Permen Jelly Gelatin. Skripsi. Fateta. Institut
Pertanian Bogor: Bogor.
Anson ML. dan Edsal JT. 1948. Advances in Protein Chemistry Vol 4. Academic
Press Inc.: New York.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association Analytical
Chemist. Inc.: Washington.
Boutin RF. 2000. Confectionery. Di dalam Nkai S. dan Modler HW. (eds). Food
Protein : Processing Applications. Willey VCH Inc.: USA.
Buckle KA., Edwards RA., Fleet GH., dan Wooton M. 1985. Ilmu Pangan.
Purnomo H. dan Adiono. UI-Press: Jakarta.
Crittenden RG. 1999. Prebiotics. Di dalam Tannock GW. Probiotics : A Critical
Review. Horizon Scientific Press: Inggris.


PKMI-3-6-12
Frazier WC. dan westhif DC. 1978. Food Microbiology. Mc Graw Hill Publ. Co.
Ltd.: New Delhi.
Gibson GR. 1999. Nutritional and health benefits of inulin and oligofructose :
dietary modulation of human gut microflora using the prebiotics
oligofructose and inulin. Am. Soc. For Nutr. Sci.1438S: America.
Gibson GR. 1995. Human Colonic Bacteria Role in Physiology, Pathology and
Nutrition, CRC Press: Boca Roton, Florida.
Hughes O. dan Bennion M. 1970. Introductory Food 5
th
Edition. Macmillan Publ
Co. Inc.: New York.
Hunaefi D. 2002. Aplikasi Gelatin dari Kulit Ikan Cucut dan Ikan Pari Pada
Pembuatan Permen Jelly. Skripsi. Fateta. IPB: Bogor.
Imerson A. 1992. Thickening and Gelling Agent for Food. Blackie Academic and
Professional : London.
Karel M. 1973. Recent Research and Development in the Field of Low Moisture
and Intermediate Moisture Food. Di dalam John AT. dan Christian JHB.
(eds). Water Activity and Food. Academic Press: New York.
Kay DE. 1973. Root Crops: The Tropical Product Institute: London.
Lees R. dan Jackson EB. 1973. Sugar Confectinery and Chocolate Manufacture.
Thomson Litho Ltd.: East Kilbride, Scotland.
Leistner L. dan Rodel W. 1976. The Stability of Intermediate Moisture Food with
Respect to Microorganism. Di dalam Davis R., Birch G., dan Parker KJ.
(eds). Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publ. Ltd.: London.
Natacia FC. 1992. Pemanfaatan Protein Rayap Kayu Kering Cryptotermes
cynocephalus Light. Sebagai Sumber Nutrisi Inkonventional Untuk
Substitusi Ikan pada Kerupuk. Jurusan Teknologi industri Pertanian. Institut
Teknologi Indonesia: Serpong.
Ruberfroid MB. 1999. Concept in Functional Foods: The case of Inulin and Oligo
fruktoctose. Am. Soc. For. Nutr. Sci.: USA.
Soekarto ST. 1990. Penilaian Organoleptik. Pusat Pengembangan Teknologi
Pangan IPB: Bogor.


PKMI-3-7-1
ISOLASI EUGENOL DALAM MINYAK CENGKEH
DENGAN PROSES DISTILASI FRAKSIONASI TEKANAN RENDAH


Ria Amiriani, Ria Yunisa Primasari
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang

ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak cengkeh terbesar di
dunia. Namun minyak cengkeh yang dihasilkan pada umumnya kualitasnya
rendah, kandungan eugenolnya sekitar 60 70% saja.Peningkatan minyak
cengkeh dapat dilakukan dengan cara mengisolasi eugenol dalam minyak
cengkeh dengan proses distilasi fraksionasi tekanan rendah. Adapun tujuan
khusus dari penelitian ini adalah menentukan kondisi operasi optimum yang
relatif lebih baik dalam proses isolasi eugenol dalam minyak cengkeh dengan
distilasi tekanan rendah.Metode yang dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap
pertama berupa analisa kadar eugenol pada umpan minyak daun cengkeh, tahap
kedua berupa proses distilasi fraksionasi tekanan rendah, dan tahap terakhir
berupa analisa distilat dan residu hasil distilasi fraksionasi tekanan rendah.Hasil
penelitian yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan kondisi optimum
dari proses isolasi eugenol dari minyak daun cengkeh dimana kondisi optimum
dicapai pada saat harga densitas dan indeks bias mendekati harga densitas dan
indeks bias eugenol teoritis

Kata Kunci : minyak daun cengkeh, eugenol, distilasi, fraksionasi, tekanan
rendah

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak atsiri yang
cukup penting di dunia, bahkan untuk beberapa komoditas tertentu menguasai
pangsa pasar di dunia. Diantara minyak atsiri yang terkenal adalah minyak
cengkeh (cloves oil). Data ekspor minyak cengkeh, pada tahun 2005 terjadi
kenaikan harga sebesar 50% menjadi 5,473 US $. Sedangkan data impor eugenol
pada tahun 200525,5 US $ ( Biro Pusat Statistik, 2005 ) Hal ini dapat dilihat
bahwa nilai jual eugenol memiliki nilai jual lebih tinggi daripada nilai jual dalam
bentuk minyak cengkeh. Hal ini disebabkan minyak cengkeh ini mengandung
eugenol yang memiliki kegunaan yang luas. Eugenol banyak digunakan di bidang
farmasi, industri makanan dan minuman, kosmetik dan sebagai bahan baku
produk-produk kimia yang lain. Manfaat eugenol yang beragam ini menjadikan
kebutuhan minyak cengkeh yang berkualitas tinggi makin meningkat. Jika isolasi
eugenol ini dimasyarakatkan maka akan mengurangi ketergantungan akan eugenol
pada negara luar dan sekaligus akan meningkatkan nilai ekspor non migas.
Pada proses pengambilan minyak daun cengkeh skala UKM melalui
penyulingan uap menghasilkan minyak daun cengkeh mentah dengan kadar
eugenol 60-70% dengan harga sekitar Rp. 45.000,00 Rp. 55.000,00 per liter.
Sementara itu, harga bahan baku berupa daun cengkeh hanya mencapai Rp
1.100,00 - Rp 1.600,00 per kilogram dengan rendemen 4 6% dari bahan daun
cengkeh menjadi minyak daun cengkeh (Ketaren, 1985). Disisi lain, ongkos

PKMI-3-7-2
produksi untuk menghasilkan 12-24 kg minyak daun cengkeh sudah mencapai Rp
500.000,00 ( Surabaya Post, 20 Juni 2001 ).
Isolasi eugenol dapat dilakukan melalui beberapa jenis proses pemurnian
(isolasi). Di antaranya, yaitu proses ekstraksi, distilasi fraksionasi (rektifikasi),
kromatografi kolom, ekstraksi superkritik, dan distilasi molekuler (Anny S, 2002).
Selama ini, telah dilakukan pengambilan eugenol hanya dengan proses ekstraksi
menggunakan NaOH dan menghasilkan kadar eugenol sebesar 82,6% (Sri
Suhenry, 2001). Selain itu juga telah dilakukan pengambilan dengan cara
ekstraksi minyak daun cengkeh menggunakan NaOH berlebih dan dilanjutkan
proses pengasaman dengan larutan HCl pekat, hanya mencapai kadar eugenol
sekitar 86% ( Sediawan, 2003 ). Dari proses ekstraksi ini, kelemahan terjadi pada
proses recovery solven. Untuk itu, pada penelitian ini dilakukan isolasi eugenol
dengan distilasi fraksionasi tekanan rendah tanpa menggunakan bahan lain seperti
pelarut serta mencegah dekomposisi komponen dalam minyak daun cengkeh.
Teknologi ini diharapkan dapat mengambil komponen eugenol sebagai produk
utama dari minyak daun cengkeh tanpa merusak performa minyak daun cengkeh
tersebut karena berlangsung pada temperatur rendah.
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah mengisolasi eugenol dalam
minyak cengkeh hasil penyulingan rakyat (UKM) dengan proses distilasi
fraksionasi tekanan rendah. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk
menentukan kondisi operasi optimum yang relatif lebih baik dalam proses isolasi
eugenol dalam minyak cengkeh dengan distilasi tekanan rendah.
Manfaat penelitian ini untuk memberikan dukungan teknologi upaya
mengoptimalkan dan memperbaiki proses isolasi eugenol, sehingga akan
meningkatkan pendapatan UKM minyak cengkeh. Selain itu, dapat memenuhi
spesifikasi kebutuhan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri menuju daya
saing minyak cengkeh di pasaran internasional.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini berlangsung mulai Pebruari Juni 2006 (5 bulan) bertempat
di Laboratorium Penelitian Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro.
Adapun bahan berupa minyak daun cengkeh diperoleh dari CV. Indra sari
Semarang, dan rangkaian alat distilasi vakum seperti terlihat pada Gambar 1
berikut ini.














1
2
3
4
5
6
7
8

PKMI-3-7-3
Rangkain alat ini terdiri dari labu distilasi (3) sebagai tempat dimasukkannya
umpan yaitu minyak daun cengkeh yang dipanaskan menggunakan heater yang
dihubungkan dengan termostat (4). Pada bagian atas dipasang termometer (1)
untuk mengetahui temperatur uapnya. Kemudian dihubungkan dengan kondensor
(2) yang berfungsi sebagai pendingin dan distilat yang terjadi ditampung dalam
penampung distilat (5). Untuk membuat kondisi tekanan rendah alat dihubungkan
dengan rangkaian alat vakum yaitu trap (6) dan pompa vakum (8). Untuk
mengukur besarnya tekanan yang terjadi pompa vakum dihubungkan pada
manometer (7).
Penelitian ini meliputi tiga tahap, yaitu tahap pertama berupa analisa kadar
eugenol pada umpan minya daun cengkeh, tahap kedua berupa proses distilasi
fraksionasi vakum, dan tahap terakhir berupa analisa distilat dan residu. Analisa
kadar eugenol menggunakan analisa instrumen berupa GC/GCMS, sedangkan
analisa distilat dan residu selain analisa kadar eugenol juga dilakukan analisa
indeks bias dengan refraktometri dan analisa berat jenis dengan piknometer. Data
pengamatan tersebut diolah dan menghasilkan tabel dan grafik. Selanjutnya
dianalisa dengan menggunakan metode statistik deskriptif-induktif.
Umpan berupa 100 ml minyak daun cengkeh dimasukkan ke dalam labu
distilasi berkapasitas 500 ml. Tekanan vakum dijalankan hingga mencapai 50
mmHg. Pendingin dialirkan. Pemanas dihidupkan hingga temperatur terntu
bersamaan dengan dijalankannya termostat. Temperatur bawah dan atas diamati
dan dicatat. Distilat diambil pada saat temperatur atas telah mengalami kenaikan.
Kemudian dilakukan pada temperatur dan tekanan yang berbeda.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada tahap awal, diperoleh hasil analisa kadar eugenol menggunakan
GCMS pada umpan minyak daun cengkeh sebesar 69,66%. Komponen dalam
minyak daun cengkeh yang dapat teranalisa dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil analisa GCMS
No R Time Rumus Kimia % Total Nama
1.
2.
3.
4.
5.
2,197
7,681
8,158
8,904
9,374
C
10
H
16

C
10
H
12
O
2

C
15
H
24

C
15
H
24

C
15
H
24

2,6
69,66
2,09
20,741
3,21
pinene
eugenol
copaen, copaen
caryophyllene
selinene, humulene

Pada tahap kedua yaitu proses ditilasi fraksionasi vakum diperoleh hasil penelitian
berupa volume destilat pada masing-masing tekanan dan temperatur tertentu. Hal
ini dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3 berikut ini.

Tabel 2.Hasil proses distilasi fraksionasi tekanan rendah pada tekanan 50 mmHg
No Tekanan Suhu V Destilat Densitas Indeks bias
1
2
3
4
5
50 mmHg
50 mmHg
50 mmHg
50 mmHg
50 mmHg
170
0
C
180
0
C
190
0
C
200
0
C
210
0
C
40 mL
23 mL
31 mL
35 mL
46 mL
0,88
0,98
1,00
1,03
1,05
1,32
1,48
1,51
1,55
1,59

PKMI-3-7-4

Tabel 3 Hasil proses distilasi fraksionasi tekanan rendah pada tekanan 100 mmHg
No Tekanan Suhu V Destilat Densitas Indeks bias
1
2
3
4
5
100 mmHg
100 mmHg
100 mmHg
100 mmHg
100 mmHg
170
0
C
180
0
C
190
0
C
200
0
C
210
0
C
36 mL
25 mL
27 mL
30 mL
42 mL
0,86
0,97
0,99
1,02
1,045
1,3
1,44
1,49
1,53
1,58

Baik tekanan 50 dan 100 mmHg menggunakan kenaikan temperatur yang
sama, dimana keduanya menunjukkan semakin besar temperatur terjadi kenaikan
baik pada densitas maupun indeks bias. Pada temperatur awal,distilat sebagian
mengandung fraksi ringan dan sedikit fraksi berat (eugenol). Hal ini dapat dilihat
pada densitas dan indeks bias pada temperatur awal yang besarnya cukup jauh
dari harga densitas dan indeks bias eugenol teoritis yaitu 1,062 gr/cc dan 1,5369.
Untuk kondisi optimum dicapai pada temperatur dan tekanan yang harga densitas
dan indeks biasnya mendekati harga densitas dan indeks bias eugenol teoritis.
Pemilihan kondisi temperatur operasi merujuk pada titik didih eugenol pada
tekanan operasi seperti ditunjukkan pada tabel 4

Tabel 4 Titik didik eugenol pada masing masing tekanan
Tekanan, mmHg Titik Didih Eugenol,
0
C
50
100
160,9
180,1

Namun hingga saat ini analisa hasil dengan GC pada masing-masing
kondisi operasi belum terlaksana dan menjadi rencana peneliti selanjutnya sesuai
dengan jadwal yang telah ditetapkan awal.

KESIMPULAN
Isolasi eugenol dalam minyak cengkeh dapat dilakukan dengan cara
distilasi fraksionasi tekanan rendah. Pada awal distilasi yang banyak teruapkan
adalah fraksi ringannya, fraksi beratnya (eugenol) sedikit teruapkan. Kondisi
optimum diperoleh pada kondisi temperatur dan tekanan yang memberikan harga
densitas dan indeks bias mendekati harga densitas dan indeks bias teoritis

DAFTAR PUSTAKA
Anny S. 2002. Pengolahan Lanjut Minyak Atsiri dan Penggunaannya Dalam
Negeri. Workshop Nasional Minyak Atsiri 30 Oktober 2002, Dirjen
Industri Kecil Dagang Menengah, Depperindag.
BPS. 2005. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Ekspor. Jakarta :
Balai Pusat Statistik.
Guenther E. 1987. Minyak Atsiri, jilid 1. Jakarta : Universitas Indonesia.
Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta : Balai Pustaka.
Suhenry, Sri. 2004. Meningkatkan Kualitas Minyak Cengkeh Rakyat dengan
Larutan NaOH. Yogyakarta : Jurusan Teknik Kimia UPN Veteran.
Sediawan, Wahyudi. 2003. Peningkatan Recovery Isolasi Eugenol dari Minyak
Daun Cengkeh dengan Penggunaan NaOH Berlebih dan Solven Organik
n-Hexane. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

PKMP-3-8-1
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MERAH (Pandanus
conoideus) TERHADAP TIKUS (Rattus norvegicus) DIABETIK YANG
DIINDUKSI DENGAN ALOKSAN

R. Febriyanti, S. Febriyanita, P.F. Astantri, M. Slipranata, Syaifullah
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia akibat turunnya kadar hormon insulin yang diproduksi kelenjar
pankreas dimana diabetes melitus termasuk penyakit kronis. Adapun tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak buah merah
(Pandanus conoideus) terhadap tikus( Rattus novergicus) diabetik yang diinduksi
aloksan. Desain penelitian meliputi dua tahap yaitu prapenelitian dan penelitian.
Prapenelitian untuk menentukan dosis ekstrak buah merah tepat dan aman untuk
digunakan pada tahap penelitian.Dua belas ekor tikus jantan strain Wistar, umur
2 bulan, berat badan 160-180 gram sebagai hewan percobaan. Tikus dibagi
dalam 4 kelompok, masing-masing terdiri dari 3 ekor tikus. Kelompok I sebagai
kontrol, kelompok II diberi ekstrak buah merah dosis 0,13 ml/O/ekor/hari,
kelompok II diberi ekstrak buah merah dosis 0,54 ml/O/ekor/hari, dan kelompok
III diberi ekstrak buah merah dosis 2,16 ml/O/ekor/hari selama 14 hari. Hasii
prapenelitian bahwa dosis aman adalah 0,13 dan 0,54 ml/ekor/hari. Penelitian
merupakan tahap uji ekstrak buah merah untuk terapi pada tikus diabetes. Dua
puluh ekor tikus dengan strain, berat badan, dan jenis kelamin yang sama
dengan tahap prapenelitian digunakan sebagai hewan percobaan. Tikus dibagi
menjadi 4 kelompok, masing-masing berisi 5 ekor tikus. Kelompok I kontrol
normal, kelompok II kontrol aloksan 140 mg/kgBB/IP , kelompok III dan IV
diinjeksi aloksan 140 mg/kgBB/IP dan diberi ekstrak buah merah masing-masing
dengan dosis 0,13 ml/O/ekor/hari, 0,54 ml/O/ekor/hari selama 21 hari.
Pencatatan dilakukan meliputi berat badan harian, glukosa darah hari ke-0, 3, 6,
10, 14, dan 22, serta dilihat perubahan histopatologi pada akhir penelitian. Data
dianalisis secara statistik dengan metode analisis varians (ANOVA) jenis One
Way Anova, diikuti dengan Tukey-test dan LSD test.Gambaran histopatologi hati
dianalisis secara deskriptif. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
pemberian aloksan dosis 140 mg/kgbb/ekor/IP berpengaruh dalam menimbulkan
diabetes melitus pada tikus. Pemberian ekstrak buah merah dengan dosis 0,13
dan 0,54 ml/ekor/hari/O mampu menurunkan kadar glukosa darah dan pemberian
ekstrak buah merah dosis 0,13 dan 0,54 ml/ekor/hari/O selama 14 hari tidak
bersifat toksik.

Kata kunci : diabetes melitus,glukosa darah, ekstrak buah merah

PENDAHULUAN
Berdasarkan laporan menteri kesehatan Republik Indonesia pada tanggal 3
September 2005 bahwa Indonesia adalah negara urutan ke-4 penderita diabetes
terbesar setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Ini didukung survei yang telah
dilakukan oleh badan kesehatan dunia WHO bahwa Indonesia memiliki prevalensi
diabetes melitus 8,6 % dari jumlah penduduk. Sebelumnya, pada tahun 1995

PKMP-3-8-2
diperkirakan penderita diabetes mencapai 4,5 juta jiwa dan terjadi peningkatan
drastis di tahun 2005 yaitu 12,4 juta penderita dari total populasi penduduk
Indonesia. Menurut laporan yang diterima dari departemen kesehatan, jumlah
pasien diabetes rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit menempati urutan
pertama dari seluruh penyakit endokrin (Anonim, 2005).
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia akibat turunnya kadar hormon insulin yang diproduksi kelenjar
pankreas (Corwin, 2001). Diabetes melitus termasuk penyakit kronis. Pengobatan
yang telah dilakukan seperti terapi insulin secara injeksi, pemberian obat secara
oral (Ganiswara, 1995), modifikasi gaya hidup (pola makan sesuai, aktivitas fisik,
dan penurunan berat badan) dengan didukung program edukasi yang
berkelanjutan (Corwin, 2001), penggantian sel pulau Langerhans, dan insersi gen
untuk insulin.
Selain itu juga telah berkembang pengobatan alternatif diabetes melitus
dengan menggunakan ramuan tradisional, seperti kumis kucing dan sambiloto,
namun tanaman yang baru-baru ini sedang populer adalah buah merah. Memang
budaya kembali ke alam atau yang lebih dikenal dengan istilah back to nature saat
ini telah menjadi kecenderungan di seluruh Indonesia Hal ini terlihat pada
penggunaan bahan alami yang bertujuan untuk menyembuhkan berbagai macam
penyakit. Dalam rangka pemanfaatan tanaman obat dan peningkatan pelayanan
kesehatan masyarakat, maka beberapa tanaman obat perlu diperkenalkan kepada
masyarakat, salah satunya adalah buah merah. Menurut data-data empiris,
tanaman ini mujarab mengatasi diabetes melitus, tetapi belum diidentifikasi
secara terperinci mengenai khasiat buah merah sebagai obat dan efek samping
yang mungkin ditimbulkannya.
Buah merah (Pandanus conoideus) dikenal sebagai tanaman asli Papua
yang telah dimanfaatkan dalam kaitannya dengan kesehatan seperti mencegah
penyakit mata, cacingan, penyakit kulit, meningkatkan stamina, dan untuk acara
adat. Tanaman yang termasuk keluarga pandan-pandanan ini tumbuh di dataran
rendah hingga dataran tinggi (2-2300 m di atas permukaan laut). Saat matang,
warnanya merah terang (Budi, 2005). Bila dilihat secara ilmiah, buah merah
mengandung tokoferol, beta-karoten, alfa-tokoferol, asam oleat, asam linoleat,
asam linolenat, dekanoat, dan karotenoid yang merupakan senyawa-senyawa obat
yang aktif. Tokoferol merupakan antioksidan yang diduga mampu memperbaiki
kerja pankreas sehingga sekresi insulin oleh sel pulau langerhans diduga dapat
meningkat (Budi, 2005).

METODE PENDEKATAN
Desain penelitian meliputi dua tahap pendekatan yaitu tahap prapenelitian
dan tahap penelitian. Tahap prapenelitian dimaksudkan untuk menentukan dosis
ekstrak buah merah yang tepat dan aman bagi tikus dan juga untuk melihat efek
kerja aloksan dalam menyebabkan diabet sehingga dapat digunakan pada tahap
penelitian. Tahap ini berlangsung selama 14 hari.
Tahap penelitian merupakan tahap uji ekstrak buah merah sebagai terapi
terhadap tikus yang diabet. Tikus dibuat diabet dengan menggunakan aloksan
yang dapat merusak pankreas dan juga menyebabkan kerusakan pada organ hati
dan ginjal. Tahap penelitian ini dilakukan selama 21 hari.


PKMP-3-8-3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prapenelitian
Setelah melakukan tahap prapenelitian selama 14 hari diperoleh hasil
masing-masing kelompok dengan parameter mortalitas, perubahan makroskopis
serta histopatologi organ hati dan ginjal sebagai berikut:
Kelompok I sebagai kontrol normal tanpa perlakuan buah merah, tidak
terjadi mortalitas serta organ terlihat normal baik secara makroskopis maupun
mikroskopis.
Kelompok II dan III dengan dosis masing-masing 0,13 dan 0,54
ml/ekor/hari buah merah tanpa mortallitas dengan gambaran mikroskopis hati dan
ginjal hampir menyerupai organ normal sedangakan gambaran makroskopis
memperlihatkan persamaan dengan organ normal.
Kelompok IV dosis buah merah 2,16ml/ekor/hari pada hari kedua tikus
nomor 2 mengalami kematian dan hari kesebelas tikus nomor 1. Kematian dari
dua tikus merupakan indikasi dosis buah merah 2,16ml tidak aman. Hal ini
diperkuat oleh gambaran makroskopis kongesti organ hati dan secara
mikroskopis hati mengalami penyempitan sinusoid, hepatosit irradier dan inti sel
terlihat mengalami lisis yang disebabkan oleh nekrosis. Sedangkan gambaran
histopatologi organ ginjal terlihat penyempitan tubulus namun glomerulus masih
terlihat normal.
Hasil akhir prapenelitian dosis buah merah 0,13 dan 0,54 ml/ekor/hari
merupakan dosis aman serta dapat digunakan untuk terapi pada tahap penelitian.

Penelitian
Hasil pengamatan gejala klinis tikus setelah diberi Aloksan dan Buah
Merah (kelompok II,III, IV) menunjukkan gejala poliuria, polifagia, dan
polidipsia sehari setelah pemberian Aloksan. Tikus kelompok I yang tidak diberi
Aloksan tidak memperlihatkan gejala klinis. Gejala poliuria teramati dari sekam
kandang yang sangat basah dengan urin, tikus yang tidak diberi Aloksan sekam
diganti satu kali seminggu sedangkan pada kelompok II,III,IV sekam diganti
setiap hari. Gejala polidipsia dan polifagia dapat teramati dengan bertambahnya
pemberian pakan dan minum menjadi dua kali lipat bila dibandingkan kelompok
I. Menurut Smith dan Jones (1961) gejala poliuria, polifagia, dan polidipsia
merupakan gejala umum yang terjadi pada penderita Diabetes Mellitus. Gejala
lain yaitu tikus terlihat lebih kurus dan bulu kusam dibandingkan waktu sebelum
perlakuan. Hal ini disebabkan kehilangan jaringan lemak didalam otot, sehingga
tubuh kehilangan glukosa secara terus menerus ( Moerdowo, 1989). Pemeriksaan
mikroskopis pankreas dari beberapa tikus yang dinekropsi (21hari setelah
perlakuan) tikus kelompok I, II, III, dan IV memperlihatkan perubahan yang
signifikan.
Hasil pengukuran kadar gula darah (mg/dl) pada tikus kelompok I (
kontrol), kelompok II ( Aloksan), kelompok III ( aloksan + buah merah dosis
0,13ml/hari), kelompok IV ( Aloksan + buah merah 0,54ml?hari) pada hari ke 0,
3,6,10,14,dan 22. dapat dilihat pada tabel 1.
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kadara gula darah tikus kelompok kontrol
rata-rata berkisar antara 105.508.02 sampai 127.5014.24. Kadar gula tikus
normal berkisar antara 35-135 mg/dl (Mitruka, 1981). Peningkatan kadar glukosa
darah tikus kontrol terjadi karena dipengaruhi oleh pakan dan kenaikan berat

PKMP-3-8-4
badan. Berdasarkan tabel 1 kadar glukosa tikus kelompok II sebelum diberi
aloksan tercatat 120.511.09 mg/dl (hari ke-0), kemudian meningkat secara
segnifikan (p<0.05) menjadi 449.25203.50 mg/dl setelah diberikan aloksan.
Peningkatan kadar gula darah tikus yang diberi aloksan ini terjadi secara
maksimal pada hari ke-3 dan kemudian mengalami kematian. Hasil analisis
statistik ini menunjukan bahwa pemberian aloksan dapat menyebabkan kenaikan
gula darah. Hal ini sesuai dengan pendapat Williams (1991) bahwa pemberian
aloksan dapat menyebabkan kerusakan sel pulau-pulau langerhans sehingga
dapat menimbulkan diabetes melitus. Aloksan akan menurunkan produksi insulin
sehingga dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikemia.
Kadar glukosa darah kelompok tikus yang diberi aloksan dengan
pemberian buah merah dosis 0.13 ml tercatat 465.25112.14 mg/dl pada hari ke-3,
kemudian terjadi penurunan secara gradual menjadi 298.00188.61 mg/dl pada
hari ke-6, 254.00219.15 mg/dl pada hari ke-10, 222.67155.32 mg/dl pada hari
ke-14 dan menjadi 268.00245.09 mg/dl pada hari ke-22. Pemberian aloksan dan
buah merah dosis 0.54 ml juga memperlihtakan kecenderungan terjadi penurunan
kadar gula darah yaitu 399.25133.99 mg/dl pada hari ke-3 menjadi
274.25106.66 pada hari ke-6, 247.50156.91 mg/dl pada hari ke-10,
232.75151,50 mg/dl pada hari ke-14 dan menjadi 341.50229.39 pada hari ke-
22.
Hasil analisis statistik terlihat bahwa kontrol dengan semua kelompok
perlakukan pada hari ke-0 tidak berbeda (p>0.05). Sedangkan pada hari ke-3
antara kelompok kontrol dengan kelompok aloksan, III dan IV terjadi
peningkatan kadar glukosa yang signifikan (p<0.05). Perlakuan buah merah
diberikan pada tikus dabetik selama 21 hari, menyebabkan perbedaan kadar
glukosa darah kelompok kontrol dengan aloksan telihat signifikan (p<0.05)
tetapi terhadap kelompok III dan IV tidak signifikan (p>0.05) yang menandakan
bahwa terjadi penurunan kadar gula dalam darah setelah diinjeksi aloksan.
Gejala klinis yang menyertai penderita diabetes melitus antara lain
meliputi poliuria (sering kencing), polidipsia (banyak minum), dan
polipagia(banyak makan) namun badan terlihat kurus sehingga terjadi penurunan
berat badan (Smith dan Jones, 1961). Penurunan berat badan ini terjadi karena
hilangnya lemak dalam otot akibat kekurangan insulin sehingga tubuh kehilangan
glukosa secara terus menerus menyebabkan glukosa yang masuk ke dalam sel
berkurang maka protein dan lemak akan dimetabolisme menjadi energi
(Ganiswara, 1995). Kehilangan jaringan lemak akibat lipolisis menyebabkan
hiperlipidemia sehingga pembuangan lemak terjadi secara cepat (Underwood,
1987).
Kadar gula darah yang meningkat disebabkan kerena adanya degenerasi
sel pada kelenjar pankreas menyebabkan produksi insulin terganggu sehingga
terjadi defisiensi insulin. Penurunan hormon insulin menyebabkan seluruh
glukosa yang dikonsumsi tubuh tidak dapat diproses secara sempurna, akibatnya
kadar glukosa dalam tubuh meningkat (Greenspan,1998).
Radikal bebas merupakan atom-atom molekul yang sifatnya sangat tidak
stabil (mempunyai satu elektron atau lebih yang tanpa pasangan), sehingga untuk
memperoleh pasangan elektron senyawa ini sangat reaktif dan merusak jaringan.
Radikal bebas dapat berasal dari berbagai bahan kimia salah satunya aloksan.

PKMP-3-8-5
Aloksan adalah derivat siklik urea yang merupakan agen potensial yang secara
luas telah digunakan untuk menyebabkan diabetes tipe I dengan dosis 150 mg/kg
BB (Rho dkk, 2000, Mangkoewidjojo, ). Turner dan Bagnara (1988)
mengemukakan bahwa pemberian aloksan akan menghancurkan sel pankreas
dengan mengubah permeabilitas sel membran secara selektif yaitu merusak
molekul makro pembentukan sel yaitu protein, karbohidrat, lemak dan Deoxyribo
Nukleat Acid (DNA), akibatnya sel menjadi rusak dan mati (Okamoto, 1985 ).
Tabel 1. Rerata kadar gula darah (mg/dl) kelompok 1 (kontrol), Kelompok 2
(aloksan), Kelompok 3 (aloksan + BM I), Kelompok 4 (Aloksan + BM
II) pada hari ke-0, 3, 6, 10, 14 dan 22.

kadar glukosa darah
kelom-
pok N
perla-
kuan dosis
hari ke-0 hari ke-3
b
hari ke-6 hari ke-10 hari ke-14 hari ke-22

1 4
kon-
trol aquades
118.75
6.39
117.75
6.18
112.00
10.58
127.50
14.24
107.25
10,90
105.50
8.02
2
ac
4
alok-
san
140 mg/kg
BB
120.5
11.09
449.25
203.50
3
a
4 BM 1
0.13
ml/ekor
128.25
15.90
465.25
112.14
298.00
188.61
254.00
219.15
222.67
155.32
268.00
245.09
4
a
4 BM 2
0.54
ml/ekor
130.75
11.76
399.25
133.99
274.25
106.66
247.50
156.91
232.75
151,50
341.50
229.39

a = terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) dibandingkan kelompok kontrol
b = terdapat perbedaab yang nyata (p<0.05) dibnadingkan hari ke-o sebelum perlakuan)
c = terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) dibandingkan kelompok 1,3 dan 4

Tubuh secara alami telah membentuk radikal bebas dimana oksigen akan
diubah oleh sel tubuh secara konstan menjadi senyawa yang sangat reaktif
dikenal sebagai senyawa Reactive Oxygen Spesies (ROS) tetapi masih pada batas
normal. Peristiwa ini berlansung saat proses sintesa energi oleh mitokondria atau
proses detoksifikasi di hati. Produksi ROS secara fisiologis merupakan
konsekuensi logis dalam kehidupan aerobik. Penambahan aloksan sebagai oksidan
menyebabkan jumlah radikal yang terbentuk dalam tubuh meningkat sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan dimana hal ini
dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Kematian sel pankreas yang
disebabkan oleh aloksan pada penelitian ini diyakini terjadi melalui proses stres
oksidasi. Senyawa aloksan dapat merusak sel pankreas diperkirakan telah
melalui proses stres oksidasi yang membawa pada kerusakan oksidatif yang
dimulai dari tingkat sel yang meliputi kerusakan DNA pada inti sel, kerusakan
membran sel yang mengandung asam lemak tak jenuh ganda yang sangat rentan
terhadapa serangan radikal bebas, kerusakan protein, kerusakan lipid peroksida
yang akan menghasilkan peroksidasi yang selanjutnya menyebabkan kerusakan
sel yang dianggap salah satu penyebab terjadinya berbagai penyakit (Rave,
Bender, Heise dan Sawick, 1999 ).
Lipid peroksidasi adalah reaksi berantai yang memasok radikal bebas
sehingga terjadi reaksi peroksidasi berikutnya.. Efek merusak ini ditimbulkan oleh
radikal bebas yang dihasilkan saat pembentukan peroksida dari asam lemak yang
mengandung ikatan-rangkap yang diselingi gugus metilen, yaitu ikatan yang
ditemukan dalam asam lemak tak-jenuh ganda. Prekursor molekuler untuk
memulai proses, umumnya berupa produk hidroperoksida ROOH, maka lipid
peroksidasi merupakan reaksi rantai bercabang dengan berbagai efek yang

PKMP-3-8-6
potensial merusak seperti kerusakan struktural dan integritas fungsi membran
lipid. Proses kimia lipid peroksidasi dapat dibagi menjadi 3 proses yaitu inisiasi,
propagasi, dan terminasi. Perlindungan terhadap proses lipid peroksidasi dapat
dengan 2 cara yaitu mencegah inisiasi lipid peroksidasi dan mencegah
propagasinya. Perlindungan ini dapat dilakukan oleh antioksidan dari dalam tubuh
(endogen) seperti Superoksida Dismutase (SOD), katalase, Glutathione Reductase
(GR) atau antioksidan dari luar (eksogen) diantaranya vitamin C dan vitamin E.
(Haschek and Rousseaux, 1991; Murray et al., 1997).
Bahan kimia yang digunakan untuk mencegah atau memperlambat
kerusakan akibat radikal bebas adalah antioksidan. Sebetulnya tubuh sendiri
secara alami menghasilkan antioksidan endogen dalam bentuk enzim yaitu
Superoksida Dismutase (SOD). Glutathion Reduktase (GR) dan katalase
(Haschek and Rousseaux, 1991; Murray et al., 1997) sebagai pelindung
hancurnya sel-sel dalam tubuh serta mencegah proses peradangan karena radikal
bebas, tetapi jumlahnya tidak memadai sehingga tidak mampu menghadapi
serangan radikal bebas di dalam tubuh yang dapat me-nonaktifkan berbagai
enzim, mengoksidasi lemak, dan dapat merusak materi genetik. Antioksidan
endogen tersebut bekerja menetralkan radikal bebas dimana dalam melaksanakan
proses tersebut, diperlukan antioksidan dari luar (eksogen) dalam bentuk vitamin
dan mineral yang bisa diperoleh dari makanan ataupun suplemen. Beberapa
antioksidan yang sudah terkenal antara lain yaitu vitamin C (askorbat), vitamin E
(tokoferol), beta karoten, selenium (Se), dan cuprum (Cu).
Ekstrak buah merah merupakan obat yang di dalamnya terkandung
antioksidan. Bila dilihat secara ilmiah, buah merah mengandung tokoferol, beta-
karoten, alfa-tokoferol, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, askorbat,
dekanoat, dan karotenoid yang merupakan senyawa-senyawa obat yang aktif
(Budi,2005). Subroto (2005) mengungkapkan bahwa buah merah dapat
mengontrol gula darah. Ada dua mekanisme yang dilakukan dalam pengobatan
diabetes yaitu memacu produksi dari insulin dan menghambat kerja dari enzim
alpha-glikosidase dimana enzim ini berperan dalam mendegradasi karbohidrat
yang masuk kedalam tubuh dan dirubah menjadi glukosa.Bila kerja dari enzim
alpha-glikosidase dapat dihambat, proses konversi karbohidrat menjadi glukosa
dapat ditekan, sehingga berefek menurunkan glukosa darah.
Penurunan kadar glukosa darah pada kelompok tikus yang diberi
perlakuan ekstrak buah merah karena adanya kandungan senyawa tokoferol dan
askorbat merupakan antioksidan yang mampu memperbaiki kerja pankreas
sehingga sekresi insulin oleh sel pulau langerhans dapat meningkat (Budi,
2005). Mekanisme aksi yang dilakukan oleh tokoferol dan askorbat adalah
dimana vitamin E akan menangkap radikal bebas kemudian vitamin E tersebut
berubah menjadi vitamin E radikal sehingga perlu bantuan vitamin C. Setelah
menangkap radikal vitamin E, vitamin C justru ikut menjadi vitamin C radikal
sehingga pada akhir dari reaksi barulah glutation yang mampu menetralkan
vitamin C radikal menjadi senyawa yang stabil tanpa menjadikan dirinya ikut
menjadi radikal (Abuja dan Albertini, 2000). Radikal trokoferol yang berlokasi di
membran lipid dapat dikurangi dengan TocOH melalui askorbat yang berlokasi
pada kompartemen cair. Hal ini seperti keadaan fisiologis untuk menciptakan
keseimbangan oksidan antara kedua kompartemen baik cair maupun lemak.


PKMP-3-8-7
Gambar Mikroskopis Hati Prapenelitian

















Gambar 1. Gambar mikroscopik hati tikus strain wistar jantan kontrol
(pewarnaan H&E pembesaran 40x). struktur dan susunan sel hati
terlihat normal (a. Vena sentralis, b. sinusoid, c. hepatosit).





















Gambar 2. Gambar mikroscopik hati tikus strain wistar jantan kelompok II dosis
0,13 ml (pewarnaan H&E pembesaran 40x)struktur dan susunan sel
hati: a.vena sentralis normal dan c. Hepatosit normal, b. Sinusoid
melebar.



b
a
c

c
a
b

PKMP-3-8-8
















Gambar 3. Gambar mikroskopik hati tikus strain wistar jantan kelompok III
dosis 0,54 ml (pewarnaan H&E pembesaran 40x)struktur dan
susunan sel hati: a.vena sentralis normal dan c. Hepatosit normal, b.
Sinusoid lebih lebar.

.














Gambar 4. Gambar mikroscopik hati tikus strain wistar jantan kelompok IV
dosis 2,16 ml (pewarnaan H&E pembesaran 40x)struktur dan
susunan sel hati: a.vena sentralis normal, b. Sinusoid menyempit c.
Hepatosit iradier disertai nekrosis sel.


KESIMPULAN
Pemberian aloksan dosis 140 mg/kgBB/IP pada tikus dapat meningkatkan
kadar glukosa darah secara signifikan (p<0,05). Pemberian ekstrak buah merah
dosis 0,54 ml/ekor/hari dapat menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan
(p<0,05). Buah merah dapat dijadikan sebagai terapi Diabetes Melitus.

a
c
b
a
c
a
b

PKMP-3-8-9
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1957, Manual of Histologic and Special Staining Technics, Armed
Forces of Pathology, General Pathology Laboratory, Walter Reed Medical
Center Washington, D.C.10-15.
Anonim, 2005, Diabetes Melitus, www.depkes.go.id.
Banks, W. J. , 1993, Applied Veterinary Histology, 3
rd
ed. , pp. 365-370, Mosby
Year Book Inc. St. Louis, Missouri.
Benjamin, M.M.,1979, Outline Veterinary Clinical Pathology, 3
rd
ed., The Iowa
State University Press : Iowa.
Bergmeyer, H.V. and Bernt, E.S. , 1974, Methods of Enzimatic Analysis, 2
nd
ed.,
pp.760-764, Academic Press Inc., New York and London.
Budi, I. M.., 2005, Buah Merah, Penebar Swadaya : Jakarta.
Corwin, E. J., 2001, Buku Saku Patofisiologi, Penerbit EGC : Jakarta.
Drury, R.A.B and Wallington, E.A., 1967, Carletons Histological Techniques,
Oxfor University Press, New York, pp. 33-144.
Frandson, R.D., 1996, Anatomi dan Fisiologi Ternak, ed. Ke-4, alih bahasa oleh
Srigondo, B.,Prasena dan Sudarsono., (Judul Asli Anatomy and Physiology
of Animals), Gadjah Mada University Press, hal. 864-865.
Ganiswara, S., 1995, Farmakologi dan Terapi, ed. Ke-4, Bag. farmakologi
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, hal. 471-486.
Goodman, L. S. and Gilman, A., 1955, The Pharmacological Basis of Terapeutic,
2
nd
ed., The MacMillan Company, New York, pp. 1636-1639
Greenspan, F.S., MD,1998, Endokrinologi Dasar dan Klinik, Ed.ke-4, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, hal. 755.
Guyton, L. G., 1986, Textbook of Medical Physiology 7
th
ed., W.B Saunders
Company : Igaku-Shoin/ Saunders.
Guyton, A.C. dan Hall, J.E., 1997, Buku Teks Fisiologi Bagian I, ed. Ke-5, alih
bahasa oleh Dharma, A. dan Lukmanto, P. (Judul Asli Review of Medical
Physiology, 1981), EGC, Jakarta, hal. 1097, 1235-1236.
Kuntaraf, K.L., 1992, Olahraga Sumber Kesehatan, Percetakan Advent Indonesia,
Bandung, hal. 65-66.
Mitruka, B. M, and Howard, M.R., 1981, Clinical Biochemical Hematological
Refrences Value in Normal Experimental Animal and Normal Human, 2
nd

ed., Vear Book Medical Publisher Inc. : Chicago.
Moerdowo,1989, Spektrum Diabetes Melitus, Djambatan : Jakarta, hal. 52-55
Popp, J. A. and Cattley, C. R., 1991, Hepatobilliary System in Haschek, W. M.
and Rousseaux, C-G ,Handbook of Toxicology Pathology, pp. 241-247,
Academic Press, Inc. San Diego/California.
Prince, and, Wilson, L. M, 1993. Phatophysiologi Clinical concepts of disease
processes, pp. 327- 333, Mc Graw Hill, Inc
Ressang, A. A., 1984, Patologi Khusus Veteriner, edisi ke-2, hal. 45-81,
Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Ross, M.H, and, Reith, E.J. 1985. Digestive System III : Gall Bladder and
Pancreas. Dalam : Histology a text and atlas. Harper International Edition.
Harper and Row Publisher, J.B. Lippincott Company : New York.
Smith, H.A. and Jones, T. C., 1961, Veterinary Pathology, Second ed., Lea and
Febiger, Philadelphia, pp. 75-77.

PKMP-3-8-10
Smith, J.B. dan Mangkoewidjojo, s, 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan
penggunaan Hewan percobaan di Daerah Tropis, Universitas Indonesia,
Jakarta, hal. 37-39.
Thay, T.H. dan Rahardja, K., 1991, Obat-Obat Penting, ed. Ke-4, Direktor Jendral
POM, Dep. Kes. RI, Jakarta, hal. 586
Turner,C.D. dan Bagnara,J.T., 1977, Endokrinologi Umum, terjemahan oleh
Harsodjo, ed. ke-4, Universitas Airlangga Press, hal. 314-347.
Underwood, S.C.E.,1987, Patologi Umum dan Sistemik, Edisi ke-2, alih bahasa
oleh Prof.Dr.Sarjadi, dr.SpSA, (Judul Asli : General and Sistematic
Pathology), Penerbit Buku Kedokteran, EGC, hal. 538.
Weihe, W.H. 1987. The UFAW Handbook on The Care and Management of
Laboratory Animals, 6
th
Edition. Churchill Livingstone Inc : New York.
Williams, W.J.,1991, Hematology, 4 th Ed., Mc Graw-Hill Pub.Company,
International, pp. 446, 457, 1719.
Wuryastuti, H. 1991. Petunjuk Laboratorium Teknik Pemeriksaan Darah pada
Mamalia, direvisi oleh Baskoro T., PAU UGM, hal 160-177.

PKMP-3-9-1
PEMANFAATAN SENYAWA FLAVONOID
DARI TUMBUHAN Goniothalamus macrophyllus
SEBAGAI BIOLARVASIDA DAN PENGENDALI HAMA YANG RAMAH
LINGKUNGAN

Nurwakhid Suko Diantoro, Elok Faridah, Nina Rismawati
Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK

Kata kunci:

PENDAHULUAN
Pengembangan insektisida alami merupakan solusi terbaik saat ini karena
insektisida alami bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang bersifat toksik
terhadap serangga dan mudah terdegradasi sehingga tidak mencemari lingkungan
dan relatif aman bagi manusia karena akan cepat menghilang di alam (Kardinan
dalam Hasnitasari, 2003).
Tanaman Goniothalamus macrophyllus merupakan salah satu famili
Annonaceae dari genus Goniothalamus dimana famili Annonaceae merupakan
famili tanaman yang sering digunakan masyarakat sebagai insektisida alami
(Valkenburg,2002).
Beberapa penelitian menunjukkan aktivitas senyawa-senyawa yang
terdapat dalam famili Annonacea sebagai biolarvasida melalui berbagai macam
mekanisme. Penelitian yang dilakukan oleh Saxena et al (1993) berhasil
membuktikan aktivitas larvasida Annona squamosa terhadap larva nyamuk
Anopheles stephensi. Murty et al (1997) membuktikan bahwa ekstrak daun
Polyalthia longifolia memiliki aktivitas sebagai larvasida terhadap nyamuk Culex
quinquefasciatus (Ganguly, 2003). Sedangkan Fatimah (2004) telah membuktikan
bahwa senyawa flavonoid dari Saccopetalum horsfieldii Benn juga memiliki
aktivitas sebagai biolarvasida.
Berdasarkan beberapa penelitian tersebut senyawa yang aktif sebagai
larvasida adalah dari golongan flavonoid dan terpenoid. Senyawa golongan
flavonoid yang mempunyai aktivitas insektisida yang berasal dari tanaman di
antaranya adalah rotenon dan deguelin yang terdapat pada tumbuhan
Lonchocarpus utilis (Casida, 1999), kuersetin 3,7,4-trimetil eter yang terdapat
pada tumbuhan Saccopetalum horsfieldii (Fatimah,2004) dan mirisetin 3-metil
eter dari Goniothalamus thwatesii (Seidel, 2000)
Sedangkan senyawa terpenoid yang mempunyai aktivitas insektisida yang
telah berhasil ditemukan dalam tanaman antara lain piretrin dari beberapa spesies
Chrysanthemum, camphene dan azadirachtin yang berasal dari famili Meliaceae
dan Rutaceae (Duke,1990).
Penelitian senyawa metabolit sekunder dari spesies Goniothalamus
gardneri dan Goniothalamus thwaitesii menunjukkan kandungan senyawa
flavonoid dan terpenoid dalam ekstrak etil asetat (Seidel, 2000).




PKMP-3-9-2
METODE DAN HASIL PENELITIAN
Kulit batang Goniothalamus macrophyllus kering sebanyak 3 kg
dimaserasi menggunakan aseton selama 3x24 jam sebanyak tiga kali, kemudian
disaring sehingga diperoleh ekstrak aseton. Ekstrak aseton kemudian dievaporasi
sehingga didapatkan ekstrak aseton kental, kemudian ditambahkan metanol untuk
melarutkan ekstrak aseton. Fraksi metanol ini kemudian dipartisi menggunakan n-
heksan. Ekstrak metanol kemudian ditambah dengan asam sitrat 5% (pH=30-4).
Partisi selanjutnya dilakukan dengan etil asetat berkali-kali. Ekstrak etil asetat
yang diperoleh selanjutnya dicuci dengan air, selanjutnya fasa etil asetat bebas air
ditambah dengan NaSO
4
anhidrat untuk menghilangkan kandungan air. Ekstrak
etil asetat kemudian dievaporasi dan didapatkan ekstrak kental.
Pemisahan senyawa dilakukan dengan metode kromatografi yang
meliputi KLT dan kromatografi kolom. Ekstrak kental dikeringkan kemudian
dimasukkan ke dalam kolom berdiameter 10 cm yang telah diisi silica gel GF
254
.
Elusi dilakukan dengan menggunakan pelarut n-heksan aseton dengan berbagai
perbandingan berdasarkan kenaikan gradien kepolaran. Fraksi-fraksi yang
dihasilkan diuji dengan KLT menggunakan eluen n-heksan aseton (8:2) yang
menghasilkan 5 fraksi yaitu fraksi A(1-4), fraksi B (5-21) , fraksi C (22-24), fraksi
D (25-26) dan fraksi E (27-37).
Pada fraksi B dilakukan kromatrografi kolom tekan I dilakukan dengan
menggunakan eluen n-heksan aseton (8:2) sehingga diperoleh 37 fraksi.
Masing-masing fraksi diuji KLT menggunakan eluen n-heksan etil asetat (8:2).
Fraksi-fraksi tersebut digabung dan dievaporasi, selanjutnya dilakukan
kromatografi kolom tekan II menggunakan eluen n-heksana etil asetat (8:2).
Dari proses ini diperoleh 85 fraksi dan masing-masing fraksi diuji KLT
menggunakan eluen n-heksana etil asetat (8:2). Fraksi 30-85 digabung dan
dievaporasi kemudian dilakukan kromatografi kolom tekan III menggunakan
eluen n-heksana etil asetat dengan perbandingan 8 : 2. Dari proses pemisahan ini
diperoleh 120 fraksi dan masing-masing fraksi diuji KLT menggunakan eluen
yang sama. Noda dengan harga Rf yang sama tampak sebagai satu noda,
selanjutnya dilakukan rekristalisasi dengan pelarut campuran n-heksana aseton
menghasilkan serbuk putih yang menunjukkan satu noda dengan berbagai eluen.
Uji kemurnian senyawa hasil isolasi dilakukan dengan menggunakan KLT dengan
tiga macam eluen yang berbeda. Selanjutnya senyawa yang diperoleh disebut
senyawa 1. Senyawa ini memiliki titik leleh 222
0
- 224
0
.

Tabel 4. Hasil uji kemurnian senyawa 1
Eluen Jumlah noda Harga Rf
CHCL3 : metanol = 8 : 2
CHCL3 : aseton = 7 : 3
n-heksana : etil asetat = 7 : 3
1
1
1
0,2
0,8
0,24

Hasil analisis spektroskopi UV-Vis senyawa hasil isolasi dalam pelarut
metanol menunjukkan
maks
208nm (Lampiran 2) menunjukkan bahwa senyawa
tersebut golongan terpenoid..
Analisis spektroskopi infra merah memberikan pita serapan pada bilangan
gelombang 3451,4 cm
-1
yang merupakan vibrasi ulur gugus hidroksil. Pita serapan
pada bilangan gelombang 1692,1 cm
-1
merupakan vibrasi ulur gugus C = 0 yang

PKMP-3-9-3
terkonjugasi, sedangkan pita serapan pada bilangan gelombang 1249,9 cm
-1

menunjukkan adanya gugus eter pada senyawa hasil isolasi. Untuk pita serapan
pada bilangan gelombang 3090,24 2839,47 cm
-1
menunjukkan vibrasi ulur C-H
metilen dan metil (George, Mclyntyre, 1987).
Dari hasil tersebut tidak ditemukan adanya serapan cincin benzena,
sehingga serapan OH bukan merupakan vibrasi ulur OH fenolik. Dapat
disimpulkan bahwa senyawa tersebut bukan merupakan golongan flavonoid. Hal
ini diperkuat dengan hasil analisis spektroskopi UV-Vis.
Pada penelitian ini telah dilakukan uji biolarvasida senyawa terpenoid dari
Goniothalamus macrophyllus terhadap larva instar III Aedes aegypti. Pengamatan
terhadap larva Aedes aegypti dilakukan pada saat 24 jam setelah larva tersebut
kontak dengan larutan sampel. Larva yang mulai keracunan ditandai dengan
gerakan yang semula biasa menjadi cepat kemudian perlahan dan akhirnya mati.
Larva yang mati ditemukan dengan tubuh pucat, kaku dan agak bengkak. Uji
biolarvasida senyawa hasil isolasi dilakukan pada konsentrasi 500 ppm, 250 ppm,
125 ppm, 62,5 ppm dan 31,25 ppm. Hasil pengamatan terhadap larva Aedes
aegypti yang mati ditunjukkan pada tabel 7.

Tabel 7. Data % kernatian larva Aedes aegypti dalam sampel
Konsenterasi (ppm) Rata-rata kematian dalam
sampel
% kematian
Kontrol
500
250
125
62,5
31,25
0
10
8
4
3
1
0
100
80
40
30
10

Dan data tersebut diperoleh persamaan regresi linier Y = 0,1845X + 16,25.
Berdasarkan persamaan regresi linier yang diperoleh dapat diketahui bahwa
senyawa terpenoid hasil isolasi dari kulit batang Goniothalamus macrophyllus
menghasilkan LC
50
= 183,42 ppm.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap kulit batang Goniothalamus
macrophyllus dapat diambil Kesimpulan sebagai berikut :
1. Tidak terdapat senyawa golongan flavonoid dalam tumbuhan
Goniothalamus macrophyllus.
2. Terdapat senyawa golongan terpenoid dalam tumbuhan Goniothalamus
macrophyllus.
3. Senyawa golongan terpenoid hasil isolasi dari Goniothalamus
macrophyllus mempunyaiaktivitas biolarvasida terhadap larva Aedes
aegypti dengan LC
50
sebesar 183,42 ppm

IV. SARAN
1. Perlu dilakukan analisa spektroskopi yang lain guna memperoleh
struktur senyawa hasil isolasi dari Goniothalamus macrophyllus.

PKMP-3-9-4
2. Perlu dilakukan uji aktivitas biolarvasida senyawa hasil isolasi pada
insekta yang lain

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S. A., 1986. Kimia Organik Bahan Alam, Jakarta : Karunia.
Backer, A. C., Brink, B. Van Den R. C., 1963. Flora of Java, Vol. I, The
Netherlands : N. V. P. Noordhoff.
Fatimah, N., 2004. Isolasi dan Uji Biolarvasida Senyawa Flavonoid dan Kulit
Batang Saccopetalum horsfleldii Benn, Skripsi, Jurusan Kimia FMIPA
Unair, Surabaya.
Gutter, R. J., Bobbite, J. M., Schwarting, A. L., diterjemahkan Kosasih
Padmawinata, 1991. Pengantar Kromatografi, terbitan ke-2, Bandung:
Institut Teknologi Bandung.
Hakim, E. H., Achmad, S. A., Makmur, L., Mujahidin, D., Syah, Y. M., 2001.
Profil Kimia Annonaceae, Buletin of The Indonesia Society of Natural
Product Chemistry.
Hamidah, H. A., Burhan, L., Nurtianti, Affandi, M., 1999. Pengaruh Pemberian
Berbagai Fraksi Daun Annona muricata terhadap Perkembangan dan
Mortalitas Larva Aedes aegypti, Penelitian, Surabaya : Lembaga
Penelitian Unair.
Harborne, J. B., 1987. Metode Fitokimia : Penentuan Cara Modern
Menganalisis Tumbuhan, terjemahan : Padmawinata K, Edisi ke-2,
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid II, Badan Litbang
Kehutanan Jakarta, Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Hostettemann, K., Hostettemann, M., Maston, A., 1995. Cara Kromatografi
Preparatif, Bandung : Institut Teknologi Bandung.
Hufford, C. D. and Laswell, Jr. W. L., 1978. Isochaminetin ang Uvarinol, Two
Novel Citotoxic C-Benzylflavonones from Uvaria chamae, J. Organic
Chemistry, 41 (7), 1297-98.
Jantan, I. B., Ahmad, F., Din, L. B., 2005. Chemical Constituents of The Bark
Oil of Goniothalamus macrophyllus Hook. F. from Malaysia, J ournal
of Essential Oil Research : J EOR, Mar/Apr 2005.
MacEdo, M. E. et al, 1997. Screening of Asteraceae (Compositae) Plant
Extracts for Larvicidal Activity Against Aedes fluvitialis (Diptera :
Culicidae), Bioline I nternational, Vol. 92 (4).
Mclafferty, F. W., diterjemahkan Dr. Hardjono Sastromidjojo, 1988. Interpretasi
Spektra Massa, edisi ke-3, Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Markham, K. R., 1998. Cara Mengidentifikasi Flavonoid, Bandung : Institut
Teknologi Bandung.
Mulya, Muhammad dan Suharman, M., 1995. Analisis Instrumental, Edisi I,
Surabaya: Airlangga University Press.
Okorie, D. A., 1977. New Benzylhidrochalcone from Uvaria chamae, J ournal
Phytochemistry, 16, 159 1-94.
Padua, L. S. de., Bunyapraphatsara, N., Lemmens, R. H. M. J. (Eds.), 1999. Plant
Resources of South East Asia, Medicinal and Poisonous Plants I,
Bogor : Prosea.

PKMP-3-9-5
Robinson, Trevor, diterjemahkan Kosasih Padmawinata, 1995. Kandungan
Organik Tumbuhan Tinggi, Edisi ke-6, Bandung : Institut Teknologi
Bandung.
Seidel, V., Bailleul, F., Waterman, P. G, 2000. (Rel)-1, 2-di-(2,4-dihydroxy-6-
methoxybenzoyl)-3, 4-di-(4-methoxyphenyl)-cyclobutane and Other
Flavonoids from The Aerial Parts of Goniothalamus gardneri and
Goniothalamus thwaitesii, Phytochemistry, Nov : 55, 439-46.
Sukana, B., 1993. Pemberantasan Vektor DBD di Indonesia, Media Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Vol. 3 No. 01, Jakarta Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.
Tanjung, M., 1996. Isolasi dan Biosktivitas Senyawa Flavonoid dan Rimpang
Kaempferia pandurata ROXB, Penelitian, Surabaya: Lembaga
Penelitian Unair.
Tjitrosoepomo, Gembong, 1988. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta),
Yogyakarta : Gajahmada University Press.
Valkenburg, I. L. C. H. Van., Bunyapraphatsara (Eds.), 2002. Plants Resources
of South-East Asia, Medicinal and Poisonous Plants 2, Bogor : Prosea.

PKMP-3-9-6
Lampiran 1. Spektrum UV-Vis Pelarut MeOH



Lampiran 2. Spektrum Infra Merah



PKMP-3-10-1
PENCELUPAN PADA KAIN SUTERA MENGGUNAKAN ZAT WARNA
URANG ARING (ECLI PTA ALBA) DENGAN FIKSATOR TAWAS,
TUNJUNG DAN KAPUR TOHOR

Kharomi Trismawati, Very Setyabakti, Cahyaning Wuri Rosetyo
Program Studi Teknik Busana, Jurusan Pendidikan Teknik Boga Busana
Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta

ABSTRAK
Penelitian ini berfungsi untuk mengetahui 1) Warna yang dihasilkan pada
pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring tanpa proses fiksasi, 2)
Warna yang dihasilkan pada pencelupan kain sutera dengan zat warna urang
aring menggunakan fiksator tawas dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20
gr/l., 3) Warna yang dihasilkan pada pencelupan kain sutera dengan zat warna
urang aring menggunakan fiksator tunjung dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l
dan 20 gr/l, 4) Warna yang dihasilkan pada pencelupan kain sutera dengan zat
warna urang aring menggunakan fiksator kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l,
15 gr/l dan 20 gr/l, 5) Variasi warna yang dihasilkan pada pencelupan kain
sutera dengan zat warna urang aring yang difiksasi dengan tawas, tunjung dan
kapur tohor, 6) Ketahanan luntur warna menggunakan fiksator tunjung, tawas
dan kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l ditinjau dari
perubahan warna. 7) Ketahanan luntur warna menggunakan fiksator tunjung,
tawas, kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l ditinjau dari
penodaan warna. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Unit penelitian
yang digunakan adalah kain sutera super merk 56. Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah fiksator tunjung, tawas dan kapur tohor yang divariasi
konsentrasinya10 gr/l, 20 gr/l dan 15 gr/l untuk variabel kontrol. Variabel terikat
adalah tingkat ketuaan warna dan ketahanan luntur warna yang ditinjau dari
perubahan warna dan penodaan warna. Teknik pengumpulan data tingkat
ketuaan warna dengan uji visual oleh 5 orang ahli dari Balai Industri Kerajinan
dan Batik Jln. Kusuma Negara No. 7 Yogyakarta. Ketahanan luntur warna
ditinjau dari perubahan warna menggunakan Gray Scale. Sedangkan ketahanan
luntur warna ditinjau dari penodaan warna menggunakan Staning Scale.
Validitas instrumen uji menggunakan validitas internal dan eksternal. Sedangkan
pengujian reliabilitas dengan melakukan 3 kali pengulangan pencelupan.
Analisis data yang digunakan adalah uji visual dengan metode rengking. Hasil
penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Pewarnaan kain sutera dengan zat
warna urang aring tanpa proses fiksasi menghasilkan warna kuning, 2) Warna
yang dihasilkan pada pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring
menggunakan fiksator tunjung dengan konsentrasi10 gr/l menghasilkan warna
hijau muda, 15 gr/l menghasilkan warna hijau sedang, dan 20 gr/l menghasilkan
warna hijau tua. 3), Warna yang dihasilkan pada pencelupan kain sutera dengan
zat warna urang aring menggunakan fiksator tawas dengan konsentrasi10 gr/l
menghasilkan warna kuning muda, 15 gr/l menghasilkan warna kuning sedang,
dan 20 gr/l menghasilkan warna kuning tua. 4) Warna yang dihasilkan pada
pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring menggunakan fiksator
kapur tohor dengan konsentrasi10 gr/l menghasilkan warna kuning keemasan
muda, 15 gr/l menghasilkan warna kuning keemasan sedang, dan 20 gr/l
menghasilkan warna kuning keemasan tua. 5) Variasi warna yang dihasilkan

PKMP-3-10-2
pada pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring yang difiksasi dengan
tawas menghasilkan warna kuning, kapur tohor menghasilakn warna kuning
keemasan dan tunjung menghasilkan warna hijau. 6) Ketahanan luntur warna
menggunakan fiksator tunjung, tawas dan kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l,
15 gr/l dan 20 gr/l ditinjau dari perubahan warna menunjukkan hasil yang sama
pada Gray Scale yaitu 4-5 yang dikategorikan sangat baik, semua penggunaan
konsentrasi menunjukkan kain sutera tidak luntur setelah dicuci dengan sabun
Krim merk wing. 7) Ketahanan luntur warna menggunakan fiksator tunjung,
tawas dan kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l ditinjau
dari penodaan warna menunjukkan hasil yang sama pada Stanning Scale yaitu 4-
5 yang dikategorikan sangat baik, semua penggunaan konsentrasi menunjukkan
kain sutera tidak menodai tekstil lain yang dicuci bersama-sama.

Kata kunci : fiksasi, ketuaan warna dan ketahanan luntur warna.

PENDAHULUAN
Pada saat ini tanaman urang aring baru dikenal dan dimanfaatkan sebagai
bahan campuran pembuatan shampoo. Ekstrak urang aring dikenal berkhasiat
sebaga penghitam dan penguat akar rambut. Dengan demikian kami tertarik untuk
mencoba memanfaatkan tanaman tersebut sebagai zat pewarna pada tekstil.
Apakah bila digunakan sebagai pewarna tekstil akan diperoleh warna hitam
seperti pada rambut? Hal inilah yang memberi inspirasi peneliti untuk menjadikan
zat warna urang aring sebagai zat warna tekstil untuk bahan produksi busana.
Bagian tanaman yang digunakan adalah suluruh bagian tanaman kecuali akarnya.
Zat warna alam merupakan zat warna yang memenuhi standar kualitas dan
aman bagi lingkungan, karena tidak seperti zat warna sintetis yang mengakibatkan
pencemaran lingkungan akibat pembuangan sisa limbah yang bersifat karsinogen.
Selain itu zat warna sintetis diduga mengandung gugus azo yang dapat
menyebabkan penyakit kanker. Dengan penggunaan zat warna alam diharapkan
dapat mengurangi pencemaran lingkungan.
Keunggulan dari zat warna alam antara lain, warna yang dihasilkan sangat
variatif dan unik, warna cenderung kearah soft, intensitas warna terhadap kornea
mata terasa sangat menyejukkan sehingga akan menyehatkan mata, dan
mengandung antioksidan sehingga nyaman dan aman apabila dipakai oleh
manusia.
Dalam proses pencelupan ini menggunakan media kain sutera karena selain
memberikan kesan eksklusif pada tekstil, kain sutera merupakan bahan tekstil
yang terbuat dari serat sellulosse dan protein. Karena bahan tekstil yang dapat
diwarnai dengan zat warna alam adalah bahan tekstil yang terbuat dari serat
sellulosse.
Untuk memunculkan warna dan mengunci warna digunakan fiksator tawas,
tunjung dan kapur tohor pada proses fiksasi dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l
dan 20 gr/l pada tiap- tiap fiksator. Dengan diberikannya fiksator yang berbeda
dan konsentrasi yang berbeda pula diharapkan akan memunculkan warna yang
bervariasi dan tingkat ketuaan warna yang bervariasi pula.
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan dalam penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut :1) Bagaimanakah warna yang dihasilkan pada
pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring tanpa proses fiksasi. 2)
Bagaimanakah warna yang dihasilkan pada pencelupan kain sutera dengan zat

PKMP-3-10-3
warna urang aring menggunakan fiksator tunjung dengan konsentrasi 10 gr/l, 15
gr/l dan 20 gr/l. 3) Bagaimanakah warna yang dihasilkan pada pencelupan kain
sutera dengan zat warna urang aring menggunakan fiksator tawas dengan
konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l. 4) Bagaimanakah warna yang dihasilkan
pada pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring menggunakan fiksator
kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l. 5) Bagaimanakah
variasi warna yang dihasilkan pada pencelupan kain sutera dengan zat warna
urang aring yang difiksasi dengan tawas, tunjung dan kapur tohor. 6)
Bagaimanakah ketahanan luntur warna menggunakan fiksator tawas, tunjung dan
kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l ditinjau dari perubahan
warna. 7) Bagaimanakah ketahanan luntur warna menggunakan fiksator tawas,
tunjung dan kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l ditinjau
dari penodaan warna.
Adapun tujuan penelitian ini adalah :1) Untuk mengetahui warna yang
dihasilkan pada pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring tanpa proses
fiksasai. 2) Untuk mengetahui warna yang dihasilkan pada pencelupan kain sutera
dengan zat warna urang aring menggunakan fiksator tunjung dengan konsentrasi
10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l. 3) Untuk mengetahui warna yang dihasilkan pada
pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring menggunakan fiksator tawas
dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l. 4) Untuk mengetahui warna yang
dihasilkan pada pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring
menggunakan fiksator kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l.
5) Untuk mengetahui variasi warna yang dihasilkan pada pencelupan kain sutera
dengan zat warna urang aring yang difiksasi dengan tawas, tunjung dan kapur
tohor. 6) Untuk mengetahui ketahanan luntur warna menggunakan fiksator tawas,
tunjung dan kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l ditinjau
dari perubahan warna. 7) Untuk mengetahui ketahanan luntur warna
menggunakan fiksator tawas, tunjung dan kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l,
15 gr/l dan 20 gr/l ditinjau dari penodaan warna.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1) Mengetahui warna
yang dihasilkan pada pencelupan kain sutera dengan menggunakan zat warna
urang aring. 2) Menambah pengetahuan tentang variasi warna yang dihasilkan
pada pencelupan kain sutera dengan menggunakan zat warna urang aring yang
difiksasi dengan tawas, tunjung dan kapur tohor. 3) Menambah informasi tentang
zat warna alam yang dapat digunakan sebagai pewarna tekstil. 4) Sebagai bahan
masukan bagi industri tekstil agar memperoleh alternatif pewarnaan kain sutera
menggunakan zat pewarna alam. 5) Mendorong adanya penelitian lain yang
berkaitan dengan pengembangan zat warna alam.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang dilakukan untuk
mengetahui tingkat ketuaan warna dan ketahanan luntur warna yang dihasilkan
pada pencelupan kain sutera menggunakan zat warna urang aring dengan fiksator
tunjung, tawas dan kapur tohor yang divariasi konsentrasinya, terhadap perubahan
warna dan penodaan warna. Konsentrasi fiksator tunjung, tawas dan kapur tohor
yang akan diuji masing-masing adalah 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l. Desain
penelitian digambarkan dalam bentuk table sebagai berikut:


PKMP-3-10-4
Table 1. Desain Penelitian Ketuaan Warna dengan Fiksator Tunjung
Konsentrasi Tunjung
10 gr/l * 15 gr/l 20 gr/l
1 1 1
2 2 2


Ketuaan warna
3 3 3
* = Variabel kontrol

Table 2. Desain Penelitian Ketuaan Warna dengan Fiksator Tawas
Konsentrasi Tawas
10 gr/l * 15 gr/l 20 gr/l
1 1 1
2 2 2


Ketuaan warna
3 3 3
* = Variabel kontrol

Table 3. Desain Penelitian Ketuaan Warna dengan Fiksator Kapur Tohor
Konsentrasi Kapur Tohor
10 gr/l * 15 gr/l 20 gr/l
1 1 1
2 2 2


Ketuaan warna
3 3 3
* = Variabel kontrol

Table 4. Desain Penelitian Ketahanan Luntur Warna dengan Fiksator Tunjung
Konsentrasi Tunjung Ketahanan Luntur
Warna 10 gr/l * 15 gr/l 20 gr/l
1 1 1
2 2 2 Perubahan Warna
3 3 3
1 1 1
2 2 2 Penodaan Warna
3 3 3
* = Variabel kontrol

Table 5. Desain Penelitian Ketahanan Luntur Warna dengan Fiksator Tawas
Konsentrasi Tawas Ketahanan Luntur
Warna 10 gr/l * 15 gr/l 20 gr/l
1 1 1
2 2 2 Perubahan Warna
3 3 3
1 1 1
2 2 2 Penodaan Warna
3 3 3
* = Variabel kontrol



PKMP-3-10-5
Table 6. Desain Penelitian Ketahanan Luntur Warna dengan Fiksator Kapur Tohor
Konsentrasi Kapur Tohor Ketahanan Luntur
Warna 10 gr/l * 15 gr/l 20 gr/l
1 1 1
2 2 2 Perubahan Warna
3 3 3
1 1 1
2 2 2 Penodaan Warna
3 3 3
* = Variabel kontrol



Gambar 1. Tanaman Urang Aring






PKMP-3-10-6
Bahan eksperimen terdiri dari: tanaman Urang Aring diperoleh dari areal
persawahan di daerah Ngaglik Yogyakarta, kain sutera merk Super 56 diperoleh
dipasar Bringharjo, tunjung, tawas dan kapur tohor sebagai fiksator diperoleh dari
Toko Prawoto, TRO sebagai pembasah, air sebagai pelarut.

Prosedur eksperimen dilaksanakan sebagai berikut:



Persiapan
Proses mordanting
Perendaman dalam
larutan TRO
Pencelupan
Fiksasi
Pembilasan
Hasil pencelupan
Pengujian
Larutan tawas&TRO
Larutan TRO
Larutan fiksasi tunjung,
tawas, kapur tohor
konsentrasi 10 gr/l, 15
gr/l, 20 gr/l
Ketahanan luntur
warna ditinjau dari
perubahan warna (diuji
dengan Gray Scale)
Ketahanan luntur
warna ditinjau dari
penodaan warna (diuji
dengan Stanning
Scale)
Ketuaan warna diuji
secara visual oleh ahli
zat warna alam
Hasil pengamatan Hasil pengujian Hasil pengujian
Data Data Data

PKMP-3-10-7
Eksperimen dilakukan di laboratorium PKK Universitas Negeri
Yogyakarta Kampus Karang Malang Yogyakarta. Pengujian tingkat ketuaan
warna dan ketahanan luntur warna dilakukan di Laboratorium Uji Komoditi
Industri Kerajinan dan Batik Di Jalan. Kusuma Negara No. 7 Yogyakarta. Data
tingkat ketuaan warna diperoleh dengan cara meminta 5 orang ahli di bidang zat
warna alam dari Balai Batik unutk menguji secara visual dengan metode rangking.
Nilai C untuk kategori muda, nilai B untuk kategori sedang dan nilai A untuk
kategori tua. Data ketahanan luntur warna diperoleh dari pengujian dengan Gray
Scale untuk perubahan warna, dan untuk penodaan diuji dengan Stanning Scale.
Bahan uji dipotong secara acak dengan ukuran 5 x 10 cm, kemudian masing-
masing diberi tanda sesuai dengan konsentrasi fiksator.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pewarnaan kain sutera dengan zat warna urang aring menghasilkan warna
kuning. Hasil pengujian tingkat ketuaan warna menunjukkan bahwa besar
kecilnya konsentrasi cuka yang digunakan berpengaruh terhadap tingkat ketuaan
warna pada pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring. Data rata-rata
penggunaan fiksator tunjung dengan konsentrasi 10 gr/l menghasilkan warna hijau
muda , konsentrasi 15 gr/l menghasilkan warna hijau sedang dan konsentrasi 20
gr/l menghasilkan hijau tua. Penggunaan fiksator tawas dengan konsentrasi 10 gr/l
menghasilkan warna kuning muda, konsentrasi 15 gr/l menghasilkan warna
kuning sedang dan konsentrasi 20 gr/l menghasilkan warna kuning tua.
Penggunaan fiksator kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l menghasilkan warna
kuning keemasan muda, konsentrasi 15 gr/l menghasilkan warna kuning
keemasan sedang dan konsentrasi 20 gr/l menghasilkan warna kuning keemasan
tua. Dari data tersebut menunjukkan semakin tinggi konsentrasi fiksator yang
digunakan maka semakin tua warna yang dihasilkan. Hal ini disebabkan fiksator
tunjung, tawas dan kapur tohor memiliki sifat mengekalkan warna dan memiliki
daya ikat terhadap warna.
Hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada
pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring menunjukkan bahwa besar
kecilnya konsentrasi fiksator yang digunakan tidak berpengaruh terhadap
ketahanan luntur warna ditinjau dari perubahan warna. Data rata-rata penggunaan
konsentrasi fiksator tunjung, tawas dan kapur tohor 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l
diperoleh angka yang sama pada Gray Scale yaitu 4-5 yang dikategorikan baik,
yaitu kain sutera tidak luntur setelah dicuci dengan sabun krim merk wings.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa penambahan konsentrasi fiksator
tunjung, tawas dan kapur tohor yang digunakan tetap menghasilkan kain sutera
yang tidak luntur setelah dicuci dengan sabun krim merk wings.
Hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada
pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring menunjukkan bahwa besar
kecilnya konsentrasi fiksator yang digunakan tidak berpengaruh terhadap
ketahanan luntur warna ditinjau dari penodaan warna. Data rata-rata penggunaan
konsentrasi fiksator tunjung, tawas dan kapur tohor 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l
diperoleh angka yang sama pada Stanning Scale yaitu 4-5 yang dikategorikan
baik, yaitu kain sutera tidak melunturi atau menodai tekstil lain yang dicuci
bersama-sama dengan menggunakan sabun krim merk wings. Dengan demikian
dapat diartikan bahwa penambahan konsentrasi fiksator tunjung, tawas dan kapur

PKMP-3-10-8
tohor yang digunakan tidak menyebabkan tekstil lain yang dicuci bersama-sama
dengan kain sutera menjadi terlunturi/ternodai.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1) Warna yang
dihasilkan pada pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring tanpa proses
fiksasi adalah warna kuning. 2) Tingkat ketuaan warna pada pencelupan kain
sutera dengan zat warna urang aring untuk konsentrasi tunjung 10 gr/l
menghasilkan warna hijau dengan nilai rata-rata C yang dikategorikan muda.
Untuk konsentrasi tunjung 15 gr/l menghasilkan warna hijau dengan nilai rata-rata
B yang dikaregorikan sedang. Dan untuk konsentrasi tanjung 20 gr/l
menghasilkan warna hijau dengan nilai rata-rata A yang dikategorikan tua. 3)
Tingkat ketuaan warna pada pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring
untuk konsentrasi tawas 10 gr/l menghasilkan warna kuning dengan nilai rata-rata
C yang dikategorikan muda. Untuk tawas 15 gr/l menghasilkan warna kuning
dengan nilai rata-rata B yang dikategorikan sedang. Dan untuk konsentrasi 20 gr/l
menghasilkan warna kuning dengan nilai rata-rata A yang dikategorikan tua. 4)
Tingkat ketuaan warna pada pencelupan kain sutera dengan zat urang aring untuk
konsentrasi kapur tohor 10 gr/l menghasilkan warna kuning keemasan dengan
nilai rata-rata C yang dikategorikan muda. Untuk konsentrasi kapur tohor 15 gr/l
menghasilkan warna kuning keemasan dengan nilai rata-rata B yang dikategorikan
sedang. Dan untuk konsentrasi kapur tahor 20 gr/l menghasilkan warna kuning
keemasan dengan nilai A yang dikategorikan tua. 5) Variasi warna yang
dihasilkan pada pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring yang
difikasi dengan tanjung, tawas dan kapur tohor adalah fiksasi dengan tanjung
menghasilkan warna hijau, fiksasi dengan kapur tohor menghasilkan warna
kuning keemasan dan fiksasi dengan tawas menghasilkan warna kuning. 6)
Ketahanan luntur warna terhadap pencucian dari perubahan warna pada
pencelupan kain sutera dengan zat warna urang aring menggunakan fiksator
tanjung, tawas dan kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l
menghasilkan nilai rata-rata 4-5 yang dikategorikan baik yang berarti tidak luntur
setelah dilakukan pencucian dengan sabun krim merk wing. 7) Ketahanan luntur
warna terhadap pencucian ditinjau dari penodaan warna pada pencelupan kain
sutera dengan zat warna urang aring menggunakan fiksator tanjung, tawas dan
kapur tohor dengan konsentrasi 10 gr/l, 15 gr/l dan 20 gr/l menghasilkan nilai
rata-rata 4-5 yang dikategorikan baik, yaitu jika tekstil dicuci dengan sabun krim
merk wing bersama-sama dengan tekstil lain tidak akan melunturi atau menodai
tekstil lain.

DAFTAR PUSTAKA
Agustin NYo dkk.(1990).Pengetahuan Bahan Tekstil untuk SMTK.Jakarta:Dik
Menjur.Dep Dik Bud
Anonym.(1983).SII 0113-75 Cara Penggunaan Grey Scale.Jakarta:Departemen
Perindustrian.
Anonym.(1983).SII 0114-75 Cara Penggunaan Stanning
Scale.Jakarta:Departemen Perindustrian.
Anonym.(1983).SII 0115-75 Cara Uji Tahan Luntur Warna Terhadap
Pencucian.Jakarta:Departemen Perindustrian.

PKMP-3-10-9
Anonym.(1997).Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka.
Anshory Irfan.(1988).Penuntun Pelajaran Kimia.Bandung:Ganeca Exact.
Astri Indriani.(2003).Pengaruh Konsentrasi Soda Abu (Na
2
CO
3
) dan Lama
Waktu Dalam Proses Mordan Terhadap Kekuatan Sobek Kain
Mori.Skripsi:Yogyakarta.UNY
Balai Penelitian Batik dan Kerajinan.(1992).Buku Pegangan Pembuatan Batik
Sutera.Yogyakarta.
Enny Zuhni K.(1997).Ilmu Tekstil.Yogyakarta:FPTK.Institut keguruan dan Ilmu
Pendidikan.
Hendri Suprapto.(1996).Teknologi Pencelupan Zat Pewarna Alami Tumbuh-
Tumbuhan.Yogyakarta:Departemen Perindustrian
Jumaeri.(1997).Pengetahuan Barang Tekstil.Bandung:Institute Teknologi Tekstil.
Nurcahyo Jati.(1993). Pemanfaatan Pasahan Kayu Nangka Sebagai Warna Soga
Batik.Skripsi.Yogyakarta:UII
Sewan Susanto.(1980).Kerajinan Batik Indonesia.Yogyakarta:BPBK

PKMP-3-11-1
PENGARUH PENAMBAHAN SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN
LIMBAH PLASTIK JENIS POLIPROPILEN
DALAM HIGH SPEED DIESEL
Ernia Novika Dewi, Nessia Irwanti, Mariana Novita R, Ika Sufariyanti
PS Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

ABSTRAK
Penggunaan plastik yang semakin meluas dan meningkat tiap tahunnya
menyebabkan semakin menumpuknya limbah plastik terutama dari jenis
polipropilen. Di sisi lain, kekhawatiran akan terjadinya krisis energi
menimbulkan upaya daur ulang limbah plastik untuk menghasilkan bahan bakar
alternatif baru sebagai pengganti bahan bakar diesel. Dengan melarutkan plastik
jenis polipropilen (PP) dalam High Speed Diesel (HSD), dilanjutkan dengan
menambahkan air dan surfaktan untuk mencegah bahan bakar yang dihasilkan
membeku pada suhu kamar, diharapkan akan diperoleh bahan bakar baru dari
recycle limbah plastik. Pada penelitian ini akan dipelajari pengaruh yang
ditimbulkan oleh penambahan surfaktan terhadap kesetimbangan solid-liquid
sistem solar-PP-surfaktan-air secara eksperimen. Penelitian ini dibagi menjadi
tiga tahap, yaitu tahap pelarutan PP dalam HSD, tahap penambahan air dan
surfaktan dan tahap pengamatan dan analisa. Analisa dilakukan dengan metode
analisa penurunan suhu maupun dengan metode Differential Scanning
Calorimetry (DSC). Dari eksperimen yang telah dilakukan, diperoleh hasil yang
sangat signifikan, yaitu bahwa pertama larutan PP-HSD yang membeku pada
suhu kamar dan memisah menjadi dua fase dapat teremulsi dengan baik dengan
penambahan surfaktan dan air. Sedangkan kontribusi hasil yang kedua adalah
pencampuran antara PEG dan SLES dengan komposisi perbandingan 4 :1 akan
menghasilkan emulsi yang baik dan stabil.

Kata kunci : recycle limbah plastik,bahan bakar alternatif,surfaktan

PENDAHULUAN
Petroleum merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Sedangkan konsumsi petroleum pertahunnya selalu meningkat [1]. Akibatnya
telah banyak timbul kekhawatiran akan terjadi krisis energi saat persediaan BBM
di kerak bumi menipis. Hal ini memicu perkembangan ilmu pengetahuan untuk
mencari alternatif energi lain yang dapat terbarukan sekaligus dapat menghemat
penggunaan minyak dan gas bumi. Di sisi lain, saat ini dunia juga telah
disibukkan dengan masalah menumpuknya sampah plastik. Dengan adanya
konsumsi plastik yang cukup besar, maka mengakibatkan sampah plastik semakin
meningkat.
Menurut data Dinas Kebersihan DKI Jakarta, saat ini sampah plastik di
Indonesia mencapai 1,6 juta ton setiap tahunnya. Komposisi sampah untuk tiga
kota besar di Indonesia yang dikutip dari Data Kebersihan tahun 1997-1998 dapat
dilihat bahwa sampah plastik memiliki persentase yang cukup besar diantara jenis
sampah anorganik lainnya [3].
Di banyak negara, hanya 7% dari sampah plastik yang dihasilkan oleh
industri dan masyarakat berhasil di daur ulang [2]. Analisis menunjukkan bahwa
PKMP-3-11-2
perbandingan plastik di dalam sampah mencapai 10% dari berat keseluruhan, dan
mayoritas berasal dari bekas kemasan [4]. Polietilen dan polipropilen yang
merupakan plastik paling digemari untuk dijadikan bahan dasar kemasan
menempati presentase terbesar dari sampah plastik dibandingkan jenis plastik
lainnya yaitu sekitar 44%, diikuti Polistirene 25%, dan Polivinilklorida (PVC)
15%.
Penimbunan sampah akan menyebabkan kesuburan tanah berkurang. Hal
ini dikarenakan bahan plastik tidak terdegradasi, dapat menghalangi
mikroorganisme untuk mendegradasi senyawa lain. Selain itu penimbunan
sampah dapat menyebabkan polusi air bawah tanah. Sedangkan tindakan
pembakaran sampah plastik dapat menghasilkan senyawa kimia berbahaya dan
beracun, yaitu senyawa dioksin yang berakibat pada perubahan hormon
reproduksi hewan dan manusia serta menyebabkan kanker [1]. Sampah plastik
mempunyai nilai kalori tinggi yang setara dengan batu bara atau minyak bumi,
dan dapat dimanfaatkan dengan jalan pembakaran untuk menghasilkan panas atau
tenaga [5]. Oleh sebab itu sampah plastik dapat pula dipergunakan sebagai bahan
bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil yang tidak terbarukan [2].
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sistem 1% PP dalam HSD
memiliki cloud point pada 341,15 K [7]. Hal ini berarti pada suhu ruangan, kedua
sistem Bahan Bakar Polimer (BBP) tersebut akan membeku dan tidak dapat
melewati nozzle fuel injector dalam mesin diesel yang akan menyemprotkan BBP
tersebut sehingga BBP dapat terbakar secara bertahap. Oleh sebab itu BBP yang
mempunyai cloid point yang lebih rendah perlu dikembangkan. Mitsuhara et al.
[8] melakukan penelitian dan menemukan bahwa dengan penambahan surfaktan
pada pengemulsian bahan bakar polimer dengan air dapat menurunkan viskositas
dan mencegah PP/PE yang ditambahkan akan membeku kembali. Berdasarkan
penelitian-penelitian tersebut, perlu diteliti komposisi surfaktan yang tepat untuk
ditambahkan pada sistem PP pada bahan bakar diesel, sehingga akan diperoleh
bahan bakar yang dapat digunakan untuk mesin diesel. Penelitian-penelitian
tersebut di atas belum mendiskusikan mengenai kesetimbangan solid-liquid
polimer dalam sistem solar-PP-surfaktan-air secara termodinamika. Oleh sebab
itu, maka penelitian ini ditekankan pada pengembangan metode eksperimen untuk
memperoleh pendekatan kesetimbangan solid-liquid polimer pada sistem solar-
PP-surfaktan-air menggunakan cloud point sistem yang lebih rendah. Berdasarkan
pada fakta di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh
yang ditimbulkan oleh penambahan surfaktan terhadap kesetimbangan solid-liquid
sistem solar-PP-surfaktan-air secara eksperimen. Manfaat dari penelitian ini
adalah terciptanya bahan bakar alternatif baru yang dapat menghemat penggunaan
HSD dalam mesin diesel serta dapat mendaur ulang sampah plastik jenis
Polipropilen.

METODE PENDEKATAN
Metodologi penelitian yang dilakukan mengacu pada metode yang
dilakukan oleh Soloiu dkk [6], dan Mitsuhara dkk [8] yaitu :

Peralatan
Peralatan eksperimen yang digunakan pada percobaan ini yaitu bejana
kaca berukuran 1 liter, motor pengaduk, pemanas listrik, termokopel dan
PKMP-3-11-3
termocontroller, kondensor dan dilengkapi dengan tabung N
2
serta homogenizer.
Diagram skematis dari peralatan percobaan ditunjukkan pada Gambar 1.



Gambar 1. Rangkaian Peralatan Pelarutan PP dalam HSD

Gambar 2. Alat Pengamatan Cloud Point


Bahan yang Digunakan
Penelitian ini menggunakan bahan bakar solar (High Speed Diesel),
limbah plastik polipropilen (PP), surfaktan, dan aquades. Pemilihan HSD sebagai
solven didasarkan pada aplikasi dan konsumsi HSD adalah paling besar diantara
konsumsi bahan bakar minyak lainnya, dan titik didih HSD lebih tinggi dari titik
leleh PP. Sedangkan limbah plastik polipropilen yang digunakan berasal dari
bekas kemasan air mineral. Pertimbangan utama pada pemilihan limbah plastik
bekas kemasan air mineral tersebut karena limbah tersebut banyak terdapat di
sekitar kita sehingga mudah didapat, dan warnanya bening dengan asumsi sedikit
mengandung bahan aditif. Untuk surfaktan yang digunakan adalah surfaktan non
ionik yang larut dalam air.



N
2

TC
4
3
1
2
5
6
8
9
7
10
11
Keterangan :
1. Reaktor
2. Pengaduk
3. Pemanas Elektrik
4. Tabung N
2

5. N
2
inlet
6. N
2
outlet
7. Inlet Solar dan PP/ PE
8. Perangkat pengatur suhu
9. Motor pengaduk
10. Kondensor
11. Statif dan Klem condensor
PKMP-3-11-4
Prosedur Eksperimen
Tahapan eksperimen yang akan dilakukan terdiri dari tiga tahap yaitu
tahap pelarutan polipropilen dalam HSD, tahap penambahan air dan surfaktan,
dan tahap pengamatan dan analisa. Pada tahap pelarutan polipropilen dalam HSD,
peralatan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1, dimana limbah
polipropilen (bekas gelas air mineral) di cuci dengan air bersih untuk
menghilangkan kotoran yang menempel pada permukaannya, setelah itu
dikeringkan dan dipotong-potong dengan ukuran 0.5 x 0.5 cm
2
. Solar dan
potongan PP dengan fraksi massa tertentu (1%, 3%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan
25%) dimasukkan ke dalam labu leher empat yang dilengkapi kondensor dan
pengaduk. Labu leher empat yang sudah berisi solar dan potongan limbah PP
tersebut dipanaskan menggunakan pemanas listrik dan diaduk dengan kecepatan
konstan 200 rpm untuk menjaga homogenitas campuran. Agar PP dapat larut
sempurna dalam HSD maka larutan harus dipanaskan hingga melebihi titik leleh
PP yaitu 162.85C. Setelah tercapai suhu tersebut, pemanas dimatikan dan larutan
didinginkan. Selama eksperimen, air pendingin dialirkan ke dalam kondensor
untuk mencegah penguapan solar dan gas N
2
dialirkan ke dalam labu untuk
mencegah pembakaran. Selanjutnya campuran tersebut didinginkan hingga suhu
kamar. Pada tahap kedua, campuran PP dan HSD dimasukkan ke dalam bejana
berisi aquades dengan massa tertentu untuk diaduk dalam homogenizer sehingga
didapatkan campuran yang homogen. Kemudian surfaktan dengan jumlah tertentu
dimasukkan ke dalam bejana tersebut, untuk selanjutnya campuran tersebut
dianalisa propertinya. Tahap pengamatan dan analisa dapat dilakukan dengan dua
cara,yakni dengan metode analisa penurunan temperatur dan dengan metode DSC.
Untuk mengamati cloud point BBP dengan menggunakan metode analisa
penurunan temperatur dapat dilihat pada Gambar 2, dimana sampel diambil dari
campuran BBP, dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang dilengkapi
termokopel. Sampel tersebut didinginkan dalam beaker glass berisi air pendingin
yang dilengkapi dengan magnetic stirrer. Ke dalam beaker glass tersebut dialirkan
air dingin dengan rate massa yang dibuat konstan. Penurunan suhu sampel dicatat
dengan menggunakan data taker. Temperatur pada saat terjadi dikontiniuitas pada
kurva dicatat sebagai temperatur kesetimbangan solid-liquid karena pada saat
terjadinya perubahan fase, properti thermodinamika suatu campuran akan
mengalami perubahan. Pada pengamatan cloud point dengan menggunakan
metode DSC, sampel diambil sebesar 20 gram, kemudian didinginkan hingga
(-20
o
C). Setelah didinginkan, sampel tersebut dipanaskan dengan laju pemanasan
yang konstan, yaitu 10
o
C/menit hingga mencapai 200
o
C. Sebagai purge gas
digunakan gas nitrogen dengan kecepatan aliran 50 ml/menit. Dari metode ini
akan diketahui T
m
(Melting Temperature) dan T
g
(Glass Temperature). Dalam hal
ini T
g
digunakan sebagai pendekatan temperatur pada saat terjadinya solid-liquid
equilibrium. T
g
merupakan suhu dimana leburan polimer akan menjadi glass.
Kemudian akan dibuat grafik antara T
g
dengan fraksi massa PP.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pemilihan Surfaktan :
Jenis surfaktan yang telah digunakan adalah PEG 4000, PEG 6000, PPG
3000, PPG 6000, dan campuran PEG 6000 dengan SLES dengan perbandingan
massa 4:1 seperti yang terlihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.
PKMP-3-11-5
Pada Gambar 4 dapat dilihat emulsi yang dihasilkan dengan komposisi PP-
HSD lebih banyak dari air dan komposisi surfaktan 18% didapatkan hasil emulsi
yang tidak tercampur dan tidak stabil.



Gambar 3. Emulsi dengan surfaktan campuran PEG dan SLES



(a) (b) (c) (d)

Gambar 4. Emulsi dengan berbagai jenis surfaktan:
(a) emulsi dengan menggunakan surfaktan PEG 4000, (b) emulsi dengan
menggunakan surfaktan PEG 6000, (c) emulsi dengan menggunakan surfaktan
PPG 3000, (d) emulsi dengan menggunakan surfaktan PPG 6000.

Emulsi yang dihasilkan dapat tercampur dengan baik dan lebih stabil
ketika menggunakan surfaktan campuran PEG 6000 dengan SLES seperti yang
dapat dilihat pada Gambar 3. Dari gambar tersebut terlihat bahwa emulsi yang
dihasilkan tidak memisah menjadi 2 fase. Oleh karena itu digunakan surfaktan
PEG dan SLES dengan perbandingan PEG : SLES = 4 : 1 dan perbandingan
PP-HSD : Air = 2 : 1.

Pembahasan
Metode Analisa Manual
Karena cloud point dari emulsi yang dihasilkan tidak dapat diamati secara
visual, maka analisa solid liquid equilibrium dilakukan dengan memanaskan
hingga suhu tertentu dan mendinginkan secara perlahan hingga suhu tertentu.
Untuk menurunkan suhu emulsi pada percobaan ini digunakan bantuan air
pendingin. Pada saat terjadi perubahan fase, properti termodinamika suatu
campuran berubah secara signifikan. Dengan mencatat suhu emulsi ketika
PKMP-3-11-6
pendinginan, diharapkan dapat terdeteksi suhu pada saat terjadi perubahan fase
tersebut.
Berdasarkan hasil yang didapat, dibuat grafik antara suhu (T) dan waktu
(t) seperti yang terlihat pada Gambar 5. Dari grafik terlihat bahwa tidak terdapat
diskontinuitas baik pada grafik sistem PP-HSD dan grafik sistem PP-HSD-Air-
Surfaktan. Diskontinuitas tersebut tidak terdeteksi dapat dikarenakan rate
pendinginan yang cepat dan tidak konstan atau memang tidak terjadi solid liquid
equilibrium pada sistem tersebut. Oleh karena itu, dilakukan validasi metode ini
pada sistem PP-HSD dengan menggunakan data hasil penelitian yang
terdahulu[7].

Metode Analisa dengan DSC
Karena analisa dengan metode manual tidak dapat digunakan, dilakukan
analisa dengan DSC agar hasil yang diperoleh lebih akurat. Hasil dari analisa DSC
ini dapat dilihat pada Gambar 6. Dari analisa DSC, T
g
tidak dapat terdeteksi. Pada
analisa ini yang dapat terdeteksi hanya T
m
untuk masing-masing komponen. Hal
ini berarti emulsi tersebut tidak memiliki T
g
sehingga emulsi tersebut tidak
mengalami glass transition pada range -20
o
C hingga 200
o
C. Untuk lebih
memperjelas, dilakukan perhitungan solubility parameter PP dan komponen selain
PP. Pada metode ini diambil sampel, yaitu untuk komposisi PP dalam HSD = 10%
dan komposisi surfaktan = 5% dan didapatkan dua T
m
yaitu 59,95
o
C dan
126,93
o
C.

Metode Analisa dengan Solubility Parameter
Kelima komponen dipisahkan menjadi komponen PP(1) dan selain PP atau
HSD-Air-PEG-SLES(2) karena akan dianalisa apakah PP dan keempat komponen
yang lain dapat saling melarut. Perhitungan solubility parameter yang digunakan
sesuai metode perhitungan yang digunakan Hoftyzer dan Van Krevelen [9].
Solubility Parameter PP (
1
) didapatkan dari data pada tabel 7.5 [9] yaitu
sebesar 17 J
1/2
cm
3/2
mol
-1
. Solubility Parameter untuk komponen selain PP (
2
)

dihitung dengan menggunakan solubility parameter. Dari hasil perhitungan
didapatkan
2
untuk masing-masing komposisi PP dan surfaktan yang berbeda
yang ditunjukkan pada tabel 1.



PKMP-3-11-7
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500
t(detik)
T
(
o
C
)
1%5%
1%10%
1%15%
1%20%
1%murni

Gambar 5.Grafik hubungan antara temperatur dan waktu untuk komposisi PP 1%
dengan komposisi surfaktan 5-20%



Gambar 6. Hasil analisa DSC untuk PP 10% dan Surfaktan 5%
PKMP-3-11-8
Tabel 1. Hasil Perhitungan
2
Komposisi Komposisi

2

2

Komposisi
PP
Komposisi
Surfaktan
J
1/2
cm
3/2
Komposisi
PP
Komposisi
Surfaktan
J
1/2
cm
3/2

5% 27.786 5% 26.986
10% 27.790 10% 27.032
15% 27.801 15% 27.086
1%
20% 27.813
15%
20% 27.139
5% 27.671 5% 26.700
10% 27.682 10% 26.762
15% 27.699 15% 26.830
3%
20% 27.717
20%
20% 26.899
5% 27.557 5% 26.414
10% 27.573 10% 26.491
15% 27.597 15% 26.575
5%
20% 27.621
25%
20% 26.658
5% 27.271
10% 27.303
15% 27.341
10%
20% 27.380

Dapat dilihat harga
1
dan
2
untuk tiap-tiap komposisi yang berbeda,
saling berdekatan. Sehingga dapat disimpulkan komponen emulsi yang dihasilkan
saling melarut. Ini dapat berarti karena saling melarut maka pada sistem tersebut
tidak terdapat solid liquid equilibrium.
Dengan menggunakan perhitungan solubility parameter, tidak terlihat
adanya pengaruh perbedaan penambahan komposisi surfaktan terhadap kelarutan
PP dalam HSD.

KESIMPULAN
Berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
surfaktan yang terbaik untuk menghasilkan emulsi yang tercampur dengan baik
dan stabil ialah campuran antara PEG dan SLES dengan perbandingan komposisi
4:1. Dari perhitungan solubility parameter tidak terlihat adanya pengaruh
perbedaan penambahan komposisi surfaktan terhadap kelarutan PP dalam HSD.

DAFTAR PUSTAKA
1. www.pertamina.com
2. www.wasteonline.org
3. Data kebersihan 1997-1998. Proyek Pengembangan Pemulung. Jakarta: Dinas
Kebersihan DKI; 1998.
4. Sovrlic M dan Lecic R. Proceeding Sardinia 99, 7
th
International Waste
Management dan Landfill Symposium; 1999.
PKMP-3-11-9
5. Association of Plastics Manufacturers in Europe (APME), www.apme.org.
6. Soloiu V.A, Yosihara Y, Hiraoka M dan Nishiwaki K. Proceeding of the 10
th

Annual Conference of the Japan Society of Waste Management Expert; 1999.
Vol III hlm 37-40.
7. Fitriyadi M dan Susanti E. Kelarutan Limbah Plastik jenis PP dan PE dalam
High Speed Diesel. Surabaya: Skripsi Jurusan Teknik Kimia ITS; 2005.
8. Mitsuhara Y, Yoshihara Y, Nakanishi Y, dan Hiraoka M. Kyoto : CIMAC
Congress; 2004.
9. Hoftyzer PJ dan Van Krevlen DW. Properties of Polymer,2
nd
edition.
Chapter 7; 1976.


PKMP-3-12-1
STUDI PERBANDINGAN KUALITAS GELATIN DARI LIMBAH KULIT
IKAN TUNA (Thunnus spp.), KULIT IKAN PARI (Dasyatis sp.)
DAN TULANG IKAN HIU (Carcarias sp.) SEBAGAI ALTERNATIF
PENYEDIA GELATIN HALAL

Doni Muhammad Irawan, Indra Kristiana, Mahrus Ali Samudra Aditia
PS Tekn. Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRAK
Gelatin mempunyai banyak kegunaan, dan amat luas penggunaannya di segala
bidang khususnya untuk produk pangan. Selama ini dipasaran banyak gelatin
yang berasal dari kulit dan tulang babi, bahkan sebesar 41,4% produk gelatin
dunia diekstraksi dari kulit babi. Untuk mengatasi kelangkaan gelatin halal di
pasaran, perlu dicari alternatif bahan baku dalam pembuatan gelatin. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui metode ekstraksi gelatin halal dari
limbah kulit ikan tuna, tulang ikan hiu dan kulit ikan pari dengan menggunakan
HCl 4 %, memberikan informasi tentang alternatif pembuatan gelatin halal,
memberikan nilai tambah terhadap limbah perikanan serta mendapatkan kualitas
gelatin terbaik dari bahan baku limbah perikanan. Rancangan penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial yang terdiri dari 3 faktor yaitu
jenis bahan baku (kulit ikan tuna, kulit pari, tulang hiu), lama perendaman dalam
asam (24 jam, 36 jam) dan suhu ekstraksi (60
0
C, 80
0
C). Analisis parameter uji
yang dilakukan terdiri dari kadar protein, kadar lemak, kadar abu, kadar garam,
nilai pH, Viskositas, kekuatan gel dan titik jendal. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa jenis bahan baku berpengaruh nyata terhadap kadar lemak, kadar air,
kadar garam, kekuatan gel dan viskositas gelatin yang dihasilkan. Lama
perendaman berpengaruh nyata terhadap kadar protein, kekuatan gel dan titik
jendal gelatin yang dihasilkan. Suhu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap
rendemen gelatin yang dihasilkan. Sedangkan interaksi ketiga faktor tersebut
tidak berpengaruh nyata terhadap kualitas gelatin yang dihasilkan. Dengan
demikian Limbah kulit tuna, kulit pari dan tulang hiu dapat dimanfaatkan sebagai
alternatif gelatin halal, selain itu dapat meningkatkan nilai tambahnya.
Kombinasi perlakuan yang terbaik dalam penelitian adalah pada gelatin yang
terbuat dari tulang hiu dengan lama perendaman 36 jam dan suhu ekstraksi 80
0
C yaitu dengan Viscositas 5,65 cps, kekuatan gel 72,75 mm/kg.s, TitikJendal
12,45
0
C, Rendemen 19,9 %, Nilai pH 3,2, Kadar Protein 83,8 %, Kadar Lemak
1,425 %, Kadar Abu 4,87 %, Kadar Air 7,02 % dan Kadar Garam 3,63 %.

Kata Kunci : limbah perikanan, gelatin halal, ekstraksi.

PENDAHULUAN
Produk halal, kini bukan lagi semata-mata isu umat atau Agama Islam
semata, tapi sudah merambah pada bidang bisnis dan perdagangan. Saat ini,
jaminan halal suatu produk sudah menjadi simbol global bahwa produk yang
bersangkutan terjamin kualitasnya. Selain itu, masyarakat dunia saat ini cenderung
memilih produk-produk yang berlabelkan halal. Sebagai contoh konkret, di
Inggris yang jumlah penduduk muslimnya hanya sekitar 2 juta orang, tapi
anehnya ada sekitar 6 juta konsumen yang lebih memilih produk daging

PKMP-3-12-2
berlabelkan halal (Anonymous, 2005a). Permasalahan ini sangat mendasar, karena
makanan yang kita telan akan menjadi darah dan daging, dan akan berpengaruh
terhadap tindakan dan perilaku kita. Sehingga pentingnya mengkonsumsi
makanan halal ini diatur dalam Islam sebagaimana tertuang dalam Al-Quran :
Hai orang-orang yang beriman, makanlah olehmu dari rizqi yang halal lagi
baik, dan janganlah kamu mengikuti langkah setan, sesungguhnya setan
merupakan musuh yang nyata bagimu (QS : Al-Baqarah 174).
Disamping itu Rasulullah SAW juga bersabda :
Barang siapa memakan sesuap dari barang haram, maka tidak akan
diterima shalatnya selama empat puluh hari (HR. Abu Daud).
Sementara kita di Indonesia yang notabene berpenduduk muslim terbesar
di dunia, masih belum memperhatikan dan kurang menyadari pentingnya
mengkonsumsi makanan halal. Setiap konsumen yang membeli produk makanan
bisa dipastikan yang terlebih dahulu dilihat adalah tanggal kadaluarsa yang
terdapat pada kemasan. Padahal seperti juga batas kadaluarsa, kehalalan makanan
menjadi suatu hal yang penting, bahkan lebih penting. Lebih-lebih bagi umat
Islam (Anonymous, 2005b). Kurangnya kesadaran soal makanan halal ini bisa
disebabkan oleh banyak hal, seperti kurangnya pengetahuan tentang pentingnya
selalu mengkonsumsi makanan halal, serta masih belum tersedianya alternatif
makanan/bahan makanan halal untuk produk tertentu secara memadai (seperti
halnya produk gelatin).
Gelatin merupakan salah satu jenis protein konversi yang diperoleh
melalui proses hidrolisis kolagen dari kulit, tulang dan jaringan serat putih (white
fibrous) hewan. Di Indonesia gelatin ini masih merupakan barang impor, terutama
dari Eropa, Amerika dan China. Gelatin telah marak digunakan, dalam industri
makanan berfungsi sebagai penstabil, pengental (tickenner), pengemulsi
(emulsifier), pembentuk jelly, pengikat air, pengendap dan pembungkus makanan
(edible coating). Sedangkan dalam industri farmasi gelatin digunakan sebagai
bahan pembuat kapsul, disamping itu juga digunakan untuk bahan kosmetik dan
film (Damanik, 2005).
Berdasarkan banyaknya kegunaan gelatin khususnya untuk produk
pangan, maka diperlukan gelatin yang kehalalannya terjamin. Karena selama ini
dipasaran banyak gelatin yang berasal dari kulit dan tulang babi, bahkan sebesar
41,4% produk gelatin dunia diekstraksi dari kulit babi (Anonymous, 2002). Untuk
mengatasi kelangkaan gelatin halal di pasaran, perlu dicari alternatif bahan baku
dalam pembuatan gelatin. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka
dilakukan penelitian mengenai proses ekstraksi gelatin dari limbah kulit ikan tuna,
tulang ikan hiu dan kulit ikan pari, serta bagaimana perbandingan kualitas gelatin
dari ketiganya dengan perlakuan suhu dan lama ekstraksi yang berbeda dari
masing-masing sampel.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui metode ekstraksi
gelatin halal dari limbah kulit ikan tuna, tulang ikan hiu dan kulit ikan pari dengan
menggunakan HCl 4 %, memberikan informasi tentang alternatif pembuatan
gelatin halal, memberikan nilai tambah terhadap limbah perikanan serta
mendapatkan kualitas gelatin terbaik dari bahan baku limbah perikanan.
Dari penelitian ini diharapkan didapat manfaat yaitu tambahan informasi
pemanfaatan gelatin yang halal dengan kualitas tinggi bagi masyarakat dan pelaku

PKMP-3-12-3
industri khususnya industri pangan, mendapatkan alternatif pengolahan limbah
perikanan (kulit ikan tuna, tulang ikan hiu dan kulit ikan pari) menjadi produk
yang bernilai tinggi dan dapat menjadi acuan dan pedoman bagi industri
pengolahan tuna, hiu dan pari dalam memberikan nilai tambah pada limbah
industrinya.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari sampai Juni 2006
bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Dasar, Laboratorium Teknologi Hasil
Perikanan, Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan Fakultas Perikanan serta
Laboratorium Sentral Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Biokimia dan
Nutrisi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
Malang.
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kulit ikan tuna
didapatkan dari PT. Varia Niaga Nusantara Pasuruan (perusahaan pembekuan
ikan), tulang hiu dari Pusat Pelelangan Ikan Sendang Biru Malang dan kulit ikan
pari dari Pantai Kenjeran Surabaya. Bahan untuk analisis diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi Dasar dan Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan
Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang. Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah ember plastik, gelas ukur, beaker glass 1000 ml dan 500 ml,
spatula, timbangan neraca, bola hisap, lemari asam, pipet volume, kain saring,
waterbath, nampan plastik, oven, dan mortar. Alat yang digunakan untuk analisis
adalah termometer, botol timbang, timbangan analitik, desikator, serangkaian alat
goldfisch, pH meter, washing bottle, kurs porselin, muffle, makroburet, pipet
tetes, erlenmeyer, corong, kompor listrik, hot plate, tabung reaksi, rak tabung
reaksi penetrometer dan viscometer. Prosedur mengekstraksi gelatin dari bahan
baku disajikan pada Gambar 1.
Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap
Faktorial yang terdiri dari 3 faktor yaitu jenis bahan baku, lama perendaman
dalam asam dan suhu ekstraksi. Jenis bahan baku terdiri dari kulit ikan tuna, kulit
ikan pari dan tulang ikan hiu. Lama perendaman dengan HCl 4% yaitu selama 24
jam dan 36 jam, serta suhu ekstraksi yaitu 60
0
dan 80
0
C.Kombinasi dari ketiga
faktor ini terbentuk 12 sampel dimana tiap sampel dilakukan ulangan sebanyak
dua kali. Adapun kombinasi tersebut disajikan di bawah ini :
T 24/60 : lama perendaman 24 jam dan suhu ekstraksi 60
0
C pada kulit ikan tuna.
T 24/80 : lama perendaman 24 jam dan suhu ekstraksi 80
0
C pada kulit ikan tuna.
T 36/60 : lama perendaman 36 jam dan suhu ekstraksi 60
0
C pada kulit ikan tuna.
T 36/80 : lama perendaman 36 jam dan suhu ekstraksi 80
0
C pada kulit ikan tuna.
P 24/60 : lama perendaman 24 jam dan suhu ekstraksi 60
0
C pada kulit ikan pari.
P 24/80 : lama perendaman 24 jam dan suhu ekstraksi 80
0
C pada kulit ikan pari.
P 36/60 : lama perendaman 36 jam dan suhu ekstraksi 60
0
C pada kulit ikan pari.
P 36/80 : lama perendaman 36 jam dan suhu ekstraksi 80
0
C pada kulit ikan pari.
P 24/60 : lama perendaman 24 jam dan suhu ekstraksi 60
0
C pada tulang ikan hiu.
P 24/80 : lama perendaman 24 jam dan suhu ekstraksi 80
0
C pada tulang ikan hiu.
P 36/60 : lama perendaman 36 jam dan suhu ekstraksi 60
0
C pada tulang ikan hiu.
P 36/80 : lama perendaman 36 jam dan suhu ekstraksi 80
0
C pada tulang ikan hiu.


PKMP-3-12-4
Analisis parameter uji kualitas gelatin terdiri dari analisa proksimat (kadar
protein, kadar lemak, kadar garam, kadar air dan kadar abu) dan nilai uji
fisikokimia (nilai pH, viskositas, kekuatan gel dan titik jendal). Analisis statistik
diberikan pada data yang tidak diamati visual, namun secara analitis di
laboratorium. Seluruh respon terdiri dari 24 satuan percobaan. Pengolahan data
statistik hasil penelitian menggunakan program bantu Minitab versi 13.


Gambar 1. Prosedur Ekstraksi Gelatin
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian diperoleh nilai kadar protein, kadar lemak, kadar
garam, kadar air dan kadar abu, nilai pH, viskositas, kekuatan gel dan titik jendal
untuk masing-masing sampel gelatin. Hasil analisis proksimat gelatin hasil
penelitian disajikan pada Tabel 1. sedangkan hasil rendemen dan analisis fisiko
kimia gelatin hasil penelitian disajikan pada Tabel 2.
Kulit ikan pari
Tulang ikan hiu
Dibersihkan dan dipotong
kecil (1,5-2 cm)
Direndam HCl 4%
selama 24 jam dan 36 jam
Dicuci hingga bersih
Diekstraksi pada suhu 60
0
C dan 80
0
C
selama 5 jam
Disaring dan dikeringkan
dalam oven, suhu 60
0
C
Lembaran gelatin
ditumbuk halus
Serbuk gelatin
Kulit ikan tuna

PKMP-3-12-5
Tabel 1. Hasil analisis proksimat gelatin hasil penelitian.
Sampel
Kadar
Lemak
Kadar
Abu
Kadar
Air
Kadar
Garam
Kadar
Protein
T24/60 2,06 4,07 6,36 3,16 84,75
T24/80 2,26 4,52 3,75 3,12 84,33
T36/60 2,675 3,55 6,62 3,1 88,1
T36/80 2,58 5,12 6,88 3,25 85,95
P24/60 1,265 4,345 7,04 3,1 84,18
P24/80 0,625 5,635 7,62 2,85 83,76
P36/60 1,425 4,635 9,83 2,39 90,44
P36/80 1,205 6,905 9,47 2,66 88,39
H24/60 0,895 5,37 8,63 3,35 81,78
H24/80 2,55 5,14 10,77 3,23 86,13
H36/60 0,83 7,46 12,31 3,22 89,05
H36/80 1,425 4,87 7,02 3,63 83,78

Kadar Lemak
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh
nyata terhadap kadar lemak gelatin yang dihasilkan (F hitung>F 5%), sedangkan
suhu ekstraksi, lama perendaman dan interaksi ketiga faktor tersebut tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar lemak gelatin yang dihasilkan (F hitung<F 5%).
Dari hasil pengamatan diperoleh kadar lemak tertinggi terdapat pada
sampel kulit tuna dengan perlakuan perendaman selama 36 jam dengan suhu 80
0
C
dan terendah pada sampel kulit pari dengan perlakuan perendaman selama 36 jam
dengan suhu 80
0
C.
Kadar lemak gelatin dari kulit tuna paling tinggi dikarenakan kandungan
lemak dalam kulit tuna memang paling besar dibandingkan dengan tulang hiu
maupun kulit pari, menurut Pelu et al. (1998), kandungan lemak dari kulit tuna
mentah adalah sebesar 5,60%. Tingginya kadar lemak ini dikarenakan ikan tuna
termasuk dalam jenis toleostei atau memiliki tulang sejati yang kadar lemaknya
cenderung lebih besar dari pada jenis ikan elasmobranchii (bertulang rawan)
seperti ikan hiu dan pari. Kisaran nilai kadar lemak ini cukup baik, karena
sebagian besar tidak melebihi 5% yang merupakan batasan nilai maksimal untuk
persyaratan mutu gelatin (Pelu et al., 1998).

Kadar Air
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh
nyata terhadap kadar air gelatin yang dihasilkan (F hitung>F 5%), sedangkan suhu
ekstraksi, lama perendaman dan interaksi ketiga faktor tersebut tidak berpengaruh
nyata terhadap kadar air gelatin yang dihasilkan (F hitung<F 5%).
Dari hasil pengamatan, kadar air tertinggi terdapat pada gelatin tulang hiu
yang direndam 36 jam dan pada suhu 60
0
C yaitu sebesar 12,31 %, sedangkan

PKMP-3-12-6
kadar air terendah terdapat pada gelatin dari kulit tuna yang direndam selama 24
jam dan ekstraksi pada suhu 80
0
C.
Nilai kadar air gelatin pada penelitian ini masih memenuhi standar mutu
SNI tentang gelatin (1995), yaitu kadar air maksimal sebesar 16%. Sedangkan
hasil dari penelitian sebelumnya, dikatakan bahwa kadar air gelatin dari ikan hiu/
cucut yang diekstrak melalui proses asam hasil penelitian Ismanadji dan
Budiyanto (1997) sebesar 6,50%, gelatin yang diekstrak dari kulit ikan tuna
dengan proses asam sebesar 6,45% (Pelu et al., 1998). Sedangkan menurut Poppe
(1999), dalam Chamidah dan Elita (2002), kadar air gelatin antara 8%-13%.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa perbedaan jenis bahan baku ternyata
dapat mempengaruhi kandungan air gelatin. Kadar air gelatin tulang hiu relatif
lebih besar dari pada gelatin kulit pari, diikuti gelatin dari kulit tuna. Hal ini
disebabkan kadar air bahan baku dari ketiga bahan tersebut berbeda.

Kadar Abu
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku, suhu ekstraksi,
lama perendaman dan interaksi ketiga faktor tersebut tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar abu gelatin yang dihasilkan (F hitung<F 5%).
Kadar abu tertinggi terdapat pada sampel gelatin tulang hiu dengan
perlakuan perendaman selama 36 jam dan suhu ekstraksi 60
0
C, sedangkan nilai
kadar abu terendah pada sampel gelatin kulit pari dengan perlakuan perendaman
selama 36 jam dan suhu ekstraksi 60
0
C. Pelu et al. (1998), menjelaskan bahwa
kadar abu maksimum untuk gelatin tidak boleh melebihi 5%. Dari hasil penelitian
diperoleh bahwa beberapa sampel memiliki kandungan abu yang melebihi 5%
yakni 5,37%, 5,14% dan 7,46%. Hal ini terjadi disebabkan oleh masih adanya
komponen mineral yang terikat pada kolagen, yang belum terlepas saat proses
pencucian sehingga ikut terekstraksi dan terbawa saat proses pengabuan (Astawan
dan Aviana, 2002). Ditambahkan Peranginangin et al, (2005), tingginya kadar abu
pada gelatin dapat dikarenakan masih adanya serbuk ossein yang terbawa dalam
tulang hiu (elasmobranchii) saat proses penyaringan .

Kadar Garam
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh
nyata terhadap kadar garam gelatin yang dihasilkan (F hitung>F 5%), sedangkan
suhu ekstraksi, lama perendaman dan interaksi ketiga faktor tersebut tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar garam gelatin yang dihasilkan (F hitung<F
5%).
Dari hasil pengamatan kadar garam tertinggi terdapat pada sampel kulit
pari dengan perlakuan perendaman selama 36 jam dengan suhu 80
0
C dan terendah
pada sampel kulit pari dengan perlakuan perendaman selama 36 jam dengan suhu
60
0
C yaitu sebesar 2,39%.
Hasil penelitian sejenis, menghasilkan kadar garam sebesar 0,07% hingga
0,11% (Pelu et al., 2002), sedangkan kadar garam dari gelatin komersial Haan
adalah sebesar 0,09%. Tingginya kadar garam gelatin dari hasil penelitian ini
disebabkan karena jenis bahan baku yang digunakan merupakan ikan laut, dimana
dalam produk perikanan hidup di daerah air asin (laut) sehingga menyebabkan
kandungan garam organisme laut lebih besar dari pada yang hidup di darat.


PKMP-3-12-7
Kadar Protein
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama perendaman berpengaruh
sangat nyata terhadap kadar protein gelatin yang dihasilkan (F hitung>F 1%),
sedangkan jenis ikan, suhu ekstraksi dan interaksi ketiga faktor tersebut tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar lemak gelatin yang dihasilkan (F hitung<F 5%).
Kadar protein tertinggi terdapat pada sampel gelatin kulit pari dengan
perlakuan perendaman selama 36 jam dan suhu ekstraksi 60
0
C sebesar 90,44%,
sedangkan nilai kadar protein terendah pada sampel gelatin tulang hiu dengan
perlakuan perendaman selama 24 jam dan suhu ekstraksi 60
0
C sebesar 81,78%.
Hasil analisa kadar protein ini tidak jauh beda dengan nilai gelatin standar
yaitu sebesar 87,25% (SNI, 1995), dan gelatin komersial sebesar 85,99%.
Sedangkan menurut Chamidah dan Elita (2002), kadar protein gelatin berkisar
91,27-93,45%. Perbedaan nilai ini antara lain dipengaruhi oleh jenis bahan baku
yang digunakan (baik jenis binatangnya maupun jenis bagian yang diekstrak),
juga proses ekstraksi yang dilakukan.
Rendemen
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu ekstraksi berpengaruh
nyata terhadap rendemen yang diperoleh (F hitung>F 5%), sedangkan jenis bahan
baku, lama perendaman dan interaksi ketiga faktor tersebut tidak berpengaruh
nyata terhadap rendemen (F hitung<F 5%).
Dari hasil pengamatan diperoleh data nilai rendemen gelatin berkisar antara
13,86-22,67% untuk sampel kulit ikan pari, 11,28-22,88% untuk sampel kulit ikan
tuna dan untuk sampel tulang ikan hiu sebesar 4,93-30,47%. Secara umum
semakin tinggi suhu ekstraksi yang digunakan, maka akan berakibat semakin
banyaknya rendemen gelatin yang diperoleh. Hal ini disebabkan karena semakin
tinggi suhu yang digunakan, maka proses ekstraksi gelatin akan semakin
sempurna dan mengakibatkan jumlah gelatin yang diperoleh semakin banyak. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Peranginangin et al. (2004), bahwa semakin tinggi
suhu ekstraksi maka kolagen yang terurai menjadi filtrat gelatin semakin banyak.
Ditambahkan oleh McWilliams (1997) dalam Chamidah dan Elita (2002),
menjelaskan bahwa suhu tinggi akan membantu memecah ikatan hidrogen dalam
gel yang terhidrolisis. Dengan banyaknya ikatan hidrogen yang terpecah akan
memudahkan larutnya kolagen dalam air panas sehingga memaksimalkan
perolehan gelatin.

Tabel 2. Hasil rendemen dan analisis fisiko kimia gelatin hasil penelitian.
Sampel
Gell
streght
Viscositas
Titik
Jendal
Rendemen
Nilai
pH
Kadar
Protein
T24/60 72,2 5,5 9,85 13,4 2,75 84,75
T24/80 61,65 4,6 10,8 19,835 2,95 84,33
T36/60 78,95 4,25 11,1 15,59 2,95 88,1
T36/80 79,35 5 11,8 17,99 3,25 85,95
P24/60 27,9 5,4 11,2 17,7 2,2 84,18

PKMP-3-12-8
P24/80 18,5 4,65 11,15 16,47 2,95 83,76
P36/60 41,25 4,775 12,6 15,85 2,75 90,44
P36/80 83 4,95 12,7 18,88 2,65 88,39
H24/60 26,15 5,9 11,15 5,665 2,75 81,78
H24/80 32,45 5,3 11,4 11,6 3,35 86,13
H36/60 57,15 6,15 11,95 5,3 2,8 89,05
H36/80 72,75 5,65 12,45 19,9 3,15 83,78

Nilai pH
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku, suhu ekstraksi,
lama perendaman dan interaksi ketiga faktor tersebut tidak berpengaruh nyata
terhadap pH gelatin yang dihasilkan (F hitung<F 5%).
Nilai pH terendah terdapat pada sampel gelatin dari bahan baku kulit pari
dengan lama perendaman selama 24 jam dan suhu ekstrkasi sebesar 60
0
C yakni
sebesar 2,20, sedangkan nilai pH tertinggi terdapat pada sampel gelatin dari tulang
ikan hiu dengan lama perendaman 24 jam dan suhu ekstraksi 80
0
C yaitu sebesar
3,35.
Nilai pH akan berpengaruh terhadap aplikasi gelatin. Gelatin dengan pH
netral sangat baik untuk produk daging, farmasi, kromatografi, cat dan
sebagainya. Sedangkan gelatin dengan pH rendah sangat baik untuk digunakan
dalam produk juice, jelly, sirop dan sebagainya. Nilai pH gelatin ini sangat
dipengaruhi oleh jenis larutan perendam yang digunakan untuk mengekstrak
gelatin tersebut (Astawan dan Aviana, 2002).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai pH gelatin lebih rendah jika
dibandingkan dengan pH gelatin komersial Hann yaitu sebesar 5,35, sedangkan
berdasarkan standar mutu SNI (1995) gelatin diharapkan diharapkan memiliki nila
pH mendekati netral (pH 7), begitu pula jika dibandingkan dengan hasil peneltian
dari Pelu et al. (1998), dimana kadar pH gelatin dari kulit tuna sebesar 5,02-7,33.
Rendahnya nilai pH dalam penelitian ini disebabkan karena larutan yang
digunakan saat ekstraksi merupakan larutan asam kuat (HCl 4%), karena asam ini
akan diserap oleh kulit maupun tulang dan terikat secara kuat pada daging
sehingga sangat berpengaruh terhadap tingkat keasaman produk. Disamping itu
proses pencucian yang kurang sempurna setelah perendaman (swelling) juga
berpengaruh terhadap pH produk.
Hal ini didukung oleh Peranginangin et al. (2004), yang menyatakan
bahwa pH larutan perendam berpengaruh sangat nyata terhadap pH gelatin yang
dihasilkan, dimana nilai pH gelatin semakin naik dengan naiknya pH larutan
perendam. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi pH larutan perendaman,
maka konsentrasi larutan asam yang diserap oleh kulit selama perendaman
semakin rendah, begitupun sebaliknya.
Kekuatan Gel
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku dan lama
perendaman berpengaruh sangat nyata terhadap kekuatan gel gelatin yang
dihasilkan (F hitung>F 1%), sedangkan jenis ikan, suhu ekstraksi dan interaksi

PKMP-3-12-9
ketiga faktor tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel gelatin yang
dihasilkan (F hitung<F 5%).
Kekuatan gel tertinggi terdapat pada sampel gelatin kulit pari dengan
perlakuan perendaman selama 36 jam dan suhu ekstraksi 80
0
C sebesar 83
mm/kg.s, sedangkan kekuatan gel terendah pada sampel gelatin kulit pari dengan
perlakuan perendaman selama 24 jam dan suhu ekstraksi 80
0
C sebesar 18,5
mm/kg.s.
Peranginangin et al. (2005), menyatakan kekuatan gel sangat penting
dalam penentuan perlakuan yang terbaik dalam proses ekstraksi gelatin, karena
salah satu sifat penting gelatin tersebut adalah mampu mengubah cairan menjadi
padatan atau mengubah bentuk sol menjadi gel yang bersifat reversibel.
Kemampuan inilah yang menyebabkan gelatin sangat luas penggunaannya, baik
dalam bidang pangan maupun nonpangan.
Dari hasil penelitian kekuatan gel tertinggi terdapat pada gelatin kulit pari
dengan perlakuan perendaman selama 36 jam dan suhu ekstraksi 80
0
C, hal ini
dapat disebabkan karena perbedaan karakteristik jenis ikan pari dan perlakuan
perendaman. Hal ini didukung oleh pernyataan Chamidah dan Elita (2002), bahwa
kekuatan gel yang dihasilkan dipengaruhi oleh perbedaan bahan baku yang
digunakan, jenis perlakuan awal (perendaman) dan kondisi ekstraksi. Selain itu
ditambahkan oleh Astawan dan Aviana (2002), kekuatan gel berkaitan dengan
panjang rantai asam amino dimana rantai asam amino yang panjang akan
menghasilkan kekuatan gel yang besar pula. Pada hidrolisis yang optimal akan
menghasilkan rantai asam amino yang panjang pada saat konversi kolagen
menjadi gelatin sehingga dihasilkan kekuatan gel yang tinggi pula.
Titik Jendal
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama perendaman berpengaruh
sangat nyata terhadap titik jendal gelatin yang dihasilkan (F hitung>F 5%),
sedangkan jenis bahan baku, suhu ekstraksi dan interaksi ketiga faktor tersebut
tidak berpengaruh nyata terhadap titik jendal gelatin yang dihasilkan (F hitung<F
5%).
Titik jendal tertinggi terdapat pada sampel gelatin tulang hiu dengan
perlakuan perendaman selama 36 jam dan suhu ekstraksi 80
0
C sebesar 12,45
0
C,
sedangkan titik jendal terendah pada sampel gelatin kulit tuna dengan perlakuan
perendaman selama 24 jam dan suhu ekstraksi 60
0
C sebesar 9,85
0
C. Titik jendal
dari hasil penelitian tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Pelu et al.
(1998), yang menyatakan bahwa gelatin dari kulit tuna memiliki titik jendal
sebesar 12,5
0
C.
Standar titik jendal dari gelatin komersial adalah sebesar 15
0
C. Terlihat
bahwa titik jendal baik gelatin dari kulit tuna, kulit pari maupun tulang hiu lebih
rendah dari gelatin komersial, hal ini disebabkan perbedaan karakteristik dari
bahan baku yang digunakan. Hal ini didukung oleh Peranginangin et al. (2005),
yang menyatakan bahwa gelatin yang berasal dari ikan mempunyai titik gel yang
jauh lebih rendah dibandingkan gelatin komersial. Ditambahkan oleh Chamidah
dan Elita (2002), pada umumnya gelatin ikan (khususnya ikan laut) memiliki
kisaran titik jendal yang rendah. Hal ini dipengaruhi oleh sedikitnya jumlah asam
imino (prolin dan hidroksiprolin) yang dikandungnya, dimana kurangnya asam

PKMP-3-12-10
imino akan menyebabkan kurangnya ikatan hidrogen pada gelatin dalam larutan
dan kekurangstabilan ikatan.

Viskositas
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh
nyata terhadap viskositas gelatin yang dihasilkan (F hitung>F 1%), sedangkan
lama perendaman, suhu ekstraksi dan interaksi ketiga faktor tersebut tidak
berpengaruh nyata terhadap viskositas gelatin yang dihasilkan (F hitung<F 5%).
Viskositas tertinggi terdapat pada sampel tulang hiu dengan perlakuan
perendaman selama 36 jam dengan suhu 60
0
C sebesar 6,15 cps dan terendah pada
sampel kulit tuna dengan perlakuan perendaman selama 36 jam dengan suhu 60
0
C
yaitu sebesar 4,25 cps.
Viskositas merupakan salah satu persyaratan yang menjadi pertimbangan
dalam menentukan kelayakan penggunaan gelatin untuk keperluan industri (Pelu,
et al., 1998). Bila dibandingkan dengan gelatin komersial Haan mematok nilai
viscositasnya sebesar 7,5 cps (Pelu et al., 1998), sedangkan gelatin standar
mempunyai viscositas 6 cps. Maka viskositas tidak berbeda jauh dengan hasil
penelitian yang didapat. Perbedaan dari nilai viscositas ini disebabkan oleh karena
perbedaan bahan baku yang digunakan, masing-masing bahan memiliki tingkat
kekuatan ikatan silang kolagen yang berbeda. Lemahnya ikatan silang
menyebabkan kolagen mudah terhidrolisis, hidrolisis ini dapat menurunkan berat
molekul gelatin yang akan menurunkan viskositas larutan gelatin (Chamidah dan
Elita, 2002).
KESIMPULAN
Limbah kulit tuna, kulit pari dan tulang hiu dapat dimanfaatkan sebagai
alternatif gelatin halal, selain itu dapat meningkatkan nilai tambahnya.
Metode ekstraksi gelatin dari limbah kulit tuna, kulit pari dan tulang hiu
meliputi tahapan pembersihan dan pemotongan, perendaman HCl 4%,
pencucian, pengekstraksian, penyaringan, pengovenan dan penggerusan.
Kombinasi perlakuan yang terbaik dalam penelitian adalah pada gelatin
yang terbuat dari tulang hiu dengan lama perendaman 36 jam dan suhu
ekstraksi 80
0
C yaitu dengan Viscositas 5,65 cps, kekuatan gel 72,75
mm/kg.s, TitikJendal 12,45
0
C, Rendemen 19,9 %, Nilai pH 3,2, Kadar
Protein 83,8 %, Kadar Lemak 1,425 %, Kadar Abu 4,87 %, Kadar Air 7,02
% dan Kadar Garam 3,63 %.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya
Anonymous. 2002. Gelatin : Bahan Serba Guna yang Beresiko Tinggi tentang
Kehalalannya. Buletin YHT. No. 6 Tahun 2002
Anonymous. 2005a. Jurnal Halal. http://www.eramuslim.com/infohalal.htm.
diakses Tanggal 01 Agustus 2005
Anonymous. 2005b. Sudah Halalkan Makanan kita? http://www.republika_online
Diakses Tanggal 01 Agustus 2005
Astawan, M. dan T. Aviana. 2002. Pengaruh Jenis Larutan Perendam Serta
Metode Pengeringan Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Fungsional Gelatin
dari Kulit Cucut. Seminar Nasional PATPI. Malang 30-31 Juni 2002.

PKMP-3-12-11
Chamidah, A. dan C. Elita. 2002. Pengaruh Proses Pengolahan Terhadap Kualitas
Gelatin Kulit Ikan Hiu. Seminar Nasional PATPI. Malang 30-31 Juni 2002.
Damanik, A. 2005. Gelatin Halal, Gelatin Haram. Jurnal Halal LP POM MUI. No.
36 Maret 2001. Jakarta
Ismanadji, I dan D. Budiyanto. 1997. Perekayasaan Peralatan pengolahan Gelatin
(Drum Dryer). Jurnal Pasca Panen Perikanan Vol. VI No. 1 Tahun
1996/1997.
Pelu, H., S. Herawati dan E. Chasanah. 1998. Ekstraksi Gelatin dari Kulit Ikan
Tuna (Thunnus sp.) melalui Proses Asam. Jurnal Penelitian Perikanan
IndonesiaVol. IV No. 2 Tahun 1998. Jakarta
Peranginangin, R.; N Haq; W.F. Maruf dan A. Rusli. 2004. Ekstraksi Gelatin dari
Kulit ikan Patin (pangasisus hypopthalmus) Secara Proses Asam. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 10 No.3 tahun 2004.
Peranginangin, R.; Mulyasari; A. Sari dan Tazwir. 2005. Karakterisasi Mutu
Gelatin yang Diproduksi dari Tulang Ikan Patin (pangasisus hypopthalmus)
Secara Ekstraksi Asam. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 11 No.4
tahun 2005.
SNI. 063735. 1995. Mutu dan Cara Uji Gelatin. Dewan Standarisasi Mutu
Pangan. Jakarta

PKMP-3-13-1
PEMANFAATAN POTENSI TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT
(Elais guineensis Jacq) SEBAGAI BAHAN DASAR C-AKTIF
UNTUK ADSORPSI LOGAM PERAK DALAM LARUTAN

Winda Rahmalia, Fitria Yulistira, Janiar Ningrum, Mahwar Qurbaniah, Muhammad
Ismadi
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Tanjungpura, Pontianak

ABSTRAK
Perak (Ag) merupakan salah satu jenis logam berat yang pada batas-batas
tertentu bersifat polutan bagi lingkungan. Setiap tahunnya industri fotografi
membuang sekitar150.000 kg Ag ke perairan. Salah satu teknik rekoveri logam
Ag yang relatif murah, proses relatif sederhana, mempunyai efektivitas dan
efisiensi tinggi dan dapat diregenerasi adalah adsorpsi menggunakan C-aktif.
Pada penelitian ini telah dilakukan preparasi C-aktif dari bahan dasar tandan
kosong (tankos) kelapa sawit. Pemanfaatan tankos sebagai C-aktif dapat
meningkatkan nilai ekonomis limbah industri kelapa sawit sekaligus alternatif
pengurangan konsentrasi logam berat di lingkungan perairan. Preparasi C-aktif
dari tankos kelapa sawit dilakukan dengan cara karbonisasi pada temperatur
700
o
C. Aktivasi dilakukan menggunakan larutan ZnCl
2
50% selama 48 jam,
ditanur pada temperatur 700
o
C selama 1 jam, dicuci dan dikeringkan pada
105
0
C.. Karakterisasi C-aktif dilakukan dengan metode SEM dan penentuan luas
permukaan spesifik adsorben. Karakterisasi adsorpsi C-aktif terhadap ion Ag(I)
dilakukan dengan mengkaji parameter kapasitas dan laju adsorpsi. Penentuan
kapasitas didasarkan pada isoterm adsorpsi Langmuir sedangkan konsntanta laju
adsorpsi ditentukan berdasarkan persamaan kinetika L-H yang dimodifikasi oleh
Santosa (2001). Hasil penelitian menunjukkan bahwa adsorpsi Ag(I) pada C-aktif
hasil penelitian mengikuti dengan baik model isoterm adsorpsi Langmuir dengan
harga kapasitas adsorpsi sebesar 2,8583 x 10
-4
mol/g. Kajian kinetika adsorpsi
Kata kunci: C-aktif , tankos kelapa sawit, adsorpsi, perak
PENDAHULUAN
Kontaminasi logam berat di lingkungan merupakan permasalahan
lingkungan yang dihadapi oleh hampir semua bangsa di dunia saat ini. Persoalan
spesifik logam berat di lingkungan terutama karena keberadaannya di alam yang
semakin meningkat sehingga bersifat toksik terhadap tanah, air dan udara, serta
akumulasinya sampai pada rantai makanan yang membawa dampak buruk bagi
sistem metabolisme makhluk hidup. Proses industri dan urbanisasi memegang
peranan penting terhadap peningkatan kontaminasi tersebut. Suatu organisme
akan kronis apabila produk yang dikonsumsi mengandung logam berat (Nora et
al. 1998, Sarkar 2000).
Pencemaran logam berat perak (Ag) dalam bentuk ion logamnya jarang
terjadi, tapi perak sering dijumpai dalam bentuk mineral atau berasosiasi dengan
unsur lain di lingkungan seperti sulfida atau bergabung dengan sulfida logam
lainnya terutama logam timbal (Pb), tembaga (Cu), besi (Fe) dan emas (Au).

PKMP-3-13-2
Perak juga mudah membentuk senyawa dengan unsur stibium (Sb), arsen
(As), selenium (Se) dan terium (Te). Perak dalam batas-batas tertentu digolongkan
sebagai polutan karena bersifat sangat toksik terhadap flora dan fauna air.
Sebagian besar Ag yang masuk ke ekosistem lingkungan perairan berasal dari
industri fotografi, limbah pertambangan dan elektroplating. Diperkirakan
150.000 kg Ag masuk ke lingkungan perairan tiap tahunnya berasal dari industri
fotografi (Suhendrayatna 2001, Achmad 2004).
Pencegahan terhadap semakin meluasnya bahaya pencemaran perak dapat
diupayakan melalui pengurangan atau reduksi kadar perak di perairan.
Perkembangan teknologi rekoveri logam berat terkini diarahkan untuk
memanfaatkan bahan baku yang berpotensi sebagai limbah di lingkungan melalui
teknik adsorpsi.
Adsorpsi merupakan fenomena yang melibatkan interaksi fisik, kimia dan
gaya elektrostatik antara adsorbat dengan adsorben pada permukaan adsorben.
Gaya tarik-menarik dari suatu padatan dibedakan menjadi dua jenis gaya yaitu
gaya fisika dan gaya kimia yang masing-masing menghasilkan adsorpsi fisika
(physisorption) dan adsorpsi kimia (chemisorption). Dalam adsorpsi fisika,
molekul-molekul teradsorpsi pada permukaan dengan ikatan yang lemah.
Adsorpsi ini bersifat reversibel sehingga molekul-molekul yang teradsorpsi
mudah dilepaskan kembali dengan cara menurunkan tekanan gas atau konsentrasi
zat terlarut. Panas adsorpsi yang menyertai adsorpsi fisika adalah rendah yaitu
sekitar 10 kJ/mol dan lebih rendah dari panas adsorpsi kimia. Sedangkan pada
adsorpsi kimia melibatkan ikatan koordinasi sebagai hasil penggunaan elektron
secara bersama oleh adsorben dan adsorbat. Panas adsorpsi yang dihasilkan tinggi
yaitu dalam rentang 10-100 kJ/mol (Oscik 1983, Gregg dan Sing 1982). Adsorpsi
memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan metode lainnya,
diantaranya memerlukan biaya yang relatif murah, prosesnya relatif sederhana,
efektivitas dan efisiensinya tinggi dan adsorbennya dapat dipergunakan ulang
(regenerasi).
Jenis adsorben yang paling tua dan banyak dikembangkan untuk adsorpsi
logam berat adalah karbon aktif (C-aktif). Karbon aktif dapat dipreparasi dari
berbagai bahan dasar, diantaranya dari tempurung kelapa, gambut, kayu pohon-
pohonan dan lain sebagainya. Salah satu jenis bahan yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan dasar C-aktif adalah tankos kelapa sawit.
Tankos merupakan salah satu limbah padat yang berasal dari proses
pengolahan industri kelapa sawit. Tankos kelapa sawit yang tidak tertangani
menyebabkan bau busuk dan menjadi tempat bersarangnya serangga lalat
sehingga dianggap sebagai limbah yang dapat mencemari lingkungan dan
menyebarkan bibit penyakit (Anonim 2005). Tankos kelapa sawit yang
merupakan 23 persen dari tandan buah segar mengandung bahan lignoselulosa
sebesar 55-60 % berat kering. Dengan produksi puncak kelapa sawit per hektar
sebesar 20-24 ton tandan buah segar per tahun, berarti akan menghasilkan 2,5-3,3
ton bahan lignoselulosa. Material lignoselulosa diketahui memiliki kemampuan
menyerap logam berat karena mengendung gugus-gugus aktif seperti OH dan
COOH (Richana et al. 2004, Han 1999). Hasil penelitian Islam dan Dahlan (2000)
menunjukkan bahwa kandungan lignoselulosa yang tinggi pada suatu bahan
memungkinkannya dipreparasi menjadi C-aktif.

PKMP-3-13-3
Pemanfaatan limbah tankos yang biasa dilakukan adalah sebagai bahan
briket arang tankos sawit, kompos tankos sawit dan pupuk. Selain itu, tankos juga
dapat diolah menghasilkan serat kuat yang bisa dipakai untuk berbagai hal. Serat
dari tankos sawit ini bisa berupa serat berkaret sebagai bahan pengisi matras dan
jok mobil, polipot (pot kecil untuk bibit), papan ukuran kecil, sampai dengan
bahan pengepak industri (Muladi 2001, Saraswati 1994).
Sepanjang penelusuran yang telah dilakukan, sampai saat ini belum
ditemukan referensi dan hasil penelitian yang mengkaji kemampuan tankos kelapa
sawit sebagai bahan dasar C-aktif untuk adsorpsi logam berat Ag(I) yang sangat
berbahaya bagi ekosistem perairan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka
penelitian ini bertujuan untuk mempreprasi C-aktif dari bahan dasar tankos
kelapa sawit dan mengkaji pemanfaatannya sebagai adsorben untuk logam Ag(I)
dengan mengkarakterisasi parameter kapasitas dan laju adsorpsi.
Hasil penelitian ini kemudian diharapkan dapat memberikan informasi
ilmiah mengenai pemanfaatan potensi bahan yang bersifat limbah padat di
lingkungan (khususnya tankos kelapa sawit) sebagai bahan dasar C-aktif untuk
adsorpsi logam Ag sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis limbah industri
kelapa sawit sekaligus mengurangi konsentrasi polutan Ag dalam sistem perairan.

METODE PENDEKATAN

Jadwal penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan April- Juni 2006 di
Laboratorium Kimia Program Studi Kimia FMIPA Universitas Tanjungpura.
Karakterisasi C-aktif dengan metode SEM dan penentuan luas permukaan spesifik
adsorben dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Fisika Bandung. Analisis
konsentrasi logam Ag secara spektrofotometri serapan atom dilakukan di
Laboratorium SUCOFINDO dan BARISTAND Pontianak.

Alat dan bahan
Selain peralatan gelas standar, dalam penelitian ini digunakan peralatan
khusus antara lain ayakan 100 mesh, desikator, neraca analitik, oven, shaker,
Spektrofotometer Serapan Atom Perkin Elmer model 3110 dan tanur.
Bahan dasar tankos kelapa sawit diambil dari limbah PT. Sime Indo Agro Bukit
Ajong Crude Palm Oil Mill Sanggau, Kalimantan Barat. Bahan-bahan kimia yang
digunakan mempunyai kualitas p.a antara lain AgNO
3,
HCl, NaOH dan ZnCl
2
,
akuades serta akuabides.

Cara kerja penelitian
Tahapan-tahapan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Preparasi
C-aktif dari tankos kelapa sawit (2), Karakterisasi C-aktif hasil preparasi, dan (3)
Karakterisasi adsorpsi ion logam Ag(I) pada C-aktif hasil preparasi
Preparasi C-aktif dari tankos kelapa sawit
Sampel tankos kering dicuci dengan akuades, dikeringkan pada sinar
matahari selama 6 hari kemudian disimpan dalam kantung plastik sebelum
digunakan lebih lanjut. Preparasi C-aktif dilakukan mengadopsi metode Rahman
dan Saad (2003) dengan cara karbonisaasi sampel tankos kelapa sawit dalam tanur

PKMP-3-13-4
pada suhu 700
o
C selama 1 jam. Setelah itu ditentukan selisih berat sebelum
pemanasan dan sesudah pemanasan. Sampel kemudian diayak dengan ayakan 100
mesh sehingga diperoleh keseragaman bentuk. Proses aktivasi dilakukan dengan
cara merendam sampel hasil karbonisasi ke dalam larutan ZnCl
2
50% selama 2
hari. Setelah didekantasi, sampel ditanur pada suhu 700
o
C selama 1 jam, dicuci
dengan HCl dan akuabides serta dikeringkan dalam oven pada suhu 105
o
C selama
1 hari.

Karakterisasi C-aktif hasil preparasi
Karakterisasi C-aktif hasil preparasi dilakukan dengan cara mengamati
struktur morfologi permukaan dengan metode SEM dan membandingkan luas
permukaan spesifik karbon yang belum diaktivasi dan setelah diaktivasi.

Karakterisasi adsorpsi ion logam Ag(I) pada C-aktif hasil preparasi
Penentuan kapasitas adsorpsi : Sebanyak 0,1 gram adsorben hasil preparasi
diinteraksikan dengan masing-masing 50 mL larutan Ag (I) dengan cara dikocok
selama 90 menit. Variasi konsentrasi yang digunakan adalah 6, 10, 20, 30, 40, 60,
70 dan 100 mg/L. Selanjutnya dilakukan penyaringan dan konsentrasi ion Ag(I)
dalam filtrat diukur menggunakan spektrofotometer serapan atom.
Penentuan laju adsorpsi : Sebanyak 0,1 gram adsorben hasil preparasi
diinteraksikan dengan 50 mL larutan Ag (I), 100 mg/L dengan cara dikocok.
Variasi waktu yang digunakan adalah 2, 4, 8, 10, 15, 40, 90 dan 120 menit.
Selanjutnya dilakukan penyaringan dan konsentrasi ion Ag(I) dalam filtrat diukur
menggunakan spektrofotometer serapan atom.

Analisis dan interpretasi data
Penentuan kapasitas adsorpsi Ag(I) dilakukan berdasarkan persamaan isoterm
adsorpsi Langmuir dan Freundlich kemudian dibandingkan nilai koefisien
lineritasnya. Tujuannya adalah untuk mengetahui kecenderungan jenis adsorpsi
yang terjadi (lebih mengikuti persamaan isoterm adsorpsi Langmuir atau
Freundlich).
Isoterm adsorpsi Freundlich dirumuskan dalam bentuk persamaan:
m = k C
1/n
(1)
log m = log k + 1/n log C (2)
dimana m adalah jumlah gram teradsorpsi per gram adsorben, C adalah
konsentrasi adsorbat pada kesetimbangan, k dan 1/n adalah tetapan. Dengan
mengukur m sebagai fungsi C maka nilai n dan k akan ditentukan dari slop dan
intersepnya.
Sedangkan isoterm adsorpsi Langmuir dinyatakan dalam suatu bentuk persamaan
linear yang dituliskan sebagai berikut :

1
+
C
m bK
=
C
b
(3)

PKMP-3-13-5
dimana m adalah jumlah logam yang teradsorpsi per gram adsorben pada
konsentrasi C, K adalah konstanta kesetimbangan (afinitas adsorpsi), C adalah
konsentrasi ion logam yang teradsorpsi pada kondisi kesetimbangan (kapasitas
adsorpsi maksimum). Plot C/m terhadap C akan diperoleh garis lurus sehingga
konstanta kesetimbangan K dan kapasitas adsorpsi maksimum b dapat ditentukan
dari slop dan intersep.
Model kinetika Santosa (2001) (hasil modifikasi dari model kinetika
Langmuir-Hinshelwood) digunakan untuk menentukan konstanta laju adsorpsi
dalam suatu bentuk persamaan sebagai berikut :

dimana C
0
adalah konsentrasi awal adsorbat, C
A
adalah konsentrasi akhir adsorbat,
K adalah koefisien kesetimbangan, k
1
adalah kinetika adsorpsi dan t adalah waktu.
Dengan membuat kurva linier ln (C
0
/C
A
) / C
A
versus t / C
A,
sehingga mendapatkan
slop yang merupakan harga k
1
dan intersep yang merupakan harga K. Melalui
harga k
1
dapat dinyatakan laju adsorpsi secara kuantitatif (Yoshida et al. 1994).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik C-aktif
Karbon aktif dipreparasi melalui tahap karbonisasi dan aktivasi
berdasarkan prosedur yang telah dilakukan oleh Rahman dan Saad (2003).
Menurut Oscik (1983) karbonisasi adalah proses untuk menghasilkan karbon dari
suatu bahan dasar melalui pemanasan pada temperatur 600-700
o
C, sedangkan
aktivasi adalah proses untuk membuka pori melalui reaksi antara karbon dengan
agen pengaktif sehingga dihasilkan luas permukaan yang tinggi dan ukuran pori
yang besar. Pada penelitian ini agen pengaktif yang digunakan adalah ZnCl
2
.
Pemanasan dilakukan pada suhu 700
o
C dalam tanur yang kemudian dilanjutkan
pencucian dengan HCl dan akuabides.
Pada proses karbonisasi masih dihasilkan karbon dengan pori-pori yang
kecil dan berkerut. Menurut Rahman dan Saad (2003) yang melakukan preparasi
C-aktif dari biji buah jambu, proses karbonisasi menghasilkan produk
dekomposisi bahan-bahan penyusun organik yang dapat menutupi pori-pori
sampel sehingga luas permukaan spesifik relatif rendah. Aktivasi menggunakan
larutan ZnCl
2
memungkinkan garam tersebut untuk melakukan penetrasi ke dalam
sampel dan secara efektif mampu menghilangkan produk dekomposisi yang
dihasilkan selama proses karbonisasi. Proses pemanasan berikutnya akan
membuka pori-pori karbon yang tertutup sehingga dihasilkan luas permukaan
yang relatif lebih tinggi (C-aktif). Tahap pencucian dengan HCl merupakan tahap
yang penting karena dengan HCl menyebabkan terjadinya dekationisasi yaitu
keluarnya kation-kation (M
n+
) dalam kerangka menjadi kation-kation non
kerangka (Heraldy et al. 2004), sebagaimana diketahui bahwa selain mengandung
lignin dan selulosa, tankos kelapa sawit juga mengandung kation-kation logam
seperti K
+
, Na
+
, Mg
2+
dan Al
3+
.
Selain membandingkan luas permukaan spesifik karbon sebelum dan
sesudah diaktivasi, karakterisasi adsorben hasil preparasi dilakukan dengan
menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) untuk mengetahui
ln (C
0
/ C
A
)
C
A
+ K =
k
1
t
C
A
(4)

PKMP-3-13-6
karakteristik morfologi permukaan dari karbon. Menurut Rightor et al. (1991),
SEM dapat digunakan untuk mempelajari tekstur, topografi dan gambaran optis
permukaan dari C-aktif. Gambar morfologi permukaan C-aktif hasil preparasi
dengan menggunakan ZnCl
2
menurut Steve dan Tull (2000) disajikan pada
gambar 1 sedangkan gambar morfologi permukaan C-aktif hasil preparasi dalam
penelitian ini belum dapat ditampilkan karena masih menunggu hasil analisis dari
Bandung (Pusat Penelitian Fisika LIPI).


Gambar 1. Karbon aktif hasil SEM menurut Steve dan Tull (2000)
Karakteristik adsorpsi Ag(I) pada C-aktif hasil preprasi
Kapasitas adsorpsi Ag(I). Kapasitas adsorpsi merupakan suatu parameter
yang menunjukkan kemampuan adsorben untuk mengadsorpsi adsorbat. Kapasitas
adsorpsi dapat ditentukan melalui suatu persamaan isoterm adsorpsi, yang
menggambarkan hubungan antara zat teradsorpsi dalam sejumlah tertentu berat
adsorben dalam proses kesetimbangan yang berlangsung pada temperatur konstan.
Adsorpsi secara kimia terjadi karena interaksi antara situs aktif adsorben dengan
adsorbat melibatkan ikatan kimia. Interaksi kimia hanya terjadi pada lapisan
penyerapan tunggal (monolayer adsorption) permukaan dinding sel adsorben
(Oscik, 1982). Shaw (1983) mengatakan bahwa jumlah keadaan maksimum yang
ada menunjukkan jumlah lapisan adsorbat yang terbentuk pada permukaan
adsorben. Jika keadaan maksimum berjumlah satu, maka adsorpsi tersebut
mengikuti pola lapisan tunggal (monolayer), sedangkan jika keadaan maksimum
lebih dari satu, maka adsorpsi mengikuti pola lapisan banyak (multilayer). Kurva
isoterm adsorpsi Langmuir Ag(I) pada C-aktif hasil penelitian ditunjukkan
melalui gambar 2.
0
0,00005
0,0001
0,00015
0,0002
0,00025
0,0003
0 0,0001 0,0002 0,0003 0,0004 0,0005
Ce q ( m ol/L)
C

t
e
r
a
d
s
o
r
p
s
i

(
m
o
l
/
g
)


Gambar 2. Kurva isoterm adsorpsi Ag(I) pada C-aktif hasil preparasi

PKMP-3-13-7
Dari gambar 2 terlihat bahwa kenaikan konsentrasi Ag(I) dalam
kesetimbangan diikuti dengan meningkatnya jumlah Ag(I) teradsorpsi hingga
tercapai kondisi relatif konstan. Namun pada kenaikan konsentrasi Ag(I), kurva
hasil penelitian masih menunjukkan peningkatan jumlah teradsorpsi meskipun
relatif kecil, mengindikasikan bahwa kondisi kesetimbangan belum tercapai. Pada
kondisi kesetimbangan, situs adsorpsi telah jenuh dengan adsorbat sehingga
kenaikan konsentrasi relatif tidak akan meningkatkan jumlah ion logam
teradsorpsi.
Penerapan model isoterm adsorpsi Langmuir memperlihatkan adanya
hubungan linear antara C
eq
/m dengan C
eq
, seperti ditunjukkan melalui persamaan
(3). Perbandingan kurva linear menurut model isoterm adsorpsi Langmuir dan
Freundlich ditunjukkan melalui gambar 3(a) dan 3(b)

y= 3498,6x+ 0,1203
R
2
= 0,9797
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
0 0,0001 0,0002 0,0003 0,0004 0,0005
Ceq (mol/L)
C
e
q
/
m

(
g
/
L
)
y = 0,4271x + 0,8561
R
2
= 0,623
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
1,8
-0,5 0 0,5 1 1,5 2
log Ca (mg/L)
l
o
g

C
x

(
m
g
/
g
)

Gambar 3(a) Isoterm adsorpsi Langmuir Gambar 3(b) Isoterm adsorpsi Freundlich
Perbandingan data perhitungan parameter adsorpsi Ag(I) pada C-aktif
hasil penelitian menggunakan model isoterm adsorpsi Langmuir dan Freundlich
ditunjukkan melalui tabel 1.
Tabel 1. Parameter adsorpsi Ag(I) pada C-aktif menggunakan model isoterm
adsorpsi Langmuir dan Freundlich
Model Isoterm Adsorpsi Parameter Adsorpsi Nilai Hasil Perhitungan
Langmuir b (mol/g)
K (kmol/L)
-1
E (kJ/mol)
R
2

2,8583 x 10
-4
237,5297
30,8733
0,9797
Freundlich K (mg/g) (L/mg)
n

1/n
R
2

0,4271
7,1796
0,6230

Dari tabel 1 terlihat bahwa adsorpsi Ag(I) pada C-aktif hasil penelitian
lebih mengikuti model isoterm adsorpsi Langmuir, dibuktikan dengan harga
koefisien korelasi (R
2
) yang jauh lebih tinggi dibandingkan model Freundlich.
Berdasarkan model isoterm Langmuir, harga kapasitas maksimum adsorpsi Ag(I)
pada C-aktif adalah sebesar 2,8583 x 10
-4
mol/g membuktikan bahwa C-aktif yang

PKMP-3-13-8
dipreparasi dari tankos kelapa sawit mempunyai kemampuan yang cukup baik
untuk adsorpsi ion logam Ag(I).
Penerapan persamaan isotermal Langmuir juga dapat dikembangkan untuk
mengetahui harga konstanta kesetimbangan adsorpsi (K), sebagai dasar
perhitungan untuk menentukan energi yang terlibat dalam proses adsorpsi
menurut persamaan E = RT ln K. Besarnya energi adsorpsi dapat digunakan untuk
mengetahui apakah suatu proses adsorpsi mengikuti proses adsorpsi kimia atau
adsorpsi fisika. Menurut Adamson (1990), batas minimal energi adsorpsi kimia
adalah 20,92 kJ/mol, sehingga proses adsorpsi Ag(I) pada penelitian ini
diindikasikan mengikuti proses adsorpsi kimia.
Laju adsorpsi Ag(I). Salah satu parameter yang mempengaruhi proses
adsorpsi adalah waktu kontak. Waktu kontak yang diperlukan untuk mencapai
kesetimbangan adsorpsi digunakan sebagai ukuran untuk menentukan laju
adsorpsi. Semakin singkat waktu yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan,
semakin tinggi laju reaksi. Kesetimbangan adsorpsi tercapai apabila penambahan
waktu kontak tidak lagi menambah jumlah logam yang teradsorpsi pada adsorben.
Pengaruh waktu kontak terhadap adsorpsi Ag(I) oleh C-aktif hasil penelitian
ditunjukkan melalui gambar 4.















Gambar 4. Pengaruh waktu kontak terhadap adsorpsi Ag(I) pada C-aktif

Dari gambar 4 ditunjukkan bahwa adsorpsi Ag(I) berlangsung sangat cepat
pada menit-menit pertama dan terus meningkat dengan bertambahnya waktu
kontak. Setelah proses adsorpsi berlangsung selama 90 menit, jumlah Ag(I) yang
teradsorpsi pada adsorben C-aktif cenderung konstan dan tidak terjadi
penambahan jumlah yang berarti. Kondisi ini menunjukkan telah tercapai
kesetimbangan antara ion logam yang teradsorpsi dengan yang terdesorpsi dalam
larutan.
Penentuan konstanta laju adsorpsi dilakukan berdasarkan kinetika
Langmuir-Hinshelwood yang dimodifikasi oleh Santosa (2001) seperti
ditunjukkan melalui persamaan (4). Kurva linearitas kinetika adsorpsi ditunjukkan
melalui gambar 5.
46
48
50
52
54
56
58
0 50 100 150
t (menit)
C
x

(
m
o
l
/
L
)


PKMP-3-13-9
y = 0.0224x + 0.2609
R
2
= 0.9748
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
0 10 20 30 40 50 60
t/Ca (menit L/mol)
l
n
(
C
o
/
C
a
)
/
C
a

Gambar 5 Kurva linearitas persamaan kinetika adsorpsi Ag(I) pada C-aktif
Perhitungan menggunakan model kinetika Langmuir-Hinshelwood yang
dimodifikasi oleh Santosa (2001) menghasilkan harga konstanta laju adsorpsi (k
1
)
ion Ag(I) pada C-aktif sebesar 2,2400 x 10
-2
menit
-1
.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Tankos kelapa sawit merupakan bahan yang berpotensi untuk dikembangkan
sebagai bahan dasar C-aktif
2. Kapasitas adsorpsi Ag(I) pada C-aktif yang dipreparasi dari bahan dasar
tankos kelapa sawit dan agen pengaktif ZnCl
2
, mengikuti dengan baik model
isoterm adsorpsi Langmuir dengan harga kapasitas adsorpsi sebesar 2,8583 x
10
-4
mol/g.
3. Penerapan model kinetika Langmuir-Hinshelwood yang dimodifikasi oleh
Santosa menghasilkan harga konstanta laju adsorpsi Ag(I) pada C-aktif
sebesar 2,2400 x 10
-2
menit
-1


DAFTAR PUSTAKA
Achmad R. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: ANDI.
Adamson AW. 1990. Physical Chemistry of Surfaces, 5
th
(ed). New Tork: John
Willey and Sons. Inc.
Anonim 2005. http://64.233.167.104/search?q=cache:AJ48Rss0qo8J:
www.cargill.com/
worldwide/br_indonesia.pdf+tandan+kosong+kelapa+sawit&hl=en&lr=l
ang_id&ie=UTF-8. 26 Juli 2005.
Gregg SJ, Sing KSW. 1982. Adsorption, Surface Area and Porosity. 2
nd
(ed),
New York: Academic Press.
Haraldy E, Pronoto, Prowida D. 2004. Studi karakterisasi dan aktivasi alofan alam
serta aplikasinya sebagai adsorben logam Zn menggunakan metode kolom.
Alchemy 3(1): 32-42.

PKMP-3-13-10
Islam M, Dahlan I. 2000. Productivity and nutritive values of different fractions of
oil palm (Elaeis guineensis) from Asian Australasian Journal of Animal
Sciences. [print] August 13(8): 1113-1120. Malaysia: Department of
Animal Science. Universiti Putra Malaysia. 43400 UPM. Serdang.
Selangor DE.
Lynam MM, Kilduf JE, Weber WJ. 1995. Adsorption of p-nitrophenol from dilute
aqueous solution. J Chem Educ 10(2): 80-84.
Han JS. 1999. Stormwater Filtration of Toxic Heavy Metal Ions Using
Lignocellulosic Materials Selection Process, Fiberization, Chemical
Modification and Mat Formation. USA: Departement of Agriculture.
Forest Service. Forest Product Laboratory. Madison. Wisconsin.
Muladi S. 2001. Pemanfaatan Abaca (Batang Pisang Hutan), Tandan Kosong
Sawit, Eceng Gondok dan Batang Kenaf sebagai Bahan Baku Industri
Kertas Uang, Kertas Koran, Tisue, Karton, Kardus, Papan Partikel dan
MDF. Samarinda: Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman.
Nora FY, Tam, Yuk SW, Craig GS. 1998. Removal of Copper by Free and
Immobilized Microalgae, Chlorella vulgaris, In: Water Treatment with
Algae. Yuk-Shan and Nora F. Y. Tam (eds), Springer-Verlag and Landes
Bioscience.
Oscik J. 1983. Adsorption. England: Ellis Horwood Ltd. Chicester.
Rahman IA, Saad B. 2003. Utilization of Guava Seeds as a Source of Activated
Carbon for Removal of Methylene Blue from Aqueous Solution. Malay J
of Chem Vol 5 (1):008-014
Richana N, Lestina P, Irawadi T. 2004. Karakterisasi Lignoselulosa dari Limbah
Tanaman Pangan dan Pemanfaatannya untuk Pertumbuhan Bakteri RXA
III-5 Penghasil Xilanase. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen. Institut Pertanian Bogor. Jawa Barat 23: 112.
Santosa SJ. 2001. Adsorption Kinetics of Cd(II) by Humic Acid. Prosiding
Seminar Nasional Kimia IX, Jurusan Kimia Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Saraswati 1994. Limbah Kelapa Sawit Untuk Pulp. http://www.hamline.edu/
apakabar/basisdata/1994/11/10/0016.html. 26 Juli 2005.
Sarkar D, Essington ME, Misra KC. 2000. Adsorption of Mercury (II) by
Kaolinite. Soil Sci Society Am J 64: 117.
Steve K, Tull E. 2000. Activated Carbon. New York: Werner Books.
Suhendrayatna 2001. Heavy Metal Bioremoval by Microorganisms : A Literature
Study. Japan: Department of Applied Chemistry and Chemical
Angineering. Faculty of Engineering. Kagoshima University 1-21-40
Korimoto. Kagoshima 890-0065.
Yoshida H, Kishimoto N, Katoka T. 1994. Adsorption of StrongAcid on
Polyaminated Highly Porous Chitosan: Equilibria. Department of
Chemical Engineering. University of Osaka Prefecture 11. Gakuen-Cho.
Sakar 593 (33): 854-859.


PKMP-3-14-1
PEMANFAATAN EKSTRAK AKAR PASAK BUMI (Eurycoma longifolia
Jack) SEBAGAI MODEL ANTIPENUAAN in vitro

M. Riyad Filza, Adi Kristanto, Delvi I Mayasari, N Intan Sari, D Permata Putri S
Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru

ABSTRAK
Penuaan merupakan proses alamiah akibat kerusakan oksidatif yang dipicu oleh
advanced glycation end products (AGEs). AGEs adalah senyawa reaktif yang
dihasilkan dari reaksi glikosilasi. Untuk mengurangi kerusakan oksidatif akibat
AGEs diperlukan senyawa antioksidan. Pasak bumi merupakan salah satu
tanaman unggulan di Indonesia yang bermanfaat sebagai antioksidan, terutama
pada bagian akar. Akan tetapi, penggunaan akar pasak bumi sebagai antioksidan
untuk menghambat pembentukan AGEs belum banyak dilakukan. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan mengkaji peran pasak bumi dalam menghambat proses
penuaan melalui model reaksi glikosilasi. Penelitian ini dibagi menjadi beberapa
tahap, yakni tahap pembuatan ekstrak metanol, tahap uji potensi antioksidan,
serta tahap pengukuran absorbansi senyawa AGEs dan senyawa dikarbonil.
Berdasarkan hasil uji potensi antioksidan, aktivitas antioksidan ekstrak metanol
akar pasak bumi yang dinyatakan dalam inhibitor concentration (IC) 50% adalah
423,5135 ppm. Dari grafik hasil pengukuran absorbansi senyawa AGEs dan
dikarbonil, ekstrak metanol akar pasak bumi terbukti dapat menghambat
pembentukan AGEs dan senyawa dikarbonil akibat reaksi glikosilasi. Selain itu,
ekstrak metanol akar pasak bumi juga dapat menghambat kerusakan protein
akibat AGEs dan senyawa dikarbonil.
Kata kunci : akar pasak bumi, antioksidan, reaksi glikosilasi, AGEs, senyawa
dikarbonil

PENDAHULUAN
Penuaan (aging) adalah proses akumulasi berbagai perubahan pada sel dan
jaringan sebagai akibat pertambahan umur. Proses akumulasi tersebut berakibat
pada peningkatan risiko munculnya penyakit dan kematian Selain itu, penuaan
juga mengakibatkan kemunduran sistem imun dan penurunan kemampuan
organisme dalam beradaptasi dengan lingkungannya (1-3). Ada dua teori tentang
terjadinya penuaan, yaitu teori stokhastik dan teori pengembangan genetik.
Berdasarkan kedua teori tersebut, terungkap bahwa radikal bebas memegang
peranan penting pada proses penuaan (1,2).
Radikal bebas adalah senyawa kimia reaktif yang terjadi karena atom atau
molekul kehilangan elektron pada orbital terluarnya (4,5). Reaktivitas radikal
bebas tersebut dapat menyebabkan kerusakan oksidatif di tingkat molekuler
maupun seluler (2,3). Pada tingkat molekuler, radikal bebas dapat mengoksidasi
protein, yang berakibat pada pembentukan ikatan silang protein, oksidasi asam-
asam amino, terputusnya ikatan hidrogen, ikatan van der Waals, dan lain-lain.
Akibat perubahan-perubahan tersebut, akan terbentuk sekelompok senyawa baru,
yang disebut dengan advanced glycation end products (AGEs). AGEs dan radikal
bebas mampu berikatan dengan molekul penyusun membran sel, sehingga terjadi
deformasi molekul penyusunnya. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan

PKMP-3-14-2
membran sel. Dengan kata lain, radikal bebas dan AGEs merupakan spesies kimia
yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada tingkat seluler (1,6,7).
Salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah kerusakan oksidatif
pada tingkat seluler dan molekuler, diperlukan senyawa yang bersifat sebagai
antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang mampu mencegah kerusakan
oksidatif secara bermakna (4,5). Antioksidan tersebut dapat diperoleh dari bahan
alam yang berasal dari tanaman. Salah satu tanaman tersebut adalah pasak bumi
(Eurycoma longifolia Jack).
Pasak bumi merupakan salah satu dari 13 tanaman unggulan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Pasak bumi mengandung zat aktif di semua bagian,
yakni sitosterol, n-nonacosane, neoclovene, quassin, neo-quassin, glaukarubin,
sedrin, dan eurycomanol. Tiga jenis senyawa quassinoid yang dapat diisolasi dari
akar yaitu D-eurycolactone, E-eurycolactone, dan F-eurycolactone disamping dua
quassinoid yang lebih dulu teridentifikasi yakni B-laurycolactone dan
eurycomalactone (8,9).
Penelitian tentang manfaat pasak bumi telah banyak dilakukan. Akan
tetapi, penelitian mengenai peran pasak bumi sebagai penghambat proses penuaan
akibat reaksi AGEs belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan mengkaji peran pasak bumi dalam menghambat proses penuaan yang
diakibatkan oleh AGEs. Kemampuan pasak bumi dalam menghambat penuaan
ditandai oleh penurunan pembentukan senyawa dikarbonil dan AGEs.
Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah manfaat
tanaman pasak bumi sebagai antioksidan bahan alam yang mampu menghambat
penuaan.

METODE PENDEKATAN
Pemilihan Sampel
Sampel yang digunakan adalah akar pasak bumi sebanyak 5 kg. Pasak
bumi diambil dari Taman Hutan Rakyat Sultan Adam, Desa Mandiangin,
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

Alat dan Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak metanol akar
pasak bumi, kertas saring, glukosa 500 mg/L, buffer fosfat pH 7,4, BSA 30%,
aquadest, NaOH, metanol 70 % dan 10%, 2,4-dinitrofenilhidrazin (DNPH), HCl
2,5 M, asam trikloroasetat (TCA) 20% dan 10%, asam asetat 10%, urea 9 M, serta
NaOH 0,4 N, derivat vitamin E merk Evion dalam buffer fosfat pH = 7,4
(digunakan sebagai larutan standar), protein, asam asetat 20%, Fe-EDTA, H
2
O
2

10 mmol/L, DNPH dalam HCl 2,5 M, etanol-etil asetat.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat gelas (PYREX

),
pH meter (CYBERSCAN

), sentrifuge (CENTURION

), stopwatch
(HANHART

), vortex (VM-300

), oven (HETO

), neraca analitik (GIBERTINI


E425-B), mikropipet (TRANSFERPETTE

), dan spektrofotometer
(BIOSYSTEMS

BTS-305).





PKMP-3-14-3
Cara Penelitian
Penelitian ini dibedakan menjadi beberapa tahap, yakni tahap persiapan,
tahap uji potensi antioksidan, tahap pengukuran absorbansi senyawa AGEs dan
senyawa dikarbonil.
Tahap persiapan
Dalam tahap persiapan, terlebih dahulu dibuat ekstrak metanol dari akar
pasak bumi. Pertama, akar pasak bumi dipotong kecil-kecil dan kemudian diparut.
Selanjutnya, hasil parutan akar pasak bumi diangin-anginkan hingga kering.
Kemudian sebanyak 300 g parutan akar pasak bumi direndam dalam 6 liter
metanol 70% pada suhu ruang selama 72 jam. Setelah direndam, kemudian
disaring untuk memisahkan filtratnya. Filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan
hingga diperoleh ekstrak. Ekstrak yang diperoleh kemudian dibuat larutan dengan
konsentrasi 125 ppm, 250 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm. Masing-masing larutan
diukur aktivitas antioksidannya.
Uji Potensi Antioksidan
Larutan ekstrak metanol akar pasak bumi konsentrasi 1000 ppm, 500 ppm,
250 ppm, 125 ppm masing-masing dimasukkan ke dalam 2 tabung reaksi dengan
label A
1
dan A
0
kemudian pada tabung dengan label AU
1
dan AU
0
dimasukkan
0,01 mL derivat vitamin E 1 mmol/L dalam buffer fosfat pH = 7,4. Selanjutnya
pada tabung dengan label A
1
, A
0
, AU
1
, dan AU
0
masing-masing dimasukkan 0,49
mL buffer fosfat pH 7,4 dan pada tabung K
1
dan K
0
dimasukkan sebesar 0,50 mL
kemudian ke dalam 6 tabung tersebut ditambahkan BSA 20% sebesar 0,50 mL
dan tabung A
0
, K
0
dan AU
0
dimasukkan asam asetat 20% sebanyak 1 mL.
Kedalam enam tabung reaksi ditambahkan Fe-EDTA sebanyak 0,20 mL dan H
2
O
2

10 mmol/L. Setelah itu keenam tabung tersebut diinkubasi pada suhu 37
0
C selama
1 jam di dalam oven, kemudian pada tabung A
1
, K
1
, dan AU
1
ditambahkan asam
asetat 20% dan diinkubasi lagi pada suhu 37
0
C selama 10 menit. Pada masing-
masing tabung diambil 0,5 mL dan ditambahkan DNPH dalam HCl 2,5 M
sebanyak 2 mL kemudian diinkubasi selama 45 menit dalam ruangan terlindung
cahaya dan di-vortex setiap 15 menit. Selanjutnya ditambahkan 2 mL TCA 20%
pada keenam tabung dan dinkubasi dalam es selama 5 menit kemudian
disentrifugasi 5 menit dan supernatannya dibuang. TCA 10% sebanyak 2 mL
ditambahkan ke dalam 6 tabung dan disentrifugasi selama 5 menit dan dibuang
supernatannya. Selanjutnya ditambahkan 2 mL TCA 10%, sentrifugasi 5 menit
dan supernatannya dibuang. Sebanyak 2 mL etanol-etil asetat ditambahkan pada
keenam tabung, disentrifugasi selama 5 menit dan buang supernatannya kemudian
ulangi sebanyak 3 kali. Selanjutnya pada keenam tabung ditambahkan 1 mL urea
9 M dalam NaOH 0,4 N dan diinkubasi 37
o
C selama 10 menit sambil dikocok dan
disentrifugasi selama 5 menit. Absorbansi larutan pada keenam tabung tersebut
dibaca pada = 390 nm. Perhitungan aktivitas antioksidan ditentukan dengan
persamaan :

% 100
) (
) (



=
AU K
A K
AOA

Keterangan:
AOA = Aktivitas antioksidan (%)
K = Absorbansi kontrol (K
1
K
0
)

PKMP-3-14-4
A = Absorbansi sampel (A
1
A
0
)
AU = Absorbansi derivat vitamin E (AU
1
AU
0
)
Tahap Pengukuran absorbansi senyawa AGEs.
Larutan uji terdiri atas larutan protein (BSA) dan glukosa, larutan protein
(BSA) dan glukosa yang diberikan pasak bumi, dan larutan protein (BSA).
Absorbansi senyawa AGEs diukur setiap 48 jam selama 20 hari dengan cara
mengambil sebanyak 0,5 mL larutan dari masing-masing larutan uji, kemudian
diukur serapannya pada = 340 nm.
Tahap Pengukuran senyawa karbonil.
Dari tiap larutan uji, diambil sebanyak 0,5 mL larutan. Kemudian setiap
0,5 mL larutan tersebut dibagi lagi menjadi 2 tabung dengan volume masing-
masing 0,25 mL. Tabung pertama adalah sampel (A) dan tabung kedua adalah
blanko (B), sehingga akhirnya akan tersedia 8 tabung. Selanjutnya, ke dalam
setiap sampel (tabung A), ditambahkan DNPH sebanyak 1 mL, dan ke dalam
blanko (tabung B) ditambahkan 1 mL HCl 2,5 M. Kemudian menginkubasi
larutan-larutan tersebut selama 45 menit pada suhu ruang dan terlindung dari
cahaya, dan di-vortex setiap 15 menit.
Tahap selanjutnya adalah menambahkan 1 mL TCA 20% ke dalam
masing-masing tabung (A dan B), lalu menginkubasinya di dalam es selama 5
menit. Sentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1400 rpm, dan membuang
supernatannya. Setelah itu melakukan pencucian dengan menambahkan 1 mL
etanol-etil asetat ke dalam setiap tabung, sentrifugasi selama 5 menit pada
kecepatan 1400 rpm, lalu membuang supernatannya. Kemudian, pencucian
diulangi sebanyak 3 kali.
Tahap akhir dari pengukuran senyawa karbonil ini adalah dengan
menambahkan 1 mL urea 9 M, dan menginkubasi larutan pada suhu 37
o
C selama
10 menit sambil dikocok. Setelah itu larutan disentrifugasi dengan kecepatan 1400
rpm selama 5 menit. Selanjutnya warna yang dihasilkan diukur serapannya pada
panjang gelombang 390 nm. Kerusakan protein dihitung dengan menggunakan
persamaan.

A
C= -----
b
Keterangan:
A= absorbansi
= koefisien ekstingsi 22000 mM cm
-1

b= 1 cm


Analisis Data
Data absorbansi AGEs dan kadar senyawa karbonil yang diperoleh dari
penelitian ini akan disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis dengan
menggunakan korelasi regresi. Model grafik dari data tersebut akan ditentukan
dengan menggunakan Microsoft Excel, untuk mengetahui hubungan antara
produksi senyawa AGEs dan senyawa dikarbonil yang terbentuk



PKMP-3-14-5
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari Mei 2006, bertempat di
Laboratorium Kimia/Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarbaru.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tahap pertama penelitian ini adalah pembuatan ekstrak metanol akar pasak
bumi. Ekstrak metanol akar pasak bumi yang terbentuk kemudian ditentukan
aktivitas antioksidannya, yang dinyatakan dengan inhibitor concentration 50%
(IC
50
). Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan IC 50% adalah konsentrasi
ekstrak metanol akar pasak bumi yang mampu menghambat 50% kerusakan
protein akibat radikal bebas.

y = 0,0814x + 15,526
R
2
= 0,9295
0
20
40
60
80
100
120
0 200 400 600 800 1000 1200
Konsentrasi (ppm)
A
k
t
i
v
i
t
a
s

A
n
t
i
o
k
s
i
d
a
n

(
%
)

Gambar 1. Korelasi konsentrasi dengan aktivitas antioksidan ektrak metanol akar
pasak bumi

Korelasi aktivitas antioksidan dan konsentrasi ekstrak metanol akar pasak
bumi dinyatakan dengan rumus IC = 0,0814x + 15,526 dengan korelasi r =
0,9295. Berdasarkan rumus di atas, nilai IC
50
sebesar sebesar 423,5135 ppm.
Artinya, pada konsentrasi 423,5135 ppm tersebut, ekstrak metanol akar pasak
bumi mampu menghambat kerusakan protein akibat radikal bebas sebesar 50%.
Setelah diketahui nilai IC
50
, selanjutnya konsentrasi ekstrak methanol akar pasak
bumi tersebut digunakan untuk menghambat pembentukan senyawa AGEs dan
modifikasi protein.
Pada gambar 2, terlihat bahwa laju pembentukan senyawa AGEs yang
dihasilkan oleh protein yang ditambahkan glukosa lebih cepat daripada yang
dihasilkan oleh protein. Selain itu, lama inkubasi juga mempengaruhi laju
pembentukan AGEs. Semakin lama inkubasi maka semakin banyak senyawa
AGEs yang terbentuk.


PKMP-3-14-6
0
2
4
6
8
10
12
14
0 5 10 15 20 25
Hari
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i

A
G
E
s
protein Protein+glukosa Protein+glukosa+pasakbumi

Gambar 2. Penghambatan ekstrak metanol akar pasak bumi terhadap
pembentukan AGEs.

Modifikasi protein ditandai oleh senyawa dikarbonil yang terbentuk. Laju
penghambatan ekstrak metanol akar pasak bumi terhadap pembentukan senyawa
dikarbonil tersaji pada gambar 3.

0
5
10
15
20
25
30
0 5 10 15 20 25
Hari
K
a
d
a
r

S
e
n
y
a
w
a

K
a
r
b
o
n
i
l

(

M
)
protein protein+glukosa protein+glukosa+pasak bumi

Gambar 3. Laju penghambatan ekstrak metanol akar pasak bumi terhadap
pembentukan senyawa dikarbonil.

Senyawa dikarbonil yang terbentuk pada protein ditambah glukosa lebih
cepat dibandingkan dengan yang terbentuk pada protein serta protein yang
ditambahkan glukosa dan pasak bumi. Hal ini menunjukkan terjadi penghambatan

PKMP-3-14-7
kerusakan protein akibat aktivitas antioksidan yang terkandung dalam ekstrak
metanol akar pasak bumi.

Pembahasan
Advanced glycation end products (AGEs) merupakan kumpulan berbagai
macam senyawa kimia yang terbentuk akibat adanya perubahan struktur serta
ikatan silang pada protein. AGEs secara normal terdapat di dalam tubuh dan akan
terakumulasi pada berbagai organ seiring dengan meningkatnya usia. AGEs
memiliki peran penting sebagai salah satu penyebab terjadinya penuaan.
Pembentukan AGEs diawali oleh reaksi glikosilasi nonenzimatik, atau disebut
juga reaksi Maillard (10-14).
Reaksi Maillard adalah serangkaian reaksi nonenzimatik yang terjadi
antara gugus aldehid glukosa dengan gugus amino protein. (11,15,16). Tahap awal
reaksi ini dimulai dengan pembentukan basa Schiff yang berjalan secara
reversibel. Pada tahap ini glukosa mengalami transformasi D-glucopyrosone,
yaitu membukanya molekul berbentuk cincin menjadi molekul yang berbentuk
linear. Hal ini dapat terjadi apabila glukosa dilarutkan ke dalam air. Ketika
berbentuk linear, terdapat gugus aldehid pada salah satu sisinya yang bersifat
reaktif. Tahap reaksi ini disebut juga reaksi pencoklatan (browning). Selanjutnya,
aldehid yang terdapat pada rantai lurus glukosa tersebut akan bereaksi dengan
gugus amino membentuk basa Schiff. Pada akhirnya, basa Schiff akan mengalami
penataan ulang (rearrangement) secara irreversibel menjadi produk Amadori yang
bersifat lebih stabil (11,17,18).
Setelah berlangsung beberapa hari, produk Amadori mengalami
serangkaian perubahan melalui jalur oksidatif, nonoksidatif, dan penataan ulang
(4,19). Pada jalur oksidatif, akan terbentuk senyawa N

-(carboxymethyl)lysine
(CML) dan pentosidin (17,20). Berbeda dengan jalur oksidatif, pada jalur
nonoksidatif akan terbentuk senyawa piralin. Adapun pada proses penataan ulang,
akan dihasilkan senyawa 3-deoksiglukoson (10,17). Selain itu, glyoxal dan
methylglyoxal (MG) juga dapat terbentuk saat peroksidasi lipid dan proses
metabolisme (15,21).
Proses penataan ulang produk Amadori akan menghasilkan senyawa
dikarbonil. Senyawa dikarbonil ini bersifat oksidan dan merupakan senyawa
antara (intermediate), atau prekursor, untuk proses pembentukan AGEs (10,11).
Selanjutnya, dikarbonil akan bereaksi secara polimerasi dengan struktur protein
membentuk senyawa AGEs (22,23).
AGEs yang terbentuk bersifat sangat reaktif dan dapat menyebabkan
kerusakan struktur jaringan. Kerusakan jaringan ini ditandai oleh peningkatan
senyawa dikarbonil. Jumlah senyawa dikarbonil yang terbentuk menggambarkan
tingkat kerusakan protein yang terjadi (20,22,24-26).
Untuk menghambat pembentukan senyawa AGEs, diperlukan senyawa
yang mampu meredam aktivitas oksidatif senyawa dikarbonil, yaitu antioksidan.
Senyawa antioksidan ini terkandung pada berbagai tanaman, diantaranya pasak
bumi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Budianto et al (8), diketahui bahwa
infus akar pasak bumi dapat bersifat sebagai antioksidan, yakni sebagai
penghambat kerusakan protein akibat radikal bebas in vitro.
Berdasarkan gambar 2 dan 3, kadar senyawa karbonil dan AGEs sudah
mulai terbentuk pada hari ke-2, tetapi belum menunjukkan peningkatan secara

PKMP-3-14-8
bermakna. Mekanisme ini diduga disebabkan oleh dua hal, yakni 1) reaksi antara
gugus amino aldehid dengan oksigen membentuk dikarbonil, dan 2) reaksi antara
basa Schiff dengan oksigen membentuk dikarbonil (10). Semakin lama waktu
inkubasi, akan terjadi penataan ulang yang pada akhirnya mengakibatkan
penumpukan dikarbonil dan AGEs. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian Valencia et al (27) yang menunjukkan bahwa pembentukan senyawa
dikarbonil dan AGEs meningkat seiring lama inkubasi. Meskipun demikian,
penambahan ekstrak metanol akar pasak bumi dapat menurunkan pembentukan
senyawa dikarbonil dan AGEs.
Kemampuan ekstrak metanol akar pasak bumi dalam menghambat
pembentukan senyawa dikarbonil ini diduga disebabkan oleh senyawa aktif
ekstrak metanol akar pasak bumi, yaitu quassinoid. Quassinoid yang terkandung
di dalam pasak bumi antara lain eurycomalactone, eurycomanone, dan
eurycomanol.


Gambar 4. Beberapa struktur quassinoid dari akar pasak bumi yang telah
diidentifikasi. Secara berurutan : D-eurycolactone, E-
eurycolactone, dan F-eurycolactone (9).


Quassinoid merupakan senyawa fenolik yang dapat berperan sebagai
donor proton. Mekanisme kerja quassinoid ini adalah dengan cara melepaskan
atom hidrogennya untuk meredam aktivitas oksidan. Selain itu, quassinoid juga
dapat berperan sebagai pemerangkap (scavenger) logam pembentuk radikal bebas
(9). Oleh karena itu, mekanisme pasak bumi sebagai model antipenuaan in vitro
akibat reaksi glikosilasi diduga melalui beberapa titik tangkap, yakni:

1. Perubahan produk amadori menjadi produk akhir melalui jalur oksidatif
melalui keterlibatan oksidan dan logam (tersaji pada gambar 5). Pada jalur ini,
perubahan 2-3 enediol menjadi N

-(carboxymethyl)lysine (CML) melibatkan


aktivitas H
2
O
2
, OH dan logam (M
n+
). Pasak bumi bekerja sebagai antioksidan
terhadap H
2
O
2
, OH dan sebagai pengikat logam (M
n+
).

2. Peredaman terhadap reaktivitas oksigen melalui jalur pintas yang berperan
dalam pembentukan senyawa dikarbonil. Pada titik tangkap ini, pasak bumi
akan menghambat pada 3 jalur, yakni gugus aldehid-amino-dikarbonil, basa
Schiff-dikarbonil, dan produk amadori-dikarbonil seperti disajikan pada
gambar 6.


PKMP-3-14-9


Gambar 5. Pembentukan N

-(carboxymethyl)lysine (CML) yang melibatkan jalur


oksidatif reaksi glikosilasi (18).























Gambar 6. Skema pembentukan AGEs dan jalur pintas pembentukan senyawa
dikarbonil (28)


PKMP-3-14-10
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
aktivitas antioksidan ekstrak metanol akar pasak bumi yang dinyatakan dalam IC
50% adalah 423,5135 ppm. Ekstrak metanol akar pasak bumi terbukti dapat
menghambat pembentukan AGEs dan senyawa dikarbonil akibat reaksi
glikosilasi. Selain itu, ekstrak metanol akar pasak bumi juga dapat menghambat
kerusakan protein akibat AGEs dan senyawa dikarbonil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Beckman KB, Ames BN. The free radical theory of aging matures. Physiol.
Rev. 1998;78:547-81.
2. Troen BR. The biology of aging. Mt. Sinai. J. Med. 2003;70:3-22.
3. Poggioli S, Bakala H, Friguet B. Age-related increase of protein glycation in
peripheral blood lymphocytes is restricted to preferential target proteins. Exp.
Gerontol. 2002; 37:1207-15.
4. Halliwell B, Gutteridge JMC. Free Radical in Biology and medicine. 3
rd
ed.
New York: Oxford University Press; 1999.
5. Halliwell B, Whiteman M. Measuring reactive species and oxidative damage
in vivo and cell culture: how you should do it and what do the results mean?
Br. J. Pharm. 2004;142:231-55.
6. Boldyrev AA. Protection of proteins from oxidative stress: a new illusion or a
novel strategy? Ann. N. Y. Acad. Sci. 2005;1057:1-13.
7. Suhartono E, Setiawan B, Edyson, Mashuri. Modifikasi protein akibat reaksi
Maillard dan pengaruhnya terhadap kadar tirosin. Profesi Medika
2004;4(2):20-28.
8. Budianto R, Firdaus RT, Paramita D, Vianty TA, Damayanti ED, Suhartono
E. Uji antioksidan tumbuhan pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.) serta
peranannya sebagai inhibitor kerusakan protein akibat reaksi glikosilasi.
Chem. Rev. 2004;7(2): 89-97.
9. Ang HH, Hitotsuyanagi Y, Fukaya H, Takeya K. Quassinoids from Eurycoma
longifolia. Phytochemistry 2002;59:833-7.
10. Akagawa M, Sasaki T, Suyama K. Oxidative deamination of lysine residue in
plasma protein of diabetic rats. Eur. J. Biochem.2002;269:5451-8.
11. Oya T, Hattori N, Mizuno Y, Miyata S, Maeda S, Osawa T, et al.
Methylglyoxal modification of protein. J. Biol. Chem. 1999;274:18492-502.
12. Kobayashi T, Oku H, Komori A, Okuno T, Kojima S, Obayashi H, et al.
Advanced glycation end products induce death of retinal neurons via
activation of nitric oxide synthase. Exp. Eye Res. 2005;81:647-54.
13. Krone CA, Ely JTA. Ascorbic acid, glycation, glycohemoglobin and aging.
Med. Hypothes. 2004;62:274-9.
14. Shoda H, Miyata S, Liu BF, Yamada H, Ohara T, Suzuki K, et al. Inhibitory
effects of tenilsetam on the Maillard reaction. Endocinology 1997;138:1886-
92.
15. Otin MP, Pamplona R, Bellmunt MJ, Ruiz MC, Prat J, Salvayre R, et al.
Advanced glycation end product precursors impair eptdermal growth factor
receptor signaling. Diabetes 2002;51:1535-42.


PKMP-3-14-11
16. Requena JR, Ahmed MU, Fountain CW, Degenhardt TP, Reddy S, Perez C, et
al. Carboxymethylethanolamine, a biomarker of phospholipid modification
during the Maillard reaction in vivo. J. Biol. Chem. 1997;272:17473-9.
17. Soeatmadji DJ. The role of free radicals in management of type 2 diabetic
patients. Disampaikan pada Simposium Free Radicals in Diabetes and their
Interaction with Sulphonylurea, Jakarta, 24 Maret 2001.
18. Voziyan PA, Khalifah RG, Thibaudeau C, Yildiz A, Jacob J, Serianni AS, et
al. Modification of proteins in vitro by physiological levels of glucose. J. Biol.
Chem. 2003;278:46616-24.
19. Sadikin N. Pelacakan Dampak Radikal Bebas Terhadap Biomolekul. Makalah
Pelatihan Radikal Bebas dan Antioksidan Dalam Kesehatan: Dasar, Aplikasi,
dan Pemanfaatan Bahan Alam. Jakarta: Bagian Biokimia FK UI, 2001.
20. Frye EB, Degenhardt TP, Thorpe SR, Baynes JW. Role of the Maillard
reaction in aging of tissue proteins. J. Biol. Chem. 1998;273:18714-9.
21. Thornalley PJ. Dicarbonyl intermediates in the Maillard reaction. Ann. N. Y.
Acad. Sci. 2005;1043:1-7.
22. Baynes JW, Thorpe SR. Role of oxidative stress in diabetic complication: a
new perspective on an old paradigm. Diabetes 1999;48:1-9.
23. Nakagawa J, Ishikura S, Asami J, Isaji T, Usami N, Hara A, et al. Molecular
characterization of mammalian dicarbonyl/L-xylulose reductase and its
localization in kidney. J. Biol. Chem. 2002;277:17883-91.
24. de Arriba SG, Krgel U, Regenthal R, Vissiennon Z, Verdaguer E, Lewerenz
A, et al. Carbonyl stress and NMDA receptor activation contribute to
methylglyoxal neurotoxicity. Free Rad. Biol. Med. 2006; 40:779-90.
25. Kalousov M, Zima T, Tesa V, Sulkov SD, krha J. Advanced
glycooxidation end products in chronic diseases clinical chemistry and
genetic background. Mut. Res. 2005;579:37-46.
26. Matsumoto AO, Fridovich I. The role of ,-dicarbonyl compunds in the
toxicity of short chain sugars. J. Biol. Chem. 2000;275:34853-7.
27. Valencia JV, Weldon SC, Quinn D, Kiers GH, DeGroot J, TeKoppele JM, et
al. Advanced glycation end product ligands for the receptor for advanced
glycation end products: biochemical characterization and formation kinetics.
Anal. Biochem. 2004; 324:68-78.
28. Booth AA, Khalifah RG, Todd P, Hudson BG. In Vitro kinetic studies of
formation of antigenic Advanced Glycation End Products (AGEs). J. Biol.
Chem. 1997;272: 5430-7.










PKMP-3-15-1
PEMANFAATAN LIMBAH GAS KOLEKTOR HASIL PENGOLAHAN
LOGAM PT. KRAKATAU STEEL CILEGON SEBAGAI BAHAN
CAMPURAN CONBLOCK

Kiki Marina Murdiani, Nendi Apriyandi , Armando Pensa dan Fitri M
Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Jakarta, Jakarta

ABSTRAK
Salah satu limbah yang dihasilkan PT. KRAKATAU STEEL adalah limbah gas
kolektor dengan butiran yang sangat halus dan jumlahnya cukup besar. Limbah
gas kolektor terdiri dari 0,9867 % karbon, 22,993 % oksigen, 4,8867 % natrium,
18833 % magnesium, 2,27 % silika, 6,31 % khlorin, 5,3767 % kalium, 3,52 %
kalsium, 2,0667 % mangaan, 38,0133 % Fe dan element lainnya (Budiono &
Pretty, 2005). Sampai saat ini limbah tersebut dibiarkan begitu saja dan belum
dimanfaatkan sehingga untuk membuangnya membutuhkan areal yang cukup
luas. Selain itu, limbah tersebut dapat menyebabkan polusi udara, apalagi pada
saat musim kemarau. Dilihat dari komposisi kimia dan bentuk secara fisis, maka
limbah dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada campuran conblock. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian tentang penggunaan limbah sebagai bahan
pengisi pada campuran conblok. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti sifat-
sifat conblock ( secara visual , daya serap dan kuat tekan) conblock dengan
campuran limbah gas kolektor PT.Krakatau steel dan untuk mencari komposisi
limbah yang menghasilkan sifat-sifat conblok (secara visual, daya serap air dan
kuat tekan) yang sesuai dengan standar SNI. Penelitian menggunakan metode
eksperimen dengan cara membuat benda uji conblock ukuran 8 x 10 x 20 cm
.Prosedur pengujian kualitas conblock menggunakan metode Pengujian Bahan
SNI 03 0348 - 1989 tentang Mutu dan Cara Uji Bata Beton Pejal.Data
dianalisis dengan cara mencari rata-rata dari sifat fisik dan mekanis conblock
dari masing-masing komposisi, kemudian hasilnya dibandingkan dengan standar
SNI. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa ukuran bata beton pejal
memenuhi standar untuk conblock ukuran kecil, secara visual terlihat bahwa
conblock pada penambahan limbah sebesar 4% dan 10% conblock mempunyai
performance yang lebih baik dibandingkan dengan conblock tanpa limbah, nilai
penyerapan air sebesar 13,36 % untuk conblock tanpa limbah ,10,58 % untuk
conblock dengan limbah 2 %,nilai penyerapan air 9,55 % untuk conblock dengan
limbah 4 %,,nilai penyerapan air 14,3 % untuk conblock dengan limbah 10% .
Kuat tekan conblock dengan limbah 0% sebesar 6 kg/cm
2
, limbah 2% sebesar 12
kg/cm
2
. limbah 4% sebesar16,8 kg/cm
2
limbah 10% sebesar 1,4 kg/cm
2
. Dilihat
dari kuat tekannya, conblock yang memenuhi standar SNI adalah conblock
dengan komposisi Limbah 2% dan 4 %.

Kata Kunci : Limbah gas kolector, conblock, kuat tekan, penyerapan air

PENDAHULUAN
Dewasa ini kebutuhan bahan bangunan semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya kebutuhan perumahan. Penduduk Indonesia yang berjumlah
210 juta jiwa memerlukan rumah yang terjangkau. Data dari REI menunjukkan
bahwa Indonesia setidaknya membutuhkan 500.000 rumah murah. Disisi lain,


PKMP-3-15-2
sejak krisis ekonomi tahun 1998, kemampuan masyarakat untuk membeli rumah
semakin menurun. Bahkan diprediksikan di masa yang akan datang dapat terjadi
kerawanan sosial yang diakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan rumah. Kondisi
ini semakin meningkatkan jumlah kebutuhan akan rumah murah.Pada
pembangunan rumah, kebutuhan bahan bangunan mencapai lima puluh persen
lebih dari total biaya pembangunan. Sementara itu harga bahan bangunan semakin
tinggi yang pada akhirnya juga akan meningkatkan harga rumah. Hal inilah yang
membuat orang berpikir untuk mencari bahan bangunan alternatif murah,
berkualitas baik dan mudah didapatkan. Salah satu alternatifnya adalah dengan
memanfaatkan limbah gas kolektor PT Krakatau Steel sebagai bahan campuran
pada conblok.
Sampai saat ini limbah yang dibuang dibiarkan begitu saja dan belum
dimanfaatkan sehingga untuk membuangnya membutuhkan areal yang cukup
luas. Selain itu, limbah tersebut dapat menyebabkan polusi udara, apalagi pada
saat musim kemarau. Limbah gas kolektor terdiri dari 0,9867 % karbon, 22,993 %
oksigen, 4,8867 % natrium, 18833 % magnesium, 2,27 % silika, 6,31 % khlorin,
5,3767 % kalium, 3,52 % kalsium, 2,0667 % mangaan, 38,0133 % Fe dan
element lainnya (Budiono & Pretty, 2005). Dilihat dari sifat fisik dan kimianya,
limbah tersebut dapat digunkan sebagai bahan pengisi dalam pembuatan conblok.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang penggunaan limbah sebagai
campuran pada conblok.
Tujuan khusus penelitian yang akan dicapai setelah Program Kretivitas
Mahasiswa Penelitian (PKMP) ini adalah untuk meneliti sifat-sifat conblok secara
visual, daya serap air dan kuat tekan) conblok dengan bahan campuran limbah gas
kolektor PT. Krakatau Steel dan untuk mencari komposisi limbah yang
menghasilkan sifat-sifat conblok (secara visual, daya serap air dan kuat tekan)
yang sesuai dengan standar SNI.
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat , industri
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan agar dapat diperoleh
bahan bangunan dengan harga yang murah, masyarakat di sekitar lokasi
pembuangan limbah dapat memanfaatkannya sebagai bahan campuran pembuatan
conblock.

METODE PENDEKATAN
Rancangan Penelitian.
Penelitian ini merupakan ekperimen dengan cara membuat benda uji berupa bata
beton pejal. Ukuranyang digunakan menggunakan ukuran yang ada di SNI,
dengan ukuran kecil yaitu:
Panjang = 20 cm
Lebar = 10 cm
Tebal = 8 cm
Komposisi yang digunakan untuk penelitian adalah:
I. 1 pc : 5 pasir : 0 % limbah
II. 1 pc : 5 pasir : 2 % limbah
III. 1 pc : 5 pasir : 4 % limbah
IV. 1 pc : 5 pasir : 6 % limbah
V. 1 pc : 5 pasir : 8 % limbah
VI. 1 pc : 5 pasir : 10 % limbah


PKMP-3-15-3

Bahan penelitian.
Bahan penelitian yang digunakan dalam pembuatan conblok : Bahan limbah gas
kolektor diambil dari pengolahan peleburan baja PT KRAKATAU STEEL,
CILEGON, pasir yang digunakan adalah Abu Batu di daerah Tanjung Barat,
Semen yang dipakai adalah Portland Cement type 1 merk Tiga Roda dan Air yang
digunakan air yang berasal dari Laboratorium Uji Bahan Jurusan Teknik Sipil
POLITEKNIK NEGERI JAKARTA.

Waktu dan tempat pengujian
Pengujian sifat sifat fisis dan pembuatan benda uji Conblok ukuran skala 1 : 1
dilakukan di tempat Lab Uji Bahan Jurusan Teknik Sipil POLITEKNIK NEGERI
JAKATA., pengujian dilakukan pada Bulan Februari sampai dengan Juni 2006.

Pengujian Bahan
Sebelum dibuat benda uji conblock, bahan-bahan penyusun yang terdiri dari
limbah dan pasir diuji sifat-sifatnya terlebih dahulu, meliputi : uji kehalusan
limbah, berat isi limbah dan kadar air. Untuk pasir sifat yang diuji terdiri dari
berat isi, berat jenis, kadar air dan gradasi pasir.

Peroses Pembuatan Conblock/ Bata beton Pejal
Pencampuran agregat, semen, dan air.
Pada umumnya peroses pengadukan dilakukan dengan alat pengaduk manual dan
alat pengaduk mesin. Cara pengadukan dengan alat pengaduk mesin memudahkan
pekerjaan pengadukan, untuk pengadukan dipilih mesin pengaduknya yang kering
agar tidak mempengaruhi fas dari air itu sendiri, mesin pengaduk akan berputar
sehingga tercampur rata. Pemakaian mesin dilakukan apabila campuran
pengadukannya banyak. Pada penelitian ini pengadukan dilakukan secara manual
dengan Faktor Air Semen (fas) 0,5.

Pencetakan Conblok.
Pencetakan conblok dapat dilakukan dengan cara manual (tangan), semi mekanis
atau dengan alat. Pencetakan dengan tangan terlalu berat, lambat serta hasilnya
kurang merata. Cetakan dan alat pukul conblock sebaiknyya terbuat dari plat baja
yang cukup kuat. Pencetakan dengan mekanis dan semi mekanis akan lebih
efisien.
Perawatan conblock
Conblok yang sudah dicetak dibiarkan ditempat yang teduh dan lembab selama 24
jam. Setelah itu perawatan dapat dilanjutkan dengan cara menutup dengan karung
basah, disiram dengan air atau direndam dalam air selama 28 hari untuk mencapai
kekuatan yang maksimal.

Pengujian Conblok/ bata beton pejal (Menurut SNI 03 0348 1989)
Pengukuran benda uji.
Untuk mengetahui ukuran maka diambil 5 buah benda uji yang utuh. Alat ukur
yang digunakan Kapiler, alat tersebut dapat mengukur sampai ketelitian 1 mm.
Setiap pengukuran panjang, lebar dan tebal bata dilakukan paling sedikit sedikit 3
kali pengukuran, pada tempat tempat berbeda kemudian dihitung berapa nilai


PKMP-3-15-4
rata rata dari ke- 3 pengukuran tersebut. Hasil dari 5 buah benda uji, dilaporkan
mengenai ukuran rata rata, ukuran terbesar, ukuran terkecil.

Pengujian kuat tekan.
Tujuan dari pengujian kuat tekan adalah untuk mengetahui nilai kuat tekan dari
conblock. Untuk pengujian dipakai benda uji berbentuk kubus yang sudah diukur.

Penentuan kuat tekan
Arah tekanan pada bidang tekan benda uji disesuaikan dengan arah tekanan beban
didalam pemakaian conblok. Untuk bata beton yang dalam pemakaiannya arah
pembebanan diberikan kepada bidang yang terluas, dan ukuran tebal dari bata itu
lebih kecil dari lebarnya. Pengujian kuat tekan dilakukan dengan membuat benda
uji berbentuk kubus yang dipotong dari benda uji aslinya. Setiap benda uji dibuat
sedikitnya satu buah kubus. Benda uji yang telah disiapkan diuji dengan mesin
tekan yang dapat diatur kecepatan penekanannya. Kecepatan penekanan dari
mulai pemberian beban sampai benda uji hancur diatur sehingga tidak kurang dari
satu menit dan tidak lebih dari dua menit. Kuat tekan benda uji dihitung dengan
membagi beban maksimum (pada waktu benda uji hancur) dengan bidang luas
tekan bruto yang dinyatakan dengan kg/ cm
2
. Kuat tekan tadi dilaporkan masing
masing untuk setiap benda uji dan juga harga rata rata dari 5 buah benda uji.
Perhitungan masing masing benda uji yang digunakan :

P
=
A
Dimana = adalah kuat tekan (kg/cm
2
)
P adalah beban maksimal (KN)
A adalah luas penampang (cm
2
)

Penyerapan air
Untuk pengujian penyerapan air, dipakai 5 buah benda uji dalam keadaan utuh.
Alat yang digunakan adalah timbangan yang dapat menimbang teliti hingga
0,5% dari berat contoh dan oven yang dapat mencapai suhu kurang lebih 105C.
Benda uji dalam keadaan seutuhnya di rendam dalam keadaan bersih dalam suhu
ruangan selama 24 jam. Kemudian benda uji diangkat dari air, dan air sisanya
dibiarkan meniris kurang lebih selama 1 menit, lalu benda uji coba diseka/ dilap
permukaannya dengan kain basah, untak menyaka kelebihan air yang masih
tertinggal, benda uji kemudian di timbang ( A ).
Setelah itu benda uji dikeringkan dalam dapur pengering dalam suhu
kurang lebih 105C, kemudian timbang (B) sampai beratnya tetap, pada 2 kali
penimbangan tidak berselisih dari 0,2% dari penimbangan yang tadi. Selisih
penimbangan (A) dan (B) adalah jumlah penyerapan air, dan harus dihitung
berdasarkan persen berat.

Teknik pengolahan data.
Data dianalisa dengan cara mencari rata-rata setiap sifat conblock dari masing-
masing komposisi kemudian hasilnya dibandingkan dengan nilai standar SNI
Adapun rumus yang digunakan untuk mencari rata-rata adalah :


PKMP-3-15-5

=
=
n
n i
xi
n
X
1
_
, dimana :
_
X : harga mean dari tiap tiap kelompok
n : jumlah sampel dari tiap kelompok
xi : besaran tiap-tiap sampel.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Limbah Gas Kolektor
Berat J enis
Hasil pengujian berat jenis limbah yang disajikan pada tabel 1 sebagai berikut
Tabel 1 Berat jenis limbah gas kolektor.
No. Berat Limbah
( gr )
V1
( ml )
V2
( ml )
Berat Jenis
1 64 1 19,6 3,4
2 10 18,1 21,1 3,3
Rata rata 3,35

Berat jenis limbah = Berat limbah = 64 = 3,4
( V1- V2 ).d
V1 = Volume awal tabung le chatelier pada saat suhu 4 C.
V2 = Volume akhir tabung le chatelier pada saat suhu 4 C.
d = Berat isi air pada suhu 4 C = 1 gr/cm.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa Berat Jenis rata - rata limbah gas kolektor yaitu 3,35. Angka
tersebut lebih besar dari berat jenis kapur yaitu 1,4 1,7 ( Suggono kh, 1995 ), juga lebih
besar dari berat jenis semen yaitu 3,15 ( Rahmadiyanto, C & Samekto, W , 2001 ).
Dilihat dari berat jenisnya ternyata lebih berat dibandingkan dari semen atau kapur.

Kehalusan limbah.
Berat benda uji yang tertahan diayakan :
- 1,2 mm = 2,3 gram
- 7,5 m = 94,29 gram
- Berat mula-mula = 100 gram
- Jadi kehalusannya = 94,29 x 100% = 94,29 %.
100
Dari data diatas terlihat bahwa angka kehalusan yang didapat 94,29 % pada lubang
ayakan 7,5 m, Dapat disimpulkan bahwa limbah gas kolektor sangat halus.

Kadar air.
Hasil pengujian kadar air Limbah gas kolektor disajikan pada tabel 2 sebagai berikut :

Tabel 2 Kadar air limbah gas kolektor
No. Berat Limbah Asli W 1 (gr)

Berat Limbah Kering Oven W2 (gr)

Kadar Air
( % )
1 100 96,5 3,6
2 200 193,8 3,2
Rata rata 3,4


PKMP-3-15-6
W1 = Berat Agregat Asli ( gram )
W2 = Berat Agregat Kering Setelah di oven.

Kadar Air = w1 w2 x 100 % = 200-193,8 = 3,2 %.
W2 193,8
Dari Tabel 2 terlihat bahwa limbah gas kolektor mempunyai kadar air rata - rata 3,4%

Berat isi.
Hasil pengujian berat isi limbah disajikan pada tabel 3 sebagai berikut :

Tabel 3 Berat isi lepas limbah gas kolektor.
Pengukuran I II III
Berat tabung silinder
( Kg )
2,186 2,184 2,183
Volume tabung
( Liter )
2,645 2,651 2,653
Berat tabung + Limbah
( Kg )
4,656 4,648 4,632
Berat Limbah
( Kg )
2,47 2,464 2,449
Berat isi lepas
( Kg/lt )
0,9338 0,9294 0,9231
Berat isi lepas
Rata rata ( Kg/lt )
0,9287
V = Volume tabung.
W2 = Berat tabung.
W3 = Berat limbah + berat tabung.

Berat isi limbah : ( W3 W2 ) = 0,9287 kg/ lt

V
Tabel 4 Berat isi padat limbah gas kolektor
Pengukuran I II III
Berat tabung silinder
( Kg )
2,186 2,184 2,183
Volume tabung
( Liter )
2,645 2,651 2,653
Berat tabung + Limbah ( Kg ) 5,047 5,042 4,996
Berat Limbah
( Kg )
2,861 2,858 2,813
Berat isi padat ( Kg/lt ) 1,08166 1,07808 1,0603
Berat isi padat
Rata rata ( Kg/ )
1,07334

Dari Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa Berat isi lepas limbah rata rata sebesar
0,9287 kg/l dan Berat isi padat limbah sebesar 1,07334 kg/ lt. Berat isi tersebut
lebih kecil dibandingkan berat isi semen yaitu 1,25 kg/lt ( Rahmadiyanto, C &
Samekto, W , 2001 )

Pengujian Agregat Halus ( Pasir )
Berat J enis
Hasil pengujian berat isi limbah disajikan pada tabel 3 sebagai berikut :



PKMP-3-15-7
Tabel 5 Berat Jenis dan Penyerapan air agregat Pasir
Pengukuran I II III
Berat Agregat SSD Bssd
( gram )
500,7 500 501
Agraegat+Air+Picnometer
BT ( gram )
1550,5 1523,6 1524
Berat Agregat Kering Bk
Oven ( gram )
470,3 472,5 472,5
Berat pic + air B ( gram ) 1248,5 1229 1229
Berat Jenis 2,36 2,30 2,29
Berat Jenis SSD 2,52 2,43 2,43
BJ semu 2,79 2,65 2,66
Penyerapan air ( % ) 6,4 5,8 6,05

a. Berat jenis (Bulk Specific Gravity) =
BT Bssd B
Bk
+

b. Berat jenis kering permukaan jenuh (SSD)=
BT Bssd B
Bssd
+

c. Berat jenis semu (Apparent Surface Dry)=
BT Bk B
Bk
+

d. Penyerapan Air = % 100 x
Bk
Bk Bssd

Dari Tabel 5 terlihat bahwa Berat Jenis SSD pasir rata rata sebesar 2,31 ,
Berat Jenis semu rata- rata sebesar 2,46 . Dilihat dari berat jenisnya , agregat
termasuk agregat normal.


Berat I si Agregat (Pasir)
Hasil pengujian berat isi pasir disajikan pada tabel 6. Dari Tabel 6 dan 7
terlihat bahwa Berat isi lepas pasir rata rata sebesar 1,45872 kg/lt dan Berat isi
padat Pasir sebesar 1,6392 kg/ lt. Berat isi ini digunakan sebagai dasar untuk
menghitung kebutuhan bahan pada pembuatan conblock.

