You are on page 1of 108

HUBUNGAN PEMBERIAN PENDIDIKAN SEKS SEJAK DINI

DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA DI SMA


NEGERI 13 PANDEGLANG TAHUN 2009

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh ujian Sarjana Pada Program Studi Ilmu Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan Serang

Disusun Oleh:
SUYANTO
NIM. A.05.1.0063

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FALETEHAN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SERANG-BANTEN
2009
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FALETEHAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
Skripsi September 2009

Suyanto

Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual


Pada Remaja Di SMA Negeri 13 Pandeglang Tahun 2009

xv + 92 halaman + 6 tabel + 1 gambar + 19 lampiran

ABSTRAK

Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah perilaku
yang menyimpang, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang
tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular
seksual, depresi dan perasaan berdosa. Hasil pra survey pada 20 orang siswa
diketahui bahwa 8 (40%) siswa mengetahui arti pentingnya pendidikan seks,
sedangkan 12 (60%) siswa menyatakan belum pernah mendapatkan pendidikan
seks dari sejak dini. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui apakah
ada hubungan pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada
remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang Tahun 2009. Pada penelitian ini metode
yang digunakan bersifat kuantitatif dengan menggunakan pendekaran cross
sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja siswa dan siswi SMA
Negeri 13 Pandeglang yang berjumlah 208 siswa, sedangkan sampel dalam
penelitian ini berjumlah 66 orang, metode pengumpulan data interview yang
mengacu kepada kuisioner. Dari hasil uji statistik chi square diperoleh hasil p-
value 0,027 dengan menggunakan nilai derajat 95 % taraf kebebasan α p-value <
0,05, maka ada hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak dini dengan
perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang Tahun 2009.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara
hubungan pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada
remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang Tahun 2009. Di harapkan kepada petugas
kesehatan dapat mengadakan penyuluhan-penyuluhan pada remaja khususnya
pendidikan seks sejak dini yang dapat mengakibatkan perilaku seks yang baik
pada remaja.

Daftar Pustaka: 24 (2001-2009)


KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohim

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

judul “Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku

Seksual Pada Remaja Di SMA Negeri 13 Pandeglang Tahun 2009”.

Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada junjungan Nabi besar kita

Muhammad SAW beserta para sahabat dan keluarganya yang membawa kita

sebagai umat-Nya ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Penyusunan skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat akademis dalam rangka

menyelesaikan Studi S1 Program Studi Ilmu Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Faletehan Serang.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak sekali menemui hambatan dan

kesulitan, namun berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak, maka

hambatan tersebut dapat teratasi dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Bambang Kuntarto, S.Kp. M.Kes. Sebagai Ketua STIKes Faletehan

Serang.
2. Ibu Milawati Lusiani. S.Kp. M.Kes, sebagai Ketua Jurusan Program Studi

Ilmu Keperawatan dan juga selaku Pembibing Utama.

3. H. Dadang Rochman S.Kp, selaku Pembimbing Kedua dalam penulisan

skripsi.

4. Bpk. Asep Erma Setiawan, S.Pd, yang telah memberikan izin untuk

melakukan penelitian di SMA Negeri 13 Pandeglang.

5. Ibu Dra. Hj. Lilis Lismunah, MMpd, selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 13

Pandeglang yang telah mengizinkan penulis untuk kegiatan penelitian.

6. Bpk. Endang Rukmana, S.K.H, yang telah membentu dalam proses penelitian.

7. Bpk. Drs. Aminudin yang telah bersedia untuk menjadi menjadi penguji

lapangan.

8. Dedih Nuryatna, S.Kp, sebagai Pembimbing Akademik Program Studi Ilmu

Keperawatan.

9. Seluruh Dosen, khususnya yang berada di lingkungan jurusan Program Studi

Ilmu Keperawatan STIKes Faletehan Serang.

10. Ibu Husnul Khotimah, S.Ag dan Mas Eko Heri Dermawan A.Md yang telah

membantu dan meminjamkan buku.

11. Adik-adiku Sugiyarto dan juga Sudarmanto yang aku sayang.

12. Bapak dan ibu yang selalu memberikan dorongan baik dari segi moril maupun

materil serta doa-doa dari bapak dan ibu yang selalu mengiringi saya sehingga

saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan sempurna.

13. Kepada teman-teman seperjuangan, Asep, Dede, Subhan, Isman, Aze, Wawan,

Yusri, Syukur, Roni, terutama Ardi yang selalu bisa untuk diajak kerja sama

dan bisa ngertiin keadaan teman.


14. Kepada anak-anak kost-kostan, Novi, Ika, Dini, Nurjannah, Euis, Ien, Rini,

Yulia yang selalu memberi dukungan penuh, baik dalam masalah pribadi

maupun masalah yang lainnya.

15. Susi, Dina, dan juga Asroti, penulis mengucapkan terima kasih karena berkat

dukungannya penulis bisa menghadapi masalah dengan hati yang sabar dan

selalu semangat.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak sekali kekurangan

oleh karena penulis mengharapkan kritik serta saran yang sifatnya membangun.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca pada

umumnya.

Serang, Agustus 2009

Penyusun

DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv

DAFTAR TEBEL ............................................................................................. xiii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv


DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ................................................................. 5

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5

1. Tujuan Umum .............................................................................

2. Tujuan Khusus ............................................................................

D. Manfaat Penelitian ................................................................... 6

1. Institusi STIKes Faletehan .........................................................

2. SMA Negeri 13 Pandeglang .......................................................

3. Peneliti ........................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemberian .................................................................... 8

B. Pendidikan.................................................................... 8

1. Konsep Pendidikan Kesehatan .............................. 8

2. Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan ................. 9


a. Promosi Kesehatan (Health Promotion)

.................................................................................................

10

b. Perlindungan Khusus (Specifik Protection)

.................................................................................................

10

c. Diagnosis Dini dann Pengobatan Segera (Early

Diagnosis And Prompt Treatment) .................................. 10

d. Pembatasan Cacat (Disability Limitation)

.................................................................................................

11

e. Rehabilitasi (Rehabilitation)

.................................................................................................

11

1. Peranan Pendidikan Kesehatan .............................. 11

A. Usia Dini ...................................................................... 12

B. Seksual ......................................................................... 15

1. Definisi Seksual ..................................................... 15

2. Bentuk Perilaku Seksual ........................................ 16

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual 17

a. Faktor Fisik ...................................................................... 17

b. Faktor Hubungan .............................................................. 18

c. Faktor Gaya Hidup ........................................................... 18

d. Faktor Harga Diri ............................................................. 18


A. Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada

Remaja ......................................................................................... 19

1. Pendidikan seks ............................................................................

19

a. Pengertian

.................................................................................................

19

b. Pendidikan Seks Sejak Dini

.................................................................................................

20

c. Perlunya Pendidikan Seks

.................................................................................................

22

1. Perilaku .........................................................................................

23

a. Pengertian Perilaku

.................................................................................................

23

b. Perilaku Seksual

.................................................................................................

26

1) Perilaku Seksual Normal ........................... 26

2) Perilaku Seksual Normal dan Bertanggung Jawab

27
3) Perilaku Seksual Abnormal ....................... 27

a. Perilaku Menyimpang Pada Remaja

.................................................................................................

28

1) Onani

...........................................................................................

28

2) Homoseksual (Homosexuality)

...........................................................................................

28

3) Pelacuran

...........................................................................................

30

4) Pornografi dan Pornoaksi

...........................................................................................

32

5) Bestiality

...........................................................................................

32

6) Gerontoseksual

...........................................................................................

32
7) Incest

...........................................................................................

33

1. Remaja ..........................................................................................

33

a. Pengertian Remaja

.................................................................................................

33

b. Perkembangan Remaja dan Ciri-Cirinya

.................................................................................................

36

1) Masa Remaja Awal (10-12 Tahun) ...... 37

2) Masa Remaja Tengah (13-15 Tahun) . . 37

3) Masa Remaja Akhir (16-19 Tahun) ..... 37

a. Tugas-Tugas Perkembangan Masa Remaja

.................................................................................................

38

b. Perubahan Fisik Pada Masa Remaja

.................................................................................................

39

1) Tanda-Tanda Seks Primer .......................................... 39

2) Tanda-Tanda Seks Sekunder ...................................... 40

a) Pada Laki-Laki ..................................................... 40

b) Pada Wanita ......................................................... 41


A. Kesehatan Reproduksi ................................................. 42

1. Definisi Kesehatan Reproduksi ....................... 42

2. Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi ........... 44

3. Hak-Hak Reproduksi ....................................... 45

A. Pemyakit Menular Seksual (PMS) .............................. 46

1. Pengertian Penyakit Menular Seksual (PMS) . 46

2. Penyakit Menular Seksual (PMS) Yang Disebabkan Oleh

Organisme dan Bakteri ........................................................... 47

a. Infeksi Human Immunodeficiency (HIV)

.................................................................................................

47

b. Gonorrhea

.................................................................................................

47

c. Infeksi Chlamidia

.................................................................................................

48

d. Siffilis

.................................................................................................

49

e. Vaginitis

.................................................................................................

49
f. Candidialis

.................................................................................................

50

g. Chancroid

.................................................................................................

51

h. Granuloma inguinale

.................................................................................................

51

i. Infeksi Panggul

.................................................................................................

52

1) Intralumen ................................................. 52

2) Limfatik ...................................................... 53

3) Hematogen ................................................. 53

1. Penyakit Menular Seksual Yang Disebabkan Oleh Virus 53

a. Herpes .................................................. 53

b. Viral Hepatitis ..................................... 54

c. Genital Warts ....................................... 55

1. Penyakit Menular Seksual Yang Disebabkan Oleh Parasit

57

a. Trichomoniasis

.................................................................................................

57
b. Pediculosis

.................................................................................................

58

1. Ancaman Penyakit Menular Seksual Pada Remaja 59

BAB III KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep ......................................................................... 61

B. Definisi Konseptual ...................................................................... 61

1. Pendidikan Seks ............................................... 61

2. Perilaku Seks ................................................... 62

A. Definisi Operasional .................................................................... 62

B. Hipotesa ....................................................................................... 63

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian .......................................................................... 64

B. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... 64

C. Variabel Penelitian ....................................................................... 65

1. Variabel Dependent ................................................................ 65

2. Variabel Independent ............................................................. 65

A. Populasi dan Sampel .................................................................... 65

1. Populasi .................................................................................. 65

2. Sampel .................................................................................... 65

A. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 67

1. Kuisioner ................................................................................ 67
2. Wawancara ............................................................................. 68

3. Rating Scale ........................................................................... 68

A. Instrumen Penelitian .................................................................... 68

1. Pemberian Pendidikan Seks ................................................... 68

2. Perilaku Seks .......................................................................... 69

A. Uji Validitas dan Reliabilitas ....................................................... 69

1. Validitas ................................................................................. 69

2. Reliabilitas ............................................................................. 70

A. Pengolahan Data .......................................................................... 70

1. Editing .................................................................................... 72

2. Coding .................................................................................... 72

3. Processing .............................................................................. 72

4. Cleaning ................................................................................. 72

A. Teknik Analisa Data ..................................................................... 73

1. Analisa Univariat ................................................................... 73

a. Variabel Pemberian Pendidikan Seks

.................................................................................................

74

b. Variabel Perilaku Seks

.................................................................................................

74

1. Analisa Bivariat ...................................................................... 76

A. Prosedur Penelitian ...................................................................... 76


BAB V HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian ............................................................................ 78

1.Analisa Univariat

.......................................................................................................

78

a. Gambaran Pemberian Pendidikan Seks

.................................................................................................

78

b. Gambaran Perilaku Seks

.................................................................................................

79

1.Analisa Bivariat

.......................................................................................................

79

a. Hubungan Antara Pemberian Pendidikan Seks Dengan

Perilaku Seks..................................................................... 79

BAB VI PEMBAHASAN

A. Gambaran Pemberian Pendidikan Seks ....................................... 81

B. Gambaran Perilaku Seksual ......................................................... 82

C. Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan

Perilaku Seksual ........................................................................... 84

BAB VII PENUTUP


A. Kesimpulan .................................................................................. 87

B. Saran ............................................................................................. 88

1. Bagi Institusi STIKes Faletehan

.......................................................................................................

88

2. Bagi Institusi Sekolah

.......................................................................................................

89

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

.......................................................................................................

89

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL

Tabel. 3.1 Definisi Operasional .......................................................................... 63

Tabel. 4.1 Instrumen Penelitian Pendidikan Seks .............................................. 69

Tabel. 4.2 Instrument Perilaku Seks ................................................................... 70

Tabel. 5.1 Distribusi Responden Menurut Pemberian Pendidikan Seks Sejak

Dini Di SMA Negeri 13 Pandeglang ................................................. 79

Tabel. 5.2 Distribusi Responden Menurut Perilaku Seksual Di SMA Negeri 13

Pandeglang Tahun 2009..................................................................... 80

Tabel. 5.3 Hubungan Antara Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan

Perilaku Seksual Pada Remaja Di SMA Negeri 13 Pandeglang

Tahun 2009 ........................................................................................ 80


DAFTAR GAMBAR

Gambar. 3.1 Kerangka Konsep Pada Hubungan Pemberian Pendidikan Seks

Sejak Dini Pada Remaja Dengan Perilaku Seks ............................ 62


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Time Schedule Kegiatan Skripsi

Lampiran 2 Kartu Bimbingan Skripsi Pembimbing 1

Lampiran 3 Kartu Bimbingan Skripsi Pembimbing 2

Lampiran 4 Permohonan Studi Pendahuluan

Lampiran 5 Keterangan Izin Penelitian Pemerintah Kabupaten Pandeglang

Dinas Pendidikan

Lampiran 6 Keterangan Izin Penelitian SMA Negeri 13 Pandeglang

Lampiran 7 Permohonan Uji Kuesioner (Uji Validitas)

Lampiran 8 Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 9 Persetujuan Izin Penelitian

Lampiran 10 Surat Permohonan Izin Untuk Menadi Responden

Lampiran 11 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 12 Kuisioner Penelitian

Lampiran 13 Uji Validitas dan Reliabilitas Pemberian Pendidikan Seks


Lampiran 14 Uji Validitas dan Reliabilitas Perilaku Seksual

Lampiran 15 Tabulasi Data

Lampiran 16 Output Analisa Univariat

Lampiran 17 Output Analisa Bivariat

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sering kali dengan gampang orang mendefinisikan remaja sebagai periode

transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, masa usia belasan tahun, atau

seseorang yang menunjukan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah

terangsang perasaannya, dan sebagainya. Masalahnya sekarang, kita tidak

pernah berhenti dengan hanya menyatakan bahwa mendefinisikan remaja itu

sulit. Sulit atau mudah, masalah-masalah yang menyangkut kelompok remaja

kian hari kian bertambah. Berbagai tulisan, ceramah, maupun seminar yang

mengupas berbagai segi kehidupan remaja, termasuk kenakalan remaja,

perilaku seksual remaja, dan hubungan remaja dengan orang tuanya,

menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dirasakan oleh masyarakat

(Sarwono, 2007).
Sarwono (2007) menyatakan bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi

pada perkembangan jiwa remaja yang terbesar pengaruhnya adalah

pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya,

mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan

mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh

sehingga menyebabkan mudahnya aktivitas seksual (terutama dikalangan

remaja) dilanjutkan dengan hubungan seks (Sarwono 2007 dan Pasti, 2008).

