You are on page 1of 64

KEWAJIBAN NAFKAH IDDAH SUAMI KEPADA ISTRI

YANG TELAH DICERAI


(Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 394/pdt.G/2005/PA.SAL)

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

Disusun Oleh :
KHURUL AINI
NIM. 211 02 012

JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDY AHWALUSY SYAKHSIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) SALATIGA
2007
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

DEKLARASI .................................................................................................. ii

NOTA PEMBIMBING .................................................................................... iii

PENGESAHAN .............................................................................................. iv

MOTTO .......................................................................................................... v

PERSEMBAHAN ........................................................................................... vi

KATA PENGANTAR .................................................................................... vii

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................... 4

D. Tinjauan Pustaka .................................................................... 5

E. Kerangka Teori ....................................................................... 9

F. Metode Penelitian .................................................................. 10

G. Sistematika Pembahasan ........................................................ 13

BAB II TUJUAN UMUM TENTANG KEWAJIBAN NAFKAH

IDDAH KEPADA SUAMI ISTRI YANG TELAH DICERAI

A. Pengertian Iddah .................................................................... 15

B. Dasar Hukum Iddah ............................................................... 18

ii
C. Macam-macam Iddah ............................................................. 21

D. Hikmah Disyariatkannya Iddah .............................................. 26

E. Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah ................ 31

F. Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah .................. 31

BAB III WEWENANG PENGADILAN AGAMA DALAM

MENYELESAIKAN KEWAJIBAN NAFKAH IDDAH

KEPADA SUAMI ISTRI YANG TELAH DICERAI

A. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menetapkan Nafkah

Iddah........................................................................................ 35

1. Kewenangan Pengadilan Agama ..................................... 35

2. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menetapkan

Iddah ................................................................................. 39

BAB IV PROSES PENYELESAIAN KEWAJIBAN NAFKAH IDDAH

SUAMI KEPADA ISTRI YANG TELAH DICERAI

A. Proses Penyelesaian dan Sikap Pengadilan Agama terhadap

Bekas Suami yang Tidak Menjalankan Kewajiban ................ 43

B. Suami yang Menjalankan Kewajiban dan yang Tidak

Menjalankan Kewajiban pada Masa-Masa Iddah Istri yang

Telah Dicerai........................................................................... 50

C. Macam-macam Alasan Suami yang Tidak Melaksanakan

Kewajiban pada Masa Iddah ................................................... 52

iii
BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 55

B. Saran-saran ............................................................................. 56

C. Penutup.................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

LAMPIRAN

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada era globalisasi seperti sekarang ini banyak sekali permasalahan-

permasalahan yang timbul, umumnya pada permasalahan perkawinan. Di

Pengadilan Agama (PA) Salatiga banyak pengajuan kasus perkawinan

khususnya dalam kasus penyelesaian nafkah iddah. Dimana norma-norma dan

kaidah-kaidah yang ada dan mengatur masalah ini sudah dikesampingkan.

Dan hukum-hukum yang mengatur hal ini, sepertinya sudah tidak diindahkan

(dipedulikan) lagi. Walaupun ini hanya terjadi di kota-kota besar khususnya

seperti yang terjadi di Bandung, Jakarta, dan daerah khusus kota Salatiga.

Pada prinsipnya perkawinan itu bertujuan untuk selama hidup dan

untuk mencapai kebahagiaan yang kekal (abadi) bagi suami istri yang

bersangkutan. Sehingga Rasulullah melarang keras terjadinya perceraian

antara suami istri, baik itu dilakukan atas inisiatif pihak laki-laki (suami)

maupun pihak perempuan (istri). Karena semua bentuk perceraian itu akan

berdampak buruk bagi masing-masing pihak. Suatu perceraian yang telah

terjadi antara suami istri secara yuridis memang mereka itu masih mampunyai

hak dan kewajiban antara keduanya, terutama pada saat si istri sedang

menjalani masa iddah.


Iddah adalah waktu menunggu bagi mantan istri yang telah diceraikan

oleh mantan suaminya, baik itu karena thalak atau diceraikannya. Ataupun

karena suaminya meninggal dunia yang pada waktu tunggu itu mantan istri

belum boleh melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki lain.1

Pada saat iddah inilah antara kedua belah pihak yang telah

mengadakan perceraian, masing-masing masih mempunyai hak dan kewajiban

antara keduanya. Bila suami melalaikan kewajibannya maka akan timbul

berbagai permasalahan, misalnya si anak putus sekolahnya, sehingga anak

tersebut menjadi terlantar atau bahkan menjadi gelandangan. Sedangkan

mantan istrinya sendiri tidak menutup kemungkinan akan terjerumus ke

lembah hitam.

Inilah fenomena-fenomena yang sering timbul dari perceraian yang

mana suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap hak istri dan anak

pada masa iddah. Setelah terjadi perceraian pada hakikatnya si suami harus

memberikan minimal perumahan pada mantan istri dan anaknya. Berkenaan

dengan itu kewajiban suami tersebut, alam Kompilasi Hukum Islam pasal

18 ayat 1 yang berbunyi “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi

istri dan anak-anaknya atau mantan istrinya yang masih dalam masa iddah”.2

Dari bunyi di atas sudah jelas bagi suami yang telah menceraikan

istrinya wajib untuk menyediakan tempat tinggal, ataupun membolehkan

1
Muhammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. 6, PT. Raja
Grafindo, Pustaka Pelajar, Jakarta, hlm. 125
2
Moh. Mahfud, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, cet. I, Yogyakarta Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 199

2
istrinya untuk bertempat tinggal di rumahnya sampai batas masa iddah habis

(berakhir).

Bila suami melalaikan kewajiban ini, maka istri dapat mengajukan

gugatannya ke Pengadilan Agama. Gugatan tersebut dapat diajukan bersama-

sama sewaktu istri mengajukan berkas gugatan atau dapat pula gugatan

tersebut diajukan di kemudian. Akan tetapi ada pula kewajiban tersebut tidak

dapat dibebankan kepada mantan suami, misalnya pada waktu terjadi

perceraian tersebut disebabkan istri murtad atau sebab-sebab lainnya yang

menjadi sebab suami tidak wajib menunaikan hak istri dan bila telah ada

kemufakatan bersama atas putusan Pengadilan Agama tentang nafkah anak

tersebut, maka dapat pula nafkah si anak ditanggung bersama antara keduanya

(suami-istri).

Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam

menyelesaikan masalah nafkah iddah. Namun untuk menyelesaikan masalah-

masalah tersebut di atas para pencari keadilan yang selalu agresif mengajukan

permasalahannya ke Pengadilan Agama. Bila tidak mendapatkan kejelasan

dan kepastian hukum sudah barang tentu pengajuan perkara haruslah sesuai

dengan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Bertitik tolak dari realitasyang ada ini penyusun merasa terpanggil

untuk membahas lebih mendalam tentang penyelesaian nafkah iddah. Dengan

pembahasan tersebut diharapkan akan mendapatkan suatu gambaran, dan

jawaban yang konkrit dalam implikasi Pengadilan Agama dan Undang-

undang kehidupan masyarakat.

3
Perkara yang diterima Pengadilan Agama Salatiga dalam pengajuan

cerai talak dan cerai gugat Pengadilan Agama pada tahun 2004 kurang lebih

ada 20% perkara yang diputuskan hanya kurang lebih 19%. Dan pada tahun

2005 Pengadilan Agama Salatiga dalam pengajuan cerai thalak dan cerai

gugat Pengadilan Agama kurang lebih ada 20% perkara, yang diputuskan oleh

Pengadilan Agama hanya kurang lebih 19%.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas

maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang merupakan

sentral pembahasan dalam skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana konsep nafkah iddah menurut hukum Islam dan perundang-

undangan di Indonesia?

2. Bagaimana cara penyelesaian nafkah iddah dan pertimbangan hakim

Pengadilan Agama Salatiga dalam mengabulkan permohonan nafkah

iddah?

3. Bagaimana kesesuaian putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga tentang

nafkah iddah dengan hukum Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui konsep nafkah iddah menurut hukum Islam dan

perundang-undangan di Indonesia.

4
b. Untuk mengetahui cara penyelesaian nafkah iddah dan pertimbangan

hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam mengabulkan permohonan

nafkah iddah.

c. Untuk mengetahui kesesuaian putusan hakim Pengadilan Agama

Salatiga tentang nafkah iddah dengan hukum Islam.

2. Kegunaan Penelitian

Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah :

a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan

dan kontribusi kepada peneliti khususnya dalam ilmu pengetahuan

yang berkaitan dengan nafkah iddah.

b. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar Sarjana

Strata 1 (S-1) dalam bidang hukum Islam (syari’ah)

c. Sebagai wacana bagi para pembaca.

D. Tinjauan Pustaka

Menurut historis iddah telah dikenal sejak zaman dahulu. Orang-orang

Arab tidak pernah meninggalkan iddah bagi istri-istri mereka yang telah

diceraikan dan ini telah menjadi kebiasaan. Para ulama telah sepakat iddah itu

hukumnya wajib bagi istri yang telah diceraikan.

Iddah ialah masa tunggu atau tenggang waktu sesuai dengan jatuhnya

thalak dari suami, dimana pada masa iddah ini suami boleh untuk merujuk

kepada istrinya. Sehingga pada masa iddah ini si istri belum boleh untuk

melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain.

5
Pada masa iddah ini sebenarnya untuk meyakinkan kekosongan rahim

si istri agar terhindar dari percampuran atau kekacauan nasab bagi anak yang

dikandung. Disamping itu untuk memikir kembali atau jalan yang mereka

tempuh, apakah untuk merujuk kembali atau tetap meneruskan perceraian

yang telah terjadi. Bagi istri yang telah diceraikan oleh suaminya, baik istri

tersebut dicerai hidup dari pihak si sumai ataukah si istri tersebut sedang

mengandung atau tidak. Maka si istri tersebut wajib untuk menjalani masa

iddah sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 153 ayat

(1) yang berbunyi : “Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku

waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla dukhul dan perkawinan putus bukan

karena kematian suami”.3

Dari bunyi pasal tersebut di atas dapat dipahami bahwa setiap istri

yang diceraikan suaminya diharuskan untuk menjalani masa iddah, yang lama

waktunya ditetapkan menurut keadaan istri yang diceraikan atau suami yang

menceraikannya, yakni apakah perceraian itu terjadi karena cerai proses

pengadilan atau cerai karena kematian. Setelah terjadinya perceraian

berdasarkan hukum perdata maupun hukum syara’ si suami dibebankan untuk

memberikan perumahan kepada pihak mantan istri. Dan apabila si suami tidak

memberikannya, baik itu perumahan ataupun nafkah kehidupan (uang belanja)

maka si istri dapat mengajukan masalah tersebut kepada pengadilan agama.

