You are on page 1of 43

BAB I

KEBUDAYAAN MINAHASA

A. IDENTIFIKASI
Minahasa adalah kawasan didalam propinsi di semenanjung Sulawesi Utara di
Indonesia, sesuatu daerah yang indah, terletak di bagian utara timur pulau
Sulawesi, yang mencakup 27.515 km persegi, terdiri dari empat daerah -
Bolaang Mongondow, Gorontalo, Minahasa dan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Minahasa juga terkenal oleh sebab tanahnya yang subur yang menjadi rumah
tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, didarat maupun dilaut.
Tertutup dengan daunan hijau pepohonan kelapa dan kebun-kebun cengkeh,
tanah itu juga menyumbang variasi buah-buahan dan sayuran yang lengkap.
Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langkah seperti burung
Maleo, Cuscus, Babirusa, Anoa dan Tangkasii (Tarsius Spectrum).
Kebanyakan penduduk Minahasa adalah orang yang beragama Kristen, yang
ramah dan salah satu suku-bangsa yang paling dekat dengan negara barat.
Hubungan pertama dengan orang Europa terjadi saat pedagang Espanyol dan
Portugal tiba disana. Saat orang Belanda tiba, agama Kristen tersebar
terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang Belanda.
Kata Minahasa berasal dari confederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-
patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.
Orang Minahasa adalah suatu suku bangsa yang mendiami suatu daerah
pada bagian timur laut
jazirah sulawesi utara. Luas daerah ini, termasuk kota Manado dan Bitung . Luas
daerah ini termasuk kota-kota Manado dan Bitung, kurang dari 6.000 km2.
Dalam ucapan umum orang Minahasa menyebut diri mereka orang
Manado atau Touwenang (orang Wenang), orang Minahasa, atau pula
Kawanua. Tetangga-tetangganya di sebelah utara adalah orang Sangir
dan orang Talaud, serta orang Bolaang Mongondow di sebelah selatan.
Penduduk Minahasa dapat dibagi ke dalam delapan kelompok subetnik,
yaitu :

1
a. Tounséa
b. Toumbulu
c. Tountemboan
d. Toulour
e. Tounsawang
f. Pasan
g. Panosakan
h. Bantik
Setiap kelompok subetnik ini memiliki bahasa sendiri yang disebut
dengan nama subetnik itu sendiri.
Malayu Manado adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam
komunikasi antara orang-orang dari sub-sub etnik Minahasa maupun
antara mereka denga penduduk dari suku-suku bangsa lainnya, baik
dalam lingkungan pergaulan kota maupun dalam lingkungan pergaulan
desa. Bahkan lebih dari itu, terutama di kota-kota, secara umum terlihat
orang-orang menggunakan Malayu Manado sebagai bahasa ibu,
menggantikan bahasa pribumi Minahasa atau bahasa suku bangsa yang
bersangkutan. Peranan Malayu Manado seperti di kota-kota ini sudah
terlihat pula secara jelas di desa-desa yang penduduknya merupakan
campuran dari berbagai subetnik tersebut di atas. Generasi terakhir dari
orang MInahasa di kota-kota dan di desa-desa yang dimaksud tidak dapat
lagi menggunakan bahasa pribumi subetnik yang bersangkutan. Proses
indigenisasi Malayu Manado sedang berlangsung dengan pesat,
membentuk suatu cirri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya
Minahasa.

2
B. ASAL USUL SUKU MINAHASA ANAK SUKU TONSEA
Di tanah Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti:
Kaum Kuritis yang berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung
pesek) Kaum Malesung/ Minahasa yang menurunkan suku-suku : Tonsea,
Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan
(Pasan,Ratahan),Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar
tahun 1590 . Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan
suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol
didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti
mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dan lain-lain.
Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina
Tetua- tetua Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui
cerita turun temurun biasanya dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan
upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi
masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru dan dari hal
kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah
nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang
riwayat kedua orang tersebut.
Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam
disekitar gunung Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan Sampai
pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur
mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui
kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan
minahasa. Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu
yang lebih berkuasa atas manusia sudah dijalankan diMinahasa sejak
awal.

3
C. DATA KEPENDUDUKAN DAN DESA
Sekarang ini wilayah yang dianggap wilayah etnik orang MInahasa
yang terdiri dari delapan kelompok tersebut di atas, terbagi pada tiga
wilayah administrasi pemerintahan, yaitu Kabupaten Minahasa, Kota
Madya Manado, dan Kota Bitung. Mayoritas dari penduduk di ketiga
wilayah ini ialah suku bangsa Minahasa. Selain tiga wilayah tersebut, di
Provinsi Sulawesi Utara juga terdapat Kab. Gorontalo, Kab. Bolaang
Mongondow, Kab.Sangihe Talaud, Kodya Gorontalo, dan Kodya Bitung.
Kabupaten MInahasa mampunyai 468 desa (kampung), senagai
kesatuan-kesatuan administrasi yang dipimpin oleh kepala desa, secara
adat disebut Hukum Tua (Kuntua). Dewasa ini, kesatuan administrasi
desa telah dirubah menjadi kelurahan dan dipimpin oleh seorang Lurah.
Apa yang sekarang dikenal sebagai aparatur pemerintah desa terdiri dari
Kepala Desa / Lurah, Orang-orang Tua Desa, dan Pamong Desa yang
mengepalai sub-sub wilayah di dalam desa dan yang bertugas sebagai
juru tulis, pengukur tanah, pengurus perkebunan, pengurus pengairan,
dan pejabat urusan agama. Di seluruh Minahasa terdapat 27 kecamatan.
Kecuali desa sebagai kesatuan administrasi tersebut ada juga
perkampungan yang berupa kompleks perumahan bersama dengan
kebun-kebun dan sawah-sawah yang secara administratif merupakan
bagian dari suatu desa. Ada kalanya suatu bagian desa ditingkatkan
menjadi desa dengan kepala desa sendiri.
Suatu masyarakat pedesaan dapat pula merupakan kelompok dari
beberapa desa. Masyarakat seperti itu memperlihatkan ciri-ciri kesatuan
adat tertentu dan sering kali memiliki suatu bahasa atau dialek tersendiri.
Suatu kelompok desa yang sudah demikian besarnya itu, biasanya juga
merupakan tempat kedudukan Kepala Kecamatan (Camat). Baik desa
anak, desa, maupun kelompok desa-desa seperti itu, disebut wanua.
Pola perkampungan di Minahasa bersifat menetap, dalam arti bahwa
suatu desa cenderung tidak berkurang penduduknya atau lenyap karena
ditinggalkan akibat ladang-ladang yang makin jauh. Desa itu sendiri

4
memang merupakan pusat aktifitas social dari para petani. Kecuali itu,
setiap desa dalam perkembangannya bersifat mengelompok menjadi
padat dan luas.
Aspek lain dari pola desa di Minahasa ialah bahwa kelompok rumah-
rumah itu mempunyai bentuk memanjang mengikuti jalan raya.desa yang
mulai menjadi besar, pada sebelah menyebelah jalan raya dihubungkan
dengan jalan-jalan samping untuk masuk lebih dalam. Namun demikian,
jalan raya tetap sebagai urat nadi desa dan sepanjang itu terletak pusat-
pusat aktivitas desa seperti kantor Kepala Desa, pasar, gereja, kantor
polisi, pertokoan, warung, dan sebagainya. Walaupun demikian ada pula
contoh-contoh dari desa yang berbentuk meluas dimana pusat-pusat
aktivitas desa tidak terletak pada satu deretan memanjang pada jalan
raya tetapi tersebar.
Kelancaran komunikasi antar desa terutama untuk jarak-jarak yang
agak jauh banyak ditentukan oleh kendaraan-kendaraan seperti bis kecil
dan kendaraan bermotor lainnya, namun demikian ini hanya terbatas
pada jalan-jalan yang baik. Di desa-desa yang tidak dapat dilalui oleh
kendaraan-kendaraan bermotor, maka gerobak yang ditarik oleh sapi
(roda sapi) atau gerobak yang ditarik oleh kuda (roda kuda) menjadi alat
pengangkutan yang pokok. Roda sapi juga penting sebagai alat
pengangkutan yang menghubungkan desa dengan lokasi pertanian.
Jaringan jalan-jalan desa seperti itu, yang disebut jalan roda,
menghubungkan tempat-tempat pertanian dengan desa, atau beberapa
desa yang berdekatan. Kebanyakan dari jalan-jalan tersebut tidak dapat
dilalui oleh kendaraan bermotor.
Bentuk rumah orang MInahasa sekarang telah banyak berbeda dari
bentuk-bentuk rumah kuno, walaupun masih juga terlihat adanya unsur-
unsur yang khas. Unsur-unsur khas yang dimaksud antara lain lantai
rumah yang berada diatas tiang-tiang yang tingginya sampai 21/2 meter.
Tiang-tiang tersebut dapat dibuat dari kayu (balak) maupun dari batu
kapur. Ruangan depan yang biasanya selebar rumah dimana terdapat

