You are on page 1of 44

KEBUDAYAAN SUKU BETAWI

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Budaya Nusantara

Oleh :
Kelompok 4 – Kelas 3 A
Aprillio Latuminggi (NPM 05330004274)
D Rio Ardi Perdana (NPM 05330004301)
Dian Eka Prangga (NPM 05330004315)
Martono (NPM 05330004380)
Rianuari (NPM 05330004422)
Sofia Ardhiana (NPM 05330004446)

PROGRAM DIPLOMA III PENILAI PBB


SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
2007
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Makalah ini kami susun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Budaya Nusantara yang dibimbing oleh Bapak Ichsan
Pribadi. Selain itu makalah ini juga bisa digunakan untuk menambah wawasan dan
pengetahuan para pembacanya, khususnya mahasiswa dan mahasiswi Sekolah Tinggi
Administrasi Negara tentang kebudayaan betawi mulai dari identifikasi, produk budaya,
mata pencaharian, sistem kekerabatan, sistem kemasyarakatan, serta pembangunan dan
modernisasinya.
Makalah ini disusun berdasarkan berbagai sumber yang kami peroleh. Namun
kami masih merasa banyak kekurangan dalam penyusunannya. Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan tanggapan, kritik dan saran dari segenap pembaca yang bersifat
membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jurangmangu, 28 November 2007

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................i
DAFTAR ISI............................................................................ii
BAB I......................................................................................1
BAB II.....................................................................................3
BAB III..................................................................................11
BAB IV.................................................................................31
BAB V..................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.............................................................39
LAMPIRAN..........................................................................40

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Jakarta sebagai ibu kota Negara Indonesia, menjadikannya kota yang banyak
didatangi oleh masyarakat dari daerah lain. Akibatnya, terjadilah percampuran antar
kebudayaan dari berbagai daerah. Suku Betawi, bagi kita yang tinggal di Jakarta
sesungguhnya tidak asing bahkan menjadi bagian budaya dari orang-orang yang lahir dan
besar di Jakarta. Betawi bagi sementara orang merupakan hal yang identik dengan
Jakarta. Namun sejak pembangunan besar besaran kota Jakarta yang dimulai sejak
terselenggaranya Asian Games 1962 dan Ganefo, juga runtuhnya pemerintahan Sukarno
yang menaikkan Suharto di tahun 1967 berakibat banyak sekali terhadap suku asli
Betawi. Faktor lokasi-lah yang menyebabkan suku betawi menjadi semakin berjarak
dengan Jakarta.
Jakarta memang punya daya pesona luar biasa. Karena kedudukannya sebagai
ibukota Negara Indonesia telah memacu perkernbangannya menjadi pusat pemerintahan,
pusat perdagangan, pusat perindustrian, dan pusat kebudayaan. Jakarta menjadi muara
mengalirnya pendatang baru dari seluruh penjuru Nusantara dan juga dari manca negara.
Unsur seni budaya yang beranekaragam yang dibawa serta oleh para pendatang itu
menjadikan wajah Jakarta semakin memukau, bagaikan sebuah etalase yang
memampangkan keindahan Jakarta bagai ratna manikam yang gemerlapan. lbarat pintu
gerbang yang megah menjulang Jakarta telah menyerap ribuan pengunjung dari luar dan
kemudian bermukim sebagai penghuni tetap.
Lebih dari empat abad lamanya arus pendatang dari luar itu terus mengalir ke
Jakarta tanpa henti-hentinya. Bahkan sampai detik inipun kian hari tampak semakin
deras, sehingga menambah kepadatan kota. Pada awal pertumbuhannya Jakarta dihuni
oleh orang-orang Sunda, Jawa, Bali, Maluku, Melayu, dan dari beberapa daerah lainnya,
di samping orang-orang Cina, Belanda, Arab, dan lain-lain, dengan sebab dan tujuan
masing- masing. Mereka membawa serta adat-istiadat dan tradisi budayanya sendiri
Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi antar penduduk, adalah bahasa Melayu dan
bahasa Portugis Kreol, pengaruh orang-orang Portugis yang lebih dari satu abad malang
melintang berniaga sambil menyebarkan kekuasaanya di Nusantara.

1
Di Jakarta dan sekitarnya berangsur-angsur terjadi pembauran antar suku
bangsa, bahkan antar bangsa, dan lambat laun keturunannya masing- masing kehilangan
ciri-ciri budaya asalnya. Akhirnya sernua unsur itu luluh lebur menjadi sebuah kelompok
etnis baru yang kemudian Betawi etnis baru yang kemudian dikenal dengan sebutan
masyarakat Betawi.
Di sini kami mencoba memaparkan mengenai kebudaan asli Jakarta yang
identik dengan kebudayaan Betawi.

2
BAB II
IDENTIFIKASI BUDAYA BETAWI

A. Sejarah Nama Betawi


Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus
ibu kota negara Indonesia. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Koordinatnya
adalah 6°11′ LS 106°50′ BT. Pada tahun 2004, luasnya adalah sekitar 740 km² dan
penduduknya berjumlah 8.792.000 jiwa.
Nama Jakarta dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta. Nama ini
diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah
(Faletehan) setelah merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari Kerajaan Sunda pada tanggal
22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota
kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan
atau usaha" dari bahasa Sansekerta jayakarta. Nama lain atau sinonim "Jayakarta" pada
awal adalah "Surakarta".
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang
berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibukota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai
Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan
Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa
merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten,
Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut
Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan
yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu
kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan
Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad
ke-5 dan diperkirakan merupakan ibukota Tarumanagara yang disebut Sundapura.
Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk.
Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah
sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra,
kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah
yang menjadi komoditas dagang saat itu.

3
Orang Eropa pertama yang datang ke Jakarta adalah orang Portugis. Pada abad
ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk
mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan
Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan
Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita
pantun seloka Mundinglaya Dikusumah di mana Surawisesa diselokakan dengan nama
gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana,
Cirebon yang dibantu Demak keburu menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda
menyebut peristiwa ini tragedi karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota
pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk sahbandar
pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni adalah berdasarkan tragedi
penaklukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527 dan mengganti
nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kemenangan".
Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16 dan pada 1619,
VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menaklukan Jayakarta dan kemudian
mengubah namanya menjadi Batavia. Dalam masa Belanda, Batavia berkembang
menjadi kota yang besar dan penting.
Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia
menjadi Jakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga
merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada
17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949. Jadi,
asal muasal nama Betawi bukanlah nama yang sesungguhnya di berikan kepada suku ini,
nama Betawi merupakan turunan kata/ penyesuaian lidah dari Batavia. Nama Batavia-
pun ada di Negara Bagian New York. Bahkan kota Batavia pernah menjadi role model
bagi Belanda untuk membangun New Amsterdam sebuah kota di pinggir sungai Hudson,
setelah ditaklukkan Inggris kota itu berubah nama menjadi New York.

B. Suku Betawi
Ada suku yang sangat unik, metropolis, mengenal budaya kota jauh lebih dulu
ketimbang New York yang urban, suku itu adalah suku Betawi, bagi kita yang tinggal di
Jakarta suku betawi sesungguhnya tidak asing bahkan menjadi bagian budaya dari orang-

4
orang yang lahir dan besar di Jakarta. Betawi bagi sementara orang merupakan hal yang
identik dengan Jakarta. Namun sejak pembangunan besar besaran kota Jakarta yang
dimulai sejak terselenggaranya Asian Games 1962 dan Ganefo, juga runtuhnya
pemerintahan Sukarno yang menaikkan Suharto di tahun 1967 berakibat banyak sekali
terhadap suku asli Betawi. Faktor lokasi-lah yang menyebabkan suku betawi menjadi
semakin berjarak dengan Jakarta.
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum
berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Apa yang disebut dengan orang atau Suku
Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari
perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti
orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa.
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan
Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan,
baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam
bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal
dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab,
Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang
berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan
kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin
antaretnis dan bangsa di masa lalu. Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan
masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian pakuan Pajajaran. Selain orang
Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai
pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta
Gujarat di India.
Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27),
orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan
untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari
orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta
(1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung.

