Professional Documents
Culture Documents
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-
unsur sebagai berikut:
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah
kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti
penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas
dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat
penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat
namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Dampak negatif
[sunting] Demokrasi
[sunting] Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak
efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat
korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang
menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi,
konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan
pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi
menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya
mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan
pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang
berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital
investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya
ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di
Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil
satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk
pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari
Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal
dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar
negeri mereka sendiri. [1]
Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga
negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan
pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus
membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-
perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan
pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada
kampanye pemilu mereka.
[sunting] Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan
nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan
seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.
Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima
sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-
hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.
Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama
dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.
Duabelas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan ttg
korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut
(disusun menurut abjad):
Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah (disusun
menurut abjad):
Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan
berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan
langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk
membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut
politisi.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan
keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi
keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan
munculnya tuduhan korupsi politis.
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi_di_Indonesia
. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan
sekedar suatu kebiasaan
• Kasus dugaan korupsi Soeharto: dakwaan atas tindak korupsi di tujuh yayasan
• Pertamina: dalam Technical Assistance Contract dengan PT Ustaindo Petro Gas
• Bapindo: pembobolan di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) oleh Eddy
Tansil
• HPH dan dana reboisasi: melibatkan Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah
pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
• Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI): penyimpangan penyaluran dana
BLBI
• Abdullah Puteh: korupsi APBD.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kasus-kasus_korupsi_di_Indonesia
Jika korupsi harta dijadikan masalah besa sekarang inir, maka seyogyanya, korupsi
aqidah, korupsi iman, korupsi konsep al-Quran, korupsi konsep etika dan hukum Islam,
seharusnya juga menjadi agenda serius. Upaya sebagian kalangan untuk melepaskan etika
dari agama dan membangun “ethic without religion” adalah upaya yang salah dan rapuh.
Etika tanpa agama akan berakhir dengan kekacauan.
Ketika itulah akan muncul anggapan umum, bahwa korupsi bahaya buat masyarakat,
tetapi zina – dan semua yang mendorong ke arah perzinaan, seperti pornografi – dianggap
bukan hal yang bahaya.
Wartawan, Farid Gaban, pernah menulis di Harian Republika berjudul “Negeri Vampire”
untuk korupsi dalam semua sektor kehidupan di Indonesia.
Kamis, (15 Januari 2004), dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU dan
Muhammadiyah mendeklarasikan Gerakan Nasional Anti-korupsi. Menurut Din
Syamsuddin, wakil ketua PP Muhammadiyah, gerakan tersebut merupakan gerakan
moral untuk memberikan rasa berani kepada masyarakat dan penegak hukum supaya
berani mengungkapkan dan menangani kasus-kasus korupsi. Dalam jangka panjang,
gerakan itu bertujuan menguatkan basis budaya dan pendidikan antikorupsi dengan
memberdayakan masyarakat. Peristiwa ini sungguh hal yang menggembirakan dalam
perkembangan sosial-politik di Indonesia di awal tahun 2004.
Sepertinya, seluruh bangsa Indonesia sudah sepakat, bahwa korupsi memang harus
diberantas. Keterlibatan organisasi dan tokoh-tokoh agama semakin menambah kuatnya
gaung gerakan antikorupsi. Banyak konglomerat dan juga mantan pejabat yang sudah
dijebloskan ke penjara, gara-gara kasus korupsi. Namun, mungkin, lebih banyak lagi
yang belum disentuh hukum. Bahkan ada yang mungkin tak tersentuh hukum atau kebal
hukum.
Yang hebat lagi, jika ada yang melakukan korupsi sambil terus berkampanye melawan
korupsi dan rajin berceramah tentang perlunya menegakkan hukum. Semua orang
Indonesia tahu, korupsi sudah menjadi bagian dan gaya hidup kita. Kata Ketua
Muhammadiyah, M. Syafii Maarif, korupsi sudah menggerogoti sendi-sendi kehidupan
bangsa. Di sekolah, universitas, kantor pemerintah, pelabuhan, dan sebagainya, ada
korupsi. Datanglah ke bandara Soekarno Hatta untuk bepergian ke luar negeri. Biasanya,
tak lama, akan ada yang datang menawarkan jasa untuk mengurus fiskal senilai Rp
800.000. Hemat Rp 200.000 dari tarif resmi.
“Kita juga tidak tahu Pak, uang itu larinya kemana?” kata seorang petugas,
mempertanyakan kemana larinya uang fiskal yang Rp 1 jt. Di mana-mana! Sekolah
dikatakan gratis, tidak ada pungutan. Itu omongan pejabat. “Tanya saja ke Pak Menteri,”
kata seorang guru sekolah dasar ketika dikonfirmasi, bahwa tidak ada uang pungutan
untuk siswa baru. Mau mengurus dokumen jalur cepat, ada tarifnya sendiri. Mau agak
lambat, ada tarifnya. Belum lama, saya mengurus satu dokumen. Biasanya selesai 5-6
hari. Orang yang antri di depan saya minta selesai hari itu juga. Petugas dengan cepat
menyetujui, tapi bayarnya naik hampir dua kali lipat. Begitu mau masuk kantor
pemerintah itu, sejumlah orang sudah mendekati saya, dan menawarkan jasa, kalau
dokumen mau selesai hari ini, bisa dia uruskan. Padahal, di beberapa bagian dinding di
kantor itu banyak ditempeli pengumuman yang melarang berurusan dengan calo. Di
berbagai kantor itu pun sudah disediakan berbagai keperluan pengunjung, yang harganya
bisa dua, tiga, atau empat kali harga di toko-toko umum. Tidak ada pilihan, harus beli.
Seorang wartawan, Farid Gaban, pernah menulis sebuah essay indah di Harian Republika
berjudul “Negeri Vampire”. Di negara itu, semua elemen terlibat proses saling menghisap
dan saling melukai. Jika dia di peras dalam satu sektor kehidupan, maka dia akan
membalas memeras pada sektor yang dia kuasai. Dari bawah ke atas. Dari atas ke bawah,
terjadi lingkaran vampire, saling menghisap dan menindas.
Korupsi di Indonesia memang mengerikan. Namun, karena sudah menjadi bagian dan
gaya hidup, banyak yang merasa biasa-biasa saja. Tengoklah prestasi korupsi negara kita.
Meskipun laporan Transparansi Internasional tidak dapat dibenarkan 100 persen, tetapi
inilah yang diekspose di dunia internasional.
Tahun 1996 Indonesia masuk peringkat keenam negara terkorup dari 85 negara yang
disurvei, setelah Nigeria, Tanzania, Honduras, Paraguay, dan Kamerun. Kemudian tahun
1999 Indonesia naik ke peringkat tiga dari 99 negara yang disurvei setelah Nigeria dan
Kamerun. Tahun 2000 Indonesia menempati peringkat kelima sebagai negera terkorup
dari 90 negara yang disurvei, setelah Azebaijan, Ukraina, Yugoslavia, dan Nigeria. Tahun
2001 peringkat Indonesia naik ke posisi keempat dari 96 negara yang disurvei. Juga tahun
2002 Indonesia tetap bertahan di peringkat keempat negara terkorupsi dari 102 negara
yang disurvei, setelah Bangladesh, Negeria, dan Paraguay.
Sumpah semacam itu perlu dibudayakan oleh para elite negara. Almarhum Hartono
Mardjono pernah mengajukan gagasan “sumpah laknat” untuk para hakim, sebelum
memutuskan perkara, yang bunyinya kira-kira: “Demi Allah, jika saya bersikap tidak adil
dalam memutuskan perkara ini, maka Ya Allah, kutuklah aku!” Para calon Presiden,
seyogyanya diminta bersumpah semacam itu, “Demi Allah, kalau aku korupsi, maka Ya
Allah kutuklah aku dan keluargaku.” Jika para tokoh NU dan Muhammadiyah
bersumpah: “Demi Allah, jika ada warga Muhammadiyah yang korupsi, maka akan kami
keluarkan dari organisasi, lalu disambung doa: Ya Allah, kutuklah, laknatlah, para
pimpinan dan warga organisasi kami yang korupsi!” maka pengaruhnya Insyaallah akan
sangat hebat untuk pemberantasan korupsi.
Sebenarnya, ada banyak jenis korupsi yang perlu diberantas. Bukan hanya korupsi harta.
Kata korupsi, berasal dari bahasa Latin “corruptus–corrumpere”, yang diartikan dengan
“break to pieces, destroy”. Jadi, dari kata asalnya, semua yang menimbulkan kehancuran,
bisa disebut dengan istilah “korupsi”. Secara maknawi, istilah in kemudian berkembang
dan memiliki makna khusus, terutama yang berkaitan dengan istilah hukum. Hal in sudah
banyak dimaklumi.
Ada satu jenis korupsi yang jarang disinggung dan diungkapkan, yaitu korupsi ilmu, atau
korupsi kebenaran. Prof. Syed Muhammad Nuquib al-Attas dalam karya monumentalnya,
berjudul “Prolegomena to The Metaphysics of Islam”, menggunakan istilah “curruption
of knowledge” untuk korupsi jenis ini. Ia menulis, bahwa “Our real challenge is the
problem of the corruption of knowledge”. Tantangan utama kita adalah problem korupsi
ilmu pengetahuan. Problema ini datang dari kerancuan dari dalam maupun yang datang
dari pengaruh filsafat, sains, dan ideologi budaya dan peradaban Barat modern. Alatas
menekankan faktor penyebaran sekularisasi sebagai penyebab penting kerancuan yang
ujungnya adalah krisis kebenaran dan krisis identitas.