Hasil penelitian di sejumlah kota besar di Indonesia menunjukkan sekitar 20%

sampai 30% remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks (DUTA, Edisi

No. 230/ Th.XVIII/ September 2006). Maka jangan heran kehamilan pranikah

semakin sering terjadi. Disinyalir jumlah angka (persentase) yang

sesungguhnya jauh lebih besar daripada data yang tercatat (Pasti, 2008).

Berdasarkan sumber dari Hanifah (2000), bahwa beberapa hasil penelitian di

Indonesia menunjukan adanya penurunan batas usia hubungan seks pertama

kali. Menurut Iskandar (1998) sebanyak 18% responden di Jakarta

berhubungan seks pertama di bawah usia 18 tahun dan usia termuda 13 tahun.

Sedangkan menurut Utomo (1998), menyatakan bahwa remaja Manado yang

sudah aktif secara seksual, melakukan hubungan seks pertama pada usia di

bawah 16 tahun sebanyak 56,8% pada remaja pria dan 33,3% pada remaja

putri (Sarwono, 2007).


Dr. Boyke Dian Nugraha, pakar seks dan spesialis Obstetri dan Ginekologi,

menyatakan bahwa penyebabnya antara lain maraknya pengedaran gambar

dan VCD porno, kurangnya pemahaman akan nilai-nilai agama, keliru dalam

memaknai cinta, minimnya pengetahuan remaja tentang seksualitas serta

belum adanya pendidikan seks secara reguler hingga formal di sekolah-

sekolah. Itulah sebabnya informasi tentang makna hakiki cinta dan adanya

kurikulum kesehatan reproduksi di sekolah mutlak di perlukan (Pasti, 2008).

Harus diakui, sampai saat ini di kalangan masyarakat tertentu, bebicara soal

seks masih dianggap masalah yang tabu. Seks belum menjadi wacana publik.

Pro kontra masih saja ada. Oleh karena itu, jarang sekali di jumpai

pembicaraan perihal seks secara terbuka. Namun disisi lain (fakta yang tidak

terbantahkan), masalah seks juga berjalan terus. Untuk itu, sosialisasi

pemahaman tentang makna hakiki cinta dan perlunya kurikulum kesehatan

reproduksi di sekolah sangat perlu sebagai salah satu alternatif yang dapat

ditempuh untuk memfilter perilaku destruktif seksual remaja (Pasti, 2008).

Rasa ingin tahu terhadap masalah seksual pada remaja sangat penting dalam

pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Pada

masa remaja, informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai

diberikan supaya remaja tidak mendapatkan informasi yang salah dari sumber-

sumber yang tidak jelas. Pemberian informasi masalah seksual menjadi

penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang

aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon


dan tidak cukupnya informasi mengenai aktifitas seksual mereka sendiri.

Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja

bila tidak didukung dengan pengetahuan dan informasi yang tepat (Glevinno,

2008).

Pengetahuan remaja tentang seks masih sangat kurang. Faktor ini ditambah

dengan informasi keliru yang diperoleh dari sumber yang salah, seperti mitos

seputar seks, VCD porno, situr porno di internet, dan lainnya akan membuat

pemahaman dan persepsi anak tentang seks menjadi salah. Pendidikan seks

sebenarnya berarti pendidikan seksualitas yaitu suatu pendidikan seksual

dalam arti luas yang meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan seks,

diantaranya aspek biologis, orientasi, nilai sosiokultur dan moral serta

perilaku.

Terlepas dari pro dan kontra pemblokiran situs porno yang sempat marak

diberitakan di berbagai media. Di era globalisasi sekarang ini pengenalan seks

sejak dini dirasa cukup penting, mengingat anak-anak dengan mudah

mendapat informasi dari berbagai media seperti majalah, buku, TV, VCD dan

Internet. Sebagai orang tua, tentunya tidak menginginkan anak-anaknya

mencari pengetahuan tentang seks dengan caranya sendiri seperti mengakses

situs-situs porno atau menonton VCD porno dan lain-lain.

Penelitian ini di fokuskan pada Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak

Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja Di SMA Negeri 13 Pandeglang.

Berdasarkan hasil pra survei dan wawancara tentang pemberian pendidikan


seks dengan perilaku seksual pada remaja yang peneliti lakukan kepada 20

siswa dan siswi dari 208 siswa di SMA Negeri 13 Pandeglang secara

keseluruhan di dapat sebanyak 8 orang mengetahui tentang arti pentingnya

pendidikan seks, dan 12 orang mengatakan belum pernah mendapatkan

informasi tentang pendidikan seks dan mereka mengatakan tabu untuk tidak

membicarakan hal tersebut.

Berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas, maka selanjutnya penulis

tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul “Hubungan

Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada

Remaja Di SMA Negeri 13 Pandeglang Tahun 2009”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam

penelitian ini adalah Bagaimana Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak

Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang

Tahun 2009?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk Mengetahui Hubungan

Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada

Remaja Di SMA Negeri 13 Pandeglang Tahun 2009.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran tentang pemberian pendidikan seks sejak

dini pada remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang tahun 2009.

b. Untuk mengetahui gambaran tentang perilaku seksual pada remaja di

SMA Negeri 13 Pandeglang tahun 2009.

c. Untuk mengetahui hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak

dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 13

Pandeglang tahun 2009.

A. Manfaat Penelitian

1. Institusi STIKes Faletehan

a. Memberikan masukan dan informasi tentang pentingnya pengetahuan

pendidikan seks bagi remaja.

b. Menambah studi kepustakaan tentang pendidikan seks sehingga dapat

dijadikan masukkan dalam penelitian selanjutnya.

1. SMA Negeri 13 Pandeglang

a. Memberikan informasi tentang pendidikan seks sehingga tidak

menimbulkan penyimpangan perilaku seksual pada remaja.


b. Sebagai bahan pengkajian dan pengembangan kurikulum terutama

penilaian tentang pendidikan seks khususnya pada remaja.

1. Peneliti

Untuk peningkatan pengalaman dan wawasan bagi peneliti sendiri dalam

menganalisa hubungan pemberian pendidikan seks sejak dini dengan

perilaku seksual pada remaja, serta sebagai bahan referensi untuk peneliti

selanjutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemberian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, bahwa yang dimaksud

dengan pemberian adalah sesuatu yang diberikan atau sesuatu yang didapat

dari orang lain karena diberi (Diknas, 2005).

B. Pendidikan

1. Konsep Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di dalam

bidang kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan kesehatan

adalah suatu pedagogik praktis atau praktek pendidikan. Oleh sebab itu,

konsep pendidikan kesehatan adalah konsep pendidikan yang di

aplikasikan pada bidang kesehatan. Konsep dasar pendidikan adalah suatu

proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses

pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa,

lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat.

8
Konsep ini berangkat dari suatu asumsi bahwa manusia sebagai makhluk

sosial dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup didalam

masyarakat selalu memerlukan bantuan orang lain yang mempunyai

kelebihan (lebih dewasa, lebih pandai, lebih mampu, lebih tahu dan

sebagainya). Dalam mencapai tujuan tersebut, seorang individu, kelompok

atau masyarakat tidak terlepas dari kegiatan belajar (Notoatmodjo, 2003).

2. Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan

Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi,

antara lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau

aplikasinya dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan. Dari dimensi

sasarannya, pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3

diantaranya:

a. Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu.

b. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok.

c. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas.

Dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung

di berbagai tempat, dengan sendirinya sasarannya berbeda pula, misalnya:

a. Pendidikan kesehatan disekolah, dilakukan disekolah dengan sasaran

murid.
b. Pendidikan kesehatan di rumah sakit, dilakukan di rumah sakit-rumah

sakit dengan sasaran pasien atau keluarga pasien, di Puskesmas dan

sebagainya.

c. Pendidikan kesehatan ditempat-tempat kerja dengan sasaran buruh

atau karyawan yang bersangkutan.

Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat

dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five levels of prevention)

dari Leavel dan Clark, sebagai berikut:

a. Promosi Kesehatan (Health Promotion)

Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam

peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan

hygiene perorangan dan sebagainya.

b. Perlindungan Khusus (Specifik Protection)

Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan

khusus ini pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama dinegara-

negara berkembang. Hal ini karena kesadaran masyarakat tentang

pentingnya imunisai sebagai perlindungan terhadap penyakit pada

dirinya maupun pada anak-anaknya masih rendah.

c. Diagnosis Dini dan Pengobatan Segera (Early Diagnosis and

Prompt Treatment)

Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat

terhadap kesehatan dan penyakit, maka sering sulit mendeteksi

penyakit-penyakit yang terjadi didalam masyarakat, bahkan kadang-


kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan diobati

penyakitnya. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak memperoleh

pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan

sangat diperlukan pada tahap ini.

d. Pembatasan Cacat (Disability Limitation)

Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang

kesehatan dan penyakit, maka sering masyarakat tidak melanjutkan

pengobatannya sampai tuntas. Dengan kata lain mereka tidak

melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang komplit terhadap

penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna dapat

mengakibatkan orang yang bersangkutan cacat atau ketidakmampuan.

e. Rehabilitasi (Rehabilitation)

Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang

menjadi cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang

diperlukan latihan-latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian

dan kesadaran orang tersebut, ia tidak atau segan melakukan latihan-

latihan yang dianjurkan. Disamping itu orang yang cacat setelah

sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke

masyarakat (Notoatmodjo, 2003).

1. Peranan Pendidikan Kesehatan

Semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan

mengacu kepada H. L. Blum. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat


sebagai salah satu negara yang sudah maju Blum menyimpulkan bahwa

lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan.

Kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor

dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling

kecil terhadap status kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

A. Usia Dini

Istilah pembelajar ’usia dini’ dapat ditafsirkan beragam. Istilah ’usia dini’

dapat merujuk pada usia anak-anak. Namun istilah ini dapat pula merujuk

pada bagian dari usia anak-anak. Untuk mendapatkan kesamaan sudut

pandang dalam bahasan pada makalah ini, istilah ’usia dini’ perlu diberi

batasan terlebih dahulu.

Salah satu bentuk kepedulian Pemerintah dan lembaga kenegaraan lain

terhadap anak-anak sebagai generasi penerus bangsa tercermin pada upaya

dengan telah diterbikannya piranti legal formal yang mengatur pengertian

anak dan usia dini. Pada Undang Undang Pelindungan Anak UU PA Bab I

pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan. Sedangkan menurut UU no 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional dalam Bab 1 pasal 1 ayat 14, yang dimaksud anak

usia dini adalah mereka yang berusia antara 0-6 tahun. Batasan tersebut di atas

jelas menegaskan bahwa anak usia dini adalah bagian dari usia anak.
Para ahli di Tufts University merinci 4 kategori, yaitu bayi (0-2), usia dini (2-

6), kanak-kanak (6-13), dan remaja (13-16). Dua kelompok pertama pada

katagori ini mencakup pengertian pembelajar usia dini seperti yang digariskan

dalam UU No 20 tahun 2003. Semetara itu, Scott dan Ytreberg (1990:1)

menyebut batasan usia 5 hingga 11 tahun sebagai pembelajar muda (young

learners). Slattery dan Willis (2001:17) mengajukan 2 kelompok kategorisasi:

pembelajar sangat muda (< 7) dan pembelajar muda (> 7 tahun). Meskipun

tidak menyebut secara eksplisit, kategorisasi terakhir ini mencakup pembelajar

kanak-kanak namun mengesampingkan pembelajar remaja. Apabila

interpretasi ini benar, maka pembelajar muda dalam kategori ini meliputi

mereka yang memiliki usia antara 7-13 tahun. Batasan ini mendekati batasan

yang disebut oleh Scott dan Ytreberg (1990:1).

Dalam diskusi ini yang dimaksud usia dini adalah mereka yang berusia lebih

dari 2 tahun. Bayi, yaitu mereka yang berusia 0-2 tahun, tidak dimasukkan

dalam batasan ini. Dari segi pemerolehan bahasa, penanganan keterbatasan

perkembangan bahasa bayi lebih banyak merupakan ranah ahli-ahli lain selain

praktisi guru, misalnya dokter anak, speech therapist, atau ahli lainnya. Juga,

untuk kepraktisan jangkauan pembahasan dan keteraplikasian pembahasaan

dalam tulisan ini, pengertian pembelajar usia dini secara luwes dapat juga

ditafsirkan pembelajar yang termasuk memiliki usia antara 7-13 tahun.