5
Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan
Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia
mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia
menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena
gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa
persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan
daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-
17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok
budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya
masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai
wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, banyak perkawinan campuran
dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar,
terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang
Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau
di sebelah timurnya.
Orang Tiong Hoa senang main kartu. Lukisan A van Pers dari tahun 40-an abad
yang lalu, yang diterbitkan pada tahun 1856 di Den Haag. Sementara itu, orang yang
datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan
perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari
mereka berpegang pada adat Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di
Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan
membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang
Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.
Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay- tidak begitu besar
jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam
jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan
wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.
Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas
besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan

6
budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni
Kota Batavia.
Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota
setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang.
Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang
Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu.
Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari
bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker). Gereja Immanuel di
Gambir pada pertengahan abad ke 18
Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak.
Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang
Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal
abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian
kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya
bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di
luar kota.
Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya
terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai
kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa,
Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr
Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu,
antara tahun 1815-1893.
Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang
dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu
melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan
etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk
dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang
dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah
seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah
golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa

7
dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang
Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tiong
Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara lama. Sedangkan jalan utama
adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan. Namun, pada tahun 1930, kategori orang
Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam
data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi
mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan
menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu
juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri
berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau
orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan
sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda,
baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi
mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang
Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta
dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi - dalam arti apapun juga
- tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9
persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke
pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun
sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena
proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung
dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara

C. Mata Pencaharian
Dulunya mata-pencaharian orang Betawi bisa dibedakan antara mereka yang
berdiam di tengah kota dan yang berada di daerah pinggiran, tetapi sekarang sudah sulit
membedakan wilayah tengah kota dan pinggiran itu. Mereka yang berada di tengah kota
menunjukkan mata pencaharian yang bervariasi, misalnya sebagai pedagang, pegawai

8
pemerintah, pegawai swasta, buruh, tukang seperti membuat meubel. Orang betawi yang
berdiam di wilayah klender yang dulu termasuk wilayah pinggiran, ini hampir bisa
dikatakan di tengah kota. Orang betawi klender ini secara turun-temurun hidup dari
pembuatan barang-barang meubel dan kini menjadi salah satu pusat industri terkenal di
Jakarta. Orang Betawi yang berada di daerah pinggiran hidup sebagai petani sawah,
buah-buahan, pedagang kecil, memelihara ikan, dan sekarang di antara mereka banyak
yang menjadi buruh pebrik, pegawai, dan lain-lain. Areal pertanian yang dulunya masih
luas, kini semakin sempit dan berubah menjadi daerah peerumahan, kawasan industri,
pemukiman baru, dan lain-lain. Kawasan Condet di Jakarta timur dulu secara dominan
dihuni oleh petani betawi yang terkanal dengan tanaman buah-buahannya. Karena itu
pemerintah DKI pernah memutuskan menjadikan daerah ini menjadi kawasan cagar
budaya dengan maksud melestarikan budaya betawi dengan mempertahankan
ekosistemnya. Namun, perkembangan kota, perkembangan masyarakat betawi dan
masyarakat Jakarta pada umumnya menyebabkan gagasaan cagar budaya itu agaknya
hanya akan berahir menjadi sebuah impian.

D. Sistem Kekerabatan Masyarakat Betawi


Dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, misalnya dalam penarikan garis
keturunan, mereka mengikuti prinsip bilineal, artinya menarik garis keturunan kepada
pihak ayah dan pihak ibu. Adat menetap nikah sangat tergantung kepada perjanjian kedua
pihak sebelum perpisahan berlangsung. Ada pengantin baru yang sesudah menikah
menetap di sekitar kediaman kerabat suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap di
sekitar lingkungan kerabat isteri (matrilokal). Pada masa lalu, setiap orang tua selalu
bercita-cita membuat rumah (ngerumahin) bagi anaknya yang telah menikah. Yang
membuat rumah itu mungkin orang tua pihak laki-laki atau orang tua pihak perempuan.
Pada saat sudah dibuatkan rumah itulah, pasangan ini berdiri sendiri atau lepas dari
tanggung jawab orang tua. Di pihak lain orang tua pada umumnya cenderung
menyandarkan hidup di hari tuanya pada anak perempuan. Mereka merasa anak
perempuan sendiri akan lebih telaten mengurus orang tua daripada menantu perempuan,
meskipun mereka tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan.

9
Masyarakat Betawi atau Jakarta asli dalam hal susunan masyarakat dan sistem
kekerabatanya, pada umumnya menganut sistem patrilineal yaitu menghitung hubungan
kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki saja. Karena itu mengakibatkan tiap-tiap
individu dalam masyarakat memasukan semua kaum kerabat ayah dalam hubungan
kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibu diluar garis hubungan
kekerabatannya.

E. Agama
Kebanyakan orang betawi menganut agama Islam, menurut H. Mahbub Djunaidi
kebudayaan betawi sebagai suatu subkultur hampir tidak bisa dipisahkan dengan agama
Islam. Agama Islam sangat mengakar dalam kebudayaan Betawi terlihat dalam berbagai
kegiatan masyarakat betawi dalam menjalani kehidupan. Pengaruh agama Islam juga
sampai dalam bidang pendidikan, bagi orang betawi tempo doeloe orang yang tidak bisa
membaca huruf arab dianggap buta huruf sehingga mereka cenderung mengesampingkan
pendidikan formal.

10
BAB III
PRODUK BUDAYA

A. Bahasa
Bahasa Betawi merupakan bahasa sehari-hari suku asli ibu kota negara
Indonesia yaitu Jakarta. Bahasa ini mempunyai banyak kesamaan dengan Bahasa resmi
Indonesia yaitu Bahasa Indonesia. Bahasa Betawi merupakan salah satu anak Bahasa
Melayu, banyak istilah Melayu Sumatra ataupun Melayu Malaysia yang digunakan dalam
Bahasa Betawi, seperti kata "niari" untuk hari ini.
Persamaan dengan bahasa-bahasa lain di Pulau Jawa, walaupun ada bermacam-
macam Bahasa, seperti Bahasa Betawi, Bahasa Sunda, Bahasa Jawa, Bahasa Madura, dan
lain sebagainya tetapi hanya Bahasa Betawi yang bersumber kepada Bahasa Melayu
seperti halnya Bahasa Indonesia. Bagi Orang Malaysia mendengar Bahasa ini mungkin
agak sedikit tidak faham, kerana bahasa ini sudah bercampur dengan bahasa-bahasa
asing, seperti Belanda, Bahasa Portugis, Bahasa Arab, Bahasa Cina, dan banyak Bahasa-
Bahasa lainnya. Tetapi Bahasa ini adalah Bahasa yang termudah dimengerti oleh Orang
Malaysia dibandingkan Bahasa Pulau Jawa yang lain selain Bahasa Indonesia.
Ciri khas Bahasa Betawi adalah mengubah akhiran "A" menjadi "E". sebagai
contoh, Siape, Dimane, Ade Ape, Kenape. tetapi "E" di Jakarta dan Malaysia berbeda.
"E" dalam Bahasa Betawi merupakan "E" dengan aksen tajam seperti "E" dalam kata
"NET". Daerah lain di Indonesia yang mengubah akhiran "A" menjadi "E" adalah
Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Bali. walaupun tidak semua
Masyarakat mengubah akhiran "A" menjadi "E". ada pula penduduk di lima daerah
tersebut yang mengubah akhiran "A" menjadi "O". "E" yang digunakan di lima daerah
tersebut serupa dengan "E" yang digunakan Masyarakat Malaysia.
Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah
diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak
heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda,
sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian
dijadikan sebagai bahasa nasional. Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut
maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia

11
sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi
(kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama
sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran,
Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi
Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan
yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di
perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia,
bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek
Betawi.
Bahasa daerah juga digunakan oleh para penduduk yang berasal dari daerah lain,
seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minang, bahasa Batak, bahasa Madura,
bahasa Bugis, dan juga bahasa Tionghoa. Hal demikian terjadi karena Jakarta adalah
tempat berbagai suku bangsa bertemu. Untuk berkomunikasi antar berbagai suku bangsa,
digunakan Bahasa Indonesia.
Selain itu, muncul juga bahasa gaul yang tumbuh di kalangan anak muda dengan
kata-kata yang terkadang dicampur dengan bahasa asing. Beberapa contoh penggunaan
bahasa ini adalah Please dong ah!, Cape deh!, dan So what gitu loh!.

B. Makanan
▪ Nasi Uduk Betawi
Cara penyajiannya unik. Nasi dibungkus dengan daun pisang, sehingga aroma
bumbu dan rempah-rempah tetap menyatu pada nasi. Ada taburan daun bawang goreng
dan ditambah lagi dengan ayam goreng bumbu kuning, yang sudah sangat terkenal.
Sajian ini diramu dari 15 macam bumbu dapur yang diolah secara tradisional. Rasa dan
aroma dari ayam goreng bumbu kuning ini sangat khas. Bumbunya sangat meresap
sampai ke tulang dan sangat empuk serta gurih rasanya. Ditambah dengan sambal yang
khas juga sambal kacangnya. Apalagi dipadu dengan lalapan ketimun, rebusan kol, serta
daun kemangi, yang pasti menambah selera makan jadi enak.