Kerancuan ilmu memang jauh lebih serius dampaknya dibandingkan “kejahilan”. Ulama
atau cendekiawan yang menyebarkan ilmu yang salah akan berdampak buruk kepada
masyarakat. Besarnya pengaruh budaya dan peradaban Barat – termasuk dalam tradisi
keilmuan–telah menyeret dunia ke jurang kehancuran yang luar biasa seriusnya. Secara
ekonomi, politik, budaya, lingkungan, pertahanan-keamanan, dunia sekarang berada di
jurang kehancuran. Semua in berawal dari kerancuan ilmu. Barat yang mewarisi tradisi
Yunani, Kristen, dan juga peradaban Islam, telah melakukan proses sekularisasi dalam
seluruh apek kehidupan, memisahkan ilmu pengetahuan dari Tuhan. Ini akibat trauma
yang mendalam mereka terhadap warisan sejarah mereka sendiri, terutama ketika agama
Kristen mendominasi kehidupan dan berlaku sewenang-wenang. Sampai-sampai pada
abad ke-18, di Eropa muncul fenomena yang dinamakan “anticlericalism” (anti-pendeta).
Trauma terhadap agama begitu mendalam. Terutama dengan alat kekuasaan (institusi)
Gereja yang bernama Inquisisi. Sampai-sampai mantan biarawati, bernama Karen
Armstrong menulis, bahwa salah satu institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi.
(Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the
Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of
seventeenth century. Its methods were also used by Protestants to persecute and control
the Catholics in their countries. (Lihat, Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and
Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991).
Owen Chadwick, dalam bukunya, The Secularization of the European Mind in the
Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975), mengungkap
sebuah ungkapan populer ketika itu, yang menunjukkan fenomena anti-clericalism di
kalangan masyarakat Eropa: “Beware of a women if you are in front of her, a mule if you
are behind it, and a priest wether you are in front or behind.” (Hati-hatilah terhadap
wanita, jika berada di depannya; hati-hatilah terhadap bagal jika berada dibelakangnya;
dan hati-hatilah terhadap pendeta baik kamu di depan atau di belakangnya).
Peter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, membuka
bukunya itu dengan petikan surat Lord Acton, tahun 1887, yang ditujukan kepada
seorang penguasa Gereja, Bishop Mandell Creighton. Isinya antara lain: “All power tends
to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” Robert Held, dalam bukunya,
“Inquisition”, memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang sangat mengerikan tentang
kejahatan Inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh Gereja ketika itu. Dia paparkan lebih dari
50 jenis dan model alat-alat siksaan yang sangat brutal, seperti pembakaran hidup-hidup,
pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur
kepala, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi,
sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita.
Antara tahun 1450-1800, diperkirakan antara dua-empat juta wanita dibakar hidup-hidup
di dataran Katolik maupun Protestan Eropa. Fenomena Barat modern inilah yang
memunculkan orang-orang yang terang-terangan anti-Kristen. Jika sebelumnya, para
cendekiawan yang dipandang mengancam Gereja, maka pada abad-abad ke-19 dan
seterusnya, bermunculan cendekiawan yang sekuler, agnostik, atau atheis. Ide liberalisasi,
yang arti asalnya, adalah bebas dari segala batasan (free from restraint), mendominasi
Eropa abad ke-19. Sampai-sampai mereka benar-benar tidak ingin melibatkan agama
dalam kehidupan mereka sehari-hari, selain Sebago masalah individual. Dalam dunia
sains pun diusahakan sekuat mungkin terlepas dari unsur-unsur agama. Sampai-sampai
Teori Darwin, yang sebenarnya bukan teori ilmiah, terus dipertahankan sebagai mitos
dalam dunia ilmiah dan diajarkan di sekolah-sekolah melalui mata ajaran Biologi,
termasuk di negeri-negeri Muslim.
Korupsi besar-besaran dalam dunia ilmu pengetahuan, melalui proses sekularisasi inilah
yang kemudian ditularkan dan diajarkan kepada kaum Muslim. Dalam sejarah peradaban
Islam, fenomena seperti in tidak ditemukan. Para ulama dan cendekiawan Muslim di
masa lalu adalah orang-orang yang tidak memisahkan berbagai jenis ilmu pengetahuan.
Meskipun al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan, menjadi ilmu dunia dan ilmu-ilmu
syariat, tetapi beliau menekankan aspek fardhu ain dan fardhu kifayah dalam penelaahan
ilmu. Seorang Muslim wajib menguasai ilmu-ilmu fardhu ain dan sekaligus bagi orang-
orang tertentu yang dikaruniai Allah kemampuan akal yang tinggi, berkewajiban
mengembangkan jenis-jenis ilmu pengetahuan lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat.
Maka, tidak heran, jika para ilmuwan Muslim terdahulu, yang memiliki kepakaran tinggi
di bidang sains, adalah para ulama yang mendalam pemahaman mereka tentang al-Quran,
hadith, fiqih, dan sebagainya. Tradisi Islam tidak menginginkan manusia terkotak-kotak
menjadi “spesialis” yang hanya tahu bidangnya saja, dan tidak tahu ilmu-ilmu lainnya.
Prof. Dr. Wan Moh Nor Wan Daud, guru besar di ISTAC-IIUM, menulis buku yang
komporehensif berjudul “Budaya Ilmu”, yang isinya antara lain membandingkan
perbedaan konsep budaya ilmu antar berbagai peradaban, seperti budaya ilmu dalam
masyarakat Yunani, Cina, India, Yahudi, Barat, dan Islam. Dalam tradisi Yunani,
misalnya, seperti dikatakan Robert M. Huchins, bekas Presiden dan conselor University
of Chicago, bahwa di Athens: “pendidikan merupakan matlamat (tujuan.pen.) utama
masyarakat. Kota raya me ndidik manusia. Manusia di Athens dididik oleh budaya, oleh
paideia.” Namun, meskipun berbudaya ilmu, masyarakat Yunani mengabaikan akhlak –
satu ciri budaya ilmu yang berbeda dengan budaya llmu dalam Islam.
Satu konsep menarik yang diajukan penulis buku in adalah konsep “integratif” –
disamping konsep “Islamisasi”. Penulis mengkritik keras konsep “spesialisasi sempit”
yang membutakan ilmuwan dari khazanah keilmuan bidang-bidang lain. Ia menekankan
perlunya menjelmakan sifat keilmuan yang multi-disciplinary dan inter-disciplinary.
Spesialiasi yang membutakan terhadap bidang lain, menurut Jose Ortega Y, filosof
Spanyol yang berpengaruh besar selepas Nietszche, telah melahirkan “manusia biadab
baru” (a new barbarian). Tradisi keilmuan yang menghasilkan “manusia barbar” inilah
yang tidak dikenal dalam tradisi Islam.
Inilah jenis korupsi yang sangat serius dan perlu juga diberi perhatian besar oleh para
tokoh dan organisasi keagamaan. Kerancuan, kekacauan, dan kekeliruan dalam
memahami ilmu, menjadi pangkal kerancuan dan kehancuran satu peradaban. Jika
korupsi harta dijadikan masalah besar, maka seyogyanya, korupsi aqidah, korupsi iman,
korupsi konsep al-Quran, korupsi konsep etika dan hukum Islam, seharusnya juga
menjadi agenda serius. Upaya sebagian kalangan untuk melepaskan etika dari agama dan
membangun “ethic without religion” adalah upaya yang salah dan rapuh.
Etika tanpa agama akan berakhir dengan kekacauan. Ketika itulah akan muncul anggapan
umum, bahwa korupsi bahaya buat masyarakat, tetapi zina – dan semua yang mendorong
ke arah perzinaan, seperti pornografi – dianggap bukan hal yang bahaya. Malah
dikatakan, bahwa zina adalah “hak hiduk dan hak untuk bekerja”, karena tidak merugikan
orang lain. Inilah tradisi keilmuan Yunani yang diwarisi Barat sekuler dan kemudian
ditularkan ke dunia Islam. Bahkan, dalam legenda Yunani, para Dewa pun berseingkuh
dengan manusia. Cupid, anak Dewa Venus, terpikat oleh kecantikan seorang gadis
bernama Psyche dan akhirnya memboyongnya ke istana dewa. (Hidayatullah)
EDITORIAL
Korupsi
Indonesia adalah negara yang 89% penduduknya beragama Islam. Dalam
peringkat korupsi negara-negara di dunia yang dibuat oleh salah satu
lembaga pemantau korupsi internasional, Indonesia menempati urutan ketiga
negara paling tinggi korupsinya di dunia, bahkan urutan pertama di Asia.
Apa atinya data tersebut? Dalam logika yang sederhana, kalau dua
pernyataan di atas dianggap sebagai premis mayor dan premis minor, maka
akan menghasilkan konklusi sebagai berikut; Negara yang 89% penduduknya
muslim adalah negara yang paling korup di Asia, dan juara ketiga korupsi di
dunia.
Tapi benarkah demikikan? Benarkah Islam mengajarkan budaya korupsi?
Tentu saja dengan tegas kita akan mengatakan tidak. Kita akan dengan
lantang menyatakan bahwa dalam Qur’anpun Allah dengan tegas melarang
pedagang yang mengurangi kadar timbangannya.
Lalu siapa yang salah? Islamnya, muslimnya, atau Indonesianya? Ibda’
binafsik, begitu Nabi Saw bersabda. Kalau mau jujur, mungkin diri kita sendiri
pernah, atau bahkan sering, menikmati hasil korupsi. Mungkin juga kita
sendiri yang melakukan korupsi itu. Kalau kita sudah mampu jujur pada diri
sendiri, dan ternyata kita memang benar pernah melakukannya, maka sudah
saatnya kita mengutuk hal itu, lalu memulai kehidupan baru tanpa korupsi,
sekecil apapun. Percayalah, tidak ada yang mampu mengubah perilaku kita
kecuali diri kita sendiri.
Anick H. Tohari
KAJIAN
Anti Korupsi dalam Perspektif Islam
“Tidak ada penyebab ketidakadilan dan kekejaman yang lebih besar daripada
korupsi, karena penyuapan menghancurkan baik iman maupun negara.”
Sari Mehmed Pasha
Pengantar
Salah satu kenyataan yang secara sadar dinilai buruk dan merusak, tetapi
berulang kali dilakukan oleh banyak orang di negeri ini adalah “korupsi”. Dan
korupsi di negeri ini bukan lagi soal moral dan hukum semata, melainkan
adalah persoalan sistem yang telah mengakar sedemikian rupa.