Mengajukan tuntutan perumahan ataupun biaya nafkah dapat diajukan

bersama-sama dengan permohonan cerai dan dapat pula diajukan kemudian.

3
Ibid., hlm. 210

6
Kewajiban suami terhdap istri tersebut diatur dalam Undang-undang

No. 1 1974 pasal 41 (c), yang berbunyi : “Pengadilan Agama dapat

mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya kehidupan dan

atau untuk menentukan suatu kewajiban bagi mantan suami”. 4

Suatu yang telah diputuskan di Pengadilan Agama haruslah dipatuhi

dan dijalankan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, bila tidak dijalankan

maka Pengadilan Agama dapat menjatuhkan eksekusi kepada pihak tersebut.

Inipun apabila pihak dirugikan mengadu kepada Pengadilan Agama yakni

tentang putusan yang dilalaikan oleh pihak lain. Dalam mengeksekusi pihak

yang melalaikan putusan majlis hakim tersebut, Pengadilan Agama dapat

menarik atau meminta bantuan kepada pihak kepolisian.

Perceraian yang terjadi karena si istri murtad atau melanggar syara’

lainnya, maka si istri tersebut tidak mempunyai hak untuk menuntut

perumahan dan biaya nafkah. Ini berakibat si suami mempunyai kewajiban

untuk memberi perumahan ataupun nafkah belanja. Akan tetapi adapun si istri

mempunyai hak namun si suami tidak wajib menunaikannya. Ini hanya

berlaku pada perceraian yang terjadi karena mati atau setelah bercerai si suami

meninggal dunia. Menurut Azhar Basyir, suatu perceraian yang terjadi karena

kematian suaminya baik itu perceraian yang terjadi, kemudian si suami

meninggal dunia maka bekas istrinya tidaklah dapat menuntut hak kepada

orang yang telah meninggal dunia. Tetapi nafkah dapat diambil dengan

menyisihkan sebagian harta peninggalan si suami yang meninggal tersebut.5

4
H. Arso Armojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. III, Bulan Bintang, Jakarta,
1981, hlm. 59
5
Azhari Basyir, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. I, Yogyakarta, 1997, hlm. 77

7
Jadi istri (perempuan) yang ditinggal mati suaminya itu tidak

sepenuhnya dia mendapat nafkah namun bila bekas suami tersebut

meninggalkan harta yang cukup, maka sesudah dibaginya harta si istri dan

mendapatkan dispensasi dalam mendapatkan bagiannya.

M. Tholib dalam masalah hak istri pada masa iddah itu menjelaskan

bahwa perempuan beriddah mendapatkan hak kediaman (perumahan), dan ia

haruslah tetap tinggal, di rumah suaminya habis masa iddahnya. Dan suami

tidak berhak menyuruh istrinya keluar rumah tersebut, sekalipun telah jatuh

talak atau perpisahan ketika tidak di rumah suami, maka istri tetaplah wajib

untuk pulang ke rumah suaminya itu begitu ia mengetahui bahwa telah jatuh

talak tersebut.6

Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa istri yang telah

ditalak suaminya walaupun waktu tidak ada di rumah kediaman suami

tersebut, maka istri tersebut tetap wajib untuk kembali dan tinggal di rumah

tersebut, suamipun tidaklah berhak untuk melarang dan mengusir istri tersebut

dengan alasan apapun, karena merupakan salah satu hak istri terhadap suami

dimana si suami haruslah menunaikannya.

Dalam tunjangan ini apabila tidak memuaskan dapat mengajukan

kembali permohonan supaya penetapan ini hakim ditinjau kembali. Ada

kalanya jumlah tunjangan itu ditetapkan oleh kedua belah pihak atas dasar

mufakat, namun ada juga jumlah tunjangan itu ditetapkan oleh hakim dengan

pertimbangan dan keadaan suami.

6
M. Thalib, Liku-liku Perkawinan, cet. I, P.D. Hidayat, Yogyakarta, 1986, hlm. 168

8
E. Kerangka Teori

Beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai landasan

pemikiran dan sebagai alat analisisnya.

1. Surat At Thalak ayat 7

‫ﻟﻴﻨﻔﻖ ذو ﺳ ﻌﺔ ﻣ ﻦ ﺳ ﻌﺘﻪ وﻣ ﻦ ﻗ ﺪر ﻋﻠﻴ ﻪ رزﻗ ﻪ ﻓﻠﻴﻨﻔ ﻖ ﻣﻤ ﺎ‬


‫ءاﺗﻪ اﷲ ﻻ ﻳﻜﻠﻒ اﷲ ﻧﻔﺴﺎ إﻻ ﻣﺎ ءاﺗﻬﺎ ﺳﻴﺠﻌﻞ اﷲ ﺑﻌ ﺪ ﻋ ﺴﺮ‬
‫ﻳﺴﺮا‬
Artinya : Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.7

2. Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang Hak dan Kewajiban

Suami Istri pasal 34

a. Suami wajib melindungi istri dan memberi segala sesuatu keperluan

hidup berumah tangga sesuai kewajiban.

b. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

c. Jika suami atau istri melainkan kewajiban masing-masing dapat

mengusulkan gugatan ke pengadilan

Dari bunyi pasal di atas dapat diketahui bahwa kewajiban seorang

ayah dalam memenuhi hak-hak anaknya. Hendaknya diberikan untuk baik

semasa perkawinan maupun sesudah perceraian dengan ibu dari anaknya.

Namun itu merupakan bukti dari peraturan yang kadang terhenti

pada tataran teori dan harapan. Sedangkan kehidupan anak yang akan

9
menekan biaya adalah realitas yang tidak bisa ditawar. Sehingga yang

dibutuhkan adalah penanganan secara riil dan serius, sehingga kesadaran

hukum untuk melaksanakan peraturan sangatlah dibutuhkan atau dengan

kata lain terbentuknya peraturan idenya efektif pelaksanaannya.

Bagaimana nasibnya anak yang lahir dari seorang ibu yang telah disertai

oleh suaminya kalau pasal di atas tidak terlaksana.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Beberapa pendekatan yang penyusun pergunakan untuk

melaksanakan penelitian ini, antara lain :

a. Pendekatan historis ialah penulis mempelajari sejarah perkembangan

dari tahun ke tahun “kewenangan Pengadilan Agama Salatiga dalam

menyelesaikan nafkah serta proses penyelesaian iddahnya di

Pengadilan Agama”

b. Pendekatan Aplikatif

Pendekatan aplikatif ialah dengan mengalisa tiap permasalahan

yang terjadi dari tahun ke tahun dan menganalisa tentang sikap

Pengadilan Agama dalam menyelesaikan permasalahan dengan tidak

mengakibatkan faktor-faktor situasi dan ruang lingkup dimana mereka

berada.

7
Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara, 1986,
hlm. 916

10
2. Definisi Operasional

a. Yang dimaksud “kewenangan Pengadilan Agama” ialah suatu proses

hukum dimana Pengadilan Agama atau majlis hakim berhak untuk

memeriksa, menyelesaikan, menetapkan dan memutuskan perkara atau

permasalahan yang diajukan oleh pihak-pihak untuk mendapatkan

kepastian hukum, selama masalah tersebut dalam ruang lingkup

kewenangan Pengadilan Agama.

b. Yang dimaksud masa iddah ialah masa tunggu bagi si istri yang telah

diceraikan oleh suaminya dimana istri belum boleh kawin lagi dengan

laki-laki lain (bukan suaminya) sebelum masa iddah itu habis dan

masa iddah ini juga merupakan masa berfikir bagi suami apakah ia

untuk meneruskan perceraian tersebut atau kembali bekas istrinya.

c. Yang dimaksud dengan “nafkah iddah akibat perceraian” sesuatu

pemberian yang berupa nafkah yang diberikan pada seorang istri. Hak

itu milik seseorang yang menjadi milik orang lain.

3. Jenis Data

Sebelum penyusun kemukaan subyek dari penelitian, terlebih

dahulu perlu diketahui tentang jenis data yang diperlukan dalam kaitannya.

4. Subyek penelitian

Subyek penelitian dalam istilah lain dapat pula disebut dengan

sumber data: sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

subyek dari mana data itu dapat diperoleh. Sehubungan dengan wilayah

11
sumber data yang dijadikan sebagai sumber penelitian, maka dikenal

dengan populasi dan sampel.

a. Populasi, meliputi masyarakat yang telah bercerai berai di Pengadilan

Agama Salatiga berjumlah 227 kasus pada tahun 2004 dan pada tahun

2005 berjumlah 231

b. Sampel diambil berdasarkan penelitian subjektif bahwa sampel benar-

benar mencerminkan populasi.8 Dari 723 kasus yang diklasifikasikan.

5. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang sehubungan dengan penelitian ini,

maka penyusun menggunakan metode antara lain :

a. Wawancara (interview)

Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data

dengan melakukan tanya jawab sepihak secara sistematis, berdasarkan

tujuan, wawancara ini dilakukan dengan hakim pengadilan Agama

yang berwenang.

b. Studi Pustaka

Studi pustaka yaitu membaca buku-buku literature dan

mengkajinya sesuai dengan pembahasan yang ada hubungan dengan

pembahasan yang dibahas.

6. Metode Analisis Data

Setelah seluruh data-data terkumpul maka barulah langkah

selanjutnya penyusun menentukan bentuk pengolahan terhadap data-data

tersebut antara lain :

12
a. Deduktif yaitu cara berfikir yang titik tolak dari kebenaran-kebenaran

yang sifatnya umum menuju ke arah yang sifatnya khusus.

b. Induktif yaitu cara berfikir yang bertitik tolak dari kenyataan-

kenyataan khusus berupa fakta-fakta menuju kepada suatu kesimpulan

yang sifatnya umum.

c. Komparatif yaitu membangun suatu pendapat atau data dengan

pendapat atau data lain barulah kemudian diambil kesimpulan.