12
▪ Kerak Telor
Makanan ini terbuat dari telor yang dicampur dengan beras ketan dan dimakan
bersama kelapa gongseng.
▪ Gado-gado
Makanan ini merupakan salad versi betawi, tetapi sayurannya direbus.
Bumbunya adalah bumbu kacang.
▪ Dodol betawi
Dodol betawi ini biasanya dihidangkan pada saat lebaran dan juga pada acara
pernikahan.
▪ Tape uli
Makanan tape terbuat dari ketan yang difermentasikan dengan ragi. Sedangkan
terbuat dari ketan juga, tapi dikukus lalu ditumbuk. Biasa dihidangkan ketika lebaran
ayaupun pada acara pernikahan.
▪ Soto Betawi
Soto Betawi ini dibuat dengan menggunakan daging sapi, santan, daun salam,
sereh, lengkuas, daun jeruk, bawang merah, bawang putih, kemiri, kunyit, garam dan
merica.
▪ Bir Pletok
Bir asli Betawi, dan dijamin halal. Cocok untuk diminum pada cuaca dingin.
Konon dibuat karena orang Betawi tidak mau kalah dengan sinyo & noni Belanda yang
sering berpesta meminum bir. Bisa jadi minuman ini sebenarnya sudah lama dikenal
masyarakat Betawi, hanya namanya saja yang diubah untuk menyindir kebiasaan minum-
minum kaum penjajah.
Minuman dari jahe dan tanpa fermentasi apapun ini dijamin lebih lezat, lebih
wangi, dan lebih menyehatkan daripada wedang jahe/bandrek. Seorang herbalis
menyatakan, secara umum, gabungan beberapa komponen menghasilkan khasiat yang
lebih tinggi dan efek samping yang lebih rendah daripada satu komponen saja. Dan
semua bahan yang digunakan mengandung zat berkhasiat. Dampak dari meminum ini
secara teratur membuat badan lebih fit, bobot sedikit berkurang, dan memperlancar buang
air besar.

13
Diberi nama plektok karena kabarnya, di jaman dulu itu, dibuatnya di dalam
tempurung kelapa yang dikocok-kocok dan berbunyi 'pletak-pletok'. Bir pletok ini dibuat
dari jahe, gula pasir, sereh, daun pandan, daun jeruk purut, kayu manis, cengkeh, pala,
kayu secang dan air.

C. Upacara-upacara Adat
▪ Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan adat Betawi ditandai dengan serangkaian prosesi.
Didahului masa perkenalan melalui Mak Comblang. Dilanjutkan lamaran. Pingitan.
Upacara siraman.Prosesi potong cantung atau ngerik bulu kalong dengan uang logam
yang diapit lalu digunting.Malam pacar, mempelai memerahkan kuku kaki dan kuku
tangannya dengan pacar.Puncak adat Betawi adalah Akad nikah. Mempelai wanita
memakai baju kurung dengan teratai dan selendang sarung songket. Kepala mempelai
wanita dihias sanggul sawi asing serta kembang goyang sebanyak 5 buah, serta hiasan
sepasang burung Hong. Dahi mempelai wanita diberi tanda merah berupa bulan sabit
menandakan masih gadis saat menikah. Mempelai pria memakai jas Rebet, kain sarung
plakat, Hem, Jas, serta kopiah. Ditambah baju Gamis berupa Jubah Arab yang dipakai
saat resepsi dimulai. Jubah, Baju Gamis, Selendang yang memanjang dari kiri ke kanan
serta topi model Alpie menandai agar rumah tangga selalu rukun dan damai.
Prosesi Akad Nikah Mempelai pria dan keluarganya datang naik andong atau
delman hias. Disambut Petasan. Syarat mempelai pria diperbolehkan masuk menemui
orang tua mempelai wanita adalah prosesi ‘Buka Palang Pintu’. Yakni, dialog antara
jagoan pria dan jagoan wanita, kemudian ditandai pertandingan silat serta dilantunkan
tembang Zike atau lantunan ayat-ayat Al Quran.Pada akad nikah, rombongan mempelai
pria membawa hantaran berupa:sirih, gambir, pala, kapur dan pinang.Artinya segala
pahit, getir, manisnya kehidupan rumah tangga harus dijalani bersama antara suami
istri.Maket Masjid,agar tidak lupa pada agama dan harus menjalani ibadah shalat serta
mengaji. Kekudang,berupa barang kesukaan mempelai wanita misalnya salak condet,
jamblang, dan sebagainya. Mahar atau mas kawin Pesalinan berupa pakaian wanita
seperti kebaya encim, kain batik, lasem, kosmetik, sepasang roti buaya. Buaya

14
merupakan pasangan yang abadi dan tidak berpoligami serta selalu mencari makan
bersama-sama.
Petisie yang berisi sayur mayur atau bahan mentah untuk pesta, misalnya wortel,
kentang, telur asin, bihun, buncis dan sebagainya.
Akad nikah dilakukan di depan penghulu. Setelah akad nikah selasai
dibunyikanlah petasan, sebagai tanda pada masyarakat bahwa kedua mempelai telah sah
menjadi suami istri.
Setelah itu ada beberapa rangkaian acara:
▪ Mempelai pria membuka cadar pengantin wanita untuk memastikan pengantin
tersebut adalah dambaan hatinya.
▪ Mempelai wanita mencium tangan mempelai pria.
▪ Kedua mempelai duduk bersanding di pelaminan.
▪ Dihibur Tarian kembang Jakarta
▪ Pembacaan doa berisi wejangan untuk kedua mempelai dan keluarga kedua belah
pihak yang tengah berbahagia.
Pengantin laki-laki dengan dandanan cara haji, biasanya menggunakan tutup
kepala yang disebut alpia atau alpie. Topi pengantin laki-laki yang berasal dari tanah suci
Mekah ini tingginya 15 - 20 cm dan dililit dengan sorban kain, warna putih, gading atau
kadang-kadang kuning. Ron je atau untaian bunga melati yang ujung bawahnya ditutup
bunga cempaka dan ujung atasnya diberi sekuntum mawar merah, diletakkan sebanyak 3
(tiga) untai di pinggir kiri alpia. Terkadang di bagian atas disematkan sepasang kembang
goyang. Mengenai tata rias wajah, tidak ada yang khusus. Hanya sedikit bedak yang
ditaburkan di wajah agar terkesan rapi. Biasanya kumis dan cabang juga dirapihkan agar
tampak bersih.
Busana yang dikenakan berupa jubah terbuka, yang agak longgar dan besar.
Bagian jubah ini, biasanya dihiasi dengan emas dan manik-manik bermotif burung hong,
bunga-bungaan, kubah mesjid dan lain sebagainya. Sebelum mengenakan jubah, biasanya
seorang pengantin laki-laki memakai gamis (baju dalam) polos berwarna muda yang
panjangnya kira-kira sampai mata kaki -dan tidak boleh melebihnya. Gamis lebih panjang
sekitar 10 cm dari jubah. Sebuah selempang berhiaskan mute sebagai tanda kebesaran
pun dikenakan boleh di dalam maupun di luar jubah. Sebagai alas kaki, biasanya

15
digunakan sepatu kulit dengan kaos kaki yang merupakan pengaruh Belanda sejak abad
ke 19. Namun, masih ada pula pengantin yang mengenakan selop atau terompah.
Keterpaduan berbagai unsur budaya muncul dalam kekayaan busana pengantin
wanita Betawi yang terkesan meriah. Tuaki, adalah baju bagian atas (blus) yang dikenal
memiliki 2 (dua) model, yaitu model shianghai (Cina), dan model baju kurung (Melayu).
Syarat utama dari tuaki ini adalah bahannya yang polos. Motif-motif hiasan emas, mote
atau manik-manik yang diletakan di ujung lengan, daerah sekitar dada, bagian bawah
baju sangat bervariasi. Dari ragam hias geometris, bunga-bunga sampai motif burung
hong.
Ciri khas model shianghai adalah krahnya yang tertutup. Lengan panjangnya
diberi benang karet pada pergelangan. Model yang mengikuti bentuk badan sipemakai,
panjangnya sebatas pinggul. Biasanya diberi pemanis dengan tambahan kain pada
pinggiran bawah tuaki yang dirimpel keliling. Tuaki bentuk baju kurung, modelnya
seperti baju kurung Melayu umumnya. Panjang lengan agak longgar.
Padanan tuaki adalah kun, yaitu rok melebar ke bawah dengan panjang sampai
ke mata kaki. Kun juga di beri hiasan benang tebar dengan kombinasi sesuai tatahan
motif pada tuaki. Warna yang terbuat dari bahan polos ini pun disesuaikan dengan warna
tuaki. Warna-warna cerah yang dipilih, baik dari bahan satin ataupun beludru, serta
gemerlapan hiasan tuaki dan kun ini melambangkan suka cita dan keceriaan kedua
pengantin dan seluruh kelua-rganya.
Model baju yang sangat sederhana pada busana adat pengantin wanita Betawi
ini, tampil begitu meriah dengan perlengkapan yang serba unik. Teratai, yaitu perhiasan
penutup dada dan bahu adalah salah satu ciri yang sangat khas. Hiasan ini terbuat dari
bahan beludru bertatahkan hiasan logam pada permukaannya dengan motif bunga
tanjung. Aslinya adalah emas, namun saat ini umumnya menggunakan mute. Teratai ini
berjumlah 8 (delapan) lembar kecil, yang kemudian dirangkai menjadi susunan delapan
daun teratai yang simetris.
Keunikan lainnya terdapat pada tata rias di bagian kepala. Rambut disanggul
dengan model buatun atau konde cepol tanpa sasakan. Caranya adalah dengan melilitkan
secara berputar, sehingga membentuk 3 (tiga) tingkat lingkaran, yang kemudian
dipadatkan dengan tusuk konde. Ketiga tingkat lingkaran ini melambangkan siklus