Hal lain yang menyebabkan korupsi tumbuh-subur di negeri ini adalah
lemahnya penegakan hukum. Hingga hari ini, belum ada koruptor dihukum
setimpal dengan perbuatannya. Oleh karenanya bisa dipahami jika
keterpurukan Indonesia ke dalam multikrisis ini dinilai oleh banyak pihak
akibat korupsi yang terus menerus dilakukan ke semua alokasi keuangan,
termasuk ke alokasi dana bantuan presiden dan dana non-bugeter lainnya.
Tulisan berikut tak bermaksud menawarkan “jalan keluar” atas kompleksitas
soal korupsi, melainkan sekadar ingin menyodorkan pandangan-tegas Islam
atas korupsi. Pandangan ini rasanya penting dikemukakan ke hadapan publik
selain menunjukkan ketegasan Islam anti korupsi, juga membuka mata umat
Islam sendiri karena tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar koruptor-
koruptor di negeri ini beragama Islam.
RENUNGAN
Gula yang Meracuni Semut
Kreditor internasional (IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia) selama
32 tahun memberi pinjaman kepada rezim Orde Baru yang dalam prakteknya
digunakan untuk menindas rakyat, memperkaya diri serta kroninya.
Tragisnya, kesalahan rezim ini diteruskan oleh rezim berikutnya dengan
menambah jumlah utang yang menumpuk dengan utang baru.
Pada dasarnya, berutang adalah hal wajar bagi sebuah negara. Negara
seperti Vatikan, juga pernah berutang pada para saudagar kaya di Venesia,
Genoa dan Florence untuk membiayai perang salib dalam misi merebut kota
Yerusalem. Negara yang termasuk maju pun pernah berutang untuk
membiayai kebutuhan perang atau teknologi senjata saat perang dingin.
Apalagi negara berkembang seperti Indonesia, dimana untuk menjamin
pertumbuhan, kekurangan modal investasi dalam negeri harus ditutupi
dengan utang.
Dengan total utang mencapai 1.400 triliun, nyaris tidak ada ruang bagi negara
ini untuk bisa membangun. Setiap tahun, ibaratnya anggaran negara habis
terpakai untuk mencicil utang dan biaya rutin seperti membayar gaji pegawai
negeri. Tahukah masyarakat bahwa tanpa disadari mereka juga harus
menanggung beban utang tersebut ?
Dengan adanya beban seperti diatas, porsi pembiayaan pembangunan
dalam negeri akan berkurang. Yang kini telah dirasakan oleh masyarakat
adalah meningkatnya berbagai pungutan/pajak, subsidi terhadap berbagai
sektor dikurangi atau dicabut. Pencabutan subsidi pelayanan kesehatan
masyarakat misalnya, berdampak pada menurunnya kondisi kesehatan bayi
dan anak-anak. Kalkulasi kasar menunjukkan bahwa setiap penduduk harus
membayar $ 45 atau sekitar Rp. 4 Juta kepada kreditor internasional dan
hanya menerima $ 2 atau sekitar Rp.20 ribu untuk pelayanan kesehatan.
Akibat dari penurunan pelayanan dasar kesehatan tersebut, Indonesia
menghadapi ancaman generasi yang hilang. Data UNICEF menunjukkan
bahwa setiap tahunnya 2 juta bayi dan juga sekitar 800 bayi yang baru lahir,
menderita kekurangan gizi dan kekurangan bobot badan (Infid, 2001).
Terakhir, demokrasi harus dipakai untuk mengawal agar pembangunan
ekonomi bisa berjalan lebih baik. Dengan kebebasan yang kita miliki, kita
harus mengawasi agar tidak terjadi penyimpangan dalam pemanfaatan
sumber daya yang sangat terbatas ini. Padahal seperti kata ekonom Peru,
Hernando de Soto, negeri ini kaya akan sumber daya alam, namun itu hanya
dalam bentuk modal mati. Tugas kita bersama menjadikan potensi itu menjadi
modal yang bisa mensejahterakan bangsa.[]
Ubaidillah Sadewa
copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi ls-adi@plasa.com
Di Indonesia, korupsi agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit,
korupsi dikatakan telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun
ke tahun cenderung semakin meningkat. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai
lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya
mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia.
Korupsi yang selama ini berjalan memiliki metode yang jelas, yaitu buat pendapatan
sekecil mungkin dan buat pengeluaran sebesar mungkin. Bentuknya beraneka ragam,
pelakunya pun bermacam-macam. Ada korupsi yang dilakukan oleh pemegang
kebijakan. Misalnya, mereka menentukan dibangunnya suatu proyek yang sebenarnya
tidak perlu atau memang perlu tapi di tempat lain, menentukan kepada siapa proyek harus
jatuh, menentukan jenis investasi pada perusahaan hampir bangkrut milik pejabat, dan
mengharuskan BUMN bekerja sama dengan perusahaan swasta tertentu tanpa
memperhatikan faktor ekonomis. Korupsi juga dilakukan pada pengelolaan uang negara
seperti uang yang belum/sementara tidak dipakai sering diinvestasikan dalam bentuk
deposito, bunganya mereka ambil, bahkan seringkali mereka mendapat premi dari bank;
BUMN pengelola uang pensiunan atau asuransi menginvestasikan uang tersebut untuk
kepentingan pribadi,atau bahkan di perusahaannya pribadi. Korupsi juga kerap terjadi
pada pengadaan dalam bentuk membeli barang yang sebenarnya tidak perlu untuk
memperoleh komisi, membeli dengan harga lebih tinggi dengan cara mengatur tender,
membeli barang dengan kualitas dan harga tertentu tetapi barang yang diterima
kualitasnya lebih rendah, selisih harganya masuk ke saku pejabat, atau barang dan jasa
yang dibeli tidak diterima seluruhnya, sebagiannya digunakan oleh pejabat. Begitu pula
korupsi terjadi pada penjualan barang dan jasa, pengeluaran, dan penerimaan. Walhasil,
korupsi di Indonesia telah menggurita. Wajar selama kurun lima tahun terakhir, Indonesia
menduduki tidak kurang dari peringkat kelima negara terkorup.
Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Di samping itu, korupsi yang
biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat
negara menjadi tidak optimal. Korupsi juga makin menambah kesenjangan akibat
memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah
demikian menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang
terdistribusi secara tidak sehat (tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi sebagaimana
mestinya). Koruptor makin kaya, rakyat yang miskin makin miskin. Akibat lainnya,
karena uang gampang diperoleh, sikap konsumtif jadi terangsang. Tidak ada dorongan ke
pola produktif, sehingga timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Korupsi adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara
dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri. Dibantah atau tidak, korupsi
memang dirasakan keberadaannya oleh masyarakat. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan
telah menyebar luas ke seantero negeri. Terlepas dari itu semua, korupsi apa pun jenisnya
merupakan perbuatan yang haram. Nabi saw. menegaskan: “Barang siapa yang
merampok dan merampas, atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami
(yakni bukan dari umat Muhammad saw.)” (HR Thabrani dan al- Hakim). Adanya
kata-kata laisa minna, bukan dari golongan kami, menunjukkan keharaman seluruh
bentuk perampasan termasuk korupsi.
Lebih jauh lagi, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari ‘Addiy bin
‘Umairah al-Kindy yang bunyinya, “Hai kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang
melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia
menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah
berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti… . Siapa
yang kami beri tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa
yang diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak
diberikan janganlah diambil.” Sabdanya lagi, “Siapa saja yang mengambil harta
saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan ke
dalam neraka, dan diharamkan masuk surga.” Seorang sahabat bertanya,“Wahai Rasul,
bagaimana kalau hanya sedikit saja?’ Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun sekecil
kayu siwak” (HR Muslim, an-Nasai, dan Imam Malik dalam al-Muwwatha).
Dilihat dari aspek keharamannya, jelas perkara haram tersebut harus dihilangkan, baik
ada yang menuntutnya ataupun tidak. Demikian pula kasus korupsi, tanpa ada tuntutan
dari rakyat pun sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengusut, menyelidiki,
dan mengadilinya.
Apalagi, ditinjau dari sisi lain, korupsi ini menyangkut perampasan terhadap milik rakyat
dan negara. Padahal, yang namanya pemimpin merupakan “pengembala” rakyatnya. Kata
Nabi saw., “Sesungguhnya pemimpin itu (imam) adalah pengembala, dan ia pasti
dimintai pertanggungjawabannya tentang apa yang digembalakan itu.” Bila ditafakuri
karakter pengembala, maka akan tampak bahwa sang pengembala ia akan mencari
makanan untuk gembalaannya, bila sakit diobati, ada nyamuk dibuatkan api unggun, dan
bila tubuhnya kotor dimandikan di sungai. Artinya, hal-hal yang merupakan
kebutuhannya dipenuhi dan hal-hal yang membahayakannya dicegah dan dilawan.
Realitanya, harta yang dikorupsi merupakan harta rakyat dan negara. Bila dibiarkan,
rakyatlah yang akan mendapatkan kerugian finansial. Yang semestinya rakyat yang
menikmati, gara-gara korupsi rakyat menjadi setengah mati. Seorang pemimpin sejati,
pasti tidak akan membiarkan kondisi seperti ini. Bila tidak, ia telah berkhianat terhadap
akad sebelum ia menjadi pemimpin. Padahal, Allah Swt. di dalam terjemahan surat al-
Maa-idah (5): 1 menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman tepatilah akad-akadmu
… .”