5
sebuah atau dua buah tangga tidak berdinding tetapi dikelilingi dengan
regel setinggi kurang lebih 1 meter dengan terali-terali dari kayu yang
berukir secara sederhana. Biasanya di atas regel diletakkan gerabah-
gerabah bertanah yang ditanami berbagai tanaman kembang atau
tanaman hias lainnya. Dapat juga ditemukan tiang-tiang dalam ruangan
itu yang dihiasi dengan ukiran-ukiran seerhana.
Sebuah rumah biasanya dibagi dua oleh gang pada bagian tengah.
Sepanjang gang itu terletak kamar-kamar di kedua sisinya. Bagian bawah
rumah atau kolong rumah, biasanya dipakai sebagai gudang kalau diberi
dinding, atau pula sebagai kamar, atau tempat gerobak dan alat-alat
pertanian. Rumah yang biasanya berbentuk persegi panjang itu,
beratapkan daun rumbia atau seng. Genteng tidak dikenal di Minahasa.
Selain dari bangunan induk itu, suatu rumah juga mempunyai bangunan-
bangunan tambahan pada bagian belakang atau samping, yang dipakai
unuk dapur dan lain-lain. Tidak setiap rumah mempunyai sumur. Mereka
yang tidak mempunyai sumur mengambil air dari mata air dengan bambu
atau dari sumur tetangga. Umumnya, setiap rumah tangga memiliki
jamban; namun demikian, apa yang terlihat pada penduduk pedesaan
pada umumnya belum sesuai dengan persyaratan sanitasi lingkungan.
Adapun bentuk rumah seseorang di dalam desa dapat menentukan
pula apakah ia tergolong pada orang yang kaya atau tidak. Biasanya
orang yang lebih kaya membuat rumah dari bahan-bahan yang lebih
mahal, misalnya seng untuk atap, kaca untuk isi jendela, sedangkan jenis-
jenis kayu yang dipakai adalah dari jenis kayu yang baik seperti cempaka,
wasian, bahkan lingua yang terkenal sebagai kayu terbaik. Rumah seperti
itu di kalangan penduduk desa disebut rumah seng atau rumah kaca.
Dahulu rumah-rumah tradisional selalu dicat putih, dengan menggunakan
tanah kapur sebagai bahan catnya.

6
D. EKONOMI
Ekonomi pedesaan sebagai suatu aspek yang mengandung ciri-ciri
perilaku “petani” Minahasa tentu bukan padanan istilah ekonomi nasional.
Ekonomi pedesaan merupakan suatu kompleks pengetahuan,
kepercayaan, nilai, dan norma yang terwujud sebagai pranata-pranata
social yang mengatur proses dan mekanisme produksi, ditribusi, dan
konsumsi yang diturunkan secara antargenerasional, yang dipengaruhi
oleh ekonomi nasional, perubahan sosiobudaya umum, dan perubahan-
perubahan ekologis dalam lingkungan-lingkungan sumber-sumber
ekonomi. Kecuali itu, dari segi kebudayaan, proses-proses produksi,
ditribusi, dan konsumsi dari setiap kegiatan ekonomi tidak terlepas dari
segi-segi lain, seperti teknologi, aturan dan organisasi kerja, upacara
keagamaan, nilai dan etos kerja, motivasi, dan lain-lain, kesemuanya
merupakan pola/pola-pola mata pencaharian yang menunjukkan
perbedaan dengan sistem ekonomi nasional, atau modern, atau formal.
Namun demikian ini bukan berarti ekonomi nasioanl terpisah dari
ekonomi pedesaan. Seperti dikemukakan di atas, ekonomi nasional
mempengaruhi dan merupakan salah satu factor yang meyebabkan
terjadinya perubahan-perubahan dalam ekonomi pedesaan maupun segi-
segi kebudayaan lainnya. Dapat pula dikatakan bahwa ekonomi pedesaan
merupakan suatu kategori ekonomi di dalam ekonomi nasional.
Di Minahasa, jaringan jalan raya tergolong baik, serta adanya
pelabuhan Bitung dan bandara Sam Ratulangi, adanya industri-industri
kecil, toko-toko di kota, dan kegiatan-kegiatan ekonomi modern lainnya
memang secara erat berhubungan dengan, dan sangat mempengaruhi,
ekonomi pedesaan yang berpangkal pada sektor pertanian rakyat yang
masih tradisional. Ekonomi pedesaan di Minahasa mempunyai bentuk
tersendiri yang menunjukkan adanya perbedaan dari masyarakat-
masyarakat pedesaan lainnya, seperti Sangir, Gorontalo, Bolaang
Mongondow, Jawa, Bali, dan sebagainya, terutama dari segi sosiobudaya.
Namun, pernyataan ini tidak mengabaikan adanya kenyataan-kenyataan

7
variasi intrabudaya di dalam setiap masyarakat etnis ini, bukan hanya
seperti yang dimaksud dengan keragaman pola-pola kegiatan ekonomi
tersebut di atas tetapi juga keragaman antarlokalitas pedesaan yang
diperlihatkan oleh setiap kegiatan ekonomi karena keragaman sub
budaya maupun karena variasi lingkungan fisik yang melahirkan bentuk
adaptasi yang berbeda-beda. Berbagai prasarana, sarana, dan pranata
ekonomi di Minahsa sekarang telah mengalami perkembangan, jauh
berbeda dari masa-masa, katakanlah Orde Baru. Jalan, jembatan, dan
pengangkutan darat telah cukup berkembang, menyebabkan tidak ada
lagi desa - yang memiliki peranan ekonomis berarti – yang masih
terisolasi. Sekalipun desa-desa secara ekonomis tergolong tidak penting
dengan jaringan jalan yang tidak beraspal, namun dapat dijangkau
dengan kendaraan umum. Sekarang, desa-desa terpencil yang yang
hanya dapat dicapai dengan gerobak sangat terbatas jumlahnya. Namun
peranan gerobak ini masih dapat mencukupi kebutuhan distribusi dan
pengankutan keluar desa-desa jenis ini. Rata-rata panjang jalan gerobak
(jalan roda) ini sampai pada jalan atau desa lain yang terletak dalam
jaringan lalulintas kendaraan bermotor adalah sekitar 5 km, suatu jarak
yang relatif singkat. Panjang jalan di kabupaten Minahasa adalah 722.052
km; terdiri dari jalan Negara 213,860 km, jalan provinsi 118.075 km, dan
jalan kabupaten 390.605 km (BAPPEDA tingkat II Minahasa 1985 : 63).
Selain kemajuan sarana dan prasarana pengangkutan darat, bandara Sam
Ratulangi dan pelabuhan samudra Bitung terus mengalami
pengembangan dan peningkatan daya tamping pemakai-pemakainya
maupun bagi berbagai kegiatan ekonomi, langsung maupun tidak
langsung.
Berbagai pabrik, pertokoan yang menjual barang-barang mewah
maupun kebutuhan sehari-hari, kegiatan-kegiatan perdagangan ekspor
dan impor antar pulau maupun lokal, dan masih banyak lagi lainnya,
kesemuanya tergolong pada kegiatan ekonomi modern, menunjukkan
gejala-gejala perkembangan ekonomi.