16
kehidupan yang dimulai dari kelahiran, kehidupan dan kematian. Letak sanggul di
tengah-tengah agak ke atas memperlihatkan tengkuk pengantin. Bersih atau tidaknya
tengkuk yang tampak, merupakan pertanda apakah pengantin wanita mampu menjadi ibu
rumah tangga yang mampu memelihara kebersihan fisik dan rohani dalam kehidupan
berumah tangga atau tidak.
Hiasan kepala yang digunakan cukup kompleks. Salah satunya yang unik adalah
siangko bercadar yang melambangkan kesucian seorang gadis. Siangko bercadar selalu
berwarna emas, karena aslinya terbuat dari emas, atau bahan perak. Biasanya dihiasi
batu-batu permata, bahkan ada yang bertahtakan intan berlian. Panjang cadarnya 30 cm,
terbuat dari manik-manik. Saat ini banyak digunakan mote pasir dengan gumpalan
benang wol merah di ujungnya. Selain yang bercadar, siangko lainnya jumlah 3 (tiga)
buah. Dipakai di belakang sanggul sebagai penutup ikatan siangko bercadar. Siangko
bercadar yang berfungsi menutupi wajah pengantin wanita merupakan lambang
kesuciannya, yang disimbolkan dengan tidak boleh dilihatnya wajah mempelai putri oleh
orang lain. Di atas Siangko bercadar ini, diletakkan sigar atau mahkota dengan motif
bungabungaan yang dipenuhi permata. Hiasan rambut lainnya adalah tusuk paku atau
kembang paku berjumlah 10 buah atau lebih yang dimaksudkan sebagai penolak bala.
Tusuk bunga atau kembang tancep berjumlah 5 buah yang melambangkan rukun Islam,
kewajiban yang harus dijalankan oleh pengantin sebagai seorang Muslim.
Kembang goyang yang berjumlah 20 buah, juga dikarenakan sebagai hiasan
rambut bersama dengan 2-4 buah kembang kelapa yang dipasang di kiri dan kanan
sanggul. Apabila kembang goyang melambangkan pengakuan terhadap 20 sifat kebesaran
Allah, yang wajib diturunkan dan diajarkan pada anak keturunannya kelak; maka
kembang kelapa merupakan simbol pengharapan agar perkawinan yang dilakukan tetap
kokoh, kuat seperti pohon kelapa, sehingga akan menjadi perkawinan yang langgeng,
sejahtera dan bahagia.
Hiasan burung hong atau dikenal dengan sebutan kembang besar atau kembang
gede adalah hiasan lain yang tidak boleh ketinggalan. Jumlahnya yang empat buah
melambangkan 4 (empat) sahabat Rasullullah, Nabi Besar Muhammad SAW. Sementara
itu, burung hong sendiri dianggap sebagai simbol burung surga yang melambangkan

17
kebahagiaan kedua pengantin. Letak burung hong ini juga memiliki arti tersendiri, yang
berkaitan dengan kecocokan antara pihak keluarga kedua pengantin.
Dari hiasan kepala pengantin wanita yang telah dikemukakan, satu bentuk
perhiasan yang dipercaya memiliki kekuatan magis adalah sunting atau sumping telinga.
Apabila sunting ini dipakai oleh seorang pengantin yang tidak perawan atau tidak gadis
lagi, maka si pemakai akan pusing-pusing dan bahkan pingsan. Selain sunting, sebagai
pelengkap yang menunjang keserasian, biasanya telinga pengantin dihias dengan
sepasang kerabu. Kerabu ini merupakan perpaduan anting dan giwang yang dijadikan
satu. Tusuk konde berupa pasak berbentuk huruf leam (huruf Arab) merupakan simbol
pengakuan akan keesaan Allah ditusukkan di atas siangko kecil penutup simpul tali
cadar. Sebelum rerurub atau ruruban, yaitu sebuah kerudung dari kain halus dan tipis,
ditutupkan ke seluruh riasan wajah pengantin wanita, di beberapa daerah di atas dahi
pengantin diberi tanda berbentuk bulan sabit. Tanda bulan sabit berwarna merah ini
merupakan perlambang bahwa si gadis telah menjadi pengantin. Sementara ruruban
merupakan tanda kesuciannya.
Selain perhiasan untuk kepala, pengantin wanita juga mengenakan perhiasan
berupa kalung lebar yang dipakai melingkar leher di atas teratai Betawi. Gelang listring
dan gelang selendang mayang, serta cincin emas yang berhiaskan permata menjadi hiasan
lengan, pergelangan tangan dan jari pengantin wanita.
Keunikan juga tampak pada alas kaki yang digunakan. Mempelai wanita
mengenakan selop berbentuk perahu kolek, dengan ujung melengkung ke atas dan dihias
dengan tatahan emas dan manikmanik, atau mute.
Aslinya seluruh perhiasan yang dikenakan oleh pengantin wanita Betawi terbuat
dari emas dan dihiasi intan permata. Namun saat ini, umumnya hanya merupakan
sepuhan warna emas, sedangkan hiasannya lebih banyak menggunakan mute.
Variasi pakaian pengantin Betawi ini dapat ditemui di beberapa daerah. Seperti
misalnya di daerah pinggiran, pengantin laki-laki mengenakan stelan jas lengkap dengan
kopiah hitam dan kacamata hitam. Sementara pengantin wanita memakai slayer dan
sarung tangan putih, yang juga dilengkapi dengan mahkota dan kacamata.
Adapun pakaian yang kini dikenal dengan busana "Abang dan None Jakarta"
merupakan kombinasi dari busana pengantin rias bakal untuk pria, dengan busana wanita

18
Betawi sehari-hari. Busana pengantin rias bakal, bagi mempelai pria terdiri dari jas tutup,
celana panjang, ikat pinggang dan iiskoi motif lokcan. Perlengkapan busana ini adalah
kuku macan, gelang bahar, pisau raut, bros dan untaian melati.
Mempelai putri menggunakan baju kurung tabur, sarung songket, selendang dan
celemek. Sementara hiasan kepalanya tidak serumit dandanan rias besar putri. Busana ini
biasanya dikenakan setelah akad nikah.
▪ Upacara Nuju Bulanan
Upacara selamatan ketika usia kandungan mencapai tujuh bulan yang hanya
diselenggarakan pada kehamilan pertama. Tujuan upacara ini adalah mensyukuri nukmat
Tuhan, memohon keselamatan, berisi harapan agar anak yang akan lahir itu menjadi anak
yang soleh, berbudi luhir da patuh pada orang tua. Itulah sebabnya dalam upacara ini
dibaca kitab suci Al-Qur’an, khusunya surat Yusuf. Isi surat ini menggambarkan
ketampanan nabi Yusuf, keluhuran akhlaknya, dan kepatuhannya terhadap orang tua.
Lalu terselip harapan semoga anak yang lahir mendekati sifat nabi Yusuf.
▪ Upacara Kerik Tangan
Upacara berupa serah terima tugas perawatan bayi dari dukun bayi kepada
keluarga si bayi. Intinya berupa ungkapan terima kasih dari keluarga kepada sang dukun
atas keikhlasan.
▪ Upacara Sunatan
Orang Betawi melaksanakan khitanan yang disebut Sunatan atau Pengantin
Sunat, untuk memenuhi ketentuan agama dan kesehatan. Anak laki-laki yang disunat
berusia 5 sampai 10 tahun. Rangkaian acara sunat itu terdiri dari acara mengarak,
menyunat, dan selamatan. Anak yang disunat mengenakan “pakaian pengantin” dan
diarak keliling kampong. Kadang-kadang anak yang disunat naik kuda dan disertai bunyi-
bunyian seperti rebana. Bunyi-bunyian tersebut untuk menarik perhatian masyaraka
sekitarnya terutama anak-anak untuk memperpanjang arak-arakan itu. Hal ini
menyebabkan anak yang akan disunat menjadi gembira. Acara sunatan sendiri
dilaksanakan keesokan harinya. Setelah anak itu disunat, dibunyikan petasan sebagai
tanda pemberitahuan bahwa anak itu telah disunat. Setelah itu diadakanlah selamatan.
Bagi yang mampu dilanjutkan dengan hiburan seperti lenong dan topeng.