Tabel 6 Berat Isi Lepas Pasir
Pengukuran I II III
Berat tabung silinder
( Kg )
2,186 2,184 2,183
Volume tabung
( Liter )
2,63 2,629 2,631
Berat tabung +
Agregat ( Kg )
5,967 6,046 6,060
Berat Agregat
( Kg )
3,781 3,862 3,877
Berat isi lepas
( Kg/lt )
1,4376 1,4689 1,4735
Berat isi lepas
Rata rata ( Kg/lt )
1,45872



PKMP-3-15-8
Tabel 7 Berat Isi Padat Pasir
Pengukuran I II III
Berat tabung silinder
( Kg )
2,186 2,184 2,183
Volume tabung
( Liter )
2,63 2,629 2,631
Berat tabung +
Agregat ( Kg )
6,520 6,436 6,531
Berat Agregat
( Kg )
4,334 4,252 4,348
Berat isi padat
( Kg/lt )
1,6479 1,6173 1,6526
Berat isi padat
Rata rata ( Kg/ lt )
1,6392


Kadar Air
Tabel 8 Kadar Air Agregat
Pengukuran. I II
Berat Agregat Asli
W1 (gram)
500 500
Berat Agr. kering
oven W2 (gr)
490,3 488,7
Kadar air (%) 1,9 2,3
Kadar air Rata-rata
(%)
2,1

Kadar air agregat = W1 - W2 x 100 %
W2
= 500 490,3 x 100 % = 1,9 %
490,3
Dari Tabel 8 terlihat bahwa kadar air pasir rata rata sebesar 2,1 %. Kadar air ini
digunakan untuk menentukan jumlah air pada adukan conblock.

Gradasi Agregat halus
Gradasi agregat yang sesuai untuk conblock adalah seperti tercantum pada Tabel 9
dibawah ini (Anonim : 1987). Pada pembuatan benda uji bata beton berlubang
digunakan gradasi agregat yang sesuai dengan standar ASTM C33-74.

Tabel 9 Gradasi Agregat Halus

Ukuran
Ayakan
% Berat
Tertahan
Agregat
Alam
Agregat
Buatan
Butir
tertinggal
diatas 12.5mm 0 Nihil Nihil
10mm
0
0 - 5% 0 - 5%
4.8mm
16.01
20 - 30% 18 - 28%
2.4mm
27.66
10 -20% 21 - 25%


PKMP-3-15-9
1.2mm
21.24
10 - 20% 16 - 24%
0.6mm
12.50
10 - 20% 11 - 19%
0.3mm
8.55
10 - 20% 6 - 14%
0.15mm
6.88
5 - 12% 3 - 9%
tembus 0.15mm 1.5 - 10% 3 - 9%

Dari tabel 9 terlihat bahwa Gradasi agregat Halus untuk spesifikasi
Agregat buatan yang tidak memenuhi syarat adalah ukuran ayakan 4,8 mm dan
2,4 mm, tetapi nilai ini masih dalam batas toleransi sebesar 5 % sehingga agregat
dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada conblock.

Pengujian Fisis dan Mekanis Conblock
Penyerapan air Conblock
Hasil pengujian penyerapan air disajikan pada tabel 10 dan Grafik 1. sebagai berikut :

Tabel 10. Penyerapan air
Komposisi I
(Limbah 0%)
Rata -rata Penyerapan air
( % )
13,36
Komposisi II
(Limbah 2%)
Rata -rata Penyerapan air
( % )
10,58
Komposisi III
(Limbah 4%)
Rata -rata Penyerapan air
( % )
9,55
Komposisi VI
(Limbah 10%)
Rata -rata Penyerapan air
( % )
14,3

GRAFIK 1.RATA-RATA PENYERAPAN AIR CONBLOCK
13,36
10,58
9,55
14,3
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Rata -rata Penyerapan air
Limbah 0%
Limbah 2%
Limbah 4%
Limbah 10%


Dari Grafik 1 terlihat bahwa penyerapan air pada conblock dengan komposisi
Limbah 0% sebesar 13,36% , conblock dengan limbah 2% sebesar 10,58% ,
conblock dengan limbah 4% sebesar 9,55% dan conblock dengan limbah 10%
sebesar 14,3%.Dari data diatas terlihat bahwa penyerapan air terendah pada
conblok dengan komposisi limbah 4%.Ini berarti dengan penambahan limbah 4%
pada conblock , membuat conblock lebih kedap air dibandingkan dengan
conblock tanpa limbah. Hal ini disebabkan dengan menambahkan limbah gas
kolektor sebesar 4%, limbah tersebut mengisi secara optimum seluruh rongga


PKMP-3-15-10
diantara agregat dan semen. Selain itu, kadar silika yang terkandung didalam
limbah juga dapat lebih mempererat ikatan antar agregat .

Tabel 11 Pandangan luar / fisis Conblock.
Jumlah Limbah
No Keadaan Benda Uji
0% 2% 4% 10%
1 Retak - retak tidak tidak tidak tidak
2 Kekuatan sudut Mudah Repih Agak Repih Tidak Repih
Tidak
Repih
3
Berat rata - rata 5
benda uji
3248,2 3356,2 3373,4 3338,8
P = 19,99 20.01 19.96 19.99
L = 9.99 10.02 9.99 10.00 4
Ukuran rata - rata
5 benda uji
T = 8.14 8.2 8.19 8.16

Dari tabel 11 terlihat bahwa secara fisik conblock dengan komposisi
limbah 4% dan 10% mempunyai sifat yang lebih baik dibandingkan conblock
dengan limbah 0% dan 2%. Hal ini berarti semakin banyak jumlah limbah yang
ditambahkan pada campuran conblock menghasilkan conblock dengan
performance yang lebih baik. Kondisi ini disebabkan karena dengan
menambahkan limbah membuat conblock lebih padat. Dilihat dari beratnya
conblock yang ditambahkan limbah cendrung naik karena limbah mempunyai
berat jenis yang lebih besar dibandingkan berat jenis semen.

Kuat tekan conblock
Hasil pengujian kuat tekan rata-rata conblock disajikan pada tabel 12 dan Grafik
2. sebagai berikut :

Tabel 12. Kuat Tekan Rata Rata Conblock
Ukuran
Komposisi
P(cm) L (cm) Luas
(cm
2
)
Kuat Tekan Rata-Rata
(kg/cm
2
)
I Limbah 0 %
5 5 25 6
II Limbah 2 %
5 5 25 12
III Limbah 4 %
5 5 25 16,8
VI Limbah 10
% 5 5 25 1,4
Keterangan :
Untuk Komposisi IV dan V Pengujian Dilakukan Tanggal 24 Juni 2006 (Setelah berumur
28 Hari ).



PKMP-3-15-11
GRAFIK 2. KUAT TEKAN RATA-RATA CONBLOCK
16,8
1,4
6
12
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
1 2 3 4
Kuat tekan conblock (kg/cm2)


Dari Grafik 2 terlihat bahwa conblock dengan penambahan limbah sebesar
2% dan 4% kuat tekannya mengalami peningkatan dibandingkan dengan conblock
tanpa limbah, tetapi pada penambahan limbah 10% kuat tekannya justru turun
dibawah kuat tekan conblock tanpa limbah. Hal ini disebabkan karena semakin
banyak jumlah limbah yang ditambahkan, maka jumlah agregat pengisinya
semakin sedikit sehingga akan mengurangi kekuatan dari conblock tersebut, jadi
penambahan jumlah limbah yang optimum adalah sebesar 4%. Penambahan
limbah gas kolektor sebesar 4%, limbah tersebut mengisi secara optimum seluruh
rongga diantara agregat dan semen. Selain itu, kadar silika yang terkandung
didalam limbah juga dapat lebih mempererat ikatan antar agregat sehingga akan
meningkatkan kuat tekan conblock. Dilihat dari kuat tekannya ternyata pada
komposisi limbah 4% memenuhi standar SNI 03-0349-1989 untuk mutu HB 15,
limbah 2% sesuai standar untuk mutu HB 10, sedangkan untuk conblock dengan
komposisi 0% dan 10% tidak memenuhi standar. Dilihat dari kuat tekannya
conblock dengan komposisi 2% dan 4% dapat digunakan sebagai dinding pengisi/
dinding penyekat ruangan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa (1) penyerapan
air pada conblock dengan komposisi limbah 0% sebesar 13,36%, conblock
dengan komposisi limbah 2% sebesar 10,58%, conblock dengan komposisi
limbah 4% sebesar 9,55%, conblock dengan komposisi limbah 10% sebesar
14,3%, jadi yang mempunyai penyerapan air terkecil adalah conblock dengan
komposisi limbah 4%. (2) Sifat fisik secara visual terlihat bahwa pada
penambahan limbah sebesar 4% dan 10% conblock mempunyai performance
yang lebih baik dibandingkan dengan conblock tanpa limbah. (3) Kuat tekan
conblock pada penambahan limbah sebesar 2% dan 4% kuat tekannya mengalami
peningkatan dibandingkan dengan conblock tanpa limbah, tetapi pada
penambahan limbah 10% kuat tekannya justru turun dibawah kuat tekan conblock
tanpa limbah. Hal ini disebabkan karena semakin banyak jumlah limbah yang
ditambahkan, maka jumlah agregat pengisinya semakin sedikit sehingga akan
mengurangi kekuatan dari conblock tersebut, jadi penambahan jumlah limbah


PKMP-3-15-12
yang optimum adalah sebesar 4%. Penambahan limbah gas kolektor sebesar 4%,
limbah tersebut mengisi secara optimum seluruh rongga diantara agregat dan
semen. Selain itu, kadar silika yang terkandung didalam limbah juga dapat lebih
mempererat ikatan antar agregat sehingga akan meningkatkan kuat tekan
conblock. Dilihat dari kuat tekannya ternyata pada komposisi limbah 4%
memenuhi standar SNI 03-0349-1989 untuk mutu HB 15, limbah 2% sesuai
standar untuk mutu HB 10, sedangkan untuk conblock dengan komposisi 0% dan
10% tidak memenuhi standar. Dilihat dari kuat tekannya conblock dengan
komposisi 2% dan 4% dapat digunakan sebagai dinding pengisi/ dinding penyekat
ruangan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Achmad, D. 2006. J ob Sheet Pengujian Bahan I . Jakarta : Politeknik Negeri
Jakarta.
2. Anonim. 1987. Teknologi Bahan I I . Bandung : PEDC
3. Anonim.1989. SNI 03 0348 1989 Tentang Mutu dan Cara Uji Bata
Beton Pejal. Jakarta : Badan Stndardisasi Nasional Indonesia.
4. Anonim.1989. SNI 03 0349 1989 Tentang Mutu dan Cara Uji Bata
Beton Pejal. Jakarta : Badan Stndardisasi Nasional Indonesia.
5. Budiono GG dan Pretty D, 2005. Kinerja Beton Menggunakan Semen Type
PPC dengan Bahan Tambah Limbah Gas Colector PT. Krakatau Steel.
Jakarta : Politeknik Negeri Jakarta. Tugas Akhir.

PKMP-3-16-1
PERBANYAKAN BEBERAPA SPECIES ANGGREK HUTAN LANGKA
SUMATERA UTARA MELALUI KULTUR I N VI TRO

Yusnidar Tanjung, Bambang Anggono Iriawan, Rino
PS Agronomi, Fakultas Pertanian, Univ Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK
Satu penelitian tentang perbanyakan beberapa species anggrek hutan langka
Sumatera Utara melalui kultur in-vitro. Objektif penelitian adalah untuk
memperoleh formulasi media dan kaedah yang sesuai untuk menginduksi
pertumbuhan dan perkembangan beberapa anggrek hutan langka Sumatera Utara
yang berkualitas baik. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan model
penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara non faktorial
yaitu modifikasi media MS yang dikombinasikan dengan konsentrasi BAP
(6-Benzylaminopurine) yang berbeda terhadap persentase eksplan anggrek hitam
dan gerigi membentuk PLB, jumlah tunas dan tinggi tunas. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Marihat Pusat
Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Pematang Siantar- Sumatera Utara, yang
dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2006. Modifikasi media kultur yang
mengandung 2/3 konsentrasi NH4NO3 dan KNO3 yang dikombinasikan dengan 1
mg/l BAP (T6) menghasilkan persentase signifikan tertinggi eksplan membentuk
protocorm like body (PLB) (83.3% dan 86.7%), rata-rata jumlah tunas (13.7 dan
12.7) dengan rata-rata tinggi tunas yang terhasil (1.2cm).

Kata Kunci : anggrek hutan langka, sumatera utara, in-vitro

PENDAHULUAN
Sumatera Utara sebagai daerah yang penuh dengan khasanah flora maupun
fauna merupakan salah satu tujuan (destinasi) untuk kegiatan eksplorasi Flora
Nusantara, mempunyai hutan hujan tropis yang menarik yang dipenuhi
dengan pohon-pohon raksasa, dan beraneka jenis burung serta beraneka ragam
anggrek liar yang unik dan tumbuh subur di daerah pegunungan yang menjadikan
satu ciri dan khasanah daerah Sumatera Utara. Terdapat enam species anggrek
yang tergolong sangat langka didunia yang tumbuh di dalamnya, yaitu
anggrek bulan putih (Phalaenopsis amabilis), Vanda tricolor, Phalaenopsis
gigantea,Dendrobium carpa, anggrek hitam dan Papheopelium. Karena hampir
punah, keenam species ini dilarang diperjual belikan dan diperlukan upaya untuk
memperbanyak atau menangkarkan melalui sistem kultur in vitro. Sistem ini
merupakan salah satu cara untuk penyelamatan berbagai anggrek hutan khususnya
di Sumatera Utara, karena dengan hilangnya satu species anggrek merupakan
kehilangan yang sangat besar dalam Dunia ilmu pengetahuan (LIPI,2003).
Perbanyakan melalui kultur in-vitro diharapkan dapat memperbanyak
tanaman anggrek dalam jumlah besar, homogen dan bermutu, sehingga
masyarakat dapat menikmati nilai estetika yang tinggi dari masing-masing
anggrek hutan Sumatera Utara. Lebih lanjut, Abidin (1996) menyatakan usaha
perbanyakan tanaman anggrek secara komersial mempunyai prospek yang cerah
karena tingkat kebutuhan anggrek di dalam negeri yang meningkat pesat hampir

PKMP-3-16-2
di seluruh kota-kota di Indonesia dengan laju rata-rata konsumsi yang lebih tinggi
dari produknya.
Oleh karena itu, penelitian Perbanyakan Beberapa Species Anggrek
Hutan Langka Sumatera Utara Melalui Kultur In Vitro dilaksanakan dengan
tujuan untuk memperoleh formulasi media dan kaedah yang sesuai untuk
menginduksi pertumbuhan dan perkembangan beberapa anggrek hutan langka
Sumatera Utara yang berkualitas baik, seragam setiap species, pertumbuhannya
cepat dan diperoleh dalam jumlah yang besar dan sekaligus sebagai alternatif
pemecahan mengatasi kepunahan spesies anggrek hutan.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai
Penelitian Marihat Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Pematang Siantar-
Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2006.
Bahan eksplan (Anggrek) yang dikoleksi dari hutan Taman Wisata Alam
Sibolangit (TWA), Cagar Alam (CA) Sibolangit, dan Tangkahan (Bahorok). Alat
yang digunakan dalam penelitian antara lain becker glass, cawan petri, autoklaf,
laminar air flow cabinet, timbangan analitik, magnetic stirer dan lain-lain.
Penelitian ini disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) non faktorial dengan setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 10 eksplan
(unit) per ulangan. Parameter yang diamati adalah persentase eksplan membentuk
protokorm, jumlah tunas, panjang tunas. Perlakuan yang digunakan pada
penelitian ini adalah modifikasi media padat Murashige and Skoog (MS)
(M1 = 1/3 konsentrasi dari NH4NO3 (Amonium nitrat) dan KNO3 (Potassium
nitrat); M2 = 2/3 konsentrasi dari NH4NO3 dan KNO3; M3 = 3/3 konsentrasi dari
NH4NO3 dan KNO3; M4 = 4/3 konsentrasi dari NH4NO3 dan KNO3
dikombinasikan dengan pemberian BAP (6-Benzylaminopurine) dengan tingkat
konsentrasi yang berbeda (B
0
= 0,0 mg/l; B
1
= 0,5 mg/l; B
2
= 1,0 mg/l;
B
3
= 2,0 mg/l).
Penyiapan dan sterilisasi eksplan dilakukan dengan mengambil eksplan
dari sel meristem (daerah pada ujung tanaman kira-kira sebesar 0,1-0,5 mM) dan
tunas aksil (tunas samping, yang terdapat pada ketiak daun) dengan panjang 10
cm atau kurang. Pengambilan eksplan dengan menggunakan pisau steril.
Selanjutnya eksplan yang telah diambil dicuci dengan air mengalir selama 30
menit untuk melarutkan debu, kotoran memecahkan koloni bakteri dan cendawan
yang ada dipermukaan eksplan. Tunas yang telah dibuang daunnya dicelupkan
dalam alcohol 70% dan dimasukkan dalam gelas piala steril yang berisi larutan
Clorox 30% (satu bagian Clorox dan empat bagian aquadest), selama 5-7 menit
kemudian dibilas dengan aquadest. Setelah dibilas, eksplan dimasukkan lagi
dalam larutan Clorox lain dengan konsentrasi 10%. Rendam eksplan dalam
larutan ini selama lima menit, bilas tiga kali dalam aquadest steril sambil dikocok.
Untuk mengambil eksplan dari larutan pencuci, gunakan pinset steril.

PKMP-3-16-3
Pada induksi tunas, eksplan yang telah disterilkan diletakkan dalam
petridish steril berdiameter 12 cm. Eksplan kemudian diiris-iris antara dua buku
dengan menggunakan pisau steril. Mata tunas aksil terdapat pada buku dengan
posisi selang seling. Tiap bagian diambil dengan pinset steril dan dimasukkan
secara hati-hati kedalam media.
Pada induksi akar planlet terbaik yang dihasilkan dari induksi tunas,
kemudian diperbanyak (subkultur) pada media dengan kombinasi perlakuan yang
terbaik pada eksperimen induksi tunas. Setelah tiga minggu eksplan diambil untuk
dilakukan pengakaran ke dalam media MS ( konsentrasi hara makro) dengan
mengurangkan kadar sukrosa menjadi 10 gram per liter media dengan pemberian
IBA (3-Indolebutyric Acid) 0,5 mg/l. Parameter yang diamati adalah persentase
tunas membentuk akar, jumlah akar, panjang akar. Waktu yang diperlukan untuk
induksi akar yaitu 21 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah dua minggu di kultur, perubahan morfologi terjadi pada eksplan
dimana eksplan mengalami pembengkakan. Dalam empat sampai enam minggu
setelah dikultur pembengkakan semakin membesar yang diakibatkan pembelahan
sel dan membentuk struktur nodul yang banyak dan menggumpal secara
terstruktur (protocorm like body=PLB). Selanjutnya dalam delapan minggu
setelah dikultur, tunas kelihatan terbentuk.

Tabel 1. Efek kombinasi modifikasi media MS dengan konsentrasi BAP yang
berbeda terhadap persentase eksplan anggrek hitam membentuk PLB,
jumlah tunas dan tinggi tunas.

Treatment
Modifikasi MS
(NH4NO3 dan
KNO3)
BAP
(mgL
-1
)
Kode Persentase
eksplan
membentuk
PLB (%)
Rata-rata
jumlah tunas
per eksplan
Rata-rata
tinggi tunas
(cm)
1/3 konsentrasi 0.0 T1 3.3e 1.3c 0.9cd
1/3 konsentrasi 0.5 T2 36.7d 6.7b 0.87d
1/3 konsentrasi 1.0 T3 70bc 8b 0.9cd
1/3 konsentrasi 2.0 T4 66.7bc 7.3b 0.87d
2/3 konsentrasi 0.0 T5 0e 1c 1.3ab
2/3 konsentrasi 0.5 T6 36.7d 7.3b 1.1bcd
2/3 konsentrasi 1.0 T7 83.3a 13.7a 1.2abc
2/3 konsentrasi 2.0 T8 73.3abc 8.7b 1bcd
1 konsentrasi 0.0 T9 0e 1c 1.1bcd
1 konsentrasi 0.5 T10 36.7d 6.7b 0.9cd
1 konsentrasi 1.0 T11 73.3abc 8b 1bcd
1 konsentrasi 2.0 T12 70bc 6.7b 0.9cd
4/3 konsentrasi 0.0 T13 0e 1c 1.1bcd
4/3 konsentrasi 0.5 T14 36.7d 8.7b 14a
4/3 konsentrasi 1.0 T15 76.7ab 8b 1.1abcd
4/3 konsentrasi 2.0 T16 63.3c 6.7b 0.9cd
KK (%) 14.2% 12.35% 12.6%
Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama, adalah
berbeda nyata (p = 0.05) menurut DNMRT.

PKMP-3-16-4

Pada Tabel 1. menerangkan efek dari modifikasi media MS yang
dikombinasikan dengan konsentrasi BAP yang berbeda terhadap persentase
eksplan anggrek hitam membentuk PLB, jumlah tunas dan tinggi tunas.
Modifikasi media kultur yang mengandung 2/3 konsentrasi NH4NO3 dan KNO3
yang dikombinasikan dengan 1 mg/l BAP (T7) menghasilkan persentase
signifikan tertinggi eksplan membentuk PLB (83.3%) diikuti kombinasi
modifikasi media kultur yang mengandung 2/3 konsentrasi NH4NO3 dan KNO3
dengan 1 mg/l BAP (T15) dengan persentase pembentukan PLB adalah 76.6%.
Sementara perlakuan tanpa BAP (T5, T9 dan T13) didapati hampir keseluruhan
tidak membentuk PLB kecuali (T1) sebanyak 3.3%. Pada parameter jumlah tunas,
modifikasi media kultur yang mengandung 2/3 konsentrasi NH4NO3 dan KNO3
yang dikombinasikan dengan 1 mg/l BAP (T7) juga menghasilkan rata-rata
jumlah tunas yang tertinggi signifikan (13.7). Walaupun perlakuan ini (T7) tidak
memberikan rata-rata tinggi tunas signifikan tertinggi tetapi rata-rata tinggi tunas
yang terhasil (1.2 cm) adalah masih dalam tahap toleransi terhadap rata-rata
tertinggi signifikan yang terhasil daripada perlakuan kombinasi modifikasi media
kultur yang mengandung 4/3 konsentrasi NH4NO3 dan KNO3 dengan 0.5 mg/l
BAP (T14).

Table 2. Efek kombinasi modifikasi media MS dengan konsentrasi BAP yang
berbeda terhadap persentase eksplan anggrek gerigi membentuk PLB,
jumlah tunas dan tinggi tunas

Treatment
Modifikasi MS
(NH4NO3 dan
KNO3)
BAP
(mgL
-1
)
Kode Persentase
eksplan
membentuk
PLB (%)
Rata-rata
jumlah tunas
per eksplan
Rata-rata
tinggi
tunas (cm)
1/3 Konsentrasi 0.0 T1 0g 1g 0.8c
1/3 Konsentrasi 0.5 T2 30f 4.3f 1abc
1/3 Konsentrasi 1.0 T3 63.3d 8bc 0.9bc
1/3 Konsentrasi 2.0 T4 70bcd 7.3bc 0.9bc
2/3 Konsentrasi 0.0 T5 0g 1g 1.2ab
2/3 Konsentrasi 0.5 T6 40e 5def 0.9bc
2/3 Konsentrasi 1.0 T7 86.7a 12.7a 1.2ab
2/3 Konsentrasi 2.0 T8 76.7b 8.3b 0.9bc
1 Konsentrasi 0.0 T9 0g 1g 1abc
1 Konsentrasi 0.5 T10 36.7ef 6.3cde 0.9bc
1 Konsentrasi 1.0 T11 73.3bc 8bc 1.1abc
1 Konsentrasi 2.0 T12 70bcd 7bc 1abc
4/3 Konsentrasi 0.0 T13 0g 1g 1.3a
4/3 Konsentrasi 0.5 T14 30f 4.7ef 1.1abc
4/3 Konsentrasi 1.0 T15 76.7b 7.7bc 1abc
4/3 Konsentrasi 2.0 T16 66.7cd 6.7bcd 0.9bc
KK (%) 11.5% 14% 12%
Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama, adalah
berbeda nyata (p = 0.05) menurut DNMRT.


PKMP-3-16-5
Pada Tabel 2 menerangkan efek dari modifikasi media MS yang
dikombinasikan dengan konsentrasi BAP yang berbeda terhadap persentase
eksplan anggrek gerigi membentuk PLB, jumlah tunas dan tinggi tunas. Dari data
analisis diperoleh bahwa persentase signifikan tertinggi eksplan anggrek gerigi
membentuk PLB juga diperoleh pada perlakuan (T7) sebesar 86.7% dan juga
signifikan tertinggi terhadap rata-rata jumlah tunas terbentuk (12.7) dengan tinggi
tunas rata-rata adalah 1.2 cm. Pada eksplan anggrek gerigi, perlakuan tanpa
pemberian BAP didalam media kultur tidak membentuk PLB sama sekali.
Dari data analisis, diperoleh bahwa pemberian BAP kedalam media kultur
anggrek adalah diperlukan pada regenerasi anggrek. 1 mg/l adalah konsentrasi
terbaik untuk menghasilkan persentase eksplan membentuk PLB, jumlah tunas
dan juga penghasilan rata-rata tinggi tunas. Menurut Zaerr dan Mapes (1982)
dalam Toruan (1991), BAP sangat efektif merangsang penggandaan tunas pada
lebih dari 30 jenis tanaman. Lebih lanjut Tokuhara dan Masahiro (2001)
menyatakan, BAP sebanyak 4.4 M disamping pemberian 0.5 M -naphthalene
acetic acid (NAA) berpengaruh signifikan terhadap regenerasi phalaenopsis. Pada
spesies tanaman lain, Aziz et.al., (2003) menyatakan bahwa BAP berpengaruh
signifikan terhadap multilikasi tunas dari eksplan tunas apikal (shoot tip) pokok
pepaya. Sementara itu, induksi tunas dari eksplan daun dan tangkai daun pepaya
cv Eksotika juga sukses diperoleh dengan menggunakan perlakuan 1 mg/l BAP
dan 0.05 mg/l NAA dalam media kultur MS (Panjaitan, 2003). Ilustrasi tersebut di
atas dapat menerangkan bahwa BAP adalah penting dalam aktivitas pembelahan
sel dan yang berkorelasi terhadap pembentukan tunas pada berbagai spesies
tanaman termasuk juga memberikan respon positif kepada anggrek.
Pengakaran dengan menggunakan perlakuan media kultur MS
( konsentrasi hara makro) dengan mengurangkan kadar sukrosa menjadi 10
gram per liter media dengan pemberian IBA (3-Indolebutyric Acid) 0,5 mg/l telah
didapati bahwa pada spesies anggrek hitam dan gerigi, persentase tunas
membentuk akar adalah 80%, rata-rata jumlah akar 3 dan 2 dan rata-rata panjang
akar 2.5 dan 2 cm.

KESIMPULAN
Kombinasi modifikasi media kultur yang mengandung 1/3 konsentrasi
NH4NO3 dan KNO3 dengan 1 mg/l BAP adalah merupakan kombinasi terbaik
untuk kaedah regenerasi tunas anggrek liar Sumatera Utara. Kaedah regenerasi
pokok anggrek yang telah dilaksanakan merupakan kaedah yang potential untuk
menghasilkan mutu bibit tanaman dan juga potensial untuk pelaksanaan
transformasi genetik anggrek

DAFTAR PUSTAKA
Abidin I. 1996. Proyeksi Permintaan Anggrek dan Produk Florikultura Pada
Umumnya Dalam Kurun Waktu 1-2 Dekade Mendatang. Makalah
disajikan pada Seminar anggrek 1996 Dalam Upaya Pengembangan
Peranggrekan Indonesia Dalam Mengantisipasi Era Globalisasi.
Perhimpunan Anggrek Indonesia. Jakarta. Hal. 17.
Aziz MA, Panjaitan SB, Rashid AA and Saleh NM. 2003. Multiple shoot
induction from field-grown shoot tips of papaya cv. Eksotika. National

PKMP-3-16-6
Symposium on Science and Technology, Strategic Research and
Innovation Towards Economic Development, pp.1-4
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 2003. Eksplorasi Flora di Kawasan
Cagar Alam/Taman Wisata Alam Sibolangit dan Hutan Lindung Sibayak
Sumatera Utara. Pusat Konservasi Tumbuhan. Kebun Raya Bogor. Bogor.
Panjaitan SB, Aziz MA, Rashid AA. and Saleh NM. 2003. Direct shoot
regeneration on petiole and leaf explants of papaya cv. Eksotika using
BAP and NAA. In 14
th
Malaysian Society of Plant Physiology Conference,
Chalanges in Plant Productivity and Food Security in Changing
Environment, eds. Hawa, Z.J., and Lam, P.F. Trans. Malaysian Soc. Plant
Physiol. 12: 171-176
Toruan MN. 1991. Perbanyakan Tanaman Sungkai (Peromena canascens JACK)
Dengan Teknik Kultur Jaringan. Makalah Pusat Penelitian Perkebunan
Bogor. Bogor.
Tokuhara K, and Masahiro M. 2001. Induction of embryogenic callus and cell
suspension culture from shoot tips excised from flower stalk buds of
Phalaenopis (orchidaceae). In Vitro Cell. Dev. Biol. 37: 457-461



PKMP-3-17-1
STRUKTUR KOMUNITAS ARTHROPODA TANAH DI BUKIT
PLAWANGAN SLEMAN, YOGYAKARTA

Acressendo Taman
niversitas Katholik Indonesia Atmajaya, Yogyakarta

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-3-18-1
MOTIVASI NON-EKONOMI
PENGEMIS DI KOTA YOGYAKARTA

Arie Kusuma Paksi, Nugroho Budi N., Nugroho Noto Susanto
Jurusan Hubungan Intenasional, Univ Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi non-ekonomi pengemis di
Kota Yogyakarta khususnya di Masjid Gede yang berada di Kauman dan Masjid
Syuhada yang berada di Kotabaru sehingga dapat menjadi masukan bagi ilmu
pengetahuan khususnya mereka yang tertarik untuk meneliti permasalahan sosial
seperti pengemis. Penelitian ini juga diharapkan menjadi salah satu masukan
bagi aparatur terkait dalam upaya pengentasan permasalahan pengemis yang
biasanya sangat mudah dijumpai di kota-kota besar. Artinya, kebijakan yang
selama ini hanya bersandar pada permasalahan ekonomi saja tidaklah cukup
untuk menjadi faktor penentu pengentasan permasalahan tersebut. Pada
perkembangannya hingga saat ini, permasalahan pengemis juga muncul akibat
motivasi non-ekonomi. Penelitian ini menggunakan analisa kebijakan sebagai
cara atau prosedur untuk menghasilkan informasi mengenai masalah-masalah
kemasyarakatan berikut pemecahannya. Sedangkan perolehan datanya
menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer
dilakukan melalui observasi langsung (natural observation) dan wawancara
mendalam (indepth review). Sedang data sekundernya diperoleh dengan cara
mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa buku-buku,
jurnal dan majalah yang berisi tentang pendapat, teori, dalil/hukum dan lain-lain.
Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif, yaitu
analisis yang bergerak dalam tiga komponen, yaitu (1) reduksi data (data
reduction), (2) sajian data (data display), dan (3) penarikan kesimpulan dan
verifikasi (conclusion drawing). Dari hasil perolehan data dilapangan, peneliti
berhasil membuat profil masing-masing pengemis (baik Masjid Gede maupun
Syuhada) beserta karakteristiknya dalam mengemis. Secara keseluruhan hampir
dipastikan bahwa pengemis tersebut adalah orang-orang yang mampu secara
ekonomi. Selain dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (misalnya
makan tiga kali sehari), pengemis tersebut juga memiliki fasilitas-fasiltas tertentu
yang terdapat dirumah mereka masing-masing seperti TV, Radio dan peralatan
elektronik yang lain. Bahkan banyak diantara mereka juga memiliki tabungan di
bank-bank swasta. Motivasi non-ekonomi yang berhasil ditemukan dibagi
menjadi tiga faktor. Pertama, budaya, dimana pada diri pengemis tersebut sudah
tertanam mental-mental pengemis. Artinya ada keengganan (malas) pada diri
mereka untuk mencari pekerjaan yang lain. Apalagi pekerjaan mengemis
mengiming-iming penghasilan yang besar dengan tenaga yang tidak begitu besar.
Akhirnya mengemis dijadikan sebuah profesi. Kedua, agama, dimana dalam
agama Islam diwajibkan bagi seorang yang mampu untuk memberikan sebagian
harta miliknya kepada orang-orang yang kurang mampu (miskin). Hal tersebut
menjadi faktor eksternal yang menyebabkan munculnya para pengemis.
Sementara disisi yang lain, ada faktor internal dari pengemis itu sendiri yang
terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka wajar bila banyak fenomena
pengemis muncul ditempat peribadatan seperti yang terdapat di Masjid Gede

PKMP-3-18-2
Kauman dan Masjid Syuhada. Ketiga, sosial, dalam kategori ini, penyebab
munculnya pengemis dibagi lagi menjadi dua hal yaitu, lingkungan sosial dan
keluarga. Lingkungan sosial memiliki pengaruh dalam hal munculnya fenomena
pengemis karena secara tidak langsung suatu komunitas tertentu seperti pengemis
ini telah mempengaruhi sebagian orang yang berada disekitarnya untuk
mengemis. Hal itu terjadi karena didorong oleh pendapatan tertentu dan
kemudian dia coba-coba ikut dalam kelompok pengemis tersebut dan lama
kelamaan menyukai pekerjaan ini. Uniknya, keluarga juga menjadi faktor penentu
dalam kemunculan fenomena pengemis. Ada beberapa pengemis yang melakukan
pekerjaan tersebut karena memiliki permasalahan pribadi di rumahnya. Karena
merasa tidak tahan lagi merasa dirumah akhirnya mereka jarang pulang kerumah
atau nekat untuk meninggalkan kediamannya tersebut. Karena keterbatasan
tenaga yang dimiliki akhirnya mereka menjadi pengemis.
Dari temuan-temuan dilapangan tersebut, peneliti dapat mengambil
kesimpulan bahwa motivasi non-ekonomi yang menjadi pendorong munculnya
pengemis tersebut disebakan oleh tiga faktor yaitu, budaya, agama dan sosial.

Kata Kunci: Pengemis,Motivasi Non-Ekonomi, Kota Yogyakarta.

PENDAHULUAN
Kemiskinan di Indonesia semakin merebak semenjak krisis ekonomi yang
terjadi Juli 1997. Salah satu dampak yang paling dirasakan oleh masyarakat akibat
dari krisis tersebut adalah kenaikan standar hidup yang diakibatkan oleh kenaikan
harga-harga baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan-kebutuhan yang lain.
Sudah barang tentu hal tersebut amat berimplikasi bagi mereka yang hidup dalam
kondisi pas-pasan. Apalagi dalam masa-masa krisis tersebut mencari pekerjaan
membutuhkan banyak prasyarat yang mutlak harus dipenuhi. Padahal
penghasilannya belum tentu dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Salah satu implikasi dari kemiskinan yang diakibatkan oleh himpitan
ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan yang layak adalah munculnya fenomena
pengemis. Bila dilihat dari ukuran keberhasilan pembangunan tentu gejala ini
bukanlah sebuah hal yang mengembirakan karena fenomena tersebut merupakan
sebuah bukti bahwa negara ini masih bermasalah dalam program penanganan
penduduk. Di sisi lain, pengemis sebagai sebuah gejala sosial yang terwujud di
perkotaan, telah menjadi salah satu masalah sosial karena menyangkut
kepentingan orang banyak (warga kota) yang merasa wilayah tempat hidup dan
kegiatan mereka sehari-hari telah diusik dengan keberadaan pengemis tersebut.
Pengentasan permasalahan pengemis tersebut hingga kini belum mampu
menyentuh hingga ke akar-akarnya dikarenakan konstruksi perspektif pada
pengemis yang berkembang selama ini selalu menyudutkan pada persoalan-
persoalan ekonomi, dan hal inilah yang cenderung menjadi acuan aparataparat
terkait.
1
Para aparat yang terkait biasanya mengatasi masalah-masalah tersebut
dengan tindakan-tindakan Persuasif, Represif dan Kuratif.
2
Penanggulangan
Preventif adalah upaya yang dilaksanakan secara terorganisir yang meliputi
penyuluhan, bimbingan, latihan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta

1
Pikiran Rakyat, 7 Februari 2004.
2
Surat Keputusan Walikota Yogyakarta No: 1040/KD/1993.

PKMP-3-18-3
bimbingan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan
pergelandangan dan pengemisan dengan cara penyuluhan sosial, bimbingan sosial
dan keterampian-keterampilan dalam rangka pemberdayaan kemampuan ekonomi
mereka. Penanggulangan Represif adalah upaya yang dilakukan secara
terorganisir untuk mengurangi dan atau mencegah meluasnya pengaruh masalah
pergelandangan dan pengemisan dengan cara razia, penampungan sementara
untuk diseleksi dan perlimpahan. Sedang penanggulangan Kuratif adalah upaya
yang dilaksanakan mulai dari motivasi, bimbingan, latihan keterampilan sampai
dengan pembinaan lanjut kepada gelandangan dan pengemis agar hidup mandiri
dalam masyarakat dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
Pada perkembangannya, persoalan pengemis ternyata bukan hanya
disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi saja akan tetapi juga muncul karena
faktor-faktor yang lain (non-ekonomi) seperti tubuh seseorang yang cacat, sakit-
sakitan ataupun renta.
3
Bahkan pekerjaan seperti ini menjadi sebuah profesi
tersendiri karena didorong oleh pendapatan yang besar dengan tenaga yang relatif
kecil.
4
Hal inilah yang menjadi objek kajian tersendiri yang layak untuk diketahui
dan diselidiki lebih jauh. Sehingga dapat menjadi masukan yang amat berarti bagi
aparat terkait dalam hal kebijakan pengentasan permasalahan pengemis.
Di Yogyakarta, keberadaan pengemis tersebut akan semakin terasa bila
kita datang setiap hari Jumat ke Masjid Gede yang berada di Kauman dan Masjid
Syuhada yang berada di Kotabaru. Keberadaan pengemis yang hidup dari rasa iba
tersebut memang wajar, apalagi jumlah jemaah yang datang untuk melaksanakan
ibadah pada hari tersebut memang jumlahnya lumayan banyak. Hal ini juga
didukung oleh kapasitas dan nilai sejarah yang dimiliki oleh ke dua bangunan
tersebut.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini menggunakan analisa kebijakan sebagai cara atau prosedur
untuk menghasilkan informasi mengenai masalah-masalah kemasyarakatan
berikut pemecahannya. Lokasi penelitian ini bertempat di dua buah masjid yang
ada di Yogyakarta, yaitu, Masjid Gede yang berada di Kauman dan Masjid
Syuhada yang berada di Kotabaru. Adapun alasan pemilihan lokasi ini karena
jumlah pengemis yang berada pada kedua masjid tersebut sangat banyak. Hal ini
dikarenakan banyaknya jumlah jamaah yang beribadah dan juga didukung oleh
besarnya daya tampung yang dimiliki oleh masing-masing masjid.
Lama penelitian yang dilaksanakan dari tahap persiapan hingga pelaporan
dijadwalkan akan memakan waktu selama lima bulan dengan rincian selama bulan
Februari hingga Juni 2006. Subjek dari penelitian ini adalah pengemis yang
datang pada setiap hari jumat. Dimana Hari tersebut sangatlah sakral bagi umat
muslim karena diwajibkan bagi mereka yang beragama Islam untuk melaksanakan
shalat secara berjamaah.
Penelitian ini ditunjang oleh data primer dan sekunder. Pengumpulan data
primer dilakukan melalui observasi langsung (natural observation) dan
wawancara mendalam (indepth review) sebagaimana yang di sampaikan oleh

3
Kedaulatan Rakyat, 12 September 2005.
4
Denpasar Post, 13 Desember 2004.

PKMP-3-18-4
Fonta & Frey (1994) dan Adler & Adler (1994) dalam Endraswara
5

Pengumpulan data dapat dilakukan dengan naturalistic observation dan indepth
interview atau the open ended (or ethnographic (in-depth) interview. Wawancara
mendalam sebagaimana yang disarankan Mikkelsen
6
meliputi wawancara
individual, wawancara hanya pada responden kunci, wawancara kelompok, dan
wawancara/diskusi kelompok terfokus. Jenis-jenis wawancara tersebut akan
dipadukan dalam pengumpulan data di lapangan melihat situasi dan kondisi yang
memungkinkan serta tujuan yang peneliti kehendaki.
Data-data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan cara cara
mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa buku-buku,
jurnal dan majalah yang berisi tentang pendapat, teori, dalil/hukum dan lain-lain
yang berhubungan dengan masalah penyelidikan.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti saran
Miles & Habermas
7
terutama teknik analisis dengan model analisis interaktif,
yaitu analisis yang bergerak dalam tiga komponen, yaitu (1) reduksi data (data
reduction), (2) sajian data (data display), dan (3) penarikan kesimpulan dan
verifikasi (conclusion drawing). Reduksi data yang dimaksud adalah dengan
melakukan proses menyeleksi, mempertegas, memperpendek, membuat fokus,
membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa
sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan. Sajian data adalah suatu rakitan
organisasi informasi yang memungikinkan kesimpulan riset dapat dilakukan.
Sajian data meliputi berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja
keberkaitan kegiatan, dan tabel. Kesemuanya dirancang untuk dapat merakit
informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti dalam satuan bentuk
yang kompak (menyeluruh). Penarikan kesimpulan dan verifikasi adalah kegiatan
analisis yang dilakukan setelah reduksi data dan sajian data dibuat/disusun.
Karena penelitian kualitatif analisis datanya setiap saat dimulai sejak peneliti
mulai mengumpulkan data sampai perolehan data itu dirasa cukup, maka tidak ada
kesimpulan akhir yang baku sebelum proses pengumpulan data secara
keseluruhan selesai/cukup.

PEMBAHASAN DAN ANALISA
A. PROFIL PENGEMIS
1. Pengemis Masjid Kauman.
Pengemis Kauman cukup banyak jumlahnya yang datang setiap hari
Jumat (kurang lebih berjumlah 50 orang). Pengemis tersebut terdiri atas beberapa
kelompok dan ada juga datang sendiri. Kelompok pengemis ada yang berasal dari
Tungkak, Pingit, Kricak, Kandang Macan (alun-alun utara) dan Bantul.
Sedangkan pengemis yang datang sendiri berasal dari Bantul, Solo, Kulon Progo,
Wonosari, Karanganyar, Wonogiri, Magelang, Temanggung, Wonosobo dan juga
Jogja sendiri (Notoyudan dan Suronatan).
8


5
Suwardi Endawarsa, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Madjelis Luhur Persatuan Taman
Siswa, Yogyakarta, 2003, hal.208.
6
Britha Mikkelsen, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan: Sebuah
Buku Pegangan Bagi Praktisi Lapangan, Terjemahan Mathoos Nalle, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2001, hal.11.
7
Mtthew B. Miles, A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Sage Publication Inc., Jakarta,
1992, hal.16-20.
8
Wawancara dengan Maryani (salah seorang pengemis), 14 April 2006.

PKMP-3-18-5
Beberapa rute yang menjadi kegiatan mereka ketika berada di Kauman
setiap Jumatnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Mengikuti pengajian di PDHI
Setiap hari Jumat mereka datang jam 06.00 WIB kemudian mengikuti
pengajian di Gedung PDHI
9
sambil menunggu pengajian tersebut berakhir pada
pukul 07.00 WIB. Setelah pengajian tersebut berakhir mereka berbaris menunggu
para peserta pengajian keluar dari gedung sambil memegang kotak atau gelas
kecil sebagai wadah untuk menampung uang pemberian.
b. Mengitari Wilayah Kauman dan sekitarnya
Setelah pengajian di PDHI sepenuhnya berakhir, hal yang mereka lakukan
berikutnya adalah beristirahat sebentar. Biasanya ketika istirahat mereka
sempatkan untuk belanja sarapan atau membeli air minum di warung yang berada
di sebelah Timur masjid (depan gapura bagian depan). Setelah pukul 09.00 WIB,
kemudian mereka bersiap untuk mengitari wilayah Kauman dan sekitarnya.
Penduduk Kauman (terutama pedagang atau perusahaan yang berada di
pinggir jalan besar) hanya akan menyediakan uang bagi pngemis hanya pada hari
jumat. Artinya selain hari tersebut tidak ada sumbangan atau sebagainya terutama
bagi pengemis.
c. Bersiap menunggu jamaah shalat Jumat
Setelah mengitari Kauman, pada pukul 11.00 WIB mereka berkumpul di
pintu-pintu masuk masjid
10
bersiap untuk menunggu para jamaah yang akan
melaksanakan ibadah shalat Jumat.
Masing-masing pintu di tempati oleh orang-orang tertentu saja artinya
tidak ada variasi pengemis. Bila ada pengemis baru, mereka biasanya akan di
tolak oleh kelompok-kelompok ini dan mengemis sendiri di luar kelompok-
kelompok tersebut.

No Lokasi Mengemis Jumlah Pengemis
1. Pengemis pintu depan masjid (gapura masjid) 3 - 5 Orang
2. Pengemis pintu masuk masjid sisi timur 1 5 - 7 Orang
3. Pengemis pintu masuk masjid sisi timur 2 5 - 10 Orang
4. Pengemis pintu masuk masjid sisi timur 3 20 - 30 Orang
5. Pengemis pintu masuk masjid sisi selatan 10 - 20 Orang

Apabila di tinjau dari tempat mereka mengemis, maka dapat dibedakan
berdasarkan sudut-sudut pintu tempat mereka duduk. Seorang pengemis yang
duduk di sudut tertentu akan lebih cenderung berada tetap dan jarang berpindah
karena akan ditegur oleh pengemis lain. Pola seperti ini yang menyebabkan
pengemis tersebut memiliki tempat sendiri-sendiri dalam mengemis. Untuk lebih
jelasnya dapat kita lihat table dibawah ini.

9
Gedung ini berada di sebelah barat alun-alun utara Yogyakarta. Pengajian yang dilaksanakan
setiap hari Jumat biasanya dimulai pada pukul 06.00 WIB dan berakhir pada pukul 07.00 WIB.
10
Biasanya tiap Jumat yang di buka untuk keluar masuk jamaah ada 4 pintu. Namun, ada juga
pengemis yang berada di gapura masjdi sebelah Timur.

PKMP-3-18-6

2. Pengemis Syuhada
Pengemis Masjid Syuhada hanya datang pada jam 11.00 WIB dan
jumlahnya 10-15 orang. Pada umumnya mereka berasal dari sekitar lokasi masjid.
Sama seperti Masjid Kauman, pengemis masjid ini juga datang ada yang
berkelompok dan juga ada yang datang sendiri-sendiri.
Pengemis yang berada di masjid ini juga tidak terlalu variatif seperti yang
ada di Kauman. Mereka biasanya berasal dari seputar wilayah masjid. Seperti
wilayah kali code, panti sosial pingit dan juga pengemis yang biasa mangkal di
perempatan-perempatan sekitar masjid.

B. FAKTOR NON-EKONOMI PENGEMIS
Pengemis Masjid Kauman dan Syuhada ini memang secara keseluruhan
merupakan tergolong orang-orang yang mampu. Mampu dalam konteks tidak
hanya diukur dari kemampuannya untuk dapat memenuhi kebutuhannya sehari-
hari misalnya makan tiga kali sehari. Dalam beberapa kali kesempatan peneliti
mendatangi kediaman mereka (baik yang memiliki rumah sendiri maupun
mengontrak), rata-rata memiliki alat-alat elektronik yang mungkin belum tentu
dimiliki oleh semua orang seperti TV dan VCD. Penghasilan mereka pun sangat
bervariasi dan umumnya sangat lebih dalam menunjang kehidupan mereka sehari-
hari. Bahkan diantara mereka banyak yang memiliki tabungan di bank-bank
konvensional. Jumlah tabungan tersebut sangat bervariasi dan jumlahnya
tergolong melebihi 1 juta rupiah.
11
Namun mereka tetap saja menjalankan
kegiatan mengemis tersebut. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyak hal. Penelitian
ini mencoba menjelaskan motivasi-motivasi mereka mengemis dalam tiga faktor.

1. Budaya
Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan
menginterprestasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan
bagi tingkah-lakunya.
12
Pengetahuan ini akhirnya yang menuntun orang tersebut
untuk melakukan serangkaian kegiatan tertentu yang lama kelamaan menjadi
sebuah kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus. Hal tersebut juga
merupakan salah satu makna dari kata budaya dimana salah satu maknanya berarti
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sulit diubah.
13

Bila kita kaitkan dengan persoalan pengemis khususnya yang berada di
Masjid Gede Kauman dan Masjid Syuhada mengemis adalah sebuah profesi yang
menjadi penopang hidupnya sehari-hari. Artinya, memang pada dasarnya mental-
mental pengemis telah dimiliki oleh orang-orang tersebut seperti malas bekerja
keras namun berharap mendapatkan penghasilan yang banyak. Akhirnya, untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya mereka hanya menggantungkan diri dari
pekerjaannya sebagai seorang pengemis dan tidak ada pemasukan dari pekerjaan

11
Wawancara Koesnadi (salah seorang pengemis) tanggal 24 Maret 2006.
12
New Palakat (media informasi dan referensi dunia antropologi Indonesia), Definisi Kebudayaan,
diunduh 10 April 2006
<home.unpar.ac.id/~hasan/ PERSPEKTIF%20DALAM%20PSIKOLOGI%20SOSIAL.doc>
13
Wikipedia (kamus elektronik berbahasa Indonesia), Budaya, diunduh 12 Juni 2006.
<http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya>

PKMP-3-18-7
yang lain. Karena memang pada dasarnya pekerjaan ini sangat menggiurkan
terutama pada segi pendapatan yang lumayan besar dengan tenaga yang relatif
kecil. Daya tarik itulah yang menjadikan mereka secara terus-menerus tergantung
dan menekuni profesi ini.
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari pengemis tersebut hanya
menggantungkan diri dari pendapatannya mengemis. Dalam salah satu wawancara
yang dilakukan kepada Ibu Sri
14
(salah seorang pengemis Masjid Syuhada),
beliau menuturkan.

aku nggolek duit yo dino Jumat kuwi mas. Dadi, aku kudu ngatur pengeluaran tekan
Jumat nagrepe meneh (saya hanya mencari uang pada hari Jumat mas, jadi harus ngatur
kecukupan uang tersebut hingga Jumat berikutnya).

2. Agama
Agama Islam menganjurkan kepada masyarakat untuk memberikan
bantuan wajib kepada kaum lemah dan orng miskin yang memang sangat
membutuhkannya.
15
Yaitu ketika hartanya sudah mencapai nishab atau kuotanya.
Baik berupa uang, hasil perkebunan, binatang ternak, dan lain sebagainya.
Demikian pula mereka wajib memberikan zakat fitrah pada hari raya Idul Fitri.
Sementara pada hari raya Idul Adha, Islam mensyariatkan korban dan fidyah.
Islam juga menganjurkan untuk menanamkan investasi kebajikan dengan cara
memberikan sedekah sebanyak-banyaknya. Karena hal itu bisa menghapus
kesalahan-kesalahan.
Allah Taala berfirman,
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersikan dan
mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
16


Islam menggambarkan jalan kebaktian dan jalan keimanan dengan firman Allah
Taala:
Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat merupakan suatu kebaktian,
akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada
Allah, hari kemdian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang yang meminta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-
orang yang menepati janjinya bila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.
17

Sebagaimana Islam juga menganjurkan untuk membantu kaum lemah dan
orang-orang yang miskin yang sangat membutuhkan bantuan. Oleh karena itu,
banyak para jamaah yang melakukan ibadah setiap hari Jumat memberi
sedekahnya kepada para pengemis tersebut. Hal ini menjadi sebuah faktor
eksternal sekaligus pendorong tersendiri bagi munculnya pengemis sehingga
mereka tertarik untuk melakukan kegiatan tersebut secara terus-menerus. Dari
perspektif internal pengemis itu sendiri, mereka harus memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari dengan bekerja seadanya.

14
Wawancara tanggal 27 April 2006.
15
Shalih bin Abdullah Al-Utsaim, Pengemis: Antara Kebutuhan dan Penipuan, Darul Falah,
Jakarta, 2003, hal.62.
16
QS At-Taubah: 103.
17
QS Al-Baqarah: 177.

PKMP-3-18-8
Faktor agama ini lama kelamaan menjadi motivasi yang kuat bagi
sebagian pengemis untuk melakukan kegiatan tersebut. Sebagai orang Islam,
mereka yakin bahwa mengemis berarti meminta sedekah yang menjadi bagian
dari hak mereka sebagai seorang muslim. Artinya, jemaah masjd memang wajib
memberikan kepada mereka sejumlah uang kepada mereka yang berada dalam
kondisi yang kekurangan.
bila mau dikasih saya terima tapi kalau tidak ya sudah. Walaupun sebenarnya sudah
seharusnya mendapatkannya. Apalagi kepada orang miskin seperti saya ini. Tapi saya
tidak mau memaksakan hal tersebut karena kesadaran dan tingkat keimanan setiap orang
pasti berbeda-beda.
18


Dengan kata lain, pemberian yang biasanya diberikan oleh para jamaah
mereka anggap sebagai sadaqah kepada orang miskin (dhuafa). Hal yang menarik
adalah diantara mereka juga ada yang mengikuti shalat Jumat pada hari tersebut
dan melanjutkan kembali kegiatannya mengemis ketika shalat selesai.

3. Sosial
Interaksi sosial merupakan sutau hubungan sosial yang dinamis antara
orang perseorangan, antara perseorangan dengan kelompok, dan antara kelompok
dan kelompok.
19
Hubungan timbal balik tersebut terkadang tanpa sadar telah
menjadi sebuah faktor yang didalamnya secara tidak langsung menjadi sebuah
proses mempengaruhi. Dari faktor ini, munculnya pengemis dibagi lagi menjadi
dua hal:
a. Lingkungan sosial
Dalam kontek ini, ada sebuah keinginan dari seseorang yang berusaha
untuk mencari pekerjaan agar dapat memperoleh pendapatan. Terkadang,
keluarganya sendiri adalah orang berkecukupan. Namun, mereka tidak ingin
membebani para keluarganya tersebut dan justru berusaha sekuat tenaga agar
dapat memperoleh pendapatan dari hasil keringatnya sendiri. Disisi lain, kebetulan
disekitar lingkungannya terdapat komunitas pengemis.
Pada awalnya coba-coba untuk mengikuti kelompok tersebut dalam
pengemis dan lama kelamaan akhirnya mereka menikmati pekerjaan tersebut dan
menjadi salah seorang pengemis. Hal tersebut dapat dibuktikan dari salah satu
wawancara berikut.
mereka itu sebenarnya pengen bekerja tapi keadaan mereka yang sudah tua
membuatnya mengurungkan niatnya tersebut. Walaupun anak-anaknya telah berhasil tapi
mereka tidak mau merepotkan. Nah, kebetulan disebelah barat mereka (tetangganya) ada
sekelompok orang yang mengemis akhirnya dia ikut-ikut mereka sehingga menjadi
pengemis hingga sekarang.
20


b. Keluarga
Keluarga juga menjadi salah satu penyebab munculnya permasalahan
pengemis. Dalam kontek pengemis Masjid Gede Kauman dan Masjid Syuhada,
para pengemis tersebut melakukan kegiatan tersebut hanya semata-mata berusaha
untuk lari dari keluarga karena ada beberapa permasalahan yang sangat
mempengaruhi dan menekan mereka. Akhirnya mereka memutuskan untuk jarang

18
Wawancara Koesnadi tanggal 5 Mei 2006.
19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1998, hal.335.
20
Wawancara Maryani tanggal 21 April 2006.

PKMP-3-18-9
pulang atau keluar dari rumah tersebut dan memilih menjadi pengemis untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya karena memang tenaga yang mereka miliki tidak
cukup untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memakan banyak tenaga. Hal
yang menjadi daya tarik mereka untuk tetap menjadi pengemis adalah jumlah
pendapatannya yang relatif besar.
aku ki ra seneng nang omah soale podo sok nggetak-nggetak karo aku. Dadi mending
aku lungo wae seko ngomah soale ra tahan mas.
21


Ada pula pengemis yang ikut-ikutan mengemis dengan tetangga atau
saudaranya.
22
Ketika mereka tahu bahwa pendapatan dari pekerjaan mengemis
sangat besar maka akhirnya mereka terbiasa mengemis dan selanjutnya
menetapkan pekerjaannya sebagai seorang pengemis.

KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil perolehan data-data di lapangan maka kami mengambil
kesimpulan bahwa motivasi non-ekonomi pengemis di Kota Yogyakarta (studi
kasus Masjid Gede Kauman dan Masjid Syuhada) adalah:
1. Budaya
Mengemis menjadi satu-satunya pekerjaan (profesi) yang menjadi
penunjang hidup.
2. Agama
Mengemis menjadi sebuah kegiatan yang didorong oleh faktor eksternal
dan internasl. Faktor eksternal karena adanya kewajiban yang diharuskan
oleh agama dalam menyantuni orang-orang miskin (dhuafa) sementara
hal tersebut juga mempengaruhi sisi internal seseorang dimana dia merasa
perlu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
3. Lingkungan Sosial
a. Mengemis menjadi salah satu kegiatan karena didorong oleh pengaruh
kelompok tertentu dalam suatu lingkungan sehingga seseorang secara
tidak sadar mengikuti segala aktivitas yang dilakukan oleh kelompok
tersebut.
b. Mengemis disebabkan oleh adanya permasalahan yang terjadi di dalam
lingkungan keluarga sehingga seseorang merasa tidak betah terhadap
lingkungan tersebut dan akhirnya memilih untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri dan menjadi pengemis.
DAFTAR PUSTAKA
Britha Mikkelsen (terjemahan Mathoos Nalle). 2001. Metode Penelitian
Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan: Sebuah Buku Pegangan
Bagi Praktisi Lapangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Mtthew B. Miles, A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:
Sage Publication Inc.
Quran Surat Al-Baqarah: 177.
Quran Surat At-Taubah: 103.

21
Wawancara Mbah Marijan tanggal 21 April 2006
22
Wawancara Koesnadi, 7 Mei 2006.

PKMP-3-18-10
Shalih bin Abdullah Al-Utsaim. 2003. Pengemis: Antara Kebutuhan dan
Penipuan. Jakarta: Darul Falah.
Surat Keputusan Walikota Yogyakarta No: 1040/KD/1993.
Suwardi Endawarsa. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Pikiran Rakyat, 7 Februari 2004.
Kedaulatan Rakyat, 12 September 2005.
Denpasar Post, 13 Desember 2004
New Palakat (media informasi dan referensi dunia antropologi Indonesia),
Definisi Kebudayaan, diunduh 10 April 2006
<home.unpar.ac.id/~hasan/PERSPEKTIF%20DALAM%20PSIKOLOGI%20SOSIAL.doc>
Wikipedia (kamus elektronik berbahasa Indonesia), Budaya, diunduh 12 Juni
2006.
<http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya>

PKMI-3-19-1
PEMANFAATAN SENI KARAWITAN
UNTUK MENUMBUHKAN DAN MENINGKATKAN
NILAI KEDISIPLINAN DAN KEBERSAMAAN ANAK

Muhammad Arifin, Miftakhul Huda, Tarmiyanti
PS Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah FKIP
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

ABSTRAK
Rasa kebersamaan merupakakan modal yang penting dalam mencapai tujuan
pendidikan yang intelektualitas, bermartabat, dewasa, dan mempunyai rasa
kemanusiaan yang tinggi. Modernitas telah membawa pergaulan anak sampai
dengan kasus kesenjangan sosial, yakni suka memilih-milih teman. Adanya
kegiatan ekstrakurikuler seni karawitan dapat menumbuhkan semangat rasa
kebersamaan antarsiswa. Selain itu, seni karawitan juga mampu mengajarkan
kedisiplinan pada anak dalam memainkan gamelan sesuai dengan tugas masing-
masing. Tujuan dari penelitian ini, yakni untuk mengkaji seni karawitan dalam
menumbuhkan dan meningkatkan nilai kedisiplinan dan kebersamaan siswa, serta
memaparkan proses pembelajaran karawitan yang mampu disisipi nilai
kedisiplinan dan kebersamaan. Penelitian dilakukan dengan metode pengumpulan
data menggunakan kuesioner kepada siswa, guru, kepala sekolah, orang tua
siswa, dan tutor dari SD Al Irsyad Surakarta, MI Muhammadiyah Karanganyar,
SD Al Islam 2 Jamsaren Surakarta, SD Muhammadiyah 1 Surakarta, dan SD
Tamirul Islam Surakarta. Hasil penelitian ini menemukan bahwa terdapat nilai-
nilai kebersamaan dan kedisiplinan dalam seni karawitan, nilai-nilai tersebut
dapat menumbuhkan dan meningkatkan kebersamaan dan kedisiplinan untuk
menciptakan keserasian hidup dan profesionalitas, serta materi karawitan dan
pemahaman instrumen gamelan menjadi proses pembelajaran yang mampu
disisipi dengan nilai kedisiplinan dan kebersamaan.

Kata kunci: karawitan, nilai kebersamaan, nilai kedisiplinan

PENDAHULUAN
Banyak kasus ditemukan sejalan dengan berkembangnya modernitas dan
kemajuan iptek bahwa banyak anak yang memilih-milih pergaulan sehingga ada
beberapa temannya yang diasingkan karena perbedaan status ekonomi dan sosial.
Selain itu, mulai menurunnya bahkan hampir hilang rasa unggah-ungguh anak
terhadap orang tua. Corak bermain anak juga mempengaruhi tingkat egosentris
seorang anak. Semakin sedikit interaksi anak dengan temannya, maka semakin
sedikit pula rasa empati anak itu.
Penelitian ini mengangkat pentingnya suatu kegiatan ekstrakurikuler,
khususnya pendidikan apresiasi seni yang dapat menumbuhkan semangat rasa
kebersamaan antar siswa. Salah satu bentuk kegiatan ekstrakurikuler yang dapat
menumbuhkan rasa kebersamaan dan membentuk pribadi yang baik bagi anak
adalah karawitan. Karawitan merupakan salah satu kesenian tradisional yang
memberi nilai positif bagi seorang anak. Kentalnya nilai kebersamaan yang
diperoleh anak melalui karawitan akan sangat berguna bagi pertumbuhan mental
anak karena anak akan belajar saling menghargai, mendukung, dan bekerja sama.
Selain rasa kebersamaan, karawitan dapat memacu tingkat disiplin anak. Melalui
seni karawitan siswa harus berdisiplin dalam memainkan gamelan sesuai dengan

PKMI-3-19-2
tugas masing-masing.
Masalah yang diangkat yakni untuk menjawab alasan seni karawitan mampu
menumbuhkan dan meningkatkan nilai kedisiplinan dan kebersamaan bagi siswa.
Proses pembelajaran yang bagaimanakah yang mampu disisipi penyampaian
materi kedisiplinan dan kebersamaan?
Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengkaji potensi seni karawitan
dalam menumbuhkan dan meningkatkan nilai kedisiplinan dan kebersamaan bagi
siswa dan memaparkan proses pembelajaran seni karawitan yang mampu disisipi
nilai kedisiplinan dan kebersamaan.
Manfaat dari penelitian ini di antaranya mampu memberikan gambaran
kepada masyarakat terutama orang tua bahwa rasa kebersamaan pada anak sangat
diperlukan untuk membentuk moral anak, memberikan pengetahuan kepada
masyarakat secara umum maupun kepada pelaku budaya secara khusus bahwa
pentingnya melestarikan dan mengembangkan budaya bangsa, menjadi sarana
pendidikan bermasyarakat kepada para siswa agar mereka mampu menumbuhkan
rasa kebersamaan dan kerjassama, mengetahui seberapa besar respon masyarakat
terhadap upaya melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional.

METODE PENDEKATAN
Subjek dalam penelitian ini adalah perubahan perilaku anak yang
memainkan seni karawitan berupa rasa kebersamaan dan nilai kedisiplinan. Jenis
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan sumber data kuesioner yang telah
diisi oleh tutor, Kepala Sekolah, orang Tua Siswa, dan siswa yang mengikuti
Program Apresiasi Seni yang diselenggarakan oleh SD Al Irsyad Surakarta, MI
Muhammadiyah Karanganyar, SD Al Islam 2 Jamsaren Surakarta, SD
Muhammadiyah 1 Surakarta, dan SD Tamirul Islam Surakarta.

1. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi dan
kuesioner. Observasi adalah metode pengumpulan data oleh peneliti atau
kolaboratornya dengan mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan
selama penelitian (Gulo, 2004:116). Adapun kuesioner adalah metode
pengumpulan data yang terbentuk pertanyaan yang harus dijawab atau diisi oleh
responden di bawah pengawasan peneliti (Busono, 1988:74). Observasi dilakukan
pada tanggal 4 Maret 2005 di Universitas Muhammadiyah Surakarta ketika PSB-
UMS menyelenggarakan Festival Program Apresiasi Seni (PAS) yang diikuti oleh
SD Al Irsyad Surakarta, MI Muhammadiyah Karanganyar, SD Al Islam 2
Jamsaren Surakarta, SD Muhammadiyah 1 Surakarta, dan SD Tamirul Islam
Surakarta.
Adapun data kuesioner diperoleh dari tutor, Kepala Sekolah, orang Tua
Siswa, dan siswa yang mengikuti Program Apresiasi Seni yang diselenggarakan
oleh SD Al Irsyad Surakarta, MI Muhammadiyah Karanganyar, SD Al Islam 2
Jamsaren Surakarta, SD Muhammadiyah 1 Surakarta, dan SD Tamirul Islam
Surakarta.

2. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu
data yang diperoleh di lapangan dikelompokkan ke dalam kategori yang telah

PKMI-3-19-3
ditentukan. Setelah data terkumpul, pembahasannya menggunakan analisis
dokumen dan wawancara terstruktur (Kinanti dan Sumaryanti, 2000:138).
Data yang dimaksud adalah data kuesioner yang telah diisi tutor, Kepala
Sekolah, orang Tua Siswa, dan siswa yang mengikuti Program Apresiasi Seni
yang diselenggarakan oleh SD Al Irsyad Surakarta, MI Muhammadiyah
Karanganyar, SD Al Islam 2 Jamsaren Surakarta, SD Muhammadiyah 1
Surakarta, dan SD Tamirul Islam Surakarta. Selain data kuesiner, data yang lain
adalah data hasil observasi yang telah dilakukan ketika ada pementasan karawitan
itu sendiri.

3. Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data menggunakan metode penyajian informal.
Metode penyajian informal merupakan metode penyajian data berupa perumusan
dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menghasilkan dua hal, yaitu seni karawitan dalam
menumbuhkan dan meningkatkan nilai kedisiplinan dan kebersamaan anak serta
proses pembelajaran yang mampu disisipi penyampaian materi kedisiplinan dan
kebersamaan.
Rasa kebersamaan merupkan modal yang penting dalam mencapai tujuan
pendidikan yang intelek, bermartabat, dewasa, dan mempunyai rasa kemanusiaan
yang tinggi. Dengan rasa kebersamaan, siswa akan dapat saling membantu, dapat
terwujud satu tim belajar, serta rasa empati yang besar sehingga dapat mendorong
siswa untuk mengatasi permasalahan yang menghambat keberhasilannya dalam
mencapai cita- cita.
Seni karawitan merupakan suatu kegiatan seni yang selalu mengedepankan
kebersamaan. Tanpa adanya kebersamaan dalam bermain karawitan, maka
keselarasan dalam permainan itu tidak akan tercipta. Karawitan sebagai musik
tradisional Jawa memiliki pola dan struktur dalam memainkannya. Tidak hanya
menabuh sebagaimana orang sering menabuh dengan sesuka hati, tetapi bunyi
yang dikeluarkan harus sesuai dengan pakemnya yang lazim disebut dengan
eksperimen. Ketika anak memainkan gamelan misalnya, anak harus selalu
menjaga kekompakan agar bunyi yang keluar dapat beriringan dan tidak
mengganggu telinga yang mendengarnya.
Salah satu alat saja menjadi yang menonjol dalam performa bunyi gamelan,
tentu akan merusak keindahan seni karawitan. Dalam pada itu, anak benar-benar
dituntut untuk saling menghargai kebersamaan tim dengan menunjukkan
kekompakan dalam memukul atau memainkan instrumen gamelan. Dengan
demikian, adanya kekompakan anak dalam bermain akan menumbuhkan rasa
kebersamaan tim sehingga mampu mencapai harmoni keselarasan permainan
karawitan.
Nilai-nilai kebersamaan dalam bermain karawitan bisa juga mempengaruhi
kebersamaan di luar permainan. Misalnya saja dalam pergaulan di kelas dengan
teman sebaya atau dengan teman di luar kelas. Hal ini sesuai dengan pernyataan
dari Fitria Damayanti, siswi Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah
Karanganyar, yang menyatakan bahwa dalam bermain haruslah kompak sehingga
dapat mempererat pertemanan.

PKMI-3-19-4
Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Zaini Hilmi, siswa kelas III SD Al-
Islam 2 Jamsaren Surakarta, yakni dalam bermain seni karawitan harus saling
membantu dan menolong teman yang lain. Pernyataan ini mewakili kebersamaan
yang dirasakan siswa saat bermain karawitan. Kebersamaan yang timbul karena
adanya kesamaan visi dalam menciptakan profesionalisme kerja, yakni bagaimana
mampu menabuh gamelan dengan benar sehingga pertunjukan karawitan bisa
berhasil. Tanpa adanya kompromi dari para penabuh (niyaga) pun sebetulnya bisa
berhasil. Membantu dan menolong di sini tidak berarti mempengaruhi penabuh
(niyaga) yang lain. Masing-masing profesi hanya menghadapi dunia
keprofesiannya sehingga tanpa kompromi para niyaga pun, karawitan memang
mampu berjalan. Namun demikian, lagu atau nada yang selaras harus tetap
tercipta.
Dengan sikap mau membantu dan menolong yang lain, berarti terciptalah
suatu kebersamaan yang juga mengikis sifat egosentris dan individualisme pada
anak. Ini berarti bahwa seni karawitan bisa dijadikan sebagai suatu bentuk
kegiatan yang dapat memberikan soft terapi bagi anak untuk mengikis rasa
egosentris dan individualisme, serta mampu memupuk kebersamaan siswa. Hal ini
selaras dengan pernyataan Darsono, S. Kar., M. Hum., tutor karawitan Sekolah
Dasar (SD) Muhammadiyah I Surakarta. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan
berikut, Karawitan mampu mengikis sifat individualisme dan memupuk
kedisiplinan serta gotong royong dalam hati siswa melalui kegiatan seni.
Gotong royong merupakan salah satu cermin kehidupan masyarakat sosial
yang arif dan beradab. Masyarakat Indonesia mempunyai peradaban yang luhur
yang tampak pada kebiasaan hidup masyarakat yang mau bergotong-royong
dalam menyelesaikan suatu masalah. Suatu bentuk peradaban yang tinggi dengan
kerelaan mau membantu dan menolong sesama tanpa pamrih yang mampu
menciptakan kebersamaan dalam keserasian hidup.
Nilai-nilai kebersamaan dalam karawitan bisa terlihat dalam kekompakan
membawakan gendhing-gendhing karawitan. Kekompakan anak membawa nilai-
nilai budaya yang luhur yakni gotong-royong. Gotong-royong membantu anak
untuk bisa beradaptasi dengan dunia sosialnya. Terciptanya kehidupan sosial
dalam kebersamaan atau gotong-royong mampu menambah keakraban masing-
masing individu. Jadi, nilai kebersamaan tersebut tampak pada kekompakan,
gotong royong, dan keakraban anak. Rasa kebersamaan itu tidak hanya terlihat
saat bermain karawitan, tetapi juga pada pergaulannya di luar lingkungan kegiatan
karawitan.
Seni karawitan mengajarkan bagaimana bersikap yang baik dengan orang
lain. Cara penabuh (niyaga) duduk membawakan gendhing- gendhing karawitan,
semuanya duduk bersila atau bersimpuh. Suatu keadaan sikap badan paling ideal
dalam berkomunikasi, baik antarsesama maupun kepada Yang Maha Kuasa.
Betapapun menggebu irama tetabuhan yang dihasilkan, sikap badan pelakunya
tetap dalam keadaan sama rendah, duduk bersila atau bersimpuh. Dalam pada itu
orientasi arah (menghadap) para penabuh gamelan sudah bukan sesuatu yang
mutlak. Penabuh gamelan tidak harus berjajar rapi seperti pemusik dalam konser.
Mereka menghadap gamelannya masing-masing dengan posisi ya Profesionalitas
dibutuhkan agar penabuh dapat benar-benar menguasai instrumen gamelan beserta
cara-cara memainkannya. Agar bisa menguasai instrumen dan cara menabuhnya,
maka perlu kedisiplinan penabuh untuk menunjukkan keprofesionalannya

PKMI-3-19-5
tersebut. Begitu juga pada anak sebagai subjek didik dalam bermain karawitan,
mereka perlu dengan adanya sikap disiplin. Kedisiplinan ini harus dimiliki setiap
anak agar tujuan dari karawitan ini dapat terwujud.
Tanpa didukung dengan kedisiplinan, karawitan ini hanya akan menjadi
sebuah ajang permainan yang tidak jelas tujuannya. Penabuh yang seharusnya
berkutat pada bidang garapnya masing- masing, bisa saja mempengaruhi penabuh
lainnya. Dalam artian, seorang penabuh telah memaksakan permainan penabuh
yang lain agar sama titilarasnya dengan apa yang ia tabuh. Padahal, laras slendro
maupun pelog pada karawitan tidaklah mengenal standar tuning (patokan nada)
seperti halnya pada musik Barat yang frekuensi nada dan intervalnya sudah
ditentukan. Adanya kedisiplinan penabuh dalam memainkan profesinya masing-
masing akan membentuk performa bunyi karawitan yang simfo harmonik.
Dengan demikian, setiap anak diajarkan untuk selalu disiplin dalam lahan
profesinya. Sebagai penabuh bonang, ia tidak bisa mempengaruhi penabuh gong,
gender, gambang, atau yang lainnya. Cukup dengan menjaga kedisiplinan dari
dalam menangkap dan menterjemahkan arahan dari pengesek rebab dan komando
dari pengendang sehingga tujuan dapat tercapai tanpa adanya pemaksaan dalam
hubungannya dengan hakekat penciptaan manusia yang merdeka. Hal-hal seperti
inilah yang diajarkan pada tiap-tiap anak didik karawitan, yakni keprofesionalan
kerja dan penghargaan akan hakikat manusia merdeka dengan disiplin diri dalam
menerjemahkan tugas profesinya masing- masing.
Disiplin dalam bermain karawitan ini membawa anak pada kedisiplinan
dalam bersikap. Disiplin dalam bersikap ini dapat dilihat dari kearifan dan
keluhuran sikap anak dalam masyarakat. Misalnya saja pada tingkat kesopanan,
keaktivan, dan kepatuhannya. Disiplin dalam kaitannya dengan keaktivan anak
terlihat pada keberanian anak untuk tampil di muka umum dengan baik. Tanpa
disiplin, bisa saja anak di depan umum tampil seenaknya tanpa arah yang pasti
sehingga bisa menciptakan kesan buruk bagi yang melihatnya. Penanaman
disiplin seperti ini, pada karawitan akan membantu membangun mental anak. Hal
ini sesuai dengan pernyataan orang tua siswa dari salah satu siswa SD AL-Irsyad
Surakarta, Maryanto, Setelah mengikuti karawitan, anak menjadi lebih berani
tampil dan bisa aktif dalam berteman di rumah.
Kedisiplinan, selain mampu meningkatkan kesopanan siswa dan keaktivan,
bisa juga meningkatkan kepatuhan anak. Hj. Muji Rahayu, Kepala Sekolah SD
Muhammadiyah I Surakarta menyatakan bahwa anak-anak yang mengikuti
karawitan lebih dapat dikendalikan. Pengajaran pada kegiatan karawitan
membutuhkan kedisiplinan anak untuk mematuhi cara-cara yang diajarkan tutor
dalam memainkan gamelan. Hal ini berarti bahwa anak sudah terbiasa dengan
aturan-aturan yang mampu membawa mereka ke arah yang positif. Akan tetapi,
mengendalikan anak tidaklah mudah. Dalam mengajar para tutor tidak
memaksakan, tetapi lebih menganggap anak didik sebagai teman dan anak sendiri
sehingga anak-anak disuruh patuh dengan tidak ada pemaksaan apapun melainkan
dengan kesadaran masing-masing.
Selain kedisiplinan diri yang terlihat pada tingkat kesopanan, keaktivan, dan
kepatuhan anak, karawitan juga mampu membawa anak untuk menghargai waktu.
Kegiatan karawitan dalam latihannya membutuhkan waktu tiga bulan, seminggu
sekali dalam dua jam. Dalam jangka waktu itu, anak harus bisa tampil dengan
performa yang menarik saat pementasan. Apabila waktu tersebut tidak ditaati,

PKMI-3-19-6
maka performa karawitan akan mengecewakan. Oleh karena itu, anak diajarkan
untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin sehingga anak bisa dengan cermat
membagi waktunya (disiplin waktu).
Nilai-nilai kebersamaan dan kedisiplinan tersebut merupakan pengaruh
positif yang ditanamkan dalam kegiatan seni karawitan. Nilai-nilai tersebut
mampu memberi rangsangan penciptaan keserasian hidup dan profesionalitas
pada anak melalui sistem pembelajaran yang mereka dapatkan saat bermain
gamelan.
Belajar haruslah memperhatikan proses untuk mencapai tujuan. Tanpa
sebuah proses maka tujuan tidak akan dapat tercapai dengan maksimal. Proses
belajar yang dilaksanakan dengan cara baik, terorganisasi, dan sistematis akan
menciptakan hasil yang memuaskan. Semua proses belajar juga sangat
berpengaruh oleh kondisi atau suasana belajar.
Suasana belajar mempengaruhi proses belajar, dan proses belajar
menentukan hasil belajar. Jadi, antara suasana, proses, dan tujuan belajar adalah
sesuatu yang saling berkaitan dan tidak boleh ditinggalkan, semuanya harus
diperhatikan.
Ketika seorang anak didik sudah mencapai titik jenuh dalam belajar, situasi
belajar pun menjadi tidak teratur dan tidak kondusif. Begitu pula dalam karawitan,
situasi belajar dan kebersamaan anak adalah hal yang sangat penting. Sebagai
seorang tutor harus dapat mengarahkan dan mengatur anak agar tetap disiplin dan
selalu memelihara kedisiplinan anak. Seorang anak dituntut untuk memiliki jiwa
asah, asih, dan asuh. Seorang tutor tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik
para siswa.
Kendala yang dihadapi tutor ketika melaksanakan proses pembelajaran
karawitan adalah ketidak-disiplinan siswa dan minimnya rasa kebersamaan. Oleh
karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Upaya tutor untuk menyikapi ketidak-tertiban siswa yakni dengan mengajak
siswa berdialog, menunjukkan sikap yang benar dan memberi contoh,
memberikan arahan pentingnya sebuah kedisiplinan dengan pembagian tugas dan
menjadikan siswa seperti anak sendiri atau dianggap sebagai teman.
Upaya untuk menumbuhkan kebersamaan siswa itu bisa ditempuh dengan
menjelaskan sistem bermain karawitan yakni siswa diajarkan untuk tidak
menonjolkan permainan alat yang mereka mainkan. Upaya kedua yakni dengan
menjelaskan peran masing-masing instrumen gamelan, sifat dari permainan
gamelan pada dasarnya adalah mencerminkan sebuah kebersamaan yang saling
melengkapi satu sama lain. Jadi, dengan menjelaskan peran masing-masing alat
gamelan, siswa akan mampu memahami bagaimana dan apa manfaat dari sebuah
kebersamaan karena konteks permainan adalah membangun kebersamaan.
Nilai efektif yang terkandung dalam seni karawitan untuk menumbuhkan
kebersamaan dan kedisiplinan anak, sebagaimana pandangan para tutor, yakni
mampu mengikis sifat individualisme dan mampu memupuk kedisiplinan siswa.
Proses pembelajaran yang mampu disisipi penyampaian materi kedisiplinan
dan kebersamaan, yakni materi yang diajarkan dalam seni karawitan dan
pemahaman instrumen gamelan. Materi pembelajaran yang disampaikan tutor
kepada para siswa dalam pembelajaran karawitan adalah materi yang disampaikan
dalam satu bentuk pembelajaran yang bersifat praktis dengan mengedepankan
penguasaan lifeskill siswa.

PKMI-3-19-7
Materi pembelajaran yang bisa dipakai bisa dimasukkan atau digolongkan
menjadi dua bagian, yaitu pengenalan karawitan secara umum dengan
mengenalkan seluk-beluk karawitan sehingga akan tumbuh kecintaan pada
kesenian ini. Siswa akan memiliki kesadaran untuk belajar karawitan dengan
sendirinya karena sudah tumbuh kecintaaan pada kesenian ini. Selain
pembelajaran secara umum, pembelajaran juga dilakukan secara langsung. Pada
materi pembelajaran ini dimaksudkan agar siswa tidak hanya berkutat pada teori,
melainkan mempraktikkan secara langsung. Materi pembelajaran langsung lebih
banyak ragamnya dibandingkan dengan materi pengenalan karena sesuatu yang
diteorikan belum tentu sama dengan praktiknya.
Pemanfaatan gamelan sebagai alat musik dalam seni karawitan memiliki
makna simbolis yang tersirat. Tidak semua orang mampu menabuh dan
memahami kegunaan alat musik gamelan. Oleh karena itu, perlu adanya latihan
dan keterampilan yang cukup untuk dapat memainkan dan memahami seluk-beluk
tentang gamelan.
Gamelan merupakan seperangkat alat musik khas Indonesia yang
kelengkapan instrumennya dapat disejajarkan dengan simfoni orkestra dunia
Barat. Sebagaimana alat musik pada umumnya, gamelan merupakan hasil olah
budi manusia untuk mengungkapkan rasa estetika atau rasa mencurahkan
keindahan (Santoso, tt :1).
Gamelan Jawa dibagi menjadi dua bagian. Pembagian ini berdasarkan
perpaduan nada, yang dalam bahasa Jawa disebut dengan laras, yaitu gamelan
laras slendro dan gamelan laras pelog. Gamelan laras slendro merupakan laras
untuk tabuhan yang halus. Laras slendro terdiri dari dua pangkon atau deret.
Sedangkan laras pelog merupakan laras untuk tabuhan yang keras dan hanya
terdiri dari satu pangkon (deret).
Gamelan sebagai orkestrasi musik mandiri (seperti pada karawitan),
menurut Santoso (tt:7) dapat digunakan untuk pementasan gendhing. Misal,
gendhing-gendhing dolanan, gendhing macapatan, ladrangan, lancaran. Selain
sebagai orkestra musik mandiri, gamelan dimanfaatkan untuk mengiringi
pagelaran wayang, pementasan tari, dan drama tradisional.
Instrumen gamelan mempunyai tugas masing-masing untuk menimbulkan
bunyi yang teratur dan enak didengar telinga. Kendang merupakan instrumen
gamelan yang memegang peranan sangat penting. Tugas kendang yakni sebagai
pengatur irama. Sebagai pemangku irama adalah tugas dari ketuk, kenong, kempul,
gong, dan kempyang. Bonang menjadi pemimpin atau yang mampu mengatur lagu
(gendhing). Saron dan slentem dijadikan sebagai pemangku lagu. Sebagai
pemangku rasa atau pengisi jiwa dalam pagelaran, yakni celempung. Rebab
sebagai pembuka patet. Suling dan siter untuk memeriahkan irama, dan keprak
untuk menggairahkan nada.
Tugas masing-masing instrumen itu harus didukung dengan irama yang
jelas. Irama yang diciptakan dalam seni karawitan tidak sama dengan alat musik
perkusi pada umumnya. Adanya laras Slendro dan laras Pelog justru
menghasilkan suara yang lembut bahkan kadang-kadang hanya lamat-lamat
mengusik indra pendengaran. Berbeda sekali dengan alat musik perkusi yang
hanya menghasilkan suara hingar-bingar pemekak telinga atau penggetar dada.
Terciptanya suara atau hasil bunyi yang syahdu tentu bukan karena instrumen
gamelan dipukul alat per alat dengan tepat.

PKMI-3-19-8
Satu alat saja diperbunyikan tidak selayaknya, maka rusaklah simfoni
harmoni karawitan itu. Oleh karena nila setitik, maka rusaklah susu sebelangga.
Peribahasa tersebut juga berlaku pada karawitan. Kesalahan metode pukul pada
salah satu alat akan menunjukkan kekacauan pada bunyi hasil karawitan. Apabila
karawitan tersebut dimanfaatkan untuk mengiringi suatu pagelaran akan tampak
jelas kesalahan tersebut. Pada pagelaran wayang misalnya, suara karawitan bisa
diibaratkan sebagai sukma dan jiwa bagi jalannya pagelaran wayang. Karawitan
adalah energi yang merangkap sebagai media eternal bagi jalannya penggal-
penggal sebuah lakon wayang. Akan tetapi, ketidakselarasan tersebut dapat
dihindari dengan pelatihan secara bertahap dan kerja sama penabuh (niyaga)
untuk menghasilkan bunyi-bunyian karawitan yang laras dan syahdu.
Terdapat cara-cara untuk menabuh gamelan agar bunyi yang timbul
terdengar syhadu dan menghanyut sukma. Cara-cara menabuh gamelan yang
dianggap baik dan baku (Santoso, tt: 37-38) itu seperti:
a. Irama milah atau mbalung, yakni menabuh titilaras-titilaras yang
tertulis pada bagian pembuka. Cara ini digunakan untuk menabuh alat
pemangku lagu yakni sebagai kerangka gendhing yang dimainkan.
b. Irama nacah, yakni memukul dua kali pada tiap titilaras. Cara ini
digunakan pada Saron.
c. Irama nggembyang, yakni menabuh dua nada yang sama larasnya
tetapi berjarak satu oktaf (satu gembyang) pada bonang dan barung.
d. Irama nggembyang rangkap, yakni melipatkan gembyangan bonang
barung. Tujuannya untuk menghias gendhing agar terdengar lebih
indah dan meriah.
Cara menabuh instrumen gamelan tersebut, semua penabuh dalam keadaan
duduk bersila atau bersimpuh. Betapa pun menggebu irama tetabuhan yang
dihasilkan, sikap badan penabuhnya tetap dalam keadaan sama rendah dengan
duduk bersila. Suatu keadaan sikap badan yang ideal dalam berkomunikasi, baik
antarsesama ataupun dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sikap badan seperti ini
mengajarkan anak untuk menanamkan sifat rendah hati, yakni dalam dalam
berkomunikasi dengan sesama tidak boleh menunjukkan sikap sombong, tinggi
hati, atau merasa dirinyalah yang paling unggul. Komunikasi yang baik adalah
komunikasi yang bisa saling memberi dan saling menerima, artinya komunikasi
itu bisa berjalan dua arah, tidak hanya jadi pendengar saja atau jadi pencerita saja.
Akan tetapi, dengan seni karawitan ini bisa mengajarkan bagaimana menghargai
orang lain saat berkomunikasi yakni dengan mereduksi sifat egosentris pada anak.
Dalam menabuh gamelan pun, orientasi arah para penabuh gamelan sudah
bukan sesuatu yang mutlak. Penabuh tidak harus duduk berjajar rapi, tetapi yang
baku mereka menghadap gamelannya masing-masing dengan posisi yang paling
cocok bagi mereka. Posisi tersebut tidak perlu satu arah.
Dalam seni karawitan bisa diselingi dongeng maupun syair-syair karawitan
itu sendiri yang berisikan nasihat-nasihat yang akan membangun moral anak.
Skripsi yang ditulis oleh Normasari (2004) dengan judul Hubungan Antara
Pemberian Dongeng terhadap Perkembangan Moral Anak menjelaskan bahwa
ada hubungan positif yang sangat signifikan antara intensitas pemberian dongeng
dengan perkembangan moral anak. Hal ini berarti semakin tinggi intensitas
pemberian dongeng akan semakin tinggi perkembangan moral anak.
Widiastuti (2005) menulis Hubungan Antara Kemampuan Empati dan

PKMI-3-19-9
Interaksi Teman Sebaya dengan Kecenderungan Perilaku Altruistik pada Anak
Widiastuti menyatakan bahwa pengaruh kuat teman sebaya dapat mempengaruhi
seorang remaja dalam bersikap dan bertingkah laku sehari-hari karena bersama
kelompoknya mereka mempunyai jalinan perasaan yang kuat sehingga mereka
dapat saling mempengaruhi satu sama lainnya. Apabila salah seorang dari
kelompok itu apalagi pemimpinnya sering berbuat baik, pasti para anggota lainnya
juga akan melakukan hal yang sama meskipun hal itu bertentangan dengan
sifatnya. Hal itu dikarenakan mereka merasa takut ditolak oleh kelompok teman
sebayanya. Seni karawitan merupakan sarana yang baik dalam membina
kebersamaan dan menumbuhkan moral yang baik karena dalam seni tersebut anak
akan belajar kerjasama secara harmoni.
Penelitian yang dilakukan oleh Sito Mardowo(1996) dengan judul Sikap
Siswa SMA Negeri Se-Kabupaten Klaten terhadap Karawitan Jawa menyatakan
bahwa dalam kehidupan manusia, seni mempunyai peranan yang sangat penting
dalam upaya pemenuhan kebutuhan yang sifatnya rohaniah. Selain sebagai
kehidupan sehari-hari, seni terkadang mampu memberikan nasihat-nasihat atau
contoh-contoh yang sangat berguna bagi kehidupan manusia.
Sebagai salah satu jenis kesenian dari berbagai cabang seni,
karawitan mempunyai peranan dalam rangka pembentukan kepribadian
manusia. Seni karawitan tidak hanya sebagai tontonan, melainkan juga
sebagai tuntunan hidup agar dapat hidup serasi, selaras, dan seimbang
dalam usaha pembinaan mental spiritual. Kenyataan ini dapat dilihat
cakepan atau syair sekar macapat, sekar tengahan, dan sebagainya.


KESIMPULAN
Seni karawitan sebagai seni masyarakat Jawa, yang dalam permainannya
harus mengutamakan kekompakan kelompok penabuhnya, mampu menumbuhkan
dan meningkatkan kebersamaan dan kedisiplinan anak. Proses pembelajaran yang
digunakan dalam ekstrakurikuler karawitan juga mampu disisipi dengan
penyampaian materi kebersamaan dan kedisiplinan.
Kedisiplinan yang diajarkan pada seni karawitan seperti kedisiplinan sikap
dan kedisiplinan waktu. Disiplin sikap tampak dengan adanya peningkatan
kesopanan anak, keaktivan anak untuk tampil di depan umum, dan kepatuhan
anak mengikuti arahan yang diberikan tutor dengan kesadarannya sendiri. Mau
menaati arahan dengan kesadaran sendiri membantu anak untuk mematuhi jadwal
kegiatannya yang telah dibuatnya tanpa adanya pemaksaan. Anak lebih bisa
menghargai waktu dan memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Nilai-nilai
tersebut mampu memberi rangsangan penciptaan keserasian hidup dan
profesionalitas pada anak melalui sistem pembelajaran bermain gamelan.
Seni karawitan dipandang oleh para tutor karawitan mampu menumbuhkan
dan meningkatkan nilai kebersamaan dan kedisiplinan anak. Upaya yang
dilakukan tutor untuk menumbuhkan nilai kebersamaan itu dengan mereduksi
ketidak-disiplinan anak dan menumbuhkan rasa kebersamaan siswa. Nilai efektif
yang terkandung dalam seni karawitan untuk menumbuhkan kebersamaan dan
kedisiplinan anak, sebagaimana pandangan para tutor, yakni mampu mengikis
sifat individualisme dan mampu memupuk kedisiplinan siswa.


PKMI-3-19-10

DAFTAR PUSTAKA
Busoso, Mardiati. 1988. Diagnosis dalam Pendidikan. Jakarta: Depdikbud
Djojosuroto, Kinanti dan M.L.A. Sumaryanti. 2000. Prinsip-prinsip Dasar
Penelitian Bahasa Sastra. Jakarta: Nuansa Yayasan Nuansa Cendekia.
Gulo, W. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Grasindo
Gunarsa, S.D. dan Y.S.D Gunarsa. 1996. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
Hurlock, E.B. 1996. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Edisi Lima (Terjemahan Istiwi Dayanti). Jakarta:
Erlangga.
Kohlberg, L. 1995. Tahap-tahap Perkembangan (Terjemahan John de Santo dan
Agus Remers SUD). Yogyakarta: Kanisius.
Maduwiyata, Djoko. Keberhasilan Pendidikan pada Anak-anak : Studi Kasus.
Jurnal Ekspresi, Vol II Tahun I. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut
Seni Indonesia.
Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Mardowo, Sito. 1996. Sikap Siswa SMA Negeri Se-Kabupaten Klaten Terhadap
Karawitan Jawa. Skripsi S1. Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Press.
Mudjilah, Hana Sri. 2003. Musik Sebagai Salah Satu Wahana Pembentukan
Moral Anak. Jurnal Seni dan Pendidikan Seni (Imaji) Vol. 1 No. 2.
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Normasasi. 2004. Hubungan Antara Intensitas Pemberian Dongeng Terhadap
Perkembangan Moral Anak. Skripsi S1. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Santoso, Hadi. tt . Gamelan: Tuntunan Menuntun Gamelan. Semarang: Dahana
Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta
Wacana University Press

Sukandi, D.K. 1987. Bimbingan Perkembangan Jiwa Anak. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Supanggah, Rahayu. 2002. Bothekan Karawitan I. Jakarta : Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia (MPSI).
Supardi. 2005. Metode Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: UII Press
Suseno, Franz Magnis dan SJ. 1993. Etika Jawa. Jakarta : PT. Gramedia.
Widiastuti, Ari. 2005. Hubungan Antara Kemampuan Empati dan Interaksi
Teman Sebaya dengan Kecenderungan Perilaku Altruistik Pada Anak.
Skripsi S1. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Yosep, Wagiman. 2004. Pembelajaran Musik Kreatif pada Anak Usia Dini. Jurnal
Pengetahuan dan Pemikiran (Harmonia) Vol. V No. 1. Universitas Negeri
Semarang.


PKMP-3-20-1
UJI TATA LETAK MEJA KURSI MODEL TAPAL KUDA
DAN INTELEGENCE QUOTIENT (IQ) TERHADAP
PRESTASI BELAJAR BIDANG STUDI MATEMATIKA PADA SISWA
SDN KERTAJAYA XII SURABAYA

Alexander, Mifti Nur Fathoni
Universitas Putra Bangsa, Surabaya

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-3-21-1
KARAKTERISTIK PEMAKAIAN REGISTER POLISI DALAM
KOMUNIKASI "HANDY TALKY" DO POLWILTABES SURABAYA

Siti Alfiyatul MH, Kulailah, Nurul Qomariah
Universitas Negeri Surabaya, Surabaya

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-3-22-1
PEMANFAATAN LIMBAH ABU LAYANG (FLY ASH) MENJADI
MATERIAL TEREMBANI MNO2 DAN PENGGUNAANNYA PADA
DESINFEKTASI FOTOKATALITIK BAKTERI ESCHERICHIA COLI

Khoirul Himmi Setiawan, Khoiria Oktaviani, Muhammad Fajriansyah
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-3-23-1
ANALISIS DAN PERANCANGAN PERANGKAT AJAR PENGETAHUAN
DASAR INDONESIA BERBASIS MULTIMEDIA

Adi Purwok, Chandra, Soraiman Barasa
Universitas Bina Nusantara, Jakarta

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-4-1-1
PENAPISAN MIKROBA PENGHASIL ENZIM LIGNOSELLLULOSA
DARI LUMPUR SELOKAN UNTUK STARTER DALAM PEMBUATAN
KOMPOS DI KOTA PADANG

Masteria Yunovilsa Putra, Adrian , Harri Gunawan, Didit M Ridwan
PS Kimia Fakultas MIPA, Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang mikroba penghasil enzim lignoselulosa untuk
mengurai sampah organik menjadi kompos. Selulosa merupakan material yang
terkandung dalam sampah organik yang paling sulit terurai, namun dapat diatasi
dengan menggunakan mikroba pengurai selulosa yang ditapis dari lumpur
selokan rumah tangga. Inkubasi mikroba dari lumpur selokan dilakukan pada
suhu 40
o
C selama 24 jam menggunakan medium PDA dan NA. Hasil isolasi
didapatkan mikroba jenis fungi dan actinomycetes. Isolat dari lumpur selokan
mampu membentuk zona bening pada medium CMC, medium PDA + serbuk
gergaji, dan medium PDA + air rendaman kertas.

Kata kunci:

PENDAHULUAN
Salah satu masalah perkotaan yang sulit untuk dipecahkan dari berbagai
permasalahan yang timbul adalah masalah sampah. Sampah akan menjadi
masalah kota maupun desa yang jika tidak terkelola dengan baik akan menjadi
sumber berbagai penyakit, pencemaran air tanah dan sungai, bau yang tak sedap,
serta rusaknya estetika (Hurip Pratomo dan Anang Suhardianto).
Salah satu cara pengolahan sampah adalah dengan cara pengomposan.
Kompos adalah pupuk alami yang berasal dari berbagai bahan organik. Sebelum
jadi kompos, bahan organik mengalami proses penguraian terlebih dahulu. Hasil
penguraian tersebut adalah unsur hara yang bermanfaat bagi tanaman (Sumber :
LIPTAN No.3/L/1988/89).
Pada prinsipnya, pembuatan kompos adalah penumpukan bahan organik pada
suatu tempat yang memungkinkan mikroba untuk menguraikannya menjadi unsur
hara yang tersedia untuk tanaman (Sumber : LIPTAN No.3/L/1988/89).
Kendala dalam pembuatan kompos selama ini adalah waktu yang
dibutuhkan untuk menguraikan sampah relatif lama yang disebabkan oleh
beberapa faktor. Salah satu faktor yang menghambat bakteri untuk menguraikan
sampah organik adalah adanya lignosellulosa yang sulit terurai, sehingga untuk
mempercepat penguraian sampah organik diperlukan enzim lignosellulosa yang
mengurai sellulosa menjadi selobiase dan asam lemak enzim yang membantu
mencerna serat kasar yang dihasilkan oleh tanaman air, plankton, sayur-sayuran
dan pakan pellet. Mikroba penghasil enzim lignosellulosa ini diantaranya di dapat
dari limbah rumah tangga berupa lumpur selokan.
Paling tidak ada 15 jenis bakteri yang bisa berfungsi sebagai pengolah
sampah. Sayangnya, meski jumlah jenis bakteri ini tergolong cukup banyak dan
teknologi memproduksi bakteri ini sudah ada, namun masih sedikit yang berminat
untuk memberdayakannya.

PKMP-4-1-2
Dengan dilakukannya penapisan mikroba penghasil enzim lignosellulosa
dari lumpur selokan, diharapkan sistem pengolahan atau pengomposan sampah di
kota Padang dapat teratasi dan kompos yang dihasilkan jauh lebih baik serta dapat
digunakan langsung oleh rumah tangga untuk mengolah sampah mereka sendiri
yang akhirnya jumlah sampah yang di kirim ke TPA tiap harinya dapat berkurang.
Secara tidak langsung akan dapat mengurangi biaya operasional pengolahan
sampah di kota Padang. Hal ini sekaligus dapat menunjang program kota Padang
menuju kota sehat tahun 2010.
Manfaat pelaksanaan program ini adalah upaya untuk meningkatkan :
1. Aspek ekonomi
Apabila pengomposan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat dan
dapat di terapkan pada seluruh masyarakat dalam tingkat rumah tangga, akan
memberikan beberapa keuntungan ekonomis diantaranya;
a. mengurangi anggaran belanja pemerintah kota madya sehubungan dengan
pengolahan sampah dan pembersihan selokan
b. Penggunaan kompos meningkatkan produksi pertanian, dengan ongkos
yang rendah.
2. Pengolahan sampah
Dengan adanya enzim lignosellulosa, masalah sampah organik yang sulit
terurai karena mengandung sellulosa dapat diatasi sehingga pengomposan
akan memakan waktu yang singkat.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Juni 2006 yang
bertempat di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas
Padang, Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas
Padang.
Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, magnetik stirer, hotplate,
lampu spiritus, jarum ose, inkubator, autoklaf, sentrifuge dingin, mikroskop,
intkas, shaker, spektrofotometer, AAS serta peralatan gelas yang biasa digunakan.
Bahan yang digunakan adalah medium nutrient agar PDA, medium air kertas,
medium CMC, beef ekstrak, pepton, bacto agar, kertas pH, aluminium foil,
kapas, kasa, kertas saring.

Prosedur Percobaan
1. Sterilisasi Alat
Alat-alat gelas yang digunakan disterilkan dalam oven pada suhu 180
o
C selama
120 menit, medium disterilkan dalam autoclaff pada suhu 121
o
C, 15 psi
selama 15 menit.
2. Pembuatan Medium
a. Medium agar miring Potata Dextro Agar (PDA)
Ditimbang 3 g kentang, 5 g pepton dan15 g bacto agar, kemudian
dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 1000 ml aquades dan
didiamkan sampai homogen, kemudian disaring dengan kain kasa dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril sampai sepertiga tabung reaksi dan
kedalam petridish sebanyak 10 -15 ml. Tabung dan petridish disterilkan
dengan autoclaf pada suhu 121
o
C tekanan 15 psi selama 15 menit. Tabung

PKMP-4-1-3
reaksi ini didinginkan dalam posisi miring. Selanjutnya medium ini
digunakan untuk mengisolasi bakteri.
b. Pembuatan medium air kertas yang dihaluskan
10 gr kertas yang sudah halus masukkan kedalam erlenmeyer yang berisi
300 ml aquades, kemudian dipanaskan sambil diaduk dengan magnetik
strirer sampai mendidih. Kemudian disaring dengan kain kasa dan
dimasukkan ke dalam petridish sebanyak 10 -15 ml. Tabung dan petridish
disterilkan dengan autoclaf pada suhu 121
o
C tekanan 15 psi selama 15
menit. Selanjutnya medium ini digunakan untuk mengisolasi bakteri.
c. Pembuatan medium CMC (Carbon Methyl Cellulase)
Timbang 5 gr serbuk CMC dan 7,5 gr agar, masukkan ke dalam erlenmeyer,
tambahkan 200 ml aquadest panaskan sampai mendidih dan homogen,
kemudian tambahkan aquadest sampai volumenya 500 ml dan panaskan
sampai mendidih. Masukkan kedalam petridish dan diamkan sampai 24 jam.
Selanjutnya medium ini digunakan untuk seleksi mikroba.
d. Pembuatan medium produksi
Medium fermentasi terdiri dari nasi dan serbuk gergaji yang dihaluskan.
Semua bahan dilarutkan dalam 1000 ml akuades dan dipanaskan sampai
mendidih sambil diaduk dengan magnetik stirer. Setelah mendidih campuran
dituangkan kedalam erlenmeyer dan ditutup dengan kapas dan disterilkan
dalam autoklaf pada suhu 121
o
C tekanan 15 psi selama 20 menit.
3. Pengambilan sampel
Sampel yang diambil adalah sampel lumpur selokan dari hasil limbah buangan
rumah tangga. Lumpur tersebut dimasukan kedalam tabung reaksi yang telah
berisi 25 ml akuades, kemudian digoyang goyang agar campuran tersebut
menjadi merata.
4. Isolasi Mikroba
Isolasi bakteri dilakukan dengan menggunakan medium Potato Dextro Agar
yang selanjutnya disebut sebagai medium isolasi. Dipipet 1 ml sampel air
ekstrak lumpur selokan lalu dituangkan kedalam petridish berisi medium
isolasi, digoyang goyang agar suspensi merata dalam medium. Setelah
membeku, diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 40
o
C selama 24 48
jam sampai terlihat adanya koloni mikroba yang tumbuh. Koloni koloni
tersebut dipisahkan dengan menggunakan metoda kuadran dalam medium
yang sama sampai diperoleh isolat tunggal.
5. Seleksi Mikroba penghasil enzim lignosellulotik
Koloni koloni tunggal yang tumbuh pada medium isolasi, kemudian
ditotolkan dengan menggunakan jarum ose steril ke petridish yang berisi
medium air kertas dan medium CMC yang selanjutnya disebut medium
seleksi. Mikroba tersebut diinkubasi pada suhu 40
o
C selama 24 jam secara
aerob. Koloni koloni penghasil lignosellulosa memperlihatkan zona bening
disekitar koloni. Koloni tersebut digoreskan ke media baru dengan
menggunakan metoda kuadran sehingga didapat isolat murni.
6. Pengembangbiakan Mikroba
Isolat isolat murni yang didapatkan ditumbuhkan kedalam medium agar
miring PDA dan diinkubasikan pada suhu 40
o
C. Setelah tumbuh dimasukan
1 ml akuades steril kedalam agar miring dan biakan dilepas dengan bantuan
jarum ose steril serta dikocok hingga terlepas dari permukaan agar dan seluruh

PKMP-4-1-4
suspensi dipindahkan kedalam erlenmeyer 100 ml yang berisi media produksi
yang terdiri dari serbuk gergaji yang dihaluskan dan nasi. Medium tersebut
kemudian di inkubasi selamam 48 jam pada suhu 40
o
C. Pada akhir masa
inkubasi biakan ini siap dipakai sebagai inokulat.
7. Penguraian sampah organik menjadi kompos
Setelah didapatkan biakan bakteri dalam medium produksi yang bervariasi,
lalu bakteri ini digunakan untuk penguraian sampah organik, dimana starter
yang digunakan adalah inokulat. Mikroba inokulat ini dimasukkan kedalam
sampah organik sebanyak 5 kg yang berada dalam wadah kompos, kemudian
diamati waktu pembentukan kompos
8. Uji Analisa Kompos
Dari percobaan dengan menggunakan mikroba penhasil enzim lignosellulosa
dan starter lumpur selokan dilakukan pengamatan data untuk; suhu, pH,
lamanya sampah terurai menjadi kompos, kandungan N dengan metoda
Kyelhdal, P dengan metoda spektrofotometer, K dengan metoda AAS, Bau
yang dihasilkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil isolasi mikroba dari sampel lumpur selokan di tiga tempat yang
berbeda yaitu lubuk buaya (komplek mutiara putih), lubek begalung (komplek
wisma utama), ketaping, yang dilakukan pada medium PDA (Potato Dextro Agar)
pada berbagai variasi suhu (30
o
, 40
o
, 50
o
, 60
o
Celcius) diperoleh pertumbuhan
optimum mikroba pada suhu 40
o
C setelah 24 jam.

Tabel pengamatan pertumbuhan koloni suhu 30
o
C


12 jam 24 jam 36 jam 48 jam

3 4 5 6 3 4 5 6 3 4 5 6 3 4 5 6
A 15 6 0 2 16 6 1 2 21 8 5 3
B 4 1 1 1 5 1 0 1 9 3 3 7
C 1 2 0 2 1 4 0 2 1 3 4 3
Terbentuknya
kapang (koloni
mulai menyatu
dan berbulu)





PKMP-4-1-5


Suhu 40
o
C


12 jam 24 jam 36 jam 48 jam

3 4 5 6 3 4 5 6 3 4 5 6 3 4 5 6
A 80 7 78 1 100 29 79 6 64 30 74 12
B 5 3 2 4 13 4 2 4 14 8 5 17
C 14 7 6 1 45 22 19 4 15 11 4 1
Terbentuknya
kapang (koloni
mulai menyatu
dan berbulu)



















(a) (b)






Pengenceran 3x
0
5
10
15
20
25
0 20 40 60
Waktu (Jam)
J
u
m
l
a
h

K
o
l
o
n
i
Pengenceran 4x
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 20 40 60
Waktu (Jam)
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

PKMP-4-1-6


















(c) (d)

Gambar. 1 Kurva pertumbuhan mikroba pada suhu 30
o
C
























(e) (f)








Pengenceran 5x
-1
0
1
2
3
4
5
6
0 20 40 60
Waktu (Jam)
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i
Pengenceran 6x
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 20 40 60
Waktu (jam)
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i
Pengenceran 3x
0
10
20
30
40
50
60
70
0 20 40 60
Waktu (Jam)
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i
Pengenceran 4x
0
5
10
15
20
25
30
35
0 20 40 60
Waktu (Jam)
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

PKMP-4-1-7






















(g) (h)







Gambar. 2 Kurva pertumbuhan mikroba pada suhu 40
o
C


Pada suhu 50
o
dan 60
o
C tidak terjadi pertumbuhan koloni mikroba setelah
diamati selama 48 jam.
Setelah dilakukan isolasi dan didapatkan suhu optimum pertumbuhan
mikroba, selanjutnya dilakukan proses seleksi bakteri dengan menggunakan
medium PDA+air kertas, medium PDA+serbuk gergaji dan medium CMC.
Pada medium PDA+air kertas, medium PDA+serbuk gergaji, dan medium
CMC ditemukan zona bening setelah 24 jam, kemudian mikroba yang didapatkan
itu dibiakan dengan menggunakan medium produksi yang terdiri dari serbuk
gergaji yang dihaluskan dan nasi. Medium tersebut kemudian di inkubasi selama
48 jam pada suhu 40
o
C. Pada akhir masa inkubasi biakan ini siap dipakai sebagai
inokulat. Setelah didapatkan biakan bakteri dalam medium produksi yang
bervariasi, lalu bakteri ini digunakan untuk penguraian sampah organik, dimana
starter yang digunakan adalah inokulat. Mikroba inokulat ini dimasukkan kedalam
sampah organik sebanyak 5 kg yang berada dalam wadah kompos, kemudian
diamati waktu pembentukan kompos. Dari percobaan yang dilakukan waktu yang
diperlukan untuk pembentukan kompos adalah 2-3 minggu, yang dipengaruhi oleh
banyaknya inokulat yang ada dalam sampah yang akan dikomposkan.




Pengenceran 5x
0
5
10
15
20
25
0 20 40 60
Waktu (Jam)
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i
Pengenceran 6x
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0 20 40 60
Waktu (Jam)
J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i
Sampel A Sampel B Sampel C

PKMP-4-1-8
KESIMPULAN
Lumpur selokan merupakan media/sampel dalam penapisan
mikroorganisme penghasil enzim lignosellulosa, dimana lumpur selokan
merupakan tempat pembuangan limbah cair rumah tangga dan banyak
mengandung sellulosa yang sangat sulit terurai. Hasil isolasi mikroba lumpur
selokan pada medium PDA, terdapat jenis Fungi dan Actynomicetes setelah
dilihat morfologinya pada mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Suhu optimum
mikroba yang diisolasi adalah 40
o
C setelah 24 jam. Isolat dari lumpur selokan
mampu membentuk zona bening pada medium PDA+air rendaman kertas,
medium PDA+serbuk gergaji, dan medium CMC. Waktu yang digunakan untuk
pembentukan kompos oleh mikroba tersebut adalah 2 3 minggu tergantung
dengan banyaknya inokulat yang berkembang biak.


DAFTAR PUSTAKA
1. LIPTAN No. 3/L/1988/89
2. Mangunwidjaja, Ani Suryani. TEKNOLOGI BIOPROSES ; penelaah E.
Gumbira Said. Jakarta : Penebar Swadaya, 1994. hal 12 dan 35.
3. Pratomo H, Suhardianto A, Studi Aspek fisik, biologi, kimia terhadap cacing
tanah dan kascing pada pengolahan sampah menjadi pupuk organik. Jurusan
Biologi, FMIPA-UT.
4. Supriyanto A. 2001. Aplikasi wastewater sludge untuk proses pengomposan
serbuk gergaji. PT NovartisBiochemie, Bogor.
5. Volk, Wheeler.1988. Mikrobiologi Dasar. PT Erlangga. Jakarta


PKMP-4-2-1
RANCANG BANGUN MESIN PEMBUAT PASTA MELINJO

Asropi, Ardi Tanjung, Diah Indah Rosalina, Sari Pujiyati
Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Lampung, Bandar Lampung

ABSTRAK
Proses pembuatan emping melinjo secara tradisional belum dapat dilakukan
secara mekanis sehingga kapasitas kerja terbatas, kejerihan tenaga kerja tinggi
dan keseragaman hasil produksi rendah. Rancang bangun mesin pembuat pasta
melinjo bertujuan menciptakan proses pengolahan biji melinjo menjadi pasta
secara langsung dengan menggunakan prinsip kerja mekanis tekan-putar dalam
proses penghancuran biji melinjo. Dari hasil pengujian dengan menggunkan
kecepatan putar pisau penghancur sebesar 5250 rpm, diketahui rata-rata
kapasitas kerja mesin hasil rancangan sebesar 3,591 kg/jam dan besarnya
penggunaan tenaga rata-rata pada mesin adalah 387,2 watt. Sedangkan nilai
rata-rata waktu yang diperlukan untuk mengolah 1 kg biji melinjo menjadi pasta
adalah 16,72 menit.

Kata Kunci : emping melinjo, melinjo, pasta.

PENDAHULUAN
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah membawa
dampak yang cukup luas dalam perekonomian masyarakat. Pada kondisi tersebut,
industri kecil skala rumah tangga dengan sumber bahan baku utama dihasilkan
dari dalam negeri (wilayah sekitar) telah terbukti menjadi tulang punggung
pertumbuhan ekonomi. Ini dibuktikan bahwa sektor usaha ini memiliki
sumbangan yang positif terhadap pendapatan negara, sementara pada saat yang
sama sektor yang lain mengalami pertumbuhan negatif. Dengan bukti tersebut
maka pengembangan usaha/ekonomi oleh pemerintah sekarang ini ditekankan
pada industri-industri yang tidak tergantung pada bahan impor, dan padat karya
yang melibatkan banyak tenaga kerja. Industri kecil rumah tangga seperti mie
tapioka, emping melinjo, keripik pisang, kelanting, slondok dan lain-lainnya yang
banyak diusahakan oleh masyarakat di Lampung memiliki potensi yang baik
untuk pertumbuhan ekonomi pedesaan sehingga perlu terus didorong
pengembangannya.
Emping melinjo merupakan salah satu makanan kemilan tradisional, yang
digemari oleh segala lapisan masyarakat di Indonesia. Jenis makanan ini dibuat
dari biji melinjo (Gnetum gnemon, LINN) yang banyak tumbuh di berbagai
daerah di Indonesia. Propinsi Lampung termasuk daerah penghasil buah melinjo.
Luas areal kebun melinjo di daerah Lampung belum diketahui secara pasti karena
sebagian besar tanaman melinjo hanya sebagai tanaman selingan. Total produksi
buah melinjo di Propinsi Lampung pada tahun 2003 mencapai 13.721 ton.
Sebagian besar dihasilkan oleh empat kabupaten yaitu Lampung Selatan (48,44
%), Lampung Timur (11,66 %), Lampung Tengah (10,49 %), dan Tanggamus
(8,48 %) (Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2004).
Tanaman melinjo ini tidak banyak menuntut persyaratan tumbuh yang
spesifik sehingga potensi produksinya sangat besar dalam satu musim panen.

PKMP-4-2-2
Buah melinjo dihasilkan secara musiman. Untuk mempertahankan ketersediaan
bahan baku selama musim paceklik (tidak panen) maka usahawan emping melinjo
melakukan penyimpanan (stok). Sering kali melinjo disimpan lama sebelum
diolah, yang mengakibatkan penurunan kadar air. Hal ini akan berpengaruh
terhadap sifat-sifat emping yang dihasilkan (Supargiyono, 1982).

Tabel 1. Produksi buah melinjo menurut kabupaten/kota Propinsi Lampung
Tahun 2003

No. Kabupaten/Kota Total Produksi (ton)
1 Lampung Barat 433
2 Tanggamus 1.164
3 Lampung Selatan 6.646
4 Lampung Timur 1.600
5 Lampung Tengah 1.439
6 Lampung Utara 564
7 Way Kanan 166
8 Tulang Bawang 1.033
9 Bandar Lampung 626
10 Metro 495
Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2004

Emping melinjo merupakan produk olahan bernilai ekonomis dan banyak
digemari oleh masyarakat. Permintaan konsumen di dalam negeri cukup banyak,
bahkan mulai diekspor ke beberapa negara Asia, Eropa, dan Amerika. Tahap
penting pembuatan emping adalah pemipihan, yang harus cepat dilakukan pada
saat biji masih panas yang bersifat lenting. Apabila mendingin, biji menjadi keras
dan getas. Pengerasan tersebut mungkin akibat retrogradasi pati (Haryadi, 1993).
Kadar pati melinjo segar adalah 66,53% (Supargiyono, 1982). Dalam keadaan
kadar air yang lebih besar mungkin pengerasan selama pendinginan lebih lambat,
sehingga tidak perlu cepat-cepat dipipihkan.
Proses pembuatan emping melinjo hingga saat ini kebanyakan masih
dilakukan secara manual. Metode konvensional yang umum dilakukan adalah
dengan penyangraian melinjo lalu dipukul dengan pemukul untuk memperoleh
bentuk yang pipih. Waktu antara pembentukan dengan penyangraian harus pendek
karena jika melinjo telah dingin tidak diperoleh hasil yang maksimal karena
melinjo berubah sifat menjadi kurang melenting. Metode ini tidak dapat
dilakukan secara mekanis, sehingga kapasitas produksinya terbatas, kejerihan
tenaga kerja tinggi, keseragaman hasil rendah, dan bentuknya monoton yaitu
bundar tipis.
Untuk itu dicoba dilakukan suatu metode baru dalam proses penanganan
melinjo menjadi adonan (pasta) dengan menggunakan suatu mesin pembuat pasta
melinjo. Diharapkan dengan perubahan penanganan ini akan meningkatkan
produktifitas dan adanya diversifikasi pangan dari pengolahan biji melinjo.
Kelebihan dari metode ini dibandingkan metode konvensional adalah dapat
diproduksi secara mekanisasi sehingga proses pembuatan lebih cepat, hasil lebih
seragam, menarik karena dapat dibuat berbagai bentuk dan rasa serta lebih tahan
lama.

PKMP-4-2-3
Penelitian ini bertujuan membuat suatu rancangan mesin pembuat pasta
melinjo secara sederhana. Dari penelitian ini diharapkan menghasilkan keluaran
yang bermanfaat yakni terciptanya teknik baru dalam proses penanganan melinjo
menjadi pasta, sehingga dapat diaplikasikan dalam dunia usaha di bidang
penanganan produk pangan olahan.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2005 di
Bengkel Mekanisasi Pertanian dan Lab. Daya dan Alat Mesin Pertanian, Program
Studi Teknik Pertaian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu meliputi penelitian
pendahuluan, perancangan alat, pembuatan alat dan pengujian alat.




















Tidak

Ya


Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan penelitian
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: biji melinjo yang sudah
tua, besi plat, mur-baut ukuran 12 cm dan 14 cm, besi siku ukuran 3,5 cm x 3 cm,
plat seng, motor listrik 1 HP, sistem transmisi V-belt dan pulley, bearing, dan
heater
Mulai
Penelitian Pendahuluan
Perancangan Alat: (Kriteria desain; Rancangan fungsional; Rancangan struktural)
Pencatatan dan analisis data
Memenuhi
kriteria desain
Selesai
Penentuan desain dasar alat
Pembuatan alat
Pengujian alat
Modifikasi/
perbaikan

PKMP-4-2-4
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari alat ukur (meteran),
mesin bor, gergaji besi, seperangkat kunci, palu, gerinda, termometer, mesin las
listrik dan las karbit, tachometer, kompor, dan wajan gerabah.

Penelitian pendahuluan
Pada tahap ini dilakukan pengamatan prinsip kerja dari mesin pembuat jus
buah atau blender. Beberapa komponen pada mesin blender yang menjadi
perhatian selama pengamatan adalah desain pisau penghancur dan cara kerjanya
serta sistem transmisi atau pemindahan daya yang digunakaan. Selain itu juga
dilakukan pengukuran terhadap kecepatan putar dari pisau penghancur.
Pengamatan tersebut dilakukan sebagai upaya pendekatan desain untuk mesin
pembuat pasta melinjo yang akan dirancang.

Perancangan alat
Pada tahap ini dilakukan pemilihan tipe alat dan komponen-komponen yang
akan dibuat serta bahan pembuat dan ukurannya. Tahap perancangan ini
dilakukan dengan memperhatikan hasil dari penelitian pendahuluan. Pada tahap
ini juga dibuat gambar teknik dari alat yang dirancang.

Kriteria desain
Alat yang dirancang diharapkan sesuai dengan fungsi dan tujuan yang
memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Alat yang dirancang mampu menghasilkan melinjo dalam bentuk pasta.
- Penggunaan mesin dapat meminimalkan kontak langsung antara organ tubuh
dengan biji melinjo.
- Pengumpanan biji melinjo berada dibagian atas tabung penghancur.
- Mesin pembuat pasta dikhususkan untuk membuat pasta melinjo.
- Pisau penghancur digerakkan oleh motor listrik dan searah dengan perputaran
poros motor listrik.
- Bahan pembuatan alat harus mudah didapatkan di pasaran. Selain itu,
rancangan alat ini dibuat sesederhana mungkin agar dapat dikembangkan lebih
lanjut oleh para pengrajin melinjo.

Desain fungsional
Prinsip kerja dari mesin pembuat pasta melinjo ini menyerupai mesin
pembuat jus buah atau blender yang menggunakan prinsip kerja tekan-putar pada
proses penghancuran. Tetapi pada alat ini ada penambahan sistem pemanasan
untuk mendapatkan sifat kelentingan biji melinjo sehingga biji akan lebih mudah
pecah.
Bagian fungsional dari alat ini meliputi rangka alat, tabung penghancur,
ruang pemanas, pisau penghancur, heater, sistem transmisi, dan motor listrik.
a) Rangka alat
Berfungsi sebagai tempat dudukan dari komponen-komponen alat dan juga
sebagai penopang motor penggerak yang dihubungkan dengan menggunakan
mur-baut.

PKMP-4-2-5
b) Tabung penghancur
Berfungsi sebagai ruang penghancur biji melinjo yang akan diolah menjadi
pasta.
c) Ruang pemanas
Berfungsi sebagai tempat bagi air yang digunakan sebagai media pemanas.
Ruang pemanas merupakan ruang yang terletak di sekeliling tabung
penghancur.
d) Pisau penghancur
Berfungsi sebagai penghancur biji melinjo pada proses pembuatan pasta
melinjo. Pisau penghancur terletak di dalam tabung penghancur.
e) Heater
Berfungsi sebagai sumber panas yang akan diteruskan secara konveksi ke
dinding bagian dalam dengan menggunakan media air yang terletak diantara
kedua dinding plat. Penambahan sistem pemanasan ini untuk mendapatkan
sifat kelentingan biji melinjo sehingga biji akan lebih mudah pecah.
f) Sistem transmisi
Sistem transmisi yang digunakan pada alat ini adalah V-belt dan pulley yang
berfungsi sebagai sistem transmisi yang akan meneruskan gaya gerak putar
dari motor listrik ke pisau penghancur.
g) Motor listrik
Berfungsi sebagai sumber tenaga penggerak untuk memutar pisau
penghancur.

Desain struktural
Secara struktural mesin pembuat pasta melinjo yang akan dirancang lebih
dominan dalam penggunaan bahan utama yang berasal dari besi. Hal ini
dimaksudkan agar alat memiliki ketahanan kerja pada saat dioperasikan. Hanya
pada dinding bagian dalam pada tabung penghancur terbuat dari plat seng yang
memiliki pelapisan alumunium, dimaksudkan agar tidak terjadi proses
pengkaratan pada mesin akibat terjadinya kontak langsung dengan biji melinjo
yang akan dihancurkan. Gambar 2. menunjukkan desain mesin pembuat pasta
melinjo.
a) Rangka alat
Rangka alat terbuat dari besi siku dengan lebar 3,5 cm dan tebal 3 mm.
Rangka alat dibuat dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 50 cm dan tinggi alat
45 cm. Pada bagian atas rangka terdapat dudukan silinder penghancur dan
ruang pemanas dengan ukuran 23 cm x 23 cm. Pada salah satu sisi alat
terdapat dudukan motor listrik dengan ukuran 25 cm x 20 cm.
b) Tabung penghancur dan ruang pemanas
Tabung penghancur dan ruang pemanas terbuat dari besi plat dengan tebal 0.5
mm. Tabung penghancur terletak dibagian dalam tabung ruang pemanas,
tabung penghancur berdiameter 15 cm dengan tinggi 20 cm, sedangkan tabung
ruang pemanas berdiameter 23 cm dengan tinggi 16 cm.
c) Pisau penghancur
Pisau penghancur terbuat dari besi strip dengan panjang pisau 13 cm dan tebal

PKMP-4-2-6
2 mm. Pisau penghancur terdiri dari dua pisau yang dijadikan satu, pada
masing-masing pisau terdapat dua mata pisau dengan panjang masing-masing
mata pisau 5 cm.
d) Heater
Heater yang digunakaan adalah heater yang sering dipakai untuk memanaskan
air. Heater diletakkan di dalam ruang pemanas dimana ujung heater berada
pada tutup ruang pemanas.













Gambar 2. Desain mesin pembuaat pasta melinjo

Pembuatan alat
Pembuatan alat dilaksanakan di Mekanisasi Pertanian dan Laboratorium
Daya dan Alat Mesin Pertanian, Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung yang dilaksanakan pada bulan Juli 2005.
Sebagian besar komponen mesin pembuat pasta pada proses pembuatannya
masing-masing melalui tahap: persiapan bahan, pengukuran, pemotongan,
pengelasan, perapihan dan pengecatan.

Pengujian Alat
Setelah alat selesai dibuat perlu dilakukan suatu pengujian alat dengan
terlebih dahulu melakukan penyetelan komponen-komponen mesin dengan tujuan
untuk mendapatkan kinerja pada mesin berjalan optimal secara keseluruhan.
Selama pengujian, kecepatan putar pisau penghancur diatur sebesar 5250
rpm. Penetapan besarnya kecepatan putar pisau penghancur mesin pembuat pasta
melinjo merupakan pendekataan dari kecepatan putar pisau penghancur pada
blender yang masih dapat diterapkan pada mesin pembuat pasta melinjo dengan
menggunakan sistem transmisi berupa pulley dan V-belt. Untuk mendapatkan
kecepatan putar pisau penghancur seperti yang diinginkan maka dilakukan
perbandingan antara diameter pulley motor listrik dan pulley poros pisau
penghancur sebesar 1 : 3,5 dimana kecepatan putar dari motor listrik yang
digunakan adalah 1500 rpm.
Prosedur pengujian mesin pembuat pasta melinjo adalah sebagai berikut:
Melinjo yang telah terkupas kulit luarnya terlebih dahulu disangrai kurang lebih
selama 10 menit dengan suhu penyangraian 60 80C, kemudian dilakukan
pengupasan kulit keras biji melinjo dengan menggunakan alat pengupas kulit

PKMP-4-2-7
keras biji melinjo. Setelah kulit keras biji melinjo terkupas maka daging buah
melinjo dapat segera dibuat pasta.
Agar biji melinjo lebih mudah pecah pada saat proses pembuatan pasta
perlu dijaga sifat kelentingan dari biji melinjo, sehingga sebelum biji melinjo
dimasukkan ke dalam tabung penghancur, harus dipastikan air sebagai media
pemanas yang terdapat didalam ruang pemanas harus dalam keadaan panas.
Dalam proses pembuatan pasta melinjo terdapat tiga langkah proses, yaitu:
a) Setelah biji melinjo dimasukkan kedalam tabung penghancur, biji melinjo
dihancurkan menjadi potonganpotongan kecil terlebih dahulu.
b) Setelah biji melinjo menjadi potonganpotongan kecil, untuk membantu
proses penghancuran diperlukan penambahan air, setelah proses ini biji
melinjo belum benar-benar menjadi halus.
c) Untuk itu perlu dilakukan penambahan air kembali agar biji melinjo
benarbenar menjadi pasta.

Parameter yang diukur
Kapasitas kerja mesin
Pengukuran kapasitas kerja mesin dilakukan untuk mengetahui jumlah
bahan (melinjo) yang terolah per satuan waktu pengolahan dengan rumus:
Ka =
t
Bt
.............................................................................. (1)
dimana : Ka = Kapasitas kerja mesin (kg/jam)
Bt = Jumlah melinjo terolah (kg)
t = Waktu pengolahan (jam)

Kebutuhan tenaga
Tenaga pada mesin diperlukan untuk memutar poros pisau penghancur
dengan menggunakan motor listrik sebagai penggeraknya. Pengukuran kebutuhan
tenaga mesin pembuat pasta melinjo dapat dilakukan dengan menggunakan
persamaan berikut:
P =
t
E
.......................................................................... (2)
dimana : P = Kebutuhan tenaga (watt)
E = Energi yang terpakai (watt.detik)
t = Waktu pengolahan yang dibutuhkan (detik)




HASIL DAN PEMBAHASAN
Unjuk Kerja Mesin Pembuat Pasta Melinjo
Mesin pembuat pasta melinjo dirancang dan dibuat untuk proses pengolahan
biji melinjo menjadi pasta melinjo sebagai salah satu upaya diversifikasi pangan.
Pada dasarnya cara kerja dari mesin ini adalah menghancurkan biji melinjo
dengan menggunakan prinsip kerja tekan-putar dan menambahkan sistem
pemanasan untuk mendapatkan sifat kelentingan biji melinjo selama proses

PKMP-4-2-8
penghancurannya sehingga produk yang dihasilkan berupa pasta atau adonan.
Prototipe mesin pembuat pasta melinjo hasil rancangan dapat dilihat pada
Gambar 3.











Gambar 3. Mesin pembuat pasta melinjo

Mesin pembuat pasta melinjo yang telah dirancang memiliki spesifikasi
sebagai berikut :
a. Nama : Mesin pembuat pasta melinjo
b. Sumber tenaga : Motor listrik 1 HP, 1500 rpm
c. Berat alat : 15 kg
d. Kapasitas : 8 kg
e. Dimensi alat : - rangka 50 x 50 x 45 cm
- tabung penghancur diameter 15 cm dan tinggi 20 cm
- ruang pamanas diameter 23 cm, tinggi 16 cm

Sistem transmisi dan rangka mesin
Sistem transmisi merupakan komponen pemindah daya yang berasal dari
motor listrik untuk memutar pisau pisau penghancur. Gerak putar pulley motor
listrik diteruskan ke pulley poros pisau penghancur dengan menggunakan V-belt.
Sebagai tenaga penggerak digunakan motor listrik 1 HP dengan kecepatan putar
1500 rpm. Selama pengujian diperoleh kecepatan putar aktual pisau penghancur
sebesar 5107 rpm, lebih kecil jika dibandingkan dengan kecepatan putar pisau
penghancur yang diinginkan sebesar 5250 rpm. Perbedaan besarnya kecepatan
putar pisau penghancur secara aktual dan teoritis disebabkan karena terjadinya
slip pada sistem transmisi yang digunakan akibat tingginya kecepatan putar yang
dikenakan pada poros pisau penghancur. Selain itu sifat viskositas pasta melinjo
yang terbentuk menghambat perputaran pada pisau penghancur.
Berdasarkan pengamatan selama pengujian, rangka mesin cukup kokoh dan
mampu menopang setiap komponen mesin yang terpasang dengan sempurna.
Hanya saja terdengar suara berderit akibat getaran yang ditimbulkan karena
besarnya kecepatan putar poros pisau penghancur.

Tabung penghancur dan ruang pemanas
Proses penghancuran biji melinjo menjadi adonan atau pasta berlangsung di
dalam tabung penghancur yang terletak dibagian dalam dari ruang pemanas.
Besarnya dimensi dari tabung penghancur akan berpengaruh terhadap kapasitas

PKMP-4-2-9
dari mesin pembuat pasta melinjo. Mesin yang telah dirancang memiliki kapasitas
maksimal dari tabung penghancur sebesar 8 kg biji melinjo yang siap diolah.
Pada saat pengujiuan dan pengamatan kinerja mesin diketahui terjadi
kebocoran sebagian kecil air yang ditambahkan ke dalam tabung penghancur
selama proses pengoperasian mesin. Hal ini disebabkan karena lubang poros pisau
penghancur yang berada di dasar tabung tidak tertutup sempurna yang disebabkan
oleh putaran poros pisau penghancur mengakibatkan terjadinya celah yang dapat
dilalui oleh air. Namun ketika air telah tercampur dengan pasta yang terbentuk,
tidak terjadi lagi kebocoran.
Suhu di dalam tabung penghancur berkisar 30-35
o
C. Hal ini disebabkan
karena terjadinya aliran panas dari ruang pemanas yang terisi oleh air yang
mendidih ke dinding tabung penghancur secara konveksi. Peningkatan suhu di
dalam tabung penghancur akan membantu proses degradasi pati pada biji melinjo
sehingga memudahkan proses penghancuran dan pembuatan pasta melinjo.

Pisau penghancur
Pisau penghancur merupakan komponen utama dari mesin pembuat pasta
melinjo yang berfungsi untuk menghancurkan biji melinjo menjadi pasta. Bentuk
pisau penghancur didesain menyerupai bentuk dari pisau penghancur pada
blender. Bentuk pisau penghancur memiliki empat posisi sudut yang berbeda
dengan besarnya sudut berkisar 15
o
antar ujung mata pisau. Hal ini bertujuan agar
selama proses penghancuran, biji melinjo terdorong ke atas dan kemudian
kembali mengenai pisau penghancur secara berulang-ulang.
Penyambungan antara pisau penghancur dan poros pisau penghancur dengan
menggunakan sistem ulir tidak dapat dilakukan mengingat pada saat proses
penghancuran biji melinjo, pisau penghancur akan menerima beban puntir
sehingga menyebabkan terlepasnya ikatan ulir pada pisau penghancur dari poros.
Oleh karena itu selama pengujian mesin, penyambungan antara pisau penghancur
dan poros pisau penghancur dilakukan dengan cara dilas. Hanya saja sistem
penyambungan tersebut mengakibatkan sedikit kesulitan dalam perakitan dan
pembongkaran komponen mesin pada saat mesin akan digunakan maupun saat
pembersihannya.

Heater
Heater merupakan komponen penting untuk menghasilkan panas yang
digunakan untuk mendidihkan air di dalam ruang pemanas. Selama pengujian
mesin, digunakan dua buah heater yang mampu mendidihkan air di dalam ruang
pemanas selama 20 menit.


Hasil Pengujian pada Mesin
Secara keseluruhan, mesin pembuat pasta melinjo yang dirancang telah
mampu merubah bentuk fisik biji melinjo menjadi pasta atau adonan. Hanya saja
proses penghancuran biji melinjo kurang sempurna sehingga di dalam pasta masih
ditemukan pecahan biji melinjo dalam ukuran yang relatif cukup besar sehingga
pasta melinjo yang dihasilkan terasa sedikit kasar.

PKMP-4-2-10
A
Proses perubahan bentuk fisik biji melinjo menjadi pasta terjadi di dalam
tabung penghancur. Proses terbentuknya pasta melinjo juga dibantu dengan
adanya panas yang berasal dari ruang pemanas yang diteruskan secara konveksi
pada dinding tabung penghancur.









(a) (b)

Gambar 4. (a) Proses pembuatan pasta; (b) Pasta yang dihasilkan

Pengujian mesin pembuat pasta melinjo
Pengujian dilakukan dengan menetapkaan kecepatan putar pisau penghancur
secara teoritis sebesar 5250 rpm. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali sebagai
bentuk pengulangan dimana setiap pengujian menggunakan biji melinjo sebanyak
1 kg dan dilakukan penambahan air sebanyak 400 ml. Data hasil perhitungan
waktu yang dibutuhkan selama proses pembuatan pasta dan jumlah putaran pada
kWh meter selama pengujian ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Data hasil pengujian mesin pembuat pasta melinjo
Ulangan Waktu penghancuran (detik) Jumlah putaran (kWh Meter)
1 967 73
2 1051 89
3 993 80
Rerata 1003,67 80,67

Dari hasil pengujian mesin pembuat pasta melinjo dapat diketahui bahwa
waktu yang diperlukan untuk menghancurkan biji melinjo dan mengubahnya
menjadi pasta relatif cukup lama. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan
sifat fisik-kimia pati yang terkandung di dalam biji melinjo sehingga
mengakibatkan pasta yang dihasilkan memiliki nilai viskositas yang cukup tinggi
(Harper, 1989). Pada kondisi tersebut dibutuhkan energi mekanik yang cukup
tinggi agar terjadi perubahan bentuk dari biji melinjo menjadi adonan.


Kapasitas kerja mesin
Besarnya nilai kapasitas kerja mesin dipengaruhi oleh waktu yang
diperlukan untuk menghancurkan biji melinjo menjadi pasta atau adonan.
Besarnya kapasitas kerja mesin pada pengulangan 1, 2, dan 3 adalah 3,723
kg/jam; 3,425 kg/jam dan 3,625 kg/jam dengan besarnya nilai rata-rata kapasitas
kerja mesin adalah 3,591 kg/jam.

PKMP-4-2-11

Kebutuhan tenaga
Mesin pembuat pasta melinjo menggunakan motor listrik 1 HP dengan
kecepatan putar 1500 rpm. Dalam tiga kali pengulangan selama proses pengujian
mesin membutuhkan tenaga sebesar 350,4 watt; 427,2 watt; dan 384 watt. Nilai
rata-rata kebutuhan tenaga mesin pembuat pasta melinjo sebesar 387,2 watt.

KESIMPULAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
a) Pengolahan biji melinjo dapat dilakukan dengan cara penghancuran
secara langsung biji melinjo untuk menjadi pasta atau adonan dengan
terlebih dahulu memanaskan biji melinjo tersebut untuk mendaapatkan
sifat kelentingannya.
b) Selama pengujian mesin pembuat pasta melinjo, untuk menghancurkan
dan membuat pasta melinjo sebanyak 1 kg biji melinjo yang siap olah
membutuhkan waktu rata-rata selama 1003,67 detik atau sekitar 16,72
menit dari kapasitas maksimum pengolahan sebesar 8 kg.
c) Kapasitas kerja rata-rata mesin pembuat pasta melinjo hasil rancangan
adalah sebesar 3,591 kg/jam dengan kebutuhan tenaga rata-rata yang
diperlukan untuk mengolah 1 kg biji melinjo sebesar 387,2 watt pada
kecepatan putar dari pisau penghancur 5250 rpm.
Dari hasil pengamatan dan pengujian serta untuk mendapatkan
kesempurnaan kinerja pada mesin pembuat pasta melinjo maka disarankan untuk:
a) Melakukan modifikasi pada mesin hasil rancangan terutama pada desain
pisau penghancur dan dasar tabung penghancur untuk mendapatkan
tingkat kehalusan butiran biji melinjo setelah menjadi pasta.
b) Mengubah sistem transmisi pada mesin hasil rancangan dengan
menggunakn sistem transmisi gear box sehingga didapatkan kecepatan
putar pisau penghancur yang tinggi serta keamanan kerja saat
pengoperasian alat.
c) Melakukan pengujian viskositas pasta melinjo yang dihasilkan oleh
mesin pembuat pasta melinjo dengan menggunakan metode kaliper atau
rheometer sehingga dapat diketahui kualitas pasta yang dihasilkan oleh
alat.

DAFTAR PUSTAKA
Bhattacharya, S. and G.S. Choudhury. 1994. Twin-screw extruction of rice
flour : Effeect of extruder length-to-diameter ratio and barrel temperatur on
extrusion parameters and product characteristics. J. of Food Processing and
Preservation 18:389-406.
Budiharso, S. 1981. Mempelajari Sifat Fisik Buah Melinjo dan Desain Alat
Pengupas Kulit Biji Melinjo (Gnentum gnemon, L). Skripsi Sarjana.
Fateta IPB. Bogor.

PKMP-4-2-12
Harper, J.M. 1989. Food extruders and their applications. In Extrusion Cooking,
1-15, eds. C. Mercier, P. Lingko, and J.M. Harper. St. Paul, Minn :
American Association of Cereal Chemists.
Haryadi, 1989. Usaha Pengembangan Pembuatan Emping Melinjo. Laporan
Penelitian Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Haryadi, 1993. Dasar-dasar dan Pemanfaatan Ilmu dan Teknologi Pati. Agritech
13(2) : 37-42.
Haryadi dan Supriyanto. 1997. Sifat-sifat Emping Melinjo Giling dengan
Tambahan Bikarbonat dan Bisulfit. Agritech 17(3) : 17 20.
Hatta, S. 1991. Budidaya Melinjo dan Usaha Produksi Emping. Kanisius.
Yogyakarta.
Lo, T.E, R.G. Moreira, and M.E. Castell-Perez. 1998
a)
. Effect of Operations
Conditions on Melt Rheological Characteristics During Twin-Screw Food
Extrusion. Transaction of The ASAE 41(6): 1729-1738.
Lo, T.E, R.G. Moreira, and M.E. Castell-Perez. 1998
b)
. Modeling Product
Quality During Twin-Srew Food Extrusion. Transaction of the ASAE 41(6):
1729-1739.
Padmanabhan, M. and M. Bhattacharya. 1993. Planar extensional viscosity of
cornmeal dough. J. Food Engng. 18(1) : 335-349.
Senouci, A. and A.C. Smith. 1988. An experimental study of food melt
rheology. I Shear viscosity using a slit die viscometer and a capillery
rheometer. Rheologica Acta 27(3): 546-554.
Supargiyono, P.H. 1982. Pemahaman dan Pencegahan Kerusakan Melinjo
(Gnetum gnemon) Selama Penyimpanan Sebelum Diolah Menjadi Emping.
Laporan Penelitian, FTP-UGM, Yogyakarta.
Tim Penulis Penebar Swadaya. 2003. Pembudidayaan dan Pengolahan Melinjo.

PKMP-4-3-1
PENGARUH PENGGUNAAN PASTA GIGI YANG MENGANDUNG
TRIKLOSAN, BAKING SODA, DAN ENZIM TERHADAP AKTIVITAS
LAKTOPEROKSIDASE SALIVA
(Penelitian Uji Klinik terhadap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi UI)

Tri Rahayu O, Hana Taqiya, Iwa Wahyudi F
Faultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia, Jakarta

ABSTRAK
Latar belakang : Ekosistem mulut terdiri dari berbagai macam unsur dan
mikroorganisme yang keadaannya seimbang satu sama lain pada orang normal.
Salah satu sistem yang menjaga keseimbangan rongga mulut adalah sistem
laktoperoksidase saliva. Sistem ini bekerja dengan mengoksidasi tiosianat
menjadi hipotiosianat, yang bersifat bakteriostatik bagi bakteri dalam mulut.
Banyak hal yang dapat menganggu sistem ini, salah satunya adalah penggunaan
antiseptik pada pasta gigi. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana pengaruh penggunaan pasta gigi triklosan, baking soda dan enzim
terhadap aktivitas laktoperoksidase saliva. Metode : Sampel yang diperiksa
berupa saliva yang diambil dari 30 orang subjek penelitian, dimana setiap subjek
diberi perlakuan dengan pasta gigi standar (tidak berantiseptik) dan pasta gigi
perlakuan (triklosan, baking soda dan enzim), pada dua hari yang berbeda.
Pengumpulan saliva dilakukan sebelum dan sesudah penggunaan pasta gigi.
Selanjutnya sampel disentrifugasi dan dilakukan pemeriksaan spektrofotometer,
barulah dihitung aktivitas laktoperoksidase-nya. Metode general linear model
repeated measure tipe simpel digunakan untuk menguji statistik penelitian ini.
Hasil : dengan tingkat kepercayaan 95 %, didapatkan hasil untuk aktivitas LP
sebelum-sesudah penggunaan perlakuan dengan pv > 0.05, dan hasil untuk
aktivitas LP setelah penggunaan pasta gigi standar dan perlakuan dengan pv >
0.05. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan aktivitas enzim ini antara sebelum dan sesudah penggunaan
pasta gigi perlakuan (dengan triklosan, baking soda,), kecuali pada pasta gigi
enzim. Juga tidak ada perbedaan bermakna rata-rata aktivitas laktoperoksidase
saliva antara penggunaan pasta gigi perlakuan dengan pasta standar.

Kata kunci : Aktivitas Laktoperoksidase Saliva, Triclosan, Baking Soda, Enzim

PENDAHULUAN
Saliva atau air liur merupakan komponen rongga mulut yang memegang
peranan penting dalam menjaga kesehatan rongga mulut. Hal ini disebabkan oleh
karakteristik yang unik dari saliva itu sendiri. Di satu sisi saliva merupakan cairan
yang mempunyai kandungan bahan antibakteri, namun di sisi lain saliva
merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan berbagai
bakteri karena saliva juga mengandung bahan untuk pertumbuhan dan
perkembangan kuman atau bakteri.
1,2
Keadaan ini menyebabkan terpeliharanya
keseimbangan dalam rongga mulut, sehingga tidak timbul suatu kelainan atau
gangguan di dalam rongga mulut, walaupun secara mikroskopik di dalam mulut
terdapat banyak kuman atau bakteri.
1,2

PKMP-4-3-2
Aktivitas
Laktoperoksidase
1. suhu rongga mulut (37)
2. PH saliva normal (6,5-7,2)
3. OH baik (plak indeks 0-1)
4. kadar H
2
O
2
dan kadar SCN
5. bahan pengawet, penyedap
dan pewarna pada makanan
6. anteseptika dlm pasta gigi
spt triklosan, baking soda
Sikat gigi dengan
pasta gigi perlakuan
1. cara sikat gigi
2. lama sikat gigi
3. frekuensi sikat gigi
4. jenis pasta gigi
5. volume pasta gigi
6. jenis sikat gigi
Salah satu komponen rongga mulut yang terdapat dalam saliva yang
berperan dalam menjaga keseimbangan rongga mulut adalah sistem enzim
laktoperoksidase. Sistem ini merupakan suatu sistem pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme, yang secara alamiah berada dalam saliva dan berfungsi sebagai
bakteriostatik.
2,3,4

Banyak hal yang dapat mengganggu aktivitas enzim ini, salah satunya
adalah penggunaan pasta gigi, terutama pasta gigi yang mengandung antiseptik.
Padahal, masyarakat menggunakan pasta gigi dengan tujuan untuk menghilangkan
kuman dan bakteri yang ada dalam mulut mereka, sehingga kesegaran dan
kesehatan rongga mulut dapat terjaga. Akan tetapi, banyaknya bakteri yang mati
karena penggunaan pasta gigi dengan antiseptik, dan terganggunya sistem yang
mempertahankan keseimbangan rongga mulut, seperti laktoperoksidase, justru
akan membuka peluang bakteri yang lain untuk tumbuh secara tidak terkontrol.
4
Di jaman modern ini produksi pasta gigi semakin berkembang, untuk
memberikan efek kesehatan yang memuaskan masyarakat, produsen
menambahkan bahan-bahan dalam pasta gigi seperti triclosan dan baking soda
yang merupakan antiseptik, untuk meningkatkan daya bakterisid, sehingga
kesehatan gigi dan mulut dapat terpelihara. Selain itu untuk dapat menunjang
aktivitas laktoperoksidase saliva, beberapa produsen juga menambahkan enzim ini
untuk menambah daya kerja dari laktoperoksidase yang ada dalam mulut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penambahan bahan
antiseptika seperti triclosan baking soda maupun enzim ke dalam pasta gigi,
mempunyai manfaat dalam menjaga keseimbangan rongga mulut, tanpa
mengurangi kemampuan sistem pertahanan alamiah saliva.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah adakah pengaruh
antara bahan triclosan, baking soda maupun enzim pada pasta gigi terhadap
aktivitas enzim laktoperoksidase saliva yang berperan menjaga keseimbangan
bakteri rongga mulut.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
bermanfaat bagi masyarakat mengenai efek penggunaan pasta gigi yang
mengandung bahan di atas terhadap kesehatan gigi dan mulut .

METODOLOGI PELAKSANAAN PROGRAM

1. KERANGKA TEORI














Gangguan sistem
pertahanan saliva
Gangguan
bakteriostasis dlm
rongga mulut
Kelainan dan
infeksi dalam RM

PKMP-4-3-3
Laktoperoksidase
saliva
Pasta gigi +
triclosan/b.soda/enzim
Dilakukan pengukuran
sebelum-sesudah
2. KERANGKA KONSEP DAN HPOTESIS










Variabel bebas variabel terikat




3. HIPOTESIS
1. Pengunaan pasta gigi yang mengandung triclosan, baking soda dan enzim
tidak dapat mempengaruhi aktivitas enzim lektoperoksidase (LP),
dibandingkan dengan pasta gigi standar.
2. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara aktivitas enzim laktoperoksidase
(LP) antara sebelum dan sesudah penggunaan pasta gigi dengan triclosan,
baking soda dan enzim.

4. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian Uji klinik.

5. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian adalah 30 orang mahasiswa dari tingkat satu sampai lima
(pria dan wanita), Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, yang
memenuhi
Kriteria inklusi:
a. Dewasa muda (berusia 18-25 tahun)
b. Memiliki higiene mulut baik, plak indeks 0-1, kalkulus indeks 0-1
c. Tidak memiliki kebiasaan minum alkohol dan merokok
d. Keadaan umum baik, tidak mempunyai penyakit sistemik seperti diabetes
melitus
Kriteria eksklusi:
a. Memiliki kelainan atau penyakit sistemik
b. Memiliki karies atau gigi berlubang
c. Mempunyai kelainan atau penyakit periodontal
d. Menggunakan alat orthodonti


6. DEFINISI OPERASIONAL
a. Saliva
Saliva adalah cairan rongga mulut yang diproduksi oleh kelenjar-kelenjar
saliva pada manusia.
Triklosan, Baking soda,
Enzim dalam pasta gigi
Aktivitas
Laktoperoksidase
1. cara sikat gigi
2. lama sikat gigi
3. frekuensi sikat gigi
4. jenis pasta gigi
5. volume pasta gigi
6. jenis sikat gigi

PKMP-4-3-4
b. Pasta gigi standar
Pasta gigi standar adalah pasta gigi yang dibuat di laboratorium
Departemen Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang
tidak mengandung antiseptik maupun enzim. Berikut komposisi yang
terdapat dalam pasta gigi standar tiap 15 mg :
- 17 gr M Carbonas calcius
- 4 gr Sapo medicatus
- Oleum minthe peppermint
- 4 gr gliserin
c. Pasta gigi perlakuan
Pasta gigi yang ada di pasaran, yang di dalamnya mengandung triclosan,
baking soda dan enzim. Triklosan merupakan bahan tambahan pada pasta
gigi sebagai bahan antibakteri yang bersifat bakteriostatik pada bakteri
mulut. Baking soda sebagai bahan antiseptik dan bahan abrasif pasta gigi.
Sedangkan enzim merupakan komponen yang akan membantu
mengoptimalkan sistem pertahanan keseimbangan alamiah dalam mulut..
d. Enzim laktoperoksidase saliva (LPO)
Enzim laktoperoksidase saliva adalah salah satu enzim yang ada dalam
saliva yang bekerja sama dengan tiosianat (SCN) dan hidrogen peroksida
(H2O2), yang mampu menghambat pertumbuhan dan metabolisme bakteri
dalam mulut seperti Lactobacilus sp, Staphylococcus aureus,
Streptococcus mutans dan E. coli.

7. DISAIN PENELITIAN
Desain penelitian yang kami gunakan adalah eksperimental klinis.
(Kontrol) X ___________ _ y1 ___________ __X
1
(Eksperimental ) X _____________ y2_____________ X
2
Keterangan :

X : aktivitas enzim Laktoperoksidase sebelum sikat gigi ( before )
X1

: aktivitas enzim LP setelah sikat gigi dengan pasta standar.
X
2
: aktivitas Enzim Laktoperoksidase setelah sikat gigi dengan pasta gigi
triclosan, baking soda dan enzim (after).
Y1 : Menyikat gigi dengan pasta gigi standar
Y2 : Menyikat gigi dengan pasta yang mengandung triclosan baking soda dan
enzim

8. PROSEDUR PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan Subjek Penelitian berjumlah 30 orang yang
ditentukan dengan tabel random
Terhadap subjek penelitian dibagi dalam dua tahap sebagai berikut :
1. Tahap pertama : Subjek diberi perlakuan dengan pasta gigi standar, dengan
pasta gigi standar secara single blind.
a. Subjek pada malam hari menggosok gigi dengan pasta gigi standar
sebelum tidur.
b. Kemudian saat bangun tidur, sebelum makan atau minum, subjek
mengumulkan salivanya pada tabung yang telah diberikan oleh peneliti,
sebanyak 3 mm.

PKMP-4-3-5
c. 30 menit berikutnya, tanpa makan dan minum sebelumnya, subjek
menggosok gigi selama 2 menit dengan pasta gigi standar, lalu kumur
dengan air matang dua kali.
d. Setelah itu subjek mengumpulkan saliva pada botol kedua dengan jumlah
yang sama seperti pada botol pertama.
e. Kedua botol berisi saliva tersebut disimpan dalam freezer sebelum dibawa
ke FKG UI.
f. Dalam keadaan beku, sampel diberikan kepada operator penelitian di FKG
UI untuk diteliti.
2. Tahap kedua : Subjek diberi perlakuan dengan pasta gigi perlakuan, dengan
secara double blind.
a. Subjek pada malam hari menggosok gigi dengan pasta gigi standar
sebelum tidur.
b. Kemudian saat bangun tidur, sebelum makan atau minum, subjek
mengumulkan salivanya pada tabung yang telah diberikan oleh peneliti,
sebanyak 3 mm.
c. 30 menit berikutnya, tanpa makan dan minum sebelumnya, subjek
menggosok gigi selama 2 menit dengan pasta gigi perlakuan, lalu kumur
dengan air matang dua kali.
d. Setelah itu subjek mengumpulkan saliva pada botol kedua dengan jumlah
yang sama seperti pada botol pertama.
e. Kedua botol berisi saliva disimpan dalam freezer sebelum di bawa ke
FKG.
f. Dalam keadaan beku, sampel diberikan kepada operator penelitian di
FKGUI.

9. TEMPAT PENELITIAN
1. Laboratorium Biologi Oral FKG UI
2. Laboratorium Departemen Farmasi Kedokteran FK/ FKG UI.

10. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a. Tabung plastik beserta tutupnya
b. Corong
c. Pipet
d. Pipet Eppendorf
e. Kuvet
f. Sentrifuge Sorvall
g. Spektrofotometer Ultrospec 4300 pro
h. Timbangan elektrik
i. Perangkat komputer dan printer
j. Kertas saring
2. Bahan
a. Pasta gigi standar
b. Pasta gigi perlakuan
c. Reagen : Guaiacol, Buffer phosphat dan H
2
O
2

d. Alkohol 70%



PKMP-4-3-6
11. CARA PENGUKURAN
1. Persiapan alat sentrifugasi dan spektrofotometer
a) Alat sentrifugasi terlebih dahulu disiapkan dalam kondisi dimana
kecepatan putaran : 1000 rpm, Suhu : 4 C, waktu : 10 menit. Sedangkan
alat spektofotometer dikalibrasi dan dihubungkan dengan perangkat
komputer, sehingga hasil dapat ditampilkan di layar monitor.
2. Tahap pengukuran
a) Sampel saliva yang telah ditimbang agar ada keseimbangan dalam
sentrifus dimasukkan ke dalam sentrifuge, lalu di sentrifugasi sampai di
dapat supernatan yang terpisah dari endapan.
b) Supernatan dari saliva kemudian diambil sebanyak 125L, kemudian
dimasukkan dalam kuvet yang telah berisi buffer fosfat 250L, Guaiacol
125L dan H
2
O
2
5L.
c) Agar reagen dan sampel tercampur dilakukan pengocokan dengan cara
membalikkan kuvet yang ditutup sebanyak tiga kali. (kuvet ditutp dengan
tutup plastik, kemudian tutup tersebut ditahan dengan jari agar saat kuvet
dibalik isinya tidak tumpah).
d) Kemudian kuvet segera dimasukkan ke dalam spektrofotometer untuk
pemeriksaan selama 1 menit.
e) Hasil dari pengukuran di dapat slope yang menunjukkan rata-rata reaksi
perubahan absorbansi per waktu. Hasil dapat dibaca pada monitor dan
dalam bentuk prin di kertas.
f) Selanjutnya dilakukan penghitungan aktivitas enzim
g) Rumus aktivitas enzim
29
:
Aktivitas Enzim (IU/liter) = dA/dt (slope) x Faktor
Faktor = Vt. 10
6
/E. L. Vs
Vt = volume total reaksi (ml)
Vs = volume sample (ml)
E = molar abssorpsi (L/mol/cm), untuk guaiacol = 26.000 L/mol/cm
30

Faktor memiliki satuan mol/L

12. ANALISIS DATA
Analisis data menggunakan metoda statistik General Linear Model (GLM)
repeated measure, dengan simple design.
31


HASIL PROGRAM
Berikut ini hasil-hasil penelitian pada ketiga jenis pasta gigi perlakuan,
yang menggunakan metode analisis GLM Reapeted Measure. Metode analisis ini
digunakan untuk melihat adanya perbedaan bermakna rata-rata aktivitas
laktoperoksidase (LP) sebelum dan sesudah diberikan perlakuan dan juga untuk
melihat apakah terdapat perbedaan bermakna rata-rata aktivitas LP antara kasus
dan kontrol.
Analisis GLM Repeated Measures memiliki beberapa asumsi yang harus
terpenuhi diantaranya data berdistribusi normal dan homogenitas varian.
Berdasarkan uji Kolmogorov-Smirnov dengan koreksi Lilifors distribusi data
aktivitas LP harus normal. Oleh karena itu pada beberapa hasil data yang tidak
berdistribusi normal, dilakukan transformasi data dengan logaritma.


PKMP-4-3-7
1. Gambaran Hasil Pemelitian
Penelitian ini menggunakan 10 sample kasus dan 10 sample kontrol untuk
masing-masing pasta gigi, yang dipilih secara random.
Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1 Data aktivitas laktoperoksidase saliva pada sebelum dan sesudah
penggunaan pasta gigi standar dan pasta gigi yang mengandung
triklosan

Aktivitas Laktoperoksidase (LP)
Pasta gigi standar Pasta gigi triclosan No Sampel
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
38,7597
27,5206
72,4283
24,2400
60,0760
20,4885
35,1474
84,8703
27,4750
24,1489
25,1057
20,9277
33,2920
45,2450
22,3375
27,9458
28,5078
44,9716
26,5941
18,5078
26.6700
25.4246
21.0657
30.6037
29.5392
24.1792
40.0875
33.6553
34.0210
24.9779
40.0658
21.8251
34.3855
37.3624
33.9350
16.8130
25.3942
35.5398
27.9306
32.3352


Tabel 2. Data aktivitas laktoperoksidase saliva pada sebelum dan sesudah
penggunaan pasta gigi standar dan pasta gigi yang mengandung
baking soda

Aktivitas Laktoperoksidase
Pasta gigi standar Pasta gigi baking soda No Sampel
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
39.7597
27.5206
72.4283
24.2400
60.0760
20.4885
35.1474
84.8703
27.4750
24.1489
25.1057
20.9277
33.2920
45.2450
22.3375
27.9458
28.5078
44.9716
26.5941
78.5078
26.6700
25.4246
21.0657
30.6037
29.5392
24.1792
40.0875
33.6553
34.0210
24.9779
40.0658
21.8251
34.3855
37.3624
33.9350
16.8130
25.3942
35.5398
27.9306
32.3352

Tabel 3. Data aktivitas laktoperoksidase saliva pada sebelum dan sesudah
penggunaan pasta gigi standar dan pasta gigi yang mengandung
enzim

Aktivitas Laktoperoksidase
Pasta gigi standar Pasta gigi enzim No Sampel
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

PKMP-4-3-8
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
25,8043
35,6158
26,9283
55,1627
40,9164
63,8064
24,4070
43,9692
37,7876
60,3812
18,1800
16,8586
13,8210
51,1986
11,0112
6,7434
8,6116
8,6116
5,3309
131,4671
27,8395
36,5878
47,6750
68,8926
74,2540
40,8860
40,6278
35,2513
29,1761
51,4779
28,5989
49,3609
22,9034
76,0461
41,9643
34,0210
9,6140
10,2367
13,0464
71,7327


Tabel 4: Data rata-rata dan standar deviasi aktivitas laktoperoksidase saliva
pada sebelum dan sesudah penggunaan pasta gigi standar dan pasta
gigi yang mengandung triklosan, baking soda, dan enzim

Triklosan Baking Soda Enzim
Pasta gigi
Standar
Pasta gigi
Perlakuan
Pasta gigi
Standar
Pasta gigi
Perlakuan
Pasta gigi
Standar
Pasta gigi
Perlakuan
Pasta
gigi
Blm Sdh Blm Sdh Blm Sdh Blm Sdh Blm Sdh Blm Sdh
Rata-
rata
(IU/L)
41.56 29.34 29.02 30.56 30.71 23.49 25.88 36.32 42.66 28.18 38.90 15.49
SD 22.76 9.30 5.71 7.37 1.51 1.58 2.20 1.57 1.38 2.14 1.41 2.69
*Berdasarkan uji Kolmogorov-Smirnov dengan koreksi Lilifors, distribusi data normal(Pv >
0,05)

Berdasarkan uji Kolmogorov-Smirnov dengan koreksi Lilifors, distribusi
data sebelum perlakuan normal (Pv>0,05), pada pasta triclosan, pasta standar
dan enzim kecuali pada pasta gigi baking soda.Sedangkan distribusi data
sesudah perlakuan normal (Pv> 0,05), pada pasta triclosan dan pasta gigi baking
soda. kecuali pada pasta gigi standar enzim

2. ANALISA GLM REPETED MEASURE
Penggunaan analisis GLM Repeated Measures dikarenakan selain untuk
melihat adanya perbedaan bermakna rata-rata aktivitas LPO sebelum dan sesudah
diberikan perlakuan juga untuk melihat apakah terdapat perbedaan bermakna rata-
rata aktivitas LPO antara kasus dan kontrol. Analisis GLM Repeated Measures
memiliki beberapa asumsi yang harus terpenuhi diantaranya adalah data
berdistribusi normal dan terdapat homogenitas varian. Dalam pemenuhan asumsi
kenormalan data sedangkan distribusi data aktivitas LPO setelah diberikan
perlakuan dengan menggunakan pasta gigi yang mengandung enzim pada
kesepuluh sampel menunjukkan tidak berdistribusi normal sehingga dilakukan
transformasi data dengan menggunakan fungsi logaritma.
Analisis GLM Repeated Measures dapat dilanjutkan dan hasil analisis
dapat dilihat pada tabel berikut:


PKMP-4-3-9
Tabel 5: Data hasil uji within test aktivitas laktoperoksidasse saliva pada sebelum
dan sesudah penggunaan pasta gigi perlakuan

Pillai F df1 df2 pv
Pasta gigi Triklosan O,168 3,64 1 18 0,072
Pasta gigi Baking Soda 0,002 0,04 1 18 0,846
Pasta gigi Enzim O,449 14,68 1 18 0,001
* Asumsi kovarian matriks Aktivitas LPO antara kasus dan kontrol adalah terpenuhi

Dari hasil uji GLM Repeated Measures dapat dilihat bahwa pasta gigi
triklosan pv=0,072 dan pasta gigi baking soda pv=0,846, pv>0,05. Hal ini
menunjukan tidak ada perbedaan bermakna rata-rata aktivitas laktoperoksidase
saliva antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kedua jenis pasta gigi
tersebut. Sedangkan pada pasta gigi enzim dapat dilihat pv=0,001, pv<0,005. Hal
ini menunjukkan adanya perbedaan perbedaan bermakna rata-rata aktivitas
laktoperoksidase saliva antara sebelum dan sesudah penggunaan pasta gigi yang
mengandung enzim.
Untuk melihat perbedaan rata-rata aktivitas laktoperoksidase saliva antara
penggunaan jenis pasta gigi dengan triklosan dengan pasta gigi kontrol, dapat
dilihat pada tabel berikut :

Tabel 6. Data hasil uji between subject, rata-rata aktivitas laktoperoksidase saliva
antar pasta standar-perlakuan

Sum square Mean square F df pv
Trikosan 317,978 317,978 1,467 1 0,241
Baking
Soda
0,111 0,111 2,046 1 0,170
Enzim 0,033 0,033 0,609 1 0,445
*Asumsi homogenitas varian LPO sebelum dan sesudah antar kelompok pasta gigi
(Uji Levene ; Pv > 0,05)

Hasil uji GLM Repeated Measures menunjukkan tidak ada perbedaan yang
bermakna pada rata-rata aktivitas laktoperoksidase saliva antara penggunaan pasta
gigi yang mengandung triklosan, baking soda, dan enzim dengan penggunaan
pasta gigi kontrol.

PEMBAHASAN
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, maka
penggunaan pasta gigi di kalangan masyarakat menjadi hal yang umum.
Penggunaan pasta gigi ini ditujukan untuk membantu menjaga kesehatan gigi dan
mulut mereka. Dewasa ini berbagai macam merek pasta gigi ditawarkan dipasaran
dengan menawarkan keunggulan tersendiri pada tiap jenisnya. Oleh karena itu,
untuk meningkatkan kualitas dalam memberikan kebersihan dan kesehatan gigi
mulut, sebagian produsen pasta gigi menambahkan bahan antiseptik pada pasta
gigi, agar daya bersih pasta gigi tersebut terhadap kuman rongga mulut lebih baik
dari pada pasta tanpa antiseptik. Di antara bahan antiseptik yang sering
ditambahkan ke dalam kandungan pasta gigi adalah triklosan dan baking soda.

PKMP-4-3-10
Selain itu juga terdapat pasta gigi dengan kandungan enzim. Berikut ini
pembahasan hasil dari penelitian terhadap ketiga bahan tersebut.
Triklosan merupakan antimikroba spektrum luas yang bersifat
bakteriostatik dan bakterisid terhadap mikroba rongga mulut, di mana penggunaan
antiseptik juga dapat mengganggu aktivitas salah satu enzim pertahanan alamiah
rongga mulut, yakni laktoperoksidase saliva. Sedangkan baking soda yang
merupakan bahan alkali juga dapat berfungsi sebagai antibakteri.
Enzim laktoperoksidase bekerja mempertahankan keseimbangan rongga
mulut dengan mengkatalis oksidasi tiosianat oleh H
2
O
2
menjadi hipotiosianat, dan
dibutuhkan jumlah H
2
O
2
yang cukup untuk dapat mempertahankan aktivitas
laktoperoksidase ini. Akan tatapi banyaknya bakteri rongga mulut yang mati oleh
antiseptik menyebabkan tidak tersedianya cukup H
2
O
2
(yang merupakan hasil
metabolisme bakteri) untuk mempertahankan aktivitas laktoperoksidase. Hal ini
mengakibatkan laktoperoksidase, sebagai salah satu pertahanan alamiah, tidak
mampu untuk mengontrol pertumbuhan bakteri yang tidak mati oleh triclosan.
1,3,4

inilah mengapa antiseptik dapat mempengaruhi aktivitas laktoperoksidase saliva.
Berdasarkan hasil uji dengan metode General Linear Model, untuk
penelitian terhadap triclosan dan baking soda didapat hasil analisa sebagai berikut:
1. tidak terdapat perbedaan bermakna pada aktivitas enzim laktoperoksidase
(LP), antara sebelum dan sesudah penggunaan pasta gigi triklosan dan baking
soda.
2. tidak terdapat perbedaan bermakna pada aktivitas enzim Laktoperoksidase,
antara penggunaan pasta gigi dengan triclosan dan baking soda terhadap pasta
gigi standar.
Hal ini menunjukkan bahwa pengunaan pasta gigi yang mengandung triklosan dan
baking soda tidak mempengaruhi aktivitas Laktoperoksidase.
Hasil di atas menunjukkan adanya perbedaan antara hasil penelitian ini
dengan teori pendukung. Keadaan ini disebabkan oleh konsentrasi triklosan dan
baking soda dalam masing-masing pasta gigi yang digunakan pada penelitian ini
tidak cukup besar untuk mempengaruhi aktivitas Laktoperoksidase saliva.
Konsentrasi triklosan maupun baking soda yang terkandung dimaksudkan untuk
membantu menjaga kesehatan gigi dan mulut tanpa menimbulkan gangguan
keseimbangan maupun gangguan pada aktivitas laktoperoksidase
Sedangkan pada penelitian dengan pasta gigi mengandung enzim didapat
hasil uji GLM Repeated Measures sebagai berikut :
1. Adanya perbedaan bermakna rata rata aktivitas laktoperoksidase saliva
antara sebelum dan sesudah menyikat gigi dengan pasta gigi yang
mengandung enzim.
2. Rata rata aktivitas laktoperoksidase saliva antara sampel sesudah menyikat
gigi dengan pasta gigi standar tidak berbeda bermakna dengan rata rata
sesudah menyikat gigi dengan pasta gigi yang mengandung enzim
amiloglukooksidase, glukooksidase, dan laktoperoksidase.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menyikat gigi menggunakan
pasta gigi yang mengandung enzim amiloglukooksidase, glukooksidase dan
laktoperoksidase tidak berbeda bermakna dengan pasta gigi standar. Berdasarkan
hasil itu, maka dapat dikatakan bahwa penambahan ketiga enzim tersebut dalam
pasta gigi tidak menimbulkan efek yang signifikan dalam meningkatkan aktivitas
enzim laktoperoksidase saliva.

PKMP-4-3-11
Hal ini disebabkan oleh penggunaan pasta gigi yang mengandung enzim
AMG, GO dan LP, tentunya penambahan enzim AMG dan GO tidak berpengaruh
terhadap kadar enzim LP yang sudah ada dalam saliva secara alami. Karena
didalam pasta gigi sebagai perlakuan dalam penelitian ini juga mengandung enzim
LP, akan menambah kadar enzim LP dalam saliva, tetapi tidak cukup untuk
meningkatkan aktivitas LP. Hal ini dikarenakan aktivitas LP tergantung dari dua
komponen penting dalam sistem LP yaitu H
2
O
2
dan SCN
-
. Walaupun
penambahan enzim ini dapat meningkatkan kadar H2O2 di salam saliva, namun
kadar H
2
O
2
yang dibutuhkan sangat kritis. Apabila kadarnya kurang atau
melebihi, maka tidak akan terbentuk hipotiosianat sehingga pertumbuhan bakteri
tidak bisa dihambat. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan ternyata
penambahan enzim AMG, GO dan LPO hanya meningkatkan kadar enzim LPO
saliva dan tidak dapat meningkatkan aktivitas LPO sebagai katalisator proses
reaksi pembentukan hipotiosianat yang berfungsi sebagai bakteriostatik dalam
rongga mulut.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. penggunaan pasta gigi yang mengandung triklosan dan baking soda tidak
mempengaruhi aktivitas laktoperoksidase saliva. Hal ini berarti bahwa sikat
gigi dengan menggunakan pasta gigi yang mengandung bahan antiseptik
triclosan maupun baking soda, pada pasta gigi tidak mempengaruhi aktivitas
laktoperoksidase saliva, sehingga sistem ini diharapkan dapat bekerja secara
optimal.
2. penambahan enzim amiloglukooksidase, glukooksidase dan laktoperoksidase
tidak meningkatkan aktivitas enzim laktoperoksidase dalam saliva, yang
meningkat hanya kadar laktoperoksidase saja.

SARAN
Penelitian ini adalah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
bagaimana penggunaan pasta gigi terhadap aktivitas enzim laktoperoksidase
saliva, maka akan lebih baik jika dapat dilakukan penelitian yang lebih mendalam
dengan waktu penelitian yang lebih lama. Dan untuk mendapatkan hasil penelitian
yang lebih mewakili populasi, dapat dilakukan penelitian dengan jumlah subjek
penelitian yang lebih besar lagi.


DAFTAR PUSTAKA
1. Van Nieuw, Amerongen. 1988. Ludah dan Kelenjar Ludah, Arti Bagi
Kesehatan Gigi. Penterjemah : Abyono R dan Suryo S. Jogjakarta: Gadjah
Mada University Press.
2. Manson JD, Eley BM. 1993. Buku Ajar Periodonti. Penterjemah : S.
Anastasia. Jakarta: Hipocrates.
3. Gultom, Ferry. Sifat Bakteriostatik Peroksidase di Dalam Liur. Jurnal PDGI
1993, 2: 11-13.
4. www.kompas.com. Agung, Alexander. 2003. LP-System Cegah Penyakit gigi
dan Mulut. Jakarta.

PKMP-4-3-12
5. Minasari. Peranan Saliva dalam Rongga Mulut. Majalah Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara 1999, 4:33-39.
6. www.oralmicrobiologyabdmolecularbiologyreview.com Marcotte, Harold.,
Lavoie, Marc C. Oral Microbial Ecology and The Role of Salivary
Immunoglobulin A.
7. www.fslag.edu Lactoperoxidase. 1997 .
8. www.kompas.com Naim, Rochman. Protein Antimikroba Dalam Susu
9. www.medline.com Laktoperoksidase.
10. Djaya, Agus. 2000. Halitosis, Nafas Tak Sedap. Jakarta: Dental Lintas Media.
11. www.uic.com Lactoperoxidase.
12. Bowen GHW, Hamilton IR. Survival of Bacteria. Crit Review in Oral Biology
and Medicine 1998, 9(1): 67-72.
13. Wijkstrom C, El-Chemaly S, Ali-Rachedi R, Gerson C, Cobas MA, Forteza R,
Salathe M, Conner EG. Lactoperoxidase and Human Airway Host Defense.
American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology 2003, 29: 206-
212.
14. Ferguson, David. 1999. Oral Bioscience. London: Churchill Livingstone.
15. Nishioka T, Kimura M, Takahama U. Determination of salivary peroxidase
activity in human mixed whole saliva. Archieve Oral Biology 2003, 48: 397-
400.
16. Donoghue HD, Perrons CJ, Hudson DE. The Role of H
2
O
2
and The
Lactoperoxidase-SCN-H
2
O
2
System on The Interaction between Two Bacteria,
Originating from Human Dental Plaque, S. rattus (mutans) BHT and S. mitor
LPA-I Grown on Human Teeth in Artificial Mouth. Arch. Oral Biology 1985,
30(7): 519-523.
17. www.scl-journal.org Rajput, Bharti. The Effect of Tooth Cleaning Agents on
The Growth of Teeth Bacteria.
18. www.swara.net. Bahan Aktif Antiseptika Hambat Pembentukan Plak Gigi.
Jakarta. 2002.
19. www.oralproduct.com Information on toothpaste, Flossing, Toohbrushing and
Mouthwashes.
20. www.floss.com Toothpaste.
21. Wibowo Teguh, Rahardjo Budi. 1993. Perbedaan Daya Hambat Kuman
S.mutans dari Formula Tricosan dan Sodium Monofluorophosphate. Majalah
Kedokteran Gigi Surabaya 1993.
22. Saxton CA, Hutington E, Cummins D. The Effect of Dentrifrices Containing
Triclosan on The Development of Gingivitis in a 21-days Experimental
Gingivitis Study. Int Dental Journal 1993, 43: 423-429.
23. Marsh Philip, Martin M. 1999. Oral Microbiology. 4
th
. Cornwall: MPG
Brooks Ltd.
24. www.medline.com Volkers, Nancy. 2002. Some Toothpaste Work Better than
Others.
25. www.medline.com Van Loveren C, Buijs JF, Tencate JM. The Effect of
Triclosan Toothpaste on Enamel Demineralization in a Bacterial
Demineralization Model.
26. www.toothpaste.com Toothpaste.
27. www.lindache.com Triclosan.
28. www.calbefarmamedicalportal.com Dilema Triclosan dan Anti Bakteri.

PKMP-4-3-13
29. Swift II Applications Software UV/ Visible Spectrophotometers. 2000.
Amersham Pharmacia Biotech.
30. Mika Angela, Luthje Sabine. Properties of Guiacol Peroxidase Activities
Isolated from Corn Root Plasma Membranes. Plant Physiology Preview 2003,
134: 1489-1498.
31. www.softstat.com General Linear Model.
32. Rudney JD, Kajander KC, Smith QT. Correlation Between Human Salivary
Level of Lysozyme, Lactoferrin, Salivary Lactoperoxidase and S Ig A with
Different Stimulatory States and Over Time. Archieve Oral Biology 1985, 3:
765-771.
33. Soames JV, Southam JC. Oral Pathology. 2
nd
ed. 1993. Oxford: Oxford
University Press.
34. Roth Gerald I, Calmes Robert. Oral Biology. 1981. London: Mosby Company.
35. Igharishi K, lee I, Schachtele F. Effect of chewing gum containing sodium
becarbonate on human interpoximal plaque pH. American Associations for
Dental Research Online Journals 1998, 67; 531-535
36. Parfitt, K. Martindale the Complete Drug Reference. 32
nd
ed. London:
Pharmaceutical Press.1999.
37. www.vision.com . toothpaste
38. www.tipking.com .toothpaste
PKMP-4-4-1
KEEFEKTIFAN BAKTERI RHIZOSFER RUMPUT GAJAH
(PENNI SETUM PURPUREUM) DALAM PEMBUATAN KOMPOS DAN
PENGENDALIAN PENYAKIT AKAR GADA (PLASMODI OPHORA
BRASSI CAE) PADA TANAMAN CRUCIFERAE

Irfanni, Dedi Purnomo, Andrea E Pravitasari, Nadia L Utami, Nugraha Arief
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK.
Penyakit akar gada merupakan salah satu permasalahan utama pada pertanaman
kubis-kubisan di Indonesia. Penyebabnya adalah Plasmodiophora brassicae yang
terutama menyerang akar, sehingga mengalami pembengkakan akar dan
kematian tanaman. Dalam penelitian ini telah dievaluasi bakteri isolasi rhizosfer
rumput gajah dalam mengendalikan P. brassicae di rumah kaca dan mengetahui
teknik aplikasi bakteri yang lebih efisien dan efektif dalam menginduksi
ketahanan dan meningkatkan hasil panen. Selain itu, dievaluasi bakteri rhizosfer
sebagai starter kematangan kompos, sehingga diharapkan dapat menjadi
pengganti starter EM4 dalam pengomposan. Pada pengujian lapang diperoleh
bahwa teknik aplikasi bakteri rhizosfer rumput gajah yang paling efisien dan
efektif dalam menekan serangan penyakit akar gada P. brassicae adalah
perlakuan perendaman dan penyemprotan bibit. Teknik tersebut menghemat
biaya dan mendukung pengaruh bakteri rhizosfer untuk lebih dahulu mengkoloni
perakaran sehingga dapat menjadi protektan dari infeksi patogen. Sedangkan
pada pengujian in vivo diperoleh bahwa perlakuan bakteri secara tunggal tidak
menunjukkan efektifitas yang berarti dalam menekan kejadian dan keparahan
penyakit akar gada P. brassicae. Namun perlakuan secara kombinasi dengan
kondisi alamiah dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan
patogen. Perlakuan bakteri dengan menggunakan EM4 dan bakteri rhizosfer
rumput gajah menunjukkan pengaruh yang tidak jauh berbeda terhadap
keremahan, bau, dan warna. Sedangkan pengaruhnya terhadap suhu
menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. Hal tersebut merupakan indikator
potensial bakteri rhizosfer rumput gajah sebagai pengganti bakteri EM4 dalam
pengomposan. Selain itu berdasarkan hasil analisis unsur hara kompos diperoleh
bahwa nisbah C/N untuk perlakuan bakteri rhizosfer rumput gajah tidak jauh
berbeda dengan nisbah C/N perlakuan EM4. Pada pengujian in vitro diperoleh 2
isolat murni dengan kode D dan F. Kedua bakteri tersebut menunjukkan zona
hambatan. Kode D menunjukkan penghambatan terhadap Fusarium sp. dan
bakteri kode F menunjukkan penghambatan terhadap Phytophthora capsici.
Berdasarkan hasil identifikasi bakteri diketahui bahwa bakteri dengan kode D
adalah Listeria monocytogenes dan bakteri dengan kode F adalah Pseudomonas
putida.

Kata kunci : Bakteri Rhizosfer Rumput Gajah, Kompos dan Akar Gada
(Plasmodiophora brassicae)

PENDAHULUAN
Salah satu kendala dalam upaya pengembangan tanaman kubis
(Brassicaceae) adalah serangan penyakit akar gada Plasmodiophora brassicae


2
Wor. Serangan pada tanaman kubis muda dapat menyebabkan kematian,
sedangkan pada tanaman yang lebih tua akan tetap hidup, tetapi terjadi
penghambatan pertumbuhan krop kubis sehingga produksi menurun atau tidak
berproduksi sama sekali (Agrios 1988).
Selama ini belum ada teknik pengendalian P. brassicae yang efektif,
termasuk pestisida karena penggunaan yang berlebihan dapat merusak tanah dan
membunuh agens antagonis tanah yang merupakan musuh alaminya. Selain itu,
penggunaan fungisida yang kurang bijaksana juga dapat menimbulkan berbagai
dampak klasik lain, seperti resistensi dan resurjensi patogen, bahaya bagi
pengguna dan konsumen serta pencemaran lingkungan secara umum.
Untuk menyikapi dampak negatif penggunaan fungisida sintetik, sekarang
telah banyak diteliti dan dikembangkan pengendalian biologi dengan
menggunakan agens hayati, salah satunya adalah bakteri rhizosfer yang berasal
dari tanaman Graminae. Keuntungan pengendalian biologi tersebut antara lain
lebih aman, tidak terakumulasi dalam rantai makanan, adanya proses reproduksi
sehingga dapat mengurangi pemakaian yang beruleng-ulang, dapat dilakukan
secara bersama-sama dengan teknik pengendalian yang telah ada, dan dapat
dilakukan dengan mudah di kalangan petani.
Tanaman Graminae yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
rumput gajah (Pennisetum purpureum). Rumput gajah merupakan gulma yang
dimanfaatkan petani untuk pakan ternak dan dapat ditemukan pada berbagai
daerah. Namun, selama ini manfaat yang tersimpan pada tanaman ini belum
semuanya terkuak, salah satunya untuk pengendalian organisme pengganggu
tanaman (OPT). Selain itu, tanaman ini dapat berperan selama proses
pengomposan dan menyeimbangkan kondisi tanah pada lahan perkebunan.
Kelebihan dari tanaman ini berasal dari mikroorganisme yang berada pada
perakarannya. Salah satunya adalah bakteri rhizosfer. Rhizobakteria tertentu
seperti Pseudomonas fluorescens, P. putida, P. aeruginosa, mampu memproduksi
dan mensekresikan suatu pigmen yang berwarna kehijauan sebagai respon
terhadap kondisi kandungan besi rendah di lingkungan yang disebut pyoverdins
dan pseudobactins, senyawa ini berfluoresens di bawah UV dan berfungsi sebagai
siderofor (Paulizt 1992).
Kemampuan bakteri yang mampu hidup pada kondisi tanah yang buruk
tersebut menjadikan salah satu alasan mengapa dapat dikembangkan sebagai
agens pengendalian hayati. Selain itu kemampuan dalam membantu proses
metabolisme dan sintesis tanaman merupakan indikator kesesuaian dengan
berbagai jenis tanaman sehingga terjadi simbiosis mutualistik.
Kompos merupakan salah satu elemen yang sangat diperlukan dalam
budidaya tanaman sayuran dan juga berpengaruh dalam menekan berbagai
patogen. Dalam pengomposan, bakteri tersebut memiliki peranan dalam
mempercepat proses pembusukan dan dekomposisi material kompos sehingga
proses pengomposan dapat berlangsung dengan cepat dan kompos tersebut
mengandung mikroorganisme yang merupakan musuh alami patogen tanah.
Multifungsi yang diperoleh dari pemanfaatan bakteri rhizosfer tanaman graminae
ini, berdampak bagi efisiensi dan efektivitas budidaya dan pengendalian OPT.
Selama ini pengomposan dilakukan dengan mikroorganisme pengurai,
seperti EM4 yang tersedia secara komersial. Walaupun harga EM4 cukup
terjangkau, yaitu Rp. 20.000/liter, mikroorganisme pengurainya masih diperoleh


3
secara impor dari Jepang. Oleh karena itu perlu adanya pemanfaatan sumber daya
lokal yang efisien, efektif dan terjangkau.
Penelitian mengenai keefektifan bakteri rhizosfer rumput gajah
(Pennisetum purpureum) dalam pembuatan kompos dan pengendalian penyakit
akar gada (Plasmodiophora brassicae) pada tanaman cruciferae ini akan
dilakukan uji di lapangan dan laboratorium untuk menentukan karakteristik
fisiologis dan mekanisme antagonistik bakteri rhizosfer.
Pengendalian penyakit dengan menggunakan fungisida sintetik dapat
menimbulkan dampak negatif bagi pengguna, konsumen dan lingkungan. Oleh
karena itu, perlu dikembangkan teknik pengendalian yang ramah lingkungan,
salah satu diantaranya menggunakan agens hayati yang berasal dari rhizosfer
tanaman Graminae.
Penelitian ini bertujuan menentukan keefektifan bakteri rhizosfer rumput
gajah (Pennisetum purpureum) dalam pembuatan kompos dan pengendalian
penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae) pada tanaman Cruciferae.


BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan dan
Rumah Kaca, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor dan di
lahan pertanian Desa Cinangneng, Kecamatan Ciampea, Bogor mulai bulan
Februari s.d Juni 2006.

Pembuatan Formulasi Biang Bakteri
a. Sumber Bakteri
Perakaran rumput gajah (Pennisetum purpureum) diperoleh dari Desa
Cinangneng-Bogor, Jawa Barat.

b. Produksi Bakteri Rhizosfer
Ekstrak akar rumput gajah dibuat dengan mencampurkan 0,5 kg akar
rumput gajah yang direndam dengan 5 liter air. Setelah itu, media pembiakan
dibuat dengan menggunakan bahan-bahan, antara lain: 2 kg gula pasir, 2 kg terasi,
5 kg bekatul, 20 sachet penyedap makanan, dan 80 liter air. Semua bahan diaduk
dan dicampur hingga merata, kemudian masukkan ekstrak akar rumput gajah yang
telah dipersiapkan. Hasil campuran disimpan dalam wadah dengan penutup kedap
udara selama 7 hari. Selama penyimpanan, setiap 2 hari sekali dilakukan
pengadukan sampai 7 hari masa panen bakteri.


Pembuatan Kompos
a. Bahan Dasar
Pengomposan dilakukan pada tempat ternaungi dengan ukuran 5 m x 5 m.
Bahan-bahan yang dibutuhkan, antara lain: 630 kg pupuk kandang, 810 kg jerami
padi, 180 kg arang sekam padi, 81 kg bekatul, 18 kg kapur, dan 18 kg urea.
Semua bahan dicacah dan diaduk hingga merata, kemudian dibagi ke dalam 9
blok perlakuan.



4
b. Perlakuan Bakteri
Setelah bahan dasar dicampur merata, campuran kompos ditutup dengan
plastik kedap air selama 7 hari. Tempat pengomposan diusahakan tidak terkena
sinar matahari secara langsung. Setelah 7 hari, penutup plastik dibuka dan diaduk
hingga merata dan setiap blok diberi perlakuan. Percobaan terdiri dari tiga
perlakuan, yaitu: bakteri rhizosfer rumput gajah (P1), EM4 (P2), dan kontrol (P3)
dengan masing-masing 3 ulangan. Setelah itu, blok ditutup kembali. Selama 28
hari berikutnya, dilakukan pengamatan terhadap suhu, keremahan, warna dan bau
kompos.

Isolasi Mikrob dari Rhizosfer Rumput Gajah
a. Bahan Dasar
Rendaman akar rumput gajah sebanyak 10 ml diambil satu ml kemudian
dimasukkan dalam 9 ml air steril sehingga menjadi pengenceran 10
-1
, selanjutnya
diambil 1 ml dari pengenceran 10
-1
dan dimasukkan dalam 9 ml air steril sehingga
menjadi pengenceran 10
-2,
begitu seterusnya hingga pengenceran 10
-7
. Suspensi
bakteri tersebut kemudian disebar dalam medium KingsB dan Nutrient Agar
(NA). Selanjutnya medium yang sudah disebar dengan 0.1 ml suspensi tersebut
diinkubasi pada suhu ruang dalam inkubator selama 2 hari.

b. Pengamatan dan Rancangan Percobaan
Setelah masa inkubasi, dihitung populasi bakterinya dan diisolasi setiap
jenis bakteri yang berbeda pada medium NA. Percobaan terdiri dari 2 perlakuan,
yaitu: media NA dan media Kings B dengan masing-masing 3 ulangan. Data
diolah dengan dengan menggunakan program Microsoft Excel untuk melihat
perbedaan jumlah koloni setiap bakteri yang diperoleh.

Pengujian Lapangan
a. Penanaman Caisim dan Perlakuan
Tanaman yang diuji adalah caisim (Brassica campestris). Penanaman
caisim dilakukan pada lahan petani seluas 700 m
2
. Lahan tersebut terbagi dalam 2
petak. Masing-masing petak terdiri dari 24 bedengan untuk 4 perlakuan dan 6 kali
ulangan. Tiap petak memiliki luas 5 m x 3.5 m. Pengolahan dan pemeliharaannya
sama dengan yang dilakukan oleh petani setempat. Begitu pula dengan varietas
tanaman caisim yang digunakan adalah yang biasa ditanam oleh petani setempat.

b. Rancangan Percobaan
Percobaan terdiri dari 4 perlakuan, yaitu: pemberian kompos (P1);
kombinasi perendaman bibit dan penyemprotan bibit (P2); kombinasi antara
pemberian kompos, perendaman bibit, dan penyemprotan bibit (P3); dan kontrol
(P4) (budidaya yang biasa dilakukan petani) dengan masing-masing 6 ulangan.
Setiap ulangan terdiri dari 10 tanaman. Data diolah dengan dengan menggunakan
program Statistikal Analysis System (SAS). Pengaruh perlakuan dianalisis dengan
sidik ragam. Apabila terdapat perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan uji
lanjut dengan uji jarak berganda Duncan ( = 0.05).

c. Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap 5 hari setelah tanam samapai panen yang
meliputi, jumlah daun, tinggi tanaman, kejadian penyakit (KP), keparahan
penyakit (IS), dan hasil panen. Kejadian penyakit dihitung dengan rumus:


5

KP = n/N X 100%

n = Jumlah tanaman yang menunjukkan pembengkakan
N = Jumlah tanaman yang diamati
Sedangkan keparahan penyakit dihitung dengan:
IS = (n
i
x v
i
)/(N x Z) x 100%
n
i
= Jumlah tanaman dengan skala serangan tertentu
N = Jumlah tanaman yang diamati
v
i
= Skala serangan (0, 1, 2, dan 3)
Z = Nilai skala serangan tertinggi

Skala serangan P. brassicae yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dalam bentuk skoring, yaitu: 0 = tidak ada gejala pembengkakan, 1 =
pembengkakan terjadi pada akar utama, 2 = pembengkakan terjadi pada akar
sekunder, 3 = pembengkakan terjadi pada akar utama maupun sekunder.

Pengujian Isolat Bakteri Rhizosfer Rumput Gajah Terhadap P. brassicaedi
Rumah Kaca.
a. Penanaman Caisim dan Perlakuan
Tanaman yang diuji adalah caisim (Brassica campestris). Penanaman
caisim dilakukan di Rumah Kaca Cikabayan, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Percobaan menggunakan polibag
berukuran 20 cm x 20 cm dengan media tanam tanah inokulum yang terdiri dari
tanah dan pupuk kandang steril, 4:1 (v/v). Media tersebut diinokulasikan spora P.
brassicae dengan kepadatan 10
8
.
Sebelum ditanam di polibag, benih caisim disemai selama 2 minggu
dengan menggunakan media tanah steril. Setelah 2 minggu tanaman dipindah ke
polibag. Varietas tanaman caisim yang digunakan adalah yang digunakan dalam
pengujian lapangan. Setiap hari tanaman disiram dengan air sumur.
Isolat bakteri terpilih untuk uji in vivo ditumbuhkan pada medium NA
selama dua hari, selanjutnya masukkan 15 lup ose ke dalam 100 ml larutan NaCl
0,85%. Setelah itu, tanaman disiram dengan 200 ml suspensi bakteri dalam
kepadatan 10
8
. Tanaman dipelihara sampai dengan panen yakni selama 24 hari
setelah pindah tanam.

b. Pengamatan dan Rancangan Percobaan
Pengamatan dilakukan terhadap kejadian peyakit, keparahan penyakit,
jumlah daun, dan tinggi tanaman.Percobaan terdiri dari 5 perlakuan, yaitu: kontrol
(P1), mikroorganisme total rhizosfer rumput gajah (P2), bakteri D (P3), bakteri F
(P4), kombinasi bakteri D dan bakteri F (P5) dengan masing-masing 5 ulangan.
Setiap ulangan terdiri dari 8 tanaman. Data diolah dengan dengan menggunakan
program Statistikal Analysis System (SAS). Pengaruh perlakuan dianalisis dengan
sidik ragam. Apabila terdapat perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan uji
lanjut dengan uji jarak berganda Duncan ( = 0.05).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Lapangan
Dalam pengujian lapang diperoleh hasil bahwa kejadian penyakit tertinggi
terjadi pada perlakuan kombinasi perendaman bibit dan penyemprotan bibit


6
dengan ekstrak kompos sebesar 11,67%, diikuti oleh perlakuan kontrol dan
perlakuan kombinasi antara perlakuan kompos, perendaman, dan penyemprotan
bibit dengan ekstrak kompos hasil fermentasi bakteri rhizosfer rumput gajah
(KFBR) yang masing-masing sebesar 8,3%, serta perlakuan kompos yang
menunjukkan kejadian penyakit terkecil, yaitu sebesar 3,3%.
Perbedaan kejadian penyakit pada pengujian lapangan tersebut tidaklah
menunjukkan perbedaan yang nyata antara setiap perlakuan. Perbedaan persentase
kejadian penyakit mulai ditunjukkan pada hari ke-15 setelah tanam. Pada setiap
perlakuan menunjukkan perbedan yang nyata dengan kontrol. Namun, dalam hal
ini persentase kejadian penyakit setiap perlakuan lebih tinggi dari pada kontrol
sebesar 1,67%, sedangkan perlakuan kontrol tidak menunjukkan adanya kejadian
penyakit (Tabel 1).

Tabel 1 Persentase kejadian penyakit akar gada pada empat perlakuan kompos
bakteri rhizosfer rumput gajah di lapangan
Kejadian Penyakit (%) Pada Umur Ke- (HST)
a
Perlakuan
b
5 10 15 20
P1 0 a 0 a 1,67 a 3,33 a
P2 0 b 0 b 1,67 a 11,67 a
P3 0 c 0 c 1,67 a 8,33 a
P4 0 d 0 d 0 b 8,33 a

Hasil yang ditunjukkan untuk kejadian penyakit berbeda dengan yang
ditunjukkan untuk keparahan penyakit. Pada perlakuan kombinasi perendaman
bibit dan penyemprotan bibit dengan ekstrak KFBR menunjukkan perbedaaan
yang nyata dengan perlakuan kontrol dan perlakuan kombinasi P1 dan P2 .
Persentase keparahan penyakit pada perlakuan kombinasi perendaman bibit dan
penyemprotan bibit dengan ekstrak KFBR lebih kecil dibandingkan perlakuan
kontrol dan perlakuan kombinasi P1 dan P2. Sedangkan perlakuan kompos dan
perlakuan kombinasi antara perlakuan kombinasi P1 dan P2 tidak berbeda nyata
dengan perlakuan kontrol, begitu pula antara perlakuan kompos dengan perlakuan
kombinasi perendaman bibit dan penyemprotan bibit dengan ekstrak kompos
tidak berbeda nyata (Tabel 2).
Persentase keparahan penyakit tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan
kontrol sebesar 71,11%, diikuti perlakuan kombinasi P1 dan P2 sebesar 61,11%,
perlakuan kompos sebesar 51,11%, dan persentase keparahan penyakit terkecil
ditunjukkan oleh perlakuan kombinasi perendaman bibit dan penyemprotan bibit
dengan ekstrak kompos sebesar 22,11%.

Tabel 2 Persentase keparahan penyakit akar gada pada empat perlakuan
kompos bakteri rhizosfer rumput gajah di lapangan
Perlakuan
b
Keparahan Penyakit
a
(%)

P2 22,11 b
P1 51,11 ab
P3 61,11 a
P4 71,11 a



7
6 6 6 6 6 6 6
P1
P2
P3
P4
P
e
r
l
a
k
u
a
n
Tinggi (cm)
5 5 5 5 5 5 5
P1
P2
P3
P4
P
e
r
l
a
k
u
a
n
Jumlah daun
Tabel 3 Persentase bobot panen pada empat perlakuan kompos bakteri
rhizosfer rumput gajah di lapangan
Perlakuan
b
Bobot Panen
a
(Kg)

P1 13,75 b
P2 21,92 a
P3 19,25 ab
P4 18,00 ab

Persentase kejadian penyakit dan keparahan penyakit yang ditunjukkan oleh
setiap perlakuan di lapangan mempengaruhi hasil panen untuk setiap perlakuan.
Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil panen rata-rata terbesar ditunjukkan pada
perlakuan kombinasi perendaman bibit dan penyemprotan bibit dengan ekstrak
KFBR sebesar 21,93 kg dan berbeda nyata dengan hasil panen rata-rata perlakuan
kompos sebesar 13,75 kg. Sedangkan perlakuan kombinasi perendaman bibit dan
penyemprotan bibit dengan ekstrak kompos menunjukkan perbedan yang tidak
nyata terhadap hasil panen perlakuan kontrol dan perlakuan kombinasi P1 dan P2
yang berturut-turut sebesar 18 kg dan 19,25 kg.
Dalam penelitian ini, diperoleh bahwa rata-rata jumlah daun dan tinggi
tanaman tidak berbeda nyata antara masing-masing perlakuan. Namun konsistensi
baik untuk jumlah daun dan tinggi tanaman ditunjukkan pada perlakuan kontrol
dan perlakuan kombinasi P1 dan P2 (Gambar 3). Tinggi tanaman yang diperoleh
tidak dapat menunjukkan kemampuan bakteri rhizosfer dalam merangsang
pertumbuhan tanaman. Hal tersebut disebabkan pengukuran tinggi hanya untuk
daun yang paling muda dan secara periodik dapat berubah berdasarkan umur
tanaman.











Gambar 1 Tinggi dan jumlah daun pada empat perlakuan kompos bakteri
rhizosfer rumput gajah di lapangan.

Antibiosis Dari Bakteri Rhizosfer Rumput Gajah I n Vitro
Dalam uji antibiosis ini diperoleh 2 (dua) isolat bakteri yang menunjukkan
penghambatan terhadap pertumbuhan cendawan uji, Fusarium sp.. Bakteri
tersebut antara lain: FD dan campuran. Penghambatan tersebut diperlihatkan
dengan adanya zona bening yang merupakan indikator aktivitas antibiosis (Tabel
4).


Keterangan:
P1=Kompos Rhizosfer
Rumput Gajah;
P2=Kombinasi
Perendaman Bibit dan
Penyemprotan Bibit
dengan Ekstrak
Kompos;
P3=Kombinasi Perlakuan
P1 dan P2,
P4=Kontrol.


8
Tabel 4 Lebar zona penghambatan bakteri rhizosfer rumput gajah terhadap
Fusarium sp.
Isolat Bakteri Lebar zona hambatan* (cm)
Campuran 18,6 a
FD 17,3 a
FA 0 b
FC 0 b
FB 0 b
FE 0 b
FF 0 b
FG 0 b
FH 0 b
Kontrol 0 b

Uji Antagonisme Bakteri Rhizosfer Rumput Gajah Terhadap P.
brassicae I n Planta
Dalam penelitian ini diperoleh bahwa kejadian penyakit tertinggi
ditunjukkan oleh perlakuan mikroorganisme total, bakteri D, dan bakteri F. Pada
perlakuan bakteri tunggal menunjukkan persentase kejadian penyakit tertinggi
yaitu 5,2%, sedangkan pada perlakuan campuran, total mikroorganisme rhizosfer
rumput gajah menunjukkan kejadian penyakit sebesar 2,6%. Hal ini menunjukkan
bahwa mekanisme induksi ketahanan oleh bakteri akan semakin efektif apabila
dalam keadaan alamiahnya.

Tabel 5 Persentase kejadian penyakit akar gada pada lima perlakuan bakteri
hasil isolasi rhizosfer rumput gajah di rumah kaca
Hari ke-
a
Perlakuan
b
5 10 15 20
P1 0 a 0 a 0 a 0 a
P2 0 b 0 b 0 b 2, 60 a
P3 0 c 0 c 0 c 5, 20 a
P4 0 d 0 d 0 d 5, 20 a
P5 0 e 0 e 0 e 0 a

Kemungkinan kemampuan bakteri dalam menginduksi ketahanan terhadap
penyakit dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme lainnya. Korelasi antara
persentase kejadian penyakit dan keparahan penyakit di rumah kaca menunjukkan
bahwa perlakuan mikroorganisme total lebih efektif dalam menekan penyakit akar
gada.

Tabel 6 Persentase keparahan penyakit akar gada pada lima perlakuan bakteri
hasil isolasi rhizosfer rumput gajah di rumah kaca
Perlakuan
b
Keparahan Penyakit
a
(%)

P2 16,66 b


9
0
1
1
2
2
3
3
4
4
5
4 8 12 16 20 24 28 32
Hari ke-
T
i
n
g
k
a
t

k
e
r
e
m
a
h
a
n
P1
P2
P3
0 2 4 6 8 10
P1
P2
P3
P4
P5
P
e
r
l
a
k
u
a
n
Jumlah daun
3.20 3.30 3.40 3.50 3.60 3.70 3.80 3.90 4.00 4.10
P1
P2
P3
P4
P5
P
e
r
l
a
k
u
a
n
Tingi (cm)
P1 23,34 ab
P3 26,00 ab
P5 26,66 ab
P4 37,33 a

Tabel 6 menunjukkan perlakuan mikroorganisme total berbeda nyata
dengan perlakuan bakteri F serta tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol,
bakteri D, dan kombinasi bakteri D dan bakteri F. Perlakuan mikroorganisme total
menunjukkan tingkat keparahan penyakit terkecil, yaitu 16,6%. Sedangkan untuk
perlakuan kombinasi bekteri D dan F menunjukkan parahan penyakit terbesar,
yaitu 37,33%.










Gambar 2 Tinggi dan jumlah daun pada lima perlakuan bakteri hasil isolasi rhizosfer rumput
gajah di rumah kaca.

Pada perlakuan bakteri rhizosfer rumput gajah menunjukkan adanya
pengaruh yang nyata terhadap keremahan kompos. Perlakuan tersebut
menunjukkan tingkat keremahan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan EM4
yang biasa digunakan petani dan perlakuan kontrol. Keremahan tersebut
merupakan indikator dari aktivitas pembusukan dan dekomposisi yang dilakukan
oleh mikroorganisme.















Gambar 3 Pengaruh perlakuan bakteri rhizosfer rumput gajah dan EM4 terhadap keremahan
dalam pengomposan.



Keterangan:
P1= Kontrol
P2=Mikroorganisme Total
Rhizosfer Rumput Gajah
P3=Bakteri D
P4=Bakteri F
P5=Bakteri D dan Bakteri F
P1 = Bakteri Rhizosfer, P2 = EM4, dan P3 = Kontrol


10
0
1
1
2
2
3
3
4
4
5
4 8 12 16 20 24 28 32
Hari ke-
T
i
n
g
k
a
t

w
a
r
n
a
P1
P2
P3
0
1
1
2
2
3
3
4
4
5
4 8 12 16 20 24 28 32
Hari ke-
T
i
n
g
k
a
t

b
a
u
P1
P2
P3
















Gambar 4 Pengaruh perlakuan bakteri rhizosfer rumput gajah dan EM4 terhadap bau
dalam pengomposan.

















Gambar 5 Pengaruh perlakuan bakteri rhizosfer rumput gajah dan EM4 terhadap
warna dalam pengomposan.

Analisis Unsur Hara Kompos

Tabel 7 Kandungan unsur hara dalam kompos dengan perlakuan EM4 dan
bakteri rhizosfer rumput gajah
Perlakuan* C N P K Ca Mg C/N
P1 25,89 0,59 0,78 0,63 2,62 0,15 43,88
P2 20,3 0,51 0,67 0,58 3,23 0,11 39,80
P3 22,56 0,43 0,56 0,5 5,26 0,15 52,47
*Keterangan: P1 = Bakteri Rhizosfer, P2 = EM4, dan P3 = Kontrol.

P1 = Bakteri Rhizosfer, P2 = EM4, dan P3 = Kontrol
P1 = Bakteri Rhizosfer, P2 = EM4, dan P3 = Kontrol


11
Unsur N pada analisis hara (Tabel 7) menunjukkan angka yang kecil, hal
ini dikarenakan unsur tersebut memiliki tingkat kestabilan yang rendah, dan
mudah menguap (Volatilisasi). Namun keberadaan mikroorganisme tanah dapat
meningkatkan aktivitas amonifikasi, nitrifikasi (proses pembentukan senyawa N)
oleh mikrorganisme yang dapat meningkatkan ketersediaan N dalam tanah. Selain
itu keberadaan mikroorganisme ini unsur N akan terikat dan tidak banyak terjadi
kehilangan karena penguapan. Pada Tabel 7 menunjukkan kandungan hara
perlakuan P1 (penggunaan ekstrak kompos hasil fermentasi bakteri rhizosfer)
lebih tinggi dibandingkan dengan P2 (Penggunaan ekstrak kompos hasil
fermentasi bakteri EM4) dan kontrol.

Analisis Anggaran Parsial (Partial Budget Analysis)
Langkah pertama dalam analisis anggaran parsial ialah menjelaskan
perubahan dalam organisasi usahatani atau metode produksi secara hati-hati dan
tepat. Perubahan pengunaan teknologi alternatif yang dituju dalam analisis
anggaran parsial penelitian ini adalah penggunaan bakteri rhizosfer dengan tujuan
meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam pembuatan kompos serta
pengaruhnya secara langsung dalam pengendalian penyakit tanaman akar gada,
sehingga nilai tambah dari penggunaan teknologi tersebut meningkatkan efisiensi
biaya produksi tanaman budi daya, terutama dalam penggunaan pestisida.
Langkah kedua adalah mendaftar dan menghitung keuntungan dan
kerugian yang didapat dari perubahan tersebut. Kerugian dapat dibagi menjadi dua
kelompok. Pertama, pengeluaran atau biaya tambahan yang terjadi karena ada
perubahan. Kedua, pendapatan kotor atau penghasilan yang hilang dan tidak akan
diterima lagi sebagai akibat perubahan tersebut. Pengeluaran atau biaya tambahan
yang terjadi karena penggunaan bakteri rhizosfer yang menggantikan bakteri EM4
sejumlah Rp. 8.250,-. Biaya tersebut adalah biaya untuk membuat formulasi
bakteri yang dapat digunakan untuk lahan seluas 1000 m
2
yang terdiri dari biaya
alat dan bahan. Biaya alat terdiri dari biaya penyusutan dan pembelian botol.
Biaya penyusutan diakibatkan oleh penggunaan barang (panci dan ember) suatu
periode tana sedangkan biaya bahan terdiri dari gula pasir, penyedap, bentonit,
dan terasi yang berjumlah Rp. 3.250,-. Tidak ada penghasilan yang hilang apabila
bakteri rhizosfer digunakan sebagai pengganti EM4.
Keuntungan juga dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, tiap
pengeluaran atau biaya yang dihemat akibat perubahan tersebut. Pengeluaran ini
adalah biaya-biaya yang seharusnya dikeluarkan dalam metode produksi yang
berlaku sekarang, tetapi dapat ditiadakan apabila perubahan yang diusulkan itu
dilaksanakan. Kedua, tambahan pendapatan kotor atau penghasilan yang timbul
akibat perubahan tersebut. Pengeluaran atau biaya yang dihemat akibat perubahan
tersebut adalah untuk pembelian EM4 dan fungisida yang total jumlahnya sebesar
Rp. 42.000,-. Tidak ada penghasilan yang bertambah akibat penggunaan bakteri
rhizosfer yang menggantikan penggunaan bakteri EM4.








12
Tabel 8 Analisis Anggaran Parsial Untuk Penggunaan Bakteri Rhizosfer
Sebagai Pengganti EM4
Tujuan: Penggunaan bakteri rhizosfer dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan efektifitas
dalam pembuatan kompos serta pengaruhnya secara langsung dalam pengendalian
penyakit tanaman akar gada
Waktu: April Juni 2006
Kerugian (Rp/1000m
2
) Keuntungan (Rp/1000m
2
)
Biaya tambahan (a):
- Alat :
o Penyusutan 2.500
Alat (ember dan panci)
o Botol plastik 1bh 2.500
- Bahan :
o Gula pasir 100 gr 500
o Penyedap 1 sachet 450
o Terasi 100 gr 800
o Bentonit 500 gr 1.500

Penghasilan yang hilang (b) : Tidak ada

Kerugian total (a + b) : 8.250 (c)
Biaya yang dihemat (d):
- EM4 2.000
- Fungisida 40.000








Penghasilan tambahan (e) : Tidak ada

Keuntungan total (f + g) : 42.000 (f)
Keuntungan tambahan (f-c): Rp. 42.000 Rp. 8.250 = Rp. 33.750
Pertimbangan lain yang perlu diperhatikan:
1. Petani harus menambah waktu kerja atau menyewa tenaga kerja untuk pembuatan formulasi
bakteri rhizosfer.
2. Bakteri rhizosfer dapat mengendalikan penyakit tanaman akar gada secara lebih aman, tidak
terakumulasi dalam rantai makanan, adanya proses repoduksi sehingga dapat mengurangi
pemakaian yang berulang-ulang, dan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan sistem
pengendalian yang telah ada.
3. Jenis mikroorganisme dari EM4 belum diketahui secara jelas dan masih diperoleh melalui
impor. Selain itu, sumber bakteri rhizosfer mudah ditemukan di sekitar lahan petani, salah
satunya rumput gajah.

KESIMPULAN
Pada pengujian lapang diperoleh bahwa teknik aplikasi bakteri rhizosfer
rumput gajah yang paling efisien dan efektif dalam menekan serangan penyakit
akar gada P. brassicae adalah perlakuan perendaman dan penyemprotan bibit.
Perlakuan bakteri dalam pengomposan menunjukkan pengaruh yang cukup
nyata dalam mencapai kematangan kompos. Perlakuan bakteri dengan
menggunakan EM4 dan bakteri rhizosfer rumput gajah menunjukkan pengaruh
yang tidak jauh berbeda terhadap keremahan, bau, dan warna. Sedangkan
pengaruhnya terhadap suhu menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. Hal
tersebut merupakan indikator potensial bakteri rhizosfer rumput gajah sebagai
pengganti bakteri EM4 dalam pengomposan. Selain itu berdasarkan hasil analisis
unsur hara kompos diperoleh bahwa nisbah C/N untuk perlakuan bakteri rhizosfer
rumput gajah tidak jauh berbeda dengan nisbah C/N perlakuan EM4.
Pada pengujian in vitro diperoleh 2 isolat bakteri dengan kode D dan F.
Kedua bakteri tersebut menunjukkan zona hambatan. Kode D menunjukkan
penghambatan terhadap Fusarium sp. dan bakteri kode F menunjukkan
penghambatan terhadap Phytophthora capsici. Berdasarkan hasil identifikasi
bakteri diketahui bahwa bakteri dengan kode D adalah Listeria monocytogenes
dan bakteri dengan kode F adalah Pseudomonas putida.