Ada suatu teladan dari Umar bin Khaththab. Di dalam kitab Thabaqat, Ibnu Sa’ad
mengetengahkan kesaksian asy-Syi’bi yang mengatakan, “Setiap mengangkat pemimpin,
Khalifah Umar selalu mencatat kekayaan orang tersebut. Selaain itu, bila meragukan
kekayaan seorang penguasa atau pejabat, ia tidak segan-segan menyita jumlah
kelebihan dari kekayaan yang layak baginya, yaang sesuai dengan gajinya.” Tampak
jelas bahwa sikap Umar bin Khaththab progresif dalam mengusut kasus korupsi. Beliau
tidak menunggu terlebih dahulu tuntutan dari rakyat. Selain itu, sederhana sekali rumus
yang diberikan beliau. Bila kekayaan yang ada sekarang tidak mungkin diperoleh dengan
gaji yang didapatkan selama sekian lama menjabat, pasti kelebihan kekayaannya tersebut
hasil korupsi. Jelaslah, diperlukan sikap tegas dan serius dari pemerintah untuk mengusut,
menyelidiki, dan mengadili orang yang diduga melakukan korupsi karena ini merupakan
kewajibannya.
Sesungguhnya terdapat niat cukup besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan, telah dibuat
satu tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN, tapi mengapa tidak kunjung berhasil?
Tampak nyata bahwa penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif,
sebagaimana ditunjukkan oleh syariat Islam berikut:
Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-
baiknya. Hal itu sulit berjalan dengan baik bila gaji tidak mencukupi. Para birokrat
tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk
mencukup nafkah keluarga. Agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda
berbuat curang, mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak.
Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat pemerintah, Rasul dalam hadis
riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan
tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya
menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak
mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Adapun barang siapa
yang mengambil selainnya, itulah kecurangan”.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang
kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud agar aparat itu bertindak
menguntungkan pemberi hadiah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah
terhadap penyuap dan penerima suap” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat
pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht
(haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Suap dan
hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak
sebagaimana mestinya. Di bidang peradilan, hukum ditegakkan secara tidak adil atau
cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Setelah adanya sikap tegas dan serius, penghitungan harta
mereka yang diduga terlibat korupsi merupakan langkah berikutnya. Menurut kesaksian
anaknya, yakni Abdullah bin Umar, Khalifah Umar pernah mengalkulasi harta kepala
daerah Sa’ad bin Abi Waqash (Lihat Tarikhul Khulafa). Putranya ini juga tidak luput
kena gebrakan bapaknya. Ketika Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya di
pasar, beliau menyitanya. Kenapa? Umar tahu sendiri, unta anaknya itu gemuk karena
digembalakan bersama-sama unta-unta milik Baitul Mal di padang gembalaan terbaik.
Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah “ Aku tidak
bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan
bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !”
(lihat Syahidul Aikral). Bahkan, Umar pun tidak menyepelekan penggelapan meski
sekedar pelana unta (Lihat Kitabul Amwal).
Apa yang dilakukan Umar merupakan contoh baik bagaimana harta para pejabat dihitung,
apalagi mereka yang disinyalir terlibat korupsi. Seluruh yayasan, perusahaan-perusahaan,
ataupun uang yang disimpan di bank-bank dalam dan luar negeri semuanya diusut. Kalau
perlu dibuat tim khusus yang independen untuk melakukannya, seperti halnya
Muhammad bin Maslamah pernah diberi tugas khusus oleh Umar untuk hal tersebut.
Baru setelah itu, dibuktikan lewat pengadilan.
Di samping itu, pembuktian pun dilakukan dengan pembuktian terbalik. Bila semua bukti
yang diajukan tidak diterima oleh terdakwa, maka terdakwa itu harus membuktikan dari
mana harta itu diperoleh dan harus pula menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil
korupsi. Hal ini bisa dilihat dari apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab. Ketika
Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah, “ Aku tidak bekerja
padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi
hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !”
Setelah itu, Abu Bakrah tidak dapat membuktikan bahwa dakwaan Umar tersebut salah.
Ia tidak dapat menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil nepotisme. Akhirnya, Umar
pun tetap pada putusannya (Lihat Syahidul Aikral). Cara inilah yang sekarang dikenal
dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat
berbuat curang. Tapi anehnya cara ini ditentang untuk dimasukkan dalam perundang-
undangan.
Keempat, teladan pemimpin. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik
putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput
milik Baitul Mal Negara. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas
negara. Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin
Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat.
Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini.
Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bagaimana
bila justru korupsi dilakukan oleh para pemimpin? Semua upaya apa pun menjadi tidak
ada artinya sama sekali.
Kelima, hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan
mencelakaan dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawajir
(pencegah). Artinya, dengan hukuman setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan
berpikir sekian kali untuk melakukan kejahatan itu. Dalam Islam, tindak korupsi
bukanlah seperti pencurian biasa yang pelakunya dipotong tangannya. “Perampas,
koruptor, dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan” (HR Ahmad,
Ashabus Sunan, dan Ibnu Hibban). Akan tetapi, termasuk jarîmah (kejahatan) yang
akan terkenai ta’zir. Bentuknya bisa berupa hukuman tasyh’ir (berupa pewartaan atas diri
koruptor – dulu diarak keliling kota, sekarang bisa lewat media massa). Berkaitan dengan
hal ini, Zaid bin Khalid al-Juhaini meriwayatkan Rasulullah pernah memerintahkan para
sahabat untuk menshalati seorang rekan mereka yang gugur dalam pertempuran Hunain.
Mereka, para sahabat, tentu saja heran, karena seharusnya seorang yang syahid tidak
disembahyangi. Rasul kemudian menjelaskan, “Sahabatmu ini telah berbuat curang di
jalan Allah.” Ketika Zaid membongkar perbekalan almarhum, ia menemukan ghanimah
beberapa permata milik kaum yahudi seharga hampir 2 dirham (lihat al- Muwwatha ).
Atau, bisa juga sampai hukuman kurungan. Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam kitab
Nidzamul ‘Uqubat fil Islam (hlm. 190), hukuman kurungan koruptor mulai 6 bulan
sampai 5 tahun. Namun, masih dipertimbangkan banyaknya uang yang dikorup. Bila
mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, koruptor dapat dijatuhi hukuman
mati.
Inilah pentingnya seruan penerapan syariat Islam guna menyelesaikan segenap problem
yang dihadapi negeri ini, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, selamatkan
Indonesia dan seluruh umat dengan syariat.[]
Sumber: HTI online
http://khalidwahyudin.wordpress.com/2008/06/24/syariat-islam-dalam-pemberantasan-
korupsi/
Korupsi di Indonesia agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit,
korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun
cenderung semakin meningkat serta modus yang makin beragam.
Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di
negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan
koran Singapura, The Straits Times, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the
envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim,
jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila
ada “amplop”.
Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Kwik Kian Gie, Ketua Bappenas,
menyebut lebih dari Rp 300 triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun
penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor.
Dana ratusan triliun itu tentu sangat besar. Untuk menyelamatkan subsidi BBM yang hanya
sekitar Rp 15 triliun saja, pemerintah terpaksa harus menaikkan harga BBM yang akibatnya
tentu memukul 200 juta rakyat Indonesia yang kebanyakan masih hidup pas-pasan.
Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang
diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya
perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga RUU SDA, impor gula dan beras dan
sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di
belakangnya ada motivasi korupsi.
Korupsi juga makin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila
sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah demikian menganga, maka korupsi makin
melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat (tidak mengikuti
kaedah-kaedah ekonomi sebagaimana mestinya).
Koruptor makin kaya, yang miskin makin miskin. Akibat lainnya, karena uang gampang
diperoleh, sikap konsumtif jadi terangsang. Tidak ada dorongan ke pola produktif, sehingga
timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Mencari jalan memberantas korupsi
Sesungguhnya telah ada niat cukup besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan telah dibuat satu
Tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN, tapi mengapa tidak kunjung berhasil? Tampak
nyata bahwa penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, setengah hati, dan
tidak sungguh-sungguh. Ini terlihat dari tak adanya keteladanan dari pemimpin dan sedikit
atau rendahnya pengungkapan kejahatan korupsi sementara masyarakat tahu bahwa korupsi
terjadi di mana-mana.
Kini, masyarakat tentu sangat menantikan upaya-upaya manjur untuk mengatasi salah satu
problem besar negara ini. Pertanyaannya, bagaimana upaya itu harus dilakukan? Secara
khusus, jalan apa yang bisa diberikan Islam sebagai agama yang paling banyak dianut oleh
penduduk negeri ini dan mungkin juga paling banyak dianut oleh para koruptor, agar benar-
benar kerahmatan yang dijanjikan bisa benar-benar terwujud?
Berdasarkan kajian terhadap berbagai sumber, didapatkan sejumlah cara sebagaimana
ditunjukkan oleh syariat Islam. Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah
harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak
mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa.
Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam
keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya
menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak
mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil
selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”. Oleh karena itu, harus ada upaya pengkajian
menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan di negeri ini.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang
kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi
sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak
menguntungkan pemberi hadiah.
Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil
bumi Khaybar separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi datang orang
Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari
separo untuk orang Yahudi.
Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah
haram, dan kaum muslimin tidak memakannya”. Mendengar ini, orang Yahudi berkata,
“Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak” (Imam Malik dalam al-Muwatta’).
Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR.
Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang
diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah
kufur” (HR Imam Ahmad).
Nabi sebagaimana tersebut dari hadis riwayat Bukhari mengecam keras Ibnul Atabiyah
lantaran menerima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym. Suap dan hadiah
akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana
mestinya sampai dia menerima suap atau hadiah.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya
akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah
melakukan korupsi.
Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara
lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah
dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi.
Semasa menjadi khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir
jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan, bukan jaksa atau
orang lain, diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara
yang halal.
Bila gagal, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang
wajar kepada Baitul Mal, atau membagi dua kekayaan itu separo untuk yang bersangkutan
dan sisanya untuk negara. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian
terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.
Tapi anehnya cara bagus ini justru ditentang oleh para anggota DPR untuk dimasukkan dalam
perundang-undangan. Pembuktian material di depan pengadilan oleh jaksa yang selama ini
lazim dilakukan terbukti selalu gagal mengungkap tindak korupsi, karena mana ada koruptor
meninggalkan jejak, misal bukti transfer, kuitansi, cek atau lainnya?
Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin,
terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang
pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah.
Dengan takwa pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan
kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya
dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban.
Di sinilah diperlukan keteladanan dari para pemimpin itu. Khalifah Umar menyita sendiri
seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan
bersama di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk
penyalahgunaan fasilitas negara.
Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, khalifah Umar bin Abdul Azis sampai
menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin,
tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini.
Kelima, hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan
mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor.
Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat
orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir
berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa
ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman
kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau
menghilangkan korupsi. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah
Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan
Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.
Tampak dengan jelas bahwa Islam melalui syariatnya telah memberikan jalan yang sangat
gamblang dalam pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Di
sinilah pentingnya seruan penegakan syariat Islam.
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
http://jurnal-ekonomi.org/2004/05/19/islam-dan-jalan-pemberantasan-korupsi/
Dari kebanyakan kasus yang ditangani KPK, 73 persen di antaranya adalah kasus
korupsi yang terjadi pada proyek pengadaan barang dan jasa. Contoh kasus yang
melibatkan kepala daerah: korupsi APBD dengan tersangka Walikota Medan Abdillah
dan wakilnya Ramli Lubis; mantan Walikota Makassar Amiruddin Maula yang telah
divonis 4 tahun dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam; Bupati (non aktif)
Kutai Kartanegara Syaukani HR yang divonis 2,5 tahun penjara terkait 4 kasus
korupsi dana APBD. (Persda-network, 1/4/2008)
Di departemen pelayanan publik, kasus korupsi juga banyak terungkap. KPK telah
memukan indikasi korupsi di Bea Cukai. KPK menyatakan, empat pegawai Kantor
Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai Tanjungpriok, Jakarta Utara, diindikasi melakukan
suap. Selain penyuapan, penggeledahan KPK bersama pihak Bea Cukai di KPU Bea
Cukai Tanjungpriok mendapati modus baru suap: menggunakan kurir seperti
satpam, tukang parkir, dan petugas kebersihan. Bahkan tempat ibadah pun menjadi
lokasi para koruptor bertransaksi. (Liputan6 SCTV, 3/6/2008,).
Yang lebih mengerikan, para anggota dewan, yang seharusnya membuat aturan
untuk ’meminimalisasi’ korupsi, justru dengan ’akal bulusnya’
mengotak-atik aturan untuk melegalkan korupsinya. Setelah sebelumnya
menangkap tangan Al-Amin Nur Nasution, anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PPP,
KPK juga menahan anggota Komisi IV DPR terkait dengan kasus dugaan korupsi
dalam alih fungsi lahan hutan, yakni anggota Fraksi Partai Demokrat, Sarjan Tahir.
Mereka diduga terkait dengan dugaan menerima suap pengalihan fungsi hutan
lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Sarjan ditahan terkait kasus dugaan
korupsi dalam alih fungsi hutan mangrove seluas 600 hektar untuk Pelabuhan
Tanjung Api-api di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. (Detik.com, 3/5/2008).
Akar Masalah
Gaji yang rendah kerap dituding sebagai penyebab utama merajalelanya korupsi di
Indonesia. Namun, studi Bank Dunia membantah argumen tersebut. Deon Filmer
(Bank Dunia) dan David L Lindauer (Wellesley College) dalam World Bank Working
Paper No. 2226/2001 yang berjudul, “Does Indonesia Have a Low Pay Civil
Service,†menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan pegawai negeri 42% lebih
tinggi dibandingkan dengan swasta. (Media Indonesia, 2/62001). Walhasil, gaji
rendah yang selama ini dijadikan alasan semakin merajalelanya korupsi di Indonesia
adalah tidak benar. Jika demikian, lalu apa penyebab korupsi?
Jika ditelesik lebih dalam, ada dua hal mendasar yang menjadi penyebab utama
semakin merebaknya korupsi. Pertama: mental aparat yang bobrok. Menurut
www.transparansi.or.id, terdapat banyak karakter bobrok yang menghinggapi para
koruptor. Di antaranya sifat tamak. Sebagian besar para koruptor adalah orang yang
sudah cukup kaya. Namun, karena ketamakannya, mereka masih berhasrat besar
untuk memperkaya diri. Sifat tamak ini biasanya berpadu dengan moral yang kurang
kuat dan gaya hidup yang konsumtif. Ujungnya, aparat cenderung mudah tergoda
untuk melakukan korupsi.
Yang lebih mendasar lagi adalah tidak adanya iman Islam di dalam tubuh aparat.
Jika seorang aparat telah memahami betul perbuatan korupsi itu haram maka
kesadaran inilah yang akan menjadi self control bagi setiap individu untuk tidak
berbuat melanggar hukum Allah. Sebab, melanggar hukum Allah, taruhannya sangat
besar: azab neraka.
Kedua: kerusakan sistem politik dan pemerintahannya. Kerusakan sistem inilah yang
memberikan banyak peluang kepada aparatur Pemerintah maupun rakyatnya untuk
beramai-ramai melakukan korupsi. Peraturan perundang-undangan korupsi yang ada
justru diindikasi ’mempermudah’ timbulnya korupsi karena hanya
menguntungkan kroni penguasa; kualitas peraturan yang kurang memadai,
peraturan yang kurang disosialisasikan, sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi
yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi
peraturan perundang-undangan. (Transparansi.or.id)
Selain itu, menurut Sekretaris Jenderal KPK, M Syamsa Ardisasmita, saat ini kasus
korupsi yang terjadi di Indonesia, khususnya yang ditangani oleh KPK, lebih banyak
mengusut kepala daerah. Salah satu faktor penyebabnya adalah mahalnya biaya
politik untuk menjadi kepala daerah pada proses Pilkada. “Potensinya lewat
Pilkada. Karena butuh political cost (biaya politik) tinggi,†kata Syamsa, di KPK.
(Persda-network, 1/4/2008).
Mahalnya biaya politik ini memicu para gubernur, bupati, walikota bahkan bisa jadi
presiden akan bekerja keras untuk ’mengembalikan’ modal politiknya yang
selama kampanye telah dikeluarkan. Bukan hanya modalnya, ’keuntungan’
tentu akan diburu juga. Jika sudah demikian, para pejabat publik secara umum akan
sangat kecil kemungkinannya memikirkan kesejahteraan rakyat. Mereka hanya akan
memikirkan bagaimana mengembalikan modal dan keuntungan politik berikut modal
tambahan untuk maju ke pentas pemilihan kepala daerah ataupun presiden
berikutnya.
Walhasil, sistem politik dan pemerintahan yang ada saat ini memang telah memacu
percepatan terjadinya korupsi.
Sistem pencegahan korupsi dalam Islam terbangun dalam sebuah sistem sangat
sederhana sehingga sangat efektif. Salah satunya, sebagaimana disitilahkan dalam
wacana hukum sekarang, dengan sistem pembuktian terbalik.
Khalifah Umar ra. bertanya kepadanya, â€Lalu dari mana engkau mengumpulkan
harta sebesar 10.000 dinar itu?â€
Abu Hurairah ra. Menjawab, â€Dari untaku yang berkembang pesat dan dari
sejumlah pemberian yang berturut-turut datangnya.â€
Khalifah Umar ra. berkata, â€Serahkan hartamu itu ke Baitul Mal kaum Muslim.â€
Abu Hurairah ra. segera memberikannya kepada Khalifah Umar ra. Beliau lalu
mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berkata lirih, â€Ya Allah, ampunilah
Amirul Mukminin.â€
Riwayat di atas menjelaskan beberapa hal. Pertama: harta negara dalam sistem
Khilafah pada hakikatnya adalah harta Allah SWT yang diamanatkan kepada para
pejabat untuk dijaga dan tidak boleh diambil secara tidak haq. Tindakan mengambil
harta negara secara tidak haq adalah tindakan curang yang oleh Khalifah Umar ra.
diibaratkan dengan mencuri harta Allah untuk lebih menegaskan keharamannya.
Kedua: pejabat yang mengambil harta negara secara tidak haq, oleh Khalifah Umar
ra., dicap sebagai musuh Allah dan Kitab-Nya. Sebab, mereka berarti tidak
menghiraukan lagi larangan Allah SWT. Allah SWT tidak mengizinkan hal itu:
Siapa saja yang berbuat curang, maka pada Hari Kiamat ia akan datang membawa
apa yang dikhianatkannya itu. (QS Ali Imran [3]: 161).
Ketiga: Khalifah sebagai kepala negara harus menjaga pejabat bawahannya jangan
sampai ada yang melakukan tindakan curang alias korupsi. Untuk menjaga hal ini,
Khalifah Umar ra. membuat prosedur: siapa saja pejabat gubernur maupun walikota
yang diangkatnya akan dihitung terlebih dulu jumlah kekayaan pribadinya sebelum
diangkat, lalu dihitung lagi saat dia diberhentikan. Jika terdapat indikasi jumlah
tambahan harta yang tidak wajar maka beliau menyita kelebihan yang tidak wajar
itu atau membagi dua, separuhnya diserahkan kepada Baitul Mal.
Bukankah sudah terlihat begitu nyata, bahwa kerusakan telah merajalela dalam
sistem dan orang (pejabat negara)? Kerusakan inilah yang kemudian memacu
terjadinya korupsi, yang berujung pada kesengsaraan rakyat. Jika sistem dan
orangnya saat ini telah terbukti menyengsarakan rakyat, apakah kita akan
membiarkan sistem dan orangnya tetap memimpin negeri ini? Bukankah sudah
saatnya kita menggantinya dengan sistem dan orang yang baik, sistem Islam dalam
bingkai Daulah Khilafah serta orang-orang yang berkepribadian islami yang
senantiasa memegang amanah? Bukankah saatnya Indonesia kita berubah menjadi
lebih baik? []
KOMENTAR:
Eep Saefullah Fatah: Dalam kurun 3 tahun Indonesia telah melaksanakan 320 kali
Pilkada (tiga hari sekali) (Kompas, 24/6/2008).