19
E. Kesenian
Dari masa ke masa masyarakat Betawi terus berkembang dengan ciri-ciri
budayanya yang makin lama semakin mantap sehingga mudah dibedakan dengan
kelompok etnis lain. Namun bila dikaji pada permukaan wajahnya sering tampak unsur-
unsur kebudayaan yang menjadi sumber asalnya.
Jadi tidaklah mustahil bila bentuk kesenian Betawi itu sering menunjukkan
persarnaan dengan kesenian daerah atau kesenian bangsa lain.
Bagi masyarakat Betawi sendiri segala yang tumbuh dan berkembang ditengah
kehidupan seni budayanya dirasakan sebagai miliknya sendiri seutuhnya, tanpa
mempermasalahkan dari mana asal unsur-unsur yang telah membentuk kebudayaannya
itu. Demikian pulalah sikap terhadap keseniannya sebagai salah satu unsur kebudayaan
yang paling kuat mengungkapkan ciriciri ke Betawiannya, terutama pada seni
pertunjukkannya.
Berbeda dengan kesenian kraton yang merupakan hasil karya para seniman di
lingkungan istana dengan penuh pengabdian terhadap seni, kesenian Betawi justru
tumbuh dan berkernbang di kalangan rakyat secara spontan dengan segala
kesederhanaannya. Oleh karena itu kesenian Betawi dapat digolongkan sebagai kesenian
rakyat.
▪ Tari-tarian
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat
yang ada di dalamnya. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan
Tionghoa seperti tariannya yang memiliki corak tari Jaipong dengan kostum penari khas
pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis.
Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Dewasa ini orkes gambang kromong biasa digunakan untuk mengiringi tari
pertunjukan kreasi baru, pertunjukan kreasi baru, seperti tari Sembah Nyai, Sirih Kuning
dan sebagainya, disamping sebagai pengiring tari pergaulan yang disebut tari cokek.
Sebagai pembukaan pada tari cokek ialah wawayangan. Penari cokek berjejer memanjang
sambil melangkah maju mundur mengikuti irarna garnbang kromong. Rentangan
tangannya setinggi bahu meningkah gerakan kaki.

20
Setelah itu mereka untuk menari bersarna,dengan mengalungkan selendang
pertama-tama kepada tarnu yang dianggap paling terhormat. Bila yang diserahi selendang
itu bersedia ikut menari maka mulailah mereka ngibing, menari berpasang-pasangan.
Tiap pasang berhadapan pada jarak yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada
kalanya pula pasangan-pasangan itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup
leluasa biasa pula ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas. Pakaian penari
cokek biasanya terdiri atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutera
berwarna.
Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, polos
dan menyolok. Di ujung sebelah bawah celana biasa diberi hiasan dengan kain berwarna
yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan kedua ujungnya
terurai ke bawah Rambutnya tersisir rapih licin ke belakang. Ada pula yang dikepang
kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan tusuk ronde
bergoyang-goyang. Orkes gambang kromong biasa pula mengiringi teater lenong. Teater
rakyat Betawi ini dalam beberapa segi tata pentasnya mengikuti pola opera Barat,
dilengkapi dekor dan properti lainnya, sebagai pengaruh komedi stambul, komedi ala
Barat berbahasa Melayu, yang berkernbang pada awal abad ke- duapuluh.
Tari Betawi yang sepenuhnya merupakan aneka gerak pencak silat disebut tari
silat. Tari ini ada yang diiringi tabuhan khusus yang disebut gendang pencak. Iringan
lainnya yang juga bisa digunakan ialah garnbang kromong, gamelan topeng dan lain-lain.
Di kalangan masyarakat Betawi terdapat berbagai aliran silat seperti aliran Kwitang,
aliran Tanah Abang, aliran Kemayoran dan sebagainya. Gaya-gaya tari silat yang
terkenal antara lain gaya seray, gaya pecut, gaya rompas dan gaya bandul. Tari silat
Betawi menunjukkan aliran atau gaya yang diikuti penarinya masing-masing.
Enjot-enjotan dan Gegot. Tari-tarian tersebut bukan saja digemari oleh para
pendukung aslinya, tetapi juga telah banyak mendapat tempat di hati masyarakat yang
lebih luas, termasuk kelompok etnis lain.
Beberapa penata tari kreatif telah berhasil menggubah beberapa tari kreasi baru
dengan mengacu pada ragam gerak berbagai tari tradisi Betawi, terutama rumpun Tari
Topeng. Tari kreasi baru itu antara lain adalah Tari Ngarojeng, Tari Ronggeng Belantek,
Gado-gado Jakarta. Karya tari ini ternyata mampu memukau penonton, bahkan juga

21
sampai pada Forum Internasional yaitu dalam Festival Tari Antar Bangsa.. Berbagai seni
pertunjukan tradisional Betawi telah berkembang sesuai dengan perkembangan jaman
dan masyarakat pendukungnya serta merupakan daya pesona tersendiri pada wajah kota
Jakarta Untuk dapat menilkmati dan menilainya tiada cara lain yang lebih tepat kecuali
menyaksikannya sendiri.
Disiplin Jenis Kesenian Betawi Ragam
TARI Rebana Biang / Tari Belenggo -
Gambang Kromong/ Cokek Pergelaran Biasa
Tari Sipatmo
Tanjidor/ Tari Topeng Tanji Tanjidor
Tanji Godot (Tanji dg alat musik gesek)
Tanji Seketre
Kliningan Tanji
Gamelan Ajeng/Topeng Gong Pergelaran Biasa
Kliningan Bajidor
Permainan Ujungan Pertandingan Ujungan
Tari Uncul
Tari Zafin Pergelaran Biasa (Tari)
Orkes Gambus (Musik)

▪ Musik
Dalam dunia musik Betawi terdapat perbauran yang harmonis antara unsur
priburni dengan unsur Cina, dalam bentuk orkes gambang kromong yang tampak pada
alat-alat musiknya. Sebagian alat seperti gambang,kromong, kemor, kecrek, gendang,
kempul dan gong adalah unsur pribumi, sedangkan sebagian lagi berupa alat musik gesek
Cina yakni kongahyan, tehyan, dan skong. Dalam lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes
tersebut, rupanya bukan saja terjadi pengadaptasian, bahkan pula pengadopsian lagu-lagu
Cina yang disebut pobin, seperti pobin mano Kongjilok, Bankinhwa, Posilitan, Caicusiu
dan sebagainya. Biasanya disajikan secara instrumental. Terbentuknya orkes gambang
kromong tidak dapat dilepaskan dari Nie Hu-kong, seorang pemimpin golongan Cina
Pada pertengahan abad ke- delapan belas di Jakarta, yang dikenal sebagai
penggemar musik. Atas prakarsanyalah terjadi penggabungan alat-alat musik yang biasa
terdapat dalarn gamelan pelog slendro dengan yang dari Tiongkok. Terutama orang-

22
orang peranakan Cina, seperti halnya Nie Hu-kong, lebih dapat menikmati tarian dan
nyanyian para ciokek, yaitu para penyanyi ciokeks merangkap penari pribumi yang biasa
diberi nama bunga-bunga harurn di Tiongkok, seperti Bwee Hoa, Han Siauw, Hoa, Han
Siauw dan lain-lain. Pada masa-masa lalu orkes garnbang kromong hanya dimiliki oleh
babah- babah peranakan yang tinggal di sekitar Tangerang dan Bekasi, selain di Jakarta
sendiri.
Pengaruh Eropa yang kuat pada salah satu bentuk musik rakyat Betawi, tampak
jelas pada orkes tanjidor, yang biasa menggunakan klarinet, trombon, piston, trompet dan
sebagainya. Alat-alat musik tiup yang sudah berumur lebih dari satu abad masih banyak
digunakan oleh grup-grup tanjidor. Mungkin bekas alat-alat musik militer pada masa
jayanya penguasa kolonial(tempo doeloe), dengan alat-alat setua itu tanjidor biasa
digunakan untuk mengiringi helaran atau arak-arakan pengantin Membawakan lagu-lagu
barat berirama imarsi dan (Wals) yang susah sulit dilacak asal-usulnya, karena telah
disesuaikan dengan selera dan kemampuan ingatan panjaknya dari generasi kegenerasi.
Orkes tanjidor mulai timbul pada abad ke 18. VaIckenier, salah seorang Gubernur
Jenderal Belanda pada jaman itu tercatat memiliki sebuah rombongan yang terdiri dari 15
orang pemain alat musik tiup, digabungkan dengan pemain gamelan, pesuling Cina dan
penabuh tambur Turki, untuk memeriahkan berbagai pesta. Karena biasa dimainkan oleh
budak-budak, orkes demikian itu dahulu disebut Slaven-orkes. Dewasa ini tanjidor sering
ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu dan untuk memeriahkan arak-arakan.
Musik Betawi lainnya yang banyak memperoleh pengaruh Barat adalah
kroncong tugu yang konon berasal dari Eropa Selatan. Sejak abad ke 18 musik ini
berkembang di kalangan Masyarakat Tugu, yaitu sekelompok masyarakat keturunan
golongan apa yang disebut Mardijkers, bekas anggota tentara Portugis yang dibebaskan
dari tawanan Belanda. Setelah beralih dari Katolik menjadi Protestan, mereka
ditempatkan di Kampung Tugu, dewasa ini termasuk wilayah Kecamatan Koja, Jakarta
Utara, dengan jemaat dan gereja tersendiri yang dibangun pertama kali pada tahun 1661.
Pada masa-masa yang lalu keroncong ini dibawakan sambil berbiduk-biduk di sungai di
bawah sinar bulan, disamping untuk pertunjukan, bahkan untuk mengiringi lagu-lagu
gereja. Alat-alat musik keroncong tugu masih tetap seperti tiga abad yang lalu, terdiri dari
keroncong, biola, ukulele, banyo, gitar, rebana, kernpul, dan selo.