13
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1988. Plant Pathology. 3
rd
ed. Sandiego,San Fransisco: Academic
Press. 803 p.
Ahl P, Voisard C, Defago G. 1986. Iron bound-siderophores, cynic acid, acid,
and antibiotic involved in suppression of thielaviopsis by a Pseudomonas
fluorescens strain. Phytopathology. Z. 116: 121-134.
Alabouvette C, Rouxell F, Louvet J. 1979. Charecteristic of fusarium wilt
suppressive soils and prospect for their utilization in biological control. Pp
165-182. In Schippers B, Gams W. (Eds.) Soil Borne Plant Pathogens.
London-New York-San Fransisco: Academic press.
Alexopolus CJ, Mims GW. 1979. Introductory Mycology, 3
rd
ed. New York-
Chichester-Brisbane-Toronto: John Wiley and Sons. 632 p.
Alstrom, S. 1991. lncudtion of disease resistance in comman bean susceptible to
halobloght bacterial pathogen after seed bacterization with rhizosphera
pseudomonads. J. Gen. Appla. Mivrobiol. 37: 495-501.
Anderson WC, Gabrielson RL, Haglund WA,. Baker AS. 1976. Clubroot control
in crucifers with hydrated lime and PCNB. Plant Disease Reporter. 60:
561-565.
Baker KF, Cook RJ. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. San
Fransisco: WH Freeman. 433 p.
BASF. 1984. Basamid Granular. BASF Aktiengsellschasellschaft, Agric. Res.
Stat. Limburgerhof.
Burr TJ, Schroth MN, Suslow TW. 1978. Increased potato yield by treatment of
seedpieces with specific strain of Pseudomonas fluorescens and P. putida.
Phytophthol. 68: 1377-1383.
Colhoun J. 1953. A Study of epidemiology of clubroot disease af Brassicaceae.
Ann. Appl. Biol. 40:262:283.
Cullen, D., & Andrews, J.H. 1984. Evidence for the role of antibiotic in the
antagonism of Chaetomium globosum to the apple scab pathogen, Venturia
inaequalis. Can. J. Bot, 62: 1819-1823.
Djatnika, I. 1989. Upaya pengendalian Plasmodiophora Brassicae Wor. penyebab
penyakit akar bengkak pada Brassica spp. [Disertasi]. Bogor: Fakultas
Pasca Sarjana-IPB. 100 p.
Dobson RL, Gabrielson RL, Baker AS, Bennet L. 1983. Effect of lime particle
size and distribution and fertilizer formulation on clubroot disease caused
by Plasmodiophora brassicae. Annu. Rev. Phytopathol. 10: 253-294.
Fravel, D.R. 1988. Role of antibiosis in thebiocontrol of plant dieases. Annu. Rev.
Phytopathology. 26: 75-91.
Kloepper JW, Scroth MN. 1978. Plant growth-promoting rhizobacteria on
radishes. In Proc. 4
th
int. Conf. Plant Path. Bact., Station de Patologie
vegetable et Phytobacteriol. Eds., Angers, France 2:879-882.
Kloepper, J.W., Leong, J., Teintze, M. & Schroth, M.N. 1980. Enhanced plant
growth by siderophores produced by plant growth-promoting
rhizobacteria. Nature. 286: 885-886.
Leeman, M., Van Pelt J.A, Den Ouden, F.M., Heinsbroek, M., Bakker, P.A.H.M.,
dan Schippers, B. 1995. Introduction of systemic resistance against
Fusarium wilt of radish by lipopolysaccharides of Pseudomonas
fluorescens. Phytopathology. 85: 1021-1027


14
Leong J. 1986. Siderophores, their biochemistry and possible role in the
biocontrol of plant pathogens. Annu Rev Phytopthol 14: 187-209.
Maurhofer M, Reimmann C, Schmidli-Sacherer P, Heeb S, Haas D, Defago G.
1998. Salicylic acid biosynthetic genes Expressed in Pseudomonas
fluorescens strain P3 improved the induction of systemic resistance in
tobacco against Tobacco Necrosis Virus. Phytopathology 88 (7): 678-684.
Meyer, J.M., Halle, F., Hohnadel, D., Lemanceau, P. & Ratefiarivelo, H. 1987.
Dlm. Winkelmann, G., Helm, D., Neilands, J.B. Iron transfort in microbes,
Plant and Animal. 189-205. VCH. W einheim.
Neilands, J.B. 1981. Microbial iron compounds. Ann. Rev. Biochem. 50: 715-731.
Neilands, J.B. & Leong, S.A. 1986. Siderophores in relation to plant growth and
disease. Ann. Rev. Plant. Physiol. 37: 187-208.
Paulitz T. 1992. Biological control of damping-off diseases with seed treatments.
Di dalam: Tjamos ES, et al. editors. Biological Control of Plant Diseases.
New York: Plenum Press.
Schroth MN, dan Hancock JG. 1982. Diseases suppressive soil and root
colonizing bacteria. Science 216: 1376-1381.
Soekartawi. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani
Kecil. Jakarta: UI Press.
Sutariati GAK. 2006. Perlakuan benih dengan agens biokontrol untuk
pengendalian penyakit antraknosa, peningkatan hasil dan mutu benih
cabai. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Thomashow, L.S. & Weller, D.M. 1988. Role of phenazine antibotic from
Pseudomonas fluorescens in biological control of Gaeumannomyces
graminis var. tritici. J. Bacteriol 170:3499-3508.
Van Peer R, Niemann GJ, Schippers B. 1991. Induced resistance and phytoalexin
accumulation in biological control of Fusarium wilt of carnation by
Pseudomonas sp. Strain WCS417r. Phytophathology 81: 728-734.
Voisard, C., Keel C., Haas, D., & Defago, G. 1989. Cyanide production
byPseuldomonas fluorescens helps suppres black root rot of tobacco under
gnotobiotic conditions. Eur. Mol BioI. Org.J. 8:351-358.
Wei, G., Kloepper, J.W., & Tuzun, S. 1991, Induction of systemic resistance of
cucuumber to Colletotrichum orbiclilare by select strain of plant growth-
promoting rhizobacteria. Phytopathology. 81: 1508-1512.
Weller DM, dan Cook RJ. 1983. Suppressive of take all of wheat by seed
treatement with flourenscent pseudomonas. Phytopathology 73:1548-
1553.
Weller, D.M. 1988. Biological control of soil-borne pathogens in the rhizosphere
with bacteria. Annu. Rev. Pythopathology. 26: 379-407
Weller, D.M., Zang B,-X., Cook, R.J. 1985. Application of a rapid screening test
for selection of bacteria suppressive to take-all of wheat. Plant Dis. 69:
710-713.
Wong, P.T.W., & Baker, R. 1984. Suppression of wheat take-all and Ophiobolus
patch by fluorescent pseudomonads from a Fusarium-supressive soil. Soil ,
Biol. Bichem. 16:397-403
Zhou, T ., Rankm, L. & Paulitz, T. C. 1992. Induced resistance in the biological
control of Pythium aphanidermatum by Pseudomonas .spp. On European
cucumber. (Abstr.) Phytopathology. 82:1080.

PKMP-4-5-1
STUDI TENTANG PENGARUH MEDAN MAGNET DALAM PROSES
DEPOSISI LAPISAN FILM TIPIS PADA REAKTOR OPPOSED TARGET
MAGNETRON SPUTTERING (OTMS)

Wulan Anggraeni, Akfiny Hasdi Aimon, Habibullah Akbar
Institut Teknologi Bandung, Bandung

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-4-6-1
PELARUTAN FOSFAT ANORGANIK OLEH KULTUR CAMPUR
JAMUR PELARUT FOSFAT SECARA INVITRO

Agustina Dwi K, Normasari, Hevi Diyowati, Kiki Bayu Wardhani, Salamah
Jurusan Biologi, F-MIPA, Universitas Diponegoro, Semarang

ABSTRAK
Fosfat merupakan nutrient essensial yang diperlukan oleh tanaman dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah
yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 95-99% terdapat dalam bentuk fosfat
tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman (Vassileva et al.,
1998). Upaya untuk mengatasi masalah ini, salah satunya adalah dengan
pembuatan pupuk biologi dengan mikroba pelarut fosfat sebagai agen
biofertilizer. Penelitian terdahulu, diperoleh isolat jamur pelarut fosfat dari
sampel tanah gambut yang sudah teruji kemampuannya dalam melarutkan fosfat
(Normasari, 2005). Program ini bertujuan untuk memperoleh perbandingan isolat
jamur pelarut fosfat yang tepat untuk digunakan sebagai formula kultur campur
agar dapat melarutkan fosfat secara optimal, meningkatkan kemampuan jamur
dalam melarutkan fosfat dengan adanya kerja yang sinergis dari jamur-jamur
tersebut, dan menjadikan mahasiswa mampu mengaplikasikan mata kuliah yang
didapatkan yaitu mikrobiologi tanah untuk menghasilkan pupuk biologi dengan
mikroorganisme sebagai agen biofertilizer. Penelitian dilakukan dengan 7
perlakuan kultur jamur tunggal NSJ 1, NSJ 5, NSJ 6, kultur jamur campur NSJ
1-NSJ 5, NSJ 1-NSJ 6, NSJ 5-NSJ 6, NSJ 1-NSJ 5-NSJ 6 dan kontrol. Kontrol
perlakuan digunakan medium uji Pikovskaya tanpa inokulasi jamur. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara umum menunjukkan kemampuan kultur
jamur baik tunggal maupun campur dalam melarutkan fosfat dibandingkan
dengan kontrol (tanpa inokulasi jamur) dengan kecenderungan profil yang
hampir sama.

Kata kunci : fosfat, mikroba pelarut fosfat, biofertilizer

PENDAHULUAN
Pertanian di Indonesia merupakan bidang yang sangat penting saat ini,
hal ini berkaitan dengan permasalahan utama yang dihadapi oleh pemerintah
sekarang adalah untuk mengupayakan peningkatan produksi pertanian dalam
rangka memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang terus meningkat dan
mengurangi impor hasil pertanian. Salah satu upaya peningkatan produksi pangan
tersebut berupa intensifikasi lahan-lahan pertanian, yaitu dengan menggunakan
bantuan pupuk buatan atau sintetik termasuk pupuk fosfat sintetik.
Fosfat merupakan nutrient essensial yang diperlukan oleh tanaman dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah
yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 95-99% terdapat dalam bentuk fosfat
tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman (Vassileva et al.,
1998). Peningkatan ketersediaan fosfat bagi tanaman diusahakan dengan
pengunaan pupuk fosfat anorganik maupun organik. Tetapi setelah aplikasi,
ternyata sejumlah besar fosfat bentuk tersedia dari pupuk langsung diubah
kedalam bentuk tidak terlarut (Omar, 1998). Sehingga pemanfaatan pupuk

PKMP-4-6-2
tersebut kurang efektif sehingga memerlukan perlakuan yang berkelanjutan dan
tentunya biaya yang tinggi.
Upaya untuk mengatasi masalah ini, akhir-akhir ini terpusatkan pada
pemanfaatan mikroorganisme pelarut fosfat dengan alasan mudah dimanipulasi
dan murah operasionalnya. Salah satunya adalah dengan pembuatan pupuk biologi
dengan mikroba pelarut fosfat sebagai agen biofertilizer. Penelitian terdahulu,
diperoleh isolat jamur pelarut fosfat dari sampel tanah gambut yang sudah teruji
kemampuannya dalam melarutkan fosfat (Normasari, 2005).
Permasalahan yang dihadapi pada sektor pertanian dewasa ini adalah
pemanfaatan pupuk fosfat sintetik maupun alami yang tidak maksimal oleh
tanaman pada tanah masam, sehingga dapat menyebabkan defisiensi bagi tanaman
tersebut dan beriimbas pada produksi pertanian yang menurun. Penelitian untuk
mencari mikoorganisme pelarut fosfat yang mampu meningkatkan ketersediaan
fosfat terlarut dalam tanah sangat diperlukan mengingat pemanfaatan
mikroorganisme tesebut dapat menjadi salah satu alternatif untuk intesifikasi
lahan pertanian. Penelitian yang dilakukan pada sampel tanah gambut Sampit
menghasilkan 3 isolat jamur pelarut fosfat yaitu NSJ 1, NSJ 5 dan NSJ 6, yang
berpotensi sebagai agen biofertilizer (Normasari, 2005). Permasalahannya adalah
memperoleh formula yang tepat dari kultur campur isolat jamur-jamur tesebut
dengan komposisi inokulum tertentu sehingga pelarutan fosfat dapat berjalan
optimal.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan memperoleh perbandingan isolat
jamur pelarut fosfat yang tepat untuk digunakan sebagai formula kultur campur
agar dapat melarutkan fosfat secara optimal, meningkatkan kemampuan jamur
dalam melarutkan fosfat dengan adanya kerja yang sinergis dari jamur-jamur
tersebut, serta menjadikan mahasiswa mampu mengaplikasikan mata kuliah yang
didapatkan yaitu mikrobiologi tanah untuk menghasilkan pupuk biologi dengan
mikroorganisme sebagai agen biofertilizer yang dibutuhkan dalam pertanian,
terutama dalam rangka menunjang peningkatan produksi pertanian.
Manfaat yang dapat diperoleh dari adanya program ini adalah
didapatkannya formula (konsorsium) jamur pelarut fosfat yang tepat sehingga
nantinya dapat dimanfaatkan sebagai agen biofertilizer untuk mengatasi
keterbatasan fosfat terlarut dalam tanah dan sebagai alternatif intensifikasi lahan
pertanian baik yang produktif maupun tidak, sehingga dapat meningkatkan
produksi pertanian

METODE PENDEKATAN
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiogenetika Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Diponegoro Semarang, pada bulan Maret Juni 2006.

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah erlenmeyer, gelas
kimia, tabung reaksi, jarum ose, lampu spiritus, inkubator, autoklaf, pipet ukur 1
ml, pipet ukur 5 ml , pipet ukur 10 ml, pipet tetes, mikropipet, timbangan
sartorius, batang pengaduk, gelas ukur, corong, vortex, desicator,
spektrofotometer, sentrifuge, test tube, rotary shaker, pH meter, penyaring Seitz
dan vacuum pump, oven.


PKMP-4-6-3
Bahan
Bahan- bahan yang digunakan adalah isolat jamur NSJ 1, NSJ 5 dan NSJ
6; medium Pikovskaya (1% glukosa, 0.02% NaCl, 0.5% Ca
3
(PO
4
)
2
, 0.05%
(NH
4
)
2
SO
4
, 0.02% KCl, 0.01% MgSO
4
.7H
2
O, 0.00025% MnSO
4
, 0.00025%
FeSO
4
, 0.05% gram yeast extract, 1.5% agar), kertas saring What man no. 42, pH
stick, reagen Ammonium molybdate (asam sulfat, ammonium molybdate), reagen
Stannous chloride (SnCl
2
. 2H
2
O, gliserin), akuades, HCl.

Metode
Pembuatan Reagensia Metode Stannous Chloride
- Preparasi reagen Ammonium molybdate
Asam sulfat (H
2
SO
4
) sebanyak 280 ml ditambahkan dalam akuades
hingga volumenya 400 ml. Kemudian sebanyak 25 gram (NH
4
)
6
Mo
7
O
24
:4H
2
O
(ammonium molybdate) dilarutkan dalam 175 ml akuades. Ketika larutan asam
sudah menjadi dingin, ditambahkan larutan molybdate dan akuades hingga
volumenya 1 liter.
- Preparasi reagen Stannous chloride
Sebanyak 2,5 gram SnCl
2
. 2H
2
O dilarutkan ke dalam 100 ml gliserin,
larutan dipanaskan untuk mempercepat kelarutan.

Pembuatan medium Pikovskaya
Medium Pikovskaya dibuat dengan memasukkan 10 gram glukosa, 0.2
gram NaCl, 5 gram Ca
3
(PO
4
)
2
, 0.5 gram (NH
4
)
2
SO
4
, 0.2 gram KCl, 0.1 gram
MgSO
4
.7H
2
O, 0.0025 gram MnSO
4
, 0.0025 gram FeSO
4
, 0.5 gram yeast extract
ke dalam erlenmeyer ukuran 1 liter. Campuran bahan-bahan tersebut kemudian
dilarutkan dengan 1 liter aquades dan diaduk. Larutan medium dipanaskan dalam
penangas air hingga semua bahan larut homogen. Larutan medium dalam autoklaf
pada 121C, 1atm, selama 15-20 menit.

Peremajaan dan Pemeliharaan Isolat
Isolat jamur pelarut fosfat NSJ 1, NSJ 5 dan NSJ 6 ditumbuhkan pada
medium Pikovskaya Agar selama 7 hari pada suhu 30 C. Isolat yang tidak
dipakai disimpan pada suhu 4 C.

Pembuatan Kurva Pertumbuhan
Pertumbuhan isolat jamur NSJ 1, NSJ 5 dan NSJ 6 dapat dinyatakan
dengan konsentrasi biomassa menggunakan metode gravimetri. Metode
gravimetri dilakukan sebagai berikut: biakan murni NSJ 1, NSJ 5 dan NSJ 6 pada
media PKVA miring umur 4 hari yang diinkubasi pada suhu ruang dibuat
suspensi dengan menambahkan akuades steril 5 ml. Kemudian sebanyak 1% (v/v)
suspensi jamur diinokulasikan ke dalam media Pikovskaya cair 100 ml dan
diinkubasi selama 7 hari pada rotary shaker 150 rpm. Pengamatan dilakukan
setiap 24 jam, mengukur biomassa jamur yaitu menyaring kultur cair jamur dalam
media Pikovskaya cair dengan penyaring Seitz yang telah diberi kertas saring.
Setelah airnya hilang kemudian diletakkan dalam kertas saring yang masih kering,
kemudian dimasukkan ke dalam oven yang bersuhu 80 C, sampai mencapai berat
kering konstan, baru dilakukan penimbangan dengan neraca sartorius. Berat

PKMP-4-6-4
kering yang diperoleh dikurangi dengan berat kering kertas saring merupakan
berat kering jamur (gram/100ml).

Pembuatan Starter
Dari kurva pertumbuhan akan diketahui fase log maksimal masing-
masing isolat. Masing-masing biakan murni NSJ 1, NSJ 5 dan NSJ 6 pada media
PKVA miring umur 4 hari yang diinkubasi pada suhu ruang dibuat suspensi
dengan menambahkan akuades steril 5 ml kemudian diinokulasikan pada media
starter sebanyak 5 % (v/v), diinkubasi pada rotary shaker 150 rpm pada suhu
ruang hingga diperoleh fase log maksimal. Berdasarkan fase log pertumbuhan
kultur diambil sejumlah suspensi kultur (10%) yang diinokulasikan ke dalam
medium uji pelarut fosfat (Pikovskaya cair).

Inokulasi Kultur Campur Jamur Pelarut Fosfat
Pada percobaan ini dibuat 6 perlakuan perbandingan isolat jamur pelarut
fosfat yaitu NSJ 1 : NSJ 5 : NSJ 6
F1 = 1 : 0 : 0
F2 = 0 : 1 : 0
F3 = 0 : 0 : 1
F4 = 1 : 1 : 0
F5 = 1 : 0 : 1
F6 = 0 : 1 : 1
F7 = 1 : 1 : 1
Masing-masing kultur campur jamur tersebut (F1-F7) diinokulasikan pada media
PKV steril. Suatu kontrol dibuat yaitu berupa medium PKV broth tanpa
penambahan suspensi jamur. Jamur ditumbuhkan selama 7 hari pada rotary
shaker 150 rpm dengan suhu 30 C. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam dan pH
medium diukur. Kultur disentrifuse pada 5.000 rpm selama 10 menit. Larutan
yang sudah disentrifuse, disaring pada kertas saring What man No. 42 dan larutan
yang bening (clear solution) dikumpulkan pada 100 ml volumetric flask dan
dilakukan penambahan akuades hingga volumenya menjadi 100 ml.

Analisis Fosfat yang Tersedia
Analisis fosfat yang tersedia dilakukan dengan menggunakan metode
Stannous chloride. Sebanyak 25 ml larutan sampel yang akan dianalisis diambil
kedalam tabung reaksi. Lalu ditambahkan 1ml larutan ammonium molybdate
kemudian digojog. Setelah itu, ditambahkan 2 tetes larutan stannous chloride
kemudian digojog. Jika terdapat fosfat terlarut, dalam intensitas maksimum
setelah 5 menit, warna larutan menjadi berwarna biru. Pengukuran warna harus
dilakukan selama 5-15 menit setelah penambahan stannous chloride. Periode
waktu tersebut merupakan periode perkembangan warna kritis. Pengukuran
absorbansi warna dilakukan menggunakan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 650 nm. Larutan blanko digunakan untuk menetapkan absorbansi nol.

Pengukuran pH Kultur
Pengukuran pH kultur sampel dilakukan setiap 24 jam. Kultur sampel
diukur pH-nya dengan menggunakan pH meter, sebelum penggunaan pH meter
dikalibrasi terlebih dulu dengan buffer 4 dan 7 (Hadiwiyoto, 1994).

PKMP-4-6-5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsentrasi fosfat terlarut oleh jamur pelarut fosfat NSJ1, NSJ5 dan NSJ6
baik kultur tunggal maupun campur disajikan pada Tabel 01 dan Gambar 03.

Tabel 01. Konsentrasi fosfat terlarut pada berbagai perlakuan perbandingan isolat
jamur F1-F7 selama inkubasi 168 jam

Konsentrasi Fosfat Terlarut (ppm) Waktu
Inkubasi
(jam) F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
0 2.19 6.67 7.17 5.33 7.80 7.87 7.86 7.49
24 2.13 4.73 5.85 2.04 5.37 4.77 6.99 4.94
48 1.52 4.31 5.38 2.60 3.19 2.01 4.18 3.46
72 2.39 4.48 4.20 2.59 3.35 4.28 4.21 4.76
96 2.33 3.43 6.34 4.17 2.93 4.69 4.01 4.33
120 1.76 3.77 4.28 3.84 4.64 3.80 4.43 3.98
144 2.18 4.04 5.87 3.87 4.33 4.51 3.17 3.94
168 2.05 2.32 4.59 2.78 1.65 2.65 2.97 2.67


GRAFIK KONSENTRASI P
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120 132 144 156 168 180
Waktu (jam)
K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

P

(
p
p
m
)
f0
f1
f2
f3
f4
f5
f6
f7

Gambar 03. Pola grafik konsentrasi fosfat terlarut pada berbagai perlakuan
perbandingan isolat jamur F1-F7 selama inkubasi 168 jam

Perubahan pH kultur selama masa inkubasi disajikan pada Tabel 02 dan
gambar 04.


PKMP-4-6-6
Tabel 02. pH kultur pada berbagai perlakuan perbandingan isolat jamur F1-F7
selama inkubasi 168 jam

pH Kultur Waktu
Inkubasi
(jam)
F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
0 6.13 5.55 5.90 4.77 4.63 4.79 4.83 5.19
24 5.88 4.33 5.28 4.28 4.44 4.22 4.37 4.41
48 4.85 3.94 2.40 3.97 3.80 3.99 4.83 3.72
72 6.28 4.10 5.55 5.01 4.24 4.23 5.40 4.43
96 5.46 3.84 5.76 5.08 4.22 5.24 5.06 4.41
120 6.07 3.77 5.62 4.73 4.42 5.41 4.32 5.14
144 5.66 3.83 5.67 4.76 4.22 5.31 5.22 5.40
168 6.44 4.02 5.54 5.24 4.38 5.38 5.27 3.90

KURVA pH KULTUR SELAMA INKUBASI
0
1
2
3
4
5
6
7
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120 132 144 156 168 180
Waktu (jam)
p
H

K
u
l
t
u
r
F0
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7

Gambar 04. Pola grafik pH kultur pada berbagai perlakuan perbandingan isolat
jamur F1-F7 selama inkubasi 168 jam

Hasil penelitian (Gambar 03) secara umum menunjukkan kemampuan
kultur jamur baik tunggal maupun campur dalam melarutkan fosfat dibandingkan
dengan F0 (kontrol / tanpa inokulasi jamur) dengan kecenderungan profil yang
hampir sama. Aktivitas pelarutan fosfat mulai terlihat pada awal inkubasi (jam ke
0), dengan konsentrasi fosfat terlarut tertinggi 7,87 ppm yang dihasilkan oleh F5
dan terendah 5,33 ppm oleh F3. Aktivitas pelarutan fosfat yang terjadi pada awal
inkubasi ini merupakan aktivitas tertinggi pada semua perlakuan dikarenakan
kultur jamur yang diinokulasikan sebagai starter telah memasuki fase log
pertumbuhan dan mensekresi asam organik sehingga telah terjadi aktivitas
pelarutan fosfat. Griffin (1994) menyatakan bahwa pada fase log pertumbuhan
jamur mensekresikan suatu substansi asam yang menyebabkan medium menjadi

PKMP-4-6-7
basi. Substansi ini umumnya diproduksi oleh beberapa strain seperti Fusarium,
Penicillium, Trichoderma dan strain yang memiliki aktivitas yang besar.
Konsentrasi fosfat terlarut menunjukkan penurunan setelah inkubasi 24
jam. Penurunan konsentrasi fosfat terlarut ini diduga disebabkan oleh adanya
pemakaian kembali fosfat terlarut oleh kultur jamur sebagai sumber nutrisi untuk
aktivitas metabolismenya. Adanya fosfat terlarut yang tinggi dalam medium
digunakan untuk aktivitas respirasi oksidatif yang berperan dalam transfer atau
konsumsi glukosa ke dalam sel untuk pembentukan energi ATP dan biomassa
sehingga akan meningkatkan pertumbuhan. Hawker (1950) menyatakan bahwa
fosfor harus disuplai dengan jumlah yang cukup dalam medium untuk proses
fosforilasi karbohidrat bagian akhir dan pembentukan energi dalam sintesis bahan
organik kompleks yang biasanya diturunkan dari komponen fosfor kaya energi.
Fosfor juga termasuk dalam komposisi fosfolipid yang merupakan unsur penting
sel yeast dan asam nukleat. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Khalil (1995) dan
Gaur (1990) bahwa unsur fosfor seperti nitrogen dapat dimineralisasi dan
diimobilisasi, sangat esensial untuk sintesis sel mikroba dan kebanyakan strain
jamur mengimobilisasi fosfor dalam jumlah yang lebih besar daripada strain
bakteri. Disamping itu, menurut Poeponegoro (2005), adanya kandungan fosfat
terlarut yang tinggi dalam medium dapat menghambat aktivitas enzim
fosfofruktokinase dan piruvat dekarboksilase yang berperan dalam glikolisis
untuk pembentukan asam piruvat dan asetil ko-A yang dibutuhkan dalam
biosintesis asam organik. Adanya penghambatan dalam biosintesis asam organik
menyebabkan tidak adanya proses pelarutan fosfat. Tan (1982) menjelaskan
bahwa meningkatnya asam-asam organik yang diikuti dengan penurunan pH yang
tajam, dapat berakibat terjadinya pelarutan Ca-fosfat. Selain karena penurunan
pH, adanya kecenderungan Ca
2+
, Mg
2+
, Fe
3+
, dan Al
3+
untuk membentuk khelat
(kompleks yang stabil) dengan asam-asam organik juga menyebabkan terjadinya
pembebasan P menjadi larut. Hasil pengukuran pH kultur (Gambar 04) juga
memperlihatkan bahwa pada inkubasi 24 jam tidak menunjukkan penurunan yang
drastis dari pH kultur awal inkubasi (jam ke 0).
Pada inkubasi 48 jam, semua perlakuan menunjukkan kenaikan
konsentrasi fosfat terlarut. Kenaikan tersebut disebabkan oleh adanya
pembentukkan kembali asam organik, hal ini dapat dilihat pada pH kultur medium
yang mengalami penurunan secara drastis (Gambar 04), khususnya pada
perlakuan F2 yang menujukkan adanya korelasi antara pH dengan pelarutan fosfat
dimana konsentrasi fosfat terlarut paling tinggi dengan pH kultur paling rendah.
Adanya penurunan fosfat terlarut pada inkubasi 24 jam menyebabkan penurunan
energi ATP, sehingga mengaktifkan kembali enzim piruvat karboksilase pada
proses glikolisis yang berperan dalam biosintesis asam organik. Asam organik
tersebut mampu memecah komponen apatit Ca-fosfat dalam medium yang
merupakan bentuk fosfat tidak larut menjadi bentuk terlarut (Rao, 1994 dan
Alexander, 1961). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Burgs taller et al. (1992),
bahwa Aspergillus dan Penicillium melarutkan fosfat dengan memproduksi
sejumlah besar asam organik, demikian juga dengan hasil penelitian Illmer (1995)
bahwa Aspergillus niger memproduksi asam sitrat, oksalat dan glukonat dalam
melarutkan fosfat.
Aktivitas pelarutan fosfat pada setiap perlakuan perbandingan isolat jamur
F1-F7 secara umum dapat terlihat pada perubahan medium Pikovskaya broth yang

PKMP-4-6-8
semula keruh menjadi bening. Perubahan medium kultur selama masa inkubasi ini
disebabkan oleh adanya pemecahan ikatan senyawa trikalsium fosfat dalam
medium menjadi fosfat terlarut oleh kultur jamur. Menurut Katznelson dan Bose
(1959), Sundara Rao dan Sinha (1962) dan Das (1963), jamur dikatakan bisa
melarutkan fosfat apabila jamur dikelilingi zona berwarna terang.
Secara keseluruhan perlakuan dapat dilihat bahwa pelarutan fosfat oleh
kultur tunggal lebih baik daripada kultur campur. Hal ini disebabkan karena pada
kultur campur terjadi kompetisi nutrien antar inokulum dalam medium uji.
Kompetisi dapat mengakibatkan metabolisme masing-masing jamur tidak optimal,
sehingga hal ini dapat menyebabkan pelarutan fosfat tidak optimal pula. Nutrien
dalam medium jumlahnya terbatas, sehingga apabila dalam suatu medium yang
terbatas terdapat lebih dari satu organisme maka terjadi penggunaan nutrien secara
bersama-sama antara organisme yang satu dengan organisme yang lain, sehingga
jumlah nutrien yang ada akan lebih cepat habis. Berbeda dengan kultur tunggal
dimana di dalam medium tumbuh hanya terdapat satu organisme sehingga tidak
terdapat kompetisi nutrien. Nutrien yang ada hanya dimanfaatkan oleh satu
organisme maka jumlah nutrien yang ada tidak cepat habis, sehingga proses
metabolisme dan pelarutan fosfat dapat terus berlangsung.
Hasil pengukuran fosfat terlarut pada perlakuan F0 (kontrol / tanpa
inokulasi jamur) menunjukan adanya fosfat terlarut dan penurunan pH kultur pada
awal inkubasi (jam ke 0), hal ini diduga disebabkan adanya pengaruh pemanasan
pada proses sterilisasi autoklaf yang mengakibatkan terpecahnya ikatan Ca-fosfat
pada medium secara fisik menjadi bentuk fosfat terlarut. Adanya bahan glukosa
pada medium uji oleh pemanasan menyebabkan keasaman pada medium sehingga
pH medium menjadi turun. Berdasarkan hasil penelitian ini maka isolat jamur
pelarut fosfat NSJ1, NSJ 5 dan NSJ 6 berpotensi untuk dikaji lanjut potensinya
untuk penyediaan pupuk biologi yang dapat meningkatkan ketersediaan fosfat
terlarut dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini adalah
bahwa kultur tunggal jamur lebih berpotensi dimanfaatkan sebagai agen
biofertilizer dibandingkan kultur campur jamur pelarut fosfat. Kultur campur
jamur tidak menunjukkan kerja sinergis dalam melarutkan fosfat, terjadi
kompetisi pemanfaatan nutrien.

DAFTAR PUSTAKA
Abd-Alla, M. H. 1994. Phospahtes and Utilization of Organic Phosphorus by
Rhizobium leguminosarum biovar viceae. Letters of Applied Microbiol.
18 : 294-296
Anas, Iswandi, , M. Edi Premono. 1989. Mikroorganisme Tanah Pelarut Fosfat
dan Peranannya dalam Pertanian. jurnal Konggres Nasional V.
Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Medan
Alexander, Martin. 1961. Introduction to Soil Microbiology, John Wiley & Sons
Inc. New York and London
Burgstaller, W., H. Strasser and F. Shinner. 1992. Solubilization of zinc oxide
from filter dust with Penicillium simplicisssimum: Bioreaktor, lerching
and stoichiometri. Environmental Sci. and. Technol. 26:340-346

PKMP-4-6-9

Chapelle, F. H. 2001. Ground-Water Microbilogy and Geochemistry. John Wiley
and Sons. New York Isroi, 2005. Bioteknologi Mikroba untuk Pertanian
Organik. Available at http://www.ipardboo@ondo.net.id. Selasa, 17 Mei
2005
Cunningham, J. E., C. Kuiack. 1992. Production of Citric and Oxalic Acids and
Solubilization of Calcium Phosphate by Penicillium bilaii. Applied and
Environmental Microbiol. 58:1451-1458
Das, A. C. 1963. Utilization of Insoluble Phosphates by Soil Fungi. J. Indian Soc.
Soil Sci. 11:203-207
Dwijoseputro. 1994. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djembatan. Jakarta
Gaur, A. C. 1990. Phosphate Solubilizing Microorganism as Biofertilizer. Omega
Scientific Publisher. New Delhi. 176
Griffin, David H. 1994. Fungal Phisiology second edition. Wiley-Liss, Inc. United
States of America
Hawker, Lilian E. 1950. Physiologi of Fungi. University of London Press LTD.
Warwick Square. London. E.C.4
Illmer, P., F. Schinner. 1995. Phosphate Solubilizing Microorganism Under Non-
Sterile Condition. Bodenkultur, 46 : 197-204
Indranuda, H. K. 1994. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Cetakan ke-3. Bumi
Aksara. Bandung
Katznelson, H. And Bose, B. 1959. Metabolic Activity and Phosphate Dissolving
Capability of Bacterial Isolates from Wheat Roots, Rizosphere and Non
Rhizosphere. Soil Canadian J. Microbiol. 5(1): 79-85
Khalil, S. 1995. Direct Application of phosphate rock and appropriate technology
fertilizers in Pakistan. Proc. International Workshop, Direct application
of rock phosphate and appropriate technology fertilizers in Asia-What
hinders acceptance and growth, Februari 20-25. Kandy. Sri Lanka,
pp:231-236
Lynch, J. M., N. J. Poole. 1979. Microbial Ecology A Conceptual Approach.
Blackwell Scientific Publications. Oxford
Masud. 1993. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa. Bandung
Motsara, M. R..,P. B. Bhattacharyya, B. Srivastava. 1995. Biofertilizer-their
Description and Characteristics In: Biofertilizer Technology, Marketing
and Usage, A sourcebook-cum-Glossary. Fertilizer development and
consultation organization 204-204 A Bhanot Corner, 1-2 Pamposh
Enclave. New Delhi. India
Normasari. 2005. Isolasi dan Karakterisasi Jamur Pelarut Fosfat dari Sampel
Tanah Gambut Sampit. Biologi Undip. Semarang
Omar, S. A. 1998. World Journal Microbial Biotech. 14 : 211-218
Poeponegoro, Milono. 2005. Pengaruh Limitasi Nutrien Pada Fermentasi Asam
Sitrat Secara Biak-Rendam Dengan Kapang Aspergillus niger ATCC
11414 . ITB Central Library. Bandung
Prerena-Akhaury, K. K. Kapoor, P. Akhaury. 1997. Solubilization of Insoluble
Phosphates by Fungi Isolated from Compost and Soil. Environ. Ecol. 15:
524-527

PKMP-4-6-10
Raju, R. A., M. N. Reddy. 1999. Effect of Rock Phosphate Amanded with
Phospahte Solubilizing Bacteri and Farmyard Manure in Wetland Rice
(Oryza sativa). Indian J. Agril. Sci. 69 : 451-453
Rao, Subba N. S. 1982. Biofertilizer in Agriculture. Oxford adn IBH Publishing
Co. New Delhi

Rashid, M. et al. 2004. Organic Acid Production and Solibilization by Phosphate
Solubilizing Microorganism (PSM) Under In Vitro Conditions. Pakistan
Journal of Biological Sciences 7 (2): 187-196
Sundara Rao, W. C. B. and Sinha, M. K. 1962. Phosphate Dissolving
Microorganisms in The Soil and Rhizosphere. Indian J. Sci. 23:272-278
Sutedjo, Mul Mulyani, dkk, 1996. Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta
Tan, K. H. 1982. Principles of Soil Chemistry. Marcel Decker Inc. New York
Vassileva, M., Vassilev, N., R. Azcon. 1998. World Journal Microbial Biotech. 14
: 281-284
Watanabe, F. S., S. R. Olsen. 1965. Test of An ascorbic Acid Method for
Determining Phosphorus in Water and NaHCO
3
Extract from Soil. Soil
Sci. Soc. Amer. Proceed. 29 : 677-678






PKMP-4-7-1
PEMBUATAN KEJU DENGAN BANTUAN PEPSIN DARI SEKUM
KELINCI SEBAGAI PENGGANTI RENNET

Pobi Tarosman, Agus Slamet Riyadi dan Eleanor Ferdinand Valentino
Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK
Meningkatnya pemintaan enzim renin untuk keperluan pembuatan keju
mengalami sejalan dengan perkembangan industri keju yang semakin meningkat.
Sementara itu, penyediaan enzim renin harus diperoleh dengan menyembelih
pedet (anak sapi) maupun anak kambing atau domba yang menimbulkan
kekhawatiran terhadap penyusutan populasi hewan tersebut. Penggantian renin
yang cukup baik adalah pepsin dari lambung babi. Mengingat sebagian besar
konsumen keju maupun produk susu lainnya di Indonesia adalah muslim, pepsin
dari sekum ternak kelinci dapat dimanfaatkan karena fungsi saluran pencernaan
kelinci secara umum sama dengan ternak monogastrik (babi)). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kualitas curd yang dihasilkan pada pemeraman
berbeda (0 hari, 7 hari, 14 hari dan 21 hari) yang meliputi: pH, kadar lemak,
keasaman, kadar protein terlarut, kadar air dan kadar asam lemak bebas.
Pengujian kualitas curd keju meliputi: pengukuran pH keju (metode
potensiometri), pengujian keasaman (metode titrasi dengan NaOH), pengujian
kadar lemak keju (metode Babcock), kadar air keju (metode pemanasan), kadar
protein total (metode makrokjeldahl), kadar asam lemak bebas (metode titrasi
alkali) dan kadar laktosa (metode Cloramin-T). Analisis data dengan program
SPSS versi 11. Keju A0 mempunyai pH 6,5, keasaman 0,22%, kadar air 78,21%,
kadar protein 17,2167%, kadar lemak 2,0%, FFA 1,23% dan laktosa 1,75%. Keju
A7 mempunyai pH 6,0, keasaman 0,45%, kadar air 78,43%, kadar protein
16,4748%, kadar lemak 2,5%, FFA 0,94% dan laktosa 1,75%. Keju A14
mempunyai pH 6,5, keasaman 0,19%, kadar air 80,78%, kadar protein 16,3595%,
kadar lemak 2,5%, FFA 0,46% dan laktosa 1,44%. Keju A21 mempunyai pH 6,5,
keasaman 0,25%, kadar air 76,82%, kadar protein 13,7517%, kadar lemak 2,0%,
FFA 1,08% dan laktosa 1,27%. Keju B0 mempunyai pH 5,5, keasaman 0,46%,
kadar air 76,40%, kadar protein 16,5320%, kadar lemak 2,0%, FFA 2,56% dan
laktosa 1,20%. Keju B7 mempunyai pH 6,5, keasaman 0,40%, kadar air 79,50%,
kadar protein 11,9179%, kadar lemak 2,0%, FFA 1,42% dan laktosa 1,23%. Keju
B14 mempunyai pH 5,0, keasaman 0,46%, kadar air 79,815%, kadar protein
13,3834%, kadar lemak 2,0%, FFA 1,92% dan laktosa 1,15%. Keju B21
mempunyai pH 5,0, keasaman 0,62%, kadar air 76,28%, kadar protein 16,7098%,
kadar lemak 2,0%, FFA 1,46% dan laktosa 0,88%. Kualitas kimia keju yang
dihasilkan dengan menggunakan pepsin yang berasal dari sekum kelinci tidak
berbeda dengan kualitas kimia keju komersial yang menggunakan enzim renin
yang berasal dari lambung anak sapi (pedet). Kualitas kimia yang diamati
meliputi; pH, persen angka asam, persen kadar air, kadar protein, kadar lemak,
asam lemak bebas (FFA) dan kadar laktosa.

Kata kunci: kualitas kimia, keju, pepsin, sekum kelinci

PKMP-4-7-2
PENDAHULUAN
Enzim protease adalah golongan enzim yang menguraikan protein
(Dwidjoseputro, 1987), yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan sangat
penting dalam perkembangan dan kemajuan industri keju. Enzim protease
dimanfaatkan pada proses penggumpalan susu yang menghasilkan curd atau tahu
susu. Penggumpalan susu secara enzimatis oleh protease terjadi karena putusnya
ikatan peptida antara fenilalanin dan metionin. Struktur kappa-kasein akan diubah
menjadi para-kasein. Para-kasein akan mengendap kalau ada ion kalsium dalam
susu pada suhu yang tidak terlalu tinggi.
Curd merupakan produk yang diharapkan dalam pembuat susu fermentasi,
salah satunya adalah keju. Keju sangat beragam macam dan jenisnya. Secara
sederhana, berdasarkan proses pembuatannya keju dapat dibedakan menjadi keju
peram (ripened cheese) dan keju tanpa pemeraman (unripened cheese). Lama
pemeraman bervariasi tergantung kebutuhan biasanya antara 2 bulan sampai 2
tahun. Selama proses pemeraman terjadi beragam reaksi kimiawi yang
membentuk tekstur aroma yang khas pada keju.
Berdasarkan asalnya, enzim protease ada tiga jenis yaitu, protease
tumbuhan, protease hewan, dan protease mikroba. Enzim protease yang berasal
dari hewan dapat diperoleh sebagai hasil sampingan rumah potong hewan atau
industri daging. Hasil ekstraksi abomasum ruminansia maupun lambung hewan
monogastrik mengandung enzim protease
Meningkatnya pemintaan enzim renin untuk keperluan pembuatan keju
mengalami peningkatan sejalan dengan perkembangan industri keju yang semakin
meningkat. Sementara itu, penyediaan enzim renin harus diperoleh dengan
menyembelih pedet (anak sapi) maupun anak kambing atau domba yang
menimbulkan kekhawatiran terhadap penyusutan populasi hewan tersebut.
Enzim protease lain telah banyak dicoba untuk digunakan sebagai
penggumpal susu misalnya pepsin sapi, pepsin domba, pepsin kambing, pepsin
kerbau serta protease yang diproduksi oleh mikroba. Namun demikian, dari
beberapa percobaan pembuatan keju, penggantian renin sebagai protease hewan
yang dapat menghasilkan curd dengan kualitas yang cukup baik adalah pepsin
dari lambung babi. Mengingat sebagian besar konsumen keju maupun produk
susu lainnya di Indonesia adalah muslim, maka perlu dicari alternatif lain untuk
menggantikan pepsin lambung babi tersebut. Dalam hal ini penulis tertarik untuk
memanfaatkan pepsin dari sekum ternak kelinci karena fungsi saluran pencernaan
kelinci secara umum sama dengan ternak monogastrik (babi) (Lebas et al., 1986).
Selain itu, ternak kelinci berpotensi sebagai ternak potong penghasil daging yang
prospektif pada masa datang. Sekum kelinci dapat diperoleh dari hasil sampingan
pemotongan kelinci oleh pedagang sate kelinci.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas curd yang dihasilkan
pada pemeraman berbeda (0 hari, 7 hari, 14 hari dan 21 hari) yang meliputi: pH,
kadar lemak, keasaman, kadar protein terlarut, kadar air dan kadar asam lemak
bebas. Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat antara lain: 1) dapat
memproduksi keju dengan pepsin yang berasal dari sekum kelinci dengan kualitas
yang cukup baik dengan harga yang relatif lebih murah, 2) diharapkan peternak
kelinci memperoleh peningkatan pendapatan dengan tambahan dari hasil
penjualan sekum kelinci, 3) dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya
bidang peternakan dan teknologi pangan dan gizi, dan 4) dapat memberikan

PKMP-4-7-3
motivasi kepada para peneliti selanjutnya untuk mengembangkan dan bahkan
mencari sumber enzim lain yang berguna dalam proses pengolahan makanan
khususnya pengolahan keju.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilakukan mulai pukul 16.00 sampai pukul 22.00 WIB.
Penelitian dimulai pada tanggal 18 Februari sampai 04 Mei 2006 di Laboratorium
Pengolahan Susu dan Telur Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Bahan yang digunakan antara lain; sekum kelinci, bakteri starter Streptococcus
thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii ssp. Bulgaricus, alkohol, asam asetat,
susu segar dan bahan-bahan untuk pengujian kualitas keju. Alat yang digunakan
antara lain; magnetik stirer, tabung reaksi, pH meter, dan perangkat standar untuk
pengujian kualitas keju.
Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
Tahap prapenelitian
Kegiatan yang yang dilakukan pada tahap prapenelitian antara lain adalah
mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan, mempersiapkan alat-alat yang
digunakan dalam penelitian. Dalam prapenelitian dilakukan percobaan-percobaan
yang berkaitan dengan proses penelitian, seperti: ekstraksi sekum kelinci,
penetapan lama proses penggumpalan susu, penentuan level ekstrak sekum kelinci
yang digunakan pada pembentukan curd dan optimasi waktu pemeraman curd
pada suhu refrigerasi (0 hari, 7 hari, 14 hari dan 21 hari) yang akan digunakan
pada proses penelitian. Pada tahap prapenelitian juga dilakukan pengembangan
starter yang dipilih yaitu Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus
delbrueckii ssp. Bulgaricus dari ampul (kultur kering beku) sehingga siap
ditambahkan dalam bentuk bulk starter (starter jadi) yang digunakan pada
pembuatan keju dengan penambahan starter.

Tahap penelitian
a. Tahap pengujian bahan dasar dan pengujian ekstrak sekum kelinci. Dilakukan
beberapa kegiatan pengujian, antara lain: 1) pengujian kualitas bahan dasar
susu yang meliputi: pengujian alkohol, pengujian pH, pengujian protein dan
kadar lemak; 2) mengukur aktifitas ekstrak sekum kelinci dalam
penggumpalan susu dengan metode Scott (1986); 3) uji aktivitas proteolitik
ekstrak sekum kelinci dengan metode Bohak yang dimodifikasi (Adimulyo,
1988).
b. Tahap pembuatan curd keju
1. Pengambilan sekum dari pedagang sate kelinci dan kemudian dibersihkan
dengan air dari sisa kotoran yang masih menempel pada bagian luar dan
bagian dalam sekum. Setelah bersih sekum di timbang dan dipotong-
potong menjadi ukuran kecil kira-kira sebesar 1 cm.
2. Ekstraksi sekum kelinci, menggunakan larutan asam asetat dengan
konsentrasi 1,5% sebanyak 500% dari berat sekum distirer selama 24 jam.
Setelah itu disaring untuk mendapatkan ekstrak sekum yang murni.
3. Koagulasi susu, dipersiapkan susu sebanyak 2250 ml susu kemudian di
bagi menjadi sembilan tabung masingmasing dengan volume 250 ml
pertabung. Delapan tabung untuk pengujian koagulasi susu sedangkan satu
tabung untuk kontrol suhu. Setelah itu, susu dipasteurisasi dengan

PKMP-4-7-4
menggunakan alat pasteurisasi pada suhu 83C selama 30 menit,
kemudian susu tersebut didinginkan sampai suhu 37C . Setelah itu
delapan buah tabung berisi susu tadi dibagi menjadi dua kelompok
pengujian, yaitu: empat tabung digunakan untuk pengujian pertama
dengan menambahkan ekstrak sekum sebanyak 10 % dari volume susu.
Empat tabung lainnya digunakan sebagai perlakuan kedua dengan
menginokulasikan bakteri starter (Streptococcus thermophilus dan
Lactobacillus delbrueckii ssp. Bulgaricus) sebanyak 2 persen (1:1) dari
volume susu kedalam susu yang telah dipasteurisasi.
4. Kedua perlakuan diinkubasi pada inkubator dengan suhu 37C selama
lebih kurang 1 jam. Setelah satu jam ke dalam susu yang mengalami
perlakuan kedua, ditambahkan ekstrak sekum sebanyak 10% dari volume
susu (25 ml ekstrak sekum), kemudian inkubasi kedua perlakuan
dilanjutkan sampai terbentuk gumpalan susu (curd). Gumpalan susu
(curd) dipisahkan dari cairannya (whey) dengan cara disaring dengan kain
saring.
c. Tahap pengujian kualitas curd
Pengujian kualitas curd keju meliputi: 1) pengukuran pH keju, dilakukan
dengan metode potensiometri (Sudarmadji dkk, 1997); 2) pengujian keasaman
dengan metode titrasi dengan NaOH; 3) pengujian nilai nutrisi keju yang
meliputi: kadar lemak keju dengan metode Babcock, kadar air keju dengan
menggunakan metode pemanasan (AOAC, 1984), kadar protein total dengan
metode makrokjeldahl, kadar asam lemak bebas dengan metode titrasi alkali
dan kadar laktosa keju dengan metode Cloramin-T.
Data yang telah diperoleh di olah dan dianalisis dengan program SPSS
versi 11 untuk mengetahui lebih detail signifikansi dari perbedaan perlakuan yang
telah diterapkan (beberapa data tidak ditampilkan).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keju merupakan produk hasil fermentasi susu yang banyak dikonsumsi
masyarakat dunia khususnya Eropa. FAO (Food and Agricultural Organization)
secara prinsipil mendefinisikan keju sebagaiproduk pangan hasil fermentasi susu
setelah dilakukan pemisahan air dari susu yang terkoagulasi. Hasil analisis
kimia keju yang dibuat dengan sekum kelinci dapat dilihat pada tabel 1 dibawah.
Pemotongan keju (cutting) dilakukan sebagai indikator tingkat kekerasan
koagulan. Selama proses pembentukan curd, dilakukan pengadukan untuk
memisahkan whey dari curd. Proses ini dapat dipercepat dengan peningkatan susu
(34-40C) yang disebut scalding atau cooking. Proses ini menyebabkan matriks
protein mengecil dan mengeras sehingga membantu pemisahan whey. Whey yang
terpisahkan ini biasanya masih mengandung laktosa dan garam kecuali ion Ca
2+

yang masih tersisa dalam matrik protein. Besarnya kandungan laktosa dan garam
yang tersisa di keju sebanding dengan besarnya kandungan air pada koagulan.
Kandungan laktosa tersisa dalam keju sangat berpengaruh terhadap keasaman dan
kekerasan keju (Widodo, 2003).
Potongan curd ini disimpan pada wadah untuk selanjutnya dilakukan
pengepresan. Potongan keju yang diperoleh kemudian direndam dalam larutan
garam (16-19% NaCl) untuk penggaraman (salting) dan juga untuk menghentikan
aktivitas bakteri asam laktat. Kosentrasi akhir bakteri asam laktat pada keju

PKMP-4-7-5
Gouda berkisar antara 1,6-2,0 (w/w), sedangkan pada keju Cheddar antara 4,7
5,7 (w/w). produk akhir keju yang didapatkan kemudian disimpan pada suhu
terkontrol (10-15C) dan kelembaban relatif yang juga terkontrol (80-90%).

Tabel. 1. Analisis kimia keju yang dibuat dengan sekum kelinci.

No Kode
sampel
pH Angka
Asam (%)
Kadar air
(%)
Kadar
Protein (%)
Kadar
Lemak (%)
FFA
%
Laktosa
(%)
A0 6,5
6,5
0,22
0,22
78,12
78,30
17,3854
17,0480
2,00
2,00
1,23 1,75 1
Rerata 6,5 0,22 78,21 17,2167 2,00 1,23 1,75
A7 6,0
6,0
0,45
0,45
78,55
78,31
16,8652
16,0843
2,50
2,50
0,94 1,75 2
Rerata 6,0 0,45 78,43 16,4748 2,50 0,94 1,75
A14 6,5
6,5
0,19
0,19
80,65
80,91
16,5699
16,1491
2,50
2,50
0,46 1,44 3
Rerata 6,5 0,19 80,78 16,3595 2,50 0,46 1,44
A21 6,5
6,5
0,25
0,25
76,77
76,87
13,6028
13,9006
2,00
2,00
1,08 1,27 4
Rerata 6,5 0,25 76,82 13,7517 2,00 1,08 1,27
B0 5,5
5,5
0,46
0,46
76,28
76,51
16,9148
16,1491
2,00
2,00
2,56 1,20 5
Rerata 5,5 0,46 76,40 16,5320 2,00 2,56 1,20
B7 6,5
6,5
0,40
0,40
79,80
79,19
11,9787
11,8571
2,00
2,00
1,42 1,23 6
Rerata 6,5 0,40 79,50 11,9179 2,00 1,42 1,23
B14 5,0
5,0
0,46
0,46
79,81
79,82
13,5455
13,2212
2,00
2,00
1,92 1,15 7
Rerata 5,0 0,46 79,815 13,3834 2,00 1,92 1,15
B21 5,0
5,0
0,62
0,62
76,54
76,02
16,4631
16,9565
2,00
2,00
1,46 0,88 8
Rerata 5,0 0,62 76,28 16,7098 2,00 1,46 0,88
Keterangan:
A0 = Keju dengan penambahan starter Steptococcus thermophilus& Lactobacillus delbruechii
subsp. Bulgaricus + sekum kelinci, diperam 0 hari
A7 = Keju dengan penambahan starter Steptococcus thermophilus& Lactobacillus delbruechii
subsp. Bulgaricus + sekum kelinci, diperam 7 hari
A14=Keju dengan penambahan starter Steptococcus thermophilus& Lactobacillus delbruechii
subsp. Bulgaricus + sekum kelinci, diperam 14 hari
A21=Keju dengan penambahan starter Steptococcus thermophilus& Lactobacillus delbruechii
subsp. Bulgaricus + sekum kelinci, diperam 21 hari
B0 = Keju dengan penambahan sekum kelinci saja, diperam 0 hari
B7 = Keju dengan penambahan sekum kelinci saja, diperam 7 hari
B14= Keju dengan penambahan sekum kelinci saja, diperam 14 hari
B21= Keju dengan penambahan sekum kelinci saja, diperam 21 hari

Tabel 2. Klasifikasi keju berdasarkan komposisinya.

Tipe keju Kandungan air (%) Kandungan lemak (%) Deskripsi keju
Extra hard < 51 > 60 High fat cheese
Hard 49 - 55 > 45 - < 60 Whole milk cheese
Half fat 53 - 63 > 25 - < 45 Half fat cheese
Semi-soft 61 - 68 > 10 - < 25 Low fat cheese
Soft >61 < 10 Skim milk cheese
Sumber: Widodo (2003).

PKMP-4-7-6
Penyimpanan keju atau sering disebut cheese ripening ini dilakukan untuk
mengontrol proses dekomposisi dari keju akibat aktivitas bakteri dan enzim yang
menghasilkan pembentukan komponen flavor dan juga perubahan tekstur. Proses
pematangan keju merupakan proses yang kompleks yang melibatkan berbagai
faktor diantarnya pH, kelembaban, kandungan garam dan mikrobia dalam keju itu
sendiri. Dua aktivitas utama yang jelas sudah diketahui selama pematangan keju
(ripened) adalah proses lipolisis dan proteolisis (Widodo, 2003).
Bakteri starter digunakan untuk memetabolisme laktosa menjadi asam
laktat. Terbentuknya asam laktat berakibat pada penurunan pH dan seterusnya
akan menyebabkan koagulasi protein. Pada saat hampir bersamaan, keberadaan
bakteri asam laktat dengan enzim yang dihasilkannya akan mampu membentuk
komponen-komponen aromatik dan flavor (Widodo, 2003).
Dalam tabel 3 dibawah ditampilkan analisis kimia keju komersial sebagai
pembanding dengan keju yang dihasilkan pada penelitian.

Tabel. 3. Analisis kimia keju komersil.

No Jenis keju Kadar
air
(%)
Kadar
Protein
(%)
Kadar
Lemak
(%)
FFA
%
Laktosa
%
1 Brie 48,6 19,3 26,9 0,8 Trace
2 Camembert 50,7 20,9 23,7 0,7 Trace
3 Cheddar 36,0 25,5 34,4 1,4 0,1
4 Cheese spread 53,3 13,5 22,8 0,7 4,4
5 Cottage cheese 79,1 13,8 3,9 0,1 2,1
6 Cream cheese 45,5 3,1 47,4 1,4 Trace
7 Danish blue 45,3 20,1 29,6 0,9 Trace
8 Edam 43,8 26,0 25,4 0,7 Trace
9 Feta 56,5 15,6 20,2 0,6 1,5
10 Fromage frais plain 77,9 6,8 7,1 0,2 5,7
11 Full fat soft cheese 58,0 8,6 31,0 0,9 Trace
12 Gouda 40,1 24,0 31,0 0,9 Trace
13 Hard cheese 37,2 24,7 34,0 1,0 0,1
14 Lymeswold 41,0 15,6 40,3 1,2 Trace
15 Medium fat soft cheese 69,5 9,2 14,5 0,4 3,1
16 Parmesan 18,4 39,4 32,7 0,9 Trace
17 Processed cheese 45,7 20,8 27,0 1,2 0,9
18 Stilton 38,6 22,7 35,5 1,0 0,1
19 White cheese 41,4 23,4 31,3 0,9 0,1
Sumber: Mc Cance and Widdowsons (1997)

Optimal pH untuk cymosin dan pepsin pada sintesis peptida adalah pada
4,7. Pada pH 5,3 sampai 5,5 terjadi pemutusan ikatan His
98
-Lys
111
yang
merombak protein menjadi peptida dan asam amino serta asam-asam organik
yang lain. Semakin rendah pH sampai batasan tertentu, berarti semakin cepat
aktivitas enzim memotong protein yang menciptakan suasana semakin asam.
Penurunan pH tidak bisa diartikan kenaikan aktifitas enzim secara terus-menerus.
Pada pH tertentu aktivitas enzim dapat berhenti karena enzim dapat juga rusak

PKMP-4-7-7
oleh suasana yang terlalu asam. Optimum pH untuk langkah pertama dari aksi
rennet dalam susu sekitar 6,0 pada suhu 4 atau 30C. Setelah tahap pemeraman,
suasana asam kembali semakin berkurang dan semakin mendekati pH netral. Hal
ini disebabkan terjadinya penguraian lemak (lipolisis). Penguraian lemak
(lipolisis) menyebabkan kondisi basa, yang mengimbangi suasana asam. Asam
organik dan hasil penguraian lemak (trigliserida, alkohol, asam lemak)
memberikan flavor dan aroma pada keju (Law, 1997).
Kadar air keju yang dibuat dengan sekum kelinci antara 76,28 sampai
80,78% mendekati kadar air Cottage cheese (79,1%) dan Fromage frais plain
(77,9%). Kadar air keju yang dibuat dari sekum kelinci mempunyai kesamaan
dengan beberapa keju komersial sehingga masih termasuk normal.
Kadar protein keju yang dibuat dengan sekum kelinci antara 11,9179
sampai 17,2167% mendekati kadar protein Cheese spread (13,5%), Cottage
cheese (13,8%), keju Feta (15,6%) dan keju Lymeswold (15,6%). Kadar protein
keju yang dibuat dari sekum kelinci mempunyai kesamaan dengan beberapa keju
komersial sehingga masih termasuk normal.
Kadar lemak keju yang dibuat dengan sekum kelinci antara 2,00 sampai
2,50 mendekati kadar lemak Cottage cheese (3,9). Kadar lemak keju tergantung
dari bahan baku, proses dan teknik yang digunakan. Susu sapi mempunyai kadar
lemak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar lemak susu domba.
Kandungan lemak keju juga tergantung pada lamanya proses pemeraman keju.
Semakin lama diperam, kandungan lemak akan semakin meningkat seiring
dengan berkurangnya kandungan air dalam keju.
Kandungan FFA (folatil fatty acid = asam lemak bebas) keju yang dibuat
dengan sekum kelinci antara 0,46 sampai 2,56, mendekati kandungan semua keju
komersial yang terdapat dalam tabel 2. Semakin cepat proses proteolisis dan
lipolisis, kandungan FFA dalam keju semakin lama akan semakin menurun.
Terutama pada proses lipolisis, FFA sangat mudah menguap keudara sehingga
pada proses pemeraman yang cukup lama, kandungan FFA semakin sedikit.
Disamping itu proses enzim yang kuat, pemanasan atau kombinasi kedua akan
semakin mempercepat pelepasan FFA dari keju.
Kadar laktosa keju yang dibuat dengan sekum kelinci antara 0,88 sampai
1,75% yang hampir sama dengan kadar laktosa Processed cheese (0,9%) dan Feta
(1,5%), dan lebih kecil dari kadar laktosa Cottage cheese (2,1%), Medium fat soft
cheese (3,1%), Cheese spread (4,4%) dan Fromage frais plain (5,7%). Menurut
Widodo (2003) whey (fase cair) yang terpisah dari curd (fase padat) biasanya
masih mengandung laktosa dan garam kecuali ion Ca
2+
yang masih tersisa dalam
matrik protein. Besarnya kandungan laktosa dan garam yang tersisa di keju
sebanding dengan besarnya kandungan air pada koagulan. Kandungan laktosa
tersisa dalam keju sangat berpengaruh terhadap keasaman dan kekerasan keju.

KESIMPULAN
Kualitas kimia keju yang dihasilkan dengan menggunakan pepsin yang
berasal dari sekum kelinci tidak berbeda dengan kualitas kimia keju komersial
yang menggunakan enzim renin yang berasal dari lambung anak sapi (pedet).
Kualitas kimia yang diamati meliputi; pH, persen angka asam, persen kadar air,
kadar protein, kadar lemak, asam lemak bebas (FFA) dan kadar laktosa.


PKMP-4-7-8
DAFTAR PUSTAKA
Adimulyo, B. 1988. Kajian Pembuatan Tepung Renet dari Abomasum Anak Sapi
Jantan FH. Fakultas Teknologi Pertanian.
AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official
Analytical Chemists, Association of Official Analytical Chemists,
Whasington, DC.
Astuti, M. 1980. Rancangan Percobaan dan Analisa Statistik. Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Dwidjoseputro, D. 1987. Dasar-dasar Mikrobiologi, cetakan ke-9. Djambatan.
Malang.
Law, B. A. 1997. Microbiology and Biochemistry of Cheese and Fermented Milk,
second edition. Blackie Academic & Professional. London.
Lebas, F., P. Loudert., R. Rouvier and H. de Rochambeau. 1986. The Rabbit
Husbandry, Health and Production. Food & Agriculture Organitation of
The United Nations. Rome.
Mc Cance and Widdowsons. 1997. The Composition of Foods, fifth edition.
Royal Society of Chemistry. England.
Riyadi, S. 2001. Penggunaan Ekstrak Mukosa Lambung Kuda Jantan Dalam
Proses Pembentukan Curd. Tesis S2. Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Satya, N. A., Dian. N., Benny. B. 2002. Pembuatan keju skala rumah tangga
dengan menggunakan rennet dari ekstrak abomasums domba. Fakultas
peternakan UGM. Yogyakarta.
Scott, R. 1986. Cheesemaking Practice, 2
nd
edition. Elsevier Applied Science
Publisher Ltd. London.
Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan
Makanan dan Pertanian, Ed ke-4, cetakan pertama. Penerbit Liberty.
Yogyakarta.
Widodo. 2003. Bioteknologi Industri Susu. Lacticia Press. Yogyakarta.


PKMP-4-8-1
PERANAN -ENDOTOKSIN Bacillus thuringiensis BT-18749
SEBAGAI PEMUTUS SIKLUS HIDUP Aedes aegypti DALAM
MENCEGAH DEMAM BERDARAH DENGUE

Debora Natalia, Maria Ivana Mayasari S
PS Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter fraksi protein -endotoksin
dari Bacillus thuringiensis subspesies israelensis serotype H-14 yang mampu
bertindak sebagai bioinsektisidal untuk memutuskan siklus hidup nyamuk Aedes
aegypti. Isolat Bti didapatkan dalam bentuk sheat kristal kering dari Microbial
Genomics and Processing National Center for Agricultural Utilization Research,
USA dengan kode produksi Bt PS201L1 NRRL Bt-18749. Bti tersebut kemudian
dibangkitkan aktifitasnya dan ditumbuhkan pada medium pertumbuhan.
Identifikasi whole bakteri dan protein hasil presipitasi -endotoksin berdasarkan
berat molekulnya dilakukan dengan metode SDS-Page 12 %. Hasil elektroforesis
dilanjutkan dengan purifikasi protein untuk mendapatkan protein spesifik
menggunakan kolum kromatografi dengan matrix sephadex G-75. Whole bakteri
diuji aktifitasnya pada larva Aedes aegypti dengan perlakuan Kontrol, 10
6
, 10
7
dan 10
8
whole bakteri/20 ml aquades. Protein spesifik -endotoksin yang dipakai
untuk uji aktifitas pada larva Aedes aegypti dengan perlakuan Kontrol, 100, 200
dan 400g/20 ml larutan sukrosa 2%. Hasil yang diperoleh dari SDS-Page 12 %
adalah ditemukannya profil protein whole Bti sebesar 101, 90, dan 78 kDa serta
profil protein hasil presipitasi sebesar 101, 90, 78, 61, 54, 34, dan 29 kDa. Hasil
purifikasi protein dengan kolum kromatografi didapatkan profil protein tunggal
-endotoksin sebesar 77,4 kDa yang mempunyai aktifitas insektisidal terhadap
larva Aedes aegypti. Dari perlakuan ditemukan bahwa aktifitas optimal Bti
sebagai bioinsektisidal pada larva Aedes aegypti diperoleh pada pemberian
suspensi whole bakteri sebesar 10
7
whole bakteri dan protein -endotoksin
sebesar 400 g. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
tentang perlunya pemanfaatan biopredator sebagai bahan insektisidal pada
larva dan stadium dewasa dari nyamuk yang bersifat aman bagi kesehatan
manusia, hewan dan lingkungan.

Kata kunci: Bioinsektisida, -endotoksin, Bacillus thuringiensis subspecies
israelensis, SDS-Page 12%, Aedes aegypti

PENDAHULUAN
Penggunaan insektisida di dunia semakin meningkat dari tahun ketahun.
Sebagian besar insektisida digunakan dalam sektor pertanian,perkebunan, dan
peternakan untuk mengendalikan hama pengganggu yang dapat menurunkan hasil
panenan serta untuk mengendalikan insekta pembawa penyakit pada manusia dan
hewan ternak. Keterbatasan dalam penggunaan insektisida kimiawi pada bidang
peternakan, pertanian, dan perkebunan terutama ditekankan pada aspek
toksisitasnya baik pada hewan maupun pada manusia.


PKMP-4-8-2
Akibat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan karena penggunaan
insektisida kimiawi, maka perlu di cari alternatif pembasmi serangga atau
ektoparasit yang tidak berdampak toksik pada host. Hal itu mendorong mulai
dikembangkannya insektisida yang berasal dari toksin bakteri atau pemanfaatan
bakteri itu sendiri sebagai biopredator baik pada stadium larva maupun dewasa
dari serangga. Salah satu alternatif adalah pemanfaatan Bacillus thuringiensis,
merupakan bakteri yang mampu menghasilkan kristal (tubuh paraspora)
bersamaan dengan pembentukan spora yang mengandung protein -endotoksin.
Protein -endotoksin tersebut apabila di ingesti oleh larva maupun stadium
dewasa serangga yang peka dapat membunuh secara cepat parasit tersebut ( See
Couch, 1980 ).
Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen pada
serangga, tergolong ke dalam kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, famili
Bacillaceae. Bacillus thuringiensis pertama kali ditemukan pada tahun 1911 di
propinsi Thuringia, Jerman. Sel vegetatif Bacillus thuringiensis berbentuk batang
dengan ukuran panjang 3-5 m dan lebar 1,0-1,2 m serta mempunyai flagella
dan spora. Sifat-sifat bakteri ini adalah gram positif, aerob tetapi umumnya
anaerob fakultatif, dan dapat tumbuh pada suhu yang berkisar antara 1540
0
C.
Spora Bacillus thuringiensis berbentuk oval, letaknya sub terminal, berwarna
hijau kebiruan dan berukuran 1,01,3 m. Pembentukan spora terjadi dengan
cepat pada suhu 35-37
0
C. Spora tersebut relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan
kimia. Ciri khas yang terdapat pada Bacillus thuringiensis adalah kemampuannya
membentuk kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu
pada waktu sel mengalami sporulasi (Trizelia, 2001).
Kristal protein ini merupakan gabungan dari lima protein toksin yang
berbeda yang disebut sebagai -endotoksin. Apabila -endotoksin termakan, lima
protein ini akan dilepas pada lingkungan yang basa (alkalis) pada saluran
pencernaan larva serangga. Lima protein ini kemudian menjadi lima toksin yang
berbeda bila enzim yang spesifik juga tersedia pada saluran pencernaan serangga.
Setelah masuk ke dalam saluran pencernaan larva atau nyamuk dewasa, dalam
waktu beberapa menit toksin akan terikat pada reseptor sel usus yang merupakan
aminopeptidase-N yang terdapat pada mikrovili sel epithelium mesenteron.
Setelah berikatan, toksin akan menembus dan membentuk pori-pori kecil
berukuran 0,51,0 nm pada membran sel.
Akibat pembentukan pori-pori tersebut maka keseimbangan osmotik dari
sel menjadi terganggu, sehingga ion-ion dan air mudah masuk kedalam sel untuk
menyeimbangkan cairan intraseluler dengan cairan ekstraseluler yang
mengakibatkan sel mengembang dan pecah sehingga akhirnya menyebabkan lisis
sel ( Knowles, 1994 ). Toksin ini akan bekerja sendirisendiri atau berkombinasi
untuk menghancurkan dinding saluran pencernaan. Hal ini menyebabkan arah
lisis dan kematian bagi larva.
Menurut J.Li, et al (1991) studi tentang -endotoksin terus berkembang
sampai pada tingkat molekuler dan berhasil mendeskripsikan struktur domain
yaitu Domain I merupakan untaian tujuh alpha-helices yang semuanya dapat
menembus membran sel usus dan menyebabkan terbentuknya pori yang dapat
dilalui ion dengan bebas. Domain II mempunyai tiga konsistensi anti parallel
beta-sheets, bisa terikat dengan region imunoglobin dan diduga juga mengadakan


PKMP-4-8-3
ikatan dengan reseptor sel usus. Domain III merupakan bentuk yang padat
sebagai beta sandwich yang membatasi aktifitas toksin pada C-terminal.
Bacillus thuringiensis menghasilkan dua tipe protein toksin, tipe I adalah
jenis Cry (crystal) protein toksin yang berfungsi dalam membedakan klasifikasi
Bacillus thuringiensis dan tipe II adalah Cyt (Cytolitic) protein toksin yang
berperan memperbanyak dan meningkatkan efektifitas protein toksin Cry dalam
mengendalikan insekta.

Tabel 1. Klasifikasi toksin berdasarkan kode genetik dikemukakan oleh Knowles
(1994) sebagai berikut :
Gen Bentuk Kristal Ukuran Protein
(k-Da)
Aktifitas pada insekta
Cry I Bypiramidal 130-138 Larva Lepidoptera
Cry II Cuboidal 69-71 Lepidoptera dan Diptera
Cry III Flat / Irregular 73-74 Coleoptera
Cry IV Bypiramidal 73-134 Diptera
Cry V-IX Various 35-129 Various

Tujuan dari penulisan ilmiah ini adalah untuk mengetahui karakter fraksi
protein -endotoksin Bacillus thuringiensis subspesies israelensis serotype H-14
yang mampu bertindak sebagai bioinsektisidal untuk memutuskan siklus hidup
nyamuk Aedes aegypti dan mengetahui aktifitas whole Bti dibanding -
endotoksinnya pada larva Aedes aegypti.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas
Kedokteran Hwan Unair dan Tropical Disease Center Unair. Waktu penelitian
berlangsung selama 3 bulan mulai Februari sampai dengan April 2005.
Sampel penelitian didapat dari Microbial Genomics and Processing
National Center for Agricultural Utilization Research, Agricultural Research
Service USDA, 1815N University Street Peoria, IL 61604 kepada Dr. Luhur
Setyoadi, PT. Agritech Indonesia, Jalan Jogja, Km 5, Klaten, Jawa Tengah.
Sampel didapat dalam bentuk kering beku pada tanggal 15 Januari 1991 serta
tertulis identitas Bt-18749.
Peralatan yang diperlukan adalah tabung reaksi, autoclaf, refrigerator,
pembakar bunsen, rak tabung, needle, rotator, mikroskop, inkubator, cawan Petri,
erlenmeyer, falcon tube, sentrifuge, pipet, freezer, ultrasonic homogenizer,,
tabung efendorf, mikropipet, pipet tip, power supply, waterbath 100
0
C, shaker,
petridish, kolum kromatografi, dan glass wool. Bahan kimia yang dipakai
meliputi tryptone, yeast extract, NaCl, Na
2
HPO
4
, KH
2
PO
4
, KCl, aquadest, media
Luria Britany Agar (LBA/T3), TSIA, SIM, Sitrat, Urease, MR/VP, Gula-gula
(Glukosa, Laktosa, Maltosa, Mannosa, Sukrosa), alkohol 96%, gentian violet,
malachite green, safranin, media Luria Britany Broth (LBB), etanol, PBS,
acrilamid 30%, bis acrilamid 0,8%, Tris HCl pH 8,8, Tris HCl pH 6,8, SDS 0,5
%, aquadest, TEMED, Ammonium Persulfat 10 %, E-Buffer, Methanol 50 %,
Methanol 5 %, asam asetat 7,5 %, Glutaraldehide 10 %, NaOH 0.36 %, NH
3
,
AgNO
3
, Formaldehide, Zitronensaure 5 %, butanol, matrik sephadex, aquadest
deionized dan larutan sukrosa 2%


PKMP-4-8-4
.Isolat bakteri Bti dengan kode industri Bt PS201L1 NRRL Bt-18749
dalam bentuk sheat kristal kering dibangkitkan aktifitasnya dan ditumbuhkan pada
medium pertumbuhan yang terdiri dari tryptone 20 g, yeast extract 5 g, NaCL 8 g,
KCl 0,2 g ditambah dengan larutan yang terdiri dari Na
2
HPO
4
1,15 g/100 ml
sebanyak 60 ml, KH
2
PO
4
0,2 g/100 ml sebanyak 40 ml dalam aquadest ad 900 ml.
Koloni yang tumbuh kemudian diisolasi dan diperiksa dengan pewarnaan Gram
untuk mengetahui bentuk dan sifat Gram bakteri. Selanjutnya untuk mengetahui
aktifitas fungsional bakteri dilakukan uji biokimiawi dengan TSIA, SIM, Sitrat,
Urease, MR/VP, dan Gula-gula (glukosa, laktosa, maltosa, mannosa, dan
sukrosa). Koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media LBA juga dilakukan
pewarnaan spora setiap 24 jam, 48 jam, dan 72 jam.
Koloni bakteri yang tumbuh pada media LBB selanjutnya dilakukan
pemisahan dengan menggunakan sentrifuge untuk mendapatkan supernatan yang
merupakan protein toksin dan substrat yang merupakan whole bakteri.
Pengukuran berat molekul masing-masing protein dilakukan dengan SDS-Page
12%. Pemisahan fraksi protein dilakukan dengan kolum kromatografi
menggunakan matrik sephadex untuk mendapatkan protein tunggal.
Uji aktifitas whole bakteri dan -endotoksin masing-masing dibagi
menjadi 4 kelompok perlakuan dimana masing-masing kelompok perlakuan
terdiri dari 20 ekor larva. Perlakuan-perlakuan pada uji aktifitas whole bakteri
terdiri dari
P0 : 20 ekor larva dalam 20 ml aquades tanpa diberi whole bakteri
P1 : 20 ekor larva dalam 20 ml aquades yang mengandung 10
6
sel bakteri
P2 : 20 ekor larva dalam 20 ml aquades yang mengandung 10
7
sel bakteri
P3 : 20 ekor larva dalam 20 ml aquades yang mengandung 10
8
sel bakteri
Perlakuan-perlakuan pada uji aktifitas -endotoksin terdiri dari
P0 : 20 ekor larva dalam 20 ml larutan sukrosa 2% tanpa diberi -endotoksin
P1 : 20 ekor larva dalam 20 ml larutan sukrosa 2% yang mengandung 100g
-endotoksin
P2 : 20 ekor larva dalam 20 ml larutan sukrosa 2% yang mengandung 200g
-endotoksin
P3 : 20 ekor larva dalam 20 ml larutan sukrosa 2% yang mengandung 400g
-endotoksin

Data dari hasil penelitian dianalisa dengan menggunakan analisis sidik
ragam (anova) uji Fisler (F). Apabila terdapat perbedaan yang nyata maka
dilakukan uji lanjutan. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk mengetahui
perbedaan rata-rata antar perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolat bakteri Bacillus thuringiensis subspecies israelensis serotype H-14
yang didapatkan dalam bentuk sheat kristal kering yang dibangkitkan aktifitasnya
dengan menggunakan medium enrichment menunjukkan adanya kekeruhan pada
medium broth yang merupakan indikator adanya pertumbuhan bakteri. Pada
medium padat Luria Britany Agar (LBA) hasil yang diperoleh adalah adanya
pertumbuhan koloni dengan sifat yang khas yaitu berwarna kuning, bentuk bulat,
tepi tidak rata, agak cembung dan kering.


PKMP-4-8-5
Identifikasi bakteri Bacillus thuringiensis subspesies israelensis diawali
dengan melakukan pewarnaan gram yang memberikan hasil bahwa bakteri ini
merupakan bakteri gram positif, bentuk batang langsing dan berantai berpasangan.
Selanjutnya untuk mengetahui dan mengidentifikasi aktifitas fungsional dari
bakteri dilakukan uji biokimiawi. Hasil uji biokimiawi yang dilakukan meliputi
aktifitasnya pada TSIA yang bersifat asam/asam, menghasilkan gas dan H
2
S (-),
SIM bersifat motil dan indol (-), Sitrat (-), Urease (+), MR (+), VP (-) serta uji
gula-gula (sifat asam dan gas) dari glukosa (+) (+), Laktosa (-) (-),Mannosa (-) (-),
Maltosa (+) (+), dan Sukrosa (+) (+).
Isolat bakteri kembali ditumbuhkan pada medium LBA dan dilakukan
pengamatan terhadap pembentukan spora dimulai dari 24 jam, 48 jam dan 72 jam
pada 37
0
C. Hasil pewarnaan spora yang dilakukan pada 24 jam pertama adalah
negatif yang berarti belum terbentuk spora, pada 48 jam mulai terbentuk spora
pada bagian sub terminal bakteri dan setelah 72 jam pembentukan spora hampir
merata pada setiap lapang pandang dengan warna hijau fluoresent dan terdapat
pula kristal protein berupa bintik coklat.


Gambar 1a Gambar 1b Gambar 1c

Gambar 1. a. Pewarnaan spora 24 jam, belum terbentuk spora
b. Pewarnaan spora 48 jam, tampak spora pada bagian subterminal bakteri
c. Pewarnaan spora 72 jam Bacillus thuringiensis subspesies israelensis
tampak spora berwarna hijau dan kristal protein berupa bintik cokelat

Pengamatan profil protein bakteri dilakukan pada whole bakteri dan fraksi
protein hasil presipitasi berdasarkan berat molekulnya dilakukan dengan metode
SDS-Page dengan konsentrasi akrilamid yang digunakan 12 %. Profil protein
yang dihasilkan seperti tampak pada gambar 2.





Gambar 2. Profil Fraksi protein Hasil Gel Elektrophoresis 12 % dengan berbagai
berat molekul. Keterangan : M = Marker, 1 = Whole Bakteri, 2 =
Protein Presipitasi, 3 = PBS dan kDa = kiloDalton.
1 2 3 M kDa


97

66

46

21

101
90
78
61
54
34
29


PKMP-4-8-6
Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa profil protein presipitasi lebih
banyak didapatkan dibandingkan dengan whole bakteri. Hasil fraksinasi protein
presipitasi dengan metode SDS-Page berupa separasi molekul berdasarkan berat
molekul fraksi protein yang tampak pada gel polyacrilamid metode
elektrophoresis sebesar 101, 90, 78, 61, 54, 34 dan 29 kDa. Sedangkan pada
whole bakteri didapatkan pita protein sebesar 101, 90 dan 78 kDa. Hasil purifikasi
fraksi protein kemudian dilakukan elektrophoresis untuk mendapatkan fraksi
protein tunggal dengan hasil sebagai berikut :




Gambar 3. Hasil Purifikasi Protein -endotoksin yang didapatkan mulai nomer 1
sampai dengan 6 dengan berat molekul sebesar 77,4 kDa.

Fraksi protein -endotoksin yang telah dipurifikasi selanjutnya diukur
kadar proteinnya dengan menggunakan spektrofotometer dengan absorben 540
nm. Hasil yang diperoleh didapatkan kadar protein sebesar 0,1 gram/dl dan hasil
elektrophoresis protein yang telah dipurifikasi didapatkan fraksi protein tunggal
sebesar 77,4 kDa. Protein tersebut diduga merupakan protein -endotoksin yang
mempunyai aktifitas sebagai insektisida. Hasil tersebut tampaknya identik dengan
hasil penelitian yang dilakukan Guerchicoff, et al (1997) yang menyatakan bahwa
ada tiga golongan besar toksin yang dihasilkan Bacillus thuringiensis subspesies
israelensis yang bersifat sebagai anti diptera yaitu mempunyai berat molekul
antara 68-135 kDa yang disandi oleh gen Cry 4A, Cry 4B, dan Cry 11A. Sekar
dan Waithilingam (1986) telah mengidentifikasi berat molekul protein toksin
Bacillus thuringiensis sub spesies israelensis sebesar 72 kDa dan mempunyai
aktifitas insektisidal pada nyamuk.

Tabel 2. Rata-rata Kematian Larva Aedes aegypti yang diinokulasi dengan Whole
Bacillus thuringiensis subspesies israelensis
JUMLAH KEMATIAN LARVA
DALAM WAKTU (MENIT)

PERLAKUAN
30 60 90 120 150 TOTAL
P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
c

P1 0,00 0,00 0,67 0,67 1,67 03,01
c

P2 0,00 9,00 6,67 1,00 0,33 17,00
a

P3 0,00 2,33 4,33 1,67 4,67 13,00
b

Keterangan: notasi yang berbeda pada subskrip menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05)

77,4 kDa


PKMP-4-8-7
Pada Tabel 2 didapatkan total kematian tertinggi setelah 150 menit
diperoleh dari pemberian suspensi bakteri 10
7
(P2) kemudian diikuti oleh 10
8

(P3), 10
6
(P1)dan terendah didapatkan pada kontrol (P0) tanpa pemberian suspensi
bakteri yang menunjukkan tidak ada kematian larva Aedes aegypti. Anova
menunjukkan perbedaan sangat nyata (p<0,05) dibandingkan dengan perlakuan
10
6
, tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan 10
8
.
Inokulasi dengan bakteri 10
8
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan
perlakuan 10
6
dan kontrol atau tanpa diinokulasi bakteri. Aktifitas whole bakteri
baik pada larva Aedes aegypti tampaknya tertinggi pada inokulasi 10
7
dan mulai
menurun setelah diinokulasi sebesar 10
8
.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ohana, et al. (1987) spora dan
kristal protein Bacillus thuringiensis subspesies Israelensis yang dihasilkan pada
medium air akan terikat oleh partikel-partikel yang larut air dan mengalami
sedimentasi yang mengakibatkan berkurangnya efektifitas terhadap larva nyamuk,
lebih dari 95% spora bakteri mengendap setelah 45 menit. Ada perbandingan
linier semakin banyak dan besar ukuran partikel kristal protein, maka semakin
banyak persentase spora dan kristal protein yang mengalami sedimentasi.

Tabel 3. Rata-rata kematian larva Aedes aegypti yang diinokulasikan dengan -
endotoksin Bacillus thuringiensis subspecies israelensis setelah 72 jam
JUMLAH KEMATIAN LARVA
PADA ULANGAN KE PERLAKUAN
I II III
Rata-rata
T0 0 0 0 0 (0%)
T1 4 1 1 2 (10%)
T2 3 4 4 3,6667 (18,33%)
T3 8 13 10 10,3333 (51,67%)
Total 15 18 15

Pada tabel 3 didapatkan total kematian tertinggi setelah 72 jam diperoleh
dari pemberian -endotoksin 400 g (T3) kemudian diikuti oleh 200 g (T2), 100
g (T1) dan terendah didapatkan pada kontrol tanpa pemberian -endotoksin yang
menunjukkan tidak ada kematian larva Aedes aegypti. Anova menunjukkan
perbedaan sangat nyata (p<0,05) pada perlakuan pemberian -endotoksin terhadap
jumlah kematian larva nyamuk Aedes aegypti. Hasil perlakuan uji aktifitas -
endotoksin pada larva Aedes aegypti menunjukkan kematian yang relatif sedikit.
Beberapa larva Aedes aegypti yang masih hidup berubah menjadi pupa namun
jumlahnya tidak sebanyak pada kontrol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Trizelia
(2001) bahwa kadang-kadang infeksi Bacillis thuringiensis tidak mematikan larva,
dimana larva masih mampu bertahan hidup dan berhasil menjadi pupa dan imago
tetapi lama hidupnya lebih pendek.
Whole Bacillus thuringiensis subspecies israelensis serotype H14 lebih
efektif dibandingkan -endotoksinnya dapat dilihat dari waktu pengamatan 150
menit pada whole bakteri sudah mampu membunuh 100% larva nyamuk,
sedangkan -endotoksin membutuhkan waktu 24 jam pada konsentrasi 400 g.
Hal ini disebabkan karena motilitas whole bakteri sehingga mudah termakan oleh
larva, sedangkan -endotoksin mudah mengendap.


PKMP-4-8-8
Seluruh kristal protein dari Bacillus thuringiensis hanya bersifat toksik
apabila termakan oleh larva serangga, yaitu setelah terurai oleh enzim protease
menjadi molekul-molekul kecil yang toksik (English dan Slatin dalam Trizelia,
2001). Pada umumnya serangga yang peka terhadap Bti memiliki cairan
pencernaan yang bersifat basa dengan pH antara 10 12. Pada pH tersebut, kristal
protein akan larut menjadi fraksi kecil dan bersifat toksik pada serangga (Trizelia,
2001). Beberapa menit setelah masuk ke dalam saluran pencernaan serangga,
toksin melewati membran tropik dan kemudian akan terikat pada reseptor khusus
yang terdapat pada mikrovili sel epitelium mesenteron. Setelah berikatan, toksin
akan membentuk pori-pori kecil berukuran 0,5-1,0 nm pada membran sel.
Akibatnya keseimbangan osmotic dari sel menjadi terganggu, sehingga ion-ion
dan air mudah masuk ke dalam sel untuk menyeimbangkan cairan intraseluler
dengan cairan ekstraseluler yang menyebabkan sel mengembang dan pecah
sehingga akhirnya menyebabkan lisis sel.
Akibat terjadinya kerusakan pada struktur dan fungsi mesenteron, zat-zat
metabolik seperti ion akan keluar dari lumen dan masuk ke dalam hemolimfa
sehingga terjadi perubahan biokimia dalam saluran pencernaan. Menurut Knowles
(1994), akibat sel pecah dan lisis maka usus secara cepat akan mengalami
imobilisasi, larva akan berhenti makan dan pH usus menjadi rendah, akibatnya
terjadi ketidakseimbangan dengan pH darah. Turunnya pH darah ini
memungkinkan bakteri membentuk spora dan bakteri dapat lebih besar
menginvasi sel host sampai menyebabkan kematian akibat septikemia. Kematian
akan terjadi satu jam hingga 4-5 hari setelah intoksikasi, tergantung pada
konsentrasi bakteri, ukuran dan jenis larva serta varietas bakteri yang digunakan
(Trizelia, 2000).

KESIMPULAN
Telah ditemukan fraksi protein whole bakteri Bacillus thuringiensis
subspecies israelensis sebesar 101, 90, dan 78 kDa serta fraksi protein hasil
presipitasi sebesar 101, 90, 78, 61, 54, 34, dan 29 kDa dengan menggunakan
SDS-Page 12 %. Hasil purifikasi protein dengan kolum kromatografi didapatkan
profil protein tunggal -endotoksin sebesar 77,4 kDa yang mempunyai aktifitas
insektisidal terhadap larva Aedes aegypti. Uji aktifitas whole Bti pada larva Aedes
aegypti menunjukkan sifat larvasid dengan konsentrasi optimal sebesar 10
7

sedangkan untuk protein tunggal -endotoksin mempunyai aktifitas larvasid yang
optimal pada konsentrasi 400 g. Whole Bti lebih efektif pada larva Aedes aegypti
dibandingkan dengan -endotoksin yang ditunjukkan dengan kematian 100%
larva dalam waktu 150 menit, sedangkan -endotoksin membutuhkan waktu 24
jam.

DAFTAR PUSTAKA
Guerchichof A., Ugalde RA, and Rubinstein CP. 1997. Identification and
Characterization of Previously Undescrybed Cyt Gene in Bacillus
thuringiensis subsp. Israelensis. Applied Environmental Microbilogy.
P:2716-2721
J.Li. J, Carroll, and Ellar DJ. 1991. Nature 353. In The Microbial World :
Bacillus thuringiensis. 815-821.



PKMP-4-8-9
Knowles B.H. 1994. Mechanism of Action of Bacillus thuringiensis Insectisidal
Delta-endotoxins. In Advances in Insect Physiology. Vol. 24. 275-308.
See Couch T.L. 1980. Mosquito Patogenecity of Bacillus thuringiensis subspecies
israelensis Development in Industrial Microbiology 22. 61-76.
Sekar and Waithilingam. 1986. Biochemical and Immunological Characterization
of The Cloned Crystal Toxin of Bacillus thuringiensis subspecies
israelensis. J. of Bacteriol. 170 (10) : 4732-4738.
Trizelia. 2001. Pemanfaatan Bacillus thuringiensis untuk Pengendalian Hama
Crocidolomia binotalis, Program Pascasarjana S3. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 10 hal.

PKMP-4-9-1
KEMAMPUAN POTONG END MI LL CUTTER TWO LI PS DENGAN
TANGKAI BAHAN VCL140 TERHADAP BAHAN MI LD STEEL DAN
ALUMINIUM

Simson Purnomo, Ade Rofiah dan Islahuddin
PS Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta

ABSTRAK
End mill cutter two lips dengan bahan tangkai VCL 140 adalah modifikasi dari
bahan machinery steels (VCL 140) yang biasa digunakan pada poros-poros
mesin. Tujuannya untuk menghasilkan suatu produk alat potong jenis end mill
cutter two lips dengan desain sederhana, proses pembuatan yang mudah, dengan
biaya yang murah, dan kualitas produk yang baik. Metode penelitian meliputi
tahapan machining, heatreatment, remachining, brasing, grinding, dan pengujian
permesinan dengan membandingkan kualitas permukaan antara hasil kerja
produk pabrikan dengan produk modifikasi pada material mild steel dan
aluminium. Adapun variabel pengujian permesinan pada benda uji antara lain:
putaran mesin= . rpm, feeding= .. mm/put dan kedalaman pemakanan radial
(ar) = 2 mm. Hasil modifikasi didapatkan desain tool steel (alat potong) yang
sederhana, mudah dibuat, murah, mempunyai kekuatan mekanis yang baik, dan
dapat menghasilkan suatu pekerjaan yang baik yaitu hampir sama dengan
kualitas pabrik.

Kata kunci: end mill cutter two lips, tool steel, VCL 140, modifikasi.

PENDAHULUAN
Kecenderungan sifat konsumtif dan kurang percaya diri merupakan faktor
penghambat dalam berkreasi. Hal ini sering terjadi dalam elemen di dunia
industri. Terbukti dari hasil-hasil produk mesin yang sesungguhnya dapat kita
kerjakan tetapi kita cenderung memilih untuk membelinya dari industri.
Sedangkan dengan berbagai peralatan yang ada sesungguhnya kita dapat membuat
produk industri yang serupa. Apabila kita mau mengkaji sebuah end mill cutter,
kita dapat mencoba menginovasi sebuah produk end mill cutter two lips dengan
ilmu bahan teknik. Kita dapat mencoba membuat alat ini dengan cara
menginovasi bahan VCL 140 menjadi tangkai end mill cutter two lips dengan
mata pisau yang dapat kita tentukan sendiri jenisnya. Dengan uji coba seperti ini
kita dapat meningkatkan nilai kreativitas dan mencoba mengurangi
kecenderungan sifat konsumtif.
Produk end mill cutter two lips jenis HSS (High Speed Steel) dari pabrik
harganya relatif mahal. Sehingga harga jual dari hasil produksi dengan alat ini
akan tinggi pula. Hal inilah yang perlu dicermati mahasiswa teknik mesin
khususnya. Dengan menginovasi produk yang menyerupai nilai fungsi seperti end
mill cutter two lips HSS maka kita dapat menekan biaya produksi dan biaya
operasional bengkel praktik mesin. Dengan demikian hasil barang produksi
dengan alat ini akan memberikan keuntungan dari sisi biaya produksi dan biaya
penyusutan alat.
Produk end mill cutter two lips HSS dari pabrik memang mahal, yaitu Rp
557.626,00 (Kawan Lama Sejahtera pt, 2006). Di institusi pendidikan,

PKMP-4-9-2
penggunaan end mill cutter two lips HSS pada bahan mild steel dan aluminium
sering terjadi kerusakan hingga fatal. Faktor jumlah pemakai yang banyak dan
jumlah waktu kerja yang besar merupakan salah satu penyebab utamanya. Desain
mata potong end mill cutter two lips HSS dari pabrik terbuat satu tangkai,
sehingga jika pecah atau rusak akan mengakibatkan hingga bagian mata
potong end mill rusak. Sedangkan pengasahan alat ini untuk skala produksi jelas
tidak efisien karena memekan waktu yang lama. Selain itu kerugian bengkel
karena harga alat yang mahal.
Bagian-bagian mesin terutama pada poros sering menggunakan bahan dari
VCL 140. Namun jarang dijumpai bahan VCL140 sebagai holder (tangkai) tool
steel (alat potong) mesin frais (milling). Untuk itulah perlu diteliti apakah layak
dan mampu bahan VCL 140 setelah melalui proses pengerasan sebagai tangkai
end mill cutter two lips yang digunakan untuk memotong (menyayat) bahan mild
steel dan aluminium pada bahan uji dalam hal ini spesimennya adalah mild steel
dan aluminium.
Dengan dasar di atas dapat kita desain satu jenis end mill cutter two lips
dari bahan tangkai VCL 140 yang sederhana dengan keistimewaan tersendiri. Alat
ini dirancang dengan mata potong dan tangkai yang terpisah. Pemasangan mata
potong dengan sistem temper agar resiko pecah tidak terlalu besar antara mata
potong dengan tangkainya. Hal inilah yang mendorong perlunya diadakan
penelitian mengenai kemampuan potong alat tersebut pada bahan mild steel dan
aluminium.
Keuntungan end mill cutter two lips dengan desain di atas adalah sebagai berikut:
1. Jika mata potong pecah atau rusak dapat diganti.
2. Mata potong yang digunakan dapat memakai bahan dari bahan HSS atau
Carbide sesuai kebutuhan.
3. Biaya belanja bengkel dapat diminimalisir hingga 50% dari harga pembelian
alat tersebut dari .
Dari nilai fungsi end mill cutter two lips dan dasar keteknikan mempunyai
beberapa masalah yang telah di batasi, antara lain:
1. Bagaimanakah bentuk desain end mill cutter two lips?
2. Berapakah kekuatan mekanis bahan VCL 140?
3. Bagaimanakah proses pembuatan end mill cutter two lips?
4. Berapakah biaya dalam pembuatan end mill cutter two lips?
5. Bagaimanakah kualitas pekerjaan end mill cutter two lips dari tangkai bahan
VCL 140 pada bahan aluminium dan mild steel?
Berdasarkan rumusan masalah di atas mempunyai beberapa aspek tujuan
dalam penelitian, antara lain :
1. Agar mahasiswa dapat merancang end mill cutter two lips sehingga dapat
dibuat menjadi barang jadi.
2. Untuk mengetahui kekuatan mekanis bahan VCL 140 sebelum dan sesudah
perlakuan panas (pengerasan).
3. Untuk menentukan alat-alat yang dipakai dan mengetahui proses pembuatan
dan waktu pembuatan yang efektif dan efisien.
4. Untuk menentukan biaya proses pembuatan end mill cutter two lips.
5. Untuk membandingkan suatu hasil karya mahasiswa dalam hal fungsi produk,
harga maupun keunggulannya dalam kemampuan kerja produk dengan end
mill cutter two lips buatan pabrik.

PKMP-4-9-3
Dengan adanya penelitian ini diharapkan hasilnya dapat bermanfaat, antara
lain:
1. Bagi Perguruan Tinggi
a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
baru kepada Jurusan Teknik Mesin UNY pada khususnya dan bengkel-
bengkel mesin pada umumnya.
b. Mengurangi sifat konsumtif menuju sifat produktif di bengkel mesin.
c. Dengan membuat tool steel sendiri kita dapat mengurangi biaya
pengeluaran bengkel praktik mesin UNY.
2. Bagi Mahasiswa
a. Penelitian ini diharapkan dapat membangkitkan minat para mahasiswa
tentang penelitian-penelitian teknik mesin
b. Membentuk insan mahasiswa yang produktif dan kreatif.


METODE PENDEKATAN
Sumber data yang diperoleh dalam kegiatan penelitian ini dibedakan atas
dua macam, yaitu:
1. Riset Kepustakaan
Metode ini dilakukan untuk mempertimbangkan dan mendukung pelaksanaan
penelitian eksperimen pada proses pengujian mekanis bahan, pembuatan end
mill cutter two lips dengan tangkai bahan VCL140, perhitungan biaya dan
pengujian kemampuan potong end mill cutter two lips dengan tangkai bahan
VCL140 terhadap bahan mild steel dan aluminium.
2. Penelitian Eksperimen
Metode ini dilakukan untuk meneliti kekuatan bahan VCL 140 dan
kemampuan potong end mill cutter two lips dengan tangkai bahan VCL140
terhadap bahan mild steel dan aluminium pada proses pengujian mekanis
bahan dan pengujian kualitas geometris dengan proses permesinan.

Beberapa alat dan bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain:
1. Alat
Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian ini antaralain:
a. Mesin gergaji,
b. Mesin bubut,
c. Mesin frais,
d. Mesin pemoles,
e. Alat uji mikro,
f. Alat uji kekerasan,
g. Mesin tarik,
h. Alat uji komposisi,
i. Surface finish comparator (milling),
j. Jangka sorong ketelitian 0,02 mm,
k. Mikrometer ketelitian 0,001 mm,
2. Bahan
a. VCL 140 35 mm x 100 mm 5 pcs,
b. VCL 140 35 mm x 100 mm 12 pcs,

PKMP-4-9-4
c. Aluminium kotak 50 x 50 x 50 mm 3 pcs, dan
d. Mild steel kotak 50 x 50 x 50 mm 3 pcs.
Sesuai perlakuan bahan yang dilakukan, jenis pengujian yang dilakukan
terdiri dari:
1. Uji tarik dan uji komposisi bahan VCL 140 sebelum dan sesudah perlakuan
panas.
2. Uji kekerasan dan uji mikro bahan VCL 140 sebelum dan setelah hardening
(perlakuan panas),
3. Uji kekerasan dan uji mikro bahan mild steel dan aluminium tanpa perlakuan
panas,
Pengujian permesinan end mill cutter two lips dengan tangkai bahan
VCL140 terhadap bahan mild steel dan aluminium untuk mengetahuai
kemampuan potongnya berdasarkan hasil kualitas geometris pada benda kerja.
Variabel penelitian yang utama yaitu pada proses pengujian permesinan, yaitu :
1. Kecepatan potong pisau terhadap benda kerja.
Ketentuan ini dapat dilihat dalam tabel milling cutting speed atau dengan
rumus sebagai berikut :
............................................................................ (i)
Keterangan :
Vc : Cutting variables / kecepatan potong (m.min
-1
)
d : Diameter pisau frais (mm)
n : Putaran mesin (Rpm)

2. Kecepatan Pemakanan
) min ( .
1
= mm n f Vf .............................................................................. (ii)
Vf : Feeding variables / kecepatan pemakanan (mm.min
-1
)
f : Feeding / gerakan pemakanan (mm)
n : Putaran mesin (Rpm)

3. Kedalaman pemakanan (ar) mm.
Kedalaman pemakanan dapat disesuaikan dengan diameter pisau atau end mill
cutter dan jenis pekerjaannya. Untuk proses sloting atau alur maka kedalaman
pemakanan adalah 1/10 diameter pisau (D).
1 , 0 / D ar ............................................................................................. (iii)
(OSG Coorporation, 1999), yaitu: antara 2 3 mm.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi untuk menentukan
desain, biaya, waktu pembuatan dan end mill cutter two lips dengan tangkai bahan
VCL140. Sedangkan untuk mengetahui kekuatan mekanis, proses pembuatan dan
tingkat kualitas geometris end mill cutter two lips dengan tangkai bahan VCL140
dilakukan dengan eksperimen.
Pada proses pembuatan, penyimpulan dilakukan secara deskriptif untuk
menerangkan langkah kerja. Untuk nilai kekuatan bahan, estimasi waktu dan
biaya pembuatan dianalisis sesuai data yang didapatkan dalam observasi atau
pengujian. Sedangkan nilai kualitas geometris end mill cutter two lips dengan
tangkai bahan VCL140 terhadap bahan aluminium dan mild steel pada pengujian
permesinan menggunakan data maksimal sesuai variabel yang ditentukan.
) min (
1000
.d.n
1
= m Vc


PKMP-4-9-5
Sebagai tolak ukur atau indikator keberhasilan penelitian ini, antaralain:
1. Hasil kualitas gemetris end mill cutter two lips dengan tangkai bahan VCL140
terhadap bahan aluminium dan mild steel pada pengujian permesinan
mempunyai nilai minimal sama dengan hasil kualitas permukaan geometris
end mill cutter two lips dari pabrik dengan benda uji dan variabel pengujian
yang sama.
2. Biaya pembuatan end mill cutter two lips dengan tangkai bahan VCL140 lebih
murah dari harga end mill cutter two lips yang ada di pasaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Desain dari end mill cutter two lips cukup sederhana. Namun dalam
pengerjaan alat ini tetap harus memenuhi beberapa ketentuan penting, diantaranya
kepresisian ukuran, kesimetrisitasan, kesejajaran, kelurusan, dan ketegak lurusan
benda tangkai (gambar 1).

Gambar 1. end mill cutter two lips dengan tangkai bahan VCL 140
Kekuatan bahan VCL 140 setelah proses pengerasan dengan beberapa
variasi tempering 200
o
c, 300
o
c dan 500
o
c setelah hasil pengujian menunjukkan
bahwa kekerasan dan kekuatan tariknya meningkat (tabel 1).

Tabel 1. Kekuatan mekanis bahan VCL 140
Kekuatan Mekanis
Benda Uji
Kekerasan (HRC) Kekuatan tarik (Kg/mm
2
)
Tanpa Perlakuan panas 31,3
Temper 200
o
c 56,12
Temper 300
o
c 51,02
Temper 500
o
c 35,8
Sedangkan peningkatan nilai karbon terlihat pada tabel di bawah ini. Jelas sekali
dengan peningkatan unsur karbon maka semakin keras bahan VCL 140.

Tabel 2. Hasil Uji komposisi kimia bahan VCL 140
Benda Uji
Unsur
Tanpa
Perlakuan
panas
(% unsur)
Temper 200
o
c
(% unsur)
Temper 300
o
c
(% unsur)
Temper 500
o
c
(% unsur)
C 0,3808 0,3922 0,3886 0,3821
Si 0,2664 0,2702 0,2586 0,2601

PKMP-4-9-6
S 0,0240 0,0250 0,0272 0,0264
P 0,0099 0,0104 0,0116 0,0115
Mn 0,8023 0,8134 0,8018 0,8041
Ni 0,1256 0,1261 0,1261 0,1170
Cr 1,0759 1,0837 1,0133 1,0158
Mo 0,1928 0,1950 0,1870 0,1880
Cu 0,1690 0,1737 0,1560 0,1563
W 0,0040 0,0041 0,0059 0,0058
Ti 0,0038 0,0038 0,0038 0,0038
Sn 0,0647 0,0679 0,0685 0,0695
Al 0,0064 0,0062 0,0046 0,0062
Pb 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
Ca 0,0000 0,0000 0,0002 0,0004
Zn 0,0030 0,0032 0,0024 0,0024
Fe 96,87 96,83 96,95 96,95

Proses pembuatan end mill cutter two lips dengan tangkai bahan VCL 140
meliputi beberapa proses, diantaranya:
1. Proses Pembentukan dengan Mesin Bubut
2. Proses Pembentukan dengan Mesin Frais
3. Proses Perlakuan Panas
4. Proses Penggerindaan
5. Proses Pemasangan Mata Pisau
6. Proses Pengasahan Pisau
Berikut ini adalah gambaran kekebutuhan-kebutuhan bahan dan estimasi
harga bahan per satuan (untuk besi) khususnya wilayah Jawa dan sekitarnya
(Kawan Lama Sejahtera pt, 2006) pada pembuatan end mill cutter.

Tabel 3. Harga bahan
No Kebutuhan Ukuran Jumlah Harga (Rp)
1. Bahan VCL 140 35 mm X 100 mm 1 31.500/kg
2. Mata pisau - 2 5.000,00
3. Kawat kuningan 3 mm 1 5.000,00
Jumlah 33.500,00
P.P.N. 10% x Rp 33.500,00 3.350,00
Total Biaya Bahan 36.850,00

Biaya pemakaian listrik dapat diperhitungkan dengan rumus sebagi
berikut:
1000
. . . Hl NK V I
B = ................................................................................................ (xii)
Keterangan:
B : Biaya listrik (Rp)
I : Arus listrik mesin yang digunakan (A)

PKMP-4-9-7
V : Voltage mesin yang digunakan (Volt)
NK : Jumlah kerja (jam)
Hl : harga listrik/ KWH ( Rp 500,00)
Berikut ini estimasi biaya pemakaian listrik penggunaan mesin pada pembuatan
end mill cutter.

Tabel 4. Biaya listrik
No Spesifikasi Mesin (15 A & 380 V) Jumlah (jam) Harga (Rp)
1. Mesin Gerinda Silinder 4 11.400,00
2 Mesin Gerinda asah 3 8.550,00
3. Mesin Bubut 5 14.250,00
4 Mesin Frais 1 2.850,00
Total 36.050,00

Tenaga kerja untuk membuat mesin pembuatan end mill cutter.membutuhkan 3
tenaga kerja. Biaya tenaga kerja untuk 3 orang @ Rp 20.000,00/ hari selama 3
hari. Jadi total biaya tenaga kerja adalah 3 x Rp 20.000,00 x 3 hari = Rp
180.000,00.

Total Biaya Pembuatan end mil cutter
Jumlah total biaya pembuatan adalah sebagai berikut:
1. Biaya pengadaan bahan : Rp 36.850,00
2. tenaga kerja : Rp 180.000,00
3. Biaya pemakaian listrik : Rp 36.050,00
4. Biaya lain-lain : Rp 30.000,00 +
Jumlah : Rp 272.900,00
Pengujian pada proses permesinan (mesin frais) pada benda kerja mild
steel dan aluminium dengan pembanding alat end mill cutter two lips buatan
pabrik (gambar 3).

Gambar 3. End mill cutter
Tabel 5. Hasil Pengujian Mesin Frais
Nilai Kekasaran Permukaan
Benda Uji
E M 1 E M 2 E M 3 E M P
Aluminium N N N N
Mild steel N N N N
Keterangan:
E M 1 : end mill cutter dengan suhu tempering tangkai 200
o
c.
E M 2 : end mill cutter dengan suhu tempering tangkai 300
o
c.
E M 3 : end mill cutter dengan suhu tempering tangkai 500
o
c.
E M P : end mill cutter buatan pabrik.

PKMP-4-9-8
Berdasarkan data yang ada (tabel) menunjukkan bahwa kualitas
permukaan pada benda uji mild steel dengan alat end mill cutter two lips dengan
bahan tangkai VCL 140 (E M ..)adalah berkisar pada N..mendekati/ sama nilai
buatan pabrik (E M P).

KESIMPULAN
Hasil pembuatan end mill cutter two lips dengan bahan tangkai VCL 140
merupakan hasil modifikasi pemanfaatan bahan machinery steels menjadi tool
steel alat potong. Dengan alat ini mempunyai kelayakan untuk digunakan dalam
proses permesinan (milling). Hal ini dikuatkan dengan data hasil pengujian pada
benda kerja mild steel dan aluminium dengan putaran . rpm, .. feeding
(pemakanan ).mm/put dan kedalaman pemakanan 2 mm mempunyai rata-rata
kekasaran N.Di samping hasil pengujian pada permesinan, alat ini mempunyai
beberapa data kekuatan mekanis yang cukup kuat, yaitu: dengan proses
pengerasan dan variasi tempering 200
o
c, 300
o
c dan 500
o
c menghasilkan
peningkatan kekerasan dari 31,3 HRC menjadi 56,12 HRC, 51,02 HRC dan 35,8
HRC. Dan kekuatan tarik dari ..kg/mm
2
menjadi .. kg/mm
2
, .. kg/mm
2
,
dan .. kg/mm
2
. Dengan adanya perkuan panas juga mempengaruhi
beberapa struktur mikro bahan tangkai dan komposisi kimia bahan tangkai.
Dengan desain alat yang sederhan ini memiliki beberapa nilai keuntungan.
Dalam biaya pembuatan hanya berkisar Rp 272.900,00 sampai dengan Rp
300.000,00 dari harga alat yang sejenis yang ada di pasaran Rp 557.626,00
sehingga dapat menghemat biaya hampir 50%. Alat ini mudah dibuat karena
desain yang sederhana.

DAFTAR PUSTAKA
Eka Yogaswara (1999). Mesin Bubut Konvensional dan CNC. Bandung: Armiko.
Erry Y.T., dkk. (2004). Pengaruh Kecepatan Pemakanan pada Kekasaran
Permukaan dalam Kecepatan Potong Tinggi. Jurnal Kajian Teknologi
Universitas Tarumanegara Jakarta. Vol. 6, hal 127-140.
Harsono Wiryosumarto, Toshie Okumura (2002). Teknologi Pengelasan Logam.
Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
H. R. Frezt (1978). Teknik Bengkel 2. Bandung: ITB.
http://www.vhf.de, Tool Catalog. diakses tanggal 19 Februari 2006.
Kalpakjian (1999). Manufacturing Engineering And Technology. New York :
Addison-Wesley Publising Company, Inc.
OSG Coorporation (2004). Milling Tools 2005-2006. Japan: OSG
COORPORATION.
Sudji Munadi (1988). Dasar-Dasar Metrologi Industri. Jakarta: Depdikbud.
Tata Surdia (1999). Pengetahuan Bahan Teknik. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Widodo, dkk. (1994). Diktat Pelajaran Teknik Frais 3. Yogyakarta: Balai Latihan
Pendidikan Teknik.


PKMP-4-10-1
KAJIAN PENELITIAN SISTEM KEAMANAN MOBIL DENGAN
MEMBUAT REMOTE CONTROL YANG DILENGKAPI DENGAN
FASILITAS SHORT MASSAGE SERVICE (SMS) DAN MISCALL
BERBASIS MIKROKONTROLER AT89C51

Nurul Diyah Kristiyani, Imro'atu Sholihah
Universitas Negeri Malang, Malang

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMI-4-11-1
UPAYA PENINGKATAN HASIL TANAMAN KACANG HIJAU (Vigna
radiata L.) VARIETAS WALET MELALUI APLIKASI JENIS DAN
KETEBALAN MULSA KERTAS BEKAS

Harno Purwanto*), Didi Setiawan*), Sri Harini**)
*) Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Unibraw Malang, **) Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Unibraw Malang

ABSTRAK
Tanaman kacang hijau pada umumnya dibudidayakan setelah tanaman padi
dipanen yang mana pada waktu tersebut tingkat intensitas dan jumlah hari hujan
sudah mulai berkurang. Percobaan dengan tujuan untuk mencoba mencari solusi
dalam kaitannya dengan upaya untuk menekan kehilangan air tanah dan menekan
pertumbuhan gulma sehingga hasil tanaman kacang hijau dapat ditingkatkan
tersebut akan dilakukan di Kebun Percobaan, + 500 m dpl, D-III FP Universitas
Brawijaya sejak bulan Maret hingga Mei 2006. Rancangan yang digunakan pada
penelitian tersebut adalah acak kelompok yang disusun secara faktorial. Faktor I
adalah jenis mulsa (M) yang terdiri dari 3 jenis, yaitu mulsa kertas koran (M1),
mulsa kertas minyak (M2), mulsa kertas karton (M3). Sedangkan faktor II adalah
tingkat ketebalan mulsa (T) yang terdiri dari 3 lapis (T1), 5 lapis (T2), dan 7 lapis
(T3). Kontrol (perlakuan tanpa mulsa) untuk pembanding. Perlakuan diulang
sebanyak 3 kali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 3 jenis mulsa kertas
bekas (mulsa kertas koran, kertas minyak dan kertas karton) yang digunakan
mampu meningkatkan hasil produksi tanaman kacang hijau var. walet sama
baiknya yaitu sebesar 2,2 2,7 t ha
-1
jika dibandingkan dengan tanaman tanpa
mulsa yang hanya menghasilkan produksi 1,3 t ha
-1
. Sedangkan pengaturan
ketebalan mulsa kertas bekas (ketebalan 1, 2 dan 3 cm) juga mampu
meningkatkan hasil sama baiknya yaitu sebesar 2,4 2,6 t ha
-1
jika dibandingkan
dengan tanaman tanpa mulsa yang hanya menghasilkan produksi 1,3 t ha
-1
.
Pemanfaatan kertas bekas sebagai mulsa juga mampu menekan dominasi
pertumbuhan gulma pada lahan pertanian. Pertumbuhan gulma tanpa mulsa yang
mencapai 62,05 % dapat ditekan sampai 9,45 % - 16,14 % dengan ketiga jenis
mulsa kertas bekas, atau ditekan sampai 7,51 % - 16,13 % dengan pengaturan
ketebalan mulsa kertas bekas.

Kata kunci: Kacang hijau, mulsa, kertas bekas

PENDAHULUAN
Tanaman kacang hijau termasuk tanaman pangan yang sudah lama
dibudidayakan di Indonesia. Tanaman tersebut pada umumnya ditanam setelah
tanaman padi dipanen. Akibat penanaman dengan pola seperti yang tersebut di
atas, maka akan memberikan dampak terhadap tingkat ketersediaan air tanah. Hal
tersebut berkaitan dengan tingkat intensitas dan jumlah hari hujan yang sudah
mulai berkurang. Berkurangnya kedua hal tersebut berpengaruh terhadap jumlah
air yang tersedia di dalam tanah. Oleh karena itu agar tingkat ketersediaan air di
dalam tanah masih tetap dalam kondisi terjaga, maka perlu adanya manipulasi
terhadap lingkungan tanah. Salah satu bentuk manipulasi lingkungan tanah yang
dapat diterapkan dalam kaitannya dengan upaya untuk menekan kehilangan air

PKMI-4-11-2
tanah khususnya melalui proses evapotranspirasi adalah melalui penggunaan
mulsa.
Kertas ialah contoh bentuk mulsa organik. Kertas dipilih sebagai mulsa
dengan asumsi bahwa kertas mudah didapat dan harganya relatif murah. Namun
demikian kelemahan dari penggunaan mulsa kertas tersebut ialah kertas mudah
larut bila terkena air. Oleh karena itu untuk menghindari tingkat kelarutan yang
cepat, maka pengaturan ketebalan mulsa memiliki peranan yang cukup penting.
Penelitian dengan rumusan masalah apakah penggunaan mulsa kertas ini
bermanfaat yang mana sifat kertas tersebut adalah mudah mengalami penguraian
dan pada ketebalan berapakah kertas tersebut dapat bermanfaat bagi pertumbuhan
dan hasil tanaman kacang hijau tersebut bertujuan untuk mencari solusi dalam
kaitannya dengan upaya untuk menekan kehilangan air tanah dan menekan
pertumbuhan gulma sehingga hasil tanaman kacang hijau dapat ditingkatkan.
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah memberikan
informasi pada masyarakat tentang iptek di bidang pertanian, Memanfaatkan
limbah/sampah yang banyak di masyarakat terutama kertas bekas, dan
menghasilkan suatu teknis budidaya baru yang murah, mudah dan praktis dengan
menggunakan kertas bekas.
Mulsa dapat berperan sebagai pengendali pertumbuhan gulma. Gulma
membutuhkan cahaya untuk melangsungkan proses fotosintesis sebagaimana
tumbuhan lain. Penutupan mulsa pada lahan pertanian akan mengurangi cahaya
yang dapat diterima oleh gulma. Mulsa plastik dapat menurunkan radiasi matahari
lebih dari 90% sehingga dapat mematikan gulma yang berada dibawah mulsa
(Chugoku, 1991). Sudiarto dan Gusmaini (2004) menyatakan bahwa mulsa
tanaman yang membentuk lapisan yang relatif padat efektif mencegah
perkecambahan biji gulma atau menghalangi perkembangan awal selama 100 hari.
Mulsa akan memperkecil suhu harian pada tanah. Hal ini terjadi terutama
pada musim kering dimana radiasi matahari sangat tinggi. Cahaya yang diteruskan
ke tanah sangat kecil sehingga suhu tanah tetap rendah pada siang hari (Umboh,
1997). Mulsa plastik juga sangat efektif mengendalikan kehilangan panas ke
atmosfer pada malam hari. Dengan demikian fluktuasi suhu harian tanah tidak
terlalu besar sehingga lebih menguntungkan untuk proses fisiologi tanaman
(Purwowidodo, 1983).
Teknologi pemulsaan dapat juga mencegah evaporasi. Ketika terjadi proses
evaporasi air yang menguap dari permukaan tanah akan ditahan oleh bahan mulsa
dan jatuh kembali ke tanah. Akibatnya lahan tidak kekurangan air karena
penguapan air (Umboh, 1997). Jika proses kehilangan air dibiarkan berlangsung
terus, energi potensial air tanah sangat tinggi dan tanaman tidak mampu
menggunakan air yang tersisa. Tanaman mengalami kelayuan secara terus
menerus atau disebut sebagai titik layu permanen (Nurmawati, Winarni, dan
Waskito 2001; Islami dan Utomo, 1995). Tanaman kacang hijau yang kekurangan
air pada stadia pembungaan dapat mengakibatkan terjadinya penurunan hasil
mencapai 50% (Ariffin, 1999). Penggunaan mulsa jerami pada tanaman lada
perdu dapat menurunkan penyiraman air dari 21 mm/2 hari menjadi 12 mm/4 hari
(Anonymous, 1999).
Mulsa dapat menghindarkan permukaan tanah dari percikan air hujan.
Akibatnya agregat tanah tetap stabil dan terhindar dari proses penghancuran.
Dengan demikian mulsa dapat mengendalikan erosi meskipun pada tanah lereng,

PKMI-4-11-3
misalnya dengan menggunakan mulsa alang-alang. Mulsa juga menjaga struktur
tanah tetap gembur atau tidak padat. Hubungan antara intensitas curah hujan dan
limpasan permukaan menunjukkan adanya kecenderungan bahwa peningkatan
limpasan permukaan sejalan dengan meningkatnya intensitas curah hujan, dengan
bentuk hubungan positif dan tetapan korelasi yang berkisar antara 0,825-0,832.
(Sudarmadji dan Rachman, 2005). Pemberian mulsa hingga 17,08 ton

ha
-1

mampu menekan aliran permukaan dan erosi hingga 0 dan meningkatkan infiltrasi
hingga 100 % (Paimin, Triwilaida dan Wardojo, 2002).

METODE PENDEKATAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2006 di Kebun
Percobaan D-III FP Universitas Brawijaya, dengan ketinggian + 500 m dpl. Alat
yang digunakan ialah cangkul, tugal, meteran, gunting, tali rafia, gembor,
timbangan dan oven. Sedangkan bahan yang diperlukan ialah benih kacang hijau
var. Walet, mulsa dari kertas bekas ialah kertas koran, kertas minyak dan kertas
karton, pestisida, air, pupuk Urea, SP-36 dan KCl.
Rancangan yang digunakan ialah Rancangan Acak Kelompok yang disusun
secara faktorial. Faktor I ialah jenis mulsa kertas (M) yang terdiri dari 3 jenis:
mulsa kertas koran bekas (M
1
), mulsa kertas minyak/bungkus (M
2
), mulsa kertas
karton/kotak kue (M
3
). Faktor II ialah tingkat ketebalan mulsa (T) yang terdiri dari
1 cm (T
1
), 2 cm (T
2
) dan 3 cm (T
3
). Kontrol (perlakuan tanpa mulsa) untuk
pembanding. Perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Kombinasi perlakuan tersebut
tersaji pada tabel berikut.

Tabel 1. Kombinasi perlakuan dari kedua faktor
M
1
M
2
M
3

T
1
M
1
T
1
M
2
T
1
M
3
T
1

T
2
M
1
T
2
M
2
T
2
M
3
T
2

T
3
M
1
T
3
M
2
T
3
M
3
T
3

Kontrol M
0
T
0
(Tanpa mulsa)

Tahapan Pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Penyiapan benih. Benih kacang hijau yang akan digunakan dipilih dari
varietas unggul, bermutu dan bersertifikat. Ciri-ciri benih bermutu ialah
mempunyai daya tumbuh tinggi (> 80%), kecepatan tumbuh tinggi (kurang dari 4
hari), murni atau tidak tercampur varietas lain, sehat atau tidak membawa bibit
hama dan penyakit, tidak bercampur benih gulma, biji bernas, mengkilat, dan
tidak keriput.
Penyiapan lahan. Kegiatan pertama yang dilakukan ialah pengukuran luas
lahan yang akan digunakan. Setelah itu lahan dibersihkan dari sisa-sisa tanaman
dan gulma. Olah tanah dilakukan dengan mencangkul tanah sedalam 20 cm
sebanyak 2 kali, kemudian tanah dihancurkan dan diratakan. Pemetakan tanah
dilakukan setelah diperoleh kondisi tanah yang rata dengan ukuran panjang 2,2 m
dan lebar 2 m sebanyak 30 petak. Jarak antar petak adalah 50 cm dan jarak antar
ulangan adalah 1 m, sehingga total lahan yang digunakan 16,5 m x 14 m.
Pemasangan mulsa. Mulsa diletakkan di atas permukaan lahan. Pemasangan
dilakukan dengan cara menghamparkan mulsa pada permukaan dengan ketebalan
sesuai perlakuan. Mulsa dilobangi sesuai dengan jarak tanam sebelum dipasang.

PKMI-4-11-4
Penanaman dilakukan dengan cara ditugal sedalam + 4 cm pada lubang
mulsa dengan 2 benih per lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan adalah 20
cm x 20 cm.
Penyulaman dilakukan pada umur 7 hari setelah tanam (hst) dengan cara
mencabut tanaman yang pertumbuhannya tidak normal atau mati dan diganti atau
menanam lagi benih kacang hijau.

Penjarangan dilakukan pada umur 14 hst dengan menyisakan 1 tanaman
yang paling baik pertumbuhannya pada setiap lubang tanam.
Penyiraman dilakukan menggunakan gembor dengan volume dan interval
penyiraman sesuai kebutuhan.
Pemupukan. Pupuk dasar yang digunakan adalah SP-36 seluruh dosis.
Sedangkan pupuk Urea dan KCl dibubuhkan secara terpisah pada saat 7 dan 15
hst masing-masing setengah dosis. Pupuk dibubuhkan dengan cara ditugal pada
jarak + 5 cm dari lubang tanam. Adapun dosisnya ialah 75 kg SP-36, 50 kg Urea
dan 50 kg KCl ha
-1
.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara kimiawi dengan dengan
pestisida yang sesuai. Bahan yang akan digunakan ialah Furadan 3-G, Dithan M-
45 dan Ripcord 5 EC dengan dosis sesuai anjuran.
Panen kacang hijau dilakukan ketika sebagian besar (+ 80%) polong sudah
berubah warna menjadi hitam dan mudah pecah. Panen dilakukan pada pagi hari
untuk menghindari pecahnya polong saat dipanen.
Pengamatan. Pengamatan dilakukan secara destruktif yaitu dengan cara
mencabut 2 tanaman sampel untuk setiap kombinasi perlakuan yang dilakukan
pada saat tanaman berumur 17, 24, 31, 38, 45, 52 hst dan pada saat panen.
Pengamatan tersebut meliputi variabel pertumbuhan (bobot kering total tanaman),
lingkungan (kelembaban tanah, waktu terlarut mulsa dan analisis vegetasi gulma),
dan komponen hasil (jumlah polong per tanaman, bobot polong segar per
tanaman, jumlah biji per tanaman, bobot kering biji per tanaman, bobot 100 biji
dan bobot biji ha
-1
)
Analisis data. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ragam (uji F
dengan taraf = 5%). Bila terjadi pengaruh dan interaksi dilanjutkan dengan uji
perbandingan di antara perlakuan. Pada perlakuan yang terjadi interaksi
digunakan uji jarak berganda Duncan dengan taraf = 5% dan pada perlakuan
yang tidak terjadi interaksi diuji dengan uji BNT dengan taraf = 5% untuk
menentukan perbedaan antar perlakuan. Sedangkan untuk membandingkan
dengan tanaman kontrol digunakan uji t dengan taraf = 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Bobot kering total tanaman
Tanaman menghasilkan fotosintat sebagai hasil proses fotosintesis.
Fotosintat yang dihasilkan diedarkan ke seluruh bagian tanaman sebagai penyusun
struktur tanaman. Keseluruhan bagian tanaman yang tersusun dapat diketahui
melalui bobot total kering tanaman (BKTT). Bobot kering total tanaman (BKTT)
kacang hijau tidak dipengaruhi oleh interaksi jenis dan ketebalan mulsa kertas
bekas. Perbedaan jenis mulsa kertas yang digunakan juga tidak berpengaruh pada
BKTT kacang hijau. Pengaturan ketebalan mulsa bekas setebal 3 cm memberikan
hasil terbaik pada umur 17, 31 dan 38 sebesar 0,33; 3,49 dan 6,78 g. Sedangkan
pada umur 24 hst ketebalan 3 cm menghasilkan BKTT yang lebih baik daripada

PKMI-4-11-5
ketebalan 1 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan ketebalan 2 cm. Data rata-rata
BKTT secara lengkap disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata bobot kering total tanaman (g) akibat perlakuan jenis dan
ketebalan mulsa kertas bekas.
Perlakuan Umur tanaman (hst)
Jenis mulsa 17 24 31 38 45 52
Mulsa kertas koran 0.23 1.03 2.77 5.35 12.68 19.04
Mulsa kertas minyak 0.28 1.05 2.93 5.19 9.18 19.63
Mulsa kertas karton 0.26 1.01 3.17 6.18 13.01 15.49
BNT 5 % tn tn tn tn tn tn
Tebal mulsa (cm)
1 0.21a 0.93a 2.57a 4.43a 10.17 16.03
2 0.23a 0.97ab 2.82a 5.52a 10.73 17.64
3 0.33b 1.19b 3.49b 6.78b 13.97 20.49
BNT 5 % 0.06 0.24 0.61 1.22 tn tn
Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Tabel 3. Rata-rata bobot kering total tanaman (g) akibat perlakuan jenis dan
ketebalan mulsa kertas bekas dibandingkan dengan tanaman tanpa
mulsa.
Perlakuan Umur tanaman (hst)
Jenis mulsa 17 24 31 38 45 52
Tanpa mulsa 0,32 0,77 2,38 3,68 6,47 12,17
Mulsa kertas koran 0,23 1,03 2,77 5,35 12,68* 19,04*
Mulsa kertas minyak 0,28 1,05 2,93 5,19 9,18 19,63
Mulsa kertas karton 0,26 1,01 3,17 6,18* 13,01* 15,49
Tebal mulsa (cm)
Tanpa mulsa 0,32 0,77 2,38 3,68 6,47 12,17
1 0,21 0,93 2,57 4,43 10,17 16,03
2 0,23 0,97* 2,82 5,52* 10,73* 17,64
3 0,33 1,19* 3,49 6,78* 13,97* 20,49
Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh tanda bintang menunjukkan berbeda nyata dengan
tanaman tanpa mulsa berdasarkan uji t pada taraf 5%.
Berdasarkan tabel 3, BKTT kacang hijau akibat perlakuan jenis mulsa
kertas bekas berbeda nyata dengan tanaman tanpa mulsa. Mulsa kertas koran
berbeda nyata dengan tanaman tanpa mulsa pada umur 45 dan 52 hst, mulsa kertas
minyak tidak berbeda nyata, dan mulsa kertas karton berbeda nyata pada umur 38
dan 45 hst. BKTT tanaman dengan ketebalan mulsa 3 cm berbeda nyata dengan
tanaman tanpa mulsa pada umur 38 dan 45 hst. Pengaturan ketebalan mulsa 2 cm
berbeda nyata dengan tanpa mulsa pada umur 24, 38 dan 45 hst, dan ketebalan 3
cm juga berbeda nyata pada umur 24, 38 dan 45 hst.

2. Kelembaban tanah
Kelembaban tanah dipengaruhi oleh adanya perubahan kandungan air
dalam tanah, baik bertambah atau berkurang. Air tanah dapat bertambah dengan
adanya curah hujan atau penyiraman dan dapat berkurang karena penguapan
akibat radiasi matahari. Penutupan mulsa pada permukaan tanah diharapkan dapat
mengurangi penguapan air tanah. Akan tetapi selama penelitian jumlah hari hujan
yang terjadi banyak dan radiasi matahari sedikit. Hal ini berakibat pada kurang

PKMI-4-11-6
berpengaruhnya mulsa kertas yang dihamparkan di atas permukaan tanah pada
kelembaban tanah, terutama pada pagi hari karena hujan banyak terjadi pada sore
dan malam hari. Hasil analisis kelembaban tanah pagi hari menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang nyata antara jenis mulsa kertas yang digunakan. Demikian
juga dengan pengaturan ketebalan mulsa kertas juga tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata. Perbandingan penggunaan mulsa kertas dengan tanpa
mulsa hanya menunjukkan perbedaan yang nyata antara kertas karton pada umur
15 hst. Data rata-rata kelembaban tanah pagi hari disajikan pada tabel 4 dan data
perbandingannya dengan tanpa mulsa disajikan pada tabel 5.

Tabel 4. Rata-rata kelembaban tanah pagi hari (%) akibat perlakuan jenis
dan ketebalan mulsa kertas bekas.
Perlakuan Umur tanaman (hst)
Jenis mulsa 15 24 38 52
Mulsa kertas koran 57,44 62,11 59,89 52,89
Mulsa kertas minyak 55,44 59,78 60,67 53,67
Mulsa kertas karton 60,22 62,33 64,00 55,89
BNT 5% tn tn tn tn
Tebal mulsa (cm)
1 56,33 59,78 59,33 52,56
2 58,00 61,67 62,44 54,22
3 58,78 62,78 62,78 55,67
BNT 5% tn tn tn tn
Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.
Tabel 5. Rata-rata kelembaban tanah pagi hari (%) akibat perlakuan
jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas dibandingkan dengan
tanpa mulsa.
Perlakuan Umur tanaman (hst)
Jenis mulsa 15 24 38 52
Tanpa mulsa 51,67 64,33 58,33 56,00
Mulsa kertas koran 57,44 62,11 59,89 52,89
Mulsa kertas minyak 55,44 59,78 60,67 53,67
Mulsa kertas karton 60,22* 62,33 64,00 55,89
Tebal mulsa (cm)
Tanpa mulsa 51,67 64,33 58,33 56,00
1 56,33 59,78 59,33 52,56
2 58,00 61,67 62,44 54,22
3 58,78 62,78 62,78 55,67
Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh tanda bintang menunjukkan berbeda nyata dengan
tanaman tanpa mulsa berdasarkan uji t pada taraf 5%.

Kelembaban tanah siang hari lebih menunjukkan perbedaan yang nyata
daripada pagi hari. Hal ini karena sinar matahari banyak sampai ke bumi pada
pagi hingga siang hari. Hasil analisis menunjukkan tidak adanya interaksi antara
jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas. Penggunaan kertas karton dapat menjaga
kelembaban tanah lebih baik daripada jenis lain pada umur 38 hst. Data rata-rata
kelembaban tanah siang ini disajikan pada tabel 6. Perbandingan penggunaan
mulsa dengan tanpa mulsa menunjukkan perbedaan nyata antara tanpa mulsa
dengan mulsa kertas koran pada umur 15 hst dan dengan kertas karton pada umur
15, 24 dan 38 hst. Sedangkan pengaturan ketebalan yang menunjukkan perbedaan

PKMI-4-11-7
nyata dengan tanpa mulsa yaitu ketebalan mulsa 3 cm pada umur 15 dan 38 hst.
Data perbandingan kelembaban tanah siang hari akibat jenis dan ketebalan mulsa
kertas bekas dengan tanpa mulsa disajikan pada tabel 7.

Tabel 6. Rata-rata kelembaban tanah siang hari (%) akibat perlakuan
jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas.
Perlakuan Umur tanaman (hst)
Jenis mulsa 15 24 38 52
Mulsa kertas koran 56,11 60,89 52,44a 49,78
Mulsa kertas minyak 54,33 58,44 52,22a 50,00
Mulsa kertas karton 58,44 61,56 56,89b 50,11
BNT 5% tn tn 3,55 tn
Tebal mulsa (cm)
1 54,33 59,22 52,22 48,67
2 55,67 60,44 55,44 50,22
3 58,89 61,22 55,78 51,00
BNT 5% tn tn tn tn
Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Tabel 7. Rata-rata kelembaban tanah siang hari (%) akibat perlakuan
jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas dibandingkan dengan
tanpa mulsa.
Perlakuan Umur tanaman (hst)
Jenis mulsa 15 24 38 52
Tanpa mulsa 47,00 54,00 53,33 52,00
Mulsa kertas koran 56,11* 60,89 52,44 49,22
Mulsa kertas minyak 54,33 58,44 52,22 50,00
Mulsa kertas karton 58,44* 61,56* 56,89* 49,44
Tebal mulsa (cm)
Tanpa mulsa 47,00 54,00 49,00 48,33
1 54,33 60,00 52,44 50,56
2 55,67 60,89 54,22 49,00
3 58,89* 60,00 54,89* 49,11
Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh tanda bintang menunjukkan berbeda nyata dengan
tanaman tanpa mulsa berdasarkan uji t pada taraf 5%.

9. Waktu terlarutnya mulsa
Kertas ialah bahan yang mudah larut apabila terkena air. Pemanfaatan
kertas sebagai mulsa banyak diragukan kemampuannya berdasarkan asumsi di
atas. Namun, apa yang terjadi selama penelitian ini akan memberikan
pertimbangan lain untuk menggunakan kertas bekas sebagai mulsa bagi tanaman.
Sampai penelitian ini selesai dilakukan, mulsa-mulsa kertas yang digunakan
masih bertahan dan tidak larut oleh air hujan yang turun, walaupun intensitas tidak
sebesar pada musim penghujan. Pengaturan ketebalan dan saluran drainase yang
tepat sehingga permukaan tanah sehingga tidak tergenang akan dapat menjaga
kemampuan kertas untuk bertahan lebih lama. Mulsa kertas apabila terkena air
akan mengalami pelepuhan, tetapi ketika mendapat sinar matahari kertas yang
telah melepuh memadat kembali menjadi satu lapisan yang tebal, sehingga masih
memiliki ketahanan dan mampu berperan sebagai mulsa. Dengan demikian,
penggunaan mulsa kertas bekas ini masih bisa diharapkan untuk dapat menekan

PKMI-4-11-8
kehilangan air tanah melalui evapotranspirasi pada saat curah hujan kecil. Mulsa
kertas juga rentan terhadap serangan hama rayap. Hal ini dapat diatasi dengan
pestisida yang diaplikasikan di bawah mulsa pada awal pemasangan.

10. Analisis vegetasi gulma
Penelitian dilaksanakan tanpa adanya pengendalian gulma yang tumbuh
pada lahan percobaan dan pertumbuhan gulma pada lahan percobaan dimasukkan
ke dalam variabel pengamatan. Hasil pengamatan menunjukkan adanya tujuh
jenis gula yang dominan yaitu Alternatera sp, Emilia sonchifolia, Cynodon
dactylon, Lantana camara, Amaranthus sp, Mimosa invisa dan Mikania
micrantha. Rata-rata hasil perhitungan summed dominance ratio (SDR) tiap
perlakuan pada umur 60 hst disajikan pada tabel 8.

Tabel 8. Rata-rata summed dominance ratio (SDR) (%) gulma akibat
perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas tiap perlakuan
pada umur 60 hst.
Jenis gulma M0T0 M1T1 M1T2 M1T3 M2T1 M2T2 M2T3 M3T1 M3T2 M3T3
Alternatera
sp. 14.48 36.04 41.88 55.64 33.42 30.06 55.69 65.72 56.92 66.67
Emilia
sonchifolia 6.38 13.44 6.13 0 8.27 11.43 3.05 8.16 8.34 0.00
Cynodon
dactylon 5.51 3.72 15.84 0 0 3.78 3.91 6.64 6.86 33.33
Lantana
camara 22.97 23.25 6.18 32.61 22.77 16.96 13.32 6.18 7.76 0
Amaranthus
sp. 25.39 23.55 15.35 0 25.72 26.99 20.10 13.30 13.07 0
Mimosa
invisa 25.27 0 0 11.74 3.53 10.79 0 0 7.05 0
Mikania
micrantha 0 0 14.62 0 6.28 0 3.93 0 0 0

Hasil analisis ragam SDR gulma dikalikan dengan total dari kerapatan
mutlak, frekuensi mutlak dan dominansi mutlak spesies menunjukkan tidak
adanya interaksi antara jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas pada umur 60 hst.
Jenis mulsa yang digunakan berpengaruh nyata, demikian juga pengaturan
ketebalannya. Jenis mulsa kertas minyak diharapkan paling bisa menekan
pertumbuhan gulma karena memiliki lapisan plastik, tetapi pada kenyataannya
justru mulsa ini kurang bisa menekan pertumbuhan gulma dibandingkan jenis
mulsa kertas lain. Hal ini karena kertas minyak yang terdiri dari lapisan kertas dan
plastik yang direkatkan apabila terkena sinar matahari atau suhu yang panas lem
perekatnya menyebabkan kertas menggulung, sehingga banyak permukaan tanah
yang seharusnya tertutup mulsa menjadi terbuka. Dengan kondisi curah hujan
yang banyak menjadikan gulma mudah tumbuh pada permukaan yang tidak
tertutup mulsa. Pengaturan ketebalan yang paling baik untuk menekan
pertumbuhan gulma ialah ketebalan 3 cm, karena semakin tebal mulsa semakin
sulit ditembus oleh gulma. Data rata-ratanya disajikan pada tabel 9.
Kemampuan kertas bekas menekan pertumbuhan gulma jika dibandingkan
dengan tanpa mulsa menunjukkan hasil yang berbeda nyata baik jenis maupun
pengaturan ketebalannnya. Hal ini juga membuktikan bahwa kertas bekas bisa

PKMI-4-11-9
digunakan sebagai mulsa terutama pada tanaman yang peka terhadap gangguan
gulma. Pertumbuhan gulma pada tanah tanpa mulsa yang mencapai 62,05 % dapat
ditekan menjadi 9,45 % dengan mulsa kertas karton atau menjadi 11,79 % dengan
mulsa kertas koran. Sedangkan ketebalan 3 cm mampu menekan pertumbuhan
gulma menjadi 7,51 %. Data rata-rata perbandingan ini disajikan pada tabel 10.

Tabel 9. Rata-rata SDR (%) gulma dikalikan dengan total kerapatan,
frekuensi dan dominansi mutlak spesies akibat perlakuan jenis
dan ketebalan mulsa kertas bekas pada umur 60 hst.
Jenis mulsa
Nilai rata-rata pada umur 60 hst
Mulsa kertas koran 11,79a
Mulsa kertas minyak 16,14b
Mulsa kertas karton 9,45a
BNT 5 % 3,42
Tebal mulsa (cm)
1 16,13b
2 13,74b
3 7,51a
BNT 5 % 3,42
Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Tabel 10. Rata-rata SDR (%) gulma dikalikan dengan kerapatan, frekuensi
dan dominansi mutlak spesies akibat perlakuan jenis dan
ketebalan mulsa kertas bekas dibandingkan dengan tanaman
tanpa mulsa.
Jenis mulsa Nilai rata-rata pada umur 60 hst
Tanpa mulsa 62,05
Mulsa kertas koran 11,79*
Mulsa kertas minyak 16,14*
Mulsa kertas karton 9,45*
Tebal mulsa (cm)
Tanpa mulsa 62,05
1 16,13*
2 13,74*
3 7,51*
Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh tanda bintang menunjukkan berbeda nyata dengan
tanaman tanpa mulsa berdasarkan uji t pada taraf 5%.

11. Komponen hasil
Pengamatan pada komponen hasil tidak menghasilkan pengaruh yang
berbeda nyata antara tiga jenis kertas yang digunakan, demikian juga dengan
pengaturan ketebalannya. Hal ini sebagaimana disajikan pada tabel 29. Variabel
komponen hasil pada table 29 tersebut apabila dibandingkan dengan tanaman
tanpa mulsa maka semua jenis mulsa kertas bekas dan pengaturan ketebalannya
menunjukkan perbedaan yang nyata pada variabel bobot segar polong per
tanaman, jumlah biji per tanaman, bobot biji per tanaman dan bobot biji ha
-1


PKMI-4-11-10
walaupun tidak terjadi interaksi yang nyata. Variabel komponen hasil yang tidak
berbeda nyata antara tanaman tanpa mulsa dan dengan mulsa ialah bobot 100 biji.
Sedangkan jumlah polong per tanaman yang berbeda nyata dengan tanaman tanpa
mulsa ialah ketebalan mulsa 2 cm. Data rata-rata variabel komponen hasil akibat
perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas dibandingkan dengan tanaman
tanpa mulsa disajikan pada tabel 30.

Tabel 29. Rata-rata variabel komponen hasil akibat perlakuan jenis dan
ketebalan mulsa kertas bekas.
Perlakuan

Jenis mulsa
Jumlah
polong per
tanaman
(buah)
Bobot segar
polong per
tanaman
(g)
Jumlah
biji per
tanaman
(butir)
Bobot
biji per
tanaman
(g)
Bobot
100
biji
(g)
Bobot
biji
(t ha
_1
)
Mulsa kertas koran 16,11a 23,04a 155,50a 10,38a 6,69a 2,57a
Mulsa kertas minyak 16,50a 22,59a 161,07a 10,92a 6,78a 2,71a
Mulsa kertas karton 15,43a 21,23a 133,93a 8,92a 6,64a 2,21a
BNT 5% 3,24 5,59 29,66 3,46 0,49 0,86
Tebal mulsa (cm)
1 16,11a 21,15a 146,06a 9,96a 6,80a 2,47a
2 16,17a 23,80a 157,24a 10,52a 6,73a 2,61a
3 15,76a 21,91a 147,20a 9,74a 6,58a 2,41a
BNT 5% 3,24 5,59 29,66 3,46 0,49 0,86
Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Tabel 30. Rata-rata variabel komponen hasil akibat perlakuan jenis dan
ketebalan mulsa kertas bekas dibandingkan dengan tanaman
tanpa mulsa.
Perlakuan

Jenis mulsa
Jumlah
polong per
tanaman
(buah)
Bobot segar
polong per
tanaman
(g)
Jumlah
biji per
tanaman
(butir)
Bobot
biji per
tanaman
(g)
Bobot
100
biji
(g)
Bobot
biji
(t ha
_1
)
Tanpa Mulsa 12.83 11.93 79.04 5.27 6.67 1.31
Mulsa kertas koran 16,11 23,04* 155,50* 10,38* 6,69 2,57*
Mulsa kertas minyak 16,50 22,59* 161,07* 10,92* 6,78 2,71*
Mulsa kertas karton 15,43 21,23* 133,93* 8,92* 6,64 2,21*
Tebal mulsa (cm)
Tanpa mulsa 12.83 11.93 79.04 5.27 6.67 1.31
1 16,11 21,15* 146,06* 9,96* 6,80 2,47*
2 16,17* 23,80* 157,24* 10,52* 6,73 2,61*
3 15,76 21,91* 147,20* 9,74* 6,58 2,41*
Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh tanda bintang menunjukkan berbeda nyata dengan
tanaman tanpa mulsa berdasarkan uji t pada taraf 5%.

Jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas pengaruhnya tidak berbeda nyata
pada variabel komponen hasil. Ini berarti bahwa semua jenis kertas yang
digunakan atau pengaturan ketebalan yang dilakukan sama baiknya untuk
meningkatkan hasil tanaman kacang hijau var. Walet. Hal ini dapat dibuktikan
dengan membandingkan hasil tanaman yang dimulsa dengan tanaman tanpa
mulsa. Bobot biji akibat jenis mulsa yang mencapai 2,7 t ha
-1
lebih besar 2 kali
dibandingkan tanpa mulsa yang hasilnya hanya mencapai 1,3 t ha
-1
. Perbedaan

PKMI-4-11-11
hasil yang nyata ini disebabkan dominasi gulma pada tanaman tanpa mulsa yang
besar, sehingga kebutuhan tanaman kacang hijau seperti nutrisi, cahaya, dan gas-
gas menjadi berkurang sehingga produksi tanaman lebih rendah.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini ialah :
1. 3 jenis mulsa kertas bekas (mulsa kertas koran, kertas minyak dan kertas
karton) yang digunakan mampu meningkatkan hasil produksi tanaman kacang
hijau var. walet sama baiknya yaitu sebesar 2,2 2,7 t ha
-1
jika dibandingkan
dengan tanaman tanpa mulsa yang hanya menghasilkan produksi 1,3 t ha
-1
.
2. Pengaturan ketebalan mulsa kertas bekas (ketebalan 1, 2 dan 3 cm) juga
mampu meningkatkan hasil sama baiknya yaitu sebesar 2,4 2,6 t ha
-1
jika
dibandingkan dengan tanaman tanpa mulsa yang hanya menghasilkan
produksi 1,3 t ha
-1
.
3. Pemanfaatan kertas bekas sebagai mulsa mampu menekan dominasi
pertumbuhan gulma pada lahan pertanian. Pertumbuhan gulma tanpa mulsa
yang mencapai 62,05 % dapat ditekan sampai 9,45 % - 16,14 % dengan 3
jenis mulsa kertas bekas yang digunakan, atau ditekan sampai 7,51 % - 16,13
% dengan pengaturan ketebalan mulsa kertas bekas.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1999. Program penelitian tanaman rempah.
(http://www.balittro.go.id/DOKUMEN/Rempah)
Ariffin. 1999. Pemanfaatan kalium untuk meningkatkan daya tahan tanaman
kacang hijau terhadap kekeringan. Habitat 10 (108): 58 62.
Chugoku, T.H. 1991. The effect of mulching and row covers on vegetable
prouction: Ueno 200, Atabe City Kyoto.
(http://www.agnet.org/library/abstract.)
Islami, T. dan W.H. Utomo. 1995. Hubungan tanah, air dan tanaman. IKIP
Semarang Press. p. 63
Nurmawati, S. I. Winarni dan A. Waskito. 2001. Penggunaan mulsa jerami, alang-
alang, dan plastik hitam perak pada tanaman semangka tanpa biji (Citrullus
vulgaris L). Matematika, Sains, dan Teknologi 2 (1): 1
(http://pk.ut.ac.id/jmst/s_nurmawati/penggunaan.htm).
Paimin, Triwilaida dan Wardojo. 2002. Upaya peningkatan produktivitas lahan di
daerah tangkapan air waduk gajah mungkur, Wonogiri.
(http://www.balitbang_das.or.id/hasil_penelitian/2002/Upaya%20peningkata
n%20produktivitas)
Purwowidodo. 1983. Teknologi mulsa. Dewa Ruci Press. Jakarta. pp. 168
Sudarmadji, T. dan G. Rachman. 2005. Percobaan penggunaan mulsa alang-alang
untuk pengendalian erosi tanah pada lahan kritis dengan kelerengan yang
beragam. FP Universitas Mulawarman
(http://www.unmul.ac.id/datpub/frontir/triyono.pdf)
Sudiarto dan Gusmani. 2004. Pemanfaatan bahan organik in situ untuk efisiensi
budidaya jahe yang berkelanjutan. J. Litbang Pert. 23 (2): 37 45
(http://www.pustaka_deptan.go.id/homepage/publication/p3232041)
Umboh. A.H. 1997. Petunjuk penggunaan mulsa. Penebar Swadaya. Jakarta. pp.
86

PKMI-4-12-1
UPAYA PENJERNIHAN AIR GAMBUT DENGAN MENGGUNAKAN
BALL CLAY CAP KALA

Aderya Munika, Ummi Fauziah, dan Tika Apriantini
Program Studi P.Kimia Jurusan P.MIPA FKIP UNTAN, Pontianak

ABSTRAK
Kalimantan Barat merupakan daerah dengan luas areal lahan gambut yang
sangat luas. Kondisi ini menyebabkan masyarakat Kalimantan Barat, terutama di
daerah pedesaan kesulitan mendapatkan air bersih. Air yang dikonsumsi oleh
warga masyarakat umumnya adalah air gambut yang memiliki kualitas yang
kurang baik, yaitu berwarna coklat sampai hitam dengan tingkat keasaman yang
tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih, perlu upaya pengolahan air
gambut menjadi air bersih yang layak diminum. Salah satu usaha yang dilakukan
adalah dengan memanfaatkan Ball Clay Cap Kala, yang merupakan salah satu
sumber mineral Kalimantan Barat sebagai pengganti tawas. Penelitian ini
bertujuan untuk menentukan kemampuan Ball Clay Cap Kala sebagai salah satu
bahan penjernih air gambut. Proses penjernihan air gambut dilakukan dengan
cara pengendapan kotoran air gambut pada campuran Ball Clay Cap Kala
dengan konsentrasi 10, 15, dan 20 baik Ball Clay putih maupun coklat, bubuk
kapur 10 gram, dan kaporit 2,5 gram. Parameter air bersih yang diamati adalah
keasaman, pH, tingkat kekeruhan, kesadahan (sebagai CaCO
3
), kandungan
klorin, Fe, dan Sulfat. Hasil yang diperoleh untuk masing-masing Ball Clay
pada konsentrasi10, 15, dan 20 berturu-turut adalah keasaman (karboksilat)
3;3;6;3;3;dan 9, kesadahan yaitu 70,063; 60,06; 60,054; 114,10; 300,27; dan
114,102 mg/L, kadar Fe 99,68; 149,52; 99,68; 99,68, 199,36 dan 797,44 mg/L,
tidak ditemukan sulfat dan klor, pH berkisar dari 7,7-8 untuk Ball Clay putih dan
7,4-9 untuk Ball Clay coklat, dan kekeruhan O FTU dengan Ball Clay putih dan
1,22 dengan Ball Clay coklat.

Kata kunci :Ball Clay Cap Kala, air gambut, air bersih

PENDAHULUAN
Kebutuhan air dalam kehidupan manusia merupakan hal yang mutlak
harus dipenuhi. Dua per tiga dari tubuh manusia terdiri dari air sehingga, air
minum tidak hanya sekedar minuman tetapi, juga memiliki peran untuk
menunjang kerja darah dan organ tubuh lainnya dalam melaksanakan fungsinya
masing-masing. Oleh karena itu, air yang dikonsumsi manusia harus berkualitas
baik.
Kalimantan Barat dengan areal lahan gambut yang cukup luas ( 18 juta
ha) memiliki permasalahan utama dalam memperoleh air bersih. Air gambut
sebagai sumber air utama memiliki kualitas yang kurang baik, kesulitan tersebut
semakin terasa dengan bertambahnya jumlah penduduk namun tidak dibarengi
dengan peningkatan sumber air bersih. Di beberapa daerah pedalaman dan
pedesaan di wilayah Kalimantan Barat terbatasnya sumber air bersih membuat
masyarakat sering menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari mulai dari
mencuci, mandi, sampai masak dan minum.

PKMI-4-12-2
Air yang digunakan dan dikonsumsi oleh masyarakat Kalimantan Barat
umumnya adalah air gambut yang berwarna coklat sampai hitam dan memiliki
sifat asam. Hal ini tentu merugikan baik dari segi estetis maupun dari segi
kesehatan. Sampai saat ini upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk
memperoleh air bersih masih minim, hal ini kemungkinan disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan tentang cara pengolahan air menjadi air bersih dan atau
adanya kesulitan memperoleh bahan penjernih air.
Salah satu komponen yang digunakan oleh sebagian masyarakat dan
perusahaan air minum daerah dalam proses penjernihan air adalah tawas. Selain
harganya mahal, bahan ini juga sulit diperoleh. Berdasarkan hal tersebut,
pemnfaatan sumber daya mineral asal Kalimantan Barat yaitu Ball Clay Cap Kala
dapat menjadi alternatif untuk memecahkan masalah yang dihadapai saat ini.
Ball Clay Cap Kala potensial menjadi bahan alternatif pengganti tawas
dalam proses penjernihan air. Ball Clay dapat diperoleh didaerah Cap Kala
kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat dengan jumlah yang berlimpah. Ball
Clay memiliki sifat yang sama dengan tawas dan mengandung senyawa kompleks
dengan komponen utama kaolin, . Kaolin [Al
2
O
3
2SiO
2.
2H
2
O] merupakan masa
batuan yang tersusun dari material lempung dengan kandungan besi yang rendah,
dan umumnya berwarna putih atau agak keputihan. dengan sifat-sifat antara lain,
kekerasan 2-2,5, berat jenis 2,6 2,63, plastis, mempunyai daya hantar panas
dan listrik yang rendah, serta pH bervariasi.
Dengan kandungan alumunium yang tinggi dalam Ball Clay Cap Kala, maka
bahan tersebut memilki kemampuan dalam mengkoagulasi dan mengendapkan
kotoran-kotoran yang berupa partikel koloid dalam air gambut. Berdasarkan hal
tersebut maka dalam penelitian ini akan dilakukan upaya menjernihkan air gambut
dengan memanfaatkan Ball Clay Cap Kala yang merupakan kekayaan alam
mineral yang berlimpah di Kalimantan Barat.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan Ball Clay Cap Kala
dalam proses penjernihan air gambut, sehingga air dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat Kalimantan Barat
Dari penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan air gambut yang jernih,
tidak berbau dengan pH normal dan tidak payau dengan menggunakan Ball Clay
Cap Kala. Selain itu melalui penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai
tambah Ball Clay Cap Kala.

METODE PENDEKATAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kimia FKIP UNTAN. Sedangkan waktu
yang digunakan dalam penelitian ini mulai pada bulan Februari sampai Juni
2006.

Metode Penelitian
Penelitian ini berdasarkan pada studi eksperimen, dimana percobaan yang
dilakukan dengan menggunakan variasi Ball Clay.

Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitin ini adalah 2 buah ember besar
yang digunakan untuk bak pengendapan dan bak penyaringan, 2 buah kran cm,

PKMI-4-12-3
pipa, drigen besar, pH meter, pipet tetes, gelas piala, erlenmeyer, labu ukur,
peralatan titrasi, peralatan gelas, turbidimetri, pasir, ijuk, kerikil, kaporit, arang
sekam padi [arang aktif], bubuk kapur, Ball Clay Cap Kala [10 gram, 15 gram,
dan 20 gram], NaOH, NaHCO
3,
HCl, Eriochrome Black-T, NaNO
3
, BaCl
2,

Na
2
S
2
O
3
, KI, kertas saring Whatman No.42, MgCl
2
dan air gambut.

Analisis Karboksilat
25 ml larutan gambut (sampel) ditetesi 2-3 tetes penunjuk P.P, kemudian
dititer dengan larutan NaOH 0,01 N sampai terbentuk warna merah jambu muda
(sambil digoyangkan). Jumlah ml basa dicatat masing-masing (dua angka
dibelakang koma).

Analisis pH
Pengukuran pH dilakukan sebelum dan sesudah koagulasi dan
penyaringan dengan menggunakan pH meter.

Analisis Clorida (Cl
-
)
8 gram air gambut ditimbang dengan teliti, kemudian ditambah dengan air
suling ke dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan sampai tanda garis. 25 ml
larutan contoh ini dipipet ke dalam erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 25 ml air
suling dan 2 ml larutan perak nitrat 0,1 N. Hingga terbentuk warna merah coklat.
Penetapan ini diulangi 2 kali.

Penetapan Kesadahan (karbonat dan dikarbonat)
25 ml larutan gambut dipipet kedalam erlenmeyer 250 ml, kemudian
dititer dengan HCl 0,1 N dengan penunjuk larutan P.P, hingga cairan tak berwarna
lagi. Pada titrasi pertama ini diperlukan a ml larutan HCl. Selanjutnya ditetesi
larutan penunjuk merah metil (M. M) dan penitaran dilanjutkan hingga warna
cairan berubah. Kemudian didihkan untuk mengusir CO
2
dan setelah dingin
ditambahi lagi beberapa tetes HCl (bila perlu) hingga terjadi perubahan warna.
Untuk seluruh titrasi b ml larutan HCl.

Analisis Besi (Fe)
10 ml larutan gambut di pipet dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan
25 ml H
2
SO
4
4 N dan dipanaskan. Kemudian dalam keadaan panas larutan
tersebut dititrasi dengan larutan KMnO
4
sampai berwarna merah muda. Catat
volum KMnO
4
yang diperlukan. Penetapan dilakukan dua kali.

Analisis Sulfate
5 gram larutan gambut ditimbang dengan teliti, dilarutkan dalam labu ukur
100 ml, kemudian diencerkan sampai tanda garis, 10 ml larutan ini dipipet
kedalam gelas piala 100 ml, diencerkan sampai 50 ml HCl 4 N dan panaskan
sampai mendidih. Kemudian dibubuhi larutan BaCl
2
panas sedikit demi-sedikit
diaduk (5 ml larutan BaCl
2
2N dan 45 ml air suling).
Selanjutnya larutan dibiarkan diatas penangas air selama 1 jam, disaring dengan
kertas saring Whatman No.42 kemudian dicuci dengan air suling dingin sampai
bebas klorida.

PKMI-4-12-4
Endapan dan filtrat dimasukkan kedalam piala gelas asal, ditambahkan 35
ml (dalam buret) larutan EDTA 0,05 M dan 5 ml amonia pekat, lalu didihkan hati-
hati selama 15 menit.
Kemudian larutan tersebut dibubuhi lagi 2 ml amonia dan dipanaskan
selama 15 menit. Larutan yang telah jernih didinginkan kemudian dicurahi 10 ml
larutan dapar (pH=10), dan dibubuhi 3 tetes larutan penunjuk Eriochrome Black
T; akhirnya kelebihan EDTA dititer dengan larutan MgO 0,05 M sampai warna
larutan menjadi merah jernih. Penetapan dilakukan 3 kali.

Analisis Kekeruhan
Analisis kekeruhan sampel dengan menggunakan HANNA Turbidimetri.

Analisis Warna
Pengujian warna dapat dilihat secara visual

Analisis Bau
Analisis bau dilakukan melalui indera penciuman

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel di bawah memberikan informasi tentang adanya Asam Karboksilat yang
menunjukkan adanya jumlah bakteri penghasil asam dalam air gambut.

Tabel 1 Kadar Keasaman Karboksilat Ball Clay Putih (C
1
) dan Ball Clay Coklat
(C
2
) Dalam Larutan Gambut
No. Ball Caly Kadar rata-rata CH
3
COOH
dalam larutan gambut (mg/l)
1. C
1
10 gram 3
2. C
1
15 gram 6
3. C
1
20 gram 6
4. C
2
10 gram 3
5. C
2
15 gram 3
6. C
2
20 gram 9

Berdasarkan tabel 1 larutan gambut dengan variasi Ball Clay Cap Kala
memiliki kadar keasaman karboksilat relatif rendah. Artinya, jumlah bakteri yang
terdapat pada larutan gambut relatif sedikit.
Kesadahan air disebabkan adanya kation (ion positif) logam dengan valensi dua,
seperti Ca
2+
, Mg
2+,
Sr
2+
, dan Fe
2+
. Secara umum, kation yang sering menyebabkan
air sadah adalah kation Ca
2+
, Mg
2
. kation ini dapat membentuk kerak apabila
bereaksi dengan air sabun. Sebenarnya, tidak ada pengaruh derajat kesadahan bagi
kesehatan tubuh. Namun, kesadahan air dapat menyebabkan sabun atau diterjen
tidak bekerja dengan baik (tidak berbusa).

Tabel 2 Kadar Kesadahan ( CaCO
3
) Dalam Larutan Gambut
No. Ball Clay Kadar rata-rata CaCO
3
dalam
larutan gambut (mg/l)
1. C
1
10 gram

70,063
2. C
1
15 gram 60,06

PKMI-4-12-5
3. C
1
20 gram 60,054
4. C
2
10 gram 114,10
5. C
2
15 gram 300,27
6. C
2
20 gram 114,102

Berdasarkan tabel 2 larutan gambut memiliki kesadahan relatif rendah karena ini
sesuai dengan standar air minum menurut PERMENKES RI yaitu kadar
maksimum 500 mg/liter CaCO
3
sehingga air tersebut dapat digunakan untuk
mencuci. Tabel 3 memberikan informasi tentang kadar Fe dalam larutan gambut :

Tabel 3 Kadar Besi (Fe) Dalam Larutan Gambut
No. Ball Clay Kadar rata-rata Fe dalam
larutan gambut (mg/l)
1. C
1
10 gram 99,68
2. C
1
15 gram 149,52
3. C
1
20 gram 99,68
4. C
2
10 gram 99,68
5. C
2
15 gram 199,36
6. C
2
20 gram 797,44

Berdasrkan tabel 3 terlihat bahwa kadar Fe berkisar dari 99,68-797,44
mg/liter. Kadar tertinggi diperoleh pada air gambut yang diberi perlakuan Ball
Clay coklat dengan kadar 20 gram, sedangkan kadar terendah diperoleh pada
pemberian Ball Clay putih dengan kadar 10 gram. Dibandingkan perlakuan
dengan Ball Clay Putih dengan coklat, perlakuan dengan Ball Clay putih akan
menghasilkan kadar besi yang lebih rendah dibandingkan dengan Ball Clay
coklat. Jika berdasarkan pada standar yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI
yaitu bahwa kadar Fe dalam air yang layak minum tidak boleh melebihi 0,3 mg/
Liter, maka air gambut hasil perlakuan dengan Ball Clay Cap Kala baik yang
putih maupun coklat belum memnuhi syarat. Meskipun tidak layak diminum,
namun air tersebut masih dapat digunakan untuk keperluan lain seperti mencuci
dan untuk irigasi pertanian.
Selain kadar Fe, parameter lain yang diuji adalah kadar Sulfate air gambut
setelah perlakuan dengan Ball Clay. Tabel 4 memberikan informasi tentang kadar
sulfat dalam air gambut setelah diproses dengan variasi Ball Clay.

Tabel 4.Kadar Sulfate Dalam Air Gambut Dengan Variasi Ball Clay
No. Ball Clay Kadar rata-rata Sulfate dalam
larutan gambut (mg/l)
1. C
1
10 gram 0
2. C
1
15 gram 0
3. C
1
20 gram 0
4. C
2
10 gram 0
5. C
2
15 gram 0
6. C
2
20 gram 0


PKMI-4-12-6
Berdasarkan tabel 4 air gambut setelah diproses tidak memiliki kadar
Sulfat, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kadar sulfat dalam air gambut relatif
rendah sehingga tidak dapat dideteksi dengan menggunakan metode volumetri.
Kemungkinan lain adalah bahwa air gambut memang tidak mengandung sulfat.
Tabel 5 memberikan informasi tentang pH (Derajat Keasaman) air baku
dan pH air gambut setelah diproses. Air yang baik adalah air yang bersifat netral
(pH=7). Air dengan pH kurang dari 7 dikatakan air bersifat basa. Tinggi
rendahnya pH air dapat mempengaruhi rasa air. Maksudnya, air dengan pH-
kurang dari 7 akan terasa asam di lidah dan terasa pahit apabila pH melebihi 7.
Hasil pengukuran pH air gambut setelah perlakuan dengan Ball Clay dapat dilihat
pada tabel 5.
Tabel 5 pH Air Baku dan Setelah dilakukan Proses Penyaringan dan Pengendapan
dengan Variasi Ball Clay Cap Kala
pH air gambut setelah proses penyaringan
dan pengendapan, dengan variasi Ball
Clay Cap Kala
pH air minum
C
1
10 g
C
1
15 g
C
1
20 g
C
2

10 g
C
2

15 g
C
2

20 g

6,5-8,5 8 7,9 7,7 9,0 8,4 7,4
Berdasarkan tabel 5 air baku gambut memiliki derajat keasaman yang
relatif tinggi namun setelah terjadinya proses koagulasi dengan variasi Ball Clay.
Partikel-partikel koloid dalam air gambut akan membentuk flok yang bermuatan
(positif dan negatif). Kedua ion tersebut saling berinteraksi dan flok yang
terbentuk segera mengendap dan berpisah dengan air. Hal ini yang
memungkinkan terjadinya perubahan pH air gambut setelah diproses.s dalam
pengendapan makapH larutan gambut berubah. Akan tetapi, air gambut dengan
variasi Ball Clay ini dapat dikatakan baik karena memenuhi pH standar air minum
PERMENKES RI yaitu batas pH minimum dan maksimum adalah 6,5 8,5.
Pada tabel 6 memberikan informasi tentang kadar kekeruhan dalam air gambut
dengan variasi Ball Clay , yaitu:

Tabel 6 Kadar Kekeruhan Dalam Air Gambut Dengan Variasi Ball Clay Cap Kala
Kekeruhan (FTU) larutan gambut dengan variasi Ball Clay
Cap Kala
Kekeru
han
(FTU)
air baku
C
1
10 gram
C
1
15 gram
C
1
20 gram
C
2
10 gram
C
2
15 gram
C
2
20 gram
5,89 0 0 0 0 0 1,22

Berdasarkan hasil penelitian, kekeruhan air baku melebihi standar layak
air minum yang telah ditetapkan oleh PERMENKES RI (5 NTU) tetapi,
kekeruhan larutan gambut dengan variasi Ball Clay Cap Kala relatif rendah. Hal
ini berarti, koalin pada Ball Clay mampu mengabsorbsi partikel-partikel dalam air
baku yaitu air gambut. Tingginya daya absorbsi kaolin terhadap partikel koloid
dalam air gambut, karena ion-ion keduanya efektif berinteraksi yang ditandai
dengan cepatnya pembentukan flok dan terjadi destabilisasi koloid. Destabilisasi
koloid segera terendapkan kedasar air, akibatnya partikel-partikel tersuspensi dan
partikel koloid sampai mencapai keadaan optimal.


PKMI-4-12-7


Tabel 7 Analisis Klorida Dalam air Gambut Dengan Variasi Ball Clay Cap Kala
Sampel Penambahan Reagen AgNO3 1N Hasil
C1 10 gram Jernih Negatif
C1 15 gram Jernih Negatif
C1 20 gram Jernih Negatif
C2 10 gram Jernih Negatif
C2 15 gram Jernih Negatif
C2 20 gram Jernih Negatif

Pada tabel 7 menunjukkan bahwa semua sampel Ball Clay tidsak
mengandung Clorida (Cl
-
) yang ditandai dengan terbentuknya larutan yang jernih,
yang seharusnya berwarna merah coklat.

Tabel 8. Hasil Uji Organoleptis Air Gambut Sebelum dan Setelah Perlakuan
dengan Ball Clay Cap Kala
Sebelum Perlakuan Setelah Perlakuan
Berbau Rasa
asin dan
asam
Warna merah
kecoklatan
Tidak
berbau
Tidak
berasa
Jernih (tidak
berwarna)

Sedangkan uji organoleptis terhadap semua sampel air gambut sebelum
diberi perlakuan dengan Ball Clay yaitu berbau, rasa asam dan asin, berwarna
merah kecoklatan. Sedangkan setelah diberi perlakuan dengan pemberian Ball
Clay Cap Kala dengan berbagai konsentrasi menunjukkan terjadi perubahan dari
segi organoleptis, yaitu jernih (tidak berwarna), tidak berbau, dan tidak berasa
Tabel 8). Hal ini berarti bahwa partikel-partikel yang terdapat pada Ball Clay
yang menyebabkan bau, warna, dan rasa pada air gambut telah hilang setelah
perlakuan.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yaitu
1. Ball Clay Cap Kala merupakan alternatif pengganti tawas dalam penjernihan
air gambut sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kalimantan Barat
untuk keperluan sehari-hari.
2. Kadar besi (Fe) pada hasil air gambut relative tinggi sehingga tidak layak
untuk diminum / dikonsumsi oleh masyarakat Kalimantan Barat.


DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Sujana. 2006. Merakit sendiri alat penjernih air untuk rumah tangga.
Jakarta: Kawan Pustaka.
APHA. 1998. Standard methods of the examination of water and wastewater, 2
th

edition. Washington DC : American Public Health Association.
AWWA (American Water Works Association) dan ASCE (American Society of
Civil Engineers). 1998. Water treatment plant design, 3
rd
edition. New
York: McGraw-Hill.

PKMI-4-12-8
Dimitrov, P.S. dkk. 2001. Balkan endemic nephrophaty in vratza, Bulgaria. : an
epidemiologic analysis of population based disease registers. Eropean
Journal of Epidemiology.
Hartomo, Anton J. 1994. Mengenal keramik modern. Jakarta : Andi Offet.
Orem, W.H, dkk. 2002. Environment, geochemistry, and the etiology of Balkan
endemic nephropathy. Romania: facta Univ, Medidine and Biology.
Parrott, Eugene L. 1971. pharmaceutical technology. Minneapolis: Burgess
Publishing Company.
Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran lingkungan 12
nd
. Jakarta: Rineka Cipta.
Shaw, Duncan J. 1992. Introduction to colloid, and surface chemistry fourth
edition. Liverpool: Butterworth Heinemann.
Sukandarrumidi. 1995. Batubara dan gambut. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr.
Taylor, J.R. and M.R. Wiesner. Membrance processes, in water quality and
teratmant. Mc. Hill: in revision.
Twort, A.C. Ratnayaka, D.D. and brandt, M.J. 2000. Water supply, 5
th
edition.
London: Arnold.




PKMP-4-13-1
PIROLISIS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) UNTUK
MENDAPATKAN ASAP CAIR SERTA UJI KEMAMPUANNYA
SEBAGAI BAHAN PEMBEKU LATEKS ALTERNATIF

Mira Setiyawati, Resna Maulia, Elliza Ulfah, Hairun Nisa
PS Kimia FMIPA, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai pirolisis tandan kososng kelapa sawit
(TKKS) untuk mendapatkan asap cair. Asap cair yang dihasilkan selanjutnya
digunakan sebagai bahan pembeku lateks. Pemanfaatan TKKS sebagai bahan
baku pembuatan asap cair didasarkan pada kenyataan bahwa bahan tersebut
merupakan limbah yang jumlahnya sangat melimpah. Pirolisis dilakukan dengan
cara memanaskan TKKS yang telah dihaluskan dengan menggunakan reaktor
pirolisis pada temperatur 500
o
C dalam sebuah reaktor pirolisis yang diletakkan
dalam furnance. Hasil pirolisis berupa asap yang kemudian didinginkan sehingga
berubah menjadi asap cair. Pada asap cair yang diperoleh selanjutnya diberikan
perlakuan yang berbeda yaitu ekstraksi, destilasi dan pengendapan yang
bertujuan untuk memisahkan asap cair dari ter. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa asap cair yang dihasilkan mampu membekukan lateks dengan cukup baik,
terutama asap cair bebas ter hasil destilasi. Kemampuan asap cair sebagai bahan
pembeku lateks ini diduga karena sifatnya yang asam seoerti halnya asam format.

Kata Kunci : Pirolisis, TKKS, Lateks

PENDAHULUAN
Salah satu komoditi pertanian yang paling penting di Indonesia adalah
karet alam dan kelapa sawit, karena terbukti dapat menunjang perekonomian
negara dengan baik. Hasil devisa yang diperoleh dari karet dan kelapa sawit ini
cukup besar. Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia dengan produksi
terbesar dibandingkan dengan negara-negara lain bahkan negara asal tanaman
karet sendiri yaitu di daratan Amerika Selatan. Indonesia juga merupakan salah
satu produsen utama minyak kelapa sawit.
Pada umumnya karet yang ditanam di Indonesia adalah species Havea
brasiliensis dari family Euphorbiaceae dan ordo Triciccae. Sejak 1910 karet
ditanam oleh penduduk secara besar-besaran dan sekarang perkebunan karet
sudah menyebar ke pulau Kalimantan khususnya propinsi Kalimantan Selatan.
Beberapa kabupaten seperti kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), kabupaten
Hulu Sungai Utara (HSU), kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), kabupaten
Tabalong, Kabupaten Banjar, Kotabaru, Tanah Laut, Balangan dan Tanah Bumbu
merupakan daerah penyebaran karet di Kalimantan Selatan
Pada tanaman karet diperoleh getah yang disebut sebagai lateks, yang
diperoleh dengan cara menyadap batang pohon tersebut. Penyadapan biasanya
dilakukan pada pagi hari agar getah yang dikeluarkan dapat mengalir dengan
deras, sehingga menghasilkan lateks yang banyak.
Getah hasil sadapan biasanya ditampung dalam tempurung kelapa dan
selanjutnya digumpalkan dengan asam format atau yang sering dikenal dengan
cuka getah. Dengan asam format ini lateks akan menggumpal dalam waktu yang


PKMP-4-13-2
singkat, dan warna lateks yang dihasilkan tetap akan putih. Akan tetapi akhir-
akhir ini asam format mulai langka ditemukan dipasaran dan dirasakan sulit bagi
para petani karet karena harganya yang mulai naik serta mempunyai dampak
kimia yang berbahaya baik itu bagi lingkungan maupun bagi petani karet sendiri.
Oleh karena itulah melalui kegiatan ini diusulkan untuk mencari alternatif
lain guna mengatasi masalah tersebut yaitu dengan cara memanfaatkan asap cair
dari hasil proses pirolisis tandan kosong kelapa sawit (TKKS) untuk
penggumpalan lateks. Hal ini mengingat sifatnya yang asam seperti halnya asam
format. Selain itu juga sumber bahan bakunya sangat melimpah seiring dengan
meningkatnya area perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan.
Pemilihan TKKS sebagai bahan baku dalam pembuatan asap cair
mengingat TKKS yang jumlahnya sangat melimpah di Kalimantan Selatan. Selain
itu, adanya letak kawasan perkebunan kelapa sawit dengan perkebunan lateks
yang berada pada satu daerah yang sama sehingga memudahkan para petani karet
mendapatkannya selain itu mengurangi limbah kelapa sawit berupa tandan kosong
terhadap lingkungan serta membantu para petani karet untuk menghemat biaya
dalam proses pembekuan lateks. Serta menghindari pencemaran lingkungan akibat
asam format yang digunakan oleh para petani sekarang.
Berdasarkan pada uraian diatas maka penelitian mengenai pirolisis TKKS
untuk mendapatkan asap cair sebagai bahan pembeku lateks alternatif merupakan
hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah asap
cair yang dihasilkan oleh tandan kosong kelapa sawit dengan proses pirolisis
dapat digunakan sebagai bahan alternatif pada proses pembekuan lateks,
mengetahui apakah asap cair yang dihasilkan bekerja sebaik asam format dalam
hal pembekuan lateks dan mengetahui perbedaan kualitas antara lateks yang
digumpalkan dengan bahan tersebut dengan lateks yang digumpalkan dengan
bahan asam format. Sedangkan manfaat yang didapatkan dari hasil penelitian ini
adalah adanya gambaran mengenai asap cair hasil pirolisis TKKS sebagai bahan
pembeku lateks alternatif.

METODE PENDEKATAN
Dalam rangka untuk menjawab rasa keingintahuan tim peneliti mengenai
bahan pembeku lateks alternatif melalui proses pirolisis tandan kosong kelapa
sawit, maka dilakukanlah serangkaian eksperimen dilaboratorium. Pirolisis
merupakan proses transformasi suatu senyawa menjadi senyawa lain yang
disebabkan oleh temperatur (300 700
o
C) pada kondisi oksigen terbatas. TKKS
mempunyai komposisi seperti kebanyakan biomassa pada umumnya. Komponen
terbesar yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan jumlah yang lebih kecil,
selain itu juga terdapat mineral, produk asap cair dari proses selulosa mengandung
senyawaan dengan gugus karbonil atau karboksil. Pirolisis lignin menghasilkan
senyawaan fenol, metanol, asam asetat, aseton dan asetaldehida. Proses pirolisis
menjadikan TKKS sebagai limbah padat menjadi asap cair yang mengandung
beberapa senyawa penting seperti tersebut diatas.
Beberapa senyawa dapat ditemukan dalam asap cair seperti senyawa asam
karboksilat (asam asetat, asam propanoat, asam benzoat, asam isobutirat dan asam
isovalerat) dan senyawa fenol (fenol, o- dan p-kresol, dimetoksifenol dan
metoksifenol) yang berpotensi sebagai bahan pembeku lateks alternatif.


PKMP-4-13-3
Mengingat kandungan asap cair ini diharapkan lateks yang dibekukan mempunyai
kualitas yang lebih bagus baik itu warna maupun bau dibandingkan dengan bahan
pembeku lateks yang biasa digunakan oleh masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut maka sangat dimungkinkan untuk memanfaatkan
asap cair hasil pirolisis TKKS sebagai bahan pembeku lateks. Dalam rangka untuk
membuktikan dugaan tersebut maka dilakukan serangkaian eksperimen yang
dilakukan di laboraturium Dasar Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru Kalimantan Selatan dalam
waktu selama 3 bulan. Dalam eksperimen alat yang digunakan berupa: gelas
beaker, batang pengaduk, pipet tetes, pipet volume, erlenmeyer, kertas pH, pH
meter, gelas ukur, wadah/loyang, stopwatch, reaktor pirolisis, termometer,
furnance, neraca analitik, corong pisah, corong, pipa kondensor, penampung
destilat, selang, ember dan plastik. Sedangkan bahan yang digunakan adalah
tandan kosong kelapa sawit (TKKS), karet, asam format, NaOH, indikator pp,
aluminium foil, tembaga, garam dan aquades.
Eksperimen yang dilakukan secara berturut-turut sebagai berikut:
Pembuatan asap cair dengan proses pirolisis
Pengambilan asap cair dilakukan dengan cara pirolisis, dimulai dengan
memasukkan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang telah kering ke dalam
reaktor pirolisis yang dilengkapi dengan sistem pendingin air es dan penampung
destilat setelah semuanya siap, furnace dihidupkan dengan temperatur dan
dibiarkan naik hingga temperatur optimal. Ketika temperatur tersebut dicapai,
temperatur dijaga konstan selama tiga jam, asap cair yang mengalir dari
kondensor ditampung dalam penampungan destilat yang diletakkan dalam wadah
berisi campuran es dan garam dapur. Asap cair yang dihasilkan diukur
volumenya kemudian disimpan dalam botol tertutup rapat dan disimpan dalam
lemari pendingin.
Penentuan pH asap cair
1. Seratus mililiter asap cair dimasukkan ke dalam gelas beaker
2. pH diukur dengan kertas pH
3. Asap cair siap pakai disimpan di dalam botol
Penentuan pH asap cair bebas ter
1. Asap cair yang telah diperoleh diendapkan selama 3 hari sehingga
terbentuknya endapan hitam pada lapisan bawah
2. Asap cair (lapisan atas) diambil
3. Tujuh Puluh Sembilan mililiter asap cair bebas ter dimasukkan ke dalam
beaker gelas.
4. pH asap cair bebas ter diukur dengan pH meter.
5. Asap cair siap pakai disimpan di dalam botol.

Penentuan pH asap cair bebas ter dan H
2
O
Proses Ekstraksi
1. Seratus mililiter asap cair murni diambil dan dimasukkan ke dalam corong
pemisah
2. Lima puluh mililiter Dietil Eter ditambahkan (mendapatkan air dan
senyawa organik pada lapisan bawah)
3. Dilakukan proses ekstraksi dan dikeluarkan lapisan bawah dan lapisan
atas


PKMP-4-13-4
4. Lapisan bawah dimasukkan kembali ke dalam corong pisah dan
ditambahkan 50 mililiter dietil eter.
5. Dilakukan proses ekstraksi kembali untuk dipisahkan dietil eter dengan
senyawa organik.
6. Dilakukan proses evaporasi untuk dipisahkan dietil eter dengan senyawa
organik.

Proses Destilasi
1. Seratus mililiter asap cair dimasukkan ke dalam labu didih
2. Dilakukan proses destilasi untuk memisahkan senyawa organik
berdasarkan titik didihnya.

Penentuan pH asam format
1. Enam puluh enam mililiter asam format dalam gelas beaker dan diencerkan
dalam 100 mililiter aquades
2. pH diukur dengan kertas pH
3. Asam format disimpan di dalam botol

Proses pembekuan lateks
1. Lateks disaring dari kotoran yang ikut bersama dari perkebunan
2. Lateks dimasukkan ke dalam 3 wadah/loyang masing-masing sebanyak 80
mililiter
3. Dua mililiter ditambahkan bahan pembeku pada masing-masing
wadah/loyang.
4. Seratus mililiter air ditambahkan dan diaduk hingga hampir membeku.
5. Lateks dibiarkan membeku dan dibandingkan waktu yang diperlukan oleh
masing-masing bahan pembeku alternatif.

Pengujian hasil pembekuan
Parameter yang diuji adalah warna, bau dan massa lateks yang membeku.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pirolisis Tandan Kosong Kelapa Sawit Untuk Mendapatkan Asap Cair
Pada penelitian ini langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan
pirolisis tandan kosong kelapa sawit untuk menghasilkan asap cair. Proses
pirolisis yang dilakukan pada penelitian ini digunakan temperatur 500
o
C selama 3
jam. Dalam proses pirolisis ini digunakan alat reaktor pirolisis dan furnance
sebagai alat pembakar serta pipa kondensor sebagai pendingin untuk
menghasilkan asap cair. Adapun kelapa sawit yang digunakan adalah berasal dari
varietas DP6 Durapesifera yang berasal dari Balibun, Sumatera Utara tahun 1997.
Proses pirolisis dilakukan beberapa kali, untuk mendapatkan volume asap
cair yang cukup banyak, sehingga dapat digunakan pada tahapan penelitian
selanjutnya. Pada penelitian ini didapatkan volume asap cair sebanyak 280 ml,
sebagai hasil pirolisis TKKS sebanyak 15 kali yang masing- masing berat TKKS
setiap pirolisis adalah sebanyak 90 gr Asap cair yang dihasilkan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.


PKMP-4-13-5

Gambar.1 Asap Cair Murni

Asap cair merupakan cairan hasil proses pirolisis yang kemudian
didinginkan melalui pipa kondensor. Asap cair yang didapat dari hasil pirolisis
berwarna coklat tua keruh yang masih banyak mengandung ter. Asap cair ini
berbau asap seperti hasil pembakaran pada umumnya.

Perlakuan Terhadap Asap Cair Hasil Pirolisis
Setelah asap cair dihasilkan, selanjutnya dilakukan proses pemurnian asap
cair, yaitu: destilasi, ekstraksi dan proses pengendapan. Beberapa proses ini
dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan asap cair dari zat pengotornya atau
ter.
Ekstraksi merupakan proses pemurnian atau pemisahan suatu bahan dari
campurannya dengan menggunakan pelarut dimana pada penelitian ini digunakan
pelarut dietil eter. Proses ekstraksi dilakukan dengan cara menambahkan 100 ml
asap cair dengan 50 ml dietil eter. Asap cair yang dihasilkan dapat dilihat bahwa
asap cair berkurang dari asap cair sebelumnya. Hal ini dikarenakan senyawa pada
asap cair yang bersifat non polar terikat pada dietil eter yang juga bersifat non
polar. Warna yang dihasilkan dari proses ekstraksi ini adalah coklat tua namun
terlihat jernih tidak sekeruh asap cair awal. Hasil ekstraksi kemudian dievaporasi.
Tujuan evaporasi untuk memisahkan senyawa organik yang masih tertinggal pada
asap cair sehingga diperoleh yang benar-benar bebas ter.
Perlakuan asap cair yang kedua yaitu dengan proses destilasi. Destilasi
merupakan proses pemurnian berdasarkan titik didihnya. Proses ini dilakukan
dengan cara mendestilasi asap cair. Asap cair mulai menguap pada suhu 97
0
C
sampai suhu 104
0
C. Asap cair destilat yang dihasilkan mempunyai warna kuning
jernih. Sedangkan untuk perlakuan yang ketiga yaitu proses pengendapan yang
dilakukan dengan cara mendiamkan asap cair murni yang dihasilkan selama 3
hari. Tujuan pendiaman ini untuk mengendapkan dan memisahkan ter lagi. Asap
cair yang dihasilkan dengan warna coklat tua.
Ketiga perlakuan ini bertujuan untuk memisahkan ter dari asap cair
sehingga asap cair yang dihasilkan menjadi bebas dari senyawa-senyawaan
polimer yang dapat mengotori asap cair murni. Hasil dari asap cair ekstraksi,
destilasi dan bebas ter berturut-turut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.



PKMP-4-13-6


Gambar.2 Asap Cair Hasil Ekstraksi, Destilasi dan Bebas ter

Pengujian pH Asap Cair dan Asam Format.
Pengujian pH ini bertujuan untuk mengetahui pH asap cair yang dihasilkan
serta membandingkan dengan pH asam format yang digunakan sebagai bahan
pembeku lateks. Dari ketiga perlakuan yang dilakukan pH Asap cair yang
dihasilkan dengan proses destilasi lebih tinggi daripada dua perlakuan yang lain.
Perbedaan pH ini mungkin disebabkan dalam proses destilasi masih terkandung
banyak senyawa organik yang bersifat asam dibandingkan dengan asap cair hasil
dua perlakuan yang lain. Derajat keasaman ketiga perlakuan dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.

Tabel 1 pH Asap Cair

No Asap cair pH
1 Destilasi 3,63
2 Ekstraksi 4,19
3 Pengendapan 4,67

Dari hasil tersebut maka dapat dilihat bahwa asap cair hasil tiga perlakuan
mempunyai derajat keasaman yang tinggi, sehingga diharapkan dengan keadaan
pH seperti ini dapat membekukan lateks dengan baik.
Untuk asap cair murni derajat keasaman (pH) yang dihasilkan lebih tinggi
dibandingkan dengan asap cair dari hasil tiga perlakuan sedangkan jika
dibandingkan dengan pH asam format, pH asap cair jauh lebih rendah. Hal ini
dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2 Keasaman dan pH pada asap cair dan asam format

No Sampel pH
1 Asap Cair Murni 4,67
2 Asam format 0.5


Pengujian Produk Lateks
Proses pembekuan lateks dengan menggunakan bahan pembeku berupa
asap cair dan asam format. Bahan pembeku yang digunakan bervariasi begitu juga
dengan volumenya. Dari pengujian yang telah dilakukan, parameter yang
digunakan yaitu warna, bau dan massa lateks yang membeku.



PKMP-4-13-7
Tabel .3 Hasil Pengujian Bahan Pembeku Lateks
No Parameter yang Digunakan Hasil Pengujian
1. Warna Asam format berwarna putih
Asap cair bebas ter putih pada bagian
dasarnya dan kekuningan pada bagian
atasnya.
Asap cair hasil destilasi putih kekuningn
pada bagian atasnya.
Asap cair ekstraksi putih kekuningan pada
bagian atasnya.
2. Bau Asap cair bebas ter lebih berbau busuk
dibandingkan dengan destilasi asap cair,
ekstraksi asap cair dan asam format.
3. Massa Asap cair hasil destilasi dapat
mengendapkan lateks lebih banyak
dibandingkan bahan pembeku lain.






Gambar.3 Lateks dengan Bahan Pembeku Asap Cair Hasil Ekstraksi dan Asap
Cair Bebas ter




Gambar .4 Lateks dengan Bahan Pembeku Asap Cair Hasil Destilasi dan Asam
Format

Dari hasil penelitian diatas dapat ditarik kesimpulan dari masing-masing
parameter yang digunakan. Dari segi warna asam format lebih putih dibandingkan
dengan bahan pembeku lainnya. Dari segi bau asam format tidak terlalu bau
dibandingkan dengan pembeku lainnya. Sedangkan dari segi massa lateks yang
membeku lebih banyak pada asap cair hasil destilasi. Hal ini disebabkan karena


PKMP-4-13-8
pada asap cair hasil destilasi masih banyak terkandung senyawa-senyawa organik
daripada asap cair hasil ekstraksi dan pengendapan.

KESIMPULAN
Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan, yaitu :
1. Asap cair yang dihasilkan oleh tandan kosong kelapa sawit dengan proses
pirolisis dapat digunakan sebagai bahan pembeku lateks alternatif .
2. Asap cair yang dihasilkan bisa membekukan lateks seperti asam format yang
digunakan masyarakat.
3. Asap cair memiliki kualitas relatif sama dengan asam format yang digunakan
oleh masyarakat pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1991, Teknis Pengujian Karet Konvensional, Pusat Pengujian Mutu
Barang, Departemen Perdagangan.
Anonim, 1992, Seri Agribisnis Karet, PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Anonim, 2006, Kelapa Sawit, Wikipedia.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit
Akses terakhir tanggal 26 April 2006
Cal, 2002, Target Pada Karya Agung Tak Tercapai, Dalam Banjarmasin Post
11 Juni 2002, Banjarmasin.
Fauzi; Y. E Widyastuti; I. Satyawibawa & R. Hartono, 2003, Kelapa Sawit, Edisi
Revisi. Penerbit Swadaya. Jakarta.
Fessenden, R.J, dan Fessenden, J.S, 1986, Kimia Organik, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Hornell, Christina, 2001, Thermochemical and Catalycal Upgrading in a Fuel
Context: Peat, Biomassa and Alkenes. Disertai, Royal Institute Of
Technology, Stockholm.
Rachimoellah, M, 2002, Prospek Pemanfaatan Batubara dan Gambut sebagai
Bahan Baku Industri Kimia, hlm 1-16, Dalam Peranan Kimia Dalam
Menggali Potensi Sumberdaya Alam Kalimantan, Makalah Simposium
Nasional Kimia UNLAM, Banjarmasin.
Teguh, H K., 2004, Alergi Lateks pada Pekerja Kesehatan, Subbagian Alergi-
Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
http://www.google.com/.
Akses terakhir tanggal 26 April 2006.
Yusuf dan Sulaiman, Y, 1983, Penyulingan Lembaran Karet Menjadi Bahan
Bakar Minyak Karet, CV. Genep Jaya Baru, Jakarta.
Veriga, H. J, 2000, Advance Techniques for Generation of Energi from Biomass
and Waste.

PKMP-4-14-1
ALAT PENDETEKSI KANTUK SEBAGAI SARANA PENGAMAN
BAGI PENGEMUDI MOBIL

Diko Harneldo
Teknik Elektro/Teknik Elektronika, Politeknik Negeri Bandung, Bandung


ABSTRAK
Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab terbesar tingginya angka
kematian di suatu daerah. Untuk mengatasinya telah dikembangkan berbagai
jenis alat pengaman dan keselamatan yang terbagi menjadi dua jenis yaitu
peralatan keselamatan pasif contohnya air bag dan sabuk pengaman. Dan
peralatan keselamatan aktif contohnya electronic braking control, traction
control, dan deteksi detak jantung. Salah satu penyebab kecelakaan lalu lintas
atau lakalantas adalah mengantuk. Mengantuk tergolong human error dan
merupakan dampak dari keletihan, kekurangan oksigen, kekurangan darah, dll.
Akibatnya pengemudi kehilangan konsentrasi dan kontrol atas kendaraannya
sehingga terjadi kecelakaan fatal. Untuk mengatasi hal ini sangat dibutuhkan
suatu alat keamanan aktif untuk menperingatkan pengemudi apabila pengemudi
tersebut sudah mulai kehilangan konsentrasi karena mengantuk. Saat ini alat
keselamatan aktif yang dapat mendeteksi kantuk umumnya menggunakan dua
buah metode yaitu deteksi detak jantung dan deteksi kemiringan tubuh.
Kelemahan terbesar metode deteksi kemiringan tubuh adalah adanya
kemungkinan pengemudi mengantuk tapi tetap dalam posisi tegak. Sedangkan
kelemahan dari metode deteksi detak jantung adalah respon yang relatif lambat
dan mahalnya alat-alat keselamatan yang menggunakan deteksi seperti ini. Alat
yang direalisasikan oleh penulis adalah sebuah alat keselamatan aktif yang
menggunakan metode deteksi periode kedipan mata. Pada alat ini kamera akan
mendeteksi gerakan menutupnya kelopak mata dan memperhitungkan periode
menutupnya bola mata sehingga alat ini dapat membedakan antara mata
mengantuk dan mata berkedip serta membuat keputusan untuk mengeluarkan
output yang dapat berfungsi untuk mengaktifkan alarm atau mengaktifkan sistem
rem.

Kata Kunci : mengantuk, mata, kamera, pixel, deteksi, kedipan.

PENDAHULUAN
Kecelakaan lalu lintas sampai saat ini masih merupakan salah satu penyebab
terbesar dalam peningkatan angka kematian pada suatu daerah [1]. Untuk
mengatasi hal ini telah dikembangkan berbagai jenis alat pengaman dan alat
keselamatan untuk kendaraan bermotor yang rentan terhadap kecelakaan. Ada
banyak jenis alat-alat keselamatan dalam kendaraan khususnya mobil. Peralatan
keselamatan tersebut dibagi menjadi dua jenis yaitu peralatan keselamatan pasif
contohnya air bag dan sabuk pengaman. Dan peralatan keselamatan aktif
contohnya electronic braking control, traction control, deteksi detak jantung, dll.

PKMP-4-14-2
Kecelakaan lalu lintas atau lakalantas dapat disebabkan oleh banyak hal.
Salah satu diantaranya adalah mengantuk. Mengantuk adalah penyebab lakalantas
yang digolongkan sebagai human error.
Mengantuk dapat disebabkan oleh keletihan, kekurangan oksigen,
kekurangan darah, dll. Mengantuk dapat menyebabkan pengemudi kehilangan
konsentrasi dan kehilangan kontrol atas kendaraannya sehingga menyebabkan
kecelakaan yang fatal. Sebagai contoh pada hari Selasa tanggal 20-09-2005 pada
pukul 06:14 WIB telah terjadi kecelakaan di KM 33+300/A ruas tol Cikarang
yang melibatkan kendaraan Carry D1258LH. Kecelakaan ini disebabkan karena
pengemudi Carry tersebut mengantuk sehingga mobil oleng dan menabrak
pembatas beton pada tepi jalan [2].
Kecelakaan akibat mengantuk paling banyak terjadi di jalan tol dimana para
pengemudi harus melakukan perjalanan yang sangat jauh tanpa mempedulikan
keadaan dirinya sendiri atau tidak menyadari keadaan dirinya sendiri. Banyak
pengemudi yang tetap meneruskan perjalanan walaupun ia sadar bahwa ia
mengantuk, hal ini disebabkan karena jalan tol merupakan jalan bebas hambatan
dengan lalu lintas yang padat tapi lancar sehingga tidak memungkinkan
pengemudi untuk berhenti dan beristirahat. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah
beserta sponsor-sponsor telah berusaha menyediakan tempat-tempat
pemberhentian sementara di jalan-jalan tol untuk beristirahat sementara dan
menyediakan kopi-kopi gratis agar para pengemudi tetap terjaga.[3]
Usaha pemerintah ini telah berhasil menurunkan angka kecelakaan akibat
mengantuk. Tapi dalam beberapa kasus sering terjadi pengemudi memiliki alasan
yang sangat kuat untuk tetap meneruskan perjalanan meskipun dalam keadaan
mengantuk. Misalnya ada anggota keluarga yang mengalami musibah, atau
kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk berhenti, atau tidak adanya tempat
pemberhentian sementara, dan banyak hal lainnya.
Pada situasi-situasi diatas sangat dibutuhkan suatu alat keamanan akif yang
dapat mencegah dan menperingatkan pengemudi apabila pengemudi tersebut
sudah mulai kehilangan konsentrasi dan mulai mengantuk.
Telah banyak alat keselamatan aktif yang dapat mendeteksi kantuk. Alat-alat
tersebut umumnya menggunakan dua buah metode yaitu deteksi detak jantung dan
deteksi kemiringan tubuh. Ada beberapa kelemahan dari kedua metode ini. Pada
metode deteksi kemiringan tubuh, kelemahan terbesar dari metode ini adalah
adanya kemungkinan pengemudi mengantuk tapi tetap dalam posisi tegak dan
tidak terjadi kemiringan posisi tubuh. Sedangkan kelemahan dari metode deteksi
detak jantung adalah mahalnya alat-alat keselamatan yang menggunakan deteksi
seperti ini, selain itu respon dari metode ini juga relatif lambat.
Alat yang telah direalisasikan oleh penulis adalah sebuah alat keselamatan
aktif yang menggunakan metode deteksi periode kedipan mata. Pada alat ini
kamera akan mendeteksi gerakan menutupnya kelopak mata dan
memperhitungkan periode menutupnya bola mata sehingga alat ini dapat
membedakan antara mata mengantuk dan mata berkedip serta membuat keputusan
untuk mengeluarkan output yang dapat berfungsi untuk mengaktifkan alarm atau
mengaktifkan sistem rem.
Metode yang mirip dengan metode ini sebelumnya sudah pernah dipakai
oleh sebuah perusahaan besar yaitu BMW, bedanya BMW menggunakan laser
untuk mendeteksi dan men-track bola mata dari pengemudi. Metode laser ini telah

PKMP-4-14-3
diimplementasikan dalam concept car BMW dengan harga yang amat mahal,
dengan kata lain kita harus membeli mobil BMW untuk mendapatkan alat
keselamatan ini.[4]
Metode deteksi kedipan mata yang direalisasikan ini menggunakan sebuah
CMOS kamera dan sebuah video prosesor sebagai sensornya. Metode ini jauh
lebih murah dari metode yang diterapkan oleh BMW, selain itu kehandalan dari
metode ini dapat diandalkan dan merupakan sebuah terobosan baru dalam bidang
ini.
Sebagai tambahan informasi, versi pertama dari alat ini telah pernah penulis
ikut sertakan dalam Lomba Cipta Elektroteknik Nasional 2004 di Surabaya dan
berhasil meraih juara ke-3.[5]
Versi pertama dan kedua memiliki perbedaan yang sangat signifikan antara
lain terletak pada dimensi alat, kompleksitas system, portabilitas, dan besarnya
daya yang digunakan.
Permasalahan utama yang dihadapi adalah variasi cahaya dari beberapa
lingkungan yang berbeda dapat menyebabkan hasil yang berbeda pula.
Tujuan
1. Membuat prototype alat pendeteksi kantuk bagi pengemudi mobil berbasis
kamera.
2. Menyempurnakan prototipe versi pertama yang berbasis PC menjadi
berbasis mikrokontroler sehingga tercapai suatu prototipe yang memiliki
dimensi fisik yang ringkas, konsumsi daya rendah, dan lebih portable
3. Mengaplikasikan dan menguji keandalan prototipe versi kedua di lapangan
Alat yang telah direalisasikan ini dapat digunakan sebagai alat keamanan
aktif pada kendaraan bermotor khususnya mobil.

METODE PENELITIAN
Teknik yang digunakan dalam pengenalan mata pada alat ini adalah dengan
cara mengambil sebuah daerah pada mata dengan ukuran 10 x 20 pixel kemudian
mengambil nilai pixel pada daerah tersebut dengan format R G B (Red Green
Blue). Daerah mata tersebut kemudian di-track untuk menghindari perubahan
kondisi mata pengguna sehingga apabila pengguna melirik ke kiri atau ke kanan
hal itu tidak akan berpengaruh pada data yang diambil oleh kamera. Pada kondisi
ini kita mengasumsikan bahwa secara ideal tidak akan terjadi perubahan nilai
pixel kecuali pada saat mata berkedip karena daerah yang di track akan tertutup
oleh kelopak mata. Pada saat mata berkedip maka terjadi perubahan nilai R G B
pada daerah yang di track, perubahan ini mengindikasikan bahwa mata berkedip.
Apabila perubahan ini berlangsung dalam jangka waktu tertentu maka perubahan
ini dapat diindikasikan sebagai mata mengantuk. Apabila kondisi ini terjadi maka
mikrokontroler akan mengeluarkan logic 1 yang dapat difungsikan untuk
mengaktifkan peringatan dan mengaktifkan system rem pada mobil.
1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan
Pengembangan Jurusan Teknik Elektro yang terletak di kampus Politeknik
Negeri Bandung.
Waktu pelaksanaan kegiatan adalah hari Senin - Jumat pada jam 15.00-17.00
WIB
2. Tahapan Pelaksanaan

PKMP-4-14-4
Tahapan pelaksanaan kegiatan ini adalah:
1. Penentuan tujuan dari penelitian
Tujuan dari penelitian ini dapat dilihat pada bagian Tujuan Program
2. Study Literatur
Mempelajari teknik-teknik pemrograman dan teknik pengenalan
gambar dari buku-buku dan teori-teori yang telah ada sebelumnya.
3. Perancangan
Meliputi penentuan komponen-komponen yang akan digunakan agar
dapat mereduksi bentuk fisik dari alat, membuat diagram blok dari
alat, menganalisa cara kerja alat.
4. Perakitan
Perakitan rangkaian dilakukan dengan sangat hati-hati dan sangat
memperhatikan faktor-faktor fisik seperti suhu komponen, listrik
statik, grounding, proteksi, dan kenyamanan penguna.
Perakitan rangkaian ini menggunakan konsep socket sehingga apabila
perlu dilakukan perbaikan atau pengembangan dan riset lebih lanjut,
pengguna tidak perlu melakukan de-soldering sehingga dapat
memperkecil resiko kerusakan komponen.
Untuk mengamankan PCB dan kamera maka penulis melapisi PCB
dengan Hot Glue sehingga tidak akan terjadi grounding yang tidak
sengaja pada bagian bottom layer dari PCB. Sedangkan untuk
mengamankan kamera, penulis membuat sebuah casing berbentuk
kotak untuk melindungi kamera, dilengkapi sebuah penyangga
berbentuk L yang berfungsi menyangga kamera agar tidak bergerak
didalam casing, penyangga ini juga berfungsi untuk melekatkan dua
buah sisi casing.
5. Assembly Casing
Proses assembly merupakan proses yang memakan waktu paling lama
diantara semua proses yang ada. Pada tahap ini penulis berusaha
menempatkan semua komponen-komponen elektronika ke dalam
sebuah headphone tanpa merusak bentuk dasar dari headphone
tersebut. Untuk melakukan hal ini, fisik dari headphone harus
dibongkar total. Speaker internal headphone dikeluarkan sehingga
seluruh rangkaian elektronika dapat dimasukkan kedalam dua buah
rongga headphone. Proses pengkabelan dilakukan dengan sangat hati-
hati dan memperhatikan factor keamanan, kenyamanan, dan estetika
dari pengguna. Kabel yang menghubungkan kamera, video prosessor,
dan mikrokontroler sedapat mungkin diusahakan tidak terlihat oleh
mata sehingga tidak menyebabkan perubahan bentuk headphone.
Kabel-kabel dasar dari headphone tetap dipergunakan sebagai kabel
untuk catu daya dan kabel untuk menghubungkan mikrokontroler
dengan actuator.
6. Pembuatan Perangkat Lunak
Perancangan perangkat lunak dilakukan dalam beberapa tahap antara
lain:
Mempelajari syntax dari bahasa pemrograman yang digunakan
Menganalisa masalah
Membuat flowchart

PKMP-4-14-5
Melakukan Coding
Download ke mikrokontroler
Pengujian software
Pengembangan lebih lanjut
Adapun bahasa pemrograman yang digunakan adalah middle level
language yaitu bahasa PBASIC sehingga dapat dengan mudah
dimengerti oleh orang awan sekalipun.

7. Uji Coba
Melakukan uji coba secara kepada beberapa sukarelawan dan
menentukan tingkat keberhasilan alat.
3. Instrumen Pelaksanaan
Instrumen-instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Osiloskop
2. Multimeter
3. Personal Computer
4. Solder

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesulitan utama yang dihadapi dalam penelitian ini adalah sensitivitas
kamera yang terlalu tinggi dan resolusi perubahan nilai pixel akibat perubahan
cahaya sangat rapat, akibatnya akan mengurangi kehandalan alat ini. Untuk
mengatasi hal ini penulis menyarankan untuk menambahkan beberapa LED pada
daerah sekitar lensa kamera guna menciptakan cahaya yang homogen pada objek
yang disorot oleh kamera. Penambahan cahaya luar ini dapat berakibat pada
kurangnya faktor kenyamanan dari pengguna alat. Sampai saat ini penulis belum
menemukan metode yang cocok untuk menciptakan cahaya homogen disekitar
mata tanpa mengganggu pengguna alat. Penulis berharap diberikan kesempatan,
sarana, dan pra-sarana untuk meneruskan penelitian ini lebih lanjut mengingat
hasil penelitian ini dapat berdampak besar bagi keselamatan para pengemudi
mobil serta dapat menekan angka kematian dan angka lakalantas.

Cara Kerja Alat
Pada saat dihubungkan dengan power supply, alat akan melakukan start-up
selama 100ms. Setelah itu lampu merah dan hijau akan menyala. Lampu merah
adalah indicator bahwa alat telah mendapatkan tegangan dan bekerja sebagaimana
mestinya sedangkan lampu hijau adalah indikator bahwa kamera sedang
melakukan kalibrasi terhadap kondisi pencahayaan sekitar. Lima detik kemudian
lampu hijau akan padam, hal ini menandakan lampu hijau akan melakukan
kalibrasi terhadap mata pengguna. Setelah lima detik maka lampu hijau akan
kembali menyala menandakan alat telah siap beroperasi. Kamera akan memantau
mata pengguna secara terus menerus. Apabila pengguna mulai mengantuk, maka
buzzer yang terletak di dalam head phone akan mengeluarkan bunyi yang
memperingatkan pengguna bahwa ia mengantuk.


PKMP-4-14-6
Pengoperasian Alat
Langkah-langkah untuk mengoperasikan alat ini adalah:
Hubungkan power supply dengan sumber tegangan 220V AC atau 12V DC
Pasang headphone pada kepala
Arahkan lensa kamera agar berada pada samping mata dan tidak
mengganggu pandangan
Hubungkan kabel dengan jack merah pada headphone ke power supply
Lampu hijau akan menyala selama 5 detik sebagai indikasi kamera sedang
mengkalibrasi kondisi cahaya sekitar
Ketika lampu hijau mati, pejamkan mata selama 5 detik sampai lampu hijau
menyala kembali
Kamera akan mengkalibrasi warna mata
Sistem siap di pergunakan

KESIMPULAN
Setelah melakukan semua proses perancangan yang telah direncanakan,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Alat Pendeteksi Kantuk bagi Pengemudi Mobil telah berhasil direalisasikan
dan berhasil beroperasi secara fungsional.
2. Realisasi dari alat telah berhasil mereduksi dimensi alat secara signifikan
3. Tingkat keberhasilan pengujian di lapangan adalah 70%
Untuk pengembangan lebih lanjut, penulis memberikan saran-saran sebagai
berikut
1. Menambahkan sebuah rangkaian Voice Recording yang dapat digunakan
sebagai panduan bagi pengguna dalam memakai dan memanfaatkan alat ini.
Rangkaian ini dapat memberikan petunjuk-petunjuk bagi pengguna agar
memudahkan pengguna. Misalnya pada saat kalibrasi, pemasangan
headphone, setting posisi kamera, dll. Selain itu output dari alat ini juag
dapat disambungkan ke speaker mobil sehingga para penumpang turut
mengetahui apabila supir mereka mengantuk dan dapat memperingatkan
supit tersebut.
2. Mengganti catu daya dengan baterai kering yang mempunyai ukuran yang
kecil dan daya yang besar serta dapat diisi ulang. Penggantian ini
dimaksudkan agar pengguna terbebas dari kabel-kabel yang merepotkan dan
membuat pengguna merasa tidak nyaman.
3. Apabila dimungkinkan maka disarankan untuk mengganti casing dengan
bentuk yang lebih kompak misalnya kacamata. Mengingat zaman sudah
bergeser ke era nano teknologi maka sangat dimungkinkan untuk
mengintegrasikan mikrokontroler dan video prosesor kedalam sebuah
kacamata biasa sehingga pengguna tidak akan merasa risih dengan
membawa casing yang besar dan berat seperti headphone
4. Penulis sangat berharap ada institusi tertentu yang berminat untuk
bekerjasama dan mendanai pengembagan alat ini ke tingkat yang lebih
tinggi agar dihasilkan sebuah alat yang sempurna



PKMP-4-14-7
DAFTAR PUSTAKA
[1] www.polri.go.id
[2] www.infotol.astaga.com
[3] www.jasamarga.com
[4] www.tomshardware.com
[5] www.its.ac.id
www.stampinclass.com
www.parallaxinc.com
www.ubicom.com/products/processors/sx28ac.html
www.ovt.com/omnicmoss.htm
www.seattlerobotics.com
www.cs.cmu.edu


PKMP-4-15-1
EFEKTIVITAS BEBERAPA FITOHORMON DAN TINGKAT
KEMATANGAN BENIH TERHADAP PERTUMBUHAN KECAMBAH
TANAMAN MAHKOTA DEWA

Bambang Anggono Iriawan, Yusnidar Tanjung, Rino
PS Agronomi, Fakultas Pertanian, Univ Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK
Fitohormon dan kematangan benih merupakan diantara faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan kecambah mahkota dewa. Objektif kajian
untuk mengetahui efektivitas beberapa fitohormon dan tingkat kematangan benih
terhadap pertumbuhan kecambah mahkota dewa dengan peubah yang diukur
adalah daya tumbuh benih, jumlah kecambah, kecepatan berkecambah dan tinggi
tunas. Penelitian dilakukan di Taman Gizi Afdeling III PTPN IV Kebun Marjandi,
Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yang dimulai dari bulan Maret sampai
Mei 2006. Metode penelitian menggunakan rancangan acak kelompok faktorial
terdiri atas tiga jenis fitohormon yaitu: auksin (IBA), sitokinin (BAP), giberelin
(GA
3
) dan empat tingkat kematangan benih yaitu: benih muda, masak fisiologis,
masak pokok, lewat masak (jatuh). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
fitohormon berpengaruh terhadap tinggi tunas, dengan rataan tertinggi pada
pemberian giberelin (14,44 cm) dan tidak berpengaruh terhadap daya tumbuh
benih, jumlah kecambah dan kecepatan berkecambah. Tingkat kematangan benih
berpengaruh terhadap daya tumbuh benih, jumlah kecambah, kecepatan
berkecambah dan tinggi tunas. Interaksi antara fitohormon dan tingkat
kematangan benih berpengaruh terhadap semua kombinasi perlakuan. Persentase
daya tumbuh benih dan jumlah kecambah tertinggi terdapat pada kombinasi
auksin dengan benih masak pokok dan lewat masak, juga pada giberelin dengan
benih lewat masak. Persentase kecepatan berkecambah (6 hst) terdapat pada
kombinasi auksin dengan benih masak pokok dan giberelin dengan benih lewat
masak (95,83%). Tunas tertinggi (39 hst) terdapat pada kombinasi giberelin
dengan benih lewat masak (20,15 cm). Pemberian auksin pada dosis 2 mg/l air
pada benih masak pokok dan lewat masak dapat mempercepat pertumbuhan
kecambah mahkota dewa.