G. Sistematika Pembahasan

Skripsi ini terdiri dari tiga bagian, dan masing-masing bagian disusun

secara sistematis sebagai berikut :

Pada bab I ini dimuat tentang latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori,

metode pembahasan dan sistematika pembahasan.

Bab II berisi tentang tujuan umum tentang masa iddah yang meliputi

antara lain: pengertian iddah, dasar hukum iddah, macam-macam iddah,

hikmah disyari’atkan iddah, dan kewajiban suami istri pada masa iddah.

Bab III memuat tentang wewenang Pengadilan Agama dalam

menyelesaikan masalah yang meliputi, kewenangan Pengadilan Agama dalam

menetapkan iddah mantan istri, hak dan kewajiban suami dan istri yang telah

dicerai.

Bab IV berisi tentang proses penyelesaian hak dan kewajiban suami

istri pada masa iddah yang meliputi proses penyelesaian dan sikap di

8
Ibid., hlm. 147

13
Pengadilan Agama terhadap bekas suami yang tidak mampu menjalankan

kewajibannya pada masa iddah istri.

Bab V berisi tentang hasil analisa yang menggabungkan antara bab

ketiga dan keempat, sehingga menjadi kesimpulan sebagai bagian penutup

bagian ini juga berisi tentang kesimpulan dan saran.

14
BAB II
TUJUAN UMUM TENTANG KEWAJIBAN NAFKAH IDDAH
KEPADA SUAMI ISTRI YANG TELAH DICERAI

A. Pengertian Iddah

Bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya baik

karena ditalaq atau karena ditinggal mati oleh suaminya, mempunyai akibat

hukum yang harus diperhatikan yaitu masalah iddah. Keharusan beriddah

merupakan perintah Allah yang dibebankan kepada bekas istri yang telah

dicerai baik dia (istri) orang yang merdeka maupun hamba sahaya untuk

melaksanakannya sebagai manifestasi ketaatan kepadanya.

Untuk memudahkan pembahasan kita mengenai pengertian iddah ini,

maka penulis mencoba mengungkapkan dan menyajikan dari dua segi yaitu

segi bahasa dan segi istilah.

1. Dari Segi Bahasa

Sebelum kita mengkaji lebih lanjut tentang nafkah iddah terlebih

dahulu penulis kemukakan arti iddah ditinjau dari segi bahasa, iddah

berasal dari kata ‫ ﻋﺪد‬yang mempunyai arti bilangan atau hitungan.9

Dalam Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, iddah

berasal dari kata ‫ ﻋ ّﺪ‬yang berarti menghitung.10

9
Muhammad Idris Abdurra'uf, Al Marbawy Juz I, Kamus Idris Melayu, Darul Ulum Al
Islamiyah, 354, hlm. 8-9 bagian 2
10
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hida Karya Agung, Jakarta, 1997, hlm. 42

15
Dengan demikian jika ditinjau dari segi bahasa, maka kata iddah

dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci pada

wanita.11

2. Dari Segi Istilah

Para ulama’ telah merumuskan pengertian iddah dengan rumusan,

antara lain

‫اﺳﻢ ﻟﻠﻤﺪة اﻟﺘﻰ ﺗﻨﺘﻈﺮ ﻓﻴﻬﺎ اﻟﻤﺮأة وﺗﻤﺘﺴﻊ ﻋﻦ اﻟﺘﺰ وﻳ ﺞ ﺑﻌ ﺪ‬


‫وﻓﺎة زوﺟﻬﺎ او ﻓﺮاﺗﻪ ﻟﻬﺎ‬
12

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa iddah adalah suatu

tenggang waktu tertentu yang harus dijalani seorang perempuan sejak ia

berpisah. Baik disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal

dunia. Dalam hal iddah ini wanita (istri) tidak boleh kawin dengan laki-

laki lain sebelum habis masa iddahnya. Dengan demikian dapat diambil

suatu pengertian bahwa iddah itu mempunyai beberapa unsur yaitu :

a. Suatu tenggang waktu tertentu

b. Wajib dijalani si bekas istri

c. Karena ditinggal mati oleh suaminya maupun diceraikan oleh

suaminya.

d. Keharaman untuk melakukan perkawinan selama masa iddah

Untuk memperjelas pengertian tersebut di atas, dapat dikemukakan

hasil Tim Departemen Agama RI yang merumuskan bahwa iddah menurut

pengertian hukum Islam ialah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum

11
Chuzaiman T. Yanggo dkk., Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. I, PT.
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm. 149

16
syara’ bagi wanita untuk tidak melakukan akad perkawinan dengan laki-

laki lain dalam masa tersebut. Sebagai akibat perceraian atau ditinggal

mati suaminya. Dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat

hubungan dengan suaminya itu.13 Jadi iddah itu adalah kewajiban pihak

perempuan untuk menghitung hari-harinya dan masa bersihnya dan ini

merupakan nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan

tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dengan

suaminya.14 Bertolak dari beberapa definisi tersebut di atas dapat

dirumuskan bahwa iddah menurut pengertian dalam hukum Islam adalah

masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita (istri) untuk

tidak melakukan aqad nikah baru dengan laki-laki lain dalam masa

tersebut, dengan tujuan untuk membersihkan diri dari pengaruh akibat

hubungan antara mantan suaminya itu serta sebagai ta’abudi kepada Allah

SWT.

Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang

merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Perkawinan No. 1

tahun 1974 akan kita ambil pengertian yang sifatnya sudah cukup tegas.

Hal ini disebabkan karena definisi waktu tunggu iddah itu sendiri sudah

diulas secara konkrit dan jelas. Menurut H. Arso Sastroadmojo dalam

bukunya Hukum Perkawinan Indonesia dijelaskan bahwa :

Iddah adalah tenggang waktu dimaa janda bersangkutan tidak boleh kawin

bahkan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran dengan tujuan

12
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Darul Fikry, Beirut, t.t., hlm. 277

17
untuk menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil. Dan juga

sebagai masa berkabung bila suami yang meninggal dunia dan untuk

menentukan masa rujuk bagi suami bila talak itu berupa talak faj’i.15

Pemahaman ini diinspirasikan secara implisif oleh pasal-pasal yang

berhubungan dengan masalah iddah itu sendiri yaitu pasal 11 Undang-

undang No. 1 tahun 1974 dan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun

1975. dengan demikian pengertian iddah adalah masa tenggang waktu atau

tunggu sesudah jatuhnnya talak. Di dalam waktu iddah itu bekas suami

diperbolehkan untuk merujuk kepada bekas istrinya. Atas dasar inilah si istri

tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki

lain.16

B. Dasar Hukum Iddah

Setelah membahas masalah iddah dari segi pengertian, maka di bawah

ini penyusun bahas dasar-dasar hukum iddah yang mengacu pada hukum naqli

guna memperjelas tentang iddah itu sendiri.

1. Dasar dari Al Qur'an

‫واﻟﻤﻄﻠﻘﺎت ﻳﺘﺮﺑﺼﻦ ﺑﺄﻧﻔﺴﻬﻦ ﺛﻼﺛ ﺔ ﻗ ﺮوء وﻻ ﻳﺤ ﻞ ﻟﻬ ﻦ أن‬


‫ﻳﻜ ﺘﻤﻦ ﻣ ﺎ ﺧﻠ ﻖ اﷲ ﻓ ﻲ أرﺣ ﺎﻣﻬﻦ إن آ ﻦ ﻳ ﺆﻣﻦ ﺑ ﺎﷲ واﻟﻴ ﻮم‬
‫اﻵﺧ ﺮ وﺑﻌ ﻮﻟﺘﻬﻦ أﺣ ﻖ ﺑ ﺮدهﻦ ﻓ ﻲ ذﻟ ﻚ إن أرادوا إﺻ ﻼﺣﺎ‬

13
Chuzaimah T. Yanggo dkk., op. cit., hlm. 149
14
Muhammad Idris Abdurra'uf, op. cit.
15
H. Sastroadmojo, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. III, Bulan Bintang,
Jakarta, 1981, hlm. 70
16
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet. I,
Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 120

18
‫وﻟﻬﻦ ﻣﺜ ﻞ اﻟ ﺬي ﻋﻠ ﻴﻬﻦ ﺑ ﺎﻟﻤﻌﺮوف وﻟﻠﺮﺟ ﺎل ﻋﻠ ﻴﻬﻦ درﺟ ﺔ‬
‫واﷲ ﻋﺰﻳﺰ ﺣﻜﻴﻢ‬
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan
tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al Baqarah : 228) 17

Ayat di atas walaupun sebenarnya telah dinasakh oleh ayat yang

kemudian, akan tetapi kandungan dari hukum ayat tersebut tetaplah

dipakai dan dipergunakan sebagai dalil hukum dalam penetapan hukum

Islam syara’ yang berkenaan dengan masalah iddah istri. Ayat yang

demikian ini dalam istilah ilmu ulumul qur’an disebut dengan

baqouttilawah wa hukmi adamul

2. Dasar dari Hadits

Hadits dari Bukhari dan Muslim yang berbunyi

‫وﻋﻦ أﺑﻰ ﻣﻌ ﺴﻮد اﻟﺒ ﺪرى رﺿ ﻰ اﷲ ﻋﻨ ﻪ ﻋ ﻦ اﻟﻨﺒ ﻲ ﺻ ﻠﻰ‬


‫اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل أﻧﻔﻖ اﻟﺮﺟ ﻞ ﻋﻠ ﻰ اهﻠ ﻪ ﻳﺤﺘ ﺴﺒﺤﺎ ﻓﻬ ﻮ ﻟ ﻪ‬
‫ﺻﺪﻗﺔ‬ 18

Dari Abu Mas'ud Al Badry ra. Dari Nabi saw. Beliau bersabda
"Apabila seseorang menafkahkan harta untuk keperluan keluarga,
hanya berharpa dapat memperoleh pahala maka hal itu akan
dicatat sebagai sedekah baginya."
3. Dasar Hukum Perdata

17
Departemen Agama RI, Al Qur'an Terjemah, Pelita III, Jakarta, 1991-1992
18
Imam Nawawi, Riyadhus Sholihin Jilid I, Pustaka Amani, Jakarta, 1992, hlm. 308

19
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan

waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinan.19

Selanjutnya atas dasar pasal 11 Undang-undang No. 1 tahun 1974

tentang perkawinan ditetapkan waktu tunggu sebagai berikut :

Ayat (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka

waktu tunggu.

(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu akan

diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.20

Demikian pula pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975,

tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan mengatur waktu tunggu yang dituangkan pada bab VII pasal 39.