8
Kebutuhan masyarakat akan tenaga listrik dipenuhi dengan adanya
pembangkit listrik tenaga air pada sungai Tondano di desa Tanggari
selain pembangkit listrik tenaga air terjun di Tonsea Lama yang sudah
dibangun sejak sebelum Perang Dunia II, yang menyebabkan peningkatan
pertumbuhan berbagai industri dan kegiatan ekonomi lainnya. Demikian
pula pusat pendayagunaan panas bumi seperti yang terdapat di
Lahendong.
Dalam sektor pertanian sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II
berkembang perkebunan rakyat tanaman industri, terutama kelapa,
cengkeh, kopi, dan pala. Perkebunan-perkebunan tersebut terus
mengalami peningkatan intensifikasi dan ekstensifikasi dengan metode
dan teknologi pertanian modern. Komoditi lain seperti coklat, vanili, jahe
putih, dan jambu mete, juga sudah digiatkan secara intensif.
Persawahan juga menunjukkan perkembanga dalam peningkatan
produksi padi, misalnya perbaikan dan pembangunan irigasi, penggunaan
pupuk dan bibit unggul. Pertebatan ikan mas dengan mempraktekkan
metode baru (menggunakan air yang mengalir deras ke dalam tebat-
tebat yang terbuat dari semen) sudah dijalankan di banyak desa,
terutama oleh petani-petani kaya.
Perladangan tradisional (kebun kering) yang umum di MInahasa ialah
perladangan jagung, umumnya untuk konsumsi petani sendiri. Bisanya
petani menanam pula dalam kebun jagung berbagai jenis sayur, tanaman
bumbu masakan, dan buah-buahan (terutama kelapa, alpukat, papaya,
jeruk, nangka, sirsak, jambu biji, jambu air) untuk konsumsi sendiri.
Pemerintah Daerah telah mengusahakan peningkatan produksi melalui
Koperasi Unit Desa (KUD).
Selain pengembangan perikanan laut yang dilaksanakan oleh perikani
yang berpusat di Aertembaga, terutama penangkapan dan pengolahan
cakalang. Nelayan tradisional mulai meningkatkan produksi berbagai jenis
ikan dan binatang laut dengan menggunakan peralatan yang lebih baik.
Teknologi tradisional dipergunakan pula dalam penangkapan jenis-jenis

9
biotic sumber protein di danau-danau dan sungai-sungai. Desa-desa di
sekeliling danau Tondano ada segolongan penduduk yang khusus
menjalankan kegiatan menangkap berbagai jenis ikan dan binatang
danau. Golongan nelayan ini mengisi sebagian dari kebutuhan protein
hewani yang dapat diperoleh di pasar di kota-kota.
Hutan merupakan sumber energi maupun materi untuk berbagai
kebutuhab penduduk. Berbagai jenis kebutuhan makanan (binatang dan
tumbuhan) untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk pesta, bersumber
dari hutan. Jenis binatang yang umum dimakan ialah babi hutan, tikus
hutan (ekor putih), dan kalong. Sedangkan yang lainnya jarang dimakan
karena sudah tergolong langka atau tidak umum dimakan oleh orang
Minahasa seperti rusa, anoa, babirusa, monyet, ular piton, biawak, ayam
hutan, telur burung maleo, dan jenis-jenis unggas lainnya. Berbagai jenis
tumbuhan liar baik yang terdapat di hutan maupun lingkungan-
lingkungan fisik lainnya merupakan bahan makanan yang memenuhi
kebutuhan sayuran, terutama pangi, rebung, dan pakis. Demikian pula
hutan menghasilkan berbagai jenis buah-buahan seperti mangga, pakoba,
dan kemiri. Selain itu, enau (tumbuhan ini tumbuh di hutan maupun
kebun) merupakan sumber nira sebagai minuman yng terkenal di Minahsa
(disebut saguer), maupun bahan gula merah.
Hutan juga merupakan sumber daya untuk berbagai kebutuhan kayu
sebagai bahan untuk membuat berbagai alat, dan bahan untuk bangunan
gedung dan rumah. Selain dari pada itu, hutan dan lingkungan fisik
lainnya merupakan tempat bertumbuhnya tanaman-tanaman yang
member bahan-bahan untuk berbagai kebutuhan umum, seperti rotan,
kayu bakar, dan daun rumbia (bahan atap rumah). Sayang sekali luas
hutan di Minahasa semakin berkurang terutama karena ekstensifikasi
perkebunan cengkeh yang dilakukan oleh penduduk desa dan kota.

10
E. KEKERABATAN
Pada umunya orang Minahasa membenarkan kebebasan orang untuk
menentukan jodohnya sendiri; walaupun dulu kalanya dikenal juga
penentuan jodoh atas kemauan orang tua sekalipun yang bersangkutan
belum saling mengenal. Dalam hal pembatasan jodoh dalam perkawinan
ada adat eksogami yang mewajibkan orang kawin di luar family, ialah
kelompok kekerabatan yang mencakup semua anggota keluarga batih
dari saudara-saudara sekandung ibu dan ayah, baik pria maupun wanita;
beserta semua keluarga batih dari anak-anak mereka.
Sesudah nikah, secara ideal pengantin baru tinggal menurut aturan
neolokal (tumampas) pada tempat kediaman yang baru dan tidak
mengelompok di sekitar tempat kerabat si suami maupun kerabat si
isteri. Dalam kenyataan, ada neolokal ini tidak lagi diharuskan. Rumah
tangga (sanga awu, satu dapur) baru dapat tinggal dalam lingkungan
kekerabatan pihak suami maupun pihak isteri sampai mereka
memperoleh rumah sendiri.
Bentuk rumah tangga orang Minahasa dapat terdiri dari hanya satu
keluarga batih dan dapat pula lebih. Anak tiri dan anak angkat karena
adopsi dianggap sebagai anggota kerabat penuh dalam keluarga batih
maupun kelompok kekerabatan yang lebih luas. Dulu ada kecenderungan
untuk memperluas jumlah anggota keluarga batih dengan adopsi karena
hal ini dapat menambah tenaga kerja untuk pekerjaan pertanian. Suatu
rumah tangga yang memiliki lebih dari satu kelurga batih dapat terjadi
bilamana sesudah perkawinan, rumah tangga baru ini tinggal bersama
dengan salah satu orang tua mereka. Bentuk rumah tangga lainnya
adalah seperti apa yang dilukiskan oleh Padtbrugge yang terdapat
beberapa abad yang lalu yaitu rumah famili besar yang didiami oleh
enam sampai Sembilan keluarga batih, masing-masing sebagai rumah
tangga sendiri karena masing-masing keluarga batih itu memiliki
dapurnya sendiri. Dasar perwujudan keluarga batih orang Minahasa
melalui adat perkawinan adalah monogamy.

11
Batas-batas dari hubungan kekerabatan yang terdapat pada orang
Minahasa ditentukan oleh prinsip keturunan bilateral, dimana hubungan
kekerabatan ditentukan berdasarkan garis keturunan pria maupun
wanita.
Telah kita kenal bahwa pada zaman dahulu dikenal suatu kelompok
kekerabatan keluarga luas yang tinggal pada sebuah rumahbesar, yang
rupa-rupanya mengenal adat menetap sesudah menikah yang utrolokal.
Sekarang keluarga luas seperti itu tidak ada lagi. Kelompok kekerabatan
yang penting yang terdapat sekarang ini dengan prinsip keturunan
tersebut di atas tadi ialah taranak, atau yang lebih lazim disebut famili,
suatu kelompok kekerabatan yang dalam antropologi biasanya disebut
kindred. Kelompok ini sering juga disebut patuari, sekalipun istilah ini
dipakai juga untuk hubungan-hubungan kekerabatan yang lebih luas yang
tidak mempunyai fungsi kekerabatan apa-apa lagi. Suatu famili
setidaknya memiliki ayah dan ibu dari sepasang suami-isteri, saudara-
saudara ayah dan ibu, serta anak-anak dan cucu-cucu mereka, saudara-
saudara sekandung dari suami-isteri dan anak-anak mereka, dan anak-
anak sendiri.
Identitas hubungan kekerabatan seseorang dalam kelompok famili
ialah nama famili yang disebut fam. Nama famili diambil dari nama famili
suami atau ayah tanpa perubahan prinsip keturunan bilateral. Hal ini
diperkuat pula dengan adanya kenyataan penulisan fam suami dan fam
isteri bersama-sama pada papan nama yang ditempelkan di depan
rumah, tanpa mencantumkan nama kecil suami. Akan timbul suatu
masalah identitas famili, yang disebut hilang fam, bila sepasang suami-
isteri tidak memiliki anak laki-laki yang akan mendukung fam ayah
mereka.
Masalah lain yang sangat erat berhubungan dengan batas-batas
hubungan kekerabatan bilateral itu adalah penurunan warisan yang
terdiri dari semua harta milik yang diperoleh suami-isteri sebagai warisan
dari orang tua mereka masing-masing, ditambah dengan harta yang

12
mereka peroleh bersama selama berumah tangga. Benda-benda warisan
yang belum dapat atau tidak dapat dibagi, penggunaannya secara
berganti-ganti atau bergiliran yang diatur oleh saudara laki-laki yang
tertua.