Kata kunci : fitohormon, kematangan benih, mahkota dewa

PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hal yang sangat utama bagi setiap manusia dan
kesembuhan bagi manusia yang mempunyai penyakit sangat didambakan. Dari
berbagai jenis penyakit, banyak diantaranya tidak dapat ditanggulangi secara
medis sehingga masyarakat beralih kepada pengobatan alternatif. Pengobatan
alternatif yang sering dilakukan adalah mempergunakan berbagai jenis tanaman
sebagai obat. Salah satunya adalah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa).
Kebutuhan akan konsumsi mahkota dewa semakin meningkat, seiring
dengan berkembangnya peluang usaha di bidang pengobatan tradisional, maka
mahkota dewa sebagai salah satu komoditas tanaman obat yang saat ini banyak
diperbincangkan orang (Winarto, 2003), baik dari segi kandungan obatnya
maupun budidayanya. Teknologi budidaya mahkota dewa secara intensif hingga

PKMP-4-15-2
saat ini belum ada. Hal ini disebabkan keberadaannya belum dikenal secara luas
oleh masyarakat, sehingga perlu dilakukannya penelitian tentang budidaya
tanaman mahkota dewa ini, yang tujuannya untuk meningkatkan hasil produksi
tanaman ini sehingga permintaan pasar terpenuhi.
Penelitian tentang budidaya tanaman mahkota dewa dirasakan masih
kurang memadai, sehingga sampai saat ini belum ada orang yang secara serius
mengupayakan perbanyakan mahkota dewa. Salah satu sebabnya karena
pembudidayaannya yang tidak begitu mudah. Mahkota dewa bisa ditanam di
kebun, tanah pekarangan maupun di dalam pot (Harmanto, 2001).
Perbanyakan tanaman mahkota dewa yang paling banyak dilakukan adalah
dengan cara generatif melalui biji, dimana perbanyakan ini memang paling mudah
tetapi pertumbuhan dan perkembangan pohon lebih lama. Benih mulai bertunas
umur dua sampai tiga minggu setelah tanam (Winarto, 2003). Pertumbuhan
kecambah benih dapat lebih dipercepat melalui berbagai perlakuan yang
dilakukan terhadap benih dan salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah
dengan menggunakan fitohormon untuk merangsang pertumbuhan kecambah
mahkota dewa yang diberikan pada biji benih dengan tingkat kematangan tertentu.
Fitohormon ialah sekumpulan zat-zat yang membantu pertumbuhan, acap
kali disebut juga zat penumbuh atau hormon pertumbuhan. Di antara zat-zat
penumbuh yang telah agak banyak diketahui ialah auksin, giberelin dan sitokinin
(Dwidjoseputro, 1985).
Guna mengungkap efektivitas beberapa fitohormon tersebut, telah
dilakukan penelitian mengenai efektivitas auksin (Indolebutyric acid), sitokinin
(Benzylaminopurine) dan giberelin (Gibberellic acid 3) terhadap benih muda,
masak fisiologis, masak pokok dan lewat masak (jatuh). Tujuan khusus penelitian
ini adalah mengetahui jenis fitohormon yang cocok bagi pertumbuhan kecambah
dari benih mahkota dewa dan tingkat kematangan benih yang baik untuk dijadikan
biji benih dalam budidaya mahkota dewa.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilaksanakan di Taman Gizi Afdeling III PTPN IV Kebun
Marjandi, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara
dengan ketinggian tempat + 800 meter di atas permukaan laut dengan tingkat
kemasaman tanah (pH) 6 7. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2006
sampai Mei 2006.
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah benih
mahkota dewa dengan tingkat kematangan yang berbeda (benih muda, masak
fisiologis, masak pokok, dan lewat masak), fitohormon auksin (IBA), sitokinin
(BAP) dan giberelin (GA
3
) serta alat dan bahan lain yang mendukung.
Metode penelitian yang dilakukan dengan menggunakan rancangan acak
kelompok faktorial dengan dua faktor yang diteliti yaitu Faktor fitohormon terdiri
dari tiga perlakuan yaitu auksin, sitokinin, dan giberelin dengan dosis 2 mg/l air
dan faktor tingkat kematangan benih, terdiri dari empat perlakuan yaitu benih
muda, masak fisiologis, masak pokok, dan lewat masak (jatuh). Kombinasi
perlakuan sebanyak 12 kombinasi dengan jumlah ulangan adalah empat ulangan.
Peubah yang diukur adalah daya tumbuh benih, jumlah kecambah, kecepatan
berkecambah dan tinggi tunas. Pengukuran dilakukan sampai tanaman berumur 39
hari setelah tanam.

PKMP-4-15-3
Prosedur Penelitian meliputi: persiapan areal, pembuatan bangunan
naungan, persiapan media tanam, pengumpulan dan penyeleksian biji benih,
perendaman biji benih dalam larutan fitohormon, penanaman biji benih,
pemeliharaan tanaman yang meliputi penyiraman, penyiangan dan pengendalian
hama dan penyakit.
Data hasil penelitian ini dianalisis dengan Analysis of varians (ANOVA)
dan dilanjutkan dengan Uji Beda Rataan menurut Duncan Multiple Range Test
(DMRT) (Gomez and Gomez, 1984).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemberian fitohormon giberelin (GA
3
) menunjukkan tinggi tunas terbaik
(14,44 cm) dibandingkan dengan fitohormon auksin (8,95 cm) dan sitokinin
(2,23 cm). Kematangan benih masak fisiologis, masak pokok dan lewat masak
menunjukkan hasil yang signifikan dibandingkan dengan benih muda untuk
seluruh peubah demikian juga interaksi antara pemberian fitohormon dan tingkat
kematangan benih menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan diantara
kombinasi untuk daya tumbuh benih, jumlah kecambah, kecepatan tumbuh dan
tinggi tunas kecambah (Tabel 1, 2, 3, dan 4).


Tabel 1. Rata-rata Persentase Daya Tumbuh Benih Mahkota Dewa Umur 7 HST
dari Efektivitas Beberapa Fitohormon dan Tingkat Kematangan Benih

Perlakuan
Benih
Muda
Benih Masak
Fisiologis
Benih Masak
Pokok
Benih Lewat
Masak
Rata-Rata
Auksin (IBA) 0,00
c
79,13
b
100,00
a
100,00
a
69,78
Sitokinin (BAP) 0,00
c
79,13
b
95,83
a
83,30
ab
64,56
Giberelin (GA
3
) 0,00
c
91,65
a
91,67
a
100,00
a
70,83
Rata-Rata 0,00
b
83,30
a
95,83
a
94,43
a


Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama, adalah
berbeda nyata (p < 0,05) menurut DMRT.




Tabel 2. Rata-rata Jumlah Kecambah Mahkota Dewa Umur 7 HST dari
Efektivitas Beberapa Fitohormon dan Tingkat Kematangan Benih

Perlakuan
Benih
Muda
Benih Masak
Fisiologis
Benih Masak
Pokok
Benih Lewat
Masak
Rata-Rata
Auksin (IBA) 0,00
c
5,25
ab
6,00
a
6,00
a
4,31
Sitokinin (BAP) 0,00
c
5,25
ab
5,75
ab
5,00
b
4,00
Giberelin (GA
3
) 0,00
c
5,50
ab
5,50
ab
6,00
a
4,25
Rata-Rata 0,00
b
5,33
a
5,75
a
5,67
a


Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama, adalah
berbeda nyata (p < 0,05) menurut DMRT



PKMP-4-15-4
Tabel 3. Rata - rata Persentase Kecepatan Berkecambah Benih Mahkota
Dewa Umur 6 HST dari Efektivitas Beberapa Fitohormon dan
Tingkat Kematangan Benih

Perlakuan
Benih
Muda
Benih Masak
Fisiologis
Benih Masak
Pokok
Benih Lewat
Masak
Rata-Rata
Auksin (IBA) 0,00
d
83,30
ab
95,83
a
83,30
ab
65,61
Sitokinin (BAP) 0,00
d
62,48
bc
66,60
bc
70,78
bc
49,96
Giberelin (GA
3
) 0,00
d
45,80
c
83,30
ab
95,83
a
56,23
Rata-Rata 0,00
c
63,86
b
81,91
ab
83,30
a


Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama, adalah
berbeda nyata (p < 0,05) menurut DMRT

Tabel 4. Rata - rata Tinggi Tunas Umur 39 HST dari Efektivitas
Beberapa Fitohormon dan Tingkat Kematangan Benih

Perlakuan
Benih
Muda
Benih Masak
Fisiologis
Benih Masak
Pokok
Benih Lewat
Masak
Rata-Rata
Auksin (IBA) 0,00
d
11,06
b
12,47
b
12,27
b
8,95
b

Sitokinin (BAP) 0,00
d
2,78
c
3,20
c
2,96
c
2,23
c

Giberelin (GA
3
) 0,00
d
18,65
a
18,95
a
20,15
a
14,44
a

Rata-Rata 0,00
b
10,83
a
11,54
a
11,79
a

Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama, adalah
berbeda nyata (p < 0,05) menurut DMRT

Perlakuan benih dengan ketiga fitohormon (2 mg/l) tidak menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap daya tumbuh benih (Tabel 1), akan tetapi
perlakuan giberelin memiliki rataan yang tertinggi (70,83%), hal ini dikarenakan
terjadinya peningkatan senyawa giberelin pada biji benih tersebut. GA
3
di dalam
biji dijumpai di embrio dan lapisan aleuron dari endosperm, yang berada di
embrio sangat berhubungan dengan perkecambahan (Mayer and Mayber, 1975).
Benih masak pokok dan lewat masak memiliki persentase daya tumbuh yang
tertinggi (95,83%), sedang benih muda tidak mampu tumbuh. Terjadinya
perbedaan ini disebabkan faktor kematangan dari biji sendiri, dimana biji belum
matang sehingga mengakibatkan proses pertumbuhan tidak dapat terlaksana.
Benih dari beberapa spesies tidak dapat berkecambah sebelum mencapai tingkat
kematangan secara morfologis, karena embrio belum matang (Copeland and
McDonald, 1995). Benih yang baik untuk ditanam adalah benih yang berasal dari
buah yang telah benar-benar masak (Winarto, 2003).
Pemberian fitohormon auksin, sitokinin dan giberelin tidak menunjukkan
pengaruh yang signifikan (p < 0,05) terhadap jumlah benih yang berkecambah
(Tabel 2). Hal ini dikarenakan ketiga jenis fitohormon tersebut sama-sama
berfungsi dalam proses perkecambahan (Widyastuti dan Tjokrokusumo, 2001).
Antara benih masak fisiologis, masak pokok dan lewat masak tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan (p < 0,05), akan tetapi ketiganya menunjukkan
perbedaan yang signifikan dengan benih muda. Ditinjau dari kombinasi perlakuan,
persentase daya tumbuh menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dapat diketahui
kombinasi antara auksin dengan benih masak pokok, auksin dengan benih lewat

PKMP-4-15-5
masak, dan giberelin dengan benih lewat masak menunjukkan bahwa keseluruhan
benih yang ditanam dalam kombinasi tersebut berkecambah 100%. Jumlah
kecambah erat kaitannya dengan persentase daya tumbuh, semakin banyak jumlah
benih yang berkecambah, maka semakin tinggi persentase daya tumbuh benih
tersebut.
Pemberian auksin, sitokinin dan giberelin tidak menunjukkan pengaruh
yang signifikan (p < 0,05) terhadap kecepatan berkecambah benih. Akan tetapi
pemberian auksin menunjukkan rataan persentase tertinggi (65,61%). Tingkat
kematangan benih yang diamati pada enam hari setelah tanam menunjukkan
perbedaan yang signifikan terhadap persentase kecepatan berkecambah benih
mahkota dewa. Rataan persentase tertinggi terdapat pada benih lewat masak
(83,30%). Kombinasi perlakuan juga menunjukkan perbedaan yang signifikan
(p < 0,05). Kombinasi antara auksin (IBA) dengan benih masak pokok, dan
giberelin (GA
3
) dengan benih lewat masak menunjukkan persentase kecepatan
tumbuh tertinggi (95,83%), oleh karena itu perendaman benih masak pokok
dengan IBA dapat mempercepat perkecambahan benih mahkota dewa. Biji
mahkota dewa yang ditanam dengan perawatan yang baik akan bertunas setelah
berumur 2 3 minggu (Winarto, 2003). Dengan pemberian auksin (IBA) benih
mahkota dewa akan berkecambah setelah enam hari, dan dari pengamatan
dilapangan benih mulai bertunas kurang dari dua minggu setelah tanam.
Fenomena ini dikarenakan adanya pengaruh auksin (IBA) yang diberikan dengan
dosis 2 mg/l memacu perakaran. Widyastuti dan Tjokrokusumo (2001)
melaporkan bahwa auksin berperan dalam pertumbuhan akar, suspensi sel dan
pertumbuhan kalus. Tingkat kematangan benih berpengaruh dalam kecepatan
berkecambah, karena kualitas benih terdiri dari beberapa aspek antara lain adanya
kualitas genetik, keadaan fisik, kesehatan benih, viabilitas, vigor dan berat basah
(George, 1999).
Benih yang berasal dari buah lewat masak menunjukkan persentase
kecepatan berkecambah yang lebih tinggi daripada benih yang berasal dari buah
muda, masak fisiologis dan masak pokok. Pada benih muda jelas terlihat berbeda
karena seluruh benih muda yang ditanam sama sekali tidak tumbuh. Menurut
Hamid (1993) sampel yang paling baik terdiri dari biji benih yang dipungut
setelah ia mencapai kematangan fisiologi. Peringkat ini selaras dengan berat
kering biji benih yang maksimum, dan benih pada kebanyakan species sanggup
berkecambah pada waktu masak fisiologis (Holmes 1953, Harrington 1959,
Bower 1958, Giri 1967). Akan tetapi untuk tanaman mahkota dewa menurut
penelitian ini, benih yang menunjukkan daya tumbuh, jumlah kecambah,
kecepatan berkecambah, dan tinggi tunas adalah biji benih yang berasal dari buah
dengan tingkat kematangan benih masak pokok dan lewat masak, karena untuk
tanaman mahkota dewa, benih yang baik adalah benih yang berasal dari buah
yang telah benar-benar masak (Winarto, 2003).
Pemberian auksin, sitokinin dan giberelin menunjukkan perbedaan yang
signifikan terhadap tinggi tunas kecambah pada umur 39 hari setelah tanam.
Pemberian giberelin menunjukkan rataan tertinggi untuk tinggi tunas (14,44 cm).
Dalam hal ketinggian tunas pemberian giberelin dapat memacu perpanjangan
batang. Kebanyakan dikotil dan beberapa monokotil memberikan tanggapan
terhadap giberelin. Beberapa tanaman secara genetik berbatang pendek, setelah
diberikan perlakuan GA
3
, maka batangnya lebih tinggi (Moore, 1979). Sedangkan

PKMP-4-15-6
perendaman benih mahkota dewa dalam sitokinin (BAP) menyebabkan
pertumbuhan tinggi tanaman terhambat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rataan ketinggian tunas tertinggi hanya mencapai 2,23 cm saja. Fenomena ini
terjadi karena pengaruh sitokinin berdampak pada penggandaan tunas. Menurut
Zaerr dan Mapes (1982) dalam Toruan (1991) menyatakan bahwa BAP sangat
efektif merangsang penggandaan tunas pada lebih dari 30 jenis tanaman
kehutanan. Oleh sebab itu pertambahan tinggi tunas menjadi terhambat, dan
tanaman menjadi kerdil akan tetapi dilihat dari pengamatan dilapangan, benih
yang direndam dengan sitokinin (BAP), berkecambah dengan tunas lebih dari dua.
Sedangkan perendaman benih dengan auksin (IBA) rataan ketinggian tunas hanya
mencapai 8,95 cm pada umur 39 hari setelah tanam. Benih masak fisiologis,
masak pokok dan lewat masak tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, akan
tetapi ketiganya berbeda sangat nyata dengan benih muda. Benih lewat masak
menunjukkan rataan tertinggi untuk tinggi tunas (11,79 cm). Kombinasi perlakuan
menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05) terhadap tinggi tunas. Tunas
tertinggi terdapat pada kombinasi antara giberelin dengan benih lewat masak
(20,15 cm). Pemberian ketiga jenis fitohormon menunjukkan ketinggian tunas
kecambah yang berbeda (Tabel 4). Dilihat dari rataan tinggi tunas, maka dapat
diketahui tunas tertinggi terdapat pada benih lewat masak, karena tingkat
kecepatan berkecambahnya lebih tinggi (Tabel 3).
Interaksi fitohormon dengan tingkat kematangan benih mahkota dewa
menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap seluruh kombinasi perlakuan
pada peubah daya tumbuh benih, jumlah kecambah, kecepatan berkecambah dan
tinggi tunas (Tabel 1, 2, 3 dan 4).
Fenomena ini terjadi karena masing-masing fitohormon yang diberikan
pada dosis yang sama (2 mg/l) memiliki pengaruh yang berbeda-beda, dimana
auksin dalam hal ini Indolebutyric acid (IBA) berpengaruh terhadap perakaran
(Salisbury dan Ross, 1995), sitokinin dalam hal ini benzylamino purine (BAP)
sangat efektif untuk merangsang pembentukan tunas aksiler (George and
Sherrington, 1984), penggandaan tunas dan daun (Zaer and Mapes, 1982 dalam
Toruan, 1991), dan giberelin dalam hal ini Giberellic acid (GA
3
) sangat efektif
memacu pemanjangan batang (Moore, 1979). Sedangkan benih mahkota dewa
dengan tingkat kematangan yang berbeda juga menunjukkan daya tumbuh,
kecepatan tumbuh, jumlah kecambah dan tinggi tunas yang berbeda, hal ini jelas
terlihat pada benih muda mahkota dewa yang tidak mampu untuk berkecambah
walau direndam dengan beberapa fitohormon. Hanya benih yang benar-benar
masak yang menunjukkan pertumbuhan yang baik (Winarto, 2003).
Persentase daya tumbuh benih yang tertinggi terdapat pada kombinasi
perlakuan antara auksin dengan benih masak pokok dan lewat masak, serta
giberelin dengan benih lewat masak. Telah diketahui benih mahkota dewa yang
baik untuk ditanam adalah benih yang benar-benar masak (masak pokok dan lewat
masak), kemudian direndam dalam auksin yang efektif memacu perakaran, maka
daya tumbuh benih menjadi meningkat, begitu juga dengan jumlah kecambah dan
kecepatan berkecambah benih mahkota dewa.
Akan tetapi lain halnya dengan tinggi tunas. Benih dengan tingkat
kematangan yang berbeda direndam dalam masing-masing fitohormon yang
berbeda, menunjukkan ketinggian tunas yang berbeda pula. Fenomena ini
dikarenakan perbedaan efektivitas fitohormon yang diberikan. Benih mahkota

PKMP-4-15-7
dewa dengan tingkat kematangan lewat masak yang direndam dalam GA
3

menunjukkan tinggi tunas melebihi semua benih yang direndam dalam IBA dan
BAP (Tabel 4), fenomena ini dikarenakan GA
3
efektif memacu pemanjangan
batang mahkota dewa.

KESIMPULAN
Fitohormon giberelin sangat merangsang pertumbuhan tinggi tunas
dibandingkan dengan auksin dan sitokinin. Interaksi perlakuan menunjukkan
bahwa fitohormon berperan sangat berperan aktif pada tingkat kematangan masak
pokok dan lewat masak dan tidak menunjukkan peranan penting pada biji muda.

DAFTAR PUSTAKA
Copeland LO, and McDonald MB. 1995. Principles of Seed Science and
Technology. Third Edition. Chapman and Hall. p. 107.
Bowers JL. 1958. Preliminary Studies on Cucumber Seed Development as
Related to Viability. Proceedings of The Association of Southern
Agricultural Workers. 55 : 163-164.
Dwidjoseputro D. 1985. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta : Gramedia.
George EF and Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture.
London : Exegenetic Limited. p. 3, 362.
George RAT. 1999. Vegetable Seed Production. 2nd Edition. New York : CABI
Publishing. p. 97-98.
Giri A. 1967. Germination Percentage, Average Height, and Girth of Seedlings
Raised from Seedstones Extracted from Syrupy and Firm Manggo Fruits.
Pakistan Journal of Science. 18 : 79-81
Gomez KA and Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research
Institute. Second edition. Los Banos Philipines: Jhon Wiley Sons Inc.
Hamid ZA. 1993. Sumber Genetik Tumbuhan. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Harmanto N. 2001. Mahkota Dewa Obat Pusaka Para Dewa. Jakarta : Agromedia
Pustaka. hlm. 9-24.
Harrington JF. 1959. Effect of Fruit Maturity and Harvesting Methods of
Germination of Muskmelon Seed. Proceedings of the American Society for
Horticultural Science. 73 : 422-430.
Holmes AD. 1953. Germination of Seed Removed from Mature and Immature
Butternut Squashes after Seven Months of Storage. Proceedings of the
American Society for Horticultural Science. 62 : 433-436
Mayer AM, and Mayber AP. 1975. The Germination of Seed. Oxford : Pergamon
Press.
Moore CT. 1979. Biochemistry and Physiology of Plant Hormones. New York :
Springer Verlag.
Mulyati MT. 1990. Pengaruh Varitas dan Umum Panen Terhadap Sifat
Fisiologis, Fisis dan Khemis Buah Markisa Selama Penyimpanan.
Yogyakarta. Tesis : Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
Salisbury FB dan Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan, 4 eds, jld 3. Terjemahan
oleh DR Lukman dan Sumaryono. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
hlm. 45-46.


PKMP-4-15-8
Toruan MN. 1991. Perbanyakan Tanaman Sungkai (Peronema canascens JACK)
dengan Teknik Kultur Jaringan. Bogor. Makalah : Pusat Penelitian Bogor.
hlm. 102-113.
Widyastuti N, dan Tjokrokusumo D. 2001. Peranan Beberapa Zat Pengatur
Tumbuh (ZPT) Tanaman pada Kultur In Vitro. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia, 3(5) : 55-63.
Winarto WP. 2003. Mahkota Dewa, Budidaya & Pemanfaatan untuk Obat.
Jakarta : Penebar Swadaya. hlm. 14-18.

PKMP-4-16-1
PENGARUH TERAPI PERILAKU KOGNITIF TERHADAP
KECEMASAN MENJELANG MASA PENSIUN

Nofrans Eka Saputra, Dwi Indo, Meriam Esterina
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-4-17-1
PENGARUH KOMPOSISI MEDIA YANG DIPADATKAN (NUTRICAKE
PLANT MEDIA) TERHADAP PERTUMBUHAN STUMP JATI
(TECTONA GRANDIS LINN.F)

Sarwono, Agus Ismail, Suyoko
Institut Pertanian Stiper, Yogyakarta

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-4-18-1
UJI EFEKTIVITAS FILTRAT SERAI (ANDROPOGON NARDUS)
SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI DALAM UPAYA MEMBERANTAS
NYAMUK AEDES AEGYPTI

Ema Kurniawati, Rani Indra Puspita, Yanur Setyaningrum, Sholihah
Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang


ABSTRAK
Di Indonesia jumlah penderita demam berdarah semakin meningkat setiap
tahunnya. Hingga akhir tahun 2005 ini jumlah penderita di seluruh Indonesia
tercatat 50.196 kasus, dengan 701 di antaranya meninggal. Selama ini
masyarakat memberantas nyamuk dengan bahan kimia sehingga dapat
mengakibatkan pencemaran lingkungan dan hama menjadi resisten. Cara
alternatif yang aman untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti dengan
menggunakan bahan alami. Salah satunya tanaman serai yang mengandung
senyawa alamiah seperti sitral, sitronela, geraniol, mirsera, nerol, farsenol,
methyl heptenon, dan dipentema. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
kemampuan filtrat tanaman serai sebagai insektisida Aedes aegypti pada semua
stadium perkembangannya. Konsentrasi filtrat tanaman serai yang paling efektif
sebagai insektisida nabati pada Aedes aegypti. Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian true eksperiment dan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
dengan 6 perlakuan: 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%. Masing-masing
perlakuan diulang tiga kali. Populasi penelitian adalah nyamuk Aedes aegypti
yang diambil dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor Reservoir
dan Penyakit Salatiga. Alat yang digunakan dalam penelitian Parut, Kain saring,
Gelas ukur, Mangkok plastik, Gelas kimia, Timbangan sartorius, Corong, Pipet,
Kandang. Bahan yang digunakan yaitu telur Aedes aegypti, Serai dan Aquadest.
Hasil penelitian ini yaitu pada stadium telur filtrat serai belum menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap mortalitas Aedes aegypti sedang pada stadium
larva, pupa, dan dewasa filtrat serai sangat berpengaruh nyata terhadap
mortalitas Aedes aegypti. Hal ini dapat disimpulkan bahwa filtrat serai yang
tersusun atas senyawa sitronela sangat berpengaruh pada stadium larva, pupa
dan dewasa dibandingkan dengan stadium telur.

Kata Kunci: Filtrat Serai, Aedes aegypti, mortalitas nyamuk.

PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue atau Dengue hemorhagig Fever (DHF) adalah
penyakit yang disebabkan virus dengue yang ditularkan ketubuh manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi (Ester, 1999).
Pada awalnya penyakit ini disebut dengan sendi atau penyakit tulang. Hal
ini disebabkan gejalanya penderita mengalami demam yang disertai dengan rasa
ngilu dan nyeri di sendi tulang (Anonymous, 2000).
Jumlah penderita demam berdarah setiap tahun terus bertambah, terutama
yang memiliki musim hujan. Pada negara-negara berkembang, kejadian ini

PKMP-4-18-2
biasanya meningkat satu sampai dua bulan setelah musim hujan (Anonymous,
2000).
Gejala klinis DHF berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari, terjadi pendarahan yang ditandai bintik-bintik merah (petechia)
pada bagian-bagian badan penderita. Dapat pula menimbulkan sindrom shok dan
meninggal bagi penderita.
Virus ini ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti betina yang
hidup di genangan air bersih atau baju-baju yang tergantung dibalik pintu kamar
atau tirai. Aedes aegypti sekujur tubuhnya berwarna hitam bercak-bercak putih.
Biasanya nyamuk betina dewasa akan menghisap darah manusia (andropofilik)
dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit
(08.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam (15.00-17.00) (Gandahusada,
2000).
Penyakit ini sampai sekarang belum ditemukan obat etiologist atau
vaksinnya sehingga salah satu penanggulangannya adalah dengan mengendalikan
vektor penyakit tersebut (Nurhasanah, 2001).
Menurut Agus, pemberantasan dengan bahan kimia (pengasapan dan
penggunaan abate) secara besar-besaran dan serempak, hanya akan memberantas
nyamuk dewasa saja dan dapat menimbulkan resisten pada populasi nyamuk, dan
membutuhkan biaya besar, serta mempunyai efek pencemaran yang besar
terhadap lingkungan.
Riset menunjukkan bahwa setelah penyemprotan, kasus demam berdarah
justru mengalami kenaikan (Anonymous, 2000).
Metode yang paling efektif untuk mengendalikan nyamuk vektor demam
berdarah dengan cara membunuh jentik-jentiknya yang biasa hidup di bak air atau
tempat-tempat yang sering digunakan untuk menampung air (Nurhasanah, 2001).
Pemberantasan vektor ini adalah dengan memutuskan rantai
penularannya, yaitu pemberantasan vektor dengan bahan kimia. Masyarakat
diharapkan secara aktif berperan berusaha menghindari dari gigitan nyamuk
penular dengan menggunakan kelambu waktu tidur, mengoles kulit dengan obat
anti nyamuk, serta menghilangkan tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk
penular. Saat ini pemberantasan yang dilakukan dengan insektisida sintetis.
Bagi mereka yang tidak tahan, insektisida ini menimbulkan bau yang
menyengat dan bisa menimbulkan sesak nafas atau alergi pada kulit sehingga akan
berpengaruh terhadap kesehatan.
Dengan demikian, maka diperlukan cara alternatif yang aman untuk
memberantas nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan bahan alami
(insektisida nabati), dimana bahan dasarnya menggunakan tanaman. Salah satunya
tanaman serai, yang mengandung senyawa alamiah seperti sitral, sitronela,
geraniol, mirsera, nerol, farsenol, methyl heptenon, dan dipentema. Karena bahan
alami itulah, jenis insektisida ini mudah terurai (biodegradable) dialam sehingga
tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia maupun ternak
peliharaan karena residunya mudah hilang.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut diatas, maka dapat di
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah filtrat tanaman serai mempunyai kemampuan sebagai insektisida

PKMP-4-18-3
nabati pada nyamuk Aedes aegypti?
2. Apakah filtrat tanaman serai mempunyai kemampuan sebagai insektisida
nabati pada semua stadium perkembangan nyamuk Aedes aegypti?
3. Berapakah konsentrasi dari filtrat tanaman serai yang paling efektif sebagai
insektisida nabati pada nyamuk Aedes aegypti?

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Kemampuan filtrat tanaman serai sebagai insektisida nyamuk Aedes aegypti
pada semua stadium perkembangannya.
2. Konsentrasi filtrat tanaman serai yang paling efektif sebagai insektisida nabati
pada nyamuk Aedes aegypti.

Kegunaan Penelitian
1. Aspek ekonomi: pemanfaatan filtrat serai sebagai insektisida nabati dapat
menghemat biaya.
2. Aspek akademis: memberikan informasi ilmiah pada masyarakat dan
Departemen Kesehatan tentang manfaat filtrat serai sebagai insektisida nabati
untuk memberantas Aedes aegypti.
3. Aspek lingkungan: insektisida nabati mudah didapatkan dari lingkungan
disekitar kita, serta aman digunakan (ramah lingkungan).

METODE PENDEKATAN
Metode yang dipakai dalam pelaksanaan Program Kreativitas Mahasiswa
Penelitian (PKMP) menggunakan metode eksperimen sungguhan dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode eksperimen ini, menggunakan
bahan perlakuan yaitu dengan tanaman serai yang kemudian di aplikasikan
terhadap semua stadium nyamuk Aedes aegypti dan melalui prosedur atau metode
yang telah ditentukan.
Program ini diorientasikan pada studi keberhasilan akan pengaruh dari
tanaman serai dengan berbagai konsentrasi sebagai insektisida nabati dalam
upaya memberantas Aedes aegypti, dengan mengamati mortalitas Aedes aegypti
pada tiap-tiap stadium. Metode dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen
sungguhan (true eksperiment) dengan menggunakan rancangan acak lengkap.
Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan terhitung mulai bulan Maret
2006 sampai dengan bulan Mei 2006 di laboratorium Kimia Universitas
Muhammadiyah Malang.
Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah parut, kain
saring, gelas ukur, mangkok plastik, gelas kimia, timbangan sartorius, corong,
pipet, kandang. Sedangkan bahan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian
ini adalah batang dan daun serai sebanyak 2 kg, aquadest steril 500 ml, telur
Aedes aegypti sebanyak 2000 ekor,
Tahap-tahap pelaksanaan:
a. Mencuci alat-alat yang akan digunakan dalam pembuatan filtrat serai dengan
air bersih
b. Memilih serai dengan syarat batangnya besar dan tua, lalu dicuci dan
membuang bagian yang tidak digunakan.
c. Menghaluskan serai dengan menggunakan parut.

PKMP-4-18-4
d. Menyaring hasil parutan serai dengan kain saring.

Tahap-tahap penelitian:
1. Serai yang sudah disaring lalu diencerkan sesuai konsentrasi 0% (kontrol), 5%,
10%, 15%, 20%, dan 25%.
2. Meletakkan telur, larva, pupa, kedalam mangkok sebanyak 25 ekor, kemudian
diberi filtrat serai sesuai perlakuan pada tiap-tiap ulangan.
3. Menghitung mortalitas pada masing-masing stadium perkembangan.
4. Meletakkan pupa kedalam kandang dan menunggu sampai menjadi nyamuk.
5. Setelah menjadi nyamuk, dilakukan penyemprotan dengan menggunakan filtrat
serai sesuai konsentrasi.
6. Menghitung mortalitas nyamuk.

Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas
Muhammadiyah Malang.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada semua stadium Aedes aegypti (telur, larva,
pupa dan dewasa) yang berada didalam ruangan (laboratorium) dengan suhu
kamar (27C), kemudian diberi filtrat serai dan diamati mortalitasnya setelah 24
jam. Hal ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas minyak atsiri jenis sitronela
yang terdapat pada filtrat serai dengan berbagai macam konsentrasi sesuai
perlakuan. Dengan demikian diharapkan serai yang telah menjadi filtrat dapat
memberantas Aedes aegypti disemua stadium yang ditandai dengan besarnya
jumlah mortalitas pada tiap perlakuan.
Hasil pengamatan stadium telur, larva, pupa dan dewasa Aedes aegypti yang
telah diberi filtrat serai dan dibiarkan selama 24 jam dan diamati tingkat
mortalitasnya dapat dilihat pada tabel 1, 2, 3, dan 4 seperti dibawah ini:

Tabel. 1 Hasil Pengamatan Stadium Telur yang diberi Filtrat Serai

Mortalitas/ulangan
Perlakuan
I II III
Total Rerata
A0 (0%) 3 5 2 10 3,33
A1 (5%) 14 14 5 33 11
A3 (10%) 1 4 9 14 4,67
A4 (15%) 3 7 3 13 4,33
A5 (20%) 3 4 2 9 3
A6 (25%) 3 7 2 12 4
Total 91 30,33






PKMP-4-18-5
Tabel. 2 Hasil Pengamatan Stadium Larva yang diberi Filtrat Serai

Mortalitas/ulangan
Perlakuan
I II III
Total Rerata
B0 (0%) 0 0 0 0 0
B1 (5%) 2 3 3 8 2,67
B3 (10%) 8 8 10 26 8,67
B4 (15%) 20 5 10 35 11,67
B5 (20%) 20 13 24 57 19
B6 (25%) 25 21 22 68 22,67
Total 194 64,67


Tabel. 3 Hasil Pengamatan Stadium Pupa yang diberi Filtrat Serai

Mortalitas/ulangan
Perlakuan
I II III
Total Rerata
C0 (0%) 0 0 2 2 0,67
C1 (5%) 5 3 7 15 5
C3 (10%) 9 7 6 22 7,33
C4 (15%) 10 11 11 32 10,67
C5 (20%) 13 13 14 40 13,33
C6 (25%) 15 19 20 54 18
Total 165 55


Tabel. 4 Hasil Pengamatan Stadium Dewasa yang disemprot dengan Filtrat Serai.

Mortalitas/ulangan
Perlakuan
I II III
Total Rerata
D0 (0%) 0 0 0 0 0
D1 (5%) 1 3 1 5 1,25
D3 (10%) 2 5 4 11 2,75
D4 (15%) 6 5 7 18 4,5
D5 (20%) 9 11 13 33 8,25
D6 (25%) 12 10 13 35 8,75
Total 102 25,50


Pembahasan
Hasil penelitian dari semua parameter penelitian pengaruh filtrat serai
terhadap Aedes aegypti pada stadium larva, pupa dan nyamuk telah menunjukkan
ada perbedaan antara kontrol dan perlakuan. Namun tidak terjadi pada stadium
telur seperti yang ditunjukkan pada tabel 1, dimana rata-rata terjadi tingkat
mortalitas yang tinggi sebesar 11 pada konsentrasi 5%. Sedangkan pada
konsentrasi 20% terjadi penurunan tingkat mortalitas telur dengan rata 3. Hal ini

PKMP-4-18-6
belum bisa dijadikan dasar bahwa semakin tinggi konsentrasi yang diberikan,
ternyata belum mampu mempengaruhi mortalitas telur. Rendahnya tingkat
mortalitas telur karena telur Aedes aegypti terbungkus atas kulit yang berlapis tiga
(Brown, 1983), diperkirakan lapisan tersebut mampu mempertahankan kondisi
telur sampai menetas meskipun sudah diberi filtrat serai.
Pada stadium larva (Tabel 2) menunjukkan tingkat mortalitas tertinggi
pada konsentrasi 25% di semua ulangan, sedangkan pada konsentrasi 0% (kontrol)
tidak berpengaruh pada perkembangan larva. Tingkat mortalitas yang berbeda
pada tiap-tiap perlakuan disebabkan pada filtrat serai memiliki kandungan
sitronela yang berbeda pula sehingga mempengaruhi perkembangan larva yang
dapat menyebabkan kematian, hal ini tergantung banyak sedikitnya konsentrasi
filtrat serai yang diberikan.
Demikian pula pada stadium pupa (Tabel 3) terlihat bahwa filtrat serai
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perkembangan pupa. Dimana tingkat
mortalitasnya sama dengan stadium larva. Tingkat kematian terbanyak pada
konsentrasi 25% di semua ulangan, sedangkan pada konsentrasi 0% (kontrol)
mortalitas pupa hanya 2 ekor saja diulangan ke-3.
Sedangkan pada stadium dewasa, angka kematian terbanyak pada
konsentrasi 25% di semua ulangan. Dan pada konsentrasi 0% (kontrol) tidak
terjadi kematian sama sekali di semua ulangan. Adapun hasil pengamatan
perkembangbiakan stadium dewasa ditunjukkan pada Tabel.4. Perbedaan tingkat
mortalitas ini disebabkan karena pada tiap-tiap konsentrasi filtrat serai memiliki
kandungan senyawa sitronela yang berbeda pula sehingga daya bunuh pada
stadium dewasa berbeda, tergantung banyak sedikitnya filtrat serai. Dengan
demikian, semakin tinggi konsentrasi filtrat serai, maka semakin tinggi tingkat
mortalitas pada nyamuk. Serai mengandung senyawa berbentuk padat yang
mempunyai bau yang khas, minyak atsiri yang merupakan produksi serai terdiri
dari berbagai senyawa, salah satu senyawa yang dapat membunuh nyamuk adalah
sitronela. Kandungan sitronela pada serai yaitu sebesar 35%. Sitronela
mempunyai sifat racun (desiscant). Menurut cara kerjanya, racun ini seperti racun
kontak yang dapat memberikan kematian karena kehilangan cairan secara terus-
menerus sehingga tubuh nyamuk kekurangan cairan (Anonymous, 2003 ).
Berdasarkan hal-hal tersebut maka penggunaan toksin yang berasal dari
tanaman serai dapat digunakan untuk memberantas Aedes aegypti, karena dalam
suatu filtrat tumbuhan serai, selain senyawa aktif (sitronela) juga terdapat
senyawa lain yang kurang efektif dalam memberantas Aedes aegypti seperti sitral,
geraniol, mirsera, nerol, farsenol, methyl heptenon, dan dipentema. Namun
senyawa aktif ini dapat meningkatkan aktifitas filtrat serai secara keseluruhan
(sinergis). Hal ini memungkinkan serangga tidak mudah menjadi resisten karena
kemampuan serangga membentuk sistem pertahanan terhadap beberapa senyawa
berbeda secara bersamaan (Anonymous, 1999).
Keuntungan penggunaan filtrat serai sebagai insektisida nabati adalah
berpotensi untuk memberantas Aedes aegypti pada stadium larva, pupa dan
nyamuk. Selain itu bahannya mudah didapat, tidak toksik terhadap lingkungan
sehingga aman bagi operator pengendali nyamuk (aman bagi manusia), serta aman
bagi hewan peliharaan. Sedangkan dari segi ekonomi dapat menghemat biaya
dibandingkan dengan bahan insektisida kimia yang sudah digunakan oleh
masyarakat selama ini.

PKMP-4-18-7
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian terhadap Aedes aegypti yang diberi filtrat serai dapat
disimpulkan bahwa pada stadium larva, pupa dan dewasa (nyamuk) menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap mortalitasnya. Filtrat serai memiliki kandungan
senyawa sitronela sebesar 35%, dan senyawa tersebut mampu membunuh larva,
pupa dan dewasa. Racun serai ini seperti racun kontak yang dapat memberikan
kematian karena kehilangan cairan secara terus-menerus sehingga tubuh nyamuk
kekurangan cairan.
Filtrat serai yang efektif sebagai insektisida nabati pada larva, pupa dan
nyamuk Aedes aegypti sebesar 25%, sedangkan pada stadium telur belum
berpengaruh. Karena diduga telur Aedes aegypti terbungkus atas kulit yang
berlapis tiga, hal ini diperkirakan lapisan tersebut mampu mempertahankan
kondisi telur sampai menetas meskipun sudah diberi filtrat serai.
Dengan demikian, filtrat serai dapat digunakan sebagai cara alternatif untuk
memberantas Aedes aegypti pada stadium larva, pupa dan dewasa. Karena
memiliki efek positif seperti; bahannya mudah didapat, tidak toksik terhadap
lingkungan, aman bagi manusia dan hewan peliharaan, serta menghemat biaya
dibandingkan dengan bahan insektisida kimia.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1999. Penghasil Pestisida Nabati. Trubus Edisi September No. 358.
Jakarta
Anonymous, 2000. Demam Berdarah.http//www.bpk penabur.or.id/kps-
jkt/wydiaw/55/artikel 13.htm
Anonymous, 2000. Demam Berdarah Topik Kesehatan Anak.
http//www.infokes.com/today/artikelview.html?Item ID=96&topic=anak
Anonymous, 2004. Perlu Gerakan Nasional Penanggulangan DBD. Kompas.
Brown Harold. W, 1985. Dasar-dasar Parasitologi Klinik. Edisi ke-3. Gramedia.
Jakarta.
Betty dkk, 2003. Insektarium II Aedes aegypti. Laporan magang BPVRP Salatiga.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. UNDIP. Semarang.
Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 1992. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular
Penyakit Demam Berdarah Dengue. Depkes RI. Jakarta.
Ester, 1999. Demam Berdarah Dengue, Diagnosa, Pengobatan, dan Pengendalian.
ECG. Jakarta.
Gandahusada. S, 2000. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Kardinan. A, 2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Kardinan. A, 2001. Tanaman Pengusir Nyamuk dan Pembasmi Nyamuk.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Nasir. M, 1988. Metode Penelitian. Ghallia Indo. Jakarta.
Natawiguna. H, 1989. Pestisida dan Kegunaannya. Armico. Bandung.
Novizan, 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agro
Media Pustaka. Jakarta.
Rofieq. A, 2001. Metodologi Penelitian. UMM Press. Malang.
Sastrodihardjo, 1984. Pengantar Entomologi Terapan. ITB. Bandung.

PKMP-4-19-1
UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS TANAH GOHONG UNTUK
PEKERJAAN LAPIS PONDASI BAWAH

Jainudin, Arian, Arif Julianto
Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Palangkaraya

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-4-20-1
MODIFIKASI BENTONIT DAN UJI KINERJA BENTONIT HASIL
MODIFIKASI PADA PROSES PEMUCATAN MINYAK SAWIT MENTAH

Irwan Nugraha, Ihsan Abdurrahman, Haris Suwandi
Program Studi Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia,
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

ABSTRAK
Bentonit merupakan mineral berpori yang memiliki kemampuan menyerap zat-zat
organik maupun anorganik. Bentonit alami memiliki kapasitas adsorpsi yang
terbatas. Telah dilakukan kajian aktivasi asam terhadap bentonit alami dan
modifikasi terhadap bentonit hasil aktivasi asam. Aktivasi asam terhadap bentonit
alami dilakukan dengan variasi konsentrasi asam 17, 20, 23, 30 % dan variasi
waktu pengadukan 3, 5, 7 jam. Terhadap bentonit teraktivasi asam dilakukan
modifikasi dengan menggunakan garam yang berperan sebagai asam Lewis
(AlCl
3
.6H
2
O) dengan variasi waktu 4, 8, 12, 16, 20, 24, 28 jam dan variasi
konsentrasi bentonit/garam 20:1; 20:2; 20:3; 20:4; 20:5; 20:6 b/b. Perubahan
struktur bentonit setelah mengalami aktivasi asam dan modifikasi diuji melalui
difraksi sinar-X, spektrometri infra merah, analisis komposisi kimia, serta analisis
sifat fisik dan kimia. Aktivasi asam dan modifikasi menyebabkan adanya
perubahan pada bentonit. Kinerja bentonit teraktivasi asam dan termodifikasi
diuji pada proses pemucatan minyak sawit mentah. Hasil uji kinerja menunjukkan
bentonit teraktivasi asam memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan
bentonit alami dan kinerja bentonit termodifikasi lebih baik dibandingkan dengan
bentonit teraktivasi asam. Bentonit alami memiliki nilai bleaching power 20,52
%, bentonit teraktivasi asam memiliki nilai bleaching power sebesar 73,06% dan
bentonit termodifikasi dengan waktu pengadukan 24 jam dan konsentrasi
bentonit/garam 20:2 (BI-24h2) memiliki nilai bleaching power sebesar 85,96%.

Kata Kunci : Bentonit, aktivasi asam, modifikasi, bleaching power.

PENDAHULUAN
Berdasarkan pada sifat penyerapan dan sifat katalis yang dimiliki oleh
bentonit, bentonit banyak digunakan dalam berbagai aplikasi industri. Lempung
bentonit dapat digunakan sebagai pengemban pestisida, adsorben kotoran
binatang, katalis dan penunjang katalis, sebagai decolorizing agent dalam
pemurnian minyak, dan industri farmasi. Bentonit merupakan senyawa
alumunium dan atau magnesium silikat berkristal halus dengan kandungan kapur,
alkali dan besi yang bervariasi serta sejumlah air yang terhidrasi. Berdasarkan
analisis mineralogi, bentonit mengandung montmorillonite > 85% dan sisanya
terdiri dari kaolinite, illite, feldspar, gypsum, unweathered volcanic ash, kalsium
karbonat, kuarsa dan mineral lainnya. Secara umum bentonit yang ditemukan di
alam dapat diklasifikasikan dalam dua macam yaitu natrium bentonit dan kalsium
bentonit. Natrium bentonit mempunyai sifat mengembang (swelling) yang relatif
tinggi dan banyak dipakai antara lain sebagai bahan untuk lumpur pengeboran
minyak bumi (drilling mud). Sebaliknya, kalsium bentonit mempunyai sifat tidak
mengembang (non-swelling) dan biasanya digunakan sebagai bahan pemucat

PKMP-4-20-2
(bleaching earth), khususnya untuk memucatkan warna minyak sawit mentah
(Crude Palm Oil).
Minyak sawit merupakan minyak pangan yang penting secara domestik dan
global. Perkembangan industri minyak sawit pada dua dasawarsa terakhir
mengalami peningkatan, hal ini ditandai dengan laju produksi minyak sawit yang
meningkat pesat. Secara historis, pertumbuhan produksi minyak sawit selama dua
dasawarsa terakhir mencapai 7,3% per tahun. Laju produksi minyak sawit yang
meningkat secara pesat membutuhkan antisipasi yang tepat dengan cara
diversifikasi produk hasil olahannya. Diversifikasi produk olahan yang berbahan
dasar minyak sawit dapat menghasilkan produk yang tidak hanya cocok untuk
industri makanan seperti minyak goreng, margarin, dan sebagainya tetapi juga
untuk industri oleokimia seperti sabun, gliserin, asam laurat, asam palmitat, dan
lain sebagainya. Diversifikasi produk olahan berbahan dasar minyak sawit salah
satunya dapat dilakukan dengan memisahkan pengotor yang terdapat dalam
minyak sawit tersebut sehingga diperoleh minyak sawit yang lebih jernih.
Pemisahan pengotor dari minyak sawit dapat dilakukan melalui mekanisme
adsorpsi dengan penambahan bentonit.
Pada kondisi alami, mineral bentonit memiliki kapasitas adsorpsi yang
terbatas sehingga proses pemisahan pengotor dan zat warna yang terdapat dalam
minyak sawit atau yang lebih dikenal dengan istilah pemucatan (bleaching) tidak
dapat dilakukan secara maksimal. Berbagai upaya guna meningkatkan efisiensi
pemucatan mineral bentonit terhadap pengotor dan zat warna yang terdapat dalam
minyak sawit telah lama dilakukan melalui proses aktifasi mineral bentonit
(Husaini, 2001). Aktivasi yang biasa dilakukan saat ini adalah aktivasi asam
dengan menggunakan asam mineral.
Berkaitan dengan upaya untuk mendapatkan bentonit yang memiliki
kinerja yang lebih baik dipandang perlu untuk melakukan penelitian tentang
kinerja bentonit modifikasi dengan penambahan garam yang berperan sebagai
asam Lewis pada proses pemucatan minyak sawit mentah. Melalui penelitian ini
diharapkan diperoleh suatu alternatif metode aktivasi bentonit sebagai bahan
pemucat minyak sawit mentah yang lebih baik.
Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui teknik modifikasi bentonit alam sebagai adsorben pengotor organik
maupun anorganik yang memberikan adsorpsi optimum dan kondisi bentonit yang
memberikan efisiensi pemucatan minyak sawit yang optimum.
Tujuan dari penelitian ini diarahkan untuk mengetahui teknik modifikasi
bentonit alam yang menghasilkan adsorpsi optimum terhadap pengotor organik
maupun anorganik yang terdapat dalam minyak sawit mentah dan mengetahui
kondisi bentonit yang memberikan efisiensi pemucatan minyak sawit yang
optimum.
Kegunaan penelitian ini dimasa yang akan datang diarahkan pada
penggunaan teknologi alternatif yang ekonomis dan tepat guna dalam pengolahan
bentonit yang memberikan kinerja yang lebih baik dala proses pengolahan
minyak sawit mentah dengan proses adsorpsi menggunakan bentonit alam,
bentonit teraktivasi asam maupun bentonit termodifikasi serta minyak sawit hasil
pengolahan dengan adsorpsi bentonit dapat digunakan sebagai bahan baku industri
lanjutan yang berbahan dasar minyak sawit.


PKMP-4-20-3
METODE PENDEKATAN
Penelitian dilakukan dalam rentang waktu Januar-Juni 2006 yang
bertempat di Laboratorium Riset II Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI
Bandung, Laboratorium Kimia Instrumen (LKI) Jurusan Pendidikan Kimia
FPMIPA UPI Bandung Universitas Indonesia, Laboratorium Fisika Lanjut
Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Bandung dan Laboratorium Pengujian
tekMIRA Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Bandung.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah field
research yang dilakukan melalui serangkaian percobaan yang dilakukan di
laboratorium. Data karakteristik bentonit diperoleh melalui analisis terhadap
bentonit dengan menggunakan Spektroskopi Infra Merah (FTIR), Difraksi Sinar-
X dan serangkaian metode pengujian untuk mengetahui komposisi logam, sifat
fisik dan sifat kimia yang dimiliki oleh bentonit. Data hasil kinerja pemucatan
bentonit terhadap minyak sawit mentah diperoleh dari hasil analisis absorbansi zat
warna yang terdapat dalam minyak sawit dengan menggunakan Spectronic 20+.
Data karakteristik minyak sawit sebelum dan sesudah proses pemucatan diperoleh
dengan menggunakan Spektroskopi FTIR dan GCMS. Kemampuan pemucatan
yang dimiliki oleh bentonit terhadap minyak sawit mentah (bleaching power)
diperoleh dengan cara membandingkan absorbansi minyak sawit sebelum dan
sesudah dikontakkan dengan bentonit melalui persamaan:

0 1
0
A - A
Bleaching Power (%) = 100%
A

(Foletto, et. al., 2003)
dimana :
A
0
= absorbansi minyak sawit sebelum proses pemucatan
A
1
= absorbansi minyak sawit setelah proses pemucatan


HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivasi merupakan proses pengolahan secara kimia maupun fisika
terhadap mineral lempung bentonit untuk meningkatkan kemampuan daya serap
dan memberikan sifat-sifat tertentu yang diperlukan dalam penggunaan mineral
lempung bentonit tersebut. Metode aktivasi yang umum digunakan adalah dengan
penambahan asam atau pemanasan. Mineral lempung bentonit yang dapat
diaktivasi dengan asam adalah sub-bentonit yang umumnya terdiri dari
montmorillonite. Pada aktivasi asam, ion-ion yang dapat tertukar seperti K
+
, Na
+
,
dan Ca
+
diganti dengan ion H
+
. Aktivasi asam juga dapat melarutkan sebagian
ion-ion Al
3+
, Fe
3+
, dan Mg
2+
dari struktur bentonit sehingga menghasilkan
lempung bentonit yang lebih porous (secara fisik) dan lebih aktif (secara
elektrokimia). Asam yang umum digunakan dalam proses aktivasi bentonit yaitu
asam sulfat dan asam klorida.
Ketika bentonit di aktivasi dengan larutan asam mineral yang panas, ion
hidrogen menyerang lapis aluminosilikat melalui bagian interlayer (Taylor dan
Jenkins, 1987 dalam Foletto, 2003). Proses ini mengubah struktur, komposisi
kimia, dan sifat fisik dari lempung bentonit dan bahkan kapasitas adsorpsinya
(Mokaya, 1993 dalam Foletto, 2003). Pada proses pemurnian minyak tumbuhan,

PKMP-4-20-4
proses pemucatan adalah langkah yang penting, proses pemucatan dilakukan
untuk menghilangkan komponen yang tidak dikehendaki yang terdapat dalam
minyak dengan cara penyerapan. Proses pemucatan memungkinkan produk
minyak yang dihasilkan lebih jernih dan lebih stabil sesuai dengan permintaan
konsumen (Proctor dan Palaniappan, 1989 dalam Foletto, 2003).
Modifikasi bentonit yang dilakukan pada penelitian ini merupakan aktivasi
lanjutan terhadap bentonit teraktivasi asam melalui penambahan ion Al
3+
yang
berasal dari senyawa AlCl
3
.6H
2
O melalui proses impregnasi. Modifikasi melalui
penambahan ion Al
3+
didasari pada kemampuan ion Al
3+
mengadsorpsi zat warna
yang terdapat dalam minyak sawit. Daya pemucat bleaching earth disebabkan
karena ion Al
3+
pada permukaan adsorben dapat mengadsorpsi partikel zat warna
(Ketaren, 1986). Penambahan ion Al
3+
yang berperan sebagai asam Lewis pada
permukaan bentonit dapat memperbanyak situs aktif pada permukaan bentonit
yang menyebabkan peningkatan adsorpsi zat warna yang terdapat dalam minyak
sawit oleh bentonit.
Proses impregnasi ion Al
3+
pada struktur bentonit dilakukan melalui proses
pengadukan mekanik. Kondisi refluks yang dilakukan pada proses modifikasi
bertujuan menjaga kuantitas air selama proses aktivasi berlangsung. Penggunaan
air sebagai media aktivasi diharapkan untuk mempermudah proses agitasi dan
proses impregnasi berlangsung secara homogen pada seluruh permukaan bentonit
dan menghindari impregnan yang terkonsentrasi pada satu bidang permukaan
bentonit.
Analisis mineral dasar yang terdapat dalam bentonit dilakukan dengan
menggunakan instrumen XRD tipe Rigaku Miniplex. Gambar 1(1) menunjukkan
difraktogram XRD bentonit teraktivasi asam dan gambar 1(2) menunjukkan
difraktogram XRD bentonit termodifikasi. Dari Gambar 1 diperoleh adanya
perubahan kandungan mineral dasar penyusun bentonit termodifikasi yang
ditunjukkan oleh hilangnya puncak-puncak penciri mineral kuarsa (harga 2
26,770) dan felspar (harga 2 28,080 dan 28,190). Akan tetapi dari kedua spektra
tersebut terdapat puncak-puncak penciri mineral montmorillonite (harga 2
19,940 dan 20,030). Hal ini menunjukkan bahwa bentonit teraktivasi asam
maupun bentonit termodifikasi tersusun dari mineral montmorillonite.


Gambar 1. Difraktogram XRD Bentonit Teraktivasi Asam dan
Bentonit Termodifikasi

PKMP-4-20-5
Gambar 2 menunjukkan spektra infra merah bentonit alami. Dari spektra
IR pada gambar 2, Si-O dapat diamati pada daerah bilangan gelombang 1029,6
cm
-1
. Vibrasi tekuk Si-O yang terjadi dipengaruhi oleh vibrasi mlekul air.
Intensitas puncak serapan IR pada (Si-O) akan turun dengan berkurangnya
kandungan air dalam bentonit. Vibarasi Si-O juga muncul pada bilangan
gelombang 468,7 cm
-1
dan 698,2 cm
-1
yang dihasilkan dari vibarasi Si-O-Al dan
Si-O-Si ulur simetris.Spektra IR pada bilangan gelombang 3682,1 cm
-1
adalah
uluran dari gugus OH yang terikat Al. Gugus OH ini berada pada lapisan
oktahedral bentonit membentuk AlAlOH atau AlMgOH. Puncak-puncak serapan
khas yang muncul pada bilangan gelombang 3682,1 cm
-1
, 1639,4 cm
-1
, 1029,6 cm
-
1
, 69,2 cm
-1
, dan 48,7 cm
-1
menunjukkan bahwa salah satu mineral penyusun
bentonit alami ini adalah monmorilonit (Othmer, 1964)


Gambar 2. Spektra Infra Merah Bentonit Alami

Gambar 3(1) menunjukkan spekra infra merah bentonit teraktivasi asam.
Pita absorpsi pada bilangan gelombang 524,6 cm
-1
menunjukkan vibrasi Si-O-Al
sedangkan pita pada bilangan gelombang 794,6 dan 1049,2 cm
-1
menunjukkan
vibrasi ulur Si-O. Pita pada bilangan gelombang 1639,4 cm
-1
menunjukkan vibrasi
H-O-H yang berhubungan dengan adanya air yang diserap oleh bentonit (Foletto
& Volzone, 2003). Pita serapan pada bilangan gelombang 3433 cm
-1

menunjukkan interlayer air sedangkan pita serapan pada 3630 cm
-1
menunjukkan
vibrasi ulur dari O-H yang terletak pada lapis oktahedral yang terikat pada Al
(Srasra et al., 1994 dalam Kurniawan, 2004).
Gambar 3(2) menunjukkan spekra infra merah bentonit termodifikasi. Pita
absorpsi pada bilangan gelombang 524,6 cm
-1
, 1049,2 cm
-1
dan 3433 cm
-1

mengalami penyempitan puncak yang menunjukkan vibrasi-vibrasi Si-O-Al, Si-O
dan O-H pada lapis oktahedral.
Komposisi kimia yang terdapat dalam bentonit ditentukan berdasarkan
metode SNI 13-3608-1994. Sampel di analisis dari bahan kering melalui
pemanasan pada suhu 105-110
o
C. Analisis komposisi kimia bentonit dilakukan
untuk mengetahui komposisi kimia bentonit teraktivasi asam bentonit
termodifikasi. Analisis komposisi kimia dalam bentonit dilakukan melalui
pengukuran kadar logam dalam bentuk oksida logam.

PKMP-4-20-6
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
Bilangan Gelombang (cm
-1
)
%
T
2
1
3425.3
3629.8
1639.4
1639.4
3630
3433
1049
1026
794.6
794.6
526.4
524.6
2
1

Gambar 3. Spektra Infra Merah Bentonit Teraktivasi Asam dan
Bentonit Termodifikasi


Tabel 1 Komposisi Kimia Bentonit Teraktivasi Asam dan Termodifikasi
Kadar (%) Bentonit Teraktivasi Asam Bentonit Termodifikasi
SiO
2
65,70 66,00
Al
2
O
3
14,00 15,39
Fe
2
O
3
5,33 2,25
K
2
O 0,32 0,28
Na
2
O 0,023 0,53
CaO 2,31 0,65
MgO 1,66 0,85

Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia bentonit teraktivasi asam dan
termodifikasi. Data tersebut menunjukkan terjadinya kenaikan persentase Al
2
O
3

setelah melalui proses modifikasi. Persentase Al
2
O
3
naik dari 14,00% menjadi
15,37%, dan hal ini menunjukkan terjadinya penambahan Al
3+
setelah melalui
proses impregnasi ion Al
3+
pada struktur bentonit. Penambahan persentase Al
2
O
3

juga menunjukkan adanya penambahan site active Al
3+
pada bentonit. Persentase
Fe
2
O
3
, K
2
O, CaO dan MgO menurun sejalan dengan naiknya persentase Al
2
O
3

dan Na
2
O, dan hal ini dimungkinkan karena adanya pertukaran ion selama proses
termodifikasi berlangsung. Proses impregnasi melalui pengadukan menyebabkan
terjadinya penyusupan ion Al
3+
yang berasal dari garam menggantikan ion-ion
logam lain yang terdapat dalam bentonit.

Tabel 2. Data Analisis Sifat Fisika Dan Kimia Bentonit Teraktivasi Asam dan
Bentonit Termodifikasi
Bentonit Teraktivasi
Asam
Bentonit
Termodifikasi
Bulk Density (g/l) 535,5 388,2
free moisture (%) (2 h, 110
o
C) 11,738 6,567
pH (10% suspension, filtered) 3,6 3,55
Acidity (mg KOH/g) 0,8581 4,0760

PKMP-4-20-7

Pengukuran absorbansi minyak sebelum dan sesudah proses pemucatan
menggunakan spectronic 20+ setelah minyak tersebut diencerkan terlebih dahulu
dengan menggunakan pelarut heksan dengan konsentrasi minyak 1.5% v/v.
Gambar 4 menunjukkan spektra infra merah dari minyak sawit sebelum
mengalami proses pemucatan. Dari spektra infra merah tersebut diperoleh adanya
vibrasi ulur C-H yang terdapat pada alkana pada rentang bilangan gelombang
3200-2800 cm
-1
. Puncak-puncak pada bilangan gelombang 2952,8; 2920.0 dan
2850,6 cm
-1
masing-masing menunjukkan vibrasi ulur CH
3
asimetris, vibrasi ulur
CH
2
asimetris dan vibrasi ulur CH
2
simetris.Puncak yang kuat dan tajam pada
bilangan gelombang 1743,5 cm
-1
menunjukkan vibrasi ulur C=O yang berasal dari
aldehid jenuh atau asam karboksilat.Vibrasi tekuk C-CH
3
dari golongan alkana
ditunjukkan dengan adanya puncak-puncak pada rentang bilangan gelombang
1470-1350 cm
-1
sedangkan vibrasi tekuk C-CH
3
asimetris dan C-CH
3
simetris
masing-masing ditunjukkan oleh puncak pada bilangan gelombang 1469,7 dan
1377 cm
-1
.
Terdapatnya gugus fungsi alkohol pada minyak sawit mentah ditunjukkan
dengan adanya puncak-puncak pada rentang bilangan gelombang 1350-1300 cm
-1

yang berasal dari vibrasi tekuk O-H. Adanya vibrasi ulur C-C yang berasal asam
yang memiliki struktur lingkar dapat diketahui dari munculnya puncak-puncak
pada rentang bilangan gelombang 1300-1000 cm
-1
. Puncak pada bilangan
gelombang 1166,9 cm
-1
dapat juga menunjukkan vibrasi ulur C-C-O yang berasal
dari gugus fungsi ester. Sedangkan puncak pada bilangan gelombang 717,5 cm
-1

menunjukkan vibrasi N-H (wagging) yang berasal dari grup amina sekunder.

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
400 800 1200 1600 2000 2400 2800 3200 3600 4000
Bilangan Gelombang (cm
-1
)
%
T
3004.9
2920.0
2850.6
1743.5
717.5
1112.9
1166.9 1469.7
1417.0
1377.0
1242.1

Gambar 4. Spektra Infra Merah Minyak Sawit Mentah

Gambar 5 menunjukkan spektra infra merah dari minyak sawit setelah
mengalami proses pemucatan. Spektra infra merah pada Gambar 4 nampak identik
dengan spektra infra merah pada Gambar 5 yang memuat jenis-jenis gugus fungsi
yang terdapat dalam minyak sawit.
Gambar 6 menunjukkan grafik waktu retensi pemisahan komponen-
komponen dalam minyak sawit mentah. Dari Gambar tersebut diperoleh dua
puncak yang relatif tinggi dan lebar dibandingkan dengan puncak-puncak lainnya.
Kedua puncak pada waktu retensi 20,000 dan 21,915 menit masing-masing
menunjukkan komponen asam palmitat dan gliserol.

PKMP-4-20-8
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
400 800 1200 1600 2000 2400 2800 3200 3600 4000
Bilangan Gelombang (cm
-1
)
%
T
3004.9
2920.0
1743.5

Gambar 5. Spektra Infra Merah Minyak Sawit Hasil Proses Pemucatan


Gambar 6. Grafik Waktu Retensi Pemisahan Komponen-
komponen dalam Minyak Sawit Mentah

Gambar 7 menunjukkan grafik waktu retensi pemisahan komponen-
komponen miyak sawit hasil proses pemucatan. Komponen-komponen dalam
minyak sawit hasil proses pemucatan masih didominasi oleh asam palmitat dan
gliserol yang ditunjukkan oleh puncak pada waktu retensi 20,000 menit dan
21,915 menit.


Gambar 7. Grafik Waktu Retensi Pemisahan Komponen-
komponen dalam Minyak Sawit Hasil Proses
Pemucatan

Uji kinerja bentonit pada proses pemucatan minyak sawit mentah
dilakukan melalui sistem batch pada kondisi vakum. Minyak sawit mentah yang
digunakan pada proses pemucatan telah melewati proses degumming terlebih
dahulu dengan menggunakan asam posfat.

PKMP-4-20-9
Gambar 8.1. menunjukkan aluran grafik fungsi konsentrasi asam pada
proses modifikasi terhadap absorbansi minyak sawit hasil proses pemucatan dan
Gambar 8.2. menunjukkan aluran grafik daya adsorpsi bentonit teraktivasi asam
dengan variasi konsentrasi asam terhadap adsorpsi zat warna dalam minyak sawit
mentah. dari kedua grafik tersebut diperoleh bahwa konsentrasi asam sebesar 20
% memberikan kinerja yang lebih baik terhadap adsorpsi zat warna yang terapat
dalam minyak sawit.

61.00
62.00
63.00
64.00
65.00
66.00
67.00
68.00
69.00
70.00
71.00
72.00
15% 17% 19% 21% 23% 25% 27% 29% 31%
Konsentrasi Asam (%)
B
l
e
a
c
h
i
n
g

P
o
w
e
r

(
%
)
0.300
0.350
0.400
0.450
0.500
0.550
0.600
15% 17% 19% 21% 23% 25% 27% 29% 31%
Konsentrasi Asam (%)
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i

1 2
Gambar 8. Aktivasi Asam Dengan Variasi Konsentrasi Asam

Gambar 9.1 menunjukkan aluran grafik fungsi waktu pengadukan pada
proses aktivasi asam pada proses modifikasi terhadap absorbansi minyak sawit
hasil proses pemucatan. Gambar 9.2 menunjukkan aluran grafik daya adsorpsi
bentonit teraktivasi asam dengan variasi waktu pengadukan pada proses aktivasi
asam terhadap zat warna dalam minyak sawit mentah. dar kedua grafik tersebut,
aktivasi asam selama 7 jam memberikan kinerja yang lebih baik terhadap adsorpsi
zat warna yang terdapat dalam minyak sawit.

0.200
0.250
0.300
0.350
0.400
0.450
0.500
0.550
2 3 4 5 6 7 8
Waktu Pengadukan (jam)
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
60.00
62.00
64.00
66.00
68.00
70.00
72.00
74.00
2 3 4 5 6 7 8
Waktu Pengadukan (jam)
B
l
e
a
c
h
i
n
g

P
o
w
e
r

(
%
)

1 2
Gambar 9. Aktivasi Asam Dengan Variasi Waktu Pengadukan

Gambar 10.1 menunjukkan aluran grafik fungsi waktu pengadukan pada
proses modifikasi terhadap absorbansi minyak sawit hasil proses pemucatan.
Penyerapan zat warna oleh bentonit termodifikasi cenderung meningkat seiring
dengan lamanya waktu aktivasi.
Gambar 10.2 menunjukkan aluran grafik daya adsorpsi bentonit
termodifikasi dengan variasi waktu pengadukan terhadap zat warna dalam minyak
sawit mentah.

PKMP-4-20-10
0.100
0.150
0.200
0.250
0.300
0.350
0.400
0.450
0.500
0 4 8 12 16 20 24 28 32
Waktu Pengadukan (jam)
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
60.00
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
95.00
100.00
0 4 8 12 16 20 24 28 32
Waktu Pengadukan (jam)
B
l
e
a
c
h
i
n
g

P
o
w
e
r

(
%
)

1 2
Gambar 10. Grafik Fungsi Waktu modifikasi Terhadap
Absorbansi Minyak Sawit dan daya adsorpsi
zat warna

Gambar 11.1 menunjukkan aluran grafik fungsi dosis garam yang
ditambahkan pada proses modifikasi terhadap absorbansi minyak sawit. Dari
grafik tersebut diperoleh adanya peningkatan penyerapan zat warna seiring
dengan banyaknya impregnan yang ditambahkan pada BI-24h1 dan BI-24h2.
Peningkatan penyerapan zat warna dari BI-24h1 ke BI-24h2 disebabkan karena
situs aktif pada BI-24h1 jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan situs
aktif pada BI-24h2. Hal tersebut tidak berlaku bagi penambahan garam pada
bentonit dengan kondisi berlebih. Penurunan penyerapan zat warna oleh bentonit
termodifikasi terjadi pada bentonit yang diaktivasi dengan penambahan garam
lebih dari perbandingan 2:20 terhadap massa bentonit. Penambahan garam yang
berlebih menyebabkan semakin banyaknya situs aktif pada permukaan bentonit.
Gambar 11.2 menunjukkan daya adsorpsi yang dimiliki oleh bentonit
termodifikasi dengan variasi dosis garam yang ditambahkan pada proses
modifikasi. Grafik tersebut menunjukkan bahwa BI-24h2 memiliki daya adsorpsi
lebih besar dibandingkan dengan bentonit termodifikasi yang lain. Hal ini
ditunjukkan dengan bleaching power BI-24h2 sebesar 85,96%.
0.100
0.150
0.200
0.250
0.300
0.350
0.400
0.450
0.500
0 1 2 3 4 5 6 7
Dosis AlCl3.6H2O terhadap bentonit
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
60.00
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
95.00
100.00
0 1 2 3 4 5 6 7
Dosis AlCl3.6H2O terhadap Bentonit
B
l
e
a
c
h
i
n
g

P
o
w
e
r

(
%
)

1 2
Gambar 11. Grafik Fungsi Dosis Penambahan Garam Pada
Proses Aktivasi Terhadap Daya Adsorpsi Zat
Warna dan Daya Adsorpsi Zat Warna

Gambar 12.1 menunjukkan grafik fungsi jumlah bentonit yang
dikontakkan dengan minyak sawit mentah terhadap penyerapan zat warna yang
terdapat alam minyak sawit. Dari grafik tersebut nampak bahwa peningkatan
penyerapan zat warna oleh bentonit sejalan dengan peningkatan konsentrasi

PKMP-4-20-11
bentonit terhadap minyak sawit. Kinerja bentonit termodifikasi pada proses
pemucatan lebih baik dibandingkan dengan bentonit teraktivasi asam. Dari
Gambar12.2 terlihat bahwa nilai bleaching power bentonit termodifikasi lebih
besar dibandingkan dengan bentonit teraktivasi asam pada konsentrasi bentonit
yang sama.

0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
0.700
0.800
0.900
1.000
0% 1% 2% 3% 4% 5% 6%
Konsentrasi Bentonit
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i

Bentonit
teraktivasi
asam
Bentonit
teraktivasi
garam
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
0% 1% 2% 3% 4% 5% 6%
Konsentrasi Bentonit
B
l
e
a
c
h
i
n
g

P
o
w
e
r

(
%
)
Bentonit
teraktivasi
asam
Bentonit
teraktivasi
garam

Gambar 12. Grafik Fungsi Konsentrasi Bentonit Terhadap
Absorbansi Minyak Sawit dan Daya Adsorpsi Zat
Warna

Gambar 13.1 menunjukkan grafik waktu kontak bentonit dengan minyak
sawit terhadap penyerapan zat warna yang terdapat alam minyak sawit. Dari
aluran grafik tersebut nampak bahwa peningkatan penyerapan zat warna oleh
bentonit sejalan dengan meningkatnya waktu kontak bentonit denga minyak sawit.
Gambar 13.2 menunjukkan daya adsorpsi bentonit terhadap zat warna
dalam berbagai variasi waktu kontak. Waktu kontak bentonit dengan minyak
sawit yang lebih lama memiliki kecenderungan peningkatan daya pemucatan
bentonit terhadap zat warna yang terdapat dalam minyak sawit.

0.000
0.050
0.100
0.150
0.200
0.250
0.300
0.350
0.400
0.450
0 5 10 15 20 25
Waktu Pengadukan (menit)
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
Bentonit
teraktivasi
asam
Bentonit
teraktivasi
garam
60.00
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
95.00
0 5 10 15 20 25
Waktu Pengadukan (menit)
B
l
e
a
c
h
i
n
g

P
o
w
e
r

(
%
)
Bentonit
teraktivasi
asam
Bentonit
teraktivasi
garam

1 2
Gambar 13. Grafik Fungsi Waktu Kontak Bentonit Terhadap
Absorbansi Minyak Sawit dan Daya Adsorpsi
Zat Warna

KESIMPULAN
Peningkatan daya adsorpsi bentonit alami terhadap zat-zat warna yang
terdapat dalam minyak sawit dapat dilakukan dengan proses aktivasi asam dan
proses modifikasi terhadap bentonit alami tersebut. Kinerja bentonit teraktivasi
asam lebih baik dibandingkan dengan bentonit alami dan kinerja bentonit
termodifikasi lebih baik dibandingkan dengan bentonit teraktivasi asam.


PKMP-4-20-12
DAFTAR PUSTAKA
Foletto. 2003. Performance of an Argentinian Acid-Activated Bentonite In The
Bleaching of Soybean Oil. Braz. J. Chem. Eng. vol.20 no.2 So
Paulo April/Juni 2003.
Husaini. 2001. Laporan Kegiatan Pembangunan Pilot Plant Aktivasi Bentonit
Dengan Asam Sulfat Untuk Penjernih CPO Di Daerah Karang Nunggal,
Tasikmalaya, Jawa Barat.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Kimia Minyak dan Lemak. Jakarta: UI
Press.
Kurniawan, C. 2004. Kajian Kinerja Bentonit Sebagai Adsorben Zat Warna
Sintetis dalam Limbah Tekstil. Bandung: FPMIPA UPI.
Orthmer, K. 1964. Encyclopedia of Chemical Technology. Second Edition. Vol 3.
USA: John Wiley and Sons, Inc.







PKMP-4-21-1
MODEL DISEMINASI INOVASI BUDIDAYA TANAMAN PADI SISTEM
JAJAR LEGOWO MELALUI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
PARTISIPATORIS
Studi Kasus di Wilayah Demplot Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
BPTP Karangploso Malang
Muliatin, Ratna Dewi M, Ermah Fachriyani
PS Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi ,
Fakutas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang
ABSTRAK
Pembangunan perekonomian nasional dikembangkan dengan bertumpu sektor
pertanian yang didukung oleh sumber daya domestik dan memiliki peluang usaha,
yaitu sektor agribisnis, yang merupakan sinergi antara pertanian, agroindustri
dan jasa-jasa yang menunjang pertanian. Disisi lain komoditas beras sampai saat
ini masih tetap menjadi konsumsi makanan pokok masyarakat Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut telah diketahui bahwa budidaya tanaman padi
sistem jajar legowo merupakan rekayasa teknik tanaman padi dengan mengatur
jarak tanam antara rumpun dan antar barisan, sehingga terjadi pemadatan
rumpun dan populasi tanaman menjadi bertambah.. Berdasarkan kenyataan
tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian tentang model diseminasi inovasi
budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi
partisipatoris. Penelitian dilakukan di Desa Bulu Tawing Kecamatan Brebek
Kabupaten Nganjuk, pada bulan Februari sampai awal Juni, mulai tahap
sosialisasi hingga aksi di lapang. Sampel berjumlah 30 reponden diambil dari
Kelompok Tani "Subur Makmur" yang beranggotakan 64 petani. Bentuk data
primer dan sekunder, diambil melalui kuisioner, deep interview, pengamatan,
diskusi lapang dan dokumentasi. Untuk mengetahui efektifitas model diseminasi
sistem tanam padi jajar legowo dengan teknologi patisipatoris yaitu dengan
meneliti tingkat penerimaan atau adopsi terhadap inovasi tersebut. Dari segi
adopsi inovasi menunjukkan bahwa tingkat adopsi masyarakat desa Bulu Tawing
cukup bagus, hal ini dapat diketahui dari penerapan masyarakat lebih 90% telah
menerapkan sistem tanam padi jajar legowo. Karena budidaya tanaman padi
sistem jajar legowo secara analisa usaha tani lebih menguntungkan dengan
selisih + 1,45 Ton per hektare dibandingkan dengan sistem tanam padi biasa
(tapin), selain itu penggunaan pupuk juga lebih efektif.

Key words: diseminasi, jajar legowo, partisipatoris

PENDAHULUAN
Pendekatan pembangunan pertanian telah mengalami perubahan yang
mendasar yaitu dari pendekatan komoditi menjadi pendekatan sistem agribisnis.
Hal ini sejalan dengan penegasan paradigma baru pendekatan pembangunan
pertanian. Membangun sistem agribisnis yang kuat sekaligus pemerataan sehingga
berkesinambungan antar sektor dan antar wilayah. Pembangunan perekonomian
nasional (APBN 2001-2004) dikembangkan dengan bertumpu pada sektor yang
didukung oleh sumber daya domestik dan memiliki peluang usaha, yaitu sektor

PKMP-4-21-2
agribisnis, yang merupakan sinergi antara pertanian, agroindustri dan jasa-jasa
yang menunjang pertanian. Dengan landasan tersebut maka visi pembangunan
pertanian adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera khususnya petani,
melalui pembangunan sistem agribisnis dan usaha-usaha agribisnis yang berdaya
saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi.
Sementara itu rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala
yang cukup signifikan dalam pembangunan agribisnis. Pertanian Indonesia yang
berbasis pedesaan melibatkan sumberdaya manusia yang sangat besar, terutama
dalam hal manajemen dan orientasi komersial dan bisnis jangka panjang.
Berdasarkan tingkat pendidikan, 48,4% tenaga kerja di sektor pertanian tidak
pernah sekolah atau tidak tamat sekolah dasar, 40,5% menamatkan sekolah dasar,
11,1% yang menamatkan sekolah menengah ke atas. Akan tetapi yang sangat
menentukan adalah belum terciptanya wawasan para pelaku baik petani atau
usaha kecil, maupun usaha skala besar dan multinasional untuk merencanakan
bisnis jangka panjang dalam kerangka kerjasama yang saling menguntungkan.
Memasuki era pasar bebas komoditas-komoditas pertanian yang akan
berkembang terutama adalah komoditas yang sesuai dengan permintaan pasar
baik domestik maupun internasional. Dengan demikian teknologi pertanian yang
diperlukan adalah: 1) Teknologi untuk mendukung pengembangan komoditas
yang berorientasi pasar. 2) Sistem Pelayanan, yaitu perkembangan sistem
pelayanan bagi petani dan usaha agribisnis on farm dan off farm seperti teknik
budidaya serta pelayanan penyediaan modal usaha (kredit) dan penyuluhan
pertanian (Extension Agriculture).
Pada saat yang sama, pembangunan agribisnis juga dihadapkan kepada
terjadinya penurunan sumberdaya pertanian terutama sumberdaya lahan dan air,
baik kuantitas maupun kualitas. Dalam periode tahun 1983-1993 luas lahan
pertanian menurun dari 16,7 juta hektar menjadi 15,6 juta hektar. Penurunan
tersebut terutama terjadi di jawa, yang mempunyai implikasi serius dalam
produksi komoditas pangan terutama beras karena pangsa pulau Jawa dalam
produksi beras nasional mencapai 56 persen. Konversi lahan juga diikuti oleh
penurunan kualitas lahan dan air akibat pola pemanfaatan lahan dan
perkembangan sektor non pertanian yang kurang memperhatikan aspek
lingkungan. Sejalan pula dengan proses alih fungsi lahan, skala usaha pertanian
juga terus menurun. Jumlah petani gurem (pemilik lahan < 1 ha) dan petani yang
tidak mempunyai lahan meningkat. Sensus pertanian tahun 1983 dan 1993
menunjukkan bahwa rata-rata penguasaan lahan menyempit dari 0,58 ha menjadi
0,41 ha di Jawa, dan dari 1,58 ha menjadi 0,83 ha di luar Jawa (Muslich, 2003).
Pengembangan pertanian, khususnya sektor agribisnis dapat dilakukan
dengan mengoptimalkan diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar
legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris. Budidaya Tanaman Padi
Sistem Jajar Legowo merupakan rekayasa teknik tanaman padi dengan mengatur
jarak tanam antara rumpun dan antar barisan, sehingga terjadi pemadatan rumpun
padi di dalam barisan dan melebar jarak antar barisan tanaman. Dengan sistem ini,
populasi tanaman menjadi bertambah karena adanya tambahan rumpun padi.
Sedangkan pengembangan teknologi partisipatoris merupakan kumpulan dan
klasifikasi pengalaman dan metode lapangan yang digunakan oleh pekerja
pembangunan yang mencoba membantu petani mengembangkan sistem-sistem
pertanian. Pengembangan Teknologi Partisipatoris diberikan untuk memberi

PKMP-4-21-3
dorongan dan inspirasi kepada pekerja pembangunan lainnya, serta merangsang
kreatifitas masyarakat.
Dengan demikian penerapan teknologi dan pengembangan usaha harus
sesuai dengan kebutuhan penggunaanya. Dengan kata lain, pendekatan dalam
komunikasi teknologi pertanian perlu mempertimbangkan aspek lokalita untuk
meningkatkan efektivitas, efisiensi dan kecepatan prosesnya. Berdasarkan
kenyataan tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian tentang model diseminasi
inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan
teknologi partisipatoris. Adapun rumusan maslah yang dibahas dalam penelitihan
ini adalah Bagaimana proses penerapan model diseminasi inovasi budidaya
tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris,
Bagaimana analisis usaha tani inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo
melalui pengembangan teknologi parrtisipatoris dan Sejauhmana efektifitas model
diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui
pengembangan teknologi partisipatoris di masyarakat.
Penelitihan ini bertujuan untuk Mengetahui proses penerapan model
diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui
pengembangan teknologi partisipatoris, Menganalisis usaha tani budidaya
tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris,
dan Menganalisis efektifitas model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi
sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris. Selain itu
penelitian ini juga di harapkan dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai
masukan bagi pemerintah selaku pembuat kebijakan bidang pertanian, Dapat
digunakan sebagai informasi dan pertimbangan bagi semua pihak yang
berkepentingan, Dapat digunakan sebagai pedoman bagi masyarakat (petani) dan
Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi peneliti dan mahasiswa
untuk penelitian lebih lanjut tentang diseminasi inovasi budidaya tanaman padi
sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris.

METODE PENDEKATAN
Metode pendekatan yang digunakan peneliti untuk mengkaji permasalahan
yang ada adalah Pendekatan Partisipatoris (Participatory Appraisal), yaitu
peneliti melakukan pengkajian terhadap suatu fenomena dengan ikut
berpartisipasi di dalamnya secara berkesinambungan. Dengan pendekatan ini
diharapkan dapat mengkaji secara mendalam tentang model diseminasi inovasi
budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi
partisipatoris. Adapun Metode Pelaksanaan Program yaitu dengan Metode
Penentuan Tempat dan Waktu Penelitian serta lama penelitihan. Penelitian ini
dilaksanakan secara sengaja (purposive), yaitu masyarakat petani di wilayah
demplot Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian (BPTP)
Karangploso Malang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa saat ini di
wilayah tersebut (lokasi penelitian di Desa Bulu Tawing Kecamatan Brebek
Kabupaten Nganjuk) sebagai salah satu sentra produksi padi (lumbung pangan) di
Jawa Timur. Adapun waktu penelitian dilaksanakan dalam 3 tahapan, yaitu :
1. Tahap I: Sosialisasi, tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui proses
penerapan model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar
legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris.

PKMP-4-21-4
2. Tahap II: Pelaksanaan Program, tujuan kegiatan ini adalah untuk menganalisis
tingkat keberhasilan model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem
jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris. Dengan kegiatan
ini diharapkan adanya pemahaman masyarakat petani secara bottom up yang
didasarkan pada kebutuhan (need assesment) tentang perlunya peningkatan
produktivitas tanaman padi melalui kegiatan pendidikan dan penyuluhan
pertanian.
3. Tahap III: melakukan uji coba dan implementasi model diseminasi inovasi
budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi
partisipatoris.
Dalam metode pengambilan sample Penelitian ini menggunakan metode
pengambilan sampel purposif (Purposional Sampling) yaitu teknik pengambilan
sampel yang ditetapkan secara sengaja berdasarkan kriteria atau pertimbangan
tertentu (Sanapiah, 1999). Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat
petani di wilayah demplot Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian
(BPTP) Karangploso Malang yang berlokasi di Desa Bulu Tawing Kecamatan
Brebek Kabupaten Nganjuk.
Dalam metode pengumpulan data yaitu menggunakan Studi Dokumentasi
Untuk melengkapi, menyempurnakan dan memperkuat data yang telah diperoleh
dari hasil survei pendahuluan, peneliti juga menggunakan studi dokumentasi atau
menggunakan bahan pustaka yang berkaitan dengan subtansi materi penelitian
dengan cara mengumpulkan data yang bersumber dari beberapa dokumen, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis. Selain itu diadakan Wawancara Mendalam
(Indepth Interview) dan observasi langsung Untuk mengetahui bagaimana
perasaan seseorang terhadap obyek psikologi yang dipilihnya, maka prosedur
yang temudah adalah dengan menanyakan secara langsung pada orang tersebut.
Prosedur inilah yang disebut sebagai Method of Direct Questioning dengan
menggunakan instrumen kuesioner. Dalam Observasi Langsung Yaitu melakukan
pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian.
Dalam menganalisa data, peneliti berpedoman pada konsep Mattew B.
Miles dan A. Michael Huberman (1982) (dalam Ngabut, 1999) bahwa: ... analisa
kualitatif tetap menggunakan kata-kata yang biasanya disusun ke dalam teks yang
diperluas. Dalam analisa ini terdiri dari 3 alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan antara reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/
verifikasi. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakkan dan transformasi data kasar yang muncul dar
catatan-catatan tertulis di lapangan.
2. Penyajian data, diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.
3. Penarikan kesimpulan/ verifikasi, diartikan sebagai suatu kegiatan konfigurasi
yang utuh selama penelitian berlangsung.






PKMP-4-21-5
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Penerapan Model Diseminasi Inovasi Budidaya Tanaman padi Sistem
Jajar Legowo melalui Pengembangan Teknologi Partisipatoris
Budidaya Tanaman Padi Sistem Jajar Legowo merupakan rekayasa teknik
tanaman padi dengan mengatur jarak tanam antara rumpun dan antar barisan,
sehingga terjadi pemadatan rumpun padi di dalam barisan dan melebar jarak antar
barisan tanaman. Dengan sistem ini, populasi tanaman menjadi bertambah karena
adanya tambahan rumpun padi. Populasi tanaman bujur sangkar seperti yang
dilakukan oleh para petani adalah 250.000 rumpun/ ha, dengan cara sistem
Legowo, populasi tanaman meningkat menjadi sekitar 300.000 rumpun/ ha.
Meskipun populasi lebih banyak, dengan cara mengatur jarak tanam berselang-
seling antar barisan 40 cm dan 20 cm, jarak dalam barisan 10 cm, maka sirkulasi
udara lebih lancar dan radiasi sinar matahari yang mengenai tanaman relatif sama
dengan tapin biasa.
Berdasarkan rakitan teknologi yang telah didiseminasikan oleh BPTP
Karangploso terhadap kelompok tani Subur Makmur Desa Bulu Tawing, jika
pemanfaatan jarak tanam pada lahan secara tepat mengikuti aturan yaitu
40x20x10 cm, maka dalam 1 ha, jumlah lubang tanam dapat mencapai 333.000
lubang tanam selisih yang cukup besar bila dibandingkan dengan jumlah lubang
tanam pada sistem tanam tapin ini, yaitu yang semula hanya 250.000 lubang
tanam, telah menyebabkan hasil panen yang berbeda pula yaitu dari yang semula
hasil panen dalam tiap 1 ha sebesar 8,1 ton, jika menggunakan sistem tanam padi
jajar legowo hasil panennya menjadi sebesar 9,5 ton tiap 1 ha lahan. Selisih
sebesar1,4 ton ini disebabkan karena pada sistem tanam padi jajar legowo
mempunyai selisih lubang taman sebanyak 83.000 lubang tanam bila dibanding
dengan sistem tanam padi biasa. Dalam perhitungan matematis sistem tanam padi
jajar legowo dapat meningkatkan hasil panen sebesar 17-20 % bila dibanding
dengan sistem tanam padi biasa.
Secara lengkap rakitan teknologi BPTP berkaitan dengan program PTT
(Pengolahan Tanah terpadu). yaitu adalah:
a. Adanya pupuk bokasi yang harus dimasukkan dalam tanah.
b. Jarak tanam padi sebesar 40x20x10 cm (jajar legowo).
c. Harus memakai umur bibit muda (dari yang semula berumur 40 hari menjadi
bibit berumur 20 hari).
d. Jumlah bibit 2-3 perumpun.
e. Dan pemupukan yang sesuai, yaitu dalam satu hektar lahan diberi pupuk
bokashi sebesar 20 ton, Urea 300 kg/ha, dan phonska 130 kg/ha (urea dan
phonska dapat digantikan dengan SP36 100kg/ha dan Za 50 kg/ha).
f. Penggunaan varietas unggul Ciherang dan Cibogo, secara bergantian tiap
pergantian periode tanam.
Dengan rakitan teknologi yang tepat tersebut dapat diperoleh beberapa
keuntungan lain yaitu: pertama penggunaan pupuk bokashi dapat mengembalikan
sifat fisik dan kandungan tanah, selain itu dapat menghemat penggunaan pupuk
misalnya urea yang semula sebanyak 600 kg perhektar dapat dihemat menjadi 300
kg perhektar, begitu pula dengan pupuk yang lain, penghematan pupuk juga
disebabkan karena jumlah rumpun tiap lubang adalah sebanyak 2-3 rumpun saja
jika dibandingkan dengan yang semula berjumlah 5-7 rumpun tiap lubang yang

PKMP-4-21-6
nantinya anakan dari tiap-tiap rumpun yang biasa berjumlah 5-7 bibit tiap
rumpun. Padahal tiap rumpun hanya kurang lebih 15 anakan saja yang dapat
tumbuh optimal sehingga sisa dari anakan akan menyerap pupuk dengan sia-sia
tanpa hasil. Hal ini berbeda dengan sistem tanam padi jajar legowo dimana jumlah
anakan yang berjumlah kurang lebih 15 anakan tersebut seluruhnya dapat tumbuh
dengan optimal, tanpa menyia-nyiakan pupuk yang diberikan. Keuntungan lain
yaitu penggunaan bibit umur muda dapat menghemat waktu dari yang semula
berumur 40 hari menjadi 20 hari, dan juga penggunaan varietas padi yang berbeda
setiap kali ganti periode tanam, dapat mengurangi siklus hidup hama tertentu yang
menyukai jenis padi tersebut (Ciherang dan Cibogo).
Berkaitan dengan diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar
legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris dapat diketahui bahwa
peneliti yang bekerjasama dengan BPTP Karangploso Malang, melakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Tahap Awal : Membentuk Jaringan Kerja dan Melakukan Inventarisasi
Tahap awal dari kegiatan ini ada petugas mensosialisasikan program
sistem tanam padi jajar legowo yang terangkum dalam program PTT atau
pengolahan tanah terpadu, dengan cara bekerjasama dengan kelompok tani secara
langsung, dan melakukan inventarisasi mengenai keorganisasian kelompok tani,
penyuluh yang selama ini terlibat dan juga teknologi yang pernah masuk, dalam
hal sistem tanam padi. Dari sini dapat diketahui bahwa pada kelompok tani
Subur Makmur Desa Bulu Tawing ini belum pernah secara intensif dimasuki
teknologi sistem tanam padi sebelumnya.
2. Mencari Hal-Hal untuk Dicoba: Mengembangkan Agenda Penelitian
Hal-hal untuk dicoba berkenaan dengan mengembangkan agenda
penelitian secara lengkap terangkum dalam program PTT (Pengolahan Tanah
Terpadu) adalah: adanya pupuk bokasi yang harus dimasukkan dalam tanah, jarak
tanam padi sebesar 40x20x10 cm (jajar legowo), harus memakai umur bibit muda
(dari yang semula berumur 40 hari menjadi bibit berumur 20 hari) dan jumlah
bibit 2-3 perumpun, pemupukan yang sesuai, yaitu dalam satu hektar lahan diberi
pupuk bokashi sebesar 20 ton, urea 300 kg/ha, dan phonska 130 kg/ha (urea dan
phonska dapat digantikan dengan sp36 100kg/ha dan za 50 kg/ha), serta
penggunaan varietas unggul Ciherang dan Cibogo, secara bergantian tiap perganti
periode tanam.
3. Merancang Uji Coba: Mendasarkan Kemampuan Eksperimentasi Setempat
Tujuan kegiatan ini adalah mengembangkan rancangan uji coba yang
cocok dengan tujuan-tujuan petani dan memperkuat keinginan mereka
(ketrampilan, organisasi, rasa percaya diri) untuk merancang uji coba secara
mandiri. Disini, ada keseimbangan yang baik antara mendukung dan
mengembangkan daya dukung uji coba lokal, dan melakukan rancangan
percobaan dan konsep uji coba yang memiliki kesahihan dalam praktek penelitian.
Tidak ada aturan yang pasti yang harus diikuti namun gagasan dasarnya adalah
memperbaiki, memperkuat dan menambah praktek uji coba petani. Berkaitan
dengan hal ini petugas melakukan kegiatan dan pertemuan dengan kelompok.
4. Percobaan: Menerapkan dan Mengevaluasi Uji Coba
Diskusi dan evaluasi dilakukan pada pertemuan kelompok, baik secara
rutin satu bulan sekali, tiap minggu Pahing ataupun pertemuan insidental, bahkan
petani juga terkadang juga mengadakan pertemuan lapang. Percobaan ini tidak

PKMP-4-21-7
hanya menyangkut pelaksanaan uji coba dan kegiatan-kegiatan terkait, seperti
pengukuran dan evaluasi, tetapi juga mengembangkan kemampuan untuk
menerapkan dan memantau uji coba (pengembangan keterampilan, pembentukan
kelompok, memperkuat pertukaran, dan pertautan yang mendukung dengan
masyarakat lain, serta organisasi lain yang aktif di wilayah itu).
5. Pertukaran Hasil: Komunikasi, Penyebaran, dan Pelatihan
Sebagai pengayaan teknologi ini telah berkembang, hingga perencanaan
pembangunan klinik agribisnis, pengadaan alat pemotong dan perontok padi, oven
pengering padi dan juga komputer, untuk mendukung petani menuju taraf
manajemen kelompok tani yang lebih baik. Tingkat dan pola difusi teknologi yang
terbukti berhasil melalui eksperimen petani belum dipelajari secara formal, namun
para Praktisi Pengembangan Teknologi Partisipatoris melaporkan bahwa difusi
secara spontan terjadi karena masyarakat yang melakukan uji coba saling bertukar
hasil dengan rekan-rekannya dan menyebarkan benih (persediaan) dan karena
produk-produk baru mendapat pengakuan sepanjang rute perdagangan (Gubbels,
1988 dan Budelman, 1983).
6. Menjaga Proses: Mengitari Pengembangan Teknologi Lokal
Tim pengembangan Teknologi Partisipatoris harus memiliki perhatian
terhadap pengembangan organisasi dan penciptaan kondisi-kondisi yang
mendukung lainnya bagi eksperimentasi terus-menerus dan pengembangan
sisitem pertanian berkelanjutan. Hal ini diwujudkan melalui kegiatan
pendampingan oleh petugas secara kontinyu, mengadakan pertemuan pendukung,
dan teknologi penunjang lain baik berupa alat, maupun informasi benih unggul,
pemberantasan hama penyakit dan sebagainya, sebagai upaya untuk menjaga
proses dan mengitari pengembangan teknologi lokal.

Analisis Usaha tani Inovasi Budidaya Tanaman Padi Sistem Jajar Legowo
Melalui Pengembangan Teknologi Partisipatoris
Perbandingan analisis usaha tani tanam padi sistem jajar legowo dengan
usaha tani tanam padi sistem tapin (tradisional) adalah sebagai berikut :
I Analisis usaha tani tanam padi sistem jajar legowo
Tabel 2. Analisis Usaha Tani Tanam Padi Sistem Jajar Legowo dalam 1 Hektare
No Keterangan Biaya (Rp)
A. Biaya Produksi
a. Sewa lahan 1 ha selama 3 bulan 2.500.000,00
b. Pembelian bibit 45 kg @ 4.500 202.500,00
c. Biaya pengolahan tanah (traktor, cangkul dsb.) 1.350.000,00
d. Biaya penanaman 6 Orang 480.000,00
e. Biaya Pemupukan:
Bokasi 750.000,00
Tenaga Kerja 6 Orang x 2 480.000,00
Urea 300 kg @ 1600 480.000,00
Phonska 130 kg @ 1450 188.500,00
f. Perawatan dan pencabutan rumput 6 orang 240.000,00
g. Pemberantasan pestisida:
Tenaga Kerja 2x 4 Orang 160.000,00
Harga pestisida 120.000,00
h. Panen dan Pascapanen 1.200.000,00

PKMP-4-21-8
Jumlah 8.151.000,00
B. Hasil Penjualan
9.500 kg x Rp. 1300 12.350.000,00
C. Keuntungan
B/C = 12.350.000,00/8.151.000,00 = 1,51
B/C > 1 = Untung
4.198.000,00

I I Analisis usaha tani tanam padi sistem tapin(tradisional)
Tabel 3. Analisis Usaha Tani Padi Sistem Tapin (Tradisional) dalam 1 Hektare.
No Keterangan Biaya (Rp)
A. Biaya produksi
a. Sewa lahan 1 ha selama 3 bulan 2.500.000,00
b. Pembelian bibit 35 kg @ 4.500 157.500,00
c. Biaya pengolahan tanah (traktor, cangkul dsb.) 1.350.000,00
d. Biaya penanaman 6 Orang 400.000,00
e. Biaya Pemupukan:
Bokasi 750.000,00
Tenaga Kerja 6 Orang x 2 480.000,00
Urea 350 kg @ 1600 560.000,00
Phonska 200 kg @ 1450 290.000,00
f. Perawatan dan pencabutan rumput 6 orang 240.000,00
g. Pemberantasan pestisida:
Tenaga Kerja 2x 4 Orang 160.000,00
Harga pestisida 300.000,00
h. Panen dan Pascapanen 1.053.000,00
Jumlah 8.240.500,00
B. Hasil Penjualan
8.100 kg x 1300 10.530.000,00
C Keuntungan
B/R = Rp 10.530.000,00/ Rp8.240.500,00
=1,278
B/R > 1= Untung
2.289.500,00

Efektifitas Model Diseminasi Inovasi Budidaya Tanaman Padi Sistem Jajar
Legowo melalui Pengembangan Teknologi Partisipatoris di Masyarakat
Dalam penelitian ini adopsi adalah sebuah proses dimana petani mulai dari
mempunyai kesadaran untuk berubah, menaruh minat, berani untuk menilai,
kemudian mau mencoba walaupun dengan skala yang kecil dan pada akhirnya
mengambil keputusan untuk menerima inovasi. Adapun dari hasil penelitian
model diseminasi sistem tanam padi jajar legowo dengan teknologi partisipatoris
didesa Bulu Tawing Kecamatan Brebek Kabupaten Nganjuk ini efektifitas
pelaksanaan teknologi partisipatoris diukur dari tingkat penerimaan atau adopsi
inovasi terhadap teknologi sistem tanam padi jajar legowo. Berdasarkan tahapan
adopsi inovasi dapat diketahui bahwa:
a. Tahap Kesadaran
Di daerah penelitian pada tahap ini adalah tahap dimana petani mulai
mengetahui adanya informasi tentang inovasi budidaya tanaman paprika. Pada

PKMP-4-21-9
tahap ini petani baru mendapatkan informasi yang dalam kualitas dan kuantitas
yang sangat sedikit. Dalam tahap ini petani belum mengetahui secara pasti tentang
inovasi sistem tanam padi jajar legowo dimana ditunjukkan dengan angka 20,00%
untuk yang mengetahui, 66,67% kurang mengetahui, dan 13,33% yang tidak
mengetahui. Dalam tahap proses adopsi ini petani padi menyatakan bahwa mereka
mengetahui mengetahui tentang adanya budidaya tanam padi dengan sistem jajar
legowo adalah dari petugas BPTP Karangploso Malang yang mensosialisasikan
program PTP (Pengolahan Tanah Terpadu) pada tahun 2004. yang didalamnya
telah terdapat program sistem tanam padi jajar legowo. Akan tetapi petani belum
mengetahui secara pasti bagaimanakah teknologi tersebut. Petani hanya
mengetahui secara sepintas dari para petugas.
b. Tahap Minat
Setelah mengetahui tahap kesadaran atau penghayatan dimana petani
mulai mengetahui adanya suatu inovasi baru walaupun dengan informasi yang
terbatas. Setelah mengetahui adanya inovasi baru maka petani berusaha untuk
mendapatkan informasi yang lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas.
Berkaitan dengan penaruhan minat, petani di kelompok tani "Subur Makmur"
mempunyai minat yang besar. Hal ini ditunjukkan dengan prosentase sampel
sebanyak 100% mempunyai minat untuk mengadopsi sistem tanam padi jajar
legowo.
c. Tahap Penilaian
Penilaian ini dilakukan dengan menghubungkan informsi tersebut dengan
keadaan diri petani baik secara ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain
sebagainya. Hal ini penting dilakukan sebelum petani nantinya apakah
memutuskan akan melakukan percobaan terhadap inovsai tersebut atau tidak.
Tahap penilaian pada responden menunjukkan penilaian yang positif. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya penilai petani yang 100% diantara responden,
menyatakan bahwa teknologi sistem tanam padi jajar legowo merupakan
teknologi yang baik untuk dikembangkan.
d. Tahap Percobaan
Di daerah penelitian sebagian petani dengan jumlah sekitar 93,33%
mengungkapkan bahwa mereka melakukan percobaan terlebih dahulu sebelum
memutuskan untuk menerima inovasi budidaya tanam padi jajar legowo.
Sedangkan pada penyebaran teknologi sistem tanam padi dengan teknologi
patisipatoris petani mengungkapkan bahwa sebelum memutuskan untuk menerima
inovasi budidaya tanam padi jajar legowo tidak melakukan percobaan terlebih
dahulu, yang ditunjukkan dengan prosentase sebesar 6,67%, tahap percobaan
dilakukan pada lahan beberapa petani, yang digunakan sebagai demplot untuk
percontohan, petani yang lainnya. Kegiatan ini dilakukan langsung dilapang.

e. Tahap memutuskan
Dalam tahap ini petani akan memutuskan apakah petani akan menerapkan
inovasi tersebut secara penuh merasa bahwa inovasi yang ada secara keseluruhan
sangatlah baik dan patut untuk dikembangkan. Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa seluruh anggota kelompok tani "Subur Makmur" telah mengadopsi
teknologi. Meskipun pada tahapan tertentu ada sejunlah petani yang tidak
mengikuti seluruh tahapan, namun pada akhirnya keseluruhan petani pada
kelompok tani "Subur Makmur" telah mengadopsi teknologi sistem tanam padi

PKMP-4-21-10
jajar legowo. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hanafi (1986)
dimana tidak semua tahapan itu selalau terjadi atau beberapa tahap mungkin
terlewatkan. Sedangkan beberapa hal yang berkaitan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat adopsi inovasi pada model diseminasi inovasi sistem
tanam padi jajar legowo dengan teknologi partisipatoris, di Desa Bulu Tawing
Kecamatan Brebek Nganjuk, dapat diketahui bahwa:

FAKTOR PERSONAL
a. Umur
Dalam teori adopsi bahwa umur seorang petani akan mempengaruhi
kemauannaya untuk menerima suatu inovasi. Petani yang tergolong sangat tua
akan sulit untuk menerima suatu inovasi atau perubahan dalam budidaya mereka.
Namun demikian, meskipun karakteristik responden menunjukkan bahwa
sebagian besar petani padi mempunyai variasi umur yang sangat nyata, yaitu
diatas 50 tahun 33,33%, antara 30-50 tahun 13,33%, dan kurang dari 30 tahun
53,33%, namun dapat diketahui bahwa tingkat adopsi petani tersebut, sangat
tinggi. Karena jika dilihat pada tahapan adopsi inovasi untuk tahap memutuskan
menunjukkan, bahwa 100% responden telah mengadopsi.
b. Pendidikan
Secara teori bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka
semakin mudah pula dalam menerima suatu inovasi atau perubahan yang datang
dari luar. Demikian halnya dengan pendidikan, meskipun karakteristik petani padi
menunjukkan proporsi tingkat pendidikan yang di dominasi tingkat pendidikan
SD sederajat, dan SLTP sederajat (40% dan 46,67%), dan minimal SMU hanya
13,33%, tetapi seperti yang dijelaskan bahwa tingkat adopsi masyarakat sangat
tinggi. Hal ini dimungkinkan karena adanya penggunaan teknologi partisipatoris
yang berkesinambungan, sehingga tingkat adopsi masyarakat tinggi.
c. Status kepemilikan lahan
Petani yang lahan garapannya berstatus hak milik pribadi akan lebih
mudah untuk mengadosi suatu inovasi dengan pertimbangan bahwa resiko
kerugiannya lebih kecil dibandingkan dengan apabila lahan garapan yang
diusahakan dengan status bukan hak milik atau dengan kata lain sewa maupun
bagi hasil.
Hal ini sesuai dengan kondisi petani padi di Kecamatan Brebek. Dimana
menunjukkan bahwa 80% status kepemilikan lahan adalah milik sendiri, 6,67%
hak milik dan sewa, dan hanya 13,33% yang status nya adalah sewa. Hal ini
menunjukkan bahwa jika status kepemilikan adalah pribadi maka, tingkat
adopsinya pun tinggi.
d. Luas Lahan Garapan
Secara teori petani yang memiliki lahan yang lebih luas cenderung untuk
mudah menerima inovasi dibandingkan petani yang memiliki lahan sempit.
Meskipun dari segi luas kepemilikan lahan menunjukkan bahwa sebagian besar
luas lahannya sedang yaitu sebesar 60,00%, luas hanya 26,67%, dan sempit hanya
13,33 persen. Namun menunjukkan suatu keadaan dimana tingkat adopsi yang
tinggi.
e. Status Sosial
Dari data menunjukkan bahwa pejabat publik yang merupakan anggota
dari kelompok tani "Subur Makmur" kecamatan Brebek menunjukkan bahwa

PKMP-4-21-11
tidak ada pejabat publik, 13,33% adalah tokoh masyarakat, dimana dua orang ini
merupakan ketua Rukun Warga setempat (RW), satu lagi adalah tetua desa
tersebut, yang sekaligus ketua kelompok tani responden, sedangkan sisanya
sebesar 86,66% sisanya merupakan warga biasa. Namun demikian data
menunjukkan bahwa tingkat adopsi masyarakat cukup tinggi.
f. Pendapatan Usaha Tani
Terdapat kecenderungan suatu kondisi dimana, semakin tinggi
pendapatan, maka tingkat adopsinyapun semakin tinggi. Namun demikian
meskipun pendapatan petani padi kecamatan Brebegan menunjukkan komposisi
26,67% berpendapatan tinggi, 40,00% berpendapatan sedang dan sisanya 33,33%
berpendapatan rendah, namun tetap menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi
pada model diseminasi teknologi sistem tanam padi Jajar legowo menunjukkan
tingkat adopsi yang tinggi.
FAKTOR LINGKUNGAN
a. Tersedianya Informasi
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 86,66%
informasi berasal dari Tenaga ahli, dan sisanya 13,33% berasal dari petani lain,
hal ini menunjukkan bahwa peranan seorang tenaga ahli dalam diseminasi sistem
tanam padi Jajar legowo dengan teknologi partisipatoris msangat dibutuhkan.
b. Media Informasi
Berkaitan dengan pembahasan diatas bahwa sebagian besar informasi
diperoleh dari tenaga ahli, meskipun data menunjukkan bahwa sebagian besar
petani padi hanya mempunyai satu jenis media saja 60,00%, dan yang tidak
memiliki sebesar 26,67% tidak memiliki, dan yang memiliki lebih dari satu media
hanya sebesar 13,33%, namun demikian hal ini hampir tidak berpengaruh, karena
sebagian besar informasi diperoleh dari tenaga ahli.
c. Derajat Komersialisasi
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa 100% petani telah berorientasi,
bahkan menjadi mata pencaharan utama, meskipun kegiatan pertanian dilakukan
dalam skala kecil.
d. Dukungan Keluarga dan Masyarakat.
Salah satu penyebab tingginya tingkat penerimaan, adalah karena
dukungan keluarga dan masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat
diketahui bahwa 100% keluarga mendukung petani padi, hal ini termasuk salah
satu faktor yang menyebabkan tingkat penerimaan teknologi budidaya padi
dengan sistem jajar legowo, mempunyai tingkat penerimaan yang tinggi.

KESIMPULAN
Budidaya Tanaman Padi Sistem Jajar Legowo merupakan rekayasa teknik
tanaman padi dengan mengatur jarak tanam antara rumpun dan antar barisan,
sehingga terjadi pemadatan rumpun padi di dalam barisan dan melebar jarak antar
barisan tanaman. Dari segi analisa usaha tani dapat diketahui bahwa sistem tanam
padi jajar legowo lebih menguntungkan jika dibandingan dengan sistem tapin,
meskipun terdapat perbedaan biaya tenaga kerja saat penanaman lebih besar, dan
juga biaya pembelian bibit lebih besar, tetapi sistem tanam padi jajar legowo lebih
mnguntungkan karena hasil panen yang dihasilkan lebih besar, dan penggunaan
pupuk juga lebih efektif dengan aturan tertentu. Dari segi adopsi inovasi pada
model diseminasi sistem tanam padi jajar legowo dengan teknologi patisipatoris

PKMP-4-21-12
menunjukkan bahwa tingkat adopsi masyarakat desa Bulu Tawing Kecamatan
Brebek Kabupaten Nganjuk cukup bagus, hal ini dapat diketahui dari penerapan
masyarakat lebih 90% telah menerapkan sistem tanam padi jajar legowo.

DAFTAR PUSTAKA
----------------, 2000. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2000. Badan Pusat
Statistik. Provinsi Jawa Timur.
----------------, 2000. Kumpulah Makalah Penelitian Pertanian. Sinar Tani.
Jakarta.
Anonymous, 2000. Rakitan Teknologi Budidaya Padi Spesifikasi Lokasi. Balai
Pengkajian Teknoligi Pertanian (BPTP). Karangploso Malang.
Anonymous, 2000. Budidaya Tanaman Padi Sistem Jajar Legowo (dalam Sinar
Tani, Edisi 7-13 Juni 2000), BPTP Karangploso. Malang.
Dean C. Barnlund, 1986. the interpersonal communication book. Fourth edition.
New york. Harper & row, publishers. Deutsch (1966), communication
models for the study of mass commnucations. New york. Longman.
Faisal, S., 1999. Format-Format Penelitian Sosial. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Kartasapoetra, 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta.
Kusnadi, 1985. Penyuluhan Pertanian Teori Dan Terapannya. Fakultas Pertanian
- Universitas Brawijaya. Malang.
Littlejohn, 1989. theories of human communication. Third edition. Belmont,
california. Wadsworth publishing company.
Margono Slamet, 1985. Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembangunan Pedesaan. Ditjen-Dikti. Jakarta.
Rogers E.M dan F. Soumokers, 1971. komunikasi inovasi, suatu pendekatan lintas
kultural (terjemahan). Sumbangsih offset. Yogyakarta.
Samsudin, 1994. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian.
Bina Cipta. Bandung.
Soedarmanto, 1994. Pengelolaan Penyuluhan Pertanian. Fakultas Pertanian -
Universitas Brawijaya. Malang.
Soekartawi, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
Soekartawi, 1994. Pembangunan Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soeyitno, 1998. Pedoman Penyuluhan Pertanian Bagi Tenaga Penyuluh. Dinas
Pertanian. Jakarta.
Suhardiyono, 1990. Peran Penyuluhan Dalam Pembangunan Pedesaan. UGM
Press. Yogyakarta.
Van den Ban A.W. dan Hawkins H.S., 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius.
Yogyakarta








PKMP-4-22-1
KINETIKA DEGRADASI ZAT WARNA RHODAMIN B
DENGAN FOTOKATALIS TITANIUM DIOKSIDA (TIO
2
)

Muhammad Arfandi, Wardah, Arum Purwaningsih
Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Haluoleo, Kendari

ABSTRAK
Penelitian tentang kinetika degradasi Rhodamin B dengan Fotokatalis TiO
2

dilakukan untuk mendegradasi Rhodamin B sebagai salah satu zat warna yang
dapat bersifat sebagai pencemar pada limbah perairan. Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan tetapan laju, waktu paruh, laju degradasi, serta massa efektif
TiO
2
yang dibutuhkan untuk fotodegradasi. Katalis TiO
2
dipanaskan pada suhu
200
o
C selama 120 menit. Massa efektif TiO
2
ditentukan dengan variasi massa
TiO
2
yang digunakan : 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 miligram dalam
50 mL larutan. Degradasi fotokatalis dilakukan dengan variasi waktu penyinaran
pada 15, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420, dan 480 menit dengan
menggunakan reaktor sinar ultraviolet. Serapan diukur pada panjang gelombang
maksimum yaitu 555 nm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa degradasi
Rhodamin B dengan fotokatalis TiO
2
melalui penyinaran sinar ultraviolet lebih
baik dibandingkan tanpa TiO
2
. Massa efektif TiO
2
adalah 80 miligram. Waktu
paruh, tetapan laju, dan laju degradasi Rhodamin B masing-masing adalah
866,25 menit, 0,0008 menit
-1
, dan 0,0194 mg/L menit. Dalam penelitian ini
dilakukan pula pengukuran pH dan konduktivitas larutan Rhodamin B sebagai
parameter tambahan proses degradasi larutan. pH larutan hasil degradasi
meningkat dengan bartambahnya waktu penyinaran, sedangkan konduktivitas
larutan menurun dengan bertambahnya waktu penyinaran.

Kata kunci : Degradasi, Rhodamin B, Titanium Dioksida

PENDAHULUAN
Pencemar organik zat warna yang terakumulasi di alam dapat merugikan
makhluk hidup dan lingkungan, sementara proses biodegradasi alamiah berjalan
dengan sangat lamban seiring dengan penumpukan limbah buangan industri yang
berlebih setiap saat. Pencemar organik yang berupa zat warna merupakan salah
satu senyawa non-biodegradable sebagai limbah yang akan kembali
ke lingkungan, akibatnya di alam akan terjadi akumulasi senyawa tersebut
(Andayani dan Sumartono, 1999).
Sejak publikasi Fujishima dan Honda (1972) mengenai fotoelektrokatalisis
pemecahan air pada elektroda lapis tipis TiO
2
, perkembangan aplikasi
teknologinya semakin populer dan sangat pesat hingga saat ini. Salah satu riset
dasar dan terapan yang paling menonjol adalah usaha-usaha mewujudkan
teknologi sistem mineralisasi zat warna, sehingga dapat diterapkan dalam sistem
pengolahan/pembersihan air maupun gas.
Legrini, dkk., (1993), mempublikasikan penggunaan TiO
2
sebagai
fotokatalis dalam degradasi klorobenzena, fenol, naftalena, dibenzofuran, dan
dibenzo--dioksin serta senyawa-senyawa aromatik. Hashim, dkk., (2001)
mempublikasikan kinetika fotodegradasi Tatrazin dengan TiO
2
yang diradiasi

PKMP-4-22-2
dengan sinar ultraviolet buatan. Cardona (2001) meneliti kinetika degradasi
senyawa-senyawa fenol tersubtitusi dan pestisida fenil urea.
Rhodamin B merupakan salah satu jenis pewarna sintesis yang umumnya
digunakan sebagai pewarna kertas atau tekstil. Zat ini tidak dapat digunakan
sebagai bahan tambahan dalam obat dan makanan karena dapat menimbulkan
iritasi saluran pencernaan, iritasi pada kulit, dan jika ditelan dapat menimbulkan
iritasi pada pencernaan. Pemakaian Rhodamin B untuk waktu lama dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati atau kanker hati (Winarno, 1997). Penelitian
dan publikasi tentang degradasi pewarna Rhodamin B menggunakan fotokatalisis
TiO
2
baik kinetika, mekanisme reaksi, dan perubahan-perubahan yang terjadi
selama degradasi belum dilakukan. Karena itu perlu dilakukan penelitian kinetika
degradasi Rhodamin B dengan fotokatalis TiO
2
.
Dalam menyimak kemampuan TiO
2
sebagai fotokatalis yang dapat
berperan aktif pada reaksi degradasi zat warna pencemar Rhodamin B, maka
dapat ditelaah suatu kemungkinan teknologi aplikasi terapan pada pemurnian air.
Dengan mengetahui kemampuan TiO
2
tersebut, maka yang menjadi permasalahan
dalam penelaahan lebih lanjut adalah bagaimana aktivitas fotokatalis TiO
2
pada
reaksi degradasi zat warna pencemar Rhodamin B. Selain itu, perlu pula ditinjau
beberapa data-data informasi tentang kinetika reaksi degradasi seperti tetapan laju,
waktu paruh, laju reaksi, konsentrasi/massa efektif katalisator, suhu, pH larutan,
dan/atau pengaturan intensitas cahaya yang baik, mutlak diperlukan karena data
kinetika merupakan salah satu faktor penentu dalam mempelajari mekanisme
reaksi (Cardona, 2001; Zhou dan Ray, 2003). Sehingga, dalam skala instrumental,
maka permasalahan yang akan diteliti adalah : 1) Berapa massa efektif fotokatalis
TiO
2
untuk mendegradasi Rhodamin B; 2) Berapa waktu paruh Rhodamin B yang
didegradasi secara fotokatalitik oleh TiO
2
; 3) Berapa tetapan laju reaksi degradasi
Rhodamin B dengan fotokatalis TiO
2
; dan 4) Berapa laju degradasi Rhodamin B
dengan fotokatalisis TiO
2
.
Tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah : 1) Untuk mengetahui berapa
massa efektif fotokatalis TiO
2
untuk mendegradasi Rhodamin B; 2) Untuk
mengetahui berapa waktu paruh Rhodamin B yang didegradasi secara
fotokatalitik oleh TiO
2
; 3) Untuk mengetahui berapa tetapan laju reaksi degradasi
Rhodamin B dengan fotokatalis TiO
2
; 4) Untuk mengetahui berapa laju degradasi
Rhodamin B dengan fotokatalis TiO
2
. Kegunaan yang diharapkan dari penelitian
ini adalah dapat menambah wawasan keilmuan dan teknologi dalam mempelajari
reaksi degradasi suatu zat warna. Selain itu, melalui penelitian ini diharapkan
dapat membantu dalam pengembangan metode pengolahan air dan limbah cair,
terutama yang mengandung senyawa-senyawa zat warna yang bersifat toksik dan
non-biodegradable yang juga bersifat sebagai bahan informasi tambahan
mengenai alternatif pengolahan limbah zat warna.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan kerja, dimulai pada bulan Februari
sampai Mei 2006, yang bertempat di Laboratorium Kimia Jurusan Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Haluoleo, Kendari. Bahan-
bahan yang digunakan adalah akuades, zat warna Rhodamin B (C.I. 45170),
Titanium Dioksida (TiO
2
) PC-102 sebagai fotokatalis. Peralatan yang digunakan
adalah desikator, gelas kimia Iwaki Pyrex 100 mL dan 1000 mL, labu takar Iwaki

PKMP-4-22-3
Pyrex 25 mL; 50 mL; 100 mL; dan 1000 mL, pipet volum 10 mL dan 50 mL,
spektronik 20-D GENESYS, spatula, stopwatch, timbangan analitik Ohaus
No. E. 12140 (Swiitzerland), oven Gallenkamp (Hot box Oven Witfan, Size 2),
pH meter Hanna Instrument HI 8519, Konduktometer Oakton WD 35607-00,
lampu ultraviolet (Himawari Fluorocent Lamp 20 W), dan flux meter.
Metode pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui mekanisme kerja
fotokatalis TiO
2
tersebut adalah metode eksperimental, dengan menentukan
parameter-parameter kinetika. Parameter tersebut merupakan salah satu data yang
dibutuhkan untuk mengestimasi proses mekanisme reaksi yang terjadi dalam
proses degradasi zat warna Rhodamin B dengan menggunakan fotokatalis TiO
2
.
Data beberapa parameter kinetika yang telah diperoleh tersebut kemudian
dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan. Tahapan pelaksanaan penelitian
dilakukan berdasarkan penentuan beberapa parameter kimia yang akan
ditentukan. Adapun tahapan penentuan parameter tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pembuatan Larutan, Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan
Pembuatan Kurva Kalibrasi Rhodamin B.
Larutan Rhodamin B dibuat dengan cara menimbang 1 gram bubuk
Rhodamin B, kemudian dilarutkan dengan aquades dalam labu takar 1000 mL
sampai tanda tera (konsentrasi 1000 mg/L). Larutan diencerkan menjadi
konsentrasi 25 mg/L. Larutan Rhodamin B 25 mg/L serapannya dengan
variasi panjang gelombang untuk menentukan panjang gelombang maksimum.
Seri larutan standar Rhodamin B dibuat pada beberapa konsentrasi dan diukur
serapannya pada panjang gelombang maksimum untuk memperoleh kurva
kalibrasi.
b. Preparasi TiO
2
Sebagai Fotokatalis.
Serbuk TiO
2
PC-102 yang telah diaktivasi (bentuk anatase) dipanaskan di
dalam oven dengan suhu 200
o
C selama 120 menit dengan tujuan untuk
mengurangi kadar air.
c. Penentuan Massa Efektif Fotokatalis TiO
2
.
Penentuan massa efektif TiO
2
dilakukan dengan memvariasikan massa TiO
2

yang digunakan untuk memfotooksidasi larutan zat pewarna. Larutan
Rhodamin B dengan konsentrasi 25 mg/L sebanyak 50 mL dengan massa
TiO
2
yang divariasikan yaitu 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, dan 100
miligram dimasukkan ke dalam reaktor dan diamkan selama 30 menit agar
proses adsorbsi pada permukaan TiO
2
berlangsung sempurna. Menurut
Poulios, dkk., (2003). Setelah proses adsorbsi, larutan dengan sistem
tersuspensi tersebut disinari dengan lampu UV selama 60 menit. Perhatian
secara ekstra untuk memastikan proses penyinaran telah merata.
d. Proses Degradasi Rhodamin B
Larutan Rhodamin B awal 25 mg/L sebanyak 50 mL ditambahkan serbuk
TiO
2
(sesuai massa efektifnya) ke dalam reaktor, lalu disinari dengan lampu
UV selama 15 menit, 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, 180 menit, 240
menit, 300 menit, 360 menit, 420 menit, dan 480 menit. Selama proses
degradasi sampel diambil secara periodik sesuai variasi waktu dan diukur
dengan Spektrofotometer UV-VIS. Setelah proses degradasi selesai, data hasil
pengamatan yang telah dikumpulkan, dianalisis dan ditafsirkan di
Laboratorium Kimia F-MIPA Unhalu.


PKMP-4-22-4
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
490 500 510 520 530 540 550 560 570 580 590
Panjang gelombang (nm)
S
e
r
a
p
a
n

e. Pengukuran pH dan konduktivitas larutan
Untuk menguatkan data parameter kimia yang telah diperoleh maka beberapa
parameter tambahan seperti pH dan konduktivitas larutan perlu ditentukan.
Penetuan pH dan konduktivitas larutan dilakukan dengan cara mengukur pH
dan konduktivitas larutan dengan menggunaan pH-meter dan konduktometer
pada larutan zat warna Rhodamin B baik dengan maupun tanpa TiO
2

tersuspensi pada setiap waktu penyinaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter yang akan diteliti adalah konsentrasi/massa efektif fotokatalis
TiO
2
, pengaruh konsentrasi Rhodamin B mula-mula, waktu paruh, tetapan laju,
dan laju reaksi fotodegradasi. Data-data tersebut diperoleh secara eksperimental
dengan menggunakan metode spektrofotometri. Sebelum melakukan pengukuran
terhadap beberapa parameter di atas, maka perlu ditentukan panjang gelombang
maksimum dan kurva kalibrasi dari Rhodamin B.
Penentuan panjang gelombang berfungsi dalam penentuan konsentrasi
larutan secara spektroskopi. Panjang gelombang maksimum merupakan daerah
panjang gelombang yang menunjukkan serapan tertinggi terhadap spektrum
cahaya. Panjang gelombang maksimum Rhodamin B yang diperoleh adalah 555
nm. Spektrum serapan pada pengukuran panjang gelombang maksimum
Rhodamin B terlihat Gambar 1.












Gambar 1. Spektrum serapan panjang gelombang maksimum Rhodamin B

Panjang gelombang Rhodamin B yang telah diperoleh digunakan untuk
mengukur serapan seri larutan standar Rhodamin B, sehingga dapat dibuat suatu
kurva kalibrasi. Kurva tersebut digunakan untuk menentukan konsentrasi
Rhodamin B setelah proses fotodegaradasi pada variasi waktu penyinaran, dengan
menggunakan metode kurva kalibrasi. Melalui kurva kalibrasi tersebut maka
dapat diperoleh persamaan garis lurus sebagai mana terlihat pada Gambar 2.

Penentuan massa efektif TiO
2
untuk degradasi Rhodamin B ditentukan
dengan menggunakan larutan Rhodamin B 25 mg/L dengan volume 50 mL.
Grafik hasil pengukuran serapan pada penentuan massa efektif fotokatalis TiO
2

terlihat pada Gambar 3.



PKMP-4-22-5
y = 0.019x
R
2
= 0.9998
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0 10 20 30 40 50 60
Konsentrasi (mg/L)
S
e
r
a
p
a
n

Gambar 2. Kurva kalibrasi Rhodamin B

0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
Massa TiO2 (mg)
S
e
r
a
p
a
n

Gambar 3. Grafik Hubungan Massa TiO
2
Terhadap Serapan
Pada Gambar 3 terlihat bahwa serapan terendah diperoleh pada massa
TiO
2
80 mg. Serapan terendah dari larutan menunjukan bahwa larutan zat warna
tersebut paling banyak terdegradasi. Massa 80 mg TiO
2
merupakan massa efektif
untuk konsentrasi Rhodamin B 25 mg/L dengan volume 50 mL. Massa TiO
2

kurang dari 80 mg belum cukup untuk mendegradasi zat warna Rhodamin B
secara optimal, sehingga menunjukan serapan yang lebih tinggi. Massa TiO
2
lebih
dari 80 mg membuat larutan menjadi keruh sehingga sinar ultraviolet hanya akan
mengenai permukaan dan tidak dapat masuk sampai ke dalam larutan. Dengan
demikian hanya sedikit TiO
2
yang aktif sebagai fotokatalis karena menghalangi
sinar ultraviolet sebagai sumber energi untuk terjadinya reaksi. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Tjahjanto dan Gunlazuardi (2001), suspensi TiO
2
yang
membuat larutan menjadi keruh akan menghalangi sinar ultraviolet dalam
mengaktifkan seluruh fotokatalis.
Pada proses degradasi, aktivitas fotokatalis TiO
2
diamati dengan
menggunakan larutan zat warna Rhodamin B yang terdiri dari dua bagian yaitu
tanpa dan dengan tersuspensikan TiO
2
(sesuai massa efektifnya). Pengamatan
proses degradasi tersebut dilakukan dengan variasi waktu penyinaran dan setiap
waktu penyinaran dilakukan pengukuran serapan larutan Rhodamin B. Melalui
pengukuran serapan, maka konsentrasi Rhodamin B dapat diketahui dengan
metode kurva kalibrasi. Hasil pengukuran serapan dan konsentrasi pada setiap
waktu penyinaran terlihat pada Tabel 1.

PKMP-4-22-6
0
5
10
15
20
25
30
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550
Waktu Penyinaran (menit)
K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

(
m
g
/
L
)
Dengan TiO2
Tanpa TiO2

Tabel 1. Serapan Rhodamin B pada pH 1 dengan 3 kali pengukuran
Serapan dengan TiO
2
Serapan tanpa TiO
2
Waktu
(menit) 1 2 3 rerata 1 2 3 rerata
0 0,475 0,475 0,476 0,475 0,476 0,475 0,475 0,475
15 0,463 0,463 0,463 0,463 0,467 0,466 0,467 0,467
30 0,439 0,439 0,438 0,439 0,460 0,461 0,461 0,461
60 0,418 0,418 0,418 0,418 0,452 0,451 0,452 0,452
90 0,410 0,409 0,410 0,410 0,439 0,439 0,439 0,439
120 0,363 0,362 0,363 0,363 0,426 0,426 0,426 0,426
180 0,355 0,356 0,357 0,355 0,411 0,410 0,411 0,411
240 0,311 0,311 0,311 0,311 0,401 0,400 0,411 0,411
300 0,306 0,305 0,306 0,306 0,385 0,385 0,384 0,385
360 0,298 0,298 0,299 0,298 0,371 0,372 0,371 0,371
420 0,263 0,263 0,263 0,263 0,352 0,351 0,352 0,352
480 0,228 0,227 0,228 0,228 0,341 0,341 0,342 0,341

Melalui data pengukuran tersebut, maka terdapat penurunan konsentrasi
Rhodamin B setelah proses fotodegradasi sebagaimana terlihat pada Gambar 4.












Gambar 4. Grafik Konsentrasi Rhodamin B terhadap Waktu pada saat Degradasi

Penurunan konsentrasi zat warna Rhodamin B selama masa penyinaran
pada larutan dengan maupun tanpa TiO
2
tersuspensi memiliki perbedaan yang
sangat signifikan. Hal ini menunjukan bahwa TiO
2
mempunyai efek yang besar
dalam proses degradasi. Konsentrasi zat warna pencemar Rhodamin B tersebut
akan terus berkurang dengan bertambahnya waktu penyinaran. Hal tersebut
menunjukkan bahwa TiO
2
aktif sebagai fotokatalis, selama energi foton dari sinar
ultaviolet masih tersedia.
Parameter-parameter kinetika seperti konstanta laju reaksi degradasi,
waktu paruh dan laju reaksi degradasi dapat ditentukan dengan terlebih dahulu
mengetahui orde atau tingkat reaksi yang terjadi pada proses degradasi tersebut.
Aktivitas penurunan konsentrasi Rhodamin B terhadap pertambahan waktu
penyinaran tersebut sejalan dengan pernyataan Cardona (2001) dan Poulios, dkk.,
(2002) bahwa secara umum kinetika degradasi suatu senyawa mengikuti
persamaan Langmuir-Hinshelwood yaitu kecepatan reaksi akan berbanding lurus
dengan luas permukaan substrat, jika keadaan berlangsung pada konsentrasi yang

PKMP-4-22-7
y = 0.0008x
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550
waktu penyinaran (menit)
-

l
n

[
R
B
]
/
[
R
B
]
0
kecil maka reaksi merujuk ke orde pertama dan jika berlangsung pada konsentrasi
yang tinggi maka reaksi merujuk pada orde nol. Oleh karena dalam proses
degradasi digunakan konsentrasi yang kecil maka kinetika reaksi degradasi
mengikuti orde pertama, yang ditandai berkurangnya konsentrasi pereaksi secara
eksponensial terhadap pertambahan waktu penyinaran.
Untuk menentukan nilai tetapan laju (k) yang menyatakan probabilitas
terdegradasinya zat warna Rhodamin B berdasarkan persamaan hukum laju orde
pertama, yaitu :
kt
EB
EB
o
=

] [
] [
ln
Dimana [RB]
o
dan [RB] adalah konsentrasi Rhodamin B sebelum dan
setelah degradasi, k adalah konstanta laju reaksi degradasi dan t adalah waktu
penyinaran (menit). Sehingga dengan mengalurkan -ln[EB]/[EB]
o
terhadap
waktu (t) akan menghasilkan garis lurus dengan kemiringan sebagai k.












Gambar 5. Alur ln [RB]/[RB]
o
terhadap waktu

Melalui grafik tersebut, maka dapat diketahui bahwa dengan kemiringan
sebagai k maka nilai k adalah 0,0008 menit
-1
. Selain itu, nilai waktu paruh
(t ) menyatakan waktu yang diperlukan oleh pereaksi untuk mencapai setengah
dari konsentrasi awalnya, dapat ditentukan menggunakan persamaan dalam
hukum laju orde pertama, yaitu :
k k
t
693 , 0 2 ln
2
1
= =
Dari persamaan tersebut, maka diketahui waktu paruh (t ) degradasi
Rhodamin B adalah 866,25 menit.
Parameter kinetika berikutnya adalah laju reaksi degradasi zat warna
Rhodamin B. Berdasarkan persamaan hukum laju orde pertama, maka nilai laju
reaksi degradasi dapat dinyatakan sebagai : r = k [A] (Atkins, 1999). Dengan
memasukkan nilai konsentrasi Rhodamin B setelah proses penyinaran sebagai A
dan k adalah nilai tetapan laju (0,0008 menit
-1
), maka diperoleh laju reaksi
degradasi. Perhitungan laju degradasi Rhodamin B dapat dilihat pada Tabel 2.





PKMP-4-22-8
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550
waktu penyinaran (menit)
l
a
j
u

r
e
a
k
s
i

(
m
g
/

L

m
e
n
i
t
)
Tabel 2. Nilai laju reaksi degradasi Rhodamin B pada setiap waktu penyinaran
Dengan TiO
2
Waktu
(menit) Serapan
rata-rata
[RB] rata-rata
(mg/L)
Laju reaksi
(mg/L menit)
0 0,475 25 0
15 0,463 24,368 0.0194
30 0,439 23,105 0.0184
60 0,418 22 0.0176
90 0,410 20,947 0.0167
120 0,363 19,105 0.0152
180 0,355 17,473 0.0139
240 0,311 16,683 0.0133
300 0,306 15,736 0.0125
360 0,298 14,842 0.0118
420 0,263 13,842 0.011
480 0,228 12 0.0096

Terlihat pada Gambar 6, bahwa semakin lama waktu penyinaran, laju
reaksi degradasi semakin berkurang.












Gambar 6. Laju degradasi Rhodamin B selama penyinaran

Keberadaan TiO
2
dalam sistem tersuspensi zat warna pencemar
Rhodamin B akan menyebabkan terjadinya proses degradasi yang akan
mempercepat laju reaksi degradasi. Penurunan nilai laju disebabkan oleh radikal
hidroksil yang tercipta sebagai hasil dari perpindahan elektron pada permukaan
TiO
2
sebagai katalis akan semakin berkurang, akibat reaksi radikal berantai yang
terus terjadi hingga zat warna Rhodamin B terdegradasi menjadi CO
2
, H
2
O, dan
produk mineralisasi lainnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Wu, dkk.,
(1999) dan Gunlazuardi (2001) yang menyatakan bahwa reaksi interaksi zat warna
dan TiO
2
dengan foton akan menghasilkan suatu produk CO
2
, H
2
O, dan hasil
mineralisasi lainnya.
Wu, dkk., (1999) memberikan suatu mekanisme reaksi antara zat warna
dengan TiO
2
yang dikenai oleh foton, yaitu :

PKMP-4-22-9
produk t intermedie ) (
) (
2 ) (
) (
) (
2 2
2 2 2
2 2 2 2
2 2 2 2
2 2
+
+ +
+ +
+ +
+ +
+
+

OH atau O atau O warna zat


OH OH e TiO O H
O H H e TiO O
O TiO O e TiO
e TiO warna zat TiO warna zat
warna zat hv warna zat


Mekanisme reaksi degradasi zat warna pencemar seperti Rhodamin B
merupakan suatu proses mekanisme reaksi yang kompleks. Namun, menurut
Legrini, dkk., (1993) bahwa mekanisme reaksi pada proses degradasi berlangsung
dengan cara adisi elektrofilik. Pada proses tersebut, radikal hidroksil yang
terbentuk akan menyerang ikatan rangkap, tepatnya pada sistim sehingga akan
membentuk senyawa radikal organik. Radikal tersebut kemudian terkonjugasi
dalam struktur dari spesi intermediet. Proses ini akan terus berlangsung karena
ketersediaan radikal hidroksil, sehingga pada akhirnya radikal-radikal tersebut
akan mendegradasi struktur senyawa menjadi lebih sederhana dan pada akhirnya
dihasilkan produk-produk mineralisasi di samping H
2
O dan CO
2
. Proses
mekanisme reaksi utuh yang terjadi dalam zat warna pencemar seperti
Rhodamin B dapat diketahui melalui penelitian lebih lanjut.
Beberapa parameter tambahan diukur pula dalam penelitian ini, yaitu pH
dan konduktivitas larutan Rhodamin B seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengukuran pH dan konduktivitas larutan zat warna pencemar
Rhodamin B setiap waktu penyinaran

Waktu penyinaran
(menit)
pH larutan Konduktivitas
( x 10
-3
Siemens)
0
15
30
60
90
120
180
240
300
360
420
480
7,00
7,07
7,17
7,30
7,46
7,66
7,70
7,9
7,96
8,01
8,04
8,04
0,32
0,31
0,29
0,28
0,26
0,25
0,23
0,22
0,21
0,19
0,17
0,14

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat dibuat suatu grafik yang
mengalurkan hubungan pH dan konduktivitas larutan seperti terlihat pada
Gambar 7 berikut.




PKMP-4-22-10
6,8
7
7,2
7,4
7,6
7,8
8
8,2
0 100 200 300 400 500
waktu penyinaran (menit)
p
H
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0 100 200 300 400 500
waktu penyinaran (menit)
k
o
n
d
u
k
t
i
v
i
t
a
s

(
m
S
)














Gambar 7. Hubungan antara pH dan konduktivitas larutan dengan bertambahnya
waktu penyinaran

Melalui persamaan reaksi yang diberikan oleh Wu, dkk., (1999), maka
dengan adanya fotokatalis TiO
2
tersuspensi dalam larutan maka akan menginisiasi
reaksi berantai yang menyebabkan rusaknya struktur sehingga konsentrasi zat
warna pencemar Rhodamin B akan menurun. Konduktivitas larutan akan menurun
dengan berkurangnya partikel Rhodamin B dalam larutan sehingga pada larutan
hasil degradasi tersebut akan diperoleh nilai konduktivitas yang akan semakin
menurun dengan bertambahnya waktu penyinaran (lama degradasi), meskipun
penurunan konsuktivitas tersebut tidak secara signifikan karena disertai
terbentuknya partikel-partikel lain yang lebih kecil sebagai akibat dari reaksi
degradasi. Sementara itu, terlihat pada mekanisme reaksi di atas terdapat
kebolehjadian terciptanya hidrogen peroksida (H
2
O
2
) yang dapat terionisasi
menjadi radikal OH dan OH
-
. Keberadaan OH
-
tersebut akan menyebabkan
naiknya pH larutan, sekalipun tidak secara signifikan.

Dalam proses untuk skala insitu maka perlu diketahui mekanisme reaksi
degradasi dari zat warna pencemar, di mana parameter kinetika yang telah
diketahui melalui penelitian dengan skala laboratorium tersebut akan sangat
berguna. Namun, suatu mekanisme reaksi umum dari proses degradasi dapat
dituliskan sebagai berikut :

Zat warna pencemar
+ h TiO2
intermediet
+ h TiO2
CO
2
+ H
2
O + produk lain

Menyimak mekanisme reaksi umum di atas maka dapat diketahui bahwa
reaksi degradasi zat warna pencemar dengan menggunakan fotokatalis TiO
2

berlangsung dengan baik di bawah paparan sinar ultraviolet
.
Terjadinya reaksi
degradasi ini diindikasikan dengan perubahan warna larutan selama penyinaran.
Perubahan warna larutan disebabkan rusaknya gugus-gugus kromofor yang
terdapat dalam zat warna pencemar akibat serangan radikal hidroksil yang sangat
reaktif. Radikal hidroksil itu sendiri terbentuk akibat pelepasan satu elektron dari
ion hidroksida untuk mengisi lubang positif (h
+
) pada pita valensi TiO
2
yang
mengabsorbsi sinar ultraviolet.

PKMP-4-22-11
Pemanfaatan TiO
2
sebagai fotokatalis ini lebih lanjut dapat
direkomendasikan sebagai salah satu metode terapan dalam pengolahan limbah
yang terkandung zat warna pencemar, tentunya dengan tetap melihat aspek
kinetika dan mekanisme reaksi degradasi yang ada. Selain itu, aplikasi keilmuan
yang dapat diperoleh dari kemampuan fotokatalis TiO
2
ini adalah melalui
penelitian lebih lanjut terhadap reaksi degradasi zat warna pencemar dengan
menggunakan konfigurasi reaktor yang lain, yaitu reaktor sistem terimobilisasi.
Dalam reaktor tersebut TiO
2
sebagai fotokatalis tidak langsung disuspensikan ke
dalam larutan namun dilapisi dengan lapisan tipis sehingga terhindar dari
kesulitan untuk memperoleh kembali TiO
2
.

KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, maka dapat diketahui nilai beberapa parameter
kinetika dalam reaksi degradasi larutan Rhodamin B, yaitu : 1) Massa efektif
fotokatalis TiO
2
untuk mendegradasi Rhodamin B 25 mg/L adalah 88 mg untuk
50 mL; 2) Waktu paruh Rhodamin B yang didegradasi secara fotokatalitik oleh
TiO
2
adalah 886,25 menit; 3) Tetapan laju reaksi degradasi Rhodamin B dengan
fotokatalis TiO
2
adalah 0,0008 menit
-1
; 4) Laju degradasi Rhodamin B dengan
fotokatalis TiO
2
adalah 0,0194 mg/L menit. Parameter kinetika tersebut berguna
untuk mengestimasi proses degradasi larutan Rhodamin B

DAFTAR PUSTAKA
Andayani W., dan Sumartono A. 1999. Aplikasi Radiasi Pengion dalam
Penguraian Limbah Industri. Majalah Batan Online, Vol. XXXII No. ,
Januari/April.(http://www.batan.go.id/pustaka/m-natan/Mb321-2J-
A99/winarti.htm, diakses tanggal 5 Oktober 2005).
Atkins PW. 1997. Kimia Fisika. Edisi keempat. Jilid dua. Jakarta : Erlangga.
Bender AE. 1982. Dictionary of Nutrition and Food Technologi. Fifth Edition.
Butterworks, London.
Cardona SPP. 2001. Coupling Of Photocatalytic And Biological Processes As a
Contribution To The Detoxification Of Water : Catalytic And
Technological Aspects, Chimiste, Universidad del Valle, Cali, Colombie
de nationalite` colombienne.
Departemen Kesehatan. 1990. Keputusan Direktur Pengawasan Obat dan
Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
No.00386/C/SK/II/90 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan
sebagai Bahan Berbahaya. Jakarta.
Fuh RA., dan Corkan JS. 1998. Photochemistry and Photobiologi, J. Photochem,
Vol. 68. 141-142.
Fujishima A., dan K. Honda. 1972. Electrochemical Photolysis of Water at a
semicondustor Electrode. Nature, 238, 37-38.
Gerischer H. 1991. Electron-Transfer Kinetics of Redoks Reaction at The
Semiconductor Electrolyte Contact, A New Approach. J. Physc. Chem, 95,
1356-1359.
Gunlazuardi J. 2001 Fotokatalisis pada Permukaan TiO2 : Aspek Fundamental
dan Aplikasinya. Jakarta : Jurusan Kimia F-MIPA Universitas Indonesia.
(http://www.chem.ui/ac.id./riset, diakses 1 Maret 2005).

PKMP-4-22-12
Hashim HAA., Mohammed AR., dan Teong LK. 2001. Solar Photocatalytic
Degradation of Tatrazine Using Titanium Dioxide. J. Technology, 35(F),
31-40.
Legrini O., E. Oliveros., dan AM. Braun. 1993. Photochemical Processes for
Water Treatment. Chem. Rev., 93, 671.
Linsebigler AL., Lu GQ., dan Yates Jr JT. 1995. Photocatalysis on TiO
2
surfaces
principles, mechanism, and selected results. J, Chem, Rev., 95, 735.
Parcherancier JP. 1995. Semiconductor-sensitized Photodegradation of Pestisides
in Water: The Case of Carbetamide. Journal of Photochemistry and
Photobiology A: Chemistry, 87, 261-266.
Poulios I., Micropoulou E., Panou R., dan Kostopoulou E. 2002. Photooxidation
of Eosin Y in the Presence of Semiconducting Oxides. Applied Catalysis
B: Envirinmental 41 (2003) 345-355.
Shi DY., Feng S., dan Zhong. 2004. Photocatalitic Convertion of CH
4
and CO
2

Oxygenated Compoun over Cu/CdS-TiO
2
/SiO
2
Catalyst. Catalyst Today,
98, 505-509.
Tjahjanto RT., dan Gunlazuardi J. 2001. Preparasi Lapis tipis TiO2 sebagai
Fotokatalisis: keterkaitan antara Ketebalan dan Aktivitas Fotokatalis.
Makara: Sains, J. Penelitian Universitas Indonesia, 5(2): 81-91.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Wu T., Liu G., dan Zhao J. 1999. Evidence for H
2
O
2
Generation during the TiO
2
-
Assisted Dhotodegradation of Dyes in Aqueous Dispersions under Visible
light Illumination. J. Phys, Chem B , 103, 4862-4867.
Zhou S., dan AK. Ray. 2003. Kinetic Studies for Photocatalytic Degradation of
Eosin B on a Thin Film of Titanium Dioxide. Ind. Eng. Chem. Res. 42,
6023-6024.
http://www.uni-siegen.de/dept/fb08/studium/pcfprakt/pics/rhodaminb.gif, diakses
15 Maret 2005.


PKMP-4-23-1
PROGRAM APLIKASI ORDER PENJUALAN MENGGUNAKAN WEB
ORDER DAN PROGRAM APLIKASI PEMPROGRAMAN GUNA
MENINGKATKAN EFEKTIFITAS PELAKSANAAN ORDER
PENJUALAN PADA PT. INDOMURNI DAIRY INDUSTRY

Sunan Nur Huda
Politeknik Negeri Malang, Malang

ABSTRAK

Kata kunci:


PKMP-5-1-1
PEMANFAATAN SENYAWA DIFENILTIMAH DISALISILAT UNTUK
MENGATASI PENYAKIT PANU

Sri Ayu Dewi, Fatirissia, Puguh Supriyanto
Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Lampung, Lampung

ABSTRAK
Sintesis senyawa difeniltimah(IV) diftalat telah dilakukan dengan mereaksikan
difeniltimah(IV) diklorida dengan asam ftalat melalui senyawa antara
difeniltimah(IV) dihidroksida. Persentase produk yang dihasilkan adalah
96,87%. Produk yang dihasilkan pada tiap tahapannya dikarakterisasi dengan
spektroskopi UV-Vis dan FTIR. Senyawa difeniltimah(IV) diftalat ini
diperkirakan memiliki aktivitas antifungi yang dapat mengatasi penyakit panu
yang disebabkan oleh jamur Malassezia furfur . Uji aktivitas antifungi dilakukan
terhadap senyawa difeniltimah(IV) disalisilat, difeniltimah(IV) dihidroksida,
difeniltimah(IV) diklorida dan asam salisilat dengan menggunakan 2 metode,
yaitu metode difusi dan dilusi.

Kata kunci: organotimah, karboksilat, spektroskopi, antifungi, Malassezia Furfur

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara beriklim tropis merupakan tempat yang
memenuhi syarat bagi penyakit kulit untuk berkembang dengan baik. Panu atau
Pityriasis versicolor adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur panu
(Malassezia furfur), karena jamur ini mengeluarkan asam azeleat yang
mengganggu proses pembentukkan melanin kulit sehingga timbul hipopigmentasi.
Pertumbuhan Malassezia furfur (jamur panu) pada kulit remaja dan orang dewasa
terdapat pada wajah, leher atau punggung dan tampak bercak-bercak putih.
Penyakit panu ini mudah menular dan terasa gatal bila berkeringat. Keberadaan
penyakit panu dapat mengurangi rasa percaya diri bagi penderitanya, apalagi bila
penyakit panu tersebut terdapat pada bagian muka.
6
Telah diupayakan berbagai jenis obat untuk mengatasi penyakit panu, baik
obat-obatan dari bahan alami maupun dari bahan kimia sintetik. Pengobatan
secara alami yang umum digunakan misalnya dari lengkuas dan daun ketepeng,
pengobatan secara alami sulit dilakukan umumnya bagi masyarakat perkotaan
karena bahan-bahan tersebut sulit ditemukan didaerah perkotaan, dan juga
pengobatan secara alami tidak memberikan efek penyembuhan secara langsung,
bahkan dapat menimbulkan penyakit kulit lain bila pemakaiannya tidak sesuai
misalnya timbulnya penyakit kurap atau kudis, sedangkan pengobatan dengan
mengunakan bahan-bahan kimia sintetik seperti Kalpanax, Canastan dan
Fungiderm memang secara uji klinis dapat mengatasi penyakit panu namun
terkadang pada prakteknya masih kurang efektif untuk mengatasi penyakit panu.
Senyawa organologam adalah salah satu jenis senyawa kimia yang banyak
digunakan dalam bidang medis dan pertanian, misalnya sebagai anti kanker, anti
mikroba dan anti jamur. Salah satu senyawa organologam yang diketahui
memiliki aktivitas biologi adalah senyawa turunan organotimah. Sebagian besar
senyawa organotimah bersifat toksik walaupun pada konsentrasi kecil.


PKMP-5-1-2
Aktivitas biologi ini ditentukan oleh jumlah gugus organik yang terikat pada
atom pusat Sn.
3

Asam salisilat merupakan jenis asam karboksilat yang memiliki aktivitas
antijamur dan juga dikenal sebagai komposisi utama pada obat-obatan yang sering
digunakan untuk mengatasai penyakit kulit, seperti Salep 88. Sifat antijamur dari
asam salisilat ditentukan oleh gugus fenol pada senyawa tersebut. Pada
konsentrasi 1%, phenol bersifat antibakteri, sedangkan pada konsentrasi diatas
1,3%, phenol bersifat antifungi
2
, sehingga apabila penggunaan asam ini
dikombinasikan dengan senyawa organotimah diharapkan sifat antijamur dari
senyawa yang dibuat semakin meningkat.

Rumusan Masalah
Membuat obat baru yang diharapkan memiliki kemampuan yang lebih
efektif (kuat) untuk mengatasi penyakit panu, dibandingkan dengan obat yang
telah ada. Dimana jenis obat yang akan dibuat tidak hanya terdiri dari asam
salisilat (senyawa kimia yang memiliki kemampuan untuk membunuh jamur)
tetapi akan dikombinasikan dengan senyawa orgatotimah (difeniltimah) yang juga
memiliki kemampuan untuk membunuh jamur.

Tujuan Program
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menambah ilmu pengetahuan bagi peneliti khususnya dibidang organotimah.
2. Memberikan obat alternatif yang lebih efektif untuk mengatasi penyakit panu
bagi penderita.

Luaran Yang Diharapkan
Luaran yang diharapkan dari kegiatan ini adalah mendapatkan produk yang
dapat digunakan untuk mengobati panu.

Kegunaan Program

Memberikan sumbangan pengetahuan tentang pembuatan senyawa
difeniltimah disalisilat (C
6
H
4
)
2
Sn(OOCR)
2

(R= asam salisilat), serta memberikan
informasi tentang respon morfologis jamur panu (Malassezia furfur) setelah
perlakuan dengan senyawa difeniltimah dikarboksilat.

METODE PENDEKATAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret hingga Juni 2006 di
Laboratorium Kimia Organik FMIPA Unila (dilakukan sintesis) dan Laboratorium
Botani FMIPA Unila (akan dilakukan uji aktifitas antifungi), sedangkan
karakterisasi sampel dilakukan di Laboratorium Puspiptek Serpong.

Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: peralatan gelas yang
biasa dipakai di laboratorium (gelas piala, gelas ukur, pengaduk magnetik dan


PKMP-5-1-3
lain-lain), cawan petri, paper disk, kertas saring whatman No. 42, kaca preparat,
hot plate, spektrofotometer UV-Vis Hitachi model 150/20 dan spektrofotometer
FT-IR.
Bahan-bahan yang digunakan adalah zat-zat kimia dengan kualitas p.a
(Pro Analysis) yang terdiri dari: (C
6
H
5
)
2
SnCl
2
, NaOH, metanol, DMSO (dimetil
sulfoksida), akuades, akuabides dan asam salisilat serta PDA (Potato Dextrose
Agar).

Prosedur Penelitian

a. Pembuatan Senyawa Difeniltimah Oksida (C
6
H
5
)
2
SnO
3,03924 gram difeniltimah diklorida

direaksikan dengan 0,8 gram NaOH dalam
pelarut metanol kering, sehingga terjadi penggantikan klor dengan oksida
sehingga didapatkan difeniltimah oksida. Endapan putih difeniltimah oksida
dipisahkan dengan pencucian menggunakaan akuades dan methanol.
3


b. Pembuatan Senyawa Difeniltimah Disalisilat
Sintesis ini dilakukan dengan mereaksikan dibutiltimah oksida dengan asam
asetilsalisilat, asam salisilat pada perbandingan mol 1 : 2 dalam pelarut metanol
kering. Kemudian direfluks dengan variasi waktu 2, 3, 4 dan 5 jam. Hasil refluks
ini kemudian dievaporasi untuk memisahkan endapan dibutiltimah diasetilsalisilat
dari campurannya dan direkristalisasi dengan pelarut metanol.

c. Analisis Spektroskopi UV-Vis dan FTI R
Analisis dengan menggunakan spektroskopi UV-Vis ini dilakukan pada senyawa
awal dibutiltimah diklorida, ligan asam salisilat dan dibutiltimah disalisilat dalam
pelarut metanol. Sedangkan analisis spektroskopi FTIR dilakukan pada
difeniltimah diklorida, difeniltimah oksida, asam salisilat dan difeniltimah
disalisilat. Analisis dengan menggunakan alat ini bertujuan untuk mengetahui
apakah senyawa yang dibuat telah benar-benar terbentuk.

d. Uji Aktifitas Antijamur
1. Metode Tabur Langsung (in vitro )
Pada setiap 10 ml medium agar PDA dalam cawan petri ditanamkan isolat
Fusarium oxsyporum, Kemudian diletakkan difeniltimah disalisilat pada 3
posisi dalam medium agar tersebut. Lalu diinkubasi selama 7 hari pada
temperatur kamar dan diamati setiap hari.
2. Metode Tabur Langsung (in vivo)
Senyawa difeniltimah disalisilat dioleskan pada bagian tubuh yang terkena
penyakit panu dengan pariasi senyawa 0.01 gram, 0.02 gram dan 0.03 gram.

PEMBAHASAN

Sintesis Senyawa Difeniltimah Oksida
Pembuatan senyawa difeniltimah oksida dilakukan dengan mencampurkan
6,876 g (0,02 mol) difeniltimah diklorida dan 1,6 g (0,04 mol) natrium hidroksida
dalam pelarut metanol. Campuran distirrer selama 90 menit hingga terbentuk
endapan berwarna putih. Endapan disaring dengan kertas saring Whatman No.


PKMP-5-1-4
42, lalu dicuci dengan aquabides untuk menghilangkan natrium klorida (NaCl)
yang masih terdapat pada endapan. Selanjutnya endapan dicuci dengan metanol
yang bertujuan untuk menghilangkan senyawa-senyawa organik. Dari sintesis ini
diperoleh endapan putih sebanyak 6,134 g.
Senyawa difeniltimah oksida dihasilkan melalui beberapa intermediet
seperti di bawah ini
4
:
OH
NaOH -H
+
OH


R
2
SnX
2
R
2
Sn XR
2
SnOSnR
2
X

XR
2
SnOSnR
2
OH


-X -X -H
+

X
R
2
SnO

Mekanisme pembentukkan difeniltimah oksida diawali dengan
penggantian ligan Cl
-
oleh OH
-
yang kemudian mengalami serangkaian tahap
intermediet sehingga terbentuk senyawa difeniltimah oksida. Kemampuan suatu
ligan untuk dapat menggantikan ligan yang lainnya dipengaruhi oleh kekuatan
ligan.
Ligan yang lebih kuat dapat menggantikan ligan yang lebih lemah. Ligan
lemah memiliki elektron bebas yang lebih banyak dibandingkan dengan ligan
kuat, akibatnya interaksi antara ligan dengan atom pusat lebih sedikit dan
kekuatan ikatannya juga kecil, sehingga senyawa kompleks dengan ligan lemah
dapat digantikan oleh ligan kuat.
Beberapa ligan dapat dideretkan dalam suatu seri sesuai dengan kekuatan
medannya. Deret kekuatan ligan dinyatakan sebagai berikut :

CO~CN
-
>NO
2
-
>bipiridin>etilen diamin>NH
3
~piridin>NCS>H
2
O>RCO
2
-
>OH
-
>F
-
>Cl
-
>Br
-
>I
-
).
4

Menurut Purcell
7
, ligan lemah terjadi bila memiliki karakter ikatan
sigmanya () lemah atau aseptor dan merupakan donor () yang kuat.
Sedangkan ligan kuat terjadi bila memiliki karakter donor yang kuat dan
sebagai aseptor yang kuat. Urutan kekuatan ligan dapat dinyatakan sebagai
berikut :
Halogen < Oksigen < Nitrogen < Karbon.
Berdasarkan urutan kekuatan ligan di atas, terlihat bahwa kekuatan ligan
karbon lebih besar dibandingkan dengan oksigen dan kekuatan ligan oksigen
lebih besar dibandingkan ligan klorida. Jadi dalam sintesis ini fenil (ligan karbon)
tidak dapat digantikan oleh OH (ligan oksigen) sedangkan OH dapat
menggantikan Cl (ligan halida).
Untuk meyakinkan bahwa endapan yang terbentuk adalah senyawa
difeniltimah oksida, maka hasil yang didapat dianalisis dengan spektrofotometer
FT-IR dan UV. Sebagai pembanding keberhasilan sintesis, digunakan senyawa
awal (ligan awal) difeniltimah diklorida. Pengukuran FT-IR dilakukan pada
panjang gelombang 4000-400 cm
-1
. Spektrum FT-IR dari senyawa difeniltimah
diklorida dan senyawa yang diperoleh dari hasil sintesis dapat dilihat pada
Gambar 1 dan 2.



PKMP-5-1-5












Gambar 1. Spektrum FT-IR senyawa difeniltimah diklorida














Gambar 2. Spektrum FT-IR senyawa yang diperoleh dari hasil sintesis

Analisis spektrofotometer IR untuk senyawa difeniltimah oksida dipakai
untuk melihat adanya puncak-puncak Sn-O, alkil dan hilangnya puncak pada
daerah Sn-Cl yang dibandingkan dengan senyawa difeniltimah diklorida sebagai
senyawa awal. Serapan-serapan tersebut ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Serapan gelombang radiasi FT-IR senyawa difeniltimah diklorida (ligan
awal) dan senyawa hasil sintesis.

Serapan
Bilangan gelombang
difeniltimah
diklorida
(cm
-1
)
Bilangan gelombang
senyawa hasil
sintesis
(cm
-1
)
Referensi
(cm
-1
)
Sn-Cl
Sn-O
Fenil
O-H
346,3
-
1479,7; 1430,2; 728,1
-
-
572,6
1480,2; 1427,2; 719,6
3487,8; 3449; 3389,6
390-320
600-500
1479; 1428; 729
3300-3700
Spektrum FT-IR yang diperoleh dari kedua senyawa tersebut
memperlihatkan perbedaan yang cukup signifikan. Spektrum FT-IR dari senyawa
hasil sintesis tidak lagi menunjukkan serapan Sn-Cl pada daerah 390-320 cm
-1


PKMP-5-1-6
seperti pada senyawa difeniltimah diklorida yaitu pada daerah 346,3 cm
-1
, serapan
tersebut telah diganti oleh serapan Sn-O pada daerah 600-500 cm-
1
tepatnya pada
daerah 572,6 cm
-1
serapan ini menunjukkan telah bergantinya gugus Cl oleh gugus
OH, namun pada senyawa hasil sintesis terlihat juga serapan pada daerah 3300-
3700 cm
-1
yaitu pada daerah 3487,8 ; 3449,0 dan 3389,6 yang menunjukkan
serapan O-H. Dari serapan ini dapat dinyatakan bahwa senyawa yang terbentuk
menggandung gugus Sn-OH sedangkan senyawa yang diharapkan hanyalah
gugus Sn-O.
Proses intermediet pembentukkan senyawa difeniltimah oksida terdapat
kemungkinan terbentuknya senyawa difeniltimah hidroksida. Hal ini dapat
terjadi bila gugus hidroksida yang menggantikan Cl, membentuk jembatan dengan
Sn tanpa melepaskan atom hidrogennya. Dari informasi tersebut dapat
diperkirakan bahwa senyawa yang terbentuk adalah difeniltimah dihidroksida.
Dengan pertimbangan bahwa senyawa kompleks yang diharapkan pada
akhir sintesis ini yaitu senyawa difeniltimah disalisilat selain dapat diperoleh
melalui senyawa oksida, juga dapat diperoleh melalui senyawa hidroksida maka
hasil dari sintesis ini masih dipakai untuk sintesis berikutnya.
Selain dengan spektrum FT-IR identifikasi senyawa yang diperoleh juga
dilakukan dengan spektrum UV, sebagai pembanding juga digunakan ligan awal
(difeniltimah diklorida). Pengukuran UV untuk senyawa difeniltimah diklorida
dan difeniltimah hidroksida ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4.












Gambar 3. Spektrum UV senyawa difeniltimah diklorida













Gambar 4. Spektrum UV senyawa difeniltimah dihidroksida


PKMP-5-1-7
Hasil pengukuran UV (Gambar 3 dan 4) memperlihatkan panjang
gelombang maksimum (
mak
) untuk difeniltimah dihidroksida 289,6 nm
sedangkan difeniltimah diklorida terukur pada panjang gelombang 288,4 nm, hal
ini menunjukkan bahwa perubahan difeniltimah diklorida menjadi difeniltimah
dihidroksida terjadi pergeseran kearah panjang gelombang yang lebih panjang
(pergeseran merah / batokrom) yaitu sebesar 1,2 nm.
Pergeseran ke arah panjang gelombang lebih panjang (pergeseran merah)
dapat terjadi karena adanya pengaruh pelarut atau suatu ausokrom. Pergeseran
merah sebesar 1,2 nm pada perubahan difeniltimah diklorida menjadi difeniltimah
dihidroksida ini terjadi karena pengaruh ausokrom. Karena pelarut yang
digunakan pada pengukuran ini sama yaitu metanol, jadi pelarut tidak
berpengaruh pada pergeseran merah ini. Pengaruh auksokrom ini dapat dilihat
bahwa pada difeniltimah dihidroksida mengandung gugus OH yang memiliki
panjang gelombang lebih panjang dibandingkan gugus Cl pada difeniltimah
diklorida.
8

Senyawa yang digunakan pada pengukuran UV ini dilarutkan dalam
metanol kering dengan konsentrasi 10
-4
M. Dengan menggunakan persamaan
Lambert-Beer, dari nilai konsentrasi ini dapat diperoleh masing-masing nilai
ekstingsi molarnya (), yaitu 1540 L mol
-1
cm
-1
untuk difeniltimah diklorida, 1550
L cm
-1
mol
-1
untuk difeniltimah dihidroksida.
Diketahui bahwa pada nilai ekstingsi molar 10 10
2
L mol
-1
cm
-1
terjadi
transisi elektron pada orbital n - *, 10
2
-

3.10
3
L mol
-1
cm
-1
terjadi transisi
elektron pada orbital n - * serta pada 10
3
10
4
L mol
-1
cm
-1
terjadi transisi
elektron pada orbital
- *. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada difeniltimah diklorida dan
difeniltimah hidroksida terjadi transisi elektron n - * dan - * yaitu transisi
elektron aromatik dari gugus fenil dan elektron n menyendiri dari gugus Cl
maupun OH.
5

Dari analisis dengan spektrofotometer FT-IR dan UV, belum dapat
ditentukan struktur senyawa yang dihasilkan, namun dari hasil penelitian
terdahulu (Azizah, 2001) dikemukakan bahwa diorganotimah diklorida berupa
polimer dengan bentuk geometri oktahedral (sp
3
d
2
). Polimer ini terjadi karena
pada diorganotimah diklorida terdapat atom Cl yang elektronegatif dan memiliki
lebih dari satu pasang elektron bebas. Sehingga pada saat satu pasang elektron
bebas pada Cl digunakan untuk berikatan dengan logam Sn, maka satu pasang
elektron bebas lain dapat digunakan juga oleh Cl untuk berikatan dengan logam
Sn lain. Struktur difeniltimah diklorida dapat dilihat pada Gambar 5.








Keterangan : R = fenil

Gambar 5. Struktur polimer difeniltimah diklorida
Sn
Cl
Cl
Sn
Cl
Cl
Cl
Cl
Sn
Sn
R
R
R
R
R
R
R
R


PKMP-5-1-8

Difeniltimah dihidroksida strukturnya juga berupa polimer, hal ini terjadi karena
difeniltimah dihidroksida juga mengandung atom O yang bersifat elektronegatif
yang mempunyai lebih dari satu pasang elektron bebas. Setelah satu pasang
elektron bebas digunakan untuk berikatan dengan logam Sn, maka seperti pada
difeniltimah diklorida, atom oksigen ini menggunakan kelebihan pasangan
elektron bebasnya untuk berikatan dengan Sn. Sehingga terbentuk struktur
polimer dengan jembatan dimer OH.
9
Struktur polimer untuk senyawa
difeniltimah dihidroksida ditunjukkan pada Gambar 6.
Ph H Ph
O

Sn Sn


O
Ph H Ph

Gambar 6. Struktur polimer difeniltimah dihidroksida

Sintesis Senyawa Difeniltimah Disalisilat
Senyawa difeniltimah disalisilat diperoleh dengan cara mereaksikan
0,3067 g (0,001 mol) difeniltimah dihidroksida (yang didapat dari sintesis
awal) dengan 0,276 g asam salisilat didalam pelarut metanol dengan variasi
waktu refluks yang berbeda-beda, yaitu 2, 3, 4 dan 5 Jam dengan suhu konstan
60C . Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

(C
6
H
5
)
2
Sn(OH)
2
+ 2(C
6
H
4
)COOHOH (C
6
H
5
)
2
Sn(OCOC
6
H
4
OH)
2
+ H
2
O

Pada reaksi ini terjadi penggantian gugus hidroksida oleh gugus
karboksilat sehingga terbentuk senyawa organotimah karboksilat yaitu senyawa
difeniltimah disalisilat. Proses penggantian gugus hidroksida oleh gugus salisilat
dapat dilihat sebagai reaksi esterifikasi, yaitu reaksi pembentukkan ester dari suatu
asam karboksilat dengan suatu alkohol. Dalam hal ini asam salisilat tidak dapat
menggantikan gugus fenil karena gugus fenil cukup besar dan meruah sehingga
rintangan steriknya besar, jadi reaksi esterifikasinya terbentuk dengan penggantian
gugus OH oleh gugus salisilat membentuk difeniltimah disalisilat.
Dari empat variasi waktu refluks yang digunakan, diperoleh hasil endapan
seperti pada Tabel 2 :

Tabel 2. Pengamatan waktu refluks terhadap pembentukan difeniltimah disalisilat
pada suhu 60C
Waktu refluks
(jam)
Berat difeniltimah
disalisilat (gram)
Persen difeniltimah
disalisilat
2 0,5080 92,92%
3 0,5117 93,59 %


PKMP-5-1-9
4 0,5296 96,87 %
5 0,5012 91,67 %

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa difeniltimah disalisilat yang dihasilkan
meningkat jumlahnya dengan peningkatan waktu refluks 2 sampai 4 jam, tetapi
kembali turun pada waktu 5 jam. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi sempurna
sintesis difeniltimah disalisilat terjadi pada waktu refluks 4 jam. Difeniltimah
disalisilat hasil sintesis ini berupa kristal berwarna putih.
Untuk membuktikan senyawa yang dihasilkan adalah difeniltimah
disalisilat maka dilakukan identifikasi dengan spektrum FT-IR dan UV. Sebagai
pembanding digunakan asam salisilat dan difeniltimah dihidroksida (Gambar 2).
Hasil pengukuran dengan spektrum FT-IR untuk senyawa difeniltimah disalisilat
dan asam salisilat dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. Pengukuran ini
memperlihatkan perbedaan yang cukup signifikan antara senyawa ligan dan
senyawa kompleksnya. Hasil serapan yang karakteristik dari senyawa-senyawa
tersebut disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Serapan FT-IR karakteristik dari senyawa difeniltimah disalisilat
(DFTA), asam salisilat dan difeniltimah dihidroksida (DFTOH).
Jenis Senyawa Tipe
Serapan
(cm
-1
)
DFTA
Asam
Salisilat
DFTOH
Referensi
(cm
-1
)
Sn-O
Fenil
C=O
O-H
C=C
C-O
550
1430; 759,95
1660,71
3240,41
1480
1249,87
-
-
1662,3
3232,7
1445
1297,6
572,6
1480,2; 719,6
-
-
-
-


500-600
1479; 1428; 729
1740-1650
2860-3300
1650-1450
1320-1210

Pada spektrum asam salisilat menunjukkan serapan karakteristik untuk
senyawa karboksilat yaitu serapan vibrasi ulur dari gugus C=O pada daerah
1662,3 cm
-1
, serapan dari gugus O-H yang sangat terbedakan pada daerah sekitar
3300 cm
-1
yang sangat lebar. Serapan ini sangat lebar dan berbeda dengan
spektrum pada alkohol hal ini disebabkan karena asam salisilat membentuk
dimmer berdasarkan ikatan hidrogen.
5

Serapan C=C aromatik dari gugus benzen terlihat pada daerah 1480 cm
-1

dan serapan C-O pada daerah 1249,87 cm
-1
. Tipe serapan yang terjadi pada asam
salisilat juga terlihat pada senyawa kompleks difeniltimah disalisilat yaitu serapan
vibrasi ulur dari gugus C=O pada daerah 1660,71 cm
-1
, serapan C=C aromatik
dari gugus benzen pada daerah 1480 cm
-1
dan serapan C-O pada daerah 1249,87
cm
-1
perbedaannya pada senyawa difeniltimah disalisilat juga terlihat serapan
karakteristik dari gugus-gugus pada senyawa difeniltimah dihidroksida, seperti
serapan Sn-O pada 500-600 cm
-1
yaitu tepatnya pada daerah 550 cm
-1
dan serapan
fenil pada daerah 1430 cm
-1
dan 759,95 cm
-1
.


PKMP-5-1-10
Pada spektrum difeniltimah disalisilat memperlihatkan serapan O-H pada
daerah 3240,41 cm
-1
yang tidak lagi melebar seperti pada ligan asam salisilat, hal
ini disebabkan karena terputusnya ikatan hidrogen dari O-H karboksil asam
salisilat, dimana pasangan elektronnya masuk dan berkoordinasi dengan Sn
3
Masih adanya pita serapan ulur O-H kemungkinan disebabkan oleh gugus O-H
pada ligannya yang tidak ikut berkoordinasi dengan Sn.












Gambar 7. Spektrum FT-IR difeniltimah disalisilat














Gambar 8. Spektrum FT-IR asam salisilat

Selain menggunakan spektrum FT-IR juga dilakukan identifikasi dengan
menggunakan spektrum UV, sebagai pembanding keberhasilan sintesis ini,
digunakan spektrum UV dari senyawa awal yaitu asam salisilat (Gambar 10) dan
difeniltimah dihidroksida (Gambar 3). Spektrum UV dari senyawa difeniltimah
disalisilat ditunjukkan pada Gambar 9.
Hasil spektrum UV diperoleh panjang gelombang maksimum (
mak
)
untuk difeniltimah disalisilat sebesar 302,4 nm (Gambar 9) sedangkan asam
salisilat 300 nm (Gambar 10). Spektrum ini memperlihatkan bahwa terjadi
pergeseran kearah panjang gelombang yang lebih panjang pada difeniltimah
disalisilat yaitu sebesar 2,4 nm. Seperti dijelaskan pada pembahasan UV untuk
difeniltimah dihidroksida pergeseran kearah panjang gelombang yang lebih
panjang disebabkan karena pengaruh pelarut atau auksokrom. Karena pada


PKMP-5-1-11
sintesis ini juga digunakan pelarut yang sama yaitu metanol maka yang
berpengaruh disini adalah auksokrom.













Gambar 9. Spektrum UV difeniltimah disalisilat












Gambar 10. Spektrum UV asam salisilat

Dari struktur senyawa difeniltimah disalisilat dapat dilihat senyawa
difeniltimah disalisilat mengandung dua gugus fenil (elektron aromatik ) dan
gugus benzen (elektron aromatik) sedangkan asam salisilat hanya
mengandung satu gugus benzen, secara teori senyawa yang memiliki banyak
elektron aromatik mengalami transisi elektron dari - * dimana transisi ini
hanya membutuhkan energi yang kecil. Sesuai dengan hukum Lambert-Beer
energi berbanding terbalik dengan panjang gelombang, maka pada energi yang
kecil akan menghasilkan panjang gelombang yang besar. Pergeseran panjang
gelombang yang kecil hanya 2,4 nm dapat terjadi karena pada senyawa
difeniltimah disalisilat tidak lagi mengalami konjugasi elektron seperti pada
asam salisilat karena elektron bebas pada atom O karbonil telah berikatan dengan
Sn, dimana adanya konjugasi elektron akan memperkecil energi transisi
(panjang gelombangnya besar), namun hal itu tidak terjadi lagi pada difeniltimah
disalisilat.
Bila dibandingkan terhadap difeniltimah dihidroksida
mak
= 289,6 nm
(Gambar 3), panjang gelombang difeniltimah disalisilat juga mengalami
perubahan kearah panjang gelombang yang lebih panjang yaitu sebesar 12,8 nm.
Ini dapat terjadi karena gugus auksokrom OH digantikan dengan anion salisilat


PKMP-5-1-12
yang mengandung elektron aromatik. Dimana elektron aromatik mengalami
transisi elektron dengan energi lebih kecil ( - *) dibandingkan dengan gugus
OH pada difeniltimah dihidroksida yang mengalami transisi elektron dari n - *
yang membutuhkan energi yang besar.
Dengan persamaan Lambert-Beer dihitung nilai ekstingsi molarnya ().
Nilai ekstingsi molar () dapat menunjukkan tipe transisi yang terjadi dari
senyawa tersebut. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai ekstingsi molar () untuk
difeniltimah disalisilat dan asam salisilat yaitu 7760 dan 4040 L cm
-1
mol
-1
. Nilai
ini menunjukkan transisi elektron yang terjadi adalah transisi dari - * dan n -
* yaitu transisi elektron aromatik dari gugus fenil maupun benzen dan
elektron n menyendiri dari gugus OH.
5
Dari analisis kedua spektrofotometer
tersebut dapat diperkirakan bahwa senyawa yang disintesis adalah difeniltimah
disalisilat.
Hasil analisis dengan spektrofotometer FT-IR dan UV tidaklah cukup
untuk menentukan struktur senyawa yang dihasilkan, dengan melihat konfigurasi
elektron atom timah Sn dan ligan yang terlibat, struktur difeniltimah disalisilat
dapat ditentukan.

Diagram orbital valensi Sn
4+
adalah sebagai berikut :


Sn
4+
(Kr)
4d 5s 5p 5d

Pada diagram tersebut, orbital 5d dari Sn masih dapat menerima pasangan
elektron dari suatu ligan dan berpeluang membentuk bilangan koordinasi 5, 6
bahkan 7 dengan jalan membentuk polimer melalui jembatan atom O dari
karboksil. Ligan yang terlibat yaitu asam salisilat dapat menyumbangkan
pasangan elektronnya melalui dua atom O karboksilnya. Gugus OH yang
berkedudukan ortho dari dari gugus karboksil berpeluang kecil untuk ikut
berkoordinasi karena adanya halangan sterik. Hal ini dapat dilihat dari spektrum
FT-IR difeniltimah disalisilat yang menunjukkan serapan pita serapan ulur O-H.



R R






R R

Keterangan : R = salisilat
R = Fenil

Gambar 11. Struktur polimer difeniltimah disalisilat.
O
C
R'
O
Sn
O
C
R'
O
Sn


PKMP-5-1-13
Pelarut yang digunakan dalam sintesis ini yaitu metanol juga berpeluang
untuk berkoordinasi dengan Sn, namun karena asam salisilat lebih bersifat asam
(mudah melepaskan atom H) dibandingkan metanol maka asam salisilat lebih
mudah bereaksi dengan atom Sn. Jadi bilangan koordinasi yang mungkin untuk
Sn dalam difeniltimah disalisilat adalah 6, yaitu 2 dari gugus fenil dan dan 4 dari
gugus salisilat yang membentuk jembatan dengan hibridisasi sp
3
d
2
(Oktahedral).
Struktur polimer difeniltimah disalisilat dapat dilihat pada Gambar 11.

DAFTAR PUSTAKA
1. Azizah, N. 2001. Sintesis Secara Langsung dan Karakterisasi
Dibenziltimah Diklorida dan Tribenzoiltimah Klorida. Skripsi FMIPA UI.
2. Bonire, J.J., G.A. Ayoko., P.F. Olurinola., J.O. Ehinmidu., N.S.N. Jalil.,
A.A. Omachi. 1998. Synthesis and Antifungal Activity of Some
Organotin(IV) Carboxylates. Applied Organometallic of Chemistry, Vol 5,
No 4.
3. Brahmanawati, J. 1999. Sintesa dan Karakterisasi Senyawa Dibutiltimah
DiBenzoat. Skripsi Jurusan Kimia FMIPA. Universitas Indonesia. Jakarta.
4. Cotton, F.A and G. Wilkinson. 1989. Kimia Anorganik Dasar.
Terjemahan oleh S. Suharto. UI Press. Jakarta.
5. Fessenden, R.J dan J.S. Fessenden. 1996. Kimia Organik Dasar. Jilid 2.
Terjemahan oleh A.H. Pudjaatmaka. Penerbit Erlangga. Jakarta.
6. Mulyati Students dan Syarifuddin. 1995. Pityriasis Versicolor dan
Masalahnya. Majalah Parasitologi Indonesia. Vol 8. Jakarta. Hal 27-29.
7. Purcell, K.F. and F. Keith. 1980. An Introduction to Inorganic Chemistry.
Sounders College. Philadelphia.
8. Sudjadi. 1985. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Ghalia. Indonesia
9. Sumadyo, I.M. 2003. Sintesa dan Karakterisasi Senyawa Dibutiltimah
Dibenzoat. Skripsi Jurusan FMIPA. Universitas Indonesia. Jakarta.
10. Willkinson dan Sir Geofery. 1982. Comprehensive Organometallic
Chemistry, International tin research Institute. Publication No. 618.
Pergamon Press.


PKMP-5-2-1

FREKUENSI SIULAN LUMBA-LUMBA HIDUNG BOTOL (Tursiops sp.)
SAAT BERENANG BERSAMA ANAK-ANAK DI GELANGGANG
SAMUDERA JAYA ANCOL TAMAN IMPIAN JAYA ANCOL

Alfrido Marlianno, Ika Mustika A., Linda Retnawaty, Yudha Fariska
PS Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Depok

ABSTRAK
Penggunaan lumba-lumba hidung botol sebagai hewan penghibur dan media
pembantu dalam terapi penyakit semakin meningkat. Hal tersebut dapat
menyebabkan perubahan perilaku lumba-lumba hidung botol. Perubahan
tersebut dapat diketahui dari perubahan frekuensi siulan dan klik lumba-lumba
hidung botol. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan apakah terdapat
perbedaan frekuensi siulan dan klik lumba-lumba hidung botol saat berenang
bersama anak-anak dengan kondisi normal (BDL), anak-anak dengan kondisi
khusus (TDL), dan saat tidak berenang bersama anak-anak (tidak ada gangguan)
di Gelanggang Samudera Jaya Ancol. Penelitian ini dilakukan dengan merekam
suara lumba-lumba hidung botol. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa lumba-
lumba hidung botol istirahat dan tidur saat keadaan normal, berenang cepat di
bawah permukaan air ketika BDL, dan mengambang dekat dengan para pasien
saat TDL. Jumlah siulan dan klik saat keadaan normal sebanyak 10 siulan dan
22 klik. Jumlah siulan dan klik saat BDL sebanyak 9 siulan dan 13 klik. Jumlah
siulan dan klik saat TDL sebanyak 45 siulan dan 32 klik. Rata-rata frekuensi
siulan dan klik saat keadaan normal berturut-turut berkisar 2.543--4.949 Hz dan
36--2.911 Hz. Rata-rata frekuensi siulan dan klik saat BDL berturut-turut
berkisar 2.323--6.887 Hz dan 585--7.929 Hz. Rata-rata frekuensi siulan dan klik
saat TDL berturut-turut berkisar 1.387--5.292 Hz dan 308--6.990 Hz.

Kata kunci: berenang dengan lumba-lumba hidung botol; klik; siulan; terapi
dengan lumba-lumba hidung botol; Tursiops sp.

PENDAHULUAN
Lumba-lumba merupakan hewan yang sering mengeluarkan suara. Suara
tersebut keluar melalui blowhole. Suara yang sering dikeluarkan adalah berupa
siulan (Richardson dkk. 1995: 170). Siulan merupakan salah satu bentuk perilaku
dan sarana komunikasi bagi hewan yang hidup berkelompok seperti lumba-lumba.
Siulan digunakan sebagai alat komunikasi, navigasi, dan berburu (Berrow dkk.
2002: 4). Lilly dan Miller pada tahun 1961, Tyack pada tahun 1985, M. Caldwell
dkk. pada tahun 1990, Schultz dan Corkeron pada tahun 1994, serta Wang Ding
dkk. pada tahun 1995 menyatakan bahwa frekuensi siulan yang dikeluarkan
lumba-lumba hidung botol berkisar 0,8--24 kHz (lihat Richardson dkk. 1995:
174).
Penelitian mengenai siulan lumba-lumba telah dilakukan oleh beberapa
peneliti baik dari alam maupun dari kolam penangkaran. Miksis dkk. (2002: 730)
meneliti perbedaan frekuensi siulan yang dihasilkan lumba-lumba Tursiops
truncatus. Kisaran frekuensi yang dihasilkan T. truncatus yang berasal dari alam
adalah 5024--18216 Hz dan dari kolam penangkaran adalah 4328--14048 Hz.
PKMP-5-2-2

Cole pada tahun 1996 dan Birch pada tahun 1997 menyatakan bahwa
sinyal ultrasonik yang berasal dari proses ekolokasi lumba-lumba dapat
menstimulasi sistem endokrin manusia (lihat Brensing 2004: 12). Brensing
(2004: 13) meneliti frekuensi suara yang dikeluarkan lumba-lumba hidung botol,
T. truncatus, terhadap sejumlah kelompok anak-anak dalam program berenang
bersama. Hasil penelitian mengenai frekuensi suara yang dikeluarkan adalah
sebesar 120 kHz.
Gelanggang Samudera Taman Impian Jaya Ancol merupakan salah satu
tempat rekreasi dan penangkaran lumba-lumba di Indonesia, serta berfungsi
sebagai sarana konservasi. Jenis lumba-lumba yang dimiliki oleh Gelanggang
Samudera Jaya Ancol (GSJA) adalah lumba-lumba hidung botol (Tursiops sp.)
(Klinowska 1995: 27--28; Priyono 2001: 4&10; Culik 2003: 1--3). Lumba-lumba
tersebut dipelihara untuk digunakan sebagai hewan pertunjukkan (pentas). Selain
untuk pertunjukkan, lumba-lumba pun digunakan dalam program Berenang
Bersama Lumba-lumba. Program tersebut baru dimulai diawal tahun 2005.
Program tersebut ditujukan untuk anak-anak yang berusia dibawah 12 tahun.
Program tersebut mempunyai 2 tujuan, yaitu tujuan rekreasi dan kesehatan.
Program berenang bersama lumba-lumba yang bertujuan rekreasi adalah berupa
kegiatan anak-anak Berenang dengan lumba-lumba (BDL). Sedangkan
program yang bertujuan untuk kesehatan adalah program Terapi dengan lumba-
lumba (TDL) bagi anak-anak dengan kondisi khusus. Data dan informasi
penelitian mengenai lumba-lumba terutama frekuensi siulan lumba-lumba di
GSJA belum memadai. Penelitian mengenai frekuensi siulan lumba-lumba
hidung botol saat berenang bersama anak-anak di GSJA belum pernah dilakukan
sebelumnya. Oleh karena itu penelitian yang akan dilakukan untuk memperoleh
informasi mengenai frekuensi siulan lumba-lumba khususnya saat berenang
bersama anak-anak.
Penelitian mengenai frekuensi suara lumba-lumba di alam dan di kolam
penangkaran telah dilakukan di negara-negara maju, yaitu Amerika Serikat,
Australia, dan Skotlandia. Frekuensi yang dihasilkan T. truncatus saat berenang
bersama anak-anak dilakukan oleh Brensing pada tahun 2004. Frekuensi suara
lumba-lumba saat berenang bersama anak-anak adalah sebesar 120 kHz (Brensing
2004: 12--13). Namun, Brensing tidak meneliti frekuensi siulan yang dikeluarkan
oleh T. truncatus saat berenang bersama anak-anak.
Rumusan masalah penelitian adalah apakah ada perbedaan frekuensi siulan
lumba-lumba hidung botol pada 3 kondisi. Kondisi tersebut adalah saat berenang
bersama anak-anak dengan kondisi khusus, saat berenang bersama anak-anak
normal dan saat tidak berenang bersama anak-anak.
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui perbedaan
frekuensi siulan lumba-lumba hidung botol (saat berenang bersama anak-anak
dengan kondisi khusus, saat berenang bersama anak-anak normal, dan saat tidak
berenang bersama anak-anak). Cole pada tahun 1996 dan Birch pada tahun 1997
menyatakan bahwa sinyal ultrasonik yang berasal dari proses ekolokasi lumba-
lumba dapat menstimulasi sistem endokrin manusia (lihat Brensing 2004: 12).
Hasil atau luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah data kisaran
frekuensi siulan lumba-lumba yang diperoleh saat kegiatan berenang bersama
anak-anak.
PKMP-5-2-3

Data frekuensi siulan lumba-lumba yang diperoleh dapat digunakan
sebagai data dasar pembuatan alat fisioterapi bagi anak-anak dengan kondisi
khusus.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di kolam Fanta-sea Dolphin Gelangganng Samudera
Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Waktu penelitian adalah 4 bulan, terhitung
mulai Maret--Juni 2006.
Gambar 1. Lumba-lumba Gambar 2. Kolam penelitian

Sampel yang digunakan selama penelitian adalah seekor lumba-lumba
hidung botol yang telah dilatih bernama Paulina (Gambar 1). Paulina ditangkap di
pantai utara Jawa (Pekalongan) pada tanggal 28 Agustus 1993. Morfometri yang
terakhir kali dilakukan pada tanggal 20 Mei 2002, Paulina mempunyai berat dan
panjang tubuh berturut-turut 90 kg dan 215 cm. Umur Paulina diperkirakan lebih
dari 20 tahun. Jadwal makan Paulina mengikuti jadwal TDL dilaksanakan.
Bahan yang digunakan adalah 5 buah kaset kosong (Sony HF), tiap-tiap
kaset berdurasi 90 menit. Tempat penelitian adalah sebuah kolam dengan ukuran
diameter 5 m dan kedalaman 3 m, merupakan sebuah kolam kecil dari satu kolam
yang besar. Tiap kolam dibatasi dengan pembatas berupa pagar besi (Gambar 2).
Alat lain yang digunakan dalam penelitian adalah headphone (KOSS) (Gambar 3,
A), perekam suara (Sony WM-GX100) (Gambar 3, B), hidrofon (Aquarian AQ-3)
(Gambar 3, C), komputer (Pentium 4, 1024 RAM, Microsoft Windows XP
Proffesional SP1-RU1), dan perangkat lunak Adobe Audition versi 1.5 edisi 30
hari free trial 2006.
Berikut adalah cara kerja yang dilakukan dalam penelitian:
1. Perekaman siulan dan klik











Gambar 3. Peralatan penelitian

PKMP-5-2-4

Perekaman siulan dan klik dilakukan secara analog yakni menghubungkan
hidrofon dengan alat perekam suara yang berisi kaset. Hidrofon diletakkan 50
cm di bawah permukaan air dan sekitar 1--2 m dari lumba-lumba. Hal tersebut
dilakukan untuk mendapatkan sampel siulan dan klik yang jelas karena hidrofon
terletak dekat sumber suara. Siulan dan klik lumba-lumba akan terdengar melalui
headphone alat perekam suara.

a. Perekaman siulan dan klik lumba-lumba saat keadaan normal

Perekaman siulan dan klik lumba-lumba saat keadaan normal berlangsung
saat lumba-lumba tidak berenang bersama anak-anak atau terhindarnya lumba-
lumba dari kehadiran manusia dan gangguan lainnya. Kondisi tersebut
memungkinkan lumba-lumba untuk mengeluarkan siulan dan klik secara alami.
Lamanya pengambilan data siulan adalah 5 menit. Pengambilan data dilakukan
pengulangan sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda.

b. Perekaman siulan dan klik lumba-lumba saat BDL dan TDL

Siulan dan klik lumba-lumba direkam saat lumba-lumba berenang bersama
satu dari enam anak-anak. Perekaman siulan dan klik lumba-lumba hidung botol
saat BDL dilakukan pada hari yang sama. Perekaman siulan dan klik saat TDL
dilakukan pada hari yang berbeda (Gambar 8). Perekaman siulan dan klik saat
BDL dan TDL dilakukan dalam 3 periode, yaitu awal, pertengahan, dan akhir.
Perekaman siulan dan klik saat periode awal dimulai saat anak-anak dan pasien
masuk ke kolam lumba-lumba (5 menit pertama). Perekaman siulan dan klik saat
periode pertengahan dimulai pada menit ke-15. Perekaman siulan dan klik
periode akhir dilakukan pada menit ke-25, sebelum kegiatan BDL dan TDL
berakhir. Lamanya perekaman data siulan dan klik tiap periode adalah 5 menit.
Perekaman siulan dan klik lumba-lumba hidung botol saat BDL dan TDL
dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali pada hari dan waktu yang berbeda.
Pengulangan tersebut dilakukan terhadap tiap anak-anak dan pasien saat BDL dan
TDL.

2. Analisis Suara










Gambar 4. Pengambilan data TDL

Proses analisis siulan dan klik dilakukan dengan menggunakan Personal
Computer (PC) dan Adobe Audition 1.5. Data yang akan diperoleh adalah
PKMP-5-2-5

Frekuensi Klik Paulina
Keadaan Normal
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
1 4 7 10 13 16 19 22
Ekolokasi ke-
F
r
e
k
u
e
n
s
i

E
k
o
l
o
k
a
s
i
(
H
z
)
Series1
Frekuensi Siulan Paulina saat Kondisi
Normal
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Siulan ke-
F
r
e
k
u
e
n
s
i

S
i
u
l
a
n

(
H
z
)
Series1
frekuensi dan intensitas tiap siulan dan klik. Frekuensi yang akan diukur adalah
frekuensi maksimum dan minimum.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang diperoleh berupa jumlah siulan dan klik yang dikeluarkan
Paulina serta frekuensinya. Jumlah siulan dan klik serta rerata frekuensi yang
dikeluarkan Paulina pada tiga perlakuan yang berbeda dapat dilihat pada tabel
berikut:

Tabel 1. Jumlah siulan dan klik serta rerata frekuensinya pada tiap-tiap keadaan.

Siulan Klik
Perlakuan
Jumlah (n)
Rerata
frekuensi
(kHz)
Jumlah (n)
Rerata
frekuensi
(kHz)
Keadaan
normal
10 3,186 22 0,325
BDL 9 3,574 14 3,858
TDL 45 2,774 32 3,096





A
B
Gambar 5. Frekuensi siulan (A) dan klik (B) pada keadaan normal







PKMP-5-2-6
















A B
Gambar 6. Frekuensi siulan (A) dan klik (B) pada saat BDL
















A B

Gambar 7. Frekuensi siulan (A) dan klik (B) pada saat TDL

Frekuensi siulan dan klik yang dihasilkan Paulina dari tiga perlakuan yang
berbeda dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Jumlah siulan Paulina saat keadaan normal sedikit, kemungkinan karena
Paulina melakukan sedikit komunikasi dengan lumba-lumba hidung botol lainnya
dan lebih banyak melakukan aktivitas istirahat.
Jumlah klik Paulina saat keadaan normal lebih sedikit dibandingkan TDL.
Hal tersebut kemungkinan dikarenakan fungsi klik digunakan sebagai sinyal
pemantau kolam yang merupakan wilayah teritorial Paulina. Hal tersebut sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Tof (1998: 13) yang menyatakan bahwa
lumba-lumba hidung botol menggunakan klik dalam menjaga wilayah teritorial
lumba-lumba hidung botol dari predator.
Frekuensi Klik Paulina
saat BDL
0
2000
4000
6000
8000
10000
1 3 5 7 9 11 13
Ekolokasi ke-
F
r
e
k
u
e
n
s
i

E
k
o
l
o
k
a
s
i

(
H
z
)
Series1
Frekuensi Siulan Paulina saat BDL
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Siulan ke-
F
r
e
k
u
e
n
s
i

S
i
u
l
a
n

(
H
z
)
Series1
Frekuensi Klik Paulina
saat TDL
0
2000
4000
6000
8000
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
Ekolokasi ke-
F
r
e
k
u
e
n
s
i

E
k
o
l
o
k
a
s
i

(
H
z
)
Series1
Frekuensi Siulan Paulina saat TDL
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46
Siulan ke-
F
r
e
k
u
e
n
s
i

S
i
u
l
a
n

(
H
z
)
Series1
PKMP-5-2-7

Spektogram siulan dan klik Paulina dapat dilihat pada gambar berikut:
A B

Gambar 8. Tampilan spektogram siulan (A) dan klik (B)

Paulina mengeluarkan siulan saat BDL dengan jumlah paling sedikit,
kemungkinan karena respons dari anak-anak yang terlibat dalam sesi BDL. Anak-
anak yang mengikuti sesi BDL terlihat dapat beradaptasi dengan cepat terhadap
lingkungan air dan keberadaan lumba-lumba hidung botol. Siulan yang
dikeluarkan Paulina diduga merupakan siulan yang berfungsi untuk
berkomunikasi, seperti halnya siulan yang dikeluarkan ibu untuk anaknya. Hal
tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Richardson dkk. (1995: 150),
Tyack (1999: 302), dan Nowak (2003: 145) yang menyatakan bahwa siulan
digunakan sebagai komunikasi antar anggota kelompok dalam menjaga anak-anak
dan anggota kelompoknya.
Jumlah klik yang dikeluarkan Paulina saat sesi BDL, kemungkinan, karena
respons terhadap banyaknya alat yang digunakan selama sesi BDL. Alat yang
digunakan saat sesi BDL adalah jaket pelampung. Hal tersebut sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Richardson dkk. (1995: 170--178), Pack & Herman
(1999: 2 & 10), dan Jones & Sayigh (2002: 375) yang menyatakan bahwa lumba-
lumba hidung botol menggunakan klik untuk mengetahui bentuk dan lokasi
benda-benda yang berada di depan lumba-lumba. Disamping itu, jumlah klik
tersebut mungkin pula dipengaruhi oleh gerakan tubuh anak-anak saat berenang.
Gerakan tubuh anak-anak saat berenang dapat dikatakan teratur, tenang, dan
terkendali.
Jumlah siulan Paulina paling banyak ditemui ketika sesi TDL. Hal
tersebut kemungkinan karena beberapa pasien tidak dapat beradaptasi dengan
cepat, takut, dan panik terhadap lingkungan air dan keberadaan Paulina. Siulan
yang dikeluarkan Paulina diduga merupakan siulan yang berfungsi untuk
berkomunikasi, seperti halnya siulan yang dikeluarkan ibu untuk anaknya. Hal
tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Richardson dkk. (1995: 150),
Tyack (1999: 302), dan Nowak (2003: 145) yang menyatakan bahwa siulan
digunakan sebagai komunikasi antar anggota kelompok dalam menjaga anak-anak
dan anggota kelompoknya.
Jumlah klik yang dikeluarkan Paulina yang terbanyak diperoleh saat sesi
TDL. Hal tersebut kemungkinan, karena respons terhadap banyaknya alat yang
digunakan selama sesi TDL. Alat yang digunakan saat sesi TDL adalah jaket
PKMP-5-2-8

pelampung, papan pelampung, dan bola. Hal tersebut sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Richardson dkk. (1995: 170--178), Pack & Herman (1999: 2 &
10), dan Jones & Sayigh (2002: 375) yang menyatakan bahwa lumba-lumba
hidung botol menggunakan klik untuk mengetahui bentuk dan lokasi benda-benda
yang berada di depan lumba-lumba. Disamping itu, jumlah klik tersebut mungkin
pula dipengaruhi oleh gerakan tubuh anak-anak saat berenang. Gerakan tubuh
anak-anak saat berenang dapat dikatakan tidak teratur, tidak tenang, dan tidak
terkendali.
Frekuensi suatu siulan lumba-lumba hidung botol mempunyai nilai yang
sama, karena hal tersebut berkaitan dengan sinyal pengenalan diri. Nilai rerata
frekuensi siulan Paulina dari 3 perlakuan yang berbeda mempunyai nilai di bawah
20 kHz. Hasil tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Richardson
dkk. (1995: 170--178), Janik & Slater (1998: 830--835), dan McCowan &
Reiss(2001: 1155) yang menyatakan bahwa nilai frekuensi siulan lumba-lumba
hidung botol, umumnya, di bawah 20 kHz..
Rerata frekuensi klik Paulina dari 3 perlakuan berbeda, nilai rerata
frekuensi klik yang terbesar diperoleh saat sesi BDL. Hal tersebut tidak sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Richardson dkk. (1995: 184) yang menyatakan
bahwa lumba-lumba hidung botol mengeluarkan klik dengan frekuensi tinggi
untuk benda-benda yang dekat dan sebaliknya. Penyimpangan nilai tersebut
kemungkinan saat BDL tidak ada kegiatan pemberian makan, sedangkan lumba-
lumba hidung botol menggunakan klik dengan frekuensi rendah saat makan. Hal
lainnya yang menyebabkan penyimpangan nilai tersebut adalah adanya gangguan
dari lumba-lumba hidung botol saat BDL berlangsung.
Penelitian Brensing pada tahun 2004, menunjukkan bahwa frekuensi klik
yang dihasilkan lumba-lumba pada saat TDL mencapai 120 kHz (Brensing 2004:
13). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan nilai yang berbeda
dari hasil penelitian Brensing. Kisaran frekuensi yang dihasilkan saat TDL di
GSJA yaitu 308--6.990 Hz. hal tersebut mungkin disebabkan perbedaan
lingkungan tempat pengambilan data. Lokasi penelitian Brensing adalah
penangkaran tepi pantai (seaquarium) yang berhubungan langsung dengan
perairan laut sekitar, sedangkan lokasi penelitian di GSJA merupakan
penangkaran yang berupa kolam tertutup. Faktor lain yang dapat menyebabkan
perbedaan hasil tersebut adalah individu yang digunakan pada kedua penelitian
berbeda. Tiap-tiap lumba-lumba memiliki frekuensi siulan dan klik yang berbeda.

KESIMPULAN
1. Jumlah siulan dan klik saat keadaan normal sebanyak 10 siulan dan 22 klik.
Rata-rata frekuensi siulan dan klik saat keadaan normal berturut-turut berkisar
2.543--4.949 Hz dan 36--2.911 Hz.
2. Jumlah siulan dan klik saat BDL sebanyak 9 siulan dan 13 klik. Rata-rata
frekuensi siulan dan klik saat BDL berturut-turut berkisar 2.323--6.887 Hz
dan 585--7.929 Hz.
3. Jumlah siulan dan klik saat TDL sebanyak 45 siulan dan 32 klik. Rata-rata
frekuensi siulan dan klik saat TDL berturut-turut berkisar 1.387--5.292 Hz
dan 308--6.990 Hz.


PKMP-5-2-9

DAFTAR PUSTAKA
1. Berrow, S., B. Holmes, & J. Goold. 2002. The distribution and intensity of
ambient and point source noises in the Shannon estuary. HERITAGE
COUNCIL WLD 003: 32 hlm.
2. Brensing, K. 2004. Approaches to the behavior of dolphins Tursiops
truncatus during unstructured swim-with-dolphin programs. Freie
Universitt, Berlin: 89 hlm.
3. Janik, V.M. & P.I.B. Slater. 1998. Context-specific use suggest that
bottlenose dolphin signature whistles are cohesion calls. Animal behaviour
56: 829--838.
4. Jones, G.J. & L.S. Sayigh. 2002. Geographic variation in rates of vocal
production of free ranging bottlenose dolphins. Marine Mammal Science,
18(2): 374--393.
5. Klinowska, M. 1995. Binatang paus, pesut dan lumba-lumba di Indonesia.
Terj. dari: Dolphins, porpoises and whales of the world: the IUCN red data
book, oleh Suwelo, I.S., Kuncoro D.M. & G.F. Kartasantana. Yayasan
Nasional Bina Samudera, Jakarta: iii + 216 hlm.
6. McCowan, B. & D. Reiss. 2001. The fallacy of signature whistles in
bottlenose dolphins in animal vocalizations. Animal behaviour , 62: 1151--
1162.
7. Miksis, J. L., P.L. Tyack & J.R. Buck. 2002. Captive dolphins, Tursiops
truncatus, develop signature whistles that match acoustic features of human-
made model sounds. J. Acoust. Soc. Am 112 (2): 728--739.
8. Nowak, R. M. 2003. Walkers Marine mammals of the world. The John
Hopkins University Press, Baltimore: xiv + 264 hlm.
9. Pack, A. A. & L. M. Herman.1999. Can dolphin see with sound?.
Upwellings 5 (2): 1--12.
10. Richardson, W.J., C.R. Greene, Jr., C.I. Malme & D.H. Thomson. 1995.
Marine mammals and noise. Academic Press, San Diego: 576 hlm.
11. Tof, I. 1998. Psychophysiological mechanism of therapeutic dolphin-human
interactions. Little tree Pty. Ltd. ? : 1--33.
12. Tyack, P.L. 1999. Communication and cognition. Dalam: Reynolds III, J.E.
& S.A. Rommel (eds.). 1999. Biology of marine mammals. Smithsonian
Institution press, Washington: 578 hlm.
PKMP-5-3-1
PROSPEK Steinernema sp. DAN Heterorhabditis sp. SEBAGAI AGENS
PENGENDALI Meloidogyne incognita CHITWOOD DI LABORATORIUM

Ridwan Fatamorgana, Salbiah, Rike Novianti, Intan W Ekawati, Prakarsa Sitepu
PS Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK.
Meloidogyne incognita merupakan patogen yang bersifat polyfag di berbagai tipe
tanah. Kehilangan hasil mencapai lebih dari 12-15% pada tanaman kedelai.
Meloidogyne incognita berinteraksi dengan beberapa patogen karena nematoda
ini mematahkan pertahanan pada tanaman. Berbagai metode pengendalian telah
banyak dilakukan, namun hasil yang dicapai tidak memuaskan dan menimbulkan
efek samping bagi lingkungan. Oleh karena itulah diperlukan suatu pengendalian
yang ramah lingkungan, salah satunya menggunakan nematoda entomopatogen.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi potensi nematoda Steinernema
dan Heterorhabditis dalam menekan kepadatan populasi M. incognita. Bakteri
simbion yang terdapat di dalam tubuh nematoda entomopatogen memiliki
senyawa yang bersifat antifungal, antibiotik, dan nematisidal. Pengujian
dilakukan secara in vitro untuk Xenorhabdus dalam cawan sirakus dan in vivo
untuk Xenorhabdus serta Steinernema dalam media zeolit. Nematoda
entomopatogen yang didapatkan di CIFOR adalah Steinernema dan bakteri
simbion yang diisolasi dari bagian dalam tubuhnya adalah Xenorhabdus.
Pengujian in vitro Xenorhabdus pada pengamatan 24 JSI menyebabkan
mortalitas L2 M. incognita sebesar 55% pada konsentrasi 2.10
-1
, hal ini
menunjukan bahwa pada konsentrasi tersebut efektif mengendalikan L2 M.
incognita. Pada pengujian in vivo Xenorhabdus menunjukan adanya sifat
menginduksi ketahanan tanaman, sedangkan untuk Steinernema menimbulkan
efek repelensi bagi pembentukan bintil akar pada tanaman tomat.

Kata kunci : Meloidogyne incognita, Xenorhabdus, Steinernema

PENDAHULUAN
Nematoda parasitik tumbuhan menyebabkan kehilangan hasil antara 5 %
sampai 12 % pada berbagai komoditas tanaman dan nematoda bintil akar
Meloidogyne menjadi penyebab kehilangan hasil terbesar (Sasser & Freekman
1987 dalam Fallon et al 2002).
M. incognita Chitwood merupakan patogen tanaman yang bersifat polifag
diberbagai tipe tanah, tersebar di daerah tropik dan subtropik. Kehilangan hasil
mencapai 80 % pada terong, 40% kacang panjang dan 60% kedelai. Rata- rata
kehilangan hasil berkisar 12-15% (CPC 2002). M. incognita dapat meningkatkan
keparahan penyakit pada suatu tanaman dengan cara mematahkan pertahanan
awal tanaman. Sebagai contoh, pada penyakit layu cendawan yang disebabkan
oleh Fusarium dan Rhizoctonia solani pada berbagai tanaman termasuk kapas,
Chickpeas dan tembakau menjadi lebih parah kerusakannya ketika juga
menyerang tanaman yang sama Berbagai pengendalian telah banyak dilakukan
termasuk dengan menggunakan nematisida. Pengendalian dengan menggunakan
nematisida memiliki kekurangan yaitu menyebabkan persistensi di alam,
mematikan organisme non target (musuh alami). Dengan adanya kekurangan
PKMP-5-3-2
tersebut maka manusia selalu mencari pengendalian yang cepat dan tepat sasaran
namun tidak berdampak buruk terhadap lingkungan, kriteria tersebut
mengantarkan pada pengendalian alternatif dengan menggunakan agens antagonis
yang dapat menekan kepadatan populasi patogen. Cara kerja agens antagonis
berbeda-beda, ada yang secara langsung mematikan patogen dan ada juga yang
tidak langsung yaitu dengan merangsang pertahanan tanaman. Pemanfaatan agens
hayati dari golongan nematoda entomopatogen untuk mengendalikan masih
banyak diteliti para ilmuwan fitopatologi. Penelitian tentang aplikasi nematoda
entomopatogen Steinernema dan Heterorhabditis terhadap nematoda parasitik
tumbuhan telah banyak dilaporkan seperti pada Belonolaimus, Tylenchorhynchus,
Criconematidae, Globodera rostochiensis dan Meloidogyne (Fallon et al 2002).
Pemanfaatan nematoda entomopatogen dilaporkan dapat mengurangi kepadatan
populasi nematoda parasitik tumbuhan dan penelitian tersebut dilakukan di daerah
yang beriklim sedang (subtropik). Perbedaan iklim dan kondisi lingkungan
memungkinkan strain, virulensi fitonematoda dan nematoda entomopatogen
berbeda satu sama lainnya. Dengan perbedaan seperti itu, maka diperlukan studi
tentang prospek nematoda entomopatogen khususnya Steinernema dan
Heterorhabditis dalam menekan kepadatan populasi nematoda bintil akar M.
incognita Chitwood di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi potensi nematoda Steinernema dan Heterorhabditis dalam menekan
kepadatan populasi M. incognita. Penelitian ini bermanfaat sebagai studi awal
dalam pengendalian fitonematoda M. incognita dengan menggunakan agens
antagonis, untuk mengurangi penggunaan nematisida dikalangan petani dan
masyarakat luas.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2006 sampai Juni 2006 di
Laboratorium Nematologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor dan pengambilan sampel tanah serta inokulum
dilaksanakan di wilayah CIFOR Bogor dan Pasir Sarongge Cipanas Cianjur .
Pembiakan Meloidogyne incognita
Meloidogyne incognita dipersiapkan terlebih dahulu dengan cara
dibiakkan didalam pot dengan menggunakan tanah steril yang ditanami tanaman
tomat sebagai inangnya. Sebanyak 1000 ml tanah steril dimasukkan kedalam pot
yang berukuran 1500 ml, kemudian masukkan M. incognita yang akan dibiakkan
berupa larva yang belum membengkak kedalam pot yang berisi tanah tersebut dan
benih tomat yang berumur 10 hari ditanam lalu siram dengan air sampai mencapai
kapasitas lapang. Tanaman tomat dirawat setiap hari sampai M. incognita tersebut
diperlukan untuk pengujian lanjutan.

Pemerangkapan dan Identifikasi Nematoda Entomopatogen
Pemerangkapan nematoda entomopatogen dilakukan dengan cara
mengambil sampel tanah disekitar perakaran tanaman menggunakan soil sampler
berdiameter 5 cm. Teknis pengambilan sampel tanah adalah mengambil dengan
metode bintang, dalam satu kali pengambilan terdiri dari 10 kali tusukan pada
tanah di sekitar perakaran tanaman. Kedalaman tusukan sekitar 20 cm yang dibagi
menjadi dua dengan asumsi bahwa nematoda entomopatogen Steinernema berada
PKMP-5-3-3
pada bagian atas dekat permukaan tanah, sedangkan Heterorhabditis berada pada
bagian bawah. Sampel tanah dibawa ke laboratorium untuk dilakukan
pemerangkapan nematoda entomopatogen. Pemerangkapan dilakukan dengan cara
memasukkan setiap sampel tanah komposit sebanyak 1000 ml dengan kedalam
pot dalam kapasitas lapang. Larva T. molitor dimasukan kedalam kurungan
silindrik kasa baja tahan karat 100 mesh berdiameter 1 cm dengan panjang 7 cm.
Tiap kurungan diisi 5 larva instar akhir. Kurungan yang telah berisi larva tersebut
dikubur sampel tanah dengan posisi miring sekitar 30
0
dan sebagian kurungan
menyembul keluar. Larva yang telah mati dari setiap contoh tanah diambil setiap
3-4 hari kemudian dicuci dengan air destilata. Larva dari setiap sampel tanah
diinkubasi dalam cawan petri (100 X 20 mm) selama 2-3 hari. Setelah masa
inkubasi tersebut, larva yang terinfeksi oleh nematoda entomopatogen akan
menunjukkan gejala (Poinar 1979 dalam Anggraeni 2003). Larva T. molitor yang
menunjukkan gejala diamati dibawah mikroskop stereo, kemudian diekstrak dan
dilakukan uji Postulat Koch. Setelah Postulat Koch berhasil maka dilakukan
identifikasi berdasarkan karakter morfometri (Wouts 1991; Kaya & Stock 1997),
nematoda dipersiapkan dalam preparat semipermanen dengan media laktofenol.
Pengamatan karakter morfologi dan morfometri untuk mengambil jenis nematoda
entomopatogen yang didapatkan dari tiap sampel tanah. Perbedaan spesies
nematoda diduga dari tiap karakter morfometri dan nilai standar deviasinya.

Pengujian dan Perbanyakan Nematoda Entomopatogen pada T. molitor
Pengujian nematoda entomopatogen dapat dilakukan juga untuk
perbanyakan. Pengujian dilakukan secara in vitro dengan cara perangkap White
menggunakan larva instar akhir T. molitor. Larva yang terinfeksi dipindahkan
kedalam cawan petri kecil (5 cm) yang telah dilapisi kertas saring dan diletakkan
terbalik kedalam cawan petri besar (20 cm). Cawan besar diisi air destilata
setengah kapasitas isi lalu ditutup dan diinkubasi selama satu minggu sampai
nematoda pradewasa bermigrasi ke air destilata. Waktu yang dibutuhkan larva
keluar dari umpan yang telah mati bervariasi. Setelah penetrasi, Steinernematidae
biasanya memerlukan waktu sekitar 8-10 hari, sedangkan Heterorhabditidae
memerlukan waktu sekitar 14-15 hari (Kaya & Stock 1997). Pradewasa akan
berkerumun didalam air destilata steril didasar cawan besar. Nematoda yang
terperangkap didalam air steril tadi disimpan dalam botol dan dimasukkan
kedalam refrigerator dalam suhu 10
0
C untuk dipersiapkan pada pengujian
selanjutnya.