Pada pasal 153 Kompilasi Hukum Islam tentang Perkawinan dalam

menentukan waktu tunggu sebagai berikut :

Ayat (1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu

tunggu atau iddah kecuali qobla ardhukhul dan perkawinannya

putus bukan karena kematian suami.

Demikian pula dalam pasal 154 dan pasal 155 Kompilasi Hukum

Islam tentang perkawinan, mengatur waktu iddah.

19
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet. IV, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1978, hlm. 20
20
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan, cet. PT. Pradya
Paramita, Jakarta, 1987, hlm. 10

20
C. Macam-macam Iddah

Mengenai macam-macam iddah atau waktu tunggu menurut

perundang-undangan hukum Indonesia, khususnya dalam Undang-undang No.

1 tahun 1974 tentang perkawinan serta dalam peraturan pelaksanaannya yaitu

Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Telah

memberikan klasifikasi dengan tidak menyebut suatu istilah tertentu yang

dipergunakan, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa materi dari Undang-

undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya merupakan cuplikan yang

diambil dari norma masing-masing agama di Indonesia yang didominasi oleh

aturan-aturan yang digariskan dalam syariat Islam.

Sedangkan secara spesifikasi maka macam-macam iddah itu antara

lain ialah :

1. Iddah Perempuan yang Haid

Jika perempuannya bisa haid maka iddahnya tiga kali quru'.

Sebagaimana firman Allah :

21
‫واﻟﻤﻄﻠﻘﺖ ﻳﺘﺮﺑﺼﻦ ﺑﺎﻧﻔﺴﻬﻦ ﺛﻼﺛﺔ ﻗﺮوء‬
Dan perempuan-perempuan yang berthalaq, hendaklah mereka
menahan diri mereka tiga kali quru' (QS. Al Baqarah : 228)

Dengan ayat tersebut di atas jelaslah bahwa istri yang diceraikan

oleh suaminya. Sedangkan istri tersebut belum pernah disetubuhi oleh

suami yang mentalaknya, maka bagi si istri tersebut tidak mempunyai

masa iddah. Sedangkan istri yang ditinggal suami dan pernah bersetubuh,

21
Departemen Agama RI, op. cit., QS. Al Ahzab (33) : 49

21
maka ia harus beriddah seperti iddah orang yang disetubuhi, hal ini

berdasar firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut :

‫واﻟ ﺬﻳﻦ ﻳﺘﻮﻓ ﻮن ﻣ ﻨﻜﻢ وﻳ ﺬرون أزواﺟ ﺎ ﻳﺘﺮﺑ ﺼﻦ‬


‫ﺑﺄﻧﻔ ﺴﻬﻦ أرﺑﻌ ﺔ أﺷ ﻬﺮ وﻋ ﺸﺮا ﻓ ﺎذاﺑﻠﻐﻦ اﺟﻠﻬ ﻦ ﻓ ﻼ‬
...‫ﺟﻨﺎح ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﻓﻌﻠﻦ ﻓﻰ اﻧﻔﺴﻬﻦ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
(QS. Al Baqarah : 234) 22

Wajib iddah bagi istri tersebut dimaksudkan untuk menghormati

bekas suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Sabiq

sebagai berikut : istri yang kematian suaminya wajib iddah sekalipun

belum pernah disetubuhi, hal ini untuk menyempurnakan dan juga untuk

menghargai hak suami yang meninggal dunia.23

Istri yang telah dicerai dalam keadaan masih haid harus menjalani

iddah (waktu tunggu) selama 3 (tiga) kali suci dan bila diharikan minimal

90 (sembilan puluh) hari. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam pasal

39 peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975, ayat (1) sub (b) yang berbunyi

sebagai berikut :

“Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi

yang berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan

sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari”24

22
Ibid. QS. Al Baqarah (2) : 234
23
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 142
24
Arso Sastroadmojo, op. cit., hlm. 129

22
2. Iddah istri yang tidak berhaid

Istri yang tidak berhaid lagi jika dicerai oleh suaminya atau

ditinggalmati oleh suaminya maka mereka (istri) beriddah selama 3 bulan.

Ketentuan ini berlaku buat perempuan yang belum baligh dan perempuan

yang sudah tua tetapi tidak berhaid lagi, baik ia sama sekali tidak berhaid

sebelumnya atau kemudian berhaid akan tetapi putus haidnya. Hal ini

berdasarkan pada firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :

‫واﻟﺊ ﻳﺌﺴﻦ ﻣﻦ اﻟﻤﺤﻴﺾ ﻣﻦ ﻧ ﺴﺎﺋﻜﻢ ان ارﺗﺒ ﺘﻢ ﻓﻌ ﺪﺗﻬﻦ ﺛﻠﺜ ﺔ‬


‫اﺷ ﻬﺮ واﻟ ﺊ ﻟ ﻢ ﻳﺤ ﻀﻦ واوﻻت اﻻﺣﻤ ﺎل اﺟﻠﻬ ﻦ ان ﻳ ﻀﻌﻦ‬
‫ﺣﻤﻠﻬﻦ‬ 25

Dan orang-orang yang putus diantara istri-istri kamu, jika kamu


ragu maka iddah mereka itu tiga bulan. Dan orang-orang yang
tidak berhaid serta perempuan hamil masa iddahnya ialah sesudah
mereka melahirkan (QS. Ath Thalaq : 4)

Sedangkan berdasarkan hukum perdata Indonesia maka istri

tersebut harus menjalani masa tunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Ini

sejalan dengan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 ayat (1)

sub (b) yang berbunyi sebagai berikut :

25
Depag RI, op. cit., Ath Thalaaq (65) : 1

23
“Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi

yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari”.26

3. Iddah istri yang telah disetubuhi

Iddah istri yang telah disetubuhi masih haid dan adakalanya tidak

berhaid lagi. Masa iddah yang masih haid adalah selama 3 kali quru’

sebaaimana disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut :

‫واﻟﻤﻄﻠﻘ ﺎت ﻳﺘﺮﺑ ﺼﻦ ﺑﺄﻧﻔ ﺴﻬﻦ ﺛﻼﺛ ﺔ ﻗ ﺮوء وﻻ ﻳﺤ ﻞ ﻟﻬ ﻦ أن‬


‫ﻳﻜﺘﻤﻦ ﻣﺎ ﺧﻠﻖ اﷲ ﻓﻲ أرﺣﺎﻣﻬﻦ إن آﻦ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎﷲ واﻟﻴﻮم اﻵﺧﺮ‬
‫وﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦ أﺣﻖ ﺑﺮدهﻦ ﻓ ﻲ ذﻟ ﻚ إن أرادوا إﺻ ﻼﺣﺎ وﻟﻬ ﻦ ﻣﺜ ﻞ‬
‫اﻟ ﺬي ﻋﻠ ﻴﻬﻦ ﺑ ﺎﻟﻤﻌﺮوف وﻟﻠﺮﺟ ﺎل ﻋﻠ ﻴﻬﻦ درﺟ ﺔ واﷲ ﻋﺰﻳ ﺰ‬
27
‫ﺣﻜﻴﻢ‬
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan
tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al Baqarah : 228)
Arti quru’ (‫ )ﻗ ﺮوء‬dalam ayat di atas adalah (‫ )ﻗ ﺮوء‬jamak dari kata
(‫ )ﻗ ﺮء‬yang berarti haid, hal ini dikuatkan oleh Ibnul Qoyyim yang
diterangkan oleh Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah bahwa kata

quru’ hanya digunakan oleh agama yang berarti haid. Sesuai dengan

firman Allah sebagai berikut :

...‫إذا ﻃﻠﻘﺘﻢ اﻟﻨﺴﺎء ﻓﻄﻠﻘﻮهﻦ ﻟﻌﺪﺗﻬﻦ وأﺣﺼﻮا اﻟﻌﺪة‬...


Massa iddah untuk istri yang telah disetubuhi tetapi tidak mengalai

haid maka lama iddah 3 (tiga) bulan atau 90 hari.

26
Moh Mahfud, op. cit., hlm. 210
27
Depag RI, op. cit., Al Baqarah 228

24
4. Iddah perempuan hamil

Perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suami dan sedang

hamil iddahnya sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan pada firman

Allah yang berbunyi sebagai berikut :

28
‫واوﻻت اﻻﺣﻤﺎل اﺟﻠﻬﻦ ان ﻳﻀﻌﻦ ﺣﻤﻠﻬﻦ‬
Dan Perempuan-perempuan hamil masa iddah mereka ialah
sesudah melahirkan (QS. At Thalaq : 4)

Istri tersebut harus menjalani masa tunggu yakni sampai ia

melahirkan bayinya. Ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal

135, ayat (2), sub (c), yang berbunyi sebagai berikut :

“Apabila perkawinan putus karena perkawinan sedang janda

tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai

melahirkan”.

5. Iddah perempuan yang suaminya meninggal dunia

Iddah wanita yang ditinggal suaminya dan ia dalam keadaan tidak

hamil maka lama iddahnya ialah 4 bulan 10 hari, ini didasarkan pada

firman Allah yang berbunyi

‫واﻟ ﺬﻳﻦ ﻳﺘﻮﻓ ﻮن ﻣ ﻨﻜﻢ وﻳ ﺬرون أزواﺟ ﺎ ﻳﺘﺮﺑ ﺼﻦ ﺑﺄﻧﻔ ﺴﻬﻦ‬


...‫أرﺑﻌﺔ أﺷﻬﺮ وﻋﺸﺮا‬
29

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan


meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari…
(QS. Al Baqarah : 234)

28
Depag RI, op. cit., Ath Thalaaq (65) : 1
29
Depag RI, op. cit., Al Baqarah : 234

25
Dan jika si istri seang hamil maka ia harus menjalani iddah atau

masa tunggu sampai ia melahirkan bayinya (anaknya). Ini sejalan dengan

pasal 153 ayat (2), sub (c), seperti yang berbunyi sebagai berikut :

“Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang antara janda

tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai

melahirkan”.30

D. Hikmah Disyariatkannya Iddah

Suatu keyakinan yang mesti menjadi pegangan umat Islam ialah ajaran

Islam yang termuat di dalam Al Qur'an dan as sunnah merupakan petunjuk

Allah yang harus menjadi pedoman bagi manusia khususnya kaum muslimin

dan muslimat demi keselamatan hidupnya di dunia maupun di akhirat.