Dengan batasan ini, yang dimaksud pembelajar usia dini adalah mereka yang

berusia > 2 namun berusia < 13 tahun. Batasan ini sesuai dengan batasan yang
dikemukakan oleh Brumfit, Moon dan Tongue (1991:v). Dalam jenjang

pendidikan batas terendah usia dini dalam pengertian ini ádalah mereka yang

memulai atau duduk di taman kanak-kanak atau kelompok bermain,

sedangkan jenjang pendidikan tertingginya adalah kira-kira mereka yang

duduk di jenjang sekolah dasar kelas enam.

Pendidikan anak usia dini adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa bagi

mereka yang berusia antara 0-6 tahun, yaitu upaya pembinaan yang dilakukan

melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan

perkembangan jasmani rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki

pendidikan lanjut (UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

Bab 1 pasal 1 ayat 14). Bentuk penyelenggaraan pendidikan anak usia dini

dapat dilakukan melalui berbagai cara. Menurut Pasal 28, pendidikan anak

usia dini dapat diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar baik

melalui jalur pendidikan formal, yang dapat berbentuk Taman Kanak-Kanak

(TK), Raudhatul Athfal, atau yang sederajat; non formal, yang dapat

berbentuk Kelompok Bermain (KB) atau Taman Penitipan Anak (TPA) dan

jalur pendidikan informal yang berbentuk pendidikan keluarga atau

pendidikan yang diselenggarakan masyarakat.

Dalam pembahasan pada skripsi ini, pembelajaran bilingual pada pendidikan

anak usia dini dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai modus

pendidikan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 28 tersebut di atas. Namun

demikian, sesuai dengan batasan tentang pengertian usia dini yang digunakan
dalam tulisan ini seperti yang dikemukakan di bagian sebelumnya, pendidikan

setingkat sekolah dasar dapat juga digunakan sebagai modus pembelajaran

bilingual (Paud, 2008).

B. Seksual

1. Definisi Seksual

Menurut Zawid (1994) seksualitas sulit untuk di definisikan karena

seksualitas memiliki aspek kehidupan kita dan diekspresikan melalui

beragam perilaku. Seksualitas bukan semata-mata bagian intrinsik dari

seseorang tetapi juga meluas sampai berhubungan dengan orang lain.

Keintiman dan kebersamaan fisik merupakan kebutuhan sosial dan

biologis sepanjang kehidupan. Kesehatan seksual telah didefinisikan

sebagai pengintegrasian aspek somatik, emosional, intelektual dan sosial

dari kehidupan seksual, dengan cara yang positif memperkaya dan

meningkatkan kepribadian, komunikasi dan cinta. Seks juga digunakan

untuk memberi label jender, baik seseorang itu pria atau wanita .

Pendapat Denney dan Quadagno (1992) dan Zawid (1994) seksualitas

dilain pihak adalah istilah yang lebih luas. Seksualitas berhubungan

dengan bagaimana seseorang mengkomunikasikan perasaan tersebut

kepada orang lain melalui tindakan yang di lakukannya, seperti sentuhan,


ciuman, pelukan, senggama seksual dan melalui perilaku yang lebih halus

seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpelukan dan perbendaraan kata.

2. Bentuk Perilaku Seksual

Transeksual adalah orang yang identitas seksual atau jendernya

berlawanan dengan seks biologinya. Seorang pria mungkin berfikir

tentang dirinya sebagai seorang wanita dalam tubuh wanita. Perasaan

terperangkap seperti ini disebut disforia jender. Para peneliti tidak

memahami dengan jelas sifat atau penyebab dari saling-silang.

Penjelasannya mencakup teori biologis dan pembelajaran sosial. Para

penganut transeksual tidak melihat identitas seksual mereka sebagai suatu

pilihan. Identifikasi mereka tentang diri mereka sebagai wanita dan pria,

seksual dan sosial adalah jelas dan persisten dan seiring sejak masa kanak-

kanak dini.

Menurut Seidel (1991), transvestit adalah pria heteroseksual yang secara

periode berpakaian seperti wanita untuk pemuasan psikologis dan seksual.

Transvestit umumnya melakukan hal ini dalam lingkup pribadi dan

perilaku mereka kadang bersifat rahasia bahkan dari orang yang sangat

dekat dengan mereka sekalipun.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual


Kolodny, Master dan Johnson (1979) menyatakan bahwa keinginan

seksual beragam diantaranya individu, sebagian orang menginginkan dan

menikmati seks setiap hari. Sementara yang lainnya menginginkan seks

hanya sekali satu bulan dan yang lainnya lagi tidak memiliki keinginan

seks sama sekali dan cukup merasa nyaman dengan fakta tersebut.

Keinginan seksual menjadi masalah jika klien semata-mata menginginkan

untuk melakukannya pada beberapa norma kultur atau jika perbedaan

dalam keinginan seksual dari pasangan menyebabkan konflik.

a. Faktor Fisik

Klien dapat mengalami penurunan keinginan seksual karena alasan

fisik. Aktivitas seksual dapat menyebabkan nyeri dan

ketidaknyamanan. Bahkan hanya membayangkan bahwa seks dapat

menyakitkan sudah menurunkan keinginan seks. Penyakit minor dan

keletihan adalah alasan seseorang untuk tidak merasakan seksual. Citra

tubuh yang buruk, terutama jika diperburuk oleh perasaan penolakan

atau pembedahan yang mengubah bentuk tubuh, dapat menyebabkan

klien kehilangan perasaannya secara seksual.

b. Faktor Hubungan

Masalah dalam berhubungan dengan mengalihkan perhatian seseorang

dari keinginan seks. Setelah kemesraan hubungan telah mundur,

pasangan mungkin mendapati bahwa mereka dihadapkan pada

perbedaan yang sangat besar dalam nilai atau gaya hidup mereka.

Keterampilan seperti ini memainkan peran yang sangat penting ketika


menghadapi keinginan seksual dalam berhubungan. Penurunan minat

dalam aktifitas seksual dapat mengakibatkan ansietas hanya karena

harus mengatakan kepada pasangan perilaku seksual apa-apa yang

diterima atau menyenangkan.

c. Faktor Gaya Hidup

Faktor gaya hidup, seperti penggunaan atau penyalahgunaan alkohol

dapat mempengaruhi keinginan seksual. Namun demikian, banyak

bukti sekarang ini menunjukkan bahwa efek negatif alkohol terhadap

seksual jauh melebihi euforia (perasaan yang berlebihan) yang

mungkin dihasilnya. Pada awalanya menemukan waktu yang tepat

untuk aktivitas seksual adalah faktor gaya hidup. Klien seperti ini

sering mengungkapkan bahwa mereka perlu waktu untuk menyendiri,

berfikir dan istirahat sebagai hal yang lebih penting dari seks.

d. Faktor Harga Diri

Tingkat harga diri juga dapat menyebabkan konflik yang melibatkan

seksualitas. Jika harga diri seksual tidak pernah diperlihatkan dengan

mengembangkan perasaan yang kuat tentang seksual diri dan dengan

mempelajari keterampilan seksual, seksual mungkin menyebabkan

perasaan negatif atau menyebabkan tekanan perasaan seksual. Harga

diri seksual dapat menurun didalam banyak cara, yaitu perkosaan,

inses dan penganiayaan fisik atau emosi meninggalkan luka yang

dalam (Herdiana, 2007).

A. Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja


1. Pendidikan Seks

a. Pengertian

Pendidikan seks dapat diartikan sebagai penerangan tentang anatomi

fisiologi seks manusia, bahaya penyakit kelamin. Pendidikan seks

adalah membimbing serta mengasuh seseorang agar mengerti tentang

arti, fungsi dan tujuan seks, sehingga ia dapat menyalurkan secara

baik, benar dan legal. Pendidikan seks dapat dibedakan antara sex

instruction dan education in sexuality. Sex instruction ialah

penerangan mengenai anatomi, seperti pertumbuhan rambut pada

ketiak, dan mengenai biologi dari reproduksi, yaitu proses berkembang

biak melalui hubungan untuk mempertahankan jenisnya. Termasuk

didalamnya pembinaan keluarga dan metode kontrasepsi dalam

mencegah terjadinya kehamilan. Education in sexuality meliputi

bidang-bidang etika, moral, fisiologi, ekonomi dan pengetahuan

lainnya yang di butuhkan agar seseorang dapat memahami dirinya

sendiri sebagai individual seksual, serta mengadakan hubungan

interpersonal yang baik.

Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau

mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-

dampak negatif yang tidak di harapkan, seperti kehamilan yang tidak


di rencanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa

(Sarwono, 2007).

b. Pendidikan Seks Sejak Dini

Secara garis besar, Boyke membagi pendidikan seks bagi anak

berdasarkan usia ke dalam empat tahap yakni usia 1-4 tahun, usia 5-7

tahun, 8-10 tahun dan usia 10-12 tahun.

Pada usia 1 sampai 4 tahun, orangtua disarankan mulai

memperkenalkan anatomi tubuh, termasuk alat genital. Perlu juga

ditekankan pada anak bahwa setiap orang adalah ciptaan Tuhan yang

unik dan berbeda satu sama lain. ”Kenalkan, ini mata, ini kaki, ini

vagina”. Itu tidak apa-apa. Terangkan bahwa anak laki-laki dan

perempuan diciptakan Tuhan berbeda, masing-masing dengan

keunikannya sendiri.

Sedangkan pada usia 5 sampai 7 tahun, rasa ingin tahu anak tentang

aspek seksual biasanya meningkat. Mereka akan menanyakan kenapa

temannya memiliki organ-organ yang berbeda dengan dirinya sendiri.

Rasa ingin tahu itu merupakan hal yang wajar. Karena itu, orang tua

diharapkan bersikap sabar dan komunikatif, menjelaskan hal-hal yang

ingin diketahui anak. Terangkan, bedanya anak laki-laki dan


perempuan. Orang tua harus dengan sabar memberikan penjelasan

pada anak.

Selanjutnya, pada usia 8 sampai 10 tahun, anak sudah mampu

membedakan dan mengenali hubungan sebab akibat. Pada fase ini,

orang tua sudah bisa menerangkan secara sederhana proses reproduksi,

misalnya tentang sel telur dan sperma yang jika bertemu akan

membentuk bayi.

Pada usia 11 sampai 13 tahun, anak sudah mulai memasuki pubertas.

Ia mulai mengalami perubahan fisik, dan mulai tertarik pada lawan

jenisnya. Ia juga sedang giat mengeksplorasi diri. Anak perempuan,

misalnya, akan mulai mencoba-coba alat make up ibunya. Pada tahap

inilah, menurut Boyke, peran orang tua amat sangat penting. Orang tua

harus menerima perubahan diri anaknya sebagai bagian yang wajar

dari pertumbuhan seorang anak-anak menuju tahap dewasa dan tidak

memandangnya sebagai ketidakpantasan atau hal yang perlu disangkal.

c. Perlunya Pendidikan Seks

Perbedaan pandangan tentang perlunya pendidikan seks bagi remaja

nyata dari penelitian WHO (Word Health, 1979) di enam belas negara

Eropa, yang hasilnya ialah sebagai berikut:

1) 5 negara mewajibkannya di setiap sekolah,


2) 6 negara menerima dan mensahkannya dengan undang-undang

tetapi tidak mengharuskannya di setiap sekolah,

3) 2 negara secara umum menerima pendidikan seks, tetapi tidak

mengukuhkannya dengan undang-undang, dan

4) 3 negara tidak melarang, tetapi juga tidak mengembangkannya.

Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain di ajukan

oleh Zelnik dan Kim (1982) yang menyatakan bahwa remaja yang

telah mendapat pendidikan seks tidak cenderung lebih sering

melakukan hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah mendapat

pendidikan seks cenderung lebih banyak mengalami kehamilan yang

tidak di kehendaki. (Sarwono, 2007).

Peneliti berpendapat bahwa pendidikan seks bukanlah penerangan

tentang seks semata-mata. Pendidikan seks, sebagaimana pendidikan

lain pada umumnya seperti pendidikan agama, atau pendidikan Moral

Pancasila, yang mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik ke

subjek-didik. Dengan demikian, informasi tentang seks diberikan

secara kontekstual, yaitu dalam kaitannya dengan norma-norma yang

berlaku dalam masyarakat (Sarwono, 2007).

Pendidikan seks yang kontekstual ini jadinya mempunyai ruang

lingkup yang luas. Tidak terbatas pada perilaku hubungan seks semata
tetapi menyangkut pula hal-hal lain, seperti peran pria dan wanita

dalam anak-anak dan keluarga, dan sebagainya (Sarwono, 2007).

1. Perilaku

a. Pengertian Perilaku

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang

dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak

luar. Skiner seorang ahli psikologi mengemukakan bahwa perilaku

merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar. Perilaku ini terjadi melalui proses adanya

stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut

merespon. Skiner membedakan adanya dua respons, diantaranya

adalah:

1) Respondent Respons, merupakan respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini

disebut elicting stimulation karena menimbulkan respons-respons

yang relatif tetap.

2) Operant Respons, merupakan respons yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang

tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau

reinforcer, karena memperkuat respons.


Seperti telah dijelaskan diatas, sebagian besar perilaku manusia adalah

operant response. Oleh sebab itu, untuk membentuk jenis respon atau

perilaku perlu diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut

operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku dalam operant

conditioning menurut Skiner adalah sebagai berikut:

1) Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat

atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku

yang akan dibentuk.

2) Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen

kecil yang membentuk perilaku yang di kehendaki. Kemudian

komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat

untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.

3) Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-

tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk

masing-masing komponen tersebut.

4) Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan

komponen yang telah tersusun (Notoatmodjo, 2003).

Menurut teori Lawrence Green, mengemukakan bahwa perilaku

manusia dari tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi

oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor

di luar perilaku (non-behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri

ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, diantaranya:


1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud

dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan

lain-lain.

2) Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas

atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan,

alat-alat kontrasepsi, jamban dan lain-lain.

3) Faktor-faktor pendorong (renforcing factor), yang terwujud dalam

sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang

merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

(Notoatmodjo, 2003).

a. Perilaku Seksual

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat

seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis.

Bentuk-bentuk perilaku ini bisa bermacam-macam, mulai dari

perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan

bersenggama. (Sarwono, 2007).