Isolasi Bakteri Simbion dari Nematoda Entomopatogen
Isolasi bakteri simbion dilakukan dengan cara menggerus T. molitor yang
terinfeksi oleh nematoda entomopatogen dan dibiakkan dalam Nutrient Agar dan
Tryptic Sucrose Agar yang memiliki kandungan sucrose 1.00 g, tryptose 0.20 g,
Na2HPO4.7 H2O 0.60 g, KH2PO4 0.02 g, agar 1.5 g, air steril 100 ml.

Pengujian I n Vitro Bakteri terhadap Meloidogyne incognita
Pengujian secara in vitro dilakukan diatas cawan petri, 60 ekor larva instar
2 M. Incognita dan dimasukan suspensi bakteri Xenorhabdus dengan konsentrasi
2.10
1
, 2.10
-2
, 2.10
-3
, 2.10
-4
, 2.10
-5
, dan 2.10
-6
loop/ml. Hal-hal yang diamati pada
PKMP-5-3-4
waktu pengamatan adalah mortalitas dengan memakai rumus penghitungan
sebagai berikut;

M = mp-mk x 100%
300
Dengan M adalah mortalitas L2 karena perlakuan, mp adalah jumlah L2
mati pada perlakuan dan mk adalah jumlah L2 pada kontrol.
Pengujian I n Vivo Bakteri dan Steinernema terhadap Meloidogyne incognita
Pengujian in vivo dilakukan atas dasar untuk mengetahui perlakuan dengan
konsentrasi berapa dan faktor perlakuan apakah yang dapat menyebabkan
penurunan populasi nematoda puru akar M. incognita. Pengujian secara in vivo
dilakukan di tanaman tomat yang berumur 1 minggu pada media zeolit kemudian
diinolukasikan M. incognita sebanyak 1000 ekor larva instar 2 pada tiap tanaman
dalam media tersebut. Pengujian dalam media zeolit menggunakan bakteri
dengan konsentrasi 2.10
-1
, 2.10
-2
, 2.10
-3
, 2.10
-4
, 2.10
-5
, dan 2.10
-6
loop/ml serta
Steinernema dengan konsentrasi 100, 500, 1.000, 5.000, dan 10.000 ekor/ml.
Untuk kontrol tanpa perlakuan dilakukan sebanyak 5 kali ulangan. Jumlah
ulangan pada tiap perlakuan sebanyak 5 kali ulangan kemudian pengamatan
dilakukan 6 MSI (minggu setelah inokulasi). Aspek- aspek yang diamati adalah
bobot kering udara (BKU) dan penetasan telur M. incognita.
Rumus untuk menghitung tingkat efikasi obyek yang diujikan adalah
adalah sebagai berikut:

TE = pf kontrol-pf perlakuan x 100%

Pf kontrol Dengan pf adalah populasi akhir yang merupakan jumlah L2
dan telur yang terekstrak pertanaman pot dan pi adalah populasi awal yang
merupakan jumlah L2 yang diinfestasikan. Dengan kriteria 4 tingkat, yaitu tidak
efektif bila TE<25%, cukup efektif bila 25%<TE<50%, efektif bila
50%<TE<75%, dan sangat efektif bila TE>75%.
Pengolahan Data
Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan sidik ragam dan analisis data uji selang berganda Duncan pada taraf
nyata 95% pada program microsoft excel 2003 dan Minitab dengan uji in vitro
bakteri simbion 7 perlakuan dan uji in vivo (bakteri simbion dan Steinernema) 7
perlakuan yang masing masing terdiri dari 5 ulangan pada tiap perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Nematoda Entomopatogen di
Wilayah CIFOR
Dari hasil eksplorasi yang didapatkan dari wilayah CIFOR diidentifikasi
bahwa nematoda entomopatogen tersebut merupakan Steinernema dari famili
Steinernematidae (Ordo Rhabditida). Yang dijadikan dasar sebagai identifikasi
nematoda entomopatogen (NE) ini adalah dari karakter kualitatif seperti morfologi
dan anatomi serta karakter lainnya seperti cara menginfeksi inangnya yaitu ulat
bambu atau ulat hongkong (Tenebrio molitor) serta perubahan warna pada inang
tersebut setelah diinfeksi oleh nematoda entomopatogen tersebut. Karakteristik
morfologi dan anatomi Steinernema adalah kepalanya set off, stomanya berbentuk
silinder panjang serta melebar, esofagus di bagian corpus berbentuk silinder yang
PKMP-5-3-5
diikuti isthmus serta basal bulb yang disertai katup (Gambar 1). Jantan memiliki
spikula berukuran relatif besar dan lebar, testis tunggal dan tidak memiliki bursa
(Gambar 1), sementara itu pada betina memiliki vulva yang menonjol keluar,
sepasang ovari yang posisinya berlawanan satu sama lain dengan ekor pendek
yang ujungnya membulat (Gambar 1)


(a) (b) (c)
Gambar 1. Morfologi Steinernema pada bagian esofagus (a) ekor jantan (b)
kelamin betina (c) (creatures.ifas.ufl.edu/ nematode/S_s_female.jpg)

Identifikasi sampai tingkat spesies tidak dapat dilakukan karena hal
tersebut harus dilihat dari karakter morfometri yang pada perkembangbiakannya
nematoda yang secara in vivo dalam inang standarnya yaitu Galleria mellonella
bukan pada inang Tenebrio molitor. Nguyen dan Smart (1996) dalam Adams dan
Nguyen (2002) menyatakan bahwa dalam mengidentifikasi seekor nematoda
entomopatogen, langkah- langkah identifikasi harus dipertimbangkan menurut (i)
variasi morfologi dan morfometri, untuk keseragaman harus menggunakan inang
Galleria mellonella; (ii) perbedaan variasi diantara individu - individu NE
tersebut pada spesies yang sama, untuk mengukurnya direkomendasikan
sedikitnya 10 ekor juvenil infektif (JI) dan jantannya; (iii) menyamakan standar
panjang tubuh JI dengan kunci identifikasi; (iv) membandingkan dengan data-
data yang ada; (v) mengkaji ulang NE yang ditemukan dibawah investigasi
lanjutan; serta (vi) deskripsi murni termasuk yang lebih terperinci serta harus
dikonsultasikan sebagai konfirmasi tentang penemuan tersebut.

Isolasi Bakteri yang Bersimbiosis dalam Pembusukan T. molitor Setelah
Terjadi Infeksi Steinernema
Bakteri yang diduga bersimbiosis dalam proses pembusukan jaringan
tubuh T. molitor setelah terjadi infeksi oleh Steinernema dibiakan dalam 2 jenis
media yaitu Nutrient Agar (NA) dan Tryptic Sucrose Agar (TSA) yang
merupakan media umum untuk bakteri. Pada media NA dan TSA digoreskan
bakteri sebanyak 2 loop penuh dengan 5 kali penggoresan pada kedua media
tersebut. Koloni bakteri yang nampak secara visual berwarna krem.
Perkembangan bakteri pada kedua media tersebut sangat lama (gambar 4), koloni
bakteri yang berumur 1 bulan pada media TSA hanya berkumpul pada daerah
goresan saja dan tebal, sedangkan koloni bakteri pada media NA menyebar
hampir merata pada seluruh permukaan media akan tetapi ketebalan koloni bakteri
tersebut tipis. Hal ini diduga bahwa bakteri lebih menyukai media NA
dibandingkan dengan media TSA. Thaler et al (1998) menyatakan bahwa sel
PKMP-5-3-6
bakteri dapat tumbuh pada Luria-Bertani broth untuk kultur larutannya dan pada
nutrient agar (NA). Bakteri yang diduga bersimbiosis dengan Steinernema pada
proses pembusukan
T. molitor dapat dilihat pada pembesaran 1000 kali. Bakteri ini berbentuk
agak bulat dan lonjong dengan pergerakan yang aktif dengan bergetar, hal ini
diduga bahwa bakteri yang didapatkan merupakan bakteri yang memiliki bulu-
bulu getar disekeliling permukaan tubuhnya. Jika dilihat dari warna koloni dan
bentuk individu bakteri tersebut dapat dikatakan bahwa bakteri ini adalah bakteri
simbion



Gambar 2 Pertumbuhan bakteri pada TSA (kiri) dan NA (kanan) setelah berumur
1 bulan

Pada saat pemurnian bakteri simbion pada media NA, terdapat kontaminan
bakteri berwarna merah yang diduga sebagai Serratia marcescens. Akan tetapi
bakteri merah ini tidak dapat berkembang dengan baik ketika koloninya
berhadapan dengan bakteri simbion, pada kedua wilayah koloni dipisahkan suatu
zona transparan yang tipis. Hal ini menunjukan bahwa bakteri simbion ini
memiliki sifat antibiotik terhadap bakteri lainnya. Boemare et al (1993) dalam
sebuah jurnal ilmiahnya menyatakan bahwa bacteriocin pada Xenorhabdus
mungkin terdapat di bagian kepalanya yang diselimuti pelindung atau yang
terdapat di bagian dalamnya, yang salah satu bagiannya adalah berfungsi sebagai
antibiotik. Burnell (2000) menyatakan juga tidak adanya suatu kontaminan dalam
proses pembusukan inangnya setelah diinfeksi oleh Steinernema menyiratkan
adanya suatu senyawa antibiotik yang dikeluarkan atau dikandung oleh bakteri
simbion tersebut.
Pengujian I n Vitro Xenorhabdus terhadap Meloidogyne incognita
Tanggapan M. incognita terhadap bakteri yang diujikan adalah lebih aktif
bergerak dibandingkan dengan M. incognita pada kontrol tanpa perlakuan. M.
incognita yang mati mengalami perubahan bentuk tubuh, yaitu tubuhnya
mengkerut dengan posisi lurus memanjang dan saluran pencernaannya menjadi
tidak kelihatan.

PKMP-5-3-7


Gambar 3 Grafik hubungan antara mortalitas M. incognita dengan konsentrasi
bakteri uji pada 12, 24, 36, dan 48 JSI

Grafik diatas secara umum menunjukkan adanya peningkatan mortalitas
M. incognita pada setiap waktu pengamatan dan peningkatan dari setiap
konsentrasi yang diujikan, mortalitas tertinggi terjadi pada konsentrasi 2.10
-1
saat
48 JSI yaitu sebanyak 192 ekor M. incognita, sedangkan mortalitas terendah
terjadi pada konsentrasi 2.10
-6
saat 12 JSI yaitu sebanyak 25 ekor M. incognita.
Jika dibandingkan dengan kontrol, maka hasil dari pengujian ini sudah sesuai. Hal
ini diduga karena bakteri yang diujikan tersebut memiliki suatu senyawa tertentu
yang dapat mengakibatkan kematian pada M. incognita atau dapat mengeluarkan
suatu senyawa tertentu yang bersifat nematisida. Investigasi lanjutan menunjukan
indole dan 3,3-dihidroxy-4-isopropylstilbene berkontribusi dalam efek nematisidal
(Hu et al 1999 dalam Webster et al 2002).

Tabel 1 Persentase mortalitas M. incognita dengan perlakuan in vitro bakteri
simbion pada 12, 24, 36 dan 48 JSI (jam setelah inokulasi) setelah
dikurangi kontrol

Konsentrasi 12 JSI (%) 24 JSI (%) 36 JSI (%) 48 JSI (%)
(loop/ml)
2.10
-1

15,33 22 47 55
2.10
-2

9,33 22 33,67 44,67
2.10
-3

8 21,67 32 36,67
2.10
-4

6,67 9,33 19,67 25,33
2.10
-5

5,67 6 14,33 19,67
2.10
-6

5,33 4,6 12,67 17

Persentase mortalitas M. incognita tertinggi dicapai pada pengamatan 48 JSI
pada konsentrasi 2.10
-1
yaitu mencapai 55 % dan terendah terjadi pada
pengamatan 24 JSI yaitu 4.6 % (Tabel 1). Pada pengamatan 24 JSI pada
konsentrasi 2.10
-6
terjadi penurunan data mortalitas, hal ini disebabkan karena
pada waktu pengamatan tersebut selisih mortalitas kontrol (tanpa perlakuan) pada
PKMP-5-3-8
12 dan 24 JSI (Tabel 1 lampiran) lebih besar daripada selisih mortalitas perlakuan
pada konsentrasi 2.10
-6
pada waktu pengamatan yang sama. Selain itu, mortalitas
M. incognita mengalami kenaikan selisih pada waktu 24 dan 36 JSI sebesar 8,03
% lebih besar selisihnya daripada persentase mortalitas M. incognita pada waktu
pengamatan yang lainnya pada konsentrasi 2.10
-6
. Hal ini menunjukan bahwa
mortalitas mengalami kenaikan diantara waktu pengamatan 24 dan 36 JSI. Diduga
pada saat dilakukannya pengamatan M. incognita masih dalam keadaan sekarat
dan tidak lama kemudian terjadi mortalitas. Pada saat pengamatan 48 JSI yang
merupakan akhir pengamatan, dapat diketahui bahwa konsentrasi bakteri tertinggi
(2.10
-1
) menyebabkan 55 % mortalitas L2 M. incognita, hal ini membuktikan
bahwa pada konsentrasi tersebut efektif mengendalikan L2 M. Incognita.
Perlakuan pada konsentrasi 2.10
-1
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Perlakuan 2.10
-2
, 2.10
-3
, 2.10
-4
, 2.10
-5
, 2.10
-6
tidak berbeda nyata tetapi berbeda
nyata dengan perlakuan 0 loop/ml (kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa pada
saat 12 Jsi aktivitas bakteri simbion Xenorhabdus dapat menyebabkan mortalitas
yang lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa perlakuan (0 loop/ml) (Tabel 6
lampiran).
Perlakuan pada konsentrasi 2.10
-1
berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Perlakuan antara 2.10
-2
, 2.10
-4
tidak berbeda nyata, begitu juga pada
perlakuan antara 2.10
-5
dan kontrol tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan
adanya penurunan aktivitas bakteri simbion X5 dalam menyebabkan mortalitas
M.incognita pada konsentrasi bakteri simbion Xenorhabdus yang sedikit (Tabel 7
lampiran). Perlakuan pada konsentrasi 2.10
-1
berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Perlakuan antara 2.10
-2
dan 2.10
-3
tidak berbeda nyata satu sama lain,
namun berbeda nyata dengan 2.10
-5
, 2.10
-6
dan kontrol. Perlakuan 2.10
-4
tidak
berbeda nyata dengan 2.10
-3
, Namun berbeda nyata dengan 2.10
-1
, 2.10
-1
, 2.10
-5
,
2.10
-6
dan kontrol. Antara kontrol dan perlakuan berbeda nyata satu sama lain
(Tabel 8 lampiran)..
Perlakuan pada konsentrasi 2.10
-1
berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Perlakuan antara 2.10
-2
, 2.10
-3
, 2.10
-4
tidak berbeda nyata satu sama lain,
begitu pula halnya dengan perlakuan 2.10
-4
, 2.10
-5
dan 2.10
-6
(Tabel 9 lampiran).

Pengujian I n Vivo Xenorhabdus dan Steinernema terhadap Meloidogyne
incognita
Pada perlakuan in vivo dengan menggunakan bakteri simbion
Xenorhabdus yang diujikan pada tanaman tomat yang media tanamnya telah
terinfeksi M. incognita menunjukkan adanya perangsangan induksi ketahanan
tanaman tomat yang bersifat menjadi lebih toleran terhadap serangan M. Incognita
(Tabel 2). Hal ini terlihat dari semakin tinggi konsentrasi Xenorhabdus yang
diberikan pada perlakuan, maka bobot kering udara dan jumlah bintil pada akar
tanaman tomat semakin banyak pula. Akan tetapi hal tersebut berbanding terbalik
dengan perlakuan pada Steinernema. Konsentrasi Steinernema yang tinggi
PKMP-5-3-9
menyebabkan semakin tinggi bobot kering udara dan semakin sedikit pula jumlah
bintil akar pada tanaman tomat. Perez dan Lewis (2002) menyatakan dalam
sebuah publikasi ilmiahnya bahwa bakteri simbion Xenorhabdus untuk
Steinernema dan Photorhabdus untuk Heterorhabditis menjadi faktor penekanan
M. incognita. Repelen, toksisitas dan pengurangan penetasan telur M. incognita
disebabkan oleh alelokimia yang dihasilkan oleh Xenorhabdus yang dapat
menyebabkan sifat antagonis bagi M. incognita. Diduga penekanan infeksi M.
incognita oleh Steinernema terjadi karena enotompatogen ini dapat masuk ke
dalam akar tanaman tomat dan mengeluarkan senyawa yang bersifat toksik dan
repelen. Spesies Steinernema lebih efisien dalam penekanan M. incognita dan M.
hapla karena dapat masuk ke dalam akar tanaman dan ketika entomopatogen
tersebut mati langsung mengeluarkan bakteri yang berasosiasi dengannya (Perez
dan Lewis 2003).
M. incognita tidak masuk ke dalam akar tersebut yang akhirnya tidak
dapat makan di dalam jaringan akar secara endoparasit serta tidak dapat
membentuk bintil akar. Dengan kondisi tersebut, proses fisiologis dalam tanaman
tomat tidak terganggu secara nyata oleh keberadaan M. incognita karena tidak
terjadinya infeksi sehingga pertumbuhan dan perkembangan akar tomat semakin
naik. Pertumbuhan dan perkembangan akar tomat ini memacu proses penyerapan
unsur hara dan mineral dalam media tanam yang akhirnya menambah bobot basah
dan bobot kering tanaman tomat tersebut. Bird dan Bird 1986) serta Grewal et al
(1999) dalam Nyczepir et al (2004) melaporkan bahwa repelensi L2 M. javanica
dan M. incognita dihasilkan oleh toksisitas senyawa ammonium yang dikeluarkan
oleh Steinernema.

Tabel 2 Hubungan konsentrasi Steinernema dan Xenorhabdus terhadap jumlah
bobot kering udara (BKU) serta jumlah bintil pada perlakuan in Vivo
zeolit yang terdiri dari 12 perlakuan dengan masing- masing 5 ulangan
Diduga mekanisme proses penekanan terjadinya bintil pada akar tomat
pada perlakuan Steinernema adalah entomopatogen tersebut masuk ke
dalam jaringan akar tomat dan mengeluarkan senyawa yang dapat
mencegah larva infektif (L2)

Konsentrasi Parameter Pengamatan

BKU (gram) Jumlah Bintil (buah)
Xr 2.10-1 0.97 32
Xr 2.10-2 0.82 28
Xr 2.10-3 0.64 27
Xr 2.10-4 0.35 15
Xr 2.10-5 0.31 14
Xr 2.10-6 0.28 10
St 100 0.23 25
St 500 0.30 23
St 1000 0.35 22
St 5000 0.40 20
St 10000 0.43 16
Kontrol 0.15 33
PKMP-5-3-10
KESIMPULAN
Dari hasil eksplorasi yang dilakukan, didapatkan Steinernema dari famili
Steinernematidae (Ordo Rhabditida). Hasil isolasi bakteri simbion yang
dilakukan, didapatkan Xenorhabdus yang memiliki sifat antibiotik terhadap
bakteri lain dan bersifat nematisida pada Meloidogyne incognita. Persentase
mortalitas M. incognita tertinggi dicapai pada pengamatan 48 JSI pada konsentrasi
2.10
-1
yaitu mencapai 55 % yaitu efektif dalam mengendalikan M. incognita dan
terendah terjadi pada pengamatan 24 JSI yaitu 4.6 %. Hal ini menunjukan adanya
potensi Xenorhabdus isolat CIFOR untuk dikembangkan menjadi agens
pengendali populasi M. incognita. Pengujian in vivo Xenorhabdus dapat
menginduksi ketahanan tomat terhadap serangan M. incognita, sedangkan
Steinernema dapat menghasilkan senyawa repelen yang dapat mencegah
pembentukan bintil pada akar tomat.

DAFTAR PUSTAKA
Adams BJ, Nguyen KB. 2002. Taxonomy and Systematic. Di dalam: Randy
Gaugler, editor. Entomopathogenic Nematology. New York: CABI
Publishing. Hlm: 1- 34.
Anggraeni ED. 2003. Nematoda entomopatogen pada beberapa lahan palawija
dan hortikultura di wilayah Bogor dan Cianjur. [skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
[CPC]. Crop Protection Compendium 2002. CPC global module Wallingford
University of Kentucky. USA: CAB International.
Boemare NE, Boyer Giglio MH, Thaler JO, Akhurst RJ. 1993. The Phages of
Xenorhabdus spp., Symbiont of the Nematodes Steinernema spp. and
Heterorhabditis spp. Di dalam: Robin Bedding, Ray Akhurst, Harry Kaya,
editor. Nematodes and The Biological Control of Insect Pests. East
Melbourne: CSIRO. Hlm137- 145.
Bowen D, Thomas AR, Michael B, Olga A, Elena G, Rohit B, Richard H. 1998.
Insecticidal toxins from the bacterium Photorhabdus luminescens. Science
280: 2129- 2132.
Burnell AM, Stock SP. 2000. Heterorhabditis, Steinernema and their bacterial
symbiont- lethal pathogens of insect. Nematology 2(1): 31- 42.
Fallon DJ, HK Kaya, R Gaugler, BS Sipes. 2002. Effect of entomopathogenic
nematodes on Meloidogyne javanica on Tomatoes and Soybeans. Journal
of Nemathology 34 (3):239-245.
Hazir S, HK Kaya, SP Stock, N Keskin. 2003. Entomopathogenic nematodes
(Steinernematidae and Heterorhabditidae) for biological control of soil
pest. Turk J Biol 27: 181- 202.
Nyczepir AP, DI Shapiro Ilan, EE Lewis, ZA Hando. 2004. Effect of
entomopatoghenic nematodes on Mesocriconema xenoplax populations in
peach and pecan. Journal of Nematology 36(2): 181-185.
Perez EE, EE Lewis. 2002. Use of entomopathogenic nematodes to suppress
Meloidogyne incognita on greenhouse tomatoes. Journal of Nemathology
34 (2):171- 174.
__________________. 2003. Suppression Meloidogyne incognita and
Meloidogyne hapla with entomopathogenic nematodes on peanuts and
tomatoes. Biological Control 30:336- 341.
PKMP-5-3-11
Taylor DB, AL Szalanski, BJ Adams, RD Peterson II. 1998. Susceptability of
house fly (Diptera: Muscidae) larvae to entomopathogenic nematodes
(Rhabditida: Heterorhabditidae, Steinernematidae). Journal of
Environment Entomology 27: 1514- 1519.
Siddiqi MR. 1986. Tylenchida: Parasites of Plants and Insect. London:
Commonwealth Agricultural Bureaux.
Southey JF, editor. 1986. Laboratory Methods for Work with Plant and Soil
Nematodes. London: Her Majestys Stationery Office.
Thaler JO, Bernard D, Alain G, and Boemare. 1998. Isolation and Entomotoxic
Properties of the Xenorhabdus nematophilus F1 Lecithinase. Appl Environ
Microbiol. 64(7): 23672373.
Timper P, NA Minton, AW Johnsons, TB Brenneman, AK Culbreath. 2001.
Influence of cropping system on stem rot (Sclerotium rolfsii), Meloidogyne
arenaria, and nematodes antagonist Pasteuria penetrans in peanut. Plant
Disease 85L: 767- 772.
Webster JM, Genhui C, Kaiji H, Jianxiong Li. 2002. Bacterial Metabolites.Di
dalam: Randy Gaugler, editor. Entomopathogenic Nematology. New York:
CABI Publishing. Hlm: 99-114.


PKMP-5-4-1
APLIKASI KOLOM PENUKAR ION DALAM PENGEMBANGAN
GENERATOR STRONTIUM-90/YTTRIUM-90 UNTUK
PENYIAPAN RADIOFARMAKA TERAPI KANKER

Moh. Elvan Kamal, A Atmiesuri, Ayu Hilmawati, T Trisya R, Ahmad Jauzy F
Jurusan Farmasi, Universitas Padjadjaran, Bandung

ABSTRAK
Penetapan koefisien distribusi (Kd) Sr-90 dan Y-90 dengan metode batch
dilakukan menggunakan resin penukar kation Dowex AG 50x8 dengan HCl 6 N
dan 8 N sebagai pelarut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemungkinan
penggunaan resin Dowex AG 50x8 dalam memisahkan Y-90 dari Sr-90 yang
selanjutnya diterapkan dalam rancang bangun pembuatan generator Sr-90/Y-90.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pelarut HCl 6 N koefisien distribusi
Sr-90 lebih besar daripada Y-90. Sr-90 terhidrasi diperkirakan memiliki jari-jari
ion lebih kecil daripada Y-90 terhidrasi, sehingga Sr-90 terikat lebih kuat pada
resin daripada Y-90. Apabila larutan HCl 8 N digunakan sebagai pelarut,
koefisien distribusi Sr-90 menjadi lebih rendah daripada Y-90. Karena tidak
terjadi proses hidrasi, Sr-90 dan Y-90 masing-masing bermuatan 2+ dan 3+.
Oleh karena itu Y-90 terikat lebih kuat pada resin daripada Sr-90. Dapat
disimpulkan bahwa resin Dowex AG 50x8 dengan elusi larutan HCl 6 N cocok
untuk penyiapan generator
90
Sr/
90
Y.

Kata kunci: koefisien distribusi, Sr-90, Y-90, resin penukar kation, hidrasi

PENDAHULUAN
Terapi dengan yttrium-90 dilakukan pertama kali oleh Pochin et al untuk
paru-paru. Yttrium-90 sendiri adalah pemancar sinar- murni dengan energi
maksimum 2,26 Mev dan memiliki waktu paruh 64 jam.(William 1971). Pada sel
tumor, energi sebesar 2,26 MeV akan menghasilkan efek serangan radiasi ke sel
tumor, sel yang berdekatan, dan sel tumor yang tidak memperlihatkan diri sebagai
antigen (Darlene et al. 2003).
Yttrium-90 diproduksi di dalam suatu generator melalui reaksi peluruhan
stronsium-90 menjadi yttrium-90. (William 1971). Generator
90
Sr/
90
Y harus
dirancang sedemikian rupa sehingga mudah dioperasikan oleh tenaga medis yang
bekerja di rumah sakit. Karena sifat stronsium-90 yang memiliki energi - yang
sangat tinggi, mampu merusak sumsum tulang dan bersifat karsinogenik (Talmage
1994), maka preparat yttrium-90 yang dihasilkan harus bebas dari cemaran
stronsium 90 (William 1971).
Pemisahan
90
Sr
2+
dan
90
Y
3+
dengan ion logam lain telah dilakukan oleh
Grahek et al. (2000) maupun Nur (2000) dengan menggunakan resin penukar ion,
namun diperoleh hasil masih dalam bentuk campuran antara
90
Sr
2+
dan
90
Y
3+

(Nur 2000). Pemisahan dengan kemurnian yang tinggi menggunakan resin
penukar kation akan terjadi manakala perbedaan koefisien distribusi
90
Sr dan
90
Y
cukup besar. Menurut Saito koefisien distribusi Sr
2+
dan Y
3+
memiliki nilai yang
hampir sama sehingga perbedaan antara keduanya relatif kecil, supaya diperoleh
pemisahan yang baik yttrium harus dikondisikan agar membentuk senyawa
kompleks anion. Perbedaan muatan antara
90
Y dengan
90
Sr

menjadi dasar


PKMP-5-4-2
pemisahan dengan menggunakan resin penukar kation. Sr
2+
akan terikat pada
resin penukar kation dan kompleks anion yttrium terelusi keluar kolom secara
keseluruhan. Penetapan koefisien distribusi dari
90
Sr
2+
dan
90
Y
3+
dari setiap jenis
resin yang digunakan merupakan faktor penting dalam proses pemilihan penukar
kation. Resin penukar ion yang paling efisien akan digunakan sebagai media fase
diam dalam kolom kromatografi generator
90
Sr/
90
Y.
Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat pokok permasalahan yaitu :
Berapa nilai koefisien distribusi (Kd) kompleks
90
Y dan
90
Sr dalam resin penukar
kation Dowex AG 50x8, dan dapatkah
90
Y dan
90
Sr dipisahkan secara baik?
Penelitian ini bertujuan untuk merancang generator yttrium-90 dalam
memproduksi radiofarmaka terapi kanker. Hasil penelitian ini digunakan sebagai
dasar pembuatan generator yttrium-90 dari resin penukar ion yang paling efisien
untuk produksi radiofarmaka terapi kanker.

METODE PENELITIAN
Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2004 sampai dengan Juli 2005 di
laboratorium Pusat Pengembangan Radioisotop dan Radiofarmaka (P2RR)
BATAN, laboratorium Resources Waste Installation (RWI) BATAN dan PT
Batan Teknologi (PERSERO) PUSPIPTEK Serpong, Tangerang.

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian penetapan koefisien
distribusi stronsium-90 dan yttrium-90 adalah stronsium-90 hasil isolasi dari
limbah RFW (Resources Fluid Waste) (PT Batan Teknologi), Y
2
O
3
, SrNO
3
, asam
klorida 37% pro analisis (MERCK), asam nitrat 65% pro analisis (MERCK), resin
penukar kation Dowex AG 50 x 8 (Bio-Rad Laboratories, Inc.), scintillator
POPOP [1,4-bis-2-(5-phenyloxazolyl)-Benzene], Insta-Gel (Packard Instrument
Co. Inc.), aquades.

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian penetapan koefisien distribusi
stronsium-90 dan yittrium-90 terdiri atas beaker gelas, labu volumetri (Iwaki),
gelas ukur, pipet tetes, syringe (Terumo), mikropipet 5,10,20,50,100 L
(Eppendorf), tabung reaksi kecil (Instrument), klem, statip, erlenmeyer 500 mL,
erlenmeyer 125 mL, pinset, neraca analitis (Sartorius Corp.), liquid scintillation
analyzer (Packard Instrument Co. Inc), beta-gamma counter (The Nucleus),
gamma ionization chamber, Atomlab 100 Plus (Biodex Medical System),
spectrometri gamma; multi channel analyzer (Tennelec), vial plastik, sentrifuge
(Hettich EBA 8S), parafilm (Pechiney), aluminium foil.

Isolasi Strontium-90 dari Resources Fluid Waste(RFW)
Penelitian ini diproyeksikan untuk memanfaatkan limbah fisi
235
Uranium
dalam proses produksi generator
99
Mo/
99
Tc agar memiliki nilai lebih. Strontium-
90 merupakan salah satu senyawa yang ada dalam limbah fisi tersebut.Untuk itu
diperlukan metode pemisahan strontium-90 dari RFW dengan tahapan sebagai
berikut:



PKMP-5-4-3
Preparasi RFW
RFW diambil 0,5 mL dengan syringe, dimasukkan ke dalam tabung reaksi
kecil, ditambahkan aquades sampai 1 mL lalu dikocok, diambil sebanyak 100 L,
masukkan tabung reaksi kecil, ditambahkan SrCl
2.
6H
2
O sampai 2 mL,
ditambahkan 10 L HNO
3
pekat

Penyiapan Kolom Sr-Spec
Kolom Sr-Spec dipasang pada klem, beaker gelas ditempatkan tepat di
bawah kolom, penutup bagian atas kolom dibuka dan isinya dibiarkan mengalir ke
beaker. Dipipet 5 mL 8 M HNO
3
ke dalam kolom dan dibiarkan mengalir ke
beaker. Penambahan 5 mL 8 M HNO
3
dilakukan sampai tiga kali.

Pemisahan Sr-90 dari Kolom Sr-Spec
Larutaan RFW dimasukkan yang telah dipersiapkan sebelumnya ke dalam
kolom dan biarkan mengalir. Ditambahkan 5 mL 8 M HNO
3
dilakukan sampai
tiga kali berturut-turut.

Identifikasi Keberadaan Isotop Pengotor
Eluat diambil 100 L dengan mikropipet, dimasukkan ke dalam tabung
reaksi kecil, ditambahkan 5 mL aquades dan dikocok. Diambil sebanyak 100 L
masukkan ke dalam vial kaca, ditambahkan aquades 1 mL dan dikocok.
Dicounting dengan spektrometri gamma. Jika ada isotop pengotor pemancar sinar
gamma maka akan terdeteksi.

Identifikasi Keberadaan Sr-90 dalam Eluat
Eluat diambil 100 L dengan mikropipet, dimasukkan ke dalam tabung
reaksi kecil, ditambahkan 5 mL aquades dan dikocok. Diambil sebanyak 100 L
dimasukkan ke dalam vial polyethilen (plastik), ditambahkan aquades 1 mL dan
dikocok. Tambahkan scintillator (POPOP) sebanyak 5 mL, dikocok sampai
homogen. Cacahan diukur dengan LSC (Liquid Scintillation Counter).
Keberadaan stronsium-90 dapat diketahui dari energi maksimum sebesar 546 keV.

Iradiasi Target Y
2
O
3

Y
2
O
3
ditimbang sebanyak 5 mg, dibungkus dengan aluminium foil,
dimasukkan ke dalam vial polyethilen (plastik) dan dibungkus lagi dengan
aluminium foil, lalu diiradiasi di reaktor dengan metode pneumatik selama 1
jam. Y
2
O
3
hasil iradiasi dilarutkan dengan HCl sesuai variasi molar yang
diinginkan (misalnya 4, M, 6 M, 8 M) sebanyak 10 mL. Aktivitas Y-90 diukur
dengan GIC (Gamma Ionization Chamber).

Pemastian Muatan Sr90 dengan Elektroforesis Kertas
Kertas whatman dengan panjang 33 cm lebar 1,5 cm disiapkan dan dibuat
region : 16, -15,.0., 15, 16 . Diambil sampel Sr-90 0,5 ml dari hasil isolasi
RFW dengan kolom Sr-Spec, diencerkan dengan akuades sampai 1 mL, lalu
diambil 50 L, dimasukkan ke tabung reaksi kecil, dan ditambahkan larutan
SrCl
6
.6H
2
O sebagai carrier. diambil 20L, ditotolkan di region 0 (nol) pada
kertas elektroforesis, dikeringkan dengan hair dryer, kertas elektroforesis dipasang
dengan posisi region negatif berada di sisi anoda dan region negatif berada di sisi


PKMP-5-4-4
katoda, seluruh permukaan kertas dibasahi dengan buffer borat pH 8,0 atau buffer
fosfat pH 7,0. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam pada voltase 400 volt.
Setelah satu jam kertas diangkat dan dikeringkan.
Kertas yang telah kering dilapisi dengan isolasi transparan dan dipotong
sesuai region. Setiap potongan region diukur cacahannya dengan alat beta-gamma
counter. Nilai cacahan tertinggi dianggap sebagai cacahan Sr-90, dan selanjutnya
keberadaan Sr-90 diidentifikasi dengan melarutkan region terkait dengan HNO
3
0,05 N sebanyak 2 mL, dikocok, lalu diambil sebanyak 200 L, dimasukkan ke
dalam vial polyethilen, dan tambahkan scintillator (POPOP) sebanyak 4 mL,
diidentifikasi spektrum energi maksimumnya dengan LSC.

Penetapan Koefisien Distribusi Stronsium-90 dan Yttrium-90
Resin penukar kation Dowex AG 50 x 8 ditimbang sebanyak 500 mg,
dimasukkan ke dalam tabung reaksi kecil yang masing-masing telah ditandai
dengan angka 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55, 60 mewakili variasi waktu
kontak sampel dengan resin. Tabung reaksi kecil disiapkan juga tanpa diisi
dengan resin. Larutan HCl dengan molaritas yang dikehendaki (misalnya HCl 6 N,
8 N dan sebagainya) ditambahkan sebanyak 2 mL. Sampel stronsium-90 hasil
isolasi dari RFW dipipet sebanyak 100 L, tabung reaksi ditutup rapat dengan
parafilm. Dilakukan pengocokan secara manual sesuai variasi waktu yang
direncanakan dengan rumus pengocokan:
T = n-5
Dimana (T) adalah waktu pengocokan dengan satuan menit, (n) merupakan variasi
waktu yang dikehendaki dalam satuan menit. Sentrifugasi selama 5 menit, ambil
supernatan sebanyak 100 L pipet ke dalam vial polyetilen (plastik). Scintillator
(POPOP) ditambahkan sebanyak 4 mL, dikocok sampai larut. Cacahan diukur
dengan LSC (Liquid Scintillation Counter). Koefisien distribusi dihitung dengan
rumus:
Kd = A
0
-At
A
0
dimana A
0
adalah cacahan dari sampel yang tidak dicampur resin, dan A
t
merupakan cacahan dari sampel dengan penambahan resin pada selama waktu (t)
pengocokan. Prosedur yang sama dapat digunakan untuk menetapkan koefisien
distribusi yttrium-90, karena yttrium-90 hasil iradiasi kelimpahannya 100% maka
cacahannya cukup diukur dengan alat beta-gamma counter biasa.

Pengolahan Data
Pada penelitian ini hanya ada dua variabel yaitu waktu pengocokan sebagai
variabel bebas (X) dan koefisien distribusi sebagai variabel tak bebas (Y).
Pemilihan bentuk regresi tergantung sebaran data hasil percobaan, secara
sederhana dapat dipakai metode tangan bebas untuk menentukan jenis regresi
yang cocok. Persamaan umum model regresi ini adalah :
Y = a + bX + cX
2
+ dX
3
Dengan sistem persamaan yang harus dihitung untuk menentukan a, b, c, dan d
adalah :
Y
i
= na + bX
i
+ cX
i
2
+ dX
i
3

XiYi = aX
i
+ bX
i
2
+ cX
i
3
+dX
i
4


PKMP-5-4-5
Xi
2
Yi= aX
i
2
+ bX
i
3
+cX
i
4
+ dX
i
5
X
i
3
Y
i
= aX
i
3
+ bX
i
4
+ cX
i
5
+ dX
i
6

Untuk lebih mudahnya persamaan regresi, nilai R
2
, R dan analisis varian untuk
persamaan regresi dapat dengan mudah diselesaikan dengan software SPSS.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemisahan Sr-90 dari RFW
Sumber stronsium-90 diperoleh dari limbah proses produksi generator
99
Mo
melalui penembakan neutron thermal terhadap sasaran
235
U menggunakan media
larutan asam nitrat dan asam sulfat. Limbah asam ini disebut AW (Acid Waste).
Stronsium-90 dari limbah RFW digunakan karena kadar stronsium-90 cukup
besar (LAnnunziata, MF. 1998). Untuk memperbesar kadar stronsium,
ditambahkan SrCl
2
. 6H
2
O sebagai pembawa (carrier). Penambahan carrier in
tidak akan mempengaruhi cacahan stronsium-90 karena SrCl
2
. 6H
2
O bukan
senyawa radioaktif Pemisahan stronsium-90 dari radionuklida lain menggunakan
kolom Sr-Spec (Eichrom Industries, Inc) dengan prinsip kromatografi ekstraksi,
yaitu pemisahan zat berdasarkan perbedaan kelarutan dalam pelarut tertentu.
Stronsium-90 terelusi pada pelarut HNO
3
0,05 N, sedangkan radionuklida lainnya
terelusi pada pelarut HNO
3
8 N. Identifikasi stronsium-90 dengan LSC (Liquid
Scintillation Counter) menggunakan vial gelas dan vial plastik polyethilen
menunjukkan hasil yang berbeda. Penggunaan vial kaca pada LSC akan
menghasilkan bremstrahlung, yakni cacahan yang terukur melebihi cacahan yang
sebenarnya karena vial gelas memiliki background yang lebih besar (60 CPM)
daripada vial plastik yang berasal dari kandungan
40
K (Boswel & Faires, 1981).
Bremstrahlung dalam identifikasi eluat
90
Sr dari RFW (Resources Fluid Waste)
dapat dilihat pada energi maksimum yang melebihi 546 keV. Gambar 1.

Gambar 1. Bremstrahlung dalam Identifikasi Eluat
90
Sr dengan Vial Kaca.



PKMP-5-4-6
Hasil identifikasi eluat
90
Sr dari RFW (Resources Fluid Waste) yang
dipisahkan menggunakan kolom Sr-Spec dengan vial plastik (background 20
CPM) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Spektrum Energi Maksimum Sr-90 Diidentifikasi dengan LSC.

Penyiapan Y-90
Yttrium-90 diperoleh dengan cara iradiasi senyawa target Y
2
O
3
selama satu
jam di reaktor serba guna Siwabessy melalui sistem pneumatik. Target Y-90 hasil
iradiasi setelah dilarutkan dengan asam klorida kemudian aktifitasnya ditentukan
dengan alat GIC (Gamma Ionization Chamber). Penentuan koefisien distribusi Y-
90 dihitung dari cacahan Y-90 yang diukur dengan beta-gamma counter, karena
alat GIC kurang selektif dalam mendeteksi aktifitas zat radioaktif dalam skala Ci
(mikro Curie). Batas deteksi optimal alat GIC adalah dalam skala mCi (mili
Curie). Alat beta-gamma counter digunakan karena alat ini mampu mendeteksi
cacahan baik sinar beta maupun gamma, Y-90 hasil iradiasi merupakan pemancar
beta murni, jadi cacahan yang terdeteksi pada alat beta-gamma counter adalah
sinar beta dariY-90.

Tabel 1. Preparasi Yittrium-90

Y
2
O
3
(mg) Pelarut HCL (N) Aktivitas
90
Y (Ci)
15 3 1770
5,4 6 574
5,1 8 629
5,2 10 540

Penentuan Muatan Sr90
Secara teori stronsium bermuatan 2
+
, sedangkan yttrium bermuatan 3
+
.
Pemisahan yttrium dari stronsium akan mudah dilaksanakan bila yttrium berada
dalam bentuk kompleks anion, sedangkan stronsium tetap bermuatan 2
+
.
Penambahan asam (HCl konsentrasi tinggi, 6 N, 8 N) diharapkan akan
menghasilkan yttrium dalam bentuk kompleks anion, sehingga dengan
menggunakan elektroforesis kertas, anion kompleks yttrium akan bergerak ke arah


PKMP-5-4-7
katoda sedangkan dalam kondisi HCl dengan normalitas yang sama kation
stronsium akan bergerak ke anoda.
Pada penelitian ini hanya dilakukan penentuan muatan stronsium dengan
elektroforesis kertas. Elektroforesis kertas ini menggunakan buffer fosfat pH 7,0
dan buffer borat pH 8,0 sebagai larutan elektrolit. Larutan buffer (elektrolit)
berfungsi sebagai pembawa arus listrik searah, dan kertas whatman sebagai media
lewatnya arus listrik yang dibawa oleh larutan buffer. Buffer akan mampu
membawa arus listrik jika komponen penyusunnya sangat berbeda dengan analit.
Kertas whatman yang dipakai berukuran kecil yaitu 1,5 cm x 32 cm. Ukuran yang
kecil ini bertujuan untuk meminimalkan efek tengah (center effect) sehingga
diperoleh resolusi (daya pisah) yang tinggi Pergerakan arus listrik menimbulkan
panas. Panas ini akan meningkatkan mobilitas sekitar 2%/ C (Meloan, 1999).
Elektroforesis kertas dengan menggunakan buffer fosfat pH 7,0
menunjukkan bahwa ion stronsium terbukti tidak bergerak sama sekali baik ke
katoda maupun anoda, meskipun telah dilakukan penyaringan sampel
90
Sr dengan
penyaring millipore (Millex). Ada tiga dugaan penyebab tidak bergeraknya ion
stronsium dalam elektrofofresis kertas ini :

1. ion stronsium terjerap ke dalam partikel tak bermuatan
2. stronsium membentuk kompleks tak bermuatan dengan buffer fosfat
3. ion stronsium tidak bergerak dalam suasana netral (pH 7,0)

0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
Cacahan
-16 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16
Region pada Kertas Elektrtoforesis

Grafik 1. Hasil Elektroforesis Kertas
90
Sr setelah Disaring dengan Millex .

Dugaan pertama ditolak karena terbukti dengan penyaringan memakai
Millipore (Millex) ion stronsium tetap tidak bergerak. Millipore mampu
menyaring partikel seukuran partikel bakteri. Perbedaan pH analit (Sr-90 daam
HNO
3
0,05 N) dengan buffer borat terlalu kecil, menyebabkan buffer fosfat tidak
dapat membawa arus listrik, sehingga secara otomatis ion Sr
2+
tidak bergerak baik
ke katoda maupun anoda.
Ion stronsium baru bergerak ke anoda (pada region 5 pada kertas
elektroforesis) bila digunakan larutan elektrolit buffer borat pH 8,0. Hasil ini
membuktikan bahwa ion stronsium dalam larutan HNO
3
0,05 N akan dimobilisasi
oleh arus listrik jika larutan pembawa arus (elektrolitnya) dalam keadan basa. Ion


PKMP-5-4-8
stronsium dalam keadaan asam (HNO
3
0,05 N), sedangkan buffer borat pH 8,0
dalam keadaan basa, suatu perbedaan yang besar antara analit dan larutan buffer
sehingga buffer borat mampu menghantarkan arus listrik searah yang
menyebabkan bergeraknya ion Sr
2+
ke arah anoda.



Grafik 2. Hasil Elektroforesis Kertas
90
Sr dengan Elektrolit Buffer Borat pH 8,0

Keberadaan
90
Sr
2+
pada daerah dengan cacahan tertinggi (region -5)
diketahui setelah diidentifikasi dengan spektrometri gamma yang menunjukkan
tidak terdapat pemancar gamma. Dengan menggunakan LSC diperoleh spektrum
energi maksimum khas Sr-90 seperti pada Gambar 3.


Gambar 3. Spektrum Energi Maksimum Sr-90 pada Region 5.


Region pada Kertas Elektroforesis


PKMP-5-4-9
Penetapan Koefisien Distribusi Sr-90 dan Y-90
Koefisien Distribusi stronsium-90 dan yttrium-90 ditetapkan dengan metode
batch yakni dengan mencampurkan langsung stronsium-90 dan yttrium-90 ke
dalam resin penukar kation yang telah ditambahkan ke dalamnya pelarut (HCl 6 N
atau 8 N), sedangkan pemisahan yang sebenarnya menggunakan metode kolom.
Metode batch dipilih karena lebih sederhana dan efisien waktu. Berikut ini hasil
uji koefisien distribusi stronsium-90 dan yttrium-90.

Waktu pengocokan (menit)
60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Kd
1.4
1.2
1.0
.8
.6
.4
.2
0.0
Sr-90 reg
Y-90 reg
Sr-90
Y-90
0.0
0.49
0.55
0.59
0.59
0.7
0.61
0.84
1.23
1.13
1.1
0.97
1.01
0.89
0.96
0.9
0.8
0.72
0.66
0.65
0.67
0.64
0.73
0.76
0.76
Y=0.028599+0.076152X-0.001714X
2
+ (1.13x10
-5
)X
3

R
2
= 0.92807
Y = 0.157005+0.045638X-0.001116X
2
+(8.46x10
-6
)X
3

R
2
= 0.80065

Kurva 1. Koefisien Distribusi (Kd) Sr-90 dan Y-90 dengan Pelarut HCl 6 N Terhadap Waktu
Pengocokan.

Kurva regresi Kd Sr-90 dan Y-90 dengan pelarut HCl 6 N memperlihatkan
bahwa Kd Sr-90 dalam resin penukar kation Dowex AG 50x8 lebih besar
daripada Kd Y-90, berarti dengan pelarut HCl 6 N, Sr-90 terikat lebih kuat pada
resin daripada Y-90. Hal ini tidak sesuai dengan data urutan koefisien distribusi
kation-kation pada resin penukar kation asam kuat (Haddad, 1991) di mana:

Pu
4+
>>
La
3+
>Ce
3+
>Pr
3+
>Eu
3+
>Y
3+
>Sc
3+
>Al
3+
>>
Ba
2+
>Pb
2+
>Sr
2+
>Ca
2+
>Ni
2+
>Cd
2+
>Cu
2+
>Co
2+
>Zn
2+
>Mg
2+
>UO
2
2+
>>
Ti
+
>Ag
+
>Cs
+
>Rb
+
>K
+
>NH
4
+
>Na
+
>H
+
>Li
+

Stronsium-90 dan yttrium-90 dalam pelarut HCl 6 N mengalami hidrasi. Proses
hidrasi yang terjadi dapat dijelaskan oleh persamaan reaksi hipotesis sebagai
berikut :

90
Sr
2+
+ 4H
2
O [
90
Sr(H
2
O)
4
]
2+
(A)

90
Y
3+
+ 6H
2
O [
90
Y(H
2
O)
6
]
3+
(B)



PKMP-5-4-10
Banyaknya molekul H
2
O yang terikat pada Y-90 dalam proses hidrasi
menyebabkan jari-jari ion [
90
Y(H
2
O)6]
3+
lebih besar daripada [
90
Sr(H
2
O)
4
]
2+
.
Pengaruh jari-jari ion kompleks terhidrasi lebih besar daripada muatan ion
terhidrasi dalam proses pembentukan ikatan dengan anion (gugus fungsi sulfonat
pada resin), sehingga walaupun kompleks terhidrasi Y-90 bermuatan 3+, kekuatan
ikatan dengan gugus fungsi sulfonat pada resin lebih lemah daripada Sr-90
terhidrasi dengan muatan 2+. Akibatnya ion Sr-90 terhidrasi lebih kuat terikat
pada resin daripada ion Y-90 terhidrasi.
Dari kurva 1 diperoleh nilai regresi tertinggi untuk Sr-90 dan Y-90 pada t=
30 menit. Jadi selama 30 menit pengocokan, diperoleh pemisahan yang optimal
antara Y-90 dan Sr-90 dengan pelarut HCl 6 N. Untuk selanjutnya dapat dijadikan
prosedur pemisahan Y-90 dari Sr-90 dengan menggunakan metode kolom yang
berisi resin Dowex AG 50x8.

W akt u Pen go cokan (m e n it)
60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
K d
1. 4
1. 3
1. 2
1. 1
1. 0
. 9
. 8
. 7
. 6
. 5
. 4
. 3
. 2
. 1
0. 0
Sr - 90 r eg
Y- 90 r eg
Sr - 90
Y- 90
0 .1 1
0 .1 7
0 .1 1
0 .2 1
0 .2 0
0 .1
0 .1 9
0 .1 9
0 .1 3
0 .1 4
0 .1 6
0 .1 2
0 .6 5
0 .5 6
0 .4 5
0 .4
0 .4 2
0 .6 4
0 .5 4
0 .5 5
0 .3 8
0 .4 9
0 .4 8
0 .5 4
Y= 0 .0 2 3 0 7+ 0 .0 14 8 19 -0 .0 0 0 4 28 X
2
+ (3 .5 4 x1 0
-6
X
3
)
R
2
= 0 .5 9 7 64
Y= 0 .0 9 2 1 43 + 0 .04 4 06 2 -0 .0 0 1 29 9 X
2
+ (1 .1 6 x1 0
-5
X
3
)
R
2
= 0 .6 9 8 14

Kurva 2. Koefisien Distribusi (Kd) Sr-90 dan Y-90 dengan Pelarut HCl 8 N
Terhadap Waktu Pengocokan

Kurva regresi Kd Sr-90 dan Y-90 dengan pelarut HCl 8 N memperlihatkan
bahwa Kd Y-90 dalam resin penukar kation Dowex AG 50x8 lebih besar daripada
Kd Sr-90. Dalam pelarut HCl 8 N kandungan (konsentrasi) HCl lebih besar
daripada kandungan air sehingga hidrasi tidak terjadi. Sr-90 dan Y-90 bermuatan
2+ dan 3+..
90
Y
3+
bermuatan lebih besar daripada
90
Sr
2+
. Oleh karena itu, Y-90
akan terikat lebih kuat pada resin daripada Sr-90.
Dari kurva 2 diperoleh nilai regresi tertinggi untuk Sr-90 dan Y-90 pada t= 25
menit. Jadi selama 25 menit pengocokan, diperoleh pemisahan yang optimal
antara Y-90 dan Sr-90 dengan pelarut HCl 8 N menggunakan resin Dowex AG
50x8.





PKMP-5-4-11
KESIMPULAN
Resin Dowex AG 50x8 dengan elusi larutan HCl 6 N mampu memisahkan
Y-90 dari Sr-90 sebagai dasar pembuatan generator
90
Sr/
90
Y. Untuk mendapatkan
pemisahan yttrium-90 dari stronsium-90 dengan pelarut HCl 6 N yang baik, perlu
diupayakan terbentuknya kompleks anion
90
Y dengan spesi Cl
-
.

DAFTAR PUSTAKA
Darlene et al. 2003.
90
Y Ibritumomab Tiuxetan in The Treatment of Relapsed or
Refractory B-Cell Non-Hodgins Lymphoma. J Nuc Med Tech 31(2).
Grahek et al. 2000. Isolation of Yttrium and Strontium from Soil Samples and
Rapid Determination of Sr 90. Croatia Chemica Acta 73(3). Zagreb.
Haddad PR dan Jackson PE. 1991. Ion Chromatography, Principles and
Application. J. of Chrom. Library. 46(2). Amsterdam: Elsevier.
LAnnunziata MF. 1998. Handbook of Radioactivity Analysis. California:
Academic Pr.
Meloan CE. 1999. Chemical Separation, Principles, Techniques And Experiments.
New York: John Wiley & Sons, Inc.
Nur RM. 2000. Application of Pyridine-Type and Amine-Type Anion Exchange
Resin for Separating Fission Product Element in Methanol-Hydrochloric
Acid Media. Atom Indonesia 26(2). National Nuclear Energy Agency of
Indonesia.
Saito N. 1984. Selected Data on Ion Exchange Separations in Radioanalytical
Chemistry. Pure & Application Chemistry 56(4). Great Britain: Pergamon
Press Ltd.
Talmage SS. 1994. Toxicity Summary for Strontium-90. Tennessee: U.S.
Department of Energy.
William HB. 1971. Nuclear Medicine. 2
nd
Edition. New York: Mc.Graw-Hill
Book Company.

PKMP-5-5-1
PERANCANGAN DAN PENGEMBANGAN SARANA RELAKSASI BAGI
IBU HAMIL SEBAGAI ALTERNATIF SOLUSI HYPNOTERAPI
MELALUI MEDIA KERAMIK DI INDUSTRI STUDIO 181

Wesdiarman, Amelia Rachim, Bernadette Bianca
Institut Teknologi Bandung, Bandung

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-5-6-1
FELSPAR JEPARA SEBAGAI BAHAN BAKU UTAMA INDUSTRI
KERAMIK INDONESIA :
EFEKTIVITAS METODE FLOTASI DAN METODE CBD
DALAM MENURUNKAN KANDUNGAN BESI PENGOTOR FELSPAR

Tyas Tri Parwatiningsih, Erni Muchlisoh, Endah Kusumawati
PS Kimia Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta.


ABSTRAK
Industri keramik Indonesia menggunakan felspar impor sebagai salah satu bahan
bakunya. Hal ini disebabkan kualitas felspar lokal cenderung rendah karena
kandungan besinya yang tinggi, melampaui standar maksimum dalam industri
keramik. Pendayagunaan potensi felspar lokal yang melimpah perlu dilakukan
untuk mencegah atau meminimalkan ketergantungan terhadap bahan baku felspar
impor tersebut. Telah dilakukan pengurangan kadar besi pengotor pada felspar
Jepara dengan metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dan
metode CBD (Citrate Bicarbonate Dithionite). Kajian dilakukan untuk
membandingkan efektivitas kedua metode pada masing-masing kondisi
optimumnya. Penentuan kondisi optimum metode flotasi, meliputi pH, konsentrasi
asam oleat dan konsentrasi (NH
4
)
2
SO
4
dilakukan untuk memisahkan mineral besi
pengotor ke dalam fasa minyak, sedangkan penentuan kondisi optimum metode
CBD dengan variasi suhu dilakukan untuk mengomplekskan besi terlarut dengan
citrate. Kadar oksida besi (Fe
2
O
3
) sisa dan kadar oksida alkali total (K
2
O +
Na
2
O) dalam felspar sesudah pengolahan, digunakan untuk menentukan metode
yang paling efektif untuk menurunkan kadar besi pengotor dan sekaligus
meningkatkan kualitas felspar Jepara. Analisis dilakukan dengan Atomic
Absorption Spectroscopy (AAS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode
flotasi menggunakan dua media cairan pemisah sama efektifnya dengan metode
CBD untuk menurunkan kadar besi pengotor, tetapi metode flotasi tersebut lebih
efektif dibandingkan dengan metode CBD untuk meningkatkan kadar total oksida
alkali pada felspar Jepara yang mula-mula mengandung oksida besi 0,66% berat
dan total oksida alkali 11,22% berat. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya
kadar besi pada felspar Jepara sebesar 34,85% dari kadar besi mula-mula
menggunakan kedua metode, namun metode flotasi dapat meningkatkan kadar
total oksida alkali sebesar 18,00%, lebih tinggi dibandingkan metode CBD, yaitu
sebesar 10,78% dari kadar mula-mula.

Kata Kunci: felspar, pengurangan kadar besi, flotasi, CBD.


PENDAHULUAN
Keramik sudah dikenal manusia sejak awal peradaban. Hal ini terbukti
dengan ditemukannya benda-benda perkakas rumah tangga yang terbuat dari
lempung yang dibakar. Dewasa ini keramik sudah jauh berkembang dalam
kualitas maupun diversitas produknya, bahkan sudah menjadi produk industri
yang dihasilkan secara masal oleh pabrik bermesin modern.

PKMP-5-6-2
Produksi berbagai artikel keramik tersebut menggunakan felspar sebagai
salah satu bahan baku utamanya. Industri keramik Indonesia masih banyak yang
mendatangkan felspar dari Cina, India, dan Jepang untuk menjaga mutu
produknya. Akibatnya, perkembangan industri keramik justru meningkatkan
kebutuhan dan ketergantungan pada bahan impor.
Di sisi lain, potensi felspar di Indonesia melimpah. Hal ini terbukti dengan
terdapatnya berbagai batuan sumber mineral felspar, antara lain pegmatite di
Sawah Lunto, Bonti, Lampung, dan Saparua; tuff lipartis atau biasa disebut
felspar Lodoyo, Malang; arkosa di Banjarnegara dan Jepara. Felspar dari daerah
Banjarnegara, Sulawesi Tengah (Nuryanto, 1990a; Nuryanto, 1990b; Syaripudin,
1998) dan Flores (Ardha, 1993) telah diteliti.
Felspar Indonesia tidak ditemukan dalam keadaan murni tetapi bercampur
dengan mineral atau senyawa lain sebagai pengotor. Mineral pengotor yang sering
bercampur antara lain mica, ilmenite, magnetite, hematite, dan kuarsa. Umumnya,
senyawa pengotor berasal dari besi dalam bentuk persenyawaan dengan unsur
oksigen, karbonat, atau sulfida (Grimshaw, 1980). Hal ini menyebabkan
ketidaksesuaian mutu felspar Indonesia dengan persyaratan yang dibutuhkan oleh
industri keramik. Pada umumnya, komposisi kimia oksida felspar Indonesia -
khususnya silika, alumina, dan alkali - tidak menjadi masalah serius. Namun,
tidak demikian halnya dengan besi. Mengacu pada Standar Industri Indonesia
(SII) No. 1145-84, parameter mutu komposisi kimia felspar yang baik untuk
industri pemakai, meliputi antara lain kandungan oksida: Si 68,00 - 69,99 %, Al
17,00 -17,99 %, dan Fe maksimum 0,50 % - untuk industri keramik.
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengurangi kandungan besi
pengotor dalam mineral aluminosilikat yang lain. Pada tahun 1960, Jackson dan
Mehra memperkenalkan metode CBD (Citrate Bicarbonate Dithionite), dan
berhasil mengurangi kandungan oksida besi dalam tanah dan lempung. Metode
CBD dapat melarutkan semua partikel yang sangat halus dari maghemite dan
magnetite dengan baik (Oorschot & Dekkers, 1999). Menurut Deng dkk. (2000)
butiran pedogenik yang bersifat magnet, termasuk maghemite dan partikel
magnetite yang sangat halus dapat dikurangi secara efektif dengan metode CBD.
Metode tersebut juga berhasil untuk mengeliminasi besi oksida dari mineral
chlorite kaya Fe pada Chinese loess (Zhao dkk, 2003).
Pengolahan felspar Indonesia dengan cara pemisahan magnetik, flotasi
maupun gabungan keduanya pernah dilakukan oleh Nuryanto (1990a; 1990b;
1991) untuk felspar Banjarnegara dan felspar Sulawesi Tengah dan Ardha (1993)
untuk felspar Flores, namun cara-cara tersebut ternyata kurang efektif untuk
pemisahan partikel-partikel yang sangat halus. Untuk itu digunakan metode flotasi
menggunakan dua media cairan pemisah berdasarkan fenomena terpisahnya
minyak dengan air yang telah berhasil untuk menungkatkan kadar bijih mangan
(Arif, Nasution, 1990) dan mengurangi kadar besi oksida dari kaolin (Moutsatsu
dan Parissaki, 1995). Metode tersebut juga pernah digunakan untuk mengurangi
besi oksida dalam felspar Banjarnegara tetapi persentase kandungan felspar dalam
sampel ternyata tidak memadai dan optimasi belum dilakukan (Syaripuddin,
1998).
Felspar Indonesia umumnya diolah dengan metode flotasi dan metode
pemisahan magnetis namun felspar hasil kedua perlakuan tersebut belum
menunjukkan hasil yang memadai. Oleh karena itu perlu diupayakan

PKMP-5-6-3
pengembangan metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah sekaligus
membandingkan efektifitasnya dengan metode CBD dalam upaya menurunkan
kandungan besi dalam mineral sumber felspar Jepara. Dengan demikian,
permasalahan yang muncul berikutnya adalah bagaimana faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah
dan metode CBD dioptimalkan.
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan felspar dengan
mutu memenuhi persyaratan kandungan besi yang diijinkan sebagai bahan baku
felspar pada industri keramik. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efektivitas metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah
dan metode CBD dalam menurunkan kandungan besi pengotor felspar Jepara.
Penelitian ini memberi kontribusi dalam mengatasi ketergantungan industri
keramik Indonesia terhadap bahan baku felspar impor yaitu dengan memanfaatkan
sumber daya alam lokal yang melimpah. Apabila felspar lokal dapat digunakan
sebagai bahan baku utama industri keramik, secara tidak langsung akan
menghasilkan penghematan devisa dan secara langsung meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja yang terlibat dalam industri felspar sekaligus
menurunkan harga jual produk keramik.

METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan di laboratorium kimia FMIPA dan Sub. Lab. Kimia
UPT Laboratorium pusat Universitas Sebelas Maret. Sedangkan penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan November 2005.

B. Bahan dan Alat yang Digunakan
1. Bahan yang digunakan : Felspar Jepara, aquades, aquabides, kertas saring
whatman no. 40 dan 42, HCl, NaOH, asam oleat, ammonium sulfat, natrium sitrat,
natrium bikarbonat, natrium dithionit, minyak kerosin.
2. Alat yang digunakan : Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) AA-6650
Shimadzhu, pH meter, X-Ray Diffraction (XRD) Shimadzhu 6000, neraca analitis
satorius, oven, pengaduk magnet, alat-alat gelas, ayakan, shaker, drug ball, alat
setrifuge, timer, desikator.

C. Metode Pelaksanaan
1. Preparasi dan Identifikasi Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Jepara, Jawa
tengah. Sampel grade A yang diperoleh dari hasil sampling terlebih dahulu dicuci
untuk mengurangi lempung pengotor yang ada kemudian dikeringkan di bawah
sinar matahari. Setelah kering, dilakukan penggerusan agar kondisi sampel
homogen dan pengayakan hingga diperoleh ukuran butir felspar 200 mesh.
Identifikasi sampel felspar sebelum pengurangan kadar besi, dilakukan dengan
AAS dan XRD. Analisis oksida logam dan semilogam dengan AAS meliputi SiO
2
,
Al
2
O
3
, Na
2
O, K
2
O, CaO, dan Fe
2
O
3
.

2. Pengurangan Kandungan Besi dalam Felspar :
a. Metode Flotasi
1) Optimasi pH

PKMP-5-6-4
Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam gelas beker 400 ml.
Kemudian ditambahkan 212,5 ml aquades dan 5 ml (NH
4
)
2
SO
4
9x10
-3
M.
Selanjutnya dilakukan pengaturan pH (3, 5, 7 dan 9) dengan larutan HCl dan
NaOH. Setelah pH sesuai, 10 ml kolektor (asam oleat) 9x10
-4
M ditambahkan
kemudian larutan diaduk. Minyak kerosin sebanyak 37,5 ml ditambahkan ke
dalam larutan, campuran dikocok dengan stirrer selama 6 menit kemudian
dimasukkan dalam corong pisah dan diamkan selama 20 menit hingga terbentuk
dua lapisan, lapisan atas berupa minyak dan lapisan bawah berupa air. Lapisan
bawah dipisahkan dari lapisan atas. Larutan pada lapisan bawah didekantasi,
endapan dicuci hingga baunya hilang, dikeringkan dalam oven, ditimbang
(konsentrat 1), kemudian dianalisis dengan AAS. Larutan hasil dekantasi disaring,
residu dikeringkan kemudian ditimbang (konsentrat 2). Larutan lapisan atas
disaring, residu dikeringkan kemudian ditimbang (residu kotor).
b) Optimasi konsentrasi asam oleat
Prosedur kerja seperti point (a) namun dengan konsentrasi asam oleat
divariasi (3, 5, 7 dan 9) x10
-4
M dan flotasi dilakukan pada pH optimum yang
sesuai hasil pada point (a).
c) Optimasi konsentrasi (NH
4
)
2
SO
4
(Ammonium sulfat)
Prosedur kerja seperti point (a) namun dengan konsentrasi (NH
4
)
2
SO
4

divariasi (3, 5, 7 dan 9)x10
-3
M sedangkan pH optimum dan konsentrasi asam
oleat optimum yang digunakan tetap sesuai hasil pada point (a) dan (b).
b. Metode CBD
Sampel sebanyak 2,5 gram dimasukkan dalam tabung sentrifuge kemudian
ditambah 45 ml C
6
H
5
Na
3
O
7
.2H
2
O (sodium citrate) 0,3 M dan 5 ml NaHCO
3
1M.
Selanjutnya tabung ditempatkan dalam water bath hingga sampel mencapai suhu
yang diinginkan (variasi suhu 60C, 70C, 80C dan 90C). Kemudian 1 gram
Na
2
S
2
O
4
ditambahkan dan diaduk selama 1 menit dengan temperatur dijaga
konstan selama 15 menit dan diaduk setiap 5 menit. Satu gram Na
2
S
2
O
4
yang
kedua ditambahkan dan diperlakukan seperti sebelumnya. Sentrifugasi dilakukan
pada 1200 rpm selama 15 menit kemudian larutan didekantasi, endapan dicuci
dengan 50 ml air bebas mineral dan disentrifugasi lagi selama 15 menit. Setelah
sentrifugasi, larutan didekantasi dan endapan yang diperoleh dikeringkan,
ditimbang kemudian dianalisis dengan AAS.

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi Sampel Felspar
1. Analisis Komposisi Oksida Logam dan Oksida Semilogam.
Hasil analisis komposisi oksida logam dan semilogam dalam sampel
felspar dengan AAS disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 diketahui rasio Si/Al-nya mendekati 3:1. Menurut
Mason dan Moore (1982) rasio Si/Al felspar antara 3:1 hingga 1:1. Hal ini
mengindikasikan adanya mineral felspar dalam sampel. Sedangkan komposisi
logam yang lain yang terdapat dalam sampel felspar dalam bentuk oksidanya
adalah Fe, Ca, K dan Na. Logam-logam Ca, K dan Na biasa terdapat sebagai
kation penyeimbang yang khas untuk jenis mineral felspar, misalnya Ca untuk
anorthite, K untuk microline dan Na untuk albite. Ditinjau dari rasio oksida Na
dengan oksida K yang mendekati 1:1, mengindikasikan adanya felspar jenis
sanidine, anorthoclase dan kemungkinan juga microline dalam sampel.

PKMP-5-6-5

Tabel 1. Komposisi Oksida Logam dan Oksida Semilogam Sampel Felspar Jepara

No.
Jenis Oksida Logam dan Oksida
Semilogam
Kadar
(% berat)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
SiO
2
Al
2
O
3
Fe
2
O
3
CaO
Na
2
O
K
2
O
63,55
20,07
0,66
0,49
5,56
5,66

Ditinjau dari kandungan besinya, sampel mengandung oksida besi yang relatif
kecil, namun masih berada di atas standar baku felspar sebagai bahan keramik
halus. Menurut Hartono (1982), sejumlah oksida besi (< 1 %) mampu
menimbulkan warna sehingga felspar tidak bernilai lagi dalam industri keramik.
Hasil analisis AAS menunjukkan keadaan sampel menarik untuk diteliti sehingga
diketahui efektivitas metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dan
metode CBD dalam menurunkan kadar besi pengotor.

2. Analisis Komposisi Mineral
Hasil analisis komposisi mineral yang terkandung dalam sampel felspar
Jepara dengan XRD pada rentang sudut (2) 10
o
70
o
disajikan pada Gambar 1.











Gambar 1. Difraktogram Sampel Felspar Jepara dengan Label: (f) Felspar, (m)
Magnetit, (l) Lisetit, (a) Alofan, dan (z) Lizardit.

Analisis komposisi mineral dengan XRD bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis
mineral dalam sampel sehingga lebih mendukung data AAS mengenai kelayakan
sampel sebagai sampel penelitian. Analisis XRD dapat digunakan untuk
identifikasi secara kualitatif dan kuantitatif.
Hasil analisis kuantitatif menunjukkan persentase kandungan (% berat)
masing-masing mineral dalam sampel, yaitu felspar (89,74 %), magnetit (5,13 %)
lisetit (2,14 %), alofan (1,71 %), dan lizardit (1,28 %). Felspar dalam sampel
sebagian besar tersusun dari jenis sanidine (60,26 %), sebagian microline (22,22
%) dan sejumlah kecil anorthoclase (7,26 %). Dari persentase tersebut dapat
disimpulkan bahwa penyusun utama dari sampel tersebut adalah mineral felspar
karena kandungannya paling tinggi sedangkan mineral utama jenis felspar adalah
sanidine. Indikasi terdapatnya felspar jenis sanidine, anorthoclase dan microline
f
f
f
f
f
f
f
m m
m
l
a z

PKMP-5-6-6
dari hasil analisis AAS, telah diperkuat oleh hasil analisis XRD. Indikasi tersebut
semakin jelas dari hasil analisis kuantitatif bahwa felspar sanidine yang paling
dominan. Sampel tersebut layak untuk diteliti sehingga diketahui efektivitas
metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dan metode CBD dalam
menurunkan kandungan besi didalamnya.

B. Pengurangan Kadar Besi pada Felspar
1. Metode Flotasi
Berdasarkan fenomena terpisahnya air dengan minyak maka mineral besi dapat
dipisahkan dari felspar dengan cara membuat permukaan mineral besi menjadi
hidrofobik sehingga berada dalam fasa minyak sedangkan felspar tetap berada di
dalam fasa air. Sifat-sifat permukaan dapat diubah dan dikendalikan dengan
menggunakan berbagai macam pereaksi kimia. Agar pengurangan kadar besi
optimal dibutuhkan kondisi optimum. Oleh karena itu, dilakukan optimasi pH,
konsentrasi kolektor, dan konsentrasi (NH
4
)
2
SO
4
(ammonium sulfat).
a. Optimasi pH
Kadar oksida besi (Fe
2
O
3
) sisa dan kadar total oksida alkali (K
2
O + Na
2
O) hasil
analisis AAS dari konsentrat 1 setelah proses flotasi pada berbagai pH disajikan
pada Gambar 2.








Gambar 2. Histogram Kadar Oksida Besi (Fe
2
O
3
) Sisa (a) dan Kadar Total Oksida
Alkali (b) pada Berbagai pH, setelah Flotasi.

Partikel-partikel mineral besi bermuatan listrik, tetapi pada pH tertentu
muatan permukaan mineral besi netral, kondisi ini disebut PZC (Point of Zero
Charge) dari mineral besi. Mineral besi mempunyai PZC pada pH sekitar 6,70
8,67 yang berarti pada pH dibawah PZC permukaan mineral besi akan bermuatan
positif. Sebaliknya, pada pH diatas PZC permukaan mineral besi akan negatif.
Hasil analisis AAS terhadap kandungan besi sisa pada berbagai variasi pH
(Gambar 2) menunjukkan pengurangan kadar besi terbanyak terjadi pada pH 5
dan 7, yaitu menjadi 0,45 % berat atau turun sebesar 31,81 % dibandingkan kadar
awal (0,66 % berat). Pada pH < 5 kadar besi sisa lebih banyak. Hal ini disebabkan
pada kondisi semakin asam, kolektor kurang reaktif. Pada pH > 7 kadar besi sisa
meningkat kembali karena ion-ion penentu permukaan yang bermuatan positif
berkurang mendekati PZC-nya sehingga penyerapan mineral besi oleh kolektor
berkurang. Adanya ion OH

pada kondisi alkali dari NaOH yang menyerap
partikel besi menyebabkan berkurangnya besi oksida yang terselaputi oleh
kolektor. Di sisi lain, menurut Arif dan Ronald (1990) serta Xuede dan Kewu
(1993), ion OH dapat bertindak sebagai depresan sehingga akan mempercepat
pengendapan felspar. Adanya ion OH juga akan mengaktifkan kolektor dengan
mengikat H
+
pada gugus polar kolektor sehingga kolektor menjadi anionik dan
0,43
0,44
0,45
0,46
0,47
0,48
3 4 5 6 7 8 9
pH
K
a
d
a
r

F
e
2
O
3

s
i
s
a

(
%
)
12,44
12,5
12,56
12,62
12,68
12,74
3 4 5 6 7 8 9
pH
K
a
d
a
r

t
o
t
a
l

o
k
s
i
d
a

a
l
k
a
l
i


(
%
)

(a) (b)

PKMP-5-6-7
(a)
lebih mudah berinteraksi mineral besi yang permukaannya bermuatan positif. Hal
inilah yang mungkin menyebabkan peningkatan kadar besi cenderung kecil pada
pH 9. Pada Gambar 2 terlihat bahwa kadar total oksida alkali cenderung menurun
dengan bertambahnya pH tetapi masih memenuhi standar sebagai bahan baku
keramik. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa pengurangan kadar besi optimum
pada pH 5 7. Percobaan selanjutnya dilakukan pada pH 6 karena pada pH 6
masih dalam rentang pH optimum selain itu pada pH tersebut senyawa pengatur
pH yang ditambahkan minimum.
b. Optimasi Konsentrasi Asam Oleat
Kadar oksida besi (Fe
2
O
3
) sisa dan kadar total oksida alkali (K
2
O + Na
2
O) hasil
analisis AAS dari konsentrat 1 setelah proses flotasi pada berbagai konsentrasi
asam oleat, disajikan pada Gambar 3.








Gambar 3. Histogram Kadar Oksida Besi (Fe
2
O
3
) Sisa (a) dan Kadar Total Oksida
Alkali (b) pada Berbagai Konsentrasi Asam Oleat, setelah Flotasi.

Kolektor asam oleat digunakan untuk mengubah permukaan mineral besi
menjadi hidrofobik agar mineral besi dapat terpisah dari felspar dan dibawa ke
fasa minyak. Hasil analisis kadar oksida besi sisa dan kadar total oksida alkali
yang disajikan dalam Gambar 3 terlihat bahwa pengurangan kadar besi optimum
terjadi saat konsentrasi kolektor yang digunakan 5 x 10
-4
M, yaitu menjadi 0,45 %
berat atau berkurang 31,81 % dibandingkan kadar mula-mula. Hal ini disebabkan
terjadinya formasi hemicelle antara permukaan mineral besi dengan kolektor
sehingga hidrofobisitas mineral besi dan adsorpsi kolektor optimum.
Pada konsentrasi kolektor yang lebih rendah, hidrofobisitas mineral besi dan
penyerapan kolektor belum optimal sehingga kadar besi dalam konsentrat masih
tinggi. Pada konsentrasi kolektor yang lebih tinggi, hidrofobisitas mineral besi
berkurang sehingga kadar besi dalam konsentrat meningkat lagi. Hal ini
disebabkan terbentuknya formasi micelle (lapisan ganda antarmuka), rantai
hidrokarbon kolektor yang nonpolar berasosiasi membentuk agregat sehingga
mengurangi daya apungnya. Terbentuknya micelle mengakibatkan rantai
hidrokarbon tertutup dan permukaan mineral menjadi hidrofilik sehingga berada
pada fasa air. Pada Gambar 5 terlihat bahwa dengan meningkatnya konsentrasi
kolektor hingga 7 x 10
-4
M, kadar alkali cenderung berkurang tetapi meningkat
lagi pada konsentrasi yang lebih tinggi.
Interaksi yang terjadi (adsorpsi) antara kolektor dengan mineral besi dapat
terjadi karena adanya gaya elektrostatis atau gaya van der Waals, pertukaran ligan,
atau interaksi hidrofobik. Gaya van der Waals yaitu gaya yang disebabkan oleh
antaraksi dipol-dipol yang berupa dipol permanen atau dipol induksi. Pertukaran
ligan (ligand exchange) terjadi antara gugus OH pada permukaan mineral dengan
anion kolektor. Interaksi hidrofobik antara rantai karbon dari kolektor yang
0.44
0.46
0.48
0.5
0.52
0.54
3 4 5 6 7 8 9
Konsentrasi asam oleat (10
-4
M)
K
a
d
a
r

F
e
2
O
3

s
i
s
a

(
%
)
12.8
12.95
13.1
13.25
13.4
13.55
3 4 5 6 7 8 9
Konsentrasi asam oleat (10
-4
M)
K
a
d
a
r

t
o
t
a
l

o
k
s
i
d
a

a
l
k
a
l
i


(
%
)
(b)

PKMP-5-6-8
panjang dengan medium (air) merupakan kontribusi paling besar terpisahnya besi
ke fasa minyak karena air polar sedangkan rantai karbon yang panjang nonpolar.
c. Optimasi Konsentrasi (NH
4
)
2
SO
4

Kadar oksida besi (Fe
2
O
3
) sisa dan kadar total oksida alkali (K
2
O + Na
2
O) hasil
analisis AAS dari konsentrat 1 setelah proses flotasi pada berbagai konsentrasi
(NH
4
)
2
SO
4
disajikan pada Gambar 4.








Gambar 4. Histogram Kadar Oksida Besi (Fe
2
O
3
) Sisa (a) dan Kadar Total Oksida
Alkali (b) pada Berbagai Konsentrasi (NH
4
)
2
SO
4,
setelah Flotasi.

Hasil analisis AAS yang disajikan pada Gambar 4, terlihat bahwa pada
konsentrasi ammonium sulfat 9 x 10
-3
M kadar besi dalam konsentrat paling
rendah, yaitu 0,43 % berat atau turun sebesar 34,85 % dari kadar mula-mula dan
total kadar alkali paling tinggi, yaitu 13,24 % berat atau naik sebesar 18,00 % dari
kadar mula-mula. Hal ini disebabkan hidrofobisitas oleat terhadap mineral besi
optimal. Pada konsentrasi yang lebih rendah, fungsi ion sulfat sebagai senyawa
penekan felspar belum optimal sehingga pemisahan mineral besi dari felspar
kurang optimal akibatnya kadar besi sisa masih tinggi. Pada konsentrasi yang
makin tinggi, mineral felspar yang cederung bermuatan negatif akan menyerap ion
NH
4
+
semakin banyak, akibatnya permukaan felspar akan cenderung bermuatan
lebih positif dibandingkan jika ion NH
4
+
yang terserap sedikit. Kondisi tersebut
mengakibatkan adanya kompetisi dengan mineral besi untuk terhidrofobisasi oleh
kolektor seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Hasilnya, permukaan felspar menjadi
hidrofobik dan ikut terbawa ke fasa minyak sehingga pemisahan besi tidak
optimal.










Gambar 5. Visualisasi Penyerapan NH
4
+
yang Berlebih pada Permukaan
Felspar (Ardha, 1994).

Hasil analisis XRD setelah proses flotasi pada kondisi optimum, disajikan dalam
Gambar 6.

0.39
0.43
0.47
0.51
0.55
0.59
5 6 7 8 9 10 11
Konsentrasi (NH4)2SO4 (10
-3
M)
K
a
d
a
r

F
e
2
O
3
s
i
s
a

(
%
)
12.4
12.6
12.8
13
13.2
13.4
5 6 7 8 9 10 11
Konsentrasi (NH4)2SO4 (10
-3
M)
K
a
d
a
r

t
o
t
a
l
o
k
s
id
a

a
lk
a
li

(
%
)
(a) (b)
Cation (NH4
+
)

PKMP-5-6-9








Gambar 6. Difraktogram Felspar Jepara setelah Flotasi pada kondisi Optimum,
dengan Label (f) Felspar, (l) Lisetit, dan (a) Alofan.

Analisis XRD felspar Jepara setelah proses flotasi pada kondisi optimum
dilakukan untuk memastikan struktur felspar tetap dan kandungannya tidak
banyak berubah. Gambar 1 menunjukkan setelah proses flotasi struktur felspar
tetap dipertahankan dan pola pola difraksinya tidak berubah. Secara kualitatif
felspar masih mengandung lisetit dan alofan tetapi mineral besi (magnetit dan
lizardit) sudah tidak teridentifikasi. Hal ini membuktikan proses flotasi berhasil
mengurangi mineral besi dalam felspar Jepara grade A dan tidak menyebabkan
struktur mineral lain rusak seperti alofan (mineral dengan derajad kristalinitas
relatif rendah) masih teridentifikasi. Secara kuantitatif, kandungan felspar adalah
96,32 % yang terdiri atas sanidine (57,79 %), microline (27,87 %), dan
anorthoclase (10,66 %) sedangkan mineral pengotor dalam felspar relatif kecil,
yaitu lisetit (2,05 %) dan alofan (1,64 %).

2. CBD (Citrate Bicarbonate Dithionite)
Kadar oksida besi (Fe
2
O
3
) sisa dan kadar total oksida alkali (K
2
O + Na
2
O) pada
felspar setelah proses CBD pada berbagai suhu, disajikan pada Gambar 7. Dari
Gambar 7 terlihat penurunan kadar besi optimum pada suhu yang lebih rendah,
pelarutan besi yang terjadi lebih lambat sehingga kelat Fe-citrate yang terbentuk
belum optimal, akibatnya kandungan besi yang tersisa pada felspar masih tinggi.
Secara kinetik, pada suhu yang lebih tinggi, reaksi akan berjalan lebih cepat
karena energi kinetiknya meningkat. Akan tetapi, pelarutan besi terlalu cepat
memungkinkan molekul-molekul produk (kompleks Fe-citrate) bereaksi kembali
membentuk zat semula sehingga produk berkurang, akibatnya kandungan besi
dalam felspar masih lebih tinggi.










Gambar 7. Histogram Kadar Oksida Besi (Fe
2
O
3
) Sisa (a) dan Kadar Total
Oksida Alkali (b) pada Berbagai Suhu, setelah Proses CBD.

11.7
11.9
12.1
12.3
12.5
12.7
60 70 80 90
Suhu (
0
C)
K
a
d
a
r

t
o
t
a
l
o
k
s
id
a

a
lk
a
li
(
%
)
0,37
0,41
0,45
0,49
0,53
0,57
60 70 80 90
Suhu (
0
C)
K
a
d
a
r

F
e
2
O
3

s
i
s
a

(
%
)
(a)
(b)

PKMP-5-6-10
Hasil analisis XRD setelah proses CBD pada suhu optimum, disajikan dalam
Gambar 8. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa setelah proses CBD
struktur felspar masih dipertahankan, bahkan secara kualitatif hanya puncak
felspar yang teridentifikasi. Hal ini semakin memperkuat bahwa metode CBD
efektif mengurangi kadar besi dalam felspar, terbukti tidak munculnya puncak-
puncak khas difraksi dari mineral besi. Tidak teridentifikasinya mineral pengotor
lain (alofan dan lisetit) mungkin disebabkan rusaknya kristalinitas mineral
tersebut oleh proses CBD pada suhu 70C. Secara kuantitatif, sampel mengandung
felspar 100 % yang terdiri dari sanidine (55,98 %), microline (27,75 %), dan
anorthoclase (16,27 %). Hasil ini terjadi karena puncak felspar semakin tajam
setelah proses CBD sedangkan puncak-puncak mineral yang lain rendah sehingga
bisa diabaikan terhadap felspar selain itu mineral felspar mempunyai kristalinitas
tinggi. XRD hanya bisa digunakan untuk menganalisa mineral kristalin sehingga
mineral yang amorf tidak teridentifikasi. selain itu XRD juga mempunyai
keterbatasan untuk menganalisa mineral dalam kuantitas yang sangat kecil.








Gambar 8. Difraktogram Felspar Jepara setelah proses CBD pada Suhu
Optimum, dengan Label (f) Felspar.

C. Perbandingan Metode Flotasi Menggunakan Dua Media Cairan Pemisah
dengan Metode CBD (Citrate Bicarbonate Dithionite)
Hasil pengurangan kadar besi pada felspar dengan metode flotasi
menggunakan dua media cairan pemisah dibandingkan dengan metode CBD
disajikan dalam Tabel 2. Berdasarkan tabel 2, kecilnya persentase penurunan
kadar besi dalam felspar Jepara grade A disebabkan kecilnya kadar besi mula-
mula. Ditinjau dari kadar total oksida alkalinya maka metode flotasi menggunakan
dua media cairan pemisah dan metode CBD berhasil menaikkan kadar total oksida
alkali dari kadar mula-mula. Meningkatnya kadar total oksida alkali tersebut
selain disebabkan adanya penambahan unsur-unsur alkali dari reagen yang
digunakan sebagai akibat berkurangnya kadar besi dalam felspar karena
terpisah/terambil setelah proses flotasi dan CBD maupun terlarut oleh basa.
Dengan demikian berkurangnya kadar oksida besi dalam felspar mengakibatkan
kadar total oksida alkali seolah-olah naik.

Tabel 2. Hasil Pengurangan Kadar Besi pada Felspar Jepara dengan Metode
Flotasi Menggunakan Dua Media Cairan Pemisah Dibandingkan
dengan Metode CBD

Akhir (% berat)
Kadar
Awal
(% berat) Metode Flotasi Metode CBD
Oksida besi sisa 0,66 0,43 0,43
Oksida alkali Total 11,22 13,24 12,43

PKMP-5-6-11
Metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah sama efektifnya
dengan metode CBD untuk menurunkan kandungan besi dalam felspar Jepara
grade A tetapi metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah lebih
efektif untuk meningkatkan kualitas felspar Jepara grade A dibandingkan dengan
metode CBD. Metode CBD dapat digunakan sebagai alternatif metode
pengurangan kandungan besi dalam felspar dengan proses yang lebih praktis.
Metode ini mungkin akan lebih efektif jika ekstraksi dilakukan dua atau tiga kali.
Jadi, felspar Jepara grade A telah memenuhi standar sebagai bahan baku keramik
jenis porselin.

KESIMPULAN
1. Metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dan metode CBD
dapat menurunkan kandungan besi pada felspar sebesar 34,85 %, metode
flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dapat meningkatkan kadar
total alkali sebesar 18,00 % sedangkan metode CBD sebesar 10,78 %.
2. Metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah sama efektifnya
dengan metode CBD untuk mengurangi kadar besi dalam felspar Jepara grade
A tetapi metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah lebih efektif
untuk meningkatkan kualitas felspar Jepara grade A dibandingkan dengan
metode CBD.

DAFTAR PUSTAKA
Arda, Ngurah. 1993. Percobaan Pendahuluan Peningkatan Kadar Felspar dari
Bahan Granit Wolowaru Flores. Buletin PPTM. Vol. 15. No. 9.
September. hal: 17.
Arda, Ngurah. 1994. Felspar Grade Improvement by Flotation Using Double
Collectors and Non Hydrofluoric Acid System. Indonesian Mining
Journal. Introduction Edition. October. hal: 55.
Arif, Arifin dan Ronald Nasution. 1990. Percobaan Pendahuluan Liquid-Liquid
Extraction Monazid dengan Menggunakan Kolektor Anion dan Kation.
Jilid 8. No.1. Metalurgi LIPI Bandung. hal: 27-31.
Grimshaw, Rex W. 1980. Physical of Clays and Other Ceramic Material. 4
th

Edition. John Wiley and Sons. New York.
Grygar, T. and Ingeborg H. M. van Oorschot. 2002. Voltammetric Identification
of Pedogenic Iron Oxides in Paleosol and Loess. Electroanalysis. Vol 14.
No..5. Germany. hal: 339-344.
Hartono, Y.M.V. 1982. Bahan Mentah untuk Pembuatan Keramik. BBK.
Bandung. hal: 83-90.
Mason, M. and C. B. Moore. 1982. Principles of Geochemistry. 4
th
Edition. John
Wiley & Sons, Inc. New York. hal 99-103
Moutsatsu A. K. and Parissaki. 1995. Reducing The Iron Content of Kaolin From
Milos by A Hydrometallurgical Process. Vol. 104. Mineral Process
Extracted Metallurgy in The IMM. hal: 110-112.
Nuryanto. 1990a. Flotasi Balik terhadap Felspar Banjarnegara Derajat
Liberasi-65 mesh (Bagian I). Informasi Teknologi Keramik dan Gelas.
No. 46. Tahun XII. BPPI. Balai Besar Industri Keramik. Bandung. hal: 23-
31.

PKMP-5-6-12
Nuryanto 1990b. Flotasi Balik terhadap Felspar Banjarnegara Derajat Liberasi-
65 mesh (Bagian II). Informasi Teknologi Keramik dan Gelas. No. 45.
Tahun XII. BPPI. Balai Besar Industri Keramik. Bandung. hal: 5-12.
Nuryanto. 1991. Flotasi Balik terhadap Felspar Banjarnegara Derajat Liberasi-
65 mesh (Bagian III). Informasi Teknologi Keramik dan Gelas. No. 48.
Tahun XII. BPPI. Balai Besar Industri Keramik. Bandung. hal: 18-32.
Oorschot, I.H.M.Van and M.J. Dekkers. 1999. Dissolution Behaviour of Fine-
grained Magnetite and Maghemite in The Citrate-Bicarbonate-Dithionite
Extraction Method . Earth and Planetary Science Letters 167. hal: 283-
295.
Standar Industri Indonesia (SII). 1145-84. Syarat Mutu Felspar untuk Badan
Keramik Halus.
Syaripuddin, A. 1998. Pengurangan Besi Oksida dalam Mineral Felspar dengan
Metode Flotasi. Skripsi S-1. Jurusan Kimia. F.MIPA. Universitas
Diponegoro Semarang.
Xuede, H. and Wei Kewu. 1993. A Study of Iron Removal from Fine Kaolin by
Two Liquid Flotation. International Mineral Processing Congress. Vol
XVII. Sydney. Hal: 1389-1393.
Zao, Liang, WU, Tao, and JI. 2003. Quantitatif Measurement of Chlorite in the
Cinese Loess by Sequantial Extraction Method. Department of Earth
Sciences. Nanjing Univ. Nanjing. China.


PKMP-5-7-1

PENGELOLAAN BIJI KARET MENJADI BIODIESEL
Agus Jayadi, Risal Rahman, Umul Khiyaroh, Mustanginah
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta

ABSTRAK
Kebutuhan energi di dunia semakin meningkat, padahal cadangan energi
fosil sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan energi alternatif pengganti
bahan bakar minyak yang diharapkan memiliki sifat-sifat terbarukan dan ramah
lingkungan. Biodiesel sebagai bahan bakar alternatif merupakan cara
penanggulangan yang tepat. Penelitian ini bertujuan mencari kondisi optimum
proses pembuatan biodisel dari minyak biji karet dengan mempelajari pengaruh
perbandingan pereaksi dan konsentrasi katalis. Metanolisis minyak biji karet
dilakukan di dalam reaktor yang berupa gelas beker 600 ml yang dilengkapi
penutup dan magnetic stirer serta pipet tetes sebagai pengambil cuplikan pada
tiap-tiap waktu. Cuplikan dianalisis gliserolnya dengan metode Iodometri-Asam
Periodat. Sisa hasil reaksi diekstraksi dengan menggunakan aquadest pada
corong pemisah dan diambil ester sebagai hasil atas. Ester yang diperoleh inilah
yang diharapkan dapat dipakai sebagai bahan bakar motor diesel / biodiesel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada metanolisis minyak biji karet,
konversi maksimum diperoleh pada perbandingan pereaksi sebesar 6 mgek
metanol/ mgek minyak, dengan katalisator KOH sebesar 0.75 % berat minyak dan
dalam waktu 60 menit yaitu sebesar 69,0123 %. Dari hasil pengujian spesifikasi
ester hasil reaksi yang meliputi flash point, pour point, carbon residue didapatkan
bahwa ester hasil memiliki sifat-sifat fisik yang memenuhi kriteria sebagai minyak
diesel dan solar kecuali untuk viskositasnya dan carbon residue. Mengenai
viskositas dapat diatasi dengan membuat campuran (blending) antara ester
dengan minyak diesel. Pencampuran dapat dilakukan sampai level 30 % ester dan
70 % minyak diesel yang memberikan viskositas sebesar 8,9031cSt.

Kata kunci : energi, karet, biodiesel


PENDAHULUAN
Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan energi di dunia yang
semakin meningkat, padahal cadangan energi fosil sangat terbatas. Bersumber
dari (blue print) pengelolaan energi nasional ESDM, disebutkan bahwa untuk
energi fosil jenis minyak dengan sumber daya sebesar 86,9 miliar barel dan
cadangan 9 miliar barel untuk produksi per tahun sebanyak 500 juta barel akan
diperoleh rasio cadangan/produksi (tanpa eksplorasi) selama 18 tahun, sedangkan
untuk energi fosil jenis gas dengan sumber daya sebesar 384.7 TSCF dan
cadangan 188 TSCF untuk produksi per tahun sebanyak 3.0 TSCF akan diperoleh
rasio cadangan/produksi (tanpa eksplorasi) selama 62 tahun. Oleh karena itu
diperlukan energi alternatif lain sebagai pengganti bahan bakar minyak yang
diharapkan memiliki sifat-sifat terbaharui dan ramah lingkungan.
Biodiesel sebagai bahan bakar alternatif merupakan cara penanggulangan
yang tepat. Dari segi kualitas biodiesel tidak kalah dengan minyak solar, baik


PKMP-5-7-2

dalam hal kinerja sebagai bahan bakar maupun efisiensinya. Selain itu biodiesel
mempunyai keuntungan yaitu ramah lingkungan karena tidak mengandung gas
sulfur yang berbahaya dan kandungan CO pada emisi gas hasil pembakaran
rendah.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber daya hayati yang
berlimpah, salah satunya adalah tanaman karet (Hevea brasiliensis). Sampai saat
ini hanya getah karet yang banyak digunakan dalam industri, sedangkan buah atau
bijinya belum banyak dimanfatkan. Selain bibit tanaman, biji karet dapat diambil
minyak dan bungkilnya (Team Sertifikat Bahan Tanaman Karet Rakyat, 1975).
Selain itu melalui program pemerintah di bidang pemanfaatan biofuel yakni
Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2006, target untuk tahun 2025 yaitu 33 %
berasal dari batu bara, 30 % dari gas, 20 % dari minyak, 5 % dari biofuel, 5 % dari
geothermal dan sisanya dari sumber energi lain seperti air, nuklir, biomassa,
matahari, angin dan lain-lain. Hal ini menunjukkan untuk tahun 2025 ditargetkan
biofuel setidaknya memberikan kontribusi sebesar 5 % terhadap total kebutuhan
energi nasional.
Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : biji
karet dengan kandungan minyak mencapai 60% di Indonesia melimpah tetapi
belum dimanfaatkan secara maksimal dan biodiesel yang terbuat dari minyak
hayati merupakan salah satu alternatif energi untuk menanggulagi krisis energi di
Indonesia.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menentukan kondisi optimum dalam
pembuatan biodiesel dengan memanfaatkan biji karet yaitu dengan alkoholisis
minyak biji karet dengan katalis KOH. Manfaat dari kegiatan ini antara lain,
dalam bidang akademis akan memperkaya khasanah pendidikan dengan kajian
mengenai pemanfaatan biji karet dan pembuatan biodiesel dengan katalis basa.
Dalam bidang industri pembuat, diharapkan dapat memanfaatkan minyak biji
karet sebagai biodiesel sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomisnya. Dalam
bidang lingkungan, dengan biodiesel dari minyak biji karet diharapkan dapat lebih
mengurangi tingkat polusi.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Proses Kimia, Jurusan Teknik
Kimia Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sedangkan untuk
analisis ester hasil sisa reaksi dianalisis dengan menggunakan standar uji biodiesel
seperti viskositas, pour point, flash point, dan carbon residue di Laboratorium
Teknologi Minyak Bumi, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Waktu pelaksanaan selama 4 bulan dari bulan Februari
sampai Mei 2006 dengan perincian sebagai berikut :
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
minyak karet (densitas pada 29
0
C: 0,9130 gr/ml, kadar air: 0.5634 %, ekuivalen
asam lemak total: 3.5278 mgek/g minyak, ekuivalen asam lemak bebas: 0,6948
mgek/g minyak, warna: coklat tua dan viskositas: 33,2151 cst); metanol absolut
(densitas pada 30
0
C: 0,7850 gr/ml, kadar: 99,98 %, titik didih: 66.7
0
C, warna:
jernih, dan methanol absolute dibeli di toko bahan kimia UD. Manggung, Jl.
Kaliurang Km.5,7 No.21, Yogya); larutan KOH yang digunakan sebagai
katalisator dalam reaksi transesterifikasi trigliserida minyak karet, diperoleh dari
Laboratorium Proses Kimia Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada.


PKMP-5-7-3

KOH terlebih dahulu dilarutkan dalam methanol membentuk larutan metoksid
sebelum dicampur dengan minyak biiji karet Jumlah KOH yang digunakan
sebagai katalisator dihitung berdasarkan berat minyak karet.
Alat yang digunakan adalah magnetic stirrer, pengaduk magnetik, gelas
beker, plastik penutup, pipet pengambil cuplikan dan steker.

Pelaksanaan Penelitian
Untuk mempelajari pengaruh perbandingan pereaksi dan perbandingan
katalis, metanolisis dilaksanakan pada tekanan atmosferis didalam reaktor batch
berupa gelas beker 600 ml yang dilengkapi penutup dan magnetic stirer. Cuplikan
diambil dengan menggunakan pipet tetes.
1). Menentukan perbandingan pereaksi yang memberikan konversi maksimum
(pada konsentrasi katalis 1,25 % berat minyak).
Penelitian dilakukan dengan memasukkan minyak biji karet sebanyak 100
ml kedalam gelas beker. Kemudian KOH pellet 1,14125 gram dilarutkan dalam
metanol absolut sebanyak 39,44 ml (untuk perbandingan pereaksi 3) dengan
menggunakan magnetic stirrer kemudian dimasukkan ke gelas beker yang berisi
minyak biji karet kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer. Pengambilan
sampel dilakukan pada 15, 30, 45, 60, dan 75 menit (dimulai dari saat
pencampuran). Sampel yang diperoleh kemudian dianalisis kadar gliserolnya
dengan metode Iodometri Asam Periodat. Setelah 75 menit, proses dihentikan
dan sisa hasil reaksi diekstrasi dengan aquadest. Langkah-langkah diatas diulang
dengan variasi perbandingan pereaksi 4,5; 6,0; 7,5 dan 9,0. Volume metanol
absolut yang akan diambil dihitung menggunakan persamaan :
yak yak
ethanol ethanol
yak
ethanol
V EALT
BMethanol
V
mgrek
mgrek
min min min
1000 1


=


2). Menentukan konsentrasi katalis yang memberikan konversi maksimum (pada
perbandingan pereaksi 6).
Penelitian dilakukan dengan memasukkan minyak biji karet sebanyak 100
ml kedalam gelas beker. Kemudian KOH pellet 0.4565 gram (untuk konsentrasi
katalis 0,5 %) dilarutkan dalam metanol absolut sebanyak 78,88 ml dengan
menggunakan magnetic stirrer kemudian dimasukkan ke gelas beker yang berisi
minyak biji karet kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer. Pengambilan
sampel dilakukan pada 15, 30, 45, 60, dan 75 menit (dimulai dari saat
pencampuran). Sampel yang diperoleh kemudian dianalisis kadar gliserolnya
dengan metode Iodometri Asam Periodat. Setelah 75 menit, proses dihentikan
dan sisa hasil reaksi diekstrasi dengan aquadest. Langkah-langkah diatas diulang
dengan variasi konsentrasi katalis 0.75%, 1.00%, 1.25%, dan 1.50%. Banyaknya
katalis KOH yang akan digunakan dihitung berdasar persamaan :
yak yak KOH
V K W
min min
=

Analisis Hasil
1). Analisis Gliserol
Analisis gliserol dalam sample dilakukan dengan metode Iodometri -
Asam Periodat. Analisis ini meliputi anlisis kadar gliserol bebas dan anlisis
gliserol total. Dari hasil analisis ini konversi reaksi dapat dihitung dengan
persamaan :


PKMP-5-7-4

% 100 =
Gttl
Gbbs
X

2). Analisis Ester
Ester hasil ekstraksi sisa hasil reaksi dianalisis dengan menggunakan
standar uji biodiesel seperti viscositas spesifik, pour point, flash point, dan carbon
residue di Laboratorium Teknologi Minyak Bumi, FT UGM.

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh Perbandingan Pereaksi
Pengaruh waktu reaksi terhadap konversi pada berbagai perbandingan
pereaksi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 3. Pada Tabel 1 dan Gambar 3
terlihat bahwa secara umum konversi akan semakin naik dengan semakin
lamanya waktu reaksi hingga pada suatu waktu tertentu mencapai konversi
kesetimbangan, dimana konversi yang dicapai tidak banyak mengalami
perubahan.

Tabel 1. Hubungan antara Konversi dan Perbandingan Pereaksi.
(Suhu 30
o
C, kosentrasi katalis 1,25 %, P=1 atm, kadar etanol = 99,98%)

Konversi pada perbandingan pereaksi Waktu
(menit)
3,0 4,5 6,0 7,5 9,0
0 0 0 0 0 0
15 17.2451 26,3966 51,0340 52,8578 50,8367
30 19.5438 27.9103 52,6941 53,0768 51,6719
45 21.6038 31.7420 54,6499 53,6145 52,7362
60 19.4199 31.6540 55,8338 53,5188 51,5686
75 19.5555 26.2691 53,5506 52,8948 51,7959

0
10
20
30
40
50
60
0 10 20 30 40 50 60 70 80
waktu reaksi (t), menit
k
o
n
v
e
r
s
i

(
x
)
,

%
perb pereaksi 3
perb pereaksi 4.5
perb pereaksi 6
perb pereaksi 7.5
perb pereaksi 9

Gambar 3. Hubungan konversi (x) dengan waktu (t) pada berbagai perbandingan
pereaksi.


PKMP-5-7-5

Dengan bertambahnya perbandingan pereaksi, maka konversi akan
meningkat karena dengan bertambahnya reaktan maka keseimbangan akan
bergeser ke kanan sehingga produk yang diperoleh akan makin banyak, konversi
makin besar. Dari hasil percobaan, konversi terbesar dicapai pada perbandingan
pereaksi 6,00 mgek methanol/mgek minyak biji karet. Konversi mendekati
kesetimbangan dicapai pada waktu reaksi 75 menit, untuk waktu reaksi yang lebih
lama (lebih dari 75 menit ) konversi yang dicapai relatif konstan.
Viskositas ester hasil reaksi pada berbagai perbandingan pereaksi dapat
dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 4. Secara teoritis viskositas akan semakin turun
dengan naiknya konversi. Hal ini dikarenakan dengan semakin besarnya konversi
maka jumlah minyak (trigliserid) yang terpecah menjadi etil ester dengan rantai
yang pendek akan semakin besar pula sehingga viskositasnya turun.

Tabel 2. Viskositas ester pada berbagai
perbandingan pereaksi (suhu 30
o
C,
katalis 1,25 %, P=1 atm,kadar etanol =
99,98%).

Perbandingan
Pereaksi
Konversi,
%
Viskositas
( cst )
3.0 19.5555 29,5779
4.5 26.2691 29.9501
6.0 53,5506 30.3042
7.5 52,8948 30.5329
9.0 51,7959 31.2536
5
10
15
20
25
30
35
2 3 4 5 6 7 8 9 10
perbandingan pereaksi, gek methanol/gek minyak
v
i
s
k
o
s
i
t
a
s
,

c
s
t

Gambar 4. Hubungan antara viskositas ester
dengan perbandingan pereaksi.


B. Pengaruh Konsentrasi Katalis
Pengaruh konsentrasi katalis terhadap konversi dapat dilihat pada Tabel 3
dan Gambar 5. Pada Tabel 3 dan Gambar 5 terlihat bahwa secara umum konversi
akan semakin naik dengan semakin bertambahnya katalis dan bertambahnya
waktu, karena dengan adanya katalis akan mempercepat reaksi pada suatu waktu
tertentu mencapai konversi kesetimbangan, dimana konversi yang dicapai tidak
banyak mengalami perubahan.

Tabel 3. Hubungan antara konversi dan konsentrasi katalis.
(suhu 30
o
C, perbandingan pereaksi= 6, P=1 atm, kadar etanol= 99,98%).

Konversi pada konsentrasi katalis
Waktu
(menit)
0,50 0,75 1,0 1,25 1,50
0 0 0 0 0 0
15 53,8949 61,7336 46,8165 51,0340 65,8859
30 54,5080 64,0352 49,8025 52,6941 68,4785
45 58,8031 65,9172 50,6742 54,6499 63,1737
60 65,3078 69,0124 50,9245 55,8338 61,6006
75 64,4153 67,0764 51,3167 53,5506 65,9056


PKMP-5-7-6

0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 10 20 30 40 50 60 70 80
waktu (t), menit
k
o
n
v
e
r
s
i

(
x
)
,

%
katalis 0.5%
katalis 0.75%
katalis 1%
katalis 1.25%
katalis 1.5%

Gambar 5. Hubungan antara konversi (x) dengan waktu (t) pada berbagai
konsentrasi katalis.

Dari Tabel 3 terlihat bahwa konversi maksimum terjadi pada konsentrasi
katalis 0.75% sedangkan pada konsentrasi katalis di atas 0.75 %, konversi justru
mengalami penurunan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa di dalam reaksi ini terdapat
suatu reaksi samping yang sangat mengganggu reaksi utama. Reaksi samping
tersebut adalah reaksi penyabunan atau saponifikasi minyak dengan KOH, dimana
reaksi ini dapat terjadi karena adanya KOH yang berlebih.
Pembentukan sabun terlihat sangat nyata pada saat tahap pemisahan hasil
yaitu antara ester dengan gliserol dengan cara ekstraksi menggunakan aquadest.
Pada saat ekstraksi terlihat adanya gumpalan-gumpalan putih yang melekat pada
dinding corong pemisah yang mengakibatkan proses ekstraksi menjadi sulit dan
memerlukan ekstraksi yang berulang-ulang.
Dengan adanya reaksi samping yang berupa penyabunan inilah konversi
minyak yang menjadi ester menjadi kecil, konversi mengalami penurunan.
Sehingga pada suhu yang semakin naik konversi tidak pernah mencapai konversi
optimum yang sesunguhnya. Karena adanya reaksi yang kompleks ini persamaan
reaksi untuk alkoholisis minyak biji karet menjadi sulit untuk dimodelkan.
Persamaan reaksi penyabunan adalah sebagai berikut :

O O

1 2
R C O C H K O C R
1

O OH C H
2
O
PANAS

2
R C O HC + 3 KOH OH C H + K O C R
2

O O
OH C H
2


3 2
R C O C H K O C R
3

Minyak Basa Gliserol Sabun

Pada pengunaan konsentrasi katalis dibawah 0.75 %, konversi juga
mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena katalisator yang dibutuhkan


PKMP-5-7-7

selama bereaksi kurang. Sehingga penggunaan konsentrasi katalis 0.75%
dianggap sebagai yang paling optimal.
Viskositas ester hasil reaksi pada berbagai perbandingan pereaksi dapat
dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 6. Dari Tabel 4 dan gambar 6 terlihat bahwa
dengan semakin naiknya konversi maka viskositas yang terukur semakin turun.
Hal ini sesuai dengan teori, dengan naiknya konversi yang berarti naiknya jumlah
minyak yang terpecah menjadi metil ester sehingga viskositasnya turun.

Tabel 4. Viskositas ester pada berbagai
konsentrasi katalis (S= 6,0 gek
etanol/gek minyak, P=1 atm, kadar
etanol=99,98%).

Konsentrasi
katalis, %
Konversi,
%
Viskositas
( cst )
0,50 64,4153 26,7303
0,75 67,0764 29.7052
1,00 51,3167 31.2536
1,25 53,5506 29,5779
1,50 65,9056 34.8102
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6
konsentrasi katalis, %berat minyak
v
i
s
k
o
s
i
t
a
s
,

c
s
t

Gambar 5. Hubungan antara viskositas ester
dengan konsentrasi katalis.


Melihat hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan untuk memproduksi
biodiesel dari karet dapat dilaksanakan pada waktu reaksi selama 60 menit dan
suhu kamar, dimana secara ekonomis hal ini sangat menguntungkan sebab tidak
perlu dilakukan pemanasan dalam reaksi ini, sehingga energi yang diperlukan
dalam produksi hanya sedikit. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan dari produksi /
penciptaan biodiesel sebagai suatu sumber energi alternatif dimana dapat
diproduksi sumber energi baru yang lebih murah dan ramah lingkungan.

C. Pengujian Spesifikasi Ester
Lapisan hasil atas reaksi alkoholisis yang merupakan campuran ester
dengan air dan metanol dimurnikan dengan menguapkan air dan metanol didalam
oven. Ester kemudian diuji sifat-sifat fisisnya di Laboratorium Teknologi Minyak
Bumi, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Hasil
pengujian kemudian dibandingkan dengan spesifikasi minyak diesel dan solar.
Daftar perbandingan sifat-sifat fisis ester hasil reaksi alkoholisis minyak karet
dengan minyak diesel dan solar dapat dilihat pada Tabel 5.
Dari data-data yang tertera pada Tabel 5 di bawah ini dapat diambil
kesimpulan bahwa sifat fisis biodiesel minyak karet sudah bisa memenuhi kriteria
minyak diesel dan minyak solar kecuali dalam hal viskositas, sehingga diperlukan
perlakuan lebih lanjut secara khusus terhadap ester minyak biji karet agar dapat
dihasilkan biodiesel yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

D. Pencampuran ( Blending ) antara ester Minyak Biji Karet dengan solar
Pencampuran dapat dilakukan dalam berbagai level, antara lain B10, B20,
B30, B40, sampai B50. Yang dimaksud dengan campuran B20 yaitu pencampuran
dalam level 80 % minyak solar dengan 20 % ester. Pencampuran/ blending ini
memiliki kelebihan yaitu dapat mengurangi pembentukan asap, kadar
hidrokarbon, karbondioksida (CO
2
), serta karbonmonoksida (CO) dapat


PKMP-5-7-8

terkurangi. Pada penelitian ini juga dilakukan uji viskositas terhadap berbagai
campuran ester hasil reaksi dengan minyak solar, hasil pengujian dapat dilihat
pada Tabel 6.

Tabel 5. Spesifikasi ester hasil alkoholisis, minyak diesel, dan solar.

No. Sifat Fisik
Ester minyak
karet
Minyak
diesel
(Minimal)
Minyak
diesel
(Maksimal)
Minyak
Solar
(Minimal)
Minyak
Solar
(Maksimal)
1.
Specific grafity ( Pada
suhu 60
0
F )
0.9130 0,84 0,92 0,82 0.92
2.
Viskositas kinematik
(Pada 100
0
F )
29.5747 8,46 cSt 11,11 cSt 1,60 cSt 5,80 cSt
3. Flash point 428
0
F 150
0
F ---- 150 ----
4. Pour point 23
0
F ---- 65
0
F ---- 65
0
F
5. Carbon residue 0,03306 % 0,1 % ---- ---- 1,0 %

Tabel 6. Hasil uji viskositas pencampuran ester dengan solar.

No. Level Pencampuran Viskositas
1. B10 5,8258
2. B20 7,0729
3.. B30 8,9031
4. B40 11,2689
5. B50 14,0148
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa dengan blending ester dan solar dapat
mengatasi permasalahan viskositas yang terlalu tinggi dari ester murni. Untuk
memenuhi kriteria sebagai bahan bakar solar, viskositas biodiesel harus dibawah
5,8 cSt, hal ini dapat dilakukan dengan pencampuran sampai level B10.
Sedangkan untuk bisa dipakai sebagai minyak diesel bisa dilakukan blending
sampai level B40.

KESIMPULAN
Metanolisis minyak karet menggunakan katalisator KOH menghasilkan
gliserol dan ester. Penggunaan katalisator basa yang berlebihan akan
menyebabkan reaksi samping berupa reaksi penyabunan/ saponifikasi yang
menyebabkan penurunan konversi minyak yang menjadi ester. Konversi tertinggi
yaitu 69,0123 % dapat dicapai pada kondisi proses dengan perbandingan zat
pereaksi 6,00 mgek metanol / mgek minyak, konsentrasi katalisator 0,75 % berat
minyak, suhu reaksi 30
0
C, waktu reaksi 60 menit. Sehingga kondisi operasi ini
dapat digunakan untuk produksi biodiesel.


PKMP-5-7-9

Ester minyak karet memiliki sifat yang mendekati sifat minyak diesel /
solar akan tetapi viskositasnya masih cukup tinggi. Blending / pencampuran
antara ester minyak karet hasil reaksi alkoholisis minyak karet mempunyai
viskositas yang memenuhi persyaratan untuk digunakan sebagai bahan bakar
mesin diesel, yaitu pada level pencampuran B40, sedangkan untuk bahan bakar
solar sampai pada level B10.

DAFTAR PUSTAKA
Encinar, J.M., Gonzales, J.F., Rodriguez, J.J. and Tejedor, A. 2001.
Transesterification of Cynara cardunculus Oil With Ethanol , 443-450,
Departemento de Quimica y Energetica Universidad de Extremadura.
Fogler, H.C. 1999. Elements of Chemical Reaction Engineering, 3 ed., pp. 77-
80, Prentice-Hall, Inc, New Jersey.
Foglia, T.A., L.A. Nelson, R.O. Dunn, and W.N. Marmer, Low-Temperature
Properties of Alkyl Esters of Tallow and Grease J. Am. Oil Chem. Soc
(JAOCS), 74(8) 951 955 (1997).
Formo, M.W., Ester Reactions of Fatty Materials, J. Am. Oil Chem. Soc.
(JAOCS) 31(11) 548 559 (1954).
Freedman, B., E.H. Pryde, and T.L. Mounts, Variables Affecting the Yields of
Fatty Esters from Transesterified Vegetable Oils, J. Am. Oil Chem. Soc.
(JAOCS) 61(10) 1638 1643 (1984). 06. Freedman, B., E.H. Pryde,
and T.L. Mounts, Variables Affecting the Yields of Fatty Esters from
Transesterified Vegetable Oils, J. Am. Oil Chem. Soc. (JAOCS) 61(10)
1638 1643 (1984).
Fukuda, H., A. Kondo, dan H. Noda, Biodiesel Fuel Production by
Transesterification of Oils (Review), J. Biosci. Bioeng. 92(5) 405 416
(2001).
Furuta, S., Yano, K., Matsuhasi, H., and Arata. K., 2000, Biodiesel Production
by Transesterication of Soyabean and Castor Oil and the Esterification of
Fatty Acid using Fixed Bed Reactor with Solid Superacid and Amorphous
Zirconia Catalist, 1-2, Departement of Science Hokkaido University.
Green-Trust.org, 2000, Biodiesel Made from Ethanol , 1-3, green-trust.org.
Griffin,R.C.,1927, Technical Methods of Analysis, 2 ed., pp. 107-110,
McGraw-Hill Company, Inc., New York.
Groggins, P.H., 1958, Unit Process in Organic Syntesis , 5 ed., pp. 694-701,
McGraw-Hill Book Company, Inc, New York.
Ikwuagwu, O.E., Ononogbu, I.C., Njoku, O.U., 2000, Production of Biodiesel
Using Rubber Seed Oil , 57-62, Industrial Crops and Products
International Journal.
Kirk, R.E. and Othmer,D.F., 1980a, Encyclopedia of Chemical Technology,
Vol. 9, 3 ed., pp. 306-308, John Willey and Sons, New York.
Kirk, R.E. and Othmer,D.F., 1980b, Encyclopedia of Chemical Technology,
Vol. 11, 3 ed., pp. 921, John Willey and Sons, New York.
Lotero, E., Y. Liu, D.E. Lopez, K. Suwannakarn, D.A. Bruce, dan J.G. Goodwin
Jr., Synthesis of Biodiesel via Acid Catalysis, Ind. Eng. Chem. Res.
44(14), 5353 5363 (2005).
Perry, R.H. and Green, D.E., 1997, Perrys Chemical Engineers Handbook, 7
ed., McGraw-Hill Book Company, Inc., New York.

PKMP-5-8-1
BETON POLIMER TERMOPLASTIK YANG RINGAN
DENGAN KUAT TEKAN TINGGI

Irfan Krisna Saputra, Dwi Syukur Mulyadi, Septiant Dwi Cahyo H.
Jurusan Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan, Fakultas Teknik
Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

ABSTRAK
Pertumbuhan penduduk yang menglami peningkatan dari tahun ketahun
mengakibatkan kebutuhan akan rumah tinggal yang semakin meningkat, terutama
perumahan. Salah satu masalah yang timbul dilapangan adalah dampak
lingkungan yang diakibatkan masyarakat banyak membuang sampah setiap hari.
Pemanfaatan sampah terutama yang berupa bahan plastik yaitu dengan membuat
campuran bahan air, pasir, semen, dan polimer termoplastik (bahan plastik)
untuk dibuat beton polimer termoplastik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengkaji pembuatan dan sifat mekanika dari beton polimer termoplastik sebelum
digunakan dilapangan sebagai bahan struktur bangunan. Penelitian ini dilakukan
di Laboratorium Bahan Bangunan Jurusan Pendidikan Teknik Sipil dan
Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah eksperimen. Benda uji yang digunakan
berupa silinder dengan ukuran diameter 15 cm dan tinggi 30 cm dengan cara
pengujian mengacu pada SNI: 03-1974-1990. Semen yang digunakan yaitu Semen
Portland tipe I. Kuat tekan rata-rata yang direncanakan 34 Mpa. Subtitusi
volume kerikil dan polimer termoplastik dalam campuran beton adalah 1,0:0,0;
0,8:0,2; 0,6:0,4; 0,4:0,6; 0,2:0,8 dan 0,0:1,0. Setiap varian dalam penelitian ini
akan diuji kuat tekan dan berat jenis beton pada umur 28 hari dengan 5 benda uji
beton untuk 1 data pengujian. Perawatan benda uji dengan cara direndam dalam
air. Hasil akhir penelitian menunjukkan beton yang dihasilkan dengan subtitusi
volume kerikil dan polimer termoplastik dalam campuran beton berpengaruh
terhadap kuat tekan dan berat jenis beton. Hubungan antara kuat tekan dan berat
jenis beton dengan substitusi polimer termoplastik dalam campuran beton adalah
berbanding lurus, dalam pengertian semakin tinggi kuat tekan beton diikuti
dengan semakin tinggi berat jenis beton. Batas maksimum subtitusi polimer
terhadap kerikil dalam campuran adukan beton untuk mendapatkan beton ringan
dan masih memenuhi kuat tekan rata-rata yang direncanakan adalah 20% bahan
polimer dan 80% kerikil.

Kata Kunci: Beton Polimer Termoplastik, Kuat Tekan, Berat Jenis.

PENDAHULUAN
Laju pertumbuhan penduduk di D.I.Yogyakarta pada tahun 2000-2003
sebesar 0.96 %, hal tersebut mengakibatkan kepadatan penduduk yang semakin
meningkat. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ketahun, yang
mengakibatkan kebutuhan akan rumah tinggal yang semakin meningkat pula
terutama perumahan. Masalah yang timbul dilapangan adalah dampak lingkungan
yang diakibatkan masyarakat yang begitu banyak yang membuang sampah setiap
hari. Sampah-sampah yang dihasilkan telah menyebabkan kerusakan lingkungan
yang begitu besar. Sampah plastik memiliki tekstur yang kuat dan tidak mudah

PKMP-5-8-2
terdegradasi oleh mikroorganisme tanah, sehingga seringkali kita membakarnya
untuk menghindari pencemaran terhadap tanah dan air di lingkungan. Namun
pembakaran plastik ini justru dapat mendatangkan masalah tersendiri bagi
kesehatan. Untuk mencegah kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah
maka sampah yang sudah dibuang harus dapat didaur ulang atau dimanfaatkan
untuk kebutuhan masyarakat itu sendiri, maka perlu dicari alternatif pemanfaatan
dari sampah ini terutama yang berupa bahan plastik yaitu membuat campuran
bahan air, pasir, semen, dan polimer termoplastik (bahan plastik) untuk dibuat
Beton polimer termoplastik. Sampah plastik ini adalah termasuk bagian polimer
termoplastik yang mempunyai berat satuan sangat ringan. Karena beratnya yang
ringan, maka beton ini akan mempunyai keuntungan yaitu lebih mudah dalam hal
pelaksanaan konstruksinya, dapat lebih hemat dibiaya struktur dan karena berat
struktur berkurang, maka beban gempa yang bekerja juga akan lebih kecil
sehingga struktur diharapkan akan lebih aman dan cocok untuk perumahan di
daerah gempa.
Dari hal tersebut dapat diambil rumusan masalah yaitu : (1) Apakah ada
perbedaan kuat tekan beton antara beton normal dengan beton polimer
termoplastik. (2) Apakah ada perbedaan berat jenis beton antara beton normal
dengan beton polimer termoplastik. (3) Bagaimana hubungan antara kuat tekan
dan berat jenis beton dengan substitusi polimer termoplastik dalam campuran
beton. (4) Apakah kuat tekan beton dengan substitusi polimer termoplastik dalam
campuran beton dapat mencapai kuat tekan yang direncanakan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pembuatan dan sifat
mekanika dari beton polimer termoplastik sebelum digunakan dilapangan sebagai
bahan struktur bangunan.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: (1) Memberikan alternatif
bahan campuran beton. (2) Dengan adanya beton polimer termoplastik yang
ringan maka dari segi kontruksi dapat mengurangi beban struktur sehingga akan
menghemat biaya (3) Memberdayakan sampah plastik secara optimal (4)
Mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bahan Bangunan Jurusan Teknik
Sipil dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta selama 2
bulan, yaitu dari 1 Maret sampai dengan 1 Mei 2006. Bahan-bahan yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) Portland Cement (PC) jenis I dengan
merek dagang Semen Gresik, (2) agregat kasar menggunakan batu pecah dengan
diameter maksimum 20 mm, berat jenis 2,45 dan serapan air 2, 83% yang berasal
dari wilayah Kabupaten Sleman, (3) agregat halus berupa pasir sungai dari Kali
Progo dengan berat jenis 2,56 dan serapan air 3,96 % sedangkan nilai modulus
halus butiran 3,38, (4) air yang digunakan adalah air bersih yang diambil dari
Laboratorium Bahan Bangunan FT UNY, (5) bahan polimer termoplastik dengan
berat jenis 1,01. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1)
timbangan merk Ohaus kapasitas 310 gram dengan ketelitian 0,01 gram dan
kapasitas 2110 gram dengan ketelitian 0,1 gram, (2) jangka sorong dan penggaris,
(3) gelas ukur dan piknometer, (4) mesin uji kuat tekan (Compression Testing
Machine) merk ELE berkapasitas 2000 KN dengan ketelitian 5 KN, (5) ayakan /
saringan dan mesin penggetar siever, (6) cetakan silinder berukuran diameter 15

PKMP-5-8-3
Mulai
Uji Bahan Penyusun Beton
Komposisi Campuran Adukan
Pengujian Beton Segar
Workability (Slump Test)
Dituang Dalam Cetakan
Uji Kuat Tekan dan Berat Jenis
Selesai
cm dengan tinggi 30 cm, (7) concrete mixer merk Montgomory Ward dengan
kapasitas 0,25 m
3
, (8) bak air, (9) kerucut abrams dari plat besi dengan diameter
dasar 200 mm dan diameter puncak 100 mm dan tongkat penusuk berdiameter 16
mm dengan panjang 600 mm, (10) kerucut konik dari plat logam dengan diameter
atas 89 mm dan 36 mm pada bagian puncaknya dilengkapi tongkat penusuk
seberat 339 gram, (11) oven merk Memmert dari Jerman untuk pemanasan sampai
225
o
C, (12) los angeles apparatus, (13) peralatan pendukung seperti jangka
sorong, sendok spesi, ember, cawan, sekop.
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk penelitian ini adalah
eksperimen, yaitu dengan menguji beton yang dicetak berbentuk silinder yang
sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. Benda uji yang digunakan dalam
penelitian ini berupa silinder dengan ukuran diameter 15 cm dan tinggi 30 cm
dengan cara pengujian mengacu pada SNI: 03-1974-1990. Substitusi volume
kerikil dan polimer termoplastik dalam campuran beton adalah sebagai berikut
1,0:0,0; 0,8:0,2; 0,6:0,4; 0,4:0,6; 0,2:0,8 dan 0,0:1,0. Setiap varian dalam
penelitian ini akan diuji kuat tekan dan berat jenis beton pada umur 28 hari
dengan 5 benda uji beton untuk 1 data pengujian. Perawatan benda uji dengan
cara direndam dalam air. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui serta
mendapatkan metode konstruksi yang berkualitas dan efisien dalam struktur
sebuah bangunan serta mendapatkan argumentasi ilmiah yang memadai tentang
pengguanaan polimer termoplastik ini terhadap kualitas beton dalam setiap bagian
elemen struktur bangunan. Langkah-langkah dalam pelaksanaan penelitian ini
dapat ditunjukkan pada Gambar 1





















Gambar 1. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian

Pengujian beton polimer termoplastik ini dilakukan dalam beberapa
tahapan, yaitu: (1) Tahap persiapan penelitian, pada tahap ini dilakukan penyiapan

PKMP-5-8-4
dan pemeriksaan bahan maupun alat yang akan digunakan dalam penelitian.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah: (a) pemeriksaan air dan semen secara visual,
(b) pemeriksaan pasir dan kerikil meliputi pemeriksaan kadar air, berat jenis, berat
satuan, kandungan zat organik, kandungan lumpur, modulus kehalusan dan
gradasi, (c) pemeriksaan bahan polimer termoplastik meliputi pemeriksaan berat
jenis. (2) Tahap perencanaan campuran adukan beton, komposisi campuran
adukan beton direncanakan berdasarkan rancangan campuran beton menurut SK.
SNI. T-15-1990-03 dengan perbandingan sesuai hasil mix design dalam penelitian.
Rencana campuran adukan beton yang telah dihitung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rancangan Campuran Adukan Beton 1 m
3

Perbandingan volume
Kerikil dan Polimer Termoplastik Material
1,0: 0,0 0,2: 0,8 0,4: 0,6 0,6: 0,4 0,8: 0,2 0,0: 1,0
Polimer (Kg/m
3
) 0 80,36 160,71 241,07 321,42 401,78
Air (lt/m
3
) 205 205 205 205 205 205
Semen (Kg/ m
3
) 445,65 445,65 445,65 445,65 445,65 445,65
Agregat Kasar
(Kg/ m
3
)
974,61 779,69 584,77 389,84 194,92 0
Agregat Halus
(Kg/ m
3
)
649,74 649,74 649,74 649,74 649,74 649,74
Berat Total(Kg/ m
3
) 2275,00 2160,43 2045,87 1931,30 1816,73 1702,17

(3) Tahap pelaksanaan, pada tahap ini pencampuran beton dilakukan di dalam
concrete mixer agar diperoleh campuran yang homogen. Kerikil dan pasir yang
telah diayak dan dibuat dalam kondisi Saturated Surface Dry (SSD), semen,
polimer ditimbang lalu dimasukkan ke dalam concrete mixer, selanjutnya air
ditakar sesuai dengan kebutuhan, kemudian concrete mixer mulai diputar sambil
menambahkan air. Sebelum campuran adukan beton dituang dalam cetakan beton
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sifat beton segar. Pemeriksaan sifat beton
segar dalam penelitian ini diuji dengan metode modified slump test untuk
mengukur nilai slump yang terjadi. Menurut ASTM C 143-78 slump test
dilakukan dengan menggunakan cetakan berbentuk kerucut terpancung dengan
ukuran tinggi 300 mm, diameter dasar 200 mm serta diameter puncak kerucut
sebesar 100 mm. Beton segar yang telah siap dimasukkan ke dalam cetakan secara
bertahap, setiap penuangan dilakukan untuk mengisi kurang lebih sepertiga tinggi
kerucut. Pemadatan dilakukan pada setiap lapis dengan cara menusukkan baja
berdiameter 16 mm sebanyak 25 kali, jika kerucut telah terisi penuh maka cetakan
segera (kurang lebih 30 detik) diangkat dengan perlahan-lahan dan nilai slump
ditentukan berdasarkan tinggi jatuh puncak kerucut. Pembuatan benda uji silinder
dilakukan dengan cara beton segar dituangkan ke dalam cetakan silinder
berukuran diameter 15 cm dan tinggi 30 cm, penuangan tahap pertama dilakukan
dengan mengisikan beton segar ke dalam cetakan kurang lebih sepertiga tinggi
bagian cetakan silinder tersebut yang kemudian ditumbuk selama 25 kali. Tahapan
ini dilakukan sampai cetakan beton yang berbentuk silinder ini penuh. Setelah
cetakan silinder penuh maka perlu dilakukan perataan permukaan. Setelah kurang
lebih 24 jam maka cetakan beton tersebut dibuka dan dilakukan perawatan beton

PKMP-5-8-5
(curring beton). Perawatan benda uji dilakukan dengan cara merendam benda uji
silinder ke dalam bak air. Perawatan benda uji ini dilakukan selama 28 hari.
Pengujian kuat tekan beton dilaksanakan berdasarkan BS 1881 tahun
1983, yaitu benda uji diletakkan pada mesin tekan secara sentris, dan mesin tekan
dijalankan dengan penambahan beban antara 0,2 sampai 0,4 MPa perdetik.
Pembebanan dilakukan sampai benda uji menjadi hancur dan beban maksimum
yang terjadi selama pemeriksaan benda uji dicatat. Kuat tekan beton dihitung
berdasarkan besarnya beban persatuan luas, menurut persamaan fc = P/A.
Dimana fc adalah kuat tekan beton (dalam MPa), P adalah beban maksimum
(dalam N), dan A adalah luas penampang benda uji (dalam mm
2
). Pengujian berat
jenis beton dilakukan dengan menimbang benda uji beton dengan ketelitian 0,1
gram. Benda uji kemudian diukur diameter dan tingginya untuk mencari volume
benda uji. Berat jenis beton dihitung berdasarkan berat per volume beton, menurut
persamaan W/V. Dimana W adalah berat benda uji (dalam gram) dan V adalah
volume benda uji (dalam cm
3
). Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kadar
polimer pada pembuatan beton terhadap kuat tekan dan berat jenisnya dilakukan
uji t (t-test) dengan tingkat kepercayaan 95% (tingkat signifikansi 5%). Pengujian
data menggunakan t-test menggunakan program SPSS versi 11.5.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian terhadap semen, air, agregat halus dan agregat kasar diatas
menunjukkan bahwa masing-masing bahan tersebut masih memenuhi standar
untuk dapat digunakan sebagai campuran adukan beton. Pengujian beton segar
yang dilakukan dengan pengujian nilai slump pada masing-masing campuran
adukan beton didapat dalam variasi perbandingan antara kerikil dan polimer
1,0:0,0 yaitu pada beton normal menghasilkan nilai slump sebesar 17,5 cm. Nilai
slump yang dihasilkan dengan variasi perbandingan kerikil dan polimer
termoplastik 0,8:0,2 sebesar 17 cm, dengan penurunan nilai slump yang dihasilkan
sebesar 2,86%. Nilai slump yang dihasilkan dengan variasi perbandingan kerikil
dan polimer termoplastik 0,6:0,4 sebesar 15,5 cm, maka penurunan nilai slump
yang terjadi sebesar 11,43%. Variasi perbandingan antara kerikil dan polimer
termoplastik pada 0,4:0,6 menghasilkan nilai slump 11 cm, sehingga penurunan
nilai slump yang terjadi sebesar 37,14%. Perbandingan volume kerikil dan
polimer pada perbandingan 0,2:0,8 dengan penambahan polimer sebesar 80%
menghasilkan nilai slump 8 cm, sehingga nilai slump ini mengalami penurunan
sebesar 54,29% dan pada perbandingan volume kerikil dan polimer pada
perbandingan 0,0:1,0 dengan penambahan polimer sampai 100% tanpa kerikil
menghasilkan nilai slump 6 cm, sehingga penurunan yang terjadi sebesar 65,71%.
Pengujian nilai slump ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kemudahan
beton segar untuk diaduk, dituang dan dipadatkan. Dalam perbandingan
penambahan polimer 80% dan 100% menghasilkan nilai slump kurang dari
persyaratan nilai slump untuk beton segar yaitu 10 sampai 17,5 cm, akan tetapi
dengan variasi penambahan polimer sebagai pengganti kerikil karena besar
butirannya lebih kecil dari pada kerikil maka campuran adukan beton yang
dihasilkan ternyata memiliki tingkat kelecakan (workability) yang tinggi sehingga
mudah untuk dipadatkan.
Hasil akhir penelitian menunjukkan beton yang dihasilkan dengan
subtitusi volume kerikil dan polimer termoplastik dalam campuran beton

PKMP-5-8-6
berpengaruh terhadap kuat tekan dan berat jenis beton. Kuat tekan yang dihasilkan
dengan perbandingan kerikil dan polimer 1,0:0,0 sebesar 40,08 MPa. Kuat tekan
yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer 0,8:0,2 adalah 35,86
MPa, sehingga kuat tekannya mengalami penurunan sebesar 10,53%. Kuat tekan
sebesar 32,68 MPa dihasilkan pada perbandingan kerikil dan polimer 0,6:0,4,
sehingga kuat tekannya mengalami penurunan sebesar 18,46%. Penurunan kuat
tekan sebesar 33,71% dihasilkan beton dengan perbandingan kerikil dan polimer
0,4:0,6, yaitu sebesar 26,57 MPa. Dalam perbandingan kerikil dan polimer 0,2:0,8
kuat tekan yang dihasilkan adalah 24,59 MPa, sehingga kuat tekannya mengalami
penurunan sebesar 38,65%. Kuat tekan yang dihasilkan dengan perbandingan
kerikil dan polimer 0,0:1,0 adalah 21,41 MPa, sehingga pada perbandingan ini
kuat tekannya mengalami penurunan sebesar 46,58%. Analisis data menggunakan
t-test menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan polimer pada beton
memberikan pengaruh secara signifikan terhadap kuat tekan beton. Berat jenis
yang dihasilkan pada beton normal dengan perbandingan kerikil dan polimer
1,0:0,0 sebesar 2,37. Berat jenis yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan
polimer 0,8:0,2 adalah 2,33 sehingga berat jenisnya mengalami penurunan sebesar
1,69%. Berat jenis yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer
0,6:0,4 adalah 2,19 sehingga berat jenisnya mengalami penurunan sebesar 7,59%.
Berat jenis yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer 0,4:0,6
adalah 2,08 sehingga berat jenisnya mengalami penurunan sebesar 12,34%. Berat
jenis yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer 0,2:0,8 adalah 1,93
sehingga berat jenisnya mengalami penurunan sebesar 18,57%. Berat jenis yang
dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer 0,0:1,0 adalah 1,82 sehingga
pada perbandingan ini berat jenisnya mengalami penurunan sebesar 30,22%.
Analisis data menggunakan t-test menunjukkan bahwa dengan adanya
penambahan polimer pada beton memberikan pengaruh secara signifikan terhadap
berat jenis beton, kecuali pada subtitusi polimer 20%. Hubungan antara kuat tekan
dan berat jenis beton dengan substitusi polimer termoplastik dalam campuran
beton adalah berbanding lurus, dalam pengertian semakin tinggi kuat tekan beton
diikuti semakin tinggi berat jenis beton. Dengan penambahan polimer sampai
20%, kuat tekan yang dihasilkan masih memenuhi kuat tekan rata-rata yang
direncanakan dan memiliki berat jenis yang lebih ringan dari beton normal, berarti
beton tersebut masih memenuhi syarat untuk dapat digunakan sebagai struktur
bangunan.

KESIMPULAN
(1) Substitusi polimer termoplastik yang bervariasi yaitu 20%, 40%, 60%,
80% dan 100% mengakibatkan adanya perbedaan kuat tekan beton secara
signifikan. Perbedaan kuat tekan beton polimer termoplastik jika dibandingkan
dengan beton normal adalah: untuk 20% polimer sebesar 4,2284 MPa, 40%
polimer sebesar 7,4062 MPa, 60% polimer sebesar 13,5128 MPa, 80% polimer
sebesar 15,4962 MPa, 100% polimer sebesar 18,6750 MPa. (2) Perbedaan berat
jenis beton polimer termoplastik jika dibandingkan dengan beton normal adalah:
untuk 20% polimer sebesar 0,0472 gr/cm
3
, 40% polimer sebesar 0,1814 gr/cm
3
,
60% polimer sebesar 0,2910 gr/cm
3
, 80% polimer sebesar 0,4332 gr/cm
3
, 100%
polimer sebesar 0,5434 gr/cm
3
. (3) Hubungan antara kuat tekan dan berat jenis
beton dengan substitusi polimer termoplastik dalam campuran beton adalah

PKMP-5-8-7
berbanding lurus. (4) Beton dengan substitusi polimer termoplastik 20% kuat
tekannya 35,855 MPa, dalam substitusi polimer termoplastik 40% kuat tekannya
32,677 MPa, kuat tekan 26,571 MPa diperoleh beton dengan substitusi polimer
termoplastik 60%, dengan substitusi polimer termoplastik 80% kuat tekan
betonyang dihasilkan sebesar 24,587 MPa, beton dengan substitusi polimer
termoplastik 100% kuat tekannya 21,408 MPa, berarti dengan substitusi polimer
termoplastik dalam campuran beton sebesar 20% kuat tekannya dapat mencapai
kuat tekan rata-rata yang direncanakan. Pada substitusi polimer termoplastik
dalam campuran beton sebesar 40%, 60%, 80%, 100% kuat tekannya tidak dapat
mencapai kuat tekan rata-rata yang direncanakan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003. Penduduk dan laju pertumbuhan penduduk menurut propinsi.
www.kimpraswil.go.id/infoStatistik
Anonim, 2003. Distribusi persentase dan kepadatan penduduk menurut propinsi.
www.kimpraswil.go.id/infoStatistik
Anonim, 2004. Rekapitulasi permintaan perumahan.
www.kimpraswil.go.id/infoStatistik
Badan Standardisasi Nasional. 2004. Standart Nasional Indonesia. Bandung.
Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, Direktorat Jenderal Cipta
Karya. 1971. Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971. Bandung.
Neville, A.M. and Brooks. 1987. Concrete Technology. Essex: Longman
Scientific & Technical.
Sapto Nugroho, Hadi, 2004. Ancaman Polimer Sintetik Bagi Kesehatan Manusia.
www.chem-is-try.org
Stevens, Malcolm P. 2001. Kimia Polimer. Diindonesiakan oleh Iis Sopyan.
Jakarta: Pradnya Paramita.
Tjokrodimuljo, Kardiyono. 1996. Teknologi Beton. Yogyakarta : Nafiri
Wuryati, Samekto dan Candra, Rahmadiyanto. 2001. Teknologi Beton.
Yogyakarta : Kanisius



PKMP-5-9-1
PEMANFAATAN ZEOLIT TERAKTIVASI SEBAGAI ADSORBEN ION
SIANIDA

Siti Churrotin, Elly Indrawati, Reo D Kembara, N Madichah, Evy Muliasari
PS Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRACT
The purpose of this research was to know that of activated zeolite can be used as
adsorbent of cyanide ion and determine adsorption capacity. Zeolites can be used
to adsorption and ion exchange, because they contain channels or interconnected
void that are occupied by the cations and water molecules. Ability of zeolites as
adsorbent and ion exchanger can be increased with activations are thermal
treatment (300
o
C) and acid treatment (H
2
SO
4
0,5 M). This activated zeolites will
be used as adsorbent of cyanide ion. To get optimum adsoption was used
variations of optimum adsorption time, the optimum adsorption pH and cyanide
concentration. Adsorption capacity was determined with interact cyanide ion
solution with activated zeolit at optimum adsorption time 60 minutes and the
optimum adsorption pH was 3. The absorbance was measured after reacted with
(NH
4
)S
2
, HCl dan Fe
3+
solution to give complex Fe(SCN)
n
3-n
used UV-Vis
spectrophotometer in 459 nm. From the data was obtained capacity of adsorption
was 120,3 mek/100 gram to heating zeolite and 128,7 mek/100 gram to acidity
zeolite.

Kata kunci: activated zeolit, CN
-
and adsorption

PENDAHULUAN
Dalam rangka memasuki era globalisasi yang diikuti dengan
perkembangan di bidang industri, diperlukan adanya antisipasi terhadap dampak-
dampak yang ditimbulkannya. Dampak negatif yang ditimbulkannya adalah
polusi dan limbah industri.
Limbah industri yang mengandung ion sianida (CN
-
) merupakan salah satu
sumber pencemaran yang membahayakan lingkungan. Sianida adalah zat beracun
yang mematikan. Pada konsentrasi lebih dari 0,3 ppm sianida bersifat toksik
(Watts J. R., 1998)
Dalam air, sianida terdapat sebagai hidrogen sianida (HCN) yang
merupakan gas beracun yang mematikan (Saeni, 1989). Gejala keracunan sianida
antara lain sakit kepala, badan lemah, iritasi mata, muntah, detak jantung cepat
dan sesak napas (Watts J. R., 1998).
Sebagian besar limbah sianida dihasilkan oleh industri, antara lain :
industri elektroplating emas dan logam lain, bahan makanan, pembasmi hama,
ekstraksi, dan tepung tapioka (Watts J.R., 1998). Selain itu pada industri kertas,
tekstil, plastik, penggilingan baja, besi, dan logam lain (Anonim, 1990).
Cara menanggulangi masalah pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah
sianida telah dilakukan antara lain adsorpsi dengan karbon aktif, oksidasi
kimiawi, degradasi secara biologis (bioteknologi) yang ternyata kurang
menguntungkan dan terbatas penggunaannya (Chen dan Ray, 1999) serta dengan
degradasi fotokatalitik menggunakan suspensi TiO
2
(Puspitoningrum, 2004). Pada
metode adsorpsi selain menggunakan karbon aktif dapat juga menggunakan
bentonit atau zeolit sebagai adsorben. Karena selain harganya relatif murah, zeolit


PKMP-5-9-2
juga banyak terdapat di Indonesia serta memiliki kemampuan untuk mengikat
berbagai jenis molekul dan ion yang terdapat dalam fasa larutan maupun gas.
Di Indonesia zeolit alam dapat ditemukan di daerah Bayah (Banten
selatan), Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor, Lampung, dan beberapa tempat di Jawa
Timur, khususnya di Pacitan, Ponorogo, Blitar, dan Malang (Sariman,1998).
Dewasa ini zeolit telah banyak digunakan untuk bahan ornamen dan
bangunan, pengembang dan pengisi pasta gigi, bahan penjernih air limbah,
pemurnian gas alam dan minyak bumi, dan penyerap zat atau logam beracun
(Anonim, 1990).
Zeolit merupakan kristal aluminosilikat yang mengandung kation alkali
atau alkali tanah dalam kerangka tiga dimensinya. Zeolit memiliki bentuk kristal
yang susunannya teratur dengan rongga-rongga yang selalu berhubungan ke
segala arah menyebabkan permukaan zeolit menjadi sangat luas serta memiliki
kapasitas yang tinggi sebagai penyerap. Sifat ini disebabkan karena zeolit dapat
memisahkan molekul-molekul atau ion-ion yang diserap berdasarkan ukuran dan
konfigurasi molekul atau ion tersebut. (Kirk-Othmer, 1991).
Pada keadaan normal, rongga besar dan saluran zeolit telah terisi oleh
molekul air yang terbentuk akibat proses hidrasi udara di sekeliling kation
penukar. Jika air yang terkandung dalam rongga dan saluran terurai pada saat
pemanasan, maka saluran-saluran tersebut akan siap mengadsorpsi molekul atau
ion lain pada permukaan bagian dalam ruang yang telah terhidrasi. Molekul yang
diadsorpsi akan keluar melalui pintu saluran dan dikenal sebagai proses
molecular sieving (Prayitno, 1989).
Kemampuan zeolit sebagai adsorben, penukar ion dan katalis dapat
ditingkatkan dengan cara aktivasi dan modifikasi. Proses aktivasi dapat dilakukan
secara fisika dan kimia. Aktivasi secara fisika dilakukan dengan pemanasan,
sedangkan aktivasi secara kimia dilakukan dengan pengasaman (Sutarti dan
Rachmawati, 1994).
Dalam penelitian ini akan digunakan zeolit yang telah diaktifkan untuk
mengadsorpsi ion sianida. Konsentrasi ion sianida yang teradsorpsi diperoleh dari
selisih konsentrasi awal larutan ion sianida dengan konsentrasi larutan setelah
proses adsorpsi. Penentuan konsentrasi larutan ion sianida ini menggunakan
spektrofotometer UV-Vis, sedangkan analisis zeolit alam, aktivasi dan zeolit
setelah proses adsorpsi dilakukan dengan difraksi sinar-X. Dari proses adsorpsi
tersebut dapat ditentukan kapasitas adsorpsinya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan
masalah yaitu apakah zeolit aktif hasil pemanasan dan pengasaman dapat
digunakan sebagai adsorben ion sianida dan berapa menentukan kapasitas
adsorpsi zeolit pemanasan dan pengasaman sebagai adsorben ion sianida
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan zeolit aktif hasil
pemanasan dan pengasaman sebagai adsorben ion sianida dan menentukan
kapasitas adsorpsi zeolit pemanasan dan pengasaman sebagai adsorben ion
sianida.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
kemungkinan penggunaan zeolit aktif hasil pemanasan dan pengasaman sebagai
adsorben ion sianida serta mengetahui kapasitas adsorpsinya sehingga dapat
digunakan untuk pengolahan limbah yang mengandung zat beracun ion sianida.



PKMP-5-9-3
METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai April 2006 yang
bertempat di Laboratorium Kimia Analitik dan Laboratorium Kimia Fisik
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga. Analisis
XRD dilakukan di Laboratorium Kimia UGM dan Laboratorium Penelitian ITS.
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah pro analisis yang
terdiri atas: asam klorida, asam sulfat, kalium sianida, amonium hidroksida, besi
(II) sulfida, asam nitrat, serbuk belerang, serbuk besi, akuadem, dan zeolit yang
berasal dari Turen, Malang.
Penelitian ini menggunakan alat antara lain: lumpang dan mortar agat,
ayakan dengan ukuran 200 mesh, oven, sentrifuge, pengaduk magnetik, pH meter,
neraca analitik, api bunsen, kertas saring Whatman No. 40, kertas lakmus,
spektrofotometer UV-Vis Shimadzu-1700, XRD Shimadzu Lab-X 6000, XRD
Philips dan alat-alat gelas yang lazim digunakan dalam penelitian.

Cara Kerja:
Zeolit alam yang berupa bongkahan dibersihkan dari pengotor-
pengotornya yang berupa pasir dan sebagainya. Zeolit yang telah dibersihkan
dipecah-pecah dan dikeringkan dalam oven pada temperatur 105
o
C, kemudian
ditumbuk menggunakan lumpang agat sampai menjadi serbuk. Serbuk diayak
dengan ayakan yang berukuran 200 mesh.
Analisis Pendahuluan
Untuk mengetahui jenis mineral penyusun zeolit alam dilakukan analisis
pendahuluan. Analisis ini dilakukan dengan metode serbuk dengan radiasi yang
ditimbulkan oleh Cu K dan menggunakan filter Ni. Serbuk zeolit ditempatkan
pada permukaan tempat sampel kemudian dibuat difraktogam pada sudut
2 = (5 - 40)
o
(Harsini, 1995).

Pengaktifan Zeolit Dengan Pemanasan
Sebanyak 25 g serbuk zeolit dalam cawan porselin dipanaskan di dalam
oven pada suhu 300C selama 120 menit.

Pengaktifan zeolit Dengan Pengasaman
Sebanyak 25 g serbuk zeolit dimasukkan dalam gelas beker kemudian
ditambahkan 50 mL H
2
SO
4
0,5 M (Sutarti dan Rahmawati,1994). Selanjutnya
diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit. Suspensi yang terjadi
dipisahkan dalam tabung sentrifuge sehingga padatan terpisah dengan cairan.
Cairan dibuang dan padatan dicuci dengan akuadem hingga bebas asam (diuji
dengan kertas lakmus). Padatan zeolit yang diperoleh diletakkan pada cawan
porselin dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 105
o
C selama 90 menit.
Selanjutnya serbuk diayak dengan ayakan 200 mesh. Serbuk zeolit digunakan
untuk pengujian selanjutnya.

Analisis Zeolit Teraktivasi Dengan Difraksi Sinar-X
Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui jenis mineral penyusun dan
perbedaan hasil difraksi sinar-X dari zeolit aktif hasil pemanasan dan
pengasaman. Identifikasi dilakukan dengan metode serbuk dengan radiasi yang
ditimbulkan oleh Cu K dan menggunakan filter Ni. Serbuk zeolit ditempatkan
pada permukaan tempat sampel kemudian dibuat difraktogam pada sudut
2 = (5-40)
o
(Harsini, 1995).


PKMP-5-9-4

Penentuan Panjang Gelombang Maksimum (Fe(SCN)
n
)
3-n
Diambil 1 mL larutan standar 100 ppm dengan kadar tertentu dengan pipet
volume 1 mL dan dimasukkan dalam gelas beker 50 mL. Kemudian direaksikan
dengan 2 mL larutan (NH
4
)
2
S
2
1 M dan dipanaskan di atas penangas uap selama 2
menit. Setelah dingin ke dalamnya ditambahkan 1 mL HCl 4 M dengan pipet
volume 1 mL lalu dipanaskan kembali selama 2 menit. Larutan disaring dengan
kertas saring yang telah dibasahi. Larutan yang diperoleh dimasukkan ke dalam
labu ukur 10 mL. Ke dalam labu ukur tersebut ditambahkan 4 mL larutan Fe
3+
0,1
M dan diencerkan dengan akuadem sampai tanda batas dan dikocok hingga
homogen (Syah, Y., 1993).
Campuran yang telah dibuat ditentukan panjang gelombang maksimumnya
dengan spektrofotometer UV-Vis. Sebagai blanko digunakan campuran 2 mL
larutan (NH
4
)
2
S
2
1 M, 4 mL larutan Fe
3+
0,1 M, 1 mL HCL 4 M dan akuadem
sampai tanda batas.

Pembuatan Kurva Standar (Fe(SCN)
n
)
3-n

Diambil 1 mL masing-masing larutan standar CN
-
dengan piper volume 1
mL dan dimasukkan ke dalam gelas beker 50 mL lalu ditambah 2 mL (NH
4
)
2
S
2

1 M dan dipanasi di atas penangas uap selama 2 menit. Setelah dingin ke
dalamnya ditambahkan 1 mL HCl 4 M dengan menggunakan pipet volume 1 mL
lalu dipanasi kembali selama 2 menit. Masing-masing larutan disaring dengan
kertas saring yang telah dibasahi. Larutan yang diperoleh dimasukkan ke dalam
labu ukur 10 mL, ditambahkan 4 mL larutan Fe
3+
0,1 M dan diencerkan dengan
akuadem sampai garis tanda dan diaduk hingga homogen. Setiap campuran diukur
serapannya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh.

Penentuan Waktu Pengadukan Optimum Adsorpsi
Ke dalam 20 mL larutan sampel CN
-
100 ppm ditambahkan 0,15 g serbuk
zeolit yang telah diaktifkan. Campuran diaduk menggunakan pengaduk magnetik
dengan variasi lama pengadukan 20, 30, 40, 50, 60, dan 80 menit. Campuran yang
terjadi disentrifuge. Filtrat yang diperoleh dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam
gelas beker 50 mL lalu ditambah 2 mL (NH
4
)
2
S
2
1 M dan dipanaskan di atas
penangas uap selama 2 menit. Setelah dingin ke dalamnya ditambahkan 1 mL HCl
4 M lalu dipanaskan kembali selama 2 menit. Masing-masing larutan disaring
dengan kertas saring yang telah dibasahi, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL.
Kemudian ditambahkan 4 mL larutan Fe
3+
0,1 M dan diencerkan dengan akuadem
sampai tanda batas dan diaduk hingga homogen.
Campuran diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum yang
diperoleh. Data yang diperoleh diplotkan pada kurva absorbansi terhadap
konsentrasi. Diperoleh data waktu pengadukan optimum yaitu waktu pengadukan
larutan yang memberikan serapan zeolit aktif terhadap ion CN
-
terbanyak. Waktu
pengadukan optimum yang diperoleh dijadikan acuan pada analisis selanjutnya.
Prosedur diatas dilakukan pada zeolit yang diaktifkan dengan pemanasan dan
pengasaman.

Penentuan pH Optimum Adsorpsi
Diambil 20 mL larutan sampel CN
-
100 ppm kemudian dibuat variasi pH
yaitu 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Pengaturan variasi pH dilakukan dengan menambahkan
HCl 0,1 M. Kemudian ditambahkan ke dalamnya 0,15 g serbuk zeolit aktif.


PKMP-5-9-5
Campuran diaduk menggunakan pengaduk magnetik dengan menggunakan waktu
pengadukan optimum yang diperoleh. Campuran yang terjadi disentrifuge. Filtrat
yang diperoleh dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam gelas beker 50 mL lalu
ditambah 2 mL (NH
4
)
2
S
2
1 M dan dipanaskan di atas penangas uap selama 2
menit. Setelah dingin ke dalamnya ditambahkan 1 mL HCl 4 M lalu dipanaskan
kembali selama 2 menit. Masing-masing larutan disaring dengan kertas saring
yang telah dibasahi, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan dibilas dengan
akuadem. Ditambahkan 4 mL larutan Fe
3+
0,1 M dan akuadem sampai garis batas
dan diaduk hingga homogen.
Campuran diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum yang
diperoleh. Data yang diperoleh diplotkan pada kurva absorbansi terhadap
konsentrasi. Diperoleh data pH optimum yaitu pH larutan yang memberikan
serapan zeolit aktif terhadap ion CN
-
terbanyak. pH optimum yang diperoleh
dijadikan acuan pada analisis selanjutnya. Prosedur diatas dilakukan pada zeolit
yang diaktifkan dengan pemanasan dan pengasaman.

Penentuan Konsentrasi Optimum Adsorpsi
Diambil 20 mL larutan sampel CN
-
100, 150, 200, 250, 300, dan 350 ppm
dalam kondisi pH optimum dan ditambahkan ke dalamnya 0,15 g serbuk zeolit
aktif. Larutan tersebut diatur pHnya sesuai pH optimum yang diperoleh.
Campuran diaduk menggunakan pengaduk magnetik dengan menggunakan waktu
pengadukan optimum yang diperoleh Campuran yang terjadi disentrifuge.
Masing-masing filtrat yang diperoleh dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam
gelas beker 50 mL lalu ditambah 2 mL (NH
4
)
2
S
2
1 M dan dipanaskan di atas
penangas uap selama 2 menit. Setelah dingin ke dalamnya ditambahkan 1 mL HCl
4 M lalu dipanaskan kembali selama 2 menit. Masing-masing larutan disaring
dengan kertas saring yang telah dibasahi, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL
dan dibilas dengan akuadem. Ditambahkan 4 mL larutan Fe
3+
0,1 M dan akuadem
sampai garis batas dan diaduk hingga homogen.
Campuran diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum yang
diperoleh. Data yang diperoleh diplotkan pada kurva absorbansi terhadap
konsentrasi. Diperoleh data konsentrasi optimum yaitu konsentrasi larutan yang
memberikan serapan zeolit aktif terhadap ion CN
-
terbanyak. Prosedur di atas
dilakukan pada zeolit yang diaktifkan dengan pemanasan dan pengasaman.

Analisis Zeolit Teraktivasi-CN Dengan Difraksi SinarX
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui interaksi antara ion CN
-
dengan
zeolit aktif. Analisis ini dilakukan dengan menjenuhkan zeolit aktif dengan
larutan ion CN
-
pada kondisi optimum (waktu pengadukan, pH, dan konsentrasi
optimum). Filtrat dipisahkan dengan disentrifuge, endapan zeolit aktif-CN
diletakkan pada cawan porselin dan dikeringkan pada suhu 110C selama 2 jam
kemudian diayak dengan ayakan berukuran 200 mesh, sehingga diperoleh serbuk
zeolit aktif-CN dan siap dianalisis dengan difraktometer sinar-X.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi Zeolit
Karakterisasi zeolit ini bertujuan untuk mengetahui jenis mineral penyusun
zeolit. Karakterisasi ini dilakukan dengan menggunakan difraksi sinar-X pada
sudut difraksi 5
o
-40
o
. Spektrum hasil difraksi sinar-X dapat dilihat dari Gambar 1.



PKMP-5-9-6

Gambar 1. Hasil difraksi sinar-X zeolit alam Turen, Malang

Gambar tersebut menunjukkan bahwa zeolit alam Turen, Malang banyak
mengandung mineral mordenit dengan rumus molekul (Ca, Na
2
,
K
2
)Al
2
Si
10
O
24
.17H
2
O dan sedikit mengandung Greenalite-1M dengan rumus
molekul Fe
3
Si
2
O
5
(OH)
4
serta tercampur sedikit Illite-2M2 [KAl
2
(Si
3
Al)O
10
(OH)
2
]
dengan perbandingan Si/Al sebesar 1,1203.

Perbandingan ini menunjukkan
adanya penggantian ion Si(VI) dengan ion Al(III) pada srtuktur zeolit sebesar
1,1203, sehingga struktur zeolit bermuatan negatif yang akan dinetralkan oleh
kation yang bersifat mobil. Komposisi mordenit tersebut (% b/b) dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi mordenit Turen, Malang
Komposisi % b/b
SiO
2
47,1
TiO
2
0,34
Al
2
O
3
37,1
Fe
2
O
3
0,49
MgO 0,83
CaO 0,57
Na
2
O 0,35
K
2
O 7,1
H
2
C+ 5,18
H
2
C- 0,99
P
2
O
5
0,01

Aktivasi Zeolit Alam
Zeolit alam yang berasal dari Turen, Malang yang berupa butiran-butiran
berwarna hijau muda kemungkinan masih mengandung senyawa lain yang dapat
mengganggu/mengurangi daya serap pada zeolit. Untuk meningkatkan daya serap,
zeolit perlu diaktifkan dengan pemanasan dan penambahan larutan asam.

Aktivasi Zeolit Alam Dengan Pemanasan
Aktivasi dengan pamanasan ini bertujuan untuk menguapkan air yang
terperangkap dalam pori-pori kristal zeolit sehingga luas permukaan pori
bertambah. Pada penelitian ini, zeolit dipanaskan dengan oven pada suhu 300
o
C


PKMP-5-9-7
selama 2 jam. Zeolit hasil pemanasan berwarna coklat. Perubahan warna ini
disebabkan adanya air kristal yang hilang.

Aktivasi Zeolit Alam Dengan Pengasaman
Aktivasi zeolit pengasaman ini bertujuan untuk membersihkan pori,
menghilangkan pengotor dan mengatur kembali letak atom yang dapat
dipertukarkan sehingga lebih porous dan sifat elektrokimia lebih aktif. Pada
penelitian ini, pengasaman zeolit menggunakan larutan H
2
SO
4
0,5 M. Proses ini
mengakibatkan struktur zeolit rusak atau terjadi dealuminasi. Untuk menstabilkan
struktur zeolit dilakukan pemanasan pada suhu 105
o
C selama 2 jam. Zeolit yang
telah mengalami perubahan struktur inilah yang akan digunakan untuk
mengadsorpsi ion CN
-
. Zeolit hasil pengasaman berwarna putih kehijauan.
Setelah proses tersebut dilakukan, zeolit dihaluskan lagi dengan mortar
dan diayak dengan ayakan berukuran 200 mesh. Hal ini bertujuan agar luas
permukaan zeolit bertambah sehingga dapat digunakan untuk proses adsorpsi
secara optimal.

Analisis Struktur Kristal Zeolit Teraktivasi
Analisis tersebut bertujuan mengetahui perubahan susunan atom pada kristal
zeolit akibat proses aktivasi. Keberhasilan proses pengaktifan dengan pemanasan
dan pengasaman ditentukan dari hasil analisis difraksi sinar-X yaitu dengan
membandingkan harga 2 dan d-spacing dari difraktogram zeolit alam dan zeolit
teraktivasi yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Data pergeseran difraksi sinar-X zeolit alam, zeolit pemanasan dan
pengasaman
Zeolit alam Zeolit Pemanasan Zeolit Pangasaman
No
2 d 2 d 2 d
1 22,3075 3,98196 22,339 3,97652 22,2667 3,98927
2 25,68265 3,4658 25,7063 3,46275 25,6332 3,47246
3 26,36877 3,37715 26,3635 3,37791 26,2877 3,38747

Dari data tersebut menunjukkan bahwa pemanasan dan pengasaman
mengakibatkan perubahan 2 dan d-spacing pada zeolit alam. Pada pemanasan
perubahan jarak antar bidang tersebut diakibatkan karena adanya penggantian
kation pada zeolit dengan ion H
+
. Pada proses pemanasan perubahan jarak terjadi
karena hilangnya air kristal pada zeolit tersebut.

Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Fe(SCN)
n
3-n
Panjang gelombang maksimum ditentukan dari nilai absorbansi maksimum.
Konsentrasi larutan CN
-
yang digunakan untuk penentuan panjang gelombang
maksimum 100 ppm. Larutan CN
-
yang akan diukur dikomplekskan lebih dahulu
sehingga membentuk Fe(SCN)
n
3-n
yang berwarna merah. Larutan ini diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 380 600 nm yang merupakan daerah
visibel dengan spektrofotometer UVVis. Kurva penentuan panjang gelombang
maksimum Fe(SCN)
n
3-n
dapat dilihat pada Gambar 2.



PKMP-5-9-8

Gambar 2. Kurva penentuan panjang gelombang maksimum Fe(SCN)
n
3-n

Dari kurva tersebut dapat diketahui bahwa panjang gelombang maksimum
adalah 459 nm.

Pembuatan Kurva Standar Fe(SCN)
n
3-n
Larutan standar CN
-
dibuat dengan konsentrasi 100, 120, 140, 160, 180, dan
200 ppm. Variasi standar ini, kemudian dikomplekskan sehingga membentuk
Fe(SCN)
n
3-n
dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 459 nm dengan
spektrofotometer UV-Vis. kurva standar dapat dilihat pada Gambar 3.



Gambar 3. Kurva standar Fe(SCN)
n
3-n

Kurva diatas mempunyai persamaan regresi Y = 0,0068X 0,1244 dengan
harga koefisien korelasinya (R
2
) sebesar 0,9942. Tampak bahwa koefisien
korelasi mendekati 1 maka ada korelasi linier positif antara konsentrasi larutan
CN
-
dengan adsorbansi.


Penentuan Waktu Optimum Adsorbsi
Penentuan konsentrasi serap optimum pada variasi waktu pengadukan dilakukan
dengan menginteraksikan zeolit pemanasan atau zeolit pengasaman dengan
larutan CN
-
100 ppm dengan variasi waktu pengadukan 20, 30, 40, 50, 60, dan 80
menit. Pengaruh waktu pengadukan dengan konsentrasi larutan CN
-
100 ppm yang
terserap ditunjukkan pada Gambar 4.


PKMP-5-9-9
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 20 40 60 80 100
waktu pengadukan (menit)
k
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

s
e
r
a
p

(
p
p
m
)
pengasaman
pemanasan


Gambar 4. Kurva hubungan waktu pengadukan dengan konsentrasi serap CN
-

Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa konsentrasi CN
-
yang paling
banyak terserap pada zeolit pemanasan dan pengasaman terjadi pada waktu
pengadukan 60 menit. Lama pengadukan tersebut mengakibatkan interaksi antara
zeolit pengasaman dan pemanasan dengan larutan CN
-
semakin lama sehingga
CN
-
yang teradsorpsi semakin banyak. Pada waktu yang semakin lama (t > 60
menit) adsorpsi dengan zeolit pengasaman tidak lagi terjadi kenaikan konsentrasi
serap CN
-
(konstan). Hal ini disebabkan karena zeolit menjadi jenuh sehingga
tidak mampu lagi menyerap CN
-
. Sedangkan pada adsorpsi dengan zeolit
pemanasan pada waktu lebih dari 60 menit, maka konsentrasi serap CN
-
semakin
kecil karena adsorpsi yang terjadi adalah adsorpsi fisik yang melibatkan gaya
Van Der Waals (lebih lemah) sehingga memungkinkan terjadi deadsorpsi.

Penentuan pH Optimum Adsorbsi
Penentuan konsentrasi serap optimum pada variasi pH dilakukan setelah
penentuan waktu optimum adsorbsi. Variasi pH yang dilakukan adalah 3 - 7. Hal
ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pH larutan yang memberikan
kemampuan terbesar pada zeolit pengasaman dan pemanasan untuk menyerap
CN
-
.

Pada pH < 3 proses adsorpsi semakin sedikit dan toksik karena pada pH
yang semakin asam akan lebih cepat terbentuk HCN yang merupakan gas beracun
dan mudah menguap. Untuk mengetahui pengaruh pH terhadap konsentrasi CN
-

100 ppm yang terserap dapat dilihat pada Gambar 5.
0
20
40
60
80
0 2 4 6 8
pH
K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

S
e
r
a
p

(
p
p
m
)
Series1
Series2

Gambar 5. Kurva hubungan pH dengan konsentrasi serap CN
-



PKMP-5-9-10
Dari kurva tersebut ditunjukkan bahwa pH larutan yang menghasilkan
konsentrasi CN
-
yang terserap paling banyak adalah pada pH 3. Hal ini terjadi
karena pada proses pengasaman zeolit mengalami dealuminasi sehingga terjadi
pemutusan ikatan Al-O dan terbentuk ikatan Si-OH (silanol) sebagai pembawa
muatan positif akibatnya zeolit akan lebih mudah untuk mengadsorpsi CN
-
atau
dengan kata lain gugus OH
-
pada zeolit dapat mengasosiasi proton dan membuat
sisi aktif terhadap zeolit sehingga zeolit pengasaman dapat menyerap CN
-
.
Sedangkan pada pH semakin tinggi maka daya serap zeolit pengasaman terhadap
CN
-
lebih kecil. Hal ini mungkin disebabkan oleh bertambah negatifnya
permukaan zeolit aktif karena terjadi disosiasi proton dari gugus OH terbuka
terkristal (Tan, 1991). Selain itu dapat disebabkan oleh persaingan antara H
+
dengan CN
-
karena penambahan asam (HCl) sebagai pangaturan variasi pH. Hal
ini dapat terlihat dari perubahan pH setelah proses adsorpsi yang semakin naik, ini
menunjukkan semakin banyaknya H
+
yang terserap oleh zeolit.
Hal yang sama juga terjadi pada zeolit pemanasan, karena sebelum CN
-

diinteraksikan dengan zeolit pemanasan terlebih dahulu ditambahkan HCl (suatu
asam) setelah itu diaduk selama 60 menit. Pada saat pengadukan tersebut
kemungkinan terjadi dealuminasi (dengan adanya asam) yang mengakibatkan
muatan positif pada struktur zeolit sehingga CN
-
akan lebih mudah terserap.
Penambahan pH akan menurunkan daya serap zeolit pamanasan terhadap CN
-
,
seperti halnya perubahan pH pada adsorpsi dengan zeolit pengasaman.

Analisis Difraksi Sinar-X Zeolit-pemanasan-CN
-
dan Zeolit-pengasaman-CN
-
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui apakah CN
-
telah teradsorpsi
dalam kristal zeolit. Keberhasilan proses adsorpsi dengan zeolit aktif hasil
pemanasan dan pengasaman ditentukan dari hasil analisis difraksi sinar-X yaitu
dengan membandingkan harga 2 dan d-spacing dari difraktogram zeolit
teraktivasi dan zeolit teraktivasi-CN yang ditunjukkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3. Data pergeseran difraksi sinar-X zeolit pemanasan dan zeolit pemanasan
CN
-
Zeolit pemanasan Zeolit pemanasan-CN
-
No
2 d 2 d
1 22,3390 3,97652 22,2958 3,98413
2 25,7063 3,46275 25,6959 3,46413
3 26,3635 3,37791 27,7698 3,20996
Tabel 4. Data pergeseran difraksi sinar-X zeolit pengasaman dan zeolit
pengasaman CN
-
Zeolit pengasaman Zeolit pengasaman-CN
-
No
2 d 2 d
1 22,3390 3,97652 22,2667 3,98927
2 25,7063 3,46275 25,6332 3,47246
3 26,3635 3,37791 26,2877 3,38747

Dari tabel diatas terlihat adanya perbedaan 2 dan d-spacing dari zeolit
teraktivasi dengan zeolit teraktivasi yang telah terserap ion CN
-
, yang mana antara
2 dan d-spacing saling berbanding terbalik sesuai dengan Persamaan Bragg. Hal
ini menunjukkan bahwa dalam kristal zeolit telah mengadsorpsi CN
-
.



PKMP-5-9-11
Penentuan Kapasitas Adsorpsi
Pada proses adsorpsi, selain terjadi proses adsorpsi juga terjadi pertukaran
ion. Proses tersebut dapat terjadi secara bersamaan. Dalam penelitian ini ion yang
dipertukarkan adalah anion (CN
-
). Pada adsorpsi yang menggunakan zeolit
pemanasan dengan pH 3 akan terjadi proses adsorpsi dan pertukaran anion. Proses
adsorpsi dapat terjadi akibat pemanasan zeolit, karena air kristal keluar sehingga
rongga zeolit menjadi kosong. Proses pertukaran ion terjadi karena adanya
pengasaman pada zeolit, karena pengasaman menyebabkan terjadinya
dealuminasi. Pada proses dealuminasi terbentuk silanol (Si-OH) yang membawa
muatan positif pada lapisan permukaan struktur zeolit tersebut . Lapisan ini makin
bersifat positif dengan menurunnya pH atau meningkatnya ion H
+
pada lapisan
tersebut. Lapisan yang bermuatan positif inilah yang mengadsopsi ion-ion yang
bermuatan negatif atau anion.
Penentuan kapasitas adsorpsi CN
-
dilakukan dengan menggunakan larutan
CN
-
dengan berbagai variasi konsentrasi (100, 150, 200, 250, 300, dan 350 ppm)
yang diinteraksikan dengan zeolit pemanasan dan pengasaman dengan waktu
pengadukan optimum 60 menit dan pH optimum yaitu 3. Hasil penentuan
kapasitas adsorpsi ditunjukkan pada kurva hubungan antara konsentrasi awal
dengan konsentrasi larutan CN
-
yang terserap, seperti yang terlihat pada
Gambar 6.
0
20
40
60
80
0 2 4 6 8
pH
K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

S
e
r
a
p

(
p
p
m
)
pemanasan
pengasaman

Gambar 6. Kurva hubungan antara konsentrsi awal dengan konsentrasi serap CN
-

Kurva tersebut menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi CN
-
yang
digunakan maka semakin besar pula konsentrasi CN
-
yang dapat diserap oleh
zeolit pemanasan

dan pengasaman. Hal ini dipengaruhi oleh laju reaksi. Semakin
banyak konsentrasi serap maka laju reaksi semakin cepat.
Penentuan kapasitas adsorpsi dapat dihitung dari kapasitas pertukaran
anion (KPA) yang merupakan total dari proses adsorpsi dan pertukaran anion.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa harga kapasitas adsorpsi atau kapasitas
pertukaran anion (KPA) CN
-
untuk zeolit pamanasan adalah 120,4 mek/100 gram
zeolit pemanasan dan untuk zeolit pengasaman adalah 128,8 mek/100 gram zeolit
pengasaman. Harga kapasitas adsorpsi untuk zeolit pengasaman lebih besar
daripada zeolit pemanasan hal ini mungkin karena proses dealuminasi pada zeolit
pengasaman lebih besar daripada zeolit pemanasan akibatnya zeolit akan
bermuatan lebih positif sehingga lebih mudah untuk mengadsoprsi CN
-
.
Perhitungan:

sampel berat CN Ar
100 volume valensi terserap ] [CN
adsorpsi kapasitas atau KPA
-
-

Untuk zeolit pemanasan:


PKMP-5-9-12
gram 0,15 mL 1000 26
100 20 1 7941 , 234
KPA

= 120,4 mek/100 gr
Untuk zeolit pengasaman:
gram 0,15 mL 1000 26
100 20 1 1176 , 251
KPA

= 128,8 mek/100 gram

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. zeolit aktif hasil pemanasan dan pengasaman dapat digunakan sebagai adsorben
ion sianida
2. kapasitas adsorpsi untuk zeolit pengasaman sebesar 128,8 mek/100 gram dan
untuk zeolit pemanasan sebesar 120,4 mek/100 gram.

DAFTAR PUSTAKA
1. ARHA, AWWA, WPCF, 1995, Standart Methods for The Examination of
Waste and Waste Water, 19
th
edition, ARHA, Washington D. C.
2. Anonim, 1990, Kegunaan dan Prospek Zeolit Di Indonesia, Pusat
Pengembangan Teknologi Mineral, Laporan Ekonomi Bahan Galian, No. 7,
Jakarta.
3. Anonim, 1995, Potensi Bahan Galian Golongan C Kabupaten Daerah
Tingkat II Pacitan, Dinas Pertambangan Daerah, Surabaya.
4. Atkins, P., Paula, de Julio, 2002, Physical Chemistry, 7
th
edition, Oxford
University Press, Inc., New York.
5. Barrer, R.M., 1978, Zeolite and Clay Mineral as Sorbent and Molecular
Sieves, Academic Press, Inc., London, p.1-9.
6. Bohn, Heinrich, L., Brian, L., McNeal and George A. Connor, 1985, Soil
Chemistry, 2
nd
edition, John Wiley and Sons, Inc., New York.
7. Chen, D., Ray, A. K., 1999, Photocatalytic Kinetic of Phenol Its Derivates
Over UV Irradiated TiO
2
, Applied Catalysis B: Enviromental, Vol. 23, p.143-
157.
8. Dyer, 1994, Zeolites, Encyclopedia of lnorganic Chemistry, Editor : R. Bruce
King, V.B., John Wiley and Sons, Chishester, p. 4365-4391.
9. Erawati, dkk. 2003, Penentuan Daya Serap zeolit Alam Malang Selatan
Terhadap Biru Metilen dan kuinin HCI, Majalah Farmasi Airlangga, Vol. 2,
No.3
10. Ewing, G. W., 1988, Instrumental Method of Chemical Analysis, 5
th
edition,
Mc Graw Hill Book Company, New York.
11. Geby, 2003, Reduksi Kandungan Sianida Dalam Air Limbah Dengan
TiO
2
, Skripsi, Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP ITS, Surabaya.
12. Glusker, J.P., Trueblood, K.N., 1985, Crystal Structure Analysis: A Primer,
2
nd
edition, Oxford University Press, New York.
13. Hampel, C.A., Hawley, G.G., 1982, Glossary of Chemical Terms, 2
nd
edition,
Van Nostrand Reinhold, New York, p.8.
14. Jolly, W.L., 1991, Modem Inorganic Chemistry, 4
th
edition, Chapman and
Hall, London.


PKMP-5-9-13
15. Kirk-Othmer, 1991, Molecular Sieves, Encyclopedia of Chemical Technology,
3
th
edition, Vol. 15, John Wiley and Sons, New York, p. 638-650.
16. Liebau, F., 1985, Structural Chemistry of Silicate, Springer-Verlag, Berlin,
p.13-15, 155-159.
17. Harsini, M., 1995, Metode Difraksi Sinar-X Untuk Identifikasi Perubahan
Kristal Zeolit akibat aktivasi, Jurnal, Fakultas MIPA, Universitas
Airlangga.
18. Prakash, S., Basu, S.K., et.al, 1980, Advanced Inorganic Chemistry, 6
th

edition., Chand and Co New Delhi, p.392.
19. Prayitno, K.B., 1989, Zeolit Sebagai Alternatif Industri Komoditi Mineral
di Indonesia, Majalah BPPT, No. XXXV, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, Jakarta, p.15-23.
20. Puspitoningrum, D., 2004, Degradasi Fotokatalitik Sianida Menggunakan
Suspensi TiO
2
, Skripsi, Kimia FMIPA, Universitas Airlangga, Surabaya.
21. Saeni, M. S., 1989, Kimia Lingkungan, Pusat Antar Ilmu Hayat IPB, Dirjen
Dikti, Depdikbud.
22. Subagjo, 1993, Zeolit, Warta Insinyur Kimia, Pusat Antar Ilmu Hayat IPG,
Dirjen Dikti, Depd ikbud.
23. Sukarjo, 1991, Kimia Fisika, edisi kedua, Bina Aksara Press, Jakarta.
24. Sariman, Trisnasunara, dan Husaini, 1998, Persiapan, Pengelolaan, dan
Penggunaan Zeolit Alam Berdasarkan Sifat Yang Dimilikinya, Makalah
Teknik, No.1 ,Pusat Penelitian dan Pengembangan Tehnologi Mineral,
Bandung.
25. Sutarti, M., dan Rachmawati, M., 1994, Zeolit Tinjauan Literatur, Pusat
Dokumentasi dan Infomasi Ilmiah, LIPI, Jakarta.
26. Syah, Y., 1993, Penentuan kadar Protein dengan Pereaksi (NH
4
)S
2
dan
Garam Fe (III) secara Spektrofotometri, Fakultas MIPA, Lembaga
Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya.
27. Tan, K. H., 1982, Dasar-Dasar Kimia Tanah, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
28. Vansant, E.F, 1990, Pore Size Engineerig in Zeolites, John wiley and Sons,
Inc., New York.
29. Widjajakusuma, C., 1996, Pengaruh Pengaktifan Zeofit Alam Pada
Pertukaran Ion Cr (III), Skripsi, Fakultas MIPA, Universitas Airlangga,
Surabaya.

PKMP-5-10-1
PERBANDINGAN EFEKTIFITAS LARVA LUCILLIA SP. DAN MUSCA
SP. DALAM UJI EKSTRAK IN VITRO, UJI EKSTRAK IN VIVO,
MANGGOT DEBRIDEMENT THERAPY PADA LUKA TERINFEKSI
METHICILLIN-RESISTANST STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA)

Albert Cendikiawan, H Gunarwan, O Trinurcahyo, V Tedjamulia, CA Wahyu P
Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRAK

Kata kunci:
PKMP-5-11-1
SINTESIS BAHAN PEWARNA KERAMIK SEBAGAI TAHAP AWAL
PENYEDIAAN BAHAN PEWARNA KERAMIK PENGGANTI I MPORT

Dina Sugiyanti, Zainal Arifin, Agus Basir Ali Akbar
PS Kimia FMIPA, Universitas Negeri Malang, Malang

ABSTRAK
Keramik memiliki nilai estetika yang tinggi apabila pada proses finishingnya
digunakan pewarna yang menarik. Untuk menambah nilai dekoratif pada
finishingnya ditambahkan bahan tambahan glasir frit. Pewarna keramik yang
digunakan oleh kebanyakan pengrajin keramik umumnya merupakan pewarna
import, sehingga harganya relatif mahal. Pada penelitian ini dilakukan sintesis
pewarna keramik berbasis oksida dengan menggunakan metode spinel. Metode
ini merupakan metode sintesis pewarna keramik dengan mencampurkan dua
oksida atau lebih dan dilakukan kalsinasi pada suhu 1250
0
C selama 24 jam.
Penelitian ini bersifat eksperimental dengan tujuan untuk memperoleh pewarna
keramik sintesis pengganti import dengan harga relatif murah sehingga
mengurangi penggunaan devisa negara. Tahapan yang dilakukan dalam
penelitian ini pertama mengetahui kadar logam krom dan kobalt dalam pewarna
keramik import peacock blue Cp 256. Kedua membuat massa body keramik jenis
tegel sebagai media pengaplikasian pewarna hasil sintesis. Ketiga melakukan
sintesis pewarna keramik berbasis oksida CoO, Cr
2
O
3
, Al
2
O
3
, MnO
2
dengan
spesifikasi sbb: (1) Cr
2
O
3
dan Al
2
O
3
dengan komposisi 1 : 9, 3 : 7, 5 : 5, 7 : 3, 9 :
1 (2) Cr
2
O
3
dan CoO dengan dengan komposisi 1 : 9, 3 : 7, 5 : 5, 7 : 3, 9 : 1 (3)
MnO
2
dan Al
2
O
3
dengan komposisi 1 : 9, 3 : 7, 5 : 5, 7 : 3, 9 : 1 (4) CoO, MnO
2
dan Al
2
O
3
dengan komposisi 1 : 1 : 1, 1 : 3 : 6, 1 : 6 : 3, 3 : 1 : 6, 3 : 6 : 1, 6 : 1 :
3, 6 : 3 : 1. Keempat melakukan aplikasi pewarna hasil sintesis pada massa body
dengan mencampurkan glasir frit. Hasil yang diperoleh sebagai berikut: (1)
kadar logam Co dan Cr dalam pewarna import peacock blue Cp 256 0,029 dan
0,071 ppm (2) pewarna hasil sintesis dari oksida logam Cr dan Al menghasilkan
warna dominan hijau, oksida logam Co dan Cr menghasilkan warna dominan
biru, oksida logam Mn dan Al menghasilkan warna dominan hitam dan merah,
oksida logam Co, Mn dan Al menghasilkan warna ungu, cokelat muda, biru muda
dan biru tua (3) hasil aplikasi pewarna sintesis pada massa body keramik
memiliki warna yang sesuai dengan warna dari pewarna sintesis dan mengkilap
karena penambahan glasir frit. Penelitian ini berhasil mensintesis pewarna
keramik berbasis oksida logam sehingga didapatkan pewarna keramik pengganti
import dengan harga yang relatif murah.

Kata kunci: pewarna keramik, kalsinasi, oksida logam, spinel, peacock blue Cp
256

PENDAHULUAN
Pembangunan sarana fisik sangat gencar dilakukan, yang tentu tidak lepas
dari material bangunan diantaranya adalah keramik. Keramik memberikan warna
tersendiri terhadap fisik bangunan, karena finishing atau bagian luar dari keramik
memiliki nilai dekoratif yang tinggi. Oleh karena itu kebutuhan keramik sebagai
material bangunan saat ini sangat besar, baik dari segi kuantitas maupun
PKMP-5-11-2
kualitasnya. Ditinjau dari segi kualitas misalnya adalah efek dekoratif, yaitu suatu
desain bentuk atau warna yang menarik, yang tidak lepas dari bentuk body
keramik dan pewarnaan pada keramik. Keramik didefinisikan sebagai material
anorganik yang komponen dasarnya adalah material non logam anorganik dan
juga terdapat sebagai material logam (Oxtoby 2003).
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan keramik diantaranya
adalah kaolin, feldspar, clay, pasir kuarsa, dan glasir. Untuk memberikan efek
dekoratif diperlukan pewarnaan pada finishing keramik. Pewarnaan merupakan
bagian yang sangat penting bagi penampilan fisik keramik, karena warna terletak
pada bagian yang paling luar dari keramik atau bagian yang terlihat oleh mata.
Oleh karena itu warna mutlak diperlukan pada body keramik.
Di Jawa Timur khususnya di Kabupaten Malang, banyak sekali terdapat
pengrajin keramik dan pabrik-pabrik keramik, yang memerlukan pewarnaan pada
keramik yang dihasilkan. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan,
diperoleh data bahwa bahan pewarna yang digunakan umumnya mahal karena
berasal dari produk luar negeri atau import. Oleh karena itu dibutuhkan bahan-
bahan pewarna yang mempunyai kualitas baik, mudah didapat, dan harganya
murah. Kualitas baik berkaitan dengan hasil warna keramik setelah pembakaran
sama dengan sebelum pembakaran, stabil selama proses pembakaran, cocok
dengan glasir yang digunakan, dan dapat diaplikasikan pada keramik pada suhu
serendah mungkin. Mudah didapat artinya bahwa kebutuhan bahan-bahan
pewarna tidak diperoleh dari import tetapi sudah tersedia di dalam negeri dan
berharga murah.
Berdasarkan kajian literatur bahan pewarna komersial diketahui bahwa
kandungan utama bahan-bahan pewarna tersebut adalah logam-logam transisi
seperti Fe, Zn, Zr, Co, Sn, Ti, Cr, Ni, Mn dan beberapa logam golongan A dalam
Sistem Periodik seperti Ca, Si, Pb, Al (Anonim, tanpa tahun). Dilihat dari
komposisinya, maka bahan-bahan pewarna tersebut dapat disintesis dengan
menggunakan metode pembuatan warna spinel.
Berdasarkan uraian diatas, penting dilakukan penelitian mengenai kadar
logam dalam pewarna komersial (peacock blue Cp 256) untuk selanjutnya
dijadikan acuan dalam menentukan komposisi oksida logam (CoO, Cr
2
O
3,
MnO
2
dan Al
2
O
3
) pada sintesis pewarna keramik. Setelah berhasil disintesis bahan
pewarna keramik diharapkan dapat menghemat biaya produksi pada pabrik-pabrik
keramik di Kabupaten Malang khususnya dan industri keramik dalam negeri pada
umumnya. Disisi lain ditemukannya metode atau cara sintesis pada penelitian ini
diharapkan semakin menambah khasanah perkembangan dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan di
Laboratorium Jurusan Kimia UM dan Balai Penelitian Teknologi Industri
Keramik LIK Malang mulai 1 Maret 30 Mei 2006. Untuk mendapatkan data
yang dibutuhkan dalam penelitian ini, langkah-langkah yang dilakukan adalah
sebagai berikut.


PKMP-5-11-3
Analisis Kadar Logam Co dan Cr dalam Pewarna Keramik Peacock Blue Cp
256
Penentuan kadar logam Co dan Cr dilakukan dengan melarutkan 0,1 gram
pewarna peacock blue Cp 256 dengan 10 ml air raja (campuran HCl pekat dengan
HNO
3
dengan perbandingan 1:3 ) kemudian mengencerkannya dengan akuades
sampai volume 100 ml. Larutan kemudian disaring untuk selanjutnya filtrat yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer AAS merk
SHIMADZU AA-6800.

Pembuatan Massa Body Keramik
Kaolin, feldspar, kuarsa, dan semen merah kemudian digerus sampai halus
dan homogen. Campuran disaring dengan saringan nomor mesh 100 kemudian
ditambah air dan diaduk agar homogen selanjutnya dicetak dalam cetakan
berbentuk silinder, setelah itu dikeringkan di udara terbuka yang terlindung dari
sinar matahari langsung selama satu hari. Kemudian dibakar pada suhu 1250C
selama 1 jam.

Pembuatan Pewarna Spinel Berbasis Oksida Logam
Dua oksida logam atau lebih dicampur kemudian dikalsinasi pada suhu
1250 C selama 24 jam. Hasil kalsinasi kemudian digerus sampai diperoleh
serbuk halus yang homogen. Pada penelitian ini digunakan oksida CoO, Cr
2
O
3
,
Al
2
O
3
, MnO
2
dengan spesifikasi sbb: (1) Cr
2
O
3
dan Al
2
O
3
dengan perbandingan
komposisi 1 : 9, 3 : 7, 5 : 5, 7 : 3, 9 : 1 (2) Cr
2
O
3
dan CoO dengan dengan
perbandingan komposisi 1 : 9, 3 : 7, 5 : 5, 7 : 3, 9 : 1 (3) MnO
2
dan Al
2
O
3
dengan
dengan perbandingan komposisi 1 : 9, 3 : 7, 5 : 5, 7 : 3, 9 : 1 (4) CoO, MnO
2
dan
Al
2
O
3
dengan perbandingan komposisi 1 : 1 : 1, 1 : 3 : 6, 1 : 6 : 3, 3 : 1 : 6, 3 : 6 :
1, 6 : 1 : 3, 6 : 3 : 1.

Aplikasi Pewarna Hasil Sintesis pada Keramik Jenis Tegel
Pewarna hasil sintesis seberat 0,2 gram dicampur dengan 2 gram glasir frit
kemudian ditambah 10 mL air. Campuran yang diperoleh diaduk sampai homogen
kemudian dioleskan pada massa body keramik. Selanjutnya dikalsinasi pada suhu
1100
o
C selama 1 jam.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran Kadar Logam Cr dan Co pada Pewarna Keramik Komersial
Peacock Blue Cp 256
Hasil analisis dengan spektrofotometer AAS kadar logam krom dan kobalt
dalam pewarna keramik komersial peacock blue Cp 256 sebesar 0,071 ppm dan
0,029 ppm. Kadar yang diperoleh sangat kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa
warna yang dihasilkan dalam pewarna keramik komersial peacock blue Cp 256
bukan semata-mata akibat adanya logam transisi dalam pewarna tersebut. Karena
adanya logam transisi yang banyak terdapat elektron tidak berpasangan secara
teoretis dapat menimbulkan warna tertentu sebagai akibat adanya transisi
elektronik dalam orbital d yang menyerap di daerah sinar tampak.
Warna yang ada dalam pewarna keramik komersial peacock blue Cp 256
kemungkinan disebabkan adanya pewarna organik yang ditambahkan
kedalamnya. Karena secara teoretis ada senyawa yang dapat menghasilkan warna
PKMP-5-11-4
disamping senyawa dari logam transisi yaitu pewarna organik. Keberadaan
pewarna organik dalam pewarna keramik komersial peacock blue Cp 256
didukung dari hasil pengamatan pada waktu pewarna diberi perlakuan sebelum
AAS yaitu dengan melarutkannya dalam beberapa pelarut: air, HCl, HNO
3
dan air
raja, pewarna tersebut tidak dapat larut dengan baik dan terbentuk endapan
kembali yang berwarna biru. Secara teoretis senyawa anorganik dapat larut
dengan air raja namun hal itu tidak terjadi pada pelarutan pewarna keramik
komersial peacock blue Cp 256. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam
pewarna tersebut terdapat senyawa organik yang dapat menimbulkan warna
disamping logam transisi.

Pembuatan Massa Body Keramik
Massa body keramik diperlukan untuk menguji kualitas hasil pewarna
sintesis. Massa body yang dibuat merupakan massa body keramik jenis tegel,
karena dalam proses pembuatannya sesuai dengan jenis keramik tegel.
Pembakaran awal bertujuan untuk mereaksikan senyawa-senyawa yang dipakai
dalam massa body setelah dicetak, dimana kaolin yang merupakan tanah liat
berkualitas tinggi berfungsi sebagai bahan perekat. Feldspar berfungsi sebagai
bahan pelebur untuk menurunkan suhu peleburan keramik, serta pemberi kekuatan
pada body keramik setelah dibakar. Kuarsa berfungsi sebagai rangka saat
pembakaran serta berfungsi sebagai bahan pengisi ruang yang ditinggalkan oleh
bahan-bahan organik setelah proses pembakaran. Sedangkan semen merah dapat
menambah kuat tekan keramik. Hasil pembuatan massa body ditunjukkan pada
gambar1.






Gambar 1 Massa Body Keramik yang Telah Dibakar

Hasil Sintesis Bahan Pewarna
Sintesis bahan pewarna menggunakan metode spinel. Hal ini dilakukan
dengan mencampur dan menggerus dua oksida atau lebih yang dikalsinasi atau
dibakar pada suhu tertentu. Kalsinasi dilakukan 2 kali, pertama pada suhu 1250
C selama 24 jam dengan tujuan agar oksida yang dicampur bereaksi. Kalsinasi
yang kedua dilakukan pada suhu 1100
o
C selama 1 jam, dengan tujuan
menstabilkan warna saat diaplikasikan pada keramik (Anonim 2003) dan dapat
bercampur dengan glasir frit yang digunakan setelah ditambah dengan air. Bahan
pewarna hasil kalsinasi digerus sangat halus agar dapat bercampur homogen
dengan glasir frit dan membentuk suspensi yang stabil setelah ditambah dengan
air. Hal ini menyebabkan bahan pewarna terdistribusi rata ke dalam leburan glasir
pada proses pembakaran. Partikel-partikel bahan pewarna terikat dalam glasir frit.
Keadaan tersebut berdasarkan pada metode pewarnaan yang disebut metode in
glaze. Bahan pewarna yang digunakan harus digerus sangat halus.
Pembuatan Bahan Pewarna dengan Metode Spinel dari Oksida Cr
2
O
3

dan Al
2
O
3

PKMP-5-11-5
Oksida Cr
2
O
3
adalah serbuk agak kasar dan berwarna hijau tua, sedangkan
oksida Al
2
O
3
adalah serbuk halus dan berwarna putih. Warna kedua bahan
tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.







Gambar 2 (a) Serbuk Cr
2
O
3
dan (b) Serbuk Al
2
O
3

Variasi jumlah bahan yang digunakan pada metode ini terdapat pada Tabel
1 berikut.

Tabel 1 Variasi Perbandingan Berat Bahan dan Hasil yang Diperoleh
dengan Metode Spinel

Perbandingan Berat
Cr
2
O
3
dan Al
2
O
3

yang dikalsinasi
Berat
Glasir
Frit (g)
Berat Campuran
dari Kolom 1 yang
Digunakan (g)
Warna sebelum
dikalsinasi
Warna setelah
dikalsinasi
9 : 1 2 0,2 Hijau tua Hijau tua
7 : 3 2 0,2 Hijau lebih muda Hijau lebih muda
5 : 5 2 0,2 Hijau lebih muda Hijau lebih muda
3 : 1 2 0,2 Hijau lebih muda Hijau lebih muda
1 : 9 2 0,2 Hijau muda Hijau muda

Perbandingan jumlah oksida Cr
2
O
3
dan Al
2
O
3
yang terdapat pada Tabel 1,
dari atas ke bawah menunjukkan jumlah oksida Cr
2
O
3
yang semakin sedikit dan
jumlah oksida Al
2
O
3
yang semakin banyak. Dari bahan pewarna hasil kalsinasi
campuran dua oksida tersebut pada berbagai perbandingan, semua dapat
diaplikasikan pada body keramik.
Hasil pewarna yang telah berhasil disintesis dan aplikasinya pada massa
body keramik ditunjukkan pada gambar 3, 4, 5, 6, 7.









Gambar 3 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr
2
O
3
dan
Al
2
O
3
dengan Perbandingan 9 : 1, (b) Aplikasi pada Massa Body
Keramik




(a) (b)
(b)
(a)
PKMP-5-11-6







Gambar 4 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr
2
O
3
dan
Al
2
O
3
dengan Perbandingan 7 : 3, (b) Aplikasi pada Massa Body
Keramik






Gambar 5 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr
2
O
3
dan
Al
2
O
3
dengan Perbandingan 5 : 5, (b) Aplikasi pada Massa Body
Keramik







Gambar 6 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr
2
O
3
dan
Al
2
O
3
dengan Perbandingan 3 : 7, (b) Aplikasi pada Massa Body
Keramik








Gambar 7 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr
2
O
3
dan
Al
2
O
3
dengan Perbandingan 1 : 9, (b) Aplikasi pada Massa Body
Keramik

Hasil pewarna yang diperoleh berbentuk serbuk berwarna dominan hijau
yang halus dan homogen. Warna hijau disebabkan karena campuran mengandung
logam Cr. Ketika diaplikasikan pada massa body keramik diperoleh hasil warna
mengkilap yang sama dengan warna bahan pewarna awal, hal ini karena adanya
reaksi kimia antara oksida Cr
2
O
3
dan oksida Al
2
O
3
dengan glasir frit. Penambahan
glasir frit berfungsi sebagai efek dekoratif dalam hasil akhir pembuatan keramik.
Penambahan oksida Al
2
O
3
yang semakin banyak menyebabkan warna
bergeser ke arah warna hijau muda. Hal ini terjadi karena campuran didominasi
(b)
(a)
(b) (a)
(b) (a)
(b) (a)
PKMP-5-11-7
(a)
oleh keberadaan logam Al, dimana logam tersebut tidak berwarna sehingga
intensitas warna hijau yang disebabkan adanya keberadaan logam Cr berkurang.
Warna hijau tua pada bahan dapat terjadi karena atom pada bahan menyerap
warna merah yang mempunyai panjang gelombang () 700 nm (Effendy 2004).

Pembuatan Bahan Pewarna dengan Metode Spinel dari Oksida Cr
2
O
3

dan CoO
Oksida Cr
2
O
3
adalah serbuk agak kasar dan berwarna hijau tua, sedangkan
oksida CoO adalah serbuk halus dan berwarna biru tua.Variasi jumlah bahan yang
digunakan pada metode ini terdapat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Variasi Perbandingan Berat Bahan dan Hasil yang Diperoleh
dengan Metode Spinel

Perbandingan Berat
Cr
2
O
3
dan CoO yang
Dikalsinasi
Berat
Glasir
Frit (g)
Berat Campuran
dari Kolom 1 yang
Digunakan (g)
Warna sebelum
dikalsinasi
Warna setelah
dikalsinasi
9 : 1 2 0,2 Hijau tua Hijau tua
7 : 3 2 0,2 Hijau lebih muda Hijau lebih muda
5 : 5 2 0,2 Biru Biru lebih muda
3 : 1 2 0,2 Biru Biru lebih muda
1 : 9 2 0,2 Biru Biru muda

Perbandingan jumlah oksida Cr
2
O
3
dan CoO

yang terdapat pada tabel 2
dari atas ke bawah menunjukkan jumlah oksida Cr
2
O
3
yang semakin sedikit dan
jumlah oksida CoO yang semakin banyak. Dari bahan pewarna hasil kalsinasi
campuran dua oksida tersebut pada berbagai perbandingan, semua dapat
diaplikasikan pada body keramik.
Hasil pewarna yang telah berhasil disintesis dan aplikasinya pada massa
body keramik ditunjukkan pada gambar 8, 9, 10, 11, 12.






Gambar 8 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr
2
O
3
dan
CoO dengan Perbandingan 9 : 1, (b) Aplikasi pada Massa Body
Keramik







Gambar 9 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr
2
O
3
dan
CoO dengan Perbandingan 7 : 3, (b) Aplikasi pada Massa Body
Keramik


(a) (b)
(b)
PKMP-5-11-8









Gambar 10 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr
2
O
3

dan CoO dengan Perbandingan 5 : 5, (b) Aplikasi pada Massa
Body Keramik










Gambar 11 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr
2
O
3

dan CoO dengan Perbandingan 3 : 7, (b) Aplikasi pada Massa
Body Keramik









Gambar 12 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr
2
O
3

dan CoO dengan Perbandingan 3 : 7, (b) Aplikasi pada Massa
Body Keramik

Hasil pewarna yang diperoleh berbentuk serbuk berwarna dominan hijau
dan biru yang halus dan homogen. Warna hijau disebabkan karena campuran
mengandung atom logam Cr, sedangkan warna biru karena campuran
mengandung atom logam Co. Ketika diaplikasikan pada massa body keramik
diperoleh hasil warna mengkilap yang sama dengan warna bahan pewarna awal,
hal ini karena adanya reaksi kimia antara oksida Cr
2
O
3
dan oksida CoO dengan
glasir frit. Penambahan oksida CoO yang semakin banyak menyebabkan warna
bergeser ke arah biru. Hal ini terjadi karena campuran didominasi oleh keberadaan
logam Co, dimana logam tersebut berwarna biru sehingga intensitas warna biru
bertambah yang disebabkan adanya keberadaan logam Co yang bertambah dan
logam Cr yang berkurang.


(a)
(b)
(a) (b)
(a)
(b)
PKMP-5-11-9
Pembuatan Bahan Pewarna dengan Metode Spinel dari Oksida MnO
2

dan Al
2
O
3

Oksida MnO
2
adalah serbuk agak halus dan berwarna hitam, sedangkan
oksida Al
2
O
3
adalah serbuk halus dan berwarna biru putih. Variasi jumlah bahan
yang digunakan pada metode ini terdapat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Variasi Perbandingan Berat Bahan dan Hasil yang Diperoleh
dengan Metode Spinel

Perbandingan Berat
MnO
2
dan Al
2
O
3

yang Dikalsinasi
Berat
Glasir
Frit (g)
Berat Campuran
dari Kolom 1 yang
Digunakan (g)
Warna sebelum
dikalsinasi
Warna setelah
dikalsinasi
9 : 1 2 0,2 Hitam Hitam
7 : 3 2 0,2 Hitam Merah muda
5 : 5 2 0,2 Hitam Hitam
3 : 1 2 0,2 Hitam Hitam
1 : 9 2 0,2 Hitam Hitam

Perbandingan jumlah oksida MnO
2
dan Al
2
O
3
yang terdapat pada tabel 3,
dari atas ke bawah menunjukkan jumlah oksida Al
2
O
3
yang semakin sedikit dan
jumlah oksida MnO
2
yang semakin banyak. Dari bahan pewarna hasil kalsinasi
campuran dua oksida tersebut pada berbagai perbandingan, hanya ada satu warna
yang bisa diaplikasikan pada body keramik yaitu pada perbandingan logam Mn :
Al 3 : 7. Pada perbandingan logam hasil kalsinasi pada perbandingan yang lain
diperoleh pewarna yang sangat keras sehingga tidak bisa digerus dan tidak bisa di
aplikasikan pada massa body keramik. Hasil pewarna yang telah berhasil
disintesis dan aplikasinya pada massa body keramik ditunjukkan pada gambar 13,
14, 15, 16, 17 sebagai berikut.








Gambar 13 Padatan Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran MnO
2
dan
Al
2
O
3
dengan Perbandingan 1 : 9









Gambar 14 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran MnO
2

dan Al
2
O
3
dengan Perbandingan 3 : 7, (b) Aplikasi pada Massa
Body Keramik
(a)
(b)
Tidak berhasil
diaplikasikan
PKMP-5-11-10







Gambar 15 Padatan Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran MnO
2
dan
Al
2
O
3
dengan Perbandingan 5 : 5








Gambar 16 Padatan Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran MnO
2
dan
Al
2
O
3
dengan Perbandingan 7 : 3







Gambar 17 Padatan Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran MnO
2
dan
Al
2
O
3
dengan Perbandingan 9 : 1

Pembuatan Bahan Pewarna dengan Metode Spinel dari Oksida CoO,
MnO
2
dan Al
2
O
3

Oksida MnO
2
adalah serbuk agak halus dan berwarna hitam, oksida Al
2
O
3

adalah serbuk halus dan berwarna biru putih, sedangkan oksida CoO adalah
serbuk halus dan berwarna biru tua. Variasi jumlah bahan yang digunakan pada
metode ini terdapat pada tabel 4 berikut.

Tabel 4 Variasi Perbandingan Berat Bahan dan Hasil yang Diperoleh
dengan Metode Spinel

Perbandingan Berat
CoO, MnO
2
dan
Al
2
O
3
yang
Dikalsinasi
Berat
Glasir
Frit (g)
Berat Campuran
dari Kolom 1 yang
Digunakan (g)
Warna sebelum
dikalsinasi
Warna setelah
dikalsinasi
1 : 1 : 1 2 0,2 Hitam Abu-abu
1 : 3 : 6 2 0,2 Hitam Cokelat muda
1 : 6 : 3 2 0,2 Hitam Cokelat
3 : 1 : 6 2 0,2 Hitam Biru
3 : 6 : 1 2 0,2 Hitam Cokelat muda
6 : 1 : 3 2 0,2 Hitam Biru Tua
6 : 3 : 1 2 0,2 Hitam Abu-abu
Tidak berhasil
diaplikasikan
Tidak berhasil
diaplikasikan
Tidak berhasil
diaplikasikan
PKMP-5-11-11

Hasil pewarna yang telah berhasil disintesis dan aplikasinya pada massa
body keramik ditunjukkan pada gambar 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24 sebagai berikut.










Gambar 18 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO,
MnO
2
dan Al
2
O
3
, dengan Perbandingan 1: 1 : 1, (b) Aplikasi
pada Massa Body Keramik








Gambar 19 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO,
MnO
2
dan Al
2
O
3
dengan Perbandingan 1: 3 : 6, (b) Aplikasi
pada Massa Body Keramik








Gambar 20 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO,
MnO
2
dan Al
2
O
3
, dengan Perbandingan 1: 6 : 3, (b) Aplikasi
pada Massa Body Keramik







Gambar 21 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO,
MnO
2
dan Al
2
O
3
, dengan Perbandingan 3:1:6, (b) Aplikasi pada
Massa Body Keramik

(a)
(b)
(a) (b)
(a)
(b)
(a)
(b)
PKMP-5-11-12






Gambar 22 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO,
MnO
2
dan Al
2
O
3
dengan Perbandingan 3:6:1 (b) Aplikasi pada
Massa Body Keramik








Gambar 23 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO,
MnO
2
dan Al
2
O
3
dengan Perbandingan 6:1:3, (b) Aplikasi pada
Massa Body Keramik







Gambar 24 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO,
MnO
2
dan Al
2
O
3
dengan Perbandingan 6:3:1, (b) Aplikasi pada
Massa Body Keramik


KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) kadar
logam Co dan Cr dalam pewarna peacock blue cp 256 adalah 0,029 dan 0,071
ppm, (2) pewarna hasil sintesis dari oksida logam Cr dan Al menghasilkan warna
dominan hijau, dari oksida logam Co dan Cr menghasilkan warna dominan biru,
dari oksida logam Mn dan Al menghasilkan warna dominan hitam dan merah, dari
oksida logam Co, Mn dan Al menghasilkan warna ungu, cokelat muda, biru muda
dan biru tua, (3) hasil aplikasi pewarna hasil sintesis pada massa body keramik
menghasilkan warna yang sesuai dengan warna pewarna hasil sintesis dan
mengkilap karena penambahan glasir frit.
Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan hal-hal sebagai berikut: (1)
melakukan sintesis pewarna keramik dengan menggunakan oksida yang berbeda
dan menggunakan variasi perbandingan yang lebih spesifik, (2) menggunakan
katalis agar pada kalsinasi tidak memerlukan temperatur tinggi dan oksida yang
dicampurkan benar-benar saling bereaksi menghasilkan suatu warna, (3)
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai komposisi antara pewarna hasil
sintesis dengan glasir frit sehingga diperoleh warna yang memiliki nilai estetika
yang tinggi, (4) melakukan penelitan untuk menemukan metode pengaplikasian
(a)
(b)
(a)
(b)
(a) (b)
PKMP-5-11-13
hasil pewarna sintesis yang telah dicampur dengan glasir frit pada massa body
keramik, (5) mengaplikasikan pewarna hasil sintesis pada keramik jenis lain.

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Tanpa tahun. Ceramic Pigment. China: China Glaze Co.Ltd.
2. Anonim. 2003. Glasir dan Pewarna Keramik. Malang: tidak diterbitkan.
3. Effendy. 2004. Spektra Elektronik Senyawa Koordinasi. Diktat Kuliah
tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Kimia FMIPA UM.
4. Oxtoby, D. W. Gillis, H.P. Nachtriep, H.N.2003. Prinsip-Prinsip Kimia
Modern. Edisi Ke empat. Jilid II. Jakarta: Erlangga.

PKMP-5-12-1
ANALISIS KEKERABATAN ANTARJENIS KELOMPOK ANURA
(AMFIBI) SULAWESI TENGGARA MELALUI PENANDA KARIOTIPE

Nur Wahidah, Fauziah, Aswaty Nur, Ernastin Maria
Jurusan Biologi, Universitas Haluoleo, Kendari


ABSTRAK
Berdasarkan data terbaru, di Sulawesi Tenggara saat ini telah diketahui terdapat
41 jenis kelompok Anura (amfibi) dan 19 jenis diantaranya telah diteliti dan
diketahui jumlah kromosomnya (Iskandar dan Tjan 1996, Nasaruddin et al.
2000). Namun demikian gambaran mengenai profil kromosom (kariotipe) serta
penggunaan indicator ini dalam menentukan hubungan filogeni belum diungkap.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan kekerabatan antara spesies kelompok Anura (Amfibi) melalui
pendekatan analisis kariotipe. Sebanyak 10 jenis Anura (Amfibi) diperoleh dari
beberapa lokasi di Kendari Sulawesi Tenggara. Preparasi kromosom meng-
gunakan metode air drying dari sel-sel sum-sum tulang paha katak dengan
konsentrasi kolkisin (0.25%). Pewarnaan kromosom dilakukan dengan meng-
gunakan pewarna Giemsa yang diencerkan dengan buffer fosfat pH 6,8.
Pengamatan kromosom dilakukan pada perbesaran 1000 kali. Setelah pemotre-
tan, dilanjutkan dengan pencetakan dan pengukuran untuk membuat peta
kromosom yang disusun berdasarkan panjang relatif (PR) dan indeks sentromer
(IS). Hasil penelitian menunjukan bahwa Jumlah kromosom diploid (2N) L. cf.
grunniens dan L. cf. modestus adalah 24. R. chalconota dan F. cancrivora
masing-masing 26. P. celebensis dan 2 spesies Bufo (B. celebensis dan B.
biporcatus) masing-masing memiliki 22 kromosom. Secara keseluruhan,
perbandingan kariotipe 7 jenis anura (amfibi) memiliki kesamaan dalam 4 pasang
kromosom tipe metasentrik, yaitu pasangan kromosom No. 5, 6, 9 dan 10.
Sedangkan 3 jenis lainnya belum dapat disusun kariotipenya, karena belum
diperoleh kondisi sebaran metafase kromosom yang konsisten dengan resolusi
gambar yang baik. Namun sudah dapat dihitung jumlah kromosomnya.