Demokrasi memang rumit, boros biaya, sarat konflik, dan sering melahirkan para
pemimpin yang korup dan tidak memihak rakyat
PENCEGAHAN KORUPSI
Untuk mencegah korupsi,islam menetapkan:
1.pemberian gaji layak
Para pejabat/birokrat/pegawai tetaplah manusia biasa yang memiliki
kewajiban menafkahi keluarganya.Agar mereka bekerja dengan tenang
dan tak tergoda berbuat korup,mereka harus diberikan gaji,tunjangan
dan fasilitas lain yang layak.Rasulullah SAW bersabda,'siapapun yang
menjadi pegawai kami,hendaklah mengambil seorang istri.Jika dia tidak
memiliki pelayan,hendaklah mengambil seorang pelayan.Jika tidak memiliki
tempat tinggal,hendaklah mengambil rumah'(HR Abu Dawud)
2.Larangan menerima hadiah
Dalam islam,status pejabat negara atau pegawai negeri adalah
ajir(pekerja).Musta'jir(majikan)nya adalah negara yang diwakili oleh
kepala negara dalam hal ini khalifah,hukkam(penguasa selain khalifah
seperti wali/gubernur,dan amil) dan orang-orang yang diberi otoritas oleh
mereka.Oleh karena itu,hak dan kewajiban kedua belah pihak telah
diatur dalam dalam akad ijarah.Pegawai negeri dan pejabat negara yang
tak termasuk dalam kategori hukkam menerima ujrah/gaji atas pekerjaan
yang telah dilakukannya.Pendapatan diluar ujrah yang telah disepakati
kedua belah pihak-termasuk hadiah-adalah pendapatan yang diharamkan.
Rasulullah SAW bersabda,'siapa saja yang kami(negara)beri tugas untuk
melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan
rizki/gaji,maka apa yang diambilnya selain dari itu(gaji)adalah
ghulul(kecurangan/korupsi)'(HR Abu Dawud).
Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat.Mereka
bekerja dengan tidak wajar.Di bidang peradilan,hukum ditegakkan dengan
tidak adil dan cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan
suap atau hadiah.
3.perhitungan kekayaan
Untuk mencegah tindakan korup,perhitungan kekayaan para pejabat harus
dilakukan di awal dan akhir jabatannya.Jika ada kenaikan jumlah harta
yang tidak wajar,pihak bersangkutan harus membuktikan bahwa
kekayaannya diperoleh dari sumber yang halal.Inilah yang selalu dilakukan
oleh khalifah Umar Bin Khaththab ketika beliau mengangkat pejabat
negara seperti wali/gubernur atau amil.
Seperti ketika beliau mengangkat Abu Hurairah Ra sebagai
wali/gubernur.Abu Hurairah kala itu menabung banyak harta dari
sumber-sumber yang halal.Mendapatkan informasi itu,amirul mu'minin
segera memanggil sang gubernur ke ibukota daulah
khilafah,Madinah.Setibanya di sana,khalifah berkata kepada
gubernur,'Hai musuh Allah dan kitabNya!bukankah engkau telah mencuri
harta Allah?'
Gubernur Abu Hurairah menjawab,'amirul mu'minin.aku bukanlah musuh
Allah dan bukan pula musuh kitabNya,Aku justru musuh siapa saja yang
memusuhi keduanya.Aku bukanlah pencuri harta Allah'.
Khalifah lalu bertanya,'lalu dari mana engkau mengumpulkan harta
sebesar 10.000 dirham itu?'
Gubernur menjawab,'dari untaku yang berkembang pesat dan dari
sejumlah pemberian yang berturut-turut datangnya'.
Khalifah berkata,'serahkan hartamu itu kepada baitul maal kamu
muslim'.
Kemudian Abu Hurairah menyerahkan hartanya kepada khalifah lalu
mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berkat lirih,'yaa
Allah,ampunilah amirul mu'minin'.
Riwayat diatas menjelaskan tiga hal:
Pertama : harta negara dalam kekhilafahan islam pada dasarnya adalah
harta Allah yang diamanahkan kepada pejabat negara untuk dijaga dan
tidak diambil dengan tidak hak.Tindakan mengambil harta Allah/negara
adalah tindakan korupsi.Oleh khalifah Umar,tindakan korupsi diibaratkan
dengan mencuri harta Allah untuk lebih menegaskan keharamannya.
Kedua : pejabat negara yang korup dicap oleh khalifah Umar sebagai
musuh Allah dan musuh kitabNya.Sebab,mereka tak lagi menghiraukan
larangan Allah dalam Qs ali imran:161:'siapa saja yang berbuat
curang,maka pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu'.
Ketiga : khalifah sebagai kepala negara harus menjaga mental aparatnya
agar tidak tergoda untuk bertindak korup.Salah satu upayanya adalah
dengan melakukan pencegahan korupsi seperti yang dijelaskan diatas.Jika
khalifah menemukan kelebihan harta pejabatnya yang tak wajar,maka
negara boleh/berhak untuk menyitanya atau membagi dua,setengahnya
lagi diserahkan kepada baitul maal.
4.Penyederhanaan birokrasi
'selama bisa dipersulit,mengapa tidak dipersulit?'.Prinsip birokrasi inilah
yang selama ini kita rasakan dalam mendapatkan service/pelayanan
pemerintah.Padahal birokrasi yang berbelit-belit dan tak transparan akan
membuka peluang terjadinya korupsi.Demikian pula dengan prosedur yang
diskriminatif misalnya ketika KPK akan memeriksa pejabat negara
setingkat menteri dan anggota DPR,harus seijin kepala
negara.Akibatnya,tak jarang jika korupsi menyentuh lapisan
elit,penyelidikan berhenti.Dalam islam,aturan semacam ini tak
dikenal.Rasul bersabda,'sesungguhnya celakalah umat sebelum
kalian.Karena jika orang mulia mereka mencuri,mereka
membiarkannya.Jika orang lemah mencuri,mereka menerapkan hukum
atasnya'(HR At Tirmidzi).
5.Keteladanan pemimpin
Khalifah Umar Bin Abdul Azis pernah mematikan lampu fasilitas negara di
ruang kerjanya ketika menerima anaknya.Hal itu beliau lakukan karena
anaknya hendak mengadukan urusan pribadi yang tak berhubungan dengan
urusan negara.
6.Kontrol masyarakat
Masyarakat berperan sebagai kontrol sosial yang tergantung pada
penerapan sistem kehidupan yang mengatur urusan mereka.Masyarakat
hedonis bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam
berurusan dengan aparatur negara.Sebaliknya masyarakat yang mulia dan
kritis akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat
yang mengajaknya menyumpan.Pada masa kekhilafah Umar Bin
Khaththab,seorang sahabat pernah pemprotes khalifah yang kedapatan
memakai pakaian dari kain Yaman.Sahabat itu menduga khalifah
mengambil bagian kain Yaman yang lebih banyak dibandingkan dengan
yang diterima oleh para sahabat lainnya.Sebab,pikirnya,karena badan
khalifah besar,tak mungkin khalifah memakai pakaian dari dari bahan
kain Yaman itu dengan ukuran 2X lipat dibandingkan dengan yang
dibagikan kepada para sahabat lainnya.Mendengar protesnya,khalifah
Umar memanggil anaknya,Abdullah Bin Umar,untuk menjelaskan duduk
perkaranya.Abdullah menjelaskan,bahwa kain bagian dirinya sengaja ia
berikan kepada ayahnya karena ukuran badan ayahnya yang besar
sehingga membutuhkan bahan pakaian 2X lipat.
PENANGGULANGAN KORUPSI
Untuk menanggulangi korupsi,islam butuh dua cara:
1.memberlakukan hukuman/sanksi setimpal
2.mengangkat para aparat hukum yang adil,tegas,dan berwibawa atas
dasar ketakwaan kepada Allah SWT
Secara naluri,orang akan takut menerima resiko yang tak sebanding
dengan apa yang diperolehnya.Resiko dalam bentuk sanksi berfungsi
sebagai pencegah.Dalam islam,koruptor dikenai sanksi ta'zir.Dalam hal
ini,hakim bisa mencari bentuk sanksi yang paling efektif bagi kasus
korupsi itu,misalnya berupa tasyhiir(pewartaan),penyitaan
harta,pemecatan,hukuman kurungan,kerja paksa hingga hukuman
mati.Selain itu,aparat hukum yang adil,tegas,dan berwibawa atas dasar
iman pada Allah juga penting bagi tegaknya hukum.Khalifah Umar Bin
Khaththab,misalnya,tidak segan-segan menyita seekor unta gemuk milik
putranya,Abdullah Bin Umar,karena kedapatan digembalakan di padang
rumput milik baitul maal.Tindakan Abdullah dianggap khalifah Umar
sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.
Dalam kasus korupsi (alm) Soeharto atau para koruptor kakap negeri
ini,tindakan hukum jelas harus dilakukan.Diantaranya dengan menyita
semua kekayaan dirinya dan keluarganya yang telah dibuktikan oleh
pengadilan sebagai hasil korupsi.Dalam hal ini,alasan kemanusiaan tak
berlaku.Persoalannya,pemberlakuan hukum yang adil ini tak mungkin bisa
diterapkan jika aparat dan penegak hukumnya tak memiliki kriteria
hamba Allah yang taat dan amanah,dan hukum yang diberlakukan adalah
hukum sekuler yang dibuat berdasarkan tawar menawar/kompromi banyak
kepentingan,baik dilembaga legislatif,eksekutif maupun yudikatif.