1) Perilaku Seksual Normal

Maramis (1999), menyatakan bahwa perilaku seksual normal ini

dapat menyesuaikan diri, bukan saja dengan tuntutan masyarakat,


tetapi juga dengan kebutuhan individu mengenai kebahagiaan,

perwujudan diri sendiri, atau peningkatan kemampuan individu

untuk mengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik.

Pendapat Kartini Kartono (1989), yang dimaksud dengan perilaku

seksual yang normal mengandung pengertian sebagai berikut:

a) Hubungan seksual yang tidak menimbulkan efek-efek

merugikan, baik bagi diri maupun bagi partnernya.

b) Tidak menimbulkan konflik psikis, tidak bersifat paksaan atau

perkosaan.

1) Perilaku Seksual Normal Dan Bertanggung Jawab

Perilaku seksual yang bertanggung jawab mengandung pengertian

bahwa kedua belah pihak menyadari akan konsekuensinya dan

berani memikul tanggung jawabnya, serta mewajibkan manusia

melakukan seks melalui ikatan perkawinan yang sah.

2) Perilaku Seksual Abnormal

Menurut Kartini Kartono (1989), bentuk relasi seks yang abnormal

dan perverse (buruk, jahat) adalah relasi seks yang tidak

bertanggung jawab, yang di dorong oleh kompulsi-kompulsi dan

dorongan-dorongan yang abnormal. Pendapat Maramis (1999),


menyatakan bahwa perilaku seksual normal ini dapat

menyesuaikan diri, bukan saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi

juga dengan kebutuhan individu mengenai kebahagiaan,

perwujudan diri sendiri, atau peningkatan kemampuan individu

untuk mengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik.

(Sunaryo, 2004).

a. Perilaku Menyimpang Pada Remaja

1) Onani

Kelainan perilaku seks biasanya dilakukan oleh laki-laki yang

merasa ingin memenuhi kebutuhan seksnya, dilakukan dengan cara

mengeluarkan air mani oleh tangan. Biasanya dilakukannya dengan

sembunyi-sembunyi atau pada waktu tidur. Onani bisa

mengakibatkan lemah syahwat bahkan melemahkan sperma

sehingga tidak sanggup membuahi sel telur wanita. Efek samping

lain dari onani ini adalah efek psikologisnya dimana si pelaku

sering merasa berdosa sehingga menimbulkan psikoneurosa atau

gangguan kejiwaan.
2) Homoseksual (Homosexuality)

Kelainan perilaku seks yang dilakukan oleh dua individu yang

berjenis kelamin sama dinamakan homoseksual. Laki-laki dengan

laki-laki dinamakan male sexuality atau lebih umum disebut

homoseksual saja. Wanita dengan wanita disebut lesbians.

Menurut Dr. Rono Sulistyo (1977), ada tiga macam homoseksual,

diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Aktif, bertindak sebagai pria dan tidak bertanggung jawab

kepada teman seksnya.

b) Pasif, yaitu bertindak sebagai wanita.

c) Campuran, yaitu kadang-kadang sebagai pria dan kadang-

kadang sebagai wanita.

Sebab-sebab terjadinya perbuatan homoseks itu ialah:

a) Faktor hereditas (dibawa sejak lahir), ini jarang sekali terjadi.

b) Adanya ketidakseimbangan hormon seks (sex hormonal

imbalance).

c) Pengaruh lingkungan, seperti: Terpisah dari lawan jenis dalam

jangka waktu yang lama, misalnya di penjara dan di asrama;

Pengalaman hubungan seks dengan sesama jenis pada waktu

kecil (masa kanak-kanak), dengan istilah sodomi; Kesalahan


perlakuan, yakni anak laki-laki yang hidup di rumah tangga

dimana semua saudaranya perempuan. Jika anak ini

diperlakukan sebagai anak perempuan setiap harinya misalnya

dibedaki, diberi pakaian wanita, dan lain-lain. Maka akan

tumbuh sifat-sifat kewanitaan pada dirinya (merasa diri sebagai

jenis kelamin wanita); Hubungan seks yang tidak memuaskan

di dalam kehidupan suami istri.

Untuk menyembuhkan penderita seperti yang terpenting ialah

adanya kesadaran diri dari penderita tersebut untuk memperbaiki

diri. Disamping itu, pengobatan/ terapi akan berhasil bila

lingkungannya di ubah sedemikian rupa.

1) Pelacuran

Pengertian pelacuran ialah perilaku seks bebas yang dilakukan

secara tidak sah menurut hukum dan agama, yang terjadi di dalam

masyarakat. Biasanya wanita yang melakukan di sebut wanita

pelacur, dan laki-laki dinamakan pria hidung belang. Wanita

pelacur ini berkeliaran di waktu malam di taman-taman, di pinggir

jalan dan tempat-tempat tertentu lainnya untuk menanti laki-laki

yang akan menjemputnya. Tingkatan pelacur ini dinamakan

pelacuran tingkat rendah. Di samping itu ada lagi pelacur tingkat

tinggi yaitu mempunyai rumah sendiri, atau dihotel-hotel kelas

wahid.
Usaha mengatasi pelacuran dengan jalan menampung kegiatan

mereka di tempat-tempat yang disediakan secara khusus, belumlah

pasti akan dapat menyelesaikan masalahnya. Bahkan bukan tidak

mungkin dengan cara lokalisasi itu pelacuran akan lebih pesat

perkembangannya. Yang terpenting dalam usaha menanggulangi

pelacuran itu ialah dengan jalan mengetahui sebab-sebab

terjadinya, meningkatkan sanksi/ hukum bagi si pelakunya dan

menyalurkan wanita-wanita pelacur itu kepada kegiatan-kegiatan

yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Pada umumnya

sebab-sebab terjadinya pelacuran adalah sebagai berikut:

a) Rendahnya taraf kehidupan ekonomi rakyat.

b) Banyaknya pengaruh barang-barang mewah sehingga

mendorong orang untuk memilikinya.

c) Kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis baik di bidang

pergaulan, ekonomi atau hubungan seks yang tidak

memuaskan.

d) Meningkatkan film-film dan VCD porno, gambar-gambar

cabul di masyarakat dimana penggemarnya sebagian besar

adalah remaja sekolah.

Dengan mengetahui sebab-sebab terjadinya akan lebih mudah bagi

kita untuk mengatasinya daripada hanya dengan cara yang


berdasarkan selera orang-orang atau kelompok tertentu yang sudah

terpengaruh oleh cara-cara negara Barat yang tidak Pancasilais.

1) Pornografi dan Pornoaksi

Hal-hal yang berusaha untuk merangsang dorongan seks dengan

tulisan atau gambar. Pengaruhnya cepat meluas terutama

dikalangan remaja yang sedang berada pada masa pubertas. Hal ini

bisa berakibat menimbulkan krisis moral dikalangan remaja itu,

terutama apabila dasar-dasar agama kurang sekali dilatihkan sejak

kecil. Usaha pornografi dapat juga melemahkan potensi bangsa

sebab akibatnya dapat merusak sendi-sendi falsafah Pancasila.

2) Bestiality

Mengadakan hubungan seks dengan binatang. Ini sering kejadian

di daerah-daerah pertanian dimana jumlah wanita agak kurang.

Kadang-kadang dianggap bahwa hal ini dapat disamakan dengan

onani atau masturbasi.

3) Gerontoseksual
Kecenderungan untuk melakukan hubungan kelamin dengan

wanita-wanita yang lebih tua atau yang lanjut usianya. Hal ini

mungkin disebabkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi atau

karena keinginan wanita-wanita itu untuk memperoleh kepuasan

seks dari yang lebih muda dari suaminya.

4) Incest

Hubungan kelamin terjadi antar dua orang di luar nikah sedangkan

mereka adalah berkerabat dekat sekali. Hal ini sering terjadi pada

masyarakat yang taraf kehidupannya amat rendah, dan juga

keluarga yang pecah (broken home). Hal ini disebabkan karena

pada keluarga ini kurang ditemukan disiplin dan kaburnya norma-

norma kehidupan sebagai pegangan dalam kehidupan berkeluarga.

1. Remaja

a. Pengertian Remaja

Remaja, yang bahasa aslinya disebut adolescene, berasal dari bahasa

latin adolescere, yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai

kematangan. Bangsa primitif dan orang orang purbakala memandang

masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam
rentang kehidupan, anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu

mengadakan reproduksi (Ali dan Asrori, 2009).

Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescene sesungguhnya memiliki

arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial,dan

fisik (Hurlock,1991). Pandangan ini didukung oleh Piaget

(Hurlock,1991) yang menyatakan bahwa secara psikologis, remaja

adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam

masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa

dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa

sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini

mengandung banyak aspek efektif, lebih atau kurang dari usia pubertas

(Ali dan Asrori, 2009).

Masa remaja menurut Mappiare (1982), berlangsung antara umur 12

tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai

dengan 22 tahun bagi pria. rentang usia remaja ini dapat di bagi

menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 21/22 tahun

adalah remaja akhir. Menurut hukum di Amerika Serikat saat ini,

individu di anggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 18 tahun,

dan bukan usia 21 tahun seperti ketentuan sebelumnya (Hurlock,

1991). Pada usia ini, umumnya anak sedang duduk di bangku sekolah

menengah (Ali dan Asrori, 2009).


Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan

fisik, emosi dan psikis. Masa remaja yakni antara usia 10-19 tahun

yang merupakan suatu periode masa pematangan organ reproduksi

manusia dan sering disebut masa pubertas. Masa remaja adalah masa

periode peralihan dari masa anak ke masa dewasa. (Widyastuti dkk,

2009).

Pada remaja tersebut terjadilah suatu perubahan organ-organ fisik

(organobiologik) secara cepat dan perubahan tersebut tidak seimbang

dengan perubahan kejiwaan (mental emosional). Terjadinya

kematangan seksual atau alat-alat reproduksi yang berkaitan dengan

sistem reproduksi, merupakan suatu bagian penting dalam kehidupan

remaja sehingga diperlukan perhatian khusus, karena bila timbul

dorongan-dorongan seksual yang tidak sehat akan menimbulkan

perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab (Wisyastuti dkk, 2009).

Pendapat Shaw dan Costanzo (1985), bahwa remaja juga sedang

mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual. Transformasi

intelektual dari cara berpikir remaja ini memungkinkan mereka tidak

hanya mampu mengintegrasikan dirinya kedalam masyarakat dewasa,

tapi juga merupakan karakteristik yang paling menonjol dari semua

periode perkembangan (Ali dan Asrori, 2009).


Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah

tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga diterima secara

penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Remaja ada di antara

anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja sering kali dikenal

dengan fase mencari jati diri atau fase topan dan badai. Remaja masih

belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi

fisik maupun psikisnya (Monks dkk, 1989). Namun, yang perlu

ditekankan di sini adalah bahwa fase remaja merupakan fase

perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik di

lihat dari aspek koginitif, emosi maupun fisik (Ali dan Asrori, 2009).

Menurut Sahw dan Costanzo (1985), perkembangan intelektual yang

terus menerus menyebabkan remaja mencapai tahap berpikir

operasional formal. Tahap ini memungkinkan remaja mampu berpikir

secara lebih abstrak, menguji hipotesis dan mempertimbangkan apa

saja peluang yang ada padanya daripada sekedar melihat apa adanya.

Kemampuan intelektual seperti ini yang membedakan dari fase-fase

sebelumnya (Ali dan Asrori, 2009).

b. Perkembangan Remaja dan Ciri-Cirinya

Berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja kita sangat perlu untuk

mengenal perkembangan remaja serta ciri-cirinya. Berdasarkan sifat


atau ciri perkembangannya, masa (rentang waktu) remaja ada tiga

tahap (Widyastuti dkk, 2009).

1) Masa Remaja Awal (10-12 tahun)

a) Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya.

b) Tampak dan merasa ingin bebas.

c) Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan

tubuhnya dan mulai berpikir yang khayal (abstrak).

1) Masa Remaja Tengah (13-15 tahun)

a) Tampak dan ingin mencari identitas diri.

b) Ada keinginan untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan

jenis.

c) Timbul perasaan cinta yang mendalam.

1) Masa Remaja Akhir (16-19 tahun)

a) Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.

b) Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.

c) Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.

d) Dapat mewujudkan perasaan cinta.

e) Memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak.

(Widyastuti dkk, 2009).

a. Tugas-Tugas Perkembangan Masa Remaja


Terdapat perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya

meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai

kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Adapun tugas-tugas

perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) adalah sebagai

berikut:

1) Mampu menerima keadaan fisiknya.

2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.

3) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang

berlainan jenis.

4) Mencapai kemandirian emosional.

5) Mencapai kemandirian ekonomi.

6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat

diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.

7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan

orang tua.

8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan

untuk memasuki dunia dewasa.

9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

10) Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab

kehidupan keluarga.

Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan

perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan


pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam

melaksanakan tugas-tugas perkembangannya itu dengan baik. Agar

dapat memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan,

diperlukan kemampuan kreatif remaja. Kemampuan kreatif ini banyak

diwarnai oleh perkembangan kognitifnya (Ali dan Asrori, 2009).

a. Perubahan Fisik Pada Masa Remaja

1) Tanda-Tanda Seks Primer

Yang dimaksud dengan tanda-tanda seks primer adalah organ seks

pada laki-laki gonad atau testis. Organ tersebut terletak didalam

skrotum. Pada usia 14 tahun baru sekitar 10% dari ukuran matang.

Setelah itu terjadilah pertumbuhan yang pesat selama satu atau dua

tahun, kemudian pertumbuhan menurun. Testis berkembang penuh

pada usia 20 atau 21 tahun. Sebagai tanda bahwa fungsi organ-

organ reproduksi pria matang lazimnya terjadi mimpi basah,

artinya ia bermimpi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

seksual, sehingga mengeluarkan sperma.

Semua organ reproduksi wanita tumbuh selama masa puber.

Namun tingkat ketepatan antara organ satu dengan lainnya


berbeda. Berat uterus pada anak usia 11 atau 12 tahun kira-kira 5,3

gram, pada usia 16 tahun rata-rata beratnya 43 gram.