23
Musik Betawi yang berasal dari Timur Tengah adalah orkes gambus. Pada
kesempatan-kesempatan tertentu, misalnya untuk memeriahkan pesta perkawinan, orkes
gambus digunakan untuk mengiringi tari zafin, yakni tari pergaulan yang lazimnya hanya
dilakukan oleh kaum pria saja. Tetapi sekarang ini sudah mulai ada yang
mengembangkannya menjadi tari pertunjukan dengan mengikutsertakan penari wanita.
Di samping orkes gambus, musik Betawi yang menunjukkan adanya pengaruh Timur
Tengah dan bernafaskan agama Islam adalah berbagai jenis orkes rebana. Berdasarkan
alatnya, sumber sair yang dibawakannya dan latar belakang sosial pendukungnya rebana
Betawi terdiri dari bermacam-macam jenis dan nama, seperti rebana ketimpring, rebana
ngarak, rebana dor dan rebana biang. Sebutan rebana ketimpring mungkin karena adanya
tiga pasang kerincingan yakni semacam kecrek yang dipasang pada badannya yang
terbuat dari kayu. Kalau rebana Ketimpring digunakan untuk memeriahkan arak-arakan,
misainya mengarak pengantin pria menuju rurnah mempelainya biasanya disebut rebana
ngarak, disamping ada yang menggunakan rebana khusus untuk itu, yang ukurannya
lebih kecil. Syairsyair yang dinyanyikan selarna arak-arakan antara lain diarnbil dari
kitab Diba atau Diwan Hadroh.
Rebana ketimpring yang digunakan untuk mengiringi perayaan - perayaan
keluarga seperti kelahiran, khitanan, perkawinan dan sebagainya, disebut rebana maulid.
Telah menjadi kebiasaan di kalangan orang Betawi yang taat kepada agarnanya untuk
membacakan syair yang menuturkan riwayat Nabi Besar Muhammad SAW. sebagai
acara utamanya yang sering kali diiringi rebana maulid. Syair-syair pujian yang biasa
disebut Barjanji, karena diambil dari kitab Syaraful Anam karya Syeikh Barzanji.
Rebana dor biasa digunakan mengiringi lagu lagu atau yalil seperti Shikah,
Resdu, Yaman Huzas dan sebagainya.
Rebana kasidah (qosidah) seperti keadaannya dewasa ini merupakan
perkernbangan lebih lanjut dari rebana dor. Lirik lirik lagu yang dinyanyikannya tidak
terbatas pada lirik-lirik berbahasa Arab, melainkan banyak pula yang berbahasa
Indonesia. Berlainan dengan jenis jenis rebana lainnya, pada rebana qasidah dewasa ini
sudah lazim kaum wanita berperan aktif, baik sebagai penabuh maupun sebagai pembawa
vokal. Dengan dernikian rebana kasidah lebih menarik dan sangat populer.

24
Orkes rebana biang di samping untuk membawakan lagu berirama cepat tanpa
tarian yang disebut lagu-lagu zikir, biasa pula digunakan untuk mengiringi tari belenggo.
sebagaimana umumnya tarian rakyat, tari belenggo tidak memiliki pola tetap. Gerak
tarinya tergantung dari perbendaharaan gerak-gerak silat yang dimiliki penari
bersangkutan. Biasanya tari belenggo dilakukan oleh anggota grup rebana biang sendiri
secara bergantian. Kalau pada masa-masa lalu tari belenggo hanya merupakan tari
kelangenan, dewasa ini sudah berkembang menjadi tari pertunjukan dengan berpola tetap.
Di samping itu orkes rebana biang biasa digunakan sebagai pengiring topeng belantek
yaitu salah satu teater rakyat Betawi yang hidup di daerah pinggiran Jakarta bagian
Selatan.
Orkes samrah berasal dari Melayu sebagaimana tampak dari lagu-lagu yang
dibawakan seperti lagu Burung Putih, Pulo Angsa Dua, Sirih Kuning, dan Cik Minah
dengan corak Melayu, disamping lagu lagu khas Betawi, seperti Kicir-kicir, Jali-jali,
Lenggang-lenggang Kangkung dan sebagainya. Tarian yang biasa di iringi orkes ini
disebut Tari Samrah. Gerak tariannya menunjukkan persarnaan dengan umumnya tari
Melayu yang mengutamakan langkah langkah dan lenggang lenggok berirama, ditarnbah
dengan gerak-gerak pencak silat, seperti pukulan, tendangan, dan tangkisan yang
diperhalus. Biasanya penari samrah turun berpasang-pasangan. Mereka menari diiringi
nyanyian biduan yang melagukan pantun-pantun bertherna percintaan dengan ungkapan
kata-kata merendahkan diri seperti orang buruk rupa hina papa tidak punya apa-apa
Pada gamelan ajeng, di samping ada pengaruh Sunda juga tampak adanya unsur
Bali seperti pada salah satu lagu yang biasa diiringinya yang disebut lagu Carabelan atau
Cara Bali. Pada awainya garnelan ini bersifat mandiri sebagai musik upacara saja. Dalarn
perkembangan kemudian biasa digunakan untuk mengiringi tarian yang disebut Belenggo
Ajeng atau Tari Topeng Gong. Orkes ini juga berfungsi sebagai pengiring wayang kulit
atau wayang wong yaitu salah satu unsur kesenian Jawa yang diadaptasi oleh masyarakat
Betawi terutama di pinggiran Jakarta.
Musik Betawi lainnya yang banyak menyerap pengaruh Sunda adalah gamelan
topeng. Disebut dernikian karena gamelan tersebut digunakan untuk mengiringi
pagelaran teater rakyat yang kini dikenal dengan sebutan topeng Betawi Popularitas
topeng Betawi bagi masyarakat pendukungnya adalah kemampuannya untuk

25
menyampaikan kritik social yang tidak terasa mengpenggeli hati. Salah satu contohnya
adalah lakon pendek Bapak jantuk, tampil pada bagian akhir pertunjukan yang sarat
dengan nasehat- nasehat bagi ketenteraman berumah tangga. Di antara tarian-tarian yang
biasa disajikan topeng Betawi adalah Tari Lipetgandes, sebuah tari yang dijalin dengan
nyanyian, lawakan dan kadang-kadang dengan sindiran-sindiran tajam menggigit tetapi
lucu. Tari- tari lainnya cukup banyak memiliki ragam gerak yang ekspresif dan dinamis,
seperti Tari Topeng Kedok,

Disiplin Jenis Kesenian Betawi Ragam


MUSIK Rebana Ketimpring 1. Rebana Ngarak (bergerak)
2. Rebana Maulid (stasioner)
Rebana Hadro 1. Pergelaran Bias
2. Adu Dzikir (Pertandingan)
Rebana Dor 1. Pergelaran Biasa
2. Qasidah (Kreasi Baru)
Rebana Burdah -
Rebana Maukhid -
Gambang Kromong Kombinasi -
Kroncong Tugu Versi Original
Orkes Kroncong
Keroncong Kemayoran

26
▪ Ondel-ondel
Salah satu bentuk pertunjukan rakyat Betawi yang sering ditampilkan dalarn
pesta-pesta rakyat adalah ondel-ondel. Nampaknya ondel-ondel memerankan leluhur atau
nenek moyang yangsenantiasa menjaga anak cucunya atau penduduk suatu desa.
Ondel-ondel yang berupa boneka besar itu tingginya sekitar ± 2,5 m dengan
garis tengah ± 80 cm, dibuat dari anyarnan barnbu yang disiapkan begitu rupa sehingga
mudah dipikul dari dalarnnya. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut
kepala dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki di cat dengan warna merah, sedang
yang perempuan dicat dengan warna putih Bentuk pertunjukan ini banyak persamaannya
dengan yang terdapat di beberapa daerah lain. Di Pasundan dikenal dengan sebutan
Badawang, di Jawa Tengah disebut Barongan Buncis, di Bali barong landung. Menurut
perkiraan jenis pertunjukan itu sudah ada sejak sebelum tersebarnya agama Islam di
Pulau Jawa. Semula ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus
yang gentayangan. Dewasa ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah
semarak pesta- pesta rakyat atau untuk penyambutan tamu terhormat, misainya pada
peresmian gedung yang baru selesai dibangun. Betapapun derasnya arus modernisasi,
ondel-ondel ternyata masih tetap bertahan dan menjadi penghias wajah kota metropolitan
Jakarta.

Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah
dikenal seperti Si Pitung juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen yang
mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang
dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal
cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial.

Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah badik yang bentuknya tipis memanjang.