Tags: benangkusutkorupsi
Prev: HuKuMan MaTi BaGi SaNg JaGal
Next: Lebih Berani Daripada Presiden, Gubernur Sumsel Larang Ahmadiyah, Adhan
Buyung Berang
http://khoirzahra75id.multiply.com/journal/item/145
Pemberantasan Korupsi
Dalam Islam
Written by Ust. Muinudinillah
Wednesday, 29 April 2009 12:10
Allah berfirman :"siapa yang korupsi, akan datang dengan apa yang dikorupsi
pada hari kiamat"
" Dan penghuni neraka menyeru penghuni syurga: " limpahkanlah kepada kami
sedikit air atau makanan yang Telah dirizkikan Allah kepadamu". mereka (penghuni
surga) menjawab: "Sesungguhnya Allah Telah mengharamkan keduanya itu atas orang-
orang kafir, (yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan
senda gurau, dan kehidupan dunia Telah menipu mereka." Maka pada hari (kiamat) ini,
kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari
ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat kami. QS Al A'rof ayat 50-
51.
Ada seorang berperang bersama Rasulullah saw, tiba tiba ada panah yang nyasar
mengenai lehernya sehingga ia mati, para sahabat berteriak, berbahagialah ia di sorga, ia
syahid di jalan Allah. mendengar itu Rasulullah bersabda : bahkan dia diseret ke neraka
dengan pakaian yang ia ambil dari ghanimah. HR Ibnu Abi Syaibah, Thabarani, Hakim,
dan lain lainnya.
Kalau hanya mengambil mengambil pakaian sesuatu yang remeh dari ghanimah
menghalangi orang yang berjihad dari mendapatkan pahala syahid dan diseret masuk
neraka, bagaimana orang yang mengambil harta rakyat bermilyar milyar, sungguh kalau
mereka beriman dengan panasnya neraka yang dilipat gandakan tujuh puluh kali lipat dari
pada panasnya dunia niscaya tidak berani korupsi.
. Orang yang korupsi dalam pandangan Islam merugi dari berbagai sisi, dari sisi
penambahan nilai, koruptor tidak mendapatkan tambahan nilai hartanya, karena
walaupun secara nominal besar dan kerugian bagi rakyat besar, tapi tambahan nilai
subtantif untuk pelaku korupsi nol, dia yang korupsi dan orang lainlah yang
memanfaatkan, rizkinya tidak tambah, karena rizki adalah sesuatu yang bisa bermanfaat
untuk keberlangsungan hidup yang barokah, sedang hasil korupsi kalau dikonsumsi, atau
digunakan untuk pakaian, ibadah, dan doanya tidak akan diterima oleh Allah, dalam
hadits Rasulullah bersabda " sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali
yang baik, kemudian Rasulullh menyebutkan seorang yang safar dan memperpanjang
safarnya, ia menengadahkan tangannya ke langit : berdoa " ya Rabb ya Rabb, tapi
makannya haram, pakaiannya haram, diberi gizi haram, bagaimana ia dikabulkan." HR
Turmudzi.
Koruptor tidak akan diterima shadaqahnya, ia tidak akan terlepas dari jeratan
hukum akherat kecuali taubat nasuha dan mengembalikan yang dikorupsi kepada rakyat,
bukun dengan niat shadaqah.
Koruptor adalah pengkhianat, kalau ia tidak beriman dengan akherat maka apakah
ia tidak akan malu dengan ancaman Nabi saw " akan ditancapkan untuk setiap
pengkhianat benderanya pada hari kiamat di bawah pantatnya, dikatakan : ini
khiantanya si fulan" HR Bukhari. kemudian akan disiksa dengan hasil korupsinya. Dan
kalau tidak beriman dengan akherat, maka kafirlah dia, dan siksaan neraka yang lebih
pedihpun menantinya dan hasil korupsinyapun juga tidak akan bermanfaat untuk menebus
dirinya dari siksaan neraka :
" Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam
kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas
sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. bagi mereka
Itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong. Ali Imran
ayat : 91.
Muh Mu'inudinillah.
Untuk melenyapkan korupsi, saya menyiapkan 100 peti mati, 99 untuk para
koruptor dan 1 untuk saya bila saya berbuat yang sama. [PM Zhu Rongji]
Saya tidak apriori apalagi anti SI. Namun, apabila SI benar-benar ingin ditegakkan,
maka sejatinya SI juga harus menyentuh nilai-nilai syariat dalam dimensi publik, bukan
hanya bermain di ranah privat. Paling tidak, keduanya dapat berjalan secara
bersamaan. Nah, yang terjadi selama ini adalah pengkerdilan SI yang hanya menjamah
wilayah privat.
Respon publik menjadi negatif. Fenomena ini kemudian disimpulkan oleh masyarakat
bila SI di Aceh hanya berlaku untuk kalangan bawah, dan absen kepada elite politik
(penguasa). Inilah ‘tragedi kemanusiaan’ baru atas nama syariat Islam. Dengan situasi
demikian, sudah tiba saatnya publik Aceh meretas jalan lain. Kita ditantang untuk
mencari jawaban di balik keadaan yang memiriskan. Bagaimana kita menyandingan SI
untuk mengobati berjamurnya penyakit sosial, kemiskinan dan korupsi? Bagaimana
merespon ketidakadilan anggaran antarwilayah di Aceh yang telah menimbulkan
kesenjangan sosial yang begitu terasa? Bagaimana pula mendorong arah pengelolaan
pemerintahan dan kekuasaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, tidak korup
dan mengedepankan transparansi serta akuntabilitas? Bahkan bagaimana pula
menjadikan SI sebagai ruh pemberantasan korupsi di Aceh?
Di sisi lain, saya melihat bahwa bagi elite, bicara SI adalah bicara untuk level
masyarakat. Akhirnya, lahirlah berbagai kampanye dan aturan hukum yang cenderung
menjadikan rakyat sebagai korban! Hampir tidak pernah kita dengar bagaimana
pemberlakuan SI di Aceh yang memiliki dampak langsung kepada elite. Kampanye
bahkan fatwa-fatwa ulama terkini tentang dampak dari ulah-ulah pengkhiatan dalam
pengelolaan negara dan kekuasaan nyaris tiada. Malah yang terjadi adalah 'pembelaan'
kepada koruptor4). Seharusnya kita mengingat kembali apa yang pernah diungkapkan
oleh oleh AS. Burhan:
”Lewat Musyawarah Nasional (Munas) Nahdlatul Ulama tahun 2002 difatwakan bahwa
koruptor yang meninggal dunia tak perlu dishalati sebelum uang atau harta hasil
korupsinya dikembalikan. Dalam pandangan Islam, menurut alim ulama NU, ghulul
(korupsi) merupakan pengkhianatan berat terhadap amanat rakyat. Begitu juga perihal
hibah yang diterima pejabat, tindakan ini dinilai haram karena termasuk kategori korupsi
dan sebagai risywah (suap), dan itu bertentangan dengan sumpah jabatan5).
Kampanye demikian tertidur lelap dalam hiruk pikuk SI kita. Bila memang kita serius
untuk melaksanakan SI, maka menjadi arogan ketika ranah privat yang terus dijadikan
wilayah syariat itu, sedangkan ranah publik yang bersentuhan dengan elit dan
pengelolaan kekuasaan dilupakan. Syariat Islam sudah saatnya juga harus diarahkan
bagaimana pengelolaan anggaran (uang) di Aceh yang kian besar dapat dikelola
dengan amanah, tanpa korupsi?
Cambuk yang sering diarahkan ke punggung rakyat sudah saatnya pula diarahkan
kepada kinerja parlemen dalam melaksanakan kewajibannya untuk rakyat. Tidak bolos
dan tidak tidur waktu sidang di gedung dewan. Mengetuk pintu hati wakil rakyat untuk
bekerja keras guna melahirkan legislasi dan budgeting yang memihak untuk rakyat.
Tidak 'bermain-main' dalam melahirkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang terus terlambat dan bermasalah. Karena anggaran adalah hak rakyat.
Mempermainkan hak-hak rakyat adalah kezaliman, dan SI sangat menentang
kezaliman, bukan?
Hal yang sama harus diarahkan pula kepada eksekutif (para pejabat negara) yang digaji
oleh rakyat. Ketika pejabat ingkar dengan kewajibannya, maka sebenarnya ia juga telah
melanggar amanah dari rakyat. Di saat pelayan publik sebagai tanggung jawab birokrasi
menjadi bagian dari birojasa, juga tak dapat dipisahkan dari pelanggaran nilai syariat.
Apakah ini tidak termasuk dalam kampanye nilai-nilai SI di Aceh?
Tentu kita bakal terkesima dengan gaya pemerintahan Cina yang begitu konsisten
melawan korupsi. Sebuah negeri tanpa mendeklarasikan dirinya sebagai negeri yang
bersyariat Islam! Tetapi genderang perang korupsi yang dimulai sejak 1998 di bawah
PM Zhu Rongji, tanpa (mereka) sadari telah menjalankan nilai-nilai syariat. Ketika
pelantikannya, PM baru itu mengatakan; ”untuk melenyapkan korupsi, saya menyiapkan
100 peti mati, 99 untuk para koruptor dan 1 untuk saya bila saya berbuat yang sama”.
Bagi Indonesia (apalagi Aceh), kata-kata tersebut adalah pemanis bibir di awal
menjalankan sebuah kekuasaan. Tetapi tidak dengan PM Zhu Rongji yang sadar betul
jika negerinya adalah lumbung koruptor saat itu. Rakyat Cina kemudian dibuat terpana
ketika Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang-ging (Maret 2000) setelah terbukti di
pengadilan menerima suap sekitar 600.000 dollar AS, dieksekusi mati karena korupsi.
Deputi Walikota Leshan (yakni Li Yushu) juga bernasib sama karena menerima suap.6)
Dua pejabat kelas kakap di Cina itu adalah korban dari konsistensi pemberantasan
korupsi yang diusung oleh Pemerintahan Cina yang sangat berbeda dengan negeri kita.
Dan Hu Chang-ging bersama Li Yushu adalah bagian kecil dari 4.300 pejabat di Cina
yang telah dieksekusi karena korupsi!