Sebagai tanda kematangan organ reproduksi pada perempuan

adalah datangnya haid. Ini adalah permulaan dari seragkaian

pengeluaran darah, lendir dan jaringan sel yang hancur dari uterus

secara berkala, yang akan terjadi kira-kira setiap 28 hari. Hal ini

berlangsung terus sampai menjelang masa menopause. Menopause

bisa terjadi pada usia sekitar 5 bulan (Widyastuti dkk, 2009).

2) Tanda-Tanda Seks Sekunder

a) Pada Laki-Laki

Rambut yang mencolok tumbuh pada masa remaja adalah

rambut kemaluan, terjadi sekitar satu tahun setelah testis dan

penis mulai membesar. Ketika rambut kemaluan hampir selesai

tumbuh, maka menyusul rambut ketiak dan rambut di wajah,

seperti halnya kumis dan cambang. Kulit menjadi lebih kasar,

tidak jernih, pori-pori membesar. Kelenjar lemak dibawah kulit

menjadi lebih aktif. Seringkali menyebabkan jerawat karena

produksi minyak yang meningkat. Aktivitas kelenjar keringat

juga bertambah, terutama bagian ketiak. Otot-otot pada tubuh

remaja makin bertambah besar dan kuat. Lebih-lebih bila

dilakukan latihan otot, maka akan tampak memberi bentuk


pada lengan, bahu dan tungkai kaki. Seirama dengan

tumbuhnya rambut pada kemaluan, maka terjadi perubahan

suara. Mula-mula agak serak, kemudian volumenya juga

meningkat. Pada usia remaja sekitar 12-14 tahun muncul

benjolan kecil-kecil di sekitar kelenjar susu. Setelah beberapa

minggu besar dan jumlahnya menurun.

b) Pada Wanita

Rambut kemaluan pada wanita juga tumbuh seperti halnya

remaja laki-laki. Tumbuhnya rambut kemaluan ini terjadi

setelah pinggul dan payudara mulai berkembang. Bulu ketiak

dan bulu pada kulit wajah mulai tampak setelah haid. Semua

rambut kecuali rambut wajah, mula-mula lurus dan terang

warnanya, kemudian menjadi lebih subur, lebih kasar, lebih

gelap dan agak keriting. Pinggul pun menjadi berkembang,

membesar dan membulat. Hal ini sebagai akibat membesarnya

tulang pinggul dan berkembangnya lemak dibawah kulit.

Seiring pinggul membesar, maka payudara juga membesar dan

puting susu menonjol. Hal ini terjadi karena harmonis sesuai

pula dengan berkembang dan makin besarnya kelenjar susu

sehingga payudara menjadi lebih besar dan lebih bulat. Seperti

halnya laki-laki juga menjadi lebih besar, lebih tebal, pori-pori

membesar. Akan tetapi berbeda dengan laki-laki, kulit pada

wanita tetap lebih lembut. Kelenjar lemak dan kelenjar keringat

menjadi lebih aktif. Sumbatan kelenjar lemak dapat


menyebabkan jerawat. Kelenjar keringat dan baunya menusuk

sebelum dan selama masa haid. Menjelang akhir masa puber,

otot semakin membesar dan semakin kuat. Akibatnya akan

membentuk bahu, lengan dan tungkai kaki. Suara berubah

semakin merdu. Suara serak jarang terjadi pada wanita.

(Widyastuti dkk, 2009).

A. Kesehatan Reproduksi

1. Definisi Kesehatan Reproduksi

Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangungan/

ICPD (International Conference on Population and Development), di

Kairo Mesir tahun 1994 diikuti 180 negara menyepakati perubahan

paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan

dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas/ keluarga

berencana menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi

serta hak reproduksi.

Tahun 1995 Konferensi sedunia IV tentang wanita dilaksanakan di

Beijing, Cina, di Haquue 1999, di New York tahun 2000 menyepakati

bahwa definisi kesehatan reproduksi merupakan suatu keadaah sejahtera

fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit
atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi,

serta fungsi dan prosesnya (Widyastuti dkk, 2009).

Kesehatan reproduksi diartikan sebagai suatu kondisi yang menjamin

bahwa fungsi reproduksi, khususnya proses reproduksi, dapat berlangsung

dalam sejahtera fisik, mental maupun sosial dan bukan sekedar terbebas

dari penyakit atau gangguan fungsi alat reproduksi. Berkaitan dengan itu,

WHO (2007) menyebutkan kesehatan reproduksi menyangkut proses,

fungsi dan sistem reproduksi pada seluruh tahap kehidupan. Dengan

demikian kesehatan reproduksi merupakan unsur yang penting dalam

kesehatan umum, baik perempuan maupun laki-laki. Kesehatan reproduksi

juga dapat mempengaruhi kesehatan bayi dan anak-anak remaja dan orang

yang berusia di luar masa reproduksi (menopause).

Pemahaman tentang kemungkinan pengaruh kesehatan reproduksi

terhadap kesehatan secara luas sering belum di pahami, hal ini dapat

terjadi oleh karena kurangnya informasi yang benar mengenai kesehatan

reproduksi. Kekurangan ini tidak saja terjadi pada kaum remaja tetapi juga

pada kalangan dewasa dan orang tua.

Biasanya orang awam mengartikan kesehatan reproduksi hanya sebagai

hal-hal yang berhubungan dengan organ reproduksi. Ketidaktahuan

masyarakat mengenai kesehatan reproduksi melahirkan masalah-masalah

baru yang diakibatkan perilaku yang tidak aman, misalnya saja muncul

penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/ AIDS (Emilia, 2008).


2. Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi

Secara luas, ruang lingkup kesehatan reproduksi dalam siklus kehidupan

meluputi:

a. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir.

b. Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR)

termasuk Penyakit Menular Seksual (PMS) HIV/ AIDS.

c. Pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi.

d. Kesehatan reproduksi remaja.

e. Pencegahan dan penanganan infertilitas.

f. Kanker pada usia lanjut dan osteoporosis.

g. Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks,

mutasi genital, fistula, dan lain-lain.

(Widyastuti dkk, 2009).

1. Hak-Hak Reproduksi

Hak-hak reproduksi menurut kesepakatan dalam Konferensi International

Kependudukan dan Pembangunan bertujuan untuk mewujudkan kesehatan

bagi individu secara utuh, baik kesehatan jasmani, maupun rohani,

meliputi:
a. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.

b. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.

c. Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.

d. Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.

e. Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.

f. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan

reproduksinya.

g. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk

perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan

seksual.

h. Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan

dengan kesehatan reproduksi.

i. Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.

j. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.

k. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan

berkeluarga dan kehidupan reproduksi.

l. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang

berkaitan dengan kesehatan reproduksi.

(Widyastuti dkk, 2009)

A. Penyakit Menular Seksual (PMS)

1. Pengertian Penyakit Menular Seksual (PMS)


Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah infeksi apapun yang terutama

didapat melalui kontak seksual. Penyakit Menular Seksual (PMS)

merupakan istilah umum dan organisme penyebabnya, yang tinggal dalam

darah atau cairan tubuh, meliputi virus, mikoplasma, bakteri, jamur,

spirokaeta dan parasit-parasit kecil. Sebagian organisme yang terlibat

hanya ditemukan di saluran genital (reproduksi) saja tetapi yang lainnya

juga ditemukan dalam organ tubuh lain. Sering kali Penyakit Menular

Seksual (PMS) timbul secara bersama-sama dan jika salah satu ditemukan,

adanya Penyakit Menular Seksual (PMS) harus dicurigai. Terdapat rentang

keintiman kontak tubuh yang dapat menularkan Penyakit Menular Seksual

(PMS) termasuk berciuman, hubungan seksual, hubungan seksual melalui

anus, kunilingus, anilingus, felasio dan kontak mulut atau genital dengan

payudara (Benson, 2009).

2. Penyakit Menular Seksual Yang Disebabkan Oleh Organisme dan

Bakteri

a. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Human Immunideficiency Virus (HIV) pertama kali dilaporkan

menyebabkan penyakit pada tahun 1981. Di Amerika Serikat AIDS

merupakan penyebab utama kematian nomor lima pada wanita usia

subur. Salah satu kesulitan mengenali infeksi Human

Immunideficiency Virus (HIV) adalah masa laten tanpa gejala yang


lama, antara 2 bulan hingga 5 tahun. Umur rata-rata saat diagnosis

infeksi Human Immunideficiency Virus (HIV) ditegakkan adalah 35

tahun (Benson, 2008).

b. Gonorrhea

Neisseria gonorrhoeae adalah diplokokus gram negatif yang biasanya

berdiam dalam uretra, serviks, faring atau saluran anus wanita. Infeksi

terutama mengenai epitel kolumner atau transisionel saluran kemih dan

kelamin. Organisme ini sangat sulit untuk dikultur dan peka terhadap

suasana kering, cahaya matahari, pemanasan dan sebagian besar

desinfektan. Diperlukan media khusus untuk mencapai hasil yang

optimal. Biakan saluran genital bawah biasanya didapat dengan

memutar lidi kapas selama 15-20 detik jauh didalam saluran

endoserviks. Jika dibuat usapan rektum, insiden keberhasilan

meningkat dari 85% menjadi > 90% (Benson, 2009).

c. Infeksi Chlamidia

Chlamydia trachomatis adalah mikroorganisme intraseluler obligat

dengan dinding sel yang menyerupai bakteri gram negatif. Meskipun

dikelompokkan sebagai bakteri, namun chlamydia mengandung DNA

dan RNA, dan melakukan pembelahan biner, hanya tumbuh intra

seluler seperti virus. Karena kebanyakan serotipe Chlamydia


trachomatis hanya menyerang sel epitel kolumner (kecuali serotipe L

yang agresif), tanda-tanda dan gejala yang terjadi cenderung

terlokalisit di tempat yang terinfeksi misalnya mata atau saluran

genital tanpa adanya invasi ke jaringan dalam (Benson, 2009).

Infeksi clhamydia biasanya berlangsung pada hubungan seks lewat

vagina dan anus. Chlamydia trachomatis dapat pula mengenai mata

bila mata terkena tangan yang sudah menyentuh kelamin dari orang

yang terinfeksi. Chlamydia trachomatis juga dapat menyerang

kerongkongan, sehingga pasangan dianjurkan untuk tidak melakukan

seks oral bila salah satu sudah terkena. Bayi dapat terinfeksi chlamydia

pada matanya sewaktu melewati cervix ibu yang menderita infeksi

(Hutapea, 2003).

d. Siffilis

Siffilis merupakan penyakit yang disebabkan oleh spirokaeta

Treponema pallidum yang ditularkan melalui kontak langsung dengan

lesi basah yang infeksius. Organisme ini dapat menembus membran

mukosa yang intake atau kulit yang terkelupas atau didapat melalui

transplasenta. Satu kali kontak seksual dengan mitra seksual yang

terinfeksi memberikan kemungkinan 10% menderita siffilis (Benson,

2009).
e. Vaginitis

Vaginitis adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan adanya

infeksi atau peradangan vagina. Vaginitis biasanya ditandai dengan

adanya cairan berbau kurang enak yang keluar dari vagina. Gejala lain

adalah gatal atau iritasi di daerah kemaluan dan perih sewaktu kencing.

Beberapa kasus vaginitis disebabkan oleh reaksi alergi atau kepekaan

terhadap bahan kimia. Umumnya disebabkan oleh kuman yang

ditularkan secara seksual atau yang tadinya menetap di vagina dan

menjadi ganas karena gangguan keseimbangan di dalam vagina

(Hutapea, 2003).

f. Candidiasis

Candidialis juga dikenal dengan nama moniliasis, thrush atau infeksi

yeast yang disebabkan oleh jamur Candida albicans. Candidialis

biasanya menimbulkan gejala peradangan, gatal dan perih di daerah

kemaluan. Juga terdapat keluarnya cairan vagina yang menyerupai

bubur. Walaupun fungus selalu terdapat sampai taraf tertentu, biasanya

tidak menimbulkan gejala selama lingkungan vagina terjaga normal.

Candidialis dapat ditularkan secara seksual seperti bola pingpong antar

pasangan seks, sehingga dua pasangan harus diobati secara simultan.

Candidialis pada pria biasanya berbentuk Non Gonococcal Urethritis


(NGU), penis memerah, atau lecet dikemaluan yang rasanya

membakar dan nyeri sewaktu kencing. Candidialis juga dapat menular

secara non seksual, bila wanita memakai handuk atau lap yang sama.

Penularan juga terjadi melalui seks oral atau anal (Hutapea, 2003).

g. Chancroid

Crancoid (chancre lunak) disebabkan oleh kuman batang gram negatif

Haemophilus ducreyi dan jarang ditemui di Amerika Serikat. Infeksi

pada wanita dimulai dengan lesi papula atau vesikopustuler pada

perineum, serviks atau vagina 3-5 hari setelah terpapar. Lesi

berkembang selama 48-72 jam menjadi ulkus dengan tepi tidak rata

berbentuk piring cawan yang sangat lunak. Beberapa ulkus dapat

berkembang menjadi satu kelompok. Discharge kental yang dihasilkan

ulkus berbau busuk atau infeksius (Benson, 2009).

h. Granuloma Inguinale

Granuloma inguinale disebabkan oleh Calymmatobacterium

granulomatis. Penemuan yang khas dalam lesi adalah badan Donovan

(bakteri yang terbungkus dalam lekosit mononuklear). Hampir tidak


pernah di jumpai di Amerika Serikat (kira-kira 100 kasus/ tahun) tetapi

umum terjadi di India, Brazil dan Hindia Barat. Masa inkubasi 1-12

minggu. Granuloma inguinale dapat menyebar melalui kontak seksual

maupun non seksual yang berulang (Benson, 2009).

i. Infeksi Panggul

Infeksi dapat terjadi pada bagian manapun atau semua bagian saluran

genital atas yaitu endometrium (endometritis), dinding uterus

(miositis), tuba uterina (salpingitis), ovarium (ooforitis), ligamentum

latum dan serosa uterina (parametritis) dan peritoneum pelvis

(peritonitis).