Berbeda hal dengan ajaran-ajaran yang pernah diturunkan Allah sebelumnya

dimana ajaran tersebut hanya diperuntukkan untuk kaum tertentu.

Ajaran Islam tidak hanya berlaku untuk kelompok atau kaum di dalam

masyarakat tertentu serta tidak pula terbatas pada masa tertentu pula. Akan

tetapi ajaran Islam sejak diturunkan telah ditetapkan sebagai pegangan dari

semua kelompok dan kaum manusia pada berbagai tempat dan waktu sampai

akhir masa (zaman).31

Demikian pula halnya dengan masalah iddah yang merupakan suatu

syari’at yang telah ada sejak zaman dahulu yang mana mereka tidak pernah

30
Moh Mafud, op. cit., hlm. 210
31
Chuzaimah T. Yanggo dkk., op. cit., hlm. 148

26
meinggalkan kebiasaan ini dan tatkala Islam datang kebiasaan itu diakui dan

dijalankan terus karena banyak terdapat kebaikan dan faedah di dalamnya.32

Para ulama’ telah mencoba menganalisa hikmah disyariatkannya iddah

secara global dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak

tercampur antara keturunan seseorang dengan yang lain, atau dengan kata

agar tidak terjadi percampuran dan kekacauan nasab.

2. Memberikan kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk berfikir

kembali, apakah untuk rujuk kembali kepada istrinya ataukah akan

meneruskan cerai tersebut jika hal tersebut dianggap lebih baik.

3. kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri

sama-sama hidup lama dalam ikatan aqadnya.33

Untuk lebih jelas dan lebih mendetailnya hikmah disyariatkannya

iddah tersebut maka dapat dikemukakan seperti di bawah ini.

1. Sebagai Pembersih Rahim

Ketegasan penisaban keturunan dalam Islam merupakan hal yang

amat penting. Oleh karena itu segala ketentuan untuk menghindari

terjadinya kekacauan nisab keturunan manusia ditetapkan di dalam Al

Qur'an dan As Sunnah dengan tegas. Diantara ketentuan tersebut adalah

larangan bagi wanita untuk menikah dengan beberapa orang pria dalam

waktu yang bersamaan.34 Dan disamping itu untuk menghilangkan keragu-

raguan tentang kesucian rahim perempuan tersebut, sehingga pada

32
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 140

27
nantinya tidak ada lagi keragu-raguan tentang anak yang dikandung oleh

perempuan itu apabila ia telah kawin lagi dengan laki-laki yang lain.35

2. Kesempatan untuk berfikir

Iddah khususnya dalam talak ra’ji merupakan suatu tenggang

waktu yang memungkinkan tentang hubungan mereka. Dalam masa ini

kedua belah pihak dapat mengintropeksi diri masing-masing guna

mengambil langkah-langkah yang lebih baik. Terutama bila mereka telah

mempunyai putra-putri yang membutuhkan kasih sayang dan pendidikan

yang baik dari orang tuanya.36 Disamping itu memberikan kesempatan

berfikir kembali dengan pikiran yang jernih setelah mereka menghadapi

keadaan rumah tangga yang panas dan yang demikian keruh sehingga

mengakibatkan perkawinan mereka putus. Kalau pikiran mereka telah

jernih dan dingin diharapkan pada nantinya suami akan merujuk istri

kembali dan begitu pula si istri tidak menolak untuk rujuk dengan

suaminya kembali. Sehingga perkawinan mereka dapat diteruskan

kembali.37

33
Ibid., hlm. 140
34
Chuzaimah T. Yanggo, dkk., op. cit., hlm. 166
35
Kamal Muhtar, Asas Hukum Perkawinan, cet. II, Bulan Bintang, Jakarta, 1987,
hlm. 230
36
Chuzaimah T. Yanggo, dkk., op. cit., hlm. 167
37
Soemiyati, op. cit., hlm. 120

28
3. Kesempatan untuk bersuka cita

Iddah khususnya dalam kasus cerai mati, adalah masa duka atau

bela sungkawa atas kematian suaminya. Cerai karena mati ini merupakan

musibah yang berada di luar kekuasaan manusia untuk membendungnya.

Justru itu mereka telah berpisah secara lahiriyah akan tetapi dalam

hubungan batin mereka begitu akrab.38 Jadi apabila perceraian tersebut

karena salah seorang suami istri meninggal dunia, maka masa iddah itu

adalah untuk menjaga agar nantinya jangan timbul rasa tidak senang dari

pihak keluarga suami yang ditinggal, bila pada waktu ini si istri menerima

lamaran ataupun ia melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki

lain.39

4. Kesempatan untuk rujuk

Apabila seorang istri dicerai karena talak yang mana bekas suami

tersebut masih berhak untuk rujuk kepada bekas istrinya. Maka masa iddah

itu adalah untuk berpikir kembali bagi suami untuk apakah ia akan

kembali sebagai suami istri. Apabila bekas suami berpendapat bahwa ia

sanggup mendayung kehidupan rumah tangganya kembali, maka ia boleh

untuk merujuk kembali istrinya dalam masa iddah. Sebaliknya apabila

suami berpendapat bahwa tidak mungkin melanjutkan kehidupan rumah

tangga kembali, ia harus melepas bekas istrinya secara baik-baik dan

38
Chuzaimah T. Yanggo, dkk, op. cit., hlm. 168
39
Kamal Mukhtar, op. cit., hlm. 231

29
jangan menghalang-halangi bekas istrinya itu untuk kawin dengan laki-

laki lain.40

Dengan demikian tampak dengan jelas bahwa iddah itu memiliki

berbagai keutamaan di berbagai aspek, yang mana masing-masing

mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Sehubungan dengan

itu maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa :

a. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidaklah dapat

mengubah ketentuan dalam kasus-kasus yang sudah jelas

dikemukakan dan ditetapkan oleh Al Qur'an dan as sunnah. Namun

hanya dalam kasus wathsyubhat dan zina perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan, sebab hukum antara

pria dan wanita dalam kasus ini hanya terkait pada masalah dhuhul

yang menggunakan kesucian rahim.

b. Meskipun terdapat keyakinan bahwa rahim perempuan (istri) bersih

dan diantara mereka (suami istri) tidak mungkin rujuk kembali, namun

tidaklah dapat dibenarkan bagiperem tersebut (bekas istri) melanggar

ketentuan iddah yang sudah dibentukan.

c. Begitu pula sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan untuk

memperpanjang iddah bagi istri yang dapat mengakibatkan

penganiayaan maupun yang mendatangkan keuntungan baik bagi

bekas suami ataupun bagi bekas istri.41

40
Ibid., hlm. 230
41
Chuzaimah T. Yanggo, dkk., op. cit., hlm. 168-169

30
E. Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah

1. Hak Istri pada Masa Iddah

a. Mendapatkan nafkah selama masa iddah

b. Mendapatkan perumahan selama masa iddah

c. Istri berhak memutuskan untuk rujuk kembali, sedangkan kewajiban

istri adalah masa berkabung bila ia ditinggal mati suaminya.

2. Kewajiban suami pada masa iddah istri

a. Suami wajib memberikan nafkah pada istri

b. Suami wajib memberikan perumahan pada istri

c. Suami berhak untuk merujuk kembali atau tidak

F. Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah

Hak istri merupakan kewajiban suami untuk melaksanakan atau

memenuhi hak-hak istri. Sedangkan kewajiban istri merupakan hak suami

yang harus dijalankan oleh istri pada masa iddah.

Berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 4 (sub c) yang

berbunyi :

“Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk

memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban

bagi istri”.42

Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 81 ayat (1

dan 2) yang berbunyi :

42
Arso Sastroatmodjo, Hukum Perkawinan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1981,
hlm. 95

31
1. Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak-anaknya atau

bekas istrinya yang masih dalam iddah.

2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal43

Berdasar pada pasal di atas dan dipertegas dalam Kompilasi Hukum

Islam menunjukkan bahwa perumahan masuk ke dalam kategori dari bunyi

pasal dan hukum di atas untuk mewajibkan suami menyediakan tmepat

kediaman bagi istri selama masa iddah atau tempat kediaman bagi istri dapat

dialih artikan suami memberikan rumah yang lain untuk ditempati istri baik

selama pada masa iddah ataupun setelahnya. Akan tetapi bila istri itu sendiri

yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa alasan yang

dipertanggung jawabkan, maka istri tersebut telah dianggap nusyuz.

Adapun kewajiban lainnya bagi suami adalah memberikan biaya

nafkah selama masa iddah, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 149 (sub a

dan b) yang berbunyi antara lain :

Bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa

uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla audukhul

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama

dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau

nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil 44

43
Moh. Mahfud, op. cit., hlm. 199
44
Ibid., hlm. 210

32
Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim Dra. Siti Nurjanah Diaz,

S.H. nafkah iddah itu tidak tergantung pada pihak istri itu sendiri. Adapun

suami sendiri yang dengan suka rela tnapa dituntut dulu oleh istri di

Pengadilan Agama memenuhi kewajiban istri yang pada masa iddah.45

Apabila istri berkeinginan menuntut nafkah iddah, maka dapat

dilaksanakan berdasarkan pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun

1989 yang berbunyi :

“Gugatan soal pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta

bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dalam gugatan

perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan

hukum tetap”46

Nafkah iddah ini merupakan hak istri pada masa iddah dan kewajiban

suami pula untuk melaksanakannya. Akan tetapi dari tahun 1993 sampai 1995

masih relatif kecil yang melaksanakannya. Hal ini dikarenakan banyak faktor,

salah satunya adalah pendidikan.47 Mengenai jumlah nafkah iddah istri

tersebut sangat relatif. Bila terjadi perselisihan mengenai jumlah, dapat

dianjurkan dan diberikan pengarahan oleh Pengadilan Agama untuk

diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Akan tetapi bila tidak

terjadi kesepakatan dalam penentuan jumlah maka pengadilan agama dapat

menentukan jumlahnya yang disesuaikan dengan kemampuan suami dan tidak

memberatkannya, dan sebaliknya diberikan pada saat setelah pembacaan

sighot thalak di muka majelis hakim Pengadilan Agama.