13
F. SISTEM PEMERINTAHAN
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau
mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan. Kepala
pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Tu’a
atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata
ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi.
Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia,
berpikir, serta didalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan
terjamin Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang-
wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya,
keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu
dan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus Didalam bekerja
terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau
Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng.
Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di
daerah lain pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo,
Tidore dll. Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa
Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagai raja. seperti raja Bolaang,
raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter
bahan bahan keperluan rumah tangga. Setelah cara tersebut dicoba
diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua
timbul perlawanan yang memicu terjadinya pemberontakan serentak di
seluruh Minahasa oleh golongan rakyat /Pasiyowan Telu, Alasannya
karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar
Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.
Akibat pemberontakkan itu, tatanan kehidupan di Minahasa menjadi
tidak menentu, peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan
tanah pertanian antar keluarga Hal ini membuat golongan
makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan
pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh
Tonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.

14
Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung
sampai ke muara sungai Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak
dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai Ranoyapo dan Poigar,
Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan
Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke 14.
Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar
Lumimuut, memilih Tonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang
dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas Mandey
dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa
tsb.

15
G. SOLIDARITAS DAN KERUKUNAN
Mapalus adalah suatu bentuk kerja sama yang tumbuh dalam
masyarakat di Minahasa untuk saling bantu membantu dan tolong
menolong menghadapi kendala hidup baik perorangan maupun
kelompok.
Kerja sama yang dimaksud mencakup berbagai aspek kegiatan baik
sosial maupun ekonomi sedangkan kelompok masyarakat yang dimaksud
dapat dikolompokkan secara wilayah seperti Mapalus kampung
Sendangan dll., kerabat seperti Mapalus Pemuda, perkumpulan seperti
Kumawangkoan dll., keluarga seperti kel.besar Lapian, Masengi dll.
Mapalus yang lengkap di Kawangkoan banyak diketahui dari penuturan
orang2 tua sedangkan yang dialami generasi sekarang tinggal sebagian
kecil saja karena banyak aktivitas2 mapalus yang sudah tidak dilakukan
sejalan dengan perkembangan teknologi dan taraf hidup masyarakat
dengan konsekwensi kehidupan individualistis yang makin dominan.
Bentuk Mapalus dalam sejarah Kawangkoan dikenal dalam beberapa
aspek kegiatan masyarakat Seperti:
1. Kegiatan Sosial, antara lain:
- Mendu impero’ongan, yaitu suatu kegiatan kerja bakti kampung atau
lingkungan.
- Berantang, adalah kegiatan membantu keluarga yang terkena
kedukaan.
- Sumakey, adalah kegiatan bersama dalam acara syukuran.
2. Kegiatan Ekonomi dan keuangan antara lain:
- Ma’endo, yaitu usaha bersama untuk menggarap kebun atau
perbaikan rumah.
- Pa’ando, yaitu aktivitas keuangan dalam bentuk arisan.

16
H. KEGIATAN SOSIAL
Mendu Impero’ongan
Adalah suatu kerja sama dalam bentuk kerja bakti yang dilakukan
didalam kampung apakah itu dalam tingkat wilayah desa ataukah wilayah
lingkungan/Jaga tergantung kelompok tersebut apakah sekampung
ataukah se lingkungan.Kegiatan2 yang dilakukan adalah kebersihan
lingkungan, membuka pengairan untuk dialirkan ke kampung. Sebelum
peristiwa Permesta, masyarakat Kawangkoan secara Mapalus/gotong
royong membuka perairan yang bersumber dari Batu Pinabetengan
dialirkan ke Kawangkoan dengan jarak kurang lebih 4 KM. Air tersebut
walaupun tidak untuk diminum karena hanya disalurkan melalui got2
dipinggir jalan, namun sangat membantu usaha peternakan dan
kebersihan kampung dan yang tak kalah penting untuk menjaga
kemungkinan terjadinya kebakaran. Sejak adanya Perusahaan Air Minum
di Kawangkoan maka got2 tidak dirawat lagi sehingga aliran air sudah
tidak ada. Bentuk kerja bakti lainnya adalah masyarakat sekampung be-
ramai2 ke taman pemakaman membersihkan tempat pemakaman
kampung yang biasanya dilakukan menjelang hari Natal dan Tahun Baru.
Masih ada aktivitas orang2 tua dulu yang masih tergolong kerja bakti
(bukan kerja paksa lho) adalah mengerjakan tanah milik desa yang hasil
garapannya diberikan kepada Hukum Tua (karena Hkm.Tua tidak digaji
seperti lurah jaman sekarang). Semua pekerjaan pekerjaan diatas
dilaksanakan dengan penuh suka relah oleh masyarakat karena
semuanya dilaksanakan dalam kepentingan bersama bahkan sangat
tercela apabila ada diantara anggota masyarakat yang tidak ikut
sekalipun oprang itu dikenal kaya. Budaya malu masih sangat tinggi kala
itu.

Berantang
Berantang sudah dikenal sejak jaman nenek moyang kita yaitu cara
masyarakat membantu keluarga yang terkena duka/kematian. Jaman dulu

17
ada satu lembaga yang dibentuk dikampung yang disebut
“Pimaesaan”(Bukan Pinaesaan E Kumawangkoan) yang mengatur
bantuan kedukaan sejak meninggal sampai hari kedua kematian. Yang
disiapkan mulai dari peti jenazah, konsumsi kecil pada hari pertama
menghadapi acara pemakaman dan hari kedua makan bersama. Semua
disiapkan secara bersama yang dikoordinir oleh Pinaesaan dengan tujuan
membantu keluarga yang terkena musibah untuk tidak terlalu terbebani
baik pisik maupun mental, bahkan dalam berantang masih tersisa saldo
uang yang terkumnpul serta sisa makanan yang tidak habis dimakan oleh
para pelayat dan kelebihan2 itu diserahkan kepada keluarga. Dahulu
berantang dilakukan secara disiplin sekali sehingga tidak ada
penyimpangan2 yang terjadi yang membuat cukup banyak dana dan
makanan yang tersisa namun perkembangan masa kema-sa seiring
perkembangan teknologi sehingga nilai2 moral manusia makin merosot
sehingga sekarang ini banyak keluarga yang terkena musibah harus
berkorban mengeluarkan dana sendiri menutupi bon-bon pembelian
bahan di-warung2 maupun toko2 yang dilakukan oleh pelaksana. Kejadian
ini membuat Sistim Mapalus yang sangat dibanggakan justeru
mengecewakan yang tentunya bukan karena sistimnya tetapi karena
moral pelaksana yang buruk.
Sampai sekarang masih dapat kita saksikan gedung2 Pinaesaan,
kebun2 milik kampung, seng2 untuk tenda2, kereta jenazah yang ada di
Kawangkoan sebagai bukti dari kejayaan Pinaesaan sebagai pelaksana
Mapalus tempo dulu.