Organisme dapat menyebar ke dan di seluruh pelvis dengan salah satu

dari lima cara, diantaranya:

1) Intralumen

Penyakit radang panggul akut non purpuralis hampir selalu (kira-

kira 99%) terjadi akibat masuknya kuman patogen melalui serviks

ke dalam kavum uteri. Infeksi kemudian menyebar ke tuba uterina,

akhirnya pus dari ostium masuk ke ruang peritoneum. Organisme

yang diketahui menyebar dengan mekanisme tersebut adalah N.

gonnorhoeae, C. Trachomatis, Streptococcus agalactiae,


sitomegalovirus dan virus herpes simpleks. Tiga per empat wanita

dengan PRP akut juga menderita endometritis, kira-kira 40%-nya

disertai servistis mukopurulen dan 50% kasus dengan biakan

endoserviks positif untuk C. Trachomatis atau N. Gonnorhoeae

juga mengalami endometritis. Fase endometritis biasanya tidak

bergejala, seringkali singkat dan terjadi pada akhir menstruasi.

2) Limfatik

Infeksi purpuralis (termasuk setelah abortus) dan infeksi yang

berhubungan dengan IUD menyebar melalui sistem limfatik seperti

infeksi Mycoplasma non purpuralis.

3) Hematogen

Penyebaran hematogen penyakit panggul terbatas pada penyakit

tertentu misalnya tuberkulosis (TBC) dan jarang terjadi di Amerika

Serikat (Benson, 2009).

1. Penyakit Menular Seksual Yang Disebabkan Oleh Virus

a. Herpes

Virus herpes simpleks menimbulkan berbagai jenis herpes. Yang

paling sering, virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) mengakibatkan

herpes mulut, berupa lecet dan bentolan disertai salesma dan demam di

daerah mulut dan bibir. HSV-1 juga dapat ditularkan ke daerah

kemaluan dengan sentuhan atau seks oral.


Herpes genitalis disebabkan oleh herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) yang

mengakibatkan lepuh yang nyeri dan luka di daerah kemaluan. Herpes

ini juga dapat berpindah ke mulut melalui seks oral.

Herpes dapat ditularkan melalui seks per vagina, anal atau oral, atau

dengan menyentuh luka herpes. Sentuhan yang kemudian mengenai

mata dapat menimbulkan infeksi mata serius. Virus ini dapat hidup

beberapa jam pada benda-benda seperti toilet duduk, dan dapat

berpindah melalui benda tersebut. Herpes oral dapat dipindahkan

dengan berciuman, memakai gelas atau haduk bersama penderita

herpes dan sudah tentu melalui hubungan seksual (Hutapea, 2003).

b. Viral Hepatitis

Terdapat sejumlah jenis radang hati atau hepatitis. Penyebabnya adalah

virus dan sering ditularkan secara seksual. Jenis yang terutama adalah

hepatitis A, B, C dan D. Infeksi hepatitis A biasanya bersifat sementara

dan ditandai dengan gejala kuning (jaundice), yaitu suatu kondisi

dimana kulit, urine dan bola mata menguning karena kadar pigmen

empedu yang meninggi di dalam darah. Gejala lain adalah nyeri perut,

lemah dan mual, hilangnya nafsu makan dan tinja yang berwarna

pucat. Hepatitis B lebih parah dan lama serangannya. Hepatitis C

gejalanya ringan, jarang disertai gejala kuning, tetapi dapat berlanjut


menjadi penyakit hati menahun atau kanker hati. Hepatitis D terjadi

hanya bersamaan dengan hepatitis B. Gejalanya mirip dengan hepatitis

B tetapi lebih mengancam nyawa penderita.

Hepatitis A dan B dapat ditularkan secara seksual, terutama melalui

kegiatan seks anal. Hepatitis A ditularkan terutama karena melalui

kontak dengan tinja yang terinfeksi, yang dapat mengenai air atau

makanan. Transmisi seksual dari hepatitis A biasanya melalui kegiatan

oral dan anal seks. Transmisi seksual dari hepatitis B dapat juga lewat

transfusi darah yang tercemar, jarum suntik yang dipakai bersama-

sama (biasanya pada kelompok pengguna obat terlarang), dan lewat

mani, ludah, cairan mens dan lendir hidung penderita. Hepatitis C juga

dapat ditularkan secara seksual. Sedangkan hepatitis D ditularkan

melalui kegiatan seksual atau kontak dengan darah yang tercemar.

Hepatitis biasanya didiagnosis melalui tes darah untuk memeriksa

kelainan dalam fungsi hati. Tidak terdapat obat untuk hepatitis, tetapi

istirahat ditempat tidur dengan banyak minum cairan biasanya

dianjurkan. Vaksin telah tersedia untuk perlindungan terhadap hepatitis

B dab D, karena hepatitis D tidak mungkin ada tanpa hepatitis B.

Tidak ada vaksin terhadap hepatitis C (Hutapea, 2003).

c. Genital Warts
Genital Warts atau disebut juga venerel warts disebabkan oleh

Human Papiloma Virus (HPV). Penyakit ini menyerang pria dan

wanita berusia 20 hingga 24 tahun. Lesi kelihatan didaerah kemaluan

dan anus beberapa bulan setelah infeksi. Wanita lebih rentan daripada

pria karena ada suatu bagian pada leher rahim di mana sel-selnya

melakukan pembuahan diri lebih cepat dibanding yang lainnya, dan

Human Papiloma Virus (HPV) membonceng pada sel-sel tersebut

untuk berkembang biak.

Genital Warts agak mirip dengan warts (kutil) yang biasa ada

ditelapak kaki dan terdiri dari benjolan gatal dari berbagai bentuk dan

ukuran. Bejolan ini teraba agak keras dengan warna kuning-keabuan

pada permukaan kulit yang kering, sedangkan di daerah basah seperti

vagina, bentuknya seperti bunga kol berwarna merah muda dan teraba

lembek. Kutil ini dapat pula terlihat didaerah penis, kulup, skrotum

dan didalam saluran kencing pada pria. Pada wanita dapat pula muncul

di labia mayora dan minora dinding vagina dan cervix. Pria dan wanita

sering juga menemukannya di luar daerah kemaluan seperti di mulut,

bibir, alis, puting susu, sekitar anus atau bahkan didalam rektum.

Genital Warts yang berada didalam uretra akan mengeluarkan cairan

atau darah dan terasa perih. Human Papiloma Virus (HPV) dapat pula

menimbulkan kanker pada organ-organ reproduksi seperti pada penis

atau cervix.
Human Papiloma Virus (HPV) dapat ditularkan melalui kontak seks

atau jenis lainnya, seperti melalui pakaian dan handuk. Genital Warts

sebaiknya diangkat dengan menggunakan teknik pembekuan

(cryotherapy) dengan nitrogen cair kutil ini dapat juga dicuci dengan

larutan podophylin yang bertujuan untuk mengeringkan dan

membuang jaringannya. Dapat pula dibuang dengan cara membakar

dengan elektrode atau pembedahan baik dengan pisau atau sinar laser.

Walaupun tidakan-tindakan tersebut bertujuan membuang wartsnya,

akan tetapi Human Papiloma Virus (HPV)-nya sendiri tidak lenyap

dari dalam tubuh kita. Genital Warts sewaktu-waktu dapat kambuh

lagi (Hutapea, 2003).

1. Penyakit Menular Seksual Yang Disebabkan Oleh Parasit

a. Trichomoniasis

Trichomoniasis atau trich adalah suatu infeksi vagina yang disebabkan

oleh suatu parasit atau suatu protozoa (hewan bersel tunggal) yang

disebut trichomonas vaginalis. Gejalanya meliputi perasaan gatal dan

terbakar di daerah kemaluan, disertai dengan keluarnya cairan

berwarna putih seperti busa atau juga kuning kehijauan yang berbau

busuk. Sewaktu bersetubuh atau kencing sering terasa agak nyeri di


vagina. Namun sekitar 50% dari wanita yang mengidapnya tidak

menunjukkan gejala apa-apa.

Trichomoniasis hampir semuanya ditularkan secara seksual. Hal ini

dapat mengakibatkan radang saluran kencing pada pria, yang tidak

menunjukkan gejala atau berupa adanya sedikit cairan yang keluar dari

penis biasanya pada waktu kencing pertama sekali di pagi hari. Dapat

juga terasa gatal, geli atau iritasi di uretra. Karena pria dapat mengidap

trich tanpa menyadarinya, mereka pun dapat menularkannya kepada

pasangan-pasangan seksnya. Kuman ini dapat pula ditularkan melalui

kontak dengan mani atau ada pada lap, handuk atau seprei. Walaupun

secara teoritis kontak melalui tempat duduk di toilet kecil sekali, tetapi

bila terjadi kontak langsung pada bagian kemaluan, hal ini dapat saja

terjadi (Hutapea, 2003).

b. Pediculosis

Pediculosis adalah terdapatnya kutu pada bulu-bulu di daerah

kemaluan. Kutu pubis ini diberi julukan crabs karena bentuknya yang

mirip kepiting seperti di bawah mikroskop. Parasit ini juga dapat

dilihat dengan mata telanjang. Kutu pubis termasuk kelompok

serangga kutu penggigit seperti halnya kutu kepala dan kutu badan.

Kutu kepala bergayut pada akar rambut di kepala dan sering terdapat

pada anak-anak sekolah. Kutu pubis sering ditularkan secara seksual,


tetapi juga melalui kontak lewat handuk, seprei dan tempat duduk di

toilet. Kutu pubis hanya dapat hidup dalam satu hari apabila diluar

tubuh manusia. Telur yang terdapat pada kain seprei atau handuk dapat

menetas sesudah satu minggu. Semua alat tidur, handuk dan pakaian

yang pernah digunakan orang pengidap kutu ini harus dicuci dengan

air panas atau dry clean untuk membuang dan memusnahkan telur.

Parasit ini menempel pada rambut dan dapat hidup dengan cara

mengisap darah, sehingga menimbulkan gatal-gatal. Masa hidupnya

singkat, hanya sekitar satu bulan. Tetapi kutu ini dapat tumbuh subur

dan bertelur berkali-kali sebelum mati (Hutapea, 2003).

1. Ancaman Penyakit Menular Seksual Pada Remaja

Karena sifatnya yang lethal (mematikan), AIDS telah menjadi pusat berita

selama kurang lebih satu dekade. Akan tetapi Penyakit Menular Seksual

(PMS) lainnya memberi ancaman maut seperti AIDS. Beberapa jenis

Penyakit Menular Seksual (PMS) akan merusak organ reproduksi dalam

jika dibiarkan tidak diobati sekalipun tanpa menimbulkan gejala seperti

nyeri, gatal atau keluarnya cairan. Walaupun menghadapi bahaya yang di

timbulkan oleh Penyakit Menular Seksual (PMS), banyak orang yang

merasa segan dan ragu-ragu membicarakan hal tersebut dengan pasangan

seksnya (Hutapea, 2003).


BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka dan uraian latar

belakang, dikemukakan bahwa faktor yang memegang peranan dalam perilaku

seks adalah pemberian pendidikan seks sejak dini.

Dari uraian di atas hubungan variabel-variabel tersebut dapat di visualisasikan

dalam skema kerangka konsep sebagai berikut:

Vaiabel Independent Variabel Dependent

Pemberian Pendidikan
Perilaku seksual
Seks Sejak Dini

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Pada Hubungan Pemberian Pendidikan Seks


Sejak Dini Pada Remaja Dengan Perilaku Seks

B. Definisi Konseptual

1. Pendidikan Seks

Salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah perilaku seks yang

menyimpang, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang

tidak di harapkan (Sarwono, 2007).

2. Perilaku Seksual
61
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat

diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar

(Notoatmodjo, 2003).
A. Definisi Operasional

Tabel. 3.1
Definisi Operasional

Definisi Cara Alat Hasil


No Variabel Skala
Operasional Ukur Ukur Ukur
1 Perilaku Semua Dengan Kuisioner Positif: Ordinal
seks kegiatan atau bertanya apabila
aktivitas kepada T ≥ 50
manusia, siswa dan Negatif:
baik yang siswi apabila
dapat diamati tentang T < 50
langsung, perilaku
maupun yang seks
tidak dapat
diamati oleh
pihak luar.

2 Pemberian Salah satu Dengan Kuisioner Baik: Ordinal


pedidikan cara untuk bertanya Bila
seks mengurangi kepada didapat
atau siswa dan 76-
mencegah siswi 100%
perilaku seks tentang Cukup:
yang pendidikan Bila
menyimpang, seks didapat
khususnya 56-75%
untuk Kurang:
mencegah Bila
dampak- didapat
dampak < 55%
negatif yang
tidak di
harapkan.

B. Hipotesa

Hipotesa sebagai jawaban sementara penelitian, patokan dugaan atau dalil

sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut

(Notoatmodjo, 2005). Berdasarkan masalah yang telah di paparkan maka

hipotesa dalam penelitian ini adalah:


Ho : Tidak ada hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak dini

dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang

Tahun 2009.

Ha : Ada hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak dini dengan

perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang Tahun

2009.

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dua

variabel. Variabel terikat (Dependent) dalam penelitian ini adalah perilaku


seksual dan variabel bebas (Independent) dalam penelitian ini adalah

pemberian pendidikan seks sejak dini.

Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan studi Cross Sectional,

yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-

faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau

pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Point Time Approach). Artinya,

tiap objek penelitian hanya di observasi sekali saja dan pengukuran terhadap

status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. Hal ini tidak

berarti bahwa semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama

(Notoatmodjo, 2005).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di SMA Negeri 13 Pandeglang pada tanggal

14 Agustus – 18 Agustus tahun 2009.

C. Variabel Penelitian
64

1. Variabel Dependent

Variabel Dependent adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas

atau Idependent (Notoatmodjo, 2005). Variabel Dependent dalam

penelitian ini adalah perilaku seksual.

2. Variabel Independent
Variabel Independent adalah variabel yang mempengaruhi variabel

Dependent (Notoatmodjo, 2005). Variabel Independent dalam penelitian

ini adalah pemberian pendidikan seks sejak dini.

A. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa

dan siswi di SMA Negeri 13 Pandeglang dengan jumlah 208 siswa.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti

mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Pengambilan sampel

diambil secara Proporsive Sampling yaitu pengambilan sampel didasarkan

pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri

berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.

Sampel dalam penelitian ini adalah objek penelitian yang terpilih pada saat

kunjungan ke Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang yaitu SMA Negeri

13 Pandeglang. Karena sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah

yang berdiri sejak tahun 2003, dengan keterangan SK sekolah baru.

Berdasarkan hasil data yang diambil dari Dinas Pendidikan Kabupaten

Pandeglang bahwa jumlah siswa dan siswi di SMA Negeri 13 Pandeglang


adalah 208 siswa. Rumus menentukan besarnya sampel menurut Ariawan

(1998) adalah sebagai berikut:

n=Z1-α/22P1-PNd2(N-1)+Z1-α/22P(1-P)

Keterangan:

n = Jumlah sampel

Z1-α/22= Standar deviasi normal, ditentukan pada 1.96

P = Ketetapan, yaitu 0,5

d = Penyimpangan terhadap populasi atau derajat ketetapan yang

diinginkan sebesar 0,1

N = Jumlah Populasi

Dari rumus tersebut, maka dapat dihitung bahwa jumlah sampelnya adalah

sebagai berikut:

n=Z1-α/22P1-PNd2(N-1)+Z1-α/22P(1-P)

=1,962(0,5)(1-0,5)2080,12208-1+1,962(0,5)(1-0,5)

=3,84160,50,52082,07+0,96

=199,83,03

=65,9

=66
Maka besar sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 66

responden.

A. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan instrumen berupa kuisioner untuk tingkatkan pengetahuan

siswa dan siswi tentang pendidikan seks dan rating scale untuk perilaku seks.

1. Kuisioner

Bentuk kuisioner berupa pertanyaan tertutup berskala ordinal dengan

jumlah jawaban sebanyak 3 alternatif pilihan, artinya semua jawaban

sudah di sediakan dan responden hanya memilih salah satu jawaban yang

tersedia. Jumlah kuisioner untuk pemberian pendidikan seks sejak dini

sebanyak 20 pertanyaan.

2. Wawancara

Wawancara adalah mengajukan pertanyaan kepada responden tentang

pendidikan seks yang di dapat sejak dini apakah sesuai dengan yang

pendidikan seks yang didapatkan.

3. Rating Scale

Rating Scale adalah bentuk pengumpulan data untuk mengetahui perilaku

seksual dengan menggunakan satu skala. Jenis skala perilaku seks yang di

pakai dalam penelitian ini adalah skala likert, dimana masing-masing

pertanyaan ada empat kemungkinan jawaban yaitu Sangat Tidak Setuju


(STS), Tidak Setuju (ST), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS), jumlah

pertanyaan rating scale berjumlah 20 pertanyaan.

A. Instrumen Penelitian

1. Pemberian Pendidikan Seks

Tabel. 4.1
Instrumen Penelitian Pemberian Pendidikan Seks

Jumlah
Variabel Sub Variabel Nomor Soal
Soal
Pendidikan 1. Pengetahuan tentang 1, 9 2
Seks Sejak pendidikan seks
Dini 2. Pengetahuan tentang alat 2, 7 2
reproduksi pada remaja
3. Pengetahuan tentang 4, 18, 20 4
kesehatan reproduksi
4. Penyimpangan perilaku 3, 5, 6, 8, 10, 11, 13
seksual 12, 13, 14, 15,
16, 17, 19
1. Perilaku Seksual

Tabel 4.2
Instrumen Penelitian Perilaku Seksual

Jumlah
Variabel Sub Variabel Nomor Soal
Soal
Perilaku 1. Penyimpangan perilaku 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 16
Seksual seksual positif. 9, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, 18,
19
2. Penyimpangan perilaku 6, 9, 10, 20 4
seksual negatife.

A. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Validitas
Validitas berasal dari kata Validity yang mempunyai sejauh mana

ketepatan suatu alat ukur dalam pegukuran suatu data (Hastono, 2007).

Untuk mengetahui validitas suatu instrumen dilakukan dengan cara

melakukan korelasi antar skor totalnya. Suatu variabel dikatakan valid bila

skor variabel tersebut berkorelasi secara signifikan dengan skor totalnya.

Uji validitas yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan

menggunakan korelasi “Pearson Product Moment”.

r=N∑XY-(∑X∑Y)N∑2-(∑X)2N∑Y2-(∑Y)2

Keterangan :

N = Jumlah sampel

X = Skor pertanyaan yang di uji

Y = Skor total

XY = Skor pertanyaan yang di uji di kali skor total

Keputusan uji:

Bila r hitung lebih besar dari r tabel maka Ho ditolak, artinya variabel

valid.

Bila r hitung lebih kecil dari r tabel maka Ho gagal ditolak, artinya

variabel tidak valid.

2. Reliabilitas

Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana hasil

pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih
terhadap gejala yang sama dan dengan alat ukur yang sama (Hastono,

2007). Uji validitas dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan one

shot atau sekali ukur. Penghitungan dilakukan dengan sistem komputer.

Suatu instrumen dikatakan reliable bila r alpha chronbach/ keseluruhan

lebih besar dari r alpha if item deleted.

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada tanggal 5 Agustus 2009 di SMA

Negeri 6 Pandeglang pada 10 responden, karena menurut Notoatmodjo (2003)

bahwa responden yang digunakan untuk uji coba sebaiknya harus memiliki

ciri-ciri responden dan tempat dimana penelitian dilaksanakan.

Uji validitas menggunakan sistem pengolahan data dengan menggunakan

teknik product moment coefficient of correlation. Instrumen pendidikan seks

terdiri dari 20 pertanyaan, hasil analisis untuk instrumen penelitian tentang

pemberian pendidikan seks sejak dini didapatkan bahwa item pertanyaan

nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, dan 19 lebih

besar dari r tabel yaitu 0,632. Sedangkan untuk item pertanyaan 20 kecil dari r

tabel, maka dapat disimpulkan 19 item pertanyaan yang valid dan 1 item

pertanyaan yang tidak valid. Menurut hastono (2007) bahwa instrumen

dikatakan valid jika r hitung lebih besar dari r tabel, sehingga 1 item

pertanyaan yang tidak valid harus diganti atau dihilangkan hal ini sesuai

dengan teori Notoatmodjo (2003). Untuk pertanyaan yang tidak valid

kemudian peneliti menggantinya. Sedangkan dari hasil uji reliabilitas

instrumen dengan menggunakan rumus alpha if item deleted, maka dapat

disimpulkan bahwa instrumen tersebut reliabel.


Uji instrumen perilaku tersedia 20 pertanyaan dan hasil analisis untuk

instrumen penelitian perilaku didapatkan bahwa item pertanyaan nomor 1, 2,

3, 4, 5, 6, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, dan 20 lebih besar dari r tabel

yaitu 0,632. Sedangkan untuk item pertanyaan nomor 7, 8, dan 17 lebih kecil

dari r tabel, maka dapat disimpulkan 17 item pertanyaan yang valid dan 3

pertanyaan yang tidak valid. Menurut Hastono (2007) bahwa instrumen di

katakan valid jika r hitung lebih besar dari r tabel. Sehingga 3 item pertanyaan

yang tidak valid harus diganti atau dihilangkan hal ini sesuai dengan teori

Notoatmodjo (2003). Untuk pertanyaan yang tidak valid kemudian peneliti

menggantinya. Maka hasil uji reliabilitas instrumen untuk sikap dengan

menggunakan rumus alpha if item deleted, maka dapat di simpulkan bahwa

instrumen tersebut reliabel.

A. Pengolahan Data

1. Editing

Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau

kuisioner apakah jawaban yang ada di kuisioner sudah lengkap, jelas,

relevan dan konsisten.

2. Coding

Pada tahapan ini dilakukan pemberian kode pada jawaban pertanyaan

dalam kuisioner. Kegunaan koding adalah untuk mempermudah pada saat

analisis data dan juga mempercepat pada saat entry data.


3. Processing

Setelah semua kuisioner terisi penuh dan benar, serta sudah melewati

pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar data

yang sudah di entry dapat di analisis. Pengolahan data dilakukan dengan

cara mengentry dari data kuisioner ke paket program komputer.

4. Cleaning

Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali

data yang sudah di entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan

tersebut di mungkinkan terjadi pada saat mengentry ke komputer.

(Hastono, 2007).

A. Teknik Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa ini dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada

umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase

dari tiap variabel. Variabel dalam penelitian ini adalah pemberian

pendidikan seks sejak dini. Analisis data yang digunakan untuk pemberian

pendidikan seks sejak dini adalah dengan menggunakan skor dikotomi (1-

0), yaitu apabila jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban yang salah di

beri nilai 0. Sedangkan untuk variabel perilaku seks dengan menggunakan

skala likert yang terdiri dari lima alternatif jawaban dan masing-masing

diberi nilai. Untuk pernyataan positif: Sangat Tidak Setuju (STS) = 1,


Tidak Setuju (TS) = 2, Setuju (S) = 3, Sangat Setuju (SS) = 4. Sedangkan

untuk pernyataan negatif: Sangat Tidak Setuju (STS) = 4, Tidak Setuju

(TS) = 3, Setuju (S) = 2, Sangat Setuju (SS) = 1. Dilanjutkan dengan

menjumlahkan nilai atau skor yang diperoleh responden dari tiap

pertanyaan untuk variabel pendidikan seks.

a. Variabel Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini

Dengan rumus:

P=∑NSK x 100%

Keterangan:

P = Aspek Pemberian Pendidikan Seks

∑N = Jawaban yang benar

SK = Skor maksimum

(Arikunto, 1998:246)

Hasil pengukuran yang bersifat kualitatif untuk aspek pemberian

pendidikan seks sejak dini, selanjutnya dimasukkan ke dalam standar

kriteria objektif yang bersifat kuantitatif sebagai berikut:

Baik = Bila didapat 76-100%

Cukup = Bila didapat 56-75%

Kurang = Bila didapat < 55%

b. Variabel Perilaku Seks


Pengukuran variabel sikap dalam penelitian ini yaitu menggunakan

skala model likert yang terdiri dari 4 alternatif jawaban dan masing-

masing diberi nilai. Responden diminta pendapatnya mengenai setuju

atau tidak setuju terhadap sesuatu hal. Pendapat ini dinyatakan dalam

berbagai tingkat persetujuan (1-4) terhadap pernyataan yang disusun

oleh peneliti.

Dilanjutkan dengan menjumlahkan nilai atau skor yang diperoleh

responden dari tiap pernyataan. Rentang alternatif jawaban yang

terdapat pada instrumen ini adalah 1-4 dengan demikian nilai tertinggi

yang mungkin dicapai oleh responden untuk masing-masing sikap

adalah 4 x 20 = 80. Sedangkan nilai terendah yang mungkin dicapai

responden adalah 1 x 20 = 20. Berdasarkan nilai tersebut ditentukan

nilai median untuk kategorisasi dengan menggunakan rumus median

dari Rasyid (1994) dikutip oleh Nurhayati (2005) sebagai berikut :

median =skor minimal+skor maksimal2

Keterangan :

Skor minimal : 20

Skor maksimal : 80

median =20+802

=1002

=50
1. Anailisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang di duga

berhubungan, dengan tujuan untuk melihat hubungan antara variabel

Independent dengan variabel Dependent. Untuk membuktikan adanya

hubungan antara dua variabel tersebut dengan menggunakan uji statistik

Chisquare dengan batas kemaknaan alpha = 0,05 apabila nilai P < α maka

hasil perhitungan statistik bermakna (Notoatmodjo, 2005). Rumus

Chisquare (X2) yang digunakan adalah:

X2=(O-E)2E

Keterangan:

X2 = Nilai Chisquare

O = Frekuensi observasi

E = Frekuensi harapan

(Hastono, 2007)

A. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian atau langkah-langkah penelitian bergeuna untuk

mempermudah peneliti menyelesaikan penelitian. Adapun prosedur atau

langkah-langkah penelitian ini sebagai berikut :


1. Tahap Persiapan

a. Menentukan masalah

b. Memilih lahan penelitian

c. Melakukan studi pendahuluan

d. Menyusun proposal

e. Seminar proposal penelitian

1. Tahap Pelaksanaan

a. Izin Penelitian

b. Mendapatkan informed consent dari responden

c. Melakukan pengumpulan data

d. Melakukan pengolahan dan analisa data

1. Tahap Akhir

a. Menyusun laporan hasil penelitian

b. Sidang atau presentasi hasil penelitian


BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian pendidikan

seks sejak dini dengan perilaku seksual. Pengumpulan data memerlukan waktu

10 hari yaitu dari tanggal 14 Agustus sampai 24 Agustus 2009 data yang

dikumpulkan adalah data primer yang didapat langsung dari responden dan

pengumpulan data dilakukan di SMA Negeri 13 Pandeglang.

Setelah semua data terkumpul maka untuk selanjutnya melakukan pengolahan

data dari mulai tabulasi sampai dengan uji statistik dengan bantuan perangkat

lunak komputer. Hasil uji statistik terbagi ke dalam 2 analisa yaitu univariat

dan analisa bivariat. Hasil penelitian tersebut disajikan sebagai berikut:

1. Analisa Univariat

a. Gambaran Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini

Tabel 5.1
Distribusi Responden Menurut Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini
di SMA Negeri 13 Pandeglang Tahun 2009.

Pemberian Pendidikan Seks


Jumlah Prosentase
Sejak Dini
Baik 32 48,5
Cukup 33 50
Kurang 1 1,5
Total 66 100

78
Berdasarkan Tabel 5.1 bahwa responden yang memperoleh pendidikan

yang cukup tentang pendidikan seks yaitu sebanyak 50% atau sebagian

besar responden memperoleh pendidikan yang cukup tentang seks.