45
Siti Nurjannah Dias, op. cit.

33
Suami dapat untuk tidak melaksanakannya disebabkan si istri

melalaikan kewajibannya, atau sebab yang lainnya yaitu istri mengikhlaskan

suami untuk tidak melaksanakan kewajibannya.48

Ini sesuai dengan pasal 80 ayat (4 dan 7) Kompilasi Hukum Islam

yang berbunyi antara lain :

4. Sesuai dengan penghasilan suami menanggung

a. Nafkah, kiswah, biaya perawatan, pengobatan bagi istri dan anak

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan diri, biaya pengobatan istri dan anak.

c. Biaya pendidikan bagi anak

5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf

(a) dan (b) di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari

istrinya.

6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajibannya terhadap dirinya

sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf (a) dan (b)

7. Kewajiban suami yang dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz49

Dari bunyi pasal tersebut di atas tampak jelas suami dapat tidak

melaksanakan kewajiban yaitu :

1. Apabila si istri benar-benar telah mengikhlaskannya

2. Apabila si istri dalam keadaan nusyuz, maka akibat hukumnya hak istri

pada masa iddah gugur dengan sendirinya baik perkara tersebut dalam

proses pengadilan ataupun tidak.

46
Moh. Mahfud, op. cit., hlm. 160
47
Siti Nurjanah Diaz, op. cit.
48
Ibid.
49
Moh. Mahfud, op. cit., hlm. 199

34
BAB III
WEWENANG PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN
KEWAJIBAN NAFKAH IDDAH KEPADA SUAMI ISTRI
YANG TELAH DICERAI

G. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menetapkan Nafkah Iddah

3. Kewenangan Pengadilan Agama

Pengadilan Agama merupakan suatu badan peradilan yang turut

melaksanakan kekuasaan hakim dan memegang peranan penting di dalam

melaksanakan Undang-undang perkawinan. keberadaan lembaga

Pengadilan Agama di Indonesia merupakan wadah untuk menyelesaikan

perkara ummat Islam, dimana kewenangan dan ruang lingkup Pengadilan

Agama mengalami pasang surut.

Setelah Indonesia merdeka, perkembangan tata hukum pengadilan

agama sangat pesat. Hal ini ditandai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, dimana dengan peraturan perundang-undangan

semakin mempertegas ruang lingkup dan eksistensi kekuasaan wewenang

pengadilan agama dalam menegakkan lembaga kehakiman.

Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain :

1. Undang-undang No. 14 tahun 1976 tentang Ketentuan-ketentuan

pokok kekuasaan kehakiman

2. Undang-undang No. 1 tahun 1976 tentang Perkawinan

3. Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

35
4. Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Undang-undang Peradilan

Agama

5. Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Pemasyarakatan Kompilasi Hukum

Islam.50

Dengan adanya perundang-undangan di atas maka nampak jelas

kemajuan dan perkembangan Peradilan Agama. Dimana peraturan yang

menjadi dasar hukum Pengadilan Agama merupakan wujud nyata bahwa

kedudukan Pengadilan agama sekarang telah dipertegas dengan

perundang-undangan, seperti Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang

ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.51

Dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970

berbagai sebagai berikut :

Kekuasaan kehakiman dilakukan pengadilan dalam lingkungan :

a. Pengadilan Umum

b. Pengadilan Agama

c. Pengadilan Militer

d. Pengadilan Tata Usaha Negara52

Dari bunyi pasal tersebut, nampak jelas telah adanya klasifikasi

lembaga peradilan dan ruang lingkup masing-masing yang berarti

menunjukkan kemajuan dalam Tata Hukum Indonesia.

50
Moh. Mahfud MD, op. cit., hl. vii
51
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ind. Hill Co. Jakarta, 1991,
hlm. 99
52
Ibid., hlm. 100

36
Akan tetapi bila ditilik sampai seberapa jauh ruang lingkup

kewenangan mengadili dalam lingkungan Pengadilan Agama maka dapat

ditarik kesimpulan sementara bahwa kewenangan Pengadilan Agama

hanya meliputi perkara-perkara tertentu saja, ini berarti klasifikasi ruang

lingkup Pengadilan Agama yang ada belumlah sempurna.53

Berdasarkan penjelasan dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang

No. 14 tahun 1970, maka akan dapat berakibat kesalah pahaman dan

kesimpang siuran dalam menentukan batasan-batasan kompetensi absolut

dari pada lembaga pengadilan.54

Mengenai kewenangan Pengadilan Agama dan ruang lingkup

dalam hubungan dengan Undang-undang Perkawinan No. 3 tahun 2006,

berdasarkan penjelasan pasal 49 huruf a, isinya antara lain :

Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur

dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang

berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain :

(2) Izin beristri lebih dari seorang

(3) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21

(dua puluh satu) tahun, dalamhal orang tua wali, atau keluarga

dalam garis lurus ada perbedaan pendapat

(4) Dispensasi kawin

(5) Pencegahan perkawinan

(6) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah

53
M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 136

37
(7) Pembatalan perkawinan

(8) Gugatan kelalaian tas kewajiban suami dan istri

(9) Perceraian karena talak

(10) Gugatan perceraian

(11) Penyelesaian harta bersama

(12) Penguasaan anak-anak

(13) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak

bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak

mematuhinya

(14) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami

kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri

(15) Putusan tentang sah tidaknya seorang anak

(16) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua

(17) Pencabutan kekuasaan wali

(18) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal

kekuasaan seorang wali dicabut

(19) Penunjukan seoragn wali dalam hal seorang anak yang belum cult

up umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya

(20) Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang

ada di bawah kekuasaannya

(21) Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak

berdasarkan hukum Islam

54
Ibid., hlm. 135

38
(22) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk

melakukan perkawinan campuran

(23) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan

dijalankan menurut peraturan yang lain 55

4. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menetapkan Iddah

Kewenangan Pengadilan Agama merupakan sistem yang dimiliki

oleh badan peradilan untuk menerima, menyelesaikan dan memutuskan

atas perkara tertentu.

Kewenangan Pengadilan Agama dalam menetapkan dan

memutuskan suatu perkara tertentu itu merupakan kewenangan absolut

Pengadilan Agama. Masa iddah itu sendiri merupakan akibat dari suatu

perceraian dimana permasalahan dari perkara ini termasuk pada

kewenangan absolut Pengadilan Agama.56

Ini menunjukkan bahwa penetapan masa iddah itu sendiri

merupakan dampak dari suatu perkara perceraian yang dituntutkan. Berarti

merupakan kewenangan Pengadilan Agama untuk memutuskan serta

menetapkannya. Berdasarkan pasal 2 Undang-undang No. 7 tahun 1989,

dimana semua perkara perdata yang masuk dalam ruang lingkup

Pengadilan Agama menjadi yurisdiksi Pengadilan Agama.57

Bunyi pasal 2 Undang-undang No. 7 tahun 1989 yaitu :

“Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan

55
Ibid., hlm. 138

39
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai

perkara tertentu yang mengatur dalam undang-undang ini”.58

Berdasarkan bunyi pasal di atas bahwa setiap warga negara yang

beragama Islam dapat mencari keadilan di Pengadilan Agama dan

perangkat Pengadilan Agama harus menerima dan dapat menyelesaikan

perkara yang diajukan terutama dalam masalah perceraian. Dalam

menetapkan perceraian yang berakibat pula penetapan iddah bagi istri.

Setelah suatu perkara perceraian antara suami istri telah

diputuskan, maka dengan demikian Pengadilan Agama menetapkan pula

masa iddah istri. Akan tetapi setiap perceraian yang terjadi bagi setiap istri

akan mengalami masa iddah. Sehingga ini merupakan kewajiban dan

wewenang Pengadilan Agama untuk menetapkan tenggang waktu masa

iddah bagi istri.

Pihak istri harus mematuhi putusan tersebut dan menjalankan masa

iddah yang telah diputuskan oleh pihak Pengadilan Agama karena itu

untuk kepentingan suami istri itu sendiri bila akan ruju’ kembali.

Bila diperhatikan antara Kompilasi Hukum Islam Bab XVII pasal

30 yang berbunyi :

“Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas istrinya yang

masih dalam masa iddah”.59

56
Moh. Mahfud, op. cit., hlm. 60
57
Ibid., hlm. 136
58
Ibid., hlm. 145
59
Ibid., hlm. 210

40
Ini berjalan dengan peraturan perundang-undangan yang ada

karena penetapan masa iddah itu sendiri bagi hakim Pengadilan Agama

merupaka suatu rangkaian perkara perdata yang diputuskan sebagaimana

pula dalam Kompilasi Hukum Islam

BAB XVIII pasal 163 (sub i) yang berbunyi :

“seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah”60

Akan tetapi jika seorang istri tidak mematuhi masa iddah yang

telah diputuskan sebagaimana mestinya. Hal ini bukan merupakan

kewenangan Pengadilan Agama untuk menetapkan sanksi ataupun

sejenisnya. Ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama benar-benar hanya

menangani perkara-perkara khusus yang menjadi kewenangannya dan

diajukan ke Pengadilan Agama. Sebagaimana yang terdapat dalam pasal

49 ayat (1) yang termasuk perkara dibidang perdata.

Bunyi pasal 49 ayat 1 (sub a) undang-undang No. 7 tahun 1989

antara lain :

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa,

memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara

lain :

a. Perkawinan

b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum

Islam

c. Wakaf dan shodaqoh.61

60
Ibid., hlm. 210

41
Dari bunyi pasal di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa

penetapan nafkah iddah itu merupakan tugas dan wewenang Pengadilan

Agama dalam yuridisnya. Adapun dalam penetapan masa iddah itu sendiri

walaupun itu merupakan suatu rangkaian dari penyelesaian perkara

perceraian akan tetapi merupakan traktat atau kebiasaan hakim-hakim

terdahulu dalam menetapkan suatu perkara.

61
Ibid., hlm. 154

42
BAB IV

PROSES PENYELESAIAN KEWAJIBAN NAFKAH IDDAH SUAMI

KEPADA ISTRI YANG TELAH DICERAI

H. Proses Penyelesaian dan Sikap Pengadilan Agama terhadap Bekas Suami

yang Tidak Menjalankan Kewajiban

Pengadilan Agama merupakan lembaga kehakiman yang mempunyai

hak dan kekuasaan untuk menerima memeriksa dan memutuskan perkara

perdata khusus.

Sebenarnya sikap Pengadilan Agama terhadap bekas suami yang tidak

menjalankan kewajibannya pada masa iddah isteri tergantung dari bekas isteri

itu sendiri apakah ia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama atau

tidak.