Kata kunci : Kromsom, kariotipe, amfibi, indeks sentromer, panjang relatif

PENDAHULUAN
Sejumlah penelitian tentang keanekaragaman amfibi di beberapa kawasan
lindung di Sulawesi telah menambah daftar kekayaan amfibi Indonesia.
Berdasarkan data terbaru, di Sulawesi saat ini telah diketahui sebanyak 41 jenis
kelompok anura (amfibi), terdiri atas 25 jenis famili Ranidae, 7 jenis famili
Rhacophoridae, 6 jenis famili Microhylidae, dan 3 jenis famili Bufonidae
(Iskandar dan Tjan 1996, Nasaruddin et al. 2000, Gillespie et.al. 2001). Dari 41
jenis tersebut di atas, 19 jenis diantaranya telah diteliti dan diketahui jumlah
kromosomnya (Iskandar & Tjan, 1996, Nasaruddin et al. 2000).
Meskipun beberapa jenis telah diketahui jumlah kromosomnya, namun
informasi detail mengenai tipe kromosom (kariotipe) terhadap sebagian besar
jenis amfibi tersebut di atas belum pernah diungkap. Terdapatnya sejumlah jenis

PKMP-5-12-2
yang memiliki jumlah kromosom yang sama, seperti Fajervarya cancrivora, F.
vitigera, Kaloula, Limnonectes leavis, Rana celebensis, Rana erythraea,
Polypedates leucomystax, dan Rana georgi (2N = 26); Limnonectes hienrichi, L.
microdiscus, dan L. magnus (2N = 24) serta Bufo biporcatus, B. celebensis, dan B.
melanosticus (2N = 22) merupakan fenomena yang masih menyulitkan untuk
melihat keterkaitan hubungan evolusi antara jenis yang satu dengan jenis lainnya.
Dengan melakukan pendekatan terpadu (morfologi dan kariologi), penelitian
ini akan menelusuri lebih lanjut mengenai profil kromosom dengan sasaran selain
untuk mencari penanda yang lebih spesifik bagi setiap jenis, juga untuk
menggambarkan fenomena keanekaragaman intra dan inter spesies amfibi.
Dewasa ini kita dihadapkan pada populasi amfibi yang sedang mengalami
penurunan dengan drastis sebagai akibat kerusakan hutan, perburuan liar dan
pencemaran habitat (Sugiri et al. 1998, Nasaruddin dkk. 2000). Kekurangan
informasi biologi dasar sangat terasa pada hewan amfibi yang menyebar di
Indonesia, terutama yang mempunyai penyebaran sangat terbatas (endemik)
seperti di Sulawesi dari aspek kariologinya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas
maka permasalahan utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana
hubungan kekerabatan antar jenis kelompok anura (amfibi) melalui penanda
kariotipe.
Penelitian berorientasi pada penggalian informasi dasar untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan terutama tentang hubungan filogenik kekayaan
keanekaragaman amfibi Sulawesi Tenggara melalui pengkajian profil genetik
(analisis kariotipe). Selain itu temuan lain yang dapat diharapkan dari hasil
penelitian ini adalah diperolehnya metode-metode baru hasil modifikasi dari
metode yang sudah baku pada analisis kromosom yang spesifik untuk jenis lokal.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kombinasi antara riset lapangan dengan
laboratorium yang dilaksanakan pada bulan April September 2005, bertempat di
Laboratorium Biologi FMIPA Unhalu.
Penelitian ini menggunakan 10 spesies kelompok anura yang dikoleksi dari
beberapa lokasi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Preparasi kromosom
menggunakan metode air drying (Nasaruddin et al. 2000) yang sedikit
dimodifikasi dari Nishioka, Ohtani dan Sumida (1980). sebagai berikut: katak
setelah ditimbang berat badannya, disuntik dengan larutan kolkisin selama 60
menit. Paha dipisahkan dari sumsum tulang dan disemprot dengan larutan Ringer
hipotonis (3:1), didiamkan selama 30 menit. Disentrifus selama 5 menit (400
rpm), lalu didiamkan selama 5 menit kemudian supernatan dibuang. Ditambahkan
larutan fiksaktif Carnoy selama 5 menit, lalu disentrifus sebanyak dua kali.
Ditambahkan 0,5 ml larutan Carnoy dan diteteskan pada gelas obyek. Pewarnaan
dilakukan dengan menggunakan pewarna Giemsa yang diencerkan dengan buffer
fosfat pH 6,8 selama 45 menit.
Perolehan data atau informasi dari penelitian ini berupa karakter morfologi
(morfometri dan pola warna) dan kromosom. Data ini mencakup kisaran ukuran
bagian-bagian tubuh dan proporsinya, bobot badan dan tanda-tanda seks primer
dan sekunder. Data kromosom diperoleh dari penghitungan metafase dan
pemotretan, dilanjutkan dengan pencetakan dan pengukuran untuk membuat peta

PKMP-5-12-3
kromosom yang disusun berdasarkan panjang relatif (PR) dan indeks sentromer
(IS) mengikuti formula Nishioka et al. (1987), sebagai berikut:
100
genom panjang
kromosom panjang
PR =

100
kromosom panjang
pendek lengan panjang
IS =

Kriteria tipe kromosom menurut Indeks Sentromer (IS) adalah sebagai berikut:

Indeks Sentromer (IS) Tipe Kromosom
50,0 37,5
37,4 -25,0
24,9 12,5
12,4 0
Metasentrik (m)
Submetasentrik (sm)
Subtelosentrik (st)
Telosentrik (t)

Hasil kariogram kemudian dibandingkan untuk melihat adanya perbedaan
kariotipe antar jenis.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah spesies kelompok Anura (amfibi) yang telah dianalisis dan dihitung
jumlah kromosomnya dalam penelitian ini terdiri atas 5 spesies dari famili
Ranidae yaitu: Limnonectes cf. grunniens dan Limnonectes cf. modestus jumlah
kromosom diploid (2N) adalah 24, Fajervarya cancrivora, Fajervarya
limnocharis dan Rana chalconota jumlah kromosom diploid (2N) adalah 26; 2
spesies dari famili Rhacophoridae yaitu Polypedates celebensis jumlah kromosom
diploid (2N) adalah 22 dan Polypedates leucomystax jumlah kromosom diploid
(2N) adalah 26; dan 3 spesies dari famili Bufonidae yaitu Bufo celebensis, Bufo
melanostictus, dan Bufo biporcatus jumlah kromosom diploid (2N) adalah 22.
Keseluruhan daftar jenis yang diteliti disajikan pada Gambar 1. Penamaan jenis
didasarkan pada daftar herpetofauna Asia Tenggara dan New Guinea (Iskandar
dan Colijn, 2000).
Dari 10 jenis tersebut di atas, 7 jenis diantaranya (Limnonectes cf.
grunniens, Limnonectes cf. modestus, Fajervarya cancrivora, Rana chalconota,
dan Polypedates celebensis, Bufo celebensis dan Bufo biporcatus) telah kami
susun kariotipenya sampai pada penghitungan panjang relatif dan indeks
sentromer. Sedangkan 3 jenis lainnya belum dapat disusun kariotipenya, karena
belum diperoleh kondisi sebaran metafase kromosom yang konsisten dengan
resolusi gambar yang baik. Meskipun demikian, beberapa kondisi preparasi telah
mempelihatkan hasil sehingga pada beberapa jenis sudah dapat dihitung jumlah
kromosomnya, yaitu Fajervarya limnocharis, Polypedates leucomystax dan Bufo
melanotictus.

Limnonectes cf. grunniens (Katak Raksasa)
Limnonectes cf. grunniens merupakan salah satu katak jenis raksasa yang
terdapat di Sulawesi. Berat badan hewan jantan mencapai 1000 g, sedangkan

PKMP-5-12-4
betina mencapai 350 g. Secara morfologi, Limnonectes cf. grunniens memiliki
ciri timpanum yang jelas, punggung berwarna coklat sampai coklat tua, kadang-
kadang dengan garis seperti pita yang membelas dua bagian tubuh dari mulut
sampai ke anus. Kaki berselaput sepenuhnya sampai ke ujung jari, dengan ujung
jari kaki dan tangan yang sedikit melebar.









Gambar 2. Kariotipe Limnonectes cf. grunniens.

Tabel 1. Panjang relatif, indeks sentromer, dan tipe metafase kromosom pada Limnonectes cf.
grunniens.

Panjang Relatif (PR) Indeks Sentromer (IS)
Kromosom
No.
Min Max Mean ()
Kromosom
No.
Min Max Mean () Tipe
1 5,60 7,80 6,71 0,65 1 31,85 47,80 39,92 5,65 m (7) sm (3)
2 5,05 6,65 6,03 0,57 2 33,85 47,85 41,83 4,88 m (8) sm (2)
3 5,00 6,45 5,54 0,40 3 35,10 46,50 41,33 3,25 m (9) sm (1)
4 4,40 5,55 4,99 0,34 4 37,75 47,25 42,71 2,98 m (10)
5 3,95 4,80 4,35 0,27 5 33,10 47,20 43,09 5,16 m (8) sm (2)
6 3,60 4,45 3,97 0,28 6 38,75 49,65 45,38 2,97 m (10)
7 3,20 4,00 3,53 0,26 7 36,85 49,25 44,52 3,78 m (9) sm (1)
8 2,95 3,45 3,18 0,16 8 41,65 47,55 44,33 2,17 m (10)
9 2,75 3,30 3,04 0,17 9 35,25 48,75 44,69 4,20 m (9) sm (1)
10 2,60 3,25 2,88 0,24 10 38,35 47,05 43,90 3,15 m (10)
11 2,15 3,20 2,63 0,32 11 40,05 49,20 44,01 3,11 m (10)
12 1,90 3,25 2,48 0,37 12 36,25 48,50 43,11 4,14 m (9) sm (1)
* m =metasentrik sm = submetasentrik
Limnonectes cf. modestus
Limnonectes cf. modestus merupakan salah satu marga Limnonectes yang
berukuran kecil. Berat badan katak dewasa hanya mencapai 25 gram. Tubuh
berwarna abu-abu tua dengan variasi bintik hitam dan coklat di daerah punggung
(dorsal) dan putih polos pada daerah ventral (kepala sampai kami). Dimorfisme
seksual kurang jelas dari segi penampakan pola warna tubuh baik pada hewan
muda maupun yang dewasa. Katak dewasa, jantan lebih kecil daripada betina.



1 2 3 4 5

6 7 8 9 10 11 12

PKMP-5-12-5







Gambar 3. Kariotipe Limnonectes cf. modestus.

Tabel 2. Panjang relatif, indeks sentromer, dan tipe metafase kromosom pada Limnonectes
cf. modestus.

Panjang Relatif (PR) Indeks Sentromer (IS)
Kromosom
No.
Min Max Mean ()
Kromosom
No.
Min Max Mean () Tipe
1 5,65 7,85 6,74 0,73 1 38,65 49,25
45,41 3,28 m 10
2 5,00 6,65 5,67 0,53 2 23,75 46,85
40,47 6,99 m (8) st (1) sm (1)
3 4,50 6,35 5,23 0,54 3 41,55 48,15
45,28 2,54 m 10
4 4,35 5,85 4,98 0,47 4 40,45 49,15
44,56 3,25 m10
5 4,00 4,90 4,37 0,23 5 39,10 47,50
44,91 2,39 m10
6 3,55 4,65 4,00 0,32 6 0,00 46,00
38,17 15,31 m (8) st (1) t (1)
7 3,10 4,20 3,71 0,37 7 21,25 47,45
38,38 10,34 m (7) st (3)
8 3,00 3,90 3,43 0,28 8 0,00 46,55
27,61 19,92 m (6) st (1) t (3)
9 2,65 3,80 3,13 0,30 9 0,00 46,25
29,63 20,63 m (7) t (3)
10 2,30 3,65 2,85 0,37 10 0,00 45,00
22,93 20,83 m (5) st (4) t (1)
11 2,20 2,95 2,68 0,29 11 0,00 40,40
8,32 14,40 m (1) st (1) t (7)
12 1,95 2,85 2,41 0,29 12 0,00 39,35
8,31 14,20 m (1) st (2) t (7)
* m =metasentrik sm = submetasentrik
Rana (Hylarana) chalconota Schlegel, 1837.
Rana (Hylarana) chalconota merupakan katak yang berukuran kecil dan
sedang. Katak jantan lebih kecil dari betina. Berat badan jantan antara 4,45 5,51
g, sedangkan betina tercatat antara 13,48 29,81. Secara morfologi, Rana
chalconota dicirikan oleh timpanum coklat tua, dengan kaki yang panjang dan
ramping. Kaki berselaput sepenuhnya sampai ke ujung jari, dengan ujung jari kaki
dan tangan yang melebar. Punggung berwarna coklat kekuningan, pada bibir
terdapat garis memanjang berwarna putih.


1 2 3 4 5 6


7 8 9 10 11 12

PKMP-5-12-6

1 2 3 4 5 6

7 8 9 10 11 12 13

Gambar 4. Kariotipe Rana chalconota.

Tabel 3. Panjang relatif, indeks sentromer, dan tipe metafase kromosom pada Rana chalconota

Panjang Relatif (PR) Indeks Sentromer (IS)
Kromosom
No.
Min Max Mean ()
Kromosom
No.
Min Max Mean () Tipe
1 6,65 9,85 7,70 0,99 1 33,93 45,36 39,64 3,25 m (8) sm (2)
2 5,65 7,35 6,47 0,53 2 33,04 48,09 41,76 5,82 m (7) sm (3)
3 5,13 6,95 5,79 0,52 3 31,76 44,41 37,15 4,26 m (4) sm (6)
4 3,44 6,09 4,98 0,72 4 34,80 47,26 42,73 3,52 m (9) sm (1)
5 3,34 4,68 4,07 0,49 5 31,51 47,37 39,58 6,33 m (6) sm (4)
6 2,89 3,96 3,26 0,29 6 31,21 46,12 41,32 5,11 m (8) sm (2)
7 2,46 3,71 2,97 0,37 7 36,07 48,91 43,19 4,02 m (9) sm (1)
8 2,42 3,15 2,85 0,26 8 34,30 46,42 41,69 3,59 m (8) sm (2)
9 1,76 3,12 2,60 0,38 9 28,19 47,51 41,44 5,79 m (9) sm (1)
10 1,61 3,08 2,49 0,41 10 33,90 46,50 40,99 4,51 m (7) sm (3)
11 1,50 2,84 2,37 0,42 11 31,24 45,87 37,85 5,88 m (5) sm (5)
12 1,47 2,82 2,28 0,41 12 26,14 46,98 38,03 6,83 m (6) sm (4)
13 1,45 2,67 2,07 0,46 13 32,56 46,64 39,98 4,86 m (8) sm (2)
* m =metasentrik sm = submetasentrik

Fajervarya cancrivora Gravenhorst, 1929.
Fajervarya cancrivora adalah katak berukuran besar dengan lipatan-lipatan
atau bintil-bintil yang memanjang paralel dengan sumbu tubuh. Betina berukuran
lebih besar dengan berat badan yang lebih tinggi daripada yang jantan. Kaki
belakang berselaput renang agak penuh dan berjari lancip. Hewan betina
dengan ukuran panjang tubuh antara antara 45 95 mm sedang jantan antara 62
89 mm.

PKMP-5-12-7

1 2 3 4 5 6

7 8 9 10 11 12 13

Gambar 5. Kariotipe Fajervarya cancrivora Gravenhorst.

Tabel 4. Panjang relatif dan indeks sentromer dan tipe metafase kromosom pada Fajervarya
cancrivora
No. kromosom Panjang Relatif (PR) Indeks Sentromer (IS) Tipe*
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
6,67
6,25
6,02
5,15
4,60
3,32
3,20
2,89
2,81
2,48
2,30
2,24
1,98
44,43
43,98
48,20
44,11
39,34
46,99
43,91
43,15
45, 31
37, 92
36,08
37,94
32,83
m
m
m
m
m
m
m
m
m
m
sm
m
sm
* m = metasentrik sm = submetasentrik

Fajervarya limnocharis Boie, 1835
Cirinya mirip dengan F. cancrivora. Berbeda dari F. cancrivora,
F. limnocharis berukuran lebih kecil, kepala runcing dan pendek, punggung
banyak terdapat lipatan-lipatan. Kaki belakang berselaput kurang penuh, 2 3
phalange jari keempat tak berselaput renang, mempunyai tuberkel metatarsal luar.
Gelambir sempit terdapat disepanjang sisi luar metatarsal dan jari kelima. Warna
tubuh seperti lumpur dengan bercak-bercak yang lebih gelap, kadang-kadang
dengan warna kehijauan.


Gambar 6. Sebaran kromosom metafase sel somatik (1000x) Fajervarya limnocharis Boie.





PKMP-5-12-8
Polypedates celebensis
Polypedates celebensis merupakan salah satu pohon berukuran kecil,
berwarna Penamaan hewan ini sementara mengacu pada Gillespie (2000) dari
spesimen yang diidentifikasi dari daerah Buton, Sulawesi Tenggara. Tubuh
berwarna coklat keabu-abuan dan coklat kekuningan. Punggung dengan bercak-
bercak hitam sampai kaki. Jari tangan dan jari kaki melebar dengan ujung rata.
Jari tangan dan jari setengahnya berselaput. Berat badan mencapai 3,43 gram.






Gambar 7. Kariotipe Polypedates celebensis

Tabel 5. Panjang relatif, indeks sentromer dan tipe metafase kromosom pada Polypedates
celebensis

No.
Kromosom
Panjang Relatif
(PR)
Indeks Sentromer (IS) Tipe*
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
7,26
6,92
6,36
5,38
5,31
4,21
3,25
2,81
2,71
2,90
2,12
31,92
37,88
41,52
28,20
40,85
44,89
38,26
33,14
41, 41
41,67
45,84
sm
m
m
sm
m
m
m
sm
m
m
m
* m = metasentik sm = submetasentrik

Polypedates leucomystax
Polypedates leucomystax merupakan salah satu pohon berukuran sedang,
Tubuh berwarna coklat keabu-abuan dan coklat kekuningan. Punggung dengan
bercak-bercak hitam sampai kaki. Jari tangan dan jari kaki melebar dengan ujung
rata. Jari tangan dan jari setengahnya berselaput
Dari penampakan yang ada, kami masih kesulitan menghitung jumlah
kromosomnya. Informasi dari spesimen yang berasal dari Jawa diketahui jumlah
kromosom (2N) pada Polypedates leucomystax adalah 26. Kesulitan yang kami
hadapi dalam preparasi adalah selain terbatasnya jumlah sampel juga hewan
sampel yang digunakan terlalu tua (bobot badan mencapai 13 gram).



Gambar 8. Sebaran kromosom metafase sel somatik (1000x) Polypedates leucomystax.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

PKMP-5-12-9

Bufo celebensis


1 2 3 4 5

6 7 8 9 10 11
Gambar 9. Kariotipe Bufo celebensis.

Tabel 6. Panjang relatif, indeks sentromer dan tipe metafase kromosom pada
Bufo celebensis

No.
Kromosom
Panjang Relatif
(PR)
Indeks Sentromer (IS) Tipe*
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
7,77
7,44
7,74
6,53
6,16
3,13
2,76
2,59
2,39
2,05
1,41
41,13
37,24
41,21
40,53
46,48
48,58
48,80
45,40
43, 39
37,63
47,72
m
sm
m
m
m
m
m
m
m
m
m
*m = metasentrik sm = submetsentrik

Bufo biporcatus


1 2 3 4 5

6 7 8 9 10 11
Gambar 10. Kariotipe Bufo biporcatus.

Bufo melanostictcus
Dari penampakan yang ada, kami masih kesulitan menghitung jumlah
kromosomnya. Informasi dari spesimen yang berasal dari Jawa diketahui jumlah
kromosom (2N) pada Bufo melanostictus adalah 22 untuk jenis yang berasal dari
Jawa (Iskandar, 2000). Kesulitan yang kami hadapi dalam preparasi adalah selain
terbatasnya jumlah sampel juga hewan sampel yang digunakan terlalu tua.



PKMP-5-12-10
Tabel 7. Panjang relatif, indeks sentromer dan tipe metafase kromosom pada
Bufo biporcatus.

No.
Kromosom
Panjang Relatif
(PR)
Indeks Sentromer (IS) Tipe*
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
9,87
8,48
6,04
6,20
4,79
3,51
3,11
2,37
2,16
1,82
1,58
44,96
42,16
37,37
42,93
45,26
47,66
36,22
46,99
44, 38
42,81
41,37
m
m
m
m
m
m
sm
sm
m
m
m
*m =metasentrik sm = submetasentrik



Gambar 11. Sebaran kromosom metafase sel somatik pada Bufo melanostictus.

PEMBAHASAN
1. Perbandingan Kariotipe
Berdasarkan rata-rata hasil pengukuran data pada tabel 1 dan 2
memperlihatkan perbedaan dan persamaan jenis pada Limnonectes cf. grunniens
dan Limnonectes cf. modestus, jika dilihat dari nilai rata-rata indeks sentromer
(IS). Persamaan keduanya tampak pada kromosom No.1-7 dengan tipe
metasentrik. Walaupun keduanya memiliki jumlah kromosom yang sama namun
bentuk dan tipe kromosom mereka berbeda. Pada Limnonectes cf. grunniens ke
12 pasang kromosomnya memiliki tipe metasentrik, sedangkan Limnonectes cf.
modestus, tipe metasentrik ditemukan pada kromosom No.1-7, lima kromosom
lainnya masing-masing dengan tipe submetasentrik pada kromosom No. 8 dan 9,
subtelosentrik pada kromosom No. 10 dan telosentrik pada kromosom No. 11
dan12. Informasi kariotipe kedua spesies ini dapat dijadikan sebagai pembanding
yang sebelumnya tidak pernah dilaporkan. Rana chalconota sering ditemukan
hidup simpatrik di daerah aliran sungai bersama dengan Limnonectes cf.
grunniens, dan Limnonectes cf. modestus (Nasaruddin, 2004). Ketiga spesies ini
memiliki tipe kromosom metasentrik (m) yang jumlahnya dominan bila
dibandingkan dengan tipe kromosom yang lain seperti submetasentrik (sm) pada
Rana chalconota dan Limnonectes cf. grunniens serta subtelosentrik (st) dan
telosentrik (t) Limnonectes cf. modestus, sedangkan perbedaannya terletak pada
jumlah kromosom (2N), Rana chalconota memiliki kromosom (2N) sebanyak 26,
dan kedua spesies Limnonectes memiliki jumlah kromosom (2N) sebanyak 24.
Perbandingan kariotipe antara marga Limnonectes dan marga Fajevarya
belum dapat dilaporkan, karena pembuatan kariotipe pada Fajevarya cancrivora

PKMP-5-12-11
hanya didasarkan pada satu plate metafase, demikian pula dengan Fajevarya
limnocharis belum dapat dibuat perbandingan kariotipenya, karena panjang relatif
(PR) dan indeks sentromer (IS) sulit diukur mengingat plate metafase yang
diperoleh tidak memenuhi syarat. Pada marga Polyopedates juga belum dapat
dibuat kariotipenya, karena pada pembuatan kariotipe Polypedates celebensis
dengan jumlah kromosom (2N) 22 masih kami ragukan keakuratannya akibat
terbatasnya plate metafese yang diperoleh, demikian pula pada Polypedates
leucomystax plate metafase yang diperoleh tidak memenuhi syarat sehingga masih
sulit dihtung kromosomnya apalagi jumlah individu yang dipreparasi sangat
terbatas.
Pada marga Bufo, perbandingan kariotipe hanya dapat dilakukan pada Bufo
celebensis dan Bufo biporcatus, sedangkan pada Bufo melanostictus belum dapat
dilaporkan karena tidak diperoleh plate metafase yang memadai. Bufo celebensis
dan Bufo biporcatus yang hidup simpatrik di aliran sungai memiliki tipe
kromosom metasentrik dan submetasentrik, namun yang dominan adalah
metasentrik, selain itu nilai panjang relatif (PR) dan indeks sentromer (IS)
keduanya tidak jauh berbeda.
2. Hubungan Kekerabatan
Kromosom suatu spesies hewan memiliki struktur yang berbeda dengan
spesies yang lain, sehingga analisis kariotipe dapat digunakan untuk identifikasi
suatu spesies, studi antar spesies, hibridisasi dan analisis kekerabatan antar
spesies.
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa jumlah
kromosom (2N) katak pada ummnya adalah 26, dimana 99 % diantaranya
berbentuk metasentrik dan submetasentrik, selain itu jumlah kromosom lainnya
adalah 22 dan 24 (Iskandar, dkk., 1991). Secara umum jumlah kromosom (2N)
kelompok Ranidae adalah 26 namun pada marga Limnonectes hanya memiliki 24
buah kromosom. Rana chalconota dan Fajevarya cancrivora memiliki jumlah
kromosom (2N) yang sama yaitu 26 dengan tipe kromosom yang dominan yaitu
metasentrik (m). Hal ini menunjukkan keduanya memiliki hubungan kekerabatan
yang lebih dekat bila dibandingkan dengan spesies lain yang berada pada marga
berbeda seperti Limnonectes dan Bufo.
Pada marga Bufo, meskipun ketiga spesies lain yang diteliti termasuk dalam
kelompok spesies yang terpisah, namun hasil kariotipe dari Bufo biporcatus dan
Bufo celebensis menunjukkan hubungan kekerabatan yang cukup erat. Tipe
kromosom metasentrik, adalah tipe kromosom yang dominan yang ditemukan
pada kedua spesies yang diteliti, selain itu nilai panjang relatif (PR) dan indeks
sentromer (IS) dari kedua spesies ini tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan
kedekatan hubungan kekerabatannya walaupun keduanya tidak berada dalam satu
kelompok spesies. Seperti yang dikemukakan oleh Yatim (1991) bahwa setiap
spesies memiliki tipe kromosom yang berbeda. Makin renggangnya hubungan
kekerabatan suatu spesies dengan spesies lain akan memunculkan banyak
perbedaan dalam susunan dan tipe kromosomnya. Pada hewan umumnya, makin
dekat hubungan kekerabatan, makin banyak persamaan tipe, ukuran maupun
jumlahnya kromosomnya.
Pada marga Polypedates celebensis dan Polypedates leucomystax belum
dapat dilaporkan hubungan kekerabatannya karena jumlah individu terbatas dan
plate metafase yang diperoleh tidak memenuhi syarat. Namun untuk


PKMP-5-12-12
mendapatkan hasil yang akurat dalam menganalisis hubungan kekerabatan antar
jenis katak tidak cukup hanya dengan analisis kromosom, namun perlu ditunjang
dengan analisis polimorfisme protein.

KESIMPULAN
1. Keanekaragaman genetik dari 10 jenis yang telah diteliti terdiri atas 5
spesies dari famili Ranidae yaitu: Limnonectes cf. grunniens dan
Limnonectes cf. modestus jumlah kromosom diploid (2N) adalah 24,
Fajervarya cancrivora, Fajervarya limnocharis dan Rana chalconota
jumlah kromosom diploid (2N) adalah 26; 2 spesies dari famili
Rhacophoridae yaitu Polypedates celebensis jumlah kromosom diploid (2N)
adalah 22 dan Polypedates leucomystax jumlah kromosom diploid (2N)
adalah 26; dan 3 spesies dari famili Bufonidae yaitu Bufo celebensis, Bufo
melanostictus, dan Bufo biporcatus jumlah kromosom diploid (2N) adalah
22.
2. Filogeni antar spesies melalui perbandingan indeks sentromer baru dapat
dilaporkan pada L. cf. grunniens, L. cf. modestus dan R. chalconota.
Kesamaan antara L. cf. grunniens dan L. cf. modestus. yaitu terletak pada
kromosom No. 1 - No. 7 dengan tipe metasentrik, sedangkan perbedaannya
adalah pada L. cf. grunniens ke-12 pasang kromosom dengan tipe
metasentrik, sedangkan pada L. cf. modestus tipe metasentrik hanya pada
pasangan kromosom No. 1 7. Lima pasang kromosom lainnya masing-
masing dengan 2 tipe submetasentrik, 1 subtelosentrik dan 2 telosentrik.
Berdasarkan nilai rata-rata indeks sentromer, L. cf. grunniens memiliki
kesamaan dengan R. chalconota, semua pasangan kromosomnya tipe
kromosom metasentrik. Perbedaan keduanya terletak pada jumlah
kromosom. Pada B. celebensis dan B. biporcatus didominasi oleh
kromosom dengan tipe metasentrik. Pada B. biporcatus kromosom No. 7
dan 8 bertipe submetasentrik, sedangkan pada B. celebensis kromosom
submetasentrik diemukan pada kromosom No. 2.

DAFTAR PUSTAKA
Gillespie, G., S. Howard, D. Lockie, M. Scroggie, Boeadi. 2001. The
Herpetofauna of Offshore of Sulawesi, Indonesia: Taxa Richness, Habitat
and the Influence on Community Structure of Human Disturbance.
Operation Wallacea, unpublished report.
Iskandar, D.T, T.K. Nio, M.Purwitasari, R.I. Widayanti. 1991. Evolusi
Kromosom dari Beberapa Jenis Katak di Jawa Barat. Laporan Penelitian
JSPS. Bandung : Biologi FMIPA, ITB.
Iskandar, D.T. 1995. Note on the Second Specimen of Barbourula kalimantanensis
(Amphibia : Anura : Discoglossidae). The Rafles Bulletin of Zoology, 43 :
309 311.
Iskandar, D.T. 1996. The Biodiversity of The Amphibians and Reptiles of The
Indo-Australian Archipelago : Assesment for Future Studies and
Conservation. In. I. N. Turner, C. H. Diong, S.S., L. Lim , P.K.L. Ng (eds),
Biodiversity and The Dinamics of Ecosystem. DWIPA. 1 : 353-365.

PKMP-5-12-13
Iskandar, D.T. ,Tjan, K.N. 1996. The Amphibians and Reptiles of Sulawesi with
Notes on The Distribution and Chromosomal Number of Frog. In D. J.
Kitchener , A. Suyanto (eds), Proceedings of The First International
Conference on Eastern Indonesia-Australia Verterbratae Fauna, Indonesia.
Pp 39-46.
Iskandar, D.T. 1998. LIPI Seri Panduan Lapangan : Amfibi Jawa dan Bali. Bogor:
Puslitbang Biologi LIPI. CEF Biodiversity.
Iskandar, D.T., E. Colijn. 2000. Preliminary Checklist of the Southeast Asian
Herpetofauna I. Amphibian. Treubia, 31 : 1 133.
Nasaruddin. 2000. Analisis Habitat, Nilai Hematologi dan Keragaman Genetik
Antar Spesies Katak Genus Rana di Sulawesi Tenggara. Laporan
Penelitian Dasar Dikti, Kendari : LP-Unhalu .
Nishioka, M. Okumoto H., Ueda. H., Ryuzaki M. 1987. Karyotypes of Brown
Frogs Distributed in Japan, Korea, Europe and North America. Sci. Rep.
Lab. Amphibian Biol. Hiroshima. Univ., 9 : 165-212.
Yatim, Wildan. 1991. Genetika, edisi 4. Bandung : Tarsito.

PKMP-5-13-1
INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI CEMPEDAK (ARTOCARPUS
CHAMPEDEN SPRENG) DI KELURAHAN ANSUS DISTRIK YAPEN
BARAT DI KABUPATEN YAPEN, PAPUA

Charlos G Maay, Samen Manami, Yonas Wayeni, Nusye Souhoka, Agus Yogi
Universitas Negeri Papua

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-5-14-1
TEKNOLOGI PENYISIHAN LOGAM TIMBAL
DENGAN METODE ELEKTRO KOAGULASI PADA LIMBAH CAIR
INDUSTRI KECIL PEWARNAAN LOGAM

Mahendra galih, Rachmat purnomo, Emi susanti
Politeknik Negeri Semarang, Semarang

ABSTRAK
Seiring dengan kemajuan teknologi pemakaian logam berat pada kegiatan
industri semakin diperlukan. Untuk peningkatan proses produksi. Salah satu
sentra industri yaitu industri pewarnaan logam dengan metode anodisasi. Industri
ini memanfaatkan logam aluminium sebagai bahan bakunya. Proses ini
dilengkapi dengan pewarnaan aluminium yang mengandung zat yellow brown.
Hasil uji terhadap limbah pembilasan proses pewarnaan aluminium di desa
kalimati, Adiwerna, Tegal menunjukan bahwa kandungan timbalnya adalah
73,976 mg/l. Limbah cair yang mengandung timbal tersebut langsung dibuang ke
selokan kemudian mengalir ke sungai kaligung sehingga berpengaruh pada
pengairan yang berdampak buruk pada kesehatan manusia, pertumbuhan
tanaman dan kehidupana biota air. Hal ini melampaui baku mutu air limbah
berdasarkan Perda Jateng No.10 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa
kandungan maksimum timbal bagi industri pelapisan logam adalah 0,1 mg/l.
Untuk itu perlu adanya pengolahan limbah tersebut sehingga limbah yang
dibuang memenuhi standart aturan pembuangan limbah industri.

Kata kunci: Anodisasi, Timbal, Zat Yello Brown

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan industri pewarnaan aluminium sangat pesat
Proses pewarnaan aluminium industri aksesori motor di desa kalimati,
Adiwerna, Tegal menggunakan zat yellow brown
Hasil analisa timbal pada limbah pembilasan sebesar 73,976 mg/l
Konsentrasi timbal melebihi baku mutu limbah cair berdasarkan Perda
Jateng No. 10 Tahun 2004 tentang industri pelapisan logam sebesar 0,1
mg/l
Timbal termasuk dalam daftar limbah B3 (D215) dan bersifat kronis (D
5263)

Perumusan Masalah
Konsentrasi timbale melebihi baku mutu
Industri pewarnaan aluminium belum mengolah limbah cair yang
dihasilkannya
Limbah cair dibuang ke selokan kemudian mengalir ke sungai


Tujuan Program
Umum = mendapatkan tehnik pengolahan timbal pada limbah cair
pewarnaan aluminium dengan metode alektrokoagulasi

PKMP-5-14-2
Khusus :
- Menganalisa efisiensi penyisihan timbale pada limbah cair
pewarnaan aluminium
- Membuat model hubungan antara konsentrasi timbal dengan waktu
proses elektrokoagulasi
- Penelitian ini memberikan rancangan unit pengolahan limbah cair
yang dapat dipatenkan

Ruang Lingkup
Parameter pokok analisis = limbah cair proses pewarnaan
aluminium metode anodisasi yang mengandung timbale
Sample yang digunakan adalah sample buatan
Variasi yang dilakukan : variasi konsentrasi timbal dan variasi
waktu
Elektroda yang digunakan adalah aluminium
Analisa konsentrasi timbal menggunakan metode spectrometer
serapan atom

Manfaat Penelitian
Pengolahan limbah cair proses pewarnaan logam dengan metode
elektrokoagulasi dapat mengurangi pencemaran lingkungan sehingga
kelestarian linkungan sekitar industri terjamin
Hasil penyisihan logam timbal mempunyai nilai ekonomi yang tinggi
karena dapat dimanfaatkan sebagai subtitusi bahan baku industri kecil
bandul pancing atau aki
Dari sisi IPTEKS penelitian ini tidak menimbulkan permasalahan kembali
karena kontaminan limpaan timbal dimanfaatkan kembali sebagai
teknologi bersih pada industri kecil dapat tercapai

ALAT DAN BAHAN
Pada proses elektrokoagulasi diperlukan beberapa peralatan dan bahan.
Bahan habis pakai :
Pb(NO3)2
HNO3
Aquades
Peralatan :
Reaktor (kaca 30 cm x 20cm)
Elektroda (Aluminium 20cm x 20cm x 0.1cm)
Amperemeter
Voltmeter
Power Supply
Stop watch
Gelas ukur
Timbangan digital
Pipet
Gelas Erlenmeyer
Spektro foto meter


PKMP-5-14-3
METODOLOGI PENELITIAN
































Variabel Penelitian
Variabel bebas :
- konsentrasi timbal 50 mg/l, 75 mg/l, dan 100 mg/l
- waktu 15 menit, 30 menit, 45 menit, 60 menit, 75 menit, 90 menit, 105
menit, 120 menit, 135 menit, dan 150 menit
Variabel terikat : konsentrasi timbal tersisih

Analisa Statistik S Plus-2000

Uji Banding Rata-Rata Konsentrasi Timbal Pengulangan Pertama Dan
Pengulangan Kedua
Uji t : _ _



Perakitan Alat dan Pembuatan Limbah Simulasi
Proses Elektrokoagulasi
t = 30 t = 45 t = 60 t = 75 t = 90
t = 105 t = 120 t = 135
Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel
Sampel
Analisa Spektrometer Serapan Atom
Hasil
Analisa Statistik
Model
Analisa Model
t = 15
Sampel
t = 150
Sampel
2
1
0 2 1
1
1
) (
n
n
s
d
t
p
+

=

2
) 1 ( ) 1 (
2 1
2
2
2 1
2
1 2
+
+
=
n n
n s n s
s
p

PKMP-5-14-4

v = n1 + n2 -2

UJI KELINIERAN REGRESI
Uji F
Sumber variasi Jumlah
kuadrat
Derajat
kebebasan
Rataan kuadrat F hitung
Regresi JKR k-1 JKG/n-k
Galat JKG n-k

Uji t t =



Uji Anova
Sumber Variasi Jumlah
Kuadrat
Derajat
Kebebasan
Rataan Kuadrat f Hitungan
Perlakuan
Blok
Galat
JKA
JKB
JKG
k-1
b-1
(k-1) (b-1)










Jumlah JKT bk-1
















) 1 )( 1 (
2

=
k b
JKG
s
Jxx
s
b
2
s
JKR
1
2
1

=
k
JKA
s
1
2
2

=
b
JKB
s
2
2
1
1
s
s
f =
2
2
2
2
s
s
f =

PKMP-5-14-5
0
20
40
60
80
100
120
0 50 100 150 200
Waktu (menit)
E
f
i
s
i
e
n
s
i

(
%
)
Pengulangan 1
Pengulangan 2
HASIL PENELITIAN



Grafik Pengaruh Waktu Penyisihan terhadap Konsentrasi Pb untuk Konsentrasi
Awal 57,4903 mg/l




0
20
40
60
80
100
120
0 50 100 150 200
Waktu (menit)
E
f
i
s
i
e
n
s
i

(
%
)
Pengulangan 1
Pengulangan 2

PKMP-5-14-6
Grafik Pengaruh Waktu Penyisihan terhadap Konsentrasi Pb untuk Konsentrasi
Awal 88,4931 mg/l

















Grafik Pengaruh Waktu Penyisihan terhadap Konsentrasi Pb untuk Konsentrasi
Awal 111,465 mg/l

UJI BANDING
RATA-RATA KONSENTRASI TIMBAL
PENGULANGAN PERTAMA DAN PENGULANGAN KEDUA
Konsentrasi awal timbal 57,4913 mg/l
t = 0.2506, df = 19.755
alternative hypothesis: true difference in means is not equal to 0
tidak ada perbedaan yang signifikan
Konsentrasi awal timbal 88,4931 mg/l
t = 0.1163, df = 20
alternative hypothesis: true difference in means is not equal to 0
tidak ada perbedaan yang signifikan
Konsentrasi awal timbal 111,465 mg/l
t = 0.0945, df = 20
alternative hypothesis: true difference in means is not equal to 0
tidak ada perbedaan yang signifikan

MODEL PERSAMAAN
Hubungan antara waktu penyisihan timbal dengan konsentrasi timbal garis
eksponensial
Konsentrasi awal timbal 57,4913 mg/l

Rsq = 0,8966
Konsentrasi awal timbal 88,4931 mg/l

Rsq = 0,9848
Konsentrasi awal timbal 111,465 mg/l
t
t
e Y
02323 , 0
) (
977 , 31

=
t
t
e Y
021 , 0
) (
7659 , 33

=
0
20
40
60
80
100
120
0 50 100 150 200
Waktu (menit)
E
f
i
s
i
e
n
s
i

(
%
)
Pengulangan 1
Pengulangan 2

PKMP-5-14-7

Rsq = 0,8881

UJI KELINIERAN REGRESI
Konsentrasi awal timbal 57,4913 mg/l
F-statistic: 69.33 on 1 and 8 degrees of freedom; t value : -8.3265
ada hubungan antara waktu penyisihan timbal dengan konsentrasi akhir timbal
Konsentrasi awal timbal 88,4931 mg/l
F-statistic: 519.8 on 1 and 8 degrees of freedom; t value : -22.7998
ada hubungan antara waktu penyisihan timbal dengan konsentrasi akhir timbal
Konsentrasi awal timbal 111,465 mg/l
F-statistic: 63.51 on 1 and 8 degrees of freedom; t value : -7.9693
ada hubungan antara waktu penyisihan timbal dengan konsentrasi akhir timbal

UJI ANOVA
*** Analysis of Variance Model ***
AWAL WAKTU Error Total
Sum of Squares 748.022 4188.910 771.425 5708.357
df 2 9 18 29
Mean Square 374.011 465.434
F 8,727 10.86
Hasil :
1. Ada perbedaan antara variasi konsentrasi awal timbal 57,4903 mg/l,
88,4931 mg/l dan 111,465 mg/l
2. Ada perbedaan perlakuan antara variasi waktu yang mempengaruhi
konsentrasi akhir timbal

KESIMPULAN
Elektrokoagulasi mampu menyisihkan timbal pada limbah cair pewarnaan
aluminium industri kecil anodisasi
Penyisihan timbal
Konsentrasi awal 57,4913 mg/l 2,22 mg/l
Efisiensi = 96,14 %
Konsentrasi awal 88,4931 mg/l 1,41 mg/l
Efisiensi = 98,41 %
Konsentrasi awal 111,465 mg/l 3,67 mg/l
Efisiensi = 96,71 %.
Model persamaan hubungan antara konsentrasi penyisihan timbal dengan
waktu proses elektrokoagulasi, yaitu :

Keterangan :
Y(t) = konsentrasi timbal (mg/l)
t = waktu penyisihan (menit)

SARAN
Pemanfaatan kembali timbal yang tersisihkan akibat elektrokoagulasi di industri
kecil anodisasi sehingga didapatkan industri yang berwawasan lingkungan

t
t
e Y
0166 , 0
) (
8859 , 55

=

PKMP-5-14-8
DAFTAR PUSTAKA
1. Achmad, Hisika. 2001. Elektrokimia dan Kinetika Kimia. Bandung : Citra
Aditya Bakti
2. Anggraini. 2002. Penurunan Kadar Cu dan Ag Limbah Cair Industri
Perak dengan Elektrokoagulasi. Tugas Akhir. Semarang : Universitas
Diponegoro
3. Anonimous. 2001. Bahan-Bahan Berbahaya dan Dampaknya terhadap
kesehatan manusia. Jakarta : Departemen keseahatan RI
4. Anonimous. 2005. bahaya logam berat dalam makanan.
5. http://www.dnet.net.id/kesehatan/beritasehat/detail.php?id=8248
6. Barkley, Naumi p; Cliftonn Farrell; Trace Williams. 1993. Electro-Pure
alternatif current Electrocoagulatin. Superfun Innofatif technologi
evaliation emerging. New York : united states environment protection
Agency
7. Beagles, Abe. 2004. Electocoagulation-science and aplication
8. http://www.eco-web.com/cgi
local/sfc?a=/editorial/index.html&b=/editorial/06053.html
9. Brace, AW;PG Sheasby. 1981. The Technologi of Anodizing Aluminium.
London: Technicopy Limited
10. Cahyadi, Wisnu. 2004. Bahaya Pencemartan Limbah pada Makanan dan
Minuman. Pikiran Rakyat. 19 Agustus 2004
11. Canning. 1982. Surface Finishing Technology. London : w. Canning Plc.
12. Enjarlis. 1999. Pengolahan Air Buangan Berzat Warna Asamsecara
Elektokimia. Jurnal Iptek No.XIV 1999. Halaman 39-42
13. Holt, Petter; Geoffrey Barton; Chintya Mitcellt.1999. Electrocoagulation
as a wastewater treatment. The Third Annual Australian Enivorenmental
Enginnering Research Event. Victoria: Unufersiti of Sidney, 1999
14. Hughes, Richard; Michael Rowe. 1991. The Colouring, Bronzing and
Patination of Metals.Wosington : Thames and Hudson

PKMP-5-15-1
PENGEBOR PCB DENGAN PEMANFAATAN POLA GAMBAR
KOMPUTER

Calvin Nico Herlambang, Natalia Yunita Dewi, Buwono Lembono
Universitas Katholik Indonesia Atmajaya, Jakarta

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-5-16-1
FORMULASI LOTION ANTINYAMUK MINYAK ATSIRI KAYU MANIS

Sri Widiastuti, Atika Prihantini, Siti Fatmawati, Rahmawati Ayu. A
Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi lotion antinyamuk yang
paling baik sekaligus untuk mengetahui aktifitas repelan lotion minyak atsiri kayu
manis terhadap nyamuk Aedes aegypti. Kulit batang kayu manis didestilasi uap
dan air untuk diambil minyak atsirinya. Dibuat variasi basis lotion yaitu basis
larut air, basis emulsi, dan basis vanishing cream. Lotion dibuat dengan
mencampurkan minyak atsiri kayu manis dalam masing-masing basis. Sediaan
lotion minyak atsiri kayu manis diformulasikan kedalam tiga basis dengan variasi
konsentrasi tiap-tiap basis sebagai berikut: 0,5% b/v; 1% b/v; 5% b/v; 10% b/v;
15% b/v. Aktivitas lotion diuji terhadap nyamuk Aedes aegypti dengan cara
mengoleskan lotion pada tangan peneliti. Tiga puluh ekor nyamuk Aedes aegypti
betina yang sebelumnya dipuasakan dimasukkan ke dalam sangkar, kemudian
tangan yang telah dioleskan lotion dimasukkan ke dalam sangkar tersebut. Dicari
Kadar Tolak Minimum (KTM) dari lotion yang bertindak sebagai penolak nyamuk
Aedes aegypti, kemudian dicatat waktu efektif penolakan ditandai dengan gigitan
nyamuk pertama ditangan peneliti. Sediaan lotion diuji sifat fisiknya, meliputi uji
daya lekat, uji daya sebar, dan uji viskositas. Data sifat fisik dianalisis dengan
statistik varian satu jalan pada taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian
menunjukkan Kadar Tolak Minimum (KTM) lotion minyak atsiri kayu manisi
terhadap nyamuk Aedes aegypti adalah 1% dengan waktu efektif masing-masing
formula berturut-turut 16.3 menit, 3.22 menit, dan 4.22 menit. Dari hasil ini dapat
disimpulkan bahwa lotion minyak atsiri kayu manis mempunyai aktivitas repelan
terhadap nyamuk Aedes aegypti. Uji sifat fisik menunjukkan secara umum bahwa
basis larut air mempunyai sifat fisik yang paling baik, dengan daya lekat (2,623
0,300) detik, daya sebar (19,76 0,46) cm
2
untuk beban 252,3079 gram dan
viskositas (291,67 14,433) poise. Hasil analisis uji sifat fisik dengan statistik
menunjukkan bahwa untuk daya sebar lotion, formula I berbeda bermakna
dengan formula II, formula I tidak berbeda bermakna dengan formula III dan
formula II berbeda bermakna dengan formula III. Daya lekat antara ketiga
formula menunjukan perbedaan yang bermakna. Viskositas antara ketiga formula
juga menunjukan perbedaan yang bermakna.

Kata kunci : Kayu manis, minyak atsiri, lotion, repelan, nyamuk Aedes aegypti.

PENDAHULUA N
Nyamuk merupakan salah satu serangga penghisap darah yang paling
sering menimbulkan gangguan pada manusia. Iklim tropis di Indonesia
memungkinkan nyamuk berkembang biak dengan baik. Serangga mengganggu
bukan hanya gigitannya saja tetapi sering kali berperan sebagai vektor penyakit-
penyakit parasitik seperti malaria, demam berdarah, filariasis, dan lain-lain
(Herms, 1950).
Salah satu nyamuk yang berperan penting dalam dunia kedokteran adalah
nyamuk Aedes aegypti. Bersama dengan nyamuk Aedes albopictus, kedua nyamuk

PKMP-5-16-2
tersebut telah lama dikenal sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue
(Rachmat, 1984).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan
karena angka kematiannya yang tinggi dan penyebarannya yang makin meluas.
Penyakit ini telah dikenal di Indonesia sebagai penyakit yang dapat menyebabkan
kematian serta menimbulkan kegelisahan pada masyarakat. Pada umumnya
penyakit ini berjangkit pada anak-anak terutama di perkotaan yang berpenduduk
padat (Pranoto dan Munif, 1994).
Meskipun sudah lebih dari 35 tahun berada di Indonesia, DBD bukannya
terkendali, tetapi semakin mewabah. Sejak Januari sampai 17 Maret 2004,
kejadian luar biasa (KLB) DBD di Indonesia telah menyerang 39.938 orang
dengan angka kematian 1,3 persen ( Anonim, 2004).
Tingginya kasus DBD di Indonesia mengharuskan masyarakat untuk
berusaha mengendalikan laju penyebaran virus dengue dan salah satu cara yang
dapat ditempuh adalah dengan memutus rantai penularan yang ada. Pemutusan
rantai penularan penyakit DBD ini dapat dilakukan dengan pengendalian vektor
DBD (Hoedojo, 1993). Cara tersebut antara lain dengan menghindari atau
mengurangi kontak dan gigitan nyamuk, membunuh larva nyamuk, membunuh
nyamuk dewasa, menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan, mengobati
penyakitnya, dan lain-lain.
Tindakan preventif paling dini yang dapat dilakukan oleh setiap individu
dalam mencegah penyebaran virus dengue adalah dengan melakukan proteksi diri
terhadap gigitan nyamuk Aedes aegypti (Brown, 1984). Seiring dengan
perkembangan zaman yang semakin instan masyarakat sangat tergantung pada
produk yang gencar tampil diberbagai iklan tanpa menghayati ancamannya jika
menggunakan produk semacam itu secara sembarangan. Efeknya bukan hanya
terhadap kesehatan si pemakai tapi juga zat pembawanya yang termasuk kedalam
kategori sampah bahan berbahaya dan beracun (B3), yang secara umum dapat
meracuni alam dan penghuninya (Anonim, 2001).
Bahan repelan yang banyak beredar dimasyarakat sebagian besar
mengandung DEET Diethyltoluamid 12,5 %. DEET ini dapat memberikan
proteksi terhadap gigitan nyamuk dan serangga lainnya selama 4 - 8 jam (Sutanto
dan Purnomo, 1990). Efek yang timbul dari penggunaan DEET yang patut
dicurigai adalah aphasia, anemia aplastik, ataxia, karsinogenesis, gagal jantung,
kejang depsresi, disorientasi, dorsoflexi ibu jari, iritasi mata, mata berdarah,
konjungtivitis, luka pada kornea, hipertropi hepar, ginjal, limpa, dan testis;
jaundice, mutagenesis, prenatal damage, kegagalan pernafasan, kekakuan pada
posisi duduk, gemetar (Cunningham dan Hallenbeck, 1985).
Sebagai tindakan untuk mengatasi penggunaan DEET dan bahan kimia
lainnya serta untuk mencegah peningkatan epidemi demam berdarah maka perlu
ditemukan alternatif repelan lain yang lebih tidak bersifat toksik, tidak mengiritasi
atau tidak menimbulkan sensitifitas namun dengan efektifitas yang baik. Salah
satunya dengan menggunakan bahan dari tumbuhan alami yaitu tanaman kayu
manis (Cinnamomum burmanni, Ness.Ex.BI.)
Kulit batang dari tanaman kayu manis menghasilkan minyak atsiri yang
memiliki bau khas. Minyak atsiri kayu manis dapat digunakan sebagai bahan
penolak nyamuk (repelan) karena dapat mengatasi jentik-jentik nyamuk penyebab
demam berdarah. Zat yang berperan mengatasi jentik nyamuk tersebut adalah

PKMP-5-16-3
senyawa cinnamaldehyda, cinnamylacetate, eugenol, dan anethole (Wahyudi,
2002).
Dengan adanya senyawa dalam kayu manis yang berperan sebagai penolak
nyamuk sebaiknya diimbangi dengan perbaikan mutu dan perlu adanya
pengembangan bentuk sediaan dari bahan alam sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat bentuk sediaan
diupayakan untuk ditingkatkan kualitasnya baik dari segi proses pembuatannya
maupun bentuk sediaan yang baik agar dapat diterima masyarakat. Saat ini ada
kecenderungan konsumen untuk menggunakan segala sesuatu dengan mudah dan
praktis. Adanya kemajuan dalam bidang pengobatan memungkinkan adanya
sediaan repelan yang digunakan secara topikal, yaitu salah satunya dalam bentuk
lotion. Penolak nyamuk yang dibuat dari minyak atsiri kayu manis dalam bentuk
sediaan lotion memudahkan dalam hal penggunaannya.
Dari hal tersebut diperlukan adanya formulasi lotion antinyamuk yang baik
dan memenuhi persyaratan. Hal ini ditujukan untuk pengembangan penggunaan
bahan alam dan upaya perbaikkan mutu sesuai dengan perkembangan teknologi
sediaan farmasi agar memberikan efektifitas yang maksimum.

METODE PENDEKATAN
Bahan : Kulit batang kayu manis, aquades, natrium sulfat anhidrat pro analisis,
alkohol teknis, aseton teknis, PEG 4000, stearil alkohol, gliserin, natrium
lauril sulfat, air suling, propilenglikol, vaselin putih, asam stearat, malam
putih, trietanolamin, nyamuk Aedes aegypti, tangan naracoba
Alat : Destilasi Uap dan Air, destilasi Stahl, refraktometer ABBE, mortir dan
stamper, cawan porselin, penangas air, alat-alat gelas, pot salep, alat uji
sifat fisik lotion, timbangan, sangkar nyamuk
Jalannya Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan minyak atsiri kayu manis yang diperoleh
dari hasil destilasi uap dan air dari kulit batang tanaman kayu manis yang
sebelumnya telah dideterminasi. Determinasi tanaman dilakukan untuk
menghindari kesalahan dari bahan tanaman yang akan digunakan untuk penelitian.
Uji Kualitas Minyak Atsiri :
Minyak atsiri yang diperoleh dilakukan uji organoleptis terhadap warna,
bau, dan rasa dan uji kualitas minyak atsiri meliputi pemeriksaan indeks bias
menggunakan alat refraktometer ABBE, dan rendemennya dihitung dengan
menggunakan alat destilasi Stahl.

Pembuatan Basis Lotion:







Proses pembuatan lotion dengan berbagi tipe basis yaitu basis larut air, basis
hidrofil atau emulsi, dan basis vanishing cream. Pembuatan tiga macam basis
tersebut mengacu pada resep standar yang telah tercantum dalam buku standar.
Formulasi basis larut dalam air (Martin, 1961)
R/ PEG 4000 20 g
Stearil alcohol 34 g
Gliserin 30 g
Air suling 30 g
Natrium lauril sulfat 1 g

PKMP-5-16-4




















Formulasi Lotion Minyak Atsiri Kayu Manis:
Lotion minyak atsiri kayu manis berbagai variasi konsentrasi dibuat dengan
cara mencampurkan minyak atsiri kayu manis dengan jumlah sesuai konsentrasi
lotion yang diinginkan ke dalam masing-masing basis. Variasi konsentrasi yang
dibuat yaitu : 0,5 % b/v, 1% b/v, 5 % b/v, 10 % b/v, 15 % b/v.

Uji Efek Repelan:
Penelitian dilakukan secara eksperimental. Hewan uji dikelompokkan
menjadi dua yaitu kelompok kontrol dan kelompok bahan uji. Sangkar yang
digunakan berukuran 20x20x20 dengan lubang sirkuler berdiameter 15 cm,
disiapkan sebanyak 7 sangkar yang berisi 30 ekor nyamuk Aedes aegypti yang
belum pernah digigitkan, dipuasakan sehari sebelum percobaan. Tangan peneliti
dibersihkan dengan air dan didiamkan selama 2 - 3 menit, dimasukkan ke dalam
sangkar nyamuk.
Pada kelompok kontrol negatif, diberi perlakuan dengan memasukkan tangan
peneliti yang telah dioleskan basis. Basis I ke dalam sangkar II, basis II ke dalam
sangkar III, dan basis III ke dalam sangkar IV. Waktu penolakan ditetapkan untuk
menentukan lamanya tangan peneliti didiamkan dalam sangkar uji pada saat
pengujian efek masing-masing repelan. Kontrol negatif menunjukan bahwa pada
pengujian senyawa uji tidak ada intervensi dari bahan pembawa.
Pada kelompok bahan uji, tangan peneliti dibersihkan dengan air dan diolesi
dengan bahan uji dibiarkan selama 2 - 3 menit, kemudian dimasukkan ke dalam
sangkar nyamuk V-VII selama waktu yang telah ditetapkan dengan interval waktu
5 menit. Sangkar V digunakan uji repelan basis I dengan konsentrasi 0,5 % b/v;
1% b/v; 5% b/v; 10% b/v; 15% b/v, sangkar VI digunakan uji repelan basis II
dengan konsentrasi 0,5 % b/v; 1% b/v; 5% b/v; 10% b/v; 15% b/v, sangkar VII
digunakan uji repelan basis III dengan konsentrasi 0,5 % b/v; 1% b/v; 5% b/v;
10% b/v; 15% b/v.
Formula basis hidrofil/emulsi USP (Martin, 1961)
R/ Natriumlauril sulfat 10 g
Propilen glikol 120 g
Stearil alkohol 250 g
Vaselin putih 250 g
Aquadest 370 g
Formula basis vanishing cream (Martin, 1961)
R/ Asam stearat 150 g
Malam putih 20 g
Vaselin putih 80 g
Trietanolamin 15 g
Propilenglikol 80 g
Aquadest 655 g


PKMP-5-16-5

Pengelompokkan Hewan Uji










































Waktu pertama kali nyamuk Aedes aegypti menggigit setelah tangan
peneliti diolesi dengan repelan disebut waktu penolakan. Kadar Tolak Minimum
(KTM) dari lotion yang bertindak sebagai penolak nyamuk Aedes aegypti adalah
waktu efektif penolakan ditandai dengan gigitan nyamuk pertama ditangan
Nyamuk Aedes aegypti betina
Kelompok Kontrol Negatif
(per sangkar 30 ekor nyamuk)
Kelompok Bahan Uji
(per sangkar 30 ekor nyamuk)
Tangan peneliti diberi
perlakuan dengan diolesi 3
macam basis lotion
B.I B.II B.III
Tangan peneliti diberi perlakuan
dengan diolesi lotion minyak
atsiri kayu manis
F.I F.II F.III
Masing-masing formula dengan
variasi konsentrasi yang sama
yaitu: 0,5 % b/v; 1% b/v; 5% b/v;
10% b/v; 15% b/v
Tangan Peneliti dimasukkan ke dalam
sangkar yang berisi nyamuk Aedes aegypti
Didiamkan dan diamati sampai pertama
kali nyamuk menggigit
Dicatat waktu penolakannya

PKMP-5-16-6
Gbr. 3. Sangkar isi 30 ekor nyamuk Aedes aegypti Gbr. 4 Nyamuk Aedes aegypti
Gbr. 6 Uji Efek repelan
peneliti. Hasil penelitian uji aktivitas repelan lotion minyak atsiri kayu manis
memberikan informasi kadar efektif minimum beserta waktu perlindungannya







































Uji Sifat Fisik Lotion:
Uji daya sebar dilakukan dengan cara meletakkan 0,5 gram lotion diatas
kaca bulat berskala, kemudian menutupnya dengan menggunakan kaca bulat yang
tidak berskala yang ditimbang dan diketahui bobotnya selama 5 menit. Diameter
penyebarannya dicatat dan dilanjutkan dengan beban 100 gram, 200 gram, uji
daya sebar dilakukan dengan replikasi tiga kali untuk masing-masing formula
dengan konsentrasi pada Kadar Tolak Minimum (KTM).
Gbr. 1 Tangan Naracoba Gbr. 2 Sangkar Nyamuk
Gbr. 5 Bahan Uji
Lotion Minyak Atsiri Kayu Mais

PKMP-5-16-7
Uji daya lekat dilakukan dengan cara meratakan lotion minyak atsiri kayu
manis pada objek glass dengan luas tertentu, kemudian ditutup dengan objek glass
lain, ditekan dengan beban seberat 1 kg selam 5 menit. Objek glass dipasang pada
alat uji dilepas dengan beban seberat 80 gran dan waktu yang diperlukan untuk
memisahkan kedua objek glass tersebut dicatat. Pengujian dilakukan sebanyak
tiga kali untuk masing-masing formula dengan konsentrasi pada Kadar Tolak
Minimum (KTM).
Uji viskositas dilakukan dengan menggunakan alat Viskotester. Alat tersebut
disiapkan pada posisi horizontal dan rotor dapat diatur sedemikian rupa hingga
jarum penunjuk tepat horizontal, lotion yang diukur diletakkan dalam cup
viskotester. Rotor dicelupkan dalam lotion tersebut hingga batas yang tertera pada
rotor. Viskotester dihidupkan dan rotor akan mulai bergerak atau berputar
dibiarkan beberapa saat sehingga jarum penunjuk stabil. Harga viskositas dibaca
dalam skala poice. Perhitungan viskositas dilakukan dengan replikasi tiga kali
untuk masing-masing formula dengan konsentrasi pada Kadar Tolak Minimum
(KTM).

Analisis Data:
Hasil evaluasi sifat fisik terhadap lotion minyak atsiri kayu manis dianalisis
menggunakan uji statistik One Way Anova untuk menunjukkan kemaknaan antar
masing-masing basis terhadap sifat fisik yang baik sebagai lotion antinyamuk.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Minyak atsiri kayu manis yang diperoleh dari hasil destilasi uap dan air kulit
batang tanaman kayu manis berupa cairan jernih agak kekuningan, dengan rasa
pedas, sedikit manis, hangat (warm) dan bau khas aromatik.
Uji kualitas minyak atsiri kayu manis dilakukan untuk menentukkan
kemurnian minyak atsiri, meliputi pengukuran indeks bias dan penentuan
randemennya. Analisis indeks bias ini dapat digunakan untuk memeriksa
pemalsuan mutu dan kemurnian minyak atsiri.
Pengukuran indeks bias minyak atsiri kayu manis dilakukan dengan
menggunakan alat refraktometer ABBE, dengan harga indeks bias sebesar 1,5910
dan dilakukan pada suhu 28,7 C. hasil ini tidak jauh berbeda dari dfata uindeks
bias minyak atsiri kulit batang kayu manis Lembang yaitu 1,5014 pada 25 C
(Sukandar, 1999).
Penentuan rendemen kadar minyak atsiri kayu mansi dilakukan dengan alat
destilasi Stahl. Diperoleh randemen rata-rata dari penyulingan sebanyak tiga kali
sebesar 1,013 0,023. Rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini berbeda jika
dibandingkan dengan rendemen minyak atsiri kulit kayu manis pada penelitian
terdahulu. Rendemen yang didapat pada penelitian ini lebih besar dibandingkan
dengan penelitian terdahulu. Putu Dedy Sulaksana (2005) menghasilkan rendemen
sebesar 0,2 %, dimana dari 4 kg kulit kayu manis kering dihasilkan 8 ml minyak
atsiri kayu manis. Perbedaan rendemen ini disebabkan perbedaan asal tanaman,
umur tanaman ketika dipetik, waktu pengambilan tanaman, perlakuan bahan
sebelum, saat dan sesudah penyulingan, serta variasi alat dan manusia.
Tahap awal penelitian ini adalah menentukan konsentrasi terendah yang
dapat memberikan efek penolakan terhadap nyamuk dan konsentrasi tertinggi
yang tidak dapat memberikan efek penolakan terhadap nyamuk. Diperoleh

PKMP-5-16-8
rentang konsentrasi minyak atsiri kayu manis dari hasil orientasi yaitu 0,5 % -
15%. Konsentrasi 0,5% sebagai konsentrasi tertinggi yang tidak memberikan efek
penolakan dan konsentrasi 15% sebagai konsentrasi terendah memberikan efek
penolakan yang maksimum. Berdasarkan rentang konsentrasi tersebut dibuat 5
variasi konsentrasi sebagai berikut: 0,5 % b/v, 1% b/v, 5 % b/v, 10 % b/v, 15 %
b/v.
Pengujian penolakan nyamuk basis lotion sebagai kontrol negatif
menunjukkan basis larut air, basis emulsi dan basis vanishing cream tidak
memberikan pengaruh terhadap penolakan nyamuk Aedes aegypti. Pada saat
tangan dimasukkan kedalam sangkar tidak menunjukkan adanya efek penolakan
dari ketiga puluh ekor nyamuk.
Pada pengujian aktivitas lotion minyak atsiri kayu manis diperoleh Kadar
Tolak Minimum (KTM) dari lotion yang bertindak sebagai penolak nyamuk
Aedes aegypti yaitu 1 % dengan waktu efektif penolakan pada masing-masing
basis berturut-turut yaitu 16.33 menit, 3.22 menit, dan 4.22 menit. Pengujian ini
bertujuan untuk mengetahui kemampuan menolak dari lotion minyak atsiri kayu
manis yang dibuat dengan berbagai konsentrasi sebagai repelan terhadap nyamuk
Aedes aegypti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi minyak
atsiri kayu manis maka semakin besar potensi penolakan terhadap nyamuk Aedes
aegypti yang terlihat dari meningkatnya waktu perlindungan setiap peningkatan
konsentrasi. Efektifitas repelan atau penolakan minyak atsiri kayu manis pada
kadar tolak minimal 1% memberikan waktu perlindungan yang paling baik yaitu
pada basis larut air.
Repelan digunakan dengan cara menggosokannya pada tubuh atau
menyemprotkannya pada pakaian. Oleh karena itu harus memenuhi syarat-syarat
tertentu yaitu: tidak mengganggu pemakainya, tidak melekat atau lengket, baunya
menyenangkan pemakainya dan orang disekitarnya, tidak menimbulkan iritasi
kulit, tidak beracun, tidak merusak pakaian, dan daya pengusir terhadap serangga
hendaknya bertahan cukup lama (Soedarto, 1990). Lotion penolak nyamuk yang
baik harus memenuhi persayaratan tersebut, sehingga lotion minyak atsiri kayu
manis yang diperoleh dari masing-masing formula diuji sifat fisiknya, meliputi uji
daya lekat, uji daya sebar, dan uji viskositas.
Pengujian sifat fisik lotion minyak atsiri kayu manis kadar 1% pada masing-
masing basis meliputi evaluasi sifat fisik terhadap lotion. Hasil evaluasi sifat fisik
dapat dilihat pada tabel I.

Tabel I. Data evaluasi sifat fisik lotion minyak atsiri kayu manis
Macam Uji Formula I
rerata SD
Formula II
rerata SD
Formula III
rerata SD
Uji Daya Sebar (cm
2
) 19,76 0,46 23,19 1,73 18,72 0,22
Uji Daya Lekat (detik) 2,623 0.300 1,593 0.150 0,39 0,00
Uji Viskositas (poice) 291,67 14,433 241,67 14,433 28,33 1,433
Pada formula I yaitu basis larut air mempunyai efektifitas penolakan pada
kadar tolak minimal (KTM) 1% relatif lebih besar dibandingkan formula II dan
III. Formula I memberikan efek yang lama ditunjang dengan daya lekatnya yang

PKMP-5-16-9
lama dan tidak menimbulkan iritasi, tetapi harga viskositasnya lebih besar
dibanding formula lainnya lainnya dan juga daya sebarnya lebih sempit dibanding
formula lainnya.
Pada formula II yaitu basis emulsi mempunyai efektifitas penolakan pada
kadar tolak minimal (KTM) 1% relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan
formula I dan formula III. Formula II memberikan efek yang singkat dikarenakan
daya lekatnya yang kecil, tetapi harga viskositasnya yang lebih kecil bila
dibandingkan formula I dan daya sebarnya lebih luas dibandingkan formula I dan
formula III
Pada formula III yaitu basis vanishing cream mempunyai efektifitas
penolakan pada kadar tolak minimal (KTM) 1% relatif lebih rendah bila
dibandingkan dengan formula I, tetapi lebih baik dari formula II. Sifat fisiknya,
untuk daya lekat, daya sebar, dan harga viskositasnya paling kecil dibandingkan
dengan formula I dan II.
Pada evaluasi sifat fisik semua formula memenuhi syarat. Berdasarkan hasil
analisis variansi satu jalan pada taraf kepercayaan 95%, maka perbedaan daya
sebar lotion formula I berbeda bermakna dengan formula II, formula I tidak
berbeda bermakna dengan formula III dan formula II berbeda bermakna dengan
formula III.
Perbedaan daya lekat lotion pada uji statistik memberikan hasil formula I
berbeda bermakna dengan formula II, formula I berbeda bermakna dengan
formula III dan formula II berbeda bermakna dengan formula III.
Perbedaan viskositas setelah dianalisis memberikan hasil bahwa formula I
berbeda bermakna dengan formula II, formula I berbeda bermakna dengan
formula III, dan formula II berbeda bermakna dengan formula III.

KESIMPULAN
Lotion minyak atsiri kulit batang kayu manis memiliki aktivitas penolakan
(repelan) terhadap nyamuk Aedes aegypti dengan Kadar Tolak Minimal (KTM)
1% pada masing-masing basis (formula I, II, dan III) yang diujikan.
Efektifitas penolakan tertinggi pada Kadar Tolak Minimal (KTM) 1%
yaitu pada lotion dengan basis larut air (formula I). Formula I dengan basis larut
air memenuhi kriteria lotion repelan yang baik dilihat dari efektifitas, keamanan,
dan sifat fisiknya.

DAFTAR PUSTAKA
Adhyatma, M.,1983, Malaria Epidemiologi, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta
Anonim, 2001, Jangan Asal Semprot Bahaya, http://www.prospektif.com, diakses
pada bulan Agustus 2005
Anonim, 2004, Demam Berdarah Dengue, http://www.kompas.com, diakses pada
bulan Agustus 2005
Ansel, H.C., 1985, Pengantar Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta
Brown, Harold W, 1983, Dasar-Dasar Parasitologi Klinis, Ed.3, pp.424,430-1,
PT. Gramedia, Jakarta
Cunningham, K.M., Hallenbeck, W.H., 1985, Pesticides and Human Health,
pp.48, Springer-Verlag, New York

PKMP-5-16-10
Gobbler. D. S.,1984, Insect In Discase Tranmisi on In Stochland T. G. Hunter
Tropical Medicine, Edisi 6, W, B, Saunder
Guenther, E., 1987, Minyak Atsiri jilid VI, diterjemahkan oleh S. Ketaren, UI
Press, Jakarta
Herms, B.W., 1950, Medical Entomology, edisi 4, The Mc Millan Co, New York
Hoedojo,1983, Vektor Demam Berdarah Dengue dan Upaya Penanggulangannya,
Majalah Parasitologi Indonesia
Pant, C.D., and Self. L.S., 1993, Monograph On Dengue Haemoragic Fever,
Regeonal Publication Seard, Asia, New Delhi
Pranoto, Munif, A., 1994, Kaitan Tempat Perindukan Vektor dengan Pengetahuan
dan Sikap Masyarakat terhadap Penyakit Demam Berdarah Dengue di
Kodya Batam. Cermin Dunia Kedokteran, Vol.92, pp. 22-27. Grup PT
Kalbe Farma, Jakarta
Rachmat, Musaka, 1984, Epidemiologi DBD di Sulawesi Selatan, Simposium
Demam Berdarah Dengue. Ikatan Dokter Indonesia, Ujung Pandang
Rismundar dan Paimin, Farry B, 2001, Kayu Manis Budi Daya & Pengolahan,
Penebar Swadaya, Jakarta
Soedarmo, S. SP., 1988, Demam Berdarah Dengue pada Anak, Universitas
Indonesia, Jakarta
Soedarto, 1990, Entomologi Kedokteran , pp. 63, 120, Penerbit Buku Kedoketran
EGC, Jakarta
Sungkar, S. Danismid, L.S, 1994, Bionomik Ae. Aegypti Vektor Utama DBD
dalam Medika
Voigt, 1994, Buku Ajar Tekhnologi Farmasi, Universitas Gajah Mada Press,
Yogyakarta
Wahyudi, Andi, 2002, Melawan Penyakit dengan Kayu Manis,
http://www.pikiranrakyat.com, diakses pada bulan Agustus 2005


PKMP-5-17-1
PENGEMBANGAN PRODUK SOYGURT BUBUK MENGGUNAKAN
METODE FOAM - MAT DRYING UNTUK MEMPERPANJANG
MASA SIMPAN SOYGURT DENGAN MENGGUNAKAN
PENAMBAHAN PREBIOTIK

Pendhina AS, Ika Febrian Suryanti, M Bahrun
Institut Pertanian Stiper, Yogyakarta

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-5-18-1
PERILAKU SEKS BEBAS DAN ABORSI MAHASISWA DI MALANG

Hutri Agustino, Shanti Devi Prananta, Ita Mandasari
Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

ABSTRAK
Malang sebagai Kota Pendidikan Internasional dan sebagai tempat persinggahan
serta wisata berpotensi besar terhadap munculnya permasalahan sosial.
Disinilah tempat berbaurnya berbagai macam budaya dari masing-masing
daerah yang satu dengan lainnya saling mempengaruhi sehingga komunitas yang
paling besarlah yang akan mendominasi pertarungan budaya tersebut. Beberapa
dampak dari hal di atas adalah munculnya perilaku seks bebas dan aborsi di
kalangan mahasiswa. Hasil penelitian di kota-kota pendidikan tentang pergaulan
bebas di kalangan mahasiswa seperti Bandung dan Jogjakarta menunjukkan
angka yang mencengangkan. Hal inilah yang menjadi alasan dilakukannya
penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui secara pasti
penyebab dan dampak mereka berperilaku seperti ini. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan corak deskriptif, serta memakai
teknik wawancara secara mendalam (depth interview) dalam proses pengumpulan
datanya. Berdasarkan hasil fact finding (Dengan jumlah informan 19 mahasiswa
yang tersebar pada PTN/PTS terbesar di Malang) dapat dikonklusikan bahwa
perilaku menyimpang di atas diakibatkan oleh faktor just for fun, trend dan faktor
materi. Pergaulan bebas berupa free sex menjadi identitas pergaulan yang
dianggap modern di kalangan mahasiswa. Sedangkan aborsi dianggap sebagai
katup penyelamat perilaku mereka. Beberapa informan mengatakan bahwa
free sex yang seringkali dilakukan bertujuan untuk bersenang-senang,
mengakrabkan pergaulan, bukti kesetiaan dengan pasangannya dan berorientasi
pada kepuasan materi. Temuan lainnya mengindikasikan bahwa bukan hanya
antar mahasiswa yang melakukan hubungan tersebut. Beberapa informan ada
yang mangatakan bahwa Polri juga ada yang terlibat langsung dengan perilaku
ini. Kecenderungan di atas dipicu oleh lemahnya pengawasan dari orang tua dan
masyarakat serta institusi terkait. Di lingkungan mahasiswa tinggal, masyarakat
terkesan sangat permisif dengan kecendengan perilaku tersebut, sehingga dalam
waktu yang tidak begitu lama diprediksi frekuensi perilaku seks bebas dan aborsi
mahasiswa di Malang akan terus meningkat secara signifikan.

Kata kunci: Perilaku Seks, , Just for fun, Aborsi.

PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri, Malang telah menjadi pilihan utama orang tua di
luar daerah untuk studi anaknya sehingga predikat Malang sebagai kota
Pendidikan Internasional telah tercapai, hal ini juga ditandai dengan banyaknya
Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta idealnya dapat memberikan
kontribusi secara aktif untuk menciptakan masyarakat berpendidikan yang identik
dengan kegiatan-kegiatan ilmiah yang bermanfat dalam rangka tercapainya
masyarakat madani (civil society). Dengan banyaknya jumlah mahasiswa dari
berbagai macam daerah, maka proses akulturasi budaya tidak dapat dihindari,

PKMP-5-18-2
artinya budaya-budaya lokal yang mereka bawa dari daerah masing-masing
membaur menjadi satu dan melebur menjadi budaya baru yang belum tentu sesuai
dengan norma dan hukum positif yang berlaku.
Pengaruh budaya-budaya barat misalnya hedonisme dan materialisme
telah meracuni generasi muda tidak terkecuali kalangan mahasiswa. Sehingga
terkonstruksi stigma bahwa mahasiswa yang modern adalah mahasiswa yang
sudah merasakan kehidupan malam dengan segala macam sajiannya. Sebagai
contoh adalah banyaknya tempat hiburan malam disekitar kampus seperti cafe,
diskotik, dan tempat hiburan malam lainnya. Sebaliknya mahasiswa yang hanya
sibuk memikirkan perkuliahan dikatakan sebagai mahasiswa yang tidak gaul
atau ketinggalan jaman. Apabila hal ini tidak segera diantisipasi, maka dalam
jangka panjang nilai-nilai ideal yang sudah mencari ciri khas mahasiswa lama
kelamaan akan berganti dengan kebiasaan-kebiasaan negatif yang mengancam
masa depannya.
Seiring dengan perkembangan arus globalisasi yang semakin dahsyat serta
tantangan zaman yang teramat keras, maka kini kita hidup dalam suatu
lingkungan modern yang sangat permisif terhadap free seks (aktivitas seks
diluar pernikahan yang sah). Jika dulu orang merasa malu mengakui hamil diluar
nikah, maka saat ini nilai tersebut sudah mulai pudar.
Perilaku free seks baik dengan pasangan tetap maupun dengan berganti
pasangan, telah merebak dalam kehidupan kaum muda. Bisa disebut sebagai salah
satu bukti yang mengindikasikan telah tersebarnya fenomena free seks hingga
kelingkungan lingkungan intelektual yang selama ini kita banggakan sebagai
garda depan kehormatan bangsa. Ini terbukti dengan mudahnya ditemukan kasus-
kasus penyimpangan seksual seperti Married By Accident (MBA), kumpul kebo,
aborsi, pelacuran mahasiswa dan lain sebagainya yang dilakukan oleh mahasiswa.
Pada dasarnya pola pergaulan maupun pola pacaran yang tidak sehat dan
tanpa pengetahuan yang memadai mengenai seksualitas dapat menyebabkan
seseorang mengambil tindakan- tindakan yang berbahaya seperti free seks atau
hubungan seks tanpa perlindungan. Sehingga banyak kaum muda nekad
melakukan perbuatan yang tercela tanpa memikirkan resiko yang akan
dihadapinya. Resiko dari perilaku tersebut sangat luas, tidak hanya mengancam
secara fisik tetapi juga psikologis dan sosial.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama salah satu permasalahan sosial
yang muncul akibat hal tersebut diatas adalah free sex dan aborsi dikalangan
mahasiswa yang semakin hari semakin menunjukkan angka yang tidak sedikit.
Free sex dan aborsi menjadi hal yang tidak dapat dinafikan lagi dalam pergaulan
mahasiswa di Malang.

Rumusan Masalah
1. Mengapa Mahasiswa melakukan perilaku seks bebas?
2. Apa dampak yang ditimbulkan dari hubungan tersebut?
3. Bagaimana pemahaman mahasiswa yang melakukan seks bebas terhadap
tindakan aborsi?

Tujuan Kegiatan
1. Ingin mengetahui alasan Mahasiswa Malang melakukan perilaku seks bebas.
2. Mengetahui faktor-faktor yang diakibatkan oleh perilaku seks bebas
dikalangan Mahasiswa Malang.

PKMP-5-18-3
3. Ingin mengetahui pemahaman dan korelasi antara perilaku seks bebas dengan
aborsi Mahasiswa Malang.

Manfaat Kegiatan
1. Mendeskripsikan realitas sosial kepada masyarakat tentang adanya perilaku
seks bebas dan aborsi dikalangan Mahasiswa Malang.
2. Referensi komparasi bagi Mahasiswa dalam penelitian-penelitian yang
berkaitan dengan hasil penelitian ini.
3. Bahan pertimbangan atau rujukan dalam membuat kebijakan pemerintah yang
berhubungan dengan realitas sosial yang ada.
4. Bahan informasi bagi pengembangan pembinaan kemahasiswaan.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilakukan selama empat bulan terhitung mulai bulan
Februari sampai dengan bulan Mei 2006 di PTN/PTS terbesar di Malang.
Teknik Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah Mahasiswa PTN/PTS di Malang.
Populasi disini adalah populasi yang tersedia (Accessible Population) di Malang.
Dengan populasi Mahasiswa di PTN/PTS di Malang, maka dalam
penelitian ini kami akan menggunakan teknik pengambilan sampel purpossive
sampling atau teknik dengan menggunakan sampel yang dipilih secara khusus
berdasarkan tujuan penelitiannya.

Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini kami menggunakan teknik pengumpulan data berupa
wawancara. Wawancara yang kami maksud disini adalah wawancara terpimpin
atau wawancara dimana poin-poin pertanyaan sudah disiapkan terlebih dahulu,
dan kami akan melakukan wawancara secara mendalam (In Dept Interview) agar
dapat menghasilkan menghasilkan data yang akurat dan lengkap.

Teknik Analisa Data
Setelah data yang diperlukan terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah
menganalisis data secara kualitatif, yaitu dengan teknik deskriptif kualitatif.
Secara umum penelitian akan menggambarkan atau mendeskripsikan fenomena
yang muncul secara objektif tanpa melakukan intervensi terhadap objek. Karena
data berupa deskripsi, maka data yang dianalisis adalah data kualitatif dan data-
data yang merupakan data kuantitatif berfungsi sebagai analisis untuk membantu
memperjelas pendeskripsian data kualitatif.
Sesuai tujuan penelitian, maka data kuantitatif (data-data yang dapat
dikategorikan dalam bentuk-bentuk angka-angka) analisis yang digunakan antara
lain berupa persentase, tabulasi frekuensi, ataupun cross tabulasi, sedangkan untuk
data kualitatif disajikan dalam bentuk deskriptif induktif.
Analisis kualitatif yang digunakan adalah analisis fenomenologis berupa
fenomena proses sosial dan interaksi sosial yang terjadi sepanjang rentang waktu
penelitian.

Alat yang digunakan.
Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah recorder,
kaset Recorder, dan kamera digital.

PKMP-5-18-4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini, kami akan memaparkan hasil fact finding dalam bentuk
wawancara secara mendalam (dept interview) dengan 19 (sembilan belas)
informan yang tersebar pada PTN/PTS terbesar di Malang yang kemudian
dipersentasekan sesuai dengan rumus yang ada dibagian bawah tabel, untuk lebih
lengkapnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel Hasil Wawancara

No Kode
Pertanyaan
Ragam Jawaban Frekuensi
(Informan)
Persentase
1 A1 a. Sejak SMU
b. Awal Kuliah (Semester 1 s/d 2)
c. Pertengahan (Semester 3 s/d 6)
10
5
4
53%
26 %
21%
2. A2 a. Dengan Pacar
b. POLRI
c. Dokter
d. Lainnya (dengan Tante-tante)
16
1
1
1
85%
5%
5%
5%
3. A3 a. Kost-kosan
b. Penginapan
c. Rumah
4
10
5
21%
53%
26%
4. A4 a. Rendah (Tidak lebih dari 1 kali
dalam 2 minggu)
b. Sedang (1 minggu 1 kali)
c. Tinggi (1 minggu lebih dari 1
kali)
6

3

10
31%

16%

53%
5. A5 a. Saling mencintai (kasih sayang)
b. Just for fun
c. Komersil
15
1
3
79%
5%
16%
6. A6 a. Rendah(500 Ribu s/d 750 Ribu)
b. Sedang (750 Ribu s/d 1 juta)
c. Tinggi (1 juta keatas)
4

1
21%

5%
7. A7 a. Beli Handphone
b. Buat bayar kuliah
c. Foya-foya
d. Lainnya
1
1
1
2
5%
5%
5%
10%
8. B1 a. Pernah
b. Tidak Pernah
2
17
10%
90%
9. B2 a. Ya (Misalnya: Kondom)
b. Kadang-kadang
c. Tidak Pernah
5
7
7
26%
37%
37%
10. B3 a. Ya
b. Tidak
10
9
53%
47%
11. C1 a. Ya
b. Tidak
7
12
37%
63%
12. C2 a. Dirawat
b. Digugurkan (aborsi)
1
6
14%
86%
13. C3 a. Sendiri 6 100%

PKMP-5-18-5
b. Dokter
c. Dukun
14. C4 a. 1 kali
b. 2 kali
c. 3 kali
5

1
83%

17%
15. C5 a. Masih perlu
b. Tidak perlu
9
10
47%
53%

Keterangan:
a. Nomor 1 s/d 13 dan nomor 17 persentase dihasilkan dari rumus:
Frekuensi Informan X 100%
Jumlah Informan (19)
b. Nomor 14 persentase dihasilkan dari rumus:
Frekuensi Informan X 100%
Frekuensi Informan Hamil (7)
c. Nomor 15 dan 16 persentase dihasilkan dari rumus:
Frekuensi Informan X 100%
Frekuensi Informan aborsi
d. A1 : sejak kapan melakukan perilaku sex bebas ?
A2 : hal tersebut dilakukan dengan siapa ?
A3 : dimana tempat yang digunakan untuk melakuakn sex bebas ?
A4 : seberapa sering melakukan sex bebas ?
A5 : apa yang melatarbelakangi melakukan sex bebas ?
A6 : berapa nominal yang sering anda tawarkan kepada calon pasangan ?
A7 : hasil dari transaksi dipergunakan untuk apa ?
B1 : pernahkah terkena penyakit menular seksual akibat dari seks bebas
tersebut ?
B2 : apakah anda mempergunakan alat kontrasepsi dalam berhubungan
seksual ?
B3 : apakah anda pernah melakukan hubungan dalam keadaan mabuk atau
menggunakan Narkoba ?
C1 : apakah anda pernah hamil dari hubungan seks bebas ?
C2 : kandungan tersebut dirawat sampai melahirkan atau di aborsi ?
C3 : siapa yang membantu melakukan aborsi tersebut ?
C4 : berapa kali anda melakukan aborsi ?
C5 : menurut anda perlukah virginitas dan keperjakaan dalam
perkawinan ?

Dari hasil wawancara dengan beberapa informan tersebut, sebenarnya
hanya segelintir fenomena yang terkuak kepermukaan, namun tidak menutup
kemungkinan banyak kasus sama yang tidak sempat terindentifikasi dalam proses
fact finding yang telah kami lakukan.
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi, seperti hasil persentase 53%
informan telah melakukan hubungan seks bebas semenjak mereka duduk di
bangku sekolah. Hal ini mengindikasikan bahwa permasalahan free sex dan aborsi
tidak hanya ditemui pada diri mahasiswa saja, tetapi siswa SMA juga telah
melakukan perilaku yang bertentangan dengan norma ini, sehingga
memungkinkan diadakan penelitian seputar perilaku seks bebas dan aborsi
dikalangan siswa SMA.

PKMP-5-18-6
Selanjutnya, hasil 85% informan yang mengaku melakukan hubungan seks
bebas ini dengan pacar, padahal ada salah satu informan yang mengaku menyesal
melakukan hal tersebut karena sekarang telah putus dengan pacarnya, sehingga
tidak salah pepatah bilang habis manis sepah dibuang, karena hubungan atas
dasar kasih sayang tanpa ada ikatan resmi pernikahan rawan dengan resiko putus
hubungan yang lebih merugikan bagi pihak perempuan. Hal ini dapat menjadi
rekomendasi bagi mahasiswi agar menjaga pergaulan dan berhati-hati dalam
memilih pasangan, sehingga ia tidak sampai menjadi korban.
Informan yang frekuensi hubungan seks bebasnya lebih dari satu kali
dalam satu minggu mencapai 53%, hal ini bukti bahwa perilaku seks bebas
dikalangan mahasiswa bukan hal yang sepele lagi, tetapi telah menjadi
permasalahan sosial yang segera menuntut penyelesaian secara optimal. Sebab hal
ini akan berdampak secara estafet terhadap meningkatnya pengidap penyakit
menular seksual (PMS) apalagi data diatas menunjukkan bahwa hanya 26%
pasangan yang memakai alat pengaman dalam berhubungan, sehingga rentan
sekali terjadi penularan penyakit menular seksual. Dampak selanjutnya adalah
aborsi sebagai jalan pintas selamat dari sanksi sosial yang dalam data tersebut
diatas 100% dilakukan sendiri, tentunya dengan alat seadanya dan cara sederhana
sehingga dapat dipastikan membahayakan organ-organ reproduksi.
Dari 19 informan, 53% informan mengatakan tidak perlu lagi
mempermasalahkan faktor Virginitas dan Keperjakaan, karena mereka
beranggapan bahwa dirinya saja sudah tidak virgin atau perjaka lagi, jadi tidak
harus menuntut pasangan nikah yang masih virgin atau perjaka. Hal ini secara
umum adalah bagian dari adopsi budaya-budaya barat oleh generasi muda di
Indonesia tanpa ada filterisasi.

KESIMPULAN
Pada dasarnya kesimpulan dari hasil penelitian ini merujuk pada tujuan
penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya. Pertama, ingin mengetahui alasan
Mahasiswa Malang melakukan perilaku seks bebas. Tujuan penelitian yang
pertama ini terjawab dengan hasil Mahasiswa melakukan sejak SMU sebanyak
53%, awal kuliah (semester 1 s/d 2) sebanyak 31%, dan pertengahan kuliah
(semester 3 s/d 6) sebanyak 16%. Kedua, mengetahui faktor- faktor yang
diakibatkan oleh perilaku seks bebas dikalangan Mahasiswa Malang dengan hasil
Mahasiswa yang terkena Penyakit Menular Seksual dan infeksi didaerah alat
kelamin yaitu 10%. Berkaitan dengan kesehatan seksual muncul dampak negatif
yang ditimbulkan akibat melakukan free seks yang lazim disebut Penyakit
Menular Seksual (PMS). PMS merupakan penyakit yang dapat ditularkan dari
seseorang kepada orang lain melalui hubungan seksual. Baik melalui vagina,
penis, oral, maupun anal di mana apabila tidak diobati dengan benar penyakit ini
dapat berakibat serius bagi kesehatan reproduksi, seperti terjadinya kemandulan,
bahkan bisa berwujud kematian pada penderitanya. Sedangkan dampak negatif
secara psikologis para informan (pria/ wanita) mengalami seks sakaw (kecanduan
seks) atau seks adiktif. Sehingga merasa ketagihan, dan ingin melakukan terus
menerus setiap kali pacaran, kapanpun dan dimanapun. Ketiga, ingin mengetahui
pemahaman dan korelasi antara perilaku seks bebas dengan aborsi Mahasiswa
Malang. Hasil dari penelitian jumlah Mahasiswa yang hamil akibat melakukan
free seks 37% dari 19 informan, sedangkan yang melakukan aborsi dari 7

PKMP-5-18-7
informan yang hamil berjumlah 6 informan atau 86% . Berarti hal ini menandakan
bahwa da hubungan yang signifikan antara seks bebas dan aborsi.
Berdasarkan konklusi diatas, maka dapat kami rekomendasikan
pemecahan masalah sebagai berikut:
1. Pada tingkatan PTN dan PTS, pihak kampus melalui lembaga
pendidikan kemahasiswaannya secara formal harus melakukan
pendidikan dan pemahaman berkaitan dengan bahaya seks bebas dan
aborsi dalam artian ada mata kuliah pengantar yang khusus membahas
tentang permasalahan sosial tersebut tanpa memperdulikan fakultas
dan jurusan. Secara informal, pihak kampus harus sering berkoordinasi
dengan masyarakat sekitar kampus termasuk juga pengelola rumah
kos dan kontrakan mahasiswa berkenaan dengan aktivitas mahasiwa
pada rumah kos dan kontrakan setiap harinya.
2. Pada tingkatan masyarakat, pihak- pihak yang memiliki otoritas (Ketua
RW, Ketua RT, Tokoh Masyarakat) harus mengfungsikan kontrol
sosialnya dalam rangka meminimalisir terjadinya perilaku
menyimpang pada Mahasiswa, terutama perilaku seks bebas.
3. Pada tingkatan keluarga, disini pihak keluarga ada dua macam
klasifikasi, pertama, bagi keluarga yang memiliki anak jauh dari
keluarga (kost), disini pihak keluarga harus selalu berkomunikasi
dengan anaknya dan jangan sampai terlepas komunikasi dan
perhatiannya, kedua, bagi pihak keluarga yang anaknya bertempat
tinggal bersama dengan orang tuanya, disini pihak keluarga (orang tua,
anggota keluarga) selalu memberikan kegiatan- kegiatan aktivitas yang
positif terhadap anaknya, serta mengawasi semua pergaulan- pergaulan
anaknya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, abu, 2002, Psikologi Sosial, Rineksa Cipta, Jakarta.
Al- Maliky, Ekky, 2003, Why not? Remaja Doyan Filsafat, Dar! Mizan, Bandung.
Dayakisni, Tri dan Hudaniah, 2003, Psikologi Sosial, UMM Press, Malang.
Gatra, 1999.
Kartono, Kartini, 1981, Psikologi Abnormal dan Pathologi Seks, Alumni,
Bandung.
Koentjoroningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineksa Cipta, Jakarta.
Monks et al, 2004, Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai
Bagiannya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Nawawi, Handari, 2003, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Sadarjan, Jawa Pos, 22 Februari, 2004.
Soekanto, Soerjono, 1999, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Sugiyono, 1998, Metode Penelitian Administrasi, CV. Alfabeta, Bandung.
Usman, Husaini, dan Akbar, Purnomo setiady, Metode Penelitian Sosial, Bumi
Aksara, Jakarta.
Wijayanto, Iip, 2003, Sex In The Kost, CV. Qalam, Yogyakarta.
www.pikiranrakyat.com.


PKMP-5-19-1
EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI JINTAN PUTIH
(CUMI NUM CYMI NUN LIN.) TERHADAP EKSPRESI ENZIM
GLUTATION-S-TRANSFERASE DAN PENGHAMBATAN MUTASI GEN
P53 PADA HEPAR TIKUS GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIBERI
7,12-DIMETILBENZ[A]ANTRASENA

M. D. Laksitorini, A.F. Romadhon, Y.Afrianto, Wynanda, MY. Putro Utomo
Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

ABSTRAK
Terapi kanker banyak dialihkan pada pengobatan dengan menggunakan bahan
alamiah. Salah satu bahan alam yang telah terbukti berkhasiat sebagai
antikanker adalah tamanan jintan putih (C. cyminum Lin.).Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak etanol biji jintan putih (C. Cyminum
Lin.) terhadap ekspresi enzim Glutation S-Transferase dan penghambatan mutasi
gen p53 pada hepar tikus galur Sprague Dawley yang diberi 7,12-Dimetil
Benz(a)ntrazena. Terdapat lima kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol
pelarut (CMC-Na 0,05 % dan corn oil), kelompok kontrol DMBA, kelompok dosis
I (250 mg/kg bb), kelompok dosis II (500 mg/kg bb), dan kelompok dosis III (750
mg/kg bb). Semua kelompok dosis (dosis I, dosis II dan dosis III) mendapat
perlakuan setiap hari selama dua minggu. Kelompok kontrol pelarut diberi
perlakuan dengan CMC Na 0,05%-corn oil sedangkan kelompok kontrol DMBA
diberi perlakuan DMBA dosis 30 mg/KgBB. Setelah minggu ke-dua perlakuan,
kelompok hewan uji yang akan diamati ekspresi enzim GST-nya dikorbankan
sedangkan kelompok hewan uji yang akan diamati ekspresi mutasi gen p53,
dibiarkan tanpa perlakuan selama satu bulan. Evaluasi hasil dilakukan dengan
melakukan pengamatan terhadap ekspresi enzim GST dan hasil PCR SSCP untuk
mengetahui kemungkinan mutasi yang terjadi pada gen p53.Penentuan ekspresi
enzim GST pada percobaan dengan melakukan kuantifikasi pita hasil
elektroforesis memberikan hasil kelompok kontrol pelarut CMC Na-corn oli,
DMBA, dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB, dan 750 mg/kgBB berturut-turut
2.720 + 0.326, 4.67 + 0.980, 5.550 + 0.546, 4.200 + 0.676, dan 3.347 + 1.068
dalam satuan cm
2
. Sehingga dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ekstrak
etanol biji jintan putih C. Cyminum L. dapat menekan ekspresi enzim GST.
Kesimpulan tersebut masih bersifat sementara karena harus menunggu
konfirmasi dari uji mutasi gen p53 yang masih berjalan, yang dapat memberikan
infiormasi apakah terjadi mutasi atau tidak pada gen p53.

Kata kunci : Cuminum cyminun Lin., glutation S-transferase, mutasi p53

PENDAHULUAN
Penyakit kanker dikenal sebagai salah satu ancaman utama dalam dunia
kesehatan dengan angka kematian akibat kanker yang terus meningkat yaitu 1,4 %
pada tahun 1972 menjadi 4,4 % pada tahun 1992 (Winarno et al., 2000).
Banyak usaha terapi yang sudah dilakukan untuk menyembuhkan kanker
namun memakan banyak biaya dan dapat menyebabkan banyak efek samping.
Sehingga sekarang terapi kanker banyak dialihkan pada pengobatan dengan
menggunakan bahan alamiah. Salah satu bahan alam yang telah terbukti


PKMP-5-19-2
berkhasiat sebagai antikanker adalah tamanan jintan putih (C. cyminum Lin.).
Dalam perkembangannya, penelitian-penelitian mengenai tanaman C. cyminum
semakin menunjukkan kemajuan yang positif sebagai salah satu sumber obat
kanker. Salah satunya adalah penelitian Gagandep et al. (2003) menyatakan
bahwa biji jintan putih (C. cyminum Lin.) mampu memberikan efek
kemopreventif terhadap tumor lambung dan leher rahim tikus yang diakibatkan
oleh benzo(a)piren. Hasil tersebut menunjukkan bahwa di dalam biji C. cyminum
terdapat senyawa yang berkhasiat sebagai antikanker.
Proses perkembangan sel kanker yang telah diketahui sejauh ini terdiri dari
4 tahap, yaitu inisiasi, promosi, progresif, dan metastasis (King, 2000). Pada tahap
inisiasi tejadi pembentukan senyawa metabolit reaktif yang dapat menyebabkan
mutasi pada DNA. Senyawa tersebut dapat segera dikeluarkan dari dalam tubuh
dengan proses metabolisme fase II, yaitu konjugasi dengan glutation yang
dikatalisis oleh enzim Glutation S-Transferase (GST). Dengan adanya
peningkatan enzim GST ini, maka senyawa karsinogen akan mengalami
detoksifikasi sehingga cepat diekskresikan dan tidak sempat mengalami tahap-
tahap perkembangan selanjutnya menjadi kanker.
Dengan adanya penelitian ini akan dibuktikan khasiat biji C. cyminum
sebagai antikanker melalui uji efeknya terhadap ekspresi enzim GST pada fase
inisiasi. Selain itu juga akan dilihat efek pencegahan mutasi pada gen p53 yang
mengatur apoptosis pada sel kanker. Dan bila ternyata terbukti bahwa C. cyminum
dapat memacu ekspresi enzim GST dan menghambat mutasi gen p53 pada hepar
tikus, maka tanaman ini bisa dijadikan salah satu alternatif sebagai
antikarsinogenesis melalui modulasi ekspresi enzim detoksifikasi fase II dan
penghambatan mutasi gen p53.
Sejauh ini belum ada penelitian tentang efek ekstrak etanol biji C.
cyminum terhadap ekspresi enzim GST dan penghambatan mutasi gen p53 karena
DMBA, sehingga muncul pertanyaan: apakah ekstrak etanol biji C. cyminum
mampu memacu induksi enzim GST dan apakah ekstrak etanol biji C. cyminum
dapat mencegah mutasi gen p53 pada organ paru?. Sehingga hasil penelitian ini
dapat dijadikan landasan penggunaan biji C. cyminum sebagai antikarsinogenesis.
Selain itu penelitian ini juga dapat dipergunakan untuk pengembangan penelitian-
penelitian selanjutnya bagi penemuan obat kanker untuk umat manusia.

METODE PENDEKATAN
Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi tahap persiapan, tahap
pelaksanaan dan tahap penyelesaian. Tahap persiapan meliputi studi pustaka
orientasi, determinasi tanaman dan pengumpulan bahan penelitian yang dilakukan
selama satu bulan pertama. Informasi yang berkaiatan dengan penelitian
didapatkan dari papper dan jurnal penelitian yang didapatkan baik dari
perpustakaan maupun internet. Tahap pelaksanaan meliputi percobaan
pendahuluan untuk mempersiapkan ekstrak tanaman dan hewan uji yang
dilakukan selama bulan pertama dan kedua. Sedangkan tahap pengujian sampel
pada hewan uji dilakukan selama empat bulan selanjutnya. Sedangkan tahap
penyelesaian meliputi pengumpulan, pengolahan dan analisis data yang dilakukan
selama 3 bulan terakhir. Tahap tersebut dilanjutkan dengan penyusunan laporan
hasil penelitian.


PKMP-5-19-3

Ekstrak Etanol Bici Jintan Putih (C. Cyminum L)
Tanaman diambil bagian biji dari tanaman C. cyminum L. sehat, berumur
tua, berwarna kecoklatan, diambil dari daerah Tomohon, Sulawesi Utara. Biji
Cuminum cyminum L. dicuci bersih dengan air mengalir, ditiriskan, dijemur
dengan panas matahari dengan ditutupi kain warna gelap. Setelah kering, diserbuk
dan diayak hingga diperoleh serbuk biji C. cyminum L. Sebanyak 400 gram
serbuk dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke alat soxhlet,
selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan pelarut etanol 96 % sebanyak 1,5 L. Fraksi
etanol yang diperoleh diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental daun (selanjutnya
digunakan kata ekstrak untuk ekstrak etanol biji Cuminum cyminum L.).

Perlakukan Terhadap Hewan Uji
Tikus jantan Sprague Dawley umur 50 hari, beratnya sekitar 150 - 200 g
sebanyak 3 ekor tiap kelompok ditempatkan dalam kandang dan diberi makan
serta diberi minum air matang. Pakan yang digunakan merupakan pakan olahan
sendiri dengan komposisi : tepung gandum 400 g, telur 30 g, teri 30 g, maizena 25
g dan susu skim 15 g. Tikus diberi makan 2 kali sehari, masing-masing tikus
sebanyak 6 g.
Perlakuan terhadap hewan uji dilakukan untuk melihat peningkatan
ekspresi enzim GST baik karena DMBA maupun ekstrak. Terdapat lima
kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol pelarut (CMC-Na 0,05 % dan corn
oil), kelompok kontrol DMBA, kelompok dosis I (250 mg/kg bb), kelompok dosis
II (500 mg/kg bb), dan kelompok dosis III (750 mg/kg bb). Semua kelompok
dosis (dosis I, dosis II dan dosis III) mendapat perlakuan setiap hari selama dua
minggu dan pada minggu ke-dua diberi perlakuan DMBA dengan dosis
30mg/KgBB setiap dua hari sekali. Kelompok kontrol pelarut diberi perlakuan
dengan corn oil setiap dua hari sekali selama satu minggu. Kelompok kontrol
DMBA diberi perlakuan DMBA dosis 30 mg/KgBB setiap dua hari sekali selama
satu minggu pada minggu ke-dua. Setelah minggu ke-dua perlakuan, kelompok
hewan uji yang akan diamati ekspresi enzim GST-nya, dipuasakan 24 jam
sebelum dikorbankan. Sedangkan kelompok hewan uji yang akan diamati ekspresi
mutasi gen p53, dibiarkan tanpa perlakuan selama satu bulan. Selanjutnya hewan
uji tersebut dipuasakan 24 jam sebelum dikorbankan.
Ekstrak dipejankan secara per oral (p.o) dalam bentuk sediaan suspensi
dalam CMC-Na 0,5%. Sedangkan untuk DMBA digunakan pelarut corn oil.
Sebagai kontrol pelarut, CMC-Na diberikan dengan volume 2 ml/200 kg BB p.o,
dan corn oil sebanyak 0,3 ml/tikus p.o. Satu kelompok tikus diberi DMBA,
dipejankan secara intragastric (i.g) selama 2 hari sekali dengan dosis 30 mg/kg
BB. Diperkirakan dosis tersebut cukup besar untuk menaikkan ekspresi enzim
GST dan cukup rendah agar tidak toksik terhadap tikus percobaan. Untuk melihat
pengaruh dosis pada efek ekstrak, dibuat 3 kelompok peringkat dosis yaitu 250,
500, dan 750 mg/kg BB.



Penyiapan fraksi sitosol hepar tikus yang mengandung GST.


PKMP-5-19-4
Setelah selesai perlakuan, tikus dipuasakan selama 24 jam, kemudian tikus
dikorbankan dengan dislokasi cervix dan diambil heparnya. Hepar tadi
dimasukkan dalam eppendorf kemudian dihomogenasi dengan menggunakan
sonikasi dalam loading buffer (10 mM Tris-HCl pH 7,9, 10mM NaCl, 1mM DTT)
pada suhu 4
o
C. Homogenat disentrifuge pada 17.000 rpm, 4
o
C selama 1 jam.
Supernatan yang diperoleh merupakan fraksi sitosol.

Pemurnian dan elektroforesis GST dengan SDS-PAGE (Sodium Dodesil Sulfat-
Poliakrilamid Gel Elektroforesis).
Pemurnian GST dari fraksi sitosol menggunakan resin yang dapat
mengikat GST, yaitu Glutathione Sepharose 4B. Pertama, resin (50l) dalam
tabung ependorf 1,5 ml, disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1
menit. Supernatannya dibuang, kemudian ditambahkan pada residu tersebut, fraksi
sitosol dari hepar tikus (500l), digojog dengan membolak-balikkan tabung
selama 1 menit, didiamkan selama 5-10 menit. Lalu disentrifugasi dengan
kecepatan 1000 rpm selama 1 menit. Supernatan dibuang, dicuci dengan buffer
fosfat sebanyak tiga kali dan dengan aquadest satu kali. Kemudian pada endapan
ditambahkan dapar sampel lalu disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama
1 menit. Supernatannya diambil lalu dielektroforesis menggunakan SDS-PAGE.

Tabel 1. Komposisi pembuatan gel Poliakrilamid 12%.

Gel Pemisah Gel Penumpuk
Akrilamid/bisakrilamid 30% 5,0 ml 3,05 ml
1,5 M Tris-HCL pH 8,6 3,4 ml -
1,5 M Tris-HCL pH 6,8 - 2,0 ml
Aquadest steril 5,1 ml 4,65 ml
SDS 10% 148 l 85 l
Amonium persulfat 10% 100 l 75 l
TEMED 10 l 7,5 l

Lempeng kaca yang telah dibersihkan dengan etanol dan dipasang pada
alatnya, diisi dengan gel pengisi dan penumpuk yang telah terlebih dahulu dibuat
dengan komposisi seperti tercantum pada Tabel I. Sampel pada elektroforesis ini
adalah GST yang telah dimurnikan. GST tersebut dilarutkan dalam dapar sampel,
kemudian disentrifuge. Setelah itu, campuran dipanaskan pada suhu 95-100
0
C
selama 5 menit. Adapun sampel yang dielektroforesis, yaitu GST standar, fraksi
hepar tikus tanpa perlakuan sebagai kontrol negatif, perlakuan DMBA 20
mg/kgBB sebanyak 10 kali, dan dua dosis perlakuan dengan ekstrak yaitu
300mg/kgBB dan 750mg/kgBB, yang ditambah perlakuan dengan DMBA dosis
20 mg/kgBB.

Analisis Data
Data yang dihasilkan berupa hasil elektroforesis GST dengan
menggunakan metode SDS-PAGE yang kemudian dihitung luas area pita dan
ekspresi gen p53 dengan metode PCR-SSCP. Data yang diperoleh dibandingkan


PKMP-5-19-5
antar kelompok kontrol pelarut, kelompok kontrol DMBA, kelompok dosis I, II,
dan III.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Determinasi Tanaman
Identifikasi yang dilakukan terhadap serbuk, dengan mencocokkan ciri-ciri
serbuk daun Cuminum cyminum L dengan ciri-ciri yang ada pada buku Materia
Medika V (1989) sudah meyakinkan. Hasil identifikasi terhadap serbuk biji
Cuminum cyminum L menunjukkan adanya endosperm dengan sel minyak,
fragmen bekas pengangkut dengan penebalan bentuk tangga, sel minyak,
parenkim, mesokarpium dan epikarpium. Ciri-ciri ini sesuai dengan ciri-ciri
serbuk biji Cuminum cyminum L yang tertera dalam buku material Medika V
(Anonim, 1989). Hal ini menunjukkan bahwa bahan uji yang digunakan dalam
penelitian ini adalah benar biji Cuminum cyminum L.

Perkembangan Berat Badan Hewan Uji
Selama hewan uji mengalami perlakuan, dilakukan pengamatan terhadap
perkembangan berat badan hewan uji. Pengamatan ini dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh perlakuan tehadap perkembangan berat
badan hewan uji. Pengaruh tersebut dapat diamati dalam profil berat badan hewan
uji.
Pengamatan perkembangan berat badan tikus dilakukan terhadap seluruh
kelompok, baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Analisis statistik
nonparametrik dengan uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
signifikan antar kelompok. Namun, jika diteruskan dengan menggunakan uji
statistika nonparametrik Mann Whitney, hanya antara kelompok kontrol pelarut
CMC Na-corn oli dan kelompok kontrol DMBA saja yang mempunyai perbedaan
yang signifikan, sedangkan antar kelompok lain tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan. Kelompok kontrol DMBA mempunyai rata-rata berat badan yang
lebih besar dibandingkan kelompok dosis 250 mg/kg BB, dosis 500 mg/kg BB,
dosis 750 mg/kg BB, dan kelompok kontrol pelarut CMC NA-corn oil.

Grfaik Profil Pertambahan Purata Berat Badan Hewan Uji
0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
Hari
1
Hari
2
Hari
3
Hari
4
Hari
5
Hari
6
Hari
7
Hari
8
Hari
9
Hari
10
Hari
11
Hari
12
Hari
13
Hari
14
Waktu
B
e
r
a
t

B
a
d
a
n

(
g
r
a
m
)
pelarut
DMBA
Dosis 1
Dosis 2
Dosis 3


Gambar 1. Grafik profil perkembangan purata berat badan hewan uji.


PKMP-5-19-6
Kelima profil berat badan tersebut mempunyai kecenderungan yang
hampir sama, sehingga variabel perlakuan terhadap hewan uji tidak
mempengaruhi perkembangan berat badan hewan uji.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Organ Hepar Hewan Uji
DMBA merupakan salah satu senyawa yang bersifat karsinogenik poten
(King, 2000). Senyawa tersebut akan masuk ke dalam tubuh kemudian akan
mengalami metabolisme yang akan menjadi ultimate carcinogen yang akan
bereaksi dengan bagian nukelofil dari DNA sehingga menjadi DNA adduct (King,
2000). Senyawa inilah yang akan mengakibatkan mutasi dan karsinogenesis.
Perlakuan hewan uji menggunakan DMBA dosis 30 mg/kg BB
mengakibatkan perubahan secara molekuler seperti di atas yang secara
makroskopik dapat diamati berupa nodul tumor pada organ hepar hewan uji yang
diberikan DMBA. Sedangkan pada kelompok perlakuan ekstrak maupun kontrol
pelarut tidak ditemukan adanya perubahan makroskopik seperti yang terdapat
pada kelompok kontrol DMBA. Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa adanya
perlakuan DMBA dosis 30 mg/kgBB telah mengakibatkan timbulnya mutasi pada
DNA dan proses karsinogenesis pada hewan uji. Perubahan tersebut dapat dilihat
pada gambar 3.


Gambar 2. Gambaran makroskopi organ hepar hewan uji dimana terlihat adanya
nodul tumor yang ditunjukkan oleh tanda panah pada kelompok
kontrol DMBA (a), sedangkan kelompok dosis 250 mg/kgBB (b),
dosis 500 mg/kgBB (c), dosis 750 mg/kgBB, dan kontrol pelarut
CMC Na-corn oil (e) tidak menunjukkan adanya kenampakan nodul
tumor. Hal ini disebabkan oleh pemberian DMBA yang memacu
proses mutasi DNA dan karsinogenesis pada sel hepar.


Pemurnian dan Elektroforesis GST dengan Menggunakan Metode SDS-PAGE
Hasil elektroferesis dengan menggunakan metode Sodium Dodecyl
Sulphate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) yang merupakan

a

b

c

d

e


PKMP-5-19-7
metode pemisahan protein berdasarkan berat molekul protein. Protein dengan
berat molekul yang sama akan terpisah pada posisi yang sama. Hasil uji tersebut
seperti ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Profil pita hasil elektroforesis GST dengan menggunakan metode
SDS-PAGE, dilakukan replikasi 3 kali (a, b, dan c). Penyiapan fraksi
sitosol hepar tikus yang mengandung enzim GST dilakukan dengan
ekstraksi hepar tikus menggunakan loading buffer (10 mM Tris-HCl
pH 7,9, 10 mM NaCl, 1 mM DTT). Dengan metode ini, dapat
dilakukan ekstraksi pada masing-masing hepar hewan uji sehingga
akan diketahui ekspresi enzim GST setiap hewan uji. Terlihat pita
protein marker (GST) (M), pita kelompok dosis 750 mg/kgBB (D),
kelompok dosis 500 mg/kgBB (C), kelompok dosis 250 mg/kgBB
(B), kelompok kontrol DMBA (A), dan kelompok kontrol pelarut
(CMC Na-corn oil) (E).

Penentuan parameter ekspresi enzim GST dilakukan dengan mengukur
luas area pita hasil elektroforesis. Luas area pita tersebut kemudian
diperbandingkan antar kelompok. Data hasil kuantifikasi seperti terdapat pada
gambar 4.
M D M C B A E

a
D M C B A E

b

D M C B A E

c


PKMP-5-19-8
2.507
2.720
4.673
5.550
4.200
3.347
0.000
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
L
u
a
s

A
r
e
a

(
c
m
2
)
(GST)
Marker Kontrol
pelarut
Kontrol
DMBA
Dosis 250
mg/kgBB
Dosis 500
mg/kgBB
Dosis 750
mg/kgBB
Kelompok
Grafik Kuantifikasi Luas Area Pita Hasil Elektroforesis
GST dengan metode SDS-PAGE


Gambar 4. Grafik kuantifikasi luas area pita hasil elektroforesis GST dengan
metode SDS-PAGE. Terlihat bahwa terjadi penurunan ekspresi GST
seiring dengan peningkatan dosis ekstrak etanol biji jintan.

Pembahasan
Pengaruh Perlakuan Terhadap Organ Hepar Hewan Uji
Secara makroskopik terlihat adanya nodul tumor pada hepar hewan uji
yang diperlakukan dengan DMBA. Sedangkan pada kelompok ekstrak dan pelarut
tidak ditemukan adanya nodul pada hepar. Walaupun perlakuan dengan
menggunakan DMBA hanya dilakukan selama beberapa hari, namun perlakuan
tersebut telah cukup untuk menginduksi adanya tumor di dalam hepar hewan uji.
Hal ini mengindikasikan bahwa DMBA merupakan agen karsinogenik yang
cukup poten. Hal ini juga memperkuat kenyataan bahwa DMBA sudah banyak
dipakai sebagai model senyawa karsinogen dalam berbagai penelitian sebelumnya
(Singletary et al., 1997 ; Buttersby et al., 1999 ; Andreson et al., 1999).
Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Gagandep et al. (2003),
bahwa biji jintan dapat mengurangi kejadian tumor lambung dan leher rahim pada
hewan uji yang diinduksi dengan benzo(a)piren, maka kemungkinan ekstrak
etanol biji jintan dapat menghambat pembentukan tumor. Hal ini diperkuat dengan
fakta bahwa tidak terdapat nodul tumor pada hepar hewan uji yang diberikan
ekstrak. Walaupun untuk pengamatan tumor dibutuhkan waktu yang lebih lama,
namun kemungkinan ekstrak dapat menghambat pembentukan tumor tetap ada.
Kandungan ekstrak etanol yang diantaranya mengandung komponen
minyak atsiri, yang terdiri dari cuminal dan safranal (Sahelian, 2005), serta
komponen glikosida lakton sesquiterpen (Takayanagi et al., 2003) telah terbukti
dapat menghambat tumor lambung dan tumor leher rahim (Gagandep et al., 2003)
dan tumor kolon karena enyawa karsinogen 1,2-dimetil hidrasin (DMH) (Nalini,
1998). Salah satu kemungkinan mekanisme penghambatan ekstrak terhadap
proses karsinogenesis adalah melalui penghambatan pembentukan metabolit
DMBA yang dikatalisis oleh sitokrom P450.



PKMP-5-19-9
Penentuan Ekspresi GST
Hasil kuantifikasi luas area pita hasil elektroforesis GST menunjukkan
bahwa semakin tinggi peringkat dosis ekstrak yang diberikan kepada hewan uji
maka level ekspresi GST semakin turun. Data tersebut menginformasikan bahwa
senyawa yang terdapat di dalam ekstrak menekan ekspresi GST. Ada beberapa
kemungkinan mekanisme aksi ekstrak dalam menekan ekspresi GST, diantaranya
adalah menghambat pembentukan metabolit aktif DMBA dan menekan faktor
transkripsi yang berhubungan langsung dengan ekspresi GST.
DMBA merupakan karsinogen sekunder sehingga agar dapat berefek maka
harus mengalami aktivasi terlebih dahulu. Mekanisme aktivasi DMBA melibatkan
enzim-enzim pemetabolisme tertentu terutama sitokrom P-450. Oksidasi
metabolik DMBA akan menghasilkan metabolit epoksida yang sangat reaktif,
yaitu senyawa 5,6-epoksi (King, 2000). Keluarga CYP1A terdiri dari isoenzim
CYP1A1 dan CYP1A2. CYP1A1 biasanya memetabolisme senyawa-senyawa
PAH, dimana salah satunya adalah DMBA, sedangkan CYP1A2 mengaktifkan
senyawa-senyawa aminofluoro dan nitrosamin (Suoping Zhai et al., 1998).
Pemberian ekstrak terlebih dulu sebelum pemberian DMBA, mungkin
telah mampu menghambat secara spesifik isoenzym CYP1A1. Sehingga ketika
diberi DMBA, aktivasi DMBA ini menjadi metabolit yang reaktif (dapat berikatan
dengan DNA), dapat menjadi turun, dan metabolit yang dihasilkan sedikit
sehingga tidak mampu menginisiasi tahap karsinogenesis.
Ada kemungkinan beberapa senyawa yang terdapat dalam ekstrak etanol
biji C. Cyminum L. dapat menekan ekspresi GST melalui mekanisme suppresi
transkripsi. Dalam proses transkripsi, diperlukan respon elemen, dimana untuk
transkripsi gen GST, bisa melalui ARE, XRE, GPE, maupun GRE. Kemungkinan
senyawa yang terdapat di dalam ekstrak akan berinteraksi dengan reseptor-
reseptor tersebut dan membentuk kompleks. Kompleks ini tidak seperti kompleks
aktivasi, sehingga kompleks ini kemungkinan tidak dapat bekerja untuk menjadi
pemacu transkripsi sehingga tidak terjadi ekspresi GST. Namun untuk
memastikan bahwa mekanisme ini benar-benar terjadi perlu dilakukan penelitian
dengan memberlakukan kontrol ekstrak tanpa diberikan perlakuan DMBA. Jika
ditemukan bahwa terjadi penurunan level ekspresi GST, maka hal tersebut
disebabkan karena ekstrak menekan faktor transkripsi gen GST.
Kenyataan tersebut menuntun dugaan bahwa mekanisme aksi ekstrak yang
paling mungkin dalam menekan ekspresi GST adalah melalui penghambatan
aktivitas enzim sitokrom P450 terutama isoenzym CYP1A1. Konfirmasi lebih
lanjut untuk mengtahui terjadinya mutasi pada gen p53 akan memberikan
informasi lebih mengenai aktivitas antikarsinogenik dari ekstrak etanol biji jintan
C. cyminum L.


KESIMPULAN
Penentuan ekspresi GST pada percobaan dengan melakukan kuantifikasi
luas area pita hasil elektroforesis GST memberikan hasil kelompok kontrol pelarut
CMC Na-corn oil, DMBA, dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB, dan 750 mg/kgBB
berturut-turut 2.720 + 0.326, 4.67 + 0.980, 5.550 + 0.546, 4.200 + 0.676, dan
3.347 + 1.068 dalam satuan cm
2
. Sehingga dapat ditarik kesimpulan sementara
bahwa ekstrak etanol biji jintan putih C. Cyminum L. dapat menekan ekspresi


PKMP-5-19-10
enzim GST. Kesimpulan tersebut masih bersifat sementara karena harus
menunggu konfirmasi dari uji mutasi gen p53 yang masih berjalan, yang dapat
memberikan infiormasi apakah terjadi mutasi atau tidak pada gen p53.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L.E., Boorman, G.A., Morris, J.E., Sasser, L.B., Mann, P.C.,
Grumbien, S.L., Hailey, J.R., McNally, R., Sills, R.C., and Haseman, J.K.,
1999, Effect of 13 Week Magnetic Field Exposures on DMBA-initiated
Mammary Galnd Carcinomas in Female Sprague-Dawley rats,
Carcinogenesis, Vol. 20, No. 8, pp 1615-1620.
Anonim , 1989, Materia Medika Indonesiam, jilid V, Depkes RI, Jakarta
Balmain, A., M. Ramsden, G. T Bowden, and J. Smith. 1984, Activation of the
mouse cellular Harvey-ras gene in chemically induced benign skin
papillomas, Nature (London) 307:658-660.
Backer, C.A., and Van Den Brink, R.C.B., 1965, Flora of Java (Spermatophytes
Only), Vol II., N.V.D. Noordhoff-Groningen-The Netherlands.
Buttersby,S.T., Mevissen, T., Loseher, W., 1999, Exposures of Sprague-Dawley
rats to a 50 Hertz, 100-Tesla Magnetic Field for 27 Weeks Facilities
Mammary Tumorigenesis in The 7,12-dimethylbenz(a)anthracene Model
of Breast Cancer, Cancer Res, 59, 3627-3233.
Gagandeep, Dhanalakshmi S, Mendiz E, Rao AR, Kale RK, 2003,
Chemopreventive effects of Cuminum cyminum in chemically induced
forestomach and uterine cervix tumors in murine model systems, Nutr
Cancer;47(2):171-80
King, R.J.B., 2000, Cancer Biology, 2
nd
edition, Pearson Education Ltd., London
Nalini, Sabitha, Viswanathan, Menon, 1998, Influence of Spices on the Bacterial
(Enzyme) Activity in Experimental Colon Cancer, J Ethnopharmacol,
62(1): 15-24.
Sahelian,R.,M.D.,2005, Cumin, diambil dari http://www.raysahelian.com/cumin.
html, diakses September 2005.
Suoping Zhai, Renke Dai, Fred K. Friedman, and Robert E. Vestal, 1998,
Comparative Inhibition of Human Cytochromes P450 1A1 and 1A2 by
Flavonoids, Drug Metabolism and Disposition, Vol. 26, No. 10, 989-992.
Singletary, K., MacDonald, C., Wallig, M., 1997, thr Plasticizer Benzyl Buthyl
Phtalate (BBP) Inhibits 7,12-Dimethylbenz(a)anthracene, Induced Rat
Mammary DNA Adduct Formation and Tumorigenesis, Carcinogenesis,
18(8) 1669-1673
Takayanagi T, Ishikawa T, Kitajima J, 2003, Sesquiterpene lactone glucosides and
alkyl glycosides from the fruit of cumin, Phytochemistry, 63(4):479-84
Tullo, A., and E. Sbisa. 2002. Molecular characterization of p53 mutations in
primary and secondary liver tumors. Diagnostic and Therapeutic
perspectives. Moleculer Biotechnology. Vol. 21. Pp. 265-278.
Winarno, W.M., Sundari, D., Nurarmi, B., 2000, Penelitian Aktivitas Biologik
Infus Benalu The Terhadap Aktivitas Sistem Imun Mencit, Majalah
Cermin Kedokteran, No 127, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, Jakarta, hal
11-12.

PKMP-5-20-1
STUDI DAMPAK PENGEBORAN GEOTERMAL PADA PROYEK
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS BUMI (PLTPB) TERHADAP
LINGKUNGAN DAN MASYARAKAT BEDUGUL DAN SEKITARNYA

Kadek Agus Apriawan Putra, I Made Wiranata, dan I Wayan Karta
PS Pendidikan Kimia, Fakultas Pendidikan MIPA
IKIP Negeri Singaraja, Singaraja

ABSTRAK
Pro-kontra proyek geotermal pada PLTPB Bedugul terus bergulir, baik di
masyarakat maupun di media masa. Namun, kajian ilmiah mengenai isu-isu yang
masih dipro-kontrakan tersebut kurang atau jarang dilaporkan/dilakukan. Studi
ini bertujuan untuk mengkaji secara ilmiah dampak pengeboran geotermal
PLTPB terhadap lingkungan dan masyarakat Bedugul dan sekitarnya. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian
diawali dengan mengidentifikasi kerak berwarna kuning pada pipa pengeboran
PLTPB Bedugul, mengidentifikasi kandungan kadar belerang pada daun tanaman
di sekitar pengeboran dan membandingkannya dengan daun di tempat yang bebas
pencemaran H
2
S, survei lingkungan fisik sekitar pengeboran dan studi
dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Hasil analisis kerak berwarna
kuning pada pipa dan daun tanaman di sekitar lokasi pengeboran menunjukkan
adanya kebocoran gas hidrogen sulfida (H
2
S). Kondisi air, udara, dan tanah
menunjukkan bahwa telah terjadi perusakan lingkungan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa lebih banyak dampak negatif daripada dampak positif
terhadap lingkungan dan masyarakat Bedugul dan sekitarnya, sehingga
kelanjutan proyek tersebut perlu dikaji ulang secara ilmiah.

Kata kunci: geotermal, Bedugul, dampak terhadap lingkungan dan masyarakat.

PENDAHULUAN
Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk menjamin pasokan listrik di
wilayah Bali adalah dengan membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Pembangkit ini memanfaatkan panas bumi yang digunakan untuk memanaskan air
hingga didapat uap air super panas untuk menggerakkan turbin. Usaha
mendapatkan panas bumi itu dapat ditempuh dengan jalan melakukan pengeboran
sampai kedalaman tertentu.
Usaha ini akan sia-sia jika sesudah pengeboran dilakukan, panas bumi
yang didapat tidak mampu membuat uap air super panas yang diharapkan.
Penanganan bekas pengeboran adalah dengan menutup lubang pengeboran dengan
penutup pipa dengan campuran semen. Penutupan dengan metode ini bertujuan
agar gas dalam kerak bumi tidak dapat keluar melalui pipa. Namun metode ini
tidak 100% berhasil, karena penutupan dengan cara tersebut dapat membentuk
lubang-lubang kecil yang dapat dilalui materi dalam wujud gas. Cara semacam ini
tampaknya mengabaikan salah satu sifat dari gas yang dapat berdifusi ke
konsentrasi yang lebih rendah. Gas-gas seperti hidrogen sulfida (H
2
S) yang ada
dalam bumi akan menerobos celah-celah kecil yang ada pada pipa yang telah
ditutup tersebut akibat tekanan yang besar. Tentunya kita tidak ingin membiarkan

PKMP-5-20-2
gas-gas tersebut keluar dan meracuni ekosistem, yaitu dengan memperhatikan
penutupan bekas pengeboran secara intensif.
Gas yang keluar dari pipa pengeboran panas bumi secara kasat mata dapat
diketahui dari kerak yang ditimbulkan pada pipa. Berdasarkan hasil pengamatan
awal peneliti, terdapat kerak berwarna kuning pada pipa, hal ini menunjukkan
kemungkinan adanya belerang yang menempel pada pipa (belerang pada suhu
25
o
C berwarna kuning). Indikasi lainnya adalah terciumnya bau busuk (bau
seperti bau kentut atau telur busuk) di sekitar bekas pengeboran. Bau busuk ini
tercium sampai ke pemukiman penduduk pada pagi atau malam hari.
Persenyawaan belerang, seperti gas H
2
S dan SO
2
, dalam konsentrasi berlebih
dapat menimbulkan pencemaran. Pencemaran tidak saja terjadi pada manusia
(berupa gangguan pernapasan) tetapi juga pada lingkungan secara makro
(tanaman dan hewan), seperti kerusakan daun tanaman, penurunan pH tanah dan
air. Kebocoran semacam ini jika tidak ditangani secara profesional dapat merusak
lingkungan.
Walaupun pro-kontra proyek geotermal pada PLTPB Bedugul terus
bergulir, baik di masyarakat maupun di media masa, namun kajian ilmiah
mengenai isu-isu yang masih dipro-kontrakan tersebut kurang atau jarang
dilaporkan/dilakukan. Tujuan studi ini adalah mengkaji secara ilmiah dampak
yang ditimbulkan akibat pengeboran geotermal untuk PLTPB terhadap
lingkungan dan masyarakat sekitar, yang diawali dengan mengkarakterisasi secara
kimiawi kerak berwarna kuning pada pipa pengeboran geotermal untuk PLTPB
Bedugul.

METODE PENDEKATAN
Analisa kimia kualitatif digunakan untuk mendapatkan data mengenai
senyawa kimia belerang yang ada. Instrumen yang digunakan untuk studi dampak
lingkungan dan masyarakat adalah pedoman observasi, pedoman wawancara dan
angket.
Prosedur kerja karakterisasi kimiawi kerak berwarna kuning pada pipa
pengeboran dan daun di sekitar proyek pengeboran geotermal PLTPB Bedugul
adalah sebagai berikut:
1. Sampel kerak dan daun dimasukkan ke dalam tabung uji yang kering sampai
tidak ada serbuk yang melekat pada dinding tabung dan pada mulut tabung
disumbat dengan kapas yang telah dibasahi larutan timbal asetat.
2. Tabung uji yang telah diisi sampel dipanaskan dalam kedudukan hampir
horisontal
3. Setiap perubahan yang terjadi diamati.

Jika warna larutan timbal asetat berubah menjadi hitam, dapat disimpulkan
bahwa daun tanaman mengandung belerang dan udara di sekitar tempat
tumbuhnya tanaman mengandung gas persenyawaan belerang, H
2
S. Jika tidak
terjadi perubahan berarti udara di sekitar tempat tumbuhnya tanaman tidak
mengandung gas persenyawaan belerang, H
2
S (1).
Prosedur kerja pengujian derajat keasaman air:
1. Air yang berada di beberapa titik dekat pengeboran diukur tingkat
keasamannya (pH) dengan pHmeter (catatan: sampel air yang diuji adalah air
di tempat penampungan air hujan di ladang pertanian, air yang digunakan

PKMP-5-20-3
penduduk untuk kebutuhan sehari-hari, air sungai, dan air di tempat
penampungan air).
2. Hasil pengukuran dan data yang didapat dicatat dan dibandingkan dengan pH
air netral (pH sama dengan atau mendekati 7).

Pedoman observasi memuat hal-hal tentang dampak pengeboran terhadap
lingkungan dilihat dari keadaan tumbuh-tumbuhan di sekitar lokasi sampai
dengan radius 20 m, keadaan areal pertanian (keadaan tanaman, tanah dan air
secara kualitatif) serta areal perumahan di sekitar areal pengeboran.
Pedoman wawancara meliputi wawancara mengenai hal-hal yang
dirasakan masyarakat sekitar tempat pengeboran pada saat dan sesudah adanya
pengeboran seperti adanya bau, keadaan suhu, keadaan air serta hal lainnya yang
relevan.
Angket dalam penelitian ini berupa kuisioner yang diberikan kepada
masyarakat sekitar tempat pengeboran mengenai hal-hal yang telah diamati serta
dirasakan pada saat dan setelah adanya pengeboran tersebut.
Data yang dikumpulkan meliputi data kuantitatif pH air, data kualitatif
tentang keberadaan senyawa belerang pada kerak yang menempel pada pipa dan
yang terdapat pada daun tumbuhan di sekitar pengeboran, deskripsi sifat-sifat
senyawa belerang yang ada serta dampak pengeboran terhadap lingkungan dan
masyarakat sekitar.
Penelitian ini dilakukan melalui tahapan persiapan dan pelaksanaan. Pada
tahap persiapan dilakukan beberapa kegiatan seperti penyiapan alat yang akan
digunakan dalam pengambilan sampel, menyiapkan instrumen, pedoman
observasi, pedoman wawancara dan angket. Tahap pelaksanaan penelitian
meliputi pengambilan sampel, penyebaran angket. Sampel belerang yang
menempel pada pipa diambil, dimasukkan dalam plastik kemudian diikat serta
dianalisis di laboratorium. Angket penelitian diberikan kepada 50 orang penduduk
yang berada di sekitar tempat pengeboran. Penduduk yang dimaksud adalah
penduduk dari segala usia baik laki maupun perempuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian kerak pada pipa pengeboran (contohnya Gambar 1), pH
air di sekitar tempat pengeboran dan analisa daun tanaman dapat dilihat pada
Tabel 1, 2 dan 3.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan 3, sampel menunjukkan adanya emisi
gas persenyawaan belerang. Warna hitam yang semakin pekat menunjukkan kadar
belerang yang terkandung dalam kerak dan daun semakin tinggi. Pada Tabel 2
menunjukkan, air di Desa Antapan dan Desa Batunya termasuk dalam kategori air
bersih dan di Bukit Catu serta Tapak Pengeboran H (BEL H) sudah mengalami
pencemaran, yang ditunjukkan oleh pH yang rendah.
Beragam tanggapan muncul di masyarakat terkait keberadaan proyek
pengeboran panas bumi di Bedugul. Sebanyak 68% responden menyatakan tidak
setuju, 18% menyatakan setuju dan sisanya ragu-ragu. Masyarakat yang tidak
setuju dengan proyek ini berpendapat bahwa dengan adanya proyek ini maka debit
air dari sumber air akan berkurang mengingat lokasi berjalannya proyek berada di
kawasan konservasi hutan lindung Batukaru dan dekat dengan sumber air (Danau
Beratan, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan), suhu lingkungan akan bertambah

PKMP-5-20-4
tinggi dan kondisi ini akan mengakibatkan matinya tanaman milik para petani.
Selain itu udara akan tercemar oleh asap/gas yang dikeluarkan dari mesin, yang
paling utama adalah bau busuk yang diakibatkan oleh kebocoran pipa yang tidak
berfungsi (walaupun telah ditutup). Warga yang menerima menyatakan proyek ini
sangat membantu kehidupan mereka dalam hal penyediaan lapangan kerja dan
harapan terpenuhinya kebutuhan listrik di Bali secara mandiri. Warga yang ragu-
ragu beranggapan mereka tidak terkena dampak langsung poyek, baik dampak
positif maupun dampak negatifnya, dan jalan tidaknya proyek ini diserahkan
kepada pemimpin mereka (pamong desa/pemerintah) untuk mengambil
keputusan.











Gambar 1. Kerak berwarna kuning pada pipa bekas pengeboran yang
menunjukkan adanya kebocoran gas H
2
S


Tabel 1. Hasil pengujian kerak pada pipa pengeboran


Tabel 2 . Hasil pengukuran derajat keasaman air
No Lokasi pengambilan
sampel air
pH Keterangan
1. Tapak pengeboran H 3,62 Lokasi pengeboran yang masih aktif
2. Bukit Catu 5,34 Tempat penampungan air hujan
3. Desa Antapan 6,22 Pancuran, penampungan air hujan
4. Desa Batunya 6,58 Pancuran


Tabel 3 Hasil pengujian kandungan belerang pada daun di sekitar pengeboran
Desa Antapan Desa Batunya
Bukit
Catu No Nama daun
1 m 10 m 20m 1 m 20 m 1 m
Murni
1. Jambu biji ***** * *** ***** x x ***
No Lokasi pengambilan sampel kerak pada pipa Keterangan Kondisi
1. Tapak pengeboran H, Kabupaten Tabanan pengeboran yang
masih aktif
*****
2.. Dusun Bukit Catu, Desa Candi Kuning, Kabupaten
Tabanan
pengeboran yang tidak
aktif
****
3. Desa Antapan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten
Tabanan
pengeboran yang tidak
aktif
****
4. Dusun Juuklegi, Desa Batunya, Kecamatan Baturiti,
Kabupaten Tabanan
pengeboran yang tidak
aktif
****

PKMP-5-20-5
(Psidium guajava) (2)
2. Sembung (Blumea
balsamifera) (3)
***** ***** **** ***** x *** ***
3. Dap-dap (Erythrina
haerdii) (2)
***** **** x x x x ***
4. Lontoro (Leucaena sp)
(3)
x x x ***** **** x **
5. Pisang (Musa
paradisiaca) (2)

x x x x **** x **
6. Nangka (Artocarpus
heterophillus) (2)
x x x x ***** x ***
7. Alang-alang
(Eriophorum
angustifolium) (2)
x x ** x x ***** *
Keterangan: * sangat sedikit endapan hitam, ** ada sedikit endapan hitam, *** cukup banyak endapan
hitam, **** banyak endapan hitam, ***** banyak sekali endapan hitam, dan x tidak dilakukan pengambilan
sampel karena tidak ada tanaman atau tumbuhan di areal pengambilan sampel.

Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa penduduk di Dusun Bukit
Catu hanya mencium bau busuk (bau seperti telur busuk) pada awal pengerjaan
proyek. Setelah berlangsung kurang lebih dua bulan bau tersebut tidak tercium
lagi. Namun warga yang tinggal di Dusun Wanagiri tetap mencium bau busuk itu.
Bau busuk mereka cium pada saat pagi dan sore atau malam hari. Masyarakat di
Dusun Bukit Catu dan Dusun Wanagiri meyakini bau busuk itu merupakan bau
belerang. Mereka dapat mendeskripsikan bau itu sama dengan bau yang mereka
cium di kawasan Pura Teratai Bang yang telah diketahui sebelumnya bau
belerang. Akibat dari adanya bau itu di udara (pencemaran) masyarakat di Dusun
Wanagiri banyak yang mengalami gangguan pernapasan. Gangguan pernapasan
yang mereka alami berupa batuk-batuk, kepala pusing namun tidak sampai
muntah-muntah. Lain halnya dengan masyarakat di Dusun Bukit Catu, mereka
hanya merasa terganggu di awal proyek ini berjalan. Selebihnya mereka tidak
merasakan dampak apapun dari bau busuk itu. Hanya saja sedikit mengganggu di
malam hari.
Secara umum ketersediaan air untuk hidup (keperluan mandi, cuci, dan
kakus (MCK) maupun pertanian) tidak mengalami gangguan berarti. Air yang
mereka gunakan tidak mengalami banyak perubahan, bahkan tidak ada perubahan
rasa air (air tidak menjadi terasa aman). Air untuk keperluan sehari-hari penduduk
disuplai dari air ledeng (PAM) yang kemungkinan terkontaminasi oleh zat-zat
berbahaya akibat pengeboran adalah sangat kecil.
Beberapa responden yang berprofesi sebagai petani, pernah mengalami
gagal panen dan ada pula yang tidak. Gagal panen terutama terjadi pada komoditi
pertanian berupa pisang, alpukat, tomat, kubis dan bunga kembang seribu.
Tanaman itu mati dicurigai terutama akibat ketidaktahanan tanaman terhadap gas
berbau busuk yang keras dari proyek pengeboran.
Masyarakat umumnya tidak terlalu merasakan adanya perubahan khusus
yang mencolok pada suhu udara akibat pelaksanaan pengeboran. Hanya pada awal
pelaksanaan saja suhu udara menjadi sangat panas.
Suara bising mesin-mesin proyek tidak terlalu mengganggu kehidupan
penduduk di Dusun Bukit Catu. Hal ini karena lokasi pengeboran berada jauh dari
pemukiman penduduk. Namun masyarakat di Dusun Wanagiri ada yang merasa

PKMP-5-20-6
sangat terganggu, karena pada malam hari mereka tidak dapat tidur akibat suara
bising mesin-mesin proyek.

Dampak Negatif
1. Penurunan kualitas udara
Hasil analisis daun pada lokasi dekat tapak-tapak pengeboran menunjukkan
hasil yang positif mengandung belerang. Adanya kandungan belerang pada daun
tanaman menunjukkan bahwa di sekitar tempat tumbuh daun/tanaman itu telah
terjadi pencemaran gas H
2
S.
Kandungan persenyawaan belerang pada kerak membuktikan adanya emisi
pencemaran udara oleh gas-gas yang dihasilkan oleh kegiatan kontruksi,
operasional ataupun adanya indikasi kebocoran pipa bekas pengeboran.
Peningkatan konsentrasi gas di udara terutama gas H
2
S yang berbau busuk akan
menimbulkan berbagai akibat dan dampak terhadap lingkungan dan sosial
masyarakat di sekitar lokasi pengeboran.
Akibat yang ditimbulkan dengan adanya emisi gas pencemar ini adalah
bau tidak enak yang sering tercium di kawasan pengeboran. Peningkatan
konsentrasi gas H
2
S, serta gas-gas emisi lainnya seperti hidrokarbon dan amoniak
dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan adanya perubahan pola genetik pada
makhluk hidup (4). Gangguan kesehatan meliputi iritasi pada saluran pernapasan,
mual dan pusing-pusing (4). Gangguan kesehatan ini ditunjukkan oleh masyarakat
yang tinggal di Dusun Wanagiri dan sekitarnya. Jika tidak ditanggulangi dengan
cermat hal ini dapat menimbulkan keresahan. Bau ini dapat meresahkan
kehidupan masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya, seperti bertani, istirahat,
dan lain-lain. Hal ini karena bau seperti bau kentut (indikasi adanya gas H
2
S)
sering muncul pada pagi dan siang hari seperti yang dialami beberapa responden
di Dusun Bukit Catu dan Desa Batunya, serta pagi dan malam hari di Dusun
Wanagiri.
Tumbuhan juga mengalami gangguan akibat adanya H
2
S. Seperti halnya
manusia tumbuhan juga bernapas. Tumbuhan saat bernapas menghirup segala gas
yang ada di udara, termasuk H
2
S seperti terungkap pada pengujian daun tumbuhan
di sekitar lokasi pengeboran memiliki kandungan belerang yang lebih besar.
Perubahan kondisi lingkungan (udara) akan memaksa tumbuhan (juga hewan)
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang baru. Agar dapat
menyesuaikan diri maka susunan tanaman dalam tubuh tumbuhan akan
mengalami perubahan. Perubahan susunan tanaman ini (mutagen) adalah dampak
buruk yang dapat mengakibatkan tumbuhan kehilangan sifat alaminya.
Pembukaan area hutan lindung secara otomatis akan mengurangi jumlah
penyerapan karbon dioksida (CO
2
)

yang dapat dilakukan oleh tumbuhan.
Berkurangnya jumlah CO
2
yang mampu diserap menyebabkan kadar CO
2
di udara
mengalami peningkatan yang berakibat pada terjadinya efek rumah kaca (4). Suhu
udara yang panas dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, menempatkan
masyarakat pada kondisi emosi yang labil. Kondisi-kondisi tersebut jika tidak
ditanggulangi dengan cermat akan menimbulkan keresahan masyarakat.
Penanaman hutan kembali di Desa Gesing oleh pihak pengelola proyek (Bali
Energy Ltd. (BEL), tidak serta-merta mampu menanggulangi dampak ini.
Kemampuan daun tamanan yang masih muda dalam melakukan penyerapan CO
2

lebih rendah daripada daun tanaman tua (4). Hal ini berakibat terganggunya

PKMP-5-20-7
perlindungan terhadap atmosfer Bali khususnya kawasan Bedugul dan sekitarnya
sebagai paru-paru Bali.

2. Kebisingan dan getaran
Masyarakat di sekitar pengeboran merasa terganggu dengan kebisingan
yang terjadi pada tahap kontruksi sampai tahap uji sumur produksi. Hal ini terjadi
karena pada saat kontruksi menggunakan berbagai kendaraan berat (trailer dan
dump truck), penggunaan mesin pancang serta mobilitas lalu lintas yang padat
saat pengangkutan peralatan yang diperlukan dalam kegiatan pengeboran. Hal ini
memberikan dampak sosial berupa kekurangnyamanan dan terganggunya aktivitas
masyarakat. Sedangkan dampak terhadap lingkungan yang terjadi yaitu beberapa
ternak penduduk menjadi resah/stress.
Satwa juga kemungkinan terganggu dengan adanya kebisingan berupa
gangguan komunikasi. Gangguan ini terasa khususnya pada tahap ketergantungan
anak-induk saat usia muda serta gangguan terhadap kemampuan anak untuk
berkomunikasi saat meminta makanan dari induknya atau gangguan komunikasi
induk kepada anaknya pada saat ada bahaya. Fenomena ini menyebabkan
keanekaragaman jenis fauna di kawasan hutan akan berkurang akibat
ketidaknyamanan oleh kebisingan. Gangguan kebisingan yang dialami oleh satwa
dapat menyebabkan menurunnya keanekaragaman satwa. Hal ini terjadi karena
satwa yang merasakan kebisingan akan berpindah dari kawasan hutan.
Menurunnya keanekaragaman satwa menyebabkan putusnya beberapa rantai
makanan pada ekosistem.

3. Penurunan sifat fisik dan kimia tanah serta penurunan kualitas air
Emisi gas H
2
S akan memperbanyak konsentrasi asam-asam belerang
dalam udara yang mengakibatkan hujan asam. Hal ini ditunjukkan dari pH air
hujan yang ditampung oleh warga berada pada kondisi di bawah normal (pH air
hujan yang diambil dari penampungan air hujan di Dusun Bukit Catu adalah
5,34). Efek dari hujan asam ini menyebabkan penurunan pH tanah.
Pelaksanaan proyek PLTPB dapat menurunkan kualitas air khususnya air
permukaan pada tahap konstruksi kegiatan uji sumur produksi. Pada saat uji
sumur produksi banyak uap panas yang lepas ke udara dengan berbagai komponen
yang berupa asam, basa dan garam-garam mineral yang selanjutnya jatuh bersama
air hujan dan terbawa ke aliran permukaan. Limbah gas buang yang dihasilkan
pada kegiatan ini mengandung SO
2
, CO
2
, CO, NO
2
, dan H
2
S. Limbah gas ini akan
menyebabkan terjadinya hujan asam di wilayah dekat lokasi proyek. Hujan asam
akan berdampak pada penurunan kualitas air, menyebabkan gangguan dan
kematian komponen flora dan fauna pada ekosistem.



4. Penurunan potensi air dan tofografi tanah
Penurunan kualitas air dapat mengakibatkan manfaat air menjadi berkurang
bagi masyarakat, pertanian dan perikanan serta menimbulkan penyakit pada
masyarakat, seperti diare, hepatitis A, kolera, disentri, dan lain-lain (5). Penurunan
kualitas air ditandai dengan perubahan pH yang drastis akibat adanya senyawa
anorganik (5). Pada tumbuhan, perubahan pH dapat menyebabkan permeabilitas

PKMP-5-20-8
membran sel berubah, dan menyebabkan menurunnya sifat alamiah enzim
sehingga enzim-enzim yang terdapat pada tumbuhan kehilangan aktivitasnya (6).
Dampaknya terhadap pertanian akan mengurangi hasil panen petani akibat
pertumbuhan dan perkembangan tanaman terganggu. Hal ini akan meresahkan
masyarakat mengenai persediaan, kualitas dan kuantitas air yang akan berkurang
terutama yang memanfaatkan aliran air dan danau untuk pertanian.
Pembukaan areal hutan lindung menyebabkan daya serap tanah menurun
terhadap air hujan. Lama-kelamaan jika terjadi hujan deras maka akan
menyebabkan tanah longsor dan menurunnya air permukaan. Longsor terjadi
karena tanaman perekat tanah sudah ditebang dan perubahan arah aliran air.
Peristiwa ini pernah dialami responden di Desa Batunya. Tentu saja hal ini
meresahkan masyarakat mengenai bahaya longsor. Penurunan air permukaan
menyebabkan pendangkalan sumber-sumber air khususnya air di Danau Buyan,
Danau Tamblingan, dan Danau Beratan.









Gambar 2. Kondisi lahan kritis di bekas tempat pengeboran

5. Penurunan kelimpahan dan keanekaragaman jenis flora dan fauna
Salah satu karakteristik gas H
2
S adalah lebih berat daripada udara dan oleh
sebab itu gas ini akan berada lebih dekat dengan permukaan tanah. Kondisi
geografis Bedugul berupa lembah akan menyulitkan pergerakan gas-gas ini.
Kondisi ini mengakibatkan akumulasi gas pada daerah tertentu. Akumulasi gas-
gas ini akan terhirup oleh hewan dan tumbuhan di sekitarnya, yang
mengakibatkan kematian pada spesies tertentu. Hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa sudah terdapat kematian pada jenis tanaman pisang, alpukat,
tomat, kubis, dan bunga kembang seribu. Tidak menutup kemungkinan peristiwa
serupa terjadi pada jenis flora dan fauna lainnya. (perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut terhadap kasus ini).
Pembuatan jalan melalui penebangan atau perabasan hutan di areal hutan
lindung mengakibatkan kematian pada banyak spesies yang tumbuh dan hidup di
kawasan hutan Batukaru. Kematian tersebut tidak saja pada jenis yang umum
terdapat di tempat lain tetapi juga tanaman yang hanya dapat hidup di tempat itu,
seperti cemara pandak. Pembukaan hutan untuk jalan penghubung menuju tempat
pengeboran telah merusak dan menghilangkan tempat mencari makan, bersarang,
daerah jelajah bagi sejumlah hewan. Hutan Batukaru merupakan hutan yang telah
berumur ribuan tahun. Di dalamnya telah terjadi keseimbangn ekologis yang
mantap seperti komunitas pohon cemara pandak (Podocarpus imbricatus) (2)
khas Bedugul. Cemara pandak ini merupakan tegakan murni di hutan lindung
Batukaru yang merupakan tempat satwa lainnya hidup dan berkembangbiak.
Penebangan ini juga berdampak pada jenis tumbuhan lain. Jika salah satu

PKMP-5-20-9
komponen hilang, maka rantai kehidupan di dalamnya akan terganggu. Sehingga
keberadaan proyek pengeboran ini sangat mengganggu pelestarian ekosistem
(flora dan fauna) secara insitu di hutan Batukaru.
Kebijakan mengganti hutan yang hilang dengan luas tertentu akibat proyek
dengan luas lahan penanaman pohon duakali di tempat lain belum memiliki
sasaran yang tepat. Hutan yang dibuka adalah kawasan hutan lindung dan hutan
primer dengan tegakan murni yang berumur ratusan tahun dan telah terbangun
sistem ekologis yang fungsional, dalam penanaman yang baru diperlukan waktu
yang cukup lama untuk mengembalikan hutan sesuai dengan ekosistemnya, serta
belum ada jaminan lokasi pengganti hutan dari penebangan. Pembukaan lahan ini
juga dapat menurunkan fungsi-fungsi konservasi sebagai kawasan hutan lindung
(konservasi plasmanutfah, persediaan air, persediaan udara yang bersih,
konservasi tanah dan lahan, sistem sosial, budaya dan ekonomi masyarakat).

6. Gangguan transportasi
Gangguan transportasi terutama terjadi di daerah-daerah tempat pengeboran
yang gagal. Jalan yang telah dibangun secara swadaya oleh masyarakat di Desa
Antapan menjadi rusak akibat dilalui oleh kendaraan yang membawa alat-alat
berat dan material bangunan pada tahap persiapan pengeboran. Dampak
kerusakan menyebabkan gangguan pada kendaraan dan pengendara yang melintas
di jalan ini. Gangguan ini berupa hentakan atau goncangan pada saat berkendara.

7. Perubahan tata guna lahan
Dampak lain yang ditimbulkan dari bekas pengeboran yang gagal adalah
adanya perubahan tata guna lahan dari lahan subur menjadi lahan kritis. Lahan
yang dulunya merupakan lahan yang subur dan merupakan lahan yang sangat
potensial untuk pertanian, kini menjadi lahan kritis yang terlantarkan. Hal ini
tampak jelas pada tapak-tapak pengeboran yang gagal dan ditelantarkan (Gambar
2). Pembangunan jalan menuju proyek pengeboran yang melintasi peladangan
petani akan memungkinkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi
bangunan, perumahan, dan lain-lain.

8. Perubahan nilai-nilai sosial
Hampir seluruh perusahaan memerlukan pengamanan dalam menjalankan
usahanya. Tidak terkecuali, Bali Energi Ltd (BEL) yang menjadi pelaksana
pengeboran proyek geotermal di Bedugul. BEL selain mempekerjakan sejumlah
satpam juga mempekerjakan pecalang untuk menjaga keamanan proyek. Pecalang
merupakan salah satu komponen dalam sistem masyarakat adat Bali. Pecalang
bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban pelaksanaan upacara-upakara
agama Hindu di Bali. Mempekerjakan pecalang sebagai pengaman proyek jelas
merupakan suatu kekeliruan, jika ditinjau dari peran pecalang dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat Bali pada umumnya. Jika fenomena ini tidak
diluruskan, maka tugas pecalang sebagai satpam akan diwariskan secara turun-
temurun dan mengakibatkan perubahan nilai-nilai sosial dalam kehidupan sosial
masyarakat Bali.
Pro-kontra mengenai keberadaan PLTPB Bedugul akan menimbulkan
keresahan pada masyarakat dan kesenjangan di masyarakat akibat timbulnya
konflik horisontal. Apalagi dari 50 responden, hanya 18% yang menyatakan

PKMP-5-20-10
setuju proyek PLTPB Bedugul terus berlanjut, 68% menolak dan sisanya ragu-
ragu. Keresahan ini dapat berbuntut panjang jika tidak ditangani dengan bijak.
Masyarakat yang kontra dengan PLTPB Bedugul bisa saja mengamuk dalam
artian melakukan perusakan di lokasi proyek atau kantor-kantor pemerintahan,
tempat-tempat pelayanan publik dan atau kantor pimpinan proyek bahkan
menyerang masyarakat dari kelompok pro-PLTPB Bedugul.

Dampak positif
Selain dampak negatif yang terjadi pada komponen fisika dan kimia dari
lingkungan dan perubahan nilai-nilai sosial kemasyarakatan, pembangunan
PLTPB Bedugul akan menimbulkan dampak positif khususnya terhadap
komponen ekonomi. Pembangunan jalan menuju proyek pengeboran yang
melintasi peladangan petani dapat memperlancar distribusi logistik, hasil petanian
dan perkebunan di daerah Bedugul dan sekitarnya.
Beberapa orang yang menganggur dapat memperoleh pekerjaan pada
proyek PLTPB Bedugul. Dampak proyek dalam penyerapan dan perekrutan
tenaga kerja menguntungkan sebagian kecil masyarakat. Tetapi penyerapan tenaga
kerja ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial terhadap mereka yang tidak
diterima. Hal ini dapat menimbulkan konflik horisontal maupun vertikal pada
masyarakat.
Namun apabila ditinjau secara mendalam, dampak positif tidaklah
seimbang dengan dampak negatif yang ditimbulkan, apalagi ditinjau dari
kepentingan Bali secara umum karena Bedugul merupakan kawasan konservasi
hutan, sumber air dan kehidupan spiritual Bali yang harus dilestarikan.

KESIMPULAN
Hasil analisis kerak berwarna kuning pada pipa dan daun tanaman di
sekitar lokasi pengeboran menunjukkan adanya kebocoran gas H
2
S. Kondisi air,
udara, dan tanah menunjukkan bahwa telah terjadi perusakan lingkungan. Hasil
studi dampak pengeboran PLTPB Bedugul menunjukkan lebih banyak dampak
negatif daripada dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat Bedugul dan
sekitarnya, sehingga kelanjutan proyek tersebut perlu dikaji ulang secara ilmiah.

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dirjen Dikti atas bantuan dana
yang diberikan untuk membiayai penelitian ini, Direktur Bali Energy Ltd. atas
kerja samanya, Rektor IKIP Negeri Singaraja atas ijinnya dalam melaksanakan
penelitian, Bapak Dr. I Nyoman Tika, M.Si, selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Kimia, Bapak Dr. rer. nat. I Wayan Karyasa, S.Pd. M.Sc selaku dosen
pembimbing, Kepala Desa Antapan, Desa Batunya, dan Desa Candikuning atas
bantuan dan kerjasamanya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sugiharto, Kristian H. Kimia Anorganik I. Yogyakarta: Jurusan Kimia
FPMIPA Universitas Negeri Yogyakarta; 2004.
2. William, Warrem. Botanica The Ilustrated A-2 of Over 10,000 Garden Plants
and How to Cultivate them. Singapore: Periplus Editions; 1998.
3. Afriastini, JJ. Daftar Nama Tanaman. Jakarta: PT Penebar Swadaya; 1985.

PKMP-5-20-11
4. Ardhana, I Putu Gede. Dampak Pembangunan Terhadap Kesehatan
Lingkungan (Lokakarya Kimia Lingkungan Jurusan Pendidikan Kimia IKIP
Negeri Singaraja). Singaraja: Tidak dipublikasikan; 2005.
5. Arya Wardhana, Wisnu. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi;
2001
6. Sarna, Ketut. dkk. Buka Ajar Fisiologi Tumbuhan. Singaraja: Program Studi
Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan MIPA STKIP Singaraja; 1998/1999.


PKMP-5-21-1
STUDI PEMBUATAN SERBUK MINUMAN UMBI BIT (Beta vulgaris L)
BERKARBONASI (EFFERVESCENT)

Retno Kurniasih, Niken Anjani, dan Riana Handayani
Jurusan Tekn Pangan, Fak Tekn Industri Pertanian, Universitas Sahid Jakarta

ABSTRAK
Perhatian masyarakat kini semakin meningkat terhadap pangan fungsional. Umbi
bit dapat mendetoksifikasi darah, merangsang fungsi sel hati dan melindungi
saluran empedu dan hati, menghambat penumpukan lemak pada hati, mencegah
serangan jantung dan penyakit arteri serebral, serta mencegah tumor. Komponen
yang berperan adalah betanin yang mampu disintesis menjadi kolin dalam tubuh.
Umbi bit memiliki flavor tanah yang kurang menyenangkan, dan belum
dimanfaatkan secara maksimal. Diperlukan produk olahan yang dapat membawa
efek positif bagi kesehatan secara maksimal dan disukai, yaitu serbuk minuman
berkarbonasi (effervescent) umbi bit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat terhadap mutu serbuk
effervescent umbi bit sehingga dapat diperoleh konsentrasi yang seimbang.
Rancangan eksperimen yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial
(RALF) dengan dua faktor, yaitu konsentrasi Na-bikarbonat (39%, 49%, 59%)
dan konsentrasi asam sitrat (15%, 25%, 35%) dengan dua kali pengulangan.
Analisis data dilakukan dengan Analisis Varian untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan mutu antar taraf dalam perlakuan. Bila ada perbedaan dilakukan uji
Duncan Multiple Range Test. Pengujian mutu dilakukan melalui uji kimia (kadar
air, pH, uji spektrofotometer), uji fisik (persentase volume buih, kelarutan), serta
uji organoleptik melalui uji mutu hedonik dan uji penjenjangan (penampakan
buih, warna, aroma umbi bit dan rasa). Berdasarkan pengamatan, serbuk
effervescent umbi bit yang memiliki mutu terbaik dihasilkan dengan konsentrasi
Na-bikarbonat 59% dan konsentrasi asam sitrat 35% karena memiliki pH 5.25
(komponen betanin tetap stabil), persentase volume buih yang paling maksimal
(20.4%), tingkat kelarutannya sebesar 99.9596%, memiliki kadar air 0.25%, skor
penampakan buih 3.9 (volume agak kecil), warna 4.3 (merah tua), aroma umbi bit
5.3 (kurang kuat), rasa 3.4 (asam manis kurang kuat), tingkat penjenjangan rata-
rata 0.2192.

Kata kunci: umbi bit, betanin, effervescent, Na-bikarbonat, asam sitrat

PENDAHULUAN
Perhatian masyarakat semakin meningkat terhadap pemanfaatan pangan
fungsional, yaitu pangan yang mempunyai fungsi kesehatan. Salah satunya adalah
umbi bit yang dapat mendetoksifikasi darah (Heirman, 1994 dalam AIM
Internasional, 2000), merangsang fungsi sel hati, melindungi saluran empedu dan
hati (Vogel, 1991), serta mampu mencegah tumor. Komponen penting betanin
berdasarkan percobaan pada hewan, mampu menghambat penumpukan lemak
pada hati (fatty liver) sehingga mencegah serangan jantung dan penyakit arteri
serebral. Betanin adalah bahan utama bagi tubuh dalam mensintesis kolin. Kolin
berperan dalam metabolisme lemak pada hati, dan merupakan senyawa utama
pada spingomielin (berperan dalam kerja otak dan jaringan saraf), sebagai

PKMP-5-21-2
prekursor asetilkolin yang berperan penting dalam transmisi saraf (Ensminger
dkk, 1995; Aim Internasional, 2000). Umbi bit memiliki flavor tanah yang kurang
menyenangkan, dan betanin bersifat rentan terhadap suhu, cahaya, panas, dan pH
(Eder, 2000). Umbi bit belum dimanfaatkan dengan optimal, dan belum terdapat
produk olahan umbi bit di Indonesia, maka umbi bit masih memiliki peluang
industri yang besar. Menurut Eder (2000), betanin pada konsentrat umbi bit kering
bersifat stabil, dengan demikian effervescent umbi bit diharapkan dapat
memberikan efek positif betanin secara maksimal, serta memberikan efek rasa
menyegarkan dengan adanya karbonat pada produk sehingga menutupi rasa bit
yang kurang menyenangkan, praktis, dan biaya pengangkutan rendah.
Konsentrasi asam dan Na-bikarbonat dapat mempengaruhi efek
menyegarkan dan pembentukan gas CO
2
(efek effervescing). Efek effervescing
dapat hilang atau berkurangnya bila konsentrasi garam bikarbonat yang ada tidak
tepat untuk dapat habis bereaksi dengan asam sitrat yang ada. Na-bikarbonat dan
asam dapat mempengaruhi pH dan kestabilan betanin (Lieberman dkk, 1989).
Permasalahan yang akan diteliti adalah: (1) Secara keseluruhan, apakah
ada perbedaan antara mutu serbuk effervescent umbi bit yang dibuat dengan
konsentrasi Na-bikarbonat berbeda (39%, 49% dan 59%)? Bila ada, pada
konsentrasi berapakah diperoleh mutu serbuk effervescent umbi bit yang terbaik?
(2) Secara keseluruhan, apakah ada perbedaan antara mutu serbuk effervescent
umbi bit yang dibuat dengan konsentrasi asam sitrat berbeda (15%, 25% dan
35%)? Bila ada, pada konsentrasi berapakah diperoleh mutu serbuk effervescent
umbi bit yang terbaik? (3) Secara keseluruhan, apakah terdapat interaksi antara
konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat dalam mempengaruhi mutu serbuk
effervescent umbi bit? Bila ada, kombinasi manakah diperoleh mutu serbuk
effervescent umbi bit terbaik?
Mutu ditentukan melalui uji fisik (volume buih dan kelarutan), uji kimia
(kadar air, pH, dan uji spektrofotometer), uji organoleptik meliputi uji mutu
hedonik dan uji rangking terhadap warna, aroma, rasa dan penampakan buih
produk.
Hipotesis yang disusun, yaitu : (1) Secara keseluruhan, diduga ada perbedaan
antara mutu serbuk effervescent umbi bit yang dibuat dengan konsentrasi Na-
bikarbonat yang berbeda (39%, 49% dan 59%), (2) Secara keseluruhan, diduga
ada perbedaan antara mutu serbuk effervescent umbi bit yang dibuat dengan
konsentrasi asam sitrat yang berbeda (15%, 25% dan 35%), (3) Secara
keseluruhan, diduga ada interaksi antar konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat
dalam mempengaruhi mutu serbuk effervescent umbi bit.
Tujuan penelitian ini yaitu menghasilkan produk berbahan dasar umbi bit
yang praktis, disukai dan bermanfaat bagi kesehatan, menerapkan teknologi
pembuatan serbuk effervescent dengan menggunakan bahan baku umbi bit
sehingga dihasilkan produk serbuk effervescent umbi bit yang terbaik, menambah
wawasan, pengetahuan dan pengalaman penulis dalam melakukan penelitian
secara ilmiah. Bagi masyarakat diharapkan adanya peningkatan produk serbuk
effervescent umbi bit sebagai peningkatan dan penganeka ragaman produk bit
sebagai produk pangan fungsional, dan manfaat dari produk ini dapat diketahui
masyarakat luas.


PKMP-5-21-3
METODE PENDEKATAN
Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan dan
Laboratorium Biokimia Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB, Bogor
serta di Laboratorium Pengolahan Pangan dan Laboratorium Kimia FTIP
Universitas Sahid Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2006 sampai
dengan Mei 2006.
Bahan yang digunakan adalah bahan baku berupa umbi bit, dan bahan
lainnya yaitu asam sitrat, asam tartrat, aspartam, dekstrin, tween 80, sodium
bikarbonat, dan gula halus, buffer pH 4 dan 7. Alat yang digunakan pada
penelitian ini adalah kertas saring Whatman No. 42, freeze dryer, pengepress
hidrolik, freezer, toples kedap udara, ayakan 50 mesh, desikator, pH meter,
timbangan analitik, bejana plastik, HPLC, gelas ukur, wadah plastik, pisau, alat-
alat gelas, dan sealer, spektrofotometer.
Metode penelitian adalah metode eksperimen rancangan acak lengkap
faktorial dengan dua faktor, yaitu konsentrasi Na-bikarbonat (39%, 49%, 59%)
dan asam sitrat (15%, 25%, 35%) dengan dua kali pengulangan. Penelitian terdiri
dari penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk
mengetahui cara pembuatan serbuk effervescent yang tepat dan menentukan
tingkat kemanisan yang paling tepat dengan perlakukan konsentrasi gula pasir
berbeda (21%, 26%, 31%, 36%, dan 41% (b/b) dari total bobot daging umbi bit).
Perbandingan Na-bikarbonat dan asam sitrat berdasarkan perhitungan stokiometri,
yaitu Na-bikarbonat sebanyak 49% (b/b), dan asam sitrat sebanyak 25% (b/b),
sedangkan bahan lainnya digunakan sesuai dengan formulasi produk pada
umumnya. Hasil uji organoleptik pada Tabel 1 menunjukkan konsentrasi yang
akan digunakan pada penelitian utama adalah 21% karena memberikan nilai
tertinggi.
Tabel 1. Rata-rata nilai hasil uji hedonik dan uji mutu hedonik terhadap rasa
effervescent yang dibuat dengan konsentrasi gula halus berbeda.
Nilai rata-rata hasil uji organoleptik Konsentrasi gula halus
(%) Uji hedonik rasa Uji mutu hedonik rasa
21 4.20
a
4.05
a
26 3.50
b
3.15
b
31 3.15
c
3.50
c
36 3.65
d
4.10
a
41 3.35
e
3.75
d
Keterangan :
Notasi yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan
Nilai pada hedonik rasa : 1 = asam manis sangat tidak kuat; 2 = asam manis tidak kuat;
3 = asam manis kurang kuat; 4 = asam manis agak kuat; 5 = asam manis kuat; 6 =
asam manis sangat kuat
Nilai pada mutu hedonik rasa : 1 = sangat suka; 2 = suka; 3 = agak suka; 4 = kurang
suka; 5 = tidak suka; 6 = sangat tidak suka
Penelitian utama dilakukan untuk menentukan konsentrasi Na-bikarbonat
dan asam sitrat terbaik sehingga dapat menghasilkan mutu produk terbaik.
Konsentrasi Na-bikarbonat yang digunakan adalah 59%, 49%, dan 39% (b/b),
sedangkan
konsentrasi asam sitrat yang digunakan adalah 15%. 25%, dan 35. % (b/b).
Skema pembuatan serbuk effervescent umbi bit dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 2. Konsentrasi bahan dalam pembuatan serbuk effervescent umbi bit pada
penelitian utama

PKMP-5-21-4
Bahan Berat Persentase (%)
Daging umbi bit 1000 g 100%
Asam sitrat 150g, 250g, 350g 15%, 25%, 35%
Asam Tartarat 180 g 18%
Tween 80 0.4 g 0.04%
Dekstrin 300 g 30%
Aspartam 50 g 5%
Na-bikarbonat 390g, 490g, 590g 39%, 49%, 59%
Gula Halus 210 g 21%
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data kimia (kadar air,
pH, dan hasil uji spektrofotometer), data fisik (volume buih dan tingkat
kelarutan), dan data organoleptik (hasil uji hedonik dan rangking)
Penentuan kadar air dilakukan dengan metoda oven dimana cawan kosong
dan tutupnya dikeringkan 15 menit, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Sampel ditimbang sebanyak 5 gram, dan ditempatkan cawan beserta isinya dan
tutupnya dalam oven vakum selama 6 jam. Cawan lalu didinginkan dalam
desikator. Setelah dingin ditimbang, dan dikeringkan kembali sampai bobotnya
tetap. Hasil analisa kadar air dinyatakan sebagai persen kadar air basis basah
(AOAC, 1999)
Pengukuran pH dilakukan terhadap serbuk effervescent umbi bit yang
telah dilarutkan sebanyak 4,5 gram dalam 250 ml air dingin. Pengukuran
dilakukan menggunakan pH meter yang dikalibrasi (SNI 01-2891-1992).
Pengujian spektrofotometri dilakukan dengan menyiapkan larutan uji dan
pembanding yang akan diukur serapannya. Kemudian kuvet diisi dengan larutan
blanko (air), dan set panjang gelombang yang digunakan (538nm), setelah
panjang gelombang keluar, tekan autozerro. Setelah kuvet diisi dengan larutan
standard, dan diuji (Depkes, 1995).
Sifat pembuihan diamati dengan mengukur volume buih terbesar yang
terbentuk selama produk larut menggunakan gelas ukur. Sifat ini diamati dengan
melarutkan 4,5 gram produk serbuk effervescent umbi bit dalam 250 ml air dingin
(Cheftel et al., 1991)
Persentase volume buih = [volume buih (ml) / volume cairan awal (ml)] x 100
%
Pengukuran kelarutan dilakukan dengan metode gravimetri. Pengukuran
dilakukan dengan menimbang 4.5 gram contoh ke dalam gelas piala 400 ml dan
ditambah 250 ml air dingin, diaduk hingga homogen, dalam keadaan dingin
dituangkan ke dalam kertas saring yang dikeringkan dan ditimbang. Kemudian
gelas piala dan kertas saring dibilas dengan menggunakan air dingin. Kertas
saring kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105
o
C selama 2 jam,
didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap (SNI 01-2891-1992)
W1-W2
% Bagian yang tidak larut air = 100% - x 100%
W
Dimana: W = bobot cuplikan
W1 = bobot botol cuplikan + kertas saring berisi
bagian yang tidak larut
W2 = bobot botol timbang dan kertas saring kosong



Bit Segar
Sortasi

PKMP-5-21-5















Tahap 1



Tahap 2
bagian NaHCO
3



bagian NaHCO
3



Tahap 3

Gambar 1. Skema pembuatan serbuk minuman berkarbonasi (effervescent) umbi
bit
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik dan ranking
terhadap warna, rasa, aroma dan penampakan buih oleh 20 orang panelis semi
terlatih.
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis varian faktorial 3 x 3, dua
kali pengulangan. Perlakuan memberikan pengaruh nyata jika F hitung>F tabel
(Ho ditolak bila F hitung>Ftabel) pada taraf 5% dan berpengaruh sangat nyata jika
F hitung>F tabel pada taraf 1%. Uji DMRT untuk mengetahui taraf perlakuan
yang berbeda nyata atau sangat nyata dan taraf perlakuan mana yang terbaik.
Model hipotesis penelitian:
Pengupasan dan pencucian
Penghancuran (grinder)
Pengepresan (hydrolic presser)
Sari Umbi Bit
Pengeringan beku (Freeze Dryer)
Ampas
Dekstrin
Tween 80
Penghancuran dan
pengayakan (50 mesh)
Serbuk Konsentrat umbi bit
Asam Tartrat

Pencampuran 1
Pencampuran 2
Aspartam
Gula Halus
Pembekuan (Freezer)
Na-bikarbonat (A)
39% (A
1
), 49% (A
2
)

, 59% (A
3
)
Asam Sitrat (B)
15% (B
1
), 25% (B
2
), 35% (B
3
)
A
1
B
3
A
1
B
2
A
2
B
1
A
2
B
2
A
2
B
3
A
3
B
1
A
3
B
2
A
3
B
3
A
1
B
1

Penimbangan dan pengemasan
Kulit &
Kotoran

PKMP-5-21-6
a. H
0
: A
i
= 0 (i = 1, 2, 3)
H
0
diterima apabila F
hitung
A lebih kecil atau sama dengan F
tabel
A, tidak ada
perbedaan antara taraf perlakuan A (Na-bikarbonat). Demikian pula halnya
pada taraf perlakuan B dan Kombinasi A dan B.
H
1
: A
i
0
H
1
diterima (Ho ditolak) bila F
hitung
A lebih besar dari F
tabel
A, ada perbedaan
antara taraf perlakuan A (Na-bikarbonat). Demikian pula halnya pada taraf
perlakuan B dan Kombinasi A dan B.
Metode uji Duncan dihitung dengan parameter standard kekeliruan rata-
rata (Sy) dengan rumus:
Kuadrat Tengah Galat
SyAB =
Jumlah ulangan

HASIL DAN PEMBAHASAN
Mutu Kadar Air
Hasil pengamatan terhadap kadar air produk menunjukkan nilai rata-rata
mutu pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata kadar air (%) serbuk minuman berkarbonasi umbi bit akibat
pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda.
Konsentrasi Na-bikarbonat (%) Konsentrasi Asam Sitrat
(%) 39 49 59
Rata-rata
(%)
15 0.25 0.25 0.24 0.25
25 0.24 0.25 0.25 0.25
35 0.25 0.24 0.25 0.25
Rata-rata 0.25 0.25 0.25
Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan konsentrasi Na-bikarbonat dan
asam sitrat serta interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh terhadap
persentase kadar air serbuk effervescent umbi bit yang dihasilkan. Tidak terdapat
perbedaan kadar air karena kadar air dipengaruhi oleh kondisi suhu dan
kelembaban ruangan pengolahan (maksimal 25
o
C dan kelembaban maksimal
35%) dimana kondisi tersebut terjaga pada saat pengolahan. Pada kelembaban dan
suhu yang lebih tinggi, effervescent bersifat kurang stabil karena menyerap uap air
lingkungan sehingga memicu reaksi effervescing tidak dikehendaki. Untuk
mencegah penyerapan uap air selama disimpan, dilakukan pengemasan dengan
alumunium foil dan polietilen. Kadar air bahan yang digunakan harus cukup
rendah sebelum dicampur untuk mencegah terjadinya reaksi effervescing yang
tidak dikehendaki (Mohrle, 1989).
Mutu Derajat Keasaman (pH)
Hasil pengamatan terhadap pH produk pada Tabel 4 menunjukkan
semakin tinggi konsentrasi Na-bikarbonat, pH cenderung semakin tinggi dan
semakin tinggi konsentrasi asam sitrat, pH cenderung semakin rendah.
Tabel 4. Rata-rata pH minuman berkarbonasi umbi bit akibat
pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda.
Konsentrasi Na-bikarbonat (%)
Konsentrasi Asam Sitrat
39 49 59
Rata-rata
15 5.75 6.05 6.20 6.00
c
25 5.10 5.60 5.95 5.55
b

PKMP-5-21-7
35 4.50 5.15 5.25 4.97
a
Rata-rata 5.12
a
5.60
b
5.80
b

Keterangan : Notasi yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak ada
perbedaan pada (=0.01)
Hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan sangat nyata (=0.01) antara
pH dengan penambahan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda,
namun tidak ada interaksi antara keduanya. Hasil uji Duncan menunjukkan
perbedaan nyata =0,05 nilai pH dengan konsentrasi Na-bikarbonat berbeda.
Terdapat perbedaan sangat nyata =0,01 nilai pH dengan konsentrasi asam sitrat
berbeda. Menurut Ensminger dkk (1995), betanin stabil pada pH 5-6. Nilai pH
yang lebih rendah dari 5 menyebabkan betanin mengalami isomerisasi dan
degradasi. Semua perlakuan memberikan nilai pH yang mendukung kestabilan
betanin kecuali konsentrasi asam sitrat 35% dan Na-bikarbonat 39% (pH 4,5).
Semakin tinggi konsentrasi asam sitrat maka pH produk akan semakin rendah
karena konsentrasi ion H
+
semakin tinggi. Semakin tinggi konsentrasi Na-
bikarbonat maka pH produk akan semakin tinggi (konsentrasi ion OH
-
semakin
tinggi). Asam sitrat tidak habis bereaksi dengan Na-bikarbonat) menyebabkan
turunnya pH. Keasaman juga disebabkan oleh pembentukkan CO
2
pada reaksi
effervescing yang sebagian akan larut membentuk asam karbonat yang kemudian
mengurai menghasilkan ion H
+
dengan reaksi :
CO
2
+ H
2
O H
2
CO
3

H
2
CO
3
H
+
+ HCO
3
-
Mutu Absorbansi dengan Spektrofotometer
Hasil Pengamatan kadar betanin berdasarkan absorbansi dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata kadar betanin effervescent umbi bit akibat pengaruh
konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda.
Konsentrasi Na-bikarbonat (%) Konsentrasi Asam Sitrat
(%)
39 49 59
Rata-rata
(%)
15 0.025 0.024 0.023 0.024
25 0.024 0.021 0.019 0.021
35 0.023 0.019 0.017 0.020
Rata-rata 0.024 0.021 0.020
Keterangan : nilai kadar betanin adalah berdasarkan acuan bahwa setiap 100 gram umbi bit
mengandung 1% betanin.
Berdasarkan perhitungan, kadar betanin standart yang digunakan (sari
umbi bit) adalah 0.042% betanin dengan asumsi setiap 100 gram umbi bit
mengandung 1 % betanin (Eder, 2000). Hasil pengamatan menunjukkan semakin
tinggi konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat maka absorbansi yang dihasilkan
semakin tinggi, sehingga kadar betanin yang terhitung semakin tinggi pula karena
semakin gelap warna larutan produk, semakin tinggi pula konsentrasi konsentrat
umbi bit di dalam produk.
Mutu Persentase Volume Buih
Hasil Pengamatan terhadap volume buih dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rata-rata persentase volume buih effervescent umbi bit akibat
pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda.
Konsentrasi Na-bikarbonat (%) Konsentrasi Asam Sitrat
(%) 39 49 59
Rata-rata
(%)
15 8.80 13.20 17.60 13.20
a

PKMP-5-21-8
25 10.00 14.40 18.80 14.40
b
35 11.20 15.20 20.40 15.60
c
Rata-rata 10.00
a
14.27
b
18.93
c

Keterangan : Notasi yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak ada
perbedaan pada (=0.01)
Hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan sangat nyata (=0.01) antara
persentase volume buih akibat penambahan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam
sitrat berbeda, namun tidak terdapat interaksi antara keduanya. Hasil uji Duncan
menunjukkan nilai rata-rata persentase volume buih masing-masing konsentrasi
Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda sangat nyata (=0.01). Persentase volume
buih tertinggi dihasilkan pada perlakuan konsentrasi Na-bikarbonat 59% dan asam
sitrat 35% (disimpulkan sebagai mutu volume buih terbaik). Na-bikarbonat sendiri
dapat bereaksi dengan air membentuk gas CO
2
, maka semakin tinggi konsentrasi
Na-bikarbonat, volume buih cenderung semakin tinggi (Pulungan dkk, 2004).
Selain itu Na-bikarbonat dapat bereaksi dengan asam menghasilkan gas CO
2

sehingga konsentrasi asam sitrat berbeda dapat mempengaruhi volume buih yang
terbentuk (Mohrle, 1989). Pembentukan gas CO
2
akan menghasilkan buih pada
larutan yang akan menentukan efek kilau (sparkle) dan rasa menggigit serta
menyegarkan.
Mutu Tingkat Kelarutan
Hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan sangat nyata (=0.01) antara
tingkat kelarutan akibat penambahan Na-bikarbonat asam sitrat berbeda dan
terdapat interaksi diantara keduanya. Hasil uji Duncan pada Tabel 7 menunjukkan
semua konsentrasi Na-bikarbonat dan konsentrasi asam sitrat dapat digunakan
kecuali konsentrasi Na-bikarbonat 59% dan asam sitrat 15% serta konsentrasi Na-
bikarbonat 59% dan asam sitrat 25%.
Konsentrasi Na-bikarbonat yang tinggi tanpa asam sitrat yang cukup untuk
dapat habis bereaksi membentuk gas CO
2
menyebabkan sisa Na-bikarbonat yang
tidak bereaksi menurunkan tingkat kelarutan produk. Kelarutan menunjukkan
konsentrasi maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut. Bila
suatu zat terlarut melarut, kekuatan tarik-menarik antarmolekul dari zat dibatasi
oleh kekuatan tarik menarik antara molekul zat terlarut dan pelarut. Ini
menyebabkan pemecahan kekuatan zat terlarut-zat terlarut dan pelarut-pelarut
untuk mencapai tarik-menarik zat terlarut-pelarut (Martin dkk., 1990). Ukuran dan
bentuk partikel yang semakin kecil akan meningkatkan kelarutan zat terlarut
karena luas permukaan kontak dengan pelarut semakin besar, sehinmgga
diperlukan keseragaman ukuran dan bentuk partikel komponen produk agar dapat
larut dengan mudah, terutama Na-bikarbonat dan asam sitrat memiliki ukuran dan
bentuk partikel yang sama agar dapat saling bereaksi secara bersamaan. Oleh
karena itu semua bahan yang digunakan harus lolos dalam ayakan berukuran 50
mesh (Martin dkk., 1990; Ansel, 1989).
Tabel 7. Hasil uji Duncan untuk pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat, asam sitrat,
dan interaksi terhadap persentase kelarutan serbuk effervescent umbi bit
Notasi pada
Perlakuan
Rata-Rata
(%) = 0.05 = 0.01
39 100 a a
49 99.9974 a a
Konsentrasi
Na-bikarbonat
(%)
59 99.8398 b b
Konsentrasi Asam Sitrat 35 99.9865 a a

PKMP-5-21-9
25 99.9401 b a (%)
15 99.9105 c b
Na-bikarbonat 39%, asam sitrat 15% 100.0000 a a
Na-bikarbonat 39%, asam sitrat 25% 100.0000 a a
Na-bikarbonat 39%, asam sitrat 35% 100.0000 a a
Na-bikarbonat 49%, asam sitrat 35% 100.0000 a a
Na-bikarbonat 49%, asam sitrat 25% 99.9992 a a
Na-bikarbonat 49%, asam sitrat 15% 99.9930 a a
Na-bikarbonat 59%, asam sitrat 35% 99.9596 a a
Na-bikarbonat 59%, asam sitrat 25% 99.8212 b b
Interaksi
Konsentrasi Na-
bikarbonat (%) X
Konsentrasi
Asam Sitrat (%)
Na-bikarbonat 59%, asam sitrat 15% 99.7385 c c
Mutu Hedonik Penampakan Buih
Skor penampakan buih produk dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil sidik
ragam menunjukkan perlakuan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda
dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh sehingga semua perlakuan
dapat diterima.
Tabel 8. Skor deskriptif penampakan buih minuman berkarbonasi umbi bit
akibat pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda.
Konsentrasi Na-bikarbonat (%)
Konsentrasi Asam Sitrat (%)
39 49 59
Rata-rata
15 3.3 4.5 3.8 3.8
25 3.5 3.8 3.9 3.7
35 3.8 3.8 3.9 3.8
Rata-rata 3.5 4.0 3.9
Keterangan : 1 = volume sangat kecil, 2 = volume kecil, 3 = volume agak kecil,
4 = volume agak besar, 5 = volume besar, 6 = volume sangat besar
Mutu Hedonik Warna
Hasil pengamatan organoleptik warna dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil
sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata antara skor warna akibat konsentrasi
Na-bikarbonat berbeda dan terdapat perbedaan sangat nyata antara skor warna
akibat konsentrasi asam sitrat berbeda, serta tidak ada interaksi antara keduanya,
namun semua perlakuan memberikan skor 4 (merah tua), maka semua perlakuan
dapat diterima. Warna merah keunguan disebabkan oleh komponen betanin pada
konsentrat umbi bit. Semakin besar konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat
pada produk, maka jumlah konsentrat dalam setiap porsi berkurang, sehingga
warna produk semakin terang. Dengan demikian intensitas warna produk juga
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi kestabilan
betanin, yaitu panas, cahaya, dan pH (Eder, 2000).
Tabel 9. Skor deskriptif warna minuman berkarbonasi umbi bit akibat pengaruh
konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda.
Konsentrasi Na-bikarbonat (%)
Konsentrasi Asam Sitrat (%)
39 49 59
Rata-rata
15 5.0 5.0 4.6 4.9
b
25 5.1 4.7 4.6 4.8
b
35 4.7 4.2 4.3 4.4
a
Rata-rata 4.9
a
4.6
ab
4.5
a

Keterangan : 1 = putih, 2 = putih kemerahan, 3 = merah, 4 = merah tua,
5 = ungu, 6 = ungu tua
Notasi yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak ada
perbedaan pada (=0.01)
Mutu Hedonik Aroma Umbi Bit

PKMP-5-21-10
Hasil pengamatan organoleptik aroma umbi bit dapat dilihat pada Tabel
10.
Tabel 10. Skor deskriptif aroma umbi bit minuman berkarbonasi umbi bit akibat
pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda.
Konsentrasi Na-bikarbonat (%)
Konsentrasi Asam Sitrat (%)
39 49 59
Rata-rata
15 5.8 5.8 5.7 5.8
25 5.6 5.5 5.7 5.6
35 4.0 5.6 5.3 5.6
Rata-rata 5.1 5.6 5.6
Keterangan : 1 = sangat kuat, 2 = kuat, 3 = agak kuat, 4 = agak kurang kuat,
5 = kurang kuat, 6 = sangat tidak kuat
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan konsentrasi Na-bikarbonat dan
asam sitrat berbeda tidak pengaruhi aroma sehingga semua perlakuan dapat
diterima. Hal ini disebabkan oleh adanya efek menyegarkan yang ditimbulkan
oleh gas CO
2
hasil reaksi Na-bikarbonat dan asam sitrat sehingga dapat
memecahkan masalah rasa umbi bit yang kurang disukai (Eder, 2000).
Mutu Hedonik Rasa
Hasil pengamatan organoleptik rasa produk dapat dilihat pada Tabel 11.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam
sitrat berbeda tidak pengaruhi rasa sehingga semua perlakuan dapat diterima.
Namun menurut Eder (2000), konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat yang
semakin tinggi cenderung memberikan efek rasa menyenangkan dan menggigit
yang semakin kuat karena terbentuknya gas CO
2
yang semakin tinggi. Semakin
tinggi konsentrasi asam sitrat maka rasa asam cenderung semakin kuat, dan
demikian pula sebaliknya.
Tabel 11. Skor deskriptif rasa minuman berkarbonasi umbi bit akibat pengaruh
konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda.
Konsentrasi Na-bikarbonat (%)
Konsentrasi Asam Sitrat (%)
39 49 59
Rata-rata
15 3.7 3.8 3.3 3.6
25 4.0 3.6 4.1 3.9
35 4.4 3.8 3.4 3.9
Rata-rata 4.0 3.7 3.6
Keterangan : 1 = asam manis sangat tidak kuat, 2 = asam manis tidak kuat,
3 = asam manis kurang kuat, 4 = asam manis agak kuat,
5 = asam manis kuat, 6 = asam manis sangat kuat.
Penjenjangan (Rangking)
Hasil pengamatan organoleptik penjenjangan dapat dilihat pada Tabel 12.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam
sitrat berbeda tidak pengaruhi tingkat kesukaan produk sehingga semua
konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat dapat diterima.
Tabel 12. Angka konversi penjenjangan minuman berkarbonasi umbi bit akibat
pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda.
Konsentrasi Na-bikarbonat (%) Konsentrasi Asam Sitrat
(%) 39 49 59
15 -0.1539 (VIII) 0.0777 (IV) -0.0146 (VI)
25 0.0187 (V) 0.3550 (I) 0.0996 (III)
35 -0.0482 (VII) -0.2257 (IX) 0.2192 (II)
Keterangan : angka di dalam kurung menunjukkan urutan jenjang

PKMP-5-21-11

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tentang pengaruh konsentrasi Na-
bikarbonat dan asam sitrat terhadap mutu serbuk minuman berkarbonasi
(effervescent) umbi bit, maka diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengujian mutu pH menunjukkan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam
sitrat berbeda memberikan perbedaan yang sangat nyata ( = 0.01).
Sesungguhnya semua nilai pH setiap perlakuan dapat digunakan karena
mendukung kestabilan betanin (pH 5-6) kecuali perlakuan konsentrasi Na-
bikarbonat 39% dan asam sitrat 35%. Pengujian kadar air menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata. Dengan demikian berdasarkan mutu kimia semua
perlakuan konsentrasi Na-bikarbonat berbeda (39%, 49% dan 59%) dan
konsentrasi asam sitrat berbeda (15%, 25% dan 35%) dapat digunakan kecuali
konsentrasi Na-bikarbonat 39% dan konsentrasi asam sitrat 35%.
2. Pengujian tingkat kelarutan menunjukkan konsentrasi Na-bikarbonat dan
asam sitrat berbeda memberikan perbedaan yang sangat nyata ( = 0.01),
terdapat interaksi diantara keduanya. Semua perlakuan dapat dipilih kecuali
konsentrasi Na-bikarbonat 59% dan asam sitrat 25% serta konsentrasi Na-
bikarbonat 59% dan asam sitrat 15%. Hasil uji volume buih menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata ( = 0.01) dengan mutu terbaik pada konsentrasi
Na-bikarbonat 59% dan asam sitrat 35%. Berdasarkan mutu fisik dapat
disimpulkan bahwa produk dengan konsentrasi Na-bikarbonat 59% dan asam
sitrat 35% memberikan mutu terbaik.
3. Pengujian mutu hedonik terhadap warna menunjukkan hasil sangat
berbeda nyata ( = 0.01) pada perlakuan konsentrasi asam sitrat berbeda, hasil
berbeda nyata ( = 0.05) pada perlakuan konsentrasi Na-bikarbonat berbeda.
Namun seluruh nilai mutu warna menunjukkan nilai yang sama yaitu 4 (merah
tua). Hasil uji deskriptif terhadap penampakan buih, aroma, dan rasa dan
penjenjangan menunjukkan tidak terdapat adanya perbedaan. Dengan
demikian semua konsentrasi Na-bikarbonat (39%, 49% dan 59%) dan asam
sitrat (15%, 25% dan 35%) dapat diterima.
4. Berdasarkan hasil pengujian mutu fisik, kimia dan organoleptik terhadap
serbuk effervescent umbi bit yang dibuat dengan konsentrasi Na-bikarbonat
berbeda (39%, 49% dan 59%) dan konsentrasi asam sitrat berbeda (15%, 25%
dan 35%) menunjukkan mutu terbaik dengan penambahan Na-bikarbonat
konsentrasi 59% dan konsentrasi asam sitrat 35%.

DAFTAR PUSTAKA
Aim International. 2002. Beet Root Juices. Diambil tanggal 29 Desember 2004.
http://www.healthyconcept.ns.ca/gardentrio2.html
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI-Press. Jakarta.
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis. Association of Offcial Analytical
Chemist, Inc. Arlington. Virginia.
Departemen Kesehatan. 1995. Farmakope Indonesia Edisi 4. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI. 106
Eder. 2000. Betalains. dalam Nollet, L. M. L (ed). Food Analysis by HPLC, 2
nd

ed. Marcel Dekker, Inc. New York.

PKMP-5-21-12
Ensminger, A. H., M. E. Ensminger., J. E. Konlande., J. R. K. Robson. 1995. The
Concise Encyclopedia of Food & Nutrition. CRC Press. Tokyo.
Heinerman, John. 1994. Encyclopedia of Healing Juices. NY: Parker Publishing,
West Nyack. dalam Aim International. 2002. Beet Root Juices. Diambil tanggal
29 Desember 2004. http://www.healthyconcept.ns.ca/gardentrio2.html
Martin, A., J. Swarbrick., A. Cammarata. 1990. Farmasi Fisik : Dasar-dasar
Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik. UI-Press. Jakarta.
Lieberman, H. A; Lachman, L; J. B. Schwartz. 1989. Phamaceutical Dosage
Forms: Tablet vol 1, 2
nd
edition. Marcel Dekker, Inc. New York & Basel.
Mohrle, R. 1989. Effervescent Tablets. dalam Lieberman, H. A., L. Lachmand., J.
B. Scwartz (ed). Pharmaceutical Dosage Forms: Tablets, vol 1, 2
nd
ed. Marcel
Dekker Inc. New York.
Pulungan, M. H., Suprayogi., Yudha, B. 2004. Effervescent Tanaman Obat.
Trubus Agrisarana. Surabaya.
SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Badan Standarisasi
Nasional. Departemen Perindustrian. Jakarta.
Vogel, Dr. H.C.A. 1991. The Nature Doctor. CT: Keats Publishing, Inc., New
Canaan., dalam Aim International. 2002. Beet Root Juices. Diambil tanggal 29
Desember 2004. http://www.healthyconcept.ns.ca/gardentrio2.html.

PKMP-5-22-1
PERBEDAAN KADAR TIMBAL (Pb) PADA TANAMAN KANGKUNG
BERDASARKAN LOKASI PENANAMAN

Edy Setyorini, Nur Fitria R, Masruchan
Program Studi DIII Analis Kesehatan, Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Semarang, Semarang


ABSTRAK
Kangkung merupakan sayuran yang daunnya berwarna hijau dan sering
dikonsumsi masyarakat, karena sayuran ini memiliki kandungan zat besi, sumber
vitamin dan mineral yang berguna bagi kesehatan tubuh. Sayuran kangkung juga
dapat digunakan untuk menenangkan syaraf atau berkhasiat sebagai obat tidur,
penyembuh penyakit sembelit dan anemi. Lokasi penanaman kangkung ada yang
dilakukan di desa jauh dari jalan raya, tetapi ada pula yang ditanam dekat jalan
raya. Dampak negatif kangkung yang ditanam dekat jalan raya adalah tingginya
tingkat polusi udara lingkungan kota, sebagai hasil emisi gas pembuangan
kendaraan bermotor. Tetra etil lead (C
2
H
5
)
4
Pb sering digunakan dalam
kendaraan bermotor untuk mencegah suara ketukan, sehingga menghasilkan
partikulat logam Pb yang dapat menyebabkan pencemaran udara. Semakin
banyaknya kendaraan bermotor mengakibatkan tanaman sekitarnya
terkontaminasi logam Pb. Tujuan Umum penelitian ini adalah membedakan kadar
Timbal (Pb) pada kangkung yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan
raya. Sample diabukan dan dilarutkan dengan HCl sampai volume tertentu
kemudian disaring, Filtrat yang diperoleh dianalisa secara kuantitatif dengan
metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Hasil penelitian kadar rerata Pb
pada kangkung air yang ditanam dekat jalan raya 1,7133 mg/kg, yang jauh dari
jalan raya 1,233 mg/kg. Selanjutnya dilakukan uji kenormalan yaitu Uji
Kolmogorov-Smirnov Z diperoleh data normal. dan uji parametrik yaitu Uji Beda
atau Uji T-Independen dengan metode SPSS, diperoleh hasil p value = 0,000, dan
= 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya ada perbedaan kadar
Pb antara kangkung yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan
raya.Tingginya kadar Pb pada kangkung air yang ditanam dekat jalan raya
disebabkan karena tercemar oleh partikulat Pb yang dihasilkan oleh asap
kendaraan bermotor. Tetra etil lead (C
2
H
5
)
4
Pb digunakan pada kendaraan
bermotor untuk mencegah suara ketukan, tetapi bila bereaksi dengan bahan
bakar akan menghasilkan asap yang mengandung partikulat Pb yang selanjutnya
dapat mencemari tanaman di sekitar jalan raya.

Kata kunci : Kadar Timbal (Pb), Kangkung , dan Lokasi penanaman
PENDAHULUAN
Kangkung merupakan sayuran yang daunnya berwarna hijau dan sering
dikonsumsi masyarakat, karena sayuran ini memiliki kandungan zat besi, sumber
vitamin dan mineral yang berguna bagi kesehatan tubuh. Sayuran kangkung juga
dapat digunakan untuk menenangkan syaraf atau berkhasiat sebagai obat tidur,
penyembuh penyakit sembelit dan anemi. Bagian tanaman kangkung yang paling
penting adalah batang muda dan daun. Berbagai jenis masakan dapat diolah dari
bahan baku kangkung antara lain untuk pencampur lotek, lalap masak, oseng-

PKMP-5-22-2
oseng, semur, sayur bening, sayur asam dan sayur bobor (Kanisius, 1992).
Kebutuhan zat besi pada manusia sangat diperlukan walaupun dalam jumlah kecil.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengkonsumsi sayuran yang berwarna hijau,
misalnya kangkung. Taksonomi Tanaman Kangkung (sistematika) tumbuhan
diklasifikasikan kedalam divisio Spermatophyta, sub-divisio Angiospermae,
famili Dicotyledoneae, spesies Ipomoea aquatica Forsk (kangkung air) dan
Ipomoea reptans Poir (kangkung darat). Dari suku kangkungkangkungan
(Convolvulaceae) ini masih terdapat beberapa jenis lainnya seperti kangkung
hutan atau kangkung pagar, rintik bumi (I. quamoqlit), dan I. triloba L, yang
tumbuh liar di hutan-hutan. Morfologi Tanaman Kangkung batang tanaman
berbentuk bulat panjang, berbuku-buku, banyak mengandung air (herbaceous) dan
berlubang-lubang. Batang tanaman kangkung tumbuh merambat atau menjalar
dan percabangannya banyak. Tangkai daun melekat pada buku-buku batang dan di
ketiak daunnya terdapat mata tunas yang dapat tumbuh menjadi percabangan baru.
Bentuk daun umumnya seperti jantung hati, ujung daun runcing ataupun tumpul,
permukaan daun sebelah atas berwarna hijau tua, dan permukaan daun bagian
bawah berwarna hijau muda. Selama fase pertumbuhannya, tanaman kangkung
dapat berbunga, berbuah dan berbiji, terutama jenis kangkung darat. Bentuk bunga
seperti terompet, buah kangkung berbentuk bulat telur yang di dalamnya berisi
tiga butir biji. Bentuk biji kangkung bersegi-segi atau agak bulat, berwarna coklat
atau kehitam-hitaman dan termasuk biji berkeping dua. Varietas Tanaman
Kangkung terdiri dari dua macam yaitu kangkung air dengan ciri-ciri bentuk daun
panjang dengan ujung agak tumpul, berwarna hijau kelam, dan bunganya
berwarna putih kekuning-kuningan atau kemerah-merahan dan kangkung darat
dengan ciri-ciri bentuk daun panjang dengan ujung runcing, berwarna keputih-
putihan dan bunganya berwarna putih (Rukmana R, 1994). Penanaman kangkung
ada yang dilakukan di desa jauh dari jalan raya, tetapi ada pula yang ditanam
dekat jalan raya. Dampak negatif kangkung yang ditanam dekat jalan raya adalah
tingginya tingkat polusi udara lingkungan kota, sebagai hasil emisi gas
pembuangan kendaraan bermotor. Tetra etil lead (C
2
H
5
)
4
Pb sering digunakan
dalam kendaraan bermotor untuk mencegah suara ketukan, sehingga
menghasilkan partikulat logam Pb yang dapat menyebabkan pencemaran udara.
Semakin banyaknya kendaraan bermotor mengakibatkan tanaman sekitarnya
terkontaminasi logam Pb. Plumbum (Pb) bisa terkandung didalam air, makanan
dan udara. Pb diatmosfer berasal dari senyawa hasil pembakaran bensin premium
dan regular yang tidak sempurna. Bensin premium terdiri 2-4 gram Pb per galon
dengan rata-rata 2,8 gram. Bensin regular rata-rata mengandung Pb 2,3 gram per
galonnya. Rata-rata 70-80 % Pb didalam bensin dikeluarkan dari pipa knalpot
mobil sebagai partikulat. Pb sebagai polutan udara lingkungan merupakan hasil
pembakaran bensin dalam kendaraan dan emisi timah dari peleburan CO
2
. Pb
(Plumbum) diabsorbsi melalui cara penghirupan dan masuk melalui jalur organ
pernapasan. Kira-kira 40% dari asap Pb yang dihirup, diabsorbsi sampai kesaluran
pernapasan. Penyerapan partikulat debu Pb bergantung pada ukuran partikel dan
kelarutannya. Didalam aliran darah, sebagian besar Pb diserap dalam bentuk
ikatan dengan eritrosit. Plasma darah berfungsi dalam mendistribusikan Pb dalam
darah ke bagian syaraf, ginjal, hati, kulit dan otot. Jaringan yang terpapar Pb
dengan dosis tinggi akan menunjukan gejala akut. Pencemaran logam Pb
menyebabkan kerusakan jaringan syaraf, menurunkan kemampuan belajar dan

PKMP-5-22-3
kelumpuhan. Pb dalam darah antara 50-70g/dl menyebabkan IQ pada anak
asimtomatik dengan faktor pengacau yang terkontrol. Kadar Pb darah 10g/dl
pada anak umur 8 tahun serta kadar Pb darah 5g/dl pada anak umur 6 tahun,
menunjukkan gangguan pada ketrampilan membaca dan mengeja (Riyadina
Woro, 1997). Senyawa tetrametil-Pb dan tetraetil-Pb dapat diserap oleh kulit, hal
ini disebabkan kedua senyawa tersebut dapat larut dalam lemak dan minyak.
Sedangkan dalam lapisan udara tetraetil-Pb terurai dengan tepat karena adanya
sinar matahari. Tetraetil-Pb akan terurai membentuk trietil-Pb, dietil-Pb, monoetil-
Pb. Semua senyawa uraian dari tetraetil-Pb memiliki bau yang spesifik seperti bau
bawang putih, sulit larut dalam minyak akan tetapi semua senyawa turunan ini
dapat larut dengan baik dalam air. Senyawa-senyawa Pb dalam keadaan kering
dapat terdispersi di dalam udara, sehingga terhirup pada saat bernafas dan
sebagian akan menumpuk di kulit dan terserap oleh daun tumbuhan (Palar
Heryando, 1994). Pb (Plumbum) diabsorbsi melalui cara penghirupan dan masuk
melalui jalur organ pernapasan. Jaringan yang terpapar Pb dengan dosis tinggi
akan menunjukan gejala akut, apabila Pb melewati plasenta tingkat kematian janin
akan sangat bergantung pada tingkat kondisi ibunya. Pb yang diserap akan
diendapkan dalam tulang bergabung dengan matrik tulang yang mirip dengan
kalsium (Ca). Penyimpanan Pb dalam tulang menyebabkan kenaikan katabolisme
tulang yang memungkinkan dapat meningkatkan konsentrasi Pb dalam sirkulasi
darah. Peningkatan seperti itu juga terdapat pada keberadaan Pb dalam rambut dan
kuku. Pb juga terikat pada membran mitokondria dan bergabung dengan protein
dan berperan dalam sintesa asam nukleat. Pengaruh paparan Pb terhadap
kesehatan adalah yang pertama terpapar secara akut sub akut oleh Pb melalui
udara yang dihirup menimbulkan gejala-gejala gastrointestinal seperti kram perut,
kolik dan biasanya diawali dengan sembelit. Sakit perut sering dirasakan
diantaranya sering mual dan muntah-muntah. Sedangkan manifestasi secara
neurologi dari terpapar Pb adalah encephalopathy seperti sakit kepala, pikiran
kacau, sering pingsan dan koma. Pada beberapa kasus akibat terpapar Pb, oliguria
dan gagal ginjal yang akut dapat berkembang dengan cepat. Kedua Pb terpapar
secara kronis yaitu pada kasus terpapar Pb akibat kerja, intoksikasi Pb secara
kronis berjalan lambat. Kelelahan, kelesuan, iritabilitas dan gangguan
gastrointestinal merupakan tanda awal dari intoksikasi Pb secara kronis.
Terpaparnya Pb secara terusmenerus pada sistem syaraf pusat menunjukkan
gejala seperti insomnia, pikiran kacau, konsentrasi berkurang dan gangguan
ingatan atau memori. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di Amerika
Serikat, disimpulkan bahwa pemasukan Pb sehari-hari ke dalam tubuh dan
digolongkan pada tingkat keterpaparan normal adalah dalam kisaran 330g
perhari, dengan tingkatan variasi antara 100g sampai dengan 2000g. Bila
manusia terpapar oleh Pb dalam batas normal atau dalam batas toleransi, maka
daya racun yang dimiliki oleh Pb tidak akan bekerja dan tidak akan menimbulkan
pengaruh apa-apa. Tetapi bila jumlah yang diserap telah mencapai batas ambang
atau bahkan melebihi batas ambang maka individu yang terpapar Pb akan
memperlihatkan gejala-gejala keracunan. Beberapa gejala lain yang timbul akibat
terpapar Pb secara kronis termasuk diantaranya adalah kehilangan libido,
infertilitas pada laki-laki, gangguan menstruasi serta aborsi spontan pada wanita.
Pada laki-laki telah terbukti adanya perubahan dalam spermatogenesis. Hal ini
juga senada dengan hasil penelitian dari Harianto Ludirdja tahun 1994 yang

PKMP-5-22-4
menyimpulkan bahwa polisi lalu lintas mempunyai jumlah spermatozoa (19,5 juta
spermatozoa/ml) lebih rendah dari standar normal (20 juta ml) dan Pb yang
melewati plasenta pada wanita hamil yang terpapar Pb selama kehamilan dapat
menyebabkan kematian dan toksisitas. Pb alkil dapat menimbulkan gejalagejala
intoksikasi Pb alkil secara neurologi. Tanda-tanda yang tampak, antara lain
anorexia, insomnia, kelelahan, kelesuan, sakit kepala, depresi dan iritabilitas
sebagai gejala awal. Proses selanjutnya adalah kondisi bingung atau kacau,
gangguan ingatan dan exacitability. Pada beberapa kasus, kebutaan, serangan
yang tiba-tiba, koma dan kematian bisa terjadi dalam beberapa hari setelah
terpapar Pb. Berbagai upaya dan tindakan pengamanan perlu dilakukan dalam
rangka untuk mencegah dan mengurangi paparan Pb, baik yang berasal dari
sumber hasil pembakaran bensin mesin mobil maupun dari industri, terutama bagi
individu yang mempunyai risiko besar untuk terpapar Pb baik secara akut ataupun
kronis. Secara umum pencegahan yang tepat adalah dengan selalu mewaspadai
terhadap paparan Pb dengan menghindari atau tidak berada lama di tempat-tempat
yang udaranya terpolusi oleh gas buang kendaraan, khususnya bagi anak-anak dan
ibu hamil. Bagi tubuh yag sudah terpapar Pb, dapat diobati dengan mengkonsumsi
antioksidan misalnya vitamin C. Upaya pencegahan lain yang perlu dilakukan
diantaranya adalah dengan mengontrol lingkungan sebagai tempat beradanya
unsur Pb bebas diudara. Pemantauan terhadap kadar Pb di udara secara
berkesinambungan merupakan cara yang tepat untuk mengetahui tingkat kadar
tertinggi dari paparan Pb sehingga keadaan polutan Pb diudara selalu dapat
dipantau dan diwaspadai. Disamping itu dengan menggantikan bensin premium
dengan bensin tanpa Pb dapat merupakan salah satu alternatif langkah yang perlu
segera direalisasikan (Riyadina W, 1997). Macam-macam metode pemeriksaan Pb
yaitu metode Spektrofotometri yang sering digunakan dengan dasar untuk analisis
suatu zat dalam jumlah cukup kecil, pengerjaannya cepat, sederhana, praktis dan
murah. Metode analisis yang dikembangkan umumnya cukup peka dan teliti serta
mudah dalam menginterpretasikan hasil yang diperoleh. Metode spektrofotometri
umumnya membandingkan absorbansi yang dihasilkan oleh suatu larutan yang
diuji dengan absorbansi larutan baku. Metode yang kedua adalah titrasi
kompleksometri yaitu titrasi yang didasarkan atas pembentukan kompleks dari
reaksi komponen zat uji dengan titran. Reaksi pembentukan kompleks disamping
harus memenuhi persyaratan umum untuk titrasi, maka kompleks yang terjadi
harus stabil dan merupakan kompleks 1:7. Titrasi ini biasanya digunakan untuk
penetapan kadar logam polivalen yang konsentrasinya besar dengan menggunakan
natrium edetat (EDTA) sebagai titran pembentuk kompleks. Metode yang ketiga
adalah metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) atau Atomic Absorption
Spektrofotometri (AAS) yang merupakan analisis spektroskopi untuk penentuan
kadar unsur-unsur metal dan semi metal dengan konsentrasi yang rendah
(ppm/ppb) dalam suatu sampel. Tiap-tiap logam mempunyai panjang gelombang
maximum yang berbeda-beda dan khas, sehingga diperlukan berbagai jenis lampu
katoda cekung atau Hollow Cathode Lamp. Prinsip pemeriksaannya adalah
larutan sampel melalui suatu nyala diubah menjadi uap atom oleh lampu katoda
cekung (Hollow Cathode Lamp). Beberapa diantara atom akan tetap tinggal
sebagai atom bebas dalam keadaan dasar (Graound state). Atom-atom Ground
state ini kemudian menyerap radiasi yang diberikan sumber radiasi. Panjang
gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi sama dengan panjang gelombang

PKMP-5-22-5
yang dihasilkan oleh atom dalam nyala. Absorpsi ini mengikuti hokum Lambert
Berr, yaitu absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi analit dalam sampel.
Teknik analisisnya dapat secara standard tunggal, kurva kalibrasi dan standard
addisi. Dari latar belakang tersebut, maka timbul suatu permasalahan yaitu
Adakah perbedaan kadar Pb pada kangkung yang ditanam dekat jalan raya dan
jauh dari jalan raya ?. Tujuan Umum penelitian ini adalah membedakan kadar
Timbal (Pb) pada kangkung yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan
raya. Tujuan khusus penelitian ini adalah menentukan kadar Timbal (Pb) yang
ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya, dan membedakan kadar Timbal
(Pb) pada kangkung yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang
kadar Pb pada tanaman kangkung yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari
jalan raya, sehingga masyarakat dapat memilih lokasi penanaman kangkung yang
aman dan menangani kangkung sebelum dikonsumsi.


METODE PENDEKATAN
Penelitian ini bersifat eksperimen, dan dilaksanakan di Laboratorium Kimia
Fakultas Ilmu Keperawatan Dan Kesehatan jalan Wonodri Sendang Raya no.2A
Semarang, dilakukan pada bulan Januari 2006 sampai Mei 2006. Sampel
kangkung air diambil selama 6 hari berturut-turut mulai tanggal 6 Maret sampai
dengan 11 Maret 2006, tiap sampel dikerjakan 5 kali pengulangan baik untuk
kangkung air yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sayuran kangkung yang berasal dari
sepanjang jalan raya Kudus-Demak dan di Perumahan Sayung, dan HCl pekat.
Alat yang digunakan adalah neraca analitik, krus porselin, oven, corong pisah,
pipet, alat-alat gelas dan Spektrofotometer Serapan Atom. Pemeriksaannya
sample (sayuran kangkung) diblender, kemudian ditimbang 10 g, dan diabukan
dalam krus porselin pada suhu 500C selama 6 jam, sehingga terjadi pengarangan
dan akhirnya dipijarkan menjadi abu. Selanjutnya abu dilarutkan dengan HCl
sampai volume larutan 100 mL, kemudian disaring, Filtrat yang diperoleh
dianalisa secara kuantitatif dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)
yang merupakan teknik analisis spektroskopi untuk penentuan kadar unsur-unsur
logam dan semi logam dengan konsentrasi rendah (ppm/ppb). Prinsip
pemeriksaannya adalah larutan sampel diaspirasikan ke suatu nyala dan unsur-
unsur sampel diubah menjadi uap atom. Beberapa diantara atom akan tereksitasi
secara termal oleh nyala, tetapi kebanyakan atom akan tetap tinggal sebagai atom
bebas dalam keadaan dasar (Ground state). Atom-atom ground state ini kemudian
menyerap radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi. Panjang gelombang yang
dihasilkan oleh sumber radiasi sama dengan panjang gelombang yang dihasilkan
oleh atom dalam nyala. Absorpsi ini mengikuti hukum Beer, yaitu absorbansi
berbanding lurus dengan konsentrasi analit dalam sampel (Sastrohamidjoyo, H.,
1991). Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ho diterima jika
Tidak ada perbedaan kadar timbal (Pb) pada tanaman kangkung berdasarkan
lokasi penanaman dan Ha diterima bila Ada perbedaan kadar timbal (Pb) pada
tanaman kangkung berdasarkan lokasi penanaman. Absorbansi baku seri Pb vs
baku seri Pb dibuat persamaan garis lurus y=b x + a.
Konsentrasi Pb dalam larutan sampel dihitung dengan rumus:

PKMP-5-22-6




a = titik potong (intersep)
b = lereng (slope)
Konsetrasi Pb dalam 1000 g kangkung = (1000/gram sampel) . X Pb (mg/kg)
(Robyt, J.F., and White B.J., 1987).