Dikarenakan banyak informasi yang diserap dan diterima oleh siswa

dan siswi melalui internet atau buku-buku yang dibaca oleh siswa,

disamping itu sosial budaya di lingkungan sekolah tersebut sangat

terbuka sehingga memudahkan informasi itu masuk pada siswa.

b. Gambaran Perilaku Seks

Tabel 5.2
Distribusi Responden Menurut Perilaku Seks
di SMA Negeri 13 Pandeglang Tahun 2009.

Perilaku Seks Jumlah Prosentase


Positif 40 60,6
Negatif 26 39,4
Total 66 100

Berdasarkan tabel 5.2 bahwa responden yang memiliki perilaku positif

terhadap perilaku seks yaitu sebanyak 60,6%. Hal ini terjadi karena

responden memiliki pendidikan yang baik, faktor lain yang

mempengaruhi terbentuknya perilaku positif responden yaitu faktor

eksternal dan internal. Sedangkan responden yang bersikap negatif

terhadap perilaku seksual, hal ini terjadi karena kurangnya faktor-

faktor dari eksternal maupun internal. Sehingga responden

menganggap bahwa perilaku seksual merupakan hal biasa.

1. Analisa Bivariat
a. Hubungan Antara Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan

Perilaku Seksual

Tabel 5.4
Hubungan Antara Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan
Perilaku Seksual Pada Remaja Di SMA Negeri 13 Pandeglang
Tahun 2009.

Pemberian Pendidikan Perilaku Seks


Total P.Value
Seks Positif Negatif
15 17 32
Baik
(46,9%) (53,1%) (100%)
25 8 33
Cukup
(75,8%) (24,2%) (100%)
0 1 1 0,027
Kurang
(0%) (100%) (100%)
40 26 66
Total (60,6%) (39,4%) (100%
)

Berdasarkan Tabel 5.4 bahwa sebagian besar responden (75,8%) yang

memperoleh pendidikan cukup tentang pendidikan seks berperilaku

positif, dibandingkan dengan kelompok responden yang berperilaku

negatif hanya (24,2%).

Hasil Uji Statistik (Chi Square) di dapatkan nilai P = 0,027 berarti P <

 = 0,05. Sehingga dapat disimpulkan Ho ditolak. Hal ini

membuktikan bahwa ada hubungan antara pemberian pendidikan seks

sejak dini dengan perilaku seks.

BAB VI
PEMBAHASAN

A. Gambaran Pemberian Pendidikan Seks

Berdasarkan hasil penelitian diatas terlihat bahwa yang memperoleh

pendidikan seks dengan cukup yaitu sebanyak 33 (50%). Dengan kata lain

remaja siswa dan siswi SMA Negeri 13 Pandeglang memiliki pendidikan yang

cukup tentang pendidikan seks. Pendidikan merupakan proses pengubahan

sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha manusia

melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

2005).

Hasil penelitian sesuai dengan Sarwono (2007) bahwa pendidikan seks adalah

salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks,

khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan

seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi

dan perasaan berdosa.

Dimana menurut Andersen pendidikan merupakan salah satu variabel yang

dipakai dalam model struktur social, diketahui bahwa individu yang berbeda

tingkat pendidikannya, mempunyai kecenderungan yang tidak sama dalam

mengerti dan beraksi terhadap kesehatan mereka dan juga dalam hal cara

penggunaan kesehatan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Kuncoroningrat

(1957) dalam Nursalam (2001) bahwa 81


makin tinggi pendidikan seseorang,

82
makin rendah menerima informasi. Sehingga semakin banyak pula

pengetahuan yang dimiliki, sehingga pendidikan yang kurang akan

menghambat perkembangan perilaku seseorang terhadap nilai-nilai yang baik

diterimanya.

Sesuai dengan pendapat peneliti bahwa pendidikan seks bukanlah penerapan

tentang seks semata-mata, akan tetapi sama seperti pendidikan umum lainnya

(Pendidikan Agama atau Pendidikan Moral Pancasila) yang mengandung

pengalihan nilai-nilai dari pendidikan ke subyek-didik. Pendidikan seks yang

kontekstual mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, tidak terbatas pada

perilaku hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal seperti peran

pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria-wanita dalam pergaulan dan

peran ayah–ibu dan anak-anak dalam keluarga.

B. Gambaran Perilaku Seksual

Berdasarkan hasil penelitian diatas terlihat bahwa responden yang memiliki

perilaku positif terhadap perilaku seks yaitu sebanyak 40 (60,6%).

Dibandingkan dengan responden yang berperilaku negatif terhadap perilaku

seksual yaitu sebanyak 26 (39,4%).

Menurut Azwar (2003) bahwa sikap merupakan cikal bakal dari sebuah

perilaku karena sikap merupakan kecenderungan seseorang untuk berperilaku.

Jika ada kesejajaran antara sikap dan perilaku. Dapat disimpulkan bahwa
terdapat banyak faktor menyebabkan perilaku responden kurang baik,

diantaranya pengetahuan, sikap dan tingkat pendidikan.

Sarwono (2007) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku

seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik

dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Hal ini dapat

dipengaruhi oleh pengalaman pribadi yaitu apa yang telah dan sedang kita

alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap

stimulus sosial, tanggapan dan penghayatan seseorang harus mempunyai

pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis.

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap pengalaman pribadi haruslah

meninggalkan kesan yang kuat oleh karena itu sikap akan mudah terbentuk

apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan

faktor emosional dalam situasi yang melibatkan emosi penghayatan,

pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama membekas. Pengaruh orang

lain, orang lain disekitar kita merupakan salah satu komponen sosial yang ikut

mempengaruhi sikap kita.

Media massa, berbagai media massa seperti televise, radio, surat kabar,

majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh dalam pembentukan opini dan

kepercayaan orang dalam menyampaikan informasi sebagai tugas pokoknya

media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat

mengarahkan opini seseorang.


Berdasarkan hasil penelitian bahwa responden yang berperilaku positif

terhadap perilaku seksual, terjadi karena responden memperoleh pendidikan

yang cukup, faktor lain yang memperngaruhi terbentuknya perilaku positif

responden yaitu faktor lingkungan eksternal dan internal. Sedangkan

responden yang berperilaku negatif terhadap perilaku seksual, terjadi karena

kurangnya pendidikan responden tentang seksual, serta kurangnya faktor-

faktor dari eksternal maupun internal. Sehingga responden menganggap

bahwa seks merupakan hal biasa yang tidak membahayakan bagi dirinya

maupun orang lain.

C. Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku

Seksual

Berdasarkan hasil uji statistic (Chi Squere) didapatkan nilai P = 0,027 berarti

nilai P < α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan Ho ditolak. Hal ini

membuktikan bahwa ada hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak

dini dengan perilaku seksual. Pengetahuan dapat diperoleh diantaranya

melalui pendidikan formal, non formal, pengalaman dan melalui media masa.

Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan diperoleh sebagian besar

melalui mata dan telinga dengan kata lain melalui penglihatan dan

pendengaran. Pengetahuan yang diperoleh melalui penglihatan dapat

dilakukan dengan membaca dari media cetak yang beredar dimasyarakat, baik
berupa buku, Koran dan majalah-majalah juga dapat diperoleh melalui media

massa dan internet. Sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui

pendengaran dapat diperoleh dari mendengarkan berita dari radio dan televise

dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan bersifat langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari

oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Sebelum seseorang berperilaku di

dalam diri seseorang terjadi proses yang berurutan yakni kesadaran dimana

orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap

objek, dimana orang mulai tertarik kepada objek, menimbang-nimbang

terhadap baik dan tidaknya objek tersebut bagi dirinya.

Hal ini berarti sikap dan pengetauan siswa sudah lebih baik. Apabila

penerimaan perilaku melalui proses seperti ini dimana didasari oleh

pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku pun akan

muncul dalam dirinya. Perilaku seseorang terhadap penyakit yaitu bagaimana

manusia berespon, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan memprestasi

penyakit yang ada pada dirinya dan luar dirinya, maupun aktif (tindakan yang

dilakukan sehubungan dengan penyakit tersebut).

Maka peneliti menyimpulkan bahwa responden yang berpendidikan cukup

serta di dasari kesadaran dan perilaku positif maka dapat mempengaruhi

responden untuk berperilaku positif. Kesadaran dan perilaku positif perlu juga

di berikan penyuluhan dan bimbingan dari pihak pelayanan kesehatan yaitu

untuk membantu dan mempengaruhi responden untuk berperilaku positif.


BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari tujuan penelitian dan hasil penelitian yang di peroleh tentang

hubungan pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada

remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang, maka penulis mengambil beberapa

kesimpulan sebagai berikut :


1. Dari hasil penelitian yang didapat dari sampel 66 siswa, sebagian besar

siswa memiliki pengetahuan yang cukup yaitu sebanyak 33 siswa (50%)

sedangkan yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik sebanyak 32

siswa atau (48,5%) dan siswa yang memiliki pengetahuan kurang

sebanyak 1 siswa atau (1,5%).

2. Perilaku siswa terhadap pendidikan seks, menunjukan bahwa dari 66

siswa. sebanyak 40 responden atau (60,6%) mempunyai sikap positif.

sedangkan sebanyak 26 responden atau (39,4%) responden mempunyai

sikap yang negatif.

3. Berdasarkan dari uji statistic dengan menggunakan Chi-square terdapat

hubungan yang bermakna antara pemberian pendidikan seks sejak dini

dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang tahun

2009.

Berdasarkan data yang telah diperoleh dari penelitian terhadap 66 responden

87 dapat disimpulkan bahwa Sikap


siswa SMA Negeri 13 Pandeglang maka

secara keseluruhan, didapatkan hasil sebagian besar responden mendukung

(favorable) terhadap sikap remaja dan sisanya responden bersikap tidak

mendukung (unfavorable). Dalam hal ini pendidikan seks akan membuat

aspek lain juga sehat baik secara fisik, seksual dan psikososial seseorang.

Pendidikan seks sejak dini bukan merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan.

Setiap remaja bisa membicarakan hal ini dengan guru disekolah dan orang tua

selama dirumah agar informasi yang didapatkan benar.


Remaja dalam hal ini mempunyai kewajiban menjaga organ serta fungsi

seksualitasnya dari sejak dini. Hal yang harus dijunjung tinggi oleh wanita

adalah menjaga keperawanan. Hubungan seksual sebelum menikah dan aborsi

bukan merupakan hal yang trendi di masa sekarang. Sehingga kesehatan

reproduksi remaja akan menjadikan seseorang akan bertanggung jawab dalam

membuat keputusan terlebih dahulu dipikirkan dengan akal yang sehat.

A. Saran

1. Bagi Institusi STIKes Faletehan

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai dasar penelitian lanjutan

dengan desain dan populasi yang sama, akan tetapi dengan variabel yang

berbeda, seperti kebiasaan, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

seksual,dan lain-lain.

2. Bagi Institusi Sekolah

SMA Negeri 13 Pandeglang yang siswanya berada pada tahap masa

remaja. Dalam hal ini pihak sekolah harus tetap meningkatkan kegiatan

yang berhubungan dengan pendidikan seksual pada remaja. Hal ini

berguna agar siswa SMA Negeri 13 Pandeglang tidak terbawa arus

tentang pergaulan seks bebas yang terjadi akhir-akhir ini dikalangan

pelajar sehingga siswanya dapat bertanggung jawab terhadap segala

tindakan yang akan dilakukan serta tetap menjaga organ serta fungsi

seksual sesuai dengan masa perkembangannya.


Untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa terhadap perilaku

seksual menyimpang, sehingga penelitian ini dapat menjadi bahan

pertimbangan bagi pihak sekolah untuk meningkatkan dan membina

siswa-siswanya dengan kegiatan yang positif sehingga dapat

mengembangkan potensi yang dimiliki remaja dan terhindar dari perilaku

seksualitas yang tidak sehat.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Adanya kecenderungan semakin meningkatnya perilaku remaja

menyimpang tidak dilakukan upaya-upaya pencegahan dan

penanggulangannya serta intervensi program pendidikan seksualitas

remaja, pada suatu saat akan terjadi penurunan kualitas kesehatan seksual

remaja yang berarti pula akan mempengaruhi kualitas bangsa. Kepada

peneliti selanjutnya, disarankan untuk meneliti lebih lanjut tentang "

Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap remaja terhadap perilaku seksual

remaja ".
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. Dkk. 2009. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.

Benson, R. C. Dkk. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi, Edisi 9. Jakarta:
EGC.

Diknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka.

Emilia, O. 2008. Promosi Kesehatan Dalam Lingkup Kesehatan Reproduksi.


Pustaka Cendikia.

Glasier, A. Dkk. 2005. Keluarga Berencadan Dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta:


EGC.

Glevinno, A. 2008. Remaja dan Seks. (http://public.kompasiana.com/).

Hastono, S. P. 2007. Analisis Data Kesehatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan


Masyarakat Universitas Indonesia.

Herdiana, Y. 2007. Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Siswa-Siswi Tentang


Perilaku Seks Bebas Di SMUN 6 Pandeglang. Serang: STIKes Falatehan.
Hutapea, R. 2003. AIDS & PMS dan Pemerkosaan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Kuntjojo. 2008. Mencegah Perilaku Seks Yang Tidak Sehat Pada Remaja Melalui
Pendidikan seks. (http://ebekunt.wordpress.com/).

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka


Cipta.

________. 2005. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

________. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta:


PT. Rineka Cipta.

Nursalam, S. P. 2001. Pendekatan Praktis Metode Riset Keperawatan. Jakarta :


CV. Sagung Seto.

Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Pasti, Y. P. 2008. Memotret Perilaku Seks Remaja. (http://whandi.net/index.php?).


Paud. 2008. Usia Dini dan Pendidikan Anak Usia Dini.
(http://guruenglish.wordpress.com).

Sarwono, S. W. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya. Jakarta:


Sagung Seto.

Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Tambayong, J. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Widiyastuti, Y. Dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Fitramaya.

Willis, S. S. 2005. Remaja Dan Masalahnya. Bandung: Alfabeta.

You might also like