Sumakey
Adalah bentuk kebersamaan masyarakat di Kawangkoan mengadakan
syukuran dalam acara2 di Gereja, pernikahan, hari ulang tahun
perkumpulan dan kedukaan. Di Gereja sering dilakukan kebaktian2
khusus seperti hari2 gereja, pengucapan syukur panen yang dipusatkan

18
di Gereja. Jemaat membawa makanan masing2 ke gereja dan setelah
kebaktian syukur jemaat makan bersama.
Dalam hal pernikahan, sanak famili dari keluarga pengantin sudah
membagi tugas untuk membawa bahan2 yang akan digunakan dalam
resepsi, seperti ayam, babi, beras, ikan dan keperluan komsumsi lainnya.
Bahan2 tersebut dimasak ber-sama2 dirumah keluarga pengantin untuk
disuguhkan kepada undangan. Dengan demikian keluarga pengantin
sangat tertolong dalam biaya konsumsi.
Dalam kedukaan sumakey dilakukan juga yaitu pada pagi subuh hari
kedua kedukaan dimana pada pagi subuh masyarakat ber bondong2
datang kerumah duka membawa kue2 dan minuman kopi atau teh untuk
dicicipi bersama-sama dengan keluarga, dan sesudah minum, bersama-
sama berziarah kepemakaman. Pada hari minggu berikutnya dikenal
dikampung dengan acara “Mingguan” setelah sama-sama pulang Gereja
sanak famili masih datang menghibur keluarga dengan makan siang
bersama dan untuk itu masing2 keluarga membawa makanan dari
rumahnya.
Untuk yang terakhir ini keadaan sudah berubah dimana acara tetap
dilakukan tapi nilai mapalusnya sudah hilang karena keluarga yang
berduka menyediakan konsumsi sendiri untuk menjamu tamu dengan
alasan sebagai ucapan terima kasih kepada pihak2 yang sudah lelah
membantu keluarga saat pemakaman dan pelaksanaan berantang. Bagi
keluarga yang mampu tidak menjadi masalah tetapi bagi keluarga yang
tidak mampu hal ini sangat membebani.

19
I. ASPEK EKONOMI/KEUANGAN
Ma’endo
Bentuk kebersamaan ini dilakukan oleh masayarkat Kawangkoan untuk
menggarap kebun atau mengadakan perbaikan rumah.
Ada 2 cara yang dilakukan yaitu:
1. Sekelompok orang terdiri dari 20 sampai 30 orang membentuk kerja
sama menawarkan tenaga mengerjakan kebun atau rumah orang
dan dari jasa ini mereka diberi imbalan uang. Dalam kelompok ini
ada pimpinan dan pengawas yang dipilih oleh anggota2nya dan
biasanya nya dipilihl dari yang tertua dari kelompok itu. Menurut
cerita orang tua, pangawas yang sangat berwibawa tidak segan2
mencambuki anggotanya yang lambat bekerja sehingga yang sudah
terlambat harus mengejar teman2 nya yang sudah didepan.
Mungkin mereka mengejar target karena dalam 1 hari dapat
mengerjakan 3 atau 4 bidang kebun. Hebatnya tindakan pengawas
tidak ada yang berani melawan hal mana membuktikan bahwa
disiplin kelompok ini sangat tinggi. Pendapatan dibagi secara adil
dan merata pada setiap minggu.
2. Cara kedua adalah sekelompok orang pemilik kebun dan atau rumah
membentuk kelompok arisan untuk menggarap kebun/rumah
Anggota2nya secara bergilir (Ma’endo arisan). Tentunya bagi
anggota yang memilik kebun/rumah lebih besar memberikan
tambahan dalam bentuk uang dan menjadi tabungan kelompok.
Pada saat itu keichlasan sangat berperan sehingga kalau ada beda-
beda tipis tidak terlalu dipermasalahkan.
Dalam hal perbaikan rumah jaman dulu dulu umumnya rumah2 di
Kawangkoan masih menggunakan atap rumbiah sedangkan rumah yang
beratap seng masih sangat sedikit. Karena umumnya rumah dari atap
rumbiah maka setiap tahun atap harus diganti baru. Disini beberap
kelompok orang membentuk arisan ba’atap untuk mengerjakannya. Masa
berganti masa perkembangan ekonomi masyarakat makin

20
meningkatmakaseng bukan lagi menjadi barang langkah sehingga secara
ber-angsur2 rumah2 di Kawangkoan beratap seng maka Ma’endo hilang.
Ma’endo penggarap kebunpun demikian dimana cangkul mulai diganti
dengan mesin maka ma’endo pun hilang.

Pa’ando
Bentuk mapalus ini biasanya dilakukan oleh ibu2 yang membentuk
kelompok arisan uang yang dijalankan setiap minggu. Arisan ini sangat
membantu keluarga2 yang membutuhkan biaya cukup besar seperti
sekolah anak2, perbaikan rumah dll. Pa’ando telah dijalankan di mana2
sampai kepada orang2 Kawangkoan di Jakarta bahkan sudah meluas ke
mana2 di seluruh Indonesia.
Dari sejarah Mapalus yang diwujudkan oleh masyarakat Kawangkoan
secara turun temurun ternyata sudah banyak menolong masyarakat
Kawangkoan dalam peningkatan kesejahteraan dan juga kebersamaan
sekaligus meningkatkan iman kepada Tuhan yang sudah
menganugerahkan segala berkat kepada mereka.
Walaupun beberapa kegiatan mapalus telah hilang ditelan oleh
perkembangan teknologi dan komunikasi yang pesat namun nilai2 luhur
dari mapalus sebagai budaya nenek moyang kita sangat berarti dalam
membina kerukunan(me-lo’or2an), saling tolong menolong(men-sule2an)
satu dengan yang lain.
Demikian juga dalam pelaksanaan “berantang” yang sudah terdapat
penyimpangan.
Hal ini terjadi bukan karena kesalahan berantang itu sendiri yang
bertujuan luhur tetapi justeru terletak pada manusia pelaksananya yang
tidak bermoral.
Dahulu Mapalus begitu luas jangkauannya dan dapat dilaksanakan
oleh sedikit maupun banyak orang, telah melibatkan sikaya maupun
simiskin, sipintar maupun sibodoh karena didalam Mapalus keichlasan
dan rela berkorban yang menjadi syarat utama. Tanpa keichlasan dan

21
rela berkorban apalagi masuknya unsur mementingkan diri sendiri
merupakan racun dari Mapalus yang bukan membawa anggota2 kepada
peningkatan taraf hidup moril maupun materil tetap sebaliknya akan
membawa kekecewaan dan penderitaan.
Mapalus mengajak orang untuk bersatu dan bersekutu saling
menolong satu dengan yang lain yang berarti juga bersekutu untuk
memuliakan Tuhan.
Karena itu di Kawangkoan Pemerintah ikut memberi perhatian
terhadap kehidupan mapalus ini, pihak gerejani ikut mendorong jemaat
bermapalus pihak intelektual ikut memikirkan perkembangan mapalus
maka lengkaplah Mapalus menjadi suatu sarana pembangunan iman,
moral dan material untuk pembangunan masyarakat Kawangkoan
sebagai bagian dari Pembangunan Bangsa Indonesia.
Melihat dimensi Mapalus yang cukup luas terhadap kehidupan
masyarakat, yang mewujudkan sifat kasih sebagai perintah Tuhan,
menganjurkan kepedulian terhadap mereka yang susah sebagai wujud
perikemanusiaan, dengan kelompok2 yang mau bersatu dan tunduk pada
kehendak suara terbanyak sebagai wujud demokrasi dan bermuara pada
peningkatan kesejahtaraan bersama yang kesemuanya bersumber pada
nilai2 luhur budaya nenek moyang kita.
Kerukunan yang telah mencakup wilayah kecamatan atau wilayah
distrik dulu disebut dengan pakasa’an yang artinya wilayah kesatuan adat
yang sama dengan apa yang dahulu disebut walak, oleh pemerintah
Belanda disebut distrik.