Sebagaimana bunyi pasal 66 ayat (5) Undang-undang No. 7 tahun

1984 antara lain :

“Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan

harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan

permohonan cerai talak ataupun ikrar talak diucapkan”.62

Dari bunyi pasal tersebut di atas maka dapat ditarik pengertian bahwa

perkara dapat diselesikan dan menjadi hak Pengadilan Agama apakah perkara

tersebut dituntutkan di Pengadilan Agama.

62
Moh. Mahfud, dkk., Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1999, hlm. 159

43
Ini sejalan dengan pasal 77 ayat (5) Bab XII Kompilasi Hukum Islam

yang berbunyi :

“Jika suami istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat

mengajukan tuntutan di Pengadilan Agama”63

Apabila suami tidak melaksanakan keputusan Pengadilan Agama

tentang keharusan membayar nafkah iddah, tetapi istri sudah merelakannya

maka Pengadilan Agama tidak berhak menuntut kepada suami.

4. Pengadilan agama berusaha untuk mendamaikan

Tentang istri yang memintakan atau menuntutkan kembali ke

Pengadilan Agama tentang bekas suami tidak menjalankan kewajiban

dapat dilihat.

Pada pasal 55 Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang berbunyi

antara lain :

“Tiap pemeriksaan perkara di pengadilan dimulai sesudah diajukan

suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara

telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku”64

Bunyi pasal di atas memberikan pengertian bahwa setelah

diajukannya suatu permohonan atau gugatan perkara bekas suami

melalaikan kewajiban, maka Pengadilan Agama akan memanggil para

pihak untuk diminta keterangannya yang berhubungan dengan pokok

permasalahan perkara tersebut. Setelah pemanggilan para pihak

Pengadilan Agama berusaha meramalkan para pihak. Jadi permasalahan

63
Ibid., hlm. 198

44
tentang suami yang tidak melakukan kewajiban tersebut Pengadilan

Agama dapat menganjurkan kepada si suami untuk diselesaikan secara

damai dan kekeluargaan.

Mendamaikan kedua belah pihak di dalam suatu perkara yang

ditangani oleh Dewan Hakim pengadilan itu merupakan salah satu asas

Pengadilan Agama, dan bila dalam perdamaian tersebut ada kata sepakat

antara kedua belah pihak maka Pengadilan Agama dalam ruang

lingkupnya hanya mencukupkan perkara tersebut sampai tercapai

perdamaian saja, dan itu menunjukkan salah satu dari asas Pengadilan

Agama telah tercapai sebagaimana yang terdapat dalam pasal 56 ayat (2)

Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang berbunyi antara lain :

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutuskan

suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang

jelas melainkan wajib memeriksa memutuskannya

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup

kemungkinan usaha penyelesaian perkara damai.65

Lebih lanjut mengenai permasalahan perdamaian di dalam proses

penyelesaian suatu perkara diatur dalam pasal 82 ayat (2) yang berbunyi :

“Dalam bidang perdamaian tersebut suami istru harus datang

secara pribadi kecuali apabila salah satu pihak bertempat tinggal di

luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat

64
Ibid., hlm. 155
65
Ibid., hlm. 155

45
diwakili oleh kuasa hukumnya yang secara khusus dikuasakan

untuk itu”.66

Dari bunyi kedua pasal tersebut di atas memberikan suatu

pengertian dan batasan tentang ketentuan perdamaian bagi pihak-pihak

yang berperkara. Sebab perdamaian itu sendiri memang sangat layak dan

penting dimuat dalam menyelesaikan perkara tersebut. Kalau

kemungkinan upaya perdamaian dapat tercapai di dalam menyelesaikan

suatu perkara yang dilaksanakan secara damai dan kekeluargaan itu telah

menunjukkan bahwa untuk meneruskan perkara tersebut dianggap selesai

pada tahap perdamaian oleh pihak dewan majlis hakim pengadilan

Agama.

Disamping itu memang di dalam acara perdata usaha untuk

mendamaikan oleh dewan majlis hakim Pengadilan Agama terhadap yang

berperkara juga diatur dan merupakan hal yang sangat penting.67

Apabila benar-benar telah tercapai perdamaian antara kedua bleah

pihak dalam suatu perkara maka Dewan Hakim Pengadilan Agama di

dalam menunaikan kewajibannya dan interpensi terhadap perkara tersebut

sudah dianggap selesai, karena ini sangat sejalan dengan peraturan

perundangan-undangan yang ada tentang perdamaian antara kedua belah

pihak yang berperkara, seperti yang telah diatur pula pada pasal 31 ayat

(2) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang berbunyi antara lain :

66
Ibid., hlm. 159
67
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Galia Indonesia, Jakarta, 1986,
hlm. 42

46
“Selama masalah belum diputuskan usaha perdamaian dapat

dilakukan pada setiap sidang-sidang”.68

Di dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan tersebut di

atas tidak adanya menunjukkan batasan-batasan ketentuan yang

menyatakan bahwa apabila telah tercapainya suatu perdamaian maka dari

perdamaian tersebut dapat dibuatkan suatu akta perdamaian yang mana

akta tersebut dapat memberikan kekuatan yang sama dengan suatu

putusan atau penetapan dimana dapat dijalankan seperti halnya suatu

putusan atau penetapan itu sendiri yang mempunyai kekuatan hukum

tetap.69

5. Pengadilan Agama Menjatuhkan Putusan

Pengadilan Agama di dalam operasionalnya bersikap aktif terhadap

para pihak terutama kepada para pihak mantan suami yang tidak

menjalankan kewajibannya atau dimintakan di Pengadilan Agama, maka

Pengadilan Agama berperan aktif di dalam menyelesaikan masalah

tersebut. Pengadilan Agama berdasarkan pada undang-undang No. 1 tahun

1974 pasal 41 bahwa hakim Pengadilan Agama dapat menetapkan kepada

mantan suami untuk memberikan hak istri pada masa iddah.

Jadi berdasarkan undang-undang Perkawinan dalam pasal 41 ayat

(c) Undang-undang No. 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa Pengadilan

68
Ibid., hlm. 80
69
Ibid., hlm. 43

47
Agama dapat memutuskan bahwa suami wajib memberikan biaya

penghidupan pada masa iddah bekas istri.70

Sedangkan apabila terjadi perselisihan pendapat antara suami dan

istri mengenai besar kecil jumlah nafkah ersbut maka Pengadilan Agama

dapat menentukan jumlah dan wujud nafkah iddah kepada istri, dimana

jumlah dan wujud nafkah tersebut disesuaikan dengan kemampuan suami

dengan tanpa memberatkan si suami.71

Sebagaimana ditegaskan padal 41 ayat (c) Undang-undang No. 1

tahun 1974 berbunyi sebagai berikut :

Pengadilan Agama membantu para pencari keadilan dan berusaha

sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk

tercapainya peradilan yang sederhana, cepat biayanya.72

Bunyi pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa Pengadilan

Agama sesungguhnya bersifat membantu menyikapi terhadap perkara

suami yang diajukan istri ke pengadilan dikarenakan tidak menunaikan

kewajiban.

Sikap pengadilan agama terhadap perkara tersebut adalah

memberikan putusan atau penetapan perkara tersebut. Dimana dengan

sendirinya putusan telah memerintahkan kepada mantan suami untuk

menjalankan kewajiban terhadap bekas istri.

70
Ny. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan Islam,
cet. 2, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm. 124
71
Ibid., hlm. 124
72
Ibid., hlm. 125

48
Untuk mengetahui bentuk putusan atau penetapan Pengadilan

Agama secara spesifik dapat dirujuk dari ketentuan perundang-undangan

pasal 57 ayat (2), pasal 59 ayat (2) pasal 60-64 Undang-undang No. 7

tahun 1989.

Kemudian selain ketentuan peraturan perundang-undangan pasal-

pasal tersebut di atas maka bentuk keputusan atapun penetapan Pengadilan

Agama ditegaskan lebih lanjut dalam penjelasan pasal 60 Undang-undang

No. 7 tahun 1989 yang berbunyi :

“Penetapan dan putusan pengadilan hanya syah dan mempunyai

kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk

umum”.73

Suatu putusan atau penetapan Pengadilan Agama dianggap syah

dan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila diucapkan pada sidang

terbuka untuk umum dan apabila setelah putusan perkara tersebut tidak

adanya cacat hukum atau pihak lain mengajukan banding. Dengan

sendirinya kedua belah pihak harus mematuhi dan menjalankan daripada

isi pokok materi keputusan tersebut.

Jumlah nafkah itu sendiri dapat dimusyawarahkan antara kedua

belah pihak yang berkepentingan yaitu antara suami dan istri secara

langsung. Bila tidak tercapai suatu kesepakatan di dalam musyawarah

maka Pengadilan Agama dapat pula dengan wewenangnya menentukan

73
Moh Mahfud, op. cit., hlm. 155

49
besar kecilnya jumlah nafkah tersebut berdasarkan kemampuan suami dan

tidak memberatkan kepada pihak mantan suami.74

I. Suami yang Menjalankan Kewajiban dan yang Tidak Menjalankan Kewajiban

pada Masa-Masa Iddah Istri yang Telah Dicerai

Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa,

memutuskan dan menyelesaikan perkara perdata khusus pada tingkat pertama

bagi orang-orang yang beragama Islam. Implikasinya setiap orang yang

beragama Islam dapat mengajukan atau menuntut semua perkara perdata

khusus ke Pengadilan Agama sesuai dengan daerah yuridis dan kompetensi

absolut.

Salah satu tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah menetapkan

nafkah iddah bagi si istri yang dicerai oleh suaminya dimana perkara tersebut

merupakan suatu rangkaian perkara perdata dari akibat terjadinya suatu

perceraian. Masalah ini telah diatur dalam peraturan perundang-undangan No.

14 tahun 1970, Undang-undang No. 1 tahun 1974 peraturan pemerintahan No.

9 tahun 1975 Undang-undang No. 14 tahun 1985 Undang-undang No. 7 tahun

1989 dan inpres No. 1 tahun 1991 tentang pemasyarakatan Kompilasi Hukum

Islam.

Dari peraturan perundang-undangan yang ada tersebut telah

menunjukkan dan merupakan suatu keberadaan Pengadilan Agama di

Indonesia itu telah sejajar dengan lembaga pengadilan lainnya.