27
E. Lenong
Lenong adalah teater tradisional Betawi. Kesenian tradisional ini diiringi musik
gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang,
kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan,
kongahyang, dan sukong. Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan
moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa
yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek
Betawi.
Sejarah Lenong
Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian
teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian
serupa seperti "komedi bangsawan" dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain
itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari
proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak
tahun 1920-an.
Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang
dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang
dan utuh.
Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke
kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan
berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta
sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan
pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di
awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.
Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang
dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki,
Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya,
lenong yang direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi
semalam suntuk.
Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi,
yaitu yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa

28
seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti,
dan Anen.
Jenis lenong
Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong
denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti "dinas" atau "resmi"), aktor dan
aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau
lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan
tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari.
Lenong denes dapat dianggap sebagai pekembangan dari beberapa bentuk teater rakyat
Betawi yang dewasa ini telah punah, yaitu wayang sumedar, senggol, dan wayang
dermuluk. Sedang lenong preman adalah perkembangan dari wayang sironda.Selain itu,
kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes
umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong
preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, sehingga sangat akrab dan
komunikatif dengan para penontonya. Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman
misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan
munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan
tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.
Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang
dibandingkan lenong denes.

H. Rumah Adat
Rumah adat betawi berbentuk joglo dengan bentuk sirap dan ukiran-ukiran yang
khas.

I. Pariwisata
DKI Jakarta juga memiliki berbagai objek pariwisata seperti:
• Kebun Binatang Ragunan
• Monumen Nasional
• Museum Gajah
• Taman Mini Indonesia Indah

29
• Taman Impian Jaya Ancol
• Museum Fatahillah
• Pulau Seribu
• Perkampungan Betawi Setu Babakan
Para turis yang datang ke Jakarta, umumnya hanya berkunjung ke Taman Mini
Indonesia Indah, Taman Impian Jaya Ancol dan Kebun Binatang Ragunan. Padahal
masih banyak lagi tempat wisata lain yang menarik kalau ditata dengan baik seperti di
Jakarta Selatan, sebut saja Kali Pesanggrahan, Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong.

30
BAB IV
PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI

Masalah yang dirasakan oleh etnik Betawi ialah bahwa kesempatan untuk
berkembang dalam berbagai bidang kehidupan lebih banyak diberikan kepada etnik
pendatang, sementara mereka selalu digusur dari “habitatnya”. Sehingga boleh dibilang
bahwa orang Betawi sekarang ini sudah tidak punya tanah lagi di “tanah airnya” sendiri.
Jangan heran kalau sekarang ini banyak orang Betawi yang justru “ngontrak” di rumah
milik kaum pendatang di tanah leluhur mereka sendiri. Hal itu dirasakan benar terutama
oleh generasi muda orang Betawi. Mereka mengakui orang Betawi cenderung mudah
menjual tanah. Tapi menurut mereka, itu sering terjadi justru karena adanya tekanan yang
tidak bisa ditolak. Apalagi dengan mengatasnamakan pembangunan. Maunya mereka,
lahan-lahan itu boleh saja digunakan pemerintah, tetapi pemerintah harus bisa
menempatkan orang-orang Betawi yang tergusur itu. Yang terjadi sekarang ini seolah-
olah mereka itu digusur dan tidak diberi kesempatan untuk hidup di situ. Mereka
berharap bahwa suatu saat akan ada suatu Undang-undang yang khusus agar tanah
penduduk asli tidak habis terjual. Menurut mereka pemerintah selama ini tidak punya
kepedulian ke arah itu.
Sejauh ini di Betawi memang tidak ada konflik sosial yang dipicu oleh masalah
pemilikan tanah yang menghadapkan etnik Betawi dengan etnik-etnik pendatang atau
dengan pemerintah. Keributan seperti yang terjadi di Ketapang beberapa waktu lalu
bukan karena masalah tanah tapi karena rebutan lahan/nafkah hidup. Dan itu menurut
mereka bisa terjadi di mana saja. Begitu juga dengan kerusuhan bulan Mei tahun lalu
(1998). Menurut mereka itu bukan antara etnik Betawi dengan Cina. Kerusuhan bulan
Mei itu merasa anggap sangat merugikan citra orang Betawi. Karena orang tahunya
Jakarta adalah Betawi. Orang Betawi merasa baik-baik saja dengan orang Cina. Bahkan
di Betawi ada yang disebut “Asnawi” (asli Cina Betawi), yang menunjukkan bahwa
orang Betawi sudah sangat terbuka terhadap pembauran etnik. Yang agak menjengkelkan
mereka adalah apa yang mereka sebut sebagai “Cina megah”, yaitu warga keturunan Cina
yang eksklusif dan tidak mau bergaul dengan penduduk setempat.

31
Orang Betawi menganggap bahwa kebudayaan Betawi tidak harus
dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat atau etnik Betawi saja, tapi juga oleh
etnik-etnik lain yang sudah lama tinggal di Jakarta yang seharusnya juga ikut memiliki
budaya Betawi. Yang mereka rasakan selama ini ialah bahwa etnik pendatang cenderung
melecehkan orang Betawi, menganggap orang Betawi sebagai orang terpinggirkan dan
kurang berbudaya. Akibatnya mereka juga tidak berusaha menyesuaikan diri dengan
kultur masyarakat Betawi. Martabat dan harga diri orang Betawi akan bangkit kalau
mereka merasa diinjak-injak. Kasus kerusuhan Tanah Abang beberapa waktu lalu
merupakan contoh konkrit mengenai soal itu.
Orang Betawi tidak merasa “mentang-mentang” di kampungnya sendiri. Mereka
sangat menghargai etnik pendatang. Misalnya saja, setiap ada acara kebudayaan atau
halal-bihalal, paguyuban-paguyuban dari etnik lain selalu diundang dan dianjurkan untuk
memakai pakaian adat daerah mereka sendiri. Bahkan duta kebudayaan Betawi untuk ke
luar negeri juga terbuka untuk kelompok etnik lain, tidak hanya untuk orang Betawi asli,
asalkan orang itu memahami dan mendalami kebudayaan Betawi.
▪ Pendidikan Ubah Citra Orang Betawi
Kita mengenal Putri Indonesia 1996 Alya Rohali dan juga dengan tokoh Betawi
Ridwan Saidi. Mereka adalah orang-orang Betawi yang mengenyam pendidikan tinggi.
Melalui publik figur seperti mereka, citra Betawi pun berubah.
Sebenarnya banyak orang- orang Betawi yang sudah sangat maju dalam hal
pendidikan dan cara berpikir. Sayangnya, citra orang Betawi yang terus-menerus
ditampilkan di layar televisi adalah orang Betawi yang malas bekerja, berebut warisan,
berkelahi dengan keluarga, kalaupun sekolah sifatnya mengaji gaya kampung.
Pencitraan orang Betawi seperti ini yang secara terus-menerus ditayangkan di
televisi disesalkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta, Sylviana
Murni.
Menurut Sylviana Murni, yang juga asli Betawi, apa yang ditampilkan di televisi
tentang kehidupan masyarakat Betawi hanyalah sebagian kecil dari kehidupan
masyarakat Betawi yang sesungguhnya. Banyak orang Betawi yang berhasil menjadi
politisi, bahkan di beberapa perusahaan besar ada orang-orang Betawi yang berhasil
menduduki posisi tinggi.

32
"Kalau ada orang Betawi yang berhasil, ada saja orang yang tidak percaya kalau
dia Betawi dan bilang: ’Apa iya? Kok ada juga, ya, Betawi yang berhasil?’ Kan kurang
ajar, ye...," kata Sylviana. Penilaian semacam itu dipandang wajar saja, karena tayangan
film, sinetron, lenong, dan bentuk kesenian yang ditampilkan sebagian besar memang
selalu menyorot karakter Betawi yang seperti itu.
Yang terjadi sebenarnya, menurut Sylviana, meskipun ada orang-orang Betawi
yang sudah sangat maju, namun pada umumnya mereka masih mempunyai sikap yang
sama dengan pendahulunya, seperti tidak kemaruk pangkat, tidak mempunyai ambisi
yang terlalu tinggi, hidup bagaikan mengikuti aliran air atau ke mana angin berembus.
Hal ini mungkin karena sepanjang sejarah masyarakat Betawi hidupnya selalu
dijajah hingga membuat sikap mereka seperti itu. Suasana religiusitas selalu berembus
dari keluarga Betawi karena memang sejak dini pendidikan agama menjadi prioritas bagi
anak-anak, bahkan sampai anak-anaknya menjadi dewasa. "Saya boleh sekolah ke mana-
mana, tetapi tetep aja namanya madrasah enggak boleh lepas. Sampe kawin masih tetep
madrasahan pakai kain, itu sampai sekarang," kata Sylviana.
Akan tetapi, sikap orang Betawi yang seperti itu kini mengalami erosi. Erosi
terjadi karena kehidupan semakin sulit sehingga mendorong mereka untuk maju, untuk
sekolah lebih tinggi guna mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sekarang sudah
banyak orang Betawi yang bersekolah tinggi, bisa menikmati ekspresi budaya orang lain.
▪ Modernisasi
Banyak juga keluarga Betawi yang sudah tersentuh modernisasi, yang sangat
jauh dengan gambaran cerita yang ditampilkan dalam tayangan film, sinetron, maupun
tayangan budaya Betawi lainnya. Mereka mempunyai visi yang jelas, tujuan hidup yang
pasti, dan berpendidikan. Betawi tidak selalu terkesan tradisional dan kampungan seperti
terlihat di televisi.
Terlebih lagi, kini DKI Jakarta dikelilingi oleh kesenian dan budaya dari daerah
dan negara lain. Sementara itu kesenian dan budaya Betawi pun makin tersisih dari
daerah asalnya. Beberapa budaya dan kesenian Betawi dapat dikelompokkan menjadi
empat disiplin budaya/kesenian, yaitu disiplin musik, tari, teater, dan pedalangan. Budaya
semacam inilah yang perlu dipelihara dan terus dikembangkan secara berkesinambungan
melalui proses pendidikan.