22
J. RELIGI
Unsur-unsur kepercayaan pribumi yang dapat disaksikan pada orang
Minahasa yang sekarang secara resmi telah memeluk agama-agama
Protestan, Katolik maupun Islam merupakan peninggalan sistem religi
zaman dahulu sebelum berkembangnya agama Kristen. Unsur-unsur ini
mencakup : konsep-konsep dunia gaib, makhluk dan kekuatan adikodrati
(yang dianggap “baik” dan “jahat” serta manipulasinya, dewa tertinggi,
jiwa manusia, benda berkekuatan gaib, tempat keramat, orang
berkekuatan gaib, dan dunia akhirat).
Unsur-unsur religi pribumi terdapat dalam beberapa upacara adat yang
dilakukan orang yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa lingkaran
hidup individu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian maupun dalam
bentuk-bentuk pemberian kekuatan gaib dalam menghadapai berbagai
jenis bahaya, serta yang berhubungan dengan pekerjaan atau mata
pencaharian. Unsur-unsur ini tentu juga tampak dalam wujud sebagai
kedukunan (sistem medis makatana) yang sampai sekarang masih hidup.
Dunia gaib sekitar manusia dianggap didiami oleh makhluk-makhluk
halus seperti roh-roh leluhur baik maupun jahat, hantu-hantu dan
kekuatangaib lainnya. Usaha manusia untuk mengadakan hubungan
dengan makhluk-makhluk tersebut bertujuan supaya hidup mereka tidak
diganggu sebaliknya dapat dibantu dan dilindungi, dengan
mengembangkan sustu kompleks sistem upacara pemujaan yang dahulu
dikenal sebagai na’amkungan atau ma’ambo atau masambo.
Dalam mitologi orang Minahasa rupanya sistem kepercayaan dahulu
mengenal banyak dewa, salah satunya adalah dewa tertinggi. Dewa oleh
penduduk disebut empung atau opo, dan untuk sewa yang tertinggi
disebut opo wailan wangko. Dewa yang penting sesudah dewa tertinggi
ialah karema.
Opo wailan wangko dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan isinya
yang dikenal oleh manusia yang memujanya. Karema yang mewujudkan
diri sebagai manusia adalah sebagai penunjuk jalan bagi lumimuut

23
(wanita sebagai manusia pertama) untuk mendapatkan keturunan
seorang pria yang bernama to’ar, yang juga dianggap sebagai pembawa
adat khususnya cara-cara pertanian yaitu sebagai cultural hero (dewa
pembawa adat).
Roh leluhur juga disebut opo, atau sering disebut dotu yang pada masa
hidupnya adalah seorang yang dianggap sakti dan juga sebagai pahlawan
seperti pemimpin-pemimpin komunitas besar ( kepala walak dan
komunitas desa; tona’as ). Mereka juga dalam hidupnya memiliki keahlian
dan prestasi seperti dalam perang, keagamaan dan kepemimpinan. Ada
kepercayaan bahwa opo-opo yang baik akan senantiasa menolong
manusia yang dianggap sebagai cucu mereka ( puyun) apabila mengikuti
petunjuk-petunjuk yang diberikan. Pelanggaran yang terjadi dapat
mangakibatkan yang bersangkutan akan mengalami bencana atau
kesulitan hidup akibat murka opo-opo, ataupun kekuatan sakti yang
diberikan akan hilang. Disamping itu, ada juga opo-opo yang memberikan
kekuatan sakti untuk hal-hal yang tidak baik, seperti untuk mencuri,
berjudi dsb.
Konsepsi makhluk halus lainnya seperti hantu ialah panunggu, lulu,
puntianak, pok-pok dsb yang dianggap berada di tempat tertentu dan
pada saat dan keadaan tertentu dapat maengganggu manusia. Untuk
menghadapi hal-hal tersebut sangat dirasakan peranan dari opo-opo yang
dapat menghadapi atau mengalahkan mereka atau mengatasi gangguan
dari mereka.
Roh (mukur) orangtua sendiri ataupun roh-roh kerabat yang sudah
meninggal dianggap selalu berada di sekitar kelurganya yang masih
hidup, yang sewaktu-waktu datang menun jukkan dirinya dalam bentuk
bayangan atau mimpi atau dapat pula melalui seseorang sebagai media
yang dimasuki oleh mukur sehingga bisa bercakap-cakap dengan
kerabatnya. Mukur yang demikian tidak dianggap berbahaya malahan
bisa menolong kerabatnya.

24
Kepercayaan orang Minahasa bahwa ada bagian tubuh yang
mempunyai kekuatan sakti seperti rambut dan kuku. Binatang-binatang
yang memiliki kekuatan sakti adalah ular hitam dan beberapa jenis
burung, terutama burung hantu (manguni). Untuk tumbuh-tumbuhan
yang memiliki kekuatan sakti adalah tawa’ang, goraka (jahe), balacai,
jeruk suangi dll. Gejala alam seperti gunung meletus dan hujan lebat
bersama petir secara terus-menerus dianggap sebagai amarah para
dewa. Senjata yang dianggap memiliki kekuatan sakti yang harus dijaga
dengan baik adalah keris, santi (pedang panjang), lawang (tombak), dan
kelung (perisai). Ucapan berupa sumpah dan kutukan juga dikenal
sebagai kata-kata yang dianggap dapat mengakibatkan malapetaka,
apalagi kalau yang mengatakannya orangtua, kata-katanya dianggap
memiliki kekuatan sakti. Benda-benda jimat baik yang diwariskan
orangtua ataupun yang didapat dari walian atau tona’as yang disebut
paereten adalah benda-benda yang kesaktiannya dipercaya yang sampai
sekarang masih dipakai.
Jiwa yang dianggap sebagai kekuatan yang ada dalam tubuh manusia
yang menyebabkan adanya hidup, rupanya memiliki konsepsi yang sama
dengan jiwa sesudah meninggalkan tubuh karena mati atau roh. Konsepsi
jiwa dan roh ini disebut katotouan.
Unsur kejiwaan dalam kehidupan manusia adalah : gegenang
(ingatan), pemendam (perasaan), dan keketer (kekuatan). Gegenang
adalah unsure yang utama dalam jiwa.
Pada saat sekarang, sesuai dengan aturan-aturan agama Kristen,
maka konsepsi dunia akhirat (sekalipun untuk mereka yang masih
melakukan upacara-upacara kepercayaan pribumi untuk mendapatkan
kekuatan sakti dari makhluk-makhluk halus) ialah surga bagi yang
selamat, serta neraka bagi yang berdosa dan tidak percaya.
Upacara-upacara keagamaan pribumi masih banyak dilakukan oleh
orang minahasa sebagai perwujudan untuk mengadakan hubungan
dengan dunia gaib atau sebagaikelakuakn religi atas dasar suatu emosi

25
keagamaan, upacara-upacara itu diantaranya adalah yang biasa
dilakukan pada malam hari di rumah tona’as atau di rumah orang lain,
bisa juga di tempat-tempat keramat seperti kuburan opo-opo, batu-batu
besar dan di bawah pohon besar. Pada saat tertentu yang dianggap
penting upacara dapat dilakukan di Watu Pinabetengan, tempat di mana
secara mitologis paling keramat di Minahasa.
Upacara dilakukan pada saat tertentu, misalnya pada malam bulan
purnama. Tokoh tradisional yang melakukan dan memimpin upacara
keagamaan pribumi dikenal dengan nama walian, pemimpin upacara
dapat dipegang oleh wanita atau pria.
Agama-agama resmi yang umum diatur oleh orang Minahasa antara
lain Protestan (yang terdiri dari berbagai sekte), katolik dan Islam.
Terlepas dari tingkat kepercayaan perseorangan, unsure-unsur religi
pribumi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan keagamaan. Misalnya
komponen pribumi terpadu bersama komponen Kristen yang diluar
upacara-upacara formal Gerejani seperti yang terlihat dalam upacara-
upacara dari masa hamil sampai masa meninggal maupun pada perilaku
keagamaan sehari-hari. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada
contoh sebelumnya dapat dilihat adanya komponen religi pribumi dalam
kebudayaan Minahasa yang secara mendalam telah mengalami
perubahan melalui jalur-jalur kolonialisme, pendidikan formal, dan
kristenisasi maupun jalur-jalur kontak atau difusi budaya lainnya.

26
BAB II
PRODUK BUDAYA

A. RUMAH ADAT
Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari
dua tangga didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang
Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat
yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut
akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.