Teknik pengumpulan data adalah data primer yang diperoleh dikumpulkan secara
langsung dari hasil pengujian. Selanjutnya data yang diperoleh ditabulasikan dan
dihitung dengan metoda SPSS. Untuk mengetahui apakah perbedaan dua sampel
signifikan atau tidak, maka nilai p value yang diperoleh dibandingkan dengan
nilai (0,05). Bila p value > , dengan taraf signifikansi 5% maka H
0
ditolak dan
H
a
diterima, sedangkan bila p value < , dengan taraf signifikansi 5% maka H
0

diterima dan H
a
ditolak.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan kadar Pb pada kangkung air yang ditanam dekat dan jauh dari
jalan raya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kadar Pb Pada Kangkung Air yang Ditanam Dekat dan Jauh dari Jalan
Raya
Kadar Pb Pada Tanaman Kangkung Air (mg/L) No
Dekat Jalan Raya Jauh dari Jalan Raya
1. 1,739 0,131
2. 1,680 0,130
3. 1,749 1,284
4. 1,739 1,274
5. 1,680 1,294
6. 1,676 1,294
7. 1,676 1,284
8. 1,666 1,325
9. 1,666 1,335
10. 1,685 1,316
11. 1,715 1,325
12. 1,705 1,325
13. 1,715 1,125
14. 1,725 1,115
15. 1,705 1,125
16. 1,757 1,134
17. 1,767 1,165
18. 1,747 1,165
19. 1,767 1,155
20. 1,757 1,165
21. 1,683 1,174
p x
b
a - y
x =
p = pengenceran sampel
x = konsentrasi Pb (mg/L)
y = absorbansi

PKMP-5-22-7
22. 1,683 1,226
23. 1,692 1,235
24. 1,683 1,216
25. 1,692 1,226
26. 1,725 1,266
27. 1,735 1,286
28. 1,735 1,276
29. 1,735 1,176
30. 1,715 1,266

x = 1,713 x = 1,233

Berdasarkan Tabel 1 diketahui kadar rata-rata Pb pada kangkung air yang ditanam
dekat jalan raya 1,713 mg/kg, yang jauh dari jalan raya 1,233 mg/kg. Kadar Pb
pada kangkung air yang ditanam dekat dan jauh dari jalan raya selanjutnya
dilakukan uji kenormalan yaitu Uji Kolmogorov-Smirnov Z dan diperoleh data
normal karena p value > (0,05), selanjutnya dilakukan Uji Beda atau Uji T-
Independent dengan metode SPSS. Pada uji parametrik diperoleh hasil p value =
0,000, = 0,05 (5%). Karena harga p value < maka Ho ditolak dan Ha diterima,
yang artinya ada perbedaan kadar Pb antara kangkung yang ditanam di dekat jalan
raya dan jauh dari jalan raya. Tingginya kadar Pb pada kangkung air yang ditanam
dekat jalan raya disebabkan karena tercemar oleh partikulat Pb yang dihasilkan
oleh asap kendaraan bermotor. Tetra etil lead (C
2
H
5
)
4
Pb digunakan pada
kendaraan bermotor untuk mencegah suara ketukan, tetapi bila bereaksi dengan
bahan bakar akan menghasilkan asap yang mengandung partikulat Pb yang
selanjutnya dapat mencemari tanaman di sekitar jalan raya.

KESIMPULAN
a. Kadar Pb rata-rata pada kangkung air yang ditanam dekat jalan raya 1,713
mg/kg sedangkan yang jauh dari jalan raya 1,233 mg/kg.
b. Ada perbedaan kadar Pb pada kangkung air yang ditanam dekat jalan raya dan
jauh dari jalan raya.

SARAN
Diharapkan ada penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kadar Pb pada kangkung
air setelah dicuci berulang kali.

DAFTAR PUSTAKA
Kanisius. 1992. Petunjuk Praktis Bertanam Kangkung. Yogyakarta: Kanisius.
Rukmana Rahmad. 1994. Bertanam Kangkung. Yogyakarta: Kanisius.
Palar Heryando. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta:
Rineka Cipta
Riyadina Woro. 1997. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.
Robyt, J.F., and White B.J. 1987. Biochemical Thechniques Theory and Practice.
America: Waveland Press.
Sastrohamidjoyo, H. 1991. Spektroskopi. Yogyakarta: Liberty.

PKMP-5-23-1
KAJIAN KARAKTERISTIK FISIK DAN MEKANIK PADA BUAH
MARKISA DAN TOMAT

Winarno, Dewi Arziyah
Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-6-1-1
TEKNOLOGI BIODEGRADASI DAN
BIOFILTRASI UNTUK TREATMENT AIR TERPRODUKSI
( PRODUCED WATER PENGEBORAN MINYAK LEPAS PANTAI)

Aditya A Yudhanto, DH Maulana, MUM Adam, A Prameswarie, Dwi Sartika
PS Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRAK
Air terproduksi adalah buangan kegiatan pertambangan minyak bumi yang
mengandung komponen minyak dan logam berat yang bila dibuang ke lingkungan
secara langsung dapat merusak lingkungan. Salah satu teknik untuk mengolah
air terproduksi pengeboran minyak bumi adalah biodegradasi dan biofiltrasi.
Biodegradasi akan menguraikan unsur minyak mentah menjadi senyawa H
2
O dan
CO
2
dengan cara penambahan bakteri. Biofiltrasi akan mengkelat unsur logam
berat Hg dalam air terproduksi dengan penambahan khitosan. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari efektifitas pemanfaatan bakteri perairan sebagai
pendegradasi minyak mentah dan pemanfaatan khitosan sebagai absorben logam
berat (Hg) dalam air terproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
campuran Pseudomonas sp., Mycobacterium sp. dan Arthobacter sp. dapat
menurunkan konsentrasi Hg dari 43.37 ppb menjadi 38.73 ppb. Penambahan
kitosan dapat menurunkan Hg dari 38.73 ppb menjadi 26.89 ppb. Komponen
hidrokarbon yang terkandung dalam air terproduksi dapat diuraikan menjadi
komponen yang lebih sederhana diakhir proses. Penurunan konsentrasi Hg dan
terurainya komponen kompleks hidrokarbon pada air terproduksi
mengindikasikan bahwa bakteri dan khitosan dapat digunakan untuk mengolah
air terproduksi sebelum dibuang ke lingkungan.

Kata kunci: Pseudomonas sp., Mycobacterium sp., Arthobacter sp., Air
terproduksi, Khitosan

PENDAHULUAN
Pada industri modern, minyak bumi merupakan sumber energi utama bagi
sebagian besar negara-negara di dunia dan juga sebagai sumber devisa negara.
Selama ditangani dengan baik, minyak bumi akan menjadi sumber energi yang
banyak manfaatnya, efisien, dan ekonomis.
Air terproduksi merupakan hasil samping dari pengeboran minyak bumi.
Air ini berupa air laut yang mengandung minyak dan logam berat khususnya Hg
yang sangat berbahaya apabila dibuang langsung ke lingkungan.
Salah satu teknik untuk mengolah air terproduksi dari pengeboran minyak
bumi yang mengandung komponen minyak dan logam berat adalah dengan cara
biodegradasi dan biofiltrasi. Potensi organisme laut dalam mendegradasi limbah
atau membantu dalam proses degradasi sangat besar. Biodegradasi adalah proses
penguraian unsur kompleks hidrokarbon menjadi senyawa H
2
O dan CO
2
serta
senyawa hidrokarbon yang lebih sederhana dengan cara penambahan bakteri.
Biofiltrasi adalah proses penyerapan atau pengkelatan unsur logam oleh makhluk
hidup atau bagian makhluk hidup contohnya khitosan.

PKMP-6-1-2
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efektifitas
pemanfaatan bakteri perairan sebagai pendegradasi minyak mentah dan
pemanfaatan khitosan sebagai absorben logam berat (Hg) dalam air terproduksi.
Bakteri yang digunakan adalah Arthrobacter sp., Mycobacterium sp. dan
Pseudomonas sp. Untuk pengabsorbsi logam berat, biofiltrasi dapat dilakukan
dengan khitosan dari limbah kulit udang.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi tim
penulis dan bagi masyarakat umum sebagai acuan alternatif berupa informasi
ilmiah pemanfaatan bakteri dan khitosan untuk pengolahan air terproduksi.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dimulai pada bulan Januari 2006 sampai dengan bulan Mei
2006 yang dilakukan di laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB dan analisis
sampel di laboratorium Terpadu FMIPA IPB dan laboratorium BRKP DKP.
Alat yang digunakan antara lain clean bench, oven, autoclave, erlenmeyer,
cawan timbang, mikro cup, neraca digital analitik, pipet mikro (1000 l),
magnetic stirer, hot plate, vortex, GC-MS, shaker, sudip, bunsen, kuvet, tabung
reaksi, inkubator, dan cawan petri. Bahan-bahan yang digunakanan antara lain air
terproduksi (air terproduksi) yang disediakan oleh Conoco Phillips, tissue, korek
api, alumunium foil, kapas bakteri Mycobacterium sp., Pseudomonas sp.,
Arthrobacter sp., garam fisiologis, media agar PCA (Plate Count Agar), media
agar NB (Nutrient Broth), heksana, aquades, alkohol dan kitosan.
Air terproduksi mengandung minyak dan logam berat khususnya Hg diberi
treatment pendahuluan dengan bakteri pengurai minyak yaitu Pseudomonas sp,
Mycobacterium sp dan Arthobacter sp untuk menghilangkan minyak mentah yang
dikandungnya. Setelah komponen minyak hilang, air terproduksi difilter dengan
khitosan untuk mengabsorb logam berat Hg yang dikandungnya. Diagram alir
metode penelitian disajikan pada gambar 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN
I. Karakteristik awal air terproduksi
Sebelum melakukan pengolahan air terproduksi dengan metode biologis
mengacu kepada KepMen LH no. 128 tahun 2003, maka perlu dilakukan analisis
terhadap bahan yang diolah untuk mengetahui komposisi dan karakteristik limbah
yang terdiri dari :
Kandungan minyak atau oil content (bila kandungan minyak relatif besar)
dan/atau Total Petroleum Hydrocarbon / TPH (bila kandungan minyak relatif
kecil) ;
Kandungan logam berat.
Limbah air terproduksi dianalisis kandungan TPH (Total Petroleum
Hydrocarbon), fraksi TPH dan Hg.
Setelah dilakukan analisis komposisi dan karakterisasi air terproduksi, hasil
analisa disajikan dalam tabel 1.


PKMP-6-1-3





















Gambar 1. Diagram alir metode penelitian



Sampel air terproduksi memiliki karakteristik nilai pH 8 - 9 dengan nilai
salinitas 13
0
/
00
pada minggu pertama hingga minggu terakhir penelitian
Hasil analisis memberikan informasi yang menjelaskan komposisi dan
karakteristik merkuri (Hg) yang bila tidak terolah dengan benar akan bereaksi
menjadi Methylmerkuri yang sangat beracun. Kandungan fraksi TPH terutama
komponen benzen bila tidak terolah akan terakumulasi pada biota laut yang bila
dikonsumsi akan menyebabkan karsinogenik. Hal ini menunjukkan bahwa perlu
dilakukan treatment lebih lanjut menggunakan teknik biodegradasi dan biofiltrasi
untuk menurunkan kandungan merkuri dan fraksi TPH pada air terproduksi.



Biodegradasi dengan bakteri
Pseudomonas sp., Mycobacterium sp.
dan Arthobacter sp.
Biofiltrasi dengan Khitosan
(14 hari)
CO
2
+ H
2
O
Air terproduksi (Produced water)
Air terproduksi dengan kadar minyak
yang berkurang
Air terproduksi bebas minyak dan Hg


PKMP-6-1-4
Tabel 1. Karakteristik air terproduksi
No. Parameter Nilai dan Kandungan
1. pH 8 - 9
2. Salinitas 13
0
/
00

3. Hg (ppb) 43,37
4 TPH (ppm) < 0,5
Semicarbazide Hydrocloride
Formaldehyde
2-Metil Butanal
Benzen Sulfonat
Methyl-d3 1-dideuterio-2 Prophenyl ether
2,5 Dimethylbenzaldehyde
1,2 Benzene dicarboxilic Acid
5. Fraksi TPH
Chrom Tricarbonyl
Sumber : Hasil laboratory test Lab Terpadu IPB, hasil laboratory test Lab BRKP Slipi DKP RI,
dan hasil Laboratory test Biofarmaka IPB

II. Kandungan TPH, fraksi TPH, dan Hg setelah treatment
Setelah dilakukan treatment, kadar TPH, fraksi TPH, dan Hg disajikan
dalam tabel 2.

Tabel 2. Kandungan TPH, fraksi TPH, dan Hg setelah Treatment
Hasil Nilai dan Kandungan Proses
No. Parameter
Air terproduksi Biodegradasi Biofiltrasi
1. pH 8 - 9
2. Salinitas 13
0
/
00

3. TPH(ppm) < 0,5
4 Hg (ppb) 43,37 38,73 26,89
Semicarbazide
Hydrocloride
1-Propanol 2 amino DL-Alaninol
Formaldehyde Methanol
Carbon
Dioxide
2-Metil Butanal Methyl Pentane Etilen
Benzen Sulfonat Methylbutyraldehyde
Carbamic
Acid
Methyl-d3 1-
dideuterio-2 Prophenyl
ether
Methylcyclopentana Cyclopentana
2,5
Dimethylbenzaldehyde
Carbon Dioxide Oxygen
1,2 Benzene
dicarboxilic Acid

Amonium
Salt
5.
Fraksi
TPH
Chrom Tricarbonyl
Sumber : Hasil laboratory test Lab Terpadu IPB, hasil laboratory test Lab BRKP
Slipi DKP RI, dan hasil Laboratory test Biofarmaka IPB


PKMP-6-1-5
Dari hasil analisis diperoleh informasi bahwa kontrol air terproduksi
mengandung komponen Semicarbazide Hydrocloride, Formaldehyde, 2-Metil
Butanal ,Methyl-d3 1-dideuterio-2 Prophenyl ether, Benzen Sulfonat, 2,5
Dimethylbenzaldehyde, 1,2 Benzene dicarboxilic Acid, Formaldehyde, Chrom
Tricarbonyl, Hydrogen sulfide, Methyl D-Glicollat.
Hasil biodegrasi diperoleh informasi komponen 1-Propanol 2 amino,
Methanol, Methyl Pentane, Methylbutyraldehyde, Methylcyclopentana, Carbon
Dioxide pada sampel tersebut. Sedangkan pada biofiltrasi diperoleh informasi
adanya komponen Carbamic Acid, Carbon Dioxide, Amonium Salt, DL-Alaninol,
Oxygen, Cyclopentana, Etilen.
Komponen hidrokarbon yang terdapat pada air terproduksi dapat tereduksi
dengan perlakuan penambahan bakteri Pseudomonas sp., Mycobacterium sp,, dan
Arthrobacter sp. yang telah dicampur sempurna selama proses treatment biologis.
Hasil degradasi komponen air terproduksi secara mineralisasi sempurna ditandai
dengan adanya komponen CO
2.
Semua komponen air terproduksi didegradasi oleh
bakteri pengurai minyak menjadi komponen yang lebih sederhana seperti terlihat
pada hasil biodegradasi, sebagai contoh 2,5 Dimethylbenzaldehyde dan
1,2 Benzene dicarboxilic Acid hilang setelah proses biodegradasi. Degradasinya
komponen 2,5 Dimethylbenzaldehyde dan 1,2 Benzene dicarboxilic Acid ini
mengindikasikan campuran Pseudomonas sp., Mycobacterium sp. dan
Arthobacter sp. dalam air terproduksi mampu mendegradasi kandungan
hidrokarbon.
Setelah 14 hari, proses biodegradasi masih berlangsung diindikasikan
dengan terjadinya penguraian komponen kompleks hidrokarbon menjadi
komponen sederhana bahkan hilang yang ditandai dengan adanya komponen CO
2
.
Khitosan yang memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi mampu mengikat air
dan minyak (Brzeski, 1987).
Unsur Hg merupakan zat pencemar yang tidak dapat terurai (non-
biodegradable pollutant), umumnya berada dalam bentuk garam-garam Hg,
beracun dan mudah terakumulasi ke dalam rantai makanan melalui siklus
biogeokimia. Dalam lingkungan laut hampir 90% senyawa Hg diubah menjadi
senyawa alkyl merkuri yang sangatberacun oleh aktifitas bakteri (Halstead, 1972).
Nas (1974) dalam Waldichuk (1974) mengurutkan kadar toksisitas logam berat
dalam air laut sebagai berikut : Hg
2+
> Cd
2+
> Ag
2+
> Ni
2+
> Pb
2+
> As
2+
> Cu
2+
>
Sn
2+
> Zn
2+
.
Penurunan kandungan logam berat merkuri disebabkan karena
kemampuan dari kinerja bakteri yang mampu mengakumulasikan merkuri ke
dalam dirinya. Bakteri pendegradasi minyak yang digunakan (Arthrobacter sp.,
Mycobacterium sp. dan Pseudomonas sp.) tersebut mendegradasi minyak yang
terikat dengan merkuri (Hg) sehingga sebagian besar merkuri ikut serta
terakumulasi di dalam diri bakteri tersebut.
Proses biodegradasi minyak yang kemudian dilanjutkan dengan proses
biofiltrasi menggunakan khitosan ternyata mampu menurunkan kandungan
merkuri pada air terproduksi. Khitosan yang memiliki kemampuan mengkelat
dan meng-absorb logam berat merkuri, hasil pengkelatan mampu menjebak
merkuri yang terlepas dari minyak setelah didegradasi oleh bakteri pengurai
minyak.


PKMP-6-1-6
43,37
38,73
26,89
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Air Terproduksi Biodegradasi Biofiltrasi
Perlakuan
N
i
l
a
i

H
g

(
p
p
b
)

Gambar 2. Diagram batang kandungan merkuri (ppb)

III . Nilai TPC Bakteri selama Proses Biodegradasi dan Biofiltrasi
Proses biodegrasi dalam pengolahan air terproduksi menggunakan proses
biologis, karenanya diperlukan pemantauan pertumbuhan bakteri pendegradasi
minyak selama kegiatan penelitian.

Tabel 4. Nilai TPC Bakteri selama Proses Penelitian
Total Plate Count (CFu/ml)
Mycobacterium sp.+Pseudomonas sp.+Arthrobacter sp. Minggu ke-
24 jam(1) 48 Jam(1) 24 jam(2) 48 Jam(2)
1 1.4 x 10
8
1.8 x 10
9
8.5 x 10
7
1.5 x 10
7
2 3.4 x 10
8
4.8 x 10
8
4.0 x 10
7
4.3 x 10
7
3 3.5 x 10
9
1.2 x 10
9
8.6 x 10
8
3.1 x 10
9
Biodegradasi
4 1.9 x 10
9
8.4 x 10
9
1.5 x 10
8
9.0 x 10
8
5 3.5 x 10
9
4.5 x 10
9
1.2 x 10
7
1.7 x 10
9
6 2.3 x 10
9
7.0 x 10
9
3.0 x 10
9
6.2 x 10
9
7 3.2 x 109

3.6 x 10
9
1.3 x 10
9
2.1 x 10
9
Biofiltrasi
8 3.0 x 10
9
8.9 x 10
9
1.3 x 10
9
7.0 x 10
9

Bakteri pendegradasi hidrokarbon di antaranya adalah Nocardia,
Pseudomonas, Mycobacterium, khamir tertentu, dan jamur. Bakteri ini
menggunakan hidrokarbon tersebut untuk pertumbuhannya. Langkah
pendegradasian hidrokarbon alifatik jenuh oleh bakteri meliputi oksidasi
molekuler (O
2
) sebagai sumber reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke
dalam hidrokarbon teroksidasi (Daubaras and Chakrabarty, 1992).

PKMP-6-1-7

0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
1 2 3 4 5 6 7 8
M
i
l
l
i
o
n
s
Waktu (Minggu ke - )
T
P
C

(
C
F
U
/
m
l
)

P
e
n
g
e
n
c
e
r
a
n

1
0

^
6
24 Jam
48 Jam


Gambar 3. Diagram batang dan grafik pertumbuhan bakteri

Bakteri yang digunakan untuk proses biodegradasi adalah Arthrobacter
sp., Mycobacterium sp. dan Pseudomonas sp.. Pemilihan ketiga bakteri
pendegradasi tersebut didasarkan kepada hasil penelitian terdahulu yang telah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya pada proses bioremediasi sludge minyak
bumi. Ketiga bakteri ini efektif dalam proses biodegradasi dan cepat tumbuh serta
mampu beradaptasi dengan lingkungan yang miskin akan nutrisi dan pada kadar
garam 0-30 .
Ketiga bakteri ini dicampurkan secara sempurna ke air terproduksi setelah
dilakukan inkubasi selama 9 (sembilan) jam sehingga diharapkan ketiganya
mampu bersinergis untuk mendegradasi sehingga melepaskan ikatan merkuri
dengan minyak.
Proses aklimatisasi bakteri selama 9 (sembilan) jam, dimaksudkan untuk
mengaktifkan bakteri yang akan digunakan sehingga bakteri dapat bekerja
semaksimal mungkin sesuai dengan studi literatur yang telah kami lakukan dan
hasil penelitian terdahulu pada proses bioremediasi sludge minyak bumi.
Dari hasil perhitungan pertumbuhan bakteri dengan metode TPC selama
24 48 jam terjadi peningkatan petumbuhan bakteri. Hal ini diduga karena
bakteri telah mampu beradaptasi dengan bakto agar yang kaya akan nutrisi .
Bakteri semakin lama semakin banyak sehingga dapat memberikan informasi
dengan jelas mengenai kuantitas bakteri dalam air terproduksi, ini dapat
menandakan pula bahwa selama proses penelitian bakteri mampu bertahan hidup
dan tumbuh dengan cepat dalam sampel.

KESIMPULAN
Campuran Pseudomonas sp., Mycobacterium sp. dan Arthobacter sp.
dalam air terproduksi mampu mendegradasi kandungan hidrokarbon
Proses biofiltrasi dengan penggunaan khitosan dapat menurunkan kandungan Hg
dari 43.37 ppb menjadi 26.89 ppb.



0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
1 2 3 4 5 6 7 8
M
i
l
l
i
o
n
s
Waktu (MInggu ke - )
T
P
C

(
C
F
U
/
m
l
)

p
e
n
g
e
n
c
e
r
a
n

1
0
^
6
24 Jam
48 Jam

PKMP-6-1-8
DAFTAR PUSTAKA
Brzeski, M.M. 1987. Chitin and chitosan putting waste to good use. Infofish 5.
Daubaras, P. and Chakrabarty, A, M. 1992. The Environment, Microbes and
Bioremediation : Microbial Activities Modulated by The Environment.
Rossenberg, E (ed). 1993. Microorganisms to Combat Pollutant.
Department of Molecular Microbiology and Biotechnology. Tel Aviv
University. Israel. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. P. 1 11
Halsted,B.W. 1992. Toxocity of Marine Organism caused by Pollutant In : marine
Pollutant and Sealife. FAO. Fisheries news (Book) Ltd. London
Waldichuk,, M. 1974. Some Biological Concern in Metal Pollution In : Pollution
and Physicology of Marine Organism. F.J Vernberg and W.B. Vernberg
(ed) Academic Press Inc. London


PKMP-6-2-1
RANCANG BANGUN ALAT UKUR GETARAN JEMBATAN
DENGAN TRANSDUCER LVDT BERBANTUAN IBM PC

Eka Budi Fatari, Arief Hafidh, Eko Sulistyo, Nanda M Arby, Husneni
Jurusan Fisika, Universitas Padjajaran, Bandung


ABSTRAK
Linier Variable Deference Transformer (LVDT) adalah salah satu transducer
dapat digunakan untuk pengukuran getaran jembatan. Dalam metoda ini, inti ferit
LVDT, dihubungkan ke badan jembatan, dengan ini tegangan selisih keluaran
LVDT sebanding dengan getaran inti ferit. Dalam rancang bangun instrumentasi
berbantuan komputer diperlukan perangkat keras dan perangkat lunak.
Perangkat keras akan mengolah fluktuasi inti-LVDT akibat getaran jembatan ke
sinyal analog,, dan mengubahnya menjadi sinyal digital. Selanjutnya sinyal
digital ini direkam ke dalam komputer melalui fasilitas akusisi data. Perangkat
lunak dirancang untuk melakukan akusisi data, mengolahnya, berikut intepretasi
kuantitatifnya. Oleh karenanya sistem instrumentasi pengukur getaran jembatan
ini dibuat dilengkapi pula dengan berbagai submenu yang diperlukan, sehingga
seluruh proses mulai dari akusisi data sampai dengan intepretasinya dapat
dilakukan secara in situ. Dalam penelitian ini dirancang perumusan parameter
desain dan dikonstruksi prototipe pengukur getaran jembatan berbantuan
komputer dengan sensitifitas 100m/50mV (100m/Pixel). Hasil uji coba
perekaman sinyal getaran untuk jembatan tipe simple beams, dengan berbagai
berat kendaraan dari analisa data kuantitatif, menunjukkan respon teredam,
dengan ini jembatan, baik meredam getaran.

Kata kunci: LVDT, getaran jembatan, akusisi, sinyal, sensitivitas

PENDAHULUAN
Dalam konstruksi jembatan terdapat besaran yang menyatakan kemampuan
suatu jembatan tersebut untuk dapat menerima getaran dari lingkungan sekitarnya.
Untuk mengetahui respon jembatan terhadap getaran diperlukan instrumentasi
perekam getaran selanjutnya dari analisa kuantitatif sinyal getaran dapat
diklkasifikasikan jembatan tersebut kedalam keadaan layak tidaknya untuk
digunakan.
Sistem perekam getaran jembatan menggunakan transduser yang bernama
Pickup. Transduser ini mengubah getaran ke dalam besaran listrik, kemudian
dilakukan proses pengolahan sinyal sehingga getaran tersebut dapat dicatat oleh
Miniwriter WTR781A. Keluaran yang dihasilkan dari alat pencatat ini berupa
gambaran grafis getaran pada kertas milimeter blok, untuk intepretasi selanjutnya
dilakukan cara manual hal ini selain memerlukan waktu juga memungkinkan
kesalahan hitung. Selain itu data rekaman tidak disimpan dalam file, sehingga
sulit bila diperlukan untuk mengolahan selanjutnya. Alternatif untuk mengatasi
kendala tersebut adalah dengan instrumentasi perekam sinyal getaran jembatan
berbantuan komputer.
Dalam penelitian ini dirancang perumusan parameter desain dan
dikonstruksi prototipe instrumentasi pengukur jembatan berbantuan IBM PC

PKMP-6-2-2
dengan sensitifitas 4,8m/2,44mV (4,8m/Nyble). Akses Melalui LPT,
Pemrograman Dengan Bahasa Pascal hal ini agar mudah dalam installasi dan
relatip mudah diperbaiki bila ada trouble shooting. Prototipe yang dirancang
pengoprasianya mudah.

METODE PENELITIAN
Metode pendekatan berdasarkan perumusan masalah dan tujuan. Penelitian
bertujuan mendesain sistem pengukuran getaran jembatan berbasis komputer,
untuk dapat terealisasi berdasarkan keberadaan anggaran, waktu, tempat,
komponen dan perlatan uji, disusun langkah penyelesaiannya:
Berdasarkan litelatur dan observasi, mendeskripsikan sistem yaitu diagram
blok, prinsip kerja, rumusan transformasi dan konversi data serta penskalaan,
langkah ini perlu dilakukan, karena grafik getaran jembatan dan nilai
kuantitatifnya akan divisualisasikan pada layar monitor komputer, maka rumusan
skala pixel diperlukan. Berdasarkan deskripsi, didesain perangkat keras dan
perangkat lunaknya. Perangkat keras meliputi konstruksi pengukuran, pengkondisi
sinyal, dan perantara ADC. Perangkat lunak meliputi algoritma, pengukuran, set-
nol, rekam dan data base. Dari hasil desain selanjutnya disusun kebutuhan bahan
dan peralatan serta prosedur pengujian subsistem dan integrasi.
Waktu pelaksankan penelitian 8-bulan. 4-bulan pertama strateginya sistem
minimal dapat dibangun, pelaksanaan meliputi pekerjaan kontruksi, pengujian
karakteristik transducer, pengkondisi sinyal, akusisi data. Untuk perangkat lunak
melibuti desain algoritma, pemilihan bahasa program, buat program visualisasi
numerik grafis, dan data base. 4-bulan terakhir perbaikan khususnya pada
subsistem transducer dan pengkondisi sinyal untuk meningkatkan sensitivitas,
resolusi, respon dan linieritasnya. Tempat pelaksanaan di Laboratorium
Instrumen Fisika Unpad Jatinangor, Laboratorium workshop Fisika Unpad
Bandung, Toko komponen elektronik dan bahan konstruksi Bandung.
Kebutuhan bahan komponen dan perlatan uji dalam penelitian ini terdiri
dari: Screen layout, Printed Circuit Board, komponen Tranducer LVDT, Resistor,
kapasitor, IC-Opamp, ADC, IC-Gate, komponen catu daya, komponen pendukung
konstruksi, komponen pendukung pengujian, dan compiler bahasa pascal.
Peralatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan riset terdiri dari: Toolset,
Mikromrter sekrup, Mesin konstruksi, Komputer IBM PC, Generator sinyal,
Power suply, Osciloscope, Multitester Analog dan Digital.
Desain sistem pengukur getaran jembatan berbasis komputer, diagram
bloknya ditunjukkan Gambar 1. Prinsipnya getaran jembatan divisualisasikan
grafik pada layar monitor secara in situ, dengan ini garis skala getaran harus
mengacu pada transduce, pengkondisi sinyalnya dan perantara ADC. Subsistem
analog meliputi Transducer LVDT dan pengkondisi sinyal untuk mengubah
getaran mekanis jembatan ke tegangan analog dengan subrangkaian osilator,
penyearah, dan penguat. perumusaan transformasi dan konversi getaran mekanis
jembatan (x) ke tegangan secara emperik, dapat diturunkan,

) ( . . ) ( t x k t V + = (1)

PKMP-6-2-3
Sesuai tinjauan pustaka, transducer LVDT terdiri dari 1-lilitan primer dan 2-
lilitan sekunder serta inti pada rongga lilitan. Dengan osilator eksitasi dililitan
primer, keluaran selisih tegangan sekunder besarnya sebanding dengan perubahan
posisi inti. Dalam hal ini, inti dari bahan ferit disambungkan ke badan jembatan,
dengan kata lain pengukuran getaran jembatan transducer LVDT prinsipnya
mengukur fluktuasi sinyal listrik dari pergerakan inti (core).

Gambar 1. Blok Diagram Sistem Pengukur Getaran Jembatan Berbasis Komputer.

Dari rumusan transducer LVDT, dan dengan desain pengkondisian sinyal, untuk
k=1, dapat diturunkan,

( ) t x c
A N
R
V
t V
P
m
. . ) (
2
l

= (2)
Persamaan (2) adalah tegangan analog sebanding dengan amplitudo getaran,
bergantung pada parameter osilator yaitu frekuensi sudut osilator () tegangan
maksimum (V
m
) dan hambatan masukan (R
p
), serta gometri kumparan yaitu
jumlah lilitan (n), panjang kumparan (l) dan luas penampang kumparan.
Konstanta c adalah faktor pembanding permeabilitas fungsi dari posisi ferit dalam
hal ini terjadi perubahan permeabilitas udara dan ferit, maka nilai c adalah
perbandingan permeabilitas ferit dan udara. Dengan menghitung dan memilih
parameter eksitasi dan geometri: dengan tegangan maksimum V
m
=5Volt,
Frekunsinya f=50 KHz ( =2f=314159z). Hambatan masukan lilitan primer
R
p
=100Ohm, Panjang lilitan l = 10 mm = 0.001 meter. Jumlah lilitan n=500.
Luas penampang A=0.000078540
2
m (jejari lilitan 2 mm). c=80,63 (ferit dililih
sekitar =500.
o
dimana
o
permeabilitas udara. Berdasarkan pemilihan
parameter, maka persamaan (2) dengan k=1 adalah,

( ) t x t V = 499,976 ) ( (3)
OSILATOR
Vp(t)
x
Y=0
Y=Y1
x
L
VsB(t)
AC TO DC
VsA(t)
AC TO DC
INS
VB
VA
TRANSDUCER LVDT
ADC
I/0
LPT
Vref
n-bit D0 ... Dn
PERANGKAT
LUNAK
V
ELEMEN
JEMBATAN
GETARAN

PKMP-6-2-4
dangan x merupakan posisi ferit (+10m>x>-10mm) tanda negatip menyatakan
ferit bergerak kebawah dan positip keatas.
Subsistem digital prinsipnya sebagai pengkonversi analog ke data digital,
perantara ADC dan perangkat lunaknya. Berbasiskan komputer didasarkan pada
pemikiran bahwa sampling data ukur dalam rentang waktu tertentu, diplot berupa
grafik garis yang menyatakan variasi pergerakan inti (core) LVDT. Parameter
kelaikan jembatan ditentukan dari grafik getaran yang diperoleh akibat initi (core)
LVDT tergerakan. Konversi tegangan sebagai fungsi dari perubahan gerak core ke
data digital, sesuai dengan perumusan konversi ADC n-Bit modus bipolar dengan
tegangan referensi Vref adalah,

=
+

= = + + +
n
m
n
m n
t V Vref
Vref
t Dm t Dn t D t Do
0
0
)) ( (
. 2
) 1 2 (
2 ). ( 2 ) ( ..... ) ( 1 2 ). ( (4)

Selanjutnya data biner tersebut melalui perantara (I/O) masuk masuk ke
komputer dengan pengalamatan, ditapung dalam variabel Data [t] bilangan bulat
sesuai dengan deklarasi tipe data dalam perangkat lunaknya. Dengan pemilihan
n=16 bit dan tegangan refernsi Vref=5 Volt, maka dari persamaan (3) dan (4)
Data sebagai fungsi dari simpang getar adalah,

)) ( * 976211 , 499 5 ( * ) 5 , 6553 ( ) ( t X t Data + = (5)

Data(t) sebagai fungsi dari gerak core, dengan menggunakan perangkat lunak
modus grafik, dapat diplot berupa garis pada layar monitor. Untuk menampilkan
nilai x[t] dari Data(t) perumusannya,

x(t) = (10/5)*((5/32767)*(Data(t) - 32767)) (6)

Berdasarkan persamaan (3) dan persamaan (5), Untuk perubahan sekitar (-
0.505 sd +0.505) mm, hasil perhitungan ditunjukkan pada Tabel 2.1. Dalam
tabel skala-nol pada layar monitor pada pixel ke-171 untuk skala monitor
(640x480) pixel. Posisi skala normal pada layar monitor Gambar 2.2. Dalam hal
ini menggunakan 200 Pixel, dengan skala 0 pada pixel-172.
Dari hasil penskalaan dan perhitunga diatas, untuk visualisai pada Grafik
fluktuasi gerak core pada layar monitor, dengan bahasa pascal statementnya:
Line(t,Y[t],t+1,Y[t+1]), dalam bahasa pascal statement Y[t] adalah,

= ] [ *
65535
200
272 ] [ t data Round t y (7)

Dimana data[t]:=DataWord dari konversi data biner 16-bit.







PKMP-6-2-5
Tabel.1 :Penskalaan Layar Monitor

X
(mm)
V
(Volt)
Data Pixel
(CRT)
-0.505 -0.253 31113 166
-0.404 -0.202 31444 167
-0.303 -0.152 31775 168
-0.202 -0.101 32106 169
-0.101 -0.051 32437 170
0 0 32768 171
+0.101 +0.05 33098 172
+0.202 +0,101 33429 173
+0.303 +0.152 33760 174
+0.404 +0.202 34091 175
+0.505 +0.253 34422 176

Prosedur pengukuran getaran jembatan yang didesain, inti-LVDT
disambungkan (dikopel) dengan badan jembatan, dengan ini bila jembatan
bergetar, maka inti-LVDT akan turut bergetar, dengan ini akan timbul fluktuasi
pada tegangan selisih pada lilitan sekunder, kontruksinya ditunjukkan Gambar 3.
Bila dalam pengukuran getaran jembatan, ditentukan kecepatan kendaraan yang
melewati jembatan tidak lebih dari 10 km/jam. Untuk keperluan perekaman sinyal
getaran jembatan rentang pengukuran dibatasi dalam 5 detik sebanyak 320
sampling data, dengan ini sinyal getaran yang diukur pada daerah 7 meter sebelum
dan setelah posisi transducer. Desain konstruksi Tranduser LVDT ditunjukkan
Gambar 4 panjang kumparan primer dan sekunder sama 10 mm, dengan 500
lilitan dengan luas penampang 0.000012566
2
m . Kawat kumparan dipilih dari
email dengan diameter 0,08 mm. Tebal sekat antar kumparan adalah 0,8 mm.


















+1cm
+5V
65535
0mm
0V
32767
-1cm
-5V
0
SKALA LAYAR MONITOR
x[i],y[i]

Gambar.2 Skala Pixel Monitor Komputer


Rambat Getar

Gambar. 3 Konstruksi Transducer
10 mm
10 mm
10 mm
a
10 mm
10 mm
10 mm
b c


Gambar 4 a. Simbol LVDT
b. Ukuran Gulungan
c. Hasil Gulungan


PKMP-6-2-6



Gambar 5. Rangkaian Pengkondisi Sinyal.

Rangkaian pengkondisi sinyal, ditunjukkan Gambar 5, terdiri dari:
Osilator, penyearah, penguat instrumentasi, penapis lolos rendah dan penapis
lolos rendah dan penguat non inverting. Rangkaian osilator untuk tegangan
eksitasi LVDT menggunakan osilator Timer IC555. Sesuai rumusan frekuensi
untuk frekuensi 50 KHz, didapat R
1
=100 Ohm, R
2
=20 KOhm, dan C=1n2 nF.
Rangkaian penyearah berfungsi agar tegangan selesih LVDT sebanding dengan
getaran jembatan. Penyearah menggunakan jembatan 4-dioda 1N4148 dengan
tapis R
1
C
1
. Untuk ripple V
rpp
= 0.1 mV dengan Vp=5V, didapat R
3,4
=1 MOhm,
C
2,3
= 100 nF. Dengan waktu respon output sekitar 0,1 detik.
Sebagai penguat pertama menggunakan penguat instrumentasi yang umum
digunakan menggunakan tiga buah op-amp, sesuai yang telah dibahas pada
tinjauan pustaka dipilih hambatan R5,R6,R7,R8,R9,R10,P sama 10KOhm, maka
besar penguatan dapat diatur dari posisi potensiomter. Penapis lolos rendah
dibutuhkan, agar sinyal ke ADC sebanding dengan fluktuasi getaran dan
memotong frekuensi noise. Frkuensi cut (f
cut
) dirancang 15 Hz, sesuai rumusan
didapat R
11
=R
12
=10 KOhm, C
4
=C
5
=1F. Rangkaian penguat Non-inverting
sebagai penguat akhir, untuk menguatkan 10 kali. sesuai rumusan penguatan
didapat R
13
=10K,R
14
=100K dan P
3
=20K, maka penguatan dapat diatur antara (10
sd 12) kali. Rangkaian catu daya yang dirancang ditunjukkan, dirancang untuk
dapat menghasilkan tegangan + 12 V yang digunakan sebagai Vcc bagi rangkaian
penguat, sedangkan tegangan + 5 V digunakan sebagai Vcc bagi rangkaian
Osilator. Tegangan ini diperoleh dari rangkaian jembatan dioda dengan
VA
R5
-
+
R7
R9
R8
R10
+
-
+
-
R6
P
Vo
D1 s/d D8
VB
R3
R4
C2
C3
Badan
Jembatan
Vp(t)
X
X=0
X=X1
X
L
LVDT
R1
R2
C
10nF
6
2
3
555
1 5
8 4
7
R14
P3
+
-
Voo
R12
Rf
R11
C3
+
-
Vo
C4
R13
Vo
+VCC

PKMP-6-2-7
transfomator-CT 12 Volt dan 6 Volt dengan kapasitor penyearah masing-masing
4700uF/25V. Untuk meregulasi tegangan stabil + 12 Volt dan +5Volt digunakan
IC regulator 7812, 7912 dan 7805. Yang keluaran masing-masing IC regulasi
distabilkan lagi oleh kapasitor 100uF/25V dan 100nF disusun paralel. Perantara
ADC yang digunakan tipe Max195, diakses melalui port LPT IBM PC, diagram
blok rangkaian ditunjukkan Gambar 2.3. Spesifikasi desain: Masukan sinyal
analog satu saluran (AIN) melalui resistor 100 Ohm.
Gambar 6. Blok rangkaian ADC Max195 diakses melalui LPT IBM PC.

Hasil konversi analog ke serial data biner dari ADC pada DOut, masuk ke
port LPT melalui pin 15, diakses melalui alamat 379H. Proses konversi ADC
(CONV) dikendalikan oleh sinyal hasil gerbang OR antara sinyal CLK dan
START, dari pin 2,3 diakses melalui alamat 378H. Dan end-konversi ADC
(EOC) masuk ke pin 13 diakses melalui alamat 379H. Piranti untuk buffer
digunakan tipe CMOS 4050 dan OR menggunakan tipe TTL 7432.
Untuk Perangkat lunak menu utama pengukur getaran jembatan terdiri atas:
Submenu Rekam, Data, Grafik dan Keluar dari program. Submenu Rekam untuk
proses rekam getaran jembatan, menvisualisasikan pada layar monitor, mengukur
simpangan maksimum dan minimum serta menyimpan dalam file.
Mulai
Ambil waktu-t1
i=1;
Ulang
In_ADC;
Plot Grafik Getaran
i=i+1
Akhir Ulang i= MaxData
Simpan ke File
Selesai

Prosedur untuk perekaman sinyal getaran adalah :

Prosedur In_ADC;
Mulai
(Start konversi)
Port [$378H] 1 + 2; Port [$378H] 0 + 0;
(Baca End Konversi)
Ulang
Port [$378H] 1 + 2; Port [$378H] 0 + 2;
AIN
BP/UP DOUT
EOC
CLOCK
CONV
ADC
MAX195
LPT
D3 Pin 15
D4 Pin 13
D0 Pin 2
D1 Pin 3
+5V
100
TRANSDUCER
LVDT
OSILATOR
KONDISI
SINYAL

PKMP-6-2-8
EOC (Port[$379H] AND 16) SHR 4;
Akhir ulang EOC = 1
(Ambil data serial 16 bit D0 s/d D15 ubah ke data word)
Dataword 0
Ulang mulai n 15
Port [$378H] 0 + 2; Port [$378H] 1 + 2;
D0 (Port[$379H] AND 8) SHR 3;
Dataword = Dataword*2 + D0
Akhir ulang n 0
(Ubah ke tegangan)
Teg_Bi (5/32767)*(Dataword 32767)
(Ubah ke simpang getar Y)
Y (10/5)*Teg_Bi (Dalam mm Untuk Penguatan-1)
Selesai

Sumbenu Data berfungsi untuk menampilkan Data Numerik (angka) getaran
pada layar monitor dari data yang telah disimpan pada File. Submenu Grafik
berfungsi untuk mengulang tampilan grafik getaran jembatan pada layar monitor
dari data yang telah disimpan pada File. Submenu Keluar berfungsi untuk Keluar
dari program utama.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian bertujuan untuk mendesain sistem pengukur getaran jembatan
berbasis komputer, realisasinya adalah rumusan parameter desain dan prototipe,
ditunjukkan Gambar 7 a,b. Pada gambar (a), konstruksi transducer LVDT. Pada
gambar (b) Tranducer-LVDT, pengkondisi sinyal dan akusisi data. Prosedur
pengukuran getaran jembatan untuk amplitudo maksimum 10mm. Untuk masing-
masing subsistem sebelum diintegrasi dan uji coba pengukuran, karakteristiknya
diuji. Sesuai dengan prosedur pengujian, karakteritik linier diuji dengan statistik
korelasi dan regresi linier. Pengujian karakteristik subrangkaian meliputi:
Keluaran kumparan sekunder saat dieksitasi oleh osilator, subrangkaian
penyearah, Linieritas Penguat. Linieritas Transducer dengan Penguat, Linieritas
dan kualitas ADC, Linieritas Transducer dengan ADC.














Gambar 7a. Prototipe Transducer LVDT, b. Penkondisi Sinyal Dan ADC.

(a)

(b)

PKMP-6-2-9

Uji Integrasi ADC dan Transducer untuk mengetahui linearitas akusisi data
dalam proses konversi data ke komputer fungsi dari bergeraknya posisi inti akibat
getaran jembatan. Dalam uji integrasi posisi inti dengan menggunakan
Mikrometer dan untuk data langsung dari layar monitor dengan linieritas grafik
hasil pengukuran untuk penguatan-1. Grafiknya ditunjukkan pada Gambar.8,
didapat persamaan Data=3274,8 X + 32767 dengan korelasinya r adalah 0,9897.
ini menunjukkan akusisi data untuk pengukuran getaran linier.
Pengoperasian perangkat lunak menggunakan Pemrograman bahasa pascal.
Saat program dirunning akan timbul menu utama, dan submernu rekam, data,
grafik dan set nol. Sebelium pengukuran posisi inti harus diset-0, dengan pola
tampilan ditunjukkan Gambar 9,. Setelah itu dilakukan perekaman getaran, setelah
selesai pola tampilan sesuai dengan Gambar 10. Selesai perekaman dapat
disimpan dalam file. Bila ingin dilihat data melalui submenu Data pola tampilan
ditunjukkan Gambar 11, Submenu grafik Pada prinsipnya sama dengan Data,
namun yang ditampilkan adalah grafik getaran yang disimpan dalam file.
































y = 3274.8x + 32767
-4465
5535
15535
25535
35535
45535
55535
65535
-10 -5 0 5 10
Perubahan Posisi (mm)
Dat
a
AD
C

Gambar 8 Linieritas Uji Integrasi


Gambar 10 Submenu Rekam


Gambar 11 Submenu Data

Gambar 9 SubMenu Set-Nol


PKMP-6-2-10





























Tabel 2. Data Sinyal Getaran Berbagai Beban.

Simpangan Max (mm)
Konstanta
Jenis Kendaraan
1,387 1.6181 Truk sedang, bermuatan
1,477 0.9904 Truk sedang, bermuatan
2,006 0.0954 Truk besar, bermuatan
2,704 0.2805 Tangki
0,919 0.3064 Bus
0,734 0.3045 Truk box
0,285 0.1234 Truk sedang
0,129 0.0820 Tangki

Dalam uji coba pengukuran getaran model simpel beam, lokasi di jembatan
Cidurian Bandung untuk 8 jenis kendaran, perekaman dilakukan dengan memilih
jenis kendarraan yang melewati jembatan yaitu unyuk kendaraan berat, seperti
truk dengan beban tetentu. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa
simpang getar yang dihasilkan dari kendaraan yang dikategorikanberbobot ringan
seperti sedan sangat kecil. Gambar grafik getaran untuk truk sedangg, bermuatan
-10
-5
0
5
10
0 0.110.220.330.440.550.660.770.880.99
Waktu(detik)
S
i
m
p
a
n
g
a
n

(
m
m
)

Gambar 12
-1
-0.5
0
0.5
1
0 0.110.210.320.430.530.640.750.850.96
Waktu(Detik)
S
i
m
p
a
n
g
a
n
(
m
m
)


Gambar 13
-10
-5
0
5
10
0 0.1 0.210.310.410.520.620.720.830.93
Waktu(Detik)
S
i
m
p
a
n
g
a
n

(
m
m
)
Gambar 14
Respon redaman
y = 1.387e
-1.6181x
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Waktu (s)
A
m
p
l
i
t
u
d
o

(
m
m
)
Gambar 15

PKMP-6-2-11
ditunjukan Gambar 12, grafik getaran kendaraan Bus pada gambar 13 dan grafik
getaran kendaraan tangki pada gambar 14. Untuk sampel grafik getaran truk
sedang, terlihat memiliki pola redaman, grafik respon redamannya ditunjukan
pada gambar 15.

KESIMPULAN
Telah dirancang Prototipe Instrumentasi perekam dan pengukur getaran
jembatan dengan transducer LVDT berbasis IBM-PC. Pengaksesan melalui Port
LPT IBM-PC, perangkat lunak disusun terdiri dari submenu merekam, submenu
data, submenu grafik dan submenu setnol, dengan bahasa pemrograman Pascal
Dari hasil uji coba, untuk karakterisasi akusisi data terhadap posisi ferit
Tranduser LVDT didapat persamaan linier: Data=3274.8.X+32767 untuk
penguatan-, sensitivitasnya 100m per 50mV (100 m per pixel).
Integrasi sistem telah mampu melakukan perekaman sinyal getaran jembatan
Hasil perekaman getaran untuk jembatan tipe simple beams, dengan variasi beban
kendaraan diperoleh ampitudo getaran pada rentang 0,129 mm sampai dengan
2,704 mm. Dilihat dari respon sinyalnya menunjukkan pola getaran teredam.
Sehingga dapat dikatakan jembatan masih mampu meredam getaran dengan baik

DAFTAR PUSTAKA
AD Maxim 195, Maxim Intgrated Product 1997.
Conffron, James W, The IBM Connection, Sybex Inc., 1990.
Derenzo, Interfacing, Prentice Hall Inc., 1990.
Darold obschall, Circuit Design For Electronic Instrumentation,Mc.Graw-Hill.Inc,
1987
Draft Laporan Akhir, Evaluasi Kondisi Jembatan Ciliwung, Semanggi, Muara
Angke dan Cengkareng Drain Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng, PT.
Jasa Marga (Persero), Depatermen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,
Jakarta, 2003.
Khairul Syafari, Darwin. Perancangan Sistem Instrumentasi Perekam Sinyal
Getaran Model Jembatan Dengan Menggunakan Transducer LVDT , Skripsi
Fisika, 2003
Sutrisno, Seri Fisika Dasar Mekanika, Bandung : ITB, 1996., Elektronika
1,2:Teori dan Penerapannya, Jilid 2, Bandung : ITB, 1987
The Linear Variable Differential Transformer (LVDT), www.sensorland.com
Trans.Tek Inc, Hand book of Transducer design, Engineering and Application,
September, 2001.
William D Cooper, Electronic Instrumentation and mesuarment techniques 4
th
Ed,
Prentice Hall Inc., 1990.




PKMP-6-3-1
MODEL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN ENTREPRENEURSHIP
UNTUK SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

Tarma, Nasir Sidik, Miftah Anugrah
Jurusan Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

ABSTRAK
Penyusunan model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan
entrepreneurship siswa SMK ini dilatarbelakangi oleh rendahnya tingkat
penerimaan lulusan SMK dalam memasuki dunia kerja. Seyogianya, lulusan SMK
dapat terserap dengan baik oleh dunia kerja. Namun, perkembangan dewasa ini
menunjukkan bahwa angka pengangguran lulusan SMK semakin meningkat.
Fenomena tersebut ditambah dengan situasi perekonomian yang masih belum
pulih dari krisis. Kenyataan yang diametral seperti itu memunculkan kebutuhan
agar lulusan SMK dapat secara mandiri mengembangkan usaha untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Upaya untuk mencapai kemandirian usaha tersebut adalah
dengan adanya mata diklat kewirausahaan. Dengan demikian, lulusan SMK
diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut dengan mengembangkan
kemandirian dalam berusaha. Akan tetapi, pembelajaran kewirausahaan yang
terjadi lebih menekankan pada kemampuan kognitif sehingga siswa tetap belum
dapat secara mandiri mengembangkan kemampuan kewirausahaan. Untuk itu,
diperlukan pengembangan model pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan
kemampuan entrepreneurship siswa SMK yang lebih aplikatif. Tujuan penyusunan
model ini adalah mengembangkan model diklat pengembangan kemampuan
entrepreneurship berdasarkan pada analisis kebutuhan lapangan. Metode yang
digunakan adalah studi komparatif-kolaboratif model diklat kewirausahaan dan
judgement expert. Hasil yang diperoleh adalah model diklat yang dikembangkan
adalah model diklat yang lebih menekankan pada pengalaman siswa dalam
mengelola usaha kecil menengah. Model ini dilakukan secara komplementer
dengan mata diklat kewirausahaan yang telah dilakukan pada kelas satu dan
kelas dua. Kesimpulan yang didapat adalah rendahnya kemampuan
entrepreneurship siswa dapat diatasi dengan pendidikan dan pelatihan yang
berbasis pengalaman yang diawali dengan pengembangan dan pemupukan
motivasi dan dilanjutkan dengan pengalaman nyata siswa dalam berusaha.

Kata kunci: pengalaman, mandiri, motivasi, kewirausahaan.

PENDAHULUAN
Mutu pendidikan Indonesia dewasa ini tergolong dalam kondisi yang
memprihatinkan. Hal tersebut mengacu pada berbagai kajian yang dilakukan oleh
lembaga internasional. Misalnya kajian yang dilakukan oleh UNDP tentang
Human Developmen Index pada tahun 2003 menempatkan Indonesia pada
peringkat yang ke-112 dari 175 negara. Pada skala regional pun mutu pendidikan
Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia
lainnya. Mengacu pada hasil studi yang dilakukan oleh Political and Economic

PKMP-6-3-2
Risk Consultancy (PERC) tahun 2001 yang menempatkan Indonesia pada
peringkat ke-12 dari 12 negara di Asia.
Masalah rendahnya mutu pendidikan berimplikasi langsung terhada mutu
lulusan. Rendahnya mutu lulusan berakibat pada rendahnya kemampuan
kompetitif dan komparatif lulusan. Ditambah lagi dengan lapangan pekerjaan
yang belum sebanding dengan angkatan kerja. Hal ini berakibat terhadap
akumulasi jumlah pengangguran terdidik.
Menurut perkiraan Pusat Studi Tenaga Kerja dan Pembangunan, angka
pengangguran tahun 2001 jumlahnya 40,2 juta orang, artinya sekitar 20% dari
jumlah penduduk. Jumlah tersebut terus meningkat, tahun 2002 jumlah tenaga
kerja yang produktif tapi disia-siakan ditaksir sudah mencapai 42 juta. Dari
penganggur sebanyak itu, 1,91 juta adalah lulusan universitas. Tahun 2004
pengangguran di Indonesia diperkirakan berjumlah 45,2 juta orang. Yang 2,56 di
antaranya adalah pengangguran kerah putih. Penganggur terpelajar ini jumlahnya
akan terus meningkat secara mencolok karena akan lebih banyak lagi pelajar dan
mahasiswa yang drop out.
Menurut Badan Pusat Statistik Depnakertrans tahun 2002 terdapat
100.779.270 penganggur. Berdasarkan tingkat pendidikannya, pada tahun 2002
lulusan SD ke bawah sebanyak 59.057.037 orang (59%), lulusan SMTP sebanyak
17.488.965 (17%), lulusan SMTA sebanyak 19.332.492 orang, lulusan diploma
sebanyak 2.214.935 (2%) dan lulusan universitas sebanyak 2.685.270 orang (2%).
Pada tahun 2003 sebanyak 100.316.007 penganggur. Dari jumlah tersebut,
pengangguran lulusan SD sebanyak 59.823.889 (55%), lulusan SMTP sebanyak
20.596.057 (21%), lulusan SMTA sebanyak 20.292.724 (20%), lulusan diploma
sebanyak 1.923.558 (2%) dan lulusan universitas sebanyak 2.697.779 (3%).
Berdasarkan estimasi pengamat ekonomi Lin Che Wei dalam Kompas Cyber
Media (2002), pada tahun 2005, jika pertumbuhan ekonomi mencapai lima persen,
maka akan tercipta 1,80 juta lapangan pekerjaan baru. Perkiraan angkatan baru
yang lahir 2,16 juta orang dan jumlah penganggur terbuka 11,19 juta orang. Pada
tahun 2006, jika pertumbuhan ekonomi mencapai 5,5 persen akan tercipta 1,70
lapangan pekerjaan baru. Saat itu jumlah angkatan kerja baru yang lahir 2,18 juta
orang dan jumlah pengangguran terbuka 11,63 juta orang. Pada tahun 2007
pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,9 persen. Dengan pertumbuhan
sebesar itu, tercipta 1,90 juta lapangan pekerjaan baru. Pada saat itu lahir 2,21
juta angkatan kerja baru dan jumlah pengangguran terbuka mencapai 11,90 juta
orang. Pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 6,4 persen
dan akan menciptakan 2,20 juta lapangan pekerjaan baru. Saat itu ada 2,23 juta
angkatan kerja baru dan 11,98 juta pengangguran terbuka. Jadi, pada tahun 2008
pertumbuhan ekonomi telah berhasil menyerap angkatan kerja baru yang lahir,
namun belum mampu menanggulangi pengangguran terbuka yang ada. Sedangkan
pada tahun 2009 ketika ekonomi diestimasi dapat tumbuh sampai tujuh persen dan
menciptakan 2,40 juta lapangan kerja baru, pengangguran masih tetap belum
dapat diatasi. Pada tahun 2009 jumlah angkatan kerja baru yang lahir mencapai
115,95 juta orang dengan pengangguran terbuka 11,79 juta orang.
Sekolah menengah kejuruan sebagai institusi yang mengembangkan peserta
didik sehingga mahir dan terampil yang siap bekerja di masyarakat, (Ace Suryadi,
2005). Meskipun demikian, ternyata tingkat lulusan SMK yang menganggur
cukup banyak. Jumlah SMK negeri sebanyak 823 dan SMK swasta sebanyak

PKMP-6-3-3
4.038. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Pikiran Rakyat (4 Agustus
2004) menunjukkan bahwa pada tahun 2001 lulusan SMK se-Indonesia sebanyak
2.099.753 siswa. Dari jumlah tersebut 950.000 siswa (50%) di antaranya
menganggur.
Mengingat banyaknya angka pengangguran lulusan SMK, maka diperlukan
terobosan-terobosan baru dalam pendidikan persekolahan. Sekolah menengah
kejuruan sebagai pendidikan vokasional yang diarahkan untuk bekerja perlu
dibekali kemampuan entrepreneurship. Sehingga setelah lulus, tidak berorientasi
mencari kerja, tetapi mampu melihat peluang untuk membuka usaha dengan bekal
kemampuan teknis dan karakter entrepreneurship yang dibina melalui pendidikan
dan pelatihan entrepreneurship yang dikembangkan melalui model pendidikan
dan pelatihan yang telah teruji.
Meskipun saat ini di SMK sudah terdapat pelajaran (mata diklat)
kewirausahaan, namun hasilnya belum menggembirakan. Dengan penelitian
pembuatan model ini, diharapkan pendidikan dan pelatihan entrepreneurship
(kewirausahaan) yang efektif dan efisien. Sehingga akhirnya dapat menghasilkan
lulusan yang siap mandiri.
Adapun rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah:
(1) bagaimanakah gambaran kemampuan entrepreneurship di kalangan siswa
Sekolah Menengah Kejuruan? (2) bagaimana model yang dapat digunakan untuk
pendidikan dan pelatihan pengembangan entrepreneurship di kalangan siswa
SMK berdasarkan kepada hasil riset yang dilakukan? Dan (3) bagaimana deskripsi
hasil uji model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan
entrepreneurship?
Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) dengan judul: Model
Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Entrepreneurship Untuk Siswa Sekolah
Menengah Kejuruan ini memiliki beberapa tujuan, yakni: (1) mengidentifikasi,
mendeskripsikan dan menganalisis kemampuan entrepreneurship di kalangan
SMK; (2) membuat model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan
entrepreneurship berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan; (3)
mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis hasil uji coba model
pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship di
kalangan siswa SMK.
Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: (1) model
yang telah dibuat melalui proses ilmiah dapat dilaksanakan dan sesuai dengan
kondisi yang ada; dan (2) dengan penerapan model yang telah diuji melalui
penelitian ini, diharapkan akhirnya akan berakumulasi pada peningkatan
kemampuan entrepreneurship di kalangan siswa SMK sehingga dapat
menciptakan lapangan kerja baru dan menekan angka pengangguran.

METODE PENDEKATAN
Kegiatan PKMP penyusunan model pendidikan dan pelatihan
pengembangan kemampuan entrepreneurship untuk siswa sekolah menengah
kejuruan dilakukan dengan menggunakan beberapa tahap.
Tahap pertama ialah melakukan kajian pustaka dengan mengkaji berbagai
literatur yang relevan dengan judul program PKMP kami. Sumber yang kami
gunakan di antaranya ialah buku, dokumen lembaga diklat, kurikulum Mata

PKMP-6-3-4
Diklat Kewirausahaan, dan sumber belajar lainnya. Tahap ini dilakukan selama
kegiatan PKMP ini berlangsung.
Tahap kedua ialah melakukan studi pendahuluan. Kegiatan ini dimaksudkan
guna memperoleh referensi awal mengenai model-model diklat kewirausahaan
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang telah mapan. Lembaga-lembaga
tersebut ialah (1) Departemen Pendidikan dan Pelatihan Daarut Tauhiid bagian
Santri Mukim; (2) SBHL Consulting; (3) Dinas KUKM Propinsi Jawa Barat, dan
(4) SMEA 45 Lembang. Kegiatan studi pendahuluan dilakukan dengan
menggunakan teknik wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Teknik-teknik
ini difokuskan pada manajemen diklat dan substansi diklat. Tahap ini dilakukan
selama satu bulan, yaitu bulan Maret 2006.
Tahap ketiga ialah merumuskan instrumen yang akan digunakan untuk
menganalisis kebutuhan diklat kewirausahaan di SMK Al-Mufti Kabupaten
Subang. Hasil perumusan instrumen ini menghasilkan pedoman wawancara
dengan rumusan responden yang dijadikan subjek wawancara. Tahap ini
dilakukan pada tanggal 9 April 2006.
Tahap keempat ialah melakukan analisi kebutuhan ke lapangan dengan
menggunakan instrumen yang telah disusun sebelumnya. Hasil kegiatan ini adalah
diperolehnya kompetensi-kompetensi yang akan dijadikan kebutuhan diklat.
Tahap ini dilaksanakan pada minggu ketiga dan keempat bulan April 2006.
Tahap kelima ialah menyusun model pendidikan dan pelatihan kemampuan
Entreupreneurship untuk siswa SMK. Pada tahap ini seluruh hasil dari studi
pendahuluan dan analisis kebutuhan ditinjau dan dianalisis guna memperoleh
rumusan-rumusan kompetensi kemampuan entrepreneurship. Tahap ini
dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2006.
Tahap keenam ialah melakukan validasi model dengan teknik judgement
expert. Dari tahap ini akan diperoleh penilaian terhadap model yang
dikembangkan. Tahap ini dilakukan pada minggu keempat bulan Juni 2006.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan kajian analisis kebutuhan diklat pengembangan kemampuan
entrepreneurship siswa SMK Al-Mufti Kabupaten Subang, diperoleh informasi-
informasi sebagai berikut:
Pertama, sekolah berupaya melakukan berbagai pengembangan pendidikan
dan pelatihan kewirausahaan. Namun, menurut kepala sekolah hasilnya sampai
saat ini tidak berhasil. Dan untuk tahun ajaran yang akan datang SMK Al-Mufti
akan mengembangkan model baru lagi. Penyusunan model ini diharapkan oleh
kepala sekolah sebagai alternatif solusi.
Kedua, pendidikan dan pelatihan yang dilakukan saat ini lebih bersifat
pengajaran yang hanya membangun aspek kognitif saja, tidak pada afektif dan
psikomotorik yang akan menggiring siswa untuk mengimplementasikan
entrepreneurship. Ketiga, apresiasi siswa terhadap mata diklat kewirausahaan
masih rendah. Keempat, minat dan keberanian siswa untuk menjadi wirausahawan
atau entrepreneur masih sangat rendah.
Kelima, rasa gengsi dan tidak percaya diri yang menghinggapi siswa
sehingga memiliki keengganan untuk menekuni profesi sebagai entrepreneur atau
wirausahawan. Keenam, masih rendahnya kemampuan praktik berwirausaha yang
dilakukan oleh siswa. Ketujuh, menurut kepala sekolah, pemahaman dan

PKMP-6-3-5
kemampuan siswa untuk membuka usaha kecil (MUK) masih sangat rendah.
Karenanya diperlukan model diklat yang berorientasi pada membuka usaha kecil.
Khususnya untuk kelas tiga.
Sekolah sebagai sebuah sistem dipengaruhi oleh berbagai komponen yang
saling terkait. Demikian halnya dengan pembelajaran Mata Diklat Kewirausahaan
pun dapat dipandang sebagai suatu entitas sistem. Berbagai gejala atau fakta
masalah yang teramati harus dikaji dengan menggunakan analisis sistem.
Bila ditinjau dari strategi pembelajaran, Mata Diklat Kewirausahaan yang
dilakukan di SMK Al-Mufti lebih bersifat teoretis. Dan hanya memberikan
wawasan tentang kewirausahaan. Sedangkan untuk porsi praktikum kewira-
usahaan masih belum proporsional.
Ditinjau dari tenaga pendidik, pembelajaran Mata Diklat Kewirausahaan
disampaikan oleh guru yang bukan wirausahawan atau tidak memiliki
kemampuan kewirausahaan yang patut diteladani oleh siswanya. Sehingga proses
pembelajaran yang diberikan kurang terjiwai oleh guru.
Dipandang dari segi kurikulum, pembelajaran Mata Diklat Kewirausahaan
masih belum tuntas. Dalam kurikulum Kewirausahaan 2004, siswa tidak diberikan
kesempatan yang luas untuk melakukan praktikum kewirausahaan.
Rendahnya motivasi siswa untuk berwirausaha disebabkan oleh
pembelajaran yang belum efektif dalam menumbuhkan motivasi tersebut. Proses
pembelajaran yang dilakukan sangat monoton. Rendahnya motivasi siswa juga
dipengaruhi oleh rasa gengsi yang masih dimiliki oleh siswa-siswa tersebut.
Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di atas maka kami
merumuskan alternatif model pendidikan pendidikan dan pelatihan pengembangan
kemampuan entrepreneurship untuk siswa SMK. Adapun ringkasan model yang
kami ajukan sebagai berikut:
Model yang kami kembangkan ini dikhusukan untuk siswa SMK tingkat
tiga. Artinya model ini bersifat komplementer dan diperuntukkan bagi mereka
yang telah menuntaskan belajar kewirausahaan pada tingkat satu dan dua. Model
ini lebih bersifat pelatihan selama enam bulan. Kegiatan pelatihan yang diberikan
dengan komposisi 20 persen pembelajaran tatap muka, dan 80 persen berupa
pembelajaran yang bersifat praktikum.
Model pendidikan dan pelatihan kewirausahaan pengembangan kemampuan
entrepreneurship untuk siswa SMK difokuskan pada tiga tujuan pembelajaran atau
kompetensi, yakni: (1) Membangun motivasi siswa untuk berwirausaha di sektor
UKM (usaha Kecil dan menengah); (2) Siswa mampu mengenali peluang-peluang
usaha di sektor UKM dan (3) siswa mampu membuka dan mengelola usaha kecil.
Pengalaman belajar yang diinginkan dari model ini adalah siswa memiliki
pengalaman yang lebih banyak bersifat praktek. Untuk pemupukan motivasi,
siswa diarahkan pada pengenalan tentang biografi pengusaha-pengusaha sukses
baik dari Indonesia maupun dari luar negeri. Selain itu, model ini juga memupuk
motivasi siswa dengan profil pengusaha setempat yang berhasil. Studi kasus-studi
kasus tentang profil UKM yang sudah berhasil pun dijadikan sebagai pengalaman
belajar siswa. Hal berikutnya yang dijadikan sebagai pengalaman belajar adalah
mengenali peluang-peluang usaha di sektor UKM. Untuk mencapai hal tersebut,
siswa diarahkan pada upaya eksplorasi usaha mandiri terhadap UKM-UKM yang
ada. Tahap ini dilakukan dalam rentang waktu selama satu bulan.

PKMP-6-3-6
Upaya untuk menindaklanjuti berbagai pemupukan motivasi sebagai
pengalaman belajar dilakukan dengan metode internship. Metode ini merupakan
suatu metode pembelajaran yang dilakukan dengan cara menempatkan siswa pada
UKM-UKM yang ada dengan bimbingan dari pelaku UKM dan guru. Pada tahap
ini siswa diarahkan pada pemahaman dan analisis aspek-aspek usaha yang
menentukan keberhasilan sebuah UKM. Pengalaman belajar seperti ini pun
dimaksudkan agar siswa memiliki rasa percaya diri terlebih dahulu sebelum
mereka memulai usahanya sendiri. Dengan begitu, mereka dapat lebih leluasa
mulai membuka usaha sendiri. Tahap ini dilakukan dalam rentang waktu selama
dua bulan.
Pengalaman belajar berikutnya adalah memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mulai membuka usaha mereka. Pada tahap ini, guru diposisikan
sebagai asisten/konsultan bagi para siswa. Para siswa diberikan kesempatan untuk
mulai merencanakan usaha, mengelola usaha, menilai kemajuan usaha, dan
merencanakan pengembangan usaha. Penekanan yang difokuskan pada tahap ini
adalah: perencanaan usaha, manajemen biaya, manajemen komunikasi/
pemasaran, manajemen struktur usaha, manajemen logistik/persediaan,
manajemen sistem usaha, dan kepemimpinan usaha. Tahap ini dilakukan dalam
rentang waktu tiga bulan. Sebagai panduan untuk ketiga tahap pengalaman
pembelajaran tersebut disusunlah sebuah buku panduan yang akan berfungsi
sebagai pedoman dalam menjalankan usaha.
Sistem penilaian yang digunakan dalam model diklat pengembangan
kemampuan entrepreneurship untuk siswa SMK ini ialah dengan menggunakan
metode portofolio. Metode ini difokuskan pada proses pembelajaran yang dialami
oleh siswa yang dibuktikan dengan kumpulan-kumpulan hasil karyanya. Dalam
konteks model ini, hasil karya siswa diwujudkan dengan hasil-hasil analisis yang
dilakukan siswa baik pada tahap pertama (pemupukan motivasi), tahap kedua
(ketika siswa melakukan magang usaha), dan tahap ketiga (ketika siswa
melakukan usahanya sendiri). Pada tahap pertama, hasil analisis berwujud
eksplorasi siswa tentang keberhasilan-keberhasilan para pengusaha sukses yang
dikaji. Pada tahap kedua, hasil analisis berwujud pada peran dan fungsi masing-
masing aspek usaha dan pengaruhnya pada kemajuan usaha. Sedangkan pada
tahap akhir hasil analisis berwujud pada hasil evaluasi yang dilakukan oleh siswa
terhadap permasalahan usaha yang dihadapinya.
Untuk mencapai titik optimal dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship disyaratkan guru yang
menjadi pemimbing atau pengajar ialah mereka yang memiliki usaha sendiri
(pengusaha) sehingga bimbingan yang diberikan berdasarkan kepada pengalaman
empirik yang telah dilaluinya.
Model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan
entrepreneurship untuk siswa SMK ini memerluykan dukungan dari semua
komponen sekolah. Salah satu yang paling dibutuhkan ialah kebijakan sekolah
yang mampu menjembatani proses pembelajaran yang akan dilalui oleh siswa.
Misanya sekolah memberikan fasilitas atau modal usaha kepada kelompok siswa
yang membuka usaha secara mandiri dalam kontek diklat kewirausahaan.
Sejalan dengan itu, sekolah pun harus memiliki unit-unit usaha kecil yang
bisa dijadikan sebagai tempat bagoi siswa untuk melakukan magang. Juga harus
memiliki unit usaha kecil yang bisa dijalankan oleh siswa secara mandiri.

PKMP-6-3-7
KESIMPULAN
Model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan
entrepreneurship untuk siswa SMK diharapkan dapat menjadi alternatif solusi
bagi banyaknya lulusan SMK yang tidak terserap oleh dunia kerja. Pembelajaran
yang diarahkan dengan memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman
mengelola usaha secara langsung. Sehingga mereka kahirnya memiliki kesiapan
untuk mengeloa usaha secara mandiri setelah lulus nanti. Usaha kecil dan
menengah dijadikan sebagai sektor yang dianjurkan untuk digeluti, hal tersebut
karena sektor UKM relatif tahan terhadap ekses krisis ekonomi.
Berdasarkan kajian yang dilakukan di Al-Mufti diperoleh gambaran
kemampuan kewirausahaan yang dimiliki oleh siswa. Hal tersebut dilihat dari
indikator siswa hanya menguasai kewirausahaan secara teoretis, sedangkan
kemampuan prakteknya belum banyak difasilitasi. Apresiasi siswa terhadap Mata
Diklat Kewirausahaan pun masih rendah. Minat dan keberanian siswa untuk
menjadi seorang wirausahawan masih rendah. Rasa gengsi dan tidak percaya diri
untuk menjadi wirausahawan masih meliputi sebagian besar siswa di SMK Al-
Mufti Kabupaten Subang.
Untuk mengatasi permasalahan rendahnya kemampuan entrepreneurship
siswa di SMK Al-Mufti diperlukan model baru sebagai alternatif pemecahan
masalah. Model yang kami ajukan bersifat komplementer, dan dapat dijadikan
pilihan sebagai upaya pemantapan kemampuan entrepreneurship siswa SMK.
Model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship
yang kami kembangkan menggunakan pendekatan praktikum di sektor UKM.
Sektor usaha yang selama ini dipandang tahan terhadap terpaan krisis ekonomi.
Model yang ini diperuntukkan bagi siswa yang telah menyelesaikan mata diklat
kewirausahaan pada tingkat satu dan tingkat dua.

DAFTAR PUSTAKA
Danim S. 1998. Model Pengelolaan Terpadu Sistem Pendidikan Tenaga
Kependidikan. Disertasi. Bandung: Pascasarjana Universitas Pendidikan
Idnonesia.
Darwis R. 1993. Transformasi Nilai-Nilai Tradisi Kekeluargaan Dalam
Pendidikan Kewiraswastaan. Disertasi. Bandung: Pascasarjana Universitas
Pendidikan Idnonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Panduan Pengembangan Budaya
Kewirausahaan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Depdikbud; 1999.
Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. 1999. Implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah di Jawa Barat. Bandung: Disdik Propinsi Jawa Barat.
Gitosudarmo I. 2000. Pengantar Bisnis. Yogyakarta: BPFE.
Hisrich R D dan Peters M P. 1992. Entrepreneurship. Tokyo: Toppan Company.
Ltd.
Johnson K A dan Foa L J. 1989. Instructional Design. London: Collier Macmillan
Publishers.
Osborne D dan Gaebler T. 2003. Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: PPM.
Pusposutardjo D. 1999. Pengembangan Budaya Kewiraswastaan Melalui Mata
Kuliah Keahlian. Jurnal Pengembangan dan Penerapan Teknologi:
379:392-9.
Riyanto A dan Riyanto A A. 1991. Kewiraswastaan. Bandung: IKIP Bandung.

PKMP-6-3-8
Sumahamijaya S et al. 2003. Pendidikan Karakter Mandiri dan Kewiraswastaan.
Bandung: Aksara.
Thrismono E. 2002. Efektivitas Pelatihan Manajemen Qolbu Dalam
Meningkatkan Kinerja Karyawan. Tesis pada PPS UPI. Bandung:
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Tjiptono F. 2003. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi.
Universitas Pendidikan Indonesia. 1999. Modul Program Pengembangan Budaya
Kewirausahaan dalam Pendidikan Tinggi. Bandung: UPI.
Wills M. 1993. Managing The Training Process. London: McGraw-Hill.

PKMP-6-4-1
PENGURANGAN KADAR CA2+ DALAM AIR SADAH MENGGUNAKAN
ZEOLIT ALAM BANYUMAS SEBAGAI PENUKAR KATION

Teguh Purwanto, Ilham Supitra, Kartika L, Umi Qoriatul H, Lestari Solikhati
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRAK

Kata kunci:


PKMP-6-5-1
MENELISIK TERORISME DAN GEJALANYA:
ANALISIS KASUS TERORISME DI KOTA SEMARANG

Awaludin Marwan, Eko Setyo Atmodjo
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Semarang


ABSTRAK
Awaludin Marwan, Eko Setyo Atmodjo, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, 2006. Menelisik Terorisme dan
Gejalanya. Teror telah hadir dan menjelma dalam kehidupan kita sebagai
momok, virus ganas dan monster yang sewaktu-waktu dan tidak dapat diduga
menjelmakan terjadinya prahara nasional dan global. Aksi teror tersebut jelas
telah melecehkan nilai kemanusiaan martabat bangsa dan norma-norma agama.
Eskalasi dampak destruktif yang ditimbulkannya telah atau lebih banyak
menyentuh multi dimensi kehidupan manusia, jati diri manusia, harkat sebagai
bangsa beradab, dan cita-cata dapat hidup dengan bangsa lain dalam misi mulia
Kedamaian Universal mudah dan masih bisa dikalahkan oleh aksi teror.
Karena sedemikian akrabnya aksi teror ini di gunakan manusia dan akhirnya
dengan sendirinya aksi teror ini bergeser menjadi terorisme artinya terorisme
ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa ini untuk menunjukan potret lain
dari dan diantara berbagai jenis dan ragam kejahatan kekerasan, kejahatan
terorganisir dan kejahatan yang tergolong luar biasa (extra ordinary crime).
Dari tulisan ini selanjutnya akan diarahkan pada pengetahuan tentang tindak
pidana terorisme yang bersimpul pada (1) klasifikasi kekerasan yang mempunyai
hubungan dengan tindak pidana terorisme, (2) landasan pikir dari tindak pidana
terorisme. Dengan menggunakan metodologi pendekatan yuridis sosiologis
diharapkan tulisan ini mampu memberikan gambaran yang bermaksud
menjelaskan kekhawatiran masyarakat tentang kasus terorisme yang ada dalam
skala global ataupun lokal. Kemudian dapat digambarkan bahwa terdapat
karakteristik-karakteristik dalam mengidentifikasi sebuah kejahatan yang dapat
di kategorikan dalam kejahatan tundak pidana masyarakat yang diantaranya
terdapat ciri-ciri sebagai berikut : (1) menggunakan encaman kekerasan, (2)
menimbulkan rasa takut terhadap orang banyak, (3) adanay perampasan
kemerdekaan, nyawa dan harta benda orang lain.

Kata kunci: menelisik, terorisme

PENDAHULUAN
Terorisme merupakan suatu paham yang berbeda dengan kebanyakan paham
didunia, baik dulu maupun yang mutakhir. Terorisme identik dengan aksi teror,
kekerasan, ekstrimitas, dan intimidasi, serta sebutan bagi pelakunya disebut
dengan teroris. Terorisme acapkali menjatuhkan korban kemanusiaan dalam
jumlah yang tidak sedikit. Ada sasaran yang terorganisir dan intelektual, modus
operandinya terencana termasuk menjadikan sandra sebagai tameng hidup
untuk mensukseskan dan memperlancar aksinya. Nyawa manusia kian menjadi
subjek yang tidak dimartabatkan.


PKMP-6-5-2
Meski teror sudah ada dan terjadi sejak lama, namun 11 September 2001,
menghentakkan dunia, tidak hanya Amerika. Peristiwa yang sempat disiarkan
secara langsung oleh stasiun Metro TV merelay siaran langsung dari CNN itu
sangat mencengangkan. Gambar-gambar yang muncul diTV begitu dramatis,
Gedung WTC (Word Trade Centre) yang tampak begitu perkasa runtuh berlahan
dan hancur lebur menjadi debu. Ketakutan dan kepanikan mewarnai Amerika.
Presiden George. W Bush segera mengumumkan kepada dunia, bahwa Amerika
diserang oleh teroris biadab. Teroris tersebut tidak lain adalah Osama bin Laden
dan Jaringannya, Al-Qaeda. Terorisme itu adalah islam arab. Sejak itu,
terorismemenjadi kata yang tidak ada habisnya disebut masyarakat dalam
obrolan sehari-hari.
Akhirnya Osama bin Laden, dengan Alqaedanya dikejar-kejar, karena
dianggap sebagai biang peledakkannya. Tidak hanya Osama, tapi juga Afganistan
yang saat itu diperintah rezim Taliban-pun harus dibom bardir oleh Amerika
beserta sekutunya karena dianggap melindungi Osama bin Laden.
Tragedi di bom di Sari Club dan Pedys Club Kuta Legian Bali, 12 Oktober
2002 adalah teror yang layak digolongkan sebagai kejahatan terbesar di Indonesia
dari serangkaian teror yang ada. Tragedi itu adalah bukti nyata bahwa teror adalah
perbuatan yang sangat keji yang tidak memperhitungkan, tidak memperdulikan,
dan sungguh mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia yang tidak tahu-
menahu tentang misi dan tujuan pembuat teror telah menjadi korban tak berdosa
(Innocent Victim). Rakyat tak berdosa menjadi ongkos manusia yang
dimenangkan dan disupremasikan aksi teror yang terjadi di Legian Bali itu
meningatkan publik dari kejadian Black Tuesday. Selasa kelabu yaitu tragedi yang
menghancurkan simbol kapitalisme negara adikuasa AS berupa menara Word
Trade Centre (WTC) dan simbol pertahanan pentagon. Publik menarik benang
merah bahwa kasus bom bali dan kasus WTC AS adalah produk gerakan
terorisme yang bermaksud merusak perdamaian global, menghancurkan nilai-nilai
peradaban, dan mendegradasikan hak-hak asazi manusia (HAM).
Kasus peledakan bom di JW Marriot (5 Agustus 2003) yang menewaskan
belasan orang dan luka-luka puluhan orang juga makin membenarkan bahwa
disamping persoalan teror itu tergolong termasuk persoalan serius bangsa dan
dunia, juga disisi lain dampaknya kian terasa oleh masyarakat. Masyarakat
akhirnya dicekam ketakutan. Siapa yang tidak takut juga sewaktu-waktu
nyawanya bisa melayang dan tubuhnya bisa hancur ditanggan pelaku terorisme.

METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam tulisan ini memakai pendekatan penelitian
hukum yuridis sosiologis. Menurut Kartini Kartono penelitian hukum yuridis
sosiologis merupakan aktifitas ilmiah yang menggunakan metode-metode
logis dan sistematis, bertujuan mengadakan verifikasi terhadap data-data lama
dan menemukan fakta-fakta baru, dengan menjalankan analisis sebab-sebab
terjadinya proses, interrelasi dari proses-proses, rangkaian perurutan dari
proses-proses, rangkaian perurutan dari proses-proses untuk kemudian
menemukan hukum atau prinsip umum dari proses sosial tersebut.
2. Metode Pengumpulan data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :


PKMP-6-5-3
a. Studi Kepustakaan
Suatu cara yang dilakukan dengan mengadakan penelitian dan
pemahaman terhadap brosur-brosur, literatur yang berkaitan dengan
masalah tersebut.
b. Wawancara
Suatu cara yang dilakukan dalam mendapatkan pemahaman terhadap
masalah tersebut dengan mengumpulkan keterangan-keterngan dari pihak
yang terkait masalah tersebut.
c. Observasi
Observasi biasa dianalogikan sebagai metode Human Instrument, yakni
metode di mana dalam pengumpulan dan interpretasi data, keberadaan
pemantau secara individual bersifat pro-aktif dan subtansional. Artinya,
diantara alat pengumpulan data yang sudah banyak digunakan seperti
ceklis, kamera, dan lain sebagainya, posisi pemantau merupakan alat
pengumpulan data yang paling utama dan yang paling penting.
3. Metode Penyajian Data
Metode yang digunakan dalam penyajian data adalah secara induktif dan
deduktif yang dituangkan dalam laporan hasil penelitian dan disajikan dalam
bentuk gambaran, konsepsi, teori atau penemuan-penemuan baru yang relevan
dengan permasalahan yang dibahas.
4. Metode Analisis Data
Data yang sudah terkumpul akan dibahas dengan menghubungkan variabel-
variabel yang saling terkait. Dalam program ini menggunakan analisis
kualitatif deskiriptif yaitu data yang diperoleh akan di olah dan di analisa
kemudian di inteprestasikan menjadi suatu data yang dapat menggambarkan
kondisi secara riil

HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Klasifikasi Kekerasan Terorisme.
Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
juga berbentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againt humanity).
Berbagai gejala dan wacana kita temui dalam menelisik kasus terorisme.
Mulai dari dampak isu dan kasus terorisme yang terkecil berupa kegelisahan
dan kekawatiran masyarakat, sampai terbentuknya berbagai wacana sosial
dalam skala lokal maupun global tentang terorisme itu sendiri.
Diantara bentuk tindak pidana terorisme yang paling populer belakangan ini
adalah pengeboman, namun kaum teroris juga masih sering menggunakan
tindakan teror seperti pembunuhan, penculikan, serangan bersenjata,
pembajakan dan penyandraan, serta menggunakan senjata pembunuh massal
(kimia, biologi, radio aktif, nuklir/CBRN). Itulah sebabnya sasaran teror tidak
hanya individu, melainkan juga organisasi, komunitas tertentu, bahkan
negara.
Salah satu karakteristik perlakuan masyarakat barat terhadap tindak
kekerasan adalah individualistik. Pendekatan yang individualistik ini hanya
memperhitungkan faktor-faktor individual yang pada kenyataannya dianggap
sebagai pendekatan yang obyektif. Dengan begitu hubungan kausal antara
kekerasan yang diamati dan struktur sosial yang melingkupinya dilenyapkan
secara sistematis. Konsekuensinya analisis tersebut gagal menelusuri


PKMP-6-5-4
hubungan-hubungan logis antara seorang individu dan kelompok atau kelas
sosial dari mana dia berasal. (Jamil salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, 2003)
Terorisme seperti yang ditegaskan dalam Convention of the Organitation of
the Islamic Conference on Combating International Terorism (1999)
sebagaimana dikutib Muladi merupakan tindak kekerasan atau ancaman
tindakan kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan
rencana tindak kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan menteror
orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengancam
kehidupan mereka, kebebasan, keamanan, kehormatan, dan hak mereka atau
mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik,
atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau
fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas integritas teritorial kesatuan
politis atau kedaulatan negara-negara merdeka.
Terorisme merupakan kejahatan internasional yang terorganisir
(Transnational organized crime), oleh karena itu dalam penanggulangannya
membutuhkan kerja sama internasional. Menurut konvensi Palermo, 2000,
suatu kejahatan dapat di kategorikan sebagai Transnational Organized Crime,
apabila memiliki karakteristik :
a. dilakukan lebih disatu negara,
b. dilakukan di satu negara, tetepi persiapan, perencanaan dan
pengendalianya mengambil di negara lain,
c. dilakukan di satu negara, tetepi melibatkan suatu kelompok kejahatan
terorganisasi yang memiliki jatingan kegiatan di banyak negara, atau,
d. dilakukan di satu negara, tetapi secara substansial efeknya mengimbas
sampai negara lain.
Bertolak pada Undang-undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme
mengkalisifikasikan empat jenis perbuatan yang di kategorikan sebagai tindak
pidana lain yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme, yaitu :
a. menggunakan ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan
mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum,
dan/ atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga proses
peradilan menjadi terganggu. (Pasal 20)
b. memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu, dan
mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang peradilan atau
melakukan penyerangan terhadap saksi termasuk petugas pengadilan
dalam perkara tindak pidana terorisme. (Pasal 21)
c. mencegah, merintangi atau menggagalkan secra langsung atau tidak
langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
dalam perkara tindak pidana terorisme. (Pasal 22)
d. saksi atau orang lain yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme
yang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang
memberikan kemungkinan dpat di ketahuinya identitas pelapor. (Pasal 23
jo Pasal 32)
2. Landasan Pikir dalam Paham Terorisme.
Jika kita cermati, ada beberapa motif yang mengakibatkan munculnya
tindakan teror, sebut saja yang paling menyolok adalah di dasari pada
ekstrimisme idiologi keagamaan. Para teroris ini pada umumnya memiliki
sifat radikal, dengan berdasarkan pada agama, karena berkeyakinan dirinya


PKMP-6-5-5
yang paling benar, mereka ingin membangun komunitasnya yang bersih dari
dekadensi moral yang telah melanda dunia.
Motif lain yang memunculkan tindakan teror adalah separatisme yang
diakibatkan oleh nasional kesukuan, yaitu semangat ingin memisahkan diri
dari pemeritah pusat. Demi mendapatkan kemerdekaan politik, kelompok
seperti ini tidak segan-segan melakukan teror, selain itu ketimpangan
ekonomi dan sosial juga bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya
terorisme.(Bambang Abimanyu, 2005)
Sadar atau tidak, paling dominan, terorisme global dan terkini oleh
sejumlah media dan komunitas di identikkan dengan islam. Satu keping lain
pula, terjadi penolakan ataupun bisa disebut apologi dari masyarakat agamis
islam yang menentang adanya pewarnaan islam dengan terorisme.
Dalam pemikiran barat konstruksi pemikiran sebuah identitas islami yaitu
jihad hanya dilakukan melalui kekerasan. Meskipun mereka yang terlibat
didalam kekerasan jihad itu hanya beberapa saja. Bagi kebanyakan muslim
jihad berarti berjuang di jalan Allah dan memiliki dua komponen. Pertama
jihad Akbar, yaitu perjuangan secara damai untuk mencapai pemenuhan
moral individu dan sosial. Kedua jihad Asghat, yaitu perjuangan bersenjata.
(Prof. H Abdurahman Masud Ph.D, 2004).
Rasa takut yang berlebihan (fear-morgers) rasanya kian terasa oleh
khalayak luas ditengah issue global, sebagaimana diramalkan oleh Sammel P.
Huntington dalam suatu buku yang berjudul Benturan Peradaban-Peradaban
(Class of Civilization) yang cenderung mendasarkan pemikiran pada
pemahaman yang tidak memihak tentang konsep jihad. Hal ini kian
menyemarakkan bagaimana islam menjadi musuh kapitalisasi, demokrasi dan
libelarisasi, sehingga bentukan bahasa terorisme yang mewarnai islam
terkesan menambah pencitraan buruk bagi kaumnya.
Jihad merupakan persoalan sangat penting dalam ajaran islam. Jihad
dalam islam berjuang dengan segala cara demi tegaknya agama, termasuk
didalamnya makna perang. Karena perjalanan sejarah umat islam sejak awal
selalu diiringi kisah peperangan melawan musuh hingga kesan jihad lebih
kuat dan dominan. Ini pula yang di pakai pihak-pihak anti islam yang
mendeskriditkan agama yang suci ini dengan mempropagandakan bahwa
islam adalah agama pedang dan peperangan. (Mohammad Chirzin, M.Ag,
2003)
Begitu lekatnya islam dengan isu terorisme menambah kegelisahan yang
cukup berarti bagi masyarakat Indonesia secara khusus yang mayoritas
penduduknya beragama muslim ini. Apalagi dengan tertangkapnya tokoh
keagamaan seperti KH Abu bakar Baasyir tokoh pesantren besar ngruki
kenamaan yang diduga menjadi bagian dari otak rangkaian pengeboman di
Indonesia.
Terorisme yang selalu diidentikkan dengan kekerasan tak hanya berhenti
pada persoalan keislaman saja. Namun sudah berangkat menuju posisi yang
saling menyerang dengan berbagai arena pertarungan isu yang lain. Seperti
ungkapan-ungkapan yang dilemparkan oleh barat sebagai tandingan
keganasan isu terorisme sebagai bagian dalam kekerasan kehidupan.
Diukur dari sudut pandang agama, Azyumardi Azra, Rektor Universitas
Islam Negeri Jakarta mengatakan bahwa terorisme sebagai kekerasan politik


PKMP-6-5-6
sepenuhnya bertentangan dengan etos agama islam, islam mengajarkan pda
etos kemanusiaan yang sangat menekankan pada etos kemanusiaan yang
unversal. Islam mengajarkan pada umatnya untuk berjuang mewujudkan
keadilan, perdamaian, dan kehormatan, tetepi perjuangan itu haruslah tidak
dilakukan dalam bentuk kekerasan atau terorisme.
Islam sebagai agama yang Rahmatan lil Alamin jelas menolak dan
melarang penggunaan kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (Al-
Ghoyat) termasuk tujuan yang baik sekalipun. Islam menegaskan bahwa
pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dengan kemungkaran pula
tindak kekerasan apalagi teror. Dengan demikian kalau ada tindakan teror
yang dilakukan oleh kelompok islam tertentu sudah barang tentu alasannya
bukan karena ajaran etik moral islam, melainkan agenda lain yang
tersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut.
Dugaan tentang keterlibatan kelompok keagamaan tertentu dalam tragedi
terorisme yang acap kali ada setidaknya di tengarai oleh alasan-alasan
mendasar yaitu :
a. Stigma negatif atas jaringan Al-Qaeda. Ini bermula sejak merebaknya
aksi-aksi pengeboman yang di motori oleh Al-Qaeda. Ini menimbulkan
pernyataan bahwa Al-Qaeda merupakan organisasi terorisme, pernyataan
seperti ini tidak hanya memberikan citra buruk pada Al-Qaeda sebagai
organisasi agama tapi juga membawa stigma negatif pada islam ,
b. munculya kelompok keagamaan di luar mainstream. Kalau selama ini
organisasi islam di Indonesia di representasikan oleh NU,
Muhammadiyah, yang juga bergerak di bidang kultural namun setelah
reformasi muncul organisasi keagamaan yang bergerak di bidang lain,
ormas-ormas tersebut lebih cenderung pada gerakan islam politik.
Stigma terorisme kepada agama islam, akan mengabaikan terorisme baik itu
aktornya negara maupun bukan, tidak hanya di lakukan dikalangan agama islam.
Kalangan agama lain pun menghadapai persoalan yang sama.
Fundamentalisme, merupakan sebutan atau tudingan yang belum jelas di
tujukan kemana, pada pengertian ini maka seorang fundamentalis dapat
memegang nilai-nilai teologi dan agamanya pada tataran ajaran eksplisit. Dengan
begitu jelas sangat berbeda dengan terorisme karena terorisme selalu
menampilkan watak yang hegemonik, anarkis, raja tega, dan radikal. Terorisme
tidak selalu identik dengan fundamentalisme, baik dalam kalangan islam maupun
diluar islam.

KESIMPULAN
a. Klasifikasi Kekerasan yang Tergolong dalam Kejahatan Terorisme.
i. Kriminalisasi tindak pidana terorisme di Indonesia dirumuskan dalam dua
kelompok, yaitu kelompok tindak pidana terorisme dan kelompok tindak
pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme.
ii. TindakPidana lain yang berkaitan dengan terorisme diarahkan kepada tindak
pidana yang berhubungan dengan gangguan atas proses peradilan tindak
pidana terorisme.
iii. Karakteristik terorisme yang diatur di Indonesia, kejahatan yang :
a) Kejahatan yang menggunakan atau ancaman kekerasan,


PKMP-6-5-7
b) Menimbulkan atau dengan maksud suasana teror atau rasa takut
terhadap orang, atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
c) Dengan cara merampas kemerdekaan, atau hilangnya nyawa, dan
harata benda orang lain,
d) Mengakibatkan atau untuk menimbulkan kerusakan, atau kehancuran
terhadapa objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
iv. Bertolak pada UU terorisme yang telah mengklasifikasikan 4 (empat) jenis
perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana lain yang berhubungan
dengan tindak pidana terorisme, yaitu :
a) menggunakan ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan atau
dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum,
penasihat hukum, dan/ atau hakim yang menangani tindak pidana
terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu. (Pasal 20)
b) memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu, dan
mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang peradilan atau
melakukan penyerangan terhadap saksi termasuk petugas pengadilan
dalam perkara tindak pidana terorisme. (Pasal 21)
c) mencegah, merintangi atau menggagalkan secra langsung atau tidak
langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme. (Pasal 22)
d) saksi atau orang lain yang berhubungan dengan tindak pidana
terorisme yang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal
lain yang memberikan kemungkinan dapat di ketahuinya identitas
pelapor. (Pasal 23 jo Pasal 32).
b. Landasan dan Pola Pikir Paham Terorisme.
Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada militer melainkan
terhadap orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Teror adalah
menakut-nakuti dan mengancam, ia tidak bisa di terima dengan akal menusia dan
tidak di benarkan oleh semua agama. Di dalam agama memang ada sebuah bentuk
kekerasan yang diajarkan tetapi itu merupakan suatu bentuk implementasi hukum
(Syariah) seperti masih diakuinya sanksi dalam hukuman mati.

SARAN
Perlu sesegera mungkin diadakan penggantian atau paling tidak revisi
Undang-undang terorisme. Hal-hal yang perl di revisi terutama di prioritaskan
terhadap perumusan pemberlakuan surut, pengecualian tindak pidana terorisme
dari tindak pidana politik, adanya pendefinisian yuridis tindak pidana terorisme
dan penghhindaran kata yang mengandung makna multitafsir.

DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Bambang. 2005. Teror Bom di Indonesia, Grafindo, Jakarta.
Abdurahman Prof. H masud PH.D, 2004. Jihad Ala Pesantren Menurut
Antropolog Amerika, Gama Media Yogyakarta.
Chirzin, Mohammad, M.Ag, 2003. Jihad Menurut Syaidqutub Dalam Tafsir
Zilal. Intermedia. Solo.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Panduan Pelaksanaan dan Pengabdian
kepada Masyarakat Edisi VI, Jakarta, 2002.


PKMP-6-5-8
Masyhar, Ali. Tesis Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di
Indonesia, UNDIP, Semarang 2005.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bima Aksara, Jakarta 1987
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, Bima Aksara, 2001
Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Silpil, TERORISME, definisi dan regulasi,
Imparsial, jakarta, 2003
Salmi, Jamil. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme Pendekatan Baru dalam Melihat
Hak-Hak Asasi Manusia, 2003. komite untuk anti kekerasan (KUAK).
Yogyakarta.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002,
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang
Undang-Undang No.16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002,
Tentang Pemberlakuan Perpu No.1 Tahun 2002, Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12
Oktober 2002 menjadi Undang-Undang.
Wahid, Abdul, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM, dan Hukum,
Rafika Aditama, Bandung, 2004



PKMP-6-6-1

PEMANFAATAN ADSORBEN SERBUK GERGAJI KAYU SENGON
PADA KNALPOT SEPEDA MOTOR 4 TAK YANG DIMODIFIKASI
SEBAGAI ALTERNATIF PENGURANGAN EMISI Pb
DI SURAKARTA

Aan Yunianto, Aryadhita Fibrilianto, Dimas Candra Atmaja
P MIPA / KIMIA FKIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta

ABSTRAK
Pemanfaatan serbuk gergaji kayu sengon selama ini hanya sebagai bahan bakar.
Ada beberapa manfaaat lain yang dapat diterapkan pada masyarakat. Salah
satunya adalah penggunaan arang aktif serbuk gergaji kayu sengon sebagai
adsorben logam Pb pada emisi sepeda motor 4 tak yang selama ini menjadi
penyebab timbulnya polusi udara. Penelitian ini bertujuan untuk (1)
memanfaatkan limbah serbuk gergaji kayu sengon menjadi barang yang bernilai
tambah khususnya sebagai adsorben. (2) mengetahui efektifitas adsorben serbuk
gergaji kayu sengon dalam mengadsorbsi Pb yang terkandumg dalam asap
sepeda motor 4 tak. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Sampel
adalah Pb yang terkandung dalam asap sepeda motor 4 tak. Teknik analisis
sampel dengan metode spektroskopi menggunakan Spektrofotometer Serapan
Atom. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa: (1) serbuk gergaji kayu
sengon dapat dijadikan adsorben sehingga mampu menaikkan nilai tambah (2)
adsorben dari serbuk gergaji kayu sengon dapat mengadsorbsi Pb pada emisi
sepeda motor 4 tak sebesar + 29,4179%.

Kata kunci : serbuk gergaji, arang aktif, adsorbsi, emisi Pb.

PENDAHULUAN
Percepatan pertumbuhan di sektor transportasi dapat dilihat dan dirasakan
pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, khususnya di wilayah kota Surakarta.
Kepadatan arus lalu lintas disebabkan besarnya volume kendaraan yang tidak
sesuai dengan ketersediaan ruas jalan yang ada. Kondisi tersebut merupakan
faktor utama penyebab kemacetan arus lalu lintas. Dampak negatif yang
ditimbulkan adalah tingginya tingkat polusi udara di lingkungan perkotaan
sebagai akibat emisi gas buang sepeda motor.
Dilihat dari sumbernya, pencemaran udara terbesar memang berasal dari
gas buang kendaraan bermotor, yaitu sebesar 70 % (WALHI, 2000), khususnya
sepeda motor 4 tak di kota Surakarta yang mempunyai kontribusi besar terhadap
pencemaran Pb, karena jumlahnya yang banyak. Asap sepeda motor tersebut
dapat mengeluarkan partikel Pb yang dihasilkan oleh pembakaran bensin. Pb
dapat mencemari makanan yang dijajakan di pinggir jalan atau dapat diserap
manusia secara langsung melalui pernafasan. Pb dapat merusak jaringan saraf,
fungsi ginjal, menurunkan kemampuan belajar dan membuat anak-anak hiperaktif
(Juli Soemirat Slamet, 1996:115). Anak-anak menjadi paling menderita akibat
pencemaran udara, karena paru-parunya belum berkembang sempurna dan daya
tahan tubuhnya belum kuat.

PKMP-6-6-2
Berdasarkan hasil pengukuran kualitas udara di perempatan Nonongan
Surakarta oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan pada bulan Juli 2002
diketahui kadar Pb sebesar 0,371 g/m3 dan pada bulan Desember 2002 sebesar
0,730 g/m
3
berarti selama lima bulan ada peningkatan kadar Pb sebesar 0,369
g/m
3
sehingga dapat diperkirakan pada bulan juli 2005 kadar Pb sebesar 2,657
g/m
3
. Angka ini berarti pada bulan Juli 2005 di perempatan Nonongan Surakarta
telah melebihi baku mutu SK Gubernur Jateng No. 8 tahun 2001 yaitu sebesar
2.000 g/m
3
.
Melihat fenomena tersebut, pengurangan polutan berupa logam-logam
berat khususnya Pb perlu dilakukan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk
mengurangi pencemaran tersebut adalah dengan adsorbsi. Maka dalam penelitian
ini dilakukan studi tentang karbon aktif dari serbuk gergaji kayu sengon sebagai
adsorben untuk penanggulangan emisi Pb pada sepeda motor 4 tak. Mengingat
pemanfaatan serbuk gergaji kayu sengon saat ini masih terbatas pada penggunaan
konvensional yaitu sebagai bahan bakar tradisional.
Di samping itu di Indonesia ada tiga macam industri kayu yang
mengkonsumsi kayu dalam jumlah relatif besar, yaitu: penggergajian, vinir/kayu
lapis dan pulp/kertas. Dan masih terdapat masalah yaitu limbah penggergajian
yang ternyata di lapangan masih ada yang ditumpuk, sebagian dibuang ke aliran
sungai sehingga dapat menyebabkan pencemaran air, atau dibakar secara
langsung, berarti ikut menambah emisi karbon di atmosfer. Produksi total kayu
gergajian di Indonesia mencapai 2,6 juta m
3
per tahun (Forestry Statistics of
Indonesia, 1997). Dengan asumsi bahwa jumlah limbah yang terbentuk 54,24 %
dari produksi total (Martawijaya dan Sutigno: 1990), maka dihasilkan limbah
gergajian sebanyak 1,4 juta m
3
per tahun; angka ini cukup besar karena mencapai
sekitar separuh produksi kayu gergajian.
Setelah mengetahui berbagai dampak negatif yang diakibatkan emisi Pb,
maka hal yang terpenting adalah bagaimana kita mengupayakan penanggulangan
bahaya tersebut, paling tidak meminimalisasi emisi yang ada. Salah satu cara yang
bisa dilakukan adalah dengan mengadsorbsi emisi gas buang sepeda motor
khususnya 4 tak menggunakan karbon aktif serbuk gergaji kayu sengon yang
selama ini menjadi limbah.
Sampel yang akan diuji adalah sepeda motor tipe NF 100D, FD 125 XSD,
T 105 ERD yang merupakan jenis sepeda motor penyumbang Pb terbesar karena
kuantitasnya yang banyak (hasil observasi di perempatan Nonongan, komplek
balai kota dan pemukiman Mojosongo).
Untuk mengetahui efektivitas absorben kayu sengon, maka dilakukan
pengukuran terhadap emisi knalpot kemudian dilakukan pembandingan antara
jumlah Pb sebelum dan sesudah dilakukan absorbsi.
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Dapat memanfaatkan limbah serbuk gergaji kayu sengon menjadi barang yang
bernilai tambah khususnya sebagai adsorben.
2) Dapat mengetahui efektifitas adsorben serbuk gergaji kayu sengon dalam
mengadsorbsi Pb yang teremisi dari asap sepeda motor 4 tak.

Manfaat dari penelitian adalah :
1) Memberikan kesadaran bagi industri kayu untuk memanfaatkan limbah serbuk
gergaji kayu khususnya kayu sengon.

PKMP-6-6-3
2) Memberikan kesadaran bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap
lingkungan.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilakukan selama 5 (lima) bulan, mulai Januari s.d. Mei
2006, di Sub. Lab. Kimia UPT Laboratorium Pusat MIPA dan Laboratorium FKIP
P.MIPA Program Kimia Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah :
Alat
- Erlenmeyer 250 mL
- Labu ukur 1000 mL
- Gelas beker 500 mL
- Kaca arloji
- Pengaduk
- Gelas ukur 200 mL
- Timbangan analitik
- Pipet tetes dan pipet volume
- Spektrofotometer Serapan Atom
- Muffle furnace
- Kertas saring
- Krus porselin
- Blender
- Sepeda motor 4 tak
- Termometer
- Impinger 50 mL
- Pengepres

Bahan
- Serbuk gergaji
- Akuades bebas ion
- H
3
PO
4
20 %
- HNO
3
1 N
- Bensin
- Steinless steel
- Mur dan Baut
- Tepung Tapioka

Metode penelitian yang digunakan adalah dokumentasi, observasi dan eksperimen
dengan melakukan percobaan di laboratorium dengan urutan kerja sebagai
berikut:
1) Pembuatan adsorben
Mencuci serbuk gergaji dengan air bebas ion dan mengeringkannya.
Memanaskan serbuk gergaji dalam Muffle Furnace pada suhu 200
o
C
selama 12 jam.
Menghaluskan hasil pemanasan tadi sehingga diperoleh partikel halus.
Mengayak sampai mendapatkan serbuk yang halus.

PKMP-6-6-4
2) Pengaktifan adsorben
Menyiapkan gelas beker 500 mL yang diisi larutan aktivator yaitu H
3
PO
4

20%.
Memasukkan serbuk gergaji yang halus ke dalam gelas beker tersebut.
Merendam selama 4 jam pada suhu kamar.
Menyaring .
Mengeringkan dalam oven pada suhu 120
o
C selama 12 jam.
3) Pemadatan karbon
Setelah karbon aktif siap, langkah selanjutnya adalah pengepresan, dan
untuk mengikat serbuk karbon aktif tersebut digunakan tepung tapioka.
4) Pembuatan alat adsorben dan penempelan pada lempengan steinless steel
Karbon aktif yang sudah dipadatkan kemudian ditempelkan pada lempengan
steinless steel (alat adsorben).
5) Pemasangan pada knalpot
Pemasangan alat adsorben tersebut pada knalpot dilakukan dengan merangkai
sedemikian rupa sehingga adsorben dapat terpasang pada plat.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif
kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan yang didukung oleh informasi dari Dinas
Kesehatan Kota Surakarta, terdapat 3 (tiga) titik yang merupakan kawasan padat
lalu lintas. Observasi pada pukul 16.00 s.d. 17.00 WIB menunjukkan jumlah
sepeda motor 4-tak :
a. Di perempatan Nonongan sebanyak 762 unit
b. Di kompleks Balaikota Surakarta sebanyak 658 unit
c. Di pemukiman Mojosongo Rt 4 Rw 1 Surakarta sebanyak 571 unit

Sehingga, di ketiga titik tersebut dapat diduga terjadi akumulasi polusi
udara yang cukup besar.
Industri kayu sengon yang diambil sebagai sampel adalah kompleks
industri kayu sengon yang berada di Jebres dan Karangpandan kota Surakarta.
Industri tersebut bekerja pada bidang furniture yang biasanya berupa meja, kursi,
almari, rak, dan lain-lain. Berdasarkan hasil pengamatan, industri pengolahan
kayu sengon tersebut setiap hari dapat menghasilkan + 3 (tiga) kuintal limbah
yang berupa serbuk gergaji. Pemanfaatan limbah serbuk gergaji selama ini hanya
digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga. Oleh karena itu peneliti sengaja
memilih limbah serbuk gergaji kayu sengon sebagai bahan tepat guna dalam
mengurangi polusi udara yang diakibatkan oleh logam berat khusunya timbal (Pb)
dalam bentuk arang aktif.
Dalam penelitian ini dilakukan adsorbsi oleh arang aktif serbuk gergaji
kayu sengon terhadap Pb pada emisi sepeda motor 4 tak. Pembuatan adsorben
dilakukan melalui proses pengarangan dimana serbuk gergaji kayu sengon
diarangkan di dalam oven. Suhu yang digunakan untuk pengarangan adalah 200
o
C
selama 12 jam, karena jika suhu yang lebih tinggi dari suhu tersebut arang akan
terbakar lebih lanjut dan berubah menjadi abu, sehingga hasil yang diperoleh
menjadi sedikit. Pada proses pengaktifan digunakan aktivator larutan asam fosfat
(H
3
PO
4
) 20 %. Arang serbuk gergaji kayu sengon direndam dalam larutan asam

PKMP-6-6-5
fosfat (H
3
PO
4
) 20 %, perendaman dilakukan selama 4 jam setelah itu disaring dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 500
o
C selama 1 jam. Penggunaan asam fosfat
sebagai aktivator karena asam fosfat merupakan asam kuat, dimana kekuatan
asam kuat berpengaruh terhadap residu, yaitu asam kuat mampu melarutkan
bahan-bahan anorganik seperti oksida dan ion logam yang mungkin tercampur
dan melekat pada sampel sehingga pori-pori di permukaan partikel akan terbuka
luas.

Tabel 1. Adsorbsi Pb pada emisi Sepeda Motor 4-tak

Tipe Sepeda Motor C
i
(ppm) C
f
(ppm) C
b
(ppm) % Pb terserap
C 100
NF 100 D
FD 125 XSD
T 105 ERD
0,6314
0,4629
0,4523
0,4442
0,4050
0,3240
0,3475
0,3169
0,2264
0,1389
0,1048
0,1273
35,8534
30,0065
23,1631
28,6486

Keterangan :
C
i
= [Pb]
i
= konsentrasi logam Pb awal
C
f
= [Pb]
f
= konsentrasi logam Pb akhir
C
b
= [Pb]
b
= konsentrasi logam Pb terserap

Proses selanjutnya yaitu pengepresan. Arang serbuk dicampur terlebih
dahulu dengan perekat larutan tapioka dengan perbandingan 10 : 1. Setelah proses
pencampuran, langkah selanjutnya adalah mencetak arang dalam bentuk silinder
dengan diameter 70 mm dan ketebalan + 4 mm kemudian memanaskannya selama
15 menit pada suhu + 150
0
C sampai kering. Sebelum pengontakan dengan emisi
Pb, lempeng arang aktif dirangkai dengan plat stainless steel.
Pada proses penangkapan Pb yang terkandung dalam emisi sepeda motor,
peneliti menggunakan HNO
3
1 N sebagai pelarut. Hal ini dikarenakan HNO
3

mampu mengikat Pb menjadi Pb(NO
3
)
2
(Vogel, 1990: 207).

Selanjutnya larutan
diukur konsentrasinya dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom
(Atomic Absorbtion Spectrophotometre).
Dari hasil adsorbsi, serbuk gergaji kayu sengon mempunyai sisi aktif
(active sides) pada dinding permukaan partikel arang aktifnya sehingga mampu
mengadsorbsi Pb. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil percobaan yang
menunjukkan bahwa konsentrasi Pb sesudah diadsorbsi lebih kecil daripada
sebelumnya. Partikel Pb keluar melalui knalpot bersama asap. Partikel tersebut
kemudian mengalir menuju tempat penampung berisi larutan HNO
3
1 N yang
akan mengikat Pb. Pada proses adsorbsi, sebelum menuju penampung, partikel Pb
dikontakkan dengan adsorben arang aktif serbuk gergaji kayu sengon sehingga
sebagian partikel Pb teradsorbsi karena adanya active sides pada adsorben.
Menurut Pari, 1999, arang aktif dapat digunakan dalam penyerapan gas hal
ini dapat ditunjukkan pada tabel di bawah ini:


Tabel 2. Penggunaan Arang Aktif untuk Penyerapan Gas

Maksud/Tujuan

PKMP-6-6-6
UNTUK GAS Pemakaian
1. Pemurnian gas Desulfurisasi, menghilangkan gas
beracun, bau busuk, asap, menyerap
racun.
2. Pengeolahan LNG Desulfurisasi dan penyaringan
berbagai bahan mentah dan reaksi gas.
3. Katalisator Reaksi katalisator atau pengangkut
vinil klorida dan vinil asetat.
4. Lain-lain Menghilangkan bau dalam kamar
pendingin dan mobil

(Pari, 1999)

Dari data hasil penelitian dapat diketahui bahwa serapan Pb pada masing-
masing sepeda motor mempunyai nilai yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada
gambar 1.
















Gambar 1. Diagram serapan Pb pada setiap jenis sepeda motor.

Pada sepeda motor tipe C 100 Pb yang teradsorbsi sebesar 35,8534%
sedangkan pada tipe FD 125 XSD hanya 23,1631%. Hal ini terjadi karena Pb yang
dihasilkan oleh sepeda motor tipe C 100 lebih banyak sebagai akibat dari kondisi
putaran mesin yang lebih besar (pada putaran rendah mesin kurang stabil).
Perbedaan hasil adsorbsi terjadi karena perbedaan kondisi mesin
khususnya pada putaran mesin, semakin tinggi putarannya semakin banyak bahan
bakar yang digunakan, maka Pb yang dihasilkan akan semakin besar pula. Selain
itu perbedaan kemampuan karburator dalam menginjeksi bahan bakar pada busi
sepeda motor, jika karburator normal maka injeksi bahan bakar pada busi tidak
akan tersendat atau berlebihan (Republika, 2006).
KESIMPULAN
1. Serbuk gergaji kayu sengon dapat dijadikan adsorben sehingga mampu
menaikkan nilai tambah.
Diagram Serapan Pb
35.8534
30.0065
23.1631
28.6486
0
5
10
15
20
25
30
35
40
C 100 NF 100 D FD 125 XSD T 105 ERD
Jenis Sepeda Motor
S
e
r
a
p
a
n

(
%
)

PKMP-6-6-7
2. Adsorben dari serbuk gergaji kayu sengon dapat mengadsorbsi Pb pada emisi
sepeda motor 4 tak sebesar + 29,4179%.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1997. Forestry Statistic of Indonesia. Secretary General of Forestry.
Ministry of Forestry and Estate Crops, Bureau of Planning, Jakarta.
Castellan, G.W. 1983. Physical Chemistry. Third Edition. Canada: Addition
Publishing Company.
Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi. 1999. Statistik Perminyakan Indonesia
www.bonet.co.id/dephut/statis2. Diakses tanggal 22 Juni 2005.
Juli Soemirat Slamet. 1996. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press.
Martawijaya, A. and P. Sutigno (1990, January 22). Increasing the efficiency
and productivity of wood processing through the minimization and
utilization of wood residues. Seminar on Wood Technology, Jakarta. (in
Indonesian).
Nana Sudjana dan Ibrahim. 1989. Penelitian dan Penilaian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Oedjijono dan Agus Irianto. 2000. Immobilisasi Logam Cu, Pb, dan Hg Oleh
Baacillus S3P5. Majalah Ilmiah UNSOED. No 2: 45-54.
Othmer, K. 1991. Encyclopedia of Chemical Technology, Vol. 1, 4
th
ed. USA:
John Wiley and Sons.
Pari, G. 1996. Pembuatan Karbon Aktif dari Serbuk Gergajian Tusam untuk
Penjernih Air Sumur dan Limbah Cair Industri Pulp dan Kertas. Buletin
Penelitian Hasil Hutan 14 (2): 69-75.
_______ .1996. Pembuatan karbon aktif dari serbuk gergajian sengon dengan
cara kimia. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14 (8): 308-320.
_______ .1999. Karakterisasi karbon aktif dari karbon serbuk gergaji sengon
dengan NH
4
HCO
3
sebagai bahan pengaktif. Buletin Penelitian Hasil
Hutan 17 (2):89-100.
_______ .2002. Teknologi Alternatif Pemanfaatan Limbah Industri Pengolahan
Kayu. Makalah Falsafah Sains. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Primaharinasti, Riesta. 2004. Pemanfaatan Limbah Serbuk Kayu Meranti (Shorea
spp) Untuk Eliminasi Cemaran Logam Berat Beracun Timbal (Pb).
Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Santoso.1992.Budidaya Sengon.Yogyakarta:Kanisius
Soekardjo. 1985. Kimia Fisika. Jakarta: Bina aksara.
Svehla, G. 1985. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro.
Jakarta. PT Kalman Media Pustaka.


PKMP-6-7-1
STUDI KEMAMPUAN HUTAN KOTA DALAM PENYERAPAN KARBON
(CARBON SEQUESTRATI ON) (STUDI KASUS DI KAMPUS
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA)

Jany Tri Raharjo; Chollis Munajad; Pamungkas Aji; Dian Asih K
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

ABSTRAK
Isu pemanasan global sekarang menjadi salah satu fenomena yang mendapat
perhatian serius dari berbagai kalangan. Emisi gas karbon dioksida dari waktu
ke waktu semakin meningkat terutama di daerah perkotaan. Di lain pihak
konversi lahan atau ruang terbuka hijau menjadi penggunaan lain di perkotaan
semakin meningkat seiring pertambahan penduduk. Jumlah karbon yang semakin
meningkat akan mempercepat pemanasan global. Dampak pemanasan global
sangat besar terhadap perubahan iklim dunia dan kenaikan permukaan air laut.
Hutan kota menjadi salah satu kawasan yang dapat berfungsi untuk
mengendalikan pemanasan global dengan kemampuannya dalam menyerap
karbon. Berkaitan dengan Kesepakatan Kyoto, hutan kota dapat dikembangkan
sebagai kawasan yang dapat diikutsertakan dalam perdagangkan karbon.
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung jumlah karbon yang mampu diserap
oleh tegakan hutan kota. Penelitian dilakukan di hutan kota Kampus Universitas
Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, yaitu Arboretum Fakultas Kehutanan,
Arboretum Fakultas Biologi, tegakan pinus bunderan UGM dan Lembah UGM.
Inventarisasi jenis penyusun hutan kota di lakukan dengan survey 100%. Metode
perhitungan menggunakan metode alometrik biomasa Brown (1997). Parameter
penelitian yang diperlukan adalah diameter pohon setinggi dada (1.3 m), tinggi
total pohon, dan jenis tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan kota
di kampus UGM mampu menyerap karbon sebesar 16.94668 ton dengan jumlah
pohon sebanyak 1131 pohon. Ini membuktikan bahwa hutan kota di kampus UGM
mempunyai peran yang besar dalam mengendalikan pemanasan global. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengembangan hutan kota di kawasan perkotaan.
Pengembangan hutan kota perlu memperhatikan pemilihan jenis yang akan di
tanam

Kata kunci : karbon, biomasa, pemanasan global, hutan kota.

PENDAHULUAN
Isu pemanasan global sekarang menjadi salah satu fenomena yang di
mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Emisi gas karbon dioksida dari
waktu ke waktu semakin meningkat. Pemanasan global di picu oleh efek rumah
kaca yang terjadi akibat pemantulan sinar matahari oleh bumi yang tidak dapat di
teruskan karena tertahan oleh lapisan polutan berupa gas yang mengambang di
atmosfer. Gas-gas tersebut antara lain CO
2,
maupun NO
2.
Menurut Fardiaz (1995),
karbon monoksida menjadi polutan utama dari polusi yang yang ada di udara dan
kandungannya mencapai hampir setengah dari seluruh polutan udara yang ada.
Sumber emisi karbon di atmosfer di sebabkan oleh aktivitas manusia seperti dari
transportasi, pembakaran minyak, gas, arang dan kayu, proses-proses idustri dan
penebangan serta kebakaran hutan.

PKMP-6-7-2
Pertumbuhan kandungan karbon dioksida dari tahun 1990 hingga 2018 di
perhitungkan mempunyai angka pertumbuhan rata-rata 6,9% (world Bank, 1993
dalam Fandeli, 2004). Bahaya emisi dari karbon dapat menyebabkan kematian
jika kontak yang terjadi cukup lama. Namun demikian, kontak karbon dengan
manusia pada konsentrasi yang relatif rendah juga dapat mengganggu kesehatan.
Dampak terhadap kesehatan antara lain gangguan sistem syaraf, perubahan fungsi
jantung, pingsan bahkan sampai kematian (Fardiaz, 1995).
Di satu sisi, hutan yang diharapkan menjadi pengendali pemanasan global,
kondisinya semakin mengkhawatirkan. Penjarahan hutan (illegal logging) dari
waktu ke waktu semakin marak. Akibatnya angka kerusakan hutan sudah
mencapai total luasan 101,79 juta hektar dengan laju kerusakan mendekatai 3,8
juta hektar per tahun (Badan Planologi Kehutanan, 2003 dalam Iskandar dan
Nugraha, 2004). Kerusakan hutan disinyalir di sebabkan kuatnya paradigma
bahwa hutan adalah kayu (timber oriented). Hutan masih sekedar di lihat dari nilai
tangible berupa produk yang bisa dijual secara langsung seperti kayu bulat untuk
kayu lapis atau perabot rumah yang di ekspor. Padahal hutan juga penghasil
intangible produk yang apabila di hitung, nilai ekonomi dan ekologisnya lebih
tinggi dari nilai ekonomis kayu (tangible product). Nilai intangible hutan antara
lain sebagai pencegah banjir di musim hujan dan penyimpan air di musim
kemarau. Hutan juga merupakan penyerap karbon dan pelepas udara bersih atau
lebih di kenal sebagai paru-paru dunia.
Merespon isu pemanasan global, di tingkatan internasional telah
melakukan berbagai kesepakatan sebagai antisipasi seperti adanya konsep dalam
Scheme Debt For Nature Swap (DNS) atau pendanaan konservasi melalui
penghapusan utang, menilai secara ekonomis suatu lingkungan (enviromental
valuation), pajak konservasi (conservation tax) dan yang terbaru adalah
kessepakatan mengenai perdagangan karbon (carbon trade) yang di kenal dengan
Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memperjelas adanya pasar bagi pemanfdaatan
hutan sebagai penyedia jasa lingkungan melalui penyerapan karbon termasuk bagi
Indonesia. Protokol Kyoto merupakan kesepakatan internasional untuk
menurunkan emisi karbon di atmosfer, dimana untuk menstabilkan konsentrasi
CO
2
negara-negara maju bersepakat untuk menekan tingkat emisi mereka ke
tingkat sekitar rata-rata 5% di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode
komitmen pertama tahun 2008-2012 (Murdiyarso, 2003).
Hutan kota termasuk salah satu kawasan yang dapat di kembangkan untuk
mengikuti berbagai kesepakatan internasional di atas. Salah satu fungsi hutan kota
adalah sebagai penyerap karbon baik karbon monoksida maupun karbon dioksida
di atmosfer (Fandeli, 2004). Kalau dilihat dari nilai tangible, produk kayu hutan
kota dapat di katakan rendah karena memang batang yang dihasilkan mempunyai
kualitas yang tidak bagus. Namun manfaat (intangible) hutan kota sebagai
penyedia jasa lingkungan-salah satunya penyerapan karbon-akan memberikan
nilai ekonomis yang tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan studi untuk mengetahui
kemampuan hutan kota dalam menyerap karbon sekaligus mengkuantifikasikan
nilai intangible hutan kota
Fandeli (2001) mendefinisikan hutan kota sebagai sebidang lahan di dalam
kota atau sekitar kota yang ditandai atas asosiasi jenis tanaman pohon yang
kehadirannya mempu menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan diluarnya.
Didalam definisi ini tidaklah mempermasalahkan luas dan kerapatannya, tetapi

PKMP-6-7-3
yang penting adalah kumpulan pohon itu mampu membentuk iklim mikro yang
spesifik seperti suhu, kelembapan, intensitas sinar matahari, arah dan kecepatan
angin. Menurut Grey dan Deneke (1986), hutan kota sebagai lahan dalam kota
yang terdiri dari komponen fisik dengan vegetasi berupa pohon dengan
lingkungan yang spesifik. Pengertian hutan kota menurut Dahlan (1992)
menekankan bahwa saluruh kota dapat merupakan hutan kota.
Menurut Fandeli (2004), berbagai definisi tersebut pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi dua pandangan, yaitu pandangan terhadap hutan kota
sebagai suatu areal yang kompak dan rapat sebagaimana halnya wujud hutan yang
merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau dan pandangan tentang hutan kota
yang menganggap kota sebagai suatu kawasan hutan yaitu setiap lahan yang
berpotensi untuk ditanami pohon dapat diupayakan, sehingga tanpa lahan yang
luas dapat mewujudkan hutan kota.
Menurut Fandeli (2004), hutan kota mempunyai kemampuan untuk
menjaga keseimbangan ekologis yaitu sebagai suplier oksigen, penangkal polutan,
peredam kebisingan, pengatur iklim, habitat fauna, pengatur tata air, sarana
pendidikan dan penambah estitika perkotaan. Irwan (1997) membagi fungsi hutan
kota menjadi tiga yaitu fungsi lanskap, fungsi pelestarian lingkungan dan fungsi
estetika.
Menurut Ginoga (2004), pada ekosistem hutan, karbon terakumulasi pada
biomassa tegakan terutama bagian batang dan besarnya biomassa karbon
tergantung pada keadaan musim. Lebih lanjut Ginoga menyatakan bahwa laju
penyerapan karbon tergantung dari waktu dan variari pertumbuhan pada setiap
spesies. Berdasarkan hasil penelitian Boyce (1995) seperti di kutip Fandeli (2004),
menunjukkan bahwa pada bagian tubuh pohon dan tegakan pohon di atmosfer
ternyata memiliki kandungan karbon yang tidak sama antara berbagai bagian
tubuh pohon. Hal yang menarik dalam penelitian ini adalah karbon yang terdapat
pada daun justru paling sedikit dan terbanyak terdapat pada batang. Meskipun
karbon pertama kali di serap oleh daun pada proses fotosintesis, tetapi sebagian
besar di timbun pada batang.
Dengan demikian biomassa karbon pada tegakan dapat di dekati dengan
pengukuran volume pohon. Seperti di ungkapkan Ginoga (2004), perhitungan
karbon yang umum di lakukan pada saat ini adalah pendekatan biomassa karbon
melalui penghitungan volume pohon. Hal ini di karenakan, pendekatan tersebut
mempunyai tingkat akurasi yang relatif tinggi, mudah di lakukan dan mudah
untuk di verifikasi. Karbon yang terdapat di akar dan di dalam tenah relatif kecil,
oleh karena itu karbon di akar dan di dalam tanah dapat di abaikan (Ginoga, 2004;
Boyce, 1995 dalam Fandeli, 2004). Namun cara tradisonal yang bisa di adopsi
untuk memperkirakan besarnya karbon adalah dengan memperkirakan biomassa
akar sebesar 10- 15% dari biomassa batang pohon (Mac Dicken, 1997 dalam
Ginoga, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung jumlah karbon yang mampu
diserap oleh tegakan hutan kota. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat antara lain (1) menimbulkan kesadaran pada masyarakat bahwa hutan
tidak bernilai tangible saja namun juga mempunyai nilai intangible yang lebih
besar; (2) menimbulkan kemauan masyarakat untuk menanam pohon dan
menggalakan pembangunan hutan kota; (3) tersedianya data mengenai
kemampuan hutan kota dalam menyerap karbon, dan (4) sebagai bukti dalam

PKMP-6-7-4
mengupayakan alternatif pendanaan bagi kelestarian hutan seperi Debt For Nature
Swap maupun Carbon Trade.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini dilaksanakan di hutan kota yang berada di sekitar kawasan
kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), yaitu (1). arboretum Fakultas
Kehutanan; (2). arboretum Fakultas Biologi; (3). kawasan Lembah UGM; (4).
Tegakan Pinus di bunderan UGM. Penelitian di laksanakan kurang lebih selama 2
bulan pada tanggal 13 Maret 15 Mei 2006. Bahan dari penelitian ini berupa
berbagai tipe hutan kota yang ada di kawasan kampus UGM. Alat yang digunakan
dalam penelitian adalah pita ukur untuk mengukur keliling pohon, Hagameter
untuk mengukur tinggi pohon, tally shett untuk mentabulasikan data hasil
pengukuran, kapur untuk memberi tanda pada pohon yang sudah diukur dan alat
tulis menulis.
Data yang dikumpulkan berupa data primer yang di peroleh dari
pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan. Data yang dikumpulkan
langsung dari lapangan yaitu data diameter pohon setinggi dada (1.3 m), tinggi
total pohon, dan jenis tanaman. Berat jenis tanaman didapatkan dari data sekunder
baik dari literatur maupun hasil penelitian. Inventarisasi tegakan hutan kota dari
lokasi terpilih di lakukan dengan survey 100%. Data hasil pengukuran
ditabulasikan dalam tally shett termasuk inventarisasi terhadap jenis pohon.
Kemudian hasil tabulasi data dalam tally sheet dapat digunakan untuk mencari
jumlah karbon yang diserap pohon.
Model penghitungan karbon yang di gunakan dalam penelitian ini adalah
model yang bersifat manual yaitu dengan menggunakan pendekatan perhitungan
biomasa pohon. Model manual yang di pakai adalah model manual alometrik
biomasa Brown (1997) dalam Ginoga (2004) dengan persamaan :


Dimana C adalah jumlah karbon, adalah berat jenis kayu, D adalah diameter
setinggi dada (1.3 m), dan H adalah tinggi total pohon.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kota Yogyakarta yang memiliki luas wilayah 32,5 km, mendapat arus
migrasi penduduk yang cukup tinggi terutama dari sektor pendidikan. Jumlah
penduduk Kota Yogyakarta berdasarkan registrasi jumlah penduduk tahun 2002
berjumlah 510.914 orang, dengan kepadatan penduduk rata-rata 15.720 jiwa per
km (BPS, 2003). Jumlah penduduk yang semakin banyak tersebut tentu saja
menuntut ketersediaan pemukiman dan fasilitas lainnya sehingga akan semakin
meningkatkan konversi lahan atau ruang terbuka hijau perkotaan ke penggunaan
lain yang secara ekonomi lebih menjanjikan. Kondisi tersebut dapat mempercepat
terjadinya penurunan kualitas udara karena semakin meningkatnya jumlah partikel
pencemar di udara akibat aktivitas manusia.
Hutan kota di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) mempunyai
potensi untuk mengurangi jumlah partikel pencemar udara, terutama partikel
karbon. Lokasi hutan kota berupa tegakan pinus di bunderan UGM mempunyai
komposisi jenis yang seragam (monokultur) yaitu pohon pinus (Pinus Merkusii)
C = 0.45 (0.049** D
2
*H)

PKMP-6-7-5
Jumlah pohon di hutan kota Bunderan UGM
21
0
5
10
15
20
25
Pinus merkusii
Jenis Pohon
j
u
m
l
a
h

p
o
h
o
n
Jumlah Karbon tiap jenis di Bunderan UGM
552.43
0
100
200
300
400
500
600
Pinus Merkusii
Jenis Pohon
J
u
m
l
a
h

K
a
r
b
o
n
dengan jumlah pohon sebanyak 21 batang. Jumlah pohon dan jumlah karbon yang
mampu diserap oleh tegakan pinus tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 dan
Gambar 2.
















Gambar 1. Jumlah pohon pada hutan kota Bunderan UGM.















Gambar 2. Jumlah karbon yang diserap pohon Pinus di Bunderan UGM.

Dari grafik tersebut bahwa tegakan pinus di bunderan UGM mampu
menyerap karbon sebesar 552,43 kg dengan jumlah pohon sebanyak 21 batang.
Jumlah pohon yang hanya sedikit mempengaruhi jumlah karbon yang diserap,
apalagi kawasan bunderan UGM merupakan kawasan dengan tingkat kepadatan
transportasi yang tinggi. Jenis pinus yang merupakan jenis pohon jarum juga
menjadi faktor penentu kemampuan pohon dalam menyerap pohon. Pohon
berdaun jarum mempunyai daun yang kecil sehingga jumlah dan ukuran stomata
juga kecil yang mengakibatkan kemampuan menyerap karbon lebih rendah
dikarenakan proses fotosintesis yang lebih rendah.

PKMP-6-7-6
Jumlah pohon tiap jenis di Arboretum Fak. Kehutanan UGM
62
1 3
5
3
10
153
6
56
2 1 1
10
2
6
3 2 2
26
1 1 1
61
13
6
49
6
1 1
5
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
A
d
e
n
a
n
t
h
e
r
a

s
p
p
A
r
t
o
c
a
r
p
u
s

in
t
e
g
r
a
C
e
i
b
a

p
e
n
t
a
n
d
r
a
D
e
l
o
n
i
k

r
e
g
i
a
E
u
c
a
l
y
p
t
u
s

d
e
g
l
u
p
t
a
G
m
e
l
i
n
a

a
r
b
o
r
e
a
H
i
b
is
c
u
s

t
i
l
i
a
c
e
u
s
L
e
u
c
a
e
n
a

l
e
u
c
o
c
e
p
a
l
a
M
e
l
a
l
e
u
c
a

l
e
u
c
a
d
e
n
d
r
o
n
P
a
r
k
i
a

r
o
x
b
u
r
o
h
i
i
P
i
n
u
s

m
e
r
k
u
s
i
i
P
t
e
r
i
g
o
t
a

a
l
a
t
a
S
h
o
r
e
a

s
p
p
S
w
e
i
t
e
n
i
a

m
a
h
a
g
o
n
i
T
a
m
a
r
in
d
u
s

i
n
d
i
c
a
Jenis Pohon
J
u
m
l
a
h

P
o
h
o
n
Jumlah karbon yang di serap tiap jenis di Arboretum Fak. Kehutanan UGM
2
9
6
6
.
7
2
1
.
8
4
1
8
.
3
5
1
6
0
.
5
6
3
2
.
5
6
1
0
1
1
.
6
2
5
9
2
3
.
3
7
9
3
.
5
1
2
3
5
9
.
6
9
3
1
.
8
6
5
.
9
2
3
.
6
7
1
2
7
.
2
5
5
7
.
4
3
6
7
.
4
0
1
8
.
5
2
2
8
.
9
6
5
3
.
9
7
9
1
4
.
6
6
1
7
.
9
5
2
.
0
7
5
6
.
6
1
9
5
1
.
4
6
5
7
1
.
1
2
6
5
.
9
31
1
8
5
.
0
6
8
9
.
9
1
3
.
4
1
8
2
.
2
5
4
3
.
0
5
0.00
1000.00
2000.00
3000.00
4000.00
5000.00
6000.00
7000.00
A
d
e
n
a
n
t
h
e
r
a

s
p
p
A
r
t
o
c
a
r
p
u
s

in
t
e
g
r
a
C
e
i
b
a

p
e
n
t
a
n
d
r
a
D
e
l
o
n
i
k

r
e
g
i
a
E
u
c
a
l
y
p
t
u
s

d
e
g
l
u
p
t
a
G
m
e
l
i
n
a

a
r
b
o
r
e
a
H
i
b
is
c
u
s

t
i
l
i
a
c
e
u
s
L
e
u
c
a
e
n
a

l
e
u
c
o
c
e
p
a
l
a
M
e
l
a
l
e
u
c
a

l
e
u
c
a
d
e
n
d
r
o
n
P
a
r
k
i
a

r
o
x
b
u
r
o
h
i
i
P
i
n
u
s

m
e
r
k
u
s
i
i
P
t
e
r
i
g
o
t
a

a
l
a
t
a
S
h
o
r
e
a

s
p
p
S
w
e
i
t
e
n
i
a

m
a
h
a
g
o
n
i
T
a
m
a
r
in
d
u
s

i
n
d
i
c
a
Jenis Pohon
J
u
m
l
a
h

K
a
r
b
o
n
Berbeda dengan tegakan pinus di bunderan UGM, lokasi di Arboretum
Fakultas Kehutanan mempunyai komposisi jenis yang bermacam-macam
(polikultur) dengan jumlah pohon yang lebih banyak sehingga mempunyai
kemampuan menyerap karbon yang lebih besar. Jumlah pohon dan macam jenis
serta kemampuan dalam menyerap karbon dari Arboretum Fakultas Kehutanan
UGM dapat di lihat di gambar 3 dan gambar 4.
Gambar 3. Jumlah pohon tiap jenis di Arboretum Fak. Kehutanan UGM.


Gambar 4. Jumlah karbon yang diserap tiap jenis di Arboretum Fak. Kehutanan
UGM.

Dari gambar 3 terlihat bahwa hutan kota di Arboretum Fakultas Kehutanan
UGM mempunyai jumlah pohon sebanyak 499 pohon. Jumlah pohon tersebut
terdiri dari beraneka macam jenis (ada 30 jenis) sehingga tingkat keanekaragaman
hayati di Arboretum Fakultas kehutanan UGM lebih tinggi di banding di lokasi
tegakan Pinus bunderan UGM. Jenis di Arboretum tersebut di dominasi oleh
pohon pohon berdaun lebar antara lain pohon flamboyan (delonix regia) dengan

PKMP-6-7-7
Jumlah pohon tiap jenis di Arboretum Biologi UGM
2
18
2 2 2 2
4
1 1
5
2
22
1
4 4
10
2
1
28
2
22
1 1
6
22
5
11
38
1
2
4
1 1
4
5
1
2
15
1
9
11
12
3
1
2
1
7
1
4
1
17
0
5
10
15
20
25
30
35
40
A
v
e
r
r
h
o
a

b
i
l
i
m
b
i

L
A
l
a
c
i
s

g
i
n
e
n
s
i
s
A
s
e
m

(
T
a
m
a
r
i
n

s
p
)
D
i
c
h
r
o
a

s
y
i
v
a
t
i
c
a
D
u
r
i
a
n

(
D
u
r
i
o

z
i
b
e
t
h
i
n
u
s
)
F
l
a
m
b
o
y
a
n

(
D
e
l
o
n
i
k

r
e
g
i
a
)
G
m
e
l
i
n
a

a
r
b
o
r
e
a
M
e
l
a
l
e
u
c
a

l
e
u
c
a
d
e
n
d
r
o
n
L
a
n
g
e
r
s
t
r
o
e
m
i
a

l
o
n
d
o
n
i

M
a
h
o
n
i

(
S
w
e
i
t
e
n
i
a

m
a
h
a
g
o
n
i
)
M
a
c
a
r
a
n
g
a

d
e
n
t
i
c
u
l
a
t
a
O
r
e
d
e
o
x
a

r
e
g
i
a
P
o
d
o
c
a
r
p
u
s

n
e
r
i
i
f
o
l
i
u
s
R
a
n
d
u

(
C
e
i
b
a

p
e
n
t
a
n
d
r
a
)
S
h
o
r
e
a

s
e
l
a
n
i
c
a

s
p
p
.
S
p
a
t
h
o
l
e
a

c
o
m
p
a
n
u
l
a
t
a
V
e
i
t
h
c
h
i
a

j
o
a
n
n
i
s
Jenis pohon
Jumlah
pohon
jumlah pohon 153 pohon, Adenantara sp (62 pohon), dan Pterygota alata (61
pohon). Jenis-jenis tersebut juga mempunyai kemampuan menyerap karbon yang
tinggi seperti terlihat pada gambar 4. Kemampuan yang tinggi tersebut
dikarenakan ketiga jenis tersebut mempunyai pertumbuhan yang baik, jika dilihat
dari ukuran batang. Ketiga jenis tersebut termasuk jenis yang sesuai untuk di
tanam pada lokasi Arboretum Fakultas Kehutanan UGM.
Kondisi yang tidak berbeda jauh dengan hutan kota di Arboretum Fakultas
Kehutanan UGM, ditemui di hutan kota yang terletak di Arboretum Fakultas
Biologi UGM. Hutan kota di Arboretum Biologi, juga terdiri dari bermacam-
macam jenis (51 jenis), dengan jenis yang paling banyak adalah mahoni
(Sweitenia mahagoni), Melina (Gmelina arborea) dan juga Flamboyan (Delonix
regia). Kondisi selengkapnya mengenai jumlah pohon tiap jenis di Arboretum
Fakultas Biologi UGM dapat di lihat di gambar 5. Jumlah pohon yang banyak dari
suatu jenis menyebabkan jumlah karbon yang mampu diserap juga lebih banyak.
Di hutan kota Arboretum Fakultas Biologi UGM, jenis yang mampu menyerap
karbon paling besar adalah (Langerstromia londoni), kemudian jenis mahoni,
flamboyan (Delonix regia), kenari (Canarium spp) dan meranti (Shorea selanica).
Kemampuan penyerapan setiap jenis dari hutan kota di Arboretum Biologi UGM
secara lengkap dapat di lihat di gambar 6.

Gambar 5. Jumlah pohon tiap jenis di Arboretum Fakultas Biologi UGM.


Untuk hutan kota di lembah UGM, juga tersusun atas banyak jenis pohon
(28 jenis). Hampir sama lokasi hutan kota yang lain, jenis pohon yang dominan di
kawasan Lembah UGM adalah melina (Gmelina arborea), flamboyan (Delonix
regia), mahoni (Swietenia sp), dan sono keling (Dalbergia latifolia). Jumlah
pohon tiap jenis di lokasi Lembah UGM dapat dilihat di gambar 7.


PKMP-6-7-8
Jumlah pohon tiap jenis di Lokasi Lembah UGM
20
1
18
4
5
3
33
4
5
59
2
6
1 1
5
33
4
2
1
3
5
4
3
2
33
8
17
2
0
10
20
30
40
50
60
70
A
s
e
m
j
a
w
a
(
T
a
m
a
r
i
n
d
u
s
i
n
d
i
c
u
s
)
A
k
a
s
i
a
(
A
c
c
a
i
a
c
o
n
f
u
s
a
)
A
n
g
s
a
n
a
(
P
t
e
r
o
c
a
r
p
u
s
in
d
i
c
u
s
)
C
e
m
a
r
a
(
C
a
s
u
a
r
i
n
a
s
p
)
B
u
n
g
u
r
(
L
a
g
e
r
s
t
r
o
e
m
i
a
s
p
p
)
E
u
c
a
l
y
p
t
u
s
d
e
g
l
u
p
t
a
F
l
a
m
b
o
y
a
n
(
D
e
l
o
n
i
x
r
e
g
i
a
)
B
e
r
i
n
g
i
n
(
F
i
c
u
s
s
p
p
)
G
l
o
d
o
k
a
n
G
m
e
l
i
n
a
a
r
b
o
r
e
a
J
a
t
i (
T
e
c
t
o
n
a
g
r
a
n
d
i
s
)
J
o
h
a
r
(
S
a
m
a
n
e
a
s
a
m
a
n
)
K
a
y
u
p
u
t
i
h
(
M
e
l
a
e
u
c
a
l
e
u
c
a
d
e
n
d
r
o
n
)
K
e
n
a
r
i
(
C
a
n
a
r
iu
m
s
p
p
)
L
a
m
t
o
r
o
(
L
e
u
c
a
e
n
a
l
e
u
c
o
c
e
p
a
l
a
)
M
a
h
o
n
i
(
S
w
ie
t
e
n
i
a
m
a
c
r
o
p
h
y
l
a
)
M
l
i
n
j
o
(
G
n
e
tu
m
g
n
e
m
o
n
)
M
a
n
g
g
a
(
M
a
n
g
if
e
r
a
in
d
i
c
a
)
M
e
r
a
n
t
i
(
S
h
o
r
e
a
s
p
p
)
N
a
n
g
k
a
(
A
t
r
h
o
c
a
r
p
u
s
i
n
t
e
g
r
a
)
P
i
n
u
s
m
e
r
k
u
s
i
i
P
t
e
r
ig
o
t
a
a
l
a
t
a
R
a
n
d
u
(
C
e
i
b
a
p
e
t
a
n
d
r
a
)
S
e
n
g
o
n
(
A
l
b
i
z
z
i
a
f
a
l
c
a
t
a
r
i
a
)
S
o
n
o
k
e
l
i
n
g
(
D
a
l
b
e
r
g
i
a
l
a
ti
f
o
l
i
a
)
T
e
r
m
i
n
a
l
i
a
c
a
t
t
a
p
a
T
r
e
m
b
e
s
i
(
C
a
s
s
i
a
s
i
a
m
e
a
)
W
a
r
u
(
H
i
b
i
s
c
u
s
ti
l
i
a
c
e
u
s
)
Jenis Pohon
J
u
m
l
a
h

P
o
h
o
n
Jumlah pohon tiap jenis di Lokasi Lembah UGM
20
1
18
4
5
3
33
4
5
59
2
6
1 1
5
33
4
2
1
3
5
4
3
2
33
8
17
2
0
10
20
30
40
50
60
70
A
s
e
m
j
a
w
a
(
T
a
m
a
r
i
n
d
u
s
i
n
d
i
c
u
s
)
A
k
a
s
i
a
(
A
c
c
a
i
a
c
o
n
f
u
s
a
)
A
n
g
s
a
n
a
(
P
t
e
r
o
c
a
r
p
u
s
in
d
i
c
u
s
)
C
e
m
a
r
a
(
C
a
s
u
a
r
i
n
a
s
p
)
B
u
n
g
u
r
(
L
a
g
e
r
s
t
r
o
e
m
i
a
s
p
p
)
E
u
c
a
l
y
p
t
u
s
d
e
g
l
u
p
t
a
F
l
a
m
b
o
y
a
n
(
D
e
l
o
n
i
x
r
e
g
i
a
)
B
e
r
i
n
g
i
n
(
F
i
c
u
s
s
p
p
)
G
l
o
d
o
k
a
n
G
m
e
l
i
n
a
a
r
b
o
r
e
a
J
a
t
i (
T
e
c
t
o
n
a
g
r
a
n
d
i
s
)
J
o
h
a
r
(
S
a
m
a
n
e
a
s
a
m
a
n
)
K
a
y
u
p
u
t
i
h
(
M
e
l
a
e
u
c
a
l
e
u
c
a
d
e
n
d
r
o
n
)
K
e
n
a
r
i
(
C
a
n
a
r
iu
m
s
p
p
)
L
a
m
t
o
r
o
(
L
e
u
c
a
e
n
a
l
e
u
c
o
c
e
p
a
l
a
)
M
a
h
o
n
i
(
S
w
ie
t
e
n
i
a
m
a
c
r
o
p
h
y
l
a
)
M
l
i
n
j
o
(
G
n
e
tu
m
g
n
e
m
o
n
)
M
a
n
g
g
a
(
M
a
n
g
if
e
r
a
in
d
i
c
a
)
M
e
r
a
n
t
i
(
S
h
o
r
e
a
s
p
p
)
N
a
n
g
k
a
(
A
t
r
h
o
c
a
r
p
u
s
i
n
t
e
g
r
a
)
P
i
n
u
s
m
e
r
k
u
s
i
i
P
t
e
r
ig
o
t
a
a
l
a
t
a
R
a
n
d
u
(
C
e
i
b
a
p
e
t
a
n
d
r
a
)
S
e
n
g
o
n
(
A
l
b
i
z
z
i
a
f
a
l
c
a
t
a
r
i
a
)
S
o
n
o
k
e
l
i
n
g
(
D
a
l
b
e
r
g
i
a
l
a
ti
f
o
l
i
a
)
T
e
r
m
i
n
a
l
i
a
c
a
t
t
a
p
a
T
r
e
m
b
e
s
i
(
C
a
s
s
i
a
s
i
a
m
e
a
)
W
a
r
u
(
H
i
b
i
s
c
u
s
ti
l
i
a
c
e
u
s
)
Jenis Pohon
J
u
m
l
a
h

P
o
h
o
n



















Gambar 6. Jumlah karbon yang diserap tiap jenis di Arboretum Fak. Biologi
UGM


Kemampuan menyerap karbon dari masing-masing jenis di kawasan
lembah UGM dapat dilihat pada gambar 8. Dari gambar 8 terlihat bahwa jenis
yang mampu menyerap karbon dalam jumlah yang besar antara lain jenis trembesi
(Cassia simea) dan melina (Gmelina arborea)

Gambar 7. Jumlah pohon tiap jenis di kawasan Lembah UGM.



PKMP-6-7-9
Jumlah Karbon tiap Jenis di Lokasi Lembah UGM
9
7
8
.
1
6
3
.
7
1
3
0
5
.
5
6
6
1
5
.
7
2
6
.
1
9
7
.
3
6
9
3
7
.
6
8
1
2
.
9
6
2
9
.
0
4
1
0
4
3
.
7
9
1
1
9
.
3
4
5
4
.
2
1
9
.
7
6
3
.
4
3
2
2
.
7
5
7
1
3
.
8
8
7
6
.
0
5
7
.
0
3
2
6
.
6
3
3
3
.
3
2
4
5
.
9
7
3
5
4
.
7
3
3
1
.
9
9
1
1
.
6
3
6
5
8
.
7
5
1
2
9
.
1
3
1
2
0
4
.
9
2
2
7
.
9
1
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
A
s
e
m

j
a
w
a

A
n
g
s
a
n
a

B
u
n
g
u
r

F
l
a
m
b
o
y
a
n

G
l
o
d
o
k
a
n
J
a
t
i

K
a
y
u

p
u
t
i
h

L
a
m
t
o
r
o

M
l
i
n
j
o

M
e
r
a
n
t
i
P
i
n
u
s

m
e
r
k
u
s
i
i
R
a
n
d
u

S
o
n
o
k
e
l
i
n
g

T
r
e
m
b
e
s
i
Jenis Pohon
J
u
m
l
a
h

K
a
r
b
o
n



Gambar 8. Jumlah karbon yang diserap tiap jenis di Lembah UGM.

Dari keempat lokasi hutan kota yang ada di Kampus UGM, terlihat bahwa
jenis yang mampu menyerap karbon dalam jumlah yang besar antara lain
flamboyan (Delonix regia), melina (Gmelina arborea), mahoni (Swietenia sp),
trembesi (Cassia simea), Ecaliptus deglupta, dan Adenantera sp. Faktor yang
menyebabkan kemampuan penyerapan karbon dari jenis-jenis tersebut cukup
besar adalah kecepatan pertumbuhannya. Jenis-jenis yang mempunyai
kemampuan yang tinggi dalam penyerapan karbon mempunyai pertumbuhan
relatif cepat di lokasi penelitian. Pertumbuhan tanaman terkait erat dengan proses
fisiologis tanaman, salah satunya proses fotosintesis yang banyak menggunakan
unsur karbon sebagai bahan baku utama. Hal ini juga sesuai dengan karakteristik
dari jenis pohon yang termasuk jenis pertumbuhan cepat (fast growing spesies).
Pohon flamboyan (Delonix regia), melina (Gmelina arborea), mahoni (Swietenia
sp), trembesi (Cassia simea) termasuk jenis yang pertumbuhan batangnya cepat
sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk di panen.
Faktor lain yang menyebabkan kemampuan penyerapan karbon dari suatu
jenis tinggi adalah kesesuaian jenis untuk tumbuh pada suatu tempat tumbuh.
Jenis-jenis yang di sebutkan di atas termasuk jenis yang sesuai untuk ditanam
pada lokasi hutan kota di kampus UGM. Kesesuaian jenis dengan tempat tumbuh
akan menyebabkan tingkat pertumbuhan jenis menjadi cepat dan menyebabkan
penyerapan/ pengikatan karbon semakin tinggi. Jenis pohon yang cepat tumbuh
(fast growing species) yang ditanam pada tapak yang berkualitas akan
menghasilkan riap yang tinggi sehingga dapat mengikat karbon dalam jumlah
tinggi dalam biomassanya. Namun jenis-jenis tersebut belum tentu sesuai untuk
ditanam dalam pengembangan hutan kota di berbagai lokasi. Perlu diteliti lebih

PKMP-6-7-10
lanjut mengenai karakteristik dan sifat dan jenis tersebut terutama masalah organ-
organ tanaman seperti perakaran, percabangan maupun tajuknya. Hal ini
diperlukan agar saat di tanam, tanaman tidak menimbulkan dampak negatif
terhdap lokasi sekitar tempat tumbuhnya, seperti kerusakan aspal karena
perakaran pohon.
Jumlah karbon yang mampu di serap hutan kota di kampus UGM masing-
masing lokasi dapat di lihat pada tabel 1. Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah
total karbon yang mampu diserap oleh hutan kota di kampus UGM Yogyakarta
dari keempat lokasi sebesar 39966,27 kilogram atau 39,966 ton dengan jumlah
pohon sebanyak 1131 pohon. Jumlah ini hanya untuk penyerapan karbon diatas
tanah, belum memasukan jumlah karbon yang terdapat pada akar dan serasah.
Jumlah tersebut menunjukkan bahwa hutan kota mampu mengurangi akumulasi
karbon di alam sekitar 39,96627 ton.

Tabel 1. Jumlah pohon dan jumlah penyerapan karbon di hutan kota kampus
UGM.

* Brown, S.(1997), PIKA (1979) dan Oey Djoen Seng (1990)

Melihat begitu besarnya potensi penyerapan karbon oleh hutan kota
membuktikan bahwa hutan kota mempunyai peran yang besar dalam
mengendalikan pemanasan global. Bisa di bayangkan seandainya hutan kota tidak
ada, maka sekitar 39,96627 ton akan menambah akumulasi karbon yang ada di
alam. Jika tidak ada hutan kota di kampus UGM maka kualitas udara di Kota
Yogyakarta akan semakin memburuk yang sekaligus mempercepat terjadinya
pemanasan global.
Dari tabel 1 dapat di lihat bahwa masing-masing lokasi hutan kota
mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menyerap karbon. Hutan kota
di Arboretum Fakultas Kehutanan UGM mampu menyerap karbon dalam jumlah
yang paling besar yaitu 16946.68 kilogram dengan jumlah pohon sebanyak 499
pohon. Hutan kota di Arboretum Biologi UGM menempati urutan kedua
terbanyak dalam penyerapan yaitu sebesar 13889.51 kilogram dengan jumlah
pohon sebanyak 327 pohon.
Dari tabel 1, terlihat bahwa jumlah karbon yang mampu diserap oleh hutan
kota di pengaruhi oleh jumlah pohon yang menyusun hutan kota tersebut. Jumlah
pohon yang banyak menyebabkan jumlah karbon yang diserap semakin besar.
Jumlah pohon di Arboretum Fakultas Kehutanan merupakan yang terbanyak (499
pohon) jika dibandingkan dengan lokasi yang lain. Kerapatan jenis di arboretum
Fakultas Kehutanan juga paling tinggi dibanding lokasi yang lain. Arboretum
Fakultas Kehutanan letaknya dekat dengan perempatan jalan kaliurang yang
Lokasi Hutan Kota Jumlah Pohon
Jumlah Karbon (kg) Berat
jenis *)
Bunderan UGM 21 552.43
Arboretum Kehutanan 499 16946.68
Arboretum Biologi 327 13889.51
Lembah UGM 284 8577.65
Total 1131 39966.27

PKMP-6-7-11
tingkat kepadatan lalu lintas sangat tinggi. Sehingga keberadaan hutan kota
tersebut mempunyai andil yang besar dalam menyerap karbon dari alat
transportasi.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dengan menggunakan
metode perhitungan alometrik biomasa, dapat disimpulkan bahwa hutan kota di
kampus UGM mempunyai kemampuan menyerap karbon sebanyak 39,96627 ton.
Angka tersebut membuktikan bahwa hutan kota mempunyai peran yang besar
dalam mengendalikan pemanasan global.

DAFTAR PUSTAKA
BPS dan Bappeda Kota Yogyakarta, 2004. Yogyakarta Dalam Angka 2003. Badan
Pusat Statistik. Yogyakarta
Brown, S., 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forests, a
primer. FAO Forestry paper No. 134. FAO, Rome, 55 pp
Dahlan, E.N. 1992. Hutan Kota Untuk Pengelolaan Lingkungan Di Perkotaan.
APHI. Jakarta.
Fandeli, C. 2003. Perencanaan Pengelolaan Hutan Kota Hirarki dan Kriterianya,
Makalah Kursus Hutan Kota Angkatan IV. Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.
Fandeli, C. 2004. Perhutanan Kota. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta
Fardiaz, S. 1995. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Ginoga, K dkk. 2003. Peranan Karbon Dalam penoingkatan Nilai Ekonomi
Hutan Tanaman Acacia Mangium di Sumatera Selatan. Jurnal Sosial
Ekonomi Vol. 4 No. 1, Tahun 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial, Budaya dan Ekonomi Departemen Kehutanan. Bogor
Ginoga, K. 2004. Beberapa Cara Perhitungan Biomassa Karbon. Jurnal Sosial
Ekonomi Vol. 4 No. 1, Tahun 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial, Budaya dan Ekonomi Departemen Kehutanan. Bogor
Grey, G.W & F.J. Deneke. 1986. Urban Forestry. John Wiley & Sons. Inc. New
York.
Irwan, Z.D., 1997. Tantangan Lingkungan Hidup dan Lanskap Hutan Kota.
Pustaka Cidesindo, Jakarta.
Iskandar, U dan Nugraha, A. 2004. Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan :
Isuue dan Agenda Mendesak. Debut Press. Yogyakarta
Murdiyarso, Daniel. 2003. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih; Seri
Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
Oey Djoen Seng. 1990. Berat Jenis dari Jenis-Jenis Kayu Indonesia dan
Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Lembaga Penelitian
Hasil Hutan. Departemen Kehutanan, Bogor. Indonesia
PIKA. 1981. Mengenal Sifat-Sifat Kayu Indonesia dan Penggunaannya. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta


PKMP-6-8-1
KONTROVERSI PERISTIWA AOI (ANGKATAN OEMAT ISLAM) )
DI KEBUMEN TAHUN 1950

Banu Setiawan, Puteri Soraya Mansur, Muhammad Iqbal
FISE/Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta

ABSTRAK
Latar belakang penelitian ini ialah adanya perbedaan pendapat mengenai
kebenaran antara Angkatan Bersenjata (militer) dengan Angkatan Oemat Islam
(AOI) dalam peristiwa AOI di Kebumen tahun 1950. Angkatan Bersenjata
mengambil kesimpulan bahwa peristiwa tersebut sebagai pemberontakan. Namun
sebaliknya AOI menganggap peristiwa itu sebagai sebuah wujud perlawanan
untuk mempertahankan diri dari tuduhan dari fihak militer. Penelitian ini
bertujuan untuk membuktikan bahwa AOI bukan pemberontak yang memiliki
tujuan untuk mendirikan negara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), serta untuk mengetahui dampak peristiwa tersebut terhadap anggota-
anggota AOI pascaperistiwa AOI di Kebumen tahun 1950. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian sejarah, yang terdiri dari empat tahap, yaitu: (1)
Heuristik atau pengumpulan sumber; (2) Kritik sumber; (3) Interpretasi; dan (4)
Penyajian atau penulisan sejarah. Ihwal penelitian peristiwa AOI tahun 1950 ini
dikategorikan sebagai sejarah lisan (oral history), sehingga kegiatan
pengumpulan sumber ditempuh melalui wawancara dengan beberapa responden
dalam peristiwa AOI di Kebumen tahun 1950. Hasil wawancara tersebut
kemudian dilakukan pengamatan fisik (kritik ekstern) dan meneliti kebenaran
isinya (kritik intern). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perpecahan
di dalam AOI dan kesalahpahaman penafsiran terhadap pembunuhan tanggal 31
Juli 1950 antara fihak Angkatan Bersenjata dengan fihak AOI. Kesimpulan yang
diperoleh dari hasil analisis, yaitu peristiwa tersebut bukan sebuah
pemberontakan yang memiliki tujuan mendirikan negara di dalam NKRI, serta
terdapat dampak di pelbagai aspek kehidupan, seperti: psikologi, ekonomi dan
sosial terhadap anggota-anggota AOI.

Kata kunci: Angkatan Oemat Islam, Kontroversi, Kebumen.

PENDAHULUAN
Peristiwa AOI (Angkatan Oemat Islam) di Kebumen tahun 1950 sangat
menarik untuk direkonstruksi, sebab sampai saat ini peristiwa tersebut masih
kontroversial. Kontroversi yang dimaksud ialah di antara dua fihak yang saling
bertikai pada waktu itu yakni pemerintah Indonesia dengan AOI terdapat
perbedaan pendapat tentang kebenaran peristiwa tersebut. Angkatan bersenjata
sebagai fihak yang menumpas gerakan DI/TII, mengambil kesimpulan bahwa
peristiwa AOI tahun 1950 sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan
Republik Indonesia Serikat atau RIS buatan pemerintah RI dengan pemerintahan
kolonial Belanda. Namun sebaliknya, AOI menganggap peristiwa tersebut sebagai
sebuah perlawanan untuk mempertahankan diri dari tuduhan Angkatan Bersenjata


PKMP-6-8-2
terhadap AOI sebagai pemberontak karena tidak mau bergabung dengan tentara
APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).
1

Beberapa studi kasus telah dilakukan untuk membuktikan kebenaran lain
mengenai hal ihwal ini, namun hasil dari studi tersebut masih ternoktahkan dalam
beberapa skripsi ataupun artikel. Salah satu contoh studi mengenai peristiwa AOI
adalah dalam artikel sejarawan Kuntowijoyo, Angkatan Oemat Islam: Beberapa
Catatan Mengenai Gerakan Islam Lokal, 1945-1950 (makalah pada Seminar
Sejarah Nasional II, Yogyakarta, 26-29 Agustus 1970, yang diterbitkan kembali
dalam Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi cet. ke-III [Bandung: Mizan,
1991] hlm. 103-122) ialah mengenai reaksi santri atas kekuasaan kaum abangan,
atau reaksi ulama atas priyayi pascakemerdekaan di Kebumen, Jawa Tengah.
2

Artikel tersebut merupakan salah satu pendorong tim penulis untuk melakukan
penelitian terhadap peristiwa AOI tahun 1950 dari sudut yang berbeda lagi, yakni
sudut pandang anggota AOI sebagai korban pergumulan politik
pascakemerdekaan.
Berpijak pada permasalahan yang muncul dari latar belakang di atas, yaitu:
(1) Bagaimana sudut pandang pelaku sejarah dari pihak AOI mengenai peristiwa
AOI tahun 1950?; (2) Adakah kepentingan dan muatan politis di balik peristiwa
AOI tahun 1950 di kebumen?; dan (3) Apa dampak dari peristiwa AOI tahun 1950
tersebut bagi anggota-anggota AOI? Tujuan penelitian ini untuk membuktikan
bahwa AOI bukan pemberontak yang memiliki tujuan mendirikan negara di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk mengetahui dampak peristiwa
tersebut terhadap anggota-anggota AOI. Manfaat penelitian ini untuk waktu yang
akan datang diharapkan masyarakat Indonesia mengetahui dan memahami bahwa
peristiwa AOI di Kebumen tahun 1950 bukan suatu pemberontakan yang
memiliki tujuan mendirikan negara. Hasil penulisan ini diharapkan pula dapat
menggugah hati masyarakat Indonesia untuk memahami peristiwa sejarah
bangsanya dan tidak lagi meremehkan arti penting sejarah bagi peradaban suatu
bangsa/negara.


METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu:
3

1. Heuristik, yaitu aktivitas mencari, menghimpun dan mengumpulkan sumber-
sumber yang relevan. Penelitian peristiwa AOI tahun 1950 ini dikategorikan

1
APRIS merupakan tentara bentukan pemerintahan Republik Indonesia Serikat yang
tertuang dalam Undang-Undang darurat Nomor 4 tahun 1950. Selebihnya lihat: Nn. 1981. 30
Tahun Indonesia Merdeka 1945-1959, cetakan ke-V. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia. hlm. 19.

2
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. hlm. 181.


3
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, cetakan
ke-V. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti
Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, cetakan ke-V. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia. hlm. 35.



PKMP-6-8-3
sebagai sejarah lisan (oral history). Kegiatan pengumpulan sumber ditempuh
melalui wawancara dengan beberapa responden dari tanggal 1 Maret-8 Maret
2006. Hasil wawancara dengan responden tersebut direkam dalam kaset yang
dijadikan sumber primer.
4

2. Kritik sumber, yaitu kegiatan meneliti kesejatian atau keaslian sumber-sumber,
baik bentuk maupun isinya. Sumber yang telah didapat memerlukan penelitian
terhadap keaslian dilihat dari fisik sumber (kritik ekstern) dan kebenaran
mengenai isinya (kritik intern).
3. Interpretasi, adalah kegiatan penelitian untuk merangkai fakta-fakta sejarah
yang diperoleh setelah diterapkan kritik ekstern maupun kritik intern dari
sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan, sehingga memberikan kesatuan
dalam bentuk peristiwa masa lampau, yakni tentang peristiwa AOI (Angkatan
Oemat Islam) di Kebumen tahun 1950. Tahapan ini merupakan tahapan
penerapan teori-teori yang telah dipilih untuk menganalisa peristiwa tersebut.
4. Penyajian, yaitu menyampaikan sintesis yang diperoleh dalam bentuk karya
sejarah.
Penelitian dilakukan di wilayah kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dan
penyusunan hasil penelitian dilakukan di Yogyakarta. Lama penelitian dari bulan
Maret-Mei 2006. Instrumen yang digunakan hanya sebatas pedoman yang
diperlukan dalam kegiatan wawancara. Instrumen tersebut antara lain, recorder
sebanyak 2 buah, 1 buah kamera digital, dan 8 buah kaset.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian
Kontroversi peristiwa sejarah senantiasa menarik karena di dalamnya
terdapat sebuah proses yang panjang untuk berusaha memulihkan sebuah
peristiwa sejarah yang dahulu dianggap benar dan sekarang terungkap fakta-fakta
baru yang jauh dari fakta sebelumnya dari peristiwa tersebut. Kontroversi
mengenai peristiwa AOI tahun 1950 di Kebumen terjadi dalam sejarah antara
militer dengan para pelaku dari pihak AOI yang pernah diwawancarai. Fakta-fakta
baru muncul dari pihak AOI yang berusaha memberikan penjelasan yang berbeda
dengan penjelasan dari pihak militer mengenai peristiwa tersebut.
Konflik muncul di dalam AOI akibat dari perbedaan pendapat mengenai
nasib laskar AOI pascaperang kemerdekaan akan masuk ke dalam Angkatan
Perang Republik Indonesia (APRIS) atau kembali ke masyarakat. Perbedaan
pendapat tersebut menimbulkan perpecahan, sehingga AOI terbagi menjadi 2
batalion, yaitu: (1) Batalion Lemah Lanang atau Batalion Be 9/III pimpinan Haji
Nursodik yang telah bergabung ke dalam APRIS dan (2) Batalion Kiyamatul
Islam pimpinan Kiai Mahfud yang tidak mau bergabung dengan APRIS.
Perpecahan tersebut berakhir setelah terjadi pembunuhan perwira Batalion
Lemah Lanang oleh Batalion Kuda Putih pada 31 Juli 1950. Perlawanan AOI atas
peristiwa pembunuhan tersebut diartikan sebagai sebuah pemberontakan oleh

4
P. Lim Pui Huen, James H. Morrison & Kwa Chong Guan. ed. 2000. Sejarah Lisan di
Asia Tenggara Teori dan Metode, terjemahan R.Z. Leirissa. Jakarta: LP3ES. hlm. 85-102.



PKMP-6-8-4
Angkatan Bersenjata, sehingga meletuslah peristiwa perlawanan AOI terhadap
Angkatan Bersenjata pada 1 Agustus 1950.

Pembahasan
A. Keadaan Umum Kabupaten Kebumen
Secara geografis, Kabupaten Kebumen terletak antara 7 - 8 Lintang
Selatan dan 109 110 Bujur Timur, dan merupakan salah satu wilayah yang
besar dan luas di Propinsi Jawa Tengah. Secara administratif Kabupaten Kebumen
dibagi menjadi enam wilayah Pembantu Bupati, 22 wilayah kecamatan dan 460
Desa/Kelurahan.
Daerah ini sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cilacap dan
Kabupaten Banyumas, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purworejo,
sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten
Wonosobo, serta sebelah selatan dibatasi oleh Samudra Indonesia. Luas wilayah
Kabupaten Kebumen adalah 128.111, 50 Ha atau 1.281.115 km
2
yang terdiri dari
daerah pegunungan di sebelah utara, daerah daratan di bagian tengahnya dan
daerah pantai di sebelah selatan. Pendukung perekonomian daerah ini berupa
pertanian dan pengolahan tanah basah atau sawah seluas 39.802,00 Ha dan
pengolahan tanah kering serta tambak seluas 88.309,50 Ha.
5
Menurut catatan
perhitungan/sensus penduduk yang dilakukan pada 1933, Kabupaten Kebumen
berpenduduk 333,191 jiwa. Jumlah penduduk ini terdiri dari 330,652 pribumi, 331
Eropa, 2166 Tionghoa dan 42 timur asing.
Mata pencaharian pokok penduduk Kebumen adalah bercocok tanam dan
bertani, oleh karena keadaan tanahnya cukup subur. Pertanian di daerah tersebut
dilakukan baik di bagian selatan maupun di bagian utara maksudnya baik di
dataran rendah maupun di daaran tinggi (pegunungan). Hampir seluruh penduduk
desa di Kebumen mayoritas memeluk agama Islam yang sebagian besar menuntut
ilmu di pondok pesantren yang banyak berdiri di daerah setempat, sehingga
mendapat julukan sebagai daerah santri.

B. Eksistensi Angkatan Oemat Islam
Kelahiran organisasi AOI memiliki benang merah dengan berdirinya
organisasi-organisasi resmi lain yang memiliki tujuan sama yakni
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Pemerintah Belanda yang masih
ingin bercokol di negeri ini. AOI merupakan organisasi lokal yang tetap bertahan
hingga tahun 1950. Nuansa Islam dalam organisasi AOI merupakan dasar
perjuangan yang menjadikannya sebuah organisasi kelaskaran yang cukup kuat.
Organisasi-organisasi yang lahir pada masa revolusi memiliki latar belakang yang
berbeda-beda, namun memiliki satu tujuan yang sama yaitu mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
Ciri pokok organisasi kelaskaran Islam di masa kemerdekaan, yaitu:
pertama, munculnya seorang tokoh sentral yang menjadi magnet bagi para
anggotanya. Tokoh sentral bagi organisasi sosial Islam pada umumnya seorang
ulama atau kiai. Kelompok ulama atau kiai yang dimaksud sering disebut sebagai

5
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kebumen. 1989. Penetapan Hari Jadi
Kabupaten Daerah Tingkat II Kebumen. Yogyakarta: Pusat Ilmiah Pembangunan Regional (PIPR)
Jawa Tengah & Daerah Istimewa Yogyakarta. hlm. 1.


PKMP-6-8-5
elit agama Islam.
6
Tokoh sentral AOI muncul dari keluarga Pondok Pesantren
Somalangu di Kebumen yakni Kiai Haji Mahfud Abdurrahman.Ciri kedua yang
menjadi karakteristik sebuah organisasi kelaskaran Islam ialah di dalam salah satu
tujuannya termuat penegakan terhadap Syariat Islam. Penegakan terhadap hukum
agama Islam merupakan kewajiban bagi setiap muslim di muka bumi ini. Unsur
tersebut termuat dalam Anggaran Dasar AOI, yang merupakan tujuan AOI.
7

Tujuan AOI dalam Anggaran Dasar dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum yang merupakan tujuan
utama berdirinya AOI adalah melawan penjajah di Indonesia sebagai upaya
pembelaan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Tujuan
khusus AOI ialah menyempurnakan Syariat Agama Islam. Tujuan tersebut
tidaklah menyalahi ketentuan Pemerintah Republik Indonesia sebab AOI
mengusahakan kemakmuran bersama dalam Indonesia merdeka menurut jalan
Allah di belakang Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar Negara.
8

AOI dalam perkembangannya memiliki harapan Republik Indonesia
dijadikan pemerintahan Darul Islam.
9
Hal tersebut dikarenakan terdapat salah satu
ideologi yang sangat mengancam integritas bangsa dan menyalahi Syariat Islam.
Ideologi tersebut adalah Komunisme yang identik dengan anti agama atau atheis,
sehingga dapat mengancam eksistensi agama-agama di Indonesia apabila ideologi
tersebut berhasil berkuasa di negeri ini.
Eksistensi AOI sebagai organisasi kelaskaran perlu diperjelas kembali.
AOI pascaterbentuknya APRIS lebih terorganisir dan jelas keberadaannya
dibandingkan AOI sebelumnya. Laskar AOI yang hanya terdiri dari satu batalion
pada 17 September 1949 atas nama Wakil Panglima Divisi III Teritorium Jawa
Tengah dimasukkan dalam formasi Be 9/III, sambil menunggu peresmian lebih
lanjut. Setelah Undang-Undang APRIS dikeluarkan, pada 17 Mei 1950 dengan
dihadiri oleh Panglima Divisi III/Teritorium Jawa Tengah Kolonel Bambang
Sugeng, Batalion Lemah Lanang dijadikan Batalion Be 9/III sebagai Batalion
Teritorial dengan Komandan Batalion Haji Nursodik (adik dari Kiai Mahfud).
10


6
Mohammad Iskandar. 2000. Peranan Elit Agama pada Masa Kemerdekaan Indonesia.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

7
Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga (AD & ART) AOI, Sumber Arsip: buku
saku nukilan sejarah dalam rangka Haul ke-57 Syekh As-Sayid Mahfudz Al Hasani, diambil dari
buku Sejarah Somalangu, karangan: K.H. Afifudin bin Chanif bin Mahfudz Al Hasani (Pondok
Pesantren Al Kahfi Somalangu, Kebumen, tt).

8
ANRI, Arsip Kepolisian Bundel 596.

9
Istilah Darul Islam tidak terdapat dan tertulis dalam Al-Quran, akan tetapi pada waktu
itu istilah tersebut sangat populer bagi orang-orang yang mengerti dan mendalami agama Islam
terutama tafsir Al-Quran. Melalui tafsiran tersebut, maka ayat-ayat yang mengarah dan menuju
negara Islam itu dapat ditemukan di dalam Al-Quran. Istilah Darul Islam berasal dari kata Idh-
harul Haq. Selebihnya lihat: Irfan S. Awwas. 1999. Menelusuri Perjalanan Jihad S.M.
Kartosuwiryo: Proklamator Negara Islam Indonesia. Yogyakarta: Wihdah Press. hlm. 45.

10
Dinas Sejarah Militer TNI-AD. 1979. Sejarah TNI-AD 1945-1973: Peranan-Peranan
TNI- AD Menegakkan Negara Kesatuan RI. Jakarta: Dinas Sejarah Militer TNI AD. hlm. 245.



PKMP-6-8-6
Batalion Lemah Lanang yang sudah resmi menjadi Batalion Be 9/III
merupakan peleburan dari kelaskaran AOI dan Pasukan Surengpati dari
Hisbullah.
11
Batalion tersebut bukan peleburan secara keseluruhan kelaskaran
AOI, sebab masih terdapat dua kompi yang masih ragu untuk bergabung dengan
APRIS, yang berada di bawah pimpinan Kiai Mahfud. Kekuatan Batalion Lemah
Lanang atau 9 Be/III terdiri dari:
12

a. Kekuatan : 174 orang
b. Kekuatan Senjata : 158 pucuk
c. Kekuatan senjata berat : 4 nitraliur, 3 bren, dan 1 mortir
Semakin jelas keberadaan kelaskaran AOI pascaterbentuknya APRIS
yakni terbagi menjadi dua yaitu Batalion Lemah Lanang atau Batalion Be 9/III
dan Batalion Khiyamatul Islam. Keberadaan Batalion Khiyamatul Islam masih
sangat kontroversi. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa batalion tersebut dibentuk
ketika parade besar pada 27 Mei 1950 berlangsung.
13
Sedangkan ada pengertian
yang muncul di kalangan kelaskaran AOI, bahwa batalion tersebut memang tidak
ada.
14
Batalion yang ada dalam pengertian pasukan AOI, yaitu: (1) Batalion
Lemah Lanang sebagai tentara Mutatowwingin (berjuang karena Allah), berbekal
alat perang sendiri, dari hasil-hasil zakat maal untuk membuat peluru, granat,
panah, bandring dan sebagainya. Batalion tersebut di bawah pimpinan Kiai
Mahfud dengan Panglima Perang Bapak Sururudin dari Purwosari, Puring. (2)
Batalion Sureng Pati sebagai tentara Murtaziqoh yang digaji oleh pemerintah
dengan menerima pakaian-pakaian dan alat-alat perang dari pemerintah. Batalion
ini dipimpin oleh Haji Nursodik dengan panglima perang Bapak Masduki.
15

Pemahaman terpecahnya kelaskaran AOI menjadi dua batalion dengan
penyebutan nama yang sangat berbeda, menunjukkan bahwa politik kemiliteran
hanya dimengerti oleh pucuk pimpinan sehingga prajurit di bawahnya tidak
begitu memahami keberadaan AOI pada waktu itu. Perpecahan di tubuh
kelaskaran AOI memberikan bukti baru bahwa AOI sebelum terbentuknya APRIS
berbeda susunan dengan AOI sesudah terbentuknya APRIS. AOI pra-
terbentuknya APRIS, yakni dari tahun 1945-1949 berada pada periode pertama.
Periode pertama, merupakan periode mengusir penjajah Belanda. AOI pasca-
terbentuknya APRIS berada dalam periode kedua, yaitu periode terpecahnya AOI
menjadi 2 kekuatan berbeda yang kemudian menjadi isu pemberontakan AOI
melawan pemerintah.


11
Pernyatan tersebut diperjelas dalam hasil wawancara dengan Bapak Solehudin Umar,
bahwa akhir tahun 49, satu kompi dari Hisbullah dan satu kompi dari AOI tergabung dalanm satu
batalion Lemah Lanang di bawah pimpinan Haji Nursodik. Sedangkan Pasukan Surengpati
merupakan nama salah satu pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh Masduki sebelum bergabung
dalam Batalion Lemah Lanang.

12
Dinas sejarah Militer TNI-AD. Sejarah TNI-AD..., op. cit., hlm. 246.

13
Kuntowijoyo. Paradigma..., op. cit., hlm. 116.

14
Hanya satu responden dari delapan responden yang menyebutkan batalion Khiyamatul
Islam sebagai batalion yang dipimpin oleh Kiai Mahfud, yaitu Abu Salim Khurmein.

15
Catatan Bapak Muhadjir. hlm. 1-2.



PKMP-6-8-7
C. Peristiwa 1950 AOI Bukan Sebuah Pemberontakan
Pergolakan di dalam negeri setelah penyerahan kedaulatan RI cenderung
dikarenakan hasil persetujuan yang dicapai dalam Konferensi Meja Bundar atau
lebih dikenal dengan KMB itu di bidang militer, antara lain memuat ketentuan-
ketentuan mengenai pembentukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat) dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai intinya,
pembubaran KNIL dan pemasukan bekas anggota KNIL secara perorangan ke
dalam APRIS.
16
Pembentukan APRIS tersebut kemudian diatur dalam Undang-
Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1950, pasal 1 UU, yaitu:
Yang dapat diterima sebagai anggota Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat ialah warga negara Republik Indonesia Serikat bekas anggota
Angkatan Darat, yang disusun oleh suatu atau dibawah kekuasaan Pemerintah
Hindia Belanda dan warga negara bekas anggota Angkatan Laut Kerajaan
Belanda.
17

AOI tidak menyetujui Undang-Undang APRIS di atas karena menyalahi
sikap AOI dalam AD/ART yang harus bekerja sama dengan bekas lawannya.
Sikap tidak setuju AOI masuk ke dalam APRIS merupakan sebab umum
munculnya peristiwa AOI tahun 1950 di Kebumen. Sebab khusus munculnya
peristiwa AOI tahun 1950 ialah terbunuhnya seorang tentara Batalion Lemah
Lanang bernama Churmen, yang diarak dengan mobil jeep oleh anggota-anggota
Batalion Kuda Putih
18
dan mayatnya dibuang ke sungai Lukulo.
19
Peristiwa itu
terjadi pada 31 Juli 1950. Pembunuhan terjadi dikarenakan tentara tersebut tidak
mau dilucuti senjatanya oleh tentara Kuda Putih yang sedang berpatroli.
Analisa baru terhadap peristiwa pembunuhan di atas bahwa peristiwa AOI
tahun 1950 merupakan konflik di dalam tubuh APRIS.
20
Tentara yang terbunuh
merupakan tentara Batalion Lemah Lanang yang sudah resmi menjadi bagian
APRIS, meskipun tentara tersebut merupakan bekas tentara AOI ketika perang
melawan Belanda. Sejak peresmian Batalion Lemah Lanang tanggal 17 Mei 1950,
berada di bawah kendali tentara Divisi III Teritorium Jawa Tengah yang
menguasai wilayah Kedu. Batalion Kuda Putih juga berada pada posisi yang sama
dengan Batalion Lemah Lanang sebagai distrik militer. Sehingga, peristiwa
pembunuhan tersebut merupakan suatu perlawanan antardistrik militer yang
merupakan bagian tentara APRIS.
Peristiwa pembunuhan tentara Batalion Lemah Lanang telah membakar
amarah kedua belah fihak, baik Batalion Lemah Lanang maupun Batalion Kuda
Putih. Kontak senjata antara kedua batalion tersebut terjadi di utara stasiun

16
30 Tahun Indonesia Merdeka, loc. cit., hlm. 19.

17
Ibid., hlm.23.

18
Terdapat dua batalion yang bermarkas di Kebumen sebagai distrik militer, yaitu
Batalion Lemah Lanang dan Kuda Putih. Batalion Kuda Putih dikenal oleh pasukan AOI sebagai
batalion yang dipimpin oleh Ahmad Yani yang sekaligus sebagai batalyon yang mengatasi
pasukan AOI itu sendiri. Beberapa literatur Batalion Kuda Putih disebut sebagai CPM.

19
Wawancara dengan Bapak Muhadjir, tanggal 3 Maret 2006.

20
Wawancara dengan K.H. Afifuddin bin Chanif bin Mahfudz Al Hasani, tanggal 6
Maret 2006.



PKMP-6-8-8
Kebumen, sekarang menjadi Jalan Pramuka, tepatnya di toko Lima-Lima.
21

Batalion Lemah Lanang terdesak hingga masuk ke Somalangu dan meminta
pertolongan terhadap Kiai Mahfud. Kiai Mahfud mengambil tindakan membantu
Batalion Lemah Lanang dengan pertimbangan Somalangu telah terkepung dan
tentara Batalion Lemah Lanang merupakan teman seperjuangan ketika perang
kemerdekaan.
Kesalahpahaman antara AOI dengan Angkatan Bersenjata pada akhirnya
disadari oleh pemerintah yang masih berada di bawah pimpinan Sukarno.
Pemerintah memberikan pengampunan semacam amnesti melalui Panglima
Teritorial (Panglima Divisi Diponegara) yakni Letkol Soeharto, yang isinya tidak
boleh menghukum atau menahan orang-orang AOI. Sehingga, pascaperistiwa AOI
tahun 1950, laskar-laskar AOI melebur ke masyarakat.
22
Namun, amnesti tersebut
tidak dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat maupun Angkatan Bersenjata
sehingga penulisan sejarah Indonesia tentang peristiwa ini masih bersifat
subjektif, karena memojokkan eksistensi fihak AOI sebagai pemberontak masih
tetap dilakukan baik di kalangan militer satu sisi maupun masyarakat sejarawan di
sisi lainnya.
Peristiwa AOI tahun 1950 merupakan suatu intervensi Angkatan
Bersenjata dalam rangka mewujudkan NKRI. Faktor-faktor yang menyebabkan
Angkatan Bersenjata melakukan intervensi terhadap AOI, antara lain: pertama,
Angkatan Bersenjata Indonesia mengalami dilema yakni dengan kenyataan bahwa
militer harus menghadapi kelompok-kelompok militan yang terus bergejolak di
pelbagai daerah sebagai tugas memelihara keamanan negeri sementara terdapat
tuntutan-tuntutan negara bagian hasil KMB tersebut. Kedua, kegagalan usaha
perdamaian dalam pertemuan pada 27 Juli dan 28 Juli 1950. Ketiga, terdapat
motivasi kepentingan individu di kalangan militer Indonesia. Ambisi tersebut
terlihat pada diri Ahmad Yani yang merupakan teman seperjuangan dengan
tentara AOI. Benteng Raider merupakan usahanya untuk melakukan Gerakan
Bina Negara (GBN) yang disusun secara khusus untuk mengatasi kelompok
militan di wilayah Kedu. Strategi tersebut telah menjadikannya sebagai tentara
yang tangguh. Selain itu, terdapat satu lagi tokoh yang menggunakan kesempatan
dalam peristiwa AOI tahun 1950 di Kebumen sebagai sarana pemulihan nama
baiknya sebagai oknum PKI, yaitu Gatot Subroto.
23


D. Dampak Peristiwa AOI terhadap Anggota AOI
Meletusnya perlawanan AOI tahun 1950 berdampak luas bagi kondisi para
anggotanya secara keseluruhan. Pertama, dilihat dari segi psikologi, sebagian
besar mantan anggota AOI merasa terpukul dengan meninggalnya para kiai yang
selama ini menjadi tempat bertanya (soko guru). Peristiwa itu telah membungkam
mantan anggota AOI yang terlibat dalam peristiwa, sehingga mereka sulit

21
Mengenai siapa yang melakukan penyerangan untuk pertama kali, masih belum
diketahui secara pasti. Wawancara dengan K.H. Afifuddin bin Chanif bin Mahfudz Al Hasani,
tanggal 6 Maret 2006.

22
Wawancara dengan K.H. Masykur Hudri.
23
Wawancara dengan K.H. Afifuddin bin Chanif bin Mahfudz Al Hasani, tanggal 6
Maret 2006.



PKMP-6-8-9
mengungkapkan kebenaran peristiwa sebab bukti tertulis telah berhasil
dimusnahkan oleh Angkatan Bersenjata. Perilaku tersebut juga terkait dengan
kondisi pemerintahan sesudahnya yang sering disebut Orde Baru yang berkarakter
otoriter dan sangat militeristik.
Kedua, dilihat dari dimensi ekonomi. Perlawanan AOI tahun 1950 tidak
hanya membuat perekonomiannya berantakan dan lumpuh, namun juga tingkat
kepercayaan masyarakat juga berangsur redup. Tidak sedikit mantan anggota AOI
yang hidup dalam kekurangan, bahkan menjadi miskin. Dengan demikian,
ekonomi mereka secara struktural termasuk kelas pinggiran (rural elite). Ketiga,
dimensi sosial. Perlawanan AOI tahun 1950 telah menyebabkan kompetisi antar
elit pedesaan, yaitu elit agama dan elit birokrasi (priyayi), berakhir. Sebelum
peristiwa tersebut elit agama lebih berpengaruh, sehingga menghambat perubahan
desa. Setelah peristiwa tersebut, birokrasi desa sebagai pemegang kendali
pemerintahan di desa menjadi lebih leluasa bergerak.

KESIMPULAN

Peristiwa AOI tahun 1950 bukan sebuah pemberontakan yang murni
memiliki tujuan mendirikan atau membentuk negara RI berdasarkan Syariat
Islam, melainkan perlawanan terhadap Angkatan Bersenjata yang menyerang
markas AOI di Somalangu pada tanggal 1 Agustus 1950. Peristiwa tersebut
merupakan suatu gerakan (reaksi) sosial akibat ketidakpuasan AOI terhadap
kebijakan diplomatik pemerintah RI dengan pemerintah Belanda.
Sesungguhnya terdapat kepentingan di balik peristiwa AOI tahun 1950,
yaitu, pertama, kepentingan kaum Nasionalis yang memiliki kekuatan dalam
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua, kepentingan individu di dalam
Angkatan bersenjata untuk memperbaiki atau menambah citra individu tersebut.
Dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa AOI tahun 1950 meliputi tiga
dimensi, yaitu psikologi, ekonomi dan sosial. Anggota AOI setelah peristiwa
tersebut merasa traumatis dan cenderung tidak memiliki ketakutan terhadap
pemerintahan sesudahnya (Orde Baru) untuk mengungkapkan kebenaran peristiwa
melalui sudut pandang mereka yang sangat bertolak belakang dengan sudut
pandang pemerintah atau Angkatan Bersenjata. Peristiwa tersebut juga telah
meletakkan anggota AOI secara struktural ke dalam kelas pinggiran (rural elite).
Perubahan sosial muncul setelah peristiwa tersebut berakhir dengan berakhirnya
kompetisi antara elit desa dengan elit agama. Eksistensi elit desa menjadi lebih
stabil dibandingkan sebelum peristiwa tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1959, cetakan ke-V. Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
ANRI, Arsip Kepolisian Bundel 596.
Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga (AD & ART) AOI, Sumber Arsip:
buku saku nukilan sejarah dalam rangka Haul ke-57 Syekh As-Sayid
Mahfudz Al Hasani, diambil dari buku Sejarah Somalangu, karangan:
K.H. Afifudin bin Chanif bin Mahfudz Al Hasani (Pondok Pesantren Al
Kahfi Somalangu, Kebumen, tt).


PKMP-6-8-10
Dinas Sejarah Militer TNI-AD. 1979. Sejarah TNI-AD 1945-1973: Peranan-
Peranan TNI- AD Menegakkan Negara Kesatuan RI. Jakarta: Dinas
Sejarah Militer TNI AD. Dinas Sejarah Militer TNI-AD. 1979. Sejarah
TNI-AD 1945-1973: Peranan-Peranan TNI- AD Menegakkan Negara
Kesatuan RI. Jakarta: Dinas Sejarah Militer TNI AD.
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto,
cetakan ke-V. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho
Notosusanto, cetakan ke-V. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia.
Irfan S. Awwas. 1999. Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. Kartosuwiryo:
Proklamator Negara Islam Indonesia. Yogyakarta: Wihdah Press.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mohammad Iskandar. 2000. Peranan Elit Agama pada Masa Kemerdekaan
Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
P. Lim Pui Huen, James H. Morrison & Kwa Chong Guan. ed. 2000. Sejarah
Lisan di Asia Tenggara Teori dan Metode, terjemahan R.Z. Leirissa.
Jakarta: LP3ES.
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kebumen. 1989. Penetapan Hari Jadi
Kabupaten Daerah Tingkat II Kebumen. Yogyakarta: Pusat Ilmiah
Pembangunan Regional (PIPR) Jawa Tengah & Daerah Istimewa
Yogyakarta.


PKMP-6-9-1
PEMANFAATAN HIDROLISIS BEBERAPA JENIS XILAN
DENGAN ENZIM XILANASE REKOMBINAN SEBAGAI BAHAN BAKU
INDUSTRI ALKOHOL

Rizki Indra Irawan , One Asmarani, Anita Kurniati, Mirza Ardella Saputra
PS Kimia Fakultas MIPA, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan enzim xilanolitik
rekombinan dari E.coli DH5 (pTP510) dalam menghidrolisis beberapa jenis
xilan komersial dan menganalisis produk gula pereduksi yang dihasilkan. Enzim
xilanolitik rekombinan (-xilosidase dan -L-arabinofuranosidase) mampu
menghidrolisis beberapa jenis xilan komersial (oat-spelt xylan, birchwood, wheat,
rye, dan arabinan) dengan aktivitas xilanolitik yaitu : oat-spelt xylan (173,33
U/mL), birchwood (92,22 U/mL), wheat (652,22 U/mL), rye (494,44 U/mL), dan
arabinan (340 U/mL). Uji aktivitas enzim xilanolitik menggunakan substrat
spesifik p-nitrofenil--D-xilopiranosida (pNP-x) menunjukkan aktivitas xilosidase
sebesar 1,5869 mol/menit (Unit). Produk hidrolisis dianalisis dengan HPLC.
Hasil menunjukkan bahwa xilosa, arabinosa, dan xilo-oligosakarida dihasilkan
dari hidrolisis birchwood, wheat, rye, dan arabinan, sedangkan xilosa dan
arabinosa dihasilkan dari hidrolisis oat-spelt xylan. Dan hasil hidrolisis yang
telah difermentasi menunjukkan produk utama berupa etanol.

Kata kunci : enzim xilanolitik, pNP-x, pTP510, xilan komersial, fermentasi.

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris yang menghasilkan limbah pertanian
seperti batang / jerami padi, bonggol jagung, daun-daun kering dan ranting-
ranting tanaman yang cukup melimpah. Limbah pertanian tersebut belum
dimanfaatkan secara optimal, dan sebagian besar dimusnahkan dengan
pembakaran. Sementara itu, pembakaran limbah pertanian meningkatkan kadar
CO
2
di udara yang berdampak terjadinya pemanasan global. Kandungan
hemiselulosa yang cukup tinggi ( 30%) dalam limbah pertanian dapat
dimanfaatkan menjadi monomer xilosa yang berpotensi untuk bahan baku
industri.
Beberapa jenis hemiselulosa yang akan dihidrolisis dalam penelitian ini
adalah oat spelt xylan (Megazyme), birchwood (Megazyme), arabinan / sugar
beet (Megazyme Lot 80901), wheat arabinoxylan viskositas rendah (Megazyme
Lot 90201), dan rye flour arabinoxylan / pentosan (Megazyme Lot 90501) yang
merupakan contoh ekstrak dari limbah pertanian yang sudah dikemas dan
dipasarkan. Kelima jenis substrat hemiselulosa tersebut mempunyai komposisi
karbohidrat yang berbeda sehingga diperlukan pengujian untuk mengetahui
kemampuan enzim dalam menghidrolisis hemiselulosa.
Limbah pertanian yang sudah dikemas tersebut akan dihidrolisis
menggunakan enzim xilanolitik dan E.coli DH5 rekombinan (pTP510) dan
dianalisis kandungan monosakarida hasil hidrolisis menggunakan HPLC. Dan
hasil hidolisis tersebut digunakan sebagai bahan baku dalam proses fermentasi
untuk menghasilkan alkohol.

PKMP-6-9-2
Dari penelitian ini diharapkan mendapat informasi ilmiah tentang bagaimana
mengetahui kemampuan enzim xilanolitik rekombinan dari E.coli DH5
(pTP510) dalam menghidrolisis beberapa jenis xilan komersial dan dapat
menganalisis produk hidrolisis enzim xilanolitik rekombinan terhadap beberapa
jenis xilan komersial. Selanjutnya monomer monomer hasil hidolisis
hemiselulosa sangat berguna sebagai bahan baku di berbagai industri, misalnya
pembuatan alkohol, xilitol, bahan bakar cair, dan pelarut organik.

METODE PENDEKATAN
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Organik / Biokimia, Jurusan
Kimia, Universitas Airlangga Surabaya. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret
sampai bulan Juni 2006.

Alat dan bahan yang digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas autoklaf (OSK
6508 Steam pressure apparatus Ogawa Seiki Co., LTD), laminair air flow cabinet
(Kottermann 8580), sentrifuga Beckman (tipe TJ-6), transluminator UV (Bio-
Rad), timbangan analitik (Ohaus), pH meter (Metrohm 744), oven (Memmert,
Jerman), lemari pendingin (Sharp Matric), lemari pendingin -20
0
C (Royal Chest
Freezer BD195), pipet mikro (Eppendorf), ultrasonikator (Soniprep 150 Sanyo),
waterbath (sansat type syk-382-M), spektrofotometer UV-VIS (Shimazu 1700
Pharma), piranti SDS-PAGE dan zimogram (Biorad), penggoyang (Heidolph
Polymax 1040), shaker inkubator (Heidolph Unimax 1010), HPLC (Waters 2487),
GC 5890 Series II, dan alat gelas yang lazim digunakan di laboratorium.
Bakteri yang digunakan sebagai sumber enzim xilanolitik adalah E. coli
DH5 rekombinan (pTP510) koleksi Laboratorium Biokimia FMIPA, Unair
Surabaya. Bahan yang digunakan antara lain, tripton, yeast extract, NaCl,
Na
2
CO
3
, Na
2
HPO
4
.12H
2
O, asam sitrat, bacto-agar, oat spelt xylan, birchwood,
wheat, rye, arabinan, ampisilin, isopropil- -D-thiogalaktopiranosida (IPTG), 5-
bromo-4-kloro-3-indolil- -D-galaktopiranisida (X-gal), p-nitrofenil--D-
xilopiranosida (pNP-x), p-nitrofenol, standar xilosa, standar arabinosa, standar
xilooligosakarida, marker protein (Novagen), asam 3,5-dinitrosalisilat (DNS), 4-
metilumbeliferil- -xilosida (MUX), etanol, Triton-X 100, Congo red, alkohol
70%, spiritus, akuades.

Produksi enzim xilanolitik
Media inokulum merupakan media cair LB. Inokulum dibuat dengan
menginokulasikan biakan bakteri pTP510 dari E. coli DH5 ke dalam 20 mL
media inokulum yang sebelumnya ditambahkan 20 L ampisilin (100 mg/mL).
Biakan diinokulasi pada suhu 37
0
C dengan kecepatan 150 rpm selama 18 jam.
Satu persen biakan inokulum dimasukkan ke dalam 20 mL media produksi yang
sebelumnya ditambahkan 20 L ampisilin (100 mg/mL). Biakan diinkubasi
dengan kondisi seperti di atas. Sel dipanen setelah 18 jam pertumbuhan dengan
cara sentifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit. Supernatan
dibuang, pelet dilarutkan dalam buffer fosfat sitrat (PC) pH 7 dan dilisis dengan
ultrasonikator dengan frekuensi 20 Hz selama 2 menit diulang 2 kali. Enzim

PKMP-6-9-3
xilanolitik didapat dari supernatan hasil sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm
selama 10 menit.

Uji aktivitas enzim xilanolitik menggunakan substrat p-nitrofenil--D-
xilopiranosida
Sebanyak 100 L enzim xilanolitik ditambah 900 L substrat p-
nitrofenil--D-xilopiranosida diinkubasi pada suhu 70
0
C selama 60 menit. Reaksi
dihentikan dengan menambahkan 0,1 mL Na
2
CO
3
0,4 M. Aktivitas enzim
ditentukan dengan mengukur jumlah p-nitrofenol yang dilepaskan. Pengamatan
jumlah p-nitrofenol yang dilepaskan diamati dengan spektrofotometri pada 405
nm. Blangko yang digunakan 100 L aquades dan 900 L substrat p-nitrofenil--
D-xilosida diperlakukan sama dengan kondisi di atas.
Standar p-nitrofenol digunakan pada kisaran 0,1-0,5 mM p-nitrofenol/mL
dari stok p-nitrofenol 10 mM/mL dalam pelarut buffer PC pH 7. Seratus L
masing-masing larutan standar p-nitrofenol dicampur dengan 300 L buffer PC
dan diinkubasi pada suhu 70
0
C selama 60 menit. Reaksi dihentikan dengan
menambahkan 100 L Na
2
CO
3
0,4 M. Absorbansi dibaca pada 405 nm.

Uji aktivitas enzim xilanolitik menggunakan substrat beberapa jenis xilan
Aktivitas enzim xilanolitik ditentukan dengan mengukur banyaknya gula
pereduksi yang dihasilkan dari hidrolisis substrat oat spelt xylan, birchwood,
wheat, rye, dan arabinan. Masing-masing 100 L substrat tersebut ditambah
100 L enzim diinkubasi pada suhu 70
0
C selama 60 menit. Hasil inkubasi
ditambah dengan 600 L pereaksi DNS dimasukkan dalam penangas air
mendidih dan dipanaskan selama 15 menit, kemudian segera didinginkan dalam
air es selama 20 menit. Absorbansi dibaca pada 550 nm. Kontrol yang
digunakan 100 L enzim dan 600 L pereaksi DNS diperlakukan sama dengan
kondisi di atas (Miller, 1959).
Standar xilosa dibuat pada kisaran 0,1-1 mg xilosa/mL dari stok xilosa
10 mg/mL. 1 mL masing-masing larutan standar dicampur dengan 1 mL aquades,
kemudian ditambah 3 mL pereaksi DNS, dikocok kuat. Tabung dimasukkan
dalam penangas air mendidih dan dipanaskan selama 15 menit, kemudian segera
dinginkan dalam air es selama 20 menit. Absorbansi dibaca pada 550 nm.
Blangko digunakan dengan mengganti xilosa dengan aquades.

Analisis produk hidrolisis
Sampel substrat xilan ditambah dengan enzim xilanolitik, dihidrolisis
pada suhu 70
0
C selama 24 jam. Hasil hidrolisis digunakan sebagai sampel untuk
analisis HPLC. Analisis HPLC menggunakan kolom karbohidrat
(Mikrobondapak), detektor indeks bias, pelarut metanol 80 % dalam air,
kecepatan alir 1 mL/menit, konsentrasi senyawa standar 0,05 %, volume injeksi
20 L pada suhu kamar.

Analisis produk fermentasi
Sampel substrat xilan yang telah difermentasi dianalisis dengan GC.
Analisis GC menggunakan senyawa standar dengan konsentrasi 0,1%, volume
injeksi 0,2 L untuk standar dan 1 L untuk sampel, pada suhu kamar.

PKMP-6-9-4
HASIL DAN PEMBAHASAN
E.coli DH5 rekombinan (pTP510) dapat memproduksi enzim xilanolitik,
yang terdiri dari Xyl ( -xilosidase) dan Abfa ( -L-arabinofuranosidase). Kedua
enzim ini secara sinergis menghidrolisis oat-spelt xylan menjadi xilosa sebagai
produk utamanya di samping arabinosa dan xilobiosa (Puspaningsih, 2004). Hasil
analisis struktur gen penyandi enzim xilanolitik pada pTP510 ditemukan enzim
ekso-xilanase yang berlokasi di bagian hulu dari gen xyl (Puspaningsih,2004).
Enzim xilanolitik rekombinan berhasil diproduksi, diuji aktivitasnya, dibuktikan
adanya enzim tersebut, dan dianalisis kemampuan hidrolisisnya terhadap beberapa
xilan komersial.

Uji aktivitas enzim xilanolitik menggunakan substrat p-nitrofenil--D-
xilopiranosida
Enzim xilanolitik diuji aktivitas xilanolitiknya, dengan mereaksikan enzim
xilosidase yang diekspresikan oleh E. coli DH5 rekombinan (pTP510) dengan
substrat p-nitrofenil--D-xilopiranosida. Aktivitas enzim ditentukan dengan
mengukur jumlah p-nitrofenol yang dilepaskan. Pengamatan jumlah p-nitrofenol
yang dilepaskan diamati dengan spektrofotometri pada 405 nm. 1 unit aktivitas
enzim xilosidase didenifisikan sebagai jumlah enzim yang menghasilkan 1 mol
p-nitrofenol dalam waktu 1 menit pada kondisi percobaan. Hasil penentuan
aktivitas xilosidase sebesar 1,5869 mol/menit (Unit). Aktivitas xilosidase ini
menunjukkan bahwa enzim xilanolitik rekombinan mempunyai aktivitas yang
tinggi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

O
NO
2
xilosa

OH
NO
2

p-nitrofenil--D-xilopiranosida p-nitrofenol
(tak berwarna) (kuning)



Uji aktivitas enzim xilanolitik menggunakan substrat beberapa jenis xilan
Enzim xilanolitik diuji dengan beberapa substrat xilan dengan pereaksi
DNS. Banyaknya gula pereduksi diukur menggunakan metode DNS secara
spektrofotometri pada 550 nm (Miller, 1959). 1 unit aktivitas xilanolitik
menunjukkan mol xilosa yang dihasilkan per menit untuk setiap mL enzim.
Aktivitas xilanolitik terhadap beberapa xilan terlihat pada tabel 1. Dari data
tersebut terlihat bahwa enzim xilanolitik rekombinan dapat menghidrolisis
beberapa jenis substrat xilan komersial.

xilosidase

PKMP-6-9-5
Tabel 1. Aktivitas xilanolitik beberapa jenis xilan
Jenis xilan Aktivitas (U/mL)
Oat-spelt xylan 173,33
Birchwood 92,22
Wheat 652,22
Rye 494,44
Arabinan 340

Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
COOH
OH
NO
2
O
2
N

COOH
OH
NH
2
O
2
N


asam 3,5-dinitrosalisilat asam 3-amino-5-nitrosalisilat
(kuning) (coklat)
Perbedaan aktivitas xilanolitik beberapa jenis xilan komersial di atas
disebabkan kemampuan menghidrosis enzim xilanolitik rekombinan yang berbeda
terhadap masing-masing jenis xilan. Aktivitas tertinggi enzim xilanolitik
rekombinan terlihat pada wheat, data ini juga didukung oleh data HPLC (tabel 2
dan gambar 1c) yang menunjukkan bahwa wheat terhidrolisis menjadi 17,62%
xilosa, 19,95% arabinosa, dan 42,46% xilo-oligosakarida.

Analisis Produk Hidrolisis
Produk hidrolisis enzim xilanolitik rekombinan terhadap beberapa substrat
xilan menunjukkan bahwa enzim tersebut dapat menghidrolisis xilan menjadi
xilosa, arabinosa, dan xilooligosakarida (Tabel 2).
Enzim xilanase rekombinan dapat menghidrolisis oat-spelt xylan menjadi
xilosa dan arabinosa, ini dukung data HPLC pada gambar 1a dengan RT 1,40
untuk xilosa (RT xilosa standar 1,37) dan 2,02 untuk arabinosa (RT arabinosa
standar 2,00).



Tabel 2. Hasil analisis HPLC
Hasil analisis (%) Jenis xilan
xilosa arabinosa xilooligosakarida
Oat spelt xylan 21,73 26,67 -
Birchwood 20,60 22,26 18,60
Wheat 17,62 19,95 42,46
Rye 8,89 13,02 10,05
Arabinan 13,55 15,10 13,99

gula pereduksi

PKMP-6-9-6









waktu retensi waktu retensi waktu retensi
(a) (b) (c)
Gambar 1. Kromatogram HPLC dari oat-spelt xylan, birchwood, dan wheat

Komposisi birchwood adalah xilosa 89,3%, arabinosa 1%, glukosa 1,4%,
dan asam anhidrouronat 8,3% (Saha, 2003), sedangkan hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa birchwood terhidrolisis menjadi xilosa 20,60% (RT 1,39),
arabinosa 22,26% (RT 2,08), dan xilooligosakarida 18,60% (RT 3,45) oleh enzim
xilanase rekombinan (Gambar 1b). Hasil hidrolisis menunjukkan bahwa enzim
yang diekspresikan oleh E. coli DH5 rekombinan (pTP510) mempunyai
aktivitas xilanolitik lebih dibandingkan hasil penelitian sebelumnya.
Wheat terhidrolisis menjadi xilosa (RT 1,35), arabinosa (RT 1,93), dan
xilooligosakarida (RT 3,48) oleh enzim xilanolitik rekombinan (Gambar 1c).
Komposisi wheat menurut Saha (2003) terdiri dari 65,8% xilosa, 33,5% arabinosa,
0,3% glukosa, dan 0,1% manosa. Komposisi wheat (Megazyme) yaitu arabinosa
37%, xilosa 61%, gula lainnya 2%. Hasil hidrolisis wheat dengan enzim
xilanolitik rekombinan adalah 17,62% xilosa, 19,95% arabinosa, 42,46%
xilooligosakarida. Hal ini menunjukkan bahwa wheat menghasilkan produk
xilooligosakarida tertinggi dibandingkan sampel xilan yang lain.
Enzim xilanolitik rekombinan terutama menghidrolisis rye menjadi
arabinosa. Hasil hidrolisis rye oleh enzim xilanolitik rekombinan adalah 8,89%
xilosa (RT 1,33), 13,02% arabinosa (RT 2,18), dan 10,05% xiloologosakarida (RT
3,50) ditunjukkan pada Gambar 2a, sedangkan komposisi Rye (Megazyme) yaitu
arabinosa 49%, xilosa 48%, dan gula lainnya 3%.












waktu retensi waktu retensi
(a) (b)
Gambar2. Kromatogram HPLC dari rye dan arabinan
3 6

PKMP-6-9-7

Komposisi arabinan (Megazyme) mengandung arabinosa, galaktosa,
rhamnosa, dan asam galakturonat dengan perbandingan 88:3:2:7. Arabinan
terhidrolisis oleh enzim xilanase rekombinan menjadi 13,55% xilosa (RT 1,36),
15,10% arabinosa (RT 2,04), dan 13,99% xilooligosakarida (RT 3,47) seperti
yang terlihat pada gambar 2b. Sesuai dengan komposisi arabinan, hidrolisis
dengan enzim xilanolitik rekombinan menunjukkan bahwa produk utamanya
adalah arabinosa.
Hidrolisis enzimatis terhadap substrat xilan komersial menunjukkan
bahwa wheat mampu terhidrolisis 80% menjadi produk monomer dan
oligomernya, sedangkan yang lain kurang dari 80%. Hasil ini sesuai dengan data
aktivitas enzim yang tinggi pada wheat (tabel 1).
Hidrolisis substrat xilan dilakukan oleh sifat sinergi enzim xilanase (Xyl
dan Abfa). Mekanisme hidrolisis diawali oleh enzim -L-arabinofuranosidase
(Abfa) yang menghidrolisis rantai cabang xilan menghasilkan L-arabinosa dan
xilobiosa. Pemutusan rantai cabang akan mempermudah hidrolisis xilan oleh
enzim xilanase dan -xilosidase (Xyl), lokasi hidrolisis enzim terlihat pada
gambar 1. Enzim ekso-xilanase menghidrolisis rantai utama xilan menjadi
xilooligosakarida yang merupakan substrat bagi enzim -xilosidase untuk
menghasilkan xilosa. Produk utama dari ketiga enzim tersebut adalah xilosa,
arabinosa, dan xilotetrosa tersubstitusi yang bercampur dengan sedikit xilotriosa
tersubstitusi (Tuncer dan Ball, 2003 , Puspaningsih, 2004).
Hasil analisis produk hidrolisis diatas menunjukkan bahwa enzim xilanase
rekombinan sangat berpotensi menjadi enzim yang dapat menghasilkan xilosa
yang bermanfaat sebagai bahan baku di berbagai industri, seperti produksi
bioetanol, xilitol, 2,3-butanadiol (Horitsu et al, 1992), bahan bakar cair (Fall et
al, 1984), dan pelarut organik (Yu dan Saddler, 1985).

Analisis produk fermentasi
Analisis kualitatif etanol hasil fermentasi dilakukan dengan kromatografi
gas. Identifikasi etanol dilakukan dengan melihat waktu retensinya dalam
kromatogram. Identifikasi didasarkan pada perbandingan waktu retensi etanol
standar, yang dianalisis pada kondisi sama. Sedangkan analisis kuantitatifnya
dilakukan dengan melihat luas puncak suatu cuplikan dalam kromatogram.
Luas setiap puncak yang terbentuk berbanding lurus dengan konsentrasi puncak
tersebut. Ini dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi yang tepat dari setiap
komponen.


PKMP-6-9-8
waktu retensi waktu retensi
(a) (b)
Gambar 3. Kromatrogram GC dari etanol standar (a) dan
alkohol dari fermentasi birchwood (b)

Pada kromatogram hasil fermentasi birchwood diketahui bahwa produk
utama yang dihasilkan adalah 0,074 % etanol (RT 0,59) yang dihitung dengan
cara membandingkan dengan larutan standar 0,1% etanol (RT 0,68). Pada
kromatogram tampak adanya puncak lain selain puncak etanol, hal itu
menunjukkan adanya senyawa hasil samping fermentasi. Untuk megidentifikasi
senyawa tersebut, harus diketahui terlebih dahulu senyawa-senyawa yang
biasanya merupakan hasil samping fermentasi. Kemudian waktu retensi senyawa
yang diduga hasil samping fermentasi tersebut dibandingkan dengan waktu retensi
senyawa standar. Hasil samping fermentasi karbohidrat selain etanol dan gas
karbondioksida adalah metanol, gliserol, asam asetat, amil alkohol, isoamil
alkohol dan asam suksinat.

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Enzim xilanolitik dari E.coli DH5 rekombinan (pTP510) mampu
menghidrolisis beberapa jenis xilan komersial dengan aktivitas xilanolitik
untuk oat-spelt xylan (173,33 U/mL), birchwood (92,22 U/mL), wheat
(652,22 U/mL), rye (494,44 U/mL), dan arabinan (340 U/mL).
2. Produk hidrolisis utama dari degradasi xilan komersial oleh enzim
xilanolitik rekombinan adalah xilosa, arabinosa, dan xilo-oligosakarida.
3. Hasil fermentasi dari produk hidrolisis birchwood adalah etanol.