33
Pelestarian nilai-nilai budaya Betawi melalui jalur pendidikan, Sylviana
mengusulkan, dapat dilaksanakan dengan beberapa strategi, seperti melalui mata
pelajaran muatan lokal. Melalui mata pelajaran ini bisa dimasukkan materi tentang
kesenian, bahasa, dan adat istiadat Betawi. Dalam materi ini juga seharusnya diberikan
nilai-nilai tradisional masyarakat Betawi sebagai bagian dari unsur kebudayaan Betawi.
Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah pun juga bisa dikemas secara khusus dalam
paket pengenalan budaya Betawi, seperti pencak silat, tarian Betawi, kesenian rebana,
sadrah, gambang kromong, dan kesenian yang bersifat kontemporer.
Penciptaan suasana ke-Betawi-an di sekolah juga bisa dilakukan dengan
penggunaan baju Betawi oleh siswa setiap minggu sekali, misalnya hari Jumat atau
peringatan hari besar keagamaan. Pada hari-hari tertentu juga perlu dilaksanakan
pemakaian bahasa atau dialek Betawi.
Bangunan sekolah yang berciri khas arsitektur Betawi juga bisa dilakukan,
termasuk penerbitan buku-buku tentang budaya Betawi. Buku-buku ini bisa ditempatkan
di perpustakaan sekolah. Penerbitan kamus Bahasa Betawi dan Ensiklopedia Betawi akan
memperkaya khazanah pengetahuan tentang Betawi.
Budaya masyarakat Betawi akan terus ada dan terjaga manakala semua
masyarakat Betawi mau memelihara, menjaga, dan mengembangkan terus budaya
tersebut. Proses pemeliharaan, penjagaan, dan pengembangan budaya Betawi akan sangat
tepat apabila dilaksanakan melalui proses pendidikan sejak dini, yaitu saat anak mulai
menduduki dunia pendidikan usia dini, taman kanak-kanak, pendidikan dasar, menengah,
dan tinggi.
Melalui pendidikanlah citra Betawi yang negatif akan terkikis. Anak-anak yang
tinggal di DKI Jakarta akan makin menghargai kebudayaan Betawi yang mereka serap
melalui sekolah dan lingkungan mereka.
Bagi orang Betawi sendiri, terus tekun sekolah mengejar jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, mendapatkan kehidupan yang lebih baik, akan mengubah citra negatif.
Perlahan jika hal tersebut konsisten dilakukan, maka akan mengangkat citra masyarakat
Betawi. Orang Betawi tak lagi dicap kampungan.
Karena pendidikannya, orang Betawi pun akan dikenal bercitra baik, seperti
Alya Rohali, salah satu contohnya. Ia adalah anak muda Betawi yang mandiri dan

34
berhasil dalam hal pendidikan. Juga Sylviana Murni yang terus-menerus belajar dan
mengajar di mana-mana.
Citra bahwa perempuan Betawi tidak berpendidikan tinggi otomatis luntur jika
menyimak sederet prestasi kedua perempuan Betawi itu. Prof Hasbullah Thabrany, Guru
Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, adalah orang Betawi yang
berhasil mencapai jenjang tertinggi di dunia pendidikan.

35
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Suku Betawi merupakan perpaduan dari beberapa etnis yang sudah lebih
dulu hidup di Jakarta, seperti: etnis Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon,
Melayu dan Tionghoa. Dari beberapa suku-suku tersebut kemudian terjadi
perkawinan silang antar suku dan munculah suku betawi yang mendiami daerah
Jakarta dan sekitarnya. Kebudayaan betawi sendiri merupakan suatu kebudayaan
yang unik karena kebudayaan ini tidak mempunyai identitas khusus, melainkan
merupakan kebudayaan yang telah mendapat pengaruh dari kebudayaan asing
dimana kebudayaan yang masuk tidak hanya berasal dari satu daerah saja,
melainkan dari banyak daerah. Perpaduan macam-macam kebudayaan tersebuat
memunculkan identitas tersendiri bagi Kebudayaan Betawi. Masyarakat Betawi
menganut system kekerabatan bilineal yaitu menarik garis keturunan dari pihak
ayah dan pihak ibu. Pada saat sebelum upacara pernikahan dilaksanakan,
dilakukan perjanjian terlebih dahulu apakah akan mengikuti kerabat suami atau
mengikuti kerabat istri. Namun pada dasarnya orang tua ingin anak mereka yang
telah menikah mempunyai rumah sendiri atau ngerumahin anaknya. Mayoritas
masyarakat Betawi memeluk Agama Islam. Dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Betawi, pengaruh Agama Islam sangat terlihat dalam kegiatan
bermasyarakat, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Bagi orang Betawi
tempo doeloe, orang yang tidak bisa membaca huruf arab dianggap buta huruf
sehingga mereka cenderung mengesampingkan pendidikan formal. Bahasa sehari-
hari masyarakat Betawi adalah Bahasa Indonesia yang merupakan turunan dari
Bahasa Melayu.
Di era globalisasi seperti sekarang ini tuntutan bagi masyarakat untuk
mengikuti pola hidup yang lebih modern sangatlah kompleks. Tidak terkecuali
bagi masyarakat Betawi. Masuknya para pendatang ke Kota Jakarta yang berasal
dari berbagai daerah membuat masyarakat Betawi yang notabene-nya adalah
penduduk asli menjadi “agak terpinggirkan”. Bahkan mereka merasa seperti

36
“ngontrak” di rumah sendiri. Kurangnya kesempatan untuk berkembang bagi
masyarakat Betawi dapat disebabkan karena mereka kalah bersaing dengan para
pendatang. Hal ini diperparah dengan pandangan masyarakat terhadap orang
Betawi yang cenderung kurang mau bekerja keras. Walaupun sebenarnya tidak
jarang juga orang Betawi yang berhasil dan sukses. Untuk itu kita sebagai Putra
Betawi harus mampu mengangkat kembali citra masyarakat Betawi di dalam
percaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yaitu dengan
bekerja sebaik-baiknya tanpa mengenal lelah dan harus bisa mengentaskan
Betawi dari bahaya kebodohan.

B. Saran
Munculnya para pendatang baru di kota Jakarta secara tidak langsung
akan membawa kebudayaan-kebudayaan baru. Hal ini dapat mengakibatkan
terkikisnya kebuyaan betawi oleh kebudayaan tersebut, dimana tingkat kepedulian
masyarakat Betawi sendiri terhadap kebudayaannya mulai berkurang. Untuk
mencegah hal itu supaya tidak lebih parah, kita harus meningkatkan kepedulian
masyarakat akan arti pentingnya kebudayaan. Kita dapat memulainya dengan
mengadakan ekstrakulikuler yang berhubungan dengan Kebudayaan Betawi
dalam lingkungan sekolah khususnya SMA dan SMP yang adalah generasi muda
penerus bangsa. Di samping itu pada saat pelaksanaan pesta seperti pernikahan
ataupun sunatan sebaiknya menggunakan adat Betawi, walaupun sebenarnya
mampu untuk mengadakan pesta di gedung mewah dengan tema Eropa. hal ini
pasti akan dapat melestarikan kebudayaan Betawi hingga ratusan tahun bahkan
ribuan tahun kedepan.
Kemudian masalah sosial masyarakat Betawi dalam kehidupan
bermasyarakat di mana mereka kurang mendapat tempat dalam kehidupan sehari-
hari yang dikarenakan karena kalah bersaing dengan para pendatang. Hal ini dapat
diminimalisir dengan meningkatkan tingkat kepedulian masyarakat Betawi akan
arti pentingnya pendidikan. Dengan berbekal pendidikan yang baik akan
menghasilkan dasar yang bagus guna bekal untuk persaingan dalam kehidupan

37
bermasyarakat. Selain itu rasa ingin “enaknya aja” tanpa mau bekerja keras harus
dibuang jauh-jauh supaya kita dapat lebih maju. Kalau mau hasil ya harus mau
kerja keras. Dan jangan pernah ada perasaan takut gagal membuatmu takut untuk
mencoba. HIDUP BETAWI…!!!

38
DAFTAR PUSTAKA

www.kompas.com
www.incis.or.id
www.sinarharapan.com
www.wikipedia.or.id
www.republika.co.id
www.penulislepas.com
www.google.com

39
LAMPIRAN

Rumah Si Pitung
Ondel-Ondel

Pemandangan
matahari terbenam di Jakarta Gedung pencakar langit di Jakarta

Arak-arakan Tanjidor Orkes Gambus

Silat
Betawi Rumah Betawi

40
Prosesi pernikahan Betawi Minuman bir pletok

Sepasang pengantin Betawi

41

You might also like