B. BAHASA
Di Minahasa ada sekitar empat bahasa daerah diantaranya bahasa
Totemboan, Tombulu, Tonsea, Bantik, Tonsawang. Dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat di Kota Tomohon selain menggunakan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa percakapan juga menggunakan bahasa daerah
Minahasa. Seperti diketahui di Minahasa terdiri dari delapan macam jenis
bahasa daerah yang dipergunakan oleh delapan etnis yang ada, seperti
Tountemboan, Toulour, Tombulu, dll. Bahasa daerah yang paling sering
digunakan di Kota Tomohon adalah bahasa Tombulu, karena memang
wilayah Tomohon termasuk dalam etnis Tombulu. Selain bahasa
percakapan di atas, ternyata ada juga masyarakat di Minahasa dan Kota
Tomohon khususnya para orang tua yang menguasai Bahasa Belanda
karena pengaruh jajahan dari Belanda serta sekolah-sekolah jaman
dahulu yang menggunakan Bahasa Belanda. Saat ini, semakin hari
masyarakat yang menguasai dan menggunakan Bahasa Belanda tersebut
semakin berkurang seiring dengan semakin berkurangnya masyarakat
berusia lanjut.

27
C. PAKAIAN ADAT
Di masa lalu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari baju
sejenis kebaya, disebut wuyang (pakaian kulit kayu). Selain itu, mereka
pun memakai blus atau gaun yang disebut pasalongan rinegetan, yang
bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan kaum pria memakai
baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam
terbuat dari ijuk. Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang berlengan
panjang, memakai krah dan saku disebut baju baniang. Celana yang
dipakai masih sederhana, yaitu mulai dari bentuk celana pendek sampai
celana panjang seperti bentuk celana piyama.
Pada perkembangan selanjutnya busana Minahasa mendapatkan
pengaruh dari bangsa Eropa dan Cina. Busana wanita yang memperoleh
pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri dari baju kebaya lengan panjang
dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Cina adalah kebaya
warna putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-
bungaan. Busana pria pengaruh Spanyol adalah baju lengan panjang
(baniang) yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan celana
panjang. Bahan baju ini terbuat dari kain blacu warna putih. Pada busana
pria pengaruh Cina tidak begitu tampak.

Baju Ikan Duyung


Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengenakan busana yang
terdiri dari baju kebaya warna putih dan kain sarong bersulam warna
putih dengan sulaman motif sisik ikan. Model busana pengantin wanita ini
dinamakan baju ikan duyung. Selain sarong yang bermotifkan ikan
duyung, terdapat juga sarong motif sarang burung, disebut model
salimburung, sarong motif kaki seribu, disebut model kaki seribu dan
sarong motif bunga, disebut laborci-laborci.
Aksesori yang dipakai dalam busana pengantin wanita adalah sanggul
atau bentuk konde, mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung
mutiara (simban), anting dan gelang. Aksesori tersebut mempunyai

28
berbagai variasi bentuk dan motif. Konde yang menggunakan 9 bunga
Manduru putih disebut konde lumalundung, sedangkan Konde yang
memakai 5 tangkai kembang goyang disebut konde pinkan. Motif
Mahkota pun bermacam-macam, seperti motif biasa, bintang, sayap
burung cendrawasih dan motif ekor burung cendrawasih.
Pengantin pria memakai busana yang terdiri dari baju jas tertutup atau
terbuka, celana panjang, selendang pinggang dan topi (porong). Busana
pengantin baju jas tertutup ini, disebut busana tatutu. Potongan baju
tatutu adalah berlengan panjang, tidak memiliki krah dan saku. Motif
dalam busana ini adalah motif bunga padi, yang terdapat pada hiasan
topi, leher baju, selendang pinggang dan kedua lengan baju.

Busana Pemuka Adat


Busana Tonaas Wangko adalah baju kemeja lengan panjang berkerah
tinggi, potongan baju lurus, berkancing tanpa saku. Warna baju hitam
dengan hiasan motif bunga padi pada leher baju, ujung lengan dan
sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah. Semua motif berwarna
kuning keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi warna merah
yang dihiasi motif bunga padi warna kuning keemasan pula.
Busana Walian Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju
Tonaas Wangko, hanya saja lebih panjang seperti jubah. Warna baju putih
dengan hiasan corak bunga padi. Dilengkapi topi porong nimiles, yang
dibuat dari lilitan dua buah kain berwarna merahhitam dan kuning-emas,
perlambang penyatuan 2 unsur alam, yaitu langit dan bumi, dunia dan
alam baka. Sedangkan Walian Wangko wanita, memakai baju kebaya
panjang warna putih atau ungu, kain sarong batik warna gelap dan topi
mahkota (kronci). Potongan baju tanpa kerah dan kancing. Dilengkapi
selempang warna kuning atau merah, selop, kalung leher dan sanggul.
Hiasan yang dipakai adalah motif bunga terompet.

29
D. ALAT MUSIK
- Kolintang
Kolintang adalah instrument musik tradisional yang sudah sangat
terkenal di Indonesia. Instrument kolintang telah diketahui sejak jaman
dahulu dan telah dipopulerkan oleh masyarakat melalui berbagai
macam pertunjukan. Instrument ini semuanya terbuat dari kayu dan
disebut "mawenang".
- Musik Bambu
Musik bambu adalah alat musik yang dibuat dari bambu dan
dimainkan oleh kurang lebih 40 orang. beberapa jenis musik bambu
adalah :
- Musik Bambu Melulu : seluruh instrument terbuat dari bambu
- Musik Bambu Klarinet : sebagian instrument terbuat dari bambu dan
sebagian dari "bia"
- Musik Bambu Seng ; beberapa instrument terbuat dari bambu
- Musik Bia : instrument terbuat dari bia.

E. LAGU DAERAH
- O Ina Ni Keke
- Oh Minahasa

F. MAKANAN
- Bubur manado
- Ayam rica-rica
- Biakolobi

G. TARI-TARIAN
- Tari Maengket
Maengket adalah tari tradisional Minahasa dari zaman dulu kala
sampai saat ini masih berkembang. Maengket sudah ada di tanah
Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian terutama

30
menanam padi di lading. Kalau dulu Nenek Moyang Minahasa,
maengket hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-
gerakan yang hanya sederhana, maka sekarang tarian maengket telah
berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan
keasliannya terutama syair/sastra lagunya. Maengket terdiri dari 3
babak, yaitu : - Maowey Kamberu - Marambak – Lalayaan.
- Tari Maowey Kamberu
Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara
pengucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil
pertanian terutama tanaman padi yang berlipat ganda/banyak.
- Tari Marambak
Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan, rakyat
Minahasa Bantu membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah
dibangun maka diadakan pesta naik rumah baru atau dalam bahasa
daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan rumah baru dan
semua masyarakat kampong diundang dalam pengucapan syukur.
- Tari Lalayaan
Lalayaan adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi
Minahasa pada zaman dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga
disebut tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala di Minahasa.
- Tari Katrili
Menurut legenda rakyat Minahasa, tari katrili adalah salah satu tari
yang dibawa oleh Bangsa Spanyol pada waktu mereka datang dengan
maksud untuk membeli hasil bumi yang ada di Tanah Minahasa.
Karena mendapatkan hasil yang banyak, mereka menari-nari tarian
katrili. Lama-kelamaan mereka mengundang seluruh rakyat Minahasa
yang akan menjual hasil bumi mereka didalam menari bersama-sama
sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Ternyata tarian ini boleh
juga dibawakan pada waktu acara pesta perkawinan di tanah
Minahasa.

31
Sekembalinya Bangsa Spanyol kenegaranya dengan membawa
hasil bumi yang dibeli di Minahasa, maka tarian ini sudah mulai
digemari Rakyat Minahasa pada umumnya. Tari katrili termasuk tari
modern yang sifatnya kerakyatan.

- Tari Kabasaran
Adalah Tari Perang, merupakan tarian tradisional Minahasa yang
menceritakan bagaimana suku Minahasa mempertahankan tanah
Minahasa dari musuh yang hendak mendudukinya. Tari Perang ini
memperagakan bagaimana menggunakan Pedang Perisai dan Tombak.
Tarian Kabasaran ini ditarikan untuk acara-acara khusus seperti
Penyambutan tamu dan atau diberbagai Acara.

32
BAB III
UPACARA ADAT

A. PERNIKAHAN ADAT MINAHASA


Proses pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa
telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman.
Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin serta acara "Posanan"
(Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari
sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-
mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan
lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat
dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan
"Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin.
Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara /
upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja.
Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana
pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso
minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau
Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah
(di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada
acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan
acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan
musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik
Bambu dan Musik Kolintang.