DAFTAR PUSTAKA
1. Fall, R.P., Phelps, P., Spindler, D., 1984, Bioconversion of xylan to
triglyceride by oil-rich yeasts, Appl Environ Microbiol 47:1130-1134.
2. Horitsu, H., Yahashi, Y., Takamizawa, K., Kawai, K., Suzuki, T.,
Watanabe, N., 1992, Production of Xylitol from D-xylose by Candida
tropicalis: optimization of production rate, Biotechnol Bioeng 40: 1085-
1091.
3. Puspaningsih, N.N.T., 2004, Gen Penyandi Xilosidase dari Bacillus
thermoleovorans IT-08, Desertasi S3-IPB, Bogor.
4. Saha, B.C., 2003, Hemicellulose Bioconvertion, J Ind Microbiol
Biotechnol, 30:279-291.
5. Saha BC, 2003, Purification and Properties of An Extracelluler -
xylosidase from A Newly Isolated Fusarium proliferatum,
Bioresources Technol 90 : 33-38.
6. Tuncer, M., Balls, A.s., 2003, Co-operative actions and degradation
analysis of purified xylan degrading enzymes from Thermomonospora
fusca BD25 on oat spelt xylan, J. Appl Microbiol 94 : 1030-1035.
7. Yu, E.K.C., Saddler, J.N., 1985, Biomass convention to butanediol by
simultaneous saccharification and fermentation, Trends Biotechnol 3 :
100-104.

PKMP-6-10-1
PEMBUATAN MINUMAN PROBIOTIK TERSUPLEMENTASI "RICE
BRAN" YANG BERSIFAT MULTIFUNGSIONAL
(KAJIAN PENGARUH PENAMBAHAN BEKATUL TERHADAP
VIABILITAS BAL DAN AKTIVITAS BAKTERIOSIN)

Elmi Dewi, Anita Kusuma, Nawa Aldina, Novia Rika, Yusnita Liasari
Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-6-11-1
KEEFEKTIFAN MEDIA KOMPUTER SEBAGAI SARANA
PEMBELAJARAN IKATAN KIMIA PADA SISWA SMA KELAS I.

Siti Nimatul Fitriyah, Nurul Aini, Novy Dwi Hermawati
PS Pendidikan Kimia, Fakultas Mipa, Universitas Negeri Malang, Malang

ABSTRAK
Komputer dapat mempercepat penyimpanan dan mengakses informasi sehingga
kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan cepat, dan menyenangkan
terutama dalam materi ikatan kimia. Dewasa ini pelaksanaan pembelajaran
materi ikatan kimia masih menggunakan metode pembelajaran yang konvensional
(klasikal). Dalam realitas empirik pembelajaran ikatan kimia lebih menarik jika
media pembelajaran berbasis komputer (teknologi informasi. Dalam hal ini Siswa
dapat mengakses sendiri materi ikatan kimia dengan menggunakan komputer baik
di sekolah ataupun di rumah, yang selanjutnya akan didiskusikan dalam forum
kelas. Permasalahannya adalah bagaimana peran media komputer sebagai
sarana pembelajaran ikatan kimia dalam menunjang percepatan proses
pembelajaran di sekolah. Kegiatan penelitan ini bertujuan untuk:
mengembangkan komputer sebagai media pembelajaran yang efektif, membuat
desain media pembelajaran ikatan kimia, mengetahui keefektifan media komputer
yang telah dibuat. Metode penelitian ini menggunakan rancangan penelitian
pengembangan dan kuasi eksperimen. Analisis data yang digunakan dalam
kegiatan ini dilakukan melalui analisis data kualitatif berdasarkan persentase
kriteria penilaian dan analisis kuantitatif nilai siswa dilakukan dengan
menggunakan uji statistik (uji-t). Hasil penelitian ini berupa produk CD
pembelajaran interaktif untuk materi ikatan kimia dan prestasi hasil belajar siswa
melalui penggunaan CD pembelajaran interaktif. Dalam hal ini diketahui bahwa
metode pembelajaran melalui CD Interaktif dapat memberikan kontribusi positif
pada hasil belajar daripada metode konvensional. Hal ini terlihat pada nilai
siswa, dalam kelas eksperimen diperoleh rata-rata sebesar 77,3 dan kelas kontrol
sebesar 69,5. Berdasarkan data yang diperoleh diatas dapat disimpulkan bahwa:
Media CD Interaktif Ikatan Kimia merupakan media yang valid untuk
pembelajaran kimia; Media CD Interaktif Ikatan Kimia mampu membantu
pelaksanaan pembelajaran kimia materi Ikatan Kimia kelas IX semester 1 melalui
pembelajaran berbasis komputer.

Kata kunci: Keefektifan, Media komputer, ikatan kimia

PENDAHULUAN
Perkembangan dan pemanfaatan teknologi dalam proses pengembangan
sumber daya manusia khususnya pendidikan, selaras dengan perkembangan
pendidikan dan revolusi pembelajaran itu sendiri. Perkembangan teknologi
pembelajaran semakin cepat karena didorong perkembangan dan perubahan di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi
komunikasi dan informasi. Model pembelajaran tradisional (classical
conditioning) dalam kelas dengan metode tatap muka bergeser ke layar manitor
komputer sebagai sistem pembelajaran individual (self instruction). Dengan
bantuan komputer kemudian berkembang lebih jauh yaitu dengan bantuan

PKMP-6-11-2
telekomunikasi dapat menjadikan pembelajaran dapat terjadi kepada siapa, kapan
dan dimana saja (Adi 2004)
Penyampaian informasi melalui gambar-gambar visual sudah merupakan
bagian dari kehidupan manusia sejak sejarah paling dini. Bahkan definisi sejarah
membedakan masa sejarah dan pra sejarah, pada suatu saat ketika kemampuan
merekam pengetahuan secara visual menjadi bagian dari sejarah peradaban
manusia. Selama perkembangan peradaban umat manusia, komunikasi visual
makin lama makin menyisihkan komunikasi oral (Landa 2001 dalam Adi 2004).
Bagi kebanyakan negara berkembang teknologi yang baru tidak dapat
dikembangkan sendiri tetapi harus diperoleh dari luar. Namun masalah
memperolehnya dari luar mengalami banyak hambatan yang berkaitan dengan
masalah intelektual (property rights) dan atau biaya transfer teknologi yang cukup
tinggi. Selain itu kesulitan yang dihadapi juga bersumber dari keterbatasan sumber
finansial dan sumber daya manusia. Oleh karena itu bagi negara berkembang
kebijaksanaan penguasaan teknologi yang paling tepat adalah membangun
kemampuan penyerapan (absortive capacity) melalui upaya transformasi
teknologi dalam arti mempelajari, menyesuaikan, dan bila mungkin memperbaiki
teknologi yang tersedia dengan tujuan memperoleh keunggulan kompetitif.
Dengan cara demikian memungkinkan terjadinya alih IPTEK atau pergeseran
kekuasaan dari teknologi yang bersifat madya (intermediet) pada teknologi tinggi
(high-tech) dan akhirnya pada teknologi yang baru (new technology) (Saepudin
2001)
Dalam mengembangkan teknologi pendidikan, yang paling memungkinkan,
murah serta efektif adalah melalui media komputer, karena dengan kemajuan
teknologi komputasi pada saat ini, berbagai jenis aplikasi yang bersifat
mempermudah proses pembelajaran dapat dijalankan dengan media komputer.
Komputer berperan sebagai manajer dalam proses pembelajaran yang
dikenal dengan nama Computer Manage Instruction (CMI). Ada pula peran
komputer sebagai pembantu tambahan dalam belajar; kemanfaatannya meliputi
penyajian informasi isi materi pelajaran, latihan atau keduannya. Modus ini
dikenal sebagai Computer Assisted Instruction (CAI). CAI mendukung
pengajaran akan tetapi bukanlah penyampai utama materi pelajaran (Arsyad
2004). Dalam hal ini peran guru tetap utama dalam menyampaikan materi
pelajaran, yakni sebagai fasilitator pengguna mesin komputer sehingga proses
pembelajaran dapat dilaksanakan (Arsyad 2004).
Penggunaan komputer sebagai media pembelajaran mempunyai beberapa
keuntungan diantarannya adalah : (1) komputer dapat mengakomodasi siswa yang
lamban menerima pelajaran karena dapat memberikan iklim yang bersifat efektif
dengan cara yang lebih individual, tidak pernah lupa, tidak pernah bosan, sangat
sabar dalam menjalankan instruksi seperti yang diinginkan program yang
digunakan; (2) komputer dapat merangsang siswa untuk mengerjakan latihan,
melakukan kegiatan laboratorium atau simulasi karena tersediannya animasi
grafik, warna dan musik yang dapat menambah realisme; (3) kendali berada
ditangan siswa sehingga tingkat kecepatan belajar siswa dapat disesuaikan dengan
tingkat penguasaannya, yaitu berinteraksi dengan siswa secara perorangaan
misalnya dengan bertanya dan menilai jawaban; (4) kemampuan merekam
aktifitas siswa selama mengunakan suatu program pengajaran memberi

PKMP-6-11-3
kesempatan lebih baik untuk pembelajaran secara perorangan dan perkembangan
setiap siswa selalu dapat dipantau (Arsyad 2004).
Menurut Azhar Arsyad (2004) mengatakan bahwa dalam proses
pembelajaran, guru hanya berusaha untuk memberikan rangsangan (stimulus)
yang dapat diproses dengan berbagai indera oleh siswa. Semakin banyak alat
indera yang digunakan untuk mengolah informasi semakin besar pula
kemungkinan informasi tersebut dimengerti dan dipertahankan dalam ingatan.
Stimulus visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas
seperti mengingat, mengenali dan menghubungkan fakta dengan konsep (Levie &
Levie 1975 dalam Arsyad 2004). Belajar dengan menggunakan indera ganda
dapat memberikan keuntungan bagi siswa. Siswa akan belajar lebih banyak
daripada jika materi disajikan hanya dengan stimulus pandangan saja atau hanya
dengan stimulus dengar saja (Arsyad 2004).
Dalam perkembangannya media komputer sangat mendukung dalam proses
pembalajaran. Namun, sampai saat ini masih sedikit sekali instansi pendidikan
yang menggunakan lebih-lebih mengembangkan media komputer sebagai sarana
pembelajaran, maka dari itu salah satu inspirasi Peneliti adalah membuat desain
media komputer sebagai sarana pembelajaran dalam hal ini mata pelajaran kimia
materi ikatan kimia. Dengan harapan perkembangan teknologi dapat diikuti oleh
siswa sekolah menengah atas dan dapat mempermudah proses pembelajaran.
Berdasarkan latar belakang permasalahan, peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah desain pembelajaran ikatan kimia
dengan menggunakan media komputer, 2) Bagaimanakah keefektifan media
komputer sebagai sarana pembelajaran ikatan kimia? Adapun hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah pembelajaran ikatan kimia akan lebih efektif
jika menggunakan media komputer.
Kegiatan penelitan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan
komputer sebagai media pembelajaran yang efektif. Manfaat dari penelitian ini
untuk jangka waktu yang akan dating adalah dihasilkannya CD pembelajaran
interaktif tentang materi ikatan kimia siswa SMA kelas I. Dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan suatu konstribusi yang sangat berarti pada dunia
pendidikan tentang keefektifan media komputer sebagai sarana pembelajaran
ikatan kimia khususnya dan mata pelajaran lain pada umumnya.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (developmental research)
dan juga merupakan suatu penelitian eksperimental semu (kuasi eksperimen).
Lama waktu yang diperlukan untuk berlangsungnya penelitian ini adalah 1
minggu, yang bertempat di SMA Assaadah Bungah Gresik. Populasi dari kegiatan
penelitian ini adalah semua siswa kelas I SMA, sedangkan sampel dari penelitian
ini ada 2 kelas yaitu kelas I-7 (kelas eksperimen) dan kelas I-4 (kelas kontrol).
Dipilihnya kedua kelas tersebut karena termasuk kelas yang kemampuannya
homogen, sehingga diharapkan data yang diperoleh akan dapat mewakili tentang
keadaan populasi yang sebenarnya.
Alat dan bahan yang diperlukan demi terlaksananya kegiatan penelitian ini
adalah perangkat pembelajaran, yang meliputi silabus dan sistem penilaian,
rencana pelaksanaan pembelajaran, konsep materi ikatan kimia, dan CD
pembelajaran interaktif materi ikatan kimia.

PKMP-6-11-4
Metode yang dilakukan untuk memperoleh data penelitian ada dua, yang
pertama yaitu pada tahap pengembangan media data yang diperoleh berupa angket
yang disebarkan pada ahli media dan ahli materi untuk mengetahui tingkat
kelayakan dari media yang dikembangkan. Kedua yaitu pada tahap uji coba
dilapangan, data diperoleh dengan cara melakukan review pembelajaran tentang
materi ikatan kimia yang telah disampaiakn pada semester sebelumnya, kemudian
siswa akan diberikan tes akhir dari materi tersebut sehingga diperoleh data yang
berupa nilai akkhir siswa untuk materi ikatan kimia.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan
menjadi dua bagian yang pertama adalah untuk data kualitatif dan yang kedua
untuk jenis data kuantitatif. Teknik analisis data yang tergolong dalam jenis data
kualitatif (angket) digunakan teknik analisis data persentase. Rumus yang
digunakan sebagai berikut :

P = % 100
1
x
x
x
, dengan :
P = Persentase
x = Jawaban responden dalam satu item
x1 = jumlah nilai ideal dalam satu item
Rumus pengolah data secara keseluruhan item adalah :
P = 100
1
x
x
x



Untuk menentukan kesimpulan ditetapkan kriteria pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase kriteria penialian
Persentase Keterangan
80%-100% Valid
60%-79% Cukup Valid
50%-59% Kurang Valid/Revisi
<50% Tidak Valid/Redesain
Tabel 1. Persentase kriteria penialian (Sujana 2002)

Sedangkan untuk mengetahui keefektifan media yang dikembangkan dapat di
ukur dengan evaluasi. Hasil Evaluasi/ Nilai Akhir (NA) dapat dirumuskan dengan:
NA = (Nilai Post Test + Nilai Tugas)/2 Efektif tidaknya media dapat disajikan
sebagai berikut :
Jika NA/n < 60 menunjukkan tidak efektif,
Jika 60NA/n70 menunjukkan cukup efektif,
Jika NA/n 70 menunjukkan sangat efektif, dengan n = jumlah siswa yang
mengikuti materi ikatan kimia.
Adapun analisis yang digunakan untuk data yang tergolong kuantitatif adalah
dengan melihat rata-rata nilai akhir siswa dalam materi ikatan kimia, kemudian
dilakukan uji statistik yaitu uji t.





PKMP-6-11-5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Mengacu pada tujuan pengembangan di muka, hasil-hasil dari kegiatan ini
adalah sebagai berikut: 1)Terciptanya produk CD Interaktif Ikatan Kimia. CD ini
dibuat dengan menggunakan program software macromedia flash MX dan Chem
Office Vers 6,0 dioperasikan dengan CD Room, seperti pada gambar berikut:



Gambar 1. Tampilan Materi Konfigurasi Elektron Gas Mulia





Gambar 2. Tampilan Materi Ikatan Kovalen

PKMP-6-11-6


Gambar 3. Tampilan Materi Ikatan Kovalen Polar





Gambar 4. Tampilan Materi Ikatan Ionik


PKMP-6-11-7


Gambar 5. Tampilan jika siswa menjawab soal dengan benar



Gambar 6. Tampilan jika siswa menjawab soal salah

PKMP-6-11-8

Tabel 2. Daftar Nilai Siswa SMA Assaadah Bungah Gresik Kelas X (Kelas Kontrol)
No Nama Nilai
1 Kholifah Hidayah 73
2 Afifatus Sayyidah 75
3 Aini Nur Ruwaidah 65
4 Ayu Rahmawati 76
5 Dewi Wahyuning Tyas 67,5
6 Eva Luvianah 81
7 Firqotin Najiyah 82
8 Hidayatul Husniyah 76,5
9 Ifda Fadhliyah 80
10 Irma Silfia Nur 59
11 Khoirotun Nisa 68
12 Lailatul Hanifiah 67
13 Lilik Masudah 81
14 Lulu Atul Mahrusah 61
15 Maghfirotul Qoyyumah 82
16 Maslihah 84
17 Mega Purnama Sari 62,5
18 Niswatin 65
19 Nurafiya Yunita 90
20 Nur Aini Rahmah 60,5
21 Nur Azidah 72
22 Nur Hayati 76
23 Nur Ida Zubaidah 60
24 Nurul Fajriyah 73
25 Nurul Masudah 62
26 Rina Silvia 73
27 Rini Suwandayani 70
28 Silviatul Abadiyah 65
29 Sri Mujiati 63
30 Surya Dewi Rahmawati 54
31 Titin Faidatul M 62,5
32 Uswatun Khoiriyah 55
33 Uzufatul Lailiyah 77
34 Yusrotul Agustin 56
35 Zulia Ningsih 57
Rata-rata 69,5

2) Telah dilakukan prosedur pengembangan utuh, mulai dari uji coba sampai
dengan penerapan media tersebut. 3) Digunakannya produk CD Interaktif Ikatan
Kimia dalam pengajaran kimia kelas IX di SMA Assaadah Bungah Gresik (pada
kelas eksperimen). 4) Pada akhir pembelajaran diperoleh nilai rata-rata untuk
kelas eksperimen sebesar 77,3 dan kelas control sebesar 69,5. Pembelajaran yang
dilakukan dengan menggunakan CD interaktif memberikan kontribusi yang lebih

PKMP-6-11-9
optimal daripada pembelajaran konvensional. Daftar nilai siswa dapat dilihat pada
Tabel berikut:


Tabel 3. Daftar Nilai Siswa SMA Assaadah Bungah Gresik Kelas X (Kelas
Eksperimen)
No Nama Nilai
1 Abdur Rozaq 61
2 Adi Putra Rahmatullah 70
3 Agus P B 78
4 Ali Haydar 75
5 Eko Budi Prasetyo 82
6 Fadlulloh Ahmad 69
7 Fandi Ahmad 62,5
8 Imam Burhanuddin B 75
9 Jofri Budi Amo 73
10 Jefri R A 70
11 Moh. Sudarmanto 92
12 M. Abdur Rohim 77
13 M. Husen B 85
14 M. Humaidi 94
15 M. Mamun N 72
16 M Mukhlish 76,5
17 M. Syarifuddin 95
18 M. Zam Zam 58
19 M. Ali Ayandi 92
20 Murtadlo M B 75,5
21 Muslich 73
22 Reza Alfarozi 86
23 Sasmithro 78
24 Sidi Alam Fahmi 90
25 Wawan Aprianto 85
26 Ah Miratul M 62
27 Ali Zainal A 74
28 Syah Wanda 82
Rata-rata 77,3


Pembahasan
Berdasarkan hasil nilai rata-rata kelas yang diperoleh, terlihat perbedaan
yang cukup signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Fenomena
semacam ini menunjukkan bahwa kelas yang di ajar dengan menggunakan media
pembelajaran melalui CD interaktif dapat mencapai hasil belajar yang cukup
maksimal bila dibandingkan dengan siswa yang tidak diajar dengan menggunakan
CD pembelajaran interaktif pada materi yang sama. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Levie & Levie (dalam Arsyad 2004) menyatakan bahwa stimulus
visual dapat membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti

PKMP-6-11-10
mengingat, mengenali dan menghubungkan fakta dengan konsep Belajar dengan
menggunakan indera ganda dapat memberikan keuntungan bagi siswa. Siswa akan
belajar lebih banyak daripada jika materi disajikan hanya dengan stimulus
pandangan saja atau hanya dengan stimulus dengar saja. Hal ini menunjukkan
bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan dapat mendukung pernyataan yang
diungkapkan oleh Levie & Levie.
Secara teknis ada beberapa kendala dalam kegiatan pembuatan CD
pembelajaran interaktif untuk materi ikatan kimia yang diajarkan pada siswa kelas
I SMA. Kendala yang dihadapi adalah pada aspek waktu, baik waktu produksi,
waktu uji coba dan waktu pengambilan data dilapangan. Hal ini terjadi karena
materi ikatan kimia telah diajarkan pada semester yang lalu sehingga untuk
memperoleh kembali data tentang hasil belajar siswa pada pokok bahasan ikatan
kimia di tempuh dengan cara melakukan pembelajaran review pada materi
tersebut.


KESIMPULAN
Dari rangkaian kegiatan pembelajaran dengan menggunakan CD Interaktif
Ikatan Kimia tersebut, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1) Media
CD Interaktif Ikatan Kimia yang berisi materi kimia SMA kelas IX semester 1
merupakan media yang valid untuk pembelajaran kimia. 2) Media CD Interaktif
Ikatan Kimia tersebut mampu membantu pelaksanaan pembelajaran kimia materi
Ikatan Kimia kelas IX semester 1 melalui pembelajaran berbasis computer dengan
memberikan kontribusi hasil yang lebih bai dari pada metode konvensional.

DAFTAR PUSTAKA
1. Adi, Eka P. 2004. Peningkatan Pengajaran Melalui Pembelajarn Modul
CD Interaktif Dalam Mata Kuliah Pengembangan Media Foto & Slide
Pembelajaran Malang: Local Project Implemation Unit-DUElike
Universitas Negeri Malang.
2. Arsyad, Azhar. 2004. Media Pembelajaran. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Sejahtera
3. Sadiman A.S, dkk. 2003. Media Pendidikan : Pengertian, Pengembangan
dan Pemanfaatannya., Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
4. Saepudin, Asep. 2001. Potret Pendidikan Dalam Alih Ilmu dan
Teknologi.Jurnal
5. Teknodik Edisi No. 9N. Jakarta : Pustekom Dikbud.
6. Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung:Tarsito
7. -----------.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata pelajaran Kimia.
Jakarta : Departemen pendidikan nasional.

PKMP-6-12-1
ISOLASI DAN KARAKTERISASI PEKTIN KULIT BUAH KAKAO
(Theobroma cacao L.) ASAL KABUPATEN KOLAKA
PROPINSI SULAWESI TENGGARA
Irnawati, Supiati S., Irpan
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Haluoleo, Kendari

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang Isolasi dan Karakterisasi Pektin Kulit Buah
Kakao (Theobroma cacao L.) Asal Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi
Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar dan karakter isolat
pektin kulit buah kakao (Theobroma cacao L.). Penelitian ini merupakan
kombinasi kegiatan lapangan dan laboratorium. Buah kakao yang digunakan
dibagi dalam 4 kelompok berdasarkan umur yaitu kelompok umur 1, 2, 3, dan 4
bulan. Pektin dari semua kelompok ini diisolasi dengan merujuk pada model yang
telah dikembangkan oleh Suprapti dkk. 1997 dan Hasbullah 2001 kemudian
dikarakterisasi untuk menentukan kadar air, kadar abu, kadar metoksil dan
viskositas intrinsik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar isolat pektin
meningkat selama perkembangan buah kakao. Peningkatan kadar isolat pektin
dari umur 1, 2, 3, dan 4 bulan buah kakao berturut-turut yaitu 1,64%, 2,56%,
3,91% dan 5,60%. Hasil karakterisasi isolat pektin menunjukkan bahwa selama
perkembangan buah kakao terjadi depolimerisasi dan demetilasi yang
menyebabkan kenaikan kadar air dari 20,50% menjadi 31,94%, penurunan kadar
abu dari 6,5% menjadi 1,3%, penurunan kadar metoksil dari 11,47% menjadi
7,44% dan penurunan viskositas intrinsik dari 0,47 Pa.s menjadi 0,15 Pa.s.

Kata kunci : Isolasi, Karakterisasi, Pektin, Kakao.

PENDAHULUAN
Kakao (Thoebroma cacao L.) merupakan salah satu jenis tanaman
perkebunan yang memiliki prospek masa depan yang cerah. Kakao telah
dijadikan komoditas andalan Indonesia sejak Pelita III. Sebagai komoditas ekspor
andalan, perkebunan kakao mengalami perkembangan yang sangat cepat dan
terjadi hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Perkembangan perkebunan kakao
di Indonesia mengakibatkan peningkatan produksi biji kakao, yaitu sebesar 370,1
ribu ton pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 375 ribu ton pada tahun 2002
(BPS 2002).
Propinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah penghasil kakao
terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 80 ribu ton pada tahun 2001 dan meningkat
menjadi 94 ribu ton pada tahun 2002 (BPS 2002). Di Sulawasi Tenggara yang
memproduksi biji kakao terbesar adalah di Kabupaten Kolaka sebesar 63.595,24
ton pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 74.613,74 ton pada tahun 2002 (BPS
2002). Peningkatan produksi biji kakao ini didukung oleh harga biji kakao yang
tinggi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat (petani).
Peningkatan produksi biji kakao yang besar juga mengahasilkan jumlah kulit
buah yang tinggi. Spillane (1995) menyatakan bahwa perbandingan berat kulit
buah kakao segar dengan bijinya mencapai 4 : 1. Jadi, produksi satu ton biji kakao
segar akan menghasilkan empat ton kulit buah kakao segar yang sampai saat ini

PKMP-6-12-2
kurang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sehingga dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan.
Kulit buah kakao yang melimpah dapat dimanfaatkan sebagai sumber
pektin potensial dengan kandungan 6 12 % berat kering (Spillane 1995). Pektin
ini dapat digunakan sebagai bahan pembuat gel (gelling agent) dalam pembuatan
jams, jellies, dan marmalade serta permen kenyal. Pada bidang farmasi, pektin
dapat digunakan sebagai zat penurun kadar kolesterol darah (Soebrata 1995).
Senyawasenyawa pektin, hemiselulosa dan selulosa merupakan
polisakarida utama penyusun dinding sel. Kelarutan komponen dinding sel
disebabkan oleh kerja enzim-enzim spesifik, misalnya poligalakturonase (Huber
1983) atau karena mekanisme radikal bebas (Miller 1986). Polimerisasi
polisakarida pada dinding sel merupakan penyebab utama pelunakan jaringan
buah (Eskin 1979, Huber 1983). Isolat pektin rendah pada buah yang belum
matang dan terus bertambah seiring dengan bertambahnya umur buah tersebut
(Huber 1983). Isolat pektin dari bahan tanaman dikarakterisasi melalui penentuan
kadar air, kadar abu, jumlah gugus karboksil bebas dan teresterifikasi melalui
penentuan metoksil, proporsi gugus asetil, kualitas jeli, perkiraan berat molekul
rata-rata (Kirk dan Othmer 1967).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka penelitian ini diarahkan untuk
menentukan kadar isolat pektin dan selanjutnya dikarakterisasi melalui penentuan
kadar air, kadar abu, kadar metoksil dan viskositas intrinsik pada setiap tingkatan
umur buah kakao (Theobroma cacao L.) asal Kabupaten Kolaka.

METODE PENDEKATAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Haluoleo Kendari, yang berlangsung
selama tiga bulan sejak bulan Februari minggu ke- 4 (empat) hingga Mei minggu
ke-1 (satu) 2006.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu Oven, tanur, viskometer Oswald,
termometer, pisau, blender magnetic stirer etalic, erlenmeyer, corong, pipet tetes,
timbangan, kompor, panci, kain saring rangkap 8, kain saring rangkap 4, pH
meter, penghitung waktu, gelas kimia, kulit buah kakao (Theobroma cacao L.)
umur 1,2,3,4 bulan buah, akuades, etanol asam 95 %, HCL 1%, aseton, NaOH
0.25 N, NaOH 0.1N, HCL 0.25N, kertas pH, HCl pekat, phenol ptalein
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan kombinasi antara kegiatan lapangan dan
laboratorium. Kegiatan lapangan bertujuan untuk memperoleh sampel kulit buah
kakao. Sampel yang diperoleh dibawa ke laboratorium untuk diisolasi ( kadar
isolat pektin) dan dikarakterisasi (kadar air, kadar abu, kadar metoksil dan
viskositas intrinsik). Model penelitian yang dilakukan adalah model eksperimen
secara in-vitro yang didesain dengan merujuk pada model yang telah
dikembangkan oleh Suprapti dkk (1997) dan Hasbullah (2001).



PKMP-6-12-3
1. Kegiatan Lapangan
Kegiatan lapangan yang dilakukan adalah survei lokasi perkebunan kakao
dan sekaligus pengambilan sampel. Sampel yang digunakan adalah kulit buah
kakao yang diperoleh dari perkebunan kakao Kabupaten Kolaka Propinsi
Sulawesi Tenggara, yang dikelompokkan berdasarkan umur buah kakao, yaitu : 1
bulan, 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan.
2. Kegiatan Laboratorium
a. I solasi Pektin
Kulit buah kakao yang telah dibersihkan dipotong bentuk dadu. Ditimbang
50 gram kulit buah kakao, kecuali buah kakao umur 1 bulan sebanyak berat 1 biji
buah kakao dan buah kakao umur 2 bulan sebanyak 30 gram. Kulit buah kakao
dihaluskan dengan menggunakan blender, lalu ditambahkam dengan akuades
sebanyak 2 bagian jumlah bahan dan dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar.
Bubur kulit buah kakao yang dihasilkan diencerkan dengan akuades sebanyak 3
bagian jumlah bahan, kemudian diaduk hingga menjadi bubur encer. Campuran
dibuat dalam kondisi asam dengan menambahkan larutan HCl hingga pH
mencapai 2,5 lalu dipanaskan pada suhu 70-80
o
C selama 90 menit sambil diaduk.
Selanjutnya disaring dalam keadaan panas dengan kain rangkap 8. Filtrat pektin
yang dihasilkan dipanaskan pada suhu 70-80
o
C dan diaduk secara intensif hingga
volume menjadi setengah. Filtrat pektin didinginkan kemudian diendapkan
dengan etanol 95% yang diasamkan (1 liter etanol ditambahkan dengan 2 mL HCl
pekat) sebanyak 2 bagian filtrat pektat, kemudian didiamkan selama 14 jam.
Endapan dipisahkan dengan kain saring rangkap 4. Pektin masam yang dihasilkan
ditambahkan dengan aseton, pengujian pektin masam dilakukan dengan
penambahan indikator phenol ptalein, kemudian disaring dengan kain rangkap 4.
Isolat pektin dikeringkan pada suhu 40-60
o
C selama 6-10 jam (Suprapti dkk.
1997, Hasbullah 2001).
b. Karakterisasi Pektin
Pektin yang dihasilkan dari masing-masing sampel buah ditentukan
kadarnya dan selanjutnya dikarakterisasi melalui penentuan : kadar air, kadar abu,
kadar metoksil, dan viskositas instrinsik.
1). Penentuan Kadar Air
Sebanyak 0,5 gram isolat pektin dikeringkan dalam oven pada suhu 105
o
C
selama 2 jam, lalu didinginkan dalam eksikator dan selanjutnya ditimbang.
Pengeringan dilakukan beberapa kali dalam selang waktu 1 jam hingga diperoleh
berat konstan (Boedhowie dan Pranggonawati, 1983).
Kadar Air =
% 100 x
A
B A

dimana : A = berat awal isolat pektin, B = berat kering

2). Penentuan Kadar Abu
Sebanyak 0,5 gram pektin diabukan dalam tanur pada suhu 600
o
C selama
4 jam, lalu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang sampai berat konstan.

PKMP-6-12-4
15
Kadar Abu =
% 100 x
A
C

dimana : A = berat pektin (gram), C = berat abu (gram)
3). Penentuan Kadar Metoksil
Sebanyak 0,5 gram pektin dibasahi dengan 5 mL etanol 95% lalu
ditambahkan dengan 25 mL NaOH 0,25 N. Kemudian dikocok dan dibiarkan
selama 30 menit pada suhu kamar dalam keadaan tertutup. Setelah itu,
ditambahkan dengan 25 mL HCl 0,25 N dan indikator biru bromotimol, lalu
dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan warna kuning menjadi
biru.
Kadar Metoksil =
dimana : A = berat pektin (gram), D = mL NaOH, E = N NaOH
4). Penentuan Viskositas I ntrinsik
Dibuat empat macam konsentrasi pektin yang berbeda-beda yaitu 0,2;
0,15; 0,1 dan 0,05% (b/v) dalam akuades. Masing-masing konsentrasi ditentukan
waktu alirnya dengan menggunkan alat viskometer Oswald pada suhu 29
o
C.
Viskositas intrinsik dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan :
[] =
/C lim
sp
0 c

dimana : [] = viskositas intrinsik,
sp
= viskositas spesifik
C = konsentrasi pektin
Viskositas spesifik (
sp
) ditentukan dengan rumus
sp
=
rel
1.
Kemudian dari tiap-tiap tingkatan umur buah dibuat kurva hubungan
sp
/C vs C
(C adalah konsentrasi) isolat pektin. Titik potong sumbu y pada kurva tersebut
merupakan nilai viskositas intrinsik ().
Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif dengan melihat rata-rata kadar isolat
pektin, kadar air, kadar abu, kadar metoksil dan viskositas intrinsik yang
selanjutnya dapat diketahui adanya penurunan ataupun peningkatan pada indikator
yang diteliti untuk setiap tingkatan umur kulit buah kakao.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi Buah Kakao (Theobroma cacao L.)
Hasil pengamatan terhadap buah kakao (Theobroma cacao L.) selama
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan perbedaan morfologi buah kakao (Theobroma
cacao L.) pada umur 1, 2, 3, dan 4 bulan. Pada Gambar 1, tampak perbedaan
panjang dan lingkar buah. Umur 1 bulan buah kakao memiliki panjang 8 cm
dengan lingkar buah 9 cm, panjang 14 cm dengan lingkar batang 18 cm
pada buah umur 2 bulan, panjang 16 cm dengan lingkar buah 24 cm pada
buah kakao umur 3 bulan dan panjang 18 cm dengan lingkar buah 26 cm pada

PKMP-6-12-5
buah kakao umur 4 bulan. Perbedaan ukuran buah kakao pada setiap tingkatan
umur buah disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan sel-sel jaringan
buah. Pertumbuhan dan perkembangan buah kakao bersifat tertentu, artinya sel-
sel pada jaringan buah tumbuh mencapai ukuran tertentu kemudian berhenti dan
akhirnya mengalami penurunan dan kematian. Hal ini didukung oleh pernyataan
Salisbury dan Ross (1995) bahwa pertumbuhan dan perkembangan buah, bunga
dan daun bersifat tertentu. Selain itu, perbedaan yang nampak adalah tekstur kulit
buah, warna kulit buah dan warna biji. Pada awal perkembangan buah (1 bulan
umur buah kakao), kulit buah kakao memiliki tekstur yang keras. Namun seiring
bertambahnya umur buah kakao maka kulit buah kakao juga menunjukkan tektur
yang berbeda yaitu perubahan dari keras menjadi lunak. Perubahan tekstur kulit
buah kakao (Theobroma cacao L.) disebabakan oleh perubahan komposisi kimia
buah misalnya perubahan struktur protopektin yang tidak larut air menjadi asam
pektinat yang larut dalam air.








1 bulan 2 bulan







3 bulan 4 bulan

Gambar 1. Penampakkan Morfologi Buah Kakao (Theobroma cacao L.) Pada
Berbagai Tingkatan Umur Buah.

Kulit buah kakao umur 1 bulan berwarna hijau tua dengan biji berupa
cairan kental yang bening, kulit buah berwarna hijau tua dengan biji berwarna
bening keunguan pada umur 2 bulan buah kakao, dan kulit buah warna hijau muda
dengan biji warna ungu muda pada buah kakao umur 3 bulan, serta kulit buah
berwarna hijau muda pada alur dangkal dan hijau kekuningan pada alur dalam
dengan biji warna ungu tua pada buah kakao umur 4 bulan. Perubahan warna kulit
buah kakao disebabakan oleh perubahan bentuk kloroplas menjadi kromoplas
yang kaya akan karatenoid, sedangkan perubahan warna biji di sebabkan oleh
penimbunan pigmen antosianin dan penimbunan unsur yang menentukan rasa.


PKMP-6-12-6
Kadar I solat Pektin Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) Umur 1, 2, 3, dan
4 Bulan Buah
Rerata kadar isolat pektin kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) umur 1,
2, 3, dan 4 bulan buah dapat dilihat pada Gambar 2.
0
1
2
3
4
5
6
0 1 2 3 4 5
Umur Buah kakao (Bulan)
R
e
r
a
t
a

K
a
d
a
r

I
s
o
l
a
t

P
e
k
t
i
n

(
%
)


Gambar 2. Grafik Rerata Peningkatan Kadar Isolat Pektin Kulit Buah Kakao
(Theobroma cacao L.) Umur 1, 2, 3 dan 4 Bulan Buah
Gambar 2 diatas menunjukkan grafik rerata peningkatan kadar isolat
pektin kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) yang diisolasi pada umur buah
kakao 1, 2, 3, dan 4 bulan. Pada Gambar 2, tampak adanya perbedaan kadar isolat
pektin pada setiap tingkatan umur buah kakao. Di awal isolasi (1 bulan umur buah
kakao) menunjukkan rerata kadar isolat pektin paling rendah yaitu 1,64%, pada
umur 2 bulan buah kakao, kadar isolat pektin menjadi 2,56%, selanjutnya kadar
isolat pektin terus bertambah menjadi 3,91% pada umur buah kakao 3 bulan dan
terus bertambah pada umur 4 bulan buah kakao yaitu 5,60%.
Pektin banyak ditemukan pada jaringan tanaman sebagai biopolimer
kompleks (Fry 1996, Jarvis 1984, Schols et. al.1995, Geitmann et.al. 1995,
Albersheim et.al. 1996, Willats et.al. 2001). Pektin merupakan golongan
polisakarida kompleks yang terdapat pada kebanyakan dinding sel primer
tanaman. Pektin mempunyai banyak fungsi dalam pertumbuhan dan
perkembangan tanaman (Ridley et.al. 2001), antara lain berperan penting dalam
hidrasi dinding sel, perekat antar sel, elastisitas dinding sel selama pertumbuhan,
dan mendukung reaksi antara sel tanaman dan bakteri serta jamur patogen.
Secara umum pektin yang terdapat pada dinding sel tanaman berfungsi
sebagai perekat antara dinding sel yang satu dengan dinding sel yang lain,
sehingga yang dilakukan pada awal isolasi adalah melepaskan protopetin dari
posisinya yang terikat pada jaringan tanaman dengan penambahan asam untuk
menghidrolisis protopektin menjadi asam pektinat yang larut dalam air dan suhu
yang tinggi untuk membantu difusi pelarut kedalam jaringan dan menurunkan
viskositas (Towle dan Christensen 1973). Akan tetapi, menurut Kertesz (1951)
dalam Usman (1996) reaksi yang berkepanjangan dengan asam dan suhu tinggi
dapat menyebabkan terdegradasinya senyawa-senyawa pektin yang telah ada pada
larutan. Dengan demikian, kondisi isolasi yang baik adalah kondisi yang
merupakan keseimbangan antara suhu, pH dan lama ekstraksi. Kondisi pH yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 2,5 dengan suhu 70-80
0
C selama 90 menit.
Untuk memperoleh isolat pektin, filtrat pektin diendapkan dengan
penambahan etanol 95% yang diasamkan. Penambahan etanol 95% dapat
mendehidrasi pektin karena mengganggu stabilitas larutan koloidnya. Pektin

PKMP-6-12-7
merupakan koloid hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus karboksil bebas
yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik isoelektrik seperti kebanyakan koloid
hidrofilik. Pektin distabilkan terutama oleh hidrasi partikelnya daripada oleh
muatannya, maka penambahan zat pendehidrasi, misalnya etanol akan segera
mengkoagulasikan pektin (Usman 1996). Sedangkan fungsi penambahan asam
pada etanol 95% adalah untuk mencegah ionisasi gugus karboksil dan gugus
hidroksil pada rantai pektin sehingga dapat meningkatkan proses dehidrasi pektin
oleh etanol 95% (Muzuni 1996). Selanjutnya isolat pektin ditambahkan dengan
aseton untuk pemurnian isolat yang dihasilkan (Suprapti dkk. 1997).
Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh kadar isolat pektin kulit
buah kakao (Theobroma cacao L.) yang mengalami peningkatan dengan semakin
bertambahnya umur buah kakao. Kadar isolat pektin tertinggi sebesar 5,60% pada
umur 4 bulan buah, hasil ini lebih kecil bila dibandingkan dengan kadar isolat
pektin yang diperoleh Sheppred dan Yap (1986) dalam Spillane (1995) sebesar
6-12%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan varietas tanaman
kakao yang digunakan. Hal ini didukung dengan pernyataan Brown (1963) dalam
Usman (1996) bahwa salah satu faktor yang menyebabkan bervariasinya kadar
isolat pektin dari bahan tanaman adalah varietas. Selain itu, kecilnya kadar isolat
pektin yang diperoleh disebabkan oleh buah kakao yang digunakan belum
mencapai umur maksimal kematangan buah. Menurut Susanto (2003),
pematangan buah kakao membutuhkan waktu sekitar 4-6 bulan.
Kebiasaan masyarakat petani kakao yang melakukan pemanenan buah
kakao yang belum mencapai umur maksimal kematangan buah, selain
menghasilkan kadar pektin yang rendah, hal ini juga mungkin menjadi penyebab
penurunan kualitas biji kakao Indonesia. Namun, pemanenan yang terlambat juga
dapat menyebabkan terjadinya perkecambahan biji kakao dalam buah.
Dari Gambar 2 diketahui bahwa pektin dari kulit buah kakao terus
bertambah hingga umur 4 bulan (umur panen). Menurut Proctor dan Peng (1951)
dalam Usman (1996), senyawa protopektin terus bertambah hingga umur buah
arbei mencapai 36 hari, kemudian jumlah tersebut akan berkurang karena
protopektin diubah menjadi pektin yang larut dalam air. Hal yang sama juga
didapatkan oleh Batisse (1994) yang menyimpulkan bahwa kandungan pektin
buah Cherry turun setelah umur 35 hari.
Meningkatnya kadar pektin pada perkembangan buah kakao (Theobroma
cacao L.) karena tumbuh dan berkembangnya sel-sel jaringan buah kakao,
sehingga senyawa-senyawa pektin yang terdapat pada ruang antar sel (lamela
tengah) dan dinding sel juga bertambah. Menurut Kirk dan Othmer (1967), lokasi
senyawa-senyawa pektin pada jaringan tanaman telah dapat ditentukan dengan
jelas. Pada buah-buahan seperti apel, sebagian besar senyawa pektin terdapat pada
bahan perekat interseluler (lamela tengah) dan dinding sel.
Huber et.al. (2001) menyatakan bahwa, faktor lain yang menyebabkan
peningkatan kadar isolat pektin selama perkembangan buah kakao adalah
perubahan protopektin secara enzimatik menjadi asam pektinat yang larut dalam
air, sehingga memudahkan ekstraksi pektin tersebut. Enzim yang berperan dalam
perkembangan jaringan buah adalah pektin metil esterase, poligalakturonase, dan
beta-galakturonase pada dinding sel dan lamela tengah (Barrett and Gonzales
1994, Huber et.al. 2001). Menurut Kirk dan Othmer (1967), pada buah-buahan
yang belum masak sebagian besar senyawa-senyawa pektin berada dalam bentuk

PKMP-6-12-8
protopektin, selama perkembangan dan pematangan buah perlahan-lahan diubah
menjadi asam pektinat yang larut dalam air. Pada buah-buahan seperti apel dan
tomat transformasi senyawa-senyawa pektin ini diikuti dengan pelunakan jaringan
buah. Mansanto (2004), buah tomat dan beberapa buah-buahan yang lain pada
awal pematangan menghasilkan senyawa etilen yang dilepaskan ke udara.
Senyawa ini dapat mempercepat pematangan buah yang lain.
Kadar Air I solat Pektin Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) Umur 1, 2, 3,
dan 4 Bulan Buah
Rerata kadar air isolat pektin kulit buah kakao (Theobroma cacao L.)
umur 1, 2, 3, dan 4 bulan buah dapat pada Gambar 3.
0
5
10
15
20
25
30
35
0 1 2 3 4 5
Umur Buah Kakao (Bulan)
R
e
r
a
t
a

K
a
d
a
r

A
i
r

I
s
o
l
a
t

P
e
k
t
i
n

(
%
)

Gambar 3. Grafik Rerata Peningkatan Kadar Air Isolat Pektin Kulit Buah Kakao
(Theobroma cacao L.) Umur 1, 2, 3, dan 4 Bulan Buah
Gambar 3 di atas menunjukkan grafik rerata peningkatan kadar air isolat
pektin kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) pada umur 1, 2, 3, dan 4 bulan
buah. Kadar air isolat pektin meningkat dengan bertambahnya umur buah kakao.
Kadar air isolat pektin kulit buah kakao paling rendah yaitu 20,50% pada umur
buah kakao 1 bulan. Kadar air isolat pektin meningkat menjadi 25,56% pada umur
buah kakao 2 bulan, kadar air isolat pektin terus naik menjadi 28,50% pada umur
3 bulan dan terakhir kadar air mencapai 31,94% pada isolat pektin kulit buah
kakao yang berumur 4 bulan.
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi tekstur dan cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan
makanan menentukan kesegaran dan daya tahan bahan. Berdasarkan data yang
diperoleh bahwa kadar air isolat pektin kulit buah kakao meningkat dengan
bertambahnya umur buah kakao.
Selama perkembangan buah kakao terjadi pelunakan jaringan sebagai
akibat dari peningkatan kandungan air. Kandungan air pada jaringan buah
meningkat sebagai hasil absorpsi dari air tanah, udara, dan hasil reaksi kimia dan
senyawa-senyawa yang terdapat dalam jaringan buah. Selain itu, peningkatan
kadar air isolat pektin disebabkan perubahan kelarutan senyawa-senyawa pektin
dari protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut dalam air.

PKMP-6-12-9
Demetilasi pektin secara enzimatik menghasilkan pektin yang relatif lebih
polar. Pektin polar akan lebih mudah mengikat molekul air membentuk air terikat
yang sulit dihilangkan dengan pengeringan pada suhu kamar.
Kadar Abu I solat Pektin Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) Umur 1, 2, 3,
dan 4 Bulan Buah
Rerata kadar abu isolat pektin kulit buah kakao (Theobroma cacao L.)
umur 1, 2, 3, dan 4 bulan buah dapat dilihat pada Gambar 4.
0
1
2
3
4
5
6
7
0 1 2 3 4 5
Umur Buah Kakao (Bulan)
R
e
r
a
t
a

K
a
d
a
r

A
b
u

I
s
o
l
a
t

P
e
k
t
i
n

(
%
)

Gambar 4. Grafik Rerata Penurunan Kadar Abu Isolat Pektin Kulit Buah Kakao
(Theobroma cacao L.) Umur 1, 2, 3, dan 4 Bulan Buah
Gambar 4 di atas menunjukkan grafik rerata penurunan kadar abu isolat
pektin kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) pada umur 1, 2, 3, dan 4 bulan
buah. Kadar abu isolat pektin menurun dengan bertambahnya umur buah kakao.
Kadar abu isolat pektin tertinggi yaitu 6,5% tedapat pada buah kakao yang
berumur 1 bulan, selanjutnya kadar abu isolat pektin turun menjadi 4,73% pada
umur buah kakao 2 bulan dan terus menurun menjadi 2,97% pada umur buah
kakao 3 bulan dan kadar abu isolat pektin yang terendah yaitu 1,39% terdapat
pada buah kakao yang berumur 4 bulan.
Kadar abu suatu bahan makanan tergantung pada keberadaan unsur-unsur
mineral. Unsur-unsur mineral yang terdapat pada bahan makanan tersebut terdiri
atas kalsium dan magnesium. Huber (1991) menyatakan bahwa kalsium
menyebabkan protopektin menjadi tidak larut karena terdapat dalam bentuk
kalsium pektat. Selama perkembangan buah kakao terjadi pemutusan ikatan ini
dengan cara mensubtitusi ion Ca
2+
dengan ion H
+
, sehingga bentuknya berubah
menjadi asam pektat yang larut dalam air.
Adanya pemutusan ikatan Ca-pektat, maka Ca keluar dari senyawa-
senyawa pektin dan disubtitusikan pada jaringan lain. Bertambahnya umur buah
kakao menyebabkan kadar mineral pektin seperti Ca terus menurun. Dari Gambar
4 terlihat bahwa kadar abu isolat pektin tidak mencapai nilai konstan, hal ini
diperkirakan sepanjang umur buah kakao masih terus terjadi pemutusan ikatan
Ca-pektat.
Kadar Metoksil I solat Pektin Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) Umur 1,
2, 3 dan 4 Bulan Buah
Rerata kadar metoksil isolat pektin kulit buah kakao (Theobroma cacao L)
umur 1, 2, 3, dan 4 bulan buah dapat dilihat pada Gambar 5.

PKMP-6-12-10
0
2
4
6
8
10
12
14
0 1 2 3 4 5
Umur Buah Kakao (Bulan)
R
e
r
a
t
a

K
a
d
a
r

M
e
t
o
k
s
i
l

P
e
k
t
i
n

(
%
)

Gambar 5. Grafik Rerata Penurunan Kadar Metoksil Isolat Pektin Kulit Buah
Kakao (Theobroma cacao L.) Umur 1, 2, 3, dan 4 Bulan Buah
Gambar 5 diatas menunjukkan rerata penurunan kadar metoksil isolat
pektin kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) pada umur 1, 2, 3, dan 4 bulan
buah. Kadar metoksil isolat pektin menurun selama perkembangan buah kakao.
Kadar metoksil isolat pektin paling tinggi diperoleh pada umur buah kakao 1
bulan yaitu 11,47%. Selanjutnya dengan bertambahnya umur buah kakao (2 bulan
umur buah) kandungan metoksil isolat pektin turun menjadi 10,13%. Isolat pektin
kulit buah kakao yang berumur 3 bulan, kandungan metoksilnya turun lagi
menjadi 8,99% dan kandungan metoksil isolat pektin tetap turun menjadi 7,44%
hingga umur buah kakao 4 bulan.
Berdasarkan kadar metoksilnya pektin dibedakan atas pektin metoksil
rendah (3-7%) dan pektin metoksil tinggi (7-12%) (Gliksman 1969). Dari data
yang diperoleh, kadar metoksil isolat pektin kulit buah kakao tergolong dalam
pektin kadar metokil tinggi yaitu 7,44% - 11,47%.
Gambar 5 menjelaskan bahwa selama perkembangan buah kakao terjadi
penurunan kadar metoksil isolat pektin kulit buah kakao. Penurunan kadar
metoksil isolat pektin selama perkembangan buah kakao disebabkan demetilasi
dan depolimerisasi pektin oleh enzim pektin metil esterase dan poligalakturonase.
Aktivitas enzim ini meningkat selama perkembangan buah kakao. Perubahan
kandungan metoksil pektin menyebabkan perubahan konformasi pada molekul
pektin. Demetilasi menyebabkan molekul pektin berbentuk lebih terbuka dari
asalnya yang berbentuk heliks. Dari Gambar 5 diperoleh bahwa penurunan kadar
metoksil tidak mencapai titik minimal, hal ini diperkirakan demetilasi pektin akan
terus berlangsung sepanjang perkembangan buah kakao.
Demetilasi atau deesterifikasi poligalakturonat menghasilkan gugus
karboksilat pada rantai pektin dan senyawa metanol. Hal ini menyebabkan
kekurangan gugus metoksil pada rantai pektin. Selama perkembangan buah
kakao, pektin terus mengalami deesterifikasi, sehingga kadar metoksil pektin akan
turun selama perkembangan buah kakao.
Viskositas I ntrinsik I solat Pektin Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.)
Umur 1, 2, 3 dan 4 Bulan Buah
Viskositas intrinsik isolat pektin kulit buah kakao (Theobroma cacao L.)
umur 1, 2, 3, dan 4 bulan buah dapat dilihat pada Gambar 6.

PKMP-6-12-11
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0 1 2 3 4 5
Umur Buah Kakao (Bulan)
V
i
s
k
o
s
i
t
a
s

I
n
t
r
i
n
s
i
k

Gambar 6. Grafik Penurunan Viskositas Intrinsik Isolat Pektin Kulit Buah Kakao
(Theobroma cacao L.) Umur 1, 2, 3, dan 4 Bulan Buah
Gambar 6 diatas menunjukkan rerata penurunan viskositas intrinsik isolat
pektin kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) pada umur 1, 2, 3, dan 4 bulan
buah. Viskositas intrinsik pektin menurun selama perkembangan buah kakao.
Viskositas intrinsik pektin dari buah kakao pada tahap awal perkembangan yaitu
0,47 Pa.s. Viskositas intrinsik menurun menjadi 0,37 Pa.s pada umur 2 bulan,
viskositas ini terus turun menjadi 0,32 Pa.s pada umur 3 bulan, dan pada umur 4
bulan, viskositas intrinsiknya masih tetap turun menjadi 0,15 Pa.s.
Penurunan viskositas intrinsik pektin merupakan salah satu bukti
terjadinya depolimerisasi pektin dan perubahan protopektin menjadi asam pektinat
yang larut dalam air selama perkembangan buah kakao. Demetilasi dan
depolimerisasi dapat mempengaruhi interaksi pelarut (k) dengan molekul
poligalakturonat (Walter 1984).
Demetilasi disamping dapat merubah bentuk molekul pektin dari bentuk
melingkar menjadi lebih terbuka, juga dapat merubah kepolaran pektin dari
kurang polar menjadi lebih polar. Dengan demikian pektin dari buah kakao pada
tahap awal perkembangan, dapat membentuk gel dengan derajat jelli yang tinggi
dengan air, karena air hanya mampu terjerat dalam molekul pektin. Seiring
dengan perkembangan buah kakao, kepolaran pektin bertambah, sehingga air
perlahan-lahan akan membentuk ikatan hidrogen yang kuat dengan pektin,
sehingga viskositasnya lebih rendah.
Pektin pada awal perkembangan buah kakao mempunyai ukuran dan
panjang rantai yang besar, sehingga pelarut hanya terjerat dalam molekul pektin,
akibatnya pektin dapat membentuk gel dengan air, tetapi kemudian perlahan-lahan
ukuran molekul pektin menjadi lebih kecil sehingga memudahkan pelarut untuk
masuk ke dalam molekul pektin, akibatnya viskositas pektin menjadi lebih rendah.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Kadar isolat pektin kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) mengalami
peningkatan seiring dengan bertambahnya umur buah kakao. Kadar isolat

PKMP-6-12-12
pektin kulit buah kakao umur 1, 2, 3, dan 4 bulan buah kakao secara berturut-
turut yaitu 1,64%, 2,56%, 3,91% dan 5,60%.
2. Selama perkembangan buah kakao (Theobroma cacao L.) terjadi perubahan
karakter meliputi peningkatan kadar air isolat pektin dari 20,50% pada umur 1
bulan buah kakao menjadi 31,91% pada umur 4 bulan buah kakao. Sedangkan
kadar abu, kadar metoksil dan viskositas intrinsik terjadi penurunan selama
perkembangan buah kakao. Kadar abu menurun dari 6,5% pada umur 1 bulan
buah kakao menjadi 1,39% pada umur 4 bulan buah kakao, kadar metoksil
menurun dari 11,74% pada umur 1 bulan buah kakao menjadi 7,44% pada
umur 4 bulan buah kakao dan viskositas intrinsik menurun dari 0,47 Pa.s pada
umur 1 bulan buah kakao menjadi 0,15 Pa.s pada umur 4 bulan.

DAFTAR PUSTAKA
Albersheim, P., A.G. Darvill, M.A. O'Neill, H.A. Schols, A.G.J.Voragen, 1996.
A hypothesis: The Same Six Polysaccharides are Components of the
Primary Cell Walls of all Higher Plants. In: Pectins and Pectinases. J.
Visser and A.G.J. Voragen, Eds. Elsevier Science B.V 47-55.
Badan Pusat Statistik, 2002. Statistik Perkebunan dan Hortikultura. Sulawesi
Tenggara. Kendari.
Barrett, D.M. and C. Gonzles, 1994. Activity of Softening Enzymes During
Cherry Maturation. Journal Food Science 59:574.
Batisse, C., B. Fils-Lycaon and M. Buret, 1994. Pectin Changes in Ripening
Cherry Fruit. Journal Food Science 59:389.
Boedhowie, M dan S. Pranggonawati, 1983. Petunjuk Praktek Pengawasan Mutu
Hasil Pertanian I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Eskin, N.A.M., 1979. The Plant Cell Wall. In Plant Pigments, Flavour, and
Textural Component of Food, p.121.
Fry. S.C., 1996. Oligosaccharin Mutants Trends Plant Sci. 1: 326-329.
Geitmann, A., J. Hudak, F. Vennigerholz, B. Walles, 1995. Immunogold
Localization of Pectin and Callose in Pollen Grains and Pollen Tubes of
Brugmansia suaveolens. Implications for the Self-Incompatibility
Reaction. J. Plant Physiol 147: 225-235.
Glicksman, M., 1979. Gun Tecnology in Food Industry. Academic Press. New
York.
Hasbullah, 2001. Pektin Kakao. http://www.warintek.progessio.or.id
Huber, D.J., 1983. The Role of Cell Wall Hydrolases in Fruit Softening. Hort.
Rev. 5:169.
Huber, D.J., 1991. Acidified Phenol Alters Tomato Cell Wall Pectin Solubility
and Calcium Content. Phytochemistry 30:2523-2527.
Huber, D.J., Y. Karakurt, J. Jeong, 2001. Pectin Degradation in Ripening and
Wounded Fruit. Rev. Bras. fisiol. veg. vol. 13.
Jarvis, M.C., 1984. Structure and Properties of Pectin Gels In Plant Cell Walls.
Plant Cell Environ 7: 153-164.
Kirk, R.E. and D.F. Othmer, 1967. Encyclopedia of Chemical Technology. The
Interscience Encyclopedia Inc. New York.
Mansanto, 2004. Delay Fruit Ripening. http://www.geopie.cornell.edu/traits.html

PKMP-6-12-13
Miller, A.R., 1986. Oxidation of Cell Wall Polysacharides by Hydrogen Peroxide:
A Potential Mechanism for Cell Wall Breakdown in Plants.
Biochem. Biophys. Res. Comm. 141:234.
Muzuni, 1996. Fraksinasi dan Karakterisasi Pektin dari Labu Siam
(Sechium edule Sw.) sebagai Model Teknik Fraksinasi Polimer Alam.
(Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ridley, B.L., M.A. O'Neill, D. Mohnen, 2001. Pectins: Structure, Biosynthesis,
and Oligogalacturonide-Related Signaling. Phytochemistry 57: 929-967.
Salibury,F.B. dan C.W. Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan. ITB. Bandung.
Schols, H.A., E.J. Bakx, D. Schipper, A.G.J. Voragen, 1995. A xylogalacturonan
Subunit Present in the Modified Hairy Regions of Apple Pectin.
Carbohydr Res. 279: 265-279.
Soebrata, B.M., 1995. Dampak Pemberian Pektin Labu Siam (Secchium edule
Sw.) Terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Serum Tikus. (Skripsi).
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Spillane, J.J., 1995 Komoditi Kakao dan Peranannya dalam Perekonomian
Indonesia. Kanisinus. Yogyakarta.
Suprapti, I. Pereng dan Norma, 1997. Pengaruh Pelarut Terhadap Kandungan
Pektin Kulit Buah Kakao, Majalah Kimia. 57: 6-8
Steenis, C.G.G.J., 1997. Flora. Pradnya Paramita. Jakarta.
Susanto,F.X., 2003. Tanaman Kakao, Budi Daya dan Pengelolaan Hasil.
Kanisius. Yogyakarta.
Towle, G.A. and O. Christensen, 1973. Pectin in Indistri Gums, polysacharides
and Their Derivates. Academic Press. New York.
Usman, 1996. Variasi Beberapa Karakter Fisiko-Kimia Pektin pada Berbagai
Tingkat Umur labu Siam (Sechium edule Sw.). (Skripsi). Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Walter, R.H. and S.M. Ruth, 1984. Low Profiles of Aqueous Dispersed Pectins,
Journal Of Food Science. 49:64.
Willats, W.G, L. McCartney, W. Mackie, J.P. Knox, 2001. Pectin: Cell Biology
and Prospects for Functional Analysis. Plant Mol Biol. 47: 9-27.


PKMP-6-13-1

STUDI PEMBOTOLAN BUAH MATOA

Sritina Novreta P Paiki, Dianne P Septianti Pattiasina, Ab. Benoni Rumbiak
Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Papua, Manokwari


ABSTRAK
Matoa termasuk dalam famili Sapindaceae dari jenis Pometia sp merupakan
salah satu jenis pohon asli Papua yang merupakan tanaman musiman yang
berbunga dan berbuah setahun sekali yaitu berbunga sekitar bulan Februari-
Maret dan berbuah setelah 2 - 5 bulan kemudian, sehingga buahnya tidak dapat
tersedia di pasar setiap saat. Salah satu alternatif untuk menyediakan buah matoa
setiap saat adalah dengan melakukan proses pembotolan buah matoa, namun
hingga saat ini belum adanya konsentrasi gula yang tepat yang digunakan
sebagai medium pembotolan sehingga penelitian ini bertujuan untuk menentukan
konsentrasi gula yang tepat sebagai medium pembotolan. Karena itu pada
penelitian ini pembotolan buah matoa dilakukan dengan menggunakan
konsentrasi gula 30%, 40% dan 50%. Penelitian ini menggunakan metode
eksperimen dengan analisis data menggunakan analisis ragam. Dari hasil
penelitian menunjukkan dengan proses pembotolan buah matoa akan menurunkan
kandungan vitamin C, total asam dan perubahan sifat fisik buah matoa. Hasil
pengujian organoleptik menunjukkan penurunan penerimaan panelis terhadap
warna, aroma, rasa dan tekstur dari buah matoa botol.

Kata kunci: matoa, Pometia sp., pembotolan, gula

PENDAHULUAN
Dalam konsumsi sehari-hari, salah satu bahan makanan yang sering menjadi
menu pokok untuk dikonsumsi adalah buah-buahan. Pada umumnya seseorang
mengkonsumsi buah-buahan hanya untuk memenuhi keinginan serta memberikan
kepuasan, yang sebenarnya tanpa disadari juga dapat memenuhi kebutuhan
gizinya. Konsumsi buah dan sayur di dunia, termasuk di Indonesia akan
meningkat sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan penduduk. Oleh karena itu
akan meningkatkan jumlah permintaan terhadap buah segar maupun permintaan
terhadap produk olahan dari komoditas buah-buahan seperti juice buah, pasta,
konsentrat, ekstrak dan flavor. Hal ini menunjukkan bahwa buah-buahan
merupakan komoditas potensial untuk dikembangkan bagi pemenuhan kebutuhan
dalam negeri maupun ekspor.
Indonesia sebagai negara agraris, kaya akan tanaman buah-buahan yang
sering dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi buah-buahan. Salah
satu komoditi buah-buahan di Indonesia yang juga merupakan komoditi asli papua
yang akhir-akhir ini mulai dikembangkan dan mendapat perhatian dari pemerintah
adalah buah matoa (Pometia sp.). Buah matoa berbentuk bulat bulat lonjong
dengan permukaan kulit yang licin, memiliki rasa manis dengan aroma yang khas,
dimana rasa enak dan lezat pada buah matoa merupakan perpaduan antara
rambutan, lengkeng, dan durian. Walaupun memiliki rasa yang enak, pohon


PKMP-6-13-2

matoa hanya berbuah sekali dalam setahun sehingga buah matoa tidak dapat
tersedia sepanjang tahun. (Karyaatmadja dan Suripatty 1997).
Dengan rasa yang khas dan banyak terdapat di Papua, buah matoa berpotensi
untuk dikembangkan sebagai komoditas khas andalan daerah untuk
dikembangkan dalam sistem agribisnis, guna memenuhi kebutuhan masyarakat
akan produk buah segar maupun olahan di masa datang.
Permasalahan yang dihadapi adalah tidak tersedianya buah matoa sepanjang
tahun, karena pohon matoa hanya berbuah sekali dalam setahun dan juga sifat
buah matoa yang mudah rusak. Rusaknya buah matoa, sama seperti buah dan
sayur lainnya, yaitu disebabkan karena masih berlangsungnya aktivitas
metabolisme setelah panen. Aktivitas metabolisme yang terjadi antara lain
respirasi, transpirasi dan produksi etilen yang menyebabkan terjadinya berbagai
perubahan kimia yang berlanjut dengan perubahan fisik buah (Muchtadi 1992b).
Salah satu usaha untuk menyelamatkan buah matoa sebelum mengalami
kerusakan lebih lanjut dan usaha untuk menyediakan buah matoa sepanjang tahun
dapat adalah melalui pembotolan buah matoa. Dalam proses pembotolan buah
matoa dibutuhkan medium pembotolan. Namun, hingga saat ini belum diketahui
konsentrasi gula yang tepat sebagai medium pembotolan buah matoa, sehingga
dalam penelitian ini digunakan konsentrasi gula 30%, 40% dan 50%.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi gula yang tepat
sebagai medium pembotolan buah matoa sehingga dapat memperpanjang masa
simpan dengan memperhatikan sifat-sifat organoleptiknya; membandingkan sifat
fisik, kandungan vitamin C dan total asam dari buah matoa segar dan buah matoa
botol.
Dengan mengetahui potensi buah matoa untuk dikonsumsi segar maupun
dalam bentuk olahan maka diharapkan dapat mendorong kalangan yang bergerak
di bidang pertanian umumnya dan pemerintah daerah Papua khususnya untuk
lebih mengembangkan budidaya matoa sebagai tanaman hortikultura khas Papua.
Selain itu juga diharapkan dapat mendorong terbentuknya industri kecil untuk
menggunakan teknologi tepat guna dalam menghasilkan produk pangan berbasis
buah matoa, sehingga dapat meningkatkan diversifikasi produk pangan nasional
yang pada akhirnya dapat menambah devisa negara.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pertanian, Fakultas
Pertanian dan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Papua, Manokwari, selama
3 bulan yaitu dimulai pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2005.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah matoa, larutan gula
30 %, 40 %, 50 %, serta bahan-bahan kimia untuk analisis total asam dan vitamin
C (NaOH 0,1 N, Indikator Phenol Phtalein, Iod 0,01 N, Amilum 1 %). Peralatan
yang digunakan antara lain gelas jar, pisau stainless steel, loyang, ember, tabung
gas, penangas air (water bath), panci, sendok, labu takar 100 ml, labu takar 250
ml, buret, labu erlenmeyer, pipet, dan timbangan analitik.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen
dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari tiga
perlakuan yaitu konsentrasi gula 30%, 40% dan 50%. Analisis data dilakukan
dengan menggunakan analisis ragam untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap
warna, aroma, rasa dan tekstur dari matoa botol yang dihasilkan.


PKMP-6-13-3

Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap dengan variabel-variabel
pengamatan yaitu sifat fisik buah matoa, sifat organoleptik, kadar vitamin C, total
asam, total padatan dan pH dari buah matoa segar dan matoa botol.

Tahap 1. Proses Pembotolan Buah Matoa
Tahapan proses pembotolan buah matoa adalah sebagai berikut :
Buah matoa

Sortasi

Pencucian

Pengupasan

Pembuatan medium
(Konsentrasi Gula 30 %, 40 %, 50 %)

Pengisian

Exhausting

Penutupan Wadah

Sterilisasi

Pendinginan

Gambar 1. Diagram Proses Pembotolan Buah Matoa (Pometia sp).

Tahap 2. Pengukuran Total Asam (Sudarmadji et al. 1984)
Cara pengukuran total asam yaitu 10 gr hancuran daging buah diencerkan
dengan aquades dalam labu takar 250 ml, kemudian disaring. Filtrat diambil 25 ml
dan dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N dengan penambahan 3 - 4 tetes
indikator Phenol Pthalein sampai larutan berwarna merah muda. Total asam
ditentukan dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut:

Vol. NaOH x N NaOH x FP x G
Total asam (%) = X 100%
Berat Sampel (gr) x 1000
FP = Faktor Pengenceran
G = Grek Asam (Grek Asam Malat = 90)

Tahap 3. Pengukuran Kadar Vitamin C (sudarmadji et al 1984)
Pengukuran dilakukan dengan cara: 10 gr hancuran daging buah diencerkan
dalam labu takar 100 ml, kemudian di sentrifuse dan diambil filtratnya 5 - 25 ml
dan dimasukkan dalam labu erlenmeyer 125 ml. Tambahkan 2 ml larutan Amilum
1 % lalu di titrasi dengan 0,01 N Iod standar. Apabila kandungan vitamin C telah
habis maka Amilum akan bereaksi dengan Iod menghasilkan warna biru maka
titrasi diakhiri.Kadar vitamin C diukur dengan menggunakan rumus :
Vol.Iod 0,01N x Pengenceran x 0,88
Asam askorbat (mg/100g bahan) = x 100
Berat bahan (g) x 1000


PKMP-6-13-4


Tahap 4. Pengujian Organoleptik
Pengujian organoleptik dilakukan dengan menggunakan 20 panelis dengan
parameter yang diamati yaitu warna, rasa, aroma dan tekstur.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisik Buah Matoa
Hasil pengamatan sifat fisik buah matoa segar dan matoa botol terhadap
warna, rasa, aroma dan tekstur buah di sajikan dalam tabel 1 dan tabel 2.

Tabel 1. Hasil analisis sifat fisik buah matoa segar
Parameter Sifat fisik
Warna Kuning keputihan
Aroma Khas matoa
Rasa Manis
Tekstur Agak keras

Tabel 2. Hasil analisis sifat fisik buah matoa botol
Konsentrasi gula
Parameter
30% 40% 50%
Warna Kuning pucat Kuning pucat Kuning pucat
Aroma Matoa + gula Matoa + gula Matoa + gula
Rasa Sangat manis Sangat manis Sangat manis
Tekstur Sangat lunak Sangat lunak Sangat lunak


Gambar 2. Buah Matoa. (a) Segar (b) Segar tanpa kulit (c) Matoa Botol.

Warna
Salah satu faktor penentu mutu bahan pangan adalah warna, karena warna
bahan yang digunakan sangat berhubungan erat dengan produk akhir dari suatu
pengolahan pangan. Selain sebagai faktor penentu mutu ,warna juga dapat
digunakan sebagai indikator kesegaran dan kematangan (Winarno 1997). Dari
hasil pengamatan secara visual terjadi perubahan warna antara buah matoa segar
dan buah matoa botol. Perbedaan warna ini disebabkan karena sifat dari
antoxantin (kelompok flavonoid yang berwarna kuning) yang larut dalam air dan
juga bila diberikan pemanasan maka akan memecahkannya menjadi flavon atau
turunanannya dan monosakarida (Winarno 1997).

Aroma dan Rasa
Aroma dari suatu bahan pangan banyak menentukan kelezatan dari bahan
makanan tersebut. Terjadi perbedaan aroma dan rasa dari matoa segar dan matoa
botol karena pada matoa botol telah ditambahkan larutan gula sebagai medium
a b c


PKMP-6-13-5

pembotolan sehingga larutan gula akan berdifusi ke dalam daging buah matoa
yang akan mempengaruhi aroma dan meningkatkan rasa manis buah matoa botol.

Tekstur
Tekstur dan konsistensi dari suatu bahan akan mempengaruhi citarasa yang
ditimbulkan oleh bahan tersebut. Dari hasil penelitian - penelitian yang telah
dilakukan diperoleh bahwa perubahan tekstur dan viskositas bahan dapat
mengubah rasa dan aroma yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan
timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori dan kelenjar air liur
(Winarno 1997). Berdasarkan hasil pengamatan nampak bahwa terjadi perubahan
tekstur pada buah matoa segar dan matoa segar. Perubahan ini disebabkan karena
adanya pemberian panas sehingga daging buah matoa menjadi lebih masak dan
teksturnya menjadi lunak. Selain itu dengan pemanasan ditambah pemberian gula
dan asam maka protopektin tidak mampu untuk membentuk gel sehingga tidak
dapat mempertahankan tekstur dari buah matoa olahan (Desrosier 1988).

Sifat Kimia Buah Matoa
Hasil analisis sifat kimia buah matoa segar dan matoa botol dapat dilihat
dalam tabel.3 dan tabel.4

Tabel 3. Hasil analisis sifat kimia buah matoa segar
Parameter Sifat kimia
Total asam (%) 0,3590
Vitamin C 0,067
pH 7,5
Total padatan (
0
Brix) 15,8

Tabel 4. Hasil analisis sifat kimia buah matoa botol
Konsentrasi gula
Parameter
30 % 40 % 50 %
Total asam (%) 0,268 0,179 0,180
Vitamin C 0,050 0,042 0,056
pH 5 5,5 6
Total padatan (
0
Brix) 21,2 25,11 25,92

Dari hasil pengamatan terjadi perubahan pada sifat kimianya. Untuk total
asam, vitamin C dan pH mengalami penurunan sedangkan total padatannya
meningkat.
Penurunan kadar vitamin C disebabkan karena adanya pemberian panas
pada proses exhausting dan sterilisasi. Pada konsentrasi gula 50% terjadi
penurunan kadar vitamin C namun kehilangannya lebih sedikit dibanding
perlakuan lainnya, hal ini disebabkan karena dengan konsentrasi gula (sukrosa)
yang tinggi dapat mengurangi difusi oksigen dari udara sehingga dapat
menghambat terjadinya proses oksidasi yang dapat merusak kadar vitamin C,
sedangkan penurunan pH disebabkan karena adanya penambahan asam sitrat pada
medium pembotolannya. Hal ini juga berpengaruh pada total asamnya. Semakin
menurunnya total asam disebabkan karena semakin meningkatnya konsentrasi
gula dan juga disebabkan karena adanya penambahan asam sitrat (Hermanianto
dan Jannah 1999, Muchtadi 1989a). Peningkatan total padatan disebabkan karena


PKMP-6-13-6

adanya penambahan gula. Semakin tinggi konsentrasi gula yang digunakan maka
semakin besar pula nilai total padatannya.

Pengujian Organoleptik
Dari pengujian organoleptik terhadap 20 panelis diperoleh bahwa dengan
perlakuan konsentrasi gula 30%, 40% dan 50% ternyata memberikan pengaruh
yang tidak berbeda nyata terhadap aroma, rasa, warna, tekstur (Tabel 6, 7, 8, 9),
sedangkan dari nilai rata-rata dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Nilai rata-rata hasil uji organoleptik matoa botol
Konsentrasi
Parameter
30% 40% 50%
Warna 3,6 3,15 3,3
Aroma 3,3 3,25 3,2
Tekstur 3,05 3,4 3,2
Rasa 3,75 3,9 4

Tabel 6. Tabel Anova Aroma
F
tab.

SK Db JK KT F
hit.
0,01 0,05
Perlakuan 2 0,1 0,05 0,11 5,18 3,23
Panelis 19 35,92 1,89 4,2 2,37 1,84
Galat 38 17,23 0,45 - - -
Total 59 53,25 - - - -

Tabel 7. Tabel Anova Rasa
F
tab.

SK Db JK KT F
hit.
0,01 0,05
Perlakuan 2 0,633 0,317 0,859 5,18 3,23
Panelis 19 31,516 1,650 4,956 2,37 1,84
Galat 38 14,034 0,369 - - -
Total
59 46,183 - - - -

Tabel 8. Tabel Anova Warna
F
tab.

SK Db JK KT F
hit.
0,01 0,05
Perlakuan 2 2,1 1,05 1,78 5,18 3,23
Panelis 19 38,98 2,05 3,48 2,37 1,84
Galat
38 22,57 0,59 - - -
Total 59 63,65 - - - -

Tabel 9. Tabel Anova Tekstur
F
tab.

SK Db JK KT F
hit.
0,01 0,05
Perlakuan 2 1,23 0,62 0,95 5,18 3,23
Panelis 19 56,18 2,96 4,54 2,37 1,84
Galat 38 24,77 0,65 - - -
Total
59 82,18 - - -


PKMP-6-13-7


Dari hasil tersebut diatas terlihat bahwa warna pada konsentrasi gula 30%
lebih disukai daripada konsentrasi gula 40% dan 50%, sedangkan aroma dan
tekstur pada semua konsentrasi adalah netral. Tetapi dari nilai rata-rata rasa
menunjukkan bahwa rasa matoa botol dengan konsentrasi 50% yang lebih disukai
oleh panelis.

KESIMPULAN
Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa :
1 Konsentrasi gula tidak memberikan pengaruh yang nyata tetapi dari nilai
rata-rata, rasa pada konsentrasi gula 50% lebih disukai panelis.
2 Pembotolan buah matoa maka akan merubah warna, aroma, rasa dan tekstur
dari buah matoa.
3 Pembotolan buah matoa akan menyebabkan penurunan total asam dan
vitamin C.
Saran
Perlu dilakukan pengkajian mengenai bahan-bahan tambahan yang dapat
meningkatkan nilai gizi dan nilai organoleptik seperti rasa, aroma dan tekstur dari
buah matoa botol.

PKMP-6-14-1
PEMANFAATAN BAN BEKAS UNTUK MENGURANGI TEKANAN DAN
POTENSI PENGEMBANGAN TANAH EKSPANSIF

Yayan Rahmadi Utomo, Mohamad Hadi Saputra, Ernawati
Politeknik Negeri Malang, Malang

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-6-15-1
FERMENTASI MOLASE UNTUK PRODUKSI MIKOPROTEIN
SEBAGAI BAHAN PAKAN UNGGAS

Yuniati, Marissa Noviana, Stella Magdalena & Duhita Sinidhikaraning Kencana
Jurusan Biologi, Fakultas Teknobiologi, Unika Atma Jaya, Jakarta

ABSTRAK
Komponen yang paling penting di dalam budi daya ternak unggas ialah pakan
ternak. Pakan ternak tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan nutrisi unggas,
terutama kebutuhan akan protein. Mikoprotein dapt digunakan sebagai bahan
pakan ternak yang kaya protein. Program ini bertujuan untuk menghasilkan
mikoprotein melalui proses fermentasi dengan substrat molase, mengukur berat
kering, menguji kadar protein, serta daya cerna in vitro dari mikoprotein. Proses
fermentasi menggunakan 2 jenis kapang, Rhizopus oligosporus dan Aspergillus
niger dengan perlakuan berbeda pada beberapa konsentrasi (2, 4, dan 6%) dan
waktu inkubasi (3, 4, dan 5 hari). Hasil yang diperoleh sejauh ini terjadi
peningkatan berat kering yang relatif nyata lebih besar dari waktu inkubasi 3
hingga 4 hari pada konsentrasi molase 4% dibandingkan konsentrasi 2 dan 6%.
Pada protein total sampel (hasil kali berat kering dengan kadar protein)
diperoleh hasil tertinggi pada konsentrasi molase 4%. Kadar protein mikoprotein
pada molase 4% ialah 32%, yang mendekati kadar protein kedelai. Akan tetapi,
hasil kadar protein tersebut lebih rendah dibandingkan kadar protein sel kapang
pada umumnya. Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil yang lebih optimum
diperlukan penambahan rasio sumber N terhadap karbohidrat serta
perpanjangan waktu inkubasi.

Kata kunci : fermentasi, molase, mikoprotein, Rhizopus oligosporus, Aspergillus
niger

PENDAHULUAN
Unggas merupakan bagian dari industri peternakan yang memegang
peranan penting dalam perekonomian. Produksi unggas sangat ditentukan oleh
kualitas gizi pakan yang diberikan. Komposisi zat gizi yang dibutuhkan unggas,
berturut-turut dari yang terbesar, yaitu energi (karbohidrat dan lemak), protein,
mineral, dan vitamin. Kadar protein yang dibutuhkan oleh unggas minimal 14%
dari keseluruhan kandungan gizi dalam pakan (Deptan 1996). Oleh karena itu,
pakan yang diberikan harus mencukupi kebutuhan nutrisi unggas, terutama
kebutuhan protein. Kekurangan protein dapat menyebabkan penurunan kualitas
ternak (Buttery & DMello 1994).
Salah satu masalah yang sering dihadapi dalam peternakan unggas ialah
tingginya biaya pakan. Biaya pakan dalam usaha budi daya ternak unggas
merupakan komponen terbesar, yaitu sekitar 70%. Mahalnya biaya pakan ini
disebabkan sebagian besar bahan bakunya masih diimpor. Di sisi lain, bahan
pakan dengan bahan baku lokal dari hasil samping pertanian pada umumnya
mengandung protein yang rendah dan serat yang tinggi sehingga sukar dicerna
oleh hewan berlambung tunggal (monogastrik) seperti unggas (Poultry Indonesia
2004). Ketersediaannya juga seringkali tidak menentu dan mutunya sangat tidak
kompetitif (Prawirokusumo 2001).

PKMP-6-15-2
Salah satu sumber protein yang dapat dijadikan alternatif bahan tambahan
pakan unggas kaya protein ialah mikoprotein. Mikoprotein merupakan protein
yang dihasilkan oleh kapang dengan mengubah substrat karbohidrat melalui
proses fermentasi (Oxford English Dictionary 2003). Mikoprotein memiliki
kandungan protein yang tinggi dan mengandung unsur sekelumit yang bermanfaat
serta vitamin B (Chavedans 2004). Penambahan mikoprotein ke dalam pakan
unggas ialah sekitar 10% dari berat total pakan yang diberikan (Vesonder & Wu
1998). Isolat kapang yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah Rhizopus
oligosporus dan Aspergillus niger. Kedua jenis kapang ini telah dikenal sebagai
kapang yang aman dikonsumsi dan telah banyak digunakan dalam proses
pengolahan makanan, contohnya R. oligosporus dalam industri tempe (Aoki et al.
2003) dan A. niger dalam industri single cell protein (SCP) (Anupama &
Ravindra 2001). Dalam pertumbuhannya, kedua jenis kapang ini akan
memanfaatkan glukosa dalam substrat sebagai sumber energi bagi pertumbuhan
biomassa kapang.
Selain digunakan untuk bahan tambahan pakan unggas, mikoprotein dapat
juga digunakan sebagai pangan fungsional. Pangan fungsional merupakan bahan
pangan yang secara alami maupun dengan penambahan komponen, seperti nutrisi,
mineral, dan vitamin, yang dapat memberikan efek positif pada metabolisme
tubuh (Arai 1996). Produk mikoprotein yang telah dikenal dan dipasarkan ialah
Quorn
TM
yang dihasilkan melalui fermentasi kapang Fusarium venetatum (Carlile
et al. 2001). Mikoprotein merupakan bahan pangan yang rendah lemak, sumber
yang kaya protein dan serat, bebas kolesterol, bebas daging, dan bebas kedelai
(Basuki 2003). Berdasarkan studi metabolisme, mikoprotein diketahui dapat
mengurangi kadar kolesterol low density lipid (LDL) dan meningkatkan kadar
kolesterol high density lipid (HDL) (Turnbull et al. 1992).
Salah satu substrat yang mengandung glukosa yaitu molase. Molase atau
yang dikenal sebagai tetes tebu merupakan hasil samping industri gula yang masih
mengandung kadar gula yang cukup tinggi, yaitu hampir mencapai 50% (Saleh
1995). Oleh karena itu, molase dapat digunakan sebagai substrat dalam
fermentasi.
Tujuan dari program ini yaitu menghasilkan mikoprotein melalui proses
fermentasi dengan substrat molase, mengukur berat kering dari mikoprotein,
menguji kadar protein, serta daya cerna in vitro dari mikoprotein. Manfaat dari
program ini ialah menghasilkan mikoprotein sebagai bahan tambahan pakan
unggas, yang mengandung protein tinggi dan harga yang lebih murah
dibandingkan pakan unggas komersial, serta dapat dicerna dan diserap oleh
unggas. Selain itu, melalui proses fermentasi, substrat molase yang merupakan
limbah pabrik gula dapat ditingkatkan nilai ekonominya menjadi bahan kaya
protein. Dengan menggunakan kapang yang umum digunakan dalam pangan dan
mudah didapat, biaya produksi mikoprotein dapat ditekan. Dengan demikian,
merupakan alternatif bahan pakan unggas dengan kualitas (kandungan protein)
tinggi dan harga lebih murah.

METODE PENDEKATAN
Waktu : Februari September 2006
Lama : 8 bulan
Tempat : Unika Atma Jaya, Jakarta

PKMP-6-15-3
Bahan dan Alat
Molase yang digunakan berasal dari limbah pabrik gula, sedangkan
inokulum yang digunakan, yaitu R. oligosporus dan A. niger diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi Unika Atma Jaya. Bahan-bahan lain yang digunakan
antara lain agar miring PDA, media Mandels, pereaksi Biuret, dan protein standar
(BSA). Fermentase molase untuk produksi mikoprotein menggunakan Labu
Erlenmeyer 500 ml pada water bath shaker dan dikeringkan menggunakan oven
vakum.

Metode
Tahap penelitian meliputi persiapan inokulum, produksi sel dengan kultur
terendam, pengeringan, penentuan berat kering, kadar gula, dan pH, pengukuran
kadar protein awal dengan metode Biuret, penentuan kadar protein kasar dengan
metode Kjeldahl, dan uji In Vitro Dry Matter Digestibility (IVDMD). Penentuan
kadar protein kasar dan uji IVDMD dilakukan di Balai Penelitian Ternak Ciawi-
Bogor. Hingga saat penyusunan laporan, percobaan sudah mencapai tahap
penentuan berat kering dan pengukuran kadar protein awal dengan metode Biuret.
Persiapan inokulum dan produksi sel dengan kultur terendam. Isolat
kapang ditumbuhkan pada agar miring PDA dan diinkubasi pada suhu 30 C
selama 24-48 jam. Inokulum dicampur dengan 6 ml NaCl 0.85%. Media kultur
dibuat dengan melarutkan molase pada Mandels hingga mencapai konsentrasi 2,
4, dan 6% pada Labu Erlenmeyer 500 ml. Media Mandels (KH
2
PO
4
0.20%,
(NH4)
2
SO
4
0.14%, MgSO
4
.7H
2
O 0.03%, Urea 0.03%, CaCl
2
0.03%, FeSO
4.
7H
2
O
5 ppm, MnSO
4
.H
2
SO
4
16 ppm, ZnSO
4
.7H
2
O 14 ppm, CoCl
2
20 ppm, pepton
0.075%, dan ekstrak khamir 0.3%) disterilkan pada suhu 121C dan tekanan 1 atm
selama 15 menit. Setiap Labu Erlenmeyer ditambahkan 4 ml inokulum kapang.
Labu diinkubasi pada suhu 30 C dan agitasi 120 rpm dengan variasi waktu
inkubasi selama 3, 4, dan 5 hari. Untuk tiap waktu inkubasi dan konsentrasi
molase dilakukan percobaan sebanyak tiga kali pengulangan.
Pengeringan. Massa sel kapang dipanen dan disaring menggunakan kain
kasa. Hasil ini disebut berat basah. Massa sel kapang ditimbang sebanyak X g dan
dikeringkan pada suhu 105 C untuk penentuan berat kering. Hasil pengeringan
ini disebut berat kering. Sisa massa sel dikeringkan pada suhu 60 C untuk
pengukuran kadar protein. Sel kapang dengan pengeringan suhu 60 C digerus
hingga berbentuk tepung.
Pengukuran berat kering total. Untuk memperoleh hasil berat kering
total, terlebih dahulu harus ditentukan kadar air dan kadar kering dengan rumusan
sebagai berikut :

berat basah berat kering
Kadar air = ---------------------------------- x 100%
berat basah

Kadar kering = 100% - kadar air

Berat kering total = kadar kering x berat basah total


PKMP-6-15-4
Pengukuran kadar protein awal dengan metode Biuret. 20 mg sampel kering
dilarutkan dalam 5 ml akuades (konsentrasi akhir = 4 mg/ml), kemudian
ditambahkan 0.6 ml NaOH 30%, dipanaskan selama 5 menit, dan ditambahkan
0.15 ml CuSO
4
.5H
2
O 25%. Selanjutnya, divorteks dan disentrifugasi pada 3000
rpm selama 15 menit. Supernatan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang
545 nm.
Pengukuran kadar gula tereduksi. 0.5 ml sampel molase (2, 4, dan 6%)
ditambahkan 0.5 ml akuades dan 1.5 ml pelarut DNS, divorteks kemudian
dipanaskan selama 10 menit pada air mendidih. Selanjutnya sampel dibaca
absorbansinya pada panjang gelombang 545 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Fermentasi yang telah dilakukan ialah dengan menggunakan kapang R.
oligosporus dengan konsentrasi molase 2, 4, dan 6%, serta masa inkubasi 3 dan 4
hari. Dari hasil fermentasi didapat massa kapang yang secara fisik menyerupai
daging dan aromanya tidak terlalu menusuk seperti aroma molase, bahkan
aromanya cukup sedap (Gambar 1). Hasil fermentasi yang telah dikeringkan
(Gambar 2 dan Gambar 3) juga beraroma sedap dan memiliki sifat tidak larut
dalam air.













Gambar 1 Kapang R. oligosporus hasil fermentasi.














Gambar 2 Kapang R. oligosporus yang telah dikeringkan.

PKMP-6-15-5


Gambar 3 Kapang R. oligosporus kering yang telah digerus.

Parameter pertama yang diukur dari hasil fermentasi ialah berat kering
sampel. Berat kering sampel berbanding lurus dengan massa kapang. Dari
Gambar 4 tampak bahwa pada konsentrasi molase 2 dan 6%, berat kering justru
menurun seiring dengan kenaikan waktu inkubasi. Hasil yang berbeda
ditunjukkan pada konsentrasi molase 4% pada waktu inkubasi 4 hari memiliki
berat kering yang lebih tinggi dibandingkan waktu inkubasi 3 hari. Secara teoritis
semakin lama waktu inkubasi, massa kapang yang tumbuh semakin banyak karena
pertumbuhan kapang bersifat logaritmik. Pada konsentrasi 2%, kemungkinan sel
kapang tumbuh lebih cepat karena sel kapang lebih mudah untuk memfermentasi
molase yang diberikan hingga suatu saat substrat habis maka sel tidak dapat
tumbuh lagi bahkan sel akan mengalami kerusakan.
Jika dilihat dari waktu inkubasi, inkubasi 3 hari diperoleh berat kering
yang lebih rendah seiring kenaikan konsentrasi molase. Pada inkubasi 4 hari,
penurunan berat kering terjadi pada konsentrasi molase 6%. Secara teoritis,
semakin tinggi konsentrasi molase (sampai konsentrasi tertentu), semakin banyak
sumber gula untuk pertumbuhan sel kapang sehingga berat keringnya juga
semakin tinggi. Hal ini mungkin disebabkan pada konsentrasi molase yang tinggi
membuat media pertumbuhan terlalu kental sehingga justru menghambat aerasi.
Hasil yang paling tinggi dilihat dari parameter berat kering ialah
fermentasi molase 4% dengan waktu inkubasi 4 hari. Dengan demikian, waktu
inkubasi dapat diperpanjang, misalnya 5 hari, untuk mendapatkan hasil terbaik.












Gambar 4 Berat kering sampel pada berbagai konsentrasi molase dan waktu
inkubasi.

0
0.2
0.4
0.6
3 4
Waktu inkubasi (hari)
B
e
r
a
t

k
e
r
i
n
g

(
g
)
2%
4%
6%

PKMP-6-15-6
Parameter kedua yang diukur dari hasil fermentasi ialah persentase kadar
protein kasar dalam sampel. Dari Gambar 5 tampak pada masing-masing
konsentrasi molase, kadar protein meningkat seiring dengan peningkatan waktu
inkubasi. Peningkatan yang cukup signifikan dapat dilihat pada konsentrasi
molase 2%. Apabila dibandingkan antar waktu inkubasi, kenaikan waktu inkubasi
diiringi dengan kenaikan kadar protein, di mana hasil yang paling signifikan
terdapat pada konsentrasi molase 2%. Hasil ini dapat dihubungkan dengan rasio
C:N, makin tinggi konsentrasi molase (semakin tinggi C), rasio C:N makin tinggi
karena tidak ada penambahan sumber N dari luar. Keseimbangan rasio C:N
dibutuhkan untuk mendapatkan kadar protein yang tinggi. Oleh karena itu, pada
percobaan berikutnya akan dilakukan penambahan sumber N dari luar untuk
menyamakan rasio C:N pada konsentrasi 4 dan 6% dengan konsentrasi 2% untuk
mendapatkan kadar protein maksimal.


0
10
20
30
40
3 4
Waktu inkubasi (hari)
K
a
d
a
r

p
r
o
t
e
i
n

(
%
)
2%
4%
6%

Gambar 5 Persentase kadar protein sampel pada berbagai konsentrasi molase
dan waktu inkubasi.

Satu hal yang dapat disimpulkan dari hasil persentase kadar protein awal
ialah kadar protein yang didapat lebih kecil (kurang dari 40%) dibandingkan kadar
protein sel kapang. Kadar protein kapang sendiri berkisar 40-60% (Halasz &
Lasztity 1991).
Dari Gambar 6 tampak bahwa pada masing-masing konsentrasi molase,
kadar protein total meningkat cukup signifikan seiring dengan peningkatan waktu
inkubasi. Jika dilihat dari waktu inkubasi, pada inkubasi 3 hari kadar protein total
yang cukup menonjol ialah pada konsentrasi molase 4 dan 6%. Hasil yang sama
didapat pada waktu inkubasi 4 hari. Jika dibandingkan antarwaktu inkubasi, hasil
yang paling menjanjikan ialah pada konsentrasi molase 4% di mana peningkatan
kadar protein totalnya cukup tinggi dan pada waktu inkubasi 4 hari kadar protein
totalnya mencapai nilai tertinggi dibandingkan yang lain.
Secara keseluruhan, dilihat dari parameter berat kering dan kadar protein,
hasil terbaik didapat pada konsentrasi molase 4%. Pada percobaan selanjutnya,
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik akan dilakukan penambahan rasio
sumber N terhadap C dan perpanjangan waktu inkubasi.

PKMP-6-15-7
0
0.1
0.2
3 4
Waktu inkubasi (hari)
K
a
d
a
r

p
r
o
t
e
i
n

t
o
t
a
l

(
m
g
/
m
l
)
2%
4%
6%

Gambar 6 Kadar protein total sampel pada berbagai konsentrasi molase
dan waktu inkubasi.

Pada parameter pengukuran kadar gula tereduksi dari proses fermentasi
untuk waktu inkubasi 3 dan 4 hari, diperoleh hasil yang dapat diamati pada
Gambar 7. Pada waktu inkubasi 0 hari, merupakan waktu tidak terjadinya proses
fermentasi pada tiap kisaran konsentrasi molase. Secara berurut, kadar glukosa
yang dimiliki oleh molase 2, 4, dan 6% ialah 660, 1510, dan 2180 g/ml. Setelah
mengalami fermentasi selama 3 dan 4 hari diketahui bahwa sel kapang
menggunakan substrat gula dari molase yang ditandai terjadinya penurunan kadar
gula yang relatif nyata untuk setiap konsentrasi molase. Pada konsentrasi molase
2%, penggunaan gula selama 3 hari fermentasi mencapai 89.1%, sedangkan untuk
4 hari mencapai 89.5%. Pada konsentrasi molase 4%, penggunaan gula pada
fermentasi 3 hari mencapai 93.4%, sedangkan untuk 4 hari mencapai 93.5%. Pada
konsentrasi molase 6%, penggunaan gula selama 3 hari fermentasi mencapai
95.1%, sedangkan pada fermentasi 4 hari mencapai 95.2%. Berdasarkan hasil
pengukuran, secara keseluruhan kapang menggunakan sumber gula lebih besar
dari 90% untuk memproduksi mikoprotein. Selain itu, semakin lama waktu
fermentasi yang diberikan maka substrat gula yang digunakan oleh kapang
semakin besar.

0
500
1000
1500
2000
2500
2 4 6
molase (%)
g
l
u
k
o
s
a

(

g
/
m
l
)
0 hari
3 hari
4 hari

Gambar 7 Kadar gula tereduksi pada berbagai konsentrasi molase
dan waktu inkubasi.

PKMP-6-15-8

Fermentasi yang telah dilakukan baru menggunakan satu jenis kapang,
yaitu R. oligosporus. Sebagai perbandingan akan digunakan satu jenis kapang
lain, yaitu A. niger. Percobaan tidak jadi menggunakan Neurospora sitophila
seperti proposal awal dengan pertimbangan spora N. sitophila sangat mudah
menyebar dan dapat mengkontaminasi seluruh ruangan laboratorium. A. niger
dipilih karena aman dikonsumsi dan telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai
proses pengolahan pangan.
Setelah dilakukan evaluasi berat kering dan kadar protein kasar, tahap
selanjutnya ialah melakukan pengukuran kadar protein dengan metode Proximat
yang lebih akurat dan uji daya cerna. Kedua uji ini akan dilakukan terhadap
sampel-sampel yang memiliki berat kering dan kadar protein kasar yang baik.
Tujuan dilakukannya uji Proximat untuk memperoleh data kadar protein kasar
yang lebih akurat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar Ca dan P serta kadar
serta. Uji daya cerna (IVDMD) dilakukan untuk melihat seberapa baik sampel
dapat diserap oleh organ pencernaan unggas.


KESIMPULAN
Dari percobaan-percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa molase merupakan sumber karbohidrat yang baik dan efisien untuk
pertumbuhan kapang sehingga didapat massa protein yang tinggi. Kadar protein
hasil fermentasi lebih rendah dibandingkan kadar protein sel kapang. Berdasarkan
parameter berat kering dan kadar protein, hasil terbaik diperoleh pada konsentrasi
molase 4%, untuk mendapatkan hasil yang optimal dapat dilakukan penambahan
rasio N terhadap C dan perpanjangan waktu inkubasi. Penggunaan sumber gula
pada substrat mencapai 80% lebih dan semakin bertambah seiring dengan
pertambahan waktu inkubasi dalam proses fermentasi.



DAFTAR PUSTAKA
Anupama, Ravindra P. 2001. Studies on production of single cell protein by
Aspergillus niger in solid state fermentation of rice bran. Braz Arch Biol
Technol 44 (1).
Aoki H et al. 2003. The production of a new tempeh-like fermented soybean
containing a high level of gamma-amynobutyric acid by anaerobic
incubation with Rhizopus. Biosci Biotechnol Biochem 67: 1018-1023.
Arai S. 1996. Studies on functional foods in Japan-State of the art. Biosc Biotech
Biochem 60: 9-15.
Basuki T. 2003. Developments of functional foods from Fungi and mushrooms.
http://72.14.203.104/search?q=cache:7IDlCflDfk4J:www.biotek.lipi.go.id/fi
les/foodtri.pdf+basuki+2003+lipi+fungi&hl=en&gl=id&ct=clnk&cd=2 [5
Juni 2006].
Buttery PJ, DMello JPF. 1994. Amino Acid Metabolism in Farm Animals: An
Overview. USA : CAB International.
Carlile MJ, Watkinson SC, Gooday GW. 2001. The Fungi. Ed ke-2. USA:
Academic Press.

PKMP-6-15-9
Chavedans. 2004. Nutritional analysis. [terhubung berkala].
http://www.chavedans.co.uk [1 Okt 2005].
[Deptan] Departemen Pertanian. 1996. Pakan ayam buras. [terhubung berkala].
http://www.pustaka-deptan.go.id/agritech/dkij0110.pdf [5 Okt 2005].
Halasz A, Lasztity R. 1991. Use of Yeast Biomass in Food Production. Chapter I.
Hungary: CRC Press.
Oxford English Dictionary. 2003. Mycoprotein. [terhubung berkala].
http://www.yourencyclopedia.net/mycoprotein.html [7 Okt 2005].
Poultry Indonesia. 2004. Onngok untuk bahan pakan. [terhubung berkala].
http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News&life=article&
sid=839 [5 Okt 2005].
Prawirokusumo S. 2001. Masalah dan prospek bisnis peternakan di Indonesia.
[terhubung berkala]. http://www.geocities.com [3 Okt 2005].
Saleh A. 1995. Pembuatan asam sitrat dengan proses fermentasi bawah
permukaan menggunakan substrat molase (tetes tebu). J Rekayasa
Sriwijaya 1:18-22.
Turnbull WH, Leeds AR, Edwards DG. 1992. Mycoprotein reduces blood lipids
in free-living subjects. Am J Clin Nutr 55: 415-419.
Vesonder RF, Wu WD. 1998. Correlation of moniliformin but not fuminosin B1
levels, in culture materials of Fusarium isolates to acute death in ducklings.
Poultry Sci 77: 62-72.



PKMP-6-16-1
PILARISASI BENTONIT MENGGUNAKAN TiO
2
DAN
PEMANFAATANNYA PADA FOTODEGRADASI
LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL

Purwo Guntoro, Laili Dewi S., Erlyna Riawan
Jurusan Ilmu Kimia, Universitas Islam Indonesia, Yoyakarta


ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang sintesis, karakterisasi dan uji aktivitas
TiO
2
montmorillonit dan pemanfaatannya sebagai fotodegradasi limbah cair
industri tekstil. Penelitian ini bertujuan mengamati perubahan karakter fisiko-
kimia montmorillonit setelah pilarisasi dan uji aktivitas fotokatalitik bahan
tersebut untuk degradasi limbah cair industri tekstil. Sintesis dilakukan dengan
mendispersikan agen permilar kompleks-Ti pada suspensi montmorillonit alam
yang sebelumnya sudah disintesis menggunakan TEOS (Tetra etil orto silika),
kemudian melalui proses oksidasi pada temperatur 300 C selama 3 jam
dilanjutkan dengan kalsinasi menggunakan gas N
2
pada suhu 200 C akan
terbentuk montmorillonit terpilar TiO
2
. Karakterisasi fisik terhadap
montmorillonit terpilar dilakukan dengan metode analisis luas permukaan
spesifik, analisis pengaktifan neutron (APN) dan analisis XRD., sedangkan uji
aktivitas dilakukan dengan sistem suspensi fotokatalis pada limbah cair industri
tekstil pada penyinaran UV 366 nm dan sinar matahari selama 180 menit.
Aktivitas fotokatalis didasarkan pada penurunan angka COD dalam air hasil
olahan. Hasil analisis XRD pada montmorillonit terpilar menunjukkan
peningkatan basal spacing (d
001
) sebesar 12,28 . Hal ini menunjukkan bahwa
telah terjadi pilarisasi pada montmorillonit. Analisis BET menunjukkan luas
permukaan spesifik dari montmorillonit terpilar meningkat sebesar 89,18 m
2
/g
dari keadaan tidak terpilar. Volume total pori setelah terpilar juga menunjukkan
peningkatan sebesar 101,66 cm
3
/g. Penentuan kandungan Ti dengan metode APN
menunjukkan kandungan Ti didalam montmorillonit terpilar sebesar 7,432 %
(b/b) yang menunjukkan pemilaran dengan TiO
2
telah berhasil. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aktivitas fotokatalitik TiO
2
-montmorillonit pada degradasi
limbah cair industri tekstil mencapai 85,89 % dengan bantuan sinar matahari
selama 180 menit dan mencapai 94.26 % dengan bantuan sinar UV 366 nm
selama 180 menit.

Kata kunci: montmorillonit, pilarisasi, fotokatalis

PENDAHULUAN
Sejalan dengan berkembangnya industri terutama industri kimia, perlu pula
dipikirkan dampak yang ditimbulkan. Dampak yang dimaksud adalah hasil
samping yang berupa limbah, yang perlu ditangani sedemikian rupa sehingga
tidak menganggu kelestarian lingkungan. Salah satu industri yang berpotensi
sebagai pencemar lingkungan adalah industri tekstil. Jika industri tersebut
membuang limbah cair, maka aliran limbah tersebut akan melalui perairan
disekitar pemukiman. Dengan demikian mutu lingkungan tempat tinggal


PKMP-6-16-2
penduduk menjadi turun. Limbah tersebut dapat menaikkan kadar COD
(Chemical Oxygen Demand). Jika hal ini melampaui ambang batas yang
diperbolehkan, maka gejala yang paling mudah diketahui adalah matinya
organisme perairan. Oleh karena itu sebelum air limbah dibuang kelingkungan
harus diolah sedemikian rupa sehingga layak dibuang.
Upaya penanganan masalah pencemaran zat warna ini sudah banyak dicoba
misalnya menggunakan absorben karbon aktif atau zeolit untuk mengabsorb
limbah tersebut, namun belum memberikan hasil yang optimal. Untuk mengatasi
permasalahan ini, reaksi fotodegradasi zat warna tekstil ataupun polutan organik
lain tergantung aktivitas suatu fotokatalis. Salah satu fotokatalis yang digunakan
adalah TiO
2
-bentonit yang memiliki struktur semikonduktor. Efektivitas dari suatu
semikonduktor dapat meningkat jika mempunyai ukuran partikel relative kecil
atau dalam skala nanometer (Ekimav dkk 1985).
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan sumber
daya mineral yang cukup besar. Salah satu sumber daya alam mineral yang
melimpah dan belum optimal dalam pemanfaatannya adalah lempung (clay). Data
dari Direktorat Sumber Daya Mineral, cadangan dan endapan lempung bentonit
yang telah diketahui di Indonesia sebesar 380.156.000 ton yang tersebar
dibeberapa daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan dan Jambi. Dalam kehidupan sehari-hari, tanah lempung banyak
digunakan oleh masyarakat sebagai bahan keramik, genteng, batu-bata, dan
tembikar. Sedangkan dalam dunia industri tanah lempung dimanfaatkan sebagai
bahan pelapis kertas, sebagai penukar kation, katalis dan sebagai adsorben.
Karena bidang aplikasinya yang sangat luas maka lempung sering disebut sebagai
material multiguna (Wijaya 2000).
Melihat potensi bentonit alam yang cukup besar di Indonesia, serta
potensinya untuk dapat dimanfaatkan sebagai fotokatalis, pada penelitian ini
dilakukan sintesis bentonit alam terpilar oksida Ti serta pemanfaatannya sebagai
fotokatalis pada degradasi limbah cair zat warna. Bentonit alam yang digunakan
adalah bentonit alam asal boyolali. Katalis hasil sintesis yang diharapkan
merupakan katalis dengan luas permukaan yang tinggi, energi band gap yang
optimum untuk reaksi fotodegradasi, memiliki kristalinitas serta luas permukaan
yang tinggi, serta yang terpenting memiliki unjuk katalis yang besar.
Penelitian sebelumnya sangatlah tidak efisien dan efektif untuk
mendegradasikan limbah cair industri tekstil karena parameter kualitas air hasil
pengolahan masih kurang aman bagi lingkungan. Parameter yang dimaksud
adalah pH, COD, dan warna yang sangat perlu diperhatikan untuk kualitas limbah
cair industri tekstil.
Dalam penelitian ini dicari bahan atau metode baru yaitu metode
fotodegradasi menggunakan katalis TiO
2
. Dalam pengolahan limbah ini,
fotokatalis yang dibuat diharapkan dapat mendegradasi limbah cair zat warna
serta senyawa-senyawa organik yang terkandung, sehingga memberikan hasil
olahan yang sesuai dengan baku mutu lingkungan yang diijinkan. Kelebihan
metode yang diusulkan ini adalah ramah lingkungan, ekonomis dan tidak
memerlukan proses regenerasi lanjut dari bahan padatan katalis. Hasil degradasi
sempurna dari limbah industri tekstil yang mungkin adalah gas CO
2
, H
2
O, NH
3
,
hasil oksidasi senyawa organik yang langsung dilepaskan di udara dan aman bagi
lingkungan.


PKMP-6-16-3
Selanjutnya dalam penelitian ini juga akan membandingkan aktivitas TiO
2

bentonit pada sistem fotodegradasi yang berbeda yaitu sistem TiO
2
/ sinar
matahari dan TiO
2
-bentonit / sinar UV-Vis. Pengamatan pada dua sistem ini
adalah untuk mencari metode yang tepat dan ekonomis pada penerapannya di
industri tekstil.

Perumusan Masalah
1. Apakah lempung bentonit terpilar TiO
2
dapat digunakan untuk mendegradasi
limbah cair industri tekstil?
2. Bagaimana cara mengamati dan membandingkan aktivitas TiO
2
-bentonit /
sinar matahari dan TiO
2
-bentonit / sinar UV-Vis pada degradasi limbah cair
industri tekstil?

Tujuan Kegiatan
1. Mensintesis lempung bentonit terpilar TiO
2
yang dapat digunakan sebagai
fotokatalis pada degradasi limbah cair industri tekstil.
2. Mengamati penggunaan sistem TiO
2
-bentonit/sinar UV-Vis dan TiO
2
-
bentonit / sinar matahari terhadap aktivitas fotodegradasi dalam rangka
mencari metode yang efektif, efisien dan ekonomis pada penerapannya di
industri tesktil.

Manfaat
Penelitian ini diharapakan dapat menjadi salah satu upaya pencarian
alternatif penanggulangan limbah cair industri tekstil. Penelitian dipilih
berdasarkan data dari hasil pengolahan limbah cair industri tekstil yang selama ini
menggunakan absorben karbon aktif atau zeolit untuk mengabsorb limbah dan
hasilnya belum optimal. Selain itu, penelitian ini akan memberikan sumbangan
pemikiran mengenai pemanfaatan bentonit di Indonesia sebagai salah satu
alternatif pengembangan potensi sumber daya alam.

METODE PENELITIAN
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode penelitian laboratorium.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan
a. Waktu : April s/d September 2005
b. Tempat Pelaksanaan kegiatan : Laboratorium Kimia UII
Sintesis lempung terpilar TiO
2
diawali dengan pembuatan agen pemilar
berupa larutan senyawa kompleks Ti-polihidroksida [(TiO
8
)(OH)
12
]
4
+
yang dibuat
dengan cara mengkondisikan larutan Ti
4+
dalam suasana HCl 6 M dan
pengadukan selama 24 jam. Sebelum Ti-polihidroksida didispersikan pada
monmorillonit, dibuat larutan suspensi montmorillonit dengan larutan tetra etil
ortho silikat (TEOS) melalui pengadukan selama 24 jam disertai netralisasi.
Selanjutnya dilakukan dispersi Ti-polihidroksida pada montmorillonit hasil
perlakuan. Masuknya TEOS pada montmorillonit berfungsi sebagai agen
pengarah (templating agent) masuknya Ti sehingga diharapkan dispersi lebih
merata dan struktur lempung terpilar menjadi lebih rapi. Pembentukan pilar oksida
Ti pada antar lapis silika dilakukan kalsinasi terhadap hasil sintesis. Karakter


PKMP-6-16-4
TiO
2
-montmorillonit yang dihasilkan dikenali dengan analisis kristalinitas
menggunakan X ray Diffraction (XRD), analisis kandungan Ti secara analisis
pengaktifan neutron (APN) serta pengukuran luas permukaan spesifik padatan
dengan metode serapan gas nitrogen (surface area analyzer).

Penggunaan TiO
2
-Montmorillonit sebagai Fotokatalis
Fotodegradasi limbah cair tekstil dengan menggunakan montmorillonit
terpilar TiO
2
sebagai katalis dilakukan dengan 2 metode yaitu dengan bantuan
sinar UV dengan panjang gelombang 366 nm dan sinar matahari. Sistem yang
digunakan adalah sistem suspensi yang dibuat dengan mencampurkan fotokatalis
dengan limbah cair pada perbandingan berat:volume limbah= 1: 100 dilanjutkan
dengan pengadukan pada keadaan gelap selama 15 menit dan dilanjutkan dengan
ekspos sinar selama 2 jam. Angka COD sebelum perlakuan dan setelah perlakuan
dibandingkan. Angka COD ditentukan secara spektrofotometri dengan
menggunakan standard kalium hidrogen ftalat sebagai sumber senyawa organik.

Instrument Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.Alat-alat gelas 10. Seperangkat alat refluks
2.Oven 11. Pengayak 200 mesh
3.Lumpang porselen dan penggerus 12. Pengaduk gelas
4.Pengaduk magnet 13. Kertas saring Whatman 40
5.pH universal 14. Timbangan analit merek Voyager
6.Spektrofotometri UV-Visible merek 15.Reaktor fotodegradasi dengan
Lampu
HITACHI U 2010 UV 366 nm
7.Gas Sorption Analyzer NOVA 1000 16. Reaktor kalsinasi
8.Reaktor oksidasi 17. X-Ray Diffraction (XRD)
9.Seperangkat analisis pengaktifan
Neutron (APN)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan sintesis TiO
2
-montmorillonit terlebih dahulu dilakukan
analisis kandungan mineral yang ada pada montmorillonit yang digunakan.
Analisis meliputi penentuan kandungan unsur-unsur utama menggunakan analisis
pengaktifan netron (APN), analisis kristalinitas secara X-ray Diffraction (XRD)
dan analisis porositas meliputi penentuan luas permukaan spesifik padatan, rerata
jejari pori dan distribusi ukuran pori menggunakan metode serapan gas N
2
dengan
instrumen surface area analyzer NOVA 1000. Berdasarkan pada Tabel 1 terlihat

Tabel 1. Kandungan unsur yang terdapat dalam montmorillonit alam dengan metode APN
(Nurmantias 2002)
No Unsur Kandungan (%, b/b)
1 Na 2,23
2 Ca 1,97
3 K 0,08
4 Fe 3,58
5 Mg 1,79


PKMP-6-16-5

terlihat bahwa kandungan Na lebih banyak dibandingkan dengan kandungan
Ca dalam montmorillonit alam. Hal ini menunjukkan bahwa tipe montmorillonit
yang digunakan adalah tipe Na-montmorillonit yang memiliki sifat mengembang
dan mudah diinterkalasi dengan logam yang lainnya. Kadar Fe yang cukup besar
diperlihatkan dari tampilan fisik bahan montmorillonit yang memiliki warna agak
kemerahan. Untuk meyakinkan bahwa kandungan utama moneral adalah
montmorillonit dilakukan analisis XRD yang datanya disajikan pada gambar 1.
0
2000
4000
6000
8000
10000
3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25
2 theta
cacah

Gambar 1. Difraktogram sinar-X dari montmorillonit alam.

Pada umumnya mineral lempung menunjukkan jarak d
001
pada kisaran 30
dan 3 yang bersesuaian dengan sudut 2 antara 2
0
dan 30
0
(Tan 1982). Dari
gambar X terlihat bahwa montmorillonit alam menunjukkan puncak difraktogram
pada 2 = 6,10 (d = 14,47 ) dan 2 = 19,89 (d = 4,46 ) yang merupakan
daerah karakteristik mineral montmorillonit. Intensitas yang paling besar dari
puncak pada 2 = 6,10 (d = 14,47 ) menunjukkan bahwa montmorillonit
merupakan mineral penyususun utama. Puncak lain yaitu 2=12,2
o
(d=7,24),
24,86
o
( d= 3,57 ) dan 19,88
o
(d=4,46 ) menunjukkan adanya kaolinit serta
pada 2 = 21,71 (d = 4,09 ) menunjukkan adanya SiO
2
.
Distribusi Ti melalui pilarisasi dapat ditengarai dengan kandungan Ti pada
material hasil sintesis, sehingga langkah pertama karakterisasi material hasil
sintesis adalah mengetahui kandungan unsur titanium (Ti) dalam montmorillonit
alam dan dalam TiO
2
montmorillonit. Analisis dilakukan seara analisis APN dan
data yang diperoleh disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan unsur titanium (Ti) dalam montmorillonit alam dan montmorillonit terpilar
TiO
2
hasil pengukuran dengan metode APN

No Nama sampel Parameter Kadar (% b/b)
1 Montmorillonit alam Ti 0,39
2 TiO
2
-montmorillonit Ti 7,432

Dari hasil analisis yang ditunjukkan pada tabel 2 terlihat bahwa terjadi
kenaikan jumlah Ti dari TiO
2
-montmorillonit yang disintesis dalam penelitian ini
yaitu sebesar 7,432 % b/b. Hal ini juga menunjukkan efektivitas proses pemilaran
yang dilakukan. Pertukaran kation-kation (Na
+
, K
+
dan Ca
2+
) dalam antar lapis
lempung oleh Ti terjadi karena katon-kation yang dapat ditukarkan tersebut masih
tetap dalam kondisi maksimum jumlahnya belum tergantikan kation H
+
sehingga
pertukaran kation oleh agen pemilar kompleks Ti terjadi secara optimal sesuai


PKMP-6-16-6
dengan kemampuan kapasitas tujar jationnya. Kadar yang diperoleh dalam
penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan sintesis yang dilakukan oleh
Fatimah dan Huda (2004) yaitu sebesar 14,17 % b/b. Hal ini kemungkinan
dipengaruhi oleh kondisi awal bentonit dan kondisi awal sintesis, dimana pada
kondisi awal lempung terlebih dahulu sebelum interkalasi polioksokation Ti
4+
disintesis menggunakan TEOS (Tetra Etil Orto Silikat) sehingga TEOS
menurunkan serapan Ti
4+
pada struktur ruang anar lapis silika montmorillonit.
Karakter kristalinitas montmorillonit alam yang digunakan serta TiO
2
-
montmorillonit hasil sintesis disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Difraktogram montmorillonit alam dan TiO
2
-montmorillonit hasil sintesis.

Setelah proses pilarisasi terhadap montmorillonit terlihat adanya perbedaan
mencolok pada puncak utama 2 = 6,10 (d = 14,47 ) yaitu adanya penurunan
intensitas dan kecenderungan pergeseran ke arak kiri. Hal ini mengindikasikan
adanya peningkatan basal spacing (d
001
) 26,75 (2 3,30) dari struktur
montmorillonit. Peningkatan jarak antar lapis silikat yang dihasilkan adalah
12,28 { d
001
( 26,75 - 14,47 ) }. Peningkatan jarak antar lapis silikat
tersebut disebabkan karena telah terbentuknya tiang / penyangga TiO
2
yang
berfungsi sebagai pengikat antar lapis silikat montmorillonit. Pilar TiO
2
pada antar
lapis silikat montmorillonit berfungsi sebagai penghalang sekaligus pengikat antar
lapis silikat montmorillonit. Adanya TiO
2
yang terikat pada lempung terpilar
ditunjukkan pada 2 = 25,3. Pada penelitian ini tidak muncul adanya puncak
difraktogram pada daerah tersebut dikarenakan pengukuran 2 yang dilakukan
hanya sampai 25. Kristal anatase terbentuk pada temperatur proses dibawah
400C, sedangkan apabila temperatur kalsinasi dilakukan diatas 400C maka akan
terbentuk kristal TiO
2
rutil. Karena temperatur kalsinasi dilakukan dibawah
400C, maka kristal yang dihasilkan berbentuk anatase.

Tabel 3. Data luas permukaan, rerata jejari pori dan volume total pori dengan metode BET

Jenis sampel
Luas permukaan
spesifik (m
2
/g)
Rerata jejari pori
()
Volume total pori
(cm
3
/g)
Mont-alam 74,702 13,621 50,877 x 10
-3

TiO
2
-mont 163,882 18,614 152,528 x 10
-3




PKMP-6-16-7
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pilarisasi montmorillonit meng-
gunakan TiO
2
menyebabkan perubahan luas permukaan spesifik pori, rerata jejari
pori, dan volume total pori yang cukup signifikan. Terbentuknya pilar/tiang
penyangga TiO
2
pada lempung telah menambah laus permukaan spesifik pori
sebesar 89,18 m
2
/g rerata jejari pori sebesar 4,993 dan volume total pori sebesar
101,651 x 10
-3
cm
3
/g.


Gambar 3. Distribusi ukuran pori TiO
2
-montmorillonit.

Distribusi ukuran pori (gambar 3) menunjukkan bahwa TiO
2
-montmorillonit
memiliki realtif lebih banyak pori dengan ukuran mesopori (>20) dibandingkan
montmorillonit alam. Hal ini disebabkan karena telah terbentuknya struktur
jaringan mikropori baru akibat dari kenaikan jarak antar lapis silika.
Material yang diperoleh digunakan sebagai fotokatalis pada fotodegradasi
limbah cair industri tekstil. Uji aktivitas dilakukan dengan sistem suspensi
fotokatalis pada cairan limbah kemudian dikenai ekspos sinar sebagai sumber
foton. Dalam penelitian ini diamati perbandingan penggunaan sinar UV dan sinar
matahari.

Fotodegradasi Limbah Cair Industri Tekstil dengan TiO
2
-Montmorillonit
Sebelum dilakukan proses pengolahan limbah cair industri tekstil
menggunakan TiO
2
-montmorillonit, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap
kondisi awal limbah dengan pengukuran parameter pH, COD, TSS, dan warna.
Angka COD sampel ditentukan secara kolorimetri/spektrofotometri terhadap
sampel yang lebih dahulu dioksidasi dengan kalium bikromat secara refluks
tertutup. Hasil analisis awal terhadap sampel limbah cair tekstil ditunjukkan pada
tabel 4. Dari data diatas terlihat bahwa warna limbah, pH serta padatan tersuspensi
total (TSS) memenuhi baku mutu lingkungan ditunujukkan dengan kadar dan
kenampakan yang sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan. Secara visual,
warna limbah cair yang digunakan jernih agak keruh dan tidak menunjukkan
adanya zat warna. Analisis ini didukung oleh kandungan padatan tersuspensi total
yang cukup rendah yaitu sebesar 8 mg/L. Hal ini disebabkan karena limbah
diperoleh dari industri tekstil yang tidak memproses pewarnaan melainkan
pembuatan kain mori. Namun demikian kandungan COD dalam sampel melebihi
baku mutu yang ditetapkan.





PKMP-6-16-8
Tabel 4. Data kondisi awal limbah cair tekstil

Parameter yang
diukur
Hasil pengukuran
Baku mutu
lingkungan*
pH 7,9 6,0 9,0
COD 441,401 mg/L 250,0 mg/L
TSS 8,0 mg/L 60 mg/L
Warna Jernih 0 Pt - Co
*Baku Mutu Lingkungan Limbah Cair industri Tekstil berdasar SK Men. LH No:
51/MENLH/10/95

Fotodegradasi limbah cair tekstil dengan menggunakan montmorillonit
terpilar TiO
2
sebagai katalis dilakukan dengan 2 metode yaitu dengan bantuan
sinar UV dengan panjang gelombang 366 nm dan sinar matahari. Hal ini bertujuan
untuk mencari metode yang efektif, efisien dan ekonomis pada penerapannya di
industri tekstil.
Sistem fotodegradasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem
suspensi. Fotokatalis dibuat dalam bentuk suspensi bersama larutan limbah cair
industri tekstil dengan perbandingan 1:100. Sebanyak 25 mL larutan limbah cair
industri tekstil didegradasi menggunakan 0,25 mg TiO
2
-montmorillonit dan
diekspos dengan sinar UV pada panjang gelombang 366 nm dan sinar matahari
selama 180 menit. Sebagai pembanding dilakukan prosedur yang sama dengan
menggunakan montmorillonit alam dan montmorillonit terpilar TiO
2
tanpa
penyinaran (gelap). Pengukuran absorbansi filtrat digunakan spektrofotometer
Uv-Vis pada panjang gelombang serapan maksimal 601 nm. Hal ini didasarkan
pada serapan panjang gelombang maksimum yang dimiliki oleh larutan kalium
bikromat (K
2
Cr
2
O
7
). Standart COD dibuat dari kalium hidrogen phtalat direfluks
bersama kalium bikromat dan H
2
SO
4

Pengamatan terhadap perubahan nilai COD pada reaksi fotodegradasi
menggunakan katalis TiO
2
dengan bantuan sinar matahari, UV 366, gelap, dan
adsorpsi menggunakan montmorillonit alam dapat ditujukkan melalui data
perubahan angka COD seperti terlihat pada tabel 5.

Tabel 5. Perubahan angka COD pada limbah cair industri tekstil

No Sampel
Angka COD setelah
perlakuan
% penurunan angka
COD
1 Adsorpsi Mont-alam 387,42 12,23
2 Adsorpsi TiO
2
-mont 102,64 76,75
3 TiO
2
-mont matahari 62,264 85,89
4 TiO
2
-mont UV 366 nm 25,314 94.26

Data pada tabel 5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan angka COD yang
cukup signifikan. Persen penurunan angka COD untuk montmorillonit alam
adalah 12,23 %. Sedangkan untuk TiO
2
-montmorillonit persen penurunan angka
CODnya adalah 76,75 %. TiO
2
-montmorillonit memiliki persen penurunan angka
COD lebih besar dibandingkan dengan montmorillonit alam karena TiO
2
-


PKMP-6-16-9
montmorillonit memiliki kemampuan adsorpsi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan montmorillonit alam. Selain itu TiO
2
-montmorillonit memiliki luas
permukaan spesifik, volume total pori, dan rerata jejari pori yang besar yang
diakibatkan terbentuknya pilar/tiang TiO
2
didalam antarlapis silika
montmorillonit.
Aktivitas fotokatalitik 0,25 mg TiO
2
-montmorillonit untuk mendegradasi 25
mL limbah cair industri tekstil dengan bantuan penyinaran lampu UV 366 nm
mencapai 94.26 % selama 180 menit, sedangkan aktivitas fotokatalitik TiO
2
-
montmorillonit dengan bantuan sinar matahari dengan waktu dan jumlah sampel
yang sama hanya mencapai 85,89 %. Pada proses fotokatalitik TiO
2
-
montmorillonit dengan bantuan sinar matahari memiliki kemampuan menurunkan
angka COD yang lebih rendah dibandingkan dengan proses fotokatalitik TiO
2
-
montmorillonit dengan bantuan sinar UV 366. Hal ini bisa disebabkan karena
pada saat proses fotokatalitik berlangsung kondisi cuacanya kurang mendukung
terjadinya proses fotokatalis, akibatnya intensitas sinar yang dibutuhkan untuk
membantu proses fotodegradasi sampel tidak konstan (berubah-ubah). Sedangkan
proses fotokatalitik TiO
2
-montmorillonit dengan bantuan sinar UV 366 memiliki
kemampuan yang lebih baik karena intensitas sinar yang dibutuhkan pada saat
proses fotokatalitik dapat berlangsung secara kontinyu dan konstan (tetap)
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas fotokatalitik
TiO
2
-montmorillonit dengan bantuan sinar UV 366 nm lebih efektif digunakan
untuk mendegradasi limbah cair industri tekstil dibandingkan dengan TiO
2
-
montmorillonit dengan bantuan sinar matahari.

KESIMPULAN
Pemilaran antar lapis silikat montmorillonit alam dengan titanium dioksida
(TiO
2
) telah berhasil meningkatkan luas permukaan spesifik, volume total pori.
dan basal spacing (d
001
) serta kandungan Ti didalam antar lapis silikat
montmorillonit.
Fotodegradasi limbah cair industri tekstil menggunakan TiO
2
-
montmorillonit dengan bantuan sinar UV 366 nm terbukti lebih efektif
menurunkan angka COD sampai 94,26 % selama 180 menit dibandingkan
menggunakan TiO
2
-montmorillonit dengan bantuan sinar matahari yang hanya
mampu menurunkan angka COD limbah cair tekstil sebesar 85,89 % selama 180
menit.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1995. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No : 51/MENLH/10/1995 Tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Yang Sudah Beroperasi, BAPPEDAL, Jakarta
Ekimav AI, Effros AIL, Anuchenko AA. 1985. Quantum Size Efection Semiconductor
Microcrystal. Solid States Communication. 5611,921-1524
Fatimah Is, Huda T. 2004. Pilarisasi Lempung Bentonit Alam dengan Oksida Ti dan Aplikasinya
pada Fotodegradasi Limbah Cair Industri Tekstil, Laporan Penelitian. Jogjakarta: FMIPA
UII,
Nurmantias SD. 2002. Sintesis Lempung Terpilar Al
2
O
3
dan Pemanfaatannya sebagai Bahan
Inang Senyawa para- Nitro Anilin, Skripsi. Jogjakarta: FMIPA, UGM.
Tan KH. 1982. Dasar-Dasar Kimia Tanah, Edisi Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr.
Wijaya K. 2000. Lempung Terpilar (Pillred Clay) Sebagai Material Multi Guna, Eksakta, 1,2, 1-10

PKMP-6-17-1
PERANCANGAN INSTRUMEN
PENGONTROL BIAYA LISTRIK RUMAH TANGGA
DENGAN SISTEM PENGAMBILAN DATA METODE DIGITAL

Ahmad Yuliyanto, Anton Budi Prasetyo, Risa Amalia
Politeknik Pratama Mulia Surakarta, Surakarta

ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya keluhan dari pelanggan PLN,
yang ketika membayar rekening listriknya banyak yang tidak sesuai dengan uang
yang dibawanya dari rumah. Hal ini dikarenakan ketika mereka melihat apa yang
tercatat di meter listrik, tidak sama dengan apa yang harus dibayarnya. Oleh
karena itu ketika mereka membayar, sedangkan jumlah uang yang mereka bawa
tidak sesuai, maka mereka biasanya marah-marah kepada petugas yang melayani
pembayaran. Padahal ini bukanlah kesalahan dari petugas penerima pembayaran
rekening listrik tersebut. Oleh karena itu, kami sebagai mahasiswa tergerak
untuk membuat suatu instrumen atau alat yang bertujuan untuk memudahkan bagi
pelanggan PLN dan petugas pencatat meter listrik untuk mengetahui jumlah uang
yang harus dibayarkan ketika akhir bulan. Metode yang kami kembangkan disini
adalah menggunakan instrumen Mikrocontroller, yang mudah didapat dan murah
harganya, sehingga sangat ekonomis jika dikembangkan dalam jumlah yang
banyak. Dari hasil yang telah kami kembangkan, telah kami buat suatu alat yang
bisa menampilkan jumlah uang sesuai dengan jumlah KWh yang dipakai oleh
pelanggan tersebut serta ditambah dengan pajak yang diwajibkan oleh
pemerintah dalam satu periode tertentu. Kesimpulan dari hasil penelitian kami
adalah, bahwa alat ini akan sangat membantu bagi para pelanggan PLN dalam
mengontrol penggunaan listrik mereka sendiri, juga membantu PLN dalam
melakukan penghematan dan efisiensi biaya di segala bidang serta penerapan
teknologi tepat guna. Peralatan ini kami katakan sebagai suatu alat yang
MUDAH, MURAH DAN EKONOMIS.

Kata kunci: Listrik murah, PLN, kWH meter

PENDAHULUAN
Pada era sekarang ini, listrik merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam
kehidupan sehari-hari. Sehingga peranannya tidak lagi dapat dipisahkan dari
kehidupan masa sekarang. Hampir seluruh peralatan rumah tangga memerlukan
listrik, kecuali peralatan tradisional. Bila dilihat pada sisi industri, padam listrik
dalam satu hari dapat melumpuhkan perekonomian sampai jutaan rupiah. Masih
banyak masalah yang terjadi pada sistem kelistrikan.
Dari berbagai sudut pandang diatas, dapat diketahui beberapa contoh dari kasus
tentang listrik. Namun, perlu juga diketahui bahwa semakin besar tenaga listrik
yang digunakan semakin banyak pula tagihan yang harus dibayarkan. Sehingga
kebutuhan pokok listrik harus dapat dimanfaatkan dengan betul dan seefisien
mungkin.
Efisiensi dari penggunaan sumber daya kelistrikan bukan hanya tanggung
jawab dari para pelanggan namun juga peran aktif penyedia jasa kelistikan dalam
hal ini pihak PLN. Penerapan meteran listrik yang digunakan pada rumah tangga
PKMP-6-17-2
saaat ini, banyak dari kalangan keluarga yang belum mengetahui maksud dari
nilai yang tertera pada meteran tersebut sehingga banyak yang mengeluh ketika
datang untuk membayar tagihan, ternyata harus membayar lebih dari yang
diperkirakan oleh para pelanggan tersebut.Melihat hal tersebut kami melakukan
suatu kegiatan penelitian yang menyangkut penerapan teknologi dibidang
kelistrikan.

Latar Belakang Masalah
Hasil obsevasi yang dilakukan pada masyarakat masih menunjukan
pemborosan yang terjadi dalam penggunaan kelistrikan. Hal ini akibat banyak
masyarakat yang belum dapat membaca dan menerjemahkan nilai yang tertera
dalam meteran tersebut. Sehingga tidak aneh jika para pelanggan membayar
banyak untuk hal ini.
Peranan pemerintah dalam mengkampanyekan hemat energi tidak
mencapai sasaran yang tepat. Karena belum ada sosialisasi terhadap masyarakat
tentang sistem pembayaran dan penggunaan yang aman terhadap beban listrik
yang berlaku. Sosialisasi melalui periklanan didunia pertelevisain, kurang dapat
diterima oleh masyarakat karena sebagaian besar dunia pertelevisian masih
dianggap sebagai dunia hiburan saja. Jika pemerintah menurunkan biaya uintuk
sosialisasi tersebut maka berapa milyar dana yang harus dikeluarkan? Melihat
kemungkinan tersebut belum tentu berhasil.
Penulisan dalam pengambilan data pada Kwh meter yang diberlakukan
saat ini masih sangat rentan terhadap kesalahan penulisan, jika hal ini terjadi akan
berakibat kerugian pada kedua belah pihak, pada PLN sendiri memungkinkan
akan menurunnya omset penjualan tenaga listrik pada masyarakat dan bagi
masyrakat akan melambung biaya pembayaran listriknya.
Dari faktor ekonomi pengambilan data Kwh meter ini tidak efisien karena
masih menggunakan banyak kertas yang akan terbuang sia-sia tanpa ada guna
lebih lanjut. Dalam melakukan hemat energi harus dapat diketahui setiap saat nilai
yang harus dibayarkan. Dengan demikian pelanggan dapat mengetahui berapa
beban yang harus terpasang dan digunakan dalam setiap saat.

Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang diperlukan bagaimana mengefisienkan pegawai
pencatat Kwh meter dan mempermudah pelanggan PLN untuk mengetahui jumlah
rekening yang harus dibayarkan.

Batasan Masalah
Dari rumusan masalah yang telah kami kemukakan diatas, maka kami
membatasi permasalahan hanya pada menampilkan jumlah biaya yang telah
dipakai oleh pelanggan PLN jenis rumah tangga. Tapi, hal ini masih bisa
dikembangkan lagi untuk pelanggan jenis industri.

Tujuan Dan Kegunaan
Dari beberapa permasalahan yang terjadi baik dalam PLN sebagai pengelola dan
pelanggan, diantaranya:
1. Keinginan pelanggan untuk langsung mengetahui jumlah uang yang harus
dibayarkan ketika akhir bulan pemakaian.
PKMP-6-17-3
2. Efisiensi pegawai pencatat Kwh meter
3. Kecepatan dalam perolehan data oleh PLN
Selain dari tujuan tersebut terdapat pula manfaat yang dapat dirasakan oleh kedua
belah pihak, diantaranya:
1. Dapat diperoleh gambaran kondisi dan permasalahan yang dialami oleh
pelanggan dalam pembayaran.
2. Pengguanaan energi listrik dapat dihemat karena semua beban pembayaran
telah terpapar pada Kwh meter.
3. Kesalahan dalam pencatatan data pelanggan dapat diminimalisasi karena
system ini tidak menggunakan system analog dalam melakukan transfer data.
4. Manfaat lebih lanjut data yang tersimpan dalam memori dapat langsung
diakses dalam komputer induk PLN sebagai pengolah data di daerah.

METODE PENDEKATAN
Perancangan instrumen yang dilakukan untuk memperoleh hasil akhir
yang berupa prototype adalah sebagai berikut:

Bulan Pada Tahun Berjalan (2006)
No. Kegiatan
Maret April Mei Juni
1. Observasi dan Identifikasi
Masalah

2. Perumusan Masalah
3. Perancangan Model Alat Ukur
4. Desain Alat
5. Evaluasi Hasil Desain
6. Pembuatan Prototipe
7. Kesimpulan dan Saran


Obsevasi yang dilakukan pada masyarakat dengan melihat kondisi yang
terjadi pada pengguna listrik dan system pencatatan data. Hasil observasi
merupakan input yang diperlukan perumusan masalah. Sehingga diperoleh suatu
system instrumen pengontrol biaya yang otomatis sesuai dengan keadaan yang
sekarang ini.
Perumusan masalah adalah bentuk dari hasil observasi yang dilakukan
terhadap masyarakat. Selain untuk menentukan peralatan yang dibutuhkan dalam
pembuatan instrumen biaya pengontrol biaya listrik dan menentukan data base
yang diperlukan.
Perancangan model alat ukur adalah penyesuaian instrumen yang
dibutuhkan dalam pembuatan instrumen ini. Desain alat ini merupakan bentuk
awal yang diperlukan dalam dalam menjawab perumumusan masalah tersebut.
Evaluasi hasil desain digunakan sebagai pelacakan kesalahan yang terjadi pada
perancangan alat ukur dan desain alat.
Hasil akhir dari program adalah pembuatan prototipe yang melihat kepada
perancangan alat ukur dan desain.

PKMP-6-17-4
TEMPAT KEGIATAN
Lokasi : Politeknik Pratama Mulia Surakarta

Bahan dan Alat yang digunakan
Bahan :
Optocoupler.
Adaptor.
Minimum System.
Komponen elektronika.
Alat :
Komputer
Software Downloader versi 1.0
Tahap pelaksanaan kegiatan.
1. Tahap observasi
Tahap obsevasi yang dilakukan dalam masyarakat dan PLN adalah dengan
mensurvei apa yang diinginkan oleh pelanggan PLN dan PLN itu sendiri.
2. Tahap studi pustaka
Tahap studi pustaka yang dilakukan dengan mempelajari teori-teori dan
konsep yang akan digunakan dalam menyelesaikan permasalahan ini untuk
mendapatkan referensi yang kuat dari buku-buku dan sumber-sumber lain
yang relevan dengan masalah tersebut.
3. Konsultasi
Tahapan ini adalah dengan melakukan konsultasi dan pembimbingan dari
orang-orang atau dosen yang sesuai dengan bidang permasalahan ini.
4. Eksperimen
Tahapan ini adalah melakukan/membuat suatu prototype/contoh alat yang
nantinya akan digunakan, dan melakukan percobaan dari alat tersebut
sehingga menghasilkan data yang valid dan dapat dipergunakan dengan baik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Instrumen ini pada dasarnya memiliki dua system yang bekerja secara
berhubungan, diantaranya:
Kwh meter
Optocoupler
Pemrosesan data

Kwh meter
Kwh meter adalah perlatan yang terdapat dalam penampil nilai yang ada dalam
penggunaan litrik dalam rumah tangga. Dalam dalam aplikasi intrumen ini sebagai
pembangkit pulsa yang akan diolah pada unit pemroses data (input data).
Pada piringan Kwh meter terdapat piringan yang kecepatan berputar sesuai
dengan jumlah beban yang digunakan
Semakin besar nilai beban yang digunakan maka akan semakin cepat putaran dari
piringan tersebut. Dalam stsndart PLN jumlah 1 kwh = 600 putaran piringan.

Optocoupler
Piranti ini digunakan sebagai pembangkit pulsa yang diperoleh dari putaran
piringan tersebut.
PKMP-6-17-5









Gambar 1. Proses Pembacaan Mikrokontroller

Pemberian lubang pada piringan meteran tersebut, mengakibatkan aktifnya
dari optocoupler. Karena hasil tegangan yang diperoleh dari optocoupler terlalu
kecil, maka perlu adanya suatu driver sebagi penguat tegangan.

Pemrosesan Data
Proses mengunakan memori internal dan eksternal yang digunakan dalam
pemrosesan ini. Karena pada mikrokontroler intruksi dapat dilakukan pada
memori yang dituliskan kedalam mikrokontrolertersebut.

Proses Pembacaan
Proses pembacaan dapat dianalogikan sebagai proses membaca dari halaman
tertentu dari sebuah buku di mana pada proses tersebut dibutuhkan:
- Halaman dari tulisan yang akan dibaca = Alamat Memori
- Perintah untuk membaca = Sinyal Read untuk Data dan Sinyal PSEN untuk kode

Pembacaan Data dari Memori Eksternal
Instruksi :
MOV DPTR,#[address] ; Penentuan lokasi data yang akan dibaca
MOVX A,@DPTR ; Perintah pembacaan data sekaligus mengambil
data tersebut dan disimpan ke Akumulator A
Data yang dihasilkan sebagai input pada port 2.6. sebagai counter ditunjukkan
pada listing Subroutine COUNT.

COUNT: CLR P2.6
MOV A,SMTR0 ;600=20X30, SMTR0=20,SMTR1=30
INC A
CJNE A,#21,NAIK0
MOV SMTR0,#00
MOV A,SMTR1
INC A
CJNE A,#31,NAIK1
MOV SMTR1,#00
INC KWH
ACALL SAVE ;UTK NYIMPAN KWH KE EEPROM
ACALL KONV ;KONVERSI KWH KE RP (PER DIGIT)
ACALL TAMPIL ;TAMPILAN LCD
NOP
Piringan
meteran


driver

mcs
at89s51
Moc
PKMP-6-17-6
Pada tahapan ini data yang masuk secara digital akan diterima oleh port input
pada microcontroller dan akan berakibat data port output akan mengeluarkan ke
LCD. Selain tampil di LCD data tersebut juga dapat diakses langsung ke data
bank melalui transfer data yang ada. melalui listing 1 merupakan penunjuk
tampilan data ke LCD. Setelah mikrokontroler mengambil semua data yang
ditunjuk DPTR dimana pada listing 1.

Listing 1
; routine data LCD
write_data:
SETB P2.1 ;untuk menuliskan
mov P0,R1 ;data ke LCD
setb P2.0 ;module
clr P2.0
acall delay
ret

Listing 2
;===================================
; routine tampil Rupiah
;===================================

TAMPIL: NOP
tulis0: mov R4,#1
mov DPTR,#lalu
barisa: mov R3,#9
mov R1,#80h
acall write_inst
tulis1: clr A
movc A,@A+DPTR
mov R1,A
Inc DPTR
acall write_data
djnz R3,Tulis1

Jika terjadi counter pada program tersebut maka subroutine akan memanggil
subroutine kovensi bilangan dimana bilangan yang dikonversi termasuk biaya
pajak dalam prosentase dan beban yang terbagi dalam tiap blok.
Untuk daya listrik sebesar 900VA dan 450VA akan berbeda pembayaran yang
dibayarkannya, biaya yang dibayarkan perblok adalah sebagai berkut:

Tabel 1. Biaya Perblok
Daya
(VA)
B. Beban
(Rp)
Blok I
Mulai dari
0 30 KWh
(Rp)
Blok II
Mulai dari
31 60 KWh
(Rp)
Blok III
Mulai dari
> 61 KWh
(Rp)
450 4950 169 360 495
900 18000 275 445 495
PKMP-6-17-7
Dari hasil yang diperoleh dari perblock dikonversi mulai sebagai berikut

Tabel 2. Harga perKwh.
Kwh 900 VA 450VA
1 19920 5580
2 19220 5764
3 20519 5948
4 20819 6132
5 20119 6317
6 21419 6501
7 21718 6685
8 22018 6869
9 22318 7053
10 22618 7238
11 22917 7422
12 23217 7606
13 23517 7790
14 23817 7974
15 24116 8159
16 24416 8343
17 24716 8527
18 25016 8711
19 25315 8895
20 25615 9080
21 26100 9264
22 26585 9448
23 27070 9632
24 27555 9817
25 28040 10001
26 28525 10185
27 29010 10369
28 29495 10553
29 29980 10738
30 30466 10922
31 30915 11314
32 31436 11707
33 31921 12099
34 32406 12491
35 32891 12884
36 33376 13276
37 33861 13669
38 34346 14061
39 34831 14453
40 35316 14846


PKMP-6-17-8
Perhitungan jumlah harga dirumuskan sebagai berikut:

Tabel 3. Rumus Harga
Tipe Rumus
450 VA
(B. Beban + (KWh Blok1 * 169) + (KWh blok2 * 360 ) +
(KWh Blok3 * 495)) * (1,09)
900 VA
(B. Beban + (KWh Blok1 * 275) + (KWh blok2 * 445 ) +
(KWh Blok3 * 495)) * (1,09)

Dari data yang telah dikonversi, data tersebut disimpan dalam memori internal
mikrokontroller EEPROM. berikut listing database pada perhitungan biaya:

KONV: MOV A,KWH
CJNE A,#00,SATU
MOV RP21,#20H ;0 KWH, RP21,RP43,RP65=ASCII KE
LCD
MOV RP43,#96H
MOV RP65,#0F1H
RET
SATU: CJNE A,#01,DUA
MOV RP21,#20H ;1 KWH
MOV RP43,#99H
MOV RP65,#0F1H
RET
LUJI: MOV RP21,#51H ;31 KWH
MOV RP43,#09H
V RP65,#0F3H
RET

Penampilan ini dilakukan berdasarkan banyak detak yang ada dan dilakukan
proses pemanggilan nilai yang terdapat dalam tabel harga tersebut.
Penggunaan jumper sebagai pemilih data digunakan untuk memilih database
pembayaran yang dilakukan. Penggunaan resistor yang terpasang pada jumper
berfungsi sebagai penahan kondisi agar tidak mengambang.

KESIMPULAN

1. Pengguanaan mikrokontroler dalam berbagai aplikasi dapat diterapkan dalam
semua bentuk sesuai dengan kemampuan kita.
2. Instrumen ini dapat dikembangkan lebih lanjut dalam aplikasi yang
berhubungan dengan kelistrikan terutama PLN selaku produsen listrik di
negara ini.
3. Secara ekonomi, instrumen ini sangatlah murah jika diproduksi secara banyak
dan distribusikan kepada masyarakat, dibandingkan jika dilakukan pembuatan
secara individu. Biaya yang dikeluarkan untuk instrumen ini tergolong murah.
4. Kemudahan yang diperoleh masyarakat dalam membaca jumlah pembayaran
yang harus dibayarkan. Sehingga pelanggan dapat mengontrol penggunaan
tenaga listrik untuk rumah tangga mereka.
PKMP-6-17-9
5. Efisien tenaga kerja dilapangan, karena sistem ini menerapkan sistem digital
sehingga penulisan secara manual dapat dikurangi dan diperoleh keakuratan
data.
6. Meminimalisasi kesalahan penulisan pengambilan data dapat dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Moh. Ibnu Malik, ST. 2003. Belajar Mikrokontroller ATMEL AT89S8252,
Gama Media, Yogyakarta
2. Malvino, dkk. 1999. Prinsip-prinsip Elektronika, Erlanga, Jakarta
3. Putra, Agvianto Eko. 2002. Teknik Antarmuka Komputer : Konsep dan
Aplikasi, Elex Media Komputindo, Jakarta
4. Budiharto, Widodo. 2004. Interfacing Komputer dan Mikrokontroller,
Elex Media Komputindo, Jakarta
5. Paulus Andi Nalwan. 2004. Penggunaan dan Antarmuka Modul LCD
M1632, Elex Media Komputindo, Jakarta
PKMP-6-18-1
TELEOPERASI ROBOT VIA INTERNET

Ahmad Mursid, Dadang Hardiputra, Muhtar Rosyid
PS Elektro Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang


ABSTRAK
Diantara bidang pengetahuan yang berkembang paling pesat dewasa ini adalah
teknologi informasi dan telekomunikasi. Khusus pada bidang teknologi informasi,
perkembangan yang sangat luar biasa pesat terjadi pada bidang internet. Tidak
dapat dipungkiri bahwa peranan internet dalam bidang komunikasi sangat
berpengaruh pada kemajuan teknologi pada masa saat ini. Salah satunya adalah
teknologi teleoperasi, dimana manusia dapat mengoperasikan peralatan dari
tempat lain yang sangat jauh tanpa harus berada pada tempat tersebut. Tujuan
dari penelitian ini adalah sistem teleoperasi robot melalui internet dengan
menggunakan visualisasi, dimana visualisasi ini dapat berupa grafik visualisasi,
live video, grafik 3D. Teknologi teleoperasi atau teleotomasi, merupakan
teknologi yang berhubungan dengan interaksi antara manusia dengan sistem
secara otomatis dari jarak yang jauh. Sistem telerobotik termasuk sistem dua
arah, dengan pertukaran data antara pengontrol sisi local (local site) atau client
dan bagian pengendali sisi jauh (Remote Site) atau server yang berlangsung
dalam dua arah. Client mengirimkan data posisi robot yang diinginkan,
sedangkan dari arah server dikembalikan hasil posisi robot yang telah dikerjakan
bahkan dapat pula disertai dengan visualisasi (live video) gerakan robot. Robot
yang digunakan adalah robot manipulator (Lynx5 Robot Arm). Penggunaan
media internet sebagai penghubung antara peralatan yang dioperasikan dengan
operator yang mengoperasikan peralatan jarak jauh. Protokol transfer utama
yang digunakan oleh word wide web adalah Hypertext Transfer Protocol (HTTP).
Ini adalah protokol aplikasi berbasis client server yang dibangun diatas TCP
(Transmission Control Protocol). Transaksi yang khas dari HTTP ini client
melakukan koneksi dengan server HTTP dan melakukan permintaan untuk
sumber yang diinginkan dan menunggu respon dari server.

Kata kunci : teleoperasi, telerobotic, visualisasi (WebCam), konsep jaringan
TCP/IP, lynx5 robot arm.

PENDAHULUAN
Pesatnya perkembangan dunia internet akhirakhir ini, memicu
berkembangnya teknologi baru yang memanfaatkan teknologi internet tersebut
sebagai media untuk mewujudkan impian manusia akan sebuah aplikasi
pengoperasian peralatan dari tempat lain yang sangat jauh tanpa harus berada
ditempat tersebut.
Peranan internet untuk keperluan tukar menukar informasi melalui
protokol TCP/IP yang memadai sangat menunjang untuk dapat digunakan sebagai
media pengendalian jarak jauh melewati batas wilayah. Aplikasi pengendalian
dari jarak jauh tersebut sering disebut dengan nama teleoperasi atau sering pula
disebut sebagai teleotomasi. Istilah teleoperasi mengandung dua kata yang akan
mempermudah untuk menebak arti dari istilah teleoperasi tersebut. Yaitu pertama
adalah tele berarti jauh dan operasi yang berhubungan dengan melakukan sebuah
PKMP-6-18-2
aktivitas atau kerja dengan sebuah alat. Jika kedua kata tersebut disatukan istilah
yang diperoleh memberikan sebuah arti yang sangat khusus, dalam hal ini
mengacu pada sebuah sistem pengoperasian peralatan dari jarak jauh.
Dalam beberapa literatur, teleoperasi disebut sebagai sebuah cara yang
mengkombinasikan kecerdasan dan kemempuan beradaptasi dari manusia dengan
kemampuan dan ketahanan sebuah robot untuk melakukan pekerjaan yang sangat
sulit untuk dilakukan.
Istilah robot dapat didefinisikan secara berbeda tergantung pada
konteksnya. Robot adalah suatu mesin yang diarahkan untuk mengerjakan
bermacam-macam tugas tanpa campur tangan dari manusia. Secara ideal robot
diharapkan dapat melihat, mendengar, manganalisa lingkungannya dan melakukan
tindakan yang terprogram. Dewasa ini robot digunakan untuk industri terutama
pekerjaan 3D yaitu Dirty, Dangerous atau Difficult (kotor, berbahaya atau
pekerjaan yang sulit).

Rumusan Masalah
Protokol TCP/IP merupakan protokol yang paling banyak digunakan oleh
para pengguna internet diseluruh dunia. Dengan menggunakan protokol ini,
sistem apapun yang terhubung didalamnya dapat saling berkomunikasi tanpa perlu
memperhatikan bagaimana sistem tersebut bekerja. Komunikasi data merupakan
proses pengiriman data dari suatu komputer dengan komputer lain.
Teknologi teleoperasi atau teleotomasi merupakan teknologi yang
berhubungan dengan interaksi antara manusia dengan sistem secara otomatis dari
jarak yang jauh. Sistem atau peralatan yang dikendalikan menggunakan teknologi
ini antara lain robot yang banyak digunakan pada bidang industri dimana kondisi
lingkungan disekitar industri sangat berbahaya dan tidak terstruktur sehingga
situasi lingkungannya tidak dapat diprediksi secara tepat. Dengan melihat kondisi
tersebut maka sistem teleoperasi dimungkinkan untuk diterapkan pada industri
tersebut.
Secara garis besar dalam sebuah sistem tekleoperasi, terdapat dua buah
komponen utama yang harus dipersiapkan yaitu bagian pengendali lokal (local
site) dan bagian pengendali sisi jauh (Remote Site). Pengendalian lokal merupakan
bagian yang menjadi tempat kerja dari operator, biasanya diimplementasikan
dalan bentuk sebuah komputer yang tidak terhubung langsung dengan peralatan
yang dikendalikan namun terhubung dengan media transmisi tertentu misalnya
internet.

Tujuan Kegiatan
Adapun tujuan dari program ini adalah sebuah sistem teleoperasi robot
melalui internet dengan menggunakan visualisasi. Pada sistem ini, pengendali
lokal akan memproses data menjadi sebuah gambar baik secara status maupun
dinamis. Gambar yang dihasilkan pada bagian pengendali lokal berupa gambar
buatan atau simulasi dari data yang akan dikirim pada sisi bagian jauh.





PKMP-6-18-3
Manfaat Kegiatan
Adapun manfaat program ini adalah :
1. Murah dan efisien
2. Jangkauan operasionalnya sangat luas.
3. Menggunakan protokol standart (TCP/IP).
4. Perluasan penggunaan internet tidak hanya untuk keperluan saling tukar
informasi tetapi dapat digunakan sebagai pengendali robot.
5. Mempermudah dalam mengendalikan sebuah sistem atau peralatan jarak jauh.

METODE PENDEKATAN
Metode yang digunakan dalam pelaksanaan Penelitian ini adalah :
1. Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah robot yang akan
dikontrol dan akan ditampilkan secara visual serta protokol TCP/IP
digunakan sebagai media pengiriman data atau informasi.
2. Model.
Model yang digunakan adalah dengan melakukan pemodelan konfigurasi dan
spesifikasi dari teleoperasi, spesifiakasi koordinat dalam grafik 3D, konsep
desain dan parameter implementasi yang akan digunakan.
3. Rancangan penelitian.
Dalam perancangan ini akan membahas konsep tentang desain dan
implementasi sistem, grafik visualisasi, interface dam kontrol telerobotik.
4. Teknik pengumpulan data dan analisis data.
Teknik yang akan digunakan adalah :
1) Melakukan pemodelan dan pengkajian secara mendalam tentang konsep
pengendalian melalui protokol TCP/IP.
2) Dalam membangun sebuah sistem teleperasi memerlukan pertimbangan
yaitu faktor kecepatan proses, faktor akurasi data, faktor interface dan
faktor keamanan sistem.
3) Melakukan analisa secara visual terhadap data yang akan dikirim dan
data-data mengenai robot yang akan digunakan, spesifikasi dan
karakteristik robot.
5. Penyimpulan hasil penelitian.
Hasil dari penelitian ini adalah diharapkan dapat diterapkannya teknologi
internet untuk digunakan dalam mengendalikan robot secara visualisasi
menggunakan aplikasi teleoperasi.

Alat :
Pada penelitian ini menggunakan beberap instrumen, antara lain :
1. Robot manipulator yang terdiri dari 4 joint dan 1 gripper.
2. WebCam sebagai visualisasi.
3. 1 set PC sebagai server
4. 1 set PC sebagai Client





PKMP-6-18-4
HASIL DAN PEMBAHASAN

Konfigurasi Kontrol Hardware


Gambar 1. Konfigurasi kontrol hardware

Sistem program teleoperasi

Gambar 2. Sistem pemrograman teleoperasi.

Program (Software)
Server
Sistem operasi yang digunakan di server adalah Debian GNU/Linux Serge.
Sedangkan software aplikasi yang digunakan adalah WebCam2000 yang tersedia
secara gratis diinternet. WebCan2000 digunakan untuk menampilkan data video
Client Computer
Client/Server
Program
HTML
website
Robot Program
Robot Interface
Visualisasi
(WebCam Interface)
WebCam
Robot



Server
Client Comp
Robot
Interface
Visualisasi
(WebCam)
Robot
PKMP-6-18-5
stream dan meng-capture video dan gambar. Sedangkan program antar muka
Robot menggunakan pemrograman java, CGI dan C.
Server sebagai penghubung langsung dengan peralatan yang akan
diopersikan, server memiliki peranan yang sangat penting. Dengan menggunakan
server ini, peralatan yang akan dioperasikan dihubungkan dengan dunia luar
menggunakan media transmisi tertentu. Fungsi yang ditangani adalah menerima
dan mengolah data yang diterima dari client melalui media fisik, selanjutnya
dengan menggunakan data-data tersebut server menggerakkan peralatan.
Selanjutnya, server menerima umpan balik dari WebCam yang sedang
dioperasikan untuk menentukan apakah operasi berjalan dengan sukses atau tidak.

Client
Pada bagian ini merupakan bagian dimana seorang client atau operator
berada. Umumnya dengan menggunakan sebuah PC, seorang operator dapat
menyaksikan dasil operasi dari peralatan yang diopeasikan. Hasil operasi tersebut
berupa visualisasi (gambar live) dari sebuah kamera.

Media Transmisi
TCP/IP merupakan protokol standar yang digunakan secara luas saat ini,
dengan menggunakan menggunakan protokol ini, sistem apapun yang terhubung
didalamnya dapat saling berkomunikasi tanpa perlu memperhatikan bagaimana
remote sistem-remote sistem tersebut bekerja. TCP/IP merupakan sekumpulan
protokol komunikasi (protocol site) yang sekarang ini secara luas digunakan
dalam komunitas global jaringan komputer (internet-working). Karakteristik
protokol ini adalah :
1. Tersedianya Open Protocol Standar secara luas, bebas terhadap perangkat
keras komputer maupun sistem operasi.
2. Mampu menyatukan berbagai macam perangkat keras maupun perangkat
lunak kedalam satu jaringan tertentu.
3. Sistem pengalamatan yang digunakan secara bersama-sama untuk mengenali
perangkat keras lain yang berada dalam jaringan yang sama.
4. mampu melayani pengguna secara luas karena mempunyai protokol level
tinggi yang distandarkan.
Pada dasarnya sistem yang dirancang menggunakan model clien-server.
Pada sistem komunikasi model client-server, client akan memesan permintaan
layanan untuk melaksanakan berbagai pekerjaan dari client kepada server.
Kemudian oleh server, hasil proses yang telah dilaksanakan sesuai permintaan
akan dikirim kembali ke client.

Visualisasi
Teknologi yang digunakan sebagai visualisasi adalah sebuah WebCam
yang dimanfaatkan untuk menampilkan video streaming secara langsung yang di-
capture oleh kamera web. Istilah streaming adalah proses pengiriman data berupa
video/audio digital melalui jaringan data secara terus menerus dan
berkesinambungan. Oleh operator/client pengguna layanan video streaming yang
terkoneksi ke server streaming dapat menikmati layanan baik yang sifatnya live
streaming. Client dapat menampilkannya lewat player audio/video atau juga dapat
berupa layanan berbasis web. Video streaming ditampilkan pada sebuah halaman
PKMP-6-18-6
web melibatkan 4 komponen utama yaitu : video/audio input, streaming server,
webserver, dan webrowser. User akan meminta layanan streaming melalui
webrowser yang terletak pada komputer client. Selanjutnya oleh browser akan
diteruskan ke web server, oleh web server akan diteruskan kembali ke streaming
server. Streaming server akan memproses permintaan dari client dan selanjutnya
akan memberikan layanan ke client sesuai permintaan.

Website
World Wide Web (www) atau sering disebut dengan web merupakan
jaringan komputer yang cakupannya hingga seluruh dunia. Semua komputer yang
terintegrasi di dalam web dapat saling berkomunikasi. Komputer tersebut
menggunakan standar komunikasi yang disebut HTTP. HTTP adalah suatu
protokol client-server internet untuk penyampaian yang efisien dan cepat atas
materi-materi hypertext. Untuk mengembangkan interaktif aplikasi berbasis
HTML, harus dipahami bagaimana sebuah program client web berinteraksi
dengan sebuah server HTTP. Aplikasi web berjalan pada protokol HTTP dan
semua protokol yang ada di internet selalu melibatkan server dan client. Ketika
seseorang mengetikkan alamat di web browser, maka web browser akan
mengirimkan perintah tersebut ke web server.
Melalui tampilan pada web browser, client dapat mengakses filefile yang
disediakan oleh server. Pengaksesan client diawali dengan sebuah request berupa
page address atau alamat web. Misalnya untuk mengakses halaman x dari server
kita tuliskan alamat http://www.nama-server-y.com/halaman_x.htm ).

Driver Robot Interface
SSC-12 hanya memerlukan dua penghubung (connection) ke komputer,
yaitu serial data dan signal ground. Terdapat dua tempat untuk membuat
penghubung yaitu modul phone jack, dan sebuah kabel yang dapat dihubungkan
dengan S/in pada board SSC-12. Jika menggunakan PC hanya memakai kabel
DB9-01, hubungan pin I/O yang digunakan menggunakan serial output ke S/in
dan dihubungkan ke ground pada SSC-12 board.

Gambar 3. Interface SSC-12

Robot Manipulator
Robot yang digunakan adalah sebuah robot manipulator yang terdiri dari :
1. Satu motor untuk base.
2. Dua motor untuk bahu (shoulder).
3. Satu motor untuk siku (elbow) dan pergelangan tangan (wrist).
4. Dan suatu HS-81 digunakan sebagai gripper.

PKMP-6-18-7

Gambar 4. Robot Manipulator

Parameter untuk robot manipulator ini mempunyai 4 joint yaitu :
1. Joint 1 (base) mempunyai gerakan rotasi yang mengelilingi sumbu putar
vertikal dengan lintasan sudut sebesar 180
0
.
2. Joint 2 (shoulder) mempunyai gerakan rotasi yang mengelilingi sumbu putar
horizontal dengan lintasan sudut sebesar 180
0
.
3. Joint 3 (elbow) mempunyai gerakan rotasi yang mengelilingi sumbu putar
horizintal dengan lintasan sudut sebesar 180
0
.
4. Joint 4 (wrist) mempunyai gerakan rotasi yang mengelilingi sumbu putar
horizintal dengan lintasan sudut sebesar 180
0
.
5. Gripper dibuat berbeda dengan joint yang lain, sudut 1 menunjukkan gripper
100% terbuka dan sudut 2 menunjukkan gripper 0% terbuka (100% tertutup).
Sudut 1 dan sudut 2 untuk gripper tentunya tidak perlu untuk dirubah.

SSC-12 mempunyai 12 keluaran yang dapat digunakan untuk mengontrol
12 buah motor servo, tetapi pada robot manipulator ini menggunakan 5 buah
keluaran, yaitu :
Ch 0 = Base (add to mid=Right, sub from mid=Left)
Ch 1 = Shoulder (add to mid=Back, sub from mid=Forward)
Ch 2 = Elbow (add to mid=Lower, sub from mid=Lift)
Ch 3 = Wrist (add to mid=Lift, sub from mid=Lower)
Ch 4 = Gripper (add to mid=Close, sub from mid=Open)

Motor yang digunakan pada robot ini adalah electric servomotors, pada
robot manipulator ini menggunakan motor servo untuk menggerakkan setiap
jointnya. Jenis motor yang digunakan yaitu HS-422 produksi Hitc RCD USA


Gambar 5. Spesifikasi standard HS-422


PKMP-6-18-8
HASIL UJI
Proses Pengambilan Data Visualisasi
Setelah semua instalasi selesai, fasilitas yang akan diperoleh berupa data
visual (dalam bentuk video cupture) yang akan ditampilkan pada pengendali sisi
lokal (local site). Pengendali lokal atau sering disebut dengan client yang ingin
mengakses visualisasi dari pengendali sisi jauh (Remote Site) atau mesin server
akan meminta layanan berupa akses dalam bentuk live video menggunakan port
8080. Dengan membuka internet browser windows ketikkan URL
http://localhost:8080, atau http//<host_name>:8080, atau dengan
http://<IP_address>:8080. Client akan mendapatkan tampilan visualisasi yang
ditampilkan pada main window.

Gambar 6. Tampilan visualisasi (live video)


Proses Kontrol Robot
Robot manipulator yang ada pada pengendali sisi jauh dapat dikontrol
malalui pengendali sisi lokal, dengan membuka internet browser windows
ketikkan URL http://localhost:8080/halaman_site.html, client akan memberikan
parameter data yang akan digunakan untuk menggerakkan robot manipulator.
Sedangkan untuk menguji faktor kecepatan proses dan faktor akurasi data,
digunakan perintah yang dikirim ke server hingga server lengkap mengerjakan
perintah tersebut. Hasilnya ternyata sangat bervariasi dan sangat bergantung pada
kondisi jaringan saat itu.


PKMP-6-18-9

Gambar 7. Tampilan visualisasi (video capteure)




Gambar 8. Tampilan kontrol robot

PKMP-6-18-10
KESIMPULAN
1. Sistem teleoperasi merupakan teknologi yang berhubungan dengan interaksi
antara manusia dengan sistem secara otomatis dari jarak yang jauh.
2. Sistem teleoperasi membutuhkan dua buah komponen utama yaitu bagian
pengendali lokal (Lokal Site) atau client dan bagian pengendali sisi jauh
(Remote Site).
3. Teknologi internet sebagai penghubung antara peralatan yang dioperasikan
dengan operator yang mengoperasikan peralatan jarak jauh.
4. Pada sistem teleoperasi ini, client dapat mengetahui keadaan atau perubahan
pada peralatan (robot manipulator) yang berada pada sisi jauh.

DAFTAR PUSTAKA
(1) Azikin, Askari. 2005. Kamera Pengawas Berbasis Open Source, PT.
Gramedia Jakarta.
(2) Bboyes. Five Axis Arm Demo with Amulet LCD GUI. 2002. Available from
URL : http://jstampu.systronix.com/appnote/arm5/ Accessed March 28, 2006.
(3) Carlyle, Jeffrey. WebCam2000. 2002. Available from URL :
http://www.stratoware.com/webcam2000/. Accessed February 7, 2006.
(4) Debian Serge. Available from URL : http://www.debian.org Accessed
December 15, 2005.Schilling,
(5) Hartanto, Antonius Aditya dan Purbo, Onno W.2001. Buku Pintar Internet
Teleoperasi Melelui Internet, PT. Elex Media Komputindo.
(6) Robert J., Fundamentals Of Robotics Analysis and Control, Associate
Professor Clarkson University.
(7) Spong, Mark W. and Vidyasagar, M.1989. Robot Dynamics And Control,
Permissions Department.
(8) SSC-12 Ver 2.0 (12 Channel Serial Servo Controller with Independent
Variable Speed), Lynxmotion, Inc. Available from URL:
http://www.lynxmotion.com Accessed January 12, 2006.
(9) Taufan, Riza. 2001. Manajemen Jaringan TCP/IP. PT. Elex Media
Komputindo
(10) Thamma, Mr. Ravinda. Huang, Dr. Luke H. Lou, Dr. Shi-Jer and Diez, Dr. C.
2004. Ray. Journal of Industrial Technology


PKMP-6-19-1
STUDI AWAL PEMBUATAN DAN UJI MENARA PENDINGIN
(COOLI NG TOWER) TIPE I NDUCED COUNTER FLOW
DENGAN BERBAGAI BAHAN FI LLER
UNTUK PRECOOLING PRODUK BUAH DAN SAYUR

Ilham, Nur Sodiqin, Rizki Fajar Dermawan
PS Keteknikan Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jember

ABSTRAK
Penanganan bahan hasil pertanian secara cepat dapat meningkatkan
ketersediaan pangan dan hasil dari petani. Dalam proses penanganan diperlukan
alat yang sederhana, murah dan terjangkau juga ramah lingkungan. Salah
satunya adalah pendinginan dengan menggunakan menara pendingin (cooling
tower). Dalam penerapan teknologi ini diharapkan sistem dapat menurunkan
suhu dan meningkatkan kelembaban yang dapat dimanfaatkan sebagai precooling
sayur dan buah. Prinsip kerja menara pendingin adalah meningkatkan waktu
kontak dan memperbesar luas permukaan kontak air dengan udara. Peningkatan
efisiensi pada menara pendingin dapat dilakukan dengan pemberian filler pada
menara dengan bermacam-macam bahan diantaranya batu apung dan busa.
Keberhasilan atau kinerja menara pendingin dinyatakan oleh nilai range dan
approach yang menunjukkan besarnya penurunan suhu, juga nilai karakteristik
menara. Berdasarkan penelitian, RH tertinggi diperoleh pada filler batu apung
sebesar 81,23 % , nilai range 3,23
o
C dan approach 1,33
o
C. Penurunan suhu
pada menara pendingin dapat dicari menggunakan persamaan regresi dalam
hubungan RH dan penurunan suhu. Karakteristik menara pendingin dihitung
berdasarkan nilai KdV/L , nilai terbesar adalah 0,368
o
C.kg/kJ terdapat pada
menara dengan filler busa. Nilai karakteristik menara pendingin sangat
dipengaruhi oleh fluktuasi suhu lingkungan terkait dengan kondisi menara
pendingin. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian filler pada
menara pendingin dapat meningkatkan nilai RH dan penurunan suhu. Filler batu
apung lebih baik digunakan dibandingkan dengan filler busa. Untuk
meningkatkan kinerja menara pendingin perlu adanya studi lanjut terkait dengan
bahan isolasi menara, air yang disirkulasikan dan sebaran suhu pada menara.

Kata kunci : menara pendingin, filler, penurunan suhu

PENDAHULUAN
Hasil pertanian berupa sayuran dan buah-buahan merupakan jaringan
hidup yang terus melanjutkan proses metabolisme yang meliputi proses fisiologis,
enzimatis dan kimiawi seperti fotosintesis dan respirasi. Oleh karena itu segera
setelah masa pasca panen dilakukan usaha-usaha yang dapat menurunkan laju
respirasi dan mempertahankan mutu produk selama mungkin, diantaranya dengan
pra-pendinginan dan penyimpanan produk hortikultura.

PKMP-6-19-2
Rata-rata kehilangan pasca panen produk sayuran dan buah mencapai 20-
30 %, sehingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi produsen, apalagi
biaya produksi juga terus semakin meningkat. Kondisi ini berdampak bagi
pasokan bahan pangan kepada masyarakat yang membutuhkan sehingga terjadi
kelangkaan produk dan harga yang semakin tinggi.
Produsen atau pedagang pengepul sayuran dan buah umumnya tidak
melakukan proses pre-cooling karena biaya dan fasilitas yang belum terjangkau.
Oleh sebab itu, produk sayuran dan buah hasil panen harus segera dijual untuk
meminimalkan kerusakan, meski harga jualnya semakin rendah.
Berdasarkan kondisi di atas perlu dilakukan adanya penelitian unit menara
pendingin untuk proses pre cooling. Keuntungan yang dapat diharapkan dari
sistem ini antara lain bisa diterapkan secara bersamaan untuk menurunkan suhu
dan meningkatkan kelembaban serta ramah terhadap lingkungan karena
menggunakan air murni untuk fluida pendingin. Prinsip kerja menara pendingin
adalah meningkatkan waktu kontak dan memperbesar luas permukaan kontak air
dengan udara. Ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah butiran air
atau dengan cara membiarkan air membentuk selapis film disepanjang permukaan
(British Standars Institution, 1988). Disamping itu diperlukan adanya pemisah
insulasi sehingga suhu dan kelembaban dalam sistem tidak dipengaruhi oleh suhu
lingkungan.
Untuk lebih meningkatkan efisiensi dari menara pendingin perlu
dilakukan upaya memperbesar luas permukaan antara air dan udara dalam proses
pendinginan dengan pemberian filler berupa batu apung atau karet busa.
Diharapkan dengan adanya filler diperoleh kinerja alat menara pendingin yang
lebih optimal.

Menara Pendingin
Pendinginan air adalah proses yang paling tua dikenal manusia. Dimulai
dari cara yang paling sederhana, yaitu dengan membiarkan air tergenang dalam
wadah atau kolam terbuka supaya bersentuhan dengan udara lingkungan sampai
dengan metode menyemprotkannya ke udara.
Sistem pendinginan dengan menara pendingin yaitu mendingin-kan air
dengan cara mengkontakkan langsung air dengan udara dan menguapkan sebagian
air tersebut (Stoecker dan Jones, 1987). Dalam kebanyakan menara pendingin
yang melayani sistem refrigerasi dan penyamanan udara, menggunakan satu atau
lebih kipas propeler atau sentrifugal untuk menggerakkan udara vertikal ke atas
atau horisontal melintasi udara. Luas permukaan air yang besar dibentuk dengan
menyemprotkan air lewat nosel atau memercikkan air ke bawah dari suatu bafel
ke bafel lainnya. Bafel-bafel atau bahan pengisi biasanya terbuat dari kayu tetapi
juga dibuat dari plastik atau bahan keramik. Konfigurasi menara pendingin yang
digunakan untuk pemakaian mesin daya kapasitas besar biasanya berbentuk
hiperbola, yang dilengkapi dengan cerobong setinggi 50 sampai 100 meter dimana
didalamnya berlangsung aliran udara konveksi secara alami. Penguapan
memerlukan panas laten penguapan yang diambil dari lingkungannya sehingga
lingkungan tersebut kehilangan panas sensibel dan mengalami penurunan suhu.
Proses pindah panas yang terjadi antara lain adalah pindah panas laten yang
memberikan proses penguapan bagian kecil dari air, dan pindah panas sensible
yang mengakibatkan perbedaan suhu antara air dan udara. Sekitar 80 % berupa

PKMP-6-19-3
pindah panas laten dan sisanya sekitar 20 % berupa pindah panas sensible (Perry
dan Chilton, 1973; Brown, 1974).
Pendinginan dengan menara pendingin dapat dilakukan dengan sistem
langsung maupun tidak langsung, atau kombinasi dari keduanya. Pada sistem
langsung air diuapkan langsung keudara suplai sehingga menghasilka pendinginan
sekaligus meningkatkan kelembaban udara suplai tersebut. Sistem pendinginan
tidak langsung meliputi penguapan air ke udara yang mengalir sehingga terjadi
pertukaran panas sensibel melalui penukar panas dengan udara suplai. Pada
kombinasi kedua sistem, besarnya pendinginan tergantung pada kondisi
psychrometric udara luar. Pendinginan dilakukan dengan memecah aliran air
untuk menyediakan bidang luasan permukaan air yang lebar bagi udara, yang
mengalir secara alami atau diberikan kondisi paksaan agar dapat melewati
menara, untuk bersentuhan dengan air (ASHRAE Handbook Fundamentals,
1985).
Secara teoritis kemungkinan panas yang dipindahkan per kg massa udara
yang disirkulasikan didalam menara pendingin tergantung pada suhu dan
kandungan lengas udara. Satu indikator kandungan lengas udara adalah suhu bola
basah udara. Selanjutnya secara ideal suhu bola basah adalah suhu teoritis
terendah yang bisa dicapai oleh air yang didinginkan. Pada prakteknya suhu air
dingin yang keluar dari menara pendingin mendekati tetapi tidak sama dengan
suhu bola basah udara, hal ini disebabkan tidak mungkin mengkontakkan semua
air dengan udara segar selama air jatuh melewati permukaan filler atau bafel
(bahan isian menara pendingin) ke dasar menara. Besarnya pendekatan ke suhu
bola basah tergantung pada desain menara. Faktor yang penting adalah waktu
kontak udara dengan air, jumlah luas permukaan filler dan besar kecilnya pecahan
air ke bentuk butiran (Perry dan Chilton. 1973).
Menara pendingin mendinginkan air dengan mengkontakkannya dengan
udara dan menguapkan sebagian air tersebut. Dalam kebanyakan menara
pendingin yang melayani sistem pendinginan dan pengkondisian udara,
menggunakan kipas propeler atau sentrifugal untuk menggerakkan udara vertikal
ke atas atau horisontal melintasi menara. Luas permukaan air yang besar dibentuk
dengan menyemprotkan air lewat nosel atau memercikkan air ke bawah dari suatu
bafel ke bafel lainnya. Bafel-bafel atau bahan-bahan pengisi biasanya terbuat dari
kayu, namun bisa juga dari plastik atau keramik (Stoecker dan Jones, 1982).
Tujuan utama dari menara pendingin adalah untuk mendinginkan air
dengan melepaskan panas darinya. Penggunaan air sebagai media pindah panas
dalam sistem pendinginan atau pemanasan lebih banyak digunakan, karena
penggunaan air lebih mengefisienkan energi dibandingkan menggunakan media
transfer udara (Langley, 1986).
Prestasi menara pendingin dinyatakan dalam range dan approach. Ring
adalah selisih suhu air masuk dan keluar menara pendingin, sedangkan approach
adalah selisih suhu air yang keluar dari menara pendingin dengan suhu bola basah
udara lingkungan. Dalam menara pendingin, perpindahan panas berlangsung dari
air keudara tak jenuh. perpindahan panas bisa terjadi karena perbedaan suhu bola
kering atau perbedaan tekanan uap antara permukaan air dan udara (Stoecker dan
Jones, 1982).
Teori pindah panas selama ini adalah teori yang dikembangkan oleh
Merkel pada tahun 1925. Analisis persamaan Merkel adalah kombinasi dari

PKMP-6-19-4
pindah panas sensibel dan pindah panas laten menuju keseluruhan proses yang
didasarkan pada potensial entalpi sebagai driving force. Setiap partikel dari
curahan air dalam menara pendingin dikelilingi interface yang akan mengambil
panas dari air. Panas ini kemudian dipindahkan dari interface menuju massa
udara, baik dengan pindah massa sensibel maupun pindah panas laten, setara
dengan pindah massa yang dihasilkan dari penguapan dari bagian kecil air (Baker
dan Shryock, 1961).
Kedua proses tersebut berlangsung dan dapat dituliskan dalam persamaan :
Ldt = K dV (h-h) = G dh .(1)
Dimana :
K adalah koefisien pindah massa (kg air/jam m
2
kg/jam m
2
), adalah luas
permukaan kontak air dan udara (m
2
/m
3
x volume menara m
2
), V adalah volume
pendingin aktif (m
3
/m
2
x luasan areal m
3
), L adalah laju aliran air (kg/jam x m
2
),
G adalah laju aliran udara (kg/jam x m
2
), h adalah entalpi udara jenuh pada suhu
air (kJ/kg), h adalah entalpi udara yang mengalir (kJ/kg), dt adalah d (T
1
-T
2
), T
1

adalah suhu air masuk menara pendingin (
o
C), T
2
adalah suhu air keluar menara
pendingin (
o
C), dh adalah d(h
1
-h
2
), h
1
adalah entalpi udara masuk menara
pendingin (kJ/kg) dan h
2
adalah entalpi udara keluar menara pendingin (kJ/kg).



range(rentang) Air masuk
Air keluar
approach Bola basah udara masuk
(pendekatan)




Gambar 1 Range dan approach dalam menara pendingin (Stoecker dan Jones,
1982)

Tipe-tipe Menara Pendingin
British Standart Institution (1998) menyebutkan bahwa terdapat banyak
sekali tipe menara pendingin, namun umumnya dapat dibedaka menjadi dua
kelompok berdasarkan cara pergerakan udara didalam menara, yaitu :
a. Natural draft tower
1. atmosfheric tower
2. hyberboloid tower
b. Mechanical draft tower
1. forced draft tower, pada tipe ini kipas dipasang pada dasar menara
sehingga udara ditekan masuk melalui dasar tersebut dan dikeluarkan
dengan kecepatan yang rendah melalui bagian atas menara. Keuntungan
tipe ini adalah kipasnya diletakkan diluar menara sehingga mudah untuk
dikontrol dan diperbaiki. Sedangkan kerugiannya adalah karena kecepatan
pengeluaran udaranya rendah maka akan menyebabkan resirkulasi uap
lembab ke pengambilan udara semula . hal ini berakibat suhu air yang
didinginkan meningkat kembali.

PKMP-6-19-5
2. Induced draft tower, yang dibagi menjadi dua arah aliran yaitu :
counterflow tower serta crossflow tower.
a. Tipe counterflow (aliran berlawanan), tipe ini menghasilkan entalpi
maksimum karena air terdingin akan bertemu dengan udar terdingin.
b. Tipe croosflow (aliran menyilang), tipe ini dapat mengurangi nilai
karakteristik menara sampai tingkat hampiran yang sangat rendah,
dengan meningkatkan jumlah udara pendingin dan menurunkan rasio
L/G. Tipe crossflow ini mempunyai kelemahan yaitu meningkatkan
daya kipas terpasang.
Pada dasarnya pembagian tipe menara pendingin, tergantung dari pola
aliran udara yang terjadi, apakah terjadi aliran air dan udara yang menyilang
(crossflow), aliran berlawanan (counterflow), atau kombinasi keduanya (mixed
flow).

METODE PENDEKATAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan Pebruari 2006 di Laboratorium
Bengkel Logam Politeknik Negeri Jember selama 4 bulan. Bahan yang digunakan
adalah tabung plastik besar tinggi 100 cm dengan diameter 45 cm sebagai badan
menara, bak penampung setinggi 40 cm dengan diameter 30 cm, rangkaian kawat
kasa setinggi 75 cm sebagai tempat filler, filler berupa potongan busa dan batu
apung, kipas aksial, nosel, pipa PVC dan pompa air. Sedangkan alat yang
digunakan adalah alat-alat perbengkelan, alatalat penguji yang meliputi pengukur
suhu dan RH (data logger LM 355), pengukur kecepatan udara (Airflow LCA
6000), pengukur kecepatan air dan psychrometric chart.
Metode percobaan diawali dengan pembuatan prototipe menara pendingin,
dilanjutkan dengan pengukuran parameter suhu, kelembaban, kecepatan aliran air
dan kecepatan udara. Parameter suhu dan RH diukur setiap 2,5 menit selama 30
menit. Suhu yang diukur adalah suhu udara masuk, suhu bola basah udara, suhu
air pada nosel dan suhu air pada penampung. Kecepatan udara diukur pada bagian
bawah menara (udara masuk) dan atas (udara keluar) kemudian dirata-rata.
Kecepatan aliran air diukur pada pipa sebelum melewati nosel.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian diperoleh kecepatan aliran air sebesar 7,181
liter/menit dan kecepatan aliran udara rata-rata 36 m/menit.
Keberhasilan dalam pembuatan suatu menara pendingin diukur dari
kemampuan menara pendingin dalam mendinginkan air dengan melepaskan panas
darinya. Hal itu dinyatakan dalam range dan approach, serta nilai karakteristik
menara pendingin. Range adalah selisih antara suhu air masuk dan suhu air keluar
menara pendingin, sedangkan approach adalah selisih antara suhu keluar menara
dan suhu bola basah udara masuk. Nilai karakteristik menara pendingin adalah
besarnya nilai KdV/L sesuai dengan persamaan Merkel.

Range dan Approach Menara Pendingin
Tabel 1 menunjukkan besarnya nilai suhu dan RH pada masing-masing
kondisi filler, sehingga dapat diperoleh nilai range dan approach. Sesuai dengan
tabel diatas menara pendingin yang didalamnya tidak terdapat filler mempunyai
nilai RH dan approach paling kecil yaitu 70,23 % dan 0,45. Nilai RH dan

PKMP-6-19-6
approach yang paling tinggi ada pada menara dengan filler batu apung yaitu 81,23
% dan 1,33. Sedangkan nilai RH dan approach menara dengan filler busa adalah
73,38 % dan 1,16. Nilai approach disini menunjukkan seberapa jauh penurunan
suhu air terhadap suhu udara lembab yang masuk ke menara. Semakin besar nilai
approach maka semakin jauh lebih rendah suhu air yang keluar menara terhadap
suhu udara lembab. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian filler dapat
meningkatkan penurunan suhu air.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Rata-rata pada Berbagai Kondisi Filler
suhu udara suhu air
Filler Tw Td RH (%) basin nosel range approach
Tanpa filler 28.87 33.69 70.23 28.42 31.53 3.11 0.45
batu apung 28.78 30.59 81.23 27.46 30.68 3.23 1.33
busa 29.38 32.80 73.38 28.22 30.80 2.58 1.16


Nilai range disini tidak dapat digunakan sebagai pedoman dalam
penentuan efektif atau tidaknya suatu menara pendingin dalam pengkondisian
penyimpanan bahan. Hal itu disebabkan oleh besarnya nilai range yang sangat
ditentukan oleh perbedaan suhu air masuk melalui nosel dan suhu air keluar
menara. Sebagaimana diketahui bahwa suhu air masuk menara melalui nosel
mengalami kenaikan suhu pada saat melalui pompa dan pipa-pipa akibat adanya
gaya gesek antara air dan dinding bahan, juga perpindahan panas dari pompa air
selama pompa bekerja.
Penurunan suhu air nilainya sangat dipengaruhi oleh nilai RH, yang
nilainya juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Jika suhu lingkungan
berfluktuatif maka nilai-nilai faktor yang berpengaruh terhadap penurunan
suhupun berfluktuatif. Semakin tinggi nilai RH akan semakin kecil penurunan
suhu yang terjadi. Berikut ini hubungan antara nilai RH dengan selisih suhu air
keluar (basin) dan suhu bola basah udara, juga RH dengan selisih suhu air keluar
(basin) dan suhu udara.














Gambar 1. Hubungan antara RH (%) dengan Selisih Suhu (
o
C) pada Kondisi
Tanpa Filler

y = -0.0488x + 3.8824
y = -0.207x + 19.815
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
66.00 68.00 70.00 72.00 74.00 76.00 78.00
RH (%)
S
e
l
i
s
i
h

S
u
h
u

(
o
C
)
Twb - T out Tdb - T out

PKMP-6-19-7














Gambar 2. Hubungan antara RH (%) dengan Selisih Suhu (
o
C) pada Kondisi
Filler Batu Apung















Gambar 3. Hubungan antara RH (%) dengan Selisih Suhu (
o
C) pada Kondisi
Filler Busa


Dari gambar diatas, besarnya penurunan suhu yang dapat dicapai oleh
menara pendingin dengan berbagai filler dapat dicari melalui persamaan regresi
yang didapat. Pada menara pendingin tanpa filler dapat menurunkan suhu sebesar
3,255
o
C dengan RH 80%, 7,395
o
C dengan RH 60% dan 9,465 dengan RH 50%.
Pada menara pendingin berfiller batu apung terjadi penurunan suhu 3,362
o
C
dengan RH 80%, 7,086
o
C dengan RH 60% dan 8,948
o
C dengan RH 50%.
Sedangkan pada menara pendingin berfiller busa penurunan suhu sebesar 3,369
o
C
dengan RH 80%, 7,035
o
C pada RH 60% dan 3,369
o
C pada RH 50%.

Nilai Karakteristik Menara Pendingin
Nilai karakteristik menara pendingin pada penelitian ini diperoleh
berdasarkan persamaan Merkel seperti pada persamaan (1) yaitu :
L dt = KdV (h h) = G dh
y = -0.0804x + 7.8604
y = -0.1862x + 18.258
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
65.00 70.00 75.00 80.00 85.00 90.00
RH (%)
S
e
l
i
s
i
h

S
u
h
u

(
o
C
)
Twb - T out Tdb - T out
y = -0.2087x + 16.477
y = -0.1833x + 18.033
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
69.00 70.00 71.00 72.00 73.00 74.00 75.00 76.00 77.00
RH (%)
S
e
l
i
s
i
h

S
u
h
u

(
o
C
)
Tdb - T out T wb - T out

PKMP-6-19-8
Berdasarkan persamaan tersebut dapat dijabarkan bahwa :
L dt = KdV (h h) sehingga KdV/L = dt/(h- h) = (T1 T2) / (h- h)
L dt = G dh sehingga L/G = dh/dt = (h2 h1) / (T1-T2).
Besarnya nilai KdV/L atau L/G tersebut dapat digunakan sebagai dasar
bagaimana karakteristik dari menara pendingin tersebut. Berdasarkan data pada
tabel 1 nilai KdV/L dapat dicari seperti berikut ini.

Tabel 2. Persamaan Regresi antara RH (%) dan Selisih Suhu (
o
C)
Filler T db T out T wb T out
Tanpa filler Y = -0,207 X + 19,815 Y = -0,0488 X + 3,8824
Batu apung Y = -0,1862 X + 18,258 Y = -0,0804 X + 7,8604
Busa Y = -0,1833 X + 18,033 Y = -0,2087 X + 16,477

Tabel 3. Nilai Karakteristik Menara Pendingin pada Berbagai Kondisi Filler
Filler T1
(
o
C)
T2
(
o
C)
h
(kJ/kg )
h
(kJ/kg )
T1-T2
(
o
C)
h h
(kJ/kg )
KdV/L
(
o
C.kg/kJ)
Tanpa filler 31.53 28.42 106 94 3.11 12 0.259
Batu apung 30.68 27.46 103 93 3.22 10 0.322
Busa 30.80 28.22 104 97 2.58 7 0.368

Seperti yang tercantum pada tabel 3 nilai KdV/L terbesar adalah pada
menara berfiller busa, yaitu sebesar 0,368
o
C.kg/kJ. Pada menara berfiller batu
apung sebesar 0,322
o
C.kg/kJ, sedangkan pada menara pendingin tanpa filler
sebesar 0,259
o
C.kg/kJ. Nilai tersebut menunjukkan besarnya koefisien pindah
massa air melalui udara pada permukaan bahan pengisi. Semakin besar luas
kontak akan semakin besar nilainya. Hal ini ditunjukkan pada menara yang
berfiller busa. Luas permukaan kontak pada filler busa lebih besar dibanding
dengan filler batu apung ataupun tanpa filler.
Berdasarkan data analisa keberhasilan menara pendingin, besarnya
penurunan suhu pada suatu menara pendingin dipengaruhi oleh bahan filler, bukan
berdasarkan luas permukaan filler saja. Semakin baik daya hantar panas filler
tersebut, maka akan semakin baik dalam menyerap panas dari butiran-butiran air,
sehingga air yang keluar dari menara pendingin lebih cepat dingin.

KESIMPULAN
Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian filler pada suatu
menara pendingin dapat meningkatkan penurunan suhu air terhadap suhu lembab
udara (suhu bola basah) dan penambahan nilai RH. Filler batu apung lebih baik
digunakan dibandingkan filler busa, karena penurunan suhu lebih tinggi dan RH
lebih tinggi. Untuk mendapatkan kinerja protipe menara pendingin yang lebih
baik, perlu adanya studi lanjut mengenai alat ini, terkait dengan bahan yang
digunakan sebagai menara, air yang disirkulasikan dan sebaran suhu dalam
menara.





PKMP-6-19-9
DAFTAR PUSTAKA
1. ASHRAE Handbook Fundamentals. 1985. Published by thr American
Society of Hetaing, Refrigerating, and Air Conditioning Engineerings.
Inc. 1791 Tullie Circle, N.E., Atlanta, GA 30329.
2. Baker, D.R., dan H.A. Shryock. 1961. A Comprehensif Approach to the
Analysis of Cooling Tower Performance. Journal of Heat Transfer. ASME.
3. British Standart Institution. 1998. Water Cooling Tower.
4. Langley, B.C. 1986. Refigeration and Air Conditioning. 3
th
ed. Prentice
Hall England cliff. New Jersey.
5. Perry, R.H., dan C.H. Chilton, 1973. Chemical Engineers; Handbook, Fifth
Edition. Mc Graw Hill Kogakusha. Ltd.Tokyo.
6. Stoecker, W.F dan J.W. Jones, 1987. Refrigeration and Air Conditioning.
2
nd
Edition. 4
th
Printing. Mc Graw Hill Book Company. Printed in Singapore
by Chong Moh Offset Printing Pte. Ltd.


PKMP-6-20-1
STUDI TENTANG KEAMANAN PANGAN MELALUI DETEKSI
KANDUNGAN UNSUR BABI DENGAN METODE IMUNODIFUSI
DALAM PRODUK BAKSO SAPI DI WILAYAH KODYA MALANG

Khoirul Anam, Hikmah Ali, Catur Budi Prayitno
Jurusan Teknologi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan Perikanan
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang


ABSTRAK
Pangan dikatakan aman apabila tidak terdapat unsur-unsur yang berbahaya bagi
manusia, baik berasal dari mikroorganisme ataupun bahan-bahan berbahaya
yang sengaja ataupun tidak sengaja terkonsumsi sehingga mempengaruhi
perubahan fungsi fisiologi tubuh, akibatnya kondisi homeostatis tidak tercapai.
Bahan-bahan makanan asal hewani walaupun mungkin tidak mengganggu fungsi
fisiologis tubuh, ada beberapa yang tidak dihalalkan bagi umat muslim untuk
dikonsumsi antara lain binatang bertaring, binatang amphibi dan babi.
Keberadaan babi dan unsur-unsurnya menjadikan bahan makanan tidak aman
untuk dikonsumsi. Bakso adalah olahan hasil ternak yang berasal dari Cina, yang
semula dibuat dari daging babi. Di Indonesia dikembangkan dengan berbagai
macam daging. Sebagian masyarakat Indonesia yang tidak menghiraukan
masalah halal dan haram, bagi umat muslim masih banyak menggunakan daging
babi baik seluruhnya ataupun sebagian untuk membuat olahan bakso. Tujuan
penelitian ini adalah mendeteksi adanya unsur babi pada produk bakso tanpa
kemas (bakso keliling dan bakso depot) yang beredar di Kodya Malang. Adapun
unsur babi yang berupa protein merupakan antigen dimana perlu antibodi untuk
pendeteksiannya. Metode imunodifusi dianggap paling mudah diaplikasikan dan
cukup murah. Metode imunologi dipergunakan dalam penelitian ini dimana
dimulai dengan memberikan antigen babi dengan cara penyuntikan ekstrak
daging babi pada kelinci yang specific pathogen free (SPF).

Kata kunci: lahan; Daging Babi; Imunodifusi


PENDAHULUAN
egara Indonesia sebagai Negara besar dengan sebagian besar penduduknya
penganut agama Islam tentu menjadi pertimbangan tersendiri bagi industriawan
yang bergerak dalam bidang usaha makanan dan minuman. Produk yang
dihasilkan bukan hanya memenuhi kriteria dalam hal gizi, keamanan dari cemaran
mikroorganisme dan kontaminasi dari bahan kimia berbahaya (residu), akan tetapi
juga memenuhi kriteria dari sudut pandang kaidah agama dalam hal ini memenuhi
persyaratan kehalalan.
Aspek kehalalan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan
menjadi pertimbangan tersendiri bagi produsen makanan dan minuman untuk bisa
memasarkan produknya pada konsumen kalangan muslim. Halal haram produk
makanan menjadi masalah serius apabila hal ini tidak diperhatikan oleh produsen
yang akan menyebabkan dampak negatif terhadap kelangsungan usaha.

PKMP-6-20-2
Sistem pengawasan makanan dan minuman merupakan tanggungjawab
bersama antara tiga pilar utama : Pemerintah, Produsen dan konsumen. Sistem
pengawasan makanan oleh pemerintah dalam hal ini Ditjen Pengawasan Obat dan
Makanan (POM) dilakukan melalui : Standarisasi dan Regulasi; Registrasi;
Sampling dan Pengujian; Penegakan Hukum; Monitoring dan Evaluasi serta
Public Warning.
Diversifikasi produk olahan makanan terutama pada industri hilir
(Agroindustri) sub sektor peternakan semakin beragam. Konsekuensinya adalah
sistem pengawasan yang diberlakukan semakin dituntut untuk selalu mengiringi
perkembangan dalam industri ini. Hal ini untuk mencegah seminim mungkin
penyelewengan yang berimplikasi pada kerugian pada pihak konsumen.
Bakso sebagai produk olahan hasil ternak telah lazim diketahui sebagai
produk olahan yang berbahan dasar dari daging, kebanyakan menggunakan
daging sapi. Pada industri besar, yang memproduksi bakso kemasan menjadi tugas
bagi LP-POM MUI sebagai lembaga dibawah naungan pemerintah untuk
sertifikasi kehalalannya. Karena produk tersebut dikemas dan diawetkan dengan
melalui sistem penjualan lebih panjang untuk sampai ke konsumen. Pada industri
kecil-rumah tangga yang memproduksi bakso yang dijual dengan tampilan siap
konsumsi tanpa perlakuan yang bersifat mengawetkan produk, tentunya tidak ada
sistem yang bertindak sebagai pengawas jika ada kecurangan. Kemungkinan
kecurangan yang terjadi menyangkut masalah kehalalan produk tersebut
berkaitan dengan penambahan zat atau bahan lain yang dari sisi kahalalannya
tidak terjamin. Dalam hal ini adanya unsur babi yang ditambahkan pada produk
tersebut.
Wilayah Kodya Malang terkenal dengan salah satu makanannya yaitu
bakso. Di Kodya Malang sendiri banyak pedagang bakso baik yang keliling
dengan menggunakan gerobak untuk menjajakan produknya ataupun yang
menetap pada suatu lokasi. Beberapa isu yang beredar pada masyarakat mengenai
kecurangan oleh produsen perlu disikapi dengan bijak. Sistem pengawasan pada
produk industri kecil rumah tangga ini masih sangat lemah terhadap adanya
penipuan kepada konsumen yang menyangkut beberapa aspek salah satunya
adalah ada atau tidak adanya unsur babi dalam bakso.
Pengujian imunologi yang dilakukan pada produk makanan digunakan
untuk mendeteksi kandungan spesies daging tertentu memang penting guna
menjamin kenyamanan konsumen (muslim). Kenyamanan konsumen (muslim)
berupa ketenangan dalam mengkonsumsi produk yang bebas dari kandungan
unsur haram dalam hal ini unsur babi.
Beberapa metode dengan prinsip imunologi yang telah jamak digunakan
mempunyai prinsip kerja yang sama yaitu mereaksikan antara antigen (produk
yang disinyalir mengandung unsur tertentu) dengan antiserum dari unsure daging
yang disinyalir tersebut, seperti imunodifusi. Metode ini mampu menunjukkan
hasil sebatas kualitatif dengan indikasi yang jelas.



METODE PENDEKATAN
Penelitian ini menggunakan metode survey dengan pengambilan sample
secara Insidental yaitu dengan mengambil beberapa sample bakso yang

PKMP-6-20-3
didapatkan dari penjual bakso keliling dan penjual bakso depot yang mana
pengambilannya didasarkan adanya indikasi pencampuran antara daging sapi
dengan daging babi yang terdapat di Kodya Malang. Metode analisis yang
digunakan adalah metode analisis kualitatif dengan menggunakan uji imunodifusi
berdasarkan prinsip Imunologi. Teknik imunodifusi menurut Ouchterlony masih
banyak digunakan walaupun teknik ini merupakan teknik lama. Pada lapisan gel
agarose yang dibuat diatas lempeng kaca dibuat sumur-sumur demikian rupa
hingga salah satu sumur terletak ditengah dan sumur-sumur lain disekitarnya
(lihat gambar 1) , kemudian disumur-sumur itu dimasukkan antigen dan kedalam
sumur yang terletak ditengah dimasukkan antibodi. Setelah itu antigen dan
antibodi dibiarkan berdifusi ke dalam lapisan agar dan dimana keduanya bertemu
dan mencapai keseimbangan terbentuk kompleks yang mengendap dan
membentuk garis presipitasi. (lihat gambar 2)













Gambar 1. Lempengan Kaca Untuk Imunodifusi


Pembuatan Antigen.
Pada tahap selanjutnya yaitu pembuatan antigen dengan cara mengekstrak
daging babi dicampur dengan aquadest murni menggunakan blender lalu disaring.
Pada penelitian kali ini digunakan konsentrasi pencampuran 5% (5gr daging babi
dan 100ml aquadest murni) dan 10% (10gr daging babi dan 100ml aquadest
murni) dan masing-masing diberi perlakuan yaitu : tanpa pemanasan, pemanasan
dengan suhu 50C selama 5 menit, dan pemanasan dengan suhu 100C selama 5
menit. Pemanasan dilakukan di waterbath setelah daging babi diekstrak.
Setelah antigen didapatkan (ekstrak daging babi), kemudian dilakukan
penyuntikan antigen ke masing-masing kelinci sesuai perlakuan. Penyuntikan
dilakukan seminggu sekali sebanyak 1 ml antigen selama 3 minggu pada bagian
intramuscular atau dibagian subcutan, karena pada bagian ini tidak terlalu dekat
dengan bagian tubuh yang banyak terdapat syaraf-syaraf dan antigen dapat lebih
mudah terserap oleh tubuh karena bagian intramuscular lebih dekat ke pembuluh
darah besar yang dekat dengan jantung sehingga lebih aman dan mudah.


GARIS PRESIPITASI


PKMP-6-20-4
Difusi Difusi







Ekses Antibodi Ekses Antigen
KESEIMBANGAN


(PROZONE) (POSTZONE)

Sample









Reaktan









Gambar 2. Imunodifusi Ganda (dikutip dari Nakamura)


Pemanenan Antiserum.
Setelah 3 minggu kemudian dilakukan pengambilan sample darah kelinci
(pemanenan) pada bagian telinga (pembuluh arteri) dengan masing-masing
kelinci 1 ml antiserum (Antibodi protein babi). Setiap antiserum akan dipisahkan
sesuai konsentrasi dan perlakuannya kemudian disentrifuge dingin dengan
penyetelan suhu (4C), kecepatan (10000rpm) dan waktu (10 menit) sehingga anti
serum dan plasma darah dapat dipisahkan.
Pengambilan Sample
Kemudian dilakukan pengambilan sample bakso secara insidental yang
ada di Kodya Malang, baik penjual bakso keliling maupun penjual bakso depot.
Lapisan
Gel
Lapisan
Gel
Lapisan
Gel
Ab Ag
R

PKMP-6-20-5
Masing-masing sampel diekstrak dengan perbandingan konsentrasi 1 : 10 dan 5 :
10.

Pengujian Dengan Imunodifusi
Pembuatan agar gel presipitation dengan memasukkan 0,4 gr agarose; 1,2
polietilen glikol 6000 (PEG); 20 ml aquadest dan 20 ml buffer phospat Ph 7,2
kedalam erlenmeyer, kemudian ditutup dan dipanaskan dalam air mendidih
sehingga seluruh materi larut secara homogen. Dengan menggunakan pipet 10 ml,
agar cair dituang kedalam lempeng kaca yang diletakkan diatas meja horisontal
dan dibiarkan hingga mengeras dan membentuk lapisan agar dengan tebal 1 mm,
setelah mengeras dibuatlah lubang-lubang untuk sumur-sumur antigen/antiserum
homolognya dengan puncher gel. Gel disimpan dalam suhu 25-30C selama 18
jam pada kotak khusus yang kelembabannya terjaga. Apabila ada garis presipitasi
pada antigen homolognya ini menandakan bahwa didalam serum yang diperiksa
terdapat antigen yang relevan dengan antibodi yang dipakai (positif) dan apabila
negatif tidak tampak adanya garis presipitasi.
Setelah merujuk sebuah sumber dari ITB Central Library telah ditemukan standart
antiserum yang sesuai untuk makanan hasil ternak olahan guna mencari standart
kit yaitu pembuatan antiserum yang sesuai dengan antigen. Konsentrasi
pengenceran yang digunakan adalah 1/256 untuk antigen (1 cc bagian ekstrak
babi, 256 aquadest murni) dan 1/64 untuk antibodi (1 cc antiserum, 64 cc aquadest
murni). Dimana bahan bakso yang diekstrak dianggap sebagai antigen.
Penarikan kesimpulan dari hasil uji presipitasi kualitatif dengan melihat
reaksi yang ditimbulkan antara antiserum dengan filtrate bakso. Bentuk reaksi
yang ditimbulkan apabila mengalami presipitasi/berdifusi maka sample bakso
tersebut dipastikan ada kandungan unsur babi dan apabila tidak terjadi reaksi
maka bakso tersebut tidak ada kandungan unsur babi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Antiserum yang didapat dari penyuntikan daging babi dengan konsentrasi
1 : 10 dan 5 : 10, dengan pemanasan 50C, 100C dan tanpa pemanasan, ternyata
hanya menunjukkan 2 sample saja yaitu sample 011 (tanpa pemanasan) dan
sample 016 (tanpa pemanasan dan pemanasan 50C) memberikan reaksi
imunodifusi pada daging bakso sample yang diuji yang didapatkan dari penjual
bakso keliling dan penjual bakso depot. Hasil menunjukkan bahwa belum terjadi
keseimbangan / kesetaraan antara konsentrasi antigen dan antibodinya pada semua
sample, kecuali sample 011 (tanpa pemanasan) dan sample 016 (tanpa pemanasan
dan pemanasan 50C) saja. (lihat table 1).
Penelitian selanjutnya akan menggunakan konsentrasi baru yaitu dengan
konsentrasi pengenceran antibodi 1 : 64 kali dan antigen 1 : 256 kali. Dimana
penelitian sudah memperoleh antiserum dari antigen daging babi yang disuntikkan
dengan konsentrasi 1 : 256 kali. Sampel sudah dipersiapkan dan hasil pengujian
akhir sudah didapatkan. (lihat table 2).

Tabel 1. Hasil Penelitian Deteksi Unsur Babi.
Kode Perlakuan
Sampel Tanpa
Pemanasan Ag
Pemanasan Ag
Protein Babi
Pemanasan Ag
Protein Babi

PKMP-6-20-6
Protein Babi (50C) (100C)
001 Negatif Negatif Negatif
002 Negatif Negatif Nagatif
003 Negatif Negatif Negatif
004 Negatif Negatif Negatif
005 Negatif Negatif Negatif
006 Negatif Negatif Negatif
007 Negatif Negatif Negatif
008 Negatif Negatif Negatif
009 Negatif Negatif Negatif
010 Negatif Negatif Negatif
011 Positif Negatif Negatif
012 Negatif Negatif Negatif
013 Negatif Negatif Negatif
014 Negatif Negatif Negatif
015 Negatif Negatif Negatif
016 Positif Positif Negatif
017 Negatif Negatif Negatif
018 Negatif Negatif Negatif
019 Negatif Negatif Negatif
020 Negatif Negatif Negatif
021 Negatif Negatif Negatif
022 Negatif Negatif Negatif
023 Negatif Negatif Negatif
024 Negatif Negatif Negatif
025 Negatif Negatif Negatif
026 Negatif Negatif Negatif
027 Negatif Negatif Negatif
028 Negatif Negatif Negatif
029 Negatif Negatif Negatif
030 Negatif Negatif Negatif


Antiserum yang didapat dari penyuntikan daging babi dengan konsentrasi
1 : 64 kali dan 1 : 256 kali dengan pemanasan 50C, 100C dan tanpa pemanasan,
ternyata jauh lebih bagus hasilnya dibandingkan dengan pemakaian konsentrasi 1
: 10 dan 5 : 10. Pada pemakaian konsentrasi 1 : 64 kali dan 1 : 256 kali
menunjukkan adanya reaksi presipitasi yang lebih banyak terutama pada sample
yang mengalami perlakuan tanpa pemanasan, dengan jumlah sample positif (23
sample) dan sample negatif (7 sample),

Tabel 2. Hasil Penelitian Deteksi Unsur Babi.

Kode Perlakuan
Sampel Tanpa
Pemanasan Ag
Protein Babi
Pemanasan Ag
Protein Babi
(50C)
Pemanasan Ag
Protein Babi
(100C)
001 Positif Positif Negatif

PKMP-6-20-7
002 Positif Positif Negatif
003 Positif Negatif Negatif
004 Positif Positif Positif
005 Negatif Negatif Negatif
006 Negatif Negatif Negatif
007 Positif Positif Negatif
008 Positif Negatif Negatif
009 Positif Positif Negatif
010 Positif Negatif Negatif
011 Positif Negatif Negatif
012 Positif Negatif Negatif
013 Negatif Negatif Negatif
014 Positif Positif Positif
015 Positif Negatif Negatif
016 Negatif Negatif Negatif
017 Positif Positif Positif
018 Positif Positif Positif
019 Negatif Negatif Negatif
020 Positif Negatif Negatif
021 Positif Positif Positif
022 Negatif Negatif Negatif
023 Negatif Negatif Negatif
024 Positif Positif Positif
025 Positif Positif Negatif
026 Positif Positif Negatif
027 Positif Negatif Negatif
028 Positif Positif Negatif
029 Positif Positif Negatif
030 Positif Negatif Negatif

Pada perlakuan pemanasan antigen protein babi dengan suhu 50C jumlah
sample positif (14 sample) dan sample negatif (16 sample), sedangkan pada
perlakuan pemanasan antigen protein babi dengan suhu 100C jumlah sample
yang positif (6 sample) dan yang negatif (24 sample). Hal ini menunjukkan bahwa
tanpa adanya pemanasan protein babi (antigen) yang akan disuntikkan tidak
mengalami kerusakan, sedangkan pada pemanasan protein babi (antigen) dengan
suhu 50C sudah mulai sedikit mengalami kerusakan, dan pada pemanasan
protein babi (antigen) dengan suhu 100C sudah banyak mengalami kerusakan
(denaturasi). Karena daging babi merupakan jenis daging intermedier yang mana
mudah mengalami kerusakan (denaturasi) apabila mengalami pemanasan yang
berlebihan. Tidak menutup kemungkinan terdeteksinya adanya unsur babi bias
juga disebabkan oleh faktor ketidaksengajaan, dimana terjadinya pencampuran
dengan sisa daging babi yang masih menempel pada alat penggilingan yang baru
digunakan untuk menggiling daging babi.

KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan antiserum yang
didapat dari penyuntikan daging babi dengan konsentrasi 1 : 10 dan 5 : 10, dengan

PKMP-6-20-8
pemanasan 50C, 100C dan tanpa pemanasan ternyata kurang bias dijadikan
sebagai standart kit dalam pendeteksian adanya unsur babi pada bahan pangan
olahan (bakso). Namun dalam penelitian yang menggunakan konsentrasi
penyuntikan 1 : 64 dan 1 : 256 dengan perlakuan yang sama, menunjukkan adanya
kemampuan dalam hal mendeteksi adanya unsur babi pada produk bakso keliling
dan depot di Kodya Malang. Namun dengan pengambilan 30 sample belum bisa
mewakili atau belum bisa dijadikan acuan bahwa produk bakso baik yang berasal
dari penjual keliling atau penjual bakso depot yang ada di Kodya Malang banyak
mengandung daging babi. Oleh karena itu disarankan perlu adanya penelitian
lebih lanjut pada penambahan jumlah sample yang lebih banyak agar hasil
penelitian dapat mewakili suatu daerah yang akan diteliti.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1994. Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Binarupa Aksara.
Jakarta.
Darmadja, N.D. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Gholib D, Subiyanto.1998. Pembuatan Antigen Dermatophillus Congoleasis
dan Pengujiannya Dengan Uji Imunodifusi dan Elektroforesis. Jurnal
ilmu ternak dan verteriner volume 3, no.3. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. DEPTAN.
Hardjosworo. 1998. Pengantar Imunologi Verteriner. Airlangga University.
Surabaya.
Ismet. 1986. Pemuliaan Ternak Sapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Lawrie R.A. 1995. Ilmu Daging. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Sihombing M. 2001. http://digilib.litbang.depkes.go.id/xml.php?=jkpkbppk-gdl-
res-1999-marice-609-food.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Susanto E. 2004. Karakterisasi Fraksi Protein Bakso Babi Dengan
Menggunakan SDS-Page. Skripsi THT. Fakultas Peternakan. Universitas
Brawijaya. Malang.
Widyawati E.S. 1999. Studi Tentang Penggunaan Tapioka, Pati Kentang dan
Pati Modifikasi dalam Pembuatan Bakso Daging Sapi. Tesis Program
Studi Ilmu Ternak. Pasca sarjana Universitas Brawijaya. Malang.
Winarno F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

PKMP-6-21-1
PENGARUH TEMPERATUR DAN KELEMBABAN TERHADAP
KINERJA MATRIAL ISOLASI KOMPOSIT
SILICONE RUBBER-FIBER GLASS

Novalina Tarihoran
Universitas Tanjungpura, Pontianak

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-6-22-1
MEKANISME SISTEM PENGATURAN JARAK AMAN PENGEREMAN
TERHADAP BENDA YANG BERADA DI DEPAN MOBIL UNTUK
MENGHINDARI TERJADINYA BENTURAN

Himawan Hindrarto
Universitas Kristen Petra, Surabaya

ABSTRAK

Kata kunci:

PKMP-6-23-1
PEMBUATAN BATU BATA DENGAN MENGGUNAKAN CAMPURAN
TRAS, KAPUR, TOHOR DAN TANAH LIAT TANPA
PROSES PEMBAKARAN

Nodia Herman
Universitas Bung Hatta, Jakarta

ABSTRAK

Kata kunci:

You might also like