Memang, Cina melawan korupsi tak hanya dengan tangan konstitusi melainkan sampai
dengan membangun sebuah mesum yang berisikan peristiwa dan dokumen yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di negeri bambu itu. Meseum itu
dimaksudkan untuk mengingatkan rakyat Cina bila korupsi begitu berbahaya yang dapat
menghancurkan masa depan Cina di mata dunia. Jelas bahwa membangun karakter
bangsa yang anti korupsi tak ditinggalkan begitu saja oleh Cina.
Adakah kita yang bangga dengan SI bertanya mengapa Cina dan negara-negara yang
divonis non-muslim lainnya berhasil menekan korupsi? Pejabat di Cina segera
meletakkan jabatan publik ketika tangannya berlumuran 'dosa politik', bahkan ada yang
bunuh diri karena tidak sanggup menanggung malu kepada rakyat! Padahal mereka
tanpa SI? Berbeda dengan negeri kita, para pejabat tetap masih tersenyum, merasa
tidak bersalah dan mempertahankan kekuasan meskipun 'tangannya' telah berlumuran
'korupsi'.
Lalu, bagaimana strategi yang kiranya dapat dilakukan di Aceh dengan menjadikan SI
sebagai payungnya? Membangun semangat yang khas (berbeda dengan daerah,
bahkan negara lain) dalam melawan korupsi di Aceh.
Boro-boro berharap perubahan pasca bencana, yang terjadi malah sebaliknya, korupsi
kian mewabah dalam hidangan rehabilitasi dan rekonstruksi kita. Prilaku manipulatif,
tidak jujur dan dusta kian kambuh dari level pejabat hingga rakyat biasa. Bagaimana
Aceh dengan SI yang ada mampu melakukan dekonstruksi budaya yang selama ini
cenderung membuka celah (tolerasi) yang cukup tinggi terjadinya korupsi?
Bagaimana kita dapat menjawab ini kepada dunia? Berhasilkah kita mengubah wajah
pendidikan Aceh yang lebih bermoral dan membentuk generasi baru yang tak toleran
dengan prilaku korupsi? Adakah muatan-muatan baru dalam pendidikan kita yang
membuka peluang perubahan mentalitas produk pendidikan Aceh? Atau kita kembali
keliru dalam memahami bahwa SI dalam pendidikan yang hanya sekedar ingin
memisahkan siswa laki-laki dengan siswa perempuan? Sebatas itukah SI?
Nyaris kampanye pemberlakuan SI berhenti seputar (KMK) alias khalwat, maisir dan
khamar. Akibatnya yang ada dalam benak masyakat Aceh adalah bicara SI adalah
bicara cambuk kepada pelaku KMK! Itu pun hanya untuk kalangan yang tidak mampu
memberikan 'perlawanan'. Buktinya, masih ada pejabat yang tertangkap basah
melakukan KMK, belum juga dilakukan 'eksekusi' sebagaimana mestinya.
Tetapi yang dibutuhkan Aceh hari ini adalah konsistensi Pemerintah Daerah (bersama
Parlemen) dan aparatur penegak hukum menjalankan UU N0.31 tahun 1999 jo. UU No
20 tahun 2001 tersebut? Dan akan sangat menarik ketika UU ini dikolaborasikan dengan
kampanye pemberlakuan SI di Aceh. Syariat Islam harus mendorong perlunya
perencanaan dan penyusunan anggaran publik (APBA/APBK) yang transparan, pro
rakyat, rasional, taat hukum dan menutup peluang terjadinya korupsi. Jelas, SI yang
simbolistik itu tidak akan berani diarahkan ke gedung wakil rakyat dan ke pendopo dan
meuligoe8). Posisi SI yang setengah hati tidak akan berani menggedor pintu parlemen
dan para penguasa agar bekerja sesuai dengan janji politiknya kepada rakyat.
Tidak ada pilihan lain kecuali SI juga harus terus didorong untuk menumbuhkan
pemahaman tentang korupsi secara lebih luas. Karena dalam kacamata Islam, korupsi
tak sekedar materi dan merugikan keuangan negara, melainkan lebih jauh dari itu.
Konsep seperti amanah, tanggung jawab, jujur, dan tidak khianat, harus menjadi bagian
kerja-kerja implementatif dari SI di Aceh. Dalam skala yang lebih besar, pemberlakuan
SI harus tampil berani untuk mendorong partai politik dan segala prilaku politisi yang
mengedepankan nilai-nilai keislaman. Pertanyaannya, sudahkah syariat Islam kita
menyentuh partai politik dan prilaku elitenya agar berpolitik secara benar?
Penutup
Sejatinya kita semua bertanggungjawab untuk 'meluruskan' kembali arah perahu syariat
Islam di Aceh. Tantangannya adalah bagaimana ke depan syariat ini mampu
dipraktikkan dalam konsep kemakmuran bagi publik dengan menekankan angka korupsi
yang kian membumbung tinggi? Menginternalisasikan konsep SI dalam darah dan nafas
jalannya roda pemerintahan yang ada sehingga amanah dan anti korupsi.
Kita semua harus mendalami dan kembali membaca sejarah masa lalu. Korupsi telah
lahir searah dengan peradaban manusia. Di zaman Rasulullah hingga para sahabat pun
benih korupsi telah muncul seperti 'penyimpangan' dalam persoalan harta rampasan
perang. Tinggal bagaimana pemberlakuan SI di Aceh dikemas kembali sebagaimana
era emas peradaban Islam yang dimodifikasi sehingga up date. Tanpa menggali kembali
semangat dan nilai-nilai anti korupsi dalam ajaran Islam (sebagaimana telah dipratikkan
di zaman keemasan Islam itu) maka rakyat akan terus bertanya, kepada siapa
sesungguhnya SI ini hanya ingin ditegakkan?
Ingatlah, bagaimana pemikiran Ibnu Khaldun9) ketika memberikan nasehat kepada raja
saat itu. ”Syariat tidak dapat diimplementasikan kecuali dengan dukungan sebuah
kekuasaan secara serius. Sebaliknya, kekuasaan (kedaulatan) tidak akan dapat
dipertahankan kecuali dengan mengimplementasi syariat secara benar pula”. Artinya,
Aceh punya peluang dan harapan publik masih ada. Tinggal bagaimana SI
diimplementasikan secara sungguh-sungguh, bukan setengah hati (penguasa) belaka.
Adakah kekuasaan yang ada juga mendukung secara serius pembelakuan SI ini? Salah
kaprah apabila penegakan SI hanya 'dibebankan' kepada Dinas Syariat Islam bersama
pasukan WH-nya! Bila ini yang terjadi, lengkap sudah ”setengah hatinya” formalisasi SI
di Aceh! Dan jangan pernah berharap korupsi akan divonis ”haram” dalam SI yang
setengah hati, konon lagi atas dasar kepentingan elite politik belaka. [AAM]
Catatan Kaki:
Tulisan ini adalah bagian dari makalah penulis yang disampaikan dalam diskusi di
1)
Aceh Institute dengan tema ”Syariat Islam, Korupsi dan Kesejahteraan Sosial”, 22
Februari 2007. Semula judul makalah tersebut adalah Syariat Islam Dan Korupsi di
Aceh.
2)
Adalah Alumni Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.
Semasa studi aktif di BEM FE Unsyiah dengan posisi sebagai Ketua Bidang Litbang
(2003) dan Sekretaris Umum (2004). Kini dipercayakan sebagai Manager Monitoring
Parlemen Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh. Sebuah LSM yang bergerak pada isu
anti korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik di Aceh.
3)
Hal demikian, menurut saya pernah dialami oleh Yayasan Insan Cita Madani (YICM).
Sebuah LSM di Aceh yang fokus pada isu SI ini pernah membuat polling di media massa.
Polling tersebut, menurut hemat penulis untuk menghimpun pendapat masyarakat di
Aceh tentang pemberlakuan SI selama ini. Kegiatan YICM tersebut secara tidak
langsung diberi stempel sebagai LSM yang berpotensi ”menggangu” jalannya
implementasi SI di Aceh. Dan tidak sedikit para tokoh kritis (terutama dari akademisi
dan LSM) yang banyak menyorot persoalan pemberlakuan SI sepertinya tidak
mendapatkan ”tempat” yang nyaman dalam ruang diskusi di Aceh.
4)
Lihat kembali tulisan saya dengan judul ”Koruptor Tak Perlu Dibela” di
www.acehinstitute.org.
5)
AS. Burhan, hal 118 dalam ”Melawan Korupsi Dari Aceh Sampai Papua”, (2006).
Tulisan beliau dalam buku ini berjudul ”Ketika Kiai Mengontrol Anggaran Daerah.
6)
Tim Editor Kompas, ”Belajar Dari Cina...”, dalam buku ”Surga Para Koruptor”,
(Kompas, 2004) sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Syamsul Anwar, dkk dalam buku
”Fikih Anti Korupsi, Perspektif Ulama Muhammadiyah, (2006) hal 106-107.
7)
Di Aceh, fenomena ini begitu kental terjadi. Masyarakat kita, seiring dengan
pemberlakuan SI, semakin sulit dikendalikan ketika melihat pasangan muda-mudi
melakukan khalwat. Masyarakat menangkap dan mengeroyoknya sehingga korban
terluka. Tindakan demikian sangat berbeda dilakukan oleh masyarakat kepada mereka
yang telah melakukan korupsi dan pengkhianatan/tidak jujur dengan amanah publik.
8)
Pendopo adalah sebutan untuk tempat tinggalnya kepala daerah (bupati/walikota),
level kepemimpinan kabupaten/kota di Aceh. Sedangkan meuligoe merupakan sebutan
khas di Aceh untuk tempat kediaman seorang gubernur/wakil gubernur.
9)
Ibnu Khaldun adalah pemikir muslim yang ulung (1406 M). Statemen tersebut terdapat
dalam kitabnya yang cukup populer yaitu ”Muqaddimah” sebagaimana dikutip oleh Dr.
M. Umer Chapra dalam bukunya ”Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam,
(2001) hal 126.
http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=111:syariat-
islam-setengah-hati-dalam-wabah-korupsi-di-aceh-1&catid=22:demokratisasi-dan-
transparansi&Itemid=34