Upacara Perkawinan adat


Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu
rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan,
upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-
Tombulu di rumah pihak pengantin wanita. Hal ini mempengaruhi prosesi

33
perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin
wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena
resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria
maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang
akan memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada
perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin
dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang
Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang mempunyai
kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara
kebaktian dan makan malam. Orang Minahasa di kota-kota besar seperti
kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa
di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-
kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan
Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang
dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar
harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).

Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan


Penelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan
Kebudayaan Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun
1986 di Minahasa. Wilayah yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano
dan Tontemboan oleh Alfred Sundah, Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof
Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis tersebut mengenal
upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu
(kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh
sub-etnis Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara
membelah setengah tiang jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi
mengenal upacara membelah Kelapa. Setelah kedua pengantin duduk di
pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh
Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo (Tontemboan).
Kemudian dilakukan upacara "Pinang Tatenge’en". Kemudian dilakukan

34
upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon
Tawa’ang megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah membelah
kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong
kayu bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin
makan sedikit nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat
dari ruas bambu muda yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat
yang tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh
rombongan adat mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-
nyanyian oleh rombongan adat dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant
(Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah. Bahasa upacara adat
perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis Tombulu,
Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan
nasehat. Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari
Kabasaran sebagai anak buah Walian (pemimpin Upacara adat
perkawinan). Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran di wilayah sub-
etinis lainnya di Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah
Tombulu. Pemimpin prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan
improvisasi bahasa upacara adat. Tapi simbolisasi benda upacara,
seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa’ang dan tempat minum dari ruas
bambu tetap sama maknanya.

35
B. UPACARA ADAT LAINNYA
Syukuran
Di samping itu di seluruh tanah Minahasa setiap tahunnya di setiap
kecamatan atau kawasan diadakan upacara syukuran yang dikaitkan
dengan upacara keagamaan. Kegiatan ini dipusatkan di gereja-gereja
yang ada di kecamatan atau kawasan tersebut. Maksud diadakannya
upacara syukuran adalah untuk mengucap syukur atas segala berkat dan
anugerah yang telah Tuhan berikan di Tanah Minahasa termasuk
masyarakat Tomohon dalam setahun, upacara syukuran ini memiliki
kemiripan dengan upacara "Thanksgiving" di Amerika.

Naik Rumah Baru


Selain upacara syukuran di atas, di tanah Minahasa juga dikenal
memiliki upacara-upacara adat yang lain seperti jika seseorang/keluarga
akan menempati sebuah rumah atau menempati tempat kediaman baru
maka orang/keluarga tersebut akan melaksanakan upacara syukuran
"Naik Rumah Baru", hal ini dianalogikan dengan bentuk rumah tradisional
Minahasa yang berbentuk rumah panggung sehingga untuk memasukinya
harus menaiki sejumlah anak tangga

36
BAB IV
PARIWISATA

WISATA MEGALIT DI MINAHASA BATU-BATU EKSOTIK DARI NEGERI BIBIR


PASIFIK
1. Waruga
Dalam bahasa kuno Minahasa, kata waruga berasal dari dua kata: wale
dan maruga. “Wale artinya rumah, dan maruga artinya badan yang
hancur lebur menjadi abu. Salah satu sisa megalit yang begitu terkenal
dan dominan di Minahasa adalah waruga (peti kubur batu). Ini bukan
sembarang peti kubur biasa. Yang istimewa, peti kubur ini terdiri atas dua
bagian: badan dan tutup. Tiap-tiap bagian itu terbuat dari sebuah batu
utuh (monolith). Umumnya, berbentuk kotak segiempat (kubus) untuk
bagian badannya dan hanya sedikit yang berbentuk segidelapan atau
bulat. Di dalam bagian badan waruga terdapat rongga sebagai kubur
jasad orang yang meninggal. “Posisi mayat di dalam batu ini dalam
keadaan jongkok, sesuai posisi bayi dalam rahim ibu. Yang laki-laki,
tangan berada dalam posisi kunci tangan dan perempuan kepal tangan,”
papar Anton Tahuna (38) juru kunci kompleks waruga Sawangan,
Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa. Posisi mayat tersebut terkait
dengan filosofi manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok dan
semestinya mengakhiri hidup dengan posisi yang sama. Filosofi ini
dikenal dalam bahasa lokal adalah whom. Setiap waruga biasanya dipakai
untuk satu famili. Ada juga waruga yang dipersiapkan untuk mayat yang
berasal dari kesamaan profesi sebelum wafat. Di dalam waruga seringkali
ditemukan tulang-tulang manusia yang berasosiasi dengan benda lain,
macam keramik Cina, perhiasan, alat-alat logam dan manik-manik.
“Waktu dikubur, barang-barang kesayangan mereka semasa hidup harus
disertakan juga sebagai bekal kubur. Karena itu, di bagian bawah mayat

37
ada piring yang besar. Maksudnya, supaya perhiasan tadi tidak jatuh ke
bawah tetapi justru jatuh ke piring tadi.

38
2. Watu Pinawetengan
Batu ini merupakan bongkahan batu-batu besar alamiah, sehingga
bentuknya tidak beraturan. Pada bongkahan batu tersebut terdapat
goresan-goresan berbagai motif yang dibuat oleh tangan manusia.
Goresan-goresan itu ada yang membentuk gambar manusia, menyerupai
kemaluan laki-laki dan perempuan dan motif garis-garis serta motif yang
tak jelas maksudnya. Para ahli menduga, goresan-goresan ini merupakan
simbol yang berkaitan dengan kepercayaan komunitas pendukung
budaya megalit.
Watu Pinawetengan telah sejak lama menjadi tempat permohonan
orang, seperti kesembuhan dari penyakit dan perlindungan dari
marabahaya. Dengan melakukan ritual ibadah yang dipandu seorang
tonaas (mediator spiritual), sebagian orang percaya doa mereka akan
cepat dikabulkan. Arie Ratumbanua – juru kunci Watu Pinawetengan –
menegaskan, masyarakat yang datang ke sini bukan bertujuan
menyembah batu, melainkan menjadikan batu sebagai tempat atau
sarana ibadah. Soal asal-usul batu ini, masyarakat setempat percaya di
sinilah tempat bermusyawarah para pemimpin dan pemuka masyarakat
Minahasa asli keturunan Toar-Lumimuut (nenek moyang masyarakat
Minahasa) pada masa lalu. Para pemimpin itu bersepakat untuk membagi
daerah menjadi enam kelompok etnis suku-suku bangsa yang tergolong
ke dalam kelompok-kelompok etnis Minahasa

39
PENUTUP

Pulau Sulawesi di huni oleh beranekaragam suku bangsa, dimana


masing-masing mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri diantaranya
suku-suku bangsa tersebut, salah satunya suku Minahasa yang mendiami
daerah pada bagian Timur Jazirah Sulawesi Utara.
Suku Minahasa memiliki berbagai macam kebudayaan yang merupakan
kekayaan dari daerahmya. Berbagai macam kebudayaan ini merupakan
hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang perlu dijaga kelestariannya.
Dari berbagai macam keebudayaan yang ada pada setiap suku
berbeda-beda, hal ini terkait adanya perbedaan secara demografi
astronomi, serta Sumber Daya Manusia yang menempati daerah tersebut.

40
DAFTAR PUSTAKA

http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm [30 NOV 2007]


http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm [30 NOV 2007]
http://www.tamanmini.com/anjungan/sulut/budaya//busana_tradisional_
minahasa [14 Des 2007]
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/ [30
Nov 2007]
http://www.kkk.or.id/artikel3.htm [30 Nov2007]
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/025/wis02.html [14
Des 2007]
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0729/wis01.html [30
Nov 2007]
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=11&mnorutisi=7
[06 Des 2007]
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/ [30
Nov 2007].
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=11&mnorutisi=7
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/
http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm
http://www.tamanmini.com/anjungan/sulut/budaya//busana_tradisional_
minahasa
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/
http://www.kkk.or.id/artikel3.htm [30 Nov2007]
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/025/wis02.html
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0729/wis01.htm
LAMPIRAN

Rumah Adat
Tari Maengket
mmmmmmmmm
Kolintang Kelompok Pemain
Kolintang

Wisata Alam Wisata alam Waruga


Alam

You might also like