You are on page 1of 13

BAB I

Pendahuluan

Syaikh Nawawi al-Bantani

Guru Para Ulama Indonesia

Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia.
Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh
Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri,
Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini
termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia,
tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh
Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya.

Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat,
1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama
berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama lengkap Abu Abdullah
al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi
sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah
mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu
Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten.
Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta
Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke
Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak
langsung kembali ke tanah air.

Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk


menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti
Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf
Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan,
Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya
ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah.

Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu
mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan
pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari
penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula,
keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar.
Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya
mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika
Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk
menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan
Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan
menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari
berbagai belahan dunia. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi

1
Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30
hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya.
Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi
Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari
dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah
air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis
buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang
produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak
34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf
Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih
dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah,
syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara
luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah,
Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid,
Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-
Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya
tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini,
menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenal sebagai
ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi
amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian,
dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya
tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi
kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap
menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka
memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam
rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.

Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya


pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas. Empat
pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i.
Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat,
bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi,
Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain
mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya
ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah
terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang
keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut
bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-
Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di
Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di
Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M.

2
BAB II

Karya dan Karomahnya…

Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama


Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan
Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana
tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran
beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz).
Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh
Keluarga Saud).

Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil
Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau
banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya
dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil
karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi
bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan
Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu
produktifnya beliau dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang
menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang
membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll.
Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.

Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab.
Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas
dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga,
berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib
para mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas
berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang
berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah
(penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau
dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam
Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa
tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH
Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa
Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah
(karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam
perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita, melamun
atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum
muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis.
Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan
menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat

3
Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap),
ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.

Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya
akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang
lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para
petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih
utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya
Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak
juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang,
Banten.

4
BAB III
Al-Ghazali Modern
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia.
Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab
Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di
pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai
asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan
ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan
utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya
sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-
Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.

Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai


ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi
telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi
keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan
tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri
organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai
tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah
guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH.
Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang
mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap
Syekh Nawawi.

Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU


berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih
lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional
dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di
seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang
sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah
hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik
praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam
keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum
ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan
pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di
tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal.
Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir
tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten
merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian.

5
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi
keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam
pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan
pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Nawawi dapat
dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik
jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak
akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di
pesantren-pesantren.

a. Biography Syekh Nawawi

Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn
Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi
al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815
M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya
yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah,
Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya
di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at
terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan
Syekh Nawawi Banten.

Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid.
Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana
Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya
bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam
Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.

Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan


ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra
Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia
kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup
lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah
menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya
membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang
dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat
lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.

Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia


mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-
Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang
bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan
yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-
Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan
Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan

6
perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti
Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.

Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan


kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun.
Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram.
Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan
agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah
karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan
sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan
permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk
dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya
yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian
besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang
populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan
orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang
sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.

Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama


besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat
dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana
terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai
penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas
dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi
bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena
kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-
Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-
Hijaz [pemimpin Ulama daerah Hijaz, red.].

Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir


waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan
siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode
pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan
harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai
agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.

b. Bidang Teologi

Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat


dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir,
tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis
dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari
banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi
adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang
keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat

7
kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-
utuh.

Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut


teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia
di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-
Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-
Su’ud.

Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi
mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat
Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat
diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia
membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah
sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat
yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah
sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama
yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai
orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di
negeri ini.

Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan


bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql
harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan
keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql.
Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan
untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.

Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah


(Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan
dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi
ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah.
Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep
jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan
pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan
apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil
membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan
berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di
Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.

Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah


sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal
fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada
satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah
pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu

8
sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah
tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam
disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak
terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam
pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di
Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering
memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram
hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda
karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.

Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai
“obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya
seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-
Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil
memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang
mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari
berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di
berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para
ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah
singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena
nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di
Mesir.

c. Sufi Brilian

Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya


mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang
ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok. Dari karyanya saja Nawawi
menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang
dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis
dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan
tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana
Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini
merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.

Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib


Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat,
bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa
keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih
mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat
dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan
kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat
merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil
dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak
menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang
bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.

9
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya
terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh
dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat
Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan
(dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri,
Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.

Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur
teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat
antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya
perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal
ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-
Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf.
Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam
batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan tadarrus
(belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melalui
proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang
Abid diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja
tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf
berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu
batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha
menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq.
Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap
moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang
Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat
yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”.

Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi
dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai
penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab
dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi
tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan
dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik. Setelah
karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren
mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa
sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila
sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber
referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang
bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas
tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh
Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh
Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan
kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai Mahfuz Termas (1919 M) yang

10
telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis. Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya
banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh
wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok
tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-
sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T.
Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40
sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional.
Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas
Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di
Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia.

Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti


kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di
Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum
Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22
judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang
dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11
judul populer di antaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawi tidak lepas
dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh
nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam
perjuangan nasional. Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang,
Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama ), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura,
Jawa Timur, KH. Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi
Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu
perempuan KH. Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, KH. Tubagus
Muhammad Asnawi, dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung
Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung,
Kec. Tirtayasa, Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran
karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini
memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.

Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan


memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis
yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani
dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian
besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat
di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa
enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren.
Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh K.H. Nawawi Banten., Syekh K.H.
Mahfuz Termas, Syekh K.H. Abdul Karim, K.H. Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh
K.H. Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.
Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi
yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari,
salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam
memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon
gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan,

11
K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid
karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia
senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad
Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia
tidak mau mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua
tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh K.H. Kholil Bangkalan
dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran
karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan
Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Kiai Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan
Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.
Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga turut mempercepat
penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan
untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau
ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir
Jalalain. Peranan Kiai para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya
Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak
dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H Hasyim Asyari
memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga
memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi.

Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak


mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana
penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain menjadi benteng penyebaran ajaran
tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua
pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan
antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf
cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam
hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara
tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di
sisi lain. Sejak abad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektual dari
generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun bergeser masuk dalam wilayah politik.
Ketika kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan
Haramain oleh penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren
membentuk sebuah komite yang disebut dengan “komite Hijaz” yang terdiri dari 11
ulama pesantren. Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim,
seorang kiai produk perguruan Haramain, komite ini bertugas melakukan negosiasi
dengan raja Saudi yang akan memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam
dan peninggalan-peninggalan bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam
perkembangannya komite ini kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam
negeri. Untuk masuk dalam wilayah politik praktis secara intens organisasi ini kemudian
mengalami perubahan nama dari Nahdlatul Wathan (NW) sampai jadi Nahdlatul Ulama
(NU).

12
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi merupakan sosok ulama
yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU. Sebab karakteristik pola
pemikirannya merupakan representasi kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di
tengah-tengah gelombang gerakan purifikasi dan pembaharuan. Kehadiran NU adalah
untuk membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang
mengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik. Karenanya formulasi manhaj al-Fikr
tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi (diuraikan kembali) oleh para ulama NU
sebagai garis perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap
konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila disebut berdirinya NU merupakan tindak
lanjut institusionalisasi dari arus pemikiran KH. Nawawi Banten.

13

You might also like