74
Sukartun, op. cit.

50
Dari data-data yang didapat berdasarkan data primer Pengadilan

Agama Kota Salatiga pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 mengenai

pertama perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Kota Salatiga antara

lain :

1. Tahun 2004 perkara yang diterima Pengadilan Agama Kota Salatiga

(1) carai talak 227

(2) cerai gugat 356

2. Tahun 2005 perkara yang diterima Pengadilan Agama Kota Salatiga

(1) Cerai talak 231

(2) Cerai gugat 412 75

Dari data di atas maka bisa memberikan gambaran secara nyata dan

jelas, terutama data mengenai suami yang menjalankan dan tidak menjalankan

kewajibannya pada masa iddah istri.

Suami yang menjalankan dan tidak menjalankan kewajibannya pada

masa iddah istri ini relatif, tergantung dari kesediaan si suami atau si istri

menuntut nafkah tersebut di Pengadilan Agama atau tidak. Nafkah iddah itu

sendiri adakalanya si suami memberikan secara langsung kepada si istri, dan

ada kalanya diberikan setelah si istri menuntut di Pengadilan Agama, tuntutan

itu bisa diajukan bersama-sama dengan tuntutan cerai atau setelah perkara

cerai diputuskan.

75
Sukartun, op. cit.

51
Akan tetapi kewajiban si suami atas nafkah iddah menjadi hilang

dikarenakan alasan-alasan yang menyebabkan hilangnya kewajiban si suami

terhadap si istri yang telah dicerai.

J. Macam-macam Alasan Suami yang Tidak Melaksanakan Kewajiban pada

Masa Iddah

Alasan si suami untuk tidak menjalankan kewajiban pada masa iddah

bagi mantan istrinya, sangatlah berfariatif. Hal ini dikarenakan berdasarkan

pada keadaan suami itu sendiri. Seperti kesediaan suami itu sendiri, atau

alasan ekonomi seperti mempunyai pekerjaan tapi tidak mencukupi atau tidak

mempunyai pekerjaan yang mapan, atau bisa jadi si istri tidak menuntut

nafkah tersebut di Pengadilan Agama.

1. Alasan suami tidak melaksanakan disebabkan istri itu sendiri merelakan

nafkah tersebut

Sejalan dengan pasal 80 ayat (4-7) Kompilasi Hukum Islam yang

berbunyi sebagai berikut :

(4) Sesuai dengan penghasilan suami menanggung

(a) Nafkah, kiswah, biaya perawatan dari biaya pengobatan bagi istri

dan anak

(b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dari biaya pengobatan bagi

istri dan anak

(c) Biaya pendidikan bagi anak

52
(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4)

huruf (a dan b) di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna

dari istrinya.

(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajibannya terhadap

dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf (a dan b).

(7) Kewajiban suami yang dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.

2. Alasan tidak melaksanakan nafkah disebabkan istri tidak menuntut nafkah

iddah di muka Pengadilan Agama

Suatu perkara dapat menjadi kekuasaan dan kewenangan Pengadilan

Agama dalam ruang lingkup yurisdiksi dan kekuasaannya apabila perkara

tersebut dituntutkan di muka Pengadilan Agama oleh pihak yang

berkepentingan. Akan tetapi bila perkara tersebut tidak dituntutkan maka

dengan sendirinya Pengadilan Agama tidak mempunyai kewenangan untuk

berinteraksi dalam perkara tersebut. Jadi para pencari keadilanlah yang harus

agresif dalam menuntut hak-haknya dalam perkara perdata di Pengadilan

Agama dengan demikian Pengadilan Agama akan memberikan keadilan

seadil-adilnya.

Akibat tidak dituntutnya suatu perkara, maka dengan sendirinya baik

secara langsung maupunt tidak langsung hak-hak istri terhadap suami pada

masa iddah yang harusnya ia mendapatkannya menjadi gugur atau hilang

dengan sendirinya.

Hal ini sejalan dengan pasal 56 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun

1989 yang berbunyi sebagai berikut :

53
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan

memutuskan suatu perkara yang diajukan dikarenakan alasan

kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutuskannya”.

3. Alasan suami tidak mampu dalam ekonomi

Masalah mendasar suami yang tidak menjalankan kewajibannya

terhadap istri pada masa iddah adalah dikarenakan permasalahan

perekonomian.

Apabila suami memang benar-benar tidak mampu dalam masalah

ekonomi maka Majelis Hakim Pengadilan Agama dapat membebaskan suami

dari tuntutan nafkah iddah tersebut, akan tetapi perkara ini sama sekali belum

pernah terjadi dalam bentuk suatu perkara perdata tentang suami tidak mampu

di dalam menunaikan kewajibannya pada masa iddah isteri.76

76
Moh Mahfud, op. cit. hlm. 155

54
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Rumusan permasalahan yang merupakan central pembahasan skripsi

ini dapat disimpulkan

1. Konsep iddah menurut hukum Islam dan hukum perundang-undangan

adalah sebagai berikut :

a. Menurut hukum Islam

Al Qur'an surat At Thalak ayat 7, konsep nafkah iddah dijelaskan yang

artinya : Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah

memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah

tidak memikul beban kepada seseorang melainkan (sekedar), apa yang

Allah berikan kepadanya, Allah kelak akan memberikan kelapangan

sesudah kesempitan.

b. Menurut Perundang-undangan

Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang hak dan

kewajiban suami istri pasal 34

1) Suami wajib melindungi istri dan memberi segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai kewajiban.

2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya

55
3) Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat

mengusulkan gugatan ke pengadilan.

2. Seorang Hakim Pengadilan Agama dalam mengmabil keputusan-

keputusan atau penetapan nafkah iddah mempunyai kekuatan hukum tetap

apabila diucapkan pada sidang terbuka untuk umum.

Akan tetapi dalam pengambilan putusan atau ketetapan Pengadilan Agama

dalam penyelesaian nafkah iddah melalui sebuah proses pertimbangan-

pertimbangan yang menyangkut kesepakatan antara suami istri yang

mengajukan gugatan perceraian.

3. Dalam pengambilan putusan, seorang Hakim Pengadilan Agama Kota

Salatiga pada tahun 2005 dalam penyelesaian nafkah iddah sudah ada

kesesuaian dengan hukum Islam. Akan tetapi ada beberapa kasus yang

diputuskan tidak sesuai dengan hukum Islam hal ini dikarenakan berbagai

pertimbangan-pertimbangan sehingga tidak merujuk kembali dengan

hukum Islam bahwa nafkah iddah dalam Islam itu wajib dilaksanakan bagi

suami yang bercerai dengan istrinya.

B. Saran-saran

1. Hendaknya masalah hak dan kewajiban suami istri pada masa iddah

mendapat perhatian dari instansi terkait terutama lembaga Pengadilan

Agama. Karena banyak suami istri yang mengajukan gugatan perceraian

tidak mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Maka harus

diadakannya penyuluhan-penyuluhan kepada para pihak-pihak terkait

tentang undang-undang perkawinan dan aturan-aturan lainnya.

56
2. Agar pemerintah dan DPR membuat suatu peraturan perundang-undangan

yang mewajibkan kepada setiap perceraian suami istri untuk menjalankan

kewajiban-kewajiban suami istri pada masa iddah.

3. Dasar hukum putusan harus lebih dilengkapi. Hal ini untuk menghindari

adanya rasa ketidakpuasan dari kedua belah pihak yang berperkara. Serta

hakim jangan sampai dipengaruhi oleh keadaan psikologisnya dan

senantiasa memperhatikan manfaat serta madhorot dari pada putusan atau

penetapan.

C. Penutup

Demikian penyusunan skripsi ini, walaupun penulis telah berusaha

semaksimal mungkin namun penulis sangat menyadari keterbatasan dalam

penyusunannya sangatlah jauh dari kata sempurna. Karena hal tersebut

merupakan sifat manusia sebagai makhluk yang penuh keterbatasan,

kekurangan dan kekeliruan. Oleh sebab itu semua saran-saran yang sifatnya

yang kami sajikan bersifat konstruktif dan penulis harap dengan sangat untuk

dapat diterima dengan lapang dada.

57
DAFTAR PUSTAKA

A. Kelompok Al-Quran dan Tafsir


Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan
Penyelenggara, 1986.

B. Kelompol Al-Hadis
Imam Nawawi, Riyadhus Sholihin Jilid I, Pustaka Amani, Jakarta, 1992

C. Kelompok Fiqih dan Ushul Fiqih

Mahfud, Moh., dkk., Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam


dalam Tata Hukum Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1999.

Mahfud, Moh., Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, cet. I, Yogyakarta Press, Yogyakarta, 1993.

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Jilid VIII, terj. Drs. Muh. Thalib, PT Al
Ma’ruf, Bandung, 1987.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,


cet. I, Liberty, Yogyakarta, 1982.

______________, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang


Perkawinan Islam, cet. 2, Liberty, Yogyakarta, 1986.

Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan, cet. PT.


Pradya Paramita, Jakarta, 1987.

D. Kelompok Umum

Abdurra'uf, Muhammad Idris, Al Marbawy Juz I, Kamus Idris Melayu,


Darul Ulum Al Islamiyah, 354.

Ali, Muhammad Daud, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet.


6, PT. Raja Grafindo, Pustaka Pelajar, Jakarta.

Armojo, H. Arso, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. III, Bulan Bintang,


Jakarta, 1981.

58
Basyir, Azhari, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. I, Yogyakarta, 1997.

Muhtar, Kamal, Asas Hukum Perkawinan, cet. II, Bulan Bintang, Jakarta,
1987.

Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ind. Hill Co. Jakarta,


1991.

Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, cet. IV, Ghalia Indonesia,


Jakarta, 1978.

Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Galia Indonesia, Jakarta,


1986.

Sastroadmojo, H., Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. III, Bulan


Bintang, Jakarta, 1981.

Thalib, M., Liku-liku Perkawinan, cet. I, P.D. Hidayat, Yogyakarta, 1986.

Yanggo, Chuzaiman T. dkk., Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet.


I, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Hida Karya Agung, Jakarta, 1997.

59
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Khurul Aini

Tempat/Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 1 Juni 1980

Agama : Islam

Nama Ayah : Mujarobah, A.Ma

Alamat : Pulutan, RT 3 RW 4 Salatiga

Pendidikan : - MI Pulutan, lulus tahun 1992

- MTs N Salatiga, lulus tahun 1998

- MAN 2 Salatiga, lulus tahun 2001

- STAIN Salatiga lulus tahun 2007

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

60

You might also like